Enjoying your free trial? Only 9 days left! Upgrade Now
Brand-New
Dashboard lnterface
ln the Making
We are proud to announce that we are developing a fresh new dashboard interface to improve user experience.
We invite you to preview our new dashboard and have a try. Some features will become unavailable, but they will be added in the future.
Don't hesitate to try it out as it's easy to switch back to the interface you're used to.
No, try later
Go to new dashboard
Like
Share
Download
Create a Flipbook Now
Read more
No description
Home Explore 02 Literasi Digital dalam Perspektif Kristen
Publications:
Followers:
Follow
Publications
Read Text Version
More from perpustakaan smp
P:02

1

Literasi Digital

dalam Perspektif Kristen

P:03

2

Literasi Digital Dalam Perspektif Kristen

Tim Penyusun

Penulis

Kalis Stevanus

Arif Wicaksono

I Putu Ayub Darmawan

Daniel Ronda

Firman Panjaitan

Rannu Sanderan

Benyamin Senduk Sugeha

Fibry Jati Nugroho

Susana Prapunoto

Peniel C. D. Maiaweng

Ivan Thorstein Johannis Weismann

Semuel Pattipeilohy

Haryadi Baskoro

Philipus Setyanto

Penyunting

Kalis Stevanus

(Pusat Studi Seni dan Budaya STT Tawangmangu)

P:04

3

Kata Pengantar

Profesor Samuel Benyamin Hakh

Perkembangan teknologi komunikasi pada era digital ini, pada satu pihak memberikan

informasi-informasi yang sangat bermakna bagi peradaban manusia, khususnya di dalam

bidang ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sebab suatu penemuan baru yang

dipublikasikan oleh para pakar di bagian bumi yang lain, cepat tersebar melalui media

internet ke belahan lain dari bumi yang kita diami ini, sehingga bisa dengan cepat pula

menambah wawasan dan pengetahuan.

Namun di pihak lain, dengan adanya perkembangan teknologi komunikasi ini telah

membawa serta informasi-informasi negatif yang merusak akhlak dan karakter manusia.

Misalnya, seks bebas, pornografi, kekerasan, perjudian, dll. Informasi-informasi itu tidak

hanya disebarkan melalui tulisan-tulisan yang bisa dibaca, melainkan juga melalui gambargambar dan video yang bisa ditonton, tidak hanya oleh orang dewasa tetapi juga oleh orangorang muda bahkan oleh anak-anak.

Penyebaran informasi yang demikian tentu sangat berpengaruh bagi sikap dan karakter

seseorang, khususnya bagi orang-orang muda dan anak-anak sehingga mereka meniru apa

yang mereka lihat melalui media sosial yang mereka miliki. Pengaruh negatif itu tentu bisa

merusak masa depan generasi muda kita. Oleh sebab itu, peranan orang tua dalam

memberikan pendidikan karakter bagi generasi muda sangat penting untuk mempersiapkan

masa depan mereka dengan lebih baik.

Buku yang ada di tangan ibu bapa ini berisi tulisan-tulisan yang disoroti dari sudut

pandang iman Kristen dan bermanfaat sebagai buku pegangan dalam memberikan

pendidikan karakter bagi generasi muda kita. Buku ini ditulis dengan memakai bahasa yang

sederhana dan praktis sehingga bisa dengan cepat dicerna oleh para orang tua dalam

memberikan pendidikan karakter bagi anak-anak kita. Semoga bermanfaat.

P:05

4

P:06

5

Sebuah Catatan Pembuka

Buku ―Literasi Digital dalam Perspektif Kristen‖ ini lahir untuk mendukung Gerakan

Nasional Literasi Digital (GNLD) ―Siberkreasi‖, yakni berjuang melawan beragam bentuk

penyimpangan dan penyalahgunaan media digital (hoax, ujaran kebencian, cyber bullying, cyber

radicalism, cyber terrorism, pornografi, dan lain-lain).

Ketika Kemenkominfo RI menginisiasi GNLD ―Siberkreasi‖, maka Pusat Studi SeniBudaya STT Tawangmangu (PSSB-ST3) menyambut baik dan turut mendukung dalam

bentuk pertama melalui sebuah karya ―Batik Siberkreasi‖. Batik tersebut adalah karya cipta

Idha Jacinta, pengurus PSSB ST3 yang ―di-canting‖ pertama kali oleh Menkominfo RI

Rudiantara,MBA dalam event ―Batik to the Moon‖ di Yogyakarta (26 Oktober 2017). Kegiatan

tersebut juga bekerjasama dengan Gerakan Cinta Batik sebagai Mahakarya Indonesia

(GCBMI) Yogyakarta. Kedua, PSSB-ST3 menggelar pentas seni budaya ―Malam Budaya‖ di

Solo yang di dalamnya dideklarasikan dukungan untuk GNLD ―Siberkreasi‖ (28 Oktober

2017).

Melihat semakin terbukanya informasi lewat internet dan semakin meluasnya social

networking di internet, bagaimana orang kekristenan harus bersikap? Bagaimana menggunakan

dan mengoptimalkan internet untuk hal-hal positif? PSSB ST3 peduli akan masa depan anakanak dan bangsa ini, maka lahirlah buku literasi digital dalam perspektif Kristen ini. Buku ini

hasil kerja sama PSSB ST3 dengan Sekolah Tinggi Teologi di Indonesia dan lembaga Kristen

lainnya.

Atas kasih karunia Tuhan, telah di-pre-launching dalam event ―Simposium Nasional

Sejarah Gerakan Pentakosta‖ yang diadakan oleh gereja-gereja dalam lingkup PGPI di Hotel

Garden Palace Surabaya (11 September 2018). Buku ini kemudian di-launching bersama seri

buku-buku literasi digital lainnya di Kantor Kemenkominfo RI bersama Menkoninfo RI

Rudiantara pada 26 September 2018.

GNLD ―Siberkreasi‖ memiliki tiga tujuan utama. Pertama, mendorong masuknya

konten literasi digital dalam kurikulum pra-sekolah, SD, SMP, SMA, Universitas, dan

pelatihan-pelatihan formal Aparatur Sipil Negara (ASN). Buku ―Literasi Digital dalam

Perspektif Kristen‖ ini diharapkan menjadi salah satu bahan ajar (referensi) yang bisa dipakai

untuk pendidikan di sekolah-sekolah Kristen maupun di Sekolah Teologia.

P:07

6

Kedua, GNLD ―Sibekreasi‖ bertujuan mendorong penyebaran pengetahuan dan etika

digital secara masif dan luas dalam format populer dan menarik. Buku ini memberikan

perspektif etika dan moralitas Kristen tentang peradaban digital yang konstruktif.

Ketiga, GNLD ―Siberkreasi‖ bertujuan mendorong lahirnya Komunitas, Relawan, dan

Duta Konten Positif secara masif di setiap daerah. Buku ini membangkitkan para pemimpin,

rohaniawan, umat dan generasi muda Kristen menjadi duta-duta konten positif untuk

membangun peradaban digital yang aman, nyaman dan bertanggung jawab.

Dengan demikian buku ini merupakan representasi suara Kristen dalam rangka

berpartisipasi dan berkontribusi mendukung literasi digital di Indonesia. Kiranya buku ini

menjadi awalan untuk lahirnya buku-buku literasi digital Kristen berikutnya.

Tawangmangu, September 2018

Penyunting

Kalis Stevanus,M.Th

P:08

7

Daftar Isi

Menyikapi Perkembangan Teknologi Media Sosial (Peran Keluarga

Sebagai Pusat Pembentukan Karakter Anak)...................................................... 9

Mendidik Anak Di Era Digital ................................................................................. 17

Peran Guru Dalam Literasi Digital ......................................................................... 30

Peran Pemimpin Kristen Di Era Disrupsi Teknologi ……………………………………... 40

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kristen Dalam

Literasi Digital ……………………………………………………………………………. ........................... 47

Pesan Perdamaian Melalui Literasi Digital …….................................................... 60

Etika Masyarakat Kristiani Memasuki Lingkungan Digital ……………………….. 70

Literasi Digital : Sampai Di Mana ? (Fixed Mindset Or Growth Mindset) .. 76

Kesadaran Diri Pada Era Teknologi Digital ........................................................ 85

Penggunaan Teknologi Informasi Digital Oleh Mahasiswa

Perguruan Tinggi Teologi ……………………………………………………………………………………. 95

Langkah-Langkah Mengatasi Kecanduan Pornografi Internet Di

Kalangan Remaja ......................................................................................................... 103

Pendekatan Konseling Komunikasi Sebagai Upaya Pemulihan Terhadap

Pengaruh Buruk Di Era Digitalisasi ………………………………………………………………….. 110

Kota Cerdas Berbasis Kebudayaan: Refleksi Dan Aksi Gereja Kristen …….. 115

―Okultisme Siber‖ Dan Penyesatan Generasi ………………………………………………….. 123

P:09

8

P:10

9

MENYIKAPI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI MEDIA SOSIAL

(Peran Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan Karakter Anak)

Kalis Stevanus1

Tanamkan buah pikiran dan Anda akan menuai tindakan; tanamkan tindakan dan Anda akan menuai

kebiasaan; tanamkan kebiasaan dan Anda akan menuai karakter; tanamkan karakter dan Anda akan menuai

keuntungan. (Charles Reade)

Pendahuluan

Ada krisis yang nyata dan mengkuatirkan dalam masyarakat kita saat ini dan

melibatkan milik kita yang paling berharga, yaitu anak-anak kita. Semua orang sepakat kita

menghadapi persoalan; pemerintah, pemuka agama, pendidik, orangtua, dan masyarakat

umumnya, semuanya menyuarakan kekuatiran yang sama. Setiap hari berita-berita dari

media social berisi tragedy yang mengejutkan mengenai anak-anak kita membuat kita kuatir.

Kekuatiran terbesar orangtua adalah tindakan kekerasan, narkoba, pornografi, seks bebas,

dan itu sudah merupakan keadaan gawat yang perlu diatasi.

Krisis tersebut masih terus berlanjut dan kita bisa melihatnya karena masih ada anakanak yang menjadi korban. Ini terjadi karena kita melewatkan satu bagian yang sangat kritis:

sisi karakter dalam kehidupan anak-anak kita. Kekuatan karakterlah yang diperlukan anakanak untuk menjaga hidup mereka menghadapi perkembangan teknologi media social yang

sangat cepat ini. Berkarakter kuat inilah yang paling kita harapkan dari anak-anak kita.

Merosotnya karakter sangat mengkuatirkan kita semua. Mengapa karakter menjadi

persoalan sangat penting dalam hidup manusia? Willy Susilo mengatakan bahwa karakter

adalah suatu hal yang sangat penting bagi kemajuan manusia, secara individual maupun

suatu bangsa.2 Thomas Lickona seorang pakar Pendidikan Karakter dari Amerika Serikat

menyatakan bahwa ukuran kemajuan suatu negara bukanlah besarnya pendapatan nasional,

kemajuan teknologi, atau kekuatan militernya, melainkan karakter penduduknya.3

Benar yang dikatakan oleh David O. Dykes, bahwa krisis yang paling mengkuatirkan

dan signifikan yang dihadapi dalam negara dan keluarga saat ini bukanlah dalam bidang

1 Kalis Stevanus, M.Th adalah Wakil Ketua 1 bidang akademik STT Tawangmangu. Ia juga aktif sebagai Penulis

Buku Rohani dan Gembala Jemaat GJKI ―Gloria‖ Wangan, Ampel, Boyolali, Jateng.

2 Willy Susilo, Membangun Karakter Unggul (Yogyakarta: Andi, 2013), 22

3 Michele Borba, Membangun Kecerdasan Moral (Jakarta: Gramedia, 2008), x

P:11

10

ekonomi atau politik, melainkan krisis karakter, yaitu terjadinya kemerosotan nilai-nilai

moral dan rohani.4 Hal ini tidak dibantah oleh pemerintah Indonesia. Dalam pengantar

Naskah Akademik Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi, Dirjen Dikti mengatakan

bahwa ―kami menyadari saat ini bangsa Indonesia tengah menghadapi krisis

multidimensional, dan krisis tersebut diyakini bermula dan lemahnya karakter yang dimiliki

oleh masyarakat dan bangsa kita.5

Objek tulisan ini adalah ―Peran Keluarga Sebagai Pusat Pendidikan Karakter Anak‖

kelihatan sangat berlebihan, tetapi sebenarnya ini sangat rasional dan realistis. Keluarga

sehat, maka masyarakat pun sehat, dan tentunya itu juga berdampak positif bagi kehidupan

suatu bangsa.

Perkembangan Teknologi Media Sosial Dan Kemerosotan Karakter Anak

Perkembangan teknologi komunikasi atau media social memiliki dampak positif dan

negatif. Secara positif melalui perkembangan dan kemajuan media social kini orang dapat

dengan mudah berinteraksi dengan orang lain melintasi batas negara. Dengan kecanggihan

teknologi komunikasi atau media social telah memudahkan manusia untuk memenuhi

pelbagai kebutuhan. Tetapi di sisi lain, perkembangan media social memiliki andil besar

memengaruhi karakter anak.

Fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa karakter atau perilaku anak lebih banyak

dipengaruhi oleh apa yang diamati anak. Biasanya perilaku itu dipelajari dengan meniru apa

yang diamati, sehingga semakin banyak contoh yang dilihat, semakin besar kemungkinan

ditiru anak. Juga dalam pandangan Lickona yang dikutip Daniel Nuhamara, dikemukakan

bahwa ada beberapa factor tentang pentingnya perhatian pada Pendidikan Karakter, di

antaranya adalah semakin kuatnya pengaruh budaya media (media culture) sebagai pembentuk

nilai-nilai para orang muda. Dan juga persepsi publik tentang merosotnya karakter

masyarakat, termasuk kecenderungan orang-orang muda untuk melakukan tindakantindakan kriminal, kekerasan, ketidaksopanan, kecurangan/menyontek, materialisme,

penggunaan obat-obat terlarang, dan aktivitas seksual di luar nikah. 6

Dengan demikian, perkembangan teknologi komunikasi (media sosial) saat ini

merupakan tantangan yang tidak boleh dianggap remeh. Sebab hal itu bisa berdampak buruk

4 David O. Dykes, Character Out of Chaos (Jakarta: Metanoia, 2007), ix

5 Daniel Nuhamara, ―Pengutamaan Dimensi Karakter Dalam Pendidikan Agama Kristen‖, JURNAL JAFFRAY,

Vol. 16, No. 1, April 2018: 97

6 Daniel Nuhamara, ―Pengutamaan Dimensi Karakter Dalam Pendidikan Agama Kristen‖, Jurnal Jaffray, Vol. 16,

No. 1, April 2018: 96

P:12

11

bagi karakter anak. Masuknya budaya asing yang buruk merupakan salah satu penyebab

merosotnya karakter masyarakat Indonesia saat ini. Jika tidak segera ditanggulangi akan

merusak karakter generasi penerus bangsa Indonesia di masa depan.

Urgensi Pendidikan Karakter Bagi Anak

Tantangan semakin besar karena pengaruh buruk muncul dari berbagai sumber yang

mudah didapat anak-anak. Meski penyebab kemerosotan karakter sangatlah kompleks,

terdapat fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan media sosial seperti

internet, televisi, film, video, music, dan iklan memberikan pengaruh buruk bagi karakter

atau perilaku anak karena menyodorkan sinisme, kekerasan, pelecehan seksual, materialisme,

konsumsi narkoba, pornografi, seks bebas, dan begitu banyak situs-situs penghasut yang

mengajarkan kebencian, intoleransi, rasa tidak hormat, terorisme, ketidakadilan, dan

sebagainya. Tentu saja media social bukan satu-satunya yang memberi pengaruh buruk;

siapa pun atau apa pun yang berbenturan dengan karakter keluarga kita adalah ancaman,

termasuk di dalamnya teman sebaya dan orang dewasa. 7

Pendidikan Karakter merupakan proses panjang sebagai sebuah usaha untuk

mendidik anak agar memiliki pengetahuan, dapat merasakan dan mempraktekkan nilai-nilai

(values) kebajikan (vitues) dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memberikan dampak positif

kepada lingkungan sekitarnya.8 Untuk menghasilkan karakter baik memiliki tiga

unsur/komponen pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan

(desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Maka orang yang berkarakter

diartikan sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral (etis) yang

dimanifestasikan dalam tindakan konkrit melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung

jawab, menghormati orang lain, toleransi, dan karakter mulia lainnya.9

Karakter mulia tersebut perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Pendidikan

karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama membangun bangsa. A.

Setiono Mangoenprasodjo dan Sri Nur Hidayati menegaskan, bahwa orangtualah yang paling

berperan dalam mengembangkan karakter anak. Peran sekolah hanyalah 20%, karena

pembentukan karakter dimulai sejak anak masih kecil dan terus berproses hingga dewasa.

7 Michele Borba, 5

8 Ricca Vibriyanthy, Puji Yanti Fauziah, ―Implementasi Pendidikan Karakter Di Homeschooling Kak Seto

Yogyakarta‖ Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, Volume 1, Nomor 1, Maret 2014:79

9 Nani Mediatati, ―Implementasi Pendidikan Karakter Di SD Negeri Sidomulyo 04 Kecamatan Ungaran Timur

Kabupaten Semarang‖ Jurnal Satya Widya FKIP-UKSW Vol. 30, No.2. Desember 2014: 104

P:13

12

Sekolah hanya penyeimbang, walaupun tidak mengabaikan pembentukan karakter anak

melalui peran sekolah.10

Oleh sebab itu, pendidikan karakter suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dari peran

keluarga. Keluarga merupakan fondasi atau pembentuk suatu masyarakat. Keluarga menjadi

struktur yang amat penting dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkaan oleh Dick Iverson

bahwa keluarga adalah unit dasar seluruh masyarakat. Keluarga adalah batu penjuru, atas

mana segala sesuatu dibangun. Sekali masyarakat membiarkan keluarga berantakan, maka

masyarakat itu sendiri akan ikut runtuh.11

Lagi dikatakan oleh Amaliyah Ulfah, bahwa karakter yang kuat sangat penting untuk

membangun peradaban bangsa. Oleh karena itu karakter perlu dibentuk dan sebaiknya

dilakukan sedini mungkin atau sejak masa kanak-kanak di keluarga. Kegagalan penanaman

kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa

dewasanya.12 Sehingga dalam hal ini peran keluarga sangat diperlukan dalam membentuk

karakter anak sebagai generasi penerus bangsa.

Bila keluarga adalah vital bagi kekuatan sekaligus kesuksesan suatu masyarakat,

maka Pendidikan Karakter di institusi pendidikan formal tetap membutuhkan kerjasama

dengan institusi keluarga (orangtua naradidik) demi terciptanya anak yang bermoral tinggi

dan lebih-lebih bagi sukses bangsa itu sendiri. Peran keluarga sebagai agen Pendidikan

Karakter dan tempat sosialisasi (persemaian) nilai-nilai kebajikan (virtues) yang sangat

penting bersama satuan pendidikan formal. Karena itu, tulisan ini ingin memberi tekanan

pada peran keluarga sebagai pusat Pendidikan Karakter yang sangat penting guna

membentuk masa depan anak dalam menghadapi era internet yang semakin terbuka ini agar

tidak hanya berpikir dengan benar, tetapi juga bertindak yang benar.

Membangun karakter anak merupakan tanggung jawab orangtua yang terbesar. Ini

akan memengaruhi setiap aspek kehidupan mereka saat ini dan juga kelak mendidik anakanak mereka sendiri. Semakin dini orangtua membangun karakter anak, semakin besar

kesempatannya membangun dasar-dasar yang dibutuhkan bagi pembentukan karakter yang

kuat, sehingga anak dapat menangkis pengaruh buruk dari luar.

Landasan karakter yang orangtua berikan kepada anak-anak sekarang ini akan

membangun reputasi mereka sebagai manusia di masa mendatang, membangun fondasi

10 Ibid., 136-137

11 Dick Iverson, dkk., Memulihkan Keluarga (Jakarta: Harvest Publication House, 1991), 1

12 Amaliyah Ulfah, ―Pengembangan Subject Specific Pedagogy (SSP) Tematik Berbasis Local Wisdom Untuk

Membangun Karakter Hormat dan Kepedulian Siswa SD‖, Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.8, No. 1,

Januari 2018:17

P:14

13

tersebut merupakan tugas terpenting dan paling menantang bagi para orangtua. Orangtua

tidak boleh menyia-nyiakan waktu karena karakter anak-anak kitalah sebagai taruhannya.

Penundaan membangun karakter anak hanya akan membuat anak semakin berkesempatan

memelajari kebiasaan negative yang merusak. Hal ini akan mengganggu perkembangan

karakter, sehingga mereka semakin sulit untuk berubah. Apakah Anda sebagai orangtua siap

menghadapi tantangan? Kiranya tulisan ini dapat menjadi bahan pemikiran kita bersama.

Menyikapi Perkembangan Teknologi Media Sosial Terhadap Karakter Anak

Di era internet yang semakin terbuka sekarang ini, semakin banyak manusia tidak

menyadari bahwa institusi keluarga adalah institusi tertua yang dibangun oleh Allah sendiri

sejak dunia dijadikan. Keluarga terus memainkan peran kunci dalam membentuk

kepribadian seorang anak sebagai generasi penerus masyarakat dan juga bangsa. Keluarga

sampai kapan pun tetap menjadi pusat atau sentral di mana nilai-nilai dan pola kehidupan

seseorang terbentuk (Ul 6:4-9). Keluarga adalah tempat seseorang belajar, dengan cara yang

paling praktis dan konkrit. Keluarga adalah tempat yang paling baik untuk pendidikan.

Tidak ada tempat pendidikan yang lain, baik yang didirikan oleh pemerintah atau institusi

lain, yang dapat menggantikan keluarga. Pendidikan di sekolah hanya membantu atau

menambah apa yang kurang, yang dilakukan oleh orangtua, tetapi bukan untuk

menggantikannya. Pendidikan di luar rumah hanyalah ―pelengkap‖ pendidikan yang telah

didasarkan di keluarga.13

1. Jangan mengekang pergaulan anak Anda

Setiap anak membutuhkan pergaulan sebagai kebutuhan untuk mengembangkan

sosialnya. Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan sifat sebagai makhluk individu

sekaligus makhluk sosial? Itulah sebabnya, manusia mempunyai naluri untuk hidup

berkumpul dengan orang lain.

Sosial anak terus berkembang sesuai perkembangan usianya. Waktu masa kanakkanak, pergaulannya hanya terbatas di lingkungan keluarga saja, kemudian berkembang

mulai dari lingkungan keluarga, tetangga dan juga teman-teman sebaya baik di

masyarakat, maupun di sekolah.

Sikap orangtua dalam perkembangan sosial anak adalah tidak mengekang pergaulan

anaknya. Akan tetapi orangtua bisa mengajarkan pedoman dan penjelasan tentang

pentingnya pergaulan dan pengaruh buruk dari luar atas dasar Firman Tuhan.

13 Kalis Stevanus, Mendidik Anak (Yogyakarta: Lumela, 2018), 2

P:15

14

2. Berikan pedoman pergaulan

Pengaruh pergaulan baik secara nyata maupun di dunia maya tidak boleh dianggap

remeh oleh orangtua: ,‖Janganlah kamu sesat: pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang

baik‖ (1 Kor 15:33). Di sinilah betapa pentingnya orangtua mengajarkan Firman Tuhan

sebagai pedoman hidup bagi anak sehingga anak bisa berpikir yang benar dan akhirnya

bertindak yang benar. Anak dapat mengambil keputusan tentang apa yang baik dan yang

buruk bagi dirinya sendiri sesuai pedoman yang telah diajarkan kepada mereka.

Orangtua tidak bisa mengawasi anak-anaknya selama 24 jam sehari. Untuk itu,

orangtua harus mengajarkan pedoman tentang apa yang benar dan yang buruk untuk

dapat membimbing dan mengarahkan sikap serta perilaku anak.

Saya percaya tidak ada perlindungan yang benar-benar mampu menjagai anak-anak

kita selain menanamkan nilai-nilai iman kepada mereka. Nilai-nilai iman yang

ditanamkan sejak dini oleh orangtua menjadi kontrol diri (self control) kuat yang

diperlukan untuk melawan tekanan buruk dan membekali anak kemampuan bertindak

benar tanpa bantuan orangtua. Itulah penguasaan diri. Penguasaan diri atau kontrol diri

(self control) adalah mengendalikan pikiran dan tindakan agar dapat menahan dorongan

dari dalam maupun dari luar sehingga dapat bertindak dengan benar.14 Michele Borba

menyebut kontrol diri sebagai mekanisme internal yang sangat berpengaruh, yang

mengarahkan sikap moral anak, sehingga pilihan yang mereka ambil tidak hanya aman,

tetapi juga bijak.15 Jadi, penguasaan diri merupakan sikap yang sangat penting bagi anak

untuk dapat mengontrol dorongan, keinginan atau godaan agar berpikir sebelum

bertindak.

Penutup

Tidak diragukan lagi, sekarang ini merupakan masa yang mengkuatirkan untuk

membesarkan anak. Dengan semakin terbukanya informasi lewat internet dan semakin

luasnya social networking di internet, anak-anak jelas semakin mudah terpapar pada tindakan

yang tidak benar. Internet, alat menjelajah pengetahuan yang sangat luar biasa itu,

mempunyai sisi buruk dan berbahaya yang meracuni moral anak. Hal-hal buruk di dunia

internet sangat mengejutkan. Tidak sedikit orangtua zaman now yang mengeluh anaknya

mudah tergoda bujukan teman untuk melakukan tindakan moral yang keliru.

14 Ibid., 9

15 Ibid., 97

P:16

15

Bagaimana caranya mengasuh anak-anak dalam era internet yang semakin terbuka

ini? Psikiater Frank Pittman yang dikutip Michele Borba mengatakan bahwa kestabilan

hidup kita bergantung pada karakter. Di dunia yang tidak sempurna ini, karakterlah yang

membuat seseorang tahan dan tabah menghadapi cobaan.

Bagaimana cara menumbuhkan karakter yang baik di dalam diri anak-anak? Kita

harus memulainya dari keluarga. Keluarga merupakan sekolah pertama yang mengajarkan

nilai-nilai iman atau norma-norma agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menanamkan

nilai-nilai iman atau norma-norma agama sejak dini akan menghasilkan karakter kuat pada

anak. Karakter menjadi kontrol diri (self control) membentengi anak dari pengaruh buruk dan

membuatnya mampu bertindak benar meski tergoda untuk melakukan hal yang sebaliknya.

Kontrol diri (self control) membantu anak menahan dorongan dari dalam dirinya dan berpikir

sebelum bertindak, sehingga ia melakukan hal yang benar, dan kecil kemungkinan

mengambil tindakan yang akan menimbulkan akibat buruk.

Dengan demikian, karakter yang kuat merupakan hal penting bagi perlindungan anak

karena memberi kekuatan bagi anak untuk menangkis hal buruk dari dalam maupun dari

luar, sehingga mereka dapat bertindak dengan benar sepanjang hidupnya.

Kepustkaan

Borba, Michele. Membangun Kecerdasan Moral. Jakarta: Gramedia, 2008

Dykes, David O. Character Out of Chaos. Jakarta: Metanoia, 2007

Fatmawati, Laila Rani, dkk. ―Pengembangan Modul Pendidikan Multikultural Berbasis

Karakter Cinta Tanah Air dan Nasionalis pada Pembelajaran Tematik‖ Scholaria: Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 8 No. 1, Januari 2018

Fauziah, Puji Yanti., Ricca Vibriyanthy. ―Implementasi Pendidikan Karakter Di

Homeschooling Kak Seto Yogyakarta‖ Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat,

Volume 1, Nomor 1, Maret 2014:79

Iverson, Dick. dkk., Memulihkan Keluarga. Jakarta: Harvest Publication House, 1991

Mangoenprasodjo A. Setiono dan Hidayati, Sri Nur. Anak Masa Depan dengan Multi Intelegensi

Yogyakarta: Pradipta Publishing, 2005

Nuhamara, Daniel. ―Pengutamaan Dimensi Karakter Dalam Pendidikan Agama Kristen‖,

Jurnal Jaffray, Vol. 16, No. 1, April 2018

Susilo, Willy. Membangun Karakter Unggul. Yogyakarta: Andi, 2013

Stevanus, Kalis. Mendidik Anak. Yogyakarta: Lumela, 2018

P:17

16

Stevanus, Kalis. Menjadi Orangtua Bijak : Solusi Mendidik Dan Melindungi Anak Dari Pengaruh

Pergaulan Buruk. Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 2016

Ulfah, Amaliyah .―Pengembangan Subject Specific Pedagogy (SSP) Tematik Berbasis Local

Wisdom Untuk Membangun Karakter Hormat dan Kepedulian Siswa SD‖, Scholaria:

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol.8, No. 1, Januari 2018

P:18

17

MENDIDIK ANAK DI ERA DIGITAL

Arif Wicaksono16

Pendahuluan

Anak merupakan investasi masa depan bagi semua orang tua. Karena itu, setiap fase

dalam proses perkembangan anak menjadi persoalan penting untuk senantiasa diperhatikan.

Upaya memproteksi anak dari berbagai dampak negatif lingkungan sekitar harus

diseimbangkan dengan strategi pendidikan anak yang tetap memberikan kesempatan seluasluasnya kepada mereka agar mampu mengeksplorasi, bereksperimen, serta mengenal dunia

mereka lebih jauh. Demikian pula ketika anak mulai beranjak remaja, kebutuhan mereka

untuk bersosialisasi guna mengenal komunitas luar tetap membutuhkan pantauan dan

kewaspadaan dari orang tua.

Jika melihat perkembangan remaja pada saat ini, maka permasalahan kenakalan

remaja adalah hal yang paling merepotkan yang hari-hari ini sedang terjadi. Beberapa

kecenderungan perilaku kenakalan anak-anak remaja zaman sekarang, telah membuat orang

tua dan guru sangat kewalahan. Seperti halnya: tawuran, narkoba, sex bebas, kecanduan

games online, dan masih banyak lainnya adalah persoalan yang serius yang harus ditangani

dengan baik.

Menurut survey tingkat kenakalan remaja saat ini terus meningkat hampir menyamai

tingkat kejahatan orang dewasa.17 Tindak kejahatan yang dulu hanya dilakukan orang

dewasa saat ini dapat ditemukan di usia remaja dan anak-anak. Misalnya; seperti anak SD

yang melakukan pembunuhan terhadap teman sekelasnya, pelecehan seksual yang dilakukan

oleh anak sekolah, tawuran. Masalah-masalah seperti itu merupakan tindakan-tindakan yang

sangat mudah dijumpai pada zaman ini.18 Semakin lama, semakin muda saja usia anak yang

menjadi pelaku kejahatan, dan harus berurusan dengan pihak kepolisian.

Para pakar beranggapan bahwa penyebab merebaknya tindak kekerasan anak di

pengaruhi oleh banyak faktor. Hal itu dapat dipengaruhi oleh keadaan keluarga yang tidak

harmonis, lingkungan bermain yang buruk, masyarakat yang kompetitif, dan pengaruh media

digital yang di miliki oleh anak. Cukup mengagetkan bahwa kenyataannya tindak kekerasan

16 Arif Wicaksono, M.Th adalah Kaprodi Teologi di STT Tawangmangu.

17 http://nasional.sindonews.com/read/878681/18/ancaman-media-sosial-terhadap-perkembangan-anak1404197732

18 Koran ―Kompas‖, Anak SD Melakukan Pembunuhan Berencana Terhadap Temannya, edisi 25 juni 2015

P:19

18

anak sebagian besar dipengaruhi oleh media digital yang mereka miliki. yang dapat mereka

nikmati dari gadget, telepon genggam, laptop computer tablet, dll.

Perkembangan perangkat digital memang banyak menolong umat manusia dalam

melakukan pekerjaannya. Namun demikian tanpa disadari kehadiran perangkat digital pada

masa ini telah menjadi candu bagi generasi yang ada. Perangkat digital menciptakan

ketergantungan yang cukup parah yang tidak kalah berbahaya dengan mereka yang

kecanduan narkoba. Ketergantungan yang diciptakan perangkat digital belum biasa

dipisahkan dari anak-anak yang sedang berkembang dalam pola disiplin dan control diri.

Yang perlu untuk di kuawatirkan orang tua saat ini adalah bahwa kecanduan perangkat

digital akan mengakibatkan kerusakan mental dalam diri anak. Mereka lebih cepat tumbuh

besar dalam pengetahuan dibandingkan anak-anak zaman dahulu, tetapi jiwa mereka

berkembang dengan lambat.

Para orang tua anak menyambut baik perkembangan perangkat digital seperti, TV,

Komputer, Ponsel cerdas, dan computer tablet. Beberapa orng tua beranggapan bahwa

peralatan tersebut dianggap dapat membantu mengasuh anak dalam berbagai situasi.

Misalnya dapat menjadi alat bantu belajar yang canggih, hingga menjadi mainan bagi anakanak mereka. Namun sekarang seiring berjalannya waktu banyak orang tua mengalami

kewalahan menghadapi dampak yang diberikan perangkat digital terhadap anak-anak

mereka. Kenyataannya harapan penggunaan perangkat digital yang ditujukan untuk

kebaikan anak-anak berbalik menjadi perangkat digital yang mengendalikan aspek

perkembangan karakter anak-anak.

Di tengah persoalan yang sedang dihadapi generasi anak remaja saat ini, para orang

tua Kristen memiliki tanggung jawab besar untuk menghadapi tantangan ini. para orang tua

Kristen harus mengambil tidakan untuk menyelamatkan generasi dari dampak buruk

perangkat digital. Bukan berarti para orang tua Kristen harus melarang dalam penggunaan

teknologi perangkat digital, namun gereja harus memperingatkan dan mengarahkan

penggunaan perangkat digital secara baik dan bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.

Pengaruh Dunia Digital Terhadap Perkembangan Karakter Anak

Tidak dipungkiri bahwa perkembangan dunia digital membawa dampak positif

terhadap perubahan di zaman post modern sekarang ini. Bahkan dunia digital telah banyak

memberikan peranan yang besar bagi kemajuan pendidikan, industry, militer dan masih

banyak bidang-bidang lainnya. Dunia digital sangat membantu manusia untuk membangun

peradabannya.

P:20

19

Namun demikian setiap perubahan akan selalu membawa dampak ganda, yaitu

dampak positif maupun negatif. Begitu pula dengan perkembangan teknologi digital saat ini.

Teknologi digital dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi umat manusia. Dampak

positif teknologi digital tentunya didapatkan, jika teknologi itu digunakan secara benar,

namun jika disalah gunakan maka akan berakibat negatif.

Adapun beberapa dampak negatif dari teknologi digital yang dapat di temukan

diantaranya adalah sebagai berikut:

Anak-Anak Menjadi Matang Semu

Di era dunia yang serba canggih sekarang ini, perkembangan dunia digital membuat

anak-anak masa kini rentan menjadi 'matang semu'. Matang semu adalah sindrom yang

ditandai secara fisik atau penampilan luar, mungkin anak-anak sekarang terlihat lebih rapi

dan cerdas, namun, secara kejiwaan mentalnya belum berkembang.

Yee-Jin Shin juga menjelaskan bahwa anak-anak yang sehari-hari akrab dengan

gadget cenderung kurang bisa memahami perasaan orang lain dan bahkan perasaannya

sendiri.19 Hal ini terjadi karena anak merasa lebih nyaman saat berada di dunia khayalan,

yaitu pada waktu mereka bermain game online, hp, gadget, smartphone dan beberapa

perangkat digital lainnya, dibanding berada di dunia nyata. Mereka dapat menghabiskan

berjam-jam di depan teknologi digital mereka tanpa memperdulikan dunia sekitarnya.

Hal ini terjadi khususnya dalam penggunaan aplikasi media sosial. Anak-anak remaja

yang sering menghabiskan waktu mereka untuk menggunakan media sosial, cenderung

kesulitan bersosialisasi dengan lingkungan mereka yang sebenarnya. Saat di dunia nyata, ia

akan mudah melawan nasihat dari orang tua dan gurunya karena ia lebih memikirkan

kepentingannya sendiri. Yee Jin Shin mengatakan dalam bukunya mendidik anak di era

digital:

"Saya mengistilahkan kasus semacam ini dengan sebutan 'matang semu'. Memang

tumbuh kembang anak secara fisik baik, tetapi jiwanya tidak berkembang sebaik

perkembangan badannya. Mau tidak mau saya menggunakan istilah itu karena anakanak zaman sekarang cenderung impulsif, tidak tahu sopan santun, dan tidak

memiliki rasa bersalah." 20

Banyak orang tua yang tertipu dengan matang semu yang sedang dialami anak-anak

mereka. Sering kali orang tua bangga dan menganggap anaknya jauh lebih matang dari pada

anak-anak zaman dulu. Hal ini terjadi hanya karena anak-anak mereka tahu lebih banyak

19 Yee-Jin Shin, Mendidik Anak Di Era Digital, (Bandung: Noura Books, 2014), 48.

20 Ibid,.

P:21

20

informasi dan tumbuh lebih besar, namun orang tua tidak menyadari bahwa pada

kenyataannya emosi dari anak-anak mereka tidak mengalami pertumbuhan yang berarti.

Anak yang mengalami matang semu memang terlihat cerdas tetapi memiliki sifat liar,

tidak terkendali dan egois. Di samping itu, sebenarnya anak-anak ini berada dalam kondisi

yang tidak seimbang, dengan kata lain mereka mengalami tumbuh kembang yang baik secara

fisik, tetapi mentalnya tidak berkembang. Perkembangan anak yang tidak seimbang ini akan

membuat jiwa anak menjadi hampa. Kehampaan itu akan membuat ―matang semu‖ dalam diri

anak semakin menjadi-jadi. Dalam kasus seperti ini anak akan menjadi keras kepala dan

cenderung melawan nasihat orang-orang terdekatnya. Tidak hanya itu, mereka juga akan

mulai melakukan perlawanan terhadap orang-orang di sekitar mereka.

Di masa ini jika anak tidak bisa mengembangkan kemampuan bersosialisasinya

dengan baik, ia akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri sebagai anggota

masyarakat ketika dewasa. Jika mereka mengalami persaingan yang ketat dalam sekolah,

gesekan dengan teman sekelas atau persoalan dengan gurunya, maka permasalahanpermasalahan ini akan menumbuhkan rasa tidak percaya terhadap orang-orang disekitarnya.

Menghadapi konflik-konflik dengan orang disekeliling mereka , barulah anak yang ―matang

semu‖ menyadari dan merasakan kecemasan yang mendalam. Kecemasan ini akan

menimbulkan ketidakpercayaan terhadap orang lain. Kemudian ketidakpercayaannya akan

berkembang menjadi menutup diri terhadap lingkungan. Pada akhirnya mereka tidak pernah

mengalami pertumbuhan kepribadian secara matang. Sekalipun usia mereka terus bertambah

tetapi kondisi emosi mereka tidak menunjukan kedewasaan secara matang.

Anak-anak perlu lingkungan yang nyata untuk mengembangkan kepribadian anak.

Mereka memerlukan teman bermain, komunitas, dan konflik-konflik dalam pergaulan agar

mereka bertumbuh secara emosi dan mental. Inilah masalah sesungguhnya dari anak matang

semu. Anak-anak yang mengalami kecanduan perangkat digital cenderung tertutup terhadap

lingkungan, sehingga hal itu menyebabkan ketidakseimbangan perkembangan emosi pada

anak.

Merusak Otak Anak

Saat menggunakan perangkat digital, anak terpapar stimulus yang kuat pada indra

penglihatan dan pendengarannya. Sinar dan warna tersaji terus menerus. Selagi stimulus itu

terus berlanjut, situasinya berganti secara cepat. Setiap kali ada tampilan baru, setiap kali itu

pula anak tidak bisa mengalihkan perhatiannya.

P:22

21

Namun, jika anak sering terpapar stimulus lain, anak tidak akan memberikan

perhatian pada permainan-permainan yang tidak bisa memberikan stimulus yang sama

kuatnya. Tanpa sadar, otak anak telah menjadi popcorn brain21. Popcorn Brain adalah kondisi otak

yang meletup-letup dikarenakan penggunaan dari perangkat digital. Perangkat-perangkat

digital itu antara lain adalah televisi, computer, ponsel cerdas, dan computer tablet.

Otak yang dalam keadaan meletup-letup, atau popcorn brain, akan membuat anak selalu

mencari hal-hal yang semakin lama semakin brutal, impulsive, cepat dan menarik. Pada anak

yang terlajur terpapar stimulasi yang sangat kuat, ia akan berespons datar bila diajak bermain

di alam terbuka.22 Anak akan mudah merasa bosan, dan mereka juga akan cenderung

bersikap apatis dalam kegiatan-kegiatan di sekelilignya. Mereka lebih senang duduk-duduk

dengan menggunakan gadget mereka dibanding harus mengerjakan aktifitas bersama-sama.

Menurut seorang professor dari Tokyo's Nihon University, Akio Mori yang

melakukan riset didasarkan pada analisis EEG terhadap 240 orang, berusia antara 6 sampai

dengan 29 tahun mengenai dampak game online pada aktifitas otak. Akio Mori mendapat

dua kesimpulan. Pertama, kebiasaan bermain game online akan berakibat pada penurunan

aktivitas gelombang otak depan yang memiliki peranan sangat penting, dengan pengendalian

emosi dan agresivitas sehingga mereka cepat mengalami perubahan mood, seperti mudah

marah, mengalami masalah dalam hubungan sosial, tidak konsentrasi dan lain sebagainya.

Kedua, kebiasaan bermain game online akan mengakibatkan penurunan aktifitas gelombang

beta merupakan efek jangka panjang yang tetap berlangsung meskipun gamer tidak sedang

bermain game. Dengan kata lain para gamer mengalami "autonomic nerves" yaitu tubuh

mengalami pengelabuan kondisi dimana sekresi adrenalin meningkat, sehingga denyut

jantung, tekanan darah, dan kebutuhan oksigen terpacu untuk meningkat.23 Bila tubuh dalam

keadaan seperti ini maka yang terjadi pada gamer adalah otak mereka merespon bahaya

sesungguhnya. Kedua dampak yang muncul tersebut sudah pasti akan menghambat proses

belajar anak. Hal itu otomatis akan menurunkan prestasi belajarnya.24 Karena dengan adanya

penurunan-penurunan gelombang pada tubuh tersebut menyebabkan gangguan dalam

21 Popcorn Brain adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan kondisi otak anak yang terbiasa

dengan layar perangkat digital yang senantiasa merespons stimulus kuat hingga otak seperti meletup-letup. Hal

ini disampaikan pertama kali oleh saluran berita CNN. CNN, Does life online give you 'popcorn brain'?, USA: June 23,

2011

22 Yee-Jin Shin, Mendidik Anak Di Era Digital, (Bandung: Noura Books, 2014), 113.

23 Video game “brain damage” claim criticized, https://www.newscientist.com/article/dn2538-video-gamebrain-damage-claim-criticised/ diakses 20 Oktober 2015

24 Arniwati dan Budyarto, Dampak Teknologi Terhadap Kehidupan Rohani Anak dan Remaja(Malang: Gandum

Mas, 2012), 50.

P:23

22

jangka yang pendek maupun panjang, tidak hanya dari segi psikologinya tetapi juga dari

kesehatannya.

Masalah serius dari kebiasaan penggunaan perangkat digital bagi anak remaja adalah

kemampuan anak mengendalikan emosi menjadi lemah. Jika anak remaja yang mengalami

popcorn brain tidak diberikan stimulasi yang kuat, maka anak akan segera merasa jenuh dan

menjadi kesal. Karakteristik anak yang seperti ini akan menjadi dasar buruk bagi kreatifitas

anak. Semakin sering terpapar perangkat digital, semakin besar kemungkinan anak

mengalami kesulitan dalam perkembangan emosi, daya konsentrasi, dan daya pikirnya

melemah.

Munculnya Anak-Anak Digital25

Anak-anak digital adalah penggambaran anak-anak yang telah mengalami kecanduan

akan perangkat digital, dan mereka bertumbuh dan berkembang dengan diasuh oleh

perangkat digital, bukan karena pengasuhan yang dilakukan orang tua mereka. Di sini orang

tua hendaknya melakukan intropeksi diri berkenaan dengan penggunaan perangkat digital.

Beberapa Orang tua beranggapan peralatan digital dianggap dapat membantu mengasuh

anak dalam berbagai situasi. Misalnya dapat menjadi alat bantu belajar yang canggih hingga

menjadi mainan bagi anak-anak mereka.

Namun pengasuhan terhadap anak tidak dapat digantikan dengan memberikan

perangkat digital kepada anak. Pengasuhan adalah mutlak tanggung jawab orang tua. Anak

membutuhan kehadiran orang tuanya untuk mendampingi mereka bertumbuh secara

pengetahuan dan karakter. Kehadiran orang tua sangat baik untuk membuat anak

bertumbuh secara seimbang. Sedangkan kehadiran perangkat digital hanyalah memacu

perkembangan yang semu.

Perlu dipahami bahwa penggunaan perangkat digital berpotensi membuat anak cepat

puas dengan pengetahuan yang diperolehnya sehingga menganggap bahwa apa yang

dibacanya di internet adalah pengetahuan yang terlengkap dan final. Seringkali anak-anak

digital beranggapan bahwa peran guru dalam memberikan pelajaran dapat mereka gantikan

dengan hadirnya perangkat digital. Pada faktanya ada begitu banyak hal yang mesti digali

lewat proses pembelajaran tradisional dan internet tidak bisa menggantikan kedalaman

25 Anak-anak digital adalah penggambaran anak-anak yang telah mengalami kecanduan akan

perangkat digital, dan mereka bertumbuh dan berkembang dengan diasuh oleh perangkat digital, bukan karena

pengasuhan yang dilakukan orang tua mereka

P:24

23

suatu pengetahuan. Kalau tidak dicermati, maka akan ada kecenderungan bagi generasi

mendatang untuk menjadi generasi yang cepat puas dan cenderung berpikir dangkal.

Di samping itu kemajuan teknologi perangkat digital membawa banyak kemudahan,

maka generasi mendatang berpotensi untuk menjadi generasi yang tidak tahan dengan

kesulitan. Dengan kemudahan untuk mendapatkan informasi dari perangkat digital, hal itu

membangun asumsi dalam diri anak adalah bahwa hidup ini seharusnya mudah. Pada

akhirnya anak berupaya untuk menghindari kesukaran. Anak memiliki kecenderungana

untuk mencari jalan pintas. Akhirnya anak-anak digital mengalami kesulitan untuk diajak

berfikir dengan keras. Hal ini terjadi karena mereka terbiasa dengan mendapatkan informasi

secara mudah, dan tidak terlatih untuk berfikir secara baik dalam menemukan informasi.

Itulah ciri pertama dari anak-anak digital mereka memiliki kecenderungan untuk malah

berfikir dan lebih menyukai memilih menggunakan perangkat digital untuk mendapatkan

informasi yang mereka butuhkan.

Karena perangkat digital memiliki kelebihan memberikan informasi-informasi secara

cepat hal tanpa disadari anak pun dikondisikan untuk tidak tahan dengan kelambanan dan

keajegan. Anak-anak digital makin hari makin lemah dalam hal kesabaran serta konsentrasi

dan cepat menuntut orang untuk memberi yang diinginkannya dengan segera. Hal ini perlu

mendapat perhatian orang tua. Orang tua sangat perlu mengajarkan kepada anak mereka

untuk mengembangkan toleransi yang besar terhadap perbedaan, bahwa tidak semua hal

harus berjalan secepat yang diinginkannya.

Kemajuan teknologi juga berpotensi mendorong anak untuk menjalin relasi secara

buruk. Waktu untuk bercengkerama secara langsung berkurang karena sekarang beberapa

anak lebih menikmati kesendiriannya dengan ponsel pintar, gadget, atau televisi di banding

harus berkomunikasi dengan orang-orang disekelilingnya. Bahkan area permainan yang

zaman dahulu lebih enak dilakukan bersama-sama saat ini lebih bersifat individual sehingga

makin memperkecil jalinan relasi.

Kiat Melindungi Anak Dari Pengaruh Negatif Dunia Digital

Setiap anak yang diberikan Allah kepada orang tua, selalu sudah ada kecenderungan,

yaitu ciri khas yang telah terbentuk sejak mereka lahir. Menurut Swindoll kecenderungan

yang dimiliki seorang anak telah terbentuk sebelum anak diserahkan ke dalam pemeliharaan

orang tua. Menurut kenyataan, seorang anak memang tidak sama dengan tanah liat yang

P:25

24

dapat dimainkan.26

Anak-anak lahir dengan kecenderungan sifat yang telah ada di dalam diri

mereka sendiri.27 Tuhan menaruh sifat-sifat yang unik dalam diri setiap orang yang berbeda

antara satu orang dengan lainnya.

Kahlil Gibran, mengatakan dalam tulisannya orang tua adalah sekadar gendewa (busur)

di tangan pemanah. Anak-anak adalah anak-anak panah. Sedang pemanah itu tidak lain

adalah Tuhan sendiri. Gendewa tentu penting. Tanpa busur, mustahil anak-anak panah bisa

melesat. Tetapi gendewa tidak menentukan arah dari anak panah. Yang menentukan adalah

kehendak sang pemanah, dan kemampuan anak panah itu sendiri. Atau, dengan istilah yang

lebih kontemporer, gendewa hanya berfungsi sebagai semacam "fasilitator", yang

memungkinkan anak panah itu meluncur ke sasaran dengan sebaik-baiknya.

Peran orang tua adalah wakil Allah di dunia bagi anak- anak yang telah mereka

lahirkan. Orang tua tidak dapat bersikap seolah-olah menjadi Tuhan atas anak-anak mereka.

Melainkan orang tua yang harus memberikan pertanggungjawaban kepada Tuhan dengan

apa yang sedang terjadi dalam kehidupan anak-anak mereka. Tujuan Allah memberikan

anak-anak ini kepada orang tua tentu terutama bukan untuk memenuhi kesenangan orang

tua. Anak-anak adalah titipan Allah, dan orang tua bertanggung jawab untuk membesarkan

mereka sebagai anak-anak milik Allah.

Hal yang perlu dipikirkan saat ini adalah bagaimana orang tua dapat membawa anakanak mereka kepada Tuhan di tengah perkembangan teknologi yang cenderung membawa

anak-anak menjauh dari Tuhan. Pada dasarnya Tuhan tidak anti teknologi, tetapi teknologi

yang membawa anak-anak menjauh dari Tuhan pastilah bukanlah kehendak Tuhan. Generasi

digital memerlukan pola asuh yang berbeda dan istimewa. Orang tua perlu mengenal

karakteristik anak-anak generasi digital ini supaya dengan hikmat Tuhan, mereka dapat

membawa anak-anak ini dekat kepada Tuhan.

Setiap orang tua memiliki kewajiban untuk menanamkan pendidikan yang berpusat

kepada Allah bagi anak-anak mereka.28 Terhadap perkembangan teknologi yang telah

mengubah cara hidup manusia saat ini, orang tua tidak boleh menjadi lengah dalam

melakukan pengawasan terhadap anak-anak mereka. Orang percaya perlu mendorong diri

untuk terjun ke tengah-tengah pekerjaan yang Tuhan percayakan, yaitu menuntun anakanak "generasi digital" milik Allah ini untuk bertemu, berinteraksi, dan berkoneksi dengan

26 Charles R. Swindoll, Anda Dan Anak: Kunci Untuk Membina Hubungan Harmonis di Antara Orang Tua dan

Anak (Surabaya: Yakin, t.th), 20.

27 Norman Wright, Raising Kids To Love Jesus, (Surabaya: Perkantas, 2014),

28 Dan Brewster, Children and Childhood in The Bible (t.tp: Compassion Internasional, 2011), 145.

P:26

25

Pencipta mereka, yaitu Tuhan Allah yang Mahamulia. Beberapa kiat yang dapat dilakukan

untuk melindungi anak dari pengaruh buruk perkembangan teknologi digital adalah sebagai

berikut:

Menjadi Teladan Dalam Penggunaan Perangkat Digital

Fakta membuktikan, kecenderungan perilaku sebagian besar anak sangat di

pengaruhi oleh tindakan orang tua. Tindakan seorang anak pada umumnya adalah cermin

dari tindakan orang tua. Anak akan melihat apa yang dilakukan oleh orang tua mereka, dan

mulai meniru tindakan orang tua mereka. Orang tua yang memiliki kebiasaan sibuk

memenuhi waktu luang mereka dengan perangkat digital, hal itu juga akan mendorong anakanak untuk melakukan hal yang sama. Sering menjadi hal lumrah saat menyaksikan misalnya:

sang ayah asyik dengan remote TV, sang ibu sibuk dengan telpon pintarnya sedangkan sang

anak sibuk dengan video games.

Ada banyak orang tua yang salah dalam mendidik anak. Beberapa orang tua

mengajarkan hal-hal yang baik kepada anak-anaknya, melarang ini dan itu, tetapi dalam

kehidupan sehari-hari mereka sendiri tidak sadar telah melanggar pengajaran dan

larangannya sendiri. Orang tua tidak bisa melarang anaknya yang berjam-jam bermain video

games sedangan mereka sendiri sibuk dengan perangkat digital mereka. Tanpa contoh yang

baik yang ditunjukan orang tua kepada anak-anak, maka hal itu akan membuat anak-anak

tidak bisa menerima hal-hal baik yang diajarkan.

Alkitab telah mengajarkan bagaimana seharusnya orang tua mendidik anak-anak

mereka. Paulus mengajarkan kepada jemaat di korintus dengan pesannya Ikutilah teladanku,

sama seperti aku juga mengikuti teladan Kristus (1Korintus 11:1). Paulus mengerti benar bahwa

untuk memimpin orang berjalan dalam kebenaran, tidaklah cukup hanya dengan pengajaran

lisan saja. Keteladanan merupakan unsur terpenting dalam memimpin dan mengarahkan

seseorang.

Menjadi teladan artinya menjadi sosok yang patut ditiru, patut dijadikan panutan

atau menjadi role model. Sebuah keteladanan akan jauh lebih efektif ketimbang bentukbentuk pengajaran yang hanya bersifat teori saja.29 Seorang anak akan meniru sifat baik dari

orang tuanya, tetapi merka cenderung untuk dua kali lebih mudah dan lebih sering meniru

sifat negatif dari orang tuanya. Apabila orang tua mau efektif dalam mendidik anak-anak

29 Dave Earley, 14 Resep Ampuh Mengasuh Anak Dengan Cara Allah (Yogyakarta: ANDI, 2011), 40.

P:27

26

mereka, tidak ada jalan lain, orang tua harus terlebih dahulu menjadi contoh nyata dan

teladan dari segala sesuatu yang mereka ajarkan.

Orang tua yang menginginkan anak-anaknya terlepas dari kecanduan perangkat

digital, maka dari mereka terlebih dahulu harus bisa lepas dari kecanduan perangkat digital.

Ini bukan berarti kemudian melarang menggunakan perangkat digital sama sekali. Hal yang

terpenting adalah pemberian batasan waktu dalam penggunaannya. Waktu yang dahulu

banyak dihabiskan untuk perangkat digital mulai banyak di alihkan melakukan kegiatankegiatan yang bermanfaat lainnya dalam keluarga.

Tingkatkan Interaksi Sehat Dalam Keluarga.

Komunikasi adalah hal yang sangat penting yang harus diusahakan di antara ayah, ibu

dan anak di dalam keluarga Kristen. Paul Gunadi mengatakan:

―Peran komunikasi dalam keluarga dapat disamakan dengan peran jantung dalam

tubuh. Sama seperti jantung yang memompa darah ke seantero tubuh, komunikasi

memompa kehidupan ke seantero keluarga. Jadi, seberapa sehatnya keluarga dapat

diukur dari seberapa sehatnya komunikasi yang tercipta di dalam keluarga itu.‖30

Di lihat dari etimologinya sesungguhnya kata komunikasi berasal dari bahasa Yunani

koinonia, yang berarti persekutuan. Koinonia dalam arti terdalamnya, memiliki makna berbagi

hidup sehingga menjadi suatu kesatuan. Jadi sebenarnya tujuan komunikasi yang

sesungguhnya adalah penyatuan.

Namun, pada kenyataannya lebih sering orang berkomunikasi untuk bermacammacam tujuan yang tidak ada hubungan dengan penyatuan. Ada orang yang berkomunikasi

dengan tujuan ingin mengetahui, hal itu yang menyebabkan seseorang bertanya. Beberapa

orang berkomunikasi dengan tujuan supaya orang lain mengetahui, itulah alas an mengapa

seseorang bercerita. Yang lainnya berkomunikasi dengan tujuan ingin memprotes itu yang

mendorong seseorang berdebat. Ada juga yang berkomunikasi dengan tujuan ingin menegur

sehingga ia menyampaikan koreksi. Atau berkomunikasi dengan tujuan ingin mempengaruhi

orang maka seseorang membujuk. Dan yang juga sering ditemui orang berkomunikasi dengan

tujuan ingin membenarkan diri sehingga ia menjelaskan.

Tetapi, jarang sekali seseorang berkomunikasi dengan tujuan membangun dan

memberi dorongan. Kebanyakan orang berkomunikasi hanya dengan tujuan mengungkapkan

30

Sabda, Tegur Sapa Gembala Keluarga : “Komunikasi dalam Keluarga”

P:28

27

kepantingannya, bukan untuk kasih dan kepedulian. Padahal kasih dan kepedulianlah yang

menjadikan komunikasi dapat menyatukan anggota keluarga satu sama lain.

Firman Tuhan dalam Efesus 4:29 mengatakan “Pakailah perkataan yang baik untuk

membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” Dari ayat ini orang

percaya diajar tentang bagaimana seharusnya mengatakan ―yang benar‖ mengatakan ―dengan

benar‖. Kata "baik" berarti tidak buruk, tidak jahat, tidak menyakitkan. Penyampaian

komunikasi dengan cara yang baik akan menghasilkan keluarga yang baik dan berkualitas.

Alasan dalam berkomunikasi adalah untuk ―membangun‖. Orang tua harus

mengarahkan anak-anak digital dengan cara membangun mereka bukan mengendalikan

anak. Harus ada kasih yang seimbang dengan ketegasan dalam menghadapinya. Orang tua

perlu mengkomunikasikan bahaya perangkat digital kepada anak atas dasar kasih yang

membangun. Jika komunikasi di bangun atas dasar kasih, tentu akan tersampaikan setiap

maksud dan tujuan yang hendak di capai. Dan tujuan itu adalah orang yang diajak

berkomunikasi mendapatkan kasih karunia. Dengan ini tujuan komunikasi yang adalah

kesatuan itu terlaksana dengan baik. Jika komunikasi dalam keluarga terjalin dengan baik,

pastinya hubungan yang harmonis dalam keluarga akan tercipta.

Dalam berkomunikasi hal pertama yang penting untuk diperhatikan oleh setiap orang

tua adalah kemampuan menjadi pendengar yang baik. Tuhan memberkati setiap orang

dengan pendengaran adalah untuk digunakan. Sering masalah tidak bisa dipecahkan dalam

sebuah keluarga karena adanya komunikasi sepihak dimana orang tua hanya menginginkan

anak untuk mendengarkan mereka tanpa memberi kesempatan bagi anak untuk menjelaskan

perihal yang terjadi.

Bagi anak yang mengalami kecanduan dengan perangkat digital komunikasi adalah

sarana yang baik untuk pemulihan anak. Orang tua perlu meningkatkan Interaksi sehat

dalam Keluarga. Kecanduan perangkat digital adalah gejala dari jaman modern karena

tingginya kesibukan orang tua sehingga jarang sekali adanya waktu berkumpul bersama

keluarga dirumah untuk berbincang, bercanda, dan sharing kegiatan sehari-hari sehingga

masing-masing anggota keluarga sibuk mencari kesenangan dan hiburan melalui dunia maya.

Oleh karena itu kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan di dunia maya hendaknya

digantikan dengan interaksi di dunia nyata.

Batasi Waktu Pengunaan Perangkat Digital

Membatasi waktu penggunaan perangkat digital, bukan berarti karena hal-hal negatif

dan akibat negatif media, maka serta-merta membuang semua media dari hidup kita dan

P:29

28

menjadi seperti kaum Kristen Amish di Amerika yang anti kemajuan zaman atau kaum Badui

di Jawa Barat. Anak masih juga di perbolehkan untuk menggunakan perangkat digital. Tetapi

orang tua harus memperhatikan durasi pemakaiannya. Orang tua perlu melakukan pelacakan

dalam histori berapa banyak waktu yang habiskan anak remajanya untuk online, dan apa

yang mereka lakukan dengan waktu sebanyak itu.

Orang tua perlu menetapkan batas waktu untuk penggunaan perangkat digital

anaknya. Misalnya anak hanya diizinkan menggunakan dirumah pada waktu senggang saja.

Atau larangan menggunakan perangkat digital pada waktu Quality times, seperti sedang

sarapan, makan siang, makan malam, ataupun larangan untuk membawa perangkat digital

pada waktu di sekolah karena itu akan mengganggu proses belajarnya. Disamping itu

perangkat digital cenderung membuat anak hidup dalam dunianya sendiri, dan sulit

bersosialisi dengan teman sebayannya serta lingkungannya.

Orang tua harus tegas atau tidak boleh memanjakan anaknya yang umurnya dibawah

12 tahun untuk menggunakan perangkat digital seperti, telepon pintar, gadget, internet.

Karena lebih banyak dampak negatif yang timbul apabila seorang anak di bawah umur telah

diberikan perangkat digital. Salah satu dampak negatif yang terjadi ialah dapat membuat

anak menjadi malas, mengganggu kesehatannya dan juga dapat menyalah gunakan fungsi

perangkat digital.

Kasus kecanduan atau penyalahgunaan perangkat digital biasanya terjadi karena

orangtua tidak mengontrol penggunaannya saat anak masih kecil. Maka sampai remaja pun ia

akan melakukan cara pembelajaran yang sama. Akan susah untuk mengubah kebiasaan ini

sudah terbentuk sejak kecil. Ini sebabnya, orang tua harus ketat menerapkan aturan ke anak,

tanpa harus bersikap otoriter. Dan jangan lupa, orangtua harus menerapkan reward and

punishment. Kalau ini berhasil dijalankan, maka anak akan bisa melakukannya secara

bertanggungjawab dan terhindar dari kecanduan.

Intinya, kalau orang tua sudah menerapkan kedisiplinan sedari awal, maka di usia pra

remaja, anak akan bisa menggunakan perangkat digital secara bertanggungjawab dan tidak

kecanduan .

Penutup

Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil akal budi manusia yang sangat

bermanfaat bagi manusia. Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barangbarang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Karena sebuah

perangkat teknologi merupakan media pembelajaran yang sangat efektif. Dengan adanya

P:30

29

tampilan gambar yang bisa berjalan, efek suara atau nyanyian membuat media pembelajaran

dengan memanfaatkan perangkat teknologi sangat disukai oleh anak-anak. Namun di

samping hal positif yang bisa didapatkan dari teknologi, terdapat juga hal-hal negatif yang

dapat merusak perkembangan karakter Anak remaja. Hal-hal negatif cenderung di dapatkan

dari penyalahgunaan Teknologi.

Masa pertumbuhan anak-anak baik secara fisik maupun psikis merupakan masa yang

sangat rawan. Pengaruh dari luar memiliki dampak yang sangat besar terhadap

perkembangan karakter anak. Teknologi akan berdampak negatif bagi anak kalau tidak

dikendalikan dengan baik. Anak-anak yang tidak terkendalikan dalam penggunaan

perangkat digital, mereka dapat mengalami ―matang semu‖, ada juga yang mengalami Popcorn

Brain, ada juga yang disebut dengan sindrom ―anak-anak digital‖

Untuk menyelamatkan generasi dari bahaya negatif yang diakibatkan dari perangkat

digital ini, orang-orang tua perlu melakukan beberapa pendekatan terhadap anak mereka.

Hal yang pertama adalah orang tua harus menjadi teladan dalam penggunaan perangkat

digital. Yang kedua, orang tua perlu meningkatkan interaksi sehat dalam keluarga. Dan yang

ketiga, orang tua perlu membatasi waktu pengunaan perangkat digital anak-anak mereka.

Kepustakaan

Arniwati dan Budyarto, Dampak Teknologi Terhadap Kehidupan Rohani Anak dan Remaja,Malang:

Gandum Mas, 2012

Brewster, Dan, Children & Childhood in The Bible , t.tp: Compassion Internasional, 2011

Earley, Dave, 14 Resep Ampuh Mengasuh Anak Dengan Cara Allah, Yogyakarta: ANDI, 2011

Shin,Yee-Jin, Mendidik Anak Di Era Digital, Bandung: Noura Books, 2014

Swindoll, Charles R., Anda Dan Anak: Kunci Untuk Membina Hubungan Harmonis di Antara Orang

Tua dan Anak , Surabaya: Yakin, t.th

Wright, Norman Raising Kids To Love Jesus, Surabaya: Perkantas, 2014.

Program Sabda, Tegur Sapa Gembala Keluarga : “Komunikasi dalam Keluarga”

http://nasional.sindonews.com/read/878681/18/ancaman-media-sosial-terhadapperkembangan-anak-1404197732

https://www.newscientist.com/article/dn2538-video-game-brain-damage-claim-criticised/

Koran ―Kompas‖, Anak SD Melakukan Pembunuhan Berencana Terhadap Temannya, edisi 25 juni 2015

CNN, Does life online give you 'popcorn brain'?, USA: June 23, 2011

P:31

30

PERAN GURU DALAM LITERASI DIGITAL

I Putu Ayub Darmawan31

Pendahuluan

Internet sebagai media digital terus berkembang dengan pesat. Penggunanya juga

terus bertambah. Statistik yang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada 2012 menunjukkan jumlah

penduduk Amerika Serikat yang menggunakan internet: 80% penduduk, penduduk Asia

Timur & Pasifik yang menggunakan internet: 36,68%, dan penduduk Indonesia yang

menggunakan internet: 15.36%.32 Pada tahun 2016, berdasarkan hasil survei yang dilakukan

oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan jika pengguna

internet sebanyak 143,26 juta orang dari total populasi penduduk Indonesia (262 juta

orang).

33 Selain itu, hasil survei APJII menunjukkan terjadinya lonjakan yang luar biasa pada

pengguna internet dalam empat tahun terakhir. Hal itu tampak dari data statistik yang

disajikan oleh APJII berikut:

31 I Putu Ayub, M.Pd adalah Dosen di Sekolah Tinggi Teologi Simpson Ungaran Jateng. Ia juga sebagai

pegiat literasi di Kelompok Literasi Ungaran dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Semarang. Putu Ayub juga

adalah pendeta di Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII). Putu Ayub adalah penulis buku Menjadi Guru Yang

Terampil (Bandung: Kalam Hidup, 2014) dan Guru Agama Kristen Yang Profesional (Salatiga: Satya Wacana

University Press, 2018).

32https://www.google.com/publicdata, diakses pada Oktober 2013.

33Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet

Indonesia Survei 2017‖, ©APJII, 6.

P:32

31

Gambar 1. Data Pertumbuhan Pengguna Internet34

Temuan tersebut sedikit meleset dari proyeksi APJII yang dirilis tahun 2013. Perhatikan data

proyeksi APJII yang dirilis tahun 2013 berikut:

Gambar 2. Proyeksi Pengguna Internet Indonesia tahun 35

Data statistik hasil survei tahun 2016 menunjukkan bahwa pengguna internet usia 10 hingga

34 tahun sebanyak 42,8%.36 Lonjakan luar biasa terjadi pada tahun berikutnya. Hal itu

34Ibid, 7.

35http://www.apjii.or.id/v2/index.php/read/page/halaman-data/9/statistik.html, diakses Desember 2013.

36Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet

Indonesia Survei 2016‖, ©APJII, 7.

P:33

32

tergambar dari hasil survei APJII tahun 20017 yang menunjukkan bahwa kelompok usia 13

hingga 34 tahun total prosentase pengguna internetnya menccapai 66,2%.37

Gambar 3. Komposisi Pengguna Internet Berdasarkan Usia Hasil Survei 201638

Gambar 4. Komposisi Pengguna Internet Bedasarkan Usia Hasil Survei Tahun 201739

37Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet

Indonesia Survei 2017‖, ©APJII, 11.

38Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet

Indonesia Survei 2016‖, ©APJII, 7.

39Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna Internet

Indonesia Survei 2017‖, ©APJII, 11.

P:34

33

Data yang disajikan oleh APJII menunjukkan bahwa kelompok usia usia produktif dan

kelompok usia yang akan memasuki usia produktif mengalami lonjakan jumlah pengguna

internet. Hanya pada kelompok usia 13-18 tahun mengalami sedikit perbedaan hasil dengan

hasil survei tahun sebelumnya. Walau demikian, seluruh data tersebut memberi gambaran

bahwa pengguna internet terus bertambah dari waktu ke waktu dan pertambahannya terjadi

begitu pesat serta tidak dapat dihindari. Dalam penulisan ini, penulis menampilkan data

pengguna internet untuk menunjukkan pesatnya penggunaan media digital, sebab pada masa

kini penggunaan berbagai media digital terkait dengan dan tampaknya sulit lepas dari

penggunaan internet.

Pesatnya perkembangan teknologi dan pemanfaatan media digital sebagai bagian

perkembangan teknologi menuntut kemampuan menggunakan secara baik dan positif.

Permasalahannya adalah generasi muda saat ini atau generasi Z tidak dapat dibiarkan begitu

saja dan secara bebas menggunakan media digital. Mereka memerlukan pendampingan dari

berbagai pihak, baik orang tua, tokoh masyarakat, dan pendidik. Orang tua berperan penting

memberikan pendidikan dalam setting keluarga, sementara tokoh masyarakat berperan

penting menjalankan pendidikan dalam setting masyarakat. Dalam konteks Indonesia, di

mana pendidikan lebih banyak dicurahkan dalam setting sekolah maka perlu dipaparkan

bagaimana peran guru sebagai pendidik dalam literasi digital.

Literasi digital merupakan melek atau kemampuan menggunakan media digital.

Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan untuk menggunakan berbagai media digital

secara baik dan positif. Kurniawati dan Baroroh menjelaskan bahwa ―Literasi digital adalah

ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi digital dan alat

komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi

informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain

agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.‖40 Sementara Pratiwi dan

Pritanova menjelaskan bahwa literasi digital adalah era perkembangan baru dunia baca tulis

di mana berbagai informasi menjadi mudah untuk diperoleh melalui media sosial yang

menyajikan berbagai berita dengan cepat, namun terkadang tidak akurat, karena kecepatan

pemberitaan yang terpenting.41 Sebagaimana definisinya, maka guru memiliki peran untuk

membimbing murid-muridnya menjadi pengguna media digital secara baik dan positif. Oleh

karena itu, penulis memaparkan beberapa peran guru dalam literasi digital.

40Juliana Kurniwati dan Siti Baroroh, ― Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas Muhammadiyah

Bengkulu,‖ Jurnal Komunikator, Vol. 8, No. 2 (2016): 54.

41Nani Pratiwi dan Nola Pritanova, ―Pengaruh Literasi Digital terhadap Psikologis Anak dan Remaja,‖

Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 6, No. 1 (2017): 22-23.

P:35

34

Peran Pendidik Dalam Literasi Digital

Fasilitator

Suryadi mengungkapkan bahwa guru bukan sumber tunggal pengetahuan melainkan

menjadi fasilitator, sebab dinamika maupun intensitas proses pembelajaran dilaksanakan

dengan prinsip kemandirian, tetapi tetap dikelola oleh guru yang berperan sebagai

pemimpin, manajer sekaligus narasumber.42 Dalam pembelajaran konvensional guru berperan

menjadi salah satu rujukan bagi para muridnya, sementara dalam pembelajaran inovatif guru

menjadi fasilitator untuk belajar. Demikian pula dalam kaitannya dengan literasi, guru

berperan menjadi fasilitator bagi para murid. Hanya dalam literasi digital, ada berbagai

permasalahan untuk memungkinkan seorang guru dapat menjadi fasilitator. Rendahnya

kemampuan guru menggunakan media digital dan rendahnya pemahaman mereka terhadap

perkembangan media digital, menjadi salah satu masalah bagi guru menjalankan peran ini.43

Akan tetapi hal itu tidak dapat digeneralisir, sebab guru-guru dengan usia muda cenderung

lebih memahami perkembangan digital dan memanfaatkannya dalam berbagai aktifitas.

Walau demikian, peran seorang guru sebagai rujukan tidak dapat diabaikan begitu saja.

Dalam perannya sebagai fasilitator, guru perlu mengembangkan diri sehingga dapat

mengikuti perkembangan yang pada akhirnya dapat menjadi fasilitator bagi murid, sehingga

mereka dapat menjadi pengguna media digital yang baik dan positif. Sebagai fasilitator guru

dapat membantu murid dengan memberikan berbagai informasi terkait dengan pemanfaatan

media digital dan memberikan tanggapan maupun masukan terkait perilaku penggunaan

media digital.

Dalam literasi digital, secara umum peran guru sebagai fasilitator adalah dengan

memantau perkembangan penggunaan media digital murid di sekolah, kemudian

memberikan dorongan dan masukan bagaimana bermedia digital dengan baik. Secara

spesifik, pendidik memberikan wacana dan wawasan pemanfaatan media digital., kemudian

memastikan setiap murid memiliki komitmen untuk memanfaatkan media digital dengan

sehat. Selain itu, sebagai fasilitator, guru melakukan pembimbingan agar terciptanya karakter

yang pada akhirnya bermuara pada adanya kemampuan bermedia digital secara sehat.

Khusus bagi pendidik Kristen, peran fasilitator dilakukan dalam upaya mendorong

terjadinya pertumbuhan iman dalam komunitas iman. Dengan mendorong terjadinya

42Ace Suryadi, ―Pemanfaatan ICT dalam pembelajaran,‖ Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Vol. 8,

No. 1 (Maret 2007): 83-98.

43Umumnya terjadi pada guru generasi senior, tetapi guru generasi ―zaman now‖ cenderung lebih

memahami dan menjadi pengguna aktif.

P:36

35

pertumbuhan iman maka murid-murid dapat didorong untuk hidup takut akan Tuhan, sebab

takut akan Tuhan merupakan adalah permulaan pengetahuan (Ams. 1:7). Takut akan Tuhan

membuat murid tahu apa yang patut dilakukan, apa yang patut dilihat, dan bagaimana

bermedia digital dengan patut. Perlu diingat bahwa para murid, dalam konteks pendidikan

Kristen, adalah anggota komunitas iman di mana guru perlu menjadi fasilitator terjadinya

pertumbuhan iman. Sebagai fasilitator, guru menolong murid-muridnya masuk pada dunia

belajar, tempat mereka menggali, mengeksplorasi pelajaran termasuk dunia digital. Guru

memfasilitasi murid untuk lebih mengerti serta dapat mengaplikasikannya prinsip bermedia

digital dalam kehidupannya sehari-hari.44

Model

Peran berikutnya dari seorang guru adalah sebagai model. Guru adalah sosok digugu

dan ditiru, termasuk dalam hal perilaku hidupnya. Tidak dapat dipungkiri jika tutur kata,

gerak-geriknya menjadi perhatian murid-muridnya. Oleh sebab itu, kesempatan ini menjadi

modal penting bagi guru dalam literasi digital. Sesuai dengan definisi literasi, maka sebagai

model guru menjadi model bagaimana memanfaatkan media digital secara sehat. Pemanfaatan

media digital secara negatif dapat menimbulkan perilaku buruk, tetapi perilaku buruk juga

mendorong penggunaan media digital secara negatif. Oleh sebab itu, guru perlu hadir menjadi

model memanfaatkan media digital secara sehat.

Sebagai model, guru tampil menjadi teladan dalam menggunakan media digital. Peran

ini sama seperti yang dilakukan oleh Paulus menjadi teladan bagi orang-orang Kristen,

bahkan dalam kesempatan surat pertamanya kepada jemaat Korintus Paulus menasihatkan

agar jemaat Korintus menuruti teladannya (I Kor. 4:16). Demikian pula dalam kesempatannya

menulis urat kepada jemaat di Filipi, Paulus mengungkapkan agar jemaat Filipi mengikuti

teladannya dan menaruh perhatian pada setiap orang yang menjadi teladan mereka (Flp.

3:17).

Untuk menjadi model maka guru harus mendisiplin diri dalam memanfaatkan media

digital dengan baik dan positif, sehingga dapat diparcaya dan pada akhirnya dapat menjadi

model yang baik. Sebagian waktu murid ada bersama-sama dengan gurunya, itu berarti

bahwa ada cukup banyak waktu di mana murid mengamati perilaku gurunya, bahkan lebih

dari itu murid merasakan dampak dari perilaku gurunya. Oleh sebab itu, perilaku yang baik

dalam bermedia digital menjadi modal penting untuk menjadi model dalam literasi digital.

Salah satu perilaku buruk guru dalam pemanfaatan media digital adalah penggunaan media

44I Putu Ayub Darmawan, Menjadi Guru Yang Terampil (Bandung: Kalam Hidup, 2014), 111.

P:37

36

digital yang ada kalanya tidak pada tempatnya, atau adanya kencenderungan konsumtif

maupun kecanduan dalam menggunakan media digital. Perilaku konsumtif dan kecanduan

merupakan efek samping dari perkembangan teknologi, sehingga perlu disikapi dengan

baik.45 Contoh perilaku negatif penggunaan media digital adalah guru cenderung sibuk

menggunakan media sosial, lalu mengabaikan interaksi maupun perhatian bagi muridnya.

Perilaku demikian dapat menjadi model buruk untuk hidup dalam komunitas sosial,

terutama dalam konteks budaya timur di Indonesia.

Apabila guru ingin agar murid dapat melek literasi, dalam arti memanfaatkan secara

baik dan positif maka, maka guru harus menjadi model menciptakan budaya moral positif di

sekolah dan mengimplementasikan nilai-nilai positif dan watak di ruang kelas.46 Sebagai model,

guru adalah inisiator perilaku positif bermedia digital. Konsep ini sebenarnya dilakukan oleh Yesus sang Guru

Agung, di mana Ia tampil sebagai inisiator dalam menciptakan perilaku positif, tidak munafik

sebagaimana umumnya terjadi pada guru pada masa itu, terbuka namun kritis terhadap

perubahan yang terjadi di masyarakat.

Dalam konsep ini, pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari dapat

dimaknai secara positif. Pepatah tersebut tidak hanya dimaknai bahwa murid hanya akan

meniru perilaku buruk guru, melainkan menjadi teladan dalam perilaku baik bermedia digital

bagi para murid. Pada dasarnya murid mengharapkan gurunya menjadi sosok yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru. Oleh sebab itu, perilaku guru dalam bermedia digital harus juga

menjadi perilaku yang dapat dipercaya dan ditiru. Hal ini tidak lepas pula dengan hidupnya

nilai-nilai integritas dalam diri guru. Integritas akan hidup dalam diri guru ketika ada sikap

takut akan Tuhan (Ams. 1:7). Integritas adalah nilai penting yang harus hadir untuk

menyakinkan murid, bahwa kita sebagai guru adalah sosok yang dapat diteladani. Bermedia

digital dapat menjadi situasi yang penuh kemunafikan. Tidak ada yang tahu apa yang

diunduh, dilihat, maupun di-follow oleh guru, tetapi hal itu akan tampak dalam sulitnya guru

membimbing murid yang memanfaatkan media digital secara negatif. Rasa tertuduh akan

tampil dalam bahasa tubuh dan turut dirasakan pula oleh murid. Untuk itu milikilah

integritas agar dapat menjadi model yang baik dan akhirnya ketika guru berperilaku positif

dalam bermedia digital, murid akan berperilaku lebih baik dari gurunya dalam bermedia

digital.

45Sundoro Tanuwidjaja, ―Janji Manis Teknologi,‖ dalam I Putu Ayub Darmawan, Melaksanakan Amanat

Agung di Abad 21: Bunga Rampai (Ungaran: Sekolah Tinggi Teologi Simpson, 2017), 71.

46Sa‘dun Akbar, ― Model Pembelajaran Nilai Dan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kehidupan Di Sekolah

Dasar,‖ Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, No. 1, (Februari 2010): 48.

P:38

37

Sahabat

Dua situasi berbeda terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1990-an,

anak-anak sekolah dasar cenderung takut bertemu dengan gurunya saat di luar sekolah.

Mereka biasanya bersembunyi untuk menghindari bertemu dengan guru mereka. Sementara

murid-murid era tahun 2000-an cenderung abai terhadap guru mereka, bahkan beberapa

cenderung tidak menaruh hormat. Walau demikian, di era millenial, guru perlu tampil

sebagai sahabat bagi para muridnya. Apabila guru ingin agar murid dapat melek literasi,

maka guru harus menjadi sahabat (partner) yang baik dalam bermedia digital.47

Menghadapi tuntutan tugas sekolah yang tinggi, murid dapat memiliki

kecenderungan masalah emosional, sehingga ketika menghadapi tekanan yang cukup tinggi

dan minimnya kemampuan menangani kondisi tersebut, memungkinkan murid mencurahkan

isi hatinya di media sosial secara negatif dan cenderung tanpa proses berpikir yang baik. Jika

kondisi ini terjadi, maka jelas bahwa tujuan penggunaan media digital tidak tercapai dengan

baik dan positif. Hal itu adalah salah satu contoh kasus yang mungkin terjadi pada setiap

murid yang kita didik, oleh sebab itu guru perlu tampil sebagai sahabat. Sebagai sahabat,

guru perlu memberi waktu untuk berbicara sebagai wujud kasih. Hal itu sejalan dengan

kebenaran Alkitab dalam Amsal 17:17 yang dituliskan bahwa ―Seorang sahabat menaruh

kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.‖ Dengan tuntutan

administrasi yang cukup banyak, tampaknya sulit bagi guru merealisasikan hal ini. Tetapi,

menaruh perhatian setiap waktu tidak berarti bahwa guru selalu bersama, melainkan selalu

hadir dengan berbagai cara untuk menolong murid dapat menggunakan media digital dengan

baik dan positif. Sikap simpati dan empati menjadi salah satu cara guru menjadi sahabat bagi

murid ketika berada dalam kondisi tersebut.

Sebagai sahabat, guru perlu memiliki kemampuan mendengarkan, mengamati, dan

menolong permasalahan murid. Dalam hal ini tentunya terkait dengan perilaku bermedia

digital. Tuhan Yesus adalah teladan seorang guru yang menjadi sahabat bagi para murid. Ia

menaruh perhatian terhadap perilaku murid ketika tergoda pada arus perkembangan pada

masa itu. Sebagai contoh, perbincangan di meja perjamuan, Yesus menaruh perhatian pada

perilaku Yudas yang terjerumus dalam perilaku beberapa kelompok masyarakat pada waktu

itu (Mrk. 14:10-11; Mat. 26:14-16; Luk. 22:3-23). Yesus Kristus juga datang pada murid-muridNya dan berkata-kata kepada mereka dengan akrab. Dengan demikian hubungan-Nya

dengan para murid menjadi sangat dekat dan Ia dapat menjadi sahabat yang menolong

murid-murid-Nya mengatasi permasalahan mereka.

47Akbar, ― Model Pembelajaran Nilai Dan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kehidupan,‖ 48.

P:39

38

Saya pernah menemukan seorang murid yang mengalami masalah dalam

memanfaatkan media digital. Cara-cara dengan teguran keras justru mengganggu

penyelesaian masalah murid tersebut, tetapi ketika guru memposisikan diri sebagai sahabat,

guru tersebut dapat memahami apa situasi murid dan akhirnya dapat menemukan cara yang

tepat menolong murid bermedia digital dengan sehat. Oleh sebab itu, guru tidak dapat hanya

memposisikan diri sebagai sumber melainkan sebagai sahabat yang menolong murid

bermedia digital dengan sehat.

Penutup

Perkembangan teknologi, termasuk media digital tidak dapat dihindari.

Perkembangan terus terjadi dan harus dihadapi dengan positif. Tidak dapat dipungkiri,

perkembangan teknologi yang luar biasa memungkinkan terjadinya perilaku negatif dalam

bermedia digital. Perilaku demikian banyak terjadi pada anak-anak yang memasuki usia

produktif. Oleh sebab itu, guru sebagai pendidik harus tampil untuk membantu murid melek

digital. Dalam menolong murid melek digital, guru menjadi fasilitator yang membantu murid

dengan memberikan berbagai informasi terkait dengan pemanfaatan media digital dan

memberikan tanggapan maupun masukan terkait bermedia digital dengan baik. Secara

spesifik, pendidik memberikan wacana dan wawasan pemanfaatan media digital, kemudian

memastikan setiap murid memiliki komitmen untuk memanfaatkan media digital dengan

sehat. Khusus bagi pendidik Kristen, peran fasilitator dilakukan dalam upaya mendorong

terjadinya pertumbuhan iman dalam komunitas iman yang pada akhirnya dalam komunitas

iman murid-murid masuk pada dunia belajar, tempat mereka menggali, mengeksplorasi

pelajaran termasuk dunia digital. Peran berikutnya adalah menjadi model dalam bermedia

digital. Sebagai sosok yang harus dapat digugu dan ditiru, tutur kata maupun gerak-geriknya

menjadi perhatian murid-muridnya. Hal itu adalah modal penting bagi guru dalam literasi

digital, di mana ia menjadi model bagaimana memanfaatkan media digital secara sehat. Guru

juga berperan sebagai sahabat, ia bukan sosok yang menakutkan maupun yang diabaikan.

Dalam literasi digital, guru menjadi sahabat dalam bermedia digital dengan baik. Sebagai

sahabat, guru perlu memiliki kemampuan mendengarkan, mengamati, dan menolong

permasalahan murid, sehingga dapat membangun murid menjadi manusia beriman, memiliki

ketaatan pada Tuhan, budi pekerti yang luhur, cerdas dan berketrampilan, termasuk dalam

bermedia digital.

Kepustakaan

P:40

39

Akbar, S. ― Model Pembelajaran Nilai Dan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kehidupan Di

Sekolah Dasar,‖Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, No. 1 (Februari 2010): 46-54.

Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2015.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna

Internet Indonesia Survei 2017‖, ©APJII.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, ―Infografis Penetrasi & Perilaku Pengguna

Internet Indonesia Survei 2016‖, ©APJII.

Darmawan, I Putu Ayub. Menjadi Guru Yang Terampil. Bandung: Kalam Hidup, 2014.

http://www.apjii.or.id/v2/index.php/read/page/halaman-data/9/statistik.html, diakses

Desember 2013.

https://www.google.com/publicdata, diakses pada Oktober 2013.

Kurniwati, J. dan Baroroh, S. ― Literasi Media Digital Mahasiswa Universitas Muhammadiyah

Bengkulu,‖ Jurnal Komunikator, Vol. 8, No. 2 (2016): 51-66.

Pratiwi, Nani dan Pritanova, Nola. ―Pengaruh Literasi Digital terhadap Psikologis Anak dan

Remaja,‖ Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 6, No. 1

(2017): 11-24.

Suryadi, Ace. ―Pemanfaatan ICT Dalam Pembelajaran,‖ Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh,

Vol. 8, No. 1 (Maret 2007): 83-98.

Tanuwidjaja, Sundoro. ―Janji Manis Teknologi,‖ dalam I Putu Ayub Darmawan, Melaksanakan

Amanat Agung di Abad 21: Bunga Rampai. Ungaran: Sekolah Tinggi Teologi Simpson, 2017.

Wangid, M. N. ―Sistem Among Pada Masa Kini: Kajian Konsep Dan Praktik Pendidikan,‖

Jurnal Kependidikan, Vol. XXXIX, No. 2, (November 2009): 129-140.

P:41

40

PERAN PEMIMPIN KRISTEN DI ERA DISRUPSI TEKNOLOGI

Daniel Ronda48

Pendahuluan

Salah satu pilar kepemimpinan Kristen yang efektif adalah menjadi pemimpin yang

transformatif, yaitu menjadi agen perubahan (Ronda, 2016, hal. 171-177). Transformatif artinya

pemimpin harus siap membawa perubahan bagi organsiasi yang dipimpinnya jika ingin

organisasi itu terus relevan dalam zamannya. Tanpa kompetensi yang mampu berpikir dan

bertindak transformatif maka dipastikan organisasi yang dipimpinnya akan stagnan bahkan

menuju kepada kematian. Lebih jauh bahwa fungsi Kepemimpinan efektif adalah ―Proaktif‖

yaitu lewat visi dan misinya, dia memikul tanggung jawab dan mengambil inisiatif untuk

kemajuan organisasinya (D‘Souza, 2013, hal. 76-77). Pemimpin tidak menunggu dan

menonton perubahan yang terjadi tetapi secara aktif mengamati perubahan dan mencoba

terobosan baru dalam pelayanan.

Tetapi masalah yang dihadapi gereja masa kini terutama untuk sebuah organisasi

yang sudah berusia di atas 75 sampai 100 tahunan adalah stagnansi dan kuat dalam

mempertahankan tradisi. Padahal fakta jelas di depan mata adalah dunia sedang berkembang

ke arah yang berubah dengan cepat terutama di dunia teknologi sehingga para ahli

menyebutnya sebagai ―Era Disrupsi Teknologi‖. Yang memprihatinkan adalah sebagian gereja

dan pemimpinnya belum siap menghadapi perubahan besar ini padahal umat sudah

memasuki dunia digital ini.

Perumusan masalah dalam adalah apakah yang menjadi peran pemimpin Kristen di

era disrupsi teknologi? Dari permasalahan ini, maka tulisan ini bertujuan memberi arah untuk

memberdayakan peran pemimpin Kristen di era disrupsi teknologi ini. Kajian tulisan ini

merupakan hasil observasi serta interaksi dalam ceramah-ceramah yang penulis lakukan

dengan tema di sekitar keluarga dan teknologi. Penulis melakukan kajian pustaka di sekitar

disrupsi teknologi dan diharapkan menemukan benang merah bagaimana pemimpin Kristen

berperan dalam memberikan arah bagi organisasinya menghadapi era dunia digital ini.

Kajian Tentang Disrupsi Teknologi

Disrupsi teknologi menurut Clayton M Christensen, 1997 merupakan sesuatu yang

menggeser teknologi yang telah mapan dan menggoyang industri atau produk yang kemudian

48 Dr. Daniel Ronda adalah Ketua Umum Gereja Kemah Injil Indonesia.

P:42

41

melahirkan industri baru (Sutaryono, 2017) – Ini Istilah sebagai awal dari arti ―disrupsi

teknologi‖ di mana istilah ini terus digunakan sampai hari ini. Ketika dihubungkan dalam

konteks abad ke-21, maka arti disrupsi teknologi berarti di mana ada perubahan teknologi

yang terjadi terus menerus dalam tempo singkat dan tanpa diketahui batasnya sampai di

mana. Era ini ditandai dengan perubahan yang berkelanjutan dan kejutan bagi manusia masa

kini. Desrupsi teknologi disebut juga sebagai ―Fase Revolusi Teknologi‖. Fase revolusi

teknologi mengubah cara beraktivitas manusia dalam skala, ruang lingkup, kompleksitas, dan

transformasi dari pengalaman hidup sebelumnya. Manusia bahkan akan hidup dalam

ketidakpastian (uncertainty) global. Karenanya manusia dipaksa untuk harus memiliki

kemampuan untuk memprediksi masa depan yang berubah sangat cepat.

Contoh awal disrupsi teknologi adalah Personal computer (PC) telah menggeser mesin

ketik. Surat elektronik telah menggantikan menulis surat dan mengganggu bisnis kantor pos

dan industri kartu ucapan. Telepon seluler telah menggantikan industri telepon tetap dan

laptop menggantikan PC. Telepon pintar menggeser kamera saku, pemutar MP3, dan

kalkulator. Jaringan media sosial telah menggeser telepon, surat-el, dan pesan singkat (SMS)-

(Sutaryono, 2017). Lebih lanjut, era ―Smartphone‖ dengan aplikasinya. Smartphone (4 milyar

pemakaianya di dunia) bukan lagi untuk telepon dan SMS saja tapi sebagai penyedia

kebutuhan informasi modern, di mana penyedia informasi sekarang ini sangat banyak

dilengkapi dengan aplikasi-aplikasi yang terus bermunculan untuk mempermudah

kehidupan manusia. Itu sebabnya teknologi digital semakin merubah tatanan hidup manusia.

Pada masa kini manusia bergantung pada smartphone, dengan ponsel pintar awalnya

sekadar mengabarkan keadaan keluarga melalui telepon, SMS (short message service), sekarang

sudah bersosialisasi via media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan lain-lain), atau video

call service (WA, Skype atau Google Hangout), membaca berita melalui koran online Kompas.com

atau Detik.com, mengunduh artikel jurnal terbaru dari Google Scholar, menonton live streaming

atau mendengarkan khotbah terbaru melalui Youtube, memotret diri atau panorama alam

membagikannya melalui media sosial Instagram, membeli barang melalui aplikasi Bukalapak

atau Tokopedia, memesan ojek online melalui Gojek, Grab, dan seterusnya. Muncul teknologi

keuangan baru (the new financial technologies) seperti internet banking, mobile banking, e-commerce,

sistem transaksi NFC (near field communication), sistem kredit berbasis peer-to-peer lending yang

menghilangkan peran bank menyebabkan manusia untuk melakukan aktivitas ekonomi

dengan cara-cara baru secara lebih efektif dan efisien. Untuk melakukan transaksi perbankan

atau membeli barang bernilai jutaan rupiah, mendonasikan uang melalui laman crowd funding

P:43

42

seperti KickStarter.com atau KitaBisa.com, hingga berinvestasi lewat aplikasi saham.

Bersama penemuan-penemuan teknologi lainnya, teknologi keuangan baru telah mengubah

cara hidup kita, manusia digital pasca-modern, secara revolusioner (Hidayat, 2018).

Penggambaran era di atas ini sudah ditulis oleh John Naisbitt di masa yang akan

datang disebut sebagai ―Gejala Mabuk Teknologi‖. Ciri-ciri dari hal itu adalah sebagai

berikut: (1) Lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama sampai

masalah gizi; (2) Takut sekaligus memuja teknologi; (3) Mengaburkan perbedaan antara yang

nyata dengan semu; (4) Menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar; (5) Mencintai

teknologi dalam wujud mainan; (6) Menjalin kehidupan yang berjarak dan terenggut.Keenam

ciri ini mewarnai dunia digital saat ini yang membawa kepada kejutan budaya yaitu budaya

populer atau popular culture (Oleh Abd. Azis, 2004).

Semua perubahan teknologi yang begitu cepat memiliki dua sisi, memiliki manfaat

tapi sekaligus berbahaya. Ia dapat digambarkan dengan sebuah pisau yang dapat dipakai

untuk berbagai keperluan hidup tapi sekaligus bisa menjadi senjata mematikan. Perubahan

yang cepat menghasilkan kejutan budaya yang mana kita masuk dalam kegamangan. Manfaat

perkembangan dunia digital:

Pertama, lewat aplikasi dalam smartphone dan dunia online, mempermudah semua

urusan manusia dalam ekonomi, perdagangan, perbankan, kesehatan, komunikasi,

pendidikan dan jutaan aplikasi lainnya. Termasuk di dalamnya untuk memuaskan hobi dan

games (mainan) yang tidak terbatas jumlahnya.

Kedua, internet sudah menjadi sumber pendidikan dan bukan hanya informasi untuk

mendapatkan berita, tapi juga ilmu pengetahuan, seni dan berbagai informasi berguna

lainnya yang bisa dicari lewat mesin pencari seperti ―Google‖ dan ―YouTube‖.

Ketiga, manusia sekarang masuk dalam komunitas baru yang disebut warga netizen

di mana mendapatkan banyak pertemanan dan jejaring persahabatan yang terjadi di dunia

digital lewat ―Facebook‖, ―Instagram‖dan grup-grup di media sosial seperti ―Whatsapps‖,

dan aplikasi populer lainnya yang bergantung di tiap negara. Misalnya di Korea, warganet

mereka lebih menyukai KakaoTalk, atau di China populer dengan WeChat, dan seterusnya.

Keempat, teknologi internet telah menciptakan lapangan kerja baru dan berbagai

profesi baru antara lain: ahli pembuat situs internet/aplikasi, desain situs (web designer),

pembuat film, konsultan inetrnet, pedagang online, dan banyak lagi yang lainnya. Belum lagi

terciptanya banyak lapangan kerja yang sangat besar seperti ―Gojek, Grab, Uber‖.

P:44

43

Kelima, dunia digital menjadi sarana yang efektif untuk pelayanan baik misi, khotbah,

pendidikan teologi dan berbagai pelayanan yang disampaikan di media sosial maupun

―YouTube‖ dan sejenisnya.

Walaupun manfaatnya sungguh besar dan manusia semakin bergantung karenanya,

maka ada sisi bahaya dunia digital yang harus diketahui untuk disikapi dengan cermat:

Pertama, informasi dan pengetahuan yang dimiliki saat ini tidak tersaring lagi

sehingga banyak bertebaran berita sampah, palsu (hoaks), pornografi, kekerasan di mana

semuanya itu sudah tidak ada yang bisa menyaringnya dengan cara apapun lagi. Pemerintah

pun harus mengakui bahwa mereka kewalahan menyaring konten pornografi masuk ke

Indonesia, walaupun sudah dilakukan dengan upaya yang sangat keras dan menggunakan

dana yang tidak sedikit.

Kedua, muncul budaya baru di kalangan generasi milenial yang dibuktikan dengan

berbagai bahasa dan istilah-istilah yang baru seperti: selfie, panjat sosial (social climber),

eksibisionisme (pamer diri), googling dan banyak lagi istilah lainnya. Ini menyulitkan

komunikasi antar generasi sehingga harus ada jembatan mengatasi kesulitan ini, karena

bahasa percampuran teknologi dan fenomena sosial ini digabung membuat generasi tua sulit

mencernanya.

Ketiga, dalam interaksi komunitas warga netizen, muncul kebiasaan baru yaitu saling

menghujat, mencaci maki, mencela tanpa mengetahui konteksnya. Inilah sifat kebinatangan

manusia yang diekspresikan di ruang terbuka yang ―semau gue‖ dan tanpa ada rasa hormat.

Komentar ini menghilangkan rasa adab manusia beragama dan berbudaya seperti dalam

budaya bangsa Indonesia yang menghargai kesantunan dan menghormati sesama.

Keempat, Budaya topeng atau semu menjadi ciri khas manusia di era digital sehingga

tidak tahu mana yang nyata dan tidak. Apa yang kelihatan baik di laman media sosial seperti

―Facebook‖ belum tentu sesuai dengan fakta. Manusia bertopeng adalah karakteristik

manusia modern di era disruptif ini.

Kelima, ada kehidupan rahasia yang dimiliki manusia sehingga dia bisa menyaru

dengan identitas lain di media sosial; pada sisi lain manusia mengisolasi diri, sehingga

akibatnya menjadi kesepian di tengah hiruk pikuknya dunia digital ini.

Keenam, kejahatan dan semua bentuk konspirasi menjadi tidak terbatas bahkan

sudah masuk ke ruang pribadi manusia. Bahkan arena kompetisi politik yang penuh intrik

sudah masuk ke ranah dunia digital.

Ketujuh, manusia mulai memanjakan kedagingannya di mana seri film televisi hari ini

dipaketkan dengan langganan internet sehingga serinya menjadi panjang dan tak terbatas.

P:45

44

Bahkan rata-rata manusia menonton TV itu lebih dari 8 jam sehari. Games dan hiburan telah

menjadi suatu yang adiktif (mencandu). Adiktif film dan games adalah sebuah penyakit baru

di era disruptif ini dan biaya terapi serta penyembuhannya sangat kompleks serta

memerlukan dukungan semua pihak untuk penyembuhannya.

PERAN PEMIMPIN KRISTEN MEMASUKI DISRUPSI TEKNOLOGI

Ada beberapa peran pemimpin Kristen yang perlu dilakukan secara serius dan

komprehensif terhadap era yang berubah secara mengejutkan ini:

Pertama, Pendekatan Spiritual

Pendekatan spiritualitas yaitu Firman Tuhan adalah sebuah keharusan sebagai

pedoman dan penuntun menghadapi era ini. Kitab Galatia memberikan pedoman

menghadapi kedagingan dengan ―Hiduplah oleh Roh Kudus‖ (Galatia 5:16), ―dipimpin oleh

Roh‖ (5:18) dan ―menghasilkan buah-buah Roh‖ (ayat 22:23). Secara singkat bahwa ada

disiplin rohani yaitu menyalibkan hawa nafsu daging dan keinginannya (Gal 5:19-21 dan 24).

Dalam anugerah Tuhan, disiplin rohani dan penyangkalan diri serta menguasai diri harus

menjadi sentral dalam perjalanan hidup seseorang dan fokus kepada tujuan hidup manusia

yaitu memuliakan Tuhan. Kedisiplinan rohani ini wajib menjadi sebuah berita utama dalam

kampanye para pemimpin rohani dalam penyadaran tentang bahaya maupun manfaat

perkembangan teknologi tanpa batas ini.

Kedua, Pendekatan Edukatif

Pemimpin wajib membangun pedoman etika Kristen dalam menggunakan media

sosial dan mendorong komunitas bertanggung jawab menghindari membagi konten negatif,

tidak menyebarkan hoaks dan berbagai ujaran kebencian, dan yang lainnya.

Semua bertanggung jawab untuk belajar seluk beluk dunia digital dan mengajarkan

orang lain memahami cara kerja media sosial dengan baik. Pemimpin harus menyadari bahwa

ada generasi yang lebih senior yang takut dengan teknologi. Di sini pemimpin memberi

kepastian untuk tidak menghindari teknologi apalagi takut belajar perkembangan teknologi

karena pendidikan tidak mengenal batas usia.

Ketiga, Pendekatan Integritas

Penting dalam membangun komunitas warga netizen yang transparan (tidak ada

rahasia) dan menjaga komitmen kekudusan, yang dimulai dalam keluarga dan dilanjutkan ke

komunitas gereja serta komunitas lainnya. Memilih menggunakan narasi yang baik dalam

P:46

45

menyampaikan pendapat, menghormati sesama dan tidak memakai hujatan dan kebencian

dalam media sosial adalah etika yang perlu ada bagi warga gereja.

Keempat, Pendekatan Azas Manfaat

Dunia digital memiliki pengaruh besar yang harus dimanfaatkan sebanyak-banyaknya

untuk pelayanan, pemuridan dan misi. Setiap warga gereja dapat menggunakan media dunia

digital untuk mengembangkan diri baik dalam hal pengetahuan, pekerjaan, usaha serta

pelayanan. Pembelian alat (gadget) harus bernilai investasi dan bukan konsumtif yang justru

menjadi kekuatan destruktif bukan konstruktif.

Kelima, Pendekatan Humanistik

Di tengah disrupsi teknologi dan perkembangan yang tiada batas, maka sentuhan

kemanusiaan tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Pemimpin harus tetap menyapa umat dan

mereka yang menderita dengan sentuhan kemanusiaan yaitu hadir di antara mereka serta

melawat mereka dalam doa dan kata-kata verbal. Komunikasi langsung yaitu bertemu dalam

fisik masih diperlukan bahkan menjadi suatu yang sangat dibutuhkan dalam era dunia digital

ini. Kehausan manusia akan kasih sayang tidak pernah tergantikan dengan kemajuan

teknologi yang ada di dalam era apapun itu, karena kasih itu bernilai kekekalan.

Penutup

Para pemimpin patut menghadirkan keberanian untuk melakukan terobosan

pelayanan dalam masuk ke dunia digital. Kemudian para pemimpin perlu belajar dan terus

belajar perkembangan dunia digital sembari menjadi pemberi arah etika moral dan etiket bagi

warga netizen. Selain itu, pemimpin Kristen perlu menyadari bahaya adiktif dan kecanduan

atas dunia digital ini terutama soal kekerasan, radikalisme agama, games, pornografi dan

berbagai aksi negatif lainnya.

Pemimpin Kristen harus menghadirkan gerakan menjadi warga netizen untuk

berinternet secara positif dan bermartabat, kemudian mendorong suatu kehidupan yang

mampu menguasai diri dalam segala hal dan akhirnya menyatakan Kristus di komunitas

dunia digital.

Kepustkaan

Anthony D‘Souza, 2013. Proactive Visionary Leadership. Jakarta: Gramedia.

P:47

46

Daniel Ronda. 2016. “Leadership Wisdom”: Antologi Hikmat Kepemimpinan, edisi kedua. Bandung:

Kalam Hidup.

John Naisbitt, et.all. 2004. Hight Tech Hing Touch, Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat

Teknologi, Bandung, Mizan, 23 (sebagaimana dikutip dalam Abd. Azis dalam papernya

berjudul Religiusitas Masyarakat Urban di Era Digital).

Medhy Hidayat, ―Teknologi dan Manusia di Era Digital‖ tersedia di

https://medhyhidayat.com/teknologi-dan-manusia-di-era-digital/ diakses tanggal 1

Agustus 2018.

Paul Sutaryono, ―Tantangan Disrupsi Teknologi‖, Kompas Online, tanggal 9 Oktober 2017,

tersedia di https://kompas.id/baca/opini/2017/10/09/tantangan-disrupsi-teknologi/

diakses tanggal 30 Juli 2018

P:48

47

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) KRISTEN

DALAM LITERASI DIGITAL

Firman Panjaitan49

Pendahuluan

―Perubahan‖ kata ini menjadi kata kunci dalam menghadapi kehidupan saat ini.

Menjadi kata kunci karena hidup ini berjalan terus dalam segala bentuk perubahan. Semua

berubah, tidak ada yang bersifat kekal; Darwin mengatakan bahwa evolusi merupakan bagian

yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan alam semesta yang menghantar kehidupan alam

semesta mengalami berbagai bentuk perubahan; dengan demikian evolusi adalah perubahan.

Filsuf Rene Descartes mengingatkan bahwa segala hal berubah, kecuali perubahan itu sendiri

yang tidak akan pernah berubah. Dengan demikian, hakikat kehidupan ini adalah berubah

dan mengalami perubahan.

Dengan mengamati bahwa kehidupan senantiasa berjalan dalam perubahan, maka

setiap orang yang tidak berani menghadapi perubahan akan mengalami kehidupan yang stag

dan ia sedang membiarkan dirinya digerus dan dihantam oleh badai perubahan. Akibatnya ia

tidak akan pernah bisa bertahan dalam kehidupan ini dan hancur dalam ketertinggalan.

Namun jika manusia berani menerima, menghadapi dan menghargai perubahan, maka

hidupnya akan menjadi lebih baik dan bahkan ia dapat bertahan dalam kesukacitaan karena

hakikat perubahan itu sendiri adalah menghantar manusia masuk ke dalam situasi kehidupan

yang sesungguhnya terjadi saat ini dan di sini.

Perubahan juga melanda dalam sistem pendidikan dan cara menyajikan sistem

pendidikan itu sendiri. Kalau dulu dalam system pendidikan dikenal istilah memberantas

buta huruf (menjadikan orang melek huruf) dan metoda yang digunakan adalah menjalankan

B3B (Bebas Tri Buta: Buta Aksara, Buta Bahasa Indonesia dan Buta Pendidikan Dasar) dan

penerjunan beberapa tenaga pengajar ke daerah-daerah yang menjadi sasaran B3B. Namun

dengan perubahan yang terjadi, pada masa sekarang metoda yang digunakan untuk

memberantas ketidaktahuan informasi (termasuk B3B) tidak lagi hanya menerjunkan tenagatenaga pengajar ke daerah sasaran (khususnya daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh

transportasi); juga dengan menggunakan sarana yang lebih modern yaitu literasi digital

(memberantas segala ketidaktahuan melalui sarana digital). Dan ini adalah salah satu bagian

49 Firman Panjaitan, M.Th adalah Manajer Pendidikan di YPPK Petra Jombang Jatim, dan juga dosen tetap di

STT Tawangmangu Jateng

P:49

48

dari sistem pendidikan yang harus dikembangkan; karena mau atau tidak mau, sadar atau

tidak sadar, kebutuhan akan digital terhadap kehidupan ini semakin dirasakan dan harus

diwujudnyatakan.

Yang menjadi permasalah sekarang adalah: apa yang dimaksud dengan literasi digital?

Dan jika memang kebutuhan terhadap litersi digital ini memang menjadi sebuah kebutuhan

mendesak, siapa yang bertanggung jawab untuk menyebarluaskan pengetahuan ini agar

tercapai kehidupan masyarakat Indonesia yang bebas dari ketidaktahuan terhadap informasi

dan ilmu pengetahuan?

Tulisan ini akan menyajikan lebih jauh lagi tentang pemahaman literasi digital tersebut

sekaligus menunjukkan bahwa salah satu lembaga yang ikut bertanggung jawab untuk

meluaskan pengetahuan dengan menggunakan literasi digital ini adalah Lembaga Swadara

Masyarakat; yaitu lembaga non-pemerintah tetapi sekaligus lembaga yang menjadi mitra

pemerintah dalam upaya memajukan dan mengembangkan kehidupan masyarakat Indonesia

agar memiliki pengetahuan seluas-luasnya.

Literasi Digital

Apa Yang Dimaksud dengan Literasi Digital?

Jika ingin dipahami secara sederhana, Literasi Digital adalah sebuah bentuk sastra

yang menggunakan sarana digital dalam penyampaiannya. Secara singkat dapat dikatakan

bahwa literasi digital (sastra digital) adalah bentuk sastra yang dilahirkan dalam dunia

digital. Artinya, segala tulisan dan pengetahuan (sebagai bentuk sastra ) itu dibuat dan

kemudian diunggah ke dalam dunia digital untuk dapat dinikmati oleh semua orang. Jenis

sastra ini, memang, tidak dimaksudkan untuk dicetak karena dalam karya tersebut termuat

banyak beberapa jenis media; seperti gambar, suara, video, dan hyperlink. Karya ini

dimaksudkan untuk dibaca pada komputer. Karena itu, dalam menggeluti literasi digital

dibutuhkan syarat utama yaitu memiliki ketertarikan dan kemampuan individu dalam

menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola,

mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, serta dapat membangun

pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar bisa berpartisipasi

secara efektif dalam masyarakat.

Dengan demikian literasi digital dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan aktif dan

arief seseorang dalam berselancar di dunia maya untuk menemukan website yang berisikan

tentang berbagai macam jenis ilmu pengetahuan yang dipandang mampu untuk membantu

dalam pengembangan diri.

P:50

49

Untuk semakin memaksimalkan peran literasi digital bagi seseorang yang ingin

terlibat, maka terlebih dahulu setiap orang dipahamkan agar mereka bersedia untuk menjadi

warga digital. Adapun pengertian dari warga digital adalah adalah orang yang sadar akan hal

baik dan yang buruk tentang kegunaan digital dalam kehidupan. Warga digital senantiasa

menunjukan kecerdasan dalam perilaku teknologi, serta bisa membuat pilihan yang tepat

saat menggunakan teknologi digital. Warga digital memanfaatkan kemajuan teknik

informatika dalam bentuk digital untuk membentuk suatu komunitas, pekerjaan, dan

berekreasi; sehingga warga digital ini benar-benar paham akan berselancar ke mana ketika

mereka mulai memasuki dunia digital.

Warga digital menempatkan teknologi digital untuk berekreasi, maksudnya mereka

yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengoperasikan teknololgi informatika

akan mengekspresikan dan menuangkan ide/gagasan karakteristik, baik secara pribadi

maupun kelompok, ke dalam duniamaya. Tetapi karena sifat dunia maya yang tidak

mempertemukan individu-individu tersebut ke dalam satu pertemuan nyata, maka secara

tidak langsung bisa mendorong makin menipisnya bahkan hilangnya norma-norma sopan

santun,rasa tanggung jawab, dan etika saat berkomunikasi. Dan untuk mengantisipasi hal itu

maka diperlukan Kewargaan Digital.

Kewargaan Digital adalah konsep yang dapat digunakan untuk memberikan

pengetahuan mengenai penggunaan teknologi dunia maya dengan baik dan benar. Atau juga

dapat didefinisikan sebagai norma perilaku yang tepat dan bertanggung jawab atas

penggunaan teknologi. Melalui kewargaan digital, maka implikasi penggunaan teknologi

dunia maya yang baik dan benar dapat terwujud secara nyata. Komunikasi yang dibangun

pun akan menggunakan pemilihan kata yang benar dan tepat, sehingga tidak akan pernah

menyinggung pihak lain dan dalam dunia digital yang dapat diakses setiap warga digital,

informasi yang diberikan pun tidak bersifat rahasia, melainkan umum dan membangun.

Setiap warga digital memiliki hak akses digital, yaitu suatu akses agar bisa mengakses

internet dengan benar dan arief. Akses digital itu penting, karena tanpa akses digital semua

orang tidak bisa mengakses jaringan internet; dan jika jaringan internet bisa diakses maka

mereka akan dapat memperluas akses digital tersebut bahkan mampu untuk memperluas

jaringan dalam digital. Dengan demikian, misi dari akses digital adalah untuk mendukung

berbagai sumber daya teknologi informasi dalam masyarakat yang memiliki akses terbatas ke

teknologi. Hal ini dilaksanakan dengan menggunakan program yang kreatif dan kolaboratif.

Manfaat Literasi Digital

P:51

50

Dalam pengamatan penulis, literasi digital sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi

masyarakat saat ini. Sebab kemajuan teknologi yang tidak diimbangi oleh kecerdasan dalam

menggunakan perangkat teknologi modern, niscaya akan memberikan dampak buruk bagi

peradaban manusia. Kalau dahulu orang memberikan istilah literasi sebagai sebuah kegiatan

yang mendidik orang untuk bisa membaca dan menulis, atau biasa "melek huruf"; namun

terminologi tersebut kini lebih meluas dan berkembang seiring dengan tuntutan teknologi

yang mengiringinya. Dahulu orang disebut buta huruf bila belum sampai pada tahap

membaca dan menulis. Tetapi kini istilah itu tidak bisa dikenakan kepada orang dengan

begitu saja, karena yang disebut dengan ―buta huruf‖ bukan sekadar ketidaktahuan tentang

baca dan tulis saja, melainkan istilah ―buta huruf‖ sekarang lebih mengarah pada pengertian

"buta huruf milenial", yaitu sebuah kondisi gagap teknologi (gaptek) alias minus literasi

digital, yang mengakibatkan orang sama sekali tidak mengetahui berbagai macam

perkembangan yang terjadi di luar lingkungannya. ―Buta huruf milenial‖ ini men jadi pemicu

dari tumbuh kembangnya kondisi masyarakat yang semakin lama semakin terbelakang.

Dalam Roadmap UNESCO (tahun 2015 – 2020) , literasi digital dipandang sebagai

bagian penting dari rencana jangka panjang badan PBB yang mengurusi soal pendidikan dan

kebudayaan. Literasi digital menjadi pilar penting untuk masa depan pendidikan sekaligus

menjadi basis pengetahuan, yang didukung oleh teknologi informasi secara terintegrasi.

Mengamati perkembangan penggunaan digital di Indonesia, penulis meliha bahwa

kebutuhan mendorong munculnya gerakan literasi digital yang bersifat sosial sudah sangat

mendesak, mengingat bahwa penduduk Indonesia yang bergerak "bermigrasi ke dunia maya"

sudah sangat kolosal. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet

Indonesia (APJII) , misalnya, mengungkapkan bahwa lebih dari setengah penduduk

Indonesia kini telah terhubung ke internet. Tercatat bahwa sepanjang tahun 2016 sebanyak

132,7 juta orang Indonesia menjadi pengguna aktif internet dari 256,2 juta orang total

penduduk. Tingkat pertumbuhan penetrasinya juga sangat pesat, terlebih mayoritas

pengguna internet saat ini adalah mereka yang aktif di media sosial.

Ironisnya, kemajuan teknologi digital dan internet di era milenial saat ini ibarat pisau

bermata dua, di satu sisi bermanfaat bagi manusia guna mendapatkan akses lebih luas atas

informasi secara lebih efisien, namun di sisi lain telah menjadi masalah tersendiri dalam

hubungan sosial dan yang pasti akan berdampak pada pembentukan karakter bangsa,

terutama dengan masifnya serbuan informasi yang tidak tersaring. Hal tersebut menuntut

peran masyarakat untuk lebih cerdas memilih serta memilah informasi yang baik dan tepat

P:52

51

guna, di sinilah literasi digital penting difahami dan diperlukan pembelajaran yang strategis

untuk pengembangan pendidikan bidang ini di era cyber sekarang ini.

Memang pemahaman yang utuh mengenai literasi digital hingga kini juga masih belum

dianggap belum final dan terus berkembang, seiring dengan cepatnya perkembangan

teknologi itu sendiri. Dalam rumusan Cornell University (2009) dikatakan bahwa Digital

literacy is the ability to find, evaluate, utilize, share, and create content using information

technologies and the Internet. Jadi titik beratnya adalah kombinasi diantara kemampuan

menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membagikan serta membuat sebuah konten

dengan menggunakan teknologi dan internet.

Mengacu pada pengertian tentang litersi digital yang dijabarkan oleh Cornell

University dapat dilihat bahwa literasi digital tidak semata mata penguasaan teknologi

komputer dan ketrampilan penggunaan internet belaka yang berkonotasi menjadikan

manusia sebagai sosok robotik belaka, melainkan lebih luas daripada itu yakni

menyatupadukan pemahaman "literasi" dan "digital". Jika demikian dapat dikatakan bahwa

informasi digital adalah simbol representasi data sementara literasi lebih kepada kemampuan

membaca, menulis dan berfikir kritis. Dengan demikian kemajuan teknologi secanggih

apapun, tetap harus bermanfaat dan mengandung kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat

secara komprehensif, khususnya dalam interaksi sosial. Literasi digital sejatinya mendorong

para penduduk di dunia digital (digital citizen) untuk lebih arif dalam menggunakan

instrumen teknologi tersebut.

Persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembangkan kemampuan rasional

(akal) atau kemampuan kognitif masyarakat juga harus kian dilengkapi oleh kecerdasan

sosial berupa kearifan digital (digital wisdom). Seperti diketahui, ancaman di dunia digital

saat ini tidak sedikit. Masyarakat pengguna internet, misalnya, dikepung oleh pemberitaan

yang beragam, yang perlu kecerdasan multi dimensi untuk dapat menyaringnya; antara lain:

masifnya berita bohong (hoax) hingga informasi yang menyesatkan (mislead) yang

menggiring masyarakat ke arah tindakan tindakan tidak terpuji hingga maraknya

kriminalitas di jagat maya (cyber crime) adalah tantangan umum yang membutuhkan

pembenahan secepatnya.

Lembaga Swadaya Masyarakat

Pengertian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Dalam pemahaman ilmuwan politik yang beraliran pluralis, konsep kekuasaan

dipandang tidak lagi terkonsentrasi pada satu kelompok atau kelas, melainkan menyebar

P:53

52

dalam berbagai kelompok kepentingan yang saling berkompetisi untuk mendapatkan

kekuasaan. Konsep pluralis ini memiliki ikatan aktifitas dengan gerakan masyarakat yang

memproses usaha peraihan hasil. Seiring dengan semakin berkembang dan kompleksnya

masyarakat, baik gerakan masyarakat maupun kelompok kepentingan yang lain

memperlakukan organisasi sebagai salah satu sarana perjuangan untuk mencapai tujuan atau

sasaran yang disepakati. Gerakan masyarakat yang terorganisir dikenal sebagai organisasi

kemasyarakatan dengan ciri-cirinya yaitu organisasi di luar organisasi pemerintahan, tidak

bermotif keuntungan dalam kegiatannya, lebih melibatkan anggota dalam kegiatannya,

keanggotaan yang bersifat massal, melakukan kegiatan politis disamping perjuangan teknis

keorganisasian, serta cukup berkepentingan akan ideologi.

Pada umumnya Lembaga Swadaya Masyarakat (selanjutnya disingkat dengan LSM)

dimengerti sebagai sebuah organisasi yang didirikan baik secara perorangan maupun secara

kelompok, di mana organisasi tersebut tidak berorientasi pada hasil atau laba (nir-laba)

melainkan karena adanya tujuan tertentu di dalam masyarakat. LSM merupakan

pengembangan dari sebuah organisasi non-Pemerintah atau biasa juga disebut sebagai NonGovernment Organization (NGO). Jadi, sebuah LSM merupakan sebuah organisasi di luar

pemerintah, di luar birokrasi, yang dalam kegiatannya memiliki tujuan untuk bisa membantu

kinerja pemerintah bahkan ikut mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak terjadi

penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian keberadaan LSM merupakan organisasi yang

tidak terikat dengan pemerintah dan birokrasi.

Sebuah organisasi dapat dikatakan masuk dalam lembaga swadaya masyarakat apabila

memiliki beberapa ciri sebagai berikut:

1. Organisasi tersebut bukan bagian dari pemerintah maupun birokrasi, pendanaannya

juga tidak terkait dengan pemerintahan.

2. Dalam mencapai tujuannya, organisasi tersebut tidak berorientasi pada laba atau profit

belaka melainkan karena adanya tujuan tertentu yang berguna bagi masyarakat pada

umumnya,

3. Kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk menguntungkan masyarakat umum, dan

tidak hanya menguntungkan para anggotanya atau pada profesi tertentu saja.

Jika demikian keberhasilan gerakan/kegiatan LSM bergantung pada kemampuannya

dalam menjalankan fungsinya dengan baik.

Instruksi Menteri Dalam Negeri, Nomor 8 Tahun 1990, Tentang: Pembinaan Lembaga

Swadaya Masyarakat, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Lembaga Swadaya

Masyarakat adalah organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat/Warga

P:54

53

Negara Republik Indonesia secara sukarela dan atas kehendak sendiri serta berminat untuk

bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga tersebut

sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan

kesejahteraan masyarakat, yang menitik beratkan kepada pengabdian secara swadaya.

Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang No.28, Tahun 2004, Tentang: Perubahan atas

Undang-undang No. 16, Tahun 2001, Tentang: Yayasan, maka secara umum organisasi nonpemerintah atau LSM di Indonesia harus berbentuk Yayasan.

Mengenai jenis-jenis LSM yang diijinkan berkembang, secara khusus Instruksi

Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1990, menyebutkan bahwa jenis-jenis LSM tersebut

antara lain:

1. Organisasi Donor, yaitu organisasi non-pemerintah yang memberikan dukungan biaya

bagi kegiatan organisasi non-pemerintah lain,

2. Organisasi mitra Pemerintah, yaitu organisasi non-pemerintah yang melakukan

kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatannya,

3. Organisasi professional, yaitu organisani non-pemerintah yang melakukan kegiatan

berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti organisasi non-pemerintah di

bidang pendidikan, bantuan hukum, jurnalisme, pembangunan ekonomi, dll.,

4. Organisasi Oposisi, yaitu organisasi non-pemerintah yang melakukan kegiatan dengan

memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Organisasi nonpemerintah ini bertindak untuk melakukan kritik dan pengawasan terhadap

keberlangsungan kegiatan pemerintah.

Ditinjau dari segi paradigmanya, LSM di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga.

Pertama, berparadigma Konformis (developmentalis – dapat dikelompokkan ke dalam jenis

LSM butir 1 dan 2), yang visinya berangkat dari asumsi bahwa masalah demokrasi dan

kondisi sosial ekonomi rakyat sebagai faktor yang inheren dengan kebodohan, kemiskinan,

keterbelakangan, dan keterpencilan. Dengan demikian solusinya adalah dengan melakukan

perubahan mental atau budaya masyarakat sasaran. Kedua, LSM yang menggunakan

paradigma reformis (yang dapat dikelompokkan ke dalam jenis LSM butir ke-3), yang

melihat kondisi sosial ekonomi dan demokrasi karena tak berfungsinya elemen-elemen sosial

politik yang ada, di mana rakyat atau kelompok-kelompok masyarakat kurang memiliki

akses dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pendidikan, politik, pembangunan, dan

lain-lain. Maka pendekatan pemecahan masalah yang diambil yakni berupaya melakukan

tindakan partisipatif dalam permasalahan yang dialami oleh masyarakat dengan

P:55

54

mengembangkan model perubahan yang diharapkan mampu mengubah struktural. Dan

ketiga adalah transformatoris (dapat disamakan dengan jenis LSM butir ke-4), di mana

dalam paradigm ini setiap aktivitas/gerakan yang dilakukan LSM seperti ini terasa agak

radikal. Iklim atau isu keterbukaan dimanfaatkan untuk mencoba membongkar berbagai

persoalan sosial, ekonomi dan politik.

Kegiatan LSM yang berparadigma pertama dan kedua memiliki kontras yang sangat

terlihat jika dibandingkan kegiatan LSM yang berparadigma ketiga. Kegiatan LSM paradigm

ketiga ini melihat kondisi struktur sosial ekonomi dan politik sebagai hasil pemaksaan

negara atau kelompok-kelompok dominan, sehingga oleh karena itu melahirkan

ketidakadilan dan ketidakdemokrasian. Oleh sebab itu isu gerakan LSM lebih bernuansa

politik, seperti mengambil tema hak azasi manusia (HAM), kesenjangan sosial, gerakan civil

society, pelibatan rakyat; dan tindakan/aksi yang dilakukan dalam mendukung

pandangannya terwujud dalam proses-proses politik seperti demonstrasi, unjuk rasa,

termasuk mimbar bebas, serta berorientasi pada kemandirian rakyat, dengan konfik sebagai

pendekatan yang digunakan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa eksistensi LSM, sebagai sebuah organisasi

non-pemerintah yang diijinkan berkembang di Indonesia, adalah mitra pemerintah untuk

menjawab segala pergumulan kemasyarakatan di Indonesia. Dan secara khusus jika dikaitkan

dengan kegiatan literasi digital, maka jenis LSM yang dimaksud di sini adalah LSM yang

berparadigma kedua, khususnya yang merupakan organisasi professional.

Lembaga Swadaya Masyarakat Kristen

Kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak sebagai mitra

pemerintah untuk peduli terhadap kehidupan bermasyarakat, juga merupakan kegiatan

utama yang hendak dikembangkan oleh Gereja-Gereja di Indonesia. Dalam tugas dan

panggilannya di masyarakat, Gereja mengenal Tri-Tugas Gereja, yaitu: Koinonia (bersekutu),

Marturia (bersaksi) dan Diakonia (melayani). Ketiga tugas panggilan Gereja tersebut menjadi

sangat penting untuk dilakukan dalam kehidupan Gereja, karena itulah yang menentukan

hakikat Gereja dalam kehidupannya bersama masyarakat.

Tugas pertama dan kedua (Koinonia dan Marturia) seringkali dipandang sebagai

kegiatan yang memiliki ranah intern, yaitu kegiatan yang terjadi di dalam Gereja dalam

rangka menjaga dan mengembangkan iman warga Gereja. Dan tugas ketiga (Diakonia)

dipandang berada dalam ranah ekstern, karena yang dimaksud dengan pelayanan di sini

bukan hanya melayani warga gereja melainkan juga melayani setiap jiwa yang berada di luar

P:56

55

gereja melalui pelayanan cinta kasih. Secara khusus bagian dalam tulisan ini tidak akan

membahas tentang Koinonia dan Marturia, melainkan hanya membahas tentang Diakonia

Gereja sebagai salah satu jalan yang utama untuk dapat memahami pembentukan LSM

Kristen yang berfungsi untuk menjadi mitra pemerintah dalam menjawab setiap

permahasalah yang terjadi di masyarakat.

Dalam pembahasan mengenai Diakonia, hal pertama yang harus dipahamai adalah

bahwa Diakonia tidak pernah lepas dari Koinonia dan Marturia; maksudnya Pemberitaan

Injil dalam Persekutuan dan Kesaksian itu tidaklah selalu dilaksanakan dengan kata-kata

tetapi juga harus diwujudnyatakan dengan perbuatan atau pelayanan. Perlu diingat, ada

kalanya suara perbuatan lebih nyaring gaungnya dari pada perkataan. Dengan tindakan maka

Injil juga dapat diberitakan dan didengar oleh, bahkan, orang-orang tuli.

Barangkali di suatu konteks tertentu gereja sulit melakukan pemberitaan firman

Tuhan dalam persekutuan dan kesaksian, karena peraturan-peraturan daerah atau Negara

tidak mengijinkan, dengan tujuan membungkam Gereja akan berita keselamatan itu. Akan

tetapi dengan pelayanan Gereja tidak dapat dibungkam sebab persekutuan memiliki seluruh

berkat dalam kehidupannya yang dapat dibagi kepada orang lain dalam nama Yesus Kristus.

Perkataan, kehidupan dan tindakan pelayanan yang diberikan Gereja kepada orang lain atas

nama Tuhan Yesus Kristus adalah juga merupakan bentuk kesaksian yang hidup; oleh sebab

itu pelayanan adalah bagian integral dari misi Gereja. Kesaksian dan pelayanan merupakan

dua sisi dari mata uang yang sama dan merupakan misi gereja yang mendasar.

Dalam pemahaman umum, seringkali Pelayanan hanya dimengerti hanya sebatas

konsep caritas (charity = belas kasihan), yaitu membantu para janda, yatim piatu, fakir

miskin demi kesejahteraannya. Sebenarnya tidaklah demikian, karena dalam pelayanan

Gereja ditekankan juga upaya untuk memahami akar penyebab keprihatinan sosial sekaligus

mengembangkan prakarsa pemberdayaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup

yang layak. Hanya dengan pemahaman pelayanan demikian Gereja dapat berfungsi sebagai

agen transformasi di tengah masyarakat sebagai pewujudan karya keselamatan Yesus Kristus.

Gereja menjadi garam dan terang dunia.

Istilah ―diakonia‖ berasal dari bahasa Yunani, διακονια artinya pelayanan, sedangkan

orang yang melakukannya disebut sebagai pelayan (δίακονος). J. C. Sikkel pernah

mengatakan bahwa ―The church can live without buildings, without diakonea the church

dies‖. Secara teologis ini berarti , bahwa pelayanan/Diakonia adalah nafas gereja. Gereja baru

menjadi Gereja yang sesungguhnya bila melakukan pelayanan, oleh karenanya diakonia

sangat penting dalam rangka menunjukan eksistensi Gereja pada saat ini.

P:57

56

Tindakan Diakonia dapat dikenal dalam 3 bentuk, yaitu:

1. Diakonia Karitatif: yang dipandang sebagai bentuk Diakonia yang tradisional. Charity

adalah tindakan belas kasihan. Tindakan yang merefleksikan belas kasihan Allah

kepada manusia (bdk. Mat 25 : 31-46, yang dipandang sebagai dasar dari Diakonia

karitatif). Diakonia karitatif hanya melihat kondisi yang terjadi saat ini, hanya melihat

penderitaan, kemiskinan, bencana ataupun bentuk–bantuk lainya tanpa mencari lebih

jauh apa yang menjadi penyebab terjadinya penderitaan tersebut; Diakonia Karitatif

dipandang hanya bersifat insidental dan filantropis.

2. Diakonia Reformatif: yaitu sebuah tindakan Diakonia yang berorientasi pada

pendidikan dan memberikan pengetahuan serta keterampilan agar masyarakat mampu

keluar dari kemiskinan dan permasalahan yang dihadapi. Pelayanan diakonia ini lebih

menekankan pada aspek pembangunan. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan

community development (pengembangan kelompok).

3. Diakonia Transformatif: yang merupakan bentuk kepedulian dan keterlibatan langsug

Gereja dalam persoalan-persoalan sosial kemanusian. Diakonia seharusnya tidak hanya

memberikan belas kasihan kepada korban-korban kemiskinan dengan cara

memberikan bantuan-bantuan sebab jika hanya dengan cara itu besok mereka akan

datang lagi dan akhirnya terciptalah mental-mental ketergantungan. Diakonia adalah

pola pendekatan pengorganisasian komunitas agar mereka dapat merancang dan

merencanakan hidup mereka sendiri. Dalam pemahaman ini, Diakonia Transformatif

menempatkan Yesus sebagai tokoh yang disalibkan karena pengusa Romawi, pada saat

itu, merasa terancam akan keberanian Yesus dalam membela kaum tertindas. Jika

dianalogikan Yesus ingin mencapai sebuah situasi dimana kebutuhan terhadap sandang

pangan harus dicapai melalui keadilan (justice), kebebasan (freedom) dan martabat

dan pengharapan (dignity and hope). Di sinilah tekanan Diakonia Transformatif.

Dengan memperhatikan apa yang menjadi tugas Gereja dalam bidang pelayanan, maka

tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Gereja bertanggung jawab terhadap permasalah dan

pergumulan kehidupan masyarakat. Gereja tidak bisa tinggal diam dalam menanggapi

pergumulan masyarakat yang ada di sekitar. Itulah sebabnya, Gereja bertugas untuk

menghantar masyarakat memasuki kehidupan yang lebih baik dibandingkan sekarang.

Namun permasalah muncul, mengingat bahwa Indonesia adalah masyarakat yang

plural dan kehadiran Gereja belum tentu mendapat tempat di hati masyarakat. Di sinilah

perlu sebuah tindakan untuk membangun sebuah lembaga atau yayasan sosial Gereja yang

P:58

57

secara khusus memberikan perhatian terhadap permasalah-permasalahan yang muncul di

sekitar masyarakat umum. Gereja tidak perlu terjun langsung ke dalam pergumulan

masyarakat tersebut, melainkan kehadiran Gereja diwakilkan melalui keberadaan lembaga

atau yayasan sosial tersebut. Hal inilah yang dimaksud dengan Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) Kristen.

Jadi LSM Kristen adalah sebuah bentuk perpanjangan tangan Gereja dalam

menjalankan peran Diakonia-nya terhadap masyarakat umum. Tentunya apa yang menjadi

tugas dan panggilan LSM Kristen itu senantiasa berkaitan langsung dengan tugas dan

panggilan diakonia Gereja. Dan untuk melibatkan diri secara langsung dalam pergumulan

hidup masyarakat sekaligus menjadi mitra pemerintah, penulis melihat bahwa LSM Kristen

seharusnya mengambil bentuk sebagai organisasi professional yang mengembangkan nilainilai Diakonia Karitatif, Reformatif sekaligus Transformatif. Dengan demikian, Gereja tidak

menempatkan diri berseberangan dengan pemerintah, dan keberadaan Gereja pun bisa

menjadi garam dan terang bagi kehidupan melalui kehadiran LSM Kristen tersebut.

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat (Lsm) Kristen Dalam Mengembangkan Literasi

Digital

Sebagai Lembaga yang non-pemerintah, LSM Kristen perlu untuk melihat akar

masalah dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia; secara khusus yang

menyoroti tentang bidang pendidikan. Harus diakui bahwa sistem pendidikan di Indonesia

masih sangat lemah, sehingga tujuan Nasional yang hendak mencerdaskan kehidupan bangsa

masih sulit untuk dijangkau, akibat ketiadaan sistem pendidikan yang solid.

Sistem pendidikan formal pun sulit untuk diharapkan karena begitu besar biaya

pendidikan yang harus dikeluarkan oleh seseorang dalam menggapai gelar-gelar kesarjanaan

yang ada. Meskipun pemerintah sudah melakukan gerakan bebas biaya Sumbangan

Pendidikan dalam bersekolah, namun dalam kenyataan yang ada biaya-biaya di luar

Sumbangan Pendidikan yang besarannya cukup tinggi sehingga menyulitkan keberadaan

orang tua yang hidup di bawah garis kemiskinan. Belum lagi sekolah-sekolah swasta yang

mematok biaya tinggi dalam menempuh pendidikan di tempatnya.

Situasi ini harus menjadi keprihatinan bersama, entah itu dari sisi pemerintah

maupun oleh Gereja. Gereja tidak bisa tinggal diam dan berpangku tangan dalam

menghadapi kenyataan yang jelas-jelas sedang terjadi. Oleh sebab itu perlu langkah konkret

yang harus dilakukan Gereja dalam mendampingi permasalahan pendidikan yang sedang

P:59

58

terjadi ini. Dan langkah awal yang harus dilakukan Gereja adalah bekerja sama dengan LSM

Kristen untuk mencari dan menciptakan jalan keluar terhadap masalah pendidikan ini.

Celah yang bisa dilihat dalam menanggapi masalah pendidikan ini adalah teknologi.

Dewasa ini kemajuan teknologi begitu pesat, khususnya teknologi informasi. Dengan

kehadiran internet dan berbagai macam bentuk informasi lainnya, dunia – seolah-olah –

berada dalam genggaman. Melalui tekonologi informasi, semua perkembangan dunia dapat

diikuti bahkan ditelaah dengan seksama. Tidak ada yang dapat luput dari perkembangan

teknologi informasi ini. Menurut penulis, di sinilah celah yang harus dimasuki oleh LSM

Kristen dalam menanggapi permasalah pendidikan yang sedang dihadapi oleh masyarakat

Indonesia.

Dalam pengamatan penulis, umumnya orang memahami arti dan makna literasi digital

dengan menggunakan istilah yang berbeda, seperti TIK (Teknologi Informasi dan

Komunikasi) Standar, Standar Teknologi Pendidikan atau yang lainnya. Namun penulis

melihat istilah ini sangat identik dengan pengertian standar melek digital. Dan hal ini sangat

berimbas pada pengaitan pemahaman melek digital dalam kaitannya menghadirkan dan

mengembangkan ilmu pengetahuan di tengah-tengah masyarakat.

Bagi penulis, katimbang pendidikan selalu berkutat dengan wacana ganti kurikulum

(perhatikanlah bahwa hal ini selalu terjadi ketika ada pergantian Menteri Pendidikan) yang

berimbas pada polemik panjang dan memakan dana yang tidak sedikit, sebaiknya para

pemangku jabatan dan setiap pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mulai

berpikir tentang 'mempersiapkan generasi yang melek digital'.

Tindakan ini hendaknya bukan cuma sekadar 'perintah' dan 'basa-basi' yang

kemudian tidak ditindaklanjuti. Tindakan ini harus menjadi tindakan nyata yang dilakukan

oleh setiap pakar pendidikan dan penggiat pendidikan dengan cara melengkapi kebutuhan

sekolah dengan tools atau alat-alat yang diperlukan serta dengan meningkatkan kemampuan

guru dalam menggunakan TIK (bahkan para calon guru) sehingga guru dapat membuat draft

pengajaran yang benar yang mengacu pada penggunaan TIK agar dapat disebarluaskan dalam

sistem pembelajaran secara digital. Itulah sebabnya diperlukan pembentukan-pembentukan

web-site yang jelas, oleh LSM Kristen yang bergerak di bidang pendidikan, dan itu kemudian

disebarluaskan kepada masyarakat agar masyarakat dapat berselancar untuk memasuki

alamat-alamat web-site yang akan menghantar masyarakat menuju pada pembebasan dari

kebodohan. Jadi hal ini semacam Pendidikan Luar Sekolah (PLS) dan /atau home-schooling

yang tidak berbayar namun bisa diakses kapan pun. LSM Kristen hendaknya bisa

menciptakan peluang seperti ini.

P:60

59

Di sisi lain, LSM Kristen pun perlu mempertemukan para pakar pendidikan dengan

pemangku jabatan agar mereka dapat bersinergi di bidang pendidikan untuk

mengidentifikasi standar melek digital untuk para pelajarnya, yang adalah masyarakat umum.

Standar ini mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang dibutuhkan

untuk menjadi sukses di abad 21; dan draft-nya harus disusun mulai dari Taman Kanak

Kanak sampai tingkat universitas. Tujuan mereka juga untuk mengidentifikasi bagaimana

mendayagunakan teknologi sebagai pengajaran dan alat belajar secara tepat guna dan efektif.

Dan LSM Kristen perlu untuk memfasilitasi hasil rencana pembuatan draft pendidikan itu

yang kemudian dituangkan serta dihadirkan di dalam laman-laman yang bisa dikunjungi oleh

masyarakat umum melalui internet. Dengan demikian tercipta pendidikan gratis yang

memungkin orang belajar kapan pun dan di mana pun, sekaligus menciptakan sebuah

tindakan arief yang mengajak setiap masyarakat untuk berselancar di dunia internet dengan

aman sekaligus mencerdaskan kehidupan berbangsa.

Kepustakaan

Abineno, J.L.Ch., Sekitar Diakonia Gereja, Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 1976

Belshaw, AJ, "What is digital literacy?. A Pragmatic Investigation, 2012; dalam

http://etheses.dur.ac.uk/3446/

http://scalar.usc.edu/works/digital-literature-final-project/what-is-digital-literature

http://www.oercongress.org/wp-content/uploads/2017/01/Outcome-Report-OER-RoadmapMeeting-UNESCO-HQ-30_31-March-2016-final.pdf.

https://apjii.or.id/content/read/39/264/Survei-Internet-APJII-2016

https://digitalliteracy.cornell.edu/.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/tributa

Noordegraaf, A, Orientasi Diakonia Gereja, (ed)., Sahetapy, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,

2004

Sanit, Arbi, Swadaya Politik Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985

Widyatmadja, Yosep P., Sebagai Misi Gereja: Praksis dan Refleksi Diakonia Transformatif,

Yogyakarta: Kanisius, 2009.

P:61

60

PESAN PERDAMAIAN MELALUI LITERASI DIGITAL

Rannu Sanderan50

Pendahuluan: Realitas Baru

Sebuah satu fenomena global yang menarik dalam piala dunia tahun 2018 adalah di

mana panitia penyelenggara Rusia mengundang anak-anak dari berbagai pelosok dunia

untuk turut dalam program F4F, (football for friendship), hal yang menyatakan bahwa

perdamaian pun perlu disemai sedini mungkin kepada anak-anak atau generasi muda demi

masa depan dunia yang tentram.

Pentingnya perdamaian dunia merupakan kehendak dasar dan luhur dari bangsa

Indonesia. Sebagaimana secara spesifik melalui konstitusi UUD 45, Bangsa Indonesia

menyadari bahwa untuk membentuk dan menata sebuah keindonesiaan maka salah satu citacita yang perlu diperjuangkan adalah: ―perdamaian abadi dan keadilan sosial‖ (alinea

keempat). Cita-cita luhur ini diharapkan dapat menjiwai setiap interaksi dan komunikasi

sosial anak bangsa. Saat ini generasi bangsa Indonesia sedang mengalami demam

hyperteknologi, hampir setiap orang sudah menjadikan media elektronik (aplikasi media

sosial) sebagai kanal utama dalam melakukan interaksi sosial mereka.

Media elektronik sejauh yang dapat diamati sekarang ini ternyata cukup kuat

membentuk opini publik, ditambah aliran transmisi informasi dan komunikasi dunia digital

merembes sangat cepat melintasi batas. Selain itu, tema-tema yang disajikan turut

menginjeksi nilai moral individu yang selanjutnya memengaruhi perilaku sosial dan berbagai

bentuk kebiasaan masyarakat. Informasi dari media sosial pada gilirannya menjadi acuan

dalam trend budaya dan etiket masyarakat.

Isu-isu yang menjadi pokok pembicaraan umumnya diperoleh dari media sosial. Pola

interaksi sosial dalam masyarakatpun sangat dipengaruhi oleh tema-tema yang diunduh dari

dunia digital, khususnya yang sedang ―viral‖. Banyak hal-hal positif yang dapat diperoleh dari

dunia digital, seperti pendidikan, keterampilan dan peningkatan ekonomi kreatif, hingga

siraman rohani, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat langsung melalui jaringan

internet. Jika sajian informasi bernuansa positif maka hasilnya tentu konstruktif dan lebih

memberi manfaat bagi individu maupun keuntungan bagi khalayak umum, sebaliknya bila

temanya negatif maka perilaku pengguna akan negatif, merugikan bahkan bisa brutal. Kita

50 Rannu Sanderan, M.Th adalah Dosen di STAKN Toraja.

P:62

61

tidak dapat menutup mata pada kenyataan bahwa seringkali persoalan dalam masyarakat

dan bangsa juga disebabkan oleh informasi provokatif yang negatif dari internet. Konflik

antarpribadi, antarkelompok, bahkan bangsa sekarang ini sering dipicu oleh karena interaksi,

kesalahpahaman dan hoax. Banyak orang sudah dikorbankan akibat perseteruan dan

kebencian yang disebar oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab melalui internet. Jika

kita membiarkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab ini menyalahgunakan dunia

digital untuk mencipta perang dan konflik maka masyarakat tidak akan pernah merasakan

kedamaian. Sejarah membuktikan bahwa perang dan konflik hanya melahirkan penderitaan,

kesengsaraan serta kehancuran baik manusia maupun lingkungan hidup. Oleh karena itu,

umat manusia sangat butuh kedamaian demi menciptakan peradaban yang lebih manusiawi,

baik untuk manusia sendiri maupun untuk alam semesta. Damai merupakan syarat utama

untuk kemajuan peradaban dan kebudayaan manusia, dan tiap insan pasti mendambakan

nilai perdamaian. Karena begitu pentingnya perdamaian sehingga ia senantiasa dicari,

diupayakan dan dirawat dengan bermacam cara serta melalui berbagai media.

Peran dunia digital amat penting untuk menyemai perdamaian sesuai kebutuhan dan

tantangan jaman sekarang. Pesan-pesan yang intinya bertema perdamaian membutuhkan

media digital untuk terus membahasakan misi mulia perdamaian yang otentik, agar dapat

menyeimbangi gempuran informasi bernilai negatif ataupun hoax. Nilai-nilai perdamaian

otentik yang dimaksud adalah nilai yang mendahulukan kepentingan orang banyak,

mengutamakan keadilan sosial, bermakna humanis, berorientasi budaya kehidupan dan

berlandaskan etika universal serta peka pada suara hati nurani. Pesan-pesan damai perlu

dipreskripsi bagi struktur sosial yang ada secara rutin, agar dengan perlahan dunia digital

turut berkontribusi membentuk budaya dan struktur sosial yang damai.

Digitalisasi Pesan Damai

Dalam satu atau dua dekade terakhir, dinamika budaya manusia mengalami kemajuan

yang sangat pesat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi, bahkan fenomena ini

bisa disebut lompatan budaya. Segala bentuk informasi baik teks, grafik, foto dan suara kini

terdigitalisasi oleh komputer. Dengan kemampuan koneksi yang cepat melalui internet dan

berbagai aplikasi digital, komputer sebagai salah satu produk teknologi telah membawa

perubahan budaya global yang memupus berbagai batas dan sekat budaya antarumat

manusia menjadi makin tipis, bening bahkan cenderung runtuh.

Dalam era ini, di mana orang-orang dari seluruh dunia terhubung melalui jaringan

internet, maka sangat diperlukan upaya dan penggalakan suatu bentuk Globalisasi

P:63

62

perdamaian. Penyebaran pesan-pesan damai secara digital dikampanyekan setiap saat dalam

berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan dan keagamaan.

Pesan damai yang terdigital berarti memiliki pengaruh dan jangkauan global.

Preskripsi sosial yang direkomendasi secara digital tersebut akan menghasilkan etika global

dengan spirit damai. Globalisasi tersebut membawa dan menuntut perdamaian dunia; budaya

solidaritas dan ekonomi yang adil. Dalam perkembangan globalisasi sekarang ini ada tiga hal

yang mengemuka dan menjadi topik yang mewacana di berbagai media, yakni: perdagangan

internasional, pasar moneter dan informasi komunikasi melalui alat-alat elektronik. Dalam

era sekarang ini orang semakin lebih bebas melintasi perbatasan-perbatasan yang selama ini

dibuat untuk menegaskan suatu teritori, seperti bangsa. Batas-batas tersebut secara politis

dan ekonomis tetap ada, namun yang sulit untuk dihalangi lagi adalah komunikasi dan

informasi elektronik.

Globalisasi sendiri merupakan peluang dan tantangan, ajang pertemuan sekaligus

persaingan antarbangsa, baik secara ekonomi maupun politis. Interaksi global ini dapat

menimbulkan gesekan-gesekan kepentingan antar kelompok atau antarbangsa. Namun pada

pihak lain, interaksi ini dapat menjadi sarana untuk mempererat persaudaraan atau menjalin

persahabatan dengan orang-orang dari berbagai pelosok dunia. Sarana komunikasi dan

informasi yang paling banyak digunakan adalah internet. Dengan demikian hubungan

kerjasama dalalm ekonomi maupun politik lebih banyak dilakukan dengan interaksi melalui

internet. Hal ini menjadi jalan bagi setiap pihak yang terlibat baik pebisnis, politisi, khalayak

ramai, dan semua pihak yang terlibat untuk melaksanakan transaksi dan interaksi yang adil

dan bersahabat sebagai salah satu bentuk pesan damai kepada setiap orang yang terlibat

dalam interaksi tersebut.

Usaha digitalisasi budaya, baik budaya tulis, visual, maupun lisan perlu terus digalakkan sehingga kita dapat

mengembangkan model-model digitalisasi pesan damai untuk memahami dinamika narasi dan budaya keindonesiaan, serta

cara kita melakukan hubungan sosial.

Kemajuan teknologi komunikasi dan jaringan mendukung berbagai aplikasi yang

memungkinkan Pesan-pesan damai dapat disampaikan dengan bahasa-bahasa universal. Ada

beberapa pola dan bentuk yang dapat dipakai sebagai media transmisi nilai dan kodifikasi

pesan-pesan perdamaian, baik olahraga (latihan bersama, lomba, pertandingan persahabatan,

pertukaran pemain dan pelatih, dll) estetik (tari, musik dan nyanyian, warna dan lukisan,

mime, patung dan monumen, dll.) grafik dan teks (poster, baligo, lampu warna, publish buku

bersama, tulisan jurnal bersama, riset gabungan, dll) hingga penyelenggaraan event

(eksibisi/pameran, perayaan-perayaan, simulasi, aksi dan doa damai bersama, diskusi dan

seminar, student exchange, aksi sosial, tanggap bencana dan charity bersama, dll), termasuk

P:64

63

mendorong pembuat aplikasi-aplikasi game serta youtuber untuk turut terlibat memasukkan

nilai damai dalam industri mereka. Semua pola-pola dan beberapa bentuk di atas dapat

dibagikan serta dikomunikasikan melalui media digital, baik perencanaan, sosialisasi hingga

implementasinya. Dengan demikian, digitalisasi pesan damai dapat dikembangkan dalam

gagasan-gagasan tersebut, mempercepat penyampaiannya hingga memperluas jangkauannya.

Mengupayakan Perdamaian Agama

Hans Kung mengatakan bahwa pra-syarat perdamaian antarbangsa adalah

mendahulukan perdamaian antargama (...peace among religion). Sejatinya, prinsip perdamaian

merupakan isu perennial, sehingga seiring perjalanan waktu setiap anak zaman perlu selalu

mengupayakan damai sebagai fondasi yang menopang hidup yang berkelanjutan. Makna

perdamaian yang abadi akan hadir dalam wujud yang khas pada setiap fase kehidupan dan

dalam keunikan masing-masing budaya. Jadi tidak ada satu formula baku yang berlaku

seragam untuk seluruh budaya yang ada. Ia akan hadir secara dinamis di antara dorongan

nurani yang baik serta tarikan hasrat yang negatif.

Maka makin disadari betapa pentingnya agama tampil menjadi spirit yang

mendinamisasi nilai-nilai perdamaian, agar masyarakat hidup dalam tatanan budaya damai

sesuai peran, tanggungjawab dan identitasnya masing-masing. Loncatan budaya dalam era

hyperteknologi ini dapat menjadi peluang besar bagi kaum pencinta dan pembawa damai

melakukan perannya, kendati harus sedikit berjuang agar fasih memanfaatkan potensi dunia

digital, mulai dari jaringannya maupun aplikasinya. Peluang ini pun juga tidak lepas dari

tantangan dan gempuran informasi provokatif yang negatif dalam jaringan dunia digital, di

mana ajaran agama menjadi komoditi yang rentan dimanipulasi sebagai pemicu konflik.

Informasi kekerasan dengan mudah diblow up untuk membangun sentimen dan solidaritas

dangkal.

Konflik dan kekerasan bernuansa keagamaan semakin tak terhindarkan karena

bangkitnya fundamentalisme agama yang mendapat dukungan dana baik secara lokal,

regional maupun internasional. Pada pihak lain, potensi konflik SARA juga diakibatkan oleh

mobilisasi kekuatan politik yang mengatasnamakan agama. Politik dengan menunggangi

agama menggunakan kendaraan radikalisme ajaran agama menjadi panduan teror dalam

dunia digital yang akhirnya mengorbankan banyak nyawa, menghilangkan persaudaraan dan

merusak perdamaian dalam kehidupan umat. Fenomena ini menunjukkan bahwa kemajuan

dalam bidang ekonomi dan pendidikan belum membuat masyarakat Indonesia mencapai

kecerdasan keberagamaan, khususnya mengelola kehidupan dalam konteks masyarakat yang

dicirikan oleh multikeberagamaan dan multibudaya. Hal ini menyebabkan banyak kalangan

P:65

64

pesimis dengan keadaan masyarakat Indonesia; Olaf H. Schumann seorang pemerhati

kerukunan umat beragama, tetap keyakinan akan terwujudnya masyarakat yang pluralis di

Indonesia. Dia amat optimis dengan Pancasila sebagai payung yang baik bagi semau umat

berbaga. Oleh karena itu Schumann dalam perspektifnya sendiri kurang setuju pada orang

Kristen yang mengejar jabatan sebagai kepala daerah karena menurutnya akan lebih baik bila

orang Kristen mengupayakan partisipasi mereka dalam bentuk lain. Keadaan minoritas di

Indonesia harus dimaknai dengan ajaran garam dan terang yang selalu minoritas, tetapi

bermanfaat bagi lingkungannya. Itulah yang harus diperjuangkan di Indonesia, yaitu

mewujudkan suatu tatanan masyarakat dan negara yang berusaha mewujudkan kehidupan

yang manusiawi, adil dan benar dan sejahtera.

Pesan-pesan perdamaian antaragama masih merupakan tema yang minim, lemah dan

subordinan dibanding dengan tema-tema provokatif negatif serta hoax. Kalaupun tema itu

ada, maka masih butuh penguatan dan dukungan dari segala pemangku kepentingan,

khususnya rohaniwan atau teolog. Contohnya, jumlah situs-situs radikal yang diblokir oleh

pemerintah (Kemkominfo-red) jauh lebih banyak dibanding situs-situs yang memberi pesanpesan positif dan mendamaikan.

Kampanye perdamaian sepatutnya selalu direncanakan dengan baik dan dilakukan secara profesional dan

dilakukan secara terus menerus melalui dunia digital. Dalam hal ini, kaum agamawan perlu turut berpartisipasi serius dan

ikut bertanggung jawab dalam melakukan publikasi pesan-pesan damai melalui berbagai cara dengan menggunakan media

digital.

Setiap agama sejatinya bertujuan untuk menuntun umat berjalan menuju keselamatan

dengan memperoleh kebahagiaan dunia sekarang dan nanti. Secara alamiah, setiap orang

menginginkan kebahagiaan. Orang melakukan berbagai cara termasuk menjalankan ajaran

agama dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh kebahagiaan. Jadi supaya seseorang bisa

bahagia maka kedamaian harus diciptakan telebih dahulu (maka peace first). Harus diakui

bahwa dalam berbagai literatur akademik masih kurang ditemukan literatur-literatur

peacebuilding. Kalaupun itu ada maka biasanya referensi itu dihasilkan karena sudah adanya

bencana yang mendahului. Artinya kesadaran preventif untuk turut menanam nilai pembawa

damai masih belum merupakan kesadaran ilmiah. Masyarakat ilmiah baik individu maupun

komunal masih ditantang untuk sanggup menghidupi nilai perdamaian yang inhern dalam

diri sehingga membentuk sikap dasariah dalam mengambil setiap keputusan dengan

mendahulukan perdamaian. Perdamaian dan kebahagian adalah dua sisi mata uang yang

tidak bisa dipisahkan. Orang-orang yang membawa damai adalah orang yang berbahagia.

P:66

65

Ajaran-ajaran agama yang seperti ini perlu disampaikan kepada umat dengan metode-metode

variatif secara digital.

Metode pembinaan umat kini mulai diperluas ke dunia digital, artinya ajaran-ajaran

agama yang membangun harmoni kehidupan umat dengan mudah dapat disebar dengan

ekfektif dan efisien oleh media elektronik. Cara ini dapat diterima dengan mudah dan diakses

setiap saat sesuai kesempatan umat. Pendampingan orangtua saat anak-anak sedang

menggunakan gawai dan percakapan-percakapan perlu diciptakan setelah mereka

memanfaatkan aplikasi digital dapat menanamkan nilai damai di tengah gempuran teknologi

informasi.

Pengarusutamaan nilai-nilai perdamaian memang masih butuh upaya filtrasi ke setiap

lini kehidupan agar kehidupan masyarakat lebih berbahagia. Tentu ada implikasi psikis dan

fisiologis dari masyarakat yang hidup dalam kebahagiaan (bersyukur dan bersukacita), yang

kontribusinya besar. Tujuan akhir dari manusia adalah kebahagiaan, namun untuk tiba pada

puncaknya maka manusia terlebih dahulu mesti mengupayakan tatanan nilai perdamaian

dalam segala aspek kehidupannya.

Sehubungan dengan itu, kehidupan yang damai antarumat beragama dapat tercipta

jika diadakan dialog timbal balik yang saling menghargai. Umat beragama yang berbeda

masing-masing diberi kesempatan untuk berbicara dan mendengar dalam kapasitas yang

setara dan sejajar serta dalam kesadaran bahwa masing-masing pihak mengungkapkan

kebenaran yang patut untuk dipertimbangkan. Hal ini akan menciptakan kerukunan

antarumat beragama apabila semua pihak yang terkait baik rohaniwan, pemerintah maupun

umat beragama memanfaatkan media digital dengan bijaksana dan dengan tujuan yang sama

yakni kesejahteraan dan kedamaian umat.

Para rohaniwan dan pemerhati kerukunan antarumat beragama perlu meningkatkan

kreativitas tentang pro-eksistensi untuk membimbing umat hidup bersama dalam perbedaan.

Problematika kehidupan umat yang makin kompleks seiring kemajuan teknologi informasi

tidak dapat dihadapi hanya dengan khazanan dogma agama saja. Mau tidak mau, kaum

agamawan harus mampu mengakomodasi dan menggunakan media digital secara kreatif

untuk mewacanakan solusi-solusi perdamaian dengan metode-metode sederhana

penyelesaian konfliks, baik internal maupun antaragama. Mengingat gencarnya kampanye

hoax yang menyebar isu kebencian atas perbedaan agama maka tanggungjawab para

rohaniwan adalah secara simultan dan terus-menerus saling bekerjasama, bergandengan

tangan melawan penyalahgunaan media internet.

Damai Adalah Budaya Indonesia Dan Dunia

P:67

66

Para pemangku kepentingan (pemerintah, pemimpin umat dan berbagai institusi

lain) hendaknya tiba pada penemuan solusi-solusi kreatif yang ada di sekitarnya serta

memiliki daya guna yang besar. Misalnya, modal sosial yang sudah dimiliki yakni budaya.

Dengan demikian perlu adanya upaya publikasi informasi tentang banyaknya kearifankearifan lokal (perennialis) yang sudah cukup lama terbukti sanggup menangkal radikalisme.

Kenyataan sosial dalam masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa kearifan lokal dengan

bijaksana telah merawat dan menjaga persaudaraan antaraumat manusia. Budaya-budaya

lokal Indonesia mementingkan dan menekankan kehidupan yang harmonis dengan sesama

juga dengan lingkungan. Semangat kultural bangsa Indonesia adalah mengusahakan

perdamaian dalam kekeluargaan dan gotong-royong. Hal ini sangat jelas dalam falsafah hidup

bangsa Indonesia yakni Pancasila.

Hasil penelitian penulis di Toraja, menunjukkan bahwa budaya lokal dapat menjadi

perekat dalam kehidupan masyarakat yang berbeda agama. Dalam pemikiran orang Toraja,

setiap manusia itu berharga dan perlu diterima sebagai sahabat bahkan kerabat. Bahkan

orang asing yang datang bertamu ke rumah perlu dijamu dengan baik. Jika terjadi konflik

maka yang paling dipentingkan adalah kedamaian (karapasan), bahkan jika kita berada pihak

yang dirugikan sekalipun, maka merupakan tindakan mulia jika kita terlebih dahulu

meminta maaf, bahkan berkorban sekali lagi jika dibutuhkan (Unalli melo=membeli

kebaikan/kedamaian). Tujuan hidup bersama adalah kedamaian, dan perbedaan merupakan

suatu hal yang wajar. Daerah-daerah lain pun pada umumnya memiliki memiliki filosofi

kedamian, seperti karakter hidup ―orang basudara‖ dari Ambon, ―mapalus dan momosat‖ dari

Sulawesi Utara, ―menyama braya‖ dari Bali, ―Sipakalebbi dan sipakatau‖ dari Bugis, konsep

―siro yo ingsun, ingsun yo siro‖ dari Jawa Timur, dan lain sebagainya. Demikian juga bangsabangsa lain yang memiliki konsep budaya tentang pentingnya kehidupan damai, misalnya

gagasan nir-kekerasan dari Mahatma Gandhi yang bersumber dari budaya India, Prinsip

harmoni toleransi dan perikemanusiaan dari Cina yang akarnya dari Taoisme, Martin Luther

King Jr., dengan ―the Great March‖, Martin Buber dengan ―perjanjian perdamaian‖ sebagai

dasar pertemuan antarbangsa dan rekonsiliasi antarmereka yang sedang bertikai, Albert

Schweitzer dengan ―rasa hormat akan kehidupan‖ dan event penganugerahan Nobel

perdamaian yang terus-menerus.

Kaum agamawan, budayawan, pemimpin masyarakat dan pemerintah perlu bersamasama terus membangun saluran-saluran komunikasi secara digital agar nilai-nilai budaya ini

dapat terpublikasi untuk diangkat kembali ke permukaan. Jika hal ini dapat dilaksanakan

P:68

67

maka setiap generasi memiliki pegangan yang berasal dari budaya mereka sendiri untuk

mengupayakan dan menciptakan kehidupan yang damai dalam perbedaan.

Kedamaian antarbangsa ditandai dengan perjumpaan berbagai budaya dalam suasana

saling menghargai identitas khas masing-masing. Setiap bangsa dan budaya manapun dapat

bertemu dalam kondisi etis sebagai berikut: pertama, adanya kesepakatan pada kultur nirkekerasan dan penghargaan pada kehidupan, kedua: adanya kehendak bersama

mengupayakan budaya harmoni dan pengutamaan keadilan sosial, ketiga: upaya

menumbuhkan budaya saling menerima dan saling menghargai kekhasan serta keunikan

masing-masing, keempat penanaman nilai persaudaraan antar yang terjalin antarumat yang

berbeda keyakinan.

Penutup

Kedamaian bukan berarti tanpa konflik, namun kedamaian memungkinkan setiap

peran dan fungsi yang berbeda sanggup mengelola konflik budaya tanpa kekerasan, ikhlas

saling melengkapi kekurangan sekaligus memberi penguatan secara tulus. Membangun

kedamaian bukan sekadar hidup berdampingan secara apa adanya (kau hidupi agamamu,

kuhidupi agamaku) namun pada saat yang sama kita lebih mengupayakan bentuk interaksi

yang saling menerima dan memberi ruang hidup bagi yang lain. Kampanye-kampanye damai

dan menyejukkan dari dunia digital sangat mendukung untuk mencipta kehidupan harmonis,

kreatif dan saling melengkapi. Sehingga dua sisi yang tak terpisah, yakni ―damai‖ dan

―bahagia‖ akan menjadi makin utuh. Pesan-pesan damai yang simultan dan kreatif menuntun

umat melampaui konsep hidup yang sekadar berdampingan, menuju budaya hidup yang

berorientasi pada kebahagiaan dan keprihatinan bersama. Kedamaian seperti ini melihat

problematika secara bersama dan sekaligus merajut potensi-potensi yang ada untuk

menyelesaian persoalan-persoalan bermasyarakat dan berbangsa. Kondisi seperti ini

memungkinkan setiap elemen bangsa yang berbeda dapat saling melengkapi, dan

membangun kekuatan bersama. Kedamaian dan kerukunan tidak hanya berarti hidup tanpa

persoalan dengan kelompok yang lain.

Konflik dan perang diciptakan untuk kepentingan sekelompok orang saja, tetapi

perdamaian adalah kebutuhan bersama seluruh umat manusia. Maka, rukun dan damai

mesti juga berarti bersama-sama menjawab persoalan bersama. Pesan-pesan damai ada dalam

setiap budaya, agama, filsafat bahkan sains. Para pejuang perdamaian dunia seperti King,

Gandhi, Dorothy dan kawan-kawan bersama para mistikus dan ahli fisika berkata ―kita

adalah bagian dari satu sama lain dan bagian dari tujuan Roh Pencipta untuk terus membawa

P:69

68

damai dalam kehidupan. Kedamaian menghilangkan semua ketakutan dan mengondisikan

umat manusia untuk membangun peradaban yang lebih manusiawi.

Kepustakaan

Adiprasetya, Joas, Berdamai dengan Salib: Membedah Ioanes Rakhmat dan Menyapa Umat, (Jakarta:

Grafika Kreasindo & UPI-STT Jakarta: 2010)

Allen, Charles Livingston, Perfect Peace (USA, Flemming H. Revell Company old Tappan, New

Jersey)

Andrew Farley, Surga adalah saat ini juga, (Jakarta: Light Publisihing, 2013)

Anick HT & Gita Widya L. S. (ed.) Perjalanan menjumpai Tuhan, bunga rampai refleksi agama,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015)

Daulay, Richard, Kristenisasi dan Islamisasi: Umat Kristen dan kebangkitan Islam politik pada era

reformasi di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014)

Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006)

Halverstadt, Hugh F., Mengelola konflik gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004)

John M. Kohler, Filsafat Asia, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2010)

Kim Hong Hazra, Menjadi Berkat di Kampus, (Jakarta: Literatur Pekantas, 2002)

Martin L. Sinaga, dkk (penyunting), Pergulatan kehadiran Kristen di Indonesia: teks-teks terpilih Eka

Darmaputera (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001)

Pakpahan, Binsar J., Allah mengingat: teologi ingatan sebagai dasar rekonsiliasi dalam konflik komunal

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017)

Philips, Richard D., Apakah pendamaian itu? (Surabaya: Momentum, 2014)

Rantung, Djoys Anneke, Resolusi konflik dalam organisasi: kajian dari perspektif pendidikan perdamaian

terhadap kasus konflik di lembaga pendidikan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017)

Shumann, Olaf H., Menghadapi tantangan, memperjuangkan kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2006)

Singgih, Emmanuel Gerrit, Menguak isolasi menjalin relasi: teologi Indonesia dan tantangan dunia

postmodern (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)

Stephen Arterburn, Healing is a choice, pemulihan adalah sebuah pilihan, (Surabaya, Literatur

Perkantas Jawa Timur, 2013)

Surbakti, Elisa B., Benarkah Yesus Juruselamat Universal? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008).

P:70

69

Suyanto, Agus dan Hartono, Paulus, Laskar dan Mennonite: perjumpaan Islam-Kristen untuk

perdamaian di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016)

Tim Pusat Penyusun Pusat Pembelajaran Mediasi dan Rekonsiliasi STT Jakarta, Membangun

Perdamaian: kumpulan kasus untuk pelatihan mediasi dan rekonsiliasi, (Jakarta: UPI STT Jakarta

bekerjsama dengan BPK Gunung Mulia, 2015).

Walter Wink (penyunting), Damai adalah satu-satunya jalan: kumpulan tulisan tentang nir-kekerasan

dari Fellowship of Reconcilliation (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012)

Woly, Nicolas J., Saudaraku di serambi iman: mengenal pokok-pokok ajaran agama sesama kita kaum

Muslim, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)

Yusak B. Setyawan, dkk., Perdamaian dan Keadilan: dalam konteks Indonesia yang multikulutural dan

beragam tradisi iman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017)

P:71

70

ETIKA MASYARAKAT KRISTIANI MEMASUKI

LINGKUNGAN DIGITAL

Benyamin Senduk Sugeha51

Pendahuluan

Suatu ciri khas dari Masyarakat Kristiani adalah masyarakat yang guyub dalam

pesekutuan dan berpegang pada dasar Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

Walau Alkitab selama ini kita ketahui bukan sekedar merupakan daftar ―perintah‖ dan

―larangan‖, namun Alkitab telah memberi arahan yang cukup mendasar mengenai bagaimana

seharusnya kita menjalani hidup sebagai orang Kristiani.

Bagi masyarakat Kristiani, Alkitab merupakan sumber yang perlu dipegang karena

mengarahkan bagaimana menjalani kehidupan sebagaimana layaknya pengikut Kristus.

Alkitab memang tidak secara eksplisit menguraikan segala situasi yang kita hadapi dalam

kehidupan zaman demi zaman.

Ketika dipertanyakan, bagaimana Alkitab membantu memberikan solusi pada setiap

persoalan. Maka disinilah Etika Kristen, dan selanjutnya Etika Masyarakat Kristiani sebagai

Etika social yang membahas tentang kewajiban, sikap, dan pola perilaku manusia sebagai

anggota masyarakat pada umumnya perlu untuk dimunculkan peranannya.

Etika Masyarakat Kristiani

Secara sederhana Etika dapat dipahami sebagai suatu aturan yang diberlakukan

dengan tujuan untuk menertibkan hubungan dengan orang lain agar dapat terjalin

komunikasi yang baik dan akrab. Selanjutnya etika masyarakat termasuk dalam kelompok

etika sosial yang merupakan peraturan yang dianut oleh suatu tatanan sosial / masyarakat,

sebagai hasil endapan kreasi manusia yang tercipta dengan tujuan untuk menjaga hubungan

dalam suatu masyarakat yang baik dan harmonis.

Dalam hal ini Etika sosial berlaku dalam suatu komunitas tertentu dan mempunyai

ciri tersendiri tergantung dimana diberlakukan karena juga terkait dengan adat istiadat yang

berlaku. Secara lebih luas Etika didefinisikan sebagai, ―serangkaian prinsip moral, kajian

mengenai moralitas.‖ Karena itu, Etika masyarakat Kristiani merupakan prinsip-prinsip yang

51 Dr. Benyamin Senduk Sugeha, M.Kes adalah Pengurus Yayasan Kristen YAKKUM RS Betesda Yogyakarta;

Pengurus Ormas MKI (Masyarakat Kristen Indoesia) dan Pengurus KADIN Daerah Istimewa Yogyakarta.

P:72

71

disarikan dari iman Kristiani yang kemudian menjadi landasan bagi tindakan kita. Alkitab,

pada beberapa hal memang tidak menyinggung dan membicarakan seluruh situasi khusus

yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari pada belbagai zaman, namun prinsipprinsipnya memberikan kepada kita standar & arahan untuk diikuti dalam berbagai situasi.

Dengan menggunakan prinsip-prinisp yang diajarkan Alkitab, orang Kristen dapat

menentukan jalan mana yang harus ditempuh, dalam situasi apapun. Dalam kasus-kasus

tertentu, ini merupakan hal yang sederhana, seperti peraturan hidup yang terdapat dalam

Kolose 3, misalnya. Namun dalam beberapa kasus lain yang lebih kompleks mungkin kita

perlu menggali lebih dalam. Adapun cara terbaik untuk melakukan hal ini adalah dengan

lewat doa mohon pencerahan Firman Tuhan disamping berusaha masuk dan mempelajari

berbagai aspek yang terkait dengan hal-hal yang lebih mendasar. Bukankah Roh Kudus

mendiami setiap orang percaya. PerananNya dalam hidup orang percaya termasuk mengajar

bagaimana seharusnya kita hidup, sebagaimana tertulis Yohanes 14:26 (TB): Tetapi

Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan

mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah

Kukatakan kepadamu. Demikian pula sebagaimana terulis dalam 1 Yohanes 2:27 (TB) sebagai

berikut : Sebab di dalam diri kamu tetap ada pengurapan yang telah kamu terima dari padaNya. Karena itu tidak perlu kamu diajar oleh orang lain. Tetapi sebagaimana pengurapan-Nya

mengajar kamu tentang segala sesuatu — dan pengajaran-Nya itu benar, tidak dusta — dan

sebagaimana Ia dahulu telah mengajar kamu, demikianlah hendaknya kamu tetap tinggal di

dalam Dia.

Komunikasi dalam dunia maya.

Di dalam menapak memasuki dunia Digital, kita memahami bahwa komunikasi dalam

dunia maya menjadi sarana yang mendasar. Adapun komunikasi merupakan suatu proses

ketika seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi, dan masyarakat menciptakan,

dan menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungan dan orang lain. Oleh karena

itu, disamping sebagai orang Kristen yang memakai kaidah2 Kristus, kita juga memakai

kaidah komunikasi sebagai warga digital. Masyarakat atau warga digital telah difahami

sebagai orang yang sadar akan hal baik dan yang buruk. Menjadi orang yang mampu

menunjukan kecerdasan dalam perilaku berteknologi, yang mampu membuat pilihan yang

tepat saat menggunakan fasilitas teknologi yang ada, ketika kita sedang mengekspresikan

ide/gagasan karakteristik, pribadi, maupun tujuan yang kita tuangkan kedalam dunia maya.

Karena lewat dunia maya, tidak mempertemukan individu dengan individu secara nyata,

P:73

72

tidak berhadapan muka dengan muka, sehingga karena itulah kita sering lepas kontrol. Oleh

karena itu dalam memasuki dunia maya diharapkan kita tetap sadar untuk menjaga sopan

santun & kejujuran sebagaimana halnya kalau kita berjumpa muka dengan muka. Karena

itulah pengertian masyarakat digital atau Digital Society sebagai wadah masyarakat

belakangan ini sering digunakan untuk memberikan edukasi mengenai pemanfaatan

teknologi dunia maya dengan baik dan benar. Komunikasi digital lewat komputer memang

mempunyai kemampuan untuk mentransfer pesan antar perangkat independen.

Dalam rangka berkomunikasi, perangkat komputer dihubungkan dalam beberapa

cara, sehingga peningkatan konektivitas teknologi informasi ini juga menambah kerentanan

munculnya kejahatan komputer.

Warga Digital

Warga digital ditengerai sebagai orang yang sadar akan hal baik dan yang buruk,

menunjukan kecerdasan. perilaku teknologi, dan bisa membuat pilihan yang tepat saat

menggunakan teknologi. Mereka telah memanfaatkan Teknologi Informatika untuk

membentuk suatu komunitas, pekerjaan, dan berekreasi.

Selama ini secara elementer, diantara warga degital telah muncul pula pemahaman

mengenai T.H.I.N.K yang merupakan tata krama diantara kewargaan digital yang baik dan

benar dalam berkomunikasi di dunia digital, baik itu berbentuk e.mail, facebook, twitter,

blog,forum, WA dan sebagianya. Adapun T.H.I.N.K merupakan akronim dari :

- Is it True (benarkah)?

Benarkah posting anda? Atau hanya isu yang tidak jelas sumbernya? -Is

it Hurtful (menyakitkanlah)?

Apakah post anda menyakiti orang lain?

- Is it illegal (illegalkah)?

illegalkah post anda?

-Is it Neccesary (Pentingkah)?

Pentingkah post anda? post yang tidak penting akan mengganggu orang lain

-Is it Kind (Santunkah)?

Santunkah post anda? tidak menggunakan kata-kata yang dapat menyinggung orang lain.

Disamping THINK di atas bebera warga mencoba memunculkan "Etika sederhana

Kewargaan Digital" yang meliputi keharusan.:

 Pemilihan kata yang tepat saat berkomunikasi

 Tidak menyinggung pihak lain

P:74

73

 Tidak memberikan informasi rahasia

Masyarakat digital (digital society)

Adanya warga digital telah memunculkan Masyarakat digital sebagai suatu realitas

dalam kehidupan di abad 21. Tidak heran bila banyak kaum cerdik pandai Kristiani yang

terlibat sebagai bagian dari komunitas digital yang ditengerai telah mewarnai banyak sektor.

Masyarakat digital saat ini diketahui telah melakukan transformasi di berbagai bidang,

khususnya sektor perbankan, pendidikan, kesehatan, kedokteran dan layanan pemerintah.

Data pemanfaatan Internet di Indonesia tampak dengan populasi 250 juta orang Indonesia,

ternyata 88 juta orang di antaranya aktif berinternet dan 79 juta orang Indonesia tercatat

aktif

Lingkungan digital (digital environment)

Lebih jauh ketika kita sebagai bagian dari masyarakat digital ingin meningkatkan diri

memasuki domain digital yang lebih luas seyogyanya memahami mengenai lingkungan digital

atau Digital Environment sebagai platform masyarakat luas dalan segala peramasalahan

digital.

Untuk itu definisi Lingkungan Hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda,

daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang memengaruhi

kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain, perlu

dipahami dengan saksama. Pengertian lingkungan hidup secara sederhana dapat dikatakan

sebagai segala sesuatu yang ada di sekitar manusia atau makhluk hidup yang memiliki

hubungan timbal balik dan kompleks serta saling mempengaruhi antara satu komponen

dengan komponen lainnya. Adapun unsur lingkungan dibedakan menjadi tiga, yaitu

Lingkungan Abiotik, Biotik dan Culture (budaya). Pada unsur budaya inilah permasalahan

lingkungan digital dibahas.

Terkait dengan lingkungan digital ini, seorang ahli, Robert J. Shapiro, pernah

menyatakan: Kita tiba-tiba menemukan diri kita ada di tengah-tengah sebuah revolusi

teknologi yang didorong oleh pengolahan digital. Di sekitar kita ada cara dan bentuk yang

kita tidak bisa sepenuhnya pahami, pengelolaan berbasis digital telah mengubah cara orang

bekerja secara bersama maupun sendirian, berkomunikasi, berhubungan, mengkonsumsi

barang dan berelaksasi. Perubahan ini cepat dan tersebar luas dan sering tidak sesuai dengan

kategori yang digunakan untuk memahami perkembangan ekonomi.

P:75

74

Beberapa tahun terakhir ini memang telah terjadi pertumbuhan yang sangat pesat.

Internet telah merevolusi cara berbisnis, mulai dari akuisisi sampai pelayanan pelanggan yang

pembayarannya dilakukan secara elektronik. Banyak institusi menemukan berbagai cara baru

dalam memberikan produk dan layanan digital.

Lingkungan digital muncul sebagai faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi di

abad kedua puluh satu ini dan mendapatkan perhatian yang signifikan oleh regulator dan

para pembuat kebijakan. Lingkungan digital ini ditengerai dengan maraknya perangkat

komunikasi, Internet, dan teknologi komputer. Juga ekonomi digital, bisnis yang

menyangkut E-commerce telah merevolusi cara berbisnis dan cara organisasi periklanan,

pemasaran, dan penjualan produk & jasa mereka. E-commerce secara luas didefinisikan

sebagai tindakan komunikasi dan transaksi bisnis melalui jaringan yang dimediasi oleh

komputer.

Akhirnya lingkungan digital dalam strategi E-commerce telah berkembang dan

meliputi: A)Bisnis-ke-bisnis (B2B) mengacu pada pertukaran barang dan jasa secara online

yang melibatkan transaksi-transaksi antara perusahaan dan pemasok (misalnya, CISCO).

B) Bisnis-ke-konsumen (B2C) adalah sebuah strategi bisnis yang secara online berhadapan

langsung dengan konsumen (misalnya, Amazon.com). C) Konsumen-to-Konsumen (C2C)

adalah sebuah strategi konsumen secara online berhadapan langsung dengan konsumen

lainnya (misalnya, eBay). D) Bisnis-ke-pemerintah (B2G) berkaitan dengan transaksi

elektronik antara perusahaan dan lembaga pemerintah lokal, negara bagian, dan pemerintah

pusat. E) Pemerintah-ke-pemerintah (G2G) strategi e-commerce mencakup semua program

dan kegiatan secara online antar instansi pemerintah (misalnya, transfer elektronik dana dan

deposit langsung). F) Pemerintah-ke-konsumen (G2C) mengacu pada transaksi online antara

lembaga pemerintah dan konsumen. Misalnya, transfer cek subsidi negara secara elektronik.

G)Peer-to-Peer (P2P) berkaitan dengan berbagi kemampuan komputer antar platform

aplikasi.

Penutup

Allah telah memberikan anugerah kebebasan kepada manusia. Tentunya anugerah itu

diberikan bukan tanpa tujuan tertentu, tetapi mengharapkan agar manusia menggunakan

anugerah yang diberikan-Nya untuk karya keselamatan dalam kemaslahatan seluruh umat

manusia.

Melalui Yesus Kristus, Allah memanggil dan menjadikan semua umat beriman sebagai

penyalur dan pengungkapan kasih-Nya. Artinya, melalui Yesus Kristus Allah memilih dan

P:76

75

menjadikan manusia sebagai rekan kerjaNya. Demikian pula kiranya masyarakat Kristiani

selaku warga digital dimampukan melakukan penilaian terhadap yang baik maupun yang

buruk, disamping tentunya menjadi kumpulan orang yang mampu menunjukan kecerdasan

dalam berteknologi.

Akhirnya diharapkan Masyarakat Kristiani Indonesia sebagai bagian dari masyarakat

digital dapat meneladani dalam kancah Digital Environment sebagai platform masyarakat luas

dalam segala permasalahan digital.

P:77

76

LITERASI DIGITAL : SAMPAI DI MANA ?

(Fixed mindset or Growth mindset)

Fibry Jati Nugroho52

Dunia Tanpa Sekat

Maraknya digitalisasi membuat pergerakan dunia semakin sempit. Yasraf Amir Pilang

dalam bukunya yang berjudul Dunia yang Dilipat menyatakan bahwa sekat-sekat dunia

sudah tidak ada lagi, semua sudah berubah menjadi dunia yang tidak terbatas dan tanpa

sekat. Di belahan dunia barat dengan mudahnya melihat dan menyaksikan kejadian di

belahan dunia timur, pun sebaliknya. Digitalisasi membuat denyut kehidupan semakin cepat

dan laju pertumbuhan menjadi peluang sekaligus ancaman bagi masyarakat di masa sekarang.

Di tengah gencarnya digitalisasi yang tak terbendung merasuk kepada masyarakat,

diperlukan kemampuan literasi yang mumpuni, untuk memaksimalkan manfaat dari

digitalisasi tersebut. Digitalisasi membuat informasi yang beredar tak dapat terbendung,

sehingga terjadi overload informasi di masyarakat. Untuk itulah diperlukan kemampuan

literasi guna memanfaatkan digitalisasi bagi kemaslahatan bersama. Dilihat dari definisinya,

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian bahwa literasi merupakan

kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Dalam pemikiran modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar

manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan. Kirsch

dan Jungeblut (1993) menjelaskan bahwa literasi kontemporer merupakan kemampuan

seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan

pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas. Besnier (dalam

Syahriyani, 2010) menjelaskan bahwa manfaat budaya literasi yang begitu besar, maka kita

perlu belajar dari sejarah peradaban besar di masa lalu dimana budaya literasi pada saat itu

dapat mendorong tumbuhnya inovasi baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Literasi

digital sendiri merupakan sebuah ketertarikan dan kemampuan menggunakan teknologi

digital, termasuk di dalamnya alat komunikasi untuk mengakses, mengelola,

mengintegrasikan, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan dan

berkomunikasi dengan orang lain secara efektif di dalam masyarakat.

52 Dr. Fibry Jati Nugroho adalah Wakil Ketua 1 bidang akademik di STT Sangkakala Salatiga, Jateng

P:78

77

Kemampuan literasi yang mumpuni di tengah masyarakat membuat informasi yang

beredar sangat banyak dapat dimanfaatkan untuk memajukan kehidupan bersama. Lantas,

pertanyaannya adalah apakah kemampuan literasi di era digitalisasi ini sudah mumpuni di

tengah masyarakat ? Ataukah masyarakat masih ―gagap‖ literasi ? Di sisi yang lain, ketika

generasi muda sekarang, atau lebih dikenal dengan generasi Z telah mumpuni memanfaatkan

digitalisasi telah melek literasi, bagaimanakah batasan etis dan kedalaman nilai hidupnya

dapat menyaring informasi yang begitu luasnya ? Tanpa nilai dan etika yang benar di zaman

digital, akan berdampak negatif dalam kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, digitalisasi perlu

dibarengi dengan kemampuan literasi dan disertai dengan internalisasi nilai-nilai kehidupan

yang benar.

Literasi Digital

Tokoh yang pertama kali mengemukakan istilah literasi digital adalah Paul Gilster. Ia

mendefinisikan literasi digital yaitu kemampuan menggunakan teknologi informasi beserta

dengan beragam pirantinya, untuk mempermudah kehidupan di segala bidang hidupnya

(Riel. et.al. 2012:3). Literasi informasi ini tidak terlepas dari perkembangan literasi komputer.

Munurut Shapiro dan Hughes (1996), tujuh komponen dari literasi komputer meliputi :

1. Literasi Alat : kompetensi menggunakan piranti lunak dan keras

2. Literasi sumber : pemahaman tentang berbagai sumber bentuk, akses dan informasi

3. Literasi sosial-struktural : pemahaman mengenai cara produksi dan manfaat informasi

secara sosial

4. Literasi penelitian : penggunaan teknologi informasi untuk penelitian dan

pengetahuan

5. Literasi penerbitan : kemampuan berkomunikasi dan menerbitkan informasi

6. Literasi teknologi baru : pemahaman mengenai perkembangan teknologi informasi

7. Literasi Kritis : Kompetensi untuk mengevaluasi pemanfaatan teknologi

Komponen tersebut yang mendasari perkembangan literasi informasi, yang kemudian

berkembang dalam literasi digital. Para pustakawan telah merumuskan tujuh hal yang

menyangkut aspek literasi informasi (SCONUL, 2006 dalam Martin, 2008). Adapun tujuh hal

tersebut adalah :

1. Mengenali informasi yang dibutuhkan

2. Menentukan cara untuk menyelesaikan kesenjangan informasi

3. Mengkonstruksi strategi untuk mendapatkan informasi

4. Mencari dan mengakses

P:79

78

5. Membandingkan dan mengevaluasi

6. Membandingkan, melaksanakan dan berkomunikasi

7. Meringkas dan menciptakan

Paradigma di dalam literasi komputer yang semula hanya terbatas dalam aspek alat dan

peralatan, telah berkembang ke arah keterampilan mental untuk memahami dan

memperbarui informasi. Dalam perkembangannya, Bawden lebih lanjut memberikan

penjelasan terkait aspek literasi digital, yaitu (Bawden, 2001) :

1. Perakitan pengetahuan yaitu kemampuan membangun informasi dari berbagai

sumber yang terpercaya

2. Kemampuan menyajikan informasi termasuk di dalamnya berpikir kritis dalam

memahami informasi dengan kewaspadaan terhadap validitas dan kelengkapan

sumber dari internet.

3. Kemampuan membaca dan memahami materi informasi yang tidak berurutan (non

sequential) dan dinamis

4. Kesadaran tentang arti penting media konvensional dan menghubungkannya dengan

media berjaringan (internet)

5. Kesadaran terhadap akses jaringan orang yang dapat digunakan sebagai sumber

rujukan dan pertolongan

6. Penggunaan saringan untuk informasi yang datang

7. Merasa nyaman dan memiliki akses untuk mengkomunikasikan dan

mempublikasikan informasi

Secara komprehensif, literasi digital berkaitan dengan aspek keterampilan teknis mengakses,

merangkai, memahami dan mempublikasikan informasi. Tokoh lain yang bernama

Buckingham, berpendapat bahwa terdapat empat komponen penting dalam literasi digital

(Buckingham, 2007), yaitu :

1. Representasi : Media digital merepresentasikan dunia bukan secara tunggal, namun

juga merupakan hasil intrepretasi dan seleksi atas kenyataan.

2. Bahasa : dalam dunia digital seseorang tidak hanya dituntut mampu berbahasa,

namun juga perlu memahami beragam konten dan genre. Hal lain juga dibutuhkan

keterampilan untuk memahami beragam retorika bahasa, baik eufimisme, persuasi,

metafora, hiperbola dan lain sebagainya.

P:80

79

3. Produksi : literasi juga berkaitan dengan motif komunikasi, tentang pemahaman

mengenai siapa, kepada siapa, mengapa dan bagaimana berkomunikasi, sehingga

dapat memahami keamanan konten.

4. Khalayak : hal ini terkait dengan posisi khalayak, tentang bagaimana media

menempatkan, menarget dan merespon, serta metode mendapatkan informasi perihal

privasi dan keamanan penggunanya.

Literasi digital lebih banyak berkelindan dalam literasi komunikasi dan literasi visual.

Kerangka digitalisasi mengajak penikmat media disuguhi dengan visualisasi sebagai sarana

yang memudahkan dalam berkomunikasi. Visualisasi di dalam digitalisasi membuat

kreatifitas dan daya imaginasi seseorang semakin meningkat. Seseorang dapat dengan mudah

mengapresiasi, menikmati sampai bersikap nyinyir ketika melihat visualisasi yang disuguhkan

oleh pihak lain. Untuk dapat menghasilkan dampak yang positif di dalam masyarakat, perlu

diketahui dimensi yang ada di dalam perkembangan dan pengembangan literasi digital.

Beberapa ahli sepakat bahwa dimensi digital meliputi sosial dan etika. Adapun rumusan dari

dimensi tersebut meliputi (Martin, 2008) :

1. Dimensi keahlian dalam aksi digital yang terkait di dalam pekerjaan, pembelajaran,

rekreasi dan keseharian.

2. Dimensi individual, dalam hal ini digitalisasi sangat bergantung dengan lingkungan,

situasi dan kondisi dimana ia hidup dan berada.

3. Dimensi pembentuknya, yaitu literasi komunikasi dan teknologi informasi.

4. Dimensi manajemen informasi, yaitu kemampuan untuk merencanakan,

mengumpulkan, menyaring, memanfaatkan dan mengevaluasi informasi berdasarkan

sikap dan tata nilai dalam menyelesaikan masalah dan tugas dalam kehidupannya

sehari-hari.

5. Dimensi kesadaran akan pengembangan literasi digital.

Dimensi yang ada di dalam literasi digital tidak dapat dinafikkan, akan tetapi perlu

ditelaah untuk dapat dikelola dalam pemanfaatannya dan pengembangannya di dalam

masyarakat. Kompleksitas yang ada di dalam literasi digital perlu diwadahi dalam

penyebarannya karena didalamnya terdapat sebuah dunia baru yang sarat dengan teknologi,

psikologi, fisik dan sosial. Oleh sebab itu, dalam penggunaan literasi digital diperlukan

sebuah proses pembelajaran yang holistik, sehingga kompleksitas yang menyertainya dapat

terkelola dengan baik.

P:81

80

Kedalaman VS Keluasan

Di era overload informasi, sebuah pertanyaan muncul yaitu apakah yang diperlukan di

masa sekarang ini kedalaman atau keluasan ? Dalam berbagai diskusi yang dihadiri oleh para

pengajar, baik di kalangan pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi, banyak keresahan

muncul perihal peserta didik yang tidak dapat berpikir secara dalam dan cenderung

mengalami kesulitan untuk mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya. Hampir semua

pendidik mempunyai satu suara, bahwa peserta didiknya kini mempunyai pemikiran dan

pengetahuan informasi yang luas, namun tidak mendalam. Perihal dualisme yang terjadi,

sedikit banyak dipengaruhi oleh pembelajaran yang tidak menyeluruh terkait dengan literasi

digital bagi penggunanya. Pembelajaran literasi digital akan sangat membantu dalam

memaksimalkan penggunaannya untuk mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.

Pada tahun 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program

Gerakan Literasi Nasional yang didalamnya banyak dikaji perihal literasi digital. Di dalam

gerakan tersebut dikemukakan bahwa proses pembelajaran literasi terdiri dari dua bidang,

yaitu pembelajaran formal dan non formal. Pembelajaran secara formal dapat dilakukan di

sekolah formal, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pembelajaran yang

diintegrasikan dengan pembelajaran di kelas akan sangat membantu peserta didik untuk

dapat memanfaatkan literasi digital dengan maksimal. Pembelajaran non formal dapat

melalui beragam kegiatan yang ada di masyarakat, baik kegiatan keagamaan, Karang Taruna,

komunitas hobi, PKK, maupun dengan kegiatan lain yang ada di masyarakat.

Kegiatan pembelajaran secara teknis dapat dilakukan secara korporat di dalam

masyarakat sangat penting apabila disertai dengan pembelajaran mengenai nilai-nilai

universal yang perlu dipahami oleh setiap masyarakat. Beberapa nilai universal yang perlu

dipahami dalam pembelajaran tersebut antara lain kebebasan berekspresi, privasi, keragaman

budaya, hak intelektual dan hak berkomunikasi. Pembelajaran yang utuh dapat memberikan

pemahaman bahwa media digital bak kepingan mata uang yang punya dua sisi. Satu sisi

dapat berdampak baik bagi kepentingan kehidupan manusia, akan tetapi sisi lain terdapat

sisi negatif yang dapat berujung kepada pelanggaran hukum. Nilai universal inilah yang

kemudian menjadi titik temu dari beragam budaya dan konteks di dalam masyarakat.

Literasi digital memberi kemudahan masyarakat untuk mengakses informasi, dimulai

dari informasi kesehatan, keluarga, bisnis dan beragam jenis informasi yang lain. Berita

positif, negatif, fakta, opini, gosip sampai kepada berita hoax bertebaran di media digital yang

ada. Tanpa penyaring yang baik, maka dampak dari overload informasi mengakibatkan

kebingungan di dalam masyarakat akibat dari keluasan informasi yang disajikan secara

P:82

81

beragam. Keluasan informasi ini memberi bekal kepada penikmat media digital untuk

memahami secara luas, tetapi tidak mendalam. Keluasan tanpa kedalaman mengakibatkan

kegalatan dalam berpendapat.

Ada sebuah prinsip dalam era digital, yaitu ga narsis ga eksis. Siapa yang narsis, dengan

selalu memunculkan fotonya, tulisannya, ataupun celetukannya di media digital, dialah yang

menjadi pusat perhatian dari penikmat media. Siapa yang rajin mengunggah kenarsisannya

merekalah yang dapat ―dipercaya‖ oleh penikmat media digital, atau lebih dikenal dengan

istilah warganet. Ketika yang narsis ini semakin laris untuk diikuti informasinya oleh

warganet, maka informasi yang dinikmati tidak dapat mendalam, karena bergantung dengan

berita yang disajikan oleh satu sumber saja, dan belum tentu kejelasan kebenarannya.

Pada era digital sekarang ini, seringkali terlihat ketika memasuki sebuah restoran atau

tempat makan, banyak anak muda khususnya, ketika makanan yang dipesan telah datang,

mereka tidak langsung menikmatinya, akan tetapi buru-buru memotret makanannya lalu

menshare di media sosialnya. Begitu foto-foto tersebut dishare, maka akan ditangkap dan

dibaca oleh banyak orang. Kemudian banyak orang berusaha mencari tempat makan tersebut

di mesin pencari google yang menautkan beragam foto terkait dengan kebutuhan orang lain

terhadap makanan, tempat, maupun masakan yang ada. Dalam hal ini, restoran menjadi pihak

yang diuntungkan karena maraknya narsisme dari para pengunjungnya. Di sisi yang lain,

apabila yang diunggah adalah kekecewaan, maka restoran tersebut menjadi korban dari

kerasnya dunia digital. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah kedalaman dalam pemahaman

terkait media sosial, sehingga tidak mudah memberikan opini dan justifikasi ketika melihat

sesuatu yang baik ataupun yang buruk. Apabila meminjam istilah seorang filsuf Perancis yang

bernama Rene Descartes mengatakan bahwa ―I think, therefore I am”, era sekarang dengan

adanya media digital perkataan tersebut telah berubah menjadi ―I share, therefore I am” (Kasali,

2017).

Terbuka atau Tertinggal

Di era digital, membuat semua informasi terbuka untuk dikonsumsi secara umum.

Sistem managemen yang dulu hanya menjadi konsumsi pimpinan, di era digital semuanya

terbuka menjadi konsumsi publik. Pengelolaan keuangan yang tidak semua mengetahui, di

era digital semuanya terbuka menjadi bahan amatan publik. Ingatan publik belum hilang

perihal pemerintahan di era gubernur Ahok yang menggunggah semua hasil rapatnya untuk

dikonsumsi oleh masyarakat luas. Bukan hanya itu saja, Ahok juga membuat sistem ebudgeting

P:83

82

yang dapat diakses publik guna melihat dapur anggaran yang ada di pemerintahannya. Apa

yang dilakukan Ahok menjadi sebuah fenomena yang menarik di dalam masyarakat, bahwa di

era digital masyarakat yang maju siap dengan keterbukaan di segala sisi.

Hal yang semula ―tabu‖, di era digital semuanya mulai terbuka. Ketika era digital

menuntut adanya keterbukaan informasi sebagai salah satu ciri khasnya, mindset dari

masyarakat menjadi tantangannya. Rhenald Kasali memberikan klasifikasi bahwa terdapat

dua golongan yakni fixed mindset dan growth mindset. Orang-orang yang tidak siap dengan

perubahan terkait dengan digitalisasi bukanlah dari kelompok orang kurang pandai, tetapi

dari golongan orang yang terkurung oleh cara berpikirnya sendiri (fixed mindset). Golongan

tersebut biasanya susah untuk berubah, karena sudah terkungkung oleh pemikirannya

sendiri. Growth mindset merupakan golongan dari orang yang selalu siap dan menyambut

perubahan dengan positif dan optimis.

Di era digital, dibutuhkan kemampuan untuk dapat terbuka dengan hal-hal yang baru

serta cepat beradaptasi terhadap perubahan. Orang yang berada di zona growth mindset akan

dengan mudah menerima perubahan yang terjadi. Namun, orang yang berada di dalam zona

fixed mindset akan mengalami kesulitan terhadap perubahan yang sangat cepat di dalam

dunianya. Pola pikirnya yang tertutup menjadi penyebab kurangnya kemampuan untuk

beradaptasi dengan perubahan di dunianya, sehingga mereka akan tertinggal dan menjadi

korban perkembangan zaman. Sementara itu, pola pikir yang terbuka akan dengan mudah

untuk menyambut perubahan demi perubahan, dikarenakan mereka memiliki kemampuan

untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Pertanyaannya, bagaimana cara

menyiapkan kemampuan orang-orang dengan growth mindset ?

Menurut Carol Dweck, orang-orang yang berada di dalam zona fixed mindset mempunyai

tipikal menolak tantangan-tantangan baru, menganggap kerja keras sia-sia, tidak senang

menerima kritikan, orang yang lebih hebat dari dirinya dianggap ancaman dan sering

membanggakan capaiannya di masa lalu. Pun sebaliknya, orang yang mempunyai growth

mindset mempunyai tipikal masih mau belajar, siap menerima tantangan baru, menganggap

kerja keras penting, siap menerima kritik dan saran negatif sebagai sarana evaluasi, dan

menjadikan orang yang lebih pandai darinya sebagai tempat belajar (Kasali, 2017). Di sinilah

peran pendidik baik formal maupun non formal diperlukan untuk melaksanakan

pembelajaran literasi digital. Growth mindset perlu ditanamkan dan dilatih sehingga orangorang dapat terbuka dan mampu menyambut perubahan dengan positif serta konstruktif.

Orang-orang yang terbuka dan siap bertumbuh akan mampu memanfaatkan digitalisasi

P:84

83

bukan hanya untuk dirinya, akan tetapi siap untuk berdampak bagi orang lain di sekitarnya.

Pilihannya ada dua terbuka atau tertinggal.

Digital Generation

Generasi digital demikian sering disebut sebagai generasi zaman now sebagai penikmat

perkembangan dunia digital. Generasi ini mempunyai definisi sendiri terkait dengan cara

berkomunikasi, cara belajar, cara memberi informasi, meneliti, menghibur maupun

mengekspresikan dirinya. Perubahan pola hidup inilah yang kemudian perlu disikapi dengan

baik oleh para pendidik, baik secara formal maupun non formal.

Sebagai contoh, cara belajar generasi digital sangat berlainan dengan generasi

sebelumnya. Generasi digital akan sangat menyenangkan ketika belajar sambil berselancar di

dunia maya. Mereka terbiasa untuk melakukan beberapa pekerjaan secara sekaligus. Di

dalam alat komunikasinya, akan terbuka beberapa jendela yang memuat beberapa informasi

sekaligus. Sembari belajar, mencari informasi, sekaligus menonton acara di televisi. Pendidik

yang tidak mengetahui cara belajar yang dipakai oleh generasi digital ini akan sangat

kewalahan, apabila menyajikan cara belajar dengan pola lama. Generasi digital akan merasa

sangat senang apabila pembelajaran yang dilakukan dibarengi dengan berselancar di dunia

maya. Belajar di dunia maya dan dunia nyata dapat dipadukan sehingga pembelajaran akan

terasa menyenangkan.

Bagi generasi digital, tidak ada pembedaan antara dunia nyata dengan dunia maya.

Dunia maya dianggapnya sebagai dunia nyata, senyata dengan dunia yang sebenarnya. Pola

yang demikian perlu dipahami untuk dapat masuk dan memberikan pelajaran nilai-nilai

hidup sebagai manusia. Para pendidik di sekolah formal perlu menyiasati dalam kerangka

perkembangan dunia digital. Para peserta didik sudah banyak menghabiskan waktu dengan

smartphonenya dan cenderung bersikap acuh terhadap guru yang mengajarnya. Apalagi ketika

informasi yang disampaikan dan metode mengajarnya tidak lebih baik dari apa yang

dilihatnya di media digital. Terus berkembang menjadi sebuah jawaban alternatif dalam

mendidik generasi digital.

Di sisi lain, generasi digital membutuhkan sentuhan kemanusiaan dan sentuhan

spiritual di dalamnya. Pembelajaran ini tidak didapatkan di dalam kelas formal. Pendidikan

non formal dapat disajikan melalui keluarga, lingkungan atau agama sebagai dasar

kepercayaannya. Sentuhan kemanusiaan dapat dihadirkan melalui interaksi dengan keluarga

dan lingkungannya. Generasi digital lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia maya,

baik melalui komputer pribadinya, ataupun melalui ponsel pintarnya. Untuk dapat

P:85

84

memberikan sentuhan kemanusiaan, dibutuhkan ruang-ruang perjumpaan, agar mereka

tertarik dengan dunia nyata. Ciptakan dunia nyata lebih menarik dari dunia maya. Apabila di

dunia maya terdapat banyak kesempatan untuk mengulang, banyak reward dan banyak

informasi yang disuguhkan, maka sedapat mungkin dunia nyata mempunyai fasilitas yang

lebih baik dari tawaran di dunia maya.

Generasi digital juga memerlukan sentuhan spiritual. Hal yang tidak didapatkan di

dalam dunia maya adalah sebuah sentuhan. Secara manusiawi, fisik dan psikis seseorang

membutuhkan adanya sentuhan dari orang lain dan juga sentuhan spiritual sebagai

pelengkap di dalam hidupnya. Tanpa adanya sentuhan dari orang lain, niscaya seorang

individu akan mengalami tekanan dan frustasi di dalam kehidupannya. Pendidik non formal,

dalam agama sebagai contoh kekristenan, bagian ini merupakan tugas dari seorang

rohaniwan, untuk dapat memberikan kebutuhan sentuhan spiritual bagi seseorang. Di dalam

sentuhan spiritual tersebut dapat ditanamkan pula nilai-nilai, tata cara kehidupan dan

standar kehidupan berdasarkan kepercayaan kekristenan. Tanpa sentuhan spiritual, generasi

digital akan menjadi generasi yang pandai, tetapi akan kehilangan martabatnya sebagai

manusia. Pertaruhannya adalah hidup digerakan oleh mesin digital atau hidup yang

digerakkan oleh kepercayaan akan Tuhan yang menciptakan kehidupan ini. Akhirnya,

sampai dimana literasi digital dikembangkan dan dipelajari oleh masyarakat ?

Kepustakaan

Bawden, D. (2001). Information and digital literacies: a review of concepts. Journal of

documentation, 57(2), 218-259.

Buckingham, D. (2007). Digital Media Literacies: rethinking media education in the age of the

Internet. Research in Comparative and International Education, 2 (1), 43-55.

Kasali, Rhenald. (2017) Strawberry Generation, Jakarta. Mizan

Martin, Allan. (2008). Digital Literacy and the ‗Digital Society‘ dalam Lankshear, C and

Knobel, M (ed). Digital literacies: concepts, policies and practices. Die Deutsche

Bibliothek

Piliang, Yasraf Amir. (2004). Dunia yang dilipat. Yogyakarta. Jalasutra.

Riel, J., Christian, S., & Hinson, B. (2012). Charting digital literacy: A framework for

information technology and digital skills education in the community college.Presentado

en Innovations.

P:86

85

KESADARAN DIRI PADA ERA TEKNOLOGI DIGITAL

Susana Prapunoto53

Dampak Peningkatan Penggunaan Teknologi Digital.

Pew Research Center 2016 (dalam Ward, Duke, Gneezy, dan Bos, 2017)

mengungkapkan bahwa 92% dewasa muda adalahpemilik telepon pintar, dan hidup sangat

bergantung pada telepon pintar tersebut. Sebagian dari mereka sekolah dan sebagian mereka

adalah orang tua dari anak yang masih sekolah. Data ini menunjukkan resiko merusak yang

potensial dari telepon pintar pada fungsi kognitif, seperti kemampuan domain-umum yang

mendukung proses fundamental seperti pembelajaran, penalaran logis, pemikiran abstrak,

pemecahan masalah, dan kreativitas. Penurunan fungsi kognitif mudah terjadi dan

dikhawatirkan memiliki efek besar pada kesejahteraan psikologis dalam jangka panjang.

Resiko merusak fungsi kognitif karena anak yang masih sekolah, masih memiliki peluang

panjang untuk mengisi kehidupan masa depannya, sedangkan orangtua menjadi model

potensial bagi anak-anak mereka.

Sebenarnya kehadiran teknologi digital amat berguna bagi pengembangan literasi

digital. Koneksi antar perpustakaan dapat dilakukan di seluruh dunia tanpa terbatas ruang

dan waktu. Sayangnya kehadiran perangkat seluler sebagai salah satu media digital, masih

minimal penggunaannya untuk mengembangkan proses pembelajaran dan pengujian, bahkan

sering tidak digunakan. Padahal menurut hasil kajian Pew Research Centre 2015 (dalam dalam

Ward, Duke, Gneezy, dan Bos, 2017) di luar sekolah anak-anak bahkan guru mereka hampir

tidak pernah meninggalkan telepon seluler, dan 46% mengatakan bahwa mereka tidak dapat

hidup tanpanya. Perangkat telepon pintar ini menghubungkan mereka dengan penawaran

berbagai konten dari seluruh dunia.

Peningkatan penggunaan teknologi digital di dunia, terus merambah pada semua

bidang kehidupan dan berdampak serius terhadap kehidupan psikologis dan rohani para

penggunanya. Oleh karena itu menjadi penting para pengembang sumber daya manusia

53 Dr. Susana Prapunoto, MA-Psy adalah Wakil Ketua Asosiasi Psikologi Kristiani periode 2018-

2023 dan sekaligus Dosen MK Interaksi Manusia dan Teknologi, Program studi Magister

Sains Psikologi – Program Pasca Sarjana, Universitas Kristen Satya Wacana 2016-2018. Selain

itu Penulis juga pengembang program pembinaan Guru Pendidikan Layanan Khusus di

bidang Literasi pada Kemendikbud RI (2015-2018).

P:87

86

untuk mengantisipasi dampak meningkatnya penggunaan teknologi digital. Terjadinya

dampak positif maupun negatif tergantung dari cara manusia yang menggunakan dan

menyikapi teknologi tersebut. Dampak positif seperti pertukaran data dan informasi melalui

newsgroup, email, “ftp” dan ―www” (world wide web – jaringan situs-situs web) membuat para

pengguna teknologi digital seluruh dunia dimudahkan untuk dengan cepat dan murah saling

bertukar informasi. Hal ini dapat dipahami, karena sekarang media untuk mencari informasi

atau data, amat didukung oleh perkembangan internet yang pesat. Fakta ini menimbulkan

―ftp.‖ dan ―www.‖ dianggap sebagai salah satu sumber informasi yang penting dan akurat.

Kemudahan memeroleh data dan informasi yang ada melalui internet, membuat manusia

dapat mengetahui apa yang terjadi di luar dirinya, bahkan real time. Tentu saja hal ini amat

membantu pengembangan dan pengambilan keputusan bidang pendidikan, seni dan budaya,

sosial, ekonomi, politik, bahkan bidang kerohanian dan lain-lain. Lembaga kerohanian,

pendidikan, sosial dll., dengan mudah dapat melakukan analisis kebutuhan warganya/

responden, sehingga dapat menyiapkan pelayanan yang sesuai dan menjawab kebutuhan.

Google form misalnya adalah salah satu jenis layanan teknologi yang dapat memudahkan

lembaga, memiliki data dasar dan informasi yang dikehendaki secara cepat dan efisien. Saat

ini beberapa lembaga mulai menggunakan google form untuk memeroleh data sebagai dasar

monitoring & evaluasi bahkan untuk mendapatkan data dasar kebutuhan/ masalah individu

yang dilayaninya. Hal ini juga merupakan hal positif dari media digital.

Dampak negatif dapat terjadi bilamana para pengguna belum memiliki kesadaran

dalam menggunakannya. Kaum muda terutama anak-anak dan remaja tidak sedikit yang

mengalami kecanduan sosmed (facebook, twitter, instagram, dll) serta menjadi korban karena

kegagalan dalam memahami identitas online yang digunakan. Selain itu kaum dewasa bahkan

orang tua juga kerapkali terpapar dan cukup banyak yang menjadi pelaku utama

berkembangnya kasus-kasus terkait problem teknologi digital. Akibatnya beberapa

persoalan cyber crime juga meningkat; seperti hoax, ujaran kebencian, cyber bullying, illegal copy,

plagiasi maupun duplikasi. Cybercrime sebagai bentuk kejahatan di dunia maya berkembang

lintas negara bahkan benua dan seringkali terdapat beberapa kesulitan dalam

pembuktiannya secara hukum, misalnya kasus-kasus hacking maupun cracking. Selain itu

kasus penipuan melalui media sosial juga menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu.

Tindak kekerasan dan kesadisan juga amat cepat penyebarannya. Media masa berburu untuk

menjual berita-berita kasus kriminal secara bombastis tanpa memikirkan dampak negatif

penyebarannya. Demikian juga kasus perjudian online atau internet gambling, para penjudi tidak

P:88

87

harus pergi ke suatu tempat perjudian melainkan dapat melakukannya di tempat masingmasing. Bahkan tanpa disadari seringkali games online juga dikemas seperti pola perjudian,

sehingga perlahan anak-anak yang dalam tumbuh kembangnya menyukai game online akhirnya

sebagian juga terseret dalam arus perjudian. Persoalan pencurian melalui carding semakin

banyak juga dikeluhkan dalam dunia perbankan. Para penjahat menggunakan kartu kredit,

ATM secara online dan menggunakannya secara real time tanpa disadari pemiliknya. Selain itu

penyebaran konten negatif seperti pornografi dan pornoaksi juga secara masif beredar

memacu kecanduan blue film, dan perilaku seks bebas semakin berkembang juga. Singkatnya

berkembangnya teknologi digital merupakan satu kondisi yang dapat mengubah semua

aspek kehidupan.

Perubahan kecenderungan penggunaan teknologi digital di Indonesia dapat dilihat dari

data yang dilaporkan oleh Global Web Index. Pada Januari 2018 data menunjukkan, bahwa 56%

total populasi di Indonesia yang tergolong Urbanisasi telah menggunakan teknologi digital

dalam kehidupan sehari-hari dengan penetrasi: 50% memakai internet, 49% menggunakan

sosial media, 67% unique mobile user, 45% active mobile social user. Sumber yang sama telah

melakukan survey mengenai waktu yang dipakai pengguna teknologi digital dan memiliki

data dasar Figures Represent Respondent’s Self mengenai rata-rata pemakaian internet dalam satu

hari sebanyak 8 jam 51 menit, pemakaian sosial media 3 jam 23 menit, melihat TV (broadcast,

streaming dan video on demand) 2 jam 45 menit, dan mendengarkan musik (streaming) 1 jam 19

menit. Diperoleh data juga bahwa jumlah penduduk yang melakukan belanja melalui ecommerce sebagai berikut: Busana dan kecantikan 2,466 M, Elektronika dan media fisik 1,273

M, Makanan dan Perlengkapan pribadi 0,593 M, Furniture & Appliances 1,288 M, Toys, Diy &

Hobbies 1,436 M, Transportasi perjalanan dan Akomodasi 2,417 M, Musik Digital 0,004 M dan

Video games 0,792 M. Sedangkan media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia

adalah 43% Youtube, 41% Facebook, 40% Whatsapp, 38% Instagram, 33% Line, 28% BBM, 27%

Twitter, 25% Google, 24% Messenger, 16% Linkedin, 15% skype, 14% Wechat.

Fakta juga menunjukkan penggunaan teknologi digital cukup tinggi untuk

kepentingan konsumtif. Sebagian besar pengguna teknologi digital menggunakan teknologi

digital lebih pada penggunaan media sosial; chatting, menelepon atau video call dengan orang

lain, penggunaan internet, main game, belanja online, menonton film melalui youtube atau sosial

media, atau membaca novel secara digital. Kesemuanya lebih banyak untuk kepentingan

P:89

88

konsumtif. Hanya sebagian kecil yang menggunakannya untuk mengembangkan ilmu dan

pengetahuan di bidangnya. Fakta ini menunjukkan bahwa kecenderungan menggunakan

media online juga berdampak pada kondisi fisik anak-anak, karena anak-anak kemudian

banyak duduk bahkan tiduran serta jarang sekali bergerak, sehingga memperbanyak jumlah

anak yang mengalami obesitas. Kondisi demikian dikhawatirkan dapat mengarahkan anak

pada sedentary lifestyle yang kurang sehat (Hart & Fredjd, 2013). Pengalaman menyenangkan

dalam menggunakan media digital akan membuat seseorang mengirimkan signal ke Nucleus

Accumbens (NA) dan secara otomatis syaraf pusat akan menghasilkan perasaan senang atau

pleasure/ joy. Namun signal ke Nucleus Accumbens yang berlebihan memengaruhi pleasure system

dan akan dapat menimbulkan adiksi/ kecanduan. Pleasure system yang berlebihan

mengakibatkan berkurangnya atau menurunnya tingkat kepekaan, dan mendorong untuk

mencapai stimulasi yang lebih tinggi. Dampak lain yang sering terjadi adalah kondisi Dry Eye

Syndrome sebagai akibat radiasi, mata menjadi kering. Gangguan lain yang dapat terjadi adalah

HNP Cervical sebagai akibat kesalahan posisi postur tubuh, sehingga ruas tulang belakang

menekan syaraf karena penggunaan teknologi digital yang berlebihan. Dampak negatif ini

cukup tragis. Padahal pada sisi lain, salah satu kekuatan adanya teknologi digital adalah

untuk kemaslahatan manusia dan untuk membuat manusia lebih dapat mengalami kemajuan

ilmu, relasi tanpa terbatas ruang dan waktu, mengalami kesehatan dan kesejahteraan

psikologis sehingga kehidupan manusia lebih manusiawi.

Stop Phubbing

Fenomena menunjukkan bahwa perkembangan teknologi digital dalam

kenyataannya justru membuat relasi kemanusiaan semakin kering dan renggang. Disadari

bahwa kualitas waktu bagi kebersamaan keluarga modern, telah disita oleh berbagai situs web,

vlog maupun blog, email, penawaran iklan belanja online, video online, chatting, dsb. Waktu

kebersamaan dalam keluarga mulai mengalami masalah, masing-masing anggota keluarga mulai

mengalami kekeringan perhatian, sentuhan, dan komunikasi.Tentu saja ini merupakan kondisi

kritikal. Kini semakin banyak anak di bawah lima tahun, memiliki lebih banyak waktu seharihari bersama dengan gadget dan telepon pintarnya, tanpa ada kontrol dari pihak lain maupun

keluarga, karena kesibukan dan ketidakpedulian orang tua/ wali keluarganya. Orang tua

bahkan senang bilamana anak memiliki kesibukan sendiri dengan teknologi digitalnya dan

tidak banyak mengganggu kesibukan mereka. Bahkan ketika sedang bersama anak dan

pasangannya, orang tua lebih sibuk memainkan media komunikasi digitalnya dengan orang lain

P:90

89

atau phubbing. Phubbing sebagai tindakan acuh, tidak mengindahkan seseorang yang berada di lingkungan

sekitarnya dan memilih lebih berfokus pada gadged atau telepon pintarnya dari pada menjalin relasi dengan orang

yang saat itu ada di lingkungan terdekatnya. Akibatnya hubungan anak - orang tua, suami-isteri dan

anggota keluarga lain yang seharusnya dekat semakin jauh. Teknologi digital yang seharusnya

mendukung manusia meningkatkan kualitas hidupnya telah berubah menjadi teknologi yang

menurunkan kualitas hidup manusia. Beberapa Negara telah mengkampanyekan ―stop

phubbing‖. Roberts dan David (2016) mengutarakan bahwa terdapat hubungan phubbing dengan

depresi. Bilamana seseorang yang memiliki kecemasan dan memiliki kebiasaan phubbing, maka

konflik akan mudah berkembang. Akibatnya ketidakpuasan hubungan akan mengarahkan

orang itu untuk mengalami ketidakpuasan hidup dan pada akhirnya akan membawa orang itu

untuk mengalami depresi. Hal ini dapat dipahami karena phubbing telah menghabiskan lebih

banyak waktu daripada menonton TV. Keasyikan dengan telepon pintar telah mengubah cara

seseorang dalam menjalin relasi dengan orang lain. Hubungan pribadi menjadi terganggu,

demikian juga dengan kesejahteraan psikologis seseorang. David dan Roberts (2017) telah

meneliti dampak phubbing, hasilnya ditemukan efek berbahaya seperti kurangnya perhatian

sosial, rasa inklusi. Jadi sekalipun tujuan teknologi adalah agar memudahkan relasi dengan

orang lain, tetapi dalam kenyataannya telah membuat manusia menjadi terasing dari pribadi

yang sama, yang seharusnya dekat dengannya. Davey, Davey, Raghav, Singh, Singh, Blachnio,

Przepiórkaa A (2018) menyatakan bahwa predictor phubbing adalah kecanduan internet (p

<0,0001, Odds Ratio 2.26), kecanduan telepon pintar (OR 25.9), takut hilang (OR 18.8), dan

kurangnya kontrol diri (p <0,0001, OR = 0,73 ‖1,72). Selain itu phubbing memiliki konsekuensi

signifikan dengan kesehatan sosial, kesehatan relasi antar pribadi, dan pengembangan diri, dan

dampak signifikan terhadap depresi dan kesedihan. Senada dengan Davey et al. (2018),

Chotpitayasunondh dan Douglas (2018) juga menemukan bahwa peningkatan phubbing secara

signifikan berdampak negatif terhadap kualitas komunikasi yang dirasakan dan kepuasan

hubungan. Bilamana hal ini tidak segera diantisipasi, maka semakin lama kemampuan

komunikasi interpersonal bahkan intrapersonal akan semakin menipis. Demikian juga relasi

manusia dengan Tuhan semakin berkurang. Bahkan ketika seseorang sedang beribadah dan

membaca Kitab Suci dapat berhenti karena ada panggilan telepon atau chatting yang masuk.

Suatu situasi yang memrihatinkan.

Peranan Literasi Digital

Peranan literasi digital dalam pendidikan formal maupun non formal dan informal

adalah sebuah fakta penting dalam penggunaan teknologi; seperti pemilihan secara kritis

P:91

90

teknologi digital yang digunakan, penggunaan media online dalam mengerjakan tugas, dalam

penyampaian pendapat, menambah wawasan dan mengembangkan kerjasama dengan

jejaring yang sejalan dengan visi & misi pribadi/lembaga. Semua ini memerlukan pengayaan

di bidang literasi digital.

American Library Association menyatakan bahwa Literasi digital merupakan kemampuan

menggunakan teknologi informasi dan komunikasi guna mengevaluasi, menemukan dan

mengomunikasikan informasi, dan pesan tertentu yang menuntut keterampilan dan

kemampuan kognitif dan teknis. Melek digital dengan demikian merupakan sebuah

tuntutan bagi para pengembang sumber daya manusia misalnya para pendidik, rohaniwan,

psikolog, konselor, sosiolog, seksolog, budayawan, peneliti dst. Berbagai jenis layanan terus

disempurnakan oleh provider. Sebagai contoh, Google telah menjadi media pembantu dalam

menyelesaikan banyak persoalan, sejauh dapat digunakan secara tepat di dunia pendidikan,

tempat kerja maupun dalam persoalan-persoalan yang dihadapi manusia sehari-hari. Berbagai

layanan tersedia untuk mendukung literasi digital seperti google chrome (web chrome, chromebook,

chrome web store, chrome cast), google analitics, google scholar, google bookmarks, google search, google

translate, googlebot, gmail, google sky, google news, google chieve, google trends, google docs,google hangouts,

google URL shortner, google font, youtube, google map, google earth, google sites, google groups, blogger,

google blog search, google desktop, google reader,dsb. Meskipun demikian, banyaknya sumber

layanan literasi digital memerlukan sebuah kecermatan dan kesadaran penuh dalam

penggunaannya.

Dalam bidang proses pembelajaran, pengembangan penggunaan literasi digital adalah

pilihan yang penting untuk dipertimbangkan agar kurikulum pendidikan dan pelatihan yang

dijalankan dapat mengikuti perkembangan IPTEK. Berdasarkan pengamatan proses

pembelajaran para siswa homeschooling, nampak bahwa peranan literasi digital seringkali lebih

besar dibanding pembelajaran tradisional sehingga para siswa homeschooling seringkali

memiliki wawasan lebih luas dibanding sekolah formal tradisional. Sekalipun pada sisi lain

seringkali nampak anak juga mulai malas berpikir karena dapat menggunakan telepon cerdas

untuk membantunya mengerjakan tugas-tugas pekerjaan sekolah daripada harus berfikir

manual. Kondisi ini senada dengan hasil kajian Ward, Duke, Gneezy, dan Bos (2017) yang

menunjukkan sekalipun ada potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan, namun

penggunaan berterusan telepon pintar dapat membawa resiko biaya kognitif yang tidak

sedikit. Dalam penelitiannya Ward, dkk (2017) menguji pengaruh tunggal kehadiran telepon

pintar. Hasilnya pengaruh tunggal telepon pintar menimbulkan kapasitas sumber daya

P:92

91

kognitif menjadi terbatas dan menyisakan lebih sedikit sumber daya yang tersedia untuk

tugas lain serta mengurangi kinerja kognitif. Sedangkan bilamana orang berhasil

memertahankan perhatian dan menghindari godaan untuk memeriksa ponsel secara

berterusan, kehadiran perangkat ini hanya mengurangi kapasitas kognitif yang tersedia.

Selain itu, ditemukan biaya kognitif menempati peringkat tertinggi bagi mereka yang

memiliki ketergantungan pada ponsel pintar, hal ini merupakan implikasi praktis dari

saluran otak yang dipicu oleh telepon pintar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa

penggunaan media teknologi digital tetap memerlukan kontrol diri dan kesadaran diri

penggunanya agar tidak sampai kepada ketergantungan.

Semakin terbuka dan lengkapnya literasi digital di era kehidupan yang bergantung

pada teknologi, maka menjadi penting manusia manusia meningkatkan kesadarannya dalam

menggunakan sisi-sisi positif penggunaan teknologi digital. Manusia diajak mengenal

identitas dan kesadarannya menggunakan teknologi digital secara efektif dan efisien dan

bukan diatur oleh teknologi. Upaya untuk kesadaran teknologi dan lebih literate, akan

membuat seseorang lebih dapat memilih konten yang tepat dan bermanfaat, dapat

menganalisis informasi yang tidak pada tempatnya, bersikap obyektif dan akurat.

Manfaat lain memiliki kesadaran dan keterampilan digital adalah dapat mengelola

waktu secara efisien. Misalnya waktu membeli tiket pesawat, tiket kereta api, tiket film,

belanja melalui e commerce, pembayaran e billing, tax elektronik, transfer uang, membaca

literatur maupun transaksi lainnya melalui ponsel cerdas, tablet seluler, dan e reader digital

yang telah digunakan sebagai teknologi baru di bidang digital. Segala kemudahan dan

berbagai informasi terbuka sehingga membantu manusia menentukan pilihan, baik pilihan

rohani, bisnis, sosial, pendidikan dan kesehatan. Keterbukaan terhadap media teknologi

digital memungkinkan seseorang menemukan pilihan terbaik dalam hidupnya. Model opensource meskipun sering kurang memeroleh perhatian, menunjukkan ada penahapan verifikasi

dan secara etis transparan.Transparansi bermakna telah terjadi pemeriksaan etika secara

tepat dan benar, serta telah melakukan validasi atau pembatalan. Hal ini merupakan bagian

dari tanggung jawab sosial untuk memastikan perkembangan literasi digital terpantau dan

berkesinambungan.

Kesadaran Media Digital

Kesadaran Media adalah salah satu persoalan mendasar bagi orang yang melek media.

Terdapat empat besar perancang media digital yaitu internet Google, Apple, Facebook dan

P:93

92

Amazon yang memiliki keunggulan komperatif dan memerlukan daya kritikal penggunanya.

Oleh karena itu kesadaran berpikir kritis dan keterampilan dalam menghadapi dunia digital

bagi para pendidik, rohaniwan, kaum muda, anak-anak dan orang tua menjadi penting

dikembangkan di tengah masyarakat dan jemaat digital di abad ke-21. Keterampilan literasi

media, bagaimana pengaruh media dalam kehidupan, cara menganalisis jenis media, cara

mengontrol dan memerhatikannya adalah keterampilan dasar yang semestinya dibekalkan

kepada generasi muda bahkan bagi orang yang dewasa. Literasi media juga memerlukan

pelatihan berpikir kritis tentang film, web, iklan, media sosial, TV, berita, video, ajakan dsb.

Pelatihan yang relevan dengan aspek kehidupan dan perkembangan sosial dapat membantu

pemahaman mengenai dampak media dan konten-konten positif dan negatif terhadap hidup

manusia dan pengetahuan yang lebih kaya mengenai visi masing-masing sumber literasi.

Pelatihan kesadaran penggunaan literasi digital menjadi penting, karena dalam

dunia teknologi digital telah terjadi dualitas intrinsik, di mana semakin banyak konten

penyalahgunaan kekuasaan dan memasuki teknologi informasi digital yang semakin

menuntut pengawasan, misalnya pengaruh Snowden dan Wikileaks serta pengaruh tidak

obyektif dan mengancam demokrasi serta peningkatan visibilitas ekstremisme. Membantu

Individu agar terbebas dari teknologi digital yang tidak netral semacam itu, merupakan satu

misi yang perlu diperhatikan oleh para tokoh agama, sosial kemasyarakatan, pendidik dsb.

Para rohaniwan, pendidik, ilmuwan perlu ikut serta menunjukkan tanggung jawab dengan

memerhatikan persoalan etika moral-sosial yang ditunjukkan oleh para pelaku media digital.

Kebanyakan perhatian ditujukan pada visi penggunaan jangka pendek pengaruh dari domain

digital yang berhubungan dengan latar belakang sosial, budaya, religi, dan ekonomi. Dengan

demikian visi global dan sorotan interdisipliner dalam literasi digital di bidang pendidikan,

rohani dan sosial masih perlu ditingkatkan. Proses perenungan, pengembangan dan upaya

menumbuhkan visi kehidupan yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dari media digital

perlu ditumbuhkan sejak dini pada anak-anak. Misalnya anak-anak diajak untuk melakukan

world wide web dari konten tertentu yang mendidik, lalu diajak untuk mengembangkan ide-ide

secara real setelah melihat media teknologi yang positif tersebut, sambil diajak berdiskusi

mengritisi topik yang telah disimak, menemukan nilai-nilai yang positif bagi kehidupan

dirinya dan orang lain. Bekal sistem nilai religious yang mendasari kebermaknaan hidup

bersama, diharapkan dapat membuat generasi muda yang akan menjadi pelaku teknologi,

senantiasa hidup dan memberdayakan etika digital serta senantiasa mengupayakan

perjumpaan etis dalam kaitan relasi dan interaksi manusia – computer, tanpa harus

memperlambat inovasi teknologi digital. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Davey, Davey,

P:94

93

Raghav, Singh, Singh, Blachnio, Przepiórkaa A (2018) menyarankan perlunya Remaja dan

pemuda India mendapatkan bimbingan dan pengajaran khusus dari klinik atau akademi

remaja pemerintah atau bahkan keluarga mengenai langkah dan cara-cara yang tidak sehat

ini agar kesehatan fisik, mental, dan sosial yang lebih baik dapat terwujud.

Penutup

Perkembangan teknologi digital merupakan suatu kondisi yang memiliki dampak

positif dan negatif. Dampak berkembangnya penggunaan teknologi digital ini tentu akan

memengaruhi kehidupan psikologis, rohani dan budaya di tengah masyarakat Indonesia.

Tanggung jawab para pengembang sumber daya manusia seperti rohaniwan, pendidik,

psikolog, dsb adalah mendukung tumbuhnya kesadaran diri dalam menggunakan dan

pemahaman identitas online. Literasi digital merupakan salah satu kemajuan teknologi yang

perlu disikapi dan ditingkatkan, sehingga daya berpikir kritis dapat ditingkatkan. Disadari

bahwa saat ini kesadaran diri pengguna teknologi digital dan pemahaman identitas online

masih perlu ditingkatkan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan dunia

digital di Indonesia memerlukan perhatian serius dalam tumbuh kembang anak bangsa.

Kepustakaan

Chotpitayasunondh, V., Douglas, K. M. (2018)The effects of ―phubbing‖ on social

interaction. Journal of Applied Social Psychology. 2018;1–13. DOI: 10.1111/jasp.12506

Davey,S. , Davey,A. , Raghav, S.K, Singh, J.V., Singh, N., Blachnio, A., Przepiórkaa, A.,

Predictors and consequences of ―Phubbing‖ among adolescents and youth in India: An impact

evaluation study. Journal of Family Community Medicine.25:35-42

David, M.E.and Roberts, J.A. (2017). Phubbed and Alone: Phone Snubbing, Social

Exclusion, and Attachment to Social Media.Journal of the Association for Consumer Research 2, no.

2 (April 2017): 155-163.

Hart, A.D. and Frejd, S.H. (2013).The digital invasion.How technology is shapping you and your

relationships.Baker Books. www.bakerbooks.com

Roberts, J. A., & David, M. E. (2016). My life has become a major distractionfrom my

cell phone: Partner phubbing and relationship satisfactionamong romantic partners.

Computers in Human Behavior, 54,134–141. https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.07.058

P:95

94

Ward, A.F., Duke, K., Gneezy, A. and Bos, M.W. (2017), Brain Drain: The Mere Presence

of One‘s Own Smartphone Reduces Available Cognitive Capacity, Journal of the Association for

Consumer Research 2, no. 2 (April 2017):140-154. https://doi.org/10.1086/691462.

(http://www.journals.uchicago.edu/t-and-c)

https://www.globalwebindex.com.

P:96

95

PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DIGITAL OLEH

MAHASISWA PERGURUAN TINGGI TEOLOGI

Peniel C.D. Maiaweng54

Pendahuluan

Teknologi informasi dengan system digital menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dalam kehidupan manusia sehari-hari, mudah diakses, dan dapat digunakan di mana saja.

Perkembangan teknologi informasi yang ada membuat dunia menjadi semakin kecil, karena

dengan mudah memperoleh berbagai informasi dari berbagai belahan dunia dalam waktu

yang singkat. Penggunanya adalah semua kelompok umur (anak-anak, remaja, pemuda, dan

orang dewasa, dan lanjut usia) dan kelompok sosial (siswa, mahasiswa, karyawan, pekerja,

professional). Sulit melakukan batasan umur dan batasan kelompok sosial pengguna

teknologi informasi digital.

Dalam dunia pendidikan perguruan tinggi, para mahasiswa, termasuk mahasiswa

perguruan tinggi teologi adalah pengguna teknologi informasi digital terbesar. Tidak ada

batasan pengguna yang dibuat bagi mahasiswa perguruan tinggi sekuler dan mahasiswa

perguruan tinggi teologi, bahwa hanya mahasiswa dari perguruan tinggi sekuler yang

menggunakannya. Semua membutuhkannya karena para mahasiswa, baik perguruan tinggu

teologi maupun non-teologi adalah para milenial yang kehidupannya tidak terlepas dari

pemanfaatan teknologi informasi digital dan semua dapat menggunakannya untuk keperluan

akademik.

Secara positif, para mahasiswa dengan mudah mengakses berbagai informasi

akademik yang berkaitan dengan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Para

mahasiswa pun dapat mengekspresikan dan mengekspos diri dan karya-karyanya secara

akademik melalui dunia maya. Untuk itu, para mahasiswa diharuskan untuk memanfaatkan

teknologi informasi digital dengan sebaik-baiknya untuk pengembangan ilmu.

Tantangan bagi Mahasiswa

Pemanfaatan teknologi informasi digital menjadi tantangan tersendiri pada

mahasiswa perguruan tinggi teologi. Ada perguruan tinggi teologi yang mengijikan para

mahasiswa dengan bebas menggunakannya, tetapi ada juga perguruan tinggi yang

mengijinkan penggunaannya hanya pada waktu-waktu tertentu. Walaupun ada aturan yang

digunakan secara bebas dan terbatas, tetapi sebagai generasi milenial, ada saja upaya yang

54 Dr. Peniel C.D. Maiaweng adalah Ketua Sekolah Tinggi Theologia Jaffray Makassar

P:97

96

dilakukan oleh para mahasiswa untuk dapat menggunakannya. Penyalahgunaan teknologi

informasi digital memiliki pengaruh secara akademik, rohani, sosial, dan moral pada

mahasiswa.55

Secara akademik.

Tuntutan untuk tugas-tugas dari semua matakuliah, singkatnya waktu untuk

menyelesaikan semua tugas-tugas yang dimaksud, dan mudahnya memperoleh informasi

yang dibutuhkan, secara khusus penyelesaian paper/makalah, maka kadang mahasiswa

melakukan plagiat, yaitu dengan sengaja atau tidak sengaja melakukan pengutipan karya

orang lain tanpa memberi keterangan tentang sumber informasi. Selain itu, penggunaan

waktu untuk menikmati internet dan media sosial yang berlebihan dan tanpa kontrol waktu

dapat menyebabkan terbengkalainya tugas-tugas matakuliah yang menjadi tanggung jawab

mahasiswa.

Secara rohani

Penggunaan internet dan media sosial oleh mahasiswa perguruan tinggi teologi secara

diam-diam, tersembunyi, dan tidak terkontrol menyebabkan mahasiswa tidak melaksanakan

tanggung jawab rohani dengan baik. Mahasiswa yang menggunakan waktu secara berlebihan

dalam menikmati internet dan media sosial cenderung tidak disiplin dalam berdoa dan

membaca firman Tuhan secara rutin atau cenderung mengabaikan saat teduh sebagai

prioritas dalam kehidupan rohani. Tidak dapat disangkal bahwa banyak di kalangan

mahasiswa perguruan tinggi teologi yang menjadi adiksi terhadap internet dan media sosial,

termasuk di dalamnya adiksi terhadap situs-situs porno.

Secara Sosial

Umumnya tempat tinggal mahasiswa di perguruan tinggi teologi adalah asrama. Untuk

berbicara dengan temannya di kamar yang lain dalam satu asrama, ia hanya berkomuniasi

melalui WA, FB, Line, SMS, dan instagram. Pada satu sisi cara ini adalah penghematan

waktu dan tenaga, tetapi pada sisi lain, hal ini menyebab mahasiswa kurang belajar dari

lingkungan tentang bagaimana berhadapan dan berkomunikasi dengan orang lain face to

face. Jika ini sering terjadi, maka mahasiswa miskin cara dalam komunikasi secara verbal. Ini

55 Informasi ini dibuat berdasarkan pengamatan penulis selama 18 tahun sebagai pengajar pada perguruan tinggi

teologi.

P:98

97

akan menjadi masalah tersendiri bagi mahasiswa setelah ia menyelesaikan pendidikan dan

terjun dalam pelayanan karena ia akan selalu berhadapan langsung dengan orang-orang yang

dilayaninya, tetapi ia tidak memiliki pengalaman yang cukup bagaimana berkomunikasi

dengan orang lain secara langsung.

Secara Moral

Mengupload status di media sosial menjadi salah satu kegemaran mahasiswa di

perguruan tinggi teologi. Namun postingan-postingan yang ditampilkan para mahasiswa

tertentu kadang mengandung gambar dan kata-kata gosip, marah, dan kekecewaan terhadap

diri sendiri dan orang lain sehingga dapat mengakibatkan berbagai komentar dan penilaian

terhadap diri sendiri dan orang lain, baik secara negatif maupun positif. Pada sisi lain,

postingan-postingan yang mengarah kepada radikalisme, kekerasan, ujaran kebencian

terhadap orang atau kelompok tertentu sering dijumpai dan sangat berpengaruh dalam dunia

perguruan tinggi.

Sejujurnyanya hal-hal inilah yang sedang terjadi pada beberapa mahasiswa

perguruan tinggi teologi yang ada. Masalah-masalah ini harus menjadi perhatian lembagalembaga pendidikan tinggi teologi untuk menolong para mahasiswa tertentu agar tidak

terjerumus dalam penyalahgunaan internet dan media sosial.

Memahami Perkataan Bijak

Untuk mencegah terjadinya hal yang negatif terhadap penggunaan teknologi

informasi digital, maka diperlukan literasi digital, yaitu yang mana para mahasiswa ditolong

untuk memiliki kemampuan individu menggunakan teknologi komunikasi digital dalam

melakukan hal-hal yang positif.56

Untuk itu, diperlukan pemahaman tentang perkataan bijak

yang dapat menolong para mahasiswa untuk menumbuhkan kesadaran agar dapat

menggunakannya secara benar melalui penggunaan anggota tubuh dalam memanfaatkan

internet dan media sosial secara benar.

Hati adalah Pancaran Kehidupan

56 Literasi digital adalah “ketertarikan, sikap, dan kemampuan individu menggunakan teknologi digital dan alat

komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi,

membangun pengetahuan baru, membuat, dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara

efektif dalam masyarakat.” Nabilla Tashandra, "Menkominfo: Mulailah Literasi Digital dari Keluarga,”

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/01/30/193015920/menkominfo-mulailah-literasi-digital-dari-keluarga.

Kompas Com diakses pada tanggal 13 September 2018.

P:99

98

Perkataan Bijak, ―Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah

terpancar kehidupan‖ (Amsal 4:23). Hati dinilai sebagai organ sentral yang mana semua

kondisi aktivitas dan karakter manusia bermula darinya. 57 Hati menggambarkan kapasitas

mental, emosi, dan nilai yang ada pada diri seseorang.58 Kondisi moral dan sikap hidup

seseorang ditentukan oleh kondisi hati dan pikirannya.59

Keberadaan hati berbicara tentang

pikiran, pemilikiran, motivasi, dan keinginan-keinginan. Hati digambarkan seperti sumber

mata air yang dari dalamnya keluar air. Jika sumber airnya baik, maka air yang dikeluarkan

adalah baik. Sama halnya dengan manusia, bahwa jiwa, pikiran, motivasi, dan keinginannya

adalah buruk, maka menghasilkan sikap dan tindakan yang buruk.60

Untuk itu, diperlukan

tanggung jawab pribadi mahasiswa untuk menguasai pikiran, keinginan, kecenderungan, dan

nafsu terhadap berbagai informasi yang diperoleh dari internet dan media sosial, dan

menggunakannya secara benar untuk mencegahnya melakukan hal-hal yang akan

menurunkan prestasi akademik dan merusak kehidupan rohani dan moral, serta reputasi

sosialnya.

Mata adalah Pelita Tubuh

Perkataan Bijak, ―Aku tidak menempatkan perkara-perkara bejat di depan mataku.‖

(Maz. 101:3 – terjemahan pribadi). Seorang harus tidak mencemari dirinya dan tidak toleran

terhadap tanyangan-tayangan yang buruk yang dapat merusak dirinya. Ia seharusnya

membatasi diri dari keinginan jahat untuk melihat hal-hal yang buruk dan memiliki

komitmen untuk tidak melakukannya.

Alasan untuk mengawasinya karena, ―Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik,

teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang

yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.‖ (Mat. 4:22-23 – LAI TB).

Mata bukanlah sumber hidup, tetapi mata adalah terang tubuh, yang olehnya seluruh

tubuh bergantung untuk memperoleh penerangan dan arahan.61

Mata adalah anggota tubuh

yang menentukan tubuh seluruhnya bergerak. Jika mata adalah pelita yang terang, maka

seluruh tubuh akan bergerak atau diarahkan dengan baik pada tempat yang tepat; tetapi jika

57Miller, John W. Miller, Believers Church Bible Commentary: Proverbs (Scottdale, Pa. : Herald Press, 2004),

66.

58John F. Walvoord and Roy B. Zuck, The Bible Knowledge Commentary : An Exposition of the Scriptures

(Wheaton, IL : Victor Books, 1985), 914.

59 Believer's Study Bible. electronic ed. (Nashville : Thomas Nelson, 1997), Proverbs 4:23.

60William MacDonald dan Arthur Farstad, Believer's Bible Commentary : Old and New Testaments. (Nashville :

Thomas Nelson, 1997), Proverbs 4:23.

61William Hendriksen and Simon J. Kistemaker, New Testament Commentary : Exposition of the Gospel

According to Matthew (Grand Rapids : Baker Book House, 2001), 346.

P:100

99

mata tidak dapat menjadi terang tubuh, maka seluruh tubuh akan bergerak tanpa arah yang

jelas.

Mata juga memiliki pemahaman persepsi, dengan maksud, hidup dalam dunia

menuntut persepsi yang benar tentang realita, yaitu melihat segala sesuatu di bawah

kemahakuasaan Allah dan terang kekekalan. 62 Untuk itu, mahasiswa harus memiliki

persepsi yang baik sehingga ia akan melakukan yang baik.

Kekeliruan yang kadang dilakukan oleh para mahasiswa tertentu adalah mencari

kesenangan dan kenikmatan hidup melalui postingan-postingan yang ada di internet dan

media sosial. Sebenarnya, ketika para mahasiswa dilarang untuk menghabiskan waktu

berjam-jam menggunakan dunia maya, seharusnya menaatinya. Jika tidak, maka mereka yang

terjebak di dalamnya berada di dalam kegelapan, yang disebut kebutaan rohani.63

Ini akan

menyebabkan mahasiswa tidak bertumbuh secara rohani. Mahasiswa harus memiliki

komitmen untuk tidak mencemari dirinya dengan hal-hal negatif melalui penyalahgunaan

internet dan media sosial, dengan cara, melihat postingan-postingan yang bernuansa radikal,

pornografi, dan kekerasan harus menjadi prioritas.

Mata yang baik kepunyaan orang yang memiliki motivasi yang murni, yang memiliki

keinginan terhadap apa yang diinginkan Allah dan rela menerima ajaran Yesus. Hidupnya

akan memancarkan terang. Ia percaya akan perkataan Yesus, ia tinggalkan kesenangan dunia

dan melakukan hal-hal yang bernilai kekekalan, karena ia tahu bahwa demikian kesenangan

dan kenikmatan hidup yang sesungguhnya.64

Dengan demikian, seharusnya penglihatan dan

persepsi para mahasiswa terfokus kepada Allah tentang realita yang ada di sekitarnya dan

taat kepada tuntunan-Nya sehinga Ia akan menuntun ke jalan yang benar65 dan Ia

memberikan kemampuan untuk memiliki penglihatan dan persepsi yang benar.

Panduan Evaluasi Penggunaan Teknologi Informasi Digital

Pengaturan Waktu Penggunaan

Di perguruan tinggi teologi diperlukan sosialisasi penggunaan internet dan media

sosial, sekaligus pemberian tentang akibat buruk penyalahgunaannya. Hal ini dimaksudkan

agar mahasiswa tidak salah melangkah yang akhirnya akan merugikan dirinya sendiri.

62Walter A. Elwell, Evangelical Commentary on the Bible (Grand Rapids, Mich. : Baker Book House, 1996),

Matthew 6:19.

63MacDonald and Farstad, 1997, Matthew 6:25.

64MacDonald, William ; Farstad, Arthur: Believer's Bible Commentary : Old and New Testaments. Nashville :

Thomas Nelson, 1997, c1995, S. Mt 6:25

65Richards, Lawrence O.: The Bible Readers Companion. electronic ed. Wheaton : Victor Books, 1991;

Published in electronic form by Logos Research Systems, 1996, S. 608

P:101

100

Untuk itu, perguruan tinggi harus memberikan daftar situs-situs dan website yang layak

dikunjungi dan tidak layak dikunjungi. Perguruan tinggi juga harus membuat aturan

penggunaan waktu pemanfaatan internet dan media sosial, yang mana pada jam-jam tertentu

pada mahasiswa diijinkan untuk menggunakannya dan pada jam-jam tertentu mahasiswa

dilarang untuk menggunakannya. Selanjutnya dipertegas dalam peraturan sekolah tentang

penggunaan internet dan media sosial. Bagi yang melanggar perlu diberikan saksi sesuai

dengan tingkat pelanggaran yang ditentukan oleh institusi masing-masing.

Mengevaluasi Penggunaan Website

Berbagai institusi pendidikan telah membuat panduan untuk mengevaluasi kualitas

informasi pada internet. Kategori evaluasi adalah pembuat, tujuan, sumber, isi, gaya, dan

fungsi.66

Untuk itu, pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan adalah siapa penulis atau

pembuat situs atau website? Apa latar belakang informasi tentang penulis atau pembuat

situs atau website tersedia? Apa kualifikasi dan pengalaman dari penulis atau pembuat situs

atau website? Apa tujuan dari situs atau website? Apakah informasinya akurat, benar, dan

dapat dibuktikan atau tidak? Apakah informasinya relevan dengan kebutuhan dan

kepentingan di pengguna atau tidak? Apakah informasi pada situs/website adalah informasiinformasi terkini atau selalu diperbaharui? Apakah gaya isi dan penulisannya layak untuk

digunakan?67 Informasi ini dapat menolong para mahasiswa untuk memiliki sumber

informasi yang telah yang diperoleh dari internet dan media sosial. Evaluasi ini dapat

dilaksanakan secara pribadi maupun institusi.

Penutup - Berjiwa Patriotisme

Akhir-akhir ini, bangsa Indonesia diperhadapkan dengan ancaman disintegrasi

bangsa. Untuk itulah, Presiden Indonesia, Ir. Joko Widodo, menyerukan seluruh bangsa

Indonesia untuk kembali kepada dasar negara, Pancasila, dengan slogan, ―Saya Indonesia –

Saya Pancasila.‖

66 University At Albany Libraries, “Evaluating Internet Souces,” available from

www.library.albany.edu/internet/evaluate.html;internet, in, “How People of Faith Are Using Computers and the

Internet”; internet; accessed 22 March 2002 dalam http://globalchristiancenter.com/church-resources/applyingtechnology/24541-how-people-of-faith-are-using-computers-and-the-internet diakses tanggal 13 September

2018.

67 Question taken from University if Wollongong Library, “Evaluating Information from the Internet; available

from http://www-library.ouw.edu.au/helptraining/workshops/evalnet/evalinro.html; internet; accessed 1 April

2003 dalam http://globalchristiancenter.com/church-resources/applying-technology/24541-how-people-of-faithare-using-computers-and-the-internet diakses tanggal 13 September 2018.

P:102

101

Dalam keadaan demikian, mau tidak mau, dunia pendidikan tinggi teologi harus

turut ambil bagian agar bertindak untuk mempertahankan Kesatuan Negara Republik

Indonesia. Dunia pendidikan tinggi teologi harus menumbuhkan kesadaran mahasiswa

untuk cinta tanah air dan dapat berperan aktif dalam melaksanakan kewajiban dan

menggunakan hak sebagai warga negara untuk kepentingan bersama dan kesatuan bangsa.

Untuk itu, pendidikan tinggi teologi di Indonesia bertanggung jawab

menyelenggarakan pendidikan yang bertujuan untuk, ―… meningkatkan kecintaan pada tanah

air; meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara; meningkatkan keyakinan Pancasila

sebagai ideologi bangsa; meningkatkan kesadaran bela negara; mengembangkan kemampuan

awal bela Negara.‖68

Dua hal yang dapat dilakukan, pertama, dengan memposting slogan-slogan yang

menyatakan kesatuan, persatuan, dan kecintaan terhadap NKRI melalui internet dan media

sosial. Kedua, melalui pelaksanaan pengajaran matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan.

Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan wajib diajarkan pada perguruan tinggi69

karena, ―… merupakan usaha sosialisasi, aktualisasi sekaligus implementasi dari pendidikan

politik, pendidikan nasionalisme, dan pendidikan demokrasi.‖70

Sebagai pendidikan politik,

mahasiswa memperoleh pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan politik sehingga

dapat mendorong terwujudnya mahasiswa sebagai warga negara yang terdidik secara politik.

Sebagai pendidikan demokrasi, mahasiswa yang terdidik secara politik dapat mengambil

bagian dalam sistem dan proses demokratisasi; memiliki kesadaran akan hak dan

kewajibannya sebagai warga negara dan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan

dan pelaksanaan kebijakan di lapangan. Sebagai pendidikan nasionalisme, mahasiswa akan

mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan dalam keberadaannya sebagai orang Indonesia

di negara Indonesia.71

Ini merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan jiwa patriotisme

pada mahasiswa untuk mempertahankan NKRI, yang mana materi-materi dapat diunggah

dari situs-situs pemerintah untuk digunakan sebagai materi pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan dan Bela Negara.

68 Zainul Ittihad Amin, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Universitas Terbuka, Cetakan Kelima, 2009),

1.2.

69 UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 37 Ayat 2. Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama,

pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa.

70 Asep Sahid Gatara FH dan Subhan Sofhian, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pendidikan

Politik, Nasionalisme, dan Demokrasi (Bandung: Fokusmedia, Cetakan Keempat 2016), ix.

71 Ibid.

P:103

102

Kepustakaan

Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2010.

Believer's Study Bible. electronic ed. Nashville : Thomas Nelson, 1997.

Hendriksen, William and Simon J. Kistemaker, New Testament Commentary : Exposition of the

Gospel According to Matthew. Grand Rapids : Baker Book House, 2001.

Elwell, Walter A. Evangelical Commentary on the Bible. Grand Rapids, Mich.: Baker Book

House, 1996.

Gatara, Asep Sahid dan Subhan Sofhian, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education):

Pendidikan Politik, Nasionalisme, dan Demokrasi. Bandung: Fokusmedia, Cetakan Keempat 2016.

MacDonald, William and Arthur Farstad. Believer's Bible Commentary : Old and New

Testaments. Nashville : Thomas Nelson, 1997.

Miller, John W. Believers Church Bible Commentary: Proverbs. Scottdale, Pa.: Herald Press, 2004.

Richards, Lawrence O. The Bible Readers Companion. electronic ed. Wheaton : Victor Books,

1991; Published in electronic form by Logos Research Systems, 1996.

UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 37 Ayat 2.

Walvoord, John F. and Roy B. Zuck. The Bible Knowledge Commentary: An Exposition of the

Scriptures. Wheaton, IL : Victor Books, 1985.

Zainul Ittihad Amin, Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Universitas Terbuka, Cetakan

Kelima, 2009.

Website

Nabilla Tashandra, "Menkominfo: Mulailah Literasi Digital dari Keluarga,‖

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/01/30/193015920/menkominfo-mulailah-literasidigital-dari-keluarga. Kompas Com diakses pada tanggal 13 September 2018.

University At Albany Libraries, ―Evaluating Internet Souces,‖ available from

www.library.albany.edu/internet/evaluate.html;internet, in, ―How People of Faith Are Using

Computers and the Internet‖; internet; accessed 22 March 2002 dalam

http://globalchristiancenter.com/church-resources/applying-technology/24541-howpeople-of-faith-are-using-computers-and-the-internet diakses tanggal 13 September

2018.

University if Wollongong Library, ―Evaluating Information from the Internet; available from

http://www-library.ouw.edu.au/helptraining/workshops/evalnet/evalinro.html;

internet; accessed 1 April 2003 dalam http://globalchristiancenter.com/churchresources/applying-technology/24541-how-people-of-faith-are-using-computers-andthe-internet diakses tanggal 13 September 2018.

P:104

103

LANGKAH-LANGKAH MENGATASI KECANDUAN PORNOGRAFI

INTERNET DI KALANGAN REMAJA

Ivan Thorstein Johannis Weismann72

Kecanduan Pornografi melalui Internet

Ken Liska (1994) berpendapat bahwa addiction (kecanduan) adalah suatu proses yang

mengantarkan individu pada perilaku yang kompulsif. Proses tersebut ditandai dengan

perubahan fisik, akibat toleransi tubuh yang terus berkembang dan syndrome penarikan

tubuh (withdrawal syndrome). Seseorang yang mengalami kecanduan akan mengalami

peningkatan toleransi dan beranggapan bahwa apa yang dilakukannya masih dalam batasan

toleransi dirinya. Individu tersebut akan menempatkan kebutuhan pemuasan

ketergantungannya di atas kebutuhan-kebutuhan yang lain untuk segera melepaskan diri

dari situasi yang tidak menyenangkan.

Kata pornografi, berasal dari dua kata Yunani, yaitu pornea yang berarti seksualitas

yang tak bermoral atau tidak beretika (sexual immorality). Kemudian untuk kata graph

(grafe) pada mulanya diartikan sebagai kitab suci, tetapi kemudian hanya berarti kitab atau

tulisan. Ketika kata itu dirangkai dengan kata porno menjadi pornografi, maka yang

dimaksudkannya adalah tulisan atau penggambaran tentang seksual yang tak bermoral, baik

secara tertulis maupun secara lisan. Maka sering anak-anak yang mengucapkan kata-kata

berbau seks disebut sebagai porno. Dengan sendirinya tulisan yang memakai kata-kata yang

bersangkutan dengan seksualitas dan memakai gambar-gambar yang memunculkan alat

kelamin atau hubungan kelamin adalah pornografi (http:artikel.sabda.org/pornografi).

Pornografi meliputi arti sebagai berikut: (1) tulisan, gambar/rekaman tentang

seksualitas yang tidak bermoral, (2) bahan/materi yang menonjolkan seksualitas secara

eksplisit terang-terangan dengan maksud utama membangkitkan gairah seksual, (3) tulisan

atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu birahi orang yang melihat atau

membaca, (4) tulisan atau penggambaran mengenai pelacuran, dan (5) penggambaran hal-hal

cabul melalui tulisan, gambar atau tontonan yang bertujuan mengeksploitasi seksualitas.

Berdasarkan arti tersebut di atas, maka kriteria pornografi dapat dijelaskan sebagai berikut:

sengaja membangkitkan nafsu birahi orang lain, bertujuan merangsang birahi orang

72 Dr. Ivan Thorstein Johannis Weismann adalah Wakil Ketua 1 bidang akademik di Sekolah Tinggi Filsafat

Jaffray Makassar.

P:105

104

lain/khalayak, tidak mengandung nilai (estetika, ilmiah, pendidikan), tidak pantas menurut

tata krama dan norma etis masyarakat setempat, dan bersifat mengeksploitasi untuk

kepentingan ekonomi, kesenangan pribadi, dan kelompok.

Internet adalah pisau bermata dua. Kemajuan teknologi itu bisa dimanfaatkan

sepenuhnya untuk memajukan kesejahteraan umat manusia. Namun, pada sisi lain, internet

dapat pula menjadi kekuatan yang merusak tingkah laku manusia, sisi yang negatif itulah

yang kini dihadapi generasi baru bangsa ini. Satu kelebihan berinteraksi di internet adalah

tidak adanya batasan jarak, waktu, dan wilayah sehingga hal ini melahirkan sebuah ―dunia

baru di luar dunia nyata yang ada pada saat ini‖. Dunia baru yang hadir secara maya ini lebih

dikenal dengan istilah cyberspace. Cybersex dapat diterjemahkan sebagai aktivitas seksual,

tayangan seksual atau perbincangan yang mengarah pada hal-hal yang berbau seksual dengan

menggunakan media internet (Infoplease, 2004).

Pornografi internet dapat digolongkan sebagai berikut: (1) Surfing/download gambargambar porno, (2) Chatting erotik dibagi 2: (a) Computer mediated interactive masturbation dan (b)

Com-puter mediated telling of interaction sexsual stories, (3) Virtual sex player (Hamman, 1996).

Seiring dengan arus globalisasi informasi dan teknologi yang terus berjalan, terjadi

perubahan besar pada norma seks. Menurut Karina Aprilia bahwa dari ketiga dimensi sikap

yaitu kognisi, afeksi dan konasi, ditemukan bahwa mahasiswa dengan dimensi konasi ini

lebih besar kemungkinannya untuk melakukan cybersex. Pada kategori sikap positif dimensi

yang dominan adalah dimensi konasi, hal ini disebabkan karena mahasiswa memiliki perilaku

untuk melakukan cybersex. Sedangkan pada kategori sikap negatif dimensi yang dominan

adalah dimensi kognisi dan afeksi, hal ini disebabkan karena mahasiswa memiliki

pengetahuan atau perasaan saja bahwa cybersex adalah hal yang wajar (Aprilia, 2009).

Menurut jurnal yang berjudul Cybersex (Ermida, 2004) hampir 80% gambar di internet

adalah gambar porno. Menurut Nielsen netratings pada Oktober 2003, 30% pengunjung situs

porno adalah wanita. Menurut jurnal yang berjudul Perbedaan Sikap Terhadap Seks Dunia

Maya Pada Mahasiswa ditinjau dari Jenis Kelamin (Satria, 2009) bahwa sikap mahasiswa

terhadap cybersex lebih positif dibandingkan mahasiswi. Menurut penelitian Hurlock (2003)

menyebutkan bahwa remaja lebih tertarik kepada materi seks yang berbau porno dibandingkan dengan materi seks yang dikemas dalam bentuk pendidikan, dikarenakan mahasiswa

lebih mau membuka materi seks lewat internet dengan alasan sebagai pengetahuan yang juga

bisa sebagai hiburan yang kapan dan dimana saja di akses dari pada harus membaca buku

walaupun buku tersebut berisi-kan materi seks (hasil wawancara pada 3 orang mahasiswa

terdiri dari 2 laki-laki dan 1 perempuan pada tanggal 22 Maret 2016). Akses terhadap situs

P:106

105

porno telah memberikan dampak negatif yang sangat mendasar, seperti yang ditulis dalam

Jurnal Balairung edisi 38, bahwa mahasiswa adalah pengguna terbesar situs porno

(defickry.wordpress.com).

Penelitian tentang pornografi internet terhadap sikap dan perilaku seksual

1. Karina Aprilia, Sulis Maryanti, Safitri dalam penelitian yang berjudul Sikap

Mahasiswa Universitas Indonusa Esa Unggul terhadap Cybersex. Hasil penelitian ini ialah

bahwa internet adalah salah satu teknologi yang popular digunakan saat ini. Salah satu

dampaknya terhadap budaya dapat dilihat pada perubahan perilaku mahasiswa, seperti

fenomena cybersex. Bagi beberapa orang, cybersex merupakan perilaku yang wajar untuk

dilakukan karena tidak adanya batasan jarak, waktu dan wilayah. Tidak adanya batasan

jarak, waktu dan wilayah akan mempengaruhi mahasiswa dalam bersikap. Sikap adalah

kecenderungan untuk berespon positif (favorabel) atau negatif (unfavorabel) kepada seseorang,

sesuatu, tempat, ide, ataupun situasi yg biasanya disebut sebagai obyek sikap.

2. Lori Henderson dalam penelitian yang berjudul Sexting and Sexual Relationships Among

Teens and Young Adults. Hasil penelitian ini ialah bahwa dua per tiga partisipan mengirim

gambar telanjang dan setengah telanjang lewat internet. Handphone sebagai sarana utama

mengirim pesan-pesan berbau seks. Hampir setengah dari responden mengirimkan pesan

berindikasi seks kepada pacar mereka, sementara 15% mengirimkan kepada orang yang

dikenal lewat internet. Menjadi seksi dan ingin melakukan hubungan seksual sebagai alasan

untuk mengirimkan pesan berindikasi seks. Mereka yang melakukan hubungan seksual

dengan pasangan mereka nampak lebih banyak terjadi pada mereka yang telah mengirimkan

pesan berindikasi seks.

3. Dalam upaya untuk lebih memahami hubungan antara sikap dan perilaku seks

dan dunia maya, The National Campaign to Prevent Teen and Unplanned Pregnancy dan

CosmoGirl.com melakukan survei terhadap remaja dan dewasa muda dalam aktivitas

pengunaan teknologi internet. Kajian ini untuk mengukur proporsi remaja dan dewasa muda

yang mengirim atau memposting teks dan gambar yang bersifat seksual. Survei dilakukan

terhadap mereka yang berusia 13-26 Survei ini dilakukan secara online kepada total 1.280

responden yang terdiri dari 653 remaja (usia 13-19) dan 627 dewasa muda (usia 20-26) antara

25 September 2008 dan 3 Oktober 2008.

Jumlah yang signifikan di kalangan remaja yang mengirim secara elektronik, atau

memposting secara online gambar atau video dirinya sendiri dalam kadaan telanjang atau

P:107

106

setengah telanjang. 20% remaja secara keseluruhan. 22% gadis remaja. 18% remaja laki-laki.

11% remaja perempuan muda (usia 13-16).

Pesan yang mengandung unsur seksual (teks, email) bahkan lebih menonjol daripada

gambar yang mengandung unsur seksual. Berapa banyak remaja mengirim atau memposting

pesan yang mengandung konten seksual? 39% dari semua remaja. 37% gadis remaja. 40%

remaja laki-laki. 48% remaja mengatakan bahwa mereka telah menerima pesan semacam itu

Meski kebanyakan remaja yang mengirim konten seksual itu, mengirimkan kepada

pacarnya juga mengatakan bahwa mereka mengirim materi seperti itu kepada mereka yang

ingin mereka hubungi atau seseorang yang mereka kenal secara online. 71% remaja

perempuan dan 67% remaja laki-laki yang mengirim atau memposting konten yang seksual,

mengatakan bahwa mereka mengirim / memposting konten ini ke pacarnya. 21% gadis remaja

dan 39% remaja laki-laki mengatakan mereka mengirim konten tersebut kepada seseorang

yang ingin mereka kencani atau berhubungan. 15% remaja yang mengirim atau memposting

gambar diri mereka yang telanjang atau setengah telanjang mengatakan bahwa mereka telah

melakukan hal itu kepada seseorang yang hanya mereka kenal secara online.

Remaja yang berkonflik tentang pengiriman/memposting konten yang merangsang

hasrat seksual mereka tahu hal itu berpotensi berbahaya, namun banyak yang tetap

melakukannya. 75% remaja mengatakan mengirim konten yang menjurus ke arah seksual

"dapat memiliki konsekuensi negatif yang serius." Namun, 39% remaja yang telah mengirim

atau memposting email atau pesan teks yang menjurus ke arah seksual. 20% remaja mengirim

/ memposting gambar telanjang atau setengah telanjang diri mereka sendiri.

Remaja yang mengirim pesan dan gambar seksual yang eksplisit, meskipun mereka

tahu konten semacam itu dapat dibagikan kepada orang lain selain yang ditujukan sebagai

penerima. Seberapa sering untuk berbagi pesan dan gambar seksi dengan mereka selain

penerima yang dituju? 44% dari gadis remaja dan remaja laki-laki mengatakan sering pesan

teks yang mengandung konten secara seksual dibagikan dengan orang lain selain penerima

yang dituju. 36% gadis remaja dan 39% remaja laki-laki mengatakan sering untuk foto

telanjang atau setengah telanjang dibagikan dengan orang lain selain penerima yang dituju.

Remaja yang mengakui bahwa mereka mengirim / memposting konten seksual

berdampak pada perilaku mereka. Apakah mengirim teks dan gambar yang merangsang

seksual memengaruhi apa yang terjadi dalam kehidupan nyata? 22% remaja berkata bahwa

secara pribadi lebih sering dan agresif menggunakan perkataan dan gambar konten seksual

dari pada yang mereka lakukan dalam "kehidupan nyata." 38% remaja mengatakan bahwa

bertukar konten yang menjurus ke arah seksual membuat kencan atau berhubungan dengan

P:108

107

orang lain lebih mungkin. 29% remaja dan 24% dewasa muda memercayai bahwa bertukar

konten bernuansa seksual "diharapkan" untuk dapat berkencan atau menjalin relasi.

Remaja memberi banyak alasan untuk mengirim/memposting konten yang menjurus

ke arah seksual. Sebagian besar mengatakan itu adalah "kesenangan dan menunjukkan

perilaku genit. 51% gadis remaja mengatakan tekanan dari seorang pria adalah alasan para

gadis mengirim pesan atau gambar seksi; hanya 18% dari remaja laki-laki mengatakan

tekanan dari rekan-rekan perempuan sebagai alasan. 23% gadis remaja dan 24% remaja lakilaki mengatakan mereka ditekan oleh teman-teman untuk mengirim atau memposting

konten seksual. Di antara remaja yang telah mengirim konten bernuansa seksual: 66% remaja

perempuan dan 60% remaja laki-laki mengatakan mereka melakukan demikian untuk

menjadi "kesenangan atau menunjukkan perilaku genit" – alasan paling umum bagi mereka

untuk mengirim konten seksi. 52% gadis remaja melakukannya sebagai "hadiah seksi" untuk

pacar mereka. 44% dari gadis remaja dan remaja laki-laki mengatakan mereka mengirim

pesan atau gambar yang merangsang secara seksual sebagai balasan untuk konten seperti itu

yang mereka terima. 40% remaja perempuan mengatakan bahwa mereka mengirimkan pesan

atau gambar konten seksual sebagai ―lelucon/guyon/bercanda.‖ 34% remaja perempuan

mengatakan bahwa mereka mengirim / memposting konten seksual konten untuk "merasa

seksi." 12% dari remaja perempuan merasa ―tertekan‖ untuk mengirim pesan atau gambar

konten.

Ciri-ciri Individu yang Kecanduan Pornografi

Menurut Gross (1998: 154), ada beberapa ciri seseorang yang sudah kecanduan situs porno:

1) Tidak memiliki keterampilan sosial yang memadai.

2) Sering bergelut dengan fantasi-fantasi yang bersifat seksual.

3) Suka berkomunikasi dengan figur-figur ciptaan hasil imajinasinya sendiri.

4) Tidak mampu mengendalikan diri untuk tidak mengakses situs porno.

5) Intensitas mengkonsumsi media pornografi sering, dalam hal ini 1-3 kali sehari.

Dilansir dari Sexual recovery (23/9/2010), otak manusia ternyata bisa tidak berfungsi jika

terlalu sering melihat sesuatu yang berbau porno, berikut beberapa gejala orang mengalami

kecanduan pornografi:

1)Ketidakmampuan untuk menghentikan perilaku kecanduannya, walaupun pernah

mencoba sebelumnya.

P:109

108

2) Merasa tersinggung atau marah bila kegiatannya dihentikan.

3) Menyembunyikan atau berusaha untuk menjaga rahasia dari semua

kegiatan pornografi yang dilakukannya.

4) Tetap melanjutkan kegiatan pornografi meski sudah kehilangan hal

berharga dalam hidupnya, seperti hubungan asrama atau kehilangan pekerjaan.

5) Lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang berbau pornografi

ketimbang hal lain yang lebih penting.

Langkah-langkah Mengatasi Kecanduan Pornografi Internet

• Mengakui bahwa kita tak berdaya atas hawa nafsu. (I Kor. 7:5)

• Percaya bahwa ada kuasa Tuhan yang lebih besar dari diri kita yang dapat

memulihkan dan menyucikan kita

• Ambil keputusan untuk menyerahkan kehendak dan hidup kita atas pemeliharaan

Allah

• Menanamkan nilai-nilai kitab suci dalam hidup kita

• Mengaku kepada Allah, diri dan orang lain akan kesalahan kita

• Menyerahkan diri kita kepada Allah untuk membuang karakter yang buruk

• Mencatat orang-orang yang sudah kita lukai dan minta maaf pada mereka, kecuali

jika mereka terluka

• Berdoa kepada Tuhan untuk mengenal kehendakNya dan kuasaNya nyata dalam

hidup kita

• Memiliki kebangunan rohani dan menolong mereka yang ketagihan pornografi

• Memiliki persekutuan

• Mengikuti retreat penyembuhan luka-luka batin

• Mengatasi kesendirian dan kemarahan dengan mengembangkan hubugan intim

dengan Allah

• Jelaskan kepada pasien tentang kecanduan pornografi dengan kasih dan bukan untuk

mempermalukan

P:110

109

• Putuskan aksesibilitas dengan pengawasan terhadap komputer atau menempatkan di

tempat terbuka

• Mengungkapkan konflik emosional yang dapat menimbulkan ketagihan

• Mengungkapkan sumber kesendirian dan kurangnya keintiman dala keluarga

• Berikan dukungan atau terapi kelompok

• Mengembangkan kehidupan doa

Kepustakaan

E.Elisabeth & S.Lennart.(2004). Internet use, social skills, and adjustment. Cyberpsychology & Behavior

. 7.(1): 41-47.

.................. ,Prilaku Seksual Mahasiswa Semarang. PILAR, DKT, Semarang, 2006.

Ermida, 2004, ―Makalah Cybersex‖, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma,

Gross, James J. (2006). Handbook of Emotion Regulation . New York: Guilford Press.

Karina Aprilia, Sulis Maryanti, Sikap Mahasiswa Universitas Indonusa Esa Unggul terhadap

Cybersex, Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul.

Liska,Ken, 1994, Drugs And Human Body with Implication for Society, Ipen Sadde River, New Jersey:

Prentice Hall,

Lori Henderson, Sexting and Sexual Relationships Among Teens and Young Adults.

Zarina Bt Samin, Hanurra Bt Hairudin dan Nurazwin Bt Asmuni, Pengaruh Ketagihan

Internet terhadap Kecerdasan Emosi dalam Kalangan Pelajar Kolej Komuniti

Bandarpenawar, Johor: Kolej Komuniti Bandar Penawar

Dictionary, “Infoplease, from http//www.info please.com/dictionary/cybersex”, Retrived Juni 12, 2004

(http:artikel.sabda.org/pornografi).

www.defickry.wordpress.com.

P:111

110

PENDEKATAN KONSELING KOMUNIKASI SEBAGAI UPAYA

PEMULIHAN TERHADAP PENGARUH BURUK DI ERA DIGITALISASI

Semuel Pattipeilohy 73

Pendahuluan

Komunikasi konseling merupakan sebuah pelayanan yang bersifat khusus yang

sangat dibutuhkan. Secara umum, konseling adalah pelayanan bimbingan yang diberikan

oleh seorang konselor (pembimbing) terhadap seorang konseli (yang dibimbing) untuk

menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah pribadinya.

Alkitab memberikan banyak catatan mengenai pelayanan konseling yang menjadi

kunci keberhasilan pemulihan terhadap pengaruh buruk dalam kehidupan. Di Perjanjian

Lama dicatat bagaimana Yitro menemui dan memberi nasihat kepada anak menantunya,

Musa. Saat itu Musa sedang mengalami kepayahan karena harus memimpin bangsa Israel

yang besar itu. Yitro datang untuk menolong Musa menemukan hikmat illahi dalam

memimpin bangsa tersebut.

Tidak kalah menarik bahwa proses konseling yang dilakukan para sahabat terhadap

Ayub. Penderitaan yang dialami Ayub sangat luar biasa, sehingga Ayub mengalami kelelahan

fisik dan psikologis yang luar biasa pula. Dalam keadaan demikian, Alkitab mencatat

bagaimana para sahabatnya mencoba melakukan konseling. Mereka adalah Elifas (Ayub 4),

Bildad (Ayub 8), dan Zofar (Ayub 20) yang kesemuanya gagal karena faktor komunikasi.

Adapun konseling yang dilakukan Elihu atas Ayub berhasil karena ketepatannya dalam

berkomunikasi.

Menarik jika melihat keberhasilan komunikasi Elihu itu. Pertama Elihu membuka

interaksi dengan mau mendengarkan keluh kesah Ayub (Ayub 32:11). Kedua, Elihu

mengambil sikap untuk mau mengerti apa yang dikatakan Ayub (Ayub 32:12). Ketiga, Elihu

mulai angkat bicara untuk memberi motifasi dan penguatan kepada Ayub (Ayub 33: 6, 7).

Keempat, setelah situasi komunikasinya kondusif, Elihu berani mengkonfrontasi Ayub

dengan kebenaran Firman Tuhan (Ayb 33:12). Kelima, Elihu kemudian memberikan

pengajaran rohani kepada Ayub (Ayb 33:33). Keenam, Elihu memberikan bimbingan tentang

langkah-langkah praktis apa yang harus dilakukan oleh Ayub (Ayb 34).

73 Semuel Pattipeilohy, M.Th adalah Pemimpin Grace Soteria Ministry Surabaya

P:112

111

Komunikasi yang hebat menjadi kunci keberhasilan konseling yang dilakukan

Tuhan Yesus. Terlihat bahwa Yesus adalah ‖Komunikator Agung‖. Ia pandai berkomunikasi

dengan berbagai macam orang yang diantaranya Nikodemus dan perempuan Samaria yang

terdapat juga perbedaan strata sosial, latar belakang pendidikan serta kondisi ekonomi. Jika

Yesus berhasil mengkonseling keduanya, berarti Yesus bisa berkomunikasi dengan orangorang yang berbeda-beda.

Dalam konteks pelayanan duniawi, ilmu komunikasi telah lama berkembang.

Berbagai teori, mulai dari teori-teori yang berbasis ilmu psikologi sampai yang berbasis ilmu

politik telah banyak dikembangkan. Tetapi, teori-teori duniawi itu tentu saja tidak bisa

diterapkan begitu saja dalam pelayanan Kristen. Karena itu kita harus menggali sendiri teoriteori komunikasi untuk konseling dari Alkitab, khususnya dari praktik konseling yang

dilakukan oleh Yesus Kristus Sang Konselor Agung.

Strategi Mendengarkan

Seberapa seringkah kita mendengarkan pembicaraan lawan bicara kita? Seringkali

ketika dua orang sedang berbicara yang pada dasarnya mereka sedang mengadakan ―dialog

tuli‖. Seberapa banyak orang berbicara satu sama lain, seberapa banyak pula pesan yang bisa

diterima. Fakta yang terjadi adalah pesan yang diterima tidak sebanyak yang dibicarakan.

Jika kita benar-benar mendengarkan orang lain maka kita sebenarnya sedang mengirim pesan

kepada orang tersebut yang akan membuatnya berpikir bahwa saya layak didengarkan. Ketika

kita mendengarkan maka sebenarnya kita mempunyai pengaruh lebih besar dari pada ketika

kita sedang berbicara.

Apa yang dimaksud mendengar (hearing)? Apa yang dimaksud mendengarkan (listening)?

Apakah bedanya? Mendengar pada dasarnya adalah mendapatkan isi atau informasi untuk

kepentingan kita sendiri yang berarti kita perduli terhadap apa yang sedang terjadi didalam

diri kita selama percakapan. Mendengarkan berarti bahwa kita sedang berusaha untuk

memahami perasaan orang lain dan mendengarkan demi dia.

Sangatlah perlu menyikapi di era digital ini terhadap pengaruh baik dan buruknya

pada setiap pribadi kekristenan dengan sikap mendengarkan (listening) dan mendengar

(hearing) dengan penuh perhatian yang dapat memudahkan kita dalam menyimpulkan satu

sama lain. Sikap inilah yang dapat memberikan konseling komunikasi terhadap setiap

pribadi kristen yang masuk dalam perangkap pengaruh buruk di era digital saat ini.

Konseling = Pembelajaran Lewat Masalah Hidup

P:113

112

Pakar pendidikan Kristen Sidjabat mengklasifikasikan strategi pembelajaran dalam

kategori-kategori sebagai berikut.74

1. Strategi pembelajaran ekspositori, yaitu strategi mengajar di mana guru bercerita,

berceramah, dan bertutur untuk menyampaikan konsep, ide, gagasan, keyakinannya

kepada peserta didik, di mana guru bisa memakai teks sebagai bahan ajar.

2. Strategi pembelajaran inkuiri, di mana guru berperan sebagai fasilotator, penuntun

dan rekan belajar. Guru memotivasi peserta didik untuk aktif dalam proses belajar

agar mereka mencari dan menemukan gagasan.

3. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (SPBM), strategi di mana murid dikenalkan

pada masalah agar dapat memahami (analisis), merumuskan langkah penyelesaian,

menguji data atau informasi, dan menyimpulkan.

4. Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) yang menekankan

pembentukan kemampuan berpikir peserta didik. Guru menuntun murid bukan

hanya untuk mengetahui isi bahan ajar (knowing what), melainkan juga dalam rangka

memahami metode belajar dan merumuskan konsep, ide, gagasan (knowing how).

5. Strategi Pembelajaran Kooperatif (SPK) yaitu belajar dalam kelompok kecil dengan

berdiskusi bersama untuk memahami dan memecahkan masalah.

6. Strategi Pembelajaran Kontekstual dengan menjadikan konteks kehidupan sosial

budaya sebagai sumber serta media belajar yang penuh makna. Murid tidak hanya

dapat belajar dari membaca buku dan literatur saja.

7. Strategi Pembelajaran Afektif di mana pendidikan agama, moral atau etika

digolongkann bersifat afektid karena bersinggungan dengan sikap dan perasaan batin.

Strategi pembelajaran

Dari beberapa strategi pembelajaran itu, ada beberapa strategi pembelajaran yang

sesuai dengan pelayanan konseling yang berarti strategi itu cocok untuk diterapkan dalam

pelayanan konseling yang bersifat edukatif. Strategi itu adalah Strategi Pembelajaran Berbasis

Masalah, sebab dalam konseling, konselor menghadapi dan menangani konseli yang memang

sedang mengalami masalah dalam kehidupannya.

Dalam Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah, dikenalkan pada masalah agar dapat

memahami (analisis), merumuskan langkah penyelesaian, menguji data atau informasi, dan

menyimpulkan. Yesus pun melakukan strategi ini dengan menghadapkan para murid dengan

masalah supaya belajar sesuatu.

74 Sidjabat, Mengajar Secara Profesional: Mewujudkan Visi Guru Profesional (Badung: Kalam Hidup, 1993), 277

P:114

113

Konseling = Pembelajaran Privat

Konseling edukatif lebih merupakan edukasi yang dilakukan oleh konselor kepada

konseli dalam interaksi secara pribadi (bukan mengajar secara massal). Sehingga srategi

komunikasinya lebih bersifat pendekatan individual.

Konseling edukatif itu dilakukan juga oleh Tuhan Yesus. Setidaknya hal itu terlihat

dari pelayanan konseling edukatif saat Yesus menghadapi Nikodemus. Terlihat jelas bahwa

sebenarnya Nikodemus bukan sekedar bertanya karena ingin tahu. Namun, Nikodemus juga

sedang menghadapi masalah, yaitu masalah keimanan karena dia mengalami kesulitan dalam

memahami persoalan rohani. Bagi seorang pendidik agama, hal itu merupakan masalah yang

besar. Nikodemus tidak bisa menyelesaikan masalah itu sendirian, dan mungkin ia juga malu

jika mau menyelesaikan masalah itu dalam pertemuan pengajaran umum (kelas umum) yang

diberikan oleh Yesus. Maka, Nikodemus memilih ‖jalur konseling pribadi‖ dengan Yesus

dalam sebuah pertemuan khusus yang bersifat pribadi (privat) dan rahasia, tidak terbuka

untuk umum.

Dalam konseling itu juga nampak bahwa Yesus memainkan peran bukan hanya

sebagai Konselor tetapi juga sebagai Edukator. Momen konseling itu benar-benar dipakai

oleh Tuhan Yesus untuk mengajarkan tentang prinsip-prinsip kebenaran Firman Tuhan

bahkan Yesus memberi pelajaran secara mendetil, panjang lebar.

Penutup

Dalam menyikapi era digital adalah sangat perlu melakukan pendekatan konseling

komunikasi terhadap setiap pribadi Kristen untuk menjadi cerdas dalam mengatasi masalah,

menerima anugerah keselamatan, bertumbuh dalam pertobatan, menjalani hidup baru

dengan cara hidup yang berpadanan dengan Alkitab, bertumbuh dalam karakter, bertumbuh

dalam kehidupan rohani, bertumbuh ke arah kesempurnaan di dalam Kristus.

Kepustakaan

Adams, Jay E. Competent to Counsel: Anda pun Boleh Membimbing. Bandung: Sekolah Alkitab

Tiranus, 2006

Bailey, Brian J. Kehidupan Kristus: Pemberi Hidup Berkelimpahan. Jakarta: Nafiri Gabriel, 2002.

Brill, J. Wesley. Doa-Doa dalam Perjanjian Baru. Bandung: Kalam Hidup, 1998.

Bruce, FF. Ucapan Yesus yang Sulit. Malang: SAAT, 2007.

Chapman, Garry. Now You’re Speaking My Language. Bandung: Immanuel, 2012.

Chapman, Garry. Love is a Verb. Jakarta: PT Visi Anguerah Indonesia, 2015.

Clark, Robert E. Christian Education: Foundation for The Future,

Chicago: Moody Press, 1991.

Collins, Garry R. Pengantar Pelayanan Konseling Kristen yang Efektif.

Malang: Literatur SAAT, 2012.

Crabb, Larry. Konseling yang Efektif dan Alkitabiah. Yogyakarta: ANDI, 2010.

P:115

114

Cronbach, Lee. J. Educational Psichology. Chicago: Harcourt, Brace and Company.

Cully, Iris V. Dimanika Pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Dahar, Ratna Willis. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga, 1989.

Daniel, Eleanor. Christian Education. Ohio: Standard Publishing, 1987.

Davids, Peter H. Ucapan yang Sulit dalam Perjanjian Baru. Malang: Lembaga Literatur SAAT,

2000.

DePoter, Bobbi. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas.

Jakarta: Kaifa, 2005.

Douma, J. Kelakuan yang Bertanggungjawab: Pembimbing ke dalam Etika Kristen.Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2002.

Effendi, Onong Uchjana. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002.

Eims, LeRoy. Pemuridan, Seni yang Hilang. Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 1993.

Enns, Paul. The Moody Handbook of Theology: Buku Pegangan Teologi I. Malang: Literatur SAAT,

2008.

Enns, Paul. The Moody Handbook of Theology: Buku Pegangan Teologi II. Malang: Literatur SAAT,

2008.

Erricson, Millard K. Teologi Kristen. Malang: Gandum Mas, 1999.

Flewing H Revell. Pedoman Pokok-Pokok Isi Alkitab. Bandung: Kalam Hidup, 1994.

Gangel, Kenneth O. The Christian Educator’s Handbook on Teaching: A Comprehensive Resource on

The Distinctiveness od True Christian Teaching. Wheaton: Victor Books, 1989.

Gangel, Kenneth O. Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. Malang: Gandum Mas. 1998.

Graendorf, Werner C. Introduction to Biblical Christian Education.

Chicago: Moody Press, 1981.

Guruge, Ananda W. P. Proses Perencanaan Pendidikan. Surabaya: Surabaya Intelectual Club

dan IKIP Surabaya, 1996.

Hamalik, Omar. Pengembangan Kurikulum: Dasar-dasar dan Perkembangannya. Bandung: Mandar

Maju, 1990.

H. Norman Wright. Communication @ work. Jakarta: Immanuel, 2005.

Horne, Herman Harrell. Teaching Techniques of Jesus. Michigan: Kregel Publication, 1978.

Hurlock, Elizabeth. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.

Jakarta: Erlangga, 1997.

Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Yogyakarta: ArRuzz, 2009.

Issler, Klaus. How We Learn: A Christian Teachier’s Guide to Educational Psychology. Muchigan:

Baker Books, 1994

P:116

115

KOTA CERDAS BERBASIS KEBUDAYAAN:

REFLEKSI DAN AKSI GEREJA KRISTEN75

Haryadi Baskoro76

Pendahuluan

Kota-kota di nusantara dan di seluruh dunia telah berlomba-lomba mengelola

perikehidupan urban secara cerdas. Apalagi setelah Kemkominfo RI menggulirkan Gerakan

Menuju 100 Smart City, tak kurang dari 50 wali kota dan bupati menyatakan dukungan.

Dalam pembangunan smart city, Menkominfo RI Rudiantara menekankan

pemanfaatan teknologi informasi untuk melayani masyarakat. Menurutnya, kita harus

mendefinisikan dulu manfaat-manfaat apa saja yang akan diberikan kepada masyarakat dan

baru mencari teknologi informasi yang relevan. Gerakan smart city di satu sisi mendorong

kota-kota menyelesaikan berbagai persoalan urban secara cerdas dan sisi lain memajukan

potensi daerahnya secara cerdas pula.

Pengelolaan komunitas cerdas (smart city, smart regency, smart province) yang telah

menjadi tren sejak 2000-an sudah terbukti berhasil memajukan kualitas kehidupan

masyarakat. Riset McKinsey Global Institute (MGI) misalnya, menunjukkan bahwa sistem

smart city terbukti menjadi solusi digital (digital solution) efektif di berbagai kota di seluruh

dunia. Sistem smart city terbukti berdampak, misalnya mengurangi insiden kriminalitas

hingga 30-40 persen, mengurangi pemborosan waktu dalam sistem transportasi hingga 15-20

menit, mengurangi pemborosan pemakaian air hingga 25-28 liter per orang per hari

Jerat Pragmatisme

Secara antropologis, smart city adalah sebuah kebudayaan. Koentjaraningrat

mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks sistem gagasan, sistem perilaku, dan hendabenda hasil karya manusia (budaya material) yang menjadi milik diri melalui proses belajar.

Perilaku serba digital dalam smart city ditopang oleh budaya material berupa teknologi

informasi dengan multi aplikasinya yang semakin canggih. Namun sejauh ini, sistem gagasan

yang melandasi perilaku digital dan memotivasi penciptaan teknologi digital itu bersifat

75 Dikembangkan dari artikel opini Haryadi Baskoro berjudul ―Kota Cerdas Berbasis Kebudayaan‖ yang telah

dimuat di Rubrik OPINI Harian KOMPAS edisi 6 Agustus 2018, halaman 7.

76 Dr. Haryadi Baskoro, MA., M.Hum adalah Pengurus Pusat Studi Seni-Budaya STT Tawangmangu (PSSB ST3);

Tim Advokasi Badan Kerjasama Gereja-gereja (BKSGK) DIY; Tenaga Ahli ―Jogja Smart Province‖ Dinas

Kominfo DIY; Pengelola Kantor Hukum 3H Advocates & Consultants Yogya serta Pengurus Yayasan Inruka

Yogya.

P:117

116

pragmatis. Alam pikir pragmatis menekankan pengutamaan kebermanfaatan segala sesuatu,

yaitu kebergunaan secara praktis semata. Manusia pragmatis tak mau repot-repot

memikirkan masalah-masalah kebenaran, sistem nilai, dan filsafat, apalagi hal-hal yang

bersifat metafisis.

Pragmatisme dalam pembangunan smart city terlihat dari orientasinya untuk membuat

hidup masyarakat semakin mudah, nyaman, senang, nikmat, sejahtera, dan bahagia. Jika

pencapaian-pencapaian itu saja yang menjadi parameter keberhasilan, smart city hanya akan

menjadikan kota berteknologi cerdas tetapi tidak berpenduduk cerdas. Sebab, cerdas itu

lebih dari sekedar fasih menggunakan smartphone. Semakin canggih (cerdas) IT yang

diciptakan, penggunanya justru semakin tidak perlu menguras otak karena beragam surplus

kemudahan teknis yang diberikan.

Mari kita renungkan ulang. Salah satu aplikasi smart city mungkin akan sangat

memudahkan penduduk sehingga tidak perlu pusing dan repot saat mengurus urusan-urusan

kependudukan. Semua proses rumit berjenjang cukup dilakukan melalui smartphone dalam

genggaman tangan kita. Lantas, apakah hal itu membuat penduduk lebih cerdas? Dulu, kita

harus mencari Pak RT, Pak RW, lalu antre di kelurahan, berdialog dengan Pak Lurah, dan

melewati beragam interaksi sosial lainnya saat mengurus ini dan itu. Bukankah hal itu justeru

membuat kita punya kecerdasan social (social intelligent)? Bukankah hal itu melatih

kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan adversiti (AQ) kita? Digitalisasi bukan hanya

desruptif bagi system pekerjaan yang dulu melibatkan aktivitas banyak orang, tetapi juga

mengganggu proses belajar masyarakat untuk memiliki kecerdasan interpersonal dan

intrapersonal.

Faktanya, kehadiran teknologi cerdas terkadang justeru membuat manusia berpikir

dan berperilaku tak cerdas. Dulu pada awal-awal teknologi internet diciptakan, umat

manusia memanfaatkannya untuk membangun interaksi sosial yang relatif positif. Sekarang

manakala teknologi media digital begitu canggih, medsos dan media online justru

menyuburkan hoax, ujaran kebencian, cyber bullying, cyber radicalism, dan cyber terrorism. Dulu

internet membangun interaksi di dalam keberagaman. Sekarang internet jadi alat eksklusi

sosial dan sarana provokasi konflik sosial.

Manusia ternyata lebih bodoh dari laba-laba. sebab tak pernah ada laba-laba

membuat jaring namun terjerat dalam jaringnya sendiri. Adapun manusia menciptakan

jejaring budaya yang disebut Clifford Geertz sebagai jejaring makna (the web of significance)

yang jadi bumerang karena menghegemoni dirinya.

P:118

117

Karena itu para peneliti budaya mengembangkan istilah ―peradaban‖ (civilization).

Arnold Toynbee (1965) mendefinisikan peradaban sebagai kebudayaan yang memiliki

dimensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi. Kita membutuhkan kota-kota

berperadaban tinggi yang canggih dalam tekonogi informasi namun penduduknya berbudaya

luhur. Adapun pragmatisme yang berorientasi pada kenikmartan hidup pada waktunya akan

memerosotkan kualitas kebudayaan kita di tengah kemajuan iptek.

“E-learning”

Supaya smart city berbasis kebudayaan, sejarawan UGM Joko Suryo mengingatkan

pepatah lama ―man behind the gun‖. Teknologi informasi adalah alat, senjata, budaya materi yang

harus dikendalikan oleh manusia. Hanya manusia berbudaya luhurlah yang alam pikirnya

diliputi gagasan-gagasan mulia - sistem nilai, filosofi, ideologi - yang arif dalam menciptakan,

memilih, dan menggunakan senjata itu dengan baik. Senjata yang sederhana sekalipun, jika

berada di tangan penjahat, akan menjadi pemicu petaka yang besar. Apalagi, senjata canggih

yang bernama teknologi digital itu.

Pembagunan smart city semestinya sejak awal memposisikan kebudayaan sebagai

panglima dan teknologi digital sebagai alat. Kebudayaan membuat kita cerdas dalam

mencipta, memilih, dan menggunakan teknologi digital yang tidak sekedar memberi

kenikmatan publik (pragmatis) namun mencerdaskan (kultural) masyarakat/bangsa.

Sebagai contoh, dengan bantuan aplikasi digital seperti yang telah marak

sekarang ini, kita dengan mudah menemukan arah dan lokasi. Di kota Yogya misalnya,

aplikasi digital memudahkan kita menemukan Jalan Malioboro yang berlokasi di pusat kota.

Tetapi, smart city berbasis kebudayaan semestinya bukan hanya memberi kemudahan

navigasi, tetapi juga memberi petunjuk yang lebih mencerdaskan lagi. Sebab, nama jalan

Malioboro adalah bagian integraal tata kota ―sumbu filosofis‖ Yogya yang mengandung pesan

moral yang sudah diapresiasi oleh UNESCO. Malioboro adalah nama ajaran supaya manusia

membuang kejahatan ―malima‖ yaitu madat (mencandu, narkoba), madon (seks bebas), main

(berjudi), minum (kemabukan), dan maling (mencuri, korupsi). Turis asing pun akan tertarik

jika mendapat informasi kultural edukatif seperti itu, sebab mereka tak berkunjung sekedar

mencari kemudahan.

Pembangunan smart city berbasis kebudayaan semestinya bercirikan edukasi. Negara

tidak hanya bertugas mensejahterakan tetapi juga mencerdaskan bangsa. Jika sejahtera

berarti hidup mudah dan nyaman maka cerdas berarti terus meningkatnya kompetensi

P:119

118

berpikir kritis, progresif, dan transformatif. Teknologi digital memberi banyak alternatif

inovasi kreatif untuk mengembangkan pendidikan kultural bagi masyarakat.

Dengan demikian smart city membuka jalan untuk revitalisasi dan aktualisasi nilainilai kearifan lokal dan mengajarkannya secara kreatif-atraktif kepada generasi masa kini.

Untuk itu aplikasi e-learning perlu diintegrasikan bahkan menjadi basis dalam sistem smart

city. Sistem smart city yang berfokus pada pencerdasan justru akan mengakselerasi revolusi

pendidikan yang progresif dan transformatif. Melalui e-learning masyarakat menjadi

pembelajar aktif, bisa meneliti sendiri, mempelajari materi lewat website, bahkan mengakses

langsung para ekspert yang ada di kotanya. Materi pelajaran yang diperoleh selalu di-update

dan di-upgrade. Dalam edukasi era ―4.0‖, pembelajar adalah konektor, kreator, dan

konstruksionis dalam proses belajar-mengajar. Murid berpeluang menjadi pencipta dan

pembagi informasi (learner as content producer and sharer). Masyarakat jadi cerdas dan bisa

mencerdaskan orang lain (learner as teacher).

Jika tidak berbasis kebudayaan, pembangunan smart city di Indonesia hanya akan

mengantarkan kota-kota kita menjadi pusat-pusat modernitas global. Digitalisasi malahan

berpotensi melemahkan dan melenyapkan keaslian dan keunggulan kebudayaan kita sendiri.

Sistem smart city berbasis kebudayaan bukan hanya mencerdaskan penduduk urban tapi

mentransformasi kota-kota kita menjadi pusat-pusat peradaban yang melalui teknologi

informasi mampu berdampak global.

“Gereja Cyber”

Masyarakat Kristen yang secara teologis disebut ―Gereja‖ pada dasarnya responsif

terhadap perkembangan teknologi informasi. Bukan hanya gereja-gereja di kota, bahkan di

desa-desa sudah banyak orang Kristen yang melek komputer. Sikap responsif itu setidaknya

terlihat dari kegiatan-kegiatan ibadah yang sudah banyak diperlengkapi dengan projector yang

dikendalikan dengan komputer. Banyak pemimpin dan umat juga sudah melek penggunaan

media sosial dan media online.

Gereja-gereja di perkotaan semakin giat mengembangkan pelayanan-pelayanan

kreatif dengan memaksimalkan dukungan teknologi informasi. Mereka menggunakan

website, blog, instagram, facebook untuk ―memasarkan‖ pelayanan. Para pembicara Kristen

pun berlomba-lomba menyiarkan pelayanan mereka melalui channel Youtube.

Di dunia Barat, banyak pelayanan benar-benar didisain berbasis digital sepenuhnya.

Ibadah tidak lagi menjadi pertemuan berbasis komunikasi primer ―face to face‖. Kotbah

P:120

119

disampaikan dan diterima melalui media digital. Materi-materi pelajaran Alkitab dapat

ditelusuri dan diundah melalui media online. Kegiatan konseling berbasis interaksi virtual.

Pemberian persembahan uang (―kolekte‖) dilakukan melalui jalur digital (mobile banking).

Pragmatisme Gereja

Bukan hanya perikehidupan sekuler yang semakin pragmatis, ranah kehidupan

spirutual juga dilanda spirit yang demikian. Sebagian – tidak semua – praktek hidup Kristen

dilandasi pragmatisme. Umat menjalani laku keagamaan sekedar untuk kepentingankepentingan diri yang egosentris seperti mengejar berkat dan kesuksesan duniawi semata.

Sementara itu, (sebagian dari) para elite keagamaan Kristen terkadang rergoda

untuk sekedar meladeni ―selera pasar‖. Akhirnya pelayanan dikelola sebagai ―bisnis‖ jasa

rohani, dikemas atraktif berbalutkan ―entertainment‖. Dalam praktik pelayanan gerejawi yang

pragamatis seperti itu, teknologi informasi yang diterapkan hanya akan memperparah jiwa

pragmatisme. Digitalisasi dipakai untuk mempermudah dan menyenangkan umat. Teknologi

digital dipakai sebagai bagian dari upaya mempercanggih panggung pelayanan untuk

memuaskan selera jemaat.

Secara antropologis, digitalisasi Gereja modern masa kini berkembang bersamaan

dengan maraknya gaya hidup ―budaya populer‖ (pop culture) yang juga merebak di dalam

kekristenan. Dominic Strinati (1990) menyebut kebudayaan populer sebagai jenis

kebudayaan yang menekankan ―kenikmatan sesaat‖ dengan mengesampingkan keutamaan

nilai-nilai filosofis yang mendalam. Manifestasi paling marak dari kebudayaan populer adalah

dunia hiburan (entertainment) seperti begitu mewabah sekarang ini.

Sebagian dari komunitas Kristen yang pragmatis – artinya tidak semuanya – seperti

berada dalam ―cinta segitiga‖ yang tidak mencerdaskan (jika tak mau disebut sebagai

pembodohan). Tiga unsur ―cinta segitiga‖ itu adalah ―spiritualitas‖, ―kultur pop‖, dan

―kapitalisme‖. Hal-hal rohani dan pelayanan-pelayanan rohani dikemas dan ―dipasarkan‖

dalam kemasan ―entertainment‖. Lalu ―bisnis jasa rohani‖ itu kemudian kelola dengan kakuatan

kapital untuk menghegemoni umat. Sekali lagi, situasi seperti ini tentu saja tidak melanda

semua gereja yang ada. Tentu saja banyak gereja dan pelayan rohani yang benar-benar idealis

dan tidak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan harta dan kekayaan. Namun harus

diakui bahwa ―cinta segitiga‖ ini benar-benar telah melanda sebagian masyarakat Kristen

modern.

Salah satu akibat fatal dari praktek ―cinta segitiga‖ itu adalah terhambatnya

pencerdasan umat dan juga generasi muda Kristen. Mereka dininabobokkan dengan suguhan

P:121

120

pelayanan-pelayanan rohani berbalutkan entertainment. Kotbah-kotbah disajikan mengikuti

selera pasar. Pelayanan mimbar tidak boleh kalah dengan panggung ―stand up comedy‖. Para

pengkotbah harus tampil ―keren‖ seperti para motivator sekuler yang tenar. Altar di-setting

seperti panggung hiburan dengan sajian seni-pertunjukan yang heboh dan atraktif.

Akibatnya, jemaat dan generasi muda tidak menjadi insan-insan beriman yang

kritis. Mereka hanya bisa bereaksi ―amin, amin, amin‖ tentang apa pun yang disampaikan

pemimpin rohani. Tambahan lagi, kultus pemimpin rohani ala ―fans club artis‖ membuat

jemaat tidak berpikir kritis. Jemaat dan generasi muda larut dalam suasana euforia rohani

tanpa memikirkan apakah yang diterima dan dialaminya benar-benar otentik.

Dalam situasi dan kondisi yang demikian, digitalisasi pelayanan Kristen berpotensi

tidak membangkitkan proses pencerdasan. Pemaksimalan dukungan teknologi informasi

malah berpotensi memperkuat bangunan ―cinta segitiga‖ itu.

E-learning Kristen

Untuk itu, sama seperti masalah pada ―smart city‖, digitalisasi Gereja harus

diarahkan untuk mencerdaskan umat dan khususnya generasi muda. Sistem e-learning Kristen

seharusnya mendorong kita untuk belajar lebih teliti, lebih kritis, lebih mendalam. Jika

selama ini kotbah konvensional hanya monolog dan dengan demikian berpotensi ―mendikte‖

umat maka melalui teknologi digital dimungkinkan menjadi dialogis kritis. Umat bisa

bertanya, berdialog, bahkan berdebat secara akademis. Jemaat bisa meneliti sendiri Alkitab

dengan melakukan studi komparatif dari berbagai sumber. Jemaat cerdas tidak mudah

dibodohi dengan pola-pola pendiktean rohani yang terkadang deceptive dan intimidatif.

Kekristenan, sama seperti sering terjadi dalam agama lain, terkadang terjadi

pengkultusan pemimpin rohani. Apalagi manakala pemimpin rohani itu menggunakan dasardasar pembenaran yang diklaimnya bersifat supranatural. Ketika seorang pemimpin

menyatakan bahwa dirinya telah mendapatkan ―wahyu‖ dari Allah maka ia pun mengklaim

bahwa semua ajaran, ucapan, dan tindakannya benar adanya. Kasus seperti ini sering terjadi

dan berdampak pada penyesatan dan juga perpecahan di dalam tubuh masyarakat Kristen.

Belum lagi kepemimpinan otoriter yang menghegemoni bukan hanya dalam urusan

pelayanan namun juga keuangan pelayanan. Lembaga-lembaga pelayanan dikelola dalam

sistem-sistem yang tidak transparan. Padahal umat selalu diarahkan untuk secara loyal dan

bahkan ―jor-joran‖ memberi sumbangan.

P:122

121

Di sini pulalah digitalisasi seharusnya menjadi solusi pencerdasan. Pengelolaan

keuangan pelayanan secara digital dan online memungkinkan semua pihak, bahkan pihak di

luar gereja untuk melakukan kontrol dan evaluasi. Dengan demikian para pengelola dituntut

cerdas dalam mengelola dan melaporkan semua keuangannya. Umat pun diberi kesempatan

untuk ikut mengontrol dan mengevaluasi.

Kecerdasan Interdenominasional

Dalam pembangunan ―smart city‖, sinergi dan kolaborasi antar sektor sering menjadi

persoalan tersendiri. Antar dinas yang ada sering kurang terjalin kerjasama. Ego sektoral

masing-masing sangat kuat sehingga sulit membangun sistem kerjasama pada lingkup yang

lebih luas. Justru di sinilah sebenarnya konsep ―smart‖ perlu dimaknai sebagai cerdas dalam

bersinergi dan berkolaborasi.

Dalam hal sinergi dan kolaborasi itu pulalah sebagian masyarakat Kristen juga

sejatinya ―rapuh‖. Kekristenan terkotak-kotak dan tersekat-sekat dalam berbagai-bagai

aliran dan organisasi (denominasi). Perbedaan denominasi menyulitkan terjalinnya kerjasama

dalam pelayanan. Bahkan terkadang terjadi persaingan tidak sehat dan perpecahan

berkelanjutan karena ultra heterogenitas organisasi itu.

Digitalisasi pelayanan Kristen semestinya menjadi salah satu strategi untuk

membangun sinergi dan kolaborasi internal Kristen. Setidaknya jejaring digital

memungkinkan para pemimpin untuk saling mengenal dan bertegur sapa. Lebih maksimal,

sistem digital sebenarnya memungkinkan tumbuhnya diskusi dan suasana saling belajar,

saling berbagi, saling melengkapi antar pelayan rohani. Sama seperti konsep ―smart city‖,

konsep ―smart church‖ semestinya membangun kecerdasan interaksi interdenominasional.

Partisipasi dan kontribusi

Dari refleksi di atas, aksi nyata masyarakat Kriten (Gereja) perlu merupakan aksi ke

dalam dan keluar. Ke dalam, digitalisasi Kristen semestinya merupakan aksi untuk

mencerdaskan pemimpin dan umat dalam hal (1) pembangunan mentalitas belajar yang

―transformatif‖, (2) pengelolaan managemen pelayanan yang transparan dan akuntabel, (3)

penguatan sinergi-kolaborasi interdenominasional.

Sedangkan ke luar, aksi Kristen perlu diarahkan untuk mendukung kebijakan

literasi digital Indonesia, termasuk mendukung Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD)

―Siberkreasi‖ yang diinisiasi oleh Kemenkominfo RI. Sinergitas antara Gereja (spiritual

government) dan Negara (civil government) merupakan amanat Tuhan yang ditegaskan di dalam

P:123

122

Alkitab (Lugo, 2011). Negara dalam perspektif Kristen adalah ―lembaga pelayanan‖ untuk

melaksanakan pembangunan budaya/peradaban (Kejadian 1:28, Roma 13:1-7).

Dalam implementasi, Gereja perlu mendukung aksi-aksi GNLD Siberkreasi yang

berupa, pertama, mendorong masuknya konten literasi digital dalam kurikulum pra-sekolah,

SD, SMP, SMA, Universitas, dan pelatihan-pelatihan formal Aparatur Sipil Negara (ASN).

Gerakan Literasi Digital Kristen perlu mendukung setidaknya dengan memasukkan literasi

digital ke sekolah-sekolah Kristen termasuk seminari-seminari.

Kedua, Gerakan Literasi Digital Kristen berpartisipasi dalam upaya mendorong

penyebaran pengetahuan dan etika digital secara masif dan luas dalam format populer dan

menarik. Dalam hal ini masyarakat Kristen dan generasi muda perlu diberdayakan untuk

berkarya kreatif.

Ketiga, Gerakan Literasi Digital Kristen mendukung eksistensi dan mendorong

lahirnya Komunitas, Relawan, dan Duta Konten Positif secara masif di setiap daerah. Para

pemimpin, umat, jemaat lokal, dan generasi muda Kristen perlu dikader menjadi duta-duta

konten positif.

Kepustakaan

BU, Donny. Kerangka Literasi Digital Indonesia. Jakarta: Kemenkominfo RI.

Clark, Robert E. Christian Education: Foundation for The Future, Chicago: Moody Press,

1991.

Cronbach, Lee. J. Educational Psuchology. Chicago: Harcourt, Brace and Company.

Dahar, Ratna Willis. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga, 1989.

Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Grosby, Steven. Sejarah Nasionalisme: Asal Usul Bangsa dan Tanah Air.Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011.

Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakaarta: Rajawali, 1985.

Kristiadi, J. Demokrasi dan Etika Bernegara. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Lugo, Gunche. Manifesto Politik Yesus. Yogyakarya, ANDI, 2011

Mangunwijaya. Kurikulum yang Mencerdaskan: Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. Jakarta: Kompas,

2008.

Naisbitt, John. Megatrends 2000: Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an. Jakarta: Binrupa Aksara,

1990.

Rahman, A. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.

Rahyaputra, Wiyasa. Kumpulan Ulasan Politik, Ekonomi, dan Gaya Hidup di Era Digital.

Jakarta: Kemenkominfo dan GNLD Siberkreasi

Sappington, Thomas J. Hancurkan Kuasa Iblis dalam Diri Anda. Yogyakarta: Andi dan OC

International, 1998.

Smith, Anthony D. Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta: Erlangga,2002.

Sorensen, Georg. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalak Sebuah Dunia

yang Sedang Berubah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

White, Jerry. Gereja dan Yayasan Penginjilan. Malang: Gandum Mas.

P:124

123

“OKULTISME SIBER” DAN PENYESATAN GENERASI

Philipus Setyanto77

Penyimpangan dan penyalahgunaan media digital sudah sangat beragam. Dari

pornografi hingga ujaran kebencian, dan cyber bullying jika tidak ditanggulangi secara baik

dapat merusak generasi bangsa. Salah satu yang sering tidak kita sadari namun sejatinya juga

sangat membahayakan bagi keimanan seseorang adalah siber yang terkait dengan hal-hal

yang berhubungan dengan kuasa gelap, roh-roh jahat.

Hidup memang sebuah pilihan, setiap manusia memiliki kehendak bebas di dalam

dirinya untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya. Namun tidak semua manusia

menggunakan kehendak bebasnya untuk sesuatu hal yang positif dan benar. Terkait dengan

media digital ini, seharusnya kita lebih arif dan bijaksana dan tetap menjaga keimanan kita.

Jika kita menelusuri dunia maya di internet, dengan sangat mudah kita menemukan situssitus yang satanis/okultis. Situs yang memberi bimbingan praktis yang terkait dengan

belajar ilmu-ilmu gaib (roh-roh jahat), jika sesorang terpengaruh dan mengikuti pelajarannya

tentu akan merusak keimanan orang tersebut.

Wabah Okultisme

Kata "okultisme" merupakan terjemahan dari occultism. Kata dasarnya, occult, berasal

dari bahasa Latin occultus ('rahasia') dan occulere ('tersembunyi'). Artinya adalah tersembunyi,

rahasia, gaib, misterius, gelap, atau kegelapan. Dengan demikian, okultisme dapat diartikan

sebagai paham yang menganut dan mempraktikkan kuasa dan kekuatan dari dunia kegelapan

atau dunia roh-roh jahat. Adapun praktik okultisme sendiri adalah sangat beragam, dari ilmu

meramal, sihir, tenung, santet, dan sebagainya.

Mengenai praktik okultisme itu sendiri terdapat banyak pandangan. Jika ditinjau dari

perspektif kebudayaan, mungkin tidak dipermasalahkan. Bahkan banyak dari kebudayaan

umat manusia bersinggungan dengan praktik-praktik ilmu gaib dan ritual-ritual

supranatural. Namun dari perspektif Kristen (Alkitab), penyembahan dan persekutuan

dengan roh-roh jahat jelas merupakan penyimpangan.

77 Pdt. Philipus Setyanto, Th.M adalah seorang gembala dan konselor, pendiri Pelayanan “Duta Kerajaan Allah”,

Dosen STT Sangkakala Salatiga Jawa Tengah

P:125

124

Realitas Iblis

Berbicara tentang pengaruh setan melalui media digital, hal pertama yang harus kita

pahami adalah bahwa roh-roh jahat benar-benar ada dan nyata. Dalam Alkitab berbahasa

Indonesia, dipakai beberapa istilah seperti : Iblis, roh-roh jahat dan si jahat. Iblis berasal dari

kata Yunani (diabolos) yang mengandung arti pemfitnah (Mat 4:1; Ef 4:27; Why 12:9; 20:2).

Iblis itu tunggal, menunjuk kepada raja kegelapan (Lucifer).

Rasul Paulus menggambarkan sifat-sifat Iblis dalam suratnya kepada jemaat di Efesus

(Ef 6:10-12) sebagai berikut. Pertama, Iblis sangat licik. Pada ayat 11, Paulus menekankan soal

―tipu muslihat Iblis‖. Dengan cara itu, Iblis menghalangi karya Tuhan dalam kehidupan

manusia.

Kedua, Iblis adalah musuh yang mempunyai kuasa supranatural. Ketika Paulus

menandaskan supaya kita menjadi kuat di dalam kekuatan kuasa Tuhan, sesungguhnya ia

sedang berbicara tentang kekuatan dan kuasa si Iblis itu (ayat 12). Iblis mempunyai system

pemerintahan dan organisasi kekuasaan yang kokoh. Ketika para murid gagal mengusir roh

jahat yang menguasai seseorang (dalam pelayanan pelepasan), Yesus memberi penjelasan

bahwa itu terjadi karena mereka kurang percaya (Mat 17:17). Para murid waktu itu agak

meremehkan kekuatan setan. Kenyataannya, setan mempunyai kuasa dan kita harus

melawannya dengan iman dan kerohanian yang baik.

Ketiga, roh-roh jahat adalah musuh yang sangat jahat. Pada ayat 12, Paulus menunjuk

pada masalah ―roh-roh jahat‖. Roh-roh jahat itu jamak, roh-roh jahat lebih dari satu, berbeda

dengan Iblis itu tunggal. Roh-roh jahat memiliki tujuan agar manusia berperilaku jahat.

Sappington (1998) memperingatkan supaya kita tidak terpengaruh oleh ajaran-ajaran lain.

Pengajaran Alkitab tentang dunia roh-roh jahat sangat jelas, semua jahat, apapun bentuk dan

manifestasinya!

Iblis Merusak Manusia

Pekerjaan Iblis sangat beragam yang intinya merusak kehidupan manusia dan

manusia itu sendiri. Dalam konteks okultisme, kita sering mendengar kabar tentang

bagaimana orang menjadi sakit, menderita dan bahkan mati karena diserang roh jahat,

sekalipun tidak semua sakit berasal dari roh-roh jahat. Kita juga sering mendengar kabar

tentang kasus kerasukan setan bahkan ada banyak kasus kerasukan massal.

Menurut perspektif Kristen (Alkitab) manusia bisa diserang, dimasuki, dirasuki, dan

dikuasai oleh roh-roh jahat. Manusia itu ibarat rumah yang bila tidak dijaga maka biisa

didiami oleh kkuasa gelap. Dalam Injil dicatat perkataan Yesus demikian:

P:126

125

”Apabila roh jahat keluar dari manusia, ia pun mengembara ke tempat-tempat yang tandus mencari

perhentian. Tetapi ia tidak mendapatnya. Lalu ia berkata: Aku akan kembali ke rumah yang telah

kutinggalkan itu. Maka pergilah ia dan mendapati rumah itu kosong, bersir tersapu dan rapi teratur.

Lalu ia keluar dan mengajak tujuh roh lain yang lebih jahat dari padanya dan mereka masuk dan

berdiam di situ. Maka akhirnya keadaan orang itu lebih buruk daripada keadaannya semula.” (Mat

12:43-45).

Penjelasan itu memberikan beberapa poin penting, pertama, manusia itu seperti

sebuah rumah. Kedua, roh-roh jahat dapat masuk, tinggal, dan menguasai rumah itu. Roh-roh

jahat dapat diusir keluar dari rumah itu (Mrk 16:17; Yak 4:7). Ketiga, roh-roh jahat akan

masuk kembali dan merebut manusia itu kembali karena memang ingin menghancurkan

manusia (Yoh 10:10). Keempat, maka rumah itu jangan dibiarkan kosong, seharusnya diisi

dengan penghuni baru yaitu Roh Kudus. Bagaimana caranya?. Manusia harus memiliki

kepastian keselamatan Sorga, dalam Roma 10: 9, memberikan dua syarat, yaitu: 1) Mengaku

dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan (bukti Yesus adalah Tuhan: Yesus bisa

mengampuni dosa manusia dan bangkit dari kematian), jika Yesus hanya nabi, tentu tidak

bisa mengampuni dosa dan bangkit dari kematian. 2). Percaya dalam hati bahwa Yesus

bangkit. Efesus 1: 13-14 Ketika kita pecaya Injil keselamatan, Roh Kudus memeteraikan

keselamatan kita. Ada perubahan status dalam diri kita. Banyak sebutan dalam Alkitab,

antara lain: Kita menjadi rumah Allah, Bait Roh Kudus (1 Kor 6:19).

Bagaimana roh-roh jahat bisa masuk dalam diri manusia?

Dari pengalaman pelayanan pengusiran setan (pelayanan pelepasan), beberapa kasus

penyebab seseorang diganggu bahkan sampai dirasuk roh jahat. Pertama, bisa karena kutuk

garis keturunan. Seorang anak bisa terikat roh-roh jahat sejak lahir karena faktor orangtua

yang juga terikat kuasa gelap. Makanya ada penyakit turunan, kutuk turunan, kutuk

warisan, dan juga ilmu gaib warisan. Kedua, keterlibatan pada okultisme. Ketiga, sakitpenyakit yang menyebabkan pertahanan jasmani-rohani manusia lemah sehingga roh jahat

bisa menerobos masuk. Keempat, kelemahan jiwa (stress, depresi, ketakutan, marah, benci,

patah hati, dst) menyebabkan pertahanan rohani lemah dan roh jahatpun mendapat celah

atau mendapatkan pintu masuk. Kelima, serangan kuasa gelap (misalnya terkena sihir,

tenung, guna-guna, gendam). Keenam, diserang roh-roh jahat yang berkuasa atas wilayah

tertentu (misalnya ditempat-tempat pemujaan setan atau tempat angker, rumah angker, dll).

Ketujuh, dimasuki roh-roh jahat karena belajar ilmu gaib, ilmu kekebalan, dll. Kedelapan,

dikuasai roh-roh jahat karena sengaja menyembah Iblis (misalnya mengikuti ritual seks,

P:127

126

ritual sekte setan, dll). Kesembilan, dikuasai roh-roh jahat karena hidup dalam dosa

(perzinahan, terikat roh-roh najis, dst).

Jika kita perhatikan kasus keempat, kelima, dan ketujuh, dapat kita analisa bahwa

media digital yang satanis dapat menjadi saluran pekerjaan Iblis itu. Pada kasus keempat di

katakan bahwa roh jahat bisa merasuk manakala jiwa seseorang lemah. Pada saat seseorang

menonton situs okultis dalam kondisi jiwa yang lemah, minim kesadaran, maka roh jahat

akan dengan mudah menyerangnya.

Pada kasus kelima, gangguan roh jahat bisa terjadi karena ada serangan yang sengaja

dilakukan, misalnya oleh pelaku gendam. Dalam hal media digital sengaja, terencana,

sistematis, dan intensif menyerang para target. Contoh dengan mengirimkan sms: dngan

isinya, mendapatkan hadiah dari provider tertentu, padahal tidak, kemudian berlanjut

dengan menghubungi melalui HP (Smartphone/gadget), dari sinilah terjadi gendam sehingga

korban diarahkan untuk menstransfer sejumlah uang, setelah beberapa waktu kemudian

sadar, bahwa uangnya hilang dan korban mengalami kerugian akibat roh-roh jahat yang

bekerja melalui ilmu gendam.

Pada kasus ketujuh, sebagian orang tertarik dan diisi dengan kekuatan supranatural

(ilmu hitam), sekalipun hal tersebut bertentangan dengan ilmu agamanya. Pada kasus

kesembilan, sebagai contoh para wanita yang sengaja mengisi dirinya dengan ilmu-ilmu

pengasihan, tujuannya adalah menaklukan kaum Adam. Ada yang motivasinya cinta, ada

yang karena ingin menguras harta laki-laki. jika motivasinya adalah harta, biasanya korbnnya

adalah para suami yang sudah mapan dari segi finansial, dampaknya adalah menghancurkan

rumah tangga, menghancurkan keluarga. Media digital seperti facebook dan yang lainnya

bisa dipakai untuk mencari targetnya.

Dalam dunia okultisme, perzinahan rohani merupakan bagian dari praktik spiritual

dan ritual. Bahkan ada ritual ―sekubus‖ dan ―inkubus‖, yaitu – maaf – hubungan seks antara

mahluk manusia dan roh-roh jahat. Ritual semacam ini dilakukan secara masif dalam Sekte

Setan dan juga dalam okultisme tradisional.

Mengatasi Penyesatan

Tindakan Kristen jelas adalah melawan segala bentuk penyesatan yang

dilakukan Iblis. Mengenai siapa yang tersesat. Alkitab mencatat bahwa Yesus berkata: "Kamu

sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah!‖ (Mat 22:29).

P:128

127

Kata sesat dalam bahasa Yunani πλανα ω (planao ) kata ini memiliki arti : menyimpang

dari jalan yang benar, jauh dari kebenaran. Sedangkan kata ―mengerti‘ kitab Suci, kata yang

dipakai adalah δω / eido (mengerti sebagaimana Tuhan mengerti, mengerti seperti Tuhan.

Jadi ketika kita mencoba mengerti Kitab Suci, pengertian kita harus sama dengan

yang Tuhan maksudkan, dan itu hanya bisa terjadi jika didalam diri manusia memiliki Roh

Kudus, dan Roh Kuduslah yang membuat orang tersebut mengetahui Kitab Suci (Alkitab)

secara tepat dan benar seperti yang Tuhan maksudkan.

Kemudian kata ―kuasa‖ yang dipakai dalam bahasa Yunani adalah ―dunamis‖ yang

berarti : kuasa mujizat, kemampuan untuk melakukan hal-hal yang supranatural. Jadi bukan

kata ―kuasa‖ (Exousia) yang berarti : wewenang, hak, otoritas, yang dipakai melainkan kata

―dunamis‖. Selain kita harus mengetahui (eido) Alkitab kita juga harus mengetahui δυ ναμις

―dunamis‖ (mujizat, kuasa supranatural) Allah. Banyak mujizat didalam Alkitab, antara lain:

mujizat kebangkitan orang mati yang pada masa itu orang Saduki tidak percaya akan

kebangkitan. Padahal Yesus dibangkitkan dari kematian (Matius 28:9-10; Lukas 24:34, 1

Korintus 15:5; Lukas 24:13-33; Yohanes 20:19-24, 26-29; Yohanes 21:1-14) dan orang percaya

juga akan mengalami kebangkitan dari kematian (1 Tes. 4:13-18).

Jadi dari ayat diatas, kita bisa sesat atau menyimpang dari jalan kebenaran, jauh dari

kebenaran apabila kita tidak mengetahui Alkitab seperti yang Tuhan maksudkan dan jika

kita tidak mengetahui kuasa mujizat Allah, kuasa supra natural Allah sama seperti yang

Tuhan ketahui/maksudkan.

Pendidikan Kristen

Penyesatan harus dilawan dengan pendidikan. Alkitab menekankan supaya para

orang tua (dan pendidik) melakukan ―pendampingan edukatif‖ kepada anak-anak secara

intensif. Kitab Ulangan 6:5-7, khususnya Ul. 6:7 memberi perintah ―haruslah engkau

mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau

duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila

engkau bangun‖.

Pola pendampingan edukatif yang diterapkan dalam berbagai kesempatan (waktu)

seperti itu cocok dengan persoalan digital generasi muda. Generasi milenial sejak lahir sudah

hidup bersama teknologi informasi. Mereka tidak bisa dilepaskan dari teknologi digital. Di

rumah, di sekolah, dalam perjalanan, saat bangun dan bahkan saat berbaring tidur pun

mereka berhubungan dengan gadget dan internet.

P:129

128

Sejak dini anak-anak perlu diberi pendidikan tentang spiritualitas. Untuk generasi

muda Kristen perlu diberi pelajaran tentang satanologi yang Alkitabiah. Pengajaran yang

bersifat praktis tentang melawan dan mengusir setan pun harus diberikan.

Pendidikan Kristen harus pula menanamkan pola pergaulan yang baik. Rasul Paulus

berbicara tentang pergaulan, I Korintus 15:33 Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan

kebiasaan yang baik. Selain tidak mengerti Alkitab dan kuasa Allah (Matius 22:29), sesat juga

bisa disebakan oleh karena pergaulan. Kata ―sesat‖ dalam bahasa Yunani: πλανα ω (planao )

arti menyimpang dari jalan yang benar, jauh dari kebenaran, kata yang sama yang dipakai

dalam Injil Matius 22: 29 dengan 1 Kor. 15: 33.

Internet pada dasarnya adalah bentuk ―pergaulan‖ umat manusia. Komunikasi antar

manusia dapat bersifat primer dan sekunder. Disebut primer jika bersifat tatap muka.

Disebut sekunder jika komunikasi dilakukan melalui media. Adapun sekarang teknologi

informasi yang canggih telah memungkinkan manusia bergaul intensif meskipun bersifat

komunikasi sekunder.

Peperangan Rohani dan Senjata Firman Tuhan

Menurut perspektif Kristen, Tuhan Yesus sudah mengalahkan Iblis melalui

kebangkitannya setelah mati karena Salib. Tetapi, sampai akhir jaman nanti Iblis belum

dihukum sehingga dunia ini masih berada di bawah pengaruh si jahat (1 Yoh 5:19). Karena itu

manusia akan berada dalam situasi dan kondisi ―peperangan rohani‖ melawan Iblis dan rohroh jahat itu. Manusia menjadi target untuk diserang dan dikuasai oleh roh-roh jahat.

Dunia maya adalah medan ―peperangan rohani‖ itu. Kita telah melihat bagaimana

kuasa gelap (roh-roh jahat) merajalela dan bahkan mencoba menghegemoni dunia digital.

Para individu dan kelompok pemuja setan memakai senjata berupa konten-konten digital

yang satanis yang sering dikombinasi dengan pornografi. Warganet, khususnya generasi

milenial menjadi sasaran.

Menurut perspektif Alkitab, Firman Tuhan adalah senjata rohani untuk melawan

Iblis. Dalam surat Efesus 6:17, Firmam Tuhan diibaratkan seperti ―pedang roh‘. Di dalam iman

Kristen, Firman Tuhan itu bukan sekedar tulisan dalam kitab suci. Firman Tuhan yang

ditulis di Alkitab adalah perkataan Tuhan sendiri yang diilhamkam (inspirasi) sehingga

dituliskan oleh para penulis Alkitab. Alkitab itu sendiri adalah Firman Tuhan yang tanpa

salah (inerrant). Firman Tuhan besar kuasanya.

Karena itu masyarakat Kristen perlu menebar Firman Tuhan itu, dikemas dalam

bentuk konten-konten positif yang disebarkan melalui media digital. Secara teknis hal itu

P:130

129

akan menambah jumlah konten positif di internet. Namun lebih dari itu, secara illahi, Firman

Tuhan yang disebarkan di dunia maya akan menebarkan kuasa untuk mengalahkan kuasa

Iblis dan roh-roh jahat.

DAFTAR PUSTAKA

___________. Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta: LAI, 2004.

Enns, Paul. The Moody Handbook of Theology Jilid I. Malang: Literatur SAAT, 2004.

Jenson, Ron dan Jim Steven. Dinamika Pertumbuhan Gereja. Malang:

Gandum Mas, 2000.

Ryrie, Charles C. Teologi Dasar: Panduan Populer untuk Memahami Kebenaran

Allah I. Yogyakarta: Andi, 1991.

Ryrie, Charles C. Teologi Dasar: Panduan Populer untuk Memahami Kebenaran

Allah II. Yogyakarta: Andi, 1991.

Sappington, Thomas J. Hancurkan Kuasa Iblis dalam Diri Anda. Yogyakarta:

Andi dan OC International, 1998.

Create a Flipbook Now
Explore more