On The Records: Phum Viphurit

Saat wawancara ini dilakukan dua tahun lalu untuk main feature “Look No Further…” yang mengangkat profil band/musisi dari wilayah Asia di NYLON Indonesia edisi Agustus 2016, Phum Viphurit masih menjadi mahasiswa filmmaking merangkap singersongwriter berusia 20 tahun yang gemar menulis puisi dan menyanyikannya dengan melodi yang muncul di benaknya. Menghabiskan masa anak-anak dan remajanya di Hamilton, New Zealand, penggemar film Disney yang kini berbasis di Bangkok tersebut awalnya memilih drum sebagai instrumen pertamanya di umur 14 tahun sebelum menukarnya dengan gitar akustik and it’s been a perfect choice for him, karena dari instrumen petik itu lah kemudian lahir beberapa tembang indie-folk manis dan easy listening seperti “Adore”, “Strangers In A Dream”, “Run”, serta “Long Gone” dan “Lover Boy” yang menjadi breakthrough hits dalam kariernya yang kian bersinar.

Hai Phum, apa yang pertama kali membuatmu tertarik untuk bermusik?

Saya tidak pernah merasa terobsesi menulis lagu sendiri atau menjadi musisi, tapi dari kecil hidup saya memang selalu dikelilingi oleh musik, entah itu dari CD yang ibu saya putar di mobilnya atau video-video musik yang saya tonton di MTV. Jadi memang dari kecil saya selalu tertarik pada musik. Saya belajar instrumen pertama saya, drum, saat berumur 14 tahun karena waktu saya pikir seru rasanya menggebuk sesuatu. Tapi saat umur 16 tahun saya tertarik belajar gitar akustik setelah menyaksikan live recording Jason Mraz di Chicago dan sejak itu tidak pernah meninggalkan instrumen kesayangan saya ini.

Apa saja influensmu dalam bermusik?

Saya menyukai banyak jenis musik, mulai dari Childish Gambino, Ben Howard, dan Mac DeMarco. Saya tidak merasa terinfluens oleh style atau genre musik yang spesifik tapi lebih ke konten karya itu sendiri. Jika karya yang mereka bawakan terasa relevan dan jujur, hal itu akan menjadi inspirasi bagi saya.

Kamu menghabiskan masa kecil dan remaja di New Zealand, bagaimana hal itu memengaruhi musikmu?

Saya rasa gaya penulisan dan mellow feel dalam musik saya memang terpengaruh dari gaya hidup yang santai selama saya tinggal di New Zealand selama 10 tahun. Hal itu juga yang membuat saya menulis pure dalam bahasa Inggris meskipun saya orang asli Thailand. Saya hanya merasa lebih nyaman dan ekspresif saat menulis dalam bahasa Inggris.

Musik seperti apa yang kamu dengarkan saat beranjak remaja?

Saya ingat CD pertama yang saya beli dengan uang saku saya sendiri adalah Elvis’ Greatest Hits. Bukan karena saya menyukai 50’s rock and roll, tapi karena saya ingin mengetahui kenapa lagu-lagu Elvis bisa begitu ikonis dan memorable bahkan sampai hari ini. I wasn’t disappointed. Selebihnya, koleksi musik saya terdiri dari musik pop akhir 2000-an dan album yang lebih alternative seperti Young the Giant dan Two Door Cinema Club saat saya mulai fokus ke arah yang lebih alternative.

Bagaimana kamu mendeskripsikan genremu sendiri?

Genre saya secara garis besar masuk ke ranah indie/alternative folk yang terdengar jelas dari bunyi akustik dan strumming pattern. Tapi, saya tidak membatasi diri dengan bercokol di struktur folk saja. Saya merasa jika kamu hanya mengidentifikasi dirimu dengan satu genre, kamu akan membatasi diri sendiri dan eksplorasi musik yang bisa kamu buat dan akhirnya akan menghambat perkembangan dirimu sebagai musisi.

Salah satu single pertama kamu adalah “Adore”, apa cerita di baliknya?

Saya ingat pertama kali menulis chord untuk lagu “Adore” saat tahun terakhir SMA saya di tahun 2013. Lagu ini agak bittersweet karena waktu itu saya sadar akan meninggalkan New Zealand dan teman-teman masa kecil saya untuk kuliah di Thailand. To be honest, baru di akhir 2014 saya melanjutkan menulis lagu ini dengan inspirasi dari sebuah summer romance. Lagu ini menjadi lagu yang agak romantis yang saya interpretasikan sebagai lagu perpisahan sekaligus lagu untuk memulai satu hal yang baru. Saya menulis lagu semuanya dari pengalaman personal karena kalau tidak saya merasa cuma pura-pura bercerita tentang hal yang saya tidak paham.

Bagaimana kamu melihat perkembangan skena musik di Thailand?

Saya merasa skena musik Thailand telah berkembang pesat. Saya merasa publik sudah bisa lebih menerima musik yang agak asing, seperti yang saya mainkan. Selain 80’s synthpop yang sedang menjamur dan mendominasi chart, banyak genre lain yang muncul dari skena alternative. Mulai dari sweet folky tunes milik Jenny and the Scallywags sampai tasteful rock riffs dari De Flamingo. Thailand punya banyak musisi keren yang siap diulik dan saya excited untuk menjadi bagian dari musisi generasi baru ini.

Kamu punya alamat email yang lucu dengan referensi dari Lion King, jika kamu bisa membuat soundtrack untuk film Disney, apa yang akan kamu pilih?

Oh wow, that would definitely be a dream comes true. Pilihan yang sulit antara Mulan atau film seperti The Incredibles karena keduanya punya tempat spesial di hati saya. Tidak ada alasan yang khusus untuk keduanya karena saya hanya true die-hard fan Disney yang tergila-gila dengan keluarga superhero dan pahlawan perempuan.

Apa yang biasanya kamu lakukan saat tidak bermusik?

Saya sering menonton film dan bisa bilang kalau passion saya pada film hampir sama besarnya dengan musik. Film adalah bentuk seni yang bisa memikat atau mengejutkanmu, butuh kesabaran dan pemahaman lebih untuk benar-benar menangkap pesan yang ingin disampaikan pembuat film dan buat saya itu keren. Hobi saya lain yang tidak banyak orang tahu adalah belanja pakaian bekas. Menelusuri lorong demi lorong hal-hal yang dianggap ‘sampah’ bagi orang lain untuk mencari suatu barang yang sesuai gaya saya memberikan kepuasan yang sama seperti ketika saya tidur nyenyak setelah hari yang melelahkan.

Apa gig paling memorable yang pernah kamu lakukan?

Salah satu momen favorit saya adalah gig yang sangat kecil di sebuah bar bernama Grease. Saya ingat saat itu tidak banyak orang yang datang, tapi mereka yang datang adalah orang-orang yang memang benar-benar ingin mendengarkan musik saya. Saya masih ingat weekend itu dengan jelas karena momen itu juga merupakan salah satu pengalaman tough di mana saya digembleng dengan kekecewaan dan patah hati. Di kondisi paling vulnerable, saya merasa tidak punya filter saat tampil. Saya merasa begitu mentah dan jujur sebagai musisi yang membawakan setiap lirik dengan emosi dan memori di baliknya. It overwhelmed me in the best possible way ever.

Punya gig atau kolaborasi impian?

Gig impian saya adalah tampil di festival mancanegara seperti Coachella atau Glastonbury sebagai musisi dunia. Bukan berarti orang yang tergila-gila popularitas tapi lebih sebagai musisi yang karyanya dapat diapresiasi oleh orang dari mana saja. Itu mimpi yang ingin saya raih sejak saya memulai karier sebagai musisi. Kalau kolaborasi impian, mungkin sesuatu yang keluar dari zona nyaman saya, seperti menyanyikan chorus untuk sebuah lagu gangster rap atau electronic misalnya.

On The Records: Mallaka

In this era of internet famous, anonimitas adalah hal yang romantis. Setidaknya itu yang saya rasakan saat mendengarkan musik Mallaka, sebuah proyek solo dari singer-songwriter yang konon bernama Aksop Aryaduit (not his real name, I presume). Entah sengaja atau tidak, informasi soal dirinya memang sangat minim, baik foto maupun biografi. Clue lain tentang dirinya saya dapat dari halaman Bandcamp milik Barokah Records (Jatinangor-based netlabel) yang merilis debut EP Mallaka pada tanggal 11 April 2015 silam. Dalam liner note EP berisi 4 lagu itu, Barokah Records menyebut bahwa Mallaka adalah Poska Ariadana, mahasiswa Indonesia di Beppu, Jepang yang menggubah lagu lo-fi ambient berbasis gitar dari puisi-puisi karyanya sendiri.

Terlepas dari anonimitas yang ia pilih dan pengakuan bahwa ia baru pernah tampil live sekali dalam acara peluncuran buku temannya, itu bukan alasan untuk tidak mengapresiasi musiknya. “Saya bermain musik dari SMP. Karena dulu saya pikir musik adalah hal yang cukup aneh—orang-orang berkumpul di sebuah ruangan untuk menonton orang lain memainkan bongkahan kayu yang terpasang senar,” cetusnya dalam email interview ini. Mendengarkan lagu-lagu seperti “Aku Akan Pulang Cepat Malam Ini”, “Sebelum Kau Tidur”, “Gipsy”, atau “Nanti” (dengan sisipan cover “Melati Suci” karya Guruh Soekarnoputra) yang mengajak kita melamun dalam lirik melankolis nan kontemplatif yang dijodohkan dengan petikan gitar lo-fi bernuansa dreamy dan haunting, semua lagu yang ia racik memang terdengar seperti rekaman intim seorang secret admirer yang romantis dan obsesif di saat yang sama. Begitupun saat menikmati “Foto-Foto Yang Kuambil Saat Merindukanmu”, lagu instrumental sepanjang hampir 5 menit yang terinspirasi dari film Tempting Heart karya Sylvia Chang.

 Menyebut musiknya sebagai Pop Kejawen, Aksop yang mengidolakan musisi Jeff Buckley, John Frusciante, dan Tom Waits juga pernah merendisi lagu anak-anak “Balonku” menjadi lagu sentimental berjudul “Wheresoever She was, There was Eden Part 1”. Untuk sekarang, mungkin kita memang baru bisa menikmati musiknya lewat SoundCloud, namun dengan segala potensi yang ia punya, we hope to see and hear more about him.

Debut EP
Mallaka debut EP (Barokah Records, 2015).

Hi Aksop, apa kabar? First thing first, apakah Aksop Aryaduit adalah nama asli atau hanya alias?

Halo! Kabar baik. Akhir-akhir ini sedang mencoba memahami Masha and The Bear tanpa subtitle. Saat ini tinggal di Jakarta dan belum bisa menyetir. Iya, itu nama asli yang diubah-ubah sedikit.

Apa cerita di balik nama Mallaka yang kamu gunakan untuk proyek ini?

Karena suka saja sama bunyinya dan biar tidak Java-centric juga. Dan ada seorang kenalan yang bilang (seingat saya ya) kalau sejarah Islam di Indonesia sangat terpengaruh Melaka—namun banyak dilupakan di sejarah tertulis Indonesia. Lalu belakangan, ada seseorang yang cukup penting bagi saya yang pernah ke Melaka, bilang bahwa di sana ada aura-aura nostalgic yang agak angker a la Peranakan-Tionghoa-Melayu (mungkin feeling-nya mirip seperti Semarang?). Dan saya selalu suka corak-corak Peranakan-Tionghoa-Melayu, entah kenapa.

Apakah memang dari awal kamu ingin anonimitas tetap menjadi bagian dari musikmu?

Tidak juga, cuma agak malu-malu saja.

Boleh cerita soal lagu “Wheresoever She was, There was Eden Part 1”?

Itu karena habis baca The Diary of Adam and Eve karyanya Mark Twain dan saya pikir daripada sekadar share soal bukunya begitu saja di social media, mungkin bisa juga nge-share lewat bentuk lagu.

Ada rencana merilis album atau single secara proper?

Kalau sudah ketemu orang yang mau jadi vokalis mungkin nanti akan dipikirkan!

Last, what’s your dream gig/collaboration/project?

Saya sangat berharap Pandu Priyanto, Arief Handoko, Anandya Kurniawan, dan Andrew Anggardhika untuk kembali ke Indonesia nanti dan bermusik di sini!

https://soundcloud.com/mallakapost

A Lucky Girl, An Interview With Fazerdaze

Bukan hanya para fans yang merasa beruntung dapat menyaksikan penampilan perdana Fazerdaze di Jakarta, sang penyanyi pun tak kalah sumringah.

Processed with VSCO with nc preset

Ada suatu hal yang saya rasakan setiap bertemu langsung dengan para musisi indie yang memulai karier mereka dari kamar tidur sebelum beralih ke panggung. Di video musik atau foto pers, mereka umumnya memancarkan aura effortlessly cool yang membuat mereka bersinar dan menjadi objek afeksi bagi anak-anak keren lainnya. Namun, ketika bertemu langsung, terlebih sebelum mereka tampil di atas panggung, umumnya mereka memiliki pembawaan yang approachable dan cenderung kikuk atau pemalu. In endearing way, tentu saja.

Begitu juga yang saya rasakan saat bertemu Amelia Murray atau yang lebih dikenal dengan nama Fazerdaze, beberapa jam sebelum gig perdananya di Jakarta yang berlangsung di Rossi Musik Fatmawati, tanggal 21 Oktober lalu dan dipromotori oleh Studiorama, Six Thirty Recordings, dan noisewhore.

Impresi pertama saya, gadis berusia 24 tahun ini bahkan terlihat lebih stunning in real life dengan paras dan postur yang terlihat seperti model Jepang. Wajahnya bersih dari riasan dan memang agak terlihat lelah akibat jadwal tur padat yang telah berlangsung sekitar 6 minggu di mana ia telah tampil di Eropa, Jepang, dan Asia Tenggara, tapi dengan ramah ia menunjukkan senyum semanis gula saat berkenalan dengan saya.

Saya bisa menangkap rasa canggung dalam gestur tubuh dan caranya menjawab pertanyaan di awal interview one on one kami. Untungnya, tak butuh waktu lama sebelum pembicaraan kami menjadi lebih cair dan relaks, khususnya ketika berbicara soal musik. “Lumayan nervous sebetulnya, karena gig Jakarta ini menjadi gig dengan penjualan tiket paling cepat habis dalam tur kali ini. Saya nervous karena saya ingin tampil sebaik mungkin agar penonton bisa menikmatinya dan tidak merasa rugi telah menghabiskan waktu, energi, dan uang mereka untuk menonton saya di atas panggung,” ungkapnya dalam bahasa Inggris beraksen Selandia Baru.

Memulai karier musiknya sebagai bedroom musician. Amelia mengaku masih sering takjub kalau melihat banyak orang datang ke show-nya dan bahkan ikut menyanyikan lirik yang ia tulis di kamar tidurnya di Auckland, Selandia Baru. Begitupun saat ia melihat animo fans Indonesia yang tinggi untuk konsernya. Tiket yang dibanderol seharga Rp250.000 habis terjual dalam waktu dua hari dan meskipun waktu itu jam masih menunjukkan pukul 4 sore yang artinya masih beberapa jam lagi sebelum venue dibuka dan dimulai dengan penampilan dua band lokal, Sharesprings dan Grrrl Gang, sebagai opening act, beberapa fans sudah hadir dan sabar menunggu di sekitar Rossi.

Selain musik dan (let’s be honest here) fisik yang dengan mudah membuat jatuh hati, saya merasa ada daya tarik lain yang membuatnya diterima dengan tangan terbuka oleh orang Indonesia. Yaitu? Trivia jika Amelia masih memiliki darah Indonesia dalam tubuhnya yang sadar atau tidak membangkitkan optimisme Good News From Indonesia bagi pecinta musik lokal. Meskipun pada faktanya, Amelia tidak pernah tinggal di Indonesia. Kedatangannya ke Jakarta kali ini memang bukan untuk pertama kali, karena ia masih punya keluarga dari pihak ibu yang tinggal di sini, namun ia adalah gadis Selandia Baru sejati.

IMG_20171021_154933

“Saya kangen minum kopi Selandia Baru,” jawabnya tentang hal yang paling ia rindukan setelah sekian lama menghabiskan waktu di jalan. “Selandia Baru punya kopi-kopi yang enak. Saya juga kangen tidur di kamar saya sendiri. Tapi yang paling saya rindukan adalah pacar saya, haha!” tandasnya.

Dengan inspirasi musik yang umumnya berasal dari tahun 90-an seperti Pixies, Smashing Pumpkins, Slowdives, dan Mazzy Star, debut LP Fazerdaze yang bertajuk Morningside dirilis tahun ini dengan respons positif untuk nuansa dreampop bercampur shoegaze yang dibangun oleh gitar catchy dan vokalnya yang ringan. “Nama Fazerdaze sendiri sebetulnya tidak punya arti apa-apa. Waktu saya mencari nama alias untuk proyek ini, saya menuliskan beberapa calon nama di atas kertas dan ketika terlintas nama Fazerdaze saya langsung berpikir ‘This is it. That’s the name’,” ujarnya. “Saya suka bagaimana Fazerdaze dilafalkan dan ditulis, it just feels right.”

Instrumen pertama yang ia pelajari adalah piano saat kecil, namun ia tak menyukainya dan baru ketika belajar main gitar ia mulai membuat musiknya sendiri. “Saya tidak ingat lagu pertama yang saya mainkan dengan gitar, antara ‘Daniel’ dari Elton John, Bic Runga yang ‘Drive’, atau Foo Fighters yang ‘Times Like These’” kenangnya. Tiga pilihan lagu yang sangat berbeda satu sama lain sebetulnya dan sama beragamnya dengan musik yang ada di playlist-nya. “Belakangan ini saya lagi mendengarkan King Krule, Frank Ocean, dan The Smiths. Sebelumnya saya tidak pernah benar-benar mendengarkan The Smiths, baru akhir-akhir saja saya mulai serius mengulik musik mereka.”

Diversitas dalam selera musik tersebut menurutnya turut dipengaruhi dari skena musik di sekitarnya, khususnya di Wellington di mana ia menghabiskan masa kecilnya, dan Auckland di mana ia menulis materi untuk album debutnya. “Dibandingkan skena musik Australia, skena musik di Selandia Baru mungkin lebih kecil, tapi juga tak kalah berkembang dan keren. Skenanya lebih ke alternative underground di mana orang dengan bebas membuat musik, entah itu di band, menjadi bedroom producer, atau DJ,” paparnya.

Saya melontarkan nama Yumi Zouma, band dream pop yang juga berasal dari Selandia Baru, dan bertanya apakah dream pop memang komoditas musik asal negara Kiwi tersebut. Dengan sumringah Amelia mengungkapkan kecintaannya pada rekan satu genrenya tersebut, namun ia tak lupa menambahkan jika Selandia Baru juga memiliki musisi folk yang patut disimak seperti Aldous Harding, Tiny Ruins, dan Nadia Reid.

Kesuksesan Morningside yang berisi 10 lagu dan merupakan kelanjutan dari self-titled EP berisi 6 lagu di tahun 2014 tak lepas dari single utama “Lucky Girl” dengan video yang ia sunting sendiri. Sepintas musik dan video lagu ini terasa innocent lewat irama hangat super catchy dan singalong chorus di mana ia mendeklarasikan dirinya adalah “a lucky girl” berulang kali dengan sajian visual yang tak kalah vibrant. Namun, jika jeli mendengar dan melihat, kamu akan sadar jika lagu ini menyimpan pesan tersembunyi yang melankolis dan penuh rasa cemas.

“Saya menulis lagu itu setelah baru saja melewati masa yang sulit dan depresif. Saya menyelesaikan lagu itu dengan sekali duduk. Lagu ini adalah cara saya untuk move on dan mensyukuri hal-hal yang saya punya,” jelasnya tentang lagu tersebut. “Untuk videonya, saya ingin mengangkat tema-tema seperti taking things for granted dan self-sabotage lewat adegan yang menggambarkan emosi destruktif. Hal itu memang saya sengaja agar terasa kontras dengan liriknya yang bilang kalau saya adalah cewek yang beruntung. Saya ingin orang menyadari ada kesedihan dan kegelapan di balik musik pop yang ringan.”

“Lucky Girl” juga yang kerap menjadi lagu pamungkas dengan koor paling meriah dalam setiap konser Fazerdaze sejauh ini. Menyoal tampil live, apakah Amelia dan band pengiringnya punya ritual sebelum naik ke panggung? “Kami biasanya suka mengoper benda seperti bola untuk membangun koneksi lalu kami biasanya melakukan salaman, which is really lame, haha!” jawabnya sambil tertawa.

Melihat jumlah penggemar yang terus bertambah, rasanya tak akan ada yang menganggap Fazerdaze sebagai band yang lame. Respons positif atas musiknya pun telah membuahkan banyak pengalaman menarik bagi Amelia seperti bertemu dengan salah satu role model-nya, Bjӧrk, saat ia mengikuti Red Bull Music Academy di Kanada tahun lalu, atau ketika ia bertemu dengan Ansel Elgort. “Saya sempat bertemu dengannya bersama beberapa kru film. Saya tak yakin ia mendengarkan musik saya, tapi sutradaranya menyukai album saya, hehe.”

Dalam show Jakarta kali ini, ia dan band pengiringnya sukses tampil gemilang membawakan 13 lagu plus satu lagu encore tanpa mengindahkan kondisi venue yang malam itu terasa begitu panas karena banyaknya penonton. Setelah Jakarta, ia akan pulang sejenak ke Selandia Baru sebelum melanjutkan tur ke Amerika Utara. Ia mengaku senang dapat kembali pulang dan berharap bisa segera punya waktu untuk membuat materi baru. Ia juga tak lupa mengungkapkan harapan untuk dapat kembali mengunjungi Jakarta di tahun depan.

Menutup interview ini, saya pun memintanya memberikan sedikit saran bagi mereka, terutama cewek-cewek muda, yang juga ingin terjun ke dunia musik seperti dirinya. “Yang penting berani untuk mencoba,” pesannya. “Tidak ada yang benar atau salah dalam bermusik, yang penting adalah berani memulai dan tetap bekerja keras,” simpulnya dengan, lagi-lagi, senyuman manis.

Processed with VSCO with oak1 preset

 

The “Yeah-Yeah” Girls From Paris

Ada suatu hal yang terasa magis di dalam udara Prancis yang membuat gadis-gadis Prancis seakan diberkahi oleh pesona natural dan chicness yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Mereka menyebutnya dengan istilah “je ne sais quoi”, sebuah karakteristik khusus yang membuat seseorang terlihat begitu atraktif dengan cara yang alami dan effortless, pun tak terkecuali dalam dunia musik dan para pelakunya. Ketika berbicara tentang musik Prancis, yé-yé, sebuah gerakan musik pop yang berkembang di Prancis pada awal tahun 60-an menjadi sesuatu yang tak terlupakan. Bertemakan hal-hal innocent seperti first love dan masa remaja, genre musik “yé-yé” yang namanya berasal dari seruan “Yeah! Yeah!” menampilkan musik pop yang berakar dari paduan jazz, chanson, rock & roll, serta traditional girl group yang kemudian dianggap menjadi salah satu cikal bakal dari indie pop kontemporer yang kita kenal saat ini.

Meskipun tidak eksklusif untuk penyanyi perempuan belaka, namun fenomena musik pop ini nyatanya memang didominasi oleh penyanyi perempuan muda yang lahir dari program radio “le chouchou de la semaine”/”this week’s sweetheart” yang telah memperkenalkan nama-nama penyanyi perempuan muda legendaris seperti France Gall, Françoise Hardy, dan Sylvie Vartan untuk menyebut segelintirnya. Sensual dan naif di saat yang sama, mereka adalah perwujudan dari pesona gadis Prancis yang très chic, très fabu yang tidak hanya ditunjukkan dari vokal dan musik yang mereka bawakan, tapi juga dari riasan mereka, seperti yang ditunjukkan oleh salah satu penyanyi yé-yé paling ikonik sepanjang masa, Françoise Hardy.

Berawal dari sebuah kado ulang tahun berupa gitar di masa remajanya, Françoise Madeleine Hardy menjelma menjadi penyanyi kesayangan Prancis ketika ia merilis single “Tous les garçons et les filles” di usia 18 tahun dan mempopulerkan namanya sebagai ujung tombak fenomena yé-yé di Prancis. Tak hanya mahir bernyanyi dalam bahasa Prancis, Inggris, Italia, dan Jerman, perempuan kelahiran 1944 ini juga dikenal sebagai seorang aktris dan style icon. Wajahnya yang menghiasi banyak publikasi menjadi cetak biru gaya khas yé-yé dengan riasan natural yang terdiri dari maskara hitam, black eyeliner tipis, alis mata yang well-groomed, dan sentuhan lip balm, di samping rambut fringe sebahu yang menjadi sinonim dari gaya low-key Parisian cool yang menjadi inspirasi bagi Alexa Chung, Zooey Deschanel, Cat Power, dan banyak perempuan keren lainnya sampai hari ini.

Want to try the yé-yé looks? Here are some of my recommendations to channel your je ne sais quoi!

 

On The Records: NICHOLSON

Come from the land of so-called Bollywood sounds, NICHOLSON is a live electronica project from singer-songwriter Sohrab Nicholson and producer/multi-instrumentalist Rohan Rammana which bringing a breath of fresh air to the musical landscape in Mumbai, India. The project is started not long after Sohrab finishing his jazz piano study at St. Francis Xavier University in Canada. After a brief stint in UK, he went home to India along with his musical exploration of ambient electronic which he combines with the key harmony of jazz. His conquest to find music producer who can understand and enhance his music bringing him to Rohan, one of the founders of Cotton Press, a music studio in Mumbai with main focus is to support the local alternative scene. With the right chemistry of emotive vocal and transcendental ambient electronic, it doesn’t took a long time for them to gain positive recognition through their debut EP For What in 2014. Supported by hypnotizing live performance and cinematic music video for singles like “Cold Water” and “For What II”, NICHOLSON successfully serving an interesting feast of sounds and sights.

14040007_524066931118756_1237400459790716242_n

Hi Sohrab & Rohan, how are you? Where in the world are you right now and what are you doing before answering this email?

Very well thanks. We’re in Mumbai, India right now. We’re in the process of writing our first album, so we have been spending a lot of time in the studio.

So I guess we should start from the beginning, what inspired you to start making beats in the first place and how did you guys meet and make this project?

Well music was essentially a very essential part of both our childhoods. We were exposed to a lot of it because of our families. Our dads exposed us to what they listened to, and eventually we learned to play our instruments. As far as the project is concerned, we met quite by chance at Cotton Press Studio in Mumbai, where Rohan is one of the founding partners. We started working on our first EP before we planned on launching a project of any kind.

What’s the story behind NICHOLSON’s name?

I had initially gone to Cotton Press Studio, to record a couple songs I had written. We worked on our first EP together in an artist-producer context. I didn’t at the time want another alias, so I just used my last name. Very quickly the dynamic changed and it was quite clear we were a duo in every sense, but the name stuck. Funnily enough we later discovered that Rohan grew up next to a lady called Mrs. Nicholson. Turns out she was my great aunt!

How would you describe your genre?

Wellwe’re not really genre specific. We draw inspiration from a really large palette. We come from similar jazz backgrounds, but listen to vastly different music from one another. So, in essence what we make is an amalgamation of all our influences.

What are your musical influences?

Jazz, Classical, Hip-Hop, Film Scores, Pop, Electronica… We’re sort of all over the place.

What kind of records were you collecting when you’re growing up?

Collectively… Michael Jackson. We definitely both had Michael Jackson records growing up. Pink Floyd, Miles Davis, Oscar Peterson, Weather Report – a few names that were always playing at home when we were growing up.

How do you think your hometown affects your music?

Never really thought about it to be honest…

How the songwriting/recording is usually goes for you? Who’s doing what?

It just depends on the song. We’ll jam out an idea and develop it. Sometimes, Sohrab will have a song skeleton with lyrics and basic chord guideline, which then gets developed together. Other times, it just starts with a groove… There’s no real system. It’s sort of a give and take. We both have ideas that all make it to the table and then we curate them.

You have awesome music videos that always feels so cinematic, how do you came up with the concept for your videos?

Well the video series is all thanks to our good friend Sachin Pillai, who came on board to collaborate with us from the very beginning. He’s a very talented cinematographer and documentary film maker. Our common friends are in the videos as well which made it quite special. The videos are Sachin’s babies. We brainstormed concepts etc, but he definitely captained that ship.

How do you feel about your local indie music scene in India nowadays? Do you have any recommended names to listens to?

The landscape of Indie music in India is changing very rapidly. A few years ago, there wasn’t really a market for non-mainstream Bollywood music. What’s happening right now is quite exciting. Yeah, lots of great acts… Sandunes, Parekh and Singh (Formerly Nischay Parekh), Sid Vashi are a few you should definitely check out!

What are you doing when not making music?

It’s pretty much our full time job. Other than this project, we also compose and produce music for television commercials, documentaries, etc.

What’s the most memorable gig so far and why?

Magnetic Fields which is a music festival held in a palace in Alsisar, Rajasthan. The festival on a whole was truly a very unique experience and we are just so happy we had the opportunity to perform there.

What’s your dream project?

A feature film background score.

What are the next goals for you?

We are writing our album as well as working on a creating a complete audio/visual experience tour collaborating with really talented visual artists, the “Wolves” who recently played at Glastonbury with Anoushka Shankar.

https://www.facebook.com/nicholsontunes/

Photos by Neville Sukhia

21 Questions With…. A. Nayaka

Being the hottest rapper in town and getting himself busy with gigs and projects, A. Nayaka kinda surprises me when he releases his latest EP called Colorblindflo right on April Fool’s Day month ago. Collaborating with the usual suspects like Yosugi, Aytsaga, TRIP TRVP, Saesar, Ben Utomo, and NAJ, he describes the 6 tracks EP as a banger album full of heavy traps that could be the perfect anthem for your home party. “But you really have to listen to the last song tho. Where the first 5 songs I go all out crazy, the last song I poured my heart out and basically explained the things I’ve been through in the past couple of months, and eventually finding an escape from that,” says Nayaka about the track called “Escape”. Not stopping to catch a breath, he’s already back to studio for his upcoming full-length album which tentatively called When The Internet Raised Your Kids set to release on Summer. To learn more about this guy, I throw him 21 trivial questions and here are his answers

What’s your favourite breakfast?

A hotel buffet breakfast.

What’s your favourite cartoon when you were a kid?

Yu-Gi-Oh.

 20b

What’s your favourite video game of all time?

The Amazing Spider-man on PS1.

Spider-Man_2000_game_cover

Do you have a nickname?

Close friends call me “Bill”.

What’s the worst haircut you ever had?

Went skin bald during winter in Europe.

What was the first live act you saw?

My Chemical Romance. 

What was the last movie you watch?

It’s not a movie, but I’ve been hooked on Black Mirror the TV series.

 black-mirror-masks

Who’s your favourite person to follow on Instagram?

@floydmayweather

floyd

Who’s the most famous person you ever met?

@carissaperusset

carissa

What’s your favourite beer?

This German beer called “Kolsch”.

Kolsch 

What’s your favourite drunken/stoned snack?

Ramen is a snack for me.

What’s your worst habit?

I criticize everything.

What’s your favourite emoji?

The “100” emoji and the upside down smile emoji.

100_Emoji

Heavy Metal or EDM?

The heaviest metal possible.

Raisa or Isyana Sarasvati?

Raisa, cause apparently I sat next to her table at the ramen place earlier, but I don’t know her LOL.

Do you have pet?

Yes, she is a dog that’s a mix between a Shih Tzu and a Maltese, her name is Molly.

Do you believe in horoscope?

Yes, in a way, but I’m more into Feng Shui.

What’s the coolest thing you ever heard about you?

When people come to Blue Room Studio (my home studio) and they say “You know how many great people have worked here?”

If you could pick any director to direct movie about your life, who would it be?

Gaspar Noé.

gaspar

What song you would like to play on your funeral?

Explosions in the Sky – “Your Hand In Mine”.

What are you plans for this remaining year?

I really want to do more shows and hopefully more international shows as well because nothing feels better than travelling, meeting new people, and get paid off your hobby.

Mixtape: Ffion Williams

 

As a popular destination for international musicians to hold concert when they hit around Asia and the burgeoning local music scene, it’s kind of no wonder that Singaporean artists getting more and more recognition. One of the latest names to catch my attention is Ffion, a 20 years old Welsh singer-songwriter who has been live and launch her musical career in the Straits. Mixing her soulful voice with downtempo electronic and R&B flair, she debuted with single called “With U” (produced by GROSSE) and “Over”. With the upcoming EP set to be released, recently she’s back with latest single “I Miss U” which sounds quirky and melancholic at the same time, just like the songstress herself. Here, Ffion give us introduction about herself and her 10 favorite songs. (Photography by Amanda Lim)

 Ffion1 (Credit Amanda Lim)

Hi Ffion, please tell me a little about yourself and your music.

Heya! I’m a 20-year-old singer that loves to make music that is spiked with electronic pop and modern R&B music.

First of all, I’m a sucker for pretty names and I really love your name! I read on web it means Foxglove and it is on top 15 of popular names in Wales, so what do you feel about it?

Aww thank you!! Yeah it’s a really popular name in Wales, I think I had 5 other girls in my kindergarten class with the same name. But I still get people ask me if Ffion is really my name or something I made up, people also tend to misspell it or pronounce it weird ways but it’s all good!

When did you first discover music and what really prompted you to make your own music?

My love for music started when I was around eleven years old after watching Phantom of the Opera for the first time. After watching it I was so set on going into Musical Theatre… Until I tried it and figured I wasn’t into the acting bit of it. But my teachers and friends have always been super supportive when it came to music!

Do you come from creative/musical family? Where did you grew up and what kind of records you listen to back then?

Weirdly enough, I come from a family of doctors, so I’m kinda like the black sheep of the family. I moved to Singapore when I was 3 and moved to Cambridge for 6 months when I was 5. I remember really enjoying the music that was out at the time in England, like Steps and S Club 7 also Britney of course!

Who are the early influences of your work?

I’d have to say Amy Winehouse and then Adele. When I heard James Blake for the first time, that’s when I knew I wanted to get into Electronic Music and I guess that slowly fused with R&B to create what we have today.

Tell us about your latest single, “I Miss U”, what’s the story behind it?

It’s basically a second part to my previous single “Over”, it was written a year after the breakup. I felt like this guy still had so much control over my emotions and my mind was constantly just drifting back to him. So by writing this song, I felt like I got a lot of closure and was able to move on.

Where do you tend to do most of your song writing?

I normally just hold it all in until I get into the studio, I love writing a song that is super in the moment, it feels more authentic that way.

How do you get the creative juice flowing if you’re feeling stuck?

I think travelling really helps or talking to other people about it, that tends to get my mind running!

What do you love the most about Singapore and where are your favourite places?

I love the dramatic rain/thunderstorms we get here and I would have to say my bed is my favourite place in Singapore. (hehe just kidding). But on a more serious note, there’s this coffee shop near my place and they sell the most bomb butter chicken set!

Recently, Singaporean acts getting more and more exposure, do you have favourite Singaporean musicians you would like to collab with?

I think it would be really cool to do a collaboration with a band like Disco Hue or The Summer State, I think it’s important to get out of your comfort zone, so stepping out of a genre that I’m comfortable with sounds like a fun challenge. I would love to collaborate with VVYND from Indonesia as well, his music is sick.

What does the rest of the year have in store for you?

I definitely wanna finish my degree and move on to writing more music. Also releasing my EP and possibly playing some shows overseas!

Last, please pick 10 of your favourite songs along with short explanations for each of them.

 

Bruno Mars – “Easily”

His music is like the perfect music for commuting and staring out of windows.

James Blake – “I Need A Forest Fire”

I’ve been obsessed with this guy since I was 15/16 and hearing how his music has evolved over the years has definitely shaped my thought process when it comes to making music.

Rihanna – “Bitch Better Have My Money”

This is the ultimate pump up song. I like to play this when I’m getting ready in the morning and I know there is something important to be done that day.

Tom Misch – “Watch Me Dance”

This artist is a new discovery for me; I’m super into his vibe and would love to make music like this sometime!

Lighthouse Family – “High”

This song makes me super nostalgic, just major #tb vibes in general.

The 1975 – “Somebody Else”

I was never really into the 1975 but after hearing this I’ve totally catching up on their music. Great songwriting.

Raye – “Shhh”

Another really great pump up song, I love how different this song is yet still so relevant. Definitely an artist to lookout for!

Justin Bieber – “Change Me”

Who can resist the Biebs? Not me that’s for sure 😛

Lapsley – “Hurt Me”

This song for me is the perfect song for when I’m feeling kinda angsty.

Ady Suleiman – “Need Somebody To Love”

This guy has the sickest vocal chops and songwriting skills plus his style is super unique. All his songs hit the mark and I usually have his music on repeat especially in the summer.

 

Mixtape: Laurel Arnell-Cullen

Hailed from Southampton, 22-year-old Laurel Arnell-Cullen is a Welsh-British chamber pop and indie musician whose career started from her bedroom studio in London. Following the long tradition of British female singer-songwriter who turns the vulnerability and emotion into something that sounds powerful and honest, Laurel’s sophisticated and sultry vocals, melancholy melodies, and lovelorn lyrics are reminiscent of awkward adolescence and first loves. Here, Laurel talk about her songwriting process and sharing her 10 favorite songs.

 tumblr_mwpd12ucFE1t0dx5qo1_500

Hi Laurel, how are you? Where you are right now and what are you doing before answering this email?

I’m at my home in London making my first ever vegetarian curry to the sounds of my boyfriend playing Call of Duty. Standard Monday. Before this I was finishing off my next single in my home studio.

What really prompted you to start making your own music and what are the early influences for you?

I just always wanted to do it really, I don’t remember why but since I was a child it’s all I’ve really wanted to do. Hearing the first Laura Marling album was something that inspired me on to get a guitar and start writing folk music and then from there every moment has just been me evolving into the Laurel I am now.

Which came first for you: the lyric or the arrangement? 

The chords come first and then the vocal melody which all happens pretty fast and then I spend hours and hours trying to figure out what I am trying to write about and fit the lyrics to the melody I’ve written.

Your music has been described as alt-pop, do you agree with it or you have your own description about it?

Yeah I guess so, I would find it quite hard to distinguish my sound as a genre to be honest, and as I think most musicians would. I think I hear it in a different way to other people.

Do you remember your very first gig? How was it? Do you still feel nervous before performing?

Yes it was in Southampton. I was 14 and I had to sell 20 tickets else I wouldn’t get another gig and the promoter said he would tell other promoters not to book you! It’s a harsh world the up and coming music scene haha. I was so nervous though, I have sound on stage since I was a kid in school and stuff but singing your own songs to people is something totally different, not only are you getting judged on your performance but also your songs which are basically heart felt diary entries. 

 

What’s been career highlight so far?

I reckon just right now is a highlight, every day getting to wake up do whatever I want and make music if I feel like it. That’s my biggest achievement and I’m pretty happy with that. This is my dream way of living.

 

I heard you’re going to have new single, would you mind to tell us a bit about it?

I wrote it when I was really angry. It was such a quick one, I had to go play a gig that evening and I had half an hour before I had to leave but I just had this song in me that I needed to get out. I can’t really say much more than that as I don’t want to give too much away.

What about full album? I bet everyone’s been asking for it, do you feel some pressure or you just ignore it and go with your own flow?

I’m just going on my own time really but of course I want my album out as much as anyone else does. It’s just a lot of work I think people underestimate how much time and energy goes into something like that! It’s very close to being done though and I’m really proud of it so far so I can’t wait for people to hear it this year.

What’s your plan for the rest of 2017?

I have a bunch of tour dates all over the place. Gonna try and get over to America at some point too. The album is going to come out too so it’s going to be a pretty hectic one. I feel like it’s already going by too fast.

Last, please pick your 10 favorite songs and short description for each of them. 

Mac DeMarco – “Only You” 

This song speaks to me quite a lot, most of his songs do.

 

Talking Heads – “This Must Be the Place” 

This is my favorite song in the world.

 

Laura Marling – “New Romantic” 

This is the song that inspired me to get a guitar and start writing properly.

 

Kita Alexander – “Like You Want To” 

It’s rare I like anything this poppy but I am obsessed with this girl she’s amazing.

Tyler, The Creator – “IFHY” 

The lyrics in this song are just incredible.

Yppah – “Never Mess With Sunday” 

This song just has all round good vibes.

Girl Band – “Paul” 

Love the punky vibe of this.

Idles – “Divide and Conquer” 

Played just before this band at a gig the other day, they where one of the best live acts I’ve seen in a while. So much energy on stage.

Virgin Kids – “My Alone”

Saw these guys last gig the other day at the Shaklewell in London, also such a great gig everyone was so involved.

Beach House – “Silver Soul” 

This is one of my favorite songs! It just makes me feel kinda funny.

 

On The Records: Sunmantra

Saat memutuskan mengajak visual artist Psychobiji untuk tampil di malam final NYLON Face Off, kami langsung membayangkan aksi musik apa yang tepat bila disandingkan dengan visual liquid nan trippy yang akan diracik olehnya. Pilihan kami pun jatuh pada Sunmantra, duo indie electronic Jakarta yang terdiri dari Jonathan “Jojo” Pardede dan Bernadus Fritz Adinugroho, and we proudly says we make a right choice. Musik techno andalan Sunmantra seperti “Silver Ray”, “Elusive Synergy”, dan “When You Bite My Lips” seolah bersinergi sempurna dengan visual yang disajikan sebagai backdrop. It feels like a match made in audio visual heaven dan membuat NYLON Face Off tahun ini begitu memorable.

Tercetus dari tahun 2012, Sunmantra sejatinya bermula dari proyek long distance saat Jojo dan Fritz masih berkuliah di negara yang berbeda. Sesi tukar-menukar file Digital Audio Workstation menjadi jalan bagi mereka untuk membuat lagu-lagu techno yang diramu dengan genre lain seperti krautrock, shoegaze, atau elemen apapun yang mereka anggap menyenangkan dan bisa membantu lagu yang sedang digarap agar terdengar lebih hidup. Sampai sekarang pun, walau telah stay di kota yang sama, metode ini masih mereka jalankan. “Kita jarang banget ngerjain lagu bareng, biasanya kita satu studio kalau udah mau mixing. Semua draft musik dibuat di studio masing-masing. Jadi bisa aja kita bikin lagu sendiri-sendiri terus baru dipilih yang mana yang cocok buat Sunmantra, sisanya kita pakai buat proyek pribadi,” ungkap mereka.

 Nama Sunmantra sendiri bisa dibilang muncul secara magis di mimpi Jojo. “Jadi di dalam mimpi itu gue lagi di atas panggung di sebuah festival dan ngeliat drum head-nya bertuliskan ‘Sunmantra’, nah setelah bangun gue langsung chat Fritz dan bilang, ‘Kayanya kita harus punya band namanya ‘Sunmantra’,” kenang Jojo. Magis dan menghipnotis, diperkuat oleh ciri khas mereka memakai facepaint saat manggung, penampilan live Sunmantra adalah salah satu aksi lokal yang wajib dinantikan dan disaksikan dengan mata kepala sendiri. “Waktu live, mindset kita adalah ‘menghibur penonton’ jadi kita taruh posisi kita dalam point of view-nya penonton, jadi gimana caranya kita bikin live set kita seseru mungkin. Bisa aja kita pakai yang sama dengan recording, bisa juga berbeda, kita lihat bigger picture dari set-nya sendiri.”

            Dengan respons positif yang terus diraih lewat beberapa single dan live act yang seru, wajar jika banyak orang penasaran mengapa Sunmantra belum merilis album apapun. Sambil tertawa, mereka menjelaskan jika sebetulnya dari dua tahun lalu mereka sudah ingin sekali merilis album di bawah nama Sunmantra yang sayangnya akhirnya terus tertunda karena kesibukan keduanya di proyek masing-masing. “Tahun ini kita bakal rilis sesuatu sih, semoga bisa dirilis sebelum puasa,” janji mereka dengan singkat. Sempat mengerjakan beberapa remix untuk musisi lain, saya pun menanyakan kolaborasi impian mereka. “Mungkin Sasha Grey ya? Suaranya bagus banget. Kita rasa untuk Sunmantra yang musiknya cenderung gelap bisa cocok sih,” tutup mereka.

            Sembari menunggu materi berikutnya, Jojo dan Fritz pun mengungkapkan beberapa album yang paling berpengaruh dalam karier musik mereka. Foto oleh: Bhrahu Pradipto.

Jojo:

 da82227f0cf94551c55520099b2e523a

Bad Music for Bad People

The Cramps

Kalau nggak ada album ini mungkin gue nggak nge-band sih, dari SMP gue udah tergila-gila sama Lux Interior dan Poison Ivy, panggung mereka selalu powerful dan energetic.

 the_brian_jonestown_massacre_their_satanic_majesties_second_request-front

Their Satanic Majesties’ Second Request

The Brian Jonestown Massacre
Album ini membuat gue akhirnya milih kerja di musik setelah lulus SMA.

sound of silver

Sound of Silver

LCD Soundsystem
Album yang selalu membuat gue terkesima dalam pemilihan sound-nya. Nggak nyangka dance music bisa dibikin sekece ini.

Fritz:

rotten apples

Rotten Apples

The Smashing Pumpkins

Dulu kira-kira tahun 2004-an gue beli kaset ini zaman masih nyari-nyari sound gitar. abis dengerin album ini gue langsung ngulik efek dan mulai nemuin sound yang gue suka.

 nin-with-teeth-cover

With Teeth

Nine Inch Nails

CD ini masih ada di mobil gue sampai sekarang, lumayan bisa dibilang kalau nggak dengerin ini gue kayaknya nggak bakal mikir buat dengerin techno, EBM, dan kawan-kawannya.

nite-versions-4e514653e5bf7

Nite Versions

Soulwax

Gue doyan banget album mereka ini, salah satu yang bikin gue penasaran buat ngulik synthesizer dan mulai nyoba bikin lagu yang isinya nggak full gitar-gitaran aja.

On The Records: The Aces

 

Berasal dari Provo, Utah yang didominasi oleh penganut LDS Church yang religius, kuartet yang terdiri dari vokalis/gitaris Cristal Ramirez, lead guitarist/back vox Katie Henderson, bassist McKenna Petty, dan drummer Alisa Ramirez ini membuktikan jika kamu tidak perlu berkata kasar dan minum minuman keras untuk menyajikan musik rock yang keren. Dimulai oleh kakak-beradik Cristal dan Alisa, The Aces telah tampil bersama sejak masa sekolah dan tampil di berbagai festival di sekitar kota mereka, namun single “Stuck” yang dirilis tahun lalu yang kemudian mengantar nama mereka ke ranah yang lebih luas. Digarap bersama produser Dan Gibson & Simon Oscroft, “Stuck” adalah single alt-pop super catchy dengan guitar driven melody yang mengingatkan pada HAIM maupun The 1975.

April ini, mereka pun merilis single terbaru berjudul “Physical” yang tak kalah catchy. “Lagu ini becerita tentang kejenuhan kami soal hubungan yang hanya mementingkan hubungan fisik. Pacaran dan hubungan fisik adalah hal yang seakan diglamorkan oleh masyarakat dan kami ingin membawa perspektif kami soal itu, yaitu hubungan fisik memang asik, tapi bisa dengan cepat bikin bosan kalau cuma hal itu yang dikejar dalam sebuah hubungan,” ungkap mereka.

Dengan jam terbang yang semakin tinggi dan kontrak dengan Red Bull Records, The Aces makin disibukkan dengan berbagai gigs sambil menyiapkan album penuh mereka, namun ada satu hal yang tak pernah berubah, yaitu backstage pre-show ritual mereka.”Kami akan berkumpul dan berdoa bersama dalam lingkaran. Kami selalu berterima kasih pada Tuhan untuk setiap show, karena kami selalu merasa bersyukur orang mau datang dan mendengarkan musik kami,” papar mereka. Amen for that.

Foto oleh: Tessa Barton.

 Photo Credit - Tessa Barton 2

The Beginning

Kami tumbuh besar di kota dan sekolah yang sama. Cristal dan saya (Alisa) telah main musik bareng sejak kecil dan selalu punya cita-cita bikin band, mungkin karena terinspirasi dari kakak kami yang sepertinya terlibat di ratusan band saat dia SMA. McKenna telah menjadi sahabat kami sejak sekolah dasar, jadi tentu saja kami mengajaknya bergabung ke band kami. Dan untuk beberapa tahun pertama hanya ada kami bertiga di band ini sebelum McKenna pindah sekolah dan bertemu Katie yang kemudian juga menjadi teman kami. Dan ketika kami tahu salah satu sahabat kami bisa main gitar, kami menjadi berempat sampai sekarang.

The Namesake

Awalnya kami memakai nama “The Blues Aces” setelah mendapat saran dari kakak perempuan salah satu teman kami yang termasuk anak keren, dia bilang semua nama band yang bagus terdiri dari nama warna dan benda. Saya mengusulkan nama “The Blue Aces” dan itu jadi nama pertama kami sampai akhirnya kami memutuskan untuk mencopot kata “blue” saat merilis materi baru.

Influences

The Beatles, Whitney Houston, The 1975, Tears for Fears, Michael Jackson, Earth Wind and Fire, dan banyak band keren lain yang menginfluens kami sejak remaja. Kami biasanya mendeskripsikan musik kami di ranah alt-pop dengan sentuhan rock. Musik kami cenderung guitar-driven dan memakai drum yang biasa terdengar di rock akustik karena itulah bunyi yang kami dengar dan mainkan sejak dulu.

Hometown

Tumbuh di kota kecil yang religius di Utah anehnya memang membantu musikalitas dan kemampuan performing kami. Mayoritas anak-anak di kota kami tumbuh bermain musik dan bernyanyi untuk gereja, yang akhirnya menghasilkan banyak musisi berbakat. Karena standar agama yang kuat juga, anak remaja di kota kami tidak terlalu suka pesta dan mabuk-mabukan, jadi banyak venue yang terbuka untuk semua umur dan mengizinkan kami untuk tampil sejak kecil. Orang biasanya kaget saat mereka tahu jika Provo Utah punya skena musik dengan band-band lokal yang keren.

First gig

Gig pertama kami di pesta ulang tahun Cristal yang ke-11, haha. Kami baru banget membentuk band ini dan tiba-tiba punya ide buat main di pestanya Cristal. Alisa pertama kalinya mematahkan drum stick, kakak perempuan McKenna sok main keyboard di sebuah Casio rusak, tapi orang-orang heboh menontonnya, haha.

Mutual agreement

Memakai topi fedora seharusnya adalah hal ilegal!

Future plan

Releasing some more music and playing more shooowwss!!!

http://theacesofficial.com/

Mixtape: Ringgo Agus Rahman

Terlepas dari banyaknya keluhan di internet yang menyebut 2016 sebagai tahun yang lumayan fu*ked up, bagi Ringgo Agus Rahman, tahun lalu justru menjadi salah satu tahun terbaik dalam hidupnya. Salah satu alasan terbesar tentu saja kehadiran putra pertamanya, Bjorka Dieter Morscheck, yang mengisi hari-harinya bersama sang istri, Sabai Morscheck.

Tepat 10 tahun telah berlalu sejak mantan penyiar radio ini mencuat sebagai aktor lewat film Jomblo dan sampai hari ini pun akting tetap menjadi kesibukan utamanya. Ia membalas email ini di sela proses shooting film terbarunya di Swiss. Bertajuk Satu Hari Nanti, dalam film yang digarap oleh Salman Aristo ini, Ringgo berperan sebagai seorang tour guide bernama Din dan beradu akting dengan Adinia Wirasti, Ayushita, dan Deva Mahenra. “Shooting di sini kaya lagi ada di film di dalam film, lokasi yang wow, gunung es di mana-mana, danau yang penuh angsa dan bebek yang rebutan roti, bayangan keindahan yang nggak pernah meleset di pikiran kita, orang-orang ramah yang ada di setiap kota kecil di Swiss (Thun, Interlaken, Brienz, Meiringen). Film ini sendiri nyeritain tentang 4 orang Indonesia yang lagi bertahan hidup dengan permasalahan hubungan cinta yang real banget yang dialami sama semua orang dewasa, bukan ABG ya, hehe,” ungkap pria berusia 34 tahun ini.

Ia pun membagikan sekelumit keindahan Swiss lewat feeds Instagram miliknya. Berbekal kamera andalan Sony a7R II dengan lensa 35mm f1.4, ia mengaku fotografi memang telah menjadi hobinya sejak tahun 2009 di samping musik yang menjadi passion utamanya. “Hey seingat gue dari dulu passion gue selalu musik di atas segala-galanya. Bukan dengan cara harus menjadi musisi, tapi selalu harus diiringi musik karena gue berpikir setiap bagian hidup gue itu bukan film cerita tapi sebuah video clip musik, hehe. Gue masih jadi pemerhati aja sih buat musik, belum kepikiran bermusik dan main musik,” tandas pria yang sempat bergabung di band The Aftermiles dan The Cash ini.

After the glorious year, apa yang menjadi wishlist selanjutnya? “Di 2017 harapan gue melihat anak gue bisa jalan, ngajak dia ke Indonesia Timur, ngajak dia ke Swiss, dan ngasih dia kamera pocket supaya kita sekeluarga bisa motret, hehe.”

Ringgo’s Good Vibes Mixtape

“Good Together (Jarami Remix)”

Honne

Coba dengar lagu ini pas lagi bareng teman dekat atau pasangan lo, fun beraaat! Pakai headphones yang bisa didengar berdua dan jalan keliling kota deh.

“Hung On Tight” 

Snakadaktal

Ini juga lagu juaraaa… Ah gimana ngejelasinnya ya?! Enak pokoknya!

“Velvet” 

A-ha

Lagu klasik nggak akan pernah mati!

“Pots of Gold” 

Mamas Gun

Lagu yang kalau lo dengar bisa tiba-tiba nimbulin senyum di muka lo.

“Boys Don’t Matter”

Blueboy

Buka liriknya di Google dan coba berkaraoke pakai lagu ini, indah!

“Just Can’t Get Enough”

Depeche Mode

Tahun baru lagi rame-rame, dengerin lagu ini bikin badan lo nggak mau diam, maunya loncat-loncat dan teriak ikut nyanyi bareng teman-teman lo.

 

“Back A Yard” 

The In Crowd

Hey kapan pernah lagu reggae gagal buat bikin happy?

“Keep Rising”

House of Shem

Masih alasan yang sama buat musik reggae.

“Walk on the Wild Side”

Lou Reed

Aaah ini the best parah! Lou Reed itu orang yang hanya bikin musik sesuai dengan apa yang dia mau tanpa kompromi pasar atau apapun.

“Don’t Stop Me Now” 

Queen

Coba cek, lagu nomor 1 di dunia yang bikin orang jadi happy menurut beberapa penelitian adalah lagu ini. Nyanyikan dengan lantang nggak usah peduli suara merdu atau apapun, hanya nyanyi dan coba bayangkan jadi Freddy Mercury di atas panggung untuk sesaat.

 

On The Records: Lao Ra

“Saya tidak terlalu yakin apa yang sebetulnya mendorong saya untuk bermusik, it was a mix of things I guess; dari mulai terlalu banyak menonton MTV, menjadi seorang attention seeker, dan mungkin ada bagian dari diri saya yang ingin membuat orangtua saya kesal,” ungkap Laura Carvajalino, seorang musisi pendatang baru asal Kolombia yang bermusik dengan nama Lao Ra. Lahir dan besar di ibukota Kolombia, Bogota, yang terkenal sebagai salah satu kota dengan angka kriminalitas tertinggi di dunia sekaligus iklim konservatif dan religius yang kental, musik memang menjadi sebuah pelarian sekaligus pemberontakan bagi gadis kelahiran 22 Juli 1991 tersebut.

Mengaku mulai membuat musik sejak umur 14 tahun dari kegemarannya menulis puisi dan bermain gitar akustik, karier profesionalnya dimulai saat dia bertemu dengan Peter Jarrett yang sekarang menjadi manajer dan produsernya di sebuah restoran India. Kolaborasi keduanya menghasilkan lagu bertajuk “Jesus Made Me Bad”, sebuah lagu rebel pop berelemen glitchy tropical beats yang danceable dengan video yang menampilkan Lao Ra berdoa di gereja sebelum menelusuri jalanan Bogota yang dipenuhi graffiti sambil menggenggam botol sampanye. “Ibu saya tidak menyukai lagu itu,” ujarnya. ”Walaupun keluarga saya sebetulnya tidak terlalu relijius, dia berpikir jika saya tidak menghormati tradisi, but I just keep saying that’s actually the point; it’s about not apologizing for yourself. We all are wild at heart and we can’t help our behavior. Tapi dia menyukai lagu-lagu lainnya, haha! Dia sangat suportif dan selalu mendukung saya!” sambungnya.

Lagu tersebut termasuk dalam debut EP berjudul sama yang ia rilis di bawah label Black Butter setelah menyelesaikan kuliahnya di sebuah akademi musik di Kolombia dan pindah ke London. Lirik lugas, sikap cuek, dan pesan-pesan tersirat yang dibalut musik electronic pop dan influens R&B/hip-hop yang catchy dalam musiknya membuatnya dibandingkan dengan M.I.A. dan Gwen Stefani, yang diterimanya dengan senang hati karena kedua musisi memang tersebut termasuk influensnya, namun bukan berarti dia tidak punya warna tersendiri yang lahir dari tempat asalnya. “Im very influenced by pop music, but I’m equally influenced by Caribbean and Colombian traditional music. Saya ingin musik saya terdengar fresh, pop, dan mewakili diri saya dan tempat asal saya. Datang dari Bogota tidak hanya menginfluens musik saya, tapi juga diri saya sendiri. It’s the place where I was born, my people and what I know best.”

 Pengaruh dari lingkungan sekitarnya tidak berhenti di elemen tropical beat dalam musiknya, tapi juga lirik-lirik lagu yang menurutnya berasal dari situasi, pemikiran, dan dilema yang secara konstan berputar di benaknya. “Daddy Issues” bercerita soal sosok tipikal Latin dad yang absen dan tidak pernah benar-benar berkomunikasi dengan anak-anak mereka sehingga banyak anak perempuan yang tidak tahu bagaimana seharusnya mereka diperlakukan oleh pria dan seringkali berakhir mengejar para bad boys. Sementara dalam “Tell Me Why” dengan video yang menampilkan dirinya dan sahabat perempuannya di sebuah kamar temaram dengan lampu neon, Lao Ra menunjukkan vokal innocent dengan lirik penuh percaya diri dan frasa-frasa catchy sebagai bentuk empowerment melawan para fuckboi. “Lagu ini tentang stupid boyfriends, young love, and heartache. Tentang cowok-cowok kemarin sore yang sok bertingkah selayaknya pria dewasa. Lagu ini sangat personal karena saya rasa hampir semua cewek bisa relate ke hal ini karena kita pernah pacaran dengan cowok semacam itu,” jelasnya. Sambil masih menulis dan menyiapkan album penuhnya, kali ini Lao Ra pun membocorkan katalog album yang mempengaruhi musiknya.

Love.-Angel.-Music.-Baby.

Gwen Stefani

Love. Angel. Music. Baby.

Bagi saya album ini adalah definisi sempurna dari kata “cool”. Semua lagu di album ini keren- its fun, edgy, dope production, and super original lyrics. Gwen is next level! Menurut saya album ini adalah ultimate goal of how a pop album should be.

miaarular

M.I.A.

Arular

Pertama kali saya mendengarkan album ini, it really changed my life, and I’ve never heard anything like it. Beats-nya terdengar aneh seperti datang dari planet lain. Penyampaian liriknya sangat mentah dan energetik. It was really a punch in the face- super confident and so ahead of everything else.

Bomba12_cover_new

Bomba Estereo

Elegancia Tropical

Bomba adalah band Kolombia favorit saya. No one makes music like them back home. Mereka punya lebih banyak swag dibanding siapapun. Their fearless approach to Colombian traditional music mixed with dance beats is so sick.

cafetacvba

Cafe Tacvba

Re

Ini adalah CD pertama yang saya punya. Kakak saya memberi saya CD ini untuk kado Natal, walaupun saya masih sangat kecil namun saya langsung terobsesi dengan musik yang mereka buat. Mereka adalah band Meksiko yang memadukan pop dan musik dance dengan musik tradisional Meksaiko seperti racheras. Sampai hari ini saya masih percaya kalau album ini salah satu album Latin Amerika terbaik dan mereka adalah band Meksiko paling hebat sepanjang masa.

 Johnny_Cash-The_Great_Lost_Performance-Frontal

Johnny Cash

The Great Lost Performance

He was the ultimate bad boy; Liriknya, personanya, dan vokalnya sangat jujur dan unapologetic, bahkan sampai karya-karya terakhirnya sebelum wafat. Johnny is one of my biggest ever crushes. Saya dulu mempelajari liriknya sambil membuka kamus Inggris-Spanyol. Saya bisa bilang jika Johnny Cash lah yang mengajarkan saya Bahasa Inggris.

majorlaze

Major Lazer

Peace Is The Mission

These guys are the best producers around. Mereka tahu dengan pasti apa yang mereka lakukan dan mereka membuat seluruh dunia berdansa mengikuti irama mereka. Saya harus memberi acungan jempol untuk itu. Their music is borderless and thats super cool!

 

Soundcheck: Tangerine

Miro dan saya tampil dalam sebuah show di Jimi Hendrix Museum (EMP) di Seattle ketika kami berumur 12 dan 14 tahun dan Toby menjadi salah satu penonton kami. Selesai tampil, dia menghampiri kami dan bertanya apakah dia boleh nge-jam bareng kami, and the rest is history,” ungkap Marika Justad (lead vocal & rhythm guitar) tentang awal mula terbentuknya Tangerine, sebuah trio indie rock asal Seattle yang ia bentuk bersama adiknya, Miro Justad (drum & back vox) dan Toby Kuhn (lead guitar & back vox). Dipersatukan dengan kesamaan selera yang meliputi Yeah Yeah Yeahs, The Strokes, dan The Velvet Underground, ketiganya telah bermusik bareng sejak masa remaja mereka dan tampil di gigs sekitar Seattle namun sempat vakum selama lima tahun sebelum akhirnya muncul kembali dengan nama Tangerine di tahun 2013 dan merilis EP perdana mereka, Pale Summer, pada Maret tahun yang sama. Memadukan genre slacker pop, surfer rock, dan bahkan R&B dengan sentuhan vokal a la 60’s girl group, tahun ini mereka telah merilis EP keenam dan terbaru mereka yang diberi judul Sugar Teeth dengan 4 lagu berinfluens 80’s yang kental. “Kami merekam Sugar Teeth di beberapa tempat di Seattle. Lewat EP ini kami ingin bereksperimen dan menyempurnakan genre berbeda yang selama ini kami mainkan, yaitu melodi R&B dengan sentuhan surf dan garage rock serta 80’s drenched pop. Kami punya firasat jika ini akan menjadi EP terakhir kami sebelum kami fokus membuat album penuh pertama kami, so we were really sort of releasing our creativity on this one,” tandas Marika. Sambil menunggu mereka merampungkan debut LP, ketiganya pun membagikan album-album paling berpengaruh bagi masing-masing.

http://tangerinetheband.bandcamp.com/

 

untitled
Dari Kiri: Miro Justad, Toby Kuhn, Marika Justad. Foto oleh: Mark Malijan.

Miro: 

patmetheny

Pat Metheny

Still Life Talking

This specific Pat Metheny album has a very wide open beautiful feeling to it; the drums are light and fast, but not overbearing and the guitar work is stellar. I aspire to be on that level of technicality one day but with that much taste.

sade

Sade

Lovers Deluxe 

Growing up Lovers Deluxe was constantly playing around the house so there is no way that it has not inspired me in many ways, both with drumming and even with singing since I have a low voice like Sade. Listen to “Somebody Already Broke My Heart”!

pixies

The Pixies

Trompe Le Monde

Trompe Le Monde was one of the last Pixies albums that I discovered and is definitely my favorite. It has more of a surfy vibe than Doolittle and even palm muting that sounds like Blink 182. The Pixies is a band that we sometimes use as a reference point when writing songs since they write good pop songs with interesting song structures.

Marika: 

the-strokes

The Strokes

Is This It

It might be a cliché, but this album truly changed my life! I can still remember finding it in my big sisters room and putting it into my old Sony CD player. The ambivalence of the lyrics, combined with the intensity of the tightly orchestrated instruments- it blew my mind. It was almost uncomfortable, like I had stumbled onto something very foreign and adult.

paul-simon

Paul Simon 

Graceland

This album combines nostalgia-tinged Americana and jubilant South African harmonies and the result feels oddly natural. Plus, Paul Simon writes such beautiful melodies, something I’m always striving for.

hole

Hole 

Celebrity Skin

Courtney Love taught me how to write rock songs that are secretly pop songs. From big pop songs like “Malibu” to pensive ballads like “Dying” this album probably influenced my early songwriting more than any other.

Toby:

pixies 

Pixies 

Doolittle

Somebody showed me this album about a year after I saw The Pixies live at Seattle’s Bumbershoot festival in 2004 and not knowing who they were at all. Full disclosure, I don’t remember being terribly impressed at the time. This person was blown away that I hadn’t listened to them before and said that Doolittle would change my life- fantastic album; the energy, structuring, tones, and melodies are just crazy good.

gorillaz 

Gorillaz

Gorillaz

This album was sort of my introduction into popular music. I don’t remember how I ended up getting a hold of it but I was about 11 or 12 when I first put it on and it still hasn’t gotten old. It has like incredibly catchy pop songs and then the weirdest indefinable tracks mixed in there too, all of it exuding the same incredibly satisfying vibe.

black-rebel

Black Rebel Motorcycle Club

Howl

I’m a huge fan of a lot of their music, but Howl is a very special album. It’s completely different from the rest of their stuff and is mostly acoustic. The songs are just written so well and each one carries such strong emotions, such a good album!

 

Closer Than Home, An Interview With Yumi Zouma

Dipisahkan oleh bencana alam yang menimpa kota asal mereka di Selandia Baru, para personel unit dream pop Yumi Zouma berpencar ke seluruh dunia sebelum akhirnya menemukan jalan pulang lewat album debut yang impresif, Yoncalla

Thanks to technology, jarak dan waktu sudah bukan lagi halangan untuk berkarya dengan seseorang yang tinggal di belahan dunia dan time zone yang berbeda, Yumi Zouma adalah salah satu band yang harus melewati proses membuat lagu secara long distance. Terdiri dari Christie Simpson, Josh Burgess, Charlie Ryder, dan Sam Perry, keempat anak muda asal Christchurch, Selandia Baru ini sudah saling mengenal satu sama lain sejak kecil dan aktif di proyek musik masing-masing, namun baru ketika sebuah gempa besar menimpa kota mereka dan beberapa di antara mereka memutuskan pindah ke negara lain, keinginan untuk membuat musik bersama baru mencuat sebagai cara mereka menjaga hubungan satu sama lain sekaligus kota asal mereka.

Berbekal sambungan Skype dan email, mereka membuat single pertama berjudul “A Long Walk Home For Parted Lovers” yang berlanjut menjadi album mini pertama mereka di tahun 2014 dengan empat lagu di dalamnya. Meramu bunyi dream pop berbasis synth yang dancey dengan nuansa musim panas yang kental, album mini tersebut mendapat respons positif dari internet dan beberapa label rekaman yang kemudian dilanjutkan oleh EP kedua mereka setahun berikutnya. Dikerjakan secara jarak jauh, EP I dan II terasa seperti menyatukan potongan puzzle yang dibuat sendiri-sendiri oleh setiap personel dari tempat dan waktu yang berbeda, sehingga tak mengherankan jika tema jarak antar manusia, baik secara geografis maupun emosi, menjadi tema dominan dalam dua EP tersebut. Meski demikian, musik mereka tetap terdengar kohesif dan nama mereka pun terus beranjak naik hingga diajak menjadi pembuka untuk Chet Faker dan Lorde.

Berkat kesuksesan kedua EP yang didominasi bunyi dreamy disco rock tersebut, band yang awalnya tak berencana untuk tampil live ini akhirnya dihujani tawaran manggung yang tak lagi bisa mereka diamkan begitu saja. Mereka akhirnya berkumpul dan tampil bersama dari satu festival ke festival lain. Tak hanya berubah menjadi band seutuhnya, kedekatan mereka yang terjalin saat tur juga menjadi basis dari full album pertama bertajuk Yoncalla. Dirilis oleh Cascine Records, album ini berisi single “Barricade (Matter Of Fact)” yang juga menjadi pembuka yang manis bagi 9 lagu selanjutnya. Masih mempertahankan nuansa dreamy yet sunny yang dibangun oleh aransemen uplifting dan vokal Christie yang mengalun ringan dan kontemplatif, album ini terdengar lebih intim dan terpoles dari materi-materi sebelumnya, menjadikannya salah satu album yang pantang dilewatkan untuk tahun ini. Di antara waktu jeda tur dunia mereka untuk mempromosikan album ini sampai akhir tahun nanti, Yumi Zouma pun menyempatkan waktu untuk bercerita lebih dalam.

 yumi

Awalnya saya sempat mengira jika Yumi Zouma adalah nama seorang penyanyi solo, apa cerita di balik nama band ini?

Saat memulainya, kami sebetulnya tidak yakin jika kami akan menjadi sebuah band seperti sekarang. Kami membuat lagu pertama saat kami tinggal di negara yang berbeda, jadi awalnya kami pikir rasanya sulit membayangkan untuk tampil bersama di atas panggung. Tapi, kami ingin tetap percaya jika mungkin musik kami bisa diterima, atau mungkin salah seorang dari kami bisa membawakan lagu kami secara live. Jadi kami memilih nama yang fleksibel dan tidak secara spesifik menjelaskan tempat asal kami. Jadi dibanding memilih nama “The…’s” atau sejenisnya, kami memilih menggabungkan nama pertama dan nama terakhir dari dua teman kami untuk menciptakan sebuah nama baru. 

Bagaimana awal perkenalan kalian satu sama lain?

Sam mungkin pertama kali kenal Christie saat dia pacaran dengan kakaknya, Josh dan Charlie bertemu di sebuah kompetisi band di Auckland saat mereka berumur 17 tahun, Charlie bertemu Sam di sebuah toko gitar di Christchurch, Christie bertemu Josh dan Charlie saat dia masih menyanyikan lagu-lagu Fleetwood Mac di sebuah cover band, dan Sam pertama kali bertemu Josh di latihan band pertama kami sebagai Yumi Zouma, haha!

Siapa saja influens musikal bagi band ini?

Influens kami umumnya berkisar di musisi Selandia Baru yang kami dengarkan saat beranjak dewasa seperti Bic Runga, The Mint Chicks, Cut Off Your Hands, Anika Moa, dan Carly Binding. Tapi untuk album ini, kami lebih terpengaruh dari Yoncalla sebagai tempat itu sendiri serta pengalaman kami saat tur pertama kali untuk mempromosikan dua EP kami.

Kalian sering dideskripsikan sebagai dream pop, bagaimana pendapat kalian? Sebelumnya Charlie dan Josh juga sempat membuat band disco punk, apa ada pengaruh yang terbawa?

Kami selalu kesulitan saat menjawab soal genre karena kami berempat punya ide masing-masing tentang musik yang ingin kami buat di band ini. Untuk sekarang tidak ada korelasi antara YZ dengan proyek lama kami, kecuali mungkin solo project Sam, Zen Mantra, yang menjadi sumber kreativitas untuk beberapa lagu YZ seperti “Remember You At All” dan “Better When I’m By Your Side”.

 

Dari sekian banyak tempat di dunia, kenapa kalian memilih Yoncalla sebagai judul album ini?

Haha, ceritanya sangat panjang! Tapi akan kami coba singkat. Tahun lalu kami ke US untuk tur musim panas mempromosikan EP II, kami harus berkendara dari Vancouver ke Seattle untuk main di Capitol Hill Block Party. There was a massive traffic jam and the Canadian border was on lockdown. Dari yang seharusnya hanya butuh 3-4 jam perjalanan berubah menjadi 12-13 jam dan kami harus mengatur ulang jadwal kami. Kami berhasil tiba tepat di jam seharusnya kami main, but had a great gig. Masalahnya, kami harus menukar mobil rental kami di Seattle, tapi kami melewati jadwal drop-off  Dan saat itu tidak ada lagi rental yang tersedia karena memang sedang banyak festival di Seattle. Itu artinya kami harus bermalam di Seattle, tapi semua hotel dan Air BnB juga sedang penuh. Akhirnya kami terpaksa tidur di lantai rumah seseorang yang baru kami kenal. Besoknya, semua mobil rental juga sudah habis disewa, sehingga kami naik kereta Amtrak untuk show kami berikutnya di Portland dan tiba persis di jadwal show. Setelah itu, kami akhirnya punya waktu kosong untuk beristirahat. Kami akhirnya menyewa Air BnB di antah berantah Oregon dan menghabiskan dua hari dengan berenang di sungai dan memikirkan soal album debut kami. It was just the most peaceful and best time ever, and a lot of the ideas for the album came from that time, so that’s why we called it Yoncalla!

yoncall

Yoncalla terdengar sangat intim dan penuh nostalgia, apa yang menjadi tema besar di album ini yang menjadi perekat semua lagu di dalamnya?

Ide utamanya adalah ini pertama kalinya kami merekam album di satu tempat secara bersama-sama. Sebelumnya, kami mengerjakan bagian masing-masing di negara yang berbeda dengan zona waktu yang berbeda juga. Untuk Yoncalla, semua eksperimen musik kami lakukan bareng in real time, in front of everyone else, yang ternyata bisa bikin frustrasi juga jika sesuatu tidak terjadi seperti yang kami bayangkan di kepala, atau jika proses rekaman berjalan terlalu lama. But in the end, kami menyadari terkadang kita harus to let that go if you’re going to get anything done. Pada akhirnya semua lagu akan terdengar berbeda dari yang kami bayangkan sebelumnya, jadi mengeluh soal hal-hal kecil sebetulnya hanya membuang-buang waktu. Begitu kami menyadari hal itu, semua berjalan dengan lancar dan merekam lagu bareng menjadi proses yang menyenangkan karena untuk pertama kalinya kami bisa saling melempar ide-ide random secara langsung dan tak akan terjadi jika kami masih menulis sendiri-sendiri.

Salah satu lagu paling menarik di Yoncalla adalah “Haji Awali” dengan judul yang unik, apa cerita di balik lagu itu?

Nama Haji Awali berasal dari nama kompleks apartemen dan sekolah saat Josh tinggal di Timur Tengah, tepatnya di Bahrain. Itu adalah salah satu lagu paling susah bagi kami, salah satu lagu yang kami buat paling pertama tapi selesai paling terakhir. Lagu ini hampir tidak masuk ke album, tapi sekarang menjadi lagu favorit kami!

Bagaimana kalian mendeskripsikan setting yang sempurna untuk mendengarkan album ini?

Duduk di bukit rumput di daerah west coast, di tepi sungai, bersantai bersama teman-teman menikmati homemade salad setelah hari yang melelahkan.

 

Sebagai band yang tadinya tidak berencana untuk tampil live, bagaimana kalian beradaptasi dengan tur dan apa rasanya bagi kalian untuk tampil di atas panggung?

It was normal for us karena kami pernah main di heavily touring band juga sebelum YZ, tapi tetap saja rasanya agak menegangkan saat akan tampil pertama kalinya di sebuah venue besar di luar negeri. Tapi hal itu juga menjadi motivasi yang mendorong kami untuk menjadi band sesungguhnya dengan cepat, and now we love it! Setelah beberapa minggu, kami pindah dari opener menjadi headline untuk show kami sendiri di depan fans kami, which is always way more fun. Beberapa respons terbaik yang kami dapat adalah saat main di Tokyo untuk pertama kalinya dan mendapat encore pertama kami (twice!) dan tampil McAllen, Texas di Galaxy Z Festival di mana panggung kami diserbu fans yang naik panggung untuk berdansa bersama kami.

 

Dari sekian banyak gigs yang sudah kalian lakukan, mana yang paling memorable?

Mungkin show pertama kami di kota asal kami di Christchurch. Kami tidak menyangka orang mengenal kami, jadi kami main di bar milik teman kami dan sebetulnya cuma buat latihan sebelum tur dunia pertama kami di 2014. Tapi hampir seisi kota datang dan bar itu benar-benar disesaki orang yang ikut bernyanyi lagu-lagu yang kami sendiri masih belajar memainkan secara live! It was an incredible experience that we couldn’t really understand!

 

Apa yang paling kalian rindukan dari kota asal kalian?

Keadaannya sebelum gempa bumi di 2011. Christchurch tadinya adalah salah satu tempat paling indah di Selandia Baru, tapi sekarang terlihat seperti parkiran mobil yang terbengkalai.

 

Apa satu hal yang akan disepakati oleh kalian semua?

Probably nothing! We are all very diverse in our opinions, haha!

http://www.yumizouma.com/

On The Records: Low Pink

Berawal dari ruang personal seorang pemuda bernama Raoul Dikka, Low Pink sejatinya hadir sebagai proyek one man band dengan semangat Do-It-Yourself yang pekat. Lahir di Jakarta namun menghabiskan masa SMA di Malang, pemuda 20 tahun tersebut seorang diri merekam musik berinfluens dream pop dan psych dengan peralatan rekaman rumahan sederhana seperti gitar, drum, bass, laptop, dan mic seadanya. “Instrumen musik pertama gue adalah drum, dan gue sama teman-teman sempat bikin band pop-punk ala Blink-182 pas gue kelas 1 SMP. Setelah itu gue mulai penasaran sama gitar, gue belajar sendiri dan pokoknya thanks banget buat YouTube karena dia adalah sumber ilmu yang paling besar buat gue. Sebelum doyan musik rock gue sempat suka banget sama musik jazz karena drummernya jago-jago. Then Radiohead and Tame Impala changed my perspective in music,” papar Raoul. Hijrah kembali ke Jakarta untuk lanjut kuliah, materi-materi yang ada pun diperhalus tanpa meninggalkan esensi lo-fi dari proses rekamannya dan terangkum dalam sebuah debut EP bertajuk Phases yang dirilis oleh Kolibri Rekords bulan Agustus lalu. Drenched in reverbs and hazy atmosphere, album berisi 6 lagu ini diterima dengan baik dan seiring tawaran manggung yang makin gencar, Low Pink pun bertransisi ke format full band dengan mengajak Ryoichi Watanabe (gitar), Bondan Rahadian (bass), dan Ody Panggabean (drums). Cheers for the next phase.

phases-ep 

Hai Raoul, apa kabar? Boleh perkenalkan dirimu and your current activities?

Hellooo, gue Raoul dan hobi gue bikin lagu dan gambar-gambar sebisanya, hehe. Gue sekarang kuliah DKV di Interstudi Tendean.

Apa cerita di balik nama Low Pink?

Low Pink dalam arti rendah warna pink, warna pink bisa mewakili subjek atau objek apapun. Low Pink bisa berarti rendah akan apapun.

Bicara soal Phases EP, boleh cerita soal rekamannya? Berapa lama waktu yang dihabiskan dan di mana saja rekamannya?

Rekamannya gue kerjain sendiri semua di rumah gue di Malang pakai equipment yang seadanya (gitar, drum, bass, laptop, dan mic abal-abal). Proses rekamannya barengan sama penulisan beberapa lagu-lagunya juga. Itu selesai sekitar 1 bulan, dan buat mixing dan mastering gue selesaikan di Jakarta sekitar 2 bulan setelah gue rekaman itu.

Apa tema utama untuk album Phases? Dan kenapa “Someone For Your Days” yang dipilih sebagai single?

Temanya itu dingin, ada perasaan “tersesat dan hampir menyerah”, dirty AF, dan nuansanya penuh debu. Karena pada saat itu gue benar-benar suka banget sama The Soundcarriers. Kalau “Someone For Your Days” itu lagu yang menurut gue paling  beda di Phases EP, dan gue juga yakin banget di Indonesia belum ada yang bikin musik dengan warna dan sound kayak lagu itu. So there’s a chance for Low Pink to show its color.

 

Apa saja musical influences untuk Low Pink?

Banyak banget sih karena sempat berubah warna musik beberapa kali. Beberapa di antaranya adalah Radiohead, Tame Impala, The Soundcarriers, Dead Meadow, DIIV, Washed Out, Beach House, Mac Demarco, Tennis, Cat’s Eyes, The Horrors, Allah-Las, Tredici Bacci, Flunk, dan sebenarnya masih banyak banget.

 

How would you describe your own sounds?

Hmmm… Dusty-Cold-Lost-Psychedelic-Pop-but-a-little-bit-Rock-ish, hahahaha.

 

So far, apa pengalaman manggung terseru?

Waktu main di acaranya Kolibri Rekords di Xabi Studio (21 Agustus 2016), karena yang nonton pada fokus banget dan tumben Low Pink main rapi hehehe. Sama satu lagi di Malang waktu bulan Desember 2015, semuanya pada nggak sober dan pada pilek, ada yang sampai pakai masker segala haha.

 

Di zaman digital kaya sekarang, seberapa pentingnya merilis album secara fisik? Orang jadi nganggap bahwa suatu band itu udah berjalan dengan baik kalau udah punya rilisan fisik. Karena masih banyak banget orang yang nganggap rilisan digital itu masih kurang ‘sah’.

 

Apa komentar paling memorable yang pernah didengar soal Low Pink?

“Gue semalem nyoba dengerin Low Pink, ternyata enak banget didengerin waktu mood lagi nggak enak.”

Please describe your dream gig/collaboration.

Dream Gig? Main di pinggir kolam renang yang gede, tapi yang nonton harus pada di dalam kolam semua hahaha.

 

What’s the next plan?

Materi yang lebih easy-listening/lebih universal dan better live performance pastinya.

Raoul’s Fave Local Releases:

moiss

Substitute EP

Moiss

Band dari Semarang ini musiknya ringan dan benar-benar enjoyable dalam segala keadaan. Plus gue suka banget artwork-nya.

teriakan

Teriakan Bocah

Kelompok Penerbang Roket

Band gokil, berhasil ngambil tema rock jadul yang hasilnya jadi Indonesia banget. Bikin semangat dan menurut gue bisa bikin orang jadi seolah mikir “Gue keren dan kenapa gue harus takut sama apapun?”.

exposure

Exposure

Pijar

Album yang energik, bikin nggak tahan pengen joget-joget sendiri. Isian-isian gitarnya sadis dan masih suka ngagetin.

sommerhaar

Farscape Et Dives

Sommerhaar

Nuansa ‘dingin’-nya dapet banget. Lagu-lagunya nggak klise kayak musik-musik elektronik biasanya. Aneh, tapi enak banget.

silampukau

Dosa, Kota, & Kenangan

Silampukau

Udah jarang gue denger musik kayak gini; simple, catchy, liriknya bagus, dan bikin gue jadi suka lagi sama musik-musik akustik. Ini cocok banget sih buat didengerin sama orang-orang yang udah terlalu kebarat-baratan, biar tau aja kalau dia masih tinggal di Indonesia.

 

https://www.facebook.com/lowpink1

On The Records: SARANA

 

Sebagai sebuah aliran musik yang lahir dari memanfaatkan bebunyian ganjil dan bising yang dianggap polusi suara menjadi estetika tersendiri dengan cara yang imajinatif, noise pada hakikatnya adalah genre yang sukar untuk diapresiasi telinga umum. Niche dan tidak terpaku pakem apapun, noise dan para pengusungnya mungkin tidak akan merajai chart tangga lagu radio mainstream dalam waktu dekat, namun menampiknya begitu saja tanpa berusaha membuka telinga dan pikiran adalah satu hal yang patut disayangkan. Untungnya, Indonesia tidak pernah kehabisan aksi noise yang mumpuni, dan Sarana adalah satu nama yang sedang mengorbit pesat. Datang dari Samarinda, Kalimantan Timur, Sarana terdiri dari Annisa Maharani, Istanara Julia Saputri, dan Sabrina Eka Felisiana yang bertemu saat menjadi panitia Record Store Day East Borneo tahun lalu sebelum memutuskan membentuk unit experimental dark ambient yang namanya diambil dari akronim dua huruf terakhir ketiganya ini. Dengan kejelian mereka meracik bebunyian yang lahir dari efek gitar, kaosilator, monotron spoken words, dan shaker box, tak butuh waktu lama bagi Sarana untuk unjuk gigi sebagai lineup di Veganophone Tour, sebuah gigs noise besutan Mahakam Kolektif dan merilis debut EP bertajuk Heal yang mendapat respons positif tak hanya dari skena lokal tapi juga internasional.

sarana2
Dari Kiri: Annisa Maharani, Istanara Julia Saputri, Sabrina Eka Felisiana. 

Bagaimana awalnya kalian bertemu dan apa yang mendorong kalian untuk bermusik bareng? Dan kenapa memilih genre Noise?

Kami pertama kali bertemu saat terlibat dalam pelaksanaan Record Store Day East Borneo 2015. Kebetulan, pada waktu itu kami jadi panitia bareng. Kedekatan kami pun berlanjut saat Mahakam Kolektif mengadakan Veganophone Tour, sebuah gigs kecil yang mengundang DJ Urine sebagai line up utama. Dari situ, kami bertiga iseng membuat grup noise ini dan ikut menjadi line up di acara Veganophone Tour juga. Alasan kenapa memilih noise, awalnya karena ada influence dari Sabrina, yang emang udah berkecimpung di dunia noise lebih dulu, selain itu noise juga tidak memiliki batasan, batasan dalam arti harus menggunakan alat musik (karena kita bertiga nggak ahli-ahli banget dalam bermain musik hehe) untuk menghasilkan bunyi, jadi dengan noise kita bisa mengeksplorasi lebih luas lagi dan membuat alat-alat experimental sendiri. Selain itu, Noise bagi kami merupakan sarana untuk mengekspresikan perasaan masing-masing dari kami.

Apa saja yang jadi influens musikal untuk kalian? Bebunyian apa aja yang biasanya jadi inspirasi?

Kebanyakan SARANA mendapatkan influence dari musik-musik experimental contohnya seperti suara gitar dari Sonic Youth serta dari beberapa penampilan dari Noise Acts yang lain. Bebunyian yang biasanya menjadi inspirasi kami adalah suara noise yang sebenarnya akrab sekali dengan keseharian kita (contoh: suara orang berbicara, klakson mobil atau kucing yang berkelahi). Nggak hanya bebunyian, kondisi di sekitar kami juga terkadang membuat kami berupaya untuk meng-audiokannya lewat noise yang kami ciptakan.

 

Okay, what are your favourite noises then?

Sabrina: Thurston Moore dan Prurient.

Annisa: Kontroljet, Zulhezan, dan Pedestrian Deposit.
Istanara: Pharmakon dan Pripoy.

 

Bagaimana biasanya proses bikin lagu buat kalian, is there a lot of argument? Instrumen/program apa aja yang paling sering kalian pakai?

Kita kalau take biasanya dibantu teman. Usually, we dont have argument during recording, because we working it together, each of us know what parts we should fill in and if the recording seems a lil bit less, then we discuss what gear or instrument that we need to complete it.

 

Apa cerita di balik single “Anxiety Inhaler”? Betul nggak sih ada suara hantu di dalamnya?

“Anxiety Inhaler” itu berawal dari kebosanan, jadi waktu itu kita iseng coba buat video call bertiga padahal kita semua ada di dalam satu ruangan yang sama. Mungkin karena pengaruh ponsel yang berdekatan jadi audio dari video call kita jadi storing dan delay, akhirnya kita merekam percakapan dan barang-barang sekitar yang menghasilkan bunyi hanya dengan menggunakan handphone aja. Untuk masalah yang suara hantu itu, pertamanya kita juga nggak nyadar sampai ada salah satu teman kita yang notice dan setelah kita dengarkan ulang ternyata emang ada suara selain suara kita bertiga.

 

Apa pengalaman tampil terseru buat kalian sejauh ini?

Pengalaman manggung terseru ya waktu di RRREC FEST IN THE VALLEY 2016 di Tanakita Camping Ground Situ Gunung, Sukabumi karena kita di sana pertama kali tampil di acara besar dan ditonton oleh massa yang lebih banyak. Dan setelah kami main, senang banget ternyata orang-orang pada welcome dengan apa yang kita mainin.

 

Kalian sudah dapat respons yang bagus nggak cuma dari Indonesia tapi juga media luar, how do you feel about it?

We’re so happy to know that people out there listening to SARANA, and even great when we know they like our songs. Kita nggak pernah nyangka bakal banyak mendapat respons yang baik seperti sekarang. Kan kalau dipikir-pikir sebenarnya noise ini tidak memiliki tempat di masyarakat, so we kinda feel pessimistic at times, tapi dengan adanya respons dan dukungan dari mereka kita jadi yakin untuk tetap bermain noise sampai sekarang ini, jadi terima kasih orang-orang yang baik.

 

Boleh ceritakan sedikit soal music scene di Samarinda saat ini menurut kalian?

Menurut kami, scene musik di Samarinda saat ini sedang berkembang. Walaupun tidak sebesar scene yang ada di luar Kalimantan seperti di Jakarta atau Bandung. Era digital sangat membantu sekali untuk membantu musisi-musisi di sini untuk mengeksplor beragam jenis musik yang ada dan mengembangkan ide untuk berkarya.

Kegiatan masing-masing personel di luar Sarana apa saja?

Sabrina kerja sebagai pegawai swasta, Istanara sedang menyelesaikan kuliahnya di semester akhir, Annisa selain menyelesaikan kuliahnya di semester akhir, juga menjadi freelance writer dan media officer salah satu klub bola di Samarinda.

Apa yang kalian lakukan seandainya di dunia ini nggak ada yang namanya social media/internet?

Annisa: Baca buku tiap hari, keliling Indonesia (amin!) dan berusaha untuk bisa olahraga lagi, hahaha.

Istanara: Keliling dunia pakai balon udara.

Sabrina: Kalau nggak ada internet ya tetap hidup kaya biasanya. Kalau untuk memperkenalkan Sarana tanpa intenet mungkin bakal rilis beberapa CD terus kasih ke orang-orang lewat secara random aja.

 

Apa lagi rencana selanjutnya?

Rencananya pas dua tahunnya Sarana nanti mau bikin album, dan semoga tahun depan Sarana diundang ke festival noise di Jepang doain ya hehe.

Terakhir, apa tiga hal favorit kalian dari skena musik di Samarinda saat ini?

Band: Murphy Radio.

Record: Loudness Recs.

Gigs/Event: Titik Berat dan Record Store Day East Borneo.

Foto: Achmad K. Farouk. 

https://saranamusic.bandcamp.com

Soundcheck: 10 Best K-Pop Songs of 2016

 

2016 is crazy year, for sure. Namun, terlepas dari segala keabsurdan yang terjadi di dunia sepanjang tahun ini, tak bisa dipungkiri jika 2016 is also a great year for music yang ditandai oleh maraknya rilisan lagu dan video yang keren, termasuk dalam kancah K-Pop. Meskipun tahun 2016 ini kita sudah melihat beberapa berita disbandment yang menyedihkan, dari mulai Rainbow, KARA, 4Minute, hingga hengkangnya Minzy dari 2NE1 yang pada akhirnya berujung pada pembubaran resmi grup besutan YG Entertainment tersebut, untungnya seperti pepatah mati satu tumbuh seribu, skena K-Pop yang tampaknya tidak pernah kehabisan talenta-talenta baru pun siap menawarkan “racun” terbaru mereka dalam bentuk grup-grup rookies yang sangat menjanjikan. I’m here to stay for the K-Pop’s catchy chorus and superb videos, and without further ado, here are my list of top 10 K-Pop of this year!

10. K.A.R.D – “Oh NaNa”

Terakhir kali kita melihat grup co-ed (berpersonel cewek dan cowok dalam satu grup) yang cukup promising di K-Pop adalah Co-Ed School yang dibentuk oleh Core Contents Media back in 2010 yang sayangnya tidak berumur lama. Since then, kita hampir tidak pernah mendengar grup co-ed yang menarik untuk disimak, but as a nice surprise, kurang dari seminggu lalu DSP Media memperkenalkan K.A.R.D, sebuah grup co-ed yang terdiri dari empat personel (BM, Jeon JiWoo, J.Seph, Jeon SoMin) dengan single pertama mereka, “Oh NaNa”, yang saat artikel ini ditulis sudah menembus satu juta views di YouTube, sebuah pencapaian impresif bagi grup rookie yang datang dari company di luar the Big 3 (SME, JYP, YG). It’s no wonder kenapa mereka bisa menarik atensi dengan cepat. Tak hanya atraktif secara fisik, keempat member-nya juga disebut berbakat dalam hal composing, menulis lagu, hingga membuat koreografi sendiri yang ditunjukkan dalam MV pertama mereka. Secara videografi, sebetulnya konsep MV “Oh NaNa” cukup standard namun berhasil menampilkan kemampuan setiap member dengan porsi yang pas, and with those addictive summer-ish dancehall beats, we can’t help but to keep press the repeat button.

9. PENTAGON – “Can You Feel It”

Empat tahun telah berlalu sejak Cube Entertainment memperkenalkan BTOB ke pecinta K-Pop dan rumor jika Cube sedang mempersiapkan boy group terbaru mereka sudah ramai dibicarakan sejak tahun 2015 lalu. Jawaban dari penantian tersebut adalah PENTAGON, boy group dengan 10 member yang merilis debut album mereka pada tanggal 10 Oktober 2016 lalu dengan title track berjudul “Gorilla”. Sebelum debut, para member PENTAGON diperkenalkan ke publik lewat survival show bernama Pentagon Maker di Mnet, dengan beberapa member dikenal sebagai bekas trainee dari company besar lainnya seperti SM dan YG. But make no mistake, jangan sebut grup ini sebagai grup “buangan”, karena lewat comeback single “Can You Feel It” dari EP kedua bertajuk Five Senses, mereka membuktikan diri sebagai grup rookie yang patut diawasi. Dengan koreografi yang matang dan chemistry di antara member yang kuat, mereka punya teamwork dan potensi yang tidak kalah dengan grup sebesar EXO sekalipun.

8. I.O.I – “Very Very Very”

To be honest, saya tidak bisa menulis tentang grup berpersonel 11 orang yang datang dari berbagai agensi berbeda ini tanpa merasa sedih. Seperti yang kamu tahu, grup yang namanya berarti Ideal of Idol ini adalah sebuah girl group yang lahir dari sebuah survival show bertajuk Produce 101 milik Mnet di mana 101 trainee dari berbagai agensi berlomba mendapatkan posisi dan debut di sebuah “ultimate girl group” selama satu tahun. Sebagai penonton setia Produce 101, ke-11 member yang akhirnya membentuk I.O.I terbukti sama sekali tidak mengecewakan, they’re all very talented and pretty dengan lagu-lagu yang super catchy. But here’s the truth, faktanya umur grup ini hanya setahun sebelum para member kembali ke agensi masing-masing. As a last single, “Very Very Very” yang diproduseri oleh JYP adalah lagu yang berhasil merangkum semua pesona I.O.I dengan gemilang. Its super catchy dengan MV yang juga sama ekspresifnya. We’re not ready for their disbandment tapi di saat yang sama juga tidak sabar untuk menonton season kedua Produce 101.

7. NCT U – “The 7th Sense”

 

Belajar dari pengalaman yang kurang menyenangkan dari hengkangnya beberapa member Super Junior dan EXO, S.M. Entertainment meracik konsep terbaru untuk proyek grup terbarunya yang bernama Neo Culture Technology yang kemudian disingkat sebagai NCT. Konsep utama NCT adalah jumlah member yang tidak terbatas, dalam artian, SM bebas menambahkan atau merombak susunan member dalam setiap comeback dalam bentuk sub-unit yang berbeda-beda dengan para personel yang berasal dari grup pre-debut SM Rookies. NCT U yang menjadi sub-unit pertama yang diperkenalkan pada April lalu berhasil mencuri perhatian dengan single “The 7th Sense”, sebuah lagu debut yang benar-benar terdengar unik dari grup-grup K-pop pada umumnya. Dengan beat-beat elektronik yang ganjil (its kinda weird yet sexy at the same time) dan diperkuat oleh koreografi menghipnotis serta mind tripping visual, “The 7th Sense” adalah sebuah eksperimen SM untuk keluar dari zona nyaman mereka dengan hasil yang gemilang.

6. Twice – “TT”

Ya, saya tahu beberapa dari kamu pasti akan bertanya kenapa saya memilih “TT” instead of “Cheer Up” yang memang menjadi salah satu anthem K-pop paling besar di 2016, but I have my own reason. “Cheer Up” memang lagu yang super duper catchy dan berhasil melambungkan girl group besutan JYP ini menjadi salah satu national girl group, tapi jujur saja, mendengarkan “Cheer Up” lebih dari 5 kali berturut-turut adalah hal yang menyebalkan (based on personal experience). Lain halnya dengan “TT”, tentu saja saat pertama menonton MV-nya, kita akan sibuk terpesona pada sembilan member dengan kostum Halloween masing-masing yang imut dan koreografi yang lagi-lagi ikonik secara instan. Namun, saat didengarkan dengan headphone tanpa melihat MV-nya pun, “TT” memiliki banyak elemen dan detail musik yang menarik untuk diulik setiap kali mendengarnya. Dari mulai bagian intro, bridge, hingga chorus, its full of musical surprises yang menunjukkan jika lagu ini tak hanya catchy tapi juga digarap dengan sungguh-sungguh. Totally a bop.

5. Red Velvet – “Russian Roulette”

Mendengar nama Red Velvet, biasanya kita akan langsung membayangkan MV penuh visual warna-warni yang whimsical dan semanis sakarin, tapi di title track untuk EP ketiga mereka ini, they injects a darker twist to it. Saat mendengarnya untuk pertama kali, “Russian Roulette” adalah lagu synthpop berbumbu bebunyian retro 8-bit dan robotic chorus yang memiliki semua elemen dari classic K-Pop girl group hits, it’s catchy, fun, with a nice dynamic and breakdowns. MV-nya sendiri pun terlihat sama ceria dan bubbly di mana para member yang memakai pakaian bertema olahraga terlihat bermain tennis dan dodgeball plus koreografi yang sama serunya dalam setting yang dipenuhi warna pastel andalan mereka. But in the following scenes, kita menyadari jika kelima member RV berusaha menyingkirkan satu sama lain dengan berbagai skenario yang cartoonish (dari mulai menjatuhkan piano, menyelipkan baut ke dalam mangkuk sereal, hingga mendorong temannya ke mobil yang melaju) yang terinspirasi dari serial Itchy & Scratchy dari The Simpsons. For some people, beberapa adegan tersebut mungkin memang disturbing, tapi dengan sajian visual dan audio yang begitu sinfully sweet, we can’t help but craving for more.

4. Seventeen (SVT) – “Check-In”

Bagi kamu yang belum pernah mengenal Seventeen, let me explains the basic thing about their concept. Dengan member sebanyak 13 orang, Seventeen terdiri dari tiga sub unit yang meliputi vocal unit, hip-hop unit, dan performance unit. Sejak melakukan debut di bulan Mei 2015, mostly mereka memang tampil as one big group di mana para member punya peranan penting dalam setiap produksi yang mereka rilis, dari mulai composing lagu hingga koreografi, yang akhirnya membuat mereka dijuluki “self-producing” idol group. Tahun ini, mereka tak hanya merilis banyak K-Pop hits seperti “Very Nice” dan yang terbaru, “Boom Boom”, tapi juga “Check-In”, sebuah single dari hip-hop mixtape milik Hip-Hop Unit mereka yang terdiri dari S.Coups, Wonwoo, Mingyu, dan Vernon. With tropical beat and laidback feels, keempat rapper tersebut menunjukkan skill masing-masing and just vibing with each other dengan latar Hong Kong yang sangat picturesque. Seriously, warna-warni vibrant dan lanskap arsitektur dalam MV ini adalah pure aesthetic orgasm. Every scene is like a screencap from Wong Kar Wai’s movies. Dengan shout out untuk kota-kota dunia yang telah mereka kunjungi (termasuk Jakarta!) ditambah nuansa restless youth yang kental, this MV feels so uplifting and hopeful yang mampu mendorongmu untuk menyiapkan backpack and travel abroad with your crew.

 

3. Blackpink – “Whistle”

 

Sebagai girl group pertama yang lahir dari YG Entertainment sejak 2NE1 muncul tujuh tahun lalu dan meraih status legend dalam dunia K-Pop, Blackpink yang terdiri dari Jisoo, Jennie, Rosé, dan Lisa mengemban banyak antisipasi dan prasangka positif maupun negatif jauh sebelum mereka akhirnya resmi debut dengan single album bertajuk Square One bulan Agustus lalu yang kemudian secara instan berhasil meraih respons yang totally worth the hype lewat dua debut single mereka, “Boombayah” dan “Whistle”. While “Boombayah” is a party banger, “Whistle” is a slick minimalist hip-hop yang genius. Saat menonton MV “Whistle” untuk pertama kalinya, it takes only literally the first three seconds to fell in love with this song. Lagu yang diproduksi oleh Teddy Park dan Future Bounce ini dibangun oleh melodi drum ‘n’ bass yang terdengar minimal dan sparse namun sangat infectious yang diperkuat oleh killing rap parts, country guitar di bagian chorus yang totally unexpected, dan tentu saja, bunyi siulan yang melekat di kepala ever since. Semua racikan tersebut memang terdengar agak ganjil pada awalnya, but somehow it feels so right, dan tanpa kamu sadari, kamu pun akan terhipnotis melihat visual cantik yang disajikan di MV-nya, dengan keempat personel yang memiliki daya tarik masing-masing yang sama kuat, dan tanpa sadar you will get down with this song. Dengan follow up singles seperti “Playing With Fire” dan “Stay” dari Square Two yang sama kerennya dari segi sounds dan visual, Blackpink is the best rookie group in 2016, no objection.

2. BTS – “Blood Sweat & Tears”

No matter what the antis might say, 2016 is the year of BTS. Setelah trilogi Most Beautiful Moment in Life yang melesatkan karier mereka ke strata atas grup K-Pop kontemporer, grup besutan Big Hit Entertainment yang terdiri dari 7 orang personel ini pun merilis album kedua mereka, Wings, pada tanggal 10 Oktober 2016 lalu dan langsung memecahkan berbagai rekor di sana-sini. Pertama kali muncul di tahun 2013 sebagai grup berkonsep hip-hop dengan image bad boys, dalam perjalanan kariernya, BTS yang juga dikenal dengan nama Bangtan Boys (Bulletproof Boy Scouts) menjelma sebagai grup dengan image dan konsep yang semakin matang tanpa melupakan cara bersenang-senang lewat musik dan koreografi yang standout. “Blood Sweat & Tears” yang menjadi single utama dari Wings adalah narasi tentang kehidupan dan kematian dengan inspirasi utama dari novel Demian karya Herman Hesse yang dikemas dalam sebuah produksi musik ambisius yang menggabungkan electronic, synthpop, rap, hingga moombahton dengan MV yang sangat artistik. Set the bar really high for the other groups, tidak heran jika BTS tahun ini dinobatkan sebagai Artist of the Year dalam gelaran Mnet Asian Music Awards dan menjadi grup pertama di luar perusahaan Big 3 (SM, YG, JYP) yang meraih penghargaan tersebut.

1. Big Bang – “Fxxk It”

Kalau saja Big Bang tidak merilis album penuh mereka MADE di penghujung akhir tahun ini, posisi nomor satu ini akan diduduki oleh BTS. Dibandingkan hits sebelumnya seperti “Bang Bang Bang” dan “Fantastic Baby” yang heboh, “Fxxk It” lebih dekat dengan “We Like To Party” yang terdengar easy going and chill. Dibuka oleh Taeyang dengan verse berbahasa Inggris yang fasih, “Fxxk It” adalah lagu electro hip-hop mid-tempo dengan nuansa tropical beat dan efek woozy pada detailnya di mana setiap member mendapat porsi yang seimbang untuk bersinar. MV yang disutradarai oleh Seo Hyun-Seung menampilkan para personel Big Bang hanging around di daerah Cheongju, dari sebuah kamar sederhana hingga ke sebuah club, like a group of rascals yang mengingatkan pada masa-masa remaja mereka di awal karier sebelum akhirnya menjadi salah satu legend di dunia K-Pop. Bersama-sama menjalani satu dekade penuh perjuangan, more than just old friends, mereka mungkin sudah seperti keluarga sendiri dan hal itu terlihat di MV ini yang terasa apa adanya tanpa pretensi. Meskipun jelas mereka mengusung semangat “semau gue”, tak bisa dipungkiri jika ada kedewasaan yang terpancar dari dinamika di antara para member di MV ini. As a last hurrah sebelum mereka bergantian menjalani wajib militer, lagu ini seperti pesta perpisahan yang santai dan intimate bagi para member dengan fans setia mereka. Mungkin butuh waktu cukup lama sebelum mereka bisa kembali dengan formasi utuh, but we sure will wait for these kings to return.