57
ISSN: 0125-913 X http://www.kalbe.co.id/cdk 161 / vol. 35 no. 2 Maret - April 2008 Artikel Utama : Altered Nuclear Transfer: Pengembangan Teknik Somatic Cell Nuclear Transfer untuk Mengatasi Masalah Etika Harry Murti 1,2 , Mokhamad Fahrudin 2 , Caroline Tan Sardjono 1 , Boenjamin Setiawan 1 , Ferry Sandra 1 / hal. 61 Karakteristik Biologis dan Diferensiasi Stem cell : Fokus pada Mesenchymal Stem Cell Nurul Aini, Boenjamin Setiawan, Ferry Sandra/ hal. 64 Ekspansi Endothelial Progenitor Cell Frisca, Caroline T. Sardjono, Ferry Sandra/ hal. 68 ------------------------------------------------------------------------------------ Berita Terkini : Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2007 dianugerahkan pada para pionir Stem Cell hal. 93 Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2007 dianugerahkan pada para pionir Stem Cell hal. 94 -------------------------------------------------------------------------------- Profil : Mengenal Lebih Dekat Sosok Perintis Spesialis Bedah Digastif di Indonesia Prof. Dr. R. Sjamsuhidajat, SpB / hal. 103

cdk_161_Stemcell

  • Upload
    revliee

  • View
    1.768

  • Download
    12

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: cdk_161_Stemcell

ISSN: 0125-913 Xhttp://www.kalbe.co.id/cdk

161 / vol. 35 no. 2Maret - April 2008

Artikel Utama :

Altered Nuclear Transfer: Pengembangan Teknik Somatic Cell Nuclear Transfer untuk Mengatasi Masalah EtikaHarry Murti

1,2, Mokhamad Fahrudin

2, Caroline Tan Sardjono

1, Boenjamin Setiawan

1, Ferry Sandra

1/ hal. 61

Karakteristik Biologis dan Diferensiasi Stem cell : Fokus pada Mesenchymal Stem CellNurul Aini, Boenjamin Setiawan, Ferry Sandra/ hal. 64

Ekspansi Endothelial Progenitor Cell

Frisca, Caroline T. Sardjono, Ferry Sandra/ hal. 68

------------------------------------------------------------------------------------Berita Terkini :

Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2007 dianugerahkan pada para pionir Stem Cellhal. 93

Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2007 dianugerahkan pada para pionir Stem Cellhal. 94

--------------------------------------------------------------------------------Profil :

Mengenal Lebih Dekat Sosok Perintis Spesialis Bedah Digastif di IndonesiaProf. Dr. R. Sjamsuhidajat, SpB / hal. 103

Page 2: cdk_161_Stemcell

cdk 161/ vol. 35 no. 2 Mar - Apr 2008 57

QFUVOKVL !VOUVL !QFOVM JT

CDK menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Re-daksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tem-pat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kai-dah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia.

Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan terse-but. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cu-kup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word.

Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafi k/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelas-nya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas.

Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi no-mor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; di-susun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).

Contoh :1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasa fi lariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.

Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi CDKJl. Letjen Suprapto Kav. 4Cempaka Putih, Jakarta 10510E-mail : [email protected]. (021) 4208171.

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap de-ngan perangko yang cukup.

Ebgubs!Jtjdpoufou

58. Editorial60. English Summary

B S U J L F M

72/! Bmufsfe! Ovdmfbs! Usbotgfs;!Qfohfncbohbo! Uflojl! Tpnbujd!Dfmm!Ovdmfbs!Usbotgfs!vouvlNfohbubtj!Nbtbmbi!Fujlb

Harry Murti, Mokhamad Fahrudin, Caroline Tan

Sardjono, Boenjamin Setiawan, Ferry Sandra

75/!Lbsblufsjtujl!Cjpmphjt!ebo!Ejgf.

sfotjbtj! Tufn! Dfmm! ;! Gplvt! qbeb!

Nftfodiznbm!Tufn!Dfmm

Nurul Aini, Boenjamin Setiawan, Ferry Sandra

79/!Fltqbotj!Foepuifmjbm!Qsphfoj.

ups!Dfmm

Frisca, Caroline Tan Sardjono, Ferry Sandra

83/! Nfovkv! Lmpojoh! Ufsbqfvujl!

efohbo!Uflojl!TDOU

Melina Setiawan, Caroline Tan Sardjono, Ferry

Sandra

88/! Ijtupgjtjpmphj! Tfm! Foepufm! ebo!

Tfm! Qsphfojups! Foepufm! ebmbn!

Tjslvmbtj!Ebsbi

Ronny Karundeng

93/! Qfnfsjltbbo! Mbcpsbupsjvn!

Ebmbn!Bouj!Bhjoh!Nfejdjof

Suzanna Immanuel

98/! Fgflujgjubt! Qfohhvobbo! Nfbm!

Sfqmbdfnfou! Qbeb! Qfohbuvsbo!

Ejfu!Qbtjfo!Pcftjubt!Ebmbn!Nfn.

qfscbjlj!Lpnqptjtj!Uvcvi!Ebo!Gbl.

ups!Sjtjlp!Tjoespnb!Nfubcpmjl

Dr. Inge Permadhi, Dr. Samuel Oetoro, Dr. Fiastuti Witjaksono

CFSJUB!UFSLJOJ

93. Hadiah nobel fi siologi atau kedok-teran 2007 dianugerahkan pada para pioner stem cell

94. Aspirin dosis rendah plus statin menurunkan risiko kanker kolorektal

95. Efek donepezil pada pasien yang berhenti menggunakan memantine

96. Lemak perut dan risiko Diabetes Melitus

97. Pentoksifi lin untuk pemakai EPO yang resisten

98. Kadar vitamin B12 rendah berkai-tan dengan peningkatan risiko iskemi serebral

99. Bagaimana virus Chikungunya me-nyebar

100. Kopi dan teh dapat menurunkan risiko kanker ginjal

101. MRI paling kuat di dunia siap memindai otak manusia

102. Informatika Kedokteran104. Profi l106. Praktis107. English Summary Lanjutan108. Laporan Khusus110. Kegiatan Ilmiah

112. RPPIK

Page 3: cdk_161_Stemcell

58 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

Fejupsjbm

Salah satu topik kedokteran yang makin mengemuka ialah teknologi dan pengembangan stem cell; karena teknologi ini menjanjikan se-suatu yang selalu diimpikan oleh umat manusia – umur panjang dan bebas dari penyakit.

Beberapa artikel edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini akan mem-bahas berbagai hal sekitar teknologi tersebut, ditambah dengan be-berapa artikel lain mengenai kanker; sebagian artikel tentang stem cell berasal dari para peneliti di Stem Cell and Cancer Institute - suatu lembaga yang didukung oleh Kalbe Farma untuk mengembangkan teknologi masa depan agar tetap dapat mengikuti pesatnya kemajuan penelitian di dunia; tentu dengan harapan dapat menghasilkan se- suatu yang berguna bagi peningkatan kesehatan dan kesejahteraan kita semua.

Selamat membaca, semoga informasi tambahan ini dapat memeli-hara dan menambah pengetahuan sejawat seiring dengan perkem-bangan dunia ilmu.

Redaksi

Page 4: cdk_161_Stemcell

59cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

DELCermin Dun ia Kedokteran

ISSN: 0125-913 Xhttp://www.kalbe.co.id/cdk

BMBNBU!SFEBLTJ

Gedung KALBEJl. Letjen. Suprapto Kav. 4Cempaka Putih, Jakarta 10510Tlp. 021-4208171Fax.: 021-4287 3685E-mail : [email protected]: http://www.kalbe.co.id/cdk

OPNPS!JKJO

151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

QFOFSCJU Grup PT. Kalbe Farma Tbk.QFODFUBL PT. Temprint

susunan redaksiLFUVB!QFOHBSBIDr. Boenjamin Setiawan, PhD

QFNJNQJO!VNVNDr. Erik Tapan

LFUVB!QFOZVOUJOHDr. Budi Riyanto W.

NBOBKFS!CJTOJTNofa, S.Si, Apt.

EFXBO!SFEBLTJProf. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir, MSc.Dr. Michael Buyung NugrohoDr. Karta SadanaDr. Sujitno FadliDrs. Sie Johan, Apt.Ferry Sandra, Ph.D.Budhi H. Simon, Ph.D.

UBUB!VTBIBDodi Sumarna

SFEBLTJ!LFIPSNBUBO

Qspg/!Esh/!Tjuj!Xvszbo!B!Qsbzjuop-!!TLN-!!NTdE-!!QiE

Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Qspg/!Es/!Bcevm!Nvuibmjc-!!TqQE!LIPNDivisi Hematologi Onkologi MedikDepartemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Qspg/!Es/!Ekplp!Xjepep-!!TqQE.LQUJDepartemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonsia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Qspg/!ES/!Es/!Dibsmft!Tvskbej-!!NQIPusat Penelitian Kesehatan Unika Atma Jaya Jakarta

Qspg/!ES/!Es/!I/!B{jt!Sboj-!!TqQE-!!LHFIDepartemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Qspg/!ES/!Es/!Tjebsubxbo!Tpfhpoep-!!TqQE-!!LFNE-!!GBDFDepartemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ES/!Es/!Bcjejo!Xjekbobslp-!!TqQE.LIPNFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Kanker Dharmais, Jakarta

ES/!Es/!nfe/!Bcsbibn!Tjnbuvqboh-!!NLftBagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen IndonesiaJakarta

Qspg/!Es/!Tbsbi!T/!Xbsbpvx-!!TqB)L*

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

Qspg/!ES/!Es/!Svmmz!N/B/!Spftmj-!!TqQE.LHIBagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Es/!Bvdlz!Ijoujoh-!!QiE-!!TqBoe

Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya

Qspg/!ES/!esh/!Ifoesp!Lvtopup-!!TqPsu/

Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta

ES/!Es/!Zphb!Zvojbej-!!TqKQSub Dept. Kardiologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSP Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

Qspg/!ES/!Esb/!Bsjoj!Tfujbxbuj

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Qspg/!Es/!Gbjtbm!Zvovt-!!QiE-!!TqQ)L*Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran RespirasiFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan, Jakarta

Qspg/!ES/!Es/!Sjboup!Tfujbcvez-!!TqGL

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Es/!S/N/!Ovhspip!Bcjlvtop-!!NTd/-!!EsQI

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Qspg/!ES/!Es/!Xjnqjf!Qbohlbijmb-!!TqBoe-!!GBBDT

Fakultas KedokteranUniversitas Udayana Denpasar, Bali

Qspg/!ES/!Es/!Jhobujvt!Sjxboup-!!TqC)L*Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi, Semarang

Es/!Upoz!Tfujbcveij-!!TqLK-!-!!QiEUniversitas Trisakti/ Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta

Qspg/!ES/!Tbntvsjekbm!Ekbv{j-!!TqQE-!LBJSub Dept. Alergi-Imunologi, Dept. Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Es/!Qsjkp!Tjejqsbupnp-!!TqSbe)L*

Departemen Radiologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Qspg/!ES/!Es/!Kpibo!T/!Nbtkivs-!!TqQE.LFNE-!!TqLODepartemen Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Es/!Ifoesp!Tvtjmp-!!TqT)L*Dept. Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo, Surabaya

Qspg/!ES/!Es/!Ebsxjo!Lbszbej-!!TqHLInstitut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat

Es/!Jlf!Tsj!Sfekflj-!!TqBo!LJD-!!N/LftBagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Page 5: cdk_161_Stemcell

60 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

Fohmjti!Tvnnbsz

Bmufsfe! Ovdmfbs! Usbotgfs;! Jn.

qspwfnfou!pg!Tpnbujd!Dfmm!Ov.

dmfbs!Usbotgfs!Ufdiojrvf!up!Sf.

tpmwf!Fuijdbm!Qspcmfnt

Ibssz!Nvsuj2-3-!!Nplibnbe!Gbisv.

ejo3-!!!Dbspmjof!Ubo!Tbsekpop2-!!!Cpfo.

kbnjo!Tfujbxbo2-!!Gfssz!Tboesb2

2!Tufn!Dfmm!Ejwjtjpo-!Tufn!Dfmm!boe!Dbo.

dfs!Jotujuvuf-!!QU/!Lbmcf!Gbsnb!Ucl/!Kb.

lbsub-!!Joepoftjb3!Mbcpsbupsz!pg!Fncszpmphz-!!Gbdvmuz!pg!

Wfufsjobsz! Nfejdjof-! ! Cphps! Bhsjdvm.

uvsbm!Vojwfstjuz-!!Cphps-!!Joepoftjb/

Cloned embryos generated by Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT) technique are good re-sources for Embryonic Stem Cell (ESC) with pluripotent characte-ristics. SCNT becomes a poten-tial method used in therapeutic and regenerative medicine with the aim to produce cells for au-tologous transplantation. An advanced method recently deve-loped to generate inner cell mass lacking intact trophectoderm function by targeting Cdx2 gene by RNAi (RNA interference) is known as Altered Nuclear Trans-fer (ANT). Through ANT technique ethical problems encountered in SCNT could be resolved for the reason that the cells created are not intact embryos. This review covers briefly the latest methods used in SCNT including the ANT technique.

Keywords: ANT, SCNT, Trophec-toderm, RNAi, Cdx2 Cermin Dunia Kedokt.2008; 35(2): hal 61-3.in-!ng-!dut-!ct-!gt

Cjpmphjdbm! Dibsbdufsjtujd! boe!

Ejggfsfoujbujpo!pg!Tufn!Dfmm;!Gp.

dvt!po!Nftfodiznbm!Tufn!Dfmm

Ovsvm! Bjoj-! Cpfokbnjo! Tfujbxbo-!

Gfssz!Tboesb

Tufn!Dfmm!Ejwjtjpo-!Tufn!Dfmm!boe!Dbo.

dfs!Jotujuvuf-!QU!Lbmcf!Gbsnb!Ucl/!Kb.

lbsub-!!Joepoftjb

Stem cell has been an interesting and controversial focus among researchers and public because of their potential on cell based the-rapy. Regarding ethical is-sues surrounding the embryonic stem cell source, adult stem cell becomes a promising alterna-tive choice. Mesenchymal stem cell derived from umbilical cord blood has been a preference for researchers as recognized for its high plasticity and low immunoge-nicity. With proper treatment, mesen-chymal stem cell can be grown into different kind of cells, ready to be used for cell based therapy. For that purpose, there has been many attempts in establishing culture protocol for mesenchy-mal stem cell in xeno-free culture condition to reduce potential animal pathogen transfer to hu-man.

Keywords : Stem cell, adult stem cell, mesenchymal stem cell, cell based therapy.

Cermin Dunia Kedokt.2008;35(2): hal 64-7ob-!ct-!gb

Fltqbotj!Foepuifmjbm!Qsphfojups!

Dfmm

Gsjtdb-!!Dbspmjof!U/!Tbsekpop-!!Gfs.

sz!Tboesb

Tufn!Dfmm!Ejwjtjpo-!Tufn!Dfmm!boe!Dbo.

dfs!Jotujuvuf-!!QU!Lbmcf!Gbsnb!Ucl/!Kb.

lbsub-!!Joepoftjb

The discovery of endothelial pro-genitor cells (EPC) has major im-plications in angiogenic therapy. The limited numbers of EPC found in adult blood circulation has been the main obstacle for the usage of EPC. Various attempts have been made to expand EPC in vi-tro in order to get sufficient num-bers of EPC required for human therapy. This review summarizes the characteristics and different methods used in the expansion of EPC. Several methods for EPC quantification and surface mark-ers used for EPC identification will also briefly covered.

Key words : EPC, stem cell, expan-sion, Endothelial Progenitor Cell.

Cermin Dunia Kedokt.2008;35(2): hal 68-71

gb-!dut-!gt

Page 6: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 61

Hasil Penelitian

Bmufsfe!Ovdmfbs!Usbotgfs;!Qfohfncbohbo!Uflojl!Tpnbujd!Dfmm!Ovdmfbs!Usbotgfs!vouvl

Nfohbubtj!Nbtbmbi!Fujlb!

Ibssz!Nvsuj2-3-!!Nplibnbe!Gbisvejo3-!!Dbspmjof!Ubo!Tbsekpop2-!!Cpfokbnjo!Tfujbxbo2-!!Gfssz!Tboesb2

2!Tufn!Dfmm!Ejwjtjpo-!!Tufn!Dfmm!boe!Dbodfs!Jotujuvuf-!!Lbmcf!Qibsnbdfvujdbm!Dpnqboz!Kblbsub-!!Joepoftjb

3Mbcpsbupsz!pg!Fncszpmphz-!!Gbdvmuz!pg!Wfufsjobsz!Nfejdjof-!!Cphps!Bhsjdvmuvsbm!Vojwfstjuz-!!Cphps-!!Joepoftjb/

BCTUSBL

Embrio hasil SCNT dapat dijadikan sebagai sumber Embryonic Stem Cell (ESC) yang bersifat pluripoten dan meru-pakan patient-specific stem cells. Penerapan teknik SCNT bertujuan untuk aplikasi konsep therapeutic cloning dan regenerative medicine melalui teknik transplantasi autologous, sehingga tidak menimbulkan reaksi penolakan ja-ringan pada tubuh pasien. Terobosan baru dalam teknik ini adalah menghambat pembentukan trofektoderm pada embrio hasil SCNT, sehingga embrio hanya akan membentuk Inner Cell Mass (ICM) dan tidak dapat berimplantasi ke dalam jaringan endometrium. Pengembangan teknik yang dikenal dengan Altered Nuclear Transfer (ANT) di-harapkan mampu menjadi solusi bagi permasalahan etika penggunaan embrio sebagai sumber ESC. Metode ANT dengan menggunakan RNA interference (RN Ai) untuk mencegah ekspresi gen Cd x2 pada embrio hasil SCNT akan dibahas dalam artikel ini.

Kata Kunci: ANT, SCNT, Trofektoderm, RN Ai, Cd x2

QFOEBIVMVBO

Perkembangan teknik Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT) telah menjadi alternatif baru dalam kemajuan riset biomedis1. Aplikasi teknik SCNT dapat digunakan untuk untuk memproduksi Embryonic Stem Cell (ESC)2. Secara garis besar teknik transfer inti sel somatik (SCNT) meliputi 3 langkah utama (Gambar 1), yakni: (1) enukleasi atau pembuangan inti oosit yang akan digu-

nakan sebagai resipien sitoplasma (oosit resipien), (2) transfer inti atau pemasukan inti sel somatik ke

dalam oosit resipien, (3) aktivasi atau induksi oosit hasil rekonstruksi agar dapat

berkembang menjadi embrio yang kemudian dikenal se-bagai embrio SCNT yang dapat dijadikan sebagai sum-ber sel punca 3.

Sel lestari (cell line) ESC yang dihasilkan melalui teknik SCNT sering disebut dengan istilah ntESC (nuclear trans-fer Embryonic Stem Cell)4. Sel lestari ntESC diperoleh dari kultur sel embrio hasil aplikasi SCNT hingga men-capai tahap blastosis, lalu bagian Inner Cell Mass (ICM) diisolasi dan dikultur dengan medium spesifik5. Teknik isolasi ICM dapat dilakukan baik secara mekanik de-

Gambar 1. Skema teknik SCNT pada mencit. 1: enukleasi atau pembuangan inti oosit yang akan digunakan sebagai oosit resipien; 2: transfer inti atau pemasukan inti sel somatik ke dalam oosit resipien; 3: aktivasi atau induksi oosit hasil rekonstruksi agar dapat berkem-bang menjadi embrio.

ngan menggunakan mikromanipulator ataupun secara enzimatik dengan menggunakan reaksi antigen-antibodi yang secara spesifik melisis sel-sel trofoblas6.

Medium spesifik untuk kultur ICM agar dapat berprolife-rasi dan juga mempertahankan sifat pluripotensi serta karakter sel punca yang dimiliki7. Pada ntESC mencit, penambahan Leukemia Inhibitory Factor (LIF) berfungsi untuk mempertahankan keadaan tidak berdiferensiasi (undifferentiated stage)8. Sedangkan pada manusia, peng-gunaan Mouse Embryonic Fibroblast (MEF) sebagai feeder layer dapat mencegah proses differensiasi9. Hasil kultur ntESC dapat dimanfaatkan sebagai sumber ESC yang apa-

bila diperlukan dapat diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi tipe-tipe sel tertentu10,11. Sel-sel hasil diferensiasi tersebut dapat digunakan untuk tujuan terapi berbasis sel pada ber-bagai jenis penyakit degenera-tif12. Beberapa penelitian ter-dahulu menunjukkan bahwa ESC dapat diarahkan menjadi sel-sel neuron13,14, ginjal15, otot jantung16,17, pankreas18.

Secara teoritis, ntESC memi-liki kelebihan dibandingkan dengan sumber ESC lainnya,

Page 7: cdk_161_Stemcell

62 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

endometrium23. Dilapor-kan bahwa, pada embrio mencit gen yang bertang-gung jawab terhadap pem-bentukan trofektoderm adalah Cdx2, yang apabila ekspresinya dihambat akan menyebabkan trofektoderm tidak terbentuk sehingga embrio tidak dapat melaku-kan proses implantasi24. Informasi ini juga didukung dengan hasil penelitian bah-wa gen Cdx2 secara in vitro dapat menginduksi diferen-siasi ESC mencit menjadi

sel-sel trofoblas25. Diferensiasi menjadi sel-sel trofoblas juga dapat dipengaruhi oleh interak-si antara Oct4 dengan Cdx226.

Telah dilaporkan bahwa pada embrio mencit ekspresi gen Cdx2 dapat dihambat dengan menggunakan RNAi sehingga tidak dapat membentuk trofek-toderm (Gambar 2). Namun demikian dari embrio ini ma-sih dapat diperoleh sel-sel ICM yang dapat diturunkan menjadi sel punca pluripoten yang mam-

pu berintegrasi pada hewan chimera27. Walaupun teknik ANT telah berhasil diaplikasikan pada embrio mencit, na-mun masih harus dibuktikan pada embrio manusia28.

UFLOJL! EBO! NFLBOJTNF! QFOHIBNCBUBO!

FLTQSFTJ!Dey3!QBEB!FNCSJP!IBTJM!TDOU

Secara teoritis, penghambatan ekspresi Cdx2 dapat dilakukan dengan berbagai macam cara di antaranya adalah dengan menggunakan antisense DNA, Ribozymes, dan RNAi. Prinsip kerja antisense DNA adalah berikatan dengan mRNA yang merupakan komplemennya, sehing-ga proses translasi tidak terjadi. Sedangkan enzim Ribo-zymes dapat digunakan untuk memotong mRNA spe-sifik menjadi potongan kecil-kecil sehingga mRNA tidak dapat berfungsi normal29. Cara lain untuk menghambat ekspresi gen adalah dengan menggunakan sistem RNA interference (RNAi)30. RNAi merupakan potongan kecil RNA yang dapat menginduksi penghancuran mRNA ter-tentu sebelum dapat mengkode pembentukan protein di dalam sitoplasma31 (Gambar 3).

Sintesis protein merupakan ekspresi gen yang me-liputi proses transkripsi dan translasi. Pada sel eu-

Gambar 2. Skema ANT untuk menghasilkan blastosis tanpa trofoblas.

Gambar 3. Mekanisme penghambatan ekpresi gen oleh RNAi.Virus pembawa digunakan untuk memasukkan RNAi ke dalam sitoplasma sel. RNAi dan mRNA akan saling menempel dan membentuk RNA-In-duced Silencing Complex (RISC). Mekanisme penghambatan ekspresi gen tergantung pada kemiripan urutan basa dari RNAi dan mRNA. Penggu-naan RNAi sangat efektif untuk menghambat ekspresi gen.

terutama karena pada ntESC sel punca yang diperoleh dan dikembangkan berasal dari tu-buh pasien itu sendiri (patient-specific stem cells). Peman-faatan ntESC diharapkan dapat mengatasi masalah penolakan sistem imunitas (immune rejection)19. Namun aplikasi terapi berbasis sel dengan menggunakan ntESC masih harus diteliti lebih lan-jut untuk mencegah potensi timbulnya dampak negatif, se-belum ditransplantasikan ke tubuh pasien 20.

Pemanfaatan teknologi SCNT untuk menghasil-kan ntESC sebagai alter-natif terapi pada manusia merupakan hal yang masih diperdebatkan di berbagai kalangan. Salah satunya karena masalah etika peng-gunaan oosit dan peru-sakan embrio pada tahap blastosis21. Permasala-han etika lainnya adalah adanya kekhawatiran di-lakukannya proses kloning dengan tujuan menciptakan suatu ’manusia baru’ (re-productive cloning). Hal ini menyebabkan William B. Hurl-but mengemukakan gagasannya untuk memodifikasi sel embrio agar tidak mampu berkembang menjadi embrio normal yang mampu berimplantasi, yang disebut dengan Altered Nuclear Transfer (ANT)22 sehingga diharapkan dapat mengatasi permasalahan etika tersebut.

BQMJLBTJ!!BOU!!VOUVL!!NFOHIBTJMLBO!!ouFTD!

VOUVL!NFOHBUBTJ!NBTBMBI!FUJLB

Teknik ANT merupakan pengembangan teknik SCNT untuk mengatasi permasalahan etika. Modifikasi teknik SCNT meliputi pemanfaatan retrovirus untuk menyi-sipkan RNAi pada sel donor inti sebelum ditransfer ke sel oosit resipien. Keberadaan RNAi diharapkan dapat menghambat ekspresi gen yang bertanggung jawab terhadap proses pembentukan trofoblas, sehingga diharapkan embrio berkembang menjadi cacat dan tidak dapat berimplantasi.

Pada tahap blastosis, embrio akan membentuk trofek-toderm dan ICM. Trofektoderm yang mengelilingi ICM berperan dalam proses implantasi embrio pada jaringan

Page 8: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 63

kariot umumnya ekspresi gen diawali dengan induksi promoter terhadap proses transkripsi DNA menjadi messenger RNA (mRNA). DNA pada tahap ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu bagian coding strand (sense strand atau nontemplate strand) dan template strand (antisense strand). Selanjutnya enzim RNA polymerase akan membuat mRNA berdasarkan DNA template strand. Setelah mRNA terbentuk, akan ke-luar dari inti sel dan menuju ke ribosom di sitoplasma. Urutan basa nitrogen pada mRNA merupakan kodon yang akan diterjemahkan oleh transfer RNA (tRNA) menjadi asam amino yang sesuai. Proses ini disebut dengan proses translasi32.

Penghambatan ekspresi gen Cdx2 pada teknik ANT di-awali dengan penempelan RNAi pada mRNA memben-tuk komplek RISC (RNA-Induced Silencing Complex)33. RNAi dimasukkan ke dalam sitoplasma sel dengan ban-tuan vektor lentivirus27. RNAi hanya dapat berikatan dengan mRNA yang memiliki urutan basa yang meru-pakan komplemennya. Dua mekanisme yang dapat ter-jadi pada proses selanjutnya adalah: (1) apabila kom-pleks RNAi dan mRNA (RISC) merupakan komplemen (memiliki urutan basa yang cocok) dan dapat menem-pel menjadi rantai RNA ganda maka enzim slicer dapat memotong mRNA hingga terdegradasi, (2) apabila kom-pleks RNAi dan mRNA bukan merupakan komplemen (ada sedikit basa yang tidak bisa berpasangan) maka mRNA tetap eksis tapi tRNA yang berada di ribosom tidak mampu menerjemahkan urutan kodon menjadi asam amino, sehingga proses translasi tidak dapat ter-jadi34. Kedua mekanisme di atas menyebabkan proses sintesis protein tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sehingga gen tidak terekspresikan35.

LFTJNQVMBO

ANT merupakan alternatif pengembangan teknik SCNT untuk mengatasi permasalahan etika peng-gunaan embrio sebagai sumber ESC. Pembentukan trofoblas dapat dihambat dengan menggunakan RNAi melalui inhibisi ekspresi gen Cdx2. Blastosis yang tidak mengekspresikan gen Cdx2 tidak dapat implantasi, na-mun sel-sel ICM masih dapat dikembangkan menjadi sel punca yang bersifat pluripoten dan memiliki karak-ter sama dengan ntESC.

EBGUBS!QVTUBLB

1. McLaren A. Cloning: pathway to a pluripotent future. Science 2000; 288: 1775-80.

2. Colman A. Somatic cell nuclear transfer in mammals: progress and applications. Cloning 2000; 1: 185-200.

3. Wilmut I, Beaujean N, de Sousa PA, et al. Somatic cell nuclear transfer. Nature 2002; 419: 583-6.

4. Tong WF, Ng YF, Ng SC. Somatic cell nuclear transfer (cloning): Implica-tions for the medical practitioner. Singapore Med J. 2002; 43: 369-76.

5. Wakayama S, Ohta H, Kishigami S. Establishment of male and female nuclear transfer embryonic stem cell line from different mouse and

tissues. Biol Reprod. 2005; 72: 932-6.6. Hogan B, Costantini F, Lacy E. Manipulating the mouse embryo. A laborato-

ry manual. New York: Cold Spring Harbor Laboratory, 1986; Hal 113-4.7. Moon SY, Park YB, Kim DS, Oh SK, Kim DW. Generation, culture, and

differentiation of human embryonic stem cells for therapeutic applica-tions. Molecular Therapy 2006; 13: 5-14.

8. Freshney RI. Culture of animal cells. A manual of basic technique. 4th ed. New York: Wiley-Liss, 2000; hal. 393.

9. Hochedlinger K, Jaenisch R. Nuclear reprogramming and pluripotency. Nature 2006; 441: 1061-7.

10. Dinnyes A, Szmolenszky A. Animal cloning by nuclear transfer: state-of-the-art and future perspectives. Acta Biochimica Polonica 2005; 52: 585-8.

11. Wobus AM, Boheler KR. Embryonic stem cells: prospects for develop-mental biology and cell therapy. Physiol Rev. 2005; 85: 635-78.

12. Mombaerts P. Therapeutic cloning in the mouse. Proc Natl Acad Sci USA. 2003; 100: 11924-5.

13. Wakayama T, Tabar V, Rodriguez I, Perry ACF, Studer L, Mombaerts P. Differentiation of embryonic stem cell lines generated from adult somatic cells by nuclear transfer. Science 2001; 292: 740-3.

14. Zhang P, Chebath J, Lonai P, Revel M. Enhancement of oligodendro-cyte differentiation from murine embryonic stem cells by an activator of gp 130 signaling. Stem Cells 2004; 22: 344-54.

15. Hipp J, Atala A. Tissue engineering, stem cells, cloning, and partheno-genesis: new paradigms for therapy. Exp Clin Assist Reprod. 2004; I:3.

16. Lanza R, Moore MAS, Wakayama T, et al. Regeneration of the infract-ed heart by nuclear transplantation.. Cir Res. 2004; 94: 820-7.

17. Kodifis T, de Bruin JL, Yamane T, et al. Insulin-like growth factor pro-motes engraftment, differentiation, and functional improvement after transfer of embryonic stem cells for myocardial restoration. Stem Cells 2004; 22: 1239-45.

18. Paek HJ, Moise LJ, Morgan JR, Lysaght MJ. Origin of insulin secreted from islet-like cell clusters derived from murine embryonic stem cells. Cloning Stem Cells 2005; 7: 226-31.

19. Cibelli JB, Kiessling AA, Cunniff K, Richards C, Lanza RP, West MD. So-matic cell nuclear transfer in humans: pronuclear and early embryonic development. Regenerative Med. 2001; 2: 25-31.

20. Gardner RL. Stem cells and regenerative medicine: principles, prospects and problems. C R Biologies 2006; doi:10.1016/j.crvi.2007.01.005.

21. Whittaker PA. Therapeutic cloning: The ethical limits. J Taap. 2005; 270: S689-91.

22. Hurlbut WB. Altered nuclear transfer. N Engl J Med. 2005; 352: 1153-4.23. Red-Horse K, Zhou Y, Genbacev O, et al. Trophoblast differentiation

during embryo implantation and formation of the maternal-fetal inter-face. J Clin Invest. 2004; 114: 744-54.

24. Strumpf D, Mao CA, Yamanaka Y et al. Cdx2 is required for correct cell fate specification and differentiation of trophectoderm in the mouse blastocyst. Development 2005; 132: 2093-102.

25. Tolkunova E, Cavaleri F, Eckardt S, et al. The caudal-related protein Cdx2 promotes trophoblast differentiation of mouse embryonic stem cells. Stem Cells 2006; 24: 139-44.

26. Niwa H, Toyooka Y, Shimosato D, et al. Interaction between Oct3/4 and Cdx2 determines trophectoderm differentiation. Cell 2005; 123: 917-29.

27. Meissner A, Jaenisch R. Generation of nuclear transfer-derived plurip-otent ES cells from cloned Cdx2-deficient blastocysts. Nature 2006; 439: 212-5.

28. Findlay JK, Gear ML, Illingworth PJ, et al. Human embryo: a biological definition. Human Reproduction 2007; 22: 905-11.

29. Robinson R. RNAi therapeutics: how likely, how soon?. P Bio. 2004; 2: 0018-20. DOI:10.1371/journal.pbio.0020028.

30. Alberts B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter P. Molecular bi-ology of the cell. 4th ed. New York: Garland Science, 2002; Hal 451-2.

31. Kalthoff K. Analysis of biological development. 2nd ed. New York: Mc-Graw-Hill Co. Inc., 2001; Hal 395.

32. Campbell MK, Farrell SO. Biochemistry. 4th.ed. USA: Thomson Learn-ing Inc., 2003; hal 281-2;320-1.

33. Gong W, Ren Y, Xu Q, et al. Integrated siRNA design based on survey-ing of fetus features associated with high RNAi effectiveness. BMC Bioinformatics 2006; doi:10.1186/1471-2105-7-516

34. Milhavet O, Gary DS, Mattson MP. RNA interference in biology and medicine. Pharmacol Rev. 2003; 55: 629-48.

35. Yu J, Thomson JA. Embryonic Stem Cells. In Stem Cell Information [World Wide Web site]. Bethesda, MD: National Institutes of Health, U.S. Depart-ment of Health and Human Services, 2006 [cited Friday, January 26, 2007] Available at http://stemcells.nih.gov/info/scireport/2006report.

Page 9: cdk_161_Stemcell

64 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

BCTUSBL

Stem cell telah menjadi fokus perhatian baik bagi kalangan peneliti maupun khalayak umum karena potensinya dalam terapi berbasis sel. Mengingat isu etis yang melingkupi penggunaan embryonic stem cell, adult stem cell menjadi alternatif pilihan untuk maksud tersebut. Penggunaan mesenchymal stem cell dari darah tali pusat men-jadi preferensi sebagian peneliti karena sifat plastisitasnya yang tinggi dan imunogenisitasnya yang rendah. Dengan perlakuan yang tepat, mesenchymal stem cell ini dapat berkembang menjadi berbagai sel dan selanjutnya dapat dipakai sebagai sumber transplantasi sel untuk terapi berbasis sel. Untuk bisa melangkah ke penggunaan mesenchymal stem cell sebagai terapi rutin pada manusia, berbagai usaha dilakukan untuk mengkultur mesen-chymal stem cell dalam medium xeno-free sebagai upaya mencegah transfer patogen hewan ke manusia.

Kata Kunci : Stem cell, adult stem cell, mesenchymal stem cell, terapi berbasis sel.

Karakteristik Biologis dan DiferensiasiStem Cell : Fokus padaMesenchymal Stem Cell

Ovsvm!Bjoj-!!Cpfokbnjo!Tfujbxbo-!!Gfssz!Tboesb

Tufn!Dfmm!Ejwjtjpo-!!Tufn!Dfmm!boe!Dbodfs!Jotujuvuf-!!Lbmcf!Qibsnbdfvujdbm!Dpnqboz!Kblbsub-!!Joepoftjb

Qfoebivmvbo

Selama bertahun-tahun para peneliti mencari dan men-coba memahami mengapa sebagian sel dan organ tu-buh manusia mampu memperbaiki diri sedangkan sel dan organ-organ lainnya tidak. Sekarang, pencarian itu difokuskan ke bidang stem cell. Stem cell adalah jenis sel khusus dengan kemampuan membentuk ulang di-rinya dan dalam saat yang bersamaan membentuk sel yang terspesialisasi. Meskipun kebanyakan sel dalam tubuh seperti jantung maupun hati telah terbentuk khusus un-tuk memenuhi fungsi tertentu, stem cell selalu berada dalam keadaan tidak terdiferensiasi sampai ada sinyal tertentu yang mengarahkannya berdiferensiasi menjadi sel jenis tertentu. Kemampuannya untuk berproliferasi bersamaan dengan kemampuannya berdiferensiasi men-jadi jenis sel tertentu inilah yang membuatnya unik.1,2

Terdapat dua kelompok utama stem cell menurut sum-bernya, yaitu embryonic stem cell yang diisolasi dari in-ner cell mass embrio, dan adult stem cell yang diiso-lasi dari jaringan dewasa. Seperti telah diperkirakan sebelumnya, dewasa ini makin banyak bukti mendukung dugaan kehadiran stem cell pada organ dan jaringan, dan bahwa sel-sel jenis ini memiliki kemampuan untuk berkembang jauh melebihi yang dulu dibayangkan. Se-jauh mana potensi sel ini dapat dikembangkan untuk kepentingan terapi manusia masih belum jelas, namun pertanyaan-pertanyaan tersebut membuka kemungkin-an bagi pemanfaatan stem cell di masa datang. 1,2,3

Bevmu!Tufn!Dfmm!wfstvt!Fncszpojd!Tufn!DfmmSejak berhasilnya isolasi stem cell dari embrio manu-sia oleh Thomson pada 1998, prospek kegunaannya dalam terapi sel telah menarik perhatian kalangan peneliti maupun khalayak umum. Stem cell jenis ini di-peroleh dari inner cell mass blastocyst. Mirip seperti yang telah dibuktikan dengan penelitian pada tikus, hu-man embryonic stem cell telah terbukti sangat primitif, dapat berproliferasi tanpa batas, dan memiliki kemam-puan untuk menurunkan galur semua jenis sel dewa-sa.4 Namun karena proses isolasinya berarti meng-ganggu perkembangan embrio, minat para peneliti mendapat tentangan dari para politisi dan pemerhati masalah etika penelitian.3,5 Lebih jauh lagi, tumorioge-nicity dari embryonic stem cell haruslah jelas sebelum melangkah lebih jauh ke tahap terapi.6

Sejak itu minat penelitian terhadap adult stem cell mening-kat pesat. Adult stem cell sebagai sumber stem cell dewa-sa relatif aman dari isu etis. Di luar perdebatan mengenai seberapa plastis dan efektif adult stem cell dibandingkan dengan embryonic stem cell, adult stem cell lebih mu-dah dijumpai di berbagai organ dan jaringan dewasa de-ngan tingkat ekspansi yang juga tinggi, dan secara teknis lebih mudah diisolasi dibandingkan dengan teknik isolasi embryonic stem cell dari inner cell mass blastocyst. 6,7,8

Adult stem cell seperti semua tipe stem cell yang lain, memiliki setidaknya dua karakter khusus. Yang perta-ma, mereka mampu membuat salinan sel yang identik

Hasil Penelitian

Page 10: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 65

dengan dirinya sendiri untuk periode waktu yang lama. Kedua, mampu berdiferensiasi menjadi jenis sel matur dengan karakteristik morfologis dan fungsi tertentu. Tidak diketahui asal muasal yang pasti dari adult stem cell ini; beberapa peneliti mengajukan hipotesis bahwa stem cell yang dicegah untuk berdiferensiasi ini dise-bar dan diletakkan dengan mekanisme tertentu yang belum diketahui selama periode perkembangan fetal. Adult stem cell haruslah clonogenic, artinya harus mampu menghasilkan sekumpulan turunan sel yang identik secara genetik, yang kemudian berkembang menjadi semua sel yang tepat sesuai dengan jaringan di tempat ia berada.1,2,7

Tidak seperti embryonic stem cell yang memiliki ke-mampuan tak terbatas untuk berdiferensiasi menjadi sel apapun dalam jaringan, adult stem cell meskipun masih bersifat pluripoten diperkirakan telah berkurang kemampuan diferensiasinya dan telah menjadi lebih spesifik untuk berdiferensisasi menjadi sel tertentu yang kesemuanya berkontribusi untuk regenerasi jaringan lokal. Contohnya, gastrointestinal crypt cells di sistem pencernaan, oval cells di dalam hati, dan pneumocytes tipe II di dalam paru-paru, dan berbagai subset stem cell di dalam sumsum tulang, darah tepi, otak, korda spina-lis, pulpa gigi, pembuluh darah, otot rangka, epitel kulit, kornea, retina dan pankreas.1,7

Qmbtujtjubt!Bevmu!Tufn!Dfmm

Perkembangan lebih lanjut menunjukkan fenomena plas-tisitas adult stem cell, yang berarti bahwa adult stem cell dari jaringan dewasa yang sudah terarah menjadi jarin-gan tertentu, masih mampu berdiferensiasi menjadi sel bagian dari suatu jaringan lain. Pada saat ini belum ada istilah baku untuk menyebut fenomena ini dalam literatur ilmiah. Maka sering disebut sebagai plastisitas, diferen-siasi unorthodox, maupun transdiferensiasi.1,7,9

Bukti keberadaan fenomena transdifferensiasi pada adult stem cell datang dari penelitian yang memakai teknik transplantasi whole bone marrow. Pada peme-riksaan histologis jaringan hasil transplantasi di bebe-rapa organ resipien,dijumpai kehadiran sel donor yang berdiferensiasi menjadi sel endotel, sel otot rangka, sel otot jantung, sel oval di hati, hepatosit, dan sel di sys-tem saraf pusat.7,9 Tampaknya, dengan sinyal micro-environment yang sesuai, adult stem cell dari sumsum tulang mampu bertransdiferensiasi menjadi berbagai macam sel dari organ yang berbeda-beda.1,7,9

Ijqpuftjt!nflbojtnf!usbotejgfsfotjbtj

Semua penelitian yang menyelidiki fenomena plastisi-tas stem cell umumnya menggunakan model jaringan yang terjejas untuk menginduksi mekanisme “homing”

dan diferensiasi stem cell. Kerusakan jaringan tampak-nya menciptakan lingkungan yang sesuai bagi peruba-han orientasi diferensiasi ini. Tampaknya lingkungan jaringan extrahematopoietic yang terbentuk setelah apoptosis atau nekrosis (seperti keseimbangan sito-kin maupun keadaan matriks ekstraseluler) memung-kinkan engraftment yang sesuai bagi stem cell yang sedang beredar di aliran darah. Yang tidak diketahui adalah apakah stem cell melewati fase jaringan spe-sifik sebelum maturasi, baik melalui transdiferensiasi maupun fusi sel.1,9

Ejgfsfotjbtj!mbohtvoh!ebo!ubl!mbohtvoh

Terdapat beberapa mekanisme yang masih menjadi spekulasi untuk fenomena transdiferensiasi ini. Pada penelitian menggunakan stem cell dari sumsum tulang, salah satu dugaannya adalah bahwa ketika ditrans-plantasikan, sebenarnya kumpulan sel ini membawa sekelompok populasi sel yang sangat pluripotent, yang belum terarah menjadi sel darah. Atau mereka adalah hematopoietic stem cell yang dapat bertransdiferensia-si. Sel yang sudah terarah telah memulai rangkaian dife-rensiasi terminal yang diduga disebabkan oleh peruba-han konformasi DNA. Transdiferensiasi menunjukkan kemampuan dari sebuah sel yang sudah terarah untuk mengubah pola ekspresi gennya menjadi sel yang betul-betul berbeda dengan karakter asalnya, dan ini dapat terjadi langsung maupun tak langsung. Transdiferen-siasi tak langsung berarti stem cell berde-diferensiasi diikuti proses maturasi ke jalur alternatif. Transdiferen-siasi langsung berarti terdapat transisi langsung pada pola ekspresi gen sel tersebut.9,10

Yang harus diingat adalah bahwa transdiferensiasi in vivo tidaklah harus berlangsung dalam keadaan pato-logis. Hal ini merupakan mekanisme yang normal terjadi pada tumbuhan dan hewan, contohnya yang terjadi pada amfi-bi selama regenerasi tungkai. Di tahap in vitro, progenitor oligodendrosit dapat diprogram ulang menjadi stem cell saraf ketika dipelihara dalam kultur berkepadatan rendah dan dalam medium yang serum-free.11

Gvtj!tfm

Mekanisme alternatif untuk plastisitas adalah terjadinya fusi sel antara hematopoietic stem cell dengan non-he-matopoietic stem cell membentuk heterokarion, dengan demikian mengubah pola ekspresi gen dari pola asli sel sumsum tulang menjadi pola ekspresi pasangan fusinya. Contohnya, fusi in vitro fibroblast dengan myoblast dike-tahui menghasilkan ekspresi mRNA yang spesifik untuk myocyte dengan nuklei yang spesifik untuk fibroblast.7,9

Nftfodiznbm!Tufn!Dfmm!ej!Ebsbi!Ubmj!Qvtbu

Mesenchymal stem cell pertama kali dikarakteristikkan

Page 11: cdk_161_Stemcell

66 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

maan yaitu : tumbuh di kultur sebagai sel yang melekat dengan lama hidup tertentu, dan memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi osteoblast, chondroblast, dan adipocyte dalam respon terhadap stimuli yang te-pat.12,13,14 Secara histologis, mesenchymal stem cell memiliki bentuk fusiform, fibroblast-like, dan pada fase pertumbuhan in vitro awal membentuk koloni.8

Dari identifikasi karakter imunologis, spektrum sitokin yang luas (contohnya fibroblast growth factor-2 [FGF-2], FGF-4, platelet derived growth factor-BB [PDGF-BB], leukemia inhibitory factor) dan teknik isolasi (contoh : elektromagnetik dan secara fisik) telah digunakan un-tuk mengidentifikasi dan mengekspansi mesenchymal stem cells. Dengan flow cytometry, sel ini menunjuk-kan hasil negatif terhadap CD3, CD7, CD19, CD34, CD45, CD117, CD133, dan CD135, mengindikasikan bahwa sel kelompok ini bukanlah berasal dari sel he-matopoetik. Sel jenis ini juga menunjukkan hasil negatif terhadap reseptor matriks CD31 (PECAM-1), CD62L (L-selectin), dan CD62P (P-selectin), dan negatif untuk CD33, CD90, dan HLA-DR.8,12,13,14

Mesenchymal stem cells yang diperoleh dari darah tali pusat diketahui positif untuk integrin CD29 ( 1-in-tegrin), CD49b ( -2 integrin), CD49d ( -4 integrin), dan CD51 ( -v integrin); positif untuk reseptor matriks CD44 (reseptor hialuronat), CD58 (LFA-3), dan CD105 (endoglin); dan positif HLA-ABC.8,12,13 Selain itu untuk marker mesenchymal stem cell manusia : SH-2, SH-3, dan SH-4, sel-sel ini memberikan hasil positif kuat.12,13

Lvmuvs!kbohlb!qbokboh!nftfodiznbm!tufn!dfmm!jo!wjuspDalam kondisi kultur yang mengandung fetal bovine serum (FBS), mesenchymal stem cell dari donor muda dapat menjalani 24-40 kali penggandaan populasi (population doublings, PD) in vitro sedangkan potensi proliferasi dari donor yang lebih tua terlihat lebih ren-dah. Setelah itu, mesenchymal stem cell menunjukkan penghentian pertumbuhan yang berhubungan dengan fenomena penuaan sel. Hal ini disebabkan oleh be-berapa faktor termasuk pemendekan telomer yang progresif selama subkultur kontinu in vitro karena ti-dak aktifnya aktivitas telomerase. Penuaan replikatif ini dapat diatasi dengan memaksa ekspresi gen human telomerase reverse transcriptase (hTERT) sehingga mengembalikan aktivitas telomerase.12,13

Qpufotj!ebo!qfsmblvbo!zboh!ejcvuvilbo!vouvl!ejgf.

sfotjbtj!nftfodiznbm!tufn!dfmm Banyak ilmuwan dari berbagai lembaga telah melaku-kan kultur mesenchymal stem cell, masing-masing dengan metode mereka sendiri. Umumnya media kultur yang digunakan adalah media standar dengan

oleh Friedstein dkk lebih dari 30 tahun yang lalu, dan didefi-nisikan sebagai sel yang multipoten, yang mampu ber-diferensiasi menjadi beberapa jalur termasuk kartilago, tulang, tendon, otot, ligamen, dan jaringan lemak.9,12,13

Meskipun merupakan sumber utama mesenchymal stem cell, sumsum tulang melibatkan prosedur isolasi yang sangat invasif. Selain itu, jumlah, potensi diferen-siasi, dan umur maksimum mesenchymal stem cell dari sumsum tulang menurun dengan bertambahnya usia donor.15 Perkembangan selanjutnya mengarahkan minat isolasi mesenchymal stem cell pada sumber al-ternatif seperti darah tali pusat yang proses isolasinya lebih tidak invasif tanpa membahayakan ibu maupun bayinya.16,17,18 Kern dkk membandingkan mesenchymal stem cell dari sumsum tulang, darah tali pusat dan jarin-gan lemak. Ia menemukan bahwa meskipun ketiga sum-ber ini secara morfologis dan fenotip imunologis memi-liki karakteristik mesenchymal stem cell yang identik, mesenchymal stem cell dari darah tali pusat memiliki kemampuan untuk dikultur dalam periode terlama, dan menunjukkan kemampuan proliferasi tertinggi sehingga dapat diekspansi dalam jumlah yang banyak.14

Nftfodiznbm!tufn!dfmm!ebsj!ebsbi!ubmj!qvtbu!nfnj.

mjlj!jnvophfojtjubt!zboh!sfoebi Salah satu masalah yang timbul dari grafting sel adalah adanya reaksi penolakan dari host terhadap sel transplant allogeneic yang mismatched. Penelitian membuktikan bahwa mesenchymal stem cell dari da-rah tali pusat dapat mencegah penolakan allogeneic pada manusia maupun hewan coba. Penemuan ini didukung pula oleh bukti-bukti kultur in vitro. Terdapat tiga mekanisme yang berkontribusi terhadap kejadian ini. Pertama, mesenchymal stem cell dari darah tali pu-sat adalah sel yang hypoimmunogenic, dengan kekura-ngan molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II dan ekspresi molekul yang menstimulasinya. Kedua, mesenchymal stem cell dari darah tali pusat mencegah respon sel T secara tidak langsung melalui modulasi sel dendritik dan secara langsung meng-ganggu fungsi sel Natural Killer (NK) dan fungsi sel T Cluster of Differentiation 4 (CD4+) dan CD8+. Ketiga, mesenchymal stem cell dari darah tali pusat mengin-duksi microenvironment lokal yang supresif terhadap produksi prostaglandin dan interleukin-10 seperti juga ekspresi indoleamin 2,3,-dioksigenase yang mendeple-si keseimbangan triptofan. Bradley dkk menunjukkan keuntungan lain pemakaian stem cell dari darah tali pusat adalah tidak membutuhkan ketepatan Human Leukocyte Antigen (HLA) 100%.19,20

Lbsblufs!cjpmphjt!Nftfodiznbm!tufn!dfmm

Mesenchymal stem cell yang ditumbuhkan di berbagai laboratorium dengan berbagai teknik memiliki 2 kesa-

Page 12: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 67

suplemen fibroblast growth factor (FGF) untuk menun-jang proliferasi sel, antibiotik untuk mengatasi kontami-nasi, serta serum baik dari bovine (fetal bovine serum, FBS) maupun calf (fetal calf serum, FCS). Kondisi mi-croenvironment tampaknya betul-betul berpengaruh pada potensi diferensiasi maupun transdiferensiasi mesenchymal stem cell dari darah tali pusat manusia. Implikasinya, kultur sel in vitro harus mampu meniru kondisi yang terjadi secara in vivo untuk memastikan validitas peristiwa di laboratorium semirip mungkin dengan yang terjadi dalam tubuh.12,13,18

Perlakuan dengan medium dan faktor penginduksi yang berbeda memberikan hasil diferensiasi mesen-chymal stem cell menjadi berbeda pula, seperti akan diuraikan di bawah ini.a. Diferensiasi osteogenik

Medium osteogenik terdiri dari Iscove Modified Dulbecco’s Medium (IMDM) disuplementasi de-ngan deksametason, asam askorbat, gliserol, atau gliserofosfat.

b. Diferensiasi chondrogenikMedium yang umum dipakai terdiri dari Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium (DMEM) tinggi glukosa disuplementasi dengan deksametason, sodium pi-rofosfat, prolin, Tumor Growth Factor (TGF)- insu-lin, transferin, asam seleneic, Bovine Serum Albu-min (BSA), dan asam linoleat.

c. Diferensiasi adipogenikMenggunakan IMDM disuplementasi FBS, deksa-metason, bovine insulin, 1-metil-3-isobutilamin, dan indometasin.

d. Diferensiasi neurogenikMedium IMDM disuplementasi dengan basic Fibro-blast Growth Factor (bFGF), asam retinoat, beta mercaptoethanol (BME), setelah dicuci dengan me-dium D-Hanks kemudian ditambahkan DMSO dan beta hidroxy anisole (BHA)

e. Diferensasi hepatogenikMenggunakan IMDM disuplementasi dengan FBS, penisilin dan streptomisin. Selanjutnya digunakan medium IMDM disuplementasi FBS, FGF-4, dan pe-nisilin-streptomisin.17,21

Lvmuvs! nftfodiznbm! tufn! dfmm! ebmbn! mjohlvohbo!yfop.gsffPenggunaan mesenchymal stem cell dalam terapi berbasis sel memerlukan pengembangan protokol kultur xeno-free. Meskipun bukan persyaratan formal dari badan resmi seperti FDA, terdapat peningkatan perhatian pada kemungkinan transmisi infeksi partikel seperti virus dan prion dari hewan ke manusia. Bebe-rapa laporan telah menunjukkan bahwa mesenchymal

stem cell dapat dikultur dengan suplementasi serum manusia tanpa efek merugikan dalam proliferasi mau-pun potensi diferensiasinya secara in vitro.12,13,16

LFTJNQVMBO

Stem cell memiliki potensi untuk dikembangkan se-bagai salah satu alternatif terapi berbasis sel. Me-senchymal stem cell dari darah tali pusat kini banyak dipakai sebagai alternatif sumber stem cell karena aman dari isu etis maupun kekhawatiran tentang po-tensi tumoriogenisitasnya. Dengan perlakuan yang tepat, sel ini dapat dikembangkan menjadi berbagai jenis sel. Usaha-usaha optimalisasi kultur sel kini ten-gah dikembangkan untuk merespon kebutuhan terapi yang aman dari cemaran patogen.

EBGUBS!QVTUBLB

1. Kirschstein R, Skirboll LR. Stem Cells : Scientific progress and future research directions. Washington: National Institute of Health, 2001.

2. National Institute of Health. Stem Cell information : The national insti-tute of health resource for stem cell research. Cited March 3, 2007. http://stemcells.nih.giv/info/basic/basics1.asp

3. Wikipedia. Stem Cell. Cited March 3, 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Stem_cell

4. Thomson JA, Itzkovitz-Eldor J, Shapiro SS, dkk. Embryonic stem cells lines derived from human blastocyst. Science. 1998; 282: 1145-7.

5. Setiawan B. Aplikasi terapeutik embryonic stem cell pada berbagai penyakit degeneratif. Cermin Dunia Kedokt. 2006; 153: 5-8

6. Yen BL, Huang HI, Chien CC, dkk. Isolation of multipotent cells from hu-man term placenta. Stem Cells 2005; 23: 3-9.

7. Kuehnle I, Goodel MA. The therapeutic potential of stem cell from adult. BMJ 2005; 235: 372-6.

8. Lee OK. Kuo TK, Chen WM, dkk. Isolation of multipotent mesenchymal stem cells from umbilical cord blood. Blood 2004; 103: 1669-75

9. Herzog EL, Chai L, Krause DS. Plasticity of marrow derived stem cells. Blood 2003; 102: 3483-93.

10. Song L, Webb NE, Song Y, Tuan RS. Isolation and functional analysis of candidate genes regulating mesenchymal stem cell self-renewal and multipotency. Stem Cells 2006; 24: 1707-18.

11.Stocum DL. Development:a tail of differentiation. Science 2002; 298: 1901-3.

12. Kassem M. Mesenchymal stem cells : Biological characteristics and potential clinical applications. Cloning Stem cells 2004; 6: 369-73.

13. Kassem M, Kristiansen M, Abdallah BM. Mesenchymal stem cells: cell biology and potential use in therapy. Basic Clin Pharmacol Toxicol. 2004; 95: 209-14.

14. Kern S, Eichler H, Stoeve J, dkk. Comparative analysis of mesenchymal stem cells from bone marrow, umbilical cord blood or adipose tissue. Stem Cells 2006; 24: 1294-301.

15. D’Ippolito G, Scghiller PC, Ricordi C, dkk. Age-related osteogenic poten-tial of mesenchymal stromal stem cells from human vertebral bone marrow. J Bone Miner Res. 1999; 14: 1115-22.

16. de Wynter EA. What is the future for cord blood stem cells? Cytotech-nology 2003; 41: 133-8.

17. Kang XQ, Zang WJ, Bao LJ, dkk. Differentiating characterization of hu-man umbilical cord blood-derived mesenchymal stem cells in vitro. Cell Bio Int. 2006; 30: 569-75.

18. Prayogo R, Wijaya MT. Kultur dan potensi stem cell dari darah tali pusat. Cermin Dunia Kedokt. 2006; 153: 26-8.

19. Ryan JM, Barry FP, Murphy JM, Mahon BP. Mesenchymal stem cell avoid allogeneic rejection. J Inflamm (London). 2005; 2:8

20. Bradley MB, Cairo MS. Cord blood immunology and stem cells trans-plantation. Human Immunol. 2005; 66: 431-46.

21. Goodwin HS, Bicknese AR, Chien SN, dkk. Multilineage differentiation ac-tivity by cells isolated from umbilical cord blood: Expression of bone, fat and neural markers. Biol Blood Marrow Transplant. 2001; 7: 581-8.

Page 13: cdk_161_Stemcell

68 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

EkspansiEndothelial Progenitor Cell

Gsjtdb-!!Dbspmjof!U/!Tbsekpop-!!Gfssz!Tboesb

Tufn!Dfmm!Ejwjtjpo-!!Tufn!Dfmm!boe!Dbodfs!Jotujuvuf-!!Lbmcf!Qibsnbdfvujdbm!Dpnqboz!Kblbsub-!!Joepoftjb

QFOEBIVMVBO

Kerusakan atau disfungsi sel endotel merupakan sti-mulus utama untuk terjadinya arterosklerosis1. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan aliran darah yang dapat berakibat fatal seperti ditemukan pada penyakit distrofi muskular, gagal ginjal akut (CRF), dan stroke2. Tidak hanya itu, arterosklerosis pada pembuluh darah jantung (kardiovaskular) menyebabkan infark miokard akut yang juga termasuk dalam daftar penyakit utama penyebab kematian di dunia.

Ditemukannya Endothelial Progenitor Cell (EPC) mem-bawa implikasi besar dalam dunia ilmiah dan kedok-teran. EPC dapat memediasi terjadinya pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi dan angioge-nesis) dan menjaga integritas pembuluh darah3. De-ngan demikian transplantasi EPC menjadi suatu alter-natif terapi untuk mengatasi penyakit akibat gangguan pembuluh darah4.

EPC dapat diisolasi dari berbagai sumber, antara lain darah tali pusat1,5,6, darah tepi1,3,7, sumsum tulang1,8,9 dan juga pada jaringan tubuh lainnya, seperti jari-ngan lemak, hati, jantung, limpa, dan saluran pencer-naan10,11. Namun, jumlah EPC yang sangat terbatas dari berbagai sumber tersebut membatasi penggu-naan EPC sebagai terapi. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memperbanyak EPC dengan cara meng-kultur secara in vitro (ekspansi) untuk memenuhi jum-lah kebutuhan dalam terapi.

Lbsblufsjtujl!ebo!qfsbo!FQD

EPC merupakan sel yang memiliki karakteristik seperti sel punca (stem cell), namun memiliki kemampuan prolif-

BCTUSBL

Ditemukannya EPC membawa pengaruh yang besar dalam terapi penyakit pembuluh darah. Keterbatasan jum-lah EPC dalam sirkulasi darah menjadi hambatan utama dalam pengembangan EPC sebagai produk terapi sel. Berbagai upaya telah dilakukan dalam meningkatkan jumlah EPC dengan cara mengkultur secara in vitro untuk mendapatkan jumlah EPC yang dibutuhkan. Dalam artikel ini, akan diuraikan mengenai karakteristik, berbagai upaya ekspansi EPC dan metode yang sekarang ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menghitung EPC. Kata kunci : EPC, sel punca, ekspansi, identifikasi, Endothelial Progenitor Cell.

erasi dan diferensiasi yang lebih terbatas. Sel ini bersifat unipoten, yaitu dapat berdiferensiasi menjadi sel endotel matang. EPC memiliki peran penting dalam pembentu-kan pembuluh darah dan remodelisasi sel endotelial pada pembuluh darah yang mengalami kerusakan12-15.

EPC didefinisikan sebagai bagian dari sel berinti tung-gal (mononucelar cell atau MNC) yang memiliki molekul penanda sel punca hematopoietik, yaitu CD34, suatu glikoprotein yang memediasi pelekatan sel punca pada matriks ekstraseluler sumsum tulang dan CD133, suatu glikoprotein yang dilaporkan merupakan molekul penanda untuk sel punca yang lebih primitif dibanding-kan CD34, sampai saat ini fungsi dari molekul CD 133 masih belum diketahui dengan pasti16. EPC yang telah mengalami diferensiasi menjadi sel yang lebih matang secara berangsur-angsur akan kehilangan ekspresi CD34. EPC juga dilaporkan memiliki molekul penanda sel endotelial, yaitu KDR (Kinase Insert Domain Re-ceptor), suatu protein yang berperan penting dalam menstimulasi proliferasi, perkembangan pembuluh darah baru (sprouting), dan angiogenesis. EPC juga berperan dalam pelekatan dan interaksi antar sel17,18. Beberapa molekul penanda sel endotelial matang lain-nya yang dapat dimiliki oleh EPC antara lain sebagai berikut: CD31 (Platelet endothelial cell adhesion mol-ecule-1), berperan dalam pelekatan sel endotel dan merupakan molekul yang berperan dalam proses mi-grasi leukosit melalui jaringan interseluler sel-sel en-dotel; CD146 (P1H12), berperan dalam memediasi pelekatan antar sel endotel19,20; Von Willebrand factor (vWF), berperan dalam proses koagulasi darah; Tie-2 berperan dalam pematangan jaringan sel endotel se-

Hasil Penelitian

Page 14: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 69

lama vaskulogenesis atau angiogenesis; dan Endothe-lial nitric oxide synthase (NOS), berperan dalam pen-gaturan fungsi pembuluh darah7.

EPC dapat berperan dalam proses yang bersifat fisio-logis maupun patologis. Dalam proses yang bersifat fisiologis, EPC merupakan sel progenitor yang memi-liki kemampuan untuk membelah dan berdiferensiasi menjadi sel endotelial matang13. Dengan demikian EPC ikut menjaga integritas pembuluh darah melalui fungsinya dalam menggantikan sel-sel endotel yang rusak (reendotelialisasi) dan pembentukan pembuluh darah baru21,22. Dalam proses yang bersifat patologis, EPC turut berperan dalam angiogenesis pada penyakit tumor sehingga dapat menyebabkan semakin cepat-nya pertumbuhan tumor11.

Vqbzb!fltqbotj!FQD Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa EPC dapat diisolasi dari berbagai sumber, dengan jumlah EPCs <1% dalam jumlah total sel mononuklear pada sumsum tulang dan < 0.01% dalam peredaran darah perifer15. Sedangkan jumlah EPC yang dibutuhkan un-tuk digunakan dalam terapi manusia dewasa cukup besar jumlahnya. Dilaporkan bahwa diperlukan kurang lebih 3x108 sampai 6x108 sel yang berarti dibutuh-kan 8,5-120 liter darah perifer untuk memperoleh EPC dalam jumlah cukup15,23.

Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, maka banyak penelitian telah dilaksanakan dalam upaya mengeks-pansi jumlah EPC. Penelitian akhir-akhir ini mengemu-kakan beberapa proses penting yang menjadi kom-ponen utama dalam metode ekspansi jumlah EPC. Proses tersebut dimulai dengan proses isolasi EPC, proses kultur dengan menggunakan beberapa jenis media, dan proses penentuan jumlah EPC yang ber-hasil dikumpulkan. Masing-masing proses di atas akan diuraikan secara singkat sebagai berikut.

Jtpmbtj!FQDBerbagai metode isolasi sel yang akan diekspansi di antaranya yaitu metode isolasi sel berdasarkan karak-teristik inti selnya dan molekul penanda yang terletak pada permukaan sel.

Metode isolasi sel yang paling sederhana adalah de-ngan menggunakan metode sentrifugasi untuk memisahkan fraksi sel berinti tunggal (MNC) dari sel-sel lain di dalam darah. Sel yang disentrifugasi dalam suatu gradien den-gan massa tertentu akan dapat dipisahkan berdasar-kan densitasnya. Metode ini akan memisahkan sel yang densitasnya lebih tinggi seperti sel darah merah dan sel granulosit dengan sel yang densitasnya lebih rendah sep-

erti MNC, di dalamnya termasuk sel punca, progenitor, limfosit, dan monosit. Salah satu reagen yang sering di-gunakan dalam metode ini adalah Ficoll.

Metode isolasi lainnya adalah berdasarkan molekul penanda pada permukaan sel yang bertujuan untuk mendapatkan fraksi sel yang lebih spesifik dibanding-kan metode sentrifugasi. Prinsip dari metode ini antara lain melalui reaksi pemisahan berdasarkan kompleks antara antigen dan antibodi. Antigen yang digunakan dalam metode ini adalah molekul penanda permukaan sel yang akan diisolasi, dan antibodi spesifik terhadap antigen yang digunakan berada dalam keadaan teri-kat dengan magnetik microbeads. Pemisahan dilaku-kan dalam medan magnet, oleh karena itu metode ini disebut separasi imunomagnetik. Untuk metode ini, diperlukan beberapa perangkat instrumen tambahan seperti magnetik microbeads beserta perangkat un-tuk separasi, antara lain kolom dan separator. Kolom disisipkan di antara separator, yang merupakan me-dan magnet kuat, sehingga sel dengan antigen terten-tu yang sudah diikat oleh antibodi pada microbeads akan tertahan di kolom dan dapat dipisahkan untuk digunakan lebih lanjut. Proses ini dapat digunakan un-tuk mendapatkan fraksi sel yang memiliki molekul pe-nanda tertentu (seleksi positif) atau sebaliknya (seleksi negatif). Aplikasi penggunaan separasi imunomagnetik dalam pengisolasian kandidat sel EPC yang sudah di-lakukan antara lain untuk mendapatkan fraksi sel yang memiliki molekul penanda CD14, CD34, CD133, atau CD146 untuk digunakan dalam proses selanjutnya15.

Berbagai metode isolasi dan fraksi sel yang dihasilkan be-serta sumber pustakanya dapat dilihat pada ubcfm!2.

Ubcfm!2!!Nfupef!jtpmbtj!ebo!gsbltj!tfm!zboh!ejibtjmlbo!vouvl!fltqbotj!

FQD

Lvmuvs0!Fltqbotj!FQDDalam upaya ekspansi jumlah EPC secara in vitro pada umumnya digunakan media basal beserta kom-binasi bahan tambahan yang ditujukan untuk mening-katkan proliferasi sel dan diferensiasinya menjadi EPC. Media basal yang umum digunakan antara lain Endo-

Metode

Sentrifugasi (densitas-gradien)

Separasi imunomagnetik

Fraksi sel

MNC

CD14

CD34

CD133

CD146

Sumber pustaka

24-28

29

16,18,30

21,31

32

Page 15: cdk_161_Stemcell

70 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

menyerupai pembuluh darah secara in vitro.Bermacam-macamnya pendefinisian EPC (Tabel 2) menyebabkan bervariasinya jumlah EPC yang diperoleh dari studi-studi yang telah dilakukan. Berdasarkan mor-fologinya, jumlah EPC pada 1 ml darah manusia dewasa segar adalah 1,6x105 sampai 3x105 sel31,34. Sedangkan berdasarkan fenotipenya (CD133+/KDR+), dilaporkan jumlah EPC pada peredaran darah tepi dewasa normal yaitu sekitar 0,002% dari total sel mononuklear atau rata-rata 66 sel/ml17. Oleh karena itu standarisasi dalam pendefinisian EPC sangat diperlukan.

Uboubohbo!ebmbn!fltqbotj!FQD

Hingga saat ini, upaya ekspansi EPC masih dipersulit dengan adanya berbagai tantangan. Tantangan terse-but di antaranya adalah mencari pengganti komponen hewan dalam komposisi media kultur untuk mengeks-pansi EPC. Komponen hewan dalam media kultur, di-mana belum teridentifikasi dengan jelas komposisinya, berpotensi sebagai pembawa agen/mikroorganisme patogen, menimbulkan reaksi penolakan imun pada re-sipien, serta juga dapat menyebabkan hasil kultur ber-variasi pada setiap batchnya. Oleh karena itu, upaya ekspansi EPC dengan tidak menggunakan komponen dari spesies berbeda (xeno free) sangat diperlukan. Tantangan lainnya dalam ekspansi adalah dapat menghasil-kan EPC dalam jumlah besar sehingga dapat mencu-kupi kebutuhan dalam terapi. Sehubungan dengan hal

ini, berbagai studi sudah dilakukan dan masih terus dikembangkan untuk meningkatkan upaya ekspansi EPC yang sudah ada. Di antaranya adalah dengan rekayasa genetik, yaitu transfer gen human telom-erase reverse transcriptase (hTERT)35,36 atau gen penyandi faktor proangiogenesis seperti vascular endothelial growth factor (VEGF) ke dalam EPC. Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya adalah perlu ditentukannya karakteristik, baik morfologi, fenotipe, atau batasan fungsional yang paling te-pat dalam mendefinisikan EPC.

thelial Basal Medium-2 (EBM-2), M-199, dan Iscove’s Modified Dulbecco’s Medium (IMDM)1,7,8. Komposisi campuran medium tiap studi berbeda-beda. Media basal tersebut umumnya ditambahi serum untuk mendukung pertumbuhan sel dan antibiotik untuk menghindari tumbuhnya kontaminasi1. Selain itu, me-dia basal juga seringkali ditambah dengan berbagai suplemen, seperti bovine pituitary extract atau bovine brain extract, atau faktor-faktor pertumbuhan untuk membantu pertumbuhan dan diferensiasi menjadi sel endotelium, seperti Vascular Endothelial Growth Fac-tor (VEGF), basic Fibroblast Growth Factor (b-FGF), Epidermal Growth Factor (EGF), dan Insulinlike Growth Factor -1 (IGF-1)33.

Qfofouvbo!kvnmbi!FQDDilakukannya penentuan jumlah EPC pada peredaran da-rah tepi manusia dapat memberikan informasi yang pen-ting dalam keberhasilan pengkulturan EPC. Ditambah lagi, jumlah EPC dapat digunakan sebagai penanda (marker) biologi untuk mengevaluasi fungsi pembuluh darah1. teta-pi metode penghitungan EPC yang telah digunakan pada banyak studi menghasilkan variabilitas pada jumlah EPC yang telah dilaporkan, mengingat belum adanya definisi tunggal di antara para peneliti untuk EPC. Beberapa stu-di melaporkan beberapa variasi dalam definisi EPC yang juga dipakai sebagai acuan dalam penghitungan jumlah EPC. a. Berdasarkan morfologi

Sel berbentuk spindle dan membentuk koloni bulat atau sel berbentuk cobblestone didefinisikan se-bagai EPC.

b. Berdasarkan fenotipe, yaitu antigen permukaan sel. Pada keba-nyakan studi, EPC diidentifikasi dan di-hitung melalui flowcytometry, yaitu dengan identifi-kasi sel-sel yang memiliki molekul penanda sel he-matopoietik dan sel endotel, yaitu CD34, CD133, dan KDR9,12,22.

c. Berdasarkan karakteristik fungsionalEPC dapat dikarakterisasi secara fungsional melalui beberapa metode, antara lain pengikatan dengan lektin, kemampuan endositosis senyawa lipopro-tein, atau kemampuan untuk membentuk struktur

Gambar 1 Sel berbentuk spindle dengan koloni berbentuk bulat dalam kultur in vitro pada hari ke 5 (Kiri). Sel berbentuk cobble-

stone dalam kultur in vitro pada hari ke 19 (Kanan)9.

Kedua morfologi sel tersebut diklaim sebagai EPC28,30

.

Jenis Analisa

Morfologi

Fenotipe

Fungsional

Keterangan

Sel berbentuk spindledengan koloni berbentuk bulat(Gambar 1 kiri)

Sel berbentuk cobblestone(Gambar 1 kanan)

CD146+CD34+/CD45+

CD34+/VEGFR-2+ atauCD133+/VEGFR-2+ Pengikatan dengan lektin danendositosis lipoprotein

Sumber pustaka

21,27,28

25,29,30

8,17,24

3,7

Ubcfm!3!!Nbdbn!kfojt!qfoefgjojtjbo!vouvl!qfohijuvohbo!FQD

Page 16: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 71

LFQVTUBLBBO

1. Hill J, Zalos G, Halcox JPJ, dkk. Circulating Endothelial Progenitor Cells, Vascular Function, and Cardiovascular Risk. N Engl J Med. 2003;348;593-600

2. Choi JH, Kim KL, Huh W, dkk. Decreased number and impaired angio-genic function of endothelial progenitor cells in patients with chronic renal failure. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2004;24;1246 –52.

3. Asahara T, Murohara T, Sullivan A, dkk. Isolation of Putative Progeni-tor Endothelial Cells for Angiogenesis. Science. 1997;275;964-7.

4. Franz WM, Zaruba M, Theiss H, dkk. Stem-cell homing and tissue re-generation in ischaemic cardiomyopathy. Lancet. 2003;362;675-6.

5. Murohara T, Ikeda H, Duan J, dkk. Transplated cord blood-derived endothelial precursor cells augment postnatal neovascularization. J Clin Invest. 2000; 105;1527-36.

6. Ingram DA, Mead LE, Tanaka H, dkk. Identification of a novel hierarchy of endothelial progenitor cells utilizing human peripheral and umbilical cord blood. Blood. 2004-04-1396.

7. Gulati R, Jevremovic D, Peterson TE, dkk. Diverse origin and function of cells with endothelial phenotype obtained from adult human blood. Circ Res. 2006; 93;1023-5.

8. Lin Y, Weisdorf DJ, Solovey A, dkk. Origin of circulating endothelial cells and endothelial outgrowth from blood. J Clin Invest. 2000;105;71-7.

9. Yoder MC, Mead LE, Prater D, dkk. Re-defining endothelial progeni-tor cells via clonal analysis and hematopoietic stem/progenitor cells principals. Blood. 2007;109;1801-9.

10. Urbich C, Dimmeler S. Endothelial Progenitor cells. Characterization and role in vascular biology. Circ Res. 2004;95;343-53.

11. Doyle B, Metharom P, Caplice NM. Endothelial Progenitor Cells. Endo-thelium. 2006;13;403–10.

12. Lutun A, Verfaillie CM. Will the real EPC please stand up? Blood. 2007;109;1795-6.

13. Khakoo AY, Finkel T. Endothelial Progenitor Cells. Annu Rev Med. 2005;56;79-101.

14. Ribatti D. The discovery of endothelial progenitor cells An historical review. Leukem Res. 2006;31:439-44.

15. Smadja DM, Cornet A, Emmerich J, dkk. Endothelial progenitor cells: Characterization, in vitro expansion, and prospects for autologous cell therapy. Cell Biol Toxicol. 2007;23: 223–39.

16. Peichev M, Naiyer AJ, Pereira D, dkk. Expression of VEGFR-2 and AC133 by circulating human CD341 cells identifies a population of functional endothelial precursors. Blood. 2000;95;952-8.

17. Sills AD, Blunden MJ, Mawdsley J, dkk. New flow cytometic technique for the evaluation of circulating endothelial progenitor cell levels in various disease groups. J Immuno Methods. 2006;316:107-15.

18. Bompais H, Chagraoui J, Canron X, dkk. Human endothelial cells derived from circulating progenitor display specific functional prop-erties compared with mature vessel wall endothelial cells. Blood. 2004;103;2577-2584.

19. George DF, Sabatier F, Blann A. Detection of Circulating Endothelial Cells : CD146-based Magnetic Separation Enrichment or Flowcyto-metric Assay? J of Clin Onco. 2007;25;e1-e2.

20. Woywodt A, Kirsch T, Haubitz M. Immunomagnetic isolation and FACS-competing techniques for the enumeration of circulating endothelial cells. Thromb Haemost. 2006;96;1-2.

21. Rustemeyer P, Wittkowski W, Greve B, dkk. Flow-cytometric Iden-tification, Enumeration, Purification, and Expansion of CD133+ and VEGF-R2+ Endothelial Progenitor Cells from Pheripheral Blood. J Im-munoassay & Immunochemistry. 2007;28;13-23.

22. Fuchs S, Hermanns MI, Kirkpatrick CJ. Retention of a differentiated endothelial phenotype by outgrowth endothelial cells isolated from hu-man peripheral blood and expanded in long-term cultures. Cell Tissue Res. 2006;326;79–92.

23. Kawamoto A, Gwon HC, Tkebuchava T, dkk. Intramyocardial transplan-tation of autologous endothelial progenitor cells for therapeutic neo-vascularization of myocardial ischemia. Circulation. 2003;107;461-8.

24. Assmus B, Schachinger V, Teupe C, dkk. Transplantation of Progeni-tor Cells and Regeneration Enhancement in Acute Myocardial Infarc-tion (TOPCARE-AMI). Circulation. 2002;106;3009–17.

25. Hur J, Yoon CH, Kim HS, dkk. Characterization of two types of endo-thelial progenitor cells and their different contributions to neovasculo-genesis. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2004;24;288-93.

26. Aoki M, Yasutake M, Murohara T. Derivation of Functional Endothelial Progenitor Cells from Human Umbilical Cord Blood Mononuclear Cells Isolated by a Novel Cell Filtration Device. Stem Cell. 2004;22;994-1002.

27. Kalka C, Masuda H, Takahashi T, dkk. Transplantation of ex vivo ex-panded endothelial progenitor cells for therapeutic neovasculariza-tion. PNAS. 2000;97;3422-7.

28. Holgado NL, Alberca M, Guijo FS, dkk. Short-term endothelial progeni-tor cell colonies are composed of monocytes and do not acquire en-dothelial markers. Cytotherapy. 2007;9;14- 22.

29. Yoon CH, Hur J, Park KW, dkk. Synergistic Neovascularization by Mixed Transplantation of early Endothelial Progenitor Cells and Late Outgrowth Endothelial Cells: The Role of Angiogenic Cytokines and Matrix Metalloproteinases. Circulation. 2005;112;1618-27.

30. Timmermans F, Hauwermeiren FV, Smedt MD, dkk. Endothelial Out-growth Cells Are Not Derived From CD133+ Cells or CD45+ He-matopoietic Precursors. Arterioscler. Thromb. Vasc. Biol. 2007; 10.1161/ATVBAHA.107.144972.

31. Gehling UM, Ergu¨n SL, Schumacher U, dkk. In vitro differentiation of endothelial cells from AC133-positive progenitor cells. Blood. 2000;95;3106-12.

32. Delorme B, Basire A, Gentile C, dkk. Presence of endothelial pro-genitor cells, distinct from mature endothelial cells, within human CD146+ blood cells. Thromb Haemost. 2005;94:1270-9.

33. Lenk K, Adams V, Lurz P, dkk. Therapeutical potential of blood-derived progenitor cells in patients with peripheral arterial occlusive disease and critical limb ischemia. European heart. 2005;26;1903-9.

34. Sharpe EE, Teleron AA, Li B, dkk. The origin and in vivo significance of Murine and Human culture expanded endothelial progenitor cells. Am J. Path. 2006;168;1710-21.

35. Smadja DM, Che IB, Emmerich J, dkk. PAR-1 activation has differ-ent effects on the angiogenic activity of endothelial progenitor cells derived from human adult and cord blood. J Thromb Haemost. 2006;4;2051–8.

36. Murasawa S, Llevadot J, Silver M, dkk. Constitutive human telomerase reverse transcriptase expression enhances regenerative properties of endothelial progenitor cells. Circulation. 2002;106;1133-9.

Page 17: cdk_161_Stemcell

72 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

Menuju Kloning TerapeutikDengan Teknik SCNTNfmjob!Tfujbxbo-!!Dbspmjof!Ubo!Tbsekpop-!!Gfssz!Tboesb

Tufn!Dfmm!Ejwjtjpo-!!Tufn!Dfmm!boe!Dbodfs!Jotujuvuf-!!Lbmcf!Qibsnbdfvujdbm!Dpnqboz!Kblbsub-!!Joepoftjb

BCTUSBL

Penggunaan teknik Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT), baik dalam penelitian kloning reproduktif maupun klo-ning terapeutik telah dilakukan oleh para ilmuwan di berbagai negara. Teknologi SCNT meliputi suatu teknologi rekayasa terhadap sel telur, dengan cara mentransfer inti dari sel donor ke sel telur yang telah dikeluarkan inti-nya (enucleated oocyte). Kedua jenis kloning memiliki kegunaannya masing-masing. Kloning reproduktif berperan penting dalam pelestarian hewan-hewan langka yang hampir punah. Sedangkan, kloning terapeutik bertujuan untuk menghindari adanya reaksi penolakan terhadap sistem imun pasien dalam terapi sel punca (stem cell) . Keberhasilan suatu penelitian yang menghasilkan sel punca embrionik monyet dengan teknik SCNT akhir-akhir ini membawa dunia semakin dekat dengan produksi sel punca embrionik manusia dari sel somatik dewasa sehingga risiko penolakan terhadap sistem imun akan semakin berkurang. Tentu saja hal ini hanya dapat berkembang apa-bila permasalahan etika penggunaan sel telur donor dapat teratasi.

QFOEBIVMVBO

Apabila anda mendengar kata “kloning”, mungkin yang terlintas di dalam pikiran anda adalah domba Dolly, domba yang berhasil diklon oleh Ian Wilmut pada tahun 1996. Pada umumnya, topik pembicaraan tentang klo-ning cenderung hanya membicarakan mengenai salah satu jenis kloning, yaitu kloning reproduktif. Domba Dolly merupakan salah satu contoh dari kloning reproduktif. Sebenarnya terdapat dua jenis kloning, yaitu kloning re-produktif dan kloning terapeutik. Kedua jenis kloning ini merupakan penerapan dari aplikasi teknologi Somatic Cell Nuclear Transfer atau SCNT. Saat ini, berbagai penelitian yang bertemakan kloning terus berjalan di tengah maraknya isu etika mengenai hal ini.

Uflojl!TDOU

Teknik SCNT berbeda dengan fertilisasi yang terjadi se-cara alami (Gambar 1). Pada fertilisasi alami, setelah

mengalami pembelahan meiosis, sel telur dan sel sperma memiliki materi genetik haploid (n). Terjadinya pembuahan sel telur oleh sel sperma atau fertilisasi akan menghasilkan embrio satu sel yang memiliki materi genetik 2n. Kemudian, embrio ini akan terus berkembang ke tahapan perkembangan selanjutnya menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, dan seterusnya.

Berbeda dengan fertilisasi alami, teknik SCNT merupa-kan suatu teknik rekayasa sel telur dengan cara men-transfer inti dari sel donor ke dalam sel telur yang telah dikeluarkan intinya (enucleated oocyte). Enucleated oocyte tidak memiliki materi genetik. Oleh karena itu, untuk mendapatkan embrio konstruksi yang diploid, sel telur harus direkonstruksi dengan cara mentransfer sel somatik (2n) ke dalam enucleated oocyte1. Proses enukleasi sel telur dapat dilakukan secara mekanik

menggunakan teknik mikromanipulasi. Sedang-kan, proses introduksi sel donor dapat dilakukan dengan teknik mikroinjeksi. Keberadaan cytocha-lasin B (CB) pada medium kultur bertujuan untuk menghambat sitokinesis atau pembelahan sel sehingga dapat dihasilkan klon embrio diploid2.

Aplikasi dari teknologi SCNT adalah pada peneli-tian kloning reproduktif dan juga kloning terapeu-tik. Perbedaan tahapan antara fertilisasi alami, kloning reproduktif, dan kloning terapeutik dapat dilihat pada gambar 2. Pada perkembangan se-cara normal (A), zigot diploid terbentuk setelah

Gambar 1. Perbedaan antara fertilisasi alami dan SCNT.

Hasil Penelitian

Page 18: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 73

terjadi fertilisasi. Kemudian, zigot akan membelah sampai terbentuk blastosit yang akan menempel pada dinding uterus sampai akhirnya berakhir pada proses melahirkan. Pada kloning reproduktif (B), sel donor yang berupa sel somatik (2n) diintroduksikan ke enu-cleated oocyte. Keberhasilan proses aktivasi embrio konstruksi secara kimiawi atau mekanik mengakibat-kan terjadinya proses pembelahan sampai ke tahap blastosit. Kemudian, embrio ”dititipkan” ke surrogate mother untuk dilahirkan secara normal. Sedangkan, pada kloning terapeutik (C), setelah embrio mencapai tahapan blastosit, embrio dikultur secara in vitro un-tuk didiferensiasikan menjadi berbagai jenis sel untuk kegunaan terapeutik.

Lmpojoh!sfqspevlujg

Kloning reproduktif mengandung arti suatu teknologi yang digunakan untuk menghasilkan individu (hewan) baru. Ge-netika hewan klon tidak seluruhnya memiliki kesamaan dengan sang induk1. Dengan menggunakan teknik SCNT, persamaan genetika hewan klon dengan induknya hanya terletak pada inti DNA donor yang berada di kromosom. Hewan klon juga memiliki material genetik lainnya yang berasal dari DNA mitokondria di sitoplasma1.

Teknologi kloning reproduktif dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kepunahan hewan-hewan langka ataupun hewan-hewan sulit dikembangbiakkan. Na-mun, laju keberhasilan teknologi ini sangatlah rendah. Domba Dolly merupakan satu-satunya klon yang ber-hasil lahir setelah dilakukan 276 kali percobaan (3)4,5. Semasa hidupnya, Dolly mengalami kanker paru-paru dan artritis, dan kemudian meninggal pada usia 6 ta-hun. Padahal, usia rata-rata domba pada umumnya mencapai 11-12 tahun6.

Gambar 3. Domba Dolly, hewan mamalia pertama yang berhasil diklon oleh Ian Wilmut pada tahun 1996. Dolly menin-ggal dengan cara disuntik mati (lethal injection) pada tanggal 14 februari 2003. Sebelum

kematiannya, Dolly menderita akibat kanker paru-paru dan

artritis yang dialaminya6

Sampai saat ini, hewan klon yang berhasil diproduksi jumlahnya cukup banyak, di antaranya adalah domba, sapi, kambing, kelinci, kucing, dan mencit1,7. Sementa-ra itu, tingkat keberhasilan kloning masih rendah pada hewan anjing, ayam, kuda, dan primata1,7.

Masalah yang kerap kali timbul dalam kloning reproduk-

tif adalah biaya dan efisiensinya. Penelitian dalam klo-ning reproduktif membutuhkan biaya yang sangat tinggi dan tingkat kegagalannya tinggi. Di samping tingkat keberhasilan yang rendah, hewan klon cende-rung mengalami masalah defisiensi sistem imun serta sangat rentan terhadap infeksi, pertumbuhan tumor, dan kelainan-kelainan lainnya.

Penyebab timbulnya berbagai masalah di atas adalah adanya kesalahan saat pemrograman material ge-netik (reprogramming) dari sel donor8. Kesalahan pengkopian DNA dari sel donor atau yang lebih dikenal dengan sebutan genomic imprinting akan mengakibat-kan terjadinya perkembangan embrio yang abnormal. Berbagai contoh abnormalitas yang terjadi pada klon mencit adalah obesitas9, pembesaran plasenta (pla-centomegally)10, kematian pada usia dini11.

Parameter yang dijadikan sebagai tolak ukur keber-hasilan dalam SCNT adalah kemampuan sitoplasma pada sel telur untuk mereprogram inti dari sel donor dan juga kemampuan sitoplasma untuk mencegah ter-jadinya perubahan-perubahan secara epigenetik sela-ma dalam perkembangannya12. Dari semua penelitian yang telah dipublikasikan, tercatat hanya sebagian ke-cil saja dari embrio hasil rekonstruksi (menggunakan sel somatik dewasa atau fetal) yang berkembang men-jadi individu muda yang sehat, dan umumnya laju ke-berhasilannya kurang dari 4%12.

Lmpojoh!ufsbqfvujl!ebo!tfm!qvodb

Kloning terapeutik dengan menggunakan teknologi

mbar 2. Perbedaan antara fertilisasi alami, kloning reproduktif, dan kloning terapeutik

3.

Page 19: cdk_161_Stemcell

74 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

SCNT merupakan bagian dari terapi sel punca yang ber-tujuan untuk meng-hindari adanya reaksi penolakan terhadap sistem imun pasien pada saat dilakukan tera-pi. Dalam beberapa dekade terakhir, mi-nat terhadap peneli-tian sel punca terus meningkat tajam. Sel punca memiliki potensi yang sangat menjanjikan untuk terapi berbagai pe-nyakit sehingga me-nimbulkan harapan baru untuk mengo-batinya. Sampai saat ini, ada 3 golongan penyakit yang dapat diatasi dengan peng-gunaan sel punca13, di antaranya adalah:1. Penyakit au-

toimun, con-toh penyakit lupus.

2. Penyakit d e g e n e r a -tif, contoh stroke, Par-kinson, Al-zhimer.

3. Penyakit kanker, contoh leukemia.Sel punca embrionik sangat plastis dan mudah dikem-bangkan menjadi berbagai macam jaringan sel, seperti neuron, kardiomiosit, osteoblast, fibroblast, dan sebagai-nya. Oleh karena itu, sel punca embrionik dapat digu-nakan untuk transplantasi jaringan yang rusak14. Selain itu, sel punca embrionik memiliki tingkat imunogenisitas yang rendah selama belum mengalami diferensiasi15. Salah satu cara untuk menghindari terjadinya graft ver-sus host disease (GVHD) adalah dengan menggunakan sel punca embrionik dengan sel somatik yang bersum-ber dari pasien itu sendiri sehingga tidak akan ada pe-nolakan lagi terhadap sistem imunnya15.

Dengan menggunakan teknologi SCNT, sel punca em-brionik yang dihasilkan akan identik dengan induknya

(dalam hal ini adalah pasien itu sendiri). Hal itu mengakibat-kan tidak akan ada-nya reaksi penolakan terhadap sistem imun pasien apabila dilakukan transplan-tasi. Secara teoritis, teknik SCNT memi-liki potensi besar dalam dunia kese-hatan karena dapat dipergunakan untuk transplantasi berba-gai organ dan jari-ngan pada manusia.

Secara singkat taha-pan untuk melaku-kan kloning terapeu-tik pada manusia (Gambar 4) adalah mengambil biopsi sel somatik dari tubuh pasien dan

inti dari sel so-matik tersebut ditransfer ke dalam sel telur donor yang telah dikeluarkan inti-nya (unfertilized enucleated oo-cyte)16. Sel telur hasil manipulasi dikultur sampai ke tahapan ter-

tentu dan setelah mengalami berbagai proses akan di-dapatkan sel punca embrionik. Sel punca embrionik ini diarahkan perkembangannya menjadi suatu jaringan atau organ tertentu yang akan dapat digunakan un-tuk transplantasi jaringan atau organ dan tidak akan mengalami rejeksi sistem imun pada pasien itu sendiri (immunologically compatible transplant)16.

Proses produksi sel punca embrionik melalui teknik SCNT dapat dijelaskan secara rinci pada gambar 517. Dengan menggunakan bantuan mikroskop, perge-rakan sel telur ditahan dengan holding pipette. Ke-mudian, DNA dari sel somatik pasien (yang berada di dalam injection pipette) diintroduksikan ke dalam sel telur enucleated. Sel telur hasil manipulasi dikultur se-cara in vitro menjadi blastosit selama 5-6 hari. Lalu,

Gambar 4. Kloning terapeutik pada manusia16

.

Gambar 5. Proses produksi sel punca embrionik17

.

Page 20: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 75

inner cell mass diisolasi dan dikultur di cawan petri se-hingga akan berkembang menjadi sel punca embrio-nik yang memiliki profil imunologi yang sama dengan pasien.

Lmpojoh!ufsbqfvujl!qbeb!!nbovtjb

Pada tahun 2005, Perry me-review hasil penelitian Hwang dkk yang telah berhasil menghasilkan sel pun-ca embrionik dengan menggunakan teknik SCNT18. Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa Hwang dkk mentransfer inti sel somatik dari 11 donor (8 pria dan 3 wanita) yang berusia 2-56 tahun, ke dalam sel telur yang telah dibuang materi genetiknya. Donor yang di-pilih memiliki kondisi-kondisi yang berpotensi dilakukan-nya terapi sel punca, di antaranya adalah congenital hypogammaglobulinemia, spinal cord injury, dan ju-venile diabetes. Produksi sel punca embrionik hanya berhasil dicapai dengan menggunakan sel somatik yang be-rasal dari 9 donor. Akan tetapi, ketika dilaku-kan analisis independen terhadap data tersebut, telah diketahui bahwa ternyata sel punca embrionik yang dihasilkan bukan merupakan sebuah hasil kloning sel punca embrionik manusia melainkan dihasilkan akibat terjadinya partenogenesis19. Sejak saat itu, belum ada lagi peneliti yang melaporkan keberhasilan produksi sel punca embrionik manusia.

Fujlb!ebmbn!lmpojoh

Dalam penelitian sel punca, perlu diperhati-kan juga masalah etika yang timbul dan juga keterkaitannya dengan hukum yang berlaku di negara bersangkutan. Menurut sumber-nya, sel punca dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu adult stem cells, sel punca yang berasal dari aborted fetus, dan sel punca dari preimplanted embryo.

Pada proses assisted reproduction dengan cara in vitro fertilization (IVF), embrio dihasil-kan dengan cara pembuahan yang dilakukan di dalam laboratorium (in vitro). Kemudian, 1-2 embrio yang dihasilkan akan ditransfer ke dalam uterus. Namun, seringkali em-brio yang telah dihasilkan tidak ditransfer ke dalam uterus sehingga seseorang yang memiliki “kelebihan” embrio tersebut diha-dapkan pada 3 pilihan, yaitu menyumbang-kan embrio ke pasangan infertil, menyum-bangkannya untuk kegiatan penelitian, atau mendestruksi embrio itu sendiri20.

Berbagai batasan-batasan dalam peng-gunaan embrio untuk kegiatan penelitian

adalah bahwa wanita tidak seharusnya mengalami sik-lus ovulasi tambahan untuk mendapatkan embrio, juga diharuskan adanya batasan yang jelas antara wanita yang mengikuti program IVF dan wanita yang memang secara sukarela menyumbangkan sel telurnya untuk kepentingan penelitian SCNT21.

Pada umumnya, sel telur yang diisolasi diperoleh me-lalui proses stimulasi pertumbuhan folikel-folikel dalam ovarium. Proses ini meliputi proses injeksi hormon penstimulasi secara subkutan setiap hari selama 7-10 hari21. Penentuan lokasi sel telur yang akan dikumpul-kan diperoleh dengan panduan alat USG transvaginal dan sel telur akan diisolasi melalui proses aspirasi sel telur dengan menggunakan jarum (Gambar 6). Nfmbohlbi!nfovkv!lmpojoh!ufsbqfvujl

Pada tahun 2007, Reuters melaporkan bahwa Alan Trouson dari Stem Cell Research Monash University berhasil memproduksi 2 grup sel punca embrionik dari embrio monyet. Sementara itu, Shoukhrat Mitalipov dari Oregon National Primate Research Centre di U.S juga berhasil memproduksi sel punca embrionik yang dilaku-

Gambar 6. Proses pengambilan sel telur donor dengan menggunakan panduan USG dan jarum aspirasi secaratransvaginal

21.

Page 21: cdk_161_Stemcell

76 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

kan dengan menggunakan teknik SCNT. Beliau menggu-nakan sel kulit sebagai donor sel somatik yang berasal dari monyet resus jantan yang berumur 10 tahun, lalu ditransfer ke sel telur yang telah dienukleasi. Mitalipov juga telah berhasil mendiferensiasikan sel punca embri-onik tersebut menjadi sel jantung dan neuron22.

Penemuan ini menunjukkan bahwa teknologi kloning terapeutik sudah sangat memungkinkan untuk dapat diaplikasikan kepada manusia. Keberhasilan Mitalipov membuat para ilmuwan semakin dekat kepada produk-si sel punca embrionik manusia dengan menggunakan teknik SCNT sehingga mengurangi risiko terjadinya penolakan imun pada terapi sel punca. Para ilmuwan berharap bahwa nantinya kloning terapeutik (meng-gunakan sel punca embrionik manusia) akan dapat diaplikasikan ke berbagai penyakit, seperti sclerosis, cardiac illnesses, spinal damage, dan sebagainya.

Ebgubs!Qvtublb

1. U.S Department of Energy Office of Science. Cloning fact sheet. Hu-man Genome Project Information. http://www.ornl.gov/hgmis

2. Kishigami S, Wakayama S, Thuan NV dkk. Production of cloned mice by somatic cell nuclear transfer. Nat Protoc. 2006;1(1):125-38.

3. Fischbach GD, Fischbach RL. Stem cells: science, policy, ethics. J Clin Invest. 2004;114(10):1364-70

4. Campbell KHS, McWhir J, Ritchie WA, Wilmut I. Sheep cloned by nuclear transfer from a cultured cell line. Nature.1996;380:64-6.

5. Wilmut I. Dolly’s false legacy. Time.1999;153(1):74, 76-77.6. Wilmut I. Dolly ~ her life and legacy. Cloning Stem Cells. 2003;5(2):99-1007. Mullins LJ, Wilmut I, Mullins JJ. Nuclear transfer in rodents. J Physiol.

2004; 554(1):4-12. 8. Solter D. Imprinting. Int J Dev Biol. 1998;42(7):951-4.9. Tamashiro KLK, Wakayama T, Akutsu H dkk. Cloned mice have an obese

phenotype not transmitted to their offspring. Nat Med. 2002;8:262-7.10. Tanaka S, Oda M, Toyoshima Y dkk. Placentomegaly in cloned mouse

concepti caused by expansion of the spongiotrophoblast layer. Biol Reprod. 2001;65(6):1813-21.

11. Ogonuki N, Inoue K, Yamamoto Y dkk. Early death of mice cloned from somatic cells. Nat Genet. 2002;30(3):253-4.

12. Wilmut I, Beaujean N, de Sousa PA dkk Somatic cell nuclear transfer. Nature. 2002;419:583-6.

13. Virgi S. Dasar-dasar stem cell dan potensi aplikasinya dalam ilmu ke-dokteran. Cermin Dunia Kedokt. 2006;153:21-25.

14. Setiawan B. Aplikasi terapeutik sel punca embrionik pada berbagai penyakit degeneratif. Cermin Dunia Kedokt.2006;153:5-8.

15. Hoffman LM, Carpenter MK. Characterization and culture of human embryonic stem cells. Nat Biotechnol. 2005;23(6):699-708

16. Lanza RP, Cibelli JB, West MD. Human therapeutic cloning. Nat Med. 1999;5(9):975-7.

17. Mollard R. Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT) or therapeutic clon-ing. ISSCR. http://www.isscr.org/public/therapeutic_cloning.pdf

18. Perry A. Progress in human somatic cell nuclear transfer. N Engl J Med. 2005; 353(1):87-8.

19. Snyder EY, Loring JF. Beyond fraud – stem cell research continues. N Engl J Med. 2006;354(4):322-4.

20. Byrne JA, Gurdon JB. Commentary on human cloning. Differentiation. 2002;69(4-5):154-7.

21. Steinbrook R. Egg donation and human embryonic stem cell research. N Engl J Med. 2006;354(4):324-6.

22. Taylor R. Scientists move closer to human therapeutic cloning. Re-uters. http://www.sciam.com

Page 22: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 77

Histofi siologi Sel Endotel dan Sel Progenitor Endotel dalam Sirkulasi Darah

Spooz!LbsvoefohBagian Anatomi-Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

BCTUSBL

Sel mononuklear yang tidak tergolong sel darah pada sirkulasi darah tepi ternyata berperan pada keseha-tan sistem kardiovaskuler. Peningkatan sel endotel pada sirkulasi darah tepi menunjukkan kejadian inflamasi pembu-luh darah, sebaliknya peningkatan sel progenitor endotel dalam sirkulasi darah tepi menunjukkan sifat proteksi terhadap pembuluh darah dan memperbaiki jaringan iskemik dengan reendotelialisasi dan neovaskularisasi.Perlu upaya peningkatan sel progenitor endotel untuk mempertahankan kesehatan sistem kardiovaskuler.

Kata kunci. Sel endotel, sel progenitor endotel, kesehatan kardiovaskuler.

QFOEBIVMVBO

Dengan mikroskop cahaya dan pulasan rutin darah tepi biasanya dapat dilakukan diferensiasi berbagai jenis sel lekosit, eritrosit dan trombosit. Dengan teknik imuno-histokimia ternyata di darah tepi juga dijumpai sel-sel bukan termasuk sel-sel darah, yaitu sel endotel dan sel progenitor endotel, yang terlihat sebagai sel mononuk-lear biasa de-ngan mikroskop cahaya bia-sa1,2.

Hal ini dapat dimengerti sebab histogenesis awal perkembangan sistem kardiovaskuler (vaskulogenesis) dan hemopoietik dimulai berupa pembuluh darah primi-tif di daerah mesoderm chorionic yolk sac pada hari ke dua puluh setelah fertilisasi, diikuti dengan terben-tuknya sistem sirkulasi primitif pada embrio yang se-dang berkembang. Jadi terdapat sumber sel induk yang sama antara komponen seluler sistem kardiovaskuler dan komponen seluler sistem hemopoietik.3,4,5

Timbul pertanyaan apakah terdapat hubungan antara sel endotel dan sel progenitor endotel dalam sirkulasi dengan keadaan sistem kardiovaskuler itu sendiri. Dalam makalah ini akan dibahas histofisiologi sel en-dotel dan sel progenitor endotel dalam sirkulasi. FOEPUFM

Endotel yang menyusun lapisan monolayer permukaan adluminal sistem kardiovaskuler sebelum tahun 1960 dianggap hanya berfungsi sebagai lapisan sawar seder-hana antara lumen pembuluh darah de-ngan jaringan sekitarnya, sesuai dengan gambaran histologis yang hanya memiliki sangat sedikit struktur organela. Pene-litian-penelitian kemudian menunjukkan endotel memi-liki fungsi yang sangat kompleks dalam mengendalikan keseimbangan hemostasis sistem kardiovaskuler, de-ngan menghasilkan berbagai bahan vasoaktif yang tidak disimpan dalam sel tapi langsung dilepaskan ke dalam darah atau sel/jaringan sekitarnya.3,5,6

Tjgbu.tjgbu!vnvn!tfm!foepufm

Histogenesis sistem kardiovaskuler pada embrio dimulai di daerah vaskulosa, permukaan yolk sac yang berasal dari mesenkimal, dinamai sel angioblas atau hemangioblas. Sel angioblas mengawali pembentu-kan kapiler primitif, dinamakan vaskulogenesis.1,5,7 Sel angioblas berkemampuan berkembang menjadi sel endotel dan sel-sel hemopoietik.6 Sel angioblas yang menjadi endotel kemudian membentuk jala-jala kapiler dan jantung sejak masa-masa awal perkembangan embrio; pada hari ke 32 setelah konsepsi denyut jan-tung telah terdeteksi dengan ekokardiografi.8

Pada tahun 1960 endotel berhasil dibiakkan dan de-ngan kemajuan biomolekuler, terbukti endotel berpe-ran sangat kompleks dalam mengatur hemodinamik sistem kardiovaskuler.6

Sel endotel berbentuk poligonal, lebar 10-15 mμ, pan-jang 25-50 mμ dengan sumbu panjang mengikuti ali-ran darah. Luas permukaan seluruh endotel manusia bila direntangkan sekitar 150 m2 pada bayi dan dapat mencapai 1000 m2 pada usia dewasa dengan jum-lah sel sekitar 6 x 1013 dan berat kira-kira 1,5 kilo-gram atau setara dengan berat hepar.8 Tahun 1964, dengan mikroskop elektron ditemukan batang-batang kecil dalam sitoplasma sel endotel oleh Weibel dan Palade, berpenampang 0,1 mμ dan panjang sampai 3 mμ, dinamai badan Weibel Palade. Badan Weibel Pa-lade ini mengandung faktor Von Willebrand (faktor VIII) suatu glikoprotein yang disintesis oleh sel endotel dan disimpan di badan Weibel Palade arteri (satu-satunya bahan yang disimpan dalam sel endotel). Faktor VIII ini disekresikan ke dalam darah dan berfungsi untuk agregasi trombosit. Faktor Von Willebrand ini dapat dideteksi dengan teknik imnohistokimia, sekarang di-gunakan sebagai marker sel endotel dewasa .2,5,9,10,11

Hasil Penelitian

Page 23: cdk_161_Stemcell

78 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

Sel endotel normal masa hidupnya mencapai 30 ta-hun, dalam sediaan histologik sangat jarang terlihat sel endotel dalam keadaan berproliferasi, hanya seki-tar satu dari 10.000 atau 0.01%.5,9,12

Gvohtj!tfm!foepufm

Endotel normal memiliki beberapa fungsi utama:1. Garis pertahanan (sawar) terhadap hampir semua

elemen asing yang mencoba masuk ke dalam or-gan; 2. Tempat metabolisme, katabolisme senyawa-senyawa tertentu, seperti Angiotensin Converitng Enszym (ACE),

3. Tempat sintesis berbagai senyawa vasoaktif, seper-ti: Endothelium Derived Relaxation Factor (EDRF), prostasiklin dan Endothelium Derived Hyperpola-rising Factor (EDHF) bekerja sebagai vasodilator dan antiagregasi trombosit, dan endotelin sebagai senyawa vasokonstriktor;

4. Sebagai organ imunokompeten yang mensintesis berbagai mediator inflamasi, mediator proliferasi sel-sel subendotel dan sebagai membran trombo-resisten yang menghasilkan berbagai faktor hemo-statis.3,6,8,13

Penelitian selanjutnya mendapatkan EDRF adalah gas nitrik oksida (NO), berperan sentral dalam mengatur hemostatis vaskuler, seperti: menghambat agregasi trombosit, meng-hambat adhesi lekosit dan mempunyai efek antimitogenik.3,13

Ejtgvohtj!!foepufm

Istilah disfungsi endotel kini banyak digunakan untuk me-nyatakan adanya gangguan pada kemampuan res-pons vasodilatasi terhadap asetilkolin, istilah ini bersifat san-gat umum dan tidak spesifik menggambarkan kelainan dasar endotel itu sendiri. Disfungsi endotel disebabkan oleh menurunnya produksi NO atau penurunan aktivi-tas NO meskipun produksinya normal karena dipenga-ruhi oleh superoksida. Disfungsi endotel menyebabkan berkurangnya daya pengendalian hemostatis vaskuler dari endotel sehingga dapat menyebabkan kelainan de-generatif pembuluh darah terutama aterosklerosis.13

Roos dan Glomest (1976) pertama kali mempublikasi-kan bahwa ateroma akan terbentuk di daerah endotel yang dibuat cedera oleh balon kateter ; sehingga timbul teori cedera endotel.29 Ross selanjutnya menyatakan bahwa aterosklerosis adalah penyakit inflamasi yang menurunkan produksi dan aktivitas NO; keadaan ini ke-mudian dikenal sebagai disfungsi endotel.14,15,16

Berbagai keadaan dapat menyebabkan terjadi dis-fungsi endotel. Studi Framingham menyimpulkan ber-bagai faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler. Faktor-faktor risiko Framigham baik faktor kovensional (faktor risiko mayor) maupun fak-

tor risiko nonkonvensional dapat mengakibatkan ter-jadinya disfungsi endotel, kemudian memicu perkem-bangan aterosklerosis.17,18,19

Tfm! foepufm! cfstjslvmbtj! )Djsdvmbujoh! Foepuifmjbm!Dfmmt<!dFD*Kira-kira tiga puluh tahun lalu para ahli telah mengeta-hui sel-sel mononuklear yang bersirkulasi bukan hanya limfosit dan monosit saja, tapi masih terdapat bebera-pa jenis sel lain, salah satunya adalah sel endotel.2

Sel endotel yang berdeskuamasi dari endotelium, ma-suk ke dalam sistem sirkulasi perifer dan dapat didetek-si melalui ekspresi faktor von Willebrand (vWf) dan CD 146.2 Normal dapat sekitar 0,5-2 buah sel/ml darah, dapat meningkat 10 kali lipat atau lebih pada penyakit kardiovaskuler, penyakit jaringan ikat, penyakit infeksi dan hematologik. Meningkatnya cEC merupa-kan suatu petanda adanya gangguan atau kerusakan vaskuler, sebab itu juga dinamakan Circulating Inflammatory En-dothelial Cells (IEC).20 Peningkatan cEC akan mengek-spresi molekul Vascular Adhesion Protein-1 (VAP-1), MHC class I-related chain A (MICA), inducible nitric ox-ide synthase (i-NOS) dan neutrophil-activating chemokin, yang biasanya akan meningkat pada penyakit vaskuler. Jumlah cEC berkorelasi positip dengan CRP pada ke-adaan-keadaan inflamasi. Meningkatnya cEC yang ber-hubungan dengan penyakit-penyakit inflamasi serta peningkatan CRP, berhubungan dengan disfungsi endo-tel.21 Peningkatan cEC menandai ada-nya kerusakan en-dotel oleh beberapa proses penyakit, seperti: sitotoksik pada transplantasi, hipertensi pulmonal, septik sjok, he-modialisis, inflamasi vaskulitis, diabetes, penyakit ginjal dan akut miokard infark.2,22,23

Masih belum jelas apakah deskuamasi endotel akan menyebabkan hipertensi dan vasospasme atau meningkatkan trombosis.2

Dari beberapa penelitian hitung cEC dapat merupakan cermin beberapa penyakit vaskuler dan disfungsi en-dotel. Hitung endotel ini mungkin dapat dikembangkan sebagai suatu marker baru dalam memprediksi be-berapa jenis penyakit kardiovaskuler.

Tfm!Qsphfojups!Foepufm Sudah menjadi perdebatan sejak beberapa waktu lalu apakah sel-sel turunan hematopoietik, sekarang dikenal sebagai sel progenitor endotel (SPE) berperan pada proses angiogenesis postnatal, terutama pada perkem-bangan tumor.12 Vaskulogenesis postnatal ini baru mu-lai terungkap pada beberapa tahun terakhir ini.

TFKBSBI!QFOFNVBO!TQF

Pada tahun 1977 Asahara dkk berhasil mengisolasi populasi sel mononuklear dari darah perifer yang memi-

Page 24: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 79

liki antigen permukaan CD34+ dan berpotensi berkem-bang menjadi sel endotel.1 Tidak lama setelah Asahara, Shi dkk membuktikan bahwa sel mononuklear yang me-miliki antigen permukaan CD34+ tersebut merupakan derivat dari sel hemositoblas sumsum tulang, yang in vi-tro akan berdiferensiasi menjadi sel endotel pada koloni aorta yang diberi implant Dacron.24

Npsgpmphj!TQF

Sejak penemuan di atas, sel mononuklear darah tepi yang memiliki antigen permukaan CD34, diyakini ber-asal dari sumsum tulang, sebab hemangioblas juga me-milki antigen permukaan CD34, CD133 dan CD45.1,25

Beberapa waktu kemudian berhasil diidentifikasi 3 marker spesifik pada permulaan perkembangan SPE, yaitu: CD133 (AC133), CD 34 dan Vascular Endothelial Growth Factor Receptor-2 (VEGFR-2), juga dinamakan kinase insert domain receptor (KDR) atau Flk-1.26 Sel ini terutama masih terdapat dalam sumsum tulang ke-mudian akan masuk ke dalam sirkulasi perifer; CD133 mulai akan menghilang tapi CD34 dan VEGFR-2 masih tetap ada. Perkembangan selanjutnya menjadi sel endo-tel CD34 sudah menghilang tinggal VEGFR-2 dan mulai terekspresi VE-cadherin dan faktor von Willebrand saja.27 CD133 sudah tidak terdeteksi pada permukaan sel endotel vena umbilikalis manusia.28

Histologis sel CD34+ asal kultur terlihat sebagai sel kecil bulat dan menjadi lebih besar dengan sitoplas-ma lebih banyak setelah hari ke dua. Proliferasi sudah mulai terlihat pada hari ke tiga. Sel-sel tersebut akan melekat pada media yang diberi fibronektin. Setelah melekat pada media fibronektin morfologiknya dapat dari bulat kecil, bulat besar atau berbentuk spindel.29 Sel-sel SPE berbentuk spindel ini banyak menyusun daerah neovaskularisasi tumor.30

Sejak mobilisasi sel progenitor dari sumsum tulang masuk sirkulasi, terjadi pematangan sel-sel tersebut secara bertahap. Mula-mula sel progenitor tersebut memiliki CD133, masuk sirkulasi mulai muncul CD34 dan CD133 mulai menghilang, diikuti dengan munculnya marker-marker VEGFR-2, VE-cadherin dan faktor von Willebrand.1,30,31,32 Penelitian Friedrich dkk atas ateroek-tomi koronaria manusia menunjukkan SPE subpopulasi CD34-/133+ lebih banyak pada plak yang stabil diband-ingkan dengan subpopulasi CD34+/133+. Pada tikus percobaan dengan penyuntikan sel SPE subpopulasi CD34-/133+ ternyata lebih banyak sel endotel yang ter-transplantasi pada arteri karotis dibandingkan dengan subpopulasi CD34+/133+. Hasil penelitian ini menun-jukkan bahwa SPE subpopulasi CD34-/133+ atau yang lebih muda, lebih poten terhadap regenerasi vaskuler.31

Qfsbo!TQF!qbeb!sffoepufmjbmjtbtj!ebo!ofpwbtlvmbsjtbtj

Reendotelialisasi (regenerasi endotel) dan neovasku-larisasi merupakan kunci pengobatan kualitas pembu-luh darah dan memperbaiki keadaan iskemi jaringan. Sebaliknya pada tumor menghambat neovaskularisasi berakibat menghambat perkembangan tumor. Sffoepufmjbmjtbtj

Penelitian saat ini menunjukkan reendotelialisasi bera-sal dari sel-sel SPE. Pada cedera endotel yang dibuat den-gan implan Dacron pada anjing, beberapa saat kemu-dian permukaan daerah implan akan ditutupi oleh sel-sel CD34+.24,33 Permukaan ventrikel manusia yang dipasangi alat akan tertutupi oleh sel hemopoietik immatur CD133+, bersamaan dengan terekspresinya reseptor VEGF-2.34 Walter dkk memperlihatkan SPE dapat homing ke bagian endotel yang dicederai dengan balon kateter.50 Transplan-tasi sel-sel turunan sumsum tulang dapat menyebabkan reendotelialisasi pada endotel yang dibuat cedera.35,36

Regenerasi endotel dapat mengurangi restenosis dan penipisan miointimal dinding arteri secara bermakna, karena endotel tersebut telah dapat mensintesis kem-bali bahan antiproliferasi terutama nitrik oksida (NO).25

Hasil penelitian di atas menunjukkan SPE dapat memper-baiki integritas endotel yang monolayer dengan menem-pati bagian-bagian endotel yang cedera atau disfungsionil. Ofpwbtlvmbsjtbtj

Neovaskularisasi merupakan langkah penting dalam me-nyelamatkan jaringan iskemi, sebaliknya neovaskularisasi akan mempercepat pertumbuhan tumor. Infus sel-sel yang diambil dari sumsum tulang atau sel-sel sumsum tulang yang dibiak ex vivo akan meningkatkan densitas kapiler dan neovaskularisasi di jaringan iskemik.25 Pada model miokard infark binatang percobaan, infus SPE atau stem sel sumsum tulang, memajukan vaskularisasi da-rah dan fungsi jantung serta mengurangi pembentukan jaringan ikat ventrikel kiri secara bermakna.37,38

Pemberian sel CD34, CD133, SPE, MAPC (mesenchy-mal stem cell) memberi efek neovaskularisasi sama baik, tapi bila digunakan sel-sel SPE atau sel progenitor berbentuk spindel yang lebih matur efek neovaskulari-sasinya lebih rendah.25 Aktivitas sel progenitor dalam meningkatkan neovaskularisasi tergantung dari jenis sel yang digunakan.25 Jumlah SPE yang bersirkulasi akan menentukan daya reendotelialisasi dan neovaskularisasi; peningkatan SPE akan menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler iskemik atau berkorelasi negatif dengan skor faktor risiko pe-nyakit kardiovaskuler dari Framingham.39

Peningkatan

Page 25: cdk_161_Stemcell

80 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

SPE dalam sirkulasi tergantung dari daya mobilisasi sel stem sumsum tulang masuk ke sirkulasi darah. Rendo-telialisasi dan neovaskularisasi tergantung pada mobil-isasi, homing, diferensiasi, adhesi, migrasi transendotel, kemotaksis, migrasi dan invasi SPE.25,37,40,41

Peningkatan SPE dalam sirkulasi penting karena berkorela-si positif dengan reendotelialisasi dan neovaskularisasi, yang berhubungan erat dengan kesehatan kardiovaskuler.

Penelitian menunjukkan beberapa faktor pertumbu-han/sitokin, bahan farmakologis dan latihan fisik dapat meningkatkan cEPCs.25

Granulocyte Colony-Stimulating Factor (G-CSF) dapat meningkatkan jumlah SPE dan homing receptors sel endotel penderita penyakit jantung koroner.42 Perco-baan binatang menunjukkan Granulocyte-Monocyte Colony-Stimulating Factor (GM-CSF) dan Stromal cell-Derived Factor (SDF) intramiokardial akan memobil-isasi SPE dan neovaskularisasi daerah iskemik jantung sehingga terjadi remodelling ventrikel kiri dan kema-juan fungsi kontraksi miokardium.43

Eritropoietin (Epo) dapat merangsang proliferasi sel stem hematopoietik dan meningkatkan jumlah SPE pada penelitian-penelitian in-vivo. Pemberian Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) juga akan mening-katkan cEPCs sebanyak 2,1 kali.44 Bahan-bahan farmakologis seperti: HMG-CoA reduk-tase (statin), estrogen dan rosiglitasone meningkat-kan SPE. Latihan fisik teratur juga dapat meningkatkan SPE dalam sirkulasi.25

LFNVOHLJOBO!BQMJLBTJ!LMJOJL!FQDt!

Beberapa penelitian mulai dilakukan untuk menjajaki penggunaan SPE dalam klinik meskipun dasar bio-molekuler SPE belum dipahami secara menyeluruh, be-berapa penelitian menunjukkan hasil menjanjikan. Peneli-tian terutama dilakukan pada binatang percobaan.

Pada tikus percobaan, arteri karotis dibuat cedera, ke-mudian ke dalam lumen arteri tersebut ditransplantasi SPE dari kultur; terjadi reendotelialisasi yang cepat dis-ertai peningkatan fungsi endotel dan dapat mencegah perkembangan ateroma di daerah tersebut.45,46

Pada percobaan pengikatan arteri koronaria desend-ing anterior sinistra jantung tikus, kemudian diberi SPE (CD34+) intramiokardial melalui kateter; terjadi pening-katan neovaskularisasi pada miokardial yang iskemik.47 Pada tikus-tikus yang jantungnya dibuat iskemik dengan mengikat arteri coronaria desending anterior sinistra,

pemberian SDF, GM-CSF atau kombinasi keduanya ternyata akan meningkatkan SPE, neovaskularisasi, memperbaiki geometri dan kontraktilitas jantung yang telah mengalami kardiomiopati iskemik.43,48,49

Penderita penyakit obstruksi arteri perifer ternyata memiliki daya angiogenik yang rendah disebabkan menurunnya ekspresi molekul spesifik SPE dalam sumsum tulang dan darah. Transplantasi sel mono-nuklear sumsum tulang akan meningkatkan SPE dan kemajuan gejala iskemik tungkai.50

Penelitian Werner dkk dari Maret 2003 - Januari 2004 terhadap 519 penderita penyakit jantung koroner yang semua-nya dibuktikan angiografi koroner. Mereka diob-servasi selama 12 bulan untuk melihat hubungan antara SPE dengan kejadian penyakit jantung koroner. Ternya-ta di kalangan penderita dengan kadar SPE yang lebih tinggi, angka kematian akibat penyakit kardiovaskuler, kejadian penyakit kardiovaskuler berat, revaskularisasi dan hospitalisasi lebih rendah. Tetapi kadar SPE sendiri tidak dapat memprediksi terjadinya miokard infark atau kematian akibat penyakit kardiovaskuler.51

Penderita penyakit jantung koroner memiliki SPE lebih rendah dibandingkan dengan kontrol sehat dan akan berespon terhadap sitokin G-CSF dalam meningkat-kan SPE dan ekspresi homing reseptor yang dapat meningkatkan neovaskularisasi.42

QFOVUVQ

Di darah tepi terdapat sel-sel mononuklear bukan sel darah, sel endotel berasal dari endotel pembuluh darah dan sel progenitor endotel berasal dari sumsum tulang.

Pada penyakit-penyakit tertentu, seperti penyakit kardio-vaskuler, penyakit jaringan ikat, penyakit infeksi dan he-matologik akan lebih banyak sel endotel yang terlepas.

Makin tinggi sel progenitor endotel di dalam sirkulasi ma-kin protektif terhadap pembuluh darah terutama untuk reendotelialisasi dan neovaskularisasi jaringan iskemik.Diharapkan jumlah sel endotel dan sel progenitor dapat digunakan sebagai indikator penyakit kardio-vaskuler di kemudian hari.

EBGUBS!QVTUBLB

1. Asahara T, Murohara T, Sullivan A, Silver M, Zee R, Tong L, Witzen-bichler B, Schatlemen G, Isner JM . Isolation of putative progenitor endothelial cells for angiogenesis. Science 1997;275:964-7.

2. Blann AD, Pretorius A. Circulating Endothelial Cells and Endothelial Progenitor Cells: Two side of the same coin, or two different coin?. www.elsevier/locate/atherosclerosis, Elsevier Ireland Ltd., 2006: Down load 25 April 2006.

3. Karundeng R. Angiologi morfofungsional sistem vaskuler. Manado. FK Unsrat 1995. p.66-116.

4. Risau W. Mechanisms of angiogenesis. Nature 1997; 386:671-45. Fawcett DW. Bloom, Fawcett A Textbook of Histology 12th ed, New

Page 26: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 81

York: Chapman & Hall 1994; p 133.6. Vane JR, Anggard EE, Botting RM. Regulatory function of the Vascular

Endothelium. N Engl J Med. 1990; 233: 27-30. 7. Folkman J. Shing Y. Angiogenesis. J Biol Chem 1992; 267: 10931-4 8. Camilleri JP. The Normal Arterial Wall in Hypertension and Arterial

Aging. Monograf. Les Laboratories Servier 1989.9. Junquiere LC, Carneiro J. Basic Hstology 7th ed. New Jersey, Lange

Med. Publ., Los Angeles California 1989:95 (57)10. Leeson TS, Leeson CR, Paparo AA. The Circulatory System in Text/At-

las of Histology. Philadelphia, WB. Saunders; 1988: 309-330 (58)11. Barber CL, Iruela-Arispe ML. The Ever-Elusive Endothelial Progenitor Cell: Identi-

ties, Function and Clinical Implication. Pediatr 2006; res 59: 26R-32R. (60)12. Fenton RG, Longo DL. Cancer cell biology and angiogenesis. In: Kasper

DI, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL (eds). Harrison Principles of Internal Medicine 16th ed. Vol I, New York Mc-Graw-Hill 2005. p.453-64.

13. Baraas F. Stres oksidatif, disfungsi endotel dan faktor resiko aterosklerosis : dimana letak hubungannya?. Penyakit kardiovaskular dari pediatrik sam-pai geriatrik. Kaligis RWM, Kalim H, Yusak M, Ratnaningsih E, Soesanto A. (Eds). Balai Penerbit RS Jantung Harapan Kita 2001;167-77.

14. Roos R. The pathogenesis of atherosclerosis : an update. N Engl J Med 1986;314:488-98.

15. Roos R. Atherosclerosis-an inflammatory disease. N Engl J Med 1999;340:115-26.

16. Wijaya A. Disfungsi endotil aterosklerosis dan trombosis. Forum Di-agnosticum Prodia 1988;1:1-23.

17. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, Jones DW, Materson BJ, Oparil S, Wright JT, Roccella EJ. the National High Blood Pressure Education Program Coordinating Commitee. The Seventh Report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. JAMA 2003;289:2534-2573.

18. Libby P. Prevention and Treatment of Atherosclerosis. Kasper DI, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL(eds). In Harrison Principles of Internal Medicine 16th ed. Vol II, New York Mc-Graw-Hill 2005. p.1430-1433.

19. Wijaya A, Kurniasih R. High sensitivity c-reactive protein (hs-CRP) suatu petanda untuk menentukan resiko penyakit jantung koroner yang menjanjikan. Forum Diagnosticum Prodia 2001; 2:1-15.

20. Makin A, Chung NAY, Silverman SH. Assessment of endothelial dam-age in atherosclerotic vascular disease by quantification of circulating endothelial cells. Eur Heart J 2004; 25: 371-6.

21. Holmen C, Elsheikh E, Stenvivkel P, Qureshi AR, Petersson E, Jalkanen S, Sumitran-Holgersson S. Circulating inflammatory endothelial cells con-tribute to endothelial progenitor cell dysfunction in patients with vasculi-tis and kidney involvment. J Am Soc Nephrol 2005, 16: 3110-20.

22. Quilici J, Banzet N, Paule P. Circulating endothelial count as a diagnostic marker for non-ST elevation acute coronary syndrom. Circulation 2004; 110: 1586-91.

23. Mutunga M, Fulton B, Bullock R. Circulating endohelial cell in patient with septic shock. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163: 195-200.

24. Shi Q, Rafii S, Wu MH, Wijelath ES, Yu S, Ishida A, Fujita Y, Khotari S, Mohle R, Sauvage LR, Moore MA, Strob RF, Hammond WP. Evidence for circulat-ing bone marrow-derived endothelial cells. Blood 1998; 92:362-7.

25. Urbich C, Dimmeler S. Endothelial progenitor cells. Characterization and role in vascular biology. Circ Res. 2004;95:343-53

26. Peichev M, Naiyer AJ, Pereira D, Zhu Z, Lane WJ, William M, Hicklin DJ, Witte L, Moore MA, Rafii S. Expression of VEGFR-2 and AC133 by circulating human CD34+ cell identifies a population of functional endothelial precussor. Blood 2000; 95: 952-8.

27. Yin AH, Miraglia S, Zanjani ED, Almeida-Porada G, Ogawa M, Leary AG, Olweus J, Kearny J, Buck DW. AC 133, a novel marker for human hematopoietic stem progenitor cells. Blood 1997; 90: 5002-12.

28. Fan CL, Li Y, Gao PJ, Liu JJ. Zhang XJ, Zhu DL. Differentiation of endo-thelial progenitor cells from human umbilical cord blood CD34+ cell in vitro. Acta Pharmacol Sin 2003: 24 (3) 212-8.

29. Vajkoczy P, Blum S, Lamparter M, Mailhammer R, Erber R, Engelhardt B, Vestweber D, Hatzopoulos AK. Multistep nature of microvascular recuit-ment of ex vivo-expanded embryonic endothelial progenitor cells during tumor angiogenesis. T J Experiment Med 2003; 197: 1755-65.

30. Friedrich EB, Walenta K, Scharlau J, Nickenig G, Werner N. CD34-/ CD133+/VEGFR-2+ endothelial progenitor cell subpopulation with potent vasoregenerative capacities. Circulation Res. 2006; 98: 20.

31. Hristov M, Erl W, Weber P. Endothelial progenitor cells. Mobilization, differ-entiation and homing. Aterioscler Thromb Vasc Biol.2003;23:1185-9.

32. Aoki M, Yasutake M, Murohara T. Derivation of functional endothelial progenitor cells from human umbilical cord blood mononuclear cell iso-

lated by a novel cell filtration device. Stem cell 2004; 22: 994-1002.33. Quirici N, Soligo D, Caneva L, Servida F, Bollolasco P, Deliliers GL. Dif-

ferentiation and expansion of endothelial cells from human bone mar-row CD133+ cells. Br J Haematol 2001;115:186-194

34. Peichev M, Naiyer AJ, Pereira D, Zhu Z, Lane WJ, Williams M, Oz MC, Hicklin DJ, Witte L, Moore MA, Rafii S. Expression of VEGFR-2 and AC133 by circulating human CD34(+) cell identifies a population of functional endothelial precursor. Blood 2000;95: 952-958.

35. Walter DH, Ritting K, Bahlmann FH, Kirchmair R, Silver M, Murayama T, Nishimu-ra H, Losordo DW, Asahara T, Isner JM. Statin therapy accelerates reendothe-lialization: a novel effect involving mobilization and incorporation of bone marrow-derived endothelial progenitor cells. Circulation 2002;105:3017-3024.

36. Werner N, Junk S, Laufs U, Link A, Walenta K, Bohm M, Nickenig G. Intravenous transfusion of endothelial progenitr cells reduces neo-intima formation after vascular injury. Circ Res. 2003;93:e17-e24.

37. Ruel M, Suuronen EJ, Song J, Kapila V, Gunning D, Rubens FD, Me-sana TG. Effect of off-pump versus on-pump coronary artery bypass grafting on function and viability of circulating endothelial progenitor cells. J Thorac Cardiovasc Surg 2005;130:633-639.

38. Kawamoto A, Gwon HC, Iwaguro H, Yamaguchi JI, Uchida S, Masuda H, Silver M. Endothelial progenitor cell for myocardial ischaemia. Cir-culation 2001; 103:634-637.

39. Hill JM, Zalos G, Halcox JP, Schenke WH, Waclawiw MA, Quyyumi AA, Finkel T. Circulating endothelial progenitor cell, vascular function, and cardiovascular risk. N Engl J Med 2003; 348: 593-600.

40. Vajkoczy P, Blum S, Lamparter M, Mailhammer R, Erber R, Engelhardt B, Vestweber D, Hatzopoulos AK. Multistep nature of microvascular recruitment of ex vivo-expanded embryonic endothelial progenitor cells during tumor angiogenesis. J Exp Med. 2003;197:1755-1765.

41. Carlos TM, Harlan JM. Leukocyte-endothelial adhesion molecules. Blood 1994;84:2068-2101.

42. Powell TM, Paul JD, Hill JM, Thompson M, Benjamin M, Rodrigo M, McCoy P, Read EJ, Khuu HM, Leitman TF, Finkel T, Cannon RO. Granu-locyte Colony-Stimulating Factor mobilized functional endothelial pro-genitor cells patient with coronary artery disease. Arterioscler Tromb Vasc Biol. 2005;25:296-301.

43. Woo YJ, Grand TJ, Berry MF, Atluri P, Moise MA, Hsu VM, Cohen J, Fisher O, Burdick J, Taylor M, Zentko S, Liao G, Smith M, Kolakowski S, Jayasankar V, Gardner T, Sweeney HL. Stromal cell-derived factor and granulocyte-monoctye colony-stimulating factor form a combined neovasculogenic therapy for ischemic cardiomyopathy. J Thorac Car-diovasc Surg 2005;130:321-9.

44. Heeschen C, Aicher A, Lehmann R, Fichtlscherer S, Vasa M, Urbich C, Mildner-Rihm C, Martin H, Zeiher A, Dimmeler S. Erythropoietin is a potent physiologic stimulus for endothelial progenitor cell mobiliza-tion. Blood 2003;102:1340-6.

45. He T, Smith LA, Harrington S, Nath SH, Caplice NM, Katusic ZS. Transplantation of circulating endothelial progenitor cells restores endothelial function of denuded rabbit carotid arteries. Stroke 2004;35:2378-84.

46. Griese DP, Ehsan A, Melo LG, Kong D, Zhang L, Mann M, Pratt RE, Mulligan RC, Dzau VJ. Isolation and transplantation of autologous cir-culating endothelial cells into denuded vessels and prosthetic graft. Circulation 2003;108:2710-15.

47. Kawamoto A, Tkebuchava T, Yamaguchi J-I, Nishimura H, Uchida S, Masuo O, Iwaguro H, Ma H, Hanley A, Silver M, Losordo DW, Isner JM, Asahara T. Intramyocardial transplantation of autologous endo-thelial progenitor cells fot therapeutic neovascularization of myocar-dial ischemia. Circulation 2003;107:461.

48. Fazel S, Chen L, Weisel RD, Fazel A, Cheung P, Lam J, Fedak PWM, Yau TM, Li R-K. Cell transplantation preserves cardiac function after infraction by infarct stabilization: augmentation by stem cell factor. J Thorac Cardiovasc Surg 2005;130:1310-1318.

49. Kawamoto A, Murayama T, Kusano K, Ii M, Shintani S, Iwakura A, Johnson I, Samson P, Hanley A, Gavin M, Curry C, Silver M, Ma H, Los-ordo DW. Synergistic effect of bone marrow mobilization and vascu-lar endothelial growth factor-2 gene therapy in myocardial ischemia. Circulation 2004;110:1398-1405.

50. Yamamoto K, Kondo T, Suzuki S, Izawa H, Kobayashi M, Emi N, Komori K, Naoe T, Takamatsu J, Murohara T. Molecular evaluation of endothelial progenitor cells in patients with ischemic limbs: therapeutic effect by stem cell transplantation. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2004;24:192-196.

51. Werner N, Kosiol S, Schiegl T, Ahlers P, Walenta K, Link A, Bohm M, Nickening G. Circulating endothelial progenitor cells and cardiovascu-lar outcomes. N Engl J Med 2005;353:999-1007.

Page 27: cdk_161_Stemcell

82 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

Pemeriksaan LaboratoriumDalam Anti Aging Medicine

Tv{boob!Jnnbovfm

Efqbsufnfo!Qbupmphj!Lmjojl!Gblmvubt!Lfeplufsbo!Vojwfstjubt!Joepoftjb-!!Kblbsub

BCTUSBL

Penuaan adalah proses fisiologis yang akan dialami oleh seluruh mahluk hidup bila berumur panjang, terjadinya ber-beda dan kecepatan usia mulai proses juga berbeda. Dalam memasuki usia tua, seorang individu seringkali mengal-ami berbagai gejala, tanda dan keluhan. Kumpulan gejala, tanda dan keluhan tersebut umumnya disebut sindroma penuaan. Penelitian menunjukkan penyebab utama kerusakan fisik yang disebabkan penuaan adalah kemunduran hormon seiring dengan bertambahnya usia. Proses penuaan sangat bervariasi dan dapat dipercepat, diperlambat atau dibalik tergantung pada hormon yang mengatur dege-nerasi dan regenerasi tubuh di tingkat sel.Pada tahun 1990, Dr. Daniel Rudman menemukan proses penuaan dapat dicegah dengan mengintervensinya dan lahirlah anti aging medicine. Tujuan anti aging adalah mencegah penuaan dini, mencegah penyakit degeneratif seperti jantung, paru, stroke dan mencapai usia tua tetap produktif dan sehat.Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan status “panjang umur” bersandar pada tiga pilar yang penting yaitu evaluasi status hormon, penilaian risiko kardio vaskuler, dan penapisan keganasan. Untuk penilaian status “anti aging” yang diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi status hormon agar dapat dideteksi apakah sudah terjadi penurunan hormon. Pada proses penuaan terjadi penurunan hormon tubuh seiring dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu penting untuk mengukur kadar hormon sebelum melakukan terapi sulih hor-mon. Terapi sulih hormon hanya untuk mengganti hormon yang hilang akibat proses penuaan ke kadar normal fisiologis. Terapi sulih hormon dapat memberikan manfaat yang mengagumkan sebagai anti aging jika diberikan secara bijaksana dengan pengawasan laboratoris secara periodik untuk menjamin kadar hormon yang efektif dalam darah.

Kata Kunci : Pemeriksaan Laboratorium, Evaluasi Sistem Hormon, Anti Aging Medicine

QFOEBIVMVBO

Menurut WHO saat ini setiap negara di dunia juga menghadapi peningkatan tajam populasi usia diatas 60 tahun. Perubahan ini berhubungan erat dengan perbaikan sanitasi dan eliminasi penyakit infeksi anak; peningkatan harapan hidup, kognitif serta meningkat-nya ketergantungan pada orang lain.(1)

Penuaan adalah proses fisiologis yang akan dialami oleh seluruh mahluk hidup, jika mahluk itu diberi ke-sempatan berumur panjang, terjadinya berbeda dan kecepatan usia mulai proses juga berbeda. Dalam me-masuki usia tua, seorang individu seringkali mengalami berbagai gejala, tanda dan keluhan. Kumpulan gejala, tanda dan keluhan tersebut umumnya disebut dengan satu kata yaitu sindrom penuaan. Sindrom ini biasa-nya timbul akibat keengganan/penolakan dan/atau kekurangsiapan seorang/ individu dalam menyong-song penuaan dan dipresipitasi oleh penurunan hor-mon tubuh yang relatif cepat. Penelitian menunjukkan kemunduran hormon seiring bertambahnya usia meru-pakan penyebab utama kerusakan fisik yang disebab-kan penuaan. Proses penuaan sangat bervariasi dan

dapat dipercepat, diperlambat atau dibalik tergantung pada hormon yang mengatur degenerasi dan rege-nerasi tubuh di tingkat sel.(1,2) Penelitian menunjukkan, penuaan sebagian besar disebabkan oleh penurunan Growth Hormone / Insulin-like Growth Factor-I (GH/IGF-I) secara drastis dalam tubuh setelah dewasa. Ha-sil penelitian telah membuktikan bahwa, terapi GH/IGF-I dapat mencegah, memperlambat bahkan mem-balikkan sebagian besar penyakit atau keadaan yang berhubungan dengan proses penuaan. Mereka yang mengalami sindroma penuaan umumnya ingin agar penuaan yang dialaminya saat ini bisa ditunda, dice-gah, atau dikembalikan lagi seperti keadaan sebelum-nya (diremajakan).(1,2,3,4)

Pada tahun 1990, Dr. Daniel Rudman menemukan proses penuaan dapat dicegah dengan menginter-vensinya dan lahirlah anti aging medicine. Tujuan anti aging adalah mencegah penuaan dini, mencegah pe-nyakit degeneratif seperti jantung, paru, stroke dan mencapai usia tua tetap produktif dan sehat.(5)

Hasil Penelitian

Page 28: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 83

Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan status “panjang umur” bersandar pada tiga pilar yang penting yaitu evaluasi status hormon, penilaian risiko kardio vaskuler, dan penapisan keganasan. Untuk penilaian status “anti aging” yang diperlukan adalah evaluasi status hormon agar dapat dideteksi apakah sudah ter-jadi penurunan hormon. Penelitian menunjukkan pada proses penuaan terjadi penurunan hormon tubuh se- iring dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu pen-ting untuk mengukur kadar hormon sebelum melaku-kan terapi sulih hormon.(5) Terapi sulih hormon hanya untuk mengganti hormon yang hilang akibat proses penuaan ke kadar normal fisiologis. Terapi sulih hor-mon dapat memberikan manfaat yang mengagumkan sebagai anti aging jika diberikan secara bijaksana de-ngan pengawasan laboratoris secara periodik untuk menjamin kadar hormon yang efektif dalam darah.(1)

IPSNPO!ZBOH!CFSQFSBO!QBEB!QFOVBBO

Ipsnpo!Nfmbupojo

Melatonin dihasilkan oleh kelenjar pineal; merupakan hormon yang produksinya peka (sensitif) terhadap sik-lus cahaya siang dan malam, berkaitan erat dengan ritme sirkadian; dan menurun secara alami sesuai pertambahan usia. Penurunan ini akan menyebabkan gangguan circadian clock (ritme harian). Selanjutnya, kulit dan rambut akan berkurang pigmentasinya. Se-lain itu, terjadi pula gangguan tidur. Kadar terapi mela-tonin untuk mengatur gangguan tidur mungkin berada dalam nilai rentang dewasa muda. Disebutkan pula bahwa melatonin mempunyai sifat antioksidan yang kuat. Kadar optimal untuk efek antioksidannya belum diketahui dengan pasti.(2,5,6,7)

Ipsnpo!Qfsuvncvibo!)Hspxui!Ipsnpof0HI*!ebo!Jotvmjo.Mjlf!Hspxui!Gbdups!J!)JHG.J*Hormon pertumbuhan memiliki status khusus pada pemeriksaan status anti aging sehingga penilaian akurat kadar hormon pertumbuhan sangat penting. Secara umum perubahan hormonal yang akan ter-jadi pada penuaan adalah penurunan Growth Hor-mon (GH) dan Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) atau somatomedins.(1,3,4,5) Pengukuran kadar GH dalam saliva seperti insulin-like growth factor I (IGF-1) tidak bisa dipercaya karena produksi lokal yang berlebihan dari otot-otot mandibula.(5) GH dihasilkan oleh hipo-fise anterior dan sekresinya dipacu oleh GH releasing hormon, Growth Hormon Releasing Hormon (GHRH) yang timbul pada saat ”tidur dalam” dan secara acak pada saat bangun (misal saat olah raga). Penurunan GH dan IGF-1 akan menyebabkan peningkatan proses apoptosis di berbagai sel tubuh dan hal ini akan me-nyebabkan proses penuaan berjalan lebih cepat.(2)

Sifat pelepasan GH yang pulsatif menyebabkan pengu-kuran kadar GH dalam darah sangat tidak praktis, yang terbaik adalah pengukuran kadar GH dalam urin 24 jam untuk monitoring pengobatan GH.(5,8,9) Kadar GH dalam urin berkorelasi dengan pelepasan sentral GH dan injeksi GH. IGF-I dapat disintesis disemua organ, tetapi produksi terbesar terjadi di hati. Sintesis IGF-I dia-tur oleh GH, maka kadar IGF-I merefleksikan kadar GH. Kadar IGF-I relatif stabil sepanjang hari sedangkan GH bersifat pulsatif, sehingga pengukuran IGF-I dalam da-rah lebih disukai untuk penentuan status anti aging.(5,9) Di sirkulasi, IGF-I berikatan dengan protein transport yai-tu IGF Binding Protein (IGFBP). Terdapat 10 (sepuluh) IGFBP, tetapi yang terpenting IGFBP3 karena mengikat 95% IGF-I didalam darah. Pada saat ini, 3 jenis tes yang paling berarti untuk monitoring pada pemberian GH adalah kadar GH urin 24 jam, kadar IGF 1 serum dan kadar protein pengikat primer IGF 1, yaitu IGFBP3 (Insu-lin-like Growth Factor Binding Protein 3).(9)

Ipsnpo!Qspmblujo

Pada proses penuaan terjadi peningkatan prolaktin yang disekresi oleh kelenjar hipofise anterior. Hormon ini meningkat sejalan dengan perubahan emosi dan stres. Peningkatannya akan diikuti oleh penurunan hor-mon testosteron melalui mekanisme pada pusat hipo-talamus, kelenjar hipofise anterior atau langsung pada testis. Peningkatan hormon prolaktin juga sering diser-tai dengan timbulnya berbagai penyakit psikosomatis.(2)

Gpmmjdmf! Tujnvmbujoh! Ipsnpo! )GTI*! ebo! Mvufjoj{joh!Ipsnpo!)MI*FSH dan LH dihasilkan oleh hipofise anterior. Follicle Stimulating Hormon (FSH) Luteinizing Hormon (LH). FSH berhubungan dengan spermatogenesis pada pria dan perkembangan folikel ovarium dan estrogen pada wanita. LH berhubungan dengan stimulasi produksi testosteron pada pria dan estrogen pada wanita. FSH dan LH meningkat jika terjadi kerusakan testis secara keseluruhan (pan/primer testicular failure). Penurunan kadar LH mungkin disebabkan karena testosteron pada penuaan kehilangan biopotensi sehingga tidak efektif dalam feedback mechanism, atau oleh karena stres fisik dan psikis pada orang tua (pada orang muda stres justru akan meningkatkan kadar LH) sedangkan pada wanita post menopause akan terjadi peningkatan FSH dan LH.

Ipsnpo!Besfobm

Kelenjar adrenal menghasilkan hormon aldosteron, kortisol, dehydroepiandrosterone (DHEA) dan andro-stenedion. Defisiensi aldosteron cukup sering dijumpai. Gejala utama adalah mengantuk, poliuria dan lemah. Penurunan aldosteron berakibat langsung pada kadar

Page 29: cdk_161_Stemcell

84 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

Natrium plasma karena terjadi pengeluaran Natrium melalui ginjal sehingga kadar Natrium plasma menu-run dan Kalium plasma meningkat. Pengukuran kadar aldosteron serum digabung dengan pengukuran kadar natrium dan kalium dalam serum sudah cukup mema-dai untuk menilai defisiensi hormon aldosteron.(5)

Ipsnpo!Lpsujtpm

Kortisol dianggap sebagai hormon stres yang utama didalam tubuh. Hormon ini mengalami perubahan yang tajam sepanjang hari, yaitu turun hingga kira-kira 90% dari pagi hingga petang hari. Kadar kortisol tertinggi antara pukul 07.00–09.00 pagi dan terendah antara pukul 23.00 malam–04.00 pagi.(5,8) Oleh karena itu nilai normal berbeda tergantung waktu pengambilan. Karena kortisol disekresikan dengan cepat sebagai respon stres, keadaan yang menimbulkan stres menjelang pemerik-saan dapat meningkatkan kadar kortisol. Kadar kortisol yang sangat tinggi pada pengumpulan petang hari sa-ngat spesifik untuk Cushing’s Syndrome. Pemeriksaan kortisol dapat menggunakan spesimen darah atau saliva dan spesimen yang terbaik adalah urin 24 jam, karena kortisol menunjukkan adanya variasi diurnal.(5,8)

EIFB!)Efijespfqjboesptufspo*!ebo!EIFB.T!)Tvmgbu*DHEA dan DHEA-S (sulfat) di sintesa dari kolesterol, melalui pregnenolone dan sekresinya diatur oleh ACTH. (gambar 1).(5)

Gambar 1. Biosintesa Gonadal dan Adrenal Steroid

Waktu paruh DHEA-S (10–20 jam) lebih panjang daripada DHEA (1–3 jam), sehingga kadar DHEA-S 300–500 kali lebih tinggi daripada DHEA dan lebih stabil. Oleh karena itu lebih dianjurkan memeriksa ka-dar DHEA-S dan untuk memeriksa DHEA-S dapat digu-nakan spesimen darah atau saliva.(5,11)

Dehydroepiandrosterone (DHEA) dan Dehydroepi-andro-sterone sulfat (DHEA-S) diproduksi oleh kelenjar supra-renal dan merupakan salah satu precusor hor-mon testosteron. Penurunan hormon DHEA/DHEAS akan diikuti : meningkatnya interleukin 6 (IL-6) yang merupakan mediator peningkatan osteoclast yang me-nyebabkan berkurangnya masa tulang (osteoporosis), perubahan rasio cluster differentiation sehingga timbul reaksi autoantibodi, kekakuan pembuluh darah koroner, kegemukan karena penurunan Resting Metabolic Rate (RMR), dan kelelahan kronis yang lain. Penurunan hor-mon ini biasanya akan berhubungan dengan penurunan kekebalan tubuh yang sesuai dengan teori penuaan imunologis (immunological senescence theory).(2)

Boesptufofejpo

Androstenedion adalah androgen adrenal. Andro-stenedion sebagai prohormon untuk estron dan estra-diol serta testosteron (gambar 1). Pengukuran kadar dalam serum merupakan baku emas. Pengukuran dalam urin 24 jam tidak bisa dilakukan karena jumlah yang dieksresi sangat sedikit.(5)

Uftuptufspo

Penting bagi pria maupun wanita. Testosteron dise-kresi oleh sel Leydig testikular dan dapat dikonversi menjadi dihidrotestosteron. Testosteron total terdiri dari 3 bentuk yaitu 65% terikat SHBG, 30–32% terikat albumin dan 1–4% bentuk bebas. Testosteron dalam bentuk bebas dan terikat albumin, disebut sebagai tes-tosteron “bioavailable”. Dianjurkan untuk mengukur tes-tosteron “bioavailable” yang dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu metode penghitungan dan metode presip-itasi. Metode penghitungan yaitu membagi testosteron total dengan SHBG (Sex Hormone Binding Globulin) menghasilkan free androgen index (FAI). Pada metode presipitasi dilakukan penghilangan testosteron/SHBG kompleks sehingga menyisakan free testosterone dan albumin testosteron untuk diukur.(5,12)

Testosteron mengalami variasi diurnal dan kadarnya menurun sesuai dengan pertambahan usia, baik pada pria maupun wanita. Tetapi yang pasti menurun se-benarnya adalah hormon free testosterone/bioavail-able testosterone saja. Penurunan hormon testos-teron umumnya disebabkan karena faktor organik lain yang mendasari, misalnya : Atrofi testis karena apoptosis yang secara langsung akibat perubahan GH dan IGF-1 ; Feedback mechanism karena adanya zeno atau pseudo-estrogen dan konsumsi jamu/obat-obatan yang tidak terkontrol ; penurunan frekuensi, amplitudo denyutan dan kemampuan luteinizing hor-mone (LH) dalam menstimulasi produksi testosteron oleh sel leydig ; berkurangnya LH karena hormon tes-

Kolesterol

Pregnenolon

Dihydrostestosterone

DHEA Dehidroepiandrosteron

Testosteron

Progesteron

Esteron Androstenedion

Estradiol

Page 30: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 85

tosteron yang dihasilkan sendiri kehilangan biopotensi untuk memberi umpan balik (feedback mechanism), atau berkurangnya sensitivitas reseptor LH di dalam sel Leydig (sel yang memproduksi testosteron dalam testis). Kadar testosteron urin 24 jam berkorelasi baik dengan produksi harian sehingga dapat diguna-kan untuk evaluasi terapi.(2,10)

Ejijesptuftuptufspo!)EIU*

DHT berasal dari androstenedion dan testosteron (gambar 1). Pengukuran kadar DHT serum adalah baku emas. DHT sangat sedikit diekskresi dalam urin sehingga urin 24 jam tidak bisa digunakan sebagai in-dikator produksi DHT.(5)

Metabolit utama DHT adalah androstanediol yang dapat diukur dalam serum dan urin sebagai andro-stanediol glukuronida yang menggambarkan hasil metabolisme DHT. Pada wanita dengan kelebihan hor-mon androgen, sering dijumpai kadar testosteron dan DHT normal tetapi ternyata kadar androstanediol glu-kuronida dalam serum sangat tinggi.(5)

Ftusphfo Estrogen adalah androgen aromatik dan terutama berasal dari gonad walaupun jaringan lemak mampu menghasilkan sedikit estrogen. Kadar estrogen se-rum merupakan spesimen pilihan. Estrogen terdapat dalam 3 jenis yaitu estradiol, estron dan estriol. Estra-diol adalah hormon yang paling berpotensi di antara ketiga jenis estrogen utama. Estron berada dalam keseimbangan dengan estradiol dan mempunyai afini-tas pengikatan reseptor estrogen kira-kira 1/10 dari estradiol. Peningkatan estradiol berhubungan dengan peningkatan estron dan sebaliknya. Estriol adalah hormon yang paling lemah diantara ketiga estrogen, dengan afinitas pengikatan reseptor estrogen kira-kira 1/100 dari estradiol. Beberapa klinikus menggu-nakan free estradiol index (FEI) yang merupakan hasil penghitungan dengan membagi estradiol / SHBG (Sex Hormone Binding Globulin). Hari 14–23 dari siklus haid adalah waktu terbaik untuk menilai estriol, estron dan estradiol.(5)

Qsphftufspo

Diproduksi di otak, adrenal, testis, ovarium, dan plasen-ta. Fungsi progesteron pada wanita sudah jelas, tetapi fungsi pada laki-laki belum jelas. Diduga, progesteron berperan pada kebotakan dan fungsi prostat. Untuk pengukuran kadar progesteron dianjurkan menggu-nakan serum karena pengukuran pada saliva mem-beri hasil yang sangat bervariasi.

Kadar progesteron berfluktuasi selama siklus mens-

truasi dengan puncaknya pada fase luteal antara hari ke 20–23.(5)

Sex Hormon Binding Globulin (SHBG)SHBG mengikat testosteron, DHT dan estradiol de-ngan afinitas lebih besar daripada ikatannya dengan DHEA, androstenedion dan estriol. SHBG adalah gliko-protein plasma dan diproduksi oleh sel hati kemudian masuk ke sirkulasi darah. Kadar SHBG jauh lebih tinggi pada anak-anak daripada orang dewasa. Pada puber-tas kadar SHBG menurun baik pada laki-laki maupun wanita. Pada anak laki-laki penurunan SHBG disebab-kan meningkatnya produksi testosteron.(5)

QFNFSJLTBBO!MBCPSBUPSJVN

Pada evaluasi status hormon harus diperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Beberapa hormon dalam tubuh menunjukkan peruba-han siklik sepanjang hari, misalnya Growth Hormone, kortisol. Oleh karena itu waktu pengambilan sampel darah perlu dicatat dengan tepat. Pada wanita pola hormon seperti estradiol, LH, FSH dan progesteron menunjukkan irama siklik (siklus haid). Evaluasi status hormon dalam tubuh dapat menggunakan tiga jenis spesimen, yaitu saliva, darah dan urin. Masing-masing spesimen memiliki kelebihan dan kekurangan.(5,11)

Evaluasi status hormon dengan menggunakan spesi-men saliva masih belum banyak berkembang. Hal ini disebabkan kadar hormon yang rendah di dalam sa-liva yang berkisar antara 1–10% dari kadar hormon dalam darah dan pada pasien-pasien yang sudah tua kadar hormon dalam saliva lebih rendah lagi, sehing-ga dibutuhkan metode pemeriksaan dengan tingkat sensitivitas yang sangat tinggi. Selain itu, penyakit perio-dontal yang sering ditemui pada orang sehat dapat menyebabkan kontaminasi darah pada saliva sehingga spesimen tersebut tidak representatif lagi. Kadar hormon dalam saliva mencerminkan fraksi be-bas dari hormon di dalam plasma. Fraksi bebas dalam darah, sebagaimana diukur dengan keseimbangan dialisis, sangat berkorelasi dengan kadar hormon dalam saliva. Hal ini disebabkan sebagian hormon fraksi bebas yang terdapat di sirkulasi darah akan masuk ke dalam saliva. Pengumpulan spesimen saliva umumnya dikumpulkan pada pagi hari sebelum sikat gigi, makan atau minum, kecuali melatonin. Sebelum pengumpulan spesimen saliva pasien disuruh berku-mur-kumur. Hormon dalam saliva stabil pada suhu ru-ang selama paling sedikit 3 minggu.(5,11) Keuntungan menggunakan spesimen saliva adalah mudah didapat, bersifat tidak invasif, ekonomis, dapat dilakukan di rumah sehingga praktis untuk evaluasi

Page 31: cdk_161_Stemcell

86 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

fluktuasi harian hormon. Waktu pengambilan spesi-men sangatlah penting untuk hormon yang mempu-nyai variasi diurnal karena memberikan nilai normal yang berbeda untuk waktu pengambilan spesimen yang berbeda.(5,11)

Serum dan plasma merupakan spesimen baku emas dalam evaluasi hormon. Metode pemeriksaan bia-sanya cukup sensitif. Serum dan plasma dapat digu-nakan untuk evaluasi Circadian homon, tetapi memiliki kekurangan yaitu pasien harus dipungsi vena berkali-kali. Sehingga spesimen serum dan plasma paling baik digunakan untuk mengukur kadar puncak setelah diserap.(5) Waktu pengambilan spesimen sangat pen-ting, tergantung dari cara pemberian hormon terse-but. Direkomendasikan pada pemberian hormon per oral spesimen darah diambil 2 jam kemudian dan 4 jam setelah pemberian trans dermal. Hormon yang diberi melalui suntikan (terutama dalam bentuk depot) sangat bervariasi dalam waktu absorpsi maksimal-nya.(11)

Spesimen urin terutama berguna untuk evaluasi me-tabolisme hormon. Dibutuhkan urin kumpulan 24 jam. Selain itu, spesimen urin 24 jam berguna untuk meme-riksa hormon yang menunjukkan variasi diurnal karena dapat mengevaluasi produksi hormon selama 24 jam. Masalah yang dihadapi dengan spesimen urin 24 jam adalah gangguan fungsi ginjal dan kesulitan pasien me-ngumpulkan urin 24 jam. Selama pengumpulan urin 24 jam, urin disimpan di lemari es (40C).(11)

Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam evaluasi hormon adalah dalam bentuk apa hormon tersebut di-ukur, bisa dalam bentuk bebas atau terikat dengan pro-tein.(5,11) Pemeriksaan hormon dapat dilakukan dengan metode radioimmunoassay, Enzyme Linked Immunoas-say (ELISA) dan immunochemiluminescence.(5)

LFTJNQVMBO

Penuaan biologis merupakan gejala penurunan hor-mon, dan karena penurunan hormon dapat dihindari,

penuaan biologis dapat dicegah, diperlambat atau dibalikkan tergantung pada hormon yang mengatur degenerasi dan regenerasi tubuh pada tingkat sel. Oleh karena itu penting untuk mengukur kadar hor-mon sebelum melakukan terapi sulih hormon agar dapat dideteksi apakah sudah terjadi penurunan hor-mon. Terapi sulih hormon hanya untuk mengganti hor-mon yang hilang akibat proses penuaan ke kadar nor-mal fisiologis. Terapi sulih hormon dapat memberikan manfaat yang mengagumkan sebagai anti aging jika diberikan secara bijaksana dengan pengawasan labo-ratoris secara periodik untuk menjamin kadar hormon yang efektif dalam darah. LFQVTUBLBBO

1. Eulis A.D, Wibowo C. Introduction to Anti Aging Medicine. Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005; 55-59.

2. Wibowo S. Andropause: Keluhan, diagnosis dan penanganannya. Buku kumpulan Makalah The Concepts of Anti Aging, 11–12 Oktober 2003, hal. 11-35.

3. Thomson JL, Butterfield GE, Gylfadottir UK. Yesavage J, Markus R, Hintz RL, Pearman A. Effect of human growth hormone, insulin-like growth factor-1 and diet and exercise on body composition of obese postmeno-pausal women. J Clin Endocrinol Metab. 1998; 83: 1447-58.

4. Chapman IR, Bach MA, Cauter EV. Stimulation of the growth hormone (GH)-insulin-like growth factor-1 axis by daily administration of a GH secretagogue (MK677) in healthy elderly subjects. J Clin Endocrinol Metab 1996; 81: 4249–58.

5. Jacques B, Laboratory Medicine for the Anti Aging Practitioner. In: Anti Aging Medical Therapeutics, 1st ed. The American Academy of Anti Aging Medicine; 2003: 317-28.

6. Hertoghe T. Senescence: Theoretical bases (causes, epidemiology, longevity factors); Physiology of aging of the endocrine glands. In: Anti-Aging Medicine Specialization-International Committee for Education in Anti-Aging Medicine. Paris, 2003.

7. Blackman MR. Age related alterations in sleep quality and neuroendo-crine function interrelationships and implications. JAMA. 2000 Aug 16; 284(7): 879-81.

8. Marshall JC. Control of pituitary Hormone secretion–Role of pulsati-lity. In: Besser MG, Thorner MO (eds). Comprehensive Clinical Endocri-nology. Mosby. 2002: 35-46.

9. Ruiz-Torrez A, Soares De Melo Kirzner M. Ageing and longevity are related to Growth Hormone / Insulin-like Growth Factor-1 secretion. Gerontology 2002; 48(6):401-7.

10. Kula K. Wranicz K, Strzolanda M, Bolinska-Soltysiak H. Sex hormone and lutenizing hormone (LH) in a double sample venous blood lipid profile in men with coronary artery disease (CAD). The Aging Male 1998; 1(suppl 1): 044.

11. Buletin khusus ABC, edisi I / 2003.12. Lunenfeld B Preface. The Aging Male 2001; 4: 201–202 (Abstracts

of the 3rd World Congress on the Aging Male, Berlin, Germany Feb-ruary 7-10, 2002).

Page 32: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 87

Efektifi tas Penggunaan Meal Replacement Pada Pengaturan Diet Pasien Obesitas Dalam Memperbaiki Komposisi TubuhDan Faktor Risiko Sindroma Metabolik

Johf!Qfsnbeij-!!Tbnvfm!Pfupsp-!!Gjbtuvuj!Xjukbltpop

Efqbsufnfo!Jmnv!Hj{j!Lmjojl-!!Gblvmubt!Lfeplufsbo!Vojwfstjubt!Joepoftjb-!!Kblbsub!Joepoftjb

BCTUSBL

Mbubs!cfmblboh : Obesitas saat ini merupakan masalah yang sangat serius dan timbul sebagai suatu ancaman kesehatan di seluruh belahan dunia. Penanganan obesitas sangat penting untuk mencegah terjadinya gangguan metabolik kronik akibat kegemukan. Pemberian terapi diet pada obesitas bertujuan untuk mengurangi asupan energi dan meningkatkan pengeluaran sehingga tercapai berat badan yang ideal. Uvkvbo : Untuk mengetahui apakah penggunaan meal replacement dalam program penurunan berat badan akan memberikan hasil yang lebih baik dalam memperbaiki komposisi tubuh dan faktor risiko sindroma metabolik dibandingkan dengan makanan biasa rendah kalori.Eftbjo : Penelitian randomized controlled trial, pre-post test controlled group design dilakukan untuk mendapat-kan data mengenai pengaruh pemberian meal replacement (pengganti makan) yang diberikan pada kelompok subyek obesitas terhadap komposisi tubuh, profil lipid, gula darah dan kadar antioksidan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang memperoleh diet makanan biasa dengan kalori terkontrol.Ibtjm!ebo!qfncbibtbo : Setelah masa intervensi selama delapan minggu, terjadi perubahan yang berbeda an-tara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Lingkar perut menurun 5,4±5,0 cm pada kontrol (n=12) dan menurun 5,8±6,1 cm pada kelompok perlakuan (n=11). Tekanan sistolik naik 2,5±18,6 mmHg pada kontrol dan turun 3,1±7,0 mmHg pada kelompok perlakuan. Tekanan diastolik turun 0,8±7,9 mmHg pada kontrol dan turun 2,5±5,3 mmHg pada kelompok perlakuan. Gula darah puasa turun 25,2±19,8 mg/dL pada kontrol dan turun 21,3±10,4 mg/dL pada kelompok perlakuan. Kadar trigliserida turun 37,6±64,1 mg/dL pada kontrol dan turun 60,2±70,0 mg/dL pada kelompok perlakuan. Kadar kolesterol HDL turun 1,4±7,1 mg/dL pada kontrol, sedang-kan pada kelompok perlakuan naik 1,2±7,0 mg/dL.Tjnqvmbo : Aktivitas paling banyak dan total asupan paling sedikit terjadi pada kelompok kontrol sehingga penu-runan massa lemak dan masa otot terjadi paling besar. Namun pada kelompok perlakuan, meskipun jumlah asu-pan kalori lebih banyak dan aktivitas lebih sedikit, tetap terjadi penurunan massa lemak tubuh dan bahkan terjadi peningkatan massa otot. Dalam hal faktor risiko sindroma metabolik, terjadi perubahan yang lebih baik pada kelompok perlakuan dibanding kontrol.

Kata kunci: Meal replacement, obesitas, pengaturan diet, sindroma metabolik.

Hasil Penelitian

MBUBS!CFMBLBOH

Penimbunan jaringan lemak tubuh yang berlebihan, atau yang lazim disebut dengan obesitas atau kegemu-kan, saat ini merupakan masalah yang sangat serius dan timbul sebagai suatu ancaman kesehatan di selu-ruh belahan dunia. Penimbunan ini disebabkan karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan jum-lah energi yang dikeluarkan.1 Di Indonesia meskipun prevalensinya masih relatif rendah, yaitu 2,5% pada pria dan 5,9% pada wanita, namun sudah mulai menun-jukkan tanda-tanda untuk menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hal ini mengacu pada hasil penelitian di Jakarta yang menunjukkan peningkatan prevalensi obe-sitas pada wanita di tahun 1982 sebesar 17,1% men-jadi 24,1% di tahun 1992-1993, sedangkan pada pria

4,2% (tahun 1982) menjadi 10,9% (tahun 1993).2

Usaha untuk menurunkan berat badan sebesar 5-10% dapat bermanfaat untuk mencegah terjadinya gangguan metabolik kronik akibat kegemukan, antara lain berupa penurunan tekanan darah, perbaikan profil lemak darah, perbaikan toleransi glukosa dan kecen-derungan perbaikan trombosis.2 Pemberian terapi diet pada obesitas bertujuan untuk mengurangi asu-pan energi dan meningkatkan pengeluaran sehingga tercapai berat badan yang ideal.

Anjuran diet bagi penderita obesitas adalah diet den-gan komposisi lemak yang lebih rendah yaitu <30%

Page 33: cdk_161_Stemcell

88 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

dari total kalori, karbohidrat >55% dari total kalori, pemberian protein yang cukup antara 10-15% dari total kalori, serat 25-30 gr/hari dan konsumsi alkohol yang rendah. Pada orang yang mengalami obesitas, dianjurkan untuk dapat mengurangi asupan makannya sebanyak 200-300 kkal/hari, dengan standar diet sekitar 1000-1200 kkal/hari.3

Pengaturan diet akan berhasil dengan baik jika pola makan dapat dipertahankan dan dapat dilaksanakan dalam jangka panjang. Penggunaan pengganti makan (meal replacement/MR) yang memiliki jumlah kalori dan komposisi yang pasti sebagai pengganti makan kini banyak ditawarkan sebagai alternatif pola pengaturan diet agar dapat dilakukan dalam jangka panjang dan dapat dipertahankan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah peng-gunaan meal replacement dalam program penurunan berat badan akan memberikan hasil yang lebih efisien dibandingkan dengan makanan biasa rendah kalori.

EFTBJO!QFOFMJUJBO

Penelitian randomized controlled trial, pre-post test controlled group design dilakukan untuk mendapatkan data mengenai pengaruh pemberian meal replacement (pengganti makan) yang diberikan pada kelompok sub-yek obesitas terhadap komposisi tubuh, profil lipid, gula darah. Penelitian ini dilakukan di Surabaya dan tempat pengambilan data dilakukan di PT. Unilever Indonesia-Surabaya mulai pada bulan Juli-September 2006.

Penelitian ini dilakukan pada 23 subyek obesitas yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendapat MR dan kelompok kontrol. Kriteria inklusi adalah karyawan atau istri karyawan berusia 35-55 ta-hun dengan obesitas (indeks massa tubuh/IMT >27) di PT. Unilever Indonesia-Surabaya tahun 2006 dan tidak ada riwayat penyakit metabolik, yaitu gagal ginjal kronik, gangguan fungsi hati, diabetes mellitus dan sindroma nefrotik. Kriteria eksklusi adalah subyek-subyek yang ti-dak bersedia berpartisipasi dalam penelitian, mengkon-sumsi obat yang mempengaruhi profil lipid, obat penu-run berat badan, obat penambah hormon, obat diuretik, subyek adalah vegetarian dan pada subyek wanita yang berencana hamil, sedang hamil atau sedang menyusui. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode con-venience sampling, yaitu bergantung pada jumlah sub-yek yang dilibatkan dalam penelitian ini.

Masing-masing subyek menjalani program penelitian selama 8 minggu, dengan rincian: dilakukan wawan-cara data demografi, kuesioner data pola hidup, pemeriksaan antropometri (berat badan/BB, tinggi badan/ TB, lingkar pinggang, dan body fat analysis/

BFA), asupan gizi (food recall, food frequency question-naire/FFQ), pemeriksaan profil lipid dan gula darah, kuesioner pola hidup dan kuesioner aktivitas fisik pada hari pertama minggu pertama, dilanjutkan perlakuan selama 4 minggu. Pada hari pertama minggu keem-pat dilakukan pemeriksaan antropometri, kuesioner pola hidup, asupan gizi (food recall 2x24 jam), kemu-dian perlakuan yang sama dilanjutkan kembali pada masing-masing kelompok sampai minggu ke delapan. Pada akhir penelitian dilakuan pengisian kuesioner data pola hidup, pemeriksaan antropometri (BB, TB, Lingkar Pinggang, dan BFA), asupan gizi (food recall, FFQ), pemeriksaan profil lipid dan gula darah, kuesio-ner pola hidup serta kuesioner aktivitas fisik.

Perlakuan dibedakan pada kedua kelompok, yaitu ke-lompok kontrol (kelompok A; n=12) mendapat pro-gram diet makanan biasa dengan kalori terkontrol 1200-1500 kkal, dengan 3 kali makan tanpa kuda-pan. Sedangkan kelompok yang mendapat MR diet (kelompok B; n=11) diberikan dalam bentuk kombinasi makanan biasa dan meal replacement 1200-1500 kkal, terdiri dari 3 kali makan tanpa kudapan dengan aturan makan pagi (300 kkal) berupa MR 200 kkal + apel/pir/jambu/jeruk 100 kkal (pilih salah satu); makan siang (500 kkal) berupa makan besar low fat; dan makan malam (400 kkal) berupa MR 200 kkal + sayur 100 kkal + buah 100 kkal.

Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan pro-gram SPSS version 12.00, sedangkan analisis data dilaku-kan dengan menggunakan uji statistik parametrik Annova dan interpretasi data dan hubungan antara variabel-varia-bel yang telah ditentukan disimpulkan secara deskriptif.

Masing-masing subyek penelitian telah menandatan-gani informed consent dan telah diberi penjelasan mengenai tujuan dan cara penelitian serta diberi jami-nan kerahasiaan terhadap data yang diperoleh.

IBTJM!EBO!QFNCBIBTBO

Secara umum, tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) pada karakteristik subyek penelitian, seperti yang terlihat pada tabel 1 dibawah ini.

Rerata skor pola aktivitas subyek sebelum perlakuan adalah antara 5,9 – 6,8 dengan skor terendah sebe-sar 4,5 dan skor tertinggi 7,7. Skor <6,2 dikategorikan sebagai aktivitas rendah dan skor >7,1 dikategorikan sebagai aktivitas tinggi.

Perubahan komposisi tubuh seseorang, baik pria mau-pun wanita, dipengaruhi oleh banyak faktor seperti fak-tor usia, penurunan aktivitas atau kondisi menopause

Page 34: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 89

dan penggunaan estrogen pada wanita, sedangkan tingkat aktivitas fisik dapat mempengaruhi status massa bebas lemak seseorang.4 Dengan tidak adanya perbedaan karakteristik usia dan pola aktivitas subyek pada awal penelitian, maka dapat dikatakan komposisi tubuh subyek penelitian menjadi homogen.

Ubcfm!2/!Tfcbsbo!vnvn!lbsblufsjtujl!tvczfl!qfofmjujbo!qsb!qfofmjujbo/

*Mean ± standar deviasi (sd) # Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok A dan B (p>0,05)

Kelompok-A, mendapat diet makanan biasaKelompok-B, mendapat diet makanan biasa dan meal replacement

Secara umum, tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) pada asupan zat gizi makro, ukuran antro-pometrik dan hasil pengukuran BFA antar kelompok perlakuan sebelum penelitian, seperti terlihat pada ta-bel 2 di bawah ini.

Ubcfm!3/!Tfcbsbo!lbsblufsjtujl!tubuvt!hj{j!tvczfl!cfsebtbslbo!btvqbo!{bu!

hj{j!nblsp-!!vlvsbo!bouspqpnfusj!ebo!cpez!gbu!bobmztjt!)CGB*!qsb!qfofmjujbo/

*Mean ± standar deviasi (sd) #Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok A dan B (p>0,05)

Kelompok-A, mendapat diet makanan biasaKelompok-B, mendapat diet makanan biasa dan meal replacement

Rerata asupan zat gizi makro (kalori, karbohidrat, lemak dan protein) subyek penelitian pra perlakuan adalah 900–1200 kkal/hari dengan asupan minimal 709 kkal dan maksimal 1487 kkal, dengan rincian asupan makronutrien dalam tabel 3 berikut.

Ubcfm!4/!Sfsbub!btvqbo!{bu!hj{j!nblsp!tvczfl!qfofmjujbo!qsb!qfofmjujbo/

Bila dilihat dari laporan asupan dalam penelitian ini, tampak konsumsi rata-rata total asupan harian sub-yek penelitian sangat rendah, padahal orang dewasa yang mengkonsumsi rata-rata kalori 800-1200 kkal/hari tidak akan mengalami berat badan lebih. Hal ini membuktikan adanya kesulitan dalam estimasi asu-pan kalori pada suatu penelitian obesitas akan ber-pengaruh pada analisis diet makronutrien subyek penelitian.5 Pada penelitian ini cenderung terdapat flat slope syndrome, yaitu subyek menyebutkan lebih ban-yak makanan yang sedikit dikonsumsi dan lebih sedikit makanan yang banyak dikonsumsi,6 atau memang mereka tidak mengetahui jenis makanan tinggi kalori sehingga kemungkinan total asupan hariannya jauh lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan.

Rerata IMT subyek adalah 31 kg/m2, dengan IMT ter-endah adalah 28,7 kg/m2 dan tertinggi adalah 35,7 kg/m2. Berdasarkan hasil pengukuran antropometrik, maka menurut kriteria Asia Pasifik (tahun 2000), IMT subyek penelitian tergolong dalam Obesitas I dan II. Menurut Kriteria Sindroma Metabolik menurut Asia Pa-sifik (tahun 2000), seorang subyek tergolong memiliki risiko sindroma metabolik bila memiliki kriteria lingkar pinggang untuk pria >90 cm dan wanita >80 cm. Pene-litian ini tidak dibedakan menurut gender, namun bila melihat rata-rata lingkar pinggang, tampaknya subyek penelitian berisiko menderita komorbiditas penyakit pe-nyerta sindroma metabolik dan abdominal obesity .

Dari hasil analisis BFA subyek penelitian sebelum perlakuan diperoleh rerata massa lemak tubuh total adalah 34, rerata massa bebas lemak adalah antara 27-28, dan rerata massa otot berkisar antara 51-53. Pada kasus over weight dan obesitas, terjadi kompo-sisi tubuh yang tidak seimbang dimana massa lemak tubuh berlebihan. Katch & McArdle menyebutkan massa lemak tubuh normal pada pria dewasa 19.9% dan wanita dewasa 25.2%,7 sedangkan pada peneli-tian ini didapatkan massa lemak tubuh subyek >30%.

Dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak didapatkan perbedaan bermakna (p>0,05) antara tekanan sistolik, tekanan diastolik, profil lipid dan gula darah puasa subyek pra perlakuan seperti terlihat di tabel 4 berikut.

Rerata kadar kolesterol total subyek penelitian sebe-

Lbsblufsjtujl!Efnphsbgjl

Jumlah subjekUsia (tahun)*#

Jenis kelamin:- Laki-laki- PerempuanSkor pola aktivitas fisik*#

Tingkat aktivitas fisik: n (%)- Rendah- Cukup- Tinggi

Lfmpnqpl!B

1247,6 + 4,5

93

5,9 + 1,4

8 (66,7%)2 (16,7%)2 (16,7%)

Lfmpnqpl!C

1144,4 + 7,1

92

6,8 + 0,9

2 (18,2%)6 (54,5%)3 (27,3%)

Lbsblufsjtujl!tubuvt!hj{j

Jumlah subjekAsupan zat gizi makanan:*#

- Kalori (kkal)- Karbohidrat (g)- Lemak (g)- Protein (g)Ukuran antropometik:*#

- Tinggi badan (cm)- Berat badan (kg)- Indeks massa tubuh (kg/m2)- Lingkar perut (cm)Hasik BFA:*#

- Massa lemak tubuh- Massa bebas lemak- Massa otot

Lfmpnqpl!B

12

1237,1 + 250,7167,2 + 40,332,2 + 19,739,8 + 7,7

162,8 + 5,782,7 + 8,331,2 + 2,599,7 + 9,3

34,9 + 5,128,8 + 5,153,8 + 7,0

Lfmpnqpl!C

11

873,3 + 164,1148,9 + 28,2

15,3 + 7,935,0 + 8,5

160,7 + 7,380,7 + 7,231,2 + 4,599,0 + 6,6

34,0 + 4,827,8 + 6,951,0 + 5,3

Kfojt

nblspovusjfo

KarbohidratLemakProtein

Sfsbub!btvqbo

ibsjbo!)h*

137 - 16715 - 3235 - 40

Sfsbub!btvqbo

ufsfoebi!)h*

89419

Sfsbub!btvqbo

ufsujohhj!)h*

2387860

Page 35: cdk_161_Stemcell

90 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

lum perlakuan adalah antara 224-230 mg/dL, rerata kadar kolesterol-LDL subyek penelitian adalah antara 123-128 mg/dL, sedangkan rerata kadar koleste-rol-HDL-nya adalah antara 46-50 mg/dL, dan rerata kadar trigliserida darah subyek adalah antara 144,3-197,4 mg/dL. Rerata kadar gula darah subyek adalah antara 126-132 mg/dL.

Ubcfm! 5/! Tfcbsbo! tvczfl! qfofmjujbo! cfsebtbslbo! ibtjm! qfnfsjltbbo!

uflbobo!ebsbi!qspgjm!mj qje-!ebo!hvmb!ebsbi!qvbtb!qsb!qfofmjujbo/

*Mean ± standar deviasi (sd)

#Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok A dan B (p>0,05)

Kelompok-A, mendapat diet makanan biasaKelompok-B, mendapat diet makanan biasa dan meal replacement

Berdasarkan kriteria sindroma metabolik menurut NCEP-ATP III,8 sindroma metabolik ditegakkan bila ditemukan tiga dari lima faktor risiko sebagai berikut:• Lingkar pinggang : Pria >102 cm dan wanita >88

cm• Gula darah puasa: > 110 mg/dL• Tekanan darah: >130/85 mmHg• Trigliserida: >150 mg/dL• HDL-C: Pria <40 mg/dL dan wanita <50 mg/dL Selain itu, The International Diabetes Federation Con-sensus9 menambahkan adanya pengaruh etnik pada lingkar pinggang yang dijadikan kriteria sindroma me-tabolik. Untuk orang Indonesia yang tergolong kelom-pok etnik Asia Selatan, parameter lingkar pinggang un-tuk sindroma metabolik adalah bagi pria >90 cm dan wanita >80 cm.

Pada penelitian ini didapatkan hasil penelitian sebagai berikut:• Tekanan darah subyek penelitian rata-rata berada

dalam batas normal.• Rata-rata profil lipid subyek penelitian :

v Trigliserida berada di atas normalv HDL dalam batas normal

• Lingkar pinggang berada di atas batas normalDikatakan bahwa parameter lingkar pinggang dan ka-dar trigliserida 67,5-80% sudah dapat menunjukkan adanya sindroma metabolik.10, 11

Jadi walaupun hasil penelitian ini tidak dibedakan

menurut gender, namun tampaknya subyek penelitian berisiko menderita komorbiditas penyakit penyerta sindroma metabolik dan abdominal obesity .

Pasca perlakuan, secara umum terjadi perbedaan ber-makna pada perubahan asupan zat gizi makro (p<0,05) dan perubahan kadar kolesterol-LDL (p=0,039) subyek antar kelompok. Selain itu terjadi perubahan beberapa pa-rameter antropometri pra dan pasca penelitian (tabel 5) yang tidak berbeda bermakna antar kelompok (p>0,05), antara lain terjadinya penurunan BB pada kedua kelom-pok penelitian sekitar 5 kg selama 8 minggu atau rata-rata 0,5 kg/minggu. Demikian juga terjadi penurunan lingkar pinggang. Penurunan BB terjadi karena penurunan jumlah asupan kalori dan juga peningkatan aktifitas fisik.

Ubcfm!6/!Qfohbsvi!joufswfotj!hj{j!zboh!cfscfeb!tfmbnb!efmbqbo!njohhv!

ufsibebq!cfcfsbqb!qbsbnfufs!bouspqpnfusj/

*Uji statistik ANOVA#Uji statistik Kruskal-Wallis

¤ Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok A dan B (p>0,05)

Kelompok-A, mendapat diet makanan biasaKelompok-B, mendapat diet makanan biasa dan meal replacement Penelitian ini membuktikan bahwa diet biasa dalam waktu singkat ternyata dapat berefek baik terhadap penurunan BB, sedangkan diet dengan menggunakan meal replacement dalam waktu singkat juga dapat menurunkan BB namun lebih sedikit efeknya diban-dingkan dengan kelompok kontrol. Mungkin pengaruh tersebut baru akan terlihat lebih jelas bila dilakukan penelitian dalam jangka waktu yang lebih lama. Diet ke-tat yang cukup lama membutuhkan motivasi yang tinggi dan kemauan yang keras. Kebanyakan penderita obesi-tas cenderung bosan setelah beberapa waktu berdiet. Pada saat tersebut, mungkin diperlukan suplementasi seperti meal replacement yang akan memudahkan sub-yek untuk berdiet dan menentukan menu sehari-hari.

Penelitian dengan menggunakan meal replacement dalam jangka waktu satu tahun,12 dua tahun,13 em-pat tahun,14 dan lima tahun15 membuktikan bahwa penggunaan meal replacement jangka panjang adalah aman dan dapat mempertahankan target BB yang di-harapkan dalam jangka waktu lama. Selain itu, meal replacement efektif digunakan pada subyek dewasa, selain untuk menurunkan BB juga dalam mengatasi risiko sindroma metabolik.16

Lbsblufsjtujl!tvckfl

Jumlah subjekTekanan darak sistolik*#

Tekanan darah diastolik*#

Lipid darah:*#

- Kolesterol total (mg/dL)- Kolesterol-LDL (mg/dL)- Kolesterol-HDL (mg/dL)- Trigliserida (mg/dL)Gula darah 2 jam post propandial (mg/dL)*#

Lfmpnqpl!B

12121,7 + 13,5

81,7 + 8,3

230,7 + 55,4128,3 + 39,0

50,0 + 7,4144,3 + 77,2126,1 + 22,1

Lfmpnqpl!C

11117,7 + 6,879,1 + 8,0

224,1 + 34,1123,4 + 22,5

46,5 + 7,5197,4 + 118,2132,7 + 45,1

Qbsbnfufs

Jumlah subjekPerubahan BB*#

Perubahan IMT (kg/m2)*#

Perubahan lingkar perut (cm)*#

Lfmpnqpl!B

12-5,6 + 2,2-2,1 + 0,8-5,4 + 5,0

Lfmpnqpl!C

11-5,1 + 3,8-2,1 + 1,6-5,8 + 6,1

Page 36: cdk_161_Stemcell

cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008 91

Ubcfm!7/!Qfsvcbibo!uflbobo!ebsbi!qbtdb!qfofmjujbo/!

*Uji statistik ANOVA#Uji statistik Kruskal-Wallis¤ Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok A dan B (p>0,05)

Kelompok-A, mendapat diet makanan biasaKelompok-B, mendapat diet makanan biasa dan meal replacement

Tekanan darah akan membaik dengan penurunan BB. Hasil pasca penelitian (tabel 6) memperlihatkan teka-nan darah rata-rata mengalami penurunan yang tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok penelitian (p>0,05), walaupun ada beberapa subyek yang me-ngalami peningkatan meski peningkatan tersebut ma-sih dalam batas normal.

Ubcfm!8/!Qfsvcbibo!btvqbo!lbmpsj!ebo!nblspovusjfo!qbtdb!qfofmjujbo/

*Uji statistik ANOVA#Uji statistik Kruskal-Wallis

Kelompok-A, mendapat diet makanan biasaKelompok-B, mendapat diet makanan biasa dan meal replacement

Pada penelitian ini, tampak terjadi penurunan total asupan, walaupun jumlahnya pada rata-rata kelom-pok kurang dari 150 kalori, bahkan sebaliknya pada kelompok B terjadi peningkatan asupan kalori (tabel 7). Jumlah penurunan ini memang tampak sedikit bila dibandingkan dengan total asupan awal yang sudah rendah, namun bila dilihat penurunan BB sebesar 0.5 kg/minggu, sedikitnya sudah terjadi penurunan asupan sebesar 500 kalori/hari selama satu ming-gu.17 Kesenjangan ini diduga terjadi karena adanya kesulitan subyek penelitian dalam mencatat jenis dan jumlah asupan hariannya. Hal inilah yang menyebab-kan terjadinya inkonsistensi pencatatan data asupan makanan dalam penelitian ini sehingga sulit untuk di-berikan penilaian atas data yang ada.

Perubahan komposisi tubuh dipengaruhi oleh total asupan, jenis makanan dan peningkatan aktivitas fisik. Terlihat bahwa terjadi penurunan massa lemak tubuh pada kedua kelompok sesuai dengan penurunan jumlah total asupan (tabel 8). Asupan protein pada kelompok perlakuan tampak lebih tinggi dibandingkan kontrol dan ini diikuti dengan peningkatan massa otot yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol. Pada suatu penelitian multietnis yang meliputi etnis Asia Selatan, Cina, Aborigin Kanada dan Eropa, terbukti

terdapat hubungan berbanding terbalik antara abdomi-nal obesity dengan asupan protein. Dengan mengganti sebagian dari asupan karbohidrat dengan protein, dapat menurunkan abdominal obesity pada populasi tersebut.18 Faktor usia sangat mempengaruhi pemben-tukan otot. Pada orang lanjut usia, kecepatan sintesis protein otot basal umumnya menurun, sedangkan de-gradasi protein otot cenderung meningkat. Di lain pihak, keadaan ini diperburuk dengan rendahnya efek stimu-lasi asupan protein pada sintesis protein otot. Hal ini mungkin disebabkan karena menurunnya kemampuan anabolik pada orang lanjut usia. Pada orang berusia muda, kondisi ini tidak ditemui dikarenakan kemampuan anabolik yang masih baik. Selain itu, aktivitas fisik juga dapat secara efektif merangsang pembentukan otot. Oleh karena itu, kombinasi antara asupan protein yang adekuat dan aktivitas fisik yang memadai akan merang-sang pembentukan otot yang optimal.19

Ubcfm!9/!Qfsvcbibo!lpnqptjtj!uvcvi-!btvqbo!qspufjo!ebo!blujwjubt!gjtjl!

qbtdb!qfofmjujbo.

*Uji statistik ANOVA

# Uji statistik Kruskal-Wallis

Kelompok-A, mendapat diet makanan biasaKelompok-B mendapat diet makanan biasa dan meal replacement Untuk perubahan kadar kolesterol-LDL, terjadi perubahan kadar kolesterol-LDL pada kelompok A yang secara statis-tik berbeda bermakna bila dibandingkan dengan peruba-han kadar kolesterol-LDL pada kelompok B (p=0,008). Pemeriksaan profil lipid merupakan pemeriksaan yang bersifat krusial karena membutuhkan waktu puasa lebih lama, sementara kepatuhan subyek dalam melakukan puasa selama 14 jam masih diragukan karena sebagian besar subyek harus masuk bekerja pada pagi hari. Koles-terol-LDL kelompok A mengalami penurunan, sedangkan kolesterol-LDL kelompok B mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan karena total asupan lemak pada kelompok B lebih tinggi dibandingkan kelompok A. Pada penelitian ini, semua kelompok penelitian mengalami penurunan kolesterol total. Hal tersebut menggambar-kan adanya penurunan asupan kalori total dibandingkan asupan kalori sebelum penelitian. Kolesterol-HDL pada kelompok B mengalami peningkatan, walaupun peruba-han aktifitas fisiknya tidak lebih baik dibandingkan kelom-pok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan tersebut dapat disebabkan karena perbaikan pola asu-pan lemak yang didapat dari meal replacement. Terjadi penurunan kadar trigliserida pada kelompok A dan B, di

Qbsbnfufs

Perubahan tekanan sistolik*#

Perubahan tekanan diastolik*#

Lfmpnqpl!B

2,5 + 18,6-0,8 + 7,9

Lfmpnqpl!C

-3,1 + 7,0-2,5 + 5,3

Qbsbnfufs

Perubahan asupan kalori#

Perubahan asupan karbohidrat#

Perubahan asupan lemak#

Perubahan asupan protein#

Lfmpnqpl!B

-130,9 + 246,2-18,4 + 34,3-5,3 + 12,7-2,4 + 10,9

Lfmpnqpl!C

156,1 + 283,6-6,4 + 26,813,7 + 14,49,6 + 15,6

q

p=0,000p=0,000p=0,000p=0,006

Qbsbnfufs

Perubahan massa lemak tubuh total#

Perubahan massa bebas lemak#

Perubahan massa otot#

Perubahan asupan protein#

Perubahan aktifitas fisik#

q

p>0,05p>0,05p>0,05p=0,06p>0,05

Lfmpnqpl!B

-2,9 + 2,1-4,3 + 1,9-1,3 + 1,7

-2,4 + 10,91,5 + 1,5

Lfmpnqpl!C

-3,8 + 4,3-4,9 + 6,31,1 + 5,1

9,6 + 15,60,2 + 1,0

Page 37: cdk_161_Stemcell

92 cdk 161/vol.35 no.2 Mar-Apr 2008

mana penurunan yang lebih banyak terjadi adalah pada kelompok B. Hal ini dapat disebabkan karena terjadinya perbaikan pola asupan lemak dan karbohidrat pada ke-lompok ini. Kedua kelompok mengalami penurunan ka-dar gula darah karena perbaikan pola makan (total kalori, asupan karbohidrat) dan pola aktivitas fisik (tabel 9).

Ubcfm!:/!Qfsvcbibo!qspgjm!mfnbl!ebo!hvmb!ebsbi!tvczfl!qfofmjujbo!qbtdb!

qfofmjujbo/

*Uji statistik ANOVA#Uji statistik Kruskal-Wallis

Kelompok-A, mendapat diet makanan biasaKelompok-B, mendapat diet makanan biasa dan meal replacement

Terjadi perbaikan faktor risiko sindroma metabolik setelah penelitian pada kedua kelompok. Pada ke-lompok perlakuan terdapat perubahan lingkar perut, tekanan darah, kadar trigliserida dan kolesterol-HDL yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol, walau-pun perubahan ini tidak berbeda bermakna (p>0,05).

Ubcfm!21/!Qfohbsvi!joufswfotj!hj{j!zboh!cfscfeb!tfmbnb!efmbqbo!njoh.

hv!ufsibebq!cfscbhbj!gblups!tjoespnb!nfubcpmjl!)TN*/

*Uji statistik ANOVA#Uji statistik Kruskal-Wallis¤Tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok A dan B (p>0,05)

Kelompok-A, mendapat diet makanan biasaKelompok-B, mendapat diet makanan biasa dan meal replacement

LFTJNQVMBO

Kelompok kontrol adalah kelompok dengan aktivitas paling banyak dan total asupan paling sedikit sehingga mengakibatkan penurunan massa lemak dan masa otot terjadi paling besar pada kelompok ini. Pada kelompok perlakuan, jumlah asupan kalori dan protein lebih ban-yak sedangkan aktivitas fisik lebih sedikit, namun tetap terjadi penurunan massa lemak tubuh dan bahkan ter-jadi peningkatan massa otot pada kelompok perlakuan. Hal ini merupakan kelemahan metode record karena kemungkinan terjadinya flat slope syndrome. Terjadi perubahan yang cenderung lebih baik pada ke-lompok perlakuan dibandingkan kontrol dalam hal fak-tor risiko sindroma metabolik, walaupun tidak berbeda

bermakna. Hal ini kemungkinan disebabkan karena waktu penelitian yang hanya delapan minggu, karena itu diperlukan penelitian jangka panjang untuk mem-buktikan apakah penggunaan meal replacement dapat berefek menguntungkan pada penderita obesitas dalam mencegah faktor risiko sindroma metabolik.

VDBQBO!UFSJNB!LBTJI

Terima kasih kepada PT Sanghiang Perkasa (Kalbe Nutritionals) atas kesediaannya memberikan formu-la meal replacement (Entrasol Diet Nutrition) untuk membantu pelaksanaan penelitian ini.

EBGUBS!QVTUBLB

1. Bray GA. Handbook of Obesity. Clinical Applications. 2nd ed. 2. Waspadji S. Diabetes Mellitus, Penyakit Kronik dan Pencegahannya.

Dalam: Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Editor: Soegondo S, Subekti I. Edisi 4, 2004, hal169-179.

3. Wallace JP. Obesity. In: ACSM’s Exercise Management for Persons with Chronic Diseases and Disabilities. Human Kinetics, 1997, p 106-111.

4. Guo SS, Zeller C, Chumlea WC, Sievobel RM. Aging, body composition and life-style the Fels longitudinal study. 1999. Am J. Clin Nutr. Vol 70, no 3, 405-411.

5. Voss S, Kroke A, Grobusch KK, Boeing H. Is macronutrient composition of dietary intake data underreporting? Results from the EPIC-Potsdam study, EJCN 1998, vol 52, no 2, p 119-126).

6. Gibson RS. Nutritional assessment methods. Dalam: Principle of Nutrition Assessment. 2nd ed. Oxford University Press, New York, 2005, hal 5-7.

7. Katch FI, Mc Ardle WD. In: Introduction to Nutrition, Exercise, and Health, Evaluation and Management of Obesity, Lea and Febiger, Phila-delphia, 1993, p 254.

8. Johnson JS, Johnson BD, Allison T, Bailey KR, Schwarz GL, Turner ST. Cor-respondence between the Adult Treatment Panel III Criteria for Metabolic Syndrome and Insulin Resistance, 2006, Diabetes Care 29, p 668-672.

9. The International Diabetes Federation consensus definition of the met-abolic syndrome. Embargo: Thurs, 14th April 2005.

10. Depres J, Pascot A, Lemeiux A, Lemeiux S, Lamrche B, Couilard C, Bergeron J. Obesity Management: A priority in the primary and sec-ondary prevention of cardiovascular disease. In Progress in Obesity Reseach: 9. Madeiros-Neto G, Halpern A, Bouchard C, John Libbey Eurotext Ltd. 2003, p 29-35.

11. Witjaksono F. Association between metabolic sundrom (ATP III) and hypertriglyceride mid waist in male employee. 3rd National Obesity Symposium (NOS III). 2004.

12. Rothacker DQ, Staniszewski BA, Ellis PK. Liquid meal replacement vs traditional food. Journal of the American Dietetic Association 2001, 101(3):345-347.

13. Ashley JM, St Jeor ST, Perumean-Chaney S, Schrage J, Bovee V (2001). Meal replacements in weight intervention. Obesity Research 9(Suppl 4) : S312-20.

14. Flechtner-Mors M, Ditschuneit HH, Johnson TD, Suchard MA, Adler G. Metabolic and weight loss effects of long-term dietary intervention in obese patients: four-year results. Obes Res. 2000; 8 : 399-402.

15. Rothacker DQ. Five-Year Self Management of Weight Using Meal Re-placements: Comparison With Matched Controls in Rural Wisconsin. Nutrition 2000, 16, p 344-348.

16. Noakes M, Foster PR, Keogh JB, Clifton PM: Meal replacements are as effective as structured weight-loss diets for treating obesity in adults with features of metabolic syndrome. J Nutr 2004, 134(8):1894-1899.

17. Jackson D, Baltes A, Khushner R. Diets, In: Evalutaion and Manage-ment of Obesity, Bessesen DH. and Khushner R. eds, Hanley dan Bel-fus. Inc, Phyladelphia, 2002, p 41-46.

18. Merchant AT, Anand SS, Vuksan V, Jacobs R., Davis B, Teo K, Yusuf S. For the SHARE and SHARE-AP Investigators. Protein intake is inversely associated with abdominal obesity in a multi-ethnic population. J. Nutr. 135: 1196-1201, 2005.

19. Koopman R, Verdijk L, Manders RJF, Gijsen AP, Gorselink M, Pijpers E, Wagenmakers AJM, and van Loon LJC. Co-ingestion of protein and leucine stimulates muscle protein synthesis rates to the same extent in young and elderly lean men. Am.J.Clin.Nutr. 2006; 84:623-32.

Qbsbnfufs

Perubahan kadar kolesterol total#(mg/dL)Perubahan kadar kolesterol-LDL# (mg/dL)Perubahan kadar kolesterol-HDL# (mg/dL)Perubahan kadar trigliserida# (mg/dL)Perubahan kadar gula darah puasa# (mg/dL)

q

p>0,05p=0,008p>0,05p>0,05p>0,05

Lfmpnqpl!B

-18,2 + 51,7-20,3 + 41,1

-1,4 + 7,1-37,6 + 64,1-25,5 + 19,8

Lfmpnqpl!C

-7,2 + 32,913,0 + 16,4

1,2 + 7,0-60,2 + 70,0-21,3 + 10,4

Gblups!Sftjlp!TN

Jumlah subjekPerubahan lingkar perut (cm)*¤

Perubahan tekanan sistolik*¤ (mmHg)Perubahan tekanan diastolik*¤ (mmHg)Perubahan kadar gula darah puasa*¤ (mg/dL)Perubahan kadar trigloserida*¤ (mg/dL)Perubahan kadar kolesterol-HDL*¤ (mg/dL)

Lfmpnqpl!C

11-5,8 + 6,1-3,1 + 7,0-2,5 + 5,3

-21,3 + 10,4-60,2 + 70,0

1,2 + 7,0

Lfmpnqpl!B

12-5,4 + 5,02,5 + 18,6-0,8 + 7,9

-25,2 + 19,8-37,6 + 64,1

-1,4 + 7,1

Page 38: cdk_161_Stemcell

93cdk 161/ vol. 35 no. 2 Mar - Apr 2008

Berita Terkini

Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2007 dianugerahkan pada para pionir Stem Cell

Sejak ESC manu-sia ditemukan, ter-buka kemungkinan sangat besar un-tuk perbaikan dan pembaruan organ dan jaringan. Tetapi hasil ini diikuti oleh kontroversi karena semua ESC manu-sia sampai dengan saat ini diperoleh dengan cara meru-sak embrio manu-sia, suatu prosedur yang ditentang oleh penganut pro ke-hidupan.

Hadiah Nobel bidang Fisiologi atau Kedokteran 2007 diberikan kepada 2 orang Amerika yang memelopori upaya membuat gen khusus pada ti-kus, memperbaiki fungsi mereka dan dampaknya pada penyakit.

Penghargaan tersebut untuk pene-muan sel induk embrionik (embryonic stem cell, ESC) oleh Martin Evans

dari Cardiff U n i v e r s i t y , Wales tahun 1981. Evans membuktikan bahwa ESC tikus bersifat pluripoten ; berarti dapat menjadi berb-agai jaringan dewasa.

Lyle Amstrong dari Institute of Human Genet-ics Universitas N e w c a s t l e ,

Tyne, Inggris mengatakan bahwa Martin Evans adalah salah satu pio-ner yang pertama kali menghasilkan ESC dari tikus tahun 1981.

Evans mendapatkan bagian hadiah sebesar $1,54 juta bersama de-ngan Mario Capecchi, kelahiran Italia, peneliti dari Howard Hughes Medical di University of Utah, Salt Lake City dan Oliver Smithies, kelahiran Ing-gris, dari University of North Carolina,

Chapel Hill.

Gen-gen ‘silencing’Awalnya Evans mengerjakan bagaimana menciptakan tikus hidup dari sel induk embrionik, Capecchi dan Smithies melakukan proses lebih lanjut tahun 1986 dengan mempela-jari bagaimana memodifikasi secara genetik sel-sel melalui sebuah proses yang disebut rekombinasi homolog. Selanjutnya, terbuka kemungkinan menghasilkan tikus yang dimodifikasi secara genetik untuk mendapatkan gen-gen yang tidak bekerja atau gen-gen baru seluruhnya dari spesies lain, termasuk manusia.

Hal ini mengarah pada pembentukan ribuan tikus ‘buatan’ dengan gen khu-sus ‘silenced’ untuk me-lihat apakah ini berhasil pada penyakit tikus. Sejak pertama dilaporkan tahun 1989, lebih dari 10.000 ‘tikus buatan’ dihasilkan, mencakup kira-kira sete-ngah gen dalam semua genom mamalia.

Evans dan peneliti lain juga telah menggunakan teknik ini untuk meng-hasilkan tikus yang me-ngidap beberapa penyakit manusia, termasuk pe-nyakit paru bawaan sistik fibrosis. Tikus yang telah dimodifikasi oleh Smithies mempunyai tekanan da-rah tinggi dan penyakit ar-

teri yang ekivalen dengan manusia. Teknologi tikus ‘buatan’ sekarang dikembangkan untuk menunjukkan adanya mutasi yang dapat diaktifkan pada waktu tertentu atau sel-sel/or-gan tertentu, dalam embrio maupun dalam hewan dewasa.

Sumber : www.newscientist.com

Page 39: cdk_161_Stemcell

94 cdk 161/ vol. 35 no. 2 Mar - Apr 2008

Berita Terkini

Aspirin Dosis Rendah Plus Statin Menurunkan Risiko Kanker Kolorektal

Secara umum, kanker ko-lorektal merupakan kanker nomor 3 tersering pada pria maupun wanita. Pada tahun 2003, dipublikasikan dalam the New England Journal of Medicine, suatu penelitian yang menemu-kan bahwa penggunaan aspirin (325 mg) setiap hari dapat secara bermak-na menurunkan insiden adenoma kolorektal pada pasien dengan riwayat kanker kolorektal.

Hasil suatu studi terkini yang dipub-likasikan di the International of Can-cer, September 2007 menunjukkan bahwa terapi kombinasi aspirin dosis rendah plus statin lebih baik dalam menurun kan risiko kanker kolorektal

dibandingkan monoterapi k e d u a n y a setelah pa ling tidak 5 tahun terapi.

Tujuan : menilai efek monoterapi dan kombi-nasi terapi statin dan aspirin dosis rendah ter-hadap risiko kanker kol-

orektalMetoda : studi popu-lation- based, case-control Hasil : sebanyak 540 pa sien dengan kan-ker kolorektal yang telah terkonfirmasi secara histologi, dan

seba nyak 614 pasien kontrol.

• Terdapat sedikit penurunan risiko kanker kolorektal pada pasien yang rutin menggunakan aspirin dosis rendah (adjusted odds ratio/OR = 0,77).

• Terdapat penurunan risiko kanker kolorektal yang lebih besar pada pasien yang rutin menggunakan statin (OR = 0,65).

• Penurunan risiko kanker kolorek-tal yang paling besar ditemukan pada pasien yang rutin mengkon-sumsi terapi kombinasi aspirin do-sis rendah dan statin (OR = 0,63), terutama jika kedua obat tersebut dikonsumsi selama paling tidak 5 tahun (OR = 0,38)

Kesimpulan : Efek kemopreventif kombinasi aspirin dosis rendah dan statin dapat meningkatkan penurunan risiko kanker kolorektal dibandingkan monoterapi kedua obat tersebut.

Jika terdapat uji klinis yang bersifat acak, terkontrol, yang mengkonfirma-

si hal tersebut di atas, maka hal ini dapat memberikan implikasi yang be-sar, sebab sebagian besar populasi usia lanjut menggunakan statin dan aspirin dosis rendah untuk mence-gah penyakit kardiovaskular.

Kemampuan aspirin menurunkan risiko kanker kolorektal sepertinya adalah efek dari penghambatan en-zim COX-2. Pada mayoritas kanker kolorektal, terdapat ekspresi COX-2 yang tidak ditemukan pada kolon yang normal. Hasil suatu studi (di-publikasikan di New England Journal of Medicine, Mei 2007) menemukan bahwa aspirin hanya mengurangi in-siden kanker kolorektal yang meng-alami overekspresi COX-2.

Sumber :1. Reuters.Low-Dose Aspirin Plus Statins

Protects Against Colorectal Cancer.2007.www.medscape.com

2. American Society of Clinical Oncology.Low-Dose Aspirin Plus Statins Protects Against Colorectal Cancer.2007.www.asco.org

3. Science Daily.Aspirin’s Colorectal Cancer Prevention Mechanism Revelaed.2007.www.sciencedaily.com

4. Sandler, Robert S, et al.A Randomized Trial of Aspirin to Prevent Colorectal Ad-enomas in Patients with Previous Colorec-tal Cancer.N Eng J Med.2003.vol 348(19).p883-90

Penggunaan NSAIDs rutin (termasuk aspirin dosis rendah)

Penggunaan rutin aspirin dosis rendah

Penggunaan rutin statin

Kelompok Pasien

23 %

18 %

12 %

Kelompok Kontrol

30 %

21 %

18 %

Page 40: cdk_161_Stemcell

95cdk 161/ vol. 35 no. 2 Mar - Apr 2008

Berita Terkini

Efek donepezil pada pasien yang berhenti menggunakan memantine

Menyusul penelitian done-pezil terakhir di Kanada sekaligus disetujuinya penggunaan donepezil pada pasien dengan gang-guan fungsi kognitif berat, donepezil diteliti manfaat-nya pada pasien Alzheimer berat yang berhenti meng-gunakan obat memantine. Penelitian tersebut sekaligus untuk meli-hat efektivitas juga ke-amanan pada pasien yang berhenti meng-guna kan memantine karena efek buruk atau efek samping obat tersebut.

Penelitian adalah terhadap pasien Alzheimer sedang sampai berat yang telah ditegakkan diagnosisnya

menggunakan MMSE (Mini-Mental State Examination), yang menggu-nakan meman-tine monoterapi dengan dosis 10 mg/2 kali sehari, terutama dalam 3 bulan sebe-lumnya. Pada baseline (awal p e r c o b a a n ) pasien langsung di switch untuk mendapatkan donepezil 5 mg/

hari selama 4 minggu, setelah itu dinaikkan dosisnya menjadi 10 mg.; penelitian dilakukan secara open label. Tolok ukur penilaian menggunakan MMSE pada minggu ke 12 ; selain itu juga dianalisis hasil kuesioner yang ditujukan pada pengasuh atau pendamping pasien meng enai tingkat kepuasan ; juga diamati skala CGI (the Clinical

Global Impression-Improve-ment) dan skala Neuropsychi-atric Inventory (NPI)

Pada minggu ke 12m peng-amatan didapatkan bahwa skor MMSE meningkat secara bermakna sekitar 1,55 poin dari baseline (p < 0.0001).

Di akhir perhitungan poin untuk kuesioner juga menunjukkan kepuasan setelah menggu-nakan donepezil pada sekitar 60,2% pasien. Untuk skala CGI terjadi perubahan 44, 4 - 55,6%.

Tidak ada efek samping yang bermakna pada penggunaan donepezil, 8,7% pasien ber-henti akibat efek samping; keamanan donepezil secara konsisten sangat terlihat pada penelitian tersebut.

Penelitian menunjukkan bahwa donepezil efektif dan aman di-berikan pada pasien demensia Alzheimer tipe sedang – berat yang berhenti menggunakan monoterapi memantine.

Referensi:Effectiveness of open-label donepezil treatment in patients with Alzheimer dis-ease discontinuing memantine mono-therapy, Curr Med Res Opin. 2007 Nov 5.

Donepezil preserves cognition and global function in patients with severe Alzheimer disease. Neurology 2007;69(5):459-69.

IDS

Page 41: cdk_161_Stemcell

96 cdk 161/ vol. 35 no. 2 Mar - Apr 2008

Berita Terkini

Lemak perut dan risiko Diabetes Melitus

Peningkatan kadar Retinol Binding Protein (RBP4) mengindikasikan pertum-buhan lemak perut tebal yang secara kuat dikait-kan dengan diabetes tipe 2 dan penyakit jantung.

Baru-baru ini, tim peneliti yang di-pimpin oleh Barbara B. Kahn, MD., Kepala Divisi Diabetes di Beth Israel Deaconess Medical Center, menun-jukkan bahwa peningkatan kadar RBP4 memperkirakan adanya resis-tensi insulin.

Resistensi insulin adalah tanda awal risiko diabetes tipe 2 dan peningkat-an penyakit jantung. Faktor risiko lain untuk diabetes dan penyakit jantung adalah lemak perut yang tebal. Para dokter menggunakan istilah visceral adiposity untuk lemak di sekeliling or-gan abdomen. Dapatkah lemak perut menjelaskan kaitan antara RBP4 dan risiko diabetes/penyakit jantung ?

Untuk menjelaskannya, tim Kahn bekerjasama dengan Matthias Bluher, MD. dan koleganya di Univer-sitas Leipzig, Jerman. Mereka mem-peroleh sampel lemak perut tebal dari 196 pasien yang menjalani be-dah abdomen - 66 orang kurus dan 130 orang kegemukan. Hasilnya :· Ada lebih dari 60 kali aktivitas gen RBP4 di dalam lemak perut pasien kegemukan dibandingkan dalam le-mak perut pasien kurus.· Kadar RBP4 dalam darah 2-3 kali lebih tinggi pada pasien kegemukan dibandingkan pasien kurus.· Tidak tergantung apa-kah pasien kurus atau kegemukan, kadar RBP4 dalam darah lebih tinggi berarti lemak perut lebih tebal dan lebih banyak re-sistensi insulin.

Para peneliti menyimpulkan bahwa

hal ini menjelaskan peranan potensi-al RBP4 sebagai petanda tidak hanya untuk diabetes tipe 2, tapi juga risiko penyakit jantung. Tubuh mengguna-kan RBP4 untuk membawa vitamin A di dalam darah. Belum jelas apakah peranan RBP4 yang baru ditemu-kan ini karena vitamin A atau karena

proteinnya sendiri.

Dalam studi s e b e l u m -nya, Khan dkk. menun-jukkan bah-wa RBP4 menyebab-kan resis-tensi insulin. Jika beker-ja seperti pada manu-sia, hal ini merupakan target obat d i a b e t e s baru. Yang menarik, se-buah obat kanker yang dinamakan

fenretinida menurunkan kadar RBP4. Obat ini memperbaiki sensitivitas in-sulin pada tikus kegemukan; menun-jukkan perbaikan sensitivitas dan tol-eransi terhadap kadar gula darah.

Sumber : Cell Metabolism Juli 2007

Page 42: cdk_161_Stemcell

97cdk 161/ vol. 35 no. 2 Mar - Apr 2008

Berita Terkini

Pentoksifilin untuk pemakai EPO yang resisten

Penggunaan pentoksifilin mulai dikembangkan untuk pengobatan gagal ginjal yang mengalami anemia tetapi sudah resisten den-gan penggunaan EPO.

Di mulai dari hewan coba untuk me-ngetahui keamanan penggunaan Pentoksifilin serta efektivitasnya ter-hadap berbagai kelainan yang terjadi pada organ ginjal sampai dengan penelitian pada manusia.

Pada penelitian pada hewan coba tikus, digunakan model yang meng-alami gagal ginjal akut akibat kera-cunan merkuri klorida sebanyak 4 mg/kg BB yang sengaja disuntikkan lewat arteri femoralis. Selain itu juga pada tikus yang mengalami keru-sakan ginjal akibat hemoglobinuria dengan pemberian Gliserol 10 ml/kg IM. Sebagai bahan evaluasi diteliti GFR (Glomerular filtration rate), yang dibandingkan saat baseline dan saat diberikan obat, selain itu diukur juga bersihan kreatinin dan fungsi tubulus yang dinilai berdasarkan ekskresi elektrolit absolut.

Insiden mortalitas menurun dengan penggunaan Pentoksifilin 45 mg/kgbb (21.4%) secara dosis tunggal dibandingkan pada kelompok kon-trol yang menunjukkan nilai 71.4% selama 48 jam dilakukan induksi.

Data awal menunjukkan bahwa peng-gunaan Pentoksifilin jangka pendek di awal terjadinya gagal ginjal akut dapat memberikan perbaikan teruta-ma terhadap kematian ; mekanisme perbaikan ini sepertinya akibat efek vasodilatasi pembuluh darah di ginjal karena prostaglandain yang sama bai-knya dengan upaya preventif kongesti vaskularnya.

Minat para ahli untuk terus meneliti penggunaan Pentoksifilin terbukti de-

ngan banyaknya artikel mengenai hal ini, termasuk para ahli penyakit dalam Taiwan. Disebutkan bahwa Pentok-sifilin, yang merupakan penghambat fosfodiesterase non selektif potensial untuk mencegah terjadinya toksisitas akibat proses inflamasi dan akumulasi matriks ekstraselular yang berperan penting dalam progresifitas kerusakan ginjal. Selain itu Pentoksifilin dapat mengurangi proteinuria pada pasien dengan nefropati membran.

Dari penelitian pada pasien diabetes Pentoksifilin juga efektif dalam menu-runkan proteinuria pada pasien DM yang mendapat terapi ACE Inhibitor serta pada pasien sindrom nefrotik yang akan menjadi nefritis lupus.

Uji klinik juga pernah dikerjakan di London, sengaja meneliti 16 pasien gagal ginjal terminal yang tidak res-ponsif dengan EPO injeksi, pasien tersebut mempunyai kadar Hb 10,7 g/dl sebelum 6 bulan diterapi, do-sis EPO terus ditingkatkan hingga

12.000 IU/minggu, hasilnya Hb dapat meningkat sekitar 10,4%.

Dari pasien yang ikut serta : 1 pasien mendapatkan transfusi darah tiap bu-lan, 12 dari 16 pasien menjalani he-modialisa (HD) tiap minggu, 4 pasien mendapatkan CAPD serta 1 pasien telah melakukan transplantasi.Ke 16 pasien tersebut kemudian dite-rapi dengan Pentoksifilin 400 mg oral selama 12 minggu, dilakukan peme-riksaan secara ex vivo terhadap T sel dan IFN gamma sebelum terapi dan 6 sampai 8 bulan setelah terapi.

Dari total pasien, 12 pasien ikut serta hingga akhir penelitian. Nilai tengah

Hb sebelum terapi (mean) : 9,5 0,9 g/dl. Setelah terapi dengan Pentoksi-filin 400 mg, peroral selama 4 bulan nilai tengah Hb meningkat menjadi 11,7 1,0 g/dl (p=0,0001). T sel pada saat awal terapi (baseline) menurun dari 58% 11% menjadi 31% 23% (p=0.00007) setelah diterapi.

Dari hasil penelitian ini sepertinya Pen-toksifilin dapat dipakai untuk mening-katkan kadar Hb pada pasien yang se-belumnya telah resisten terhadap terapi EPO; dari penelitian itu juga terlihat telah terjadi penghambatan produksi sitokin sebagai penanda terjadinya proses inflamasi, yang ada hubungan-nya dengan efektivitas eritropoetin.

Penelitian terhadap Pentoksifilin ma-sih terus dilakukan di Amerika Serikat, sedang dilakukan penelitian sejak ta-hun 2006 dan menurut rencana akan ber-akhir pada tahun 2008, tentang pemakaian Pentoksifilin pada pasien ginjal untuk memperlambat progresi-fitas kerusakan ginjal.

Literatur:

Pentoxifylline improves hemoglobin levels in patients with rhEPO resistant anemia in renal failure, Journal of the American of Neprhology 15:1877-82, tahun 2004. http://jasn.asnjour-nals.org/cgi/reprint/15/7/1877

Effects of pentoxifylline in experimental acute renal failure, Kidney International, Vol. 36 (1989), PP. 466—470

Pentoxifylline and Progression of Chronic Kidney Disease in Moderate-to-High Risk Patients.h t t p : / / c l i n i c a l t r i a l s . g o v / c t / s h o w /NCT00285298?order=3

The Renoprotective Potential of Pentoxifylline in Chronic Kidney Disease, J Chin Med Assoc 2005;68(3):99–105, http://www.vghtpe.gov.tw/~jcma/68/3/99.pdf

IDS

Grafik 1. Efek Pentoksifilin pada peningkatan kadar Hb

<

>

+ +

+

+

Page 43: cdk_161_Stemcell

98 cdk 161/ vol. 35 no. 2 Mar - Apr 2008

Berita Terkini

Kadar vitamin B12 rendah berkaitan dengan peningkatan risiko iskemi serebral

Menurut para peneliti Jer-man, kadar plasma vi-tamin B12 yang rendah, khususnya dalam kombi-nasi de ngan kadar folat yang rendah, berkaitan dengan peningkatan risiko stroke iskemik atau seran-gan iskemik sementara.

Dr. Cornelia Weikert dari German Insti-tute of Human Nutri-tion dan koleganya menyatakan bahwa beberapa studi pros-pektif dan intervensi menunjukkan bahwa peningkatan kadar folat dan vitamin B12 akan menurunkan kadar homosistein dalam plasma, yang merupakan faktor risiko untuk infark miokard dan stroke.

Para peneliti menguji

efek individual dan kombinasi kadar folat, vitamin B12, piri-doksal 5-fosfat dalam plasma terhadap risiko stroke iskemik dan transient ischemic attack (TIA) dalam suatu studi kohort prospektif di Jerman yang meli-batkan 25.770 subyek berumur 35 dan 65 tahun.

Selama periode follow up 6 ta-hun, ada 188 kasus kejadian

iskemi serebral (106 TIA dan 82 dengan stroke iskemik) dan pasien-pasien ini dibandingkan dengan 779 subyek yang be-bas dari iskemi serebral.

Hubungan terbalik diamati antara kadar plasma vitamin B12 dan risiko iskemi sere-bral. Risiko relatif hampir mi-rip dalam peningkatan untuk stroke iskemik dan TIA.

Tim melaporkan bahwa ketika kombinasi berbagai kadar vita-min B dianalisis, hanya kombi-nasi folat dan vitamin B12 yang rendah (risiko relatif 2.24) yang secara bermakna berkaitan dengan risiko iskemi serebro-vaskular.

Dr. Weikert dan koleganya menjelaskan bahwa temuan mereka mendukung studi lebih

lanjut peran vitamin B12 dalam pence-gahan primer stroke. Namun demikian, belum jelas apakah ada subkelompok orang tertentu yang mendapat manfaat dalam suplementasi vitamin B ini.

Stroke 2007; 38:2912-2918

Page 44: cdk_161_Stemcell

99cdk 161/ vol. 35 no. 2 Mar - Apr 2008

Berita Terkini

Bagaimana virus Chikungunya menyebar

Menurut para peneliti, virus yang dikenal dengan nama Chikungu-nya, yang menye-babkan nyeri dan kadang-kadang gejala-gejala ke-lumpuhan, me-nyebar di bebe-rapa negara baru beberapa tahun terakhir karena telah ditemukan jenis nyamuk baru sebagai pembawanya.

Sebuah mutasi tunggal membuat vi-rus menginfeksi nyamuk macan Asia, yang menyebarkan dirinya ke banyak negara di Eropa dan Amerika Utara. Menurut Stephen Higgs dan kole-ganya dari University of Texas Medi-cal Branch dalam laporannya dalam the Public Library of Science Journal

PloS Pathogens, 7 Desember 2007, mutasi ini meningkatkan potensi untuk virus Chikungunya secara permanen memperluas jangkauannya di Eropa dan Amerika. Secara khusus menjadi nyata jika suhu rata-rata terus menin-gkat seiring pemanasan global. Virus telah menyebabkan kepanikan di In-dia dan Italia tahun ini.

Chikungunya adalah salah satu tipe

arbovirus dan dibawa kebanyakan oleh nyamuk Aedes aegypty. Menjadi epidemik mulai di Kenya tahun 2004 dan menyebar ke beberapa kepulau-an di laut Hindia termasuk Comoros, Maurutius, Seychelles, Madagaskar, Mayotte dan Reunion. Di kepulauan kecil Reunion sendiri, lebih dari 1/3 populasi atau 266.000 orang, telah terinfeksi yang disertai sakit dan nyeri yang melemahkan. Chikun-gunya membunuh 260 orang. Tapi, kerena nyamuk Aedes aegypty tidak ditemukan di kepulauan Reunion, para peneliti mencurigai hal lain yang membawa virus ini. Mengetahui bah-wa virus yang menyebabkan kepani-kan ini telah bermutasi, para peneliti menguji untuk melihat apakah mu-tasi memberikan virus kemampuan menginfeksi spesies nyamuk lain. Mereka mencoba menginfeksi je-

nis nyamuk lain, termasuk nyamuk macan Asia, Aedes albopictus, yang secara ge-netik direkayasa strain virus-nya dan ditemukan bahwa virus dengan mutasi seder-hana berkembang pesat di dalam nyamuk tersebut.

Penelitian ini memberi-kan cara pandang baru bagaimana suatu perubah-an genetik sederhana pada patogen manusia dapat meningkatkan jangkauan inangnya dan tentu saja distribusi geografiknya. Aedes albopictus sangat banyak dan didistribusi luas di daerah kota Eropa dan Amerika. Sekarang area ini

rentan Chikungunya.

Sumber : PLoS Pathog 3(12): e201 doi:10.1371/journal.ppat.0030201http://pathogens.plosjournals.org/perlserv/?request=get-document&doi=10.1371%2Fjournal.ppat.0030201

Page 45: cdk_161_Stemcell

100 cdk 161/ vol. 35 no. 2 Mar - Apr 2008

Berita Terkini

Kopi dan teh dapat menurunkan risiko kanker ginjal

Pecinta kopi dan teh, menurut para peneliti di Harvard Medical School di Boston, mempunyai risiko sedikit lebih kecil terhadap kanker ginjal. Temuan ini berdasarkan analisis 13 studi sebelumnya yang menjelaskan bahwa kopi dan teh dapat memberi-kan perlindungan terhadap kanker ginjal, sementara susu, soda dan jus tam-paknya tidak ada efeknya. Temuan ini dipublikasikan dalam International Jour-nal of Cancer, edisi 15 No-vember 2007.

Berdasarkan studi tersebut, orang yang minum tiga cangkir kopi atau

lebih sehari berkurang 16% risikonya menga lami kanker ginjal dibanding-kan yang rata-rata minum kurang dari 1 cangkir sehari. Untuk yang me-

minum hanya satu cangkir teh setiap hari mempunyai 15% risiko lebih ren-dah kanker ginjal dibandingkan yang bukan peminum teh.

Menurut Dr. Jung Eun Lee, pimpinan para peneliti, walaupun studi tidak menunjukkan kopi atau teh secara langsung menurunkan kanker ginjal, ada bebera pa alasan mengapa minu-man ini bermanfaat. Contohnya, kopi dan teh dapat meningkatkan sensitivi-tas tubuh terhadap hormon pengatur gula darah, insulin. Para peneliti men-curigai kadar insulin berlebih menim-bulkan risiko kanker ginjal. Kopi dan teh juga mengandung antioksidan yang dapat membantu melindungi sel-sel dalam ginjal dari kerusakan yang menimbulkan kanker.

Untuk studi ini, para peneliti meng-gabungkan hasil 13 studi jangka pan-jang yang mencakup 530.469 wanita dan 244.483 pria. Setiap studi meng-umpulkan informasi dari diet para partisipan pada saat awal dan diikuti selama 7-20 tahun. Konsumsi kopi dan teh dihubungkan dengan risiko

kanker ginjal yang lebih rendah walaupun para peneliti sudah menghitung sejumlah faktor lain yang diketahui orang mempen-garuhi penyakit ini seperti obesi-tas, merokok dan tekanan darah tinggi.

Tim peneliti mencatat bahwa konsumsi teh dan kopi dapat berkaitan dengan penurunan risiko kanker ginjal secara mod-erat, sementara susu, jus dan soda tidak berkaitan dengan dengan risiko ini. Diperlukan stu-di lebih lanjut diperlukan untuk memahami mengapa kopi dan teh dapat memberikan perlind-ungan terhadap penyakit.

Sumber : International Journal of Cancer, 15 No-vember 2007

Page 46: cdk_161_Stemcell

101cdk 161/ vol. 35 no. 2 Mar - Apr 2008

Berita Terkini

MRI paling kuat di dunia siap memindai otak manusia

Mesin magnetic resonance imaging (MRI) paling kuat di dunia, 9,4 Tesla di Uni-versity of Illinois (UIC) di Chicago, telah selesai diu-jicoba keamanannya de-ngan sukses dan segera menawarkan pandangan real-time terhadap proses-proses biologis dalam otak manusia. Studi keamanan-nya telah dipublikasikan dalam Journal of Magnetic Resonance Imaging ed-isi November 2007 yang merupakan edisi fokus pada keamanan MRI. Para peneliti dan dokter ber-harap mesin 9,4T dapat meng antar ke era baru pencitraan otak sehingga mereka dapat menyelidiki

proses-proses metabolik ses-uai pesanan.

Para ahli kanker, contohnya suatu hari dapat melaku-kan tera pi radiasi berdasarkan respon real-time tumor otak. Saat ini, para dok-ter seringkali harus menunggu berming-gu-minggu untuk melihat apakah tu-mor mengecil seba gai respon terhadap terapi. Dengan 9,4T, dimungkinkan untuk melihat apakah sel-sel individual tumor mati sebelum tumor mulai mengecil.

Magnet 9,4T mempunyai kekuatan lebih dari 3 kali unit-unit klinis yang ada saat ini. Magnet 9,4T yang dimil-iki UIC adalah alat pertama yang cuk-up besar untuk memindai kepala dan memvisualisasikan otak manusia. Dr. Keith Thulborn, Direktur Pusat Pene-litian Resonansi Magentik UIC men-gatakan bahwa kita dapat melihat ak-tivitas otak dalam berbagai dimensi dengan lengkap karena natrium yang terlibat dalam proses di dalam-nya, memungkinkan para peneliti se-cara langsung mengikuti salah satu proses konsumsi energi paling pent-ing di dalam sel-sel otak.

Kekuatan pemindai resonansi mag-netik telah meningkat dari di bawah 0,5T sampai 8T yang pertama di ta-hun 1998. Karena data keamanan pada manusia semakin tersedia, ba-tasan FDA mengikuti tingkat 8T saat itu di tahun 2003.

Dalam uji keamanan ini, 25 sukare-lawan sehat, 12 pria dan 13 wanita, dipaparkan secara acak pada pemin-dai 9,4T. Mereka dipaparkan pada

medan magnet statik dan pada pen-citraan natrium serta pemindai ko-song tanpa medan magnet. Sebuah perekam audio disimulasikan seperti suara pemindai nyata.

Para peneliti menyimpulkan bahwa paparan terhadap medan magnet statik 9,4T saat ini tidak perlu dikha-watirkan keamanannya. Dengan se-lesainya uji keamanan yang disyarat-kan FDA, para peneliti UIC mulai menyiapkan penggunaan 9,4T.

Thunbolt mengatakan bahwa evalua-si awal keamanan adalah langkah pertama menuju realisasi pencitraan metabolik pada otak manusia. Saat ini kita menuju studi pencitraan na-trium pada pasien dan uji keamanan pencitraan fosfor dan oksigen pada manusia. Pe nanda metabolik awal dari kesehatan sel di dalam tahap-tahap paling awal ketika pengobatan menghasilkan manfaat terbesar.

Sumber : www.uic.edu/endex.html

Page 47: cdk_161_Stemcell

102 CDK 161 / vol. 35 no. 2 Mar-Apr 2008

Jogpsnbujlb

Lfeplufsbo

MetodeKajian kualitatif dan kuantitatif terhadap berbagai penelitian terdahulu tentang penggunaan teknologi informasi untuk kese-lamatan pasien. Observasi tentang penggunaan TI (terutama peresepan elektronik) di pusat pelayanan kesehatan. Pemba-hasan lebih mendalam akan dilakukan pada topik keamanan pengobatan.

Pembahasan 3.1. Konsep dasar keselamatan pasien di RSPatient safety melibatkan sistem operasional dan proses pela-yanan yang meminimalkan kemungkinan terjadinya adverse event/ error dan memaksimalkan langkah-langkah penanganan bila error telah terjadi.(3) Penelitian dari 994 RS memperlihat-kan bahwa cedera akibat tindakan medik (medical injuries) me-nyebabkan bertambahnya hari rawat inap sampai dengan 10,89 hari dan tambahan biaya perawatan sebesar $ 57.727(4). Kesalahan pengobatan dan efek samping obat terjadi pada rata-rata 6,7% pasien yang masuk ke rumah sakit. Di antara kesalahan tersebut, 25-50% dapat dicegah, berasal dari kesa-lahan peresepan, dan 78% terjadi akibat kegagalan sistem(5).

Berbagai upaya telah diusahakan secara terus menerus untuk mengurangi adverse event akibat tindakan medis. Upaya un-tuk meningkatkan patient safety adalah dengan: (1) pengem- bangan sistem untuk identifi kasi dan pelaporan risiko, error, atau adverse event, (2) penggunaan teknologi informasi, dan (3) upaya perubahan kultur organisasi.

3.2. Penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan keselamatan pasienPenggunaan teknologi informasi diharapkan dapat meningkat-kan patient safety. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan efektivitas penggunaan sistem komputer untuk memperbaiki praktek peresepan, mengurangi medication error, dan mening-katkan kepatuhan terhadap pelaksanaan standar pelayanan (clinical practice guideline) (6,7,8). Kajian sistematis Kawanoto, dkk(9) pada 70 penelitian terda-hulu menunjukkan bahwa sistem pendukung keputusan klinis berbasis komputer terbukti meningkatkan pelayanan klinik pada 68% studi. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan efekti-vitas penggunaan sistem komputer untuk memperbaiki praktek

Peresepan Elektronik Untuk MeningkatkanKeamanan Pengobatan di Rumah Sakit

Rizaldy Pinzon

SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta

AbstractMedicine and the process of health care have always put pa-tients at risk. Medical Information technology can be designed to improve the process and outcome of clinical decision-making. The goal of patient safety is to reduce the risk of injury or harm to patients caused by the structure and process of care. Medi-cation error is a major risk for hospitalized patients. Adverse drug events occur often in hospitals. They can be prevented to a large extent by minimizing the human errors of prescription writing. The CPOE system prevented and alerted physicians and pharmacists to dosage errors and allergies. Involvement of pharmacists in reviewing the prescription and alerting the physi-cian has minimized prescription errors to a great degree. Previ-ous studies showed the potential role of information technology in preventing medication errors.

Key words: medication error-information technology-computer-ized ordering system

PendahuluanIsu patient safety merupakan salah satu isu utama dalam pela-yanan kesehatan. Para pengambil kebijakan, pemberi pela- yanan kesehatan, dan konsumen menempatkan keamanan sebagai prioritas pertama pelayanan. Patient safety merupa-kan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar efi siensi pelayanan. Berbagai risiko akibat tindakan medik dapat terjadi sebagai bagian dari pelayanan kepada pasien. Identifi kasi dan pemecahan masalah tersebut merupakan bagian utama dari pelaksanaan konsep patient safety(1).

Patient safety didefi nisikan sebagai Bebas dari cedera aksi-dental atau menghindari cedera pasien akibat tindakan pela-yanan(1). Salah satu bentuk risiko akibat tindakan pelayanan kesehatan di RS adalah kesalahan pengobatan (medication error), yang dapat berupa kesalahan identifi kasi pasien, salah nama obat, salah dosis, salah cara pemberian, dan salah aturan pakai(2).

Di Indonesia, program keselamatan pasien dicanangkan pada tahun 2005, dan terus berkembang menjadi isu utama dalam pelayanan medis di Indonesia. Artikel ini bertujuan untuk meng-kaji peran teknologi informasi untuk meningkatkan keamanan pengobatan pasien di RS.

Page 48: cdk_161_Stemcell

CDK 161 / vol. 35 no. 2 Mar-Apr 2008 103

peresepan, meningkatkan kepatuhan terhadap standar pelaya-nan medik, dan mengurangi risiko kesalahan pengobatan (10). Komite Agency for Healthcare Research and Quality(11) meng-kaji bukti ilmiah berbagai intervensi untuk meningkatkan patient safety. Sebagai contoh: pengurangan risiko efek samping obat dapat dilakukan dengan strategi sbb: (1) penggunaan sistem kom-puterisasi dan sistem pendukung keputusan klinis, (2) melibatkan farmasis klinik, (3) protokol standar untuk obat-obat berisiko tinggi, (4) sistem distribusi obat unit-dosis, dan (5) penggunaan Automa-ted Medication Dispensing Devices (12).

3.3. Teknologi informasi untuk keselamatan pengobatanPenelitian Jayawardena, dkk(13) menemukan bahwa terjadi 7,53 kesalahan per 1000 peresepan. Kesalahan dosis umum dijum-pai. Kesalahan lain yang umum dijumpai adalah kesalahan pem-berian obat akibat tulisan tidak terbaca. Penelitian menemukan bahwa teknologi informasi dengan sistem peresepan berbasis komputer secara signifi kan menurunkan kesalahan pengobatan. Kajian Waliser, dkk(14) menunjukkan bahwa kesalahan pengo-batan yang umum dijumpai adalah salah nama obat, salah do-sis, dan salah interval pemberian. Penelitian memperlihatkan bahwa kesalahan pengobatan umum dijumpai pada pasien di ICU, pasien tua, dan pasien dengan penurunan kesadaran di RS(15).

Kesalahan pengobatan umum terjadi karena tulisan yang tidak jelas, salah menginterpretasikan resep, obat yang namanya mirip, kesalahan dosis, kesalahan aturan pakai, dan kesalahan identifi kasi pasien(15). Teknologi informasi memiliki peran besar untuk bisa mengatasi hal tersebut.

Gambar 1. Contoh tulisan resep. Peresepan demikian memiliki risiko besar untuk salah baca (termasuk salah obat, salah dosis, dan salah

aturan pakai).

Gambar 1 memperlihatkan bagaimana sebuah tulisan resep dapat disalahtafsirkan. Pada gambar di atas, tulisan resep dapat disalahartikan sebagai Coumadin (obat antikoagulan) atau Avan-dia (obat anti diabetes). Pada gambar di bawah Tequin (antibio-tika) dapat diartikan sebagai Tegretol (obat anti epilepsi).

Gambar 2. Bila terintegrasi dengan rekam medik elektronik, dapat berfungsi sebagai “alert system”

Perbaikan sistem merupakan solusi untuk mencegah kesalahan pengobatan di masa datang, dan bukan menyalahkan individu. Teknologi informasi di bidang obat berpotensi besar untuk men-gurangi risiko kesalahan pengobatan(16). Kajian Subramanian, dkk(17) memperlihatkan bahwa Computerized Physician Order Entry (CPOE) dapat sangat bermanfaat untuk menurunkan risiko medication error. Biaya yang cukup besar merupakan penghalang utama pengembangan CPOE secara luas.

3.4. Hambatan penggunaan teknologi informasi dalam praktek klinikBates dan Gawande(6) mengidentifi kasi 3 faktor pengham-bat utama dalam penerapan teknologi informasi pada praktek klinik sehari-hari, yaitu: (1) hambatan fi nansial - pengembangan sistem pendukung keputusan klinis memerlukan biaya tersen-diri, (2) belum adanya standar - sistem yang ada masih sangat bervariasi, (3) hambatan kultural - penggunaan teknologi infor-masi belum dipandang penting bagi para dokter dan manajer kesehatan. Pada situasi di negara berkembang seperti Indone-sia, menurut pandangan penulis hambatan lain adalah tingkat penguasaan teknologi informasi oleh para praktisi pelayan ke-sehatan.

Resep sukses suatu teknologi informasi untuk dapat mening-katkan mutu layanan kesehatan adalah dukungan kultural dan kesiapan semua pihak dalam organisasi pelayanan kesehatan untuk berubah (6)

SimpulanPelayanan klinik akan selalu menempatkan pasien-pasien dalam risiko akibat tindakan medik. Teknologi informasi berpe-ran untuk meningkatkan kewaspadaan, mengelola kompleksitas masalah klinis, dan meningkatkan kepatuhan dalam program pengobatan.

Kepustakaan1. Zorab JSM. Patient Safety is More Important than Effi ciency. BMJ 2002;

324:3652. Bates DW, Cullen DC et al. Incidence of Adverse Drug Events and Potential

Adverse Drug Events. JAMA 1995; 274: 29-343. Batles JB, Lilford RJ. Organizing Patient Safety Research to Identify Risks and

Hazards. Qual Saf Health Care 2003;124. Zhan C, Miller MR. Excess Length of Stay, Charges, and Mortality Attributable

to Medical Injuries during Hospitalization. JAMA 2003;290:1868-18745. Aiken LH, Clarke SP dkk. Hospital Nurse Staffi ng and Patient Mortality, Nurse

Burnout, and Job Dissatisfaction. JAMA 2002;228(16): 1987-19936. Bates DW, Gawande AA. Improving Patient Safety with Information Technol-

ogy, N Engl J Med. 2003;348: 2536-447. Kaushal R, Shojania KG, Bates DW. Effects of computerized physician order

entry and clinical decision support systems on medication safety: a systematic review. Arch Intern Med. 2003;163: 1409-16.

8. Walton RT, Harvey E, Dovey S, Freemantle N. Computerised advice on drug dos-age to improve prescribing practice. Cochrane Database Syst Rev 2001, 1

9. Kawamoto K, Haullian CA, dkk. Improving clinical practice using clinical deci-sion support systems: a systematic review of trials to identify features critical to success. BMJ 2005; 330:765

10. Wilson T, Pringle M. Promoting Patient Safety in Primary Care. BMJ 2001; 323:583-584

11. AHRQ. Making Health Care Safer: A Critical Analysis of Patient Safety Prac-tices, Evidence Report/Technology Assessment. 2001, Number 43

12. Bates DW, Teich JM, Lee J, Seger D, Kuperman GJ, Ma’Luf N, et al. The impact of computerized physician order entry on medication error prevention. J Am Med Inform Assoc. 1999; 6: 313-21

13. Jayawardena S, Eisdorfer J, Pal AA, Indulkar J. Prescription Errors and the Impact of Computerized Prescription Order Entry System in a Community-based Hospital. Am J Ther. 14(4): 336-40

14. Walliser G, Grossberg R, Read MD, Look-alike medications: a formula for possible morbidity and mortality in the long-term care facility. J Am Med Dir Assoc. 2007;8(8):541-2

15. Hurstey FM, Wallis N, Miller J, Inappropriate Prescribing in Older ED Popula-tion. Am J Emerg Med. 2007; 25(7); 804-7

16. Burker PJ. Preventing Medication Errors. N Engl J Med. 2007;357: 624-62517. Subramanian S, Hoover S, Gilman B, Computerized Physician Order Entry

with Clinical Decision Support in Long-Term Care Facilities: Costs and Ben-efi ts to Stakeholders. J Am Geriatr Soc 2007; 55(9); 1451-7

Page 49: cdk_161_Stemcell

104 CDK 161 / vol. 35 no. 2 Mar-Apr 2008

Qspgjm

Tak banyak yang tahu bahwa Prof. Dr. R Sjamsuhidajat, SpB yang termasuk angkatan keempat pendidikan dokter bedah negeri ini merupakan perintis spesialis bedah digestif di Indonesia.

Pria kelahiran Tanjung Pinang, Bintan, Kepulauan Riau, 7 November 1931 itu masih tampak sehat dan segar ketika me-maparkan kisah perjalanan hidupnya.

Sejak kecil Sjamsuhidajat sering berpindah-pindah mengi-kuti tugas ayahnya yang bekerja sebagai seorang insinyur di Departemen Pekerjaan Umum Hindia Belanda. Dari Tanjung Pinang, Kepulauan Riau ayahnya kemudian ditugaskan ke Lubuk Linggau untuk membangun jembatan dan saluran air di wilayah kolonisasi (sekarang lazim disebut transmigrasi) di daerah Tugu Mulyo. Selanjutnya, pada 1936 ayahnya ditugas-kan ke Belitang di Sumatera Selatan yang berbatasan dengan Lampung. Wilayah itu di masa tersebut masuk dalam wilayah Karesidenan Palembang.

Ketika mulai duduk di bangku sekolah dasar tahun 1937, Sjam-suhidajat tinggal bersama kakeknya di kota Solo di Jawa. Na-mun, ketika Jepang datang menyerbu Indonesia tahun 1942, Sjamsuhidajat diminta pulang kembali ke Sumatera Selatan oleh ayahnya.

Baru pada tahun 1946 ayahnya ditempatkan ke Pulau Jawa, tepatnya di Boyolali, Jawa Tengah. Waktu itu, Sjamsuhidajat

Prof. Dr. R. Sjamsuhidajat, SpB :

Mengenal Lebih Dekat Sosok Perintis Spesialis Bedah Digestif di IndonesiaOleh Ari Satriyo Wibowo

sudah duduk di bangku kelas tiga SMP. Hingga pensiun tahun 1953 ayahnya bertugas di wilayah sekitar Solo saja yakni di Boyolali, Sragen dan Karanganyar.

Ketika Clash II pecah bulan Desember tahun 1948 ia mengungsi dari Boyolali ke daerah pedalaman dan sebagai siswa kelas dua SMA Sjamsuhidajat ikut bergabung dalam organisasi Tentara Pelajar (Mas TP). Pendidikan sekolah menengah atas ditem-puhnya di HBS Semarang hingga lulus tahun 1951.

Bulan Agustus 1951, Sjamsuhidajat hijrah ke Jakarta untuk meneruskan pendidikan tinggi di Fakultas Kedokteran pada Perguruan Tinggi Republik Indonesia (PTRI) yang kemudian berubah namanya menjadi Universitas Indonesia tahun itu juga. Di zaman Jepang perguruan tinggi itu disebut Sekolah Tinggi Ketabiban atau Ika Daigaku.

Di zaman Hindia Belanda kompleks PTRI itu merupakan pabrik candu yang terkenal. Dulu dari arah Pasar Cikini ada kereta api yang masuk ke kompleks pabrik itu untuk mengangkut candu ke Stasiun Gambir dan selanjutnya membawanya ke pelabuhan untuk diekspor ke luar negeri.

Ketika Perang Dunia II usai, perdagangan candu dilarang dan pabrik itu pun tutup. Pada tahun 1949 kompleks itu diserahkan kepada PTRI.

Sjamsuhidajat masuk FKUI pada Agustus 1951 dan lulus Agustus 1959. Meski begitu sejak tahun 1958 ia sudah diminta untuk menjadi asisten berstatus mahasiswa pada Bagian Be-dah FKUI- RSUP. Pada waktu itu di FKUI masih menganut studi bebas. Artinya mahasiswa bebas menentukan kapan waktu un-tuk menempuh ujian. Dengan cara itu dimungkinkan seorang menjadi mahasiswa abadi dan belajar dalan jangka waktu 10-20 tahun. Tetapi ketika FKUI menjalin kerjasama dengan Univer-sitas California di AS pada tahun 1955 terjadi perubahan men-jadi pendidikan terpimpin yang menuntut mahasiswa untuk naik tingkat setiap tahun ajaran.

Pada waktu itu pendidikan bedah dan anestesi masih meru-pakan pendidikan gabungan ilmu bedah. Bahkan dulu dokter bedah harus menguasai anestesi. Tidak mengherankan pada sekitar tahun 1954 perhimpunan profesi yang mewadahinya masih bernama Ikatan Ahli Bedah dan Anestesi Indonesia.

Sjamsuhidajat akhirnya lulus sebagai dokter spesialis bedah tahun 1963. Ia kemudian mengabdi sebagai dokter Spesialis Bedah pada Rumah Sakit Lapangan Angkatan Darat, Trikora, 1962-1963. Selama empat bulan pada tahun 1963, ia menjadi dokter spesialis bedah di Rumah Sakit Umum Jayapura dan Rumah Sakit Umum Biak.

Tahun 1967 pendidikan bedah dan anestesi sudah resmi ber-pisah. Tahun itu pula diselenggarakan kongres pertama Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) di Semarang. Sementara dokter ahli anestesi memiliki perhimpunan sendiri bernama Ikatan Ahli Anestesi Indonesia (IAAI).

Pendidikan bedah yang resmi dalam arti sudah diakui universi-tas terjadi tahun 1978. Sebelumnya pendidikan bedah dilakukan di rumah sakit sebagai salah satu kebutuhan pelayanan. Pada 1978/1979 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI menge-luarkan ketentuan yang mewajibkan pendidikan dokter spesia-lis itu dilakukan atas nama universitas atau fakultas kedokteran. Dalam hal itu Fakultas Kedokteran di tiap universitas harus men-jadi penanggung jawab utama pendidikan kedokteran.

Page 50: cdk_161_Stemcell

CDK 161 / vol. 35 no. 2 Mar-Apr 2008 105

Pada tahun 1979 atas prakarsa Menteri P&K Daoed Jusuf telah menetapkan strata pendidikan di Indonesia tiga strata yakni S1 (sarjana), S2 (magister) dan S3 (doktor). Sebelum-nya, seseorang yang lulus Sarjana Kedokteran (Drs Med atau Sked) dan belum menjadi dokter umum diperbolehkan langsung menempuh ujian doktor.

Menurut Sjamsuhidajat, sesungguhnya perubahan S1, S2, S3 merupakan suatu strategi bukan suatu tujuan. Demikian pe-satnya ilmu pengetahuan untuk bisa menguasai seluruh ilmu apabila hanya dibagi dua strata terlalu berat dan waktu pendi-dikannya menjadi lama sehingga kemudian diputuskan dibagi menjadi tiga. ”Jadi keputusan itu diambil bukan sebagai tujuan akhir. Jika seseorang ingin menguasai satu bidang secara ke-seluruhan maka dia harus mengambil dalam tiga strata,” Sjam-suhidajat menambahkan.

Saat ini jenjang setelah S3 sudah dikembangkan di beberapa negara. Misalnya, di Inggris dan Australia setelah PhD seorang yang bergelar PhD dan mampu terus mengembangkan ilmu yang dikuasainya melalui penelitian-penelitian lanjutan, maka ia dapat mengajukan permintaan untuk dinilai mendapatkan ”gelar” yang lebih tinggi, yaitu gelar Doctor of Science (DSc). Namun, karena tidak semua negara mampu menyelenggara-kannya maka itu diserahkan pada masing-masing negara.

Perkembangan Pendidikan Bedah di IndonesiaSejarah bagian bedah di FKUI dimulai pada 1958 dengan guru besar bernama Prof. Margono Soekarjo. Saat itu hanya dikenal Bedah Umum, Bedah Urologi (saluran kencing) dengan guru besar Prof. Utama, Bedah Orthopaedi (tulang) yang dirintis dr. Soebiakto Wirjokusumo dan Bedah Plastik dengan guru besar Prof. Moenadjat Wiratmadja. Belakangan muncul spe-sialisasi baru yakni Bedah Anak yang dirintis Dr. Adang Zainal Kosim sepulang dari menempuh pendidikan di Kanada. Keem-pat spesialisasi bedah tersebut lazim disebut sebagai spesiali-sasi bidang bedah (spesialis 1).

“Dulu pendidikan bedah dilakukan di rumah sakit bukan di fakultas,” ujar pria yang dikaruniai dua anak itu. Kondisi itu berubah tahun 1978 ketika bagian bedah menjadi tanggung jawab penuh fakultas kedokteran dan bukan lagi rumah sakit.

Dalam perkembangan ilmu kedokteran selanjutnya dikenal spesialisasi yang lebih kompleks yakni meliputi Head & Neck (kepala dan leher), thoraks (rongga dada dan paru-paru) serta jantung. Ketiga spesialisasi tersebut lazim disebut spesialis 2 karena mensyaratkan peserta untuk menempuh spesialis be-dah umum (spesialis 1 ) terlebih dahulu.

Spesialisasi Bedah Digastif baru terbentuk pada tahun 1979. Pada waktu itu dr. R. Sjamsuhidajat mengikuti sebuah kongres bedah internasional yang diselenggarakan di Bali. Di acara itu banyak pembicara yang membahas masalah perut, limpa, usus besar, empedu dan alat pencernaan lainnya. Dengan jeli dr. Sjamsuhidajat melihat peluang baru di dunia bedah. Maka dikumpulkannya para sejawat pada tahun itu juga. Mereka ke-mudian mendeklarasikan wadah baru berupa spesialis bedah digastif dengan nama Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Di-gestif Indonesia (1979). Spesialis Bedah Digestif selanjutnya di-golongkan sebagai bagian dari Spesialis 2 yang mensyaratkan peserta harus menguasai bedah umum terlebih dahulu.

Dengan berkembangnya ilmu kedokteran khususnya dalam riset sel punca (stem cell) maka layanannya sudah termasuk dalam layanan tersier. Artinya, layanan itu tidak bisa dilayani

oleh satu displin ilmu kedokteran saja melainkan multidisiplin. “Disana harus ada ahli imunologi, ahli darah. Lalu bila ke myo-kard harus ada ahli jantung, kalau ke pankreas harus ada ahli penyakit endokrin. Jadi tidak bisa ditangani hanya seorang ahli penyakit dalam saja,” papar Sjamsuhidajat.

Rumah sakit yang melayaninya juga harus Rumah Sakit tipe A atau tipe B lanjut dengan nama pelayanan seperti pelayanan luka bakar, pelayanan tumbuh kembang dan pelayanan rege-neratif.

Sedangkan pelayanan primer merupakan pelayanan di Puskes-mas seperti vaksinasi, batuk pilek, muntah berak dan sebagai-nya. Pelayanan primer umumnya menangani penyakit ringan yang ada di masyarakat. ”Vaknisasi itu tujuannya memberikan kekebalan tubuh kepada semua anak,” tutur Sjamsuhidajat.

Sementara itu, pelayanan sekunder adalah pelayanan yang didasarkan disiplin ilmu kedokteran tertentu. Misalnya, pela-yanan sekunder di Rumah Sakit Tipe C yang ada di tingkat Ka-bupaten bisa dilakukan oleh satu disiplin ilmu saja. Misalnya, radang akut usus buntu bisa dilakukan oleh dokter bedah. “Par-tus atau operasi caesar bisa dilakukan dokter spesialis obgin secara monodisiplin,” katanya.

Pada tiap rumah Sakit tipe C diperlukan paling tidak 4 orang dokter spesialis yakni spesialis anak, spesialis bedah, spesialis penyakit dalam dan spesialis obstetri dan ginekologi.

Adapun pelayanan yang lebih tinggi disebut pelayanan kwar-terner. Misalnya, operasi jarak jauh antarnegara dengan me-manfaatkan teknologi robot dan teknologi satelit. Namun, apa-bila terjadi kesalahan operasi maka permasalahan menjadi semakin pelik dan rumit karena menyangkut masalah etika dan hukum antar negara.

Prof. Dr. Sjamsuhidajat SpB diangkat menjadi Guru Besar Ilmu Bedah FKUI pada tahun 1987. Sejak 12 tahun lalu ia menjadi anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Ketua Komite Medik RS Kanker ‘Dhar-mais’ mulai tahun 1993 sampai tahun 2001. Anggota Komite Medik RS MMC, RS Medistra, RS Setia Mitra sejak 5-7 tahun sampai sekarang. Ketua Sub-Komite Etik, Komite Medik RS MMC selama 7 tahun sampai sekarang.

Sejak tahun 1992, menjadi Ketua Komisi Etik Penelitian FKUI-RSCM. Sebelumnya, sudah menjadi anggota Komisi ini bebe-rapa tahun lamanya. Anggota Kelompok Kerja Uji Klinik (CTWG) dan turut menerjemahkan buku kecil ICH-GCP menjadi Buku Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB), yang diprakarsai oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Beberapa kali memberikan ce-ramah pada kursus CUKB di Jakarta dan kota lain. Beberapa jabatan dan keanggotaan yang pernah diembannya antara lain Ketua Kolegium Ilmu Bedah Indonesia (1975-1992), Ketua Kolegium Ilmu Bedah Digestif Indonesia (1992 sampai sekarang), anggota Pendiri Asian Surgical Association (1976), Presiden Asian Surgical Association (1979-1981) serta Anggota Collegium Intemationale Chirurgiae Digestivae, Societe lnterna-tionale de Chirurgie, International College of Surgeons.

Prof. Dr. Samsjuhidajat, SpB memasuki masa pensiun tahun 2001. Pada tahun 2006 ia diminta oleh Dekan FKUI untuk men-jadi Ketua Departemen Pendidikan Kedokteran FKUI. ***

Page 51: cdk_161_Stemcell

106 CDK 161 / vol. 35 no. 2 Mar-Apr 2008

Tabel 3. Pedoman Penatalaksanaan Status Epileptikus (Perdossi) (1)Status epileptikus merupakan keadaan darurat; yang didefi nisi-kan sebagai: suatu keadaan bangkitan epilepsi yang berlang-sung terus menerus, atau bangkitan berulang tanpa pemulihan kesadaran, selama periode 30 menit atau lebih (1)

Tabel 1. Gambaran Klinis Status Epileptikus Menurut Jenis Eepilep-sinya(2)

Tabel 2. Presentasi SE Nonkonvulsif Yang Mirip Dengan Keadaan Klinis Lain (3)

Qsblujt

Tipe

UmumTonik klonik umum

Lena (absence)

Mioklonik

Tonik

Klonik

ParsiilParsiil sederhanaMotorik

SomatosensorikVisual

Auditorik

Afasik

Parsial kompleks

Gambaran klinis

Fase tonik disusul fase klonik

Kebingungan,mata berkedip-kedip,gerak motorik canggung

Gerak mioklonik persistenKesadaran baik pada jenis primer; menurun jika akibat gangguan metabolik

Kaku otot ekstensor

Gerak ritmik (kelojotan)

Gerak ritmik ekstremitas, terutama atas

Gejala sensorik fokalButa kortikal atau skotoma

Tuli kortikal

Motorik, sensorik, global

‘bengong’, automatisme, tingkah laku aneh

Keterangan

EEG: paku-ombak 3/detik

Prognosis sangat buruk jika disebab-kan anoksi

Terutama pada anak (Sindrom Len-nox-Gastaut)

Sering pada bayi baru lahir

Epilepsi partialis continua

Mungkin tanpa gejala klinis

Tidak ditemukan pada status epileptikus

Afasik saat serangan

Sering dianggap gejala psikiatrik

PRESENTASI KLINIS

• Letargi dan kebingungan (confusion)• Kebingungan, agitasi• Tidak ada respons, katapleksi• Agitasi, kebingungan,konfabulasi• Halusinasi/agitasi• Letargi/obtundasi• Mutisme• Tertawa,menangis tidak pada tempatnya

ANGGAPAN DIAGNOSIS

• Keadaan pascakejang• Ensefalopati metabolik• Psikogenik/konversi• Intoksikasi alkohol/zat• Psikosis• Hiperglikemi/ketoasidosis DM• Psikogenik/depresi/stroke• Labilitas emosi/psikosis

STAGE OFSTATUS

PREMONITORY (0-10 minutes)

EARLY (0-30 minutes)

ESTABLISHED(30-60/90 minutes)

REFRACTORY( > 60 minutes)

GENERALMEASURES

• Assess cardiorespira- tory function• Secure airways• Give oxygen

• Institute monitoring• i.v access• Emergency investiga- tions • Give 50% Glucose (50 ml)• Give Thiamine where appropriate• Treat acidosis

• Establish aetiology • Identify and treat medical complication • Pressor therapy if needed

• EEG monitoring• Monitor seizure EEG AND cerebral function• Intracranial pressure monitoring IF ap- propriate

AED TREATMENT

• Diazepam (i.v. bolus , p.r.)• Midazolam (i.m.,i.v. bolus, p.r)• Paraldehyde (i.m.,p.r)

• Lorazepam (i.v. bolus), • Diazepam (i.v.bolus) SECOND LINE: • Lignocaine (i.v.bolus &infusion)• Clonazepam (i.v.bolus)• Paraldehyde (i.m.) • Phenytoin (i.v.bolus)

• Phenobarbitone (i.v loading & infu-sion)• Phenytoin (i.v.loading & infu-sion)• Chlormethiazole (i.v.loading & infu-sion) SECOND LINE: • Clonazepam (i.v.bolus OR infu-sion)• Paraldehyde (infusion) • Diazepam (short infusion)• Midazolam (short infusion)

• Thiopentone (i.v.bolus & infusion)• Propofol (i.v.bolus & infusion)SECOND LINE: • Pentobarbitone (i.v.bolus & infusion) • Isofl urane (inhalation)• Etomidate (iv.bolus & infusion)

STATUSEPILEPTIKUS

Page 52: cdk_161_Stemcell

CDK 161 / vol. 35 no. 2 Mar-Apr 2008 107

Tabel 4. Pedoman Penatalaksanaan Status Eepileptikus (WHO-Searo)

(4)

Nfovkv! Lmpojoh! Ufsbqfvujl! ef.

ohbo!Uflojl!TDOU

Nfmjob! Tfujbxbo-! ! Dbspmjof! Ubo!

Tbsekpop-!!Gfssz!Tboesb

Tufn!Dfmm!Ejwjtjpo-!!Tufn!Dfmm!boe!Dbo.

dfs!Jotujuvuf-!!QU!Lbmcf!Gbsnb!Ucl/!!Kb.

lbsub-!!!Joepoftjb

The usage of Somatic Cell Nu-clear Transfer (SCNT) technique has lead scientists over the world to be able to carry out repro-ductive and therapeutic cloning research. SCNT technique is a cloning technique used to trans-fer nucleus from donor cell into enucleated oocyte. Reproductive cloning plays important role in

KEPUSTAKAAN1. Kelompok Studi Epilepsi. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Epi-

lepsi 2004; 9(1):29-442. DeLorenzo RJ, Pellock JM, Towne AR et al. A prospective,

population-based epidemiologic study of status epilepticus in Richmond,Virginia. Neurology 1996;46:1029-35

3. Bleck TP. Convulsive disorders: status epilepticus. Clin. Neuro-physiol.1991;14:191-198

4. Epilepsy: a manual for physicians. WHO-SEARO, 2004

the preservation of nearly extinct animals while therapeutic cloning may overcomes immune rejec-tion in stem cell transplantation therapy. The success of the em-bryonic stem cell creation from monkey’s embryo with SCNT technique recently has directed researchers worldwide to move a step closer to create human em-bryonic stem cell from adult so-matic cell which may reduce risk of immune rejection. Indeed, the advancement of embryonic stem cell research depends on the res-olution of ethic issues regarding the usage of donor oocytes. Cermin Dunia Kedokt.2008;35(2): hal 72-6

nt-!dut-!gt

Fohmjti!Tvnnbsz!MbokvuboSBMBU

CDK-160, vol. 35 no. 1, halaman 47; edisi Januari-Februari 2008.

Kolom rubrik ‘Informatika Kedokteran’,no. 22 pengelolanya tertulis Ilyas, dr., SpA

Seharusnya M. Rizal Altway, dr., SpA.

Penulis mohon maaf adanya.

Ufsjnb!lbtji/

Page 53: cdk_161_Stemcell

108 CDK 161 / vol. 35 no. 2 Mar-Apr 2008

LaporanKhusus Mini Seminar “Active Aging”,

Rektorat UI Salemba, 26 Januari 2008

Mengangkat subtema “Menjadi Tua secara Aktif untuk Kesehatan Anda sendiri, Keluarga, Masyarakat dan Sum-bangsih Anda kepada Negara”, diskusi yang dihadiri oleh sekitar 75 orang pengusaha, akademisi dan wakil peme-rintahan berjalan sangat semarak. Gedung Rektorat UI di Salemba Jakarta, terasa begitu sempit dengan antusiasme peserta. Para pembicara adalah: Dr Boenyamin Setiawan, PhD., DR Martha Tilaar, Dr Ch. Heriawan Soejono, DR Evi Arifin, DR Aris Ananta dan Prof Tri Budi Rahardjo. Acara ini terselenggara berkat kerjasama Rektorat UI dengan Stem Cell and Cancer Institute, suatu lembaga yang mengkhu-suskan diri pada Stem Cell (sel punca) dan kanker. Turut mendukung acara divisi Anti Aging PT Kalbe Farma.

Setelah ucapan selamat datang dari Rektor UI, tampil Dr Boenyamin yang pada awal presentasi menjelaskan me-ngenai pentingnya ABG. Menurut person yang akrab di-panggil dr Boen tersebut, Akademik adalah sumber SDM terdidik dan sumber IPTEK. Selama dana pemerintah untuk R&D kecil maka sebaiknya fokus pada IPTEK teraplikasi. Di-lain pihak, Bisnis adalah tempat untuk mengkonversi IPTEK menjadi produk praktis yang bermanfaat untuk masyarakat. Aspek terakhir dari ABG adalah G untuk Goverment atau pemerintah yang merupakan katalisator untuk menciptakan peraturan yang kondusif untuk Inovasi melalui R&D.

StemCell to Slowdown the Aging ProcessSelanjut dr Boen mempresentasikan pengetahuan terba-ru mengenai Sel Punca dengan judul “Stem Cell to Slow-down the Aging Process”. Seperti diketahui ada 5 teori yang terkenal mengapa manusia menjadi tua, yaitu:

1. Teori Genetik atau Kerusakan DNA 2. Teori ROS (Reactive Oxygen Species): antioksi-

dan vs radikal bebas 3. Teori Apoptosis 4. Teori Hormonal 5. Teori Stem Cell senescene

Tips Active AgingMenurut Presiden Komisaris Stemcell and Cancer Insti-tute (SCI) Indonesia tersebut, ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar kita hidup berkualitas di usia tua, seperti:1. Menjalankan program CRAN (Calorie Restriction and

Adequate Nutrition) dan puasa teratur. Hal ini diper-caya bisa menambah usia kita hingga 30 - 40 tahun.

2. Konsumsi obat-obatan anti aging seperti Anti Oksidan, DHA, Growth Hormon, dll. Hal ini bisa memperpan-jang usia kita hingga 20 - 30 tahun.

3. Gerak badan dan olahraga teratur (bisa memperpan-jang 20 - 30 tahun)

4. Sifat optimistis, banyak ketawa, bergembira dan berli-bur teratur (bisa memperpanjang usia 15 - 20 tahun)

5. Periksa kesehatan secara teratur (plus 15 - 20 tahun).

Traditional & Natural Values to Improve the Beauty of Older PersonPembicara kedua adalah DR Martha Tilaar, founder Mar-tha Tilaar Group yang menjelaskan produk-produk ala-mi bangsa Indonesia (herbal) guna menjaga kesehatan para orang tua (senior citizens). DR Martha memaparkan bagaimana pengaruh gaya hidup manusia saat ini yang mempunyai efek negatif terhadap kesehatan seseorang. Hal ini bisa terlihat jelas pada kondisi kulit yang tidak se-hat lagi. Indonesia yang terdiri dari pel-bagai suku bangsa kaya akan jawaban dari masalah penuaan ini yang di-rangkum dalam konsep yang dinamakan The cycles of life concept Rupasampat Wahyabiantara.

Setelah coffe break dilanjutkan oleh Dr Ch Heriawan Soe-jono yang menjelaskan mengenai Healthy and Successful Ageing. Mengakhir sesi terakhir tampil berturut-turut DR Evi Arifin, DR Aris Ananta dari Insitute of Southeast Asian Studies (Singapore) dan juga Prof DR Tri Budi Rahardjo.

International Center for Aging and Development Stud-ies University of Indonesia (ICADS@UI)Pada akhir acara, para peserta menyambut baik dengan usulan pembentukan suatu badan yang melakukan pene-litian mengenai usia lanjut yang disebut dengan Internatio-nal Center for Aging and Development Studies University of Indonesia (ICADS@UI). ICADS adalah suatu alat untuk menjadikan UI sebagai Universitas Riset, juga merupakan suatu model untuk “marketisasi” pelayanan umum dan re-formasi birokrasi di Indonesia. Diharapkan dengan hadirnya ICADS tersebut, akan tercipta pemahaman yang lebih baik mengenai salah satu isu pembangunan yang makin penting di Indonesia, yaitu masalah Penuaan Penduduk.

Page 54: cdk_161_Stemcell

CDK 161 / vol. 35 no. 2 Mar-Apr 2008 109

Pembentukan Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI) merupakan tindak lanjut dari salah rumusan hasil Work-shop yang diselenggarakan Dewan Riset Nasional (DRN) Komisi Teknis Kesehatan dan Obat bulan November 2007. Demikian dijelaskan DR Ir Tusy A. Adibroto, MSI, Ketua Panitia Persiapan Pembentukan ASPI di depan sekitar 200 peserta Seminar Sel Punca, “The new Era of Biotechnology” di Gedung Widya Graha LIPI, Jl Gatot Soebroto Jakarta, Sabtu 2 Januari 2008.

Melengkapi Tim Stem Cell Nasional yang telah diben-tuk sebelumnya, ASPI lebih berorientasi kepada bidang riset. Hal ini (riset) dianggap penting karena meskipun kita tahu negara-ne-gara besar seperti: Amerika Serikat (AS), Cina, Jepang, Jerman, Perancis, India dan Inggris bahkan beberapa negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia sudah demikian tekun melakukan riset Sel Pun-ca (padanan kata Stem Cell), namun Indonesia sendiri belum semaju itu,lontar Dr Boenyamin Setiawan, Ph. D, salah satu pendiri ASPI.

Sebagai perbandingan biaya penelitian, menurut dr Boen (tanpa teks), AS mengeluarkan dana sekitar US$ 250 mil-iar, RRC sebesar US$ 160 miliar dan India US$ 40 miliar. Sayangnya di Indonesia budgetnya masih kecil sekali, sesal dr Boen. Dari APBN tahun 2006 sebesar Rp 700 triliun yang dikeluarkan untuk penelitian kira-kira Rp 1,5 triliun (atau US$ 150 juta). Suatu jumlah yang amat kecil sekali karena kira-kira hanya 0,04 per-sen dari APBN. Dr Boen mengharapkan dana penelitian bisa ditingkatkan menjadi sekurang-kurangnya 0,5% dari APBN. Kemudian secara bertahap pada tahun 2015 menjadi 1 persen dan 2020 menjadi 2,5 persen.

Menurut Kusmayanto, Ketua ASPI, terdapat 3 misi yang akan dijalankan ASPI yaitu dalam hal (1) eti-ka, (2) hukum dan (3) sosial. Dalam waktu dekat ASPI akan membuat media informasi seperti web-site di mana masyarakat luas bisa bertanya apa saja mengenai Sel Punca ini. Dengan demikian masyarakat bisa memperoleh informasi langsung dari pakarnya. Dengan demikian akan terbentuk kepedulian masyarakat terhadap Sel Punca.

Apabila ditemui isu mengenai etika maka ASPI tidak segan-segan untuk bekerjasama dengan bagian lain, misalnya, dengan Komite Bioetika Nasional.

Menjawab ‘sentilan/provakasi’ dr Boen, Kusmayan-to memuji Chairman Stem Cell and Cancer Institute (SCI) tersebut, sebab dr Boen tidak hanya sekadar

mengeluh mengenai perkembangan penelitian di Indone-sia tetapi juga turut berperan mengaktifkannya di Indonesia dengan hadirnya Stem Cell and Cancer Institute.

Temu PersPada Temu Pers yang diadakan setelah acara seremoni di atas (lihat foto), salah satu Dewan Penasihat ASPI, Prof DR Dr Arry Harryanto Reksodiputro, SpPD, KHOM, yang juga Ketua Tim Stem cell Nasional menjelaskan bahwa saat ini sedang digodok peraturan mengenai pe-doman penelitian dan pelayanan terapi Sel Punca. Den-gan demikian siapapun yang ingin berkecimpung pada area ini bisa mengetahui aturan mainnya.

Susunan Pendiri ASPIDari panitia diperoleh daftar susunan pendiri ASPI:

1. Prof. Dr. dr Akmal Taher, SpU 2. Prof. Dr. dr Amin Soebandrio, SpMK 3. Dr Boenjamin Setiawan, Ph.D 4. Ferry Sandra, Ph.D 5. Ir. Ferry Soetikno, MBA, MSc 6. Prof. dr. Menaldi Rasmin, SpP(K), FCCP 7. Prof. Dr. dr Suhartono Taat Putra 8. Prof. dr. Sultana MH Faradz, Ph.D 9. Prof. Umar Anggara Jenie, Ph.D

Para Ketua1. Dewan Penasehat: Dr. Ir. Kusmayanto Kadiman 2. Dewan Ilmiah: Dr. dr Amin Soebandrio Sp.MK 3. Dewan Pelaksana: (masih kosong)

Masing-masing Dewan diisi oleh dari 10 - 30 anggota.

Seminar Sel Punca “The new Era of Biotechnology” & Pendirian ASPI,Gedung LIPI Jakarta, 2 Februari 2008

Page 55: cdk_161_Stemcell

110 CDK 161 / vol. 35 no. 2 Mar-Apr 2008

Expert Meeting Lodopin, Hotel Intercontinental Ja-karta, 17 - 18 November 2007

Kalbe.co.id - Baru-baru ini telah terselenggara sebuah acara Ex-pert Meeting Lodopin yang dise-lenggarakan selama 2 hari yaitu tanggal 17 dan 18 November yang ditujukan bagi para dokter Ahli Jiwa yang bertugas di seluruh In-

donesia. Pertemuan ilmiah ini bertujuan untuk memperte-mukan para dokter yang mempunyai pengalaman dalam memakai produk antipsikotik atipik Zotepine (Lodopin), baik untuk pengobatan skizofrenia maupun untuk pengobatan penyakit kejiwaan lainnya.

Transforming Innovation into Bussiness Opportuni-ties, Puspitek Serpong, 14 Desember 2007

Kalbe.co.id - Tidak mudah untuk mewujudkan inovasi menjadi se-suatu produk yang laku dijual di pasaran. Banyak kendala yang akan ditemui. Demikian diung-kapkan Hon. Dato’ Sri Dr Ja-maludin Jarjis, Minister of Sci-

ence Technology and Innovation Malaysia, pada acara pertemuan 2 negara serumpun Indonesia dan Malaysia di Gedung DRN, Puspitek Serpong, 14 Desember 2007. Acara yang dihadiri oleh para bisnisman, anggota DPR dan Kementerian Riset dan Teknologi berlangsung den-gan suasana sangat cair. Dato JJ (demikian panggilan untuk ‘menristek’ Malaysia) terlihat sangat kompak ber-duet dengan Mr KK (Kusmayanto Kadiman), Menristek RI, selaku moderator acara ini. Sekilas juga dibahas me-ngenai isu-isu copyright yang saat ini sedang hangat-ha-ngatnya mengemuka di Indonesia.

Kunjungan Menristek Kusumayanto Kadiman ke pabrik Kalbe Farma Cikarang, 8 Januari 2008

Kalbe.co.id - Bersama rombo-ngan, Menristek RI Dr Ir. Kus-mayanto Kadiman, Selasa siang 8 Januari 2008 mengunjungi pabrik Kalbe Farma di Kawasan Industri Delta Silikon, Cikarang Jawa Barat. Selain rombongan

Menteri, tampak hadir pada acara ini: Ketua LIPI, Prof Umar Anggara Djenie, mantan menteri KLH Prof. Dr. Emil Salim, Asisten Menristek Dr. Amien Subandrio dan Prof.

Dr Sjamsu Hidajat. Selesai keliling pabrik dan diskusi, acara dilanjutkan dengan meeting persiapan pembentu-kan Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI) atau Indone-sian Stem Cell Association (ISCA).

Seminar IKCC Januari 2008: Kesuburan pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK), RS Mitra Keluarga Ke-lapa Gading

Kalbe.co.id - Dalam pernikahan, isu tentang kesuburan adalah hal yang penting. Banyak pertanyaan yang ada di benak wanita menan-yakan mengapa mereka belum hamil juga. Hati-hati, terkadang pertanyaan itu tidak hanya didomi-

nasi oleh wanita saja, para pria juga banyak yang bertanya tentang hal serupa. Hanya saja sikap dan kegelisahannya mungkin berbeda dengan yang dirasakan oleh wanita. Hal serupa mungkin juga menjadi pertanyaan para pasien Pe-nyakit Ginjal Kronik (PGK). Untuk menjawab pertanyaan tersebut IKCC bekerjasama dengan RS. Mitra Keluarga Ke-lapa Gading pada hari Sabtu, 19 Januari 2008 mengadakan seminar awam mengenai kesuburan pada penderita PGK.

Round table discussion tentang Obstructive Sleep Apnea (OSA), Jakarta, 19 Januari 2008

Kalbe.co.id - Bertempat di Spring-Hill Resturant, Jakarta, pada tang-gal 19 Januari 2008, diadakan round table discussion mengenai OSA. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Divisi Medical Instrument & Diagnostics PT Enseval Putera

Megatrading tbk. bekerja sama dengan mitra kerjanya PT Resindo Medika (RESMED). Dari MIDI hadir dr. Silvi Pus-parini sebagai General Manager dan dr. Sujitno Fadli. Pihak RESMED diwakili oleh Alexander Ecker (CEO) dan Brett McLaren. Acara ini dihadiri oleh sekitar 15 dokter umum dan spesialis saraf dari rumah sakit.

Antisipasi Gagal Ginjal pada Penderita Diabetes, Sen-tosa MC, 19 Januari 2008

Kalbe.co.id - Tanda awal gangguan gin-jal pada penderita Kencing Manis (Diabe-tes Melitus) adalah terdapatnya protein pada urine (micro albuminuria). Demikian dijelaskan Dr Lidya Simatupang SpPD di depan peserta acara Bincang Sehat, Sen-

tosa Peduli Sehat di Auditorium Sentosa Medical Center Jakarta. Tema yang dibawakan kali ini adalah mengenai “Antisipasi Gagal Ginjal pada Penderita Diabetes”. Acara ini terselenggara berkat kerjasama dengan Indonesia Kid-ney Care Club (IKCC) dan salah sponsornya adalah Dia-betasol dari Kalbe Nutritional.

KegiatanIlmiah

Page 56: cdk_161_Stemcell

112 cdk 161/vol. 35 no. 2 Mar-Apr 2008

? Ruang Penyegar dan Penambah

Ilmu KedokteranDapatkah sejawat menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

Jawablah B jika benar, S jika salah

Karakteristik Biologis dan Diferensiasi Stem Cell: Fokus pada Mesenchymal Stem CellNurul Aini dkk.

1. Stem cell adalah jenis sel khusus dengan kemam-puan membentuk ulang dirinya dan dalam saat ber-samaan membentuk sel yang terspesialisasi.

2. Stem cell selalu dalam keadaan tak terdiferensiasi

3. Stem cell bisa diisolasi dari jaringan dewasa.

4. Penggunaan embryonic stem cell kurang bermasalah etis dibandingkan penggunaan adult stem cell.

5. Kematian sel alami disebut nekrosis

6. Heterokarion merupakan fusi antar hematopoetic stem cells

7. Sumsum tulang merupakan sumber utama mesen-chymal stem cells

8. Mesenchymal stem cells dapat juga diperoleh dari darah tali pusat

9. Perlakuan medium yang berbeda tidak mempenga-ruhi proses diferensiasi sel

10.Pengembangan stem cell di laboratorium aman dari masalah etika

JAWABAN:

1.B 2.B 3.B 4.S 5.S 6.S 7.B 8.B 9.S 10.S

Histofisiologi Sel Endotel dan Sel Progenitor Endotel

dalam Sirkulasi Darah

Ronny Karundeng

1. Disfungsi endotel berkaitan dengan penurunan fung-si NO

2. Sel mononuklear yang memiliki antigen permukaan CD34+ berpotensi menjadi sel endotel

3. Neovaskularisasi dapat merugikan pada penatalak-sanaan tumor

4. Sel progenitor endotel berkurang jika exercise

5. Sel progenitor endotel cenderung merangsang pem-bentukan ateroma

6. G CSF akan mengurangi jumlah sel progenitor endo-tel

7. Makin matur sel progenitor endotel, makin berkurang daya neovaskularisasinya

8. Cedera endotel merangsang proliferasi sel CD34+

9. Transplantasi sel sumsum tulang dapat merangsang reendotelialisasi

10. Regenerasi endotel memperbesar risiko resteno-sis

JAWABAN:

1.B 2.B 3.B 4.S 5.S 6.S 7.B 8.B 9.B 10.S

Page 57: cdk_161_Stemcell

CDK 161 / vol. 35 no. 2 Mar-Apr 2008 111

Konferensi Kerja Nasional VII IRA, Makasar, 15-17 No-vember 2007

Kalbe.co.id - Konferensi Kerja Nasional VII (Perhimpunan Reumatologi Indonesia) yang diselenggarakan baru-baru ini di RS Wahidin dan Hotel Clar-ion, Makassar, 15-17 Novem-ber 2007. Konkernas ini dihad-

iri oleh sekitar 500 dokter reumatologi, dokter penyakit dalam dan dokter umum yang sebagian besar berasal dari daerah Sulawesi dan Kalimantan. Pada kesempa-tan kali ini dibahas segala hal mengenai diagnosis, pa-tofisiologi, maupun penatalaksanaan terapi yang terkait dalam bidang reumatologi.

Simposium 5th Combined Asian Breast Diseases Association (ABDA) – 4th Breast Screen Singapore (BSS) – Breast Cancer Conference, Singapore, 15-18 November 2007

Kalbe.co.id - Pada tanggal 15-18 November 2007 yang lalu di Orchard Hotel, Singapura, telah diadakan sebuah simposium tingkat Asia, yaitu 5th Combined Asian Breast Diseases Associa-tion (ABDA) – 4th Breast Screen

Singapore (BSS) – Breast Cancer Conference mengenai penyakit pada payudara, khususnya kanker payudara. ABDA, yang merupakan pihak penyelenggara, meru- pakan sebuah perkumpulan medis multidisplin yang dibentuk pada tahun 2002 dengan tujuan meningkatkan deteksi, diagnosis, dan tatalaksana bagi pasien dengan penyakit pada payudara.

Panjang pendek usia seseorang tidak ditakdirkan, Hotel Santika 18 Desember 2007

Kalbe.co.id - Panjang pendek usia manusia - tidak seperti yang diyakini banyak orang - ternyata tidak ditak-dirkan. Demikian catatan presen-tasi Prof Dr dr Wimpie Pangkihala SpAnd. FAACS saat meluncurkan buku teranyarnya “Anti Aging Medi-

cine: memperlambat penuaan, meningkatkan kualitas hi-dup”, di Hotel Santika - Jakarta, 18 Desember 2007. Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ini, menanyakan ‘keadilan’ Sang Pencipta jikalau orang-orang di Indonesia diberi takdir usia pendek dibandingkan orang-orang di negera maju. Bayangkan, rata-rata pen-duduk negara Swiss bisa mencapai 80,5 tahun, sedang-kan di Indonesia hanya 66,8 tahun saja.

11th Bangkok Symposium on HIV Medicine, Thailand, 16-18 Januari 2008

Kalbe.co.id - Simposium HIV Medicine yang berlangsung di Bangkok selama 3 hari merupakan pertemuan kola-borasi peneliti dan pemerhati HIV dari 3 negara yaitu Netherland, Australia dan Thailand. Kolaborasi tersebut

dinamai HIV-NAT (HIV-Netherland, Australia, Thailand). Simposium dihadiri oleh dokter, tenaga kese-hatan dan pemerhati HIV berjumlah sekitar 600 partisipan dari 11 negara (Thailand, Laos, Myanmar, Vietnam, Cambodia, Indonesia, India, Singapore, Taiwan, China and Korea).

Seminar Sel Punca - PERKAPI, The Ritz-Carlton Ho-tel, Jakarta, 2 Februari 2008

Kalbe.co.id - Bertempat di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada tang-gal 2 Februari 2008, dilaksanakan seminar Sel Punca (Stem Cell) yang di adakan oleh PERKAPI (Perhimpunan Kedokteran Anti Penuaan Indonesia) bekerjasa-

ma dengan Bio-Cellular Research Organization (BCRO). Kegiatan ini didedikasikan untuk pengajaran mengenai teori dan potensi klinik transplantasi sel punca yang dipres-entasikan oleh salah satu peneliti dunia dalam bidang sel punca sejak tahun 1977 yaitu Dr. E. Michael Molnar dan DR. Salvador Zepeda Vargas, seorang ahli onkologi de-ngan pengalaman luas dalam konsep baru untuk penga-nanan kanker selain metode konvensional.

Seminar PERKAPI, Hidup Lebih Lama, Menjadi Tua Tetap Sehat & Bahagia, Jakarta 19 Februari 2008

Kalbe.co.id - Satu di antara 12 orang Sin-gapura berusia di atas 65 tahun. Pada tahun 2030 nanti, persentase warga lansia mencapai 1 di antara 5 penduduk Singapura. Demikian dijelaskan Dr Caro-line Low dari Raffles Hospital Singapura. Acara yang diberi tajuk “Hidup Lebih

Lama, Menjadi Tua Tetap Sehat & Bahagia” diselengga-rakan oleh Perhimpunan Kedokteran Anti Penuaan Indo-nesia (PERKAPI), Raffles Singapura, Magnolia Wellness Clinic dan mendapat dukungan dari Kalbe Farma.

Laporan lengkap dari pelbagai simposium di atas (dalam Ba-hasa Indonesia/English), bisa diakses pada http://www.kalbe.co.id/seminar.