1
Literasi Digital
dalam Perspektif Kristen
2
Literasi Digital Dalam Perspektif Kristen
Tim Penyusun
Penulis
Kalis Stevanus
Arif Wicaksono
I Putu Ayub Darmawan
Daniel Ronda
Firman Panjaitan
Rannu Sanderan
Benyamin Senduk Sugeha
Fibry Jati Nugroho
Susana Prapunoto
Peniel C. D. Maiaweng
Ivan Thorstein Johannis Weismann
Semuel Pattipeilohy
Haryadi Baskoro
Philipus Setyanto
Penyunting
Kalis Stevanus
(Pusat Studi Seni dan Budaya STT Tawangmangu)
3
Kata Pengantar
Profesor Samuel Benyamin Hakh
Perkembangan teknologi komunikasi pada era digital ini, pada satu pihak memberikan
informasi-informasi yang sangat bermakna bagi peradaban manusia, khususnya di dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sebab suatu penemuan baru yang
dipublikasikan oleh para pakar di bagian bumi yang lain, cepat tersebar melalui media
internet ke belahan lain dari bumi yang kita diami ini, sehingga bisa dengan cepat pula
menambah wawasan dan pengetahuan.
Namun di pihak lain, dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi ini telah
membawa serta informasi-informasi negatif yang merusak akhlak dan karakter manusia.
Misalnya, seks bebas, pornografi, kekerasan, perjudian, dll. Informasi-informasi itu tidak
hanya disebarkan melalui tulisan-tulisan yang bisa dibaca, melainkan juga melalui gambargambar dan video yang bisa ditonton, tidak hanya oleh orang dewasa tetapi juga oleh orangorang muda bahkan oleh anak-anak.
Penyebaran informasi yang demikian tentu sangat berpengaruh bagi sikap dan karakter
seseorang, khususnya bagi orang-orang muda dan anak-anak sehingga mereka meniru apa
yang mereka lihat melalui media sosial yang mereka miliki. Pengaruh negatif itu tentu bisa
merusak masa depan generasi muda kita. Oleh sebab itu, peranan orang tua dalam
memberikan pendidikan karakter bagi generasi muda sangat penting untuk mempersiapkan
masa depan mereka dengan lebih baik.
Buku yang ada di tangan ibu bapa ini berisi tulisan-tulisan yang disoroti dari sudut
pandang iman Kristen dan bermanfaat sebagai buku pegangan dalam memberikan
pendidikan karakter bagi generasi muda kita. Buku ini ditulis dengan memakai bahasa yang
sederhana dan praktis sehingga bisa dengan cepat dicerna oleh para orang tua dalam
memberikan pendidikan karakter bagi anak-anak kita. Semoga bermanfaat.
4
5
Sebuah Catatan Pembuka
Buku ―Literasi Digital dalam Perspektif Kristen‖ ini lahir untuk mendukung Gerakan
Nasional Literasi Digital (GNLD) ―Siberkreasi‖, yakni berjuang melawan beragam bentuk
penyimpangan dan penyalahgunaan media digital (hoax, ujaran kebencian, cyber bullying, cyber
radicalism, cyber terrorism, pornografi, dan lain-lain).
Ketika Kemenkominfo RI menginisiasi GNLD ―Siberkreasi‖, maka Pusat Studi SeniBudaya STT Tawangmangu (PSSB-ST3) menyambut baik dan turut mendukung dalam
bentuk pertama melalui sebuah karya ―Batik Siberkreasi‖. Batik tersebut adalah karya cipta
Idha Jacinta, pengurus PSSB ST3 yang ―di-canting‖ pertama kali oleh Menkominfo RI
Rudiantara,MBA dalam event ―Batik to the Moon‖ di Yogyakarta (26 Oktober 2017). Kegiatan
tersebut juga bekerjasama dengan Gerakan Cinta Batik sebagai Mahakarya Indonesia
(GCBMI) Yogyakarta. Kedua, PSSB-ST3 menggelar pentas seni budaya ―Malam Budaya‖ di
Solo yang di dalamnya dideklarasikan dukungan untuk GNLD ―Siberkreasi‖ (28 Oktober
2017).
Melihat semakin terbukanya informasi lewat internet dan semakin meluasnya social
networking di internet, bagaimana orang kekristenan harus bersikap? Bagaimana menggunakan
dan mengoptimalkan internet untuk hal-hal positif? PSSB ST3 peduli akan masa depan anakanak dan bangsa ini, maka lahirlah buku literasi digital dalam perspektif Kristen ini. Buku ini
hasil kerja sama PSSB ST3 dengan Sekolah Tinggi Teologi di Indonesia dan lembaga Kristen
lainnya.
Atas kasih karunia Tuhan, telah di-pre-launching dalam event ―Simposium Nasional
Sejarah Gerakan Pentakosta‖ yang diadakan oleh gereja-gereja dalam lingkup PGPI di Hotel
Garden Palace Surabaya (11 September 2018). Buku ini kemudian di-launching bersama seri
buku-buku literasi digital lainnya di Kantor Kemenkominfo RI bersama Menkoninfo RI
Rudiantara pada 26 September 2018.
GNLD ―Siberkreasi‖ memiliki tiga tujuan utama. Pertama, mendorong masuknya
konten literasi digital dalam kurikulum pra-sekolah, SD, SMP, SMA, Universitas, dan
pelatihan-pelatihan formal Aparatur Sipil Negara (ASN). Buku ―Literasi Digital dalam
Perspektif Kristen‖ ini diharapkan menjadi salah satu bahan ajar (referensi) yang bisa dipakai
untuk pendidikan di sekolah-sekolah Kristen maupun di Sekolah Teologia.
6
Kedua, GNLD ―Sibekreasi‖ bertujuan mendorong penyebaran pengetahuan dan etika
digital secara masif dan luas dalam format populer dan menarik. Buku ini memberikan
perspektif etika dan moralitas Kristen tentang peradaban digital yang konstruktif.
Ketiga, GNLD ―Siberkreasi‖ bertujuan mendorong lahirnya Komunitas, Relawan, dan
Duta Konten Positif secara masif di setiap daerah. Buku ini membangkitkan para pemimpin,
rohaniawan, umat dan generasi muda Kristen menjadi duta-duta konten positif untuk
membangun peradaban digital yang aman, nyaman dan bertanggung jawab.
Dengan demikian buku ini merupakan representasi suara Kristen dalam rangka
berpartisipasi dan berkontribusi mendukung literasi digital di Indonesia. Kiranya buku ini
menjadi awalan untuk lahirnya buku-buku literasi digital Kristen berikutnya.
Tawangmangu, September 2018
Penyunting
Kalis Stevanus,M.Th
7
Daftar Isi
Menyikapi Perkembangan Teknologi Media Sosial (Peran Keluarga
Sebagai Pusat Pembentukan Karakter Anak)...................................................... 9
Mendidik Anak Di Era Digital ................................................................................. 17
Peran Guru Dalam Literasi Digital ......................................................................... 30
Peran Pemimpin Kristen Di Era Disrupsi Teknologi ……………………………………... 40
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kristen Dalam
Literasi Digital ……………………………………………………………………………. ........................... 47
Pesan Perdamaian Melalui Literasi Digital …….................................................... 60
Etika Masyarakat Kristiani Memasuki Lingkungan Digital ……………………….. 70
Literasi Digital : Sampai Di Mana ? (Fixed Mindset Or Growth Mindset) .. 76
Kesadaran Diri Pada Era Teknologi Digital ........................................................ 85
Penggunaan Teknologi Informasi Digital Oleh Mahasiswa
Perguruan Tinggi Teologi ……………………………………………………………………………………. 95
Langkah-Langkah Mengatasi Kecanduan Pornografi Internet Di
Kalangan Remaja ......................................................................................................... 103
Pendekatan Konseling Komunikasi Sebagai Upaya Pemulihan Terhadap
Pengaruh Buruk Di Era Digitalisasi ………………………………………………………………….. 110
Kota Cerdas Berbasis Kebudayaan: Refleksi Dan Aksi Gereja Kristen …….. 115
―Okultisme Siber‖ Dan Penyesatan Generasi ………………………………………………….. 123
8
9
MENYIKAPI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI MEDIA SOSIAL
(Peran Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan Karakter Anak)
Kalis Stevanus1
Tanamkan buah pikiran dan Anda akan menuai tindakan; tanamkan tindakan dan Anda akan menuai
kebiasaan; tanamkan kebiasaan dan Anda akan menuai karakter; tanamkan karakter dan Anda akan menuai
keuntungan. (Charles Reade)
Pendahuluan
Ada krisis yang nyata dan mengkuatirkan dalam masyarakat kita saat ini dan
melibatkan milik kita yang paling berharga, yaitu anak-anak kita. Semua orang sepakat kita
menghadapi persoalan; pemerintah, pemuka agama, pendidik, orangtua, dan masyarakat
umumnya, semuanya menyuarakan kekuatiran yang sama. Setiap hari berita-berita dari
media social berisi tragedy yang mengejutkan mengenai anak-anak kita membuat kita kuatir.
Kekuatiran terbesar orangtua adalah tindakan kekerasan, narkoba, pornografi, seks bebas,
dan itu sudah merupakan keadaan gawat yang perlu diatasi.
Krisis tersebut masih terus berlanjut dan kita bisa melihatnya karena masih ada anakanak yang menjadi korban. Ini terjadi karena kita melewatkan satu bagian yang sangat kritis:
sisi karakter dalam kehidupan anak-anak kita. Kekuatan karakterlah yang diperlukan anakanak untuk menjaga hidup mereka menghadapi perkembangan teknologi media social yang
sangat cepat ini. Berkarakter kuat inilah yang paling kita harapkan dari anak-anak kita.
Merosotnya karakter sangat mengkuatirkan kita semua. Mengapa karakter menjadi
persoalan sangat penting dalam hidup manusia? Willy Susilo mengatakan bahwa karakter
adalah suatu hal yang sangat penting bagi kemajuan manusia, secara individual maupun
suatu bangsa.2 Thomas Lickona seorang pakar Pendidikan Karakter dari Amerika Serikat
menyatakan bahwa ukuran kemajuan suatu negara bukanlah besarnya pendapatan nasional,
kemajuan teknologi, atau kekuatan militernya, melainkan karakter penduduknya.3
Benar yang dikatakan oleh David O. Dykes, bahwa krisis yang paling mengkuatirkan
dan signifikan yang dihadapi dalam negara dan keluarga saat ini bukanlah dalam bidang
1 Kalis Stevanus, M.Th adalah Wakil Ketua 1 bidang akademik STT Tawangmangu. Ia juga aktif sebagai Penulis
Buku Rohani dan Gembala Jemaat GJKI ―Gloria‖ Wangan, Ampel, Boyolali, Jateng.
2 Willy Susilo, Membangun Karakter Unggul (Yogyakarta: Andi, 2013), 22
3 Michele Borba, Membangun Kecerdasan Moral (Jakarta: Gramedia, 2008), x
10
ekonomi atau politik, melainkan krisis karakter, yaitu terjadinya kemerosotan nilai-nilai
moral dan rohani.4 Hal ini tidak dibantah oleh pemerintah Indonesia. Dalam pengantar
Naskah Akademik Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi, Dirjen Dikti mengatakan
bahwa ―kami menyadari saat ini bangsa Indonesia tengah menghadapi krisis
multidimensional, dan krisis tersebut diyakini bermula dan lemahnya karakter yang dimiliki
oleh masyarakat dan bangsa kita.5
Objek tulisan ini adalah ―Peran Keluarga Sebagai Pusat Pendidikan Karakter Anak‖
kelihatan sangat berlebihan, tetapi sebenarnya ini sangat rasional dan realistis. Keluarga
sehat, maka masyarakat pun sehat, dan tentunya itu juga berdampak positif bagi kehidupan
suatu bangsa.
Perkembangan Teknologi Media Sosial Dan Kemerosotan Karakter Anak
Perkembangan teknologi komunikasi atau media social memiliki dampak positif dan
negatif. Secara positif melalui perkembangan dan kemajuan media social kini orang dapat
dengan mudah berinteraksi dengan orang lain melintasi batas negara. Dengan kecanggihan
teknologi komunikasi atau media social telah memudahkan manusia untuk memenuhi
pelbagai kebutuhan. Tetapi di sisi lain, perkembangan media social memiliki andil besar
memengaruhi karakter anak.
Fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa karakter atau perilaku anak lebih banyak
dipengaruhi oleh apa yang diamati anak. Biasanya perilaku itu dipelajari dengan meniru apa
yang diamati, sehingga semakin banyak contoh yang dilihat, semakin besar kemungkinan
ditiru anak. Juga dalam pandangan Lickona yang dikutip Daniel Nuhamara, dikemukakan
bahwa ada beberapa factor tentang pentingnya perhatian pada Pendidikan Karakter, di
antaranya adalah semakin kuatnya pengaruh budaya media (media culture) sebagai pembentuk
nilai-nilai para orang muda. Dan juga persepsi publik tentang merosotnya karakter
masyarakat, termasuk kecenderungan orang-orang muda untuk melakukan tindakantindakan kriminal, kekerasan, ketidaksopanan, kecurangan/menyontek, materialisme,
penggunaan obat-obat terlarang, dan aktivitas seksual di luar nikah. 6
Dengan demikian, perkembangan teknologi komunikasi (media sosial) saat ini
merupakan tantangan yang tidak boleh dianggap remeh. Sebab hal itu bisa berdampak buruk
4 David O. Dykes, Character Out of Chaos (Jakarta: Metanoia, 2007), ix
5 Daniel Nuhamara, ―Pengutamaan Dimensi Karakter Dalam Pendidikan Agama Kristen‖, JURNAL JAFFRAY,
Vol. 16, No. 1, April 2018: 97
6 Daniel Nuhamara, ―Pengutamaan Dimensi Karakter Dalam Pendidikan Agama Kristen‖, Jurnal Jaffray, Vol. 16,
No. 1, April 2018: 96
11
bagi karakter anak. Masuknya budaya asing yang buruk merupakan salah satu penyebab
merosotnya karakter masyarakat Indonesia saat ini. Jika tidak segera ditanggulangi akan
merusak karakter generasi penerus bangsa Indonesia di masa depan.
Urgensi Pendidikan Karakter Bagi Anak
Tantangan semakin besar karena pengaruh buruk muncul dari berbagai sumber yang
mudah didapat anak-anak. Meski penyebab kemerosotan karakter sangatlah kompleks,
terdapat fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan media sosial seperti
internet, televisi, film, video, music, dan iklan memberikan pengaruh buruk bagi karakter
atau perilaku anak karena menyodorkan sinisme, kekerasan, pelecehan seksual, materialisme,
konsumsi narkoba, pornografi, seks bebas, dan begitu banyak situs-situs penghasut yang
mengajarkan kebencian, intoleransi, rasa tidak hormat, terorisme, ketidakadilan, dan
sebagainya. Tentu saja media social bukan satu-satunya yang memberi pengaruh buruk;
siapa pun atau apa pun yang berbenturan dengan karakter keluarga kita adalah ancaman,
termasuk di dalamnya teman sebaya dan orang dewasa. 7
Pendidikan Karakter merupakan proses panjang sebagai sebuah usaha untuk
mendidik anak agar memiliki pengetahuan, dapat merasakan dan mempraktekkan nilai-nilai
(values) kebajikan (vitues) dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memberikan dampak positif
kepada lingkungan sekitarnya.8 Untuk menghasilkan karakter baik memiliki tiga
unsur/komponen pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan
(desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Maka orang yang berkarakter
diartikan sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral (etis) yang
dimanifestasikan dalam tindakan konkrit melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung
jawab, menghormati orang lain, toleransi, dan karakter mulia lainnya.9
Karakter mulia tersebut perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Pendidikan
karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama membangun bangsa. A.
Setiono Mangoenprasodjo dan Sri Nur Hidayati menegaskan, bahwa orangtualah yang paling
berperan dalam mengembangkan karakter anak. Peran sekolah hanyalah 20%, karena
pembentukan karakter dimulai sejak anak masih kecil dan terus berproses hingga dewasa.
7 Michele Borba, 5
8 Ricca Vibriyanthy, Puji Yanti Fauziah, ―Implementasi Pendidikan Karakter Di Homeschooling Kak Seto
Yogyakarta‖ Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, Volume 1, Nomor 1, Maret 2014:79
9 Nani Mediatati, ―Implementasi Pendidikan Karakter Di SD Negeri Sidomulyo 04 Kecamatan Ungaran Timur
Kabupaten Semarang‖ Jurnal Satya Widya FKIP-UKSW Vol. 30, No.2. Desember 2014: 104
12
Sekolah hanya penyeimbang, walaupun tidak mengabaikan pembentukan karakter anak
melalui peran sekolah.10
Oleh sebab itu, pendidikan karakter suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dari peran
keluarga. Keluarga merupakan fondasi atau pembentuk suatu masyarakat. Keluarga menjadi
struktur yang amat penting dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkaan oleh Dick Iverson
bahwa keluarga adalah unit dasar seluruh masyarakat. Keluarga adalah batu penjuru, atas
mana segala sesuatu dibangun. Sekali masyarakat membiarkan keluarga berantakan, maka
masyarakat itu sendiri akan ikut runtuh.11
Lagi dikatakan oleh Amaliyah Ulfah, bahwa karakter yang kuat sangat penting untuk
membangun peradaban bangsa. Oleh karena itu karakter perlu dibentuk dan sebaiknya
dilakukan sedini mungkin atau sejak masa kanak-kanak di keluarga. Kegagalan penanaman
kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa
dewasanya.12 Sehingga dalam hal ini peran keluarga sangat diperlukan dalam membentuk
karakter anak sebagai generasi penerus bangsa.
Bila keluarga adalah vital bagi kekuatan sekaligus kesuksesan suatu masyarakat,
maka Pendidikan Karakter di institusi pendidikan formal tetap membutuhkan kerjasama
dengan institusi keluarga (orangtua naradidik) demi terciptanya anak yang bermoral tinggi
dan lebih-lebih bagi sukses bangsa itu sendiri. Peran keluarga sebagai agen Pendidikan
Karakter dan tempat sosialisasi (persemaian) nilai-nilai kebajikan (virtues) yang sangat
penting bersama satuan pendidikan formal. Karena itu, tulisan ini ingin memberi tekanan
pada peran keluarga sebagai pusat Pendidikan Karakter yang sangat penting guna
membentuk masa depan anak dalam menghadapi era internet yang semakin terbuka ini agar
tidak hanya berpikir dengan benar, tetapi juga bertindak yang benar.
Membangun karakter anak merupakan tanggung jawab orangtua yang terbesar. Ini
akan memengaruhi setiap aspek kehidupan mereka saat ini dan juga kelak mendidik anakanak mereka sendiri. Semakin dini orangtua membangun karakter anak, semakin besar
kesempatannya membangun dasar-dasar yang dibutuhkan bagi pembentukan karakter yang
kuat, sehingga anak dapat menangkis pengaruh buruk dari luar.
Landasan karakter yang orangtua berikan kepada anak-anak sekarang ini akan
membangun reputasi mereka sebagai manusia di masa mendatang, membangun fondasi
10 Ibid., 136-137
11 Dick Iverson, dkk., Memulihkan Keluarga (Jakarta: Harvest Publication House, 1991), 1
12 Amaliyah Ulfah, ―Pengembangan Subject Specific Pedagogy (SSP) Tematik Berbasis Local Wisdom Untuk
Membangun Karakter Hormat dan Kepedulian Siswa SD‖, Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.8, No. 1,
Januari 2018:17
13
tersebut merupakan tugas terpenting dan paling menantang bagi para orangtua. Orangtua
tidak boleh menyia-nyiakan waktu karena karakter anak-anak kitalah sebagai taruhannya.
Penundaan membangun karakter anak hanya akan membuat anak semakin berkesempatan
memelajari kebiasaan negative yang merusak. Hal ini akan mengganggu perkembangan
karakter, sehingga mereka semakin sulit untuk berubah. Apakah Anda sebagai orangtua siap
menghadapi tantangan? Kiranya tulisan ini dapat menjadi bahan pemikiran kita bersama.
Menyikapi Perkembangan Teknologi Media Sosial Terhadap Karakter Anak
Di era internet yang semakin terbuka sekarang ini, semakin banyak manusia tidak
menyadari bahwa institusi keluarga adalah institusi tertua yang dibangun oleh Allah sendiri
sejak dunia dijadikan. Keluarga terus memainkan peran kunci dalam membentuk
kepribadian seorang anak sebagai generasi penerus masyarakat dan juga bangsa. Keluarga
sampai kapan pun tetap menjadi pusat atau sentral di mana nilai-nilai dan pola kehidupan
seseorang terbentuk (Ul 6:4-9). Keluarga adalah tempat seseorang belajar, dengan cara yang
paling praktis dan konkrit. Keluarga adalah tempat yang paling baik untuk pendidikan.
Tidak ada tempat pendidikan yang lain, baik yang didirikan oleh pemerintah atau institusi
lain, yang dapat menggantikan keluarga. Pendidikan di sekolah hanya membantu atau
menambah apa yang kurang, yang dilakukan oleh orangtua, tetapi bukan untuk
menggantikannya. Pendidikan di luar rumah hanyalah ―pelengkap‖ pendidikan yang telah
didasarkan di keluarga.13
1. Jangan mengekang pergaulan anak Anda
Setiap anak membutuhkan pergaulan sebagai kebutuhan untuk mengembangkan
sosialnya. Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan sifat sebagai makhluk individu
sekaligus makhluk sosial? Itulah sebabnya, manusia mempunyai naluri untuk hidup
berkumpul dengan orang lain.
Sosial anak terus berkembang sesuai perkembangan usianya. Waktu masa kanakkanak, pergaulannya hanya terbatas di lingkungan keluarga saja, kemudian berkembang
mulai dari lingkungan keluarga, tetangga dan juga teman-teman sebaya baik di
masyarakat, maupun di sekolah.
Sikap orangtua dalam perkembangan sosial anak adalah tidak mengekang pergaulan
anaknya. Akan tetapi orangtua bisa mengajarkan pedoman dan penjelasan tentang
pentingnya pergaulan dan pengaruh buruk dari luar atas dasar Firman Tuhan.
13 Kalis Stevanus, Mendidik Anak (Yogyakarta: Lumela, 2018), 2
14
2. Berikan pedoman pergaulan
Pengaruh pergaulan baik secara nyata maupun di dunia maya tidak boleh dianggap
remeh oleh orangtua: ,‖Janganlah kamu sesat: pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang
baik‖ (1 Kor 15:33). Di sinilah betapa pentingnya orangtua mengajarkan Firman Tuhan
sebagai pedoman hidup bagi anak sehingga anak bisa berpikir yang benar dan akhirnya
bertindak yang benar. Anak dapat mengambil keputusan tentang apa yang baik dan yang
buruk bagi dirinya sendiri sesuai pedoman yang telah diajarkan kepada mereka.
Orangtua tidak bisa mengawasi anak-anaknya selama 24 jam sehari. Untuk itu,
orangtua harus mengajarkan pedoman tentang apa yang benar dan yang buruk untuk
dapat membimbing dan mengarahkan sikap serta perilaku anak.
Saya percaya tidak ada perlindungan yang benar-benar mampu menjagai anak-anak
kita selain menanamkan nilai-nilai iman kepada mereka. Nilai-nilai iman yang
ditanamkan sejak dini oleh orangtua menjadi kontrol diri (self control) kuat yang
diperlukan untuk melawan tekanan buruk dan membekali anak kemampuan bertindak
benar tanpa bantuan orangtua. Itulah penguasaan diri. Penguasaan diri atau kontrol diri
(self control) adalah mengendalikan pikiran dan tindakan agar dapat menahan dorongan
dari dalam maupun dari luar sehingga dapat bertindak dengan benar.14 Michele Borba
menyebut kontrol diri sebagai mekanisme internal yang sangat berpengaruh, yang
mengarahkan sikap moral anak, sehingga pilihan yang mereka ambil tidak hanya aman,
tetapi juga bijak.15 Jadi, penguasaan diri merupakan sikap yang sangat penting bagi anak
untuk dapat mengontrol dorongan, keinginan atau godaan agar berpikir sebelum
bertindak.
Penutup
Tidak diragukan lagi, sekarang ini merupakan masa yang mengkuatirkan untuk
membesarkan anak. Dengan semakin terbukanya informasi lewat internet dan semakin
luasnya social networking di internet, anak-anak jelas semakin mudah terpapar pada tindakan
yang tidak benar. Internet, alat menjelajah pengetahuan yang sangat luar biasa itu,
mempunyai sisi buruk dan berbahaya yang meracuni moral anak. Hal-hal buruk di dunia
internet sangat mengejutkan. Tidak sedikit orangtua zaman now yang mengeluh anaknya
mudah tergoda bujukan teman untuk melakukan tindakan moral yang keliru.
14 Ibid., 9
15 Ibid., 97
15
Bagaimana caranya mengasuh anak-anak dalam era internet yang semakin terbuka
ini? Psikiater Frank Pittman yang dikutip Michele Borba mengatakan bahwa kestabilan
hidup kita bergantung pada karakter. Di dunia yang tidak sempurna ini, karakterlah yang
membuat seseorang tahan dan tabah menghadapi cobaan.
Bagaimana cara menumbuhkan karakter yang baik di dalam diri anak-anak? Kita
harus memulainya dari keluarga. Keluarga merupakan sekolah pertama yang mengajarkan
nilai-nilai iman atau norma-norma agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menanamkan
nilai-nilai iman atau norma-norma agama sejak dini akan menghasilkan karakter kuat pada
anak. Karakter menjadi kontrol diri (self control) membentengi anak dari pengaruh buruk dan
membuatnya mampu bertindak benar meski tergoda untuk melakukan hal yang sebaliknya.
Kontrol diri (self control) membantu anak menahan dorongan dari dalam dirinya dan berpikir
sebelum bertindak, sehingga ia melakukan hal yang benar, dan kecil kemungkinan
mengambil tindakan yang akan menimbulkan akibat buruk.
Dengan demikian, karakter yang kuat merupakan hal penting bagi perlindungan anak
karena memberi kekuatan bagi anak untuk menangkis hal buruk dari dalam maupun dari
luar, sehingga mereka dapat bertindak dengan benar sepanjang hidupnya.
Kepustkaan
Borba, Michele. Membangun Kecerdasan Moral. Jakarta: Gramedia, 2008
Dykes, David O. Character Out of Chaos. Jakarta: Metanoia, 2007
Fatmawati, Laila Rani, dkk. ―Pengembangan Modul Pendidikan Multikultural Berbasis
Karakter Cinta Tanah Air dan Nasionalis pada Pembelajaran Tematik‖ Scholaria: Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 8 No. 1, Januari 2018
Fauziah, Puji Yanti., Ricca Vibriyanthy. ―Implementasi Pendidikan Karakter Di
Homeschooling Kak Seto Yogyakarta‖ Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat,
Volume 1, Nomor 1, Maret 2014:79
Iverson, Dick. dkk., Memulihkan Keluarga. Jakarta: Harvest Publication House, 1991
Mangoenprasodjo A. Setiono dan Hidayati, Sri Nur. Anak Masa Depan dengan Multi Intelegensi
Yogyakarta: Pradipta Publishing, 2005
Nuhamara, Daniel. ―Pengutamaan Dimensi Karakter Dalam Pendidikan Agama Kristen‖,
Jurnal Jaffray, Vol. 16, No. 1, April 2018
Susilo, Willy. Membangun Karakter Unggul. Yogyakarta: Andi, 2013
Stevanus, Kalis. Mendidik Anak. Yogyakarta: Lumela, 2018
16
Stevanus, Kalis. Menjadi Orangtua Bijak : Solusi Mendidik Dan Melindungi Anak Dari Pengaruh
Pergaulan Buruk. Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 2016
Ulfah, Amaliyah .―Pengembangan Subject Specific Pedagogy (SSP) Tematik Berbasis Local
Wisdom Untuk Membangun Karakter Hormat dan Kepedulian Siswa SD‖, Scholaria:
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.8, No. 1, Januari 2018
17
MENDIDIK ANAK DI ERA DIGITAL
Arif Wicaksono16
Pendahuluan
Anak merupakan investasi masa depan bagi semua orang tua. Karena itu, setiap fase
dalam proses perkembangan anak menjadi persoalan penting untuk senantiasa diperhatikan.
Upaya memproteksi anak dari berbagai dampak negatif lingkungan sekitar harus
diseimbangkan dengan strategi pendidikan anak yang tetap memberikan kesempatan seluasluasnya kepada mereka agar mampu mengeksplorasi, bereksperimen, serta mengenal dunia
mereka lebih jauh. Demikian pula ketika anak mulai beranjak remaja, kebutuhan mereka
untuk bersosialisasi guna mengenal komunitas luar tetap membutuhkan pantauan dan
kewaspadaan dari orang tua.
Jika melihat perkembangan remaja pada saat ini, maka permasalahan kenakalan
remaja adalah hal yang paling merepotkan yang hari-hari ini sedang terjadi. Beberapa
kecenderungan perilaku kenakalan anak-anak remaja zaman sekarang, telah membuat orang
tua dan guru sangat kewalahan. Seperti halnya: tawuran, narkoba, sex bebas, kecanduan
games online, dan masih banyak lainnya adalah persoalan yang serius yang harus ditangani
dengan baik.
Menurut survey tingkat kenakalan remaja saat ini terus meningkat hampir menyamai
tingkat kejahatan orang dewasa.17 Tindak kejahatan yang dulu hanya dilakukan orang
dewasa saat ini dapat ditemukan di usia remaja dan anak-anak. Misalnya; seperti anak SD
yang melakukan pembunuhan terhadap teman sekelasnya, pelecehan seksual yang dilakukan
oleh anak sekolah, tawuran. Masalah-masalah seperti itu merupakan tindakan-tindakan yang
sangat mudah dijumpai pada zaman ini.18 Semakin lama, semakin muda saja usia anak yang
menjadi pelaku kejahatan, dan harus berurusan dengan pihak kepolisian.
Para pakar beranggapan bahwa penyebab merebaknya tindak kekerasan anak di
pengaruhi oleh banyak faktor. Hal itu dapat dipengaruhi oleh keadaan keluarga yang tidak
harmonis, lingkungan bermain yang buruk, masyarakat yang kompetitif, dan pengaruh media
digital yang di miliki oleh anak. Cukup mengagetkan bahwa kenyataannya tindak kekerasan
16 Arif Wicaksono, M.Th adalah Kaprodi Teologi di STT Tawangmangu.
17 http://nasional.sindonews.com/read/878681/18/ancaman-media-sosial-terhadap-perkembangan-anak1404197732
18 Koran ―Kompas‖, Anak SD Melakukan Pembunuhan Berencana Terhadap Temannya, edisi 25 juni 2015
18
anak sebagian besar dipengaruhi oleh media digital yang mereka miliki. yang dapat mereka
nikmati dari gadget, telepon genggam, laptop computer tablet, dll.
Perkembangan perangkat digital memang banyak menolong umat manusia dalam
melakukan pekerjaannya. Namun demikian tanpa disadari kehadiran perangkat digital pada
masa ini telah menjadi candu bagi generasi yang ada. Perangkat digital menciptakan
ketergantungan yang cukup parah yang tidak kalah berbahaya dengan mereka yang
kecanduan narkoba. Ketergantungan yang diciptakan perangkat digital belum biasa
dipisahkan dari anak-anak yang sedang berkembang dalam pola disiplin dan control diri.
Yang perlu untuk di kuawatirkan orang tua saat ini adalah bahwa kecanduan perangkat
digital akan mengakibatkan kerusakan mental dalam diri anak. Mereka lebih cepat tumbuh
besar dalam pengetahuan dibandingkan anak-anak zaman dahulu, tetapi jiwa mereka
berkembang dengan lambat.
Para orang tua anak menyambut baik perkembangan perangkat digital seperti, TV,
Komputer, Ponsel cerdas, dan computer tablet. Beberapa orng tua beranggapan bahwa
peralatan tersebut dianggap dapat membantu mengasuh anak dalam berbagai situasi.
Misalnya dapat menjadi alat bantu belajar yang canggih, hingga menjadi mainan bagi anakanak mereka. Namun sekarang seiring berjalannya waktu banyak orang tua mengalami
kewalahan menghadapi dampak yang diberikan perangkat digital terhadap anak-anak
mereka. Kenyataannya harapan penggunaan perangkat digital yang ditujukan untuk
kebaikan anak-anak berbalik menjadi perangkat digital yang mengendalikan aspek
perkembangan karakter anak-anak.
Di tengah persoalan yang sedang dihadapi generasi anak remaja saat ini, para orang
tua Kristen memiliki tanggung jawab besar untuk menghadapi tantangan ini. para orang tua
Kristen harus mengambil tidakan untuk menyelamatkan generasi dari dampak buruk
perangkat digital. Bukan berarti para orang tua Kristen harus melarang dalam penggunaan
teknologi perangkat digital, namun gereja harus memperingatkan dan mengarahkan
penggunaan perangkat digital secara baik dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.
Pengaruh Dunia Digital Terhadap Perkembangan Karakter Anak
Tidak dipungkiri bahwa perkembangan dunia digital membawa dampak positif
terhadap perubahan di zaman post modern sekarang ini. Bahkan dunia digital telah banyak
memberikan peranan yang besar bagi kemajuan pendidikan, industry, militer dan masih
banyak bidang-bidang lainnya. Dunia digital sangat membantu manusia untuk membangun
peradabannya.
19
Namun demikian setiap perubahan akan selalu membawa dampak ganda, yaitu
dampak positif maupun negatif. Begitu pula dengan perkembangan teknologi digital saat ini.
Teknologi digital dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi umat manusia. Dampak
positif teknologi digital tentunya didapatkan, jika teknologi itu digunakan secara benar,
namun jika disalah gunakan maka akan berakibat negatif.
Adapun beberapa dampak negatif dari teknologi digital yang dapat di temukan
diantaranya adalah sebagai berikut:
Anak-Anak Menjadi Matang Semu
Di era dunia yang serba canggih sekarang ini, perkembangan dunia digital membuat
anak-anak masa kini rentan menjadi 'matang semu'. Matang semu adalah sindrom yang
ditandai secara fisik atau penampilan luar, mungkin anak-anak sekarang terlihat lebih rapi
dan cerdas, namun, secara kejiwaan mentalnya belum berkembang.
Yee-Jin Shin juga menjelaskan bahwa anak-anak yang sehari-hari akrab dengan
gadget cenderung kurang bisa memahami perasaan orang lain dan bahkan perasaannya
sendiri.19 Hal ini terjadi karena anak merasa lebih nyaman saat berada di dunia khayalan,
yaitu pada waktu mereka bermain game online, hp, gadget, smartphone dan beberapa
perangkat digital lainnya, dibanding berada di dunia nyata. Mereka dapat menghabiskan
berjam-jam di depan teknologi digital mereka tanpa memperdulikan dunia sekitarnya.
Hal ini terjadi khususnya dalam penggunaan aplikasi media sosial. Anak-anak remaja
yang sering menghabiskan waktu mereka untuk menggunakan media sosial, cenderung
kesulitan bersosialisasi dengan lingkungan mereka yang sebenarnya. Saat di dunia nyata, ia
akan mudah melawan nasihat dari orang tua dan gurunya karena ia lebih memikirkan
kepentingannya sendiri. Yee Jin Shin mengatakan dalam bukunya mendidik anak di era
digital:
"Saya mengistilahkan kasus semacam ini dengan sebutan 'matang semu'. Memang
tumbuh kembang anak secara fisik baik, tetapi jiwanya tidak berkembang sebaik
perkembangan badannya. Mau tidak mau saya menggunakan istilah itu karena anakanak zaman sekarang cenderung impulsif, tidak tahu sopan santun, dan tidak
memiliki rasa bersalah." 20
Banyak orang tua yang tertipu dengan matang semu yang sedang dialami anak-anak
mereka. Sering kali orang tua bangga dan menganggap anaknya jauh lebih matang dari pada
anak-anak zaman dulu. Hal ini terjadi hanya karena anak-anak mereka tahu lebih banyak
19 Yee-Jin Shin, Mendidik Anak Di Era Digital, (Bandung: Noura Books, 2014), 48.
20 Ibid,.
20
informasi dan tumbuh lebih besar, namun orang tua tidak menyadari bahwa pada
kenyataannya emosi dari anak-anak mereka tidak mengalami pertumbuhan yang berarti.
Anak yang mengalami matang semu memang terlihat cerdas tetapi memiliki sifat liar,
tidak terkendali dan egois. Di samping itu, sebenarnya anak-anak ini berada dalam kondisi
yang tidak seimbang, dengan kata lain mereka mengalami tumbuh kembang yang baik secara
fisik, tetapi mentalnya tidak berkembang. Perkembangan anak yang tidak seimbang ini akan
membuat jiwa anak menjadi hampa. Kehampaan itu akan membuat ―matang semu‖ dalam diri
anak semakin menjadi-jadi. Dalam kasus seperti ini anak akan menjadi keras kepala dan
cenderung melawan nasihat orang-orang terdekatnya. Tidak hanya itu, mereka juga akan
mulai melakukan perlawanan terhadap orang-orang di sekitar mereka.
Di masa ini jika anak tidak bisa mengembangkan kemampuan bersosialisasinya
dengan baik, ia akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri sebagai anggota
masyarakat ketika dewasa. Jika mereka mengalami persaingan yang ketat dalam sekolah,
gesekan dengan teman sekelas atau persoalan dengan gurunya, maka permasalahanpermasalahan ini akan menumbuhkan rasa tidak percaya terhadap orang-orang disekitarnya.
Menghadapi konflik-konflik dengan orang disekeliling mereka , barulah anak yang ―matang
semu‖ menyadari dan merasakan kecemasan yang mendalam. Kecemasan ini akan
menimbulkan ketidakpercayaan terhadap orang lain. Kemudian ketidakpercayaannya akan
berkembang menjadi menutup diri terhadap lingkungan. Pada akhirnya mereka tidak pernah
mengalami pertumbuhan kepribadian secara matang. Sekalipun usia mereka terus bertambah
tetapi kondisi emosi mereka tidak menunjukan kedewasaan secara matang.
Anak-anak perlu lingkungan yang nyata untuk mengembangkan kepribadian anak.
Mereka memerlukan teman bermain, komunitas, dan konflik-konflik dalam pergaulan agar
mereka bertumbuh secara emosi dan mental. Inilah masalah sesungguhnya dari anak matang
semu. Anak-anak yang mengalami kecanduan perangkat digital cenderung tertutup terhadap
lingkungan, sehingga hal itu menyebabkan ketidakseimbangan perkembangan emosi pada
anak.
Merusak Otak Anak
Saat menggunakan perangkat digital, anak terpapar stimulus yang kuat pada indra
penglihatan dan pendengarannya. Sinar dan warna tersaji terus menerus. Selagi stimulus itu
terus berlanjut, situasinya berganti secara cepat. Setiap kali ada tampilan baru, setiap kali itu
pula anak tidak bisa mengalihkan perhatiannya.
21
Namun, jika anak sering terpapar stimulus lain, anak tidak akan memberikan
perhatian pada permainan-permainan yang tidak bisa memberikan stimulus yang sama
kuatnya. Tanpa sadar, otak anak telah menjadi popcorn brain21. Popcorn Brain adalah kondisi otak
yang meletup-letup dikarenakan penggunaan dari perangkat digital. Perangkat-perangkat
digital itu antara lain adalah televisi, computer, ponsel cerdas, dan computer tablet.
Otak yang dalam keadaan meletup-letup, atau popcorn brain, akan membuat anak selalu
mencari hal-hal yang semakin lama semakin brutal, impulsive, cepat dan menarik. Pada anak
yang terlajur terpapar stimulasi yang sangat kuat, ia akan berespons datar bila diajak bermain
di alam terbuka.22 Anak akan mudah merasa bosan, dan mereka juga akan cenderung
bersikap apatis dalam kegiatan-kegiatan di sekelilignya. Mereka lebih senang duduk-duduk
dengan menggunakan gadget mereka dibanding harus mengerjakan aktifitas bersama-sama.
Menurut seorang professor dari Tokyo's Nihon University, Akio Mori yang
melakukan riset didasarkan pada analisis EEG terhadap 240 orang, berusia antara 6 sampai
dengan 29 tahun mengenai dampak game online pada aktifitas otak. Akio Mori mendapat
dua kesimpulan. Pertama, kebiasaan bermain game online akan berakibat pada penurunan
aktivitas gelombang otak depan yang memiliki peranan sangat penting, dengan pengendalian
emosi dan agresivitas sehingga mereka cepat mengalami perubahan mood, seperti mudah
marah, mengalami masalah dalam hubungan sosial, tidak konsentrasi dan lain sebagainya.
Kedua, kebiasaan bermain game online akan mengakibatkan penurunan aktifitas gelombang
beta merupakan efek jangka panjang yang tetap berlangsung meskipun gamer tidak sedang
bermain game. Dengan kata lain para gamer mengalami "autonomic nerves" yaitu tubuh
mengalami pengelabuan kondisi dimana sekresi adrenalin meningkat, sehingga denyut
jantung, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen terpacu untuk meningkat.23 Bila tubuh dalam
keadaan seperti ini maka yang terjadi pada gamer adalah otak mereka merespon bahaya
sesungguhnya. Kedua dampak yang muncul tersebut sudah pasti akan menghambat proses
belajar anak. Hal itu otomatis akan menurunkan prestasi belajarnya.24 Karena dengan adanya
penurunan-penurunan gelombang pada tubuh tersebut menyebabkan gangguan dalam
21 Popcorn Brain adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan kondisi otak anak yang terbiasa
dengan layar perangkat digital yang senantiasa merespons stimulus kuat hingga otak seperti meletup-letup. Hal
ini disampaikan pertama kali oleh saluran berita CNN. CNN, Does life online give you 'popcorn brain'?, USA: June 23,
2011
22 Yee-Jin Shin, Mendidik Anak Di Era Digital, (Bandung: Noura Books, 2014), 113.
23 Video game “brain damage” claim criticized, https://www.newscientist.com/article/dn2538-video-gamebrain-damage-claim-criticised/ diakses 20 Oktober 2015
24 Arniwati dan Budyarto, Dampak Teknologi Terhadap Kehidupan Rohani Anak dan Remaja(Malang: Gandum
Mas, 2012), 50.
22
jangka yang pendek maupun panjang, tidak hanya dari segi psikologinya tetapi juga dari
kesehatannya.
Masalah serius dari kebiasaan penggunaan perangkat digital bagi anak remaja adalah
kemampuan anak mengendalikan emosi menjadi lemah. Jika anak remaja yang mengalami
popcorn brain tidak diberikan stimulasi yang kuat, maka anak akan segera merasa jenuh dan
menjadi kesal. Karakteristik anak yang seperti ini akan menjadi dasar buruk bagi kreatifitas
anak. Semakin sering terpapar perangkat digital, semakin besar kemungkinan anak
mengalami kesulitan dalam perkembangan emosi, daya konsentrasi, dan daya pikirnya
melemah.
Munculnya Anak-Anak Digital25
Anak-anak digital adalah penggambaran anak-anak yang telah mengalami kecanduan
akan perangkat digital, dan mereka bertumbuh dan berkembang dengan diasuh oleh
perangkat digital, bukan karena pengasuhan yang dilakukan orang tua mereka. Di sini orang
tua hendaknya melakukan intropeksi diri berkenaan dengan penggunaan perangkat digital.
Beberapa Orang tua beranggapan peralatan digital dianggap dapat membantu mengasuh
anak dalam berbagai situasi. Misalnya dapat menjadi alat bantu belajar yang canggih hingga
menjadi mainan bagi anak-anak mereka.
Namun pengasuhan terhadap anak tidak dapat digantikan dengan memberikan
perangkat digital kepada anak. Pengasuhan adalah mutlak tanggung jawab orang tua. Anak
membutuhan kehadiran orang tuanya untuk mendampingi mereka bertumbuh secara
pengetahuan dan karakter. Kehadiran orang tua sangat baik untuk membuat anak
bertumbuh secara seimbang. Sedangkan kehadiran perangkat digital hanyalah memacu
perkembangan yang semu.
Perlu dipahami bahwa penggunaan perangkat digital berpotensi membuat anak cepat
puas dengan pengetahuan yang diperolehnya sehingga menganggap bahwa apa yang
dibacanya di internet adalah pengetahuan yang terlengkap dan final. Seringkali anak-anak
digital beranggapan bahwa peran guru dalam memberikan pelajaran dapat mereka gantikan
dengan hadirnya perangkat digital. Pada faktanya ada begitu banyak hal yang mesti digali
lewat proses pembelajaran tradisional dan internet tidak bisa menggantikan kedalaman
25 Anak-anak digital adalah penggambaran anak-anak yang telah mengalami kecanduan akan
perangkat digital, dan mereka bertumbuh dan berkembang dengan diasuh oleh perangkat digital, bukan karena
pengasuhan yang dilakukan orang tua mereka
23
suatu pengetahuan. Kalau tidak dicermati, maka akan ada kecenderungan bagi generasi
mendatang untuk menjadi generasi yang cepat puas dan cenderung berpikir dangkal.
Di samping itu kemajuan teknologi perangkat digital membawa banyak kemudahan,
maka generasi mendatang berpotensi untuk menjadi generasi yang tidak tahan dengan
kesulitan. Dengan kemudahan untuk mendapatkan informasi dari perangkat digital, hal itu
membangun asumsi dalam diri anak adalah bahwa hidup ini seharusnya mudah. Pada
akhirnya anak berupaya untuk menghindari kesukaran. Anak memiliki kecenderungana
untuk mencari jalan pintas. Akhirnya anak-anak digital mengalami kesulitan untuk diajak
berfikir dengan keras. Hal ini terjadi karena mereka terbiasa dengan mendapatkan informasi
secara mudah, dan tidak terlatih untuk berfikir secara baik dalam menemukan informasi.
Itulah ciri pertama dari anak-anak digital mereka memiliki kecenderungan untuk malah
berfikir dan lebih menyukai memilih menggunakan perangkat digital untuk mendapatkan
informasi yang mereka butuhkan.
Karena perangkat digital memiliki kelebihan memberikan informasi-informasi secara
cepat hal tanpa disadari anak pun dikondisikan untuk tidak tahan dengan kelambanan dan
keajegan. Anak-anak digital makin hari makin lemah dalam hal kesabaran serta konsentrasi
dan cepat menuntut orang untuk memberi yang diinginkannya dengan segera. Hal ini perlu
mendapat perhatian orang tua. Orang tua sangat perlu mengajarkan kepada anak mereka
untuk mengembangkan toleransi yang besar terhadap perbedaan, bahwa tidak semua hal
harus berjalan secepat yang diinginkannya.
Kemajuan teknologi juga berpotensi mendorong anak untuk menjalin relasi secara
buruk. Waktu untuk bercengkerama secara langsung berkurang karena sekarang beberapa
anak lebih menikmati kesendiriannya dengan ponsel pintar, gadget, atau televisi di banding
harus berkomunikasi dengan orang-orang disekelilingnya. Bahkan area permainan yang
zaman dahulu lebih enak dilakukan bersama-sama saat ini lebih bersifat individual sehingga
makin memperkecil jalinan relasi.
Kiat Melindungi Anak Dari Pengaruh Negatif Dunia Digital
Setiap anak yang diberikan Allah kepada orang tua, selalu sudah ada kecenderungan,
yaitu ciri khas yang telah terbentuk sejak mereka lahir. Menurut Swindoll kecenderungan
yang dimiliki seorang anak telah terbentuk sebelum anak diserahkan ke dalam pemeliharaan
orang tua. Menurut kenyataan, seorang anak memang tidak sama dengan tanah liat yang
24
dapat dimainkan.26
Anak-anak lahir dengan kecenderungan sifat yang telah ada di dalam diri
mereka sendiri.27 Tuhan menaruh sifat-sifat yang unik dalam diri setiap orang yang berbeda
antara satu orang dengan lainnya.
Kahlil Gibran, mengatakan dalam tulisannya orang tua adalah sekadar gendewa (busur)
di tangan pemanah. Anak-anak adalah anak-anak panah. Sedang pemanah itu tidak lain
adalah Tuhan sendiri. Gendewa tentu penting. Tanpa busur, mustahil anak-anak panah bisa
melesat. Tetapi gendewa tidak menentukan arah dari anak panah. Yang menentukan adalah
kehendak sang pemanah, dan kemampuan anak panah itu sendiri. Atau, dengan istilah yang
lebih kontemporer, gendewa hanya berfungsi sebagai semacam "fasilitator", yang
memungkinkan anak panah itu meluncur ke sasaran dengan sebaik-baiknya.
Peran orang tua adalah wakil Allah di dunia bagi anak- anak yang telah mereka
lahirkan. Orang tua tidak dapat bersikap seolah-olah menjadi Tuhan atas anak-anak mereka.
Melainkan orang tua yang harus memberikan pertanggungjawaban kepada Tuhan dengan
apa yang sedang terjadi dalam kehidupan anak-anak mereka. Tujuan Allah memberikan
anak-anak ini kepada orang tua tentu terutama bukan untuk memenuhi kesenangan orang
tua. Anak-anak adalah titipan Allah, dan orang tua bertanggung jawab untuk membesarkan
mereka sebagai anak-anak milik Allah.
Hal yang perlu dipikirkan saat ini adalah bagaimana orang tua dapat membawa anakanak mereka kepada Tuhan di tengah perkembangan teknologi yang cenderung membawa
anak-anak menjauh dari Tuhan. Pada dasarnya Tuhan tidak anti teknologi, tetapi teknologi
yang membawa anak-anak menjauh dari Tuhan pastilah bukanlah kehendak Tuhan. Generasi
digital memerlukan pola asuh yang berbeda dan istimewa. Orang tua perlu mengenal
karakteristik anak-anak generasi digital ini supaya dengan hikmat Tuhan, mereka dapat
membawa anak-anak ini dekat kepada Tuhan.
Setiap orang tua memiliki kewajiban untuk menanamkan pendidikan yang berpusat
kepada Allah bagi anak-anak mereka.28 Terhadap perkembangan teknologi yang telah
mengubah cara hidup manusia saat ini, orang tua tidak boleh menjadi lengah dalam
melakukan pengawasan terhadap anak-anak mereka. Orang percaya perlu mendorong diri
untuk terjun ke tengah-tengah pekerjaan yang Tuhan percayakan, yaitu menuntun anakanak "generasi digital" milik Allah ini untuk bertemu, berinteraksi, dan berkoneksi dengan
26 Charles R. Swindoll, Anda Dan Anak: Kunci Untuk Membina Hubungan Harmonis di Antara Orang Tua dan
Anak (Surabaya: Yakin, t.th), 20.
27 Norman Wright, Raising Kids To Love Jesus, (Surabaya: Perkantas, 2014),
28 Dan Brewster, Children and Childhood in The Bible (t.tp: Compassion Internasional, 2011), 145.
25
Pencipta mereka, yaitu Tuhan Allah yang Mahamulia. Beberapa kiat yang dapat dilakukan
untuk melindungi anak dari pengaruh buruk perkembangan teknologi digital adalah sebagai
berikut:
Menjadi Teladan Dalam Penggunaan Perangkat Digital
Fakta membuktikan, kecenderungan perilaku sebagian besar anak sangat di
pengaruhi oleh tindakan orang tua. Tindakan seorang anak pada umumnya adalah cermin
dari tindakan orang tua. Anak akan melihat apa yang dilakukan oleh orang tua mereka, dan
mulai meniru tindakan orang tua mereka. Orang tua yang memiliki kebiasaan sibuk
memenuhi waktu luang mereka dengan perangkat digital, hal itu juga akan mendorong anakanak untuk melakukan hal yang sama. Sering menjadi hal lumrah saat menyaksikan misalnya:
sang ayah asyik dengan remote TV, sang ibu sibuk dengan telpon pintarnya sedangkan sang
anak sibuk dengan video games.
Ada banyak orang tua yang salah dalam mendidik anak. Beberapa orang tua
mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak-anaknya, melarang ini dan itu, tetapi dalam
kehidupan sehari-hari mereka sendiri tidak sadar telah melanggar pengajaran dan
larangannya sendiri. Orang tua tidak bisa melarang anaknya yang berjam-jam bermain video
games sedangan mereka sendiri sibuk dengan perangkat digital mereka. Tanpa contoh yang
baik yang ditunjukan orang tua kepada anak-anak, maka hal itu akan membuat anak-anak
tidak bisa menerima hal-hal baik yang diajarkan.
Alkitab telah mengajarkan bagaimana seharusnya orang tua mendidik anak-anak
mereka. Paulus mengajarkan kepada jemaat di korintus dengan pesannya Ikutilah teladanku,
sama seperti aku juga mengikuti teladan Kristus (1Korintus 11:1). Paulus mengerti benar bahwa
untuk memimpin orang berjalan dalam kebenaran, tidaklah cukup hanya dengan pengajaran
lisan saja. Keteladanan merupakan unsur terpenting dalam memimpin dan mengarahkan
seseorang.
Menjadi teladan artinya menjadi sosok yang patut ditiru, patut dijadikan panutan
atau menjadi role model. Sebuah keteladanan akan jauh lebih efektif ketimbang bentukbentuk pengajaran yang hanya bersifat teori saja.29 Seorang anak akan meniru sifat baik dari
orang tuanya, tetapi merka cenderung untuk dua kali lebih mudah dan lebih sering meniru
sifat negatif dari orang tuanya. Apabila orang tua mau efektif dalam mendidik anak-anak
29 Dave Earley, 14 Resep Ampuh Mengasuh Anak Dengan Cara Allah (Yogyakarta: ANDI, 2011), 40.
26
mereka, tidak ada jalan lain, orang tua harus terlebih dahulu menjadi contoh nyata dan
teladan dari segala sesuatu yang mereka ajarkan.
Orang tua yang menginginkan anak-anaknya terlepas dari kecanduan perangkat
digital, maka dari mereka terlebih dahulu harus bisa lepas dari kecanduan perangkat digital.
Ini bukan berarti kemudian melarang menggunakan perangkat digital sama sekali. Hal yang
terpenting adalah pemberian batasan waktu dalam penggunaannya. Waktu yang dahulu
banyak dihabiskan untuk perangkat digital mulai banyak di alihkan melakukan kegiatankegiatan yang bermanfaat lainnya dalam keluarga.
Tingkatkan Interaksi Sehat Dalam Keluarga.
Komunikasi adalah hal yang sangat penting yang harus diusahakan di antara ayah, ibu
dan anak di dalam keluarga Kristen. Paul Gunadi mengatakan:
―Peran komunikasi dalam keluarga dapat disamakan dengan peran jantung dalam
tubuh. Sama seperti jantung yang memompa darah ke seantero tubuh, komunikasi
memompa kehidupan ke seantero keluarga. Jadi, seberapa sehatnya keluarga dapat
diukur dari seberapa sehatnya komunikasi yang tercipta di dalam keluarga itu.‖30
Di lihat dari etimologinya sesungguhnya kata komunikasi berasal dari bahasa Yunani
koinonia, yang berarti persekutuan. Koinonia dalam arti terdalamnya, memiliki makna berbagi
hidup sehingga menjadi suatu kesatuan. Jadi sebenarnya tujuan komunikasi yang
sesungguhnya adalah penyatuan.
Namun, pada kenyataannya lebih sering orang berkomunikasi untuk bermacammacam tujuan yang tidak ada hubungan dengan penyatuan. Ada orang yang berkomunikasi
dengan tujuan ingin mengetahui, hal itu yang menyebabkan seseorang bertanya. Beberapa
orang berkomunikasi dengan tujuan supaya orang lain mengetahui, itulah alas an mengapa
seseorang bercerita. Yang lainnya berkomunikasi dengan tujuan ingin memprotes itu yang
mendorong seseorang berdebat. Ada juga yang berkomunikasi dengan tujuan ingin menegur
sehingga ia menyampaikan koreksi. Atau berkomunikasi dengan tujuan ingin mempengaruhi
orang maka seseorang membujuk. Dan yang juga sering ditemui orang berkomunikasi dengan
tujuan ingin membenarkan diri sehingga ia menjelaskan.
Tetapi, jarang sekali seseorang berkomunikasi dengan tujuan membangun dan
memberi dorongan. Kebanyakan orang berkomunikasi hanya dengan tujuan mengungkapkan
30
Sabda, Tegur Sapa Gembala Keluarga : “Komunikasi dalam Keluarga”
27
kepantingannya, bukan untuk kasih dan kepedulian. Padahal kasih dan kepedulianlah yang
menjadikan komunikasi dapat menyatukan anggota keluarga satu sama lain.
Firman Tuhan dalam Efesus 4:29 mengatakan “Pakailah perkataan yang baik untuk
membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” Dari ayat ini orang
percaya diajar tentang bagaimana seharusnya mengatakan ―yang benar‖ mengatakan ―dengan
benar‖. Kata "baik" berarti tidak buruk, tidak jahat, tidak menyakitkan. Penyampaian
komunikasi dengan cara yang baik akan menghasilkan keluarga yang baik dan berkualitas.
Alasan dalam berkomunikasi adalah untuk ―membangun‖. Orang tua harus
mengarahkan anak-anak digital dengan cara membangun mereka bukan mengendalikan
anak. Harus ada kasih yang seimbang dengan ketegasan dalam menghadapinya. Orang tua
perlu mengkomunikasikan bahaya perangkat digital kepada anak atas dasar kasih yang
membangun. Jika komunikasi di bangun atas dasar kasih, tentu akan tersampaikan setiap
maksud dan tujuan yang hendak di capai. Dan tujuan itu adalah orang yang diajak
berkomunikasi mendapatkan kasih karunia. Dengan ini tujuan komunikasi yang adalah
kesatuan itu terlaksana dengan baik. Jika komunikasi dalam keluarga terjalin dengan baik,
pastinya hubungan yang harmonis dalam keluarga akan tercipta.
Dalam berkomunikasi hal pertama yang penting untuk diperhatikan oleh setiap orang
tua adalah kemampuan menjadi pendengar yang baik. Tuhan memberkati setiap orang
dengan pendengaran adalah untuk digunakan. Sering masalah tidak bisa dipecahkan dalam
sebuah keluarga karena adanya komunikasi sepihak dimana orang tua hanya menginginkan
anak untuk mendengarkan mereka tanpa memberi kesempatan bagi anak untuk menjelaskan
perihal yang terjadi.
Bagi anak yang mengalami kecanduan dengan perangkat digital komunikasi adalah
sarana yang baik untuk pemulihan anak. Orang tua perlu meningkatkan Interaksi sehat
dalam Keluarga. Kecanduan perangkat digital adalah gejala dari jaman modern karena
tingginya kesibukan orang tua sehingga jarang sekali adanya waktu berkumpul bersama
keluarga dirumah untuk berbincang, bercanda, dan sharing kegiatan sehari-hari sehingga
masing-masing anggota keluarga sibuk mencari kesenangan dan hiburan melalui dunia maya.
Oleh karena itu kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan di dunia maya hendaknya
digantikan dengan interaksi di dunia nyata.
Batasi Waktu Pengunaan Perangkat Digital
Membatasi waktu penggunaan perangkat digital, bukan berarti karena hal-hal negatif
dan akibat negatif media, maka serta-merta membuang semua media dari hidup kita dan
28
menjadi seperti kaum Kristen Amish di Amerika yang anti kemajuan zaman atau kaum Badui
di Jawa Barat. Anak masih juga di perbolehkan untuk menggunakan perangkat digital. Tetapi
orang tua harus memperhatikan durasi pemakaiannya. Orang tua perlu melakukan pelacakan
dalam histori berapa banyak waktu yang habiskan anak remajanya untuk online, dan apa
yang mereka lakukan dengan waktu sebanyak itu.
Orang tua perlu menetapkan batas waktu untuk penggunaan perangkat digital
anaknya. Misalnya anak hanya diizinkan menggunakan dirumah pada waktu senggang saja.
Atau larangan menggunakan perangkat digital pada waktu Quality times, seperti sedang
sarapan, makan siang, makan malam, ataupun larangan untuk membawa perangkat digital
pada waktu di sekolah karena itu akan mengganggu proses belajarnya. Disamping itu
perangkat digital cenderung membuat anak hidup dalam dunianya sendiri, dan sulit
bersosialisi dengan teman sebayannya serta lingkungannya.
Orang tua harus tegas atau tidak boleh memanjakan anaknya yang umurnya dibawah
12 tahun untuk menggunakan perangkat digital seperti, telepon pintar, gadget, internet.
Karena lebih banyak dampak negatif yang timbul apabila seorang anak di bawah umur telah
diberikan perangkat digital. Salah satu dampak negatif yang terjadi ialah dapat membuat
anak menjadi malas, mengganggu kesehatannya dan juga dapat menyalah gunakan fungsi
perangkat digital.
Kasus kecanduan atau penyalahgunaan perangkat digital biasanya terjadi karena
orangtua tidak mengontrol penggunaannya saat anak masih kecil. Maka sampai remaja pun ia
akan melakukan cara pembelajaran yang sama. Akan susah untuk mengubah kebiasaan ini
sudah terbentuk sejak kecil. Ini sebabnya, orang tua harus ketat menerapkan aturan ke anak,
tanpa harus bersikap otoriter. Dan jangan lupa, orangtua harus menerapkan reward and
punishment. Kalau ini berhasil dijalankan, maka anak akan bisa melakukannya secara
bertanggungjawab dan terhindar dari kecanduan.
Intinya, kalau orang tua sudah menerapkan kedisiplinan sedari awal, maka di usia pra
remaja, anak akan bisa menggunakan perangkat digital secara bertanggungjawab dan tidak
kecanduan .
Penutup
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil akal budi manusia yang sangat
bermanfaat bagi manusia. Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barangbarang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Karena sebuah
perangkat teknologi merupakan media pembelajaran yang sangat efektif. Dengan adanya
29
tampilan gambar yang bisa berjalan, efek suara atau nyanyian membuat media pembelajaran
dengan memanfaatkan perangkat teknologi sangat disukai oleh anak-anak. Namun di
samping hal positif yang bisa didapatkan dari teknologi, terdapat juga hal-hal negatif yang
dapat merusak perkembangan karakter Anak remaja. Hal-hal negatif cenderung di dapatkan
dari penyalahgunaan Teknologi.
Masa pertumbuhan anak-anak baik secara fisik maupun psikis merupakan masa yang
sangat rawan. Pengaruh dari luar memiliki dampak yang sangat besar terhadap
perkembangan karakter anak. Teknologi akan berdampak negatif bagi anak kalau tidak
dikendalikan dengan baik. Anak-anak yang tidak terkendalikan dalam penggunaan
perangkat digital, mereka dapat mengalami ―matang semu‖, ada juga yang mengalami Popcorn
Brain, ada juga yang disebut dengan sindrom ―anak-anak digital‖
Untuk menyelamatkan generasi dari bahaya negatif yang diakibatkan dari perangkat
digital ini, orang-orang tua perlu melakukan beberapa pendekatan terhadap anak mereka.
Hal yang pertama adalah orang tua harus menjadi teladan dalam penggunaan perangkat
digital. Yang kedua, orang tua perlu meningkatkan interaksi sehat dalam keluarga. Dan yang
ketiga, orang tua perlu membatasi waktu pengunaan perangkat digital anak-anak mereka.
Kepustakaan
Arniwati dan Budyarto, Dampak Teknologi Terhadap Kehidupan Rohani Anak dan Remaja,Malang:
Gandum Mas, 2012
Brewster, Dan, Children & Childhood in The Bible , t.tp: Compassion Internasional, 2011
Earley, Dave, 14 Resep Ampuh Mengasuh Anak Dengan Cara Allah, Yogyakarta: ANDI, 2011
Shin,Yee-Jin, Mendidik Anak Di Era Digital, Bandung: Noura Books, 2014
Swindoll, Charles R., Anda Dan Anak: Kunci Untuk Membina Hubungan Harmonis di Antara Orang
Tua dan Anak , Surabaya: Yakin, t.th
Wright, Norman Raising Kids To Love Jesus, Surabaya: Perkantas, 2014.
Program Sabda, Tegur Sapa Gembala Keluarga : “Komunikasi dalam Keluarga”
http://nasional.sindonews.com/read/878681/18/ancaman-media-sosial-terhadapperkembangan-anak-1404197732
https://www.newscientist.com/article/dn2538-video-game-brain-damage-claim-criticised/
Koran ―Kompas‖, Anak SD Melakukan Pembunuhan Berencana Terhadap Temannya, edisi 25 juni 2015
CNN, Does life online give you 'popcorn brain'?, USA: June 23, 2011
30
PERAN GURU DALAM LITERASI DIGITAL
I Putu Ayub Darmawan31
Pendahuluan
Internet sebagai media digital terus berkembang dengan pesat. Penggunanya juga
terus bertambah. Statistik yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada 2012 menunjukkan jumlah
penduduk Amerika Serikat yang menggunakan internet: 80% penduduk, penduduk Asia
Timur & Pasifik yang menggunakan internet: 36,68%, dan penduduk Indonesia yang
menggunakan internet: 15.36%.32 Pada tahun 2016, berdasarkan hasil survei yang dilakukan
oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan jika pengguna
internet sebanyak 143,26 juta orang dari total populasi penduduk Indonesia (262 juta
orang).
33 Selain itu, hasil survei APJII menunjukkan terjadinya lonjakan yang luar biasa pada
pengguna internet dalam empat tahun terakhir. Hal itu tampak dari data statistik yang
disajikan oleh APJII berikut:
31 I Putu Ayub, M.Pd adalah Dosen di Sekolah Tinggi Teologi Simpson Ungaran Jateng. Ia juga sebagai
pegiat literasi di Kelompok Literasi Ungaran dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Semarang. Putu Ayub juga
adalah pendeta di Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII). Putu Ayub adalah penulis buku Menjadi Guru Yang
Terampil (Bandung: Kalam Hidup, 2014) dan Guru Agama Kristen Yang Profesional (Salatiga: Satya Wacana
University Press, 2018).
32https://www.google.com/publicdata, diakses pada Oktober 2013.
33Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet
Indonesia Survei 2017‖, ©APJII, 6.
31
Gambar 1. Data Pertumbuhan Pengguna Internet34
Temuan tersebut sedikit meleset dari proyeksi APJII yang dirilis tahun 2013. Perhatikan data
proyeksi APJII yang dirilis tahun 2013 berikut:
Gambar 2. Proyeksi Pengguna Internet Indonesia tahun 35
Data statistik hasil survei tahun 2016 menunjukkan bahwa pengguna internet usia 10 hingga
34 tahun sebanyak 42,8%.36 Lonjakan luar biasa terjadi pada tahun berikutnya. Hal itu
34Ibid, 7.
35http://www.apjii.or.id/v2/index.php/read/page/halaman-data/9/statistik.html, diakses Desember 2013.
36Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet
Indonesia Survei 2016‖, ©APJII, 7.
32
tergambar dari hasil survei APJII tahun 20017 yang menunjukkan bahwa kelompok usia 13
hingga 34 tahun total prosentase pengguna internetnya menccapai 66,2%.37
Gambar 3. Komposisi Pengguna Internet Berdasarkan Usia Hasil Survei 201638
Gambar 4. Komposisi Pengguna Internet Bedasarkan Usia Hasil Survei Tahun 201739
37Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet
Indonesia Survei 2017‖, ©APJII, 11.
38Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet
Indonesia Survei 2016‖, ©APJII, 7.
39Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet
Indonesia Survei 2017‖, ©APJII, 11.
33
Data yang disajikan oleh APJII menunjukkan bahwa kelompok usia usia produktif dan
kelompok usia yang akan memasuki usia produktif mengalami lonjakan jumlah pengguna
internet. Hanya pada kelompok usia 13-18 tahun mengalami sedikit perbedaan hasil dengan
hasil survei tahun sebelumnya. Walau demikian, seluruh data tersebut memberi gambaran
bahwa pengguna internet terus bertambah dari waktu ke waktu dan pertambahannya terjadi
begitu pesat serta tidak dapat dihindari. Dalam penulisan ini, penulis menampilkan data
pengguna internet untuk menunjukkan pesatnya penggunaan media digital, sebab pada masa
kini penggunaan berbagai media digital terkait dengan dan tampaknya sulit lepas dari
penggunaan internet.
Pesatnya perkembangan teknologi dan pemanfaatan media digital sebagai bagian
perkembangan teknologi menuntut kemampuan menggunakan secara baik dan positif.
Permasalahannya adalah generasi muda saat ini atau generasi Z tidak dapat dibiarkan begitu
saja dan secara bebas menggunakan media digital. Mereka memerlukan pendampingan dari
berbagai pihak, baik orang tua, tokoh masyarakat, dan pendidik. Orang tua berperan penting
memberikan pendidikan dalam setting keluarga, sementara tokoh masyarakat berperan
penting menjalankan pendidikan dalam setting masyarakat. Dalam konteks Indonesia, di
mana pendidikan lebih banyak dicurahkan dalam setting sekolah maka perlu dipaparkan
bagaimana peran guru sebagai pendidik dalam literasi digital.
Literasi digital merupakan melek atau kemampuan menggunakan media digital.
Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan untuk menggunakan berbagai media digital
secara baik dan positif. Kurniawati dan Baroroh menjelaskan bahwa ―Literasi digital adalah
ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat
komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi
informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain
agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.‖40 Sementara Pratiwi dan
Pritanova menjelaskan bahwa literasi digital adalah era perkembangan baru dunia baca tulis
di mana berbagai informasi menjadi mudah untuk diperoleh melalui media sosial yang
menyajikan berbagai berita dengan cepat, namun terkadang tidak akurat, karena kecepatan
pemberitaan yang terpenting.41 Sebagaimana definisinya, maka guru memiliki peran untuk
membimbing murid-muridnya menjadi pengguna media digital secara baik dan positif. Oleh
karena itu, penulis memaparkan beberapa peran guru dalam literasi digital.
40Juliana Kurniwati dan Siti Baroroh, ― Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Bengkulu,‖ Jurnal Komunikator, Vol. 8, No. 2 (2016): 54.
41Nani Pratiwi dan Nola Pritanova, ―Pengaruh Literasi Digital terhadap Psikologis Anak dan Remaja,‖
Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 6, No. 1 (2017): 22-23.
34
Peran Pendidik Dalam Literasi Digital
Fasilitator
Suryadi mengungkapkan bahwa guru bukan sumber tunggal pengetahuan melainkan
menjadi fasilitator, sebab dinamika maupun intensitas proses pembelajaran dilaksanakan
dengan prinsip kemandirian, tetapi tetap dikelola oleh guru yang berperan sebagai
pemimpin, manajer sekaligus narasumber.42 Dalam pembelajaran konvensional guru berperan
menjadi salah satu rujukan bagi para muridnya, sementara dalam pembelajaran inovatif guru
menjadi fasilitator untuk belajar. Demikian pula dalam kaitannya dengan literasi, guru
berperan menjadi fasilitator bagi para murid. Hanya dalam literasi digital, ada berbagai
permasalahan untuk memungkinkan seorang guru dapat menjadi fasilitator. Rendahnya
kemampuan guru menggunakan media digital dan rendahnya pemahaman mereka terhadap
perkembangan media digital, menjadi salah satu masalah bagi guru menjalankan peran ini.43
Akan tetapi hal itu tidak dapat digeneralisir, sebab guru-guru dengan usia muda cenderung
lebih memahami perkembangan digital dan memanfaatkannya dalam berbagai aktifitas.
Walau demikian, peran seorang guru sebagai rujukan tidak dapat diabaikan begitu saja.
Dalam perannya sebagai fasilitator, guru perlu mengembangkan diri sehingga dapat
mengikuti perkembangan yang pada akhirnya dapat menjadi fasilitator bagi murid, sehingga
mereka dapat menjadi pengguna media digital yang baik dan positif. Sebagai fasilitator guru
dapat membantu murid dengan memberikan berbagai informasi terkait dengan pemanfaatan
media digital dan memberikan tanggapan maupun masukan terkait perilaku penggunaan
media digital.
Dalam literasi digital, secara umum peran guru sebagai fasilitator adalah dengan
memantau perkembangan penggunaan media digital murid di sekolah, kemudian
memberikan dorongan dan masukan bagaimana bermedia digital dengan baik. Secara
spesifik, pendidik memberikan wacana dan wawasan pemanfaatan media digital., kemudian
memastikan setiap murid memiliki komitmen untuk memanfaatkan media digital dengan
sehat. Selain itu, sebagai fasilitator, guru melakukan pembimbingan agar terciptanya karakter
yang pada akhirnya bermuara pada adanya kemampuan bermedia digital secara sehat.
Khusus bagi pendidik Kristen, peran fasilitator dilakukan dalam upaya mendorong
terjadinya pertumbuhan iman dalam komunitas iman. Dengan mendorong terjadinya
42Ace Suryadi, ―Pemanfaatan ICT dalam pembelajaran,‖ Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 8,
No. 1 (Maret 2007): 83-98.
43Umumnya terjadi pada guru generasi senior, tetapi guru generasi ―zaman now‖ cenderung lebih
memahami dan menjadi pengguna aktif.
35
pertumbuhan iman maka murid-murid dapat didorong untuk hidup takut akan Tuhan, sebab
takut akan Tuhan merupakan adalah permulaan pengetahuan (Ams. 1:7). Takut akan Tuhan
membuat murid tahu apa yang patut dilakukan, apa yang patut dilihat, dan bagaimana
bermedia digital dengan patut. Perlu diingat bahwa para murid, dalam konteks pendidikan
Kristen, adalah anggota komunitas iman di mana guru perlu menjadi fasilitator terjadinya
pertumbuhan iman. Sebagai fasilitator, guru menolong murid-muridnya masuk pada dunia
belajar, tempat mereka menggali, mengeksplorasi pelajaran termasuk dunia digital. Guru
memfasilitasi murid untuk lebih mengerti serta dapat mengaplikasikannya prinsip bermedia
digital dalam kehidupannya sehari-hari.44
Model
Peran berikutnya dari seorang guru adalah sebagai model. Guru adalah sosok digugu
dan ditiru, termasuk dalam hal perilaku hidupnya. Tidak dapat dipungkiri jika tutur kata,
gerak-geriknya menjadi perhatian murid-muridnya. Oleh sebab itu, kesempatan ini menjadi
modal penting bagi guru dalam literasi digital. Sesuai dengan definisi literasi, maka sebagai
model guru menjadi model bagaimana memanfaatkan media digital secara sehat. Pemanfaatan
media digital secara negatif dapat menimbulkan perilaku buruk, tetapi perilaku buruk juga
mendorong penggunaan media digital secara negatif. Oleh sebab itu, guru perlu hadir menjadi
model memanfaatkan media digital secara sehat.
Sebagai model, guru tampil menjadi teladan dalam menggunakan media digital. Peran
ini sama seperti yang dilakukan oleh Paulus menjadi teladan bagi orang-orang Kristen,
bahkan dalam kesempatan surat pertamanya kepada jemaat Korintus Paulus menasihatkan
agar jemaat Korintus menuruti teladannya (I Kor. 4:16). Demikian pula dalam kesempatannya
menulis urat kepada jemaat di Filipi, Paulus mengungkapkan agar jemaat Filipi mengikuti
teladannya dan menaruh perhatian pada setiap orang yang menjadi teladan mereka (Flp.
3:17).
Untuk menjadi model maka guru harus mendisiplin diri dalam memanfaatkan media
digital dengan baik dan positif, sehingga dapat diparcaya dan pada akhirnya dapat menjadi
model yang baik. Sebagian waktu murid ada bersama-sama dengan gurunya, itu berarti
bahwa ada cukup banyak waktu di mana murid mengamati perilaku gurunya, bahkan lebih
dari itu murid merasakan dampak dari perilaku gurunya. Oleh sebab itu, perilaku yang baik
dalam bermedia digital menjadi modal penting untuk menjadi model dalam literasi digital.
Salah satu perilaku buruk guru dalam pemanfaatan media digital adalah penggunaan media
44I Putu Ayub Darmawan, Menjadi Guru Yang Terampil (Bandung: Kalam Hidup, 2014), 111.
36
digital yang ada kalanya tidak pada tempatnya, atau adanya kencenderungan konsumtif
maupun kecanduan dalam menggunakan media digital. Perilaku konsumtif dan kecanduan
merupakan efek samping dari perkembangan teknologi, sehingga perlu disikapi dengan
baik.45 Contoh perilaku negatif penggunaan media digital adalah guru cenderung sibuk
menggunakan media sosial, lalu mengabaikan interaksi maupun perhatian bagi muridnya.
Perilaku demikian dapat menjadi model buruk untuk hidup dalam komunitas sosial,
terutama dalam konteks budaya timur di Indonesia.
Apabila guru ingin agar murid dapat melek literasi, dalam arti memanfaatkan secara
baik dan positif maka, maka guru harus menjadi model menciptakan budaya moral positif di
sekolah dan mengimplementasikan nilai-nilai positif dan watak di ruang kelas.46 Sebagai model,
guru adalah inisiator perilaku positif bermedia digital. Konsep ini sebenarnya dilakukan oleh Yesus sang Guru
Agung, di mana Ia tampil sebagai inisiator dalam menciptakan perilaku positif, tidak munafik
sebagaimana umumnya terjadi pada guru pada masa itu, terbuka namun kritis terhadap
perubahan yang terjadi di masyarakat.
Dalam konsep ini, pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari dapat
dimaknai secara positif. Pepatah tersebut tidak hanya dimaknai bahwa murid hanya akan
meniru perilaku buruk guru, melainkan menjadi teladan dalam perilaku baik bermedia digital
bagi para murid. Pada dasarnya murid mengharapkan gurunya menjadi sosok yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru. Oleh sebab itu, perilaku guru dalam bermedia digital harus juga
menjadi perilaku yang dapat dipercaya dan ditiru. Hal ini tidak lepas pula dengan hidupnya
nilai-nilai integritas dalam diri guru. Integritas akan hidup dalam diri guru ketika ada sikap
takut akan Tuhan (Ams. 1:7). Integritas adalah nilai penting yang harus hadir untuk
menyakinkan murid, bahwa kita sebagai guru adalah sosok yang dapat diteladani. Bermedia
digital dapat menjadi situasi yang penuh kemunafikan. Tidak ada yang tahu apa yang
diunduh, dilihat, maupun di-follow oleh guru, tetapi hal itu akan tampak dalam sulitnya guru
membimbing murid yang memanfaatkan media digital secara negatif. Rasa tertuduh akan
tampil dalam bahasa tubuh dan turut dirasakan pula oleh murid. Untuk itu milikilah
integritas agar dapat menjadi model yang baik dan akhirnya ketika guru berperilaku positif
dalam bermedia digital, murid akan berperilaku lebih baik dari gurunya dalam bermedia
digital.
45Sundoro Tanuwidjaja, ―Janji Manis Teknologi,‖ dalam I Putu Ayub Darmawan, Melaksanakan Amanat
Agung di Abad 21: Bunga Rampai (Ungaran: Sekolah Tinggi Teologi Simpson, 2017), 71.
46Sa‘dun Akbar, ― Model Pembelajaran Nilai Dan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kehidupan Di Sekolah
Dasar,‖ Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, No. 1, (Februari 2010): 48.
37
Sahabat
Dua situasi berbeda terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1990-an,
anak-anak sekolah dasar cenderung takut bertemu dengan gurunya saat di luar sekolah.
Mereka biasanya bersembunyi untuk menghindari bertemu dengan guru mereka. Sementara
murid-murid era tahun 2000-an cenderung abai terhadap guru mereka, bahkan beberapa
cenderung tidak menaruh hormat. Walau demikian, di era millenial, guru perlu tampil
sebagai sahabat bagi para muridnya. Apabila guru ingin agar murid dapat melek literasi,
maka guru harus menjadi sahabat (partner) yang baik dalam bermedia digital.47
Menghadapi tuntutan tugas sekolah yang tinggi, murid dapat memiliki
kecenderungan masalah emosional, sehingga ketika menghadapi tekanan yang cukup tinggi
dan minimnya kemampuan menangani kondisi tersebut, memungkinkan murid mencurahkan
isi hatinya di media sosial secara negatif dan cenderung tanpa proses berpikir yang baik. Jika
kondisi ini terjadi, maka jelas bahwa tujuan penggunaan media digital tidak tercapai dengan
baik dan positif. Hal itu adalah salah satu contoh kasus yang mungkin terjadi pada setiap
murid yang kita didik, oleh sebab itu guru perlu tampil sebagai sahabat. Sebagai sahabat,
guru perlu memberi waktu untuk berbicara sebagai wujud kasih. Hal itu sejalan dengan
kebenaran Alkitab dalam Amsal 17:17 yang dituliskan bahwa ―Seorang sahabat menaruh
kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.‖ Dengan tuntutan
administrasi yang cukup banyak, tampaknya sulit bagi guru merealisasikan hal ini. Tetapi,
menaruh perhatian setiap waktu tidak berarti bahwa guru selalu bersama, melainkan selalu
hadir dengan berbagai cara untuk menolong murid dapat menggunakan media digital dengan
baik dan positif. Sikap simpati dan empati menjadi salah satu cara guru menjadi sahabat bagi
murid ketika berada dalam kondisi tersebut.
Sebagai sahabat, guru perlu memiliki kemampuan mendengarkan, mengamati, dan
menolong permasalahan murid. Dalam hal ini tentunya terkait dengan perilaku bermedia
digital. Tuhan Yesus adalah teladan seorang guru yang menjadi sahabat bagi para murid. Ia
menaruh perhatian terhadap perilaku murid ketika tergoda pada arus perkembangan pada
masa itu. Sebagai contoh, perbincangan di meja perjamuan, Yesus menaruh perhatian pada
perilaku Yudas yang terjerumus dalam perilaku beberapa kelompok masyarakat pada waktu
itu (Mrk. 14:10-11; Mat. 26:14-16; Luk. 22:3-23). Yesus Kristus juga datang pada murid-muridNya dan berkata-kata kepada mereka dengan akrab. Dengan demikian hubungan-Nya
dengan para murid menjadi sangat dekat dan Ia dapat menjadi sahabat yang menolong
murid-murid-Nya mengatasi permasalahan mereka.
47Akbar, ― Model Pembelajaran Nilai Dan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kehidupan,‖ 48.
38
Saya pernah menemukan seorang murid yang mengalami masalah dalam
memanfaatkan media digital. Cara-cara dengan teguran keras justru mengganggu
penyelesaian masalah murid tersebut, tetapi ketika guru memposisikan diri sebagai sahabat,
guru tersebut dapat memahami apa situasi murid dan akhirnya dapat menemukan cara yang
tepat menolong murid bermedia digital dengan sehat. Oleh sebab itu, guru tidak dapat hanya
memposisikan diri sebagai sumber melainkan sebagai sahabat yang menolong murid
bermedia digital dengan sehat.
Penutup
Perkembangan teknologi, termasuk media digital tidak dapat dihindari.
Perkembangan terus terjadi dan harus dihadapi dengan positif. Tidak dapat dipungkiri,
perkembangan teknologi yang luar biasa memungkinkan terjadinya perilaku negatif dalam
bermedia digital. Perilaku demikian banyak terjadi pada anak-anak yang memasuki usia
produktif. Oleh sebab itu, guru sebagai pendidik harus tampil untuk membantu murid melek
digital. Dalam menolong murid melek digital, guru menjadi fasilitator yang membantu murid
dengan memberikan berbagai informasi terkait dengan pemanfaatan media digital dan
memberikan tanggapan maupun masukan terkait bermedia digital dengan baik. Secara
spesifik, pendidik memberikan wacana dan wawasan pemanfaatan media digital, kemudian
memastikan setiap murid memiliki komitmen untuk memanfaatkan media digital dengan
sehat. Khusus bagi pendidik Kristen, peran fasilitator dilakukan dalam upaya mendorong
terjadinya pertumbuhan iman dalam komunitas iman yang pada akhirnya dalam komunitas
iman murid-murid masuk pada dunia belajar, tempat mereka menggali, mengeksplorasi
pelajaran termasuk dunia digital. Peran berikutnya adalah menjadi model dalam bermedia
digital. Sebagai sosok yang harus dapat digugu dan ditiru, tutur kata maupun gerak-geriknya
menjadi perhatian murid-muridnya. Hal itu adalah modal penting bagi guru dalam literasi
digital, di mana ia menjadi model bagaimana memanfaatkan media digital secara sehat. Guru
juga berperan sebagai sahabat, ia bukan sosok yang menakutkan maupun yang diabaikan.
Dalam literasi digital, guru menjadi sahabat dalam bermedia digital dengan baik. Sebagai
sahabat, guru perlu memiliki kemampuan mendengarkan, mengamati, dan menolong
permasalahan murid, sehingga dapat membangun murid menjadi manusia beriman, memiliki
ketaatan pada Tuhan, budi pekerti yang luhur, cerdas dan berketrampilan, termasuk dalam
bermedia digital.
Kepustakaan
39
Akbar, S. ― Model Pembelajaran Nilai Dan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kehidupan Di
Sekolah Dasar,‖Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, No. 1 (Februari 2010): 46-54.
Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2015.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna
Internet Indonesia Survei 2017‖, ©APJII.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna
Internet Indonesia Survei 2016‖, ©APJII.
Darmawan, I Putu Ayub. Menjadi Guru Yang Terampil. Bandung: Kalam Hidup, 2014.
http://www.apjii.or.id/v2/index.php/read/page/halaman-data/9/statistik.html, diakses
Desember 2013.
https://www.google.com/publicdata, diakses pada Oktober 2013.
Kurniwati, J. dan Baroroh, S. ― Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Bengkulu,‖ Jurnal Komunikator, Vol. 8, No. 2 (2016): 51-66.
Pratiwi, Nani dan Pritanova, Nola. ―Pengaruh Literasi Digital terhadap Psikologis Anak dan
Remaja,‖ Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 6, No. 1
(2017): 11-24.
Suryadi, Ace. ―Pemanfaatan ICT Dalam Pembelajaran,‖ Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh,
Vol. 8, No. 1 (Maret 2007): 83-98.
Tanuwidjaja, Sundoro. ―Janji Manis Teknologi,‖ dalam I Putu Ayub Darmawan, Melaksanakan
Amanat Agung di Abad 21: Bunga Rampai. Ungaran: Sekolah Tinggi Teologi Simpson, 2017.
Wangid, M. N. ―Sistem Among Pada Masa Kini: Kajian Konsep Dan Praktik Pendidikan,‖
Jurnal Kependidikan, Vol. XXXIX, No. 2, (November 2009): 129-140.
40
PERAN PEMIMPIN KRISTEN DI ERA DISRUPSI TEKNOLOGI
Daniel Ronda48
Pendahuluan
Salah satu pilar kepemimpinan Kristen yang efektif adalah menjadi pemimpin yang
transformatif, yaitu menjadi agen perubahan (Ronda, 2016, hal. 171-177). Transformatif artinya
pemimpin harus siap membawa perubahan bagi organsiasi yang dipimpinnya jika ingin
organisasi itu terus relevan dalam zamannya. Tanpa kompetensi yang mampu berpikir dan
bertindak transformatif maka dipastikan organisasi yang dipimpinnya akan stagnan bahkan
menuju kepada kematian. Lebih jauh bahwa fungsi Kepemimpinan efektif adalah ―Proaktif‖
yaitu lewat visi dan misinya, dia memikul tanggung jawab dan mengambil inisiatif untuk
kemajuan organisasinya (D‘Souza, 2013, hal. 76-77). Pemimpin tidak menunggu dan
menonton perubahan yang terjadi tetapi secara aktif mengamati perubahan dan mencoba
terobosan baru dalam pelayanan.
Tetapi masalah yang dihadapi gereja masa kini terutama untuk sebuah organisasi
yang sudah berusia di atas 75 sampai 100 tahunan adalah stagnansi dan kuat dalam
mempertahankan tradisi. Padahal fakta jelas di depan mata adalah dunia sedang berkembang
ke arah yang berubah dengan cepat terutama di dunia teknologi sehingga para ahli
menyebutnya sebagai ―Era Disrupsi Teknologi‖. Yang memprihatinkan adalah sebagian gereja
dan pemimpinnya belum siap menghadapi perubahan besar ini padahal umat sudah
memasuki dunia digital ini.
Perumusan masalah dalam adalah apakah yang menjadi peran pemimpin Kristen di
era disrupsi teknologi? Dari permasalahan ini, maka tulisan ini bertujuan memberi arah untuk
memberdayakan peran pemimpin Kristen di era disrupsi teknologi ini. Kajian tulisan ini
merupakan hasil observasi serta interaksi dalam ceramah-ceramah yang penulis lakukan
dengan tema di sekitar keluarga dan teknologi. Penulis melakukan kajian pustaka di sekitar
disrupsi teknologi dan diharapkan menemukan benang merah bagaimana pemimpin Kristen
berperan dalam memberikan arah bagi organisasinya menghadapi era dunia digital ini.
Kajian Tentang Disrupsi Teknologi
Disrupsi teknologi menurut Clayton M Christensen, 1997 merupakan sesuatu yang
menggeser teknologi yang telah mapan dan menggoyang industri atau produk yang kemudian
48 Dr. Daniel Ronda adalah Ketua Umum Gereja Kemah Injil Indonesia.
41
melahirkan industri baru (Sutaryono, 2017) – Ini Istilah sebagai awal dari arti ―disrupsi
teknologi‖ di mana istilah ini terus digunakan sampai hari ini. Ketika dihubungkan dalam
konteks abad ke-21, maka arti disrupsi teknologi berarti di mana ada perubahan teknologi
yang terjadi terus menerus dalam tempo singkat dan tanpa diketahui batasnya sampai di
mana. Era ini ditandai dengan perubahan yang berkelanjutan dan kejutan bagi manusia masa
kini. Desrupsi teknologi disebut juga sebagai ―Fase Revolusi Teknologi‖. Fase revolusi
teknologi mengubah cara beraktivitas manusia dalam skala, ruang lingkup, kompleksitas, dan
transformasi dari pengalaman hidup sebelumnya. Manusia bahkan akan hidup dalam
ketidakpastian (uncertainty) global. Karenanya manusia dipaksa untuk harus memiliki
kemampuan untuk memprediksi masa depan yang berubah sangat cepat.
Contoh awal disrupsi teknologi adalah Personal computer (PC) telah menggeser mesin
ketik. Surat elektronik telah menggantikan menulis surat dan mengganggu bisnis kantor pos
dan industri kartu ucapan. Telepon seluler telah menggantikan industri telepon tetap dan
laptop menggantikan PC. Telepon pintar menggeser kamera saku, pemutar MP3, dan
kalkulator. Jaringan media sosial telah menggeser telepon, surat-el, dan pesan singkat (SMS)-
(Sutaryono, 2017). Lebih lanjut, era ―Smartphone‖ dengan aplikasinya. Smartphone (4 milyar
pemakaianya di dunia) bukan lagi untuk telepon dan SMS saja tapi sebagai penyedia
kebutuhan informasi modern, di mana penyedia informasi sekarang ini sangat banyak
dilengkapi dengan aplikasi-aplikasi yang terus bermunculan untuk mempermudah
kehidupan manusia. Itu sebabnya teknologi digital semakin merubah tatanan hidup manusia.
Pada masa kini manusia bergantung pada smartphone, dengan ponsel pintar awalnya
sekadar mengabarkan keadaan keluarga melalui telepon, SMS (short message service), sekarang
sudah bersosialisasi via media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan lain-lain), atau video
call service (WA, Skype atau Google Hangout), membaca berita melalui koran online Kompas.com
atau Detik.com, mengunduh artikel jurnal terbaru dari Google Scholar, menonton live streaming
atau mendengarkan khotbah terbaru melalui Youtube, memotret diri atau panorama alam
membagikannya melalui media sosial Instagram, membeli barang melalui aplikasi Bukalapak
atau Tokopedia, memesan ojek online melalui Gojek, Grab, dan seterusnya. Muncul teknologi
keuangan baru (the new financial technologies) seperti internet banking, mobile banking, e-commerce,
sistem transaksi NFC (near field communication), sistem kredit berbasis peer-to-peer lending yang
menghilangkan peran bank menyebabkan manusia untuk melakukan aktivitas ekonomi
dengan cara-cara baru secara lebih efektif dan efisien. Untuk melakukan transaksi perbankan
atau membeli barang bernilai jutaan rupiah, mendonasikan uang melalui laman crowd funding
42
seperti KickStarter.com atau KitaBisa.com, hingga berinvestasi lewat aplikasi saham.
Bersama penemuan-penemuan teknologi lainnya, teknologi keuangan baru telah mengubah
cara hidup kita, manusia digital pasca-modern, secara revolusioner (Hidayat, 2018).
Penggambaran era di atas ini sudah ditulis oleh John Naisbitt di masa yang akan
datang disebut sebagai ―Gejala Mabuk Teknologi‖. Ciri-ciri dari hal itu adalah sebagai
berikut: (1) Lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama sampai
masalah gizi; (2) Takut sekaligus memuja teknologi; (3) Mengaburkan perbedaan antara yang
nyata dengan semu; (4) Menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar; (5) Mencintai
teknologi dalam wujud mainan; (6) Menjalin kehidupan yang berjarak dan terenggut.Keenam
ciri ini mewarnai dunia digital saat ini yang membawa kepada kejutan budaya yaitu budaya
populer atau popular culture (Oleh Abd. Azis, 2004).
Semua perubahan teknologi yang begitu cepat memiliki dua sisi, memiliki manfaat
tapi sekaligus berbahaya. Ia dapat digambarkan dengan sebuah pisau yang dapat dipakai
untuk berbagai keperluan hidup tapi sekaligus bisa menjadi senjata mematikan. Perubahan
yang cepat menghasilkan kejutan budaya yang mana kita masuk dalam kegamangan. Manfaat
perkembangan dunia digital:
Pertama, lewat aplikasi dalam smartphone dan dunia online, mempermudah semua
urusan manusia dalam ekonomi, perdagangan, perbankan, kesehatan, komunikasi,
pendidikan dan jutaan aplikasi lainnya. Termasuk di dalamnya untuk memuaskan hobi dan
games (mainan) yang tidak terbatas jumlahnya.
Kedua, internet sudah menjadi sumber pendidikan dan bukan hanya informasi untuk
mendapatkan berita, tapi juga ilmu pengetahuan, seni dan berbagai informasi berguna
lainnya yang bisa dicari lewat mesin pencari seperti ―Google‖ dan ―YouTube‖.
Ketiga, manusia sekarang masuk dalam komunitas baru yang disebut warga netizen
di mana mendapatkan banyak pertemanan dan jejaring persahabatan yang terjadi di dunia
digital lewat ―Facebook‖, ―Instagram‖dan grup-grup di media sosial seperti ―Whatsapps‖,
dan aplikasi populer lainnya yang bergantung di tiap negara. Misalnya di Korea, warganet
mereka lebih menyukai KakaoTalk, atau di China populer dengan WeChat, dan seterusnya.
Keempat, teknologi internet telah menciptakan lapangan kerja baru dan berbagai
profesi baru antara lain: ahli pembuat situs internet/aplikasi, desain situs (web designer),
pembuat film, konsultan inetrnet, pedagang online, dan banyak lagi yang lainnya. Belum lagi
terciptanya banyak lapangan kerja yang sangat besar seperti ―Gojek, Grab, Uber‖.
43
Kelima, dunia digital menjadi sarana yang efektif untuk pelayanan baik misi, khotbah,
pendidikan teologi dan berbagai pelayanan yang disampaikan di media sosial maupun
―YouTube‖ dan sejenisnya.
Walaupun manfaatnya sungguh besar dan manusia semakin bergantung karenanya,
maka ada sisi bahaya dunia digital yang harus diketahui untuk disikapi dengan cermat:
Pertama, informasi dan pengetahuan yang dimiliki saat ini tidak tersaring lagi
sehingga banyak bertebaran berita sampah, palsu (hoaks), pornografi, kekerasan di mana
semuanya itu sudah tidak ada yang bisa menyaringnya dengan cara apapun lagi. Pemerintah
pun harus mengakui bahwa mereka kewalahan menyaring konten pornografi masuk ke
Indonesia, walaupun sudah dilakukan dengan upaya yang sangat keras dan menggunakan
dana yang tidak sedikit.
Kedua, muncul budaya baru di kalangan generasi milenial yang dibuktikan dengan
berbagai bahasa dan istilah-istilah yang baru seperti: selfie, panjat sosial (social climber),
eksibisionisme (pamer diri), googling dan banyak lagi istilah lainnya. Ini menyulitkan
komunikasi antar generasi sehingga harus ada jembatan mengatasi kesulitan ini, karena
bahasa percampuran teknologi dan fenomena sosial ini digabung membuat generasi tua sulit
mencernanya.
Ketiga, dalam interaksi komunitas warga netizen, muncul kebiasaan baru yaitu saling
menghujat, mencaci maki, mencela tanpa mengetahui konteksnya. Inilah sifat kebinatangan
manusia yang diekspresikan di ruang terbuka yang ―semau gue‖ dan tanpa ada rasa hormat.
Komentar ini menghilangkan rasa adab manusia beragama dan berbudaya seperti dalam
budaya bangsa Indonesia yang menghargai kesantunan dan menghormati sesama.
Keempat, Budaya topeng atau semu menjadi ciri khas manusia di era digital sehingga
tidak tahu mana yang nyata dan tidak. Apa yang kelihatan baik di laman media sosial seperti
―Facebook‖ belum tentu sesuai dengan fakta. Manusia bertopeng adalah karakteristik
manusia modern di era disruptif ini.
Kelima, ada kehidupan rahasia yang dimiliki manusia sehingga dia bisa menyaru
dengan identitas lain di media sosial; pada sisi lain manusia mengisolasi diri, sehingga
akibatnya menjadi kesepian di tengah hiruk pikuknya dunia digital ini.
Keenam, kejahatan dan semua bentuk konspirasi menjadi tidak terbatas bahkan
sudah masuk ke ruang pribadi manusia. Bahkan arena kompetisi politik yang penuh intrik
sudah masuk ke ranah dunia digital.
Ketujuh, manusia mulai memanjakan kedagingannya di mana seri film televisi hari ini
dipaketkan dengan langganan internet sehingga serinya menjadi panjang dan tak terbatas.
44
Bahkan rata-rata manusia menonton TV itu lebih dari 8 jam sehari. Games dan hiburan telah
menjadi suatu yang adiktif (mencandu). Adiktif film dan games adalah sebuah penyakit baru
di era disruptif ini dan biaya terapi serta penyembuhannya sangat kompleks serta
memerlukan dukungan semua pihak untuk penyembuhannya.
PERAN PEMIMPIN KRISTEN MEMASUKI DISRUPSI TEKNOLOGI
Ada beberapa peran pemimpin Kristen yang perlu dilakukan secara serius dan
komprehensif terhadap era yang berubah secara mengejutkan ini:
Pertama, Pendekatan Spiritual
Pendekatan spiritualitas yaitu Firman Tuhan adalah sebuah keharusan sebagai
pedoman dan penuntun menghadapi era ini. Kitab Galatia memberikan pedoman
menghadapi kedagingan dengan ―Hiduplah oleh Roh Kudus‖ (Galatia 5:16), ―dipimpin oleh
Roh‖ (5:18) dan ―menghasilkan buah-buah Roh‖ (ayat 22:23). Secara singkat bahwa ada
disiplin rohani yaitu menyalibkan hawa nafsu daging dan keinginannya (Gal 5:19-21 dan 24).
Dalam anugerah Tuhan, disiplin rohani dan penyangkalan diri serta menguasai diri harus
menjadi sentral dalam perjalanan hidup seseorang dan fokus kepada tujuan hidup manusia
yaitu memuliakan Tuhan. Kedisiplinan rohani ini wajib menjadi sebuah berita utama dalam
kampanye para pemimpin rohani dalam penyadaran tentang bahaya maupun manfaat
perkembangan teknologi tanpa batas ini.
Kedua, Pendekatan Edukatif
Pemimpin wajib membangun pedoman etika Kristen dalam menggunakan media
sosial dan mendorong komunitas bertanggung jawab menghindari membagi konten negatif,
tidak menyebarkan hoaks dan berbagai ujaran kebencian, dan yang lainnya.
Semua bertanggung jawab untuk belajar seluk beluk dunia digital dan mengajarkan
orang lain memahami cara kerja media sosial dengan baik. Pemimpin harus menyadari bahwa
ada generasi yang lebih senior yang takut dengan teknologi. Di sini pemimpin memberi
kepastian untuk tidak menghindari teknologi apalagi takut belajar perkembangan teknologi
karena pendidikan tidak mengenal batas usia.
Ketiga, Pendekatan Integritas
Penting dalam membangun komunitas warga netizen yang transparan (tidak ada
rahasia) dan menjaga komitmen kekudusan, yang dimulai dalam keluarga dan dilanjutkan ke
komunitas gereja serta komunitas lainnya. Memilih menggunakan narasi yang baik dalam
45
menyampaikan pendapat, menghormati sesama dan tidak memakai hujatan dan kebencian
dalam media sosial adalah etika yang perlu ada bagi warga gereja.
Keempat, Pendekatan Azas Manfaat
Dunia digital memiliki pengaruh besar yang harus dimanfaatkan sebanyak-banyaknya
untuk pelayanan, pemuridan dan misi. Setiap warga gereja dapat menggunakan media dunia
digital untuk mengembangkan diri baik dalam hal pengetahuan, pekerjaan, usaha serta
pelayanan. Pembelian alat (gadget) harus bernilai investasi dan bukan konsumtif yang justru
menjadi kekuatan destruktif bukan konstruktif.
Kelima, Pendekatan Humanistik
Di tengah disrupsi teknologi dan perkembangan yang tiada batas, maka sentuhan
kemanusiaan tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Pemimpin harus tetap menyapa umat dan
mereka yang menderita dengan sentuhan kemanusiaan yaitu hadir di antara mereka serta
melawat mereka dalam doa dan kata-kata verbal. Komunikasi langsung yaitu bertemu dalam
fisik masih diperlukan bahkan menjadi suatu yang sangat dibutuhkan dalam era dunia digital
ini. Kehausan manusia akan kasih sayang tidak pernah tergantikan dengan kemajuan
teknologi yang ada di dalam era apapun itu, karena kasih itu bernilai kekekalan.
Penutup
Para pemimpin patut menghadirkan keberanian untuk melakukan terobosan
pelayanan dalam masuk ke dunia digital. Kemudian para pemimpin perlu belajar dan terus
belajar perkembangan dunia digital sembari menjadi pemberi arah etika moral dan etiket bagi
warga netizen. Selain itu, pemimpin Kristen perlu menyadari bahaya adiktif dan kecanduan
atas dunia digital ini terutama soal kekerasan, radikalisme agama, games, pornografi dan
berbagai aksi negatif lainnya.
Pemimpin Kristen harus menghadirkan gerakan menjadi warga netizen untuk
berinternet secara positif dan bermartabat, kemudian mendorong suatu kehidupan yang
mampu menguasai diri dalam segala hal dan akhirnya menyatakan Kristus di komunitas
dunia digital.
Kepustkaan
Anthony D‘Souza, 2013. Proactive Visionary Leadership. Jakarta: Gramedia.
46
Daniel Ronda. 2016. “Leadership Wisdom”: Antologi Hikmat Kepemimpinan, edisi kedua. Bandung:
Kalam Hidup.
John Naisbitt, et.all. 2004. Hight Tech Hing Touch, Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat
Teknologi, Bandung, Mizan, 23 (sebagaimana dikutip dalam Abd. Azis dalam papernya
berjudul Religiusitas Masyarakat Urban di Era Digital).
Medhy Hidayat, ―Teknologi dan Manusia di Era Digital‖ tersedia di
https://medhyhidayat.com/teknologi-dan-manusia-di-era-digital/ diakses tanggal 1
Agustus 2018.
Paul Sutaryono, ―Tantangan Disrupsi Teknologi‖, Kompas Online, tanggal 9 Oktober 2017,
tersedia di https://kompas.id/baca/opini/2017/10/09/tantangan-disrupsi-teknologi/
diakses tanggal 30 Juli 2018
47
PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) KRISTEN
DALAM LITERASI DIGITAL
Firman Panjaitan49
Pendahuluan
―Perubahan‖ kata ini menjadi kata kunci dalam menghadapi kehidupan saat ini.
Menjadi kata kunci karena hidup ini berjalan terus dalam segala bentuk perubahan. Semua
berubah, tidak ada yang bersifat kekal; Darwin mengatakan bahwa evolusi merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan alam semesta yang menghantar kehidupan alam
semesta mengalami berbagai bentuk perubahan; dengan demikian evolusi adalah perubahan.
Filsuf Rene Descartes mengingatkan bahwa segala hal berubah, kecuali perubahan itu sendiri
yang tidak akan pernah berubah. Dengan demikian, hakikat kehidupan ini adalah berubah
dan mengalami perubahan.
Dengan mengamati bahwa kehidupan senantiasa berjalan dalam perubahan, maka
setiap orang yang tidak berani menghadapi perubahan akan mengalami kehidupan yang stag
dan ia sedang membiarkan dirinya digerus dan dihantam oleh badai perubahan. Akibatnya ia
tidak akan pernah bisa bertahan dalam kehidupan ini dan hancur dalam ketertinggalan.
Namun jika manusia berani menerima, menghadapi dan menghargai perubahan, maka
hidupnya akan menjadi lebih baik dan bahkan ia dapat bertahan dalam kesukacitaan karena
hakikat perubahan itu sendiri adalah menghantar manusia masuk ke dalam situasi kehidupan
yang sesungguhnya terjadi saat ini dan di sini.
Perubahan juga melanda dalam sistem pendidikan dan cara menyajikan sistem
pendidikan itu sendiri. Kalau dulu dalam system pendidikan dikenal istilah memberantas
buta huruf (menjadikan orang melek huruf) dan metoda yang digunakan adalah menjalankan
B3B (Bebas Tri Buta: Buta Aksara, Buta Bahasa Indonesia dan Buta Pendidikan Dasar) dan
penerjunan beberapa tenaga pengajar ke daerah-daerah yang menjadi sasaran B3B. Namun
dengan perubahan yang terjadi, pada masa sekarang metoda yang digunakan untuk
memberantas ketidaktahuan informasi (termasuk B3B) tidak lagi hanya menerjunkan tenagatenaga pengajar ke daerah sasaran (khususnya daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh
transportasi); juga dengan menggunakan sarana yang lebih modern yaitu literasi digital
(memberantas segala ketidaktahuan melalui sarana digital). Dan ini adalah salah satu bagian
49 Firman Panjaitan, M.Th adalah Manajer Pendidikan di YPPK Petra Jombang Jatim, dan juga dosen tetap di
STT Tawangmangu Jateng
48
dari sistem pendidikan yang harus dikembangkan; karena mau atau tidak mau, sadar atau
tidak sadar, kebutuhan akan digital terhadap kehidupan ini semakin dirasakan dan harus
diwujudnyatakan.
Yang menjadi permasalah sekarang adalah: apa yang dimaksud dengan literasi digital?
Dan jika memang kebutuhan terhadap litersi digital ini memang menjadi sebuah kebutuhan
mendesak, siapa yang bertanggung jawab untuk menyebarluaskan pengetahuan ini agar
tercapai kehidupan masyarakat Indonesia yang bebas dari ketidaktahuan terhadap informasi
dan ilmu pengetahuan?
Tulisan ini akan menyajikan lebih jauh lagi tentang pemahaman literasi digital tersebut
sekaligus menunjukkan bahwa salah satu lembaga yang ikut bertanggung jawab untuk
meluaskan pengetahuan dengan menggunakan literasi digital ini adalah Lembaga Swadara
Masyarakat; yaitu lembaga non-pemerintah tetapi sekaligus lembaga yang menjadi mitra
pemerintah dalam upaya memajukan dan mengembangkan kehidupan masyarakat Indonesia
agar memiliki pengetahuan seluas-luasnya.
Literasi Digital
Apa Yang Dimaksud dengan Literasi Digital?
Jika ingin dipahami secara sederhana, Literasi Digital adalah sebuah bentuk sastra
yang menggunakan sarana digital dalam penyampaiannya. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa literasi digital (sastra digital) adalah bentuk sastra yang dilahirkan dalam dunia
digital. Artinya, segala tulisan dan pengetahuan (sebagai bentuk sastra ) itu dibuat dan
kemudian diunggah ke dalam dunia digital untuk dapat dinikmati oleh semua orang. Jenis
sastra ini, memang, tidak dimaksudkan untuk dicetak karena dalam karya tersebut termuat
banyak beberapa jenis media; seperti gambar, suara, video, dan hyperlink. Karya ini
dimaksudkan untuk dibaca pada komputer. Karena itu, dalam menggeluti literasi digital
dibutuhkan syarat utama yaitu memiliki ketertarikan dan kemampuan individu dalam
menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola,
mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, serta dapat membangun
pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar bisa berpartisipasi
secara efektif dalam masyarakat.
Dengan demikian literasi digital dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan aktif dan
arief seseorang dalam berselancar di dunia maya untuk menemukan website yang berisikan
tentang berbagai macam jenis ilmu pengetahuan yang dipandang mampu untuk membantu
dalam pengembangan diri.
49
Untuk semakin memaksimalkan peran literasi digital bagi seseorang yang ingin
terlibat, maka terlebih dahulu setiap orang dipahamkan agar mereka bersedia untuk menjadi
warga digital. Adapun pengertian dari warga digital adalah adalah orang yang sadar akan hal
baik dan yang buruk tentang kegunaan digital dalam kehidupan. Warga digital senantiasa
menunjukan kecerdasan dalam perilaku teknologi, serta bisa membuat pilihan yang tepat
saat menggunakan teknologi digital. Warga digital memanfaatkan kemajuan teknik
informatika dalam bentuk digital untuk membentuk suatu komunitas, pekerjaan, dan
berekreasi; sehingga warga digital ini benar-benar paham akan berselancar ke mana ketika
mereka mulai memasuki dunia digital.
Warga digital menempatkan teknologi digital untuk berekreasi, maksudnya mereka
yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengoperasikan teknololgi informatika
akan mengekspresikan dan menuangkan ide/gagasan karakteristik, baik secara pribadi
maupun kelompok, ke dalam duniamaya. Tetapi karena sifat dunia maya yang tidak
mempertemukan individu-individu tersebut ke dalam satu pertemuan nyata, maka secara
tidak langsung bisa mendorong makin menipisnya bahkan hilangnya norma-norma sopan
santun,rasa tanggung jawab, dan etika saat berkomunikasi. Dan untuk mengantisipasi hal itu
maka diperlukan Kewargaan Digital.
Kewargaan Digital adalah konsep yang dapat digunakan untuk memberikan
pengetahuan mengenai penggunaan teknologi dunia maya dengan baik dan benar. Atau juga
dapat didefinisikan sebagai norma perilaku yang tepat dan bertanggung jawab atas
penggunaan teknologi. Melalui kewargaan digital, maka implikasi penggunaan teknologi
dunia maya yang baik dan benar dapat terwujud secara nyata. Komunikasi yang dibangun
pun akan menggunakan pemilihan kata yang benar dan tepat, sehingga tidak akan pernah
menyinggung pihak lain dan dalam dunia digital yang dapat diakses setiap warga digital,
informasi yang diberikan pun tidak bersifat rahasia, melainkan umum dan membangun.
Setiap warga digital memiliki hak akses digital, yaitu suatu akses agar bisa mengakses
internet dengan benar dan arief. Akses digital itu penting, karena tanpa akses digital semua
orang tidak bisa mengakses jaringan internet; dan jika jaringan internet bisa diakses maka
mereka akan dapat memperluas akses digital tersebut bahkan mampu untuk memperluas
jaringan dalam digital. Dengan demikian, misi dari akses digital adalah untuk mendukung
berbagai sumber daya teknologi informasi dalam masyarakat yang memiliki akses terbatas ke
teknologi. Hal ini dilaksanakan dengan menggunakan program yang kreatif dan kolaboratif.
Manfaat Literasi Digital
50
Dalam pengamatan penulis, literasi digital sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi
masyarakat saat ini. Sebab kemajuan teknologi yang tidak diimbangi oleh kecerdasan dalam
menggunakan perangkat teknologi modern, niscaya akan memberikan dampak buruk bagi
peradaban manusia. Kalau dahulu orang memberikan istilah literasi sebagai sebuah kegiatan
yang mendidik orang untuk bisa membaca dan menulis, atau biasa "melek huruf"; namun
terminologi tersebut kini lebih meluas dan berkembang seiring dengan tuntutan teknologi
yang mengiringinya. Dahulu orang disebut buta huruf bila belum sampai pada tahap
membaca dan menulis. Tetapi kini istilah itu tidak bisa dikenakan kepada orang dengan
begitu saja, karena yang disebut dengan ―buta huruf‖ bukan sekadar ketidaktahuan tentang
baca dan tulis saja, melainkan istilah ―buta huruf‖ sekarang lebih mengarah pada pengertian
"buta huruf milenial", yaitu sebuah kondisi gagap teknologi (gaptek) alias minus literasi
digital, yang mengakibatkan orang sama sekali tidak mengetahui berbagai macam
perkembangan yang terjadi di luar lingkungannya. ―Buta huruf milenial‖ ini men jadi pemicu
dari tumbuh kembangnya kondisi masyarakat yang semakin lama semakin terbelakang.
Dalam Roadmap UNESCO (tahun 2015 – 2020) , literasi digital dipandang sebagai
bagian penting dari rencana jangka panjang badan PBB yang mengurusi soal pendidikan dan
kebudayaan. Literasi digital menjadi pilar penting untuk masa depan pendidikan sekaligus
menjadi basis pengetahuan, yang didukung oleh teknologi informasi secara terintegrasi.
Mengamati perkembangan penggunaan digital di Indonesia, penulis meliha bahwa
kebutuhan mendorong munculnya gerakan literasi digital yang bersifat sosial sudah sangat
mendesak, mengingat bahwa penduduk Indonesia yang bergerak "bermigrasi ke dunia maya"
sudah sangat kolosal. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet
Indonesia (APJII) , misalnya, mengungkapkan bahwa lebih dari setengah penduduk
Indonesia kini telah terhubung ke internet. Tercatat bahwa sepanjang tahun 2016 sebanyak
132,7 juta orang Indonesia menjadi pengguna aktif internet dari 256,2 juta orang total
penduduk. Tingkat pertumbuhan penetrasinya juga sangat pesat, terlebih mayoritas
pengguna internet saat ini adalah mereka yang aktif di media sosial.
Ironisnya, kemajuan teknologi digital dan internet di era milenial saat ini ibarat pisau
bermata dua, di satu sisi bermanfaat bagi manusia guna mendapatkan akses lebih luas atas
informasi secara lebih efisien, namun di sisi lain telah menjadi masalah tersendiri dalam
hubungan sosial dan yang pasti akan berdampak pada pembentukan karakter bangsa,
terutama dengan masifnya serbuan informasi yang tidak tersaring. Hal tersebut menuntut
peran masyarakat untuk lebih cerdas memilih serta memilah informasi yang baik dan tepat
51
guna, di sinilah literasi digital penting difahami dan diperlukan pembelajaran yang strategis
untuk pengembangan pendidikan bidang ini di era cyber sekarang ini.
Memang pemahaman yang utuh mengenai literasi digital hingga kini juga masih belum
dianggap belum final dan terus berkembang, seiring dengan cepatnya perkembangan
teknologi itu sendiri. Dalam rumusan Cornell University (2009) dikatakan bahwa Digital
literacy is the ability to find, evaluate, utilize, share, and create content using information
technologies and the Internet. Jadi titik beratnya adalah kombinasi diantara kemampuan
menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membagikan serta membuat sebuah konten
dengan menggunakan teknologi dan internet.
Mengacu pada pengertian tentang litersi digital yang dijabarkan oleh Cornell
University dapat dilihat bahwa literasi digital tidak semata mata penguasaan teknologi
komputer dan ketrampilan penggunaan internet belaka yang berkonotasi menjadikan
manusia sebagai sosok robotik belaka, melainkan lebih luas daripada itu yakni
menyatupadukan pemahaman "literasi" dan "digital". Jika demikian dapat dikatakan bahwa
informasi digital adalah simbol representasi data sementara literasi lebih kepada kemampuan
membaca, menulis dan berfikir kritis. Dengan demikian kemajuan teknologi secanggih
apapun, tetap harus bermanfaat dan mengandung kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat
secara komprehensif, khususnya dalam interaksi sosial. Literasi digital sejatinya mendorong
para penduduk di dunia digital (digital citizen) untuk lebih arif dalam menggunakan
instrumen teknologi tersebut.
Persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional
(akal) atau kemampuan kognitif masyarakat juga harus kian dilengkapi oleh kecerdasan
sosial berupa kearifan digital (digital wisdom). Seperti diketahui, ancaman di dunia digital
saat ini tidak sedikit. Masyarakat pengguna internet, misalnya, dikepung oleh pemberitaan
yang beragam, yang perlu kecerdasan multi dimensi untuk dapat menyaringnya; antara lain:
masifnya berita bohong (hoax) hingga informasi yang menyesatkan (mislead) yang
menggiring masyarakat ke arah tindakan tindakan tidak terpuji hingga maraknya
kriminalitas di jagat maya (cyber crime) adalah tantangan umum yang membutuhkan
pembenahan secepatnya.
Lembaga Swadaya Masyarakat
Pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Dalam pemahaman ilmuwan politik yang beraliran pluralis, konsep kekuasaan
dipandang tidak lagi terkonsentrasi pada satu kelompok atau kelas, melainkan menyebar
52
dalam berbagai kelompok kepentingan yang saling berkompetisi untuk mendapatkan
kekuasaan. Konsep pluralis ini memiliki ikatan aktifitas dengan gerakan masyarakat yang
memproses usaha peraihan hasil. Seiring dengan semakin berkembang dan kompleksnya
masyarakat, baik gerakan masyarakat maupun kelompok kepentingan yang lain
memperlakukan organisasi sebagai salah satu sarana perjuangan untuk mencapai tujuan atau
sasaran yang disepakati. Gerakan masyarakat yang terorganisir dikenal sebagai organisasi
kemasyarakatan dengan ciri-cirinya yaitu organisasi di luar organisasi pemerintahan, tidak
bermotif keuntungan dalam kegiatannya, lebih melibatkan anggota dalam kegiatannya,
keanggotaan yang bersifat massal, melakukan kegiatan politis disamping perjuangan teknis
keorganisasian, serta cukup berkepentingan akan ideologi.
Pada umumnya Lembaga Swadaya Masyarakat (selanjutnya disingkat dengan LSM)
dimengerti sebagai sebuah organisasi yang didirikan baik secara perorangan maupun secara
kelompok, di mana organisasi tersebut tidak berorientasi pada hasil atau laba (nir-laba)
melainkan karena adanya tujuan tertentu di dalam masyarakat. LSM merupakan
pengembangan dari sebuah organisasi non-Pemerintah atau biasa juga disebut sebagai NonGovernment Organization (NGO). Jadi, sebuah LSM merupakan sebuah organisasi di luar
pemerintah, di luar birokrasi, yang dalam kegiatannya memiliki tujuan untuk bisa membantu
kinerja pemerintah bahkan ikut mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian keberadaan LSM merupakan organisasi yang
tidak terikat dengan pemerintah dan birokrasi.
Sebuah organisasi dapat dikatakan masuk dalam lembaga swadaya masyarakat apabila
memiliki beberapa ciri sebagai berikut:
1. Organisasi tersebut bukan bagian dari pemerintah maupun birokrasi, pendanaannya
juga tidak terkait dengan pemerintahan.
2. Dalam mencapai tujuannya, organisasi tersebut tidak berorientasi pada laba atau profit
belaka melainkan karena adanya tujuan tertentu yang berguna bagi masyarakat pada
umumnya,
3. Kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk menguntungkan masyarakat umum, dan
tidak hanya menguntungkan para anggotanya atau pada profesi tertentu saja.
Jika demikian keberhasilan gerakan/kegiatan LSM bergantung pada kemampuannya
dalam menjalankan fungsinya dengan baik.
Instruksi Menteri Dalam Negeri, Nomor 8 Tahun 1990, Tentang: Pembinaan Lembaga
Swadaya Masyarakat, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat adalah organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat/Warga
53
Negara Republik Indonesia secara sukarela dan atas kehendak sendiri serta berminat untuk
bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga tersebut
sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat, yang menitik beratkan kepada pengabdian secara swadaya.
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No.28, Tahun 2004, Tentang: Perubahan atas
Undang-undang No. 16, Tahun 2001, Tentang: Yayasan, maka secara umum organisasi nonpemerintah atau LSM di Indonesia harus berbentuk Yayasan.
Mengenai jenis-jenis LSM yang diijinkan berkembang, secara khusus Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1990, menyebutkan bahwa jenis-jenis LSM tersebut
antara lain:
1. Organisasi Donor, yaitu organisasi non-pemerintah yang memberikan dukungan biaya
bagi kegiatan organisasi non-pemerintah lain,
2. Organisasi mitra Pemerintah, yaitu organisasi non-pemerintah yang melakukan
kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatannya,
3. Organisasi professional, yaitu organisani non-pemerintah yang melakukan kegiatan
berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti organisasi non-pemerintah di
bidang pendidikan, bantuan hukum, jurnalisme, pembangunan ekonomi, dll.,
4. Organisasi Oposisi, yaitu organisasi non-pemerintah yang melakukan kegiatan dengan
memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Organisasi nonpemerintah ini bertindak untuk melakukan kritik dan pengawasan terhadap
keberlangsungan kegiatan pemerintah.
Ditinjau dari segi paradigmanya, LSM di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga.
Pertama, berparadigma Konformis (developmentalis – dapat dikelompokkan ke dalam jenis
LSM butir 1 dan 2), yang visinya berangkat dari asumsi bahwa masalah demokrasi dan
kondisi sosial ekonomi rakyat sebagai faktor yang inheren dengan kebodohan, kemiskinan,
keterbelakangan, dan keterpencilan. Dengan demikian solusinya adalah dengan melakukan
perubahan mental atau budaya masyarakat sasaran. Kedua, LSM yang menggunakan
paradigma reformis (yang dapat dikelompokkan ke dalam jenis LSM butir ke-3), yang
melihat kondisi sosial ekonomi dan demokrasi karena tak berfungsinya elemen-elemen sosial
politik yang ada, di mana rakyat atau kelompok-kelompok masyarakat kurang memiliki
akses dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pendidikan, politik, pembangunan, dan
lain-lain. Maka pendekatan pemecahan masalah yang diambil yakni berupaya melakukan
tindakan partisipatif dalam permasalahan yang dialami oleh masyarakat dengan
54
mengembangkan model perubahan yang diharapkan mampu mengubah struktural. Dan
ketiga adalah transformatoris (dapat disamakan dengan jenis LSM butir ke-4), di mana
dalam paradigm ini setiap aktivitas/gerakan yang dilakukan LSM seperti ini terasa agak
radikal. Iklim atau isu keterbukaan dimanfaatkan untuk mencoba membongkar berbagai
persoalan sosial, ekonomi dan politik.
Kegiatan LSM yang berparadigma pertama dan kedua memiliki kontras yang sangat
terlihat jika dibandingkan kegiatan LSM yang berparadigma ketiga. Kegiatan LSM paradigm
ketiga ini melihat kondisi struktur sosial ekonomi dan politik sebagai hasil pemaksaan
negara atau kelompok-kelompok dominan, sehingga oleh karena itu melahirkan
ketidakadilan dan ketidakdemokrasian. Oleh sebab itu isu gerakan LSM lebih bernuansa
politik, seperti mengambil tema hak azasi manusia (HAM), kesenjangan sosial, gerakan civil
society, pelibatan rakyat; dan tindakan/aksi yang dilakukan dalam mendukung
pandangannya terwujud dalam proses-proses politik seperti demonstrasi, unjuk rasa,
termasuk mimbar bebas, serta berorientasi pada kemandirian rakyat, dengan konfik sebagai
pendekatan yang digunakan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa eksistensi LSM, sebagai sebuah organisasi
non-pemerintah yang diijinkan berkembang di Indonesia, adalah mitra pemerintah untuk
menjawab segala pergumulan kemasyarakatan di Indonesia. Dan secara khusus jika dikaitkan
dengan kegiatan literasi digital, maka jenis LSM yang dimaksud di sini adalah LSM yang
berparadigma kedua, khususnya yang merupakan organisasi professional.
Lembaga Swadaya Masyarakat Kristen
Kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak sebagai mitra
pemerintah untuk peduli terhadap kehidupan bermasyarakat, juga merupakan kegiatan
utama yang hendak dikembangkan oleh Gereja-Gereja di Indonesia. Dalam tugas dan
panggilannya di masyarakat, Gereja mengenal Tri-Tugas Gereja, yaitu: Koinonia (bersekutu),
Marturia (bersaksi) dan Diakonia (melayani). Ketiga tugas panggilan Gereja tersebut menjadi
sangat penting untuk dilakukan dalam kehidupan Gereja, karena itulah yang menentukan
hakikat Gereja dalam kehidupannya bersama masyarakat.
Tugas pertama dan kedua (Koinonia dan Marturia) seringkali dipandang sebagai
kegiatan yang memiliki ranah intern, yaitu kegiatan yang terjadi di dalam Gereja dalam
rangka menjaga dan mengembangkan iman warga Gereja. Dan tugas ketiga (Diakonia)
dipandang berada dalam ranah ekstern, karena yang dimaksud dengan pelayanan di sini
bukan hanya melayani warga gereja melainkan juga melayani setiap jiwa yang berada di luar
55
gereja melalui pelayanan cinta kasih. Secara khusus bagian dalam tulisan ini tidak akan
membahas tentang Koinonia dan Marturia, melainkan hanya membahas tentang Diakonia
Gereja sebagai salah satu jalan yang utama untuk dapat memahami pembentukan LSM
Kristen yang berfungsi untuk menjadi mitra pemerintah dalam menjawab setiap
permahasalah yang terjadi di masyarakat.
Dalam pembahasan mengenai Diakonia, hal pertama yang harus dipahamai adalah
bahwa Diakonia tidak pernah lepas dari Koinonia dan Marturia; maksudnya Pemberitaan
Injil dalam Persekutuan dan Kesaksian itu tidaklah selalu dilaksanakan dengan kata-kata
tetapi juga harus diwujudnyatakan dengan perbuatan atau pelayanan. Perlu diingat, ada
kalanya suara perbuatan lebih nyaring gaungnya dari pada perkataan. Dengan tindakan maka
Injil juga dapat diberitakan dan didengar oleh, bahkan, orang-orang tuli.
Barangkali di suatu konteks tertentu gereja sulit melakukan pemberitaan firman
Tuhan dalam persekutuan dan kesaksian, karena peraturan-peraturan daerah atau Negara
tidak mengijinkan, dengan tujuan membungkam Gereja akan berita keselamatan itu. Akan
tetapi dengan pelayanan Gereja tidak dapat dibungkam sebab persekutuan memiliki seluruh
berkat dalam kehidupannya yang dapat dibagi kepada orang lain dalam nama Yesus Kristus.
Perkataan, kehidupan dan tindakan pelayanan yang diberikan Gereja kepada orang lain atas
nama Tuhan Yesus Kristus adalah juga merupakan bentuk kesaksian yang hidup; oleh sebab
itu pelayanan adalah bagian integral dari misi Gereja. Kesaksian dan pelayanan merupakan
dua sisi dari mata uang yang sama dan merupakan misi gereja yang mendasar.
Dalam pemahaman umum, seringkali Pelayanan hanya dimengerti hanya sebatas
konsep caritas (charity = belas kasihan), yaitu membantu para janda, yatim piatu, fakir
miskin demi kesejahteraannya. Sebenarnya tidaklah demikian, karena dalam pelayanan
Gereja ditekankan juga upaya untuk memahami akar penyebab keprihatinan sosial sekaligus
mengembangkan prakarsa pemberdayaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang layak. Hanya dengan pemahaman pelayanan demikian Gereja dapat berfungsi sebagai
agen transformasi di tengah masyarakat sebagai pewujudan karya keselamatan Yesus Kristus.
Gereja menjadi garam dan terang dunia.
Istilah ―diakonia‖ berasal dari bahasa Yunani, διακονια artinya pelayanan, sedangkan
orang yang melakukannya disebut sebagai pelayan (δίακονος). J. C. Sikkel pernah
mengatakan bahwa ―The church can live without buildings, without diakonea the church
dies‖. Secara teologis ini berarti , bahwa pelayanan/Diakonia adalah nafas gereja. Gereja baru
menjadi Gereja yang sesungguhnya bila melakukan pelayanan, oleh karenanya diakonia
sangat penting dalam rangka menunjukan eksistensi Gereja pada saat ini.
56
Tindakan Diakonia dapat dikenal dalam 3 bentuk, yaitu:
1. Diakonia Karitatif: yang dipandang sebagai bentuk Diakonia yang tradisional. Charity
adalah tindakan belas kasihan. Tindakan yang merefleksikan belas kasihan Allah
kepada manusia (bdk. Mat 25 : 31-46, yang dipandang sebagai dasar dari Diakonia
karitatif). Diakonia karitatif hanya melihat kondisi yang terjadi saat ini, hanya melihat
penderitaan, kemiskinan, bencana ataupun bentuk–bantuk lainya tanpa mencari lebih
jauh apa yang menjadi penyebab terjadinya penderitaan tersebut; Diakonia Karitatif
dipandang hanya bersifat insidental dan filantropis.
2. Diakonia Reformatif: yaitu sebuah tindakan Diakonia yang berorientasi pada
pendidikan dan memberikan pengetahuan serta keterampilan agar masyarakat mampu
keluar dari kemiskinan dan permasalahan yang dihadapi. Pelayanan diakonia ini lebih
menekankan pada aspek pembangunan. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan
community development (pengembangan kelompok).
3. Diakonia Transformatif: yang merupakan bentuk kepedulian dan keterlibatan langsug
Gereja dalam persoalan-persoalan sosial kemanusian. Diakonia seharusnya tidak hanya
memberikan belas kasihan kepada korban-korban kemiskinan dengan cara
memberikan bantuan-bantuan sebab jika hanya dengan cara itu besok mereka akan
datang lagi dan akhirnya terciptalah mental-mental ketergantungan. Diakonia adalah
pola pendekatan pengorganisasian komunitas agar mereka dapat merancang dan
merencanakan hidup mereka sendiri. Dalam pemahaman ini, Diakonia Transformatif
menempatkan Yesus sebagai tokoh yang disalibkan karena pengusa Romawi, pada saat
itu, merasa terancam akan keberanian Yesus dalam membela kaum tertindas. Jika
dianalogikan Yesus ingin mencapai sebuah situasi dimana kebutuhan terhadap sandang
pangan harus dicapai melalui keadilan (justice), kebebasan (freedom) dan martabat
dan pengharapan (dignity and hope). Di sinilah tekanan Diakonia Transformatif.
Dengan memperhatikan apa yang menjadi tugas Gereja dalam bidang pelayanan, maka
tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Gereja bertanggung jawab terhadap permasalah dan
pergumulan kehidupan masyarakat. Gereja tidak bisa tinggal diam dalam menanggapi
pergumulan masyarakat yang ada di sekitar. Itulah sebabnya, Gereja bertugas untuk
menghantar masyarakat memasuki kehidupan yang lebih baik dibandingkan sekarang.
Namun permasalah muncul, mengingat bahwa Indonesia adalah masyarakat yang
plural dan kehadiran Gereja belum tentu mendapat tempat di hati masyarakat. Di sinilah
perlu sebuah tindakan untuk membangun sebuah lembaga atau yayasan sosial Gereja yang
57
secara khusus memberikan perhatian terhadap permasalah-permasalahan yang muncul di
sekitar masyarakat umum. Gereja tidak perlu terjun langsung ke dalam pergumulan
masyarakat tersebut, melainkan kehadiran Gereja diwakilkan melalui keberadaan lembaga
atau yayasan sosial tersebut. Hal inilah yang dimaksud dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Kristen.
Jadi LSM Kristen adalah sebuah bentuk perpanjangan tangan Gereja dalam
menjalankan peran Diakonia-nya terhadap masyarakat umum. Tentunya apa yang menjadi
tugas dan panggilan LSM Kristen itu senantiasa berkaitan langsung dengan tugas dan
panggilan diakonia Gereja. Dan untuk melibatkan diri secara langsung dalam pergumulan
hidup masyarakat sekaligus menjadi mitra pemerintah, penulis melihat bahwa LSM Kristen
seharusnya mengambil bentuk sebagai organisasi professional yang mengembangkan nilainilai Diakonia Karitatif, Reformatif sekaligus Transformatif. Dengan demikian, Gereja tidak
menempatkan diri berseberangan dengan pemerintah, dan keberadaan Gereja pun bisa
menjadi garam dan terang bagi kehidupan melalui kehadiran LSM Kristen tersebut.
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (Lsm) Kristen Dalam Mengembangkan Literasi
Digital
Sebagai Lembaga yang non-pemerintah, LSM Kristen perlu untuk melihat akar
masalah dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia; secara khusus yang
menyoroti tentang bidang pendidikan. Harus diakui bahwa sistem pendidikan di Indonesia
masih sangat lemah, sehingga tujuan Nasional yang hendak mencerdaskan kehidupan bangsa
masih sulit untuk dijangkau, akibat ketiadaan sistem pendidikan yang solid.
Sistem pendidikan formal pun sulit untuk diharapkan karena begitu besar biaya
pendidikan yang harus dikeluarkan oleh seseorang dalam menggapai gelar-gelar kesarjanaan
yang ada. Meskipun pemerintah sudah melakukan gerakan bebas biaya Sumbangan
Pendidikan dalam bersekolah, namun dalam kenyataan yang ada biaya-biaya di luar
Sumbangan Pendidikan yang besarannya cukup tinggi sehingga menyulitkan keberadaan
orang tua yang hidup di bawah garis kemiskinan. Belum lagi sekolah-sekolah swasta yang
mematok biaya tinggi dalam menempuh pendidikan di tempatnya.
Situasi ini harus menjadi keprihatinan bersama, entah itu dari sisi pemerintah
maupun oleh Gereja. Gereja tidak bisa tinggal diam dan berpangku tangan dalam
menghadapi kenyataan yang jelas-jelas sedang terjadi. Oleh sebab itu perlu langkah konkret
yang harus dilakukan Gereja dalam mendampingi permasalahan pendidikan yang sedang
58
terjadi ini. Dan langkah awal yang harus dilakukan Gereja adalah bekerja sama dengan LSM
Kristen untuk mencari dan menciptakan jalan keluar terhadap masalah pendidikan ini.
Celah yang bisa dilihat dalam menanggapi masalah pendidikan ini adalah teknologi.
Dewasa ini kemajuan teknologi begitu pesat, khususnya teknologi informasi. Dengan
kehadiran internet dan berbagai macam bentuk informasi lainnya, dunia – seolah-olah –
berada dalam genggaman. Melalui tekonologi informasi, semua perkembangan dunia dapat
diikuti bahkan ditelaah dengan seksama. Tidak ada yang dapat luput dari perkembangan
teknologi informasi ini. Menurut penulis, di sinilah celah yang harus dimasuki oleh LSM
Kristen dalam menanggapi permasalah pendidikan yang sedang dihadapi oleh masyarakat
Indonesia.
Dalam pengamatan penulis, umumnya orang memahami arti dan makna literasi digital
dengan menggunakan istilah yang berbeda, seperti TIK (Teknologi Informasi dan
Komunikasi) Standar, Standar Teknologi Pendidikan atau yang lainnya. Namun penulis
melihat istilah ini sangat identik dengan pengertian standar melek digital. Dan hal ini sangat
berimbas pada pengaitan pemahaman melek digital dalam kaitannya menghadirkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan di tengah-tengah masyarakat.
Bagi penulis, katimbang pendidikan selalu berkutat dengan wacana ganti kurikulum
(perhatikanlah bahwa hal ini selalu terjadi ketika ada pergantian Menteri Pendidikan) yang
berimbas pada polemik panjang dan memakan dana yang tidak sedikit, sebaiknya para
pemangku jabatan dan setiap pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mulai
berpikir tentang 'mempersiapkan generasi yang melek digital'.
Tindakan ini hendaknya bukan cuma sekadar 'perintah' dan 'basa-basi' yang
kemudian tidak ditindaklanjuti. Tindakan ini harus menjadi tindakan nyata yang dilakukan
oleh setiap pakar pendidikan dan penggiat pendidikan dengan cara melengkapi kebutuhan
sekolah dengan tools atau alat-alat yang diperlukan serta dengan meningkatkan kemampuan
guru dalam menggunakan TIK (bahkan para calon guru) sehingga guru dapat membuat draft
pengajaran yang benar yang mengacu pada penggunaan TIK agar dapat disebarluaskan dalam
sistem pembelajaran secara digital. Itulah sebabnya diperlukan pembentukan-pembentukan
web-site yang jelas, oleh LSM Kristen yang bergerak di bidang pendidikan, dan itu kemudian
disebarluaskan kepada masyarakat agar masyarakat dapat berselancar untuk memasuki
alamat-alamat web-site yang akan menghantar masyarakat menuju pada pembebasan dari
kebodohan. Jadi hal ini semacam Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dan /atau home-schooling
yang tidak berbayar namun bisa diakses kapan pun. LSM Kristen hendaknya bisa
menciptakan peluang seperti ini.
59
Di sisi lain, LSM Kristen pun perlu mempertemukan para pakar pendidikan dengan
pemangku jabatan agar mereka dapat bersinergi di bidang pendidikan untuk
mengidentifikasi standar melek digital untuk para pelajarnya, yang adalah masyarakat umum.
Standar ini mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang dibutuhkan
untuk menjadi sukses di abad 21; dan draft-nya harus disusun mulai dari Taman Kanak
Kanak sampai tingkat universitas. Tujuan mereka juga untuk mengidentifikasi bagaimana
mendayagunakan teknologi sebagai pengajaran dan alat belajar secara tepat guna dan efektif.
Dan LSM Kristen perlu untuk memfasilitasi hasil rencana pembuatan draft pendidikan itu
yang kemudian dituangkan serta dihadirkan di dalam laman-laman yang bisa dikunjungi oleh
masyarakat umum melalui internet. Dengan demikian tercipta pendidikan gratis yang
memungkin orang belajar kapan pun dan di mana pun, sekaligus menciptakan sebuah
tindakan arief yang mengajak setiap masyarakat untuk berselancar di dunia internet dengan
aman sekaligus mencerdaskan kehidupan berbangsa.
Kepustakaan
Abineno, J.L.Ch., Sekitar Diakonia Gereja, Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 1976
Belshaw, AJ, "What is digital literacy?. A Pragmatic Investigation, 2012; dalam
http://etheses.dur.ac.uk/3446/
http://scalar.usc.edu/works/digital-literature-final-project/what-is-digital-literature
http://www.oercongress.org/wp-content/uploads/2017/01/Outcome-Report-OER-RoadmapMeeting-UNESCO-HQ-30_31-March-2016-final.pdf.
https://apjii.or.id/content/read/39/264/Survei-Internet-APJII-2016
https://digitalliteracy.cornell.edu/.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/tributa
Noordegraaf, A, Orientasi Diakonia Gereja, (ed)., Sahetapy, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2004
Sanit, Arbi, Swadaya Politik Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985
Widyatmadja, Yosep P., Sebagai Misi Gereja: Praksis dan Refleksi Diakonia Transformatif,
Yogyakarta: Kanisius, 2009.
60
PESAN PERDAMAIAN MELALUI LITERASI DIGITAL
Rannu Sanderan50
Pendahuluan: Realitas Baru
Sebuah satu fenomena global yang menarik dalam piala dunia tahun 2018 adalah di
mana panitia penyelenggara Rusia mengundang anak-anak dari berbagai pelosok dunia
untuk turut dalam program F4F, (football for friendship), hal yang menyatakan bahwa
perdamaian pun perlu disemai sedini mungkin kepada anak-anak atau generasi muda demi
masa depan dunia yang tentram.
Pentingnya perdamaian dunia merupakan kehendak dasar dan luhur dari bangsa
Indonesia. Sebagaimana secara spesifik melalui konstitusi UUD 45, Bangsa Indonesia
menyadari bahwa untuk membentuk dan menata sebuah keindonesiaan maka salah satu citacita yang perlu diperjuangkan adalah: ―perdamaian abadi dan keadilan sosial‖ (alinea
keempat). Cita-cita luhur ini diharapkan dapat menjiwai setiap interaksi dan komunikasi
sosial anak bangsa. Saat ini generasi bangsa Indonesia sedang mengalami demam
hyperteknologi, hampir setiap orang sudah menjadikan media elektronik (aplikasi media
sosial) sebagai kanal utama dalam melakukan interaksi sosial mereka.
Media elektronik sejauh yang dapat diamati sekarang ini ternyata cukup kuat
membentuk opini publik, ditambah aliran transmisi informasi dan komunikasi dunia digital
merembes sangat cepat melintasi batas. Selain itu, tema-tema yang disajikan turut
menginjeksi nilai moral individu yang selanjutnya memengaruhi perilaku sosial dan berbagai
bentuk kebiasaan masyarakat. Informasi dari media sosial pada gilirannya menjadi acuan
dalam trend budaya dan etiket masyarakat.
Isu-isu yang menjadi pokok pembicaraan umumnya diperoleh dari media sosial. Pola
interaksi sosial dalam masyarakatpun sangat dipengaruhi oleh tema-tema yang diunduh dari
dunia digital, khususnya yang sedang ―viral‖. Banyak hal-hal positif yang dapat diperoleh dari
dunia digital, seperti pendidikan, keterampilan dan peningkatan ekonomi kreatif, hingga
siraman rohani, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat langsung melalui jaringan
internet. Jika sajian informasi bernuansa positif maka hasilnya tentu konstruktif dan lebih
memberi manfaat bagi individu maupun keuntungan bagi khalayak umum, sebaliknya bila
temanya negatif maka perilaku pengguna akan negatif, merugikan bahkan bisa brutal. Kita
50 Rannu Sanderan, M.Th adalah Dosen di STAKN Toraja.
61
tidak dapat menutup mata pada kenyataan bahwa seringkali persoalan dalam masyarakat
dan bangsa juga disebabkan oleh informasi provokatif yang negatif dari internet. Konflik
antarpribadi, antarkelompok, bahkan bangsa sekarang ini sering dipicu oleh karena interaksi,
kesalahpahaman dan hoax. Banyak orang sudah dikorbankan akibat perseteruan dan
kebencian yang disebar oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab melalui internet. Jika
kita membiarkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab ini menyalahgunakan dunia
digital untuk mencipta perang dan konflik maka masyarakat tidak akan pernah merasakan
kedamaian. Sejarah membuktikan bahwa perang dan konflik hanya melahirkan penderitaan,
kesengsaraan serta kehancuran baik manusia maupun lingkungan hidup. Oleh karena itu,
umat manusia sangat butuh kedamaian demi menciptakan peradaban yang lebih manusiawi,
baik untuk manusia sendiri maupun untuk alam semesta. Damai merupakan syarat utama
untuk kemajuan peradaban dan kebudayaan manusia, dan tiap insan pasti mendambakan
nilai perdamaian. Karena begitu pentingnya perdamaian sehingga ia senantiasa dicari,
diupayakan dan dirawat dengan bermacam cara serta melalui berbagai media.
Peran dunia digital amat penting untuk menyemai perdamaian sesuai kebutuhan dan
tantangan jaman sekarang. Pesan-pesan yang intinya bertema perdamaian membutuhkan
media digital untuk terus membahasakan misi mulia perdamaian yang otentik, agar dapat
menyeimbangi gempuran informasi bernilai negatif ataupun hoax. Nilai-nilai perdamaian
otentik yang dimaksud adalah nilai yang mendahulukan kepentingan orang banyak,
mengutamakan keadilan sosial, bermakna humanis, berorientasi budaya kehidupan dan
berlandaskan etika universal serta peka pada suara hati nurani. Pesan-pesan damai perlu
dipreskripsi bagi struktur sosial yang ada secara rutin, agar dengan perlahan dunia digital
turut berkontribusi membentuk budaya dan struktur sosial yang damai.
Digitalisasi Pesan Damai
Dalam satu atau dua dekade terakhir, dinamika budaya manusia mengalami kemajuan
yang sangat pesat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, bahkan fenomena ini
bisa disebut lompatan budaya. Segala bentuk informasi baik teks, grafik, foto dan suara kini
terdigitalisasi oleh komputer. Dengan kemampuan koneksi yang cepat melalui internet dan
berbagai aplikasi digital, komputer sebagai salah satu produk teknologi telah membawa
perubahan budaya global yang memupus berbagai batas dan sekat budaya antarumat
manusia menjadi makin tipis, bening bahkan cenderung runtuh.
Dalam era ini, di mana orang-orang dari seluruh dunia terhubung melalui jaringan
internet, maka sangat diperlukan upaya dan penggalakan suatu bentuk Globalisasi
62
perdamaian. Penyebaran pesan-pesan damai secara digital dikampanyekan setiap saat dalam
berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan dan keagamaan.
Pesan damai yang terdigital berarti memiliki pengaruh dan jangkauan global.
Preskripsi sosial yang direkomendasi secara digital tersebut akan menghasilkan etika global
dengan spirit damai. Globalisasi tersebut membawa dan menuntut perdamaian dunia; budaya
solidaritas dan ekonomi yang adil. Dalam perkembangan globalisasi sekarang ini ada tiga hal
yang mengemuka dan menjadi topik yang mewacana di berbagai media, yakni: perdagangan
internasional, pasar moneter dan informasi komunikasi melalui alat-alat elektronik. Dalam
era sekarang ini orang semakin lebih bebas melintasi perbatasan-perbatasan yang selama ini
dibuat untuk menegaskan suatu teritori, seperti bangsa. Batas-batas tersebut secara politis
dan ekonomis tetap ada, namun yang sulit untuk dihalangi lagi adalah komunikasi dan
informasi elektronik.
Globalisasi sendiri merupakan peluang dan tantangan, ajang pertemuan sekaligus
persaingan antarbangsa, baik secara ekonomi maupun politis. Interaksi global ini dapat
menimbulkan gesekan-gesekan kepentingan antar kelompok atau antarbangsa. Namun pada
pihak lain, interaksi ini dapat menjadi sarana untuk mempererat persaudaraan atau menjalin
persahabatan dengan orang-orang dari berbagai pelosok dunia. Sarana komunikasi dan
informasi yang paling banyak digunakan adalah internet. Dengan demikian hubungan
kerjasama dalalm ekonomi maupun politik lebih banyak dilakukan dengan interaksi melalui
internet. Hal ini menjadi jalan bagi setiap pihak yang terlibat baik pebisnis, politisi, khalayak
ramai, dan semua pihak yang terlibat untuk melaksanakan transaksi dan interaksi yang adil
dan bersahabat sebagai salah satu bentuk pesan damai kepada setiap orang yang terlibat
dalam interaksi tersebut.
Usaha digitalisasi budaya, baik budaya tulis, visual, maupun lisan perlu terus digalakkan sehingga kita dapat
mengembangkan model-model digitalisasi pesan damai untuk memahami dinamika narasi dan budaya keindonesiaan, serta
cara kita melakukan hubungan sosial.
Kemajuan teknologi komunikasi dan jaringan mendukung berbagai aplikasi yang
memungkinkan Pesan-pesan damai dapat disampaikan dengan bahasa-bahasa universal. Ada
beberapa pola dan bentuk yang dapat dipakai sebagai media transmisi nilai dan kodifikasi
pesan-pesan perdamaian, baik olahraga (latihan bersama, lomba, pertandingan persahabatan,
pertukaran pemain dan pelatih, dll) estetik (tari, musik dan nyanyian, warna dan lukisan,
mime, patung dan monumen, dll.) grafik dan teks (poster, baligo, lampu warna, publish buku
bersama, tulisan jurnal bersama, riset gabungan, dll) hingga penyelenggaraan event
(eksibisi/pameran, perayaan-perayaan, simulasi, aksi dan doa damai bersama, diskusi dan
seminar, student exchange, aksi sosial, tanggap bencana dan charity bersama, dll), termasuk
63
mendorong pembuat aplikasi-aplikasi game serta youtuber untuk turut terlibat memasukkan
nilai damai dalam industri mereka. Semua pola-pola dan beberapa bentuk di atas dapat
dibagikan serta dikomunikasikan melalui media digital, baik perencanaan, sosialisasi hingga
implementasinya. Dengan demikian, digitalisasi pesan damai dapat dikembangkan dalam
gagasan-gagasan tersebut, mempercepat penyampaiannya hingga memperluas jangkauannya.
Mengupayakan Perdamaian Agama
Hans Kung mengatakan bahwa pra-syarat perdamaian antarbangsa adalah
mendahulukan perdamaian antargama (...peace among religion). Sejatinya, prinsip perdamaian
merupakan isu perennial, sehingga seiring perjalanan waktu setiap anak zaman perlu selalu
mengupayakan damai sebagai fondasi yang menopang hidup yang berkelanjutan. Makna
perdamaian yang abadi akan hadir dalam wujud yang khas pada setiap fase kehidupan dan
dalam keunikan masing-masing budaya. Jadi tidak ada satu formula baku yang berlaku
seragam untuk seluruh budaya yang ada. Ia akan hadir secara dinamis di antara dorongan
nurani yang baik serta tarikan hasrat yang negatif.
Maka makin disadari betapa pentingnya agama tampil menjadi spirit yang
mendinamisasi nilai-nilai perdamaian, agar masyarakat hidup dalam tatanan budaya damai
sesuai peran, tanggungjawab dan identitasnya masing-masing. Loncatan budaya dalam era
hyperteknologi ini dapat menjadi peluang besar bagi kaum pencinta dan pembawa damai
melakukan perannya, kendati harus sedikit berjuang agar fasih memanfaatkan potensi dunia
digital, mulai dari jaringannya maupun aplikasinya. Peluang ini pun juga tidak lepas dari
tantangan dan gempuran informasi provokatif yang negatif dalam jaringan dunia digital, di
mana ajaran agama menjadi komoditi yang rentan dimanipulasi sebagai pemicu konflik.
Informasi kekerasan dengan mudah diblow up untuk membangun sentimen dan solidaritas
dangkal.
Konflik dan kekerasan bernuansa keagamaan semakin tak terhindarkan karena
bangkitnya fundamentalisme agama yang mendapat dukungan dana baik secara lokal,
regional maupun internasional. Pada pihak lain, potensi konflik SARA juga diakibatkan oleh
mobilisasi kekuatan politik yang mengatasnamakan agama. Politik dengan menunggangi
agama menggunakan kendaraan radikalisme ajaran agama menjadi panduan teror dalam
dunia digital yang akhirnya mengorbankan banyak nyawa, menghilangkan persaudaraan dan
merusak perdamaian dalam kehidupan umat. Fenomena ini menunjukkan bahwa kemajuan
dalam bidang ekonomi dan pendidikan belum membuat masyarakat Indonesia mencapai
kecerdasan keberagamaan, khususnya mengelola kehidupan dalam konteks masyarakat yang
dicirikan oleh multikeberagamaan dan multibudaya. Hal ini menyebabkan banyak kalangan
64
pesimis dengan keadaan masyarakat Indonesia; Olaf H. Schumann seorang pemerhati
kerukunan umat beragama, tetap keyakinan akan terwujudnya masyarakat yang pluralis di
Indonesia. Dia amat optimis dengan Pancasila sebagai payung yang baik bagi semau umat
berbaga. Oleh karena itu Schumann dalam perspektifnya sendiri kurang setuju pada orang
Kristen yang mengejar jabatan sebagai kepala daerah karena menurutnya akan lebih baik bila
orang Kristen mengupayakan partisipasi mereka dalam bentuk lain. Keadaan minoritas di
Indonesia harus dimaknai dengan ajaran garam dan terang yang selalu minoritas, tetapi
bermanfaat bagi lingkungannya. Itulah yang harus diperjuangkan di Indonesia, yaitu
mewujudkan suatu tatanan masyarakat dan negara yang berusaha mewujudkan kehidupan
yang manusiawi, adil dan benar dan sejahtera.
Pesan-pesan perdamaian antaragama masih merupakan tema yang minim, lemah dan
subordinan dibanding dengan tema-tema provokatif negatif serta hoax. Kalaupun tema itu
ada, maka masih butuh penguatan dan dukungan dari segala pemangku kepentingan,
khususnya rohaniwan atau teolog. Contohnya, jumlah situs-situs radikal yang diblokir oleh
pemerintah (Kemkominfo-red) jauh lebih banyak dibanding situs-situs yang memberi pesanpesan positif dan mendamaikan.
Kampanye perdamaian sepatutnya selalu direncanakan dengan baik dan dilakukan secara profesional dan
dilakukan secara terus menerus melalui dunia digital. Dalam hal ini, kaum agamawan perlu turut berpartisipasi serius dan
ikut bertanggung jawab dalam melakukan publikasi pesan-pesan damai melalui berbagai cara dengan menggunakan media
digital.
Setiap agama sejatinya bertujuan untuk menuntun umat berjalan menuju keselamatan
dengan memperoleh kebahagiaan dunia sekarang dan nanti. Secara alamiah, setiap orang
menginginkan kebahagiaan. Orang melakukan berbagai cara termasuk menjalankan ajaran
agama dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh kebahagiaan. Jadi supaya seseorang bisa
bahagia maka kedamaian harus diciptakan telebih dahulu (maka peace first). Harus diakui
bahwa dalam berbagai literatur akademik masih kurang ditemukan literatur-literatur
peacebuilding. Kalaupun itu ada maka biasanya referensi itu dihasilkan karena sudah adanya
bencana yang mendahului. Artinya kesadaran preventif untuk turut menanam nilai pembawa
damai masih belum merupakan kesadaran ilmiah. Masyarakat ilmiah baik individu maupun
komunal masih ditantang untuk sanggup menghidupi nilai perdamaian yang inhern dalam
diri sehingga membentuk sikap dasariah dalam mengambil setiap keputusan dengan
mendahulukan perdamaian. Perdamaian dan kebahagian adalah dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan. Orang-orang yang membawa damai adalah orang yang berbahagia.
65
Ajaran-ajaran agama yang seperti ini perlu disampaikan kepada umat dengan metode-metode
variatif secara digital.
Metode pembinaan umat kini mulai diperluas ke dunia digital, artinya ajaran-ajaran
agama yang membangun harmoni kehidupan umat dengan mudah dapat disebar dengan
ekfektif dan efisien oleh media elektronik. Cara ini dapat diterima dengan mudah dan diakses
setiap saat sesuai kesempatan umat. Pendampingan orangtua saat anak-anak sedang
menggunakan gawai dan percakapan-percakapan perlu diciptakan setelah mereka
memanfaatkan aplikasi digital dapat menanamkan nilai damai di tengah gempuran teknologi
informasi.
Pengarusutamaan nilai-nilai perdamaian memang masih butuh upaya filtrasi ke setiap
lini kehidupan agar kehidupan masyarakat lebih berbahagia. Tentu ada implikasi psikis dan
fisiologis dari masyarakat yang hidup dalam kebahagiaan (bersyukur dan bersukacita), yang
kontribusinya besar. Tujuan akhir dari manusia adalah kebahagiaan, namun untuk tiba pada
puncaknya maka manusia terlebih dahulu mesti mengupayakan tatanan nilai perdamaian
dalam segala aspek kehidupannya.
Sehubungan dengan itu, kehidupan yang damai antarumat beragama dapat tercipta
jika diadakan dialog timbal balik yang saling menghargai. Umat beragama yang berbeda
masing-masing diberi kesempatan untuk berbicara dan mendengar dalam kapasitas yang
setara dan sejajar serta dalam kesadaran bahwa masing-masing pihak mengungkapkan
kebenaran yang patut untuk dipertimbangkan. Hal ini akan menciptakan kerukunan
antarumat beragama apabila semua pihak yang terkait baik rohaniwan, pemerintah maupun
umat beragama memanfaatkan media digital dengan bijaksana dan dengan tujuan yang sama
yakni kesejahteraan dan kedamaian umat.
Para rohaniwan dan pemerhati kerukunan antarumat beragama perlu meningkatkan
kreativitas tentang pro-eksistensi untuk membimbing umat hidup bersama dalam perbedaan.
Problematika kehidupan umat yang makin kompleks seiring kemajuan teknologi informasi
tidak dapat dihadapi hanya dengan khazanan dogma agama saja. Mau tidak mau, kaum
agamawan harus mampu mengakomodasi dan menggunakan media digital secara kreatif
untuk mewacanakan solusi-solusi perdamaian dengan metode-metode sederhana
penyelesaian konfliks, baik internal maupun antaragama. Mengingat gencarnya kampanye
hoax yang menyebar isu kebencian atas perbedaan agama maka tanggungjawab para
rohaniwan adalah secara simultan dan terus-menerus saling bekerjasama, bergandengan
tangan melawan penyalahgunaan media internet.
Damai Adalah Budaya Indonesia Dan Dunia
66
Para pemangku kepentingan (pemerintah, pemimpin umat dan berbagai institusi
lain) hendaknya tiba pada penemuan solusi-solusi kreatif yang ada di sekitarnya serta
memiliki daya guna yang besar. Misalnya, modal sosial yang sudah dimiliki yakni budaya.
Dengan demikian perlu adanya upaya publikasi informasi tentang banyaknya kearifankearifan lokal (perennialis) yang sudah cukup lama terbukti sanggup menangkal radikalisme.
Kenyataan sosial dalam masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa kearifan lokal dengan
bijaksana telah merawat dan menjaga persaudaraan antaraumat manusia. Budaya-budaya
lokal Indonesia mementingkan dan menekankan kehidupan yang harmonis dengan sesama
juga dengan lingkungan. Semangat kultural bangsa Indonesia adalah mengusahakan
perdamaian dalam kekeluargaan dan gotong-royong. Hal ini sangat jelas dalam falsafah hidup
bangsa Indonesia yakni Pancasila.
Hasil penelitian penulis di Toraja, menunjukkan bahwa budaya lokal dapat menjadi
perekat dalam kehidupan masyarakat yang berbeda agama. Dalam pemikiran orang Toraja,
setiap manusia itu berharga dan perlu diterima sebagai sahabat bahkan kerabat. Bahkan
orang asing yang datang bertamu ke rumah perlu dijamu dengan baik. Jika terjadi konflik
maka yang paling dipentingkan adalah kedamaian (karapasan), bahkan jika kita berada pihak
yang dirugikan sekalipun, maka merupakan tindakan mulia jika kita terlebih dahulu
meminta maaf, bahkan berkorban sekali lagi jika dibutuhkan (Unalli melo=membeli
kebaikan/kedamaian). Tujuan hidup bersama adalah kedamaian, dan perbedaan merupakan
suatu hal yang wajar. Daerah-daerah lain pun pada umumnya memiliki memiliki filosofi
kedamian, seperti karakter hidup ―orang basudara‖ dari Ambon, ―mapalus dan momosat‖ dari
Sulawesi Utara, ―menyama braya‖ dari Bali, ―Sipakalebbi dan sipakatau‖ dari Bugis, konsep
―siro yo ingsun, ingsun yo siro‖ dari Jawa Timur, dan lain sebagainya. Demikian juga bangsabangsa lain yang memiliki konsep budaya tentang pentingnya kehidupan damai, misalnya
gagasan nir-kekerasan dari Mahatma Gandhi yang bersumber dari budaya India, Prinsip
harmoni toleransi dan perikemanusiaan dari Cina yang akarnya dari Taoisme, Martin Luther
King Jr., dengan ―the Great March‖, Martin Buber dengan ―perjanjian perdamaian‖ sebagai
dasar pertemuan antarbangsa dan rekonsiliasi antarmereka yang sedang bertikai, Albert
Schweitzer dengan ―rasa hormat akan kehidupan‖ dan event penganugerahan Nobel
perdamaian yang terus-menerus.
Kaum agamawan, budayawan, pemimpin masyarakat dan pemerintah perlu bersamasama terus membangun saluran-saluran komunikasi secara digital agar nilai-nilai budaya ini
dapat terpublikasi untuk diangkat kembali ke permukaan. Jika hal ini dapat dilaksanakan
67
maka setiap generasi memiliki pegangan yang berasal dari budaya mereka sendiri untuk
mengupayakan dan menciptakan kehidupan yang damai dalam perbedaan.
Kedamaian antarbangsa ditandai dengan perjumpaan berbagai budaya dalam suasana
saling menghargai identitas khas masing-masing. Setiap bangsa dan budaya manapun dapat
bertemu dalam kondisi etis sebagai berikut: pertama, adanya kesepakatan pada kultur nirkekerasan dan penghargaan pada kehidupan, kedua: adanya kehendak bersama
mengupayakan budaya harmoni dan pengutamaan keadilan sosial, ketiga: upaya
menumbuhkan budaya saling menerima dan saling menghargai kekhasan serta keunikan
masing-masing, keempat penanaman nilai persaudaraan antar yang terjalin antarumat yang
berbeda keyakinan.
Penutup
Kedamaian bukan berarti tanpa konflik, namun kedamaian memungkinkan setiap
peran dan fungsi yang berbeda sanggup mengelola konflik budaya tanpa kekerasan, ikhlas
saling melengkapi kekurangan sekaligus memberi penguatan secara tulus. Membangun
kedamaian bukan sekadar hidup berdampingan secara apa adanya (kau hidupi agamamu,
kuhidupi agamaku) namun pada saat yang sama kita lebih mengupayakan bentuk interaksi
yang saling menerima dan memberi ruang hidup bagi yang lain. Kampanye-kampanye damai
dan menyejukkan dari dunia digital sangat mendukung untuk mencipta kehidupan harmonis,
kreatif dan saling melengkapi. Sehingga dua sisi yang tak terpisah, yakni ―damai‖ dan
―bahagia‖ akan menjadi makin utuh. Pesan-pesan damai yang simultan dan kreatif menuntun
umat melampaui konsep hidup yang sekadar berdampingan, menuju budaya hidup yang
berorientasi pada kebahagiaan dan keprihatinan bersama. Kedamaian seperti ini melihat
problematika secara bersama dan sekaligus merajut potensi-potensi yang ada untuk
menyelesaian persoalan-persoalan bermasyarakat dan berbangsa. Kondisi seperti ini
memungkinkan setiap elemen bangsa yang berbeda dapat saling melengkapi, dan
membangun kekuatan bersama. Kedamaian dan kerukunan tidak hanya berarti hidup tanpa
persoalan dengan kelompok yang lain.
Konflik dan perang diciptakan untuk kepentingan sekelompok orang saja, tetapi
perdamaian adalah kebutuhan bersama seluruh umat manusia. Maka, rukun dan damai
mesti juga berarti bersama-sama menjawab persoalan bersama. Pesan-pesan damai ada dalam
setiap budaya, agama, filsafat bahkan sains. Para pejuang perdamaian dunia seperti King,
Gandhi, Dorothy dan kawan-kawan bersama para mistikus dan ahli fisika berkata ―kita
adalah bagian dari satu sama lain dan bagian dari tujuan Roh Pencipta untuk terus membawa
68
damai dalam kehidupan. Kedamaian menghilangkan semua ketakutan dan mengondisikan
umat manusia untuk membangun peradaban yang lebih manusiawi.
Kepustakaan
Adiprasetya, Joas, Berdamai dengan Salib: Membedah Ioanes Rakhmat dan Menyapa Umat, (Jakarta:
Grafika Kreasindo & UPI-STT Jakarta: 2010)
Allen, Charles Livingston, Perfect Peace (USA, Flemming H. Revell Company old Tappan, New
Jersey)
Andrew Farley, Surga adalah saat ini juga, (Jakarta: Light Publisihing, 2013)
Anick HT & Gita Widya L. S. (ed.) Perjalanan menjumpai Tuhan, bunga rampai refleksi agama,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015)
Daulay, Richard, Kristenisasi dan Islamisasi: Umat Kristen dan kebangkitan Islam politik pada era
reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014)
Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006)
Halverstadt, Hugh F., Mengelola konflik gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004)
John M. Kohler, Filsafat Asia, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2010)
Kim Hong Hazra, Menjadi Berkat di Kampus, (Jakarta: Literatur Pekantas, 2002)
Martin L. Sinaga, dkk (penyunting), Pergulatan kehadiran Kristen di Indonesia: teks-teks terpilih Eka
Darmaputera (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001)
Pakpahan, Binsar J., Allah mengingat: teologi ingatan sebagai dasar rekonsiliasi dalam konflik komunal
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017)
Philips, Richard D., Apakah pendamaian itu? (Surabaya: Momentum, 2014)
Rantung, Djoys Anneke, Resolusi konflik dalam organisasi: kajian dari perspektif pendidikan perdamaian
terhadap kasus konflik di lembaga pendidikan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017)
Shumann, Olaf H., Menghadapi tantangan, memperjuangkan kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2006)
Singgih, Emmanuel Gerrit, Menguak isolasi menjalin relasi: teologi Indonesia dan tantangan dunia
postmodern (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)
Stephen Arterburn, Healing is a choice, pemulihan adalah sebuah pilihan, (Surabaya, Literatur
Perkantas Jawa Timur, 2013)
Surbakti, Elisa B., Benarkah Yesus Juruselamat Universal? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008).
69
Suyanto, Agus dan Hartono, Paulus, Laskar dan Mennonite: perjumpaan Islam-Kristen untuk
perdamaian di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016)
Tim Pusat Penyusun Pusat Pembelajaran Mediasi dan Rekonsiliasi STT Jakarta, Membangun
Perdamaian: kumpulan kasus untuk pelatihan mediasi dan rekonsiliasi, (Jakarta: UPI STT Jakarta
bekerjsama dengan BPK Gunung Mulia, 2015).
Walter Wink (penyunting), Damai adalah satu-satunya jalan: kumpulan tulisan tentang nir-kekerasan
dari Fellowship of Reconcilliation (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012)
Woly, Nicolas J., Saudaraku di serambi iman: mengenal pokok-pokok ajaran agama sesama kita kaum
Muslim, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
Yusak B. Setyawan, dkk., Perdamaian dan Keadilan: dalam konteks Indonesia yang multikulutural dan
beragam tradisi iman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017)
70
ETIKA MASYARAKAT KRISTIANI MEMASUKI
LINGKUNGAN DIGITAL
Benyamin Senduk Sugeha51
Pendahuluan
Suatu ciri khas dari Masyarakat Kristiani adalah masyarakat yang guyub dalam
pesekutuan dan berpegang pada dasar Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Walau Alkitab selama ini kita ketahui bukan sekedar merupakan daftar ―perintah‖ dan
―larangan‖, namun Alkitab telah memberi arahan yang cukup mendasar mengenai bagaimana
seharusnya kita menjalani hidup sebagai orang Kristiani.
Bagi masyarakat Kristiani, Alkitab merupakan sumber yang perlu dipegang karena
mengarahkan bagaimana menjalani kehidupan sebagaimana layaknya pengikut Kristus.
Alkitab memang tidak secara eksplisit menguraikan segala situasi yang kita hadapi dalam
kehidupan zaman demi zaman.
Ketika dipertanyakan, bagaimana Alkitab membantu memberikan solusi pada setiap
persoalan. Maka disinilah Etika Kristen, dan selanjutnya Etika Masyarakat Kristiani sebagai
Etika social yang membahas tentang kewajiban, sikap, dan pola perilaku manusia sebagai
anggota masyarakat pada umumnya perlu untuk dimunculkan peranannya.
Etika Masyarakat Kristiani
Secara sederhana Etika dapat dipahami sebagai suatu aturan yang diberlakukan
dengan tujuan untuk menertibkan hubungan dengan orang lain agar dapat terjalin
komunikasi yang baik dan akrab. Selanjutnya etika masyarakat termasuk dalam kelompok
etika sosial yang merupakan peraturan yang dianut oleh suatu tatanan sosial / masyarakat,
sebagai hasil endapan kreasi manusia yang tercipta dengan tujuan untuk menjaga hubungan
dalam suatu masyarakat yang baik dan harmonis.
Dalam hal ini Etika sosial berlaku dalam suatu komunitas tertentu dan mempunyai
ciri tersendiri tergantung dimana diberlakukan karena juga terkait dengan adat istiadat yang
berlaku. Secara lebih luas Etika didefinisikan sebagai, ―serangkaian prinsip moral, kajian
mengenai moralitas.‖ Karena itu, Etika masyarakat Kristiani merupakan prinsip-prinsip yang
51 Dr. Benyamin Senduk Sugeha, M.Kes adalah Pengurus Yayasan Kristen YAKKUM RS Betesda Yogyakarta;
Pengurus Ormas MKI (Masyarakat Kristen Indoesia) dan Pengurus KADIN Daerah Istimewa Yogyakarta.
71
disarikan dari iman Kristiani yang kemudian menjadi landasan bagi tindakan kita. Alkitab,
pada beberapa hal memang tidak menyinggung dan membicarakan seluruh situasi khusus
yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari pada belbagai zaman, namun prinsipprinsipnya memberikan kepada kita standar & arahan untuk diikuti dalam berbagai situasi.
Dengan menggunakan prinsip-prinisp yang diajarkan Alkitab, orang Kristen dapat
menentukan jalan mana yang harus ditempuh, dalam situasi apapun. Dalam kasus-kasus
tertentu, ini merupakan hal yang sederhana, seperti peraturan hidup yang terdapat dalam
Kolose 3, misalnya. Namun dalam beberapa kasus lain yang lebih kompleks mungkin kita
perlu menggali lebih dalam. Adapun cara terbaik untuk melakukan hal ini adalah dengan
lewat doa mohon pencerahan Firman Tuhan disamping berusaha masuk dan mempelajari
berbagai aspek yang terkait dengan hal-hal yang lebih mendasar. Bukankah Roh Kudus
mendiami setiap orang percaya. PerananNya dalam hidup orang percaya termasuk mengajar
bagaimana seharusnya kita hidup, sebagaimana tertulis Yohanes 14:26 (TB): Tetapi
Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan
mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah
Kukatakan kepadamu. Demikian pula sebagaimana terulis dalam 1 Yohanes 2:27 (TB) sebagai
berikut : Sebab di dalam diri kamu tetap ada pengurapan yang telah kamu terima dari padaNya. Karena itu tidak perlu kamu diajar oleh orang lain. Tetapi sebagaimana pengurapan-Nya
mengajar kamu tentang segala sesuatu — dan pengajaran-Nya itu benar, tidak dusta — dan
sebagaimana Ia dahulu telah mengajar kamu, demikianlah hendaknya kamu tetap tinggal di
dalam Dia.
Komunikasi dalam dunia maya.
Di dalam menapak memasuki dunia Digital, kita memahami bahwa komunikasi dalam
dunia maya menjadi sarana yang mendasar. Adapun komunikasi merupakan suatu proses
ketika seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi, dan masyarakat menciptakan,
dan menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungan dan orang lain. Oleh karena
itu, disamping sebagai orang Kristen yang memakai kaidah2 Kristus, kita juga memakai
kaidah komunikasi sebagai warga digital. Masyarakat atau warga digital telah difahami
sebagai orang yang sadar akan hal baik dan yang buruk. Menjadi orang yang mampu
menunjukan kecerdasan dalam perilaku berteknologi, yang mampu membuat pilihan yang
tepat saat menggunakan fasilitas teknologi yang ada, ketika kita sedang mengekspresikan
ide/gagasan karakteristik, pribadi, maupun tujuan yang kita tuangkan kedalam dunia maya.
Karena lewat dunia maya, tidak mempertemukan individu dengan individu secara nyata,
72
tidak berhadapan muka dengan muka, sehingga karena itulah kita sering lepas kontrol. Oleh
karena itu dalam memasuki dunia maya diharapkan kita tetap sadar untuk menjaga sopan
santun & kejujuran sebagaimana halnya kalau kita berjumpa muka dengan muka. Karena
itulah pengertian masyarakat digital atau Digital Society sebagai wadah masyarakat
belakangan ini sering digunakan untuk memberikan edukasi mengenai pemanfaatan
teknologi dunia maya dengan baik dan benar. Komunikasi digital lewat komputer memang
mempunyai kemampuan untuk mentransfer pesan antar perangkat independen.
Dalam rangka berkomunikasi, perangkat komputer dihubungkan dalam beberapa
cara, sehingga peningkatan konektivitas teknologi informasi ini juga menambah kerentanan
munculnya kejahatan komputer.
Warga Digital
Warga digital ditengerai sebagai orang yang sadar akan hal baik dan yang buruk,
menunjukan kecerdasan. perilaku teknologi, dan bisa membuat pilihan yang tepat saat
menggunakan teknologi. Mereka telah memanfaatkan Teknologi Informatika untuk
membentuk suatu komunitas, pekerjaan, dan berekreasi.
Selama ini secara elementer, diantara warga degital telah muncul pula pemahaman
mengenai T.H.I.N.K yang merupakan tata krama diantara kewargaan digital yang baik dan
benar dalam berkomunikasi di dunia digital, baik itu berbentuk e.mail, facebook, twitter,
blog,forum, WA dan sebagianya. Adapun T.H.I.N.K merupakan akronim dari :
- Is it True (benarkah)?
Benarkah posting anda? Atau hanya isu yang tidak jelas sumbernya? -Is
it Hurtful (menyakitkanlah)?
Apakah post anda menyakiti orang lain?
- Is it illegal (illegalkah)?
illegalkah post anda?
-Is it Neccesary (Pentingkah)?
Pentingkah post anda? post yang tidak penting akan mengganggu orang lain
-Is it Kind (Santunkah)?
Santunkah post anda? tidak menggunakan kata-kata yang dapat menyinggung orang lain.
Disamping THINK di atas bebera warga mencoba memunculkan "Etika sederhana
Kewargaan Digital" yang meliputi keharusan.:
Pemilihan kata yang tepat saat berkomunikasi
Tidak menyinggung pihak lain
73
Tidak memberikan informasi rahasia
Masyarakat digital (digital society)
Adanya warga digital telah memunculkan Masyarakat digital sebagai suatu realitas
dalam kehidupan di abad 21. Tidak heran bila banyak kaum cerdik pandai Kristiani yang
terlibat sebagai bagian dari komunitas digital yang ditengerai telah mewarnai banyak sektor.
Masyarakat digital saat ini diketahui telah melakukan transformasi di berbagai bidang,
khususnya sektor perbankan, pendidikan, kesehatan, kedokteran dan layanan pemerintah.
Data pemanfaatan Internet di Indonesia tampak dengan populasi 250 juta orang Indonesia,
ternyata 88 juta orang di antaranya aktif berinternet dan 79 juta orang Indonesia tercatat
aktif
Lingkungan digital (digital environment)
Lebih jauh ketika kita sebagai bagian dari masyarakat digital ingin meningkatkan diri
memasuki domain digital yang lebih luas seyogyanya memahami mengenai lingkungan digital
atau Digital Environment sebagai platform masyarakat luas dalan segala peramasalahan
digital.
Untuk itu definisi Lingkungan Hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang memengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain, perlu
dipahami dengan saksama. Pengertian lingkungan hidup secara sederhana dapat dikatakan
sebagai segala sesuatu yang ada di sekitar manusia atau makhluk hidup yang memiliki
hubungan timbal balik dan kompleks serta saling mempengaruhi antara satu komponen
dengan komponen lainnya. Adapun unsur lingkungan dibedakan menjadi tiga, yaitu
Lingkungan Abiotik, Biotik dan Culture (budaya). Pada unsur budaya inilah permasalahan
lingkungan digital dibahas.
Terkait dengan lingkungan digital ini, seorang ahli, Robert J. Shapiro, pernah
menyatakan: Kita tiba-tiba menemukan diri kita ada di tengah-tengah sebuah revolusi
teknologi yang didorong oleh pengolahan digital. Di sekitar kita ada cara dan bentuk yang
kita tidak bisa sepenuhnya pahami, pengelolaan berbasis digital telah mengubah cara orang
bekerja secara bersama maupun sendirian, berkomunikasi, berhubungan, mengkonsumsi
barang dan berelaksasi. Perubahan ini cepat dan tersebar luas dan sering tidak sesuai dengan
kategori yang digunakan untuk memahami perkembangan ekonomi.
74
Beberapa tahun terakhir ini memang telah terjadi pertumbuhan yang sangat pesat.
Internet telah merevolusi cara berbisnis, mulai dari akuisisi sampai pelayanan pelanggan yang
pembayarannya dilakukan secara elektronik. Banyak institusi menemukan berbagai cara baru
dalam memberikan produk dan layanan digital.
Lingkungan digital muncul sebagai faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi di
abad kedua puluh satu ini dan mendapatkan perhatian yang signifikan oleh regulator dan
para pembuat kebijakan. Lingkungan digital ini ditengerai dengan maraknya perangkat
komunikasi, Internet, dan teknologi komputer. Juga ekonomi digital, bisnis yang
menyangkut E-commerce telah merevolusi cara berbisnis dan cara organisasi periklanan,
pemasaran, dan penjualan produk & jasa mereka. E-commerce secara luas didefinisikan
sebagai tindakan komunikasi dan transaksi bisnis melalui jaringan yang dimediasi oleh
komputer.
Akhirnya lingkungan digital dalam strategi E-commerce telah berkembang dan
meliputi: A)Bisnis-ke-bisnis (B2B) mengacu pada pertukaran barang dan jasa secara online
yang melibatkan transaksi-transaksi antara perusahaan dan pemasok (misalnya, CISCO).
B) Bisnis-ke-konsumen (B2C) adalah sebuah strategi bisnis yang secara online berhadapan
langsung dengan konsumen (misalnya, Amazon.com). C) Konsumen-to-Konsumen (C2C)
adalah sebuah strategi konsumen secara online berhadapan langsung dengan konsumen
lainnya (misalnya, eBay). D) Bisnis-ke-pemerintah (B2G) berkaitan dengan transaksi
elektronik antara perusahaan dan lembaga pemerintah lokal, negara bagian, dan pemerintah
pusat. E) Pemerintah-ke-pemerintah (G2G) strategi e-commerce mencakup semua program
dan kegiatan secara online antar instansi pemerintah (misalnya, transfer elektronik dana dan
deposit langsung). F) Pemerintah-ke-konsumen (G2C) mengacu pada transaksi online antara
lembaga pemerintah dan konsumen. Misalnya, transfer cek subsidi negara secara elektronik.
G)Peer-to-Peer (P2P) berkaitan dengan berbagi kemampuan komputer antar platform
aplikasi.
Penutup
Allah telah memberikan anugerah kebebasan kepada manusia. Tentunya anugerah itu
diberikan bukan tanpa tujuan tertentu, tetapi mengharapkan agar manusia menggunakan
anugerah yang diberikan-Nya untuk karya keselamatan dalam kemaslahatan seluruh umat
manusia.
Melalui Yesus Kristus, Allah memanggil dan menjadikan semua umat beriman sebagai
penyalur dan pengungkapan kasih-Nya. Artinya, melalui Yesus Kristus Allah memilih dan
75
menjadikan manusia sebagai rekan kerjaNya. Demikian pula kiranya masyarakat Kristiani
selaku warga digital dimampukan melakukan penilaian terhadap yang baik maupun yang
buruk, disamping tentunya menjadi kumpulan orang yang mampu menunjukan kecerdasan
dalam berteknologi.
Akhirnya diharapkan Masyarakat Kristiani Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
digital dapat meneladani dalam kancah Digital Environment sebagai platform masyarakat luas
dalam segala permasalahan digital.
76
LITERASI DIGITAL : SAMPAI DI MANA ?
(Fixed mindset or Growth mindset)
Fibry Jati Nugroho52
Dunia Tanpa Sekat
Maraknya digitalisasi membuat pergerakan dunia semakin sempit. Yasraf Amir Pilang
dalam bukunya yang berjudul Dunia yang Dilipat menyatakan bahwa sekat-sekat dunia
sudah tidak ada lagi, semua sudah berubah menjadi dunia yang tidak terbatas dan tanpa
sekat. Di belahan dunia barat dengan mudahnya melihat dan menyaksikan kejadian di
belahan dunia timur, pun sebaliknya. Digitalisasi membuat denyut kehidupan semakin cepat
dan laju pertumbuhan menjadi peluang sekaligus ancaman bagi masyarakat di masa sekarang.
Di tengah gencarnya digitalisasi yang tak terbendung merasuk kepada masyarakat,
diperlukan kemampuan literasi yang mumpuni, untuk memaksimalkan manfaat dari
digitalisasi tersebut. Digitalisasi membuat informasi yang beredar tak dapat terbendung,
sehingga terjadi overload informasi di masyarakat. Untuk itulah diperlukan kemampuan
literasi guna memanfaatkan digitalisasi bagi kemaslahatan bersama. Dilihat dari definisinya,
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian bahwa literasi merupakan
kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Dalam pemikiran modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar
manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan. Kirsch
dan Jungeblut (1993) menjelaskan bahwa literasi kontemporer merupakan kemampuan
seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan
pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas. Besnier (dalam
Syahriyani, 2010) menjelaskan bahwa manfaat budaya literasi yang begitu besar, maka kita
perlu belajar dari sejarah peradaban besar di masa lalu dimana budaya literasi pada saat itu
dapat mendorong tumbuhnya inovasi baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Literasi
digital sendiri merupakan sebuah ketertarikan dan kemampuan menggunakan teknologi
digital, termasuk di dalamnya alat komunikasi untuk mengakses, mengelola,
mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan dan
berkomunikasi dengan orang lain secara efektif di dalam masyarakat.
52 Dr. Fibry Jati Nugroho adalah Wakil Ketua 1 bidang akademik di STT Sangkakala Salatiga, Jateng
77
Kemampuan literasi yang mumpuni di tengah masyarakat membuat informasi yang
beredar sangat banyak dapat dimanfaatkan untuk memajukan kehidupan bersama. Lantas,
pertanyaannya adalah apakah kemampuan literasi di era digitalisasi ini sudah mumpuni di
tengah masyarakat ? Ataukah masyarakat masih ―gagap‖ literasi ? Di sisi yang lain, ketika
generasi muda sekarang, atau lebih dikenal dengan generasi Z telah mumpuni memanfaatkan
digitalisasi telah melek literasi, bagaimanakah batasan etis dan kedalaman nilai hidupnya
dapat menyaring informasi yang begitu luasnya ? Tanpa nilai dan etika yang benar di zaman
digital, akan berdampak negatif dalam kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, digitalisasi perlu
dibarengi dengan kemampuan literasi dan disertai dengan internalisasi nilai-nilai kehidupan
yang benar.
Literasi Digital
Tokoh yang pertama kali mengemukakan istilah literasi digital adalah Paul Gilster. Ia
mendefinisikan literasi digital yaitu kemampuan menggunakan teknologi informasi beserta
dengan beragam pirantinya, untuk mempermudah kehidupan di segala bidang hidupnya
(Riel. et.al. 2012:3). Literasi informasi ini tidak terlepas dari perkembangan literasi komputer.
Munurut Shapiro dan Hughes (1996), tujuh komponen dari literasi komputer meliputi :
1. Literasi Alat : kompetensi menggunakan piranti lunak dan keras
2. Literasi sumber : pemahaman tentang berbagai sumber bentuk, akses dan informasi
3. Literasi sosial-struktural : pemahaman mengenai cara produksi dan manfaat informasi
secara sosial
4. Literasi penelitian : penggunaan teknologi informasi untuk penelitian dan
pengetahuan
5. Literasi penerbitan : kemampuan berkomunikasi dan menerbitkan informasi
6. Literasi teknologi baru : pemahaman mengenai perkembangan teknologi informasi
7. Literasi Kritis : Kompetensi untuk mengevaluasi pemanfaatan teknologi
Komponen tersebut yang mendasari perkembangan literasi informasi, yang kemudian
berkembang dalam literasi digital. Para pustakawan telah merumuskan tujuh hal yang
menyangkut aspek literasi informasi (SCONUL, 2006 dalam Martin, 2008). Adapun tujuh hal
tersebut adalah :
1. Mengenali informasi yang dibutuhkan
2. Menentukan cara untuk menyelesaikan kesenjangan informasi
3. Mengkonstruksi strategi untuk mendapatkan informasi
4. Mencari dan mengakses
78
5. Membandingkan dan mengevaluasi
6. Membandingkan, melaksanakan dan berkomunikasi
7. Meringkas dan menciptakan
Paradigma di dalam literasi komputer yang semula hanya terbatas dalam aspek alat dan
peralatan, telah berkembang ke arah keterampilan mental untuk memahami dan
memperbarui informasi. Dalam perkembangannya, Bawden lebih lanjut memberikan
penjelasan terkait aspek literasi digital, yaitu (Bawden, 2001) :
1. Perakitan pengetahuan yaitu kemampuan membangun informasi dari berbagai
sumber yang terpercaya
2. Kemampuan menyajikan informasi termasuk di dalamnya berpikir kritis dalam
memahami informasi dengan kewaspadaan terhadap validitas dan kelengkapan
sumber dari internet.
3. Kemampuan membaca dan memahami materi informasi yang tidak berurutan (non
sequential) dan dinamis
4. Kesadaran tentang arti penting media konvensional dan menghubungkannya dengan
media berjaringan (internet)
5. Kesadaran terhadap akses jaringan orang yang dapat digunakan sebagai sumber
rujukan dan pertolongan
6. Penggunaan saringan untuk informasi yang datang
7. Merasa nyaman dan memiliki akses untuk mengkomunikasikan dan
mempublikasikan informasi
Secara komprehensif, literasi digital berkaitan dengan aspek keterampilan teknis mengakses,
merangkai, memahami dan mempublikasikan informasi. Tokoh lain yang bernama
Buckingham, berpendapat bahwa terdapat empat komponen penting dalam literasi digital
(Buckingham, 2007), yaitu :
1. Representasi : Media digital merepresentasikan dunia bukan secara tunggal, namun
juga merupakan hasil intrepretasi dan seleksi atas kenyataan.
2. Bahasa : dalam dunia digital seseorang tidak hanya dituntut mampu berbahasa,
namun juga perlu memahami beragam konten dan genre. Hal lain juga dibutuhkan
keterampilan untuk memahami beragam retorika bahasa, baik eufimisme, persuasi,
metafora, hiperbola dan lain sebagainya.
79
3. Produksi : literasi juga berkaitan dengan motif komunikasi, tentang pemahaman
mengenai siapa, kepada siapa, mengapa dan bagaimana berkomunikasi, sehingga
dapat memahami keamanan konten.
4. Khalayak : hal ini terkait dengan posisi khalayak, tentang bagaimana media
menempatkan, menarget dan merespon, serta metode mendapatkan informasi perihal
privasi dan keamanan penggunanya.
Literasi digital lebih banyak berkelindan dalam literasi komunikasi dan literasi visual.
Kerangka digitalisasi mengajak penikmat media disuguhi dengan visualisasi sebagai sarana
yang memudahkan dalam berkomunikasi. Visualisasi di dalam digitalisasi membuat
kreatifitas dan daya imaginasi seseorang semakin meningkat. Seseorang dapat dengan mudah
mengapresiasi, menikmati sampai bersikap nyinyir ketika melihat visualisasi yang disuguhkan
oleh pihak lain. Untuk dapat menghasilkan dampak yang positif di dalam masyarakat, perlu
diketahui dimensi yang ada di dalam perkembangan dan pengembangan literasi digital.
Beberapa ahli sepakat bahwa dimensi digital meliputi sosial dan etika. Adapun rumusan dari
dimensi tersebut meliputi (Martin, 2008) :
1. Dimensi keahlian dalam aksi digital yang terkait di dalam pekerjaan, pembelajaran,
rekreasi dan keseharian.
2. Dimensi individual, dalam hal ini digitalisasi sangat bergantung dengan lingkungan,
situasi dan kondisi dimana ia hidup dan berada.
3. Dimensi pembentuknya, yaitu literasi komunikasi dan teknologi informasi.
4. Dimensi manajemen informasi, yaitu kemampuan untuk merencanakan,
mengumpulkan, menyaring, memanfaatkan dan mengevaluasi informasi berdasarkan
sikap dan tata nilai dalam menyelesaikan masalah dan tugas dalam kehidupannya
sehari-hari.
5. Dimensi kesadaran akan pengembangan literasi digital.
Dimensi yang ada di dalam literasi digital tidak dapat dinafikkan, akan tetapi perlu
ditelaah untuk dapat dikelola dalam pemanfaatannya dan pengembangannya di dalam
masyarakat. Kompleksitas yang ada di dalam literasi digital perlu diwadahi dalam
penyebarannya karena didalamnya terdapat sebuah dunia baru yang sarat dengan teknologi,
psikologi, fisik dan sosial. Oleh sebab itu, dalam penggunaan literasi digital diperlukan
sebuah proses pembelajaran yang holistik, sehingga kompleksitas yang menyertainya dapat
terkelola dengan baik.
80
Kedalaman VS Keluasan
Di era overload informasi, sebuah pertanyaan muncul yaitu apakah yang diperlukan di
masa sekarang ini kedalaman atau keluasan ? Dalam berbagai diskusi yang dihadiri oleh para
pengajar, baik di kalangan pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi, banyak keresahan
muncul perihal peserta didik yang tidak dapat berpikir secara dalam dan cenderung
mengalami kesulitan untuk mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya. Hampir semua
pendidik mempunyai satu suara, bahwa peserta didiknya kini mempunyai pemikiran dan
pengetahuan informasi yang luas, namun tidak mendalam. Perihal dualisme yang terjadi,
sedikit banyak dipengaruhi oleh pembelajaran yang tidak menyeluruh terkait dengan literasi
digital bagi penggunanya. Pembelajaran literasi digital akan sangat membantu dalam
memaksimalkan penggunaannya untuk mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.
Pada tahun 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program
Gerakan Literasi Nasional yang didalamnya banyak dikaji perihal literasi digital. Di dalam
gerakan tersebut dikemukakan bahwa proses pembelajaran literasi terdiri dari dua bidang,
yaitu pembelajaran formal dan non formal. Pembelajaran secara formal dapat dilakukan di
sekolah formal, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pembelajaran yang
diintegrasikan dengan pembelajaran di kelas akan sangat membantu peserta didik untuk
dapat memanfaatkan literasi digital dengan maksimal. Pembelajaran non formal dapat
melalui beragam kegiatan yang ada di masyarakat, baik kegiatan keagamaan, Karang Taruna,
komunitas hobi, PKK, maupun dengan kegiatan lain yang ada di masyarakat.
Kegiatan pembelajaran secara teknis dapat dilakukan secara korporat di dalam
masyarakat sangat penting apabila disertai dengan pembelajaran mengenai nilai-nilai
universal yang perlu dipahami oleh setiap masyarakat. Beberapa nilai universal yang perlu
dipahami dalam pembelajaran tersebut antara lain kebebasan berekspresi, privasi, keragaman
budaya, hak intelektual dan hak berkomunikasi. Pembelajaran yang utuh dapat memberikan
pemahaman bahwa media digital bak kepingan mata uang yang punya dua sisi. Satu sisi
dapat berdampak baik bagi kepentingan kehidupan manusia, akan tetapi sisi lain terdapat
sisi negatif yang dapat berujung kepada pelanggaran hukum. Nilai universal inilah yang
kemudian menjadi titik temu dari beragam budaya dan konteks di dalam masyarakat.
Literasi digital memberi kemudahan masyarakat untuk mengakses informasi, dimulai
dari informasi kesehatan, keluarga, bisnis dan beragam jenis informasi yang lain. Berita
positif, negatif, fakta, opini, gosip sampai kepada berita hoax bertebaran di media digital yang
ada. Tanpa penyaring yang baik, maka dampak dari overload informasi mengakibatkan
kebingungan di dalam masyarakat akibat dari keluasan informasi yang disajikan secara
81
beragam. Keluasan informasi ini memberi bekal kepada penikmat media digital untuk
memahami secara luas, tetapi tidak mendalam. Keluasan tanpa kedalaman mengakibatkan
kegalatan dalam berpendapat.
Ada sebuah prinsip dalam era digital, yaitu ga narsis ga eksis. Siapa yang narsis, dengan
selalu memunculkan fotonya, tulisannya, ataupun celetukannya di media digital, dialah yang
menjadi pusat perhatian dari penikmat media. Siapa yang rajin mengunggah kenarsisannya
merekalah yang dapat ―dipercaya‖ oleh penikmat media digital, atau lebih dikenal dengan
istilah warganet. Ketika yang narsis ini semakin laris untuk diikuti informasinya oleh
warganet, maka informasi yang dinikmati tidak dapat mendalam, karena bergantung dengan
berita yang disajikan oleh satu sumber saja, dan belum tentu kejelasan kebenarannya.
Pada era digital sekarang ini, seringkali terlihat ketika memasuki sebuah restoran atau
tempat makan, banyak anak muda khususnya, ketika makanan yang dipesan telah datang,
mereka tidak langsung menikmatinya, akan tetapi buru-buru memotret makanannya lalu
menshare di media sosialnya. Begitu foto-foto tersebut dishare, maka akan ditangkap dan
dibaca oleh banyak orang. Kemudian banyak orang berusaha mencari tempat makan tersebut
di mesin pencari google yang menautkan beragam foto terkait dengan kebutuhan orang lain
terhadap makanan, tempat, maupun masakan yang ada. Dalam hal ini, restoran menjadi pihak
yang diuntungkan karena maraknya narsisme dari para pengunjungnya. Di sisi yang lain,
apabila yang diunggah adalah kekecewaan, maka restoran tersebut menjadi korban dari
kerasnya dunia digital. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah kedalaman dalam pemahaman
terkait media sosial, sehingga tidak mudah memberikan opini dan justifikasi ketika melihat
sesuatu yang baik ataupun yang buruk. Apabila meminjam istilah seorang filsuf Perancis yang
bernama Rene Descartes mengatakan bahwa ―I think, therefore I am”, era sekarang dengan
adanya media digital perkataan tersebut telah berubah menjadi ―I share, therefore I am” (Kasali,
2017).
Terbuka atau Tertinggal
Di era digital, membuat semua informasi terbuka untuk dikonsumsi secara umum.
Sistem managemen yang dulu hanya menjadi konsumsi pimpinan, di era digital semuanya
terbuka menjadi konsumsi publik. Pengelolaan keuangan yang tidak semua mengetahui, di
era digital semuanya terbuka menjadi bahan amatan publik. Ingatan publik belum hilang
perihal pemerintahan di era gubernur Ahok yang menggunggah semua hasil rapatnya untuk
dikonsumsi oleh masyarakat luas. Bukan hanya itu saja, Ahok juga membuat sistem ebudgeting
82
yang dapat diakses publik guna melihat dapur anggaran yang ada di pemerintahannya. Apa
yang dilakukan Ahok menjadi sebuah fenomena yang menarik di dalam masyarakat, bahwa di
era digital masyarakat yang maju siap dengan keterbukaan di segala sisi.
Hal yang semula ―tabu‖, di era digital semuanya mulai terbuka. Ketika era digital
menuntut adanya keterbukaan informasi sebagai salah satu ciri khasnya, mindset dari
masyarakat menjadi tantangannya. Rhenald Kasali memberikan klasifikasi bahwa terdapat
dua golongan yakni fixed mindset dan growth mindset. Orang-orang yang tidak siap dengan
perubahan terkait dengan digitalisasi bukanlah dari kelompok orang kurang pandai, tetapi
dari golongan orang yang terkurung oleh cara berpikirnya sendiri (fixed mindset). Golongan
tersebut biasanya susah untuk berubah, karena sudah terkungkung oleh pemikirannya
sendiri. Growth mindset merupakan golongan dari orang yang selalu siap dan menyambut
perubahan dengan positif dan optimis.
Di era digital, dibutuhkan kemampuan untuk dapat terbuka dengan hal-hal yang baru
serta cepat beradaptasi terhadap perubahan. Orang yang berada di zona growth mindset akan
dengan mudah menerima perubahan yang terjadi. Namun, orang yang berada di dalam zona
fixed mindset akan mengalami kesulitan terhadap perubahan yang sangat cepat di dalam
dunianya. Pola pikirnya yang tertutup menjadi penyebab kurangnya kemampuan untuk
beradaptasi dengan perubahan di dunianya, sehingga mereka akan tertinggal dan menjadi
korban perkembangan zaman. Sementara itu, pola pikir yang terbuka akan dengan mudah
untuk menyambut perubahan demi perubahan, dikarenakan mereka memiliki kemampuan
untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Pertanyaannya, bagaimana cara
menyiapkan kemampuan orang-orang dengan growth mindset ?
Menurut Carol Dweck, orang-orang yang berada di dalam zona fixed mindset mempunyai
tipikal menolak tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras sia-sia, tidak senang
menerima kritikan, orang yang lebih hebat dari dirinya dianggap ancaman dan sering
membanggakan capaiannya di masa lalu. Pun sebaliknya, orang yang mempunyai growth
mindset mempunyai tipikal masih mau belajar, siap menerima tantangan baru, menganggap
kerja keras penting, siap menerima kritik dan saran negatif sebagai sarana evaluasi, dan
menjadikan orang yang lebih pandai darinya sebagai tempat belajar (Kasali, 2017). Di sinilah
peran pendidik baik formal maupun non formal diperlukan untuk melaksanakan
pembelajaran literasi digital. Growth mindset perlu ditanamkan dan dilatih sehingga orangorang dapat terbuka dan mampu menyambut perubahan dengan positif serta konstruktif.
Orang-orang yang terbuka dan siap bertumbuh akan mampu memanfaatkan digitalisasi
83
bukan hanya untuk dirinya, akan tetapi siap untuk berdampak bagi orang lain di sekitarnya.
Pilihannya ada dua terbuka atau tertinggal.
Digital Generation
Generasi digital demikian sering disebut sebagai generasi zaman now sebagai penikmat
perkembangan dunia digital. Generasi ini mempunyai definisi sendiri terkait dengan cara
berkomunikasi, cara belajar, cara memberi informasi, meneliti, menghibur maupun
mengekspresikan dirinya. Perubahan pola hidup inilah yang kemudian perlu disikapi dengan
baik oleh para pendidik, baik secara formal maupun non formal.
Sebagai contoh, cara belajar generasi digital sangat berlainan dengan generasi
sebelumnya. Generasi digital akan sangat menyenangkan ketika belajar sambil berselancar di
dunia maya. Mereka terbiasa untuk melakukan beberapa pekerjaan secara sekaligus. Di
dalam alat komunikasinya, akan terbuka beberapa jendela yang memuat beberapa informasi
sekaligus. Sembari belajar, mencari informasi, sekaligus menonton acara di televisi. Pendidik
yang tidak mengetahui cara belajar yang dipakai oleh generasi digital ini akan sangat
kewalahan, apabila menyajikan cara belajar dengan pola lama. Generasi digital akan merasa
sangat senang apabila pembelajaran yang dilakukan dibarengi dengan berselancar di dunia
maya. Belajar di dunia maya dan dunia nyata dapat dipadukan sehingga pembelajaran akan
terasa menyenangkan.
Bagi generasi digital, tidak ada pembedaan antara dunia nyata dengan dunia maya.
Dunia maya dianggapnya sebagai dunia nyata, senyata dengan dunia yang sebenarnya. Pola
yang demikian perlu dipahami untuk dapat masuk dan memberikan pelajaran nilai-nilai
hidup sebagai manusia. Para pendidik di sekolah formal perlu menyiasati dalam kerangka
perkembangan dunia digital. Para peserta didik sudah banyak menghabiskan waktu dengan
smartphonenya dan cenderung bersikap acuh terhadap guru yang mengajarnya. Apalagi ketika
informasi yang disampaikan dan metode mengajarnya tidak lebih baik dari apa yang
dilihatnya di media digital. Terus berkembang menjadi sebuah jawaban alternatif dalam
mendidik generasi digital.
Di sisi lain, generasi digital membutuhkan sentuhan kemanusiaan dan sentuhan
spiritual di dalamnya. Pembelajaran ini tidak didapatkan di dalam kelas formal. Pendidikan
non formal dapat disajikan melalui keluarga, lingkungan atau agama sebagai dasar
kepercayaannya. Sentuhan kemanusiaan dapat dihadirkan melalui interaksi dengan keluarga
dan lingkungannya. Generasi digital lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia maya,
baik melalui komputer pribadinya, ataupun melalui ponsel pintarnya. Untuk dapat
84
memberikan sentuhan kemanusiaan, dibutuhkan ruang-ruang perjumpaan, agar mereka
tertarik dengan dunia nyata. Ciptakan dunia nyata lebih menarik dari dunia maya. Apabila di
dunia maya terdapat banyak kesempatan untuk mengulang, banyak reward dan banyak
informasi yang disuguhkan, maka sedapat mungkin dunia nyata mempunyai fasilitas yang
lebih baik dari tawaran di dunia maya.
Generasi digital juga memerlukan sentuhan spiritual. Hal yang tidak didapatkan di
dalam dunia maya adalah sebuah sentuhan. Secara manusiawi, fisik dan psikis seseorang
membutuhkan adanya sentuhan dari orang lain dan juga sentuhan spiritual sebagai
pelengkap di dalam hidupnya. Tanpa adanya sentuhan dari orang lain, niscaya seorang
individu akan mengalami tekanan dan frustasi di dalam kehidupannya. Pendidik non formal,
dalam agama sebagai contoh kekristenan, bagian ini merupakan tugas dari seorang
rohaniwan, untuk dapat memberikan kebutuhan sentuhan spiritual bagi seseorang. Di dalam
sentuhan spiritual tersebut dapat ditanamkan pula nilai-nilai, tata cara kehidupan dan
standar kehidupan berdasarkan kepercayaan kekristenan. Tanpa sentuhan spiritual, generasi
digital akan menjadi generasi yang pandai, tetapi akan kehilangan martabatnya sebagai
manusia. Pertaruhannya adalah hidup digerakan oleh mesin digital atau hidup yang
digerakkan oleh kepercayaan akan Tuhan yang menciptakan kehidupan ini. Akhirnya,
sampai dimana literasi digital dikembangkan dan dipelajari oleh masyarakat ?
Kepustakaan
Bawden, D. (2001). Information and digital literacies: a review of concepts. Journal of
documentation, 57(2), 218-259.
Buckingham, D. (2007). Digital Media Literacies: rethinking media education in the age of the
Internet. Research in Comparative and International Education, 2 (1), 43-55.
Kasali, Rhenald. (2017) Strawberry Generation, Jakarta. Mizan
Martin, Allan. (2008). Digital Literacy and the ‗Digital Society‘ dalam Lankshear, C and
Knobel, M (ed). Digital literacies: concepts, policies and practices. Die Deutsche
Bibliothek
Piliang, Yasraf Amir. (2004). Dunia yang dilipat. Yogyakarta. Jalasutra.
Riel, J., Christian, S., & Hinson, B. (2012). Charting digital literacy: A framework for
information technology and digital skills education in the community college.Presentado
en Innovations.
85
KESADARAN DIRI PADA ERA TEKNOLOGI DIGITAL
Susana Prapunoto53
Dampak Peningkatan Penggunaan Teknologi Digital.
Pew Research Center 2016 (dalam Ward, Duke, Gneezy, dan Bos, 2017)
mengungkapkan bahwa 92% dewasa muda adalahpemilik telepon pintar, dan hidup sangat
bergantung pada telepon pintar tersebut. Sebagian dari mereka sekolah dan sebagian mereka
adalah orang tua dari anak yang masih sekolah. Data ini menunjukkan resiko merusak yang
potensial dari telepon pintar pada fungsi kognitif, seperti kemampuan domain-umum yang
mendukung proses fundamental seperti pembelajaran, penalaran logis, pemikiran abstrak,
pemecahan masalah, dan kreativitas. Penurunan fungsi kognitif mudah terjadi dan
dikhawatirkan memiliki efek besar pada kesejahteraan psikologis dalam jangka panjang.
Resiko merusak fungsi kognitif karena anak yang masih sekolah, masih memiliki peluang
panjang untuk mengisi kehidupan masa depannya, sedangkan orangtua menjadi model
potensial bagi anak-anak mereka.
Sebenarnya kehadiran teknologi digital amat berguna bagi pengembangan literasi
digital. Koneksi antar perpustakaan dapat dilakukan di seluruh dunia tanpa terbatas ruang
dan waktu. Sayangnya kehadiran perangkat seluler sebagai salah satu media digital, masih
minimal penggunaannya untuk mengembangkan proses pembelajaran dan pengujian, bahkan
sering tidak digunakan. Padahal menurut hasil kajian Pew Research Centre 2015 (dalam dalam
Ward, Duke, Gneezy, dan Bos, 2017) di luar sekolah anak-anak bahkan guru mereka hampir
tidak pernah meninggalkan telepon seluler, dan 46% mengatakan bahwa mereka tidak dapat
hidup tanpanya. Perangkat telepon pintar ini menghubungkan mereka dengan penawaran
berbagai konten dari seluruh dunia.
Peningkatan penggunaan teknologi digital di dunia, terus merambah pada semua
bidang kehidupan dan berdampak serius terhadap kehidupan psikologis dan rohani para
penggunanya. Oleh karena itu menjadi penting para pengembang sumber daya manusia
53 Dr. Susana Prapunoto, MA-Psy adalah Wakil Ketua Asosiasi Psikologi Kristiani periode 2018-
2023 dan sekaligus Dosen MK Interaksi Manusia dan Teknologi, Program studi Magister
Sains Psikologi – Program Pasca Sarjana, Universitas Kristen Satya Wacana 2016-2018. Selain
itu Penulis juga pengembang program pembinaan Guru Pendidikan Layanan Khusus di
bidang Literasi pada Kemendikbud RI (2015-2018).
86
untuk mengantisipasi dampak meningkatnya penggunaan teknologi digital. Terjadinya
dampak positif maupun negatif tergantung dari cara manusia yang menggunakan dan
menyikapi teknologi tersebut. Dampak positif seperti pertukaran data dan informasi melalui
newsgroup, email, “ftp” dan ―www” (world wide web – jaringan situs-situs web) membuat para
pengguna teknologi digital seluruh dunia dimudahkan untuk dengan cepat dan murah saling
bertukar informasi. Hal ini dapat dipahami, karena sekarang media untuk mencari informasi
atau data, amat didukung oleh perkembangan internet yang pesat. Fakta ini menimbulkan
―ftp.‖ dan ―www.‖ dianggap sebagai salah satu sumber informasi yang penting dan akurat.
Kemudahan memeroleh data dan informasi yang ada melalui internet, membuat manusia
dapat mengetahui apa yang terjadi di luar dirinya, bahkan real time. Tentu saja hal ini amat
membantu pengembangan dan pengambilan keputusan bidang pendidikan, seni dan budaya,
sosial, ekonomi, politik, bahkan bidang kerohanian dan lain-lain. Lembaga kerohanian,
pendidikan, sosial dll., dengan mudah dapat melakukan analisis kebutuhan warganya/
responden, sehingga dapat menyiapkan pelayanan yang sesuai dan menjawab kebutuhan.
Google form misalnya adalah salah satu jenis layanan teknologi yang dapat memudahkan
lembaga, memiliki data dasar dan informasi yang dikehendaki secara cepat dan efisien. Saat
ini beberapa lembaga mulai menggunakan google form untuk memeroleh data sebagai dasar
monitoring & evaluasi bahkan untuk mendapatkan data dasar kebutuhan/ masalah individu
yang dilayaninya. Hal ini juga merupakan hal positif dari media digital.
Dampak negatif dapat terjadi bilamana para pengguna belum memiliki kesadaran
dalam menggunakannya. Kaum muda terutama anak-anak dan remaja tidak sedikit yang
mengalami kecanduan sosmed (facebook, twitter, instagram, dll) serta menjadi korban karena
kegagalan dalam memahami identitas online yang digunakan. Selain itu kaum dewasa bahkan
orang tua juga kerapkali terpapar dan cukup banyak yang menjadi pelaku utama
berkembangnya kasus-kasus terkait problem teknologi digital. Akibatnya beberapa
persoalan cyber crime juga meningkat; seperti hoax, ujaran kebencian, cyber bullying, illegal copy,
plagiasi maupun duplikasi. Cybercrime sebagai bentuk kejahatan di dunia maya berkembang
lintas negara bahkan benua dan seringkali terdapat beberapa kesulitan dalam
pembuktiannya secara hukum, misalnya kasus-kasus hacking maupun cracking. Selain itu
kasus penipuan melalui media sosial juga menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu.
Tindak kekerasan dan kesadisan juga amat cepat penyebarannya. Media masa berburu untuk
menjual berita-berita kasus kriminal secara bombastis tanpa memikirkan dampak negatif
penyebarannya. Demikian juga kasus perjudian online atau internet gambling, para penjudi tidak
87
harus pergi ke suatu tempat perjudian melainkan dapat melakukannya di tempat masingmasing. Bahkan tanpa disadari seringkali games online juga dikemas seperti pola perjudian,
sehingga perlahan anak-anak yang dalam tumbuh kembangnya menyukai game online akhirnya
sebagian juga terseret dalam arus perjudian. Persoalan pencurian melalui carding semakin
banyak juga dikeluhkan dalam dunia perbankan. Para penjahat menggunakan kartu kredit,
ATM secara online dan menggunakannya secara real time tanpa disadari pemiliknya. Selain itu
penyebaran konten negatif seperti pornografi dan pornoaksi juga secara masif beredar
memacu kecanduan blue film, dan perilaku seks bebas semakin berkembang juga. Singkatnya
berkembangnya teknologi digital merupakan satu kondisi yang dapat mengubah semua
aspek kehidupan.
Perubahan kecenderungan penggunaan teknologi digital di Indonesia dapat dilihat dari
data yang dilaporkan oleh Global Web Index. Pada Januari 2018 data menunjukkan, bahwa 56%
total populasi di Indonesia yang tergolong Urbanisasi telah menggunakan teknologi digital
dalam kehidupan sehari-hari dengan penetrasi: 50% memakai internet, 49% menggunakan
sosial media, 67% unique mobile user, 45% active mobile social user. Sumber yang sama telah
melakukan survey mengenai waktu yang dipakai pengguna teknologi digital dan memiliki
data dasar Figures Represent Respondent’s Self mengenai rata-rata pemakaian internet dalam satu
hari sebanyak 8 jam 51 menit, pemakaian sosial media 3 jam 23 menit, melihat TV (broadcast,
streaming dan video on demand) 2 jam 45 menit, dan mendengarkan musik (streaming) 1 jam 19
menit. Diperoleh data juga bahwa jumlah penduduk yang melakukan belanja melalui ecommerce sebagai berikut: Busana dan kecantikan 2,466 M, Elektronika dan media fisik 1,273
M, Makanan dan Perlengkapan pribadi 0,593 M, Furniture & Appliances 1,288 M, Toys, Diy &
Hobbies 1,436 M, Transportasi perjalanan dan Akomodasi 2,417 M, Musik Digital 0,004 M dan
Video games 0,792 M. Sedangkan media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia
adalah 43% Youtube, 41% Facebook, 40% Whatsapp, 38% Instagram, 33% Line, 28% BBM, 27%
Twitter, 25% Google, 24% Messenger, 16% Linkedin, 15% skype, 14% Wechat.
Fakta juga menunjukkan penggunaan teknologi digital cukup tinggi untuk
kepentingan konsumtif. Sebagian besar pengguna teknologi digital menggunakan teknologi
digital lebih pada penggunaan media sosial; chatting, menelepon atau video call dengan orang
lain, penggunaan internet, main game, belanja online, menonton film melalui youtube atau sosial
media, atau membaca novel secara digital. Kesemuanya lebih banyak untuk kepentingan
88
konsumtif. Hanya sebagian kecil yang menggunakannya untuk mengembangkan ilmu dan
pengetahuan di bidangnya. Fakta ini menunjukkan bahwa kecenderungan menggunakan
media online juga berdampak pada kondisi fisik anak-anak, karena anak-anak kemudian
banyak duduk bahkan tiduran serta jarang sekali bergerak, sehingga memperbanyak jumlah
anak yang mengalami obesitas. Kondisi demikian dikhawatirkan dapat mengarahkan anak
pada sedentary lifestyle yang kurang sehat (Hart & Fredjd, 2013). Pengalaman menyenangkan
dalam menggunakan media digital akan membuat seseorang mengirimkan signal ke Nucleus
Accumbens (NA) dan secara otomatis syaraf pusat akan menghasilkan perasaan senang atau
pleasure/ joy. Namun signal ke Nucleus Accumbens yang berlebihan memengaruhi pleasure system
dan akan dapat menimbulkan adiksi/ kecanduan. Pleasure system yang berlebihan
mengakibatkan berkurangnya atau menurunnya tingkat kepekaan, dan mendorong untuk
mencapai stimulasi yang lebih tinggi. Dampak lain yang sering terjadi adalah kondisi Dry Eye
Syndrome sebagai akibat radiasi, mata menjadi kering. Gangguan lain yang dapat terjadi adalah
HNP Cervical sebagai akibat kesalahan posisi postur tubuh, sehingga ruas tulang belakang
menekan syaraf karena penggunaan teknologi digital yang berlebihan. Dampak negatif ini
cukup tragis. Padahal pada sisi lain, salah satu kekuatan adanya teknologi digital adalah
untuk kemaslahatan manusia dan untuk membuat manusia lebih dapat mengalami kemajuan
ilmu, relasi tanpa terbatas ruang dan waktu, mengalami kesehatan dan kesejahteraan
psikologis sehingga kehidupan manusia lebih manusiawi.
Stop Phubbing
Fenomena menunjukkan bahwa perkembangan teknologi digital dalam
kenyataannya justru membuat relasi kemanusiaan semakin kering dan renggang. Disadari
bahwa kualitas waktu bagi kebersamaan keluarga modern, telah disita oleh berbagai situs web,
vlog maupun blog, email, penawaran iklan belanja online, video online, chatting, dsb. Waktu
kebersamaan dalam keluarga mulai mengalami masalah, masing-masing anggota keluarga mulai
mengalami kekeringan perhatian, sentuhan, dan komunikasi.Tentu saja ini merupakan kondisi
kritikal. Kini semakin banyak anak di bawah lima tahun, memiliki lebih banyak waktu seharihari bersama dengan gadget dan telepon pintarnya, tanpa ada kontrol dari pihak lain maupun
keluarga, karena kesibukan dan ketidakpedulian orang tua/ wali keluarganya. Orang tua
bahkan senang bilamana anak memiliki kesibukan sendiri dengan teknologi digitalnya dan
tidak banyak mengganggu kesibukan mereka. Bahkan ketika sedang bersama anak dan
pasangannya, orang tua lebih sibuk memainkan media komunikasi digitalnya dengan orang lain
89
atau phubbing. Phubbing sebagai tindakan acuh, tidak mengindahkan seseorang yang berada di lingkungan
sekitarnya dan memilih lebih berfokus pada gadged atau telepon pintarnya dari pada menjalin relasi dengan orang
yang saat itu ada di lingkungan terdekatnya. Akibatnya hubungan anak - orang tua, suami-isteri dan
anggota keluarga lain yang seharusnya dekat semakin jauh. Teknologi digital yang seharusnya
mendukung manusia meningkatkan kualitas hidupnya telah berubah menjadi teknologi yang
menurunkan kualitas hidup manusia. Beberapa Negara telah mengkampanyekan ―stop
phubbing‖. Roberts dan David (2016) mengutarakan bahwa terdapat hubungan phubbing dengan
depresi. Bilamana seseorang yang memiliki kecemasan dan memiliki kebiasaan phubbing, maka
konflik akan mudah berkembang. Akibatnya ketidakpuasan hubungan akan mengarahkan
orang itu untuk mengalami ketidakpuasan hidup dan pada akhirnya akan membawa orang itu
untuk mengalami depresi. Hal ini dapat dipahami karena phubbing telah menghabiskan lebih
banyak waktu daripada menonton TV. Keasyikan dengan telepon pintar telah mengubah cara
seseorang dalam menjalin relasi dengan orang lain. Hubungan pribadi menjadi terganggu,
demikian juga dengan kesejahteraan psikologis seseorang. David dan Roberts (2017) telah
meneliti dampak phubbing, hasilnya ditemukan efek berbahaya seperti kurangnya perhatian
sosial, rasa inklusi. Jadi sekalipun tujuan teknologi adalah agar memudahkan relasi dengan
orang lain, tetapi dalam kenyataannya telah membuat manusia menjadi terasing dari pribadi
yang sama, yang seharusnya dekat dengannya. Davey, Davey, Raghav, Singh, Singh, Blachnio,
Przepiórkaa A (2018) menyatakan bahwa predictor phubbing adalah kecanduan internet (p
<0,0001, Odds Ratio 2.26), kecanduan telepon pintar (OR 25.9), takut hilang (OR 18.8), dan
kurangnya kontrol diri (p <0,0001, OR = 0,73 ‖1,72). Selain itu phubbing memiliki konsekuensi
signifikan dengan kesehatan sosial, kesehatan relasi antar pribadi, dan pengembangan diri, dan
dampak signifikan terhadap depresi dan kesedihan. Senada dengan Davey et al. (2018),
Chotpitayasunondh dan Douglas (2018) juga menemukan bahwa peningkatan phubbing secara
signifikan berdampak negatif terhadap kualitas komunikasi yang dirasakan dan kepuasan
hubungan. Bilamana hal ini tidak segera diantisipasi, maka semakin lama kemampuan
komunikasi interpersonal bahkan intrapersonal akan semakin menipis. Demikian juga relasi
manusia dengan Tuhan semakin berkurang. Bahkan ketika seseorang sedang beribadah dan
membaca Kitab Suci dapat berhenti karena ada panggilan telepon atau chatting yang masuk.
Suatu situasi yang memrihatinkan.
Peranan Literasi Digital
Peranan literasi digital dalam pendidikan formal maupun non formal dan informal
adalah sebuah fakta penting dalam penggunaan teknologi; seperti pemilihan secara kritis
90
teknologi digital yang digunakan, penggunaan media online dalam mengerjakan tugas, dalam
penyampaian pendapat, menambah wawasan dan mengembangkan kerjasama dengan
jejaring yang sejalan dengan visi & misi pribadi/lembaga. Semua ini memerlukan pengayaan
di bidang literasi digital.
American Library Association menyatakan bahwa Literasi digital merupakan kemampuan
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi guna mengevaluasi, menemukan dan
mengomunikasikan informasi, dan pesan tertentu yang menuntut keterampilan dan
kemampuan kognitif dan teknis. Melek digital dengan demikian merupakan sebuah
tuntutan bagi para pengembang sumber daya manusia misalnya para pendidik, rohaniwan,
psikolog, konselor, sosiolog, seksolog, budayawan, peneliti dst. Berbagai jenis layanan terus
disempurnakan oleh provider. Sebagai contoh, Google telah menjadi media pembantu dalam
menyelesaikan banyak persoalan, sejauh dapat digunakan secara tepat di dunia pendidikan,
tempat kerja maupun dalam persoalan-persoalan yang dihadapi manusia sehari-hari. Berbagai
layanan tersedia untuk mendukung literasi digital seperti google chrome (web chrome, chromebook,
chrome web store, chrome cast), google analitics, google scholar, google bookmarks, google search, google
translate, googlebot, gmail, google sky, google news, google chieve, google trends, google docs,google hangouts,
google URL shortner, google font, youtube, google map, google earth, google sites, google groups, blogger,
google blog search, google desktop, google reader,dsb. Meskipun demikian, banyaknya sumber
layanan literasi digital memerlukan sebuah kecermatan dan kesadaran penuh dalam
penggunaannya.
Dalam bidang proses pembelajaran, pengembangan penggunaan literasi digital adalah
pilihan yang penting untuk dipertimbangkan agar kurikulum pendidikan dan pelatihan yang
dijalankan dapat mengikuti perkembangan IPTEK. Berdasarkan pengamatan proses
pembelajaran para siswa homeschooling, nampak bahwa peranan literasi digital seringkali lebih
besar dibanding pembelajaran tradisional sehingga para siswa homeschooling seringkali
memiliki wawasan lebih luas dibanding sekolah formal tradisional. Sekalipun pada sisi lain
seringkali nampak anak juga mulai malas berpikir karena dapat menggunakan telepon cerdas
untuk membantunya mengerjakan tugas-tugas pekerjaan sekolah daripada harus berfikir
manual. Kondisi ini senada dengan hasil kajian Ward, Duke, Gneezy, dan Bos (2017) yang
menunjukkan sekalipun ada potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan, namun
penggunaan berterusan telepon pintar dapat membawa resiko biaya kognitif yang tidak
sedikit. Dalam penelitiannya Ward, dkk (2017) menguji pengaruh tunggal kehadiran telepon
pintar. Hasilnya pengaruh tunggal telepon pintar menimbulkan kapasitas sumber daya
91
kognitif menjadi terbatas dan menyisakan lebih sedikit sumber daya yang tersedia untuk
tugas lain serta mengurangi kinerja kognitif. Sedangkan bilamana orang berhasil
memertahankan perhatian dan menghindari godaan untuk memeriksa ponsel secara
berterusan, kehadiran perangkat ini hanya mengurangi kapasitas kognitif yang tersedia.
Selain itu, ditemukan biaya kognitif menempati peringkat tertinggi bagi mereka yang
memiliki ketergantungan pada ponsel pintar, hal ini merupakan implikasi praktis dari
saluran otak yang dipicu oleh telepon pintar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan media teknologi digital tetap memerlukan kontrol diri dan kesadaran diri
penggunanya agar tidak sampai kepada ketergantungan.
Semakin terbuka dan lengkapnya literasi digital di era kehidupan yang bergantung
pada teknologi, maka menjadi penting manusia manusia meningkatkan kesadarannya dalam
menggunakan sisi-sisi positif penggunaan teknologi digital. Manusia diajak mengenal
identitas dan kesadarannya menggunakan teknologi digital secara efektif dan efisien dan
bukan diatur oleh teknologi. Upaya untuk kesadaran teknologi dan lebih literate, akan
membuat seseorang lebih dapat memilih konten yang tepat dan bermanfaat, dapat
menganalisis informasi yang tidak pada tempatnya, bersikap obyektif dan akurat.
Manfaat lain memiliki kesadaran dan keterampilan digital adalah dapat mengelola
waktu secara efisien. Misalnya waktu membeli tiket pesawat, tiket kereta api, tiket film,
belanja melalui e commerce, pembayaran e billing, tax elektronik, transfer uang, membaca
literatur maupun transaksi lainnya melalui ponsel cerdas, tablet seluler, dan e reader digital
yang telah digunakan sebagai teknologi baru di bidang digital. Segala kemudahan dan
berbagai informasi terbuka sehingga membantu manusia menentukan pilihan, baik pilihan
rohani, bisnis, sosial, pendidikan dan kesehatan. Keterbukaan terhadap media teknologi
digital memungkinkan seseorang menemukan pilihan terbaik dalam hidupnya. Model opensource meskipun sering kurang memeroleh perhatian, menunjukkan ada penahapan verifikasi
dan secara etis transparan.Transparansi bermakna telah terjadi pemeriksaan etika secara
tepat dan benar, serta telah melakukan validasi atau pembatalan. Hal ini merupakan bagian
dari tanggung jawab sosial untuk memastikan perkembangan literasi digital terpantau dan
berkesinambungan.
Kesadaran Media Digital
Kesadaran Media adalah salah satu persoalan mendasar bagi orang yang melek media.
Terdapat empat besar perancang media digital yaitu internet Google, Apple, Facebook dan
92
Amazon yang memiliki keunggulan komperatif dan memerlukan daya kritikal penggunanya.
Oleh karena itu kesadaran berpikir kritis dan keterampilan dalam menghadapi dunia digital
bagi para pendidik, rohaniwan, kaum muda, anak-anak dan orang tua menjadi penting
dikembangkan di tengah masyarakat dan jemaat digital di abad ke-21. Keterampilan literasi
media, bagaimana pengaruh media dalam kehidupan, cara menganalisis jenis media, cara
mengontrol dan memerhatikannya adalah keterampilan dasar yang semestinya dibekalkan
kepada generasi muda bahkan bagi orang yang dewasa. Literasi media juga memerlukan
pelatihan berpikir kritis tentang film, web, iklan, media sosial, TV, berita, video, ajakan dsb.
Pelatihan yang relevan dengan aspek kehidupan dan perkembangan sosial dapat membantu
pemahaman mengenai dampak media dan konten-konten positif dan negatif terhadap hidup
manusia dan pengetahuan yang lebih kaya mengenai visi masing-masing sumber literasi.
Pelatihan kesadaran penggunaan literasi digital menjadi penting, karena dalam
dunia teknologi digital telah terjadi dualitas intrinsik, di mana semakin banyak konten
penyalahgunaan kekuasaan dan memasuki teknologi informasi digital yang semakin
menuntut pengawasan, misalnya pengaruh Snowden dan Wikileaks serta pengaruh tidak
obyektif dan mengancam demokrasi serta peningkatan visibilitas ekstremisme. Membantu
Individu agar terbebas dari teknologi digital yang tidak netral semacam itu, merupakan satu
misi yang perlu diperhatikan oleh para tokoh agama, sosial kemasyarakatan, pendidik dsb.
Para rohaniwan, pendidik, ilmuwan perlu ikut serta menunjukkan tanggung jawab dengan
memerhatikan persoalan etika moral-sosial yang ditunjukkan oleh para pelaku media digital.
Kebanyakan perhatian ditujukan pada visi penggunaan jangka pendek pengaruh dari domain
digital yang berhubungan dengan latar belakang sosial, budaya, religi, dan ekonomi. Dengan
demikian visi global dan sorotan interdisipliner dalam literasi digital di bidang pendidikan,
rohani dan sosial masih perlu ditingkatkan. Proses perenungan, pengembangan dan upaya
menumbuhkan visi kehidupan yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dari media digital
perlu ditumbuhkan sejak dini pada anak-anak. Misalnya anak-anak diajak untuk melakukan
world wide web dari konten tertentu yang mendidik, lalu diajak untuk mengembangkan ide-ide
secara real setelah melihat media teknologi yang positif tersebut, sambil diajak berdiskusi
mengritisi topik yang telah disimak, menemukan nilai-nilai yang positif bagi kehidupan
dirinya dan orang lain. Bekal sistem nilai religious yang mendasari kebermaknaan hidup
bersama, diharapkan dapat membuat generasi muda yang akan menjadi pelaku teknologi,
senantiasa hidup dan memberdayakan etika digital serta senantiasa mengupayakan
perjumpaan etis dalam kaitan relasi dan interaksi manusia – computer, tanpa harus
memperlambat inovasi teknologi digital. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Davey, Davey,
93
Raghav, Singh, Singh, Blachnio, Przepiórkaa A (2018) menyarankan perlunya Remaja dan
pemuda India mendapatkan bimbingan dan pengajaran khusus dari klinik atau akademi
remaja pemerintah atau bahkan keluarga mengenai langkah dan cara-cara yang tidak sehat
ini agar kesehatan fisik, mental, dan sosial yang lebih baik dapat terwujud.
Penutup
Perkembangan teknologi digital merupakan suatu kondisi yang memiliki dampak
positif dan negatif. Dampak berkembangnya penggunaan teknologi digital ini tentu akan
memengaruhi kehidupan psikologis, rohani dan budaya di tengah masyarakat Indonesia.
Tanggung jawab para pengembang sumber daya manusia seperti rohaniwan, pendidik,
psikolog, dsb adalah mendukung tumbuhnya kesadaran diri dalam menggunakan dan
pemahaman identitas online. Literasi digital merupakan salah satu kemajuan teknologi yang
perlu disikapi dan ditingkatkan, sehingga daya berpikir kritis dapat ditingkatkan. Disadari
bahwa saat ini kesadaran diri pengguna teknologi digital dan pemahaman identitas online
masih perlu ditingkatkan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan dunia
digital di Indonesia memerlukan perhatian serius dalam tumbuh kembang anak bangsa.
Kepustakaan
Chotpitayasunondh, V., Douglas, K. M. (2018)The effects of ―phubbing‖ on social
interaction. Journal of Applied Social Psychology. 2018;1–13. DOI: 10.1111/jasp.12506
Davey,S. , Davey,A. , Raghav, S.K, Singh, J.V., Singh, N., Blachnio, A., Przepiórkaa, A.,
Predictors and consequences of ―Phubbing‖ among adolescents and youth in India: An impact
evaluation study. Journal of Family Community Medicine.25:35-42
David, M.E.and Roberts, J.A. (2017). Phubbed and Alone: Phone Snubbing, Social
Exclusion, and Attachment to Social Media.Journal of the Association for Consumer Research 2, no.
2 (April 2017): 155-163.
Hart, A.D. and Frejd, S.H. (2013).The digital invasion.How technology is shapping you and your
relationships.Baker Books. www.bakerbooks.com
Roberts, J. A., & David, M. E. (2016). My life has become a major distractionfrom my
cell phone: Partner phubbing and relationship satisfactionamong romantic partners.
Computers in Human Behavior, 54,134–141. https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.07.058
94
Ward, A.F., Duke, K., Gneezy, A. and Bos, M.W. (2017), Brain Drain: The Mere Presence
of One‘s Own Smartphone Reduces Available Cognitive Capacity, Journal of the Association for
Consumer Research 2, no. 2 (April 2017):140-154. https://doi.org/10.1086/691462.
(http://www.journals.uchicago.edu/t-and-c)
https://www.globalwebindex.com.
95
PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DIGITAL OLEH
MAHASISWA PERGURUAN TINGGI TEOLOGI
Peniel C.D. Maiaweng54
Pendahuluan
Teknologi informasi dengan system digital menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam kehidupan manusia sehari-hari, mudah diakses, dan dapat digunakan di mana saja.
Perkembangan teknologi informasi yang ada membuat dunia menjadi semakin kecil, karena
dengan mudah memperoleh berbagai informasi dari berbagai belahan dunia dalam waktu
yang singkat. Penggunanya adalah semua kelompok umur (anak-anak, remaja, pemuda, dan
orang dewasa, dan lanjut usia) dan kelompok sosial (siswa, mahasiswa, karyawan, pekerja,
professional). Sulit melakukan batasan umur dan batasan kelompok sosial pengguna
teknologi informasi digital.
Dalam dunia pendidikan perguruan tinggi, para mahasiswa, termasuk mahasiswa
perguruan tinggi teologi adalah pengguna teknologi informasi digital terbesar. Tidak ada
batasan pengguna yang dibuat bagi mahasiswa perguruan tinggi sekuler dan mahasiswa
perguruan tinggi teologi, bahwa hanya mahasiswa dari perguruan tinggi sekuler yang
menggunakannya. Semua membutuhkannya karena para mahasiswa, baik perguruan tinggu
teologi maupun non-teologi adalah para milenial yang kehidupannya tidak terlepas dari
pemanfaatan teknologi informasi digital dan semua dapat menggunakannya untuk keperluan
akademik.
Secara positif, para mahasiswa dengan mudah mengakses berbagai informasi
akademik yang berkaitan dengan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Para
mahasiswa pun dapat mengekspresikan dan mengekspos diri dan karya-karyanya secara
akademik melalui dunia maya. Untuk itu, para mahasiswa diharuskan untuk memanfaatkan
teknologi informasi digital dengan sebaik-baiknya untuk pengembangan ilmu.
Tantangan bagi Mahasiswa
Pemanfaatan teknologi informasi digital menjadi tantangan tersendiri pada
mahasiswa perguruan tinggi teologi. Ada perguruan tinggi teologi yang mengijikan para
mahasiswa dengan bebas menggunakannya, tetapi ada juga perguruan tinggi yang
mengijinkan penggunaannya hanya pada waktu-waktu tertentu. Walaupun ada aturan yang
digunakan secara bebas dan terbatas, tetapi sebagai generasi milenial, ada saja upaya yang
54 Dr. Peniel C.D. Maiaweng adalah Ketua Sekolah Tinggi Theologia Jaffray Makassar
96
dilakukan oleh para mahasiswa untuk dapat menggunakannya. Penyalahgunaan teknologi
informasi digital memiliki pengaruh secara akademik, rohani, sosial, dan moral pada
mahasiswa.55
Secara akademik.
Tuntutan untuk tugas-tugas dari semua matakuliah, singkatnya waktu untuk
menyelesaikan semua tugas-tugas yang dimaksud, dan mudahnya memperoleh informasi
yang dibutuhkan, secara khusus penyelesaian paper/makalah, maka kadang mahasiswa
melakukan plagiat, yaitu dengan sengaja atau tidak sengaja melakukan pengutipan karya
orang lain tanpa memberi keterangan tentang sumber informasi. Selain itu, penggunaan
waktu untuk menikmati internet dan media sosial yang berlebihan dan tanpa kontrol waktu
dapat menyebabkan terbengkalainya tugas-tugas matakuliah yang menjadi tanggung jawab
mahasiswa.
Secara rohani
Penggunaan internet dan media sosial oleh mahasiswa perguruan tinggi teologi secara
diam-diam, tersembunyi, dan tidak terkontrol menyebabkan mahasiswa tidak melaksanakan
tanggung jawab rohani dengan baik. Mahasiswa yang menggunakan waktu secara berlebihan
dalam menikmati internet dan media sosial cenderung tidak disiplin dalam berdoa dan
membaca firman Tuhan secara rutin atau cenderung mengabaikan saat teduh sebagai
prioritas dalam kehidupan rohani. Tidak dapat disangkal bahwa banyak di kalangan
mahasiswa perguruan tinggi teologi yang menjadi adiksi terhadap internet dan media sosial,
termasuk di dalamnya adiksi terhadap situs-situs porno.
Secara Sosial
Umumnya tempat tinggal mahasiswa di perguruan tinggi teologi adalah asrama. Untuk
berbicara dengan temannya di kamar yang lain dalam satu asrama, ia hanya berkomuniasi
melalui WA, FB, Line, SMS, dan instagram. Pada satu sisi cara ini adalah penghematan
waktu dan tenaga, tetapi pada sisi lain, hal ini menyebab mahasiswa kurang belajar dari
lingkungan tentang bagaimana berhadapan dan berkomunikasi dengan orang lain face to
face. Jika ini sering terjadi, maka mahasiswa miskin cara dalam komunikasi secara verbal. Ini
55 Informasi ini dibuat berdasarkan pengamatan penulis selama 18 tahun sebagai pengajar pada perguruan tinggi
teologi.
97
akan menjadi masalah tersendiri bagi mahasiswa setelah ia menyelesaikan pendidikan dan
terjun dalam pelayanan karena ia akan selalu berhadapan langsung dengan orang-orang yang
dilayaninya, tetapi ia tidak memiliki pengalaman yang cukup bagaimana berkomunikasi
dengan orang lain secara langsung.
Secara Moral
Mengupload status di media sosial menjadi salah satu kegemaran mahasiswa di
perguruan tinggi teologi. Namun postingan-postingan yang ditampilkan para mahasiswa
tertentu kadang mengandung gambar dan kata-kata gosip, marah, dan kekecewaan terhadap
diri sendiri dan orang lain sehingga dapat mengakibatkan berbagai komentar dan penilaian
terhadap diri sendiri dan orang lain, baik secara negatif maupun positif. Pada sisi lain,
postingan-postingan yang mengarah kepada radikalisme, kekerasan, ujaran kebencian
terhadap orang atau kelompok tertentu sering dijumpai dan sangat berpengaruh dalam dunia
perguruan tinggi.
Sejujurnyanya hal-hal inilah yang sedang terjadi pada beberapa mahasiswa
perguruan tinggi teologi yang ada. Masalah-masalah ini harus menjadi perhatian lembagalembaga pendidikan tinggi teologi untuk menolong para mahasiswa tertentu agar tidak
terjerumus dalam penyalahgunaan internet dan media sosial.
Memahami Perkataan Bijak
Untuk mencegah terjadinya hal yang negatif terhadap penggunaan teknologi
informasi digital, maka diperlukan literasi digital, yaitu yang mana para mahasiswa ditolong
untuk memiliki kemampuan individu menggunakan teknologi komunikasi digital dalam
melakukan hal-hal yang positif.56
Untuk itu, diperlukan pemahaman tentang perkataan bijak
yang dapat menolong para mahasiswa untuk menumbuhkan kesadaran agar dapat
menggunakannya secara benar melalui penggunaan anggota tubuh dalam memanfaatkan
internet dan media sosial secara benar.
Hati adalah Pancaran Kehidupan
56 Literasi digital adalah “ketertarikan, sikap, dan kemampuan individu menggunakan teknologi digital dan alat
komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi,
membangun pengetahuan baru, membuat, dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara
efektif dalam masyarakat.” Nabilla Tashandra, "Menkominfo: Mulailah Literasi Digital dari Keluarga,”
https://lifestyle.kompas.com/read/2018/01/30/193015920/menkominfo-mulailah-literasi-digital-dari-keluarga.
Kompas Com diakses pada tanggal 13 September 2018.
98
Perkataan Bijak, ―Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah
terpancar kehidupan‖ (Amsal 4:23). Hati dinilai sebagai organ sentral yang mana semua
kondisi aktivitas dan karakter manusia bermula darinya. 57 Hati menggambarkan kapasitas
mental, emosi, dan nilai yang ada pada diri seseorang.58 Kondisi moral dan sikap hidup
seseorang ditentukan oleh kondisi hati dan pikirannya.59
Keberadaan hati berbicara tentang
pikiran, pemilikiran, motivasi, dan keinginan-keinginan. Hati digambarkan seperti sumber
mata air yang dari dalamnya keluar air. Jika sumber airnya baik, maka air yang dikeluarkan
adalah baik. Sama halnya dengan manusia, bahwa jiwa, pikiran, motivasi, dan keinginannya
adalah buruk, maka menghasilkan sikap dan tindakan yang buruk.60
Untuk itu, diperlukan
tanggung jawab pribadi mahasiswa untuk menguasai pikiran, keinginan, kecenderungan, dan
nafsu terhadap berbagai informasi yang diperoleh dari internet dan media sosial, dan
menggunakannya secara benar untuk mencegahnya melakukan hal-hal yang akan
menurunkan prestasi akademik dan merusak kehidupan rohani dan moral, serta reputasi
sosialnya.
Mata adalah Pelita Tubuh
Perkataan Bijak, ―Aku tidak menempatkan perkara-perkara bejat di depan mataku.‖
(Maz. 101:3 – terjemahan pribadi). Seorang harus tidak mencemari dirinya dan tidak toleran
terhadap tanyangan-tayangan yang buruk yang dapat merusak dirinya. Ia seharusnya
membatasi diri dari keinginan jahat untuk melihat hal-hal yang buruk dan memiliki
komitmen untuk tidak melakukannya.
Alasan untuk mengawasinya karena, ―Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik,
teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang
yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.‖ (Mat. 4:22-23 – LAI TB).
Mata bukanlah sumber hidup, tetapi mata adalah terang tubuh, yang olehnya seluruh
tubuh bergantung untuk memperoleh penerangan dan arahan.61
Mata adalah anggota tubuh
yang menentukan tubuh seluruhnya bergerak. Jika mata adalah pelita yang terang, maka
seluruh tubuh akan bergerak atau diarahkan dengan baik pada tempat yang tepat; tetapi jika
57Miller, John W. Miller, Believers Church Bible Commentary: Proverbs (Scottdale, Pa. : Herald Press, 2004),
66.
58John F. Walvoord and Roy B. Zuck, The Bible Knowledge Commentary : An Exposition of the Scriptures
(Wheaton, IL : Victor Books, 1985), 914.
59 Believer's Study Bible. electronic ed. (Nashville : Thomas Nelson, 1997), Proverbs 4:23.
60William MacDonald dan Arthur Farstad, Believer's Bible Commentary : Old and New Testaments. (Nashville :
Thomas Nelson, 1997), Proverbs 4:23.
61William Hendriksen and Simon J. Kistemaker, New Testament Commentary : Exposition of the Gospel
According to Matthew (Grand Rapids : Baker Book House, 2001), 346.
99
mata tidak dapat menjadi terang tubuh, maka seluruh tubuh akan bergerak tanpa arah yang
jelas.
Mata juga memiliki pemahaman persepsi, dengan maksud, hidup dalam dunia
menuntut persepsi yang benar tentang realita, yaitu melihat segala sesuatu di bawah
kemahakuasaan Allah dan terang kekekalan. 62 Untuk itu, mahasiswa harus memiliki
persepsi yang baik sehingga ia akan melakukan yang baik.
Kekeliruan yang kadang dilakukan oleh para mahasiswa tertentu adalah mencari
kesenangan dan kenikmatan hidup melalui postingan-postingan yang ada di internet dan
media sosial. Sebenarnya, ketika para mahasiswa dilarang untuk menghabiskan waktu
berjam-jam menggunakan dunia maya, seharusnya menaatinya. Jika tidak, maka mereka yang
terjebak di dalamnya berada di dalam kegelapan, yang disebut kebutaan rohani.63
Ini akan
menyebabkan mahasiswa tidak bertumbuh secara rohani. Mahasiswa harus memiliki
komitmen untuk tidak mencemari dirinya dengan hal-hal negatif melalui penyalahgunaan
internet dan media sosial, dengan cara, melihat postingan-postingan yang bernuansa radikal,
pornografi, dan kekerasan harus menjadi prioritas.
Mata yang baik kepunyaan orang yang memiliki motivasi yang murni, yang memiliki
keinginan terhadap apa yang diinginkan Allah dan rela menerima ajaran Yesus. Hidupnya
akan memancarkan terang. Ia percaya akan perkataan Yesus, ia tinggalkan kesenangan dunia
dan melakukan hal-hal yang bernilai kekekalan, karena ia tahu bahwa demikian kesenangan
dan kenikmatan hidup yang sesungguhnya.64
Dengan demikian, seharusnya penglihatan dan
persepsi para mahasiswa terfokus kepada Allah tentang realita yang ada di sekitarnya dan
taat kepada tuntunan-Nya sehinga Ia akan menuntun ke jalan yang benar65 dan Ia
memberikan kemampuan untuk memiliki penglihatan dan persepsi yang benar.
Panduan Evaluasi Penggunaan Teknologi Informasi Digital
Pengaturan Waktu Penggunaan
Di perguruan tinggi teologi diperlukan sosialisasi penggunaan internet dan media
sosial, sekaligus pemberian tentang akibat buruk penyalahgunaannya. Hal ini dimaksudkan
agar mahasiswa tidak salah melangkah yang akhirnya akan merugikan dirinya sendiri.
62Walter A. Elwell, Evangelical Commentary on the Bible (Grand Rapids, Mich. : Baker Book House, 1996),
Matthew 6:19.
63MacDonald and Farstad, 1997, Matthew 6:25.
64MacDonald, William ; Farstad, Arthur: Believer's Bible Commentary : Old and New Testaments. Nashville :
Thomas Nelson, 1997, c1995, S. Mt 6:25
65Richards, Lawrence O.: The Bible Readers Companion. electronic ed. Wheaton : Victor Books, 1991;
Published in electronic form by Logos Research Systems, 1996, S. 608
100
Untuk itu, perguruan tinggi harus memberikan daftar situs-situs dan website yang layak
dikunjungi dan tidak layak dikunjungi. Perguruan tinggi juga harus membuat aturan
penggunaan waktu pemanfaatan internet dan media sosial, yang mana pada jam-jam tertentu
pada mahasiswa diijinkan untuk menggunakannya dan pada jam-jam tertentu mahasiswa
dilarang untuk menggunakannya. Selanjutnya dipertegas dalam peraturan sekolah tentang
penggunaan internet dan media sosial. Bagi yang melanggar perlu diberikan saksi sesuai
dengan tingkat pelanggaran yang ditentukan oleh institusi masing-masing.
Mengevaluasi Penggunaan Website
Berbagai institusi pendidikan telah membuat panduan untuk mengevaluasi kualitas
informasi pada internet. Kategori evaluasi adalah pembuat, tujuan, sumber, isi, gaya, dan
fungsi.66
Untuk itu, pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan adalah siapa penulis atau
pembuat situs atau website? Apa latar belakang informasi tentang penulis atau pembuat
situs atau website tersedia? Apa kualifikasi dan pengalaman dari penulis atau pembuat situs
atau website? Apa tujuan dari situs atau website? Apakah informasinya akurat, benar, dan
dapat dibuktikan atau tidak? Apakah informasinya relevan dengan kebutuhan dan
kepentingan di pengguna atau tidak? Apakah informasi pada situs/website adalah informasiinformasi terkini atau selalu diperbaharui? Apakah gaya isi dan penulisannya layak untuk
digunakan?67 Informasi ini dapat menolong para mahasiswa untuk memiliki sumber
informasi yang telah yang diperoleh dari internet dan media sosial. Evaluasi ini dapat
dilaksanakan secara pribadi maupun institusi.
Penutup - Berjiwa Patriotisme
Akhir-akhir ini, bangsa Indonesia diperhadapkan dengan ancaman disintegrasi
bangsa. Untuk itulah, Presiden Indonesia, Ir. Joko Widodo, menyerukan seluruh bangsa
Indonesia untuk kembali kepada dasar negara, Pancasila, dengan slogan, ―Saya Indonesia –
Saya Pancasila.‖
66 University At Albany Libraries, “Evaluating Internet Souces,” available from
www.library.albany.edu/internet/evaluate.html;internet, in, “How People of Faith Are Using Computers and the
Internet”; internet; accessed 22 March 2002 dalam http://globalchristiancenter.com/church-resources/applyingtechnology/24541-how-people-of-faith-are-using-computers-and-the-internet diakses tanggal 13 September
2018.
67 Question taken from University if Wollongong Library, “Evaluating Information from the Internet; available
from http://www-library.ouw.edu.au/helptraining/workshops/evalnet/evalinro.html; internet; accessed 1 April
2003 dalam http://globalchristiancenter.com/church-resources/applying-technology/24541-how-people-of-faithare-using-computers-and-the-internet diakses tanggal 13 September 2018.
101
Dalam keadaan demikian, mau tidak mau, dunia pendidikan tinggi teologi harus
turut ambil bagian agar bertindak untuk mempertahankan Kesatuan Negara Republik
Indonesia. Dunia pendidikan tinggi teologi harus menumbuhkan kesadaran mahasiswa
untuk cinta tanah air dan dapat berperan aktif dalam melaksanakan kewajiban dan
menggunakan hak sebagai warga negara untuk kepentingan bersama dan kesatuan bangsa.
Untuk itu, pendidikan tinggi teologi di Indonesia bertanggung jawab
menyelenggarakan pendidikan yang bertujuan untuk, ―… meningkatkan kecintaan pada tanah
air; meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara; meningkatkan keyakinan Pancasila
sebagai ideologi bangsa; meningkatkan kesadaran bela negara; mengembangkan kemampuan
awal bela Negara.‖68
Dua hal yang dapat dilakukan, pertama, dengan memposting slogan-slogan yang
menyatakan kesatuan, persatuan, dan kecintaan terhadap NKRI melalui internet dan media
sosial. Kedua, melalui pelaksanaan pengajaran matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan wajib diajarkan pada perguruan tinggi69
karena, ―… merupakan usaha sosialisasi, aktualisasi sekaligus implementasi dari pendidikan
politik, pendidikan nasionalisme, dan pendidikan demokrasi.‖70
Sebagai pendidikan politik,
mahasiswa memperoleh pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan politik sehingga
dapat mendorong terwujudnya mahasiswa sebagai warga negara yang terdidik secara politik.
Sebagai pendidikan demokrasi, mahasiswa yang terdidik secara politik dapat mengambil
bagian dalam sistem dan proses demokratisasi; memiliki kesadaran akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara dan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
dan pelaksanaan kebijakan di lapangan. Sebagai pendidikan nasionalisme, mahasiswa akan
mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan dalam keberadaannya sebagai orang Indonesia
di negara Indonesia.71
Ini merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan jiwa patriotisme
pada mahasiswa untuk mempertahankan NKRI, yang mana materi-materi dapat diunggah
dari situs-situs pemerintah untuk digunakan sebagai materi pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan dan Bela Negara.
68 Zainul Ittihad Amin, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Universitas Terbuka, Cetakan Kelima, 2009),
1.2.
69 UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 37 Ayat 2. Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama,
pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa.
70 Asep Sahid Gatara FH dan Subhan Sofhian, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pendidikan
Politik, Nasionalisme, dan Demokrasi (Bandung: Fokusmedia, Cetakan Keempat 2016), ix.
71 Ibid.
102
Kepustakaan
Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2010.
Believer's Study Bible. electronic ed. Nashville : Thomas Nelson, 1997.
Hendriksen, William and Simon J. Kistemaker, New Testament Commentary : Exposition of the
Gospel According to Matthew. Grand Rapids : Baker Book House, 2001.
Elwell, Walter A. Evangelical Commentary on the Bible. Grand Rapids, Mich.: Baker Book
House, 1996.
Gatara, Asep Sahid dan Subhan Sofhian, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education):
Pendidikan Politik, Nasionalisme, dan Demokrasi. Bandung: Fokusmedia, Cetakan Keempat 2016.
MacDonald, William and Arthur Farstad. Believer's Bible Commentary : Old and New
Testaments. Nashville : Thomas Nelson, 1997.
Miller, John W. Believers Church Bible Commentary: Proverbs. Scottdale, Pa.: Herald Press, 2004.
Richards, Lawrence O. The Bible Readers Companion. electronic ed. Wheaton : Victor Books,
1991; Published in electronic form by Logos Research Systems, 1996.
UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 37 Ayat 2.
Walvoord, John F. and Roy B. Zuck. The Bible Knowledge Commentary: An Exposition of the
Scriptures. Wheaton, IL : Victor Books, 1985.
Zainul Ittihad Amin, Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Universitas Terbuka, Cetakan
Kelima, 2009.
Website
Nabilla Tashandra, "Menkominfo: Mulailah Literasi Digital dari Keluarga,‖
https://lifestyle.kompas.com/read/2018/01/30/193015920/menkominfo-mulailah-literasidigital-dari-keluarga. Kompas Com diakses pada tanggal 13 September 2018.
University At Albany Libraries, ―Evaluating Internet Souces,‖ available from
www.library.albany.edu/internet/evaluate.html;internet, in, ―How People of Faith Are Using
Computers and the Internet‖; internet; accessed 22 March 2002 dalam
http://globalchristiancenter.com/church-resources/applying-technology/24541-howpeople-of-faith-are-using-computers-and-the-internet diakses tanggal 13 September
2018.
University if Wollongong Library, ―Evaluating Information from the Internet; available from
http://www-library.ouw.edu.au/helptraining/workshops/evalnet/evalinro.html;
internet; accessed 1 April 2003 dalam http://globalchristiancenter.com/churchresources/applying-technology/24541-how-people-of-faith-are-using-computers-andthe-internet diakses tanggal 13 September 2018.
103
LANGKAH-LANGKAH MENGATASI KECANDUAN PORNOGRAFI
INTERNET DI KALANGAN REMAJA
Ivan Thorstein Johannis Weismann72
Kecanduan Pornografi melalui Internet
Ken Liska (1994) berpendapat bahwa addiction (kecanduan) adalah suatu proses yang
mengantarkan individu pada perilaku yang kompulsif. Proses tersebut ditandai dengan
perubahan fisik, akibat toleransi tubuh yang terus berkembang dan syndrome penarikan
tubuh (withdrawal syndrome). Seseorang yang mengalami kecanduan akan mengalami
peningkatan toleransi dan beranggapan bahwa apa yang dilakukannya masih dalam batasan
toleransi dirinya. Individu tersebut akan menempatkan kebutuhan pemuasan
ketergantungannya di atas kebutuhan-kebutuhan yang lain untuk segera melepaskan diri
dari situasi yang tidak menyenangkan.
Kata pornografi, berasal dari dua kata Yunani, yaitu pornea yang berarti seksualitas
yang tak bermoral atau tidak beretika (sexual immorality). Kemudian untuk kata graph
(grafe) pada mulanya diartikan sebagai kitab suci, tetapi kemudian hanya berarti kitab atau
tulisan. Ketika kata itu dirangkai dengan kata porno menjadi pornografi, maka yang
dimaksudkannya adalah tulisan atau penggambaran tentang seksual yang tak bermoral, baik
secara tertulis maupun secara lisan. Maka sering anak-anak yang mengucapkan kata-kata
berbau seks disebut sebagai porno. Dengan sendirinya tulisan yang memakai kata-kata yang
bersangkutan dengan seksualitas dan memakai gambar-gambar yang memunculkan alat
kelamin atau hubungan kelamin adalah pornografi (http:artikel.sabda.org/pornografi).
Pornografi meliputi arti sebagai berikut: (1) tulisan, gambar/rekaman tentang
seksualitas yang tidak bermoral, (2) bahan/materi yang menonjolkan seksualitas secara
eksplisit terang-terangan dengan maksud utama membangkitkan gairah seksual, (3) tulisan
atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu birahi orang yang melihat atau
membaca, (4) tulisan atau penggambaran mengenai pelacuran, dan (5) penggambaran hal-hal
cabul melalui tulisan, gambar atau tontonan yang bertujuan mengeksploitasi seksualitas.
Berdasarkan arti tersebut di atas, maka kriteria pornografi dapat dijelaskan sebagai berikut:
sengaja membangkitkan nafsu birahi orang lain, bertujuan merangsang birahi orang
72 Dr. Ivan Thorstein Johannis Weismann adalah Wakil Ketua 1 bidang akademik di Sekolah Tinggi Filsafat
Jaffray Makassar.
104
lain/khalayak, tidak mengandung nilai (estetika, ilmiah, pendidikan), tidak pantas menurut
tata krama dan norma etis masyarakat setempat, dan bersifat mengeksploitasi untuk
kepentingan ekonomi, kesenangan pribadi, dan kelompok.
Internet adalah pisau bermata dua. Kemajuan teknologi itu bisa dimanfaatkan
sepenuhnya untuk memajukan kesejahteraan umat manusia. Namun, pada sisi lain, internet
dapat pula menjadi kekuatan yang merusak tingkah laku manusia, sisi yang negatif itulah
yang kini dihadapi generasi baru bangsa ini. Satu kelebihan berinteraksi di internet adalah
tidak adanya batasan jarak, waktu, dan wilayah sehingga hal ini melahirkan sebuah ―dunia
baru di luar dunia nyata yang ada pada saat ini‖. Dunia baru yang hadir secara maya ini lebih
dikenal dengan istilah cyberspace. Cybersex dapat diterjemahkan sebagai aktivitas seksual,
tayangan seksual atau perbincangan yang mengarah pada hal-hal yang berbau seksual dengan
menggunakan media internet (Infoplease, 2004).
Pornografi internet dapat digolongkan sebagai berikut: (1) Surfing/download gambargambar porno, (2) Chatting erotik dibagi 2: (a) Computer mediated interactive masturbation dan (b)
Com-puter mediated telling of interaction sexsual stories, (3) Virtual sex player (Hamman, 1996).
Seiring dengan arus globalisasi informasi dan teknologi yang terus berjalan, terjadi
perubahan besar pada norma seks. Menurut Karina Aprilia bahwa dari ketiga dimensi sikap
yaitu kognisi, afeksi dan konasi, ditemukan bahwa mahasiswa dengan dimensi konasi ini
lebih besar kemungkinannya untuk melakukan cybersex. Pada kategori sikap positif dimensi
yang dominan adalah dimensi konasi, hal ini disebabkan karena mahasiswa memiliki perilaku
untuk melakukan cybersex. Sedangkan pada kategori sikap negatif dimensi yang dominan
adalah dimensi kognisi dan afeksi, hal ini disebabkan karena mahasiswa memiliki
pengetahuan atau perasaan saja bahwa cybersex adalah hal yang wajar (Aprilia, 2009).
Menurut jurnal yang berjudul Cybersex (Ermida, 2004) hampir 80% gambar di internet
adalah gambar porno. Menurut Nielsen netratings pada Oktober 2003, 30% pengunjung situs
porno adalah wanita. Menurut jurnal yang berjudul Perbedaan Sikap Terhadap Seks Dunia
Maya Pada Mahasiswa ditinjau dari Jenis Kelamin (Satria, 2009) bahwa sikap mahasiswa
terhadap cybersex lebih positif dibandingkan mahasiswi. Menurut penelitian Hurlock (2003)
menyebutkan bahwa remaja lebih tertarik kepada materi seks yang berbau porno dibandingkan dengan materi seks yang dikemas dalam bentuk pendidikan, dikarenakan mahasiswa
lebih mau membuka materi seks lewat internet dengan alasan sebagai pengetahuan yang juga
bisa sebagai hiburan yang kapan dan dimana saja di akses dari pada harus membaca buku
walaupun buku tersebut berisi-kan materi seks (hasil wawancara pada 3 orang mahasiswa
terdiri dari 2 laki-laki dan 1 perempuan pada tanggal 22 Maret 2016). Akses terhadap situs
105
porno telah memberikan dampak negatif yang sangat mendasar, seperti yang ditulis dalam
Jurnal Balairung edisi 38, bahwa mahasiswa adalah pengguna terbesar situs porno
(defickry.wordpress.com).
Penelitian tentang pornografi internet terhadap sikap dan perilaku seksual
1. Karina Aprilia, Sulis Maryanti, Safitri dalam penelitian yang berjudul Sikap
Mahasiswa Universitas Indonusa Esa Unggul terhadap Cybersex. Hasil penelitian ini ialah
bahwa internet adalah salah satu teknologi yang popular digunakan saat ini. Salah satu
dampaknya terhadap budaya dapat dilihat pada perubahan perilaku mahasiswa, seperti
fenomena cybersex. Bagi beberapa orang, cybersex merupakan perilaku yang wajar untuk
dilakukan karena tidak adanya batasan jarak, waktu dan wilayah. Tidak adanya batasan
jarak, waktu dan wilayah akan mempengaruhi mahasiswa dalam bersikap. Sikap adalah
kecenderungan untuk berespon positif (favorabel) atau negatif (unfavorabel) kepada seseorang,
sesuatu, tempat, ide, ataupun situasi yg biasanya disebut sebagai obyek sikap.
2. Lori Henderson dalam penelitian yang berjudul Sexting and Sexual Relationships Among
Teens and Young Adults. Hasil penelitian ini ialah bahwa dua per tiga partisipan mengirim
gambar telanjang dan setengah telanjang lewat internet. Handphone sebagai sarana utama
mengirim pesan-pesan berbau seks. Hampir setengah dari responden mengirimkan pesan
berindikasi seks kepada pacar mereka, sementara 15% mengirimkan kepada orang yang
dikenal lewat internet. Menjadi seksi dan ingin melakukan hubungan seksual sebagai alasan
untuk mengirimkan pesan berindikasi seks. Mereka yang melakukan hubungan seksual
dengan pasangan mereka nampak lebih banyak terjadi pada mereka yang telah mengirimkan
pesan berindikasi seks.
3. Dalam upaya untuk lebih memahami hubungan antara sikap dan perilaku seks
dan dunia maya, The National Campaign to Prevent Teen and Unplanned Pregnancy dan
CosmoGirl.com melakukan survei terhadap remaja dan dewasa muda dalam aktivitas
pengunaan teknologi internet. Kajian ini untuk mengukur proporsi remaja dan dewasa muda
yang mengirim atau memposting teks dan gambar yang bersifat seksual. Survei dilakukan
terhadap mereka yang berusia 13-26 Survei ini dilakukan secara online kepada total 1.280
responden yang terdiri dari 653 remaja (usia 13-19) dan 627 dewasa muda (usia 20-26) antara
25 September 2008 dan 3 Oktober 2008.
Jumlah yang signifikan di kalangan remaja yang mengirim secara elektronik, atau
memposting secara online gambar atau video dirinya sendiri dalam kadaan telanjang atau
106
setengah telanjang. 20% remaja secara keseluruhan. 22% gadis remaja. 18% remaja laki-laki.
11% remaja perempuan muda (usia 13-16).
Pesan yang mengandung unsur seksual (teks, email) bahkan lebih menonjol daripada
gambar yang mengandung unsur seksual. Berapa banyak remaja mengirim atau memposting
pesan yang mengandung konten seksual? 39% dari semua remaja. 37% gadis remaja. 40%
remaja laki-laki. 48% remaja mengatakan bahwa mereka telah menerima pesan semacam itu
Meski kebanyakan remaja yang mengirim konten seksual itu, mengirimkan kepada
pacarnya juga mengatakan bahwa mereka mengirim materi seperti itu kepada mereka yang
ingin mereka hubungi atau seseorang yang mereka kenal secara online. 71% remaja
perempuan dan 67% remaja laki-laki yang mengirim atau memposting konten yang seksual,
mengatakan bahwa mereka mengirim / memposting konten ini ke pacarnya. 21% gadis remaja
dan 39% remaja laki-laki mengatakan mereka mengirim konten tersebut kepada seseorang
yang ingin mereka kencani atau berhubungan. 15% remaja yang mengirim atau memposting
gambar diri mereka yang telanjang atau setengah telanjang mengatakan bahwa mereka telah
melakukan hal itu kepada seseorang yang hanya mereka kenal secara online.
Remaja yang berkonflik tentang pengiriman/memposting konten yang merangsang
hasrat seksual mereka tahu hal itu berpotensi berbahaya, namun banyak yang tetap
melakukannya. 75% remaja mengatakan mengirim konten yang menjurus ke arah seksual
"dapat memiliki konsekuensi negatif yang serius." Namun, 39% remaja yang telah mengirim
atau memposting email atau pesan teks yang menjurus ke arah seksual. 20% remaja mengirim
/ memposting gambar telanjang atau setengah telanjang diri mereka sendiri.
Remaja yang mengirim pesan dan gambar seksual yang eksplisit, meskipun mereka
tahu konten semacam itu dapat dibagikan kepada orang lain selain yang ditujukan sebagai
penerima. Seberapa sering untuk berbagi pesan dan gambar seksi dengan mereka selain
penerima yang dituju? 44% dari gadis remaja dan remaja laki-laki mengatakan sering pesan
teks yang mengandung konten secara seksual dibagikan dengan orang lain selain penerima
yang dituju. 36% gadis remaja dan 39% remaja laki-laki mengatakan sering untuk foto
telanjang atau setengah telanjang dibagikan dengan orang lain selain penerima yang dituju.
Remaja yang mengakui bahwa mereka mengirim / memposting konten seksual
berdampak pada perilaku mereka. Apakah mengirim teks dan gambar yang merangsang
seksual memengaruhi apa yang terjadi dalam kehidupan nyata? 22% remaja berkata bahwa
secara pribadi lebih sering dan agresif menggunakan perkataan dan gambar konten seksual
dari pada yang mereka lakukan dalam "kehidupan nyata." 38% remaja mengatakan bahwa
bertukar konten yang menjurus ke arah seksual membuat kencan atau berhubungan dengan
107
orang lain lebih mungkin. 29% remaja dan 24% dewasa muda memercayai bahwa bertukar
konten bernuansa seksual "diharapkan" untuk dapat berkencan atau menjalin relasi.
Remaja memberi banyak alasan untuk mengirim/memposting konten yang menjurus
ke arah seksual. Sebagian besar mengatakan itu adalah "kesenangan dan menunjukkan
perilaku genit. 51% gadis remaja mengatakan tekanan dari seorang pria adalah alasan para
gadis mengirim pesan atau gambar seksi; hanya 18% dari remaja laki-laki mengatakan
tekanan dari rekan-rekan perempuan sebagai alasan. 23% gadis remaja dan 24% remaja lakilaki mengatakan mereka ditekan oleh teman-teman untuk mengirim atau memposting
konten seksual. Di antara remaja yang telah mengirim konten bernuansa seksual: 66% remaja
perempuan dan 60% remaja laki-laki mengatakan mereka melakukan demikian untuk
menjadi "kesenangan atau menunjukkan perilaku genit" – alasan paling umum bagi mereka
untuk mengirim konten seksi. 52% gadis remaja melakukannya sebagai "hadiah seksi" untuk
pacar mereka. 44% dari gadis remaja dan remaja laki-laki mengatakan mereka mengirim
pesan atau gambar yang merangsang secara seksual sebagai balasan untuk konten seperti itu
yang mereka terima. 40% remaja perempuan mengatakan bahwa mereka mengirimkan pesan
atau gambar konten seksual sebagai ―lelucon/guyon/bercanda.‖ 34% remaja perempuan
mengatakan bahwa mereka mengirim / memposting konten seksual konten untuk "merasa
seksi." 12% dari remaja perempuan merasa ―tertekan‖ untuk mengirim pesan atau gambar
konten.
Ciri-ciri Individu yang Kecanduan Pornografi
Menurut Gross (1998: 154), ada beberapa ciri seseorang yang sudah kecanduan situs porno:
1) Tidak memiliki keterampilan sosial yang memadai.
2) Sering bergelut dengan fantasi-fantasi yang bersifat seksual.
3) Suka berkomunikasi dengan figur-figur ciptaan hasil imajinasinya sendiri.
4) Tidak mampu mengendalikan diri untuk tidak mengakses situs porno.
5) Intensitas mengkonsumsi media pornografi sering, dalam hal ini 1-3 kali sehari.
Dilansir dari Sexual recovery (23/9/2010), otak manusia ternyata bisa tidak berfungsi jika
terlalu sering melihat sesuatu yang berbau porno, berikut beberapa gejala orang mengalami
kecanduan pornografi:
1)Ketidakmampuan untuk menghentikan perilaku kecanduannya, walaupun pernah
mencoba sebelumnya.
108
2) Merasa tersinggung atau marah bila kegiatannya dihentikan.
3) Menyembunyikan atau berusaha untuk menjaga rahasia dari semua
kegiatan pornografi yang dilakukannya.
4) Tetap melanjutkan kegiatan pornografi meski sudah kehilangan hal
berharga dalam hidupnya, seperti hubungan asrama atau kehilangan pekerjaan.
5) Lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang berbau pornografi
ketimbang hal lain yang lebih penting.
Langkah-langkah Mengatasi Kecanduan Pornografi Internet
• Mengakui bahwa kita tak berdaya atas hawa nafsu. (I Kor. 7:5)
• Percaya bahwa ada kuasa Tuhan yang lebih besar dari diri kita yang dapat
memulihkan dan menyucikan kita
• Ambil keputusan untuk menyerahkan kehendak dan hidup kita atas pemeliharaan
Allah
• Menanamkan nilai-nilai kitab suci dalam hidup kita
• Mengaku kepada Allah, diri dan orang lain akan kesalahan kita
• Menyerahkan diri kita kepada Allah untuk membuang karakter yang buruk
• Mencatat orang-orang yang sudah kita lukai dan minta maaf pada mereka, kecuali
jika mereka terluka
• Berdoa kepada Tuhan untuk mengenal kehendakNya dan kuasaNya nyata dalam
hidup kita
• Memiliki kebangunan rohani dan menolong mereka yang ketagihan pornografi
• Memiliki persekutuan
• Mengikuti retreat penyembuhan luka-luka batin
• Mengatasi kesendirian dan kemarahan dengan mengembangkan hubugan intim
dengan Allah
• Jelaskan kepada pasien tentang kecanduan pornografi dengan kasih dan bukan untuk
mempermalukan
109
• Putuskan aksesibilitas dengan pengawasan terhadap komputer atau menempatkan di
tempat terbuka
• Mengungkapkan konflik emosional yang dapat menimbulkan ketagihan
• Mengungkapkan sumber kesendirian dan kurangnya keintiman dala keluarga
• Berikan dukungan atau terapi kelompok
• Mengembangkan kehidupan doa
Kepustakaan
E.Elisabeth & S.Lennart.(2004). Internet use, social skills, and adjustment. Cyberpsychology & Behavior
. 7.(1): 41-47.
.................. ,Prilaku Seksual Mahasiswa Semarang. PILAR, DKT, Semarang, 2006.
Ermida, 2004, ―Makalah Cybersex‖, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma,
Gross, James J. (2006). Handbook of Emotion Regulation . New York: Guilford Press.
Karina Aprilia, Sulis Maryanti, Sikap Mahasiswa Universitas Indonusa Esa Unggul terhadap
Cybersex, Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul.
Liska,Ken, 1994, Drugs And Human Body with Implication for Society, Ipen Sadde River, New Jersey:
Prentice Hall,
Lori Henderson, Sexting and Sexual Relationships Among Teens and Young Adults.
Zarina Bt Samin, Hanurra Bt Hairudin dan Nurazwin Bt Asmuni, Pengaruh Ketagihan
Internet terhadap Kecerdasan Emosi dalam Kalangan Pelajar Kolej Komuniti
Bandarpenawar, Johor: Kolej Komuniti Bandar Penawar
Dictionary, “Infoplease, from http//www.info please.com/dictionary/cybersex”, Retrived Juni 12, 2004
(http:artikel.sabda.org/pornografi).
www.defickry.wordpress.com.
110
PENDEKATAN KONSELING KOMUNIKASI SEBAGAI UPAYA
PEMULIHAN TERHADAP PENGARUH BURUK DI ERA DIGITALISASI
Semuel Pattipeilohy 73
Pendahuluan
Komunikasi konseling merupakan sebuah pelayanan yang bersifat khusus yang
sangat dibutuhkan. Secara umum, konseling adalah pelayanan bimbingan yang diberikan
oleh seorang konselor (pembimbing) terhadap seorang konseli (yang dibimbing) untuk
menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah pribadinya.
Alkitab memberikan banyak catatan mengenai pelayanan konseling yang menjadi
kunci keberhasilan pemulihan terhadap pengaruh buruk dalam kehidupan. Di Perjanjian
Lama dicatat bagaimana Yitro menemui dan memberi nasihat kepada anak menantunya,
Musa. Saat itu Musa sedang mengalami kepayahan karena harus memimpin bangsa Israel
yang besar itu. Yitro datang untuk menolong Musa menemukan hikmat illahi dalam
memimpin bangsa tersebut.
Tidak kalah menarik bahwa proses konseling yang dilakukan para sahabat terhadap
Ayub. Penderitaan yang dialami Ayub sangat luar biasa, sehingga Ayub mengalami kelelahan
fisik dan psikologis yang luar biasa pula. Dalam keadaan demikian, Alkitab mencatat
bagaimana para sahabatnya mencoba melakukan konseling. Mereka adalah Elifas (Ayub 4),
Bildad (Ayub 8), dan Zofar (Ayub 20) yang kesemuanya gagal karena faktor komunikasi.
Adapun konseling yang dilakukan Elihu atas Ayub berhasil karena ketepatannya dalam
berkomunikasi.
Menarik jika melihat keberhasilan komunikasi Elihu itu. Pertama Elihu membuka
interaksi dengan mau mendengarkan keluh kesah Ayub (Ayub 32:11). Kedua, Elihu
mengambil sikap untuk mau mengerti apa yang dikatakan Ayub (Ayub 32:12). Ketiga, Elihu
mulai angkat bicara untuk memberi motifasi dan penguatan kepada Ayub (Ayub 33: 6, 7).
Keempat, setelah situasi komunikasinya kondusif, Elihu berani mengkonfrontasi Ayub
dengan kebenaran Firman Tuhan (Ayb 33:12). Kelima, Elihu kemudian memberikan
pengajaran rohani kepada Ayub (Ayb 33:33). Keenam, Elihu memberikan bimbingan tentang
langkah-langkah praktis apa yang harus dilakukan oleh Ayub (Ayb 34).
73 Semuel Pattipeilohy, M.Th adalah Pemimpin Grace Soteria Ministry Surabaya
111
Komunikasi yang hebat menjadi kunci keberhasilan konseling yang dilakukan
Tuhan Yesus. Terlihat bahwa Yesus adalah ‖Komunikator Agung‖. Ia pandai berkomunikasi
dengan berbagai macam orang yang diantaranya Nikodemus dan perempuan Samaria yang
terdapat juga perbedaan strata sosial, latar belakang pendidikan serta kondisi ekonomi. Jika
Yesus berhasil mengkonseling keduanya, berarti Yesus bisa berkomunikasi dengan orangorang yang berbeda-beda.
Dalam konteks pelayanan duniawi, ilmu komunikasi telah lama berkembang.
Berbagai teori, mulai dari teori-teori yang berbasis ilmu psikologi sampai yang berbasis ilmu
politik telah banyak dikembangkan. Tetapi, teori-teori duniawi itu tentu saja tidak bisa
diterapkan begitu saja dalam pelayanan Kristen. Karena itu kita harus menggali sendiri teoriteori komunikasi untuk konseling dari Alkitab, khususnya dari praktik konseling yang
dilakukan oleh Yesus Kristus Sang Konselor Agung.
Strategi Mendengarkan
Seberapa seringkah kita mendengarkan pembicaraan lawan bicara kita? Seringkali
ketika dua orang sedang berbicara yang pada dasarnya mereka sedang mengadakan ―dialog
tuli‖. Seberapa banyak orang berbicara satu sama lain, seberapa banyak pula pesan yang bisa
diterima. Fakta yang terjadi adalah pesan yang diterima tidak sebanyak yang dibicarakan.
Jika kita benar-benar mendengarkan orang lain maka kita sebenarnya sedang mengirim pesan
kepada orang tersebut yang akan membuatnya berpikir bahwa saya layak didengarkan. Ketika
kita mendengarkan maka sebenarnya kita mempunyai pengaruh lebih besar dari pada ketika
kita sedang berbicara.
Apa yang dimaksud mendengar (hearing)? Apa yang dimaksud mendengarkan (listening)?
Apakah bedanya? Mendengar pada dasarnya adalah mendapatkan isi atau informasi untuk
kepentingan kita sendiri yang berarti kita perduli terhadap apa yang sedang terjadi didalam
diri kita selama percakapan. Mendengarkan berarti bahwa kita sedang berusaha untuk
memahami perasaan orang lain dan mendengarkan demi dia.
Sangatlah perlu menyikapi di era digital ini terhadap pengaruh baik dan buruknya
pada setiap pribadi kekristenan dengan sikap mendengarkan (listening) dan mendengar
(hearing) dengan penuh perhatian yang dapat memudahkan kita dalam menyimpulkan satu
sama lain. Sikap inilah yang dapat memberikan konseling komunikasi terhadap setiap
pribadi kristen yang masuk dalam perangkap pengaruh buruk di era digital saat ini.
Konseling = Pembelajaran Lewat Masalah Hidup
112
Pakar pendidikan Kristen Sidjabat mengklasifikasikan strategi pembelajaran dalam
kategori-kategori sebagai berikut.74
1. Strategi pembelajaran ekspositori, yaitu strategi mengajar di mana guru bercerita,
berceramah, dan bertutur untuk menyampaikan konsep, ide, gagasan, keyakinannya
kepada peserta didik, di mana guru bisa memakai teks sebagai bahan ajar.
2. Strategi pembelajaran inkuiri, di mana guru berperan sebagai fasilotator, penuntun
dan rekan belajar. Guru memotivasi peserta didik untuk aktif dalam proses belajar
agar mereka mencari dan menemukan gagasan.
3. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM), strategi di mana murid dikenalkan
pada masalah agar dapat memahami (analisis), merumuskan langkah penyelesaian,
menguji data atau informasi, dan menyimpulkan.
4. Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) yang menekankan
pembentukan kemampuan berpikir peserta didik. Guru menuntun murid bukan
hanya untuk mengetahui isi bahan ajar (knowing what), melainkan juga dalam rangka
memahami metode belajar dan merumuskan konsep, ide, gagasan (knowing how).
5. Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) yaitu belajar dalam kelompok kecil dengan
berdiskusi bersama untuk memahami dan memecahkan masalah.
6. Strategi Pembelajaran Kontekstual dengan menjadikan konteks kehidupan sosial
budaya sebagai sumber serta media belajar yang penuh makna. Murid tidak hanya
dapat belajar dari membaca buku dan literatur saja.
7. Strategi Pembelajaran Afektif di mana pendidikan agama, moral atau etika
digolongkann bersifat afektid karena bersinggungan dengan sikap dan perasaan batin.
Strategi pembelajaran
Dari beberapa strategi pembelajaran itu, ada beberapa strategi pembelajaran yang
sesuai dengan pelayanan konseling yang berarti strategi itu cocok untuk diterapkan dalam
pelayanan konseling yang bersifat edukatif. Strategi itu adalah Strategi Pembelajaran Berbasis
Masalah, sebab dalam konseling, konselor menghadapi dan menangani konseli yang memang
sedang mengalami masalah dalam kehidupannya.
Dalam Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah, dikenalkan pada masalah agar dapat
memahami (analisis), merumuskan langkah penyelesaian, menguji data atau informasi, dan
menyimpulkan. Yesus pun melakukan strategi ini dengan menghadapkan para murid dengan
masalah supaya belajar sesuatu.
74 Sidjabat, Mengajar Secara Profesional: Mewujudkan Visi Guru Profesional (Badung: Kalam Hidup, 1993), 277
113
Konseling = Pembelajaran Privat
Konseling edukatif lebih merupakan edukasi yang dilakukan oleh konselor kepada
konseli dalam interaksi secara pribadi (bukan mengajar secara massal). Sehingga srategi
komunikasinya lebih bersifat pendekatan individual.
Konseling edukatif itu dilakukan juga oleh Tuhan Yesus. Setidaknya hal itu terlihat
dari pelayanan konseling edukatif saat Yesus menghadapi Nikodemus. Terlihat jelas bahwa
sebenarnya Nikodemus bukan sekedar bertanya karena ingin tahu. Namun, Nikodemus juga
sedang menghadapi masalah, yaitu masalah keimanan karena dia mengalami kesulitan dalam
memahami persoalan rohani. Bagi seorang pendidik agama, hal itu merupakan masalah yang
besar. Nikodemus tidak bisa menyelesaikan masalah itu sendirian, dan mungkin ia juga malu
jika mau menyelesaikan masalah itu dalam pertemuan pengajaran umum (kelas umum) yang
diberikan oleh Yesus. Maka, Nikodemus memilih ‖jalur konseling pribadi‖ dengan Yesus
dalam sebuah pertemuan khusus yang bersifat pribadi (privat) dan rahasia, tidak terbuka
untuk umum.
Dalam konseling itu juga nampak bahwa Yesus memainkan peran bukan hanya
sebagai Konselor tetapi juga sebagai Edukator. Momen konseling itu benar-benar dipakai
oleh Tuhan Yesus untuk mengajarkan tentang prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan
bahkan Yesus memberi pelajaran secara mendetil, panjang lebar.
Penutup
Dalam menyikapi era digital adalah sangat perlu melakukan pendekatan konseling
komunikasi terhadap setiap pribadi Kristen untuk menjadi cerdas dalam mengatasi masalah,
menerima anugerah keselamatan, bertumbuh dalam pertobatan, menjalani hidup baru
dengan cara hidup yang berpadanan dengan Alkitab, bertumbuh dalam karakter, bertumbuh
dalam kehidupan rohani, bertumbuh ke arah kesempurnaan di dalam Kristus.
Kepustakaan
Adams, Jay E. Competent to Counsel: Anda pun Boleh Membimbing. Bandung: Sekolah Alkitab
Tiranus, 2006
Bailey, Brian J. Kehidupan Kristus: Pemberi Hidup Berkelimpahan. Jakarta: Nafiri Gabriel, 2002.
Brill, J. Wesley. Doa-Doa dalam Perjanjian Baru. Bandung: Kalam Hidup, 1998.
Bruce, FF. Ucapan Yesus yang Sulit. Malang: SAAT, 2007.
Chapman, Garry. Now You’re Speaking My Language. Bandung: Immanuel, 2012.
Chapman, Garry. Love is a Verb. Jakarta: PT Visi Anguerah Indonesia, 2015.
Clark, Robert E. Christian Education: Foundation for The Future,
Chicago: Moody Press, 1991.
Collins, Garry R. Pengantar Pelayanan Konseling Kristen yang Efektif.
Malang: Literatur SAAT, 2012.
Crabb, Larry. Konseling yang Efektif dan Alkitabiah. Yogyakarta: ANDI, 2010.
114
Cronbach, Lee. J. Educational Psichology. Chicago: Harcourt, Brace and Company.
Cully, Iris V. Dimanika Pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Dahar, Ratna Willis. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga, 1989.
Daniel, Eleanor. Christian Education. Ohio: Standard Publishing, 1987.
Davids, Peter H. Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Baru. Malang: Lembaga Literatur SAAT,
2000.
DePoter, Bobbi. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas.
Jakarta: Kaifa, 2005.
Douma, J. Kelakuan yang Bertanggungjawab: Pembimbing ke dalam Etika Kristen.Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2002.
Effendi, Onong Uchjana. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002.
Eims, LeRoy. Pemuridan, Seni yang Hilang. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1993.
Enns, Paul. The Moody Handbook of Theology: Buku Pegangan Teologi I. Malang: Literatur SAAT,
2008.
Enns, Paul. The Moody Handbook of Theology: Buku Pegangan Teologi II. Malang: Literatur SAAT,
2008.
Erricson, Millard K. Teologi Kristen. Malang: Gandum Mas, 1999.
Flewing H Revell. Pedoman Pokok-Pokok Isi Alkitab. Bandung: Kalam Hidup, 1994.
Gangel, Kenneth O. The Christian Educator’s Handbook on Teaching: A Comprehensive Resource on
The Distinctiveness od True Christian Teaching. Wheaton: Victor Books, 1989.
Gangel, Kenneth O. Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. Malang: Gandum Mas. 1998.
Graendorf, Werner C. Introduction to Biblical Christian Education.
Chicago: Moody Press, 1981.
Guruge, Ananda W. P. Proses Perencanaan Pendidikan. Surabaya: Surabaya Intelectual Club
dan IKIP Surabaya, 1996.
Hamalik, Omar. Pengembangan Kurikulum: Dasar-dasar dan Perkembangannya. Bandung: Mandar
Maju, 1990.
H. Norman Wright. Communication @ work. Jakarta: Immanuel, 2005.
Horne, Herman Harrell. Teaching Techniques of Jesus. Michigan: Kregel Publication, 1978.
Hurlock, Elizabeth. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Jakarta: Erlangga, 1997.
Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Yogyakarta: ArRuzz, 2009.
Issler, Klaus. How We Learn: A Christian Teachier’s Guide to Educational Psychology. Muchigan:
Baker Books, 1994
115
KOTA CERDAS BERBASIS KEBUDAYAAN:
REFLEKSI DAN AKSI GEREJA KRISTEN75
Haryadi Baskoro76
Pendahuluan
Kota-kota di nusantara dan di seluruh dunia telah berlomba-lomba mengelola
perikehidupan urban secara cerdas. Apalagi setelah Kemkominfo RI menggulirkan Gerakan
Menuju 100 Smart City, tak kurang dari 50 wali kota dan bupati menyatakan dukungan.
Dalam pembangunan smart city, Menkominfo RI Rudiantara menekankan
pemanfaatan teknologi informasi untuk melayani masyarakat. Menurutnya, kita harus
mendefinisikan dulu manfaat-manfaat apa saja yang akan diberikan kepada masyarakat dan
baru mencari teknologi informasi yang relevan. Gerakan smart city di satu sisi mendorong
kota-kota menyelesaikan berbagai persoalan urban secara cerdas dan sisi lain memajukan
potensi daerahnya secara cerdas pula.
Pengelolaan komunitas cerdas (smart city, smart regency, smart province) yang telah
menjadi tren sejak 2000-an sudah terbukti berhasil memajukan kualitas kehidupan
masyarakat. Riset McKinsey Global Institute (MGI) misalnya, menunjukkan bahwa sistem
smart city terbukti menjadi solusi digital (digital solution) efektif di berbagai kota di seluruh
dunia. Sistem smart city terbukti berdampak, misalnya mengurangi insiden kriminalitas
hingga 30-40 persen, mengurangi pemborosan waktu dalam sistem transportasi hingga 15-20
menit, mengurangi pemborosan pemakaian air hingga 25-28 liter per orang per hari
Jerat Pragmatisme
Secara antropologis, smart city adalah sebuah kebudayaan. Koentjaraningrat
mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks sistem gagasan, sistem perilaku, dan hendabenda hasil karya manusia (budaya material) yang menjadi milik diri melalui proses belajar.
Perilaku serba digital dalam smart city ditopang oleh budaya material berupa teknologi
informasi dengan multi aplikasinya yang semakin canggih. Namun sejauh ini, sistem gagasan
yang melandasi perilaku digital dan memotivasi penciptaan teknologi digital itu bersifat
75 Dikembangkan dari artikel opini Haryadi Baskoro berjudul ―Kota Cerdas Berbasis Kebudayaan‖ yang telah
dimuat di Rubrik OPINI Harian KOMPAS edisi 6 Agustus 2018, halaman 7.
76 Dr. Haryadi Baskoro, MA., M.Hum adalah Pengurus Pusat Studi Seni-Budaya STT Tawangmangu (PSSB ST3);
Tim Advokasi Badan Kerjasama Gereja-gereja (BKSGK) DIY; Tenaga Ahli ―Jogja Smart Province‖ Dinas
Kominfo DIY; Pengelola Kantor Hukum 3H Advocates & Consultants Yogya serta Pengurus Yayasan Inruka
Yogya.
116
pragmatis. Alam pikir pragmatis menekankan pengutamaan kebermanfaatan segala sesuatu,
yaitu kebergunaan secara praktis semata. Manusia pragmatis tak mau repot-repot
memikirkan masalah-masalah kebenaran, sistem nilai, dan filsafat, apalagi hal-hal yang
bersifat metafisis.
Pragmatisme dalam pembangunan smart city terlihat dari orientasinya untuk membuat
hidup masyarakat semakin mudah, nyaman, senang, nikmat, sejahtera, dan bahagia. Jika
pencapaian-pencapaian itu saja yang menjadi parameter keberhasilan, smart city hanya akan
menjadikan kota berteknologi cerdas tetapi tidak berpenduduk cerdas. Sebab, cerdas itu
lebih dari sekedar fasih menggunakan smartphone. Semakin canggih (cerdas) IT yang
diciptakan, penggunanya justru semakin tidak perlu menguras otak karena beragam surplus
kemudahan teknis yang diberikan.
Mari kita renungkan ulang. Salah satu aplikasi smart city mungkin akan sangat
memudahkan penduduk sehingga tidak perlu pusing dan repot saat mengurus urusan-urusan
kependudukan. Semua proses rumit berjenjang cukup dilakukan melalui smartphone dalam
genggaman tangan kita. Lantas, apakah hal itu membuat penduduk lebih cerdas? Dulu, kita
harus mencari Pak RT, Pak RW, lalu antre di kelurahan, berdialog dengan Pak Lurah, dan
melewati beragam interaksi sosial lainnya saat mengurus ini dan itu. Bukankah hal itu justeru
membuat kita punya kecerdasan social (social intelligent)? Bukankah hal itu melatih
kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan adversiti (AQ) kita? Digitalisasi bukan hanya
desruptif bagi system pekerjaan yang dulu melibatkan aktivitas banyak orang, tetapi juga
mengganggu proses belajar masyarakat untuk memiliki kecerdasan interpersonal dan
intrapersonal.
Faktanya, kehadiran teknologi cerdas terkadang justeru membuat manusia berpikir
dan berperilaku tak cerdas. Dulu pada awal-awal teknologi internet diciptakan, umat
manusia memanfaatkannya untuk membangun interaksi sosial yang relatif positif. Sekarang
manakala teknologi media digital begitu canggih, medsos dan media online justru
menyuburkan hoax, ujaran kebencian, cyber bullying, cyber radicalism, dan cyber terrorism. Dulu
internet membangun interaksi di dalam keberagaman. Sekarang internet jadi alat eksklusi
sosial dan sarana provokasi konflik sosial.
Manusia ternyata lebih bodoh dari laba-laba. sebab tak pernah ada laba-laba
membuat jaring namun terjerat dalam jaringnya sendiri. Adapun manusia menciptakan
jejaring budaya yang disebut Clifford Geertz sebagai jejaring makna (the web of significance)
yang jadi bumerang karena menghegemoni dirinya.
117
Karena itu para peneliti budaya mengembangkan istilah ―peradaban‖ (civilization).
Arnold Toynbee (1965) mendefinisikan peradaban sebagai kebudayaan yang memiliki
dimensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi. Kita membutuhkan kota-kota
berperadaban tinggi yang canggih dalam tekonogi informasi namun penduduknya berbudaya
luhur. Adapun pragmatisme yang berorientasi pada kenikmartan hidup pada waktunya akan
memerosotkan kualitas kebudayaan kita di tengah kemajuan iptek.
“E-learning”
Supaya smart city berbasis kebudayaan, sejarawan UGM Joko Suryo mengingatkan
pepatah lama ―man behind the gun‖. Teknologi informasi adalah alat, senjata, budaya materi yang
harus dikendalikan oleh manusia. Hanya manusia berbudaya luhurlah yang alam pikirnya
diliputi gagasan-gagasan mulia - sistem nilai, filosofi, ideologi - yang arif dalam menciptakan,
memilih, dan menggunakan senjata itu dengan baik. Senjata yang sederhana sekalipun, jika
berada di tangan penjahat, akan menjadi pemicu petaka yang besar. Apalagi, senjata canggih
yang bernama teknologi digital itu.
Pembagunan smart city semestinya sejak awal memposisikan kebudayaan sebagai
panglima dan teknologi digital sebagai alat. Kebudayaan membuat kita cerdas dalam
mencipta, memilih, dan menggunakan teknologi digital yang tidak sekedar memberi
kenikmatan publik (pragmatis) namun mencerdaskan (kultural) masyarakat/bangsa.
Sebagai contoh, dengan bantuan aplikasi digital seperti yang telah marak
sekarang ini, kita dengan mudah menemukan arah dan lokasi. Di kota Yogya misalnya,
aplikasi digital memudahkan kita menemukan Jalan Malioboro yang berlokasi di pusat kota.
Tetapi, smart city berbasis kebudayaan semestinya bukan hanya memberi kemudahan
navigasi, tetapi juga memberi petunjuk yang lebih mencerdaskan lagi. Sebab, nama jalan
Malioboro adalah bagian integraal tata kota ―sumbu filosofis‖ Yogya yang mengandung pesan
moral yang sudah diapresiasi oleh UNESCO. Malioboro adalah nama ajaran supaya manusia
membuang kejahatan ―malima‖ yaitu madat (mencandu, narkoba), madon (seks bebas), main
(berjudi), minum (kemabukan), dan maling (mencuri, korupsi). Turis asing pun akan tertarik
jika mendapat informasi kultural edukatif seperti itu, sebab mereka tak berkunjung sekedar
mencari kemudahan.
Pembangunan smart city berbasis kebudayaan semestinya bercirikan edukasi. Negara
tidak hanya bertugas mensejahterakan tetapi juga mencerdaskan bangsa. Jika sejahtera
berarti hidup mudah dan nyaman maka cerdas berarti terus meningkatnya kompetensi
118
berpikir kritis, progresif, dan transformatif. Teknologi digital memberi banyak alternatif
inovasi kreatif untuk mengembangkan pendidikan kultural bagi masyarakat.
Dengan demikian smart city membuka jalan untuk revitalisasi dan aktualisasi nilainilai kearifan lokal dan mengajarkannya secara kreatif-atraktif kepada generasi masa kini.
Untuk itu aplikasi e-learning perlu diintegrasikan bahkan menjadi basis dalam sistem smart
city. Sistem smart city yang berfokus pada pencerdasan justru akan mengakselerasi revolusi
pendidikan yang progresif dan transformatif. Melalui e-learning masyarakat menjadi
pembelajar aktif, bisa meneliti sendiri, mempelajari materi lewat website, bahkan mengakses
langsung para ekspert yang ada di kotanya. Materi pelajaran yang diperoleh selalu di-update
dan di-upgrade. Dalam edukasi era ―4.0‖, pembelajar adalah konektor, kreator, dan
konstruksionis dalam proses belajar-mengajar. Murid berpeluang menjadi pencipta dan
pembagi informasi (learner as content producer and sharer). Masyarakat jadi cerdas dan bisa
mencerdaskan orang lain (learner as teacher).
Jika tidak berbasis kebudayaan, pembangunan smart city di Indonesia hanya akan
mengantarkan kota-kota kita menjadi pusat-pusat modernitas global. Digitalisasi malahan
berpotensi melemahkan dan melenyapkan keaslian dan keunggulan kebudayaan kita sendiri.
Sistem smart city berbasis kebudayaan bukan hanya mencerdaskan penduduk urban tapi
mentransformasi kota-kota kita menjadi pusat-pusat peradaban yang melalui teknologi
informasi mampu berdampak global.
“Gereja Cyber”
Masyarakat Kristen yang secara teologis disebut ―Gereja‖ pada dasarnya responsif
terhadap perkembangan teknologi informasi. Bukan hanya gereja-gereja di kota, bahkan di
desa-desa sudah banyak orang Kristen yang melek komputer. Sikap responsif itu setidaknya
terlihat dari kegiatan-kegiatan ibadah yang sudah banyak diperlengkapi dengan projector yang
dikendalikan dengan komputer. Banyak pemimpin dan umat juga sudah melek penggunaan
media sosial dan media online.
Gereja-gereja di perkotaan semakin giat mengembangkan pelayanan-pelayanan
kreatif dengan memaksimalkan dukungan teknologi informasi. Mereka menggunakan
website, blog, instagram, facebook untuk ―memasarkan‖ pelayanan. Para pembicara Kristen
pun berlomba-lomba menyiarkan pelayanan mereka melalui channel Youtube.
Di dunia Barat, banyak pelayanan benar-benar didisain berbasis digital sepenuhnya.
Ibadah tidak lagi menjadi pertemuan berbasis komunikasi primer ―face to face‖. Kotbah
119
disampaikan dan diterima melalui media digital. Materi-materi pelajaran Alkitab dapat
ditelusuri dan diundah melalui media online. Kegiatan konseling berbasis interaksi virtual.
Pemberian persembahan uang (―kolekte‖) dilakukan melalui jalur digital (mobile banking).
Pragmatisme Gereja
Bukan hanya perikehidupan sekuler yang semakin pragmatis, ranah kehidupan
spirutual juga dilanda spirit yang demikian. Sebagian – tidak semua – praktek hidup Kristen
dilandasi pragmatisme. Umat menjalani laku keagamaan sekedar untuk kepentingankepentingan diri yang egosentris seperti mengejar berkat dan kesuksesan duniawi semata.
Sementara itu, (sebagian dari) para elite keagamaan Kristen terkadang rergoda
untuk sekedar meladeni ―selera pasar‖. Akhirnya pelayanan dikelola sebagai ―bisnis‖ jasa
rohani, dikemas atraktif berbalutkan ―entertainment‖. Dalam praktik pelayanan gerejawi yang
pragamatis seperti itu, teknologi informasi yang diterapkan hanya akan memperparah jiwa
pragmatisme. Digitalisasi dipakai untuk mempermudah dan menyenangkan umat. Teknologi
digital dipakai sebagai bagian dari upaya mempercanggih panggung pelayanan untuk
memuaskan selera jemaat.
Secara antropologis, digitalisasi Gereja modern masa kini berkembang bersamaan
dengan maraknya gaya hidup ―budaya populer‖ (pop culture) yang juga merebak di dalam
kekristenan. Dominic Strinati (1990) menyebut kebudayaan populer sebagai jenis
kebudayaan yang menekankan ―kenikmatan sesaat‖ dengan mengesampingkan keutamaan
nilai-nilai filosofis yang mendalam. Manifestasi paling marak dari kebudayaan populer adalah
dunia hiburan (entertainment) seperti begitu mewabah sekarang ini.
Sebagian dari komunitas Kristen yang pragmatis – artinya tidak semuanya – seperti
berada dalam ―cinta segitiga‖ yang tidak mencerdaskan (jika tak mau disebut sebagai
pembodohan). Tiga unsur ―cinta segitiga‖ itu adalah ―spiritualitas‖, ―kultur pop‖, dan
―kapitalisme‖. Hal-hal rohani dan pelayanan-pelayanan rohani dikemas dan ―dipasarkan‖
dalam kemasan ―entertainment‖. Lalu ―bisnis jasa rohani‖ itu kemudian kelola dengan kakuatan
kapital untuk menghegemoni umat. Sekali lagi, situasi seperti ini tentu saja tidak melanda
semua gereja yang ada. Tentu saja banyak gereja dan pelayan rohani yang benar-benar idealis
dan tidak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan harta dan kekayaan. Namun harus
diakui bahwa ―cinta segitiga‖ ini benar-benar telah melanda sebagian masyarakat Kristen
modern.
Salah satu akibat fatal dari praktek ―cinta segitiga‖ itu adalah terhambatnya
pencerdasan umat dan juga generasi muda Kristen. Mereka dininabobokkan dengan suguhan
120
pelayanan-pelayanan rohani berbalutkan entertainment. Kotbah-kotbah disajikan mengikuti
selera pasar. Pelayanan mimbar tidak boleh kalah dengan panggung ―stand up comedy‖. Para
pengkotbah harus tampil ―keren‖ seperti para motivator sekuler yang tenar. Altar di-setting
seperti panggung hiburan dengan sajian seni-pertunjukan yang heboh dan atraktif.
Akibatnya, jemaat dan generasi muda tidak menjadi insan-insan beriman yang
kritis. Mereka hanya bisa bereaksi ―amin, amin, amin‖ tentang apa pun yang disampaikan
pemimpin rohani. Tambahan lagi, kultus pemimpin rohani ala ―fans club artis‖ membuat
jemaat tidak berpikir kritis. Jemaat dan generasi muda larut dalam suasana euforia rohani
tanpa memikirkan apakah yang diterima dan dialaminya benar-benar otentik.
Dalam situasi dan kondisi yang demikian, digitalisasi pelayanan Kristen berpotensi
tidak membangkitkan proses pencerdasan. Pemaksimalan dukungan teknologi informasi
malah berpotensi memperkuat bangunan ―cinta segitiga‖ itu.
E-learning Kristen
Untuk itu, sama seperti masalah pada ―smart city‖, digitalisasi Gereja harus
diarahkan untuk mencerdaskan umat dan khususnya generasi muda. Sistem e-learning Kristen
seharusnya mendorong kita untuk belajar lebih teliti, lebih kritis, lebih mendalam. Jika
selama ini kotbah konvensional hanya monolog dan dengan demikian berpotensi ―mendikte‖
umat maka melalui teknologi digital dimungkinkan menjadi dialogis kritis. Umat bisa
bertanya, berdialog, bahkan berdebat secara akademis. Jemaat bisa meneliti sendiri Alkitab
dengan melakukan studi komparatif dari berbagai sumber. Jemaat cerdas tidak mudah
dibodohi dengan pola-pola pendiktean rohani yang terkadang deceptive dan intimidatif.
Kekristenan, sama seperti sering terjadi dalam agama lain, terkadang terjadi
pengkultusan pemimpin rohani. Apalagi manakala pemimpin rohani itu menggunakan dasardasar pembenaran yang diklaimnya bersifat supranatural. Ketika seorang pemimpin
menyatakan bahwa dirinya telah mendapatkan ―wahyu‖ dari Allah maka ia pun mengklaim
bahwa semua ajaran, ucapan, dan tindakannya benar adanya. Kasus seperti ini sering terjadi
dan berdampak pada penyesatan dan juga perpecahan di dalam tubuh masyarakat Kristen.
Belum lagi kepemimpinan otoriter yang menghegemoni bukan hanya dalam urusan
pelayanan namun juga keuangan pelayanan. Lembaga-lembaga pelayanan dikelola dalam
sistem-sistem yang tidak transparan. Padahal umat selalu diarahkan untuk secara loyal dan
bahkan ―jor-joran‖ memberi sumbangan.
121
Di sini pulalah digitalisasi seharusnya menjadi solusi pencerdasan. Pengelolaan
keuangan pelayanan secara digital dan online memungkinkan semua pihak, bahkan pihak di
luar gereja untuk melakukan kontrol dan evaluasi. Dengan demikian para pengelola dituntut
cerdas dalam mengelola dan melaporkan semua keuangannya. Umat pun diberi kesempatan
untuk ikut mengontrol dan mengevaluasi.
Kecerdasan Interdenominasional
Dalam pembangunan ―smart city‖, sinergi dan kolaborasi antar sektor sering menjadi
persoalan tersendiri. Antar dinas yang ada sering kurang terjalin kerjasama. Ego sektoral
masing-masing sangat kuat sehingga sulit membangun sistem kerjasama pada lingkup yang
lebih luas. Justru di sinilah sebenarnya konsep ―smart‖ perlu dimaknai sebagai cerdas dalam
bersinergi dan berkolaborasi.
Dalam hal sinergi dan kolaborasi itu pulalah sebagian masyarakat Kristen juga
sejatinya ―rapuh‖. Kekristenan terkotak-kotak dan tersekat-sekat dalam berbagai-bagai
aliran dan organisasi (denominasi). Perbedaan denominasi menyulitkan terjalinnya kerjasama
dalam pelayanan. Bahkan terkadang terjadi persaingan tidak sehat dan perpecahan
berkelanjutan karena ultra heterogenitas organisasi itu.
Digitalisasi pelayanan Kristen semestinya menjadi salah satu strategi untuk
membangun sinergi dan kolaborasi internal Kristen. Setidaknya jejaring digital
memungkinkan para pemimpin untuk saling mengenal dan bertegur sapa. Lebih maksimal,
sistem digital sebenarnya memungkinkan tumbuhnya diskusi dan suasana saling belajar,
saling berbagi, saling melengkapi antar pelayan rohani. Sama seperti konsep ―smart city‖,
konsep ―smart church‖ semestinya membangun kecerdasan interaksi interdenominasional.
Partisipasi dan kontribusi
Dari refleksi di atas, aksi nyata masyarakat Kriten (Gereja) perlu merupakan aksi ke
dalam dan keluar. Ke dalam, digitalisasi Kristen semestinya merupakan aksi untuk
mencerdaskan pemimpin dan umat dalam hal (1) pembangunan mentalitas belajar yang
―transformatif‖, (2) pengelolaan managemen pelayanan yang transparan dan akuntabel, (3)
penguatan sinergi-kolaborasi interdenominasional.
Sedangkan ke luar, aksi Kristen perlu diarahkan untuk mendukung kebijakan
literasi digital Indonesia, termasuk mendukung Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD)
―Siberkreasi‖ yang diinisiasi oleh Kemenkominfo RI. Sinergitas antara Gereja (spiritual
government) dan Negara (civil government) merupakan amanat Tuhan yang ditegaskan di dalam
122
Alkitab (Lugo, 2011). Negara dalam perspektif Kristen adalah ―lembaga pelayanan‖ untuk
melaksanakan pembangunan budaya/peradaban (Kejadian 1:28, Roma 13:1-7).
Dalam implementasi, Gereja perlu mendukung aksi-aksi GNLD Siberkreasi yang
berupa, pertama, mendorong masuknya konten literasi digital dalam kurikulum pra-sekolah,
SD, SMP, SMA, Universitas, dan pelatihan-pelatihan formal Aparatur Sipil Negara (ASN).
Gerakan Literasi Digital Kristen perlu mendukung setidaknya dengan memasukkan literasi
digital ke sekolah-sekolah Kristen termasuk seminari-seminari.
Kedua, Gerakan Literasi Digital Kristen berpartisipasi dalam upaya mendorong
penyebaran pengetahuan dan etika digital secara masif dan luas dalam format populer dan
menarik. Dalam hal ini masyarakat Kristen dan generasi muda perlu diberdayakan untuk
berkarya kreatif.
Ketiga, Gerakan Literasi Digital Kristen mendukung eksistensi dan mendorong
lahirnya Komunitas, Relawan, dan Duta Konten Positif secara masif di setiap daerah. Para
pemimpin, umat, jemaat lokal, dan generasi muda Kristen perlu dikader menjadi duta-duta
konten positif.
Kepustakaan
BU, Donny. Kerangka Literasi Digital Indonesia. Jakarta: Kemenkominfo RI.
Clark, Robert E. Christian Education: Foundation for The Future, Chicago: Moody Press,
1991.
Cronbach, Lee. J. Educational Psuchology. Chicago: Harcourt, Brace and Company.
Dahar, Ratna Willis. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga, 1989.
Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Grosby, Steven. Sejarah Nasionalisme: Asal Usul Bangsa dan Tanah Air.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakaarta: Rajawali, 1985.
Kristiadi, J. Demokrasi dan Etika Bernegara. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Lugo, Gunche. Manifesto Politik Yesus. Yogyakarya, ANDI, 2011
Mangunwijaya. Kurikulum yang Mencerdaskan: Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. Jakarta: Kompas,
2008.
Naisbitt, John. Megatrends 2000: Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an. Jakarta: Binrupa Aksara,
1990.
Rahman, A. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Rahyaputra, Wiyasa. Kumpulan Ulasan Politik, Ekonomi, dan Gaya Hidup di Era Digital.
Jakarta: Kemenkominfo dan GNLD Siberkreasi
Sappington, Thomas J. Hancurkan Kuasa Iblis dalam Diri Anda. Yogyakarta: Andi dan OC
International, 1998.
Smith, Anthony D. Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta: Erlangga,2002.
Sorensen, Georg. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalak Sebuah Dunia
yang Sedang Berubah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
White, Jerry. Gereja dan Yayasan Penginjilan. Malang: Gandum Mas.
123
“OKULTISME SIBER” DAN PENYESATAN GENERASI
Philipus Setyanto77
Penyimpangan dan penyalahgunaan media digital sudah sangat beragam. Dari
pornografi hingga ujaran kebencian, dan cyber bullying jika tidak ditanggulangi secara baik
dapat merusak generasi bangsa. Salah satu yang sering tidak kita sadari namun sejatinya juga
sangat membahayakan bagi keimanan seseorang adalah siber yang terkait dengan hal-hal
yang berhubungan dengan kuasa gelap, roh-roh jahat.
Hidup memang sebuah pilihan, setiap manusia memiliki kehendak bebas di dalam
dirinya untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Namun tidak semua manusia
menggunakan kehendak bebasnya untuk sesuatu hal yang positif dan benar. Terkait dengan
media digital ini, seharusnya kita lebih arif dan bijaksana dan tetap menjaga keimanan kita.
Jika kita menelusuri dunia maya di internet, dengan sangat mudah kita menemukan situssitus yang satanis/okultis. Situs yang memberi bimbingan praktis yang terkait dengan
belajar ilmu-ilmu gaib (roh-roh jahat), jika sesorang terpengaruh dan mengikuti pelajarannya
tentu akan merusak keimanan orang tersebut.
Wabah Okultisme
Kata "okultisme" merupakan terjemahan dari occultism. Kata dasarnya, occult, berasal
dari bahasa Latin occultus ('rahasia') dan occulere ('tersembunyi'). Artinya adalah tersembunyi,
rahasia, gaib, misterius, gelap, atau kegelapan. Dengan demikian, okultisme dapat diartikan
sebagai paham yang menganut dan mempraktikkan kuasa dan kekuatan dari dunia kegelapan
atau dunia roh-roh jahat. Adapun praktik okultisme sendiri adalah sangat beragam, dari ilmu
meramal, sihir, tenung, santet, dan sebagainya.
Mengenai praktik okultisme itu sendiri terdapat banyak pandangan. Jika ditinjau dari
perspektif kebudayaan, mungkin tidak dipermasalahkan. Bahkan banyak dari kebudayaan
umat manusia bersinggungan dengan praktik-praktik ilmu gaib dan ritual-ritual
supranatural. Namun dari perspektif Kristen (Alkitab), penyembahan dan persekutuan
dengan roh-roh jahat jelas merupakan penyimpangan.
77 Pdt. Philipus Setyanto, Th.M adalah seorang gembala dan konselor, pendiri Pelayanan “Duta Kerajaan Allah”,
Dosen STT Sangkakala Salatiga Jawa Tengah
124
Realitas Iblis
Berbicara tentang pengaruh setan melalui media digital, hal pertama yang harus kita
pahami adalah bahwa roh-roh jahat benar-benar ada dan nyata. Dalam Alkitab berbahasa
Indonesia, dipakai beberapa istilah seperti : Iblis, roh-roh jahat dan si jahat. Iblis berasal dari
kata Yunani (diabolos) yang mengandung arti pemfitnah (Mat 4:1; Ef 4:27; Why 12:9; 20:2).
Iblis itu tunggal, menunjuk kepada raja kegelapan (Lucifer).
Rasul Paulus menggambarkan sifat-sifat Iblis dalam suratnya kepada jemaat di Efesus
(Ef 6:10-12) sebagai berikut. Pertama, Iblis sangat licik. Pada ayat 11, Paulus menekankan soal
―tipu muslihat Iblis‖. Dengan cara itu, Iblis menghalangi karya Tuhan dalam kehidupan
manusia.
Kedua, Iblis adalah musuh yang mempunyai kuasa supranatural. Ketika Paulus
menandaskan supaya kita menjadi kuat di dalam kekuatan kuasa Tuhan, sesungguhnya ia
sedang berbicara tentang kekuatan dan kuasa si Iblis itu (ayat 12). Iblis mempunyai system
pemerintahan dan organisasi kekuasaan yang kokoh. Ketika para murid gagal mengusir roh
jahat yang menguasai seseorang (dalam pelayanan pelepasan), Yesus memberi penjelasan
bahwa itu terjadi karena mereka kurang percaya (Mat 17:17). Para murid waktu itu agak
meremehkan kekuatan setan. Kenyataannya, setan mempunyai kuasa dan kita harus
melawannya dengan iman dan kerohanian yang baik.
Ketiga, roh-roh jahat adalah musuh yang sangat jahat. Pada ayat 12, Paulus menunjuk
pada masalah ―roh-roh jahat‖. Roh-roh jahat itu jamak, roh-roh jahat lebih dari satu, berbeda
dengan Iblis itu tunggal. Roh-roh jahat memiliki tujuan agar manusia berperilaku jahat.
Sappington (1998) memperingatkan supaya kita tidak terpengaruh oleh ajaran-ajaran lain.
Pengajaran Alkitab tentang dunia roh-roh jahat sangat jelas, semua jahat, apapun bentuk dan
manifestasinya!
Iblis Merusak Manusia
Pekerjaan Iblis sangat beragam yang intinya merusak kehidupan manusia dan
manusia itu sendiri. Dalam konteks okultisme, kita sering mendengar kabar tentang
bagaimana orang menjadi sakit, menderita dan bahkan mati karena diserang roh jahat,
sekalipun tidak semua sakit berasal dari roh-roh jahat. Kita juga sering mendengar kabar
tentang kasus kerasukan setan bahkan ada banyak kasus kerasukan massal.
Menurut perspektif Kristen (Alkitab) manusia bisa diserang, dimasuki, dirasuki, dan
dikuasai oleh roh-roh jahat. Manusia itu ibarat rumah yang bila tidak dijaga maka biisa
didiami oleh kkuasa gelap. Dalam Injil dicatat perkataan Yesus demikian:
125
”Apabila roh jahat keluar dari manusia, ia pun mengembara ke tempat-tempat yang tandus mencari
perhentian. Tetapi ia tidak mendapatnya. Lalu ia berkata: Aku akan kembali ke rumah yang telah
kutinggalkan itu. Maka pergilah ia dan mendapati rumah itu kosong, bersir tersapu dan rapi teratur.
Lalu ia keluar dan mengajak tujuh roh lain yang lebih jahat dari padanya dan mereka masuk dan
berdiam di situ. Maka akhirnya keadaan orang itu lebih buruk daripada keadaannya semula.” (Mat
12:43-45).
Penjelasan itu memberikan beberapa poin penting, pertama, manusia itu seperti
sebuah rumah. Kedua, roh-roh jahat dapat masuk, tinggal, dan menguasai rumah itu. Roh-roh
jahat dapat diusir keluar dari rumah itu (Mrk 16:17; Yak 4:7). Ketiga, roh-roh jahat akan
masuk kembali dan merebut manusia itu kembali karena memang ingin menghancurkan
manusia (Yoh 10:10). Keempat, maka rumah itu jangan dibiarkan kosong, seharusnya diisi
dengan penghuni baru yaitu Roh Kudus. Bagaimana caranya?. Manusia harus memiliki
kepastian keselamatan Sorga, dalam Roma 10: 9, memberikan dua syarat, yaitu: 1) Mengaku
dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan (bukti Yesus adalah Tuhan: Yesus bisa
mengampuni dosa manusia dan bangkit dari kematian), jika Yesus hanya nabi, tentu tidak
bisa mengampuni dosa dan bangkit dari kematian. 2). Percaya dalam hati bahwa Yesus
bangkit. Efesus 1: 13-14 Ketika kita pecaya Injil keselamatan, Roh Kudus memeteraikan
keselamatan kita. Ada perubahan status dalam diri kita. Banyak sebutan dalam Alkitab,
antara lain: Kita menjadi rumah Allah, Bait Roh Kudus (1 Kor 6:19).
Bagaimana roh-roh jahat bisa masuk dalam diri manusia?
Dari pengalaman pelayanan pengusiran setan (pelayanan pelepasan), beberapa kasus
penyebab seseorang diganggu bahkan sampai dirasuk roh jahat. Pertama, bisa karena kutuk
garis keturunan. Seorang anak bisa terikat roh-roh jahat sejak lahir karena faktor orangtua
yang juga terikat kuasa gelap. Makanya ada penyakit turunan, kutuk turunan, kutuk
warisan, dan juga ilmu gaib warisan. Kedua, keterlibatan pada okultisme. Ketiga, sakitpenyakit yang menyebabkan pertahanan jasmani-rohani manusia lemah sehingga roh jahat
bisa menerobos masuk. Keempat, kelemahan jiwa (stress, depresi, ketakutan, marah, benci,
patah hati, dst) menyebabkan pertahanan rohani lemah dan roh jahatpun mendapat celah
atau mendapatkan pintu masuk. Kelima, serangan kuasa gelap (misalnya terkena sihir,
tenung, guna-guna, gendam). Keenam, diserang roh-roh jahat yang berkuasa atas wilayah
tertentu (misalnya ditempat-tempat pemujaan setan atau tempat angker, rumah angker, dll).
Ketujuh, dimasuki roh-roh jahat karena belajar ilmu gaib, ilmu kekebalan, dll. Kedelapan,
dikuasai roh-roh jahat karena sengaja menyembah Iblis (misalnya mengikuti ritual seks,
126
ritual sekte setan, dll). Kesembilan, dikuasai roh-roh jahat karena hidup dalam dosa
(perzinahan, terikat roh-roh najis, dst).
Jika kita perhatikan kasus keempat, kelima, dan ketujuh, dapat kita analisa bahwa
media digital yang satanis dapat menjadi saluran pekerjaan Iblis itu. Pada kasus keempat di
katakan bahwa roh jahat bisa merasuk manakala jiwa seseorang lemah. Pada saat seseorang
menonton situs okultis dalam kondisi jiwa yang lemah, minim kesadaran, maka roh jahat
akan dengan mudah menyerangnya.
Pada kasus kelima, gangguan roh jahat bisa terjadi karena ada serangan yang sengaja
dilakukan, misalnya oleh pelaku gendam. Dalam hal media digital sengaja, terencana,
sistematis, dan intensif menyerang para target. Contoh dengan mengirimkan sms: dngan
isinya, mendapatkan hadiah dari provider tertentu, padahal tidak, kemudian berlanjut
dengan menghubungi melalui HP (Smartphone/gadget), dari sinilah terjadi gendam sehingga
korban diarahkan untuk menstransfer sejumlah uang, setelah beberapa waktu kemudian
sadar, bahwa uangnya hilang dan korban mengalami kerugian akibat roh-roh jahat yang
bekerja melalui ilmu gendam.
Pada kasus ketujuh, sebagian orang tertarik dan diisi dengan kekuatan supranatural
(ilmu hitam), sekalipun hal tersebut bertentangan dengan ilmu agamanya. Pada kasus
kesembilan, sebagai contoh para wanita yang sengaja mengisi dirinya dengan ilmu-ilmu
pengasihan, tujuannya adalah menaklukan kaum Adam. Ada yang motivasinya cinta, ada
yang karena ingin menguras harta laki-laki. jika motivasinya adalah harta, biasanya korbnnya
adalah para suami yang sudah mapan dari segi finansial, dampaknya adalah menghancurkan
rumah tangga, menghancurkan keluarga. Media digital seperti facebook dan yang lainnya
bisa dipakai untuk mencari targetnya.
Dalam dunia okultisme, perzinahan rohani merupakan bagian dari praktik spiritual
dan ritual. Bahkan ada ritual ―sekubus‖ dan ―inkubus‖, yaitu – maaf – hubungan seks antara
mahluk manusia dan roh-roh jahat. Ritual semacam ini dilakukan secara masif dalam Sekte
Setan dan juga dalam okultisme tradisional.
Mengatasi Penyesatan
Tindakan Kristen jelas adalah melawan segala bentuk penyesatan yang
dilakukan Iblis. Mengenai siapa yang tersesat. Alkitab mencatat bahwa Yesus berkata: "Kamu
sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah!‖ (Mat 22:29).
127
Kata sesat dalam bahasa Yunani πλανα ω (planao ) kata ini memiliki arti : menyimpang
dari jalan yang benar, jauh dari kebenaran. Sedangkan kata ―mengerti‘ kitab Suci, kata yang
dipakai adalah δω / eido (mengerti sebagaimana Tuhan mengerti, mengerti seperti Tuhan.
Jadi ketika kita mencoba mengerti Kitab Suci, pengertian kita harus sama dengan
yang Tuhan maksudkan, dan itu hanya bisa terjadi jika didalam diri manusia memiliki Roh
Kudus, dan Roh Kuduslah yang membuat orang tersebut mengetahui Kitab Suci (Alkitab)
secara tepat dan benar seperti yang Tuhan maksudkan.
Kemudian kata ―kuasa‖ yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah ―dunamis‖ yang
berarti : kuasa mujizat, kemampuan untuk melakukan hal-hal yang supranatural. Jadi bukan
kata ―kuasa‖ (Exousia) yang berarti : wewenang, hak, otoritas, yang dipakai melainkan kata
―dunamis‖. Selain kita harus mengetahui (eido) Alkitab kita juga harus mengetahui δυ ναμις
―dunamis‖ (mujizat, kuasa supranatural) Allah. Banyak mujizat didalam Alkitab, antara lain:
mujizat kebangkitan orang mati yang pada masa itu orang Saduki tidak percaya akan
kebangkitan. Padahal Yesus dibangkitkan dari kematian (Matius 28:9-10; Lukas 24:34, 1
Korintus 15:5; Lukas 24:13-33; Yohanes 20:19-24, 26-29; Yohanes 21:1-14) dan orang percaya
juga akan mengalami kebangkitan dari kematian (1 Tes. 4:13-18).
Jadi dari ayat diatas, kita bisa sesat atau menyimpang dari jalan kebenaran, jauh dari
kebenaran apabila kita tidak mengetahui Alkitab seperti yang Tuhan maksudkan dan jika
kita tidak mengetahui kuasa mujizat Allah, kuasa supra natural Allah sama seperti yang
Tuhan ketahui/maksudkan.
Pendidikan Kristen
Penyesatan harus dilawan dengan pendidikan. Alkitab menekankan supaya para
orang tua (dan pendidik) melakukan ―pendampingan edukatif‖ kepada anak-anak secara
intensif. Kitab Ulangan 6:5-7, khususnya Ul. 6:7 memberi perintah ―haruslah engkau
mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau
duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila
engkau bangun‖.
Pola pendampingan edukatif yang diterapkan dalam berbagai kesempatan (waktu)
seperti itu cocok dengan persoalan digital generasi muda. Generasi milenial sejak lahir sudah
hidup bersama teknologi informasi. Mereka tidak bisa dilepaskan dari teknologi digital. Di
rumah, di sekolah, dalam perjalanan, saat bangun dan bahkan saat berbaring tidur pun
mereka berhubungan dengan gadget dan internet.
128
Sejak dini anak-anak perlu diberi pendidikan tentang spiritualitas. Untuk generasi
muda Kristen perlu diberi pelajaran tentang satanologi yang Alkitabiah. Pengajaran yang
bersifat praktis tentang melawan dan mengusir setan pun harus diberikan.
Pendidikan Kristen harus pula menanamkan pola pergaulan yang baik. Rasul Paulus
berbicara tentang pergaulan, I Korintus 15:33 Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan
kebiasaan yang baik. Selain tidak mengerti Alkitab dan kuasa Allah (Matius 22:29), sesat juga
bisa disebakan oleh karena pergaulan. Kata ―sesat‖ dalam bahasa Yunani: πλανα ω (planao )
arti menyimpang dari jalan yang benar, jauh dari kebenaran, kata yang sama yang dipakai
dalam Injil Matius 22: 29 dengan 1 Kor. 15: 33.
Internet pada dasarnya adalah bentuk ―pergaulan‖ umat manusia. Komunikasi antar
manusia dapat bersifat primer dan sekunder. Disebut primer jika bersifat tatap muka.
Disebut sekunder jika komunikasi dilakukan melalui media. Adapun sekarang teknologi
informasi yang canggih telah memungkinkan manusia bergaul intensif meskipun bersifat
komunikasi sekunder.
Peperangan Rohani dan Senjata Firman Tuhan
Menurut perspektif Kristen, Tuhan Yesus sudah mengalahkan Iblis melalui
kebangkitannya setelah mati karena Salib. Tetapi, sampai akhir jaman nanti Iblis belum
dihukum sehingga dunia ini masih berada di bawah pengaruh si jahat (1 Yoh 5:19). Karena itu
manusia akan berada dalam situasi dan kondisi ―peperangan rohani‖ melawan Iblis dan rohroh jahat itu. Manusia menjadi target untuk diserang dan dikuasai oleh roh-roh jahat.
Dunia maya adalah medan ―peperangan rohani‖ itu. Kita telah melihat bagaimana
kuasa gelap (roh-roh jahat) merajalela dan bahkan mencoba menghegemoni dunia digital.
Para individu dan kelompok pemuja setan memakai senjata berupa konten-konten digital
yang satanis yang sering dikombinasi dengan pornografi. Warganet, khususnya generasi
milenial menjadi sasaran.
Menurut perspektif Alkitab, Firman Tuhan adalah senjata rohani untuk melawan
Iblis. Dalam surat Efesus 6:17, Firmam Tuhan diibaratkan seperti ―pedang roh‘. Di dalam iman
Kristen, Firman Tuhan itu bukan sekedar tulisan dalam kitab suci. Firman Tuhan yang
ditulis di Alkitab adalah perkataan Tuhan sendiri yang diilhamkam (inspirasi) sehingga
dituliskan oleh para penulis Alkitab. Alkitab itu sendiri adalah Firman Tuhan yang tanpa
salah (inerrant). Firman Tuhan besar kuasanya.
Karena itu masyarakat Kristen perlu menebar Firman Tuhan itu, dikemas dalam
bentuk konten-konten positif yang disebarkan melalui media digital. Secara teknis hal itu
129
akan menambah jumlah konten positif di internet. Namun lebih dari itu, secara illahi, Firman
Tuhan yang disebarkan di dunia maya akan menebarkan kuasa untuk mengalahkan kuasa
Iblis dan roh-roh jahat.
DAFTAR PUSTAKA
___________. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta: LAI, 2004.
Enns, Paul. The Moody Handbook of Theology Jilid I. Malang: Literatur SAAT, 2004.
Jenson, Ron dan Jim Steven. Dinamika Pertumbuhan Gereja. Malang:
Gandum Mas, 2000.
Ryrie, Charles C. Teologi Dasar: Panduan Populer untuk Memahami Kebenaran
Allah I. Yogyakarta: Andi, 1991.
Ryrie, Charles C. Teologi Dasar: Panduan Populer untuk Memahami Kebenaran
Allah II. Yogyakarta: Andi, 1991.
Sappington, Thomas J. Hancurkan Kuasa Iblis dalam Diri Anda. Yogyakarta:
Andi dan OC International, 1998.