Anda di halaman 1dari 206

PENDIDIKAN

DI INDONESIA
Belajar Dari Hasil

PISA 2018
Programme for International
Student Assessment

Pendidikan di Indonesia: Belajar Dari Hasil PISA 2018

PUSAT PENILAIAN PENDIDIKAN


BALITBANG KEMENDIKBUD

Jalan Gunung Sahari Raya No.4


(Eks komplek siliwangi) Jakarta Pusat 10710
Telepon: (021) 384 7537, 384 9140, 384 6736
PUSAT PENILAIAN PENDIDIKAN
Faximile: (021) 384 9451 BADAN PENELITIAN DAN PENDIDIKAN
Laman: puspendik.kemdikbud.go.id KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Kata Pengantar
Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 diikuti oleh 79 negara dan
Indonesia merupakan salah satu negara peserta. PISA 2018 di Indonesia dilaksanakan di 399 satuan
pendidikan dengan melibatkan 12.098 peserta didik yang dipilih dengan metode sampling yang sahih.
Sampel tersebut merepresentasikan 3.768.508 siswa atau 85% penduduk usia 15 tahun. PISA 2018 juga
menjadi titik awal bagi Indonesia untuk beralih dari penilaian PISA berbasis kertas menjadi berbasis
komputer. Hal ini sesuai dengan semangat mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran.
Laporan ini secara ringkas menyajikan berbagai hal tentang hasil PISA 2018. Dalam laporan ini
dipaparkan konteks sistem penilaian di Indonesia yang mencakup PISA sebagai salah satu bagian di
dalamnya serta penjelasan singkat mengenai PISA. Hasil PISA disajikan juga dari dua perspektif: siswa
dan sekolah. Hasil siswa mengupas baik capaian maupun kondisi serta aspirasi siswa. Hasil PISA terkait
dengan sekolah menelaah sumber daya serta iklim sekolah yang mendukung hasil pendidikan untuk
semua siswa Indonesia.
Beragam analisa hasil tersebut diharapkan akan memberi masukan yang berguna bagi para
pengambil kebijakan pendidikan baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Berbasis bukti empiris dari
beragam sistem pendidikan, kita belajar untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang efektif dalam
melakukan pembinaan dan peningkatan mutu. Kami juga berharap, melalui laporan ini masyarakat
umum khususnya pemerhati pendidikan dan penilaian bisa mendapatkan informasi lebih lengkap
tentang PISA 2018 yang berbasis pada data dan fakta.
Kami menyadari bahwa seringkali model penilaian menjadi faktor penting yang menentukan
orientasi pembelajaran. PISA menjadi salah satu sumber belajar bagi Balitbang Kemdikbud mengenai
model penilaian kecakapan hidup abad 21. Balitbang Kemdikbud, sebagai bagian dari perencana dan
pelaksana sistem penilaian nasional, terus berusaha untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan
atas mutu dan pelaksanaan penilaian pendidikan.
Kami menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah menyukseskan
penyelenggaraan PISA 2018. Apresiasi juga kami berikan kepada setiap siswa, guru, kepala sekolah,
teknisi dan proctor, serta dinas pendidikan yang telah berpartisipasi aktif menjadi bagian dari studi
PISA 2018.

Jakarta, Desember 2019


Kepala Balitbang Kemendikbud
selaku
PISA Governing Board Indonesia

Totok Suprayitno
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi

Bab I Indonesia dalam PISA 2018 ........................................ 1


1.1 Keikutsertaan Indonesia dalam PISA 2018 .........................................................................2
1.2 Apa itu PISA? ...................................................................................................................... 5
1.2.1 Penilaian PISA ............................................................................................................6
1.3 Mengapa Indonesia Ikut Serta dalam PISA 2018 ................................................................8
1.3.1 Hubungan antara PISA dengan Sistem Penilaian
dan Ujian Nasional di Indonesia ...................................................................................9
1.4 Pelaporan Hasil ................................................................................................................. 10
1.5 Kerangka Acuan untuk Laporan Nasional Indonesia . .......................................................11
1.5.1 Struktur Laporan Nasional ..........................................................................................14

Bab II Pencapaian Tingkat Pendidikan


dan Perolehan Nilai PISA Siswa Usia
15 Tahun di Indonesia ....................................................... 18
2.1 Perkembangan Pendidikan Anak 15 Tahun di Indonesia: Perspektif PISA ........................22
2.1.1 Proporsi Usia 15 Tahun di Indonesia yang Diwakili oleh Sampel ................................22
2.1.2 Distribusi Siswa PISA dari Berbagai Kelas ...................................................................24
2.1.3 Distribusi Siswa PISA dari Berbagai Karakteristik Siswa ..............................................25
2.1.3.1 Proporsi Siswa PISA Berdasarkan Jenis Kelamin ...................................................26
2.1.3.2 Proporsi Siswa Berdasarkan Bahasa Percakapan Sehari-hari . ..............................26
2.1.3.3 Proporsi Siswa Berdasarkan Kepemilikan Sekolah ................................................26
2.1.3.4 Proporsi Siswa Berdasarkan Jenjang Pendidikan dan Jenis Sekolah .....................26
2.1.3.5 Proporsi Siswa PISA Berdasarkan Status Sosial Ekonomi ......................................27
2.1.3.6 Proporsi Siswa PISA Berdasarkan Lokasi Sekolah ..................................................27
2.1.4 Pencapaian Tingkat Pendidikan Siswa Usia 15 Tahun Menurut Gender . ...................28
2.1.5 Siswa Mengulang Kelas di Indonesia ..........................................................................29
2.1.6 Pencapaian Tingkat Pendidikan Indonesia Dibandingkan
Secara Internasional ...................................................................................................33
2.2 Capaian PISA Indonesia ....................................................................................................35
2.2.1 Kemampuan PISA Siswa Indonesia..............................................................................41
2.2.2 Sebaran Nilai PISA Siswa Indonesia ............................................................................42
2.2.3 Kemampuan PISA Indonesia dengan Mempertimbangkan
Cakupan Populasi .......................................................................................................44
2.2.4 Kompetensi PISA Siswa Indonesia .............................................................................45
2.2.4.1 Siswa-siwa yang Memperoleh Nilai Rendah di Bidang Membaca . .......................48
2.2.4.2 Siswa-siswa yang Memperoleh Nilai Rendah di Bidang Matematika . ..................49
2.2.4.3 Siswa-siswa yang Memperoleh Nilai Rendah di Bidang Sains ...............................50
2.2.5 Kompetensi Siswa di Dua Provinsi Bernilai PISA Tertinggi di Indonesia . ....................50
2.2.6 Kemampuan Membaca Siswa Indonesia secara Internasional ..................................52
2.3 Kesetaraan Pendidikan di Indonesia dalam Prespektif PISA .............................................53
2.3.1 Perbedaan Tingkat Kompetensi dan Nilai Tes Berdasarkan Gender ...........................54
2.3.2 Kompetensi Siswa Berdasarkan Bahasa Tutur Sehari-hari . ........................................55
2.3.3 Kompetensi PISA Siswa Indonesia Berdasarkan
Jenjang Pendidikan dan Jenis Sekolah ........................................................................58
2.3.4 Ketidaksetaraan Sosial Ekonomi dalam Nilai Hasil Tes Siswa PISA Indonesia .............59
2.3.5 Tren Tingkat Segregrasi dan Variasi Kemampuan Antarsekolah
di Indonesia Berdasarkan Status Sosial Ekonomi Siswa . ............................................64
2.3.6 Variasi Nilai Hasil Tes antara Sekolah di Wilayah Kota dan Desa
serta antara Sekolah Negeri dan Swasta . ...................................................................67
2.3.7 Kesimpulan Variabel yang Mempengaruhi Kompetensi Membaca
Siswa PISA Indonesia ..................................................................................................70
2.3.8 Kemampuan Siswa yang Mengenyam Pendidikan Sedini Mungkin . ..........................71
2.3.9 Perbandingan Tingkat Kesetaraan Indonesia secara Internasional ............................72
2.4 Perkembangan, Capaian, Kemampuan, dan Kesetaraan
dalam Pendidikan di Indonesia . .......................................................................................73

Bab III Kesejahteraan, Sikap, dan Aspirasi pada


Anak Usia 15 Tahun di Indonesia ...................................... 77
3.1 Kesejahteraan dan sikap belajar pada siswa 15 tahun Indonesia . ...................................82
3.1.1 Kesejahteraan pada siswa 15 tahun di Indonesia .......................................................82
3.1.2 Sikap terhadap belajar di sekolah pada siswa 15 tahun di Indonesia . .......................86
3.1.3 Perbandingan kepuasan hidup dan sikap
terhadap belajar secara internasional ........................................................................88
3.2 Perbedaan kesejahteraan dan sikap terhadap belajar
pada siswa 15 tahun di Indonesia ....................................................................................90
3.2.1 Perbedaan gender dalam kesejahteraan siswa dan sikap dalam belajar . ..................90
3.2.2 Perbedaan sosial ekonomi dalam kesejahteraan
siswa dan sikap dalam belajar ....................................................................................93
3.2.3. Perbedaan lokasi sekolah dalam kesejahteraan
siswa dan sikap dalam belajar ...................................................................................94
3.2.4. Variasi nilai kesejahteraan siswa dan sikap
siswa terhadap belajar antarsekolah dan intrasekolah . ............................................95
3.2.5. Hubungan kemampuan PISA dengan kesejahteraan
dan sikap terhadap belajar ........................................................................................96
3.3. Aspirasi pendidikan pada siswa 15 tahun di Indonesia ...................................................98
3.3.1. Bagaimanakah aspirasi siswa dibentuk berdasarkan karakteristik siswa? ...............101
3.3.2. Cita-cita pendidikan tinggi, kesejahteraan siswa,
dan sikap terhadap belajar ......................................................................................103
3.3.3. Cita-cita pendidikan tinggi dan kemampuan membaca PISA ..................................103
3.4. Kesejahteraan, sikap terhadap belajar,
dan aspirasi siswa 15 tahun di Indonesia ......................................................................104

Bab IV Fondasi Keberhasilan Pendidikan di Indonesia:


Investasi Sumber Daya Pendidikan .................................. 110
4.1. Investasi sumber daya Pendidikan di Indonesia
dibandingkan dengan beberapa negara peserta PISA ...................................................111
4.1.1. Sumber daya keuangan ...........................................................................................111
4.1.2. Sumber daya manusia di sekolah ............................................................................114
4.1.3. Keterkaitan antara sumber daya pengajaran dan SDM ..............................................120
4.2. Bagaimana bentuk keragaman sumber daya sekolah di Indonesia ...............................124
4.2.1. Keragaman ukuran sekolah . ....................................................................................124
4.2.2. Keragaman ukuran kelas, rasio siswa-guru,
dan pengalaman guru di sekolah-sekolah ...............................................................128
4.2.3. Keragaman dalam sumber daya manusia dan pengajaran di sekolah-sekolah . ......132
4.2.4. Keragaman sumber daya manusia secara internasional . ........................................134
4.3. Model sumber daya sekolah terhadap prestasi siswa ...................................................135
4.4. Sumber daya sekolah pada PISA 2018 ...........................................................................136

Bab V Fondasi Keberhasilan Pendidikan


di Indonesia: Lingkungan Belajar .................................... 142
5.1. Rasa-memiliki sekolah ...................................................................................................145
5.1.1. Rasa-memiliki di sekolah pada siswa usia 15 tahun ................................................146
5.1.2. Perbandingan rasa-memiliki siswa secara internasional .........................................147
5.1.3. Penelitian mengenai efek rasa-memiliki di sekolah . ...............................................147
5.1.4. Ancaman terhadap rasa-memiliki siswa
di sekolah: perundungan (bullying) .........................................................................150
5.2. Jam pelajaran ................................................................................................................154
5.2.1. Penelitian mengenai dampak ketidakhadiran siswa . ..............................................157
5.2.2. Kehilangan jam pelajaran di Indonesia: ketidakhadiran,
membolos, dan keterlambatan siswa, serta ketidakhadiran guru ...........................157
5.2.3. Perbandingan ketidakhadiran, membolos,
dan keterlambatan siswa secara internasional . ......................................................161
5.3. Pengajaran berkualitas di ruang kelas ...........................................................................162
5.3.1. Penelitian mengenai dampak pengajaran yang berkualitas.....................................166
5.3.2. Kualitas pengajaran dalam pelajaran bahasa Indonesia . ........................................167
5.3.3. Bagaimana perbandingan iklim kedisiplinan
ruang kelas secara internasional . ...........................................................................170
5.4. Lingkungan belajar yang lebih luas: keluarga ................................................................170
5.4.1. Penelitian mengenai dampak dukungan keluarga dan masyarakat . .......................171
5.4.2. Keterlibatan orang tua di sekolah ............................................................................172
5.5. Lingkungan belajar sebagai salah satu fondasi keberhasilan pendidikan ......................174

Bab VI Harapan Pascasurvei: Opsi-opsi Kebijakan


untuk Indonesia .............................................................. 183
6.1. Ikhtisar Hasil PISA 2018 .................................................................................................183
6.1.1. Hasil-hasil utama pendidikan untuk usia 15 tahun . ................................................184
6.1.2. Fondasi keberhasilan ...............................................................................................185
6.2. Permasalahan utama Indonesia berdasarkan survei PISA .............................................186
6.3. Rekomendasi kebijakan .................................................................................................187
6.3.1. Meningkatkan prestasi belajar dengan meningkatkan kualitas mengajar ...............187
6.3.2. Meningkatkan kualitas kepemimpinan sekolah . .....................................................190
6.3.3. Memperbaiki iklim belajar . .....................................................................................191
6.3.3. Memperkuat sistem akuntabilitas ...........................................................................192
6.3.4. Menurunkan angka pengulangan kelas....................................................................192
6.3.5. Kebijakan pemerataan .............................................................................................192
6.3.6. Semakin mendorong peningkatan inklusivitas sistem pendidikan ..........................193
6.3.7. Meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini ...................................................193
6.3.8. Mengurangi kesenjangan dalam hasil belajar
yang berkaitan dengan latar belakang siswa . .........................................................194
6.3.9. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran
pendidikan dengan memperkuat sistem evaluasi dan penilaian ............................195
BAB 1
Indonesia Dalam PISA 2018
Ikhtisar
Bab ini menjelaskan tentang PISA dan menerangkan bagaimana informasi yang
dikumpulkan dalam survei PISA dapat digunakan untuk membandingkan sistem
pendidikan di Indonesia dengan negara lain serta memacu peningkatan prestasi
siswa, pencapaian tingkat pendidikan, kesejahteraan, dan ketertarikan terhadap
kegiatan belajar. Bagian akhir bab ini memberikan sedikit gambaran tentang kisi-kisi
laporan nasional dan apa yang dicakup dalam bab-bab selanjutnya.

Survei PISA diselenggarakan pada Responden PISA Indonesia PISA 2018 mensurvei kemampuan
tanggal 19 Maret 2018 hingga 19 mewakili 3,7 juta siswa kelas 7 - membaca, matematika, dan sains,
April 2018. Survei ini melibatkan 12 yang berusia 15 tahun, yang dengan membaca sebagai subyek
12.098 siswa kelas 7 sampai kelas mewakili 85% dari seluruh populasi utama pada PISA 2018. Selain itu,
12 dari 397 sekolah di seluruh anak usia 15 tahun survei PISA memberikan kuesioner
Indonesia. di Indonesia. kepada siswa dan kepala sekolah.

Berdasarkan sistem pendidikan Survei PISA diikuti oleh 79 negara. Sistem pendidikan Indonesia
di Indonesia, rata-rata anak Indonesia sendiri telah mengikuti adalah sistem pendidikan terbesar
berusia 15 tahun duduk di PISA sejak pertama kali survei ini keempat di dunia dengan 53 juta
bangku kelas 9 atau 10. diselenggarakan dan pada tahun siswa yang bersekolah di 270 ribu
2018 ini adalah survei PISA ke 7 sekolah dibawah 3,4 juta guru.
yang telah diikuti oleh Indonesia. Selain hal tersebut, keragaman
budaya, etnis dan bentang alam
Indonesia yang berupa negara
kepulauan menjadi tantangan
tersendiri bagi dunia pendidikan
Indonesia.

1
Pada 2018, sejumlah 12.098 siswa usia 15 tahun yang duduk di kelas 7 atau di atasnya di
sekolah-sekolah yang dipilih secara acak dari seluruh Indonesia menjalani dua jam tes di bidang
membaca, matematika, dan sains. Tes ini tidak berkaitan langsung dengan kurikulum sekolah
di Indonesia, melainkan merupakan tes kompetensi yang hasilnya dapat diperbandingkan
secara internasional.

Tes dirancang oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation for
Economic Co-operation and Development, OECD) untuk menilai kemampuan membaca,
matematika, dan sains siswa di Indonesia yang telah menyelesaikan masa pendidikan dasar.
Untuk PISA di Indonesia adalah siswa yang sudah duduk minimal di kelas 7, terutama dalam
kemampuan menerapkan pengetahuan tersebut di kehidupan nyata, serta kesiapan mereka
untuk berpartisipasi secara maksimal di masyarakat.

Selain tes, terdapat juga kuesioner tentang kondisi siswa dan sekolah yang diisi oleh siswa
peserta tes dan kepala sekolah sebagai data pendukung untuk menafsirkan hasil tes lebih
jauh. Tes dan kuesioner tersebut merupakan bagian dari penilaian kegiatan belajar berskala
internasional yang dikelola oleh OECD, disebut Programme for International Student
Assessment dan disingkat PISA.

1.1. Keikutsertaan Indonesia dalam PISA 2018

PISA mengevaluasi kemampuan siswa yang berusia 15 tahun (15 tahun 3 bulan hingga 16
tahun 2 bulan) pada saat tes dilaksanakan dan sedang duduk di bangku sekolah setara kelas 7
dalam sistem sekolah Indonesia.

Dalam konteks pendidikan formal di Indonesia, anak usia 15 tahun biasanya duduk di bangku
kelas 9 yaitu setara kelas 3 SMP/sederajat atau di atasnya. Jumlah siswa usia 15 tahun di
Indonesia pada setiap jenjang pendidikan dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel ini menunjukkan
bahwa siswa usia 15 tahun yang berada di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP)/
sederajat berjumlah sekitar 1.7 juta, dan merupakan 38% dari total jumlah anak usia 15
tahun di Indonesia. Sementara siswa yang berada di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA)/
sederajat berjumlah sekitar 2 juta siswa atau 47% dari total populasi anak usia 15 tahun.
Berdasarkan perkiraan kasar, total anak usia 15 tahun di Indonesia adalah 4.439.086 (OECD,
2017a), termasuk di dalamnya sekitar 670 ribu anak yang bukan populasi siswa PISA. Kelompok
terakhir ini adalah anak-anak yang tidak bersekolah, yang duduk di kelas 6 atau di bawahnya,
dan anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).

Tabel 1.1. Perbandingan total siswa 15 tahun dengan populasi siswa PISA 2018

2
PISA merupakan survei internasional tiga tahunan yang bertujuan mengevaluasi sistem
pendidikan di seluruh dunia dengan menguji kemampuan dan pengetahuan siswa usia 15
tahun. Semenjak putaran pertama PISA di tahun 2000 hingga saat ini, lebih dari 80 negara,
termasuk di dalamnya 44 negara berpendapatan menengah, telah mengikuti survei PISA. PISA
2018 sebagai putaran terkini, diikuti 79 negara.

Tes PISA menilai sejauh mana siswa usia 15 tahun, yang hampir menyelesaikan pendidikan
dasarnya, menguasai keterampilan dan pengetahuan yang penting bagi mereka untuk
berpartisipasi penuh dalam masyarakat modern. Penilaian PISA menitikberatkan bidang
studi inti yang diajarkan di sekolah yaitu membaca, matematika, dan sains. PISA juga menilai
kemahiran inovasi siswa, yang pada PISA 2018 disebut kompetensi global.

PISA tidak hanya menilai kemampuan siswa mengemukakan kembali pengetahuannya, tetapi
juga seberapa baik kemampuan siswa memperluas analisis berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki dan menerapkan pengetahuan tersebut dalam situasi yang tidak biasa, di dalam
maupun di luar sekolah. Pendekatan ini mencerminkan situasi nyata ekonomi modern
yang menghargai individu bukan cuma dari pengetahuan yang dimiliki, tetapi lebih dari itu
berdasarkan apa yang bisa mereka lakukan dengan pengetahuan yang dimiliki.

Di Indonesia, tes PISA 2018 dilaksanakan pada 19 Maret hingga 19 April. Sampel sekolah dipilih
oleh OECD yang bertanggung jawab mengatur penelitian ini. Dasar pemilihan sampel adalah
daftar lengkap dari pemerintah pusat yang berisi semua sekolah dan siswa-siswanya, serta
daftar lengkap data siswa usia 15 tahun dari para pengelola sekolah tersebut. Dengan demikian,
data yang ada mewakili seluruh populasi siswa berusia 15 tahun di negara bersangkutan.

Indonesia memiliki 226.437 sekolah dengan 50.821.649 siswa dari jenjang Sekolah Dasar (SD)/
sederajat hingga jenjang SMA/sederajat. Tabel 1.2 menunjukkan jumlah siswa dan sekolah di
Indonesia. Sekitar 27 juta siswa tersebar di 173 ribu SD/sederajat, 12 juta siswa di 57 ribu
SMP/sederajat, dan sekitar 10 juta siswa di 35 ribu SMA/sederajat di seluruh Indonesia.

Tabel 1.2. Jumlah Siswa dan Sekolah di Indonesia

Sumber: Kemenag, 2019 dan Kemdikbud, 2019

Di setiap negara, sampel yang mewakili populasi siswa usia 15 tahun dipilih berdasarkan
prosedur sampling yang ketat sesuai standar teknis PISA. Prosedur ini diterapkan dalam
pemilihan sampel untuk memastikan hasilnya dapat diperbandingkan, andal, dan valid.

3
Sampel Indonesia mencakup 400 sekolah dengan jumlah keseluruhan siswa 42.867 anak.
Di setiap sekolah tersebut, dipilih secara acak 2 hingga 41 siswa usia 15 tahun. Karena tiga
sekolah ternyata telah tutup, jumlah sekolah sampel adalah 397 dengan total sampel 12.098
siswa yang merepresentasikan populasi siswa 15 tahun yang duduk di kelas 7 hingga kelas
12. Sampel tersebut mencakup seluruh jenis sekolah, baik negeri maupun swasta, mencakup
sekolah di wilayah kota dan pedesaan. Sampel sekolah PISA tidak merepresentasikan sekolah
di Indonesia karena tujuan dari pemilihan sekolah pada sampel PISA adalah memaksimalkan
proses pemilihan sampel siswa yang akan merepresentasikan populasi siswa PISA.

Beberapa sekolah dan siswanya tidak dapat dimasukkan dalam PISA karena merupakan
sekolah bagi anak disabilitas (OECD, 2017b). Pengecualian ini diperbolehkan oleh OECD dengan
ketentuan jumlahnya kurang dari 5% target populasi dan disertai alasan kuat. Di Indonesia,
persentase sekolah yang dikecualikan kurang dari 0,11% atau 1.471 sekolah dengan total
3.892 siswa.

PISA melakukan penilaian terhadap siswa berusia 15 tahun karena di sebagian besar negara-
negara di dunia, siswa pada umur tersebut umumnya hampir menyelesaikan pendidikan dasar.
Tes PISA di Indonesia melibatkan siswa yang duduk di bangku kelas 7 hingga kelas 12, meski
umumnya anak Indonesia yang memiliki perkembangan pendidikan sesuai umur umumnya
duduk di kelas 9 atau kelas 10.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, perkiraan jumlah anak usia 15 tahun di Indonesia


sekitar 4.439.086 orang. Total anak yang masuk populasi PISA berjumlah 3.768.508 siswa
maka angka cakupan populasi PISA 2018 di Indonesia sebesar 85% dari total anak usia 15
tahun. Dengan jumlah populasi dan angka cakupan sebesar itu, Indonesia merupakan negara
berpopulasi terbesar pada PISA 2018.

1.2. Apa itu PISA?

PISA diluncurkan oleh OECD pada tahun 1997 dengan tujuan menilai kemahiran siswa usia 15
tahun dalam bidang membaca, matematika, dan sains, serta mengukur keterampilan mereka
dalam menerapkan apa yang telah mereka pelajari di sekolah dalam kehidupan nyata. PISA
dilaksanakan setiap tiga tahun sekali, dengan putaran pertama pada tahun 2000, dan putaran
selanjutnya pada 2003, 2006, 2009, 2012, 2015 dan 2018; sementara putaran 2021 sedang
dalam proses penyiapan.

PISA merupakan program berkelanjutan yang dapat memberikan pandangan bermanfaat


bagi pembuatan kebijakan pendidikan dan penerapannya, serta membantu pemantauan
tren penguasaan keterampilan dan pengetahuan di berbagai negara dan dalam berbagai
sub-kelompok demografi di negara masing-masing. Melalui hasil tes PISA, para pembuat
kebijakan dapat mengukur keterampilan dan pengetahuan siswa di negara mereka dalam
perbandingannya dengan siswa di negara-negara lain; menetapkan target kebijakan dengan
sasaran terukur yang telah dicapai di sistem pendidikan lain; dan belajar dari kebijakan-

4
kebijakan dan praktik-praktik negara lain yang telah menunjukkan hasil baik. Patokan
internasional semacam ini kian relevan karena tiap negara telah menandatangani Agenda
Pendidikan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals,
SDGs) yang disahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2015, yaitu pemastian setiap anak dan
orang muda menguasai sekurang-kurangnya tingkat kemahiran dasar dalam membaca dan
matematika.

Indonesia telah ikut serta dalam penilaian PISA untuk pertama kali pada tahun 2000. Capaian,
tren, dan cakupan sampel Indonesia untuk PISA, semenjak putaran pertama pada tahun
2000 hingga 2018 dapat dilihat pada Gambar 1.1. Tren nilai PISA Indonesia menunjukkan
peningkatan sejak PISA 2000 hingga 2018, dengan peningkatan tipis pada bidang membaca
dan sains, dan peningkatan lebih tajam di bidang matematika. Meski tren sepanjang periode
naik, pada PISA 2018, skor Indonesia relatif turun di semua bidang. Penurunan paling tajam
terjadi di bidang membaca.

410 90%

400 80%

390 70%

380 60%

370 50%

360 40%

350 30%
PISA 00 PISA 03 PISA 06 PISA 09 PISA 12 PISA 15 PISA 18

Cakupan Reading Match Science


Populasi (%) Score Score Score

Sumber: OECD/UNESCO, 2003; OECD, 2004; OECD, 2007;OECD, 2010; OECD,


2013; OECD, 2016a; OECD, 2016b.
Gambar 1.1. Tren skor PISA Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 20181

Cakupan populasi PISA Indonesia meningkat dalam 18 tahun, keikutsertaan Indonesia naik
dari 39% pada PISA 2000 menjadi 68% di PISA 2015 dan 85% pada PISA 2018. Artinya nilai
rerata matematika 367 di tahun 2000 hanya menggambarkan kemampuan 39% anak Indonesia
usia 15 tahun, sedangkan nilai rerata matematika 386 pada PISA 2015 menggambarkan
kemampuan matematika 68% anak Indonesia usia 15 tahun.

5
Peningkatan angka cakupan populasi PISA berarti peningkatan partisipasi pendidikan anak
usia 15 tahun di Indonesia. Dalam 18 tahun Indonesia telah berhasil meningkatkan partisipasi
pendidikan anak-anak berusia 15 tahun dari sekitar 39% (PISA 2000) menjadi 85% pada PISA
2018. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat.

1.2.1. Penilaian PISA

Penilaian tiga tahunan PISA tidak hanya mengukur kemampuan siswa mengemukakan kembali
pengetahuannya, tetapi juga menguji seberapa baik siswa meluaskan analisis berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki dan menerapkan pengetahuan tersebut dalam situasi yang tidak
biasa, baik di dalam maupun di luar sekolah. Pendekatan yang akan dijelaskan lebih lengkap di
Bab 2 ini mencerminkan situasi nyata ekonomi modern yang menghargai individu berdasarkan
pada apa yang dapat mereka lakukan dengan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki.

Melalui kuesioner yang dibagikan kepada siswa dan kepala sekolah, PISA mengumpulkan
informasi mengenai latar belakang siswa, sikap siswa terhadap belajar, dan lingkungan belajar
mereka. Kuesioner ini akan dijelaskan secara lebih lengkap di Bab 3, 4, dan 5. Informasi-
informasi dari kuesioner tersebut memberikan tiga tipe hasil utama penilaian PISA:

1. Indikator-indikator dasar sebagai profil batas bawah keterampilan dan pengetahuan


siswa.

2. Indikator-indikator yang terbentuk dari hasil kuesioner yang menunjukkan bagaimana


keterampilan yang dimiliki siswa berkaitan dengan beragam variabel demografi,
sosial ekonomi, dan pendidikan, serta hasil dari pendidikan yang lebih luas seperti
pencapaian tingkat pendidikan dan kesejahteraan.

3. Indikator-indikator dalam tren, dimulai dengan keikutsertaan negara untuk ke tujuh


kalinya dalam tes PISA, yang menunjukkan perubahan dalam nilai tengah hasil tes
PISA, dalam variasi hasil di antara siswa, dan dalam hubungan antara hasil dengan
berbagai variabel khusus siswa, sekolah, dan sistem.

PISA merupakan penilaian khusus yang membantu perbandingan sistem pendidikan


antarnegara secara internasional melalui penggunaan soal-soal yang sama dan skala yang
sama oleh seluruh negara peserta. Rancangan dan pendekatan PISA dioptimalkan untuk
memperoleh skor estimasi dalam level sistem.

PISA menerapkan standar teknis ketat, mencakup pelaksanaan sampling untuk sekolah dan
siswanya. Prosedur sampling dipastikan kualitasnya. Sampel yang diperoleh serta tingkat
respon jawaban siswa akan melalui proses penilaian yang bertujuan memastikan mereka
sudah memenuhi standar yang ditetapkan.

6
Skor-skor PISA berada dalam satu rentang skala tertentu yang telah dikembangkan untuk
setiap bidangnya untuk memperlihatkan kompetensi umum yang diuji di PISA. Skala penilaian
dibagi ke dalam tingkat kemahiran yang mewakili kelompok-kelompok pertanyaan dalam tes
PISA, dimulai dari Level 1 dengan soal yang hanya butuh keterampilan paling dasar untuk
menjawab, lalu meningkat kesukarannya di setiap level hingga Level 6. Level-level ini akan
dijelaskan lebih lengkap pada Bab 2.

Setelah hasil tes siswa diberikan skor, kemampuan mereka dalam membaca, matematika,
dan sains dimasukkan ke dalam skala yang tepat. Contohnya, siswa yang kurang mampu
menjawab soal-soal mudah akan diklasifikasikan di bawah Level 1, sementara siswa dengan
keterampilan lebih tinggi akan berada dalam level yang lebih tinggi pula. Di setiap bidang uji,
skor untuk tiap negara peserta merupakan skor rerata dari seluruh siswa di negara tersebut.
PISA tidak memberikan skor gabungan semua bidang, melainkan skor masing-masing bidang
yang nilai rata-ratanya digunakan untuk menentukan peringkat tiap-tiap negara peserta secara
internasional.

Pada setiap bidang, laporan PISA membagi skor siswa dalam enam tingkat kemahiran. Soal-
soal dengan tingkat kesulitan sama digunakan untuk menggambarkan setiap level kemahiran.
Dalam konteks apa yang diketahui dan dapat dilakukan siswa dengan pengetahuannya
berdasar pada posisi skor siswa di rentang level kemahiran. Dengan demikian, kinerja sistem
pendidikan yang dibaca melalui PISA bisa tergambarkan dengan baik, khususnya yang
berkaitan dengan keterampilan dan pengetahuan yang mampu dikuasai siswa pada usia 15
tahun, sehingga memberi gambaran jauh lebih lengkap dibandingkan penilaian berdasarkan
angka atau peringkat.

Contohnya, PISA melaporkan proporsi siswa yang tidak hanya mampu membaca teks biasa
dan sederhana serta memahaminya secara harfiah, namun juga mampu menghubungkan
potongan-potongan informasi, membuat kesimpulan yang lebih luas dari informasi yang
tersedia, serta menghubungkan teks dengan pengalaman dan pengetahuan pribadi, meskipun
tidak ada petunjuk yang dinyatakan dengan jelas (Level 2 bidang membaca). Contoh lain adalah
proporsi siswa yang dapat mengerjakan soal matematika dengan hubungan logika berimbang
dan melakukan penafsiran dan logika dasar saja (Level 3 bidang matematika).

Dalam rangka memberikan pandangan baru bagi kebijakan dan praktik pendidikan, PISA juga
mengumpulkan banyak sekali informasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, sekolah
dan negara. Informasi tersebut dapat digunakan untuk melihat dengan jelas perbedaan-
perbedaan nilai hasil tes siswa di masing-masing negara serta mengidentifikasi karakteristik
siswa, sekolah dan sistem pendidikan yang bekerja baik sesuai dengan situasi dan kondisi
negara masing-masing.

PISA merupakan program berkelanjutan yang dalam jangka panjang menghasilkan


sekumpulan informasi yang berguna dalam pemantauan tren pengetahuan dan keterampilan
siswa di berbagai negara serta di berbagai kelompok demografi masing-masing negara. Para

7
pembuat kebijakan di seluruh dunia memanfaatkan temuan-temuan PISA untuk mengukur
pengetahuan dan keterampilan siswa di negara masing-masing dan membandingkannya
dengan pengetahuan dan keterampilan siswa di negara peserta PISA lainnya untuk dapat
menetapkan tolok ukur perbaikan kualitas di bidang penyediaan pendidikan dan hasil belajar,
serta memahami kekuatan dan kelemahan dari sistem pendidikan masing-masing.

1.3. Mengapa Indonesia ikut serta dalam PISA 2018

Dalam konteks pendidikan global, sistem pendidikan Indonesia adalah yang terbesar keempat
di dunia, setelah Cina, India, dan Amerika Serikat (OECD, 2015). Terdapat dua kementerian
yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia, yaitu
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag).
Sistem pendidikan dasar dan menengah Indonesia yang diselenggarakan dua kementerian
tersebut mewadahi sekitar 53 juta siswa dan sekitar 3,4 juta yang tersebar di 270 ribu sekolah
(Kemdikbud, 2019; Kemenag, 2019).

Tantangan bagi penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia adalah kondisi geografis dan
sosial. Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau dalam wilayah seluas
1,9 juta kilometer persegi (United Nations, 2017a; BPS, 2017). Pada bentangan kepulauan itu
hidup sekitar 1.340 suku bangsa (Indonesia.go.id, 2019) dan 652 bahasa daerah (Kemdikbud,
2018). Dua hal tersebut–jumlah siswa di dalam sistem pendidikan dan kondisi sosial budaya–
merupakan tantangan tersendiri bagi sistem pendidikan Indonesia.

Salah satu alasan utama Indonesia ikut serta dalam PISA 2018 adalah keinginan memahami
prestasi siswa di Indonesia dibandingkan dengan standar internasional dan negara-negara lain
yang menghadapi tantangan serupa. Pemahaman ini akan dimanfaatkan untuk mengenali
aspek-aspek yang berkaitan dengan prestasi siswa dan secara efektif meningkatkannya.

PISA dapat membantu Indonesia mendeskripsikan karakteristik populasi secara menyeluruh,


yang bermanfaat bagi pembuatan kebijakan yang lebih tepat sasaran dan tepat guna (Creswell,
2016). Hasil PISA 2018 di dalam laporan ini menjabarkan data dan bukti yang dapat dijadikan
acuan bagi para pembuat kebijakan dalam memutuskan bagaimana memperbaiki kualitas
sistem pendidikan di Indonesia, dan pada akhirnya menjamin pendidikan yang inklusif dan
setara, serta mempromosikan pendidikan sepanjang hayat untuk semua. Dengan demikian
para siswa dapat memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan di
masa mendatang sebagaimana ditetapkan dalam tujuan keempat SDGs (United Nations,
2017b).

Pemahaman akan aspek-aspek yang memengaruhi kesuksesan siswa Indonesia membuahkan


sejumlah kebijakan, antara lain kebijakan pendidikan dasar 9 tahun (UU No. 20 Tahun. 2003),
perubahan kurikulum Pendidikan (Permendikbud No. 58 Tahun 2013, Permendikbud No.
59 Tahun 2013, Permendikbud No. 60 Tahun 2013), pemberian tunjangan guru (PP No. 74
Tahun 2008), penetapan delapan standar nasional pendidikan (PP No. 32 Tahun 2013), dan

8
pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (PP No. 32 Tahun 2013, Permendikbud No.
1 Tahun 2018). Kebijakan-kebijakan ini terbukti telah berhasil meningkatkan kemampuan
membaca, matematika, dan sains siswa Indonesia dalam lima tahun terakhir.

Level Internasional
KELAS

Level Nasional

Gambar 1.2. Jenis Sistem Penilaian di Sistem Pendidikan Indonesia

Seluruh negara peserta PISA berkomitmen mencapai target utama SDGs Pendidikan, yakni
semua anak dan orang muda mencapai sekurang-kurangnya level kemahiran minimum dalam
membaca dan matematika pada 2030 (United Nations, 2017b). Di Indonesia, hal ini berarti
menjamin seluruh warga negara muda memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
yang diperlukan untuk meraih potensinya secara optimal, memberikan sumbangsih kepada
dunia yang kian terhubung, serta dapat menjalani kehidupan yang memberikan kepuasan
batin.

Rencana strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang terkait target SDGs
pendidikan ini adalah; (1) penguatan peran siswa, guru, tenaga kependidikan, orang tua dan
aparatur institusi pendidikan dalam ekosistem pendidikan; (2) peningkatan akses pendidikan;
(3) peningkatan mutu dan relevansi pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan
karakter; dan (4) peningkatan sistem tata kelola yang transparan dan akuntabel dengan
melibatkan publik (Permendikbud No. 12 Tahun 2018).

1.3.1. Hubungan antara PISA dengan sistem penilaian dan ujian nasional di
Indonesia

Indonesia memiliki sejumlah sistem penilaian di tingkat nasional dan mengikuti beberapa
sistem penilaian internasional. Sistem penilaian di tingkat nasional antara lain Ujian Nasional

9
Berbasis Komputer (UNBK), Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), dan Asesmen
Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI). UNBK dan USBN merupakan proses evaluasi hasil
belajar siswa. UNBK bertujuan memetakan kemampuan siswa, sementara USBN bertujuan
menentukan kelulusan siswa (Permendikbud No. 4 Tahun 2018). AKSI merupakan penilaian
siswa di tengah jenjang pendidikan yang bertujuan mendiagnosis kekurangan dalam proses
belajar-mengajar.

Pada level internasional, Indonesia mengikuti survei The Trends in Internasional Mathematics
and Science Study (TIMSS), The Progress in Internasional Reading Literacy Study (PIRLS), dan
Programme for Internasional Student Assessment (PISA). Survei TIMSS mengukur kemampuan
literasi matematika dan sains kelas 4 Sekolah Dasar. Survei ini mengukur pengetahuan,
pengaplikasian, dan penalaran konsep matematika (angka, pengukuran dan geometri, dan
data); dan konsep sains, seperti pengetahuan mengenai makhluk hidup, fisika, bumi dan tata
surya (Mullis & Martin, 2017). Survei PIRLS mengukur literasi membaca kelas 4 Sekolah Dasar.
PIRLS mendefinisikan literasi membaca sebagai kemampuan memahami dan menggunakan
ragam bahasa tulisan formal dalam masyarakat, dan dapat membangun makna dari berbagai
ragam teks; serta menggunakan kemampuan tersebut dalam belajar, berpartisipasi dalam
komunitas membaca di sekolah, dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hal yang terkait
kesenangan (Mullis & Martin, 2019).

PISA melengkapi berbagai sistem dan instrumen penilaian yang ada, nasional dan internasional,
dengan mengukur kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains anak Indonesia usia
15 tahun yang berada di bangku sekolah. PISA mendefenisikan literasi membaca sebagai
kemampuan memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan dan tertarik pada teks
untuk mencapai tujuan, membangun pengetahuan dan potensi, dan untuk berpartisipasi
secara penuh di masyarakat. Literasi matematika dalam PISA didefinisikan sebagai kapasitas
individu untuk memformulasikan, menggunakan dan mengintepretasikan matematika dalam
beragam konteks. Sementara literasi sains adalah kemampuan untuk tertarik pada topik-topik
sains dan ide-ide sains sehingga dapat menjelaskan suatu fenomena secara ilmiah dengan
mengevaluasi dan mendesain metode ilmiah, serta mengintepretasi data dan bukti secara
ilmiah (OECD, 2019).

Survei TIMMS dan PIRLS berkaitan dengan bagaimana kurikulum mengajarkan literasi
membaca, matematika, dan sains pada anak kelas 4 Sekolah Dasar. Survei PISA lebih melihat
tingkat literasi membaca, matematika, dan sains pada populasi anak sekolah usia 15 tahun di
negara-negara peserta dan membandingkan kompetensinya.

1.4. Pelaporan hasil

Hasil PISA 2018 diterbitkan pertama kali di dalam laporan nasional ini atas kerjasama
pemerintah Indonesia dengan OECD. Selama proses pembuatan laporan, OECD dan para
kontraktornya mendukung pemerintah Indonesia dalam diseminasi hasil PISA dengan
penguatan kapasitas analisis data, penafsiran hasil PISA, penulisan laporan, dan pembuatan

10
produk-produk komunikasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia, serta memo-
memo kebijakan.

Laporan nasional ini dan produk-produk komunikasi lainnya menjelaskan hasil uji PISA
Indonesia dalam konteks negara-negara yang telah ikut serta dalam PISA 2018. Laporan ini
mencakup segala analisis, dan informasi terkait, berdasarkan prioritas kebijakan Indonesia.
Laporan ini tersusun atas ikhtisar hasil-hasil inti PISA dan analisisnya yang dirancang agar
mendorong terjadinya debat-debat konstruktif tentang perbaikan kualitas, perluasan, dan
pemerkayaan data, dan bukti yang sudah tersedia dari sumber-sumber nasional, regional,
maupun internasional.

Laporan nasional ini ditujukan kepada para pemangku kepentingan utama di Indonesia dan
dirancang untuk mendukung terselenggaranya diskusi atas hasil uji PISA serta implikasinya
terhadap kebijakan negara. Pemangku kepentingan di sini meliputi siswa, orang tua, guru,
persatuan guru, para kepala sekolah, akademisi, masyarakat, media, serta pemerintah pusat
dan daerah.

Laporan nasional ini diterbitkan sebagai gabungan laporan internasional PISA 2018 volume
pertama dari OECD yang terdiri dari tiga volume, yaitu Volume I tentang nilai hasil tes PISA
siswa di bidang membaca, matematika, dan sains; Volume II tentang pemerataan dalam
pendidikan; dan Volume III tentang kondisi belajar di sekolah. Laporan ini disertai publikasi
data set PISA 2018 yang dilengkapi dengan piranti berbasis web. Produk-produk laporan ini
dapat diakses dengan bebas di situs web OECD (www.oecd.org/pisa) agar semua pemangku
kepentingan, dan khususnya para peneliti independen, dapat melakukan analisis mandiri, dan
dapat memberikan sumbangsih terkait kebijakan demi peningkatan kualitas pendidikan.

1.5. Kerangka acuan untuk laporan nasional Indonesia

Melalui pengukuran tingkat kemahiran dalam tes PISA 2018, laporan ini akan menjelaskan
cara penilaian cermat dan akurat tentang seberapa jauh siswa mampu menerapkan apa
yang telah dipelajari. Dasar pengukurannya adalah kerangka acuan PISA dalam penilaian
kemampuan membaca, matematika, dan sains (OECD, 2019). Pengaitannya dengan skala PISA
membuat hasil penilaian mampu diperbandingkan dengan negara peserta PISA 2018 lainnya.
Selain itu, informasi yang dikumpulkan untuk kegiatan sampling PISA memberikan indikator-
indikator komparatif mengenai pencapaian tingkat pendidikan anak usia 15 tahun di negara-
negara peserta. Sebagai penutup, hasil pengukuran yang bisa dibaca langsung dari kuesioner-
kuesioner juga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesehatan dan kesejahteraan
siswa, serta seberapa tertariknya siswa terhadap sekolah dan kegiatan belajar.

Berlandaskan hasil riset internasional, kerangka acuan dasar PISA 2018 juga mengidentifikasi
aspek-aspek inti sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat, serta sumber daya utama
pendidikan yang memiliki kaitan erat dengan dengan keberhasilan kegiatan pendidikan. Aspek-
aspek kunci dan sumber daya utama pendidikan ini merupakan fondasi penentu kesuksesan

11
sistem pendidikan. Keberadaan sumber daya pendidikan dan karakteristik lingkungan belajar
dalam kehidupan siswa usia 15 tahun diukur melalui kuesioner yang diisi oleh siswa peserta tes
PISA. Informasi juga diperoleh dari para kepala sekolah dan sumber-sumber statistik nasional.

Kerangka acuan laporan nasional PISA 2018 sangat menekankan kesetaraan dan pemerataan.
Kesetaraan meliputi perbedaan-perbedaan di tengah kelompok masyarakat terkait penyebaran
kualitas hasil belajar. Sementara pemerataan mengacu pada perbedaan-perbedaan di tengah
kelompok masyarakat terkait akses terhadap sumber daya dan proses belajar di sekolah yang
berpengaruh pada hasil belajar.

Di dalam laporan ini, hasil belajar, sumber daya pendidikan dan kesempatan pendidikan
di Indonesia secara sistematis diperbandingkan dengan sejumlah negara lain, serta
diperbandingkan di dalam negeri sendiri dengan menggunakan lima faktor demografi
untuk menilai tingkat kesetaraan dan pemerataannya. Kelima faktor demografi ini adalah
jenis kelamin (laki-laki dan perempuan); status sosial ekonomi; penutur bahasa minoritas,
yang ditandai dengan bahasa tutur yang digunakan di rumah; status siswa sebagai imigran;
dan lokasi tempat tinggal di kota atau desa, yang ditandai dengan lokasi sekolah. Informasi
mengenai jenis kelamin dan lokasi tempat tinggal dikumpulkan selama pelaksanaan sampling,
dan di dalam kuesioner. Oleh karenanya, seluruh siswa sudah pasti mendapatkan pertanyaan
ini. Sementara, informasi ciri-ciri latar belakang lainnya diberikan siswa melalui kuesioner.

Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks laporan ini, pemerataan berhubungan dengan
keadilan. Sistem pendidikan yang adil merupakan sistem pendidikan yang mampu menekan
akibat negatif dari situasi dan kondisi pribadi dan sosial yang berada di luar kendali individu
(misalnya, gender, asal usul etnis, atau latar belakang keluarga) dalam kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan berkualitas, dan selanjutnya dalam hasil akhir yang dapat diraih
individu bersangkutan (Roemer & Trannoy, 2016). Di dalam laporan ini, pemerataan dalam
pendidikan dikemukakan dalam kaitannya dengan ketersediaan lima fondasi pokok untuk
meraih kesuksesan pendidikan, yaitu lingkungan inklusif, instruksi berkualitas, waktu belajar,
bahan belajar, serta dukungan keluarga dan masyarakat.

Pemerataan berkaitan dengan inklusi. Lingkungan yang inklusif terdiri dari ruang kelas, sekolah,
serta masyarakat sekitar yang menjunjung tinggi dan mendukung adanya kondisi inklusif. The
United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) mendefinisikan
inklusi sebagai:

...proses mengatasi dan merespon keberagaman kebutuhan peserta didik melalui


peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, serta mengurangi
terjadinya pemisahan di dalam lingkungan pendidikan maupun pemisahan dari lingkungan
pendidikan. Hal ini membutuhkan upaya perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan,
struktur, dan strategi, dengan berpegang pada visi bersama yang mencakup semua anak
yang kisaran usianya telah sesuai, dan pada keyakinan bahwa pendidikan untuk semua
anak adalah tanggung jawab sistem pendidikan reguler (UNESCO, 2005: 15).

12
Sistem pendidikan inklusif menjamin anak mencapai setidaknya tingkat pendidikan dasar,
meraih prestasi akademik, kesejahteraan, dan keterlibatan dalam pendidikan yang mereka
butuhkan untuk berpartisipasi di dalam masyarakat. Meskipun berbagai hambatan terhadap
pencapaian tingkat pendidikan, prestasi, dan kesehatan tidak selalu berasal dari institusi
pendidikan, sistem inklusi menitikberatkan penetapan kebijakan pendidikan yang dapat
menghilangkan hambatan-hambatan tersebut di manapun, sehingga anak-anak dapat meraih
cita-cita mereka (Sen, 1999).

Kesetaraan dan pemerataan bukanlah hal yang melekat pada siswa atau sekolah, melainkan
pada sistem. Kedua hal tersebut diukur melalui perbandingan antar negara yang menghadapi
situasi dan kondisi yang sama. Sebuah penilaian berskala internasional seperti ini dapat
memberikan manfaat khusus, dapat menilai tingkat pemerataan dalam pendidikan. Kerangka
acuan untuk menganalisis hasil PISA 2018 melalui kacamata kualitas, kesetaraan, dan
pemerataan ini menjembatani PISA secara langsung menuju Sasaran 4 dari SDGs yang
bertujuan menjamin “pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, juga mendukung
kesempatan belajar seumur hidup bagi semua” (SDGs 2030 Indonesia, 2017). Target dan
indikator yang lebih khusus menjelaskan lebih rinci apa yang harus dicapai oleh negara pada
tahun 2030. Target pertama bidang pendidikan, misalnya, mendesak negara-negara untuk
“menjamin bahwa semua anak perempuan dan laki-laki menyelesaikan pendidikan dasar dan
menengah tanpa dipungut biaya, setara dan berkualitas, yang mengarah pada hasil belajar
yang relevan dan efektif” (United Nations, 2017b).

Gambar 1.3. Model educational prosperity

13
Secara umum, laporan ini menggunakan educational prosperity framework (Willms, 2015)
sebagai kerangka teori pelaporan dan kerangka acuan dalam membuat rekomendasi
kebijakan yang ditunjukkan oleh gambar 1.3. Teori educational prosperity menyatakan bahwa
perkembangan pendidikan individu terdiri dari enam tahapan, yang dimulai dari masa dalam
kandungan, kemudian masa perkembangan awal (usia 0–2 tahun), masa pra sekolah (usia
3–5 tahun), masa sekolah dasar (usia 6–9 tahun), masa sekolah dasar akhir atau masa SMP
(usia 10–15), dan terakhir masa SMA (usia 16–18 tahun). Setiap tahapan perkembangan
pendidikan menghasilkan kesuksesan pendidikan, kesuksesan pendidikan dari satu tahap
merupakan kesuksesan kumulatif dari tahapan sebelumnya. Untuk memaksimalkan
kesuksesan pendidikan, individu memerlukan fondasi meraih kesuksesan yang berasal dari
faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor lingkungan. Dalam konteks survei PISA, tahapan
sekolah dasar akhir atau masa SMP (10–15 tahun) dan masa SMA (16–18 tahun) sangat
berguna sebagai kerangka acuan.

1.5.1. Struktur laporan nasional

Bagian akhir dari laporan ini disusun dengan struktur sebagai berikut:

1. Bab 2 dan 3 akan membahas hasil PISA terkait dengan siswa. Bab 2 mengenai
pencapaian tingkat pendidikan, hasil belajar, dan kelemahan siswa Indonesia dalam tes
PISA. Bab 3 membahas hasil PISA yang terkait dengan kesejahteraan siswa (kepuasan
batin), perasaan siswa, keyakinan akan kekuatan diri dan kepercayaan diri, pola pikir
untuk terus berkembang, dan aspirasi siswa di usia 15 tahun di Indonesia. Nilai rata-
rata dan variasi hasil, termasuk prevalensi orang muda yang rentan, ketidaksetaraan di
antara kelompok-kelompok siswa, dan sejauh mana keluarga dan kondisi rumah tangga
menentukan hasil PISA akan dibahas dalam Bab 2 dan Bab 3.

2. Bab 4 dan Bab 5 melaporkan fondasi keberhasilan pendidikan di sekolah dan di


Indonesia. Bab 4 membahas sejauh mana sumber daya yang diinvestasikan dalam
pendidikan, khususnya bahan ajar sekolah, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang baik
untuk belajar. Sementara, Bab 5 mendeskripsikan sejauh mana ruang kelas, sekolah, dan
konteks sosial yang lebih luas (lingkungan belajar) mendukung hasil pendidikan untuk
semua siswa Indonesia.

3. Bab 6 merangkum temuan-temuan PISA 2018 untuk Indonesia, kemudian


menghubungkan temuan tersebut dengan kumpulan bukti-bukti yang lebih luas
tentang efektivitas intervensi kebijakan. Bab 6 juga menyajikan hasil dalam perspektif
perbandingan untuk merangsang diskusi berbasis bukti empiris tentang reformasi
kebijakan di dalam pendidikan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (2017), Luas Daerah dan Jumlah Pulau Menurut Provinsi 2002-
2016, https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/05/1366/luas-daerah-dan-
jumlah-pulau-menurut-provinsi-2002-2016.html.
Creswell, J. (2016), System-level Assessment and Educational Policy, http://research.acer.
edu.au/assessgems/10.
Indonesia.go.id (2019), Suku Bangsa, https://www.indonesia.go.id/profil/suku-bangsa.
Kemdikbud (2018), Badan Bahasa Petakan 652 Bahasa Daerah di Indonesia, Kementerian
Pendidikan Indonesia Republik Indonesia, https://www.kemdikbud.go.id/main/
blog/2018/07/badan-bahasa-petakan-652-bahasa-daerah-di-indonesia.
Kemdikbud (2019), Rekapitulasi Data Pokok Pendidikan Nasional, Data Pokok Pendidikan
Dasar dan Menengah, http://dapo.dikdasmen.kemdikbud.go.id/.
Kemenag (2019), EMIS: Education Management Information System, Kementerian
Agama Republik Indonesia, http://emispendis.kemenag.go.id/emis2016v1/.
Mullis, Ina V.S. & Michael O. Martin (2017), TIMSS 2019 Assessment Frameworks,
International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA).
Mullis, Ina V.S. & Michael O. Martin (2019), PIRLS 2021 Assessment Frameworks.
International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA).
OECD (2004), Learning for Tomorrow’s World, First Result from PISA 2003, OECD
Publishing, Paris.
OECD (2007), PISA 2006, Volume 2: Data, OECD Publishing, Paris.
OECD (2010), PISA 2009 Results: Executive Summary, OECD, Paris.
OECD (2013), PISA 2012 Results in Focus, OECD, Paris.
OECD (2016a), Country Note Indonesia, Results from PISA 2015, OECD, Paris.
OECD (2016b), PISA 2015 Results (Volume I): Exellence and Equity in Education, OECD
Publishing, Paris, http://dx.doi.org/10.1787/9789264266490-en.
OECD (2017a), MS Sampling Task 7A; information on the Initial (desired) Target Population,
OECD, Paris.
OECD (2017b), MS Sampling Task 7B; information on the Final (defined) Target Population,
OECD, Paris.
OECD (2017c), MS Sampling Task 8B; the school sampling frame and school exclusions,
OECD, Paris.
OECD/UNESCO (2003), Literacy Skills for World of Tomorrow: Further Results from PISA
2000, OECD/UNESCO, Paris.

15
OECD (2019), PISA 2018 Assessment and Analytical Framework, OECD Publishing, Paris.
https://doi.org/10.1787/b25efab8-en.
OECD/Asian Development Bank (2015), Education in Indonesia: Rising to the Challenge,
OECD Publishing, Paris, http://dx.doi.org/10.1787/9789264230750-en.
Permendikbud No. 58 Tahun 2013 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/
Madrasah Tsanawiyah.
Permendikbud No. 59 Tahun 2013 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/
Madrasah Aliyah.
Permendikbud No. 60 Tahun 2013 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Kejuruan/
Madrasah Aliyah Kejuruan.
Permendikbud No. 1 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah.
Permendikbud No. 4 Tahun. 2018 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan
dan Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah.
Permendikbud No. 12 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permendikbud No. 22 Tahun
2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun
2015 – 2019.
PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru.
PP No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
Roemer, J. & A. Trannoy (2016), “Equality of Opportunity: Theory and Measurement”,
Journal of Economic Literature, Vol. 54/4, pp. 1288–1332, http://dx.doi.
org/10.1257/jel.20151206.
SDGs 2030 Indonesia (2017), Tujuan Empat, https://www.sdg2030indonesia.org/
page/12-tujuan-empat
Sen, A. (1999), Development as Freedom, Oxford University Press, Oxford.
UNESCO (2005). Guidelines for inclusion: ensuring access to education for all, UNESCO
Publishing, Paris.
United Nations (2017a), 11th United Nations Conference on the Standardization
of Geographical Names. E/CONF.105/115/CRP.115. https://unstats.
un.org/unsd/geoinfo/UNGEGN/docs/11th-uncsgn-docs/E_Conf.105_115_
CRP.115_Agenda%209a%20Identification%20of%20Islands%20and%20
Standardization%20of%20Their%20Names_BIG_Indonesia.pdf
United Nations (2017b), Resolution 71/313 Work of the Statistical Commission pertaining
to the 2030 Agenda for Sustainable Development (A/RES/71/313).
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wilms (2015), Educational Prosperity, The Learning Bar Inc., Fredericton, Canada.

16
17
Bab 2
Pencapaian Tingkat Pendidikan
dan Perolehan Nilai PISA Siswa
Usia 15 Tahun di Indonesia

Bab 2 membahas hasil PISA 2018 di Indonesia dan kaitannya dengan pencapaian dan
tingkat pendidikan subjek PISA. Subyek PISA adalah anak Indonesia usia 15 tahun
yang terdaftar minimal sebagai siswa kelas 7. Bab ini akan secara khusus melihat
pengaruh mengulang kelas terhadap kemampuan siswa PISA Indonesia. Data ini
memberikan latar belakang dalam memahami nilai hasil tes PISA di bidang membaca,
matematika, dan sains, serta membandingkan hasil Indonesia dengan negara atau
kawasan lain. Selanjutnya, bab ini menjabarkan hasil, khususnya tingkat nilai di
bidang membaca, matematika, dan sains dan mendiskusikan indikator-indikator
utama inklusi dengan perhatian pokok kepada gender dan ketidaksetaraan kondisi
sosial ekonomi, ditambah karakteristik lain seperti penggunaan bahasa tutur, status
sekolah, jenjang dan jenis sekolah; serta variasi nilai di antara sekolah-sekolah dan
antar sekolah di wilayah kota dan desa.

Dalam 18 tahun, Indonesia Dalam 4 putaran PISA terakhir, Karakter siswa yang memiliki
berhasil memperluas dan persentase siswa Indonesia yang kemungkinan tinggi untuk
meningkatkan kualitas akses mengulang kelas sekitar 15 – 18% mengulang kelas adalah siswa laki-
pendidikan terhadap anak berusia dari total siswa PISA Indonesia. laki SMP dengan perilaku sering
15 tahun, dari hanya 39% (1,8 Kemampuan membaca siswa yang membolos dan terlambat sekolah,
juta) anak 15 th yang duduk di mengulang kelas 60 poin di bawah dari kelompok sos/ek rendah,
jenjang minimal SMP/SMA di siswa yang tidak mengulang kelas, dengan indek rasa-memiliki
tahun 2000 menjadi 85% (3,7 juta) nilai ini setara dengan 2 tahun sekolah yang rendah.
di tahun 2018. sekolah.

18
Pada PISA 2018 ini, kemampuan Dengan meningkatkan akses Laju peningkatan kemampuan
rata-rata membaca siswa pendidikan, semakin banyak siswa siswa Indonesia tidak sebanding
Indonesia adalah 371 atau 80 berkemampuan rendah yang dengan laju peningkatan akses
poin di bawah rata-rata OECD. bersekolah. Pada tahun 2018, pendidikan. Dengan cakupan
Kemampuan membaca siswa PISA sebanyak 60% anak Indonesia populasi yang sama dengan
di daerah DKI Jakarta dan D.I. berada di bawah kompetensi PISA 2000 (39%), kemampuan
Yogyakarta sekitar 411 atau 43 minimal dan 15% anak Indonesia membaca Indonesia sekitar 436
poin dibawah rata-rata OECD. Hal lainnya antara berada di luar sistem poin, akan tetapi dengan cakupan
tersebut menunjukkan terdapat sekolah atau duduk di kelas 6 atau populasi 85%, kemampuan
perbedaan kualitas pendidikan di bawahnya. membaca siswa Indonesia menjadi
yang relatif besar di antara 371.
daerah-daerah di Indonesia.

Secara konsisten siswa dari Sangat penting untuk mengenalkan Indonesia berhasil meningkatkan
sekolah pedesaan dan jenjang kemampuan membaca bagi siswa kesetaraan sosial/ekonomi di
SMP memiliki kemampuan Indonesia sejak TK. Perbedaan tingkat sekolah secara bertahap
membaca yang rendah dalam kemampuan membaca siswa dalam tujuh putaran PISA.
enam putaran PISA terakhir. Indonesia yang pernah mengenyam Selain itu, kenaikan satu poin
Kemampuan membaca siswa TK di atas 30 poin pada putaran indek sos/ek lebih berarti untuk
pedesaan 24 poin di bawah PISA 2009 – 2015, tetapi turun meningkatkan kemampuan
rata-rata Indonesia, sedangkan menjadi 16 poin ketika Indonesia membaca bagi siswa-siswa yang
kemampuan membaca siswa memperluas akses pendidikan TK. berada di kelompok sosial/
SMP 27 poin di bawah rata-rata ekonomi rendah.
Indonesia.

Sasaran utama kebijakan di bidang pendidikan terpusat pada bagaimana membekali warga
negara dengan pengetahuan dan keterampilan yang penting agar dapat mencapai potensi
optimal sehingga mampu memberi sumbangsih kepada dunia yang kian mengglobal. Tujuan
akhirnya adalah warga negara meraih kehidupan yang lebih baik melalui pengetahuan dan
keterampilan tersebut. Ukuran-ukuran kompetensi yang digunakan dalam PISA dikembangkan
untuk memantau seberapa dekat capaian penyelenggaraan pendidikan suatu negara terhadap
sasaran utama kebijakan pendidikan.

Karena kebutuhan akan keterampilan dan penerapannya terus berubah dengan cepat, PISA
secara berkelanjutan dan reguler, setiap sembilan tahun, merevisi definisi dan kerangka
acuan yang melatarbelakangi ukuran-ukuran literasi. Dengan begitu, ukuran yang digunakan
selalu sesuai perkembangan zaman dan berorientasi masa depan (lihat kotak 2.1). Berfokus
pada pandangan masyarakat yang terus berubah, PISA mengajak para pendidik dan pembuat
kebijakan untuk melihat kualitas pendidikan sebagai hal yang selalu bergerak dan tidak bisa

19
dicapai hanya dalam sekali langkah. Untuk negara-negara yang menerapkan tes PISA berbasis
komputer, Indonesia salah satunya, kerangka acuan kognitif dan kuesioner PISA 2018 telah
dikaji ulang dan diperbarui oleh jaringan pakar internasional yang berpengalaman dengan
PISA.

Kerangka acuan PISA 2018 dalam literasi membaca dibuat dengan mempertimbangkan
kemampuan membaca sebagai fokus utama. Karenanya, kerangka acuan disusun dengan
mencakup ragam baru seperti teks yang berdiri sendiri, soal dengan latar belakang cerita,
serta soal dan navigasi berbasis web. Sedangkan kerangka acuan PISA 2018 untuk literasi
matematika dan sains masih didasarkan pada kerangka acuan PISA 2012 dan 2015.

Kotak 2.1. Apa saja yang diukur oleh PISA?


Masing-masing putaran PISA mengukur kemampuan siswa dalam bidang membaca,
matematika, dan sains. Dalam setiap putaran PISA, salah satu bidang menjadi fokus
utama.
Kerangka acuan untuk ketiga bidang PISA menekankan kapasitas siswa dalam
menerapkan pengetahuan dan keterampilannya di dalam situasi nyata: siswa harus
memperlihatkan kapasitas menganalisis, menggunakan logika, dan berkomunikasi
secara efektif saat ia mengidentifikasi, menafsirkan, dan menyelesaikan masalah
dalam berbagai macam situasi. Definisi secara luas dari bidang-bidang yang diuji
pada PISA 2018 adalah sebagai berikut:
Literasi membaca didefinisikan sebagai kapasitas individu dalam memahami,
menggunakan, merenungkan, dan tercurah secara penuh pada teks tertulis untuk
mencapai cita-cita, mengembangkan pengetahuan dan potensi, serta berpartisipasi
di dalam masyarakat.
Literasi matematika didefinisikan sebagai kapasitas individu untuk merumuskan,
menggunakan, dan menafsirkan ilmu matematika pada berbagai macam konteks.
Literasi matematika meliputi logika matematika dan pengunaan konsep, prosedur,
fakta, dan perangkat matematika untuk menggambarkan, menguraikan, dan
memperkirakan sebuah fenomena.

Literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk mencurahkan


perhatian pada topik-topik yang terkait sains dan gagasan-gagasan sains sebagai
wujud refleksi individu. Seseorang yang melek secara sains akan selalu mencurahkan
perhatian pada perdebatan logis mengenai sains dan teknologi yang membutuhkan
kompetensi untuk menjelaskan sebuah fenomena secara ilmiah, mengevaluasi, dan
merancang pertanyaan-pertanyaan ilmiah, serta menafsirkan data dan bukti secara
ilmiah pula.

20
Kompetensi siswa di dalam setiap bidang dapat ditafsirkan dalam hal tingkatannya.
Tingkat 6 merupakan tingkat tertinggi dalam skala PISA dan Tingkat 1 atau di
bawahnya sebagai tingkat terendah. Tingkat 2 merupakan ambang batas penting
sebab tingkat ini menjadi titik batas bawah kompetensi siswa yang dinyatakan
mampu memperlihatkan kompetensi yang di masa mendatang menuntun mereka
untuk dapat berpartisipasi secara efektif dan produktif dalam kehidupan sebagai
individu yang menjalankan pendidikan selanjutnya, sebagai pekerja, dan sebagai
warga negara.

Sumber: OECD, 2019.

PISA memilih peserta tes melalui prosedur sampling ilmiah yang diawali dengan pemilihan
sekolah-sekolah, kemudian memilih siswa dari sekolah-sekolah tersebut. Sebagai prasyarat
menjadi sampel dan masuk dalam formulir sampling, siswa harus berusia 15 tahun dan
terdaftar di sekolah terpilih. PISA membatasi target populasi pada siswa yang terdaftar di
bangku kelas 7 atau di atasnya.

Informasi yang dikumpulkan PISA dalam proses sampling, seperti status sosial ekonomi dan
budaya, lokasi geografis berupa sekolah di wilayah pedesaan dan perkotaan, penutur bahasa
minoritas, dan jenjang pendidikan, berguna dalam menilai kesetaraan dan pemerataan
pendidikan. Perbedaan dalam kesetaraan dan pemerataan dapat diperbandingkan di antara
negara-negara peserta.

PISA membuat indeks sosial ekonomi berdasarkan indikator status sosial, ekonomi dan budaya
(economic, social, and cultural status, ESCS) yang terdapat di dalam kuesioner PISA. Indeks ini
digunakan untuk menganalisis data PISA Indonesia. Kotak 2.2 menunjukkan definisi status
sosial budaya dan ekonomi yang digunakan dalam PISA 2018. Dalam bagian selanjutnya,
indeks ini disebut dengan indeks sosial ekonomi.

Kotak 2.2. Definisi Status Sosial Ekonomi (ESCS) dalam PISA 2018
Status sosial ekonomi budaya merupakan konsep yang sangat luas. PISA mengukur
status sosial ekonomi dan budaya siswa menggunakan indeks PISA untuk status
ekonomi, sosial, dan budaya (economic, sosial and cultural status, ESCS) yang berasal
dari sejumlah variabel yang berkaitan dengan latar belakang keluarga siswa, yaitu
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, jumlah rumah yang dimiliki, dan jumlah
buku atau bahan belajar lain yang tersedia di rumah. Indeks PISA untuk status ekonomi,
sosial, dan budaya merupakan nilai gabungan yang diperoleh dari indikator-indikator
tersebut. Konstruksi indeks tersebut dirancang agar hasilnya dapat diperbandingkan
secara internasional.

21
Indeks ESCS memungkinkan identifikasi siswa dan sekolah yang mampu dan kurang
mampu di setiap negara. Dalam laporan ini, siswa yang mampu secara sosial ekonomi
adalah mereka yang masuk dalam kategori 25% siswa yang memiliki indeks ESCS
teratas di negara yang bersangkutan, sedangkan siswa kurang mampu adalah siswa
yang berada di 25% terbawah indeks ESCS. Begitu pula dengan sekolah yang dianggap
mampu atau kurang mampu secara sosial ekonomi. Sementara kondisi rata-rata
tercermin dari nilai rata-rata indeks ESCS siswa di setiap negara. Indeks ESCS juga
mengidentifikasi siswa yang mampu atau kurang mampu menurut standar global.
Semua siswa dimasukkan ke dalam sebuah kontinum ESCS sehingga memungkinkan
pembandingan di antara negara-negara yang memiliki kondisi ekonomi, sosial, dan
budaya serupa. Sebagai contoh, pada PISA 2018 ini, 90% siswa PISA Indonesia berada
dibawah rata-rata negara OECD.

Sumber: OECD, 2016a; OECD, 2017b.

Pembahasan lanjut dalam bab ini akan difokuskan pada kelancaran perkembangan pendidikan
siswa, yaitu kesesuaian antara jenjang pendidikan dengan usia. Data-data yang dibahas
memberikan informasi penting berupa perbandingan perolehan nilai siswa di bidang membaca,
matematika, dan sains dalam tes PISA di Indonesia dengan beberapa negara peserta PISA
lainnya ditinjau dari perkembangan pendidikannya. Bagian akhir bab memaparkan indikator-
indikator utama kesetaraan dalam pendidikan, yaitu gender, status sosial ekonomi, bahasa
tutur, status sekolah siswa, lokasi sekolah, dan jenjang pendidikan.

2.1. Perkembangan pendidikan anak 15 tahun di Indonesia: perspektif PISA

2.1.1. Proporsi usia 15 tahun di Indonesia yang diwakili oleh sampel

Telah disinggung dalam Bab 1, saat tes PISA berlangsung, di Indonesia diperkirakan ada
4.439.086 anak berusia 15 tahun. Dari jumlah tersebut, 85% atau 3.768.508 anak tergolong
populasi PISA. Selebihnya, 15% atau 670.578 anak tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari
populasi karena sejumlah sebab.

Anak-anak usia 15 tahun yang tidak termasuk populasi PISA terdiri atas tiga kategori. Yang
pertama anak-anak usia 15 tahun yang tidak bersekolah atau berstatus bukan siswa. Yang
kedua, siswa usia 15 tahun yang belum mencapai bangku kelas 7 atau kelas 1 SMP/sederajat.
Hal kedua bisa disebabkan oleh anak mendaftar sekolah pada usia lebih tua dari yang
seharusnya atau mengulang kelas. Kelompok ketiga adalah siswa usia 15 tahun yang mengeyam
pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) karena merupakan anak-anak berkebutuhan khusus.
Ada 1.471 sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus, dengan jumlah siswa usia 15 tahun
sebanyak 3.892 orang (OECD, 2017a).

22
Karena data populasi siswa usia 15 tahun diambil dari daftar lengkap seluruh sekolah dan
siswa yang disediakan pemerintah pusat, secara umum angka cakupan PISA tidak banyak
berbeda dengan data berbagai sumber resmi. Adanya perbedaan kecil dalam jumlah siswa
disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti 1) perbedaan sumber data primer, apakah rumah
tangga atau sekolah; 2) perbedaan dalam metode pengumpulan informasi, misalnya data yang
diminta dari pihak sekolah berupa jumlah total siswa saja atau daftar rinci siswa; 3) perbedaan
dalam definisi usia target; 4) perbedaan waktu pengumpulan informasi, misalnya daftar siswa
untuk PISA dikirim sebulan sebelum survei dimulai, sedangkan data administrasi dilaporkan
ketika siswa terdaftar pada awal tahun pelajaran; dan 5) PISA mengecualikan siswa-siswa
berkebutuhan khusus dalam pengambilan sampel.

Angka cakupan populasi PISA adalah perbandingan antara jumlah populasi PISA dengan
perkiraan total populasi anak-anak usia 15 tahun berdasarkan proyeksi demografi Indonesia.
Angka cakupan PISA 2018 yang sebesar 85% merupakan peningkatan tajam dibandingkan
dengan cakupan populasi PISA periode sebelumnya.

Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.1, angka cakupan PISA terus meningkat sejak
pelaksanaan PISA pertama pada tahun 2000. Saat itu, angka cakupan PISA sebesar 39%, setara
1,8 juta siswa. Cakupan populasi ini terus meningkat menjadi 46% atau 2 juta siswa pada
PISA 2003; 53% atau 2,2 juta siswa pada putaran PISA 2006 dan 2009; 63%, setara 2,6 juta
siswa pada PISA 2012; dan 68% atau 3,1 juta siswa saat PISA 2015. Lonjakan cakupan populasi
terbesar terjadi pada PISA 2018, naik 17 persen dibandingkan dengan cakupan populasi PISA
sebelumnya.

Sumber: OECD, 2016; OECD; 2016b


Gambar 2.1. Pencapaian tingkat pendidikan pada usia 15 tahun di Indonesia

23
Angka cakupan populasi PISA menunjukkan perkembangan pendidikan di Indonesia, terutama
dalam hal akses terhadap sistem sekolah dan perkembangan tingkat pendidikan anak. Dari
tahun ke tahun persentase anak-anak yang telah menyelesaikan 6 tahun pendidikan dasarnya
terus meningkat. Jika pada PISA 2000 hanya 38% anak Indonesia usia 15 tahun yang telah
mengenyam pendidikan hingga minimal kelas 7, pada 2018 porsinya mencapai 85%.

Data perkembangan cakupan populasi PISA ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS)
yang menunjukkan peningkatan angka partisipasi pendidikan di jenjang SMP/sederajat naik
dari 67% pada 2009 menjadi 79% pada 2018; dan di jenjang SMA/sederajat naik dari 45%
menjadi 61% pada periode yang sama (BPS, 2019b; BPS, 2019c). Angka partisipasi pendidikan
BPS adalah Angka Partisipasi Murni (APM), yaitu perbandingan antara jumlah siswa pada
jenjang SMP dan SMA dengan jumlah populasi penduduk pada rentang usia jenjang pendidikan
(BPS, 2019d).

Peningkatan angka cakupan populasi lebih dari dua kali lipat dalam rentang waktu 18 tahun
menunjukkan keberhasilan pemerintah Indonesia dalam kebijakan sektor pendidikan yang
berdampak memperluas akses pendidikan dan memfasilitasi perkembangan pendidikan
anak. Kebijakan tersebut antara lain kebijakan Wajib Belajar 9 Tahun (UU No. 20 Tahun 2003),
Program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) (World Bank, 2014), dan Program Indonesia
Pintar (Permendikbud No. 19 Tahun 2016).

Meski partisipasi sekolah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir, harus diakui, angka
putus sekolah masih perlu mendapat perhatian. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemdikbud), angka putus sekolah SD sekitar 32 ribu siswa; SMP 51 ribu
siswa; dan SMA/sederajat 104 ribu siswa (Kemdikbud, 2019a; Kemdikbud, 2019b; Kemdikbud,
2019c; Kemdikbud, 2019d). Banyak penelitian menyatakan bahwa orang-orang dewasa awal
yang tidak menyelesaikan pendidikan dan tanpa gelar akademik apapun, kemungkinan besar
mendapat pekerjaan berkualitas rendah, memiliki kondisi kesehatan buruk, dan menjadi
pelaku kriminal (Lochner, 2011; Machin, Marie & Vujić, 2011; Belfield & Levin, 2007).

2.1.2. Distribusi siswa PISA dari berbagai kelas

Tiap negara memiliki gambaran berbeda-beda untuk mendeskripsikan pencapaian kelas


siswa usia 15 tahun. Seperti tampak dalam Gambar 2.1, sepanjang putaran PISA, sebagian
besar siswa usia 15 tahun di Indonesia duduk di bangku kelas 9 dan 10. Dari tahun ke tahun
komposisi siswa PISA yang duduk di kelas 9 dan 10 kian besar, sebaliknya proporsi siswa di
kelas 7–8 berkurang.

Pada PISA 2000, 15% siswa usia 15 tahun duduk di kelas 9 dan 14% di kelas 10. Pada PISA 2018
jumlahnya meningkat jadi 29% dan 42%. Data ini menunjukkan peningkatan pencapaian tingkat
pendidikan di Indonesia, dari tahun ke tahun kian banyak siswa yang dapat menyelesaikan
jenjang pendidikan yang kian tinggi.

24
Variasi pencapaian tingkat pendidikan siswa usia 15 tahun di Indonesia memberikan konteks
penting dalam penafsiran hasil PISA. Survei PISA memungkinkan diperolehnya hasil kompetensi
siswa 15 tahun yang bisa diperbandingkan secara internasional. Meski demikian, perlu
dipahami bahwa siswa-siswa tersebut berada di titik-titik berbeda dalam masa sekolahnya.
Perbedaan itu berlaku dalam satu negara maupun antarnegara peserta PISA. Oleh karena itu,
variasi hasil PISA juga mencerminkan variasi alur pendidikan siswa peserta PISA.

2.1.3. Distribusi siswa PISA berdasarkan karakteristik siswa

Tingkat pencapaian dan partisipasi pendidikan anak usia 15 tahun yang tercermin dalam
angka cakupan dan distribusi siswa peserta PISA dari berbagai kelas memberikan informasi
penting bagi penafsiran nilai rerata dan variasi hasil PISA Indonesia. Survei rumah tangga
seringkali menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin, etnis minoritas, atau yang
tinggal di daerah pedesaan menghadapi risiko tidak dapat bersekolah atau tidak lulus SMP.
Seiring berjalannya putaran demi putaran PISA, populasi yang tadinya dikecualikan itu naik ke
jenjang sekolah yang lebih tinggi, masuk sampel PISA sebagai siswa berkemampuan rendah
dan hasil uji kompetensi mereka terepresentasikan dalam hasil PISA.

Data sampel menggambarkan proporsi variasi karakteristik populasi PISA terhadap total
populasi anak Indonesia usia 15 tahun. Variasi tersebut, sebagaimana ditunjukkan dalam
Gambar 2.2, meliputi jenis kelamin, bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari,
status sekolah (negeri atau swasta), letak sekolah (di kota atau di desa), dan jenjang pendikan
(SMP/sederajat atau SMA/sederajat).

Gambar 2.2. Proporsi karakteristik siswa Indonesia terhadap populasi anak usia 15 tahun
dalam 6 putaran PISA terakhir

25
2.1.3.1. Proporsi siswa PISA berdasarkan jenis kelamin

Proporsi populasi siswa PISA terhadap total populasi anak Indonesia usia 15 tahun berimbang
antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan sejak PISA 2003 hingga PISA 2018. Pada PISA
2018, proporsi siswa laki-laki subjek PISA (terhadap total anak usia 15 tahun di Indonesia)
sebesar 42% dan proporsi siswa perempuan 43%.

2.1.3.2. Proporsi siswa berdasarkan bahasa percakapan sehari-hari

Berdasarkan karakteristik penggunaan bahasa dalam percakapan sehari-hari, proporsi siswa


penutur Bahasa Indonesia selalu lebih kecil dibandingkan dengan siswa penutur bahasa
daerah dan bahasa lainnya. Pada PISA putaran 2003 hingga 2012 perbandingan proporsi dua
kelompok kategori ini relatif stabil. Pada PISA 2015 ada tren penurunan proporsi siswa penutur
bahasa Indonesia. Saat itu, dibandingkan dengan total populasi anak usia 15 tahun, proporsi
siswa PISA penutur bahasa Indonesia sebesar 25%, sementara pengguna bahasa daerah atau
bahasa lain dalam percapakan sehari-hari mencapai 42%.

Pada PISA 2018, proporsi siswa penutur nonbahasa Indonesia meningkat pesat hingga
mencapai 59% populasi anak usia 15 tahun, sementara siswa penutur bahasa Indonesia dalam
percakapan sehari-hari hanya 22%.

Salah faktor penyebab peningkatan proporsi siswa penutur non-bahasa Indonesia dalam
PISA 2018 adalah perubahan metode identifikasi bahasa percakapan sehari-hari. PISA 2018
memungkinkan klarifikasi terhadap informasi siswa, antara informasi tentang bahasa yang
digunakan sehari-hari dengan informasi tentang bahasa yang digunakan saat berkomunikasi
dengan orang tua dan saudara. Definisi bahasa sehari-hari yang dipakai sebagai acuan dalam
PISA 2018 adalah bahasa ibu atau bahasa pertama yang dikenalkan orang tua kepada anak.

2.1.3.3. Proporsi siswa berdasarkan status kepemilikan sekolah

Berdasarkan status kepemilikan sekolah, proporsi siswa sekolah negeri selalu lebih besar
dibandingkan dengan siswa sekolah swasta.

Proporsi siswa sekolah negeri meningkat tajam, sekitar 7% pada PISA 2006 dan 2012.
Sementara peningkatan proporsi siswa sekolah swasta lebih landai, 2%–3% pada PISA 2003
hingga PISA 2015. Pada PISA 2018, proporsi siswa sekolah swasta naik 9%, menyebabkan
perbedaan proporsi siswa sekolah negeri dan sekolah swasta menyempit, menyerupai kondisi
PISA 2003.

2.1.3.4. Proporsi siswa berdasarkan jenjang pendidikan dan jenis sekolah

Data menarik tampak dalam karakteristik populasi PISA berdasarkan jenjang pendidikan dan
jenis sekolah. Meski proporsi angka cakupan siswa pada jenjang pendidikan SMP/MTs atau

26
kelas 7–9 naik secara konsisten, sejalan dengan kenaikan angka cakupan populasi, grafik
kenaikannya bergerak lebih landai dibandingkan dengan grafik angka cakupan populasi. Ini
menunjukkan kontribusi jenjang pendidikan SMP/MTs terhadap populasi PISA terus berkurang.
Sebaliknya kontribusi jenjang pendidikan SMA/sederajat bertambah. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat pencapaian pendidikan siswa usia 15 tahun di Indonesia kian baik sebab
semakin besar proporsi anak Indonesia usia 15 tahun yang duduk di jenjang pendidikan kelas
10–12 (SMA/sederajat).

Tren menarik pada PISA 2018 adalah kenaikan tajam proporsi siswa SMK, menyerupai kenaikan
pada PISA 2015. Pada PISA 2018, proposorsi siswa SMK meningkat dari 11% ke 17%. Meski
demikian, secara umum proporsi siswa sekolah umum (SMP dan SMA) selalu lebih besar
dibandingkan dengan sekolah kejuruan dan sekolah agama (MTs, MA, SMK).

2.1.3.5. Proporsi siswa PISA berdasarkan status sosial ekonomi

Semenjak PISA 2003–2015, perbandingan antara siswa berlatar belakang sosial ekonomi
kurang mampu dan yang mampu relatif stabil. Siswa berstatus sosial ekonomi kurang mampu
adalah yang memiliki indeks sosial ekonomi di bawah nilai rata-rata indeks sosial ekonomi
Indonesia. Pada PISA 2018 terjadi sedikit pergeseran. Proporsi siswa populasi PISA berlatar
belakang sosial ekonomi mampu terhadap total populasi anak usia 15 tahun meningkat lebih
tajam, yaitu 10%, dibandingkan dengan siswa dari kalangan status ekonomi kurang mampu
yang hanya naik 6%. Meski demikian, pada setiap putaran PISA, proporsi siswa berlatar
belakang status sosial ekonomi kurang mampu selalu lebih besar dibandingkan dengan siswa
berstatus sosial ekonomi di atas rata-rata.

2.1.3.6. Proporsi siswa PISA berdasarkan lokasi sekolah

Pada PISA 2003, kontribusi terbesar terhadap angka cakupan populasi PISA disumbangkan
oleh sekolah-sekolah di pedesaan, diikuti sekolah di ibu kota kabupaten, ibu kota provinsi,
ibu kota kecamatan, dan terakhir sekolah di kota besar. Hal ini tergambarkan dalam proporsi
masing-masing kategori terhadap total anak usia 15 tahun. Proporsi siswa yang bersekolah di
desa sebesar 14%, di ibu kota kabupaten 12%, ibu kota provinsi 10%, ibu kota kecamatan 6%,
dan terakhir di kota besar sebesar 3%.

Sejak PISA 2006 komposisinya berubah. Kontributor terbesar terhadap angka cakupan
populasi PISA 2006 adalah sekolah-sekolah di ibu kota kecamatan, diikuti sekolah-sekolah di
desa. Hal ini menyebabkan proporsi terbesar kategori siswa PISA berdasarkan lokasi sekolah
adalah siswa yang bersekolah di kota kecamatan (23%), diikuti siswa di sekolah-sekolah di
pedesaan (14%). Sementara sekolah-sekolah di ibu kota kabupaten dan ibu kota provinsi silih
berganti dalam menempati urutan ketiga.

Pada PISA 2018, kontribusi sekolah di pedesaan dan kecamatan terhadap angka cakupan
populasi PISA sebenarnya turun cukup tajam yaitu siswa sekolah di desa turun dari 30% pada

27
PISA 2015 menjadi 22% pada PISA 2018, sementara siswa sekolah di kota kecamatan turun
dari 41% pada PISA 2015 menjadi 38%. Meski demikian, proporsi siswa di sekolah-sekolah
di pedesaan terhadap total anak usia 15 tahun hanya turun 1%, dari 20% pada PISA 2015
menjadi 19%. Sementara proporsi siswa sekolah-sekolah di kota kecamatan justru naik dari
28% menjadi 33%.

Peningkatan tajam dalam proporsi terhadap total anak usia 15 tahun terjadi pada kategori
siswa pada sekolah di kota kabupaten, dari 9% ke 14%; dan ibu kota provinsi, dari 4% menjadi
9%. Sebaliknya, proporsi siswa di kota besar yang sempat naik menjadi 5% pada PISA 2015,
pada PISA 2018 turun lagi menjadi 2%, sama seperti proporsinya pada PISA 2012.

2.1.4. Pencapaian tingkat pendidikan siswa usia 15 tahun menurut gender

Pada 2003, pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu pasalnya mengatur, “Setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar” (Pasal 9 UU
No. 20/2003). Sebagai pelaksanaan amanat undang-undang ini, pemerintah menyelenggarakan
Program Wajib Belajar Sembilan Tahun. Dampak dari program tersebut adalah kian banyak
anak Indonesia, laki-laki dan perempuan, mengenyam pendidikan 6 tahun di tingkat sekolah
dasar dan 3 tahun di tingkat sekolah menengah pertama. Jika sebelumnya anak perempuan
cenderung mengalami diskriminasi dalam akses pendidikan, kini kian besar persentase anak
perempuan yang masuk sekolah formal dan melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi.
BPS merilis data, pada 2018 persentase anak Indonesia yang menyelesaikan pendidikan kelas
6 mencapai 98% (BPS, 2019a).

Gambar 2.3 menunjukkan perbandingan perkembangan tingkat pendidikan siswa PISA


Indonesia berdasarkan gender. Sejak PISA 2009 hingga PISA 2015, persentase siswa
perempuan usia 15 tahun yang menempuh jenjang pendidikan sesuai dengan perkembangan
pendidikannya (on track) sebesar 43%. Pada PISA 2018 angka ini naik menjadi 44%. Di kalangan
siswa laki-laki, persentasenya naik dari 38% pada PISA 2009 menjadi 40% pada PISA 2012 dan
2015, dan turun lagi menjadi 39% PISA 2018. Grafik pada gambar 2.3 yang dihasilkan dengan
Analisis chi square menunjukkan frekuensi siswa perempuan dan laki-laki yang mengenyam
pendidikan di tingkat sesuai perkembangan normal tingkat pendidikan siswa Indonesia (on
track).

28
Keterangan: Sekitar 2% siswa tidak menjawab pertanyaan yang terkait dengan mengulang
kelas pada PISA 2018 dan 2012, serta sekitar 1% siswa tidak menjawab pertanyaan tersebut
pada PISA 2015 dan 2009.

Gambar 2.3. Perbandingan perkembangan pendidikan siswa 15 tahun Indonesia


berdasarkan gender dalam tiga putaran PISA terakhir

2.1.5. Siswa mengulang kelas di Indonesia

Umumnya siswa Indonesia usia 15 tahun yang lancar perkembangan pendidikannya duduk
di kelas 9 atau 10. Siswa yang pada usia ini duduk di kelas lebih rendah bisa jadi mengalami
pengulangan kelas.

Seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.3, terdapat 18% siswa yang pernah mengulang kelas
pada PISA 2009. Jumlah ini turun jadi 15% pada PISA 2012 tetapi kembali naik menjadi 16%
pada PISA 2015 dan PISA 2018. Tampak bahwa sebagian besar siswa mengulang kelas adalah
laki-laki, dengan perkembangan berturut-turut sejak PISA 2009 hingga PISA 2015 sebesar
11%, 9%, dan 10%. Sementara siswa perempuan yang mengulang kelas hanya 7% pada PISA
2009, lalu turun dan bertahan di angka 6% selama tiga putaran terakhir PISA.

Gambar 2.4 menyajikan dua jenis informasi. Informasi pertama adalah perkembangan proporsi
siswa usia 15 tahun yang pernah mengulang kelas di tiap jenjang pendidikan sejak PISA 2009
hingga PISA 2018. Paling banyak siswa mengulang kelas di jenjang pendidikan Sekolah Dasar,
yaitu antara 9% hingga 12%. Siswa yang mengulang kelas di jenjang pendidikan SMP atau SMA

29
sebanyak 1% hingga 2%. Sementara siswa yang mengulang kelas di jenjang pendidikan SD
dan mengulang pula di jenjang pendidikan SMP/SMA berkisar 2%–5%. PISA 2009, persentase
siswa yang tidak pernah mengulang kelas terhadap total populasi PISA adalah 81%, lalu naik
jadi 83% pada tiga PISA terakhir.

Gambar 2.4. Tren kemampuan membaca siswa 15 tahun Indonesia berdasarkan


pernah tidaknya mengulang kelas.

Jenis informasi kedua adalah tren kemampuan membaca siswa usia 15 tahun berdasarkan
pernah-tidaknya mengulang kelas. Dalam Gambar 2.9 tampak selisih perolehan nilai literasi
membaca yang besar antara siswa yang tidak pernah mengulang kelas dengan yang pernah
mengulang kelas. Pada PISA 2018 misalnya, selisih nilai tes membaca siswa yang tidak pernah
mengulang kelas dengan yang mengulang kelas saat SD sebesar 57 poin; di jenjang SMP/SMA
74 poin; dan dengan yang mengulang kelas di jenjang SD dan SMP/SMA 63 poin.

Hasil tes PISA membenarkan temuan Ikedan dan Garcia (2013). Keduanya menyatakan, siswa
yang tidak pernah mengulang kelas cenderung memiliki kemampuan lebih tinggi dan memiliki
sikap yang lebih positif terhadap sekolah (Ikeda & Garcia, 2013).

Tujuan dari pengulangan kelas adalah memberi waktu kepada siswa agar mampu menyusul
ketertinggalannya dari siswa lain. Dalam hal ini, guru merasa mereka belum siap untuk
mengikuti pelajaran di tingkat lebih tinggi. Pertimbangannya, untuk kurikulum yang bersifat
kumulatif dan penguasaan bahan pelajaran di jenjang selanjutnya bergantung pada kuatnya
pemahaman atas pelajaran di jenjang lebih rendah, membolehkan siswa naik kelas tanpa

30
mempertimbangkan penguasaan materi akan menempatkan siswa pada posisi lebih sulit di
kelas selanjutnya.

Tetapi pengulangan kelas bisa menjadi kebijakan mahal karena butuh biaya besar dan
memperlambat siswa menyelesaikan studi (OECD, 2013). Sejumlah kajian dan riset yang
meliputi beragam disiplin, negara, dan berbagai periode waktu secara pokok menemukan
akibat negatif pengulangan kelas terhadap prestasi akademik (Jimerson, 2001). Hal ini karena
pengulangan kelas menjadi penanda mencolok dari kekurangmampuan yang justru akan
menstigma anak-anak. Siswa yang mengulang kelas sering memperlihatkan perilaku dan sikap
negatif terhadap sekolah (Finn, 1989, Gottfredson, Fink & Graham, 1994) dan lebih besar
kemungkinan akan putus sekolah (Jacob & Lefgren, 2004; Manacorda, 2012). Ditambah lagi,
dampak positif jangka pendek pengulangan kelas tampak menurun dari waktu ke waktu (Allen
et all, 2009).

Dalam konteks Indonesia, perbedaan kemampuan membaca antara siswa yang pernah dan
tidak mengulang kelas sangat mencolok. Perbedaan rata-rata nilai membaca PISA antara
siswa yang pernah mengulang kelas dengan siswa yang tidak pernah mengulang kelas sebesar
60 poin (t(11.991)=13, p<0,01), setara dengan 2 tahun ajaran pendidikan.

Selain itu, bagi sebagian besar siswa, pengulangan kelas berisiko lebih besar. Banyak orang
setuju bahwa prestasi, perilaku, dan motivasi merupakan alasan kuat dalam membuat
keputusan siswa mana yang harus mengulang; dan data PISA jelas menunjukkan hubungan
tersebut. Yang mengkhawatirkan, meski data prestasi, perilaku, dan motivasi siswa tampak
cukup, namun terdapat data lain yang menunjukkan bahwa di Indonesia, siswa dari latar
belakang sosial ekonomi kurang mampu secara signifikan menunjukkan kecenderungan
mengulang kelas lebih besar dibandingkan dengan siswa beratar belakang sosial ekonomi
mampu; dan siswa laki-laki secara signifikan memiliki risiko mengulang kelas lebih besar
dibandingkan dengan siswa perempuan.

Gambar 2.5 menunjukkan karakteristik siswa mengulang kelas di Indonesia. Ada empat variabel
yang berasosiasi positif kuat dengan siswa ulang kelas (variabel kerentanan). Sementara
variabel yang asosiasi negatif dengan siswa ulang kelas (variabel resistensi) berjumlah tujuh.

Siswa jenjang SMP (SMP dan MTs); siswa laki-laki; siswa yang sering membolos sekolah; dan
siswa yang terlambat masuk sekolah berisiko mengulang kelas lebih besar. Siswa di jenjang SMP
memiliki kemungkinan 5,5 kali lipat mengulang kelas dibandingkan dengan siswa di jenjang
SMA/sederajat. Siswa laki-laki 1,6 kali lebih besar berpeluang mengulang kelas daripada siswa
perempuan. Siswa pembolos 1,4 kali lebih berisiko mengulang kelas dibandingkan dengan
siswa yang disiplin masuk sekolah. Siswa yang sering terlambat tiba di sekolah berkemungkinan
1,3 kali lebih besar untuk mengulang kelas dibandingkan dengan siswa yang tiba tepat waktu.

Sebaliknya, siswa dengan rata-rata indeks sosial ekonomi tinggi; siswa dengan rasa-memiliki
sekolah yang tinggi; siswa dengan guru yang mampu membangun iklim belajar yang baik; siswa

31
dengan guru yang jelas dalam menjelaskan tujuan belajar; siswa yang mendapat dukungan
emosional dari orang tua; siswa yang memiliki sikap belajar baik; serta siswa dengan guru
yang mampu mengadaptasi instruksi belajar sesuai kondisi siswa, berasosiasi negatif dengan
siswa mengulang kelas.

Perlu digarisbawahi bahwa faktor-faktor di atas tidak dapat diartikan sebagai faktor penyebab
siswa mengulang kelas atau sebaliknya, melainkan merupakan faktor-faktor yang membantu
dalam identifikasi kemungkinan siswa mengulang kelas.

Gambar 2.5. Karakter kerentanan siswa terhadap pengulangan kelas

Siswa bernilai tinggi pada variabel yang berasosiasi positif dengan mengulang kelas dan
nilai rendah pada variabel yang berasosiasi negatif memiliki kemungkinan mengulang kelas
sebesar 55%. Sebaliknya, siswa bernilai rendah pada variabel yang berasosiasi positif dengan
mengulang kelas dan nilai tinggi pada variabel yang berasosiasi negatif memiliki kemungkinan
mengulang kelas kurang dari 1%. Model yang dikemukakan dalam Gambar 2.5 menjelaskan
sekitar 22% dari varian pengulangan kelas oleh siswa (berdasarkan Nagelkerke R2).

Pengulangan kelas seringkali merupakan praktik yang kurang adil dan berbiaya besar, baik
untuk siswa sendiri, yang menjadi terstigma karenanya, maupun sistem sekolah secara
keseluruhan. Selain itu, pengulangan kelas menurunkan semangat guru untuk mendiagnosis
dan mengangkat persoalan siswa yang kurang berprestasi di ruang kelas mereka. Dalam sistem
pendidikan yang menghalangi praktik pengulangan kelas, guru cenderung lebih bertanggung
jawab terhadap proses belajar siswa (OECD, 2011).

32
2.1.6. Pencapaian tingkat pendidikan Indonesia dibandingkan secara
internasional

Bagian ini membahas perbandingan pencapaian tingkat pendidikan siswa 15 tahun di


Indonesia dengan sejumlah negara lain yang memiliki kesamaan karakteristik dalam tingkat
pendapatan, kawasan, dan perolehan nilai PISA pada beberapa putaran terakhir. Untuk negara-
negara dengan tingkat pendapatan menyerupai Indonesia, yang cocok sebagai pembanding
adalah Peru. Penghasilan bersih bruto-paritas daya beli negara ini kurang lebih sama dengan
Indonesia (World Bank, 2019). Thailand dipilih karena terletak di kawasan Asia Tenggara.
Sementara negara-negara yang memiliki kesamaan dengan Indonesia dalam perolehan nilai
PISA pada sejumlah putaran terakhir adalah Brasil dan Peru.

Perbandingan pencapaian tingkat pendidikan siswa populasi PISA di Indonesia, Brasil, Peru,
dan Thailand disajikan dalam Gambar 2.6. Putaran PISA yang digunakan sebagai acuan adalah
PISA 2000 hingga PISA 2015.

Sumber: OECD, 2016a; OECD, 2016b


Gambar 2.6. Pencapaian tingkat pendidikan pada usia 15 tahun di Indonesia
dibandingkan dengan Beberapa Negara Peserta PISA (Brasil, Thailand, dan Peru)

33
Sebagaimana tampak dalam Gambar 2.6, sejak PISA 2000 hingga PISA 2018, siswa Indonesia
usia 15 tahun paling banyak berada di jenjang pendidikan kelas 9 dan 10 atau 3 SMP/sederajat
dan 1 SMA/sedejarat. Karena angka cakupan populasi PISA terus naik, proporsi siswa usia 15
tahun di kelas 9 dan 10 terhadap total anak Indonesia berusia 15 tahun juga terus naik, dari
29% pada PISA 2000 menjadi 71% pada PISA 2018.

Brasil menunjukkan perkembangan berbeda dibandingkan dengan Indonesia. Pada PISA 2000,
mayoritas siswa PISA Brasil berada di bangku kelas 7 hingga 9. Proporsinya terhadap total
anak usia 15 tahun adalah 11% di kelas 7, 18% di kelas 8, dan 33% di kelas 9. Pada PISA 2003
komposisi ini berubah menjadi lebih banyak siswa duduk di kelas 8 hingga 10. Pada PISA 2006,
12% anak usia 15 tahun di Brasil berada di kelas 8; 26% di kelas 9; dan 10% di kelas 10. Pada
PISA 2009 dan 2012, proporsi siswa PISA kelas 10 naik menjadi 22% dan 29%.

Pada PISA 2015, terjadi lonjakan besar dalam proporsi siswa kelas 11 terhadap total anak
usia 15 tahun di Brasil, naik dari 1% pada PISA 2009 dan 2% saat PISA 2012, menjadi 28%
saat PISA 2015 diadakan. Sebaran siswa PISA Brasil menjadi lebih terkonsentrasi di kelas 10
dan 11. Sementara proporsi siswa di kelas 8 dan 9 masing-masing tinggal 5% dan 9%. Data ini
menunjukkan keberhasilan Brasil berhasil meningkatkan pencapaian tingkat pendidikan anak
usia 15 tahun, dari rata-rata berada di kelas 8 dan 9 menjadi kelas 10 dan 11.

Perkembangan pencapaian tingkat pendidikan siswa usia 15 tahun di Thailand berbeda lagi.
Sejak PISA 2003 hingga PISA 2015, sebesar 52% sampai 71% anak usia 15 tahun di negeri ini
berada di jenjang pendidikan kelas 9 dan 10, namun dengan pergeseran komposisi menjadi
lebih banyak berada di kelas 10. Pada PISA 2000, sebesar 32% anak Thailand usia 15 tahun
duduk di kelas 9 dan 21% di kelas 10. Saat PISA 2009 diadakan, proporsi anak usia 15 tahun
yang duduk di kelas 10 mencapai 54%, sementara yang duduk di kelas 9 turun menjadi 17%.

Di Peru, perkembangan pencapaian tingkat pendidikan siswa usia 15 tahun relatif stagnan.
Pada PISA 2000, angka cakupan populasi PISA sebesar 50%, sementara tingkat pencapaian
pendidikannya terkonsentrasi di kelas 9 dan 10 (12% dan 22% anak usia 15 tahun). Pada PISA
2009, angka cakupan populasi PISA naik jadi 73%, proporsi anak yang duduk di kelas 9 tetap
12%; yang duduk di kelas 10 naik jadi 33%; dan yang duduk di kelas 11 naik dari 5% pada PISA
2000 menjadi 19%. Semenjak itu hingga PISA 2015, proporsi siswa terhadap anak usia 15
tahun relatif konstan, demikian pula angka cakupan populasi PISA tidak banyak berubah.

Variasi jenjang kelas pada saat anak memasuki usia 15 tahun di negara-negara peserta PISA
berkaitan erat dengan pengalaman mengulang kelas. Di Indonesia, variasi jenjang kelas siswa
berkaitan erat dengan pengalaman mengulang kelas dan umur saat masuk sekolah dasar
(OECD, 2016b). Sekitar 7% siswa yang berada di kelas 9 menyatakan pernah mengulang kelas,
2% di antaranya mengulang lebih dari dua kali.

Menarik bahwa meski tingkat pencapaian pendidikan anak usia 15 tahun di Brasil lebih tinggi
dibandingkan dengan Indonesia, yaitu proporsi siswa usia 15 tahun yang duduk di kelas 11

34
lebih banyak, persentase siswa mengulang kelas di Brasil ternyata lebih besar dibandingkan
dengan Indonesia. Gambar 2.7 menunjukkan bahwa 34% siswa 15 tahun di Brasil, terdiri dari
15% siswa perempuan dan 19% siswa laki-laki, pernah mengulang kelas. Angka ini lebih dari
dua kali lipat persentase siswa usia 15 tahun yang mengulang kelas di Indonesia.

Persentase siswa usia 15 tahun yang mengulang kelas di Thailand cukup menarik sebab lebih
rendah, kurang dari separuh rasio negara-negara maju anggota OECD yang sebesar 12%.

Kenyataan menarik lain, komposisi jenis kelamin siswa usia 15 mengulang kelas di Brasil,
Peru, Indonesia, dan negara-negara OECD menunjukkan kesimpulan serupa pembahasan
dalam bagian 2.1.5, yaitu persentase siswa laki-laki mengulang kelas lebih besar dibandingkan
dengan siswa perempuan.

Gambar 2.7. Perbandingan persentase pengulangan kelas antara Indonesia dengan


beberapa negara PISA (Brasil, Peru, dan Thailand) dan negara-negara OECD berdasarkan
data PISA 2015

2.2. Capaian PISA Indonesia

Cara termudah merangkum nilai siswa suatu negara dan menilai posisi relatifnya terhadap
negara pembanding adalah melalui nilai rata-rata hasil tes PISA di setiap bidang yang dinilai.
Namun PISA juga menggambarkan nilai siswa menurut tingkat kompetensi (lihat Tabel 2.1, 2.2,
dan 2.3). Deskripsi tingkat kompetensi di setiap bidang menjelaskan kemampuan minimum
yang harus dimiliki oleh siswa berumur 15 tahun setelah menyelesaikan pendidikan tingkat
menengah pertama (SMP/sederajat).

Tingkat kompetensi minimum dalam penilaian PISA adalah tingkat 2. Tingkat kompetensi
minimum merupakan tingkat yang menunjukkan bahwa siswa mampu menyelesaikan soal

35
yang membutuhkan kemampuan minimum seturut standar internasional dan menunjukkan
ciri berpikir mandiri. Tingkat kompetensi yang sama juga digunakan dalam memonitoring
target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Suistanable Development Goals, SDGs) bidang
pendidikan poin 4.1. Diharapkan pada tahun 2030 semua anak menyelesaikan pendidikan
dasar (SD dan SMP) yang gratis, adil, dan berkualitas dengan hasil yang relevan dan efektif
(United Nations, 2017).

Tabel 2.1. Tingkat kompetensi membaca PISA


Batas
Tingkat Skor Karakteristik Soal
Bawah

Soal-soal pada tingkat ini meminta siswa membuat lebih dari satu kesimpulan,
perbandingan, dan pembedaan yang harus rinci serta tepat. Soal-soal pada tingkat
ini membutuhkan jawaban yang memperlihatkan pemahaman menyeluruh serta
terperinci atas satu atau lebih teks dan dapat mencakup penyatuan informasi
dari teks yang jumlahnya lebih dari satu. Soal-soal mungkin meminta pembaca
6 698 untuk mengolah gagasan yang tidak biasa, yang dibenturkan pada informasi
yang tepercaya, untuk selanjutnya menghasilkan kategori-kategori abstrak untuk
penafsiran. Soal-soal yang mengandung perintah renungkan dan evaluasi meminta
pembaca untuk membuat hipotesis atau menilai secara kritis teks yang kompleks
tentang topik yang tidak biasa dengan mempertimbangkan berbagai kriteria atau
perspektif, dan mengaplikasikan pemahaman yang rumit dari pandangan dari luar
teks. Jawaban mantap bagi soal-soal baca dan petiklah informasi pada tingkat ini
adalah ketepatan analisis dan perhatian yang saksama terhadap detail yang hanya
tersirat di dalam teks.

Soal-soal pada tingkat ini yang mencakup perintah untuk memetik informasi
meminta pembaca untuk menemukan dan menghimpun potongan informasi yang
diselipkan secara tersembunyi di dalam teks, menyiratkan mana informasi di dalam
teks yang sesuai. Soal-soal perenungan meminta pembaca melakukan evaluasi atau
5 626 hipotesis kritis untuk menggambarkan pengetahuan khusus. Soal-soal penafsiran
dan perenungan membutuhkan pemahaman menyeluruh dan terperinci atas teks
yang isi atau bentuknya tidak biasa. Dari kesemua proses membaca, soal-soal pada
tingkat ini biasanya mencakup pengolahan konsep yang bertolak belakang dengan
harapan.

Soal-soal pada tingkat ini yang mencakup perintah untuk memetik informasi meminta
pembaca untuk menemukan dan menghimpun potongan-potongan informasi yang
diselipkan di dalam teks. Sebagian soal pada tingkat ini meminta pembaca untuk
menafsirkan makna nuansa bahasa di satu bagian teks dengan mempertimbangkan
4 553 teks secara keseluruhan. Soal-soal penafsiran lainnya meminta pembaca untuk
memahami dan mengaplikasikan kategori-kategori dalam sebuah konteks yang tidak
biasa. Soal-soal perenungan pada tingkat ini meminta pembaca untuk menggunakan
pengetahuan formal atau umum untuk membuat hipotesis atau mengevaluasi teks
secara kritis. Pembaca harus memperlihatkan pemahaman akurat tentang teks yang
panjang atau kompleks yang isi atau bentuknya mungkin tidak biasa.

Soal-soal pada tingkat ini meminta pembaca untuk menemukan, dan dalam kondisi
tertentu mengenali, hubungan antara sejumlah potongan informasi yang harus
sesuai dengan beragam kondisi. Soal-soal penafsiran pada tingkat ini meminta
pembaca untuk menggabungkan beberapa bagian teks untuk dapat mengidentifikasi

36
gagasan utamanya, memahami sebuah hubungan atau membaca makna dari sebuah
kata atau frasa. Para pembaca harus mempertimbangkan berbagai ciri khas dalam
membandingkan, membedakan, atau mengelompokkan. Seringkali informasi yang
3 480 diminta bukanlah yang menonjol atau ada banyak informasi yang saling bertolak
belakang; atau ada tantangan teks lain seperti gagasan yang berlawanan dengan
harapan atau yang diredaksikan secara negatif. Soal-soal perenungan pada tingkat
ini meminta jawaban berupa keterkaitan, perbandingan, dan penjelasan, atau
bisa juga meminta pembaca untuk mengevalusai ciri khas dari teks. Sebagian soal
perenungan meminta pembaca untuk memperlihatkan pemahaman yang baik dari
teks dalam kaitannya dengan pengetahuan sehari-hari yang biasa diketahui. Soal-
soal lainnya tidak meminta pemahaman teks secara mendetail namun meminta
pembaca untuk mengetengahkan pengetahuan yang kurang umum.

Sebagian soal pada tingkat ini meminta pembaca menemukan satu atau lebih
potongan informasi yang mungkin perlu disimpulkan dan harus memenuhi
persyaratan tertentu. Soal-soal lain meminta pembaca untuk mengetahui gagasan
utama dalam sebuah teks, memahami hubungan, atau membaca makna di dalam
2 407 satu bagian kecil teks yang tidak memiliki informasi menonjol dan pembaca harus
membuat kesimpulan dalam tingkatan rendah. Soal-soal pada tingkat ini dapat
mencakup pembandingan atau pembedaan berdasarkan satu ciri khas di dalam
teks. Soal-soal perenungan pada tingkat ini biasanya meminta pembaca membuat
perbandingan atau sejumlah pengaitan antara teks dengan pengetahuan dari luar
dengan memasukkan pengalaman dan sikap pribadi.

Soal-soal pada tingkat ini meminta pembaca untuk menemukan satu atau lebih
potongan informasi yang tidak terikat; untuk mengetahui tema utama atau tujuan
penulis dalam sebuah teks mengenai topik yang biasa, atau untuk membuat
hubungan sederhana antara informasi di dalam teks dengan pengetahuan umum
1a 335 sehari-hari. Biasanya, informasi yang diminta di dalam teks cukup menonjol dan
hanya ada sedikit atau tidak ada informasi yang bertolak belakang. Pembaca secara
jelas diarahkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan di dalam
soal dan di dalam teks.

Soal-soal pada tingkat ini meminta pembaca untuk menemukan satu potongan
informasi yang dinyatakan dan diposisikan dengan gamblang di dalam sebuah teks
pendek yang susunan katanya mudah. Konteks dan tipe naskahnya biasa seperti
narasi atau sebuah daftar pendek. Teks seperti ini biasanya memberikan kemudahan
1b 262 kepada pembaca seperti pengulangan informasi, gambar atau simbol-simbol biasa.
Informasi yang bertolak belakang sedikit sekali. Dalam soal-soal yang memberikan
perintah penafsiran, pembaca dapat diminta untuk membuat hubungan sederhana
antara potongan-potongan informasi yang tata letaknya di dalam teks berdekatan.

37
Tabel 2.2. Tingkat kompetensi matematika PISA
Batas
Tingkat Skor Karakteristik Soal
Bawah

Pada Tingkat ini siswa dapat melakukan konseptualisasi, generalisasi, dan penggunaan
informasi berdasarkan penyelidikan dan pemodelan matematika mereka tentang
situasi-situasi soal kompleks, dan dapat menggunakan pengetahuan mereka dalam
konteks yang relatif tidak baku. Siswa dapat mengaitkan sumber-sumber dan
penggambaran informasi yang berbeda lalu dapat secara lentur menerjemahkan
6 669 informasi-informasi tersebut. Siswa-siswa pada tingkat ini mampu berpikir dan
berlogika matematika tingkat tinggi. Siswa-siswa ini dapat mengaplikasikan
pandangan dan pemahaman ini, disertai dengan penguasaan operasi dan hubungan
matematika baik simbolik maupunformal, untuk mengembangkan pendekatan
dan strategi untuk menggempur situasi-situasi mutakhir. Siswa-siswa pada tingkat
ini dapat merenungkan tindakan mereka, lalu merumuskan dan secara tepat
mengomunikasikan tindakan dan perenungan tersebut terkait temuan, penafsiran,
dan argumen serta kelayakannya terhadap situasi sebenarnya.

Pada Tingkat 5 siswa-siswa dapat mengembangkan dan mengerjakan soal


menggunakan pemodelan matematika untuk situasi-situasi kompleks,
mengidentifikasi batasan, dan merumuskan asumsi. Mereka dapat memilih,
membandingkan, dan mengevaluasi strategi-strategi pemecahan masalah yang
5 607 memadai untuk mengatasi soal-soal yang kompleks terkait dengan pemodelan
matematika tersebut. Siswa-siswa pada tingkat ini dapat mengerjakan soal secara
strategis menggunakan keluasan keterampilan berpikir dan berlogika mereka yang
dikembangkan dengan baik, penggambaran terkait yang memadai, karakterisasi
simbolik dan formal, serta pandangan mengenai situasi-situasi tersebut. Mereka
mulai dapat merenungkan tentang upaya mereka dan dapat merumuskan serta
mengomunikasikan penafsiran dan logika mereka.

Pada Tingkat 4 siswa dapat mengerjakan soal secara efektif dengan pemodelan
matematika yang gamblang untuk situasi nyata yang kompleks yang mungkin
meliputi batasan atau permintaan untuk membuat asumsi. Mereka dapat memilih
dan menyatukan beragam penggambaran, antara lain penggambaran simbolik,
4 545 dan mengaitkannya langsung dengan aspek-aspek situasi nyata. Siswa-siswa pada
tingkat ini dapat mempergunakan keterbatasan jangkauan keterampilannya dan
dapat memahami logika melalui suatu pandangan, dalam konteks yang mudah
dipahami. Mereka dapat menyusun dan mengomunikasikan penjelasan dan
argumen berdasarkan penafsiran, argumen, dan tindakan mereka.

Pada Tingkat 3 siswa dapat menjelaskan prosedur dengan lancar, termasuk yang
membutuhkan keputusan tahap demi tahap. Penafsiran mereka cukup masuk
akal untuk dijadikan dasar penyusunan pemodelan matematika sederhana atau
untuk memilih dan mengaplikasikan strategi pemecahan masalah sederhana.
Siswa-siswa pada tingkat ini dapat menafsirkan dan menggunakan penggambaran-
3 482 penggambaran berdasarkan aneka sumber informasi dan melogikakannya langsung.
Mereka biasanya memperlihatkan suatu kemampuan untuk mengerjakan soal
persentase, pecahan, dan angka desimal, serta mengerjakan hubungan proporsi.
Pemecahan masalah mereka menunjukkan bahwa mereka telah masuk ke dalam
tataran penafsiran dan logika dasar.

38
Pada Tingkat 2, siswa dapat menafsirkan dan mengenali situasi dalam konteks
yang hanya membutuhkan penyimpulan langsung saja. Mereka dapat menyarikan
informasi relevan hanya dari satu sumber dan memanfaatkannya untuk satu cara
2 420 penggambaran saja. Siswa-siswa pada tingkat ini dapat menjalankan algoritma,
rumus, prosedur atau konvensi dasar untuk memecahkan masalah yang
menggunakan bilangan cacah. Mereka mampu membuat penafsiran harfiah hasil
yang diperoleh.

Pada Tingkat 1, siswa dapat menjawab pertanyaan yang mencakup konteks biasa
dengan informasi relevan yang semuanya tersedia dan pertanyaannya juga diuraikan
1 358 dengan jelas. Mereka mampu mengidentifikasi informasi dan menjalankan prosedur
rutin berdasarkan instruksi langsung dalam situasi yang gamblang. Mereka dapat
melakukan tindakan yang biasanya sangat jelas dan langsung mengikuti begitu saja
stimuli yang diberikan.

Tabel 2.3. Tingkat kompetensi sains PISA


Batas
Tingkat Skor Karakteristik Soal
Bawah

Pada Tingkat 6, siswa dapat mengetengahkan beragam gagasan dan konsep ilmiah
yang saling berkaitan mulai dari ilmu fisika, kehidupan dan bumi dan antariksa serta
menggunakan pengetahuan prosedural dan epistemik untuk dapat menawarkan
hipotesis penjelasan tentang fenomena, kejadian, dan proses ilmiah mutakhir
atau untuk membuat prediksi. Dalam menafsirkan data dan bukti, mereka mampu
6 708 memisahkan antara informasi yang relevan maupun tidak relevan dan dapat
mengetengahkan pengetahuan dari luar ke dalam kurikulum sekolah yang normal.
Mereka dapat membedakan antara argumen yang berdasarkan pada bukti dan
teori ilmiah dan yang berdasarkan pada pertimbangan lain. Siswa yang mencapai
Tingkat 6 dapat mengevaluasi rancangan eksperimen kompleks, studi lapangan,
atau simulasi yang saling berlawanan dan dapat menjelaskan alasan pilihan mereka.

Pada Tingkat 5, siswa dapat menggunakan gagasan atau konsep ilmiah abstrak untuk
menjelaskan fenomena, kejadian, dan proses yang tidak biasa dan lebih kompleks
yang melibatkan berbagai rantai sebab akibat. Mereka mampu mengaplikasikan
5 633 pengetahuan epistemik yang lebih rumit untuk mengevaluasi rancangan eksperimen
alternatif dan memberikan alasan pilihan mereka dan menggunakan pengetahuan
teori untuk menafsirkan informasi atau membuat prediksi. Siswa yang mencapai
Tingkat 5 dapat mengevaluasi cara-cara menggali pertanyaan yang diberikan secara
ilmiah dan menemukan batasan dalam penafsiran kumpulan data yang meliputi
sumber-sumber dan akibat-akibat ketidak pastian dalam data ilmiah.

Pada Tingkat 4, siswa dapat menggunakan pengetahuan isi yang lebih abstrak
atau lebih kompleks yang disebutkan di dalam teks atau dihafal, untuk menyusun
penjelasan tentang kejadian dan proses yang lebih kompleks atau kurang biasa.
4 559 Mereka dapat menjalankan eksperimen dengan memasukkan dua atau lebih
variabel dalam konteks yang dibatasi. Mereka mampu menjelaskan alasan sebuah

39
rancangan eksperimental dengan menggambarkan elemen-elemen pengetahuan
prosedural dan epistemik. Siswa yang mencapai Tingkat 4 dapat menafsirkan data
yang disimpulkan dari kumpulan data yang cukup kompleks atau konteks yang kurang
biasa, menarik kesimpulan yang memadai yang melampaui data dan memberikan
alasan akan pilihan mereka.

Pada Tingkat 3, siswa dapat menuliskan pengetahuan isi yang cukup kompleks
untuk mengidentifikasi atau menyusun penjelasan tentang fenomena biasa. Dalam
situasi yang kurang biasa atau lebih kompleks, mereka dapat menyusun penjelasan
3 484 dengan penanda atau pendukung yang relevan. Mereka dapat mengetengahkan
elemen-elemen pengetahuan prosedural atau epistemik untuk menjalankan sebuah
eksperimen sederhana dalam konteks yang dibatasi. Siswa yang mencapai Tingkat
3 mampu membedakan antara isu-isu ilmiah dan tidak ilmiah dan mengidentifikasi
bukti untuk mendukung sebuah klaim ilmiah.

Pada Tingkat 2, siswa mampu mengetengahkan pengetahuan isi sehari-hari dan


pengetahuan prosedural dasar untuk mengidentifikasi penjelasan ilmiah yang
memadai, menafsirkan data, dan mengidentifikasi pertanyaan yang disampaikan
2 410 melalui rancangan eksperimental sederhana. Mereka dapat menggunakan
pengetahuan ilmiah dasar atau sehari-hari untuk mengidentifikasi sebuah kesimpulan
valid dari kumpulan data sederhana. Siswa yang mencapai Tingkat 2 memperlihatkan
pengetahuan epistemik dasar dengan kemampuannya mengidentifikasi pertanyaan
yang dapat diselidiki secara ilmiah.

Pada Tingkat 1a, siswa mampu menggunakan pengetahuan isi dan prosedural
dasar atau sehari-hari untuk mengenali atau mengidentifikasi penjelasan tentang
fenomena ilmiah sederhana. Dengan dukungan, mereka dapat menjalankan
1a 335 penelitian ilmiah terstruktur yang menggunakan tidak lebih dari dua variabel.
Mereka mampu mengidentifikasi hubungan sebab akibat atau keterkaitan dan
menafsirkan data grafik dan visual yang membutuhkan persyaratan kognitif pada
tingkatan bawah. Siswa yang mencapai Tingkat 1a dapat memilih penjelasan ilmiah
terbaik untuk data yang disajikan dalam konteks biasa di tingkat pribadi, setempat,
dan global

Pada Tingkat 1b, siswa dapat menggunakan pengetahuan ilmiah dasar atau sehari-
hari untuk mengenali aspek-aspek dalam fenomena biasa atau sederhana. Mereka
1b 261 mampu mengidentifikasi pola sederhana dalam data, mengenali istilah-istilah ilmiah
dasar, dan mengikuti instruksi yang dinyatakan dengan gamblang untuk melakukan
sebuah prosedur ilmiah.

Dalam bidang membaca, tingkat kompetensi minimum adalah tingkat yang menyatakan
siswa mampu membaca teks sederhana dan biasa serta memahaminya secara harfiah;
menghubungkan beberapa potongan informasi meskipun tanpa petunjuk yang dinyatakan
jelas; menarik kesimpulan yang melampaui batasan informasi yang dinyatakan secara jelas;
serta menghubungkan teks dengan pengalaman dan pengetahuan pribadi.

40
Tingkat kompetensi minimum dalam bidang matematika adalah tingkat yang menyatakan
bahwa siswa dapat menggunakan prosedur rutin, contohnya operasi aritmatika, pada situasi
dengan instruksi lengkap; serta menafsirkan dan mengetahui bagaimana sebuah situasi
sederhana dapat dipaparkan secara matematis, seperti membandingkan jarak total dua rute
yang berbeda atau mengonversi harga dalam mata uang lain.

Dalam bidang sains, tingkat kompetensi minimum adalah tingkat keterampilan yang
menyatakan bahwa siswa mampu mengetengahkan pengetahuan tentang isi dan prosedur
sains dasar untuk menafsirkan data, mengidentifikasi pertanyaan yang diajukan dalam sebuah
eksperimen sederhana, atau mengidentifikasi apakah sebuah kesimpulan bersifat valid
menurut data yang tersedia.

Membandingkan proporsi siswa di bawah dan di atas tingkat kompetensi minimum dan
proporsi siswa yang meraih tingkat kompetensi tertinggi memungkinkan pengukuran tingkat
nilai rata-rata, sekaligus pengukuran kapasitas sistem pendidikan Indonesia dalam memupuk
keunggulan siswa dan memastikan standar minimal terjaga. Kapasitas sistem pendidikan
merupakan salah satu aspek dalam mewujudkan sistem pendidikan yang inklusif, yang
menjamin anak Indonesia meraih apa yang berharga dalam kehidupan mereka.

2.2.1. Kemampuan PISA siswa Indonesia


Nilai PISA Indonesia dalam tujuh putaran terakhir sekilas tampak kurang menggembirakan.
Siswa Indonesia cenderung lemah di bidang matematika, kecuali pada PISA 2018, kemampuan
membaca merupakan bidang terlemah. Sains adalah kompetensi terkuat siswa Indonesia. Pada
lima dari tujuh putaran PISA, nilai kompetensi sains siswa Indonesia lebih tinggi dibandingkan
dengan dua bidang lain. Hanya pada PISA 2006 dan 2012 nilai rata-rata kompetensi sains
berada di bawah nilai rata-rata kompetensi membaca.

Gambar 2.8. Nilai PISA bidang membaca, matematika, dan sains Indonesia
dalam tujuh putaran PISA

41
Gambar 2.8 menceritakan gerak fluktuatif nilai rata-rata kompetensi membaca, matematika,
dan sains siswa Indonesia sejak putaran pertama PISA di tahun 2000 hingga yang terkini pada
2018.

Pada empat putaran pertama PISA, nilai rata-rata kemampuan membaca siswa Indonesia
bergerak naik. Pada PISA 2000, Indonesia memproleh nilai rata-rata 371. Pada PISA 2009
nilai rata-rata kemampuan membaca naik jadi 402, skor tertinggi yang pernah Indonesia
raih. Dalam tiga putaran terakhir PISA, nilai rata-rata kemampuan membaca menurun dan
mencapai angka terendah PISA 2018, 371 poin, sama dengan perolehan nilai rata-rata pada
PISA putaran pertama 18 tahun sebelumnya.

Di bidang matematika, nilai rata-rata tes PISA siswa Indonesia bergerak fluktuatif. Nilai rata-
rata terendah diperoleh dalam PISA 2003, sebesar 360. Nilai rata-rata tertinggi dicapai pada
PISA 2006, 391 poin. Pada PISA 2018, siswa Indonesia memperoleh nilai rata-rata 379.
Dalam bidang sains, meski turun dibandingkan dengan capaian PISA 2015 yang sebesar 402
poin, nilai rata-rata siswa Indonesia dalam PISA 2018 adalah yang tertinggi kedua dalam
seluruh periode pelaksanaan PISA. Dalam PISA 2018 ini, Indonesia memperoleh nilai rata-rata
396 di bidang sains, lebih tinggi 3 poin dibanding hasil PISA pertama di tahun 2000. Nilai rata-
rata terendah di bidang saing diperoleh pada PISA 2012, sebesar 382 poin.

2.2.2. Sebaran nilai PISA siswa Indonesia

Gambar 2.9 menunjukkan kompetensi bidang kemampuan membaca siswa Indonesia cukup
fluktuatif. Hal ini terejawantah pada pergeseran box-plot. Dalam enam putaran PISA, dari
tahun 2000 hingga 2015, Indonesia berhasil menggeser sebaran nilai ke arah lebih tinggi.
Pada PISA 2018, box-plot bergeser cukup tajam ke sisi kiri, ke nilai yang lebih rendah. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh peningkatan persentase siswa Indonesia usia 15 tahun yang berada di
kelas 7 atau lebih.

Meski terjadi perubahan arah pergeseran box-plot, nilai jangkauan interkuartil Indonesia
dalam tujuh putaran PISA relatif sama, yaitu di kisaran 100 poin, dan berhasil memperpendek
jarak antara nilai median dengan nilai ekstrim bawah. Pada PISA 2000, jarak antara nilai
median dan nilai ekstrim bawah sekitar 120 poin. Pada PISA 2018 jaraknya berkurang menjadi
113 poin. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia cukup adaptatif terhadap
peningkatan drastis jumlah peserta didik.

Untuk bidang matematika, sebaran nilai Indonesia cukup fluktuatif dalam tujuh putaran PISA.
Pada PISA 2006 misalnya, secara kumulatif nilai PISA Indonesia naik, tetapi turun kembali di
dua putaran PISA berikutnya. Walaupun demikian, sebaran nilai Indonesia bergeser ke nilai
yang lebih tinggi. Artinya secara kumulatif nilai PISA Indonesia cenderung meningkat.

42
Persentil 5 - 25 Persentil 50 - 75
Persentil 25 - 50 Persentil 75 - 95
Gambar 2.9. Sebaran nilai siswa Indonesia dalam tujuh putaran PISA
43
Sebaran kemampuan matematika siswa Indonesia berkembang menjadi cenderung lebih
homogen dibandingkan dengan putaran-putaran PISA sebelumnya. Jarak interkuartil nilai
matematika Indonesia turun dari 115 poin di tahun 2015 menjadi 103 poin di tahun 2018. Jarak
nilai ekstrim rendah dengan nilai median juga cenderung turun dibandingkan dengan PISA
2000. Pada PISA 2000, jarak antara nilai tengah dengan nilai ekstrim rendah adalah 136 poin.
Nilai ini turun menjadi 122 poin pada PISA 2018. Jarak antara kelompok siswa berkemampuan
rendah dengan siswa berkemampuan lebih tinggi kian pendek.

Pada bidang sains, sebaran nilai siswa Indonesia cenderung stabil dan secara kumulatif
meningkat dalam dua putaran terakhir PISA. Seperti dua bidang lain, sebaran nilai sains
siswa Indonesia berkembang lebih homogen. Jarak antarkuartil turun dari 100 poin pada
PISA 2000 menjadi 92 pada PISA 2018. Jarak antara nilai tengah dengan nilai ekstrim rendah
turun dari 118 menjadi 105 dalam periode yang sama. Dengan demikian, Indonesia berhasil
mempertahankan sebaran kemampuan sains siswa di saat jumlah dan proporsi siswa usia 15
tahun yang masuk dalam sistem sekolah meningkat tajam.

2.2.3. Kemampuan PISA Indonesia dengan mempertimbangkan cakupan


populasi

Peningkatan drastis cakupan PISA Indonesia mempengaruhi proporsi siswa yang mencapai
tingkat kompetensi minimum dan yang tidak. Dalam konteks Indonesia, peningkatan dalam
daya tampung sistem pendidikan, berupa lebih banyak anak usia 15 tahun yang masuk dalam
cakupan populasi PISA, tidak selalu seiring dengan peningkatan kualitas pendidikan. Gambar
2.10 menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam PISA dengan mempertimbangkan
cakupan populasi pada PISA putaran pertama yang sebesar 39%.

Gambar 2.10. Kemampuan siswa Indonesia dalam PISA dengan mempertimbangkan faktor
cakupan populasi putaran pertama

44
Garis biru mengekspresikan nilai PISA dengan cakupan populasi tahun 2000 dan dengan
menggunakan sumber daya pendidikan yang relatif sama sejak tahun tersebut (skor
penyesuaian). Garis merah menunjukkan skor aktual pada tujuh putaran PISA. Perbedaan
antara garis merah dan garis biru membesar seiring bertambahnya cakupan populasi Indonesia.
Hingga pada putaran PISA terakhir, perbedaan antara skor aktual dengan skor penyesuaian
sekitar 60 poin.

Gambar 2.11 memperlihatkan bahwa sejak putaran PISA 2000 hingga 2009, dengan
penambahan cakupan populasi 53%, sumber daya pengajaran di Indonesia relatif mampu
mempertahankan kualitasnya. Namun pada PISA 2012 hingga 2018, pertambahan cakupan
populasi PISA berdampak mengurangi kualitas membaca siswa Indonesia secara keseluruhan.

Gambar 2.11. Kemampuan membaca siswa Indonesia dengan mempertimbangkan kenaikan


cakupan populasi dalam setiap putaran PISA

Pada PISA 2012, selisih antara kemampuan membaca aktual dan kemampuan membaca
dengan pengandaian cakupan populasi konstan mengecil. Pada PISA 2015 terlihat bahwa tanpa
pertambahan cakupan populasi, kualitas kemampuan membaca siswa Indonesia relatif tidak
berubah. Tidak seperti pada sejumlah putaran PISA sebelumnya, kualitas membaca siswa
Indonesia tidak meningkat sepanjang periode PISA 2015 dan 2018 meski dengan pengandaian
cakupan populasi konstan.

2.2.4. Kompetensi PISA siswa Indonesia

Indikator penting untuk memantau kemajuan suatu negara dalam mencapai target SDGs 4.1
adalah proporsi siswa usia 15 tahun yang meraih tingkat kompetensi minimum, yaitu mencapai
tingkat 2 dari enam tingkat tes PISA dalam bidang membaca, matematika, dan sains. Dengan

45
kata lain, tingkat kompetensi minimum bisa menjadi indikator keberhasilan sebuah negara
dalam penyelenggaraan pendidikan.

Indonesia memiliki proporsi siswa dengan nilai tes PISA di bawah tingkat kompetensi minimum
yang cukup besar untuk bidang membaca, matematika, dan sains. Sebaliknya, proporsi siswa
dengan nilai lebih tinggi dari tingkat 2 relatif kecil.

Sebelum membahas perkembangan siswa dengan kompetensi di bawah kemampuan


minimum, perlu diapresiasi perkembangan proporsi siswa Indonesia yang memiliki kompetensi
minimum dan di atasnya, yang terus meningkat selama tujuh periode penyelenggaraan PISA.
Perkembangan positif ini tampak dalam Gambar 2.12.

Sebagaimana tampak dalam Gambar 2.12, proporsi siswa usia 15 tahun di Indonesia yang
memiliki kompetensi minimum dan di atasnya (tingkat 2–6) di bidang sains meningkat sekitar
8 kali lipat antara PISA 2000 dan 2018. Pada PISA 2000, hanya 4% populasi anak Indonesia usia
15 tahun yang memiliki kompetensi sains di tingkat minimum atau lebih tinggi. Persentase ini
naik secara konsisten pada setiap putaran penyelenggaran PISA hingga mencapai 34% pada
PISA 2018.

Hal serupa terjadi pada kompetensi matematika. Pada PISA 2000, hanya 10% anak usia 15
tahun di Indonesia yang mencapai atau melampaui tingkat kompetensi minimum di bidang
matematika. Persentase ini terus meningkat hingga mencapai 24% pada PISA 2018.

Meski secara agregat pencapaian tingkat kompetensi minimum di bidang membaca bergerak
naik, perkembangannya dalam PISA 2018 tidak sebaik di bidang matematika dan sains. Pada
PISA 2000, terdapat 12% anak usia 15 tahun di Indonesia yang mencapai atau melampaui
tingkat kompetensi minimum dalam membaca. Seperti di dua bidang lain, proporsinya juga
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada PISA 2015, proporsi anak usia 15 tahun
dengan tingkat kompetensi minimum atau lebih tinggi di bidang membaca mencapai 30%.
Namun pada PISA 2018, proporsinya turun jadi 25%.

Pencapaian lain yang patut mendapat apresisasi adalah proporsi anak usia 15 tahun yang
memiliki kemampuan melampaui tingkat kompetensi minimum (nilai tes PISA di atas tingkat
2). Anak-anak ini memiliki kompetensi seperti rata-rata anak usia 15 tahun di negara-negara
OECD. Di bidang matematika, proporsi anak usia 15 tahun yang berkompetensi di atas tingkat
minimum sebesar 3% pada PISA 2000 dan naik menjadi 8% pada PISA 2018. Di bidang sains,
proporsinya naik dari 4% menjadi 9%. Dalam bidang membaca, proporsinya naik dari 3% pada
PISA 2000 menjadi 9% pada PISA 2015 tetapi kemudian turun ke 7% pada PISA 2018.

Dipandang dari sisi proporsi terhadap total anak usia 15 tahun, peningkatan proporsi anak
berkompetensi minimum atau di atasnya berkonsekuensi pada turunnya persentase anak
usia 15 tahun (populasi PISA dan non-populasi PISA) berkemampuan di bawah kompetensi
minimum. Jika diasumsikan anak usia 15 tahun nonpopulasi PISA mengikuti tes PISA dan

46
mendapat nilai di bawah kompetensi minimum, maka pada PISA 2000, proporsi anak Indonesia
usia 15 tahun dengan kompetensi di bawah tingkat minimum mencapai 96% di bidang sains,
90% di bidang matematika, dan 88% di bidang membaca. Pada PISA 2018 proporsinya turun
menjadi 66% di bidang sains, 76% di bidang matematika, dan 75% di bidang membaca.

Gambar 2.12. Tren tingkat kompetensi siswa Indonesia dalam tujuh putaran PISA

47
2.2.4.1. Siswa-siswa yang memperoleh nilai rendah di bidang membaca

Data PISA dapat menggambarkan kemampuan membaca siswa-siswa berkompetensi rendah.


Penggambaran keterbatasan kemampuan siswa berkompetensi rendah adalah salah satu cara
akurat menyoroti sejauh mana sistem pendidikan di Indonesia mengembangkan kemampuan
membaca para siswanya.

Siswa yang nilainya berada pada tingkat 1a di bidang membaca dapat memetik satu atau
lebih potongan informasi bebas yang dinyatakan dengan jelas; membedakan tema pokok
dari maksud penulis di dalam teks mengenai sebuah topik umum; atau membuat hubungan
sederhana dengan merenungkan hubungan antara informasi di dalam teks dan pengetahuan
umum sehari-hari. Informasi yang diminta dari teks biasanya menonjol. Jika ada informasi
yang bertolak belakang, kemunculannya sedikit sekali. Siswa secara gamblang diarahkan
menuju faktor-faktor berhubungan sebagai bahan pemikiran. Tingkat ini mencari tahu siswa
mana yang nilainya tidak mencapai batas bawah di bidang membaca, namun tidak terlalu jauh
juga dari batas tersebut (OECD, 2017a). Di antara kelompok siswa dengan nilai rendah, siswa-
siswa ini adalah mereka yang paling nyaris mencapai tingkat kompetensi minimum.

Kotak 2.3. Bagaimana PISA mengukur komponen-komponen dasar


literasi membaca
Tes membaca berbasis komputer PISA 2018 memasukkan tipe soal tambahan
dalam penilaian membaca PISA untuk dapat menilai kefasihan membaca siswa,
yakni kelancaran dan efisiensi yang dimiliki siswa sehingga mampu membaca teks
sederhana untuk dapat memahaminya.

Soal-soal pengolahan kalimat di bagian kefasihan membaca menilai kemampuan


siswa dalam memahami kalimat-kalimat terulis dengan panjang yang berbeda-beda.
Siswa dihadapkan pada sekelompok kalimat kemudian untuk tiap kalimat, siswa
diminta untuk memutuskan apakah kalimat tersebut masuk akal (“ya”) atau tidak
masuk akal (“tidak”) dengan bermodal pengetahuan umum tentang dunia nyata
(contoh pada soal pertama di bawah ini), atau logika intrinsik di dalam kalimat itu
sendiri (contoh pada soal kedua). Jawaban siswa pada bagian ini dibatasi waktu
untuk mendapatkan informasi mengenai kecepatan siswa dalam membaca kalimat-
kalimat tersebut. Lama pengerjaan bagian ini adalah 3 menit, dimulai dengan contoh
dan kalimat latihan.

Contoh soal 1
Petunjuk: Dalam tes ini, Anda diminta membaca beberapa kalimat dan memutuskan
apakah kalimat tersebut masuk akal atau tidak. Klik YA bila kalimat masuk akal. Klik
TIDAK bila kalimat tidak masuk akal. Kalimat selanjutnya akan muncul langsung
setelah Anda memberikan jawaban.

48
Ban mobil merah itu kempes. YA TIDAK
Pesawat terbang dibuat dari anjing. YA TIDAK

Contoh soal 1 dibuat sebagai ilustrasi saja, dan turut digunakan sebagai contoh yang
diberikan kepada siswa sebelum mengerjakan tes.

Di negara-negara OECD, rata-rata 14% siswa dapat menyelesaikan soal-soal tingkat 1a di bidang
membaca, namun tidak dapat menyelesaikan soal tingkat di atasnya. Sekitar 6,5% siswa di
negara-negara maju ini bahkan tidak mencapai tingkat 1a. Di Indonesia, tingkat 1a merupakan
modus tingkat kompetensi siswa. Artinya proporsi terbesar hasil tes siswa Indonesia berada
di tingkat ini, mencapai sekitar 37%. Sejumlah siswa di Indonesia berada di bawah tingkat 1a,
baik di tingkat 1b, 1c, atau tidak mencapai tingkat 1.

Sekitar 27% siswa Indonesia memiliki tingkat kompentensi 1b. Pada tingkat ini, siswa hanya
dapat menyelesaikan soal pemahaman teks termudah, seperti memetik sebuah informasi
yang dinyatakan secara gamblang, misalnya dari judul sebuah teks sederhana dan umum atau
dari daftar sederhana (OECD, 2017a).

Siswa yang perolehan nilainya berada di tingkat 1c memiliki kemampuan membaca dasar
saja. Mereka memperlihatkan kemampuan di beberapa sub-keterampilan, atau elemen dasar
literasi membaca, misalnya pemahaman kalimat harfiah, namun tidak mampu menyatukan dan
menerapkan keterampilan tersebut pada teks yang lebih panjang atau membuat kesimpulan
sederhana (lihat Kotak 2.3). Sekitar 6% siswa PISA Indonesia memiliki kompetensi membaca
di tingkat 1c.

Kita boleh mengasumsikan kompetensi 15% anak 15 tahun di Indonesia yang tidak memenuhi
syarat dimasukkan ke dalam populasi PISA berada di tingkat 1 atau di bawahnya.

2.2.4.2. Siswa-siswa yang memperoleh nilai rendah di bidang matematika

Untuk bidang matematika, siswa berkompetensi tingkat 1 dapat menjawab pertanyaan


matematika dalam konteks umum. Segala informasi yang berkaitan ada dan pertanyaannya
sangat jelas. Mereka mampu menggunakan rumus-rumus matematika biasa berdasarkan
instruksi langsung dan situasi yang gamblang (OECD, 2017a).

Siswa di tingkat ini mampu mengerjakan soal matematika yang gamblang seperti membaca
sebuah nilai dari grafik atau tabel sederhana dengan label pada grafik atau tabel yang sama
persis dengan redaksi dalam pertanyaan. Namun biasanya mereka tidak mampu mengerjakan
soal perhitungan aritmatika yang tidak menggunakan bilangan cacah atau soal yang
instruksinya tidak gamblang dan terinci dengan baik (OECD, 2017a).

49
Di Indonesia, sekitar 71% siswa tidak mencapai tingkat kompetensi minimum matematika.
Artinya masih banyak siswa Indonesia kesulitan dalam menghadapi situasi yang membutuhkan
kemampuan pemecahan masalah menggunakan matematika. Di antara kelompok siswa yang
memiliki kompetensi rendah, 43% berada di tingkat 1a; 37% di 1b; 16% di 1c; dan 4% yang
bahkan tidak mencapai tingkat 1c.

2.2.4.3. Siswa-siswa yang memperoleh nilai rendah di bidang sains.

Untuk bidang sains, tingkat kompetensi 1a mengacu pada kemampuan siswa dalam
menggunakan bahan umum dan pengetahuan prosedural untuk mengenali atau membedakan
penjelasan tentang fenomena ilmiah sederhana. Bila didukung bantuan, mereka mampu
mengawali penyelidikan ilmiah menggunakan maksimal dua variabel, misalnya variabel input
dan variabel output. Mereka mampu membedakan hubungan sebab akibat sederhana serta
menafsirkan data grafik dan visual yang hanya membutuhkan kemampuan kognitif tingkat
rendah. Siswa-siswa pada tingkat 1a mampu memilih penjelasan ilmiah terbaik mengenai
data yang tersaji dalam konteks umum (OECD, 2017a).

Di negara-negara OECD, 15,7% siswa memiliki tingkat kompetensi 1a, dan hanya 5,5%
siswa mendapatkan nilai di bawahnya. Di Indonesia, 35% siswa masih berada di kelompok
kompetensi tingkat 1a dan 17% di tingkat lebih rendah.

2.2.5. Kompentensi siswa di dua provinsi bernilai PISA tertinggi di Indonesia

Pada putaran PISA 2018 terdapat dua provinsi di Indonesia yang jadi fokus perhatian, yaitu
Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kedua wilayah ini
merupakan representasi wilayah berkualitas pendidikan baik di Indonesia. DKI Jakarta adalah
ibu kota Indonesia. Sementara DIY dikenal sebagai kota pendidikan dan memperoleh nilai
rata-rata tingkat provinsi yang tertinggi pada ujian nasional 2018/2019.

Gambar 2.13 menunjukkan skor PISA 2018 untuk DKI Jakarta dan DIY yang dibandingkan
dengan perolehan PISA siswa Indonesia secara umum. Hasil tes PISA untuk siswa di DKI dan
DIY relatif sama dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai yang diperoleh siswa di
daerah lain. Secara garis besar, siswa DKI dan DIY memiliki kemampuan bidang membaca,
matematika, dan sains lebih tinggi dibanding dengan rata-rata siswa Indonesia. Rata-rata
perbedaannya adalah 30 poin atau setara dengan satu tahun ajaran pendidikan.

50
Gambar 2.13. Nilai PISA DKI dan DIY dibandingkan dengan Indonesia

Pada bidang membaca, siswa di DKI memperoleh nilai rata-rata 410 dan di DIY 411
(t(186.166)=0,12, p=0,90), lebih tinggi sekitar 40 poin dibandingkan dengan nilai rata-rata
nasional. Dalam tes matematika, siswa di DKI dan DIY masing-masing memperoleh rata-rata
416 dan 422 (t(186.166)=0,55, p=0,58), sementara nilai rata-rata nasional lebih rendah sekitar 30
poin. Selisih 30 poin juga diperoleh dalam tes kompentensi sains. Dalam bidang ini, nilai rata-
rata siswa DIY lebih tinggi 10 poin dibandingkan dengan DKI Jakarta, selisihnya bisa diabaikan
(t(186.166)=1,38, p=0,17).

PISA 2018 juga mengukur kompetensi global siswa Indonesia. Nilai rata-rata kompetensi global
siswa Indonesia adalah 409, sedangkan siswa DKI dan DIY meraih skor 436 dan 441. Dengan t
sebesar 0,69 (df=186.166, p=0,49), kompetensi global siswa DKI dan DIY tidak berbeda.

Profil kompetensi membaca, yang pada PISA 2018 ini jadi bidang utama, terdiri dari lima
subskala, yaitu subskala menemukan informasi (locate information, RCLI), subskala memahami
(understand, RCUN), subskala mengevaluasi dan merefleksikan (evaluate and reflect, RCER),
subskala satuan (single, RTSN), dan subskala berganda (multiple, RTML).

Dalam Gambar 2.14 yang menyajikan perbedaan subskala kemampuan membaca, tampak
bahwa siswa Indonesia mendapat nilai lebih baik dalam subskala RCER dibandingkan dengan
yang diperoleh dalam empat subskala lain. Untuk lima jenis kemampuan ini, siswa di DKI dan
DIY cukup jauh menggungguli siswa-siswa Indonesia pada umumnya.

51
Gambar 2.14. Profil membaca PISA antara Indonesia, DKI, dan DIY

Profil kemampuan membaca siswa DKI dan DIY terlihat identik. Hanya ada selisih tipis dalam
subskala RCER, RCLI, dan RTML.

2.2.6. Kemampuan membaca siswa Indonesia secara internasional

Perolehan nilai siswa Indonesia dalam PISA 2018 lebih rendah dibandingkan dengan nilai
di rata-rata negara OECD, ASEAN, dan sejumlah negara dengan karakteristik menyerupai
Indonesia, seperti Peru dan Brasil.

Tabel 2.4 menujukkan selisih nilai PISA Indonesia terhadap OECD mencapai 115 poin di bidang
membaca, 111 dalam kemampuan matematika, dan 92 poin untuk bidang sains. Dibandingkan
dengan nilai rata-rata ASEAN, nilai PISA Indonesia lebih rendah 42 poin di bidang membaca,
52 dalam matematika, dan 37 poin dalam kemampuan sains. Demikian pula jika dibandingkan
dengan negara-negara berkarakteristik sama, Indonesia hanya lebih baik dibandingkan dengan
Filipina dalam bidang membaca, matematika, dan sains.

52
Tabel 2.4. Gambaran
kemampuan PISA 2018
Indonesia dan negara
pembanding

Khusus untuk siswa di DKI Jakarta dan DIY, dua daerah dengan perolehan nilai terbaik di
Indonesia, perolehan nilai rata-rata PISA lebih baik dibandingkan dengan Peru, Thailand, dan
Filipina, serta tidak berbeda jauh dengan perolehan nilai PISA siswa di Brasil. Dibandingkan
dengan nilai rata-rata ASEAN, nilai PISA DKI dan DIY lebih rendah namun selisihnya tidak besar.

Jika dibandingkan dengan rata-rata negara OECD, rata-rata nilai PISA di DKI dan DIY masih
cukup tertinggal jauh. Di bidang membaca selisihnya sebesar 76 poin dengan DKI Jakarta,
dan 75 poin dengan DIY. Di bidang matematika, DKI lebih rendah 75 poin dan DIY 68 poin. Di
bidang Sains, nilai rata-rata negara OECD lebih tinggi 64 poin dibandingkan dengan DKI dan 54
poin dibandingkan dengan DIY.

2.3. Kesetaraan pendidikan di Indonesia dalam perspektif PISA

Kesetaraan dan keadilan dalam pendidikan mensyaratkan semua anak berkesempatan


mendapatkan pendidikan yang menuntun mereka memperoleh hasil belajar yang efektif
tanpa memandang jenis kelamin, identitas etnis, kekayaan, dan pekerjaan orang tua. Informasi
rinci mengenai latar belakang siswa peserta bermanfaat untuk mengukur inklusi dan keadilan
dalam populasi sampel. Tetapi hasil ini hanya mewakili sebagian gambaran inklusi dan keadilan
dalam pendidikan, yaitu pemerataan di dalam sistem pendidikan. Analisis selengkapnya
membutuhkan informasi tentang pemerataan akses terhadap sistem pendidikan, yaitu
informasi mengenai anak-anak usia 15 tahun yang duduk di bangku kelas 6 ke bawah dan
anak 15 tahun yang tidak bersekolah.

Bagian ini membahas perbedaan kemampuan PISA berdasarkan karakteristik siswa PISA di
Indonesia. Karakteristik siswa adalah ciri yang melekat pada individu siswa tetapi berada
di luar kontrol yang bersangkutan dan tidak berhubungan dengan kemampuan kognitifnya.

53
Karakteristik yang dimaksud di sini adalah jenis kelamin, bahasa percakapan sehari-hari, status
kepemilikan sekolah (negeri atau swasta), lokasi sekolah, dan status sosial ekonomi.

2.3.1. Perbedaan tingkat kompetensi dan nilai tes berdasarkan gender.

Dalam enam putaran PISA (2003–2018), ditinjau dari tingkat yang berhasil dicapai, siswa
perempuan memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan dengan siswa laki-laki dalam
kemampuan membaca. Di bidang ini, proporsi siswa perempuan di tingkat 2 dan di atasnya
lebih besar dibandingkan dengan siswa laki-laki. Tetapi di bidang matematika dan sains,
proporsi siswa berkompetensi minimum atau lebih tinggi relatif sama pada kedua jenis
kelamin.

Dalam bidang membaca, proporsi siswa perempuan dengan kompetensi minimum atau di
atasnya berkisar antara 10% (PISA 2006) hingga 14% (PISA 2018). Sementara pada kelompok
siswa laki-laki, proporsinya antara 7% (PISA 2003) hingga 13% (PISA 2015). Pada PISA 2009
hingga PISA 2015, proporsi siswa perempuan berkompetensi minimum atau lebih tinggi lebih
besar dibandingkan dengan yang berada di bawah tingkat minimum. Sementara untuk siswa
laki-laki, proporsi siswa dengan kemampuan di bawah tingkat minimum selalu lebih besar
dibandingkan dengan yang mencapai tingkat minimum atau melampauinya.

Gambar 2.15. Proporsi siswa PISA Indonesia pada tiap tingkat kompetensi membaca
berdasarkan jenis kelamin

Dalam enam putaran PISA terakhir, pertambahan proporsi siswa berkemampuan membaca
di bawah tingkat minimum lebih besar dibandingkan dengan pertambahan proporsi siswa
dengan kemampuan di tingkat 2 atau di atasnya. Ini berlaku bagi siswa perempuan maupun
laki-laki.

Pada PISA 2003, proporsi siswa perempuan dengan hasil tes bidang membaca di bawah
tingkat 2 sebesar 13%. Pada PISA 2018, proporsinya naik lebih dari 2 kali lipat, menjadi 28%.
Sementara proporsi siswa berkemampuan minimum dan lebih tinggi hanya berbeda 3%, yaitu
10% pada 2003 dan 13% pada 2018.

54
Untuk kategori siswa laki-laki, proporsi siswa berkemampuan minimum atau lebih tinggi juga
naik 3%, dari 7% ke 10%. Sementara proporsi siswa berkemampuan di bawah kompentensi
minimum naik 2 kali lipat, dari 16% menjadi 32%.

Di bidang matematika dan sains, perbandingan antara proporsi siswa perempuan dan laki-laki
yang berkompetensi minimum atau lebih tinggi relatif setara. Begitu pula dengan perbandingan
antara siswa berkompetensi minimum atau lebih tinggi dengan siswa berkemampuan rendah
di masing-masing kelompok jenis kelamin, tidak jauh berbeda dalam setiap putaran PISA.
Hanya dalam 2 putaran PISA terakhir untuk bidang matematika dan 4 putaran PISA terakhir
untuk bidang sains, kompetensi siswa perempuan sedikit mengungguli laki-laki.

Kesimpulan serupa diperoleh jika perbandingan siswa perempuan dan laki-laki ditinjau dari
besarnya nilai yang diperoleh. Ditunjukkan dalam Gambar 2.16, secara signifikan nilai bidang
membaca siswa perempuan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki dalam
setiap putaran PISA. Sementara selisih signifikan nilai kedua kelompok kategori di bidang
matematika terjadi pada PISA 2006, dan di bidang sains pada PISA 2009 dan 2018.

Gambar 2.16. Perbedaan nilai PISA Indonesia berdasarkan jenis kelamin siswa

2.3.2. Kompetensi siswa berdasarkan bahasa tutur sehari-hari

Perbedaan bahasa tutur yang digunakan di rumah dengan bahasa instruksi dalam tes sering
menjadi salah satu hambatan belajar. Di Indonesia, bahasa instruksi merupakan Bahasa
Indonesia, namun 74% siswa yang mengikuti penilaian PISA 2018 menggunakan bahasa tutur
berbeda di rumah.

Proporsi siswa PISA pengguna non-bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari selalu
lebih besar dibandingkan dengan siswa pengguna bahasa Indonesia, dengan perbandingan

55
yang terus meningkat seturut peningkatan angka cakupan populasi PISA. Antara PISA 2015
dan 2018, angka cakupan populasi PISA naik dari 68% menjadi 85%, sementara proporsi siswa
PISA penutur lisan non-bahasa Indonesia naik dari 42% ke 58%.

Jika ditinjau dari nilai tes, tidak terdapat perbedaan signifikan antara siswa pengguna
bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan sehari-hari dengan siswa yang lebih banyak
menggunakan bahasa daerah atau bahasa lainnya. Informasi yang disajikan dalam Gambar
2.17 menunjukkan perbedaan signifikan hanya terjadi dalam kemampuan membaca pada
PISA 2000, 2006, dan 2015.

Gambar 2.17. Perbedaan nilai PISA siswa Indonesia berdasarkan


bahasa percakapan sehari-hari

Meski dari sisi perolehan nilai tidak ada perbedaan signifikan antara dua kelompok ini,
tinjauan dari perbandingan antara siswa berkompetensi minimum atau lebih tinggi dengan
siswa berkemampuan di bawah tingkat 2 pada masing-masng kategori justru menunjukkan
bahwa kompetensi siswa pengguna bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari relatif
lebih homogen, baik dalam bidang membaca, matematika, maupun sains. Perbandingan
di kalangan siswa penutur non-bahasa Indonesia selalu lebih rendah dibandingkan dengan
perbandingan di kalangan siswa pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan di
rumah. Artinya untuk setiap jumlah siswa yang sama pada kedua kategori, persentase siswa
berkompentensi tingkat 2 atau lebih tinggi pada kategori penutur bahasa Indonesia lebih
besar dibanding pengguna non-bahasa Indonesia.

56
Gambar 2.18. Proporsi siswa PISA Indonesia pada tiap tingkat kompetensi berdasarkan
bahasa percakapan sehari-hari

Misalnya pada PISA 2018. Di bidang membaca, perbandingan siswa berkompetensi minimum
atau di atasnya terhadap siswa di bawah tingkat 2 adalah 0,61 untuk kalangan siswa pengguna
bahasa Indonesia sebagai bahasa perkacapan di rumah. Itu berarti ada 61 siswa berkompetensi
minimum atau di atasnya untuk setiap 100 siswa berkompetensi di bawah tingkat 2. Untuk
siswa bukan pengguna bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan, perbandingannya hanya
0,39. Di bidang matematika, perbandingannya adalah 0,54 untuk pengguna bahasa Indonesia
dengan 0,37 untuk yang bukan.

57
2.3.3. Kompetensi PISA siswa Indonesia berdasarkan jenjang pendidikan dan
jenis sekolah

Berdasarkan jenjang pendidikan, adalah lumrah bahwa perolehan nilai PISA siswa di jenjang
pendidikan menengah atas (SMA/sederajat) lebih tinggi dibandingkan dengan siswa di tingkat
sekolah menengah pertama (SMP/sederajat). Gambar 2.19 menunjukkan perbedaan nilai
rata-rata kemampuan membaca yang cukup besar antara siswa di jenjang sekolah menengah
atas (SMA, MA, dan SMK) dengan siswa di jenjang pendidikan menengah pertama (SMP/MTs).

Rata-rata kemampuan membaca siswa di SMA selalu merupakan yang tertinggi, baik
dibandingkan dengan siswa di jenjang pendidikan SMP/MTs, maupun siswa SMK dan MA yang
jenjangnya setara SMA. Rata-rata perbedaan poin kemampuan membaca antara kelompok
siswa SMP/MTs dengan kelompok siswa SMA sekitar 60 poin, atau setara dua tahun ajaran.

Gambar 2.19. Tren kemampuan membaca siswa Indonesia berdasarkan jenjang pendidikan

Gambar 2.19 menceritakan hal menarik tentang perkembangan nilai PISA siswa MTs dan MA.
Pada PISA 2009 dan 2015 terjadi peningkatan tajam nilai rata-rata kemampuan membaca
siswa MA sehingga selisih dengan nilai rata-rata siswa SMA menyempit, dan melampaui rata-
rata nilai siswa SMK pada dua putaran terakhir PISA. Pada PISA 2012 ketika nilai rata-rata jenis
sekolah lain turun, nilai rata-rata PISA siswa MTs justru meningkat hingga berada di atas nilai
rata-rata siswa SMP.

Cara lain untuk menilai perbedaan tingkat kompentensi antar siswa berdasarkan jenjang
pendidikan dan jenis sekolah adalah dengan membandingkan perbandingan antara siswa
berkompetensi minimum dan di atasnya dengan siswa di bawah tingkat 2. Perbandingan
ini tergambarkan dalam Gambar 2.20 yang membandingkan persentasi siswa di tingkat
kompetensi minimum atau lebih tinggi pada tiap kategori jenjang dan jenis pendidikan
terhadap jumlah siswa peserta PISA per kelompok kategori.

58
Sebagaimana dalam Gambar 2.20, persentase siswa SMA peserta PISA yang berada di tingkat
kompetensi minimum atau di atasnya terhadap total siswa SMA peserta PISA selalu lebih
besar dibandingkan dengan persentase pada kategori jenjang pendidikan dan jenis sekolah
lainnya. Pada siswa SMA, jumlah siswa berkompetensi minimum dan di atasnya selalu lebih
besar dari siswa dengan nilai di bawah tingkat 2. Kecuali pada PISA 2018, perbandingannya
selalu lebih besar dari 1,7. Hasil ini bahkan lebih dari 2,5 pada PISA 2009.

Gambar 2.20. Persentase siswa PISA Indonesia menurut tingkat kompetensi membaca pada
setiap jenjang pendidikan dan jenis sekolah

Antara PISA 2003 hingga 2012, urutan kedua tertinggi dalam perbandingan siswa berkompetensi
minimum atau lebih tinggi terhadap siswa di bawah kompetensi minimum berada di kelompok
kategori siswa SMK. Pada 2015 dan 2018, peringkat ini beralih ke MA.

Pada PISA 2018, perbandingan ini menurun pada semua jenjang pendidikan dan jenis sekolah.
Hal ini berarti proporsi terbesar dalam peningkatan angka cakupan populasi PISA 2018 berasal
dari kalangan siswa berkemampuan di bawah tingkat 2.

2.3.4. Ketidaksetaraan sosial ekonomi dalam nilai hasil tes siswa PISA
Indonesia

59
Peningkatan jumlah anak usia 15 tahun di Indonesia yang masuk ke dalam sistem sekolah tidak
berasosiasi dengan status sosial ekonomi siswa. Selama 18 tahun keikutsertaan Indonesia
dalam tes PISA, tampak bahwa siswa berkompetensi rendah dalam bidang membaca, di
bawah tingkat 2, dapat berasal baik dari keluarga berstatus sosial ekonomi kurang mampu
maupun keluarga mampu.

Meski demikian, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.21, kian tinggi status sosial
ekonomi siswa, komposisi tingkat kompentensinya di bidang membaca kian bergeser ke
kanan. Itu berarti, kian tinggi status sosial ekonomi siswa, kian besar proporsi siswa dengan
kompetensi minimum atau di atasnya. Tentu saja hubungan lebih jelas antara status sosial
ekonomi dengan kompetensi siswa lebih kompleks dan butuh alat bantu grafik lain dalam
menjelaskannya.

Kuartil 1 adalah status sosial ekonomi terendah, kuartil 4 tertinggi


Gambar 2.21. Proporsi siswa PISA Indonesia pada tiap tingkat kompetensi berdasarkan
status sosial ekonomi

Pemerataan sistem pendidikan yang berkaitan dengan latar belakang sosial ekonomi siswa
yang berbeda perlu diteliti melalui beragam aspek statistik mengenai hubungan antara nilai
hasil tes PISA siswa dan status sosial ekonominya. Untuk menyederhanakan penjelasannya,
dan oleh karena hubungan ini hampir sama di setiap bidang yang diuji dalam PISA, maka
bagian ini akan fokus pada bidang kemampuan membaca dan indeks status ekonomi, sosial,
dan budaya PISA (lihat kotak 2.2).

Meskipun Gambar 2.21 menunjukkan bahwa kian tinggi status sosial ekonomi, kian besar
perbandingan antara siswa berkompetensi minimum atau lebih tinggi dengan proporsi siswa
di bawah tingkat 2, hubungan antara status sosial ekonomi dengan kemampuan membaca
bersifat nonlinear. Hal ini ditunjukkan dalam Gambar 2.22.

60
Gambar 2.22. Tren hubungan antara sosial ekonomi siswa Indonesia dengan
kemampuan membaca

Dalam Gambar 2.22, garis hubungan antara kemampuan membaca dengan status sosial
ekonomi menunjukkan bahwa secara umum selama tujuh putara PISA, kenaikan satu standar
deviasi status sosial ekonomi berdampak lebih besar terhadap peningkatan kemampuan
membaca pada siswa berstatus sosial ekonomi mampu. Hal ini bisa disebabkan oleh akses
pada pendidikan dan informasi yang lebih besar pada golongan sosial ekonomi tinggi, yang
selanjutnya berdampak pada kemampuan membaca.

Kondisi berbeda hanya terjadi pada PISA 2003, di mana kenaikan satu standar deviasi pada
siswa dalam kelompok sosial ekonomi kurang mampu berdampak maksimal terhadap
peningkatan kemampuan membaca tetapi demikian halnya pada kelompok siswa dengan
latar belakang sosial ekonomi mampu.

Sebagaimana tampak dalam gambar, kemiringan lereng kurva hubungan antara kemampuan
membaca dengan indeks sosial ekonomi tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Pada
PISA 2003, setiap kenaikan satu poin indeks sosial ekonomi terjadi kenaikan 19 poin dalam
kemampuan membaca. Pada PISA 2006 perbandingan antara peningkatan kemampuan
membaca terhadap kenaikan indeks sosial ekonomi sebesar 22, dan terus fluktuatif pada PISA
selanjutnya: 16 pada PISA 2009; 15 pada PISA 2012; 24 pada PISA 2015; dan 19 poin pada PISA
2018.

Demikian pula persentase variasi kemampuan membaca siswa Indonesia yang dapat
dijelaskan oleh status sosial ekonomi cukup fluktutatif. Pada PISA 2003, indeks status sosial
ekonomi dapat menjelaskan 8% variasi kemampuan membaca, meningkat jadi 11% pada PISA
2016, lalu turun lagi jadi 8% pada PISA 2009. Pada PISA 2012 hingga 2018, persentase variasi
kemampuan membaca yang dapat dijelaskan dengan indeks sosial ekonomi masing-masing
7%, 14%, dan 18%.

61
Tiga aspek hubungan antara status sosial ekonomi dan nilai hasil tes yang harus diperhatikan
secara khusus: garis potong, lereng, dan keeratan hubungan. Gambar 2.23 menunjukkan
hubungan antara kemampuan membaca dan indeks sosial ekonomi. Garis potong menunjukkan
kemampuan membaca siswa dalam kelompok sosial ekonomi rata-rata di Indonesia. Garis
tengah menunjukkan hubungan nonlinear antara kemampuan membaca dengan status sosial
ekonomi pada kelompok siswa PISA Indonesia. Garis atas menunjukkan hubungan nonlinear
antara kemampuan membaca 25% siswa bernilai tertinggi dengan status sosial ekonomi.
Sementara kurva paling bawah merupakan representasi hubungan nonlinear antara status
sosial ekonomi dengan kemampuan membaca 25% siswa bernilai terendah.

Gambar 2.23. Hubungan antara kemampuan membaca dengan indeks sosial ekonomi

Seperti disampaikan sebelumnya, pada PISA 2018, kenaikan 1 poin indeks status sosial ekonomi
berdampak pada kenaikan 19 poin kemampuan membaca. Gambar 2.23 juga menunjukkan
bahwa, pertama, kenaikan satu poin indeks sosial ekonomi berasosiasi positif dengan kenaikan
kemampuan membaca pada kelompok siswa yang berada di atas rata-rata indeks sosial ekonomi
Indonesia. Asosiasi ini kian tidak signifikan pada kelompok siswa berstatus sosial ekonomi di
bawah rata-rata indeks sosial ekonomi Indonesia. Pada kelompok berstatus sosial ekonomi
di atas rata-rata Indonesia, peningkatan satu satuan indeks sosial ekonomi berdampak pada
kenaikan rata-rata 30 poin kemampuan membaca. Sementara pada kelompok siswa berstatus
ekonomi di bawah rata-rata Indonesia, kemampuan membaca hanya naik rata-rata 7 poin.
Kedua, hubungan positif ini juga kian signifikan pada pada kelompok siswa bernilai rendah,
dan semakin kurang signifikan pada siswa bernilai tinggi.

Kotak 2.5. Ilustrasi grafik indikator-indikator inklusi dan keadilan sosial


ekonomi
Gambar 2.33 memperlihatkan hubungan antara indeks status ekonomi, sosial, dan
budaya PISA untuk rata-rata negara-negara OECD, dan menyoroti berbagai indikator
inklusi dan keadilan sosial ekonomi yang dicermati dalam bab ini.

62
Gambar 2.24. Status sosial ekonomi siswa dan kemampuan membaca di negara-
negara OECD

Kurva berwarna hitam di bagian tengah menggambarkan nilai rata-rata di berbagai


tingkatan status sosial ekonomi. Dengan membandingkan posisi vertikal kurva di
negara-negara tersebut, mis. pada nilai nol indeks status ekonomi, sosial, dan budaya
PISA (rata-rata internasional), identifikasi perbedaan dalam nilai kemungkinan
dapat dilakukan setelah memasukkan faktor status sosial ekonomi siswa; hasil yang
didapatkan adalah indikator inklusi.

Lereng kurva ini menunjukkan seberapa jauhkah jarak nilai rata-rata siswa yang status
sosial ekonominya lebih tinggi di atas siswa yang status sosial ekonominya lebih rendah.
Oleh karena itu, lereng menunjukkan sejauh mana ketidaksetaraan yang disebabkan
oleh status sosial ekonomi. Lereng yang curam menunjukkan ketidaksetaraan yang
besar, sementara lereng yang landai menunjukkan ketidaksetaraan yang lebih kecil.
Lereng kurva ini dapat berubah di sepanjang kontinum status sosial ekonomi untuk
menunjukkan bahwa tingkatan status sosial ekonomi tertentu lebih berkaitan erat
dengan perbedaan nilai dibandingkan dengan faktor lainnya. Namun di bagian ini,
kita hanya akan menitikberatkan pada lereng rata-rata sebagai indikator pemerataan.

Kurva biru di atas dan di bawah kurva hitam sebaliknya menggambarkan area yang
berisi proporsi 50% siswa dengan nilai paling mendekati rata-rata untuk tingkatan
status sosial ekonomi apa saja: kurva-kurva tersebut berkaitan dengan kuartil
tertinggi dan kuartil terendah nilai untuk berbagai tingkatan status sosial ekonomi.
Satu indikator penting pemerataan berkaitan erat dengan lereng hubungan rata-rata
dan jarak antara kedua garis kurva tersebut: pada kurva yang bersangkutan, semakin
dekat dua garis biru yang satu dengan yang lainnya, semakin erat hubungan antara

63
status sosial ekonomi dan nilai. Secara teknis, keeratan hubungan diukur dengan
proporsi variasi dalam nilai yang dijelaskandalam status indeks ekonomi, sosial,
dan budaya PISA. Bila hubungan antara latar belakang sosial dan nilai lemah, maka
faktor-faktor selain status sosial ekonomi kemungkinan memiliki pengaruh lebih
besar terhadap nilai hasil tes siswa. Sebaliknya, bila hubungan tersebut erat, maka
status sosial ekonomi merupakan penentu besar bagi nilai hasil tes yang dapat diraih
oleh siswa dalam satu sistem.

Sejalan dengan berubah-ubahnya lereng pada level status sosial ekonomi berbeda,
maka berubah pula jarak antara kuartil atas dan bawah. Bila kurva di atas memiliki
lereng yang lebih curam daripada kurva di bawah, maka hal ini dapat menandakan
bahwa kekurangmampuan sosial ekonomi utamanya berlaku sebagai batasan
maksimum perolehan nilai siswa, namun kemampuan sosial ekonomi bukanlah
jaminan siswa tidak akan memperoleh nilai rendah. Bilamana, sebaliknya, kurva di
atas lebih landai daripada kurva di bawah, dan variasi hasil semakin berkurang sejalan
dengan status sosial ekonomi, hal ini dapat menandakan bahwa kemampuan sosial
ekonomi utamanya berlaku sebagai jaminan siswa tidak mendapatkan nilai buruk
(tergantung rata-rata negara), namun ada proporsi signifikan siswa kurang mampu
dapat mencapai level tinggi meskipun latar belakang mereka kurang mampu.

2.3.5. Tren tingkat segregasi dan variasi kemampuan antarsekolah di Indonesia


berdasarkan status sosial ekonomi siswa

Tingkat segregasi sekolah adalah perbandingan keberagaman status sosial ekonomi sekolah
dengan tingkat sosial ekonomi siswa. Persentase tingkat segregasi yang rendah menunjukkan
besarnya perbedaan sosial ekonomi antarsekolah (between) dibandingkan dengan perbedaan
sosial ekonomi antarsiswa di dalam sekolah (intrasekolah, within). Sebaliknya persentase
tingkat segregasi yang tinggi menunjukkan perbedaan sosial ekonomi antarsekolah relatif
rendah dibandingkan dengan perbedaan sosial ekonomi antarsiswa dalam sekolah.

Gambar 2.25 menunjukkan perkembangan tingkat segregasi sekolah di Indonesia dalam 18


tahun terakhir. Pada PISA 2000, tingkat segregasi sekolah di Indonesia sebesar 22%. Angka
persentase tingkat regregrasi terus naik hingga mencapai 45% pada PISA 2015, untuk kemudian
turun lagi hingga menjadi 39% pada 2018. Meski terjadi penurunan tingkat segregasi dalam 3
PISA terakhir, boleh dikatakan saat ini sekolah-sekolah di Indonesia relatif lebih setara dalam
status sosial ekonomi dibandingkan dengan kondisi 12 tahun lalu.

64
Gambar 2.25. Tingkat segregasi sekolah berdasarkan status sosial ekonomi siswa

Memastikan standar tinggi secara konsisten di semua sekolah merupakan tantangan sulit bagi
sistem sekolah manapun. Perbedaan prestasi antarsekolah bisa disebabkan oleh perbedaan
komposisi sosial ekonomi siswa di masing-masing sekolah atau perbedaan lain dalam
latar belakang siswa, seperti tempat tinggal, budaya, atau latar belakang etnis. Kian lebar
kesenjangan antarsiswa kian berat tantangan sekolah untuk memastikan kesempatan yang
sama bagi para siswanya dalam meraih sukses.

Ada pula kesenjangan yang berkaitan dengan desain sistem sekolah dan kebijakan pendidikan
di tingkat sistem, misalnya perbedaan besar-kecilnya otonomi yang diberikan kepada sekolah;
kebijakan yang menekankan kompetisi yang semakin besar bagi siswa di tiap sekolah; dan
pilihan sekolah yang kian banyak (Hsieh & Urquiola, 2006; Söderström & Uusitalo, 2010;
Willms, 2010).

Gambar 2.26 menunjukkan variasi kemampuan membaca siswa Indonesia antarsekolah


(between) dan intersekolah (within). Gambar tersebut menunjukkan bahwa variasi nilai
membaca siswa Indonesia berfluktuasi dalam tujuh kali putaran PISA dan variasi nilai
terbesar terjadi pada PISA 2018. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa variansi nilai
kemampuan membaca antarsekolah (between) relatif sama besar dengan variansi kemampuan
membaca antarsiswa dalam satu sekolah (intrasekolah/within).

65
Gambar 2.26. Variasi kemampuan membaca siswa Indonesia antarsekolah dan intrasekolah

Ketika faktor sosial ekonomi menjadi pertimbangan dalam melihat variasi kemampuan
membaca siswa Indonesia, proporsi variasi kemampuan membaca dalam sekolah membesar
dan proporsi kemampuan membaca antarsekolah mengecil.

Gambar 2.27. Variasi kemampuan membaca siswa Indonesia antarsekolah dan intrasekolah
dengan kemampuan sosial ekonomi

Gambar 2.27 menunjukkan proporsi variasi kemampuan membaca siswa Indonesia


antarsekolah dan intrasekolah dengan mengontrol status sosial ekonomi. Dari Gambar
2.36 dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi berperan besar mempengaruhi tinggi
rendahnya variasi kemampuan membaca siswa Indonesia.

66
Jadi tidak mengejutkan bila jalur utama keterkaitan kekurangmampuan sosial ekonomi terhadap
prestasi siswa terjadi melalui keterkaitan tingkat sekolah. Di dalam tiap sekolah, kemampuan
atau kekurangmampuan sosial ekonomi hanya memiliki sedikit keterkaitan dengan nilai. Hal
ini memberikan implikasi penting dalam cara mengarahkan target pada sumber daya untuk
dapat memperbaiki pemerataan di dalam sistem. Adalah lebih baik pemberian kompensasi
terhadap kekurangmampuan sosial ekonomi diberikan kepada sekolah dibandingkan dengan
kepada siswa. Indonesia masih dapat mencapai kecocokan antara pemberian dan kebutuhan
(penargetan yang baik) seraya menghindari beberapa persoalan (seperti stigma, kecilnya
penyerapan, dan biaya administrasi) yang biasanya berkaitan dengan kebijakan yang lebih
bersifat pribadi.

2.3.6. Variasi nilai hasil tes antara sekolah di wilayah kota dan desa serta antara
sekolah negeri dan swasta

Dalam setiap putaran PISA, jumlah siswa sekolah negeri yang masuk populasi PISA selalu lebih
banyak dibandingkan dengan sekolah swasta. Selisih proporsi dua kategori ini terhadap total
anak usia 15 tahun fluktuatif antara 7% (PISA 2018) hingga 20% (PISA 2006).

Nilai PISA siswa sekolah negeri di bidang membaca selalu lebih tinggi dibandingkan dengan
siswa sekolah swasta. Meski demikian, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.28, perbedaan
nilai ini kian menyempit dan menjadi tidak signifikan sejak PISA 2012.

Gambar 2.28. Perbedaan nilai PISA siswa Indonesia berdasarkan bahasa status kepemilikan
sekolah

Pada setiap putaran PISA, perbandingan di sekolah negeri, antara siswa berkompetensi
minimum atau di atasnya dengan siswa di bawah kompetensi minimum selalu lebih besar
dibandingkan dengan perbandingan di sekolah swasta. Hal ini ditunjukkan dalam gambar
2.29. Tampak bahwa pada PISA 2018 tidak terlalu besar perbedaan rasio siswa berkompetensi
minimum dan lebih tinggi terhadap siswa bernilai di bawah level 2 antara siswa sekolah negeri
dan sekolah swasta.

67
Gambar 2.29. Persentase siswa PISA Indonesia menurut tingkat kompetensi membaca pada
setiap jenjang pendidikan dan jenis sekolah

Perbedaan antarsekolah yang teramati di Indonesia juga mencerminkan terbelahnya sekolah-


sekolah di wilayah kota dan desa. Data survei rumah tangga dari negara-negara berpenghasilan
menengah ke bawah terus menunjukkan bahwa anak-anak dari wilayah pedesaan secara
signifikan lebih kecil kemungkinan melanjutkan dari sekolah dasar ke sekolah menengah dan
dari sekolah menengah pertama ke sekolah menengah atas, serta lebih besar kemungkinan
untuk terlambat dalam proses kenaikan (UNESCO, 2015). Oleh karena itu, kesempatan untuk
turut serta dalam pendidikan di berbagai wilayah tetap tidak terdistribusi secara merata,
bergantung dengan lokasi siswa. Kotak 2.4. menjelaskan bagaimana PISA mendefinisikan
sekolah-sekolah kota dan desa.

Perolehan nilai PISA siswa-siswa yang bersekolah di kota besar fluktuatif tetapi selalu lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa di kawasan lain, kecuali pada PISA 2018. Pada PISA 2018,
rata-rata kemampuan siswa yang bersekolah di kota besar turun tajam, menjadi lebih rendah
30 poin dibandingkan dengan nilai rata-rata siswa di ibu kota provinsi. Hal ini berkaitan
dengan peningkatan jumlah anak usia 15 tahun yang masuk ke dalam sistem sekolah. Diduga,
sebagian besar siswa berkemampuan rendah yang baru memasuki sistem pendidikan berada
di kota besar.

Tampak dalam Gambar 2.30, tren kemampuan membaca siswa yang bersekolah di pedesaan
konsisten lebih rendah dibandingkan dengan siswa di kawasan lain. Sementara kemampuan
kelompok siswa di ibu kota provinsi cenderung stabil, tidak dipengaruhi peningkatan angka
cakupan populasi PISA. Perbedaan kemampuan membaca antara kelompok siswa yang
bersekolah di ibu kota provinsi dengan kelompok siswa di daerah pedesaan sekitar 60 poin
atau setara dengan dua tahun kalender pendidikan.

68
Gambar 2.30. Tren kemampuan membaca siswa Indonesia berdasarkan lokasi sekolah

Bab 4 dan 5 akan menjelaskan lebih rinci tentang bagaimana perbedaan lingkungan belajar
dan sumber daya sekolah di wilayah kota dan desa; bagian ini memberikan laporan mengenai
perbedaan dalam hasil belajar yang diamati di berbagai wilayah di Indonesia.

Kotak 2.4. Bagaimana PISA mendefinisikan sekolah kota dan desa


PISA mengumpulkan informasi mengenai ciri siswa yang bersekolah di kota melalui
dua cara. Pertama, semua negara yang ikut serta dalam PISA memasukkan hal ini
dalam variabel stratifikasi untuk mengumpulkan sampel sekolah. Hal ini memastikan
bahwa sampel-sampel sekolah tak hanya mewakili negara secara keseluruhan, namun
juga untuk dapat memisahkan sekolah-sekolah di wilayah desa dan kota di negara
yang bersangkutan. Tiap negara mendefinisikan wilayah desa dan kota berdasarkan
kriteria nasional masing-masing, untuk Indonesia, wilayah pedesaan (rural) adalah
wilayah dengan populasi kurang dari 100 ribu jiwa dan wilayah perkotaan (urban)
adalah wilayah dengan populasi lebih dari 100 ribu jiwa. Selain itu, PISA juga bertanya
kepada para kepala sekolah, mana dari definisi seperti di bawah ini yang paling
menggambarkan masyarakat tempat sekolah mereka berada:

• Dusun, pedukuhan, atau wilayah pedesaan (kurang dari 3.000 jiwa)


• Kelurahan/desa (3.000 hingga sekitar 15.000 jiwa)
• Kecamatan (15.000 hingga sekitar 100.000 jiwa)

69
• Kabupaten/Kota (100.000 hingga sekitar 1.000.000 jiwa)
• Kota besar/ibukota provinsi (dengan lebih dari 1.000.000 jiwa)

Sekolah berada di wilayah pedesaan ketika kepala sekolah menyatakan dalam


jawabannya “dusun, pedukuhan, atau wilayah pedesaan”, ”Kelurahan/desa”, dan
”Kecamatan” untuk pertanyaan tersebut. Sementara sekolah berada di wilayah
perkotaan ketika kepala sekolah menjawab “kabupaten/kota” atau “kota besar/
ibukota provinsi”.

2.3.7. Kesimpulan variabel yang mempengaruhi kompetensi membaca siswa


PISA Indonesia

Tabel 2.5 adalah model regresi linear dengan memasukkan variabel indeks sosial ekonomi,
jenis kelamin, bahasa sehari-hari, status sekolah, jenjang pendidikan, dan lokasi sekolah
sebagai variabel dependen dan bekerja secara bersamaan menjelaskan kemampuan membaca
siswa Indonesia pada PISA 2018. Terlihat bahwa variabel indeks sosial ekonomi berasosiasi
positif dengan kemampuan membaca siswa Indonesia, semakin tinggi indeks sosial ekonomi,
semakin tinggi pula kemampuan membaca siswa.

Tabel 2.5. Variabel karakteristik siswa yang mempengaruhi kemampuan membaca siswa
Indonesia

70
2.3.8. Kemampuan siswa yang mengenyam pendidikan sedini mungkin
Belajar membaca sedini mungkin merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap
perkembangan kemampuan membaca pada jenjang pendidikan lebih tinggi. Hal ini terbukti
oleh perbedaan kemampuan membaca antara siswa PISA Indonesia yang pernah belajar di
Taman Kanak-Kanak (TK) dan yang tidak.

Gambar 2.31 menunjukkan perbedaan kemampuan membaca antara siswa yang pernah
belajar di TK dan tidak pernah dalam empat putaran PISA terakhir. Pada PISA 2009 hingga
2015, perbedaan kompentensi membaca antara siswa yang pernah belajar di TK dengan yang
tidak pernah mencapai lebih dari 30 poin.

Sekolah TK (% siswa) Tidak Sekolah TK (% siswa)


Catatan:
Jumlah persentase siswa tidak 100% karena ada missing data

Gambar 2.31. Perbedaan kemampuan membaca antara siswa yang pernah mengenyam
pendidikan TK dan tidak

Pada PISA 2018, proporsi siswa PISA yang pernah belajar di TK naik tajam dari 53-55% pada
3 putaran PISA sebelumnya menjadi 8%. Seharusnya hal ini mendorong pula peningkatan
dalam nilai kemampuan membaca. Kenyataan bahwa nilai kemampuan membaca pada PISA
2018 justru turun bisa menjadi indikator turunnya kualitas pendidikan Taman Kanak-Kanak di
Indonesia.

71
2.3.9. Perbandingan tingkat kesetaraan Indonesia secara internasional
Secara internasional, kemampuan membaca siswa perempuan selalu lebih tinggi dibandingkan
dengan siswa laki-laki. Gambar 2.32 menyajikan informasi perbandingan kemampuan
membaca antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan di negara OECD, kawasan Asia
Tenggara, Indonesia, dan negara-negara yang memiliki karakteristik menyerupai Indonesia.

Gambar 2.32. Perbandingan kemampuan membaca berdasarkan jenis kelamin secara


internasional

Dari gambar terlihat bahwa perbedaan paling tipis antara kemampuan siswa laki-laki dan
perempuan yang ada di Peru, sekitar 11 poin. Kesenjangan tertinggi terjadi di Filipina, sebesar
27 poin. Selisih antara nilai rata-rata kompetensi membaca siswa perempuan dan siswa laki-
laki di negara-negara OECD sebesar 30, dan di kawasan ASEAN sebesar 28 poin.

Gambar 2.33 memperlihatkan perbedaan kondisi di Indonesia dan sejumlah negara


berkarakteristik serupa Indonesia dalam hal variasi nilai siswa di bidang membaca antarsekolah
dan intrasekolah. Panjang total batang menggambarkan variasi total di Indonesia sebagai
proporsi tingkat rata-rata variasi nilai di negara-negara OECD. Bagian batang yang berwarna
biru gelap menunjukkan persentase perbedaan antarsekolah (between) dan bagian berwarna
biru terang menunjukkan persentase varian intrasekolah (within) pada negara masing-masing.

72
Variasi dalam-sekolah Variasi antar-sekolah

Catatan:
Total varian adalah rata-rata negara OECD
Rata-rata negara ASEAN tanpa mengikutsertakan Vietnam dalam penghitungan

Sumber: 1st_PISA2018IR_Vol2_Ch4Segregation_Fig.Xlsx(TableII.Read_VarBetWith)

Gambar 2.33. Variasi kemampuan membaca siswa Indonesia dibandingkan dengan


beberapa negara peserta PISA

Pada gambar terlihat bahwa variasi antarsekolah dan intersekolah di Indonesia relatif lebih
kecil dibandingkan dengan kondisi di negara-negara berkarakteristik serupa, bahkan lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata OECD dan ASEAN. Hal ini menujukkan bahwa kemampuan
membaca siswa Indonesia relatif homogen, baik di dalam satu sekolah, maupun antarsekolah.

2.4. Perkembangan, capaian, kemampuan, dan kesetaraan dalam pendidikan


di Indonesia

Sebagaimana disebutkan di bagian awal bab ini, saat sekolah dan siswa yang akan mengikuti
tes PISA dipilih, tidak semua anak usia 15 tahun di Indonesia dicakup dalam daftar pemilihan
peserta. Selain harus berusia 15 tahun dan terdaftar di sekolah saat tes diselenggarakan,
peserta juga duduk di bangku kelas 7 atau di atasnya.

Kita telah melihat di bagian awal bab ini bahwa Indeks Cakupan 3 PISA (OECD, 2017a), diperoleh
melalui pembagian jumlah siswa yang diwakili oleh sampel PISA dengan jumlah total anak
usia 15 tahun yang diperkirakan berdasarkan proyeksi demografi. Cakupan Indonesia pada
PISA 2018 sebesar 85%, naik dari hanya 39% pada PISA 2000. Hal ini menunjukkan kesuksesan
Indonesia dalam meningkatkan akses anak usia 15 tahun terhadap pendidikan formal.

Telah pula dibahas tentang pengulangan kelas di Indonesia. Selama 4 putaran terakhir
penyelenggaran PISA, persentase siswa mengulang kelas di Indonesia mencapai 15–18% dari

73
total populasi PISA Indonesia. Siswa yang memiliki karakter tertentu, seperti jenis kelamin
laki-laki, duduk di bangku SMP, sering membolos dan terlambat masuk sekolah, berasal dari
latar belakang sosial ekonpomi kurang mampu, dan memiliki indeks rasa-memiliki sekolah
yang rendah, berisiko lebih besar untuk mengulang kelas. Kemampuan membaca siswa
yang mengulang kelas lebih rendah 60 poin dibandingkan dengan siswa yang tidak pernah
mengalami pengulangan kelas.

Pembahasan dalam bab ini juga menghasilkan kesimpulan bahwa kompetensi siswa Indonesia
tidak bergerak sebanding dengan peningkatan akses terhadap pendidikan. Pada PISA 2000,
cakupan populasi PISA hanya 39% dari jumlah total anak usia 15 tahun di Indonesia. Saat
itu nilai rata-rata kemampuan membaca sebesar 436, dan sekitar 27% anak usia 15 tahun di
Indonesia berada di bawah kompetensi minimum PISA. Pada 2018, angka cakupan populasi
PISA mencapai 85%, namun proporsi anak dengan kemampuan di bawah kompentensi
minimum PISA mencapai 60% dan nilai rata-rata kemampuan membaca sebesar 371.

Dapat disimpulkan pula adanya perbedaan kualitas pendidikan yang cukup besar antara
wilayah di Indonesia. Pada PISA 2018, nilai rata-rata kemampuan membaca siswa PISA di
DKI Jakarta dan Yogyakarta sekitar 411. Sementara nilai rata-rata Indonesia hanya mencapai
371, lebih rendah 80 poin dibandingkan dengan nilai rata-rata negara OECD. Ketidaksetaraan
dalam kualitas pendidikan juga terjadi antara sekolah yang terletak di pedesaan dan sekolah-
sekolah di kota, terutama di ibu kota provinsi dan kota-kota besar.

Selama 18 tahun penyelenggaraan PISA, Indonesia berhasil meningkatkan kesetaraan sosial


ekonomi di tingkat sekolah. Peningkatan dalam indeks sosial ekonomi berasosiasi positif
dengan kenaikan kemampuan membaca pada kelompok siswa yang berada di atas rata-rata
indeks sosial ekonomi Indonesia.

Kesimpulan penting lain adalah pendidikan Taman Kanak-Kanak berpengaruh positif terhadap
kemampuan membaca. Penurunan kualitas pendidikan Taman Kanak-Kanak berdampak pada
menurunnya kemampuan membaca siswa PISA.

74
DAFTAR PUSTAKA
Allen, C., Q. Chen,V. Willson, & J. Hughes (2009), “Quality of Research Design Moderates
Effects of Grade Retention on Achievement: A Meta-Analytic, Multitingkat
Analysis”, Educational Evaluation and Policy Analysis, Vol. 31/4, pp. 480–499,
doi:10.3102/0162373709352239
Belfield, C. & H. Levin (2007), The price we pay: economic and sosial consequences of
inadequate education, Brookings Institution Press.
Finn, J. (1989), “Withdrawing From School”, Review of Educational Research, Vol. 59/2,
pp. 117–142, doi:10.3102/00346543059002117.
Gottfredson, D., C. Fink, & N. Graham (1994), “Grade Retention and Problem
Behavior”, American Educational Research Journal, Vol. 31/4, pp. 761–784,
doi:10.3102/00028312031004761.
Hsieh, C.-T. & M. Urquiola (2006), “The effects of generalized school choice on achievement
and stratification: Evidence from Chile’s voucher program”, Journal of Public
Economics, Vol. 90/8–9, pp. 1477–1503, doi:10.1016/j.jpubeco.2005.11.002.
Jacob, B. & L. Lefgren (2004), “Remedial Education and Student Achievement: A
Regression-Discontinuity Analysis”, Review of Economics and Statistics, Vol. 86/1,
pp. 226–244, doi:10.1162/003465304323023778
Jimerson, S. (2001). “Meta-analysis of grade retention research: Implications for practice
in the 21st century”, School psychology review,
http://search.proquest.com/openview/83f3300ef82a658dae4bbf41d346dcbc/1?
(accessed on 8 August 2017).
Lochner, L. (2011), “Nonproduction Benefits of Education: Crime, Health and Good
Citizenship”, In Hanushek, E., S. Machin & L. Woessmann (Eds.), Handbook of the
Economics of Education (Volume 4), pp. 183–282, North Holland, doi:10.1016/
B978-0-444-53444-6.00002-X
Machin, S., O. Marie & S. Vujić (2011), “The Crime Reducing Effect of Education”,
The Economic Journal, Vol 121/552, pp. 463-484, doi:10.1111/j.1468-
0297.2011.02430.x.
Manacorda, M. (2012). “The Cost of Grade Retention”, Review of Economics and
Statistics, Vol. 94/2, pp. 596-606, doi:10.1162/REST_a_00165.
OECD (2011), When Students Repeat Grades or Are Transferred Out of School: What
Does it Mean for Education Systems?, In PISA in Focus, Vol. 2011, OECD Publishing,
Paris, doi:https://dx.doi.org/10.1787/5k9h362n5z45-en.
OECD (2013), PISA 2012 Results: What Makes Schools Successful (Volume IV): Resources,
Policies and Practices, In PISA, OECD Publishing, Paris, doi:https://dx.doi.

75
org/10.1787/9789264201156-en.
OECD (2016a), PISA 2015 Results (Volume I): Excellence and Equity in Education, In PISA,
OECD Publishing, Paris, doi:https://dx.doi.org/10.1787/9789264266490-en.
OECD (2016b), PISA 2015 Results (Volume II): Policies and Practices for Successful
Schools, OECD Publishing, doi:10.1787/9789264267510-en.
OECD (2017a), PISA 2015 Assessment and Analytical Framework: Science, Reading,
Mathematic, Financial Literacy and Collaborative Problem Solving, In PISA, OECD
Publishing, Paris, doi:http://dx.doi.org/10.1787/9789264281820-en.
OECD (2017a), PISA 2015 Technical Report, http://www.oecd.org/pisa/data/2015-
technical-report/ (accessed on 31 July 2017).
OECD (2019), PISA 2015 Assessment and Analytical Framework. In PISA, OECD Publishing,
Paris, https://doi.org/10.1787/b25efab8-en.
Söderström, M. & R. Uusitalo (2010), “School Choice and Segregation: Evidence from
an Admission Reform”, Scandinavian Journal of Economics, Vol. 112/1, pp. 55–76,
doi:10.1111/j.1467-9442.2009.01594.x.
UNESCO (2015), Education for All 2000-2015: Achievements and Challenges (accessed
on 20 December 2017).
Willms, J. D. (2010), “School Composition and Contextual Effects on Student Outcomes”,
Teachers College Record, Vol. 112/4, pp. 1008–1037.

76
BAB 3
Kesejahteraan, Sikap, dan Aspirasi
Pada Anak Usia 15 Tahun
di Indonesia

Bab 3 membahas variasi kesejahteraan, persepsi kepuasan hidup keseluruhan,


sikap terhadap sekolah dan belajar, serta aspirasi siswa di Indonesia dan di antara
negara-negara peserta, di antara sub-kelompok siswa di Indonesia, dan berdasarkan
karakteristik sekolah. Bab ini juga mengkaji hubungan antara kesejahteraan,
kepuasan hidup, sikap, dan aspirasi siswa dengan prestasi di sekolah. Bab ini
mengidentifikasi prestasi populasi rentan yang hasil kesejahteraannya kurang
baik, dengan sikap dan aspirasi yang rendah untuk tiap hasil pengukuran serta
merangkum hubungan antara hal-hal tersebut dengan hasil prestasi akademik
dan pencapaian tingkat pendidikan yang dibahas pada Bab 2.

Kesejahteraan dan sikap belajar Dari skala 0 – 10, tingkat kepuasan lebih dari ¾ siswa Indonesia sering
siswa di Indonesia lebih erat hidup siswa Indonesia pada angka merasakan emosi positif seperti
berkaitan dengan faktor-faktor 7,5. Dimana lebih dari ¾ siswa ceria, gembira, bangga, penuh
individu siswa dibandingkan Indonesia menyatakan puas dengan semangat, dan bahagia. Akan
dengan faktor sekolah. Hal ini hidup mereka (nilai di atas 7 dari tetapi, lebih dari setengah siswa
dibuktikan dengan persentase skala 10), akan tetapi terdapat Indonesia sering merasakan emosi
variasi antar siswa dalam satu setidaknya 12% siswa Indonesia yang negatif seperti sedih, khawatir, dan
sekolah yang sangat besar merasa tidak puas dengan hidupnya cemas.
dibandingkan dengan variasi (nilai dibawah 4 dari skala 10).
antar sekolah.

77
Dalam tiga putaran PISA terakhir, Berkaitan dengan emosi negatif Kelompok siswa perkotaan dan
siswa Indonesia memiliki sikap dan positif, kelompok siswa SMA SMA cenderung memiliki kepuasan
yang lebih positif terhadap cenderung jarang merasakan emosi hidup dan kebermaknaan hidup
belajar. Hal tersebut ditunjukkan positif (ceria, gembira, bangga, yang rendah dibandingkan dengan
dengan meningkatnya sikap penuh semangat, bahagia) dan lebih teman-temannya yang lain.
positif terhadap belajar dari sering merasakan emosi negatif Sebaliknya kelompok siswa MA
sekitar 60% di pada putaran PISA (sedih, khawatir, sengsara, dan cenderung memiliki nilai kepuasan
2012 menjadi sekitar 90% pada cemas) dibandingkan dengan rata- hidup dan kebermaknaan hidup
putaran PISA 2018. rata siswa lainnya. Sebaliknya, siswa yang tinggi dibandingkan dengan
laki-laki dan siswa SMK cenderung teman-temannya yang lain.
sering merasakan emosi positif dan
jarang mengalami emosi negatif
dibandingkan dengan rata-rata
temannya.

Sikap terhadap belajar kelompok Kepuasan hidup berasosiasi negatif Sebagian besar siswa PISA
siswa MTs cenderung lebih dengan kemampuan membaca. Indonesia ingin melanjutkan
rendah dibandingkan dengan Kebermaknaan hidup berasosiasi ke jenjang pendidikan sarjana
teman-temannya yang lain, positif dengan siswa berkemampuan dan magister. Akan tetapi,
sedangkan kelompok siswa membaca rendah, dan berasosiai pada tingkat sosial/ekonomi
berbahasa daerah cenderung negatif dengan siswa berkemampuan yang sama, kelompok siswa
memiliki sikap yang positif membaca tinggi. yang ingin bersekolah sampai
dibandingkan dengan siswa magister memiliki kemampuan
Indonesia lainnya. membaca rendah, sekitar 1
tahun ajaran di bawah rata-rata
Indonesia dan siswa yang ingin
melanjutkan hingga sarjana
memiliki kemampuan membaca
2 tahun ajaran dibawah rata-rata
Indonesia.

Bab ini memusatkan pembahasan pada kesejahteraan psikologis siswa usia 15 tahun di
Indonesia serta hubungan dimensi-dimensi kesejahteraan ini dengan prestasi akademik
dan pencapaian tingkat pendidikan sebagai indikator kesejahteraan kognitif dan prediktor
kesejahteraan material di masa mendatang. Masing-masing dimensi kesejahteraan memiliki
hasil sendiri-sendiri, namun juga dapat diperhitungkan sebagai kondisi penentu pada dimensi
lainnya, dan pada akhirnya menjadi faktor penentu kualitas hidup siswa secara keseluruhan.

Semua indikator kesejahteraan di dalam bab ini berdasarkan kuesioner yang diisi sendiri
oleh siswa. PISA 2018 memberi kesempatan kepada para remaja untuk mengungkapkan diri
sebagai seorang individu dengan menanyakan perasaan dan pemikiran mereka mengenai

78
kehidupan dan sekolah. Ini isyarat bahwa meski investasi untuk masa depan anak-anak dan
remaja merupakan hal sangat penting (demikian juga investasi pendidikan bagi mereka),
namun ada hal yang tak kalah penting, yaitu perhatian kepada kesejahteraan mereka saat ini
dan upaya mendorong perkembangan yang sehat “saat ini juga”.

Pada tahap kehidupan kapan saja, faktanya, kesejahteraan merupakan kondisi dinamis.
Karena itu, penilaian mengenai kesejahteraan harus sensitif pada kondisi saat ini serta
prestasi (“kemampuan”) dan kebebasan (“daya”) mereka untuk meraih apa yang bernilai di
dalam kehidupan mereka (Sen, 1999). Kesejahteraan saat ini merupakan hasil kumulatif dari
berbagai faktor yang berpengaruh dalam perjalanan hidup mereka selama ini.

PISA 2018 secara khusus memasukkan evaluasi (subjektif) kepuasan hidup secara keseluruhan
pada remaja. Selain itu, oleh karena fokusnya pada pendidikan dan orientasinya kepada
kebijakan, PISA 2018 menyoroti aspek-aspek kesejahteraan psikologis yang lebih erat
kaitannya dengan pengalaman-pengalaman di sekolah. Kesejahteraan emosi siswa ditangkap
melalui pertanyaan-pertanyaan yang berfokus pada ketakutan akan kegagalan. Sementara
rasa keterikatan siswa terhadap sekolah secara khusus ditandai oleh sikap mereka terhadap
sekolah dan belajar, misalnya, “belajar tekun di sekolah akan membantuku mendapatkan
pekerjaan yang baik”. Hasil pengukuran kesejahteraan psikologis dan penghargaan PISA 2018
terhadap sekolah dijelaskan secara rinci dalam Kotak 3.1.

Pada usia 15 tahun, remaja menghabiskan sebagian besar hidupnya di ruang kelas: mengikuti
pelajaran, bersosialisasi dengan teman sekolah, serta berinteraksi dengan guru dan pegawai
sekolah lainnya. Karena itu kejadian-kejadian di sekolah menjadi penting untuk dapat
memahami apakah siswa bahagia dengan kondisi kesehatan mental mereka, seberapa bahagia
dan puas mereka dengan berbagai aspek kehidupan, serta sikap mereka terhadap sekolah dan
belajar, sekaligus aspirasi mereka untuk masa depan.

Kesejahteraan pada usia 15 tahun, sikap terhadap sekolah dan belajar, serta aspirasi
mereka merupakan hasil gabungan dari beberapa faktor yang berpengaruh selama masa
perjalanan hidup mereka. Faktor-faktor itu meliputi faktor genetik dan faktor masa kecil
yang berpengaruh terhadap perkembangan fisik dan kognitif; aktor kesejahteraan masa lalu
yang berpengaruh terhadap kondisi masa sekarang; keterpaparan terhadap lingkungan yang
mendorong perkembangan yang sehat; dan akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan di
dalam keluarga, masyarakat, dan di sekolah.

Bab ini menyoroti sebagian keterkaitan antara hasil kesejahteraan dengan faktor kondisi
sekolah saat ini serta faktor lain yang terkait pendidikan tanpa mengesampingkan faktor-
faktor penting lain yang turut membentuk kesejahteraan, sikap, dan aspirasi siswa usia 15
tahun.

79
Kotak 3.1. Bagaimanakah PISA 2018 mengukur kesejahteraan
PISA 2018 menyediakan seperangkat indikator kesejahteraan remaja yang meliputi
evaluasi subjektif kepuasan hidup, pengalaman berupa kejadian dan emosi negatif
(misalnya, kecemasan) maupun sikap positif dan kesadaran akan pentingnya tujuan
hidup yang mendorong perkembangan yang sehat. Sebagian besar data PISA 2018
tentang kesejahteraan bersumber pada jawaban siswa itu sendiri, oleh karena itu
siswa remaja memiliki kesempatan untuk dapat mengemukakan perasaan mereka,
pendapat mereka tentang kehidupan mereka sendiri, serta tentang sekolah dan
belajar.

Kesejahteraan psikologis
Dasar pengukuran utama kesejahteraan psikologis adalah skala kepuasan hidup
secara umum. Kuesioner PISA 2018 meminta kepada siswa [dan orang muda yang
tidak bersekolah] untuk menilai hidup mereka pada skala dari 0 hingga 10, dengan
0 berarti kemungkinan hidup yang paling buruk, dan 10 berarti kemungkinan hidup
yang paling baik. Pengukuran yang sama juga digunakan dalam PISA 2015. Serupa
dengan laporan PISA 2015 (OECD, 2017), dalam bab ini, siswa yang menjawab dengan
nilai antara 0 hingga 4 pada skala kepuasan hidup berarti “tidak puas dengan hidup”
(dan rentan), siswa yang menjawab dengan nilai 5 atau 6 berarti “cukup puas”, siswa
yang menjawab dengan nilai 7 atau 8 berarti “puas”, dan siswa yang menjawab
dengan nilai 9 atau 10 berarti “sangat puas”.

Selain itu, kuesioner PISA 2018 juga mencakup pertanyaan mengenai pengalaman
berupa kondisi afektif positif dan negatif. Pengukuran ini dijabarkan dengan lebih
rinci di awal bab ini. Pengukuran menurut jawaban siswa dari kuesioner yang diisi
siswa sendiri tentang kepuasan hidup merupakan indikator kesejahteraan subjektif
yang lebih stabil daripada jawaban mengenai kondisi afektif positif atau negatif
(Gilman et al., 2008).
`

Tidak seperti Bab 2, bab ini hanya mencakup sejumlah kecil perbandingan Indonesia dengan
negara-negara peserta lainnya, dan menitikberatkan pada perbedaan-perbedaan di Indonesia
(misalnya, antara siswa laki-laki dan siswa perempuan) dan pada hubungan antara hasil
pengukuran-pengukuran tersebut dengan hasil prestasi akademik dan pencapaian tingkat
pendidikan yang dibahas pada bab sebelumnya. Tidak adanya perbandingan pengukuran
antar negara terkait dengan sifat subjektif skala jawaban dan ketidakpastian yang dihasilkan
dalam validitas perbandingan (Lihat kotak 3.2.).

80
Kotak 3.2. Dapatkah kesejahteraan subjektif diperbandingkan antar
negara-negara peserta lainnya?
Menafsirkan data PISA 2018 mengenai kesejahteraan dan sikap terhadap sekolah
dan belajar membutuhkan kehati-hatian. Meskipun proses dalam mengembangkan,
menerjemahkan, mengadaptasi, dan memilih pertanyaan untuk dimasukkan di
dalam kuesioner, dan selanjutnya menganalisis jawaban para siswa telah mengikuti
proses yang cermat, namun perbandingan secara penuh di negara-negara peserta
dan subpopulasinya tidak dapat dijamin hasilnya.

Kuesioner PISA menggunakan jawaban yang diisi sendiri oleh para siswa untuk
memperoleh ukuran kesejahteraan dan sikap terhadap sekolah dan belajar. Jawaban
yang diisi sendiri oleh siswa ini bersifat informatif dan banyak kegunaannya, namun
rentan oleh tiga kemungkinan jenis bias berikut: selera sosial, yakni kecenderungan
untuk memberikan jawaban yang hanya dapat diterima dalam konteks sosial dan
budayanya sendiri (Edwards, 1953); bias kelompok acuan, yakni pengaruh kelompok
perbandingan implisit yang diketahui oleh responden hanya ketika menjawab nilai
yang skalanya subjektif; dan bias gaya jawaban, seperti kecenderungan menggunakan,
atau menghindari jawaban-jawaban ekstrem. Bias-bias ini berpengaruh secara
berbeda dalam konteks budaya yang berbeda, oleh karena itu dapat menghambat
keterbandingan jawaban antar negara (van Hemert, Poortinga & van de Vijver, 2007).
Selain itu, saat membandingkan jawaban-jawaban yang berasal dari bahasa-bahasa
yang berlainan, perbedaan kecil di dalam nuansa hasil terjemahan dapat menambah
ketidakpastian di dalam perbandingan tersebut; ketidakpastian semacam ini sulit,
khususnya saat digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan batasan hasil
yang diukur hanya dengan satu atau beberapa pertanyaan saja, sebagaimana
dijelaskan di dalam laporan teknis yang akan diterbitkan kemudian.

Perbandingan secara nasional di dalam suatu negara atau antar negara peserta juga
dipengaruhi oleh nilai jawaban, yang mungkin berbeda antar kelompok responden
satu dengan kelompok lainnya. Agar distribusi perolehan nilai tes di dalam populasi
dapat terwakili sepenuhnya, PISA 2018 menggunakan penyesuaian jawaban
kosong/nonrespons dan memasukkan nilai imputasi (yaitu nilai yang diestimasi
dari sebuah model, berdasarkan informasi yang diketahui mengenai responden)
untuk estimasi kemahiran membaca, matematika, dan sains; meski demikian hasil
menurut jawaban siswa sendiri dari pengukuran kuesioner ini tetap dipengaruhi oleh
nonrespons, misalnya bila siswa yang mendapatkan nilai rendah merasa kesulitan
mengisi kuesioner. Proporsi nonrespons keseluruhan di Indonesia akibat nonrespons
dalam kuesioner siswa sekitar 9% untuk kepuasan hidup, dan 5% untuk indeks sikap
terhadap sekolah – hasil penghargaan terhadap sekolah. `

81
3.1. Kesejahteraan dan sikap belajar pada siswa 15 tahun Indonesia

3.1.1. Kesejahteraan pada siswa 15 tahun di Indonesia

Bagian ini menganalisis level kesejahteraan berdasarkan jawaban siswa-siswa usia 15 tahun.
Gambar 3.1 memperlihatkan rangkuman kepuasan hidup siswa 15 tahun di Indonesia. Sebesar
39% siswa usia 15 tahun menyatakan merasa sangat puas terhadap hidupnya. sementara yang
menyatakan kurang puas sebesar 8%. Rata-rata kepuasan hidup siswa Indonesia berada pada
level 7,5 dalam rentang skala 0 sampai 10.

Catatan:
Missing data 9%

Gambar 3.1. Kepuasan hidup menurut jawaban siswa usia 15 tahun

Pemikiran mengenai hubungan antara pendidikan dan kualitas kehidupan siswa selama ini
menitikberatkan masalah emosi anak-anak yang kemungkinan menampakkan wujudnya
di sekolah. Remaja biasanya berisiko mengalami gangguan psikologis karena masa remaja
merupakan masa terjadinya gejolak emosi yang tinggi (Gilman and Huebner, 2003). Gangguan
psikologis yang paling umum adalah perasaan dan emosi positif maupun negatif. Penyebab
munculnya perasaan dan emosi tersebut seringkali kompleks, namun anak dan remaja usia
sekolah sering mengutarakan sejumlah contoh sumber stres mereka di sekolah, antara lain
semakin tingginya tuntutan akademik yang diterima oleh remaja selama perjalanan mereka
dalam menaiki tiap jenjang sekolah, tekanan untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi, dan
kekhawatiran mendapatkan nilai jelek.

82
PISA 2018 meminta siswa untuk menjawab seberapa sering (tidak pernah, jarang, kadang-
kadang, dan selalu) mereka mengalami sejumlah perasaan positif dan negatif. Perasaan positif
meliputi bahagia, penuh semangat, bangga, bergembira, dan ceria. Sementara yang termasuk
di dalam perasaan negatif adalah cemas, sengsara, khawatir, dan sedih. Dua skala dengan
rentang 0 – 10 dibuat berdasarkan jawaban siswa mengenai perasaan, satu untuk emosi positif
dan yang lain untuk emosi negatif. Nilai 10 pada skala emosi positif mengindikasikan jawaban
selalu untuk semua pertanyaan mengenai emosi positif. Sebaliknya pada skala emosi negatif,
nilai negatif 10 mengindikasikan jawaban tidak pernah untuk semua pertanyaan mengenai
emosi negatif.

Gambar 3.2 memperlihatkan persentase frekuensi siswa Indonesia mengalami emosi positif
dan negatif di sekolah. Sekitar 60% siswa di Indonesia menyatakan sering merasa cemas, 26%
sering merasa sengsara, 59% sering merasa khawatir, dan 53% sering merasa sedih. Kelompok
siswa yang menyatakan sering adalah kelompok siswa yang menjawab kadang-kadang atau
selalu dalam kategori kepuasan hidup.

Gambar 3.2. Gambaran emosi positif dan negatif pada siswa Indonesia di survei PISA 2018

Siswa dikategorikan merasa kurang puas terhadap hidupnya jika menjawab tidak puas atau
agak puas dalam kuesioner. Sekitar 33% siswa yang sering merasa sedih juga merasa kurang
puas terhadap hidupnya. Sementara pada kelompok siswa yang sering merasa khawatir,

83
sengsara, atau cemas, jumlah siswa yang merasa kurang puas terhadap hidupnya masing-
masing sebanyak 32%, 14%, dan 33%.

Pada ranah emosi positif, persentase siswa yang menyatakan sering merasakan emosi positif
untuk tiap-tiap jenis emosi positif adalah 88% bahagia, 88% penuh semangat, 82% bangga,
88% gembira, dan 89% ceria. Sekitar 47% siswa yang menyatakan sering merasa ceria juga
merasakan kepuasan dalam hidup. Tidak berbeda jauh dengan itu persentase di kalangan
siswa yang sering merasa gembira (47%), bangga (44%), penuh semangat (47%), dan bahagia
(36%). Jika respon siswa dikonversi ke dalam skala 0 hingga 10, rata-rata skala emosi positif
siswa Indonesia usia 15 tahun adalah 8, dan skala emosi negatif adalah 5.

Hubungan antara emosi positif dengan kepuasan hidup cenderung positif (r=0,28,
n=10,641,p<0,00). Demikian pula hubungan antara emosi negatif dengan kepuasan hidup
(r=0,12, n=10,689,p<0,00). Artinya siswa dengan tingkat kepuasan hidup tinggi cenderung
sering mengalami emosi positif dan jarang mengalami emosi negatif. Sebaliknya, siswa dengan
kepuasan hidup rendah cenderung jarang merasakan emosi positif tetapi sering merasakan
emosi negatif.

Hubungan antara perasaan dan nilai kepuasan hidup yang rendah menunjukkan bahwa
kesejahteraan subjektif siswa dipengaruhi oleh kesehatan mental dan masalah perilaku,
yang di dalamnya terdiri dari sejumlah komponen terkait sekolah. Pendekatan sekolah yang
sasarannya hanya mengatasi kesehatan mental dan masalah perilaku diduga tidak cukup
mampu memberikan perhatian terhadap penciptaan kondisi agar anak-anak dan remaja bisa
berkembang dengan baik. Membantu siswa menemukan kepuasan lebih besar atas hidupnya
berdampak lebih efektif dalam mendukung perkembangan psikologis, sosial, dan kognitif
siswa dibandingkan dengan hanya melakukan tindakan saat siswa menunjukkan perilaku yang
berkaitan dengan ketidakpuasan atas kehidupan (Suldo and Huebner, 2006).

Gambar 3.3 menunjukkan karakteristik siswa Indonesia berdasarkan emosi positif dan negatif.
Pada bagian ini, karakteristik siswa yang jadi fokus perhatian adalah jenis kelamin (laki-laki
atau perempuan), status sekolah (negeri atau swasta), bahasa sehari-hari (bahasa nasional
atau bahasa daerah), lokasi sekolah (desa atau kota), jenjang pendidikan (SMP, MTs, SMA,
MA, atau SMK), dan kelompok sosial ekonomi (kelompok 25% terendah dalam status sosial
ekonomi Indonesia, 50% di tengah, dan 25% tertinggi). Dalam kategorisasi berdasarkan lokasi,
sekolah pedesaan adalah yang terletak di wilayah dengan jumlah populasi di bawah 15 ribu
jiwa.

84
y axis : Emosi negatif

Gambar 3.3. Karakteristik siswa Indonesia berdasarkan emosi positif dan negatif

Berdasarkan gambar 3.3, terlihat bahwa kelompok siswa laki-laki dan siswa Siswa Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) cenderung lebih sering merasakan emosi positif dan jarang
mengalami emosi negatif. Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) cenderung lebih jarang
mengalami emosi positif tetapi lebih sering mengalami emosi negatif.

Terkait dengan status sosial ekonomi, siswa berlatar belakang sosial ekonomi rendah (25%
terendah) cenderung lebih jarang mengalami perasaan positif tetapi lebih sering mengalami
emosi negatif. Sebaliknya, siswa dalam kelompok sosial ekonomi tinggi (25% tertinggi)
cenderung sering mengalami emosi positif sekaligus emosi negatif.

PISA 2018 memperlihatkan bahwa kepuasan hidup dan kebermaknaan hidup memiliki
hubungan positif, dengan nilai korelasi r= 0,17 (p<0,01). Indeks kebermaknaan hidup di
sini merupakan konversi konversi nilai pada skala 0–10 dari indeks kebermaknaan hidup
(eudaimonia), disingkat indeks EUDMO. Indeks ini dibuat berdasarkan tiga pertanyaan pada
kuesioner PISA 2018: apakah siswa mempunyai arti atau tujuan hidup yang jelas; apakah siswa
telah menemukan makna yang baik dalam hidup; dan apakah siswa sudah mengerti apa yang
memberi makna dalam hidup. Nilai 0 mencerminkan jawaban sangat tidak setuju dan nilai 10
mencerminkan jawaban sangat setuju atas semua pertanyaan tersebut.

85
y axis : Kebermaknaan hidup

Gambar 3.4. Karakter siswa Indonesia berdasarkan kepuasan hidup dan kebermaknaan
hidup

Gambar 3.4 menunjukkan bahwa siswa Madrasah Aliyah (MA) cenderung memiliki kepuasan
hidup dan kebermaknaan hidup tinggi. Sebaliknya siswa SMA dan siswa di perkotaan
cenderung memiliki nilai kepuasan hidup dan kebermaknaan hidup rendah. Sementara siswa
SMK cenderung memiliki nilai kepuasan hidup tinggi dan nilai kebermaknaan hidup rendah.

3.1.2. Sikap terhadap belajar di sekolah pada siswa 15 tahun di Indonesia

Sekolah merupakan pusat kehidupan sehari-hari bagi banyak orang muda di Indonesia. Siswa
berprestasi sering memandang sekolah sebagai hal mendasar bagi kesejahteraan mereka di
masa depan. Sikap ini tercerminkan dalam partisipasi mereka mengejar prestasi akademik.

PISA 2018 mengukur keyakinan siswa mengenai faedah sekolah dan belajar. Kuesioner PISA
2018 meliputi pertanyaan mengenai dua hal. Pertanyaan pertama mengenai tujuan mereka
belajar dan bersekolah, misalnya apakah belajar dan bersekolah membantu mereka masuk
ke perguruan tinggi favorit. Kedua, pertanyaan mengenai sikap mereka terhadap belajar di
sekolah, misalnya apakah aktivitas belajar di sekolah merupakan hal yang penting.

Mayoritas siswa Indonesia yang mengikuti tes PISA 2018 berpandangan positif terhadap
pentingnya aktivitas belajar di sekolah. Hal ini dinyatakan dalam Gambar 3.5 yang menunjukkan
persentase siswa yang menjawab setuju atas tiga pernyataan terkait sikap terhadap belajar

86
di sekolah. Mayoritas siswa menjawab setuju atau sangat setuju atas pernyataan-pernyataan
yang diajukan. Sekitar 90% siswa setuju bahwa belajar tekun di sekolah akan membantu
mereka mendapatkan pekerjaan yang baik; 89% siswa setuju bahwa belajar tekun akan
membantu mereka masuk perguruan tinggi favorit; dan 88% siswa setuju bahwa belajar tekun
di sekolah merupakan hal penting. Persentase siswa yang menyatakan sikap positif terhadap

Persentase siswa yang setuju atau sangat setuju dengan pernyataan-pernyataan


berikut

Gambar 3.5. Tren sikap terhadap sekolah dan belajar pada usia 15 tahun

belajar di sekolah meningkat pesat dibandingkan dengan persentanse pada PISA 2012. Saat
itu hanya sekitar 60% siswa PISA Indonesia yang setuju terhadap ketiga pernyataan tadi.

Jawaban siswa terhadap pertanyaan mengenai sikap mereka terhadap belajar di sekolah juga
digunakan untuk membuat indeks ATTLNACT (Attitude toward learning Activities), indeks
mengenai sikap siswa terhadap faedah sekolah. Skala indeks dibuat tetap. Nilai 0 diberikan
kepada jawaban sangat tidak setuju terhadap seluruh pernyataan. Sebaliknya nilai 10 diberikan
kepada jawaban sangat setuju terhadap seluruh pernyataan, yang menandakan sikap paling
positif terhadap belajar di sekolah. Siswa Indonesia memiliki sikap belajar di sekolah yang
positif, dengan nilai rata-rata skala sekitar 7,6.

Berdasarkan karakteristik siswa, ada hubungan yang cenderung positif antara tingkat sosial
ekonomi siswa dengan sikap terhadap belajar di sekolah (r=0,1, N= 11.934, p<0,01). Artinya
siswa yang memiliki sikap cenderung positif terhadap belajar, cenderung berlatar belakang
sosial ekonomi tinggi.

87
Siswa perempuan memiliki sikap belajar lebih positif dibandingkan dengan siswa laki-laki
(t(11.490,700)=5,2, p<0,01); siswa sekolah negeri cenderung memiliki sikap belajar lebih positif
dibandingkan dengan siswa sekolah swasta (t(10.715)=2,4, p<0,05); dan siswa SMA/sederajat
cenderung memiliki sikap belajar lebih positif dibandingkan dengan siswa SMP/sederajat
(t(11.542)=4,9, p<0,01). Sementara berdasarkan lokasi sekolah (di kota atau desa), bahasa tutur
(bahasa Indonesia atau bahasa daerah), dan tipe pendidikan (program umum atau madrasah),
tidak terdapat perbedaan signifikan dalam sikap terhadap belajar di sekolah.

3.1.3. Perbandingan kepuasan hidup dan sikap terhadap belajar secara


internasional

Perbandingan internasional menggunakan data negara-negara peserta yang lebih luas


cakupannya dapat dilakukan berdasarkan item kepuasan hidup dan sikap siswa terhadap
sekolah dan belajar. Membandingkan level rata-rata kesejahteraan subjektif di negara-negara
peserta memang sulit. Variasi dalam jawaban siswa mengenai kepuasan hidup di negara-
negara peserta dapat dipengaruhi oleh penafsiran kultural atas apa yang dimaksud dengan
kehidupan bahagia, dan oleh perbedaan mengintegrasikan pengalaman hidup ke dalam
pandangan mengenai kepuasan hidup (Diener, Oishi & Lucas, 2003; Park, Peterson & Ruch,
2009; Proctor, Alex Linley & Maltby, 2009).

Sejumlah riset mencatat perbedaan kultural tentang bagaimana orang membayangkan


“kebahagiaan”, konstruksi kata yang cukup erat hubungannya dengan kepuasan hidup. Di
sebagian bahasa, antara lain Mandarin, Estonia, Prancis, Jerman, Jepang, Korea, Norwegia, dan
Rusia, kebahagiaan berkaitan erat dengan keberuntungan. Pada bahasa lainnya, seperti Italia,
Portugis, dan Spanyol, definisi kebahagiaan menitikberatkan realisasi keinginan, harapan, dan
tujuan seseorang (Oishi, 2010). Perbedaan dalam pemaparan oleh siswa sendiri juga memiliki
peran penting. Di sebagian budaya, contohnya, tidak baik mengatakan diri sendiri bahagia, hal
yang sebaliknya sangat didukung dalam kebudayaan lain.

Karena itu, perbandingan yang paling dapat ditafsirkan adalah antara negara peserta yang
memiliki bahasa dan budaya yang relatif sama. Gambar 3.6 menunjukkan perbandingan
kepuasan hidup antara siswa di Indonesia dengan beberapa negara peserta PISA. Dibandingkan
dengan siswa di Thailand, rata-rata kepuasan hidup siswa PISA Indonesia relatif lebih rendah.
Tetapi rata-rata kepuasan hidup siswa Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
di negara the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan the
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Rata-rata kepuasan hidup siswa di negara-
negara OECD dan ASEAN adalah 7, lebih rendah 0,5 poin dibandingkan dengan Indonesia.

88
Persentase siswa, berdasarkan
level kepuasan hidup

Catatan:
1. Siswa menilai tingkat kepuasan hidup pada skala 0 hingga 10
2. 100% pada diagram balok ini adalah total siswa yang menjawab item kepuasan hidup
3. Rata-rata ASEAN tidak menyertakan Vietnam dan Singapura dalam penghitungan

Sumber: Database PISA 2018


Gambar 3.6. Kepuasan hidup pada siswa usia 15 tahun

Gambar 3.7 menunjukkan perbandingan indeks sikap terhadap belajar di sekolah secara
internasional. Nilai 0 pada gambar mengacu pada rata-rata nilai indeks sikap terhadap belajar
di sekolah negara-negara OECD. Brasil, Indonesia, dan Peru memiliki indeks relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata negara OECD dan rata-rata negara ASEAN. Sedangkan Filipina
dan Thailand memiliki nilai indeks lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara OECD
dan ASEAN. Adapun rata-rata nilai indeks sikap terhadap belajar di sekolah di negara-negara
ASEAN relatif lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara OECD.

89
Catatan:
1. Nilai indek 0 adalah rata-rata negara OECD
2. Rata-rata ASEAN tidak menyertakan Vietnam dan Singapura dalam penghitungan

Sumber: Database PISA 2018


Gambar 3.7. Perbandingan indeks sikap terhadap belajar di sekolah secara internasional

3.2. Perbedaan kesejahteraan dan sikap terhadap belajar pada siswa 15


tahun di Indonesia

Kesejahteraan dan sikap siswa terhadap sekolah dapat dipengaruhi oleh guru, teman sekolah,
dan atmosfer di sekolah; juga oleh orang tua dan masyarakat setempat, serta oleh berbagai
perbedaan individu dan faktor-faktor lingkungan yang turut membentuk perkembangan anak-
anak dan remaja selama perjalanan hidup mereka. Bagian ini menganalisis variasi kesejahteraan
siswa di Indonesia menurut jawaban siswa sendiri, yang secara khusus memperhatikan
ketidaksetaraan yang terkait faktor-faktor demografi dan sosial ekonomi. Bagian berikutnya
menganalisis peran sekolah dalam membentuk kesejahteraan siswa dan sikapnya.

3.2.1. Perbedaan gender dalam kesejahteraan siswa dan sikap dalam belajar

Pada orang dewasa, gender tidak memiliki peran utama dalam membentuk penilaian seseorang
mengenai hidup mereka sendiri (OECD, 2013). Sebaliknya PISA 2018 memperlihatkan perbedaan
signifikan dalam kesejahteraan psikologis antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Siswa

90
perempuan berkecenderungan lebih besar untuk memiliki tingkat kepuasan hidup lebih
rendah dibandingkan dengan siswa laki-laki. Meski demikian, siswa perempuan cenderung
bersikap lebih positif terhadap sekolah daripada siswa laki-laki.

Jawaban siswa perempuan dan laki-laki di Indonesia tentang kepuasan hidup berada pada
level yang hampir sama. Hal ini berbeda dengan yang ditemukan di mayoritas negara peserta
PISA. Data PISA 2018 menunjukkan bahwa siswa laki-laki dan perempuan di Indonesia
cenderung memiliki pengalaman emosi positif dan negatif yang sama. Rata-rata indeks emosi
positif siswa laki-laki dan perempuan adalah 8,1, dan nilai indeks emosi negatif untuk siswa
laki-laki dan perempuan sekitar 4,9.

Gambar 3.8 menunjukkan proporsi kepuasan hidup siswa Indonesia berdasarkan jenis
kelamin. Tampak bahwa siswa laki-laki yang sangat puas dengan hidupnya sebesar 42%,
sementara siswa perempuan 36%. Ini menunjukkan bahwa siswa laki-laki cenderung memiliki
nilai kepuasan hidup lebih tinggi dibandingkan dengan siswa perempuan.

Sumber: Database PISA 2018


Gambar 3.8. Proporsi kepuasan hidup siswa Indonesia berdasarkan gender

Gambar 3.9 menunjukkan sikap terhadap belajar di sekolah berdasarkan karakteristik siswa
Indonesia. Gambar ini menunjukkan bahwa secara umum kelompok-kelompok karakteristik
siswa Indonesia memiliki sikap positif terhadap belajar di sekolah. Pada setiap pengelompokan
karakterisitik, kelompok kategori yang memiliki kecenderungan lebih besar dalam sikap positif
terhadap belajar di sekolah adalah: siswa perempuan (dibandingkan dengan siswa laki-laki),
siswa sekolah swasta (dibandingkan dengan sekolah negeri), siswa penutur bahasa daerah
(dibandingkan dengan siswa berbahasa Indonesia), siswa SMP dan MA (dibandingkan dengan

91
tiga jenjang dan jenis lain), siswa berstatus sosial ekonomi kurang mampu dan menengah
(dibandingkan dengan siswa berstatus sosial ekonomi mampu).

Persentase siswa yang setuju atau sangat setuju dengan pernyataan-pernyataan


berikut

Gambar 3.9. Sikap terhadap belajar di sekolah berdasarkan karakteristik siswa


Indonesia

Tabel 3.1 menunjukkan perbandingan persentase kepuasan hidup dan indeks kebermaknaan
hidup berdasarkan karakteristik siswa secara internasional. Secara internasional, 72% siswa
laki-laki dari negara-negara OECD melaporkan tidak puas dalam hidupnya dan hanya 14%
yang melaporkan sangat puas. Sedangkan untuk siswa perempuan, sebanyak 61% melaporkan
tidak puas dalam hidupnya dan 19% melaporkan puas. Sebagai catatan, laporan internasional
PISA dari OECD menggunakan persentase valid, dengan 100% adalah siswa yang menjawab

92
pertanyaan pada item yang bersangkutan. Sedangkan laporan ini secara umum menggunakan
aktual, dengan 100% adalah total subjek dalam survei PISA.

Nilai lebih rendah ditemukan di negara-negara ASEAN. Di kawasan ini, 65% siswa laki-laki
menyatakan tidak puas dalam hidupnya dan 15% melaporkan puas. Sedangkan pada siswa
perempuan, yang menyatakan puas dalam hidupnya sebanyak 64% dan yang tidak puas 13%.
Dalam laporan internasional, 72% siswa laki-laki dan 69% siswa perempuan menyatakan tidak
puas dalam hidupnya. Sementara 13% siswa laki-laki dan 13% siswa perempuan menyatakan
puas.

Dalam indeks kebermaknaan hidup–nilai 0 pada indeks adalah rata-rata negara OECD
dengan rentang nilai berkisar -3 hingga 3 –nilai rendah mengindikasikan kecenderungan
ketidaksetujuan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai kebermaknaan hidup.

Berdasarkan indeks kebermaknaan hidup, siswa laki-laki di negara-negara OECD lebih


cenderung merasa memiliki hidup bermakna dibandingkan dengan siswa perempuan. Rata-
rata nilai kebermaknaan hidup siswa laki-laki adalah 0,1 dan nilai kebermaknaan hidup siswa
perempuan adalah -0,1. Pada negara ASEAN, nilai kebermaknaan hidup antara siswa laki-laki
dan perempuan relatif tidak berbeda, yaitu sekitar 0,3 poin.

Berdasarkan laporan Internasional untuk PISA 2018, nilai indeks kebermaknaan hidup siswa
Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata OECD dan ASEAN. Nilai indeks siswa laki-
laki Indonesia 0,6, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan siswa perempuan yang sebesar
0,5.

Tabel 3.1. Perbandingan persentase kepuasan hidup dan indeks kebermaknaan


hidup berdasarkan karateristik siswa secara internasional

3.2.2. Perbedaan sosial ekonomi dalam kesejahteraan siswa dan sikap dalam
belajar

Di semua negara peserta PISA 2015 atau PISA 2018, tidak tampak keterkaitan antara kepuasan
hidup remaja dan PDB per kapita atau ukuran pertumbuhan ekonomi lainnya. Temuan ini
berbeda dengan konteks pada orang dewasa yang cenderung menjawab kepuasan hidup lebih

93
besar jika hidup di negara berpendapatan tinggi (Deaton, 2008; Helliwell, Layard & Sachs,
2018).

Negara-negara yang siswanya memberikan jawaban level kepuasan hidup tertinggi dalam
tes PISA nyatanya tidak selalu berasal dari negara yang orang dewasanya paling merasa puas
atas hidup mereka. Di negara-negara yang memiliki data, korelasi antara kepuasan hidup
siswa (diukur dalam PISA) dan kepuasan hidup orang dewasa (diukur dalam survei Gallup)
hanya 0,2 (OECD, 2017, Tabel III.3.12). Hal ini mungkin menandakan bahwa kelompok usia 15
tahun mengadopsi kelompok acuan berbeda dan memiliki prioritas kebutuhan berbeda saat
merumuskan evaluasi subjektif mereka tentang kepuasan hidup, dibandingkan dengan orang
dewasa.

Meskipun tidak ditemukan keterkaitan nyata antara kepuasan hidup remaja dengan PDB per
kapita, status sosial ekonomi individu siswa tetap berpengaruh terhadap kepuasan hidup.
Perbedaan antara kepuasan hidup dan kaitannya dengan status sosial ekonomi tampak nyata
di mayoritas peserta PISA.

Berdasarkan tabel 3.1 tampak bahwa di negara-negara OECD, 14% siswa di kelompok 25%
teratas indeks sosial ekonomi atau disebut indeks ESCS (Economic, Social and Cultural Status)
internasional dan 19% siswa di kelompok 25% terendah indeks sosial ekonomi internasional
menyatakan puas atas hidup mereka. Sebaliknya, 71% dan 63% siswa di dua kelompok kategori
ini menyatakan tidak puas.

Di negara-negara ASEAN, 12% siswa kelompok 25% teratas indeks sosial ekonomi internasional
dan 16% siswa kelompok 25% terendah indeks sosial ekonomi internasional menyatakan puas
atas hidup mereka. Sementara siswa yang menyatakan tidak puas di dua kelompok kategori
ini ada 67% dan 62%.

Berdasarkan laporan internasional PISA 2018, 71% siswa Indonesia dari latar belakang status
sosial ekonomi internasional 25% terbawah menyatakan tidak puas atas hidupnya, sementara
14% menyatakan puas. Pada dua kelompok ini, siswa yang menyatakan tidak puas 72% dan
12%.

Dalam hal Indeks kebermaknaan hidup, siswa Indonesia berdasarkan kelompok sosial ekonomi
berada di atas rata-rata negara OECD dan negara-negara ASEAN. Indeks kebermaknaan hidup
untuk kelompok 25% terbawah indeks sosial ekonomi internasional di Indonesia adalah 0,6,
sementara pada kelompok 25% teratas indeks sosial ekonomi internasional, nilai indeksnya
0,5.

3.2.3. Perbedaan lokasi sekolah dalam kesejahteraan siswa dan sikap dalam
belajar
Secara internasional, dalam skala 10, nilai rata-rata kepuasan hidup siswa yang bersekolah
di pedesaan adalah 7,5 dan di perkotaan 7,3. Dalam hal kebermaknaan hidup, tidak ada

94
perbedaan nilai rata-rata antara siswa yang bersekolah di desa dan kota. Indeks kebermaknaan
hidup di kedua kategori ini adalah 6,9.

Tabel 3.2 menyajikan perbandingan indeks kepuasan hidup dan indeks kebermaknaan hidup
siswa di Indonesia dan sejumlah negara lain, serta nilai rata-rata negara OECD dan ASEAN.
Tampak bahwa kepuasan hidup siswa Indonesia secara umum dan pada setiap kategori lokasi
sekolah lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata OECD dan ASEAN, dan hanya lebih rendah
dibandingkan dengan Thailand.

Tabel 3.2. Perbandingan kepuasan hidup dan kebermaknaan hidup Berdasarkan


lokasi sekolah secara internasional

Dalam indeks kebermaknaan hidup, nilai rata-rata Indonesia merupakan yang tertinggi
dibandingkan dengan negara-negara dan kawasan pembanding. Demikian pula dalam kategori
menurut lokasi sekolah, Indonesia selalu merupakan yang tertinggi kecuali untuk sekolah
di kawasan pedesaan. Di kawasan pedesaan, indeks kebermaknaan hidup siswa Indonesia
berada di urutan kedua, di bawah Peru.

3.2.4. Variasi nilai kesejahteraan siswa dan sikap siswa terhadap belajar
antarsekolah dan intrasekolah

Seluruh hasil yang diukur oleh PISA 2018 merupakan hasil kumulatif dari berbagai pengaruh
selama perjalanan hidup siswa. Peran perbedaan individu sejak lahir, serta pengaruh orang tua,
masyarakat setempat, dan teman sekolah terhadap perkembangan anak tidak bisa dianggap
sepele. Karena itu, meski sekolah memiliki tanggung jawab primer dalam perolehan nilai siswa
di bidang membaca, matematika, dan sains, dan dalam membantu siswa mengembangkan
sikap positif terhadap sekolah dan belajar, banyak institusi lain berperan peran jauh lebih
besar dalam menciptakan kondisi anak-anak yang selalu sehat dan bahagia.

95
Gambar 3.10. Variasi kesejahteraan siswa Indonesia antarsekolah dan intrasekolah

Gambar 3.10 menunjukkan perbandingan antara variasi nilai intrasekolah dan antarsekolah
dalam kesejahteraan siswa (emosi negatif, emosi positif, kebermaknaan hidup, dan kepuasan
hidup) dan sikap-sikap siswa terhadap belajar dan sekolah. Panjang batang keseluruhan
dalam grafik sama dengan 100%, yang merepresentasikan total variasi nilai. Bagian abu-abu
menunjukkan proporsi variasi nilai antarsekolah, dan bagian biru menunjukkan variasi nilai
siswa intrasekolah.

Panjangnya bagian batang berwarna biru, jauh lebih panjang dibandingkan dengan bagian
warga abu-abu menunjukkan perbedaan besar dalam hal emosi positif, sikap terhadap belajar,
kebermaknaan hidup, dan kepuasan hidup antara siswa dalam satu sekolah (intrasekolah).
Sebaliknya variasi antarsekolah jauh lebih kecil atau cenderung homogen. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa emosi positif, sikap terhadap belajar, kebermaknaan hidup, dan
kepuasan hidup lebih ditentukan oleh faktor-faktor individual dibandingkan dengan faktor
yang terkait sekolah.

3.2.5. Hubungan kemampuan PISA dengan kesejahteraan dan sikap terhadap


belajar

Mengevaluasi hubungan antara kemampuan PISA dengan nilai kepuasan hidup, kebermaknaan
hidup, dan sikap terhadap belajar membantu mendapatkan gambar lebih utuh mengenai
kemampuan PISA. Hubungan antara faktor-faktor kesejahteraan dan sikap terhadap belajar
dengan kompetensi siswa PISA Indonesia yang disajikan dalam Gambar 3.11 menunjukkan
bahwa variabel kepuasan hidup memiliki asosiasi negatif dengan kemampuan PISA, variabel
kebermaknaan hidup cenderung memiliki hubungan nonlinear dengan kemampuan PISA, dan
variabel sikap terhadap belajar berasosiasi positif dengan kemampuan PISA.

96
Gambar teratas merupakan representasi relasi antara kompetensi siswa PISA Indonesia
dengan indeks kepuasan hidupnya. Baik kurva kemampuan membaca, matematika, maupun
sains bergerak dari kiri atas menuju kanan bawah, yang berarti kemiringan (slope) kurva
bersifat negatif. Dengan kata lain, kian tinggi nilai indeks kepuasan hidup siswa, kian rendah
kompetensi siswa. Walaupun demikian, nilai kepuasan hidup siswa Indonesia cenderung
homogen, ditunjukkan oleh rentang nilai 7 hingga 7,75.

Catatan: gambar menggunakan 1 plausible value

Sumber: Database PISA 2018


Gambar 3.11. Nilai kepuasan hidup, kebermaknaan hidup, dan sikap terhadap sekolah
menurut persepuluh perolehan nilai tes PISA

97
Gambar kedua merupakan kurva hubungan antara indeks kebermaknaan hidup siswa dengan
kompetensi PISA. Kurva berbentuk parabola (nonlinear), bergerak naik dengan kemiringan
sangat kecil sepanjang desil 1–7 dan bergerak turun lebih tajam pada desil 8–10. Bentuk
kurva ini bisa dibaca sebagai adanya asosiasi antar tingkat kompetensi PISA dengan indeks
kebermaknaan hidup pada siswa PISA yang memiliki kompetensi tinggi (20% tertinggi).
Pada kelompok siswa tersebut, kian rendah nilai indeks kebermaknaan hidup, kian tinggi
kompetensi siswa.

Gambar paling bawah menunjukkan hubungan antara sikap terhadap belajar dengan
kemampuan PISA. Kurva bergerak naik dari kiri bawah menuju kanan atas, menunjukkan secara
umum ada hubungan positif antara sikap terhadap belajar di sekolah dengan kompetensi
siswa. Kian positif indeks sikap terhadap belajar di sekolah, kian tinggi kompetensi siswa.
Meski demikian, nilai indeks sikap terhadap belajar siswa Indonesia cenderung homogen,
dalam kisaran desil 6,7 hingga 8.

3.3. Aspirasi pendidikan pada siswa 15 tahun di Indonesia

Remaja adalah masa ketika siswa mulai berpikir lebih serius tentang masa depan mereka; ketika
aspirasi mereka lebih sejalan dengan minat, keterampilan, dan kesempatan yang ada; dan
ketika visi tentang diri sendiri dapat dipengaruhi oleh teman sekolah dan orang-orang dewasa
di sekeliling mereka (Beal and Crockett, 2010). Cita-cita siswa akan masa depan memengaruhi
pilihan studi dan aktivitas yang digeluti, yang pada akhirnya menentukan pencapaian hasilnya
(Nurmi, 2004).

Cita-cita siswa bisa jadi merupakan ramalan yang akan menjadi kenyataan karena upaya yang
dilakukan siswa untuk mewujudkan cita-cita tersebut seringkali membuahkan hasil yang
diharapkan (OECD, 2012). Contohnya, dalam perbandingan siswa berlatar belakang sosial
ekonomi dan prestasi akademik sama, siswa yang bercita-cita lulus universitas cenderung lebih
berpeluang meraih gelar tersebut dibandingkan dengan yang tidak bercita-cita sama tingginya
(Beal & Crockett, 2010). Sama halnya siswa yang memperkirakan akan putus sekolah tanpa
mendapatkan ijazah cenderung akan melakukan apa yang ia perkirakan (Perna, 2000). Cita-
cita positif untuk masa depan berkaitan dengan kepercayaan diri yang tinggi dan mekanisme
bertahan mengatasi persoalan secara efektif. Cita-cita negatif atau tidak jelas seringkali
berhubungan dengan keputusasaan (Correa, Errico & Poggi, 2011).

Cita-cita anak usia 15 tahun untuk masuk ke perguruan tinggi bukan merupakan jaminan bahwa
si anak dalam kenyataan akan menempuh pendidikan jenjang berikutnya. Cita-cita pendidikan
lanjutan bergantung pada hitung-hitungan siswa mengenai biaya dan manfaat investasi dalam
pendidikan lanjutan tersebut (Morgan, 1998) dan penilaian pribadi tentang kapasitas mereka
untuk merealisasikan aspirasinya. Remaja terkadang menyangsikan pendapat mereka sendiri
mengenai masa depan, dan tidak jarang pula mengubah aspirasi dan cita-cita mereka.

98
Faktor-faktor yang membentuk cita-cita siswa meliputi pengaruh orang-orang dekat,
seperti teman, anggota keluarga, dan guru; juga prestasi akademik sebelumnya, selektivitas
universitas, biaya berupa dana langsung, dan kesempatan untuk memasuki jenjang pendidikan
tinggi, keuntungan yang berkaitan dengan pilihan-pilihan yang berbeda; serta kekakuan sistem
pendidikan yang bisa menghambat akses terhadap sebagian kesempatan pendidikan yang
hanya diberikan kepada siswa yang telah menempuh jalur tertentu dalam sistem tersebut.
Keragaman faktor-faktor tersebut menggambarkan bagaimana dan mengapa cita-cita siswa
usia 15 tahun sangat beragam, baik di dalam satu negara maupun di negara-negara berbeda
(Buchmann & Dalton, 2002; Mateju et al., 2007; OECD, 2012).

PISA 2018 meminta siswa untuk menjawab pertanyaan tentang pendidikan mana yang
mereka cita-citakan untuk lulus. Survei PISA menanyakan aspirasi pendidikan terakhir dari
siswa dalam enam pertanyaan yang berbeda, sehingga ada siswa yang menjawab lebih dari
satu pertanyaan. Untuk menghindari kerancuan dalam melaporkan survei, maka akan diambil
jawaban dari aspirasi pendidikan tertinggi apabila siswa menjawab lebih dari satu pertanyaan.
Jawaban siswa terangkum dalam Gambar 3.12.

Catatan: persentase pada diagram batang


ini berdasarkan persentase aktual, dengan
missing data sekitar 1%

Gambar 3.12. Cita-cita pendidikan siswa Indonesia pada PISA 2018

Tampak bahwa paling banyak siswa Indonesia ingin melanjutkan jenjang pendidikan hingga
program magister atau S2 (48%), dan jenjang sarjana (26%) di urutan kedua. Jika dimasukkan
pula gelar diploma (6%), sekitar 80% siswa PISA Indonesia yang bercita-cita meraih gelar
pendidikan tinggi.

Sebanyak 10% siswa ingin menempuh pendidikan hingga menamatkan SMK/LPK, lebih banyak
dibandingkan dengan keinginan menyelesaikan pendidikan di SMA/MA (6%). Hal ini mungkin
berkaitan dengan keinginan mendapatkan pekerjaan, yang dalam persepsi siswa lebih mudah
jika menamatkan SMK/LPK dibandingkan dengan SMA/MA. Hanya 2% siswa yang merasa
cukup menempuh pendidikan hingga menamatkan jenjang SMP/sederajat.

99
Jika dibandingkan secara internasional, persentase siswa Indonesia yang bercita-cita
mendapat gelar pendidikan tinggi lebih besar dibandingkan dengan di negara OECD yang
sebesar 69% (Internasional Standard Classification of Education 4, ISCED 4), rata-rata kawasan
ASEAN (72%), maupun negara sekawasan seperti Filipina (64%) dan Thailand (69%). Namun,
persentase siswa Indonesia yang bercita-cita mendapat gelar pendidikan tinggi lebih besar
dibandingkan dengan Brasil (75%) dan Peru (86%).

Catatan: terdapat perbedaan persentase antara laporan PISA internasional dengan laporan nasional Indonesia
dikarenakan pada laporan internasional, yang digunakan adalah persentase valid, sedangkan laporan Indonesia
menggunakan persentase aktual.

Gambar 3.13. Persentase siswa yang ingin melanjutkan kependidikan tinggi (diploma,
sarjana, dan magister) secara internasional

Tingginya aspirasi siswa untuk menamatkan pendidikan hingga jenjang sarjana dan magister
adalah hal baik. Angka kelulusan perguruan tinggi menggambarkan kapasitas sebuah negara
untuk menyediakan angkatan kerja dengan pengetahuan dan keterampilan tingkat lanjut
dan terspesialisasi (OECD, 2016c). Mendapatkan gelar dari universitas sering merupakan
jalur untuk mendapatkan gaji lebih tinggi dan prospek pekerjaan lebih baik. Di negara-negara
OECD, rata-rata angka pengangguran berada pada 12,4% untuk orang dewasa yang tidak
mengenyam pendidikan menengah atas, dan hanya 4,9% untuk orang dewasa berpendidikan
tinggi (OECD, 2016c).

Namun pendidikan tingkat universitas butuh investasi dan sarana yang besar akibat
penundaan masuknya tenaga ke dalam pasar kerja. Bagi sebagian siswa, biaya kesempatan
untuk mendapatkan gelar dari universitas dan kesulitan yang harus mereka hadapi untuk

100
mendapatkan gelar tersebut bisa lebih besar dari manfaat yang dapat mereka peroleh setelah
terdaftar di universitas. Tidak semua siswa membutuhkan gelar universitas untuk dapat
berkontribusi secara aktif di dalam ekonomi dan masyarakat, dan untuk menikmati kehidupan
profesional yang memuaskan.

3.3.1. Bagaimanakah aspirasi siswa dibentuk berdasarkan karakteristik siswa?

Kesetaraan kesempatan berarti kemampuan bagi semua siswa untuk meraih potensi mereka,
apapun bakat dan karakter asli mereka. Prestasi akademik penting bagi kesuksesan masa
depan mereka di pasar kerja. Meski demikian, sebagian siswa mungkin terbentur oleh berbagai
kesulitan dalam perjalanan pendidikan mereka. Contohnya, pendidikan tinggi membutuhkan
komitmen finansial yang cenderung sulit dipenuhi oleh keluarga berpendapatan kecil. Meskipun
tanpa hambatan keuangan, siswa-siswa yang orang tuanya tidak mengenyam pendidikan
tinggi dapat mengira kesulitannya terlampau besar untuk dapat mengikuti pendidikan di
level tersebut (Guyon et al., 2016; OECD, 2018). Kurangnya figur teladan yang menginspirasi
di dalam lingkaran sosial mereka dapat menghambat cita-cita siswa kurang mampu meraih
pendidikan dan karier masa depan; dan hal ini bisa menyebabkan terhambatnya kesempatan
mereka dalam mobilitas sosial.

Aspirasi siswa perempuan Indonesia atas jenjang pendidikan yang akan ditamatkan lebih
tinggi dibandingkan dengan kalangan siswa laki-laki. Berdasarkan Gambar 3.14, lebih banyak
siswa perempuan Indonesia bercita-cita untuk menyelesaikan program sarjana (30%) dan
magister (48%) dibandingkan dengan siswa laki-laki (26% sarjana, 42% magister).

Berdasarkan bahasa dominan dalam tutur sehari-hari, siswa berbahasa daerah memiliki
aspirasi menamatkan jenjang pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa berbahasa
Indonesia. Sekitar 45% siswa berbahasa daerah menyatakan ingin menamatkan pendidikan
di jenjang magister dan 28% di jenjang sarjana. Sementara di kalangan siswa berbahasa
Indonesia, hanya 32% ingin menamatkan jenjang magister dan 23% ingin menyelesaikan
pendidikan hingga sarjana.

101
Catatan: persentase pada diagram batang ini berdasarkan persentase aktual, dengan missing data sekitar
1-18% untuk setiap kelompok.

Gambar 3.14 Aspirasi pendidikan tinggi berdasarkan karakteristik siswa

Aspirasi jenjang pendidikan tertinggi tidak berbeda antara siswa sekolah negeri dan sekolah
swasta. Sebanyak 43% siswa sekolah swasta dan 41% siswa sekolah negeri ingin tamat jenjang
magister. Sebanyak 29% siswa sekolah swasta dan sebesar 28% siswa sekolah negeri bercita-
cita meraih gelar sarjana.

Terdapat perbedaan besar dalam aspirasi menamatkan sekolah antara siswa SMA dan MA
dengan siswa SMP, MTs dan SMK. Lebih dari 50% siswa SMA dan MA ingin meraih gelar
magister. Cita-cita ini hanya dimiliki 36–40% siswa SMP, MTs, dan SMK. Tetapi ada 30% siswa
SMK, begitu pula siswa SMA yang ingin menyelesaikan jenjang sarjana, sementara hanya 20%
siswa SMP, MTS, dan MA yang memiliki keinginan serupa.

Lebih dari 50% siswa di kota kabupaten dan ibu kota provinsi ingin menyelesaikan pendidikan
hingga jenjang magister. Di kalangan siswa di desa, kota kecil, dan kota besar, ada 40% memiliki
cita-cita serupa.

102
Kian tinggi latar belakang status sosial ekonomi, kian besar persentase siswa yang bercita-
cita menyelesaikan pendidikan jenjang magister. Tetapi persentase siswa yang bercita-cita
menyelesaikan pendidikan tertinggi di level sarjana lebih besar pada kelompok siswa dari
kategori sosial ekonomi rendah dibandingkan yang dari kalangan sosial ekonomi tinggi. Hal
ini mungkin terkait dengan kesadaran siswa akan kemampuan ekonomi keluarga dan aspirasi
dari orang tua.

3.3.2. Cita-cita pendidikan tinggi, kesejahteraan siswa, dan sikap terhadap


belajar

Cita-cita pendidikan untuk masa depan siswa memberi isyarat adanya kepercayaan diri dan
mekanisme bertahan mengatasi persoalan secara efektif. Tabel 3.3 menunjukkan secara
umum siswa PISA Indonesia memiliki tingkat kesejahteraan dan sikap terhadap belajar yang
relatif sama, tanpa memandang cita-cita pendidikannya.

Tabel 3.3. Cita-cita pendidikan tinggi berdasarkan kesejahteraan siswa

Catatan: rentang nilai seluruh variabel adalah 1-10


Meski perbedaan nilai indeksnya relatif kecil, tampak bahwa siswa yang ingin menamatkan
pendidikan hingga jenjang magister memiliki indeks kesejahteraan dan sikap terhadap
belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kategori lain. Terdapat selisih cukup besar
pada tiap indeks kesejahteraan siswa, kecuali indeks emosi negatif, antara siswa yang hendak
menyelesaikan pendidikan hingga gelar sarjana dan magister dengan siswa yang hanya ingin
menamatkan pendidikan SMP.

Hal menarik lain adalah indeks kesejahteraan dan sikap terhadap belajar siswa yang bercita-
cita menamatkan pendidikan di jenjang SMK relatif lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
yang bercita-cita tamat SMA/MA. Penyebabnya bisa jadi karena lulusan SMK/diploma
dipandang memiliki keterampilan khusus yang membuat mereka lebih mampu bersaing di
dunia kerja. Selain itu, siswa yang ingin menempuh jenjang pendidikan SMK umumnya lebih
realistis, sadar akan kemampuan finansial keluarga.

3.3.3. Cita-cita pendidikan tinggi dan kemampuan membaca PISA


Adalah logis menyangka kompetensi siswa berelasi positif dengan aspirasi jenjang pendidikan
yang hendak ditamatkan. Kian tinggi cita-cita jenjang pendidikan yang hendak ditamatkan,

103
kian tinggi pula kompetensi siswa. Namun hasil tes PISA 2018 menunjukkan bahwa nilai
rata-rata kompetensi membaca tertinggi justru diraih kelompok siswa yang hanya bercita-
cita menyelesaikan pendidikan tertinggi hingga jenjang SMA, bukan magister, sarjana, atau
diploma. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 3.14, hanya kelompok siswa dengan aspirasi
pendidikan tertinggi jenjang SMA yang nilai tes kompetensi membacanya memperoleh poin
382, di atas nilai rata-rata kemampuan membaca siswa Indonesia.

Gambar 3.15. Cita-cita pendidikan tinggi berdasarkan kemampuan membaca dengan


mengontrol indeks sosial ekonomi siswa

Di luar anomali nilai kemampuan membaca siswa SMA/MA, grafik hubungan antara
kemampuan membaca dengan aspirasi jenjang pendidikan tertinggi yang hendak ditamatkan
berlaku sebagaimana prasangka berdasarkan logika. Di bawah kategori aspirasi tamat SMA/
MA, nilai kemampuan membaca secara berurutan dari yang tertinggi diraih oleh kelompok
siswa yang bercita-cita meraih gelar magister (334), sarjana (317), diploma (296), SMK/LPK
(296), dan SMP (239).

3.4. Kesejahteraan, sikap terhadap belajar, dan aspirasi siswa 15 tahun di


Indonesia

Bagian terakhir ini menyajikan kembali sejumlah kesimpulan atau penegasan dari pembahasan
di atas.

Kesejahteraan dan sikap belajar siswa di Indonesia lebih erat berkaitan dengan faktor-faktor
individu siswa dibandingkan dengan faktor sekolah. Hal ini dibuktikan dengan persentase
variasi antarsiswa dalam satu sekolah (intrasekolah) yang sangat besar dibandingkan dengan
variasi antarsekolah.

104
Dari skala 0–10, tingkat kepuasan hidup siswa Indonesia adalah 7,5. Lebih dari 75% siswa
Indonesia menyatakan puas atas hidup mereka. Sementara yang merasa tidak puas, sekitar
12% siswa, memiliki indeks kepuasan hidup di bawah 4.

Lebih dari 75% siswa Indonesia sering merasakan emosi positif seperti ceria, gembira, bangga,
penuh semangat, dan bahagia. Tetapi lebih dari separuh siswa Indonesia juga sering merasakan
emosi negatif sedih, khawatir, dan cemas.

Siswa laki-laki lebih sering merasakan emosi positif dan lebih jarang merasakan emosi negatif
dibandingkan dengan siswa perempuan. Dalam perbandingan berdasarkan jenjang pendidikan
dan jenis sekolah, siswa SMA cenderung lebih jarang merasakan emosi positif tetapi lebih
sering merasakan emosi negatif. Sementara siswa SMK lebih sering merasakan emosi positif
dan lebih jarang merasakan emosi negatif.

Persentase siswa Indonesia yang memiliki sikap positif terhadap belajar meningkat dalam tiga
putaran terakhir pelaksanaan PISA, dari 60% pada PISA 2012 menjadi sekitar 90% pada PISA
2018.

Siswa yang bersekolah di perkotaan memiliki tingkat kepuasan hidup dan tingkat kebermaknaan
hidup lebih rendah dibandingkan dengan siswa di pedesaan. Dalam konteks jenjang pendidikan
dan jenis sekolah, siswa SMA memiliki tingkat kepuasan hidup dan tingkat kebermaknaan
hidup lebih rendah dibandingkan dengan siswa SMK, MA, SMP, dan MTs. Tingkat kepuasan
hidup dan kebermaknaan hidup tertinggi dimiliki siswa MA.

Sikap terhadap sekolah dan belajar di kalangan siswa MTs lebih rendah dibandingkan dengan
siswa pada jenjang dan jenis sekolah lain. Siswa pengguna bahasa daerah sebagai bahasa
percakapan sehari-hari memiliki sikap terhadap sekolah dan belajar yang lebih positif
dibandingkan dengan siswa penutur bahasa Indonesia.

Indeks kepuasan hidup berasosiasi negatif dengan kemampuan membaca. Sementara indeks
kebermaknaan hidup berasosiasi positif dengan kemampuan membaca di kalangan siswa
berkompetensi membaca tinggi.

Sebagian besar siswa PISA di Indonesia memiliki cita-cita menyelesaikan pendidikan hingga
jenjang magister dan sarjana. Pada siswa berstatus sosial ekonomi setara, siswa yang bercita-
cita menyelesaikan pendidikan tertinggi di jenjang SMA memiliki kemampuan membaca
tertinggi. Di urutan selanjutnya adalah siswa yang bercita-cita meraih gelas master, sarjana,
diploma, SMK, dan terakhir SMP.

105
DAFTAR PUSTAKA

Aldridge, J. et al. (2016), “Students’ perceptions of school climate as determinants of


wellbeing, resilience and identity”, Improving Schools, Vol. 19/1, pp. 5–26, http://
dx.doi.org/10.1177/1365480215612616.
Beal, S.J. and Crockett, L.J. (2010), “Adolescents’ Occupational and Educational
Aspirations and Expectations: Links to High School Activities and Adult Educational
Attainment”. Faculty Publications, Department of Psychology, pp. 491. http://
digitalcommons.unl.edu/psychfacpub/491
Buchmann and Dalton, (2002), “Interpersonal influences and educational aspirations in
12 countries: The importance of institutional context”, Sociology of Education, vol.
75, no. 2, 2002, pp. 99–122. JSTOR, www.jstor.org/stable/3090287
Comer, J. et al. (eds.) (1996), Rallying the whole village : the Comer process for reforming
education, Teachers College Press, New York.
Correa, Errico and Poggi, (2011), “ School and life for teenagers. Expectations and
hopes in italy and brazil”, International Journal of Developmental and Educational
Psychology, vol. 2, núm. 1, 2011, pp. 433-441.
Deaton, A. (2008), “Income, Health, and Well-Being around the World: Evidence from
the Gallup World Poll”, Journal of Economic Perspectives, Vol. 22/2, pp. 53–72,
http://dx.doi.org/10.1257/jep.22.2.53.
Diener, E. (2007), “Guidelines for National Indicators of Subjective Well-Being and Ill-
Being”, Applied Research in Quality of Life, Vol. 1/2, pp. 151–157, http://dx.doi.
org/10.1007/s11482-006-9007-x.
Diener, E., S. Oishi and R. Lucas (2003), “Personality, Culture, and Subjective Well-Being:
Emotional and Cognitive Evaluations of Life”, Annual Review of Psychology, Vol.
54/1, pp. 403–425, http://dx.doi.org/10.1146/annurev.psych.54.101601.145056.
Edwards, A. (1953), “The relationship between the judged desirability of a trait and the
probability that the trait will be endorsed.”, Journal of Applied Psychology, Vol.
37/2, pp. 90–93, http://dx.doi.org/10.1037/h0058073.
Gilman, R. et al. (2008), “Cross-National Adolescent Multidimensional Life Satisfaction
Reports: Analyses of Mean Scores and Response Style Differences”, Journal of

106
Youth and Adolescence, Vol. 37/2, pp. 142–154, http://dx.doi.org/10.1007/
s10964-007-9172-8.
Gilman, R. and S. Huebner (2003), “A review of life satisfaction research with
children and adolescents”, Vol. 18/2, pp. 192–05, http://dx.doi.org/10.1521/
scpq.18.2.192.21858.
Goldbeck, L. et al. (2007), “Life satisfaction decreases during adolescence”, Quality of
Life Research, Vol. 16/6, pp. 969–979, http://dx.doi.org/10.1007/s11136-007-
9205-5.
Guyon et al.,(2016), “ Biased aspirations and social inequality at school: Evidence from
french teenagers”, working paper, http://econ.sciences-po.fr/sites/default/files/
file/elise/paper_AspirationsFailures_EJ_R1.pdf
Helliwell, J., R. Layard and J. Sachs (2018), World Happiness Report, http://
worldhappiness.report/ (accessed on 10 April 2018).
Idler, E. and Y. Benyamini (1997), “Self-rated health and mortality: a review of twenty-
seven community studies.”, Journal of health and sosial behavior, Vol. 38/1, pp.
21–37, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9097506 (accessed on 10 April
2018).
Inchley, J. et al. (2016), Growing up unequal: gender and socioeconomic differences in
young people’s health and well-being, World Health Organisation, Copenhagen,
http://www.euro.who.int/__data/assets/pdf_file/0003/303438/HSBC-No.7-
Growing-up-unequal-Full-Report.pdf?ua=1 (accessed on 10 April 2018).
Mateju et al., (2007), “ Determination of College Expectations in OECD Countries: The
Role of Individual and Structural Factors”, Journal: Sociologický časopis / Czech
Sociological Review, vol.06, pp 1121-1148.
Morgan, S (1998), Adolescent educational expectations: Rationalized, fantasized, or
both?, Rationality and Society, vol. 10 (2), pp. 131 - 162.
Natvig, G., G. Albrektsen and U. Qvarnstrøm (2003), “Associations between psychososial
Faktors and happiness among school adolescents.”, International journal of nursing
practice, Vol. 9/3, pp. 166–75, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12801248
(accessed on 11 April 2018).
Nurmi J. (2004) Sosialization and self-development. Channeling, selection, adjustment,
and reflection.R. Lerner, L. Steinberg (Eds.), Handbook of adolescent psychology
(2nd ed.), John Wiley & Sons, Hoboken, NJ (2004), pp. 85–124
OECD (2012), Education at a Glance 2012: OECD Indicators, OECD Publishing, Paris,
https://doi.org/10.1787/eag-2012-en.
OECD (2013), OECD Guidelines on Measuring Subjective Well-being, OECD Publishing,
Paris, http://dx.doi.org/10.1787/9789264191655-en.
OECD (2013), PISA 2012 Results: Ready to Learn (Volume III): Students’
Engagement, Drive and Self-Beliefs, OECD Publishing, Paris, http://dx.doi.
org/10.1787/9789264201170-en.
OECD (2016), PISA 2015 Results (Volume I): Excellence and Equity in Education, In PISA,

107
OECD Publishing, Paris, doi:https://dx.doi.org/10.1787/9789264266490-en.
OECD (2017), PISA 2015 Results (Volume III): Students’ Well-Being, OECD Publishing,
Paris, http://dx.doi.org/10.1787/9789264273856-en.
OECD (2018), Education at a Glance 2018: OECD Indicators, OECD Publishing, Paris,
https://doi.org/10.1787/eag-2018-en.
Oishi, S. (2010), “Culture and Well-Being: Conceptual and Methodological Issues”, in
Diener, E., J. Helliwell and D. Kahneman (eds.), International differences in well-
being, Oxford University Press.
Park, N., C. Peterson and W. Ruch (2009), “Orientations to happiness and life satisfaction
in twenty-seven nations”, The Journal of Positive Psychology, Vol. 4/4, pp. 273–
279, http://dx.doi.org/10.1080/17439760902933690.
Perna, (2000), “ Differences in the Decision to Attend College among African Americans,
Hispanics, and Whites”, The Journal of Higher Education, vol. 71, 2000 - issue 2:
The Shape of Diversity, https://doi.org/10.1080/00221546.2000.11778831.
Proctor, C., P. Alex Linley and J. Maltby (2009), “Youth life satisfaction measures: a
review”, The Journal of Positive Psychology, Vol. 4/2, pp. 128–144, http://dx.doi.
org/10.1080/17439760802650816.
Roeser, R., J. Eccles and A. Sameroff (2000), “School as a Context of Early Adolescents’
Academic and Sosial-Emotional Development: A Summary of Research
Findings”, The Elementary School Journal, Vol. 100/5, pp. 443-471, http://dx.doi.
org/10.1086/499650.
Sen, A. (1999), Development as freedom, Oxford University Press, https://books.google.
fr/books/about/Development_as_Freedom.html?id=NQs75PEa618C&redir_
esc=y (accessed on 31 July 2017).
Suldo, S. (2016), Promoting student happiness : positive psychology interventions in
schools, Guilford Press, New York, https://www.guilford.com/books/Promoting-
Student-Happiness/Shannon-Suldo/9781462526802/reviews (accessed on 11
April 2018).
Suldo, S. and E. Huebner (2006), “Is Extremely High Life Satisfaction During Adolescence
Advantageous?”, Sosial Indicators Research, Vol. 78/2, pp. 179–203, http://dx.doi.
org/10.1007/s11205-005-8208-2.
Suldo, S. et al. (2013), “Understanding Middle School Students Life Satisfaction: Does
School Climate Matter?”, Applied Research in Quality of Life, Vol. 8/2, pp. 169–
182, http://dx.doi.org/10.1007/s11482-012-9185-7.
van Hemert, D., Y. Poortinga and F. van de Vijver (2007), “Emotion and culture: A
meta-analysis”, Cognition & Emotion, Vol. 21/5, pp. 913–943, http://dx.doi.
org/10.1080/02699930701339293.

108
109
BAB 4
Fondasi Keberhasilan Pendidikan di
Indonesia: Investasi Sumber Daya
Pendidikan
Bab ini mencermati investasi sumber daya dalam pendidikan di Indonesia dan
membandingkannya dengan beberapa negara peserta PISA lainnya; melihat
bagaimana sumber daya tersebut dialokasikan di sekolah; dan melihat hubungan
antara sumber daya pendidikan yang meliputi dana, sumber daya fisik, dan sumber
daya manusia, dengan nilai tes PISA siswa.

Indonesia berhasil mencapai salah Kelompok sekolah ibukota Kelompok sekolah dengan rata-rata
satu dari target kunci SDG bidang provinsi cenderung memiliki rasio indek sosial/ekonomi yang rendah
pendidikan dengan menganggarkan guru-siswa yang tinggi sekaligus cenderung memiliki sumber daya
dana pendidikan lebih dari 20% dari indeks sosial/ekonomi yang tinggi pengajaran dan sumber daya
anggaran pendidikan dan belanja dibandingkan dengan kelompok manusia yang rendah dibandingkan
negara. Walaupun demikian, dengan karakteristik sekolah lainnya. Rata- rata-rata Indonesia. Sedangkan
alokasi anggaran pendidikan per rata rasio guru-siswa kelompok sekolah-sekolah di ibukota provinsi
siswa sekitar USD 14,000, Indonesia sekolah ibukota provinsi adalah dan kota kabupaten cenderung
menempati urutan kedua terbawah sekitar 1:25 dengan indek sosial memiliki sumber daya manusia dan
dalam hal pengalokasian anggaran ekonomi sekitar 0,5 lebih tinggi sumber daya pengajaran diatas
pendidikan per siswa. dibanding rata-rata indek sosial/ rata-rata Indonesia.
ekonomi Indonesia.

110
Kelompok sekolah dengan rata- Secara umum, sumber daya sekolah Karakteristik sekolah SMP swasta
rata indek sosial/ekonomi rendah memiliki asosiasi yang kuat dengan yang berlokasi di kota kecamatan
memiliki dukungan infrastruktur rata-rata kemampuan membaca memiliki rata-rata kemampuan
TIK untuk pembelajaran dan pada tingkatan sekolah, akan membaca yang rendah dibandingkan
dukungan peningkatan skill TIK tetapi memiliki sumbangsih yang sekolah SMA negeri yang berlokasi
guru yang rendah. Sebaliknya, relatif kecil terhadap rata-rata nilai di ibukota provinsi. Dimana secara
kelompok sekolah kota besar membaca sekolah, sekitar 1 hingga bersamaan, faktor-faktor tersebut
memiliki dukungan infrastruktur TIK 4 poin. memberikan perbedaan rata-rata
untuk pembelajaran dan dukungan membaca sekitar 76 poin atau setara
peningkatan skill TIK guru yang dengan dua tahun ajaran pendidikan.
tinggi.

4.1. Investasi sumber daya Pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan


beberapa negara peserta PISA

Bab ini menganalisis secara terperinci bagaimana investasi sumber daya pendidikan di
Indonesia didistribusikan ke sekolah-sekolah, dan bagaimana hubungannya dengan prestasi
siswa. Pembahasan pada bagian ini diawali dengan penjelasan mengenai anggaran pendidikan
di berbagai sistem pendidikan. Kemudian, bagaimana perubahan dalam anggaran tersebut
selama penyelenggaraan rangkaian putaran PISA, dan secara umum selama dua dekade
terakhir; serta hubungannya dengan nilai hasil tes PISA pada berbagai tingkatan sekolah.
Selanjutnya, bab ini menjelaskan bagaimana anggaran tersebut dikucurkan ke dalam sistem
sekolah di negara-negara peserta PISA, termasuk Indonesia. Titik berat pembahasan adalah
pada ketersediaan dan kualitas sumber daya fisik dan sumber daya manusia. Sumber daya fisik
meliputi sarana prasarana pendidikan, komputer, dan ukuran sekolah. Sementara komponen-
komponen sumber daya manusia dalam konteks pembahasan ini adalah gaji guru, pelatihan
awal, kualifikasi dan pengembangan profesional, kekurangan tenaga SDM, rasio siswa-guru,
dan ukuran kelas.

Analisis pada bab ini menggunakan data kuesioner dengan para kepala sekolah sebagai
responden. Walaupun terdapat beberapa analisis korelasi, perlu ditekankan bahwa hasilnya
tidak menggambarkan hubungan sebab akibat. Tujuan bab ini adalah memberikan saran
kepada para pembuat kebijakan pendidikan di Indonesia untuk mengalokasikan sumber daya
sekolah secara lebih adil dan efisien.

4.1.1. Sumber daya keuangan

Para pembuat kebijakan harus senantiasa berusaha menyeimbangkan anggaran pendidikan


dengan anggaran layanan publik lainnya, khususnya pada saat menghadapi krisis keuangan.

111
Meskipun demikian, anggaran pendidikan pada hampir semua negara dengan skema anggaran
pendidikan bersumber dari pemerintah pusat meningkat dalam beberapa tahun ini. Antara
2008 hingga 2014, anggaran untuk masing-masing siswa sekolah dasar, sekolah menengah,
dan diploma meningkat rata-rata 8% di negara-negara OECD (OECD, 2017).

Secara global, anggaran pendidikan publik sebesar 14,1% dari total anggaran publik pada
tahun 2014. Pada 2015, anggaran pendidikan publik sebesar 4,7% dari produk domestik bruto
(PDB) (Unesco, 2017). Jumlah demikian tidak cukup bagi negara-negara untuk mencapai
Sustainable Development Goals (SDGs) dalam pendidikan.

Untuk mengejar target pencapaian SDGs, UNESCO mendorong pemerintah meningkatkan


proporsi anggaran pendidikan di APBN 2030, dari sekitar 3% menjadi 5% untuk negara
berpendapatan rendah, dan dari 4% menjadi 6% negara-negara berpendapatan menengah.
Peningkatan ini akan menaikkan proporsi anggaran pendidikan terhadap produk domestik
bruto menjadi sekitar 10% di negara-negara berpendapatan rendah, dan 7% untuk negara-
negara berpendapatan menengah.

Saat ini anggaran pendidikan publik di Indonesia sebesar 20% dari total anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN), sesuai dengan pasal 31 UUD 1945 Amandemen. Anggaran
pendidikan Indonesia pada 2015 sebesar 20,5% dari total belanja negara, atau setara 3,58%
PDB Indonesia (UIS, 2019a; UIS, 2019b). Dengan anggaran pendidikan lebih dari 20% APBN,
Indonesia telah berhasil mencapai salah satu target kunci SDGs bidang pendidikan (Unesco,
2017).

Tabel 4.1 membagi alokasi sumber daya keuangan sektor pendidikan ke dalam dua kategori,
yaitu sumber daya manusia dan sumber daya fisik. Untuk sumber daya manusia, anggaran
pendidikan mengalir sebagai gaji guru, petugas administrasi, dan staf pembantu; sebagai biaya
pemeliharaan atau pembangunan pembangunan gedung dan infrastruktur; dan sebagai biaya
operasional, seperti transportasi dan makan untuk siswa. Investasi sumber daya manusia
tercerminkan dalam perbandingan guru dengan jumlah siswa; ukuran kelas; personel untuk
kegiatan ekstrakurikuler, remedial, dan pengayaan; serta ketersediaan staf pendukung di
sekolah. Sumber daya fisik terejawantahkan dalam bahan pengajaran termasuk semua
perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta infrastruktur fisik.

Tabel 4.1. Investasi Sumber Daya Pendidikan dalam PISA

Dana untuk pendidikan Sumber daya manusia Sumber daya fisik

• Anggaran pendidikan • Gaji tenaga pendidik • Sumber daya bahan


• Rasio siswa-guru dan ukuran pengajaran, termasuk
kelas sumber daya teknologi
• Sumber daya untuk kegiatan informasi dan komunikasi
ekstrakulikuler, remedial, (TIK)
dan pengayaan • Infrastruktur fisik
• Staf pendukung

112
Berdasarkan hasil PISA 2018, anggaran rata-rata kumulatif dari sekolah untuk setiap siswa
berusia 6 hingga 15 tahun sebesar USD100.000 di China, Taipei, Belanda, Australia, Singapura,
Inggris, Finlandia, Korea Selatan, Belgia, Swedia, dan Brunei Darussalam. Amerika Serikat,
Norwegia, Australia, dan Makao memiliki anggaran kumulatif per siswa lebih dari USD120.000.
Luksemburg memiliki anggaran rata-rata kumulatif per siswa sekitar USD200.000, dan Qatar
sekitar USD325.000. Sedangkan di Brasil, Thailand, dan Peru anggaran kumulatif rata-rata
untuk setiap siswa berusia 6–15 tahun kurang dari USD40.000 (OECD, 2019a). Di Indonesia,
anggaran kumulatif per siswa pada rentang usia ini secara total adalah USD14.717, urutan
kedua terbawah dibanding negara-negara peserta PISA lainnya. Di sini tampak kaitan erat
antara anggaran pendidikan dan PDB Negara-negara yang memiliki anggaran pendidikan
besar cenderung juga merupakan negara dengan PDB per kapita tinggi.

Anggaran per siswa dan nilai hasil tes dalam PISA.

Sekilas hasil PISA menunjukkan bahwa siswa di negara-negara berpendapatan tinggi dan
negara-negara yang mempunyai anggaran pendidikan besar meraih nilai hasil tes lebih tinggi
daripada negara-negara yang berpendapatan rendah dan anggaran pendidikan kecil. Negara
berpendapatan tinggi, yang memiliki pendapatan domestik bruto (PDB) di atas USD20.000,
memiliki memiliki lebih banyak sumber daya untuk dialokasikan ke sektor pendidikan.
Negara berpendapatan tinggi secara kumulatif menganggarkan rata-rata USD89.262 untuk
setiap siswa usia 6 hingga 15 tahun. Negara-negara di luar kategori tersebut secara rata-rata
mengeluarkan anggaran sebesar USD21.307.

Namun, hubungan antara besar pendapatan per kapita dan alokasi anggaran pendidikan
per siswa dengan skor PISA jauh lebih kompleks. Umumnya peningkatan alokasi anggaran
pendidikan dapat meningkatkan skor siswa hingga pada titik tertentu efektivitas peningkatan
alokasi anggaran terhadap prestasi siswa menjadi berkurang, bahkan tidak lagi memiliki
pengaruh (OECD, 2012; (Baker, Goesling, & LeTendre, 2002). Pada negara dengan anggaran
kumulatif per siswa di bawah USD50.000, peningkatan anggaran pendidikan berjalan seiring
dengan peningkatan skor PISA. Sebaliknya, di negara-negara yang mengalokasikan anggaran
kumulatif per siswa lebih dari USD50.000, peningkatan anggaran pendidikan tidak terlalu
berdampak pada peningkatan skor PISA.

Gambar 4.1 berisi pengelompokan negara-negara berdasarkan besarnya alokasi anggaran


kumulatif per siswa. Tampak bahwa skor PISA siswa di negara-negara maju dengan anggaran
kumulatif per siswa di atas USD50.000 juga lebih tinggi dibandingkan negara-negara dengan
alokasi anggaran lebih rendah. Perbedaan rata-rata skor antara dua kelompok negara ini
sebesar 81 poin.

113
Nilai PISA membaca (rerata)

Anggaran rata-rata per siswa untuk usia 6-15 th (dalam ribu USD, PPP, 2013)

Sumber: PISA 2018 database


Gambar 4.1. Anggaran pendidikan per siswa usia 6-15 tahun negara-negara peserta PISA
dan nilai hasil tes matematika

Pada negara-negara dengan anggaran kumulatif per siswa kecil, Indonesia termasuk di
dalamnya, peningkatan anggaran sangat berdampak pada peningkatan skor matematika PISA.
Pada kelompok kedua, peningkatan anggaran kumulatif per siswa kurang berdampak terhadap
peningkatan skor membaca PISA. Selain menunjukkan keterbatasan peran peningkatan
anggaran terhadap peningkatan kompetensi siswa, kondisi ini juga bermakna keunggulan
dalam pendidikan membutuhkan lebih dari sekadar alokasi anggaran. Hal penting lain yang
menentukan kompetensi siswa adalah jumlah dan alokasi sumber daya di bidang pendidikan.

4.1.2. Sumber daya manusia di sekolah

Guru merupakan sumber daya pokok dalam proses belajar. Namun, faktor-faktor yang melekat
pada guru memberi efek berbeda terhadap prestasi siswa. Misalnya, pengetahuan guru
dalam mata pelajaran yang diampu dan kualitas pengajaran memberi dampak lebih besar
dan berhubungan lebih erat dengan prestasi siswa dibandingkan faktor-faktor seperti tingkat
pendidikan, pengalaman, kualifikasi, status pekerjaan, atau gaji guru (Allison-Jones & Hirt,
2004; Hanushek & Rivkin, 2006; Hanushek, Piopiunik, & Wiederhold, 2014; Lockheed, et.al ,
1988; Metzler & Woessmann, 2012; Palardy & Rumberger, 2008).

Kualitas pengajaran guru itu sendiri dibentuk oleh tipe dan kualitas pelatihan yang guru terima,
persyaratan menjadi guru, dan kesempatan guru untuk berkembang dalam profesinya. Barbet
dan Mourshed (2007) menyatakan bahwa prioritas kebijakan publik yang terkait dengan guru

114
seharusnya berfokus pada menarik minat masyarakat terhadap profesi guru, mengembangkan
kemampuan guru, dan mempertahankan guru yang efektif. Gaji guru adalah proporsi terbesar
alokasi anggaran pendidikan (OECD, 2017). Gaji guru ini berbeda-beda di berbagai negara
dalam hal struktur skala gaji dan nominalnya. Perbedaan dalam struktur gaji guru di antara
negara-negara dapat ditinjau dari perbandingan antara gaji terendah dan tertinggi yang
diterima guru-guru.

Di sejumlah negara seperti Makedonia, Lithuania, Islandia, Kazakhstan, dan Panama,


perbedaan antara gaji terendah dan tertinggi yang diterima guru lumayan kecil. Gaji guru
berjabatan terendah dan baru mengajar dengan guru senior berjabatan tertinggi di Islandia,
Kazakhstan, dan Panama sebesar 10%, 13%, dan 15%. Di Lithuania selisihnya hanya 3%. Di
Makedonia bahkan tidak ada perbedaan gaji antara guru senior dan guru yang baru mengajar.

Di Yordania, Korea, Singapura, dan Thailand, keempat negara ini memiliki kenaikan struktur
gaji guru yang fantastis. Di Thailand, perbedaan antara gaji guru senor dan junior mencapai
410%. Di Singapura, Korea Selatan, dan Yordania, perbedaannya mencapai masing-masing
201%, 185%, dan 168%. Di Indonesia, selisih gaji tertinggi dan terendah di kalangan guru
sebesar 43,71%.

Ukuran kelas dan rasio siswa-guru

Ukuran kelas, dalam makna jumlah siswa dalam satu kelas, dapat mempengaruhi belajar dalam
berbagai cara. Kelas yang besar dapat membatasi waktu dan perhatian pribadi guru kepada
tiap siswa. Guru juga lebih rentan mengalami gangguan dari siswa yang berisik dan mengacau.
Hal ini berdampak pada penerapan gaya pedagogi yang berdampak pada cara belajar dan
prestasi siswa. Pada kelas berukuran kecil, guru dapat mencurahkan perhatian lebih banyak
kepada tiap pribadi siswa, terutama kepada siswa-siswa yang butuh dukungan akademik lebih
besar. Temuan PISA 2018 menunjukan di negara-negara OECD, siswa pada kelas-kelas yang
kecil cenderung menginformasikan kepada guru bahwa mereka bisa menyesuaikan pelajaran
dengan kebutuhan dan pengetahuan. Pada kelas berukuran kecil, guru memberikan bantuan
secara khusus kepada siswa yang mengalami kesulitan, dan mengubah struktur pelajaran bila
siswa merasa sulit mengikuti.

Beberapa penelitian, khususnya yang berdasar pada eksperimen Tennessee STAR, dengan
memasukkan siswa secara acak ke dalam kelas besar dan kelas kecil, menunjukkan bahwa kelas
kecil dapat meningkatkan prestasi siswa dan lebih bermanfaat bagi siswa yang mempunyai
banyak kekurangan dan minoritas (Dynarski, Hyman, & Schanzenbach, 2013);Chetty et al.,
(2010) bahkan menemukan besar-kecilnya kelas berdampak terhadap prestasi siswa hingga
ke perguruan tinggi, pemilikan rumah, dan tabungan.

Sejumlah penelitian lain menemukan besar kecilnya ukuran kelas tidak berdampak terhadap
prestasi siswa (Wößmann & West, 2006). Sebagai contoh, tidak ada dampak ukuran kelas
terhadap perolehan pendapatan jangka panjang siswa-siswa dalam eksperimen Tennessee

115
STAR yang masuk di kelas kecil (Chetty, et al., 2010). Selain itu kelas besar banyak ditemukan
di negara Asia dengan nilai rata-rata tes PISA tinggi (Gambar II.6.16). Oleh sebab itu, karena
mahalnya biaya memperkecil ukuran kelas, keputusan untuk menerapkan atau tidak
pendekatan ini pada akhirnya bergantung pada seberapa besar kemampuannya dalam
meningkatkan prestasi siswa dibandingkan dengan intervensi kebijakan lain yang lebih murah
(Fredriksson, Öckert, & Oosterbeek, 2012).

PISA 2018 meminta para kepala sekolah untuk melaporkan ukuran rata-rata kelas yang
menggunakan bahasa pengantar bahasa nasional untuk siswa usia 15 tahun, serta jumlah
total guru dan siswa untuk menghitung rasio siswa-guru di sekolah mereka. Pada survei PISA,
ukuran kelas merupakan variabel kategori dengan pilihan jawaban ukuran kelas 15 siswa atau
kurang, 16–20 siswa, 21–25 siswa, 26–30 siswa, 31–35 siswa, 36–40 siswa, 41–45 siswa, 46–
50 siswa, dan lebih dari 50 siswa. Variabel total guru (TOTAT), diperoleh dengan menghitung
jumlah guru ditambah setengah jumlah guru honorer. Variabel total siswa merupakan jumlah
seluruh siswa di sekolah tersebut (SC002). Variabel rasio siswa-guru (STRATIO), didapatkan
melalui pembagian variabel total siswa dengan variabel total guru. Rasio siswa-guru di bawah
satu dibulatkan menjadi satu, dan rasio siswa-guru lebih dari 100 dibulatkan menjadi 100.

Berdasar laporan internasional PISA 2018, rata-rata ukuran kelas di negara-negara OECD
adalah kurang dari 15 siswa per kelas. Sedangkan rata-rata rasio siswa-guru di negara-negara
tersebut adalah 13 siswa untuk satu guru.

Berdasarkan jawaban responden kepala sekolah di Indonesia, median ukuran kelas di


Indonesia adalah 21–25 siswa . Nilai median digunakan dalam menggambarkan ukuran
kelas karena variabel ukuran kelas adalah variabel kategori. Nilai median ini lebih rendah
dibandingkan dengan median ukuran kelas pada putaran PISA sebelumnya. Pada PISA 2015,
median ukuran kelas adalah 26–30 siswa. Sedangkan pada putaran PISA 2006 hingga 2012,
median ukuran kelas adalah 31–35. Dapat disimpulkan bahwa dalam 12 tahun, Indonesia
relatif berhasil mengurangi ukuran kelas. Ini sedikit berbeda dengan rata-rata ukuran kelas
dalam data kementerian pendidikan dan kebudayaan, yang menyebutkan rata-rata ukuran
kelas di Indonesia adalah 33 siswa per kelas (Kemdikbud, 2019).

Secara internasional, median ukuran kelas di Indonesia sama dengan negara-negara OECD
dan lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang mediannya 26–30 siswa.
Gambar 4.2 menunjukkan rasio siswa-guru di Indonesia dalam enam putaran PISA, dari tahun
2000 hingga 2018, tidak banyak berubah. Nilai tengah rasio siswa-guru di Indonesia berkisar
antara 11 siswa (PISA 2015) hingga 15 siswa (PISA 2000) per guru. Nilai tengah rasio siswa-
guru pada PISA 2018 adalah 13.

116
Sumber: PISA 2018
Gambar 4.2. Box-plot rasio siswa-guru di Indonesia dalam enam putaran PISA

Di dalam putaran PISA, rasio siswa-guru memiliki kecondongan sebaran data yang positif, yaitu
50% sekolah di bawah median cenderung memiliki bentangan jarak lebih kecil dibandingkan
dengan 50% sekolah di atas median. Pada PISA 2018 terlihat bahwa 25% sekolah teratas
memiliki rasio siswa-guru dari 18 hingga 30. Pada PISA 2015, rasio siswa-guru antara 15
hingga 23. Jika disandingkan dengan peningkatan cakupan populasi Indonesia dari 39% pada
PISA 2000 menjadi sekitar 85% pada PISA 2018, Indonesia cukup berhasil mengakomodasi
pertambahan jumlah siswa dengan pertambahan jumlah guru.

Di negara-negara anggota OECD, rata-rata siswa belajar di sekolah dengan rasio satu guru
berbanding 11 siswa. Di negara-negara anggota OECD, rata-rata siswa belajar di sekolah
dengan rasio satu guru banding 13 siswa. Rasio siswa-guru beragam dengan kisaran antara
kurang dari 30 di Brasil, Kolombia, Republik Dominika, dan Meksiko, hingga kurang dari 10
siswa per guru di Albania, Belgia, Yunani, Hungaria, Islandia, Luksemburg, Malta, dan Polandia.
Di Indonesia, rata-rata siswa belajar di sekolah dengan 14 siswa diajar oleh satu guru (SD=11
siswa). Pada PISA 2018, ukuran kelas terkecil di Indonesia adalah 1 guru banding 2 siswa.
Sementara ukuran kelas terbesar adalah 1 guru banding 100 siswa. Rasio siswa-guru sebesar
100 ini terjadi di dua sekolah. Hal ini menyebabkan ketidaknormalan pada sebaran data rasio
siswa-guru sehingga kedua sekolah tersebut tidak diikutkan pada beberapa analisis yang
mensyaratkan sebaran data normal.

Di banyak negara, guru yang ditugaskan di sekolah terpencil atau di sekolah dengan jumlah
siswa besar dan di atas rata-rata memilih untuk pindah sekolah atau berhenti menjadi guru.
Guru baru tanpa cukup pengalaman akan menggantikan guru-guru yang pindah atau berhenti.
Akibatnya, guru-guru yang baru meniti karir banyak bekerja di sekolah-sekolah dengan kondisi
pekerjaan yang sulit (OECD, 2018).

117
Box-plot pada Gambar 4.3 menunjukkan sebaran rasio siswa-guru berdasarkan karakteristik
sekolah pada PISA 2018. Secara umum sebaran data rasio siswa-guru berdasarkan kelompok
karakeristik sekolah memiliki kecondongan positif, sebagian besar sekolah memiliki rasio siswa-
guru yang kecil. Sekolah di ibu kota provinsi, sekolah dengan rata-rata indeks sosial ekonomi
siswa di atas persentil 75%, dan SMA memiliki sebaran data lebih heterogen dibandingkan
dengan kelompok karakteristik sekolah lain, terutama pada 25% kelompok teratas rasio siswa-
guru. Jarak antar kuartil (kuartil 1 dan 3) sekolah-sekolah di ibu kota provinsi memiliki rasio
siswa-guru lebih besar dibandingkan dengan kelompok karakteristik sekolah lain. Sebaliknya,
kelompok sekolah Madrasah Aliyah (MA) dan sekolah negeri memiliki sebaran rasio siswa-
guru relatif homogen.

Gambar 4.3. Box-plot rasio siswa-guru berdasarkan karakteristik sekolah pada PISA 2018

Sumber daya untuk kegiatan di luar aktivitas belajar-mengajar


Kegiatan ekstrakurikuler dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk mempelajari
keterampilan-keterampilan penting, seperti kerjasama dan pemecahan masalah, serta untuk
menemukan bakat mereka. Tawaran kegiatan ekstrakurikuler yang kaya juga dapat digunakan
untuk menarik tipe keluarga tertentu ketika sekolah sedang bersaing menjaring siswa. Namun,
penawaran kegiatan ekstrakurikuler membutuhkan sumber daya yang tidak dimiliki oleh
semua sekolah, baik sumber daya keuangan maupun sumber daya manusia.

Pada 2018, survei PISA menanyakan kepala sekolah mengenai kegiatan ekstrakurikuler yang
ditawarkan kepada siswa kelas 9 atau kelas 10. Secara umum, ekstrakurikuler yang banyak
ditawarkan kepada siswa adalah olahraga (80%), pramuka (73%), dan aktivitas seni (61%).

118
Sedangkan ekstrakurikuler yang jarang ditawarkan oleh sekolah adalah kuliah umum atau
seminar (15%) dan klub buku (18%).

Berdasarkan status kepemilikan sekolah, tidak ada perbedaan mencolok dalam ekstrakurikuler
yang ditawarkan oleh sekolah negeri dan sekolah swasta. Kegiatan pramuka lebih banyak
ditawarkan oleh sekolah swasta dibandingkan sekolah negeri dengan selisih 8%.

Berdasarkan lokasi, sebesar 79,5% sekolah di perkotaan lebih banyak menawarkan kegiatan
kesukarelawanan. Persentase ini tidak jauh berbeda dengan sekolah di perkotaan yang
menawarkan aktivitas band, grup musik, dan paduan suara yaitu sebesar 75,8%.

Berdasarkan jenjang pendidikan, aktivitas seni, dan debat adalah ekstrakurikuler yang populer
di jenjang SMA. Sebanyak 81% SMA menawarkan ekstrakurikuler aktivitas seni dibandingkan
dengan jenjang lain yang hanya 52–69%. Sebanyak 41% sekolah SMA yang menawarkan
ekstrakurikuler klub/aktivitas debat. Sementara hanya 15–30% jenjang pendidikan lain
menawarkan ekstrakurikuler ini. Ekstrakurikuler kerjasama dengan perpustakaan daerah
adalah yang paling sedikit ditawarkan di jenjang SMA (14%). Di jenjang dan jenis sekolah
lain, kegiatan ini ditawarkan oleh lebih dari 20% sekolah. Ekstrakurikuler membuat buku
tahunan, koran, atau majalah populer di kalangan siswa MA. Ada 60% MA yang menawarkan
ekstrakurikuler ini. Sementara di jenjang pendidikan dan jenis sekolah lain, sekolah yang
menawarkan sebesar 23–30%.

Ekstrakurikuler yang populer di kalangan siswa MTs adalah klub pecinta buku. Sebanyak 26%
sekolah MTs menawarkan ekstrakurikuler ini. Sementara di jenjang dan jenis lain, hanya 26%
yang menawarkannya. MTs adalah yang paling sedikit (18–30%) menawarkan ekstrakurikuler
kerjasama dengan koran daerah.

Berdasarkan lokasi sekolah, ekstrakurikuler klub/aktivitas seni populer di sekolah-sekolah


yang berada di kota besar dan ibukota provinsi sebesar 95%. Hanya 70% sekolah di lokasi lain
yang menawarkannya. Pada sekolah berlokasi di kota besar, ekstrakurikuler kerjasama dengan
koran daerah, klub debat, dan pramuka hanya ditawarkan, secara berurutan, sebesar 8%,
12%, dan 22%. Di lokasi lain, 15–50% sekolah memiliki ekstrakurikuler koran daerah, 18–50%
klub debat, dan lebih dari 75% sekolah menawarkan ekstrakurikuler pramuka

Berdasarkan kategori status sosial ekonomi siswa, sekolah dengan rata-rata sosial ekonomi
siswa berada di kelompok 25% teratas memiliki persentase lebih besar dalam menawarkan
kegiatan ekstrakurikuler kepada siswanya. Sekolah dengan rata-rata kemampuan ekonomi
siswanya dibawah 25% adalah yang paling sedikit menawarkan kegiatan ekstrakurikuler
kepada siswanya.

Di sebagian besar negara peserta PISA, sekolah mempekerjakan macam-macam staf pendukung
selain guru dan staf administrasi, yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam
kegiatan pembelajaran. Staf pendukung dapat meliputi pendidik khusus, konselor karier,

119
psikolog sekolah, pekerja sosial, dokter, perawat, terapis pendidikan, pengawas jam makan
siang dan jam istirahat, serta satpam sekolah.

Melalui proses pengumpulan data mengenai level sistem data yang dilaksanakan bekerjasama
dengan pelaksana PISA di tingkatan nasional, PISA menghimpun data mengenai kebijakan
atau peraturan terkait penyediaan atau persyaratan bagi staf pendukung di SD, SMP, dan
SMA. Di Indonesia, staf pendukung pendidikan yang jamak dikenal adalah asisten pengajar
dan bimbingan karir, baik di tingkat pendidikan dasar maupun pendidikan menengah.

4.1.3. Keterkaitan antara sumber daya pengajaran dan SDM

Penelitian Murillo and Román (2011) dan Willms and Somer (2001) berdasarkan data Latin
American Laboratory for Assessment of the Quality of Education (LLECE) menunjukkan bahwa
sumber daya sekolah memiliki dampak mendasar di negara-negara berpendapatan menengah
dan rendah, bahkan setelah mempertimbangkan karakteristik sosial ekonomi siswa.

PISA bertanya kepada para kepala sekolah mengenai kondisi sumber daya yang ada di sekolah
dan sejauh mana sumber daya tersebut berdampak kepada kegiatan belajar mengajar.
Sumber daya dimaksud adalah yang terkait dengan sumber daya manusia dan sumber daya
pengajaran.

Pertanyaan tentang sumber daya manusia adalah bagaimana kuantitas dan kualitas tenaga
pendidik dan kependidikan di sekolah bersangkutan. Sementara yang terkait sumber daya
pengajaran adalah bagaimana kuantitas dan kualitas materi bahan ajar dan infrastruktur di
lingkungan sekolah.

Berdasarkan informasi kepala sekolah, OECD membuat indeks sumber daya manusia
(STAFFSHORT), dan sumber daya pengajaran (EDUSHORT). Untuk meningkatkan keterbacaan,
kedua indeks dikonversi ke dalam nilai 0–10, dengan 5 sebagai nilai tengah. Nilai tinggi
mengindikasikan sekolah mempunyai cukup sumber daya. Untuk Indonesia, rata-rata SDM
untuk sekolah adalah 6 dan rata-rata sumber daya pengajaran sekolah adalah 4. Hal ini
menunjukkan sekolah-sekolah di Indonesia relatif memiliki SDM yang cukup, tetapi kekurangan
dalam sumber daya pengajaran.

Gambar 4.4 menunjukkan pengelompokan jawaban kepala sekolah berdasarkan indeks


sumber daya manusia dan indeks sumber daya pengajaran. Nilai indeks kurang dari 3
mengindikasikan sekolah sangat kekurangan sumber daya; nilai indeks antara 3–4 berarti
sekolah kekurangan sumber daya, nilai indeks 4–6 mengindikasikan sekolah memiliki cukup
sumber daya; nilai indeks 6–7 berarti sekolah memiliki sumber daya yang tinggi; dan nilai
indeks di atas 7 mengindikasikan penguasaan sumber daya yang sangat tinggi.

120
Sumber: Database PISA 2018
Gambar 4.4. Persentase ketersediaan sumber daya sekolah

Sebanyak 8% sekolah mempunyai SDM sangat rendah dan 34% sekolah mempunyai sumber
daya pengajaran sangat rendah. Ada 20% sekolah memiliki SDM sangat tinggi dan 12% sekolah
memiliki sumber daya pengajaran sangat tinggi. Sekolah yang mengalami kekurangan SDM
dan sumber daya pengajaran sekaligus sebanyak 11%.

Analisis korelasi antara indeks ketersediaan SDM dan indeks ketersediaan sumber daya
pengajaran tersebut menunjukkan korelasi positif (r(347)=0,4, p<0,01). Itu berarti ada hubungan
erat antara tingkat ketersediaan SDM dengan tingkat ketersediaan sumber daya pengajaran.

Rata-rata status sosial ekonomi siswa juga berkontribusi positif terhadap indeks SDM dan
sumber daya pengajaran. Kontribusi rata-rata status sosial ekonomi siswa terhadap nilai
indeks SDM sebanyak 6% dan terhadap nilai indeks sumber daya pengajaran sebesar 7%.
Bersama-sama dengan faktor status kepemilikan sekolah (negeri/swasta), jenjang pendidikan,
dan lokasi sekolah, status sosial ekonomi berkontribusi 14% terhadap indeks SDM dan 13%
terhadap indeks sumber daya pengajaran.

Untuk keperluan perbandingan nilai indeks SDM dan sumber daya pengajaran antarputaran
PISA, digunakan nilai indeks orisinal dari OECD dengan arah nilai yang dibalik. Sehingga, nilai

121
rendah mengindikasikan kekurangan sumber daya dan nilai tinggi mengindikasikan kelebihan
sumber daya.

Dalam 18 tahun terakhir, sumber daya sekolah di Indonesia mengalami fluktuasi. Secara umum
indeks SDM tenaga pendidik di Indonesia meningkat perlahan dari putaran pertama PISA
hingga PISA 2015, lalu menurunan cukup drastis pada PISA 2018. Nilai tertinggi indeks SDM
Indonesia adalah 0,02 pada PISA 2015. Sedangkan tren sumber daya pengajaran Indonesia
cukup fluktuatif, meningkat cukup tajam dari putaran PISA 2000 hingga PISA 2006, dengan
rata-rata 1,9, menurun pada PISA 2009 hingga PISA 2015, dan stagnan pada PISA 2018.
Fluktuasi ini dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5. Tren sumber daya sekolah di Indonesia dalam tujuh putaran PISA

PISA juga menanyakan jumlah sumber daya teknologi informasi komunikasi (TIK) yang
tersedia khusus untuk pengajaran. Berdasarkan informasi dari kepala sekolah, PISA menyusun
faktor skor mengenai dukungan infrastruktur TIK dalam proses pembelajaran dan dukungan
peningkatan kemampuan TIK untuk guru yang dikonversi ke dalam skala 0–10, dengan nilai
5 sebagai median. Nilai rendah merupakan indikasi kekurangan dukungan infrastruktur TIK
untuk proses pembelajaran dan peningkatan kemampuan TIK guru. Rata-rata skor Indonesia
adalah 6 (SD=2,6) untuk kedua ukuran ini.

Gambar 4.6 menunjukkan persentase dukungan infrastruktur TIK dan dukungan peningkatan
kemampuan TIK guru. Tampak sekitar 18% sekolah di Indonesia kekurangan dukungan

122
infrastruktur TIK untuk pembelajaran, dan 20% kekurangan dukungan peningkatan kemampuan
TIK untuk guru.

Sebesar 51% sekolah di Indonesia memberikan dukungan infrastruktur TIK untuk kegiatan
belajar mengajar. Sebanyak 43% sekolah masuk dalam kategori tinggi dan sangat tinggi dalam
memberikan dukungan kepada guru untuk meningkatkan kemampuan TIK. Terdapat sekitar
13% sekolah yang kurang memberikan dukungan infrastruktur TIK dan dukungan peningkatan
kemampuan TIK untuk guru-gurunya.

Sebanyak 12% sekolah mempunyai sumber daya pengajar dengan karakteristik kurang
menguasai perangkat TIK sekaligus tidak memiliki waktu untuk menyiapkan bahan
pembelajaran yang terintegrasi dengan TIK; 5% sekolah memiliki guru yang menguasai TIK
tetapi tidak punya cukup waktu untuk mengaplikasikan kemampuan mereka di dalam proses
belajar mengajar.

Gambar 4.6. Persentase ketersediaan sumber daya TIK untuk mendukung proses
pembelajaran di sekolah

PISA juga menanyakan kepada para kepala sekolah, apakah mereka menawarkan pelajaran
tambahan, seperti pelajaran remedial atau pengayaan pelajaran Bahasa Indonesia. Hanya 22%
sekolah yang menawarkan pelajaran tambahan Bahasa Indonesia kepada para siswanya; 12%
sekolah memberikan pelajaran tambahan tersebut dengan tujuan remedial dan pengayaan.

Sekolah swasta lebih banyak memberikan pelajaran tambahan (15%) dibandingkan dengan
sekolah negeri (7%). Sebanyak 16% sekolah yang menawarkan pelajaran tambahan adalah

123
sekolah dari jenjang SMP/sederajat (SMP dan MTs). Berdasarkan lokasi, sekolah-sekolah
yang menawarkan pelajaran tambahan sebanyak 11% ada di daerah pedesaan, 8% di kota
kecamatan, dan selebihnya adalah sekolah yang berlokasi di kota kabupaten, ibu kota provinsi,
dan kota besar.

4.2. Bagaimana bentuk keragaman sumber daya sekolah di Indonesia

Kuesioner PISA 2018 melibatkan kepala sekolah dari 397 sekolah sampel sebagai representasi
85.368 sekolah di Indonesia. Perbedaan karakteristik sekolah-sekolah yang ada memberikan
gambaran keberagaman sumber daya sekolah di Indonesia. Karakteristik sekolah yang dibahas
dalam bagian ini adalah status kepemilikan sekolah (negeri dan swasta), jenjang dan jenis
pendidikan (SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK), lokasi sekolah (pedesaan, kota kecamatan, kota
kabupaten, ibu kota provinsi, kota besar), rata-rata status sosial ekonomi siswa.
Jumlah siswa/sekolah

Gambar 4.7. Box-plot rasio ukuran sekolah di Indonesia dalam tujuh putaran PISA.

4.2.1. Keragaman ukuran sekolah

Ukuran sekolah dalam pembahasan ini dipandang dari data tampung atau banyaknya siswa
yang mengenyam pendidikan di sana pada periode berjalan. Rata-rata ukuran sekolah
Indonesia pada PISA 2018 adalah 284 siswa (SD=323). Ukuran sekolah terkecil di Indonesia
adalah 10 siswa, sementara yang terbesar menampung hingga 2.423 siswa.

Gambar 4.7 menunjukkan tren sebaran ukuran sekolah di Indonesia selama tujuh putaran
PISA. Semenjak PISA 2000 hingga PISA 2018, kelompok 50% sekolah terkecil memiliki

124
ukuran kelas yang tidak terlampau beragam. Keberagaman ukuran kelas yang tinggi ada pada
kelompok 50% sekolah terbesar. Selama 18 tahun, dari PISA 2000 ke PISA 2018, Indonesia
berhasil mengecilkan ukuran kelas. Median ukuran kelas sekolah-sekolah di Indonesia pada
PISA 2018 adalah 133, merupakan yang terendah keikutsertaan Indonesia dalam PISA.

Catatan:
lingkaran mengindikasikan besar/kecilnya
jumlah siswa pada sekolah
Rasio guru-siswa

Indeks sos/ek

Gambar 4.8. Sebaran karakteristik sekolah Indonesia berdasarkan rasio siswa-guru, ukuran
sekolah, dan indek sosial ekonomi siswa

Gambar 4.8 menunjukkan sebaran karakteristik sekolah Indonesia berdasarkan rasio guru-
siswa, ukuran sekolah, dan indek sosial ekonomi. Dalam kategorisasi berdasarkan lokasi
sekolah, kelompok sekolah di ibu kota provinsi memiliki rata-rata jumlah siswa terbanyak,
yaitu 393 siswa, dan rata-rata rasio siswa-guru terbesar (terbesar dalam jumlah siswa yang
diajar oleh setiap satu orang guru). Berdasarkan status sosial ekonomi siswa, sekolah dengan
rata-rata siswa berstatus sosial ekonomi kurang mampu memiliki jumlah siswa paling sedikit.
Rata-rata jumlah siswa di sekolah negeri lebih banyak dibandingkan jumlah siswa di sekolah
swasta. Rata-rata perbedaannya sekitar 213 siswa (t(184,4)=5,5, p<0,01).

Pada setiap kategorisasi, sekolah yang memiliki jumlah siswa paling sedikit adalah yang masuk
dalam kelompok MTs, yaitu rata-rata 194 siswa, dengan signifikansi perbedaan antarkelompok
dalam kategori senilai F(4,326)=4,2 (p<0,01), dan sekolah di daerah pedesaan sebesar 159
siswa dengan signifikansi perbedaan antarkelompok F(4,325)=11,6 (p<0,01).

Indeks sosial ekonomi sekolah memberikan kontribusi 11% dalam variasi besar kecilnya jumlah
siswa. Bersama dengan status kepemilikan sekolah (negeri atau swasta), jenjang pendidikan,

125
dan lokasi sekolah, indeks sosial ekonomi berkontribusi 35% dalam variasi besar kecilnya
jumlah siswa di suatu sekolah.

Indeks sosial ekonomi sekolah memiliki asosiasi yang erat dengan jumlah siswa sekolah (R2=
0,13). Indeks sosial ekonomi sekolah didapat dengan mengagregasi indeks sosial ekonomi
siswa. Indeks sosial ekonomi siswa diperoleh dari kuesioner siswa yang menanyakan
mengenai pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan kepemilikan barang rumah tangga
(OECD, 2017b). Indeks sosial ekonomi 0 adalah kondisi rata-rata sosial ekonomi di Indonesia.
Rata-rata indeks sosial ekonomi sekolah di Indonesia adalah -0,73 (SD = 0,63) dengan nilai
indeks sekolah terendah -1,86 dan tertinggi 2,13. Hal ini menunjukkan indeks sosial ekonomi
sekolah-sekolah di Indonesia cenderung rendah dan berjarak lebar cukup lebar.

Indeks sosial ekonomi sekolah dapat diproyeksikan ke dalam kategorisasi sekolah berdasarkan
lokasi (desa atau kota) dan status kepemilikannya (swasta atau negeri). Lokasi sekolah
dibagi menjadi wilayah kota (urban) dan desa (rural) berdasarkan pada kepadatan jumlah
penduduknya. Sekolah di kawasan pedesaan adalah yang terletak di wilayah dengan populasi
kurang dari 100.000 orang. Sekolah di wilayah berpopulasi lebih dari 100.000 orang masuk
dalam kelompok sekolah di kota. Kuesioner PISA diisi oleh 86 sekolah yang berada di wilayah
perkotaan dan 275 sekolah yang berada di wilayah pedesaan. Sebanyak 36 sekolah tidak
memberikan keterangan mengenai lokasi sekolah. Berdasarkan status sekolah, kuesioner PISA
diisi oleh 145 sekolah sekolah negeri dan 217 sekolah swasta. Rata-rata indeks sosial-ekonomi
sekolah di Indonesia adalah -0,27 (SD= 0,71) dengan rentang indeks sosial-ekonomi sekolah
dari -2,0 hingga 2,3. Hal ini menunjukkan indeks sosial-ekonomi sekolah-sekolah di Indonesia
cenderung rendah dan terdapat jenjang yang cukup lebar.

Gambar 4.9a menunjukkan sebaran sekolah di desa dan kota berdasarkan indeks sosial
ekonomi. Sementara Gambar 4.9b merupakan visualisasi sebaran sekolah swasta dan sekolah
negeri berdasarkan indeks sosial ekonomi. Dalam Gambar 4.9a tampak bahwa sekolah-sekolah
di kota memiliki rata-rata indeks sosial ekonomi 0,19 (SD=0,66), lebih tinggi dibandingkan
dengan sekolah di desa (t(359)=7,1, p< 0,01) dan homogen. Rata-rata Indeks sosial ekonomi
sekolah di desa -0,39 (SD=0,66) dan heterogen dengan rentang yang lebar. Dapat disimpulkan
bahwa sekolah-sekolah di wilayah perkotaan cenderung memiliki indeks sosial ekonomi siswa
yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah-sekolah di wilayah pedesaan.

Rata-rata jumlah siswa yang bersekolah di perkotaan adalah 432 siswa (SD=433) dan rata-
rata jumlah siswa di sekolah pedesaan adalah 238 siswa (SD=265). Hal ini tergambarkan
dari sebaran sekolah-sekolah perkotaan, disimbolkan dengan titik-titik berwarna biru, yang
cenderung mengumpul di sebelah kanan plot pencar.

Sekolah dengan indeks sosial ekonomi sekolah setara rata-rata indeks sosial ekonomi Indonsia
memiliki rata-rata jumlah siswa 386 untuk sekolah yang terletak di kota dan 275 siswa untuk
sekolah yang terletak di desa. Indeks sosial ekonomi sekolah berpengaruh 16% terhadap
jumlah siswa sekolah di kota dan kurang dari 1% terhadap jumlah siswa sekolah di desa.

126
Peningkatan satu poin indeks sosial ekonomi sekolah setara dengan kenaikan 258 siswa untuk
sekolah di kota dan 91 siswa untuk sekolah di desa.
Jumlah siswa/sekolah

Wilayah Urban Wilayah Rural Linear (Urban) Linear (Rural)

Gambar 4.9a. Sebaran sekolah Indonesia berdasarkan jumlah siswa per sekolah dan indeks
sosial ekonomi dilihat berdasarkan lokasi sekolah
Jumlah siswa/sekolah

Wilayah Urban Wilayah Rural Linear (Urban) Linear (Rural)

Gambar 4.9b. Sebaran sekolah Indonesia berdasarkan jumlah siswa per sekolah dan indeks
sosial ekonomi dilihat berdasarkan status kepemilikan sekolah

127
Dalam Gambar 4.9b tampak bahwa sekolah negeri cenderung mengelompok di bagian atas
plot pencar, dan sekolah swasta di sisi sebaliknya, yang menunjukkan jumlah rata-rata siswa
sekolah negeri (416 siswa, SD=390) lebih banyak dibandingkan dengan sekolah swasta (203
siswa, SD=241). Nilai rata-rata indeks sosial ekonomi sekolah negeri adalah -0,16 (SD=0,68)
dan rata-rata indeks sosial ekonomi sekolah swasta adalah -0,39 (SD=0,72). Hal ini berarti rata-
rata indeks sosial ekonomi siswa di sekolah negeri lebih rendah dibandingkan siswa di sekolah
swasta (t(359)= -2.99, p< 0,01). Kontribusi indeks sosial ekonomi terhadap jumlah siswa lebih
besar pada sekolah negeri, sebesar 39%, dibandingan dengan di sekolah swasta yang kurang
dari 1%. Sekolah negeri dengan indek sosial ekonomi setara rata-rata nasional memiliki jumlah
siswa sekitar 562, dengan kenaikan satu poin indeks sosial ekonomi setara dengan kenaikan
340 siswa. Sedangkan sekolah swasta dengan indek sosial ekonomi setara rata-rata nasional
memiliki jumlah siswa sekitar 218, dengan kenaikan satu poin indeks setara dengan kenaikan
87 siswa.

4.2.2. Keragaman ukuran kelas, rasio siswa-guru, dan pengalaman guru di


sekolah-sekolah

Menciptakan kelas kecil atau menugaskan lebih banyak guru merupakan kebijakan merespon
masalah banyaknya siswa. Persoalannya, ketersediaan guru sering tidak sebanding dengan
banyaknya siswa. Hal ini merupakan dampak dari kepadatan populasi. Sekolah di desa memiliki
kelas kecil dan rasio siswa-guru yang juga kecil karena terletak di wilayah berpopulasi terbatas.
Jadi meski jumlah guru terbatas, terbatas pula jumlah siswa. Sebaliknya di sekolah perkotaan,
jumlah guru yang banyak diimbangi pula oleh banyaknya jumlah siswa.

Tantangan lain dalam dunia pendidikan adalah keragaman karakteristik guru yang membentuk
pola tertentu. Pada sebagian besar negara peserta PISA, tenaga pengajar banyak dialokasikan
ke sekolah-sekolah kurang berprestasi. Kebijakan menambah alokasi guru di sekolah-sekolah
kurang berprestasi sering dilakukan dengan mengorbankan mutu, sebab guru-guru baru yang
ditempatkan tidak selalu mempunyai cukup keahlian mengajar (OECD, 2018).

Di Indonesia, ada rata-rata 40% guru tersertifikasi pada setiap sekolah, tetapi dengan
komposisi beragam berdasarkan karakteristik sekolah. Sekolah negeri dan sekolah yang
terletak di kota memiliki lebih dari 50% proporsi guru tersertifikasi. Sebaliknya sekolah swasta,
MTs, dan sekolah dengan rata-rata indeks sosial ekonomi siswanya di bawah persentil 25%
memiliki proporsi guru tersertifikasi hanya sekitar 33%. Karakteristik sekolah responden PISA
berdasarkan proporsi guru tesertifikasi dapat dilihat pada gambar 4.10

128
Gambar 4.10. Proporsi guru tersertifikasi berdasarkan karakteristik sekolah

Terkait keragaman rasio siswa-guru di Indonesia, Gambar 4.11a menunjukkan sebaran rasio
siswa-guru dan indeks sosial ekonomi berdasarkan lokasi sekolah. Gambar 4.11b menunjukkan
sebaran rasio siswa-guru dan indeks sosial ekonomi berdasarkan status kepemilikan sekolah.
Indeks sosial ekonomi memiliki hubungan yang erat dengan rasio siswa-guru meskipun
sumbangan efektifnya hanya 1%. Khusus untuk sekolah negeri di perkotaan, sumbangan
efektif indeks sosial ekonomi terhadap rasio siswa-guru adalah 5%.
Ukuran kelas

Gambar 4.11a.
Sebaran
ukuran kelas
dan indeks
sosial ekonomi
berdasarkan
lokasi sekolah

Indeks sosial Ekonomi


Keterangan:
gelembung menunjukkan ukuran sekolah Sekolah perkotaan Sekolah pedesaan

129
Ukuran kelas

Indeks sosial Ekonomi


Keterangan:
gelembung menunjukkan ukuran sekolah Sekolah Negeri Sekolah Swasta

Gambar 4.11b. Sebaran ukuran kelas dan indeks sosial ekonomi berdasarkan status
kepemilikan sekolah.

Data kuesioner PISA 2018, yang telah melalui pengujian statistik, menunjukkan bahwa sekolah
di perkotaan memiliki rasio siswa-guru lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan
(t(15499,24)= 25,18, p< 0,01). Data juga menunjukan, rata-rata rasio siswa-guru sekolah negeri
lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah swasta (t(66630,28)= 38,41, p< 0,01). Gambar 4.12a
menyatakan kondisi ini, dengan distribusi titik-titik representasi sekolah di perkotaan yang
konsisten mengumpul di tengah plot pencar, mengindikasikan rasio siswa-guru lebih besar. Di
dalam Gambar 4.11b, tampak bahwa sekolah-sekolah dengan rasio siswa-guru kecil didominasi
oleh sekolah swasta. Hal ini dikorfirmasi dalam analisis uji beda.

Gambar 4.12a menunjukkan keterkaitan antara ukuran kelas, indeks sosial ekonomi, dan lokasi
sekolah. Bulatan-bulatan merepresentasikan sekolah dan ukurannya menunjukkan jumlah
siswa. Indeks sosial ekonomi memiliki asosiasi yang erat dengan ukuran kelas. Sumbangan
efektif indeks sosial ekonomi terhadap ukuran kelas secara umum adalah 13%. Jika sekolah
dibagi berdasarkan lokasi, sumbangan kontribusi indeks sosial ekonomi terhadap ukuran kelas
turun tajam, menjadi hanya 2% untuk sekolah di kota dan 1% untuk sekolah di desa. Gambar
4.12.b menunjukkan keterkaitan antara ukuran kelas, indeks sosial ekonomi, dan status
kepemilikan sekolah. Sumbangan efektif indeks sosial ekonomi siswa terhadap ukuran kelas di
sekolah negeri sebesar 2% dan di sekolah swasta 3%.

130
Rasio siswa-guru

Indeks sosial Ekonomi


Keterangan:
gelembung menunjukkan ukuran sekolah Sekolah perkotaan Sekolah pedesaan

Gambar 4.12a. Sebaran rasio siswa-guru dan indeks sosial ekonomi berdasarkan lokasi
sekolah
Rasio siswa-guru

Indeks sosial Ekonomi


Keterangan:
gelembung menunjukkan ukuran sekolah Sekolah Negeri Sekolah Swasta

Gambar 4.12b. Sebaran rasio siswa-guru dan indeks sosial ekonomi berdasarkan status
kepemilikan sekolah

131
4.2.3. Keragaman dalam sumber daya manusia dan pengajaran di sekolah-
sekolah

Ada empat indeks yang digunakan PISA untuk menganalisis keragaman sumber daya di
sekolah, yaitu indeks ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) tenaga pengajar;
indeksi ketersediaan dan kualitas sumber daya pengajaran seperti infrastruktur sekolah,
sarana-prasarana, dan materi pengajaran; indeks kualitas teknologi informasi dan komunikasi
sumber daya manusia (TIK SDM) tenaga pengajar; dan indeks kualitas sumber daya pengajaran
teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Gambar 4.13 menunjukkan profil karakteristik sekolah di Indonesia berdasarkan kecukupan


SDM dan sumber daya pengajaran. Garis bujur menunjukkan nilai indeks sumber daya
pengajaran; garis lintang menunjukkan nilai indeks SDM. Pertemuan garis lintang dan garis
bujur adalah nilai rata-rata indeks.

Gambar 4.13. Profil sekolah Indonesia berdasarkan sumberdaya sekolah

Garis lintang dan garis bujur, membagi kelompok karakteristik sekolah di Indonesia ke
dalam empat kuadran. Kuadran 3 penting diperhatikan, sebab mengindikasikan kelompok
karakteristik sekolah dengan sumber daya manusia dan sumber daya pengajaran kurang dari
rata-rata. Pada wilayah ini terdapat Madrasah Tsanawiyah (MTs), sekolah negeri, sekolah
di pedesaan dan kota kecamatan, serta sekolah dengan rata-rata sosial ekonomi siswanya
berada pada kategori 25% terbawah.

132
Rasio siswa-komputer merupakan indikator sederhana mengenai jumlah komputer yang
tersedia untuk siswa. Rasio ini dihitung melalui pembagian jumlah siswa di kelas sembilan atau
sepuluh di sekolah dengan jumlah total komputer di sekolah. Rata-rata rasio siswa-komputer
di Indonesia adalah 1 komputer untuk 4 siswa.

Penggunaan komputer di sekolah meningkat secara tajam dalam tiga tahun terakhir. Pada PISA
2015, rata-rata rasio siswa-komputer di kelas 9 dan 10 adalah 10 orang siswa berbanding 1
unit komputer. Pada PISA 2018, jumlah sekolah yang tidak memiliki komputer turun tajam, dari
18,2% pada PISA 2018 menjadi 3,6% pada PISA 2018. Hal ini kemungkinan besar disebabkan
kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Jika ditelisik lebih jauh,
sebagian besar sekolah yang belum memiliki komputer berada di wilayah pedesaan dengan
proporsi sekitar 3%, dan dimiliki swasta dengan proporsi 3,5%.

Indeks sosial ekonomi, lokasi dan status kepemilikan sekolah memiliki asosiasi yang erat
dengan tinggi rendahnya rasio komputer di sekolah. Sekolah di wilayah perkotaan cenderung
memiliki rasio siswa-komputer lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah di wilayah pedesaan.
Rasio siswa-komputer pada sekolah swasta lebih tinggi dibanding dengan sekolah negeri.
Yang menarik, sekolah dengan rata-rata indeks sosial ekonomi siswa rendah memiliki rasio
komputer-siswa yang tinggi.

Sumbu X: Dukungan infrastruktur TIK untuk pembelajaran


Gambar 4.14. Profil sekolah Indonesia berdasarkan dukungan sumber daya TIK untuk
pembelajaran

133
Gambar 4.14 menunjukkan peta sebaran ketersediaan sumber daya TIK di Indonesia antara
berbagai kelompok karakteristik sekolah. Berdasarkan Gambar 4.14, cukup banyak kelompok
karakteristik sekolah di Indonesia yang termasuk kuadran 3, yaitu yang memiliki dukungan
infrastruktur untuk TIK pembelajaran dan dukungan peningkatan kemampuan guru TIK di
bawah rata-rata Indonesia.

Sekolah dengan rata-rata siswa berada di kelompok sosial ekonomi 35% terbawah berada di
posisi yang mengkhawatirkan, yaitu memiliki nilai paling rendah dalam dukungan infrastruktur
dan dukungan terhadap guru untuk menguasai TIK dalam pembelajaran.

4.2.4. Keragaman sumber daya manusia secara internasional

Rasio siswa-guru dan ukuran kelas bermanfaat dalam menghitung kebutuhan kapasitas
sumber daya guru cadangan di tiap-tiap sekolah. Umumnya ada hubungan positif antara
ukuran kelas dan rasio siswa-guru. Namun, sistem pendidikan di sejumlah kota atau negara,
seperti Tiongkok, Buenos Aires, Argentina, Georgia, Jepang, dan Singapura memiliki kelas-kelas
besar dan rasio siswa-guru rendah. Di tempat-tempat ini, guru memiliki lebih banyak waktu
untuk mempersiapkan kelas, mengatur kegiatan remedial atau pengayaan, serta menjalankan
tugas sekolah selain mengajar. Sebaliknya, ada juga sistem pendidikan yang memiliki kelas
kecil dan rasio siswa-guru besar, seperti di Jerman, Irlandia, Belanda, Selandia Baru, Rusia,
Britania Raya, dan Amerika Serikat.

Di Indonesia terdapat hubungan yang positif antara ukuran kelas dan rasio siswa-guru (r= 0,3,
p< 0,01). Semakin kecil ukuran kelas, kian kecil pula rasio siswa-guru. Sebagaimana dijabarkan
sebelumnya, umumnya ukuran kelas di Indonesia kurang dari 15 siswa dan rata-rata rasio
siswa-guru adalah 14 (SD= 11 siswa). Sebagian besar guru dan kelas di Indonesia berada di
daerah pedesaan.

Gambar 4.15 yang menunjukkan scatter-plot rasio siswa-guru dengan jumlah siswa per kelas
negara-negara peserta PISA berdasarkan data PISA 2018. Indonesia memiliki rata-rata rasio
siswa-guru dan rata-rata ukuran kelas relatif di tengah dibandingkan dengan negara-negara
PISA lainnya. Sedangkan negara seperti Meksiko dan Filipina memiliki rata-rata siswa-guru
dan rata-rata jumlah siswa per kelas relatif besar dibandingkan dengan negara peserta PISA
lainnya. Sedangkan negara-negara seperti Malta dan Finlandia memiliki rasio siswa-guru dan
rata-rata siswa per kelas relatif kecil dibandingkan dengan negara PISA lainnya.

134
Sumber: Database PISA 2018
Gambar 4.15. hubungan antara rasio siswa-guru dengan jumlah siswa per kelas

4.3. Model sumber daya sekolah terhadap prestasi siswa

Beragam sumber daya sekolah bertujuan untuk meningkatkan prestasi siswa. Oleh karena
itu diperlukan analisis data-data kuesioner PISA 2018 yang menghasilkan model pengaruh
sumber daya pendidikan dan status kepemilikan sekolah, dan rata-rata indeks sosial ekonomi
siswa terhadap prestasi membaca siswa Indonesia pada PISA 2018.

Karakteristik dan sumber daya sekolah mengambil peranan penting dalam peningkatan
kompetensi membaca siswa. Tabel 4.1 menampakkan kontribusi peningkatan indeks sosial
ekonomi terhadap peningkatan kemampuan membaca siswa pada sekolah-sekolah dengan
karakteristik berbeda. Tabel 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata nilai membaca di sekolah SMA
dan MA cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan jenjang pendidikan yang lain dan rata-
rata membaca sekolah-sekolah di ibu kota provinsi lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah-
sekolah di lokasi lainnya. Model pada Tabel 4.1 menjelaskan sekitar 64% dari perubahan rata-
rata kemampuan membaca di suatu sekolah. Salah satu kenyataan menarik, faktor proporsi
guru tersertifikasi dan dukungan sekolah terhadap peningkatan kemampuan TIK guru
berkontribusi negatif terhadap rata-rata nilai membaca.

135
Tabel 4.1. Tabel pengaruh sumber daya dan karakteristik sekolah terhadap rata-rata nilai
membaca sekolah

4.4. Sumber daya sekolah pada PISA 2018

Pendapat umum menyatakan semakin besar sumber daya yang dimiliki sekolah, kian tinggi
pula prestasi siswa. Namun, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pada satu titik, ketika
sumber daya sekolah telah terpenuhi, sumber daya tambahan untuk mencapai prestasi
belajar yang lebih baik tidak diperlukan lagi (Burtless, 1996; Nannyonjo, 2007; Nicoletti &
Rabe, 2012; OECD, 2016; OECD, 2013; Suryadarma, 2012; Wei, Clifton, & Roberts, 2011). Hal
ini menyiratkan bahwa pemerintah, sekolah, dan keluarga juga perlu memperhatikan tentang
bagaimana sumber daya pendidikan dialokasikan dan digunakan; sumber daya sekolah yang
mana yang benar-benar meningkatkan prestasi siswa, serta seberapa besar biaya sebenarnya
yang dikeluarkan dalam proses pendidikan. Setiap penambahan satuan anggaran pendidikan
hanya dapat digunakan sekali saja, sehingga pembuat kebijakan perlu menyesuaikan berbagai
faktor sumber daya secara tepat. Artinya, ketika diputuskan bahwa anggaran pendidikan
digunakan untuk satu atau beberapa fokus kebijakan. Misalnya, jika anggaran difokuskan

136
untuk peningkatan gaji guru, penambahan jam pelajaran siswa, pengembangan profesi guru,
peningkatan sumber daya pendidikan, atau untuk infrastruktur sekolah, fokus kebijakan
tersebut sudah berdasar pada kondisi yang terjadi di lapangan dan berdasar pada kajian
kebijakan yang matang. Para pembuat kebijakan perlu mengetahui apakah prestasi belajar
akan meningkat efektif bila jam pelajaran ditambah atau produktivitas ditingkatkan; mengatur
keimbangan yang lebih baik antara waktu mengajar dan waktu non-mengajar, dan sebagainya.

Tidak kalah penting, para pembuat kebijakan harus memutuskan bagaimana mendistribusikan
sumber daya pendidikan ke semua sekolah, dan bagaimana menyelaraskan sumber daya
tambahan dengan kondisi sosial ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Sejumlah
penelitian menyarankan, peningkatan sumber daya pendidikan yang diberikan kepada siswa
dan sekolah kurang mampu berdampak positif bagi prestasi siswa dan peningkatan kesetaraan
pendidikan (Bressoux, Kramarz, & Prost, 2009; Lavy, 2012; Henry, Fortner, & Thompson, 2010;
Bouguen, Grenet, & Gurgand, 2017).

PISA memperlihatkan bahwa di dalam sistem pendidikan yang berprestasi tinggi, sumber daya
cenderung dialokasikan lebih merata kepada sekolah-sekolah yang secara sosial ekonomi
mampu dan kurang mampu (OECD, 2016). PISA juga memperlihatkan perbedaan fokus
anggaran pendidikan di antara negara-negara peserta. Oleh karena itu, melihat kebijakan dan
praktik pendidikan negara lain sangat bermanfaat untuk memperkaya khazanah referensi
kebijakan pendidikan di Indonesia.

Pada Bab 6 nanti akan membahas lebih jauh implikasi kebijakan dari temuan-temuan yang
dipaparkan di dalam bab ini. Bab 6 termasuk usulan kebijakan alternatif terkait dengan
pengalokasian sumber daya sekolah yang dapat dijadikan bahan kajian kebijakan berdasarkan
konteks Indonesia. Semua usulan kebijakan di Bab 6 berangkat dari temuan-temuan analisis
PISA.

137
DAFTAR PUSTAKA

Allison-Jones, L. & Hirt, J. (2004), “Comparing the Teaching Effectiveness of part-time and
full-time clinical nurse faculty”, Nursing Education Perspectives, Vol. 25/5, https://
journals.lww.com/neponline/Fulltext/2004/09000/Comparing_the_Teaching_
Effectiveness_of_PART_TIME.12.aspx.
Baker, D., B. Goesling, & G. LeTendre (2002), “Socioeconomic Status, School Quality, and
National Economic Development: A Cross-National Analysis of the ‘Heyneman-
Loxley Effect’ on Mathematics and Science Achievement”, Comparative Education
Review, Vol. 46/3, pp. 291–312, doi:10.1086/341159.
Barber, M. & M. Mourshed. (2007), “How the world’s best-performing schools come out
on top. McKinsey & Co.”, http://mckinseyonsociety.com/how-the-worlds-best-
performing-schools-come-out-on-top/ (accessed on 24 November 2017).
Bouguen, A. J. Grenet, & M. Gurgand (2017), La taille des classes influence-t-elle la
réussite scolaire ? In Les notes de l’IPP, Institut des Politiques Publiques, Paris,
https://www.ipp.eu/wp-content/uploads/2017/09/n28-notesIPP-sept2017.pdf
(accessed on 1 January 2017).
Bressoux, P., F. Kramarz, & C. Prost (2009), “Teachers’ Training, Class Size and Students’
Outcomes: Learning from Administrative Forecasting Mistakes”, The Economic
Journal, Vol. 119/536, pp. 540–561, doi:10.1111/j.1468-0297.2008.02247.x.
Burtless, G. (1996), Does money matter? : the effect of school resources on student
achievement and adult success, Brookings Institution Press, Washington D.C.
Chetty, R. et al. (2010), “How Does Your Kindergarten Classroom Affect Your Earnings?
Evidence From Project STAR”, The Quartely Journal of Economic, Oxford University
Press, Vol. 126/4, pp. 1593–1660, doi:10.3386/w16381.
Dynarski, S., J. Hyman & D. Schanzenbach (2013), “Experimental Evidence on the Effect
of Childhood Investments on Postsecondary Attainment and Degree Completion”,
Journal of Policy Analysis and Management, Vol. 32/4, pp. 692–717, doi:10.1002/
pam.21715.
Fredriksson, P., B. Öckert & H. Oosterbeek (2012), “Long-Term Effects of Class Size”, The
Quarterly Journal of Economics, 128(1), 249-285, doi:10.1093/qje/qjs048.
Hanushek, E.A & S. Rivkin (2006), Chapter 18 Teacher Quality. In Handbook of

138
the Economics of Education, pp. 1051–1078, Elsevier, doi:10.1016/s1574-
0692(06)02018-6.
Hanushek, E.A, M. Piopiunik & S. Wiederhold (2014), “The Value of Smarter Teachers:
International Evidence on Teacher Cognitive Skills and Student Performance”. The
Journal of Human Resources, Vol. 54/4, pp. 857-899, doi:10.3386/w20727.
G. Henry, C. Fortner & C. Thompson (2010), “Targeted Funding for Educationally
Disadvantaged Students”, Educational Evaluation and Policy Analysis, Vol. 32/2,
pp. 183–204, doi:10.3102/0162373710370620.
Kemdikbud (2019), Rasio Siswa Ruang Kelas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
RI, http://spasial.data.kemdikbud.go.id/index.php/cdashboard/data/000000/1/
B75705F0-562A-4651-9CF5-1D9A4BD924FB/6/2016.
Lavy, V. (2012), Expanding School Resources and Increasing Time on Task: Effects of
a Policy Experiment in Israel on Student Academic Achievement and Behavior,
National Bureau of Economic Research, Cambridge, MA, doi:10.3386/w18369.
Lockheed, M. et al. (1988), School effects on student achievement in Nigeria and
Swaziland, https://econpapers.repec.org/paper/wbkwbrwps/71.htm (accessed
on 16 July 2018).
Metzler, J. & L. Woessmann (2012), “The impact of teacher subject knowledge on
student achievement: Evidence from within-teacher within-student variation”,
Journal of Development Economics, Vol. 99/2, pp. 486–496, doi:10.1016/j.
jdeveco.2012.06.002.
Murillo, F. & M. Román (2011, “School infrastructure and resources do matter: analysis
of the incidence of school resources on the performance of Latin American
students”, School Effectiveness and School Improvement, Vol. 22/1, pp. 29–50, doi
:10.1080/09243453.2010.543538
Nannyonjo, H. (2007), Education Inputs in Uganda, The World Bank, doi:10.1596/978-
0-8213-7056-8.
Nicoletti, C. & B. Rabe (2012), The effect of school resources on test scores in England,
Institute for Economic and Social Research, www.iser.essex.ac.uk/publications/
working-papers/iser/2012-13.pdf.
OECD (2012), Does Money Buy Strong Performance in PISA?, In PISA in Focus, Vol. 2012,
OECD Publishing, Paris, doi:http://dx.doi.org/10.1787/5k9fhmfzc4xx-en.
OECD (2013), PISA 2012 Results: What Makes Schools Successful Volume IV, Resources,
Policies and Practices, In PISA, OECD Publishing, Paris, doi:http://dx.doi.
org/10.1787/9789264201156-en.
OECD (2016a), Cumulative expenditure by educational institutions per student aged 6 to
15 (2013), OECD Publishing, Paris, doi: http://dx.doi.org/10.1787/888933436513.
OECD (2016b), Low-Performing Students: Why They Fall Behind and How To
Help Them Succeed, In PISA, OECD Publishing, Paris, doi:http://dx.doi.
org/10.1787/9789264250246-en.
OECD (2017a), Indicator B1 How Much is Spent Per Student? In Education at a Glance
2017: OECD Indicators, OECD Publishing, Paris, doi:http://dx.doi.org/10.1787/
eag-2016-16-en.

139
OECD (2017b), PISA 2015: Technical Report, OECD Publishing, Paris.
OECD (2018), Effective Teacher Policies: Insights from PISA, OECD Publishing, Paris,
doi:10.1787/9789264301603-en.
OECD (2018) Effective Teacher Policies: Insights from PISA, In PISA, OECD Publishing,
Paris. doi:https://dx.doi.org/10.1787/9789264301603-en.
Palardy, G. & R. Rumberger (2008), “Teacher Effectiveness in First Grade: The Importance
of Background Qualifications, Attitudes, and Instructional Practices for Student
Learning”, Educational Evaluation and Policy Analysis, Vol. 30/2, pp. 111–140,
doi:10.3102/0162373708317680.
Suryadarma, D. (2012), “How corruption diminishes the effectiveness of public spending
on education in Indonesia”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 48/1, pp.
85–100, doi:10.1080/00074918.2012.654485.
UNESCO (2017), Global Education Monitoring Report 2017/8: Accountability in Education,
UNESCO Publishing, Paris, https://en.unesco.org/gem-report/.
UIS (2019a), Education: Expenditure on education as a percentage of total government
expenditure (all sectors), UNESCO Institute for Statistics, http://data.uis.unesco.
org/# (accessed on 14 May 2019).
UIS (2019b), Education: Government expenditure on Education as Percentage of GDP,
UNESCO Institute for Statistics, http://data.uis.unesco.org/# (accessed on 14 May
2019).
Wei, Y., R.A. Clifton & L.W. Roberts (2011), “School Resources and the Academic
Achievement of Canadian Students”, Alberta Journal of Educational Research, Vol.
57/4, pp. 460–478, https://ajer.journalhosting.ucalgary.ca/index.php/ajer/article/
view/949 (accessed on 16 July 2018).
Willms, J. & M.A. Somer (2001), “Family, Classroom, and School Effects on Childrens
Educational Outcomes in Latin America”, School Effectiveness and School
Improvement, Vol. 12/4, pp. 409–445, doi:10.1076/sesi.12.4.409.3445.
Willms, J. & M.A. Somer (2001), “Family, Classroom, and School Effects on Childrens
Educational Outcomes in Latin America”, School Effectiveness and School
Improvement, Vol. 12/4, pp. 409–445, doi:10.1076/sesi.12.4.409.3445.
Wößmann, L. & M. West (2006), “Class-size effects in school systems around the world:
Evidence from between-grade variation in TIMSS”, European Economic Review,
Vol. 50/3, pp. 695–736, doi:10.1016/j.euroeco

140
141
Bab 5
Fondasi Keberhasilan
Pendidikan di Indonesia:
Lingkungan Belajar

Bab 5 menganalisis aspek-aspek inti lingkungan belajar tempat tumbuh kembang


dan belajar siswa usia 15 tahun yang meliputi rasa betah siswa di sekolah, waktu
yang dicurahkan untuk belajar, kualitas pengajaran di sekolah, serta dukungan
keluarga terhadap anak dan sekolah. Bab ini secara khusus menjelaskan perbedaan
keberadaan fondasi-fondasi ini bagi keberhasilan pendidikan di antara siswa dan
sekolah di Indonesia.

Indek rasa-memiliki berasosiasi Siswa laki-laki lebih sering Sekolah jenjang SMP sederajat
positif dengan kemampuan mengalami perundungan dengan rasio guru-siswa besar,
membaca dan kepuasan hidup. dibandingkan siswa perempuan. dan rata-rata indek-rasa memiliki
Indek rasa-memiliki siswa SMA Selain itu, perundungan sekolah rendah cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan berasosiasi positif dengan memiliki persentase perundungan
siswa SMP, indek rasa-memiliki indek sosial/ekonomi, sekolah yang tinggi, sekitar 56%,
siswa laki-laki lebih tinggi perkotaan, sekolah SMA, dan dibandingkan dengan sekolah
dibandingkan siswa perempuan, sekolah umum. Akan tetapi jenjang SMA sederajat, dengan
dan siswa perkotaan memiliki berasosiasi negatif dengan rasio guru-siswa yang rendah.
indek-rasa memiliki yang lebih indek rasa-memiliki sekolah dan Sekolah dengan karakteristik
tinggi dibandingkan dengan kepuasan hidup. tersebut memiliki persentase
siswa pedesaan. perundungan sekitar 5%.

142
Karakteristik siswa yang rentan Karakteristik siswa yang rentan Siswa laki-laki yang bersekolah
untuk membolos adalah siswa untuk terlambat sekolah adalah di SMP swasta dengan latar
laki-laki SMP swasta dengan siswa laki-laki SMP swasta dengan belakang sosial/ekonomi tinggi,
latar belakang sosial/ekonomi latar belakang sosial/ekonomi sering dirundung, rasa memiliki
rendah, sering dirundung, rasa tinggi, sering dirundung, rasa terhadap sekolah yang rendah,
memiliki terhadap sekolah yang memiliki terhadap sekolah yang kepuasan hidup rendah memiliki
rendah, kepuasan hidup rendah rendah, kepuasan hidup rendah kemungkinan untuk membolos
memiliki kemungkinan untuk memiliki kemungkinan untuk kelas sebesar 77%, sedangkan
membolos kelas sebesar 66%, terlambat sekolah sebesar 55%, siswa dengan karakter yang
sedangkan siswa dengan karakter sedangkan siswa dengan karakter bertolak belakang dengan
yang bertolak belakang dengan yang bertolak belakang dengan karakter tersebut hanya memiliki
karakter tersebut hanya memiliki karakter tersebut hanya memiliki kemungkinan 6% untuk membolos
kemungkinan 6% untuk membolos kemungkinan 9% untuk terlambat kelas.
kelas. sekolah.

Siswa dengan guru kurang mampu Indek pengajaran dan indek umpan Orang tua dari sekolah-sekolah
menjelaskan materi pembelajaran balik pengajaran berasosiasi di kota besar cenderung memiliki
dan kurang memberi umpan balik negatif dengan indek sosial/ partisipasi rendah organisasi
memiliki kemampuan membaca ekonomi sekolah. Sekolah dengan wali murid sekaligus rendah pula
lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata indek sosial/ekonomi dalam inisiatif mendiskusikan
siswa yang memiliki guru yang tinggi cenderung memiliki indek perkembangan pendidikan
mampu menjelaskan materi pengajaran dan indek umpan anaknya dengan guru. Sebaliknya,
pembelajaran dan memberi umpan balik pengajaran yang rendah. orang tua dari sekolah-sekolah
balik. Siswa dengan guru yang Indek sosial/ekonomi memberi di ibukota provinsi cenderung
dapat mengontrol kelas memiliki sumbangsih 10 dan 8% terhadap memiliki partisipasi tinggi dalam
kemampuan membaca lebih incek pengajaran dan indek umpan organisasi wali murid dan inisiatif
tinggi dibandingkan dengan siswa balik pengajaran. tinggi dalam mendiskusikan
dengan guru yang kurang mampu perkembangan pendidikan
mengontrol kelasnya. anaknya dengan guru.

Sejauh manakah faktor-faktor pendorong keberhasilan pendidikan di sekolah bermanfaat


bagi siswa Indonesia? Bagaimana kontribusi keluarga terhadap keberhasilan pendidikan siswa
Indonesia? Bab ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menguraikan empat
faktor pendorong keberhasilan pendidikan di sekolah, yakni: rasa-memiliki sekolah, waktu
belajar di sekolah, kualitas pengajaran di sekolah, dan dukungan keluarga. Faktor-faktor yang
disebut fondasi keberhasilan pendidikan ini lebih banyak berkaitan dengan perkembangan
anak-anak usia 10 hingga 15 tahun.

Bab ini merupakan kelanjutan Bab 4 yang memaparkan laporan tentang sejauh mana
sumber daya pendidikan, khususnya sumber daya pengajaran, bahan pengajaran, dan guru,
dapat menciptakan kondisi yang baik untuk belajar. Pembahasan bab ini secara khusus

143
dititikberatkan pada sejauh mana siswa mampu belajar dalam iklim dan lingkungan yang
mendukung pencapaian optimal.

Lingkungan belajar untuk siswa usia 15 tahun dapat digambarkan sebagai kualitas dan karakter
kehidupan sekolah (Cohen et al., 2009). Lingkungan tersebut bisa jadi merupakan lingkungan
sekolah yang aman, menyatukan, dan mendorong perilaku kerjasama. Di sisi lain, lingkungan
sekolah bisa menjadi tidak aman, memecah belah, dan mendorong perilaku persaingan tidak
sehat.

Lingkungan belajar dapat berperan positif atau sebaliknya negatif bagi siswa. Banyak
penelitian menyatakan bahwa lingkungan sekolah berpengaruh terhadap siswa dan pegawai
sekolah. Iklim sekolah dapat memengaruhi motivasi belajar siswa, kebanggaan diri (Eccles et
al., 1993; (Hoge, Smit & Hanson, 1990), kecenderungan meniru perilaku berisiko (Catalano
et al., 2004), atau keletihan guru (Grayson & Alvarez, 2008). Dalam lingkungan belajar yang
positif, siswa merasa aman secara jasmani maupun rohani; guru suportif dan antusias; orang
tua ikut serta dalam kegiatan sekolah; dan komunitas sekolah dibangun dalam relasi yang
sehat dan kooperatif.

Bab ini menitikberatkan pembahasan pada keamanan jasmani dan rohani siswa, peran
guru dan orang tua dalam membentuk lingkungan belajar dan keterikatan sosial di sekolah,
serta bagaimana hal-hal tersebut memberi dampak pada kesejahteraan siswa. Aspek-aspek
lingkungan belajar yang dianalisis dalam bab ini adalah rasa-memiliki sekolah, khususnya
bagaimana belajar dan kesejahteraan anak-anak menjadi semakin baik oleh adanya hubungan
antarsiswa yang saling mendukung dan rasa-memiliki di sekolah; jam pelajaran, khususnya
sejauh mana remaja melewatkan kesempatan belajar akibat membolos, atau gangguan
lainnya terhadap pelajaran dan kurikulum yang telah ditetapkan; pengajaran berkualitas,
khususnya seberapa besar keberhasilan para guru dalam menjaga disiplin ketertiban di dalam
kelas dan dalam memajukan belajar melalui pengajaran terstruktur dan hubungan guru-siswa
yang saling mendukung; serta dukungan keluarga, khususnya bagaimana hubungan antara
sekolah dan keluarga siswa membentuk lingkungan yang mendorong prestasi.

Kuesioner Sekolah dan Siswa pada PISA 2018 memberikan informasi yang cukup untuk
menghasilkan berbagai pengukuran yang terkait dengan fondasi keberhasilan pendidikan.
Karena keterbatasan tempat di dalam laporan ini, maka hanya aspek-aspek penting mengenai
fondasi keberhasilan pendidikan yang akan menjadi fokus pembahasan1.

1 Sebagian besar perhitungan pada bab ini menggunakan normalisation weight (bobot yang dinor-
malkan) dengan rumus: (bobot siswa/jumlah populasi) x jumlah sample. Dengan menggunakan bobot
yang dinormalkan, hasil analisis akan tetap merepresentasikan populasi, tetapi angka-angka frekuensi
pada penghitungan tidak membengkak sangat besar. Sedangkan untuk semua analisa yang menggu-
nakan BRR sebagai pembobot, tetap menggunakan bobot siswa yang sebenarnya.

144
5.1. Rasa-memiliki sekolah

Rasa-memiliki mencerminkan persepsi siswa akan iklim sekolah inklusif. PISA menitikberatkan
pengukuran tentang lingkungan sekolah pada sejauh mana remaja merasa dirinya diterima dan
aman di sekolah. Pengukuran yang dipilih untuk dimasukkan dalam laporan ini dirinci di dalam
Kotak 5.1. Rasa-memiliki di sekolah menunjukkan salah satu indikator penting kesejahteraan
sosial siswa. Bagian ini memberikan laporan mengenai indeks rasa-memiliki dari data PISA dan
mengamati bagaimana perundungan (bullying) mempengaruhi rasa-memiliki siswa Indonesia.
Bagian bab ini juga memperlihatkan bagaimana rasa-memiliki di sekolah yang besar berperan
sebagai faktor pendukung belajar siswa, pencurahan perhatian mereka terhadap sekolah dan
belajar, dan kesejahteraan mereka secara pribadi.

Kotak 5.1. Bagaimana PISA 2018 mengukur rasa-memiliki sekolah


Pengukuran rasa-memiliki sekolah dalam PISA 2018 menggunakan jawaban siswa
terhadap pertanyaan kuesioner. Siswa diminta menjawab sejumlah pertanyaan
dengan memilih salah satu dari empat kategori: “sangat setuju”, “setuju”, “tidak
setuju”, dan “sangat tidak setuju.” Pertanyaan-pertanyan yang disampaikan adalah:

• Aku merasa seperti orang asing (atau diabaikan) di sekolah;


• Aku mudah berteman di sekolah;
• Aku merasa betah di sekolah;
• Aku merasa aneh dan tidak punya tempat di sekolah;
• Siswa-siswa lain sepertinya menyukaiku;
• Aku merasa kesepian di sekolah.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini digunakan untuk membentuk indeks rasa-


memiliki (BELONG) yang dapat diperbandingkan dengan indeks yang sama pada PISA
2015. Sebagaimana di dalam PISA 2015, nilai 0 sama dengan nilai rata-rata indeks
negara-negara OECD. Deviasi standar di negara-negara OECD ditetapkan sama dengan
1. Nilai lebih besar dari 1 menunjukkan kecenderungan kesetujuan (jawaban “setuju”
atau “sangat setuju”) terhadap indikator-indikator positif rasa-memiliki dan sekaligus
kecenderungan ketidaksetujuan (jawaban “tidak setuju” atau “sangat tidak setuju”)
terhadap indikator-indikator negatif rasa-memiliki. Nilai di atas -0,5 menunjukkan
kecenderungan kesetujuan siswa dengan hampir semua indikator-indikator positif
rasa-memiliki dan sekaligus ketidaksetujuan terhadap hampir semua indikator-
indikator negatif rasa-memiliki. Nilai di bawah -2 menunjukkan tingkat rasa-memiliki
yang sangat rendah, yaitu kecenderungan ketidaksetujuan siswa terhadap seluruh
indikator positif rasa betah, dan kesetujuan dengan seluruh indikator-indikator
negatif rasa-memiliki. Nilai indeks rasa-memiliki Indonesia berkisar antara -3,2 SD
hingga 2,8 SD, dengan rata-rata -0,1 poin SD di bawah rata-rata OECD.

145
5.1.1. Rasa-memiliki di sekolah pada siswa usia 15 tahun

Rasa-memiliki didefinisikan sebagai perasaan diterima dan disukai oleh anggota suatu
kelompok; perasaan keterikatan dengan yang lain; dan rasa seperti menjadi bagian dari
sebuah komunitas (Baumeister & Leary, 1995; Maslow, 1943). Manusia pada umumnya dan
remaja pada khususnya mendambakan ikatan sosial yang kuat dan menghargai penerimaan,
perhatian, dan dukungan dari yang lain. Di sekolah, rasa-memiliki memberi perasaan akan
keamanan, identitas, dan komunitas, yang pada akhirnya mendukung perkembangan
akademik, psikologis, dan sosial.

Di Indonesia, 10% siswa usia 15 tahun memiliki indeks rasa-memiliki yang tinggi dan 4% siswa
memiliki indeks rasa-memiliki yang rendah2. Pada laporan ini, indeks rasa-memiliki dikonversi
ke dalam skala 10 tanpa mengubah sebaran data untuk mempermudah keterbacaan hasil
analisis. Berdasarkan karakteristik demografi, indeks rasa-memiliki siswa perempuan lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki (t(11.451,952)=2,9, p<0,01); indeks rasa-memiliki
siswa di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa pedesaan (t(1,921.112)=2,7,
p<0,01); dan indeks rasa-memiliki siswa SMA lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SMP
(t(11.260,845)=7,7, p<0,01). Namun perbedaan nilainya sangat kecil, yaitu rata-rata 0,1 poin
antara siswa laki-laki dan perempuan; 0,1 poin antara sekolah pedesaan dengan sekolah
perkotaan; dan 0,2 poin antara jenjang SMP dengan SMA. Nilai rata-rata indeks rasa-memiliki
tidak berbeda di antara kelompok-kelompok siswa berdasarkan kategori tipe sekolah (negeri
atau swasta), tipe program (umum, madrasah, atau kejuruan), dan bahasa tutur (bahasa
Indonesia atau bahasa daerah).

Gambar 5.1 menunjukkan perbedaan rasa-memiliki antara siswa Indonesia usia 15 tahun yang
duduk di jenjang SMP/sederajat dan yang duduk di jenjang SMA/sederajat. Tampak bahwa
rata-rata indeks rasa-memiliki siswa SMA lebih tinggi dengan perbandingan 52 banding 50.
Dengan mengontrol indeks sosial ekonomi siswa (Economic, Social and Cultural Status, ESCS),
rata-rata indeks rasa-memiliki siswa SMA tidak berubah, sementara indeks siswa SMP naik 1
poin.

2 Titik potong nilai tinggi dan rendah berdasarkan satu poin standard deviasi di atas dan di bawah
rata-rata Indonesia.

146
Indeks Rasa-Memiliki

Catatan: SMP SMA


- baseline gender adalah perempuan terhadap laki-laki
- baseline lokasi sekolah adalah rural terhadap urban

Gambar 5.1. Indeks rasa-memiliki berdasarkan jenjang sekolah

Pada penambahan variabel gender sebagai kontrol, yang menempatkan perempuan sebagai
baseline, rata-rata indeks SMA meningkat satu poin. Pada penambahan variabel lokasi sekolah,
yang menggunakan sekolah di kota sebagai baseline, nilai rata-rata indeks rasa-memiliki
siswa SMP/sederajat mendekati nilai rata-rata indeks rasa-memiliki siswa Indonesia. Hal ini
menunjukkan bahwa indeks sosial ekonomi, gender, dan lokasi sekolah memberi pengaruh
terhadap indeks rasa-memiliki siswa SMP dan SMA. Walaupun demikian, sumbangan efektif
(R2) jenjang sekolah, indeks sosial ekonomi, gender, dan lokasi sekolah kurang dari 1% terhadap
indeks rasa-memiliki sekolah. Nilai sumbangan tersebut sangat kecil.

5.1.2. Perbandingan rasa-memiliki siswa secara internasional

Rata-rata internasional indeks rasa-memiliki adalah -0,1 poin SD di bawah rata-rata negara
OECD, sama dengan rata-rata indeks rasa-memiliki siswa di Indonesia. Perbandingan rasa-
memiliki sekolah di negara-negara peserta PISA lainnya memiliki ketidakpastian yang sama
dengan indikator kesejahteraan yang dibahas dalam Bab 3. Hal ini disebabkan sifat subjektif
indikator-indikator tersebut dan kemungkinan adanya bias pelaporan (lihat Kotak 3.2). Meski
demikian, temuan rendahnya rasa-memiliki sekolah pada siswa yang kurang mampu secara
sosial ekonomi relatif banyak di negara-negara peserta PISA.

5.1.3. Penelitian mengenai efek rasa-memiliki di sekolah

Ada banyak alasan mengapa para pembuat kebijakan, guru, dan orang tua harus mempedulikan
rasa-memiliki siswa terhadap sekolah. Pertama, ada kaitan antara perasaan memiliki sekolah

147
dengan prestasi akademik. Remaja yang merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas sekolah
berkemungkinan besar memiliki prestasi akademik lebih baik dan lebih termotivasi di sekolah
(Battistich et al., 1997; Goodenow, 1993). Riset yang menganalisis keterkaitan ini biasanya
memperlihatkan hubungan hiperbolik yang positif: rasa-memiliki sekolah menghasilkan
prestasi akademik yang lebih baik, dan prestasi akademik yang baik menghasilkan penerimaan
sosial dan rasa-memiliki sekolah yang lebih baik (Wentzel, 1998). Di sebagian besar negara-
negara peserta PISA, siswa yang memiliki indeks rasa-memiliki sekolah yang tinggi cenderung
mendapatkan skor di atas siswa yang memiliki indeks rasa-memiliki yang rendah. Hubungan
antara rasa-memiliki dengan prestasi di Indonesia menunjukkan hal yang mendukung hasil-
hasil penelitian tersebut.

Gambar 5.2 menunjukkan bahwa rasa-memiliki berhubungan positif dengan prestasi membaca
siswa Indonesia. Bahkan, ketika mengontrol indeks sosial ekonomi, gender siswa, lokasi, dan
jenjang sekolah. Walaupun demikian, dari gambar 5.2, tampak bahwa kedua garis linear
relatif landai. Hal ini karena walaupun signifikan, indeks rasa-memiliki hanya menyumbang
sekitar satu poin skor membaca untuk setiap kenaikan 1 poin indeks rasa-memiliki. Adapun
perbedaan antara garis linear di model pertama dan model kedua lebih disebabkan karena
sumbangsih faktor lokasi sekolah, sosial ekonomi, gender, dan jenjang pendidikan yang
memberikan sumbangsih cukup besar terhadap kemampuan matematika. Berturut-turut
sumbangan faktor-faktor tersebut terhadap kemampuan membaca adalah 20 poin, 14 poin,
10 poin, dan 9 poin. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa faktor indek rasa-memiliki,
lokasi sekolah, sosial ekonomi, gender, dan jenjang pendidikan hanya menjelaskan 3% dari
varian kemampuan membaca.

Model 1: Garis linear antara indeks rasa- Model 2: Garis linear antara indeks rasa-memiliki
memiliki dengan skor membaca PISA dengan skor membaca dengan mengontrol ESCS,
gender, lokasi sekolah, dan jenjang sekolah
Nilai Membaca

Indeks Rasa-Memiliki
Catatan:
- baseline gender adalah laki-laki terhadap perempuan
Gambar 5.2. Hubungan linear antara
- baseline lokasi sekolah adalah rural terhadap urban kemampuan membaca dengan rasa-
- baseline jenjang pendidikan adalah SMP terhadap SMA memiliki

148
Terlepas dari prestasi akademik, perasaan memiliki dan perasaan diterima di sekolah
merupakan hal penting bagi remaja agar dapat memiliki harga diri dan rasa puas akan
kehidupan mereka secara keseluruhan (Juvonen, 2006). Bila memiliki keterikatan dengan
sekolah, anak-anak dan remaja cenderung tidak akan meniru perilaku berisiko dan menjadi
antisosial (Catalano et al., 2004; Hawkins & Weis, 1985). Siswa-siswa yang memiliki keterikatan
kuat dan memuaskan dengan sekolahnya cenderung tidak akan putus sekolah (Lee & Burkam,
2003), atau menyalahgunakan obat-obatan dan membolos (Schulenberg et al., 1994). Selain
itu, para ahli menemukan bahwa absennya rasa keterikatan dengan sekolah merupakan
pencetus depresi di kalangan remaja (Shochet et al., 2006).

Data PISA memperlihatkan hubungan erat antara jawaban kuesioner siswa yang menyatakan
rendahnya kepuasan hidup dan perasaan seperti orang asing di sekolah (OECD, 2017: 124).
Kuesioner PISA mengukur kepuasan hidup dalam skala 0 sampai 10. Nilai 0 mengindikasikan
perasaan sama sekali tidak puas atas hidup dan nilai 10 mengindikasikan sangat puas. Rata-rata
nilai kepuasan siswa Indonesia adalah 7 (SD=2,5), yang menunjukkan bahwa siswa Indonesia
cenderung puas atas kehidupannya.

Nilai kepuasan hidup siswa Indonesia sama sekali tidak berkaitan dengan status sosial
ekonominya (r(11.020)=0, p=0,5). Sebagaimana kondisi di sebagian besar negara peserta PISA,
siswa di Indonesia menunjukkan hubungan positif antara rasa-memiliki dan kepuasan hidup
(r(10.845)=0,15, p<0,01). Siswa dengan nilai kepuasan hidup tinggi cenderung mempunyai rasa-
memiliki tinggi terhadap sekolahnya.

Model 1: Garis linear antara kepuasaan Model 2: Garis linear antara kepuasaan hidup
hidup dengan indeks rasa-memiliki dengan indeks rasa-memiliki dengan mengontrol
sos/ek, gender, bahasa, dan jenjang pendidikan
Nilai Rasa-Memiliki

Kepuasan Hidup
Catatan:
- baseline gender adalah perempuan terhadap laki-laki Gambar 5.3. Hubungan Linear
- baseline bahasa adalah bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia antara Kepuasan Hidup dengan
- baseline jenjang sekolah adalah SMA terhadap SMP Rasa-memiliki

149
Sekitar 21% siswa Indonesia memiliki nilai kepuasan hidup rendah. Siswa dengan kepuasan
hidup rendah adalah memiliki nilai kepuasan hidup lima atau lebih rendah. Siswa laki-laki lebih
tidak puas dalam kehidupannya dibandingkan dengan siswa perempuan, dengan perbedaan
nilai rata-rata sebesar 0,2 poin (t(2.502,41)=3, p<0,01). Siswa yang bersekolah di pedesaan lebih
tidak puas atas hidup mereka dibandingkan dengan siswa yang bersekolah di perkotaan,
dengan perbedaan nilai rata-rata sebesar 0,3 poin (t(474,75)=4, p<0,01). Siswa yang berbahasa
Indonesia dalam kesehariannya memiliki kepuasan hidup lebih rendah dibandingkan dengan
siswa penutur bahasa daerah, dengan perbedaan 0,2 poin (t(986,12)=3, p<0,01). Siswa SMP
memiliki kepuasan hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan siswa SMA, dengan
perbedaan nilai sebesar 0,1 poin (t(2.351,62)=2, p<0,05). Meski signifikan, perbedaan tingkat
kepuasan hidup antara kelompok-kelompok karakteristik ini kecil, antara 0,1 hingga 0,3.
Apabila dihubungkan dengan kompetensi membaca, tidak ada perbedaan antara siswa
dengan tingkat kepuasan hidup rendah dan tinggi, dengan nilai t 1,6 (df=799.072,94, p=0,95).

Gambar 5.3 menunjukkan hubungan linear antara kepuasan hidup dengan indeks rasa-
memiliki. Model 1 menunjukkan secara umum, semakin tinggi kepuasan hidup siswa, kian
tinggi pula indeks rasa-memiliki. Pada tingkat kepuasan hidup sangat rendah, rasa-memiliki
siswa bernilai rata-rata 46 poin. Ketika faktor indeks sosial ekonomi, gender (perempuan
sebagai baseline), bahasa (bahasa daerah sebagai baseline) dan jenjang pendidikan (SMA
sebagai baseline) dikontrol, rata-rata indeks rasa-memiliki meningkat satu poin. Sumbangan
efektif kepuasan hidup dengan mempertimbangkan faktor indeks sosial ekonomi, gender,
bahasa, dan jenjang pendidikan hanya menjelaskan 3% variansi indeks rasa-memiliki siswa.

5.1.4. Ancaman terhadap rasa-memiliki siswa di sekolah: perundungan


(bullying)

“Seorang siswa mengalami perundungan bila yang bersangkutan, secara terus-menerus dan
dalam jangka waktu lama, terpapar tindakan negatif yang dilakukan oleh satu atau lebih
siswa lain” (Olweus, 1993: 9). Perundungan merupakan jenis perilaku agresif tertentu dari
seseorang yang secara sengaja dan berulang-ulang dapat melukai dan membuat orang lain
merasa tidak nyaman (Olweus, 1993). Perundungan di sekolah merupakan perilaku antisosial
yang paling sering dijumpai. Ada sebuah konsensus di dalam literatur bahwa perundungan
memiliki karakteristik utama yang membedakannya dengan bentuk agresi lain yaitu kekuatan
yang tidak seimbang. Bentuk-bentuk utama perundungan yaitu:

• Verbal (mengejek, memanggil dengan sebutan buruk)


• Relasional (menggosip)
• Fisik (memukul, menonjok, atau menendang)
• Perundungan di internet (cyberbullying)

Tiga bentuk perundungan pertama merupakan bentuk perundungan tradisional. Perundungan


di internet dapat didefinisikan sebagai bentuk perundungan lain atau bentuk perundungan
keempat. Di banyak kasus, perundungan di internet merupakan kelanjutan dari perundungan

150
tradisional, aksi perundungan yang dilakukan sepulang sekolah. Di banyak kasus, mereka
yang terlibat dalam perundungan di internet adalah individu-individu yang sama (siswa yang
dirundung, perundung, dan penonton) yang juga terlibat di dalam bentuk perundungan lain.
Dalam laporan ini, poin-poin pertanyaan mengenai perundungan dikelompokkan menjadi
dua. Kelompok pertama adalah perundungan sosial, yaitu butir-butir pertanyaan tentang
perundungan relasional dan perundungan verbal. Kelompok kedua adalah perundungan fisik.
Terkait dengan perundungan, PISA 2018 menanyakan kepada siswa, apakah hal-hal berikut
pernah terjadi selama masa 12 bulan sebelum tes PISA dilaksanakan dan seberapa sering
kejadian:
• Siswa-siswa lain tidak melibatkanku dalam suatu kegiatan dengan sengaja
(perundungan sosial)
• Siswa-siswa lain mengolok-olokku (perundungan sosial).
• Aku diancam oleh siswa lain (perundungan fisik)
• Siswa-siswa lain mengambil atau merusak barang-barang milikku (perundungan
fisik)
• Aku dipukul atau didorong oleh siswa lain (perundungan fisik)
• Siswa-siswa lain menyebarkan berita buruk yang tidak benar tentangku
(perundungan sosial)

Di Indonesia, 39% siswa menyatakan mengalami perundungan beberapa kali di sekolah


oleh siswa lain dalam sebulan terakhir sebelum survei PISA. Sebanyak 34% siswa Indonesia
mengalami perundungan sosial dan sebesar 27% siswa mengalami perundungan fisik.
Sebanyak 22% siswa Indonesia mengalami kedua bentuk perundungan tersebut.

Berdasarkan karakteristik siswa, 47% (N=5.551) siswa laki-laki dan 38% (N=5.706) siswa
perempuan, serta 43% (N=8.995) siswa di daerah pedesaan dan 39% (N=1.433) siswa di
sekolah perkotaan mengalami perundungan. Persentase siswa sekolah swasta dan sekolah
negeri yang mengalami perundungan sama besar, khusus pengalaman perundungan fisik,
presentase siswa sekolah swasta 30% (N=4.703) lebih besar dibandingkan dengan siswa
sekolah negeri yang sebesar 28% (N=5.713). Siswa penutur bahasa daerah cenderung lebih
banyak mengalami perundungan, 30% (N=8.279), dibandingkan dengan siswa penutur bahasa
Indonesia, 27% (N=2.942). Di jenjang pendidikan SMP, 46% (N=5.104) siswa mengalami
perundungan. Di jenjang SMA, presentase siswa usia 15 tahun yang mengalami perundungan
39% (N=6.153). Di tipe sekolah madrasah, 44% siswa mengalami perundungan. Di sekolah
umum, persentase siswa yang mengalami perundungan 42% (N=8.996).

Gambar 5.4 menunjukkan keterpaparan perundungan berdasarkan jenis kelamin, yang


menunjukkan siswa laki-laki lebih sering menerima perundungan dibandingkan dengan siswa
perempuan, dengan perbedaan sekitar tujuh poin lebih tinggi. Faktor indeks sosial ekonomi
tidak mengubah rata-rata keterpaparan siswa laki-laki dan perempuan. Penambahan indeks
rasa-memiliki ke dalam model indeks keterpaparan perundungan siswa Indonesia kurang
dari satu poin. Penambahan faktor kepuasan hidup meningkatkan keterpaparan terhadap
perundungan hingga tiga poin. Penambahan sejumlah faktor kontrol sekaligus, yaitu lokasi

151
sekolah (sekolah di desa sebagai baseline), jenjang pendidikan (SMP sebagai baseline), dan tipe
pendidikan (madrasah sebagai baseline) meningkatkan tingkat keterpaparan perundungan.
Pada model terakhir dalam Gambar 5.4, tingkat keterpaparan perundungan siswa laki-
laki 35 poin dan siswa perempuan 29 Poin. Model terakhir menjelaskan 7% variasi tingkat
keterpaparan perundungan siswa Indonesia.

Laki-laki Perempuan
Catatan:
- baseline gender adalah perempuan terhadap laki-laki
- baseline lokasi sekolah adalah sekolah rural terhadap urban
- baseline jenjang pendidikan adalah SMP terhadap SMA
- baseline tipe pendidikan adalah sekolah madrasah terhadap sekolah umum
Indeks Keterpaparan Perundungan

Perbedaan Mean
Gambar 5.4. Keterpaparan perundungan antara siswa laki-laki dan perempuan

Sekolah harus memiliki kebijakan menghentikan perundungan. Kuesioner data level sistem
PISA 2018 meminta negara-negara untuk mengonfirmasi adanya kebijakan penghentian
perundungan. Seperti negara lain, Indonesia memiliki kebijakan tentang perundungan di
sekolah, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82
Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Sekolah.
Permendikbud ini bertujuan mencegah dan menanggulangi perundungan di lingkungan
sekolah, agar tercipta kondisi proses belajar yang aman, nyaman dan menyenangkan, sekaligus
melindungi siswa dari perundungan dan mencegah siswa melakukan perundungan.

Perundungan tidak hanya berdampak pada korban, melainkan juga terhadap pelaku, guru,
orang tua, maupun teman sekolah. Oleh sebab itu, pencegahan perundungan hanya akan
efektif jika melibatkan pihak yang terkait lingkungan sekolah seluas-luasnya untuk menciptakan
lingkungan sekolah yang protektif, dapat mendeteksi dan mencegah terjadinya perundungan.
Dengan lingkungan sekolah yang protektif, siswa yang mengalami perundungan akan lebih
berani memberitahu ke guru, teman, atau orang tua. Bila siswa melapor, lingkungan akan
lebih cepat melakukan intervensi yang memadai.

152
Gambar 5.5 menunjukkan karakter sekolah dengan tingkat perundungan tinggi ditinjau dari
tingkat perundungan siswa. Karakteristik sekolah dengan rata-rata perundungan siswanya
tinggi adalah SMP yang memiliki rasio siswa-guru besar dan mayoritas siswanya mempunyai
rasa-memiliki sekolah yang rendah. Kemungkinan seorang siswa mengalami perundungan
di sekolah dengan karakter tersebut sebesar 56%. Sementara karakteristik sekolah dengan
tingkat perundungan terendah adalah SMA yang memiliki rasio siswa-guru rendah dan
siswanya memiliki rasa-memiliki sekolah yang tinggi. Kemungkinan perundungan siswa di
sekolah dengan karakteristik seperti ini adalah 5%.

Gambar 5.5. Karakter sekolah dengan tingkat perundungan tinggi

Menilai perilaku siswa terkait perundungan dapat membantu para pendidik dan pembuat
kebijakan menyusun program-program pencegahan dan intervensi yang efektif untuk
mengurangi perundungan (Baldry & Farrington, 1999). PISA 2018 menanyakan pendapat
siswa tentang perundungan. Siswa diminta menanggapi dengan pilihan jawaban sangat tidak
setuju, tidak setuju, setuju, dan sangat setuju terhadap pernyataan-pernyataan berikut:

153
• Aku merasa terganggu bila ada siswa yang di-bully dan tidak ada seorang pun
membela.
• Membela siswa yang tidak bisa membela diri adalah sesuatu yang baik.
• Ikut-ikutan mem-bully adalah sesuatu yang salah.
• Aku merasa sedih saat melihat siswa lain di-bully.
• Aku senang ketika ada seseorang membela siswa lain yang di-bully.

Sebanyak 77% siswa Indonesia menyatakan setuju terhadap 4 atau 5 pernyataan di atas.
Sekitar 10% siswa Indonesia menyatakan toleransi terhadap perundungan dengan menjawab
tidak setuju atau sangat tidak setuju terhadap setidaknya 3 pernyataan di atas.

Siswa perempuan lebih memiliki pandangan negatif terhadap perundungan dengan perbedaan
skor persepsi 0,3 poin (t(11.005)=7, p <0,01) dibandingkan siswa laki-laki. Siswa daerah perkotaan
memiliki persepsi negatif lebih besar terhadap perundungan, dengan perbedaan skor 0,5
poin (t(9.002)=9, p <0,01) dibandingkan siswa di sekolah pedesaan. Siswa sekolah negeri lebih
memandang negatif perundungan, dengan perbedaan skor 0,2 poin (t(9.770,411)=4,5, p <0,01)
dibandingkan dengan siswa sekolah swasta. Berdasarkan jenjang pendidikan, siswa sekolah
SMA lebih memiliki persepsi negatif terhadap perundungan dengan perbedaan skor 0,5 poin
(t(910.526, 728)=12, p <0,01) dibandingkan siswa SMP.

Di negara-negara OECD, 75% siswa usia 15 tahun berpandangan negatif terhadap perundungan.
Di kawasan ASEAN, kelompok siswa ini mencapai 82%. Sementara kelompok siswa yang
menyatakan toleransi terhadap perundungan sebanyak 3% di negara-negara OECD dan 4% di
kawasan ASEAN.

5.2. Jam pelajaran

Belajar membutuhkan waktu dan tenaga. Demikian kata mutiara di dalam sistem yang telah
dibuktikan oleh banyak riset. Di semua sistem pendidikan, kurikulum dan program pendidikan
untuk semua jenjang usia dan kelas memiliki uraian tujuan belajar dan pelajaran untuk siswa,
dan alokasi waktu pengajaran.

Di Indonesia, total jam pelajaran yang ditetapkan untuk siswa hingga berusia 14 tahun adalah
sekitar 12.000 jam. Untuk rentang usia demikian di negara-negara OECD, siswa mendapatkan
5.693 jam pelajaran di tingkat pendidikan dasar dan menengah. hingga usia 14 tahun.
Mayoritas jam pelajaran tersebut bersifat wajib (OECD, 2016b, Table II.6.53).

Gambar 5.6 adalah model Caroll yang menggambarkan hubungan antara waktu belajar siswa
dengan prestasi akademik. Dalam model prestasi akademiknya, J.B Caroll menyatakan bahwa
waktu belajar berperan penting dalam prestasi akademik siswa. Caroll menemukan bahwa
waktu yang dibutuhkan untuk belajar mempengaruhi ketersediaan waktu belajar, kemampuan
memahami instruksi, kualitas instruksional, dan keinginan untuk belajar.

154
Gambar 5.6. Model Caroll mengenai prestasi akademik siswa

PISA 2018 minta siswa menjawab jumlah menit rata-rata setiap jam pelajaran, jumlah total
jam pelajaran per minggu, dan jumlah jam pelajaran total untuk sains, bahasa Indonesia,
matematika, dan bahasa asing.

Dalam seminggu, siswa Indonesia menghabiskan 24 jam mata pelajaran, setara 18 jam normal.
Dari 24 jam tersebut, 3 jam 54 menit dialokasikan untuk pelajaran bahasa Indonesia, 4 jam
untuk matematika, dan 3 jam untuk sains. Siswa di negara-negara OECD memiliki rata-rata 27
jam 27 menit untuk seluruh mata pelajaran. Untuk pelajaran bahasa, matematika, dan sains
masing-masing 3 jam 40 menit, 3 jam 42 menit, dan 3 jam 27 menit.

Sejumlah sekolah Indonesia memberikan jam pelajaran tambahan untuk mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Siswa di sekolah-sekolah yang memberikan tambahan jam pelajaran Bahasa
Indonesia 4 jam 12 menit waktu belajar untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Faktor tambahan
pelajaran dan waktu belajar siswa tidak berdampak terhadap perbedaan kemampuan
membaca. Nilai t statistik untuk sekolah yang memberi tambahan jam pelajaran adalah 0,14
(p=0,89) dan nilai t statistik untuk waktu belajar adalah 1,32 (p=0,18).

Di Indonesia, sebagaimana di mayoritas sistem pendidikan, waktu yang digunakan untuk


pelajaran matematika memiliki keterkaitan positif dengan nilai hasil tes matematika. Untuk
mata pelajaran sains, keterkaitannya lebih positif. Namun, hubungan antara waktu belajar
dengan nilai hasil tes membaca justru bersifat negatif.

155
Keterkaitan yang positif dan kuat antara jam pelajaran sains dan nilai sains mencerminkan fakta
bahwa siswa-siswa berusia 15 tahun yang mengambil jam kelas sains lebih banyak ternyata
memilih program, sekolah, atau kelas yang lebih kompetitif. Alasan lainnya, kompetensi
di bidang sains, terutama di bidang sains hayati, dicapai melalui cara yang lebih linear
dibandingkan kompetensi matematika dan membaca. Laporan OECD berjudul Equations and
Inequalities (OECD, 2016d) memiliki pendapat dan mengkaji opini serupa mengenai peelajaran
matematika. Paparan lebih sering terhadap konsep-konsep dan rumus-rumus matematika
berkaitan dengan nilai hasil tes yang lebih baik pada soal-soal yang membutuhkan rumus
sederhana. Hal ini tidak begitu berlaku pada soal yang menuntut lebih banyak keterampilan
matematika.

Meski jumlah jam pengajaran teoretis yang ditujukan untuk perencanaan kurikulum terlihat
cukup untuk mencapai hasil belajar yang baik, pada kenyataannya banyak jam pelajaran yang
hilang. Karena beragam alasan, jumlah jam yang dihabiskan siswa berbeda dari jam yang telah
ditetapkan oleh kurikulum. Beberapa penyebab perbedaan jam aktual yang dimiliki siswa
dengan jam yang ditetapkan dalam kurikulum adalah siswa tidak masuk atau terlambat dan
adanya liburan yang bukan berdasarkan penetapan kurikulum. Jam pelajaran di kelas juga
sering hilang akibat kurangnya disiplin siswa dalam kelas yang menyebabkan perhatian guru
lebih banyak tersita untuk menjaga ketertiban kelas dibandingkan membantu siswa belajar.

Kotak 5.1. Beberapa pengukuran jam pelajaran yang digunakan dalam


laporan ini
Beberapa pengukuran jam pelajaran yang digunakan dalam laporan ini didasarkan
pada jawaban siswa dan kepala sekolah terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam
kuesioner.
Kuesioner siswa
Siswa diminta menjawab “tidak pernah”, “satu atau dua kali”, “tiga atau empat kali”,
“lima kali atau lebih” untuk pertanyaaan, apakah selama dua minggu terakhir di
sekolah, terjadi hal-hal berikut:
• Aku membolos sekolah seharian
• Aku membolos pada beberapa mata pelajaran
• Aku terlambat datang ke sekolah
Kuesioner sekolah
Kepala sekolah diminta menjawab dengan memilih satu di antara pilihan jawaban
“tidak sama sekali”, “sangat sedikit”, “beberapa”, “banyak” terhadap pertanyaan,
apakah di sekolahnya, belajar siswa terhambat oleh:
• Siswa membolos
• Siswa melewatkan kelas
• Ketidakhadiran guru

156
5.2.1. Penelitian mengenai dampak ketidakhadiran siswa

Banyak siswa yang melewatkan kesempatan belajar karena membolos atau datang terlambat.
Hal ini terjadi setiap hari. Siswa yang sering membolos lebih besar kemungkinan putus sekolah,
terjebak dalam pekerjaan yang rendah, hamil di usia sekolah, menyalahgunakan obat dan
alkohol, bahkan menjadi remaja nakal (Baker, Sigmon and Nugent, 2001; Meece and Eccles,
2010; Hallfors et al., 2002; Henry and Huizinga, 2007; Juvonen, Espinoza and Knifsend, 2012;
Office for Standards in Education, 2001).

Tingginya perilaku membolos dapat merusak seluruh kelas. Siswa yang sering membolos
memberi dampak buruk terhadap proses kegiatan belajar mengajar karena guru sering minta
siswa yang selalu hadir di kelas untuk membantu siswa pembolos mengejar ketertinggalan
pelajaran. Siswa pembolos bisa merasa kesal terhadap siswa yang selalu hadir. Siswa lain
yang ingin pula membolos mungkin memberi simpati kepada siswa pembolos (Wilson et al.,
2008). Karena alasan-alasan tersebut, perilaku membolos dapat berdampak negatif terhadap
prestasi akademik secara keseluruhan.

5.2.2. Kehilangan jam pelajaran di Indonesia: ketidakhadiran, membolos, dan


keterlambatan siswa, serta ketidakhadiran guru

Dalam dua minggu sebelum pelaksaan PISA, 20% siswa Indonesia menyatakan pernah
membolos sekolah setidaknya satu hari; 25% siswa pernah membolos kelas sekurang-
kurangnya sekali; dan 49% pernah tiba terlambat di sekolah sekurang-kurangnya sekali; dan
12% siswa melakukan ketiganya, baik membolos sekolah, bolos kelas, maupun tiba terlambat.

Perilaku membolos berdampak pada prestasi akademik karena mengurangi jam belajar siswa.
Hal ini terbukti oleh kemampuan membaca siswa yang membolos sekolah lebih rendah 33
poin (t(11.781)=8,6, p< 0,01) dibandingkan dengan siswa yang tidak membolos. Perbedaan
nilai kemampuan ini setara dengan satu tahun akademik. Begitu pula kemampuan membaca
siswa yang membolos kelas lebih rendah 20 poin (t(11.753)=6,1, p< 0,01) dibandingkan dengan
siswa yang tidak membolos, setara dengan lebih dari satu semester akademik. Berbeda
dengan membolos, siswa yang terlambat tiba di sekolah memiliki kompetensi membaca yang
tidak berbeda (t(11.730)=1, p=0,3) dengan siswa yang tidak terlambat. Besarnya perbedaan
kemampuan membaca antara siswa yang membolos sekolah dan membolos kelas dengan
siswa yang selalu masuk kelas membuktikan bahwa perilaku membolos merupakan masalah
serius yang perlu mendapat penanganan para pemangku kepentingan.

Sebanyak 27% sekolah di Indonesia melaporkan mengalami mengalami kendala proses belajar
mengajar karena siswa membolos sekolah; 20% karena siswa membolos kelas; dan 9% karena
ketidakhadiran guru. Sekitar 5% sekolah di Indonesia melaporkan kendala proses belajar
mengajarnya karena mengalami ketiga hal tersebut.

157
Sekitar 11% kepala sekolah kurang peka terhadap masalah membolos sekolah, dan sekitar 7%
kepala sekolah kurang peka terhadap masalah membolos kelas yang terjadi di sekolahnya. Hal
ini dapat dilihat dari banyaknya siswa yang melaporkan membolos sekolah atau membolos
kelas tetapi kepala sekolah merasa hal tersebut bukan masalah yang mengganggu proses
belajar mengajar.

Gambar 5.7 menunjukkan karakter siswa yang rentan membolos sekolah, membolos kelas,
dan terlambat. Perilaku membolos sekolah cenderung dilakukan oleh siswa SMP, sekolah
swasta, laki-laki, berstatus sosial ekonomi rendah, sering dirundung, memiliki kepuasan
hidup rendah, dan memiliki indeks rasa-memiliki rendah. Secara bersama-sama, faktor-faktor
tersebut meningkatkan kemungkinan siswa membolos sebesar 66%. Sebaliknya, siswa dengan
karakteristik siswa SMA, sekolah negeri, perempuan, berstatus sosial ekonomi tinggi, jarang
dirundung, memiliki kepuasan hidup tinggi, dan memiliki indeks rasa-memiliki tinggi hanya
berkemungkinan 6% untuk membolos.

Karakteristik siswa yang memiliki kemungkinan membolos kelas tinggi hampir sama dengan
karakteristik siswa yang suka membolos sekolah, kecuali dalam hal indeks sosial ekonomi.
Indeks sosial ekonomi berpengaruh terbalik antara perilaku membolos sekolah dan membolos
kelas. Siswa berlatar belakang sosial ekonomi tinggi memiliki kemungkinan membolos kelas
lebih tinggi dibandingkan dengan siswa berlatar belakang sosial ekonomi rendah. Secara
bersama-sama, karakteristik yang meningkatkan kemungkinan siswa membolos kelas adalah
siswa laki-laki, berlatar belakang sosial ekonomi mampu, duduk di jenjang SMP, sekolah swasta,
sering mengalami perundungan, memiliki kepuasan hidup rendah, dan memiliki indeks rasa-
memiliki rendah. Kemungkinan membolos siswa dengan karakteristik seperti ini adalah 55%.
Siswa dengan karakteristik sebaliknya berkemungkinan membolos kelas 9%.

Faktor perundungan dan indeks rasa-memiliki merupakan faktor penting yang mempengaruhi
perilaku membolos. Siswa yang mengalami perundungan dan memiliki indeks rasa-memiliki
rendah berkemungkinan membolos sekolah 33% dan membolos kelas 41%. Sebaliknya,
siswa yang tidak mengalami perundungan dan memiliki indeks rasa-memiliki tinggi hanya
berkemungkinan membolos sekolah 11% dan membolos kelas 16%.

Perundungan, tingkat kepuasan hidup, jenis sekolah, gender, dan jenjang pendidikan
merupakan faktor pendorong kemungkinan siswa terlambat ke sekolah. Siswa dengan
karakteristik tertentu dalam faktor-faktor ini memiliki kemungkinan sering terlambat tiba
di sekolah 77%, sedangkan siswa dengan karakteristik yang bertentangan dengan ini hanya
berkemungkinan 34% sering terlambat tiba di sekolah.

Gambar 5.7 menampilkan hubungan antara faktor-faktor karakteristik siswa dengan perilaku
membolos sekolah, membolos kelas, dan terlambat tiba di sekolah. Hubungan tersebut tidak
bersifat kausalitas sebab sering kali perilaku membolos dan kebiasaan terlambat merupakan
gejala dari isu lain dan berasal dari lingkungan di luar sekolah. Meski demikian, pemangku

158
kepentingan atau pihak sekolah dapat mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam
meningkatkan kewaspadaan mengenai fenomena siswa membolos atau terlambat.

Membolos sekolah, membolos kelas, atau terlambat tiba di sekolah merupakan perilaku yang
tampaknya lebih terpusat pada tipe-tipe sekolah tertentu. Ada 15% sekolah di Indonesia
yang persentase siswa usia 15 tahun membolos sekolahnya lebih dari 50%. Jumlah siswa usia
15 tahun di 15% sekolah ini setara 6% populasi PISA di Indonesia. Ada 65% populasi PISA di
Indonesia yang mengenyam pendidikan di sekolah dengan persentase siswa terlambat lebih
dari 50%. Selain itu, terdapat sekitar 8% siswa Indonesia mengenyam pendidikan di sekolah
yang memiliki permasalahan ketidakhadiran guru.

Di mayoritas negara peserta PISA 2018, membolos sekolah seharian lebih umum ditemukan
di sekolah-sekolah kurang mampu. Tingkat siswa membolos sekolah seharian sama antara
sekolah di desa dan di kota. Sementara siswa sekolah negeri berkemungkinan lebih besar
membolos sekolah dibandingkan dengan siswa sekolah swasta.

Kemungkinan membolos sekolah

Kemungkinan membolos kelas

159
Kemungkinan terlambat sekolah

Gambar 5.7. Karakter siswa Indonesia yang rentan untuk membolos sekolah, membolos
kelas, dan terlambat masuk sekolahkelas, dan terlambat masuk sekolah

Di Indonesia, karakter sekolah dengan rata-rata siswa membolos sekolah tinggi ditunjukkan
pada gambar 5.8. Sekolah swasta umum yang memiliki siswa dengan rasa-memiliki sekolah
rendah memiliki kemungkinan membolos 69%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan sekolah madrasah negeri yang memiliki siswa dengan rasa-memiliki sekolah tinggi,
yang tingkat kemungkinan membolosnya hanya 1%. Hal ini karena biasanya sekolah swasta
umum adalah sekolah pilihan kedua bagi siswa maupun bagi wali siswa setelah tidak dapat
tempat di sekolah negeri

Sekolah dengan rata-rata indeks rasa-memiliki rendah siswa-siswanya lebih cenderung


membolos kelas, sebesar 27%. Dalam hal ketidakhadiran guru, sekolah swasta memiliki
kemungkinan lebih besar, 16%, dibandingkan di sekolah negeri yang hanya 3%.

160
Gambar 5.8. Karakteristik demografi sekolah dengan tingkat membolos sekolah pada siswa
tinggi

5.2.3. Perbandingan ketidakhadiran, membolos, dan keterlambatan siswa


secara internasional

Berdasarkan laporan PISA internasional, perbandingan antara tingkat membolos dan


keterlambatan siswa di Indonesia dengan rata-rata negara ASEAN dan OECD tidak jauh
berbeda. Gambar 2.9 menunjukkan bahwa 21% di negara-negara OECD pernah melewatkan
kelas sekurang-kurangnya sekali dalam dua minggu sebelum pelaksanaan PISA. Pada masa
yang sama, 19% siswa di kawasan ASEAN menyatakan pernah melewatkan kelas sekurang-
kurangnya sekali dan 20% menjawab pernah membolos seharian sekurang-kurangnya sekali.
Dalam hal keterlambatan sekolah, 48% siswa di negara-negara OECD dan 47% siswa di negara-
negara ASEAN menyatakan setidaknya pernah terlambat datang ke sekolah setidaknya sekali
dalam dua minggu terakhir.

161
Sumber: Table III.3.Skipschool dan Table III.3. Arrivelate Laporan PISA 2018
Gambar 5.9. Perbandingan ketidakhadiran siswa Indonesia secara internasional

5.3. Pengajaran berkualitas di ruang kelas

Guru merupakan sumber daya paling penting di sekolah dan ujung tombak pendidikan siswa.
Hampir tidak ada campur tangan apa pun yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa tanpa
peran guru dalam menerapkannya di ruang kelas (Darling-Hammond et al., 2017). Tercapai
atau tidaknya tujuan pendidikan bergantung pada bagaimana siswa dan guru berinteraksi di
ruang kelas. Peningkatan efektivitas, efisiensi, dan pemerataan pendidikan sangat bergantung
pada pemastian bahwa orang-orang kompeten yang berkeinginan menjadi guru; dan bahwa
pengajaran mereka berkualitas tinggi; dan bahwa pengajaran yang berkualitas tinggi itu
memberikan manfaat bagi semua siswa. Ada pengakuan luas bahwa kualitas pengajaran
merupakan faktor pendorong paling penting bagi keberhasilan siswa. Namun, kualitas
pengajaran juga merupakan fondasi keberhasilan yang paling sulit didefinisikan dan diukur.
Banyak aspek kualitas guru yang memang sangat sulit diamati. Para peneliti sepakat bahwa
tidak ada yang dapat disebut sebagai satu-satunya cara mengajar terbaik (OECD, 2009).

PISA 2018 memilih berfokus pada sebagian penanda yang paling kentara dari pengajaran
efektif daripada determinan-determinan tak langsungnya. Pengukuran PISA 2018 mengenai
kualitas pengajaran secara khusus berfokus pada aspek-aspek yang mudah diamati oleh siswa,
apapun tingkat keterampilan mereka. Walaupun demikian, perlu diperhatikan bahwa hasil
dari subbagian ini sepenuhnya berasal dari pengamatan subjektif siswa sebagai penerima
layanan pendidikan dan besar kemungkinan penilaian subjektif tersebut dipengaruhi oleh
tingkat pemahaman mereka akan pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner PISA 2018.

162
Hampir semua model pengajaran efektif kontemporer (Anderson, 2004; Klieme, Pauli
& and Reusser, 2009; Coe et al., 2014) menyoroti pentingnya pengajaran terstruktur yang
berorientasi pada tujuan dan memandang pengajaran sebagai komunikasi antarpribadi.
Pengajaran terstruktur dan berorientasi pada tujuan merujuk pada fakta bahwa saat memberi
pelajaran, guru menyadari, memahami, dan secara aktif mengarahkan dirinya kepada tujuan
yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan proses belajar siswa, serta
mampu menerangkan dengan jelas dan menjaga ketertiban saat mengajar di kelas besar.
Pentingnya komunikasi antarpribadi menunjukkan bahwa pengajaran berkualitas dicirikan
oleh adanya iklim belajar yang saling mendukung. Oleh karena itu, pengukuran PISA 2018
terkait pengajaran berkualitas menitikberatkan dukungan guru, iklim kedisiplinan ruang kelas,
dan struktur yang dapat dicapai oleh guru-guru bahasa Indonesia (kotak 5.2).

Kotak 5.2. Pengukuran PISA 2018 tentang pengajaran berkualitas yang


digunakan dalam laporan ini
Pengukuran PISA 2018 tentang pengajaran berkualitas yang digunakan dalam bab
ini berdasarkan pada jawaban siswa atas pertanyaan-pertanyaan kuesioner siswa
berikut ini.

Dukungan guru
Siswa diminta membayangkan guru-guru bahasa Indonesia mereka dan menjawab
seberapa sering pertanyaan-pertanyaan tersebut terjadi di dalam proses belajar
mengajar. Kategori jawaban siswa mengekspresikan kekerapan kejadian dari kategori
“di setiap pelajaran”, “di hampir setiap pelajaran”, “di beberapa pelajaran”, dan “tidak
pernah atau sangat jarang”. Berikut ini adalah pertanyaan yang diajukan kepada
siswa mengenai seberapa sering guru memberi dukungan kepada siswanya:

• Guru menunjukkan minat pada setiap pembelajaran siswa.


• Guru memberikan bantuan saat siswa membutuhkan.
• Guru membantu siswa dalam memahami pelajaran.
• Guru terus mengajar hingga siswa paham.

Jawaban siswa atas pernyataan-pernyataan ini diringkas dalam indeks dukungan


guru (TEACHSUP). Nilai -2,7 pada indek mengindikasikan siswa merasa guru tidak
pernah atau sangat jarang melakukan aktivitas pada pertanyaan kuesioner dan nilai
1,31 mengindikasikan siswa merasa guru melakukan aktivitas pada pertanyaan di
setiap pelajaran.

Dukungan kepercayaan diri siswa


Siswa juga diminta menjawab persetujuan mereka terhadap pernyataan-pernyataan
berikut, yang mengindikasikan dukungan guru bahasa Indonesia terhadap
kepercayaan diri siswa untuk belajar bahasa Indonesia:

163
• Guru membuatku percaya diri dengan kemampuanku untuk menguasai
pelajaran ini.
• Guru menyimak pendapatku tentang bagaimana melakukan sesuatu.
• Aku merasa guruku memahamiku.
Kategori jawaban siswa adalah sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju, dan sangat
setuju. OECD tidak menyediakan indeks mengenai dukungan guru terhadap
kepercayaan diri siswa. Oleh karena itu, untuk kelompok pertanyaan ini dibuat
nilai faktor yang berfungsi hampir sama dengan indeks OECD. Nilai faktor3 untuk
dukungan guru terhadap kepercayaan diri siswa berkisar dari -3,34 hingga 1,55. Nilai
-3,34 mengindikasikan siswa sangat tidak setuju dengan semua pertanyaan pada
kuesioner. Nilai 1,55 mengindikasikan siswa sangat setuju untuk semua pertanyaan
kuesioner.
Iklim kedisiplinan kelas
Untuk mengukur iklim kedisiplinan kelas, siswa diminta menunjukkan seberapa
sering hal-hal berikut ini terjadi di ruang kelas selama pelajaran bahasa Indonesia:
• Para siswa tidak mendengarkan apa yang diajarkan guru.
• Siswa berisik dan gaduh.
• Guru harus menunggu lama sampai para siswa tenang.
• Para siswa tidak dapat belajar dengan baik.
• Para siswa tidak segera belajar meskipun pelajaran telah dimulai.
Para siswa diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam empat kategori
jawaban: di setiap pelajaran, di hampir setiap pelajaran, di beberapa pelajaran, tidak
pernah atau sangat jarang. Jawaban siswa atas pernyataan-pernyataan tersebut
diringkas dalam sebuah indeks iklim kedisiplinan (DISCLIMA). Nilai -2,7 pada indeks
mengindikasikan siswa menyatakan semua pertanyaan pada kuesioner terjadi di
setiap pelajaran. Nilai 2 merupakan indikasi siswa menyatakan semua pertanyaan
pada kuesioner tidak pernah atau sangat jarang terjadi selama pelajaran. Skala ini
disesuaikan dengan skala yang sama pada PISA 2015 dengan nilai 0 sama dengan
rata-rata negara-negara OECD. Rata-rata indeks iklim kedisiplinan untuk Indonesia
adalah 0,2.
Indeks pengajaran
Untuk mengukur kejelasan dan struktur pengajaran, siswa diminta menjawab
seberapa sering hal-hal berikut ini terjadi di dalam pelajaran Bahasa Indonesia:
• Guru menetapkan tujuan pembelajaran kami dengan jelas.
• Guru bertanya untuk mengetahui apakah kami telah memahami apa yang
diajarkan.

3 Nilai faktor adalah jumlah skor dari item-item setelah dibobot dengan factor loading-nya.

164
• Di awal pelajaran, guru menyampaikan ringkasan singkat dari pelajaran
sebelumnya.
• Guru memberi tahu kami apa yang harus kami pelajari.
Siswa menjawab pertanyaan tersebut dengan empat kategori pilihan jawaban: “di
setiap pelajaran”, “hampir setiap pelajaran”, “beberapa pelajaran”, dan “tidak pernah
atau sangat jarang”. Jawaban tersebut mengekspresikan kekerapan pertanyaan-
pertanyaan tersebut dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia.
Jawaban siswa diringkas dalam indeks pengajaran (DIRINS). Nilai -2,9 mengindikasikan
siswa merasa guru tidak pernah melakukan aktivitas-aktivitas di dalam pertanyaan.
Nilai 1,8 mengindikasikan siswa merasa di setiap pelajaran guru melakukan aktivitas-
aktivitas di dalam pertanyaan.
Umpan balik guru
Siswa juga diminta menjawab seberapa seringkah guru berperilaku sebagai berikut:
• Guru memberikan tanggapan tentang kekuatanku pada pelajaran ini.
• Guru memberitahuku bagian mana saja yang harus aku tingkatkan dalam
pelajaran ini.
• Guru memberitahuku cara untuk meningkatkan pemahamanku dalam
pelajaran ini.
Jawaban siswa dikategorikan dalam empat pilihan jawaban: “tidak pernah atau
hampir tidak pernah”, “di beberapa pelajaran”, “di banyak pelajaran”, dan “di hampir
atau setiap pelajaran”. Jawaban siswa diringkas dalam indeks umpan balik (PERFEED)
yang dirasakan siswa dalam pelajaran bahasa Indonesia. Nilai -1,6 mengindikasikan
siswa menjawab guru tidak pernah atau hampir tidak pernah memberikan umpan
balik, sedangkan nilai 2 mengindikasikan siswa menjawab di hampir setiap pelajaran
guru memberikan umpan balik sebagaimana ditanyakan pada kuesioner.
Pengajaran adaptif
Untuk mengukur apakah pengajaran Bahasa Indonesia bersifat adaptif, siswa diminta
menjawab seberapa sering mereka mendapati perilaku guru sebagai berikut:
• Guru menyesuaikan pelajaran dengan kebutuhan dan pengetahuan siswa di
kelas.
• Guru memberi bantuan secara pribadi kepada siswa yang mengalami
kesulitan dalam memahami topik pelajaran atau tugas yang diberikan.
• Guru mengubah struktur pelajaran pada suatu topik yang sulit dipahami oleh
mayoritas siswa.
Jawaban siswa dikategorikan dalam empat pilihan jawaban dari “tidak pernah
atau hampir tidak pernah”, “di beberapa pelajaran”, “di banyak pelajaran”, dan “di

165
hampir setiap pelajaran atau setiap pelajaran”. Jawaban siswa tersebut diringkas
dalam sebuah indek pengajaran adaptif (ADAPTIVITY) dalam pelajaran bahasa
Indonesia. Nilai -2,3 pada indeks pengajaran adaptif mengindikasikan siswa
menyatakan guru tidak pernah atau hampir tidak pernah melakukan aktivitas
sebagaimana ditanyakan di kuesioner. Nilai 2 mengindikasikan siswa menyatakan
guru di hampir setiap pelajaran melakukan aktivitas sebagaimana ditanyakan di
kuesioner.

5.3.1. Penelitian mengenai dampak pengajaran yang berkualitas


Efektivitas guru dalam memastikan siswa memperhatikan dan belajar selama pelajaran
berlangsung sangat bergantung pada kemampuan mereka menangani perilaku siswa dan
menjaga proses pengajaran berfokus pada belajar setiap siswa. Sebagai contoh, data PISA
2015 menunjukkan bahwa di mayoritas negara dan ekonomi, siswa yang menjawab ada iklim
kedisiplinan yang lebih baik dalam pelajaran sains mendapatkan nilai lebih baik dalam sains
Dalam hal ini status sosial ekonomi siswa dan sekolah masuk dalam perhitungan (OECD,
2016b). Bila disiplin kelas kurang dan guru kurang memiliki keterampilan dalam mengatur
kelas, siswa akan melewatkan kesempatan belajar yang mereka butuhkan. Contohnya, dalam
satu jam pelajaran, hanya sebagian kecil waktu yang benar-benar digunakan untuk belajar.
Setelah beberapa tahun ajaran, selisih waktu ini akan menciptakan kesenjangan mendasar di
antara siswa.

Lingkungan kelas yang tidak kondusif untuk belajar secara khusus merugikan siswa-siswa
kurang mampu yang tidak memiliki sumber daya keluarga dan masyarakat untuk mengisi
kekurangan dalam lingkungan kelas di sekolah. Untuk memutuskan rantai kerugian bagi siswa
dan prestasi siswa yang rendah, sekolah-sekolah harus memastikan bahwa kondisi-kondisi
yang memungkinkan dicapainya proses belajar yang baik harus terpenuhi, khususnya di
sekolah-sekolah yang harus menampung siswa dengan level kekurangmampuan yang tinggi.

Selain penting untuk belajar siswa, iklim kedisiplinan yang baik dan hubungan siswa-guru
yang saling mendukung juga memiliki keterkaitan erat dengan hasil positif lainnya, seperti
kesejahteraan siswa dan guru. Contohnya, kepuasan kerja guru lebih tinggi di sekolah-
sekolah yang rata-rata siswanya menjawab ada iklim kedisiplinan lebih baik, sekalipun dengan
memperhitungkan nilai hasil tes dan status sosial ekonomi siswa (Mostafa & Pál, 2018).
Rasa betah siswa di sekolah memiliki kaitan positif, baik dengan persepsi siswa mengenai
hubungan guru-siswa yang saling mendukung maupun dengan iklim kedisiplinan rata-rata di
dalam kelas menurut jawaban siswa dari sekolah terkait (OECD, 2017). Keterkaitan ini sejalan
dengan temuan sejumlah riset yang menunjukkan bahwa kualitas hubungan guru-siswa dapat
memengaruhi keterikatan siswa terhadap sekolah serta perkembangan sosial dan emosional

166
mereka (Anderman, 2003; Battistich et al., 1997; Chiu et al., 2016; Ma, 2003); dan bahwa guru
yang dapat menjaga disiplin kelas dengan baik turut memberikan pengaruh terhadap prestasi
akademik siswa maupun rasa betah siswa di sekolah (Arum & Velez, 2012; Chiu et al., 2016;
OECD, 2003). Para guru dan pegawai sekolah dapat memajukan perkembangan sosial dan
emosial yang sehat bagi siswa dengan menciptakan lingkungan belajar yang peduli dan penuh
hormat (Battistich et al., 1997).

Riset juga menunjukkan bahwa para siswa, termasuk mereka yang memiliki profil berisiko,
memperlihatkan sikap lebih positif dan motivasi akademik lebih tinggi bila guru memedulikan
mereka, memberikan bantuan saat mereka membutuhkan, dan membiarkan mereka
mengeluarkan pendapat serta membuat keputusan atas diri mereka sendiri (Pitzer & Skinner,
2017; Ricard & Pelletier, 2016).

5.3.2. Kualitas pengajaran dalam pelajaran bahasa Indonesia

Banyak praktik pengajaran efektif yang sulit diamati dan dinilai oleh siswa. Para peneliti
setuju bahwa tidak ada satu cara mengajar terbaik yang dirumuskan dengan baik (OECD,
2009). Meski demikian, aspek-aspek pokok pengajaran langsung; pengajaran yang dilakukan
dengan pemantauan dan pendampingan, kecepatan menjelaskan pelajaran yang memadai;
pengelolaan ruang kelas yang baik; kejelasan saat menerangkan; pelajaran yang terstruktur
dengan baik dan informatif; dan pemberian tanggapan yang mendorong semangat secara
umum memiliki dampak positif terhadap prestasi siswa dan membentuk aspek-aspek
pengajaran efektif yang paling nyata (OECD, 2009). Dalam PISA 2018, siswa diminta menjawab
sampai sejauh manakah aspek-aspek ini tampak dalam pelajaran bahasa Indonesia.

Pengajaran yang berorientasi pada tujuan mengharuskan guru menciptakan lingkungan


kelas yang kondusif untuk belajar. Hal ini berarti kelas harus dijauhkan dari suasana berisik
dan gaduh, dan siswa harus dipastikan dapat mendengarkan apa yang diucapkan guru dan
dapat berkonsentrasi dalam mempelajari tugas-tugas. Belajar yang berbobot dan nyata
hanya mungkin terjadi dalam lingkungan seperti di atas (Ma & Willms, 2004). Selain itu, para
siswa membutuhkan dukungan dari para pegawai sekolah, khususnya guru; apakah guru
memberikan yang terbaik kepada siswa di dalam kesempatan belajar yang tersedia (Klem &
Connell, 2004) .

Lebih dari separuh siswa usia 15 tahun di Indonesia memiliki pandangan positif terhadap
guru-guru mereka. Sebanyak 67% siswa Indonesia merasa di hampir setiap pelajaran
Bahasa Indonesia guru berperilaku mendukung pembelajaran mereka, dan sebanyak 77%
siswa Indonesia setuju bahwa guru bahasa Indonesia membuat mereka percaya diri untuk
menguasai materi pelajaran, menyimak pendapat mereka mengenai materi pelajaran, dan
memahami mereka. Selain itu, siswa Indonesia memiliki persepsi yang bagus mengenai
kedisiplinan kelas dan pengajaran yang terstruktur. Sekitar 59% siswa Indonesia menyatakan
rendahnya kedisiplinan hanya terjadi beberapa kali atau bahkan tidak pernah terjadi dalam

167
kelas pelajaran bahasa Indonesia; 78% siswa Indonesia merasa guru bahasa Indonesia mereka
menunjukkan kejelasan dan struktur pengajaran yang baik hampir di setiap pelajaran.

Sebaliknya, siswa Indonesia memiliki persepsi yang cenderung negatif terhadap bagaimana
guru menanggapi hasil pembelajaran mereka dan bagaimana guru mengadaptasi pengajaran
berdasarkan kebutuhan siswa. Sebanyak 68% siswa Indonesia merasa bahwa guru mereka
kurang memberi tanggapan terhadap proses belajar mereka di banyak pelajaran atau hampir
setiap pelajaran; 60% siswa Indonesia menyatakan bahwa guru bahasa Indonesia mereka
tidak pernah atau hanya di beberapa pelajaran memberikan bantuan secara langsung kepada
siswa yang kesulitan memahami materi atau melakukan pengubahan materi pelajaran sesuai
dengan kebutuhan siswa.

Gambar 5.10 menunjukkan perbedaan kemampuan membaca berdasarkan persepsi siswa


terhadap kualitas pembelajaran bahasa Indonesia. Siswa yang merasa guru memiliki iklim
kedisiplinan yang bagus memiliki kemampuan membaca 16 poin lebih tinggi dibandingkan
dengan siswa yang merasa guru kurang memiliki iklim kedisiplinan kelas. Siswa yang merasa
guru mereka meningkatkan kepercayaan diri dalam pelajaran memiliki kemampuan membaca
12 poin lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang merasa sebaliknya. Yang menarik, siswa
yang merasa guru mereka memiliki kejelasan dan struktur pengajaran yang bagus justru
memiliki kemampuan membaca yang lebih rendah 21 poin dibandingkan dengan siswa yang
merasa sebaliknya. Demikian pula siswa yang merasa guru memberi umpan balik memiliki
kemampuan yang lebih rendah 14 poin dibandingkan dengan siswa yang merasa sebaliknya.

Tidak ada perbedaan kemampuan membaca antara siswa yang merasa mendapatkan dukungan
akademik dari guru dengan siswa yang tidak merasa demikian. Perbedaan kemampuan
membaca juga tidak terjadi di antara siswa yang merasa guru melakukan perubahan pengajaran
sesuai dengan kebutuhan anak didik dengan siswa yang tidak merasa demikian.

168
Gambar 5.10. Perbedaan kemampuan membaca berdasarkan persepsi siswa terhadap
kualitas pembelajaran bahasa Indonesia

Selanjutnya akan dilihat bagaimana kualitas pengajaran pada tingkatan sekolah. Gambar 5.11
menunjukkan hubungan antara indeks sosial ekonomi sekolah dengan kualitas pengajaran
sekolah, persepsi siswa mengenai pengajaran berkualitas berdasarkan karakteristik sekolah,
dan korelasi persepsi pengajaran berkualitas dengan karakteristik sekolah.

Gambar 5.11.
Hubungan antara
tingkat sosial
ekonomi sekolah
dengan rata-rata
persepsi siswa akan
kualitas pengajaran
di sekolah

169
5.3.3. Bagaimana perbandingan iklim kedisiplinan ruang kelas secara
internasional

Perbedaan jawaban siswa mengenai iklim kedisiplinan di berbagai konteks dan negara
memperlihatkan ketidakpastian yang cukup besar, misalnya, apa yang dianggap sebagai
“berisik” di satu konteks mungkin dirasa normal di dalam konteks lainnya. Namun, PISA
maupun survei-survei internasional lain menemukan bahwa jumlah waktu belajar yang hilang
akibat perilaku siswa yang kurang disiplin dan manajemen kelas oleh guru yang kurang baik
berbeda-beda secara signifikan di berbagai negara, terutama di negara-negara Amerika Latin
yang kisaran perbedaannya sangat besar (Moriconi & Bélanger, 2015). Dalam penilaian PISA,
nilai tertinggi pada indeks iklim kedisiplinan –ditandai oleh tidak ada atau nyaris tidak adanya
gangguan terhadap pengajaran di ruang kelas– ditemukan di Jepang dan Korea.

5.4. Lingkungan belajar yang lebih luas: keluarga

Bagi anak-anak, beberapa hubungan dalam kehidupan mereka memiliki arti penting dan terasa
abadi seperti hubungan mereka dengan orang tua atau orang dewasa yang mengasuhnya. Sifat
dan jangkauan dukungan keluarga dan masyarakat di berbagai negara-berbeda-beda; namun
keluarga –baik keluarga kecil, keluarga inti, maupun keluarga besar– selalu menjadi unit sosial
pertama tempat anak-anak belajar dan berkembang. Selain itu, meski pengasuhan anak yang
baik bisa berbeda-beda wujudnya dan dibentuk oleh beragam pengaruh sosial dan budaya,
namun di dalamnya pasti ada pemberian dukungan, perhatian, kasih sayang, bimbingan, dan
perlindungan bagi anak yang menentukan kondisi-kondisi bagi perkembangan fisik, mental,
dan sosial yang sehat.

Kuesioner PISA 2018 meminta para kepala sekolah untuk menjawab mengenai berapa banyak
orang tua yang turut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sekolah
seperti membahas kemajuan anak atau berpartisipasi dalam organisasi sekolah (wakil orang
tua atau komite sekolah). Kotak 5.3 merinci pengukuran dukungan keluarga dan masyarakat
yang digunakan di dalam laporan ini.

Kotak 5.3. Pengukuran partisipasi orang tua dalam kegiatan sekolah


yang digunakan dalam laporan ini
PISA meminta para kepala sekolah untuk menjawab berapa proporsi dalam
persentase, orang tua siswa yang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan sekolah berikut ini:

• Pembahasan kemajuan anak mereka dengan guru atas inisiatif orang tua.
• Pembahasan kemajuan anak mereka atas prakarsa salah satu guru anak
mereka.

170
• Berpartisipasi dalam organisasi sekolah, misalnya wakil orang tua atau
komite sekolah.
• Menjadi relawan untuk aktivitas fisik atau ekstra kurikuler, misalnya
pemeliharaan gedung, peralatan meja dan kursi, pemeliharaan kebun,
drama sekolah, olah raga, kunjungan lapangan.

Keempat pertanyaan tersebut digabungkan ke dalam sebuah indeks partisipasi


orang tua dalam kegiatan sekolah. Nilai nol pada indeks artinya kepala sekolah
memilih “nol persen” untuk keempat pertanyaan, dan nilai 100 artinya kepala
sekolah memilih “100 persen” untuk keempat pertanyaan.

5.4.1. Penelitian mengenai dampak dukungan keluarga dan masyarakat

Literatur menyatakan adanya hubungan positif antara beragam kegiatan orang tua di rumah
dan di sekolah terkait pendidikan anak dengan prestasi pendidikan anak. Hubungan positif
ini selalu ada dalam berbagai disiplin, kelompok etnis berbeda-beda, gender, dan berbagai
masa (Bogenschneider, 1997; Catsambis, 2001; Fan & Williams, 2010; Kaplan Toren & Seginer,
2015; Keith et al., 1998; Shumow & Lomax, 2002). Bentuk keterlibatan orang tua yang paling
efektif adalah peran orang tua sesuai usia anak. Setelah anak beranjak remaja, biasanya peran
tersebut tidak melibatkan bantuan atau perintah langsung, melainkan lebih bergantung pada
keteladanan perilaku positif, seperti pantang menyerah saat menghadapi kesulitan, dan
perhatian yang secara khusus ditunjukkan melalui obrolan terkait minat orang tua terhadap
belajar anak.

Data PISA 2015 juga menunjukkan bahwa kegiatan orang tua yang secara umum menunjukkan
karakteristik lingkungan keluarga yang peduli dan secara khusus ”menghabiskan waktu untuk
sekadar mengobrol” dan “makan bersama” dengan anak memiliki keterkaitan positif dengan
prestasi akademik danberbagai area lain dalam kehidupan anak, seperti kepuasan atas hidup
mereka (OECD, 2017).

Keterlibatan orang tua memberikan dukungan tambahan kepada belajar anak dapat
mengantarkan tanggung jawab lebih besar kepada sistem pendidikan. Dalam praktiknya,
sejauh mana keterlibatan orang tua memberikan hasil positif masih diperdebatkan (Banerjee
et al., 2010). Dalam beberapa kasus, inisiatif akuntabilitas yang meningkatkan keterlibatan
orang tua di sekolah tampak menjadi pengarah dampak sumber daya sekolah. Misalnya
keberadaan orang tua di dalam dewan sekolah dapat memastikan sumber daya sekolah lebih
dipergunakan untuk kepentingan anak-anak daripada untuk kepentingan pegawai sekolah
(Duflo, Dupas & Kremer, 2015). Namun, di banyak kasus, inisiatif pemantauan oleh anggota
masyarakat yang meningkatkan informasi mengenai kualitas layanan yang diberikan oleh

171
sekolah, sepertimis. ketidakhadiran guru, tidak menghasilkan perbaikan yang berarti (Glewwe
& Muralidharan, 2016) .

5.4.2. Keterlibatan orang tua di sekolah

Rata-rata tingkat partisipasi orang tua siswa dalam kegiatan sekolah di Indonesia adalah
49%. Sekitar 37% kepala sekolah menyatakan lebih dari separuh orang tua wali berpartisipasi
dalam kegiatan siswa. Sekitar 1 dari 3 siswa usia 15 tahun di Indonesia menuntut ilmu di
sekolah dengan angka parsitipasi orang tua siswa lebih dari 50%. Kepala sekolah juga
menginformasikan, rata-rata 41% orang tua siswa di Indonesia berinisiatif membahas
kemajuan pendidikan anaknya dengan guru. Satu dari 3 siswa berusia 15 tahun belajar di 40%
sekolah, yang kepala sekolahnya melaporkan mayoritas orang tua membahas kemajuan anak
dengan guru atas inisiatif mereka sendiri.

Gambar 5.12 menunjukkan persentase siswa di sekolah yang memiliki persentase keterlibatan
dukungan orang tua lebih dari 50%. Lebih dari 30% siswa usia 15 tahun di Indonesia bersekolah
di sekolah dengan dukungan tinggi orang tua. Dukungan tinggi orang tua tersebut berupa
salah satu dari tiga bentuk partisipasi, yaitu terlibat dalam organisasi sekolah; membahas
perkembangan belajar atas inisiatif orang tua; membahas perkembangan belajar atas inisiatif
guru; atau menjadi relawan pada kegiatan sekolah. Sebanyak 20% siswa bersekolah di
sekolah yang keterlibatan orang tuanya tinggi dalam tiga bentuk partisipasi. Hanya 12% siswa
Indonesia yang bersekolah di sekolah dengan tingkat partisipasi orang tua sebagai relawan
kegiatan sekolah di atas 50%.

Gambar 5.12. Persentase siswa di sekolah dengan dukungan orang tua lebih dari 50%

172
Gambar 5.13 menunjukkan peran serta orang tua dalam perkembangan pendidikan di
Indonesia berdasarkan karakteristik sekolah. Tampak bahwa sekolah-sekolah di kota besar
dan desa, sekolah negeri, serta sekolah dengan siswa bersosial ekonomi berada di kategori
25–50% terendah memiliki partisipasi wali siswa rendah dan insiatif orang tua yang rendah
pula untuk menanyakan perkembangan belajar anaknya kepada guru. Sekolah-sekolah di ibu
kota provinsi memiliki persentase tinggi dalam partisipasi wali siswa dalam organisasi sekolah
dan insiatif orang tua dalam memantau perkembangan belajar anaknya.

Jarak poin partisipasi wali siswa dan inisiatif orang tua di sekolah negeri dan sekolah
swasta relatif dekat menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara dua kelompok
karakteristik sekolah. Demikian pula tidak terdapat perbedaan signifikan antara sekolah
berdasarkan jenjang pendidikan. Perbedaan signifikan terjadi antara sekolah berdasarkan
lokasinya. Perbedaan tingkat partisipasi wali siswa antara sekolah di desa, kota kecamatan,
kota kabupaten, ibu kota provinsi, dan kota besar memiliki nilai F(4,294)=2,5 (p<0,05). Demikian
dalam hal inisiatif orang tua, nilai F(4,300)=2,5 (p< 0,05).

Selain itu terdapat perbedaan signifikan terkait dengan partisipasi orang tua dalam organisasi
sekolah dan insiatif orang tua memantau perkembangan belajar anaknya, dengan nilai
F(3,294)=3,6 (p<0,05) untuk partisipasi orang tua dalam organisasi sekolah dan nilai F=7,9, (p<
0,01) untuk inisiatif orang tua membahas kemajuan belajar.

Gambar 5.13 Peran serta orang tua dalam perkembangan pendidikan di Indonesia

173
Selain dukungan orang tua terkait dengan peran aktif dalam organisasi sekolah dan inisiatif
dalam memantau perkembangan belajar anak, PISA juga menanyakan dukungan emosional
yang diberikan orang tua. OECD menyajikanya dalam bentuk skala dukungan emosional
(EMOSUPS). Untuk memudahkan keterbacaan, skala dukungan emosional tersebut dikonversi
ke dalam nilai 0–10. Nilai rendah mengindikasikan persepsi siswa akan rendahnya dukungan
emosional dari orang tua; nilai tinggi mengindikasikan persepsi siswa akan tingginya dukungan
emosional dari orang tua; dan nilai 5 sebagai nilai tengah. Rata-rata dukungan emosional
untuk Indonesia adalah 7 (SD=2,9), artinya siswa Indonesia berumur 15 tahun relatif merasa
bahwa mereka memiliki dukungan emosional yang bagus dari orang tua.

Berdasarkan jenis kelamin (laki-laki atau perempuan) dan bahasa sehari-hari (bahasa nasional
atau bahasa daerah), jenjang pendidikan, dan lokasi sekolah, perbedaan indeks dukungan
emosional sangat kecil, sekitar 0 hingga 0,5. Kenaikan satu tingkat dalam indek sosial ekonomi
setara dengan kenaikan 0,1 poin dukungan emosional orang tua. Nilai ini sangat kecil meski
secara statistik signifikan. Keterkaitan dukungan orang tua dengan prestasi siswa memiliki
hubungan yang lemah, bahkan ketika indeks sosial ekonomi siswa dan sekolah menjadi
pertimbangan.

Meski berpartisipasi dalam kegiatan sekolah merupakan hal yang sulit sekaligus menghabiskan
waktu bagi para pegawai sekolah dan orang tua, terkadang melibatkan orang tua adalah satu-
satunya cara untuk mengatasi masalah perilaku yang serius di sekolah. Keterlibatan orang tua
yang bersifat konstruktif dapat menciptakan lingkungan positif bagi belajar siswa (Avvisati et al.,
2014; Hill & Taylor, 2004; McNeal, 1999). Beberapa studi juga berpendapat bahwa rendahnya
keterlibatan orang tua mencerminkan kepercayaan orang tua terhadap guru (Addi-Raccah &
Arviv-Elyashiv, 2008), atau merupakan model organisasi sekolah berdasarkan pemahaman
bahwa guru mengendalikan proses pengajaran dan orang tua memberikan dukungan atau
sekadar menyerahkan tanggung jawab akademik mereka (Bauch & Goldring, 1998).

5.5. Lingkungan belajar sebagai salah satu fondasi keberhasilan pendidikan

Berdasarkan data PISA Indonesia, ditemukan bahwa indeks rasa-memiliki berasosiasi positif
dengan kemampuan membaca dan kepuasan hidup. Indeks rasa-memiliki siswa SMA lebih
tinggi dibandingkan dengan siswa SMP, indeks rasa-memiliki siswa laki-laki lebih tinggi
dibandingkan siswa perempuan, dan siswa perkotaan memiliki indeks rasa-memiliki yang
lebih tinggi dibandingkan dengan siswa pedesaan. Selain itu, siswa laki-laki lebih sering
mengalami perundungan dibandingkan siswa perempuan. Perundungan berasosiasi positif
dengan indeks sosial ekonomi, sekolah perkotaan, sekolah SMA, dan sekolah umum. Akan
tetapi, perundungan berasosiasi negatif dengan indeks rasa-memiliki sekolah dan kepuasan
hidup. Sekolah jenjang SMP/sederajat dengan rasio siswa-guru yang besar, dan rata-rata
indeks rasa-memiliki sekolah rendah cenderung memiliki persentase perundungan tinggi,
sekitar 56%, dibandingkan dengan sekolah jenjang SMA/sederajat, dengan rasio siswa-guru
rendah. Sekolah dengan karakteristik tersebut memiliki persentase perundungan sekitar 5%.

174
Karakteristik siswa yang rentan untuk membolos adalah siswa laki-laki SMP swasta dengan
latar belakang sosial ekonomi rendah, sering mengalami perundungan, rasa-memiliki terhadap
sekolah yang rendah, kepuasan hidup rendah memiliki kemungkinan untuk membolos kelas
sebesar 66%, sedangkan siswa dengan karakter yang bertolak belakang dengan karakter
tersebut hanya memiliki kemungkinan 6% untuk membolos kelas. Karakteristik siswa yang
rentan untuk membolos sekolah adalah siswa laki-laki SMP swasta dengan latar belakang
sosial ekonomi tinggi, sering mengalami perundungan, rasa-memiliki terhadap sekolah yang
rendah, kepuasan hidup rendah, memiliki kemungkinan untuk terlambat sekolah sebesar
55%, sedangkan siswa dengan karakter yang bertolak belakang dengan karakter tersebut
hanya memiliki kemungkinan 9% untuk terlambat sekolah. Siswa laki-laki yang bersekolah
di SMP swasta dengan latar belakang sosial ekonomi tinggi, sering mengalami perundungan,
rasa-memiliki terhadap sekolah yang rendah, kepuasan hidup rendah memiliki kemungkinan
untuk membolos kelas sebesar 77%, sedangkan siswa dengan karakter yang bertolak belakang
dengan karakter tersebut hanya memiliki kemungkinan 6% untuk membolos kelas.

Siswa dengan guru kurang mampu menjelaskan materi pembelajaran dan kurang memberi
umpan balik memiliki nilai lebih rendah 14 dan 21 poin, atau setara dengan satu semester
pendidikan dibandingkan dengan siswa yang merasa gurunya mampu menjelaskan materi
pembelajaran dan memberi umpan balik. Sebaliknya, siswa dengan guru yang dapat
mengontrol kelasnya memiliki kemampuan membaca 16 poin lebih tinggi atau setara dengan
satu semester pendidikan dibandingkan dengan siswa dengan guru yang kurang mampu
mengontrol kelasnya. Indeks pengajaran dan indeks umpan balik pengajaran berasosiasi
negatif dengan indeks sosial ekonomi sekolah. Sekolah dengan rata-rata indeks sosial ekonomi
tinggi cenderung memiliki indeks pengajaran dan indeks umpan balik pengajaran yang rendah.
Indeks sosial ekonomi memberi sumbangsih 10% dan 8% terhadap indeks pengajaran dan
indeks umpan balik pengajaran.

Orang tua dari sekolah-sekolah di kota besar cenderung memiliki partisipasi rendah di
organisasi wali murid, sekaligus rendah pula dalam inisiatif mendiskusikan perkembangan
pendidikan anaknya dengan guru. Sebaliknya, orang tua dari sekolah-sekolah di ibu kota
provinsi cenderung memiliki partisipasi tinggi dalam organisasi wali murid dan inisiatif tinggi
dalam mendiskusikan perkembangan pendidikan anaknya dengan guru.

175
DAFTAR PUSTAKA

Anderman, L. (2003), “Academic and Social Perceptions as Predictors of Change in


Middle School Students’ Sense of School Belonging”, The Journal of Experimental
Education, Vol. 72/1, pp. 5–22, http://dx.doi.org/10.1080/00220970309600877.
Anderson, L. (2004), Increasing teacher effectiveness, UNESCO: International Institute
for Educational Planning, Paris.
Aronson, J., C. Fried & C. Good (2002), “Reducing the Effects of Stereotype Threat on
African American College Students by Shaping Theories of Intelligence”, Journal
of Experimental Social Psychology, Vol. 38/2, pp. 113–125, http://dx.doi.
org/10.1006/JESP.2001.1491.
Arum, R. & M. Velez (2012), Improving learning environments : school discipline and
student achievement in comparative perspective, Stanford University Press.
Avvisati, F., B. Besbas & N. Guyon (2010), “Parental involvement in school: A literature
review”, Revue d’Economie Politique, Vol. 120/5.
Avvisati, F. et al. (2014), “Getting parents involved: A field experiment in deprived
schools”, Review of Economic Studies, Vol. 81/1, http://dx.doi.org/10.1093/
restud/rdt027.
Baker, M., J. Sigmon & M. Nugent (2001), “Truancy Reduction: Keeping Students
in School.”, Juvenile Justice Bulletin, http://www.ncjrs.org/pdffiles1/
ojjdp/188947.pdf (accessed on 19 April 2018).
Baldry, A.C. and Farrington, D.P. (1999), “Brief report: types of bullying among Italian
school children”, Journal of adolescence, 22(3), pp.423-426.
Banerjee, A. & E. Duflo (2006), “Addressing Absence”, Journal of Economic Perspectives,
Vol. 20/1, pp. 117–132, http://dx.doi.org/10.1257/089533006776526139.
Banerjee, A. et al. (2010), “Pitfalls of Participatory Programs: Evidence from a
Randomized Evaluation in Education in India”, American Economic Journal:
Economic Policy, Vol. 2/1, pp. 1–30, http://dx.doi.org/10.1257/pol.2.1.1.
Battistich, V. et al. (1997), “Caring school communities”, Educational Psychologist,
Vol. 32/3, pp. 137–151, http://dx.doi.org/10.1207/s15326985ep3203_1.
Baumeister, R. & M. Leary (1995), “The need to belong: Desire for interpersonal
attachments as a fundamental human motivation”, Psychological Bulletin, Vol.

176
117/3, pp. 497–529, http://dx.doi.org/10.1037/0033-2909.117.3.497.
Berlinski, S. et al. (2016), “Reducing parent-school information gaps and improving
education outcomes: Evidence from high frequency text messaging in Chile”,
https://www.povertyactionlab.org/sites/default/files/publications/726_%20
Reducing-Parent-School-information-gap_BBDM-Dec2016.pdf (accessed on 18
April 2018).
Blackwell, L., K. Trzesniewski & C. Dweck (2007), “Implicit Theories of Intelligence
Predict Achievement Across an Adolescent Transition: A Longitudinal Study and
an Intervention”, Child Development, Vol. 78/1, pp. 246–263, http://dx.doi.org
/10.1111/j.1467-8624.2007.00995
Bogenschneider, K. (1997), “Parental Involvement in Adolescent Schooling: A Proximal
Process with Transcontextual Validity”, Journal of Marriage and the Family, Vol.
59/3, p. 718, http://dx.doi.org/10.2307/353956.
Bowles, S. & H. Gintis (1976), Schooling in capitalist America, Basic Books, New York.
Carroll, J. B. (1989), “The Carroll Model, A 25-year Retrospective and Prospective
View”, Educational Research, Vol. 18, No. 1, pp. 26–31.
Catalano, R. et al. (2004), “The Importance of Bonding to School for Healthy
Development: Findings from the Social Development Research Group”,
Journal of School Health, Vol. 74/7, pp. 252-261, http://dx.doi.
org/10.1111/j.1746-1561.2004.tb08281.x.
Catsambis, S. (2001), “Expanding Knowledge of Parental Involvement in Children’s
Secondary Education: Connections with High School Seniors’ Academic
Success”, Social Psychology of Education, Vol. 5/2, pp. 149–177, http://dx.doi.
org/10.1023/A:1014478001512.

Cerdan-Infantes, P. & D. Filmer (2015), “Information, Knowledge and Behavior:


Evaluating Alternative Methods of Delivering School Information to Parents”,
Policy Research Working Paper, No. 7233, World Bank Group, Washington,
http://econ.worldbank.org. (accessed on 18 April 2018).
Chaudhury, N. et al. (2006), “Missing in Action: Teacher and Health Worker Absence
in Developing Countries”, Journal of Economic Perspectives, Vol. 20/1, pp. 91–
116, http://dx.doi.org/10.1257/089533006776526058.
Chiu, M. et al. (2016), “Students’ Sense of Belonging at School in 41 Countries”,
Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol. 47/2, pp. 175–196, http://dx.doi.
org/10.1177/0022022115617031.
Clotfelter, C., H. Ladd & J. Vigdor (2009), “Are Teacher Absences Worth Worrying
About in the United States?”, Education Finance and Policy, Vol. 4/2, pp. 115–
149, http://dx.doi.org/10.1162/edfp.2009.4.2.115.
Coe, R. et al. (2014), “What makes great teaching? A framework for professional
learning Question 1: &quot; What makes great teaching? &quot;”, https://
www.suttontrust.com/wp-content/uploads/2014/10/What-Makes-Great-
Teaching-REPORT.pdf (accessed on 19 April 2018).
Cohen, J. et al. (2009), “School Climate: Research, Policy, Practice, and Teacher

177
Education”, Teachers College Record, Vol. 111/1, pp. 180–213, http://ww.w.ijvs.
org/files/Publications/School-Climate.pdf (accessed on 04 October 2018).
Darling-Hammond, L. et al. (2017), Empowered Educators: How High-Performing
Systems Shape Teaching Quality Around the World, Jossey-Bass, San Francisco.
Dizon-Ross, R. (2018), “Parents’ Beliefs About Their Children’s Academic Ability:
Implications for Educational Investments”, http://faculty.chicagobooth.edu/
rebecca.dizon-ross/research/papers/perceptions.pdf (accessed on 19 April
2018).
Dweck, C. (2010), “Even Geniuses Work Hard”, Educational Leadership, Vol. 68/1, pp.
16–20, http://www.brainology.us. (accessed on 08 October 2018).
Duflo, E., R. Hanna & S. Ryan (2012), “Incentives Work: Getting Teachers to Come to
School”, American Economic Review, Vol. 102/4, pp. 124–1278, http://dx.doi.
org/10.1257/aer.102.4.1241.
Duflo, E., P. Dupas & M. Kremer (2015), “School governance, teacher incentives, and
pupil–teacher ratios: Experimental evidence from Kenyan primary schools”,
Journal of Public Economics, Vol. 123, pp. 92–110, http://dx.doi.org/10.1016/J.
JPUBECO.2014.11.008.
Eccles, J. et al. (1993), “Negative Effects of Traditional Middle Schools on Students’
Motivation”, The Elementary School Journal, Vol. 93/5, pp. 553–574, http://
dx.doi.org/10.1086/461740.
Fan, W. & C. Williams (2010), “The effects of parental involvement on students’ academic
self‐efficacy, engagement and intrinsic motivation”, Educational Psychology,
Vol. 30/1, pp. 53–74, http://dx.doi.org/10.1080/01443410903353302.
Glewwe, P. & K. Muralidharan (2016), “Improving Education Outcomes in Developing
Countries: Evidence, Knowledge Gaps, and Policy Implications”, Handbook of
the Economics of Education, Vol. 5, pp. 653–743, http://dx.doi.org/10.1016/
B978-0-444-63459-7.00010-5.
Goodenow, C. (1993), “Classroom Belonging among Early Adolescent Students”, The
Journal of Early Adolescence, Vol. 13/1, pp. 2–43, http://dx.doi.org/10.1177/0
272431693013001002.
Grayson, J. & H. Alvarez (2008), “School climate factors relating to teacher burnout:
Amediator model”, Teaching and Teacher Education, Vol. 24/5, pp. 1349–1363,
http://dx.doi.org/10.1016/J.TATE.2007.06.005.
Hallfors, D. et al. (2002), “Truancy, Grade Point Average, and Sexual Activity: A
Meta-Analysis of Risk Indicators for Youth Substance Use”, Journal of School
Health, Vol. 72/5, pp. 205–211, http://dx.doi.org/10.1111/j.1746-1561.2002.
tb06548.x.
Hattie, J. & G. Yates (n.d.), Visible learning and the science of how we learn, Routledge,
London.
Hattie, J. (2009), Visible learning : a synthesis of over 800 meta-analyses relating to
achievement, Routledge.
Hawkins, J. & J. Weis (1985), “The social development model: An integrated approach
to delinquency prevention”, The Journal of Primary Prevention, Vol. 6/2, pp.

178
73–97, http://dx.doi.org/10.1007/BF01325432.
Henry, K. & D. Huizinga (2007), “Truancy’s Effect on the Onset of Drug Use among
Urban Adolescents Placed at Risk”, Journal of Adolescent Health, Vol. 40/4, pp.
358, http://dx.doi.org/10.1016/J.JADOHEALTH.2006.11.138.
Hoge, D., E. Smit & S. Hanson (1990), “School experiences predicting changes in
self esteemof sixth- and seventh-grade students”, Journal of Educational
Psychology, Vol. 82/1, pp. 117–127, http://psycnet.apa.org/buy/1990-21091-
001 (accessed on 04 October 2018).
Hoover-Dempsey, K. & H. Sandler (1997), “Why Do Parents Become Involved in Their
Children’s Education?”, Review of Educational Research, Vol. 67/1, pp. 3, http://
dx.doi.org/10.2307/1170618.
Hoover-Dempsey, K. et al. (2005), “Why Do Parents Become Involved? Research
Findings and Implications”, The Elementary School Journal, Vol. 106/2, pp.
105–130, http://dx.doi.org/10.1086/499194.
Jensen, B. et al. (2012), The Experience of New Teachers: Results from TALIS 2008,
OECD Publishing, Paris, http://dx.doi.org/10.1787/9789264120952-en.
Juvonen, J. (2006), “Sense of Belonging, Social Bonds, and School Functioning.”,
in Handbook of educational psychology., Lawrence Erlbaum Associates
Publishers, Juvonen, Janna: Department of Psychology, University of California,
Los Angeles.
Juvonen, J., G. Espinoza & C. Knifsend (2012), “The Role of Peer Relationships
in Student Academic and Extracurricular Engagement”, in Handbook of
Research on Student Engagement, Springer US, Boston, MA, http://dx.doi.
org/10.1007/978-1-4614-2018-7_18.
Kaplan Toren, N.& R. Seginer (2015), “Classroom climate, parental educational
involvement, and student school functioning in early adolescence: a longitudinal
study”, Social Psychology of Education, Vol. 18/4, pp. 811–827, http://dx.doi.
org/10.1007/s11218-015-9316-8.
Keith, T. et al. (1998), “Longitudinal Effects of Parent Involvement on High School
Grades: Similarities and Differences Across Gender and Ethnic Groups”, Journal
of School Psychology, Vol. 36/3, pp. 335–363, http://dx.doi.org/10.1016/
S0022-4405(98)00008-9.
Klem, A. & J. Connell (2004), “Relationships Matter: Linking Teacher Support to
Student Engagement and Achievement”, Journal of School Health, Vol. 74/7,
pp. 262–273, http://dx.doi.org/10.1111/j.1746-1561.2004.tb08283.x.
Klieme, E., C. Pauli & K. Reusser (2009), “The Pythagoras study: Investigating effects
of teaching and learning in Swiss and German mathematics classrooms”, The
power of video studies in investigating teaching and learning in the classroom,
pp. 137–160.
Kremer, M., C. Brannen & R. Glennerster (2013), “The challenge of education and
learning in the developing world.”, Science (New York, N.Y.), Vol. 340/6130, pp.
297–300, http://dx.doi.org/10.1126/science.1235350.
Lee, V. & D. Burkam (2003), “Dropping Out of High School: The Role of School

179
Organization and Structure”, American Educational Research Journal, Vol. 40/2,
pp. 353–393, http://dx.doi.org/10.3102/00028312040002353.
Maslow, A. (1943), “A theory of human motivation.”, Psychological Review, Vol. 50/4,
pp. 370–396, http://dx.doi.org/10.1037/h0054346.
Ma, X. (2003), “Sense of Belonging to School: Can Schools Make a Difference?”,
The Journal of Educational Research, Vol. 96/6, pp. 340–349, http://dx.doi.
org/10.1080/00220670309596617.
Ma, X. & J. Willms (2004), “School Disciplinary Climate: Characteristics and Effects
on Eighth Grade Achievement”, Alberta Journal of Educational Research, Vol.
50/2, http://hdl.handle.net/10515/sy5xw4832 (accessed on 19 April 2018).
Meece, J. & J. Eccles (2010), “Protect, Prepare, Support, and Engage: The Roles of
School-Based Extracurricular Activities in Students’ Development”, pp. 384–
396, http://dx.doi.org/10.4324/9780203874844-36.
Moriconi, G. & J. Bélanger (2015), “Supporting teachers and schools to promote
positive student behaviour in England and Ontario (Canada): Lessons for Latin
America”, OECD Education Working Papers, No. 116, OECD Publishing, Paris,
http://dx.doi.org/10.1787/5js333qmrqzq-en.
Mostafa, T. & J. Pál (2018), “Science teachers’ satisfaction: Evidence from the
PISA 2015 teacher survey”, OECD Education Working Papers, No. 168, OECD
Publishing, Paris, http://dx.doi.org/10.1787/1ecdb4e3-en.
Nussbaum, A. & C. Dweck (2008), “Defensiveness Versus Remediation: Self-Theories
and Modes of Self-Esteem Maintenance”, Personality and Social Psychology
Bulletin, Vol. 34/5, pp. 599–612, http://dx.doi.org/10.1177/0146167207312960.
OECD (2003), Student Engagement at School: A Sense of Belonging and
Participation: Results from PISA 2000, OECD Publishing, Paris, http://dx.doi.
org/10.1787/9789264018938-en.
OECD (2009), Creating Effective Teaching and Learning Environments: First Results
from TALIS, OECD Publishing, Paris, http://dx.doi.org/10.1787/9789264068780-
en.
OECD (2014), TALIS 2013 Results: An International Perspective on Teaching and
Learning, OECD Publishing, Paris, http://dx.doi.org/10.1787/9789264196261-
en.
OECD (2016b), PISA 2015 Results (Volume II): Policies and Practices for Successful
Schools, OECD Publishing, http://dx.doi.org/10.1787/9789264267510-en.
OECD (2017), “How do teachers become knowledgeable and confident in classroom
management?: Insights from a pilot study”, Teaching in Focus, No. 19, OECD
Publishing, Paris, http://dx.doi.org/10.1787/8b69400e-en.
OECD (2017), PISA 2015 Results (Volume III): Students’ Well-Being, OECD Publishing,
Paris, http://dx.doi.org/10.1787/9789264273856-en.
Office for Standards in Education (2001), Improving Attendance and Behaviour in
Secondary Schools, OFSTED.
Ogbu, J. (2003), Black American students in an affluent suburb : a study of academic
disengagement, L. Erlbaum Associates, Mahwah, NJ.

180
Pitzer, J. & E. Skinner (2017), “Predictors of changes in students’ motivational resilience
over the school year”, International Journal of Behavioral Development, Vol.
41/1, pp. 15–29, http://dx.doi.org/10.1177/0165025416642051.
Ricard, N. & L. Pelletier (2016), “Dropping out of high school: The role of parent
and teacher self-determination support, reciprocal friendships and academic
motivation”, Contemporary Educational Psychology, Vol. 44–45, pp. 32–40,
http://dx.doi.org/10.1016/J.CEDPSYCH.2015.12.003.
Schulenberg, J. et al. (1994), “High School Educational Success and Subsequent
Substance Use: A Panel Analysis Following Adolescents into Young Adulthood”,
Journal of Health and Social Behavior, Vol. 35/1, pp. 45, http://dx.doi.
org/10.2307/2137334.
Seginer, R. (2006), “Parents’ Educational Involvement: A Developmental Ecology
Perspective”, Parenting, Vol. 6/1, pp. 1-48, http://dx.doi.org/10.1207/
s15327922par0601_1.
Shochet, I. et al. (2006), “School Connectedness Is an Underemphasized Parameter in
Adolescent Mental Health: Results of a Community Prediction Study”, Journal
of Clinical Child & Adolescent Psychology, Vol. 35/2, pp. 170–179, http://dx.doi.
org/10.1207/s15374424jccp3502_1.
Shumow, L.& R. Lomax (2002), “Parental Efficacy: Predictor of Parenting Behavior
and Adolescent Outcomes”, Parenting, Vol. 2/2, pp. 127–150, http://dx.doi.
org/10.1207/S15327922PAR0202_03.
UNESCO (2005), Guidelines for Inclusion: Ensuring Access to Education for All,
UNESCO, http://unesdoc.unesco.org/images/0014/001402/140224e.pdf
(accessed on 19 April 2018).
UNESCO (2009), Policy Guidelines on Inclusion in Education, UNESCO, http://unesdoc.
unesco.org/images/0017/001778/177849e.pdf (accessed on 19 April 2018).
Warzee, A. et al. (2006), La place et le rôle des parents dans l’école, http://www.
ladocumentationfrancaise.fr/rapports-publics/064000860/index.shtml
(accessed on 19 April 2018).
Wentzel, K. (1998), “Social relationships and motivation in middle school: The role of
parents, teachers, and peers.”, Journal of Educational Psychology, Vol. 90/2, pp.
202-209, http://dx.doi.org/10.1037/0022-0663.90.2.202.
Wilson, V. et al. (2008), “‘Bunking off’: the impact of truancy on pupils and teachers”,
British Educational Research Journal, Vol. 34/1, pp. 1–17, http://dx.doi.
org/10.1080/01411920701492191.
Yeager, D. & C. Dweck (2012), “Mindsets That Promote Resilience: When Students
Believe That Personal Characteristics Can Be Developed”, Educational
Psychologist, Vol. 47/4, pp. 302–314, http://dx.doi.org/10.1080/00461520.20
12.722805.

181
182
Bab 6
Harapan Pascasurvei:
Opsi-opsi Kebijakan Untuk
Indonesia
Bab 6 membahas hasil-hasil utama survei PISA 2018 di Indonesia dan implikasi
kebijakan yang disarikan dari survei PISA. Pilihan-pilihan kebijakan ini diharapkan
dapat memberikan implikasi jangka pendek dan jangka panjang terhadap sistem
pendidikan Indonesia. Bab ini menitikberatkan pembahasan pada kemampuan
siswa PISA, sikap terhadap sekolah dan proses belajar, serta sumber daya yang
diinvestasikan ke sekolah-sekolah yang memiliki implikasi terhadap kebijakan dan
praktik pendidikan.

6.1. Ikhtisar Hasil PISA 2018


Indonesia telah ikut serta dalam survei PISA selama tujuh putaran, sejak tahun 2000 hingga
2018. Keikutsertaan dalam jangka waktu yang cukup lama ini menguntungkan sebab Indonesia
bisa melihat tren dan perubahan dalam sistem pendidikannya selama rentang waktu tersebut.

Sistem pendidikan Indonesia adalah sistem pendidikan terbesar keempat setelah Tiongkok,
India, dan Amerika Serikat. Beruntungnya, desentralisasi memungkinkan pemerintah provinsi
dan kabupaten menjalankan pendidikan di level sekolah menggunakan kurikulum nasional.

Survei PISA menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia telah berubah menjadi lebih
inklusif dan meluas aksesnya selama 18 tahun terakhir. Hal ini tidak terlepas dari peran
kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diperkenalkan ke dalam sistem pendidikan pada
akhir 2014 dan kebijakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang telah diperkenalkan
sejak 2005. Namun perluasan akses terhadap sistem sekolah berjalan seiring dengan masuknya
jumlah besar siswa kurang berprestasi ke dalam sistem pendidikan. Meski demikian, dengan
menggunakan tingkat sumber daya yang setara kondisi tahun 2000, mutu sistem pendidikan
Indonesia secara umum meningkat.

183
Bab ini merangkum hasil PISA 2018 Indonesia dan tren PISA Indonesia selama tujuh putaran
dari tahun 2000 hingga tahun 2018.

6.1.1. Hasil-hasil utama pendidikan untuk usia 15 tahun

Survei PISA menemukan bahwa dalam tiga putaran terakhir proporsi siswa yang mengulang
kelas di Indonesia relatif tinggi, yaitu sebesar 16%. Angka ini 5% lebih tinggi dibandingkan
rata-rata di negara-negara OECD.

Siswa yang pernah mengulang kelas umumnya tidak mampu meraih prestasi yang lebih baik.
Perolehan nilai PISA mereka di bidang membaca 60 poin lebih rendah dibandingkan dengan
siswa yang tidak mengulang kelas.

Dua pertiga siswa mengulang kelas di Indonesia adalah siswa laki-laki. Siswa laki-laki berlatar
belakang status sosial ekonomi kurang mampu; siswa yang belajar di madrasah tsanawiyah,
dan siswa yang suka membolos memiliki kemungkinan 49% mengulang kelas.

Dalam 18 tahun pelaksanaan PISA, Indonesia berhasil meningkatkan kenaikan kelas siswa
usia 15 tahun seiring angka cakupan populasi PISA yang naik dari 39% di tahun 2000 menjadi
85% pada 2018. Namun, peningkatan angka cakupan populasi PISA juga meningkatkan jumlah
siswa berprestasi rendah.

Perolehan hasil tes PISA menunjukkan bahwa tingkat kompetensi mayoritas siswa Indonesia
berada di bawah level 1. Skor rata-rata PISA 2018 menurun di tiga bidang kompetensi, dengan
penurunan terbesar di bidang membaca. Penurunan tersebut sebesar 26 poin jika dilakukan
kontrol indeks sosial ekonomi. Namun, Indonesia juga berhasil menjaga proporsi siswa dengan
tingkat kecakapan di atas rata-rata sebesar 30%.

Berdasarkan karakteristik siswa, selama tujuh putaran survei PISA, siswa perempuan di
Indonesia secara konsisten mendapatkan nilai lebih baik dibandingkan dengan siswa laki-laki.

Status sosial ekonomi memiliki pengaruh besar terhadap perolehan nilai siswa. Peningkatan
satu poin dalam status sosial ekonomi siswa setara dengan penambahan 30 poin dalam skor
Matematika, atau lama sekolah satu tahun. Selama 15 tahun terjadi peningkatan nilai indeks
segregasi sekolah berdasarkan status sosial ekonomi. Namun Indonesia berhasil menurunkan
indeks segregasi ini dalam tiga tahun terakhir.

PISA juga menyimpulkan keberagaman kesejahteraan siswa intrasekolah di Indonesia lebih


tinggi dibandingkan dengan keberagaman antarsekolah.

Topik kesejahteraan siswa bertitikberat pada tiga aspek, yaitu kepuasan hidup siswa, emosi
siswa, dan sikap siswa terhadap belajar. Lebih dari separuh siswa Indonesia berusia 15
tahun yang sedang duduk di bangku kelas 7 atau di atasnya merasakan kepuasan hidup.

184
Pengukuran emosi positif dan negatif menunjukkan hampir semua siswa merasa bahagia
dalam kehidupannya, dengan skor 7 pada skala 0 sampai 10. Siswa usia 15 tahun di jenjang
pendidikan SMA cenderung merasakan emosi negatif lebih besar dan emosi positif lebih
kecil dibandingkan dengan siswa di kelompok jenjang pendidikan lain. Siswa laki-laki lebih
banyak merasakan emosi positif yang lebih besar dan emosi negatif yang lebih kecil. Siswa
madrasah aliyah cenderung meraih nilai lebih tinggi dalam indeks kepuasan hidup dan indeks
kebermaknaan hidup. Sementara, siswa SMA umum cenderung memiliki kepuasan hidup
rendah dan kebermaknaan hidup yang juga rendah.

Survei PISA 2018 menemukan bahwa sikap positif siswa Indonesia terhadap belajar meningkat
hampir 50% selama 6 tahun. Pada PISA 2012, hanya 60% siswa Indonesia yang memiliki sikap
positif terhadap belajar. Persentase ini meningkat menjadi 90% pada survei PISA 2018.

Siswa berlatar belakang sosial ekonomi mampu cenderung memiliki sikap positif terhadap
belajar. Lebih dari 50% siswa di Indonesia yang berlatar belakang sosial ekonomi tinggi
memiliki aspirasi melanjutkan studi mereka hingga jenjang magister atau master (S2). Hanya
30% siswa berstatus sosial ekonomi kurang mampu yang memiliki harapan serupa.

6.1.2. Fondasi keberhasilan

Sumber daya yang diinvestasikan dalam pendidikan merupakan bagian penting dalam fondasi
keberhasilan sistem pendidikan. Indonesia telah mampu mencapai target penting SDGs 4
dengan mengalokasikan 20% anggaran belanja negara untuk sektor pendidikan. Proporsi
anggaran sektor pendidikan Indonesia mencapai 3,58% PDB. Saat ini anggaran pendidikan
rata-rata per tahun untuk setiap siswa usia 6–15 tahun di Indonesia adalah 14.717 dolar AS.
Meskipun demikian, biaya per siswa di Indonesia berada di tingkat kedua terendah di antara
negara-negara peserta PISA.

Indonesia berhasil menurunkan ukuran kelas, dari kisaran 36–40 orang siswa pada 2006
menjadi 31–35 orang siswa per kelas pada 2018. Indonesia juga berhasil mempertahankan
rata-rata rasio siswa-guru yang kecil selama 15 tahun terakhir, yaitu 1 guru untuk 17 siswa,
dan di saat bersamaan meningkatkan angka pendaftaran masuk sekolah. Rasio siswa-guru
kecil paling banyak ditemukan di sekolah-sekolah kecil dengan siswa berstatus sosial ekonomi
kurang mampu.

Sekolah-sekolah yang memiliki banyak siswa umumnya berlokasi di wilayah perkotaan dan
memiliki siswa yang sebagian besar berlatarbelakang sosial ekonomi lebih tinggi. Siswa
sekolah di kota memiliki rata-rata nilai indeks sosial ekonomi 0,48, lebih tinggi dibandingkan
dengan siswa di sekolah-sekolah di desa yang rata-rata nilai indeks sosial ekonominya -0,16.

Sekitar 25% kepala sekolah di Indonesia melaporkan adanya kekurangan sumber daya manusia,
bahan belajar, dan pengajaran. Sekitar 10% kepala sekolah melaporkan memiliki SDM sangat
rendah dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Demikian pula 10%

185
kepala sekolah melaporkan bahwa rata-rata sekolah mereka kurang memiliki infrastruktur
dan sumber daya yang mendukung program-program TIK. Hanya 10% kepala sekolah yang
menyatakan rata-rata tenaga guru mereka memiliki keterampilan TIK untuk memasukkan
teknologi dalam penyampaian pelajaran.

Lingkungan belajar merupakan faktor penting lain dalam fondasi keberhasilan pendidikan di
Indonesia. Siswa-siswa dengan rasa betah di sekolah yang tinggi mendapatkan skor satu poin
lebih tinggi dibandingkan siswa yang tidak merasa betah di sekolah.

Survei PISA menemukan bahwa 9 dari 10 siswa di Indonesia merasa sangat betah di sekolah.
Siswa perempuan yang bersekolah di kota dan duduk di bangku SMA adalah karakteristik siswa
yang memiliki rasa betah di sekolah paling tinggi. Sebaliknya karakteristik siswa dengan rasa
betah di sekolah paling rendah adalah siswa laki-laki yang belajar di bangku SMP di wilayah
pedesaan. Rasa betah di sekolah lebih tinggi dimiliki siswa perempuan daripada siswa laki-laki.

Temuan lainnya, 4 dari 10 siswa di Indonesia mengalami perundungan pada 12 bulan terakhir
sebelum survei PISA dimulai. Proporsi pengalaman perundungan lebih besar di kelompok
siswa laki-laki.

Siswa yang mengalami perundungan memiliki kemungkinan bolos sekolah lebih tinggi. Satu
dari 5 siswa di Indonesia melaporkan pernah membolos sehari penuh; dan 1 dari 4 siswa
melaporkan pernah membolos saat jam pelajaran. Perilaku membolos didominasi oleh siswa
dengan karakteristik laki-laki, dan bersekolah di SMP swasta di desa. Kebiasaan membolos
menghambat siswa mencapai potensi optimalnya.

6.2. Permasalahan utama Indonesia berdasarkan survei PISA

Berdasarkan temuan survei PISA, ada tiga permasalahan penting pendidikan di Indonesia
yang harus diatasi.

Permasalahan pertama adalah besarnya persentase siswa berprestasi rendah. Meskipun


Indonesia berhasil meningkatkan akses anak usia 15 tahun terhadap sistem sekolah, masih
diperlukan upaya lebih besar untuk mendidik mereka agar target siswa berprestasi rendah
ditekan hingga berada di kisaran 15–20% pada 2030 tercapai. Upaya ini bisa dilakukan
melalui peningkatan keterampilan guru SD dalam mengajar membaca sebab keterampilan
membaca siswa berkembang di masa awal duduk di bangku SD. Hasil PISA 2018 menunjukkan
bahwa siswa-siswa SMP/MTs di desa cenderung memperoleh nilai rendah dalam kompetensi
membaca dibandingkan dengan siswa-siswa dari kelompok karakteristik lain.

Permasalahan utama kedua adalah tingginya persentase siswa mengulang kelas. Hasil PISA
memperlihatkan selisih besar dalam nilai membaca siswa yang mengulang kelas, terutama
antara siswa yang pernah mengulang kelas di bangku SD dan yang tidak. Hal ini menunjukkan
bahwa kebijakan mengulang kelas tidak membantu upaya peningkatan keterampilan membaca

186
siswa. Dibandingkan kebijakan mengulang kelas, adalah lebih baik jika guru berusaha lebih
keras membekali siswa dengan keterampilan yang cukup agar dapat mengikuti pelajaran
dengan baik di kelas selanjutnya. Menangani masalah siswa mengulang kelas diharapkan
dapat meningkatkan perolehan nilai siswa Indonesia dalam PISA 2024 sebesar 10–20 poin.

Permasalah ketiga adalah tingginya ketidakhadiran siswa di kelas. Survei PISA menemukan
bahwa siswa-siswa yang membolos seharian atau pada jam pelajaran tertentu cenderung
mendapatkan nilai lebih rendah. Ketidakhadiran siswa di kelas ini memiliki keterkaitan erat
dengan pengulangan kelas. Jika tingkat ketidakhadiran siswa dapat ditekan, perolehan nilai
siswa di Indonesia pada PISA 2021 diharapkan meningkat 10 poin.

6.3. Rekomendasi kebijakan


6.3.1. Meningkatkan prestasi belajar dengan meningkatkan kualitas mengajar
Jumlah dan mutu seimbang.

Indonesia sudah memiliki standar nasional pendidikan, yang meliputi standar kompetensi
lulusan, isi, proses, guru dan pegawai sekolah, infrastruktur, manajemen, anggaran pendidikan,
dan penilaian pendidikan. Yang dibutuhkan saat ini adalah kebijakan yang memperkuat
implementasi standar ini.

Meningkatkan kualitas siswa yang terjun ke dalam profesi mengajar dan kualitas pelatihan
pra-mengajar.

Mendapatkan orang-orang yang tepat untuk menjadi guru dan mengembangkan kemampuan
mereka agar menjadi pengajar yang efektif merupakan dua dari sejumlah karakteristik
utama yang membedakan sistem pendidikan berprestasi tinggi dan rendah. Sistem sekolah
berprestasi tinggi secara konsisten menarik minat orang-orang kompeten untuk menjadi guru
melalui sistem seleksi masuk pelatihan guru yang lebih selektif; pengembangan proses yang
efektif dalam memilih pelamar yang tepat untuk menjadi guru; dan pemberian gaji awal yang
memadai. Hal ini akan meningkatkan posisi tawar profesi guru sehingga lebih mampu menarik
para kandidat berkualitas (Barber & Mourshed, 2007).

Beberapa rekomendasi kebijakan antara lain:

• Melakukan evaluasi sistematis terhadap efektivitas pelatihan peningkatan kualitas


guru;
• Mengurangi jumlah total institusi pendidikan pra-mengajar. Keberhasilan Korea
Selatan menarik siswa-siswa berprestasi untuk menjadi guru SD merupakan salah
satu contoh langkah pembatasan institusi pendidikan yang berdampak positif. Korea
Selatan membatasi jumlah lembaga pendidikan yang mencetak guru-guru bertitel
sarjana. Awalnya langkah ini ditempuh untuk menjaga jumlah penawaran tenaga
guru agar sesuai dengan permintaan. Hasilnya, guru SD menjadi profesi yang sangat

187
menarik dan berasal dari 5% lulusan terbaik. Ini berbeda dibandingkan dengan sistem
sekolah berkualitas rata-rata yang umumnya memiliki tenaga guru dari kalangan 30%
lulusan berprestasi terbawah di perguruan tinggi (UNESCO, 2014).
• Merancang prosedur seleksi sebelum pelatihan guru yang mampu menguji
pengetahuan dan karakteristik pelamar, terutama kecocokan mereka dengan kegiatan
mengajar. Sejumlah riset secara gamblang menjelaskan seperangkat karakter yang
harus dimiliki seorang guru yang efektif. Karakter-karakter tersebut adalah level
umum literasi membaca dan literasi angka yang tinggi; keterampilan interpersonal dan
komunikasi yang baik; kemauan belajar dan motivasi mengajar yang tinggi. Karakter-
karakter itu dapat diidentifikasi sebelum mahasiswa masuk ke dunia pengajaran
(Allington & Johnston, 2000). Singapura dan Finlandia menerapkan sistem ini dan
sama-sama menekankan prestasi akademik, keterampilan komunikasi, dan motivasi
para kandidat untuk mengajar.

Menyediakan program mentoring yang secara terus-menerus memperbaiki


kualitas belajar dan mengajar.

Di Shanghai, semua guru memiliki mentor; seorang guru baru memiliki sejumlah mentor yang
turut mengamati dan memberikan masukan mengenai kelas-kelas yang dijalankan. Menteri
Pendidikan harus meningkatkan program pelatihan guru dan pengembangan profesi di
sekolah tempat mereka bekerja. Menteri Pendidikan juga harus melakukan survei terhadap
tenaga pengajar untuk memastikan apa saja pelatihan yang dibutuhkan terkait pelaksanaan
kurikulum baru yang secara khusus mengarahkan belajar siswa yang lebih aktif, interaktif, dan
pada level tinggi (higher-order); dan menciptakan program pelatihan relevan yang siap diakses
oleh para guru. Perlu pula dilakukan pengembangan profesi reguler secara terus-menerus dan
penyediaan praktik kerja lapangan oleh fasilitator luar, kepala sekolah, supervisor, atau guru
yang lebih berpengalaman sebagai mentor.

Memastikan keberhasilan implementasi kurikulum pendidikan yang baru


melalui guru sebagai agen utama kurikulum.

Pada 2013, Indonesia melakukan reformasi kurikulum nasional. Perubahan kurikulum biasanya
melibatkan dialog dan konsultasi kebijakan dengan para pemangku kepentingan; menerima
masukan untuk rancangan proposal; membuat bahan ajar seperti buku teks; mengembangkan
kapasitas; dan melakukan evaluasi dampak kurikulum terhadap hasil belajar siswa. Para guru
harus secara khusus memiliki semangat reformasi kurikulum tersebut sehingga sasaran-
sasarannya tercapai. Proses implementasi kurikulum harus membuka kesempatan bagi para
guru untuk terlibat di dalamnya, sehingga dapat dipastikan bahwa semua guru mengetahui
apa saja perubahan-perubahannya dan mengapa perubahan-perubahan tersebut penting
diimplementasikan.

188
Ada beberapa tindakan yang dapat meningkatkan kualitas guru:

• Memperkuat jejaring praktik, secara langsung maupun tidak langsung;


mengembangkan kemampuan kepemimpinan profesional; dan terlibat dalam
monitoring dan evaluasi terus-menerus.
• Menyejajarkan sumber daya dan memberikan akses buku teks yang merata kepada
siswa.
• Menggunakan beragam metode untuk memfokuskan perhatian guru kepada hal-hal
yang menghasilkan perubahan paling nyata pada prestasi siswa.
• Membantu para guru menganalisis secara aktif praktik pribadi masing-masing dalam
kaitannya dengan kurikulum; dan membantu mereka untuk menjadi penemu dan
peneliti dalam bidang pendidikan, bukan sekadar sebagai penyampai kurikulum.

Membuat profesi guru semakin atraktif dalam rangka menarik para kandidat
yang lebih baik.

Setelah diimplementasikannya Undang-Undang Guru tahun 2005, Indonesia menaikkan gaji


guru menjadi dua kali lipat melalui proses sertifikasi profesi. Hingga 2017, 48% guru telah
tersertifikasi. Proses sertifikasi dilaksanakan berdasarkan senioritas dan pengalaman kerja
sehingga guru-guru muda yang baru lulus kuliah harus menunggu giliran.

Sejumlah riset menunjukkan bahwa peningkatan gaji guru hanya meningkatkan kepuasan guru
terhadap pendapatannya, namun belum memampukan mereka meningkatkan keterampilan
pribadi dan kinerja. Oleh karena itu, penting untuk membuat kebijakan sertifikasi profesi yang
mendorong peningkatan keterampilan pribadi dan prestasi siswa.

Meningkatkan kualitas pelatihan guru dengan menitikberatkan pada


pengembangan kompetensi guru.

Pembuat kebijakan perlu memberdayakan hasil the Indonesian National Assessment


Programme (INAP) Tahap 4 sebagai bahan pemetaan yang diarahkan pada pelatihan guru yang
dilaksanakan oleh Lembaga Pengendali Mutu Pendidikan. Model pelatihan yang diterapkan
adalah pelatihan untuk pelatih (training of trainer, ToT) sehingga guru dapat menyebarkan
dan mengajarkan keterampilan yang mereka dapatkan dalam Kelompok Kerja Guru (KKG) di
SD masing-masing.

Menciptakan jaringan belajar antarsekolah.

Pembuat kebijakan perlu memberdayakan sistem perujukan sekolah serta memberdayakan


kelompok kerja guru mata pelajaran SMP dan kelompok kerja guru SD dalam upaya
meningkatkan kualitas guru.

189
6.3.2. Meningkatkan kualitas kepemimpinan sekolah
Mendorong karakter pimpinan sekolah yang professional.
Riset-riset internasional menunjukkan bahwa kualitas kepemimpinan dan manajemen
berdampak besar terhadap motivasi guru, kualitas belajar dan mengajar, serta hubungan
sekolah dan guru dengan orang tua dan masyarakat.

Kepemimpinan berkualitas tinggi, harapan tinggi, dan tindakan mengatasi rendahnya


tingkat kehadiran dan praktik kegiatan kelas di bawah standar tampaknya merupakan faktor
pendorong utama perubahan. Kepemimpinan yang baik di lingkungan pendidikan memiliki
dampak sangat positif pada prestasi peserta didik secara keseluruhan dan pada kinerja
pegawai sekolah. Manajemen dan kepemimpinan yang lemah dan ketidakpastian peran
pegawai senior dapat menimbulkan dampak sebaliknya.

Mengembangkan kapasitas profesional guru dan pimpinan sekolah yang lebih


baik.
Para kepala sekolah harus menetapkan tujuan untuk meningkatkan keterlibatan siswa dan
prestasi siswa dalam literasi membaca dan literasi angka berdasarkan diagnosis dari para wali
kelas terkait rentang kecakapan siswa di dalam keterampilan inti ini. Para guru dan pimpinan
sekolah harus didorong untuk merasa bertanggung jawab atas hasil belajar siswa-siswa
mereka. Para guru harus merasakan tekanan (tanggung jawab) dan dorongan (pengembangan
profesi) pada level yang sesuai agar dapat memperbaiki prestasi siswa.

Mengembangkan proses uji kelayakan formal terbuka untuk posisi kepala sekolah sepertinya
merupakan cara terbaik untuk menciptakan sumber daya kepala sekolah yang berkualitas.
Terlebih lagi, program induksi untuk para kepala sekolah baru bermanfaat bagi kesiapan
mereka dalam menjalankan tugas manajemen dan kepemimpinan dengan baik.

Meningkatkan kapasitas dalam menyusun rencana dan anggaran.


Dua dari lima kompetensi utama kepala sekolah, yaitu bidang manajerial dan kewirausahaan,
merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas sekolah. Program pelatihan berkala
diperlukan untuk mengembangkan kapasitas profesional. Demikian pula program mentoring
yang jelas untuk para kepala sekolah dibutuhkan agar kepala sekolah memiliki mental
wirausaha. Pelatihan harus berdasarkan penilaian berkala terhadap kepala sekolah agar tepat
sasaran, melibatkan kepala sekolah berkompetensi rendah.

Memperkenalkan sistem evaluasi dan monitoring.


Tenaga pengawas sekolah profesional dan berpengalaman dalam pengawasan kompetensi
perlu dikembangkan. Pengawas yang baik dan profesional akan membantu sekolah dan kepala
sekolah mengidentifikasi permasalahan yang menghambat sekolah.

190
Membuat manajemen sekolah memiliki rasa bertanggung jawab terhadap
kualitas pendidikan yang mereka berikan.
Portal dana bantuan operasional sekolah (bos.kemdikbud.go.id) perlu dikembangkan agar
masyarakat dapat mengakses tujuan pemberian dana bantuan berdasarkan sekolah dan
membantu kepala sekolah menyusun rencana anggaran.

6.3.3. Memperbaiki iklim belajar


Menurunkan angka ketidakhadiran siswa.
Untuk menurunkan angka ketidakhadiran siswa, diperlukan penerapan kebijakan nol toleransi
bagi ketidakhadiran serta kampanye peningkatan kesadaran akan kerugian ketidakhadiran
kepada para kepala sekolah dan guru.

Peta nasional mengenai perundungan, rasa betah siswa di sekolah, dan kepuasan hidup
siswa perlu dikembangkan. Peta nasional ini membutuhkan instrumen pengukur tingkat
perundungan, rasa betah siswa di sekolah, dan kepuasan hidup. Biaya implementasi program
ini terjangkau karena dapat langsung dimasukkan ke dalam ujian nasional berbasis komputer
yang telah diterapkan di 90% sekolah di Indonesia.

Kebijakan perundungan.
Sejak 2015, Indonesia memiliki undang-undang anti-perundungan di sekolah. Meski demikian,
bukti penerapannya kurang tampak. Oleh karena itu, masyarakat perlu dilibatkan melakukan
monitoring dan evaluasi mengenai penerapan kebijakan ini di level sekolah.

Meningkatkan keterlibatan orang tua.

Bagi semua anak, orang tua dan keluarga merupakan guru yang pertama dan terpenting.
Membangun hubungan dan keterkaitan yang berfokus pada belajar antara orang tua, keluarga,
dan guru merupakan hal vital bagi kelanjutan belajar dan keberhasilan setiap anak. Orang tua
yang turut terlibat dalam pembuatan keputusan dan kegiatan sekolah berkemungkinan besar
akan memperkuat dorongan pada pentingnya pendidikan berkualitas. Kolaborasi sejati antara
rumah dan sekolah dapat mengangkat prestasi anak secara signifikan.

Sejumlah riset, misalnya oleh Biddulph dan timnya (2003), menunjukkan bahwa praktik
kemitraan berikut ini penting dalam upaya mencapai dampak positif bagi prestasi anak-anak:

• Keluarga diperlakukan secara terhormat dan bermartabat;


• Praktik di sekolah bersifat pelengkap praktik di dalam keluarga;
• Guru memberikan saran spesifik, bukan nasihat yang bersifat umum;
• Sekolah membuka kesempatan adanya kelompok dukungan serta dukungan
melalui kontak pribadi, terutama kontak informal.

191
6.3.3. Memperkuat sistem akuntabilitas
Sistem pemeriksaan dan perimbangan (check & balances) yang kokoh.
Karena Indonesia memiliki sistem pendidikan yang luar biasa besar, yang menangani 53 juta
siswa, lebih dari 3 juta guru, dan 269 ribu sekolah, maka akuntabilitas menjadi hal yang sangat
penting.

6.3.4. Menurunkan angka pengulangan kelas


Untuk mengurangi angka pengulangan kelas, diperlukan program khusus bagi para siswa yang
mengulang kelas di sekolah dasar dengan penyediaan waktu dan guru khusus bagi mereka.

6.3.5. Kebijakan pemerataan


Sekolah dan siswa yang kurang mampu secara sosial dan ekonomi.
Sasaran dana bantuan operasional sekolah harus lebih diarahkan kepada sekolah kurang
mampu. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu sekolah kurang mampu dalam memenuhi
standar pendidikan nasional. Perlu pula dikembangkan dana pendidikan berkelanjutan untuk
sekolah melalui program khusus. Kebijakan ini membutuhkan peta yang andal mengenai
sekolah-sekolah yang kurang mampu.

Selisih nilai menurut gender.


Perlu dilakukan penyelidikan lanjutan untuk memastikan apakah perbedaan selisih dalam
nilai tes membaca diakibatkan oleh kurikulum membaca yang kurang sensitif gender atau
faktor lain. Perlu adanya perhatian khusus karena selisih ini hanya terjadi pada kemampuan
tes membaca, tidak pada bidang matematika dan sains.

Selisih nilai antara sekolah di desa dan di kota besar.

Mengembangkan kebijakan cetak biru untuk membangun wilayah pedesaan dengan


menggunakan dana khusus bagi guru di desa dan memberdayakan masyarakat setempat untuk
mengawasi kinerja sekolah, dana bantuan langsung bagi siswa di desa, dan beasiswa hingga
tingkat SMA merupakan pilihan-pilihan tindakan yang dapat dilaksanakan dan diintegrasikan
ke dalam kebijakan cetak biru. Terkait dengan situasi ini, gagasan Menteri Pendidikan agar
setiap guru wajib secara bergilir dirotasi untuk mengajar di wilayah pedesaan merupakan ide
cemerlang.

Contoh bagus terkait pengembangan wilayah pedesaan adalah yang dilakukan di Australia.
Negara ini mengembangkan kebijakan cetak biru pedesaan dan wilayah terpencil. Beberapa
tujuan aksi cetak biru tersebut antara lain meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini
di masyarakat pedesaan dan wilayah terpencil; memberikan insentif untuk menarik dan
mempertahankan guru-guru dan pemimpin berkualitas di sekolah-sekolah desa dan wilayah

192
terpencil; serta memberikan layanan lintas lembaga yang terkoordinasi terkait kesehatan dan
kesejahteraan di wilayah pedesaan.

6.3.6. Semakin mendorong peningkatan inklusivitas sistem pendidikan


Kebijakan dan langkah yang dibutuhkan untuk mendorong peningkatan inklusivitas sistem
pendidikan, antara lain:
• Semakin meningkatkan akses dan memberikan peluang lebih banyak dan lebih baik
kepada masyarakat dengan partisipasi pendidikan dasar yang rendah.
• Mengurangi angka putus sekolah dengan memeriksa di mana dan berapa jumlah
siswa yang putus sekolah di sepanjang jalur tahapan pendidikan. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan secara gabungan atau di tingkat kabupaten/kota, dan diuraikan
menurut karakteristik siswa seperti lokasi, gender, etnis, dan status sosial ekonomi.

6.3.7. Meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini


Kehidupan anak yang diawali dengan baik menentukan masa depan yang baik pula. Riset
internasional menunjukkan bahwa investasi dalam pendidikan anak usia dini menghasilkan
kesuksesan yang tinggi pula di masa depan (Doyle, 2009). Kerja OECD terkait hasil sosial
belajar menunjukkan bahwa pendidikan dan perawatan anak usia dini yang berkualitas tinggi
memberikan banyak sekali keuntungan sosial bagi anak. Di dalamnya termasuk kesehatan
yang lebih baik, kemungkinan anak meniru perilaku berisiko yang lebih kecil, serta partisipasi
sosial dan kewarganegaraan yang lebih tinggi (OECD, 2011). Dana yang dihabiskan untuk
program pra-sekolah memberikan keuntungan investasi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan investasi dalam jumlah yang sama untuk sekolah (Heckman & Masterov, 2007).

Riset internasional menyoroti pentingnya intervensi usia dini dan menjabarkan keuntungan-
keuntungan investasi dalam pendidikan dan pengembangan anak usia dini. OECD menemukan
bahwa di hampir semua negara, siswa usia 15 tahun yang mengenyam pendidikan dan
perawatan pra-SD selama lebih dari satu tahun mengungguli mereka yang tidak mengenyam
pendidikan dan perawatan pra-SD dalam nilai membaca. Keunggulan ini tetap terbaca meski
variabel perbedaan karakteristik sosial ekonomi turut dimasukkan (OECD, 2011).

Oleh karena itu, telah ditetapkan secara luas bahwa intervensi dini dan dampak pendidikan
dan pengembangan anak usia dini memberikan dampak nyata bagi peluang anak selama masa
hidupnya. Sebuah studi perkembangan di Inggris menemukan bahwa kehadiran anak dalam
pendidikan pra-sekolah memiliki pengaruh terhadap skor tes anak-anak pada usia 11, 14,
dan 16 tahun. Keunggulan ini lebih banyak ditemukan pada anak dari latar belakang kurang
mampu (Apps, Mendolia & Walker, 2013).

Dibandingkan sekadar menyediakan tempat dan guru, pendidikan anak usia dini jauh lebih
efektif bila digabungkan dengan layanan kesehatan, seperti program asupan gizi; instrumen
diagnostik masalah dalam belajar; serta dukungan emosional dan keterlibatan keluarga.

193
Program-program perawatan dan pendidikan di usia dini mendukung pertumbuhan dan
perkembangan yang baik dan dapat mengurangi sebagian dampak kemiskinan dan kekurangan.
Program-program ini tidak hanya meliputi pendidikan pra-sekolah saja namun juga termasuk
intervensi dini dalam keluarga dan kegiatan masyarakat yang memberikan pengembangan
dan dukungan anak usia dini kepada anak-anak dan keluarga mereka.

Setelah sukses besar dalam mencapai program pendidikan dasar universal, saat ini para
pembuat kebijakan di Indonesia sedang berupaya memperluas kesempatan anak-anak untuk
mengakses pendidikan dan perawatan di usia dini, yang meliputi pengembangan fisik, sosial,
dan intelektual anak.

Beberapa kebijakan yang dapat dijalankan adalah


• Meningkatkan penyediaan layanan dan partisipasi dalam perawatan dan pendidikan
anak usia dini (Early Childhood Care and Education/ECCE).
• Memprioritaskan perluasan program prasekolah dan persiapan masuk sekolah untuk
anak-anak dari rumah tangga miskin karena mereka akan memperoleh manfaat yang
besar dari pendidikan anak usia dini berkualitas tinggi.
• Meningkatkan kualitas penyediaan pendidikan usia dini dengan menetapkan,
menginformasikan, dan memberlakukan aturan tegas mengenai standar izin penyedia
jasa pendidikan anak usia dini.
• Mengambil langkah-langkah untuk menerapkan pengendalian kualitas yang tangguh
bagi penyedia jasa pendidikan anak usia dini baik swasta maupun negeri.
• Menetapkan seperangkat standar layanan minimum bagi pendidikan anak usia dini
sehingga kurang lebih sama dengan pendidikan anak usia dini yang dikembangkan
untuk sekolah.
• Melakukan kampanye kesadaran masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dalam
pendidikan anak usia dini.

6.3.8. Mengurangi kesenjangan dalam hasil belajar yang berkaitan dengan


latar belakang siswa

Kebijakan dan langkah yang diperlukan untuk mengurangi kesenjangan hasil belajar yang
terkait dengan latar belakang siswa adalah:
• Memastikan sumber daya disalurkan kepada sekolah-sekolah secara adil dan
meningkatkan pemerataan antarkabupaten atau kota.
• Merancang program-program terarah untuk memastikan semua sekolah mencapai
standar layanan minimum, terutama di wilayah terpencil dan kurang mampu.
• Membuat pedoman alokasi sumber daya, meliputi kebijakan alokasi sumber daya
yang transparan, kriteria pembuatan keputusan, dan persyaratan data inti untuk dapat
menerapkan kriteria-kriteria tersebut, dan melaporkan efektivitas biaya penggunaan
sumber daya.

194
6.3.9. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan dengan
memperkuat sistem evaluasi dan penilaian

Indonesia perlu menetapkan prioritas kebijakan berdasarkan kriteria efisiensi dan pemerataan,
sekaligus tanpa henti menjaga fokus fondasi keberhasilan. Akan sangat membantu bila
reformasi kebijakan dan selanjutnya anggaran pendidikan dapat dimonitor dengan ketat. Oleh
sebab itu, diperlukan penentuan target-target yang jelas dan terukur. Pemantauan saksama
terhadap implementasi kebijakan-kebijakan ini merupakan kunci keberhasilan karena hasilnya
dapat memberikan masukan kepada otoritas pendidikan sekaligus membantu guru dan kepala
sekolah di sekolah masing-masing dan kemajuannya.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah


• Memperkuat salah satu ciri kelembagaan utama sistem pendidikan Indonesia, yaitu
penilaian dan evaluasi.
• Memperbaiki dan membuat penilaian formatif berbasis kelas lebih profesional.
• Melanjutkan keikutsertaan Indonesia dalam penilaian internasional sehingga
Indonesia tetap dapat melihat betapa kompetitifnya permintaan dalam ekonomi
global.
• Merangkai mata rantai yang kuat antara standar kurikulum, harapan hasil belajar,
dan metode penilaian, serta pelaporan hasil penilaian.
• Menggunakan standar hasil perolehan nilai sebagai acuan untuk tidak hanya
pengetahuan yang diperoleh, namun juga cara berpikir kritis dan analitis serta
keterampilan terkait dengan isi berbagai mata pelajaran sekolah.
• Mendorong sekolah untuk bertanggung jawab dalam mencapai standar dan
memperkenalkan kewajiban untuk setiap tahunnya melaporkan secara umum
adanya kegagalan apapun dalam mencapai standar sekaligus langkah-langkah yang
diajukan oleh sekolah untuk meningkatkan kapasitas dan perolehan nilai.
• Menetapkan pijakan politis bersama bagi penilaian dan akuntabilitas.
• Membedakan dengan jelas dan mengomunikasikan sifat dan tujuan masing-masing
dari keempat pilar penilaian kepada semua pemangku kepentingan, terutama guru,
orang tua, dan para wakil terpilih, sehingga tata cara seperti pemantauan sistem dan
pemetaan kualitas pendidikan dapat secara longgar dikaitkan dengan ujian nasional.

195
DAFTAR PUSTAKA
Allington, R.L. and Johnston, P.H. (2000), What do we know about effective fourth-grade
teachers and their classrooms? (Vol. 13010), National Research Center on English
Learning & Achievement, University at Albany, State University of New York.
Apps, P., Mendolia, S. and Walker, I. (2013), The impact of pre-school on adolescents’
outcomes: Evidence from a recent English cohort. Economics of education review,
37, pp.183-199.
Barber, M. & Mourshed, M. (2007), How the world’s best-performing schools systems
come out on top. McKinsey & Company.
Biddulph, F., Biddulph, J. and Biddulph, C. (2003), The complexity of community and family
influences on children’s achievement in New Zealand: Best evidence synthesis.
Wellington: Ministry of Education.
Doyle, O., Harmon, C.P., Heckman, J.J. and Tremblay, R.E. (2009). Investing in early human
development: timing and economic efficiency. Economics & Human Biology, 7(1),
pp.1-6.
Heckman, J.J. and Masterov, D.V. (2007), The productivity argument for investing in
young children. Applied Economic Perspectives and Policy, 29(3), pp.446-493.
https://bos.kemdikbud.go.id/
OECD (2011), Education at a Glance 2011: OECD Indicators, OECD Publishing. http://
dx.doi.org/10.1787/eag-2011-en
UNESCO (2014), Education for all, UNESCO.

196
197
TEMUAN PENTING

Responden PISA Indonesia


Dalam 18 th, Indonesia Dengan meningkatkan akses
mewakili 3,7 juta siswa berusia
meningkatkan akses pendidikan pendidikan, semakin banyak anak
15 tahun, yang mewakili 85%
terhadap anak berusia 15 th. berkemampuan rendah yang
dari seluruh populasi anak usia
Pada tahun 2000 hanya 39% masuk ke sistem sekolah. Pada
15 tahun di Indonesia. Besarnya
(1,8 juta) anak usia 15 th yang tahun 2000, 27% siswa 15 th
jumlah siswa merupakan hal logis
duduk di bangku SMP/SMA, Indonesia berada di bawah batas
karena Indonesia memiliki sistem
dan persentase ini meningkat minimum kemampuan membaca.
pendidikan terbesar keempat di
menjadi 85% (3,7 juta) di tahun Tetapi pada tahun 2018, sebanyak
dunia, dengan 53 juta siswa yang
2018. 60% siswa Indonesia memiliki
bersekolah di 270 ribu sekolah
kemampuan membaca dibawah
dibawah pengajaran 3,4 juta guru
kemampuan minimal membaca
dengan lingkungan yang memiliki
PISA.
ragam budaya dan bentang alam
kepulauan dan pegunungan.

Pada empat putaran PISA terakhir, Kemampuan membaca Siswa yang berasal dari daerah
persentase siswa Indonesia yang siswa Indonesia sebesar 371 pedesaan dan jenjang SMP
mengulang kelas sebesar 15 – 18%. poin, jauh dibawah rata-rata konsisten memiliki kemampuan
Kemampuan membaca siswa-siswa OECD. Walaupun demikian, membaca yang rendah pada enam
yang mengulang kelas tersebut kemampuan membaca siswa putaran PISA terakhir. Perbedaan
berada 2 tahun ajaran dibawah DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta kemampuan membaca siswa dari
kemampuan membaca siswa sekitar 411 poin, diatas rata-rata daerah pedesaan dan siswa SMP
Indonesia yang tidak mengulang Indonesia, dan sama dengan sekitar satu tahun ajaran dibawah
kelas. rata-rata negara-negara ASEAN. rata-rata Indonesia.

Sangat penting untuk mengajarkan Dari skala 0 – 10. Tingkat Pada tiga putaran PISA terakhir,
kemampuan membaca sejak TK. kepuasan hidup siswa Indonesia sikap siswa Indonesia terhadap
Hal tersebut dibuktikan dengan sebesar 7. Selain itu, lebih dari belajar semakin positif. Pada
perbedaan kemampuan membaca ¾ siswa Indonesia merasa puas putaran PISA 2018 ini sekitar 90%
siswa yang pernah masuk TK dan dengan hidup mereka (skor siswa Indonesia yang menyatakan
tidak masuk TK pada putaran PISA diatas 7), akan tetapi masih memiliki sikap yang positif
2009 – 2015 sebesar 1 th ajaran terdapat 12% siswa Indonesia terhadap belajar, persentase ini
pendidikan. Akan tetapi perbedaan yang merasa tidak puas dengan meningkat drastis dibandingkan
tersebut semakin mengecil ketika hidup mereka (skor 4). dengan angka 60% di tahun 2012.
akses pendidikan semakin luas,
menjadi hanya 16 poin di PISA
2018.

198
Sebagian besar siswa Indonesia Sekolah dengan sosial ekonomi Sekolah SMP swasta yang berada
ingin melanjutkan pendidikan yang rendah cenderung memiliki di ibukota kecamatan memiliki
mereka hingga universitas, sumber daya pengajaran dan rata-rata kemampuan membaca
akan tetapi hal tersebut kurang pendididkan yang rendah yang rendah dibandingkan
didukung oleh kemampuan dibandingkan dengan ra- dengan sekolah SMP negeri yang
membaca mereka. Siswa yang rata Indonesia. Sementara berada di ibukota kecamatan.
ingin melanjutkan pendidikan sekolah-sekolah yan berada di Perbedaan rata-rata kemampuan
hingga program master memiliki Ibukota provinsi dan Ibukota membaca antar kelompok sekolah
kemampuan membaca 37 poin kabupaten memiliki sumber tersebut sebesar 76 poin, hampir
dibawah rata-rata Indonesia dan daya pendidikan dan pengajaran setara dengan dua tahun ajaran
siswa yang ingin melanjutkan diatas rata-rata Indonesia. pendidikan.
pendidikan hingga sarjana memiliki
kemampuan membaca 57 poin
dibawah rata-rata Indonesia.

Siswa laki-laki lebih memiliki


kecenderungan untuk dirundung Orang tua dari di kota-kota besar Karakteristik siswa berikut ini;
dibandingkan dengan siswa berpartisipasi rendah pada siswa SMP laki-laki dengan latar
perempuan. Sebagai tambahan, organisasi sekolah dan inisiatif belakang sos/ekonomi rendah,
perundungan memiliki asosiasi yang rendah untuk mendiskusikan dirundung, rasa-memiliki
kuat dengan tingkat sosial ekonomi perkembangan pendidikan anak terhadap sekolah rendah, dan
rendah, kelompok sekolah SMA mereka dengan guru. Sebaliknya kepuasan hidup rendah memiliki
negeri yang berlokasi di daerah orang tua dari ibu kota provinsi kecenderungan untuk membolos
perkotaan. Siswa yang dirundung memiliki kecenderungan yang sebesar 66%, sementara siswa
cenderung akan memiliki tingkat tinggi untuk berpartisipasi dengan karakter sebaliknya
kepuasan hidup rendah dan rasa- dan berinisiatif mendiskusikan memiliki kecenderungan untuk
memiliki terhadap sekolah yang perkembangan pendidikan anak membolos sebesar 6%.
rendah. mereka dengan guru.

Rekomendasi kebijakan:
Dalam 18 tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah berhasil
meningkatkan partisipasi pendidikan untuk anak usia 15 th secara
signifikan. Akan tetapi, hal tersebut belumlah cukup karena pemerintah
Indonesia selayaknya memberi perhatian yang lebih terhadap kebijakan-
kebijakan yang mampu meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan
Indonesia melalui:
• Meningkatkan kualitas guru
• Meningkatkan kualitas kepemimpinan di sekolah
• Meningkatkan iklim belajar di sekolah

199
200

Anda mungkin juga menyukai