On The Records: Phum Viphurit

Saat wawancara ini dilakukan dua tahun lalu untuk main feature “Look No Further…” yang mengangkat profil band/musisi dari wilayah Asia di NYLON Indonesia edisi Agustus 2016, Phum Viphurit masih menjadi mahasiswa filmmaking merangkap singersongwriter berusia 20 tahun yang gemar menulis puisi dan menyanyikannya dengan melodi yang muncul di benaknya. Menghabiskan masa anak-anak dan remajanya di Hamilton, New Zealand, penggemar film Disney yang kini berbasis di Bangkok tersebut awalnya memilih drum sebagai instrumen pertamanya di umur 14 tahun sebelum menukarnya dengan gitar akustik and it’s been a perfect choice for him, karena dari instrumen petik itu lah kemudian lahir beberapa tembang indie-folk manis dan easy listening seperti “Adore”, “Strangers In A Dream”, “Run”, serta “Long Gone” dan “Lover Boy” yang menjadi breakthrough hits dalam kariernya yang kian bersinar.

Hai Phum, apa yang pertama kali membuatmu tertarik untuk bermusik?

Saya tidak pernah merasa terobsesi menulis lagu sendiri atau menjadi musisi, tapi dari kecil hidup saya memang selalu dikelilingi oleh musik, entah itu dari CD yang ibu saya putar di mobilnya atau video-video musik yang saya tonton di MTV. Jadi memang dari kecil saya selalu tertarik pada musik. Saya belajar instrumen pertama saya, drum, saat berumur 14 tahun karena waktu saya pikir seru rasanya menggebuk sesuatu. Tapi saat umur 16 tahun saya tertarik belajar gitar akustik setelah menyaksikan live recording Jason Mraz di Chicago dan sejak itu tidak pernah meninggalkan instrumen kesayangan saya ini.

Apa saja influensmu dalam bermusik?

Saya menyukai banyak jenis musik, mulai dari Childish Gambino, Ben Howard, dan Mac DeMarco. Saya tidak merasa terinfluens oleh style atau genre musik yang spesifik tapi lebih ke konten karya itu sendiri. Jika karya yang mereka bawakan terasa relevan dan jujur, hal itu akan menjadi inspirasi bagi saya.

Kamu menghabiskan masa kecil dan remaja di New Zealand, bagaimana hal itu memengaruhi musikmu?

Saya rasa gaya penulisan dan mellow feel dalam musik saya memang terpengaruh dari gaya hidup yang santai selama saya tinggal di New Zealand selama 10 tahun. Hal itu juga yang membuat saya menulis pure dalam bahasa Inggris meskipun saya orang asli Thailand. Saya hanya merasa lebih nyaman dan ekspresif saat menulis dalam bahasa Inggris.

Musik seperti apa yang kamu dengarkan saat beranjak remaja?

Saya ingat CD pertama yang saya beli dengan uang saku saya sendiri adalah Elvis’ Greatest Hits. Bukan karena saya menyukai 50’s rock and roll, tapi karena saya ingin mengetahui kenapa lagu-lagu Elvis bisa begitu ikonis dan memorable bahkan sampai hari ini. I wasn’t disappointed. Selebihnya, koleksi musik saya terdiri dari musik pop akhir 2000-an dan album yang lebih alternative seperti Young the Giant dan Two Door Cinema Club saat saya mulai fokus ke arah yang lebih alternative.

Bagaimana kamu mendeskripsikan genremu sendiri?

Genre saya secara garis besar masuk ke ranah indie/alternative folk yang terdengar jelas dari bunyi akustik dan strumming pattern. Tapi, saya tidak membatasi diri dengan bercokol di struktur folk saja. Saya merasa jika kamu hanya mengidentifikasi dirimu dengan satu genre, kamu akan membatasi diri sendiri dan eksplorasi musik yang bisa kamu buat dan akhirnya akan menghambat perkembangan dirimu sebagai musisi.

Salah satu single pertama kamu adalah “Adore”, apa cerita di baliknya?

Saya ingat pertama kali menulis chord untuk lagu “Adore” saat tahun terakhir SMA saya di tahun 2013. Lagu ini agak bittersweet karena waktu itu saya sadar akan meninggalkan New Zealand dan teman-teman masa kecil saya untuk kuliah di Thailand. To be honest, baru di akhir 2014 saya melanjutkan menulis lagu ini dengan inspirasi dari sebuah summer romance. Lagu ini menjadi lagu yang agak romantis yang saya interpretasikan sebagai lagu perpisahan sekaligus lagu untuk memulai satu hal yang baru. Saya menulis lagu semuanya dari pengalaman personal karena kalau tidak saya merasa cuma pura-pura bercerita tentang hal yang saya tidak paham.

Bagaimana kamu melihat perkembangan skena musik di Thailand?

Saya merasa skena musik Thailand telah berkembang pesat. Saya merasa publik sudah bisa lebih menerima musik yang agak asing, seperti yang saya mainkan. Selain 80’s synthpop yang sedang menjamur dan mendominasi chart, banyak genre lain yang muncul dari skena alternative. Mulai dari sweet folky tunes milik Jenny and the Scallywags sampai tasteful rock riffs dari De Flamingo. Thailand punya banyak musisi keren yang siap diulik dan saya excited untuk menjadi bagian dari musisi generasi baru ini.

Kamu punya alamat email yang lucu dengan referensi dari Lion King, jika kamu bisa membuat soundtrack untuk film Disney, apa yang akan kamu pilih?

Oh wow, that would definitely be a dream comes true. Pilihan yang sulit antara Mulan atau film seperti The Incredibles karena keduanya punya tempat spesial di hati saya. Tidak ada alasan yang khusus untuk keduanya karena saya hanya true die-hard fan Disney yang tergila-gila dengan keluarga superhero dan pahlawan perempuan.

Apa yang biasanya kamu lakukan saat tidak bermusik?

Saya sering menonton film dan bisa bilang kalau passion saya pada film hampir sama besarnya dengan musik. Film adalah bentuk seni yang bisa memikat atau mengejutkanmu, butuh kesabaran dan pemahaman lebih untuk benar-benar menangkap pesan yang ingin disampaikan pembuat film dan buat saya itu keren. Hobi saya lain yang tidak banyak orang tahu adalah belanja pakaian bekas. Menelusuri lorong demi lorong hal-hal yang dianggap ‘sampah’ bagi orang lain untuk mencari suatu barang yang sesuai gaya saya memberikan kepuasan yang sama seperti ketika saya tidur nyenyak setelah hari yang melelahkan.

Apa gig paling memorable yang pernah kamu lakukan?

Salah satu momen favorit saya adalah gig yang sangat kecil di sebuah bar bernama Grease. Saya ingat saat itu tidak banyak orang yang datang, tapi mereka yang datang adalah orang-orang yang memang benar-benar ingin mendengarkan musik saya. Saya masih ingat weekend itu dengan jelas karena momen itu juga merupakan salah satu pengalaman tough di mana saya digembleng dengan kekecewaan dan patah hati. Di kondisi paling vulnerable, saya merasa tidak punya filter saat tampil. Saya merasa begitu mentah dan jujur sebagai musisi yang membawakan setiap lirik dengan emosi dan memori di baliknya. It overwhelmed me in the best possible way ever.

Punya gig atau kolaborasi impian?

Gig impian saya adalah tampil di festival mancanegara seperti Coachella atau Glastonbury sebagai musisi dunia. Bukan berarti orang yang tergila-gila popularitas tapi lebih sebagai musisi yang karyanya dapat diapresiasi oleh orang dari mana saja. Itu mimpi yang ingin saya raih sejak saya memulai karier sebagai musisi. Kalau kolaborasi impian, mungkin sesuatu yang keluar dari zona nyaman saya, seperti menyanyikan chorus untuk sebuah lagu gangster rap atau electronic misalnya.

On The Records: Mallaka

In this era of internet famous, anonimitas adalah hal yang romantis. Setidaknya itu yang saya rasakan saat mendengarkan musik Mallaka, sebuah proyek solo dari singer-songwriter yang konon bernama Aksop Aryaduit (not his real name, I presume). Entah sengaja atau tidak, informasi soal dirinya memang sangat minim, baik foto maupun biografi. Clue lain tentang dirinya saya dapat dari halaman Bandcamp milik Barokah Records (Jatinangor-based netlabel) yang merilis debut EP Mallaka pada tanggal 11 April 2015 silam. Dalam liner note EP berisi 4 lagu itu, Barokah Records menyebut bahwa Mallaka adalah Poska Ariadana, mahasiswa Indonesia di Beppu, Jepang yang menggubah lagu lo-fi ambient berbasis gitar dari puisi-puisi karyanya sendiri.

Terlepas dari anonimitas yang ia pilih dan pengakuan bahwa ia baru pernah tampil live sekali dalam acara peluncuran buku temannya, itu bukan alasan untuk tidak mengapresiasi musiknya. “Saya bermain musik dari SMP. Karena dulu saya pikir musik adalah hal yang cukup aneh—orang-orang berkumpul di sebuah ruangan untuk menonton orang lain memainkan bongkahan kayu yang terpasang senar,” cetusnya dalam email interview ini. Mendengarkan lagu-lagu seperti “Aku Akan Pulang Cepat Malam Ini”, “Sebelum Kau Tidur”, “Gipsy”, atau “Nanti” (dengan sisipan cover “Melati Suci” karya Guruh Soekarnoputra) yang mengajak kita melamun dalam lirik melankolis nan kontemplatif yang dijodohkan dengan petikan gitar lo-fi bernuansa dreamy dan haunting, semua lagu yang ia racik memang terdengar seperti rekaman intim seorang secret admirer yang romantis dan obsesif di saat yang sama. Begitupun saat menikmati “Foto-Foto Yang Kuambil Saat Merindukanmu”, lagu instrumental sepanjang hampir 5 menit yang terinspirasi dari film Tempting Heart karya Sylvia Chang.

 Menyebut musiknya sebagai Pop Kejawen, Aksop yang mengidolakan musisi Jeff Buckley, John Frusciante, dan Tom Waits juga pernah merendisi lagu anak-anak “Balonku” menjadi lagu sentimental berjudul “Wheresoever She was, There was Eden Part 1”. Untuk sekarang, mungkin kita memang baru bisa menikmati musiknya lewat SoundCloud, namun dengan segala potensi yang ia punya, we hope to see and hear more about him.

Debut EP
Mallaka debut EP (Barokah Records, 2015).

Hi Aksop, apa kabar? First thing first, apakah Aksop Aryaduit adalah nama asli atau hanya alias?

Halo! Kabar baik. Akhir-akhir ini sedang mencoba memahami Masha and The Bear tanpa subtitle. Saat ini tinggal di Jakarta dan belum bisa menyetir. Iya, itu nama asli yang diubah-ubah sedikit.

Apa cerita di balik nama Mallaka yang kamu gunakan untuk proyek ini?

Karena suka saja sama bunyinya dan biar tidak Java-centric juga. Dan ada seorang kenalan yang bilang (seingat saya ya) kalau sejarah Islam di Indonesia sangat terpengaruh Melaka—namun banyak dilupakan di sejarah tertulis Indonesia. Lalu belakangan, ada seseorang yang cukup penting bagi saya yang pernah ke Melaka, bilang bahwa di sana ada aura-aura nostalgic yang agak angker a la Peranakan-Tionghoa-Melayu (mungkin feeling-nya mirip seperti Semarang?). Dan saya selalu suka corak-corak Peranakan-Tionghoa-Melayu, entah kenapa.

Apakah memang dari awal kamu ingin anonimitas tetap menjadi bagian dari musikmu?

Tidak juga, cuma agak malu-malu saja.

Boleh cerita soal lagu “Wheresoever She was, There was Eden Part 1”?

Itu karena habis baca The Diary of Adam and Eve karyanya Mark Twain dan saya pikir daripada sekadar share soal bukunya begitu saja di social media, mungkin bisa juga nge-share lewat bentuk lagu.

Ada rencana merilis album atau single secara proper?

Kalau sudah ketemu orang yang mau jadi vokalis mungkin nanti akan dipikirkan!

Last, what’s your dream gig/collaboration/project?

Saya sangat berharap Pandu Priyanto, Arief Handoko, Anandya Kurniawan, dan Andrew Anggardhika untuk kembali ke Indonesia nanti dan bermusik di sini!

https://soundcloud.com/mallakapost

A Lucky Girl, An Interview With Fazerdaze

Bukan hanya para fans yang merasa beruntung dapat menyaksikan penampilan perdana Fazerdaze di Jakarta, sang penyanyi pun tak kalah sumringah.

Processed with VSCO with nc preset

Ada suatu hal yang saya rasakan setiap bertemu langsung dengan para musisi indie yang memulai karier mereka dari kamar tidur sebelum beralih ke panggung. Di video musik atau foto pers, mereka umumnya memancarkan aura effortlessly cool yang membuat mereka bersinar dan menjadi objek afeksi bagi anak-anak keren lainnya. Namun, ketika bertemu langsung, terlebih sebelum mereka tampil di atas panggung, umumnya mereka memiliki pembawaan yang approachable dan cenderung kikuk atau pemalu. In endearing way, tentu saja.

Begitu juga yang saya rasakan saat bertemu Amelia Murray atau yang lebih dikenal dengan nama Fazerdaze, beberapa jam sebelum gig perdananya di Jakarta yang berlangsung di Rossi Musik Fatmawati, tanggal 21 Oktober lalu dan dipromotori oleh Studiorama, Six Thirty Recordings, dan noisewhore.

Impresi pertama saya, gadis berusia 24 tahun ini bahkan terlihat lebih stunning in real life dengan paras dan postur yang terlihat seperti model Jepang. Wajahnya bersih dari riasan dan memang agak terlihat lelah akibat jadwal tur padat yang telah berlangsung sekitar 6 minggu di mana ia telah tampil di Eropa, Jepang, dan Asia Tenggara, tapi dengan ramah ia menunjukkan senyum semanis gula saat berkenalan dengan saya.

Saya bisa menangkap rasa canggung dalam gestur tubuh dan caranya menjawab pertanyaan di awal interview one on one kami. Untungnya, tak butuh waktu lama sebelum pembicaraan kami menjadi lebih cair dan relaks, khususnya ketika berbicara soal musik. “Lumayan nervous sebetulnya, karena gig Jakarta ini menjadi gig dengan penjualan tiket paling cepat habis dalam tur kali ini. Saya nervous karena saya ingin tampil sebaik mungkin agar penonton bisa menikmatinya dan tidak merasa rugi telah menghabiskan waktu, energi, dan uang mereka untuk menonton saya di atas panggung,” ungkapnya dalam bahasa Inggris beraksen Selandia Baru.

Memulai karier musiknya sebagai bedroom musician. Amelia mengaku masih sering takjub kalau melihat banyak orang datang ke show-nya dan bahkan ikut menyanyikan lirik yang ia tulis di kamar tidurnya di Auckland, Selandia Baru. Begitupun saat ia melihat animo fans Indonesia yang tinggi untuk konsernya. Tiket yang dibanderol seharga Rp250.000 habis terjual dalam waktu dua hari dan meskipun waktu itu jam masih menunjukkan pukul 4 sore yang artinya masih beberapa jam lagi sebelum venue dibuka dan dimulai dengan penampilan dua band lokal, Sharesprings dan Grrrl Gang, sebagai opening act, beberapa fans sudah hadir dan sabar menunggu di sekitar Rossi.

Selain musik dan (let’s be honest here) fisik yang dengan mudah membuat jatuh hati, saya merasa ada daya tarik lain yang membuatnya diterima dengan tangan terbuka oleh orang Indonesia. Yaitu? Trivia jika Amelia masih memiliki darah Indonesia dalam tubuhnya yang sadar atau tidak membangkitkan optimisme Good News From Indonesia bagi pecinta musik lokal. Meskipun pada faktanya, Amelia tidak pernah tinggal di Indonesia. Kedatangannya ke Jakarta kali ini memang bukan untuk pertama kali, karena ia masih punya keluarga dari pihak ibu yang tinggal di sini, namun ia adalah gadis Selandia Baru sejati.

IMG_20171021_154933

“Saya kangen minum kopi Selandia Baru,” jawabnya tentang hal yang paling ia rindukan setelah sekian lama menghabiskan waktu di jalan. “Selandia Baru punya kopi-kopi yang enak. Saya juga kangen tidur di kamar saya sendiri. Tapi yang paling saya rindukan adalah pacar saya, haha!” tandasnya.

Dengan inspirasi musik yang umumnya berasal dari tahun 90-an seperti Pixies, Smashing Pumpkins, Slowdives, dan Mazzy Star, debut LP Fazerdaze yang bertajuk Morningside dirilis tahun ini dengan respons positif untuk nuansa dreampop bercampur shoegaze yang dibangun oleh gitar catchy dan vokalnya yang ringan. “Nama Fazerdaze sendiri sebetulnya tidak punya arti apa-apa. Waktu saya mencari nama alias untuk proyek ini, saya menuliskan beberapa calon nama di atas kertas dan ketika terlintas nama Fazerdaze saya langsung berpikir ‘This is it. That’s the name’,” ujarnya. “Saya suka bagaimana Fazerdaze dilafalkan dan ditulis, it just feels right.”

Instrumen pertama yang ia pelajari adalah piano saat kecil, namun ia tak menyukainya dan baru ketika belajar main gitar ia mulai membuat musiknya sendiri. “Saya tidak ingat lagu pertama yang saya mainkan dengan gitar, antara ‘Daniel’ dari Elton John, Bic Runga yang ‘Drive’, atau Foo Fighters yang ‘Times Like These’” kenangnya. Tiga pilihan lagu yang sangat berbeda satu sama lain sebetulnya dan sama beragamnya dengan musik yang ada di playlist-nya. “Belakangan ini saya lagi mendengarkan King Krule, Frank Ocean, dan The Smiths. Sebelumnya saya tidak pernah benar-benar mendengarkan The Smiths, baru akhir-akhir saja saya mulai serius mengulik musik mereka.”

Diversitas dalam selera musik tersebut menurutnya turut dipengaruhi dari skena musik di sekitarnya, khususnya di Wellington di mana ia menghabiskan masa kecilnya, dan Auckland di mana ia menulis materi untuk album debutnya. “Dibandingkan skena musik Australia, skena musik di Selandia Baru mungkin lebih kecil, tapi juga tak kalah berkembang dan keren. Skenanya lebih ke alternative underground di mana orang dengan bebas membuat musik, entah itu di band, menjadi bedroom producer, atau DJ,” paparnya.

Saya melontarkan nama Yumi Zouma, band dream pop yang juga berasal dari Selandia Baru, dan bertanya apakah dream pop memang komoditas musik asal negara Kiwi tersebut. Dengan sumringah Amelia mengungkapkan kecintaannya pada rekan satu genrenya tersebut, namun ia tak lupa menambahkan jika Selandia Baru juga memiliki musisi folk yang patut disimak seperti Aldous Harding, Tiny Ruins, dan Nadia Reid.

Kesuksesan Morningside yang berisi 10 lagu dan merupakan kelanjutan dari self-titled EP berisi 6 lagu di tahun 2014 tak lepas dari single utama “Lucky Girl” dengan video yang ia sunting sendiri. Sepintas musik dan video lagu ini terasa innocent lewat irama hangat super catchy dan singalong chorus di mana ia mendeklarasikan dirinya adalah “a lucky girl” berulang kali dengan sajian visual yang tak kalah vibrant. Namun, jika jeli mendengar dan melihat, kamu akan sadar jika lagu ini menyimpan pesan tersembunyi yang melankolis dan penuh rasa cemas.

“Saya menulis lagu itu setelah baru saja melewati masa yang sulit dan depresif. Saya menyelesaikan lagu itu dengan sekali duduk. Lagu ini adalah cara saya untuk move on dan mensyukuri hal-hal yang saya punya,” jelasnya tentang lagu tersebut. “Untuk videonya, saya ingin mengangkat tema-tema seperti taking things for granted dan self-sabotage lewat adegan yang menggambarkan emosi destruktif. Hal itu memang saya sengaja agar terasa kontras dengan liriknya yang bilang kalau saya adalah cewek yang beruntung. Saya ingin orang menyadari ada kesedihan dan kegelapan di balik musik pop yang ringan.”

“Lucky Girl” juga yang kerap menjadi lagu pamungkas dengan koor paling meriah dalam setiap konser Fazerdaze sejauh ini. Menyoal tampil live, apakah Amelia dan band pengiringnya punya ritual sebelum naik ke panggung? “Kami biasanya suka mengoper benda seperti bola untuk membangun koneksi lalu kami biasanya melakukan salaman, which is really lame, haha!” jawabnya sambil tertawa.

Melihat jumlah penggemar yang terus bertambah, rasanya tak akan ada yang menganggap Fazerdaze sebagai band yang lame. Respons positif atas musiknya pun telah membuahkan banyak pengalaman menarik bagi Amelia seperti bertemu dengan salah satu role model-nya, Bjӧrk, saat ia mengikuti Red Bull Music Academy di Kanada tahun lalu, atau ketika ia bertemu dengan Ansel Elgort. “Saya sempat bertemu dengannya bersama beberapa kru film. Saya tak yakin ia mendengarkan musik saya, tapi sutradaranya menyukai album saya, hehe.”

Dalam show Jakarta kali ini, ia dan band pengiringnya sukses tampil gemilang membawakan 13 lagu plus satu lagu encore tanpa mengindahkan kondisi venue yang malam itu terasa begitu panas karena banyaknya penonton. Setelah Jakarta, ia akan pulang sejenak ke Selandia Baru sebelum melanjutkan tur ke Amerika Utara. Ia mengaku senang dapat kembali pulang dan berharap bisa segera punya waktu untuk membuat materi baru. Ia juga tak lupa mengungkapkan harapan untuk dapat kembali mengunjungi Jakarta di tahun depan.

Menutup interview ini, saya pun memintanya memberikan sedikit saran bagi mereka, terutama cewek-cewek muda, yang juga ingin terjun ke dunia musik seperti dirinya. “Yang penting berani untuk mencoba,” pesannya. “Tidak ada yang benar atau salah dalam bermusik, yang penting adalah berani memulai dan tetap bekerja keras,” simpulnya dengan, lagi-lagi, senyuman manis.

Processed with VSCO with oak1 preset

 

Mixtape: Ffion Williams

 

As a popular destination for international musicians to hold concert when they hit around Asia and the burgeoning local music scene, it’s kind of no wonder that Singaporean artists getting more and more recognition. One of the latest names to catch my attention is Ffion, a 20 years old Welsh singer-songwriter who has been live and launch her musical career in the Straits. Mixing her soulful voice with downtempo electronic and R&B flair, she debuted with single called “With U” (produced by GROSSE) and “Over”. With the upcoming EP set to be released, recently she’s back with latest single “I Miss U” which sounds quirky and melancholic at the same time, just like the songstress herself. Here, Ffion give us introduction about herself and her 10 favorite songs. (Photography by Amanda Lim)

 Ffion1 (Credit Amanda Lim)

Hi Ffion, please tell me a little about yourself and your music.

Heya! I’m a 20-year-old singer that loves to make music that is spiked with electronic pop and modern R&B music.

First of all, I’m a sucker for pretty names and I really love your name! I read on web it means Foxglove and it is on top 15 of popular names in Wales, so what do you feel about it?

Aww thank you!! Yeah it’s a really popular name in Wales, I think I had 5 other girls in my kindergarten class with the same name. But I still get people ask me if Ffion is really my name or something I made up, people also tend to misspell it or pronounce it weird ways but it’s all good!

When did you first discover music and what really prompted you to make your own music?

My love for music started when I was around eleven years old after watching Phantom of the Opera for the first time. After watching it I was so set on going into Musical Theatre… Until I tried it and figured I wasn’t into the acting bit of it. But my teachers and friends have always been super supportive when it came to music!

Do you come from creative/musical family? Where did you grew up and what kind of records you listen to back then?

Weirdly enough, I come from a family of doctors, so I’m kinda like the black sheep of the family. I moved to Singapore when I was 3 and moved to Cambridge for 6 months when I was 5. I remember really enjoying the music that was out at the time in England, like Steps and S Club 7 also Britney of course!

Who are the early influences of your work?

I’d have to say Amy Winehouse and then Adele. When I heard James Blake for the first time, that’s when I knew I wanted to get into Electronic Music and I guess that slowly fused with R&B to create what we have today.

Tell us about your latest single, “I Miss U”, what’s the story behind it?

It’s basically a second part to my previous single “Over”, it was written a year after the breakup. I felt like this guy still had so much control over my emotions and my mind was constantly just drifting back to him. So by writing this song, I felt like I got a lot of closure and was able to move on.

Where do you tend to do most of your song writing?

I normally just hold it all in until I get into the studio, I love writing a song that is super in the moment, it feels more authentic that way.

How do you get the creative juice flowing if you’re feeling stuck?

I think travelling really helps or talking to other people about it, that tends to get my mind running!

What do you love the most about Singapore and where are your favourite places?

I love the dramatic rain/thunderstorms we get here and I would have to say my bed is my favourite place in Singapore. (hehe just kidding). But on a more serious note, there’s this coffee shop near my place and they sell the most bomb butter chicken set!

Recently, Singaporean acts getting more and more exposure, do you have favourite Singaporean musicians you would like to collab with?

I think it would be really cool to do a collaboration with a band like Disco Hue or The Summer State, I think it’s important to get out of your comfort zone, so stepping out of a genre that I’m comfortable with sounds like a fun challenge. I would love to collaborate with VVYND from Indonesia as well, his music is sick.

What does the rest of the year have in store for you?

I definitely wanna finish my degree and move on to writing more music. Also releasing my EP and possibly playing some shows overseas!

Last, please pick 10 of your favourite songs along with short explanations for each of them.

 

Bruno Mars – “Easily”

His music is like the perfect music for commuting and staring out of windows.

James Blake – “I Need A Forest Fire”

I’ve been obsessed with this guy since I was 15/16 and hearing how his music has evolved over the years has definitely shaped my thought process when it comes to making music.

Rihanna – “Bitch Better Have My Money”

This is the ultimate pump up song. I like to play this when I’m getting ready in the morning and I know there is something important to be done that day.

Tom Misch – “Watch Me Dance”

This artist is a new discovery for me; I’m super into his vibe and would love to make music like this sometime!

Lighthouse Family – “High”

This song makes me super nostalgic, just major #tb vibes in general.

The 1975 – “Somebody Else”

I was never really into the 1975 but after hearing this I’ve totally catching up on their music. Great songwriting.

Raye – “Shhh”

Another really great pump up song, I love how different this song is yet still so relevant. Definitely an artist to lookout for!

Justin Bieber – “Change Me”

Who can resist the Biebs? Not me that’s for sure 😛

Lapsley – “Hurt Me”

This song for me is the perfect song for when I’m feeling kinda angsty.

Ady Suleiman – “Need Somebody To Love”

This guy has the sickest vocal chops and songwriting skills plus his style is super unique. All his songs hit the mark and I usually have his music on repeat especially in the summer.

 

Mixtape: Laurel Arnell-Cullen

Hailed from Southampton, 22-year-old Laurel Arnell-Cullen is a Welsh-British chamber pop and indie musician whose career started from her bedroom studio in London. Following the long tradition of British female singer-songwriter who turns the vulnerability and emotion into something that sounds powerful and honest, Laurel’s sophisticated and sultry vocals, melancholy melodies, and lovelorn lyrics are reminiscent of awkward adolescence and first loves. Here, Laurel talk about her songwriting process and sharing her 10 favorite songs.

 tumblr_mwpd12ucFE1t0dx5qo1_500

Hi Laurel, how are you? Where you are right now and what are you doing before answering this email?

I’m at my home in London making my first ever vegetarian curry to the sounds of my boyfriend playing Call of Duty. Standard Monday. Before this I was finishing off my next single in my home studio.

What really prompted you to start making your own music and what are the early influences for you?

I just always wanted to do it really, I don’t remember why but since I was a child it’s all I’ve really wanted to do. Hearing the first Laura Marling album was something that inspired me on to get a guitar and start writing folk music and then from there every moment has just been me evolving into the Laurel I am now.

Which came first for you: the lyric or the arrangement? 

The chords come first and then the vocal melody which all happens pretty fast and then I spend hours and hours trying to figure out what I am trying to write about and fit the lyrics to the melody I’ve written.

Your music has been described as alt-pop, do you agree with it or you have your own description about it?

Yeah I guess so, I would find it quite hard to distinguish my sound as a genre to be honest, and as I think most musicians would. I think I hear it in a different way to other people.

Do you remember your very first gig? How was it? Do you still feel nervous before performing?

Yes it was in Southampton. I was 14 and I had to sell 20 tickets else I wouldn’t get another gig and the promoter said he would tell other promoters not to book you! It’s a harsh world the up and coming music scene haha. I was so nervous though, I have sound on stage since I was a kid in school and stuff but singing your own songs to people is something totally different, not only are you getting judged on your performance but also your songs which are basically heart felt diary entries. 

 

What’s been career highlight so far?

I reckon just right now is a highlight, every day getting to wake up do whatever I want and make music if I feel like it. That’s my biggest achievement and I’m pretty happy with that. This is my dream way of living.

 

I heard you’re going to have new single, would you mind to tell us a bit about it?

I wrote it when I was really angry. It was such a quick one, I had to go play a gig that evening and I had half an hour before I had to leave but I just had this song in me that I needed to get out. I can’t really say much more than that as I don’t want to give too much away.

What about full album? I bet everyone’s been asking for it, do you feel some pressure or you just ignore it and go with your own flow?

I’m just going on my own time really but of course I want my album out as much as anyone else does. It’s just a lot of work I think people underestimate how much time and energy goes into something like that! It’s very close to being done though and I’m really proud of it so far so I can’t wait for people to hear it this year.

What’s your plan for the rest of 2017?

I have a bunch of tour dates all over the place. Gonna try and get over to America at some point too. The album is going to come out too so it’s going to be a pretty hectic one. I feel like it’s already going by too fast.

Last, please pick your 10 favorite songs and short description for each of them. 

Mac DeMarco – “Only You” 

This song speaks to me quite a lot, most of his songs do.

 

Talking Heads – “This Must Be the Place” 

This is my favorite song in the world.

 

Laura Marling – “New Romantic” 

This is the song that inspired me to get a guitar and start writing properly.

 

Kita Alexander – “Like You Want To” 

It’s rare I like anything this poppy but I am obsessed with this girl she’s amazing.

Tyler, The Creator – “IFHY” 

The lyrics in this song are just incredible.

Yppah – “Never Mess With Sunday” 

This song just has all round good vibes.

Girl Band – “Paul” 

Love the punky vibe of this.

Idles – “Divide and Conquer” 

Played just before this band at a gig the other day, they where one of the best live acts I’ve seen in a while. So much energy on stage.

Virgin Kids – “My Alone”

Saw these guys last gig the other day at the Shaklewell in London, also such a great gig everyone was so involved.

Beach House – “Silver Soul” 

This is one of my favorite songs! It just makes me feel kinda funny.

 

On The Records: Gentle Bones

Di umur yang baru menginjak 22 tahun, singer-songwriter Joel Tan yang bermusik dengan nama alias Gentle Bones telah meraih banyak pencapaian yang mengundang decak kagum, terutama dari negara asalnya, Singapura. Pertama kali muncul di usia 16 tahun dengan mengunggah lagu cover di kanal YouTube miliknya, Joel dengan cepat menarik perhatian publik dan tampil di berbagai festival musik besar di Singapura, termasuk SEA Games 2014, tahun yang sama ketika ia merilis self-titled debut EP dengan single balada akustik seperti “Until We Die”, “Save Me”, dan “Elusive” yang merajai iTunes chart dan membuatnya menjadi artis lokal pertama yang dikontrak oleh Universal Music Singapura.

Seiring kepopuleran yang terus melambung, tawaran tampil di luar Singapura pun terus berdatangan, termasuk dari Indonesia pada bulan September lalu . Sayangnya, pengalamannya tampil di Indonesia yang menjadi tur luar negeri pertamanya membuahkan pengalaman yang tidak menyenangkan. Bersama dengan singer-songwriter asal Amerika Kina Grannis, 12 musisi dan kru lainnya, Joel tersangkut masalah dengan pihak Imigrasi Indonesia karena kesalahan pihak promotor yang gagal mendapatkan izin tampil. Paspor mereka ditahan dan mereka tidak boleh meninggalkan Jakarta selama 99 hari, membuatnya terpaksa membatalkan konser regional di Hong Kong, Kuala Lumpur, Manila, dan melewatkan satu semester kuliahnya di sekolah bisnis Nanyang Technological University. “It definitely did not leave a sour note and I’d love to come back again!” akunya tentang pengalaman buruk itu.

            Walaupun kejadian itu bisa dibilang menghambat kariernya yang tengah melaju kencang, namun sekembalinya ke Singapura, he is even stronger than before. Dia merilis album mini kedua dengan judul Geniuses and Thieves yang disusul oleh konser solo perdananya selama dua malam di Esplanade Concert Hall pada tanggal 10 & 11 Juni lalu. Tiket sebanyak 1.500 untuk hari pertama show habis terjual dalam waktu kurang 10 hari. Menambahkan influens musik electronic dan R&B yang lebih kental, album dengan single “Run Tell Daddy” dan “Geniuses and Thieves” tersebut menjadikannya artis Singapura pertama yang memenangkan Super Nova Award di Hong Kong Asian-Pop Music Festival tahun ini dan membuat namanya masuk dalam daftar 30 orang di bawah usia 30 tahun yang paling berpengaruh di bidang entertainment and sport Asia versi majalah Forbes. Stay humble and true to his roots, Joel pun membisikkan perasaannya atas segala hal yang terjadi setahun terakhir ini: “Saya tidak akan mengubah apapun dan bersyukur atas semua kejadian baik maupun buruk yang telah terjadi karena berkat semua pengalaman itu lah saya bisa ada di titik ini sekarang.” Now, that’s the spirit.

gentle-bones-2

How It Started

“Saya berumur 16 tahun ketika pertama kali belajar memainkan gitar akustik dan mengumpulkan keberanian untuk bernyanyi. Ketika saya mulai sering melakukan live performance, saya menyadari jika saya ingin memainkan materi buatan saya sendiri dibanding menyanyikan lagu cover. That’s when my love for song-writing began.”

Behind The Name

“Saat menulis lagu pertama saya, saya langsung ingin mengunggahnya ketika selesai. Karena nama asli saya cukup pasaran di Singapura, saya ingin nama alias yang terdengar stand out. Saya memilih nama Gentle Bones ketika berumur 17 tahun dan menempel sampai sekarang.”

Influences

“Ed Sheeran membuat saya jatuh cinta pada seni menulis lagu dan membangun fondasi awal bagi album pertama saya. Saya selalu menyukai musik R&B dan tumbuh besar mendengarkan Michael Jackson dan Backstreet Boys. Semakin dewasa saya jatuh cinta pada hip-hop dan alternative R&B dan memutuskan untuk mengambil risiko dengan bereksperimen di ranah electronic yang terdengar berbeda dari album debut saya. Akar dari semua ini adalah pikiran saya jika menulis lagu sebetulnya bisa dilakukan tanpa terikat genre walapun banyak yang menganggap genre sebagai identitas. Hal itu yang juga mempengaruhi judul album terbaru saya.”

Record Collection

“Saya mengoleksi banyak album ketika berumur 8-14 tahun. Band seperti Good Charlotte sangat mempengaruhi saya dalam memandang musik dan mengajari saya serunya memadukan banyak genre. Ketika masih kecil, saya adalah penggemar boyband 90-an dan terobsesi pada Michael Jackson.”

Listen This

EP Geniuses and Thieves saya kerjakan selama hampir satu setengah tahun. Saya lebih percaya pada kualitas dibanding kuantitas dan menghabiskan bulan demi bulan menulis dan memilih 5 lagu terbaik yang akan dimasukkan ke album ini. Saya ingin Gentle Bones bisa bebas dari belenggu genre dan klasifikasi dan lebih bebas menulis lagu-lagu menyenangkan untuk dinikmati orang. ‘Run Tell Daddy’ adalah lagu tentang hambatan yang saya hadapi dalam perjalanan musikal saya dan saya ingin EP kedua ini menggambarkan strong return saya ke dunia musik.”

Best Gig

Solo show at Esplanade was incredibly surreal. Konser dua malam itu adalah validasi dari semua usaha yang telah saya curahkan di Gentle Bones dan mendengar penonton ikut menyanyikan lagu-lagu yang awalnya hanya terdengar di kamar tidur saya adalah absolute blessing.”

Favorite Past Time

“Saya terobsesi dengan segala bentuk media dan menghabiskan waktu untuk memikirkan konsep video musik saya, designing collateral for my music and songwriting and directing for others.”

Sweet Dreams

“Saya berharap bisa tampil di banyak show penting di segala penjuru dunia. Di saat yang sama saya ingin melakukan semuanya one step at a time.”

Hometown Glory

“Skena musik di Singapura sangat eklektik dan tumbuh dengan pesat, and it’s up to the rest of the region to catch on! Disco Hue, Sam Rui, Linying, Forests adalah musisi-musisi lokal favorit saya sekarang ini, do check ‘em out!”

Anticipation

“Saya sendiri belum terlalu yakin apa yang akan saya lakukan selanjutnya! Saya sangat bersyukur atas apa yang telah terjadi dan yang ingin terus saya lakukan adalah berusaha agar musik saya bisa mencapai pendengar sebanyak mungkin.”

gentle-bones-3

http://gentlebones.com/

The Magic Hour, An Interview With Kimbra

Kimbra1

Dengan eksplorasi musikal tanpa batas, performance eksplosif, dan segala keunikan yang melekat dalam dirinya,Kimbra membuktikan jika ia bukan sekadar “somebody that you used to know”. She’s here to stay with guts and a whole heap more

Hanya sehari menjelang keberangkatan saya ke Bali untuk Sunny Side Up Festival di awal Agustus lalu, tersiar kabar jika Gunung Raung kembali memuntahkan abu vulkanik and there’s big chance jika jadwal penerbangan ke Denpasar akan sangat kacau. Ada ketakutan jika banyak para performer yang terpaksa membatalkan penampilan mereka dan memilih langsung terbang ke Jakarta untuk We The Fest yang juga diselenggarakan oleh Ismaya Live. Saya sendiri akhirnya memilih stay di Jakarta sekaligus dengan berat hati membatalkan exclusive interview dengan salah satu performer utama di festival itu, Kimbra Lee Johnson, singer-songwriter asal Selandia Baru atau yang lebih dikenal dengan nama depannya saja. It turns out, penyanyi berumur 25 tahun yang terkenal dengan single “Settle Down” dan duetnya bersama Gotye di lagu “Somebody That I Used to Know” ini memiliki nyali serta dedikasi yang lebih besar dari saya. Tak mau mengecewakan penggemarnya, dia tetap terbang dari Australia walaupun harus detour ke Surabaya lebih dahulu untuk mencapai Bali dan berdasarkan reaksi yang saya baca di social media, sukses tampil gemilang di festival yang berlangsung di Potato Head Beach Club tersebut. Lucky for me, Kimbra bersedia untuk menjadwalkan ulang interview dan photoshoot bersama NYLON Indonesia di Jakarta, tepatnya Minggu, tanggal 9 Agustus lalu di hari yang sama dengan digelarnya WTF di Parkir Timur Senayan.

Saat saya dan tim tiba sekitar jam 10 pagi di hotel tempatnya menginap, sang tour manager menginformasikan jika Kimbra masih butuh beberapa saat untuk bersiap dan mengingatkan jika dirinya mungkin masih agak lelah. Well, tiba di Jakarta untuk langsung rehearsal setelah terjebak di bandara selama enam jam memang terdengar seperti resep jitu untuk mood yang jelek, terutama jika kamu telah menghabiskan banyak waktu di tur dan harus menghadapi jurnalis di Minggu pagi yang terik. Satu hal yang saya notice, Kimbra termasuk public figure yang sangat peduli akan detail. Dengan segala persiapan yang lumayan mendadak karena perubahan jadwal yang juga tiba-tiba, kami harus memberi tahu dengan jelas tentang konsep dan detail pemotretan yang akan kami lakukan, dari mulai wardrobe, make up, sampai lokasi yang setelah beberapa pertimbangan akhirnya disepakati untuk dilakukan di kamar hotelnya. Dia hanya mengizinkan fotografer dan stylist untuk naik terlebih dulu ke kamarnya dan setelah nyaris satu jam menunggu di lobi, akhirnya saya diperkenankan untuk masuk ke kamar hotelnya.

Jujur saja, saya sempat berpikir jika mungkin dia adalah tipikal artis yang banyak mau dan mungkin agak diva-ish, tapi semua prasangka tersebut langsung luruh ketika dengan ramah ia mengulurkan tangan sambil tersenyum lebar untuk memperkenalkan dirinya. Berambut hitam sebahu dengan poni, lipstick merah, dan winged eyeliner, wajahnya terlihat segar meskipun ia mengaku agak mengantuk. “Sebetulnya saya termasuk orang yang lebih suka bangun pagi,” ujarnya sambil menikmati potongan buah-buahan dan secangkir kopiyang menjadi breakfast-nya. “Saya tahu adalah hal yang tipikal bagi seorang musisi untuk tidur sampai siang, tapi saya berusaha bangun sekitar 9 pagi. Kalau sedang disiplin saya akan memulai hari dengan olahraga, tapi saat tur panjang seperti sekarang hal itu lumayan sulit. Jadi biasanya saya memulai hari dengan sarapan, menyalakan laptop untuk mengirim email dan hal-hal administratif lainnya. Dan ketika siang atau menjelang petang, baru lah saya menulis musik,” imbuhnya.

Meskipun sempat terjebak di bandara selama 6 jam karena abu vulkanik, Kimbra mengaku sangat antusias untuk penampilannya di Bali dan Jakarta. Bila kamu mengikuti akun Instagram miliknya, kamu mungkin sudah tahu jika salah satu hal yang membuatnya antusias datang ke Indonesia adalah musik gamelan. “Saya mengetahui soal gamelan saat saya di Montreal dari salah satu produser yang bekerjasama dengan saya, Damian Taylor, yang pernah bekerjasama dengan Björk untuk album Volta di mana Björk sangat terpesona oleh gamelan. Damian memberikan saya beberapa album gamelan Bali yang suka saya dengarkan sebelum tidur karena bunyinya yang sangat melodic dan soothing,” ungkapnya.

Honestly, ketertarikan Kimbra pada gamelan sama sekali bukan hal yang aneh, mengingat bagaimana ia terkenal karena warna musiknya yang eklektik. Secara umum, Kimbra membuat musik yang merupakan anagram dari berbagai genre. Dari mulai modern electropop, R&B, jazz, dan soul yang dengan mudah menari di antara balada kontemplatif hingga tubthumping anthem yang membakar stage. Rasanya, bunyi gamelan yang dreamy sekaligus perkusif tidak akan terasa aneh jika dimasukkan dalam album terbarunya, The Golden Echo yang dirilis Warner Bros setahun lalu.Inspirasi utama diThe Golden Echo banyak datang dari mitologi Yunani, khususnya cerita Narcissuss yang terpesona pada bayangannya sendiri. Dan album ini memang menampilkan banyak refleksi dari Kimbra, in term of music and mood. 12 lagu di dalam album ini dikerjakan olehnya di sebuah urban farm yang dipenuhi hewan ternak di daerah Los Angeles, sehari setelah ia memenangkan Grammy Award 2013 bersama Gotye untuk kategori Record of the Year dan Best Pop Duo/Group Performance yang membuatnya menjadi orang Selandia Baru ketiga yang pernah tercatat dalam sejarah Grammy.

Kini, setelah dua setengah tahun tinggal di L.A., merilis The Golden Echo, tur keliling dunia, dan critical acclaim sebagai solo singer-songwriter, Kimbra memutuskan pindah ke New York City, namun tampaknya fragmen masa lalu bertajuk “Somebody That I Used to Know” tersebut masih membayangi langkahnya. “Saya tiba-tiba mendengar lagu itu dimainkan di sebuah cafe ketika saya sedang di New York dan rasanya semua tiba-tiba kembali terlintas di depan mata saya, gosh, karena lagu itu sebetulnya sudah tidak terlalu sering diputar di radio lagi sekarang ini kan? Saya lantas tersadar jika semuanya terjadi dengan begitu cepat. Rasanya baru kemarin saya merekam lagu itu di studio rumah saya. It is such a nice song, more like a ballad, tapi saya tidak pernah berpikir jika lagu ini akan menjadi begitu fenomenal. Bagi saya, itulah beautiful mystery of music, ketika semua variabel terasa tepat, itu bisa terjadi pada siapapun, tapi tentu saja butuh kerja keras untuk sampai di titik itu. Gotye pun bukan penyanyi baru sebetulnya, dia telah memiliki tiga album. Tapi, it’s beautiful humbling realization jika pop hit song bukan sekadar sesuatu yang kamu formulasikan dalam kepala. Kadang hal itu bisa terjadi begitu saja, dan bagi saya, itulah yang membuat saya tetap percaya pada musik pop. Saya tidak mau percaya jika musik pop hanya sekadar sekumpulan orang di meja rapat yang memutuskan lagu apa yang akan menjadi nomor satu. Terkadang something just hit the right moment dan sebuah lagu begitu mendunia karena emosi di dalamnya terasakuat, that’s what I think about that song.”

Kimbra4

Tak bisa dipungkiri jika kebanyakan orang mungkin memang baru mengenal namanya berkat lagu duet tersebut. Namun sebetulnya, bahkan sebelum merilis album debutnya, Vows, di tahun 2011, Kimbra adalah natural-born musician dengan talenta mengagumkan. Lahir di Hamilton, Selandia Baru pada tanggal 27 Maret 1990, Kimbra berasal dari keluarga medical. Ayahnya adalah dokter dan ibunya adalah seorang perawat dengan koleksi rekaman The Beach Boys dan Frank Sinatra. “It’s always in my heart,” ujarnya soal musik. “Saya selalu menganggap musik adalah bahasa dan medium bagi saya untuk mengeluarkan emosi di dada saya,” imbuhnya. Mulai menulis lagu sejak umur 10 tahun, belajar gitar di umur 12, dan membuat video musik pertama di umur 14 untuk sebuah acara TV anak-anak, saat SMA ia bergabung dalam jazz choir sekolahnya dan berkompetisi dalam kompetisi musik nasional. Sebagai remaja, ia mencintai musik pop, tapi dia juga mendengarkan Björk, Nine Inch Nails, Mars Volta, dan Cornelius. Namun, saat ditanya siapa musisi yang membuatnya ingin serius bermusik, dengan tegas ia menyebut nama mendiang Amy Winehouse. “Hmm… Waktu itu saya sangat terinspirasi Amy Winehouse, karena walaupun dia penyanyi jazz, tapi dia punya influens hip-hop yang kental with those beat and toughness dan dia tidak takut untuk mengutarakan pendapatnya. Ketika saya mendengarkan album pertamanya, saya tersadar jika saya juga bisa membuat musik seperti itu, dengan melodi jazz tapi juga terdengar tough. Dan tentu saja saya juga menyukai musik-musik yang lebih keras seperti Soundgarden, Mars Volta karena walaupun mereka rock tapi juga sangat soulful. Saya banyak mendengarkan punk dan juga Jeff Buckley karena walaupun dia penyanyi rock tapi dia memiliki vokal jazz yang sangat kuat. Mereka dan penyanyi-penyanyi bernyali besar lainnya seperti Kate Bush yang menginspirasi musik saya. I don’t wanna be safe, I want to push the boundaries,” tegasnya.

The Golden Echo adalah usahanya untuk mendobrak batasan tersebut. Dibuka oleh lagu berjudul “Teen Heat”, paruh pertama album ini dipenuhi oleh racikan glorious beat yang exuberant dan catchy seperti “Miracle” dengan influens disco yang menjadi lagu pertamanya yang bertengger di Billboard dan single utama “90s Music”, sebuah ode untuk generasi 90-an yang unapologetically pop dan turut diproduseri Mark Foster dari Foster the People. “Ketika mendengar kata pop, saya membayangkan musik yang punya melodi catchy, musik yang bisa diterima baik oleh sembarang orang di jalan maupun seorang music student. Tapi saya juga merasa jika banyak musik pop yang quite unimaginative and uninteresting. Terkadang saya merasa sedih jika orang hanya memandang saya sebagai musisi pop, karena saya percaya jika pop justru adalah wadah di mana kamu bisa menggabungkan banyak ide dan genre. Ketika saya melihat Prince atau Michael Jackson misalnya, mereka memiliki musik yang menarik dan progresif, tapi masih terasa pop karena kamu bisa menyanyikan chorus-nya sambil mandi tapi ketika kamu mendengar bagian verse-nya, kamu akan seperti… ‘Wow!’, it’s crazy. Pop tidak seharusnya membosankan dan predictable, bagi saya musik pop justru harus punya kejutan dan menantangmu untuk mendengarkannya tidak hanya lewat telinga, tapi juga lewat hati dan pikiran. That’s what I’m passionate about.”

Sementara paruh kedua album ini diisi lagu-lagu yang lebih sentimental seperti “As You Are”, sebuah lagu balada dengan dentingan piano yang diakuinya merupakan lagu paling jujur dan personal dalam album ini. Ia tersenyum tipis ketika bercerita soal lagu itu, seakan luka emosi yang melatarbelakangi lagu itu belum benar-benar pulih. “Lagu itu adalah lagu yang sangat emosional, karena berdasarkan real situation dengan seseorang yang mematahkan hati saya,” paparnya, sebelum melanjutkan, “Lagu ini tentang vulnerability ketika kamu telah mengekspos dirimu kepada seseorang dengan begitu jujur dan apa adanya, literally as you are, dan sebagai seorang seniman, merupakan hal yang sakral untuk mengizinkan orang lain untuk masuk ke hatimu dan menjadi bagian hidupmu in an intimate way. Lagu ini tentang ketika hubungan tersebut kandas, ketika kita merasa tereksploitasi dan terluka. Ini adalah lagu yang paling berat yang saya tulis. But I’m already over it, semua orang pernah berada di titik itu, haha,” tuntasnya sambil tertawa kecil.

Kimbra3

Alih-alih terdengar seperti album bipolar, The Golden Echo untungnya lebih seperti sebuah cerita yang berkesinambungan di mana seperti hidup, there’s a lot of ups and downs dan Kimbra menyikapinya dengan aksi panggung yang setara, bahkan lebih dari ekspektasi. “Yang saya suka ketika tampil di panggung adalah bagaimana setiap momen terasa berbeda dan tidak bisa kamu ulangi lagi. Dan saya selalu berpikir bagaimana caranya agar penampilan saya tidak hanya menghibur penonton tapi juga diri saya sendiri. Terkadang saya hanya ingin duduk dan menyanyi dengan memejamkan mata, dan di hari lain saya ingin rock out seliar mungkin. It’s about changing the energy every time,” ucap Kimbra yang menyebut Coachella sebagai festival moment favoritnya sejauh ini. “Saya pernah tampil di Coachella sebelumnya bersama Gotye, tapi Coachella kemarin adalah kali pertama saya tampil bersama band saya sendiri dan rasanya luar biasa. Its very iconic music festival, dengan gurun pasir dan matahari terbenam, it was very beautiful,” kenangnya.

Seperti yang mungkin kamu saksikan sendiri di WTF silam, totalitas Kimbra sebagai musisi turut diperkuat oleh elaborate costume yang ia kenakan dalam setiap penampilan live-nya. Dalam penampilan di Coachella kemarin, misalnya, ia mengenakan gaun dengan konsep cermin yang didesain oleh Cassandra Scott-Finn, seorang desainer berlatar sculpture artist dan fine art yang menjadi stylist untuknya. “Orang selalu bertanya apakah saya menjadi orang lain saat berada di atas panggung, tapi saya merasa jika hal itu sebetulnya lebih sebagai exaggeration of the personality, karena saat tampil di depan ribuan orang, kita harus menonjolkan penampilan kita karena kalau saya tampil di panggung dengan baju sehari-hari saya, akan sulit bagi saya untuk memisahkan mana diri saya sebagai seorang entertainer dan diri saya sehari-hari. I love the loudness of my performance, tapi sebetulnya saya sendiri lebih cenderung pendiam, dan lebih memilih obrolan one on one seperti ini. Di akhir hari, ketika saya membersihkan make up dan melepas kostum panggung saya, rasanya menyenangkan untuk menjadi Kimbra yang apa adanya,” ungkapnya.

Namun, baik di atas maupun di luar panggung, Kimbra tak pernah lupa menginjeksikan quirkiness yang segar dalam kesehariannya. Dalam interview ini, ia memakai printed sweater dari label Selandia Baru bernama Stolen Girlfriends Club yang kasual tapi tetap terlihat eye-catching. “I like to dress comfortably yet still able to express myself,” akunya. “Salah satu sahabat baik saya, Natasha Bedingfield, pernah bilang jika terkadang kita berpakaian bukan hanya untuk membuat diri kita sendiri feel good, tapi juga membuat orang lain tersenyum. Jadi ketika kita berjalan ke luar dan terlihat fun, it’s like something that make people smile and bring joy to other person. I like to think fashion being a conversation,” jelasnya.

Meski demikian, ia pun tak mengingkari jika sebagai seorang musisi wanita, there’s a lot of pressure dalam industri ini, terlepas dari maraknya slogan feminisme dalam dunia musik yang kini dilontarkan oleh rekan-rekan musisinya seperti Taylor Swift hingga Beyoncé. “Saya lebih percaya pada equality movement. Saya merasa ‘feminisme’ telah menjadi suatu kata dengan banyak momok dan beban tersendiri yang melekat. Women are now taking back the power, which is good thing, tapi jika itu artinya musik menjadi more and more sexualized, hal itu tak akan mengubah apapun. Pria masih akan memandangmu sebagai sexual object. Yang saya percaya adalah kesetaraan antar gender dan mutual respect di mana baik pria dan wanita bisa bangga terhadap tubuh mereka, atau pria dan wanita bisa duduk di studio dan merekam musik mereka sendiri. I don’t think it’s about war between the sexes, namun saya juga sangat bangga jika kaum perempuan bisa menunjukkan taring mereka, its great thing.”

Kimbra2

Fotografi oleh Andre Wiredja

Stylist: Anindya Devy

Sunday Girl, A Trip At Singapore with Cherie Ko

3

Menyusuri sisi quirky Singapura di hari Minggu yang cerah bersama indie darling kebanggaan kota tersebut, Cherie Ko. 

Di samping menjadi pit stop utama band-band indie keren yang melintasi Benua Asia, Singapura juga menyimpan potensi skena indie lokal yang cukup besar. Walaupun mungkin belum terlalu terekspos, bukan sekali dua kali kami menemukan band-band keren yang ternyata berasal dari Negara Singa tersebut dan menulisnya di Radar kami, salah satunya adalah band shoegaze fuzzy pop bernama Obedient Wives Club di mana Cherie Ko tergabung sebagai gitaris. Saat akhirnya bertemu dengannya di Laneway Singapore akhir Januari lalu, it was an instant click dan kami janjian untuk hang out sebelum saya kembali ke Jakarta.

Esoknya, di Minggu siang yang panas, Cherie menjemput saya di depan Singapore Art Museum. Memakai collar dress biru, bowler hat, sepatu oxford dan anting berbentuk ceri, ia terlihat seperti karakter utama dari film Wes Anderson. Matanya menghilang saat ia tertawa ketika saya memuji penampilannya yang super cute. Menyebut Winona Ryder di Heathers dan Parker Posey di Party Girl! sebagai style icon, tak sulit mengetahui bagaimana ia menjadi indie darling Singapura, tak hanya dari style, tapi juga substansi musik yang ia miliki.

Di umur 23 tahun, Cherie telah memiliki karier bermusik yang ekstensif sejak pertama kali belajar gitar ketika berumur 15 tahun. Sebelum tergabung di Obedient Wives Club di tahun 2011, namanya telah lebih dulu dikenal berkat unggahan lagu-lagu cover di kanal YouTube miliknya yang telah mendapat 3 juta views. “Video pertama yang saya unggah adalah ‘Your Call’ dari Secondhand Serenade. Saya memakai silly headband dan duduk di atas sebuah kursi dalam posisi yoga yang aneh. Waktu itu emo-pop sedang naik-naiknya mungkin karena itu saya bisa mendapat banyak views,” kenangnya sambil tersenyum.

Selain menjadi gitaris di Obedient Wives Club yang meraih popularitas di regional Asia Tenggara, ia juga menjadi frontwoman trio Bored Spies yang ia bentuk bersama Park Soo Young dan Orestes Morfin dari band cult Bitch Magnet dan telah tampil di Primavera Sound Festival 2013 di antara jadwal tur Amerika dan Eropa. Sekarang, Cherie juga memiliki solo proyek dengan nama Pastelpower di mana ia menukar gitarnya dengan keyboard untuk membuat musik indie pop yang dreamy dan lirik-lirik yang witty. Merilis demo kaset bertajuk Sparkling Eyes dan tampil di berbagai festival di Singapura, Malaysia, dan Thailand, lewat bedroom project ini Cherie pun kian mengukuhkan statusnya sebagai salah satu sosok paling dominan di skena indie Singapura yang sedang menggeliat.

Dengan talenta musik yang besar, rasanya lumayan susah dipercaya mendengar pengakuan Cherie jika awalnya ia justru tidak terlalu tertarik pada musik, terlepas fakta jika ia telah belajar piano dari kecil atas paksaan ibunya. “I’ll be completely honest here! I was a pretty average kid, and I didn’t grow up as a music lover. Saya tidak peduli dengan musik ketika masih anak-anak dan hanya mendengarkan apapun yang ibu saya putar di mobil. Saya banyak mendengarkan Faye Wong karena dia adalah penyanyi favorit ibu saya. Tapi saya sebetulnya biasa saja, sampai saya mendengarkan Cocteau Twins ketika remaja dan merasa terhubung dengan musik mereka. Lalu saya menyadari jika Faye Wong sebetulnya juga terinspirasi Cocteau Twins, dan itu seperti momen eureka. I adore shoegaze and I try to incorporate dreamy textures in my music too,” ungkapnya.

Dengan influens penyanyi pop perempuan Prancis 60-an seperti Françoise Hardy dan Sylvie Vartan, 80’s shoegaze, serta dreampop kekinian seperti Beach House, Cherie mendapat inspirasi membuat Pastelpower sehabis menonton ulang Edward Scissorhands dan membuat musik yang terpicu visual pastiche dari rumah suburban berwarna pastel dan halaman rumput yang tertata rapi di film tersebut. Visual imagery yang kuat dari film itu dan film-film cult tahun 60 sampai 90-lainnya (khususnya film-film John Waters) akhirnya memicu lahirnya lagu-lagu di EP Sparkling Eyes dan digital live EP bertajuk Pastelpower Broadcast: Live EP yang berisi dua lagu berjudul “Allergies” dan “Oh, Louie!” beserta musik video konseptual garapan Syamsul Bahari di kanal YouTube Pastelpower. Uniknya, selain dijual dalam format digital di Bandcamp, Cherie juga membuat bentuk fisik EP ini dalam bentuk kartu pos yang dilengkapi download code dan berisi pesan personal yang ditulis tangan olehnya.

“Bagaimana rasanya menjadi musisi indie di Singapura?” tanya saya di dalam mobilnya yang dipenuhi CD band-band lokal dan regional. “It feels great!” jawabnya sambil memasukkan CD band Yellow Fang dari Thailand, “Rasanya menyenangkan berada di komunitas orang-orang dengan cara berpikir dan minat yang sama dan berjuang untuk goal yang sama. Tapi saya juga sadar menjadi musisi di Singapura doesn’t pay the bills. Terutama jika kamu ‘indie’. Tapi hal itu tidak menghentikan kami untuk melakukan musik yang kami cintai!” imbuhnya. “Saya selalu bahagia kalau bisa menemukan band-band lokal baru. Dua minggu lalu saya menonton penampilan seorang gadis bernama Linying di sebuah gig, dan saya sangat terpesona melihatnya menggabungkan sensibilitas folk dengan bunyi elektronik. So fresh! Saya juga sangat menyukai The Pinholes yang merupakan salah satu band Singapura paling otentik di luar sana. They are a throwback to the good ol’ times, bringing back the vibes, mereka juga memiliki aksi panggung yang sangat enerjik dan fun,” imbuhnya.

            “Saya akan bersemedi di tempat rahasia saya untuk menulis lagu-lagu baru, jadi hal terdekat yang akan kamu dengar dari saya adalah album debut saya! Saya akan banyak bereksperimen di album ini, sonically. Saya juga ingin memasukkan macam-macam instrumen musik, That is all I will be revealing for now! ungkapnya bersemangat ketika saya bertanya tentang rencananya tahun ini. Mengingat ia sudah tampil di pusat-pusat hip culture Asia Tenggara seperti Bangkok dan Penang, apakah ia berencana mengunjungi Jakarta juga? “Saya banyak mendengar hal seru tentang Jakarta dan saya ingin sekali untuk mampir dan membuat show. Saya berharap bisa merencanakan suatu hal di Jakarta tahun ini,” jawabnya. Dengan janji itu, kami pun sampai di destinasi pertama petualangan kecil kami di tempat-tempat quirky Singapura favoritnya.

9fotor_(29)

Colbar Eating House

“ColBar sebetulnya kependekan dari Colonial Bar, dan sudah dibuka sejak 1953 sebagai unofficial canteen untuk infantri Inggris. Temboknya dipenuhi foto-foto dan memorabilia kuno tentang sejarahnya dan membuat tempat ini terasa rustic dan memiliki old-school charm. Makanan yang ada di sini sangat homemade dan otentik. Saya terutama menyukai nasi kari ayamnya. Maybe it might be slightly overpriced, but the place makes for a great experience with its story to tell!

9A Whitchurch Road.

fotor_(28)

Gillman Barracks

“Gillman Barracks adalah contemporary art cluster yang dibangun di bekas barak militer dan berisi museum, galeri seni, dan non-profit spaces. Sekarang tempat ini juga menjadi venue populer untuk pop-up gigs, parties, dan events. Walaupun terkenal dengan museumnya, saya lebih tertarik pada graffiti dan street art yang terpampang di tembok-tembok mereka, salah satunya karya Mary Bernadette Lee, seorang teman saya yang merupakan ilustrator/seniman dengan bakat luar biasa. Saya suka karya-karyanya yang berasal dari emosi yang kita hadapi sehari-hari dan ditegaskan dengan memakai cat air which is so very pretty in a raw way. I’m also a big fan of her portraits of naked ladies! They are awesome. You can check out her work at http://mrydette.com

gillmanbarracks.com

9 Lock Rd.

5

Henderson Waves

“Saya pernah kencan di sini ketika berumur 17 tahun. Saya menaiki tangga bersama cowok ini dan kami saling memainkan musik dengan gitar akustik. The night breeze, trees, skyline made for a pretty awesome date!

The Southern Ridges, Henderson Rd.

fotor_(24) fotor_(27)

Curated Records

“Curated Records adalah record store kecil dengan koleksi indie records yang hebat. Saya menyukai toko ini karena sangat well-organized dan rapi. Saya terutama menyukai bagaimana Instagram feed mereka terasa seperti record shelves betulan jadi saya penasaran untuk datang ke toko ini untuk melihat-lihat. Saya kemudian berteman dengan pemiliknya, Tremon, dan sekarang toko ini menjadi personal favorit saya.”

curatedrecords.com

55 Tiong Bahru Rd.

fotor_(25)

WP_20150125_082

Tiong Bahru Bakery

“Tempat ini menjadi tujuan wajib saya setiap mampir ke Tiong Bahru karena saya tidak bisa berhenti menyukai butter croissants mereka! It’s the best croissants you can get in town.

tiongbahrubakery.com

56 Eng Hoon Street.

10

Singapore Botanic Gardens

Baru-baru ini saya tampil di Singapore Botanic Gardens bersama teman saya Jean dari band Giants Must Fall. It was a post-valentines’ day gig dan banyak pasangan yang tiduran di atas picnic mat. Saya tampil di sebuah gazebo yang diterangi fairy lights, rasanya hampir seperti adegan film Twilight ketika Edward dan Bella berdansa waltz, haha! Orangtua saya sangat bangga malam itu karena mereka punya memori masa kecil yang sangat banyak di tempat ini. Rasanya lucu karena tidak peduli berapa banyak show yang saya datangi di seluruh dunia, in the end cukup sebuah garden gig sederhana yang membuat orangtua saya sangat bangga pada musik saya.”

sbg.org.sg

1 Cluny Road

Sounds of 2015: 15 Names You Should Check Out For This Year (Part 3)

Bagian terakhir dari tiga post tentang 15 nama band/musisi yang harus kamu simak tahun ini.

HUGHHUGH
Who: Joshua Idehen, Andy Highmore, Tino Kolarides, Izzy Brooks. Where: London. What: Electronica, Soul, R&B.

Sulit untuk menyebut musik kuartet asal Inggris ini dalam satu bingkai genre yang pasti. Mengawinkan sweet ballad, electronic R&B, jazz yang slick, hip hop dengan elemen grime yang gritty khas London, mungkin lebih mudah menjabarkan musik mereka dengan tiga kata berikut: elegant, refined, and majestic. Selain beberapa single sebelumnya seperti “I Can’t Figure You Out” dan “Look Back In Laughter”, single terbaru mereka “I Don’t Like You” yang diambil dari EP One Of These Days adalah sebuah pop masterpiece tersendiri yang berisi vokal duet pria-wanita dan lirik straightforward dalam produksi aransemen minimalis yang memukau. Trust me, you won’t like them, you’ll LOVE them.

https://soundcloud.com/hughlovehugh

LapsleyLåpsley
Who: Holly Lapsley Fletcher. Where: Liverpool. What: Electropop.

Terlahir dengan nama Holly Lapsley Fletcher di Southport, Inggris, singer-songwriter berusia 18 tahun ini adalah seorang multi-instrumentalist berlatar musik klasik yang menguasai piano, gitar, dan oboe. Di balik usianya yang muda, ia menunjukkan musiknya yang mature dengan produksi elektronik minimalis dan organik dengan vokal ethereal seringan awan.yang menghembuskan kehangatan dan lirik yang heartfelt. Self-producing Monday EP berisi lagu-lagu seperti “Blue Monday”, “Glamorous”, dan “Alaskan Dreams” yang membuatnya dipuja oleh berbagai kritikus musik. Sebuah hal impresif mengingat ia mengerjakan semuanya sembari bersiap menghadapi ujian akhir sekolah

https://soundcloud.com/hollylapsleyfletcher

owlleOwlle
Who: France Picoulet. Where: Paris. What: Dreampop.

Bayangkan kekuatan lirik Florence + the Machine bertemu dengan dancey beat milik Marina & The Diamonds, maka kamu akan mendapatkan musik dreampop yang dibuat oleh Owlle, seorang electro-pop chanteuse asal Paris. Lewat penampilannya yang striking dengan rambut merah dan mata biru elektrik serta latar belakangnya sebagai anak seni rupa membantunya membangun visi bermusik yang memadukan unsur visual dan sonic experience. Tak butuh waktu lama baginya setelah merilis single “Ticky Ticky” dan “Don’t Lose It” untuk meraih respons positif dan bahkan membuahkan kolaborasi dengan Depeche Mode berupa remix lagu “Heaven”. Bakat cemerlangnya kembali ditunjukkan dalam French, album terbarunya yang menampilkan koleksi lagu-lagu berbasis synth dengan sensibilitas pop yang menarik.

https://soundcloud.com/owlle

ShamirShamir
Who: Shamir Bailey. Where: Las Vegas. What: House, R&B.

Terinspirasi membuat musik berkat bibinya yang seorang songwriter, remaja berusia 19 tahun asal Las Vegas ini memulai kariernya selayaknya musisi dari generasi millennial lainnya, dari dalam kamarnya secara otodidak. Ia sempat tergabung dalam duo bedroom-pop Anorexia sebelum mulai bersolo karier dengan lagu dance house “If It Wasn’t True” dan “I’ll Never Be Able to Love” sebuah lagu balada soulful yang raw dan menampilkan vokal falsetto androgynous yang mengingatkan pada Nina Simone muda dan Michael Jackson era Jackson 5. Setelah bekerjasama dengan Nick Sylvester dari label Godmode untuk menyelesaikan album perdananya, Northtown, yang merupakan ode bagi kota tempat tinggalnya dengan influens musikal dari Nina Simone, Johnny Cash, hingga Beck, kini ia tengah menyiapkan album penuh pertamanya di bawah XL Recordings sekaligus menjadi intern di kantor cabang New York label tersebut.

https://soundcloud.com/shamir326

Whilk-and-MiskyWhilk and Misky
Who: Charlie dan Nima. Where: London. What: Electronic, blues.

Ketika pertama kali bertemu di sebuah bar di bulan November 2012 lalu, Nima dan Charlie, kedua musisi dari belahan dunia yang berbeda mungkin tak menyangka jika tiga bulan berikutnya mereka akan menjadi flat mates di London dan membuat musik yang mengguncang blog musik dengan nama Whilk and Misky (dari kata Milk dan Whisky, tentu saja). Memadukan vokal dan gitar Charlie serta aransemen electronic Nima dengan range genre mulai dari electronic, folk, hingga blues, single perdana mereka “Wing Clipper” lebih mengedepankan unsur techno minimalist sementara lagu terbaru “Clap Your Hands” adalah lagu akustik dengan bumbu bossanova yang catchy, penuh dengan tepukan dan stomping beats yang seksi.

https://soundcloud.com/whilkandmisky

Sounds of 2015: 15 Names You Should Check Out For This Year (Part 2)

Bagian kedua dari tiga post tentang 15 nama band/musisi yang harus kamu simak tahun ini. Klik di sini untuk bagian pertama.

MitskiMitski
Who: Mitski Miyawaki. Where: New York. What: Noise pop.

Melihat press photo dari gadis berdarah Jepang yang mulai bermusik sejak berumur 19 tahun ini, selintas kamu akan membayangkannya membuat lagu-lagu tweepop yang manis, but make no mistake, musik yang ia mainkan lebih berkiblat kepada Ida Maria, Maria Mena, dan Liz Phair dibanding musisi indie pop manis seperti Zooey Deschanel atau Zee Avi. Bury Me at Makeout Creek, album terbarunya yang dirilis oleh Double Double Whammy berisi 10 lagu noise pop berbasis reverb gitar yang ditulis di sebuah basement studio. Lagu-lagunya di album ini seperti “Townie” dan “First Love/Late Spring” adalah penggambaran post-adolescence angst yang sesungguhnya dengan aransemen penuh energi fearless serta lirik-lirik berisi humor gelap yang liar dan jujur.

http://mitski.bandcamp.com/

CommunionsCommunions
Who: Martin Rehof, Mads Rehof. Frederik Lind Köppen, Jacob van Deurs Formann. Where: Copenhagen. What: Post-punk.

Kuartet asal Copenhagen ini merupakan bagian dari generasi band-band Denmark paling keren saat ini yang bermula dari Mayhem, sebuah ruang latihan dan music venue (seperti Rossi Musik di Jakarta) yang juga menjadi rumah dari band-band seperti Iceage, Vår, Lower dan secara umum skena band new punk, synth, dan industrial di kota tersebut. EP Cobblestones yang mereka rilis awal tahun lalu berisi 4 lagu yang akan mengobati kerinduanmu pada band-band seperti The Stone Roses dan Joy Division dengan wall of sounds megah berakar melodi gitar, bass hook, dan bunyi organ 60-an yang effortlessly catchy. Single terbaru mereka, “So Long Sun” yang dirilis oleh Tough Love Records adalah sebuah masterpiece sekaligus ode untuk musim panas (terilhami dari musim dingin di Denmark yang panjang) dengan aransemen euphoric dan vokal mengawang yang akan membuatmu bersukacita dan menekan tombol replay berulang kali.

http://www.communions.dk/

DorothyDorothy
Who: Dorothy Martin, Zac Morris, Mark Jackson, Eliot Lorango. Where: Los Angeles. What: Rock & Roll.

Di antara skena musik yang didominasi bebunyian artifisial, semakin sulit menemukan sebuah band rock & roll yang memainkan musiknya dalam bentuk paling organik dan mentah, but here comes Dorothy. Membawa semangat dan energi beroktan tinggi dari bluesy rock klasik khas Amerika, kuartet asal LA ini siap untuk membangkitkan kembali esensi rock tradisional dengan dentuman drum yang menggebrak, lick gitar yang heavy, serta vokal parau dan witchy dari Dorothy Martin yang ibarat lovechild dari Jack White & Janis Joplin. Single debut seperti “After Midnight” dan “Wicked Ones” adalah sebuah soundtrack untuk late nite party liar yang berujung pada hal-hal berbahaya dan cerita epik yang akan terus dikenang.

https://soundcloud.com/dorothytheband

Hippo CampusHippo Campus
Who: Nathan Stocker, Zach Sutton, Jake Luppen, Whistler Allen. Where: Minnesota. What: Indie Rock.

Walaupun baru ngeband bareng kurang dari setahun lalu, namun kuartet asal Minnesota yang bertemu di sekolah seni tersebut dengan cepat telah menemukan formula kesuksesannya. Debut single mereka, “Little Grace”, yang berisi melodi gitar buoyant dan energik adalah sebuah instant crush yang membuat mereka dinobatkan menjadi band to watch oleh banyak blog musik dan festival musik. Single tersebut dan 5 lagu indie rock bernuansa musim panas super catchy lainnya seperti “Suicide Saturday” dan “Souls” terkompilasi dalam debut EP berjudul Bashful Creatures yang akan mengingatkanmu saat pertama kali jatuh cinta pada musik yang dihasilkan oleh Vampire Weekend, Two Door Cinema Club, dan Bombay Bicycle Club. Sebagai sekumpulan anak kulit putih yang memainkan musik bernada Afropop, mereka memang seringkali dibandingkan dengan Vampire Weekend, namun Hippo Campus tahu bagaimana bersenang-senang dengan cara tersendiri.

http://thehalocline.bandcamp.com/

HonneHonne
Who: Andy & James. Where: Somerset, Inggris What: Synth-soul.

Andy dan James, dua sahabat asal Inggris yang sepakat merahasiakan nama belakang mereka ini punya kehidupan ganda. Di siang hari mereka adalah guru musik di sekolah dan di malam hari mereka membuat musik soul/R&B berbalut synth dengan nama Honne yang diambil dari bahasa Jepang yang artinya “true feeling”. Entah berkat nama itu atau fakta jika mereka bermusik di larut malam, yang jelas mereka berhasil membuat single seperti “Warm On A Cold Night” dan “All In The Value” dengan atmosfer late nite vibe yang luar biasa smooth dan intim dengan lirik tentang relationship yang real. Hangat dan sensual, kamu tak akan membutuhkan selimut lagi malam ini.

https://soundcloud.com/hellohonne

This Charming Mac, An Interview With Mac DeMarco

macdemarco1

Di balik segala mitos yang menyelimuti dirinya, Mac DeMarco is indeed a cool guy.

Saat pertama kali mendengar kabar Mac DeMarco akan konser di Jakarta, saya langsung membayangkan sebuah konser kecil yang liar, penuh asap rokok, bau bir, dan anak-anak mabuk yang entah terlalu “tinggi” untuk sekadar menggoyangkan kepala, atau justru terlalu excited sampai tak berhenti moshing. Maksud saya, kita sedang berbicara tentang Mac-fucking-DeMarco, seorang singer-songwriter berumur 24 tahun asal Kanada yang dikenal karena aksi liarnya di atas stage. Saya telah membaca banyak hal tentang dirinya yang rata-rata menggambarkan dirinya sebagai musisi slengean yang senantiasa teler di atas panggung, meneriakkan kata-kata cabul, dan weird shits lainnya. Sebuah video live show yang menampilkan dirinya telanjang dan mabuk di atas panggung menyanyikan “Beautiful Day” milik U2 bahkan masih ada di YouTube sampai sekarang. That’s why saya merasa agak cemas saat akan mewawancarai dirinya, satu hari sebelum penampilan perdananya di Jakarta, tanggal 22 Januari lalu. Saya was-was dia akan interview dalam keadaan teler, ditambah jet lag dan kurang tidur dalam tur Asianya dan mungkin melempar botol ke kepala saya, or worse, calling me names.
Saat saya tiba di Kosenda Hotel tempatnya menginap, Mac terlihat asik mengobrol sambil meminum Bir Bintang dingin. Ia memakai kaos Polo berwarna hijau polos yang dimasukkan dalam jeans bapak-bapak dan memakai beanie abu-abu. Wajahnya seperti anak remaja yang tiba-tiba tumbuh besar dalam waktu semalam, dan dia memiliki kecenderungan untuk menyeringai dibanding tersenyum. Sama sekali tak mencerminkan seorang bintang indie rock yang dipuja-puja Pitchfork dan semua publikasi musik influential lainnya.

macdemarco6
There’s nothing hip about him, visually. Kecuali kalau kamu mau menyebutnya dengan istilah normcore, walaupun saya yakin Mac tak akan peduli akan istilah apapun yang dilekatkan padanya. Sama seperti ia tak ambil pusing dengan genre musik yang ia buat. Slacker rock, blue wave, jangle pop, off-kilter pop dipakai untuk mendeskripsikan musik indie rock beratmosfer lo-fi yang ia buat, walau ia lebih suka menyebut musiknya sendiri sebagai “jizz jazz”, hasil dari mendengarkan musik jazz (terutama Steely Dan) sambil menonton situs porno Youjizz.com. Di zaman yang mementingkan style over substance, pria bernama lengkap Macbriare Samuel Lanyon DeMarco ini terlihat menyolok dengan carefree attitude and basically, not giving a single fuck untuk terlihat seperti orang udik.
Strangely enough, di balik segala kecuekannya, ada kehangatan dan sensibilitas emosi tak terbantahkan dalam musik yang ia buat dan lirik genial tentang hal-hal banal dalam hidup yang terangkum dalam 3 album yang telah ia rilis dan mengantarnya tur sampai ke Asia. “Dibandingkan dengan tempat asal saya, yeah banyak hal tidak biasa yang saya lihat. Kami ada di Vietnam kemarin, jadi kami sudah agak terbiasa dengan hal-hal aneh, contohnya sepeda motor. Everybody is on the fucking motorbikes. It’s crazy, but it’s cool tho, I like it,” cetus Mac sambil nyengir dan memamerkan gap tooth miliknya.
Dua minggu lebih sudah ia mengadakan tur Asia, bertemu dengan para local kids dan mencoba makanan eksotis, termasuk gurita hidup di Korea (“It’s fucked up, man,” ujarnya sambil terkekeh.) Jakarta beruntung menjadi tempat persinggahan sebelum ia bertolak ke Singapura untuk Laneway Festival dua hari kemudian. “Biasanya kami tidak punya banyak waktu. Kami datang, tampil, dan pergi lagi. Tapi kami beruntung karena berada di level bekerja dengan promotor kecil yang membawa kami ke suatu tempat yang keren. Saya lebih suka diajak ke tempat hangout local kids dibanding seperti ‘Oh look at that temple’, temple is cool but I prefer to keep it real, but I’m usually just up for whatever.”
Sampai detik ini saya bisa bernapas lega karena Mac dalam kehidupan nyata ternyata sangat ramah (dan completely sober). Namun bagaimana dengan segala rumor atas live show yang liar? “Kami hanya mencoba menjaganya tetap fun. If the kids getting crazy, then we start getting crazy. Terkadang ada saja orang yang mendorong saya berbuat gila seperti ‘Yeah, go ahead Mac, put that drum stick in your ass,’ hanya karena saya pernah melakukannya sekali,” ungkapnya sambil meneguk birnya. Apakah ia masih merasa nervous saat akan tampil di panggung? “Tergantung banyak hal. Jika kami tidak tampil untuk sementara waktu, kami akan agak nervous, jika kami tampil di panggung yang besar, atau melihat teman-teman kami di antara penonton juga bisa bikin nervous, tapi most of time I’m just ready to go,” jawabnya.
Bicara soal big stage, Mac sebetulnya telah punya cukup banyak pengalaman tampil di arena gigs sebagai aksi pembuka dalam tur Phoenix. “Secara keseluruhan saya lebih suka gigs kecil tapi festival juga bisa fun, I mean gig kecil bisa jadi aneh karena orang-orang akan berdiri sangat dekat dan mengatakan hal-hal konyol dan saya seperti ‘shut the fuck up’, tapi kalau dapat crowd yang asik, maka show-nya akan sangat menyenangkan. Di festival tidak bisa seperti itu, karena penonton berjarak 30 kaki dari panggung dan saya tampil sambil melihat belakang kepala para bouncer, haha.”

macdemarco4
Tur Asianya kali ini termasuk dalam rangka mempromosikan Salad Days, album ketiganya yang dirilis tahun lalu dan kelanjutan dari album Rock and Roll Night Club (2012) dan 2 (2012) yang mendapat respons positif dan bisa dibilang albumnya yang paling dewasa, dalam arti tertentu. Kedewasaan itu terdengar dalam single utama “Chamber of Reflection” yang mengambil melodi dari lagu synth track obscure milik komposer Jepang bernama Shigeo Sekito yang berjudul “The Word II” dan dipadukan dengan lirik tentang ritual inisiasi Freemason, di mana calon anggota harus berdiam di sebuah ruangan, memikirkan hidup yang telah mereka jalani sebelumnya dan keluar sebagai orang yang terlahir baru tanpa beban apapun. “Saya membaca tentang hal itu dan menyadari jika itu yang saya lakukan saat membuat Salad Days. Saya mengunci diri dalam kamar selama hampir sebulan untuk album ini dan I’m totally happy for it, saya tidak punya ekspektasi terlalu tinggi untuk album ini. Saya hanya lega bisa mengeluarkan album lagi, saya puas dengan hasilnya dan orang-orang menyukainya, dan saya siap untuk membuat album lagi,” ungkapnya sambil mengimbuhkan jika ia telah merekam beberapa lagu namun belum punya rencana kapan akan merilis album lagi.
So what’s his next plan? “Yang pasti saya ingin membuat album lagi, keep recording maybe… I dunno, that’s a good question. Saya belum benar-benar memikirkan apa yang ingin saya lakukan tahun ini. Mungkin saya harus melakukan sesuatu yang baru dan berbeda, I still need to figure it out,” tuntasnya sambil tersenyum lebar seperti seorang kawan lama, or basically a nice guy to hang out with, dengan atau tanpa bir.

InstagramCapture_ed637540-a9af-409d-af0f-0017aec6082aFoto panggung oleh Andandika Surasetja.

Thanks to Studiorama & Prasvana for this interview.

On The Records: Josef Salvat

JosefLondon-based, Australian singer-songwriter Josef Salvat is ready to hunt the crown of crooner.

After all these times pop music being dominated by the feisty divas and pop princess, we saw the raising reign of the prominent male soloists and singer-songwriters, geared with soulful vocal and crooning ballads. Names like James Blake, Sam Smith, Mikky Ekko, Gotye already has their place in music industry, and now its time for Josef Salvat to claim his. Hailing from Sydney and based in London, this 26 year old singer-songwriter getting noticed after releasing early singles like “This Life” and “Hustler”, showcasing his haunting vocal, killer piano , and overall promising career ahead. I talk about him via email regarding his music and the upcoming release.

Hello Josef, how are you? Where are you right now and what were you doing before answering this email?
I’m well thank you. I’m currently sitting on my own in a cafe in central London waiting for my lunch. Before coming here I was around the corner at a screening of a friend’s short film that is part of the Raindance Film festival.

Please tell me a bit about your background and what really prompted you to make music?
I was born and raised in Australia. I loved singing as a kid and we had a piano in the house but I never had the patience to learn it properly so I started making my own things up on it. Quickly it become my way of processing things I couldn’t talk about. I went and studied law after school because I was worried I couldn’t make a living with the music I made. But it became clear towards the end of my degree that if I wanted to be happy it wasn’t really a choice. So here I am.

The early press articles describe you as the mix between Morrissey & Lana Del Rey, how do you feel about that? Who were your musical influences that really shapes your music right now?
It’s very flattering – they’re both wonderful artists. My influences range from Bjork, Nina Simone, Eurythmics, Art of Noise, Nirvana – so my parents record collection and teenage discoveries – to Drake, Nas, Katy Perry/Dr Luke, Florence and the Machine, Amy Winehouse etc.

How would you describe your own music?
I generally don’t, but if pushed I usually just say it’s ‘pop’. Self-categorization and creative freedom aren’t often friends in my experience.

After your early singles “This Life” & “Hustler” last year, you seems to take your time and not rushing to release anything until now, tell us what were you busy doing during that period?
I got signed and then started making an album. I spent some thinking/writing time in Spain and couple of months in LA and then came back to London and went into the studio to record everything.

Its seems like we’re kinda have the rise of soulful male vocalists, how do you see yourself in the music industry nowadays?
Ah. The sands are always shifting.

Tell me about your latest single, “Shoot & Run”, I always feel slightly dark tones on your songs but this single is actually darker, so what is the song tell about lyrically and musically?
Lyrically it’s about that realization you have when you see the world for what it is. When you realize no one really knows what they’re doing, that there is no ‘grand narrative’. A lot of my friends went through a very nihilistic and self-destructive phase whilst they were coming to terms with this. But they were joyful in their recklessness. Musically I wanted to create a type of dystopia that was beautiful and full of color but kind of cold and empty at the same time.

Would you mind to talk about the upcoming In Your Prime EP? How many songs on this EP will be? Are you still working with Rich Cooper for the new materials?
I’ve done everything with Rich yeah. We’ve worked together for 3 years now and it’s a beautiful relationship. There are 4 tracks on the EP, one of which is a cover of “Diamonds” by Rihanna. It’s the first time I’ve shown the other side of the music I write, the more hopeful side. It’s a small proposal of how I experience the world; there is contrast.

What is your plan for the full album?
It’s actually almost done and will be coming some time next year. Apart from that I’m not really sure.

What else you did enjoy beside music?
People mainly. But also I try to read books, travel when I can and recently I’ve started bouldering (climbing, but without ropes), which is brilliant.

What’s the next plan for you?
The next plans on the horizon are shooting the video for “Open Season” and a few live shows.

https://soundcloud.com/josef-salvat

On The Records: Agustin Oendari

Agustin Oendari

Agustin Oendari merangkum esensi penuh rasa dari Jakarta kala malam.

“Oendari adalah gadis Virgo asal Jakarta, dari lahir sampai umur awal dua puluhan tinggal di kota yang sama, di lingkungan yang sama, dalam rumah yang sama, sampai akhirnya memutuskan untuk mandiri, pindah ke pinggir barat ibukota, ke sebuah kawasan mandiri bernama Karawaci. Gadis yang berkacamata sejak SD ini nggak suka panas tapi juga nggak bisa kedinginan, nggak suka pedes tapi doyan nasi padang, nggak suka bau durian tapi toleran sama aroma pepaya, nggak suka berantakan tapi mobilnya kayak kapal pecah, takut minum obat yang pahit tapi suka kopi hitam tanpa gula. Rumit ya. Iya, memang,” tandas Agustin Oendari dengan gamblang saat mendeskripsikan dirinya sendiri dari sudut pandang orang ketiga.
Nama singer-songwriter berusia 25 tahun ini mungkin masih asing bagi kalangan umum. Kariernya memang lebih banyak di belakang layar dengan menjadi manajer band, vokalis latar, mengurus kontrak kerja sama produksi atau men-direct program sebuah studio musik di bilangan Karawaci yang bernama Roemah Iponk. Namanya menarik perhatian saya semenjak saya menonton film Selamat Pagi, Malam garapan Lucky Kuswandi yang tayang pada bulan Juni lalu. Film tersebut menceritakan satu malam di hidup tiga orang perempuan Jakarta (Adinia Wirasti, Ina Panggabean, dan Dayu Wijanto) yang kerap bersinggungan satu sama lain tanpa mereka sadari. Diwarnai dengan berbagai scene Jakarta di malam hari yang ramai benderang tapi juga sepi dan muram serta dialog yang akan mengusik pikiran warga Jakarta, film ini diperkuat oleh lagu tema berjudul sama yang digarap oleh Oendari dan rekan bermusiknya, Ivan Gojaya.
Musik akustik yang tenang dengan vokal lirih Oendari yang seakan berbisik itu terlihat kontras saat melatari scene gedung-gedung perkantoran, jalanan padat, dan lalu-lalang penduduk Jakarta yang sibuk dengan urusan masing-masing, menciptakan jukstaposisi bagaimana Jakarta bisa membuat kita bisa merasa begitu kesepian di tengah keramaian. Bagaimana kita setengah mati mencari kedamaian di antara bising yang mengepung kita. Oendari menerjemahkan esensi Jakarta yang ingin diceritakan oleh sang sutradara ke dalam sebuah balada akustik dengan melodi dan lirik yang bittersweet. Saya pun tergerak untuk mengenalnya lebih jauh lewat sepucuk surat elektronik.

Hi Oendari! Apa kabar? Lagi apa sebelum balas email ini?
Hai, Alex. Aku baik-baik, sehat-sehat, bahagia. Sejujurnya, (walaupun udah siang) aku belum lama bangun, setelah semalaman begadang karena ada yang harus dikerjakan. Sebelum balas email ini, Aku baru sarapan: home-made scrambled egg with button mushroom, pakai selembar toast, dan beberapa butir cherry tomatoes; gak lupa kopi hitam (kalau gak pake kopi hitam, pasti hari ini rasanya malah jadi muram).
Oh ya, jangan tanya apa aku yang masak semua benda-benda itu, karena jelas bukan aku. Haha. Peranku di dapur sementara ini cuma sampai di tahap chef-assistant, sekadar doing the cooking preps. Tangannya belum cukup dingin untuk mengerjakan masakan-masakan, bahkan yang sesederhana sarapan tadi. Hihi.

Bermusik sendiri sejak kapan? Dan apa yang mendorongmu?
Dulu, waktu masih berumur kira-kira tiga tahun, aku suka banget ngomong sendiri, teriak-teriak, dan nyanyi-nyanyi di depan cermin. Melihat itu, Mama lah yang pertama punya inisiatif untuk memasukkan aku ke dalam komunitas paduan suara gereja, yang akhirnya menjadi semacam rumah kedua selama tujuh belas tahun berikutnya. Ketertarikanku terhadap menyanyi makin berkembang ketika aku mulai tergabung di dalam band, pada masa-masa SMP sampai kuliah. Di dalam komunitas-komunitas itu, aku menemukan bahwa aku betul-betul menikmati menyanyi, bahwa menyanyi bisa sewaktu-waktu melepaskan aku dari dunia nyata, bahwa menyanyi membuat aku tetap waras menghadapi hari-hari sulit.
Seiring dengan latihan vokal yang aku jalani sejak kecil, aku juga dimotivasi oleh Mama untuk belajar instrumen musik. Dua instrumen yang pernah aku kenal seumur hidupku adalah piano – instrumen yang aku pelajari selama kurang lebih tiga tahun melalui kursus privat, tapi kemudian aku berhenti di tengah jalan karena, berdasarkan yang aku ingat, di rumah guru lesnya ada anjing galak – dan gitar – instrumen yang sebetulnya aku nikmati selama kurang lebih lima tahun, tapi apa daya, sejak kuliah dengan jadwal sebegitu padat, instrumen ini sudah tidak aku kenal lagi sekarang –. Namun, setelah mengenal dua instrumen itu pun, aku tetap lebih tertarik menyanyi (walaupun sebetulnya membantu sekali lho, menyanyi plus juga bisa memainkan alat musik). Sekarang ini, aku menyentuh piano cuma kalau lagi bosen atau lagi membuat draft lagu. Itu pun jarang banget. Jadi, sementara ini, my instrument’s only in my mind, my body, my spirit: my voice. Hehehe.

Kalau influens bermusikmu siapa saja?
Soal influence, banyak banget dan multigenre sih, sebetulnya. Waktu kecil, ada beberapa musisi yang kasetnya harus banget ada di rumah dan didengerin hampir setiap hari, antara lain David Foster, Earth, Wind, & Fire, Chicago, The Carpenters apa lagi ya. Kadang-kadang, kalau Papa lagi pingin dengerin yang lebih lawas, berkumandang jugalah Jim Reeves, Elvis, Sinatra. Aduh. Apa lagi ya. Banyak sih. Bertumbuh remaja sampai dewasa, aku mulai mengenal Norah Jones, Cranberries, Nelly Furtado, Alanis Morissette, No Doubt, Eminem, Linkin Park, Evanescence, lalu muncul Keane, John Legend, John Mayer, Corinne Bailey Rae, Amy Winehouse, Mara Carlyle, Ingrid Michaelson, Sara Bareilles, Fleetfoxes, The Paper Kites, High Highs, Kimbra. Banyak dan multigenre kan.
Gak berarti aku gak suka musik Indonesia, justru beberapa tahun belakangan lagi kepincut banget dengerin Payung Teduh, Sore, dan White Shoes & The Couples Company. Tapi, yang gak pernah gagal memesona aku sampai sekarang adalah Eyang Titiek Puspa dan Alm. Chrisye.

Aku jujur saja baru dengar nama kamu pas di film Selamat Pagi, Malam ini, bagaimana ceritanya sampai bisa terlibat di project ini?
Nah, Selamat Pagi, Malam ini memang proyek film pertama yang aku kerjakan. Sebelumnya, aku lebih banyak di belakang layar: nyambi juga jadi manajer band, ngurusin kontrak kerja sama produksi atau direct program studio, semuncul-munculnya aku di depan khalayak paling sebagai background vocalist doang.
Jadi, sebetulnya, keterlibatan aku di dalam proyek film Selamat Pagi, Malam itu rasanya semacam kebetulan banget (meskipun gak ada yang kebetulan ya di dunia ini, hehe). Nah, kalau diceritain di sini, bakal jadi panjang banget. Kalau kamu berkenan, aku menyarankan kamu untuk membaca tulisan mengenai ini di petikanbulan.com, ada empat post yang nempel di halaman pertama mengenai ini. Sudah lengkap di situ semua, Lex.

What’s the inspiration untuk liriknya? Aku suka karena musiknya benar-benar mewakili rasa Jakarta di malam hari sepulang kantor.
Ketika menuliskan lirik “Selamat Pagi, Malam”, inspirasi terbesar datang dari filmnya sendiri. Toh, bagaimanapun, lirik lagu ini kan mesti erat hubungannya dengan si film. Jadi, memang, ketika itu, bahan diskusi-diskusi (dengan Ivan Gojaya, yang menciptakan musik untuk lagu ini) selama pra-produksi lebih banyak mengenai filmnya sendiri.
Buat aku, hal paling inspirasional dari filmnya sendiri adalah cara Lucky Kuswandi menampilkan bagaimana setiap aktor membuka topengnya masing-masing ketika satu malam turun di Jakarta: sangat jujur, sangat berani, dan sangat manusiawi. Ketika nonton filmnya, aku langsung berpikir, “Oh, betapa manusia Jakarta: hidup beramai-ramai dalam kesendirian masing-masing. Tapi, di film ini, peran-peran ini, hanya pada satu malam saja menemukan ruang kosong dan saling berbagi kesendirian di situ. Meski cuma buat satu malam itu aja. Besoknya, mungkin mereka kembali pada topeng-topeng sepinya masing-masing. Gak ada yang tahu.” Betapa, meskipun nyata, buat aku, itu rasanya sedih dan tragis. Nah. Rasa sedih dan tragis ini sebetulnya yang melandasi penulisan lirik “Selamat Pagi, Malam”.

Kalau Oendari sendiri melihat hidup di Jakarta itu seperti apa?
Hidup di Jakarta itu ibarat pacaran lama sama orang yang kita betul-betul cinta. Cinta sih, tapi karena terbiasa dan sudah lama bareng, jadi gak sungkan lagi saling menyakiti satu sama lain. Tapi, kalo yang satu pergi dari yang lain, rindu tetap ada.
Yang paling aku rindu dari Jakarta adalah memorinya. aku kurang lebih dua puluh tahun hidup di Jakarta, sebelum pindah ke pinggir kota. Banyak kenangan di berbagai sudut-sudut Jakarta: yang baik ataupun yang buruk, semuanya dari itu membentuk aku jadi aku yang sekarang. Kaya yang Anggia bilang di dalam film, ketika merenungkan masa-masa yang lewat di tempat-tempat yang pernah kita lalui di Jakarta, pada akhirnya Aku bisa bilang: life was so carefree – no heartbreak – no drama. Itu rasa yang ngangenin.

 Bicara soundtrack film, kamu paling suka OST film apa? What makes a good soundtrack?
What makes a good soundtrack. Hmmm. Good question. Hopefully, this won’t be a bad answer. Hahaha. Based on my first experience in SPM dan sebagai penikmat musik film aja yah, Lex. Buat aku, dalam membuat soundtrack, hal terpenting yang mesti aku ingat adalah: aku harus bertanggung jawab terhadap filmnya; aku harus bertanggung jawab (plus, super jujur) terhadap hatiku dan pikiranku sebagai penikmat filmnya; dan aku harus bertanggung jawab terhadap kata-kata dan melodi yang akan aku nyanyikan.
Soundtrack favorit yang keinget sampai sekarang: Landon Pigg & Lucy Schwartz – Darling, I Do. Kalau gak salah, itu soundtrack-nya Shrek, entah yang keberapa. Kenapa? Simply, it’s romantic.

Next project apa saja?
Hmmm. Next project. Setelah ini, sudah ada rencana rilis karya baru. Masih dengan format dan tema yang kurang lebih sama dengan karya untuk film Selamat Pagi, Malam. Doakan segera muncul titik-titik terang ya untuk ini.

http://petikanbulan.com/

Foto oleh Teddy Setiadjie

Best Served Cold: The Rising of Scandinavian Songstresses

What happens in Northern European’s music scene, never just stay in there. Tampaknya memang ada semacam sihir tersendiri dalam udara dingin dan lanskap pegunungan hijau di Eropa Utara yang menghasilkan inspirasi tersendiri bagi penduduknya dan membuat wilayah ini sebagai salah satu music capital dunia. Eropa Utara seakan tak pernah kehabisan musisi perempuan bertalenta dengan quirkiness masing-masing seperti Björk, Oh Land, Lykke Li, Robyn, dan nama-nama berkarakter lainnya. Meneruskan tradisi tersebut, berikut adalah deretan nama musisi perempuan Eropa Utara yang memadukan produksi musik progresif dengan bakat songwriting yang murni, and of course, a little bit of magic here and there.

Seinabo Sey
Seinabo Sey
Dengan latar belakang keluarga musisi asal Gambia, Seinabo Sundqvist Sey yang berasal dari Stockholm, Swedia menarik perhatian blog-blog musik terkenal lewat single bertajuk “Younger” yang menampilkan vokal soulful miliknya yang powerful dalam balutan produksi strings, dentuman perkusif, dan elemen synth yang euphoric. Terlebih ketika single tersebut di-remix oleh seorang producer/remixer Norwegia terkenal bernama Kygo yang berhasil menembus chart Hot Dance Club di Billboard Amerika dan kemudian memicu puluhan remix lainnya untuk lagu yang sama. Tak menunggu momentum lewat begitu saja, penyanyi berusia 23 tahun ini pun merilis single terbaru, “Hard Time” yang masih memadukan akar budaya musik Afrika Barat dengan Swedish-pop yang undeniably charming.
https://soundcloud.com/seinabosey

Sumie Nagano

Sumie
Terlahir dengan nama Sandra Sumie Nagano, singer-songwriter asal Gothenburg Swedia ini mungkin belum sepopuler kakak perempuannya, yaitu Yukimi Nagano yang merupakan vokalis band Swedia terkenal, Little Dragon. Bila Yukimi dikenal dengan musik electro-rock eksperimentalnya, maka Sumie lebih nyaman bermusik dengan bebunyian gitar akustik dan vokal dreamy yang mengawang lembut. Debut self-titled Sumie yang dirilis akhir tahun lalu berisi lagu-lagu akustik sentimental dengan keintiman yang subtle seperti “Spells You”, “Show Talked Windows” dan single “Never Wanted To Be” dengan video berkonsep animasi yang dibuat oleh ayahnya sendiri, Yasuke Nagano, yang menampilkan imaji salju, air, pepohonan, dan piramid yang akan menerbangkanmu ke dunia fiksi seperti dalam novel Haruki Murakami. Sederhana namun magis, her songs will keep you yearning for more.
http://www.sumienagano.com/

Tove Lo
Tove Lo
Sebelum merilis debut EP berjudul Truth Serum bulan Maret lalu dengan lagu-lagu electro-pop adiktif seperti “Habits” dan “Out of Mind”, Ebba Tove Elsa Nilsson atau yang lebih dikenal dengan nama Tove Lo telah berkarier sebagai penulis lagu dalam tim produser musik legendaris Max Martin untuk musisi-musisi seperti Girls Aloud, Lea Michele, dan duo Icona Pop yang juga sama-sama berasal dari Swedia. Gadis Stockholm berusia 26 tahun ini dijuluki sebagai Janis Joplin dari genre Swedish Pop and it doesn’t hard to see the resemblances. Keduanya memiliki rambut blonde ikal, senyuman yang lebih pas disebut dengan smirk, dan keberanian keduanya dalam menuangkan emosi personal dalam lagu secara brutally honest. Lulusan sekolah musik Rytmus Musikergymnasiet tersebut memadukan sensibilitas musik pop Swedia dengan balutan synth production yang magnetic dan berhasil menarik perhatian banyak fans dari seluruh dunia, termasuk Lorde yang mengungkapkan kekagumannya di Twitter. A future collaboration? Fingers crossed.
https://soundcloud.com/tovelo

Frida Sundemo
Frida Sundemo
Butuh keberanian khusus untuk tetap berpegang pada passion yang kamu punya, dan Frida Sundemo adalah salah satu yang berani. Gadis asal Gothenburg, Swedia ini memutuskan cuti dari kuliah kedokteran untuk mewujudkan impiannya merilis musik. Hasilnya adalah sebuah debut EP berjudul Indigo di akhir tahun lalu. Dengan vokal khas Skandinavia yang icy dan racikan melodi synth yang jernih dalam lagu “Indigo” dan “Snow”, Frida membuktikan jika ia tak hanya bermodal nekat dalam bermusik, she also got big talent to back it up. Pertengahan tahun ini, Frida kembali dengan EP terbaru berjudul Lit Up By Neon yang masih mengedepankan racikan Scandinavian pop seperti “Neon” dan “Hanging By A Thread” yang elegan, dingin, namun tetap terdengar organik. Not to mention, saat ini dia juga akan berakting dalam film adaptasi novel karya John Niven yang berjudul Kill Your Friends yang juga akan dibintangi oleh Nicholas Hoult dan Georgia King.
https://soundcloud.com/fridasundemo

Mercedes
Mercedes
I don’t need no visa cause I came through the speaker,” cetus rapper asal Denmark bernama lengkap Mercedes Seecoomar ini dalam debut single berjudul “Live in the Speaker”, sebuah lagu old school hip hop dengan electro vibes bombastis yang ia tulis dalam keadaan mabuk. Tipsy details aside, gadis Copenhagen yang kini menetap di Inggris tersebut mulai membuat musik sendiri setelah sebuah sesi rekaman bersama Alex James dari Blur dan menyebut Salt n Peppa, Roxanne Shante, Beastie Boys, dan Neneh Cherry sebagai idolanya. Walau belum merilis album, gadis berambut afro dan gaya 80’s swag ini dihujani pujian dari fans, tawaran kolaborasi dengan produser seperti MNEK, Si Hulbert, dan Tim Powell serta tampil sepanggung bersama Azealia Banks dan Zebra Katz. Consider that as her visa, I think she’s ready to fly off.
twitter.com/mercedesmyname

Farao
Farao
Farao yang bernama asli Kari Jahnsen adalah singer-songwriter asal Norwegia yang kerap disebut sebagai garda depan dari revolusi musik Eropa Utara saat ini yang didominasi musisi perempuan. Multi-instrumentalist berusia 26 tahun ini menarik perhatian blog musik ketika merilis cover balada akustik dari “Go With The Flow” milik Queens of the Stone Age dalam format unduh gratis. Namun, materi-materi original ciptaannya seperti “The Hours” dan “Skin” lah yang kemudian melambungkan namanya. Its a Scandipop meets folk meets ambient electronic yang direkam di Reykjavík bersama produser Mike Lindsay dari band folktronica Inggris, Tunng. Berisi haunting vocal, minimalist synth dan lirik bernuansa apocalypse, debut album Farao akan membuatmu membayangkan semilir dinginnya perairan Skandinavia.
https://soundcloud.com/faraomusic

MO

Menyebut Mø (dibaca “Muuh” yang berarti “virgin” dalam bahasa Denmark) hanya sebagai Grimes dari Denmark adalah sebuah understatement. Karena terlepas dari kemiripan musik keduanya yang sama-sama berfokus pada bebunyian elektronik eksperimental, gadis bernama asli Karen Marie Ørsted ini memiliki pesonanya tersendiri dalam musik maupun kepribadiannya. Terobsesi dengan Spice Girls, Sonic Youth, dan musik hip-hop, ia merilis EP bertajuk Bikini Daze yang berisi produksi elektronika futuristis yang sleek serta catchy hooks dan tak butuh waktu lama sampai ia menarik perhatian musisi elektronik kawakan seperti Diplo dan Avicii untuk berkolaborasi. No Mythologies To Follow yang menjadi judul full album pertamanya berisi 12 lagu electronic yang membius seperti “Waste of Time”, “Slow Love”, dan “Maiden”. Baru-baru ini juga, she pays tribute to Spice Girls dengan menyanyikan ulang “Say You’ll Be There” versinya sendiri. Girl power, indeed.
https://soundcloud.com/momomoyouth

As published on NYLON Indonesia June/July 2014

Artwork by Diah Pratiwi

On The Records: Francis Lung

FrancisLung
In an era when bands have moments rather than life-long careers, it’s seems easier to dub some new band as your “favorite band of the day” or “the next big thing” tags on your social media apps and just go with the flow like the rest of blogosphere and enjoy the hype surrounding the new band. And prepare your heart for the eventual break up after one, two LPs or even a handful of singles and EP. WU LYF (World Unite Lucifer Youth Foundation), the four-piece from Manchester England is one of those bands that decides to break up after releasing one awesome album that better than most music out there. It takes only one year after the critically acclaimed  debut album Tell Fire to the Mountain been released on 2011 for the band to called it quits. Its not a full stop for the former members, though. Ellery James Roberts the vocalist has been releasing some singles with his guttural and raw voices that’s not that far from WU LYF original materials while drummer Joe Manning and guitarist Evans Kati reunited with bassist Tom McClung last year to create the pop-centric trio Los Porcos. Not long after that, McClung emerging as solo artist under Francis Lung moniker and releasing indie rock singles like “Age Limits”, “A Selfish Man”, and “Tsunami Blues” that’s quite different with his former works. The songs are dancey and infectious with pop sensibilities amidst the darker lyrics like natural disasters and loneliness. Now, the singer-songwriter ready for his own path.
Hello Tom, how are you? Where are you right now and what were you doing before answering this email?
I’m really good thanks, I’m in my flat in Manchester and I was just restringing my acoustic with D’addario 13 gauge phosphor bronze series strings. do I get an endorsement now?
I just wonder if people usually call you Tom or Francis nowadays? What’s the story behind the moniker?
People usually call me Tom, or Lung, maybe even Francis for a joke. Francis is my confirmation name (Catholic). I needed a name for the new project I was starting, so I thought I’d work with what I already had.
When I’m listening to your songs, I can’t help but think they’re sounds very different than WU LYF’s songs. Do you think you kinda held back you own musicality before?  And what’s going solo means for you personally and creatively?
I don’t think I held back my own musicality in the band, I only learnt more about it. I learnt a lot about playing less, about so called ‘economy of notes’, and how to rock. just because somebody finds themselves behind a bass one day doesn’t mean their musicality is compromised, just altered. I guess now I’m ‘solo’ I am free to play more instruments and pursue my own musical ambitions, but the ethos is the same. using your notes and words to best effect.
Looking back, WU LYF gains some big recognition, but how you do really feel about that?
I’m really grateful and honoured that people feel like we made something worthwhile.
What were you doing after you guys decide to break up? How’s the relationship towards your former band mates?
What was I doing? Apart from drugs? Only joking. I guess after we split I had to reassess things in my life. A huge part of that was deciding to pursue my solo project full time and to finish recording a batch of songs I had never got around to finishing. my relationship with my friends is different, but its not bad. Its certainly better than it was.
Well, enough talking about yesterday. Please share some stories about your upcoming records, what’s the main theme of it?
I’m gonna be releasing the first volume of a collection of music entitled “Faeher’s Son” this spring, hopefully. The story is; I recorded these songs by myself in my bedroom and tried to get signed. the plot is ongoing and I don’t know how it will end. Themes include – frustration, desperation, fear, dissatisfaction and stale smoke.
Who are some singer songwriters that really influence your works?
Paul Westerberg, Alex Chilton, Stephin Merritt, Neil Young, Cass McCombs and Neil McClung.
You said you want to continue as one-man band, and recently you’re supporting Kishi Bashi who pretty much doing anything himself, how was it?
He’s certainly a unique performer.
“A Selfish Man” and “Tsunami Blues” were telling about tsunami disaster, what inspires you to write songs about it?
I wanted to tell a story within a song that wasn’t based on anything I’d experienced before. It originally was about some god-like force destroying the earth in a ’10 plagues’ sort of way. Then I thought if it could be relatable to something recent that happened, like the tsunami, it could become relatable.
What’s next from you?
A shiny black Fender Stratocaster.

Sweet Disposition, An Interview With Ayushita

Membintangi film yang akan ditayangkan di Sundance Film Festival dan bersiap merilis album solo perdananya, Ayushita tengah melangkah riang dengan visi baru. 

Mendengar nama Ayushita Nugraha, mungkin kamu langsung teringat dengan Bukan Bintang Biasa alias BBB. Dalam grup musik besutan Melly Goeslaw tersebut, Ayu dan 4 artis muda lainnya menarik perhatian publik dengan konsep mereka yang menekankan jika masing-masing personelnya memang artis serba bisa. Saya sendiri selalu merasa gadis kelahiran Jakarta 23 tahun lalu tersebut memang punya sesuatu yang lebih dibanding artis-artis sebayanya yang lain. There’s some sort of big potential yang sayangnya masih terasa belum dimaksimalkan, seakan menunggu sebuah outlet atau momen yang tepat untuk akhirnya tersibak. Fortunately, that time has finally come for her.

Diiringi musik swing dan Motown yang memenuhi sebuah kafe di bilangan Kemang, Ayushita yang terlihat segar dengan rambut panjangnya mulai bercerita tentang dua proyek besar yang sedang dijalaninya. Yang pertama, dalam waktu dekat ia akan terbang ke Amerika untuk menghadiri Sundance Film Festival, di mana film terbarunya akan melakukan world premiere. Berjudul Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta (What They Don’t Talk About When They Talk about Love), film garapan Mouly Surya tersebut terpilih dalam kategori The World Dramatic Competition untuk festival yang berlangsung di Salt Lake City, Utah itu. Di film ini ia memerankan salah satu tokoh utama bernama Fitri, gadis tuna netra yang berjumpa dengan Edo (diperankan Nicholas Saputra), seorang punk rocker dengan gangguan pendengaran yang menyamar menjadi dokter. Premisnya memang merujuk pada cerita cinta, namun jelas yang terpapar kali ini adalah cinta yang lebih rumit karena keterbatasan fisik mereka berdua. “Di film ini para pemain lebih dibebaskan mengembangkan karakter dan tidak terpaku vision Mbak Mouly sebagai director. Tidak ada pressure sama sekali dan waktu aku fix dapat peran ini, aku diajak ngobrol panjang lebar dengan Mbak Mouly berdua saja tentang film ini karena ceritanya kan masalah perempuan, and she’s convinces me that I can do it,” ungkap Ayu yang mengaku sempat ragu-ragu untuk memerankan penyandang tuna netra, sebuah peran yang mendorongnya melakukan observasi di panti tuna netra, belajar huruf Braille, memakai makeup sendiri tanpa melihat, sampai belajar pijat.

Exactly? Dari umur 3 tahun,” jawab Ayu tentang awal kariernya. “Dulu foto baju anak-anak, iklan, dan waktu SD sempat ditawarin sinetron tapi aku nggak mau,” kenangnya sambil tersenyum. Nama Ayushita sendiri resmi dikenal publik saat ia selesai mengikuti ajang Gadis Sampul 2004 yang bersamaan dengan syuting perdananya untuk FTV berjudul Bekisar Merah garapan Miles Production. Perannya sebagai cewek tomboy yang menyamar sebagai anak laki-laki untuk bermain bola membuatnya dinominasikan untuk Piala Vidia FFI 2004 dalam kategori Pemeran Wanita Utama Terbaik. Walau akhirnya kalah dari Ria Irawan, dalam ajang yang sama, ia meraih penghargaan khusus Aktris Pendatang Baru Terbaik. Sejak itu kariernya melesat dengan membintangi beberapa judul film lainnya dan terlibat dalam BBB.

ayushita2

Terjun ke dunia showbiz yang keras dari usia dini, apakah ia memiliki semacam regret tersendiri? “I’m sure have once in a while,” jawabnya sambil menyesap iced tea dengan hati-hati. “Waktu itu aku pernah ngambil satu produksi yang mungkin karena aku terbiasa dengan produksi jangka panjang, all of sudden I must do an instant and very industrial thing. I was so shocked, kayak yang ‘Gila, ternyata kayak gini banget ya?’ Aku selalu memerlakukan satu produksi sama dengan lainnya, I give my best. Tapi yang satu ini feedback-nya memang kurang seimbang jadi waktu itu sempat bikin males, akhirnya aku lanjutin kuliah yang pending dua tahun,” ungkapnya serius sambil menyinggung tentang kuliahnya di jurusan Performing Arts Communication di London School. “Aku ternyata lebih senang mengerjakan sesuatu dengan preparation. I don’t say I hate that industrial thing, I feel thankful for the experiences. Dari situ juga aku akhirnya merasa jauh lebih happy karena aku jadi punya banyak waktu untuk bikin sesuatu seperti album musik aku sendiri,” lanjutnya.

Yup, proyek besar kedua Ayushita saat ini adalah sebuah album solo debut. Di bawah label Ivy League Records milik Ramondo Gascaro dari band Sore yang juga menaungi Payung Teduh dan Darryl Wezy, Ayu menunjukkan potensi lain dalam dirinya lewat lagu-lagu garapan Mondo, Ricky Virgana dari White Shoes & The Couples Company dan Anda Perdana berupa pop eklektik yang easy listening. Proyek ini sendiri tercetus setahun lalu dari sebuah jamming iseng antara Ayu dan Ricky yang mengunggah rekaman video mereka meng-cover lagu The Bird & The Bee ke YouTube. Album yang direncanakan rilis sekitar bulan Februari atau Maret ini berisi 8 lagu dengan dua lagu berbahasa Inggris, dan judul albumnya sendiri akan bertajuk Morning Sugar. “Yang milih judulnya kakak aku, Karin. I dunno why, she really loves those words, haha. Morning Sugar itu buat aku sendiri adalah suatu hal yang menyenangkan, jika ada yang bilang ‘Morning, sugar!it’s such a sweet thing,”

Saat mendengar single berjudul “Fufu-Fafa” di iPod-nya, kesan yang terdengar adalah musik pop yang fresh dan laidback seperti lagu-lagu yang dibawakan Zee Avi, Bic Runga atau Dia Frampton. Untuk influens musikal sendiri, Ayu tak terpatok genre tertentu, ia mendengarkan beragam musik, mulai dari R&B, 90’s alternative rock, jazz hingga classic. “Kalau untuk lagu aku sendiri, dari komentar yang sudah dengar ada yang bilang genrenya ini genrenya itu, beda semua pendapatnya. Aku sih bebasin aja ke yang dengar, terserah mau bilang genrenya apa, nggak mau mengotakkan album aku sendiri,” tukasnya. Selain warna vokal Ayu yang berkarakter, yang membuat album ini terasa menjanjikan tentu tak lepas dari otak kreatif di balik aransemen musiknya yang menarik. Untungnya, Ayu tak menjumpai kendala saat menyatukan visi antara pembuat lagu dan dirinya. “Penyesuaian antara karakter suara dan musik itu pasti ada. Sebelum mereka buat lagu, aku maksa mereka dengerin suara aku dulu biar tau cocoknya gimana karena kan belum tentu apa yang mereka bikin bisa cocok aku nyanyiin. Tapi mereka tetap bebas berekspresi, aku nggak maksa misal aku suka lagu seperti apa, mereka harus bikin yang kaya gitu. As long as kita sama-sama suka ya diterusin,” ungkapnya.

Dengan dua proyek besar yang seakan menjadi momen turning point untuk seorang Ayushita, baik secara personal maupun profesional, bagaimana Ayu memandang dirinya sendiri saat ini? Ia sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya memberi jawaban, “Apa ya? Mungkin beda dari sebelumnya, aku sekarang merasa lebih chic. Banyak yang lama nggak ketemu aku bilang ‘hah kok lo cewek banget sekarang?’ haha… Ya nggak tau deh mungkin sekarang umurnya lagi seneng centil, haha. Sama dengan albumnya, terserah orang mau bilangnya kaya gimana tapi this is Ayushita now,” lugasnya dengan senyuman cerah.

As published on NYLON Indonesia January 2013

Photo by Rude Billy.

On The Records: Risa Saraswati

Story of Peter

Risa Saraswati seolah terbiasa hidup dalam dua dunia yang berbeda, baik secara kiasan maupun harafiah. Kartu Identitasnya menegaskan jika ia memiliki daily job sebagai pegawai negeri sipil, namun sebetulnya banyak orang lebih mengenal namanya sebagai seorang musisi, berkat perannya sebagai vokalis pertama band electropop Homogenic sebelum memutuskan keluar lalu memulai karier solo dengan nama Sarasvati dan merilis EP berjudul Story of Peter tahun 2010 lalu. EP berisi 7 lagu tersebut mendapat respons positif karena musikalitasnya yang memang menarik, di mana Risa memadukan melodi pop bernuansa eerie dengan vokal merdunya yang menyanyikan lagu-lagu naratif yang liriknya ia tulis sendiri.

 Faktanya, Risa memang termasuk orang yang memiliki kelebihan untuk bisa melihat dan berkomunikasi dengan mereka yang tak kasat mata. Sebelumnya mungkin hanya orang terdekatnya yang mengetahui soal ini, namun kini hal itu bukan rahasia lagi, terutama setelah di awal tahun 2012 Risa menulis sebuah buku berjudul Danur yang merangkum cerita persahabatannya dengan lima hantu anak-anak Belanda sejak ia masih kecil sampai sekarang. Menjelang akhir tahun 2012 kemarin, Risa menyiapkan kejutan tersendiri dengan menggelar konser solo Sarasvati bertajuk Nishkala di Sabuga Bandung tanggal 1 November lalu. Dan dalam konser yang ditonton 3 ribu orang dan melibatkan 96 talent tersebut, album kedua Sarasvati berjudul Mirror dan buku kedua Risa berjudul Maddah pun dirilis secara bersamaan.

Hi Teh Risa, apa kabar? Lagi apa sebelum balas email ini?
Sedang sibuk mengurus proses mutasi PNS saya ke kota Bandung, hihihi.

Sekarang lagi sibuk apa saja?
Masih menghajar tawaran manggung dan promo radio untuk Sarasvati dan buku kedua saya.

Congrats untuk digelarnya mini konser Nishkala, bagaimana persiapannya?
Sepertinya itu bukan mini konser, hahaha, karena ditonton 3.000 orang dan ada 96 talent yang terlibat dalam Nishkala Sarasvati. Persiapannya luar biasa bagai Sangkuriang membuat perahu untuk ibunya, kurang lebih selama 1 bulan ketar ketir mewujudkan konsep yang sudah disusun. Beruntung, semuanya berjalan lancar sesuai dengan keinginan kami (Sarasvati) dan pihak sponsor.

Maddah

Mana yang lebih dulu muncul, novel Maddah atau album Mirror? Dan bagaimana mereka saling memengaruhi satu sama lain?
Keduanya lahir bersama di tanggal 1 November 2012, bertepatan dengan konser Nishkala. Memang direncanakan seperti itu, lahir bersamaan dalam sebuah konser yang mewakili keduanya. Ada beberapa lagu yang bercerita tentang beberapa bab di Maddah. Cukup berkesinambungan, rasanya tak cukup jika hanya memiliki salah satunya 🙂

Apa cerita di balik pemilihan judul “Mirror” dan “Maddah”?
Maddah merupakan saduran bahasa Arab ke Indonesia yang berarti “perpanjangan”, ini adalah buku perpanjangan dari buku pertama saya Danur. Sementara Mirror diambil dari salah satu judul lagu di album ini, kami mengartikan “sebuah cara pandang baru dari mereka yang tinggal di dalam cermin”. Mungkin kamu pernah berandai-andai bahwa ada sebuah dunia di balik sebuah cermin?

Mirror

Konsep packaging CD-nya yang berupa sepucuk surat usang itu idenya darimana? Dan ilustrasi seram di CD-nya mirip seperti lukisan tua Oei Hui Lan di Hotel Tugu, apa memang referensinya dari situ?
Konsep sebenarnya muncul dari cover designer (Syagini & Zanun), mereka membaca lirik dan mendengarkan materi album lalu mencoba menerjemahkannya dalam sebuah design. Untuk lukisan Oei Hui Lan di Hotel Tugu sendiri memang sempat saya mengungkapkan kekaguman saya terhadap lukisan itu pada designer, dan akhirnya menjadikan referensi untuk album Mirror.

Bagaimana ceritanya sampai Cholil Efek Rumah Kaca, Arina Mocca dan Dewa Budjana bisa terlibat di album ini?
Saya dan Cholil pernah berkolaborasi di konser Mancawarna tahun lalu, dan terlintas keinginan untuk berkolaborasi pada lagu Sarasvati di album terbaru, beruntung Cholil sangat antusias menerima ajakan kami untuk bernyanyi penuh di lagu baru kami. Arina sendiri merupakan sahabat saya, kami pernah bernyanyi bersama di lagi “Danur” versi free download, lagi-lagi beruntung pada saat proses recording album Mirror, Arina sedang berlibur pulang ke Indonesia, maka diaransemen ulanglah lagu “Danur” dengan merekam kembali suara Arina di studio. Dewa Budjana? Ini benar-benar di luar ekspektasi kami, lewat perkenalan via sms karena beliau sering melihat video kami di Youtube, berlanjut bertemu dan tercetus “Kapan-kapan mau dong ikut berpartisipasi di album Sarasvati!”, voila!!!! Aha aha aha.

Saya pernah baca kalau Teh Risa bilang studio rekaman adalah tempat kondusif untuk “mereka” dan sering ada kejadian-kejadian aneh saat Teh Risa di studio, apa kali ini juga begitu?
Hmmm mungkin sebenarnya banyak kejadian-kejadian aneh saat penggarapan album ini, tapi konsentrasi saya dan teman teman Sarasvati lebih ke “bagaimana caranya agar lekas rampung” karena deadline dan tanggal konser yang sudah terpampang di hadapan kami semua, hihi. Jadi kami cuek-cuek saja walau banyak orang luar yang berkata ada kejadian ini itu, hihi.

Jika harus memilih, mana dari 10 lagu di album ini yang menurut Teh Risa paling berkesan, entah saat penulisan, perekaman atau cerita di baliknya?
“Death Can Tell A Lie”, track terakhir di album Mirror ini bukan ditulis oleh saya. Lagu ini muncul menggenapkan album kami menjadi 10 track, muncul di saat kami sudah mulai stuck dengan stok lagu. Tiba-tiba saja Kiki Chan (vokalis Olive Tree, designer fragrance) nge-bbm saya dan bilang “Aku punya lagi yang kayaknya cocok buat Sarasvati”. Begitu mendengarkan, saya langsung jatuh cinta dan meminta Kiki untuk masuk studio keesokan harinya 😀

Secara musikal, apa yang membedakan album ini dari album sebelumnya? Ada influence tertentu?
Mmmmh… Saya merasa Sarasvati yang sekarang adalah sebuah kesatuan band, bukan solo project lagi. Perbedaan latar belakang musik para personelnya tak menjadi hambatan untuk bersama-sama mengaransemen lagu-lagu di album ini, sebaliknya malah membuat musik Sarasvati menjadi semakin kaya.

Di Sarasvati sendiri sekarang ini ada berapa orang yang terlibat?
Kami terdiri dari 11 orang personel. Risa (vokal), Egi (gitar, arr), Akew (gitar, arr), Gallang (bass, arr), Yura (kibor, vokal latar), Diva (kibor), Shella (vokal latar), Jimbot (kecapi suling), Sherry (drum) dan Papay (drum).

Sempat ada yang bilang  jika setelah album kedua, Sarasvati akan bubar, apakah hal itu tetap akan terjadi?
Entahlah, tapi kalau kata Kiki Chan sih “Death Can Tell A Lie” bukan? Hahaha lihat saja nanti 🙂

Ada rencana bikin video klip lagi?
Segera, dalam waktu dekat.

Kalau Teh Risa sendiri sekarang ini lagi suka ngapain sih di luar musik?
Menulis cerita-cerita baru, hehe, syuting untuk acara cari hantu di TV nasional (ssssh yang ini tak usah dibahas lebih lanjut ya hihi) dan bekerja sebagai PNS.

Gimana sih kondisi ideal untuk menulis bagi Teh Risa? Siapa penulis favorit teteh?
Kondisi ideal? Saat mood menulis sedang datang dan tak ada kerjaan, hehehe. Saya suka sekali Enyd Blyton dan R.L Stine.

Apa cerita horror (buku/film) favorit Teh Risa?
Suka sekali film Interview With Vampire, kalau buku… Mungkin karya-karyanya R.L Stine ya 🙂

Apa harapan/rencana Teh Risa selanjutnya?
Buku saya dan CD Sarasvati laris manis sehingga balik modal… Hihi FYI kami merilis tanpa label dan penerbit. Doakan ya! 😉

nishkala

http://www.sarasvatimusic.com/

Foto oleh Marisca Violeta