The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Aku Terbatas tapi Tanpa Batas-Joko Sulistya-Final

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by fitasheva.19, 2021-12-27 19:25:56

Aku Terbatas tapi Tanpa Batas-Joko Sulistya-Final

Aku Terbatas tapi Tanpa Batas-Joko Sulistya-Final

dan imut harus berkenalan dengan alat-alat operasi.
Itu dari segi fisik, belum lagi dari segi biaya.

Ternyata, untuk operasi mata dibutuhkan biaya
yang sangat tinggi. Selain mahal, kami juga harus
menunggu selama 4 bulan. Mengingat semua itu, orang
tuaku memutuskan untuk mengobatiku ke rumah sakit
mata. Karena rumah sakit ini swasta, semua tampak
lebih mudah. Ya, minimal orang tuaku mendapatkan
dispensasi pembayaran. Tidak perlu menunggu waktu 4
bulan, mereka segera mengoperasi mataku. Kata Mamak,
aku dibawa ke ruang operasi. Operasi mata sudah
dilakukan, tetapi hasilnya kurang maksimal. Mataku
belum bisa sembuh total. Namun, yang kusenang dari
rumah sakit itu adalah gratisnya semua biaya. Orang
tuaku tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun.

Walau tidak berhasil sembuh, orang tuaku tidak
putus asa. Mereka mencoba mencari jalan lain. Akhirnya,
orang tuaku pergi ke kantor Pertuni (Persatuan Tuna
Netra Indonesia) yang ada di Yogyakarta. Orang tuaku
meminta saran dan masukan tentang penyakitku.
Kemudian, mereka menyarankan orang tuaku untuk
mengobatiku ke Bandung. Katanya, di Bandung ada
rumah sakit yang bisa menyembuhkan mataku. Dengan
semangat '45, Mamak dan Bapak pergi ke Bandung.
Tujuannya satu, yaitu mengobatiku ke rumah sakit
mata itu.

Itulah pertama kalinya aku menginjakkan kaki
di Kota Bandung. Katanya, kota ini indah dan sejuk.
Kesejukannya bisa kurasakan, tetapi keindahannya

43

tidak bisa aku lihat. Kadang hawa daerah Bandung malah
dingin sekali. Setelah operasi pertama, mataku belum
mengalami kesembuhan. Kemudian, dilakukan operasi
berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Kuhitung ada
lima kali mataku dioperasi. Demi kesembuhan, aku dan
orang tuaku hanya mengikuti saran dokter rumah sakit
saja. Toh, mereka yang lebih tahu.

Foto 15 Aku Digendong Mamak
Sumber: Koleksi Pribadi Oktavia
Biarlah mereka mengutak-atik bola mataku hingga
lima kali. Selama operasi beberapa kali tersebut, yang
kuperoleh hanya mata panas dan sakit. Rasa sakit
selalu mendera saat kupaksakan mataku untuk melihat.
Sampai akhirnya, operasi yang terakhir, yaitu operasi

44

yang kelima. Mereka menemukan penyakitku yang
rumit. Aku tidak hanya menderita katarak, tetapi juga
glukoma. Kedua penyakit ini sangat sulit disembuhkan.
Dengan hasil seperti itu, aku pun pasrah menerima
kenyataan. Apalagi saat itu aku masih kecil, belum
mengetahui manfaat dari kedua mataku. Mungkin ini
sudah takdirku memiliki mata yang buta. Cukuplah
penderitaanku dioperasi berulang kali.

Keputusasaanku berbanding terbalik dengan
semangat orang tuaku. Mamak dan Bapak ternyata
masih mengusahakan kesembuhanku. Mereka
menemukan cara lain, pengobatan yang berbeda. Mereka
akan membawaku ke pengobatan alternatif. Pada
waktu itu, pengobatan alternatif sangat marak. Dari
sekian tempat pengobatan alternatif yang ada, hanya
satu pilihan orang tuaku. Pilihan yang harus dipilih
saat pengobatan medis hasilnya nihil. Namun, tempat
pengobatan alternatif ini cukup jauh. Hanya satu alasan
mengapa orang tuaku bersikeras untuk pergi ke sana.
Pengobatan alternatif ini manjur dan banyak orang
telah berhasil disembuhkan di sana. Jadi, begitulah.
Walaupun letaknya jauh, di daerah Sukabumi, Jawa
Barat, orang tuaku tetap mengajakku berobat ke sana.

Sejak memutuskan untuk berobat, aku dan orang
tuaku bolak-balik ke Sukabumi dua kali. Lagi-lagi
terjadi, bukannya sembuh, mataku justru bertambah
sakit. Orang tuaku tidak menyadari akibat pengobatan
itu terhadapku. Lalu kuceritakan kegelisahan ini
kepada orang tuaku. Syukurlah, mereka mau menerima

45

keluhanku. Sejak kuungkapkan rasa sakit yang
kuderita, mereka menghentikan pengobatan alternatif
tersebut. Aku tidak lagi dibawa ke Sukabumi. Sekarang
orang tuaku pasrah dengan penyakit mataku.

“Yang penting kita sudah berusaha, Yu,” hibur
Mamak.

“Iya, Mak, tetapi tetap saja tidak ada hasilnya,”
jawabku dongkol.

Suasana menjadi hening, entah Mamak menangis
entah tidak. Aku tidak mengetahuinya. Tidak kudengar
isak tangisnya. Biasanya telingaku sangat peka.
Bahkan, orang berbisik-bisik saja bisa kudengar dengan
jelas. Kali ini tidak, semoga Mamak tidak terisak.

“Bayu, sekarang diterapi saja, Pak.”
Kudengar suara Mamak lagi.
“Mana yang terbaik saja, Bu,” pupus Bapak.
Mereka sudah mempunyai rencana lain. Mereka akan
memberikan terapi kepadaku. Terapi? Siapa yang akan
memberi terapi? Terus di mana? Berbagai pertanyaan
muncul di kepalaku. Aku tidak terlalu paham apa dan
bagaimana terapi itu.
Setelah diputuskan untuk melakukan terapi, aku
pun dibawa ke luar rumah lagi, tetapi tidak di luar
Yogya seperti sebelumnya, hanya di Rumah Sakit
Sarjito Yogyakarta. Di sana aku diberikan terapi dua
kali seminggu. Jadi, Mamak dan Bapak mengantarku
ke sana. Di rumah sakit itu, bola mataku dites lagi.

46

Mereka berharap bisa menyelamatkan sisa-sisa
penglihatan yang kupunya. Aku memang masih bisa
melihat dari jarak dekat. Orang-orang menyebutnya low
vision. Jadi, untuk jarak tertentu aku masih bisa melihat,
tetapi kalau jaraknya terlalu jauh, aku sudah kesulitan.
Jarak ideal membacaku hanya sekian sentimeter, dekat
sekali. Namun, mau bagaimana lagi, memang seperti
itu kenyataannya. Waktu di rumah sakit itu, kesulitan
yang lain pun ditemukan.

Foto 16 Aku Pergi Tamasya
Sumber: Koleksi Pribadi Oktavia

47

Tidak hanya penglihatan, aku juga punya masalah
untuk berjalan. Pada umumnya bayi bisa berjalan
setelah 1 atau 1,5 tahun, tetapi aku baru bisa berjalan
setelah 2 tahun. Cukup lama memang. Ternyata sakit
mataku memengaruhi kerja organ yang lain. Diterapi
itulah salah satu solusi untuk bisa berjalan. Syukurlah,
Tuhan Mahabaik. Aku sudah bisa berjalan walaupun
terlambat. Kabar ini cukup menggembirakan kedua
orang tuaku.

Satu masalah selesai, timbul masalah yang lain.
Pada usia 3 tahun, aku belum bisa berbicara. Untuk
mengucapkan satu kata pun terasa susah. Mamak
merasa khawatir. Mamak dan anggota keluarga
yang lain terus membimbingku agar aku bisa bicara.
Ya, minimal satu kata dulu. Dengan telaten mereka
mengajariku mengucapkan beberapa patah kata.
Akhirnya, menginjak usia 3,5 tahun, aku bisa berbicara.
Mungkin lega hati Mamak dan Bapak mendengarku
mengucapkan beberapa patah kata.

Berobat ke Mana-Mana

Setelah usaha yang dilakukan tidak membuahkan
hasil, kami pun pasrah. Kuikuti semua keinginan orang
tuaku. Pun aku tidak bisa mengelak, toh, aku masih
anak-anak. Namun, justru karena aku masih anak-
anaklah yang membuat bingung Mamak dan Bapak.
Mereka tentu sangat kesulitan mencarikan pendidikan
buatku.

48

Namun, Mamakku, Bu Sri Mulyani, sosok yang
tegar dan ulet. Nama yang mirip dengan nama Menteri
Keuangan Indonesia. Keduanya kurasa sama-sama
pekerja keras dan ulet. Mamak pun begitu. Beliau
mencarikan jalan menuju dunia pendidikan. Menurut
Beliau, apa pun jenis sekolahku nanti aku harus pandai
dan terdidik. Apalagi tidak mungkin kan aku hanya di
rumah saja? Itu juga yang menjadi keresahanku.

“Mak, aku mau sekolah. Aku bosan di rumah terus,”
pintaku saat berumur 7 tahun.

Sementara itu, teman-teman seumuranku sudah
masuk TK. Kudengar Mamak mencarikan sekolah. Ada
sebuah TK dekat rumah, TK Sedya Makmur, yang mau
menerima. Dengan harapan tinggi, Mamak memohon
izin kepada guru TK agar aku boleh mendengarkan
pelajaran di kelas.

Syukurlah permintaan Mamak dikabulkan. Sejak
hari itu, aku diantar Mamak pergi ke TK. Aku hanya
menjadi pendengar yang baik di situ. Semua aktivitas
yang dilakukan di sekolah tidak aku ikuti. Memang
perjanjian awal seperti itu dan aku tidak mau merepotkan
siapa pun. Aku pun menerima syarat itu. Aku sudah
sangat bersyukur berada di kelas dan mendengarkan
guru mengajar. Kadang juga kudengar teman-teman
berbicara. Ramai sekali.

Ternyata guru-guru di TK itu sangat baik. Kadang
aku diajak beraktivitas seperti siswa yang lain. Bahkan,
aku juga diberi nilai. Entah berapa nilai yang kuterima.

49

Setahun berjalan, saatnya bagiku untuk pindah sekolah.
Layaknya anak yang lain, aku harus mencari sekolah
lanjutan. Ada dua pilihan bagiku: sekolah umum atau
SLB (sekolah luar biasa). Namun, Mamak bersikeras
untuk menyekolahkanku di sekolah umum.

Foto 17 Aku Pulang Sekolah
Sumber: Koleksi Pribadi Oktavia
“Kenapa aku di sekolah umum, Mak?” tanyaku
heran.
“Bapak di Pertuni, kamu mampu di sekolah umum.
Sayang kalau kamu di SLB,” jawab Mamak.

50

Rasa bangga menyeruak di hatiku. Aku mampu. Ah,
Mamak bisa saja menghiburku. Begitulah. Kemudian,
Mamak mencarikan aku sekolah lagi. Kata Mamak, dia
mau menemui kepala sekolah SD negeri terlebih dahulu.

Ya, Mamak mau minta izin untukku agar
diperbolehkan belajar di SDN 3 Panggang. Tidak
perlu muluk-muluk, Mamak hanya minta agar aku
diperbolehkan bergabung di kelas. Allah Mahabesar.
Aku diperbolehkan belajar di SD tersebut. Satu masalah
selesai, tetapi masalah lain muncul. Aku tidak bisa
membaca apa yang tertulis di papan tulis. Walaupun
aku duduk paling depan, masalah tetap sama: tidak
jelas.

Salah satu cara agar aku bisa membaca tulisan di
papan tulis atau buku, aku menggunakan teropong dan
kaca pembesar. Kalau mau membaca tulisan di papan
tulis, aku menggunakan teropong. Namun, kalau mau
membaca buku, aku menggunakan kaca pembesar.
Kadang menggunakan kedua alat itu membuatku capek.

Saat kusampaikan keluhanku, Mamak pun mencari
akal. Beliau sering memfotokopi tulisan atau buku
dengan ukuran super besar. Kadang diperbesar sampai
ukuran huruf 18. Dengan diperbesar, aku bisa membaca
tanpa bantuan apa pun. Aku cukup lancar membaca
kalimat dengan ukuran besar. Namun, ini tidak
berlangsung lama sebab uang Mamak lama-lama habis
untuk memperbesar catatan atau buku.

51

Demi menghemat pengeluaran, aku rela
menggunakan teropong atau kaca pembesar lagi.
Biarlah rasa capek kutahan daripada uang Mamak
terkuras habis. Kelemahan dalam soal membaca tidak
menghalangiku untuk berprestasi. Saat kelas 4 SD, aku
pernah diikutkan lomba Olimpiade MIPA (Matematika
dan IPA) Anak Berkebutuhan Khusus. Alhamdulillah,
aku meraih juara II tingkat provinsi. Sebenarnya, aku
berharap juara I agar bisa maju ke tingkat nasional.

Foto 18 Aku Ganteng, Kan?
Sumber: Koleksi Pribadi Oktavia
Kalau maju ke tingkat nasional, aku kan bisa pergi
ke Bali. Pada tahun itu final olimpiade dilaksanakan di
Bali. Walaupun menderita low vision, aku tetap ingin
pergi ke Bali. Aku ingin merasakan hembusan angin

52

dan riak ombak Pantai Sanur. Semoga suatu saat aku
bisa pergi ke sana. Itu prestasiku saat kelas 4 SD.

Tidak hanya olimpiade, aku juga diikutkan dalam
lomba CCA (Cerdas Cermat Agama) tingkat kecamatan.
Waktu itu aku duduk di kelas 5 SD. Dengan persiapan
dan usaha yang keras, aku menjadi Juara I CCA tersebut.
Sejak saat itu aku percaya bahwa usaha yang keras
dan doa yang sungguh-sungguh membuat semuanya
menjadi mungkin. Hanya dengan mengandalkan indra
pendengaran, aku bisa meraih prestasi. Prestasi yang
membanggakan. Paling tidak membanggakanku, orang
tua, dan sekolahku.

Alat Bantu Melihatku

Teman-teman, tahu enggak sih alat bantuku?
Sebetulnya ada banyak alat bantu yang bisa digunakan.
Yang utama dan pertama tentu saja tongkat. Namun,
alat itu jarang kugunakan sebab aku lebih mengandalkan
daya ingatku. Misalnya, saat melewati Jalan A, aku akan
mengingat beberapa hal. Kemudian, aku menghafalkan
jalan tersebut, terutama jalan yang biasa kulewati.

Memang sih pertama aku masih membutuhkan
bantuan orang lain. Ya, satu atau dua kali. Selanjutnya,
aku lebih suka berusaha sendiri. Begitu pun saat di
sekolah. Jalan dari pintu kelas sampai ke tempat Bapak
menjemputku, aku hafalkan sehingga tidak merepotkan
orang lain. Kalau aku lupa atau tidak bisa menghafal,
aku akan duduk menunggu jemputan.

53

Namun, kadang-kadang teman-teman atau guruku
menggandeng dan mengantar sampai ke tempat yang
kuinginkan. Ah, pokoknya masih banyak orang baik
di sekitar kita. Itulah alasanku tidak menggunakan
tongkat. Tongkat tidak lagi menjadi alat utama bagiku.
Aku kadang lebih mengandalkan sebuah ponsel agar bisa
menghubungi keluargaku. Itu lebih efektif dan efisien.
Kamu pasti bingung, ya, bagaimana aku menggunakan
ponsel? Nanti aku ceritakan deh.

Selain tongkat, alat yang jarang kugunakan adalah
buku Braille. Kata Mamak, aku menjadi manja saat
membaca huruf Braille sebab sebenarnya dulu aku
masih mempunyai sedikit penglihatan. Ya, cara itu
memaksimalkan penglihatanku waktu itu. Kata
Mamak, supaya saraf-saraf mataku aktif dan bekerja,
kumaksimalkan sisa-sisa penglihatan. Jadi, buku
Braille tidak kupergunakan. Setidaknya, aku sudah
dapat gantinya. Tentu saja pengganti yang lebih efektif
dan efisien. Apalagi rasanya capek sekali menggunakan
Braille itu. Bukunya tebal dan memberatkan saat
dibawa. Belum lagi kita harus menghafalkan bentuk
titik-titik simbol huruf di kertas. Sebagai gantinya,
aku menggunakan aplikasi Talkback untuk ponsel
Androidku. Jadi, kalau sudah di-install, apa pun
aktivitasku dalam layar akan disampaikan dalam
bentuk lisan sehingga aku paham apa yang kulakukan
dan akan kulakukan. Begitu pun saat aku memahami
tulisan. Dulu aku menggunakan aplikasi Jaws di laptop,
tetapi sayang Jaws hanya berbahasa Inggris.

54

Sementara itu, Talkback sudah menggunakan
bahasa Indonesia sehingga aku paham apa yang
dimaksud. Bagaimana kalau aku menulis? Aku biasanya
menggunakan Reglet dan Stylus. Kedua alat itu bisa
kugunakan untuk menulis. Tentu saja, hanya aku yang
paham apa yang kutulis. Sedikit repot memang, tetapi
waktu itu tidak ada pilihan lain.

Foto 19 Reglet dan Stylus
Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Reglet_(Slate)
Aku juga pernah menggunakan Alquran Braille.
Bukan milik sendiri sih, tetapi sekolah meminjamiku.
Kadang aku membaca Alquran Braille juga walaupun
tidak lancar-lancar amat. Semua alat itu sedikit banyak
telah berperan untuk membantuku mengetahui ilmu
pengetahuan dan agama.

55

Foto 20 Cara Membaca Braille
Sumber gambar: www.livepesseas. com/2015/01/07/braile

Setelah berjuang dan belajar dengan sungguh-
sungguh, kelulusan pun tiba. Aku lulus sekolah dasar
dengan nilai sangat memuaskan: 28,00. Nilai 28 dibagi
3 mata pelajaran menjadi 9,33. Cukup keren, bukan?
Dengan nilai yang tinggi tersebut aku bisa memilih SMP
mana saja. Bahkan, SMP favorit pun bisa kumasuki
dengan mudah. Itu anggapanku.

Aku Ditolak di SMP Negeri

Bayanganku bisa bersekolah di SMP negeri favorit
musnah sudah. Sebuah sekolah, sebut saja, SMPN
1 Hebat (bukan nama sebenarnya) menolak untuk
menerimaku. Waktu itu Mamak mendaftar sendiri ke

56

sekolah tersebut sebab Mamak takut bila aku ikut dan
mendengar penolakan, aku akan kecewa dan sedih.

Oleh karena itu, di pagi yang cerah itu Mamak
pergi ke SMPN 1 Hebat untuk mendaftarkanku.
Dengan langkah yang mantap bermodalkan nilai dan
kemampuanku, Mamak antre untuk mengumpulkan
formulir. Saat itu belum ada registrasi online. Jadi,
sistemnya masih manual. Salah satu guru yang menjadi
panitia pendaftaran menolak formulirku. Katanya aku
harus bersekolah di SLB saja sebab sekolah tersebut
akan repot bila menerimaku.

Aku sedih waktu Mamak menyampaikan hal
tersebut. Walaupun Mamak menyampaikannya dengan
pelan dan lembut, itu tetap terasa menyakitkan. Mamak
tidak putus asa. Beliau segera ke dinas pendidikan
kabupaten. Di dinas itu Mamak menghadap kepala
dinas dan mengutarakan masalahnya.

“Tidak apa-apa. Putra Ibu bisa bersekolah di mana
saja sebab sekarang ada sekolah inklusi,” begitu ucap
Mamak.

Pergilah Mamak ke SMP 1 Hebat lagi dengan
harapan diterima. Bukannya meminta maaf, oknum
guru (yang menolakku) itu malah memarahi Mamak.
Mengapa Mamak harus pergi ke dinas kabupaten?
Mengapa Mamak harus menghadap kepala dinas? Semua
diungkapkan dengan nada marah. Mamak merasa sakit
hati diperlakukan seperti itu. Aku juga begitu.

57

Akhirnya, diputuskan untuk tidak perlu lagi
mendaftar di SMPN 1 Hebat. Toh, hatiku dan hati
Mamak sudah sakit. Terpikir juga, nanti kalau diterima,
pasti oknum guru itu akan membenciku. Dengan rasa
kecewa yang mendalam kami mencari sekolah yang lain.
Dari sekian banyak SMP di sekitar rumah ada SMPN
2 Bambanglipuro. SMPN 2 Bambanglipuro termasuk
sekolah yang bagus.

Foto 21 Aku Bersama Adik
Sumber: Koleksi Pribadi Oktavia
Salah satu tandanya adalah sekolah ini masuk
rangking sepuluh besar kabupaten. Alhamdulillah, aku
diterima sebagai siswa inklusi. Kalau di sekolah lain,
prestasiku tidak diperhitungkan. Namun, di sekolah

58

ini berbeda. Prestasiku menjadi poin dan pertimbangan
sehingga aku bisa diikutkan lomba di kemudian hari.

Aku Bisa Juara (Lagi)

Setelah aku diterima di SMPN 2 Bambanglipuro,
Mamak lebih tenang. Beliau jarang mengeluh. Aku
juga senang bersekolah di sini. Guru dan teman-teman
ramah. Ada teman SD-ku dulu yang selalu baik. Dia
selalu menemani dan mengantarku ke mana saja.

Cuma aku kadang kasihan kepadanya saat ulangan
sebab aku selalu memintanya untuk membacakan soalku.
Para guru tidak mungkin membacakannya untukku
karena mengawasi temanku yang lain. Memang kalau
UTS (ulangan tengah semester) atau UAS (ulangan
akhir semester), bapak/ibu guru membacakanku soal
ujian tersebut. Aku diajak ke tempat terpisah dan di
sana aku dibacakan soal ujian.

Katanya aku dipisah supaya tidak mengganggu siswa
yang lain sebab mereka butuh ketenangan. Akhirnya,
aku menjalani saat-saat ujian di tempat tersendiri. Jauh
dari teman-temanku. Namun, itu tidak masalah, toh
yang penting ujianku sukses dan aku mendapat nilai
yang bagus. Dari sekian jenis soal yang diujikan, aku
mengalami masalah dengan bahasa Inggris. Aku sulit
mengerti bacaan bahasa Inggris. Di samping bahasanya
asing, tulisan dan pengucapannya juga berbeda. Itulah
yang membuatku bingung dan mendapat nilai jelek.

59

Pelajaran yang kusukai adalah Matematika. Tanpa
membutuhkan waktu lama, aku bisa menemukan
jawabannya. Banyak guru yang memuji kemampuanku
memecahkan soal Matematika. Mungkin karena itu
juga, kemudian aku diikutkan dalam lomba Olimpiade
Matematika ABK (Anak Berkebutuhan Khusus).

Foto 22 Prestasiku Ketika di SD
Sumber: Koleksi Pribadi Oktavia

60

Pada waktu itu aku harus mengikuti seleksi tingkat
provinsi. Aku cukup percaya diri dengan persiapanku.
Lomba diadakan di Dinas Dikpora Yogyakarta. Aku
diantar guru Matematika, Pak Sujiman. Berbekal
latihan yang terus-menerus, akhirnya aku menjadi
juara I. Kemudian, aku mewakili provinsi maju ke
tingkat nasional. Terbayang sudah lomba diadakan di
Bali. Impianku untuk pergi ke Bali terasa begitu dekat.

Namun, kembali aku harus kecewa sebab lomba
Olimpiade Matematika hanya diselenggarakan di
Yogyakarta, tepatnya di Hotel Sheraton, Yogyakarta.
Kembali Pak Sujiman mengantarku untuk lomba. Kali
ini aku lomba selama lima hari. Andai kata aku bisa
melihat seperti apa hotel ini, aku yakin hotel ini pasti
besar dan megah sebab makanan yang kusantap terasa
lezat sekali. Beberapa makanan malah belum pernah
kumakan.

Kembali aku harus mengikuti tes. Tes ini yang
akan menentukan siapa yang akan menjadi juara. Soal-
soal yang diberikan lebih sulit daripada sebelumnya.
Bismillah saja, batinku. Setelah tes yang melelahkan,
ternyata ada kegiatan lagi, yaitu permainan. Permainan
ini hanya untuk menghibur saja. Kami disuruh bermain
sepak bola. Ah, kamu pasti tidak akan percaya. Ya, aku
dan teman-teman senasib bisa kok bermain sepak bola.
Semua bisa dilakukan asal bola diberi kelinting atau
bunyi yang lain. Dari suara yang dihasilkan itulah aku
akan mencari sumbernya. Hari itu terasa meriah sekali.

61

Tidak terasa sudah tiga hari aku berada di Hotel
Sheraton. Nanti malam saatnya pengumuman. Sore itu
Pak Sujiman sudah mengajakku untuk bersiap-siap.
Aku dibimbingnya untuk duduk di salah satu kursi.
Satu per satu acara bergulir. Di akhir acara tinggal
pengumuman saja. Pengumuman siapa yang menjadi
juaranya. Kemudian, pembawa acara menyebut namaku
sebagai Juara III Olimpade Matematika. Aku juara III!
Aku seperti bermimpi.

FSoutmob2e3r: AKokluekJsiuParirbaadNi aOskitoanviaal

62

Betapa senangnya hatiku mendengar pengumuman
itu. Aku kembali diantar Pak Jiman untuk naik ke
panggung. Di situlah aku diberi trofi yang cukup berat.
Tanganku yang kecil seakan tidak kuat menahan
beratnya trofi. Di samping menerima trofi, aku juga
menerima sertifikat dan sebuah amplop besar. Ternyata
amplop besar itu berisi uang lima belas juta rupiah.
Jumlah yang cukup besar, bukan? Malam itu kututup
hari dengan kabar yang sangat menggembirakan.

Hari berikutnya kami diajak untuk bertamasya
keliling Yogyakarta. Karena sudah sering pergi ke objek-
objek wisata yang disebutkan, aku dan Pak Sujiman
memutuskan untuk pulang. Lagian kalau piknik, aku
kasihan kepada Pak Sujiman yang harus membimbingku
ke mana-mana. Mungkin pulang adalah pilihan terbaik.
Akhirnya, kami pulang dengan hati yang berbunga-
bunga.

Keesokan harinya aku sudah berangkat ke sekolah.
Sambutan sekolah juga luar biasa. Banyak orang
menyalami dan mengucapkan selamat. Aku bahagia.
Namun, rasa bahagia tidak berlangsung lama sebab
sebentar lagi aku naik kelas 9. Di kelas 9, kita harus
berkonsentrasi dengan materi Ujian Nasional (UN).
Nilai UN dipakai untuk mencari sekolah.

Itu artinya bila nilai UN baik, kita bisa mendaftar
ke sekolah mana saja. Oleh karena itu, aku harus
berkonsentrasi belajar. Ternyata ada kendala di sekolah.

63

Aku seharusnya mendapat bimbingan dari seorang guru
pendamping. Guru tersebut seharusnya mendampingiku
setiap hari. Dia seharusnya mendampingiku saat ada
pelajaran sekolah atau saat ada ujian sekolah. Ini
seharusnya sudah dilakukan sejak aku duduk di kelas 7.

Sekarang aku sudah kelas 8 semester akhir. Aku
harus berjuang sendiri. Di saat aku akan naik ke kelas
9, guru pendamping dari SLB datang. Walaupun datang
cukup terlambat, itu tidak apa-apalah daripada tidak
datang sama sekali. Dengan bantuan Bu Minarti, aku
dapat mengikuti pelajaran di kelas 9 dengan baik. Saat
Ujian Nasional pun nilaiku cukup memuaskan. Hanya
mata pelajaran IPA yang nilainya tidak memuaskan.
Namun, itu tidak apa-apa, toh aku menjadi juara III
nilai UN di kelas.

Aku tidak sedih. Hanya satu yang membuatku
sedih (kembali), yaitu aku ditolak di sekolah negeri.
Kalau tiga tahun yang lalu, aku ditolak oleh SMP
negeri favorit, sekarang aku ditolak juga di SMA negeri.
Namun, aku memutuskan untuk mencari sekolah yang
lain. Alhamdulillah, aku diterima untuk bersekolah di
SMA negeri yang lain. Kabar gembiranya adalah aku
menjadi juara I untuk semua kelas di SMA baru ini.
Terima kasih, ya, Allah. Di tengah keterbatasanku, aku
memiliki prestasi yang membanggakan.

64

Penutup

Ada di antara remaja kita yang mampu bertahan
dan berprestasi. Kekurangan tidak menjadikan mereka
malas, pesimis, dan pasrah. Mereka selalu berjuang, apa
pun penghalangnya. Bagi mereka, berprestasi itu tidak
mengenal kata tetapi dan nanti. Kalau tidak dikerjakan
saat ini, kapan lagi. Perlu kita contoh ketekunan dan
semangat mereka untuk mewujudkan cita-cita.

Semua itu mungkin. Nothing is impossible. Tidak ada
yang tidak mungkin. Selama kita yakin dan percaya, kita
pasti berprestasi di mana saja. Sekarang pertanyaannya
adalah maukah kita berjuang dan menjadi remaja yang
berprestasi.

65

Biodata Penulis

Nama lengkap : Joko Sulistya

Ponsel : 081328475275

Pos-el : [email protected]

Akun Facebook : jack sulistya

Alamat kantor : SMPN 2 Bambanglipuro

Sidomulyo, Bambanglipuro

Bantul, Yogyakarta 55711

Bidang keahlian : Bahasa Inggris

Riwayat Pekerjaan/Profesi (10 Tahun Terakhir)
2005--kini : Guru Bahasa Inggris

Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar

1. S-2: Kajian Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma
(2013-- 2016)

2. S-2: Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Universitas Negeri
Yogyakarta (2009--2011)

3. S-1: Pendidian Bahasa Inggris, Universitas Ahmad Dahlan
(1994--2002)
Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir)
1. Mengenal 13 Binatang dalam Alquran (2018)
2. 12 Dongeng Binatang Paling Lucu (2018)
3. Guru Pemimpi (2017)
4. Serpihan Hati (2016)
5. Mengakali Ujian Nasional Melalui Early Detection (2016)
6. Buku Pintar Ujian Nasional (2015)

66

Judul Penelitian dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir)

"Improving English Reading Comprehension Through Lecfenco"
Jurnal Ilmiah JETA. Jogja English Teacher Association, Vol. 3
No. 4 Januari 2014 (2014)

Prestasi yang Pernah Diraih

1. Pemenang Buku Bacaan Konten Kanal PAUD (2018)

2. Pemenang Penulisan Non fiksi tingkat Nasional Badan
Bahasa Babel (2018)

3. Juara II Lomba Guru Menulis Tingkat Provinsi (2018)

4. Juara II Lomba Guru Berprestasi Tingkat Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (2016)

5. Juara III Lomba Penulisan Skenario Film Pendek Remaja
Tingkat Nasional oleh KPK (2016)l

6. Juara I Pembimbingan Lomba Penelitian Siswa Nasional
(LPSN) 2006

7. Peraih Beasiswa S-2 SEAMOLEC tahun 2009 Jurusan
Kajian Bahasa Inggris (KBI) di Universitas Sanata Dharma

8. Beasiswa S-2 Unggulan Kemendikbud tahun 2007 Jurusan
Penilaian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) di Universitas
Negeri Yogyakarta

Informasi Lain dari Penulis
Lahir di Bantul, 13 Agustus 1974. Telah menikah dan berputra
dua: Haura Andari Janni (12 tahun) dan Mirza Anlaqi Janni (5
tahun). Menggeluti dunia penulisan sejak tahun 2013 sampai
sekarang. Penulis juga aktif di MGMP dan JETA. Penyuka
warna biru ini dapat dihubungi di Instagram jsulistya dan email
[email protected].

67

Biodata Penyunting

Nama : Luh Anik Mayani

Pos-el : [email protected]

Bidang Keahlian : Linguistik, dokumentasi bahasa,

penyuluhan, dan penyuntingan

Riwayat Pekerjaan
Pegawai Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
(2001—sekarang)
Kepala Subbidang Bantuan Teknis, Pusat Pembinaan,
Badan Bahasa (2018)

Riwayat Pendidikan
1. S-1 Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas

Udayana, Denpasar (1996—2001)
2. S-2 Linguistik, Program Pascasarjana Universitas

Udayana, Denpasar (2001—2004)
3. S-3 Linguistik, Institut für Allgemeine Sprachwissen-

schaft, Universität zu Köln, Jerman (2010—2014)

Informasi Lain
Lahir di Denpasar pada tanggal 3 Oktober 1978. Selain
dalam penyuluhan bahasa Indonesia, ia juga terlibat
dalam kegiatan penyuntingan naskah di beberapa
lembaga, seperti di Mahkamah Konstitusi dan Bappenas,
serta menjadi ahli bahasa di DPR. Dengan ilmu linguistik
yang dimilikinya, saat ini ia menjadi mitra bestari jurnal
kebahasaan, penelaah modul bahasa Indonesia, tetap aktif
meneliti dan menulis tentang bahasa daerah di Indonesia,
serta mengajar dalam pelatihan dokumentasi bahasa.

68

Narasumber

1. Nama : Kalimin (Ayah Yulia Dwi Kustari)
Pekerjaan : Petani
Alamat : Tulasan, Bambanglipuro, Bantul

2. Nama : Sri Lestari (Ibu Yulia Dwi Kustari)
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Tulasan, Bambanglipuro, Bantul

3. Nama : Paryanto (Ayah Bayu Aji Firmansyah)
Pekerjaan : Petani
Alamat : Sirat, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta

4. Nama : Sri Mulyani (Ibu Bayu Aji Firmansyah)
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Sirat, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta

5. Nama : Oktavia Puspitasari
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Sirat, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta

69

Sudah tidak zamannya lagi generasi muda gampang putus asa
dalam mencapai cita-cita. Jangan jadikan apa pun sebagai alasan
atau kendala dalam mewujudkan cita-cita, termasuk kekurangan
fisik atau ekonomi. Sebagai generasi penerus sebaiknya kamu
bersemangat dan gigih memperjuangkan masa depan. Bila kamu
merasa tidak bersemangat, pesimis, dan putus asa, ada baiknya
kamu baca buku ini.

Dari buku ini kamu akan mengetahui bagaimana para tokoh
berjuang menghadapi masalah dalam hidupnya. Para siswa
tersebut tidak gampang putus asa, tetapi terus saja berjuang. Apa
yang memotivasi sehingga mereka bersemangat? Apa saja yang
mereka lakukan sehingga bisa menghadapi masalah? Lalu
bagaimana caranya untuk menjadi anak yang terbatas, tetapi tanpa
batas? Penasaran? Ayo, ikuti perjuangan mereka.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur


Click to View FlipBook Version