Saat wawancara ini dilakukan dua tahun lalu untuk main feature “Look No Further…” yang mengangkat profil band/musisi dari wilayah Asia di NYLON Indonesia edisi Agustus 2016, Phum Viphurit masih menjadi mahasiswa filmmaking merangkap singer–songwriter berusia 20 tahun yang gemar menulis puisi dan menyanyikannya dengan melodi yang muncul di benaknya. Menghabiskan masa anak-anak dan remajanya di Hamilton, New Zealand, penggemar film Disney yang kini berbasis di Bangkok tersebut awalnya memilih drum sebagai instrumen pertamanya di umur 14 tahun sebelum menukarnya dengan gitar akustik and it’s been a perfect choice for him, karena dari instrumen petik itu lah kemudian lahir beberapa tembang indie-folk manis dan easy listening seperti “Adore”, “Strangers In A Dream”, “Run”, serta “Long Gone” dan “Lover Boy” yang menjadi breakthrough hits dalam kariernya yang kian bersinar.
Hai Phum, apa yang pertama kali membuatmu tertarik untuk bermusik?
Saya tidak pernah merasa terobsesi menulis lagu sendiri atau menjadi musisi, tapi dari kecil hidup saya memang selalu dikelilingi oleh musik, entah itu dari CD yang ibu saya putar di mobilnya atau video-video musik yang saya tonton di MTV. Jadi memang dari kecil saya selalu tertarik pada musik. Saya belajar instrumen pertama saya, drum, saat berumur 14 tahun karena waktu saya pikir seru rasanya menggebuk sesuatu. Tapi saat umur 16 tahun saya tertarik belajar gitar akustik setelah menyaksikan live recording Jason Mraz di Chicago dan sejak itu tidak pernah meninggalkan instrumen kesayangan saya ini.
Apa saja influensmu dalam bermusik?
Saya menyukai banyak jenis musik, mulai dari Childish Gambino, Ben Howard, dan Mac DeMarco. Saya tidak merasa terinfluens oleh style atau genre musik yang spesifik tapi lebih ke konten karya itu sendiri. Jika karya yang mereka bawakan terasa relevan dan jujur, hal itu akan menjadi inspirasi bagi saya.
Kamu menghabiskan masa kecil dan remaja di New Zealand, bagaimana hal itu memengaruhi musikmu?
Saya rasa gaya penulisan dan mellow feel dalam musik saya memang terpengaruh dari gaya hidup yang santai selama saya tinggal di New Zealand selama 10 tahun. Hal itu juga yang membuat saya menulis pure dalam bahasa Inggris meskipun saya orang asli Thailand. Saya hanya merasa lebih nyaman dan ekspresif saat menulis dalam bahasa Inggris.
Musik seperti apa yang kamu dengarkan saat beranjak remaja?
Saya ingat CD pertama yang saya beli dengan uang saku saya sendiri adalah Elvis’ Greatest Hits. Bukan karena saya menyukai 50’s rock and roll, tapi karena saya ingin mengetahui kenapa lagu-lagu Elvis bisa begitu ikonis dan memorable bahkan sampai hari ini. I wasn’t disappointed. Selebihnya, koleksi musik saya terdiri dari musik pop akhir 2000-an dan album yang lebih alternative seperti Young the Giant dan Two Door Cinema Club saat saya mulai fokus ke arah yang lebih alternative.
Bagaimana kamu mendeskripsikan genremu sendiri?
Genre saya secara garis besar masuk ke ranah indie/alternative folk yang terdengar jelas dari bunyi akustik dan strumming pattern. Tapi, saya tidak membatasi diri dengan bercokol di struktur folk saja. Saya merasa jika kamu hanya mengidentifikasi dirimu dengan satu genre, kamu akan membatasi diri sendiri dan eksplorasi musik yang bisa kamu buat dan akhirnya akan menghambat perkembangan dirimu sebagai musisi.
Salah satu single pertama kamu adalah “Adore”, apa cerita di baliknya?
Saya ingat pertama kali menulis chord untuk lagu “Adore” saat tahun terakhir SMA saya di tahun 2013. Lagu ini agak bittersweet karena waktu itu saya sadar akan meninggalkan New Zealand dan teman-teman masa kecil saya untuk kuliah di Thailand. To be honest, baru di akhir 2014 saya melanjutkan menulis lagu ini dengan inspirasi dari sebuah summer romance. Lagu ini menjadi lagu yang agak romantis yang saya interpretasikan sebagai lagu perpisahan sekaligus lagu untuk memulai satu hal yang baru. Saya menulis lagu semuanya dari pengalaman personal karena kalau tidak saya merasa cuma pura-pura bercerita tentang hal yang saya tidak paham.
Bagaimana kamu melihat perkembangan skena musik di Thailand?
Saya merasa skena musik Thailand telah berkembang pesat. Saya merasa publik sudah bisa lebih menerima musik yang agak asing, seperti yang saya mainkan. Selain 80’s synthpop yang sedang menjamur dan mendominasi chart, banyak genre lain yang muncul dari skena alternative. Mulai dari sweet folky tunes milik Jenny and the Scallywags sampai tasteful rock riffs dari De Flamingo. Thailand punya banyak musisi keren yang siap diulik dan saya excited untuk menjadi bagian dari musisi generasi baru ini.
Kamu punya alamat email yang lucu dengan referensi dari Lion King, jika kamu bisa membuat soundtrack untuk film Disney, apa yang akan kamu pilih?
Oh wow, that would definitely be a dream comes true. Pilihan yang sulit antara Mulan atau film seperti The Incredibles karena keduanya punya tempat spesial di hati saya. Tidak ada alasan yang khusus untuk keduanya karena saya hanya true die-hard fan Disney yang tergila-gila dengan keluarga superhero dan pahlawan perempuan.
Apa yang biasanya kamu lakukan saat tidak bermusik?
Saya sering menonton film dan bisa bilang kalau passion saya pada film hampir sama besarnya dengan musik. Film adalah bentuk seni yang bisa memikat atau mengejutkanmu, butuh kesabaran dan pemahaman lebih untuk benar-benar menangkap pesan yang ingin disampaikan pembuat film dan buat saya itu keren. Hobi saya lain yang tidak banyak orang tahu adalah belanja pakaian bekas. Menelusuri lorong demi lorong hal-hal yang dianggap ‘sampah’ bagi orang lain untuk mencari suatu barang yang sesuai gaya saya memberikan kepuasan yang sama seperti ketika saya tidur nyenyak setelah hari yang melelahkan.
Apa gig paling memorable yang pernah kamu lakukan?
Salah satu momen favorit saya adalah gig yang sangat kecil di sebuah bar bernama Grease. Saya ingat saat itu tidak banyak orang yang datang, tapi mereka yang datang adalah orang-orang yang memang benar-benar ingin mendengarkan musik saya. Saya masih ingat weekend itu dengan jelas karena momen itu juga merupakan salah satu pengalaman tough di mana saya digembleng dengan kekecewaan dan patah hati. Di kondisi paling vulnerable, saya merasa tidak punya filter saat tampil. Saya merasa begitu mentah dan jujur sebagai musisi yang membawakan setiap lirik dengan emosi dan memori di baliknya. It overwhelmed me in the best possible way ever.
Punya gig atau kolaborasi impian?
Gig impian saya adalah tampil di festival mancanegara seperti Coachella atau Glastonbury sebagai musisi dunia. Bukan berarti orang yang tergila-gila popularitas tapi lebih sebagai musisi yang karyanya dapat diapresiasi oleh orang dari mana saja. Itu mimpi yang ingin saya raih sejak saya memulai karier sebagai musisi. Kalau kolaborasi impian, mungkin sesuatu yang keluar dari zona nyaman saya, seperti menyanyikan chorus untuk sebuah lagu gangster rap atau electronic misalnya.