Man About Time, An Interview With Joe Taslim

Berbekal persistensi dan work ethic yang telah teruji oleh waktu, Joe Taslim tiba di saat yang tepat untuk menyelamatkan perfilman Indonesia dari kelesuan dan stagnasi pemeran yang itu-itu saja. Di antara himpitan jadwal yang kian memadat, aktor karismatik ini menyelipkan satu jam untuk berbincang dengan Baccarat Indonesia. 

STYLING ANINDYA DEVY FOTOGRAFER HILARIUS JASON MAKE UP & HAIR ARTIST ARIMBI TEKS ALEXANDER KUSUMA PRAJA LOKASI THE WESTIN JAKARTA

Hidup di kota besar dengan segala tantangan dan peluang yang bergulir begitu cepat, time could be your bestfriend or your worst enemy. Lengah sedikit, Anda bisa tergilas oleh waktu. Selayaknya Russian roulette, Anda mungkin tak akan pernah bisa 100% yakin kapan the perfect timing bisa mengantarmu ke kesuksesan atau justru stuck di satu tempat. Some people might believe in miracle and coincidences, others believe success comes to those who dare and act. Joe Taslim termasuk dalam golongan yang kedua.

Nama pria kelahiran Palembang, 23 Juni 1981 ini mencuat di publik ketika ia turut berperan di film laga The Raid pada tahun 2011 lalu, walaupun sesungguhnya ia telah mulai berakting di feature movie sejak tahun 2008 lewat film horror berjudul Karma dan film drama Rasa setahun setelahnya. Brutal dan penuh adegan bela diri yang membuat penonton tercengang sambil menahan napas, The Raid yang digarap oleh sutradara Gareth Evans adalah sebuah film martial arts action yang bisa dibilang breakthough dan mengharumkan film produksi Indonesia di mata dunia, termasuk nama para pemerannya. Peran Joe sebagai sosok Sersan Jaka di film ini berhasil memukau penonton dengan mata tajamnya, tubuh tegap, dan tentu saja keahlian bela diri mumpuni yang berasal dari background-nya sebagai atlet judo profesional yang sempat tergabung dalam timnas judo Indonesia.

            People fell in love with him dan sosoknya kian dikenal lewat berbagai photoshoot majalah dan komersial. Menyusul kesuksesan The Raid di ranah internasional, proyek Joe selanjutnya meliputi proyek skala internasional Dead Mine, sebuah film action horror produksi HBO Asia yang dirilis di sejumlah negara Asia. Not long after that, he got his first Hollywood role dalam Fast & Furious 6 yang lantas disusul dengan peran untuk Star Trek Beyond. Dengan pencapaian karier yang membanggakan tersebut, Joe pun memantapkan kakinya sebagai salah satu aktor Indonesia papan atas di saat umurnya telah melewati umur 20-an dengan filmografi yang sebetulnya masih bisa dihitung dengan jari.

Ditemui di presidential suite The Westin Jakarta, Joe yang memenuhi jadwal interview & photoshot untuk edisi ini datang sesuai jam yang telah disepakati ditemani beberapa entourage. Menyapa semua orang dengan ramah dan terlihat casual dengan t-shirt putih, jogger pants, sneakers, serta topi snapback yang bertengger di kepalanya, you can’t help but to feel his laid-backness. Namun, ketika ia berganti wardrobe dengan sharp tailored suit dan beraksi di depan lensa kamera (not a new thing for him since he used to be a model), Anda bisa merasakan auranya sebagai Joe the movie star. But make no mistake; behind all the glitz as an actor, Joe is a fighter, family guy, and social activist at the same time. Tanpa membuang waktu lebih lama, kami pun berbincang dengannya tentang the past, present, and the future.

L1001519

Hai Joe, boleh ceritakan aktivitas Anda belakangan ini?

Sekarang baru selesai syuting film action, The Night Comes for Us. Kita syuting 3 bulan, syuting terlama untuk film Indonesia yang pernah saya lakukan. Saya main jadi anti hero character, he’s a bad guy but looking for salvation. Tapi harga yang harus dia bayar untuk semua dosa yang dia lakukan, to go back to the right path itu mahal sekali. It’s very dark. Karakternya juga dark banget. Itu sudah selesai tapi saya langsung ambil film drama, judulnya Surat Kecil Untuk Tuhan, untuk balancing the psychological aja sih buat saya. Dari main film yang sangat keras, berdarah-darah, daripada saya harus ke psikolog gitu kan atau meditating, it’s better to do the other path, which is ambil film yang sangat drama, yang no violence and no action at all. It’s something I like to do untuk balance for me as an actor.

Jadi akting di film drama bisa menjadi semacam terapi juga ya?

Yes, therapy. Biasanya kalau syuting panjang kita mainin satu karakter bisa terbawa, bisa sampai ngomong sendiri kadang di rumah. Kalau syuting cuma sebulan mungkin nggak, tapi kalau di atas dua bulan, setiap hari mostly kita di set mainin karakter itu dari pagi sampai malam, we need time to balikin lagi. Dibanding lakuin itu, if I can, I will do the opposite, play different character yang benar-benar opposite dari karakter sebelumnya which is works. Kalau nggak, bisa tambah gila, haha.

Film Surat Kecil Untuk Tuhan ini sendiri tentang apa?

Ini film drama tentang anak-anak sih, sesuatu yang ingin saya lakukan dari dulu banget, bikin film yang bisa ditonton semua umur, especially kids, yang punya message penting juga untuk apa yang terjadi di seluruh dunia sekarang tentang anak-anak terlantar, human trafficking, penculikan, harvesting organ, segala macam. Saya berharap film itu bisa jadi campaign juga untuk isu anak-anak terlantar. It’s a movie yang harusnya bisa menginspirasi banyak orang sih.

Mengingat banyak film Anda yang mengandung kekerasan, apakah selama ini anak-anak Anda juga ikut menyaksikan film Anda?

Saya pernah main film drama tiga tahun lalu dan mereka nonton. The Raid juga sebetulnya mereka nonton tapi tetap saya dampingi untuk menjelaskan kalau semua itu hanya seni, semua itu hanya props. I try to give them angle agar jangan terperosok dalam ilusi violence yang disajikan di film itu. And they understand, so it’s cool sih harusnya, nggak masalah. Tapi anak yang paling kecil nggak lah. Yang sudah 10-11 tahun saja yang sudah punya logic yang baik.

Apa reaksi anak-anak kalau lihat ayahnya di layar?

Mereka sudah biasa sekarang. Dulu kalau lihat foto saya di jalan, di billboard misalnya, masih suka excited, sekarang sudah biasa. They understand it’s my job, papanya kerja di industri yang membutuhkan papanya dipajang di mana-mana, it’s their dad’s job to represents brand, to be in a movie and delivers character. Saya rasa mereka juga sudah mengerti inside-nya, bukan cuma dari luarnya saja. It’s a job, just like any other job like makeup artist or photographer. Kalau aktor atau singer mungkin memang dapat spotlight khusus karena mereka adalah frontline to deliver sebuah project atau brand, tapi sebenarnya sama aja, everybody’s working hard behind the scene. Di industri ini, it’s all about collaboration.

Flashback sejenak, bagaimana masa kecil Anda di Palembang?

Saya dulu dari kecil memang diarahkan orangtua untuk jadi atlet. Masih kecil ya sekolah, sore latihan, its quite discipline life. Main ya main tapi karena fokusnya juga udah ada di sekolah dan olahraga, jadi main ya seadanya, tapi jadi lebih tersalurkan lah. Karena ingin cari yang cocok, saya sempat coba banyak hal. Bulutangkis, taekwondo, kungfu, judo, wushu, bahkan tinju pun pernah sempat mau saya coba.  Tpi akhirnya memang harus fokus di satu cabang dan saya memilih judo, saya juara nasional dan masuk timnas. 

Dari sekian banyak bela diri yang pernah ditekuni, kenapa memilih fokus di judo?

Judo dari saya kecil pun is mostly something that fun dan seru. Judo memang bela diri yang butuh kegigihan, karena prosesnya juga nggak ada yang gampang, dibanting, dicekik, dipatahin, dikunci segala macam. Tapi kalau memang gigih it could reach some point yang membanggakan. Memang keuletan itu yang nggak gampang. Kalau latihan pasti sakit, tapi setelah sekian lama, when you adapt to the pain, you need the pain everyday, it’s something yang seru, setelah dinikmati ya its good pain yang bikin kita lebih kuat physically and mentally, which I think that help a lot in my career as actor now. Secara mentally and psychologically I was raised in very warrior way. Jadi di dunia seni pun I think its same work ethic, harus gigih dan kerja keras, nggak cepat puas, respect, karena core-nya judo memang respect dan discipline. Disiplin itu sih yang banyak membantu di dunia perfilman ini. Banyak orang yang nggak punya core itu. They think acting is just mambo jambo spotlight, getting famous and the girls or get the cover of magazine, they don’t know the foundation of it. It’s a profession. It’s not something you want to brag to other people about.

Jadi, bagaimana Anda akhirnya terjun ke showbiz?

I always love movies. Dari kecil its part of the family tradition juga untuk nonton film bioskop bisa seminggu dua kali or at least sekali because my dad is a huge fan of movies. Mungkin dari situ juga timbul keinginan untuk terjun ke industri ini. Awalnya saya mulai dari commercial, ada satu brand yang membutuhkan talent dengan skill judo, they ask me to go to the audition and then I got the job, that’s my first introduction to camera and shooting process. Dari situ banyak tawaran seperti photoshoot untuk magazine dan runway. For me its learning process. Dari 2001 sampai 2006, it was tons of auditions, tons of work here and there. Audisi untuk iklan, photoshoot, runway, sinetron, FTV… I just did everything just to know industri ini seperti apa sih. Sama seperti bela diri, I learn so many martial arts, but at some point I know I need to focus on one. Salah satu hal yang membuat saya menjadi good judo-ka dulu karena saya mempelajari banyak martial arts lain dan membawa elemen-elemen itu ke martial art yang saya tekuni. Sama seperti industri ini, by the time I decide to focus on acting in feature movie, I have a good foundation and already learnt many things that I could deliver through my experiences, right?

Saat pertama kali berakting di film Karma, apakah waktu itu Anda sudah menikah?

Yes, I was married in 2004, Karma keluar di 2008. I got married when I was really young but I think its good, jadi bisa lebih fokus ke kerjaan. Sudah nggak pikir main-main lagi. Agendanya cuma satu, I just want to be a good actor. Kalau belum kawin mungkin I just think about the girls or party, you know? It’s probably one of the keys that brought me here. Kebanyakan orang kan when they get famous, the distraction around the art sometimes too strong, they got carried away and forgot it’s a profession you love, not the illusion around it.

So you think you started your career on the right time?

Yeah, I think everything happens for reason. Karier saya baru berjalan mulus when I was about 30, below 30 it was struggle all the way, which is happens for reason. Kalau saya mendapat semua apresiasi ini di umur 20, maybe I would be somebody else. Mungkin saya tidak bisa menahan diri dan belum cukup matang. Tapi di umur 30 sekarang dan sudah menikah, saya bisa fokus di pekerjaan. Nggak ada yang aneh-aneh lah. Ini bukan sesuatu yang buat main-main, it’s my life. Not just for being on screen and get famous, this is my life and my career.

Do you already feel settled now?

I’m happy. I think my personality juga bukan yang terlalu ambisius. I don’t think I’m very ambitious guy, I think I believe in doing a bit by bit in perfect way will lead you to the dream and point you couldn’t think you could achieve. Jadi dibanding bikin sesuatu yang grande, I’m kinda guy who a bit OCD in term of how I work. Bagi saya lebih penting memperhatikan detail dalam pekerjaan karena kita nggak akan tahu ke mana hal-hal ini bisa membawa kita. I love surprises, so jalanin apa saja dengan sepenuh hati, dan tiba-tiba, jackpot!

L1001878

Well, mungkin bagi banyak aktor Indonesia the ultimate dream adalah go international main di film Hollywood, but you actually already did that.

I never have a big dream about it to be honest. Kalau berandai-andai mungkin siapapun pasti pernah, tapi kalau untuk bermimpi terus dipikirin nggak sih. This is an unpredictable profession because this is art, it’s very hard to judge. You never sure if you did a good work in one project and it could lead to the other. It doesn’t work that way. It needs a little bit of magic yang munculnya dari keyakinan and it has to be fun. Dan saya selama ini melakukan semua project, apakah itu komersial atau film, semuanya harus I know I’m going to have so much fun. It’s not because of the money or what, I know when I read the script and then I think I will have so much fun in this one, I’m gonna give everything. That’s it. Kalau project-nya sukses atau nggak, it doesn’t matter because I win already. I would never lose because I did it for the sake of I believe in it and I’m very happy for it. Jadi itu sih, filmnya mau kaya apa juga I’m a winner already. In my case, do your profession with love and always give 110 percent, always give perfection to every details and it could lead you somewhere to probably you won’t imagine before.

Do you have any bucket list in acting?

A lot pastinya. Secara karier film saya juga masih belum banyak. Kalau lokal ingin kerja dengan Joko Anwar, Ifa Isfansyah, Hanung Bramantyo. Kalau di luar pasti lebih banyak lagi pastinya, haha. As long as the story make me fall in love with, then anything could happen.

Talk about time, punya brand favorit untuk jam tangan?

I have Omega and Rolex, dua itu yang aku suka sih. I’m very loyal in terms of brands. Jadi kalau sudah suka satu, I feel I don’t want to betray the brand I love. Jadi jarang juga nyoba-nyoba, biasanya kalau sudah coba satu atau dua, ya sudah stay di situ saja.

Pertimbangannya apa kalau membeli jam tangan?

Banyak orang yang memakai jam tangan sekadar untuk fashion. Tapi kalau saya melihat jam tangan itu as a little bit of hint about who you are. Kalau pakai jam tangan untuk meeting and meet people, hal itu memberikan kesan jika kamu adalah orang yang peduli soal waktu, sedangkan design-wise, it’s also show what kind of a guy you are. Kalau saya sendiri sih memang stay to leather and steel. Nggak suka yang modelnya aneh-aneh. Classic watches like Omega or Rolex never disappoint me. They always fit me really good and I think my character also represented. So it’s not like I’m representing the brand, but the brand help me to represent who I am. Like this guy care about time, discipline, classic, persistence and detail oriented. Jam tangan bisa memberikan ilusi tentang diri kita. Not always, but it helps.

Anda sempat posting foto rapper Tupac Shakur di Instagram, kalau musik Anda suka mendengarkan apa?

Banyak sih yang saya suka. I’m an old soul jadi saya nggak begitu mendengarkan lagu-lagu sekarang, kecuali yang bagus banget, picky sih. Saya suka dengerin lagu zaman dulu seperti Stevie Wonder, Tupac, Biggie, atau lebih tua lagi The Beatles. Maybe because I’m not that young anymore, haha.

Anda juga sering posting video main piano di Instagram dan bilang jika hal itu membantu membangun mood dalam berakting. Memang gemar main musik ya?

Just for fun, not professionally. Musik selalu berhasil membangun mood apapun. Seperti di film kan semua dibangun dari musik. Nonton film kalau nggak ada musiknya, you don’t know what you are watching. Saya main piano belajar sendiri dari YouTube. Sekarang semua bisa dipelajari dari YouTube. Asal gigih saja, persistence. Kalau gigih apa sih yang nggak bisa? Kalau bosenan, nyerah, ya nggak bisa belajar apa saja. Alasan orang can’t do what they want karena mereka kurang gigih atau cuma sekadar mengikuti tren.

Ada skill lain yang ingin dipelajari selanjutnya?

I want to speak different languages, ingin belajar Mandarin, Korea, Jepang… Saya rasa bahasa Asia sudah sangat penting sekarang. Different instruments juga kalau di musik. Itu hal yang sangat membantu di sela kesibukan. If I have the option, I rather sit in front my piano instead of hanging out. Ini sesuatu yang positif lah and time is ticking, I’m not that young anymore and I love to learn a lot of things, jadi kalau ada waktu ya I want to learn or try new things. Especially in music, kalau udah bisa piano, I wanna go to different instrument and learn it from YouTube. Ada kenikmatan belajar sendiri. Kalau dengan guru, you’re just following order. When you learn from YouTube, you will find your own system, you teach yourself. Dan pada saat berhasil, ada kepuasan tersendiri yang beda.

Di Instagram, Anda juga kerap posting soal social campaign seperti He for She Campaign dan Fight or Flight. Tell us more about it.

Kalau Fight or Flight itu saya bantuin campaign teman saja sih. My friend is an UFC champion and actor in L.A. Dia bikin campaign soal bullying. Kalau orang dipukulin ya jangan victim terus, lo harus melawan. Ini campaign untuk orang memperkuat diri jadi he asks me to give support and I did it because it’s a good campaign. Itu sesuatu yang saya lakukan di sela kesibukan. Helping them, helping the campaign but actually I’m helping myself too, it bring peace to me. Directly or indirectly, like it or not, celebrities have power to build the awareness and influence the people, jadi gunain yang benar aja. Kalau ada yang minta tolong as an influencer to doing something good I would say yes. I don’t have a reason to say no.

Kalau tentang He for She?.

He for She Campaign itu tentang penyetaraan gender di seluruh dunia. Kalau di He for She Indonesia kita mencoba bilang bahwa kesempatan harus sama antara laki-laki dan perempuan, penyetaraan gender di semua bidang, di instansi pemerintahan dan swasta, salary harus sama, dan perempuan juga berhak menjadi pilar pembangunan Indonesia ke depannya and have opportunity untuk sama-sama membangun negeri. To make it work, kampanye ini memang butuh dukungan dari semua laki-laki, kalau untuk perempuan doang jadinya terpisah. The point is always untuk bikin orang aware dulu, lewat social media dan nanti juga video yang sudah kita shoot akan dimasukkan ke bioskop dan digital.

Do you see yourself as a humanitarian?

I want to be. But I don’t know, it depends on what you do, you cannot say yourself as a humanitarian but you never really there. I try my best to, at least support the humanity program. But to claim myself as humanitarian I don’t think I have the credibility. I haven’t been in Syria, Sudan, or Aceh. So far I’m still doing it through penggalangan dana and the practical campaign to raise the money for them. But I don’t think its enough. I’m just a supporter of humanity.

What make you proud as Indonesian actor?

I’m proud as Indonesian actor because being Indonesian actor brought me my career. Saya kan bukan orang Indonesia yang tinggal di Amerika. Bukan orang Indonesia yang pindah ke Amerika terus berkarier di sana dari nol. Karierku dimulai di sini dan yang membukakan pintu untuk film-film Hollywood yang aku dapat itu karena aku main film Indonesia. Film Indonesia The Raid yang membukakan pintu aku ke sana, that’s the movie I’m always being proud of, karena kalau nggak ada film itu ya nggak ada Fast, Star Trek, dan nggak ada hari ini juga. That’s Indonesia movie, man. You have to be proud too.

Pernah ada keinginan untuk tinggal di luar negeri demi karier?

Pindah sih belum. I don’t think so, kecuali memang pekerjaan di sana harus stay lama. Tapi juga akan balik lagi, I don’t think I will move to anywhere else. Kalau ada tawaran film di luar ya kita bakal syuting, kelarin. Udah kelar ya pulang lah. Sekarang belum kepikiran sama sekali, plus everything is fine here. Semua di sini baik-baik saja. Education wise it’s good, life wise it’s good. It’s home lah.

Including the recent politics situation?

It’s okay… Everything is gonna be fine. When it’s done, it’s done. Everybody will hug each other.

Hopefully.

Possibly.

L1001424 copy

A League of Her Own, An Interview With Natalie Ludwig

Dari Dartmouth sampai Dolce & Gabbana, dengan cantik Natalie Ludwig melangkah seimbang di antara kehidupan akademis di kampus Ivy League yang tersohor dan kariernya sebagai rising supermodel di berbagai pentas fashion dunia. 

Pada tanggal 11 September 2015 lalu, bertempat di dermaga Pier 26 dengan pemandangan cahaya matahari terbenam yang membentang di atas Sungai Hudson, New York City, hampir 100 model turun beriringan untuk berjalan di atas runway Givenchy koleksi Musim Semi 2016. Seperti yang bisa diharapkan dari rumah mode legendaris asal Prancis yang saat itu masih dinahkodai oleh sang Creative Director Riccardo Tisci (baru bulan Februari kemarin ia mengumumkan rencananya meninggalkan Givenchy setelah 12 tahun di sana), pagelaran mode tersebut berlangsung dengan spektakuler. Dengan koreografi kreasi seniman garda depan Marina Abramovic, deretan model tersohor seperti Mariacarla Boscono, Kendall Jenner, dan Joan Smalls memeragakan koleksi yang menjadi tribute bagi peringatan serangan teror yang menimpa kota tersebut 14 tahun sebelumnya. Ethereal and divine, para model yang mayoritas mengenakan pakaian berwarna hitam, putih, dan gading terlihat seperti para peziarah sekaligus penyintas. Di antara wajah-wajah familiar yang telah lama malang-melintang di atas catwalk, terselip satu wajah yang terlihat asing, namun seakan menghipnotis para penonton untuk memerhatikan gerak-geriknya di atas panggung.

03580007

Sang pemilik wajah bernama Natalie Ludwig. Runway tersebut adalah kali pertama model asal Kanada ini berjalan di fashion week dan pintu masuknya ke dunia fashion sebagai model eksklusif untuk Givenchy. Dibantu oleh casting director kepercayaannya, Patrizia Pilotti, bukan hal yang aneh bagi Riccardo Tisci untuk, once in awhile, memilih wajah-wajah paling fresh sebagai model eksklusif bagi show Givenchy, dalam artian, sang model terpilih hanya boleh berjalan untuknya di musim tersebut. It’s once in a lifetime opportunity and almost like a rite of passage to a stardom. Butuh lebih dari keberuntungan untuk mendapat kesempatan itu, dan Natalie Ludwig punya banyak hal yang membuat seorang Riccardo Tisci dan casting director manapun menyukainya. “Saya tidak bisa memikirkan alternatif lain yang lebih baik untuk memulai karier saya. And yes, I’ll never forget the magic of that show! Tentu saja saya sangat nervous tapi saya berusaha sebisanya agar hal itu tak terlihat. Pakaian yang saya kenakan adalah extraordinary works of art, the energy was moving, and the show took place in New York City on September 11th,” kenangnya.

Nat, demikian gadis kelahiran Vancouver, 14 Juli 1995 ini biasa dipanggil, bergabung di agensi model pertamanya saat masih berumur 13 tahun, namun baru di tahun 2014 ia bergabung di agensi papan atas Elite Management. Setelah debut yang impresif sebagai model eksklusif untuk Givenchy di Musim Semi 2016, di musim berikutnya ia langsung melesat sebagai fresh face paling dicari di kancah fashion week dunia. Rumah mode termahsyur mulai dari Burberry, Valentino, Maison Margiela, hingga Dolce & Gabbana berebut memintanya untuk berjalan di show mereka.

Diberkahi oleh tubuh semampai dengan kecantikan klasik bak Dewi Venus, gadis berdarah Kanada dan Jerman ini memang seakan terlahir untuk menjadi seorang model. Namun, bukan berarti ia menganggap modeling adalah poros utama dalam hidupnya. Ketika banyak model muda lainnya mencurahkan fokus dan masa muda mereka untuk karier modeling sampai rela meninggalkan bangku sekolah, bagi Natalie edukasi adalah hal yang tak bisa ditawar. Kendati menjadi model yang tengah naik daun dengan sejuta peluang terhampar di hadapannya, ia memutuskan untuk tetap menikmati masa mudanya seperti teman-teman sebayanya dan melanjutkan kuliah di jurusan Sosiologi di Dartmouth College, salah satu universitas Ivy League bergengsi di Amerika Serikat. “Bukan hal yang mudah untuk kuliah sekaligus kerja, tapi mendapatkan degree adalah hal yang penting bagi saya, jadi saya secara secara maksimal berusaha menyeimbangkan keduanya. Saya menghabiskan satu semester untuk fokus kuliah, semester berikutnya untuk modeling, dan kembali ke kampus semester selanjutnya secara bergantian. It’s allowing me to devote different portions of time to each and try to stay on top of both. Saya juga merasa beruntung punya kesempatan untuk kuliah di salah satu universitas Ivy League karena bisa mendapat banyak inspirasi dari teman-teman kampus yang datang dari latar yang sangat beragam.”

            Itu adalah caranya untuk tetap menjalani hidupnya dengan “biasa” seperti remaja pada umumnya. Namun, mungkin “biasa” memang bukan suatu kata yang tepat untuknya. Ia berasal dari keluarga yang tak asing dengan sorotan lampu dan atensi. Ibunya, Sharlene, adalah mantan aktris; ayahnya, Harald Horst Ludwig adalah businessman dan petinggi dari perusahaan showbiz Lionsgate, sedangkan kakaknya adalah Alexander Ludwig, aktor yang muncul sebagai Cato di The Hunger Games dan serial Vikings di History Channel. Sebelumnya, Alexander juga memulai karier sebagai model untuk Abercrombie & Fitch saat fotografer Bruce Weber melihatnya di perpustakaan University of Southern California dan baru-baru ini adik perempuan Natalie, Sophia, juga baru bergabung di IMG Models mengikuti jejaknya. So it’s really a family affair for her. Melihat latar belakang keluarganya, kamu mungkin bertanya-tanya apakah Natalie akan mulai merambah ke akting dan tampaknya memang hanya tinggal menunggu waktu hingga saat itu tiba. “Iya, saat ini saya sedang mencari kelas akting, karena saya merasa art form dari modeling dan akting sebetulnya berjalan beriringan,” ungkapnya.

            Genetically blessed dan didukung support system yang kuat dari keluarganya, adalah hal yang mendebarkan untuk menanti hal-hal menakjubkan apa lagi yang bisa ia lakukan di masa depan. Tapi untuk sekarang, menyelesaikan kuliah dan meniti karier menuju status supermodel adalah fokus utamanya. Di antara jeda waktu menunggu wajahnya dirias and hit the runway, Natalie menjawab interview berikut ini di belakang panggung pagelaran Ralph Lauren untuk New York Fashion Week musim ini.

03570006.jpg

Di mana kamu tumbuh besar dan apa pengaruh dari masa kecilmu yang terbawa sampai sekarang? Saya lahir dan besar di Vancouver, Kanada, di keluarga besar yang sangat adventurous! Sekarang pun kalau sedang tidak modeling saya suka traveling, ski, hiking, main tennis dan melakukan aktivitas penuh adrenalin lain seperti bungee jumping, sky diving, kayaking, etc. I’m always up for testing my boundaries and trying new things. Hal itu membuat saya menjadi orang yang cukup pemberani dan mengajari saya untuk stand my own ground, yang menurut saya sangat penting di industri yang sedang saya jalani.

Apa cita-citamu waktu kecil dulu? Waktu kecil saya selalu ingin menjadi penyiar berita. Dulu saya selalu menonton berita setiap pagi sebelum berangkat sekolah dan terpesona dengan sosok orang-orang yang menyampaikan berita-berita penting untuk dunia.

Jadi apa yang membuatmu terjun ke modeling? Saya mulai modeling di usia 13 tahun saat saya di-scout Lizbell Agency di sebuah field hockey game. Ketika saya pindah ke East Coast untuk kuliah, saya bergabung di Elite New York, untungnya karena jarak kampus dan agensi saya sangat dekat jadi saya bisa melakukan keduanya sekaligus! Saya suka modeling karena pekerjaan ini membuat saya bisa mengeksplor diri sendiri melalui emosi dan karakter yang berbeda-beda yang harus saya tampilkan di set.

Apa hal yang kamu baru pelajari dari dunia fashion dan modeling saat kamu akhirnya terjun ke dalamnya? Kamu akan menyadari jika industri ini ternyata bisa mengajarkan banyak hal tentang diri kamu sendiri. Hal itu terasa ketika saya bereksperimen dengan fashion lebih dalam, bekerja dengan fotografer yang berbeda-beda dengan visi masing-masing.

Apakah kamu punya pencapaian favorit di dunia modeling sejauh ini? Saya rasa saya tidak bisa memilih satu yang paling favorit, tapi menjadi model eksklusif untuk Givenchy selalu menjadi hal yang membanggakan bagi saya! Yang baru-baru ini, saya lagi di Times Square dan melihat wajah saya di American Eagle Holiday Campaign terpampang di atas jalanan, which was a very cool moment for me!

03590008x

Bila harus memilih antara runway dan photo shoot, mana yang membuatmu lebih excited? Keduanya sangat exciting, jadi kembali lagi tergantung pada job itu sendiri. Tapi yang jelas, there is nothing that compares to the energy you feel as you walk on the runway.

Di antara major fashion week capitals, kota apa yang menjadi favoritmu dan kenapa? My favorite fashion week capital is Paris. There is a special sense of magic in the air there, causing me to feel constantly inspired simply by people-watching on the streets as I walk to castings.

Kamu sempat mendapat pujian dari Naomi Campbell saat berjalan di Burberry, bagaimana kamu berkenalan dengannya? Siapa saja model favoritmu saat kamu beranjak dewasa? Saya bertemu dengan Naomi pertama kali di Uruguay dan merasa beruntung bisa mengenal dirinya, dia adalah salah satu model yang paling hard-working dan loyal yang pernah saya temui. Saat saya kecil, Naomi adalah model yang saya idolakan, kepercayaan dirinya dari dulu sampai sekarang selalu menginspirasi tanpa batas. Selain Naomi, saya juga mengidolakan Linda Evangelista dan Stephanie Seymour.

Siapa saja yang ada di daftar dream collaboration milikmu? Rasanya tidak mungkin untuk menyebut semua dream job yang saya inginkan, tapi ada banyak para visionaries yang saya harap bisa bekerjasama dengan saya, contohnya seperti Steven Meisel, Patrick Demarchelier, dan Peter Lindberg.

What’s your secret weapon when it comes to confidence? Stay true to myself and only do what makes me happy. When I am happy, I feel confident. Self-love is very important, especially in this industry.

Di Instagram terlihat kamu sangat dekat dengan kakak-adikmu, siapa yang paling dekat denganmu di keluarga? My siblings are my best friends no question, I Facetime with all of them daily, it would be evil to pick a favorite! Haha.

Kamu mengambil major Sosiologi di Dartmouth, kenapa dan apa yang membuatmu passionate di bidang itu? Saya tertarik pada Sosiologi karena ini ilmu tentang manusia dan budaya. Saya passionate soal humanitarian work. Baru-baru ini saya bergabung di “Model Mafia”, sebuah grup aktivis yang digagas oleh Cameron Russel dan saya tidak sabar untuk terlibat di proyek-proyek yang akan datang.

Menyinggung tentang politik, bagaimana iklim politik belakang ini mempengaruhi dirimu? Hal apa yang ingin kamu ubah dari dunia? Saya harus bilang jika saya bangga menjadi orang Kanada karena negara ini tetap menjadi negara yang menghargai perbedaan dan menerima semua orang. I would love for the world to be a more accepting and safe space.

Tell us about your personal style, how would you describe it and what’s your sartorial signature? Gaya personal saya cukup free-spirited dan menyesuaikan dengan kegiatan yang saya lakukan. Kalau lagi kuliah, saya hanya memakai pakaian yang kasual dan agak sporty, a lot of Adidas originals and Supreme! Tapi kalau lagi modeling di New York, saya cenderung memakai pakaian warna hitam, with good vintage statement pieces to spice things up.  

Jika kamu bisa memilih satu karakter fiksi untuk menggambarkan dirimu, siapa yang akan kamu pilih? Carrie Bradshaw dari Sex and The City karena dia mampu menyeimbangkan antara cinta, fashion, karier, dan teman-temannya, dengan great sense of humor about it all.

Have you ever been in love? What makes you fall in love with someone? I’ve been in love once. I fell In love because he always pushed me to be a better version of myself. I think having someone who encourages you to grow is extremely important.

Apakah kamu termasuk orang yang membaca dan mempercayai horoskop? I love reading my Cancer horoscope everyday, it keeps me mindful! 

Saya dengar kamu suka mendengarkan musik sebelum berjalan di runway atau sebelum photo shoot untuk membangun mood, apa yang sedang kamu dengarkan belakangan ini? “Paris” dari The Chainsmokers, “White Inversion” dari Post Malone, dan “Free Fallin” dari Tom Petty. Selera musik saya sangat beragam!

Kamu telah berpergian ke banyak tempat, punya destinasi impian yang belum terlaksana? Destinasi travel impian saya adalah Peru. Saya selalu ingin hiking dan melihat Machu Picchu dengan mata sendiri.

 Apa saja yang menjadi bucket list tahun ini? Do a half marathon, work with youth at risk in New York, go gorge jumping, and launch the starting of a fashion line with my brother, Alexander Ludwig. 

Terakhir, what’s the best advice you ever got, in term of modeling or life in general? “Good things happen when you show up”.

Photographer: David Richardson.

Stylist: Jo Heng.

Assistant Stylist: Enyu Lin.

Makeup: Kentaro Kondon.

Hair: Jake Gallagher.

On The Records: NICHOLSON

Come from the land of so-called Bollywood sounds, NICHOLSON is a live electronica project from singer-songwriter Sohrab Nicholson and producer/multi-instrumentalist Rohan Rammana which bringing a breath of fresh air to the musical landscape in Mumbai, India. The project is started not long after Sohrab finishing his jazz piano study at St. Francis Xavier University in Canada. After a brief stint in UK, he went home to India along with his musical exploration of ambient electronic which he combines with the key harmony of jazz. His conquest to find music producer who can understand and enhance his music bringing him to Rohan, one of the founders of Cotton Press, a music studio in Mumbai with main focus is to support the local alternative scene. With the right chemistry of emotive vocal and transcendental ambient electronic, it doesn’t took a long time for them to gain positive recognition through their debut EP For What in 2014. Supported by hypnotizing live performance and cinematic music video for singles like “Cold Water” and “For What II”, NICHOLSON successfully serving an interesting feast of sounds and sights.

14040007_524066931118756_1237400459790716242_n

Hi Sohrab & Rohan, how are you? Where in the world are you right now and what are you doing before answering this email?

Very well thanks. We’re in Mumbai, India right now. We’re in the process of writing our first album, so we have been spending a lot of time in the studio.

So I guess we should start from the beginning, what inspired you to start making beats in the first place and how did you guys meet and make this project?

Well music was essentially a very essential part of both our childhoods. We were exposed to a lot of it because of our families. Our dads exposed us to what they listened to, and eventually we learned to play our instruments. As far as the project is concerned, we met quite by chance at Cotton Press Studio in Mumbai, where Rohan is one of the founding partners. We started working on our first EP before we planned on launching a project of any kind.

What’s the story behind NICHOLSON’s name?

I had initially gone to Cotton Press Studio, to record a couple songs I had written. We worked on our first EP together in an artist-producer context. I didn’t at the time want another alias, so I just used my last name. Very quickly the dynamic changed and it was quite clear we were a duo in every sense, but the name stuck. Funnily enough we later discovered that Rohan grew up next to a lady called Mrs. Nicholson. Turns out she was my great aunt!

How would you describe your genre?

Wellwe’re not really genre specific. We draw inspiration from a really large palette. We come from similar jazz backgrounds, but listen to vastly different music from one another. So, in essence what we make is an amalgamation of all our influences.

What are your musical influences?

Jazz, Classical, Hip-Hop, Film Scores, Pop, Electronica… We’re sort of all over the place.

What kind of records were you collecting when you’re growing up?

Collectively… Michael Jackson. We definitely both had Michael Jackson records growing up. Pink Floyd, Miles Davis, Oscar Peterson, Weather Report – a few names that were always playing at home when we were growing up.

How do you think your hometown affects your music?

Never really thought about it to be honest…

How the songwriting/recording is usually goes for you? Who’s doing what?

It just depends on the song. We’ll jam out an idea and develop it. Sometimes, Sohrab will have a song skeleton with lyrics and basic chord guideline, which then gets developed together. Other times, it just starts with a groove… There’s no real system. It’s sort of a give and take. We both have ideas that all make it to the table and then we curate them.

You have awesome music videos that always feels so cinematic, how do you came up with the concept for your videos?

Well the video series is all thanks to our good friend Sachin Pillai, who came on board to collaborate with us from the very beginning. He’s a very talented cinematographer and documentary film maker. Our common friends are in the videos as well which made it quite special. The videos are Sachin’s babies. We brainstormed concepts etc, but he definitely captained that ship.

How do you feel about your local indie music scene in India nowadays? Do you have any recommended names to listens to?

The landscape of Indie music in India is changing very rapidly. A few years ago, there wasn’t really a market for non-mainstream Bollywood music. What’s happening right now is quite exciting. Yeah, lots of great acts… Sandunes, Parekh and Singh (Formerly Nischay Parekh), Sid Vashi are a few you should definitely check out!

What are you doing when not making music?

It’s pretty much our full time job. Other than this project, we also compose and produce music for television commercials, documentaries, etc.

What’s the most memorable gig so far and why?

Magnetic Fields which is a music festival held in a palace in Alsisar, Rajasthan. The festival on a whole was truly a very unique experience and we are just so happy we had the opportunity to perform there.

What’s your dream project?

A feature film background score.

What are the next goals for you?

We are writing our album as well as working on a creating a complete audio/visual experience tour collaborating with really talented visual artists, the “Wolves” who recently played at Glastonbury with Anoushka Shankar.

https://www.facebook.com/nicholsontunes/

Photos by Neville Sukhia

Art Talk: The Pink And Blue of Fran Munyoz

Hailed from Valencia, Spain, artist Fran Munyoz paints about boys and girls in their undies, looking fragile and sensual at the same time, in vibrant pastel landscape of predominantly pink and blue palette. It was love at the first sight when I accidentally saw his works in my Instagram feeds. Just mere minutes after I instantly click the follow button and liking so many posts, I decide to drop him a message for interview request, and here it is. The 22-year-old artist tells about his life in Valencia, his artistic process, and the captivating characters that appear in his work.

 FRANMUNYOZ

Hi Fran, when did you start focusing making art? Did you come from creative/artistic family?

I’ve been painting, drawing, and sculpting since I was young, but it’s only around from these past two years, I am focus on creating personal works. No one from my family is an artist. I have learnt Fine Arts at the Polytechnic University of Valencia for two years. In addition, I’m also joining personal classes to develop my skills.

What do you love the most about your hometown and how does it affect your art?

I really like how calm it is, it’s close to the sea and at the same time it’s also around mountains. I used to focusing in body shapes; nevertheless I also have included landscapes in my latest series to generate different backgrounds.

Who are your favorite artists?

My favorite artists are Antonio López, Hopper, Matisse, and Dalí.

 pp

What kind of mediums do you use?

I used to work with mix and collage technique. Both of them are dynamic and they increase the dimension of the work. But actually what I’m really like is to combine drawing and painting.

Tell us a little about your creative process.

I am working so hard constantly, and especially after I decided to do what I love and I mixed it with my essence. I choose the colors depend of the situation or series. I like planning all the works with a coherent theme and stay true to the meaning that I want to transmit through my works.

What the other thing beside art that makes you passionate?

I am passionate about human, trying to get know more from the people, understanding different perspective and know how they feel.

angelcaido

What makes you nostalgic?

Thinking about life itself makes me nostalgic, and especially to think about the ones that aren’t with me anymore.

How do you define “beauty”?

I think during XXI Century the concept of “Beauty” shouldn’t be explained because it’s wide, relative, and very depends on who is looking at it.

What was the last thing you read, watched, and listened to?

The last book I have read was Art After Modernism from Brian Wallis. Last film I have seen is Edward Scissorhands from Tim Burton, and last song I have listened is “Til It Happens to You” from Lady Gaga.

What are your current and upcoming projects?

Nowadays I am working on some commission works, a new video art project and some exhibitions. There’s an individual exhibition which will be held in Madrid and a collective exhibition in Malaga.

Where can we see more of your work?

My website and Instagram.

mar

21 Questions With…. A. Nayaka

Being the hottest rapper in town and getting himself busy with gigs and projects, A. Nayaka kinda surprises me when he releases his latest EP called Colorblindflo right on April Fool’s Day month ago. Collaborating with the usual suspects like Yosugi, Aytsaga, TRIP TRVP, Saesar, Ben Utomo, and NAJ, he describes the 6 tracks EP as a banger album full of heavy traps that could be the perfect anthem for your home party. “But you really have to listen to the last song tho. Where the first 5 songs I go all out crazy, the last song I poured my heart out and basically explained the things I’ve been through in the past couple of months, and eventually finding an escape from that,” says Nayaka about the track called “Escape”. Not stopping to catch a breath, he’s already back to studio for his upcoming full-length album which tentatively called When The Internet Raised Your Kids set to release on Summer. To learn more about this guy, I throw him 21 trivial questions and here are his answers

What’s your favourite breakfast?

A hotel buffet breakfast.

What’s your favourite cartoon when you were a kid?

Yu-Gi-Oh.

 20b

What’s your favourite video game of all time?

The Amazing Spider-man on PS1.

Spider-Man_2000_game_cover

Do you have a nickname?

Close friends call me “Bill”.

What’s the worst haircut you ever had?

Went skin bald during winter in Europe.

What was the first live act you saw?

My Chemical Romance. 

What was the last movie you watch?

It’s not a movie, but I’ve been hooked on Black Mirror the TV series.

 black-mirror-masks

Who’s your favourite person to follow on Instagram?

@floydmayweather

floyd

Who’s the most famous person you ever met?

@carissaperusset

carissa

What’s your favourite beer?

This German beer called “Kolsch”.

Kolsch 

What’s your favourite drunken/stoned snack?

Ramen is a snack for me.

What’s your worst habit?

I criticize everything.

What’s your favourite emoji?

The “100” emoji and the upside down smile emoji.

100_Emoji

Heavy Metal or EDM?

The heaviest metal possible.

Raisa or Isyana Sarasvati?

Raisa, cause apparently I sat next to her table at the ramen place earlier, but I don’t know her LOL.

Do you have pet?

Yes, she is a dog that’s a mix between a Shih Tzu and a Maltese, her name is Molly.

Do you believe in horoscope?

Yes, in a way, but I’m more into Feng Shui.

What’s the coolest thing you ever heard about you?

When people come to Blue Room Studio (my home studio) and they say “You know how many great people have worked here?”

If you could pick any director to direct movie about your life, who would it be?

Gaspar Noé.

gaspar

What song you would like to play on your funeral?

Explosions in the Sky – “Your Hand In Mine”.

What are you plans for this remaining year?

I really want to do more shows and hopefully more international shows as well because nothing feels better than travelling, meeting new people, and get paid off your hobby.

Mixtape: Ffion Williams

 

As a popular destination for international musicians to hold concert when they hit around Asia and the burgeoning local music scene, it’s kind of no wonder that Singaporean artists getting more and more recognition. One of the latest names to catch my attention is Ffion, a 20 years old Welsh singer-songwriter who has been live and launch her musical career in the Straits. Mixing her soulful voice with downtempo electronic and R&B flair, she debuted with single called “With U” (produced by GROSSE) and “Over”. With the upcoming EP set to be released, recently she’s back with latest single “I Miss U” which sounds quirky and melancholic at the same time, just like the songstress herself. Here, Ffion give us introduction about herself and her 10 favorite songs. (Photography by Amanda Lim)

 Ffion1 (Credit Amanda Lim)

Hi Ffion, please tell me a little about yourself and your music.

Heya! I’m a 20-year-old singer that loves to make music that is spiked with electronic pop and modern R&B music.

First of all, I’m a sucker for pretty names and I really love your name! I read on web it means Foxglove and it is on top 15 of popular names in Wales, so what do you feel about it?

Aww thank you!! Yeah it’s a really popular name in Wales, I think I had 5 other girls in my kindergarten class with the same name. But I still get people ask me if Ffion is really my name or something I made up, people also tend to misspell it or pronounce it weird ways but it’s all good!

When did you first discover music and what really prompted you to make your own music?

My love for music started when I was around eleven years old after watching Phantom of the Opera for the first time. After watching it I was so set on going into Musical Theatre… Until I tried it and figured I wasn’t into the acting bit of it. But my teachers and friends have always been super supportive when it came to music!

Do you come from creative/musical family? Where did you grew up and what kind of records you listen to back then?

Weirdly enough, I come from a family of doctors, so I’m kinda like the black sheep of the family. I moved to Singapore when I was 3 and moved to Cambridge for 6 months when I was 5. I remember really enjoying the music that was out at the time in England, like Steps and S Club 7 also Britney of course!

Who are the early influences of your work?

I’d have to say Amy Winehouse and then Adele. When I heard James Blake for the first time, that’s when I knew I wanted to get into Electronic Music and I guess that slowly fused with R&B to create what we have today.

Tell us about your latest single, “I Miss U”, what’s the story behind it?

It’s basically a second part to my previous single “Over”, it was written a year after the breakup. I felt like this guy still had so much control over my emotions and my mind was constantly just drifting back to him. So by writing this song, I felt like I got a lot of closure and was able to move on.

Where do you tend to do most of your song writing?

I normally just hold it all in until I get into the studio, I love writing a song that is super in the moment, it feels more authentic that way.

How do you get the creative juice flowing if you’re feeling stuck?

I think travelling really helps or talking to other people about it, that tends to get my mind running!

What do you love the most about Singapore and where are your favourite places?

I love the dramatic rain/thunderstorms we get here and I would have to say my bed is my favourite place in Singapore. (hehe just kidding). But on a more serious note, there’s this coffee shop near my place and they sell the most bomb butter chicken set!

Recently, Singaporean acts getting more and more exposure, do you have favourite Singaporean musicians you would like to collab with?

I think it would be really cool to do a collaboration with a band like Disco Hue or The Summer State, I think it’s important to get out of your comfort zone, so stepping out of a genre that I’m comfortable with sounds like a fun challenge. I would love to collaborate with VVYND from Indonesia as well, his music is sick.

What does the rest of the year have in store for you?

I definitely wanna finish my degree and move on to writing more music. Also releasing my EP and possibly playing some shows overseas!

Last, please pick 10 of your favourite songs along with short explanations for each of them.

 

Bruno Mars – “Easily”

His music is like the perfect music for commuting and staring out of windows.

James Blake – “I Need A Forest Fire”

I’ve been obsessed with this guy since I was 15/16 and hearing how his music has evolved over the years has definitely shaped my thought process when it comes to making music.

Rihanna – “Bitch Better Have My Money”

This is the ultimate pump up song. I like to play this when I’m getting ready in the morning and I know there is something important to be done that day.

Tom Misch – “Watch Me Dance”

This artist is a new discovery for me; I’m super into his vibe and would love to make music like this sometime!

Lighthouse Family – “High”

This song makes me super nostalgic, just major #tb vibes in general.

The 1975 – “Somebody Else”

I was never really into the 1975 but after hearing this I’ve totally catching up on their music. Great songwriting.

Raye – “Shhh”

Another really great pump up song, I love how different this song is yet still so relevant. Definitely an artist to lookout for!

Justin Bieber – “Change Me”

Who can resist the Biebs? Not me that’s for sure 😛

Lapsley – “Hurt Me”

This song for me is the perfect song for when I’m feeling kinda angsty.

Ady Suleiman – “Need Somebody To Love”

This guy has the sickest vocal chops and songwriting skills plus his style is super unique. All his songs hit the mark and I usually have his music on repeat especially in the summer.

 

Mixtape: Laurel Arnell-Cullen

Hailed from Southampton, 22-year-old Laurel Arnell-Cullen is a Welsh-British chamber pop and indie musician whose career started from her bedroom studio in London. Following the long tradition of British female singer-songwriter who turns the vulnerability and emotion into something that sounds powerful and honest, Laurel’s sophisticated and sultry vocals, melancholy melodies, and lovelorn lyrics are reminiscent of awkward adolescence and first loves. Here, Laurel talk about her songwriting process and sharing her 10 favorite songs.

 tumblr_mwpd12ucFE1t0dx5qo1_500

Hi Laurel, how are you? Where you are right now and what are you doing before answering this email?

I’m at my home in London making my first ever vegetarian curry to the sounds of my boyfriend playing Call of Duty. Standard Monday. Before this I was finishing off my next single in my home studio.

What really prompted you to start making your own music and what are the early influences for you?

I just always wanted to do it really, I don’t remember why but since I was a child it’s all I’ve really wanted to do. Hearing the first Laura Marling album was something that inspired me on to get a guitar and start writing folk music and then from there every moment has just been me evolving into the Laurel I am now.

Which came first for you: the lyric or the arrangement? 

The chords come first and then the vocal melody which all happens pretty fast and then I spend hours and hours trying to figure out what I am trying to write about and fit the lyrics to the melody I’ve written.

Your music has been described as alt-pop, do you agree with it or you have your own description about it?

Yeah I guess so, I would find it quite hard to distinguish my sound as a genre to be honest, and as I think most musicians would. I think I hear it in a different way to other people.

Do you remember your very first gig? How was it? Do you still feel nervous before performing?

Yes it was in Southampton. I was 14 and I had to sell 20 tickets else I wouldn’t get another gig and the promoter said he would tell other promoters not to book you! It’s a harsh world the up and coming music scene haha. I was so nervous though, I have sound on stage since I was a kid in school and stuff but singing your own songs to people is something totally different, not only are you getting judged on your performance but also your songs which are basically heart felt diary entries. 

 

What’s been career highlight so far?

I reckon just right now is a highlight, every day getting to wake up do whatever I want and make music if I feel like it. That’s my biggest achievement and I’m pretty happy with that. This is my dream way of living.

 

I heard you’re going to have new single, would you mind to tell us a bit about it?

I wrote it when I was really angry. It was such a quick one, I had to go play a gig that evening and I had half an hour before I had to leave but I just had this song in me that I needed to get out. I can’t really say much more than that as I don’t want to give too much away.

What about full album? I bet everyone’s been asking for it, do you feel some pressure or you just ignore it and go with your own flow?

I’m just going on my own time really but of course I want my album out as much as anyone else does. It’s just a lot of work I think people underestimate how much time and energy goes into something like that! It’s very close to being done though and I’m really proud of it so far so I can’t wait for people to hear it this year.

What’s your plan for the rest of 2017?

I have a bunch of tour dates all over the place. Gonna try and get over to America at some point too. The album is going to come out too so it’s going to be a pretty hectic one. I feel like it’s already going by too fast.

Last, please pick your 10 favorite songs and short description for each of them. 

Mac DeMarco – “Only You” 

This song speaks to me quite a lot, most of his songs do.

 

Talking Heads – “This Must Be the Place” 

This is my favorite song in the world.

 

Laura Marling – “New Romantic” 

This is the song that inspired me to get a guitar and start writing properly.

 

Kita Alexander – “Like You Want To” 

It’s rare I like anything this poppy but I am obsessed with this girl she’s amazing.

Tyler, The Creator – “IFHY” 

The lyrics in this song are just incredible.

Yppah – “Never Mess With Sunday” 

This song just has all round good vibes.

Girl Band – “Paul” 

Love the punky vibe of this.

Idles – “Divide and Conquer” 

Played just before this band at a gig the other day, they where one of the best live acts I’ve seen in a while. So much energy on stage.

Virgin Kids – “My Alone”

Saw these guys last gig the other day at the Shaklewell in London, also such a great gig everyone was so involved.

Beach House – “Silver Soul” 

This is one of my favorite songs! It just makes me feel kinda funny.

 

On The Records: Sunmantra

Saat memutuskan mengajak visual artist Psychobiji untuk tampil di malam final NYLON Face Off, kami langsung membayangkan aksi musik apa yang tepat bila disandingkan dengan visual liquid nan trippy yang akan diracik olehnya. Pilihan kami pun jatuh pada Sunmantra, duo indie electronic Jakarta yang terdiri dari Jonathan “Jojo” Pardede dan Bernadus Fritz Adinugroho, and we proudly says we make a right choice. Musik techno andalan Sunmantra seperti “Silver Ray”, “Elusive Synergy”, dan “When You Bite My Lips” seolah bersinergi sempurna dengan visual yang disajikan sebagai backdrop. It feels like a match made in audio visual heaven dan membuat NYLON Face Off tahun ini begitu memorable.

Tercetus dari tahun 2012, Sunmantra sejatinya bermula dari proyek long distance saat Jojo dan Fritz masih berkuliah di negara yang berbeda. Sesi tukar-menukar file Digital Audio Workstation menjadi jalan bagi mereka untuk membuat lagu-lagu techno yang diramu dengan genre lain seperti krautrock, shoegaze, atau elemen apapun yang mereka anggap menyenangkan dan bisa membantu lagu yang sedang digarap agar terdengar lebih hidup. Sampai sekarang pun, walau telah stay di kota yang sama, metode ini masih mereka jalankan. “Kita jarang banget ngerjain lagu bareng, biasanya kita satu studio kalau udah mau mixing. Semua draft musik dibuat di studio masing-masing. Jadi bisa aja kita bikin lagu sendiri-sendiri terus baru dipilih yang mana yang cocok buat Sunmantra, sisanya kita pakai buat proyek pribadi,” ungkap mereka.

 Nama Sunmantra sendiri bisa dibilang muncul secara magis di mimpi Jojo. “Jadi di dalam mimpi itu gue lagi di atas panggung di sebuah festival dan ngeliat drum head-nya bertuliskan ‘Sunmantra’, nah setelah bangun gue langsung chat Fritz dan bilang, ‘Kayanya kita harus punya band namanya ‘Sunmantra’,” kenang Jojo. Magis dan menghipnotis, diperkuat oleh ciri khas mereka memakai facepaint saat manggung, penampilan live Sunmantra adalah salah satu aksi lokal yang wajib dinantikan dan disaksikan dengan mata kepala sendiri. “Waktu live, mindset kita adalah ‘menghibur penonton’ jadi kita taruh posisi kita dalam point of view-nya penonton, jadi gimana caranya kita bikin live set kita seseru mungkin. Bisa aja kita pakai yang sama dengan recording, bisa juga berbeda, kita lihat bigger picture dari set-nya sendiri.”

            Dengan respons positif yang terus diraih lewat beberapa single dan live act yang seru, wajar jika banyak orang penasaran mengapa Sunmantra belum merilis album apapun. Sambil tertawa, mereka menjelaskan jika sebetulnya dari dua tahun lalu mereka sudah ingin sekali merilis album di bawah nama Sunmantra yang sayangnya akhirnya terus tertunda karena kesibukan keduanya di proyek masing-masing. “Tahun ini kita bakal rilis sesuatu sih, semoga bisa dirilis sebelum puasa,” janji mereka dengan singkat. Sempat mengerjakan beberapa remix untuk musisi lain, saya pun menanyakan kolaborasi impian mereka. “Mungkin Sasha Grey ya? Suaranya bagus banget. Kita rasa untuk Sunmantra yang musiknya cenderung gelap bisa cocok sih,” tutup mereka.

            Sembari menunggu materi berikutnya, Jojo dan Fritz pun mengungkapkan beberapa album yang paling berpengaruh dalam karier musik mereka. Foto oleh: Bhrahu Pradipto.

Jojo:

 da82227f0cf94551c55520099b2e523a

Bad Music for Bad People

The Cramps

Kalau nggak ada album ini mungkin gue nggak nge-band sih, dari SMP gue udah tergila-gila sama Lux Interior dan Poison Ivy, panggung mereka selalu powerful dan energetic.

 the_brian_jonestown_massacre_their_satanic_majesties_second_request-front

Their Satanic Majesties’ Second Request

The Brian Jonestown Massacre
Album ini membuat gue akhirnya milih kerja di musik setelah lulus SMA.

sound of silver

Sound of Silver

LCD Soundsystem
Album yang selalu membuat gue terkesima dalam pemilihan sound-nya. Nggak nyangka dance music bisa dibikin sekece ini.

Fritz:

rotten apples

Rotten Apples

The Smashing Pumpkins

Dulu kira-kira tahun 2004-an gue beli kaset ini zaman masih nyari-nyari sound gitar. abis dengerin album ini gue langsung ngulik efek dan mulai nemuin sound yang gue suka.

 nin-with-teeth-cover

With Teeth

Nine Inch Nails

CD ini masih ada di mobil gue sampai sekarang, lumayan bisa dibilang kalau nggak dengerin ini gue kayaknya nggak bakal mikir buat dengerin techno, EBM, dan kawan-kawannya.

nite-versions-4e514653e5bf7

Nite Versions

Soulwax

Gue doyan banget album mereka ini, salah satu yang bikin gue penasaran buat ngulik synthesizer dan mulai nyoba bikin lagu yang isinya nggak full gitar-gitaran aja.

On The Records: The Aces

 

Berasal dari Provo, Utah yang didominasi oleh penganut LDS Church yang religius, kuartet yang terdiri dari vokalis/gitaris Cristal Ramirez, lead guitarist/back vox Katie Henderson, bassist McKenna Petty, dan drummer Alisa Ramirez ini membuktikan jika kamu tidak perlu berkata kasar dan minum minuman keras untuk menyajikan musik rock yang keren. Dimulai oleh kakak-beradik Cristal dan Alisa, The Aces telah tampil bersama sejak masa sekolah dan tampil di berbagai festival di sekitar kota mereka, namun single “Stuck” yang dirilis tahun lalu yang kemudian mengantar nama mereka ke ranah yang lebih luas. Digarap bersama produser Dan Gibson & Simon Oscroft, “Stuck” adalah single alt-pop super catchy dengan guitar driven melody yang mengingatkan pada HAIM maupun The 1975.

April ini, mereka pun merilis single terbaru berjudul “Physical” yang tak kalah catchy. “Lagu ini becerita tentang kejenuhan kami soal hubungan yang hanya mementingkan hubungan fisik. Pacaran dan hubungan fisik adalah hal yang seakan diglamorkan oleh masyarakat dan kami ingin membawa perspektif kami soal itu, yaitu hubungan fisik memang asik, tapi bisa dengan cepat bikin bosan kalau cuma hal itu yang dikejar dalam sebuah hubungan,” ungkap mereka.

Dengan jam terbang yang semakin tinggi dan kontrak dengan Red Bull Records, The Aces makin disibukkan dengan berbagai gigs sambil menyiapkan album penuh mereka, namun ada satu hal yang tak pernah berubah, yaitu backstage pre-show ritual mereka.”Kami akan berkumpul dan berdoa bersama dalam lingkaran. Kami selalu berterima kasih pada Tuhan untuk setiap show, karena kami selalu merasa bersyukur orang mau datang dan mendengarkan musik kami,” papar mereka. Amen for that.

Foto oleh: Tessa Barton.

 Photo Credit - Tessa Barton 2

The Beginning

Kami tumbuh besar di kota dan sekolah yang sama. Cristal dan saya (Alisa) telah main musik bareng sejak kecil dan selalu punya cita-cita bikin band, mungkin karena terinspirasi dari kakak kami yang sepertinya terlibat di ratusan band saat dia SMA. McKenna telah menjadi sahabat kami sejak sekolah dasar, jadi tentu saja kami mengajaknya bergabung ke band kami. Dan untuk beberapa tahun pertama hanya ada kami bertiga di band ini sebelum McKenna pindah sekolah dan bertemu Katie yang kemudian juga menjadi teman kami. Dan ketika kami tahu salah satu sahabat kami bisa main gitar, kami menjadi berempat sampai sekarang.

The Namesake

Awalnya kami memakai nama “The Blues Aces” setelah mendapat saran dari kakak perempuan salah satu teman kami yang termasuk anak keren, dia bilang semua nama band yang bagus terdiri dari nama warna dan benda. Saya mengusulkan nama “The Blue Aces” dan itu jadi nama pertama kami sampai akhirnya kami memutuskan untuk mencopot kata “blue” saat merilis materi baru.

Influences

The Beatles, Whitney Houston, The 1975, Tears for Fears, Michael Jackson, Earth Wind and Fire, dan banyak band keren lain yang menginfluens kami sejak remaja. Kami biasanya mendeskripsikan musik kami di ranah alt-pop dengan sentuhan rock. Musik kami cenderung guitar-driven dan memakai drum yang biasa terdengar di rock akustik karena itulah bunyi yang kami dengar dan mainkan sejak dulu.

Hometown

Tumbuh di kota kecil yang religius di Utah anehnya memang membantu musikalitas dan kemampuan performing kami. Mayoritas anak-anak di kota kami tumbuh bermain musik dan bernyanyi untuk gereja, yang akhirnya menghasilkan banyak musisi berbakat. Karena standar agama yang kuat juga, anak remaja di kota kami tidak terlalu suka pesta dan mabuk-mabukan, jadi banyak venue yang terbuka untuk semua umur dan mengizinkan kami untuk tampil sejak kecil. Orang biasanya kaget saat mereka tahu jika Provo Utah punya skena musik dengan band-band lokal yang keren.

First gig

Gig pertama kami di pesta ulang tahun Cristal yang ke-11, haha. Kami baru banget membentuk band ini dan tiba-tiba punya ide buat main di pestanya Cristal. Alisa pertama kalinya mematahkan drum stick, kakak perempuan McKenna sok main keyboard di sebuah Casio rusak, tapi orang-orang heboh menontonnya, haha.

Mutual agreement

Memakai topi fedora seharusnya adalah hal ilegal!

Future plan

Releasing some more music and playing more shooowwss!!!

http://theacesofficial.com/

Be Kind, Rewind: 5 Illustrators Remaking Their Fave Movie Posters

Whether you judge a movie from the poster or not, poster film memang selalu menjadi bagian integral dalam ikonografi sebuah film. Lebih dari sekadar alat promosi yang dengan vulgar menyuguhkan kalimat bombastis dan nama-nama besar pelakonnya, ada sebuah masa ketika poster film menjadi medium bagi para ilustrator untuk menginterpretasikan adegan atau tema yang lebih subtle dalam film tersebut lewat gaya artistik yang beragam sebelum akhirnya tergerus oleh medium fotografi. Untuk membangkitkan semangat yang ada di masa-masa itu, saya pun mengajak lima ilustrator berikut untuk menginterpretasikan poster film favorit mereka dengan signature style masing-masing.

BIH HERO 6 POSTER_NYLON 

William Davis

Instagram: @wd.willy

 WD.WILLY PHOTO PROFIL

Describe yourself in one sentence!

Orang yang sering memperhatikan lingkungan sekitar.

Current project?

Project buku ilustrasi Azka Corbuzier, membantu Faza Meong dalam pembuatan Si Juki, dan tetap sebagai mahasiswa di suatu kampus di Jakarta.

Ilustrator favorit?

Eiichiro Oda (komikus manga One Piece), Rhoald Marchellius, Kim Jung Gi.

How would you describe your artwork?

Memiliki karakteristik dalam setiap pembangunan karakternya, sangat bermain dengan gesture dan ekspresif, dan sangat teliti tentang detail dan pencahayaan.

Film dengan visual paling indah menurutmu?

Big Hero 6! Karena sangat cocok banget dari mulai karakter, tempat, segala sesuatunya tentang Big Hero 6 sangat mirip dengan style saya!

Alasan memilih film ini untuk di-remake posternya?

Karena menurut saya Big Hero 6 sangat unik dalam segi cerita maupun pembangunan karakternya sangat berkhas Jepang. 

Your Instagram crush?

@thepumpkinbear, @hong_sonnsang, @jakeparker, @david_adhinarya_lojaya

Next project?

Sedang dalam pembuatan komik dan pembuatan buku ilustrasi Azka Corbuzier.

mr nobody

Anindito Wisnu

IG: @aninditowisnu

Photo 11-10-15 17.55.41

Describe yourself in one sentence!

Seorang arsitek yang belum juga sukses dan sedang mencoba menjadi seniman yang siapa tahu bisa lebih sukses.

Apa yang mendorongmu untuk berkarya?

Sebelumnya hanya hobi, mulai serius berkarya setelah mendapat tawaran untuk menyumbang artwork di novel karya Risa Sarasvati, Sunyaruri.

How would you describe your artwork?

Similarity. Menangkap esensi dan karakter objek yang digambar melalui ekspresi muka, selebihnya saya bisa “bermain-main” di bagian lain seperti rambut, badan, dll.

Alasan memilih Mr. Nobody untuk di-remake posternya?

Film ini menyadarkan saya bahwa hidup terdiri dari keputusan-keputusan dan pilihan yang akan membawa kita ke cerita hidup selanjutnya. Sebuah pilihan yang sederhana pun ternyata sangat menentukan nasib kita ke depan secara signifikan. Pilihan tersebut bukan perkara benar atau salah, namun bagaimana kita memaknai segala proses dalam hidup di setiap langkah yang kita ambil. “If you never make choice, anything is possible.”

Film dengan visual paling indah menurutmu?

Beauty And The Beast (2015), karena menampilkan salah satu cerita dongeng masa kecil favorit saya namun dengan sajian visual yang dark gloomy.

What’s your latest obsession?

Obsesi saya untuk bisa menyimpan karya saya di setiap negara yang ada di dunia ini.

cd5

Gemma Ivana Miranda

IG: @gemmaivanamiranda

Gemmabio2

Describe yourself in one sentence!

A visual enthusiast, dreamy dog lover, Disney aficionado, dessert devotee, and music habitué.

Apa yang mendorongmu untuk berkarya?

I grew up loving fairytales and folklores, and I have been an avid doodler since I was a kid. But it was not ‘till my college years I got into designing seriously.

Apa objek favoritmu?

Binatang! Untuk kolase,saya suka mencari ilustrasi vintage, foto-foto klasik, dan motif-motif abstrak.

Ilustrator favoritmu?

A lot of people! Samuel Burgess Johnson, Sam Chirnside, Sam Donaldson, Raf Ram, dan banyak lagi. I usually find random artists through my Behance account.

Film dengan visual paling indah menurutmu?

Semua film Disney klasik yang hampir seluruh elemennya dikerjakan oleh tangan, serial Harry Potter, dan apapun dari Wes Anderson.

Alasan memilih film ini untuk di-remake posternya?

Ilene Woods, yang mengisi suara Cinderella, adalah favorit saya, dan saya telah mencintai cerita ini sepanjang hidup saya. I find that older movies (and music!) give me so much tranquility and inspiration.

Your Instagram crush?

@kathkrnd, @yendryma, @theacademynewyork, dan @samuelburgessjohnson. Untuk fashion, saya suka @jennalyyy dan @stone_cold_fox

What’s the coolest art tip you’ve ever received?

My professor once told me to never lose myself in an artwork and to always give a touch of magic. After all, as quoted from Ursula Le Guin, “The creative adult is the child who has survived.”

 Scan10163

Muchlis Fachri

IG: @muklay

 Muchlis fachri_ foto 4

Describe yourself in one sentence!

Naughty or free but polite, hehehe!

Apa yang mendorongmu untuk berkarya?

Kehidupan sehari-hari dan sneakers. Dahulu aku senang sekali menggambar sepatu polosku karena gatal apalagi kalau warnanya putih, sempat dimarahi ibu karena itu.

Ilustrator favoritmu?

Banyak sekali, aku sangat terinspirasi dari seniman pop Amerika, sampai street art NYC yang membuatku amaze karena tidak mungkin dilakukan di Indonesia. 

Alasan memilih film ini untuk di-remake posternya?

Aku suka sekali dengan setiap karya Tim Burton, lalu aku juga menggemari Johnny Depp karena setiap dia ada di film Tim Burton selalu dengan kostum dan make-up yang berbeda-beda, sangat total, dan saya memilih Edward Scissorhands, karena selain film ini sangat cool di segi visual, juga mempunyai cerita yang sangat mendalam.

Your Instagram crush?

@DABS MYLA dan @TRISTANEATON, they are dope, sick, and crazy and last but not least @laurenevemayberry.

Next project?

Let it flow! Tidak pernah merencanakan sesuatu dari jauh, semua serba shocking and shaking, hehe!

MOVIE POSTER -

Lissy Radityanti

IG: @lissy.ra

 IMG_4820

Describe yourself in one sentence!

I am a 21-year-old girl who is very passionate in any form of art, call it music, movie, or fine arts, I’m in!

Apa yang mendorongmu untuk berkarya?

I guess it’s in my blood, karena keluargaku turun temurun semuanya senang berkarya baik musik ataupun hand-craft. Tapi mungkin karena dari kecil aku juga suka nonton Disney’s cartoon especially the princesses, and always got mesmerized by its visual jadi aku pengen bisa menggambar sebagus itu dan jadi suka gambar dari kecil.

Apa objek favoritmu?

Girls. Because they are pretty, magical, and powerful. 

Ilustrator favoritmu?

Agnes Cecile, Diela Maharanie, dan Paula Bonet.

Film dengan visual paling indah menurutmu?

Any Wes Anderson’s movie. The Grand Budapest, Fantastic Mr. Fox, The Darjeeling Limited. Karena tone warnanya yang visual-appealing untuk saya dan teknik pengambilan gambarnya yang quirky dan khas banget.

Alasan memilih film ini untuk di-remake posternya?

Film ini salah satu film yang visualnya sangat indah dan dreamy. Walau film ini dirilis tahun 1999, tapi serasa lagi nonton film 70-an dari mulai tone film sampai musik-musiknya, so I guess that’s kinda cool.This movie is also an adaptation from the novel with the same title and the movie director, Sofia Coppola (one of my faves) cukup berhasil menyampaikan pesan melalui film ini tanpa mengurangi esensi dari bukunya. I also feel personally attached to the movie when I first watched it and that’s rarely happen.

What’s your latest obsession?

I’m obsessed with vintage movies, psychology, and Mr. Robot!

 

 

Take It To the Street With… Paradise Youth Club

PARADISE YOUTH CLUB

IG: @PARADISEYOUTHCLUB

Started in early 2015, Vincentius Aditya dan Fritz Yonathan yang merupakan founder Paradise Youth Club mengaku jika ide untuk membuat label streetwear tersebut muncul secara spontan. “We’re just doing it for fun! For daily personal use since we can’t afford to buy overpriced Supreme tees to support our so called social lyfe! Haha!” tukas mereka enteng. Well, saya tidak tahu apakah pengakuan itu hanya becanda atau memang sebuah brutal honesty, but one thing I know, itu adalah keputusan yang tepat. Turut dibantu oleh Hendrick Setio sebagai Distribution Manager, brand ini dengan nyaman memilih bergerak di ranah cutting edge dari urban street fashion. Menggabungkan berbagai influens dari budaya surfer, skatewear, musik, dan pengaruh 90’s yang kuat, lewat koleksi bertajuk “The United States of Paradise”, mereka merilis rangkaian t-shirt, crewneck sweaters, bucket hat, snapback, dan strapback dengan desain grafis yang menampilkan logo Paradise Youth Club, bendera US yang sudah di-tweak, dan tulisan seperti “Cash Can’t Rule”, dan “Talking To The Children About Nuclear War”. The overall statement of the brand is laidback, unisex, dan tentu saja, limited. Menyoal semakin riuhnya pasar streetwear global dan domestik, PYC pun menegaskan jika sekarang bukan zamannya lagi untuk merasa inferior memakai produk dari label lokal. “Tilt your head to our local brands, there’s many of ’em worth to see. You don’t have to wait till they’re featured on Hypebeast!Amen to that.

This slideshow requires JavaScript.

Behind the name:

Paradise is a state of mind! If you choose to change conditions for the better, get some material on mental imaging and start changing your life. The more depressed you are, the more you have to gain.

Inspiration:

Social issues and the universe. The goal itself is to revive the spirit from one of the greatest decade, to share that spirit to everyone else. To be aware that everyone has a right to have fun and everyone is entitled of their own paradise.

Aesthetic in three words:

Freed! Freed! Freed!

Most wanted:

Logo Tee.

Where to get:

Offline: Orbis (Jakarta), Nine Collective (Bandung), Toidiholic (Lampung), Gate Store (Jogja), Stock n Supply (Brisbane-Australia), The Good Luck Bunch (Singapura). Online: Paradiseyouthclub.com, a bunch of online stores in Australia.

What’s next:

Surviving! We never do any market research! Better to let the brand manifest naturally, because it means it’s more honest and there’s more of a chance that people are going to connect to it.

Mixtape: Ringgo Agus Rahman

Terlepas dari banyaknya keluhan di internet yang menyebut 2016 sebagai tahun yang lumayan fu*ked up, bagi Ringgo Agus Rahman, tahun lalu justru menjadi salah satu tahun terbaik dalam hidupnya. Salah satu alasan terbesar tentu saja kehadiran putra pertamanya, Bjorka Dieter Morscheck, yang mengisi hari-harinya bersama sang istri, Sabai Morscheck.

Tepat 10 tahun telah berlalu sejak mantan penyiar radio ini mencuat sebagai aktor lewat film Jomblo dan sampai hari ini pun akting tetap menjadi kesibukan utamanya. Ia membalas email ini di sela proses shooting film terbarunya di Swiss. Bertajuk Satu Hari Nanti, dalam film yang digarap oleh Salman Aristo ini, Ringgo berperan sebagai seorang tour guide bernama Din dan beradu akting dengan Adinia Wirasti, Ayushita, dan Deva Mahenra. “Shooting di sini kaya lagi ada di film di dalam film, lokasi yang wow, gunung es di mana-mana, danau yang penuh angsa dan bebek yang rebutan roti, bayangan keindahan yang nggak pernah meleset di pikiran kita, orang-orang ramah yang ada di setiap kota kecil di Swiss (Thun, Interlaken, Brienz, Meiringen). Film ini sendiri nyeritain tentang 4 orang Indonesia yang lagi bertahan hidup dengan permasalahan hubungan cinta yang real banget yang dialami sama semua orang dewasa, bukan ABG ya, hehe,” ungkap pria berusia 34 tahun ini.

Ia pun membagikan sekelumit keindahan Swiss lewat feeds Instagram miliknya. Berbekal kamera andalan Sony a7R II dengan lensa 35mm f1.4, ia mengaku fotografi memang telah menjadi hobinya sejak tahun 2009 di samping musik yang menjadi passion utamanya. “Hey seingat gue dari dulu passion gue selalu musik di atas segala-galanya. Bukan dengan cara harus menjadi musisi, tapi selalu harus diiringi musik karena gue berpikir setiap bagian hidup gue itu bukan film cerita tapi sebuah video clip musik, hehe. Gue masih jadi pemerhati aja sih buat musik, belum kepikiran bermusik dan main musik,” tandas pria yang sempat bergabung di band The Aftermiles dan The Cash ini.

After the glorious year, apa yang menjadi wishlist selanjutnya? “Di 2017 harapan gue melihat anak gue bisa jalan, ngajak dia ke Indonesia Timur, ngajak dia ke Swiss, dan ngasih dia kamera pocket supaya kita sekeluarga bisa motret, hehe.”

Ringgo’s Good Vibes Mixtape

“Good Together (Jarami Remix)”

Honne

Coba dengar lagu ini pas lagi bareng teman dekat atau pasangan lo, fun beraaat! Pakai headphones yang bisa didengar berdua dan jalan keliling kota deh.

“Hung On Tight” 

Snakadaktal

Ini juga lagu juaraaa… Ah gimana ngejelasinnya ya?! Enak pokoknya!

“Velvet” 

A-ha

Lagu klasik nggak akan pernah mati!

“Pots of Gold” 

Mamas Gun

Lagu yang kalau lo dengar bisa tiba-tiba nimbulin senyum di muka lo.

“Boys Don’t Matter”

Blueboy

Buka liriknya di Google dan coba berkaraoke pakai lagu ini, indah!

“Just Can’t Get Enough”

Depeche Mode

Tahun baru lagi rame-rame, dengerin lagu ini bikin badan lo nggak mau diam, maunya loncat-loncat dan teriak ikut nyanyi bareng teman-teman lo.

 

“Back A Yard” 

The In Crowd

Hey kapan pernah lagu reggae gagal buat bikin happy?

“Keep Rising”

House of Shem

Masih alasan yang sama buat musik reggae.

“Walk on the Wild Side”

Lou Reed

Aaah ini the best parah! Lou Reed itu orang yang hanya bikin musik sesuai dengan apa yang dia mau tanpa kompromi pasar atau apapun.

“Don’t Stop Me Now” 

Queen

Coba cek, lagu nomor 1 di dunia yang bikin orang jadi happy menurut beberapa penelitian adalah lagu ini. Nyanyikan dengan lantang nggak usah peduli suara merdu atau apapun, hanya nyanyi dan coba bayangkan jadi Freddy Mercury di atas panggung untuk sesaat.

 

On The Records: Lao Ra

“Saya tidak terlalu yakin apa yang sebetulnya mendorong saya untuk bermusik, it was a mix of things I guess; dari mulai terlalu banyak menonton MTV, menjadi seorang attention seeker, dan mungkin ada bagian dari diri saya yang ingin membuat orangtua saya kesal,” ungkap Laura Carvajalino, seorang musisi pendatang baru asal Kolombia yang bermusik dengan nama Lao Ra. Lahir dan besar di ibukota Kolombia, Bogota, yang terkenal sebagai salah satu kota dengan angka kriminalitas tertinggi di dunia sekaligus iklim konservatif dan religius yang kental, musik memang menjadi sebuah pelarian sekaligus pemberontakan bagi gadis kelahiran 22 Juli 1991 tersebut.

Mengaku mulai membuat musik sejak umur 14 tahun dari kegemarannya menulis puisi dan bermain gitar akustik, karier profesionalnya dimulai saat dia bertemu dengan Peter Jarrett yang sekarang menjadi manajer dan produsernya di sebuah restoran India. Kolaborasi keduanya menghasilkan lagu bertajuk “Jesus Made Me Bad”, sebuah lagu rebel pop berelemen glitchy tropical beats yang danceable dengan video yang menampilkan Lao Ra berdoa di gereja sebelum menelusuri jalanan Bogota yang dipenuhi graffiti sambil menggenggam botol sampanye. “Ibu saya tidak menyukai lagu itu,” ujarnya. ”Walaupun keluarga saya sebetulnya tidak terlalu relijius, dia berpikir jika saya tidak menghormati tradisi, but I just keep saying that’s actually the point; it’s about not apologizing for yourself. We all are wild at heart and we can’t help our behavior. Tapi dia menyukai lagu-lagu lainnya, haha! Dia sangat suportif dan selalu mendukung saya!” sambungnya.

Lagu tersebut termasuk dalam debut EP berjudul sama yang ia rilis di bawah label Black Butter setelah menyelesaikan kuliahnya di sebuah akademi musik di Kolombia dan pindah ke London. Lirik lugas, sikap cuek, dan pesan-pesan tersirat yang dibalut musik electronic pop dan influens R&B/hip-hop yang catchy dalam musiknya membuatnya dibandingkan dengan M.I.A. dan Gwen Stefani, yang diterimanya dengan senang hati karena kedua musisi memang tersebut termasuk influensnya, namun bukan berarti dia tidak punya warna tersendiri yang lahir dari tempat asalnya. “Im very influenced by pop music, but I’m equally influenced by Caribbean and Colombian traditional music. Saya ingin musik saya terdengar fresh, pop, dan mewakili diri saya dan tempat asal saya. Datang dari Bogota tidak hanya menginfluens musik saya, tapi juga diri saya sendiri. It’s the place where I was born, my people and what I know best.”

 Pengaruh dari lingkungan sekitarnya tidak berhenti di elemen tropical beat dalam musiknya, tapi juga lirik-lirik lagu yang menurutnya berasal dari situasi, pemikiran, dan dilema yang secara konstan berputar di benaknya. “Daddy Issues” bercerita soal sosok tipikal Latin dad yang absen dan tidak pernah benar-benar berkomunikasi dengan anak-anak mereka sehingga banyak anak perempuan yang tidak tahu bagaimana seharusnya mereka diperlakukan oleh pria dan seringkali berakhir mengejar para bad boys. Sementara dalam “Tell Me Why” dengan video yang menampilkan dirinya dan sahabat perempuannya di sebuah kamar temaram dengan lampu neon, Lao Ra menunjukkan vokal innocent dengan lirik penuh percaya diri dan frasa-frasa catchy sebagai bentuk empowerment melawan para fuckboi. “Lagu ini tentang stupid boyfriends, young love, and heartache. Tentang cowok-cowok kemarin sore yang sok bertingkah selayaknya pria dewasa. Lagu ini sangat personal karena saya rasa hampir semua cewek bisa relate ke hal ini karena kita pernah pacaran dengan cowok semacam itu,” jelasnya. Sambil masih menulis dan menyiapkan album penuhnya, kali ini Lao Ra pun membocorkan katalog album yang mempengaruhi musiknya.

Love.-Angel.-Music.-Baby.

Gwen Stefani

Love. Angel. Music. Baby.

Bagi saya album ini adalah definisi sempurna dari kata “cool”. Semua lagu di album ini keren- its fun, edgy, dope production, and super original lyrics. Gwen is next level! Menurut saya album ini adalah ultimate goal of how a pop album should be.

miaarular

M.I.A.

Arular

Pertama kali saya mendengarkan album ini, it really changed my life, and I’ve never heard anything like it. Beats-nya terdengar aneh seperti datang dari planet lain. Penyampaian liriknya sangat mentah dan energetik. It was really a punch in the face- super confident and so ahead of everything else.

Bomba12_cover_new

Bomba Estereo

Elegancia Tropical

Bomba adalah band Kolombia favorit saya. No one makes music like them back home. Mereka punya lebih banyak swag dibanding siapapun. Their fearless approach to Colombian traditional music mixed with dance beats is so sick.

cafetacvba

Cafe Tacvba

Re

Ini adalah CD pertama yang saya punya. Kakak saya memberi saya CD ini untuk kado Natal, walaupun saya masih sangat kecil namun saya langsung terobsesi dengan musik yang mereka buat. Mereka adalah band Meksiko yang memadukan pop dan musik dance dengan musik tradisional Meksaiko seperti racheras. Sampai hari ini saya masih percaya kalau album ini salah satu album Latin Amerika terbaik dan mereka adalah band Meksiko paling hebat sepanjang masa.

 Johnny_Cash-The_Great_Lost_Performance-Frontal

Johnny Cash

The Great Lost Performance

He was the ultimate bad boy; Liriknya, personanya, dan vokalnya sangat jujur dan unapologetic, bahkan sampai karya-karya terakhirnya sebelum wafat. Johnny is one of my biggest ever crushes. Saya dulu mempelajari liriknya sambil membuka kamus Inggris-Spanyol. Saya bisa bilang jika Johnny Cash lah yang mengajarkan saya Bahasa Inggris.

majorlaze

Major Lazer

Peace Is The Mission

These guys are the best producers around. Mereka tahu dengan pasti apa yang mereka lakukan dan mereka membuat seluruh dunia berdansa mengikuti irama mereka. Saya harus memberi acungan jempol untuk itu. Their music is borderless and thats super cool!

 

Art Talk: The Inky Juxtaposition of Mediocrux

mediocrux_onel-and-ervi_picture

Sama halnya dengan seorang penulis, sometimes being an artist is a lonely job. Bagi mayoritas, berkesenian adalah proses “bertapa” seorang diri dengan ego dan pemikiran personal, but some artists are lucky to have a fellow artist as their partner, in sense of romance, creative, or both. Seperti yang dialami oleh Norman Dave Carlo Nelwan (Onel) dan Eugenia Ervi, sepasang ilustrator dan tattoo artist Jakarta yang berkarya bersama dengan nama Mediocrux. “Kita awalnya satu kampus, cuma nggak dekat, lalu kita kembali bertemu lagi saat bekerja di kantor yang sama. Semenjak satu kantor kita mulai banyak berdiskusi dan ternyata kita memiliki cukup banyak persamaan lalu kita pacaran, hehehe. Sembari mengisi masa pacaran kita coba untuk membuat proyek bersama, lalu terbentuklah Mediocrux,” terang Onel dan Ervi yang sama-sama lahir di tanggal 24 Maret (Onel yang lahir di tahun 1991 lebih tua setahun dari Ervi). Mediocrux yang dimulai pada pertengahan 2015 pun menjadi platform kolaboratif bagi keduanya. Tak hanya terbatas oleh kertas, kanvas, dan dinding, Mediocrux juga membuat customary item yang bisa digunakan sehari-hari, seperti leather patches, sketchbook, dan dompet untuk menyebut segelintir produk yang dibuat secara hand-made dan hand drawn oleh tangan keduanya dari awal hingga selesai.

Apa cerita di balik nama Mediocrux itu sendiri? “MEDIOcre + horcRUX”, mediocre karena kita merasa banyak banget ilustrator yang karyanya bagus-bagus banget jadi sebenarnya mediocre ini diambil dari rasa minder kita dan horcrux karena kita suka dengan konsepnya (padahal kita bukan fans berat Harry Potter) di mana horcrux dipakai untuk menyimpan sebagian jiwa seseorang, di sini kita menganalogikan karya kita sebagai horcrux.

Apa saja influence untuk kalian dalam berkarya? Dari hal yang kita alami, obrolan sehari-hari, film yang kita tonton, musik yang kita dengar, buku yang kita baca, juga dari hal-hal yang mengganggu pikiran.

Siapa saja artist favorit kalian? Kalau Onel: Albrecht Dürer dan Danny Fox. Ervi: René Magritte.

Karya kalian identik dengan warna hitam yang pekat, baik di Mediocrux maupun personal, how do you two describe your own aesthetic? Kenapa hitam sejujurnya kita juga nggak tau pasti kenapa, cuma setiap ngebayangin mau gambar apa, yang kebayang ya gambarnya warnanya hitam. Mmm… bagi kita less is more, kurang lebih sih itu juga yang kita terapin dalam berkarya.

15338420_245515072529189_6178674402234728448_n

Untuk di Mediocrux sendiri dinamikanya seperti apa saat berkarya? Is there a clash of ego? Saat berkarya bersama kita biasanya brainstorming bareng lalu pada saat eksekusi karya, kita biasanya bagi porsi setengah-setengah untuk memenuhi ego masing-masing.

What it feels like to be a couple and making art together? Sangat menyenangkan karena bisa saling tukar pikiran dan jadi lebih mudah memahami satu sama lain as a couple.

Dari berbagai medium yang pernah kalian olah, apa yang menjadi favorit? Kertas dan kulit sih sejauh ini.

ef19c2263d089dc9d22db0ba827d2cba

Sejauh ini project apa yang memorable bagi kalian? Bagi kita kayanya sih yang paling memorable itu self-project kita dalam membuat merchandise Mediocrux, karena di situ kita banyak eksplor baik media maupun teknik dalam membuatnya.

Apa project selanjutnya? Untuk project mendatang kita ada rencana untuk buat buku ilustrasi,  tapi baru rencana aja sih, hehe.

What’s your dream project? Yang lagi kita jalani sekarang.

13715299_1751089861825515_423680283_n

http://www.instagram.com/mediocrux/

Love of Siam: 3 Days Trip to Bangkok, Thailand

Dalam sebuah weekend yang mengesankan pada pertengahan Februari lalu, Tourism Authority of Thailand mengajak saya berwisata ke Bangkok dan menemui one of Thailand’s national treasures, Mario Maurer himself.

Day 1 – 16 Februari 2017

Keluar dari Bandara Suvarnabhumi setelah penerbangan selama 3 jam bersama Thai Airways, hari sudah gelap ketika rombongan kami yang terdiri dari 3 media, 3 influencers (Lucky Oetama, Ana Octarina, dan Patricia Devina), 2 pemenang meet & greet, dan perwakilan dari Wisata Thailand menuju pusat kota Bangkok. First impression through local food adalah hal yang penting saat kamu mengunjungi tempat baru. Thailand terkenal dengan sajian seafood yang fresh, karena itu kami menuju salah satu restoran seafood paling terkenal di Bangkok, Somboon Seafood, untuk makan malam pertama kami di Negeri Gajah Putih ini. Begitu masuk ke restoran dua lantai ini, kamu bisa melihat banyak foto orang terkenal dari artis Hollywood hingga para pejabat negara seluruh dunia yang pernah bersantap di sini, and here’s the only reason: the dishes are spectacular. Kamu belum sah pergi ke Bangkok kalau belum mencicipi tom yam goong, curry crab, dan mango rice dari Somboon, so make sure to put it on your itinerary. Somboon sendiri memiliki beberapa cabang, yang saya datangi kali ini adalah cabang Rachada, dan selayaknya restoran terkenal lainnya, ada beberapa restoran yang berusaha mendompleng nama Somboon, so better make sure and google first agar kamu tidak tertipu restoran abal-abal. Salah satu indikasi paling mudah adalah, the real Somboon tidak pernah sepi akan pengunjung.

2017-02-24 09.40.40 1.jpg

Dengan perut kenyang dan hati riang, kami pun menuju hotel tempat kami menginap di Pathumwan Princess Hotel yang letaknya menempel dengan MBK Center, salah satu shopping mall paling legendaris di kota Bangkok yang jumlah pusat perbelanjaannya memang tidak kalah banyak dari Jakarta dan Singapura. Selesai check in dan meletakkan barang di kamar, jarum jam sudah menginjak jam 9 malam dan masih ada sisa satu jam untuk berkeliling MBK, so off we go. Dengan 8 lantai dan 2000 lebih toko yang ada, satu jam jelas tak cukup mengitari mall yang pernah menjadi mall terbesar di Asia saat didirikan di tahun 1985 ini and time always running so fast when you’re shopping. Setelah MBK tutup, saya dan beberapa teman pun memutuskan jalan-jalan sebentar di daerah sekitar National Stadium untuk menikmati angin malam dan melihat wajah after dark dari Bangkok yang mengingatkan saya pada paduan Jakarta dan Kuala Lumpur. A peculiar yet familiar feeling, I must say.

Day 2 – 17 Februari 2017

Agenda pertama di hari kedua adalah mengunjungi Ananta Samakhom Throne Hall, sebuah royal reception hall yang kini menjadi museum berisi peninggalan seni dan sejarah Thailand yang tak ternilai harganya. Melihat istana pualam dengan desain renaissance yang mengingatkan pada gereja St. Peter’s Basilica di Vatikan ini, sesaat saya seperti berada di Eropa alih-alih Asia Tenggara. Untungnya, tak jauh dari Throne Hall, ada Memorial Crowns of the Auspice, sebuah bangunan emas bergaya arsitektur khas Thailand yang menyadarkan kita jika kita masih di Thailand.

Processed with VSCO with nc presetProcessed with VSCO with nc preset

Mulai dibangun pada tahun 1908 atas perintah Raja Chulalongkorn (Rama V), butuh waktu 7 tahun untuk menyelesaikan bangunan karya arsitek Mario Tamagno dan Annibale Rigotti ini. Sama seperti bangunan resmi negara lainnya, ada dresscode khusus yang harus dipatuhi setiap pengunjung yang ingin masuk ke dalam, yang meliputi pakaian berlengan (lengan pendek is okay) dan bawahan yang menutupi kaki (celana panjang untuk pria dan rok panjang untuk wanita). Celana pendek, jeans robek, rok pendek, dan baju tanpa lengan dilarang masuk (better bring your jacket or cardigan). Untuk yang terlanjur memakai celana pendek, kamu bisa membeli sarung yang ada di area informasi seharga 50 Baht. Oh ya, kita juga dilarang membawa kamera, smartphone, dan alat penangkap gambar lainnya ke dalam Throne Hall, jadi kita harus menitipkannya ke dalam loker transparan yang telah disediakan dengan gratis. Melewati proses body check dan mengambil alat recorded guide yang disediakan, saya pun mulai menelusuri Throne Hall.

Sulit untuk mendeskripsikannya tanpa visual, and you better see it with your own eyes. Kubah dan dinding dipenuhi oleh lukisan fresco karya Galileo Chini dan Carlo Riguli yang menggambarkan sejarah Thailand, seperti kisah Raja Rama I mengalahkan pasukan Khmer dan menjadi raja pertama di Dinasti Chakri serta kisah Raja Rama V yang menghapus perbudakan di Thailand. Menggabungkan cita rasa Thailand dengan estetika Eropa, jangan heran jika kamu melihat sosok sang Buddha di antara dua malaikat cherub yang biasanya ada di gereja-gereja Eropa. Selain lukisan fresco, yang tak kalah menakjubkan adalah the exquisite embroidery arts berukuran raksasa dan pahatan kayu yang menceritakan hikayat Thailand. Dan bagian akhir dari tur di Throne Hall adalah koleksi barang-barang mewah milik Ratu Sirikit dan ekshibisi permanen “Arts of the Kingdom” yang menampilkan karya seni tradisional Thai yang dibuat oleh para pengrajin di Sirikit Institute. Sejak tahun 1976, sang ratu akan berpergian ke pelosok Thailand dan menemui anak-anak berbakat seni dari keluarga miskin untuk disekolahkan di Bangkok dan dilatih oleh para pengrajin istana agar tak hanya bisa berkontribusi untuk keluarga tapi juga menjaga tradisi seni Thailand dari kepunahan.

Processed with VSCO with hb2 preset

            Lokasi selanjutnya adalah Phu Khao Thong alias The Golden Mount, sebuah bukit buatan yang di puncaknya terdapat Wat Saket, wihara yang telah ada sejak zaman Ayutthaya (1351 – 1767). Untuk mencapai Wat Saket, kita harus menaiki sekitar 300 anak tangga yang melingkari bukit kecil ini dengan pepohonan rimbun yang menaungi dan beberapa altar untuk menghormati orang yang telah meninggal. Semakin ke atas, semakin jelas terdengar bunyi lonceng, wind chimes, serta rapalan doa yang bergaung tanpa henti dari speaker. Konon, siapa yang bisa membunyikan lonceng paling kencang bunyinya akan mendapat keberuntungan. Tiba di puncak, kamu bisa membayar 10 Baht untuk mengakses rooftop terrace dan menikmati panorama 360 derajat kota Bangkok. Waktu terbaik untuk mengunjungi The Golden Mount dan Wat Saket adalah dari akhir November sampai Januari karena tak hanya cuaca yang lebih sejuk, tapi juga pohon kamboja di sekitarnya sedang mekar dan memancarkan keharuman.

Setengah hari berjalan kaki dan berpanasan di bawah teriknya matahari, waktu makan siang yang ditunggu pun tiba. This time kami mengunjungi Jarnkubkao, sebuah restoran mungil yang menyajikan santapan homemade Thailand. Dengan tembok bercat kuning dengan sebuah mobil mungil yang terparkir di halamannya dan letaknya yang di tengah perumahan, we know it’s a kind of quaint little place with quirky decoration inside, Dan ya, interior restoran ini memang lucu dan Instagrammable banget. Tapi jangan cemas, meskipun begitu bukan berarti restoran ini hanya menjual suasana saja, makanannya pun sangat lezat. Thai iced tea menjadi pendamping sempurna bagi Pad Thai dan berbagai sajian udang dan ikan segar yang kami santap. Beberapa makanan cukup spicy, even bagi orang Indonesia yang biasa menyantap makanan pedas, dan karena seluruh menu ditulis dengan aksara Thai, it’s better to bring your Thai friend untuk membantu menerjemahkan atau bertanya ke waitress. Overall, Jarnkubkao adalah restoran yang sangat worthy dikunjungi untuk makan enak sekaligus update Instagram.

Setelah makan siang, enaknya mencari pencuci mulut. Kami menuju Or Tor Kor Market yang tersohor sebagai fresh market terbaik nomor 4 di dunia. Di pasar segar ini, kamu bisa menemukan banyak buah-buahan, sayuran, daging, ikan, hingga cemilan khas. Namanya pasar, bagian hasil lautnya memang beraroma amis, namun pasar ini sendiri sangat bersih dan nyaman untuk berbelanja maupun sekadar melihat-lihat. Di sini kami mencicipi the famous Durian Monthong dan buah-buahan lainnya. Dari Or Tor Kor, kami menuju Talad Rod Fai (Train Market) di belakang Seacon Square Shopping Mall, sebuah pasar malam tempat berkumpulnya warga lokal dan wisatawan. Kafe-kafe trendi, toko vintage, barbershop, tattoo parlour bercampur menjadi satu dengan 2000 lebih kios makanan, fashion, dan pernak-pernik. Pasar malam memang menjadi satu hal yang sedang hip di Bangkok, kami datang saat weekend dan makin malam makin ramai orang yang datang. Siapkan uang cash yang banyak dan tahan dirimu agar jangan sampai pulang membawa sekarung belanjaan, or not. Your choices.

Day 3 – 18 Februari 2017

 Sabtu yang cerah menjadi hari yang telah ditunggu karena hari ini lah kami akan bertemu dengan Mario Maurer. Tapi sebelumnya, masih ada free time sampai makan siang yang kami manfaatkan untuk belanja (lagi!). Menaiki Skytrain, kami menuju Platinum Fashion Mall, sebuah pusat perbelanjaan yang fokus pada fashion item secara eceran maupun grosir (think about Mangga Dua). Di sini kamu bisa menemukan banyak pakaian dan aksesori yang sering kamu lihat di online shop Instagram dengan harga yang relatif murah dan bisa ditawar, one rule tho: semua pakaian tidak boleh dicoba. Kembali ke hotel, kami pun berangkat ke River City, an upscale mall yang fokus pada toko-toko high end local art, craft, dan furniture. Kami di sini bukan untuk belanja (percaya deh!), dari dermaga di belakang River City kami akan menaiki Supanigga Cruise, dinner cruise berkapasitas 40 seat yang mengarungi Sungai Chao Phraya. Enjoying the evening cocktail, di atas kapal ini kami bergabung dengan rombongan media dan fans lain dari Vietnam dan Filipina untuk bertemu dengan Mario yang memang terpilih menjadi tourism ambassador untuk tiga negara tersebut.

untitled

Dengan rambut slick dan kacamata hitam, aktor kebanggaan Thailand berusia 28 tahun yang masih terlihat baby face tersebut menaiki kapal, look dashing as ever and we’re all gushing with excitement. Menyapa kami dengan ramah, aktor yang beken dengan film seperti The Love of Siam dan First Love ini pun menceritakan beberapa hal favoritnya dari kota asalnya, which includes night market (he’s regular visitor apparently) to shop and snacking around his favourite local snack, Thong Yip. Few moments before complete sunset, perahu menepi di dermaga Chatrium Hotel Riverside di mana kami akan makan malam bersama Mario dan pihak Tourism Authority of Thailand. The amazing view and breezy air from Chao Phraya menjadi latar yang sempurna untuk malam yang memorable ini. Secara bergantian, perwakilan dari grup Indonesia, Filipina, dan Vietnam mengungkapkan kesan dan pesan selama perjalanan ini and some even confess their love for Mario yang disambut dengan senyuman ramah dari sang bintang yang berjanji akan gantian mendatangi negara kami (seminggu setelahnya Mario melakukan meet & greet di Neo Soho, Jakarta yang dihadiri ribuan orang).

mario

         Tiga hari memang waktu yang tergolong sangat singkat untuk menikmati Bangkok yang memiliki hidden gems tak terhitung di setiap sudutnya. Namun, dengan keramahan para warga lokal, kuliner lezat, unlimited shopping experiences, dan keluhuran tradisi yang terjaga di pekatnya perkotaan, rasanya selalu ada alasan untuk kembali mengunjungi Bangkok in the future. Untuk sekarang, hĕn khuṇ nı p̣hāyh̄lạng*, Bangkok!

*See you later!

2017-02-24-09-45-30-1.jpg

Fluorescent Adolescent, An Interview With Saffron Llewellyn

We hate to burst the bubble, tapi menyebut Saffron Llewellyn hanya sebagai representatif dari generasi millennial adalah sebuah honest mistake. She’s actually way more than that. 

Fotografi: Sally Ann & Emily May. Stylist: Anindya Devy & Priscilla Nauli. Makeup Artist: Priscilla Risjad. Assistant Stylist: Versace Wang.

img_9498

Lebih dari edisi apapun, memilih cover untuk edisi Anniversary selalu menjadi momen krusial bagi kami. Kami berharap sosok yang menghiasi sampul edisi Anniversary kami untuk set up the mood for the upcoming year and to be the face yang dapat mewakili DNA majalah yang sedang kamu pegang ini. Beberapa nama di tahun-tahun sebelumnya yang meliputi Eva Celia, Sherina, dan Chelsea Islan adalah segelintir bintang muda Tanah Air yang tak hanya diberkahi oleh talenta besar di bidang masing-masing tapi juga their own personal style and state of mind yang selaras dengan semangat yang kami usung, which is para perempuan muda yang punya sikap, mimpi, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri. Memasuki tahun keenam ini, we’re planning to even gutsier and take more risk. Kami ingin memperkenalkanmu kepada fresh face yang bisa menjadi sosok alternatif dari yang biasanya kamu lihat. Salah satunya adalah cover kami edisi ini, Saffron Llewellyn. Namanya mungkin masih terbilang asing bagi banyak orang, beberapa mengenalnya sebagai putri dari Gwen Winarno dan cucu dari pakar kuliner Bondan Winarno, sementara bagi sebagian orang lainnya, she’s a budding model with promising future.

            Bernama lengkap Saffron Jemima Llewellyn, wajah gadis berdarah Indonesia, Belanda, Inggris, dan Amerika yang lahir di Jakarta, 26 Juni 2001 silam ini belakangan semakin sering dijumpai dalam berbagai pemotretan untuk majalah-majalah high fashion dan campaign untuk brand seperti The Balletcats dan Mazuki. Tapi di usianya yang baru menginjak 15 tahun, modelling is more like an after school extra activity for her. Saat tiba di apartemen milik fotografer Sally dan Emily yang menjadi lokasi shoot kali ini, Saffron literally baru pulang dari sekolah dengan masih memakai seragam, rambut yang diikat seadanya, dan wajah polos tanpa riasan apapun. Dengan tinggi 163 cm dan kesan pertama yang terlihat canggung, sejujurnya ia terlihat seperti anak sekolah biasa dengan tas penuh buku pelajaran. Things are getting interesting setelah dia duduk di depan cermin rias, menarik napas, dan membiarkan wajahnya mulai dirias oleh makeup artist yang memperlihatkan facial features miliknya dengan cekatan. Setelah mengenakan looks yang telah disiapkan dan mulai berdiri di depan kamera, the transformation is complete. “I wouldn’t mind doing modelling,” ujarnya sambil tersenyum. “In fact I really enjoy it. My mom says dari masih bayi saya juga sempat ikut beberapa foto, but I think my first ever shoot yang saya ingat itu waktu umur 11 tahun untuk majalah Dewi, and after that it’s kinda build it up,” sambungnya.

img_2964

Ditemani oleh playlist 90’s R&B hits dari Spotify, ia terlihat nyaman berada di depan kamera sambil sesekali menggumamkan lirik dari lagu TLC yang terdengar. She knows her angles so well dan ketika diminta menunjukkan raut fierce, wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan sang ibu, with a hint of young Natalie Portman and the same allure of Lily-Rose Depp. Namun ketika tertawa atau diminta menunjukkan ekspresi konyol, wajahnya langsung kembali carefree selayaknya anak sebayanya. Setelah beberapa looks, dia memekik senang saat kami menunjukkan t-shirt bergambar selfie dari Instagram dirinya yang kami siapkan khusus (later on the t-shirt became a birthday present for her boyfriend). Memakan waktu dari jam 4 sore sampai jam 9 malam, shoot terakhir dilakukan di kolam renang yang cukup dingin without any complaints. Ini memang bukan cover majalah pertamanya, but still, dia ternyata sama excited-nya dengan kami. “I was like ‘Nylon? It’s pretty big, right?’ saat dihubungi kalian, lucunya saya sebetulnya pernah datang ke acara Nylon bersama teman-teman saya and yeah its cool, dan sekarang saya ada di sini untuk foto cover! I’m actually really happy and thank you for having me to do it!”

            Dengan umur yang masih sangat belia dan potensi yang luar biasa, saya rasa hanya masalah waktu sebelum wajah Saffron mendominasi halaman-halaman fashion spreads, covers, dan proyek seru lainnya. In the mean time, education is still her number one priority. Tidak mau asal ambil pekerjaan, ia mengaku memilih semua tawaran dengan hati-hati dengan concern utama tidak mengganggu jadwal sekolahnya. I love meeting new people and getting to do so many different things in the process. Memang agak susah untuk terbiasa but I’m getting there, you know? The creative process is really fun. Yang saya nggak suka paling kalau terlalu lama dan saya masih punya banyak homeworks, haha.”

Di balik mature professionalism yang ia tunjukkan, berbincang dengannya ternyata sama serunya seperti menemukan sosok seorang BFF. Super chill dan secara candid menceritakan segalanya tanpa pretensi apapun, she’s actually a normal teenager who likes to spend the weekend with her friends or boyfriend dan menikmati masa remajanya. “I like being teenager. In the fashion point of view pun saya merasa fashion saat ini sedang booming, like the guys really dressing up at the moment. I like how teenagers nowadays have good sense of fashion. I think we’re really outgoing and like to try new things out there,” ujarnya.

Bicara soal remaja saat ini, most people akan menyambungkannya dengan generasi Millennial, dan Saffron punya pengalaman soal hal itu. “You know what happens? Dalam pemotretan sebelumnya, they ask me about being millennial dan banyak yang bilang kalau millennial itu anak-anak seumuran saya, right? Tapi saya sempat search di internet and found out that I’m not even counted as millennial. Orang bilang millennial kan mereka yang lahir dari tahun 1980 sampai 2000, but I was born in 2001, haha! So, I’m like ‘are you sure I’m millennial?’” ungkapnya sambil tertawa renyah. Well, maybe it’s time for us untuk mulai memikirkan generasi AFTER the millennial seperti Saffron, generasi baru yang mungkin lebih berani lagi dengan sisi individu dan sikap rebellious khas remaja tanpa peduli prasangka dari generasi-generasi pendahulunya. “Well… Excuse me, but we’re the kids at the moment, like gimana lagi right? I mean we’re just enjoying our time, leave us alone! Haha!”

So Saffron, boleh cerita sedikit soal masa kecil kamu? Dulu kamu kecilnya kaya gimana sih?

Waktu kecil saya sempat sangat girly, tapi kemudian saya jadi lumayan tomboy setelah mulai aktif olahraga seperti tennis dan renang. I was very active and cut my hair really short. So yeah, saya sempat jadi girly Barbie girl kemudian tomboy dan kemudian jadi seperti sekarang which I think is a mix of both of them.

What’s your childhood dream back then?

It’s so embarrassing, tapi saya ingat dulu saya pengen banget jadi penyanyi. You can ask my mom, dulu saya sering pecicilan nyanyi random lyrics sambil pura-pura main gitar. Saya juga dulu ingin jadi aktris, tapi kalau sekarang saya ingat lagi, I’m like ‘what was I thinking?

Kalau sekarang masih minat jadi penyanyi atau cukup di karaoke saja?

Oh no, cukup karaoke saja. I love karaoke, it’s like a time for me to release myself, haha. I usually go with a bunch of crazy friends and just jammed out.

Apa lagu karaoke wajibmu?

“Mamma Mia” by ABBA atau “Bohemian Rhapsody”, apa lagi ya? Oh ya “Don’t Stop Me Now” dari Queen juga! Kalau karaoke bareng keluarga saya, we always sing “Bohemian Rhapsody”. It’s just a thing that we always do.

Kalau di keluarga kamu paling dekat dengan siapa?

Probably my mom, karena we’re just like sisters in a sense ada waktu-waktu di mana we completely hate each other and then love each other so much. Kami juga sering sharing pakaian, sepatu, makeup… atau lebih tepatnya, I share my makeup, haha. So yeah, saya rasa saya paling dekat dengan ibu saya, dia bisa tau jika saya punya masalah dan sangat suportif soal modeling, she’s like “Oow… look at you in the cover,” and I’m like “Oh my God, please stop, it’s annoying,” haha.

Pasti banyak yang bilang kamu mirip banget sama your mom ya?

Yeah! And to be honest I don’t see the similarity at all! Dia kadang-kadang suka menggoda saya soal itu tapi saya justru suka sebal kalau disama-samakan. But I think I kinda understand. She’s also a fashion stylist and I get my fashion sense from her. Most of my things are from her wardrobe anyway and I’m like the younger version of her in that sense. Barang terakhir yang saya pinjam dari lemarinya adalah boyfriend jeans yang sangat nyaman and she’s like “You better give it back or get your own jeans!” and I’m like, “Okay, geez…”

How about your grandpa? Kamu sering diajak wisata kuliner sama Pak Bondan?

Ya kalau di family trip he’s the one that will show us around and to try something new in different places. Saya harap nggak akan ada yang cari dan nonton, tapi saya sempat muncul di salah satu episode show-nya. Saya masih kecil banget bareng sepupu saya, please do not try to find the clip because it’s probably the most embarrassing thing ever! Haha! But yeah, it’s always fun to going around with my grandpa because there’s an always new experience. Saya sangat picky soal makanan dan biasanya menolak kalau disodorkan makanan yang tidak biasa saya makan but in the end of the day, I will try it too, haha.

Kamu punya nama yang unik, what do you think about it dan jika bisa memilih nama sesuai yang kamu inginkan, nama apa yang akan kamu pilih?

Saya sempat bertanya-tanya soal arti nama saya dan dari mana asalnya karena orang-orang sempat memanggil saya dengan nama “kunyit” kemudian saya baru tahu it was a spice. Sebetulnya nama saya tidak hanya terinspirasi dari nama rempah-rempah but actually dari nama lead vocalist sebuah band bernama The Republica yang menjadi favorit mama saya. The lead singer’s stage name was Saffron. I always liked the name Aquamarine. So then my nickname would be Aqua. People think I’m weird when I tell them that. 

Mengintip Instagram milikmu, tampaknya kamu sangat into Halloween ya?

Yeah I really like Halloween. Setiap tahun saya mencoba something new. Tahun ini saya punya dua kostum. Yang pertama saya menjadi Alice karena keluarga saya did the Alice in Wonderland things, my mom became the White Queen, I became Alice, my mom’s boyfriend became Mad Hatter and his daughter became Cheshire Cat, it was cute and fun! Yang kedua, saya merias muka saya sendiri dengan riasan bertema tengkorak, that was the first Halloween makeup I did all by myself, It took such a long time maybe because I’m such a perfectionist. It took like two hours, literally.

 img_9709

Tell me about school life, seberapa penting edukasi bagimu?

I take education very seriously, I’m not the best at it but I feel like without it I can’t do anything else. Itu sebabnya untuk kerja, saya hanya bisa melakukannya sepulang sekolah atau pas weekend. Orangtua saya nggak akan kasih izin saya untuk bolos demi pemotretan dan saya pun juga nggak mau bolos karena saya pasti akan ketinggalan pelajaran.

Apa satu hal atau skill yang ingin kamu pelajari?

Saya ingin bisa bahasa Prancis. Saya sempat belajar sendiri, but it doesn’t seem really working, haha. But yeah, saya selalu ingin belajar bahasa Prancis atau Belanda karena keluarga dari pihak ibu saya banyak yang berasal dari sana. Saya sebetulnya lumayan paham kalau mendengar orang ngomong bahasa Belanda, tapi saya nggak bisa ikutan ngomong, which is so frustrating.

Apa yang menjadi obsesimu belakangan ini?

I don’t really obsess over things, so yeah, I don’t have a current obsession.

What’s on your music playlist right now?

The 1975, Arctic Monkeys, and a lot of old 90s music. They are so fun to jam out and karaoke with.

Kamu sering datang ke festival musik, konser atau festival apa yang paling ingin kamu datangi dan kenapa?

I love festivals! I love how they have all these different genres and indie music which I really love. Baru-baru ini saya pergi ke We The Fest yang sangat amazing karena ada The 1975, haha. I really want to go to Glastonbury or Coachella one day. It’s on my bucket list.

Who’s your celeb crush? Jika bisa menghabiskan satu hari dengannya, apa yang ingin kamu lakukan?

I have so many that I don’t really know which one to pick! Mungkin yang paling utama adalah Matty Healy atau Alex Turner karena mereka terlihat really chill. Saya ingin ngobrol dengan mereka soal bagaimana mereka mendapat ide dan menulis lirik untuk lagu-lagu mereka dan mungkin minta diajari main gitar. I wouldn’t mind talking about those things at a cafe or something over coffee.

Dengan atensi yang makin banyak, bagaimana caramu menanggapi rumor dan negativitas, baik itu di real life maupun di internet?

I sometimes get caught up tapi saya selalu mencoba tetap positif dan berusaha agar hal itu tidak mengganggu saya. I think its stupid when people hate on you, make rumors so say negative things about you. They are totally wasting their time, jadi kenapa saya harus membuang waktu juga untuk menanggapinya? Like my mum says, they’re probably just saying those things cause they’re jealous! Hahaha.

Seberapa penting media sosial bagimu dan socmed apa saja yang kamu pakai?

Tidak terlalu penting. Saya biasanya membuka socmed hanya untuk mengetahui apa yang sedang dibicarakan atau apa yang menjadi ‘the new big thing’. I usually just go on Instagram, I’m always on Snapchat and Facebook. That’s pretty much it, hahaha.

Kamu pernah punya akun ask.fm tapi dihapus, why?

Hahaha omg yeah I did! I don’t know. Saya menganggapnya cukup memalukan dan sebetulnya tidak terlalu menyukai konsepnya, like anonymous people would ask you questions and I don’t know where any of them are going! I also didn’t really used it and only seemed to have used it when it was big. Everyone in my school started using it so I did. Quite stupid of me to be honest.

Seberapa sering kamu berpergian dan apa tujuan liburan favoritmu?

I don’t travel often. Saya biasanya pergi ke Bali karena cukup dekat dan kakek-nenek saya tinggal di sana. I always feel most at home and stress-free at Bali. Jadi destinasi favorit saya bisa dibilang Bali karena saya selalu ke sana, haha. Terkadang, tapi sangat jarang, saya mengunjungi saudara di Inggris dan Prancis, which is always loads of fun.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Apa destinasi liburan impianmu?

Wow. This is a hard question. I’m quite of a beach gal so I would probably want to go to Maldives or Fiji.

Apa satu hal darimu yang membuatmu merasa unik dari orang lain?

I think my sense of style and my nose, haha!

Apa brand favoritmu?

Brand favorit saya adalah Zara dan Topshop. Mereka sangat kreatif dalam soal desain, terutama jeans. I feel like Zara and Topshop really stand out. I feel like I can always see some similarites between other brands but with these two brands, they can never be the same like the others. They are just so different. I seem to only fit in jeans from Zara and sometimes Topshop.

Apakah kamu pernah melakukan fashion faux pas?

Of course! I think everyone does. Dengan bertambahnya umur, saya mencoba lebih berhati-hati saat berpakaian. Saya punya dua rules yang saya patuhi. It’s basically either I have one denim item in my outfit and I am only allowed to wear one pattern item with my outfit and the rest have to be plain clothing. Saya tidak ingin mengambil risiko aneh-aneh dalam berpakaian. I think the most common one I do is wear the wrong undergarmets with my outfit, hahaha! 

Do you have any secret skills?

My secret skill is probably tennis and maybe baking. I’ve played tennis since I was 4 years old and I always bake in my free time and for some family occasions.

Apa zodiakmu dan seberapa besar kamu percaya horoskop?

Zodiak saya Cancer. I take them really seriously no matter how many people tell me it’s not true, hahaha! Saya bisa duduk berjam-jam membicarakan sikap orang berdasarkan zodiak mereka. My boyfriend hates it when I talk about it but you got to admit! They are all pretty spot on.

What do you want to be remembered for years from now?

I want to be remembered as someone who was really hardworking to get where she was in her life and that no obstacle was hard enough for her to go over.

img_9723-2

 

En Garde, En Vogue! An Interview With Ayabambi

Membaurkan kedinamisan dan energi eksplosif dari tarian vogue dengan sensibilitas serta kemisteriusan Jepang yang berakar dari kultur geisha dan kabuki, power couple sekaligus dance duo AyaBambi siap menaklukkan dunia, one dance at a time

nylon_indonesia_oct_cover_19648

Ketika tarian vogue (atau voguing) terlahir dari subkultur ballroom kaum LGBT keturunan kulit hitam dan Latin di daerah Harlem, New York City pada tahun 80-an, tarian ini pada hakikatnya lebih dari sekadar sebuah aliran modern house dance yang menjadi ajang pertaruhan gengsi dua orang “queens” yang saling mengadu kebolehan mereka dalam berpose dan menari dengan cara yang super stylish, artful, dan fierce. Identik dengan exaggerated choreography yang terlihat feminin dan maskulin di saat yang bersamaan, tarian yang mengambil inspirasi dari bentuk hieroglif kebudayaan Mesir kuno dan pose-pose elegan para model yang menghiasi halaman majalah Vogue ini, seperti yang kemudian diceritakan dalam film dokumenter Paris is Burning yang mengupas ballroom scene New York City di akhir 80-an, sama seperti aspek-aspek lainnya dari subkultur tersebut adalah bentuk self-expression yang lahir sebagai reaksi perlawanan dari sebuah opresi dan diskriminasi seksualitas, gender, warna kulit, hingga kelas sosial di era tersebut.

Sebelum film dokumenter garapan Jennie Livingston tersebut dirilis di tahun 1990 dan menjadi sebuah cult classic sampai sekarang, ballroom scene dan drag culture bagaikan sebuah dunia lain yang tidak tersentuh oleh masyarakat umum. A little bit of Narnia for the African-American and Latino LGBT people di era itu, sebuah safe haven untuk melarikan diri sejenak dari realita keras dalam kehidupan sehari-hari (“the white, rich, straight world”). Selain dokumenter tersebut, sang primadonna pop Madonna lah yang kemudian bertanggung jawab memperkenalkan tarian vogue ke publik mainstream saat ia merilis single berjudul “Vogue” di tahun yang sama. Menjadi salah satu hits terbesar dari Madonna, “Vogue” dengan musik video ikonik yang disutradarai oleh David Fincher berhasil membawa tarian vogue yang awalnya hanya ditampilkan di underground gay bars and disco di New York City ke clubs di seluruh dunia. Vogue pun bergeser menjadi sebuah tarian yang merefleksikan hedonism, positivity, serta inclusivity yang menginspirasi para penari dan calon penari di seluruh dunia, termasuk AyaBambi yang berasal dari Jepang.

Jika ini kali pertama kamu mendengar nama mereka, you are in for a treat. Secara singkat, AyaBambi adalah duo penari Jepang yang terdiri dari Aya Sato dan Bambi yang meraih popularitas global berkat koreografi menghipnotis dan gaya cyber-goth mereka yang super keren. Keduanya sudah mulai menari sejak usia dini dan mengambil inspirasi dari berbagai macam aliran dance untuk menciptakan highly synchronized routine yang powerful, penuh presisi, dan tentu saja, fierce. Menekankan hand choreography untuk mengeksekusi gerakan-gerakan tajam yang membingkai wajah mereka dengan potongan rambut avant-garde dan riasan gothic vibe yang khas, jelas ada pengaruh yang kuat dari elemen vogue dan tutting dalam tarian yang mereka peragakan. Meskipun begitu, dengan cepat mereka menolak jika tarian mereka hanya dikategorisasikan sebagai vogue. “Our dance isn’t actually vogue dance. It has some elements of vogue dance, but it is our original style consisting of our favorite posing and stuff,” tegas Aya Sato dalam balasan email untuk kami yang mereka kirim dari Rio de Janeiro, Brasil. Meski demikian, keduanya juga tak menampik jika tarian vogue yang mereka lihat saat beranjak dewasa memegang peranan penting dalam seni tari yang mereka geluti, not only for the stylistic direction, but also for the self-liberation.

nylon_indonesia_oct_cover_19262

Setelah menarik perhatian para netizen semenjak mengunggah video-video dance workshop mereka sejak empat tahun lalu di YouTube dan mengundang ribuan views dengan cepat, membintangi kampanye fashion, video musik, komersial, dan berkeliling dunia memang telah menjadi bagian dari keseharian mereka dalam beberapa tahun terakhir ini. Thanks to their international appeal dan fakta jika dance adalah universal language yang tidak terbelenggu batas bahasa dan budaya, mereka dapat dengan mudah diterima di mana saja, dari mulai underground club di New York, warehouse party di London, maupun galeri seni di Tokyo, they simply doesn’t have boundaries. Brasil hanyalah satu dari sekian banyak destinasi yang telah mereka kunjungi untuk menunjukkan kemampuan mereka, entah itu dengan tampil bersama megastar sekelas Madonna ataupun menggelar dance class yang selalu dipenuhi para peminat, most of them adalah penggemar yang telah menyaksikan AyaBambi lewat video-video yang beredar di internet. Saat ini, menyebut AyaBambi hanya sekadar dancer pun adalah sebuah simplifikasi yang bisa menyesatkan. Dalam akun Instagram @ayabambi_official yang telah diikuti oleh 131K followers, dengan bangga mereka mencantumkan profesi yang meliputi dancer, koreografer, model, stylist, fotografer, editor, dan director. Tentu saja, itu bukan hanya gelar yang asal mereka sematkan ke diri sendiri begitu saja, they have enough creds to back it up.

Tiga tahun terakhir ini mereka telah mengumpulkan resume video features yang impresif. Setelah muncul di beberapa musik video Jepang untuk BoA, Nano, Shiina Ringo, dan Miliyah Kato, mereka pun go international dengan tampil di video untuk Benjamin Pettit, DJ asal Inggris yang lebih dikenal dengan nama Zinc dalam single “Show Me” yang menampilkan AyaBambi menari di depan cermin sebuah dance studio dengan twist yang mencengangkan serta video “Forever (Pt. II)” milik Snakehips di mana keduanya tampil begitu membius dalam video berdurasi 3 setengah menit tersebut. Video selanjutnya yang benar-benar memperkenalkan mereka ke ranah mainstream adalah saat mereka ikut tampil dalam video “Bitch I’m Madonna” seperti sebuah rekayasa semesta yang mempertemukan mereka tak hanya dengan the queen herself (Madonna, duh!) tapi juga nama-nama besar lainnya di video tersebut seperti Rita Ora, Jeremy Scott, Miley Cyrus, dan terutama the prodigal designer and cool kids patron, Alexander Wang. It was love at first sight bagi desainer Amerika berdarah Asia tersebut. Dengan kecintaan yang sama pada fashion and art, tak butuh waktu lama bagi mereka untuk saling mengapresiasi karya masing-masing dan Wang pun mengajak AyaBambi menjadi bagian dari kampanye koleksi goth-inspired Fall-Winter 2015 labelnya bersama deretan perempuan keren dengan personal style yang distinctive lainnya seperti Anna Ewers, Molly Bair, Binx Walton, Lexi Boling, Hanne Gaby Odiele, Sarah Brannon, Isabella Emmack dan mantan vokalis Crystal Castes, Alice Glass. “Saya sudah mengagumi Aya dan Bambi sejak menonton video-video mereka di internet, “ ungkap Wang pada WWD. “Kebetulan, saat mereka tampil di video Madonna, saya bertemu mereka di pesta yang diadakan Madonna di Paris dan langsung jatuh cinta. Mereka memiliki gaya yang sangat individual namun mereka juga sangat sesuai dengan karakter di koleksi ini,” ungkapnya tentang keputusannya mengajak AyaBambi dalam kampanye yang dijepret oleh fotografer legendaris Steven Klein tersebut.

Chemistry antara Madonna dan AyaBambi tak berhenti di video musik saja, tapi juga berlanjut ke tur dan live performance. Keduanya resmi menjadi penari dalam Rebel Heart Tour yang diadakan Madonna di seluruh dunia, walaupun sempat terjadi sebuah insiden. Pada penampilannya di Brit Awards Februari 2015 lalu yang disiarkan secara langsung, Madonna sempat mengalami kecelakaan di atas panggung saat ia membawakan lagu “Living for Love”. Masuk ke panggung seperti high priestess slash bride of darkness, Madonna mengenakan jubah panjang hitam dengan Aya dan Bambi mengekor di belakangnya sambil memegang ujung jubah. Saat di puncak tangga, jika sesuai rencana, mereka akan menarik lepas jubah Armani tersebut dan Madonna dengan epik akan melanjutkan langkahnya sebagai seorang ratu dalam balutan busana matador. Sialnya, Madonna ternyata belum benar-benar melepas ikatan jubahnya dengan sempurna saat AyaBambi menariknya, seorang Madonna pun terjatuh dari tangga di depan ribuan orang yang hadir secara live maupun yang menonton dari layar televisi. “Saya sangat ketakutan waktu itu!” kenang Aya. “Saya merasa waktu seakan berhenti dan kejadian itu seperti berlangsung berjam-jam,” tandasnya. Untungnya, Madonna dengan profesional tetap melanjutkan tampil dengan gemilang tanpa terlihat kesal dan tampaknya tidak mempermasalahkan hal itu karena AyaBambi tetap menari bersamanya di sepanjang tur termasuk dalam sebuah penampilan untuk lagu yang sama di The Ellen DeGeneres Show. “Bekerja dengan Madonna adalah hal yang sangat menyenangkan, she liked us,” ungkap Aya lagi. “Hal yang paling menggembirakan adalah dia sangat terbuka dengan ide dan koreografi yang saya ciptakan, and we were so glad for that. Dia pun sangat ramah. Tapi, at the same time, kami merasa tidak boleh berpuas diri dan berhenti di situ.”

Seperti yang bisa diduga dan mereka akui sendiri, fashion memang memegang peranan penting bagi proses kreatif mereka. “We don’t just attract to dancing. Dancing is one of the ways to fuse fashion and art. We are influenced by people who create work together,” ujar mereka. “Saat tidak menari, kami menekuni hal-hal lain yang kami sukai. We enjoy designing clothes, and making clothes, and thinking about so many stuff that we can make is also fun.” Maka tak heran jika pesona AyaBambi terus menarik mutual symbiosis dengan para kreatif di bidang fashion.

nylon_indonesia_oct_cover_19090

Sebagai bagian dari proyek bertajuk MOVEment yang digagas oleh AnOther Magazine dan Sadler’s Wells Theatre (sebuah tempat pertunjukan seni di London), AyaBambi membintangi salah satu dari fashion film yang digarap oleh tujuh sutradara kontemporer dan menampilkan tujuh koleksi khusus dari fashion designers ternama saat ini. Dibalut oleh rancangan Hussein Chalayan from head to toe, mereka berkolaborasi dengan Ryan Heffington yang juga dikenal sebagai koreografer untuk FKA twigs (“Google Glass” dan “Video Girl”) dan Sia (“Elastic Heart” dan “Chandelier”) untuk menciptakan sebuah tarian hyper-synchronized dengan background putih yang memperkuat sajian visual tersebut dengan diiringi oleh dentam elektronik minimalis. ”Pakaian dan filmnya sendiri sebetulnya sangat simple dan dalam, which we love, sometimes the form of the clothes is more important than the freedom or beauty of the physical body,” ungkap mereka soal video yang digarap oleh Jacob Sutton tersebut. Selain untuk Hussein Chalayan, AyaBambi pun telah tampil di banyak fashion video lainnya, termasuk saat menari bersama si kembar Dean & Dan Caten dari label Dsquared2 dalam video buatan Leslie Kee.

Terlepas dari semua pencapaian tersebut, cult following, dan minat publik yang besar pada keduanya, salah satu dari daya tarik paling vital dari kesuksesan AyaBambi adalah misteri yang menyelimuti keduanya yang mengingatkan kita kepada tabir rahasia dan kemistisan seorang penari geisha dari masa lampau. Di zaman di mana detail personal siapa saja dengan mudah bisa dilacak hanya dengan memasukkan kata kunci di kolom pencarian dan beberapa kali klik, mereka menjaga rapat hal-hal yang menurut mereka tidak perlu diungkap ke publik, termasuk nama lengkap dan usia mereka. Minimnya informasi yang bisa dilacak di internet pun membuahkan spekulasi tersendiri tentang sosok mereka sebenarnya. Apakah mereka anak kembar? Are they sisters? Apakah mereka berasal dari masa depan? Are they cyborgs? Semua pertanyaan tersebut menciptakan misteri dan image yang too cool to be true akan keduanya. And just like some sort mythical creatures, people dying to know more about them, including us. Tapi mereka tidak mudah dipancing. Dalam email berisi sekitar 30 pertanyaan yang kami kirimkan sebagai usaha untuk mengulik lebih dalam tentang diri mereka, mereka hanya menjawab mungkin setengahnya saja dan itu pun dengan kalimat-kalimat sangat singkat dan ambigu. Namun, satu hal yang tidak pernah mereka tutupi adalah kenyataan jika mereka adalah romantic partners.

 Berasal dari Yokohama dan kini berdomisili di Tokyo, Aya dan Bambi (atau Akkun dan Mammi-chan, yang menjadi cara mereka memanggil satu sama lain) pertama kali bertemu di sebuah audisi dance dan walaupun baru benar-benar berkolaborasi secara profesional sebagai AyaBambi sekitar dua tahun terakhir ini, mereka sebetulnya telah menjadi romantic partner selama tiga tahun belakangan. “Kami bertemu secara kebetulan, tapi Bambi memahami apa yang ingin saya lakukan. Pemikirannya, ekspresi, dan daya tariknya mampu memandu ide-ide dalam kepala saya, so I think its good balance,” ungkap Aya.

Instagram menjadi salah satu jendela kecil bagi kita untuk mengintip dunia mereka. Tak hanya aktivitas sehari-hari, proyek terbaru atau hal-hal personal seperti teddy bear kesayangan Bambi yang diberi nama Meringue, tapi terutama adalah soal hubungan mereka. Keduanya telah bertunangan sejak setahun terakhir, namun saat pertanyaan soal pernikahan muncul, they’re not really bothered about it, Bagaimanapun Jepang masing sebuah negara konservatif yang memegang teguh nilai-nilai tradisional. “Jepang sering disebut sebagai negara maju,” ungkap Aya pada sebuah wawancara, “Namun negara ini tetap sangat konservatif dan tradisional. Isu-isu seperti ini bergerak sangat lambat di Jepang,” lanjutnya.

nylon_indonesia_oct_cover_18654

Titik terang bagi keduanya muncul saat beberapa distrik seperti Shibuya , Setagaya, dan tiga distrik lainnya melegalkan sertifikat same-sex couples special partnership. Walaupun secara hukum, sertifikat tersebut tidak dianggap sebagai sertifikat pernikahan, namun sertifikat tersebut mengakui adanya partnership untuk same-sex couple dan memberikan mereka hal-hak sipil selayaknya pasangan pada umumnya. It’s not a marriage certificate but it’s still better than nothing, dan itu adalah sebuah kemajuan bagi LGBT rights di Jepang. Aya dan Bambi sendiri mungkin tidak terburu-buru untuk menikah, namun mereka telah melakukan their fantasy dream wedding dalam sebuah video bertajuk “Short White Wedding” yang digarap oleh situs Vogue tahun lalu. Dalam video yang disutradari oleh Ujin Lin tersebut, Aya dan Bambi menampilkan koreo keren mereka dalam balutan bridal dresses musim tersebut yang meliputi koleksi dari Givenchy, Valentino, Louis Vuitton, Rodarte, dan Vera Wang. Menukar pakaian hitam dominatrix khas mereka dengan busana pengantin putih yang ethereal dengan iringan musik yang glorious, kamu tidak bisa untuk tidak tersenyum dan merasa ikut bahagia saat menyaksikan video tersebut. “We don’t know. We don’t think. In our world, probably there are only two of us. I am what I am, and so is she,” ungkap Aya tentang pandangan orang lain atas hubungannya dengan Bambi.

            “We had many awesome things together, but we still want to do many things, and we think we can learn many other things from collaboration,” ujarnya. Selain pernikahan itu sendiri, masih banyak mimpi yang ingin mereka capai, khususnya proyek-proyek revolusioner yang menggabungkan dunia fashion, seni tari, dan film. “Tim Burton adalah filmmaker favorit kami, jadi jika ada kesempatan bekerjasama dengannya, itu akan mengabulkan salah satu impian kami!” pungkas mereka.

Kembali ke tarian vogue, dalam sejarahnya yang paling primal, vogue sebetulnya adalah tarian perang, sebuah duel di antara dua rival penari. Namun di tangan Aya dan Bambi, tarian ini menjelma menjadi sebuah kolaborasi transcendental yang tak hanya berhenti di raga tapi juga jiwa, melumerkan batas frasa dan rasa di antara keduanya. In the end, it’s a celebration of life, love, and beauty.

nylon_indonesia_oct_cover_19374

Photo: Yuji Watanabe.

Styling: Shotaro Yamaguchi @eight peace.

Make-Up Artist: Nao Yoshida.

Hair: Shuco @3rd