Anda di halaman 1dari 187

PENANGGALAN BUGIS-MAKASSAR PADA NASKAH

LONTARA DI SULAWESI SELATAN DALAM PERSPEKTIF


ILMU FALAK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana program Strata satu (S1) Prodi Falak

Disusun oleh:

ANDI BANGSAWAN HASAN

NIM. 1802046011

ILMU FALAK

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI WALISONGO SEMARANG

2022
PERSETUJUAN PEMBIMBING

i
ii
PENGESAHAN

iii
MOTTO

pur bbr soePku. pur tKisi goliku. aulEbierni


tElEeG ntowliea

“Pura babbara sompekku, pura tangkisi golliku, ulebbirenni tellennge


nato’walie”

“Layarku telah terkembang, kemudiku telah terpasang, lebih baik


tenggelam daripada kembali”

iv
PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua penulis,


bapak Andi Hasan Rasul dan ibu Andi Lenny Rachim yang tak ada
henti mendoakan setiap langkah penulis sejak kecil hingga sekarang.
Juga kepada kedua adik penulis, Andi Agung Parawangsa dan Andi
Mattotorang Page yang selalu menjadikan penulis termotivasi untuk
terus menjadi yang lebih baik. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan kesehatan dan keberkahan pada mereka semua. Amin.

Tak lupa juga kepada seluruh guru-guru penulis, mulai dari penulis
memasuki taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi ini.
Semoga ilmu-ilmu yang beliau semua berikan menjadi amal jariah
yang tak henti-hentinya mengalir pahala darinya.

Kepada seluruh sahabat-sahabat penulis, terutama kepada saudara-


saudara IKSI yang sejak pertama sampai saat ini selalu bersama-
sama. Semuanya terasa istimewa bersama kalian di tanah perantauan
ini.

v
DEKLARASI

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan merupakan


hasil Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama No. 158 Tahun
1987 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R. I. No. 0543b/U/1987.

A. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke
dalam huruf Latin dapat dilihat dalam tabel berikut:

Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama

Tidak Tidak
‫ا‬ Alif dilambangkan dilambangkan

‫ب‬ Ba B Be

‫ت‬ Ta T Te

Es (dengan
‫ث‬ Sa Ṡ titik di atas)

‫ج‬ Jim J Je

Ha (dengan
‫ح‬ Ha Ḥ titik di bawah)

vii
‫خ‬ Kha Kh Ka dan ha

‫د‬ Da D De

Zet (dengan
‫ذ‬ Za Ż titik di atas)

‫ر‬ Ra R Er

‫ز‬ Zai Z Zet

‫س‬ Sin S Es

‫ش‬ Syin Sy Es dan ye

Es (dengan
‫ص‬ Sad Ṣ titik di bawah)

De (dengan
‫ض‬ Dad Ḍ titik di bawah)

Te (dengan
‫ط‬ Ta Ṭ titik di bawah)

Zet (dengan
‫ظ‬ Za Ẓ titik di bawah)

viii
Apostrof
‫ع‬ ‘Ain ‘__ terbalik

‫غ‬ Gain G Ge

‫ف‬ Fa F Ef

‫ق‬ Qaf Q Qi

‫ك‬ Kaf K Ka

‫ل‬ Lam L El

‫م‬ Mim M Em

‫ن‬ Nun N En

‫و‬ Wau W We

‫ه‬ Ha H Ha

‫ء‬ Hamzah __’ Apostrof

‫ي‬ Ya Y Ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti


vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di
tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (’).

ix
B. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa
Indonesia, terdiri atas vokal tunggal dan vokal rangkap.
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya
berupa tanda harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama


َ Faṭhah A A
َ Kasrah I I
َ Ḍammah U U

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya


berupa gabungan antara harakat dan huruf,
transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Huruf
Tanda Nama Nama
Latif

Faṭhah dan
‫ئي‬ Ai A dan I
ya

Faṭhah dan
‫ئو‬ Au A dan U
wau

x
C. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya
berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf
dan tanda, yaitu:

Harakat Huruf
dan Nama dan Nama
Huruf Tanda
A dan
Faṭhah
‫ ا‬... َ Ā garis di
dan alif
atas
I dan
Kasrah
‫ ي‬... َ Ī garis di
dan ya
atas
U dan
Ḍammah
‫ و‬... َ Ū garis di
dan wau
atas

D. Ta Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta
marbūṭah yang hidup atau memiliki harakat faṭhah,
kasrah, atau ḍammah menggunakan transliterasi [t],
sedangkan ta marbūṭah yang mati atau berharakat sukun
menggunakan transliterasi [h].

xi
E. Syaddah
Syaddah atau tasydīd yang dalam penulisan Arab
dilambangkan dengan tanda tasydīd (َ), dalam
transliterasi ini dilambangkan dengan pengulangan
huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda tasydīd.
Jika huruf ya (‫ )ي‬ber-tasydīd di akhir sebuah kata
dan didahului harakat kasrah (َ), maka ia ditransliterasi
seperti huruf maddah (ī).
F. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf alif lam ma‘arifah (‫)ال‬.
Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang
ditransliterasi seperti biasa [al-], baik ketika diikuti oleh
huruf syamsiah maupun huruf Qamariah. Kata sandang
ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan
dihubungkan dengan garis mendatar (-).
G. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof
(’) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah
dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal
kata, maka ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan
Arab ia berupa alif.

xii
H. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam
Bahasa Indonesia
Kata, istilah, atau kalimat Arab yang ditransliterasi
merupakan kata, istilah, atau kalimat yang belum
dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah, atau
kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari
perbendaharaan bahasa Indonesia atau sudah sering
ditulis dalam bahasa Indonesia tidak lagi ditulis menurut
cara transliterasi ini. Namun, apabila kata, istilah, atau
kalimat tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks
Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh.
I. Lafẓ al-Jalālah (‫)هللا‬
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf
jarr atau huruf lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf
ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah.
Adapun ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan
pada lafẓ al-jalālah ditransliterasi dengan huruf [t].
J. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf
kapital, dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut
dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital
berdasarkan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang
berlaku (EYD). Huruf kapital digunakan untuk
menuliskan huruf awal nama, dan huruf pertama pada

xiii
permulaan kalimat. Apabila kata nama tersebut diawali
oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis kapital adalah
huruf awal nama tersebut, kata sandang ditulis kapital
(Al-) apabila berada di awal kalimat.

xiv
ABSTRAK
Sistem penanggalan Bugis-Makassar merupakan suatu kearifan lokal
yang bersifat ilmu pengetahuan yang berpedoman pada naskah lontara
(aksara Bugis) yang berkembang khususnya di Sulawesi Selatan.
Penanggalan ini merupakan salah satu dari sekian banyak penanggalan
tradisional yang ada di Indonesia yang menjadi warisan budaya dari
masa lalu. Sistem penanggalan Bugis-Makassar ini digunakan oleh
masyarakat sebagai petunjuk dalam menjalankan kegiatan sehari-hari
seperti pertani, melaut, menenun, dan menyadap nira.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem
penanggalan Bugis-Makassar pada naskah Lontara, dan mengetahui
bagaimana sistem penanggalan Bugis-Makassar pada naskah Lontara
dalam perspektif ilmu falak.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research)
dengan pendekatan analisis kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini
terdiri dari data primer dan sekunder. Data-data tersebut dikumpulkan
melalui metode wawancara dan dokumentasi. Sedangkan analisis
datanya menggunakan metode deskriptif analisis.
Penelitian ini menghasilkan dua temuan. Pertama, sistem penanggalan
Bugis-Makassar pada naskah Lontara telah diamalkan jauh sebelum
adanya akulturasi budaya dari bangsa Eropa dan bangsa Arab yang
berjumlah dua belas bulan dalam setahunnya dan terdiri dari enam
kategori siklus hari. Kedua, dalam perspektif ilmu falak sistem
penanggalan Bugis-Makassar mengacu pada pergerakan Bumi
mengelilingi Matahari, dan termasuk kategori Solar System Calendar.
Namun, jika dilihat dari kerumitan sistem hitungnya sistem
penanggalan Bugis-Makassar ini dapat dikategorikan sebagai
penanggalan aritmatik.

Keyword: Sistem Penanggalan, Bugis-Makassar, Naskah Lontara,


Solar System Calendar.

xv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat


Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-
Nya sebagai akibatnya penulis dapat merampungkan skripsi yang
berjudul “Studi Analisis Penanggalan Bugis-Makassar Menurut
Naskah Lontara di Sulawesi Selatan Perspektif Astronomi” dengan
segala kemudahan yang diberikannya. Salawat dan salam semoga
selalu tercurahkan pada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para
sahabat dan pengikutnya yang telah memberikan suri teladan pada
kehidupan.

Selanjutnya penulis ucapkan terima kasih pada semua pihak yang


sudah banyak membantu penulis hingga sanggup menuntaskan skripsi
ini. Penulis mengakui hanyalah sebatas manusia yang tidak luput dari
kesalahan, sampai hingga dalam penulisan skripsi ini berkat bimbingan,
arahan, motivasi, dari beberapa pihak. Melalui pengantar ini, penulis
ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada para pihak yang
membantu dalam penyelesaian skripsi ini terutama kepada:

1. Karaengku Andi Hasan Rasul beserta Puang Mamaku Andi


Lenny Rachim, M. Pd yang senantiasa memberikan motivasi
dan semangat secara support moril maupun materil dan doa
yang selalu dipanjatkan, sebagai akibatnya penulis dapat

xvi
merampungkan studi pada Program Sarjana Ilmu Falak UIN
Walisongo Semarang.
2. Andi Agung Parawangsa dan Andi Mattotorang Page adikku
yang telah memberikan support dan doanya.
3. Rektor baru UIN Walisongo Semarang, Prof. Dr. H. Imam
Taufik, M.Ag atas kegigihannya dalam menciptakan dan
membina UIN Walisongo Semarang buat lebih maju
kedepannya nanti.
4. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo
Semarang, beserta para Wakil Dekan, yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan
memberikan fasilitas selama masa perkuliahan.
5. Bapak Drs. H. Maksun, M. Ag selaku pembimbing I dan bapak
A. Fu’ad Al-Anshori, MSI selaku pembimbing II, terima kasih
atas bimbingan dan arahan yang diberikan dalam penyusunan
skripsi ini.
6. Ketua Jurusan Ilmu Falak UIN Walinsongo beserta staf-
stafnya, terima kasih atas kesabaran dan kebesaran hatinya
serta bimbingan dan dukungannya.
7. Seluruh dosen-dosen maupun tokoh-tokoh ilmu falak yang
telah mengenalkan penulis pada dunia ilmu falak dan terus
memotivasi penulis untuk terus mendalami ilmu falak ini.

xvii
8. Kakanda Fajrullah, S.H yang senantiasa membantu penulis
dalam memahami ilmu falak dan mengerjakan skripsi hingga
skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis.
9. Saudara-saudara IKSI (Ikatan Keluarga Sulawesi) secara
khusus kepada Azizah, Fitri, Wahyudi serta saudara-saudara
yang berada di basecamp, kakanda Jayadi, Kakanda Munandar,
Ansar, Arsyad (Bunda), Ucup, Abul, Wildan, Iffat, Afdal
terima kasih kebersamaannya di tanah perantauan ini.
10. Rizqa Ayu, Jauharatul Maknunanh, Rahma, Miftahul Fatah,
dan teman-teman IF B angkatan tahun 2018 dan yang lainnya
yang telah banyak memberikan sharing dan pengalaman ilmu
serta sesekali diselingi dengan candaan dan gurauan yang
sangat menghibur.
11. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang secara langsung maupun tidak langsung selalu
memberi bantuan, dorongan dan doa kepada penulis selama
melaksanakan studi di Program Pascasarjana UIN Walisongo.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai
kesempurnaan pada arti sebenarnya, buat itu penulis mengharap saran
dan kritik yang konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan skripsi
ini. Penulis berharap semoga goresan pena skripsi ini berguna bagi
penulis dan para pembaca umumnya.

xviii
Tidak ada ucapan yang dapat penulis kemukakan di sini atas
jasa-jasa mereka, kecuali hanya harapan semoga pihak-pihak yang telah
penulis kemukakan di atas selalu mendapat rahmat dan anugerah dari
Allah SWT. Demikian skripsi yang penulis susun ini sekalipun belum
sempurna namun harapan penulis semoga akan tetap bermanfaat dan
menjadi sumbangan yang berharga bagi khazanah keilmuan falak.

Semarang, 09 Juni 2022


Penulis

Andi Bangsawan Hasan

xix
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... i


PENGESAHAN ................................................................................ iii
MOTTO ............................................................................................ iv
PERSEMBAHAN .............................................................................. v
DEKLARASI .................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................... xv
KATA PENGANTAR .................................................................... xvi
DAFTAR ISI .................................................................................... xx
DAFTAR TABEL.......................................................................... xxii
DAFTAR GAMBAR .................................................................... xxiii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 7
D. Kajian Pustaka ......................................................................... 8
E. Metodologi Penelitian ........................................................... 15
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 20
BAB II TINJAUAN UMUM SISTEM PENANGGALAN .......... 23
A. Definisi Sistem Penanggalan .................................................. 23

xx
B. Sejarah Sistem Penanggalan .................................................. 28
C. Dasar Hukum Sistem Penanggalan ........................................ 34
D. Klasifikasi Sistem Penanggalan .............................................. 37
BAB III SISTEM PENANGGALAN BUGIS-MAKASSAR
BERDASARKAN NASKAH LONTARA ..................................... 58
A. Naskah Lontara...................................................................... 58
B. Sistem Penanggalan Bugis-Makassar..................................... 68
BAB IV ANALISIS SISTEM PENANGGALAN BUGIS
MAKASSAR DALAM PERSPEKTIF ILMU FALAK .............. 118
A. Analisis Sistem Penanggalan Bugis-Makassar pada Naskah
Lontara ........................................................................................ 118
B. Analisis Sistem Penanggalan Bugis-Makassar dalam Prespektif
Ilmu Falak .................................................................................... 134
BAB V ............................................................................................ 141
PENUTUP ...................................................................................... 141
A. Kesimpulan .......................................................................... 141
B. Saran-Saran ......................................................................... 142
C. Penutup ............................................................................... 143
DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 144
LAMPIRAN ................................................................................... 152
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................... 162

xxi
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1: Bilang Uleng atau Siklus Bulan pada Sistem Penanggalan
........................................................................................................ 122
Tabel 4.2: Perbandingan Penanggalan Bugis-Makassar dan
Penanggalan Saka............................................................................ 124
Tabel 4.3: Daftar Nama-Nama Hari dari Setiap Siklusnya. ............ 133

xxii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1: Fase-fase Bulan ........................................................... 50


Gambar 3.2: Aksara Lontara............................................................ 60
Gambar 3.3: Naskah La Galigo ...................................................... 63
Gambar 3. 4: Halaman 1, Naskah VT 25 Lontara Bilang Gowa Tallo
.......................................................................................................... 72
Gambar 3.5: Halaman f. 6v, Naskah Lontara Add MS 12354 ........ 73
Gambar 3.6: Halaman 37 i, Naskah VI 18 ...................................... 80
Gambar 3.7: Halaman 37 r, Naskah VI 18 ...................................... 80
Gambar 3.8: Halaman f. 109r, Naskah Add MS 12373 .................. 85
Gambar 3.9: Halaman 159, naskah VT 81.10 ................................. 86
Gambar 3. 10: Halaman 161, naskah VT 81.10 ............................... 87
Gambar 3.11: Halaman 159, naskah VT 81.10 ............................... 87
Gambar 3. 12: Halaman 22, Naskah VT 129 .................................. 90
Gambar 3.13: Halaman 22, Naskah VT 129 ................................... 91
Gambar 3. 14: Halaman f. 8v, Naskah Add MS 12369 ................... 96
Gambar 3.15: Halaman 22, naskah VT 129 .................................... 99
Gambar 3.16: Halaman f. 9v, Naskah Add MS 12369 .................. 116
Gambar 3. 17: Halaman f. 10r, Naskah Add MS 12369 ............... 117
Gambar 4.18: Halaman 22, naskah VT 129 ................................... 128
Gambar 4.19: Revolusi Bumi ....................................................... 134

xxiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dari Sabang sampai Merauke Indonesia memiliki
berbagai macam suku. Setiap suku ini memiliki sistem
penanggalannya masing-masing, baik itu sistem penanggalan
Jawa, Bali, Sunda, Batak, Dayak, maupun Bugis Makassar.
Sistem penanggalan Suku Bugis Makassar merupakan suatu
warisan budaya yang menjadi salah satu sistem penanggalan
tradisional yang dimiliki oleh Indonesia.

Budaya merupakan sebuah manifestasi dari akumulasi


makna yang diturunkan dari generasi ke generasi yang
memiliki wujud dan tanda-tandanya tersendiri. Maka dari itu
budaya yang telah ada harus dipertahankan dan dipelihara,
karena budaya tersebut mengandung nilai-nilai yang luhur1.

Kebudayaan suatu suku dicatatkan melalui berbagai


media termasuk media tulis. Dimasa lalu, media tulis dikenal
sebagai naskah. Dalam kajian filologi, naskah merupakan salah
satu kreasi budaya yang ditulis tangan pada media seperti

1 Ni Wayan Sartini, “Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, Saloka, Dan Paribasa),” Jurnal ilmiah bahasa dan sastra 1
(2009): 28–37.

1
2

lontar, papyrus, daun nipah, tanduk, kain, daluang, bambu,


rotan, kertas, maupun kulit, yang berisi tentang, hikayat, cerita
rakyat, adat istiadat, hukum, pertanian, keagamaan, seni
budaya, ajaran moral dan lain sebagainya. Bersamaan dengan
isi tersebut, maka diperlukan agar naskah tersebut dapat di
pertahankan dan dilestarikan.

Tulisan masa lalu yang merupakan hasil karya berupa


peninggalan yang dapat menginformasikan buah perasaan,
pikiran dan informasi terkait aspek-aspek kehidupan yang
pernah ada di masa lalu.
Salah satu suku di Indonesia adalah suku Bugis
Makassar yang memiliki sistem pengetahuan antara lain
pengetahuan tentang alam tentang flora fauna, obat-obatan dan
pengetahuan tentang hari baik dan buruk yang terdapat dalam
naskah lontara. Orang-orang Bugis Makassar sama halnya
dengan suku-suku yang ada di Indonesia, memiliki
kepercayaan atau keyakinan yang menjadi pedoman dalam
menjalani kehidupan mereka. Salah satu pedoman hidup yang
menjadi pedoman dalam menjalankan aktivitasnya adalah
naskah lontara2.

2 Nurhayati Rahman, Cinta, Laut, Dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo:

Perspektif Filologi Dan Semiotik (La Galigo Press, 2006), 11.


3

Suku Bugis Makassar merupakan sebuah kelompok


etnik yang berasal dari pulau Sulawesi tepatnya di Sulawesi
Selatan. Suku Bugis Makassar ini tersebar di beberapa daerah
yang berada di Pulau Sulawesi itu sendiri. Dan tersebar pula
hingga ke Papua, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan Pulau
Sumatra. Selain itu orang Bugis Makassar juga telah banyak
yang merantau ke Malaysia dan Singapura hingga beranak cucu
dan keturunannya menjadi bagian dari negara karena jiwa
perantau orang Bugis Makassar, sehingga banyak orang Bugis
Makassar yang telah pergi merantau hingga ke mancanegara.
Sistem penanggalan Bugis-Makassar merupakan
sistem penanggalan yang cukup tua, yaitu mengacu pada
naskah Lontara (aksara Bugis). Yang mana naskah Lontar ini
menjadi sumber tertulis yang berkaitan dengan sejarah,
budaya, dan kehidupan sosial masyarakat Bugis Makassar di
masa lampau. Orang Bugis Makassar menggunakan naskah
Lontara ini sebagai alat untuk menyampaikan cara berpikir dan
pengalaman masa lalu masyarakatnya. naskah-naskah ini
dijadikan sebagai simbol budaya suku Bugis Makassar yang
diwariskan dari masyarakat terdahulu ke masyarakat
berikutnya.
Aksara lontara ini merupakan sebuah jenis karya tulis
orang-orang Bugis Makassar pada zaman dahulu yang ditulis
diatas daun lontar atau sejenis daun Palmyra, dengan memakai
4

lidi atau pena yang terbuat dari ijuk yang kasar untuk menulis.
Beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa aksara lontara ini
berasal dari aksara jangan-jangan dan bilang-bilang. Dan tidak
sedikit pula orang yang berpendapat bahwa aksara lontara ini
merupakan adopsi dari huruf Arab yang menggunakan bahasa
Bugis Makassar3. Aksara ini ditemukan oleh Daeng Pamatte
salah seorang syahbandar Kerajaan Gowa pada masa Karaeng
Tumapa’risi Kallonna sekitar tahun 1511-15484.
Di dalam naskah lontara orang-orang Bugis Makassar
dalam kehidupannya memiliki pandangan tersendiri dalam hal
sistem penanggalan yang mereka gunakan. Penggunaan sistem
penanggalan mereka dikhususkan dalam pelaksanaan kegiatan
sosial, budaya, adat istiadat, dan kegiatan keagamaan.
Bagi masyarakat Bugis Makassar, Lontara berfungsi
sebagai simbol kebanggaan, simbol identitas dan sarana
penunjang budaya daerah. Lontara sebagai simbol identitas,
karena terdapat berbagai nilai budaya yang menjadi ciri khas
masyarakat Bugis Makassar, Lontara sebagai simbol
kebanggaan atas perilaku yang mendorong sekelompok orang

3 Ibid., 12.
4 Christian Pelras, Abdul Rahman Abu, and Nirwan Ahmad Arsuka,
“Manusia Bugis” (Nalar: Forum Jakarta-Paris: École Française d’Extrême-Orient
(EFEO), 2006).
5

untuk membedakan Lontara sebagai identitas mereka dan


berbeda dari orang kelompok lain. Lontara sebagai sarana
promosi budaya daerah, karena mengandung informasi budaya
yang beragam dalam rangka menciptakan sistem sosial untuk
pelestarian budaya nasional. Pentingnya fungsi ini begitu besar
sehingga lontara tetap dipertahankan oleh masyarakat Bugis
Makassar5.
Selain itu, Lontara dianggap sebagai bahasa indeks dan
dipandang sebagai pola pikir terbuka yang menumbuhkan
pengalaman penulis dan simbol yang mencerminkan identitas
etnis. Simbol merupakan sarana penyampaian pesan dan
penghimpunan suatu sistem kepercayaan yang membawa
makna tertentu. Simbol juga terbatas pada simbol tradisional,
hal-hal yang dibentuk oleh individu atau komunitas yang
memiliki makna tertentu dan didukung oleh sekelompok
orang6.
Sistem penanggalan atau kalender itu sendiri
merupakan sebuah pertanda peradaban umat manusia yang
telah digunakan sejak zaman dahulu. Hingga saat ini terdapat

5 Soerjono Soekanto and Budi Sulistyowati, “Sosiologi Suatu Pengantar


(Edisi Revisi),” Jakarta: Raja Grafindo Persada (2013): 187.
6 Nina Siti Salmaniah Siregar, “Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik,”

Perspektif 1, no. 2 (2012): 102.


6

ada tiga tipe dasar penetapan atau penentuan suatu kalender


yaitu; Kalender Lunar, Kalender Solar, dan Kalender
Lunisolar. Ketiga model kalender tersebut merupakan kalender
yang paling banyak ditemui. Dimana ketiga tipe tersebut
didasari oleh pola pergerakan benda langit yakni Bulan dan
Matahari terhadap Bumi. Namun ada beberapa kalender yang
tidak didasari oleh pergerakan astronomi seperti tiga tipe
kalender sebelumnya, Kalender-kalender tersebut mengacu
pada sebuah aturan abstrak berupa daur atau siklus yang
berulang tanpa memiliki makna astronomis sama sekali.
Disamping itu jika dilihat dari wujudnya ada pula sistem
penanggalan yang diberi tanda berdasarkan hukum tertulis
sehingga memiliki wujud berupa kalender. Ada juga sistem
penanggalan yang hanya disampaikan melalui pesan-pesan
moral atau lisan sehingga tidak memiliki wujud seperti
kalender yang ada7.
Diskursus dalam keilmuan Falak terkait dengan sistem
penanggalan, kebanyakan dijumpai terkonsentrasi pada
pembahasan penanggalan Hijriyah. Meskipun dibahas dalam
berbagai aspek, seperti metode yang tepat untuk menentukan

7 Ahmad Adib Rofiuddin, “Penentuan Hari Dalam Sistem Kalender Hijriah,”

Al-Ahkam 26, no. 1 (2016): 117–136.


7

awal bulan, alat yang digunakan, dan hal-hal yang menghambat


proses pengamatan. Namun kajian tersebut terkesan repetitif
dan tidak menanggapi kontroversi perbedaan yang berada di
Indonesia, akibatnya kajian mengenai sistem penanggalan
tradisional yang ada di Indonesia tidak mendapatkan perhatian
yang serius. Sementara itu beberapa diantaranya ditinggalkan
untuk alasan modernitas dan tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman saat ini.
B. Rumusan Masalah
Berlandaskan latar belakang permasalahan dalam
penelitian ini dapat di rumuskan :

1. Bagaimana sistem penanggalan Bugis-Makassar menurut


naskah Lontara ?
2. Bagaimana sistem penanggalan Bugis-Makassar dalam
perspektif Ilmu Falak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini ialah sebagai
berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana sistem penanggalan Bugis-


Makassar pada naskah Lontara.
8

2. Untuk mengetahui bagaimana sistem penanggalan Bugis-


Makassar pada naskah Lontara. Dalam perspektif ilmu
falak.

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teori, penelitian ini dapat memperkaya khazanah


intelektual dibidang ilmu falak, khususnya kajian
penanggalan lokal sebagai warisan budaya dan adat.
Diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan
wawasan, informasi dan kontribusi ilmiah bagi akademisi
lainnya untuk mengkaji lebih lanjut masalah serupa.
2. Secara praktiknya, penelitian ini dapat memberikan
pemahaman yang komprehensif kepada masyarakat luas,
khususnya masyarakat adat Bugis-Makassar itu sendiri,
tentang penanggalan dalam naskah Lontara. Hal ini
merupakan kontribusi pemikiran terhadap penanggalan
suku Bugis-Makassar untuk dapat memadukan antara
khazanah budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan
modern dalam bidang ilmu falak.

D. Kajian Pustaka
Langkah pertama dalam melakukan penelitian adalah
melakukan tinjauan pustaka. Penelusuran ini dilakukan untuk
menghindari duplikasi pelaksanaan penelitian. Dengan
9

menelusuri literatur, dimungkinkan untuk mengetahui


penelitian yang telah dilakukan pada topik tertentu dan di mana
penelitian itu dilakukan8.

Berkaitan dengan penelitian ini, penulis melakukan


penelusuran terhadap beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Dalam hal ini ada beberapa penelitian terkait:

1. Jurnal

Tulisan Taufik Hidayat dan penulis lain


menggambarkan perkembangan sistem informasi
pengamatan hilal di Indonesia untuk membantu
menentukan kriteria penampakan hilal dalam
penanggalan Islam9. Tulisan Moedji Raharto
berjudul Mengetahui Fenomena Langit Melalui
Kalender. Di dalam tulisannya ini mengkaji hari
besar keagamaan di Indonesia, termasuk Tahun
Baru Imlek, Hari Buruh, Natal, dan sebagainya,
dengan menggunakan pendekatan ilmu falak untuk
menunjukkan aspek manfaat mempelajari gerak

8 Benny Kurniawan, “Metodologi Penelitian: Jelajah Nusa” (Tangerang,


2012).
9 T Hidayat et al., “Developing Information System on Lunar Crescent

Observations,” ITB Journal of Sciences 42 (2010): 67–80.


10

dan posisi benda langit10. Namun yang dikaji


dalam disertasi ini menggunakan integrasi historis-
astronomi, khususnya penanggalan Hijriah.

Tulisan Alan Longstaff yang berjudul


“Calender from Around of The World”
mengungkapkan mengenai aneka macam kalender
yang berlaku di Dunia. Yang dimana salah satu
pembahasannya merupakan Kalender Luni-Solar.
Kalender ini dianggap menjadi kalender yang
diadopsi pada kalender Bugis-Makassar. Dalam
tulisan ini pun, diklasifikasikan kalender menjadi
empat tipe yakni, Solar Calendars, Lunar
Calendars, dan Luni-Solar Calendars11.

Artikel Tono Saksono dengan judul Kalender


Islam Global: Perspektif Syariah, Ekonomi dan
Politik. Tulisan ini membahas tentang penyatuan
penanggalan Islam dari sudut pandang ekonomi,
dan umat Islam perlu memaksimalkan penyatuan

10 Moedji Raharto and Novi Sopwan, “Mengenal Fenomena Langit Melalui


Kalender,” in Proseding Seminar Pendidikan IPA Pascasarjana UM, vol. 2, 2017.
11 Alan Longstaff, “Calendars from around the World,” Greenwich: National

Maritime Museum (2005).


11

penanggalan Islam dengan menindak lanjuti the


International Hijri Calendar Unity Congress di
Turki pada Mei 2016 agar umat muslim tidak
terjebak pada hutang peradaban akibat kekurangan
zakat yang telah berlangsung sekitar 1200 tahun12.
Akan tetapi artikel ini tidak menyentuh bentuk
rumusan kalender yang digunakan untuk
memperkirakan potensi ekonomi utang peradaban
Islam.

Penelitian Ahmad Adib Rofiuddin yang


berjudul Penentuan Hari dalam Sistem Kalender
Hijriah. Dalam penelitian ini dijelaskan tiga
pendapat berbeda tentang permulaan hari.
Pertama, Fajar digunakan sebagai patokan dari
permulaan hari; Kedua, hari dimulai saat matahari
terbenam; Ketiga, hari dimulai pada tengah malam
(pukul 00:00). Penelitian ini hanya melihat
masalah awal penanggalan Hijriah. Dalam
penelitian Ahmad Adib Rofiuddin, ia cenderung
menjadikan awal hari dalam Islam menurut

12 Tono Saksono, “Kalender Islam Global: Perspektif Syariah, Ekonomi, Dan

Politik,” JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah) 15, no. 2 (2017): 143–152.


12

pendapat jumhur ulama13. Berbeda dengan apa


yang dikaji oleh penulis, penulis akan fokus pada
sistem penanggalan dan analisis dalam ilmu falak.

Artikel lainnya yang ditulis Syarifuddin


Yusmar menyinggung Penanggalan Bugis-
Makassar yakni berjudul Penanggalan Bugis-
Makassar Dalam Penentuan Awal Bulan
Kamariah Menurut Syariah Dan Sains. Akan
tetapi artikel ini tanpa data perhitungan yang
menunjukkan kesederhanaan sistem penanggalan
yang ada saat itu, akan sulit untuk menentukan
tanggalnya14. Oleh karena itu, artikel ini berbeda
dengan penelitian penulis, karena artikel ini belum
mencapai implementasi perhitungan berdasarkan
tanggal kejadian penting.

13 Rofiuddin, “Penentuan Hari Dalam Sistem Kalender Hijriah.”


14 Syarifuddin Yusmar, “Penanggalan Bugis-Makassar Dalam Penentuan
Awal Bulan Kamariah Menurut Syari’ah Dan Sains,” HUNAFA: Jurnal Studia
Islamika 5, no. 3 (2008): 265–286.
13

2. Buku

Salah satu tulisan Thomas Djamaluddin dalam


buku berjudul Astronomi Memberi Solusi
Penyatuan Umat mengusulkan penyempurnaan
kriteria visibilitas hilal yang dapat mendekatkan
semua kriteria (kriteria yang selama ini digunakan
oleh BHR (Badan Hisab Rukyat) dan ormas-ormas
Islam) dengan fisis hisab dan rukyat hilal menurut
kajian ilmu falak. Kriteria tersebut yakni jarak
sudut Bulan-Matahari > 6,4° dan beda tinggi
Bulan-Matahari > 4° 15.

Buku Slamet Hambali dengan judul Almanak


Sepanjang Masa yang menjelaskan macam-
macam almanak yang menggunakan konsep Luni-
Solar dan sejarah kalender hijriah secara singkat,
namun tidak sampai pada penelusuran peristiwa

15 Thomas Djamaluddin, “Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat”

(LAPAN, 2011).
14

hijrah Nabi dan penentuan kapan ditetapkannya


Muharram sebagai bulan pertama16.

Berikutnya, dalam buku Nor Sidin dkk,


“Bilang Taung Sistem Penanggalan Masyarakat
Sulawesi Selatan Berdasarkan Naskah Lontara”,
Dalam buku ini membahas tentang sistem
penanggalan masyarakat Bugis Makassar. Dalam
buku ini menyajikan penggunaan perhitungan hari
dan bulan pada daur satu tahun. Berdasarkan
penyajian pada buku ini, ialah memperlihatkan
tentang konsep penanggalan yang terdapat pada
naskah-naskah lontara. Yang membedakan
penelitian yang dilakukan penulis dari buku ini
ialah penulis lebih mengulas lagi mengenai
pandangan ilmu falak dari sistem penanggalan
ini17.

16 Slamet Hambali and Almanak Sepanjang Masa, “Sejarah Sistem

Penanggalan Masehi, Hijriyah Dan Jawa,” Semarang: Program Pascasarjana IAIN


Walisongo Semarang (2011).
17 Nor Sidin, BILANG TAUNG Sistem Penanggalan Masyarakat Sulawesi

Selatan Berdasarkan Naskah Lontara (Makassar: Yayasan Turikalengna, 2020).


15

E. Metodologi Penelitian
Berkaitan dengan penelitian ini, Dalam hal ini penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif


menggunakan kajian penelitian kepustakaan
(library research). Penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang membentuk data deskriptif tentang
kata-kata lisan juga tertulis, dan tingkah laku yang
bisa diamati dari orang-orang yang diteliti18.
Penulis melakukan penelitian dengan
menghimpun dari daftar kepustakaan yang
mempunyai hubungan dan keterkaitan dengan apa
yang penulis teliti. Penelitian kepustakaan
merupakan penyelidikan secara hati-hati dan kritis
dalam mencari keterangan pada koleksi
kepustakaan19.

18 Bagong Suyanto and Sutinah, Metode Penelitian Sosial (Kencana, 2005),


166.
19 Khatibah Khatibah, “Penelitian Kepustakaan,” Iqra’: Jurnal Perpustakaan

dan Informasi 5, no. 01 (2011): 36–39.


16

2. Sumber Data
Data penelitian diklasifikasikan menurut
sumbernya menjadi dua, yaitu sumber primer dan
sumber sekunder. Dalam pengumpulan data yang
dilakukan penulis menggunakan dua sumber data
yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang berasal
langsung dari sumber data yang terkumpul dan
berkaitan dengan objek penelitian yang
diteliti20. Sumber data primer dalam penelitian
ini diperoleh dari manuskrip naskah Lontara
Bilang.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang
dijadikan pendukung21. Data sekunder pada
penelitian ini berupa makalah, jurnal, artikel,
buku-buku, dokumen, juga laporan-laporan

20 Azwar Saifuddin, “Metode Penelitian,(Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar:


1998)” (Cet, n.d.), 91.
21 Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta,” Penerbit

Universitas Indonesia (1986): 12.


17

yang berkaitan dengan sistem penanggalan


Bugis-Makassar.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam masalah yang berkaitan dengan Studi
Analisis Sistem Penanggalan Pawukon Bali dalam
Tinjauan Astronomis, maka teknik pengumpulan
data yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Wawancara (Interviu)
Wawancara merupakan metode
pengumpulan data dengan mengadakan
pertemuan antara dua orang atau lebih buat
bertukar keterangan dan pandangan melalui
tanya jawab, komunikasi via email, dan sosial
media lainnya sebagai akibatnya
menghasilkan keterangan, pendapat secara
verbal dengan bertanya eksklusif kepada
responden22. Terkait penelitian ini, penulis
melakukan wawancara pada beberapa tokoh
seperti Andi Fahri Makkasau Krg. Unjung dan
Ahmad Bayezied Alfath dalam kaitannya
dengan sistem penanggalan masyarakat Bugis

22 Suyanto and Sutinah, Metode Penelitian Sosial, 69.


18

Makassar pada naskah lontara dalam tradisi


kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis
Makassar
b. Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan
metode menganalisis sejumlah data atau fakta
yang diperoleh secara logis berdasarkan data
yang ada. Penulis mengambilnya dari buku-
buku, artikel, jurnal dan lain-lainnya yang
berkaitan dengan sistem penanggalan
khususnya sistem penanggalan masyarakat
Bugis Makassar.
Dalam penelitian yang penulis
lakukan memakai metode dokumentasi ini
untuk memperoleh data yang dibutuhkan dari
berbagai macam sumber, misalnya dokumen
yang ada pada informan yang terkait mengenai
sistem penanggalan masyarakat Bugis
Makassar. Dokumen merupakan catatan
peristiwa yang telah berlalu yang berbentuk
19

tulisan, gambar, atau karya monumental


berdasarkan seseorang23.
Naskah Lontara adalah dokumen
utama sebagai sumber informasi penulis dalam
memahami sistem penanggalan masyarakat
Bugis Makassar. Dokumen pendukung pada
penelitian ini berupa buku Sistem Penanggalan
Tinjauan Sistem, Fiqih, dan Hisab
Penanggalan, buku Ilmu Falak, buku Sistem
Penanggalan, buku Ilmu Falak dalam Teori
dan Praktik, dan buku-buku lainnya serta
artikel-artikel, jurnal, makalah-makalah yang
berkaitan dengan materi yang dikaji pada
penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data ini bertujuan buat memberikan
meaning dan membantu untuk memecahkan
masalah pada penelitian24. Setelah seluruh data
yang diharapkan pada penelitian ini terkumpul,

23 Saifuddin, “Metode Penelitian,(Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar: 1998),”


176.
24 Beni Ahmad Saebani, “Metode Penelitian, Bandung: CV,” Pustaka Setia
(2008): 95.
20

selanjutnya data-data tersebut dipelajari, diolah


dan dianalisis menggunakan teknik tertentu secara
kritis. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian
ini memakai analisis deskriptif. Analisis deskriptif
yaitu mendeskripsikan sifat atau keadaan yang
dijadikan objek pada penelitian25.
Penulis menganalisis sistem penanggalan
masyarakat Bugis Makassar menggunakan
pendekatan ilmu falak. Analisis deskriptif
menggunakan pendekatan ilmu falak ini bertujuan
buat menggambarkan sistem penanggalan
masyarakat Bugis Makassar yang kemudian
disesuaikan dengan fenomena astronomi, yang
kemudian diuji keakurasiannya dalam perspektif
ilmu falak.

F. Sistematika Penulisan
Untuk mencapai tujuan penelitian dan arah penulisan
yang jelas, penelitian ini disusun dengan sistem penulisan
menjadi lima bab berdasarkan penulisan metode kualitatif pada
“Pedoman Penulisan Skripsi Program Sarjana Fakultas Syariah

25 Tim Penyusun Fakultas Syariah IAIN Walisongo, “Pedoman Penulisan

Skripsi” (Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2010), 13.


21

dan Hukum UIN Walisongo Semarang yang menempatkan


metode penelitian pada bab pertama agar penulisan lebih
efisien. Setiap babnya terdiri dari sub-sub pembahasan dengan
masalah tertentu dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN, bab ini berisi mengenai
latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan
manfaat penelitian. Selanjutnya tinjauan pustaka dan
metodologi penelitian yang menjelaskan mengenai metode dan
teknis analisis yang dipakai penulis dalam hal melakukan
penelitian ini. Dan yang terakhir pada bab ini merupakan
sistematika penulisan skripsi.
BAB II: TINJAUAN UMUM SISTEM
PENANGGALAN, bab ini memuat pemahaman tentang sistem
penanggalan yaitu pengertian dan kriteria sistem penanggalan.
Untuk mempermudah pemahaman, dibahas pula macam-
macam sistem penanggalan dari klasifikasinya dalam benda
langit yang digunakan dan sistem penanggalan dari kemudahan
sistem hitungnya.
BAB III: SISTEM PENANGGALAN BUGIS
MAKASSAR, dalam bab ini membahas tentang sejarah sistem
penanggalan Bugis Makassar, unsur-unsur yang berkaitan
dengan sistem penanggalan Bugis Makassar, istilah-istilah
pada sistem penanggalan Bugis Makassar dan juga membahas
inti dari penelitian yaitu sistem penanggalan Bugis Makassar
22

berdasarkan naskah Lontara. Serta penentuan hari dalam sistem


penanggalan Bugis Makassar.
BAB IV: ANALISIS SISTEM PENANGGALAN
BUGIS MAKASSAR DALAM PERSPEKTIF ILMU FALAK
DAN ILMU FALAK, pada bab ini memaparkan bagaimana
analisis sistem penanggalan Bugis Makassar pada perspektif
ilmu falaknya dan keakurasian secara astronomis.
BAB V PENUTUP, pada bab ini membahas tentang
kesimpulan dari hasil penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis, dan yang sudah dipaparkan sebelumnya. Selain itu,
pada bab ini dipaparkan pula saran yang diberikan oleh penulis
terkait penelitian yang dilakukan. Dan juga adanya penutup
yang dijelaskan sebagai bentuk akhir penulisan berdasarkan
penelitian yang sudah dilakukan.
BAB II
TINJAUAN UMUM SISTEM PENANGGALAN

A. Definisi Sistem Penanggalan


Penanggalan pada pemahaman masyarakat awam lebih
dikenal dengan sebutan kalender. Kata kalender itu sendiri
berasal dari bahasa Inggris yaitu calendar. Dalam Dictionary
of The English Language, calendar merupaka kosa kata dari
bahasa Ingris pertengahan yang berasal dari bahasa Prancis
yaitu calandier, dan kata calandier itu sendiri berasal dari
bahasa Latin yaitu kalendarium yang berarti “catatan
pembukuan utang” atau “buku catatan bunga utang.” Istilah
kalendarium memiliki akar kata kalendae atau calendae yang
berarti hari pertama dari setiap bulan. Penanggalan sendiri
memilik banyak sebutan yang lain seperti Tarikh, Taqwim, dan
Almanak.1
Kalender adalah salah satu identitas ruang dan waktu
yang menjadi persoalan mendasar pada kosmologi. Persoalan
waktu dan ruang menjadi masalah krusial untuk diteliti dengan
beberapa alasan yaitu pertama, ruang dan waktu merupakan
suatu yang sangat esensial dan mendasar pada persoalannya

1 Muh Nashirudin, “Kalender Hijriah Universal,” Semarang: El-Wafa (2013):


23.

23
24

dengan alam semesta, lantaran ia adalah satuan dasar yang


melandasi alam semesta. Kedua, masalah ruang dan waktu
tidak terlepas dari sudut pandangan materi lantaran ilmu
pengetahuan modern menduga bahwa hakikat materi berarti
tidak lepas dari perkara ruang dan waktu.2
Penanggalan diartikan menjadi sebuah sistem
perhitungan yang bertujuan buat penyatuan waktu pada suatu
periode tertentu.3 Penanggalan dari Ruswa Darsono
penanggalan diartikan menjadi sebuah sistem pengorganisasian
waktu yang dengan sistem tersebut permulaan, panjang dan
pemecahan tahun ditetapkan. Penanggalan bertujuan buat
menghitung ketika pada jangka panjang.4
Istilah penanggalan berarti suatu sistem
pengorganisasian waktu pada satuan-satuan buat perhitungan
jangka bilangan waktu. Dalam ranah praktisnya, almanak
terdiri menurut hari, sedangkan hari adalah akumulasi menurut
satuan detik ke menit, menit ke jam dan jam ke hari.5

2
Joko Siswanto, Orientasi Kosmologi (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press., 2005), 63–64.
3 Azhari Susiknan, “Ilmu Falak Perjumpaan Khadzanah Dan Sains Modern,”

Yogyakarta: Suara Muhammadiyah (2007): 82.


4 Ruswa Darsono, “Penanggalan Islam, Tinjauan Sistem, Fiqih Dan Hisab

Penanggalan” (Yogyakarta: Labda Press, 2010), 13.


5 Muh Bashori, Penanggalan Islam, PT. Elex Media Komputindo (Jakarta,

2013), 1.
25

Para astronom maupun ahli falak mendefinisikan


penanggalan atau kalender itu sendiri menggunakan
pemahaman dan penjelasannya masing-masing, seperti dalam
buku karya Peter Duffett-Smith, kalender didefinisikan
menjadi sistem perhitungan hari dalam waktu satu tahun yang
terbagi menjadi bulan, minggu, dan hari. Dalam bukunya
beliau menyebutkan definisi kalender Masehi menggunakan
menguraikan konsep sistem kalender Julian yang
diperkenalkan oleh Julius Caesar yang menciptakan sistem di
mana tiga tahun terdiri dari 365 hari diikuti dengan tahun
kabisat yang terdiri dari 366 hari menggunakan hari tambahan
dalam bulan Februari, di mana jumlah tahun kabisat merupakan
yang dapat dibagi 4. Rata-rata tahunnya terdiri dari 365, 25 hari
yang pada waktu itu mendekati rata-rata tahun tropis sebanyak
365, 2422 hari.
Selain itu pada karyanya beliau menunjukkan juga
kalender Gregorian yang diperkenalkan oleh Pope Gregory
tahun 1582 M dan kemudian diterima di Inggris pada tahun
1752 M. Pope Gregory memperkenalkan sistem perhitungan
kalender lantaran terdapat tidak tepat antara musim dengan
tanggal, sebagai akibatnya sistem penanggalannya meniadakan
tanggal 5 hingga 14 Oktober 1582 dan sistem perhitungan
kalender pulang sinkron menggunakan tahun tropis. Dari
sistem ini diberikan ketentuan baru bahwa angka tahun dengan
26

dua nol berurutan (misalnya 1700, 1800, dst) merupakan tahun


kabisat bila tahun tersebut dapat dibagi dengan 400. Sistem
inilah yang disebut dengan Kalender Gregorian yang
digunakan hingga saat ini. Dalam 400 tahun sipil yaitu (400 x
365) + 100 – 3 = 146.097 hari, sebagai akibatnya homogen-
homogen panjangnya merupakan 146.097/ 400 = 365.2425
hari.6
Sedangkan Susiknan Azhari memaknai kata kalender
secara sosiologisnya yaitu sebagai sistem pengorganisasian
dari satuan-satuan waktu bertujuan sebagai penandaan rencana
aktivitas secara terkontrol dan perhitungan waktu pada jangka
panjang hingga satu tahun. Kalender berkaitan erat dengan
peradaban manusia lantaran mempunyai peran penting dalam
menentukan rancangan waktu berburu, bertani, berimigrasi,
peribadatan, dan perayaan-perayaan hari penting.7
Sementara itu Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar
mengartikan penanggalan sebagai sarana pengorganisasian
waktu secara sempurna dan efektif serta pencatat sejarah.
Sementara bagi umat beragama, kalender adalah wahana

6 Peter Duffett-Smith and Jonathan Zwart, Practical Astronomy with Your


Calculator or Spreadsheet (Cambridge University Press, 2017), 1–3.
7 Susiknan Azhari, “Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta,” Pustaka

Pelajar, cet II (2008): 115.


27

penentu hari-hari keagamaan secara mudah dan baik.8 Dan


Slamet Hambali dalam karyanya Almanak Sepanjang Masa:
Sejarah Sistem Penanggalan Masehi, Hijriyah Dan Jawa
menyebutkan Almanak merupakan sebuah sistem perhitungan
yang bertujuan buat pengorganisasian waktu pada periode
tertentu. Bulan merupakan sebuah unit bagian dari
penanggalan. Hari merupakan unit penanggalan terkecil,
kemudian sistem waktu yaitu jam, menit dan detik.9
Abdul Karim beserta Rifa Jamaluddin memakai kata
tarikh (penanggalan) buat menjelaskan tiga macam kalender
yang dibahas pada bukunya yang berjudul Mengenal Ilmu
Falak: Teori Dan Implementasi, misalnya menjelaskan tarikh
Kamariah menggunakan kata tarikh Arab.10 Apabila melihat
definisi tarikh pada kacamata sejarah, maka ia dapat disamakan
dengan sejarah analitis (analitis asal berdasarkan istilah dasar
anno, yakni tahun). Dalam penulisan sejarah kata tarikh atau
analitis ini dipakai menjadi bentuk spesifik historiografi
dengan memakai kronologis, yaitu pencantuman peristiwa

8 Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, “Kalender; Sejarah Dan Arti Pentingnya

Dalam Kehidupan,” Semarang: Cv. Bisnis Muia Konsultama (2014): 2.


9 Slamet Hambali and Abu Rokhmad, Almanak Sepanjang Masa: Sejarah

Sistem Penanggalan Masehi, Hijriyah Dan Jawa (Program Pascasarjana IAIN


Walisongo Semarang, 2011), 3.
10 Abdul Karim and M Rifa Jamaluddin Nasir, “Mengenal Ilmu Falak: Teori

Dan Implementasi,” Yogyakarta: Qudsi Media (2012): 23.


28

setiap tahun yang umumnya ditulis menggunakan kalimat


‘dalam tahun pertama’.11
Dari beberapa definisi pada atas, maka dapat ditarik
kesimpulan, kalender adalah suatu sistem pengorganisasian
waktu jangka panjang, yang berperan penting dalam peradaban
manusia dan berpengaruh dalam kehidupan sosial maupun
kehidupan keagamaan, yaitu menjadi dasar penentuan kegiatan
ibadah. Dengan demikian, wajarlah bila definisi-definisi yang
sudah ada pada dasarnya cenderung berpijak dalam peristiwa
alam yang merujuk pada benda-benda langit yang berada di
sekitar Bumi misalnya matahari, bulan maupun Bintang-
bintang.

B. Sejarah Sistem Penanggalan


Dalam sejarah dan peradaban sistem penanggalan
dunia, pada awalnya kemunculan kalender dilatar belakangi
atas beberapa pertimbangan misalnya pertanian (ekonomi,
perjalanan (bisnis) dan ritual keagamaan. Selain itu tuntutan
sosial-politik juga tidak mampu kita lepaskan begitu saja
berdasarkan sejarah kehadiran kalender dalam sebuah tatanan
masyarakat dunia. Lahirnya sebuah kalender tidak luput juga

11 Setia Gumilar, “Historiografi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern”


(2017): 147.
29

berdasarkan pengamatan fenomena astronomi, fenomena-


fenomena alam tadi memiliki daur perubahan yang terus-
menurus berulang dan teratur pada waktu yang lama12
Sebelum fenomena-fenomena astronomi bisa
dipahami dengan benar, orang-orang belajar buat memprediksi
datangnya musim dengan memperhatikan tanda-tanda alam
misalnya kuncupnya pohon-pohon pada musim semi, burung
di musim panas, daun-daun yang gugur pada musim gugur, dan
es pada musim dingin. Sebagaimana disebut banjir tahunan
Sungai Nil di Mesir yang memberi tanda para petani waktu buat
menanam tanaman mereka.13
Apabila melihat ke belakang, bentuk kalender dalam
masa pra-klasik Yunani ditunjukkan oleh sebuah skema
kalender tahunan bernama Hesiod’s Works and Days berdasar
dalam tiga hal yakni aktivitas benda langit (Matahari dan
Bintang), aktivitas alam (migrasi burung, masa tanam, cuaca,
dan musim), dan aktivitas manusia (waktu menanam biji,
anggur, beternak, dan berlayar).14

12 Butar Butar, “Kalender; Sejarah Dan Arti Pentingnya Dalam Kehidupan,”


14.
13 Edward Graham Richards, Mapping Time. The Calendar and Its History.,
1999, 8.
14 Anthony F Aveni, “Empires of Time: Calendars, Clocks, and Cultures,”

New York: Basic Books (1989): 42.


30

Sistem penanggalan yang berkembang hingga kini


adalah hasil pengamatan terhadap pergerakan benda langit dan
perubahan lingkungan yang ada dalam jangka waktu yang
sangat lama sehingga diperoleh pola berulang yang dijadikan
acuan waktu buat manusia. Sejarah adanya kalender
diperkirakan dimulai sesudah adanya tulisan, kota dan
peradaban mulai berkembang dan adanya kebutuhan buat
menyimpan catatan pajak dan logistik pekerjaan bangunan
menuntut adanya penulisan dan penemuan kalender.15
Siklus fenomena astronomi yang paling jelas diamati
merupakan pergantian siang dan malam, peristiwa ini
memberikan unit waktu pada kalender. Peristiwa ini secara
astronomi berkaitan dengan pergerakan rotasi Bumi terhadap
sumbunya dan sebagai dasar dalam perhitungan waktu. Rotasi
inilah yang mengakibatkan Matahari tampak bergerak
melakukan perjalanan melintasi langit yaitu terbit pada sebelah
timur dan terbenam pada sebelah barat. Tetapi masalah pertama
saat menggunakan hari merupakan memutuskan kapan mulai
dan akhirnya. Beberapa negara memutuskan buat memulai hari
pada sore hari dan beberapa lainnya memulai pada saat fajar,
misalnya Mesir memulainya pada saat fajar, Babilonia pada

15 Richards, Mapping Time. The Calendar and Its History., 130.


31

saat senja, China dan Romawi memilih tengah malam. Sampai


pada tahun 1925 para astronom memulai hari mereka pada
siang hari namun saat ini kembali pada tengah malam.16
Pengulangan fenomena astronomi yang termati inilah
lalu dijadikan standar waktu, kegiatan, aktivitas bahkan ritual
keagamaan. Dan berdasarkan sini pulalah manusia mulai
memanfaatkan alam dengan mengamati keteraturan
(regularitas), berulang fenomena alam terutama benda-benda
langit yang setiap hari disaksikan, misalnya pergerakan
Matahari di siang hari, dan Bulan di malam hari. Regularitas
ini memunculkan pandangan intelektualitas manusia buat
membentuk sebuah sistem pencatatan waktu yang dikenal saat
ini menjadi kalender.
Kemampuan pengamatan terhadap fenomena
astronomi dan didukung dengan peradaban yang maju, maka
orang-orang dalam zaman dahulu sudah sanggup menyusun
regulitas hari yang dikelompokkan ke pada bulan dan bulan-
bulan dikelompokkan ke dalam tahun Yang kemudian dikenal
tiga unit konstruksi terpenting pada sebuah kalender yaitu hari,
bulan dan tahun. Sehingga, setidaknya kita akan mengenal
empat hal yang berkaitan dengan penanggalan yaitu

16 Ibid., 43.
32

pengamatan, perumusan pola, perhitungan dan


pemberlakuan.17
Usaha pertama kali buat menghitung waktu pada hari
dilakukan melalui pengamatan astronomi yaitu Matahari dalam
siang hari dan Bintang-Bintang di malam hari. Astronom
tersebut ialah Hiparcus di abad ke dua sebelum Masehi,
membagi hari sebagai 24 jam buat keperluan astronomi,
lantaran jauh sebelum itu diketahui bahwa panjang hari
berbeda-beda sesuai dengan musim. Hitungan ini berdasar
pada panjang jam dalam hari ekuinoks yaitu saat panjang siang
dan malam sama. Dengan demikian 24 jam inilah yang hingga
kini digunakan selama lebih kurang 1000 tahun dan tidak
tergantung musim. Selanjutnya masih ada keperluan buat
membagi hari misalnya para pelaut yang membagi hari sebagai
arloji dan lonceng dering buat menandai awal masing-masing
jam. Akibat sulitnya menciptakan jam yang bisa menyesuaikan
panjang siang dan malam, maka jam ekuinoktial ini
menggantikan jam temporal dari abad keempat belas, sehabis
adanya jam mekanis yang mulai dibentuk di Eropa. Jam awal
berdentang setiap jam menggunakan ‘o’clock’ sebagai

17 Darsono, “Penanggalan Islam, Tinjauan Sistem, Fiqih Dan Hisab

Penanggalan,” 29–31.
33

akibatnya disebut dengan the clock (jam). Di Mesir


berkembang jam Matahari yaitu jam yang diketahui
menggunakan skala tertentu menurut bayang-bayang
18
Matahari.
Sejarah kemudian menjelaskan bahwa bangsa
Mesirlah yang pertama kali membagi hari sebagai 24 bagian
sebagaimana yang kita lakukan hari ini. Pada awalnya jam
berbunyi 24 kali sehari, tetapi sulitnya menghitung sampai 24
kali mengakibatkan pembagian hari itu sebagai 2 periode yang
masing-masing 12 jam. Kemudian dibedakan menjadi ante
meridiem (a.m atau sebelum tengah hari) atau pos meridiem
(p.m atau setelah tengah hari). Di beberapa negara misalnya
Babilonia, Mesir, India, China, Israel, Prancis membagi hari
sebagai satuan tersendiri, tetapi yang berlaku hingga kini
yakni 1 hari = 24 jam, 1 jam = 60 menit, dan 1 menit = 60
detik.19

18Richards, Mapping Time. The Calendar and Its History., 44.


19Archie Roy and David Clarke, Astronomy: Principles and Practice, (PBK)
(CRC Press, 2003), 90.
34

C. Dasar Hukum Sistem Penanggalan


1. Al-Quran
a. QS. Yunus ayat 5

َ‫يْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءَ وَّالْقمَرَ ُنوْرًا وَّقدَّرَه مَنَازِل‬


َ ِ‫ُهوَ َّالذ‬

‫لِتَعْلمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَ مَا خَلقَ اللٰهُ ٰذلِكَ اِلَّا‬

‫تِ لِقوْمَ يَّعْل ُموْن‬


َ ‫بِالْحَ َقِّ يُفصِّلُ الْاٰ ٰي‬
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan Nya manzilah-
manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang
yang mengetahui.” (QS. Yunus [10]: 5)20

b. QS. Al-Anbiya ayat 33

َ‫ُل فِ َيْ فلك‬


َ ‫يْ خَلقَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقمَرَ ك‬
َ ِ‫وَ ُهوَ َّالذ‬
‫حوْن‬ ُ َ‫يَّسْب‬
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan
siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar
pada garis edarnya.” (QS. Al-Anbiya [21]: 33)21

20 Republik Indonesia Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahan

(Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2007), 208.


21 Ibid., 324.
35

c. QS. At-Taubah ayat 36

َ‫ِن عِدَّةَ الشُّ ُهوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِ ّٰتبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَق‬
َّ ‫ا‬

‫السَّ ّٰموّٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَا اَرْبَعَةٌ ُحرُمٌ ّٰذلِكَ الدِّيْ ُن الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِ ُموْا‬

ً‫فِيْهِنَّ اَنْ ُفسَ ُكمْ وَقَاتِلُوا الْ ُمشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتُِلوْنَ ُكمْ كَاۤفَّة‬

َ‫َن اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْن‬


َّ ‫وَاعْلَ ُموْا ا‬
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua
belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah
pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi
dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah
kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa
Allah beserta orang-orang yang takwa.” (QS. At-
Taubah [9]: 36)22
d. QS. Al-Isra’ ayat 12

ً‫وَجَعَلْنَا الَّيْلَ وَالنَّهَارَ اّٰيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا اّٰيَةَ الَّيْلِ وَجَعَلْنَا اّٰيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَة‬

‫ُل‬
َّ ‫لِِّتَبْتَ ُغوْا فَضْلًا مِّنْ رَّبِّ ُكمْ وَلِتَعْلَ ُموْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۙ وَك‬

‫شَيْءٍ فَصَّلْنّٰهُ تَفْصِيْلًا‬

22 Ibid., 192.
36

“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua


tanda (kebesaran Kami), kemudian Kami hapuskan
tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang
benderang, agar kamu (dapat) mencari karunia dari
Tuhanmu, dan agar kamu mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan (waktu). Dan segala sesuatu telah
Kami terangkan dengan jelas.” (QS. Al-Isra’[17]
:12)23.
2. Hadist

َُ‫حَدَّثنَاَ آدَمَُ حَدَّثنَاَ شُعْبَةَُ حَدَّثنَاَ الْأسْوَدَُ بْنَُ قيْس حَدَّثنَاَ سَعِيدَُ بْن‬

ِ‫عَمْروَ أنَّهَُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهَُ عَنْهُمَاَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّىَ اللَّهَُ عَليْه‬

َ‫وَسَلَّمَ أنَّهَُ قال إِنَّاَ أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبَُ وَلاَ نَحْسُبَُ الشَّهْرَُ هَكذا‬

َ‫وَهَكذاَ يَعْنِيَ مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثلاثِني‬


Telah menceritakan kepada kami Adam telah
menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan
kepada kami Al Aswad bin Qais telah menceritakan
kepada kami Sa'id bin 'Amru bahwa dia mendengar Ibnu
'Umar radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Kita ini adalah ummat yang ummi,
yang tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung satu
bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali

23 Ibid., 283.
37

berjumlah dua puluh sembilan dan sekali berikutnya tiga


puluh hari". (HR. Bukhari [1780])24

D. Klasifikasi Sistem Penanggalan


Sistem penanggalan atau kalender yang berkembang
secara global sangat bervariasi. Tetapi penanggalan tadi
seluruhnya hanya bertumpu dalam pergerakan dua benda langit
yaitu Matahari dan Bulan.25 Secara luas sistem penanggalan
yang berlaku pada masyarakat umum dibedakan sebagai dua
macam. Pertama, menurut hasil penelusuran menggunakan
argumentasi paling umum dan kuat secara ilmu astronomi,
akhirnya kembali pada tiga bentuk penanggalan dari
penggunaannya atau acuan benda langit yang digunakan.26
Kedua dari mudah dan tidaknya perhitungan yang dipakai dari
suatu penanggalan, penanggalan dibagi sebagai dua.27
Penggunaan penanggalan pada masyarakat lebih banyak hanya
memperhatikan sistem penanggalan dari penggunaannya atau
acuan pewaktuan. Penentuan penanggalan dari sulit tidaknya

24
M Nashiruddin Al-albani, “Mukhtashar Shahih Al-Imam Al-Bukhari,
Terj,” As ‘ad Yasin, Elly Latifa, Depok: Gema Insani (2013): 605.
25 Hasna Tuddar Putri, “Redefinisi Hilāl Dalam Perspektif Fikih Dan

Astronomi,” Al-Ahkam 22, no. 1 (2012): 102.


26 Alexander Philip, The Calendar: Its History, Structure and Improvement

(Cambridge University Press, 2012), 6.


27 Ahmad Izzuddin, Sistem Penanggalan (KAJ (CV. Karya Abadi Jaya),

2015), 35–36.
38

perhitungan yang dipakai pada penanggalan tadi masih kurang


diperhatikan. Pembagian penanggalan dari tingkat kesulitan
perhitungan maupun penggunaannya sebagai berikut:
a. Berdasarkan acuan benda langit yang digunakan
Berdasarkan acuan benda langit yang digunakan
atau acuan pewaktuan dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Sistem Penanggalan Matahari (Solar Calendar)
Matahari dijadikan sebagai salah satu acuan
pada penanggalan lantaran sifatnya yang
bergerak berulang secara teratur. Posisi terbit
dan terbenam Matahari di dekat horizon timur
dan horizon barat berpindah secara gradual,
berulang secara teratur berdasarkan titik utara ke
titik selatan dan kembali lagi ke titik utara.28
Kalender Matahari yang dikenal
menggunakan istilah kalender Masehi
(penanggalan surya) sudah dikenal oleh bangsa
Arab semenjak 4241 SM.29 Sistem kalender
Matahari adalah sistem peredaran waktu yang
berdasarkan pada peredaran relatif bumi

28 Nashirudin, “Kalender Hijriah Universal,” 29.


29 Adriana Wisni Ariasti, Fajar Dirghantara, and Hakim Luthfi Malasan,
“Perjalanan Mengenal Astronomi,” Penerbit ITB, Bandung (1995): 43.
39

mengelilingi matahari yang terjadi melalui


periode berakhir dan berlalunya dua kedudukan
pada matahari dari titik Aries (titik musim semi)
secara gerak semu disekitar bumi.30 Terdapat
dua prinsip yang dipakai yaitu pertama, adanya
pergantian siang dan malam. Kedua, adanya
pergantian musim yang diakibatkan orbit elips
saat berevolusi.31 Dikatakan kalender Matahari
lantaran kalender ini dasar perhitungannya
mengacu pada pergerakan semu Matahari yang
perjalanannya bergerak secara teratur pada
setiap siklus tahunannya.
Pencipta hitungan ini ialah Numa Pompilus.
Tahun pertama pertama diadaptasi
menggunakan tahun berdirinya kerajaan Roma
yaitu ±753 sebelum kelahiran nabi Isa as Bulan
yang pertama bukan Januari seperti yang dikenal
sekarang, namun bulan Maret. Secara lengkap
urutannya merupakan Martinus lalu Aprilis,

30 Butar Butar, “Kalender; Sejarah Dan Arti Pentingnya Dalam Kehidupan,”


10.
31 Slamet Hambali and Almanak Sepanjang Masa, “Sejarah Sistem

Penanggalan Masehi, Hijriyah Dan Jawa,” Semarang: Program Pascasarjana IAIN


Walisongo Semarang (2011): 3.
40

Majus, Junius, Quintilis, Sextilis, September,


Oktober, Nopember, Desember, Januarius dan
Pebruarius. Jumlah hari pada satu tahun
merupakan 355 hari. Hal ini terlihat pada
penerangan menurut segi bahasa yaitu
September berarti tujuh dan Oktober berarti
delapan.
Namun, lantaran Julius Caesar permulaan
tarikh Julian ditetapkan Satu Januari, maka ini
berimplikasi juga pada penetapan awal
bulannya. Akibatnya, bukan bulan Maret lagi
menjadi bulan pertamanya namun bulan Januari.
Maka bergeserlah bulan September sebagai
bulan ke sembilan dan bulan Oktober sebagai
bulan ke sepuluh.32
Pergerakan semu matahari baik waktu terbit
dan terbenam yang diakibatkan oleh keteraturan
rotasi Bumi dan penampakannya pada setiap
musim dampak dari revolusi Bumi. Tetapi Ada

32 Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, “Kalender Islam Lokal Ke Global,

Problem Dan Prospek,” Oif Umsu (2016): 10.


41

dua catatan penting pada sistem kalender


Matahari (solar calendar) ini, yaitu:
Pertama, sistem kalender ini didasarkan
pada lama waktu yang diperlukan Bumi
melakukan revolusi mengorbit Matahari.
Periode revolusi Bumi terhadap Matahari
menurut lama waktu yang ditempuh pada satu
tahun dibagi sebagai 2, yaitu tahun sideris dan
tahun tropis. Tahun sideris merupakan periode
revolusi Bumi mengelilingi Matahari satu
putaran penuh berbentuk elips yang
membutuhkan waktu selama 365,2564 hari atau
365 hari 6 jam 9 menit 10 detik.33 Kelebihan jam,
menit, dan detik yang dimiliki oleh revolusi
Bumi ini dikumpulkan selama empat kali
revolusi Bumi, sebagai akibatnya setiap empat
tahun sekali penanggalan sistem Matahari akan
mempunyai jumlah hari 366 setahunnya.
Sedangkan tahun tropis merupakan periode yang
diperlukan matahari buat bergerak semu

33 Hambali and Rokhmad, Almanak Sepanjang Masa: Sejarah Sistem

Penanggalan Masehi, Hijriyah Dan Jawa, 3.


42

mengelilingi bumi dimulai menurut titik equinox


1 menuju equinox 2 lalu kembali ke equinox 1
yaitu 365,2422 hari.
Kedua, kalender ini memiliki jumlah hari
yang mendekati jumlah hari dalam tahun tropis,
hal inilah yang mengakibatkan kalender ini
mempunyai kesesuaian menggunakan
perubahan musim, sebagai akibatnya bisa
dijadikan sarana buat tahu secara generik pola
perubahan musim pada setiap tahunnya.
Selain memiliki gerakan semu, matahari
juga memiliki gerakan hakiki. Gerakan hakiki
yakni suatu gerakan yang dimiliki Matahari
sebenarnya. Dalam gerak hakiki Matahari ini
terdapat dua macam:
1. Gerakan Rotasi
Berdasarkan penyelidikan secara akurat
memperlihatkan bahwa Matahari berputar
dalam sumbunya dengan rotasi pada
ekuator 25 1⁄2 hari, sedangkan pada
wilayah kutubnya 27 hari.
43

2. Bergerak di antara Gugusan-Gugusan


Bintang
Selain Matahari berputar pada porosnya,
Matahari bersama keseluruhan sistem Tata
Surya bergerak menurut satu tempat ke arah
tertentu dalam gugusan bintang.
Contoh Sistem Penanggalan Matahari
seperti Sistem Penanggalan Mesir Kuno, Sistem
Penanggalan Romawi Kuno, Sistem
Penanggalan Maya, Sistem Penanggalan Julian,
Sistem Penanggalan Gregorian, dan Sistem
Penanggalan Jepang.
2. Sistem Penanggalan Bulan (Lunar Calendar)
Sistem Penanggalan Bulan atau kalender
kamariah atau yang lebih dikenal dengan
sebutan kalender Hijriah (Lunar Calender)
merupakan sistem peredaran waktu yang
didasarkan pada perubahan fase bulan, yaitu
berdasarkan satu bulan sabit (hilal) ke fase bulan
sabit (hilal) berikutnya atau berdasarkan satu
44

ijtima’ ke ijtima’ berikutnya.34 Sistem


penanggalan kalender ini dihitung dari pada
perjalanan Bulan terhadap Bumi dan awal
bulannya dimulai manakala telah terjadi ijtima’
yaitu Matahari tenggelam lebih dahulu
dibandingkan bulan (moonset after sunset)
menggunakan batasan seluruh wilayah hukum.35
Bulan merupakan satelit bumi yang selalu
mengikuti dan tidak pernah meninggalkannya,
baik disaat bumi berotasi mengelilingi porosnya
juga saat beredar mengelilingi Matahari. Bulan
berotasi mengelilingi porosnya dengan
kecepatan yang sama, seperti waktu
mengelilingi bumi. Lantaran itulah bulan selalu
menghadap ke bumi menggunakan wajah yang
sama. Bulan mengelilingi bumi pada lintasan
yang bentuknya elips. Namun jalannya tidak

34 Butar Butar, “Kalender; Sejarah Dan Arti Pentingnya Dalam Kehidupan,”


12.
35 Azhari, “Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta,” 118.
45

berbentuk lingkaran sejati. Jarak antara Bulan


dan Bumi rata-rata 384.400 kilometer.36
Sistem penanggalan ini perhitungannya
mendasarkan dalam siklus sinodis bulan, yaitu
siklus fase bulan yang sama secara berurutan.
Rata-rata siklus sinodis bulan merupakan
29,550589 hari, berarti pada satu tahun umur
penanggalan ini merupakan 29,550589×12 =
354,60707 hari.37 Sistem Penanggalan bulan
yang memakai lunar sistem mengikuti siklus
fase Bulan. Kalender Bulan juga bertaut erat
menggunakan siklus pasang surut air laut.38
Selain Matahari, Bulan pun mempunyai
pergerakan yang biasa dianggap dengan
peredaran Bulan. Ada dua macam gerakan yang
dikenal pada peredaran Bulan, yaitu : gerak
hakiki bulan dan gerakan semu bulan.39

36 Abdul Kadir, Formula Baru Ilmu Falak: Panduan Lengkap & Praktis:

Hisab Arah Kiblat, Waktu-Waktu Shalat & Awal Bulan Dan Gerhana (Amzah, 2012),
33.
37 Bashori, Penanggalan Islam, 9.
38 Ariasti, Dirghantara, and Malasan, “Perjalanan Mengenal Astronomi,” 39.
39 Slamet Hambali, “Pengantar Ilmu Falak: Menyimak Proses Pembentukan

Alam Semesta,” Banyuwangi: Bismillah Publisher 132 (2012): 219.


46

Bulan merupakan salah satu benda


antariksa yang bergerak secara relatif, secara
garis besar bulan bergerak secara relatif dalam
tiga macam gerak, yakni:
1. Rotasi
Rotasi merupakan perputaran satelit Bumi
terhadap porosnya misalnya Bumi berputar
dalam porosnya setiap hari. Bulan berotasi
setiap 27,3 hari sekali.
2. Revolusi terhadap planet Bumi.
Bulan menjadi satelit alami Bumi juga
berputar mengelilingi Bumi. Gerakan
revolusi bulan memakan waktu 29,5305882
hari, yang disebut dengan kata synodis.40
Sedangkan jika dijadikan ukuran adalah
konjungsi Bulan dengan Bintang tertentu,
maka hanya memakan ketika 27,321661
hari, dan disebut dengan gerakan sideris.41
Dan gerakan bulan sideris inilah yang
dijadikan perbandingan antara gerakan

40 Azhari, “Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta,” 37.


41 Muhyiddin Khazin, “Kamus Ilmu Falak” (Yogyakarta: Buana Pustaka,
2005), 77.
47

semu harian Matahari yang diakibatkan


oleh revolusi Bumi dengan gerakan hakiki
harian Bulan.42
3. Revolusi terhadap Matahari dan Bumi
Lantaran Bulan bersama-sama dengan
Bumi beredar mengelilingi Matahari.
Dengan istilah lain, Bulan mengikuti
revolusi Bumi. Bulan dalam mengeliling
Bumi tidak beredar pada satu lingkaran
penuh, namun lebih menyerupai lingkaran
berpilin atau elips. Artinya, titik awal bulan
ketika bergerak mengitari Bumi tidak
bertemu dengan titik akhir. Dalam satu
lingkaran ditempuh bulan dalam waktu 29,5
hari, dan waktu Bumi sudah mengelilingi
Matahari pada satu lingkaran dengan waktu
365,5 hari maka bulan pun sudah
melakukan 12 kali putaran.43
Peredaran semu bulan ini dipakai pada
penentuan dalam sistem penanggalan bulan.

42 Hambali, “Pengantar Ilmu Falak: Menyimak Proses Pembentukan Alam

Semesta,” 219.
43 Ibid., 223.
48

Selain itu, fase bulan pada penentuan awal bulan


pada sistem ini sangat berpengaruh, maka
terdapat beberapa fase bulan yang terjadi dalam
satu bulan, diantaranya :
a. Bulan Baru (New Moon)
Bulan baru dikatakan juga sebagai bulan
mati . Dimana dalam waktu itu bulan persis
berada diantara Bumi dan Matahari yaitu
pada waktu Ijtima’, maka semua bagian
Bulan yang tidak mendapat sinar Matahari
persis menghadap ke Bumi. Akibatnya
waktu itu Bulan tidak tampak dari Bumi.
b. Kuartal Pertama (First Quarter)
Sekitar tujuh hari setelah Bulan mati, Bulan
akan tampak dari Bumi menggunakan
bentuk setengah lingkaran.
c. Bulan Purnama (Full Moon)
Bulan purnama merupakan keadaan saat
Bulan tampak bulat sempurna waktu
ditinjau dari Bumi. Pada waktu itu, Bumi
terletak hampir segaris antara Matahari dan
Bulan.
Sehingga, semua permukaan Bulan
diterangi Matahari tampak jelas dari Bumi.
49

Bulan purnama ialah Bulan yang sedang


menghadap Bumi dan menerima pancaran
sinar Matahari penuh sebagai akibatnya
terlihat bundar. Keadaan ini terjadi apabila
Bulan pada posisi konjungsi superior,
Bulan – Bumi – Matahari berada dalam satu
garis Astronomi.
Pada pertengahan bulan (kurang lebih
tanggal 15 bulan Komariyah), hingga dalam
waktu dimana Bulan dalam titik oposisi
dengan Matahari, yaitu waktu Istiqbal. Pada
waktu ini, Bumi persis sedang berada antara
Bulan dan Matahari. Bagian Bulan yg
sedang mendapat sinar Matahari hampir
seluruhnya terlihat dari Bumi.
d. Kuartal Ketiga atau Terakhir (Third
Quarter atau Last Quarter).
Bulan terus bergerak dan bentuk Bulan
yang terlihat dari Bumi semakin mengecil.
Sekitar tujuh hari kemudian sehabis
purnama, Bulan akan tampak dari Bumi
berbentuk setengah lingkaran lagi.
50

Gambar 2.1: Fase-fase Bulan

3. Sistem Penanggalan Bulan-Matahari (Luni-


Solar Calendar)
Kalender Bulan-Matahari atau terkenal
disebut Luni-Solar Calendar merupakan standar
sistem penanggalan campuran antara Solar
Calendar dan Lunar Calendar atau kalender
Bulan-Matahari, maksudnya pergantian Bulan
dari standar sistem siklus sinodis Bulan dan
beberapa tahun sekali disisipi tambahan bulan
51

(intercalary month) supaya kalender tersebut


diadaptasi oleh panjang siklus tropis Matahari.44
Pada zaman dahulu termasuk kalender yang
dipakai oleh bangsa Yunani mengacu dalam
sistem peredaran Bulan, tetapi buat
menyesuaikan dengan musim perlu
memasukkan penambahan Bulan, karena 12
bulan kalender Lunar lebih singkat kurang lebih
10.8751234326 hari berdasarkan tahun tropis.
Untuk mengejar ketertinggalan tadi dan
penyesuaian menggunakan perubahan musim,
maka setiap tiga tahun sekali, dibuatlah tahun
kabisat atau tahun sisipan (leap month/
intercalary) yang terdiri dari 13 bulan sebesar 7
kali pada 19 tahun, yakni tahun ke-3, 6, 8, 11, 14,
17, dan 19. apabila diakumulasikan pada 19
tahun, pada kalender Bulan Matahari ini akan
terdapat 235 bulan yaitu 228 bulan ditambah 7
bulan sisipan.45

44 Philip, The Calendar: Its History, Structure and Improvement, 6–7.


45 Mohammad Ilyas, Astronomy of Islamic Calendar (AS Noordeen, 1997),
27.
52

Sebagaimana penelusuran astronomis,


kalender Luni-Solar yang adalah penggabungan
kalender Matahari dan Bulan memungkinkan
adanya bulan sisipan supaya perhitungan bulan
sinkron menggunakan perhitungan kalender
Matahari. Oleh lantaran perhitungan kalender
Bulan pada setahun itu lebih cepat 11 hari
menurut perhitungan kalender Matahari, maka
kalender Luni-Solar ini memunculkan dalam
setiap 3 tahun masih ada bulan tambahan (yaitu
bulan ke-13), sebagai akibatnya pada satu tahun
berjumlah 13 bulan atau setara menggunakan
384 hari. Hal ini dilakukan agar sapta tahun balik
menyesuaikan menggunakan bepergian
46
Matahari.
Dari segi keunggulan, kalender ini
konsisten menggunakan perubahan musim
lantaran memakai acuan bepergian gerak semu
Matahari, sekaligus bisa digunakan buat
keperluan ibadah yang diadaptasi menggunakan

46 Butar Butar, “Kalender Islam Lokal Ke Global, Problem Dan Prospek,” 13.
53

perubahan fase Bulan.47 Hal ini sebagaimana


yang diterapkan dalam masa pra Islam.48
Contoh sistem penanggalan ini adalah
Kalender Cina, Kalender Yahudi, dan Kalender
Babilonia.
b. Berdasarkan pada pola sistem perhitungan
Sistem penanggalan yang berkembang secara
umum, apabila dicermati dari tingkat kesulitan
perhitungan maupun penggunaannya, maka bisa
diklasifikasikan sebagai 2 jenis yaitu sistem
penanggalan aritmatik dan sistem penanggalan
astronomik.
1. Sistem Penanggalan Aritmatik
Kalender aritmatik merupakan kalender
yang penanggalannya bisa dihitung hanya
menggunakan cara aritmtika.49 Hal ini
dikarenakan kalender aritmatika berdasarkan
dalam rumus dan perhitungan aritmatik semata.
Dalam arti lain kalender aritmatik merupakan
kalender yang bisa dihitung menggunakan

47 Nashirudin, “Kalender Hijriah Universal,” 35.


48 Ibid., 135.
49 Izzuddin, Sistem Penanggalan, 36.
54

gampang menurut rumus atau perhitungan


sederhana. Sehingga perhitungan sistem
kalender ini disusun menggunakan cara
memutuskan jumlah hari pada satu bulan sebagai
29 atau 30 secara berurutan.
Secara khusus, kalender ini tidak perlu
dilakukan pengamatan astronomi atau mengacu
pada pengamatan astronomi diperkirakan buat
memakai kalender tersebut. Observasi memang
menduduki tempat yang penting pada astronomi,
namun yang tidak kalah penting merupakan teori
yang berbasis pemodelan pada perhitungan yang
dibentuk menurut berdasarkan data observasi
yang diperoleh. Lantaran menurut contoh yang
dibuat, astronom akan bisa memprediksi
fenomena yang akan terjadi sebagai akibatnya
bisa disiapkan pengamatannya.50 Keuntungan
kalender aritmatik ini merupakan seseorang bisa
bekerja menggunakan sebuah kepastian.

50 Hendro Setyanto, “Membaca Langit,” Al Ghuraba, Jakarta (2008): 16.


55

2. Sistem Penanggalan Astronomik


Sebuah penanggalan yang memakai dasar
pengamatan yang berkelanjutan terhadap benda
langit. Penanggalan astronomis pula dianggap
menjadi penanggalan berbasis observasi.
Penanggalan astronomis mendasarkan sistem
penanggalannya pada posisi benda langit waktu
pengamatan dilakukan. Sistem penanggalan
astronomi mempunyai perhitungan astronomi
yang jauh lebih rumit apabila dibandingkan
menggunakan kalender aritmatik.51
Dari salah satu benda langit yang dijadikan
tolak ukur pada pengamatan ini ialah bulan yang
mana perhitungannya wajib memakai rumus
yang relatif kompleks. Hal tadi dikarenakan rata-
rata peredaran bulan tidaklah sempurna sesuai
dengan bentuk hilal (new moon) dalam awal
bulan.52 Dari beberapa tanda yang menyatakan
bahwa sebuah sistem penanggalan tadi adalah

51 Ahmad Izzuddin, Sistem Penanggalan (KAJ (CV. Karya Abadi Jaya),


2015), 41–42.
52 Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia: Studi Atas

Pemikiran Saadoe’ddin Djambek (Pustaka Pelajar, 2002), 24.


56

kalender astronomi dikarenakan sistem


penanggalan tadi mengacu pada peredaran
benda langit terhadap Bumi dan, sistem yang
digunakan merupakan menurut teori astronomi
modern.
c. Berdasarkan pada pola kebutuhan masyarakat
Sistem penanggalan sebagaimana yang dibagi
oleh Rasywan dengan melihat perkembangan
perumusannya yaitu sistem penanggalan primitif,
sistem penanggalan suku, sistem penanggalan bangsa-
bangsa, sistem penanggalan agama, dan sistem
penanggalan organisasi dan intelektual.53
Klasifikasi ini dilakukan buat melihat arah
orientasi sistem penanggalan yang berkembang pada
masyarakat dalam pendekatan sosiologi.
d. Berlandaskan pada luasnya (spektrum) perkembangan
penerapan sistem penanggalan
Luasnya penerapan sistem penanggalan pada
suatu masyarakat yaitu sistem penanggalan lokal,
zonal, dan global sebagaimana yang ditulis Arwin Juli

53 Muh Rasywan Syarif, “Perkembangan Perumusan Kalender Islam

Internasional Studi Atas Pemikiran Mohammad Ilyas” (2019): 60.


57

Butar Butar pada mengklasifikasikan sistem


penanggalan dunia.54
Istilah lokal, zonal dan global ini timbul
dimungkinkan lantaran melihat perkembangan kriteria
dan upaya unifikasi perumusan sistem penanggalan
hijriah yang saat ini sedang berkembang. Istilah lokal
dipakai buat sistem penanggalan yang digunakan oleh
komunitas dan batasan daerah eksklusif menggunakan
nilai tradisi dan kearifan lokalnya sendiri.
Sedangkan kata zonal terkait menggunakan
kriteria sistem penanggalan hijriah global yang
membagi dunia sebagai dua hingga empat zona
menggunakan ketentuan khusus.
Kemudian kata global adalah harapan dari
adanya upaya unifikasi sistem penanggalan hijriah
dunia yang sanggup diterima dimanapun.

54 Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, “Kalender Islam Lokal Ke Global,

Problem Dan Prospek,” Oif Umsu (2016): 67,75 dan 80.


BAB III
SISTEM PENANGGALAN BUGIS-MAKASSAR
BERDASARKAN NASKAH LONTARA

A. Naskah Lontara
Naskah lontara merupakan suatu naskah beraksara
Lontara yang berisi tentang berbagai macam hal di masa lalu.
Masyarakat suku Bugis-Makassar ialah masyarakat yang
senantiasa mengikuti aturan, kepercayaan, dan keyakinan
menurut nenek moyang mereka. Aktivitas pada kehidupan
sehari-hari sudah diatur sedemikian rupa dalam naskah Lontara
yang masih tersimpan dengan hati-hati dan sangat dijaga oleh
ahli waris.
Aksara Lontara ini merupakan sebuah jenis karya tulis
orang-orang Bugis-Makassar pada zaman dahulu yang ditulis
diatas daun lontar atau sejenis daun Palmyra, dengan memakai
lidi atau pena yang terbuat dari ijuk yang kasar untuk menulis.
Beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa aksara lontara ini
berasal dari aksara jangan-jangan dan bilang-bilang. Dan tidak
sedikit pula orang yang berpendapat bahwa aksara lontara ini
merupakan adopsi dari huruf Arab yang menggunakan bahasa

58
59

Bugis-Makassar1. Setelah ditemukannya kertas sebagai media


tulis, istilah Lontara masih tetap digunakan. Aksara ini
ditemukan oleh Daeng Pamatte salah seorang syahbandar
Kerajaan Gowa pada masa Karaeng Tumapa’risi Kallonna
sekitar tahun 1511-15482.
Pada naskah Lontara orang-orang Bugis-Makassar
dalam kehidupannya mempunyai pandangan tersendiri pada
hal sistem penanggalan yang mereka gunakan. Penggunaan
sistem penanggalan mereka dikhususkan pada pelaksanaan
aktivitas sosial, budaya, adat istiadat, dan aktivitas keagamaan.
Terdapat kepercayaan bahwa hal itu dilatar belakangi
pada kepercayaan dan pandangan mitologis orang Bugis-
Makassar yang memandang alam semesta ini menjadi sulapa’
eppa’ bolasuji (segi empat belah ketupat). Sarwa alam ini ialah
satu kesatuan yang dinyatakan pada simbol {s}= sa.
Simbol {s} ini pada menyatakan sulapa eppa na taue
(segi empat tubuh manusia), Di puncak terletak kepalanya,
tangan kiri, tangan kanan, dan ujung bawah merupakan
kakinya. Simbol itu menyatakan secara konkret dalam bagian

1 Nurhayati Rahman, Cinta, Laut, Dan Kekuasaan Dalam Epos La Galigo:

Perspektif Filologi Dan Semiotik (La Galigo Press, 2006), 11.


2 Christian Pelras, Abdul Rahman Abu, and Nirwan Ahmad Arsuka,

“Manusia Bugis” (Nalar: Forum Jakarta-Paris: École Française d’Extrême-Orient


(EFEO), 2006).
60

kepala manusia yang disebut sawwang {sw} berarti mulut,


dari mulutlah segala sesuatu dinyatakan yang disebut
sadda’{sd} yang berarti bunyi. Bunyi-bunyi itu disusun
sebagai akibatnya memiliki makna yang disebut ada {ad}
kata, sabda atau titah3, dan dari dasar huruf sa yang berbentuk
segi empat inilah dikembangkan menjadi 23 huruf.

Gambar 3.2: Aksara Lontara

3 Mattulada, Bugis-Makassar: Manusia Dan Kebudayaannya (Jurusan

Antropologi, Fakultas Sastra, UI., 1974), 51.


61

Bagi masyarakat Bugis-Makassar, Lontara berfungsi


sebagai simbol kebanggaan, simbol identitas dan sarana
penunjang budaya daerah. Lontara sebagai simbol identitas,
karena terdapat berbagai nilai budaya yang menjadi ciri khas
masyarakat Bugis-Makassar, Lontara sebagai simbol
kebanggaan atas perilaku yang mendorong sekelompok orang
untuk membedakan Lontara sebagai identitas mereka dan
berbeda dari orang kelompok lain. Lontara sebagai sarana
promosi budaya daerah, karena mengandung informasi budaya
yang beragam dalam rangka menciptakan sistem sosial untuk
pelestarian budaya nasional. Pentingnya fungsi ini begitu besar
sehingga lontara tetap dipertahankan oleh masyarakat Bugis-
Makassar.4
Selain itu, Lontara dianggap sebagai bahasa indeks dan
dipandang sebagai pola pikir terbuka yang menumbuhkan
pengalaman penulis dan simbol yang mencerminkan identitas
etnis. Simbol merupakan sarana penyampaian pesan dan
penghimpunan suatu sistem kepercayaan yang membawa
makna tertentu. Simbol juga terbatas pada simbol tradisional,
hal-hal yang dibentuk oleh individu atau komunitas yang

4 Soerjono Soekanto and Budi Sulistyowati, “Sosiologi Suatu Pengantar

(Edisi Revisi),” Jakarta: Raja Grafindo Persada (2013): 187.


62

memiliki makna tertentu dan didukung oleh sekelompok


orang.5
Salah satu naskah lontara yang populer adalah naskah
La Galigo6, yang adalah naskah tua yang diperkirakan ditulis
disepakati ditulis pada abad ke-14, sekalipun sebenarnya bisa
jadi usianya jauh lebih tua dalam masa pemerintahan La
Tiuleng dan bergelar Batara Lattu, waktu putra beliau
Sawerigading yang bernama I La Galigo. Kemudian penulis
pada istana memberi nama kitab itu La Galigo atas anjuran
Batara Lattu. La Galigo tebalnya ± 6000 halaman, kitab
tersebut saat ini berada di Universitas Leiden Negeri Belanda7.

5 Nina Siti Salmaniah Siregar, “Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik,”

Perspektif 1, no. 2 (2012): 102.


6 La Galigo adalah karya sastra yang diatur dalam meteran yang ketat dan

menggunakan kosa kata Bugis tertentu. Bahasanya dianggap indah dan sulit. Karya
tersebut juga dikenal dengan nama Sureq Galigo. Berasal dari sekitar abad ke-14 dan
dengan asal-usulnya dalam tradisi lisan, isinya adalah pra-Islam dan bersifat epik-
mitologis dengan kualitas sastra yang tinggi. Ukuran keseluruhan karya sangat besar
dan dapat dianggap sebagai karya sastra terbesar di dunia. Dapat dilihat di
https://en.unesco.org/memoryoftheworld/registry/467 (diakses pada tanggal 21/3/2022
pukul 19:50 WIB)
7 Andi Dewi Riang Tati, “Lontarak; Sumber Belajar Sejarah Lokal Sulawesi

Selatan,” Jurnal Pendidikan Sejarah 8, no. 1 (2019): 3.


63

Gambar 3.3: Naskah La Galigo

Terdapat beberapa jenis Lontara yang berada di


Sulawesi Selatan juga contoh kandungan Lontara adalah
sebagai berikut:
a. Lontara Papaseng8
Lontara Papaseng adalah kumpulan amanat atau
pesan, yang ditulis dan kemudian diturunkan dari generasi
ke generasi. Paseng semacam ini menjadi aturan
kehidupan dalam masyarakat. Paseng terkadang berisi cara

8 Pappaseng berasal dari kata paseng yang dapat berarti wadah nasehat
bahkan wasiat yang harus diketahui dan dijalankan. Dapat dilihat pada buku karya M
Arief Mattalitti, Pappaseng to Riolota (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Proyek Penerbitan Buku Sastra …, 1986), 6.
64

melaksanakan pemerintahan yang baik dan lain


sebagainya. Salah satu contoh dari paseng tersebut ialah
pappaseng Nene’ Allomo9, seperti tertera berikut:
aru mKau ae, pbicr ae, suro ae,
ajpuramucp ai lePu ae ao aru mKau
mlePuko numdece bicr, mumgete, ap
aia riaseGe mleP, mdece bicr, leperi
suGe, aptemte lePu ae, teptu maoPeGe
tepolo mselomoae.
Tellu tau kupaseng: Arung Mangkaue, pabicarae, suroe,
ajakpuramucapak I lempue O arung mangkau, Malempuko
Numadeceng bicara, mumagetteng, Apak ia riasenge
malempu, madeceng bicara, leperi sungek, apaktemmate
lempu e, teppettu maompengge teppolo masellomoe.
Terjemahan: kuberpesan tiga golongan: Maha Raja,
pabbicara dan pesuruh, jangan sekali-kali engkau
meremhkan kejujuran itu maha raja. Berlaku jujurlah serta
peliharalah tutur katamu, engkau harus tegas, sebab yang
di sebut kejujuran, tutur kata yang baik itu memanjangkan

9
Nene’ Mallomo adalah tokoh legendaris ia merupakan seorang
Cendekiawan Bugis dari Sidenreng Rappang. Nene’ Mallomo hidup sekitar abad ke-16
M, pada masa pemerintahan La Patiroi sebagai Addatuang Sidenreng. Namun
demikian, beberapa literatur ada juga yang mengatakan bahwa Nene’ Mallomo lahir
sebelum pemerintahan Raja La Patiroi, yaitu pada periode Raja La Pateddungi. Nene
Mallomo meninggal di Allekkuang pada tahun 1654 M. Dapat dilihat pada jurnal karya
HADIJAH SELMAN, “Nilai-Nilai Pappaseng Nene Mallomo (Kajian Wacana Kritis).”
(Pascasarjana, 2017).
65

usia. Oleh karena tidak akan mati kejujuran itu tidak akan
putus yang kendur, takkan patah yang lentur.
b. Lontara Pattuangan
Lontara Pattuangan mengandung masalah kehidupan
pribadi, keluarga dan tetangga, juga mengandung masalah
yang terjadi sepanjang waktu, seperti kematian kelahiran.
Babad Adat yang berisi catatan tentang hukum adat.
Contoh:
ako aeK tau ri auno ri wirina aleae,
pur msebuni tpauno n aeK tau airpi
mlai aggn to riwuno ae aia ntu
mspu, n mauni de ag ag nl nsb aia
ri rpi, aia mspu to ri rpi ae koro.
Akko engka tau ri uno riwirinna aleke, pura masebbuni
tapauno na engka tau irapi malai agaganna to riwuno e ia
natu masapu, na mauni de aga – aga nala nasabak ia ri
rapi, ia natu masapu to ri rapi e koro.
Terjemahan: Kalau ada orang yang dibunuh di pinggir
hutan kemudian pembunuh bersembunyi dan setelah itu
ada orang lain yang kedapatan mengambil harta orang yang
terbunuh itu, maka meskipun belum ada harta yang
diambilnya, orang itulah yang dituduh melakukan
pembunuhan10.

10 Tati, “Lontarak; Sumber Belajar Sejarah Lokal Sulawesi Selatan,” 55.


66

c. Lontara Pangajak
Lontara Pangajak adalah kumpulan nasehat yang
diberikan oleh orang tua kepada anak dan keturunannya.
Terkadang Lontara Pangajak ini merupakan rangkaian
cerita atau hikayat. Contoh:
mkedai sinin tomiseGe n aia tRn tri
ageliae ri ‫ ﷲ‬aep ai rupn, mul muln
maeg pGiseGen, n pde araai neke
na, mtelun reko araiGi arjn, n pde
arai npkrj alen m aepn reko ri
wreGi aumr u u m lmoae n pade msro
kl.
Makkedai sininna tommissengnge na ia tanranna tari
agellie ri Allah taalah eppak I rupanna, mula-mulanna
maega pangisengenna, na padek araing nekek na,
matellunna rekko arainngi arajanna, na pedek araing
napakaraja alena ma eppana rekko ri warengi umuruk ma
lamoek na pedek masaro kallang.
Terjemahan: berkata semua orang alim, tanda orang yang
di benci oleh Allah ada empat perkara. Pertama bila
ilmunya banyak semakin meningkat kejahatannya, kedua
bila meningkat kekayaannya meningkat pula
keserakahannya, ketiga bila meningkat pangkatnya maka
meningkat pula sifatnya keangkuhannya, keempat bila
67

diberi umur yang panjang makin meningkat pula


ketamakannya11.
d. Lontara Attoriolong
Lontara Attoriolong adalah kumpulan dokumen
tentang keturunan raja-raja, bangsawan, dan keluarga
tertentu. Lontara ini pada umumnya menjadi bahan yang
digunakan untuk menulis sejarah. Selain itu, Lontara
Attoriolong berfungsi sebagai catatan peristiwa yang telah
dibuat atau dialami oleh orang-orang di masa lalu.
e. Lontara Bilang
Lontara Bilang12 berdasarkan segi isinya bisa
diterjemahkan sebagai catatan harian. Sedangkan lontara
Bilang merupakan salah satu jenis lontara yang dipakai
oleh rakyat Sulawesi Selatan khususnya kerajaan Gowa.
Lontara Bilang berisi buku harian kerajaan Gowa yang
ditulis oleh petugas khusus kerajaan yang disebut
Palontara13.

11 Ibid., 55–56.
12 Kata Bilang dalam bahasa Bugis maupun Makassar memiliki arti ‘hitung’
yang setara dengan makna siklus. Dapat dilihat pada buku karya Nor Sidin, BILANG
TAUNG Sistem Penanggalan Masyarakat Sulawesi Selatan Berdasarkan Naskah
Lontara (Makassar: Yayasan Turikalengna, 2020), 5.
13 Ildawati Herman Majja, “Lontara Bilang Sebagai Sumber Sejarah Kerajaan

Gowa” (2021): 4.
68

Dalam Lontara Bilang tersaji peristiwa-peristiwa


penting yang dicatat dengan rapi dalam lingkungan
kerajaan. Namun, yang paling penting untuk diketahui
tentang lontara menyangkut penulisan angka yang
berkaitan dengan hari, bulan, dan tahun peristiwa yang
dicatat. Terkait dengan pembahasan yang menelusuri
sistem penanggalan pada masyarakat Bugis-Makassar,
salah satu sumber yang dapat dijadikan sebagai data pada
sistem penanggalan adalah Lontara Bilang14.

B. Sistem Penanggalan Bugis-Makassar


Terdapat kurang lebih 1430 suku menurut sensus BPS
tahun 2010 yang ada di Indonesia. Setiap suku memiliki
kebudayaannya masing-masing dan sistem penanggalan
merupakan satu kebudayaan yang menjadi pertanda peradaban
umat manusia yang telah digunakan sejak zaman dahulu. Dari
banyaknya jumlah suku yang ada di Indonesia hanya segelintir
sistem penanggalan yang sering dibahas. Salah satu sistem
penanggalan tradisional yang dimiliki oleh negeri ini ialah
sistem penanggalan dari suku Bugis-Makassar yang
merupakan suatu warisan budaya yang jarang diungkap.

14 Sidin, BILANG TAUNG Sistem Penanggalan Masyarakat Sulawesi Selatan

Berdasarkan Naskah Lontara, 5–6.


69

Terkait dengan pembahasan sistem penanggalan pada


masyarakat Bugis-Makassar, salah satu sumber yang dapat
diambil sebagai data pada sistem penanggalan ini adalah
Lontara Bilang. Yang digunakan untuk menyebut catatan
harian raja, salah satu contoh naskah Lontara Bilang yakni
Lontara Bilang Gowa-Tallo, yaitu catatan harian Raja Gowa
dan Tallo. Dalam Lontara Bilang Gowa-Tallo ini menyajikan
peristiwa-peristiwa penting yang dicatat dengan rapi dalam
lingkungan kerajaan tersebut. Yang paling penting untuk
diketahui dari naskah tersebut ialah penulisan angka-angka
yang berkaitan dengan tanggal, bulan, dan tahun terjadinya
peristiwa yang terekam dengan baik.
Sumber sistem penanggalan Bugis-Makassar dapat
ditemukan dalam beberapa manuskrip. Salah satu
15
manuskripnya ialah naskah kode VT 25 yang bertipe Lontara
Bilang yang memuat peristiwa di kerajaan Gowa dan Tallo.
Naskah ini memulai teksnya dari tahun 1545 hingga
1715 atau 955 hingga 1165 Hijriyah. Dalam naskah VT 25 ini
menjelaskan semua peristiwa dengan mencantumkan tanggal

15 Naskah VT 25 merupakan naskah Lontara yang berisikan tentang Lontara


Bilang Gowa Tallo, naskah ini berbahasa Makassar dan Arab yang memiliki ukuran 33
x 21,5 cm dengan 175 halaman. Naskah ini merupakan salah satu koleksi Perpustakaan
Nasional, Jakarta.
70

dan bulan. Penggunaan angka pada tanggal menggunakan


penomoran arab dan latin.
Hal yang perlu diketahui lebih dalam tentang naskah
VT 25, yaitu genre teks berbentuk Lontara Bilang. Lontara
seperti ini memiliki pola penulisan peristiwanya secara runtut
berdasarkan tanggal demi tanggal dalam kurung bulan dan
tahun.
William Cumming telah mengangkat Lontara Bilang
Gowa Tallo menjadi objek kajian dalam bukunya The
Makassar Annals menggunakan pendekatan antar naskah.
Salah satu naskah yang dijadikan acuan utama dalam bukunya
ialah naskah VT 25. Cumming berpendapat bahwa tidak ada
teks baku perihal Lontara Bilang, sangat sulit menemukan
Lontara Bilang Gowa Tallo yang dianggap sebagai teks resmi
dan utuh termasuk pada naskah VT 25, hal ini dapat dilihat dari
penerjemahan Naskah VT 25 oleh Komarudin dkk pada tahun
1985-1986 yang hanya mampu mengambil inti sari dan
terjemahan dari naskah tersebut sebanyak 98%. Dan
penerjemahan Naskah Or. 236 KITLV yang dilakukan oleh A.
Ligtvoet tahun 1880 dalam karyanya Transcipte van het
71

Dagboek der Vorsten van Gowa en Tallo yang hanya memuat


sekitar 53% peristiwa yang tercatat dalam naskah tersebut16.
Hal serupa juga dipaparkan oleh Nor Sidin dalam
bukunya Bilang Taung yang menyatakan bahwa ketika
melakukan perbandingan naskah antara Lontara Bilang Gowa
Tallo VT 25 dengan naskah Sure' Bilang Add MS 12354 maka
terlihat kemiripan bukan pada catatan peristiwanya. Melainkan
pada pola penanggalan yang digunakan. Namun, pola yang
lebih lengkap dapat ditemukan di Sure' Bilang Add MS 12354,
sebaliknya tidak terdapat dalam naskah VT 25.
Hal menarik dan penting untuk diketahui tentang
naskah VT 25, yaitu aspek penulisan. Proses penulisan naskah
tersebut ternyata mengalami lompatan penulisan tanggal per
tanggal sehingga pola atau urutan-urutan hari tidak tampil
secara teratur dalam kurun sebulan.

16 William Cummings, The Makassar Annals (Brill, 2011), 22.


72

Gambar 3. 4: Halaman 1, Naskah VT 25 Lontara Bilang Gowa Tallo

Naskah dengan kode Add MS 1235417, merupakan


suatu naskah catatan harian atau biasanya di sebut dengan Sure’

17 Naskah Add MS 12354 merupakan naskah Lontara yang berisikan tentang


catatan harian dari Raja Bone La Tenritappu, naskah ini memiliki ukuran 425 x 265
mm dengan 409 halaman. Naskah ini merupakan salah satu koleksi The British Library,
London.
73

Bilang dari Mangkau/Raja Bone La Tenritappu18. Suatu catatan


harian seorang raja yang tercatat dengan rapi terlihat sangat
jelas untuk setiap tanggalnya.

Gambar 3.5: Halaman f. 6v, Naskah Lontara Add MS 12354

18 La Tenritappu To Appaliweng ialah Mangkau atau Raja Bone ke-23 yang

memerintah kerajaan dari tahun 1775 sampai tahun 1812. Bagianda juga dikenal
dengan nama Sri Sultan Ahmad as-Saleh Syamsuddin Petta MatinroE ri Rompégading.
74

Dalam naskah Add MS 12354 ini memulai


pencatatannya pada tanggal 1 Januari 1775. Hal tersebut
menandai hari pertama La Tenritappu mencatatkan segala
aktivitasnya dalam kedudukan beliau selaku Raja Bone. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat kutipan awal yang memulai naskah
tersebut pada gambar 3.4 diatas.
“… Umulai ma’ sure’ bilang…”
“… Aku memulai menulis catatan harian…”

Dalam naskah Add MS 12354 dalam penulisan hari,


tanggal, bulan, maupun tahun telah tersedia sedemikian rupa
pada setiap halaman dalam naskah tersebut, hal ini
mempertegas suatu penerapan pola hitung dalam sistem
penanggalan Bugis-Makassar yang diterapkan di dalam
kehidupan masyarakat.
Sistem penulisan dalam Sure’ Bilang dengan kode
naskah Add MS 12354 ini menjadi panduan dan rujukan dalam
hal memetakan sistem penanggalan Bugis-Makassar secara
tepat. Jika di telaah lebih lanjut dari naskah ini dapat
disimpulkan jika masyarakat Bugis-Makassar telah membagi
penanggalannya dalam dua belas bulan dalam setahun.
1. Siklus Bulan dalam Penanggalan Bugis-Makassar
Siklus bulan dalam sistem penanggalan Bugis-
Makassar biasanya disebut juga dengan istilah Bilang
75

Uleng. Masyarakat Bugis-Makassar telah membagi


siklus bulan mereka ke dalam dua belas bulan dalam
setahun.
Sistem perhitungan dua belas bulan dalam setahun
bagi masyarakat Bugis-Makassar dapat dipastikan
telah diterapkan di Sulawesi Selatan sebelum
masuknya ajaran Islam yang membawa sistem
penanggalan Hijriahnya maupun bangsa Eropa yang
membawa sistem penanggalan Masehinya.
Mengenai sistem perhitungan dua belas bulan yang
ada di Sulawesi Selatan yang telah diberlakukan pada
zaman dahulu telah diungkap oleh seorang peneliti dari
Eropa. Peneliti tersebut ialah Thomas Stamford Raffles
melalui karyanya yang berjudul The History of Java
(1817)19.
Dalam karyanya Raffles menerangkan bahwa
orang Bugis membagi tahun mereka dalam tiga ratus
enam puluh lima hari menjadi dua belas bulan, yang
dimulai pada tanggal enam belas Mei pada sistem
penanggalan Masehi. Selain itu Raffles juga

19 Thomas Stamford Raffles, The History of Java: In Two Volumes, vol. 1

(Black, Parbury, and Allen: and John Murray, 1817), clxxxviii–clxxxix, Apandex.
76

memaparkan nama-nama bulan bagi masyarakat


Bugis-Makassar beserta jumlah hari di setiap
bulannya.
Selain itu pendapat dari Raffles kemudian
diperkuat dalam buku yang berjudul History of The
Indian Archipleago20 karya John Crawfurd pada tahun
1820, yang juga menguraikan mengenai sistem
penanggalan orang-orang Bugis-Makassar dengan dua
belas bulan dalam setahun.
Yang menarik dari karya John Crawfurd (1820),
selain menerangkan mengenai sistem penanggalan dua
belas bulan dalam setahun beserta nama-nama dari
setiap bulannya yang dipakai untuk nama bulan dalam
kalender Bugis Makassar terdapat enam merupakan
nama bulan dalam Sanskrit Hindu.
Walaupun nama bulan-bulan tersebut tidak
bersesuaian berdasarkan urutannya. Sistem
penanggalan Bugis Makassar adalah kalender pribumi
yang tidak dimodifikasi oleh Hindu. Hal ini dapat di
pastikan dengan bukti bahwa tidak ditemukannya

20 John Crawfurd, History of the Indian Archiplago: Containing an Account.

In Three Volumes (Archibald Constable and Company, 1820), 305–306.


77

peninggalan-peninggalan budaya Hindu-Budha di


wilayah ini, seperti candi yang sebagaimana di
Sumatera dan Jawa.
Cara masyarakat Bugis-Makassar mencatatkan
tanggal yang didasarkan pada lama memerintahnya
seorang raja mereka seperti di Cina. Seperti La Tenri
Sukki21 yang memerintah Bone selama 25 tahun, Raja
Bote’E22 yang memerintah 25 tahun, dan sebagainya.
Catatan seperti ini tidak ditemukan dalam catatan
sejarah suku-suku lain, bahkan di kalangan suku Jawa
yang beradab.
Hal yang dipaparkan oleh Thomas Stamford
Raffles beserta John Crawfurd juga selaras dengan apa
yang dikemukakan oleh Dr. B. F. Matthes. Melalui

21 La Tenri Sukki Mappajungnge (1516 – 1543) merupakan Mangkau atau

Raja Bone ke 5 yang mewarisi tahta dari ibunya, We Benrigau. Merupakan Raja Bone
pertama yang disebutkan dalam lontara memiliki hubungan kerja sama dengan kerajaan
besar lainnya di Sulawesi Selatan. Yang berhasil memenangkan Perang Cellu yang
melawan kerajaan Luwu, Dewa raja Batara Lattu. Selengkapnya dapat dilihat di
https://palontaraq.id/2018/06/16/riwayat-raja-bone-5-la-tenri-sukki/ (diakses pada
02/04/2022 pukul 04:26 WIB).
22 La Uliyo Bote’E Matinroe Ri Itterung naik Tahta sebagai Raja Bone ke 6

menggantikan ayahnya La Tenri Sukki. Digelari Bote’E dikarena arumpone ini


memiliki postur yang gempal, Konon sewaktu masih kanak-kanak ia sudah kelihatan
besar. Selengkapnya dapat dilihat di https://palontaraq.id/2018/06/16/riwayat-raja-
bone-6-la-uliyo-botee/ (diakses pada 02/04/2022 pukul 04:40 WIB).
78

karya-karyanya, ia membantu mengungkap sistem


penanggalan dua belas bulan Bugis Makassar.
Melalui salah satu karya dari Matthes yang
berjudul Boegineesch-Hollandsch Woordenboek met
Hollandsch-Boeginesche. Woordenlijst en verklaring
van een tot opheldering bijgevoegden23
ethnographischen atlas (1874). Matthes memaparkan
mengenai nama-nama bulan dalam sistem penanggalan
Bugis-Makassar yang ternyata beberapa diantaranya
memiliki kemiripan dengan sistem penanggalan
Saka24. Namun, walau menunjukkan kemiripan satu
sama lain akan tetapi penulisan maupun
pengucapannya memperlihatkan perbedaan yang
sangat jelas.

23 Benjamin Frederik Matthes, Boegineesch-Hollandsch Woordenboek, Met


Hollandsch-Boeginesche Woordenlijst, En Verklaring van Een Tot Opheldering
Bijgevoegden Ethnographischen Atlas, vol. 1 (Nijhoff, 1874).
24 Sistem penanggalan Saka merupakan sebuah penanggalan yang berasal

dari India. Yang tidak hanya digunakan oleh masyarakat Hindu India, penanggalan
Saka juga masih digunakan oleh masyarakat Hindu yang khususnya untuk menentukan
hari raya keagamaan. Suatu sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran
Matahari mengelilingi Bumi yang biasa disebut Sistem Penanggalan Matahari (Solar
Calendar). Permulaan tahun Saka ini pada 14 Maret 78 M, yaitu satu tahun setelah
Prabu Syaliwahono (Aji Saka) naik tahta sebagai Raja India. Itulah sebabnya
penanggalan ini dikenal dengan nama penanggalan Saka. Selengkapnya dapat dilihat
pada Masruhan, “Islamic Effect on Calender of Javanese Community,” Al Mizan Jurnal
Pemikiran Islam 13, no. 1 (2017): 58; Muhyidddin Khazin, “Ilmu Falak Dalam Teori
Dan Praktik Edisi Terbaru,” Jogjakarta: Buana Pustaka (2008): 116.
79

Di dalam karyanya tersebut Matthes sama sekali


tidak memberikan penjelasannya mengenai kemiripan
maupun keterkaitan dari kedua sistem penanggalan
tersebut. Selain itu, walaupun memiliki kemiripan
belum ada yang dapat membuktikan jika adanya ajaran
Hindu yang dipercayai oleh masyarakat Bugis-
Makassar.
Jika melihat apa yang dipaparkan oleh para peneliti
sebelumnya semuanya merujuk kepada salah satu
naskah Lontara dengan kode VI 1825, dimana di dalam
naskah tersebut terdapat sebuah catatan yang
menerangkan tentang sistem penanggalan dengan dua
belas bulan yang telah ada dan dipakai oleh masyarakat
Bugis-Makassar.
Naskah VI 18 ini juga menerangkan mengenai
kisah-kisah sejarah berkaitan dengan beberapa
kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Diantaranya
menceritakan mengenai Isi perjanjian Uluada atau
perjanjian damai antara beberapa kerajaan Bugis di
Sulawesi Selatan. Menjelaskan pula mengenai sistem

25 Naskah VI 18 merupakan naskah Lontara yang berbahasa Bugis dan Arab

yang memiliki ukuran 21 x 17 cm dengan 111 halaman. Naskah ini merupakan salah
satu koleksi Staatsbibliothek Zu Berlin, Jerman.
80

astrologi yang digunakan oleh raja Bone ke 16


bernama La Patau' Matanna Tikka Sultan Alimuddin
Idris. Dan beberapa kisah yang lainnya.

Gambar 3.6: Halaman 37 i, Naskah VI 18

Gambar 3.7: Halaman 37 r, Naskah VI 18


81

Naskah VI 18 pada halaman ini selain memuat


tentang sistem penanggalan dua belas yang digunakan
masyarakat Bugis-Makassar beserta nama-nama dari
setiap bulan beserta kapan di mulainya pada
penanggalan Masehi.
Dan jika di telaah lebih lanjut lagi naskah ini juga
membuktikan jika Masyarakat Bugis-Makassar telah
membagi sistem penanggalan mereka ke dalam dua
belas bulan sebelum orang-orang Eropa masuk
kedalam kehidupan mereka. Buktinya berupa
keterangan yang mengawali penulisan dua belas bulan.
“…inae \ bilanna \ Ugie \ riolo \ napake \ ridenapa \ Bilang
Paringki..”
“… inilah bilangan (sistem penanggalan) Bugis dahulu
yang digunakan sebelum adanya Bilang Paringki26...”

Selain keterangan mengenai sistem penanggalan


Bugis-Makassar yang telah ada sebelum masuknya
orang-orang Eropa ke pulau Sulawesi yang khususnya
di Sulawesi Selatan. Pada naskah VT 18 ini juga

26 Bilang Parengki merujuk kepada sistem penanggalan yang dibawa oleh


orang-orang ‘Portugis’ yang tak lain adalah sistem penanggalan Masehi, selengkapnya
dapat dilihat pada buku karya Sidin, BILANG TAUNG Sistem Penanggalan Masyarakat
Sulawesi Selatan Berdasarkan Naskah Lontara, 36–38.
82

memuat nama-nama bulan pada sistem penanggalan


Bugis-Makassar yang dibagi menjadi dua belas bulan
dalam setahun, sebagai berikut adalah nama-nama
bulan dalam sistem penanggalan Bugis-Makassar:
Sarawanai dimulai pada 16 Mei
Padawaranai dimulai pada 15 Juni
Sujiari dimulai pada 15 Juli
Pacingkai dimulai pada 14 Agustus
Pasiyai dimulai pada 14 September
Mangasirai dimulai pada 15 Oktober
Mangaséttiwi dimulai pada 16 November
Mangalompai dimulai pada 16 Desember
Nagai dimulai pada 16 Januari
Palagunai dimulai pada 15 Februari
Besakai dimulai pada 17 Maret
Jettai dimulai pada 16 April

Jika melihat nama-nama bulan untuk sistem


penanggalan Bugis-Makassar di atas yang mana nama-
nama bulan tersebut termuat pada naskah lontara VI 18
ini menjadi referensi buat peneliti-peneliti sebelumnya
seperti Thomas Stamford Raffles, John Crawfurd,
maupun Dr. B. F. Matthes.
83

2. Siklus Hari dalam Penanggalan Bugis-Makassar


Dalam bahasa Bugis hari disebut dengan kata esso
(aeso), sedangkan dalam dalam bahasa makassar
disebut dengan allo (alo). Jadi, sistem perhitungan
hari dalam penanggalan Bugis-Makassar disebut
Bilang Esso maupun Bilang Allo.
Bilang esso merupakan suatu suatu kearifan lokal
yang berupa pengetahuan yang sangat unik,
dikarenakan pengetahuan tentang siklus hari ini telah
ada jauh sebelum masuknya ajaran Islam yang
memperkenalkan sistem penanggalan hijriah dan
bangsa Eropa yang membawa sistem penanggalan
Masehi.
Pada sistem penanggalan Bugis-Makassar tidak
hanya mengenal satu siklus harian, akan tetapi
masyarakat Bugis-Makassar sekurang-kurangnya
mengenali lima kategori siklus harian, kelima siklus
tersebut antara lain:
1. Bilang Tellu atau Siklus Tiga Hari
2. Bilang Eppa atau Siklus Empat Hari
3. Bilang Lima atau Siklus Lima Hari
4. Bilang Pitu atau Siklus Tujuh Hari
5. Bilang Aséra atau Siklus Sembilan Hari
6. Bilang Duappulo atau Siklus Dua Puluh Hari
84

Diluar dari kelima kategori Bilang esso diatas,


masyarakat Bugis-Makassar masih mengenal satu
siklus lagi, yang mana siklus tersebut membahas
mengenai ramalan atau astrologi27.
1. Bilang Tellu atau siklus tiga hari
Perhitungan pada siklus Bilang tellu tersaji
pada beberapa naskah lontara yang yang tampak
berulang-ulang. Siklus tiga hari ini pada
penannggalan Bugis-Makassar dikenali dengan
susunan Pong Juruwatta, Pong Banawa, dan
Pong Bisaka.
Pada naskah lontara dengan kode Add MS
1237328 mengkategorikan Bilang tellu kedalam
tiga kategori, antara lain:

27 Astrologi atau sering disebut dengan istilah ilmu Nujum adalah ilmu yang

mempelajari pengaruh planet di galaksi terhadap kehidupan seseorang. Pengaruh


tersebut mencakup banyak hal termasuk karier, karakter dan banyak hal lainnya.
Selanjutnya ilmu ini juga menggali tentang ramalan atau tebakan mengenai hal-hal atau
nasib manusia yang belum dan mungkin akan terjadi. Serta ramalan horoskop dan
ramalan lainnya. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Septo Hadi Wibowo, “Kitab
Bintang: Suntingan Teks Dan Analisis Isi” (Universitas Indonesia, 2012), 6.
28 Naskah Add MS 12373 merupakan naskah Lontara yang berbahasa Bugis

dan Arab yang memiliki ukuran 265 x 210 mm dengan 250 halaman. Naskah ini
merupakan salah satu koleksi The British Library, London.
85

a. Bilang Tellu Juruwatta


1. Tasimara supai
2. Golla paérui
3. Pettu dallé’i
b. Bilang Tellu Banawa
1. Tasi madésai
2. Golla metti busai
3. Pettu pole sumangé
c. Bilang Tellu Bisaka
1. Tasipolé beré
2. Golla tenri jellingi
3. Pettu rilaonai

Gambar 3.8: Halaman f. 109r, Naskah Add MS 12373


86

Catatan yang mengenai Bilang tellu ini


selain terdapat pada naskah lontara dengan kode
Add MS 12373, juga terdapat pada naskah
lontara dengan kode VT 81.1029 koleksi milik
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,
Jakarta.
Bilang tellu pada naskah VT 81.10 ini
ditandai dengan Pong Juruwatta, Pong Banawa,
dan Pong Bisaka.

Gambar 3.9: Halaman 159, naskah VT 81.10

a. Bilang Tellu Juruwatta


1. Tasimara supai
2. Golla paérui

29 Naskah VT 81.10 merupakan naskah Lontara yang memiliki ukuran 19,5

x 31,4 cm dengan 173 halaman dengan 23 baris disetiap halamannya. Naskah ini
merupakan salah satu koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta.
87

3. Pettu dallé’i

Gambar 3. 10: Halaman 161, naskah VT 81.10

b. Bilang Tellu Banawa


1. Pettu Rilaoni
2. Tassitemmaésai
3. Golla tetti busai

Gambar 3.11: Halaman 159, naskah VT 81.10

c. Bilang Tellu Bisaka


1. Golla paérui
2. Pettu polé summange’i
88

3. Tasi polé bere’i


Jika melihat siklus Bilang tellu ini
menunjukkan petunjuk mengenai hari pasaran
yang berkaitan erat dengan aktivitas masyarakat
Bigis-Makassar. Terdapat tiga kata kunci yang
menjadi dasar pembentuk perhitungan Bilang
tellu, yang mana ketiga kata kunci itu adalaha
tasi’ (lautan), golla (gula), dan pettu (putus).
Ketiganya sangat berkaitan dengan aktivitas
dan mata pencaharian masyarakat Bugis-
Makassar. Tasi’ yang berarti laut sangat
berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat
Bugis-Makassar yaitu pakkaja atau pattasi
(nelayan), yang biasanya beraktivitas di laut,
sungai, maupun danau. Sedangkan kata golla
yang memiliki arti gula berkaitan dengan mata
pencaharian pembuat gula merah, yang dalam
bahasa Bugis disebut pagolla. Yang terakhir
kata pettu yang berarti putus, yang mana ini
berkaitan dengan memiliki sangkut paut dengan
mata pencaharian pattali bennang (pemintal
benang) maupun pattennung (penenun).
89

2. Bilang eppa atau siklus empat hari


Bilang eppa ialah perhitungan hari yang
terdiri dari empat hari, Bilang eppa ini sangat
berkaitan dengan Bilang duappulo atau siklus
dua puluh hari.30
Jika menelusuri jejak manuskrip, naskah
yang menerangkan tentang Bilang eppa ini salah
satunya ialah naskah lontara yang berkode VT
12931.
Pola penyajian dari Bilang eppa memilik
pola penyajian yang mirip dengan Bilang lima,
akan tetapi penulisannya lebih sederhana dan
diurut berdasarkan siklus dua puluh hari, maka
dari itu penyajian nama-nama harinya berlanjut
secara berulang.

30 Matthes, Boegineesch-Hollandsch Woordenboek, Met Hollandsch-

Boeginesche Woordenlijst, En Verklaring van Een Tot Opheldering Bijgevoegden


Ethnographischen Atlas, 1:735.
31 Naskah VT 129 merupakan naskah Lontara yang berisikan tentang

kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat Bugis, naskah ini memiliki ukuran 24,6
x 19,2 cm dengan 175 halaman dengan 29 baris disetiap halamannya. Naskah ini
merupakan salah satu koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta.
90

Jika telah sampai pada hari terakhir, maka


perhitungannya diulang kembali ke hari
pertama.

Gambar 3. 12: Halaman 22, Naskah VT 129

1. Tuoi
2. Matéi
3. Engkai
4. Dé’i
Sistem perhitung siklus empat hari bagi
masyarakat Bugis-Makassar tidak lain
merupakan siklus hari pasar atau biasa disebut
esso pasa’ (aeso ps). Sistem siklus empat
hari ini juga menerangkan kualitas dari setiap
harinya.
91

3. Bilang lima atau siklus lima hari


Siklus pada Bilang lima disusun berurut dari
hari pertama hingga hari kelima yang kemudian
berulang kembali ke hari pertama sebanya dua
puluh hari mengikuti perhitungan Bilang
duappulo.
Terdapat beberapa manuskrip naskah
lontara yang memaparkan mengenai Bilang lima
ini salah satunya ialah naskah lontara yang
berkode VT 129, salah satu koleksi dari
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Yang mana jika merujuk pada katalognya
naskah tersebut berasal dari kerajaan Bone.

Gambar 3.13: Halaman 22, Naskah VT 129

1. Mappéangngi
2. Palai
3. Rialai
92

4. Tettudangngi
5. Masara ininnawa
Jika ditelaah siklus Bilang lima yang berada
didalam naskah lontara VT 129 ini memberikan
informasi mengenai hari pasar yang
berhubungan dengan komoditi utama yang ada
di kerajaan Bone. Maka dari itu naskah VT 129
ini menjadi dasar penataan waktu hari pasar oleh
aristokrat kerajaan Bone.
Penataan waktu memiliki tujuan untuk
mengatur komoditi yang berada di pasar-pasar
resmi kerajaan Bone. Penataan ini juga
menyesuaikan keadaan sosial-ekonomi beserta
letak geografis agar penyebaran komoditi
pangan pada kerajaan Bone ini dapat tersebarkan
dengan merata di masyarakat.
Dalam buku karya Nor Sidin menjelaskan
mengenai makna dari setiap harinya pada Bilang
lima, sebagai berikut32:

32 Sidin, BILANG TAUNG Sistem Penanggalan Masyarakat Sulawesi

Selatan Berdasarkan Naskah Lontara, 77–79.


93

1. Hari yang pertama ialah Mappéangngi,


yang artinya “menghasilkan”, yang mana
hal tersebut dimaknai dengan hal yang
positif. Mappéangngi ini terkadang
dikaitkan dengan profesi nelayan. Hal ini
merujuk pada pasar di Bajoe yang secara
geografis berada di daerah pesisir yang
mana sebagian besar masyarakatnya
berprofesi sebagai nelayan.
2. Hari kedua adalah Palai, yang memiliki
makna yang hal yang positif. terdapat
beberapa manuskrip seperti manuskrip
Add MS 12373 yang menunjukkan bahwa
ini adalah toponimi33 Barébbo sebagai
hari pasarnya.
3. Hari ketiga merupakan Rialai, yang
mengacu pada kegiatan pertanian. Kata
Rialai tidak lain adalah hari pasar dari
Watampone yang saat ini menjadi ibu

33 Menurut KBBI kata ‘Toponimi’ memiliki arti cabang onomastika yang


menyelidiki nama tempat, nama tempat. Selengkapnya dapat dilihat pada
https://kbbi.kemdikbud.go.id/ (diakses pada tanggal 12/4/2022 pukul 01:04 WIB).
94

kota Kabupaten Bone. Hal ini merupakan


menjadi toponimi yang terkait dengan hari
Attapang dan Cinnong, dimana keduanya
merupakan penghasil beras yang utama
dan hasil pertanian lainnya.
4. Hari keempat disebut Tettudangngi, yang
mana artinya berkaitan dengan simbol
peternakan. kualitas hari Tettudangngi
mengacu pada hewan ternak peliharaan
atau perkembangbiakan. Toponimi yang
dituju adalah beberapa kampung
penghasil ternak seperti Lona, Timurung,
Bulu, dan Kaju.
5. Nama hari terakhir adalah Masara
ininnawa. Beberapa keterangan
menunjukkan bahwa kata ini diartikan
sebagai kata yang terkait dengan kata
Masara, yaitu kegiatan menyadap pohon
nira untuk menghasilkan gula merah.
Sedangkan kata Ininnawa merupakan
representasi dari jiwa dan perasaan yang
berhasrat pada kebaikan yang
tersimbolkan dari cita rasa nira yang
manis. Kata manis dikaitkan dengan hal-
95

hal yang baik. Toponimi yang terkait


dengan hari ini ialah Cenrana, Bakke’,
dan Panyula. Namun, masyarakat
beranggapan bahwa hari terakhir pasar ini
sebagai hari yang kurang beruntung yang
menjadi kualitas hari dari kata Masara
ininnawa atau jiwa yang sengsara.
Yang harus digaris bawahi dari Bialng eppa
maupun Bilang lima mengenai sistem
perhitungan hari pasar atau esso pasa’ yang
diterapkan pemerintah kerajaan Bone pada
masanya. Namun, dengan masuknya ajaran
Islam dengan sistem penanggalan hijriahnya
maka hari-hari pasar tersebut disesuaikan
dengan penanggalan hijriah.
4. Bilang pitu atau siklus tujuh hari
Masyarakat Sulawesi Selatan terkhususnya
masyarakat Makassar memahami siklus tujuh
hari ini sesuai dengan yang disebutkan dalam
kutika Gowa34. Manuskrip naskah lontara

34 Matthes, Boegineesch-Hollandsch Woordenboek, Met Hollandsch-

Boeginesche Woordenlijst, En Verklaring van Een Tot Opheldering Bijgevoegden


Ethnographischen Atlas, 1:735.
96

dengan kode Add MS 1236935 merupakan


rujukan utama dalam hal pembahasan Bilang
pitu atau siklus tujuh hari ini.

Gambar 3. 14: Halaman f. 8v, Naskah Add MS 12369

1. Patiagai
2. Lanra katiwi
3. Wuju tunru bélai
4. Waji to araméi
5. Polé jiwai
6. Penno ékké’i

35 Naskah Add MS 12369 merupakan naskah Lontara yang berbahasa Bugis

dan Arab yang ditulis dikertas folio dengan 112 halaman. Naskah ini merupakan salah
satu koleksi The British Library, London.
97

7. Tellé pusui
Bilang pitu atau perhitungan siklus tujuh
hari ini memiliki keterkaitan dengan sistem
penanggalan hijriah, jadi dapat diprediksi bahwa
Bilang pitu ini mulai dipergunakan setelah
masyarakat Bugis-Makassar menganut ajaran
agama Islam.
5. Bilang aséra atau siklus sembilan hari
Dalam karyanya Matthes melakukan
penelitian dan mengungkap Bilang aséra atau
perhitungan siklus sembilan hari ini terkhusus
yang berkaitan dengan hari baik maupun hari
buruk. Matthes mengungkapkan:
“… Omtrent de bilang asera zij ten slotte
nog aangemerkt, dat daarvan, evenals bij
de bilang duwapulo, dire soorten zijn, die
elkander gedurig afwisselen, te weten: een
die met pobatoe paonro, een die met po to
sanrijawa en een die met pong
alakaraja.36”

36 Matthes, Boegineesch-Hollandsch Woordenboek, Met Hollandsch-

Boeginesche Woordenlijst, En Verklaring van Een Tot Opheldering Bijgevoegden


Ethnographischen Atlas, 1:212.
98

“... Tentang bilang asera, akhirnya perlu


dicatat bahwa, seperti halnya bilang
duapulo, ada tiga jenisnya, yang
bergantian terus menerus, yaitu: satu
dengan pobatoé paonro, satu dengan pong
sanrijawa, dan satu dengan pong alakraja
…”
Menurut Matthes bahwa bilang asera ini
memiliki kemiripan dengan sebuah kutika37
untuk mengetahui hari baik dan hari buruk yang
berkaitan dengan aktivitas umat manusia.
Matthes kemudian menerangkan bahwa siklus
perhitungan sembilan hari yang terus
berkelanjutan, pada dasarnya Bilang aséra ini

37 Lontara Kutika adalah catatan tradisional masyarakat etnik Makassar, yang

meliputi waktu baik dan waktu yang kurang baik. Fungsinya sebagai pedoman bagi
masyarakat yang hendak melakukan sesuatu atau bepergian. Misalnya bagi seorang
petani untuk mencari waktu yang baik untuk menanam padi agar tanamannya dapat
dipanen dengan hasil yang memuaskan. Juga bagi mereka yang akan mengadakan pesta
seperti pernikahan, maka masyarakat juga akan meluangkan waktu untuk membuka
kutika. Dalam kutika akan ditentukan bulan, minggu, hari dan jam yang sangat baik,
baik, kurang baik, dan waktu yang buruk untuk melakukan sesuatu. Hal ini akan
menentukan sukses atau tidaknya suatu pekerjaan. Dengan kata lain kutika ini dapat
disebut juga kitab ramalan bagi masyarakat pada umumnya. Selengkapnya dapat dilihat
pada https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=302 (diakses
pada tanggal 13/4/2022 pukul 19:44 WIB).
99

memiliki tiga bagian, hanya saja Matthes tidak


memberikan penerangan lebih lanjutnya.
Manuskrip naskah lontara dengan kode VT
129 merupakan salah satu rujukan dalam hal
pembahasan Bilang aséra yang menunjukkan
tiga pembagian tersebut beserta nama-nama hari
dari setiap pembagiannya.

Gambar 3.15: Halaman 22, naskah VT 129

Nama-nama hari dalam Bilang asera pada


siklus pertama dalam naskah VT 129 yang
dimulai dengan Pong Batu Paonrong, antara
lain:
1. Pong Batu Paonrong
2. Paténre Rukai
3. Goari Latui
4. Tessisumpala Timui
100

5. Mangasetti Kerai
6. Marummameng Sibaui
7. Panirong Matujui
8. Palélé Kéanui
9. Panoreng Mullingi
Nama-nama hari dalam Bilang asera pada
siklus yang kedua dalam naskah VT 129 yang
dimulai dengan Pong Tosenrijawa, antara lain:
1. Pong Tosenrijawa
2. Paténre Pisésai
3. Goari Kupui
4. Tessisumpala Totoi
5. Mangasetti Punnai
6. Marummameng Takaui
7. Panirong Mamalai
8. Palélé Mutamai
9. Panoreng Ungaé Cawai
Nama-nama hari dalam Bilang asera pada
siklus yang ketiga dalam naskah VT 129 yang
dimulai dengan , antara lain:
1. Pong Alé Karaja
2. Paténre Méwakabangi
3. Goari Tenri Oloi
4. Tessisumpala Wajui
101

5. Mangasetti Pujai
6. Marummameng Tunru Bélai
7. Panirong Céngai
8. Palélé Tenri Sui I
9. Panoreng Matterui
6. Bilang duappulo atau siklus dua puluh hari
Berbicara tentang Bilang duappulo dapat
ditemukan dalam beberapa manuskrip naskah
lontara, yang kemudian akhirnya menjadi lebih
dikenal lewat salah satu manuskrip yang
menampilkan Bilang duappulo ini, yakni naskah
karya Collieq Pujie38.
Yang mana karya Coliq Pujie ini kemudian
diangkat oleh Roger Toll. Jika diperhatikan
Bilang duappulo dalam karya Roger Toll, yang
mana Bilang duappulo ini menjadi satu bagian

38
Arung Pancana Toa Retna Kencana Colliq Pujie Matinroe Ri Tucae, juga
bergelar Datu Tanete, adalah seorang Bangsawan berdarah Bugis Melayu, sosok
perempuan cerdas, sastrawan dan intelektual perempuan yang lahir pada 1812 di Barru,
Sulawesi Selatan, beliau wafat pada 11 November 1876, Ayahnya bernama La
Rumpang Megga yang dilantik menjadi raja Tanete yang ke-19 pada 1840 dan ibunya
Ratu Rappang yang bernama Colliq Pakue. Selengkapnya dapat dibaca pada jurnal
karya Rezki Nurramadhani, “Perancangan Ilustrasi Biografi Colliq Pujie” (Universitas
Negeri Makassar, 2019).
102

dengan Sureq Baweng39. Yang secara makna


Bilang duappulo berarti perhitungan siklus dua
puluh hari yang menjelaskan baik buruknya
suatu hari untuk melangsungkan upacara adat40.
Melalui keterangan yang di utarakan oleh
Matthes dalam karyanya menjelaskan bahwa
dalam Bilang duappulo terdapat tiga bagian,
yang kemudian membentuk pola hitungannya,
sebagaimana kutipan sebagai berikut:
"bilang duwapulo, begonnen achtereen
volgens met poJuruwatta, poBanawa,
poBisaka. Na den twintigsten dag (de
tumpakale)., Eu zoo ging de telling steeds
voort."
“Bilang duappulo, dimulai secara
berurutan dengan poJuruwatta,
poBanawa, poBisaka. Setelah hari kedua

39 Sureq Baweng merupakan sebuah manuskrip kumpulan syair-sayir yang

mengandung nilai-nilai Pappaseng. Selengkapnya dapat dibaca pada buku karya


Benjamin Frederik Matthes, Boeginesche Chrestomathie, vol. 3 (Nederlandsch
Bijbelgenootschap, 1872).
40 Roger Tol, “Rolled up Bugis Stories: A Parakeet’s Song of an Old Marriage

Calendar,” in 17th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia,


Melbourne (Citeseer, 2008), 1–3.
103

puluh (tumpakale). Hitungannya terus


berlanjut.”
Jika diperhatikan yang menarik dari
pemaparan Matthes ini terdapatnya istilah Pong
Juruwatta41, Pong Banawa42, dan Pong
Bisaka43. Yang menjadi hari pertama dari setiap
bagian pada Bilang duappulo. Selain itu
Matthes pun menguraikan pula mengenai nama-
nama hari buat Bilang duappulo ini. Sebagai
berikut:
“Duwa pulo, twintig. Men had eertijds
eene verdeeling van de dagen van het jaar
in tijdvakken van 20 dagen ;die heette dan
; bilang duwa puplo. De dagen van zoo'n

41 “pojuruwatta, dit is de eerste van een der drie tellingen van twintig dagen,
waarin eertijds het jaar verdeeld werd." Kutipan dari Matthes ini memiliki arti Pong
Juruwatta ini adalah yang pertama dari tiga hitungan dua puluh hari di mana tahun itu
sebelumnya dibagi. Selengkapnya dapat dibaca pada karya Matthes, Boegineesch-
Hollandsch Woordenboek, Met Hollandsch-Boeginesche Woordenlijst, En Verklaring
van Een Tot Opheldering Bijgevoegden Ethnographischen Atlas, 1:470.
42
“pobanawa, dit is de eerste dag van een der drie tellingen van twintig
dagen, waarin het jaar eertijds verdeeld werd." Kutipan dari Matthes ini memiliki arti
Pong Banawa ini adalah hari pertama dari salah satu dari tiga hitungan dua puluh hari
di mana tahun itu sebelumnya dibagi. Selengkapnya dapat dibaca pada Ibid., 1:190.
43 “pobisaka, dit is de eerste dag van een der drie tellingen van twintig dagen,

waarin het jaar eertijds verdeeld werd." Kutipan dari Matthes ini memiliki arti Pong
Bisaka ini adalah hari pertama dari salah satu dari tiga hitungan dua puluh hari di mana
tahun itu sebelumnya dibagi. Selengkapnya dapat dibaca pada Ibid., 1:234.
104

bilang duwa pulo werden genoemd 1.


Pong po, 2. Pang p, 3. Lumawa
lumw, 4. Wajing wji, 5. Wunga-
wunga wuGwuG, 6. Tallattu tlEtu, 7.
Anga aG, zoo niet: wunga wuG, 8.
Webbo wEbo, 9. Wage weg, 10. Tjappa
cEp, 11. Tule tuel, 12. Ariyeng
ariey, 13. Beruku ebruk,u 14.
Panirong pniro, 15. Mauwa mauw,
16. Déttiya dEtiy, 17. Soma som, 18.
Lakkara lkr, 19. Jepati ejpti, en
20. Tumpakale tuPkel.”44
“Bilang duappulo, dua puluh. Dulu ada
pembagian hari dalam setahun menjadi
periode 20 hari, yang kemudian disebut
Bilang duappulo. Hari-hari itu disebut
dengan: 1. Pong, 2. Pang, 3. Lumawa, 4.
Wajing, 5. Wunga-wunga, 6. Tallattu, 7.
Anga (wunga), 8. Webbo, 9. Wage , 10.
CEppa, 11. Tule, 12. Ariyeng, 13. Beruku,
14. Panirong, 15. Mauwa, 16. Déttiya, 17.

44 Ibid., 1:138–139.
105

Soma, 18. Lakkara, 19. Jepati, dan 20.


Tumpakale.”
Penjelasan dari Matthes menunjukkan
bahwa sistem perhitungan dua puluh hari ini
menjadi perhitungan yang sangat penting buat
masyarakat Bugis-Makassar. Selain itu
penjelasan ini juga sanggatlah selaras dengan
apa yang ada dalam beberapa manuskrip naskah
lontara. Diantaranya ialah naskah dengan kode
Add MS 12369.
Manuskrip satu ini memuat penjelasan
mengenai sistem perhitungan siklus dua puluh
hari beserta menjelaskan arti dari setiap hari-
harinya.
1. Pong
Pong essoi \ natépu tana talleti ménrué \
aganna impari aseng pong essoé
riperiperiangngi Sangiang Serré nonno ri
wanua lino.
Hari Pong, tercipta tanah yang
terhampar luas. disebut Hari Pong
106

dikarenakan awan bersama angin menaungi


Sangiang Serri45 turun ke dunia.46
2. Pang
Pang ina nari \ nari cekkara tana bangkale
tekai \ agana i(mpa) riaseng esso Pange
te(nga)ssowo kira kira temmadécéng apa
nacellingasia Sangiang Serri kéloé, tenna
padiaé siannawa-nawa tettauwé \
Pada hari Pang, pada waktu itu, tanah
Bangkala diberkahi. Dikatakan bahwa hari
Pang, tidak terlihat bagus pada tengah hari,
dikarena Sangiang Serri melihat orang
tidak saling tolong menolong satu sama
lain.47

45 Sangiang Serri adalah salah satu mitologi masyarakat Bugis yang sampai

sekarang masih dianggap sakral adalah tentang asal mula padi, yang berasal dari
penjelmaan Sangiang Serri yang merupakan Dewi Padi. Mitos ini termuat di dalam
naskah kuno masyarakat Bugis yaitu sureq Galigo pada episode Meong mpalo
karallae‘. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/sangiang-serri/ (diakses pada tanggal
15/04/2022 pukul 11:55 WIB)
46 Sidin, BILANG TAUNG Sistem Penanggalan Masyarakat Sulawesi Selatan

Berdasarkan Naskah Lontara, 126.


47 Ibid., 128.
107

3. Lumawa
Lumawai \ narilingé langi lolénge(mpi)raé,
(mpa)punnanyi riaseng Lumawa esso
tengnga
Ketika langit menemukan apa yang
telah dilalui dan dimilikinya, itu disebut
hari Lumawa dikarena kehadirannya.48
4. Wajing
Wajing I \ nata(mpe)ré i teremma -
remmangé.
Wajing, hari yang cerah dan tanpa
mendung.49
5. Wunga-wunga
Wunga wungai \ natépu sangka maléwa téa
é maita pu (mpu)nrai tenna mai ri wanua
lino.
Wunga-wunga, ketika semuanya baik-
baik saja dan tidak ada kekacauan ataupun
keburukan di dunia.50

48 Ibid.
49 Ibid.
50 Ibid.
108

6. Talletu
Talettu i\nasitépu patongko pérétiwi
e(mpa)pa esso madécéngi nataro Dewataé
agana riaseng esso Talettué namadeceng
maneng tauwe séawalangi.
Tallettu' berarti ketika penutupan tanah
air telah jadi dan hari yang baik diberikan
oleh Dewataé. Disebut hari Tallettu'
dikarena kebaikan untuk semua manusia.51
7. Anga
Anga I \ nangka manemmaro sumange’
ala(ngka)oé ripaka timerengngé agana ia
riaseng esso Angaé (ngké)li ripano' rampé
nétéa nasia tenri awalu.
Anga memiliki makna sudah tiba
seluruh semangat dari segala arah, dianggap
hari Angaé lantaran diturunkan panduan
yang bukan hal sia-sia dan tidak terdapat
kesusahan.52

51 Ibid., 129.
52 Ibid.
109

8. Webbo
Webboi \ naripattépu ulengngé esso égana
ia riaseng esso Webboé tenri tudang céro
apa temma tellu bajiwemalliri
pakeddéka(ng) saoraja to mangkau.
Webbo adalah ketika bulan diciptakan
dan memiliki banyak hari. Disebut hari
Webbo lantaran terjadi atas kehendak
Tuhan. Didalamnya terdapat kebaikan,
seperti air memiliki tiga kebaikan ketika
membangun istana buat raja.53
9. Wagé
Wagé I \ naripakatuwé Sangia Serri natini
lao lao polé makena ri wa(mpo) ware.
Wagé, bermakna diwujudkan sang
Sangiang Serri dan kemudian dibawa
kemana pun dari asalnya yang muncul di
Ware.54

53 Ibid.
54 Ibid., 130.
110

10. Cempa atau ceppa


Cempa i \ nangka mane bua Puwange
mpale na sini mpata baé matantui mpana
bicara innawa nawa tenna pangarabaji élo
tompo kaniakaé \ agana ia riase esso
Ceppaé nataro déwataé pémallia téainna
oddang mparara nadé ku amali mpui ri
jellona.
Cempa, ada atas semua yang diciptakan
oleh Sang Pencipta, dengan segala
ketentuannya, semua yang diciptakan
menurut kehendak-Nya.
Disebut hari Ceppa karena Sang Pencipta
memberi larangan yang ditetapkan menurut
petunjuk-Nya.55
11. Tulé
Tulé i \ naripaméssa puta relai tauwé esso
ri podecengé polei nramempa bua mairi
wanua lino.
Tulé, bermakna saat seluruh yang
dimiliki Maha Pemberi dan kemudian

55 Ibid.
111

diberikan pada manusia hari sangat baik,


yang mempunyai segala karunia yang bisa
dinikmati oleh manusia di dunia.56
12. Ariéng
Ariéngi \ na ri pangabiji sininna ngolo oloe
\ ri mpangujué macang lariwi sémpaé
rékkuwa ri salai bicaraé agana ia riaseng
esso Ariéngi ri suro téngkalingai bicara
matempe mari wanua lino iangkilingi
pataunge.
Ariéng memiliki arti ketika segala jenis
binatang dipersaksikan, contohnya macan
yang memiliki kemampuan berlari dengan
cepat dan hal itu terbukti kebenarannya
yang bukan suatu kebohongan. Disebut hari
Ariéng lantaran hari tersebut untuk
mendengarkan kebenaran tentang dunia
mengenai berputar mengikuti waktu yang
telah ditetapkan.57

56 Ibid., 129–130.
57 Ibid., 131–132.
112

13. Béruku
Béruku i \ nariulo mula to mangkaué
sinimpa ri taroé makeda tenri sumpala.
Béruku, berdasarkan zaman dahulu di
awal To Mangkaué58, segala yang sudah
ditetapkan merupakan tenri sumpala.59
14. Panirong
Panirongi \ nsngenne élo rupa
pompalingé'é nangka manEng bua puwang
mpale napali ngkajo na sininna to
mangkaué.
Panirong, bermakna sudah lengkap
keinginan diciptakan oleh Maha Pencipta,
terdapat pula kenikmatan yang
dikaruniakan oleh Sang Pencipta, dan
kemudian dimunculkan seluruh para To
Mangkau.60

58
To Mangkaue merupakan Sebutan raja sebagai kepala pemerintahan yang
tertinggi di Bone, yang dimasa lalu menganut sistem pemerintahan kerajaan atau
monarki
59Kata “tenri sumpala” dapat dimaknai dengan tidak pernah tertutup, tidak

pernah bocor sehingga dapat pula diartikan selalu berisi maupun selalu terjaga.
Selengkapnya dapat dibaca pada Sidin, BILANG TAUNG Sistem Penanggalan
Masyarakat Sulawesi Selatan Berdasarkan Naskah Lontara, 132.
60 Ibid.
113

15. Mauwa
Mawuwai \ na sialamula to ri pasaoé \ ri
taroé sitola utia gana ia riase esso
Mawwwae ri suro mapasilu sérang cinna
élo sia sié wasimpa mpateke.
Mauwa, bertemu yang berpisah, bisa
juga berarti pemberian yang diberikan yang
satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Hari
mauwa disebut karena merupakan hari
saling menemani penuh kasih sayang dan
cinta dalam ikatan yang kuat.61
16. Déttia
Déttiai \ na esso na tompajenangié agana
iaseng esso dettiaé nasilewoka madécéng
romancaji tauwé.
Déttia, merupakan hari terpilih buat
kebaikan. Dikatakan Déttia lantaran ketika
bersama dalam kebaikan sebagai akibatnya
sebagai manusia.62

61 Ibid., 133.
62 Ibid.
114

17. Soma
Soma i \ nariperisi dallé ralampa kati
ampiagana ia riasenge esso somae pétali
sia rilao wari sobanua rékko toséajing.
Soma, merupakan telah diatur rezeki
beserta yang akan mendapatkannya dengan
segala ketentuannya. Disebut hari Soma,
lantaran itu diabadikan dalam ikatan
kekerabatan.63
18. Angkara, Akka, Lakkara
Angkara i \ nama were ritajo alingérenna
agana ia riaseng esso angkaraé polampe
rompa pamiri tarae naia to rilaori
arelaelau uwa riasinge ri te'bilang owaria
pura de' kongatempa lona
Angkarai, wujud yang tak nampak dan
tak terbatas. Disebut hari Angkara karena
begitu luas dalam cakrawala, dan manusia
yang bisa menjelajah dunia tidak akan bisa
mengukur lebarnya.64

63 Ibid.
64 Ibid., 134.
115

19. Jéppati
Jéppatiwi \ natimpa tajang patiri sena sini
to mangkaue mpapuna ia riaseng esso
Jéppati teppa nimpiri sia ri tudangang
céro.
Jéppati, dibukakan segala cahaya bagi
To Mangkau yang memiliki sesuatu
permintaan. Dikatakan bahwa hari Jéppati
adalah hari yang datang dengan berkah
yang dikandungnya bagi kehidupan
manusia.65
20. Tumpakalé
Tumpakaléna i \ na esso masuluaga na ia
riaseng pémmali siari ampawa polé tenri
ala porawipa téssi dapi i mpare tea maitana
jura.
Tumpakaléna bermakna manusia akan
membuang segala keburukan, sebagai
akibatnya dikatakan terlarang melihat masa

65 Ibid.
116

lalu yang buruk dan tidak mampu melihat


kebaikan apa pun.66

Gambar 3.16: Halaman f. 9v, Naskah Add MS 12369

66 Ibid.
117

Gambar 3. 17: Halaman f. 10r, Naskah Add MS 12369


BAB IV
ANALISIS SISTEM PENANGGALAN BUGIS MAKASSAR
DALAM PERSPEKTIF ILMU FALAK

A. Analisis Sistem Penanggalan Bugis-Makassar pada Naskah


Lontara
Sistem penanggalan Bugis-Makassar merupakan suatu
kearifan lokal yang berbentuk sebuah pengetahuan yang pernah
ada dan diamalkan oleh masyarakat suku Bugis-Makassar,
terkhusus yang berada di Sulawesi Selatan. Sistem
penanggalan ini telah mengalami pergeseran fungsi. Hal ini
selaras dengan yang dipaparkan oleh Andi Fahry Makkasau
Krg. Unjung, mengenai pendapatnya tentang sistem
penanggalan Bugis-Makassar.
“Pada saat ini sistem tanggal yang ada di masyarakat
sejatinya sudah bukan seperti sistem tanggal pada
kalender Masehi maupun kalender hijriah, sistem
tanggal Bugis-Makassar saat ini lebih kepada sistem
pananrang yang dapat disebut astrologi atau ramalan
belaka. Padahal, pada masa kerajaan orang-orang
menggunakan perhitungan tanggal yang resmi dari
kerjaan yang sudah digunakan jauh sebelum adanya

118
119

pengaruh dari orang-orang Eropa maupun pedagang


dari bangsa Arab.”1
Lontara Bilang merupakan salah satu jenis lontara
yang dapat di jadikan sumber dalam sistem penanggalan Bugis-
Makassar. Lontar Bilang Gowa-Tallo yakni catatan harian raja-
raja Gowa maupun Tallo yang dalamnya menyajikan catatan
peristiwa yang terjadi, dan didalamnya dilengkapi dengan
pencatatan tanggal, bulan, dan tahun yang tercatat dengan rapi.
Manuskrip dengan kode VT 252 yang merupakan
manuskrip Lontar Bilang Gowa-Tallo yang memulai
catatannya pada tahun 1545 hingga 1715 Masehi atau 955
hingga 1165 hijriah. Manuskrip ini adalah salah satu koleksi
dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Selain naskah VT 25, manuskrip naskah lontara
dengan kode Add MS 123543 yang merupakan koleksi dari The
British Library, London. Naskah Add MS 12354 adalah Sure’
Bilang Puatta La Tenritappu To Appaliweng yang merupakan
catatan harian dari Mangkau / Raja Bone ke 23.

1 Wawancara: Andi Fahri Makkasau Krg. Unjung, Ketua Umum Lembaga


Adat Majelis Kerukunan To Manurung di Maros pada 02 Mei 2022.
2 Lihat pada Gambar 3.3
3 Lihat pada Gambar 3.4
120

Sistem penulisan dalam Sure’ Bilang dengan kode


naskah Add MS 12354 ini menjadi panduan dan rujukan dalam
hal memetakan sistem penanggalan Bugis-Makassar secara
tepat. Karena dalam penulisan hari, tanggal, bulan, maupun
tahun telah tersedia sedemikian rupa pada setiap halaman
dalam naskah tersebut.
Sistem penanggalan Bugis-Makassar menerapkan
Bilang Uleng atau siklus bulan dengan jumlah dua belas bulan
dalam setahunnya. Yang mana hal tersebut telah diamalkan
oleh masyarakat Bugis-Makassar terutama yang berada di
daerah Sulawesi Selatan, sebelum datangnya bangsa Eropa
yang membawa sistem penanggalan Masehinya maupun
bangsa Arab yang membawa serta sistem penanggalan
hijriahnya.
Melalui naskah lontara yang berkode VT 184 yang
merupakan naskah lontara koleksi dari Staatsbibliothek Zu
Berlin, Jerman menjadi bukti konkret mengenai penerapan
sistem penanggalan dua belas bulan bagi masyarakat Bugis-
Makassar. Sebagai berikut:

4 Lihat pada Gamabar 3.5 dan 3.6


121

Nama Bulan Sistem Permulaan


Jumlah
NO Penanggalan Bugis- Bulan dalam
Hari
Makassar Masehi
dimulai pada 16
1 Sarawanai 30 hari
Mei
dimulai pada 15
2 Padawaranai 30 hari
Juni
dimulai pada 15
3 Sujiari 30 hari
Juli
dimulai pada 14
4 Pacingkai 31 hari
Agustus
dimulai pada 14
5 Pasiyai 31 hari
September
dimulai pada 15
6 Mangasirai 32 hari
Oktober
dimulai pada 16
7 Mangaséttiwi 30 hari
November
dimulai pada 16
8 Mangalompai 31 hari
Desember
dimulai pada 16
9 Nagai 30 hari
Januari
dimulai pada 15
10 Palagunai 30 hari
Februari
122

dimulai pada 17
11 Besakai 30 hari
Maret
dimulai pada 16
12 Jettai 30 hari
April
Tabel 4.1: Bilang Uleng atau Siklus Bulan pada Sistem Penanggalan

Berpedoman pada naskah VT 18 halaman 37i dan 37r


ini dapat disimpulkan jika sistem penanggalan yang telah
diterapkan oleh masyarakat Bugis-Makassar sejak zaman
dahulu memiliki keselarasan dengan sistem penanggalan
Masehi yang banyak diterapkan pada saat ini. Walaupun
bangsa Eropa baru menginjakkan kaki di tanah Sulawesi pada
abad 15 dan membawa serta sistem penanggalan Masehi.
Jika menelaah nama-nama bulan yang ada pada naskah
VT 18 ini menunjukkan suatu kemiripan dengan sistem
penanggalan Saka. Namun, walau menunjukkan kemiripan
satu sama lain akan tetapi penulisan maupun pengucapannya
memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas.
Kemiripan tersebut seperti bulan sarawanai pada
penanggalan Bugis-Makassar memiliki sedikit kemiripan
dengan srawana pada sistem penanggalan Saka. Akan tetapi,
srawana pada penanggalan Saka bulan ini bertepatan pada
bulan Juli pada penanggalan Masehinya sedangkan sarawanai
pada penanggalan Bugis-Makassar dimulai pada pertengahan
123

bulan Mei dalam penanggalan Masehi. Akan tetapi kedua


penanggalan ini dibedakan berdasarkan acuan benda langit
yang digunakan yang mana penanggalan Bugi-Makassar
berdasarkan pada pergerakan Bumi terhadap Matahari (Solar
System Calendar) sedangkan penanggalan Saka itu sendiri
beracuan pada pergerakan Bumi terhadap Matahari dan
pergerakan Bulan terhadap Bumi (Luni-Solar calender),
selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawa ini.

Permulaan Sistem Permulaan


Sistem
Bulan Penanggalan Bulan
Urutan Penanggalan Urutan
dalam Bugis- dalam
Saka
Masehi Makassar Masehi
Pertama 16 Mei Sarawanai Srawana 12 Juli Ke-5
13
Ke-2 15 Juni Padawaranai Badhra Ke-6
Agustus
11
Ke-3 15 Juli Sujiari Asuji Ke-7
September
14 12
Ke-4 Pacingkai Kartika Ke-8
Agustus Oktober
14 1
Ke-5 Pasiyai Posya Ke-9
September November
15 13
Ke-6 Mangasirai Margasira Ke-10
Oktober Desember
16
Ke-7 Mangaséttiwi Cetra 12 Maret Pertama
November
16
Ke-8 Mangalompai Asadha 13 Juni Ke-4
Desember
Ke-9 16 Januari Nagai Magha 11 Januari Ke-11
15 12
Ke-10 Palagunai Phalguna Ke-12
Februari Februari
Ke-11 17 Maret Besakai Wasekha 04 April Ke-2
124

Ke-12 16 Aprill Jettai Jyesta 12 Mei Ke-3


Tabel 4.2: Perbandingan Penanggalan Bugis-Makassar dan
Penanggalan Saka

Sistem penanggalan Bugis-Makassar merupakan suatu


sistem penanggalan tradisional yang tidak dipengaruhi oleh
penanggalan Saka. Walaupun memiliki kemiripan
penanganggaln Bugis-Makassar dan penanggalan Saka ini
tidak memiliki hubungan satu sama lainnya dikarenakan tidak
adanya bukti yang menunjukkan hal tersebut, maupun itu bukti
dalam naskah lontara maupun prasasti-prasasti jejak
peninggalan ajaran Hindu yang tidak terdapat satu pun di tanah
Sulawesi.
Selain mengungkapkan penggunaan siklus dua belas
bulan dalam setahunnya beberapa naskah lontara juga
mengungkapkan mengenai siklus hari buat masyarakat Bugis-
Makassar yang mereka sebut dengan Bilang Esso atau Bilang
Allo.
Bilang Esso atau Bilang Allo menjadi suatu khazanah
keilmuan yang unik dikarenakan Bilang Esso atau Bilang Allo
bukan cuman satu atau dua siklus melainkan masyarakat Bugis-
Makassar mengetahui dan menggunakan siklus hari sebanyak
enam siklus yang berbeda untuk peruntukannya.
125

Kelima siklus tersebut ialah, yang pertama Bilang


Tellu merupakan siklus tiga hari yang termuat dalam beberapa
naskah lontara seperti naskah lontara dengan kode Add MS
123735 yang merupakan salah satu koleksi The British Library,
London.
Pada naskah tersebut halaman f. 109r membagi Bilang
Tellu ke dalam tiga susunan kategori yaitu Pong Juruwatta,
Pong Banawa, dan Pong Bisaka. Hal serupa juga di temukan
pada halaman 159 dan 161 dalam naskah lontara dengan kode
VT 81.106 pada koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Siklus Bilang tellu memiliki peran sangat penting bagi
pakkaja atau pattasi atau nelayan, pagolla atau pembuat gula
merah, dan pattali bennang atau pemintal benang maupun
pattennung penenun. Hal ini dikarenakan Bilang tellu ini
merupakan suatu petunjuk yang berkaitan dengan aktivitas
masyarakat Bugis-Makassar. Didalam siklus Bilang tellu
mengatur mengenai kapan waktu nelayan untuk melaut, kapan
hari buat pembuat gula merah memulai menyadap nira,
maupun kapan hari yang bagus untuk para penenun mulai
memintal benang.

5 Lihat pada Gambar 3.7


6 Lihat pada gambar 3.8 sampai 3.10
126

Yang kedua yaitu Bilang eppa merupakan siklus hari


yang memiliki jumlah empat hari dalam satu siklusnya, siklus
ini tidak lain merupakan siklus hari pasar atau biasa disebut
esso pasa’ yang menerangkan mengenai kualitas hari. Bilang
eppa tercatat dalam salah satu naskah lontara koleksi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang berkode VT
129, pada halaman 227.
Ketiga ialah Bilang lima atau bisa juga disebut dengan
siklus lima hari, Bilang lima ini terdapat diatas dari penulisan
Bilang eppa pada halaman 22 naskah VT 129 yang terdapat di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Bilang lima biasa
disebut juga esso pasa’ dikarenakan Bilang lima ini dijadikan
dasar bagi para aristokrat kerajaan Bone untuk penataan waktu
hari pasar dan mengatur komoditi yang berada di setiap
pasarnya, akan tetapi tidak membahas mengenai kualitas hari
seperti Bilang eppa.
Siklus berikutnya ialah Bilang pitu yang merupakan
yang merupakan siklus dengan jumlah hari sebanyak tujuh hari.
Bilang pitu terdapat dalam manuskrip naskah lontara dengan
kode Add MS 12369 yang merupakan salah satu koleksi The
British Library, London.

7 Lihat pada gambar 3.11


127

Siklus tujuh hari ini diprediksi kuat mulai


dipergunakan dan berkembang setelah masuknya ajaran Islam
kepada masyarakat Bugis-Makassar maka dari itu Bilang tuju
ini sangat berkaitan dengan sistem penanggalan hijriah.
Bilang aséra menjadi siklus berikutnya, siklus ini
terdiri dari sembilan hari. Bilang aséra ini membicarakan
tentang hari baik dan hari buruk. Dr. Benjamin Frederik
Matthes dalam karyanya menjelaskan bahwa Bilang aséra ini
dibagi menjadi tiga bagian, hal ini memiliki kemiripan dengan
Bilang tellu akan tetapi memiliki nama yang berbeda. Tiga
bagian tersebut ialah Pong Batu Paonrong, Pong Tosenrijawa,
dan Pong Alé Karaja.
Jika menelusuri jejak naskah lontara maka Bilang
aséra ini dapat ditemukan dalam beberapa naskah salah
satunya naskah koleksi dari Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia di Jakarta, naskah dengan kode VT 129 pada
halaman yang sama dengan Bilang eppa maupun Bilang lima
yaitu halaman 22.
128

Gambar 4.18: Halaman 22, naskah VT 129

Siklus yang terakhir adalah Bilang duappulo yakni


siklus dengan jumlah hari sebanyak dua puluh hari. Bilang
duappulo merupakan perhitungan siklus yang menjelaskan
baik atau buruknya suatu hari dalam melangsungkan upacara
ada, semisal acara pernikahan, pindah rumah, maupun acara
adat lainnya.
Sureq Baweng yang di teleliti oleh Roger Toll yang
kemudian dituangkan kedalam karyanya yang berjudul Rolled
129

up Bugis Stories: A Parakeet’s Song of an Old Marriage


Calender, yang mana dalam karya tersebut menjadi satu bagian
dengan Bilang duappulo ini. Sureq Baweng yang menjadi
objek kajian dari Roger Toll merupakan suatu karya fenomenal
milik seorang bangsawan Bugis yang bernama Arung Pancana
Toa Ratna Kencana Colliq Pujie.
Bilang duappulo ini memiliki kemiripan dengan
Bilang tellu yang terbagi dalam tiga bagian, yakni dengan
istilah Pong Juruwatta, Pong Banawa, dan Pong Bisaka. Yang
mana istilah tersebut menjadi hari pertama dari setiap
bagiannya. Manuskrip naskah lontara koleksi milik dari The
British Library dengan kode Add MS 12369 selain menjadi
rujukan dari pembagian tersebebut, naskah tersebut juga
menjelaskan secara jelas makna dari setiap harinya, tepatnya
pada halaman f. 9v dan f. 10r naskah Add MS 123698. Untuk
dapat lebih memahami mengenai pembagian siklus hari dalam
penanggalan Bugis-Makassar dapat diperhatikan pada tabel di
bawah ini:

8 Lihat pada Gambar 3.15 dan 3.16


130

SIKLUS SUMBER
NO KATEGORI NAMA HARI
HARI NASKAH
Tasimara Supai
Telluna
Golla Paérui
Juruwatta
Pettu Dalléi
Tasi Madésai
Golla Metti
Telluna
Add MS Busai
Banawa
12373 Pettu Polé
Sumangé
Tasipolé Beré
Telluna Golla Tenri
Bilang Bisaka Jellingi
Tellu Pettu Rilaonai
1
(Siklus Tasimara Supai
Bilang Tellu
Tiga Hari) Golla Paérui
Juruwatta
Pettu Dallé’i
Pettu Rilaoni
Bilang Tellu Tassitemmaésai
Banawa Golla Tetti
VT. 81.10
Busai
Golla Paérui
Pettu Polé
Bilang Tellu
Summange’i
Bisaka
Tasi Polé
Bere’i
Tuoi
Bilang
Matéi
2 Eppa VT 129
Engkai
(Siklus
Dé'i
131

Empat
Hari)
Mappéangngi
Bilang
Palai
Lima
Rialai
3 (Siklus VT 129
Tettudangngi
Lima
Masara
Hari)
Inninnawa
Patiagai
Lanra Katiwi
Bilang
Wuju Tunru
Pitu
Add MS Bélai
4 (Siklus
12369 Waji To Araméi
Tujuh
Polé Jiwai
Hari)
Penno Ékké’i
Tellé Pusui
Pong Batu
Paonrong
Paténre Rukai
Goari Latui
Bilang Tessisumpala
Aséra Timui
Pong Batu
5 (Siklus VT 129 Mangasetti
Paonrong
Sembilan Kerai
Hari) Marummameng
Sibaui
Panirong
Matujui
Palélé Kéanui
132

Panoreng
Mullingi
Pong
Tosenrijawa
Paténre Pisésai
Goari Kupui
Tessisumpala
Totoi
Mangasetti
Pong Punnai
Tosenrijawa Marummameng
Takaui
Panirong
Mamalai
Palélé
Mutamai
Panoreng
Ungaé Cawai
Pong Alé
Karaja
Paténre
Méwakabangi
Goari Tenri
Pong Alé Oloi
Karaja Tessisumpala
Wajui
Mangasetti
Pujai
Marummameng
Tunru Bélai
133

Panirong
Céngai
Palélé Tenri
Sui I
Panoreng
Matterui
Pong
Pang
Lumawa
Wajing
Wunga-Wunga
Tallatu
Anga
Wébbo
Bilang
Wage
Duappulo
Add MS Ceppa
6 (Siklus
12369 Tule
Dua Puluh
Arieng
Hari)
Beruku
Panirong
Mauwa
Déttiya
Soma
Lakkara
Jéppati
Tumpakale
Tabel 4.3: Daftar Nama-Nama Hari dari Setiap Siklusnya.
134

B. Analisis Sistem Penanggalan Bugis-Makassar dalam


Prespektif Ilmu Falak
Sistem penanggalan yang diamalkan oleh masyarakat
Bugis-Makassar pada zaman dahulu merupakan suatu sistem
penanggalan yang berdasarkan pada pergerakan Bumi
mengelilingi Matahari atau biasa disebut Solar System
Calendar. Hal ini dibuktikan dengan samanya jumlah hari
dalam setahun pada penanggalan Bugis-Makassar yang
bersumber pada naskah lontara dengan kode VT 18 halaman
37i dengan periode revolusi Bumi terhadap Matahari.

Gambar 4.19: Revolusi Bumi

Bumi memerlukan waktu selama 365,2564 hari atau


365 hari 6 jam 9 menit 10 detik dalam melakukan sekali
periode revolusinya. Terdapat kelebihan sebanyak 6 jam 9
menit 10 detik pada setiap tahunnya, kelebihan jam, menit, dan
135

detik yang dimiliki oleh revolusi Bumi ini dikumpulkan selama


empat kali revolusi Bumi, sebagai akibatnya setiap empat tahun
sekali Solar System Calendar atau penanggalan Matahari akan
mengalami penambahan jumlah hari sebanyak satu hari yang
disisipkan pada akhir bulan Februari, dan tahun tersebut
disebut tahun kabisat.
Tahun kabisat merupakan tahun yang habis dibagi 4
atau tahun yang habis dibagi 400 buat tahun kelipatan 100.
Dengan aturan ini tahun 1700, 1800, dan 1900 tidak lagi
termasuk tahun kabisat, dan tahun 2000 merupakan tahun
kabisat.9
Namun, pada sistem penanggalan masyarakat Bugis-
Makassar dalam pemaparan oleh Ahmad Bayezied Alfath
melalui wawancara, beliau memaparkan bahwa walaupun
sistem penanggalan penanggalan Bugis-Makassar ini termasuk
kedalam sistem penanggalan Matahari akan tetapi penanggalan
ini tidaklah mengenal adanya tahun kabisat.10 Tidak adanya
istilah tahun panjang dan tahun pendek pada sistem

9 Muh Nashirudin, “Kalender Hijriah Universal,” Semarang: El-Wafa (2013):


1.
10 Wawancara: Ahmad Bayezied Alfath, salah seorang dari tim penyusun

buku “Bilang Taung Sistem Penanggalan Masyarakat Sulawesi Selatan Berdasarkan


Naskah Lontara” via Whatsapp pada 28 April 2022.
136

penanggalan Bugis-Makassar ini membuat jumlah hari pada


penanggalan ini sama pada setiap tahunnya.
Penanggalan Bugis-Makassar tidak mengenal tahun
kabisat ini dikarenakan tidak mengenalnya istilah tahun oleh
nenek moyang orang-orang Bugis-Makassar, yang mana istilah
tahun ini di gantikan dengan istilah separiyama.11
Istilah separiyama ini dipergunakan oleh masyarakat
Bugis-Makassar seperti Raja Bone pertama yang dikenal
Manurungnge ri Matajang dengan gelar Mattasi Lompo’e
sebagai cikal-bakal raja-raja di Sulawesi Selatan yang
memimpin selama empat pariyama.12 Separiyama atau satu
pariyama terkait dengan perhitungan suatu periode dalam
sistem perhitungan tahunan, yaitu perhitungan angka yang
ditujukan untuk menghitung periode tertentu. Pariyama dapat
diartikan dengan satu generasi yang memiliki kesamaan
dengan sistem windu yang juga memiliki jumlah tahun
sebanyak delapan tahun.
Apabila di tinjau berdasarkan pola sistem perhitungan
maka penanggalan Bugis-Makassar ini termasuk sistem

11 Hikmatul Adhiyah Syam, “HARMONISASI PENANGGALAN BANGSA

ARAB DAN SUKU BUGIS-MAKASSAR,” ELFALAKY 2, no. 1 (2018): 116.


12 Syarifuddin Yusmar, “Penanggalan Bugis-Makassar Dalam Penentuan

Awal Bulan Kamariah Menurut Syari’ah Dan Sains,” HUNAFA: Jurnal Studia
Islamika 5, no. 3 (2008): 273.
137

penanggalan aritmatik. Pola sistem perhitungan aritmatika


ialah suatu penanggalan yang tidak didasari oleh observasi atau
pengamatan. Semestinya, sistem penanggalan seperti ini dapat
dihitung dengan mudah menggunakan rumus perhitungan
sederhana. Akan tetapi dalam kasus sistem penanggalan Bugis-
Makassar ini menjadi rumit dikarenakan sampai saat ini belum
diketahui bahwa sejak kapan sistem penanggalan ini dimulai.
Penentuan jumlah hari dalam setiap bulannya pada
naskah lontara berkode VT 18 halaman 37i menjadi dasar yang
menunjukkan bahwa penanggalan Bugis-Makassar ini
menggunakan pola hitungan aritmatika. Selain menunjukkan
jumlah hari dalam setiap bulannya, naskah ini juga
membuktikan bahwa penerapan sistem penanggalan seperti ini
telah digunakan sejak lama sebelum bangsa Eropa datang.
ainea.biln.auge
i a.riaolo.npek.ri
ednp.bil priKi
“Inae \ bilanna \ Ugie \ riolo \ napake \ ridenapa \ Bilang
Paringki”
“Inilah bilangan (sistem penanggalan) Bugis dahulu yang
digunakan sebelum adanya Bilang Paringki”

Kutipan diatas merupakan merupakan keterangan yang


mengawali penulisan pada naskah VT 18 halaman 37i. Bilang
Paringki pada keterangan kutipan diatas merujuk pada sistem
138

penanggalan masehi yang dibawah oleh bangsa Eropa dalam


hal ini ialah orang-orang Portugis, yang mana bangsa Portugis
sampai ke Sulawesi untuk pertama kalinya pada masa I
Manguntungi Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi Kallonna13
sekitar tahun 1511-1548.
Sedangkan, hal yang terpenting dalam sebuah Sistem
Penanggalan ialah peristiwa yang mengawali sistem
penanggalan tersebut, seperti sistem penanggalan hijriah yang
menjadikan peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW dari kota
Makkah menuju kota Madinah menjadi titik permulaan sistem
penanggalannya.
Kerumitan ini menurut Andi Fahry Makkasau Krg.
Unjung dikarenakan tidak adanya kemampuan tulis menulis
pada masyarakat Bugis-Makassar pada zaman dahulu,
sedangkan kebiasaan membuat catatan harian bagi raja-raja

13
I Manguntungi Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi Kallonna adalah Raja
Gowa IX, putra Raja Gowa VII Batara Gowa Tuniawangngang ri Paralakkenna dari
permaisuri yang merupakan salah seorang bangsawan Tallo bernama I Rerasi. Saat
memimpin Kerajaan Gowa, beliau juga memiliki banyak pemikiran untuk memajukan
Kerajaan Gowa. Salah satunya memindahkan ibu kota dari Tamalate yang berada diatas
bukit ke Somba Opu yang berada didaerah pesisir supaya kerajaan Gowa terbuka bagi
dunia luar. Selengkapnya dapat dilihat pada buku Zainuddin Tika and Rosdiana Z,
Profil Raja-Raja Gowa (Makassar: Pustaka Taman Ilmu, 2019), 27–32.
139

yang ada di Sulawesi baru dimulai ketika adanya akulturasi


budaya dari bangsa Eropa maupun dari bangsa Arab.14
Ilmu pengetahuan dari zaman ke zaman pasti
mengalami perkembangan tidak terkecuali ilmu falak yang
teruslah berkembang. Perkembangan keilmuan ini menjadi
sangat signifikan membuat sistem penanggalan tradisional
seperti sistem penanggalan Bugis-Makassar ini menjadi kurang
bahkan tidak sinkron lagi dengan semua perkembangan
keilmuan yang ada. Ditambah lagi tidak diaplikasikannya
koreksi seperti koreksi tahun kabisat membuat penanggalan ini
kurang akurat.
Meskipun memiliki kekurangan atau tidak akurat
menurut perkembangan keilmuan saat ini penanggalan ini tetap
dipergunakan pada masanya dikarenakan penanggalan ini
sangat berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat Bugis-
Makassar. Terlebih jika melihat kebudayaan masyarakat
Bugis-Makassar yang menjadikan naskah-naskah lontara
menjadi pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari
mereka, yang mana sistem penanggalan ini terdapat pula pada
naskah-naskah lontara.

14 Wawancara: Andi Fahri Makkasau Krg. Unjung, Ketua Umum Lembaga

Adat Majelis Kerukunan To Manurung di Maros pada 02 Mei 2022.


140

Selain itu, sistem penanggalan Bugis Makassar ini juga


berkaitan erat dengan kepercayaan dan keyakinan masyarakat
Bugis-Makassar sebelum mengenal ajaran Islam. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya beberapa nama hari yang diambil
dari nama dewa dewi kepercayaan Bugis-Makassar pada
zaman dahulu.
Jika ditelaah lebih dalam lagi, sistem penanggalan ini
telah ditentukan oleh raja-raja dari kerajaan yang ada di
Sulawesi Selatan. Yang mana menurut kepercayaan Bugis-
Makassar zaman dahulu raja-raja yang ada dianggap sebagai
penjelmaan atau perpanjangan tangan dari dewa dewi yang
berada di muka Bumi.
Pergeseran fungsi sistem penanggalan pada
penanggalan Bugis-Makassar ini membuat sistem penanggalan
ini tetap dipertahankan di masyarakat. Sistem penanggalan ini
tidak lagi dijadikan sebagai penanda waktu seperti penanggalan
Masehi maupun penanggalan Hijriah, sistem penanggalan
Bugis-Makassar ini menjadi pananrang atau penanda hari baik
maupun hari buruk bagi masyarakat Bugi-Makassar
menjalankan aktivitasnya.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis mengenai sistem
penanggalan Bugis-Makassar pada beberapa bab sebelumnya,
maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Sistem penanggalan Bugis-Makassar merupakan sistem
penanggalan lokal yang bersumber pada Naskah Lontara
Bilang (catatan harian raja) yang menggunakan dua belas
bulan dalam setahunnya dan membagi siklus hariannya ke
dalam enam jenis siklus harian. Sistem penanggalan
Bugis-Makassar merupakan suatu sistem penanggalan
berdasarkan pada pergerakan Bumi mengelilingi Matahari
atau revolusi Bumi atau biasa di sebut dengan istilah Solar
System Calendar.
2. Sistem penangglan Bugis-Makasassar merupakan sistem
penangggalan yang beracuh pada revolusi Bumi dan jika
di lihat dari kerumitan perhitunggannya di kategorikan
sebagai penanggalan aritmatika. Dari segi ilmu falak
sistem penanggalan ini tidaklah akurat dikarenakan tidak
diketahuinya kapan permulaaan penanggalan ini dan tidak
adanya koreksi tahun kabisat.

141
142

B. Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan yang tertera diatas, penulis
memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Dikarenakan masih kurangnya kajian terhadap manuskrip
naskah-naskah lontara yang ada, maka penulis berharap
adanya kajian-kajian lebih mendalam lagi mengenai
sistem penanggalan Bugis-Makassar yang berada didalam
naskah-naskah lontara.
2. Banyaknya sejarah dan budaya yang terlupakan di era
milenium saat ini menjadi suatu yang sangat
memprihatinkan. Maka dari itu diperlukan dukungan dari
berbagai pihak terutama dari instansi-instansi terkait
dengan hal ini agar sejarah dan budaya semacam ini tidak
hilang di masyarakat, dan seharusnya penggunaan
terhadap penanggalan ini semakin masif terutama pada
kalangan masyarakat suku Bugis-Makassar sendiri, agar
pemahamannya tidak hanya pada kalangan tertentu
semata.
143

C. Penutup
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, hidayah dan
inayah-Nya penulis dapat menuntaskan penulisan skripsi ini.
Meskipun telah berupaya maksimal penulis yakin masih
terdapat kekurangan dan kelemahan serta masih jauh dari
istilah sempurna. Semoga skripsi ini bisa menjadi wasilah guna
menambah keilmuan kita pada bidang ilmu falak. Atas saran
dan kritik konstruktif buat kebaikan dan kesempurnaan skripsi
ini, penulis ucapkan terima kasih. Akhir kata penulis berdoa
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Al-albani, M Nashiruddin. “Mukhtashar Shahih Al-Imam Al-Bukhari,


Terj.” As ‘ad Yasin, Elly Latifa, Depok: Gema Insani (2013).

Ariasti, Adriana Wisni, Fajar Dirghantara, and Hakim Luthfi Malasan.


“Perjalanan Mengenal Astronomi.” Penerbit ITB, Bandung
(1995).

Aveni, Anthony F. “Empires of Time: Calendars, Clocks, and


Cultures.” New York: Basic Books (1989).

Azhari, Susiknan. “Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta.” Pustaka


Pelajar, cet II (2008).

———. Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia: Studi Atas


Pemikiran Saadoe’ddin Djambek. Pustaka Pelajar, 2002.

Bashori, Muh. Penanggalan Islam. PT. Elex Media Komputindo.


Jakarta, 2013.

Butar Butar, Arwin Juli Rakhmadi. “Kalender; Sejarah Dan Arti


Pentingnya Dalam Kehidupan.” Semarang: Cv. Bisnis Muia
Konsultama (2014).

———. “Kalender Islam Lokal Ke Global, Problem Dan Prospek.” Oif


Umsu (2016).

Crawfurd, John. History of the Indian Archiplago: Containing an


Account. In Three Volumes. Archibald Constable and Company,
1820.

Cummings, William. The Makassar Annals. Brill, 2011.

Darsono, Ruswa. “Penanggalan Islam, Tinjauan Sistem, Fiqih Dan

144
145

Hisab Penanggalan.” Yogyakarta: Labda Press, 2010.

Departemen Agama, Republik Indonesia. Al-Qur’an Dan Terjemahan.


Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2007.

Djamaluddin, Thomas. “Astronomi Memberi Solusi Penyatuan


Ummat.” LAPAN, 2011.

Duffett-Smith, Peter, and Jonathan Zwart. Practical Astronomy with


Your Calculator or Spreadsheet. Cambridge University Press,
2017.

Gumilar, Setia. “Historiografi Islam: Dari Masa Klasik Hingga


Modern” (2017).

Hambali, Slamet. “Pengantar Ilmu Falak: Menyimak Proses


Pembentukan Alam Semesta.” Banyuwangi: Bismillah Publisher
132 (2012).

Hambali, Slamet, and Almanak Sepanjang Masa. “Sejarah Sistem


Penanggalan Masehi, Hijriyah Dan Jawa.” Semarang: Program
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang (2011).

Hambali, Slamet, and Abu Rokhmad. Almanak Sepanjang Masa:


Sejarah Sistem Penanggalan Masehi, Hijriyah Dan Jawa.
Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2011.

Hidayat, T, P Mahasena, B Dermawan, D Herdiwijaya, H Setyanto, M


Irfan, B Suhardiman, and A Santoso. “Developing Information
System on Lunar Crescent Observations.” ITB Journal of Sciences
42 (2010): 67–80.

Ilyas, Mohammad. Astronomy of Islamic Calendar. AS Noordeen,


1997.
146

Izzuddin, Ahmad. Sistem Penanggalan. KAJ (CV. Karya Abadi Jaya),


2015.

Kadir, Abdul. Formula Baru Ilmu Falak: Panduan Lengkap & Praktis:
Hisab Arah Kiblat, Waktu-Waktu Shalat & Awal Bulan Dan
Gerhana. Amzah, 2012.

Karim, Abdul, and M Rifa Jamaluddin Nasir. “Mengenal Ilmu Falak:


Teori Dan Implementasi.” Yogyakarta: Qudsi Media (2012).

Khatibah, Khatibah. “Penelitian Kepustakaan.” Iqra’: Jurnal


Perpustakaan dan Informasi 5, no. 01 (2011): 36–39.

Khazin, Muhyidddin. “Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktik Edisi


Terbaru.” Jogjakarta: Buana Pustaka (2008).

Khazin, Muhyiddin. “Kamus Ilmu Falak.” Yogyakarta: Buana Pustaka,


2005.

Kurniawan, Benny. “Metodologi Penelitian: Jelajah Nusa.” Tangerang,


2012.

Longstaff, Alan. “Calendars from around the World.” Greenwich:


National Maritime Museum (2005).

Majja, Ildawati Herman. “Lontara Bilang Sebagai Sumber Sejarah


Kerajaan Gowa” (2021).

Masruhan, Masruhan. “Islamic Effect on Calender of Javanese


Community.” Al Mizan Jurnal Pemikiran Islam 13, no. 1 (2017):
53–68.

Mattalitti, M Arief. Pappaseng to Riolota. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra …, 1986.

Matthes, Benjamin Frederik. Boegineesch-Hollandsch Woordenboek,


147

Met Hollandsch-Boeginesche Woordenlijst, En Verklaring van


Een Tot Opheldering Bijgevoegden Ethnographischen Atlas. Vol.
1. Nijhoff, 1874.

———. Boeginesche Chrestomathie. Vol. 3. Nederlandsch


Bijbelgenootschap, 1872.

Mattulada. Bugis-Makassar: Manusia Dan Kebudayaannya. Jurusan


Antropologi, Fakultas Sastra, UI., 1974.

Nashirudin, Muh. “Kalender Hijriah Universal.” Semarang: El-Wafa


(2013).

Nurramadhani, Rezki. “Perancangan Ilustrasi Biografi Colliq Pujie.”


Universitas Negeri Makassar, 2019.

Pelras, Christian, Abdul Rahman Abu, and Nirwan Ahmad Arsuka.


“Manusia Bugis.” Nalar: Forum Jakarta-Paris: École Française
d’Extrême-Orient (EFEO), 2006.

Philip, Alexander. The Calendar: Its History, Structure and


Improvement. Cambridge University Press, 2012.

Putri, Hasna Tuddar. “Redefinisi Hilāl Dalam Perspektif Fikih Dan


Astronomi.” Al-Ahkam 22, no. 1 (2012): 101–114.

Raffles, Thomas Stamford. The History of Java: In Two Volumes. Vol.


1. Black, Parbury, and Allen: and John Murray, 1817.

Raharto, Moedji, and Novi Sopwan. “Mengenal Fenomena Langit


Melalui Kalender.” In Proseding Seminar Pendidikan IPA
Pascasarjana UM. Vol. 2, 2017.

Rahman, Nurhayati. Cinta, Laut, Dan Kekuasaan Dalam Epos La


Galigo: Perspektif Filologi Dan Semiotik. La Galigo Press, 2006.
148

Richards, Edward Graham. Mapping Time. The Calendar and Its


History., 1999.

Rofiuddin, Ahmad Adib. “Penentuan Hari Dalam Sistem Kalender


Hijriah.” Al-Ahkam 26, no. 1 (2016): 117–136.

Roy, Archie, and David Clarke. Astronomy: Principles and Practice,


(PBK). CRC Press, 2003.

Saebani, Beni Ahmad. “Metode Penelitian, Bandung: CV.” Pustaka


Setia (2008).

Saifuddin, Azwar. “Metode Penelitian,(Yogyakarta PT. Pustaka


Pelajar: 1998).” Cet, n.d.

Saksono, Tono. “Kalender Islam Global: Perspektif Syariah, Ekonomi,


Dan Politik.” JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah) 15, no. 2 (2017):
143–152.

Sartini, Ni Wayan. “Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa


Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, Dan Paribasa).” Jurnal ilmiah
bahasa dan sastra 1 (2009): 28–37.

SELMAN, HADIJAH. “Nilai-Nilai Pappaseng Nene Mallomo (Kajian


Wacana Kritis).” Pascasarjana, 2017.

Setyanto, Hendro. “Membaca Langit.” Al Ghuraba, Jakarta (2008).

Sidin, Nor. BILANG TAUNG Sistem Penanggalan Masyarakat


Sulawesi Selatan Berdasarkan Naskah Lontara. Makassar:
Yayasan Turikalengna, 2020.

Siregar, Nina Siti Salmaniah. “Kajian Tentang Interaksionisme


Simbolik.” Perspektif 1, no. 2 (2012): 100–110.

Siswanto, Joko. Orientasi Kosmologi. Yogyakarta: Gadjah Mada


149

University Press., 2005.

Soekanto, Soerjono. “Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta.” Penerbit


Universitas Indonesia (1986).

Soekanto, Soerjono, and Budi Sulistyowati. “Sosiologi Suatu Pengantar


(Edisi Revisi).” Jakarta: Raja Grafindo Persada (2013).

Susiknan, Azhari. “Ilmu Falak Perjumpaan Khadzanah Dan Sains


Modern.” Yogyakarta: Suara Muhammadiyah (2007).

Suyanto, Bagong, and Sutinah. Metode Penelitian Sosial. Kencana,


2005.

Syam, Hikmatul Adhiyah. “HARMONISASI PENANGGALAN


BANGSA ARAB DAN SUKU BUGIS-MAKASSAR.”
ELFALAKY 2, no. 1 (2018).

Syarif, Muh Rasywan. “Perkembangan Perumusan Kalender Islam


Internasional Studi Atas Pemikiran Mohammad Ilyas” (2019).

Tati, Andi Dewi Riang. “Lontarak; Sumber Belajar Sejarah Lokal


Sulawesi Selatan.” Jurnal Pendidikan Sejarah 8, no. 1 (2019):
50–66.

Tika, Zainuddin, and Rosdiana Z. Profil Raja-Raja Gowa. Makassar:


Pustaka Taman Ilmu, 2019.

Tol, Roger. “Rolled up Bugis Stories: A Parakeet’s Song of an Old


Marriage Calendar.” In 17th Biennial Conference of the Asian
Studies Association of Australia, Melbourne, 1–3. Citeseer, 2008.

Walisongo, Tim Penyusun Fakultas Syariah IAIN. “Pedoman Penulisan


Skripsi.” Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2010.

Wibowo, Septo Hadi. “Kitab Bintang: Suntingan Teks Dan Analisis


150

Isi.” Universitas Indonesia, 2012.

Yusmar, Syarifuddin. “Penanggalan Bugis-Makassar Dalam Penentuan


Awal Bulan Kamariah Menurut Syari’ah Dan Sains.” HUNAFA:
Jurnal Studia Islamika 5, no. 3 (2008): 265–286.

WAWANCARA

Bayezied Alfath, Ahmad. Wawancara. Tim penyusun buku “Bilang


Taung Sistem Penanggalan Masyarakat Sulawesi Selatan
Berdasarkan Naskah Lontara” via Whatsapp pada 28 April 2022.

Krg. Unjung, Andi Fahri Makkasau. Wawancar. Ketua Umum


Lembaga Adat Majelis Kerukunan To Manurung di Maros pada
02 Mei 2022.

AKSES INTERNET

KBBI KEMENDIKBUD. Diakses pada tanggal 12 April 2022 pukul


01:04 WIB. Diakse di
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Toponimi

Makkulau, M. Farid W. Palontaraq. Riwayat Raja Bone 5 La Tenri


Sukki. Diakses pada 02 April 2022 pukul 04:26 WIB. Diakses di
https://palontaraq.id/2018/06/16/riwayat-raja-bone-5-la-tenri-
sukki/

Makkulau, M. Farid W. Palontaraq. Riwayat Raja Bone 6 La Uliyo


Bote’E. Diakses pada 02 April 2022 pukul 04:40 WIB. Diakses
di https://palontaraq.id/2018/06/16/riwayat-raja-bone-6-la-uliyo-
botee/

Nadrah. Direktorat Jenderal Kebudayaan KEMENDIKBUD. Diakses


pada tanggal 15 April 2022 pukul 11:55 WIB . Diakses di
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/sangiang-serri/
151

UNESCO. La Galigo. Diakses pada tanggal 21 Maret 2022 pukul 19:50


WIB. Diakses di
https://en.unesco.org/memoryoftheworld/registry/467

Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Lontaraq Kutika. Diakses pada


tanggal 13 April 2022 pukul 19:44 WIB. Diakses di
https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=
302
LAMPIRAN

Lampiran 1: Naskah 12354 Halaman f. 6v

152
153

Lampiran 2: Naskah Add MS 12369 Halaman f. 8v


154

Lampiran 3: Naskah Add MS 12369 Halaman f. 9v


155

Lampiran 4: Naskah Add MS 12369 Halaman f. 10v


156

Lampiran 5: Naskah Add MS 12373 Halaman f. 109r


157

Lampiran 6: Naskah VI 18 Halaman 37i


158

Lampiran 7: Naskah VI 18 Halaman 37r


159

Lampiran 8: Naskah VT 81.10 Halaman 159


160

Lampiran 9: Naskah VT 81.10 Halaman 161


161

Lampiran 10: Naskah VT 129 Halaman 22


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Andi Bangsawan Hasan

Tempat Tanggal Lahir : Pangkep, 09 Desember 1999

Alamat Asal : Jl. Cendana Timur No 34, Pangkajene,


Pangkep, Sulawesi Selatan

Alamat Sekarang : Basecamp Ikatan Keluarga Sulawesi (IKSI)


Jl. Nusa Indah No 09, RT. 002 RW. 005,
Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah

No. Telepon : 087815984437 / 088988812769

Email : andiaan_1802046011@student.walisongo.ac.id

Riwayat Pendidikan :
a. Pendidikan Formal
1. SD 28 Tumampua II lulus pada 2012
2. SMP IT Shohwatul Is’ad lulus pada 2015
3. SMA Negeri 1 Pangkep lulus pada 2018
b. Pendidikan Non-Formal
1. TK Bhayangkari lulus pada 2006
2. TK-TPA al-Ikhlas Mesjid Agung Pangkep lulus pada
2012
Pengalaman Organisasi :
1. Anggota Divisi Litbang HMJ Ilmu Falak tahun 2019
2. Ketua Ikatan Keluarga Sulawesi UIN Walisongo Semarang
tahun 2021-2022

162
163

3. Wakil Kepala Divisi PSDM Ikatan Keluarga Sulawesi UIN


Walisongo Semarang tahun 2019-2021

Semarang, 09 Juni 2022


Penulis

Andi Bangsawan Hasan

Anda mungkin juga menyukai