Anda di halaman 1dari 291

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/343400245

DAMPAK INVESTASI AIR MINUM TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN


DISTRIBUSI PENDAPATAN DI DKI JAKARTA

Thesis · August 2006


DOI: 10.13140/RG.2.2.31910.75848

CITATION READS

1 252

1 author:

Oswar Mungkasa
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
203 PUBLICATIONS 326 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Grand Design of air polution management of Jakarta View project

All content following this page was uploaded by Oswar Mungkasa on 03 August 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


DAMPAK INVESTASI AIR MINUM TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
DI DKI JAKARTA

OLEH

OSWAR MUADZIN MUNGKASA


860 0000 067

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI


PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2006
DAMPAK INVESTASI AIR MINUM TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
DI DKI JAKARTA

OLEH

OSWAR MUADZIN MUNGKASA


860 0000 067

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar


Doktor dalam bidang Ilmu Ekonomi
pada Program Studi Ilmu Ekonomi
Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

DEPOK
2006
PERSETUJUAN DISERTASI

Nama : OSWAR MUADZIN MUNGKASA


N.P.M. : 860 0000 067
Kekhususan : Ekonomi Publik
Judul Disertasi : DAMPAK INVESTASI AIR MINUM
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI DKI
JAKARTA

Depok, 15 Agustus 2006

Promotor, Ketua tim penguji,

Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto Prof. Dr. Moh. Arief Djanin

Kopromotor, Penguji,

Dr. Mohamad Ikhsan Dr. B. Raksaka Mahi

Dr. Montty Girianna Dr. Arindra A. Zainal

Ketua Program Studi, Dr. Luky Alfirman

Dr. Arindra A. Zainal


ABSTRAK DISERTASI

DAMPAK INVESTASI AIR MINUM TERHADAP


PERTUMBUHAN EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
DI DKI JAKARTA

OSWAR MUNGKASA
860 0000 067
Program Studi Ilmu Ekonomi
Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia

Klasifikasi JEL : C68, D31, D58, E22, E62


Kata Kunci: 1. Investasi air minum 4. Pertumbuhan pro poor
2. Pertumbuhan ekonomi 5. DKI Jakarta
3. Distribusi pendapatan 6. Computable General Equilibrium

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh berbagai permasalahan yang terkait dengan


penyediaan air minum bagi penduduk miskin di perkotaan dengan mengambil kasus
DKI Jakarta. Pemerintah belum mampu menyediakan prasarana dan sarana pelayanan
publik yang memadai, diantaranya, dalam bentuk pelayanan kebutuhan air minum.
Pemenuhan kebutuhan air minum penduduk melalui air minum perpipaan khususnya
penduduk miskin perkotaan, ditengarai dapat mengurangi beban pengeluaran air
minum, beban pengeluaran bagi biaya pengobatan akibat penggunaan air minum yang
tidak layak, dan mengurangi jumlah hari nonproduktif. Kondisi ini akan mendorong
peningkatan produktivitas dan tabungan rumah tangga miskin yang mengarah pada
meningkatnya pendapatan per kapita dan membaiknya kesenjangan pendapatan, yang
akhirnya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian secara keseluruhan.
Investasi air minum, baik secara teoritis maupun secara empiris, terbukti
mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pemenuhan kebutuhan air
minum penduduk perkotaan, khususnya penduduk miskin, dapat meningkatkan
kesejahteraan penduduk yang berdampak pada perbaikan distribusi pendapatan.
Kombinasi dari investasi air minum dan pemenuhan kebutuhan air minum penduduk
miskin perkotaan akan menghasilkan pertumbuhan pro-poor, yaitu pertumbuhan

iii
ekonomi yang dapat mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan. Dikaitkan
dengan kondisi DKI Jakarta, investasi air minum yang bersifat pro poor merupakan
suatu keniscayaan, dengan berbagai pertimbangan diantaranya (i) tingkat urbanisasi
yang masih tinggi, dan (ii) proporsi penduduk yang belum mendapat akses air minum
perpipaan masih cukup tinggi.
Oleh karena itu, pertanyaan yang mengemuka adalah (i) apakah investasi air
minum perpipaan di DKI Jakarta telah memicu pertumbuhan ekonomi yang bersifat
pro-poor, (ii) apakah investasi air minum nonperpipaan di DKI Jakarta memicu
pertumbuhan ekonomi pro-poor; (iii) apakah subsidi pemerintah dalam penyediaan air
minum di DKI Jakarta memicu pertumbuhan ekonomi pro-poor.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, disertasi ini menggunakan model
komputasi keseimbangan umum (Computable General Equilibrium/CGE) atau
disingkat model CGE. Model CGE adalah suatu sistem persamaan simultan tak-linier
yang mensimulasikan perilaku optimal dari semua konsumen dan produsen yang ada di
dalam suatu perekonomian. Tiga skenario simulasi diterapkan dalam studi ini dengan
menggunakan data SNSE DKI Jakarta Tahun 2000 untuk mengetahui skenario
pembangunan air minum yang dapat mengarah pada pertumbuhan pro-poor, yaitu (i)
simulasi investasi berupa peningkatan investasi air minum perpipaan dan air minum
nonperpipaan, (ii) simulasi subsidi berupa penyediaan subsidi air minum bagi rumah
tangga miskin yang bersumber dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun
pemerintah pusat, (iii) simulasi investasi dan subsidi berupa peningkatan investasi air
minum perpipaan yang disertai penyediaan subsidi air minum bagi rumah tangga
miskin, baik dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerintah pusat.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan investasi air minum di DKI
Jakarta berdampak pada pertumbuhan ekonomi tetapi tidak berpengaruh pada
pengurangan kesenjangan, yang berarti pembangunan air minum di DKI Jakarta belum
bersifat pro poor. Selain itu, agar terjadi pertumbuhan pro poor, investasi air minum
perpipaan sebaiknya disertai dengan penyediaan subsidi dari pemerintah pusat.
Semakin besar nilai investasi, semakin besar subsidi yang perlu diberikan.

iv
Beberapa rekomendasi penting, yaitu (i) pemerintah daerah sebaiknya
menjadikan akses air minum bagi penduduk miskin sebagai salah satu target dan
indikator keberhasilan pembangunan DKI Jakarta, (ii) penyediaan subsidi bagi rumah
tangga miskin masih diperlukan jika proporsi rumah tangga miskin yang belum
mendapat akses air minum perpipaan masih relatif besar. Sumber dana subsidi yang
potensil diantaranya adalah dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari
perusahaan (iii) mengembangkan program pembangunan air minum berbasis
masyarakat, (iv) air minum nonperpipaan masih dapat menjadi alternatif sumber air
minum jika dilakukan pembenahan aspek regulasi, penyediaan sumber dana investasi,
dan peningkatan jumlah sumber air seperti kran umum sehingga harga air minum
nonperpipaan menjadi terjangkau, dan (v) pembenahan kendala akses bagi rumah
tangga miskin seperti biaya pemasangan yang terjangkau.

Background of this study is the existence of a number of problems in relation to


provision of drinking water for poor people in urban area by taking case of the Jakarta
Special Territory Administration (DKI Jakarta). Government is not yet able to provide
proper public service facilities and infrastructures, among others are in the form
service of drinking water need. Fulfillment of drinking water need for people through
piped water especially poor people in urban area, is assumed to reduce drinking water
expenses burden, medication costs are resulted from the use of unreasonable drinking
water, and minimizing the number of non-productive days. This condition will boost
productivity and poor family saving directing to the rise of income per capita and
improving gap of income which finally produced impact on improvement of economic
condition entirely.
Investment on drinking water, either theoretically or empirically, is proven to
encourage the economic growth. Meanwhile, fulfillment of drinking water need for
people in urban area, especially poor people, can increase the people welfare that may
result on improvement of income distribution. Combination between drinking water
investment and fulfillment of drinking water need for poor people in urban area will
produce a pro-poor growth that is the economic growth that will minimize income gap

v
and poverty. In relation to DKI Jakarta’s conditions, investment on drinking water
which is pro-poor in nature is a certainty, with a number of considerations (i)
urbanization level that remains high, and (ii) the number of people who have not yet
obtained access of piped water remains high.
Thus, the questions revealed are (i) does investment on piped water in DKI
Jakarta trigger a pro-poor economic growth?, (ii) does investment on non-piped water
in DKI Jakarta trigger a pro-poor economic growth?, (iii) does the government subsidy
on provision of drinking water in DKI Jakarta trigger pro-poor economic growth?
To answer those questions, this dissertation uses a Computable General
Equilibrium (CGE) or shortened with CGE Model. CGE model is a non-linier
simultaneous equation that simulates optimal attitude of all consumers and producers
within economy. Three scenarios of simulation is implemented in this study using data
of SNSE (social accounting matrices/SAM) DKI Jakarta year 2000 to know scenario of
development of drinking water that directs to a pro-poor growth, that is (i) investment
simulation in the form of increasing investment on piped water and non-piped water,
(ii) subsidy simulation in the form of provision of drinking water subsidy for poor
family derived from increasing piped water tax and the central government transfer,
(iii) investment simulation and subsidy in the form of increasing investment of piped
water along with provision of drinking water subsidy for poor family either from
increasing tax on piped water or the central government transfer.
Result of simulation indicates that drinking water investment increase in DKI
Jakarta resulted on economic growth but it did not influence on income gap reduction,
meaning that the drinking water development in DKI Jakarta has not yet reached a
pro-poor nature. Besides, in order to establish a pro-poor growth, the piped water
investment should be supported with provision of subsidy from the central government.
The higher investment value, the more subsidy needed.
Some important recommendations, i.e. (i) the local government should make
access of drinking water for poor people as one of targets and indicators of
successfulness of development in DKI Jakarta, (ii) provision of subsidy for poor people
is still needed if the proportion of poor family who have not yet enjoyed piped water

vi
remains high. Potential subsidy fund source includes Corporate Social Responsibility
(CSR) funds from the big company (iii) increase a community-based drinking water
development program, (iv) non-piped water still become drinking water source
alternative if there is improvement on regulation, provision of investment funds source,
and adding water sources such as public service tapping so that non-piped water is
affordable, and (v) improvement of access barrier for poor family such as affordable
installment costs.

vii
KATA PENGANTAR

Pertama-tama puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
perkenanNya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan untuk memenuhi salah satu
persyaratan mencapai gelar Doktor dalam bidang Ilmu Ekonomi pada Program
Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia.
Bagi penulis, disertasi ini merupakan kulminasi dari kerja keras dan dukungan
dari banyak pihak. Perjalanan penyusunannya melewati rentang waktu yang cukup
lama, hampir 1,5 tahun sejak masih berbentuk pemikiran awal. Dikerjakan pada
berbagai tempat dan kesempatan, mulai dari sepanjang malam setelah jam kantor di
kantor Kelompok Kerja Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL), di tengah
rapat yang membosankan, di bandara ketika menunggu pesawat yang sering terlambat,
di mall sambil menunggu anak main game, di sela-sela kunjungan lapangan, di kampus
pada akhir pekan, dan tentu saja di rumah ketika memungkinkan khususnya di akhir
pekan.
Disertasi ini merupakan buah dari bantuan berbagai pihak. Pertama-tama saya
ucapkan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto,
selaku promotor, yang dengan sabar dan penuh perhatian memberi saran dan masukan
bagi perbaikan disertasi ini, baik secara langsung maupun melalui email. Penghargaan
dan rasa terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Mohamad
Ikhsan, selaku kopromotor I, yang dengan tekun memberi kritik dan saran bagi
perbaikan disertasi saya, selain menyangkut model dan teori ekonomi, juga
menyangkut tata cara penulisan, bahkan berkenan secara khusus membaca keseluruhan
rancangan final disertasi ini sebelum menjadi naskah disertasi seperti saat ini. Selain
itu, Bapak Dr. Montty Girianna, selaku kopromotor II, yang banyak memberi saran dan
masukan terutama ketika penulis dalam kondisi mulai ‘putus asa’ dengan penyelesaian
model yang tidak kunjung mendapatkan solusi serta penyempurnaan materi narasi.
Proses penyusunan disertasi ini melalui empat tahapan penting yaitu ujian
proposal, ujian seminar hasil, sidang tertutup, dan sidang promosi. Pada setiap tahapan

viii
tersebut, terdapat Tim Penguji yang melakukan evaluasi terhadap materi yang
disampaikan oleh penulis. Tim penguji terdiri dari promotor, Kopromotor ditambah
dengan empat penguji lain. Untuk itu, terima kasih dan penghargaan saya sampaikan
kepada Bapak Prof. Dr. Moh. Arief Djanin, selaku ketua Penguji, yang dengan sabar
memimpin sesi sidang dan memberi masukan penyempurnaan khususnya kesimpulan
disertasi, Bapak Dr. Luky Alfirman, selaku anggota Penguji, yang banyak memberi
masukan dari aspek ekonomi publik, Bapak Dr. B. Raksaka Mahi, selaku anggota
Penguji, yang banyak memberi saran dan masukan bagi perbaikan model, Bapak Dr.
Arindra A. Zainal, selaku anggota Penguji, yang memberi masukan perbaikan terutama
pada materi kesimpulan dan juga selaku Ketua Program yang banyak memberi
kemudahan bagi penyelesaian studi penulis. Selain itu, juga kepada Bapak Dr. Suahasil
Nazara dan Bapak Dr. Sugiharso Safuan yang memberi masukan penyempurnaan
proposal penulis pada saat ujian proposal.
Bersekolah di UI pada awalnya tidak secara sengaja menjadi pilihan penulis.
Ketika pada tahun 2000, setelah menyelesaikan tugas mengembangkan proyek
Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE) sebagai
bagian dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS), penulis terdorong mengambil
kuliah setelah melihat sahabat penulis Hanggono T. Nugroho yang telah terlebih dahulu
menjadi mahasiswa program S-3 Ekonomi UI. Proses kuliah kemudian tidak seperti
yang saya bayangkan sebelumnya, ternyata terasa sangat menyenangkan ditengah tugas
dan beban kuliah yang berat terutama karena fakultas ekonomi UI terkenal dengan
pameo ‘sulit masuk apalagi keluarnya’. Kesenangan ini terutama disumbangkan oleh
keberadaan rekan-rekan program pascasarjana ekonomi angkatan 2000, yang sangat
kompak dan saling mendukung. Beberapa diantara teman-teman tersebut adalah Edy
Suratman, Djoni Hartono, ‘Mas Iwan’, Wildan, Tauhid, Pak Bambang, Esa, Ratna,
Syarkawi, Mawardi, Bintoro dan banyak lagi yang lain. Masa bersama mereka semua
menjadi bagian yang indah untuk dikenang.
Bantuan rekan-rekan Angkatan 2000 yang mengingatkan penulis tentang tugas
dan ujian yang kadangkala terlupakan karena kesibukan penulis, termasuk juga
meminjamkan catatan dan memberi penjelasan, sangat membantu melancarkan proses

ix
perkuliahan penulis. Tanpa bantuan dan dorongan mereka, masa-masa kuliah S-3 akan
terasa sangat kering dan bahkan mungkin disertasi ini tidak terwujud. Terima kasih atas
tahun-tahun yang penuh warna tersebut.
Keeratan hubungan diantara rekan-rekan mahasiswa S-3 juga tentunya sangat
membantu proses penyelesaian perkuliahan. Masa-masa belajar bersama menghadapi
ujian preliminary sangat menyenangkan, bersama-sama kita saling mengisi kekurangan
masing-masing. Penulis yang sangat tertolong dalam proses ini, karena latar belakang
penulis yang bukan ekonomi menjadikan penulis sebagai ‘anak bawang’ dalam proses
persiapan tersebut. Beberapa diantara rekan S-3 tersebut diantaranya Edy Suratman,
Hanggono T. Nugroho, Sony, Pak Hasman, Willem, Andi Alfian, Beta, Jenny,
Widyono, Wanto, dan banyak lagi yang lain. Terselesaikannya disertasi ini melengkapi
kebersamaan kita yang menyenangkan tersebut.
Proses awal penulisan disertasi ini merupakan langkah yang cukup berat,
terutama setelah penulis mengambil cuti selama 2 tahun berturut-turut, yang kemudian
disertai kesibukan penulis yang menyita waktu. Akan tetapi, rekan dan sahabat penulis
Djoni Hartono banyak mendorong penulis melalui sms, email bahkan kunjungan
langsung ke kantor, yang kemudian membangkitkan semangat penulis. Ide awal
disertasi ini banyak didukung oleh hasil diskusi penulis dengan Djoni. Termasuk dalam
proses ini juga penulis berhutang budi kepada Bapak Donny Azdan yang
memperkenankan untuk mengadopsi model CGE-nya. Proses selanjutnya juga tidak
kurang menariknya karena ternyata penyusunan model CGE sangat menyita waktu dan
pikiran, apalagi penyusun bertekad untuk melakukannya sendiri. Walaupun demikian
dalam proses ini, Djoni yang sedang menyelesaikan disertasi dan Dewi yang pada saat
yang bersamaan dalam tahap akhir penyelesaiaan tesisnya, banyak membantu penulis
untuk memahami model CGE sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
model CGE air minum ini. Terima kasih penulis pada keduanya atas pengorbanan
waktunya. Tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih pada Pak Pipit dari BPS,
yang membantu penulis menyiapkan data SNSE Air Minum DKI Jakarta Tahun 2000.
Tanpa data tersebut, model CGE air minum DKI Jakarta tak mungkin terselesaikan.

x
Bekerja dan bersekolah ternyata bukan sesuatu yang mudah. Namun, dorongan
dan dukungan dari atasan, rekan sejawat, mitra kerja, dan sesama staf menjadikan
hidup lebih mudah. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Herman Haeruman, yang pada saat itu selaku Deputi Regional Bappenas, dan Bapak
Max Pohan yang pada saat itu selaku Kepala Biro Peningkatan Kapasitas Daerah
Bappenas, yang memberi kesempatan penulis untuk mengikuti pendidikan S-3
Pascasarjana Ekonomi UI. Walaupun secara resmi sebenarnya penulis tidak mendapat
tugas belajar dari Bappenas, tetapi hal tersebut tidak mengurangi semangat
menyelesaikan perkuliahan. Kemudian di tengah proses perkuliahan, penulis berpindah
tugas ke Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas, yang menjadikan penulis
lebih sibuk lagi terutama dengan tugas baru untuk juga menjadi anggota Pokja AMPL.
Kerelaan dan dorongan Bapak Basah Hernowo selaku atasan penulis memberi
kesempatan menyelesaikan sekolah sangat membantu mempercepat terselesaikannya
disertasi ini. Tentunya termasuk juga kerelaan dan dorongan semangat kadang disertai
‘sindiran kapan selesainya’ dari rekan-rekan kantor Nugroho Tri Utomo, Pungki
Sumadi, Bastary Pandji Indra, Salusra ‘Ilus’ Widya, Anti, Ita, Nurul, Andre, Mbak Mia,
Sali yang ternyata memicu semangat penulis. Sindiran membawa berkah.
Sebagian besar waktu penulisan disertasi ini dilakukan di kantor sekretariat
Pokja AMPL. Pada beberapa kesempatan ketika sedang sibuk sekali, terpaksa penulis
meminta bantuan rekan-rekan staf sekretariat Pokja. Untuk itu, terima kasih buat Rudi
yang membantu merapikan grafik, Meddy, Adi, Puput yang merapikan tampilan narasi,
Agus Suhada yang ketambahan tugas mengantar rancangan disertasi dan undangan ke
pembimbing dan penguji, Andri yang selalu setia menemani ketika penulis begadang di
kantor, Aini yang sibuk menghubungi pusat bahasa Depdiknas dalam rangka perbaikan
tata bahasa disertasi ini, dan Reski yang membaca seluruh naskah disertasi sebelum
dijilid. Terima kasih juga atas kesabaran semua staf sekretariat Pokja AMPL dan
WASPOLA yang sedikit terganggu ritme kerjanya oleh kesibukan penulis
menyelesaikan disertasi.
Keterlibatan dalam Pokja AMPL yang intensif dalam 3 tahun terakhir memberi
inspirasi penulis untuk mengambil topik disertasi ini. Air minum belum menjadi

xi
perhatian pengambil keputusan. Menjadikan air minum sebagai topik disertasi
merupakan upaya penulis untuk meningkatkan profil air minum di Indonesia.
Disamping itu, kekompakan dan kegembiraan yang selalu penulis rasakan selama
bergabung dengan Pokja AMPL secara tidak langsung juga mendorong penulis
menyumbang pemikiran bagi sektor air minum dan penyehatan lingkungan. Dorongan
dan pengertian dari rekan-rekan anggota Pokja AMPL untuk menyelesaikan disertasi
ini sangat terasa terutama kerelaan rekan pokja untuk sedikit terbebani tugas rutin pokja
yang seharusnya menjadi porsi saya, sangat saya hargai.
Dalam proses penetapan hari sidang, maupun proses administrasi lainnya,
penulis sangat merasakan dukungan dari sekretariat program pascasarjana ekonomi UI
khususnya bantuan dari Mirna. Tak lupa Ibu Niken, Sekretaris Pak Prijono di
Jamsostek, juga sangat berperan membantu dalam proses penentuan waktu sidang
tertutup, yang dapat terlaksana ditengah-tengah kepulangan Pak Pri dari Jepang untuk
keperluan RUPS Jamsostek. Terima kasih atas bantuan yang diberikan.
Salah satu hal yang menjadi prioritas dalam hidup penulis adalah dapat
membahagiakan orang tua. Penulis berharap, terselesaikannya disertasi ini dapat
melengkapi kebahagian bagi Ibu Mungkasa, nenek penulis, yang selalu berpuasa setiap
kali penulis dapat melewati ujian, Bapak dan Mama yang selalu berdoa bagi
keberhasilan penulis, adik-adik penulis yang selalu mendorong dan membantu dikala
penulis sedang butuh bantuan, serta Mertua penulis yang selalu menemani cucunya di
rumah ketika penulis harus berkutat dengan tugas sekolah. Semuanya pengorbanan
tersebut sangat penulis hargai.
Terakhir, yang paling utama bagi penulis adalah adanya dorongan dan
dukungan dari istriku Verosya ‘Ade’ Zaina dan anakku Fakhrie Fadhlullah Mungkasa
yang dengan sabar menunggu penulis dapat menyelesaikan sekolah S-3 ini. Setelah ini,
Insya Allah tidak ada lagi hari-hari sibuk di akhir pekan.
Depok, Agustus 2006.

Oswar Mungkasa

xii
DAFTAR ISI

Hal

RINGKASAN ...................................................................................................... iii


KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xxi
DAFTAR KOTAK …………………………………………………………........ xxvi
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………........... xxvii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………….......... 1
1.2 Masalah Penelitian …………………………………………… 5
1.3 Tujuan dan Hipotesis Penelitian ……………………………… 6
1.4 Manfaat dan Kontribusi Penelitian …………………………… 9
1.5 Pendekatan dan Ruang Lingkup Penelitian ………………….. 10
1.6 Sistematika Penulisan ………………………………………… 12

BAB II KONDISI SEKTOR AIR MINUM DKI JAKARTA


2.1 Gambaran Umum DKI Jakarta ………………………………. 14
2.1.1 Administrasi …………………………………………. 14
2.1.2 Kependudukan ………………………………………. 14
2.2 Kondisi Perekonomian DKI Jakarta ………………………… 15
2.2.1 Pangsa dan Pertumbuhan Sektor Ekonomi ………….. 15
2.2.2 Pendapatan per Kapita ………………………………. 17
2.2.3 Tingkat Kemiskinan …………………………………. 17
2.2.4 Distribusi Pendapatan ……………………………….. 19
2.2.5 Kebijakan Sektor Air Minum DKI Jakarta ………….. 21
2.2.6 Pola Penyediaan Air Minum di DKI Jakarta ………… 21
2.3 Perkembangan dan Rencana Pengembangan Penyediaan Air
Minum DKI Jakarta …………………………………………. 22
2.3.1 Praprivatisasi Pengeloalaan Air Minum DKI Jakarta . 22

2.3.2 Privatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta ……. 26

xiii
Hal
2.3.3 Kinerja Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta Setelah
Privatisasi ……………………………………………... 28
2.3.4 Sistem Distribusi Pelayanan Air Minum Nonperpipaan 33
2.3.5 Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi
Energi untuk Penyediaan Prasarana Air Bersih ……….. 34

BAB III PENYEDIAAN AIR MINUM, PERTUMBUHAN EKONOMI,


DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN: SUATU TINJAUAN
PUSTAKA
3.1 Karakteristik Air Minum ……………………………………….. 36
3.2 Penyediaan Air Minum (Publik, Swasta, Penyedia Skala Kecil)
dan Penanggulangan Kemiskinan ……………………………… 38
3.2.1 Penyediaan Air Minum oleh Pemerintah dan Privatisasi 38
3.2.2 Privatisasi Air Minum dan Penanggulangan Kemiskinan 42
3.3 Penyedia Air Minum Skala Kecil: Salah Satu Alternatif ……… 48
3.3.1 Keterbatasan Penyediaan Air Minum Skala Besar …….. 48
3.3.2 Kategori Penyedia Air Minum Skala Kecil ……………. 49
3.3.3 Peran Penyedia Air Minum Skala Kecil ………………. 50
3.3.4 Beberapa Pengalaman Pengelolaan ……………………. 51
3.3.5 Masa Depan Pelayanan Air Minum Skala Kecil …….... 53
3.4 Kaitan Pembangunan Air Minum terhadap Kemiskinan,
Distribusi Pendapatan, dan Pertumbuhan Eonomi ……………. 54
3.4.1 Pembangunan Air Minum dan Kemiskinan …………… 54
3.4.2 Pembangunan Air Minum dan Pertumbuhan Ekonomi .. 60
3.4.3 Pembangunan Air Minum dan Kesenjangan …………... 61
3.5 Pertumbuhan Pro Poor ………………………………………… 61
3.6 Rangkuman ……………………………………………………. 63

BAB IV PEMODELAN DAMPAK INVESTASI AIR MINUM


67
4.1 Teori Keseimbangan Umum …………………………………...
68
4.2 Model Komputasi Keseimbangan Umum (CGE) ……………...
68
4.2.1 Prinsip dan Kerangka Dasar ……………………………

xiv
Hal

4.2.2 Model Standar Komputasi Keseimbangan Umum ……. 69


4.3 Model CGE Air Minum DKI Jakarta …………………………. 82
4.3.1 Kebutuhan Data ………………………………….......... 82
4.3.2 Penyesuaian SNSE dalam Model CGE ……………….. 82
4.3.3 Beberapa Prinsip Dasar ……………………………….. 84
4.3.4 Aktor dan Perilakunya ……………………………….... 84
4.3.5 Variabel dan Skalar ……………………………………. 89
4.3.6 Persamaan Model ……………………………………... 89
4.4 Perubahan Kesejahteraan ……………………………………... 98

BAB V SKENARIO KEBIJAKAN DAN HASIL SIMULASI


5.1 Validasi Model CGE .................................................................. 100
5.2 Skenario Simulasi ....................................................................... 100
5.3 Hasil Simulasi …………………………………………………. 109
5.3.1 Simulasi I: Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 109
5.3.2 Simulasi II: Peningkatan Investasi Air Minum Non
Perpipaan ……………………………………………… 111
5.3.3 Simulasi III: Penyediaan Subsidi dari Peningkatan
Pajak Air Minum ………………..……………………..
112
5.3.4 Simulasi IV: Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ……..
118
5.3.5 Simulasi V: Peningkatan Investasi Air Minum
Perpipaan dan Penyediaan Subsidi dari Pajak Air
Minum Perpipaan ……………………………………… 120
5.3.6 Simulasi VI: Peningkatan Investasi Air Minum
Perpipaan dan Penyediaan Subsidi dari Dana
Pemerintah Pusat …......................................………….. 126
5.4 Rangkuman ……………………………………………………. 132
5.4.1 Pertumbuhan Ekonomi ………………………………… 132
5.4.2 Distribusi Pendapatan …………………………………. 146
5.4.3 Kelompok Penerima Manfaat …………………………. 154
5.4.4 Pertumbuhan Pro Poor ………………………………... 154

xv
Hal

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


6.1 Kesimpulan ………………………………………………….. 157
6.2 Rekomendasi ……………..………………………………….. 160
6.3 Beberapa Catatan ……………………………………………. 164
6.3.1 Kelebihan dan Kekurangan Model CGE ……………. 164
6.3.2 Kelemahan Model CGE Air Minum DKI Jakarta …... 166
6.4 Studi Lanjutan ……………………………………………….. 168

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 169


Lampiran 1 Konsep dan Definisi ………………………………………….. 181
Lampiran 2 Fungsi Penting dalam Model CGE ………………………….. 185
Lampiran 3 Sistem Neraca Sosial Ekonomi ………………………………. 187
Lampiran 4 Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta 2000 (45x45,
Jutaan Rupiah) ........................................................................... 193
Lampiran 5 Penyesuaian Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta 2000 196
Lampiran 6 Deklarasi Indeks ........................................................................ 203
Lampiran 7 Ukuran Distribusi Pendapatan .................................................. 206
BIOGRAFI SINGKAT ........................................................................................ 208

xvi
DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1.1 Cakupan Layanan Air Minum di Jakarta Tahun 2002 (dalam
persen) …………………………………………………………….. 4
Tabel 2.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta Tahun
1980-2004 ………………………………………………………… 15
Tabel 2.2 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta Tahun
2000 dan 2003 (Berdasar Harga Konstan 1993) dalam Rp. Juta …. 16
Tabel 2.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita DKI Jakarta
Periode 1996-2003 ………………………………………………... 17
Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Miskin DKI Jakarta Tahun 1996, 2000 dan 2003 18
Tabel 2.5 Distribusi Pendapatan per Kapita DKI Jakarta Menurut Golongan
Rumah Tangga, Tahun 2000 …………………………………….... 19
Tabel 2.6 Distribusi Pendapatan per Kapita DKI Jakarta Menurut Golongan
Rumah Tangga Tahun 2000 …………………………………….... 20
Tabel 2.7 Target Teknis Tahun 1998-2002 ………………………………….. 27
Tabel 2.8 Rencana Investasi PT. Thames PAM Jaya dan PT. PAM
Lyonnaise Jaya, 1998-2002………………………………………... 28
Tabel 2.9 Kinerja Privatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta Tahun
2004 ………………………………………………………………… 29
Tabel 2.10 Cakupan Layanan Air Minum di Jakarta Tahun 2002 …………...... 29
Tabel 2.11 Klasifikasi Rumah Tangga Berdasar Sumber Air Minum Tahun
2003 ………………………………………………………………… 30
Tabel 2.12 Peningkatan Layanan Air Minum bagi Penduduk Miskin di Jakarta
(1998-2002) ……………………………………………………….. 31
Tabel 2.13 Sistem Tarif Air Minum DKI Jakarta, Tahun 2005 ……………….. 32
Tabel 2.14 Realisasi Dana Program Subsidi Energi Air Bersih (SE-AB) Tahun
2001-2004 …………………………………………………………. 35
Tabel 3.1 Rangkuman Kaitan Ekonomi Makro antara Peningkatan Partisipasi
Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur dan Kesejahteraan
Penduduk Miskin .........……………………………………………. 43
Tabel 3.2 Rangkuman Kaitan Ekonomi Mikro antara Peningkatan Partisipasi
Swasta dalam Pembangunan Infrastuktur dan Kesejahteraan
Penduduk Miskin …………………….……………………………. 45

xvii
DAFTAR TABEL

hal

Tabel 3.3 Model Kemitraan Pemerintah Swasta yang Potensial Melayani


Penduduk Miskin …..…………………………………………….... 47
Tabel 3.4 Tipe dan Karakteristik Penyedia Air Minum Skala Kecil . .............. 50
Tabel 3.5 Perbandingan Harga Air Minum Penjaja Keliling dan Perpipaan di
Kota Besar Dunia .……………………………………………….... 56
Tabel 3.6 Proporsi Pengeluaran Air Minum Rumah Tangga Miskin Perkotaan 57
Tabel 4.1 Struktur Dasar SAM pada Model CGE …………………………..... 69
Tabel 4.2 Penyesuaian Klasifikasi SNSE DKI Jakarta Tahun 2000 Ukuran
103x103 ..…………………………………………………………… 83
Tabel 4.3 Persamaan Produksi …………………….………………………….. 91
Tabel 4.4 Persamaan Ekspor dan Impor ………….………………………….. 92
Tabel 4.5 Persamaan Modal ………………………………………………….. 93
Tabel 4.6 Persamaan Pendapatan …………………….………………………. 94
Tabel 4.7 Persamaan Pengeluaran ……………………………………………. 96
Tabel 4.8 Persamaan Kliring Pasar …………………………………………… 97
Tabel 5.1 Skenario Simulasi I dan II …………………………………………. 106
Tabel 5.2 Skenario Simulasi III ..……………………………………………... 106
Tabel 5.3 Skenario Simulasi IV ………………………….…………………... 106
Tabel 5.4 Skenario Simulasi V ......................................................................... 106
Tabel 5.5 Skenario Simulasi VI ....................................................................... 107
Tabel 5.6 Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga berdasar
Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan …………………….... 110
Tabel 5.7 Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga berdasar
Peningkatan Investasi Air Minum Non Perpipaan …..…………….. 111
Tabel 5.8 Pengaruh Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan terhadap
Indikator Ekonomi .............…….…………………………………..
114
Tabel 5.9 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar
Skenario Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum
Perpipaan ………………................................................................... 117

xviii
DAFTAR TABEL
hal

Tabel 5.10 Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga berdasar


Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat ...............……………… 119
Tabel 5.11 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 10 Persen
dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum
Perpipaan........................................................................................... 121
Tabel 5.12 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 25 Persen
dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum
Perpipaan …………………………………………………………. 123
Tabel 5.13 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 50 Persen
dan Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum
Perpipaan ………………………………………………………….. 125
Tabel 5.14 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 10 Persen
dan Penyediaan Subsidi dari Pusat ..………………………………. 127
Tabel 5.15 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 25 Persen
dan Penyediaan Subsidi dari Pusat ..………………………………. 129
Tabel 5.16 Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan berdasar
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 50 Persen
dan Penyediaan Subsidi dari Pusat ..………………………………. 131
Tabel 5.17 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Peningkatan
Investasi Air Minum …….…………………………….................... 133
Tabel 5.18 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Subsidi ………….. 138
Tabel 5.19 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Investasi Air Minum
Perpipaan dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum ………. 144
Tabel 5.20 Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi Simulasi Investasi Air Minum
Perpipaan dan Subsidi dari Pemerintah Pusat …………………….. 145
Tabel 5.21 Rekapitulasi Distribusi Pendapatan Simulasi Peningkatan Investasi
Air Minum …………………………………………………………. 146

xix
DAFTAR TABEL
hal

Tabel 5.22 Rekapitulasi Dampak Subsidi terhadap Distribusi Pendapatan ....... 149
Tabel 5.23 Rekapitulasi Distribusi Pendapatan Simulasi Investasi Air Minum
Perpipaan dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum ............. 152
Tabel 5.24 Rekapitulasi Distribusi Pendapatan Simulasi Investasi Air Minum
Perpipaan dan Subsidi dari Pemerintah Pusat .................................. 153
Tabel 5.25 Rekapitulasi Pertumbuhan Pro Poor ............................................... 156

xx
DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 2.1 PDRB DKI Jakarta 2000-2003 Harga Konstan 1993 …………... 15
Gambar 2.2 Pertumbuhan PDRB/Kapita DKI Jakarta Harga Konstan 1993
Tahun 1996-2002 ……………………………………………….. 16
Gambar 2.3 Penyebaran Penduduk Miskin DKI Jakarta Tahun 1996, 2000,
2003 …........................................................................................... 18
Gambar 2.4 Distribusi Pendapatan DKI Jakarta 2000 ……………………...... 20
Gambar 2.5 Produksi dan Air Terjual PAM Jaya 1993-1997 ……………….. 24
Gambar 2.6 Penerimaan dan Biaya Operasional PAM Jaya 1993-1997 …….. 24
Gambar 2.7 Jumlah Sambungan PAM Jaya 1993-1997 …………………….. 25
Gambar 2.8 Sistem Jaringan Pipa Distribusi Air Minum DKI Jakarta ………. 25
Gambar 2.9 Distribusi Air Minum Nonperpipaan dari Sumber Air Minum
Perpipaan Tahun 2005 ………………………………………….. 33
Gambar 3.1 Pengaruh Ketersediaan Air Minum terhadap Beragam Dimensi
Kemiskinan ……………………………………………………... 55
Gambar 3.2 Jalur Utama Penularan Penyakit melalui Air ………………….... 58
Gambar 3.3 Kebijakan, Pertumbuhan, Perubahan Distribusi dan Penurunan
Kemiskinan …………………………………................................ 63
Gambar 4.1 Struktur Dasar Model CGE ............................................................ 70
Gambar 4.2 Teknologi Produksi …..…………………………………………. 71
Gambar 4.3 Aliran Komoditas yang Dipasarkan …………………………….. 75
Gambar 4.4 Struktur Fungsi Sektor Produksi ………………………………... 77
Gambar 4.5 Struktur Fungsi Konsumsi …………………………………….... 81
Gambar 4.6 Keterkaitan Antarsektor dalam Wilayah ………………………... 88
Gambar 4.7 Struktur Fungsi Sektor Produksi ………………………………... 90
Gambar 5.1 Bagan Alir Skenario Simulasi ..........................………………….. 105
Gambar 5.2 Bagan Alir Simulasi ....................................................................... 108

xxi
DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 5.3 Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini Skenario Peningkatan


Investasi Air Minum Perpipaan ..……………………………….. 110
Gambar 5.4 Peningkatan Pendapatan per Kapita Skenario Peningkatan
Investasi Air Minum Perpipaan .........................………….......... 110
Gambar 5.5 Pangsa Pendapatan per Kelompok RT Miskin Skenario
Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan ................................ 110
Gambar 5.6 Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini Skenario Peningkatan
Pajak Air Minum Perpipaan Bersumber dari Pajak …………....... 112
Gambar 5.7 Perubahan Pendapatan RT berdasar Skenario Peningkatan Pajak
Air Minum Perpipaan.................................…………..………….. 112
Gambar 5.8 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Subsidi dari Peningkatan Pajak
Air Minum Perpipaan .................................................................. 117
Gambar 5.9 Rasio Gini Skenario Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum
Perpipaan ……………..…………………………………………. 117
Gambar 5.10 Perubahan Pendapatan RT berdasar Penyediaan Subsidi dari
Peningkatan Pajak Air Minum ...................................................... 117
Gambar 5.11 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Subsidi dari Pemerintah Pusat . 119
Gambar 5.12 Rasio Gini Skenario Subsidi dari Pemerintah Pusat .................…. 119
Gambar 5.13 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Subsidi
dari Pemerintah Pusat .................................................................... 119
Gambar 5.14 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (10%) dan Subsidi
dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ………….............. 121
Gambar 5.15 Rasio Gini Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari
Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ………..……………... 121
Gambar 5.16 Perubahan Pendapatan RT/Kapita Skenario Investasi (10%) dan
Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum .....................……... 121
Gambar 5.17 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (25%) dan Subsidi
dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan …………….......... 123
Gambar 5.18 Rasio Gini Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari
Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ………..………......…. 123
Gambar 5.19 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita Skenario Investasi (25%)
dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum .………….......... 123

xxii
DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 5.20 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (50%) dan Subsidi


dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan .............................. 125
Gambar 5.21 Rasio Gini Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari
Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan ………..………..……. 125
Gambar 5.22 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Investasi
(50%) dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum .………… 125
Gambar 5.23 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (10%) dan Subsidi
dari Dana Pemerintah Pusat ........................................................... 127
Gambar 5.24 Rasio Gini Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Dana
Pemerintah Pusat ………..……………………………………... 127
Gambar 5.25 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Investasi
(10%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat .……………… 127
Gambar 5.26 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (25%) dan Subsidi
dari Dana Pemerintah Pusat ………………………………........... 129
Gambar 5.27 Rasio Gini Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Dana
Pemerintah Pusat ………..……………………………………... 129
Gambar 5.28 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Investasi
(25%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ………………... 129
Gambar 5.29 Pertumbuhan Ekonomi Skenario Investasi (50%) dan Subsidi
dari Dana Pemerintah Pusat ………………………………........... 131
Gambar 5.30 Rasio Gini Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Dana
Pemerintah Pusat ………..……………………………………... 131
Gambar 5.31 Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar Skenario Investasi
(50%) dan Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat ………………... 131
Gambar 5.32 Dampak Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi ... 133
Gambar 5.33 Keterkaitan Investasi Air Minum dengan Pertumbuhan Ekonomi
dan Distribusi Pendapatan (Simulasi I dan II) ............................... 137
Gambar 5.34 Dampak Subsidi terhadap Pertumbuhan Ekonomi ....................... 138
Gambar 5.35 Keterkaitan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan dengan
Distribsui Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi ...................... 139

xxiii
DAFTAR GAMBAR hal

Gambar 5.36 Keterkaitan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan yang


Dialokasikan untuk Subsidi dengan Distribusi Pendapatan dan
Pertumbuhan Ekonomi (Simulasi III) ............................................ 141
Gambar 5.37 Keterkaitan Peningkatan Transfer Dana Pusat yang Dialokasikan
untuk Subsidi terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta Distribusi
Pendapatan (Simulasi IV) ..............................................................
141
Gambar 5.38 Keterkaitan Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan
Subsidi terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta Distribusi
Pendapatan (Simulasi V - VI) ........................................................ 141
Gambar 5.39 Dampak Investasi 10% dan Subsidi dari Pajak Air Minum
terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………………………...……. 144
Gambar 5.40 Dampak Investasi 25% dan Subsidi dari Pajak Air Minum
terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………………………..……. 144
Gambar 5.41 Dampak Investasi 50% dan Subsidi dari Pajak Air Minum
terhadap Pertumbuhan Ekonomi ……………………………..…. 144
Gambar 5.42 Dampak Investasi 10% dan Subsidi dari Pusat terhadap
Pertumbuhan Ekonomi ……………………….............................. 145
Gambar 5.43 Dampak Investasi 25% dan Subsidi dari Pusat terhadap
Pertumbuhan Ekonomi ………………………………….............. 145
Gambar 5.44 Dampak Investasi 50% dan Subsidi dari Pusat terhadap
Pertumbuhan Ekonomi ………………………………….............. 145
Gambar 5.45 Dampak Investasi Air Minum terhadap Distribusi Pendapatan ..... 146
Gambar 5.46 Dampak Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan terhadap
Distribusi Pendapatan .................................................................... 150
Gambar 5.47 Dampak Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Distribusi
Pendapatan ..................................................................................... 150
Gambar 5.48 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (10%) dan Subsidi dari
Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Distribusi Pendapatan ....... 152
Gambar 5.49 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (25%) dan Subsidi dari
Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Distribusi Pendapatan ....... 152
Gambar 5.50 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (50%) dan Subsidi dari
Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Distribusi Pendapatan ....... 152

xxiv
DAFTAR GAMBAR
hal

Gambar 5.51 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (10%) dan Subsidi dari
Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan ........................ 153
Gambar 5.52 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (25%) dan Subsidi dari
Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan ........................ 153
Gambar 5.53 Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (50%) dan Subsidi dari
Pemerintah Pusat terhadap Distribusi Pendapatan ....................... 153
Gambar 5.54 Pertumbuhan Pro Poor Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan
dan Subsidi ..................................................................................... 154

xxv
DAFTAR KOTAK

hal

Kotak 4.1 Hukum Walras …………………………………………………….. 67

xxvi
DAFTAR SINGKATAN

ADB = Asian Development Bank


APF = Aggregate Production Function
Bappenas = Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BBM = Bahan Bakar Minyak
BOT = Build Operate Transfer
Bodetabek = Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi
BPS = Badan Pusat Statistik
CES = Constant Elasticity of Substitution
CET = Constant Elasticity of Transformation
CGE = Computable General Equilibrium
CPI = Costumer Price Index
DKI = Daerah Khusus Ibukota
FOC = First Order Condition
FGT = Foster-Greer-Thorbecke
HU = Hidran Umum
KK = Kepala Keluarga
LES = Linear Expenditure System
LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat
MCK = Mandi, Cuci, Kakus
MDG = Millenium Development Goals
MPS = Marginal Propensity to Save
PAM Jaya = Perusahaan Air Minum Jakarta Raya
PDAM = Perusahaan Daerah Air Minum
PDB = Produk Domestik Bruto
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto
PP = Peraturan Pemerintah
PPD-PSE = Program Penanggulangan Dampak Pengurangan
Subsidi Energi
PT = Perusahaan Terbatas

xxvii
PTO = Penyesuaian Tarif Otomatis
ROW = Rest of the World
RT = Rumah Tangga
SAM = Social Accounting Matrix
SE-AB = Subsidi Energi-Air Bersih
SIPAS = Sistem Penyediaan Air Bersih Sederhana
SNSE = Sistem Neraca Sosial Ekonomi
TA = Terminal Air
TFP = Total Factor Production
TK = Tenaga Kerja
TPJ = Thames Pam Jaya
UGM = Universitas Gajah Mada
USD = United State Dollar
VA = Value Added
WHO = World Health Organization
WTP = Water Treatment Plant

xxviii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Memasuki Milenium baru, hampir setengah dari total penduduk dunia


bertempat tinggal di daerah perkotaan1. Percepatan pertambahan penduduk perkotaan
melampaui kemampuan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan dasar penduduk.
Akibatnya, sejumlah penduduk mengalami kesulitan mendapatkan kebutuhan dasar
untuk perumahan, air minum2, sanitasi, kesehatan, pekerjaan dan pendidikan.
Mendekati 1,3 miliar penduduk dunia di negara berkembang, mayoritas penduduk
miskin, kekurangan akses terhadap kecukupan air.
Dampak ketidakcukupan air dan sanitasi terutama dirasakan oleh penduduk
miskin. Akibat kualitas air minum yang tidak memadai, penduduk miskin kota
menanggung dampak berupa berjangkitnya penyakit diare dan kolera3 yang
mengharuskan mereka mengeluarkan dana untuk obat dan perawatan medis. Lebih
lanjut, hal itu mengakibatkan anak-anak tidak sekolah, dan orang dewasa kehilangan
waktu kerja. Akibatnya, selain berdampak pada besarnya pengeluaran untuk membeli
air, kurangnya akses ke air minum yang memadai, aman, terjangkau juga berdampak
langsung pada penghidupan dan pendapatan penduduk miskin kota4.

1
Pada tahun 2015, penduduk perkotaan akan bertambah dua kali lipat sehingga mencapai 3,5 miliar
penduduk. Selain itu, 1 dari 5 penduduk akan berlokasi di kota besar berpenduduk lebih dari 10 juta
dibanding 1 dari 9 saat ini (Dasgupta, 2002) Sementara sekitar 95 persen dari pertambahan penduduk
perkotaan tersebut akan berlokasi di negara berkembang dan separuhnya merupakan penduduk miskin,
serta bertempat tinggal di daerah kumuh (Annez, 1996).
2
Definisi air minum yang dipergunakan adalah air minum rumah tangga baik yang langsung dapat
diminum maupun yang masih perlu diolah, yang berasal dari sumber yang aman dari
pencemaran.Pengertian air minum disini sama dengan istilah air bersih yang sering dipergunakan
ditambah dengan air yang langsung bias diminum tetapi tidak termasuk air kemasan maupun air isi
ulang.
3
Diperkirakan 10 ribu penduduk meninggal setiap hari disebabkan penyakit terkait air dan sanitasi dan
ribuan lainnya menderita.
4
Penghidupan dan pendapatan penduduk diartikan sebagai kemampuan terlibat dalam kegiatan
menghasilkan uang, pendapatan dari kegiatan tersebut, dan pengeluaran yang ditimbulkannya.

1
Ketika penduduk termiskin tidak mendapat akses ke air sistem perpipaan, air
dari penyedia air minum skala kecil (small scale water provider) atau air
nonperpipaan5 menjadi alternatifnya. Besarnya tarif air minum nonperpipaan
mengakibatkan biaya yang dikeluarkan menjadi jauh lebih mahal, sehingga
ketidaktersediaan air minum menjadi salah satu penentu utama tingkat kemiskinan bagi
sebagian besar rumah tangga. Sebagai contoh, Okun (1988) memperkirakan bahwa
rumah tangga miskin yang tidak terlayani oleh sistem perpipaan menghabiskan sekitar
10-30 persen dari pendapatannya untuk kebutuhan air, sementara rumah tangga kaya
umumnya hanya mengeluarkan kurang dari dua persen (Satterwaithe, 1998)6.
Akibatnya, air diperoleh dengan biaya mahal dalam jumlah jauh dari kebutuhan
normal. Jadi, ketika kebutuhan air minum penduduk miskin terpenuhi, mereka terpaksa
membayar dengan harga yang jauh lebih mahal7.
Hal ini kemudian berujung pada penurunan kualitas hidup, pengurangan
produktivitas, penambahan beban biaya kesehatan, dan polusi lingkungan yang tak
terhindarkan. Keseluruhannya mengarah pada peningkatan kemiskinan di perkotaan.
Diperkirakan pada tahun 2010 penduduk miskin perkotaan mencapai sekitar 47 persen
dari total penduduk miskin Indonesia, meningkat dari sekitar 38 persen pada tahun
2000 (Dasgupta, 2002).
Segala keuntungan dari keberadaan kota menjadi terhalangi oleh merebaknya
kemiskinan di perkotaan. Mexico City, Beijing, dan Jakarta merupakan contoh nyata
dengan permasalahan tidak memadainya akses air minum, khususnya bagi penduduk
miskin (Black, 1996). Kondisi ini mempengaruhi langsung sebagian penduduk, tetapi
pada akhirnya secara tidak langsung dapat berdampak pada keseluruhan kota.

5
Secara umum disepakati bahwa kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai penyedia air minum skala
kecil ketika (i) melaksanakan kegiatan dengan menggunakan pegawai dalam jumlah kecil; (ii)
melaksanakan kegiatan berdasar prinsip pemulihan biaya dan orientasi keuntungan; (iii) menggunakan
modal sendiri tanpa bantuan dari pemerintah dan LSM; (iv) menyediakan air minum merupakan
kegiatan utamanya (Conan, 2002).
6
Pada negara industri, pengeluaran air berkisar 0,5 sampai dua persen dari pendapatan rata-rata (1,3
persen di Jerman dan Belanda, 1,2 persen di Perancis) dan air minum dianggap mahal ketika
pengeluaran melampaui tiga persen dari pendapatan rata-rata penduduk (Water Academy, 2004).
7
Sebagai gambaran, berdasar data Water Supply and Sanitation Collaborative Council (1999), tarif
penjaja air keliling pada beberapa kota besar di negara berkembang mencapai sekitar 5 sampai 20 kali
dari tarif air minum perpipaan.

2
Kemampuan mengatasi kondisi ini akan menentukan kelangsungan kota dan
perekonomian. Hal ini didasari pada pertimbangan dampak utama pengurangan
kemiskinan di perkotaan tidak hanya pada penduduk miskin, tetapi terjadi juga pada
keseluruhan penduduk kota, dalam hal (i) mengurangi ketimpangan sosial, (ii)
menghindari masalah lingkungan dan kesehatan skala besar, (iii) mendorong
pembangunan ekonomi lokal, (iv) membantu pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketimpangan sosial dapat mengarah pada ketegangan sosial yang bermuara pada
benturan antarkelompok. Masalah kesehatan dan lingkungan pada daerah kumuh dapat
berdampak pada keseluruhan kota seperti merebaknya diare, kolera, demam berdarah.
Ketidakcukupan air dan sanitasi dapat berdampak pada penurunan kualitas air
permukaan dan air tanah dangkal. Perkembangan ekonomi lokal dapat membantu
meningkatkan kondisi kehidupan penduduk miskin sehingga mendukung produktifitas
dan pertumbuhan ekonomi. Perkembangan kota yang baik akan mendorong terjadinya
pertumbuhan ekonomi nasional, karena kota berfungsi sebagai pusat pertumbuhan
(Baharoglu, 2000)
Jakarta sebagai salah satu kota yang dalam waktu dekat akan menjadi
megacity8, juga mengalami masalah dengan akses air minum, khususnya bagi penduduk
miskin. Meningkatnya urbanisasi menyebabkan peningkatan kebutuhan layanan
infrastruktur termasuk air minum. Pada tahun 1996, sebelum privatisasi penyediaan air
minum9, cakupan pelayanan air minum di Jakarta mencapai 41 persen dengan tingkat
kebocoran 57 persen dan penggunaan air tanah berlebihan. Setelah empat tahun
privatisasi (2002), mengabaikan banyaknya keluhan terhadap kualitas dan kuantitas
pelayanan, kedua operator telah mencapai perkembangan yang nyata. Pelayanan telah
bertambah menjadi 44 persen di bagian barat, dan 62 persen di bagian timur, yang
secara keseluruhan mencapai 52,4 persen untuk seluruh Jakarta.

8
Megacity didefinisikan sebagai metropolitan dengan penduduk lebih dari 10 juta.
9
Pada tahun 1998, PT. Palyja (Ondeo) dan PT. TPJ (Thames International, RWE) mendapatkan
kontrak konsesi penyediaan air minum di Jakarta. Jakarta dibagi dalam 2 (dua) wilayah yaitu PT Palyja
bertanggungjawab untuk pengembangan dan pengelolaan air minum di bagian Barat, dan PT. TPJ di
bagian timur.

3
Tabel 1.1
Cakupan Layanan Air Minum di Jakarta Tahun 2002 (dalam persen)

Terlayani Tak Terlayani Air


Total
Air Perpipaan Perpipaan
Tidak Miskin 39,7 36,9 76,6
Miskin 12,7 10,7 23,4
Total 52,4 47,6 100,0
Sumber: Anwar (2003)

Keberhasilan peningkatan cakupan tersebut masih menyisakan proporsi sekitar


10,7 persen penduduk miskin yang belum terlayani oleh air perpipaan. Penduduk
miskin yang tidak terlayani oleh air perpipaan menggunakan beragam bentuk pelayanan
air minum untuk memenuhi kebutuhannya, diantaranya berupa sumur dangkal, air
tanah dalam, kran umum, penjaja keliling, sebagian penduduk menjual air ke
tetangganya, truk air, dan air kemasan isi ulang.
Kondisi ini perlu mendapat perhatian karena ternyata sebagian besar penduduk
miskin menggunakan sumur tidak terlindungi dan fasilitas umum yang merupakan
sumber pencemaran dan terjangkitnya wabah diare dan kolera. Selain itu, penduduk
miskin yang tidak terlayani membeli air dengan harga jauh lebih mahal sampai 15 kali
tarif air perpipaan (Anwar, 2003).
Ketika tidak segera ditanggulangi, kondisi ini akan berdampak pada semakin
terperangkapnya penduduk dalam kemiskinan, yang selanjutnya dapat berdampak tidak
hanya pada penduduk miskin, tetapi berdampak juga pada seluruh penduduk kota
dalam berbagai bentuk.
Teori sederhana dan bukti empiris menunjukkan bahwa pengurangan
kemiskinan dapat dicapai melalui percepatan pertumbuhan ekonomi dan/atau
perubahan distribusi pendapatan. Ravallion (2001), melalui studi antarnegara,
menunjukkan bahwa peningkatan satu persen pendapatan rata-rata rumah tangga atau
konsumsi menghasilkan penurunan kemiskinan yang bervariasi antara 0,6 persen

4
sampai 3,5 persen. Ketika pertumbuhan ekonomi menghasilkan penurunan kemiskinan,
pertumbuhan tersebut disebut pro-poor.10
Berkaitan dengan permasalahan kemiskinan perkotaan yang terkait dengan
masih rendahnya ketersediaan air minum bagi penduduk miskin DKI Jakarta, dan
investasi air minum yang secara teori dan empiris dapat berdampak pada
penanggulangan kemiskinan, disertasi ini berusaha menjawab pertanyaan apakah
investasi air minum di DKI Jakarta menghasilkan pertumbuhan pro-poor sehingga
dapat dijadikan salah satu bagian dari kebijakan penanggulangan kemiskinan
khususnya di perkotaan.

1.2 Masalah Penelitian

Perkembangan perkotaan dunia dan Indonesia menunjukkan perubahan yang


pesat. Dalam waktu singkat jumlah penduduk perkotaan meningkat tajam, bahkan
dalam waktu tidak lama lagi proporsi penduduk perkotaan akan melampaui penduduk
perdesaan. Diperkirakan pada tahun 2010, proporsi penduduk perkotaan Indonesia akan
mencapai 54,2 persen, meningkat dari sekitar 35 persen (1990) dan 42 persen (2000)
(Bappenas, 2005). Kondisi itu berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan
perkotaan, diantaranya berupa tidak terpenuhinya kebutuhan air minum. Sebagian
terbesar penduduk yang tidak terlayani adalah penduduk miskin.
Telah menjadi kesepakatan bahwa peningkatan akses air minum dapat menjadi
jalan menuju penanggulangan kemiskinan. Investasi yang ditanamkan di sektor air
minum dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang bersifat pro-poor. Pertumbuhan
ekonomi yang terjadi mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan.
Dikaitkan dengan kondisi Jakarta, investasi air minum yang bersifat pro-poor
merupakan suatu keniscayaan, dengan berbagai pertimbangan di antaranya (i) tingkat

10
Terdapat dua definisi pertumbuhan pro-poor. Pada konsep pertama, pertumbuhan pro-poor terjadi
ketika pendapatan penduduk miskin meningkat lebih cepat dari penduduk tidak miskin. Sementara
konsep kedua menyatakan bahwa pertumbuhan pro-poor terjadi ketika jumlah absolut penduduk miskin
berkurang (Vos, 2005). Dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar hanya pada fokusnya yaitu (i)
konsep pertama pada kesenjangan (White dan Anderson, 2000), (Kakwani dan Pernia, 2000) dan (ii)
konsep kedua pada kemiskinan (Ravallion dan Chen, 2003).Studi ini menggunakan definisi pertama.

5
urbanisasi yang mengarah pada peningkatan jumlah penduduk miskin masih relatif
tinggi, (ii) proporsi penduduk miskin yang belum terlayani oleh air minum masih cukup
besar. Oleh karena itu, pertanyaan yang mengemuka adalah (i) apakah investasi air
minum perpipaan di DKI Jakarta telah memicu pertumbuhan ekonomi yang bersifat
pro-poor, (ii) apakah investasi air minum nonperpipaan di DKI Jakarta memicu
pertumbuhan ekonomi pro-poor, (iii) apakah subsidi pemerintah dalam penyediaan air
minum di DKI Jakarta memicu pertumbuhan ekonomi pro-poor.

1.3 Tujuan dan Hipotesis Penelitian

Tujuan umum dari studi ini adalah menjawab pertanyaan apakah investasi air
minum di DKI Jakarta sudah bersifat pro-poor yang ditunjukkan oleh terjadinya
pertumbuhan yang mengurangi kesenjangan.
Tujuan khusus dari studi adalah (i) mengembangkan model komputasi
keseimbangan umum air minum, (ii) menganalisis dampak investasi air minum
perpipaan terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, (iii) menganalisis
dampak penyediaan air minum nonperpipaan terhadap pertumbuhan ekonomi dan
distribusi pendapatan, (iv) menganalisis dampak penyediaan subsidi air minum bagi
rumah tangga berpendapatan rendah, dan (v) memberikan rekomendasi kebijakan
pembangunan air minum di DKI Jakarta.
Secara teoritis, terdapat empat faktor pertumbuhan, yaitu sumber daya manusia,
sumber daya alam, pembentukan modal, dan teknologi (Nordhaus, 2004). Oleh karena
itu, investasi infrastruktur, termasuk air minum yang berupa penambahan modal,
merupakan salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi.
Secara empiris, terdapat banyak studi yang membuktikan kebenaran pengaruh
positif investasi infrastruktur, termasuk air minum, terhadap pertumbuhan ekonomi. (i)
Barro (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang tergantung
pada langkah pemerintah dalam penyediaan infrastruktur. (ii) studi Bank Dunia pada 63
negara berkembang menunjukkan bahwa penambahan satu persen stok infrastruktur
berkorelasi dengan pertumbuhan satu persen PDB. (iii) Canning (1999), dan
Demetriades dan Mamuneas (2000) melaporkan kontribusi output yang signifikan dari
infrastruktur. (iv) Stephen Yeaple dan Stephen S. Golub (2002) menyimpulkan bahwa

6
penambahan kapasitas pelayanan infrastruktur sebesar satu persen akan meningkatkan
nilai produktivitas faktor total (TFP) sebesar 0,12. (v) Estache dkk (2002) menunjukkan
bahwa penambahan stok infrastruktur sebesar 10 persen menghasilkan peningkatan
Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,5 persen. (vi) Kajian Pusat Studi Transportasi
dan Logistik UGM (2003) menunjukkan bahwa investasi infrastruktur meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pemerataan. (vii) Kajian Bappenas (2004)
menunjukkan bahwa penambahan kapasitas pelayanan infrastruktur memberikan
dampak positif pada perekonomian nasional.
Sementara kajian WHO (2004) melalui the Swiss Tropical Institute
menyimpulkan bahwa investasi air minum dan sanitasi sebesar USD.1 akan
memberikan pengembalian sebesar antara USD.3 sampai USD.34, bergantung pada
lokasinya. Selain itu, beberapa analisis terbaru menunjukkan bahwa pengelolaan air
berada pada peringkat kedua terbesar dalam investasi infrastruktur bagi kebangkitan
ekonomi (Tan, 2000).
Debat kaitan antara pertumbuhan pendapatan per kapita dan kesenjangan
diprakarsai oleh Kutznets (1955) yang menemukan bahwa terdapat hubungan U
terbalik antara pendapatan dan kesenjangan berdasar penelitian antarnegara.
Pertumbuhan terjadi dahulu, kesenjangan melebar, lalu kemudian kesenjangan menurun
(Anand dan Kanbur, 1993).
Di pihak lain, literatur empiris terkini, seperti oleh Deininger dan Squire
(1996), Chen dan Ravallion (1997), Easterly (1999), dan Dollar dan Kraay (2002),
seluruhnya menyatakan bahwa pertumbuhan tidak mempunyai dampak pada
kesenjangan (World Bank Poverty Net).
Pada kenyataannya, perbedaan pendapat tentang kaitan pertumbuhan dan
kesenjangan lebih terlihat pada literatur teoritis, sementara literatur empiris secara
seragam menyatakan bahwa pertumbuhan tidak mempunyai dampak sistematik pada
kesenjangan.
Perdebatan ini juga kemudian makin kontroversial ketika penyediaan air
minum diserahkan pada swasta. Meskipun pengamatan secara internasional
menunjukkan secara umum dampak privatisasi menguntungkan (Kikeri dan Nellis,

7
2001; Megginson dan Netter, 2001; Shirley dan Walsh, 2001), dampaknya di negara
berkembang tetap kontroversial (Parker, 2003).
Debat tentang peran swasta dalam penyediaan air minum telah berlangsung
lama, sebagian mendukung dan selebihnya menentang. Pihak pendukung menyatakan
privatisasi meningkatkan efisiensi (misalnya tingkat kebocoran air menurun dan
tagihan macet berkurang), dan mendorong bertambahnya investasi. Pihak penentang
menyatakan bahwa swasta hanya mementingkan keuntungan dengan mengabaikan
kesejahteraan dan meningkatkan tarif tanpa mempedulikan kualitas layanan.
Jika dikaitkan dengan pembangunan air minum di DKI Jakarta yang sejak tahun
1997 dilaksanakan oleh swasta melalui skema konsesi, hasilnya telah cukup memadai,
seperti menurunnya tingkat kebocoran dan meningkatnya investasi yang tentunya
mendorong pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, masih banyak penduduk miskin
yang belum terlayani. Hal ini ditengarai oleh tidak tersedianya insentif yang memadai
bagi perusahaan ketika penyediaan air minum diarahkan pada penduduk miskin.
Bahkan, dalam tujuan kerja sama pemerintah dan swasta tersebut tidak secara eksplisit
dicantumkan keberpihakan pada penduduk miskin.
Kondisi ini kemudian mendasari hipotesis pertama dari studi ini yang
menyatakan bahwa peningkatan investasi air minum perpipaan akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, tetapi sebaliknya akan memperburuk distribusi pendapatan.
Ketidaktersediaan akses air minum yang memadai bagi penduduk khususnya
penduduk miskin, mendorong penduduk mencari alternatif sumber air minum. Salah
satu sumber air minum yang menjadi pilihan bagi penduduk adalah penyedia air
minum skala kecil (small scale water provider). Kebutuhan air minum perpipaan yang
baru menjangkau sekitar 52,4 persen penduduk menjadikan investasi penyedia air
minum skala kecil ini relatif siginifikan walaupun dalam bentuk investasi yang kecil
dan tersebar dalam jumlah yang cukup banyak. Kondisi itu menjadikan investasi air
minum nonperpipaan mendorong pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, karena harga air
minum nonperpipaan relatif besar, bahkan mencapai sekitar 10 sampai 20 kali harga
air minum perpipaan, secara umum porsi pengeluaran penduduk menjadi signifikan.
Pendapatan yang dapat ditabung untuk keperluan lain menjadi jauh berkurang

8
sehingga kesejahteraan penduduk menjadi relatif berkurang. Tentunya pengurangan
kesejahteraan itu menjadi suatu pilihan yang relatif lebih baik ketika pilihan lainnya,
seperti sumur, dan air sungai, berpotensi menyebabkan meningkatnya biaya kesehatan
akibat serangan penyakit yang diakibatkan oleh air (water-borne disease) yang jauh
lebih besar dampaknya.
Dalam memperhatikan kondisi itu, hipotesis kedua dari studi ini menjadi
peningkatan penyediaan air minum nonperpipaan akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan memperburuk distribusi pendapatan
Sebagaimana diketahui bahwa dari sisi pengeluaran, penanggulangan
kemiskinan dan redistribusi pendapatan oleh pemerintah dapat dilaksanakan secara
langsung melalui tiga instrumen, yaitu (i) subsidi langsung atau individual yang
ditargetkan pada rumah tangga miskin, (ii) subsidi harga yang berupa pemberian
subsidi harga pada kebutuhan dasar, dan (iii) pengeluaran pemerintah pada
infrastruktur dan layanan publik khususnya kesehatan dan pendidikan, yang
menguntungkan masyarakat miskin (Damuri, 2003).
Ketika ketiadaan akses air minum menjadi salah satu penyebab semakin besarnya
kemiskinan perkotaan, pemerintah dapat melakukan terobosan dengan memberikan
subsidi penyediaan air minum kepada penduduk miskin yang belum memperoleh akses
yang layak.
Secara teoritis, terlepas dari besarnya kemungkinan kebocoran di lapangan,
pemberian subsidi dalam jangka pendek akan sangat membantu dalam meningkatkan
kesejahteraan penduduk miskin. Pengaruh subsidi air minum terhadap pertumbuhan
ekonomi tidak akan sebesar pengaruh investasi air minum, tetapi dampaknya terhadap
kesejahteraan akan signifikan. Hal ini akan memunculkan hipotesis ketiga yaitu subsidi
pemerintah akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki distribusi
pendapatan.

1.4 Manfaat dan Kontribusi Penelitian

Manfaat studi ini adalah memberi pemahaman mendalam mengenai dampak


kebijakan investasi air minum, baik berupa investasi maupun subsidi pemerintah,
terhadap perekonomian daerah khususnya pertumbuhan ekonomi dan distribusi

9
pendapatan. Diharapkan pengambil kebijakan dapat memahami bahwa investasi air
minum bukan sekadar alat pemenuhan kebutuhan dasar, melainkan juga sebagai alat
penanggulangan kemiskinan melalui pembenahan distribusi pendapatan.
Kontribusi utama dari studi ini adalah sebagai berikut.
(i) Pengembangan basis data (data base) SNSE Air Minum DKI Jakarta Tahun 2000.
Basis data ini merupakan pengembangan dari SNSE DKI Jakarta 2000 skala
103x103.
(ii) Pengembangan model komputasi keseimbangan umum air minum DKI Jakarta.
Telah banyak studi yang meneliti dampak investasi infrastruktur dengan
menggunakan model komputasi keseimbangan umum di Indonesia, tetapi belum
terdapat model komputasi kesetimbangan umum yang secara khusus meneliti
dampak investasi air minum di tingkat subnasional.
(iii) Saran dan masukan bagi kebijakan pembangunan air minum DKI Jakarta. Hasil
studi dapat dijadikan sebagai masukan bagi pengembangan kebijakan terkait
dengan pembangunan air minum di DKI Jakarta.

1.5 Pendekatan dan Ruang Lingkup Penelitian

Studi ini menggunakan model komputasi keseimbangan umum (Computable


General Equilibrium). Pemilihan model ini dilakukan dengan mempertimbangkan
kemampuan model untuk menyimulasikan, baik dampak langsung maupun tidak
langsung, dari suatu kebijakan terhadap kondisi ekonomi makro dan kondisi sosial
sehingga akibat suatu kebijakan dapat dievaluasi secara lebih baik dan menyeluruh.
Penerapan model komputasi kesetimbangan umum (CGE) melalui beberapa
tahap, yaitu sebagai berikut.
a. Studi literatur.
Fokus kegiatan awal ini adalah berupa penelusuran penerapan model CGE dalam
analisis perekonomian. Keluaran dari tahapan ini adalah berupa pilihan model
CGE yang berkesesuaian dengan tujuan studi berikut dasar-dasar spesifikasi
model CGE yang akan dikembangkan agar dapat dipergunakan sebagai alat
analisis sesuai dengan tujuan studi ini.

10
b. Pengembangan basis data yang diperlukan.
Data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini sebagian besar akan berasal
dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) DKI Jakarta Tahun 2000. SNSE ini
kemudian dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan studi dengan melakukan (i)
pembagian klasifikasi pada faktor produksi bukan tenaga kerja menjadi dua yaitu
investasi air minum perpipaan (PAM Jaya) dan investasi air minum nonperpipaan
dan investasi lainnya, dan (ii) pemecahan sektor produksi air bersih menjadi dua
yaitu air minum perpipaan (PT. Thames Jaya dan PT. Palyja) dan air minum
nonperpipaan (small scale provider, dan lainnya). SNSE ini kemudian disebut
SNSE Air Minum DKI Jakarta 2000, yang kemudian diverifikasi dengan
menggunakan data-data tambahan seperti data perekonomian DKI Jakarta
(PDRB), data kemiskinan, dan lainnya.
c. Pengembangan model.
Pengembangan model mengadopsi Model Donny Azdan11 dengan melakukan
beberapa perubahan yang mengacu pada perbedaan (i) sumber data yang
dipergunakan. Model Azdan menggunakan basis data SNSE DKI Jakarta Tahun
1993, sementara model pada studi ini menggunakan SNSE DKI Jakarta Tahun
2000, (ii) dampak yang akan dihitung. Model Azdan menjelaskan dampak
perubahan kebijakan harga air minum dan penggunaan air tanah sebagai sumber
air minum terhadap pendapatan rumah tangga, sementara studi ini menjelaskan
pengaruh peningkatan investasi air minum terhadap pertumbuhan ekonomi, dan
distribusi pendapatan, (iii) simulasi kebijakan yang akan dilakukan. Simulasi
model Azdan difokuskan pada aspek harga air minum dan substitusi air tanah.
Sementara model dalam studi ini difokuskan pada investasi air minum perpipaan,
air minum nonperpipaan, dan subsidi pemerintah.
d. Pelaksanaan simulasi.
Terdapat enam simulasi yang dilakukan yaitu sebagai berikut.
(i) peningkatan investasi air minum perpipaan.

11
Azdan, M. Donny. Water Policy Reform in Jakarta, Indonesia: A CGE Analysis. Unpublished
Dissertation. The Ohio State University 2001.

11
(ii) peningkatan investasi air minum nonperpipaan.
(iii) peningkatan penyediaan air minum melalui subsidi pemerintah. Dalam
hubungan dengan simulasi (iii), terdapat dua skenario pada simulasi ini,
yaitu (a) sumber subsidi dari peningkatan pajak air minum dan (b) sumber
subsidi dari pemerintah pusat.
(iv) peningkatan investasi air minum perpipaan disertai penyediaan subsidi.
Dalam hubungan dengan simulasi (iv), terdapat dua skenario pada simulasi
ini, yaitu (a) sumber subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan
dan (b) sumber subsidi dari pemerintah pusat.
Selain itu, khusus untuk simulasi (iii) dan (iv), dilakukan pembedaan hasil
simulasi berdasarkan kelompok penerima subsidi yaitu kelompok penerima
rumah tangga termiskin (RT sangat miskin I) dan kelompok penerima seluruh RT
miskin (kelompok rumah tangga sangat miskin I, sangat miskin II, miskin I, dan
miskin II).
e. Perumusan rekomendasi.
Dalam menindaklanjuti hasil simulasi, beberapa rekomendasi kebijakan dapat
dihasilkan.
Lingkup studi adalah mengkaji dampak investasi air minum, baik perpipaan
maupun nonperpipaan, dan dampak subsidi air minum di DKI Jakarta terhadap
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Sebagaimana dipercayai selama ini,
investasi merupakan pemicu terjadinya pertumbuhan ekonomi yang kemudian
diharapkan dapat menjadi alat dalam menanggulangi kemiskinan. Secara harafiah,
ketika penduduk miskin lebih banyak mendapat manfaat jika dibandingkan dengan
yang lainnya dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan disebut ‘pro-poor’. Selain itu,
untuk dapat disebut pertumbuhan pro-poor, pertumbuhan harus disertai pengurangan
kesenjangan. Dengan kata lain, studi ini akan menguji apakah investasi air minum
mendorong terjadinya pertumbuhan pro-poor. Untuk itu, dampak investasi difokuskan
pada pertumbuhan ekonomi, dan distribusi pendapatan.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan disertasi ini dibagi dalam enam bagian, yaitu sebagai berikut.

12
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, masalah penelitian, tujuan dan
hipotesis penelitian, manfaat dan kontribusi penelitian, pendekatan dan ruang
lingkup, serta sistematika penulisan

Bab II Kondisi Sektor Air Minum DKI Jakarta, yang menjabarkan kondisi umum
dan perekonomian DKI Jakarta, kebijakan sektor air minum, sumbangan
sektor air minum terhadap perekonomian DKI Jakarta, kondisi pelayanan air
minum praprivatisasi dan pascaprivatisasi DKI Jakarta.

Bab III Penyediaan Air Minum, Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi


Pendapatan, yang memerinci, baik tinjauan teoritis maupun empiris, tentang
penyediaan air minum perpipaan dan nonperpipaan, keterkaitan kemiskinan
perkotaan dan ketersediaan air minum, dampak ketersediaan air minum
terhadap pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan kemiskinan,
keterkaitan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, dan
penanggulangan kemiskinan.

Bab IV Pemodelan Dampak Investasi Air Minum, yang menguraikan SNSE dan
model komputasi keseimbangan umum (termasuk riset terdahulu yang
menggunakan model dan bidang yang sama), menjabarkan proses pemodelan
dampak investasi air minum terhadap pertumbuhan ekonomi, dan distribusi
pendapatan di DKI Jakarta.

Bab V Skenario Kebijakan dan Hasil Simulasi. Pada bagian ini dijelaskan tentang
skenario kebijakan, simulasi, dan hasil simulasi.

Bab VI Kesimpulan dan Rekomendasi. Sebagai bagian akhir diuraikan kesimpulan


studi dan rekomendasi, beberapa kelemahan studi ini, dan kemungkinan studi
lanjutan.

13
BAB II
KONDISI SEKTOR AIR MINUM DKI JAKARTA

2.1 Gambaran Umum DKI Jakarta

2.1.1 Administrasi

Luas DKI Jakarta mencapai 662 km2 dan terbagi dalam 6 wilayah administrasi,
yaitu Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan
Kepulauan Seribu.
Peta DKI Jakarta

2.1.2 Kependudukan

Penduduk DKI Jakarta pada


tahun 2004 sebanyak 8,72 juta jiwa
dengan tingkat pertumbuhan 1,01
persen per tahun selama periode 2000 –
2004. Laju pertumbuhan penduduk DKI
Jakarta pada periode 1980-1990
mencapai 2,42 persen per tahun, kemu-
dian menurun tajam selama periode
1990-2000 yang menjadi hanya 0,16
Sumber: Situs Pemda DKI
persen per tahun. Laju pertumbuhan
periode 2000-2004 relatif lebih besar daripada periode 1990-2000 walaupun masih
lebih kecil daripada pertumbuhan periode 1980-1990.
Jumlah penduduk sangat berbeda antara siang hari dan malam hari. Siang hari
penduduk DKI Jakarta mencapai sekitar 11 juta sebagai akibat banyaknya penduduk
pendatang khususnya asal Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Bodetabek) yang bekerja
di Jakarta.
Persebaran penduduk DKI Jakarta tahun 2004 relatif tidak merata. Sekitar 28
persen bertempat tinggal di Jakarta Timur, kemudian 23 persen di Jakarta Barat, dan

14
21 persen di Jakarta Selatan. Selebihnya, sekitar 10 persen bertempat tinggal di Jakarta
Pusat dan 0,27 persen di Kepulauan Seribu.
Kepadatan penduduk rata-rata DKI Jakarta tahun 2004 mencapai 13 ribu
jiwa/km2. Jakarta Pusat mempunyai tingkat kepadatan tertinggi (18 ribu jiwa/km2),
sementara daerah lainnya bervariasi antara 9 ribu sampai 15 ribu jiwa/km2.

Tabel 2.1
Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta Tahun 1980 - 2004

Jumlah Penduduk (Jiwa) Laju Pertumbuhan (%)


Kota 1980- 1990- 2000-
1980 1990 2000 2004
1990 2000 2004
Jakarta Utara 981.272 1.369.630 1.444.027 1.423.845 3,39 0,55 -0,36
Jakarta Barat 1.234.885 1.822.762 1.906.385 2.020.030 3,97 0,46 1,50
Jakarta Timur 1.460.068 2.067.222 2.353.023 2.473.200 3,54 1,35 1,27
Jakarta Pusat 1.245.030 1.086.568 893.198 899.460 -1,35 -2,01 0,17
Jakarta Selatan 1.582.194 1.913.084 1.789.006 1.885.785 1,92 -0,69 1,34
Kepulauan Seribu -** -** -** 23.310 -** -** -**
DKI Jakarta 6.503.440 8.259.266 8.385.639 8.725.630 2,42 0,16 1,01
Sumber: BPS DKI Jakarta berbagai tahun Keterangan: ** belum terbentuk

2.2 Kondisi Perekonomian DKI Jakarta

2.2.1 Pangsa dan Pertumbuhan Sektor Ekonomi

Sektor PDRB yang


Gambar 2.1
PDRB DKI Jakarta 2000-2003 dominan di DKI Jakarta
Harga Konstan 1993 (Rp. Triliun)
pada tahun 2003 berdasar-
Jasa-Jasa kan sumbangannya terhadap
Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan
perekonomian adalah Perda-
Pengangkutan dan Komunikasi gangan, Hotel dan Restoran
Perdagangan, Hotel dan Restoran (24,3 persen); Industri Peng-
Bangunan
olahan (21,1 persen); Keu-
Listrik, Gas dan Air Bersih
angan, Persewaan, dan Jasa
Industri Pengolahan
Perusahaan (22,2 persen).
S umber: Tabel 2.2 0 5 10 15 20

2000 2003

15
Sementara Listrik, Gas dan Air Bersih hanya menyumbang sebesar 2,2 persen terhadap
total PDRB. Pangsa tersebut relatif stabil jika dibandingkan dengan kondisi tahun
2000.
Pertumbuhan PDRB DKI Jakarta periode 2000-2003, berdasar harga konstan
1993, mencapai sekitar 4,17 persen per tahun. Ada tiga sektor yang pertumbuhannya
relatif tinggi. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi mencapai 6,17 persen per tahun.
Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih mencapai 5,49 persen per tahun. Kemudian, sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran mencapai 5,1 persen per tahun. Ketiga sektor
tersebut mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dari pertumbuhan rata-rata
PDRB DKI Jakarta pada periode yang sama.

Tabel 2.2
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta
Tahun 2000 dan 2003 (Berdasar Harga Konstan 1993) dalam Rp. Juta

2000 2003
No Lapangan Usaha Absolut (%) Absolut (%)
1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan 115.742 0,2 107.430 0,2
2 Pertambangan dan Penggalian 0 0 0 0
3 Industri Pengolahan 12.875.191 21,6 14.172.360 21,1
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1.245.846 2,1 1.450.360 2,2
5 Bangunan 6.535.392 10,9 7.068.180 10,5
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 14.166.037 23,7 16.334.370 24,3
7 Pengangkutan dan Komunikasi 5.736.012 9,6 6.797.170 10,1
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 13.285.022 22,3 14.946.130 22,2
9 Jasa-Jasa 5.735.176 9,6 6.286.710 9,4
Total 59.694.418 100,0 67.162.710 100,0
Sumber: BPS, berbagai tahun

Gambar 2.2
Pertumbuhan PDRB/Kapita DKI Jakarta
Pangsa sektor listrik, gas,
Harga Konstan 1993 Tahun 1996-2002
dan air bersih relatif kecil terhadap
10.00 total PDRB DKI Jakarta, tetapi laju
5.00
pertumbuhannya relatif besar yang
0.00
melebihi tingkat pertumbuhan rata-
Persen

96/97 97/98 98/99 99/00 00/01 01/02


-5.00

-10.00 rata DKI Jakarta.


-15.00

-20.00
Periode

16
2.2.2 Pendapatan per Kapita

PDRB per Kapita DKI Jakarta Tahun 2002 berdasarkan harga konstan 1993
mencapai sekitar Rp. 7,6 juta. Pertumbuhan PDRB per Kapita me-nunjukkan
peningkatan yang stabil sejak tahun 1999, dengan angka pertumbuhan sekitar 3,08
sampai 3,99 persen per tahun. PDRB per kapita DKI Jakarta berdasarkan harga
konstan 1993 sempat mengalami pertumbuhan negatif sejak krisis ekonomi melanda
Indonesia, dengan pertumbuhan negatif tertinggi mencapai –17,62 persen per tahun
(1998/1999). Walaupun demikian tingkat pertumbuhan beberapa tahun terakhir belum
menyamai tingkat pertumbuhan sebelum krisis. Hal itu selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita
DKI Jakarta Periode 1996-2002

PDRB/Kapita (Rp.) Pertumbuh-


Tahun Harga Harga Kons- an PDRB/ Periode
Berlaku tan 1993 Kapita*

1996 9.983.491 7.998.277


1997 11.664.943 8.393.272 4.94 96/97
1998 16.696.695 6.914.252 - 17.62 97/98
1999 19.767.326 6.883.322 - 0.45 98/99
2000 22.425.675 7.095.199 3.08 99/00
2001 26.172.486 7.364.777 3.80 00/01
2002 30.184.176 7.658.911 3.99 01/02
Sumber: BPS DKI Jakarta, 2003 Keterangan: * harga konstan

2.2.3 Tingkat Kemiskinan

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin DKI Jakarta cenderung


meningkat setelah krisis ekonomi. Sebelum krisis ekonomi (tahun 1996), penduduk
miskin mencapai 215 ribu jiwa (tingkat kemiskinan 2,4 persen), kemudian meningkat
menjadi 284,7 ribu jiwa (2,9 persen) pada tahun 2000. Angka ini terlihat tetap
meningkat pada tahun 2003 yaitu 314,7 ribu jiwa dengan tingkat kemiskinan mencapai
3,7 persen.

17
Daerah dengan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi melampaui tingkat
kemiskinan rata-rata DKI Jakarta (3,7 persen) adalah Jakarta Utara (9,2 persen),
Jakarta Pusat (5,2 persen), dan Kepulauan Seribu (11,3 persen).

Tabel 2.4
Jumlah Penduduk Miskin DKI Jakarta Tahun 1996, 2000 dan 2003
Tingkat Kemiskinan*)
Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)
Kota (%)
1996 2000 2003 1996 2000 2003
Jakarta Utara 73.300 103.570 129.196 4,6 5,3 9,2
Jakarta Barat 31.500 68.957 59.159 1,4 3,1 3,0
Jakarta Timur 54.100 44.014 55.486 2,2 1,9 2,3
Jakarta Pusat 32.000 37.135 45.333 3,3 3,8 5,2
Jakarta Selatan 24.800 31.033 23.392 1,2 1,5 1,3
Kepulauan Seribu -** -** 2.136 -** -** 11,3
DKI Jakarta 215.700 284.709 314.702 2,4 2,9 3,7
INDONESIA 34.500.000 38.700.000 37.400.000 11,3 19,1 17,4
Sumber: BPS DKI Jakarta, 2004.
Keterangan: *) Jumlah Penduduk Miskin dibagi Jumlah Penduduk ( x 100%) **) Belum terbentuk

Gambar 2.3 Penduduk miskin terdistribusi tidak


Penyebaran Penduduk Miskin DKI Jakarta
Tahun 1996, 2000 dan 2003 merata di DKI Jakarta, dengan konsentrasi
50 terbesar di Jakarta Utara yang mencapai
40
sekitar 41 persen dari total penduduk mis-
persen

30
kin. Sementara konsentrasi penduduk mis-
20

10 kin di Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Ja-


0
Jakarta Utara Jakarta Barat Jakarta Jakarta Pusat Jakarta Kepulauan
karta Pusat relatif berimbang. Kepulauan
Timur Selatan Seribu
Seribu mempunyai tingkat kemiskinan ter-
1996 2000 2003

tinggi di DKI Jakarta tetapi jumlahnya re-


latif kecil terhadap total jumlah penduduk miskin DKI Jakarta (0,7 persen) (Gambar
2.3). Namun, jumlah penduduk miskin sebagaimana yang dinyatakan oleh BPS masih
jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa angka penduduk miskin dengan
menggunakan indikator yang berbeda.
Indikator lain yang digunakan untuk mengukur kemiskinan perkotaan di
Jakarta adalah jumlah penduduk yang tinggal di kampung atau permukiman liar.
Meskipun tidak semua yang tinggal pada lokasi tersebut miskin, terdapat kecen-

18
derungan penduduk miskin berlokasi di permukiman liar dan padat. Dengan meng-
gunakan indikator ini diperkirakan sekitar 20-25 persen penduduk Jakarta dapat dika-
tegorikan sebagai penduduk miskin. Termasuk dalam kategori ini adalah penduduk
yang tinggal di tepi sungai (McCarthy, 2003). Perbedaan angka penduduk miskin pada
dua indikator itu kemungkinan berasal dari banyaknya penduduk yang tidak tercatat
sebagai penduduk DKI Jakarta walaupun kenyataannya mereka bertempat tinggal di
DKI Jakarta.

2.2.4 Distribusi Pendapatan

Data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) DKI Jakarta Tahun 2000
mengklasifikasikan tingkat pendapatan ke dalam 10 kategori. Pada kategori terendah
dengan tingkat pendapatan dibawah Rp1.691.380,00 per kapita per tahun atau sekitar
Rp.141.000,00 per kapita per bulan12, ternyata proporsi penduduk pada kelompok
tersebut mencapai 1.055.905 jiwa atau 12,6 persen dari total penduduk. Sementara
semakin tinggi golongan pendapatan, semakin kecil proporsi penduduknya.

Tabel 2.5
Distribusi Pendapatan per Kapita DKI Jakarta
Menurut Golongan Rumah Tangga, Tahun 2000
Pendapatan
Golongan Jumlah Penduduk rata-rata per Kapita
Rumah Tangga per Tahun
(Jiwa) (%) (Rp)
Golongan I 1.055.905 12,6 1.812.680
Golongan II 1.020.618 12,2 2.784.920
Golongan III 985.015 11,7 3.502.380
Golongan IV 946.080 11,3 5.245.410
Golongan V 849.298 10,1 6.670.050
Golongan VI 792.495 9,4 9.259.470
Golongan VII 735.012 8,8 12.962.420
Golongan VIII 696.575 8,3 16.592.900
Golongan IX 675.782 8,1 22.826.250
Golongan X 628.073 7,5 86.434.400
Total 8.384.853 100 13.950.180
Sumber: BPS DKI Jakarta 2002

12
Tingkat pendapatan penduduk yang diklasifikasikan sebagai penduduk miskin di perkotaan berdasar
standar BPS adalah Rp.139.000,00 per kapita per bulan.

19
Rata-rata pendapatan per kapita di DKI Jakarta pada tahun 2000 mencapai
Rp.13.950.180,00 per tahun (berdasarkan harga berlaku) atau sekitar Rp.1.162.515,00
per bulan. Sementara pendapatan rata-rata per kapita antara golongan I dan golongan
X terlihat berbeda jauh. Kesenjangan pendapatan mencapai rasio 1 : 47,7.
Berdasarkan SNSE DKI Gambar 2.4
Jakarta 2000 ukuran 38x38, penggo- Distribusi Pendapatan DKI Jakarta 2000 (%)

longan rumah tangga diklasifikasikan


dalam 3 golongan yaitu (i) golongan 11.1

bawah yang merupakan 40 persen


rumah tangga dengan pengeluaran 29.3
59.6
konsumsi paling bawah, (ii) golongan
menengah yang merupakan 40 persen
rumah tangga dengan tingkat penge-
bawah menengah atas
luaran konsumsi di atas rumah tangga
golongan bawah, (iii) golongan atas yang merupakan 20 persen rumah tangga dengan
tingkat konsumsi tertinggi. Disini terlihat bahwa golongan atas yang hanya mencakupi
20 persen dari total penduduk menikmati pendapatan hingga mencapai 59,6 persen.
Sementara golongan bawah dan golongan menengah masing-masing menikmati hanya
sebesar 11,3 persen dan 29,1 persen. Data ini menunjukkan besarnya kesenjangan
pendapatan di DKI Jakarta. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6
Distribusi Pendapatan per Kapita DKI Jakarta
Menurut Golongan Rumah Tangga, 2000

Jumlah Pendapatan
Golongan Penduduk Total Pendapatan
per Kapita
Rumah Tangga
(Jiwa) (Rp. Juta) (%) (Rp)
Golongan Bawah 4.007.619 13.168.827 11,3 3.285.948
Golongan Menengah 3.073.380 34.088.680 29,1 11.091.593
Golongan Atas 1.303.854 69.712.680 59,6 53.466.630
Total 8.384.853 116.970.187 100 13.950.177
Sumber: BPS DKI Jakarta, 2000.

20
Berdasarkan kriteria Bank Dunia, jika penduduk golongan bawah yang
merupakan 40 persen rumah tangga dengan pendapatan terendah menerima kurang
dari 12 persen dari jumlah pendapatan, hal itu menunjukkan tingkat ketimpangan yang
tinggi dari distribusi pendapatan. Jika penduduk tersebut menerima antara 12–17
persen, hal itu menunjukkan tingkat ketimpangan yang sedang dari distribusi
pendapatan. Kemudian, jika penduduk tersebut menerima lebih besar dari 17 persen,
hal itu menunjukkan tingkat ketimpangan yang rendah dari distribusi pendapatan.
Setelah memperhatikan kriteria di atas, kita dapat mengatakan bahwa ketimpangan
distribusi pendapatan di DKI Jakarta termasuk dalam kategori tinggi.
Jika diukur dengan menggunakan rasio Gini, besaran rasio Gini DKI Jakarta
pada tahun 2000 mencapai 0,59713 yang menunjukkan ketimpangan distribusi
pendapatan tinggi (BPS DKI Jakarta, 2003).

2.2.5 Kebijakan Sektor Air Minum DKI Jakarta

Sasaran pembangunan air minum DKI Jakarta adalah meningkatkan cakupan


layanan air perpipaan, mengurangi penggunaan air tanah, dan mencapai sistem
distribusi air minum yang merata dan terjangkau.
Kebijakan utama pembangunan air minum DKI Jakarta adalah (i) menyediakan
dan meningkatkan kualitas air baku instalasi pengolah yang ada, (ii) meningkatkan
kapasitas instalasi pengolahan air minum dan jaringan distribusi, (iii) memprioritaskan
daerah padat dan daerah dengan kualitas air tanah jelek, (iv) membenahi koordinasi
diantara institusi terkait untuk melindungi kualitas air baku, dan (v) merehabilitasi
jaringan perpipaan untuk mengurangi kebocoran.

2.2.6 Pola Penyediaan Air Minum di DKI Jakarta

DKI Jakarta dilalui oleh 13 sungai, beberapa kanal dan 11 danau dengan luas
sekitar 111 ha. Beberapa tahun terakhir, penggunaan air permukaan sebagai sumber air
menjadi semakin terbatas14. Air sungai menjadi semakin kotor sehingga hanya
berfungsi sebagai drainase dan pengendali banjir. Walaupun demikian, beberapa

13
Angka rasio Gini ini dihitung menggunakan pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income).
14
Pemerintah DKI Jakarta mengklasifikasikan penggunaan sungai dalam kategori (i) sumber air minum; (ii)
sumber air bersih; (iii) sesuai bagi tempat mancing; (iv) pengendali banjir.

21
bagian sungai masih menjadi sumber air bagi perusahaan air minum. Sumber air
permukaan lainnya yang berupa danau hanya dipergunakan sebagai pengendali banjir
(Argo, 1999).
Pola penyediaan air minum di DKI Jakarta sejak zaman penjajahan Belanda
tidak berubah banyak. Pada zaman Belanda, air minum perpipaan merupakan salah
satu unsur pelayanan publik yang pendistribusiannya berdasar pembedaan
pengelompokan etnis. Permukiman yang mendapat akses air minum merupakan
permukiman elite. Saat ini, penyediaan air minum cenderung memisahkan pengguna
berdasar permukiman legal vs permukiman liar, permukiman mewah vs permukiman
kumuh. Keputusan penyediaan air minum cenderung mengarah pada daerah elite,
permukiman menengah ke atas dan daerah yang terencana baik.

2.3 Perkembangan dan Rencana Pengembangan Penyediaan Air Minum DKI


Jakarta
2.3.1 Praprivatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta

A. Perkembangan Awal
Penyediaan air minum DKI Jakarta telah dimulai sejak tahun 1843, yang
bersumber dari sumur dalam di beberapa lokasi. Kemudian, pada tahun 1918,
Pemerintah Belanda meresmikan Water Leidingen Bedriff van Batavia (Local Water
Supply Enterprise of Batavia) untuk mengelola distribusi air perpipaan yang
menggunakan sumber air baku dari sungai. Salah satu maksud pendirian perusahaan
ini adalah memperkenalkan penyediaan air minum yang bersifat egaliter15. Pada tahun
1922 Pemerintah Belanda membangun jaringan pipa dengan kapasitas 484 liter/detik
bersumber dari mata air Ciomas-Ciburial, Bogor. Namun, dalam kenyataannya
penduduk asing mendapat jauh lebih banyak air minum jika dibandingkan dengan
pribumi. Pribumi memperoleh air minum dari sumber hidran dan membayar lebih
mahal (Argo, 2000).
Pada tahun 1953, Instalasi Pengolah Air Pejompongan I dibangun dengan
kapasitas 2.000 liter/detik, kemudian disusul tahun 1964 dengan Water Treatment
Plant (WTP) Pejompongan II dengan kapasitas 3.000 liter/detik. Cakupan pelayanan

15
Pada masa itu, penduduk asing mendapatkan keistimewaan (privilege) untuk mendapatkan air minum.

22
meningkat menjadi 12,5 persen dari total penduduk. Namun, banyak penduduk miskin
yang tidak menggunakan air minum perpipaan karena tidak mampu membayar
sehingga mereka tetap menggunakan sumur dan kanal.
Pada tahun 1968, PDAM Jakarta dipisahkan dari Departemen Pekerjaan Umum
dan menjadi PAM Jaya berdasar Peraturan Pemerintah Daerah No. 3 Tahun 1977.
Sementara pemerintah mulai mempertimbangkan untuk menambah kapasitas
penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Pada tahun 1972, Rencana Induk
Pengembangan Air Minum dan Saluran Air Limbah diselesaikan sebagai acuan dalam
meningkatkan sistem penyediaan air minum DKI Jakarta. Rencana Induk tidak
langsung dapat dilaksanakan. Pemerintah DKI Jakarta masih bergantung pada
pemerintah pusat. Pembangunan sebagian besar fasilitas dibiayai pemerintah pusat.
Kemampuan pemerintah kota menyediakan air minum masih tertinggal oleh
kebutuhan penduduk akan air minum. Permintaan air minum dari rumah tangga,
industri, perdagangan semakin meningkat. Akibatnya, sejak tahun 1970-an, volume air
yang diambil dari sungai dan kanal bertambah dengan pesat. Pada saat bersamaan,
sumur pompa mulai dipergunakan. Antara tahun 1968-1975, jumlah sumur dalam
bertambah sebanyak 1.200 yang sekitar 60 persen melayani kebutuhan industri
(Tirtomiharjo, 1996).
Cakupan pelayanan air minum tahun 1975 meningkat menjadi 25 persen dari
total penduduk. Kapasitas produksi meningkat menjadi 2.300 liter/detik. Selanjutnya,
dengan semakin meningkatrnya kebutuhan air minum, dibangunlah WTP Pulogadung
dengan kapasitas 4.000 liter/detik, WTP Buaran dengan kapasitas 5.000 liter/detik.
Beberapa WTP dengan kapasitas kecil juga dibangun sehingga total kapasitas produksi
air minum mencapai 18.000 liter/detik.
Berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Air Minum DKI Jakarta, sampai
tahun 2019, tercatat 83 persen penduduk Jakarta akan mendapat akses air minum. Hal
ini berarti bahwa kapasitas produksi harus ditingkatkan menjadi 44.520 liter/detik
dengan asumsi kebutuhan air 185 liter/kapita/hari dan tingkat kehilangan air 25 persen.

23
B. Sumber Air Minum Rumah Tangga

Sumber air minum penduduk DKI Jakarta bergantung pada tiga sumber utama
yaitu air perpipaan, air tanah dan penjaja air keliling. Pada kondisi tertentu, banyak
penduduk yang mempunyai lebih dari satu sumber air minum. Pada tahun 1993, porsi
terbesar sebagai sumber utama air minum adalah air tanah (55,7 persen), sementara
porsi air perpipaan dan penjaja air keliling sebagai sumber air minum relatif
berimbang masing-masing 22,6 persen dan 21,7 persen (Cestti, 1994).

C. Produksi Air Perpipaan

Pada tahun 1997, PAM Jaya memiliki


Gambar 2.5
Produksi dan Air Terjual PAM Jaya 1993-1997
enam instalasi pengolah, tujuh instalasi
450
400
kecil dan satu instalasi transmisi mata air.
350
300 Kapasitas produksi keseluruhan instalasi
250
200 pengolahan mencapai 382 juta m3 tetapi
150
100 hanya 191 juta m3 (46 persen) didistri-
50
0
1993 1994 1995 1996 1997
busikan, sehingga terdapat 54 persen air
Produksi (juta m3) Terjual (juta m3) terbuang (non revenue water). Diperkirakan
kebocoran pipa mencapai 40 persen dan
Gambar 2.6 Penerimaan dan Biaya Operasional
kebocoran karena sambungan liar dan kesa- PAM Jaya 1993-1997

lahan penagihan terdapat sekitar 10 persen. 300


250
Rata-rata penyaluran air minum hanya 200
150
mencapai 9 jam per hari sehingga sebagian 100
50
konsumen mengalami kesulitan mendapatkan
0
1993 1994 1995 1996 1997
air pada jam tertentu (Shofiani, 2003).
Penerimaan (Rp. M)
Produksi air terus meningkat tetapi Biaya operasional (Rp. M)
Sisa Penerimaan (Rp. M)
ting-kat kebocoran tidak berubah, yaitu di
sekitar angka 50 persen. Hal ini yang menyebabkan penerimaan bersih PAM Jaya
relatif konstan dari tahun 1993 sampai tahun 1997 pada besaran sekitar 30 miliar
Rupiah walaupun penerimaan kotor PAM Jaya terus meningkat (Azdan, 2001).

24
D. Cakupan Pelayanan Air Perpipaan

Jumlah sambungan domestik tahun 1997 mencapai 426.735 sambungan.


Penduduk yang terlayani mencapai 3,26 juta16 orang atau sekitar 33 persen dari total
penduduk (Shofiani, 2003).
Pada periode tahun 1993-1997 terjadi pertambahan sambungan sebanyak
101.000 sambungan, yang berarti terdapat
Gambar 2.7 Jumlah Sambungan PAM Jaya 1993-
1997 pertambahan rata-rata sambungan sebanyak
450000 25.000 sambungan per tahun atau sekitar
7,8 persen per tahun (Azdan, 2001).
400000
Penduduk yang terlayani meningkat

350000
sebanyak 770.000 pada periode 1993-1997,
yang berarti terdapat pertambahan rata-rata
300000 penduduk terlayani sebanyak 195.000 per
1993 1994 1995 1996 1997
tahun.

E. Daerah Pelayanan

Sistem penyediaan air


minum DKI Jakarta mencakup
daerah seluas 316 km2 (1995)
yang berarti 48 persen dari luas
DKI Jakarta.
Daerah pelayanan dibagi
dalam 6 zona teknis (Gambar
2.1). Sistem zona tidak menun-
jukkan sistem distribusi mandiri,
tetapi hanya digunakan sebagai
unit operasi dan manajemen.
PT. Palyja beroperasi pa-
Gambar 2.8
Sistem Jaringan Pipa Distribusi Air Minum DKI Jakarta da Zona 1, Zona 4 dan Zona 5

16
Berdasar perhitungan PAM Jaya yang mengasumsikan 1 sambungan melayani 7,6 penduduk.

25
(Wilayah Barat DKI Jakarta), sementara PT. Thames Jaya beroperasi pada Zona 2,
Zona 3 dan Zona 6 (Wilayah Timur DKI Jakarta).

F. Layanan Air Minum Nonperpipaan

Penduduk daerah utara dan barat DKI Jakarta, umumnya membeli air dari kran
umum yang dikelola oleh swasta atau penjaja air keliling. Penjaja air keliling
memperoleh air dari kran umum yang dikelola swasta yang tersambung ke sambungan
pipa milik PAM Jaya. Diperkirakan jumlah kran umum yang dikelola swasta tersebut
mencapai 8.000 unit yang melayani sekitar 21,7 persen dari total penduduk pada tahun
1993 (Crane, 1994).

2.3.2 Privatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta

Pada tahun 1995, tingkat pertumbuhan penduduk mencapai 4 persen per tahun
yang mengakibatkan tingginya kebutuhan akan ketersediaan air minum. Di pihak lain,
PAM Jaya hanya dapat menyediakan akses air minum bagi sekitar 42 persen penduduk
atau 340.000 sambungan rumah dan selebihnya menggunakan sumber sumur dalam
dan penjaja keliling. Khusus pelayanan untuk daerah kumuh dan miskin, penyediaan
air minum dilakukan melalui truk tangki, dan kran umum. Kran umum digunakan
untuk beragam keperluan seperti hidran bagi penjaja keliling dan MCK umum.
Untuk mempercepat peningkatan akses, dibutuhkan investasi yang cukup
besar, sementara penerimaan yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan investasi
tersebut. Salah satu alternatifnya adalah melibatkan partisipasi swasta dalam
penyediaan air minum (Tutuko, 2001).
Setelah melalui proses negosiasi selama dua tahun, sejak 1 Februari 1998, PT.
Palyja (Ondeo) dan PT. TPJ (Thames International, RWE) mendapatkan kontrak
konsesi penyediaan air minum di Jakarta. Jakarta dibagi dalam dua wilayah, yaitu PT
Palyja bertanggungjawab untuk pengembangan dan pengelolaan air minum di bagian
barat, dan PT. TPJ di bagian timur (Anwar, 2003). Perjanjian itu berlaku sejak tanggal
1 Februari 1998 dan berakhir pada tanggal 1 Februari 2023.

26
Perjanjian kerja sama17 menetapkan sasaran dari perjanjian tersebut yaitu (i)
mendukung pembangunan sosial dan ekonomi di DKI Jakarta melalui pembangunan
infrastruktur air, (ii) mencapai perluasan yang substansial dalam jaringan distribusi air
minum, (iii) menyertakan partisipasi sektor swasta dalam memproduksi dan
mendistribusikan air minum di wilayah DKI Jakarta dalam upaya mempercepat laju
perpindahan simpanan persediaan air, dan meneruskan perbaikan kualitas pelayanan
pelanggan, (iv) menyediakan sistem yang memungkinkan penduduk mengubah pola
penggunaan air dari air tanah ke air perpipaan; (v) meningkatkan efisiensi dalam
sistem penyediaan air; (vi) menjamin kuantitas, kualitas dan kontinuitas penyediaan air
minum dari fasilitas produksi dan fasilitas distribusi, (vii) memenuhi target teknis dan
standar pelayanan, (viii) meningkatkan pelayanan pelanggan, (ix) mengurangi angka
kehilangan air, (x) memperbaiki kinerja operasional dan mempertinggi kemampuan
pengelolaan perusahaan, dan (xi) meningkatkan rasio cakupan pelayanan dengan
mempercepat penyediaan sambungan baru (Pemda DKI Jakarta, 2000 dan Gigacher,
2001)
Berdasarkan perjanjian, pihak swasta berkewajiban menyusun program lima
tahun yang kemudian diajukan ke PT. PAM Jaya untuk mendapat persetujuan. Selain
itu, PAM Jaya kemudian difungsikan sebagai pemantau untuk memastikan bahwa
aktivitas penyediaan air minum oleh kedua mitra swasta tersebut memenuhi kebutuhan
air masyarakat sesuai standar yang ditetapkan.

Tabel 2.7
Target Teknis Tahun 1998-2002

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Kapasitas Produksi (juta 396 407 382 383 391 392 397
l/det)
Jumlah Sambungan (ribu) 471 511 562 597 636 675 714
Cakupan pelayanan (%) 31-57 34-57 38-60 40-54 42-56 45-60 47-63
Kebocoran air (%) 52-58 52-58 46-51 45-49 43-48 41-45 39-43
Volume penjualan (ribu m3) 182 207 228 236 250 258 268
Sumber: Kantor Badan Regulator Jakarta dan Kontrak Kerjasama PAM Jaya dan PT. Palyja

17
Perjanjian ini merupakan hasil renegosiasi antara Pemda DKI Jakarta dengan perusahaan swasta yang
mendapat konsesi pada Februari 2000

27
Berdasarkan target teknis yang ditetapkan, dalam waktu lima tahun setelah
privatisasi, cakupan pelayanan akan meningkat menjadi 60 persen yang berupa
675.000 sambungan. Tingkat kebocoran18 menurun menjadi sekitar 45 persen dan
volume penjualan meningkat menjadi 258 juta m3. Pada akhir kerjasama (tahun 2023),
ditargetkan tingkat kebocoran air menjadi hanya 20 persen, dan cakupan pelayanan
mencapai 100 persen.
Untuk mendukung rencana teknis di atas, kedua perusahaan tersebut akan
menginvestasikan sebesar USD. 1,17 miliar selama lima tahun pertama. Investasi
setiap tahun berkisar antara USD. 168 juta sampai USD. 323 juta. Hal itu
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8
Rencana Investasi PT. Thames PAM Jaya dan PT. PAM Lyonnaise Jaya
Tahun 1998-2002 (dalam USD 000)
1998 1999 2000 2001 2002 Total

PT. Thames PAM Jaya 44.379 108.006 146.686 65.273 70.173 434.417
(19,7) (33,4) (58,6) (38,8) (34,3) (37,1)
PT. PAM Lyonnaise 180.484 215.839 103.571 102.833 134.448 737.175
Jaya (80,3) (66,6) (41,4) (61,2) (65,7) (62,9)
Total 224.863 323.845 250.257 168.106 204.621 1.171.582
Sumber: Tetuko, 2001. Keterangan : angka dalam kurung merupakan proporsi per tahun.

2.3.3 Kinerja Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta Setelah Privatisasi

Indikator kinerja privatisasi air minum DKI Jakarta tidak tersedia, tetapi
beberapa indikator yang secara umum sering dijadikan patokan diantaranya adalah
produksi air, jumlah sambungan, cakupan pelayanan, dan tingkat kebocoran.
Secara umum setelah privatisasi (2004), terjadi peningkatan kinerja pada
keempat indikator, tetapi hanya produksi air dan cakupan pelayanan yang melampaui
target. Sementara pencapaian jumlah sambungan masih berkisar 98 persen dari target.
Kemudian, tingkat kebocoran masih melampaui target kebocoran, yaitu sekitar 112-
120 persen dari target.

18
Tingkat Kebocoran = [(Volume air terdistribusi – Volume air tertagih) / volume air terdistribusi] x 100 %

28
Tabel 2.9
Kinerja Privatisasi Pengelolaan Air Minum DKI Jakarta, Tahun 2004

No Kriteria Sebelum Setelah Target Pencapaian


(1997) (2004) (2004) (%)
1 Produksi Air (juta m3) 382 430 397 108
2 Jumlah sambungan (ribu) 426 706 715 98,7
3 Cakupan pelayanan (%) 38-42 49-67 47-63 104-106
4 Tingkat Kebocoran (%) 53-57 47-48 39-43 112-120
Sumber: Diolah dari Argo (2004) dan BPS (2003)

Usaha peningkatan cakupan pelayanan, mengabaikan banyaknya keluhan


terhadap kualitas dan kuantitas pelayanan19, kedua operator telah mencapai
perkembangan yang nyata. Pelayanan telah bertambah menjadi 44 persen di bagian
barat, dan 62 persen di bagian timur, yang secara keseluruhan mencapai 52 persen
untuk seluruh Jakarta. Dari cakupan pelayanan tersebut, sebanyak 12,7 persen
merupakan penduduk miskin. Sementara sekitar 10,7 persen penduduk miskin belum
terlayani oleh air perpipaan (Anwar, 2003).

Tabel 2.10
Cakupan Layanan Air Minum di Jakarta Tahun 2002

Terlayani Air Tidak


Perpipaan Terlayani Air
Perpipaan
Tidak Miskin 39,7 36,9
Miskin 12,7 10,7
Sumber: Alizar Anwar (2003)

Dari keseluruhan jumlah pelanggan, kelompok nonniaga (rumah tangga)


merupakan pelanggan terbanyak mencapai 79 persen, kelompok niaga dan industri
(5,6 persen), kelompok sosial (0,9 persen), dan kelompok khusus relatif kecil sekali.

19
Beberapa survei primer menunjukkan tingginya ketidakpuasan pelanggan terhadap kualitas air perpipaan,
distribusi yang lebih mengutamakan lokasi yang mudah dijangkau seperti tepi jalan besar, tekanan air kecil
dan air mengalir hanya pada jam tertentu saja. Sementara studi dalam rangka Ex-Post Evaluation for ODA
Loan Projects (2001) menyatakan bahwa sekitar 40 persen responden tidak puas dengan layanan air
perpipaan (Siregar dkk, 2004).

29
Terlepas dari usaha peningkatan cakupan pelayanan air minum, terlihat bahwa
penggunaan sumber air minum nonperpipaan masih dominan pada tahun 2002 yang
mencapai sekitar 54,3 persen dari total KK20. Sumber air nonperpipaan sebagian besar
berasal dari penggunaan pompa yang dapat menyebabkan turunnya permukaan tanah
dan terjadinya intrusi air laut. Sementara penggunaan sumur membahayakan kesehatan
masyarakat karena berdasarkan penelitian sekitar 80-90 persen sumur yang ada
tercemar oleh bakteri E. Coli (Argo, 1999).
Tabel 2.11
Klasifikasi Rumah Tangga berdasar Sumber Air Minum
Tahun 2003
Rumah Tangga
Sumber Air Minum
Jumlah (KK) Proporsi (%)
Air kemasan 155.801 7,8
Air Perpipaan 916.815 45,7
Pompa 871.745 43,4
Sumur Terlindungi 43.699 2,3
Sumur Tak Terlindungi 6.867 0,3
Mata Air Terlindung 7.711 0,3
Lainnya 4.629 0,2
Total 2.006.997 100
Sumber: BPS DKI Jakarta, 2003.

Peningkatan cakupan pelayanan air minum di DKI Jakarta sampai tahun 2002
mencakup juga pembangunan fasilitas bagi penduduk miskin berupa kran umum
sebanyak 49 unit21, yang berarti penambahan sekitar 3,1 persen, dan penambahan
sambungan rumah sekitar 40.000 sambungan atau sekitar 133 persen.
Berdasarkan data BPS DKI Jakarta (2003), dari jumlah rumah tangga miskin
yang ada, sekitar 32,5 persen menggunakan sumber air sendiri, 35 persen
menggunakan sumber bersama, 31,2 persen menggunakan sumber umum, dan sisanya
1,25 persen tidak mempunyai sumber22.

20
Data yang tersedia tidak memungkinkan mengetahui secara persisnya proporsi sumber air minum yang
berasal dari penjaja keliling, dan truk tangki
21
Berdasarkan perjanjian kerjasama maka penambahan kran umum sama sekali tidak diprogramkan dengan
pertimbangan untuk mendorong penduduk menggunakan sambungan rumah.
22
Penjelasan mengenai klasifikasi sumber air minum selengkapnya pada Lampiran 1

30
Tabel 2.12
Peningkatan Layanan Air Minum bagi Penduduk Miskin di Jakarta (1998-2002)
Tahun Perkembangan
Fasilitas 1998 1999 2000 2001 2002 1998-2002
(%)
Kran Umum 1.568 1.576 1.616 1.597 1.617 3,1
Sambungan 29.958 41.258 45.916 59.227 71.671 133
Rumah (unit)
Sumber: Anwar (2003)

Pada periode 1998-2002, peningkatan sambungan rumah ke penduduk miskin


menunjukkan jumlah yang signifikan. Namun, diterapkannya pelarangan penggunaan
sumur artesis dan sumber lainnya mengakibatkan beberapa komunitas permukiman
miskin yang belum terlayani air perpipaan terpaksa membeli dari penjaja keliling
dengan harga yang jauh lebih mahal dari air perpipaan. Selain itu, penduduk miskin
juga menggunakan sumber seperti sumur dangkal, sebagian penduduk menjual air ke
tetangganya, truk air, dan air kemasan isi ulang.
Walaupun peningkatan cakupan akses air minum pada penduduk miskin
meningkat, proporsi penduduk miskin yang belum terlayani masih relatif besar, yaitu
sekitar 10 persen24. Sebagai usaha memberi akses air minum pada penduduk miskin,
kran umum dibangun dahulu sebelum distribusi air perpipaan dibangun. Air dari kran
tersebut dihargai sama dengan air perpipaan untuk tarif sosial. Namun, dalam
kenyataannya karena jumlah kran umum yang masih kurang, penduduk tetap saja
memperoleh air melalui penjaja keliling dengan tarif yang jauh lebih mahal, yaitu
berkisar antara 6-20 kali.
Selain itu, subsidi silang diperkenalkan. Untuk kelompok sosial dan penduduk
miskin, konsumsi 20 m3 pertama dihargai murah. Tarif air yang diterapkan jauh
dibawah biaya yang sebenarnya. Kendalanya adalah bahwa banyak penduduk miskin
yang tidak terakses air minum karena biaya sambungan sangat berat. Akibatnya,

24
Berdasarkan data BPS (2004), rumah tangga miskin yang menggunakan air bersih mencapai 90,89 persen.
Sementara definisi rumah tangga pengguna air bersih adalah persentase rumah tangga yang menggunakan
air minum yang berasal dari air mineral, air ledeng/PAM, pompa air, sumur atau mata air terlindung (jarak
ke sumber pencemaran lebih dari 10 meter). Kondisi ini menunjukkan belum terjaminnya sumber air minum
yang terjangkau bagi penduduk miskin, karena sumber masih mencakup air mineral, dan juga penjual air
keliling dan sejenisnya.

31
sebagian besar pelanggan yang terlayani itu berasal dari kelompok tidak miskin,
sementara penduduk miskin yang tidak terlayani membeli air dengan harga jauh lebih
mahal, yaitu sampai 25 kali tarif air perpipaan. Subsidi yang diberikan akhirnya
sebagian besar dinikmati oleh penduduk tidak miskin (Anwar, 2003).
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 138/2005 tanggal
20 Januari 2005 tentang Penyesuaian Tarif Otomatis (PTO) Air Minum Semester I
Tahun 2005 di DKI Jakarta, maka struktur tarif dibagi dalam 7 golongan. Golongan
Kelompok I, Kelompok IV B, dan Kelompok Khusus memperoleh tarif flat masing-
masing sebesar Rp.550,00/m3, Rp.9.750,00/m3 dan Rp.11.500,00/m3. Golongan
lainnya berlaku tarif progresif untuk setiap penggunaan 0-10 m3, 11-20 m3 dan >
20m3. Secara lengkap dapat kita lihat pada Tabel 2.13.

Tabel 2.13
Sistem Tarif Air Minum DKI Jakarta, Tahun 2005

Blok Pemakaian dan Tarif Air (Rp./m3)


Kelompok Pelanggan 0-10 11-20 >20
Kelompok I 550 550 550
Kelompok II 550 550 1.000
Kelompok III A 2.450 3.350 4.000
Kelompok III B 3.500 4.400 5.600
Kelompok IV A 5.100 6.200 7.500
Kelompok IV B 9.750 9.750 9.750
Kelompok V/Khusus 11.500 11.500 11.500
Sumber: PAM Jaya, 2005

Secara rata-rata penduduk miskin DKI Jakarta memperoleh air dari berbagai
sumber dengan pengeluaran total rata-rata sebesar Rp.182.000,00 per rumah tangga
per bulan yang dapat diperinci sebagai berikut: untuk air kemasan (Rp.68.620,00 per
rumah tangga per bulan), air perpipaan (Rp.86.419,00 per rumah tangga per bulan), air
penjaja keliling (Rp.21.766,00 per rumah tangga per bulan), dan air tetangga
(Rp.5.266,00 per rumah tangga per bulan)25. Secara rata-rata pengeluaran air minum

25
Data ini diperoleh dari survei primer

32
rumah tangga miskin relatif lebih besar dari pengeluaran untuk listrik dan sewa rumah
(PPIAF, 2005)

2.3.4 Sistem Distribusi Pelayanan Air Minum Nonperpipaan

Daerah yang tak terlayani dengan sambungan rumah sistem perpipaan oleh
penyedia air minum perpipaan disediakan sarana stasiun air, terminal air, serta truk
tangki air minum. Selain itu, daerah yang belum terlayani juga dilayani oleh penyedia
air minum skala kecil yang berbentuk penjaja air yang sebagian besar sumbernya
berasal dari air minum perpipaan, pelanggan air minum perpipaan yang menjual air ke
tetangga, truk tangki air yang dikelola swasta, dan bahkan sumber air berupa sumur
pompa dan sumur dalam.
Tidak tersedia data yang pasti mengenai jumlah dan kapasitas penyedia air
skala kecil. Akan tetapi, PAM Jaya menyediakan beberapa stasiun air baik untuk
kebutuhan domestik maupun komersil.

Gambar 2.9
Distribusi Air Minum Nonperpipaan dari
Sumber Air Minum Perpipaan Tahun 2005

Air Minum Perpipaan

Daerah Terlayani (60%) Daerah Belum Terlayani

Sambungan Rumah Hidran Umum Stasiun Air Stasiun Air


(709 ribu) (2.280 unit) Domestik Komersil
(7 unit) (3 unit)

Keterangan:
Truk Tangki Air Truk Tangki Air
Air minum non perpipaan PAM Jaya Bantuan Pusat ..
(31 unit) (60 unit)

Terminal Air Terminal Air


(56 unit) (203 unit)

33
Pada tahun 2005, terdapat 7 unit stasiun air untuk kebutuhan domestik dan 3
unit stasiun air komersil untuk kebutuhan pabrik, industri, dan sejenisnya. Stasiun air
domestik melayani 31 unit tangki air milik PAM Jaya yang melayani 56 terminal air
PAM Jaya. Selain itu, terdapat 60 unit tangki air bantuan pusat yang melayani 203 unit
terminal air yang dikelola oleh kelompok swadaya masyarakat.

2.3.5 Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi untuk


Penyediaan Prasarana Air Bersih26

Sebagai kelanjutan dari kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan


bakar minyak (BBM) secara bertahap, pemerintah menyiapkan program kompensasi
pada penduduk miskin melalui beberapa sektor. Pemberian subsidi ini dimaksudkan
untuk mengurangi dampak pengurangan subsidi untuk melindungi masyarakat miskin
melalui program yang langsung dapat diterima manfaatnya. Program tersebut diberi
nama Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PPD-PSE).
Program ini terdiri dari 7 (tujuh) kegiatan yaitu ketahanan pangan, layanan kesehatan,
bantuan pendidikan, angkutan, penyediaan air bersih perkotaan (Subsidi Energi Air
Bersih atau SE-AB), penyediaan dana bergulir lembaga keuangan mikro, dan
pemberdayaan masyarakat pesisir.
Program SE-AB dilaksanakan pada permukiman rawan air dan konsentrasi
penduduk miskin perkotaan di seluruh Indonesia. Penanggungjawab program adalah
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah27. Sasaran utama program adalah
masyarakat miskin perkotaan yang belum terlayani oleh PDAM dan menempati daerah
yang rawan air bersih, yaitu daerah yang kondisi air tanah dangkalnya tidak laik
minum dan/atau air permukaannya tercemar sehingga masyarakat terpaksa membeli air
dengan harga mahal atau mengambil sendiri dari lokasi yang jauh.
Tujuan program SE-AB adalah (i) mengurangi beban masyarakat miskin
perkotaan akibat kenaikan harga energi, (ii) menyediakan prasarana air bersih yang
lebih murah dan lebih mudah dibandingkan dengan kondisi sebelumnya, (iii)
mewujudkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan prasarana air bersih; (iv)
26
Keseluruhan sub bab ini dikutip dari dokumen PPD-PSE Tahun 2001 dan Pedoman Umum SE-AB Tahun
2002
27
Sebelumnya adalah Departemen Pekerjaan Umum, yang kemudian pada tahun 2005 berganti kembali
menjadi Departemen Pekerjaan Umum

34
meningkatnya kemandirian kelembagaan dan organisasi masyarakat dalam
pengelolaan air bersih. Sementara indikator keberhasilan program adalah masyarakat
sasaran membeli air bersih lebih murah dan lebih mudah dari sebelumnya.
Pilihan jenis prasarana yang dibangun terdiri dari (i) hidran umum (HU), (ii)
terminal air (TA), (iii) pembangunan sistem penyediaan air bersih sederhana (SIPAS)
(iv) sambungan rumah (SR). Hidran Umum dapat dibangun jika lokasi berjarak kurang
dari 3 km dari jaringan pipa PDAM terdekat. Terminal air dapat dibangun jika lokasi
berjarak 3-10 km dari jaringan pipa PDAM terdekat. Sistem penyediaan air bersih
sederhana (SIPAS), seperti sumur dalam atau saringan sederhana, akan dibangun jika
lokasi berjarak lebih dari 10 km dari jaringan PDAM. Sambungan rumah (SR) akan
dibangun jika lokasi masih terjangkau jaringan PDAM. Harga air yang dibayar ke
PDAM sesuai dengan harga air yang berlaku (tarif HU, tarif sosial dan lainnya).
Perubahan jumlah realisasi dana SE-AB tergantung pada ketersediaan dana
pemerintah pada tahun yang bersangkutan. Hal itu terlihat pada perubahan realisasi
dana yang berubah secara signifikan pada setiap tahun anggaran. Pada tahun pertama
pelaksanaan program (2001), dana yang berhasil direalisasikan mencapai Rp.7,9
miliar, tetapi kemudian menurun tajam pada tahun berikutnya. Kemudian, meningkat
kembali pada tahun 2003, dan menurun kembali pada tahun 2004. Hal itu
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.14.

Tabel 2.14
Realisasi Dana Program Subsidi Energi Air Bersih (SE-AB)
Tahun 2001 – 2004 (dalam ribuan rupiah)

2001 2002 2003 2004

Realisasi Dana SE-AB 7.905.887 4.357.888 5.622.000 2.735.770


(- 44,9%) (29,0%) (- 51,3%)
Sumber: Sekretariat SE-AB, 2005
Keterangan: angka dalam kurung menunjukkan proporsi perubahan terhadap tahun sebelumnya.

35
BAB III
PENYEDIAAN AIR MINUM, PERTUMBUHAN EKONOMI,
DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN: SUATU TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Karakteristik Air Minum

Sistem penyediaan air minum adalah barang publik. Pada hampir semua
situasi, penyediaan air minum pada satu rumah tangga tidak menghalangi rumah
tangga lain untuk mendapatkan layanan. Namun sampai saat ini, banyak kontroversi di
seputar karakteristik dari air minum. Sebagian pihak menyatakan bahwa air minum
adalah barang publik, sementara sebagian lainnya menyatakan air minum sebagai
benda ekonomi. Bahkan kemudian terdapat istilah baru yang dikenakan pada air
minum yaitu air minum sebagai benda sosial.
Tidak terdapat pengertian yang jelas dan diterima luas tentang benda sosial.
Sebagian menyatakan bahwa benda disebut benda sosial jika pemanfaatannya tidak
hanya berdampak pada individu tetapi juga bagi lingkungannya (Gleick, 2000).
Ketersediaan air minum yang terjangkau merupakan benda sosial menurut definisi ini.
Hal ini didasari bahwa pemanfaatan air minum bermanfaat bagi individu dan
masyarakat luas. Peningkatan kualitas air minum bagi seseorang berarti peningkatan
buat seluruh komunitas yang mengkonsumsi air minum tersebut. Walaupun demikian,
benda sosial dapat mempunyai karakteristik benda privat, yaitu jika air dikonsumsi
oleh seseorang yang menyebabkan kekurangan air bagi orang lain yang menjadi
pengguna sistem yang sama.
Terlepas dari kontroversi tersebut, beberapa kombinasi karakteristik air minum
yang membuat air minum merupakan benda ekonomi yang berbeda dari benda
ekonomi lainnya adalah sebagai berikut (Savenije, 2001).
• Air minum adalah kebutuhan dasar. Tidak ada kehidupan tanpa air, tanpa air tidak
ada proses produksi, tanpa air tidak ada lingkungan. Tidak akan ada kegiatan
manusia yang tidak tergantung pada air. Air merupakan sumber daya penting. Hal

36
ini membuat air menjadi khusus tetapi tidak unik. Sama halnya dengan udara,
lahan, dan makanan.
• Air minum terbatas. Jumlah air terbatas. Hanya sebagian kecil saja air yang dapat
dikonsumsi.
• Air minum adalah barang publik. Air minum tidak dapat dimiliki secara pribadi
dan ketergantungan sosial terhadap air minum sangat tinggi. Hal ini merupakan
konsekuensi dari sifat air minum yang penting dan tidak dapat disubstitusi.
Pemerintah bertanggungjawab menyediakan air minum tetapi pemerintah tidak
bertanggungjawab menyediakan air secara gratis sebagaimana sering disalah
pahami.
• Meskipun air mengalir tetapi sebenarnya dibatasi oleh lokasi dan sistem tertentu.
Akibatnya, air minum sering menjadi sumber perseteruan politik antardaerah.
• Terdapat biaya produksi dan biaya transaksi yang besar bahkan jika pengaliran air
menggunakan sistem gravitasi.
• Pasar air minum tidak homogen. Sebagian pengguna mempunyai kemampuan
membayar yang tinggi dan mengkonsumsi dalam jumlah sedikit (pengguna
domestik dan industri), lainnya mempunyai kemampuan membayar rendah dan
menggunakan air dalam jumlah besar (petani), bahkan lainnya tidak mempunyai
kemampuan membayar (lingkungan dan penduduk miskin). Semuanya tidak dapat
digabung dalam satu pasar. Meskipun air minum yang dibutuhkan merupakan
benda yang sama tetapi karakter permintaan berbeda. Pertukaran diantara
kepentingan yang berbeda ini sebaiknya diselesaikan melalui jalur politis dan
bukan pasar.
• Terdapat ketergantungan ekonomi makro antara aktivitas pengguna air. Air
digunakan oleh pertanian mempengaruhi industri. Akibatnya hubungannya
menjadi rumit.
• Selalu terdapat ancaman kegagalan pasar dalam penyediaan air minum. Untuk
mencapai skala ekonomi, dibutuhkan investasi besar yang mengarah ke monopoli
alamiah.

37
• Air minum mempunyai nilai tertentu yang seringkali tidak dapat dinilai dengan
uang.

3.2 Penyediaan Air Minum (Publik, Swasta, Penyedia Skala Kecil) dan
Penanggulangan Kemiskinan

3.2.1 Penyediaan Air Minum oleh Pemerintah dan Privatisasi

Air dipertimbangkan sebagai benda ekonomi sekaligus benda sosial. Air


sebagai benda sosial menunjukkan bahwa air mempunyai limpahan (spill over)
manfaat dan biaya yang nyata. Air sebagai benda ekonomi menunjukkan bahwa air
mempunyai nilai dan dialokasikan sesuai dengan keuntungan maksimal yang dapat
diperoleh. Memperlakukan air hanya sebagai benda ekonomi akan mengakibatkan
hilangnya fungsi sosial dari air dan dapat berakibat penduduk miskin terabaikan
kebutuhannya akan air.
Berdasarkan pada pandangan di atas, meningkatkan jangkauan pelayanan dan
kualitas air minum dan sanitasi ke seluruh masyarakat, merupakan hak dasar bagi
semua, dan merupakan tantangan utama bagi seluruh negara (Nigam dan Rasheed,
1998). Namun, dalam banyak kejadian, pengelolaan oleh pemerintah cenderung
menerapkan harga rendah sehingga tidak mampu mempertahankan kualitas layanan
jaringan yang ada, apalagi meningkatkan jangkauan pelayanan (Gray, 2000).
Meskipun harga rendah yang dikatakan bermanfaat bagi penduduk miskin, dalam
kenyataannya tidak membantu penduduk miskin karena mereka belum terlayani
sehingga harus mencari sumber lain dengan harga yang jauh lebih mahal (Walker dkk,
2000).
Kondisi ini kemudian menyuburkan pandangan agar swasta dapat terlibat
dalam penyediaan air minum. Namun, alasan utama privatisasi28 air minum tidak

28
Definisi dan pengertian privatisasi akan sangat beragam tetapi secara umum tetap dapat dirangkum
sebagai berikut. (i) Perubahan bentuk usaha dari “perusahaan negara” menjadi perusahaan berbentuk
perseroan terbatas, (ii) Pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan
yang dimiliki negara kepada swasta, (iii) Pelepasan hak atau aset milik negara atau perusahaan yang
sahamnya dimiliki negara pada swasta, baik pelepasan untuk selamanya (antara lain melalui jual beli,
hibah atau tukar guling) maupun pelepasan untuk sementara waktu (termasuk dengan cara Build
Operate Transfer), (iv) Pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang usaha tertentu
yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah, (v) Membuat usaha patungan atau kerjasama dalam

38
hanya menyangkut ketidakmampuan pemerintah menyediakan kebutuhan air minum
bagi masyarakat; tetapi juga merupakan usaha perusahaan multinasional mengambil
alih sebagian besar porsi pasar air minum (Gleick, 2002) serta memperkenalkan
prinsip kompetisi (IWA dan UNEP, 2002).
Gejala privatisasi kemudian mulai mewabah sejak tahun 1980-an. Berdasarkan
penelitian empiris, partisipasi swasta di semua sektor meningkatkan efisiensi,
mendorong perubahan teknologi, dan memperkuat pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya,
partisipasi swasta juga meningkatkan transparansi penggunaan sumber daya publik,
mengurangi kesenjangan pendapatan, memperbaiki operasi pasar modal, dan
menyumbang pada kesejahteraan sosial (Mergos, 2002).
Pada studi yang membandingkan kinerja 50 perusahaan penyedia air minum di
negara berkembang Asia dan Pasifik ditemukan bahwa perusahaan swasta lebih efisien
(Estache, 1999). Sementara di negara maju, dengan asumsi bahwa perusahaan
pemerintah relatif lebih efisien, diharapkan keterlibatan swasta menjadi kurang
signifikan. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Ahli ekonomi Trent University
meneliti 3 studi di AS sejak tahun 1970an. Studi pertama yang dilakukan terhadap 112
penyedia air menunjukkan bahwa produktivitas perusahaan pemerintah hanya 60
persen dari perusahaan swasta. Ketika sebuah perusahaan pemerintah menjadi
perusahaan swasta, keluaran (output) per pegawai meningkat 25 persen. Sebaliknya,
ketika perusahaan swasta menjadi perusahaan public, keluaran (output) per pegawai
menurun 40 persen. Studi kedua yang dilakukan terhadap 143 penyedia air minum,
ditemukan bahwa biaya lebih besar 15 persen pada perusahaan pemerintah. Studi ketiga
menunjukkan bahwa perusahaan pemerintah lebih mahal 20 persen (Brubaker, 2001).
Hasil studi di Eropa menunjukkan hal sebaliknya. Perbandingan antara
perusahaan air minum milik pemerintah di Swedia dan swasta di Inggris untuk ukuran
perusahaan yang sama menunjukkan bahwa biaya penyedia air minum swasta lebih
besar. Kontrak manajemen di Puerto Rico, Trinidad, dan Budapest menunjukkan bahwa
keterlibatan swasta tidak membawa perubahan berarti (PSI, 2000). Di Perancis,

bentuk lain dengan memanfaatkan aset pemerintah, (vi) Membuka dan meningkatkan adanya persaingan
sehat dalam dunia usaha (Soebagjo, 1996).

39
perbandingan antara perusahaan yang dikelola swasta dan pemerintah menunjukkan
bahwa perusahaan swasta menerapkan tarif yang 13 persen lebih tinggi (Hall, 2001).
Meskipun pengamatan secara internasional menunjukkan secara umum dampak
privatisasi menguntungkan (Kikeri dan Nellis, 2001; Megginson dan Netter, 2001;
Shirley dan Walsh, 2001), dampaknya di negara berkembang tetap kontroversial
(Parker, 2003).
Di negara berkembang dampak privatisasi sedikit berseberangan dengan yang
banyak ditemui di negara maju. Hal ini disebabkan beberapa hal. (i) Di negara maju,
privatisasi mempunyai tujuan yang jelas, sementara di negara berkembang tidak jelas
dan penuh konflik. (ii) Pemerintah berkeinginan menjual perusahaan yang merugi,
sementara swasta mencari perusahaan yang menguntungkan yang disebut Paradoks
privatisasi (Paradox of privatisation). (iii) Penilaian terhadap aset oleh pemerintah
sering tidak realistis termasuk penilaian potensi keuntungan. (iv) Privatisasi tidak
disertai perubahan iklim bisnis dan manajemen (Jusmaliani, 2003).
Cabrera (2003) berdasarkan pengamatannya terhadap privatisasi di
Aguascalientes, Mexico menemukan beberapa kesimpulan diantaranya (i) pada
beberapa aspek, keterlibatan swasta menguntungkan khususnya dalam bentuk
peningkatan efisiensi dan akses, (ii) pada aspek keberlanjutan kurang mendapat
perhatian seperti meningkatnya kesenjangan pendapatan. Khususnya dalam kondisi
monopoli, dan keterbatasan sumber air, besar kemungkinan penduduk miskin akan
mengalami kesulitan.
Jika dibandingkan dengan sektor lain, seperti listrik dan telekomunikasi,
pembiayaan swasta dalam sektor air minum dan sanitasi relatif lebih sedikit yang
berhasil (Haarmeyer, 1998). Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat dari sektor air
minum dan sanitasi yang berbeda, yaitu sebagai berikut. Pertama, air minum dan
sanitasi ditandai dengan tingkat monopoli alamiah yang tinggi. Meskipun kompetisi
dimungkinkan pada kegiatan terbatas seperti peningkatan kapasitas dan penyediaan
layanan plumbing, sulit untuk juga melakukan hal yang sama untuk distribusi yang
merupakan bisnis inti air minum dan sanitasi. Kedua, air merupakan kebutuhan dasar
manusia dan akses terhadap air harus diberikan pada semua orang. Ketiga, air minum

40
dan sanitasi lebih cocok dikelola oleh pemerintah daerah. Akibatnya, isu antardaerah
harus lebih dahulu diselesaikan sebelum penanam modal masuk. Keempat, sebagian
terbesar aset berada dibawah tanah yang mengakibatkan besarnya biaya untuk
menilainya sehingga menambah biaya persiapan partisipasi swasta. Kelima,
penyediaan yang kurang memadai dapat mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan
dan lingkungan sehingga pemerintah mempunyai minat yang kuat dalam
meningkatkan akses pelayanan tanpa memperhitungkan kemampuan membayar.
Keenam, risiko nyata dari perbedaan kurs sebab konsumen membayar dalam mata
uang lokal sementara pinjaman dalam mata uang asing (Penelope, 1997).
Debat tentang peran swasta dalam penyediaan air minum telah berlangsung
lama, sementara bukti empiris sebagian mendukung dan selebihnya menentang. Pihak
pendukung menyatakan bahwa privatisasi meningkatkan efisiensi (misalnya, tingkat
kebocoran air menurun dan tagihan macet berkurang), dan mendorong pertambahan
investasi. Pihak penentang menyatakan bahwa swasta hanya mementingkan
keuntungan dengan mengabaikan kesejahteraan dan meningkatkan tarif tanpa
mempedulikan kualitas layanan.
Perdebatan ini telah salah kaprah. Pada kenyataannya, pendekatan terbaik
untuk terlibat dalam diskusi ini adalah bersikap meragukan (agnostic) berdasar dua
alasan. Pertama, sejarah penyediaan air minum bagi penduduk miskin di negara
berkembang oleh pemerintah hasilnya mengecewakan. Pada sebagian besar negara
berkembang, lebih dari setengah penduduk memperoleh air minum dari penyedia
selain perusahaan air minum milik pemerintah (Snell, 1998). Jika kepedulian dalam
debat ini adalah meningkatkan akses penduduk terhadap air minum perpipaan, sejarah
menunjukkan bahwa menyandarkan diri pada sistem publik menciptakan hal yang
tidak produktif. Kedua. sifat alami dari institusi penyedia air minum relatif sama, yaitu
mengabaikan kepemilikan. Struktur biaya mengharuskan bahwa penyediaan air minum
bagi komunitas dilakukan melalui sistem pengolahan dan distribusi tunggal, yaitu
monopoli. Artinya, pilihannya adalah antara monopoli publik yang teregulasi atau
monopoli swasta yang teregulasi, bukan antara institusi publik yang berniat mulia dan
pemodal yang mencari untung. Kuncinya terletak pada regulasi. Ketika regulasi

41
tersedia dan berjalan baik, penyedian air minum publik akan sama saja dengan
penyedia air minum swasta. Pesannya adalah membenahi regulasi lebih penting dari
pada kepemilikan perusahaan (Olmstead, 2003).

3.2.2 Privatisasi Air Minum dan Penanggulangan Kemiskinan

Terdapat tiga cara mengukur keberhasilan partisipasi swasta di infrastruktur


dalam membantu penduduk miskin, dengan melalui peningkatan layanan, yaitu berupa
(i) penambahan sambungan, (ii) meningkatkan keandalan layanan, dan (iii)
pengurangan tunggakan (Tynan, 2000).
Dari bukti empiris terlihat bahwa pengelolaan swasta meningkatkan efisiensi
dan kualitas layanan bagi pelanggan yang ada (Tynan, 2000). Namun, pada banyak
kasus peningkatan jangkauan pelayanan tidak terjadi. Privatisasi gagal menjangkau
penduduk miskin dan bahkan menjadi penghalang (Tynan, 2000). Sejauh ini,
implementasi kemitraan publik dan swasta sering mengabaikan kebutuhan penduduk
miskin (Gleick dkk., 2002). Bahkan, timbul kecenderungan dominasi pasar oleh sedikit
perusahaan multinasional (IWA dan UNEP, 2002).
Pada kasus Argentina, Chisari dkk (1999) dan Navajas (2000) menunjukkan
bahwa privatisasi infrastruktur memberatkan golongan menengah jika dibanding
dengan yang lainnya dengan dihilangkannya subsidi dan kemungkinan menguntungkan
penduduk miskin dengan meningkatnya akses (Calderon, 2001).
Penilaian ekonomi makro, pentingnya privatisasi infrastruktur bagi penduduk
miskin diperlukan sebab pada banyak kasus air, energi, telekomunikasi, dan
transportasi reformasi mempunyai dampak pada pasar lainnya (seperti pasar tenaga
kerja dan pasar tabungan investasi) yang mempengaruhi penduduk miskin. Dampak ini
berpotensi nyata terhadap penanggulangan kemiskinan sehingga dibutuhkan analisis
ekonomi. Ini memerlukan model multikomoditi dan multiagen. Model CGE menjadi
semakin berguna untuk menanggapi kebutuhan ini (Estache, 2004)
Dari kacamata ekonomi makro, Estache (2002) menjelaskan bahwa terdapat
tiga cara privatisasi mempunyai dampak pada kesejahteraan penduduk miskin.

42
(i) Pertumbuhan ekonomi. Investasi infrastruktur merupakan faktor penting dalam
pertumbuhan ekonomi, yang kemudian menjadi pendorong utama bagi
pengurangan kemiskinan.
(ii) Pengurangan pegawai. Langkah pertama privatisasi adalah peningkatan efisiensi
dan keuntungan melalui pengurangan pegawai. Dalam jangka panjang langkah
ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
(iii) Realokasi pengeluaran publik. Secara konvensional, infrastruktur menyerap dana
pemerintah dalam jumlah besar untuk menutup subsidi dan membiayai
pembangunan. Privatisasi mengurangi pengeluaran pemerintah pada kegiatan
yang tadinya dibiayai pemerintah sehingga tersedia dana untuk membiayai
kegiatan lain.
Tabel 3.1
Rangkuman Kaitan Ekonomi Makro antara Peningkatan Partisipasi Swasta
dalam Pembangunan Infrastruktur dan Kesejahteraan Penduduk Miskin
Dampak Ekonomi Makro Potensi Kerugian Penduduk Faktor Positip
Miskin
Pertumbuhan ekonomi Perubahan tarif akan Jangka menengah, privatisasi
mempengaruhi konsumsi seharusnya menyumbang
terutama ketika tidak tersedia pertumbuhan yang pada gilirannya
jaring pengaman sosial cenderung mengurangi kemiskinan
Pengurangan pekerja • Tenaga kerja dikurangi Tergantung pada tingkat
setelah privatisasi ketergantungan kerja penduduk
miskin, besarnya kompensasi
• Gaji berkurang pada masa pemutusan hubungan kerja,
transisi kemampuan pasar tenaga kerja
menyerap pengangguran
Realokasi pengeluaran publik Pengurangan alokasi Penerimaan hasil privatisasi dan
keseluruhan subsidi sebagai penetapan target yang lebih baik
hasil penyesuaian fiskal mungkin meringankan sumber
pembiayaan penduduk miskin
Sumber: Estache, Gomez-Lobo, Leipziger (2001) yang disarikan dari Foster (1999)

Sementara menurut Estache (2002), dari perspektif ekonomi mikro privatisasi


mempengaruhi penduduk miskin dalam dua hal yaitu sebagai berikut.
(i) Akses.
Pengaruh terhadap akses melalui hal-hal berikut.

43
a. Peningkatan biaya sambungan.
Biaya sambungan ditingkatkan sampai mencapai tingkatan yang sewajarnya
setelah sebelumnya dipatok pada biaya yang minimum. Oleh karena itu,
biaya sambungan kemungkinan tidak terjangkau oleh penduduk miskin
kecuali disediakan pilihan membayar bertahap.
b. Pengurangan insentif.
Penduduk miskin biasanya berlokasi di daerah yang sulit dijangkau (padat,
akses rendah, tak aman) sehingga biaya layanan lebih tinggi, sementara
konsumsi air rendah dan sering tidak membayar. Hal ini mengurangi
keinginan swasta melayani penduduk miskin.
(ii) Keterjangkauan.
Terdapat berbagai cara privatisasi dapat meningkatkan keterjangkauan.
a. Peningkatan tarif.
Sebelum privatisasi, tarif selalu lebih rendah dari biaya operasi sehingga
perlu ditingkatkan agar dapat menutup biaya operasi. Ketika produksi telah
efisien dan regulasi telah diterapkan dengan baik, terdapat kemungkinan
tarif akan menurun setelah beberapa waktu.
b. Pembayaran diformalkan.
Perusahaan pemerintah cenderung membiarkan penunggakan dan
sambungan liar. Perusahaan swasta berlaku sebaliknya. Akibatnya, banyak
penduduk miskin kemudian mulai membayar sesuai dengan pemakaiannya.
Hal ini bukan sesuatu yang buruk dengan mempertimbangkan bahwa
sambungan liar cenderung tidak stabil, bahkan membayar lebih mahal pada
‘mafia air’.
c. Peningkatan kualitas.
Kondisi ini membutuhkan biaya besar yang kemudian dibebankan pada
konsumen, sehingga kemungkinan membebani penduduk miskin.

44
Tabel 3.2
Rangkuman Kaitan Ekonomi Mikro antara Peningkatan Partisipasi Swasta
dalam Pembangunan Infrastruktur dan Kesejahteraan Penduduk Miskin

Dampak Privatisasi Kemungkinan Tambahan Faktor Pencegah dan Manfaat bagi


Beban bagi Penduduk Miskin Penduduk Miskin
Biaya bertambahnya Penagihan dan pencegahan sam- • Sambungan resmi mungkin
formalitas bungan liar kemungkinan lebih merupakan aspirasi dari penduduk
efektif dan menghasilkan pe- miskin
ningkatan efektivitas penerimaan • Keamanan menjadi lebih baik
• Sambungan liar menjadi lebih mahal
• Reformasi mungkin menghadirkan
teknologi baru yang menurunkan
biaya
Biaya penyesuaian tarif Tarif rata-rata dapat meningkat Peningkatan tarif rata-rata bergantung
rata-rata disebabkan kebutuhan pemulih- pada tingkat harga sebelumnya dan
an biaya dan pembiayaan inves- tersedianya cadangan yang disisihkan
tasi dari keuntungan
Biaya penyesuaian struktur Struktur tarif mungkin disesuai- Kompetisi memungkinkan penurunan
tariff kan yang dapat meningkatkan tarif rata-rata dan dikompensasikan
tarif marjinal bagi penduduk untuk penyeimbangan tarif yang
miskin menguntungkan penduduk miskin
Biaya meningkatnya harga Privatisasi mungkin mengham- Ketersediaan layanan komunal
barang substitusi bat akses ke layanan alternatif, meningkat
khususnya jika sambungan ke
jaringan publik suatu kewajiban
Biaya meningkatnya harga Biaya sambungan menjadi me- Biaya memperoleh peralatan
barang komplementer ningkat tajam komplementer tidak terpengaruh tetapi
biaya tetap tinggi
Sumber: Estache, Gomez-Lobo, Leipziger (2001) yang disarikan dari Foster (1999)

Terdapat beragam tipe dasar keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum.
Keterlibatan itu dapat diuraikan sebagai berikut.
(i) Kontrak jasa (service contracts).
Aspek individual dari penyediaan infrastruktur (pemasangan dan pembacaan
meteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya) diserahkan kepada swasta
untuk periode waktu tertentu (6 bulan sampai 2 tahun). Kategori ini kurang
memberi manfaat bagi penduduk miskin. Kontrak jasa dipergunakan di banyak
tempat seperti di Madras (India), dan Santiago (Chile).

45
(ii) Kontrak manajemen.
Manajemen swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh jasa
menajemen baik seluruh maupun sebagian operasi. Kontrak bersifat jangka
pendek (3 sampai 5 tahun) dan tidak terkait langsung dengan penyediaan jasa
sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan daripada peningkatan akses
penduduk miskin. Kontrak manajemen dilaksanakan di Mexico City, Trinidad,
dan Tobago.
(iii) Kontrak sewa-beli (lease contracts).
Perusahaan swasta melakukan lease terhadap aset perusahaan pemerintah dan
bertanggungjawab terhadap operasi dan pemeliharaannya. Perusahaan swasta
mendapat hak dari penerimaan dikurangi biaya sewa beli yang dibayarkan
kepada pemerintah.. Konsep ‘enhanced lease’ diperkenalkan karena di negara
berkembang dibutuhkan investasi pengembangan sistem distribusi, pengurangan
kebocoran, dan peningkatan cakupan layanan. Perbaikan kecil menjadi tanggung
jawab operator dan invetasi besar untuk fasilitas pengolahan menjadi tanggung
jawab pemerintah. Kontrak sewa-beli banyak digunakan di Perancis, Spanyol,
Ceko, Guinea, dan Senegal.
(iv) Bangun-operasi-alih (build-operate-transfer/BOT).
BOT dan beragam variasinya biasanya berjangka waktu lama tergantung masa
amortisasi (25-30 tahun). Operator menanggung resiko desain, membangun dan
mengoperasikan. Imbalannya adalah berupa jaminan aliran dana tunai. Pada
akhir masa perjanjian, pihak swasta mengembalikan seluruh aset ke pemerintah
Terdapat beragam bentuk BOT. Terkecuali secara khusus distribusi diarahkan ke
daerah permukiman kumuh, BOT akan memberi manfaat bagi penduduk miskin.
Pelaksanaan BOT terdapat di Australia, Malaysia, dan Cina.
(v) Konsesi.
Konsesi biasanya berjangka waktu 25 tahun yang berupa pengalihan seluruh
tanggung jawab investasi modal dan pemeliharaan serta pengoperasian ke
operator swasta. Aset tetap milik pemerintah dan operator membayar jasa
penggunaannya. Tarif mungkin direndahkan dengan mengurangi jumlah modal

46
yang diamortisasi, yang dapat menguntungkan penduduk miskin jika mereka
menjadi pelanggan. Konsesi dengan target cakupan yang jelas mengarah pada
layanan bagi seluruh penduduk dapat menjadi alat yang tepat dalam
memanfaatkan kemampuan swasta meningkatkan investasi, memberikan layanan
yang baik, dan menetapkan tarif yang memadai. Melalui cara ini, pemerintah
tetap mengatur tarif melalui sistem regulasi dan memantau kualitas layanan.
Konsesi mempunyai sejarah panjang di Perancis, kemudian berkembang di
Buenos Aires (Argentina), Macao, Manila (Pilipina), Malaysia, dan Jakarta.

Tabel 3.3
Model Kemitraan Pemerintah Swasta
yang Potensial Melayani Penduduk Miskin

Potensial Kepemi- Operasi Resiko


Pilihan Melayani likan dan Peme- Investasi Komer- Waktu Contoh
Penduduk Aset liharaan Modal sial
Miskin
Manajemen Rumah Rumah Swasta Rumah Tidak Jakarta
Rumah XX tangga Tangga dengan tangga terbatas
Tangga public
Manajemen XXX Komu- Komunitas Publik Publik Tidak Indone-
Komunitas nitas dan ko- dan ko- terbatas sia
munitas munitas
Penyedia Swasta Swasta Swasta Swasta Beragam Jakarta
independen XXX
skala kecil
Kontrak X Publik Publik dan Publik Publik 1-2 tahun Johan-
Layanan swasta nesburg
Gaza
Kontrak XX Publik Swasta Publik Publik 3-5 tahun Mali
manajemen Namibia
Lease X Publik Swasta Publik Berbagi 8-15 tahun Mozam-
bique
Konsesi XXX Publik Swasta Swasta Swasta 25-30 Manila
tahun Jakarta
Bangun- X Swasta Swasta Swasta Swasta 20-30 Australia
Operasi- dan tahun Malaysia
transfer Publik Cina
(BOT)
Divestiture XX Swasta Swasta Swasta Swasta Tidak Inggris
terbatas Wales
Sumber: Diadaptasi dari World Bank (1997) dan Stottmann (2000)

Keterangan: X kurang potensil XX potensi sedang XXX sangat potensil

47
(vi) Pengalihan (divestiture).
Kategori ini merupakan bentuk paling ekstrim dari privatisasi, yang berupa
pengalihan aset dan operasi ke swasta, dapat berupa keseluruhan atau sebagian
aset. Pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap regulasi. Tidak banyak
contoh dari divestiture, hanya Inggris dan Wales melakukan dalam skala besar
(Weitz, 2002; Stottmann, 2000).
Dari beragam jenis model kemitraan pemerintah swasta yang ada, hanya
beberapa yang ditengarai berpotensi menguntungkan penduduk miskin, yaitu
manajemen komunitas, penyedia independen skala kecil, dan konsesi.

3.3 Penyedia Air Minum Skala Kecil: Salah Satu Alternatif

3.3.1 Keterbatasan Penyediaan Air Minum Skala Besar

Penyediaan air minum skala besar oleh perusahaan air minum telah berlangsung
beberapa dekade, tetapi hasilnya belum memuaskan. Struktur tarif dan bentuk
pengelolaan saat ini tidak memungkinkan perusahaan air minum menyediakan air bagi
seluruh penduduk. Beragam alasan bagi penduduk untuk tidak terjangkau oleh
pelayanan air minum, yaitu sebagai berikut. Pertama, biaya sambungan terlalu tinggi
dan pembayaran sekaligus di depan menghalangi penduduk miskin untuk
berlangganan. Kedua, air yang tersedia tidak selamanya mencukupi kebutuhan; dan
prioritas utama yang tidak mendapat layanan adalah penduduk miskin. Ketiga, struktur
tarif dan rendahnya konsumsi air penduduk miskin mengakibatkan perusahaan air
minum tidak tertarik melayani penduduk miskin. Keempat, jika penduduk bertempat
tinggal di permukiman liar, mereka tidak akan mendapat layanan publik.
Ketika perusahaan air minum berkeinginan melayani penduduk miskin, mereka
kadang-kadang tidak mempunyai pengetahuan yang memadai. Hal itu akan
menimbulkan beragam akibat, yaitu sebagai berikut. (i) Tingkat layanan sering tidak
sesuai dengan kebutuhan, dan lebih mengutamakan standar teknis yang sering tidak
terjangkau. (ii) Sistem pembayaran tepat waktu tidak sesuai dengan bentuk penerimaan
penduduk miskin yang tidak teratur. (iii) Tidak terjadi komunikasi yang baik antara
perusahaan air minum dan penduduk miskin (McIntosh, 2003 dan Gulyani dkk, 2005).

48
3.3.2 Kategori Penyedia Air Minum Skala Kecil
Berdasarkan tinjauan terhadap beberapa studi empiris, penyedia air minum
skala kecil dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu sebagai berikut.
a. Penyedia yang mempunyai hubungan permanen dengan perusahaan air minum,
yang mendistribusikan air melalui kios atau hidran. Beberapa contoh adalah kios air
di Nairobi (Kenya), Lilongwe (Malawi), Batam (Indonesia); hidran umum dikelola
oleh komunitas di Dakar (Senegal), Mopti (Mali), Dhaka (Bangladesh); dan hidran
umum dikelola oleh asosiasi komunitas skala kecil di Segou (Mali).
b. Masyarakat yang menjual air perpipaan ke komunitas yang belum terlayani air
perpipaan. Beberapa contoh adalah sistem air minum dibangun masyarakat Buenos
Aires (Argentina); sistem air minum dibangun oleh wirausaha di Guatemala City
(Guatemala) dan pusat penjualan air minum hasil pemurnian air sungai
menggunakan sinar matahari di Manila (Pilipina); truk tangki air, gerobak air yang
diambil dari air perpipaan pada waktu dan tempat dimana perusahaan air minum
tidak dapat melayani. Sebagai contoh di Dakar (Senegal), Port-au-Prince (Haiti),
dan Jakarta (Indonesia).
c. Sistem air minum skala komunitas di Dhulikel (Nepal) (Snell, 1998 dan McIntosch,
2003).
Selain kategori di atas, penyedia air minum skala kecil dapat dikenali dari
pembedaan berdasarkan beberapa karakteristik diantaranya tingkat investasi, tingkat
inisiatif, keterkaitan dengan perusahaan air minum, resiko keuangan dan tingkat
layanan. Hal itu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan per satuan volume, penyedia air
minum dapat dikategorikan sebagai berikut.
(i) Kelompok harga termahal.
Yang termasuk dalam kategori ini adalah truk tangki air dan gerobak air.
Kelompok ini dapat menjual air dengan harga tertinggi karena mereka dapat
menjangkau pembeli di mana saja dengan cepat dan dapat memenuhi kebutuhan
pembeli setiap saat.

49
(ii) Kelompok harga menengah.
Yang temasuk dalam kategori ini adalah hidran umum dan kios air. Kedua
fasilitas ini dapat melayani daerah dengan kualitas air jelek atau mahal.
(iii) Kelompok harga murah.
Sambungan rumah merupakan sumber air minum yang murah jika biaya investasi
tidak terhitung dalam tariff. Biaya sambungan dapat dicicil.
(iv) Kelompok paling murah atau hampir gratis.
Yang termasuk kategori ini adalah air sungai, danau dan sejenisnya. Biasanya
digunakan untuk mandi dan mencuci.

Tabel 3.4
Tipe dan Karakteristik Penyedia Air Minum Skala Kecil

Tipe Tingkat Tingkat Kaitan dengan Risiko Tingkat Layanan


Investasi Inisiatif Perusahaan Air Keuangan
Minum
Kongsi dengan Sangat Sangat Kuat Sangat Rendah
Perusahaan Air rendah rendah rendah (air di luar rumah)
Minum
Penjual kembali Sangat Rendah Kuat Sangat -
rendah rendah
Penjaja keliling Rendah Rendah Lemah sampai Rendah Rata-rata
kuat (air diantar ke rumah)
Truk Tangki Air Menengah Tinggi Lemah sampai Menengah Rata-rata
sampai kuat (truk dapat (air diantar ke rumah)
Tinggi digunakan
untuk ke-
giatan
lain)
Penyedia Air Menengah Tinggi Lemah sampai Tinggi Rata-rata sampai tinggi
Minum Skala kuat (air minum didistribusi
Komunitas ke rumah dengan
selang atau sambungan
rumah)
Sumber: McIntosch, 2003

3.3.3 Peran Penyedia Air Minum Skala Kecil

Penduduk miskin perkotaan sebagian besar tidak mempunyai akses ke air


minum meskipun pembangunan air minum telah berlangsung lama. Hal ini mendorong
timbulnya usaha swasta skala kecil dan informal dalam penyediaan air minum di

50
perkotaan. Usaha ini mempunyai potensi menyediakan layanan pada daerah
berpenduduk miskin dengan biaya investasi yang relatif rendah.
Beberapa alasan maraknya penyedia air minum skala kecil khususnya kios air di
antaranya adalah (i) memungkinkan pengguna membeli dalam jumlah dan waktu yang
sesuai kemampuan mereka; (ii) memungkinkan biaya modal rendah per rumah tangga
yang terlayani; (iii) memungkinkan tingkat pemulihan biaya (cost recovery) perusahaan
air minum lebih baik karena penyedia air minum skala kecil membayar sesuai dengan
yang dipergunakannya. Dengan kata lain, kios air memberikan layanan fleksibel, sesuai
kebutuhan bagi penduduk miskin dengan memungkinkan mereka membeli dalam
jumlah kecil sesuai kemampuan. Penduduk miskin mendapat air dan perusahaan
mendapat pengembalian biaya (Gulyani dkk, 2005).
Karakteristik utama dari usaha ini adalah inisiatif individu, fleksibel, mudah
mengadaptasi terhadap pasar dalam konteks pengaturan keuangan, dan pilihan teknis.
Selain itu, dengan keterlibatan usaha ini maka beban sektor publik menjadi berkurang.
Beberapa pihak memandang perlunya mendukung keberadaan usaha ini dengan
mempertimbangkan hasil peningkatan cakupan pelayanan yang dihasilkan (Snell, 1998)
Solo (1999) mengemukakan bahwa karakteristik yang mengesankan dari
penyedia air skala kecil adalah dalam bentuk efisiensi operasi, yaitu (i) terpenuhinya
pemulihan biaya, (ii) tidak terdapat kebocoran air, (iii) tidak membutuhkan subsidi
publik dan pinjaman. Selain itu, penyedia air skala kecil dapat berkembang sesuai
dengan situasi yang ada. Pada banyak kasus, penyedia air skala kecil dapat berkembang
dari penjaja keliling menjadi truk tanki air bahkan menjadi sambungan pipa bawah
tanah ke rumah. Walaupun demikian, keraguan akan kemampuan penyedia air skala
kecil untuk berkembang menjadi besar dan beroperasi secara efisien tetap ada.

3.3.4 Beberapa Pengalaman Pengelolaan

Berdasar studi “Small Scale Water Providers” yang didanai ADB, ditemukan
bahwa pelayanan air minum skala komunitas mempunyai beberapa karakteristik, yaitu
(i) strategi teknis dan manajemen harus fleksibel, (ii) patokan pelayanan mengikuti
perusahaan air minum, (iii) pelayanannya kurang dihargai oleh pemerintah daerah dan

51
perusahaan air minum, (iv) tingkat pelayanan berkaitan erat dengan keabsahan. Hal itu
dapat diterangkan sebagai berikut.
(i) Strategi teknis dan manajemen harus fleksibel
Hambatan investasi dan biaya operasi ditangani dengan memilih jenis teknologi
yang sesuai dengan kondisi masyarakat. Masyarakat yang dilayani sebagian besar
merupakan pekerja harian sehingga penagihan dilakukan tidak sebulan sekali,
tetapi lebih sering sesuai dengan kemampuan masyarakat. .
(ii) Patokan pelayanan mengikuti perusahaan air minum
Pelayanan skala kecil menganggap perusahaan air minum sebagai pesaing
sehingga kualitas pelayanan diusahakan setingkat.
(iii) Pelayanannya kurang dihargai oleh pemerintah daerah dan perusahaan air
minum
Kebutuhan investasi sulit terpenuhi karena dianggap usaha ilegal, tidak
menguntungkan, dan asetnya tidak dapat dinilai. Akibatnya akses kredit terbatas
dan berbunga tinggi sehingga resiko investasi menjadi tinggi.
(iv) Tingkat pelayanan berkaitan erat dengan keabsahan.
Kualitas pelayanan meningkat ketika pemerintah daerah memberi pengakuan.

Berdasarkan pengalaman WaterAid29 di Malawi, keberadaan kios air sangat


membantu penduduk miskin dalam memenuhi kebutuhannya. Namun, hambatan utama
dalam pengelolaan kios air adalah tarif yang ditetapkan relatif tinggi sehingga tidak
terjangkau oleh penduduk miskin. Kasus free rider30 yang dilakukan oleh pemuka
masyarakat banyak terjadi sehingga menambah beban penduduk. (e-WaterAid, 2005).
PT. Adhya Tirta Batam yang merupakan penyedia air minum di kota Batam
yang bekerja sama dengan Otorita Batam membangun kios air di dekat perumahan liar.
Pembangunan kios air ini didasari pertimbangan untuk mengurangi tingkat pencurian
air, dan menyediakan air minum bagi penduduk yang bermukim di permukiman liar
tanpa harus membangun jaringan distribusi. Secara umum keberadaan kios air

29
Sebuah LSM besar berbasis di Inggris yang bergerak dalam penyediaan air minum bagi penduduk
miskin
30
Free rider diterjemahkan sebagai seseorang/sekelompok orang yang dalam penggunaan/konsumsi
barang/jasa tidak membayar jasa/barang yang telah dikonsumsinya/digunakan sehingga beban
pembayarannya menjadi tanggungan pengguna lainnya.

52
menguntungkan bagi masyarakat penghuni permukiman liar, walaupun tarifnya masih
relatif tinggi jika dibandingkan dengan tarif air perpipaan31. (Virgiyanti, 2004).
Walaupun penyedia air minum skala kecil diasosiasikan dengan investasi yang
kecil, pada beberapa kasus usaha tersebut kemudian berkembang pesat dan
membutuhkan investasi besar dan melayani pelanggan dalam jumlah besar32.

3.3.5 Masa Depan Pelayanan Air Minum Skala Kecil

Pasar pelayanan air minum skala kecil sangat tergantung pada kondisi
pelayanan air minum skala besar. Semakin baik dan terjangkau pelayanan air minum
skala besar maka semakin kecil pasar pelayanan air minum skala kecil. Walaupun pada
beberapa pengalaman (Pilipina, Vietnam) pelayanan air minum skala kecil kemudian
berkembang menjadi pelayanan berskala besar, secara keseluruhan sebagian besar
pelayanan air minum skala kecil bersifat pelengkap (komplementer) terhadap
pelayanan skala besar.
Penyediaan air minum yang hanya bergantung pada satu sumber, yaitu air
perpipaan jarang terjadi khususnya di negara berkembang. Bahkan, di negara Amerika
Latin, yang termasuk paling maju dalam urusan penyediaan air minum, dengan
cakupan pelayanan air perpipaan mencapai 79 persen ternyata hanya 15 persen dari
penduduk miskin yang terlayani (Idelovitch, 1997). Akibatnya tetap terjadi
ketidakmerataan pelayanan air minum.
Kondisi ini memungkinkan untuk mendorong pelayanan air minum skala kecil
sebagai alternatif pencapaian Millenium Development Goals pada tahun 2015.
Memasukkan penyedia air minum skala kecil dalam strategi investasi air minum akan
dapat mempercepat peningkatan cakupan layanan, dengan memberi perhatian khusus

31
Kondisi ini terjadi disebabkan pengelola kios air menggunakan tarif penjaja air keliling sebagai
pembanding, sehingga walaupun tarifnya lebih murah dari penjaja keliling tetapi masih lebih mahal
dari tarif air perpipaan. Harga air perpipaan Rp.3.000,00 per m3, dan harga air kios Rp. 25.000,00 per
m3.
32
Di Metro Manila, Pilipina, terdapat penyedia air minum skala kecil yang telah menginvestasikan
USD. 350.000 dalam lima tahun dan melayani 25.000 rumah tangga melalui sambungan pipa atau
selang air. Sementara di Ho Chi Minh City, Vietnam, terdapat penyedia air minum skala kecil yang
melayani 400 rumah tangga melalui sambungan rumah dengan investasi USD. 80.000.

53
pada beberapa kendala tarif yang relatif mahal, dan kurangnya dana investasi (Conan,
2002).

3.4 Kaitan Pembangunan Air Minum terhadap Kemiskinan, Distribusi


Pendapatan, dan Pertumbuhan Ekonomi.

3.4.1 Pembangunan Air Minum dan Kemiskinan

Abad ke-21 dimulai dengan sebuah kondisi pembangunan manusia yang


mendasar yang belum tertanggulangi, yaitu akses kepada layanan air minum,
khususnya bagi penduduk miskin di daerah kumuh perkotaan. Sementara akses ke air
minum merupakan sumber daya atau modal dasar bagi keberlangsungan hidup. Akses
ke air minum merupakan salah satu komponen dalam klasifikasi kemiskinan
(Howard, 2004). Kegagalan dalam penyediaan air membawa dampak ke semua
kelompok. Akan tetapi, yang paling besar dampaknya adalah terhadap penduduk
miskin kota sehingga mereka semakin tidak mampu keluar dari siklus kemiskinan.
Beberapa faktor ditengarai menjadi penyebab minimnya akses air minum,
khususnya bagi penduduk miskin, yaitu sebagai berikut.
a. Lahan yang ditempati merupakan miliknya yang sah.
Pada daerah perkotaan, penyedia layanan air minum tidak melayani daerah
permukiman liar, dengan pertimbangan akan memberi legitimasi dan alasan bagi
penduduk untuk terus menempati lokasi tersebut. Walaupun kebijakan nasional
menyatakan bahwa air minum diperuntukkan bagi semua orang, dalam praktiknya
hal ini tidak akan terjadi pada penduduk di permukiman liar.
b. Kemampuan penduduk miskin sangat terbatas untuk membayar biaya sambungan
sekaligus di depan.
Keterbatasan kemampuan untuk membayar biaya sambungan itu akan berakibat
bahwa penduduk miskin tidak akan pernah memperoleh layanan air perpipaan.
Harga satuan air perpipaan jauh lebih rendah dari air yang dijajakan keliling,
tetapi biaya sambungan air perpipaan mahal (McIntosh, A. C, 2003).

54
c. Ketika tanggung jawab penyediaan air minum dialihkan ke swasta, kepentingan
penduduk miskin bukan menjadi perhatian.
Perusahaan penyedia layanan air minum swasta tidak tertarik melayani penduduk
miskin sebab penduduk miskin berkonsumsi rendah, mereka tidak mampu
membayar biaya pemasangan sekaligus di depan. Disamping itu, mereka sering
berlokasi di kawasan permukiman liar.
d. Bagi sebagian besar pengambil keputusan, penduduk miskin dianggap tidak
mampu dan/atau tidak mau membayar.
Penduduk miskin dianggap tidak mampu untuk membayar. Walaupun demikian,
pada saat tertentu seperti menjelang pemilihan umum, penduduk miskin
perkotaan memperoleh perhatian berupa janji perbaikan lingkungan dan
penyediaan air gratis..
e. Lokasi tempat tinggal jauh dari jaringan perpipaan.
Ketika penduduk berlokasi di kawasan kumuh, atau berjarak jauh dari jaringan
perpipaan, akses air minum menjadi berkurang.

Gambar 3.1
Pengaruh Ketersediaan Air Minum terhadap Beragam Dimensi kemiskinan

Dimensi Dampak Utama


Kemiskinan

- Penyakit terkait air dan sanitasi


Kesehatan - Malnutrisi karena diare
- Berkurangnya usia harapan hidup
Kekura-
ngan
Air - Tingkat kehadiran berkurang
Pendidikan karena sakit, atau antri air
Minum
dan
Sanitasi - Tingginya proporsi pengeluaran
untuk air
Pendapatan/
Konsumsi - Berkurangnya potensi penda-
patan karena sakit, berkurangnya
kesempatan kerja yang
memerlukan ketersediaan air.

Sumber: Bosch dkk (2000)

55
Kekurangan air dan sanitasi berdampak pada kemiskinan melalui empat
dimensi, yaitu (i) kesehatan, (ii) pendidikan, (iii) jender, dan (iv) pendapatan dan
konsumsi (Bosch, Hommann, Sadoff dan Travers, 2000). Hal itu selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 3.1.
Ketika penduduk miskin tidak memperoleh akses air minum, penduduk miskin
khususnya di perkotaan menanggung konsekuensinya, diantaranya berupa (Johnstone
dan Wood, 1999) (i) meningkatnya biaya bagi yang tidak memperoleh akses, (ii)
berkurangnya konsumsi air, dan (iii) bertambahnya beban kesehatan dan timbulnya
biaya ekonomi karena hilangnya produktivitas. Satu persatu akan dijelaskan berikut ini.

Tabel 3.5
Perbandingan Harga Air Minum Penjaja Keliling dan Perpipaan
di Kota Besar Dunia
Rasio harga air penjaja
Kota keliling terhadap Sumber Data
perpipaan
Abidjan 5:1 World Bank, 1998
Bandung 62:1 ADB, 1993
Dhaka 12:1 – 25:1 World Bank, 1998
Ho Chi Minh, Vietnam 19:1 ADB, 1993
Istanbul 10:1 World Bank, 1998
Yakarta 14:1 – 20:1 Crane, 1994
Kampala 4:1 – 9:1 World Bank, 1998
Karachi 28:1 – 83:1 World Bank, 1998
Lagos 4:1 – 10:1 World Bank, 1998
Lima 17:1 World Bank, 1998
Manila 13:1 David dan Ionesco, 1998
Nairobi 7:1 – 11:1 World Bank, 1998
Onitsha, Nigeria 35 :1 – 300:1 Whittington dkk, 1991
Port-au-Prince, Haiti 7:1 – 100:1 World Bank, 1998
Surabaya 20:1 – 60:1 World Bank, 1998
Sumber: Diolah dari World Bank, 1998 dan Satterwaithe, 1998

a. Meningkatnya biaya bagi yang tidak memperoleh akses.


Ketika penduduk tidak memperoleh akses, mereka mencari alternatif lain yang
lebih mahal. Masyarakat miskin membeli 5-30 liter air per kapita/hari melalui
“perantara” seperti pemilik rumah, kios air, dan penjaja keliling dengan harga

56
yang jauh lebih mahal. Penduduk menghabiskan dana sekitar 10-40 persen dari
pendapatan untuk air minum dan mungkin membayar 10-100 kali tarif rata-rata
(Black, 1996).
Sementara itu, RT pelanggan air perpipaan umumnya hanya mengeluarkan
kurang dari 2 persen (Satterwaithe, 1998). Hal itu selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 3.5 dan Tabel 3.6.
Sebagai perbandingan, di negara maju, pengeluaran air berkisar pada 0,5
sampai 2 persen dari pendapatan rata-rata (1,3 persen di Jerman dan Belanda, 1,2
persen di Perancis). Air minum dianggap mahal jika pengeluaran melampaui 3
persen dari pendapatan rata-rata penduduk (Water Academy, 2004).

Tabel 3.6
Proporsi Pengeluaran Air Minum Rumah Tangga Miskin Perkotaan

Lokasi Proporsi Sumber


Pengeluaran/Pendapatan
Onitsha, Nigeria 18 persen Whittington dkk, 1991
Manila, Filipina 8,2 persen David dan Inocencio, 1998
Addis Abeba, Ethiopia 9 persen Bahl dan Lihn, 1992
Port-au-Prince, Haiti 3,2 – 10,6 persen Fass, 1998
Khartoum, Sudan 16,5 – 55,6 persen Cairneross dan Kinner, 1992
Sumber: Satterwaithe, 1998

b. Berkurangnya konsumsi air.


Semakin besar biaya, waktu dan usaha yang dibutuhkan bagi konsumsi air, air
yang dikonsumsi penduduk miskin kemungkinan semakin jauh dari kebutuhan
minimal.
c. Bertambahnya beban kesehatan dan timbulnya biaya ekonomi karena hilangnya
produktivitas.
Kekurangan akses ke air minum berkaitan ke penyakit baik yang langsung
maupun yang tidak langsung33.

33
Tersedianya akses air minum berpotensi mengurangi angka kematian akibat penyakit terkait air telah lama
diamati oleh WHO seperti kolera (potensi berkurang 80-100 persen), dan diare (40-50 persen) (WHO, 1992) Diare
mencapai 30 persen dari penyakit menular yang diderita anak-anak, yang mengakibatkan 2,2 juta
kematian setiap tahun.

57
Gambar 3.2
Jalur Utama Penularan Penyakit melalui Air

konsumsi
Ikan Air

kontak
Manusia Panen
--------
kontak pengolahan
langsung
Tanah

Air Air tanah


permukaan dan
dan pantai
Limbah
dibuang dibuang permukaan
dan pantai

siklus pendek siklus panjang

Sumber: Bosch dkk (2000)

Banyak penduduk miskin terjangkit penyakit disebabkan oleh kurang


layaknya air yang dikonsumsi. Akibatnya, sebagian besar pendapatan habis
untuk penanggulangan kesehatan sehingga tidak cukup tersedia dana untuk
kegiatan produktif. Selain itu, penduduk yang menderita sakit diare atau yang
merawat keluarga yang sakit tidak akan dapat bekerja, yang berarti hilangnya
produktivitas34. (Surjadi, 2003)
Karakteristik pasar air minum diantara komunitas miskin menunjukkan hal-hal
sebagai berikut. (i) Kinerja penyedia air minum yang rendah lebih menyengsarakan
penduduk miskin dibandingkan yang kaya. Penduduk miskin biasanya tergantung pada
gaji harian sehingga waktu yang terbuang untuk memperoleh air akan mengurangi
kesempatan memperoleh penghasilan. (ii) Penduduk miskin membayar lebih besar
untuk air minum. Meskipun terdapat persepsi bahwa penduduk miskin tidak mampu
membayar, kenyataannya mereka membayar lebih besar daripada penduduk kaya,
seperti membeli air dari penjaja keliling dengan harga yang lebih mahal. (iii) Penyedia
alternatif merupakan jalan keluar bagi penduduk miskin untuk mendapatkan layanan.

34
WHO memperkirakan 5,6 miliar hari kerja akan diperoleh per tahun kalau semua orang mempunyai
akses ke air minum (Hansen, 2004)

58
Tingginya kebutuhan air yang tidak terlayani oleh penyedia air perpipaan
memungkinkan penyedia skala kecil mengembangkan inovasi, seperti kios air, penjaja
keliling, jaringan independent, dan lain-lain. (iv) Ketersediaan dana tunai merupakan
isu dalam mendapatkan layanan air minum. Penduduk miskin cenderung membayar
tidak teratur dan dalam jumlah kecil sesuai dengan ketersediaan dana mereka. (v)
Pemilikan lahan merupakan kendala mendapatkan layanan (Kariuki, 2000).
Program pembangunan air minum dapat menanggulangi kemiskinan melalui 2
cara, yaitu (i) mengurangi biaya layanan dasar, dan (ii) mengurangi beberapa resiko
penyebab menurunnya kondisi kesehatan masyarakat yang dapat menurunkan tingkat
kesejahteraan masyarakat (Cain, 1998). Namun, aspek pertama yang terkait langsung
dengan kondisi ekonomi yang sering dikemukakan adalah berupa peningkatan
pendapatan yang dapat digunakan untuk keperluan selain air minum. Kaitan ini
dijelaskan secara nyata melalui ilustrasi berupa peningkatan pendapatan penduduk
miskin setelah penduduk miskin tersebut beralih dari mengonsumsi air yang dibeli dari
penjual keliling ke air perpipaan35.
Ketika pemerintah maupun swasta berkeinginan memberikan layanan air
minum pada penduduk miskin, faktor yang menjadi kepedulian penduduk miskin perlu
mendapat perhatian. Terdapat tiga hal yang menjadi kepedulian utama dari penduduk
miskin. Ketiga hal tersebut akan diuraikan berikut ini.
(i) Harga air.
Rumah tangga miskin lebih tertarik pada harga air yang rendah dan penerapan
skema subsidi silang.
(ii) Ekspansi sistem distribusi.
Rumah tangga miskin akan lebih memberi perhatian pada besarnya biaya
sambungan dan cara pembayaran biaya sambungan (sekali bayar vs dicicil).
(iii) Tingkat layanan (kualitas air, lama layanan, sistem penagihan dan lainnya).
Rumah tangga miskin cenderung membayar tagihan dalam jumlah kecil dengan
frekuensi yang lebih sering.
35
Sebagai ilustrasi, penduduk Manila membayar 900 pesos setiap bulan untuk air minum dari penjaja
keliling, tetapi hanya membayar 100 pesos per bulan jika tersambung ke perpipaan. Selisih 800 pesos
akan berarti banyak ketika penghasilan sebulan hanya sekitar 6.000 pesos dan biaya sewa rumah sekitar
1.000 pesos(McIntosh,2000)

59
Selain itu, penyedia air minum harus memperhatikan beberapa hal, yaitu (i)
desain penyediaan air minum harus tetap mempertahankan sasaran meningkatkan taraf
kehidupan penduduk miskin, (ii) menghindari asumsi bahwa melayani penduduk
miskin berisiko tinggi dan tingkat pengembalian rendah, (iii) memberikan kebijakan
dan pengaturan yang jelas, (iv) mempersiapkan beragam pilihan akses air minum bagi
penduduk miskin, dengan catatan bahwa penyedia air minum alternatif mungkin lebih
sesuai dengan penduduk miskin, dan (v) memberikan subsidi ke penduduk miskin
melalui tarif yang sering tidak berhasil. Penduduk miskin sebagian memperoleh air dari
tempat umum bahkan penyedia skala kecil, sementara subsidi silang lebih mengarah
pada sambungan rumah. Akibatnya, subsidi terhadap harga menguntungkan penduduk
kaya daripada penduduk miskin36. Harga air yang murah tanpa didukung oleh akses air
minum ke penduduk miskin hanya akan menguntungkan pedagang dan bukan
penduduk miskin (McIntosch, 2003), (vi) perlu ditingkatkan keterlibatan penduduk
miskin sehingga keinginan mereka dapat tersampaikan (Kariuki, 2000).

3.4.2 Pembangunan Air Minum dan Pertumbuhan Ekonomi

Keterkaitan antara kinerja perekonomian dan infrastruktur telah memicu debat


berkepanjangan diantara ahli ekonomi infrastruktur dan ekonomi pembangunan. Bukti
empiris belum dapat menunjukkan secara jelas keterkaitan antara infrastruktur dan
perekonomian. Bank Dunia dalam laporan tahunannya World Development Report
Tahun 1994 menyatakan bahwa belum terdapat konsensus mengenai besaran pasti dari
pengaruh infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi, tetapi, sebagian besar studi
menyimpulkan bahwa peran investasi infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi sangat
mendasar, signifikan, dan bahkan lebih dari pada investasi modal lainnya.
Terlepas dari perdebatan di atas, sebagian ahli ekonomi berpendapat bahwa
layanan infrastruktur yang memadai adalah kebutuhan dasar untuk pertumbuhan dan
produktivitas.
Terkait dengan pembangunan air minum, analisis terbaru menunjukkan bahwa
pengelolaan air berada pada peringkat kedua terbesar dalam investasi infrastruktur
36
Di manila, penduduk miskin mengkonsumsi hanya 6 m3 per bulan dibanding penduduk kaya sebanyak
30 m3 per bulan, sementara penduduk miskin yang membeli air dari penjual keliling membayar hampir
5 kali lebih besar dari yang dibayar penduduk kaya.

60
bagi kebangkitan ekonomi (Tan, 2000). Sementara itu, WHO (2004) melalui the Swiss
Tropical Institute melakukan kajian manfaat ekonomi dari investasi air minum dan
sanitasi pada beberapa negara. Kesimpulannya adalah bahwa investasi air minum dan
sanitasi sebesar USD 1 akan memberikan pengembalian sebesar antara USD 3 sampai
USD 34, yang bergantung pada lokasinya.

3.4.3 Pembangunan Air Minum dan Kesenjangan

Disamping dampak terhadap pertumbuhan pendapatan agregat, literatur terkini


menunjukkan dampak pembangunan infrastruktur terhadap kesenjangan pendapatan.
Hipotesis ini dibuktikan secara empiris dalam studi Lopez (2003) bahwa dalam kondisi
tertentu, pembangunan infrastruktur dapat berdampak positip pada pendapatan dan
kesejahteraan penduduk miskin dan pendapatan rata-rata. (Calderon, 2001).
Secara khusus terkait dengan air minum, dalam literatur empiris sebagaimana
dikemukakan oleh Brenneman dan Kerf (2002), Galiani, Gertler dan Schargrodsky
(2002), ditunjukkan bahwa peran akses air dan sanitasi dalam mengurangi tingkat
kesenjangan, terlihat melalui dampaknya pada modal manusia khususnya penduduk
miskin (Calderon, 2004).
Kajian Calderon (2004) menunjukkan bahwa pembangunan jaringan air minum
mempunyai dampak negatif dan signifikan pada kesenjangan pendapatan. Beberapa
kesimpulan studi adalah sebagai berikut. (i) Kuantitas infrastruktur mempunyai dampak
positip signifikan pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. (ii) Jumlah dan kualitas
infrastruktur mempunyai dampak negatif terhadap kesenjangan pendapatan. Tanpa
melihat pada tehnik yang digunakan dalam mengukur kesenjangan, ditemukan bahwa
pengurangan kesenjangan tidak hanya dipengaruhi oleh kuantitas, tetapi dipengaruhi
juga oleh kualitas infrastruktur. (iii) Infrastruktur meningkatkan pendapatan dan
mengurangi kesenjangan berakibat bahwa pembangunan infrastruktur menjadi kunci
pengurangan kemiskinan sehingga pembangunan infrastruktur seharusnya menjadi
pendukung utama program pengurangan kemiskinan.

3.5 Pertumbuhan Pro-Poor


Pertumbuhan pro-poor telah dikenal luas dan didefinisikan oleh lembaga
internasional sebagai pertumbuhan yang mengarah pada penurunan kemiskinan secara

61
nyata (OECD, 2001 dan PBB, 2000). Terdapat dua definisi pertumbuhan pro miskin.
Pada konsep pertama, pertumbuhan pro-poor terjadi ketika pendapatan penduduk
miskin meningkat lebih cepat dari penduduk tidak miskin. Sementara itu, konsep kedua
menyatakan bahwa pertumbuhan pro-poor terjadi ketika jumlah absolut penduduk
miskin berkurang (Vos, 2005). Dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar hanya
pada fokusnya, yaitu (i) konsep pertama pada kesenjangan (White dan Anderson, 2000;
Kakwani dan Pernia, 2000) dan (ii) konsep kedua pada kemiskinan (Ravallion dan
Chen, 2003).
Secara harafiah, ini berarti bahwa pertumbuhan pro-poor terjadi ketika
penduduk miskin lebih banyak mendapat manfaat jika dibanding dengan lainnya.
Selain itu, untuk dapat disebut pertumbuhan pro-poor, pertumbuhan harus disertai
pengurangan kesenjangan. Terdapat cara lain mengartikan pertumbuhan pro-poor,
yaitu pertumbuhan menurunkan angka kemiskinan (Ravallion dan Chen, 2003).
Pertumbuhan disepakati baik untuk penduduk miskin dan dibutuhkan untuk
penurunan kemiskinan berkelanjutan. Akan tetapi, apakah ini memadai?. Sulit dibantah
bahwa penurunan kemiskinan berkelanjutan dapat dicapai melalui kebijakan
redistribusi menyertai kemandekan ekonomi. Pertumbuhan yang dikaitkan dengan
perubahan redistribusi akan mempunyai dampak yang lebih besar terhadap penurunan
kemiskinan dari pertumbuhan tanpa perubahan distribusi (Bourgignon, 2001). Terdapat
dua penjelasan tentang hal ini, yaitu (i) dampak positif langsung dari perubahan
distribusi terhadap penurunan kemiskinan tanpa memperdulikan besaran pertumbuhan
ekonomi; (ii) dampak positip dan tidak langsung dari penurunan kesenjangan. Bahkan
ketika tidak terjadi perubahan distribusi, pertumbuhan ekonomi akan mempunyai
dampak penurunan kemiskinan yang lebih besar kalau kesenjangan awal rendah.
Perubahan distribusi dapat berdampak sekarang pada kemiskinan dan dampak kedepan
berupa penurunan kemiskinan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi di masa depan
(Mosley, 2004)
Jika pertumbuhan ekonomi baik untuk penduduk miskin, perubahan
kesenjangan juga secara empiris sesuai untuk menjelaskan perubahan kemiskinan.
Ravallion (2004) menyimpulkan bahwa pertumbuhan akan menjadi alat yang tidak

62
berarti bagi kemiskinan kecuali jika pertumbuhan terjadi bersamaan dengan penurunan
kesenjangan.

Gambar 3.3
Kebijakan, Pertumbuhan, Perubahan Distribusi dan Penurunan Kemiskinan

Pertumbuhan
Pendapatan

Reformasi Perubahan
Kebijakan Kemiskinan

Perubahan Distribusi
Pendapatan

Sumber: Lopez, 2004

Pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat bagi penduduk miskin harus menjadi


prioritas dari kebijakan publik di negara berpendapatan rendah. Pertumbuhan
ekonomi dan kebijakan pro-growth adalah muatan utamanya, tetapi itu saja tidak
mencukupi. Negara miskin harus mencari cara melaksanakan kebijakan yang
meningkatkan manfaat pertumbuhan bagi penduduk miskin. Perubahan distribusi
yang progresif (bahkan sekedar mengurangi percepatan peningkatan kesenjangan)
dapat mempunyai dampak penting pada tingkat pertumbuhan pendapatan penduduk
miskin (Mosley, 2004).

3.6 Rangkuman

Air minum sebagai kebutuhan dasar telah disadari bersama. Sebagai


konsekuensinya adalah penyediaan air minum tidak hanya memperhatikan segi
ekonomis, tetapi juga memperhatikan segi sosial. Pengabaian fungsi sosial akan
berakibat bahwa penduduk miskin terabaikan kebutuhannya akan air minum. Ketika air
minum tidak terjangkau, penduduk miskin yang paling banyak menderita. Akses ke air
minum merupakan salah satu komponen dalam klasifikasi kemiskinan. Hal ini telah

63
disadari sejak lama, tetapi masih banyak penduduk khususnya yang miskin yang belum
terjangkau.
Ketiadaan akses terhadap air minum mempengaruhi kondisi kesehatan,
pendidikan, dan pendapatan dan konsumsi. Konsekuensi kurangnya akses terhadap air
minum diantaranya berupa biaya penyediaan air yang lebih mahal, waktu yang tersita
lebih banyak untuk mendapatkan air, konsumsi air berkurang, bertambahnya beban
kesehatan dan pada akhirnya bermuara pada timbulnya biaya ekonomi disebabkan
hilangnya produktivitas.
Kesadaran bahwa air merupakan kebutuhan dasar kemudian ditindaklanjuti oleh
pemerintah dengan menyediakan air minum dengan harga yang terjangkau khususnya
bagi penduduk miskin. Di pihak lain, harga yang terjangkau sering lebih rendah dari
biaya produksi sehingga menyulitkan penyedia air minum untuk berkembang.
Kemudian, harga terjangkau tidak dengan sendirinya membantu penduduk miskin
karena dalam kenyataannya penduduk miskin masih banyak yang belum terlayani.
Sebaliknya, kondisi ini malah mengurangi kemampuan pemerintah menyediakan air
minum yang berkualitas dan menjangkau keseluruhan penduduk. Berdasarkan alasan
ketidakmampuan pemerintah menyediakan kebutuhan air minum bagi masyarakat,
swasta mulai berperan dalam penyediaan air minum.
Secara empiris kinerja swasta dalam penyediaan air minum masih kontroversial.
Beberapa studi di Asia Pasifik, dan Amerika Serikat, menunjukkan bahwa kinerja
swasta lebih efisien. Sementara itu, di Swedia, Inggris, dan Perancis menunjukkan hasil
yang berseberangan. Kondisi ini mengakibatkan sebagian pihak mendukung
keterlibatan swasta dengan menyatakan keterlibatan swasta meningkatkan efisiensi dan
mendorong bertambahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, pihak
penentang menyatakan bahwa swasta mengedepankan keuntungan dengan
mengabaikan kepentingan penduduk miskin. .
Keterlibatan swasta dalam penyediaan air minum dapat dilihat baik dari sudut
pandang makro maupun mikro. Secara makro, peningkatan investasi air minum akan
berdampak positip terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun secara mikro, penduduk
miskin cenderung terabaikan disebabkan akses yang sulit (biaya sambungan meningkat,

64
berlokasi di permukiman liar), dan tidak terjangkau (tarif yang meningkat, subsidi yang
berkurang).
Ketidakmampuan pemerintah, dan kemudian juga swasta, mendorong penduduk
terutama yang miskin untuk memperoleh air minum dari sumber alternatif, yang
dikenal dengan istilah penyedia air minum skala kecil (small scale water provider).
Biaya layanan penyedia skala kecil relatif lebih mahal dari sistem perpipaan, tetapi
bentuk layanan yang diberikan oleh penyedia skala kecil bersifat fleksibel37 sehingga
terjangkau oleh penduduk miskin. Walaupun demikian, penyedia skala kecil masih
dianggap bersifat sementara sampai sistem air perpipaan dapat melayani.
Sebagaimana investasi air minum perpipaan maka investasi air minum
nonperpipaan (penyedia skala kecil) akan berdampak positip pada pertumbuhan
ekonomi. Secara empiris belum diketahui dampak dari investasi air minum
nonperpipaan terhadap distribusi pendapatan. Secara teoritis, dalam jangka menengah
dampaknya tergantung pada harga air yang dikonsumsi dibandingkan dengan
kemungkinan timbulnya dampak terhadap kesehatan jika mengkonsumsi air yang tidak
layak. Sementara itu, dalam jangka pendek dampak dari harga akan lebih dominan.
Keterkaitan isu akses terhadap air minum dengan pertumbuhan ekonomi dan
distribusi pendapatan menjadi mengemuka ketika kondisi kemiskinan perkotaan
menjadi perhatian. Akses terhadap air minum merupakan salah satu penyumbang
terhadap kemiskinan perkotaan. Bahkan, ditengarai pembangunan air minum yang
mengabaikan penduduk miskin akan berdampak pada semakin meningkatnya
kesenjangan pendapatan di perkotaan.
Keterkaitan antara kinerja perekonomian dan infrastruktur telah memicu debat
berkepanjangan diantara ahli ekonomi infrastruktur dan ekonomi pembangunan.
Belum terdapat konsensus mengenai besaran pasti dari pengaruh infrastruktur pada
pertumbuhan ekonomi. Namun, sebagian besar studi menyimpulkan bahwa peran
investasi infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi sangat mendasar, signifikan dan
bahkan lebih dari pada investasi modal lainnya.

37
Penduduk dapat membeli/membayar dalam jumlah dan pada waktu yang sesuai kemampuan mereka

65
Kaitan pertumbuhan dan kesenjangan lebih terlihat pada literatur teoritis.
Sementara itu, berbeda dengan pandangan Kutznets, beberapa literatur empiris terkini
secara seragam menyatakan bahwa pertumbuhan tidak mempunyai dampak sistematis
pada kesenjangan.
Teori sederhana dan bukti empiris menunjukkan bahwa pengurangan
kemiskinan dapat dicapai melalui percepatan pertumbuhan ekonomi dan/atau
perubahan distribusi pendapatan. Pada saat pendapatan rata-rata meningkat, proporsi
populasi yang hidup dalam kemiskinan absolut akan berkurang, Meskipun bukti
menunjukkan bahwa pertumbuhan dapat dikaitkan dengan meningkatnya kesenjangan
pendapatan, penurunan kemiskinan didominasi oleh pengaruh langsung dari
pertumbuhan.
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa pertumbuhan .itu penting bagi
penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan riset terdahulu, Kraay (2004) menguraikan
dampak pertumbuhan pada kemiskinan melalui tiga sumber pertumbuhan pro-poor,
yaitu (i) pertumbuhan tinggi, (ii) kemiskinan yang sensitif terhadap pertumbuhan, dan
(iii) pertumbuhan berpola mengurangi kemiskinan.
Ketiadaan akses terhadap air minum khususnya bagi penduduk miskin
perkotaan akan berdampak semakin parahnya distribusi pendapatan di perkotaan.
Selanjutnya, hal itu akan berdampak terhadap menurunnya pertumbuhan ekonomi. Di
pihak lain, pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai syarat utama dalam mengatasi
kemiskinan perkotaan. Penyediaan air minum secara teoritis dapat menjadi alat yang
membantu menjembatani proses pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan
kesenjangan melalui dampak ketersediaan air minum terhadap tingkat pendapatan
penduduk miskin. Kondisi ini kemudian dikenal sebagai fenomena pertumbuhan pro-
poor, yaitu pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pengurangan kesenjangan
pendapatan dan/atau kemiskinan.
Pembangunan air minum seharusnya disadari bukan suatu beban, tetapi suatu
kesempatan untuk mengatasi kemiskinan khususnya di perkotaan. Pembangunan air
minum seharusnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan sekaligus juga
mengurangi kesenjangan pendapatan.

66
BAB IV

PEMODELAN DAMPAK INVESTASI AIR MINUM

4.1 Teori Keseimbangan Umum

Teori keseimbangan umum merupakan teori yang menjelaskan tentang


keberadaan beragam pasar yang saling terkait satu sama lain dalam suatu
perekonomian. Sebagai akibatnya, perubahan pada satu pasar akan berpengaruh
terhadap pasar lainnya. Kondisi keseimbangan akan terbentuk ketika permintaan dan
penawaran pada masing-masing pasar berada pada kondisi keseimbangan simultan.
Secara matematis, tingkat harga keseimbangan merupakan solusi dari sistem persamaan
simultan yang menggambarkan perilaku dari setiap pelaku ekonomi dan keseimbangan
di setiap pasar (Hartono, 2002).
Model keseimbangan umum dikembangkan pertama kali oleh Leon Walras
yang mengemukakan bahwa semua harga dan jumlah barang di semua pasar ditentukan
secara simultan melalui proses interaksi satu dengan lainnya (Lewis, 1991). Untuk
menjelaskan konsepnya, Walras menggunakan pendekatan matematis melalui konsep
kelebihan permintaan sebagai berikut.
Asumsi yang diperguna-
kan dalam Hukum Walras adalah
Kotak 4.1 Hukum Walras
bahwa suatu perekonomian ter-
Suatu sistem yang terdiri atas n pasar, memiliki fungsi
D
permintaan X (P ) , fungsi penawaran X (P ) dan
S diri dari n pasar komoditi yang
fungsi kelebihan permintaan untuk pasar ke-j yang dibedakan atas dua keseimbang-
didefinisikan sebagai:
Z j ( P ) = X Dj − X Sj an yaitu keseimbangan parsial
Dalam kondisi keseimbangan, untuk setiap pasar ke-i dan keseimbangan umum. Kese-
D S
secara simultan berlaku X (P) = X (P) dan imbangan parsial terjadi pada
kondisi:
n sebuah pasar komoditi, semen-
∑P
j =1
j • Z j = 0 , untuk setiap Pj ≥ 0 .
tara keseimbangan umum terjadi
secara serentak pada semua

67
pasar. Jika terdapat n pasar parsial, keseimbangan umum akan tercapai ketika n-1 pasar
parsial telah mencapai keseimbangan.

4.2 Model Komputasi Keseimbangan Umum (CGE)38

4.2.1 Prinsip dan Kerangka Dasar

Model komputasi keseimbangan umum (computable general equilibrium, CGE)


merupakan suatu model kuantitatif yang berhubungan dengan keseimbangan
perekonomian secara umum yang harga-harga dari semua barang dan jasa serta faktor-
faktor produksi memiliki peranan yang sangat penting dalam menyeimbangkan antara
permintaan (demand) dan penawaran (supply). Model keseimbangan umum disusun
oleh persamaan-persamaan yang memuat perilaku-perilaku dari para pelaku ekonomi
(rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan dunia internasional) dalam kerangka suatu
model. Permintaan dan penawaran akan barang dan jasa serta faktor-faktor produksi
oleh para pelaku ekonomi tersebut didasarkan kepada mekanisme pasar.
Perilaku para pelaku ekonomi dalam suatu model komputasi keseimbangan
umum (computable general equilibrium, CGE) dasar pada umumnya terdiri dari: rumah
tangga, perusahaan, pemerintah dan dunia internasional. Perilaku para pelaku ekonomi
dalam model keseimbangan umum diasumsikan sangat rasional, yaitu
memaksimumkan keuntungan untuk para pelaku ekonomi yang membutuhkan faktor
produksi atau memaksimumkan utilitas untuk pelaku ekonomi yang mengkonsumsi
barang dan jasa serta faktor produksi. (Bappenas, 2004).
Model CGE adalah sebuah model keseimbangan yang dibangun berdasarkan
struktur sosial ekonomi dari Social Accounting Matrix (SAM), dengan disagregasi
multisektor. Struktur dasar SAM yang dipergunakan dalam model CGE disajikan pada
Tabel 4.1

38
Computable General Equilibrium (CGE) Model diterjemahkan menjadi Model Komputasi
Keseimbangan Umum. Pada beberapa kajian kadang juga diterjemahkan menjadi Model Keseimbangan
Umum Terapan

68
Tabel 4.1
Struktur Dasar SAM pada Model CGE

Pengeluaran
Penerimaan Rumah Tabungan-
Aktivitas Komoditi Faktor Perusahaan Pemerintah Sisa Dunia Total
Tangga Investasi
Pendapatan
Output yang Output yang
Aktivitas dipasarkan dikonsumsi
aktivitas
(output kotor)
Konsumsi Konsumsi
Komoditi Input Antara Biaya transaksi
privat pemerintah
Investasi Ekspor Permintaan

Pendapatan
Pendapatan
Faktor Nilai Tambah faktor dari sisa
faktor
dunia
Pendapatan Transfer ke
Rumah Transfer antar Surplus untuk Transfer ke Pendapatan
faktor untuk rumah tangga
Tangga rumah tangga rumah tangga rumah tangga rumah tangga
rumah tangga dari sisa dunia
Pendapatan Transfer ke
Transfer ke Pendapatan
Perusahaan faktor untuk
perusahaan
perusahaan dari
perusahaan
perusahaan sisa dunia
Pendapatan Transfer ke Surplus ke
Pajak produsen Pajak Transfer ke
faktor untuk pemerintah, pemerintah, Pendapatan
Pemerintah dan pajak nilai penjualan, tarif,
pemerintah, pajak langsung pajak langsung
pemerintah dari
pemerintah
tambah pajak ekspor sisa dunia
pajak faktor rumah tangga perusahaan
Tabungan- Tabungan Tabungan Tabungan Tabungan
Tabungan
Investasi rumah tangga perusahaan pemerintah Asing
Pendapatan Transfer Foreign
Surplus untuk
Sisa Dunia Impor faktor ke sisa
sisa dunia
pemerintah exchange
dunia untuk sisa dunia outflow
Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Foreign
Total aktifitas
Penawaran
faktor rumah tangga perusahaan pemerintah
Investasi
exchange inflow
Sumber: Lofgren dkk (2001)

69
Gambar 4.1 Struktur Dasar Model CGE

Tabungan Swasta Domestik


Sumber: Lofgren dkk (2002).
Pasar
Faktor Tabungan Pemerintah
Biaya Upah &
Faktor Sewa
Pajak

Biaya Input
Aktivitas Antara Rumah Tabungan/
Pemerintah
Tangga Investasi

Transfer
Konsumsi Konsumsi
Swasta Pemerintah
Penjualan Pasar
Komoditi Permintaan
Investasi
Transfer dari
Luar Negeri
Ekspor
Impor

Tabungan dari
Luar Negeri
Bagian Lain
Dunia

70
4.2.2 Model Standar Komputasi Keseimbangan Umum39

Perilaku dalam mengambil keputusan untuk melakukan produksi dan konsumsi


dalam model standar komputasi keseimbangan umum diasumsikan memiliki struktur
yang tidak linier serta memenuhi kondisi syarat perlu dan cukup berupa optimisasi
turunan pertama dan turunan kedua. Disamping itu, rangkaian-rangkaian
persamaan dalam model dasar kesetimbangan umum juga memuat beberapa kendala
(constraints) yang harus dapat dipenuhi oleh sistem model dasar kesetimbangan umum
secara keseluruhan dengan tidak perlu melihat kepada pertimbangan-pertimbangan dari
masing-masing pelaku ekonomi.

• Aktifitas, Produksi dan Pasar Faktor Produksi

Masing-masing produsen yang direpresentasikan dengan suatu kegiatan


diasumsikan untuk memaksimumkan keuntungan. Keuntungan merupakan selisih
antara pendapatan (revenue) dengan seluruh biaya dari faktor-faktor produksi (factors
of production) dan barang antara
Gambar 4.2 Teknologi Produksi
(intermediate inputs) yang diperlu-
Output Komoditas kan dalam seluruh kegiatan produk-
(koefisien hasil tetap)
si. Kendala yang membatasi perilaku
Tingkat Aktifitas memaksimumkan keuntungan dari
(CES/Leontief)
produsen didasarkan kepada keada-
an teknologi yang dimiliki dan
Nilai Tambah Antara
(CES) (Leontief) dipergunakan dalam melakukan
proses produksi.
Faktor Komoditas
Primer Komposit Pada bagian yang paling atas
dipergunakan persamaan produk-
Impor Domestik
si berdasarkan constant elasticity
Sumber: Lofgren, 2001 of substitution (CES) atau fungsi

39
Sub Bab ini merupakan terjemahan bebas dari A Standard Computable General Equilibrium Model in
GAMS oleh Hans Lofgren dkk, IFPRI, 2001.

71
Leontief40 yang menggabungkan antara seluruh nilai tambah serta barang-barang input
antara.
Masing-masing kegiatan dapat memproduksi atau menghasilkan satu jenis
komoditi atau lebih berdasarkan koefisien-koefisien hasil produksi yang tetap (fixed
yield coefficients). Pendapatan (revenue) dari kegiatan dihitung berdasarkan tingkat
proses kegiatan dan hasil produksi dengan berpatokan kepada harga jual yang
ditawarkan oleh produsen.
Sesuai dengan keinginan para produsen untuk memaksimumkan keuntungan
dilihat dari sisi penggunaan faktor-faktor produksi, masing-masing kegiatan atau proses
produksi yang dilakukan oleh para produsen akan mempergunakan faktor-faktor
produksi sampai pada suatu titik yang pendapatan marjinal dari masing-masing hasil
produksi (marginal revenue of factors production) sama dengan biaya perolehan
masing-masing faktor produksi (factors price or rent) tersebut. Harga perolehan dari
masing-masing faktor produksi tersebut akan berbeda-beda bergantung pada
segmentasi dari pasar faktor-faktor produksi maupun pada mobilitas dari faktor-faktor
produksi tersebut.

• Lembaga atau Para Pelaku Kegiatan Ekonomi

Lembaga atau pelaku ekonomi yang akan diakomodasi ke dalam model


diantaranya berupa rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan bagian lain dunia (rest
of the world, ROW).
Rumah tangga yang didisagregasi sesuai dengan yang tercantum di SAM
mendapatkan pendapatan (income) dalam bentuk upah tenaga kerja dari perusahaan-
perusahaan sebagai imbalan dari penggunaan faktor produksi (tenaga kerja) oleh
perusahaan-perusahaan. Disamping itu, rumah tangga juga mendapatkan pendapatan
lain yang berasal dari transfer dari pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Transfer dari bagian
lain dunia (rest of the world, ROW) ke rumah tangga memiliki nilai yang tetap dengan

40
Fungsi produksi CES sesuai untuk dipergunakan pada sektor-sektor yang secara empiris diketahui
bahwa komposisi dari seluruh nilai tambah dan barang-barang input antara berubah-ubah. Sementara
itu, fungsi produksi Leontief sangat sesuai dipergunakan pada sektor-sektor yang secara empiris
diketahui bahwa komposisi dari seluruh nilai tambah dan barang-barang input antara relatif tidak
berubah-ubah atau selalu tetap
.

72
denominasi dalam nilai mata uang asing. Rumah tangga mempergunakan
pendapatannya untuk membayar pajak langsung, keperluan tabungan, membiayai
kegiatan konsumsi, serta melakukan transfer kepada para pelaku ekonomi lainnya.
Dalam model yang paling sederhana, pajak langsung dan transfer kepada para pelaku
ekonomi lainnya di dalam negeri didefinisikan memiliki proporsi yang tetap dari
pendapatan yang diperoleh rumah tangga. Sementara itu, proporsi pengeluaran rumah
tangga untuk keperluan simpanan didefinisikan fleksibel untuk sebagian rumah tangga.
Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pembayaran pajak langsung dan simpanan
tersebut didasarkan kepada pilihan closure antara neraca pemerintah serta neraca
tabungan-investasi. Pendapatan rumah tangga setelah dikurangi pengeluaran pajak
langsung dan keperluan tabungan merupakan disposable income yang dapat
dipergunakan untuk keperluan konsumsi.
Konsumsi yang dilakukan rumah tangga meliputi komoditi-komoditi yang
dijual di pasar yang diperoleh dengan harga pasar termasuk pajak komoditi yang harus
dibayar serta biaya-biaya transaksi yang timbul dari perpindahan komoditi dalam rantai
pasokan perdagangan komoditi tersebut serta home commodities yang diperoleh dengan
harga yang ditawarkan oleh produsen. Pengeluaran konsumsi rumah tangga
diperuntukkan untuk membeli bermacam-macam komoditi (marketed and home
commodities) berdasarkan suatu fungsi yang dikenal dengan linear expenditure system
(LES).
Pendapatan dari faktor produksi tidak selamanya dibayarkan langsung kepada
rumah tangga melainkan bisa juga dibayarkan melalui satu atau beberapa perusahaan.
Perusahaan dapat juga memperoleh transfer dari para pelaku ekonomi lainnya.
Pendapatan yang diperoleh oleh perusahaan dialokasikan untuk membayar pajak
langsung, keperluan tabungan dan transfer kepada para pelaku ekonomi lainnya.
Perusahaan-perusahaan diasumsikan tidak melakukan kegiatan konsumsi. Pembayaran
yang dilakukan oleh dan kepada perusahaan dimodelkan sama dengan pembayaran
yang dilakukan oleh dan kepada rumah tangga.
Pemerintah mengumpulkan pajak dan mendapatkan transfer dari para pelaku
ekonomi lainnya. Dalam model dasar, pajak yang diterapkan adalah digolongkan

73
kedalam ad valorem tax dengan tingkat pembayaran tetap. Pemerintah mempergunakan
pendapatan yang berasal dari pajak tersebut disamping untuk membeli komoditi
keperluan konsumsi juga untuk mendanai transfer yang diindeks dengan inflasi
(consumer price index, CPI) kepada para pelaku ekonomi lainnya. Tabungan
pemerintah diasumsikan fleksibel dan merupakan selisih dari pendapatan pemerintah
atas pajak serta pengeluaran pemerintah untuk keperluan konsumsi dan transfer kepada
para pelaku ekonomi lainnya.
Bagian lain dunia merupakan salah satu pelaku ekonomi yang masih tersisa.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembayaran transfer dari dan ke bagian
lain dunia serta para pelaku ekonomi dalam negeri dan pembayaran faktor produksi
dilakukan dalam mata uang asing. Perdagangan komoditi antara para pelaku ekonomi
dalam negeri dengan bagian lain dunia akan diterangkan secara lebih terperinci dalam
bagian berikutnya. Tabungan luar negeri atau current account deficit merupakan selisih
antara pengeluaran dan penerimaan dalam mata uang asing tersebut.

• Pasar Komoditi

Seluruh komoditi untuk keperluan konsumsi dalam negeri dan ekspor (kecuali
output produk yang dikonsumsi sendiri) diperdagangkan pada pasar-pasar komoditi.
Produk yang dihasilkan di dalam negeri dapat diperdagangkan atau dikonsumsi sendiri.
Tahapan pertama dalam rantai pasokan dari produk yang diperdagangkan adalah
melakukan agregasi produk yang dihasilkan dalam negeri dari produk yang dihasilkan
oleh beberapa kegiatan produksi untuk suatu jenis komoditi tertentu. Hasil produksi
tersebut memiliki sifat substitusi tidak sempurna (imperfectly subsitution) yang
diakibatkan oleh adanya perbedaan waktu, kualitas dan lokasi dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang berbeda. Suatu fungsi constant elasticity of substitution (CES)
dipergunakan sebagai fungsi untuk mengagregasi hasil-hasil produksi dari keseluruhan
kegiatan. Permintaan dari masing-masing hasil produksi dari masing-masing kegiatan
diturunkan berdasarkan upaya meminimisasi biaya dalam menawarkan output agregat
dalam jumlah tertentu dengan memperhatikan batasan pada fungsi CES. Harga dari
komoditas tertentu berperan sebagai patokan penentuan harga pada pasar yang implisit
dari masing-masing komoditi yang didisagregasi.

74
Gambar 4.3 Kemudian pada tahap berikutnya,
Aliran Komoditas yang Dipasarkan
hasil-hasil kegiatan produksi dalam
Output Komoditas Output Komoditas negeri secara agregat dialokasikan
dari aktifitas 1 dari aktifitas n
CES masing-masing untuk keperluan ekspor
dan penjualan di dalam negeri dengan
Output agregat

CET asumsi maksimisasi keuntungan yang

Impor Penjualan Ekspor


dilakukan oleh pemasok untuk setiap
agregat Domestik agregat
kegiatan produksi dengan batasan kepada
CES
tingkatan transformasi tidak sempurna
Komoditi
Komposit yang dinyatakan dengan suatu fungsi
constant elasticity of transformation
Penggunaan Rumah
Antara + Investasi + Pemerintah + Tangga (CET). Jika dilihat dari sisi pasar
Sumber: Lofgren, 2001 internasional, permintaan akan komoditi
ekspor diasumsikan bersifat elastik
sempurna pada tingkat harga internasional yang berlaku. Harga yang diterima oleh para
pemasok dalam negeri dari kegiatan ekspor dinyatakan dalam nilai mata uang
domestik. Harga yang diterima oleh para pemasok tersebut telah mengakomodasi
seluruh biaya transaksi dan pajak ekspor. Sementara itu, harga yang diterima oleh para
pemasok dalam negeri yang memperdagangkan produknya di dalam negeri adalah
harga yang dibayarkan oleh konsumen dalam negeri dikurangi dengan seluruh biaya
transaksi pemasaran produk dalam negeri. Apabila produk yang dihasilkan di dalam
negeri tidak diekspor, produk-produk tersebut akan dipasarkan di pasar dalam negeri
atau dipergunakan sendiri.
Permintaan komoditi dalam negeri merupakan gabungan antara permintaan
komoditi untuk keperluan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi,
pengadaan barang antara serta input keperluan berbagai transaksi (kegiatan
perdagangan dan transportasi).

75
• Sistem Persamaan

Model CGE dari sebuah perekonomian nasional merupakan sistem persamaan


yang mencerminkan perilaku semua pelaku ekonomi, yaitu perilaku konsumen dan
produsen, serta kondisi kliring pasar (market-clearing condition) dari barang dan jasa
dalam perekonomian tersebut. Sistem persamaan ini biasanya dibagi dalam enam blok
persamaan. Blok-blok tersebut adalah sebagai berikut.

ƒ Blok Produksi
Persamaan-persamaan dalam blok ini mencerminkan struktur kegiatan produksi
dan perilaku produsen.
ƒ Blok Konsumsi
Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan yang mencerminkan perilaku rumah
tangga dan institusi lainnya.
ƒ Blok Ekspor-Impor
Blok ini menggambarkan keputusan negara/daerah untuk mengekspor atau
mengimpor barang dan jasa.
ƒ Blok Investasi
Persamaan-persamaan dalam blok ini menyimulasikan keputusan untuk
melakukan investasi dalam perekonomian dan permintaan akan barang dan jasa
yang dipergunakan dalam pembentukan modal baru.
ƒ Blok Kliring Pasar
Persamaan-persamaan dalam blok ini menentukan kondisi kliring pasar untuk
tenaga kerja, barang dan jasa dalam perekonomian. Neraca pembayaran
nasional juga termasuk dalam blok ini.
ƒ Blok Antarwaktu (Intertemporal)
Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan dinamik yang menghubungkan
kegiatan ekonomi tahun ini dengan kondisi ekonomi masa depan.

Berikut ini akan dibicarakan blok tersebut secara satu per satu.

76
o Blok Produksi
Blok ini mencerminkan struktur kegiatan produksi dan perilaku produsen.
Secara spesifik, perilaku produsen dalam suatu model CGE merupakan pusat yang
menghubungkan antar pasar tenaga kerja, output, upah dan harga (Devarajan, 1988).
Gambar 4.4 di bawah ini
Gambar 4.4 Struktur Fungsi Sektor Produksi menunjukkan struktur dari fungsi
sektor produksi.
Output X
Berdasarkan Gambar 4.4,
terlihat bahwa output diproduksi
CES
dengan menggunakan kombinasi
Antara Nilai Tambah
dari intermediate input dan value
Proporsi tetap CES added untuk semua sektor yang
berasal dari faktor produksi. Di
X1 Xn Tenaga modal
kerja dalam gambar tersebut, diasum-
X2
Sumber: Lofgren, 2001 sikan hanya menggunakan dua
faktor produksi, yaitu tenaga kerja dan modal (termasuk tanah).
Teknologi yang digunakan dalam proses produksi diasumsikan mengikuti
fungsi produksi Nested CES (Constant Elasticity of Substitution).
Output (X) didefinisikan sebagai fungsi CES yang merupakan komposit dari
input antara (intermediate input/ IN) dan nilai tambah (value added/ VA). Disamping
itu, input antara adalah fungsi dari barang dan jasa dalam perekonomian yang keduanya
digunakan secara proporsi tetap (fixed proportion). Sebaliknya, nilai tambah sendiri
merupakan fungsi dari faktor produksi, yang faktor tersebut diekspresikan sebagai
fungsi CES sehingga fungsi produksi yang dimaksud di atas dapat dinyatakan dalam
bentuk:

[β ]
−1

Xi = α i
X
i
X
IN i
− ρ iX
(
+ 1 − β i VA X
) i
− ρ iX ρ iX
persamaan [3.1]

Parameter α adalah parameter efisiensi yang juga merupakan indikator untuk


menjelaskan teknologi, parameter β adalah parameter distribusi yang menunjukkan fak-
tor share di dalam produk secara relatif, sedangkan paramater ρ adalah parameter subs-

77
titusi yang menunjukkan nilai (konstanta) dari elastisitas substitusi. Nilai terendah dari
ρ adalah –1 yang menunjukkan bahwa elastisitas substitusi tersebut infinite.
Selanjutnya untuk nilai ρ yang terletak antara –1 dan 0 (nol) akan diperoleh elastisitas
substitusi yang bernilai lebih besar dari satu. Kemudian untuk kasus nilai ρ = 0, akan
dihasilkan nilai elastisitas sama dengan 1 yang pada akhirnya akan memberikan fungsi
Cobb-Douglas. Sebaliknya, untuk nilai 0 < ρ < ∞, akan diperoleh nilai elastisitas
substitusi yang lebih kecil daripada satu.
Dengan uraian yang dipaparkan di atas, dapat dikemukakan proses optimisasi
dari perilaku produsen, yaitu dengan meminimumkan biaya produksi dengan kendala
fungsi produksi CES sebagai berikut:

Minimumkan TC = IN i .PINi + VAi PVAi

[ ]
−1

Dengan kendala
X
(
X i = α iX β i X IN i− ρ i + 1 − β i X VA i− ρ i ) X
ρ iX

First Order Condition (FOC):

[ ]
−1
∂L
= 0 ⇔ PVAi − λα iX β iX IN i− ρ i + (1 − β iX )VAi− ρi (1 − β )VA
−1
X X
− ρ iX −1
ρ iX X
=0
∂VAi
i i

…………. persamaan [3.2]

[ ]
−1
∂L
= 0 ⇔ PINi − λα iX β iX IN i− ρ i + (1 − β iX )VAi− ρ i
−1
β iX IN i− ρ −1
X X X
ρ iX i
=0
∂IN i
………….. persamaan [3.3]

Dengan mengatur dan menata ulang kembali persamaan [3.2] dan [3.3] melalui
proses substitusi nilai λ, akan diperoleh bentuk sebagai berikut:

IN i ⎡ PVAi β i ⎤ ρ iX +1
X

=⎢ ⎥
(
VAi ⎣⎢ PIN i 1 − β iX ⎥⎦) ……… persamaan [3.4]

Persamaan [3.4] menunjukkan rasio input yang optimal. Dari persamaan ini,
dapat diturunkan suatu proses yang menghasilkan input antara optimal yang
dibutuhkan untuk memproduksi output domestik.

78
Disamping input antara, terdapat faktor produksi yang juga dibutuhkan untuk
menghasilkan output domestik, yaitu nilai tambah. Nilai tambah didefinisikan sebagai
fungsi Cobb-Douglas yang merupakan kombinasi dari faktor tenaga kerja, modal, dan
tanah (FACDEM). Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan kasus khusus dari fungsi
CES ketika ρ = 0 sehingga dapat dinyatakan bahwa proses untuk mendapatkan nilai
tambah yang optimal adalah dengan melakukan hal berikut.

Maksimumkan: Π = PVAi .VAi − ∑ WAif FACDEM if


f

−1
⎡ V ⎤ ρi
V

Dengan kendala: VAi = α iV ⎢∑ β ifV FACDEM if− ρ i ⎥


⎣ f ⎦
First Order Condition (FOC):
∂Π ∂VAi
= 0 ⇔ PVAi . − WAif = 0 …persamaan [3.5]
∂FACDEM if ∂FACDEM if

dengan
−1
−1
∂VAi ⎡ − ρ iV ⎤ i
ρV
= α i ⎢∑ β if FACDEM if ⎥ β ifV FACDEM if− ρi −1
V
V V

∂FACDEM if ⎣ f ⎦
…… persamaan [3.6]

dengan melakukan substitusi [3.6] ke [3.5] diperoleh bentuk sebagai berikut:


1

FACDEM if ⎡ PVAi .β ifV ⎤ ρ iV +1


= ⎢ ⎥ …. persamaan [3.7]
⎢WA .WFDIST .(α V )ρ i ⎥
V
VAi
⎣ if if i ⎦

Persamaan [3.7] memperlihatkan tingkat yang optimal dari rasio antara faktor
produksi primer dan nilai tambah untuk memproduksi sejumlah barang.
Dalam studi ini selain fungsi yang telah dijelaskan di atas, terdapat fungsi lain
yang juga digunakan untuk menjelaskan perilaku dari produsen, yaitu fungsi CET
(Constant Elasticity of Transformation). Fungsi CET yang dimaksud disini adalah
fungsi yang hampir sama dengan fungsi CES, hanya saja perbedaan yang mendasar dari

79
kedua fungsi tersebut terletak pada nilai parameter ρ, pada saat parameter tersebut
bernilai tak-negatif yang menggantikan parameter negatif ρ di dalam fungsi CES.
Fungsi ini diperkenalkan untuk digunakan dalam menentukan bagaimana output
didistribusikan diantara pasar luar negeri (XEX) dan pasar domestik (XD). Adapun
fungsi CET dapat dinyatakan sebagai berikut.

[ ( ) ]
1

X i = α iX β iX XEX iρi + 1 − β iX XDiρi


X X
ρ iX

dengan α, β dan ρ merupakan parameter.


Parameter α adalah parameter efisiensi, parameter β adalah parameter distribusi
yang menunjukkan faktor share di dalam produk secara relatif, sedangkan paramater ρ
adalah parameter substitusi yang menunjukkan nilai (konstanta) dari elastisitas
transformasi.
Dengan demikian dapat dikemukakan proses optimisasi dari perilaku produsen,
yaitu dengan memaksimumkan penerimaan dari penjualan dengan didasarkan kepada
fungsi CET sebagai berikut.

Maksimumkan: TR = PXEX i . XEX i + PXDi . XDi

[β ( ) ]
1
ρ iX ρ iX ρ X
Dengan kendala: Xi =α i
X
i
X
XEX i + 1 − β i XDi X
i

First Order Condition (FOC):

∂L
[ ( ) ]
1
−1
= 0 ⇔ PXEX i − λα iX β iX XEX iρi + 1 − β iX XDiρi β iX XEX iρ −1
X X X
ρ iX i
=0
∂XEX i
…… persamaan [3.8]

∂L
[
= 0 ⇔ PXDi − λα iX β iX XEX iρi + (1 − β iX )XDiρ i ]
1
−1
(1 − β iX ) XDiρ i −1
X X X
ρ iX =0
∂XDi
….. persamaan [3.9]
Dengan mengatur dan menata kembali persamaan [3.8] dan [3.9] serta
melakukan proses substitusi di dalamnya diperoleh bentuk sebagai berikut.

80
1

XEX i ⎡ PXEX i .(1 − β i ) ⎤ ρ i −1


X X

=⎢ ⎥ ..... . persamaan [3.10]


⎢⎣ PXDi .β i
X
XDi ⎥⎦

Persamaan [3.10] di atas menunjukkan rasio penjualan yang optimal untuk


produsen.

o Blok Konsumsi
Blok ini mencerminkan perilaku dari rumah tangga dan institusi lainnya,
khususnya dalam mengkonsumsi barang domestik dan barang impor sehingga dalam
blok ini, permintaan konsumen akan barang komposit (Q) yang memuat barang impor
(M) dan barang domestik (D) dinyatakan sebagai suatu agregat CES dari barang impor
dan domestik.
Dalam studi ini, menggunakan
Gambar 4.5 Struktur Fungsi Konsumsi formula Armington yang
memperlakukan suatu produk sejenis
Komposit yang diproduksi di negara yang berbeda
(Q)
sebagai produk yang berbeda, Formula
ini diambil untuk mengakomodasikan
CES
fenomena dalam suatu negara yang
Barang Barang mempunyai dua jenis barang, yaitu
Domestik Impor
barang impor maupun domestik, sebagai
Sumber: Thorbecke, 1985 dua jenis barang yang sama (cross
hauling).
Dengan demikian fungsi konsumsi dari barang komposit (Q) dengan asumsi
mengikuti fungsi CES dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut.

[β ]
−1

Qi = α i
X
i
X
M i
− ρ iX
(
+ 1− βi X
)D i
− ρ iX ρ iX

Berdasarkan fungsi di atas, dapat dikemukakan proses optimisasi dari perilaku


konsumen, yaitu memaksimumkan kepuasan dengan kendala anggaran sebagai
berikut.

81
[β ]
−1

Maksimumkan: Qi = α i
X
i
X
M i
− ρ iX
(
+ 1− βi D
X
) i
− ρ iX ρ iX

Dengan kendala: B = M i .PM i + Di .PDi

Dengan melakukan proses kondisi turunan pertama dan mengatur persamaan


yang dihasilkan dalam kondisi turunan pertama melalui proses substitusi akan
diperoleh bentuk sebagai berikut.
1

M i ⎡ PDi .β i ⎤
X ρ iX +1
=⎢ ⎥
(
Di ⎢⎣ PM i . 1 − β iX )
⎥⎦
……. Persamaan [3.11]

Persamaan [3.11] menunjukkan rasio barang konsumsi yang optimal dari proses
memaksimumkan kepuasan (utility) dari konsumen.

4.3 Model CGE Air Minum DKI Jakarta

4.3.1 Kebutuhan Data


Data dasar yang dibutuhkan untuk menyusun Model Komputasi Keseimbangan
Umum Air Minum DKI Jakarta berasal dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE)
2000 DKI Jakarta yang disusun oleh BPS DKI Jakarta. Kebutuhan data diperoleh
langsung dari SNSE 2000 DKI Jakarta termasuk koefisien input output, pendapatan dan
pengeluaran sektor, pajak impor dan pajak produksi, permintaan faktor per sektor,
investasi, dan pangsa pemerintah dan rumah tangga.

4.3.2 Penyesuaian SNSE dalam Model CGE


Neraca yang terdapat dalam SNSE mengalami penyesuaian sesuai dengan
kebutuhan studi. Dari 103 klasifikasi yang terdapat dalam SNSE DKI Jakarta 2000,
diagregasi menjadi 45 klasifikasi. Beberapa perubahan mendasar yang dilakukan adalah
sebagai berikut.
(i) Faktor produksi.
Tenaga kerja diagregasi menjadi satu saja. Modal dipecah menjadi dua klasifikasi
yaitu modal air minum berupa (a) investasi air minum yang dilakukan oleh
perusahaan penyedia air minum, (b) modal bukan air minum perpipaan berupa

82
investasi air minum yang dilakukan selain oleh perusahaan air minum dan modal
lainnya. Klasifikasi awal 9 faktor berubah menjadi 3 faktor.
(ii) Institusi.
Tidak dilakukan perubahan terhadap klasifikasi yang ada sehingga klasifikasi
tetap 12 institusi.
(iii) Sektor produksi.
Dilakukan penambahan klasifikasi sektor produksi dari 26 menjadi 27, yaitu
berupa pemecahan sektor air minum menjadi air minum perpipaan dan air minum
nonperpipaan. Air minum perpipaan adalah air minum yang diproduksi oleh
perusahaan air minum, sedangkan air minum nonperpipaan adalah air minum,
baik yang bersumber dari air minum perpipaan maupun non perpipaan, dikelola
oleh pihak selain perusahaan penyedia air minum perpipaan (kran umum, kios air,
truk tanki air, penjaja keliling dan lainnya). Marjin perdagangan, komoditas
ekspor dan komoditas impor dilebur kedalam sektor produksi. Klasifikasi berubah
dari 79 sektor menjadi 27 sektor.

Tabel 4.2
Penyesuaian Klasifikasi SNSE DKI Jakarta 2000
Ukuran 103x103
Neraca SNSE 103 x 103 CGE

Faktor • Tenaga Kerja (8 klasifikasi) • Tenaga Kerja


Produksi • Modal • Modal Air Minum
• Modal Bukan Air Minum

Institusi • Rumah tangga (10 golongan)


• Rumah tangga (10 golongan)
• Swasta/perusahaan
• Swasta/perusahaan • Pemerintah
• Pemerintah

Sektor • Sektor produksi (26 sektor) • Sektor produksi (27 sektor)


produksi • Marjin perdagangan dan
pengangkutan
• Komoditas domestik (26 sektor)
• Komoditas impor (26 sektor)

Neraca • Neraca Kapital • Neraca Kapital


Lainnya • Pajak tak langsung minus subsidi • Pajak tak langsung minus subsidi
• Neraca luar negeri • Neraca luar negeri
Sumber: diolah dari BPS DKI Jakarta (2002)

83
(iv) Neraca lainnya.
Tidak dilakukan perubahan klasifikasi sehingga klasifikasi tetap 3.

4.3.3 Beberapa Prinsip Dasar

Model CGE yang dibangun dalam studi ini merupakan hasil pengembangan dari
model yang dibangun oleh Azdan (2001) yang menjelaskan dampak kebijakan sumber
daya air terhadap distribusi pendapatan di DKI Jakarta. Beberapa perbedaan mendasar
adalah sebagai berikut. (i) Model Azdan yang menggunakan data SNSE DKI Jakarta
tahun 1993, sementara studi ini menggunakan data SNSE DKI Jakarta tahun 2000. (ii)
Model Azdan menambahkan air tanah sebagai salah satu faktor primer, sementara
dalam studi ini modal dipecah menjadi modal air minum dan modal bukan air minum.
DKI Jakarta dianggap mempunyai ekonomi terbuka. Aktifitas ekspor dan impor
memegang peran utama dalam perekonomian dan dicakup dalam bagian lain dunia.
Neraca bagian lain dunia mencakup perdagangan antarwilayah sebagaimana juga
perdagangan internasional. Harga impor dan ekspor diukur dalam mata uang domestik.
Sebagaimana dalam model Azdan (2001), CGE didasarkan pada beberapa
asumsi penting. Pertama, RT memaksimalkan utilitasnya sebagai fungsi dari sejumlah
konsumsi mereka pada tahun tertentu, mengikuti kendala anggaran pada tahun
bersangkutan. Kedua, digunakan koefisien porsi tetap untuk menentukan jumlah modal
baru yang diinvestasikan pada setiap sektor produksi. Ketiga, dibatasi jumlah sumber
kemajuan teknologi yang dapat terjadi dalam perekonomian wilayah.
Aktivitas sisi penawaran diwakili oleh pasar faktor dan produksi industri.
Penawaran yang terdiri dari produksi domestik dan impor harus sama dengan
permintaan termasuk permintaan RT, pemerintah, permintaan antara, permintaan
investasi, dan ekspor. Sisi permintaan diwakili oleh pasar produk dan penghasil
pendapatan.

4.3.4 Aktor dan perilakunya

Perekonomian DKI Jakarta dalam model diwakili oleh empat sektor, yaitu (i)
sektor produsen, (ii) sektor rumah tangga, (iii) sektor pemerintah, dan (iv) sektor bagian
lain dunia. Pada sektor produsen, sektor air minum memiliki dua pelaku, yaitu penyedia

84
air minum perpipaan, dan penyedia air minum nonperpipaan. Pada sisi produksi,
teknologi diwakili oleh fungsi produksi, sementara pada sisi permintaan, model
menggambarkan perilaku rumah tangga, pemerintah, industri dan bagian lain dunia.

A. Produsen/Industri
Sektor produksi memerlukan input dan menyediakan output. Produsen
diasumsikan memaksimalkan keuntungan. Output sektor produksi nonair minum
dapat digunakan sebagai input antara, dikonsumsi domestik atau ekspor. Output dari
sektor air minum (perpipaan dan nonperpipaan) diproduksi dan digunakan oleh
domestik.
Faktor produksi primer adalah (i) tenaga kerja, dan (ii) modal yang
diklasifikasikan dalam modal air minum dan modal nonair minum. Teknologi produksi
yang digunakan untuk mengombinasikan faktor primer adalah bersifat constant return
to scale. Terdapat substitusi antarfaktor dan kombinasi input primer ditentukan melalui
harga relatif. Input antara diperlukan dalam porsi tetap terhadap output kotor. Industri
menerima pembayaran dari rumah tangga, pemerintah, dan bagian lain dunia dengan
menjual barang dan jasa di pasar produk. Total output sektor ditunjukkan melalui
fungsi produksi nested. Fungsi produksi Constant Elasticity of Substitution (CES)
digunakan untuk menggabungkan nilai tambah dan input antara (Azdan, 2001).

B. Rumah tangga (RT)


Kelompok rumah tangga diklasifikasikan dalam sepuluh tingkatan pendapatan.
Setiap kelompok rumah tangga diasumsikan memaksimalkan utilitas. Setiap RT
mempunyai modal dan tenaga kerja, dan memutuskan sejumlah tertentu dari
pendapatan digunakan untuk tabungan dan investasi, seperti juga sejumlah pendapatan
dihabiskan untuk barang nonair minum, air minum, dan jasa yang tersedia, sesuai
harga berlaku.
RT menyediakan sejumlah tetap tenaga kerja dan menerima pembayaran atas
jasa tenaga kerja. Tenaga kerja dibayar berdasarkan asumsi bahwa nilai produk
marjinal tenaga verja sama dengan tingkat upah nominal. Pengeluaran RT untuk barang
dispesifikasikan sebagai fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh RT dan
pendapatan modal yang didistribusikan. Pada kasus ini, pendapatan yang dapat

85
dibelanjakan didefinisikan sebagai proporsi tenaga kerja RT dan pendapatan modal
didistribusikan dikurangi dengan pajak netto dan harga.
Untuk barang yang diperdagangkan dan diproduksi secara lokal, harga pasar
domestik merupakan fungsi harga internasional ditambah biaya masuk dan harga
produsen. Kepemilikan modal memberikan RT pengembalian modal. Proporsi tetap
diambil dari pendapatan yang dapat dibelanjakan untuk barang sektor produksi. Porsi
konsumsi privat sektor tetap.
Fungsi CES digunakan untuk menunjukkan kombinasi barang nonair minum
impor dan domestik maksimum yang tersedia yang RT, industri dan pemerintah
mampu membeli, sesuai dengan teknologi yang tergambarkan dalam the product
transformation frontier dan kendala neraca perdagangan (De Melo dan Tarr, 1992).

C. Pemerintah Daerah
Pada model ini, sektor publik diwakili oleh pemerintah daerah. Pendapatan
diambil melalui transfer dari pemerintah pusat, yang termasuk dalam neraca bagian lain
dunia, sebagaimana biaya masuk dan pajak langsung dan tidak langsung. Tingkat pajak
dan biaya masuk dianggap tetap dan eksogen. Pengeluaran merupakan porsi tetap dari
pendapatan, dan dialokasikan pada basis porsi-tetap pembelian barang dan jasa dari
beragam sektor produksi. Tabungan pemerintah lokal terdiri dari perbedaan antara
pendapatan dan pengeluaran.

D. Bagian Lain Dunia


Neraca bagian lain dunia menggabungkan neraca internasional dan antarwilayah
yang tidak secara khusus diidentifikasi dalam model ini. Pemerintah pusat dimasukkan
dalam neraca ini.
Diasumsikan bahwa dalam sektor nonair minum terdapat pembedaan produk
(product differentiation) sebagai contoh substitusi tidak sempurna bagi impor dan
ekspor. Pada sisi impor, konsumen memilih antara barang impor dan ekspor yang
ditentukan oleh harga relatif. Harga relatif menentukan pangsa pasar dari barang impor
dan ekspor. Berdasar asumsi negara kecil, harga dunia tidak berubah sebagai akibat
aktivitas negara. Harga dunia impor dan ekspor bersifat eksogen terhadap model.
Exchange rate merupakan variabel yang menyeimbangkan (clear) neraca (current

86
account). Bagi keseluruhan ekonomi, diasumsikan total investasi dan tabungan adalah
sama.

E. Kesetimbangan dan Solusi Akhir


Pada pasar domestik, kesetimbangan pasar menentukan harga domestik.
Persamaan kelebihan permintaan produk dan pasar faktor memberikan kendala sistemik
dan menentukan kesetimbangan di pasar yang ada. Variabel yang menyeimbangkan
adalah harga produk dan harga faktor, yang memberikan tanda pada produsen dan RT
dalam menentukan perilaku penawaran dan permintaan. Hukum Walras dipenuhi ketika
jumlah nominal kelebihan permintaan di seluruh pasar produk dan faktor adalah nol.
Ketika hanya harga relatif yang ditentukan, normalisasi harga diperlukan.
Pada gambar berikut, model menunjukkan keterkaitan antara pemerintah,
aktivitas produktif, rumah tangga, faktor primer (sumber daya) dan perdagangan.
Setiap komponen dibagi dalam beberapa subkomponen. Keterkaitan di antara
subkomponen diperlihatkan dengan panah. Aliran barang dan jasa ditunjukkan dengan
panah terputus, sementara aliran dana dengan panah. Semua agen ekonomi (produsen,
RT, dan pemerintah) bertindak bersama dan mengoptimalkan fungsi sasaran mereka.
Sebagai hasilnya, seperangkat harga ketimbangan endogen ditentukan untuk
menyeimbangkan semua pasar dalam ekonomi.
Dalam model ini, RT memberikan jasa tenaga kerja dan modal ke produsen dan
hasilnya RT menerima gaji sebagai pembayaran tenaga kerja dan sewa modal. Tenaga
kerja, modal air minum dan modal lainnya adalah faktor primer untuk aktifitas
produktif. Industri membutuhkan faktor primer bersama dengan input antara untuk
memproduksi barang dan jasa dalam perekonomian. Hasilnya, industri memberikan
pendapatan pada tenaga kerja, dan pendapatan modal. Untuk memaksimalkan
keuntungan, produsen harus mempertimbangkan teknologi, harga input, pajak
pemerintah dan biaya produksi lainnya, tetapi mereka juga harus memutuskan tempat
memasarkan produknya (domestik atau ekspor).
Pemerintah menerima hasil dari pajak langsung dan tidak langsung dan hasil
dari modal sendiri (pendapatan modal). Pengeluaran pemerintah termasuk konsumsi
barang dan jasa dan tabungan pada neraca modal.

87
Gambar 4.6 Keterkaitan Antarsektor dalam Wilayah

Bagian lain dunia


termasuk pemerintah
Bagian lain dunia t

Domestik Pasar domestik

Institusi:

Pemerintah Neraca modal


Pemerintah lokal

Aktivitas
Manufaktur Listrik dan
produktif
Air gas Air non-
perpipaan perpipaan
Pertanian
Pemerintahan Jasa lainnya

Faktor Modal Air Minum Tenaga kerja Modal Lain


Primer

Menengah Atas
Miskin
Rumah (RT VII-VIII)
(RT III –IV)
Tangga Sangat Pendapatan Tinggi
Menengah Bawah (RT IX-X)
Miskin (RT I-II)
(RT V-VI)

aliran dana aliran barang dan jasa

Sumber: Diadopsi dari Azdan, 2001

88
4.3.5 Variabel dan Skalar

Variabel dan skalar diklasifikasikan berdasar kategori (i) blok harga, (ii) blok
produksi, (iii) blok faktor, (iv) blok pendapatan dan pengeluaran, (v) blok neraca
pembayaran. Variabel selengkapnya pada Lampiran.

4.3.6 Persamaan Model


Persamaan model CGE air minum DKI Jakarta terdiri dari enam blok
persamaan yaitu sebagai berikut.
(i) Blok Persamaan Produksi.
Persamaan-persamaan dalam blok ini mencerminkan struktur kegiatan produksi
dan perilaku produsen
(ii) Blok Persamaan Ekspor-Impor.
Blok ini menggambarkan keputusan daerah untuk mengekspor atau mengimpor
barang dan jasa.
(iii) Blok Persamaan Kapital dan Investasi.
Persamaan-persamaan dalam blok ini menyimulasikan keputusan untuk
melakukan investasi dalam perekonomian dan permintaan akan barang dan jasa
yang dipergunakan dalam pembentukan kapital (modal) baru.
(iv) Blok Persamaan Pendapatan.
Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan yang mencerminkan aliran pendapatan
aktifitas produksi ke rumah tangga, penerimaan pemerintah, dan tabungan.
(v) Blok Persamaan Pengeluaran.
Blok ini terdiri dari persamaan-persamaan yang menentukan permintaan barang
komposit oleh berbagai pelaku.
(vi) Blok Persamaan Kliring Pasar.
Persamaan-persamaan dalam blok ini menentukan kondisi kliring pasar untuk
tenaga kerja, barang dan jasa dalam perekonomian. Neraca pembayaran nasional
juga termasuk dalam blok ini .

A. Blok Persamaan Produksi


Persamaan produksi terdiri dari 7 persamaan. Persamaan (1) dan (2)
merupakan persamaan yang menentukan harga produsen dan harga input antara.

89
Persamaan (3) mengindikasikan bahwa output (X) diproduksi melalui kombinasi nilai
tambah (VA) dan input antara (IN) dengan teknologi produksi CES untuk semua sektor
(indeks I). Persamaan (4) menentukan rasio input optimal, yang dihasilkan dari kondisi
orde pertama dari fungsi produksi (minimisasi biaya produksi).

Gambar 4.7
Struktur Fungsi Sektor Produksi

Output X

CES

Antara Nilai Tambah

Proporsi tetap CES

X1 Xn Tenaga Modal
kerja non Air
Modal Air
Xair minum Xair minum Minum
perpipaan nonperpipaan

Persamaan (5) menentukan nilai tambah dalam sektor produksi. Persamaan (6)
menggambarkan kondisi orde pertama dari fungsi nilai tambah. Total angkatan kerja
adalah jumlah tidak bekerja dan bekerja di sektor produksi dan ditandai pada
persamaan (7). Jumlah pengangguran ditetapkan nol yang mengakibatkan bahwa total
angkatan kerja dalam model ini sama dengan tenaga kerja yang bekerja dalam
perekonomian. Persamaan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.3.

90
Tabel 4.3 Persamaan Produksi

PERSAMAAN PRODUKSI
(1) PX (I) * X(I) * (1 – ITX(I)) = PV(I) * VA(I) + PN(I) * IN(I)
(2) PN(I) = SUM (J, PQ(J) * IOMI (J,I))
(3) X(I) = ALPHAX(I) * (BETAX(I) * IN(I) ** (-RHOX(I))
+ (1 – BETAX(I)) * VA(I) ** (- RHOX(I))) ** (-1 / RHOX(I))
(4) IN(I) / VA(I) = (PV(I) / PN(I) * BETAX (I) / (1 - BETAX(I)))
** (1 / (1 + RHOX(I)))
(5) VA (I) = ALPHAV(I) * (SUM (F, BETAV(I,F) * FACDEM(I,F)
** (- RHOV(I)))) ** ( -1 / RHOV(I))
(6) FACDEM(I,F) /VA(I) = ((BETAV(I,F) * PV(I)) / ((ALPHAV(I) ** RHOV(I) * WA(F)
* WFDIST(I,F))) ** (1 / (1 + RHOV(I)))
(7) LABFOR = UNEMPL + SUM (FLAB, FD(FLAB))

KETERANGAN
PX (I) = harga output rata-rata SUM = jumlah
PV (I) = harga nilai tambah I, J = Indeks seperangkat sektor produksi (27 sektor)
PN (I) = harga input antara F = Indeks seperangkat faktor primer
PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata FLAB = faktor produksi tenaga kerja
X (I) = output sektor domestik komposit IOMI (J,I) = koefisien tetap input barang
ITX (I) = tingkat pajak tidak langsung ALPHAX (I) = parameter pergeseran fungsi produksi
VA (I) = nilai tambah sektor komposit BETAX (I) = parameter pangsa fungsi produksi
IN (I) = input antara sektor komposit RHOX (I) = eksponen fungsi produksi
WA (F) = harga input faktor rata-rata ALPHAV (I) = parameter pergeseran fungsi nilai
tambah
WFDIST (I,F) = harga input proporsional faktor sektor BETAV (I,F) = parameter pangsa fungsi nilai tambah
FACDEM (I,F) = permintaan faktor sektor RHOV (I) = eksponen fungsi nilai tambah
LABFOR = total angkatan kerja UNEMPL = total pengangguran
FD (FLAB) = permintaan faktor tenaga kerja

B. Blok Persamaan Ekspor dan Impor


Persamaan ekspor dan impor terdiri dari sepuluh persamaan yang menunjukkan
hubungan antara perekonomian wilayah Jakarta dan bagian lain dunia melalui transaksi
ekspor-impor. Persamaan memperlihatkan perilaku produsen dalam menentukan
distribusi output pada pasar luar negeri dan/atau pasar domestik dengan menggunakan
fungsi CET. Selain juga menjelaskan perilaku rumah tangga dan institusi lain dalam

91
mengonsumsi barang domestik dan barang impor. Fungsi konsumsi mengikuti fungsi
CES. Selengkapnya hal itu dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Persamaan (8) dan (9) menentukan harga ekspor dan impor domestik.
Persamaan (10) dan (11) menentukan nilai output dan penjualan domestik. Persamaan
(12) menggambarkan agregasi ekspor sebagai fungsi CET. Fungsi ini menggambarkan
cara produksi sektoral komposit ditransformasikan ke barang yang dijual di pasar
domestik dan ekspor. Persamaan (13) menggambarkan penjualan domestik dari sektor
bukan perdagangan. Persamaan (14) merupakan persamaan penawaran ekspor yang
ditentukan dari kondisi orde pertama fungsi CET. Ini merupakan fungsi rasio harga
ekspor terhadap domestik dan elastisitas transformasi antara dua penggunaan.
Persamaan (15) dan (16) adalah fungsi agregasi Armington sektor perdagangan
dan bukan perdagangan, diasumsikan bahwa tidak terdapat perfect sustainability antara
barang domestik dan impor dalam setiap sektor. Persamaan ini menyimbolkan
permintaan konsumen dari sebuah barang komposit, yang merupakan CES agregat dari
barang domestik dan impor. Persamaan (17) adalah kondisi orde pertama bagi
minimisasi biaya dalam pembelian sejumlah barang komposit yang tersedia.

Tabel 4.4 Persamaan Ekspor dan Impor

PERSAMAAN EKSPOR dan IMPOR


(8) PM(IM) = PWM(IM) * EXR * (1 + TM(IM))
(9) PE(IE) = PWE(IE) * EXR
(10) PQ(I) * Q(I) = PD(I) * XD(I) + (PM(I) * XIM(I)) $IM(I)
(11) PX(I) * X(I) = PD(I) * XD(I) + (PE(I) * XEX(I)) $IE(I)
(12) X(IE) = ALPHAEX(IE) * (BETAEX(IE) * XEX(IE) ** RHOEX(IE) +
(1 - BETAEX(IE)) * XD(IE) ** RHOEX(IE)) ** (1 / RHOEX(IE))
(13) X(IEN) = XD(IEN); dimana IEN = barang produksi bukan ekspor
(14) XEX(IE)/XD(IE) = (PE(IE) / PD(IE) * (1 - BETAEX(IE)) / BETAEX(IE))
** (1 / (RHOEX(IE) – 1))
(15) Q(IM) = ALPHAIM(IM) * (BETAIM(IM) * XIM(IM) ** (-RHOIM(IM))
+ (1 – BETAIM(IM)) * XD(IM) ** (-RHOIM(IM)))
** ( - 1 /RHOIM(IM))
(16) Q(IMN) = XD(IMN); dimana IMN = barang produksi bukan impor
(17) (XIM(IM) / XD(IM)) = (PD(IM) / PM(IM) * BETAIM(IM) / (1-BETAIM(IM)))
** (1 / (1 + RHOIM(IM)))

92
KETERANGAN
PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata I = Indeks seperangkat sektor produksi (27 sektor)
PX (I) = harga output rata-rata IE = sektor ekspor ke domestik dan luar negeri
PD (I) = harga penawaran domestik IEN = sektor bukan ekspor
PN (I) = harga input antara IM = sektor impor dari domestik dan luar negeri
PE (IE) = harga domestik barang ekspor IMN = sektor bukan impor
PE (I) $IE(I) = harga domestik barang ekspor XD (IEN) = penjualan domestik barang nonekspor
PM (IM) = harga domestik barang impor XD (IMN) = penjualan domestik barang nonimpor
PM (I) $IM(I) = harga domestik barang impor XEX (IE) = output ekspor sektor ke domestik
PD (IE) = harga penawaran domestik barang ekspor XEX (I) $IE (I) = output sektor ekspor ke domestik
PWM (IM) = harga pasar impor (Rp.) Q (I) = penawaran barang komposit
PWE (IE) = harga pasar ekspor (Rp.) Q (IM) = penawaran barang impor
X (I) = output domestik komposit sektor Q (IMN) = penawaran barang bukan impor
X (IE) = output domestik sektor ekspor TM (IM) = pajak impor EXR = nilai tukar
X (IEN) = output domestik sektor nonekspor ALPHAEX (IE) = parameter perubahan fungsi ekspor
XIM (IM) = impor sektor ALPHAIM (IM) = parameter perubahan fungsi impor
XIM (I) $IM = impor sektor BETAEX (IE) = parameter pangsa fungsi ekspor
XD (I) = penjualan domestik BETAIM (IM) = parameter pangsa fungsi impor
XD (IM) = penjualan domestik barang impor RHOEX (IE) = ekspornen fungsi ekspor
XD (IE) = penjualan domestik barang ekspor RHOIM (IM) = eksponen fungsi impor

C. Blok Persamaan Modal


Persamaan modal terdiri dari 4 persamaan. Persamaan (18) menentukan harga
barang modal. Persamaan (19) menentukan investasi tetap sektor tujuan. Persamaan
(20) merupakan persamaan investasi tetap netto dari persediaan. Persamaan (21)
menentukan jumlah investasi per sektor tujuan.
Tabel 4.5 Persamaan Modal
PERSAMAAN MODAL
(18) PK(I) = SUM (J, ICAP(J,I) * PQ(J))
(19) ID(I) = SUM (J, ICAP(I,J) * DK (J)
(20) FXDINV = INVEST – SUM (I, INV(I) * (X(I) + XIM (I)) * PQ(I))
(21) PK(I) * DK(I) = ZZ(I) * FXDINV

KETERANGAN
X (I) = output domestik komposit sektor SUM = total ICAP (I,J) = komposisi modal
XIM (I) = impor sektor INVEST = total investasi DK (I) = investasi tetap per sektor tujuan
PK (I) = harga modal baru INV (I) = parameter pangsa stok persediaan
PQ (J) = harga permintaan domestik rata-rata ZZ (I) = pangsa investasi per sektor
ID (I) = permintaan akhir investasi produktif FXDINV = total investasi tetap

93
D. Blok Persamaan Pendapatan
Persamaan pendapatan menunjukkan aliran pendapatan dari aktivitas produksi,
penerimaan pemerintah, dan tabungan. Persamaan (22.a) dan (22.b) menunjukkan
jumlah total subsidi yang dialokasikan baik dari pajak maupun pemerintah pusat.
Persamaan (23) menentukan distribusi subsidi air minum menurut kelompok rumah
tangga penerima. Persamaan (24), (25) dan (26) menentukan pendapatan faktor primer,
pendapatan rumah tangga, dan pendapatan perusahaan berturutan. Persamaan (27)
sampai (30) menentukan pendapatan pemerintah dari biaya masuk, pajak tidak
langsung produksi domestik, pajak pendapatan industri, dan pajak rumah tangga.
Persamaan (31) merupakan jumlah penerimaan pemerintah. Persamaan (32), (33) dan
(34) menentukan tabungan rumah tangga, tabungan perusahaan, dan total tabungan.

Tabel 4.6 Persamaan Pendapatan

PERSAMAAN PENDAPATAN

(22.a) TOTSUBS1 = (ITX("WATPAM") – ITXO("WATPAM")) * PX("WATPAM") * X("WATPAM")


(22.b) TOTSUBS2 = TRANSF
(23) SUB (I, H) = TOTSUBS * CDO("WATPAM",GH) / (SUM(GJ,CDO("WATPAM",GJ)))
(24) YF(F) = SUM (I, WA(F) * WFDIST(I,F) * FACDEM(I,F)) + FIROW(F)
(25) YH(H) = SUM(FLAB, SEDW(H,FLAB) * YF(FLAB) + SHHCPAM(H)
* YF(“CAPAM”) + SHHCNPAM(H) * YF(“CAPNAM”)
+ SUM(HH, THS(H,HH) * YH(HH) * (1- TH(HH)) * (1 – MPS(HH)))
* (1 - TROWS(HH))) + CTH(H) * YCORP * (1 – CTAX) + TGOV(H)
* GOVBUD + ROWHH(H)+ SUB("WATPAM",H)
(26) YCORP = SCORCPAM * YF(“CAPAM”) + SCORCNAM * YF(“CAPNAM”)
+ CORTCOR + ROWCOR + CORBOR – CORAMOR – CORINTR
(27) TARIFF = SUM (I, TM(I) * XIM(I) * PWM(I)) * EXR
(28) INDTAX = SUM (I, ITX(I) * PX(I) * X(I))
(29) CORTAX = YCORP * CTAX
(30) HHTAX = SUM (H, TH(H) * YH(H))
(31) GR = TARIFF + INDTAX + CORTAX + HHTAX +ROWTAX+ SGOVCPAM
* YF(“CAPAM”) + SGOVCNAM * YF(“CAPNAM”) + ROWGOV
+ GOVGOV + GOVBOR
(32) HSAV = SUM (H, MPS(H) * YH(H) * (1 – TH(H)))
(33) CORSAV = CSAV * YCORP * (1 – CTAX)
(34) SAVING = HSAV + CORSAV + GOVSAV – SAVROW + FORINV

94
KETERANGAN
PX (I) = harga output rata-rata SUM = jumlah
PX (”WATPAM”) = harga output air minum perpipaan I, J = Indeks seperangkat sektor produksi (27 sektor)
PWM (I) = harga pasar impor (Rp) F = Indeks seperangkat faktor primer
X (I) = output sektor domestik komposit H,HH = rumah tangga
X (”WATPAM”) = output air minum perpipaan GH,GJ = rumah tangga penerima subsidi
XIM (I) = impor sektor CAPAM = modal air minum perpipaan
ITX (I) = tingkat pajak tidak langsung CAPNAM = modal air minum nonperpipaan
ITX (”WATPAM” ) = tingkat pajak air minum perpipaan WATPAM = air minum perpipaan
ITXO (”WATPAM”) = tingkat pajak awal air minum FLAB = modal tenaga kerja
perpipaan
TOTSUBS1 = total subsidi dari peningkatan pajak air minum THS (H,HH) = pangsa transfer antar rumah tangga
TOTSUBS2 = total subsidi dari transfer dana pusat TH (H,HH) = patokan pajak pendapatan rumah tangga
TRANSF = transfer dana pusat MPS (HH) = patokan kecenderungan marjinal tabungan RT
SUB (I,H) = subsidi air minum perpipaan per RT miskin TROWS (HH) = pangsa transfer RT ke bagian lain dunia
CDO (I,GH) = permintaan akhir rumah tangga CTH (H) = pangsa transfer perusahaan ke rumah tangga
YF (F) = pendapatan faktor CTAX = patokan tingkat pajak pendapatan perusahaan
YH (H) = pendapatan rumah tangga TGOV (H) = pangsa transfer pemerintah ke rumah tangga
YCORP = pendapatan perusahaan GOVBUD = total konsumsi pemerintah
TARIFF = penerimaan biaya masuk ROWHH (H) = pendapatan RT dari bagian lain dunia
INDTAX = pendapatan pajak tidak langsung komoditi SCORCPAM = pangsa modal air minum perpipaan yang
dimiliki perusahaan
CORTAX = pajak pendapatan perusahaan SCORCNAM = pangsa modal air minum nonperpipaan yang
dimiliki perusahaan
HHTAX = pajak pendapatan rumah tangga CORTCOR = transfer perusahan ke perusahaan
GR = pendapatan pemerintah lokal ROWCOR = pendapatan perusahaan dari bagian lain dunia
SAVROW = tabungan luar negeri ROWGOV = pendapatan pemerintah dari bagian lain dunia
GOVSAV = tabungan pemerintah lokal GOVGOV = transfer pemerintah ke pemerintah
CSAV = patokan tingkat tabungan perusahaan GOVBOR = pinjaman luar negeri pemerintah
HSAV = tabungan rumah tangga CORBOR = pinjaman luar negeri perusahaan dari bagian lain
dunia
CORSAV = tabungan perusahaan CORAMOR = pembayaran amortisasi hutang luar negeri
perusahaan
SAVING = total tabungan CORINTR = pembayaran bunga hutang luar negeri perusahaan
WA (F) = harga input faktor rata-rata CORTAX = pajak pendapatan perusahaan
WFDIST (I,F) = harga input proporsional faktor sektor TM (I) = tingkat pajak impor
FACDEM (I,F) = permintaan faktor sektor EXR = nilai tukar
FIROW (F) = pendapatan faktor dari bagian lain dunia HHTAX = pajak pendapatan rumah tangga
SEDW (H,FLAB) = pangsa kepemilikan tenaga kerja dari RT ROWTAX = pendapatan pajak dari bagian lain dunia
SHHCNPAM (H) = pangsa modal air minum non perpipaan SGOVCNAM = pangsa modal air minum nonperpipaan yang
yang dimiliki rumah tangga dimiliki pemerintah
FORINV = investasi asing dari bagian lain dunia

95
E. Blok Persamaan Pengeluaran

Persamaan pengeluaran menunjukkan permintaan barang-barang komposit dari


berbagai aktor. Persamaan pengeluaran terdiri dari tujuh persamaan. Persamaan (35)
menunjukkan total barang antara yang digunakan untuk kebutuhan produksi.
Persamaan (36) dan (37) menentukan perilaku konsumsi dari sektor pemerintah dan
swasta. Persamaan (38) dan (39) menentukan PDB riil dan Nilai tambah domestik
kotor. Persamaan (40) dan (41) masing-masing menunjukkan transfer perusahaan ke
perusahaan dan bagian lain dunia.

Tabel 4.7 Persamaan Pengeluaran


PERSAMAAN PENGELUARAN
(35) TOTINT(I) = SUM (J, IOMI(I,J) * IN(J))
(36) PQ(I) * CD(I,H) = CHS(I,H) * YH(H) * (1 – TH(H)) * (1 – MPS(H)) * (1 - TROWS(H))
(37) PQ(I) * CGOV(I) = CGS(I) * GOVBUD
(38) RGDP = SUM (I, PQ(I) * (SUM (H, CD(I,H)) + INV(I) * (X(I) + XIM(I)) +
ID(I) + CGOV(I))) + SUM (IE, PE(IE) * XEX(IE)) –
SUM(IM, (PM(IM) – TM(IM) * PWM(IM) * EXR) * XIM(IM))
(39) GDVA = SUM(I, PV(I) * VA(I)) + INDTAX + TARIFF
(40) CORTCOR = CCOR * YCORP * (1 - CTAX)
(41) CORROW = CTR * YCORP * (1 – CTAX)

KETERANGAN
SUM = total X (I) = output sektor domestik komposit
I,J = Indeks seperangkat sektor produktif (27 sektor) XIM (I) = impor sektor
IE = sektor ekspor ke domestik dan laur negeri ID (I) = permintaan akhir investasi produktif
IM = sektor impor dari domestik dan luar negeri PE (IE) = harga domestik barang ekspor
H = rumah tangga XEX (IE) = ekspor sektor
TOTINT (I) = total penggunaan antara PM (IM) = harga domestik barang impor
IOMI (I,J) = koefisien tetap dari input TM (IM) = pajak impor
IN (J) = input antara sektor komposit PWM (IM) = harga pasar impor (Rp.)
PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata EXR = nilai tukar
CD (I,H) = permintaan akhir konsumsi rumah tangga XIM (IM) = impor sektor
CHS (I,H) = parameter pangsa konsumsi rumah tangga GDVA = nilai tambah domestik kotor
YH (H) = pendapatan rumah tangga PV (I) = harga nilai tambah
TH (H) = patokan pajak pendapatan rumah tangga VA (I) = nilai tambah sektor komposit
MPS (H) = patokan kecenderungan marjinal tabungan INDTAX = pendapatan pajak tidak langsung komoditi
RT
TROWS (H) = pangsa transfer RT ke bagian lain dunia TARIFF = penerimaan biaya masuk
CGOV (I) = permintaan akhir konsumsi pemerintah CORTCOR = transfer perusahaan ke perusahaan
CGS (I) = parameter pangsa konsumsi pemerintah CCOR = patokan tingkat pendapatan perusahaan
GOVBUD = total komsumsi pemerintah YCORP = pendapatan perusahaan
RGDP = produk domestik regional bruto CTAX = patokan tingkat pajak pendapatan perusahaan
INV (I) = parameter pangsa stok persediaan CORROW = transfer perusahaan ke bagian lain dunia
CTR = pangsa pembayaran perusahaan ke bagian 96
lain
dunia
F. Blok Persamaan Kliring Pasar

Persamaan kliring pasar menunjukkan kendala sistem yang harus dipenuhi oleh
model. Persamaan kliring pasar terdiri dari enam persamaan. Persamaan (42)
merupakan pasar barang dalam kondisi seimbang yang berarti bahwa penawaran sektor
dari komoditas komposit sama dengan permintaan. Persamaan (43) merupakan pasar
faktor dalam kondisi seimbang.
Penawaran faktor primer diasumsikan tetap secara eksogen. Kliring pasar
memerlukan permintaan total faktor sama dengan total penawaran. Persamaan (44)
merupakan current account balance (neraca keseimbangan). Karena nilai exchange
rate (nilai tukar) tetap, current account akan ditentukan secara endogen.
Persamaan (45) menggambarkan penerimaan pemerintah. Tabungan netto
peme-rintah didefinisikan sebagai penerimaan pemerintah dikurangi konsumsi
pemerintah dikurangi pembayaran hutang eksternal pemerintah (baik amortisasi dan
pembayaran bunga). Persamaan (46) dan (47) merupakan indeks harga yang merupakan
numeraire bagi model.
Tabel 4.8 Persamaan Kliring Pasar
PERSAMAAN KLIRING PASAR
(42) Q(I) = TOTINT(I) + SUM(H, CD(I,H)) + CGOV(I) + ID(I) + INV(I) * X(I) +
INV(I) * XIM(I)
(43) FD(F) = SUM(I, FACDEM(I,F))
(44) CURRACW = SUM(F, FIROW(F)) + SUM (H, ROWHH(H)) + ROWGOV + ROWCOR
+ SUM (IE, PE(IE) * XEX(IE) + FORINV + ROWTAX + SUM(I,TM(I) *
PWM(I) * XIM(I) + ROWTRW + GOVBOR + CORBOR –
SUM (FLAB, SFROW(FLAB) * YF(FLAB) – SROWCPAM *
YF(“CAPAM”) – SROWCNAM * YF(“CAPNAM” – SUM (I, PWM(I) *
XIM(I) * EXR) – SUM (H, HHTRW(H)) – GOVROW – CORROW –
SAVROW – GOVINTR – CORINTR – GOVAMOR – CORAMOR –
ROWTRW
(45) GR = GOVBUD + GOVSAV + GOVROW + GOVGOV + GOVINTR +
GOVAMOR
(46) PINDEX = SUM (I, WTQ(I) * PQ(I))
(47) PINDOM = SUM (I, WTD(I) * PQ(I))

97
KETERANGAN
X (I) = output sektor domestik komposit SUM = total
XIM (I) = impor sektor I,J = sektor
XEX (IE) = ekspor sektor H = rumah tangga
Q (I) = penawaran barang komposit IE = sektor ekspor
PQ (I) = harga permintaan domestik rata-rata F = faktor
PE (IE) = harga domestik barang ekspor FLAB = faktor tenaga kerja
PWM (I) = harga pasar impor CAPAM = modal air minum perpipaan
CD (I,H) = permintaan akhir konsumsi rumah tangga CAPNAM = modal air minum nonperpipaan
ID (I) = permintaan akhir investasi produktif YF (F) = pendapatan faktor
INV (I) = parameter pangsa stok persediaan SROWCPAM = pangsa modal air minum perpipaan
dimiliki oleh bagian lain dunia
TOTINT (I) = total pengguna antara SROWCNAM = pangsa modal air minum nonperpipaan
dimiliki oleh bagian lain dunia
CGOV (I) = permintaan akhir konsumsi pemerintah GOVROW = transfer pemerintah netto ke bagian lain
dunia
FD (F) = permintaan faktor CORROW = transfer perusahaan ke bagian lain dunia
FACDEM (I,F) = permintaan faktor sektor SAVROW = tabungan luar negeri
CURRACW = neraca pembayaran GOVINTR = pembayaran bunga hutang luar negeri
pemerintah
FIROW (F) = pendapatan faktor dari bagian lain dunia CORINTR = pembayaran bunga hutang luar negeri
perusahaan
ROWHH (H) = pendapatan RT dari bagian lain dunia GOVAMOR = pembayaran amortisasi hutang luar
negeri pemerintah
ROWGOV = pendapatan pemerintah dari bagian lain CORAMOR = pembayaran amortisasi hutang luar
dunia negeri perusahaan
ROWCOR = pendapatan perusahaan dari bagian lain ROWTRW = transfer dari bagian lain dunia ke bagian
dunia lain dunia
FORINV = investasi asing dari bagian lain dunia GR = pendapatan pemerintah lokal
ROWTAX = pendapatan pajak dari bagian lain dunia GOVBUD = total konsumsi pemerntah
HHTRW (H) = transfer RT ke bagian lain dunia GOVSAV = tabungan pemerintah lokal
TM (I) = pajak impor GOVGOV = transfer pemerintah ke pemerintah
ROWTRW = transfer dai bagian lain dunia ke bagian PINDEX = indeks harga komposit
lain dunia
GOVBOR = pinjaman luar negeri pemerintah PINDOM = indeks harga domestik
CORBOR = pinjaman luar negeri perusahaan dari WTQ (I) = indeks harga komposit tertimbang
bagian lain dunia
SFROW (FLAB) = pangsa pendapatan tenaga kerja ke WTD (I) = indeks harga domestik tertimbang
bagian lain dunia

4.4 Perubahan Kesejahteraan

Dalam analisis kesetimbangan umum, evaluasi dampak kebijakan pada


kesejahteraan dan distribusinya memerlukan kriteria kesejahteraan. Kriteria yang
digunakan dalam studi ini adalah pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable

98
income) per kapita. Distribusi pendapatan dihitung menggunakan rasio Gini. Evaluasi
dilakukan dengan membandingkan keseimbangan patokan (benchmark) dan
keseimbangan umum simulasi (counterfactual). Akan tetapi, mempertimbangkan
perubahan nilai rasio Gini yang relatif kecil, perubahan distribusi pendapatan dikenali
juga melalui perubahan rasio pendapatan RT terkecil (RT I) terhadap pendapatan RT
terbesar (RT X) atau rasio pendapatan RT miskin (RT I-IV) terhadap pendapatan RT
pendapatan tinggi (RT IX-X).

99
BAB V
SKENARIO KEBIJAKAN DAN HASIL SIMULASI

5.1 Validasi Model CGE

Model CGE Air Minum DKI Jakarta telah memenuhi syarat uji konsistensi yang umum
digunakan (Mahi, 1997 dan 2003), yaitu (i) mampu mereplikasi data SAM yang menjamin
tidak adanya kesalahan spesifikasi pada model, (ii) memenuhi syarat Walras yaitu tabungan
sama dengan investasi, dan (iii) memperlihatkan kestabilan suatu model. Selain itu, juga telah
memenuhi keseimbangan fiskal berupa keseimbangan tabungan pemerintah dengan selisih
penerimaan pemerintah dan pengeluaran pemerintah.

5.2 Skenario Simulasi


Secara umum, pertumbuhan perekonomian DKI Jakarta menunjukkan
perbaikan pada beberapa tahun terakhir. Walaupun demikian, pertumbuhan ekonomi
yang terjadi ditengarai belum berupa pertumbuhan yang bersifat pro-poor karena masih
tingginya tingkat kesenjangan pendapatan dan tingginya proporsi penduduk miskin.
Beberapa studi empiris memperlihatkan bahwa pertumbuhan penduduk
perkotaan yang tinggi, sebagaimana juga terjadi di DKI Jakarta, mengakibatkan
ketidakmampuan pemerintah menyediakan prasarana dan sarana pelayanan publik yang
memadai, diantaranya, dalam bentuk pelayanan kebutuhan air minum. Penduduk masih
belum sepenuhnya dapat terlayani kebutuhan air minumnya, khususnya rumah tangga
miskin, sehingga sebagian kebutuhan dipenuhi oleh air minum nonperpipaan dan
bahkan dari sumber air yang kurang layak, seperti sumur dan sungai yang tercemar.
Pemenuhan kebutuhan air minum penduduk melalui air minum perpipaan
khususnya penduduk miskin perkotaan, ditengarai dapat mengurangi beban
pengeluaran air minum, beban pengeluaran bagi biaya pengobatan akibat penggunaan
air minum yang tidak layak, dan mengurangi jumlah hari nonproduktif. Kondisi ini
akan mendorong peningkatan produktivitas dan tabungan penduduk miskin yang
mengarah pada meningkatnya pendapatan per kapita dan membaiknya kesenjangan

100
pendapatan, yang akhirnya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian secara
keseluruhan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu (Bab I) bahwa investasi,
termasuk investasi air minum, baik secara teoritis maupun secara empiris, terbukti
mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pemenuhan kebutuhan air
minum penduduk perkotaan, khususnya penduduk miskin, dapat meningkatkan
kesejahteraan penduduk yang berdampak pada perbaikan distribusi pendapatan.
Kombinasi dari investasi air minum dan pemenuhan kebutuhan air minum penduduk
miskin perkotaan akan menghasilkan pertumbuhan pro-poor sehingga pembangunan
air minum di DKI Jakarta akan dapat menjadi salah satu pintu masuk bagi
penanggulangan kemiskinan di DKI Jakarta. Untuk itu, dalam studi ini akan dilakukan
beberapa simulasi secara bertahap untuk mengetahui skenario-skenario pembangunan
air minum yang dapat mengarah pada pertumbuhan pro-poor. Langkah pertama adalah
mengetahui dampak investasi air minum, baik air minum perpipaan maupun
nonperpipaan, terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan (Simulasi I
dan II). Jika investasi tersebut menghasilkan pertumbuhan ekonomi pro-poor, simulasi
tidak akan dilanjutkan dengan pertimbangan bahwa pembangunan air minum di DKI
Jakarta telah sesuai dengan yang diharapkan.
Selanjutnya, jika hasil simulasi menunjukkan bahwa hanya pertumbuhan eko-
nomi yang meningkat sementara distribusi pendapatan cenderung memburuk,
ditengarai subsidi harga yang diterapkan selama ini menjadi kurang efektif, karena
penduduk miskin yang seharusnya mendapat subsidi kemungkinan tidak terlayani
sehingga rumah tangga miskin menggunakan air minum nonperpipaan dengan harga
yang jauh lebih mahal. Sementara itu, sebagian rumah tangga bukan miskin ditengarai
tidak menggunakan sumber air minum perpipaan seperti sumur dalam. Akibatnya,
pendapatan rumah tangga miskin cenderung berkurang dan distribusi pendapatan
memburuk.
Dapat disimpulkan bahwa penerapan sistem tarif progresif yang dimaksudkan
agar terjadi subsidi silang terhadap rumah tangga miskin ternyata tidak menunjukkan
hasil yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian subsidi harga kurang

101
berhasil dalam membantu rumah tangga miskin. Studi yang dilakukan oleh Rietveld
dkk (2000) di PDAM Salatiga juga menunjukkan hal yang sama, yaitu bahwa
kontribusi sistem tarif progresif terhadap perbaikan kesenjangan pendapatan tidak
signifikan. Hal ini juga berkesesuaian dengan teorema kedua kesejahteraan (the second
theorem of welfare) yang mengatakan bahwa pemberian subsidi langsung lebih efisien
dari pemberian subsidi harga. Untuk itu, dibutuhkan alternatif lain yang memungkinkan
terjadinya pertumbuhan pro-poor, yaitu dengan memberikan subsidi langsung air
minum bagi rumah tangga miskin.
Pada skenario berikutnya subsidi akan diberikan dari dua sumber yang berbeda,
yaitu dari sumber (i) peningkatan pajak air minum perpipaan (simulasi III) dan (ii)
transfer dana pusat atau sumber dana yang berasal dari luar DKI Jakarta (simulasi IV).
Simulasi III dilakukan secara bertahap, yaitu pertama kali dilakukan
peningkatan pajak air minum perpipaan. Kemudian, hasil pajak air minum perpipaan
tersebut dialokasikan kepada rumah tangga miskin perkotaan. Peningkatan pajak pada
awalnya yang tanpa penyediaan subisidi air minum akan menyebabkan menurunnya
pertumbuhan ekonomi, tetapi di pihak lain menyebabkan membaiknya distribusi
pendapatan. Subsidi air minum yang kemudian disediakan, dari hasil peningkatan
pajak, bagi rumah tangga miskin akan menyebabkan membaiknya pertumbuhan
ekonomi walaupun belum menjamin akan kembali pada posisi sebelum pengenaan
pajak.
Pada kondisi penyediaan dana pusat, diasumsikan dana tersebut merupakan
suntikan dana dari luar perekonomian sehingga dampaknya terhadap perekonomian
akan berbeda dengan peningkatan pajak air minum perpipaan, terutama tidak akan
terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi.
Pada simulasi sebelumnya telah dilakukan simulasi peningkatan investasi air
minum perpipaan (simulasi I), peningkatan investasi air minum nonperpipaan (simulasi
II), penyediaan subsidi bagi rumah tangga miskin dari sumber pajak air minum
perpipaan (simulasi III), dan penyediaan subsidi bagi rumah tangga miskin dari sumber
transfer pemerintah pusat (simulasi IV). Keempat simulasi tersebut memberi gambaran

102
dampak dari investasi dan subsidi masing-masing terhadap pertumbuhan ekonomi dan
distribusi pendapatan.
Jika hasil simulasi awal menunjukkan belum terjadinya pertumbuhan pro-poor,
yaitu pertumbuhan ekonomi yang disertai perbaikan distribusi pendapatan, skenario
selanjutnya adalah berupa penggabungan antara investasi yang menghasilkan
pertumbuhan ekonomi dan subsidi yang memperbaiki distribusi pendapatan. Skenario
penggabungan ini terdiri dari simulasi V yang berupa peningkatan investasi air minum
perpipaan sekaligus penyediaan subsidi langsung bagi rumah tangga miskin dari hasil
peningkatan pajak air minum perpipaan dan simulasi VI yang berupa peningkatan
investasi air minum perpipaan dan penyediaan subsidi langsung bagi rumah tangga
miskin dari dana pusat.
Dengan mempertimbangkan kenyataan adanya kemungkinan keterbatasan dana
subsidi sehingga harus diterapkan prioritas penerima subsidi, penerima subsidi
dibedakan antara kelompok penerima subsidi pertama adalah kelompok rumah tangga
(RT) termiskin, yaitu kelompok RT sangat miskin I (RT I) dan kelompok penerima
subsidi kedua adalah seluruh kelompok RT miskin yang merupakan empat kelompok
RT dengan penghasilan terendah, yaitu RT sangat miskin I (RT I), RT sangat miskin II
(RT II), RT miskin I (RT III), dan RT miskin II (RT IV).
Keseluruhan skenario di atas dilaksanakan secara bertahap melalui beberapa
simulasi seperti berikut.
A. Simulasi Investasi
(i) Simulasi I berupa peningkatan investasi air minum perpipaan masing-masing
sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen.
(ii) Simulasi II berupa peningkatan investasi air minum nonperpipaan masing-
masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen.
B. Simulasi Subsidi
(iii) Simulasi III berupa peningkatan pajak air minum sebesar 10 persen, 25
persen, dan 50 persen, dan hasilnya dialokasikan untuk subsidi bagi
kelompok rumah tangga miskin.

103
(iv) Simulasi IV berupa penyediaan dana dari pemerintah pusat masing-masing
sebesar nilai peningkatan pajak 10 persen, 25 persen, dan 50 persen.
C. Simulasi Gabungan (investasi dan subsidi)
(v) Simulasi V berupa peningkatan investasi air minum perpipaan masing-masing
sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen, dan penyediaan subsidi langsung
bagi rumah tangga miskin dari hasil peningkatan pajak air minum perpipaan
masing-masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen.
(vi) Simulasi VI berupa peningkatan investasi air minum perpipaan masing-
masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen, dan penyediaan subsidi
langsung bagi rumah tangga miskin dari dana pusat yang nilainya setara
dengan hasil peningkatan pajak air minum perpipaan masing-masing sebesar
10 persen, 25 persen, dan 50 persen.
Keseluruhan skenario dan simulasi tersebut digambarkan selengkapnya pada
Gambar 5.1 dan Tabel 5.1.

104
Gambar 5.1 Bagan Alir Skenario Simulasi

Peningkatan Pajak Air


Investasi Minum
Peningkatan Air Minum
Distribusi
investasi pendapatan
air minum membaik ?
Subsidi
Bagi RT Miskin
tidak

Pertum- Pertum- Peru- Pangsa Pertumbuh-


buhan tidak buhan bahan Penda- an Penda-
Pro-poor? Ekonomi Rasio dapatan patan /Ka-
Dana Gini RT pita RT
pusat Miskin Miskin
tidak + - + + Pro-poor
+ - + - Pro-poor
+ - - +
Subsidi Pertumbuh-
+ + - - dst
an ekonomi
bagi RT miskin meningkat ?

Pajak air minum Peningkatan Dana


perpipaan Investasi Pusat
Air Minum

Simulasi I, II Simulasi III Simulasi IV


Subsidi
Bagi RT Miskin
Simulasi V Simulasi VI

105
Tabel 5.1 Skenario Simulasi I dan II
Simulasi Skenario
1.1 1.2 1.3 2.1 2.2 2.3
Investasi air minum perpipaan 10 % 25 % 50 %
Investasi air minum nonperpipaan 10 % 25 % 50 %
Peningkatan pajak
Dana pemerintah pusat
Penerima subsidi RT I
Penerima subsidi RT I – RT IV
Tabel 5.2 Skenario Simulasi III
Simulasi Skenario
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6
Investasi air minum perpipaan
Investasi air minum nonperpipaan
Peningkatan pajak 10% 25% 50% 10% 25% 50%
Dana pemerintah pusat
Penerima subsidi RT I
Penerima subsidi RT I – RT IV
Tabel 5.3 Skenario Simulasi IV
Simulasi Skenario
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
Investasi air minum perpipaan
Investasi air minum nonperpipaan
Peningkatan pajak
Dana pemerintah pusat* 10% 25% 50% 10% 25% 50%
Penerima subsidi RT I
Penerima subsidi RT I – RT IV
Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%.

Tabel 5.4 Skenario Simulasi V


Simulasi Skenario
5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
Investasi air minum perpipaan 10% 10% 10% 10% 10% 10%
Investasi air minum nonperpipaan
Peningkatan pajak 10% 25% 50% 10% 25% 50%
Dana pemerintah pusat
Penerima subsidi RT I
Penerima subsidi RT I – RT IV

Lanjutan Tabel 5.4


Simulasi Skenario
5.7 5.8 5.9 5.10 5.11 5.12
Investasi air minum perpipaan 25% 25% 25% 25% 25% 25%
Investasi air minum nonperpipaan
Peningkatan pajak 10% 25% 50% 10% 25% 50%
Dana pemerintah pusat
Penerima subsidi RT I
Penerima subsidi RT I – RT IV

106
Lanjutan Tabel 5.4
Simulasi Skenario
5.13 5.14 5.15 5.16 5.17 5.18
Investasi air minum perpipaan 50% 50% 50% 50% 50% 50%
Investasi air minum nonperpipaan
Peningkatan pajak 10% 25% 50% 10% 25% 50%
Dana pemerintah pusat
Penerima subsidi RT I
Penerima subsidi RT I – RT IV

Tabel 5.5 Skenario Simulasi VI


Simulasi Skenario
6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6
Investasi air minum perpipaan 10% 10% 10% 10% 10% 10%
Investasi air minum nonperpipaan
Peningkatan pajak
Dana pemerintah pusat* 10% 25% 50% 10% 25% 50%
Penerima subsidi RT I
Penerima subsidi RT I – RT IV
Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%.

Lanjutan Tabel 5.5


Simulasi Skenario
6.7 6.8 6.9 6.10 6.11 6.12
Investasi air minum perpipaan 25% 25% 25% 25% 25% 25%
Investasi air minum nonperpipaan
Peningkatan pajak
Dana pemerintah pusat* 10% 25% 50% 10% 25% 50%
Penerima subsidi RT I
Penerima subsidi RT I – RT IV
Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%.

Lanjutan Tabel 5.5


Simulasi Skenario
6.13 6.14 6.15 6.16 6.17 6.18
Investasi air minum perpipaan 50% 50% 50% 50% 50% 50%
Investasi air minum nonperpipaan
Peningkatan pajak
Dana pemerintah pusat* 10% 25% 50% 10% 25% 50%
Penerima subsidi RT I
Penerima subsidi RT I – RT IV
Keterangan : * Dana pemerintah pusat setara dengan nilai peningkatan pajak masing-masing 10%, 25%, 50%.

107
Gambar 5.2
Bagan Alir Simulasi

SKENARIO INVESTASI SKENARIO SUBSIDI

SIMULASI I dan II SIMULASI III dan IV

Peningkatan Dana
investasi pusat/pajak

10% - 25% - 50% 10% - 25% - 50%

Investasi AM Investasi AM Subsidi Subsidi


perpipaan nonperpipaan RT I RT I - IV

SKENARIO GABUNGAN (INVESTASI dan SUBSIDI)

SIMULASI V dan VI

Investasi Subsidi Subsidi Subsidi


air minum dari pajak ke RT I ke RT I – RT IV
perpipaan air minum/
dana pusat

10%

10%

25% 25%

50%

50%

108
5.3 Hasil Simulasi

Hasil dari simulasi ini akan dibagi menjadi tiga pokok bahasan, yaitu (i) dampak
terhadap pertumbuhan ekonomi, (ii) dampak terhadap pendapatan per kapita dan distribusi
pendapatan, dan (iii) perbandingan dampak pertumbuhan ekonomi dan distribusi
pendapatan.

5.3.1 Simulasi I: Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar masing-masing 10 persen, 25


persen, dan 50 persen mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh
peningkatan PDRB masing-masing sebesar 0,05 persen, 0,11 persen, dan 0,2 persen.
Pendapatan rumah tangga per kapita juga meningkat pada semua kategori, tetapi
terlihat bahwa kelompok pendapatan tinggi relatif lebih besar proporsi pertumbuhannya
jika dibanding dengan kelompok pendapatan rendah. Pertumbuhan pendapatan kelompok
menengah relatif seimbang dengan kelompok pendapatan rendah. Hal ini berakibat
meningkatnya pangsa pendapatan kelompok RT pendapatan tinggi. Di pihak lain, pangsa
pendapatan kelompok RT miskin dan menengah berkurang sehingga rasio Gini semakin
besar, walaupun nilai pertambahan rasio Gini tersebut sangat rendah, yaitu masing-masing
sebesar 0,0006 persen (investasi 10%), 0,001 persen (investasi 25%) dan 0,002 persen
(investasi 50%).
Jika membandingkan indikator perubahan rasio pendapatan kelompok RT
berpendapatan terendah terhadap pendapatan kelompok RT berpendapatan tertinggi dari
masing-masing skenario terhadap kondisi awal, yaitu -0,003 persen (investasi 10%), -
0,006 persen (investasi 25%), dan -0,011 persen (investasi 50%), terlihat bahwa semakin
besar investasi semakin besar kesenjangan. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel
5.6, Gambar 5.3, Gambar 5.4, dan Gambar 5.5.
Secara umum, semakin besar investasi air minum perpipaan, semakin meningkat
pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, perubahan rasio Gini kecil sekali tetapi perubahan
rasio pendapatan RT berpendapatan terendah terhadap RT berpendapatan tertinggi cukup
signifikan. Akibatnya, investasi air minum perpipaan berdampak positip terhadap
pertumbuhan ekonomi tetapi berakibat pada meningkatnya kesenjangan pendapatan.

109
Tabel. 5.6
Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga
berdasar Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan

Simulasi Kondisi Skenario Peningkatan Investasi


1.1 – 1.2 - 1.3 Awal
10% 25% 50%

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) 194.225 194.440 194.620


194.316
• Perubahan (Rp. M) 215,3 395,3
91,4
• Pertumbuhan (%) 0,047
0,110 0,203

Pendapatan per Kelompok RT


Miskin
• Total pendapatan (Rp. M) 13.169 13.175 13.184 13.196
• Perubahan (Rp. M) 6,3 14,9 27,4
• Pangsa (%) 11,2583 11,2582 11,2580 11,2578
• Pendapatan/kapita (Rp.) 3.285.949 3.287.531 3.289.677 3.292.795
• Pertumbuhan (%) 0.0482 0.1135 0.2083

Menengah
• Total pendapatan (Rp. M) 34.089 34.105 34.127 34.160
• Perubahan (Rp. M) 16,4 38,6 70,9
• Pangsa (%) 29,1431 29,1427 29,1423 29,1417
• Pendapatan/kapita (Rp.) 11.091.592 11.096.928 11.104.162 11.096.928
• Pertumbuhan (%) 0,0481 0,1133 0,2081

Tinggi
• Total pendapatan (Rp. M) 69.712 69.748 69.795 69.863
• Perubahan (Rp. M) 34,8 82,0 150,5
• Pangsa (%) 59,5987 59,5991 59,5997 59,6005
• Pendapatan/kapita (Rp.) 53.466.585 53.493.272 53.529.442 53.582.001
• Pertumbuhan (%) 0,0499 0,1176 0,2159

Distribusi Pendapatan
• Rasio Gini 0,597198 0,597202 0,597206 0,597213
• Pertumbuhan (%)* 0,0006 0,001 0,002
• Rasio Pendapatan RT 0,035257 0,035256 0,035255 0,035253
terendah/RT tertinggi
• Pertumbuhan (%)** - 0,003 - 0,006 - 0,011

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal
** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gambar 5.5
Gambar 5.3 Gambar 5.4 Pangsa Pendapatan per Kelompok RT Miskin berdasar
Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini Peningkatan Pendapatan per Kapita berdasar Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan

Skenario Investasi Air Minum Perpipaan Skenario Peningkatan Investasi Air Minum 11.2585

0.25 0.597216 Perpipaan


Pangsa Pendapatan Klp RT (%)

11.2583
0.25
0.2
E k o n o m i (% )
P e r tu m b u h a n

0.2
R a s io G in i

11.2581
0.15
0.15
0.597206
11.2579
0.1 0.1

0.05 0.05 11.2577

0
0 0.597196 Invest asi 10% invest asi 25% invest asi 50% 11.2575
Investasi 10% Investasi 25% Investasi 50% RT Miskin
S k e na r i o I nv e st a si ( %)
Skenario Investasi (%)

PDRB Rasio Gini RT Miskin RT Menengah RT Tinggi Aw al Investasi 10% investasi 25% investasi 50%

110
5.3.2 Simulasi II: Peningkatan Investasi Air Minum Nonperpipaan

Peningkatan investasi air minum nonperpipaan masing-masing sebesar 10 persen,


25 persen, dan 50 persen menghasilkan pertumbuhan ekonomi dalam proporsi relatif
sangat kecil yang ditunjukkan oleh peningkatan PDRB masing-masing sebesar 0,0003
persen, 0,0005 persen, dan 0,0008 persen.
Tabel. 5.7
Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga
berdasar Peningkatan Investasi Air Minum Nonperpipaan

Simulasi Kondisi Skenario Peningkatan Investasi


2.1 – 2.2 – 2.3 Awal
10% 25% 50%
Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) 194.224,6 194.225,2 194.225,7 194.226,1


• Perubahan (Rp. M) 0,6 1,1 1,5
• Pertumbuhan (%) 0,0003 0,0005 0,0008

Pendapatan per Kelompok RT


Miskin
• Total pendapatan (Rp. M) 13.168,8 13.168,9 13.168,9 13.168,9
• Perubahan (Rp. M) 10,9 11,0 11,0
• Pangsa (%) 11,2583 11,2583 11,2583 11,2583
• Pendapatan/kapita (Rp.) 3.285.949 3.285.959 3.285.967 3.285.975
• Pertumbuhan (%) 0.0003 0.0006 0.0008
Menengah
• Total pendapatan (Rp. M) 34.088,7 34.088,8 34.088,9 34.089
• Perubahan (Rp. M) 29,4 27,8 28,4
• Pangsa (%) 29,1431 29,1431 29,1430 29,1430
• Pendapatan/kapita (Rp.) 11.091.592 11.091.630 11.091.652 11.091.680
• Pertumbuhan (%) 0,0003 0,0005 0,0008
Tinggi
• Total pendapatan (Rp. M) 69.712,7 69.712,9 69.713,1 69.713,3
• Perubahan (Rp. M) 59,8 61,2 60,6
• Pangsa (%) 59,5987 59,5987 59,5987 59,5987
• Pendapatan/kapita (Rp.) 53.466.585 53.466.766 53.466.896 53.467.027
• Pertumbuhan (%) 0,0003 0,0006 0,0008

Distribusi Pendapatan
• Rasio Gini 0,597198 0,597198 0,597198 0,597198
• Pertumbuhan (%)* 0 0 0
• Rasio Pendapatan RT 0,03526 0,03526 0,03526 0,03526
terendah/RT tertinggi
• Pertumbuhan (%)** 0 0 0

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal
** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

111
Pendapatan rumah tangga per kapita juga meningkat pada semua kategori. Akan
tetapi, terlihat bahwa pertambahannya sangat kecil dan relatif sama untuk seluruh
kelompok RT. Akibatnya, pangsa pendapatan setiap kelompok RT relatif tetap, yang
ditunjukkan oleh perubahan rasio Gini dan perubahan rasio pendapatan RT berpendapatan
terendah terhadap RT berpendapatan tertinggi yang mendekati nol. Dengan demikian,
pertambahan investasi air minum nonperpipaan tidak mengakibatkan perubahan distribusi
pendapatan. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Semakin besar investasi air minum nonperpipaan, semakin meningkat
pertumbuhan ekonomi walaupun dalam proporsi yang kecil sekali. Di pihak lain, investasi
air minum nonperpipaan tidak berpengaruh terhadap perubahan kesenjangan pendapatan.
Akibatnya, investasi air minum nonperpipaan tidak mempunyai dampak yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi maupun distribusi pendapatan.

5.3.3 Simulasi III : Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

Secara ringkas, simulasi peningkatan


Gambar 5.6
Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini pajak air minum perpipaan dilakukan dalam dua
Skenario Peningkatan Pajak Air Minum
0 tahap, yaitu (i) peningkatan pajak masing-
-0.0005 Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50% 0.59719840
-0.001 masing sebesar 10 persen, 25 persen dan 50
E k o n o m i (% )
P e rtu m b u h a n

R a s io G in i

-0.0015
-0.002
0.59719820 persen, (ii) perolehan dana dari pajak kemudian
-0.0025
-0.003
0.59719800 dialokasikan dalam bentuk subsidi pada
-0.0035
kelompok rumah tangga miskin.
-0.004 0.59719780
Pajak Pada tahap awal, peningkatan pajak air
PDRB Rasio Gini minum perpipaan masing-masing sebesar 10

Gambar 5.7 persen, 25 persen, dan 50 persen berdampak


Perubahan Pendapatan RT berdasar Skenario
Peningkatan Pajak Air MInum Perpipaan pada menurunnya pertumbuhan ekonomi
0 masing-masing sebesar -0,0006 persen, -0,0017
P e n in g k a t a n P e n d a p a t a n ( % )

-0.0005 Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%


-0.001 persen dan -0,0036 persen. Di pihak lain, rasio
-0.0015
-0.002 Gini walaupun menunjukkan terjadinya
-0.0025
-0.003 perbaikan distribusi pendapatan, perubahannya
-0.0035
-0.004 juga terjadi dalam proporsi yang sangat kecil
-0.0045

RT Miskin RT Menengah RT Tinggi

112
antara –0,00001 persen (pajak 10%) sampai –0,00008 persen (pajak 50%). Peningkatan
pajak air minum perpipaan tidak berakibat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan
rasio Gini.
Secara umum, peningkatan pajak air minum perpipaan mempengaruhi beberapa
indikator ekonomi yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.
Hal itu dimulai dengan peningkatan penerimaan pemerintah sebesar 0,0009 persen (pajak
10%) sampai 0,004 persen (pajak 50%). Peningkatan penerimaan pemerintah itu
mempengaruhi peningkatan tabungan pemerintah, yaitu sebesar 0,015 persen (pajak 10%)
sampai 0,074 persen (pajak 50%). Selanjutnya, konsumsi pemerintah meningkat walaupun
kecil sekali sehingga pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi juga kecil.
Peningkatan pajak mempengaruhi output yang berkurang sebesar –0,0006 persen
(pajak 10%) sampai –0,0037 persen (pajak 50%). Selanjutnya, hal itu mempengaruhi
penerimaan faktor, baik tenaga kerja maupun modal, sehingga pendapatan rumah tangga
juga menurun. Akibatnya, konsumsi rumah tangga menurun yang berkisar –0,0006 persen
(pajak 10 %) sampai –0,0039 persen (pajak 50%). Penurunan konsumsi rumah tangga
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana diketahui bahwa peningkatan pajak mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi dari dua jalur, yaitu (a) jalur konsumsi rumah tangga dan (b) jalur konsumsi
pemerintah termasuk transfer ke rumah tangga. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
peningkatan pajak hanya mendorong konsumsi pemerintah yang sangat kecil. Sementara
itu, pengaruhnya terhadap konsumsi rumah tangga, walaupun relatif kecil masih lebih
besar dari pengaruh konsumsi pemerintah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi
negatip tetapi sangat kecil sehingga tidak signifikan.
Akibat dari peningkatan pajak air minum perpipaan adalah bahwa seluruh
kelompok rumah tangga mengalami penurunan pendapatan. Kelompok rumah tangga
berpendapatan tinggi mengalami penurunan lebih besar daripada rumah tangga miskin.
Hal ini merupakan akibat dari besarnya konsumsi air minum rumah tangga berpendapatan
tinggi relatif terhadap penduduk miskin. Walaupun kemudian secara keseluruhan
perbedaan tersebut tidak berpengaruh terhadap rasio Gini yang relatif konstan.
Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.8.

113
Tabel. 5.8
Pengaruh Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan
terhadap Indikator Ekonomi

Simulasi Kondisi Skenario Peningkatan Pajak


3.1 – 3.2 – 3.3 (Pra Subsidi) Awal
10% 25% 50%

Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) 194.225 194.224 194.221 194.218


• Perubahan (Rp. M) - 1,1 - 3,3 - 7,0
• Pertumbuhan (%) - 0,0006 - 0,0017 - 0,0036

Total Investasi

• Jumlah (Rp. M) 59.127,3 59.126,9 59.126,3 59.125,1


• Perubahan (Rp. M) - 0,349 - 1,0 - 2,2
• Pertumbuhan (%) - 0,0006 - 0,002 - 0,04
Penerimaan Pemerintah

• Jumlah (Rp. M) 13.991,4 13.991,5 13.991,7 13.992,0


• Perubahan (Rp. M) 0,125 0,304 0,6
• Pertumbuhan (%) 0,0009 0,002 0,004
Tabungan

Total Tabungan
• Jumlah (Rp. M) 59.127,3 59.127,0 59.126,4 59.125,5
• Perubahan (Rp. M) - 0,277 - 0,840 - 1,800
• Pertumbuhan (%) - 0,0005 - 0,001 - 0,003
Tabungan RT
• Jumlah (Rp. M) 5.538,5 5.538,5 5.538,4
• Perubahan (Rp. M) - 0,035 - 0,1 - 0,2
• Pertumbuhan (%) - 0,0006 - 0,002 - 0,004
Tabungan Pemerintah
• Jumlah (Rp. M) 767,1 767,2 767,4 767,7
• Perubahan (Rp. M) 0,118 0,287 0,57
• Pertumbuhan (%) 0,0154 0,037 0,074
Output

• Total
• Jumlah (Rp. M) 405.807,3 405.804,9 405.800 405.792
• Perubahan (Rp. M) - 2,4 - 7,1 - 15
• Pertumbuhan (%) - 0,0006 - 0,0018 - 0,0037
• Air Minum Perpipaan
• Jumlah (Rp. M) 472,73 472,73 472,72 472,71
• Perubahan (Rp. M) - 0,004 - 0,01 - 0,02
• Pertumbuhan (%) - 0,0008 - 0,0023 - 0,0048
• Air Minum Non Perpipaan
• Jumlah (Rp. M) 100,48 100,48 100,48 100,48
• Perubahan (Rp. M) - 0,001 - 0,002 - 0,004
• Pertumbuhan (%) - 0,0006 - 0,0018 - 0,0038

114
Simulasi Kondisi Skenario Peningkatan Pajak
3.1 – 3.2 – 3.3 (Pra Subsidi) Awal 10% 25% 50%

Konsumsi Rumah Tangga

• Total
• Jumlah (Rp. M) 99.492,9 99.492,3 99.491,1 99.489,1
• Perubahan (Rp. M) - 0,627 - 1,800 - 3,9
• Pertumbuhan (%) - 0,00063 - 0,002 - 0,0039
• Air Minum Perpipaan
• Jumlah (Rp. M) 86,104 86,03 86,08 86,1
• Perubahan (Rp. M) - 0,0005 - 0,001 - 0,0030
• Pertumbuhan (%) - 0,00062 - 0,002 - 0,0038
• Air Minum Non Perpipaan
• Jumlah (Rp. M) 36,116 36,115 36,115 36,114
• Perubahan (Rp. M) - 0,0002 - 0,0007 - 0,001
• Pertumbuhan (%) - 0,00063 - 0,002 - 0,0039
Pendapatan Faktor

• Modal Air Minum perpipaan


• Jumlah (Rp. M) 175,6 175,5 175,3 175,2
• Perubahan (Rp. M) - 0,086 - 0,215 - 0,432
• Pertumbuhan (%) - 0,049 - 0,123 - 0,246
• Modal Lainnya
• Jumlah (Rp. M) 128.735 128.734,1 128.732,7 128.730,6
• Perubahan (Rp. M) - 0,666 -1,9 - 4,1
• Pertumbuhan (%) - 0,0005 - 0,002 - 0,003

Pendapatan Rumah Tangga

Miskin
• Total pendapatan (Rp. M) 13.168,8 13.168,7 13.168,6 13.168,3
• Perubahan (Rp. M) - 0,1 - 0,2 - 0,5
• Pangsa (%) 11,2583 11,2583 11,2583 11,2584
• Pendapatan/kapita (Rp.) 3.285.949 3.285.929 3.285.891 3.285.826
• Pertumbuhan (%) - 0.0006 - 0.00176 - 0.00372
Menengah
• Total pendapatan (Rp. M) 34.088,7 34.088,5 34.088,1 34.087,4
• Perubahan (Rp. M) - 0,2 - 0,6 - 1,3
• Pangsa (%) 29,1431 29,1431 29,1431 29,1430
• Pendapatan/kapita (Rp.) 11.091.592 11.091.527 11.091.398 11.091.179
• Pertumbuhan (%) - 0,00059 - 0,00175 - 0,00373
Tinggi
• Total pendapatan (Rp. M) 69.712,7 69.712,2 69.711,4 69.709,9
• Perubahan (Rp. M) - 0,4 - 1,3 - 2,8
• Pangsa (%) 59,5987 59,5987 59,5986 59,5986
• Pendapatan/kapita (Rp.) 53.466.585 53.466.244 53.465.577 53.464.465
• Pertumbuhan (%) - 0,00064 - 0,00188 - 0,00396
Distribusi Pendapatan

• Rasio Gini 0,597198 0,597198 0,597198 0,597198


• Pertumbuhan (%)* - 0,00001 - 0,00004 - 0,00008

Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

115
Sebagai catatan, pengaruh peningkatan pajak air minum perpipaan terhadap
indikator ekonomi terlihat relatif kecil karena sumbangan sektor air minum terhadap
PDRB DKI Jakarta sendiri relatif kecil, yaitu hanya berkisar pada angka 2 persen. Selain
itu, cakupan layanan air minum perpipaan masih berada pada kisaran 50 persen dari total
penduduk DKI Jakarta.
Skenario berikutnya adalah bahwa hasil pajak air minum didistribusikan kembali
ke penduduk miskin. Pemberian subsidi tidak diwujudkan dalam bentuk tunai, tetapi
dalam model didistribusikan melalui penambahan konsumsi air minum untuk masing-
masing kelompok yang mendapat subsidi sesuai dengan pangsa konsumsinya.
Penduduk yang mendapat subsidi terdiri dari empat kelompok rumah tangga (RT)
terbawah, yaitu (i) RT sangat miskin I (VEPOIHH), (ii) RT sangat miskin II (VEPOIIHH),
(iii) RT miskin I (POORIHH), dan (iv) RT miskin II (POORIIHH). Dalam simulasi,
penerima subsidi dibedakan berdasarkan jumlah kelompok penerima, yaitu sebagai
berikut. Skenario I kelompok penerima terdiri dari hanya satu kelompok RT, yaitu RT
sangat miskin I (VEPOIHH). Skenario II kelompok penerima terdiri dari seluruh
kelompok RT yang dikategorikan miskin, yaitu empat kelompok RT terbawah.
Penyediaan subsidi bagi rumah tangga miskin dari hasil peningkatan pajak air
minum perpipaan yang masing-masing sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen
berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan yang sangat
kecil, yaitu minimum –0,0001 persen (pajak 10%-subsidi bagi RT I) sampai –0,0008
persen (pajak 50%-subsidi bagi RT I-IV). Namun, tingkat pertumbuhan ini lebih baik dari
kondisi awal ketika peningkatan pajak air minum perpipaan tidak disertai penyediaan
subsidi.
Pendapatan per kapita RT miskin meningkat antara 0,001–0,004 persen sementara
pendapatan per kapita RT menengah dan RT pendapatan tinggi menurun antara -
0,0001 persen sampai –0,001 persen sehingga pangsa pendapatan kelompok rumah tangga
miskin meningkat walaupun dalam proporsi yang sangat kecil. Akibatnya, rasio Gini
mengecil yang menunjukkan terjadinya perbaikan distribusi pendapatan walaupun
proporsi perubahannya juga sangat kecil, yaitu antara –0,0003 persen (pajak 10%-subsidi
RT I) sampai –0,002 persen (pajak 50%-subsidi RT I). Rasio Gini menjadi sedikit lebih

116
Tabel. 5.9
Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
Skenario Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan Pajak 10% Peningkatan Pajak Peningkatan Pajak


Simulasi
Kondisi 25% 50 %
3.1 3.2
3.3 3.4 Awal
Penerima Subsidi
3.5 3.6
RT I RT I-IV RT I RT I-IV RT I RT I – IV
Pertumbuhan Ekonomi
• PDRB (Rp. M) 194.225 194.224 194.224 194.224 194.224 194.224 194.223
• Perubahan (Rp. M) - 0,1 - 0,3 - 0,3 - 0,8 - 0,7 - 1,5
• Pertumbuhan (%) - 0.0001 - 0,0002 - 0 ,0002 - 0,0004 - 0,0004 - 0,0008
Pendapatan per Kelompok RT
Miskin
• Total pendapatan (Rp. M) 13.168,8 13.169 13.169 13.169,2 13.169,1 13.169,5 13.169,4
• Perubahan (Rp. M) 0,132 0,122 0,329 0,302 0,659 0,603
• Pangsa (%) 11,2583 11,2584 11,2584 11,2586 11,2586 11,2588 11,2588
• Pendapatan/kapita (Rp.) 3.285.949 3.285.982 3.285.979 3.286.031 3.286.024 3.286.113 3.286.099
• Pertumbuhan (%) 0.001 0,001 0.003 0,002 0.005 0,004
Menengah
• Total pendapatan (Rp. M) 34.088,7 34.088.6 34.088,6 34.088.6 34.088,5 34.088.5 34.088,3
• Perubahan (Rp. M) - 0,044 - 0,071 - 0,102 - 0,170 - 0,200 - 0,354
• Pangsa (%) 29,1431 29,1430 29.1430 29,1430 29,1430 29,1429 29,1429
• Pendapatan/kapita (Rp.) 11.091.592 11.091.578 11.091.569 11.091.559 11.091.537 11.091.527 11.091.477
• Pertumbuhan (%) - 0.0001 - 0,0002 - 0.0003 - 0,0005 - 0.0006 - 0,001
Tinggi
• Total pendapatan (Rp. M) 69.712,7 69.712,6 69.712,5 69.712,4 69.712,3 69.712,2 69.711,9
• Perubahan (Rp. M) - 0,08 - 0,15 - 0,22 -0,38 - 0,45 - 0,77
• Pangsa (%) 59,5987 59,5986 59,5986 59,5985 59,5985 59,5983 59,5983
• Pendapatan/kapita (Rp.) 53.466.585 53.466.520 53.486.467 53.466.413 53.466.290 53.466.308 53.465.991
• Pertumbuhan (%) - 0.0001 - 0,0002 - 0,0003 - 0,0006 - 0.0007 - 0,001
Distribusi Pendapatan
• Rasio Gini 0,597198 0,597196 0,597197 0,597194 0,597195 0,597189 0,597192
• Pertumbuhan (%)* - 0,0003 - 0,0002 - 0,0008 - 0,0006 - 0,0016 - 0,001
• Rasio Pendapatan RT 0,1889 0,18890 0,18890 0,18891 0,18891 0,18891 0,18891
miskin/RT tinggi
• Pertumbuhan (%)** 0,001 0,001 0,003 0,003 0,006 0,006
Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal
** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gambar 5.8 Gambar 5.9 Gambar 5.10


Pertumbuhan Ekonomi Perubahan Pendapatan RT berdasar Penyediaan Subsidi
Rasio Gini
Skenario Subsidi dari dari Peningkatan Pajak Air Minum
Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan
Skenario Subsidi dari
Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan (Skenario RT I dan RT I-IV)
0
0.005
Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%
P e rt u m b u h a n e k o n o m i

0.597198
P e r u b a h a n P e n d a p a ta n R T ( % )

0.004
0.597196
R a s io G in i

RT Miskin (RT I)
0.003
(% )

-0.0005 0.597194 RT Miskin (RTI-IV)


0.002 RT Menengah (RT I)
0.597192
RT Menengah (RT I-IV)
0.59719 0.001
RT Tinggi (RT I)
-0.001 0.597188 0
RT Tinggi (RT I-IV)
Pajak aw al Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%
-0.001
Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%
pertumbuhan ekonomi RT I RT I-IV RT I RT I-IV

117
baik daripada kondisi awal sebelum hasil pajak dialokasikan untuk subsidi. Selengkapnya,
hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.9, Gambar 5.8, dan Gambar 5.9.
Walaupun dampaknya tidak signifikan tetapi penyediaan subsidi dari hasil
peningkatan pajak air minum perpipaan bagi kelompok RT miskin mengakibatkan laju
pertumbuhan yang lebih baik daripada ketika peningkatan pajak diterapkan tanpa alokasi
subsidi. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat dari subsidi lebih kecil daripada biaya
peningkatan pajak yang harus ditanggung.
Secara umum, pemberian subsidi baik pada RT termiskin maupun seluruh RT
miskin hanya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan rasio pendapatan RT miskin
terhadap RT berpendapatan tinggi jika investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen.
Hal ini menegaskan bahwa subsidi yang didistribusikan hanya bermanfaat bagi kelompok
pendapatan rendah jika pajak yang diterapkan mencapai 50 persen.
Pemberian subsidi pada lebih banyak kelompok RT miskin (RT I-IV) daripada
hanya RT termiskin (RT I) tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
maupun distribusi pendapatan.

5.3.4 Simulasi IV : Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat

Berbeda dengan simulasi sebelumnya yang sumber dana berasal dari pajak, pada
simulasi ini sumber dana berasal dari pemerintah pusat. Simulasi dilakukan dengan
menyediakan dana subsidi yang setara dengan hasil pajak air minum perpipaan sebesar
masing-masing Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar, dan Rp.0,74 miliar.
Sebagaimana simulasi sebelumnya, pada simulasi ini dilakukan pembedaan
terhadap penerima subsidi, yaitu kelompok RT miskin I dan kelompok RT miskin I
sampai RT miskin IV.
Penyediaan subsidi bagi penduduk miskin dari dana pemerintah pusat hanya
mengakibatkan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi yang sangat kecil, yaitu sebesar
minimum 0,0009 persen dan maksimum 0,0042 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum
0,0007 persen sampai 0,0035 persen (subsidi bagi RT I-IV).
Penyediaan subsidi mengakibatkan laju pertumbuhan pendapatan kelompok RT
miskin meningkat sebesar 0,002 sampai 0,01 persen. Sementara itu, laju pertumbuhan
pendapatan kelompok RT menengah dan RT pendapatan tinggi hanya berkisar 0,0007
persen sampai 0,004 persen. Akibatnya, berbeda dengan pangsa pendapatan kelompok RT

118
Tabel. 5.10
Perubahan PDRB dan Pendapatan Rumah Tangga berdasar
Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Simulasi Subsidi Rp. 0,149 M Subsidi Rp. 0,37 M Subsidi Rp. 0,74 M
4.1 4.2 Kondisi
4.3 4.4 Awal Penerima Subsidi
4.5 4.6
RT I RT I-IV RT I RT I-IV RT I RT I – IV
Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) 194.225 194.226,5 194.226 194.228,8 194.228 194.232,7 194.231,4


• Perubahan (Rp. M) 1,5 1,0 3,8 3,0 7,7 6,4
• Pertumbuhan (%) 0.0009 0,0007 0 ,0022 0,0018 0,0042 0,0035
Pendapatan per Kelompok RT
Miskin
• Total pendapatan (Rp. M) 13.168,8 13.169,1 13.169,1 13.169,4 13.169,4 13.170,1 13.170,4
• Perubahan (Rp. M) 0,273 0,238 0,647 0,592 1,272 1,183
• Pangsa (%) 11,2583 11,2584 11,2584 11,2585 11,2585 11,2588 11,2588
• Pendapatan/kapita (Rp.) 3.285.949 3.286.017 3.286.008 3.286.110 3.286.096 3.286.266 3.286.244
• Pertumbuhan (%) 0.002 0.002 0.005 0.004 0.01 0.009
Menengah
• Total pendapatan (Rp. M) 34.088,7 34.089.0 34.088.9 34.089.4 34.089.3 34.090.1 34.089.8
• Perubahan (Rp. M) 0,320 0,232 0,720 0,577 1,380 1,150
• Pangsa (%) 29,1431 29,1430 29,1430 29,1429 29,1429 29,1428 29,1428
• Pendapatan/kapita (Rp.) 11.091.592 11.091.696 11.091.668 11.091.827 11.091.780 11.092.041 11.092.098
• Pertumbuhan (%) 0.001 0.0007 0.002 0.002 0.004 0.003
Tinggi
• Total pendapatan (Rp. M) 69.712,7 69.713,4 69.713,2 69.714,2 69.713,9 69.715,7 69.715,2
• Perubahan (Rp. M) 0,696 0,506 1,566 1,256 2,996 2,486
• Pangsa (%) 59,5987 59,5986 59,5986 59,5985 59,5985 59,5984 59,5983
• Pendapatan/kapita (Rp.) 53.466.585 53.467.119 53.466.973 53.467.736 53.467.548 53.468.883 53.468.492
• Pertumbuhan (%) 0.001 0.0007 0.002 0.002 0.004 0.004
Distribusi Pendapatan
• Rasio Gini 0,597198 0,597196 0,597197 0,597194 0,597195 0,597190 0,597192
• Pertumbuhan (%)* - 0,0003 - 0,0002 - 0,0007 - 0,0005 - 0,002 - 0,001
• Rasio Pendapatan RT 0,1889 0,18890 0,18890 0,18891 0,18891 0,18891 0,18891
miskin/RT tinggi
• Pertumbuhan (%)** 0,001 0,001 0,003 0,003 0,005 0,005
Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal
** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gambar 5.11 Gambar 5.12 Gambar 5.13


Pertumbuhan Ekonomi Rasio Gini Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar
Skenario Subsidi dari Pemerintah Pusat Skenario Subsidi dari Pemerintah Pusat Skenario Subsidi dariPemerintah Pusat

0.014
0.006 0.5972
P e rt u m b u h a n e k o n o m i

0.012

0.597195 0.01
R a s io G in i

RT Miskin (RT I)
(% )

0.004 0.008
RT Miskin (RT I-IV)
0.59719 0.006 RT Menengah (RT I)

0.004
RT Menengah (RT I-IV)
0.002 0.597185 RT Tinggi (RT I)
Rp. 0,149 M Rp.0,37 M Rp.0,74 M aw al Rp. 0,149 M Rp.0,37 M Rp.0,74 M
0.002
RT Tinggi (RT I-IV)
Subsidi Subsidi 0
Rp. 0,149 M Rp.0,37 M Rp.0,74 M

Subsidi RT I Subsidi RT I-IV RT I RT I-IV

119
menengah dan RT pendapatan tinggi yang berkurang, pangsa pendapatan kelompok RT
miskin menjadi bertambah sehingga kesenjangan pendapatan relatif membaik pada seluruh

skenario. Hal ini terlihat dari meningkatnya rasio pangsa pendapatan RT berpendapatan
terendah terhadap RT berpendapatan tertinggi.
Walaupun terlihat distribusi pendapatan menjadi lebih baik jika subsidi diberikan
pada RT I daripada jika diberikan pada RT I-IV, tetapi perubahannya tidak signifikan.
Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.10, Gambar 5.11, Gambar 5.12 dan
Gambar 5.13.
Secara umum, pemberian subsidi baik pada RT termiskin maupun seluruh RT
miskin hanya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan rasio pendapatan RT miskin
terhadap RT berpendapatan tinggi jika subsidi pusat sebesar Rp.0,74 miliar.
Kondisi rasio Gini yang membaik dan pangsa pendapatan kelompok RT miskin
yang meningkat dengan semakin besarnya subsidi menegaskan peran subsidi yang
signifikan dalam mengurangi kesenjangan pendapatan.

5.3.5 Simulasi V : Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Penyediaan


Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan

Simulasi V merupakan simulasi gabungan antara investasi air minum perpipaan


dan subsidi. Simulasi dilakukan dengan memadankan kombinasi investasi air minum
perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen dengan subsidi dari peningkatan
pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen, dan 50 persen. Sebagaimana
simulasi sebelumnya, pada simulasi ini dilakukan pembedaan penerima subsidi, yaitu
kelompok penerima pertama (RT I) dan kelompok penerima kedua (RT I–IV).

A. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (10 persen) dan Subsidi dari
Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen disertai subsidi dari
peningkatan pajak air minum perpipaan menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang
meningkat sebesar minimum 0,0468 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I) dan maksimum
0,0470 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I) dan 0,0463 persen (pajak 50%, subsidi bagi
RT I-IV) sampai 0,0469 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi
dari pajak air minum perpipaan, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan
perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

120
Tabel 5.11
Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 10 Persen dan
Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Skenario Peningkatan Pajak


Peningkatan Pajak 25% Peningkatan Pajak 50%
5.1 10%
5.2 Kondisi
Investasi Investasi
5.3 Awal Investasi Investasi Investasi Investasi
AM AM
5.4 AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi-
perpi- Perpi-
5.5 paan dan paan dan paan dan paan dan
paan dan paan dan
5.6 Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi
Subsidi Subsidi
RT I-IV RT I-IV RT I RT I-IV
RT I RT I
Pertumbuhan Ekonomi
• PDRB (Rp. M) 194.225 194.315,9 194.315,7 194.315,7 194.315,3 194.315,4 194.314,6
• Perubahan (Rp. M) 90,9 90,7 90,7 90,3 90,4 89,6
• Pertumbuhan (%) 0.0470 0,0469 0 ,0469 0,0467 0,0468 0,0463
Pendapatan per Kelompok RT
Miskin
• Total pendapatan (Rp. M) 13.168,8 13.175,3 13.175,3 13.175,5 13.1750,5 13.175,8 13.175,8
• Perubahan (Rp. M) 6,478 6,466 6,679 6,651 7,010 6,955
• Pangsa (%) 11,2583 11,2583 11,2583 11,2584 11,2584 11,2587 11,2587
• Pendapatan/kapita (Rp.) 3.285.949 3.287.565 3.287.562 3.287.615 3.287.608 3.287.698 3.287.684
• Pertumbuhan (%) 0,049 0,049 0,051 0,050 0,053 0,053
Menengah
• Total pendapatan (Rp. M) 34.088,7 34.105,0 34.105,0 34.105,0 34.104,9 34.104,9 34.104,7
• Perubahan (Rp. M) 16,367 16,338 16,312 16,234 16,220 16,064
• Pangsa (%) 29,1431 29,1427 29,1427 29,1426 29,1426 29,1426 29,1426
• Pendapatan/kapita (Rp.) 11.091.592 11.096.918 11.096.908 11.096.900 11.096.874 11.096.870 11.096.819
• Pertumbuhan (%) 0,048 0,048 0,048 0,048 0,048 0,047
Tinggi
• Total pendapatan (Rp. M) 69.712,7 69.747,4 69.747,3 69.747,3 69.747,1 69.747,1 69.746,7
• Perubahan (Rp. M) 34,726 34,656 34,596 34,436 34,386 34,066
• Pangsa (%) 59,5987 59,5990 59,5990 59,5989 59,5987 59,5987 59,5987
• Pendapatan/kapita (Rp.) 53.466.585 53.493.218 53.493.165 53.493.118 53.492.996 53.492.957 53.4927128
• Pertumbuhan (%) 0,050 0,050 0,050 0,049 0,049 0,049
Distribusi Pendapatan
• Rasio Gini 0,597198 0,597200 0,597200 0,597197 0,597198 0,597192 0,597195
• Pertumbuhan (%)* 0,0002 0,0003 - 0,0002 - 0,00001 - 0,001 - 0,0006
• Rasio Pendapatan RT 0,1889 0,18890 0,18890 0,18890 0,18890 0,18891 0,18891
miskin/RT tinggi
• Pertumbuhan (%)** - 0,001 - 0,001 0,001 0,001 0,004 0,004
Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal
** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.14 Gamb ar 5.15 Gambar 5.16


Pert umb uhan Eko no mi R asio Gini Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar
Skenario Invest asi ( 10 %) d an Sub sid i d ari Skenario Invest asi ( 10 %) d an Sub sid i d ari Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari
Pening kat an Pajak A ir M inum Perp ip aan Pening kat an Pajak A ir M inum Perp ip aan
Peningkatan Pajak Air Minum
0.047
0.597201
0.053

0.052 RT Miskin (RT I)


0.0468 0.597199
0.051
RT Miskin (RT I-IV)
0.597197 0.05
0.0466
0.049
RT Menengah (RT I)
0.597195 0.048
0.0464
0.047
0.597193
RT Menengah (RT I-
0.046 IV)
0.0462
Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%
0.597191
0.045 RT Tinggi (RT I)
P aj ak awal Paj ak 10% Pajak 25% Pajak 50% 0.044
Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%
RT Tinggi (RT I-IV)
Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsi di RTI-IV RT I RT I-IV

121
Walaupun pada awalnya pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin
lebih kecil daripada rumah tangga pendapatan tinggi, tetapi dengan semakin meningkatnya
pajak air minum, pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin cenderung
meningkat lebih besar daripada rumah tangga menengah dan rumah tangga pendapatan
tinggi. Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga miskin semakin meningkat sehingga
rasio Gini semakin membaik. Walaupun demikian, peningkatan pangsa pendapatan rumah
tangga miskin tidak mengakibatkan perubahan yang berarti terhadap rasio Gini maupun
rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga pendapatan tinggi.
Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen yang
disertai penyediaan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen,
25 persen, dan 50 persen, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan subsidi dari pajak air minum
perpipaan tidak berdampak signifikan terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi dan
distribusi pendapatan.

B. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (25 persen) dan Subsidi dari
Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen disertai subsidi dari
peningkatan pajak air minum perpipaan mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi yang
meningkat sebesar minimum 0,1107 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I) dan maksimum
0,1111 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I) dan 0,1103 persen (pajak 50%, subsidi bagi
RT I-IV) sampai 0,1110 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi
dari pajak air minum perpipaan, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan
perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selengkapnya, hal itu dapat
dilihat pada Tabel 5.12.
Pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin meningkat dengan
semakin meningkatnya pajak air minum, sementara pertumbuhan pendapatan per kapita
rumah tangga pendapatan tinggi cenderung menurun. Sementara itu, pendapatan per kapita
rumah tangga menengah cenderung tetap. Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga
miskin semakin meningkat sehingga rasio Gini semakin membaik. Walaupun demikian,
peningkatan pangsa pendapatan rumah tangga miskin tidak mengakibatkan perubahan
yang berarti terhadap rasio Gini maupun rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap

122
Tabel 5.12
Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 25 Persen dan
Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Skenario Peningkatan Pajak Peningkatan Pajak


Peningkatan Pajak 25%
5.7 10% 50 %
5.8 Kondisi
5.9 Awal Investasi Investasi Investasi Investasi Investasi Investasi
5.10 AM perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi-
5.11 paan dan paan dan paan dan paan dan paan dan paan dan
5.12 Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi
RT I RT I-IV RT I RT I-IV RT I RT I-IV
Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) 194.225 194.440,3 194.440,2 194.440,0 194.439,6 194.439,7 194.438,8


• Perubahan (Rp. M) 215,3 215,2 215,0 214,6 214,7 213,8
• Pertumbuhan (%) 0.1111 0,1110 0 ,1109 0,1107 0,1107 0,1103
Pendapatan per Kelompok RT

Miskin
• Total pendapatan (Rp. M) 13.168,8 13.183,9 13.183,9 13.184,1 13.184,1 13.184,5 13.184,4
• Perubahan (Rp. M) 15,117 15,103 15,304 15,276 15,635 15,577
• Pangsa (%) 11,2583 11,2581 11,2581 11,2583 11,2583 11,2586 11,2586
• Pendapatan/kapita (Rp.) 3.285.949 3.289.721 3.289.717 3.289.767 3.289.760 3.289.850 3.289.836
• Pertumbuhan (%) 0,115 0,115 0,116 0,116 0,119 0,118
Menengah
• Total pendapatan (Rp. M) 34.088,7 34.127,4 34.127,3 34.127,3 34.127,2 34.127,2 34.127,0
• Perubahan (Rp. M) 38,700 38,660 38,616 38,538 38,510 38,364
• Pangsa (%) 29,1431 29,1423 29,1423 29,1422 29,1422 29,1421 29,1421
• Pendapatan/kapita (Rp.) 11.091.592 11.104.184 11.104.171 11.104.157 11.104.132 11.104.122 11.104.075
• Pertumbuhan (%) 0,113 0,113 0,113 0,113 0,113 0,112
Tinggi
• Total pendapatan (Rp. M) 69.712,7 69.794,8 69.794,7 69.794,6 69.794,4 69.794,4 69.794,0
• Perubahan (Rp. M) 82,096 82,026 81,916 81,746 81,686 81,366
• Pangsa (%) 59,5987 59,5996 59,5996 59,5995 59,5995 59,5993 59,5993
• Pendapatan/kapita (Rp.) 53.466.585 53.529.549 53.529.495 53.529.411 53.529.280 53.529.234 53.528.989
• Pertumbuhan (%) 0,118 0,118 0,117 0,117 0,117 0,117
Distribusi Pendapatan
• Rasio Gini 0,597198 0,597204 0,597204 0,597201 0,597203 0,597197 0,597199
• Pertumbuhan (%)* 0,001 0,0011 0,0005 0,0007 0,0003 0,0002
• Rasio Pendapatan RT 0,1889 0,18890 0,18889 0,18890 0,18889 0,18890 0,18890
miskin/RT tinggi
• Pertumbuhan (%)** - 0,003 - 0,003 - 0,001 - 0,001 0,002 0,002
Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal
** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.17 Gambar 5.18 Gambar 5.19


Pert umb uhan Eko no mi Rasio Gini Pertum buhan Pendapatan RT/Kapita berdasar
Skenario Invest asi ( 2 5%) d an Sub sid i d ari Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari
Pening kat an Pajak A ir M inum Perp ip aan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan Peningkatan Pajak Air Minum
0.1112

0.597204 0.119 RT Miskin (RT I)


0.111

0.597202 RT Miskin (RT I-IV)


R asio G in i

0.1108 0.117

0.1106 0.5972 RT Menengah (RT I)


0.115
0.1104
0.597198 RT Menengah (RT I-
0.1102 0.113 IV)
Paj ak 10% Pajak 25% Pajak 50% 0.597196 RT Tinggi (RT I)
P aj ak aw al Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50% 0.111
Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%
RT Tinggi (RT I-IV)
Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsi di RTI-IV RT I RT I-IV

123
rumah tangga pendapatan tinggi. Selengkapnya, hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.12,
Gambar 5.17, Gambar 5.18, dan Gambar 5.19.
Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen yang
disertai penyediaan subsidi dari pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen
dan 50 persen, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan subsidi tidak memberi dampak yang
berarti terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.
Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum
perpipaan yang sebesar 10 persen, ternyata hasilnya tidak berbeda kecuali bahwa laju
pertumbuhan ekonomi relatif lebih besar sementara tidak terjadi perubahan distribusi
pendapatan yang signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang disediakan
walaupun tidak mengakibatkan membaiknya distribusi pendapatan tetapi tetap dapat
mempertahankan distribusi pendapatan awal.

C. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (50 persen) dan Subsidi dari
Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen disertai subsidi dari
peningkatan pajak air minum perpipaan menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang
meningkat sebesar minimum 0,2036 persen (pajak 50%, subsidi bagi RT I) dan maksimum
0,2041 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I), dan 0,2032 persen (pajak 50%, subsidi bagi
RT I-IV) sampai 0,2040 persen (pajak 10%, subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan subsidi
dari pajak air minum perpipaan, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan
perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selengkapnya, hal itu dapat
dilihat pada Tabel 5.13.
Ketika subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen dan
25 persen, pangsa pendapatan RT miskin lebih rendah dari kondisi awal sehingga rasio
pendapatan RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi menjadi lebih rendah. Akibatnya,
distribusi pendapatan menjadi semakin buruk secara signifikan. Walaupun pertumbuhan
pendapatan per kapita RT miskin meningkat dengan semakin meningkatnya pajak air
minum, sementara pertumbuhan pendapatan per kapita RT menengah dan RT pendapatan
tinggi cenderung menurun, tetapi peningkatan subsidi sampai sebesar 50 persen hanya

124
Tabel 5.13
Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 50 Persen dan
Penyediaan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan

Skenario Peningkatan Pajak Peningkatan Pajak


Peningkatan Pajak 25%
5.13 10% 50 %
5.14 Kondisi
5.15 Awal Investasi Investasi Investasi Investasi Investasi Investasi
5.16 AM perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi-
5.17 paan dan paan dan paan dan paan dan paan dan paan dan
5.18 Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi
RT I RT I-IV RT I RT I-IV RT I RT I-IV
Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) 194.225 194.621,1 194.620,9 194.620,7 194.620,3 194.620,1 194.619,3


• Perubahan (Rp. M) 396,1 395,9 395,7 395,3 395,1 394,3
• Pertumbuhan (%) 0.2041 0,2040 0 ,2039 0,2037 0,2036 0,2032
Pendapatan per Kelompok RT

Miskin
• Total pendapatan (Rp. M) 13.168,8 13.196,5 13.196,5 13.196,7 13.196,6 13.197,0 13.196,9
• Perubahan (Rp. M) 27,661 27,647 27,847 27,819 28,162 28,104
• Pangsa (%) 11,2583 11,2579 11,2579 11,2581 11,2581 11,2583 11,2583
• Pendapatan/kapita (Rp.) 3.285.949 3.292.851 3.292.847 3.292.897 3.292.890 3.292.976 3.292.961
• Pertumbuhan (%) 0,210 0,210 0,211 0,211 0,214 0,213
Menengah
• Total pendapatan (Rp. M) 34.088,7 34.159,8 34.159,8 34.159,7 34.159,6 34.159,6 34.159,4
• Perubahan (Rp. M) 71,132 71,091 71,034 70,967 70,891 70,745
• Pangsa (%) 29,1431 29,1417 29,1417 29,1416 29,1416 29,1415 29,1415
• Pendapatan/kapita (Rp.) 11.091.592 11.114.737 11.114.724 11.114.705 11.114.683 11.114.658 11.114.611
• Pertumbuhan (%) 0,209 0,209 0,208 0,208 0,208 0,208

Tinggi
• Total pendapatan (Rp. M) 69.712,7 69.863,6 69.863,5 69.863,415 69.863,2 69.863,1 69.862,7
• Perubahan (Rp. M) 150,896 150,826 150,706 150,546 150,396 150,056
• Pangsa (%) 59,5987 59,6005 59,6005 59,6003 59,6003 59,6001 59,6001
• Pendapatan/kapita (Rp.) 53.466.585 53.582.316 53.582.262 53.582.170 53.582047 53.581932 53.581.671
• Pertumbuhan (%) 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,215
Distribusi Pendapatan
• Rasio Gini 0,597198 0,597211 0,597211 0,597209 0,597209 0,597203 0,597206
• Pertumbuhan (%)* 0,002 0,0022 0,0016 0,0018 0,0008 0,0013
• Rasio Pendapatan RT 0,1889 0,18889 0,18889 0,18889 0,18889 0,18890 0,18890
miskin/RT tinggi
• Pertumbuhan (%)** - 0,006 - 0,006 - 0,005 - 0,005 - 0,002 - 0,002
Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal
** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.2 0 Gambar 5.21 Gambar 5.22


Pert umb uhan Eko no mi Rasio Gini Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar
Skenario Invest asi ( 50 %) d an Sub sid i d ari Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari
Pening kat an Pajak A ir M inum Perp ip aan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan Peningkatan Pajak Air Minum

0.217
0.2041 0.597211
RT Miskin (RT I)
0.597209
0.2039 0.215

0.597207 RT Miskin (RT I-IV)


0.2037
0.213
0.597205
0.2035 RT Menengah (RT I)
0.597203
0.211
0.2033
0.597201 RT Menengah (RT I-
0.2031 0.209 IV)
0.597199
Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%
RT Tinggi (RT I)
P aj ak 0.597197
0.207
awal Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%
Pajak 10% Pajak 25% Pajak 50%
RT Tinggi (RT I-IV)
Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsidi RTI-IV
RT I RT I-IV

125
dapat mengembalikan pangsa pendapatan RT miskin seperti kondisi awal. Selengkapnya,
hal itu dapat dilihat pada Tabel 5.13, Gambar 5.20, Gambar 5.21, dan Gambar 5.22
Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang
disertai penyediaan subsidi, baik bagi RT I maupun RT I-IV, berdampak signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi maupun distribusi pendapatan. Akan tetapi, dampaknya
terhadap distribusi pendapatan hanya signifikan jika subsidi dari pajak air minum
perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen.
Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum
perpipaan yang sebesar 10 persen dan 25 persen, ternyata hasilnya berbeda. Peningkatan
investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai subsidi dari peningkatan
pajak air minum perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen mengakibatkan semakin
memburuknya distribusi pendapatan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang disediakan
tidak dapat mengimbangi pengaruh investasi air minum perpipaan.

5.3.6 Simulasi VI : Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Penyediaan


Subsidi dari Dana Pemerintah Pusat

Simulasi VI merupakan simulasi gabungan antara investasi air minum perpipaan


dan subsidi. Subsidi dilakukan dengan memadankan kombinasi investasi air minum
perpipaan sebesar 10 persen, 25 persen, 50 persen dengan subsidi dari dana pemerintah
pusat yang setara dengan pajak air minum perpipaan 10 persen, 25 persen dan 50 persen,
yaitu sebesar Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar, dan Rp.0,74 miliar. Sebagaimana simulasi
sebelumnya, pada simulasi ini dilakukan pembedaan penerima subsidi, yaitu kelompok
penerima tipe pertama (RT I) dan kelompok penerima tipe kedua (RT I-IV).

A. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (10 persen) dan Subsidi dari Pemerintah
Pusat

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen disertai subsidi dari
pemerintah pusat menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar
minimum 0,0493 persen dan maksimum 0,0522 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum
0,0477 persen sampai maksimum 0,0504 persen (subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan
subsidi dari pemerintah pusat, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan
perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

126
Tabel 5.14
Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 10 Persen
dan Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Skenario Dana Pusat Dana Pusat Dana Pusat


6.1 Rp. 0,149 M Rp. 0,370 M Rp. 0,74 M
6.2 Kondisi
6.3 Awal Investasi Investasi Investasi Investasi Investasi Investasi
6.4 AM perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi-
6.5 paan dan paan dan paan dan paan dan paan dan paan dan
6.6 Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi
RT I RT I-IV RT I RT I-IV RT I RT I-IV
Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) 194.225 194.320,4 194.317,3 194.322,4 194.319,2 194.326,0 194.322,4


• Perubahan (Rp. M) 95,4 92,3 97,4 94,2 101,0 97,4
• Pertumbuhan (%) 0.0493 0,0477 0,0504 0,0487 0,0522 0,0504
Pendapatan per Kelompok RT

Miskin
• Total pendapatan (Rp. M) 13.168,8 13.175,6 13.175,4 13.176,0 13.175,8 13.176,6 13.176,3
• Perubahan (Rp. M) 6,790 6,577 7,141 6,924 7,743 7,502
• Pangsa (%) 11,2583 11,2583 11,2583 11,2585 11,2585 11,2587 11,2587
• Pendapatan/kapita (Rp.) 3.285.949 3.287.643 3.287.590 3.287.731 3.287.676 3.287.881 3.287.821
• Pertumbuhan (%) 0,052 0,050 0,054 0,053 0,059 0,057
Menengah
• Total pendapatan (Rp. M) 34.088,7 34.105,8 34.105,3 34.106,2 34.105,6 34.106,8 34.106,2
• Perubahan (Rp. M) 17,169 16,622 17,508 16,942 18,110 17,484
• Pangsa (%) 29,1431 29,1427 29,1427 29,1426 29,1426 29,1425 29,1425
• Pendapatan/kapita (Rp.) 11.091.592 11.097.179 11.097.001 11.097.209 11.097.105 11.097.485 11.097.281
• Pertumbuhan (%) 0,050 0,049 0,051 0,050 0,053 0,051
Tinggi
• Total pendapatan (Rp. M) 69.712,7 69.749,1 69.748,0 69.749,9 69.748,7 69.751,2 69.749,8
• Perubahan (Rp. M) 36,456 58,475 37,186 35,976 38,496 37,146
• Pangsa (%) 59,5987 59,5991 59,5990 59,5990 59,5989 59,5988 59,5988
• Pendapatan/kapita (Rp.) 53.466.585 53.494.545 53.493.640 53.495.105 53.494177 53.496.110 53.495.074
• Pertumbuhan (%) 0,052 0,051 0,053 0,052 0,055 0,053
Distribusi Pendapatan
• Rasio Gini 0,597198 0,597200 0,597200 0,597197 0,597198 0,597193 0,597194
• Pertumbuhan (%)* 0,0003 0,0003 - 0,0002 - 0,0001 - 0,0009 - 0,0006
• Rasio Pendapatan RT 0,1889 0,1889 0,1889 0,1889 0,1889 0,18891 0,18891
miskin/RT tinggi
• Pertumbuhan (%)** - 0,001 - 0,001 0,001 0,001 0,005 0,005
Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal
** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.2 3 Gamb ar 5.2 4 Gambar 5.25


Pert umb uhan Eko no mi R asio Gini Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar
Skenario Invest asi ( 10 %) d an Sub sid i d ari Skenario Invest asi ( 10 %) d an Sub sid i d ari Skenario Investasi (10%) dan Subsidi dari Dana
D ana Pemerint ah Pusat D ana Pemerint ah Pusat
Pemerintah Pusat
0.0525 0.597201
0.06

RT Miskin (RT I)
0.0515 0.597199

0.0505 RT Miskin (RT I-IV)


0.597197 0.055

0.0495
RT Menengah (RT I)
0.597195

0.0485
0.05
0.597193
RT Menengah (RT I-
0.0475 IV)
0,149 M 0,37 M 0,74 M
0.597191
RT Tinggi (RT I)
P aj ak awal 0,149 M 0,37 M 0,74 M 0.045
0,149 M 0,37 M 0,74 M
RT Tinggi (RT I-IV)
Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsidi RTI-IV RT I RT I-IV

127
Walaupun pada awalnya pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin
relatif sama dengan rumah tangga pendapatan tinggi, tetapi dengan semakin meningkatnya
pajak air minum, pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga miskin cenderung
meningkat lebih besar daripada rumah tangga menengah dan rumah tangga pendapatan
tinggi. Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga miskin semakin meningkat sehingga
rasio Gini semakin membaik. Walaupun demikian, peningkatan pangsa pendapatan rumah
tangga miskin tidak mengakibatkan perubahan yang berarti terhadap rasio Gini dan rasio
pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga pendapatan tinggi.
Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen yang
disertai penyediaan subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar
dan Rp.0,74 miliar, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, ketika subsidi sebesar Rp.0,74 miliar terjadi
perubahan signifikan pada rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga
pendapatan tinggi sehingga distribusi pendapatan semakin baik.

B. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (25 persen) dan Subsidi dari Pemerintah
Pusat

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen disertai subsidi dari
pemerintah pusat menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar
minimum 0,1134 persen dan maksimum 0,1163 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum
0,1118 persen sampai maksimum 0,1144 persen (subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan
subsidi dari pemerintah pusat, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan
perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selengkapnya, hal itu dapat
dilihat pada Tabel 5.15.
Pada saat subsidi mencapai Rp.0,37 miliar, pertumbuhan pendapatan per kapita RT
miskin cenderung meningkat lebih besar daripada RT menengah, tetapi masih lebih
rendah daripada RT pendapatan tinggi. Akan tetapi, setelah subsidi mencapai Rp.0,74
miliar, pertumbuhan pendapatan per kapita RT miskin telah melebihi pertumbuhan
pendapatan per kapita RT menengah dan RT pendapatan tinggi. Akibatnya, pangsa
pendapatan RT miskin semakin meningkat, dari kondisi yang lebih buruk menjadi lebih
baik dari kondisi awal. Penambahan subsidi tersebut ternyata hanya mengakibatkan
perubahan rasio Gini dan rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga

128
Tabel 5.15
Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 25 Persen
dan Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Skenario Dana Pusat Dana Pusat Dana Pusat


6.7 Rp. 0,149 M Rp. 0,370 M Rp. 0,74 M
6.8 Kondisi
6.9 Awal Investasi Investasi Investasi Investasi Investasi Investasi
6.10 AM perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi-
6.11 paan dan paan dan paan dan paan dan paan dan paan dan
6.12 Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi
RT I RT I-IV RT I RT I-IV RT I RT I-IV
Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) 194.225 194.444,9 194.441,7 194.447,0 194.443,6 194.450,5 194.446,8


• Perubahan (Rp. M) 219,9 216,7 222,0 218,6 225,5 221,8
• Pertumbuhan (%) 0.1134 0,1118 0,1145 0,1128 0,1163 0,1144
Pendapatan per Kelompok RT

Miskin
• Total pendapatan (Rp. M) 13.168,8 13.184,3 13.184,0 13.184,6 13.184,4 13.185,2 13.185,0
• Perubahan (Rp. M) 15,428 15,213 15,786 15,560 16,383 16,136
• Pangsa (%) 11,2583 11,2581 11,2581 11,2583 11,2583 11,2585 11,2586
• Pendapatan/kapita (Rp.) 3.285.949 3.289.798 3.289.745 3.289.888 3.289.831 3.290.037 3.289.975
• Pertumbuhan (%) 0,117 0,116 0,120 0,118 0,124 0,122
Menengah
• Total pendapatan (Rp. M) 34.088,7 34.128,2 34.127,6 34.128,5 34.128,0 34.129,1 34.128,5
• Perubahan (Rp. M) 39,505 38,943 39,854 39,273 40,448 39,811
• Pangsa (%) 29,1431 29,1423 29,1423 29,1422 29,1422 29,1421 29,1421
• Pendapatan/kapita (Rp.) 11.091.592 11.104.446 11.104.263 11.104.560 11.104.371 11.104.753 11.104.546
• Pertumbuhan (%) 0,116 0,114 0,117 0,115 0,119 0,117
Tinggi
• Total pendapatan (Rp. M) 69.712,7 69.796,5 69.795,3 69.797,3 69.796,0 69.798,6 69.797,2
• Perubahan (Rp. M) 83,836 82,646 84,596 83,336 85,886 84,496
• Pangsa (%) 59,5987 59,5996 59,5996 59,5995 59,5995 59,5994 59,5994
• Pendapatan/kapita (Rp.) 53.466.585 53.530.883 53.529.971 53.531.466 53.530500 53.532.456 53.531.390
• Pertumbuhan (%) 0,120 0,119 0,121 0,120 0,123 0,121
Distribusi Pendapatan
• Rasio Gini 0,597198 0,597204 0,597205 0,597201 0,597202 0,597197 0,597199
• Pertumbuhan (%)* 0,001 0,001 0,0006 0,0007 - 0,0002 0,0001
• Rasio Pendapatan RT 0,1889 0,1889 0,1889 0,1889 0,1889 0,1889 0,1889
miskin/RT tinggi
• Pertumbuhan (%)** - 0,003 - 0,003 - 0,001 - 0,001 0,001 0,001
Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal
** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.2 6 Gamb ar 5.2 7 Gambar 5.28


Pert umb uhan Eko no mi R asio Gini Pertumbuhan Pendapatan RT per Kapita berdasar
Skenario Invest asi ( 2 5%) d an Sub sid i d ari Skenario Invest asi ( 2 5%) d an Sub sid i d ari Skenario Investasi (25%) dan Subsidi dari Dana
D ana Pemerint ah Pusat D ana Pemerint ah Pusat
Pemerintah Pusat
0.597206

0.11575 RT Miskin (RT I)


0.597204 0.123

0.11475
RT Miskin (RT I-IV)
0.597202
0.11375
RT Menengah (RT I)
0.5972
0.118
0.11275

0.597198
RT Menengah (RT I-
0.11175 IV)
0,149 M 0,37 M 0,74 M
0.597196
RT Tinggi (RT I)
P aj ak awal 0,149 M 0,37 M 0,74 M 0.113
0,149 M 0,37 M 0,74 M
RT Tinggi (RT I-IV)
Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsidi RTI-IV RT I RT I-IV

129
pendapatan tinggi yang sangat kecil. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.15,
Gambar 5.26, Gambar 5.27, dan Gambar 5.28.
Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen yang
disertai penyediaan subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar, Rp.0,37 miliar
dan Rp.0,74 miliar, baik bagi RT I maupun RT I-IV, hanya berdampak signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, peningkatan subsidi tidak memberi dampak yang
berarti terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.
Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum
perpipaan yang sebesar 10 persen, ternyata hasilnya sedikit berbeda. Selain bahwa laju
pertumbuhan ekonomi relatif lebih besar, pada simulasi ini tidak terjadi perubahan
distribusi pendapatan yang signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang
disediakan walaupun tidak mengakibatkan membaiknya distribusi pendapatan tetapi tetap
dapat mempertahankan distribusi pendapatan awal.

C. Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan (50 persen) dan Subsidi dari Pemerintah
Pusat

Peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen disertai subsidi dari
pemerintah pusat menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebesar
minimum 0,2065 persen dan maksimum 0,2094 persen (subsidi bagi RT I) dan minimum
0,2048 persen sampai maksimum 0,2075 persen (subsidi bagi RT I-IV). Peningkatan
subsidi dari pemerntah pusat, baik untuk RT I maupun RT I-IV, tidak mengakibatkan
perubahan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Semakin besar subsidi dari pusat, pertumbuhan pendapatan per kapita rumah
tangga miskin semakin meningkat. Pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga
miskin relatif lebih tinggi daripada pendapatan per kapita rumah tangga menengah tetapi
masih lebih rendah daripada pendapatan per kapita rumah tangga pendapatan tinggi.
Pertumbuhan pendapatan per kapita rumah tangga pendapatan tinggi cenderung tetap.
Akibatnya, pangsa pendapatan rumah tangga miskin semakin meningkat dari kondisi lebih
rendah dari kondisi awal menjadi kembali pada pangsa semula. Di pihak lain, pangsa
pendapatan rumah tangga pendapatan tinggi menjadi lebih kecil. Peningkatan pangsa
rumah tangga miskin tersebut ternyata tidak mengakibatkan perubahan rasio Gini yang

130
Tabel 5.16
Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
Skenario Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan 50 Persen
dan Penyediaan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Skenario Dana Pusat Dana Pusat Dana Pusat


6.13 Rp. 0,149 M Rp. 0,370 M Rp. 0,74 M
6.14 Kondisi
6.15 Awal Investasi Investasi Investasi Investasi Investasi Investasi
6.16 AM perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi- AM Perpi-
6.17 paan dan paan dan paan dan paan dan paan dan paan dan
6.18 Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi Subsidi
RT I RT I-IV RT I RT I-IV RT I RT I-IV
Pertumbuhan Ekonomi

• PDRB (Rp. M) 194.225 194.625,7 194.622,5 194.627,8 194.624,4 194.631,3 194.627,6


• Perubahan (Rp. M) 400,7 397,5 402,8 399,4 406,3 402,6
• Pertumbuhan (%) 0.2065 0,2048 0,2076 0,2058 0,2094 0,2075
Pendapatan per Kelompok RT

Miskin
• Total pendapatan (Rp. M) 13.168,8 13.196,8 13.196,6 13.197,2 13.196,9 13.197,8 13.197,5
• Perubahan (Rp. M) 27,978 27,759 28,336 28,105 28,933 28,685
• Pangsa (%) 11,2583 11,2579 11,2579 11,2580 11,2581 11,2583 11,2583
• Pendapatan/kapita (Rp.) 3.285.949 3.292.930 3.292.875 3.293.019 3.292.962 3.293.168 3.293.106
• Pertumbuhan (%) 0,212 0,211 0,215 0,213 0,220 0,218
Menengah
• Total pendapatan (Rp. M) 34.088,7 34.160,6 34.160,0 34.161,0 34.160,4 34.161,6 34.160,9
• Perubahan (Rp. M) 71,946 71,376 72,305 71,706 72,890 72,249
• Pangsa (%) 29,1431 29,1416 29,1416 29,1416 29,1416 29,1414 29,1415
• Pendapatan/kapita (Rp.) 11.091.592 11.115.002 11.114.816 11.115.119 11.114.924 11.115.309 11.115.100
• Pertumbuhan (%) 0,211 0,209 0,212 0,210 0,214 0,212
Tinggi
• Total pendapatan (Rp. M) 69.712,7 69.865,3 69.864,1 69.866,1 69.864,8 69.867,4 69.866,0
• Perubahan (Rp. M) 152,676 151,446 153,436 152,146 154,726 153,326
• Pangsa (%) 59,5987 59,6005 59,6005 59,6004 59,6004 59,6002 59,6002
• Pendapatan/kapita (Rp.) 53.466.585 53.583.681 53.582.737 53.584.264 53.583.274 53.585.253 53.584.179
• Pertumbuhan (%) 0,219 0,217 0,220 0,218 0,222 0,220
Distribusi Pendapatan
• Rasio Gini 0,597198 0,597211 0,597211 0,597208 0,597209 0,597204 0,597205
• Pertumbuhan (%)* 0,002 0,002 0,0017 0,0018 0,0009 0,0012
• Rasio Pendapatan RT 0,1889 0,18889 0,18889 0,18889 0,18889 0,1889 0,1889
miskin/RT tinggi
• Pertumbuhan (%)** - 0,007 - 0,006 - 0,005 - 0,005 - 0,002 - 0,002
Sumber: Hasil Simulasi * Perubahan positip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal
** Perubahan negatip menunjukkan kesenjangan memburuk dibanding kondisi awal

Gamb ar 5.2 9 Gamb ar 5.3 0 Gambar 5.31


Pert umb uhan Eko no mi R asio Gini Pertumbuhan Pendapatan RT/Kapita berdasar
Skenario Invest asi ( 50 %) d an Sub sid i d ari Skenario Invest asi ( 50 %) d an Sub sid i d ari Skenario Investasi (50%) dan Subsidi dari Dana
D ana Pemerint ah Pusat D ana Pemerint ah Pusat
Pemerintah Pusat

0.223
0.597211
RT Miskin (RT I)
0.2085

0.597206
RT Miskin (RT I-IV)
0.218

0.2065
RT Menengah (RT I)
0.597201
0.213
RT Menengah (RT I-
0.2045 IV)
0,149 M 0,37 M 0,74 M
0.597196
RT Tinggi (RT I)
P aj ak awal 0,149 M 0,37 M 0,74 M 0.208
0,149 M 0,37 M 0,74 M
RT Tinggi (RT I-IV)
Investasi dan Subsidi RT I Investasi dan Subsidi RTI-IV RT I RT I-IV

131
signifikan, tetapi rasio pendapatan rumah tangga miskin terhadap rumah tangga
pendapatan tinggi menjadi lebih kecil. Kondisi ini dipengaruhi oleh relatif besarnya
investasi air minum perpipaan daripada subsidi yang diberikan. Hasil selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 5.16, Gambar 5.29, Gambar 5.30, dan Gambar 5.31.
Secara umum, peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang
disertai penyediaan subsidi, baik bagi RT I maupun RT I-IV, berdampak signifikan ter-
hadap pertumbuhan ekonomi maupun distribusi pendapatan. Akan tetapi, dampaknya ter-
hadap distribusi pendapatan hanya signifikan jika subsidi dari pemerintah pusat sebesar
Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37 miliar sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih buruk.
Jika dibandingkan dengan simulasi sebelumnya ketika investasi air minum
perpipaan yang sebesar 10 persen dan 25 persen, ternyata hasilnya berbeda. Peningkatan
investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai subsidi dari pemerintah
pusat sebesar Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37 miliar mengakibatkan semakin memburuknya
distribusi pendapatan. Hal itu menunjukkan bahwa subsidi yang disediakan tidak dapat
mengimbangi pengaruh investasi air minum perpipaan.

5.4 Rangkuman

Pada subbab ini akan dibahas rangkuman dari keseluruhan pembahasan dari bab ini
berdasarkan beberapa fokus utama, yaitu pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan,
dan kelompok penerima manfaat.

5.4.1 Pertumbuhan Ekonomi

A. Investasi Air Minum

Investasi air minum perpipaan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang


berkisar antara 0,047 persen (investasi 10 persen) sampai 0,203 persen (investasi 50
persen). Pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh investasi air minum nonperpipaan
relatif kecil sekali, berkisar antara 0,0003 persen (investasi 10 persen) sampai 0,0008
persen (investasi 50 persen). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.17.
Hasil simulasi ini menegaskan bahwa investasi air minum perpipaan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Di pihak lain, dampak investasi air minum nonperpipaan relatif
tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

132
Tabel 5.17
Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi
Simulasi Peningkatan Investasi Air Minum

Simulasi Pertumbuhan Kesimpulan


Ekonomi (%)
Peningkatan 10 persen 0,047 Peningkatan investasi
Investasi Air mengakibatkan
Minum 25 persen 0,110 membaiknya
Perpipaan pertumbuhan ekonomi
50 persen 0,203

Peningkatan 10 persen 0,0003 Peningkatan investasi


Investasi Air tidak mengakibatkan per-
Minum Non 25 persen 0,0005 tumbuhan ekonomi yang
Perpipaan signifikan
50 persen 0,0008
Peningkatan investasi air minum perpipaan
berdampak pada meningkatnya pertumbuhan
Kesimpulan ekonomi. Di pihak lain, peningkatan investasi
air minum nonperpipaan tidak berdampak
signifikan pada pertumbuhan ekonomi.
Sumber: Tabel 5.6 dan Tabel 5.7.
Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

Perbedaan dampak terhadap


Gambar
Gambar
Gambar 5.34
5.34
5.32 pertumbuhan ekonomi antara investasi
Dampak
Dampak InvestasiAir
Investasi AirMinum
Minum
terhadap
terhadap PertumbuhanEkonomi
Pertumbuhan Ekonomi air minum perpipaan dan nonperpipaan
0.25
0.25 dipengaruhi oleh bentuk investasi
(%))
konnoommii (%

0.2
0.2 diantara keduanya. Pertama, investasi air
minum perpipaan dilakukan dalam
an EEko

0.15
0.15
ertummbbuuhhan

0.1
0.1 jumlah besar dan masif sementara air
0.05
0.05 minum nonperpipaan dalam bentuk
PPertu

00 investasi yang relatif kecil dan tersebar.


10%
10% 25%
25% 50%
50%
peningkatan
peningkataninvestasi
investasi
Kedua, sebagian terbesar sumber air
minum nonperpipaan adalah dari air
perpipaan
perpipaan non
nonperpipaan
perpipaan
minum perpipaan yang berupa penjualan
kembali air minum perpipaan. Hanya sedikit yang merupakan investasi murni air minum
nonperpipaan.

133
Secara teoritis, pengaruh investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan
melalui persamaan berikut. Penjelasan ini dimulai dengan pemahaman bahwa terdapat
empat faktor pertumbuhan, yaitu (i) sumber daya manusia, (ii) sumber daya alam, (iii)
pembentukan modal, dan (iv) teknologi. Hubungan ini kemudian diformulasikan dalam
bentuk fungsi produksi agregat (aggregate production function/APF):
Q = A F (K, L, R)
dengan

Q = output; K = jasa produktif modal; L = input tenaga kerja; R = input sumber daya
alam; A = tingkat teknologi dalam ekonomi; F = fungsi produksi.
Sementara itu, untuk mengetahui besarnya tingkat pertumbuhan dilakukan
penghitungan proporsi perubahan besar output pada periode berjalan terhadap periode
sebelumnya. Perhitungan output menggunakan pendekatan pengeluaran44 yang dijabarkan
pada persamaan berikut.
Y = C + I + G (perekonomian tertutup)

Y = C + I + G + Nx (perekonomian terbuka)

dengan Y = output, C = konsumsi; I = investasi; G = pengeluaran pemerintah;


Nx = ekspor bersih (selisih ekspor dengan impor).
Berdasarkan persamaan di atas, output dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga
(C), investasi yang dilakukan (I), investasi pemerintah dalam bentuk pengeluaran
pemerintah (G), serta ekspor netto (Nx). Jika input modal, tenaga kerja atau sumber daya
meningkat, output pun akan meningkat.
Keterkaitan antara kinerja perekonomian dan infrastruktur telah memicu debat
berkepanjangan diantara ahli ekonomi infrastruktur dan ekonomi pembangunan. Bukti
empiris belum dapat menunjukkan secara jelas keterkaitan antara infrastruktur dan
perekonomian. Bank Dunia dalam laporan tahunannya World Development Report Tahun
1994 menyatakan bahwa belum terdapat konsensus mengenai besaran pasti dari pengaruh
infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi. Namun, sebagian besar studi menyimpulkan
peran investasi infrastruktur pada pertumbuhan ekonomi sangat mendasar, signifikan dan
bahkan lebih daripada investasi modal lainnya.

134
Terlepas dari perdebatan di atas, sebagian ahli ekonomi berpendapat bahwa
layanan infrastruktur yang memadai merupakan kebutuhan dasar untuk pertumbuhan dan
produktivitas. Hal ini dipertegas oleh sejumlah studi yang menyatakan bahwa
ketersediaan akses ke layanan infrastruktur memegang peran kunci dalam membantu
mengurangi kesenjangan pendapatan.
Selain itu, Barro (1995) menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang
tergantung pada langkah pemerintah, seperti penyediaan infrastruktur, pemanfaatan pajak,
pengelolaan penegakan hukum, perlindungan hak intelektual, regulasi perdagangan
internasional, dan pengaturan pasar keuangan.
Sementara itu, studi lain dari Bank Dunia di 63 negara berkembang menunjukkan
bahwa penambahan 1 persen stok infrastruktur berkorelasi dengan pertumbuhan 1 persen
PDB. Hasil studi ini banyak dikritik karena sebagian ahli menganggap infrastruktur bukan
penyebab pertumbuhan, melainkan hanya sebatas fasilitasi saja. Sebenarnya, dampak
ekonomi yang langsung dari investasi infrastruktur adalah berupa tersedianya kesempatan
kerja, meningkatnya daya beli tenaga kerja, dan meningkatnya kebutuhan bahan dan alat
(Pusat Studi Transportasi dan Logistik, Universitas Gajah Mada, 2003)
Literatur empiris terakhir, sebagian besar menggunakan data panel antarnegara,
telah menegaskan kontribusi output yang signifikan dari infrastruktur. Hasil sejenis
dilaporkan diantaranya oleh Canning (1999) yang menggunakan data panel dari sejumlah
negara, serta oleh Demetriades dan Mamuneas (2000) yang menggunakan data OECD
(Calderon, 2001)
Stephen Yeaple dan Stephen S. Golub (2002) melalui hasil pengamatan di 19
negara termasuk Indonesia dengan menggunakan data dalam kurun waktu 1979-1997
menyimpulkan bahwa penambahan kapasitas pelayanan infrastruktur sebesar 1 persen
akan meningkatkan nilai produktifitas faktor total (TFP) sebesar 0,12. Di pihak lain,
Estache dkk (2002) berdasar hasil penelitian empiris di Bolivia, Kolumbia, Mexico dan
Venezuela menunjukkan bahwa penambahan stok infrastruktur sebesar 10 persen
menghasilkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,5 persen.
Beberapa kajian lainnya menyangkut pengaruh investasi infrastruktur terhadap
pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah sebagai berikut. (i) Mainardi (2002) dengan
menggunakan ekonometrika dan model neural network menyimpulkan bahwa kondisi

135
pelayanan infrastruktur dasar yang buruk menyumbang terhadap rendahnya pertumbuhan
ekonomi. (ii) Birhl (1986) dalam kajiannya menyimpulkan bahwa kondisi infrastruktur
mempunyai korelasi positip yang kuat dengan pendapatan per kapita. (iii) Barro (1991)
melalui kajian cross section di 90 negara periode 1965-1985 menunjukkan bahwa terdapat
hubungan negatif lemah antara investasi sektor publik dan pertumbuhan ekonomi. (iv)
Evans dan Karras (1994) yang melakukan studi yang sejenis dengan Barro di negara
berkembang pada periode 1963-1983 menyimpulkan bahwa investasi sektor publik tidak
berpengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, kajian yang secara khusus tentang pengaruh investasi infrastruktur
terhadap perekonomian dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
dan Bappenas. Kajian Menko Perekonomian secara umum menunjukkan bahwa investasi
infrastruktur berdampak positip pada pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.
Investasi yang diberikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan
pemerataan, mengurangi inflasi, tetapi berdampak negatip terhadap lingkungan (Menko
Ekuin, 2003). Kajian Bappenas secara umum menunjukkan bahwa penambahan kapasitas
pelayanan infrastruktur memberikan dampak positif terhadap perkembangan sektor
lainnya dan perekonomian nasional. Dampak terhadap pertumbuhan ekonomi semakin
besar dengan semakin besarnya penambahan kapasitas infrastruktur (Bappenas, 2004).
Investasi air minum akan meningkatkan faktor produksi berupa modal, yang
kemudian meningkatkan output domestik. Peningkatan output domestik akan
mempengaruhi konsumsi rumah tangga melalui penurunan harga dan peningkatan
penerimaan faktor. Penurunan harga akan mendorong peningkatan konsumsi rumah
tangga sehingga berdampak pada meningkatnya PDRB. Di sisi lain, peningkatan
penerimaan faktor akan meningkatkan pendapatan rumah tangga, yang kemudian
mendorong peningkatan konsumsi rumah tangga. Besaran pengaruh pendapatan rumah
tangga terhadap konsumsi rumah tangga sangat tergantung pada marginal propensity to
consume (mpc)4145. Semakin besar mpc, semakin besar konsumsi rumah tangga, yang ber-

41 Fungsi konsumsi adalah C = a + mpc x Y. Dengan catatan bahwa C = konsumsi, a = konsumsi


autonomous (besar konsumsi ketika pendapatan nol, dan nilainya selalu positip), mpc = marginal
propensity to consume, dan Y = pendapatan yang dapat dibelanjakan. Berdasarkan fungsi konsumsi, mpc
merupakan ukuran kecenderungan melakukan konsumsi. Ketika pendapatan meningkat, konsumsi akan
meningkat yang besarnya tidak sebesar peningkatan pendapatan, tetapi tergantung pada besarnya mpc
Selain itu, dikenal marginal propensity to save (mps) yang merupakan ukuran kecenderungan menabung.
Secara matematis, mpc + mps = 1.

136
arti semakin besar pertumbuhan ekonomi. Alur pengaruh investasi air minum terhadap
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dapat dilihat pada Gambar 5.33.

Gambar 5.33
Keterkaitan Investasi Air Minum
dengan Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan
(Simulasi I dan II)

Harga Konsumsi
produsen Rumah tangga PDRB

Output Penerimaan Pendapatan


domestik faktor Rumah tangga

Faktor Distribusi
Produksi : Pendapatan
Modal

Investasi
Air Minum

Keterangan:

Alur pengaruh investasi air minum perpipaan


Alur pengaruh investasi air minum nonperpipaan

B. Subsidi

Subsidi air minum yang dialokasikan berasal dari dua sumber berbeda, yaitu (i)
peningkatan pajak air minum perpipaan dan (ii) dana pemerintah pusat. Secara umum,
subsidi dari sumber peningkatan pajak air minum perpipaan memberi dampak pada
menurunnya pertumbuhan ekonomi, sementara subsidi dari dana pemerintah pusat
mengakibatkan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Penyediaan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan menyebabkan
pertumbuhan ekonomi negatip yang berkisar minimal –0,0001 persen (pajak 10 persen dan
RT I) sampai maksimal –0,0008 persen (pajak 50 persen dan RT I-IV). Sementara itu,
subsidi dari pemerintah pusat mendorong pertumbuhan ekonomi walaupun dalam proporsi

137
yang relatif kecil sebesar minimal 0,0023 persen (pajak 10 persen dan RT I-IV) sampai
maksimal 0,0056 persen (pajak 50 persen dan RT I).

Tabel 5.18
Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi
Simulasi Subsidi

Simulasi Skenario Penerima


RT I RT I – RT IV Kesimpulan
Subsidi dari Subsidi (10%) - 0,0001 % - 0,0002 % Pembedaan kelompok
Pajak Air penerima tidak
Subsidi (25%) - 0,0002 % - 0,0004 %
Minum berdampak pada laju
Perpipaan Subsidi (50%) - 0,0004 % - 0,0008 % pertumbuhan ekonomi

Dampak subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan terhadap


Kesimpulan pertumbuhan ekonomi tidak signifikan.

Subsidi (Rp.0.149 M) 0,0009 % Pembedaan kelompok


0,0007 %
Subsidi dari
penerima tidak
Pemerintah Subsidi (Rp.0.37 M) 0,0022 % 0,0018 % berdampak pada laju
Pusat
Subsidi (Rp.0.74 M) 0,0042 % 0,0035 % pertumbuhan ekonomi
Walaupun penyediaan subsidi dari pemerintah pusat terlihat
Kesimpulan menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi tetapi besarnya tidak signifikan
sehingga praktis penyediaan subsidi tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Sumber: Tabel 5.9 dan Tabel 5.10
Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

Gam bar 5.34


Dam pak Subsidi Pada tahap awal ketika pajak air
terhadap Pertum buhan Ekonom i
minum perpipaan ditingkatkan, pertum-

0.006
buhan ekonomi dan distribusi pendapatan
0.005 Pajak 10%
dipengaruhi melalui dua saluran, yaitu (a)
Ekonomi (%)
Pertumbuhan

0.004
0.003 Pusat Rp. 0,149 M
0.002 Pajak 25% jalur konsumsi rumah tangga dan (b) jalur
0.001 Pusat Rp. 0,37 M
0
Pajak 50% konsumsi pemerintah. Pada dasarnya, pe-
-0.001
RT I RT I-IV Pusat Rp. 0,74 M
Penerima
ningkatan pajak dapat mengakibatkan per-
tumbuhan ekonomi meningkat/menurun dan
distribusi pendapatan membaik/memburuk,
bergantung pada besaran pengaruh dari jalur konsumsi rumah tangga atau jalur kon-
sumsi pemerintah.

138
Gambar 5.35
Keterkaitan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan
dengan Distribusi Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi

Harga Konsumsi
produsen RT PDRB

Tarif Output Penerimaan Pendapatan


Pajak domestik faktor RT

Penerimaan Distribusi
Pajak Transfer Pendapatan
RT

Penerimaan Anggaran Konsumsi


pemerintah Pemerintah Pemerintah

Peningkatan pajak akan meningkatkan penerimaan pemerintah, yang kemudian


menjadi tabungan pemerintah. Tabungan pemerintah akan dialokasikan untuk anggaran
pemerintah berupa konsumsi pemerintah dan transfer rumah tangga (subsidi). Transfer ke
rumah tangga akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang berdampak pada
membaiknya pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Sementara itu,
meningkatnya konsumsi pemerintah mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Di pihak lain, pada saat suatu komoditas dikenai
pajak (pajak komoditi), harga komoditas tersebut
meningkat (Po Æ P1) sehingga penawaran menjadi
berkurang (Qo Æ Q1). Selanjutnya, hal ini akan
berpengaruh pada menurunnya output (Yo Æ Y1). Jika air
minum perpipaan dikenai pajak, harga air minum
perpipaan menjadi lebih tinggi sehingga penawaran
berkurang. Selanjutnya, berdampak pada berkurangnya
output yang dihasilkan dari air minum perpipaan.

139
Selanjutnya, penerimaan faktor menurun sehingga pendapatan rumah tangga juga
menurun yang berakibat pada konsumsi rumah tangga yang juga menurun. Penurunan
konsumsi rumah tangga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menurun.
Dampak dari peningkatan pajak air minum terhadap perekonomian khususnya
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dapat dilihat pada gambar 5.35.
Sementara itu, pada tahap berikutnya, jika hasil pajak air minum perpipaan
dialokasikan seluruhnya sebagai subsidi bagi rumah tangga miskin, peningkatan pajak
tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui jalur konsumsi rumah tangga.
Di pihak lain, distribusi pendapatan dipengaruhi langsung oleh peningkatan pendapatan
rumah tangga. Pada dasarnya, peningkatan pajak dapat mengakibatkan pertumbuhan
ekonomi meningkat/menurun dan distribusi pendapatan membaik/memburuk yang
bergantung pada besaran pengaruh dari jalur konsumsi rumah tangga.
Berbeda pada kondisi awal, jika hasil pajak dialokasikan untuk RT miskin,
konsumsi pemerintah dianggap tetap. Akibatnya, peningkatan pajak akan meningkatkan
transfer ke rumah tangga yang berdampak meningkatkan pendapatan rumah tangga dan
memperbaiki distribusi pendapatan. Selanjutnya, peningkatan pendapatan rumah tangga
mendorong meningkatnya konsumsi rumah tangga yang berujung pada meningkatnya
pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, sebagaimana pada kondisi awal, peningkatan tarif pajak
mengakibatkan meningkatnya harga produsen. Akibatnya, output menurun, kemudian
penerimaan faktor menurun sehingga pendapatan rumah tangga menurun. Akibatnya,
konsumsi rumah tangga menurun. Penurunan konsumsi rumah tangga mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi menurun.
Pada proses transfer atau subsidi, dana yang diterima oleh rumah tangga
meningkatkan pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income). Selanjutnya,
meningkatnya pendapatan ini kemudian akan meningkatkan konsumsi sehingga
permintaan agregat juga meningkat. Pada akhirnya, hal itu akan meningkatkan output.
Jika subsidi berasal dari peningkatan pajak, terdapat kemungkinan bahwa peningkatan
output sebagai akibat pemberian subsidi tidak dapat menutupi pengurangan output dari
peningkatan pajak komoditas. Hal ini yang terjadi jika subsidi yang berasal dari hasil
peningkatan pajak air minum perpipaan terlihat memberikan pertumbuhan ekonomi

140
negatip. Ini berakibat bahwa biaya pemberian subsidi lebih besar daripada manfaat yang
diperoleh dari penerapan pajak tersebut. Akan tetapi, kondisinya akan berbeda jika
subsidi berasal dari pemerintah pusat yang merupakan suntikan dana dari luar
perekonomian. dimana tidak terdapat proses penurunan output sehingga subsidi yang
diberikan mendorong meningkatnya output yang kemudian mengakibatkan terjadinya
pertumbuhan ekonomi.

Gambar 5.36
Keterkaitan Peningkatan Pajak Air Minum Perpipaan
yang Dialokasikan untuk Subsidi
terhadap Distribusi Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi
(Simulasi III)

Harga Konsumsi
produsen RT PDRB

Tarif Output Penerimaan Pendapatan


Pajak domestik faktor RT

Distribusi
Transfer
Pendapatan
RT

Gambar 5. 37
Keterkaitan Peningkatan Transfer Dana Pusat
yang Dialokasikan untuk Subsidi
terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta Distribusi Pendapatan
(Simulasi IV)

Konsumsi
RT PDRB

Transfer Pendapatan
Dana Pusat RT

Subsidi Distribusi
Untuk Pendapatan
RT miskin

141
Penyediaan subsidi, baik dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun
pemerintah pusat, bagi RT termiskin maupun seluruh kelompok RT miskin tidak
mempunyai dampak yang berbeda terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 5.18 dan Tabel 5.19.
C. Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi
Pada skenario investasi air minum perpipaan dan subsidi, dilakukan dua simulasi,
yaitu (i) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pajak air minum perpipaan
dan (ii) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pemerintah pusat.
Gambar 5. 38
Keterkaitan Peningkatan Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi
terhadap Pertumbuhan Ekonomi
serta Distribusi Pendapatan (Simulasi V– VI)

Harga Konsumsi
produsen RT PDRB

Tarif Output Penerima Pendapatan


Pajak domestik -an faktor RT

Faktor Distribusi
Produksi : Subsidi Pendapatan
Modal Untuk
RT miskin
Investasi
Air Minum

Penerimaan Transfer
pajak Dana Pusat
Keterangan:

Alur pengaruh investasi air minum perpipaan


Alur pengaruh subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan
Alur pengaruh subsidi dari pemerintah pusat

Berdasarkan hasil simulasi gabungan terlihat bahwa (i) semakin besar peningkatan
investasi air minum perpipaan, dengan mengabaikan sumber subsidi, semakin besar laju
pertumbuhan ekonomi, (b) investasi air minum perpipaan yang disertai subsidi pemerintah

142
pusat menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi relatif lebih besar daripada investasi air
minum perpipaan yang disertai subsidi dari pajak air minum perpipaan, terutama jika
investasi air minum perpipaan sebesar 50 persen, (c) peningkatan subsidi, baik dari
peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerintah pusat, tidak berdampak
terhadap perubahan laju pertumbuhan ekonomi, (d) pembedaan kelompok penerima
subsidi tidak mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Hasil selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 5.19.
Keterkaitan antara peningkatan investasi air minum perpaipaan yang disertai
subsidi, baik dari sumber peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerntah
pusat, terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dapat dilihat pada
Gambar 5.38.

143
Tabel 5.19
Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi
Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan
Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum

Simulasi Skenario Penerima


RT I RT I – RT IV Kesimpulan
Peningkatan Investasi air minum
0,047 %
investasi air perpipaan
minum perpipaan Investasi dan subsidi
10 persen dan 0,047 % 0,047 %
(10%) Pembedaan kelompok
subsidi dari penerima tidak
Investasi dan subsidi
peningkatan 0,047 % 0,047 % berdampak pada laju
(25%)
pajak air minum pertumbuhan
perpipaan Investasi dan subsidi
0,047 % 0,046 % ekonomi.
(50%)
Peningkatan Investasi air minum
0,11%
investasi air perpipaan
minum perpipaan Investasi dan subsidi
25 persen dan 0,111 % 0,111 %
(10%) Pembedaan kelompok
subsidi dari penerima tidak
Investasi dan subsidi
peningkatan 0,111 % 0,111 % berdampak pada laju
(25%)
pajak air minum pertumbuhan
perpipaan Investasi dan subsidi
0,111 % 0,110 % ekonomi.
(50%)
Peningkatan Investasi Air Minum
0,203 %
investasi air Perpipaan
minum perpipaan Investasi dan subsidi
50 persen dan 0,204 % 0,204 %
(10%) Pembedaan kelompok
subsidi dari penerima tidak
Investasi dan subsidi
peningkatan 0,204 % 0,204 % berdampak pada laju
(25%)
pajak air minum pertumbuhan
perpipaan Investasi dan subsidi
0,204 % 0,203 % ekonomi.
(50%)
Peningkatan investasi air minum perpipaan mendorong meningkatnya
Kesimpulan pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan subsidi tidak berdampak pada laju
pertumbuhan ekonomi.
Sumber: Tabel 5.11, Tabel 5.12 dan Tabel 5.13
Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

Gambar 5.39 Gambar 5.40 Gambar 5.41


Dampak Investasi 10% dan Subsidi dari Pajak Air Minum Dampak Investasi 25% dan Subsidi dari Pajak Air Minum Dampak Investasi 50% dan Subsidi dari Pajak Air Minum
terhadap Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi
P e r tu m b u h a n E k o n o m i

0.1114
P e r tu m b u h a n E k o n o m i

0.0469 0.204
P e r tu m b u h a n
E k o n o m i (% )

0.111
(% )

0.2036
(% )

0.1106
0.0465 RT I
RT I RT I
0.2032
RT I-IV 0.1102 RT I-IV RT I-IV

0.0461 0.2028
0.1098 Investasi Investasi- Investasi- Investasi-
Investasi Investasi- Investasi- Investasi-
Investasi Investasi- Investasi- Investasi-
subsidi subsidi Subsidi subsidi subsidi Subsidi
subsidi subsidi Subsidi
10% 25% 50% 10% 25% 50%
10% 25% 50%
Skenario Skenario
Skenario

144
Tabel 5.20
Rekapitulasi Pertumbuhan Ekonomi
Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan
Subsidi dari Pemerintah Pusat

Simulasi Skenario Penerima


RT I RT I – RT IV Kesimpulan
Peningkatan Investasi air minum perpipaan 0,047 %
investasi air Investasi dan subsidi
minum 0,049 % 0,048 %
(Rp.0,149 miliar) Pembedaan kelompok
perpipaan 10 penerima tidak
Investasi dan subsidi
persen dan 0,050 % 0,049 % berdampak pada laju
subsidi dari (Rp.0,37 miliar)
pertumbuhan
pemerintah Investasi dan subsidi ekonomi.
0,052 % 0,050 %
pusat (Rp.0,74 miliar)
Peningkatan Investasi air minum perpipaan 0,11%
investasi air Investasi dan subsidi
minum 0,113 % 0,112 %
(Rp.0,149 miliar) Pembedaan kelompok
perpipaan 25 penerima tidak
Investasi dan subsidi
persen dan 0,114 % 0,113 % berdampak pada laju
subsidi dari (Rp.0,37 miliar)
pertumbuhan
pemerintah Investasi dan subsidi (Rp.0,74 ekonomi.
miliar) 0,116 % 0,114 %
pusat
Peningkatan Investasi air minum perpipaan 0,203 %
investasi air Investasi dan subsidi
minum 0,207 % 0,205 %
(Rp.0,149 miliar) Pembedaan kelompok
perpipaan 50 penerima tidak
persen dan Investasi dan subsidi
0,208 % 0,206 % berdampak pada laju
subsidi dari (Rp.0,37 miliar)
pertumbuhan
pemerintah Investasi dan subsidi ekonomi.
0,209 % 0,208 %
pusat (Rp.0,74 miliar)
Peningkatan investasi air minum perpipaan mendorong meningkatnya pertumbuhan
Kesimpulan
ekonomi, tetapi peningkatan subsidi tidak berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi.
Sumber: Tabel 5.14, Tabel 5.15 dan Tabel 5.16
Keterangan: pertumbuhan ekonomi dianggap signifikan jika proporsi > ⏐0,01%⏐

Gambar 5.42 Gambar 5.43 Gambar 5.44


Dampak Investasi 10% dan Subsidi dari Pusat terhadap Dampak Investasi 25% dan Subsidi dari Pusat terhadap Dampak Investasi 50% dan Subsidi dari Pusat terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi

0.0525 0.1168
P e r tu m b u h a n E k o n o m i
P e r tu m b u h a n E k o n o m i

0.2098
0.0515 0.1158
0.2088
P e r tu m b u h a n
E k o n o m i (% )

0.1148
0.0505 0.2078
0.1138
(% )
(% )

0.0495 0.2068
0.1128 0.2058
0.0485 RT I RT I RT I
0.1118 0.2048
0.0475 RT I-IV RT I-IV RT I-IV
0.1108 0.2038
0.0465 0.1098 0.2028
Investasi Investasi- Investasi- Investasi- Investasi Investasi- Investasi- Investasi- Investasi Investasi- Investasi- Investasi-
subsidi subsidi Subsidi subsidi subsidi Subsidi subsidi subsidi Subsidi
10% 25% 50% 10% 25% 50% 10% 25% 50%
Skenario Skenario Skenario

145
5.4.2 Distribusi Pendapatan

A. Investasi Air Minum

Investasi air minum perpipaan berdampak pada penurunan pangsa pendapatan


kelompok RT miskin dari kondisi awal, tetapi tidak berdampak terhadap perubahan rasio
Gini. Akan tetapi, jika investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen dan 50 persen,
rasio pendapatan RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi mengalami penurunan
signifikan masing-masing sebesar -0,01 persen.
Tabel 5.21
Rekapitulasi Distribusi Pendapatan
Simulasi Peningkatan Investasi Air Minum
Perubahan
Simulasi Rasio Perubahan Kesimpulan
Pendapatan Rasio Gini
RT Miskin/RT (%)
Tinggi (%)
10 persen - 0,003 0,001
Peningkatan Peningkatan investasi hanya
Investasi Air 25 persen berdampak pada menurunnya
- 0,01 0,001
Minum rasio pendapatan RT miskin/
Perpipaan 50 persen RT tinggi pada saat investasi
- 0,01 0,002
25 persen dan 50 persen.
10 persen 0 0
Peningkatan Peningkatan investasi tidak
Investasi Air 25 persen mempengaruhi rasio
0 0
Minum Non pendapatan RT miskin/RT
Perpipaan 50 persen 0 0 tinggi dan rasio Gini.

Peningkatan investasi air minum perpipaan mengakibatkan


memburuknya distribusi pendapatan pada saat peningkatan
Kesimpulan investasi 25 persen dan 50 persen. Berbeda dengan peningkatan
investasi air minum nonperpipaan yang tidak mengakibatkan
perubahan distribusi pendapatan.
Sumber: Tabel 5.6 dan Tabel 5.7
Keterangan: perubahan distribusi pendapatan dianggap signifikan jika proporsi ≥ ⏐0,01%⏐

Gambar 5.45
Dampak Investasi Air Minum terhadap Distribusi Walaupun rasio Gini relatif tetap, tetapi
Pendapatan

0.597215 11.2602
dengan terjadinya penurunan pada rasio penda-
patan RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi
Pangsa Pendapatan
RT Miskin (%)
Rasio Gini

0.597205 11.2581
yang cukup signifikan, menunjukkan membu-
ruknya distribusi pendapatan.
0.597195 11.256
Sebagian terbesar RT miskin di DKI
awal 10% 25% 50%
Investasi Jakarta yang tidak memperoleh air minum
perpipaan non perpipaan perpipaan non perpipaan

146
perpipaan berlokasi di daerah Jakarta Utara, yang merupakan daerah sulit air disebabkan
air tanah dalam yang tidak layak minum: adanya intrusi air laut. Selain itu, RT miskin juga
berlokasi di daerah permukiman liar dan kumuh. Kondisi ini membawa konsekuensi
pelayanan air minum perpipaan bagi penduduk miskin jauh lebih sulit. Hal pertama yang
menjadi kendala adalah terdapatnya larangan bagi penyedia air minum perpipaan untuk
melayani daerah permukiman liar. Kedua, biaya sambungan yang harus dibayar di depan
dengan jumlah yang cukup besar. Ketiga, tidak tersedianya insentif bagi perusahaan
swasta yang mendapat konsesi untuk melayani penduduk miskin. Biaya investasi yang
besar sementara jumlah pemakaian air penduduk miskin yang relatif sedikit akan
memperlambat waktu pengembalian investasi. Keempat, perjanjian kontrak dengan
perusahaan swasta penerima konsesi tidak secara eksplisit mempersyaratkan peningkatan
layanan bagi penduduk miskin. Kriteria kinerja hanya berupa peningkatan cakupan
pelayanan.
Pelayanan air minum bagi penduduk miskin menjadi hanya sebatas penyediaan
hidran umum dalam jumlah terbatas. Hidran umum yang terbatas menyulitkan penduduk
untuk mendapatkan air karena harus antri, dan lokasi yang jauh dari rumah. Kondisi ini
yang mendorong maraknya praktek penjualan air ke rumah-rumah oleh penyedia air skala
kecil dengan harga yang 15 sampai 20 kali lebih mahal. Pada kenyataannya, hal ini tidak
banyak membantu menurunkan biaya yang harus ditanggung oleh penduduk miskin.
Peningkatan investasi air minum pada akhirnya hanya akan meningkatkan cakupan
pelayanan, yang berarti meningkatkan produksi air minum perpipaan, sehingga
mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketika kemudian penduduk miskin tidak terjangkau
oleh investasi ini, sebagian besar pendapatan penduduk miskin tetap terpakai untuk
kebutuhan air minum. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tidak berdampak pada
peningkatan pangsa pendapatan RT miskin, bahkan sebaliknya.
Ketika dilakukan peningkatan investasi air minum nonperpipaan, perubahan rasio
Gini dan pangsa pendapatan RT miskin tersebut mendekati nol. Hasil selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 5.21 dan Gambar 5.43.
Perubahan pangsa pendapatan RT miskin dan rasio Gini yang kecil sekali
(mendekati nol) menyebabkan hipotesa kedua tidak terpenuhi, yaitu bahwa investasi air
minum nonperpipaan mengakibatkan kesenjangan pendapatan. Kecilnya perubahan

147
kesenjangan disebabkan oleh keragaman sumber air minum nonperpipaan. Berdasarkan
data empiris, sumber air minum nonperpipaan terdiri dari (a) hidran umum, harga sama
dengan air minum perpipaan tetapi dengan tingkat akses rendah (antri, jauh, dan tidak 24
jam), (b) rumah tangga yang berlangganan air perpipaan yang kemudian menyalurkan ke
tetangga dengan harga yang relatif sedikit lebih mahal dari harga air minum perpipaan, (c)
penjaja keliling dengan harga 15-20 kali harga air minum perpipaan, (d) truk tangki
dengan harga yang relatif lebih mahal dari penjaja keliling.
Jika sumber air minum nonperpipaan adalah (a) dan (b), pendapatan yang dapat
dibelanjakan (disposable income) meningkat sehingga rasio Gini membaik. Hal itu
berbeda jika sumber adalah (c) dan (d). Hal yang terjadi adalah sebaliknya. Data pangsa
masing-masing sumber air minum nonperpipaan ini tidak tersedia sehingga berdasarkan
pada hasil simulasi tersebut, diperkirakan sumber air minum nonperpipaan berbentuk (a)
dan (b) dalam jumlah yang relatif berimbang dengan (c) dan (d) sehingga penambahan
investasi air minum nonperpipaan tidak secara signifikan mendorong peningkatan
kesenjangan.
Dengan mengacu pada literatur, masih terdapat ketidaksepakatan tentang pengaruh
pertumbuhan ekonomi terhadap kesenjangan. Literatur empiris terkini seperti oleh
Deininger dan Squire (1996), Chen dan Ravallion (1997), Easterly (1999) dan Dollar dan
Kraay (2002) seluruhnya menyatakan pertumbuhan tidak mempunyai dampak pada
kesenjangan. (World Bank Poverty Net). Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh
Kutnetz melalui teorinya bahwa pertumbuhan akan berujung pada pengurangan
kesenjangan.
Sementara itu, dalam literatur empiris yang terkait khusus dengan investasi air
minum sebagaimana dikemukakan oleh Brenneman dan Kerf (2002), Galiani, Gertler dan
Schargrodsky (2002), ditunjukkan bahwa akses air minum dan sanitasi berperan dalam
mengurangi tingkat kesenjangan, melalui dampaknya pada modal manusia khususnya
penduduk miskin (Calderon, 2004). Di pihak lain, studi Calderon (2004) menunjukkan
bahwa pembangunan jaringan air minum mempunyai dampak negatif dan signifikan pada
kesenjangan pendapatan.

148
B. Subsidi
Secara umum, penyediaan subsidi baik dari peningkatan pajak air minum
perpipaan maupun pemerintah pusat hanya berdampak signifikan pada rasio pendapatan
RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi pada saat subsidi dari peningkatan pajak air
minum perpipaan maupun pemerintah pusat masing-masing sebesar 50 persen, yang
menunjukkan membaiknya distribusi pendapatan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 5.22.

Tabel 5.22
Rekapitulasi Dampak Subsidi terhadap Distribusi Pendapatan
Perubahan Rasio
Skenario Simulasi Pendapatan RT Perubahan Rasio Kesimpulan
Miskin/RT Tinggi Gini* (%)
(%)
RT I RT I-IV RT I RT I-IV
Subsidi Pembedaan kelompok
Subsidi dari 0,001 0,001 0 0
(10%) penerima tidak berdampak
Peningkatan
Subsidi signifikan pada perubahan
Pajak Air 0,003 0,003 - 0,001 - 0,001
(25%) rasio Gini dan rasio
Minum
Subsidi pendapatan RT miskin/RT
Perpipaan 0,01 0,01 - 0,002 - 0,001
(50%) tinggi.
Peningkatan subsidi dari pajak air minum perpipaan
Kesimpulan hanya berdampak signifikan terhadap membaiknya distribusi pendapatan
pada saat peningkatan subsidi sebesar 50 persen
Subsidi Pembedaan kelompok
0,001 0,001 0 0
(10%) penerima tidak berdampak
Subsidi dari Subsidi
0,003 0,003 - 0,001 - 0,001 signifikan pada perubahan
pemerintah (25%) rasio Gini dan rasio
pusat
Subsidi pendapatan RT miskin/RT
0,01 0,01 - 0,002 - 0,001 tinggi.
(50%)
Peningkatan subsidi dari pajak air minum perpipaan
Kesimpulan hanya berdampak signifikan terhadap membaiknya distribusi pendapatan
pada saat peningkatan subsidi sebesar 50 persen
Sumber: Tabel 5.9 dan Tabel 5.10 .
Keterangan: perubahan distribusi pendapatan dianggap signifikan jika proporsi ≥ ⏐0,01%⏐

149
Gambar 5.46 Gambar 5.47
Dampak Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan Dampak Subsidi dari Pemerintah Pusat
terhadap Distribusi Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan

0.5972 11.2602 0.5972 11.2602

Pangsa Pendapatan

Pangsa Pendapatan
RT Miskin (%)

RT Miskin (%)
0.597195 0.597195
Rasio Gini

Rasio Gini
11.2581 11.2581

0.59719 0.59719

0.597185 11.256 0.597185 11.256


awal 10% 25% 50% awal 10% 25% 50%
Investasi Investasi

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

C. Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

Pada skenario investasi air minum perpipaan dan subsidi, dilakukan dua simulasi,
yaitu (a) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pajak air minum perpipaan
dan (b) investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pemerintah pusat.
Berdasarkan hasil simulasi gabungan terlihat bahwa (a) peningkatan investasi air
minum perpipaan sebesar 50 persen yang disertai subsidi dari peningkatan air minum
perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen berdampak pada memburuknya distribusi
pendapatan, (b) peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10 persen yang
disertai subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,74 miliar berdampak pada mem-
baiknya distribusi pendapatan, (c) peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 50
persen yang disertai subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37
miliar berdampak pada memburuknya distribusi pendapatan, (d) pembedaan kelompok
penerima subsidi, baik dari peningkatan pajak air minum perpipaan maupun pemerintah
pusat, tidak berdampak pada distribusi pendapatan Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 5.23 dan Tabel 5.24.
Dari simulasi penyediaan subsidi, terlihat bahwa pada kondisi tertentu subsidi
memberi dampak signifikan pada perbaikan distribusi pendapatan Walaupun demikian,
penyediaan subsidi oleh ekonom neoklasik dianggap bukan merupakan pilihan terbaik,
dalam arti intervensi pemerintah seharusnya seminimal mungkin. Hal ini pun masih

150
merupakan perdebatan karena tidak ditemukan secara eksplisit buku teks ekonomi
neoklasik yang secara eksplisit menolak subsidi. Bahkan, the Second Fundamental
Theorem of Welfare Economics mengatakan, dalam keadaan tertentu, gabungan antara
mekanisme pasar dan transfer kekayaan (subsidi) secara lump sum bisa menghasilkan
alokasi yang optimal secara Pareto (Perdana, 2005).

151
Tabel 5.23
Rekapitulasi Distribusi Pendapatan
Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi dari Peningkatan Pajak Air Minum
Perubahan Rasio
Pendapatan RT Perubahan Rasio
Miskin/RT Tinggi Gini (%) Kesimpulan
Skenario Simulasi (%)
RT I RT I
RT I-IV RT I-IV
Peningkatan Investasi air minum
- 0,003 0,001
investasi Air perpipaan
minum perpipaan Investasi dan subsidi
- 0,001 - 0,001 0 0
10 persen dan (10%)
subsidi dari Investasi dan subsidi
peningkatan 0,001 0,001 0 0
(25%) Pemberian
pajak air minum Investasi dan subsidi
0,004 0,004 - 0,001 - 0,001 subsidi pada
perpipaan (50%) kelompok RT I
Investasi air minum dan kelompok
Peningkatan - 0,006 0,001
perpipaan RT I-IV
investasi air
Investasi dan subsidi memberi
minum perpipaan - 0,003 - 0,003 0,001 0,001
(10%) dampak yang
25 persen dan
relatif sama
subsidi dari Investasi dan subsidi
- 0,001 - 0,001 0,001 0,001 pada
peningkatan (25%) perubahan
pajak air minum Investasi dan subsidi
0,002 0,002 0 0 rasio
perpipaan (50%) pendapatan RT
Investasi air minum miskin/RT
Peningkatan - 0,011 0,002
perpipaan tinggi dan
investasi air
Investasi dan subsidi rasio Gini.
minum perpipaan - 0,006 - 0,006 0,002 0,002
50 persen dan (10%)
subsidi dari Investasi dan subsidi
peningkatan -0,005 - 0,005 0,002 0,002
(25%)
pajak air minum Investasi dan subsidi
perpipaan - 0,002 - 0,002 0,001 0,001
(50%)
Peningkatan investasi air minum perpipaan cenderung mengakibatkan memburuknya
distribusi pendapatan dengan dampak signifikan pada saat investasi air minum
perpipaan sebesar 50 persen dan subsidi dari peningkatan pajak air minum perpipaan
sebesar 10 persen dan 25 persen. Peningkatan subsidi memberi dampak signifikan pada
Kesimpulan perbaikan distribusi pendapatan pada saat peningkatan investasi air minum perpipaan
sebesar 50 persen, yang merubah distribusi pendapatan yang buruk menjadi kembali
seperti kondisi awal.

Gambar 5.48 Gambar 5.49 Gambar 5.50


Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (10%) dan Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (25%) dan Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (50%) dan
Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan terhadap Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan Subsidi dari Pajak Air Minum Perpipaan
Distribusi Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan terhadap Distribusi Pendapatan

0.597215 11.2602 0.597215 11.2602 0.597215 11.2602

0.59721 0.59721 0.59721


P endapatan RT

P endapatan RT
P endapatan RT

0.597205 0.597205 0.597205


M iskin (% )

M iskin (% )
M iskin (% )
Rasio Gini

Rasio Gini
Rasio Gini
P angsa

Pangsa
P angsa

0.5972 11.2581 0.5972 11.2581 0.5972 11.2581

0.597195 0.597195 0.597195

0.59719 0.59719 0.59719

0.597185 11.256 0.597185 11.256 0.597185 11.256


0% 10% 25% 50% 0% 10% 25% 50% 0% 10% 25% 50%
Investasi Investasi Investasi

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

152
Tabel 5.24
Rekapitulasi Distribusi Pendapatan
Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi dari Pemerintah Pusat

Perubahan Rasio Perubahan Rasio Kesimpulan


Skenario Simulasi Pendapatan RT Gini (%)
Miskin/RT Tinggi
(%)
RT I RT I-IV RT I RT I-IV
Investasi air minum
- 0,003 0,001
Peningkatan perpipaan
investasi Air Investasi dan subsidi
- 0,001 - 0,001 0 0
minum perpipaan (Rp.0,149 M)
10 persen dan Pemberian
Investasi dan subsidi
subsidi dari 0,001 0,001 0 0 subsidi pada
(Rp.0,37 M)
pemerintah pusat kelompok RT I
Investasi dan subsidi dan kelompok
0,005 0,005 - 0,001 - 0,001
(Rp.0,74 M) RT I-IV
Investasi air minum memberi
- 0,006 0,001
Peningkatan perpipaan dampak yang
investasi air Investasi dan subsidi relatif sama
- 0,003 - 0,003 0,001 0,001 pada
minum perpipaan (Rp.0,149 M)
25 persen dan perubahan
Investasi dan subsidi
subsidi dari - 0,001 - 0,001 0,001 0,001 rasio
(Rp.0,37 M)
pemerintah pusat pendapatan RT
Investasi dan subsidi miskin/RT
0,001 0,001 0 0
(Rp.0,74 M) tinggi dan
Investasi air minum rasio Gini.
- 0,011 0,002
perpipaan
Peningkatan
investasi air Investasi dan subsidi
- 0,007 - 0,006 0,002 0,002
minum perpipaan (Rp.0,149 M)
50 persen dan Investasi dan subsidi
- 0,005 - 0,005 0,002 0,002
subsidi dari (Rp.0,37 M)
pemerintah pusat Investasi dan subsidi
(Rp.0,74 M) - 0,002 - 0,002 0,001 0,001

Peningkatan investasi air minum perpipaan cenderung mengakibatkan memburuknya


distribusi pendapatan dengan dampak signifikan pada saat investasi air minum
perpipaan sebesar 50 persen dan subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,149 miliar
dan Rp.0,37 miliar. Peningkatan subsidi memberi dampak signifikan pada perbaikan
Kesimpulan
distribusi pendapatan pada saat peningkatan investasi air minum perpipaan sebesar 10
persen. Selain itu, pada saat peningkatan investasi sebesar 50 persen, yang merubah
distribusi pendapatan yang buruk menjadi kembali seperti kondisi awal.

Gambar 5.51 Gambar 5.52 Gambar 5.53


Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (10%) dan Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (25%) dan Dampak Investasi Air Minum Perpipaan (50%) dan
Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap Subsidi dari Pemerintah Pusat terhadap
Distribusi Pendapatan Distribusi Pendapatan Distribusi Pendapatan

0.597215 11.2602 0.597215 11.2602 0.597215 11.2602

0.59721 0.59721 0.59721


Pendapatan RT

Pendapatan RT
Pendapatan RT

0.597205 0.597205 0.597205


Miskin (%)

Miskin (%)
Miskin (%)
Rasio Gini

Rasio Gini
Rasio Gini
Pangsa

Pangsa
Pangsa

0.5972 11.2581 0.5972 11.2581 0.5972 11.2581

0.597195 0.597195 0.597195

0.59719 0.59719 0.59719

0.597185 11.256 0.597185 11.256 0.597185 11.256


0% 10% 25% 50% 0% 10% 25% 50% 0% 10% 25% 50%
Investasi Investasi Investasi

RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV RT I RT I-IV RT I dan RT I-IV

153
Pada kondisi DKI Jakarta, dengan proporsi pelanggan air minum perpipaan yang
jauh lebih dominan adalah RT menengah dan RT pendapatan tinggi, sementara RT miskin
relatif sangat bergantung pada air minum nonperpipaan, kebijakan pemberian subsidi
silang melalui pengaturan tarif air minum menjadi kurang efektif. Subsidi terhadap harga
air minum dinikmati bukan oleh RT miskin.

5.4.3 Kelompok Penerima Manfaat

Secara umum, peningkatan investasi, baik air minum perpipaan maupun air minum
nonperpipaan, yang disertai penyediaan subsidi, baik dari peningkatan pajak air minum
perpipaan maupun pemerintah pusat, bagi kelompok RT termiskin maupun seluruh
kelompok RT miskin, tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan pada perubahan
laju pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.

5.4.4 Pertumbuhan Pro-poor


Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa kriteria pertumbuhan pro-poor
dalam studi ini adalah (i) pertumbuhan ekonomi positip, (ii) peningkatan rasio pendapatan
RT miskin terhadap RT pendapatan tinggi, dan (iii) membaiknya rasio Gini.

Gambar 5.54
Pertumbuhan Pro-poor
Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

Peningkatan Subsidi dari Subsidi Subsidi


Investasi Air Peningkatan ke RT I ke RT I-IV
Minum Pajak Air Minum
Perpipaan Perpipaan/
Dana Pusat

10%
10%

25% 25%
50%

Rp.0.74 M

Keterangan: simulasi dengan pertumbuhan pro-poor

154
Secara umum, pertumbuhan pro-poor terjadi jika investasi air minum perpipaan
dan subsidi dialokasikan secara bersamaan. Semakin besar investasi air minum perpipaan,
semakin besar subsidi yang dibutuhkan agar terjadi pertumbuhan pro-poor. Pertumbuhan
pro-poor terjadi hanya jika investasi air minum meningkat 10 persen disertai subsidi
pemerintah pusat sebesar Rp.0,74 miliar.

155
Tabel 5.25 Rekapitulasi Pertumbuhan Pro-poor

Simulasi Pertumbuhan Pangsa Penda-


Rasio Gini
Ekonomi patan/Kapita

Simulasi Investasi
10 persen + + 0
Investasi Air Minum 25 persen + + -
Perpipaan
50 persen + + -
10 persen 0 0 0
Investasi Air Minum 25 persen 0 0 0
Nonperpipaan
50 persen 0 0 0

Simulasi Subsidi
10 persen 0 - 0
Subsidi dari Pajak Air 25 persen 0 - 0
Minum Perpipaan
50 persen 0 - +
Rp. 0,149 M 0 - 0
Subsidi dari Pemerintah Rp. 0,37 M 0 - 0
Pusat
Rp. 0,74 M 0 - +

Simulasi Investasi Air Minum Perpipaan dan Subsidi

Subsidi dari Pajak 10% + + 0

Subsidi dari Pajak 25% + - 0

Subsidi dari Pajak 50% + - 0


Investasi Air Minum
Perpipaan 10% Subsidi dari Pusat Rp. 0,149 M + + 0

Subsidi dari Pusat Rp. 0,37 M + - 0

Subsidi dari Pusat Rp. 0,74 M + - +

Subsidi dari Pajak 10% + + 0

Subsidi dari Pajak 25% + + 0

Subsidi dari Pajak 50% + -/+ 0


Investasi Air Minum
Perpipaan 25% Subsidi dari Pusat Rp. 0,149 M + + -

Subsidi dari Pusat Rp. 0,37 M + + 0

Subsidi dari Pusat Rp. 0,74 M + -/+ 0

Subsidi dari Pusat 10% + + -


Subsidi dari Pusat 25% + + -
Subsidi dari Pusat 50% + + 0
Investasi Air Minum
Perpipaan 50% Subsidi dari Pusat Rp. 0,149 M + + -

Subsidi dari Pusat Rp. 0,37 M + + -

Subsidi dari Pusat Rp. 0,74 M + + 0


Keterangan: + : meningkat, - : menurun, 0 : tidak signifikan, -/+ : menurun untuk RT I/meningkat untuk RT I-IV
pertumbuhan pro-poor

Sumber : Diolah dari Hasil Simulasi

156
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Kesimpulan
Penyusunan model CGE Air Minum DKI Jakarta dimaksudkan untuk memberi
gambaran implikasi dari kebijakan yang terkait dengan pembangunan air minum di
DKI Jakarta. Pada studi ini fokus perhatian diberikan pada pengaruh investasi air
minum dan subsidi terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.
Pemahaman tentang pengaruh investasi air minum di DKI Jakarta menjadi
penting ketika sumber dana terbatas sementara akses air minum masih jauh dari target
pelayanan. Di samping itu, penduduk miskin masih menjadi pihak yang paling
menderita ketika akses air minum rendah. Pemilihan langkah yang tepat akan dapat
mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi di satu sisi dan pemenuhan kebutuhan air
minum penduduk miskin di sisi lainnya. Investasi air minum seyogyanya mendorong
pertumbuhan pro-poor, yaitu pertumbuhan yang berdampak pada penurunan
kesenjangan pendapatan.
Ketersediaan air minum yang memadai dan layak secara langsung berdampak
pada pengurangan pengeluaran rumah tangga yang signifikan, khususnya penduduk
miskin perkotaan, untuk konsumsi air minum dan pengeluaran biaya pengobatan akibat
sakit karena mengkonsumsi air minum yang tidak layak. Akibatnya, pendapatan yang
dapat dibelanjakan (disposable income) meningkat. Kemudian, kondisi ini mengarah
pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penyediaan air minum yang
memadai bagi penduduk miskin dapat meningkatkan produktivitas yang disebabkan
oleh berkurangnya hari sakit. Pemenuhan kebutuhan air minum bagi penduduk miskin
dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan juga sekaligus pengurangan
kesenjangan pendapatan. Kondisi ini yang disebut sebagai pertumbuhan pro-poor.
Berangkat dari hal tersebut di atas, dalam studi ini dilakukan beberapa simulasi
untuk mendapatkan gambaran pembangunan air minum di DKI Jakarta dikaitkan

157
dengan pertumbuhan pro-poor. Adapun simulasi kebijakan yang dilakukan adalah (i)
me-ningkatkan investasi air minum perpipaan, (ii) meningkatkan investasi air minum
non-perpipaan sebagai alternatif terbatasnya ketersediaan air minum perpipaan, (iii)
mening-katkan sumber pendanaan air minum melalui peningkatan pajak air minum,
yang kemudian hasilnya dialokasikan untuk subsidi ke rumah tangga miskin, (iv)
menyediakan sumber dana dari pemerintah pusat untuk subsidi ke rumah tangga
miskin, (v) meningkatkan investasi air minum perpipaan disertai penyediaan subsidi
dari hasil peningkatan pajak air minum perpipaan, dan (vi) meningkatkan investasi air
minum perpipaan disertai penyediaan subsidi dari dana pemerintah pusat. Keseluruhan
simulasi tersebut diukur dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi
pendapatan.
Dengan menggunakan model komputasi keseimbangan umum yang dibangun
dengan memanfaatkan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta tahun 2000,
didapatkan hasil simulasi sebagai berikut.
A. Pertumbuhan ekonomi
(i). Investasi air minum perpipaan berdampak pada peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi sebagai akibat
peningkatan investasi air minum perpipaan berkisar pada angka 0,05 persen
(investasi 10 persen) sampai 0,20 persen (investasi 50 persen). Sementara
itu, laju pertumbuhan ekonomi akibat peningkatan investasi air minum
nonperpipaan sangat kecil berkisar pada angka 0,0003 persen (investasi 10
persen) sampai 0,0008 persen (investasi 50 persen) sehingga laju
pertumbuhan ekonomi tersebut dapat diabaikan.
(ii). Penyediaan subsidi bagi RT miskin dari hasil peningkatan pajak air minum
perpipaan tidak berdampak signifikan pada laju pertumbuhan ekonomi. Laju
pertumbuhan ekonomi sebagai akibat penyediaan subsidi tersebut dalam
besaran yang sangat kecil, yaitu -0,0001 persen (pajak 10 persen) sampai
-0,0008 persen (pajak 50 persen).
(iii). Penyediaan subsidi bagi RT miskin dari dana pemerintah pusat tidak
berdampak signifikan pada laju pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan

158
ekonomi sebagai akibat penyediaan subsidi tersebut dalam besaran yang
relatif kecil, yaitu 0,001 persen (dana pusat Rp.0,149 miliar) sampai 0,004
persen (dana pusat Rp.0,74 miliar).
(iv). Ketika investasi air minum perpipaan dan subsidi bagi rumah tangga miskin
dilaksanakan bersamaan, semakin besar nilai investasi akan berdampak pada
peningkatan laju pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini berlaku tanpa mempe-
dulikan sumber subsidi. Sementara itu, peningkatan penyediaan subsidi
tidak berdampak signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi.
B. Distribusi Pendapatan
(i) Investasi air minum perpipaan berdampak signifikan pada memburuknya
distribusi pendapatan jika investasi air minum perpipaan sebesar 25 persen
dan 50 persen. Di pihak lain, investasi air minum nonperpipaan tidak
berdampak signifikan terhadap perubahan distribusi pendapatan.
(ii) Penyediaan subsidi bagi RT miskin dari peningkatan pajak air minum
perpipaan berdampak signifikan pada membaiknya distribusi pendapatan jika
subsidi dari peningkatan pajak air minum sebesar 50 persen. Sementara itu,
distribusi pendapatan menjadi semakin baik jika subsidi dari pemerintah
pusat sebesar Rp.0,74 miliar.
(iii) Investasi air minum perpipaan disertai subsidi berdampak signifikan terhadap
semakin buruknya distribusi pendapatan jika (a) investasi air minum
perpipaan sebesar 50 persen disertai subsidi dari peningkatan pajak air
minum perpipaan sebesar 10 persen dan 25 persen, dan (b) investasi air
minum perpipaan sebesar 50 persen disertai subsidi dari pemerintah pusat
sebesar Rp.0,149 miliar dan Rp.0,37 miliar.
(iv) Investasi air minum perpipaan disertai subsidi berdampak signifikan terhadap
semakin baiknya distribusi pendapatan jika investasi air minum perpipaan
sebesar 10 persen disertai subsidi sebesar Rp.0,74 miliar.

C. Penerima manfaat
Pembedaan kelompok penerima subsidi, yaitu kelompok rumah tangga
termiskin (RT I) maupun seluruh kelompok rumah tangga miskin (RT I-IV),

159
ternyata tidak berdampak signifikan pada perbedaan laju pertumbuhan ekonomi
maupun perubahan distribusi pendapatan untuk seluruh simulasi.

D. Pertumbuhan pro-poor
Pertumbuhan pro-poor terjadi jika investasi air minum perpipaan dan subsidi
dialokasikan secara bersamaan, yaitu investasi air minum perpipaan sebesar 10
persen disertai subsidi dari pemerintah pusat sebesar Rp.0,74 miliar. Semakin besar
nilai peningkatan investasi, semakin besar subsidi yang perlu diberikan agar terjadi
pertumbuhan pro-poor. Semakin besar porsi subsidi relatif terhadap investasi air
minum, semakin besar kemungkinan terjadinya pertumbuhan pro-poor.
Jika kita menyimak kembali hipotesis awal, studi ini secara umum
membuktikan hal-hal sebagai berikut. (i) Hipotesis pertama tidak terbukti sepenuhnya.
Investasi air minum perpipaan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan distribusi
pendapatan memburuk hanya terjadi jika investasi air minum perpipaan minimum 25
persen. (ii) Hipotesis kedua tidak terbukti. Investasi air minum nonperpipaan hanya
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak signifikan sementara distribusi
pendapatan relatif tetap. (iii) hipotesis ketiga tidak terbukti sepenuhnya. Penyediaan
subsidi tidak berdampak signifikan pada peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, tetapi
mengurangi kesenjangan pada kondisi tertentu, yaitu jika (a) subsidi dari peningkatan
pajak air minum perpipaan sebesar 50 persen dan (b) subsidi dari pemerintah pusat
sebesar Rp.0,74 miliar.
Peningkatan investasi air minum di DKI Jakarta ternyata berdampak hanya pada
pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak berpengaruh pada pengurangan kesenjangan. Hal
ini membuktikan bahwa pembangunan air minum di DKI Jakarta pada saat ini belum
bersifat pro-poor.

6.2 Rekomendasi

Investasi air minum perpipaan yang tidak mendorong pertumbuhan pro-poor


dapat diartikan bahwa pembangunan air minum di DKI Jakarta belum sepenuhnya
memberi perhatian terhadap penyediaan air minum bagi penduduk miskin. Untuk itu,
diperlukan beberapa langkah nyata yang dapat mendorong peningkatan layanan bagi
penduduk miskin sebagai berikut.

160
a. Pemerintah daerah sebaiknya menjadikan ketersediaan air minum bagi penduduk
miskin sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan di DKI Jakarta.
Untuk itu, dalam setiap kontrak atau pemberian konsesi penyediaan air minum di
DKI Jakarta kepada pihak lain perlu dengan jelas mencantumkan klausul
peningkatan akses air minum bagi penduduk miskin sebagai salah satu indikator
kinerja.
b. Menjadikan peningkatan akses air minum bagi penduduk miskin sebagai salah satu
target dalam strategi penanganan kemiskinan di DKI Jakarta.
c. Memperkenalkan program penyediaan air minum yang pro-poor di DKI Jakarta.
Diantaranya dengan memperkenalkan program pembangunan air minum yang
berbasis masyarakat. Pembangunan fasilitas air minum yang berasal dari sumber
subsidi sebaiknya dikelola berbasis masyarakat.
d. Penerapan tarif yang menerapkan prinsip subsidi silang bagi pelanggan air minum
perpipaan di DKI Jakarta menjadi kurang tepat ketika masih relatif banyaknya
penduduk miskin yang belum terlayani. Di pihak lain, porsi pelanggan rumah
tangga menengah dan rumah tangga pendapatan tinggi yang dominan menjadikan
tarif dasar yang murah menjadi salah sasaran. Penerapan pajak air minum perpipaan
pada pelanggan air minum perpipaan dan kemudian menyalurkan kembali dalam
bentuk subsidi dapat menjadi salah satu cara membantu meningkatkan jangkauan
pelayanan bagi penduduk miskin yang belum terlayani air minum perpipaan. Hal
ini juga sesuai dengan prinsip ekonomi bahwa pemberian subsidi langsung lebih
baik dari pemberian subsidi tarif.
Walaupun demikian, berdasar pengalaman empiris, kebijakan subsidi bahkan
jika bukan dalam bentuk tunai, pada kenyataannya sulit dilaksanakan tanpa
terjadinya kebocoran. Sebagai ilustrasi, ketika dikembangkan penyediaan air
minum bagi warga miskin di kawasan kumuh maka tidak dapat dihindari bahwa
penduduk yang bukan miskin juga dapat menikmati fasilitas tersebut.

161
e. Terdapatnya kendala regulasi42 bagi penyedia air minum perpipaan untuk melayani
penduduk miskin terutama yang bertempat tinggal di daerah permukiman kumuh
dan liar dapat disikapi oleh pemerintah daerah dengan menyediakan/memperbanyak
sumber air minum seperti hidran umum, dan kios air. Khususnya penyediaan hidran
umum pada lebih banyak tempat akan dapat mengurangi biaya yang harus
dikeluarkan oleh penduduk miskin, baik melalui makin banyaknya kesempatan
mendapatkan air minum sehingga mengurangi biaya kesempatan maupun
kemungkinan menjadi lebih murahnya harga air minum nonperpipaan.
Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar sumber air minum nonperpipaan di
DKI Jakarta berasal dari air minum perpipaan.
f. Investasi air minum nonperpipaan walaupun tidak berdampak pada perbaikan
distribusi pendapatan, yang ditengarai disebabkan oleh harga air yang relatif masih
jauh lebih mahal dari air minum perpipaan, tetapi dengan bentuk layanan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti jumlah dan waktu pembayaran yang
fleksibel, mengurangi waktu antri di kran umum, penyedia air minum
nonperpipaan tetap dapat menjadi alternatif.
Selain itu, beberapa kendala lain yang harus diantisipasi dalam
mengembangkan air minum nonperpipaan diantaranya, yaitu (i) aspek legal. Air
minum nonperpipaan belum mempunyai dasar hukum yang pasti. Kondisi ini
menjadikan investasi air minum perpipaan bersifat sementara sehingga air minum
nonperpipaan menjadi sekadar pelengkap dari sistem air minum perpipaan. Kondisi
ini berbeda dengan beberapa kota besar dunia seperti New Delhi, dan Ho Chi Minh,
(ii) peraturan pemerintah khususnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun
2005 tidak secara jelas mengatur tentang penyediaan air minum nonperpipaan, (iii)
tidak tersedianya sumber dana yang memadai, dan (iv) harga air minum
nonperpipaan yang relatif mahal.
Kondisi di atas menjadi faktor kendala berkembangnya sistem air minum
nonperpipaan sebagai alternatif penyedia air minum. Sementara berdasar prediksi,

42
Pelayanan air minum dan fasilitas lainnya seperti listrik, dan telepon pada lokasi permukiman liar
cenderung dihindari oleh pemerintah daerah. Hal ini untuk mencegah timbulnya pandangan bahwa
penyediaan fasilitas tesebut akan meresmikan status permukiman liar tersebut.

162
sistem air minum perpipaan baru akan menjangkau seluruh penduduk di DKI
Jakarta pada tahun 2022. Sebelum waktu tersebut, kebutuhan air minum dapat
dipenuhi oleh sistem air minum nonperpipaan dengan berbagai bentuknya.
Terkait dengan itu, pemerintah daerah perlu membuat regulasi untuk
memberi kepastian hukum beroperasinya sistem penyedia air minum nonperpipaan.
Regulasi tersebut sebaiknya mengatur semua pihak baik penyedia, pemerintah, dan
masyarakat sebagai konsumen. Di dalam regulasi tersebut, bentuk kerjasama antara
pemerintah, penyedia air minum perpipaan dengan penyedia air minum
nonperpipaan perlu diatur secara jelas. Tersedianya regulasi yang jelas menjadikan
penyedia air minum nonperpipaan dapat mempunyai akses ke sumber pendanaan.
Hal lain yang perlu ditangani menyangkut relatif lebih mahalnya tarif air
mi-num nonperpipaan dibanding air minum perpipaan. Untuk itu, dibutuhkan
langkah yang nyata dari pemerintah daerah, yaitu (i) penyediaan sumber air minum
dengan harga beli murah bagi penyedia skala kecil. Mempertimbangkan sebagian
terbesar sumber air penyedia air minum skala kecil di DKI Jakarta berasal dari air
minum per-pipaan, yaitu bersumber dari kran umum, sehingga sebaiknya sistem
tarif yang dite-rapkan di kran umum adalah tarif flat43. Akibatnya, harga jual dari
penyedia air skala kecil akan lebih murah, tetapi dengan marjin keuntungan yang
relatif sama, (ii) pe-nyediaan kran umum yang lebih banyak sehingga dapat
menekan biaya pembelian air dari penyedia air minum non perpipaan.
i. Menghadapi kendala banyaknya penduduk yang bermukim di permukiman liar,
direkomendasikan agar penyediaan air minum dilakukan melalui pembangunan
kran umum atau kios air yang dikelola oleh komunitas lokal. Kran umum atau kios
air ini mendapat air dari penyedia air minum perpipaan. Hal ini dapat membantu
mengurangi tingginya harga air yang diperoleh masyarakat melalui penjual air
keliling. Semakin banyak kran umum atau kios air yang tersedia maka semakin
rendah harga dasar dari penjual air keliling.
j. Salah satu kendala penduduk miskin perkotaan dalam mendapatkan akses air
minum adalah biaya pemasangan yang tidak terjangkau karena harus dibayar

43
DKI Jakarta menggunakan sistim tarif progresif sehingga tarif flat ditetapkan berdasar tarif pada
blok terendah.

163
sekaligus. Sebagai jalan keluarnya, biaya pemasangan air minum dapat dibayar
dalam jangka waktu panjang sampai dua tahun sehingga memungkinkan penduduk
miskin untuk menjadi pelanggan air minum. Cara lain adalah berupa penyediaan
subsidi dari pemerintah lokal kepada penduduk melalui penerapan abonemen pada
pelanggan setiap bulan dan hasilnya dialokasikan untuk subsidi biaya pemasangan
bagi penduduk miskin.
k. Subsidi langsung lebih baik dari subsidi tarif, sehingga jika subsidi menjadi salah
satu pilihan sumber dana penyediaan air minum bagi penduduk miskin, beberapa
sumber dana yang dapat digunakan, yaitu sumber dana dari pemerintah pusat dan
perusahaan swasta. Penyediaan dana oleh pemerintah pusat dapat berupa dana
alokasi khusus (DAK). Selain itu, keberadaan perusahaan besar juga dapat
dimanfaatkan untuk membantu memberi subsidi bagi penduduk miskin, baik dalam
bentuk subsidi langsung, subsidi pemasangan sambungan, bahkan pembangunan
jaringan. Dana perusahaan besar biasanya secara khusus disediakan dan diberi label
corporate social responsibility (CSR).

6.3 Beberapa Catatan

6.3.1 Kelebihan dan Kekurangan Model CGE


Model komputasi keseimbangan umum (computable general equilibrium,
CGE) merupakan evolusi dari model input-output (input-output model) dan model
pemrograman linier (linear-programming model)44. Namun, berbeda dengan model
input-output dan model pemrograman linier, model keseimbangan umum dapat
menampung hubungan yang tidak linier sehingga bisa mengatasi kekurangan model-
model sebelumnya. Oleh karena itu, model ekuilibrium umum dapat secara lebih
realistis dipergunakan untuk melakukan analisa suatu perekonomian dan dapat
dipergunakan sebagai suatu alat eksperimen ketika variabel-variabel kebijakan secara
eksogenus dapat dikuantifikasi (Bappenas, 2004).
Model CGE lebih unggul dari model ekonomi parsial. Model ekonomi parsial
hanya mampu menganalisis sebuah kasus dalam konteks pasar parsial, sementara dalam
44
Model input-output (input-output model) dan model pemrograman linier (linear-programming model)
sangat populer dan banyak dipergunakan antara kurun waktu tahun 1950 sampai dengan tahun 1970-
an.

164
dunia nyata gangguan yang dialami sebuah pasar berpeluang mempengaruhi
keseimbangan pasar parsial lain dalam perekonomian. Interaksi antarpasar parsial ini
yang lebih baik dijelaskan melalui model CGE. Selain itu, model ekonomi parsial
berlandaskan ilmu ekonomi mikro, sementara model ekonomi makro terfokus pada
analisis ekonomi agregat. Model CGE dapat berperan menjembatani keduanya.
Selanjutnya, formulasi model CGE berpeluang disesuaikan dengan ketersediaan data
pendukung (Hulu, 1997). Selain itu, kemampuan model CGE mengaitkan antara model
mikro, yaitu investasi di bidang infrastruktur, dengan model makro menjadi salah satu
daya tarik utama (Bappenas, 2004).
Terlepas dari semakin maraknya penerapan model CGE, masih disadari juga
bahwa secara umum terdapat beberapa kekurangan dari model CGE, yaitu sebagai
berikut.
(i) Simulasi CGE bersifat statis-komparatif. Persamaannya dan variabel yang
digunakan merujuk pada suatu kondisi tertentu. Oleh karena itu, semua hasil
simulasi harus diinterpretasikan sebagai ‘kondisi yang diperkirakan akan terjadi
setelah suatu kebijakan diterapkan dibandingkan dengan kondisi tanpa
kebijakan’.
(ii) Terdapat kesulitan dalam menginterpretasikan hasil ketika disagregasi dilakukan
terlalu rinci sehingga beberapa parameter harus diduga.
(iii) Penerapan model tidak bermanfaat jika menyangkut fenomena ekonomi mikro
yang tidak berhubungan dengan aspek ekonomi makro
(iv) Model itu tidak dapat digunakan sebagai metode untuk peramalan (Soetjipto,
2004).
Selain itu, berbagai pihak juga menyampaikan kritikan terhadap model CGE.
Devarajan (1994) mengemukakan bahwa kelemahan CGE diantaranya adalah hal-hal
berikut. (i) Pendekatan CGE dianggap terlalu matematis sehingga menjadi rumit. (ii)
Dalam model CGE terdapat banyak asumsi, bahkan termasuk asumsi yang tidak
realistis. (iii) Model CGE membutuhkan data yang sangat banyak. (iv) Sebagian besar
parameter diperoleh dengan tidak melalui metode ekonometrik, sementara belum
terdapat kesepakatan diantara para ahli mengenai besaran numerik dari masing-masing

165
parameter. (v) Model CGE tidak memberikan teori baru, tetapi hanya menjelaskan
kondisi yang ada. (vi) Model CGE adalah “kotak hitam” yang hanya dapat dimengerti
oleh yang mendalaminya (Nikensari, 2001).
Selain hal tersebut di atas, Iqbal (2001) juga menambahkan kritik terhadap
model CGE sebagai berikut. (i) Kualitas data. Data yang dipergunakan sangat
tergantung pada ketersediaan SAM yang hanya tersedia pada tahun tertentu saja.
Kondisi ini mengakibatkan anomali yang terjadi di luar tahun tersebut tidak akan dapat
terekam dalam model. Selain itu, proses memasukkan data kedalam matriks sering
melalui proses ’perubahan’ agar konsistensi secara mikro terjadi yang langsung dapat
mempengaruhi nilai parameter dalam model. (ii) Pemilihan parameter. Beberapa
parameter ditentukan berdasar literatur empiris, lainnya secara arbitrasi, dan sisanya
ditetapkan nilainya yang memungkinkan model untuk mereplikasi data. Pendekatan ini
telah dikritik oleh Jorgesen (1984), Lau (1984), Jorgensen dkk. (1992), Dievert dan
Lawrence (1994) dan Mckitrick (1998).
Bergman (1990) menanggapi kritik ini dengan menyatakan bahwa metode
CGE seharusnya dipandang sebagai pelengkap pendekatan analitis. Terdapat dua hal
yang mendasari pernyataan Bergman, yaitu sebagai berikut. (i) Pendekatan analitis
mengalami kesulitan ketika masalah yang dihadapinya sangat kompleks. (ii)
Pendekatan analitis mengalami kesulitan ketika besaran pengaruh eksogen menjadi
perhatian utama, seperti penerapan kebijakan berdampak luas (Soetjipto, 2004).

6.3.2 Kelemahan Model CGE Air Minum DKI Jakarta


Disadari bahwa sebuah model dibangun dengan berusaha untuk mendekati
kondisi sebenarnya. Namun, pada beberapa kondisi keinginan tersebut sulit terpenuhi
karena kondisi itu akan menjadikan sebuah model itu sangat rumit. Untuk itu,
digunakan beberapa asumsi atau pembatasan tertentu untuk menyederhanakan model.
Model yang dibangun untuk studi ini juga menggunakan pembatasan untuk
memudahkan penyusunan model.
Terdapat beberapa catatan penting mengenai model CGE pada penelitian ini
yang perlu disampaikan sehubungan dengan hasil simulasi di atas. Pertama, data yang
digunakan adalah data tahun 2000, sementara studi dilaksanakan pada tahun 2005

166
sehingga terjadi kesenjangan data selama 5 tahun. Hal ini menjadi salah satu kelemahan
dalam penggunaan model CGE karena kontinuitas ketersediaan data yang relatif
terbatas. Keterbatasan data disebabkan oleh keterbatasan data SNSE yang dikeluarkan
tidak setiap tahun. Kedua, proses kalibrasi untuk beberapa nilai koefisien dan variabel
hanya menggunakan satu tahun data sehingga kurang menggambarkan kondisi
sebenarnya. Ketiga, salah satu faktor yang kemungkinan dapat menjadi sumber
kesalahan dari model ini adalah proses penyesuaian data SNSE DKI Jakarta Tahun
2000. Struktur data SNSE standar perlu disesuaikan agar data air minum dapat menjadi
kategori sendiri dari sebelumnya yang menyatu dengan data gas dan listrik. Proses ini
memerlukan kecermatan khusus, terutama terkait dengan definisi kerja/operasional45
yang jelas sehingga proses pendetailan data berlangsung secara benar. Keempat,
penghitungan distribusi pendapatan tidak dapat dilakukan dalam model secara langsung
tetapi harus dilakukan di luar model. Hal ini cukup menyulitkan jika jumlah simulasi
cukup banyak. Akibat lainnya, penghitungan distribusi pendapatan terpaksa hanya
dibatasi menggunakan Rasio Gini yang relatif lebih sederhana. Kelima, model ini
bersifat komparatif statik sehingga hanya dapat menggambarkan kondisi pada saat
tertentu saja. Keenam, penyediaan subsidi mengabaikan terjadinya kebocoran dalam
proses penyediaannya. Proses penyediaan air minum tidak akan dapat dibatasi hanya
pada kelompok tertentu saja sebagaimana dilakukan pada simulasi dalam model ini.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kebocoran, yaitu (i) kesulitan
mengenali secara tepat rumah tangga penerima, (ii) kebutuhan air minum adalah
kebutuhan dasar manusia sementara keterbatasan akses juga dialami oleh kelompok
selain rumah tangga miskin. Akibatnya, kelompok penerima manfaat juga akan
mencakup kelompok selain rumah tangga miskin. Ketujuh. tidak terekamnya
keberadaan rumah tangga miskin yang berlokasi di perumahan liar dikarenakan data
SNSE yang tersedia tidak mengakomodasinya.
Terlepas dari beberapa kendala yang ada, model ini terbukti cukup mampu
men-jelaskan kondisi air minum DKI Jakarta. Model ini juga dapat digunakan untuk
berbagai simulasi lain dengan beberapa penyesuaian minor. Model ini akan semakin

45
Misal pengelompokan air minum nonperpipaan yang sebenarnya berasal dari sumber air minum
perpipaan.

167
bermanfaat jika bersifat dinamis sehingga perubahan kebijakan dapat dianalisis lebih
tajam.

6.4 Studi Lanjutan


Penyusunan model CGE yang terfokus pada aspek mikro, seperti distribusi
pendapatan, sebaiknya menggunakan CGE micro simulation sehingga dampak terhadap
distribusi pendapatan dapat dihitung langsung di dalam model dengan menggunakan
berbagai metode mulai dari rasio Gini, FGT, dan lainnya. Selain itu, model tersebut
sebaiknya bersifat dinamis sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan prediksi
kondisi beberapa tahun ke depan.
Dibutuhkan data SNSE yang lebih detail menyangkut data air minum sehingga
model CGE air minum dapat menggambarkan lebih banyak persoalan yang terkait
dengan penyediaan air minum. Misalnya, secara khusus model CGE dapat
menggambarkan pengaruh dari keberadaan swasta dalam penyediaan air minum di DKI
Jakarta, dan pengaruh penyedia air minum skala kecil yang sampai saat ini masih
merupakan penyedia air minum yang cukup signifikan di DKI Jakarta.

168
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Aftab. Growth-cum-equity to Combat Poverty. The Social Policy and


Development Centre (SPDC), 2004.
Alesina, Alberto dan Dani Rodrik. Distributive Policies and Economic Growth.
Quarterly Journal of Economics 109 (2), 1994.
Alfarol, Raquel. Reaching the Urban Poor with Water and Sanitation Infrastructures:
Key Factors Not to Forget or Left Aside. Water and Sanitation Program, the World
Bank, Nopember 1997.
Anggraeni, Dewi. Analisis Dampak Kebijakan Tarif Angkutan Jalan Raya terhadap
Perekonomian dan Distribusi Pendapatan di DKI Jakarta: Sebuah Model
Computable General Equilibrium. Program Studi Ilmu Ekonomi Pasca Sarjana
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005.
Annez, Patricia dan Alfred Friendly. Cities in the Developing World: Agenda for Action
Following Habitat II. World Bank, 1996
Anwar, Alizar. Regulating Service for the Poor, Jakarta Indonesia. Jakarta Water
Supply Regulatory Board. Makalah pada World Water Forum 3, Osaka, 19 Maret
2003.
Argo, Teti. Thirsty Downstream: The Provision of Clean Water in Jakarta, Indonesia.
Disertasi tidak dipublikasikan. School of Community and Regional Planning,
University of British Columbia, Vancouver, Canada, 1999.
_________ dan Aprodicio A. Laquian. Privatization of Water Utilities and Its Effects
on the Urban Poor in Jakarta Raya and Metro Manila. Makalah disampaikan pada
Forum on Urban Infrastructures and Public Service Delivery for Urban Poor,
Regional Focus: Asia. New Delhi, 24-25 June 2004.
Azdan, M. Donny. Water Policy Reform in Jakarta, Indonesia: A CGE Analysis.
Unpublished Dissertation. The Ohio State University 2001.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Kebijakan Nasional Pembangunan Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat. 2003.
____________________________________. Kebijakan Nasional Pembangunan Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Lembaga. 2004.
Badan Pusat Statistik. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2000. Jakarta, 2003.
_________________. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004. Buku 1: Propinsi.
Jakarta, 2004.
_________________. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004. Buku 2:
Kabupaten. Jakarta, 2004.

169
Badan Pusat Statistik Propinsi DKI Jakarta. Evaluasi Keadaan Rumah Tangga Miskin
di DKI Jakarta 2003. Jakarta, 2004.
___________________________________. Evaluasi Program Pengentasan
Kemiskinan Terpadu DKI Jakarta 2000. Jakarta, 2001.
___________________________________. Indikator Kesejahteraan Rakyat Propinsi
DKI Jakarta 2003. Jakarta, 2004.
___________________________________. Statistik Kesejahteraan Rakyat Propinsi
DKI Jakarta 2004. Jakarta, 2005.
___________________________________. Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI
Jakarta Tahun 2000. Jakarta, 2002
___________________________________. Produk Domestik Regional Bruto. Jakarta,
berbagai tahun keluaran.
___________________________________. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI
Jakarta 2002. Jakarta, 2003.
Baharoglu, Deniz dan Christine Kessides. Urban Poverty. 2000
Balisacan, Arsenio M; Ernesto M. Pernia; Abuzar Asra. Revisiting Growth and Poverty
Reduction in Indonesia: What Do Subnational Data Show?. Bulletin of Indonesian
Economic Studies, Vol. 39 No. 3, December 2003.
Bappenas, BPS, UNPF. Proyeksi Penduduk Indonesia 2000-2005. Jakarta, 2005.
Barro, Robert J. dan Xavier Sala-I-Martin. Economic Growth. McGraw-Hill, Inc. New
York, 1995.
Basani, Marcello; Jonathan Isham, Barry Reilly. Water Demand and the Welfare
Effects of Connection: Empirical Evidence from Cambodia. Department of
Economics Middlebury College, Vermont, December 2004.
Basri, M. Chatib. Kemiskinan dan BBM. Kompas 13 Desember 2004.
Bigsten, Anne dan Jorgen Levin. Growth, Income Distribution dan Poverty: A Review.
Working paper in Economics No. 32. Department of Economics, Goteborg
University, 2000.
___________ dkk. Growth and Poverty in Ethiopia: Evidence from Household Panel
Surveys. Working Papers in Economics no 65, Department of Economics, Goteborg
University, January 2002.
Biro Pusat Statistik. Laporan Penyusunan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi:
Model Disagregat Statis. Jakarta, 1986
Black, Maggie. Thirsty Cities: Water, Sanitation and the Urban Poor. Laporan Water
Aid Day 1996 dan Habitat II 1996.
Boland, John J. dan Dale Whittington. The Political Economy of Increasing Block
Tariffs in Developing Countries. Tanpa penerbit dan tahun.

170
Bourguignon, Francois. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. World Bank,
Washington DC, 2004 (mimeo).
Briscoe, John. Managing Water as an Economic Good: Rules for Reformers. Makalah
pada The International Committee on Irrigation and Drainage Conference on Water
as an Economic Good. Oxford, 1997
Brodjonegoro, Bambang. Poverty Eradication in Indonesia Through Better Access to
Basic Infrastrutures. Department of Economics, University of Indonesia, 2003.
Brooke, Anthony dkk. GAMS A User’s Guide. GAMS Development Corporation, 1998.
Bruno, Michael; Martin Ravallion; dan Lyn Squire. Equity and Growth in Developing
Countries: Old and New Perspectives on the Policy Issues dalam Income
Distribution and High Quality Growth oleh Vito Tanzi dan Ke-young Chu ed.. MIT
Press, Massachusetts, Cambridge, 1998.
Cabrera, Luis Fernando Gallardo. The Involvement of the Private Sector in Water
Servicing: Effects on the Urban Poor in the Case of Aguascalientes, Mexico.
Greener Management International, 2003.
Cain, Allan; Mary Daly dan Paul Robson. Basic Service Provision for the urban poor:
the Experience of Development Workshop in Angola. International Institute for
Environment and Development, 1998
Cairncross, S. dkk. Water Supply and the Urban Poor. 1990.
Calaguas, Belinda dan Virginia Roaf. Access to Water and Sanitation by the Urban
Poor. Water Aid, September 2001.
Calderon, Cesar dan Luis Serven. The effects of Infrastructure Development on Growth
and Income Distribution. Central Bank of Chile, 2001.
_____________________________. The Effects of Infrastructure Development on
Growth and Income Distribution. 2004.
Catley-carison, Margareth. Why We Must Invest in Urban Water and Sanitation. World
Water Commission.
Cestti, R; R. Batia dan Caroline Van der Berg. Water Demand Management and
Pollution Control in the Jabotabek Region, Indonesia. Makalah tidak
dipublikasikan. World Bank, 1994.
Chisari, O; Estache A.; Romero C. Winners and Losers from Privatization and
Regulation of Utilities: Lessons from A General Equilibrium Model of Argentina.
The World Bank Economic Review, 13, 1999.
Coady, David P. dan Rebecca Lee Harris. A Regional General Equilibrium Analysis of
the Welfare Impact of Cash Transfers: An Analysis of Progresa in Mexico.
International Food Policy Research Institute, Washington, DC. USA, 2001.
Committee for Poverty Alleviation Reduction Strategy Paper. A Process Framework of
Strategic Formulation for Long Terms Poverty Alleviation. Jakarta, Maret 2003.

171
Conan, Herve. Scope and Scale of Small Scale Independent Private Water Providers in
8 Asian Cities. Preliminary Findings. Asian Development Bank, 2002.
Coolidge, Jacqueline G.; Richard C. Porter, Z. John Zhang. Urban Environmental
Services in Developing Countries. Working Paper No. 9,. University of Michigan,
December 1993.
Cord, Louise; J. Humberto Lopez; dan John Page. When I Use Word…Pro-Poor
Growth and Poverty Reduction. The World Bank, Washington DC., 2003.
Crane, R. Water Markets, Market Reform and the Urban Poor: Result from Jakarta,
Indonesia. Department of Urban and Regional Planning, University of California at
Irvine, 1994.
Damuri, Yose Rizal dan Ari A. Perdana. The Impact of Fiscal Policy on Income
Distribution and Poverty: A Computable General Equilibrium Approach for
Indonesia. Center for Strategic and International Studies, Jakarta, 2003.
Danielson, Anders. Growth Without Poverty Reduction? Examining Micro-Makro
Links in Tanzania. Department of Economics, University of lund, Sweden, 2004.
Dasgupta, Ani. Urban Poverty in East Asia. Focus on Indonesia, the Philippines, and
Vietnam. East Asia Urban Sector, World Bank, June 2002.
Debreu, G. Theory of Value. Wiley, 1959.
Decaluwe, Bernard, Jean-Christophe Dumont dan Luc Savard. Measuring Poverty and
Inequality in a Computable General Equilibrium Model. Universite Laval, Quebec
Canada, 1999.
Dervis, K. J. DeMelo dan S. Robinson. General Equilibrium Models for Development
Policy. Cambridge University Press, London, 1982.
Dinwiddy, C. L. dan F. J. Teal. The Two-Sector General Equilibrium Model. A New
Approach. Philip Allan/St. Martin’s Press, New York, 1988.
Dollar, David dan Aart Kraay (2002). Growth is Good for the Poor. Journal of
Economic Growth 7, 2002.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho. Air untuk Penduduk Miskin Jakarta. Percik. Media
Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Edisi April 2006.
Easterly, William. Inequality Does Cause Underdevelopment. Working Paper No. 1.
Center for Global Development, Washington DC, January 2002.
Estache, Antonio. Andres Gomez-Lobo, Danny Leipziger. Utilities Privatization and
the Poor: Lessons and Evidence from Latin America. World Development Vol. 29,
2001.
_______________; Vivien Foster; Quentin Wodon. Making Infrastructure Reform
Work for the Poor: Policy Options based on Latin American Experience. LAC
Regional Studies Program, WBI Studies in Development, Finance, Private Sector
and Infrastructure Department, 2002.

172
_______________. Emerging Infrastructure Policy Issues in Developing Countries: A
Survey of the Recent Economic Literature. The World Bank, 2004.
Forbes, Kristen. A Reassessment of the Relationship between Inequality and Growth.
American Economic Review 90, 2000.
Foster V. Literature Review for Regional Studies Project on Privatization and
Infrastructure Services of the Urban Poor. Mimeo, World Bank, Washington DC.,
1999.
Giggacher, Manfred. Water Supply Concession as a Tool for City Sustainability. Trials,
Experiences and Lessons Learnt. Jakarta, 2001.
Girianna, Montty. Private Involvement in Water Supply Industry: Clean and Potable
Water Provision in the Capital City. Makalah internal tidak diterbitkan. Direktorat
Permukiman dan Perumahan Bappenas, Juni 2004.
Gleick, P. H.; G. Wolff dan E. L. Chalecki. The Risks and Benefits of Globalization and
Privatization of Fresh Water. The Pacific Institute, Oakland, CA, 2002.
Gulyani, Sumila; Debabbrata Talukdar dan R. Mukami Kariuki. Water for the Urban
Poor: Water Markets, Household Demand and Service Preferneces in Kenya. The
World Bank, 2005.
Hadad, Ismid. Pembangunan Berkelanjutan dan Perubahan Pola Produksi yang
Ramah Lingkungan. Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum
Nasional, Bali Juli 2003.
Hansen, Stein dan Ramesh Bhatia. Water and Poverty in A Macro-Economic Context.
Januari 2004.
Hartono, Djoni. Analisis Dampak Kebijakan Harga Energi terhadap Perekonomian
dan Distribusi Pendapatan di DKI Jakarta: Aplikasi Model Komputasi
Keseimbangan Umum (Computable General Equilibrium Model). Tesis tidak
dipublikasikan. Program Ilmu Ekonomi, Program Pasca Sarjana, Fakultas Ekonomi,
2002.
____________. Dampak Kebijakan Harga, Subsidi dan Efisiensi Konsumsi Bahan
Bakar Minyak, Gas dan Listrik terhadap Perekonomian di Indonesia. Disertasi
tidak Dipublikasikan. Program Ilmu Ekonomi, Program Pasca Sarjana, Fakultas
Ekonomi, 2006.
Hewings, Geoffrey J.D. Strategic Economic Analysis for Regional Investment
Planning: A Review, Evaluation and Strategy for Regional and Interregional
Modelling in Indonesia. Report No. 70. Natural Resources Management Project,
Bappenas-Ministry of Forestry-USAID, Jakarta, 1996.
Howard, Guy dan Amaka Obika dalam Water and Poverty: The Themes. A Collection
of Thematic papers. ADB, 2004.
Hoesoe, Nobuhiro. Computable General Equilibrium Modeling with GAMS. National
Graduate Institute for Policy Studies, 2004.

173
Hughes, G. A. The Distributional Impact of Commodity Taxes and Subsidies. Bulletin
of Indonesian Economic Studies. Vol. 17, November 1981.
Hulu, Edison. Aplikasi Model Komputasi Keseimbangan Umum untuk Analisis Dampak
Kebijakan Ekonomi Makro Terhadap Inflasi dan Distribusi Pendapatan di
Indonesia. Disertasi Tidak Dipublikasikan. Universitas Indonesia, 1997.
Iqbal, Zafar dan Rizwana Siddiqui. Critical Review of Literatura on Computabe
General Equilibrium Models. Pakistan Institute of Development Economics,
Islamabad, Pakistan 2001.
JICA. Study of the Revise of Jakarta Water Supply Development Project, 1997.
Jusmaliani; M. Thoha; Umi Karomah Yaumidin. Teori Privatisasi dan Kajian Empirik
dalam Jusmaliani ed. Optimalisasi Program Privatisasi. Pusat Penelitian Ekonomi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 2003.
Kariuki, Mukami. The Significance of Poverty in Urban Water Sector Reform dalam
New Design for Water and Sanitation Transactions. WSP-PPIAF, 2000.
Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Pertanyaan Penting tentang
Millennium Development Goals. Percik Media Informasi Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan. Februari 2004.
Kikeri, S dan Nellis, J. Privatisation in Competitive Sectors: The Record so Far.
Mimeo. Private Sector Advisory Services. World Bank, Washington D.C. 2001.
Kraay, Aart. When is Growth Pro-Poor? Cross-Country Evidence. World Bank Policy
Research Working Paper 3225, 2004.
Kuznets, Simon. Economic Growth and Income Inequality. American Economic
Review 45 (1), 1955.
Laifungbam, D. Roy. The Human Right to Water: Necessity for Action and Discourse,
12 Desember 2003.
Lalor, P dan Garcia, H. Reshaping Power Markets-Lessons from Chile and Argentina.
Public Policy for the Private Sector, Note No. 85. World Bank, Washington DC,
1996.
Lewis, Jeffrey D. A Computable General Equilibrium (CGE) Model of Indonesia.
Development Discussion Paper No. 378. Harvard Institute for International
Development, Harvard University, 1991.
Lofgren, Hans dkk. A Standard Computable General Equilibrium (CGE) Model in
GAMS. Discussion Paper No. 75. Trade and Macro Economics Division (TMD),
IFPRI, Washington D.C., 2001.
Lopez, J. Humberto. Pro-growth, Pro-poor: Is There a Trade-off?. World Bank,
Washington D. C., 2003.
_________________. Pro-poor Growth: A Review of What We Know (and of what we
don’t). The World Bank, Washington DC., 2004.

174
Mahi, B. Raksaka. The Welfare Análisis of Indonesian Income Tax: A CGE Approach.
Makalah pada Seminar Sehari “Macroeconomic Modelling in Developing
Countries” oleh LPEM-FEUI, Erasmus Universiteit Rotterdam dan JICA, Depok,
September 11, 1997.
______________. Pengantar Model CGE. Bahan Workshop Model CGE
diselenggarakan oleh Bank Mandiri. Bandung, 18 Januari 2003.
Manaf, Dewi Ratna Sari. Pengaruh Subsidi Harga Pupuk terhadap Pendapatan Petani:
Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Tesis tidak dipublikasikan. Program Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2000.
Mankiw, N. Gregory. Macroeconomics. New York, Worth Publishers, Inc, 1992.
McIntosh, Arthur C.. Asian Water Supplies. Reaching the Urban Poor. Asian
Development Bank and International Water Association, 2003.
Meggison, W. L. dan Netter, J. M. From State to Market: A Survey of Empirical
Studies on Privatisation. Journal of Economic Literature 39, 2001.
Mergos, George. Private Participation in the Water Sector: Recent Trends and Issues.
Makalah disampaikan pada 5th International Conference “Water Resources
Management in the Era of Transition”. European Water Resources Association
(EWRA) dan Technical University of Athens, September 2002.
Mosley, Paul. Severe Poverty and Growth: A Macro-Micro Analysis. Chronic Poverty
Research Center Working Paper 51. The University of Sheffield Department of
Economics, United Kingdom, 2004.
Mungkasa, Oswar. Dampak Privatisasi di Indonesia. Studi Kasus: Dampak Privatisasi
PT. Telekomunikasi Indonesia. Makalah tidak dipublikasikan. Jakarta, 2002.
______________. Sekali Lagi tentang Privatisasi. Percik. Media Informasi Air Minum
dan Penyehatan Lingkungan. Edisi Oktober dan Desember 2004.
Oxfam. Growth with Equity is Good for the Poor. June 2000.
Olmstead, Sheila M. Water Supply and Poor Communities: What’s Price Got to Do
with It?. Environment, Heldreft Publications, 2003.
PAM Jaya. Laporan Keuangan PAM Jaya Diaudit Tahun 1992 – 1995
_________. Proyeksi dan Realisasi Keuangan PAM Jaya Nopember 1995-Desember
1997.
Panennungi, Maddaremmeng A. Model CGE dengan Skala Ekonomis yang Meningkat
dan Persaingan Tidak Sempurna: Aplikasi pada Studi Kawasan Perdagangan
Bebas Asean-Cina. Disertasi tidak dipublikasikan. Program Studi Ilmu Ekonomi
Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.
Parker, David dan Colin Kirkpatrick. Privatisation in Developing Countries: A Review
of the Evidence and the Policy Lessons. July 2003.

175
Pemerintah DKI Jakarta. Perjanjian Kerjasama Penyediaan dan Peningkatan
Pelayanan Air Bersih di Wilayah Barat Jakarta antara PAM Jaya dengan PT. PAM
Lyonnaise Jaya. Kontrak. Februari 2000.
_________________. Perjanjian Kerjasama Penyediaan dan Peningkatan Pelayanan
Air Bersih di Wilayah Barat Jakarta antara PAM Jaya dengan PT. PAM Lyonnaise
Jaya. Lampiran. Februari 2000.
Perdana, Ary A. Masih tentang Subsidi. Kompas, 29 Januari 2005.
Pernia, Ernesto M. dan Stella LF. Alabastro. Aspects of Urban Water and Sanitation in
the Context of Rapid Urbanization in Developing Asia. Economic and Development
Resource Center, 1997.
Perry, C. J., M. Rock, dan D. Seckler. Water as an Economic Good: A Solution, or a
Problem?. International Irrigation Management Institute, Research Report 14, 1997.
PPIAF. Small-Scale Water Providers in Indonesia. Jakarta, 2005.
Pusat Studi Transportasi dan Logistik, Universitas Gajah Mada. Kajian Dampak
Pembangunan Infrastruktur terhadap Ekonomi Makro. Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian, Jakarta, 2003.
Pyatt, Graham. A SAM Approach to Modelling. Journal of Policy Modeling 10, 1988.
Ramamurti, R. Why are Developing Countries Privatizing. Journal of International
Business Studies No. 23, 1992.
Ravallion, Martin. Pro-Poor Growth: A Primer. World Bank, 2003.
______________. Growth, Inequality and Poverty: Looking Beyond Averages.
Development Research Group, World Bank, 2001.
Ray, Kalyan. Basic Service for the Urban Poor. World Habitat Day 2001.
Remi, Sutyastie S. dan Prijono Tjiptoherijanto. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di
Indonesia. Penerbit Rineka Cipta, 2002.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Dayaq Air.
________________. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005
tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.
________________. Indonesia. Progress Report on the Millenium Development Goals.
2004.
Rietveld, Piet; Jan Rouwendal; dan Bert Zwart. Block Rate Pricing of Water in
Indonesia: An Analysis of Welfare Effects. Bulletin of Indonesian Economic Studies
Vol. 36 No. 3 December 2000.
Robinson, Sherman dan Karen Thierfelder. A Note on Taxes, Prices, Wages, and
Welfare in General Equilibrium Models. International Food Policy Research
Institute, Washington DC., 1999.

176
________________, dan Moataz El-Said. GAMS Code for Estimating A Social
Accounting Matrix (SAM) Using Cross Entropy (CE) Methods. International Food
Policy Research Institute, Washington, USA, 2000.
Rosen, Harvey S. Public Finance. Seventh Edition. McGraw-Hill International Edition,
2005.
Round, Jeffrey. Social Accounting Matrices and SAM-Based Multiplier Analysis dalam
The Impact Economic Policies on Poverty and Income Distribution. Evaluation
Techniques and Tools oleh Francois Bourguignon dan Luiz A. Pereira da Silva ed.
The World Bank dan Oxford University Press, Washington, 2003.
Rutherford, Thomas dan Sergey Paltsev. From an Input-Output Table to a General
Equilibrium Model: Assessing the Excess Burden of Indirect Taxes in Russia.
University of Colorado, USA, 1999.
Satterwaithe, David; Nick Johnstone and Libby Wood. Helping Poorer Urban
Households and Neighbourhoods Secure Access to Adequate Water and Sanitation.
Institute for Environment and Development, Nopember 1998.
Sadoulet, Elisabeth dan Alain de Janvry. Quantitative Development Policy Analysis.
The Johns Hopkins University Press, Baltimore, 1995.
Sekretariat Subsidi Energi Air Bersih. Pedoman Umum. Program Penanggulangan
Dampak Pengurangan Subsidi Energi untuk Penyediaan Prasarana Air Bersih
Tahun Anggaran 2002. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002.
Shirley, M. M. dan Walsh, P. Public versus Private Ownership: The Current State of
the Debate. Mimeo. World Bank, Washington D.C., 2001.
Shofiani, Nur Endah. Reconstruction of Indonesia’s Drinking Water Utilities.
Assessment and Stakeholder’s Perspectives of Private Sector Participation in the
Capital Province of Jakarta. Unpublished Master Thesis. Department of Land and
Water Resources Engineering. Royal Institute of Technology, Stockholm, 2003.
Shoven, John B. dan John Whalley. Applying General Equilibrium. Cambridge
University Press. Tanpa Tahun.
Sibarani, Mauritz H. M. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Indonesia (26 Propinsi di Indonesia Tahun 1983-1997). Tesis. Program Pasca
Sarjana, Program Studi Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, 2002.
Siregar, P. Raja dkk. Politik Air. Penguasaan Asing Melalui Utang. WALHI dan KAU,
2004.
Snell, Suzanne. Water and Sanitation Services for the Urban Poor. Small-Scale
Providers: Typology and Profiles. UNDP-World Bank Water and Sanitation
Program, 1998.
Soebagjo, Felix O. Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara Lainnya: Pandangan dari
Sudut Hukum. Makalah pada Seminar Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara
Lainnya tanggal 14-15 Mei 1996 di Jakarta.

177
Soetjipto, Widyono. Dampak Liberalisasi Sektor Pangan pada Distribusi Pendapatan
dan Kemiskinan di Indonesia. Aplikasi Model Simulasi Mikro dan Makro CGE.
Disertasi tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Depok, 2004.
Solo, Tova Maria. Small-scale Entrepreneurs in the Urban Water and Sanitation
Market. Environment and Urbanization, Vol. 11, No. 1, April 1999.
Stiglitz, Joseph E. Economics of the Public Sector. Third Edition. New York, W. W.
Norton and Company, 2000.
Stottmann, Walter. The Role of the Private Sector in the Provision of Water and
Wastewater Services in Urban Areas dalam Juha I. Uitto dan Asit K. Biswas. Water
for Urban Areas. Challenges and Perspectives. United Nations University Press,
New York, 2000.
Sugiyarto, Guntur, Adam Blake dan M. Thea Sinclair. Optimal Allocation of
Commodity Taxation in the Second Best Situation. University of Nottingham
Bussiness School, Jubilee Campus, UK. Tanpa Tahun.
Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Edisi Kedua. PT. Raja Grafika
Utama, Jakarta, 1994.
Suratman, Eddy. Analisis Dampak Kebijakan Pengembangan Kawasan Perbatasan
terhadap Kinerja Perekonomian Kalimantan Barat: Suatu Studi dengan Pendekatan
Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi tidak dipublikasikan. Program Studi Ilmu
Ekonomi, Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, 2004.
Surjadi, Charles. Drinking Water Concessions. Water, Engineering and Development
Centre, Lougborough University, 2003.
Tan, N. Rebuilding Malaysia Inc. In-dept Report. Meryll Lynch, New York, 2000.
Thorbecke, E. The Social Accounting Matrix and Consistency Type Planning Models
dalam G. Pyatt dan J. I. Round ed. Social Accounting Matrices: A Basis for
Planning. World Bank, Washington, 1985.
___________. Social Acoounting Matrices and Social Accounting Analysis dalam
Methods of Interregional and Regional Analysis oleh Walter Isard dkk. Ashgate,
USA, 1998.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia. Kemiskinan di
Indonesia: Perkembangan Data dan Informasi Mutakhir 2002-2004. Jakarta, 2005.
Tim Koordinasi Pengelolaan dan Pengendalian Program Penanggulangan Dampak
Pengurangan Subsidi Energi. Program Penanggulangan Dampak Pengurangan
Subsidi Energi (PPD-PSE). Jakarta, 2001.
Timmer, C. Peter. The Road to Pro-Poor Growth: the Indonesian Experience in
Regional Perspective. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 40, No. 2,
2004.
Tutuko, Kris. Jakarta Water Supply. Jakarta, 2002.

178
Tynan, Nicola. Private Participation in Infrastructure and the Poor: Water and
Sanitation. Makalah disampaikan pada Infrastructure for Development: Private
Solutions and the Poor. 31 Mei – 2 Juni 2000, Inggris.
Vos, Rob dan Maritza Cabezas. Illusions and Disillusions with Pro-poor Growth.
SIDA, 2005.
UN Habitat. Waking Up to Realities of Water and Sanitation Problems of Urban Poor.
Virgiyanti, Tri Dewi. BATAM: Air Mengalir Lewat Kios. Percik, Media Informasi Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan, Edisi Oktober 2004.
WaterAid. E-WaterAid Volume 33, 22 Juni 2005.
Water Academy. Water for All. An Overview of the Studies Conducted on the Right to
Drinking Water and Water Solidarity. January 2004
Water and Sanitation Program. New Designs for Water and Sanitation Transactions.
Making Private Sector Participation Work for the Poor. Public-Private
Infrastructure Advisory Facility, 2000.
Water Utility Partnership Africa. Better Water and Sanitation for the Urban Poor.
Good Practice from Sub Sahara Africa. European Communities and Water Utilities
Partnership, Kenya, 2003.
Weitz, Almud dan Richard Franceys ed. Beyond Boundaries. Extending Services to the
Urban Poor. Asian Development Bank, 2002.
Winpenny, James. Financing Water for All. Report of the World Panel on Financing
Water Infrastructure. World Water Council dan Global Water Partnership, Maret
2003.
World Bank. Agricultural Growth for the Poor. An Agenda for Development.
Washington, 2005.
__________. Growth and Poverty. World Bank Poverty Net.
__________. World Development Report 1994: Infrastructure for Development. Oxford
University Press, 1994.
__________. Toolkits for Private Participation in Water and Sanitation. Washington
DC., 1997.
__________. Urban Poverty in EastAsia. A Review of Indonesia, the Philippines and
Vietnam. Urban Sector Development Unit. East Asia Infrastructure Department,
September 2003
__________. Indonesia. Enabling Water Utilities to Serve the Urban Poor. Jakarta,
Januari 2006.
World Health Organization. Evaluation of the Costs and Benefits of Water and
Sanitation Improvements at the Global Level. 2004.

179
Wuryanto, L.E.. Fiscal Decentralization and Economic Performance in Indonesia: An
Inter-regional Computable General Equilibrium Approach. Unpublished Ph.D.
Dissertation, Cornell University, 1996.

180
LAMPIRAN 1

KONSEP dan DEFINISI

1. Klasifikasi Neraca SNSE


a. Faktor Produksi
Faktor produksi dibedakan atas tenaga kerja, dan bukan tenaga kerja
(modal air minum, dan modal lainnya).
b. Institusi
Institusi dibedakan dalam 3 klasifikasi yaitu pemerintah, swasta dan rumah
tangga.
• Pemerintah Æ pemerintah daerah DKI Jakarta
• Swasta Æ swasta yang menjalankan operasinya di DKI Jakarta
• Rumah Tangga (RT)
Rumah tangga dibedakan menjadi dua yaitu rumah tangga biasa dan
rumah tangga khusus. Pada studi ini hanya konsep rumah tangga biasa yang
dipergunakan, dan selanjutnya disebut rumah tangga.
Rumah tangga adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami
sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya makan bersama
dari satu dapur. Makan dari satu dapur dimaksudkan sebagai mengurus
kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu
Rumah tangga dalam kerangka SNSE DKI Jakarta 2000 ukuran 38x38
dibedakan dalam 3 golongan rumah tangga, sementara pada SNSE ukuran
103x103 maka terdapat 10 golongan rumah tangga.
Tiga golongan RT dirinci berdasarkan (i) 40 persen RT dengan
pengeluaran konsumsi terendah, (ii) 40 persen RT dengan pengeluaran
konsumsi menengah, dan (iii) 20 persen golongan RT dengan pengeluaran
konsumsi tertinggi.
Sepuluh golongan RT dirinci berdasarkan pengelompokan 10 persen RT
dengan pengeluaran konsumsi terendah sebagai golongan RT I, 10 persen
RT berikutnya sebagai golongan RT II, dan seterusnya.
(Statistik Kesejahteraan Rakyat Propinsi DKI Jakarta 2004, BPS Propinsi
DKI Jakarta).
c. Sektor Produksi
Merupakan penggabungan klasifikasi lapangan usaha pada Tabel I-O DKI
Jakarta Tahun 2000 menjadi 27 kegiatan/sektor produksi pada SNSE DKI
Jakarta ukuran 45x45.

181
2. Kategori Sumber Air
a. Air minum adalah sumber air yang berasal dari air yang telah diproses menjadi
jernih sebelum dialirkan kepada konsumen melalui instalasi berupa saluran air
(Statistik Kesejahteraan Rakyat Propinsi DKI Jakarta 2004, BPS Propinsi DKI
Jakarta). Air minum sering disebut juga air ledeng (Keadaan Sosial Ekonomi
Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta)
b. Air ledeng lainnya adalah sumber air yang berasal dari perusahaan air minum
tetapi cara mendapatkannya tidak dari saluran yang langsung ke rumah tangga
tersebut. Misal air dari penjaja keliling, diperoleh dari tetangga (rumah tangga
lain) yang tidak dalam satu bangunan fisik (Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk
DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta)
c. Sumur/perigi adalah jenis sumber air yang berasal dari dalam tanah yang
digali, cara pengambilan airnya dengan menggunakan gayung atau ember baik
dengan atau tanpa katrol. Dikategorikan sebagai terlindung bila lingkar mulut
sumur dilindungi oleh tembok paling sedikit 0,8 meter di atas tanah dan
sedalam 3 meter dibawah tanah dan disekitar mulut sumur terdapat lantai semen
sejauh 1 meter dari lingkar luar sumur (Statistik Kesejahteraan Rakyat Propinsi
DKI Jakarta 2004, BPS Propinsi DKI Jakarta).
d. Pompa adalah jenis sumber air yang cara pengambilan airnya dengan
menggunakan pompa tangan/pompa listrik (Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk
DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta). Bila rummah tangga
menggunakan sumur tetapi menggunakan pompa untuk menaikkan airnya maka
(i) jika permukaan sumur terbuka, dikategorikan sumber air sumur terlindung;
(ii) jika permukaan sumur tertutup, dikategorikan sebagai sumber air pompa
(Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI
Jakarta)
e. Mata air adalah ari yang berasal dari bumi yang timbul dengan sendirinya di
permukaan tanah. Dikategorikan sebagai terlindung bila mata air tersebut
terlindung dari air bekas pakai, bekas mandi, mencuci atau lainnya (Keadaan
Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta)
f. Air sungai adalah air yang diperoleh dari sungai (Keadaan Sosial Ekonomi
Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI Jakarta)
g. Air hujan adalah air yang diperoleh dengan cara menampung air hujan
(Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI
Jakarta)
h. Lainnya adalah sumber selain yang disebut di atas seperti waduk/danau
(Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk DKI Jakarta 2002, BPS Propinsi DKI
Jakarta)
3. Perusahaan Air Minum adalah perusahaan/usaha yang melakukan kegiatan
pengadaan, penjernihan, penyediaan dan penyaluran air minum secara langsung

182
melalui pipa penyalur atau mobil tangki kepada pelanggan ke rumah tangga,
industri dan konsumen lainnya dengan tujuan komersil. Perusahaan yang dicakup
adalah Perusahaan Air Minum (PAM), Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
dan Badan Pengelola Air Minum (BPAM) maupun perusahaan/usaha swasta
lainnya (Statistik Air Bersih 1998-2002, Badan Pusat Statistik)
4. Kategori Fasilitas Air Bersih/Air Minum
a. Fasilitas air minum adalah instalasi air minum yang dikelola oleh
PAM/PDAM atau non PAM/PDAM, termasuk sumur pompa. Instalasi yang
dikelola oleh non PAM/PDAM dapat menggunkan cara yang sama atau berbeda
dengan PAM/PDAM.
b. Sendiri, bila fasilitas air minum hanya digunakan oleh rumah tangga responden
saja
c. Bersama, bila fasilitas air minum digunakan oleh rumah tangga bersama
dengan beberapa rumah tangga tertentu (paling banyak 5 rumah tangga)
d. Umum, bila fasialitas air minum digunakan oleh rumah tangga mana saja (tidak
melihat asal tempat tinggal), baik membayar maupun tidak membayar
e. Tidak ada, bila rumah tangga tidak mempunyai fasilitas air minum tertentu.
Misalnya mengambil air langsung dari sungai atau air hujan (Evaluasi Keadaan
Rumah Tangga Miskin 2003, BPS Propinsi DKI Jakarta)
5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai barang dan jasa yang
diproduksi di daerah tertentu dalam satu tahun. Pengertian bruto adalah mengacu
pada pemanfaatan faktor produksi yang juga mencakup milik daerah lain dalam
proses produksi (Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, Edisi Kedua,
PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1994)
6. Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang diterima oleh rumah tangga
bersangkutan, baik yang berasal dari pendapatan kepala rumah tangga maupun
pendapatan anggota rumah tangga. Pendapatan rumah tangga berasal dari balas jasa
faktor produksi tenaga kerja (upah, gaji, keuntungan, bonus dan lainnya), balas jasa
kapital (bunga, dividen, bagi hasil dan lainnya), dan pendapatan yang berasal dari
pemberian pihak lain (transfer) (SNSE DKI Jakarta 2000, BPS Propinsi DKI
Jakarta)
7. Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah pengeluaran rumah tangga untuk
barang dan jasa, tidak termasuk pengeluaran transfer karena sudah tercakup dalam
neraca transfer rumah tangga (SNSE DKI Jakarta 2000, BPS Propinsi DKI Jakarta)
8. Tabungan rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga yang tidak dikonsumsi
habis. Dalam SNSE, tabungan rumah tangga masih merupakan konsep Bruto karena
masih mengandung unsur penyusutan barang modal yang digunakan untuk usaha
rumah tangga (SNSE DKI Jakarta 2000, BPS Propinsi DKI Jakarta)
9. Pengeluaran konsumsi pemerintah adalah pengeluaran pemerintah untuk barang
dan jasa (upah dan gaji, pembelian ATK dan lainnya), tidak termasuk pengeluaran

183
transfer karena sudah tercakup dalam neraca transfer pemerintah (SNSE DKI
Jakarta 2000, BPS Propinsi DKI Jakarta)
10. Pendapatan disposebel (Disposable Income) adalah pendapatan yang telah
dikurangi pajak (Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, Edisi Kedua,
PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1994).

184
LAMPIRAN 2
FUNGSI PENTING dalam MODEL CGE

A.1 Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Fungsi produksi Cobb_Douglas yang dipergunakan dan diperkirakan berdasarkan


penelitian yang dilakukan oleh Cobb dan Douglas (1928) dinyatakan dengan persamaan
sebagai berikut:

Q = Aδt Lα K β …………………………………..(1)

dimana:

Q : Output
K : Kapital
L : Tenaga kerja
A : Konstanta keadaan teknologi
β : Parameter dengan nilai 0 ≤ β ≤ 1
α : Parameter dengan nilai 0 ≤ α ≤ 1
ρ : Parameter dengan nilai ρ ≥ −1
δ : Tingkat perubahan output dari waktu ke waktu dengan input yang tetap

A.2 Fungsi Produksi Elastisitas Substitusi Konstan (Constant Elasticity of Substitution,


CES)

Fungsi ini mengukur proporsi perubahan suatu faktor produksi yang disebabkan oleh
perubahan marjinal dari faktor produksi lainnya. Elastisitas substitusi diperkenalkan untuk
pertama kalinya secara terpisah oleh Arrow, Chenery, Minhas dan Solow (1961). Fungsi
produksi CES dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

( )
1
Q = γ αK − ρ + [1 − α ]L− ρ E (U ) ………………………….. (2)

ρ

dimana:

Q : Output
K : Kapital
L : Tenaga kerja
γ : Parameter dengan nilai γ > 0
α : Parameter dengan nilai 0 ≤ α ≤ 1
ρ : Parameter dengan nilai ρ ≥ −1
E (U ) : (
Tingkat kesalahan dengan nilai E U K , L = 0)
Berdasarkan persamaan (1) dapat diturunkan produk marjinal dari modal (marginal
product of capital, MPK) dan produk marjinal dari tenaga kerja (marginal product of labor,
MPL) yang masing-masing dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

185
(1+ ρ )
{
MPK = f K = γ αK − ρ + (1 − α )L− ρ } −
ρ αK − ρ −1 …………………. (3)

(1+ ρ )
{
MPL = f L = γ αK − ρ + (1 − α )L− ρ }

ρ (1 − α )L− ρ −1 …………………. (4)

CES mengukur persentase perubahan suatu faktor produksi yang disebabkan oleh
perubahan marjinal dari faktor produksi lainnya dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

⎛L⎞
d ln⎜ ⎟
σ =− ⎝K⎠ (2.5)
⎛ f ⎞
d ln⎜⎜ L ⎟⎟
⎝ fK ⎠

A.3 Fungsi Produksi Elastisitas Transformasi Konstan (Constant Elasticity of


Transformation, CET)

Fungsi CET hampir sama dengan fungsi CES, dengan perbedaan mendasar terletak
pada nilai parameter ρ yang bernilai positip, berbeda dengan nilai parameter ρ yang negatip
pada fungsi CES.

A.4 Fungsi Produksi Leontief

Fungsi Produksi Leontief mempergunakan asumsi bahwa output yang akan dihasilkan
tergantung kepada komposisi input produksi dengan perbandingan yang selalu sama.
Berdasarkan Fungsi Produksi Leontief tersebut apabila diinginkan peningkatan output produksi
maka diperlukan peningkatan seluruh input dengan perbandingan yang tetap dan proporsional.

A.5 Asumsi Armington

Ketika model menjadi terbuka, dibutuhkan perubahan terkait dengan substitusi diantara
barang domestik, ekspor dan impor. Masalah ini disebabkan perdagangan dua arah dalam
statistik perdagangan yang kemudian dituangkan dalam bentuk data ekspor dan data impor.
Sebagai ilustrasi, ekspor beras 100 ton dan impor beras 20 ton pada saat yang bersamaan.
Seharusnya kita tidak perlu melakukan impor. Masalah ini diselesaikan dengan melakukan
substitusi barang domestik, impor dan ekspor. Barang ekspor dianggap berbeda dengan barang
impor.
Formula Armington yang memperlakukan suatu produk sejenis yang diproduksi di
negara yang berbeda sebagai produk yang berbeda, perbedaan dari produk tersebut menurut
teori di dalam model Hecksher-Ohlin diasumsikan bahwa produk sejenis yang diproduksi di
negara berbeda adalah homogen untuk semua negara. Formula ini diambil untuk
mengakomodasikan fenomena dalam suatu negara yang mempunyai dua jenis barang, yaitu
barang impor maupun domestik adalah jenis barang yang sama (cross hauling)46.

46
Shoven and Whalley (1984)

186
LAMPIRAN 3

SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

1 Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE)

1.1 Pengertian SNSE

SNSE merangkum berbagai variabel sosial dan ekonomi secara kompak dan terpadu
untuk memperlihatkan gambaran umum mengenai perekonomian satu negara47 dan keterkaitan
antara variabel sosial dan ekonomi pada waktu tertentu (BPS, 1990).
Kerangka SNSE sebagai suatu sistem analisis dapat dipahami dengan mempelajari
hubungan timbal balik antara struktur produksi, distribusi pendapatan dari kegiatan produksi
serta konsumsi, tabungan dan investasi.

1.2 Prinsip dan Dasar Pemikiran

SNSE dibentuk atas dua prinsip dasar, yaitu (i) sebagai sistem kerangka data yang
bersifat modular yang dapat menghubungkan variabel-variabel ataupun subsistem-subsistem
yang terdapat di dalamnya secara terpadu, (ii) sebagai suatu sistem klasifikasi data yang
konsisten dan komprehensif, sehingga dapat digunakan sebagai alat analisis ekonomi-sosial
terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan
ketenagakerjaan (BPS DKI Jakarta, 2002).
Penyusunan kerangka SNSE dimulai dengan dasar bahwa masyarakat mempunyai
kebutuhan dasar yang umumnya dipenuhi dengan pembelian berbagai komoditas. Permintaan
efektif terhadap paket kebutuhan tersebut dipenuhi oleh sektor produksi yang menghasilkan
berbagai output komoditas. Namun, untuk menghasilkan output tersebut sektor produksi
memerlukan faktor-faktor produksi antara lain tenaga kerja yang dipenuhi oleh sektor rumah
tangga dan modal dari sektor perbankan. Permintaan turunannya (derived demand) terhadap
faktor produksi tenaga kerja memberikan balas jasa berupa upah dan gaji, sedangkan terhadap
faktor produksi kapital berupa keuntungan, deviden, bunga dan lainnya.
Dalam SNSE, distribusi pendapatan yang diterima oleh masing masing faktor produksi
dirinci menurut sektor ekonomi yang bersangkutan dan disebut sebagai distribusi pendapatan
faktorial. Nilai tambah (value added) dihasilkan dari penjumlahan total upah dan gaji ditambah
dengan pendapatan kapital, dimana total nilai tambah menunjukkan pendapatan domestrik
bruto (PDB).
Pendapatan faktorial diterima oleh pelaku ekonomi seperti rumah tangga, perusahaan
dan pemerintah. Kontribusi pada pendapatan rumah tangga ditunjukkan dengan pendapatan
faktorial yang diterima oleh rumah tangga. Pendapatan itu dibelanjakan sesuai dengan
kebutuhan mereka dan sisanya ditabung dalam sistem perbankan sebagai pembentukan modal
atau investasi. Bagi rumah tangga, hal ini disebut sebagai pola pengeluaran rumah tangga.
Demikian juga pendapatan faktorial yang diterima oleh pemerintah, setelah dibelanjakan,
sisanya ditabung atau digunakan untuk melakukan investasi lain seperti infrastruktur, sistem
irigasi dan sebagainya (BPS, 1993). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.1.

47
Lingkup SNSE tidak hanya suatu negara tetapi juga dapat mencakup sistem perekonomian yang lebih
kecil seperti propinsi, kabupaten, kota. Bahkan dapat juga mencakup sistem perekonomian yang lebih
besar dari negara misalnya benua atau region seperti Asia Tenggara.

187
Gambar C.1 Sistem Modular SNSE

Kebutuhan Dasar

Pengeluaran Rumah Tangga

Permintaan Distribusi Pendapatan


Investasi
Akhir Investasi Rumah Tangga
Konsumsi
Pemerintah

Ekspor, Impor, dan Neraca


Pembayaran Pemerintah

PDB dan
Kegiatan Produksi Distribusi Pendapatan

Sumber: BPS DKI Jakarta, 2002

Dalam kerangka SNSE terdapat 3 tahap pemetaan yang dilakukan untuk membedakan
proses, yaitu (i) struktur produksi, (ii) distribusi nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor
produksi (distribusi pendapatan faktorial), dan (iii) pendapatan, konsumsi, tabungan dan
investasi (distribusi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga).

1.3 Kerangka Dasar SNSE

SNSE merupakan sebuah matriks yang merangkum neraca sosial dan ekonomi secara
menyeluruh. Kumpulan-kumpulan neraca (account) tersebut dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yakni kelompok neraca-neraca endogen dan kelompok neraca-neraca eksogen.
Secara garis besar kelompok neraca-neraca endogen dibagi dalam tiga blok, yaitu (i) blok
neraca-neraca faktor produksi (blok faktor produksi), (ii) blok neraca-neraca institusi (blok
institusi), dan (iii) blok neraca-neraca aktivitas produksi (blok kegiatan produksi).
Setiap neraca dalam SNSE disusun dalam bentuk baris dan kolom. Vektor baris
menunjukkan perincian penerimaan, sedangkan vektor kolom menunjukkan perincian
pengeluaran. Untuk kegiatan yang sama, jumlah baris sama dengan jumlah kolom, dengan
kata lain jumlah penerimaan sama dengan pengeluaran. Untuk setiap baris, kolom 5
merupakan penjumlahan dari kolom 1,2,3 dan 4. Demikian pula untuk setiap kolom, baris 5
merupakan penjumlahan dari baris 1,2,3 dan 4. Karena jumlah penerimaan sama dengan
pengeluaran, maka baris 5 merupakan transpose dari kolom 5. Hasil selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 4.1
Di dalam tabel SNSE di atas terdapat beberapa matriks. Pertama. Matriks T yang
merupakan matriks transaksi antar blok dalam neraca endogen. Kedua. Matriks X yang

188
menunjukkan pendapatan neraca endogen dari neraca eksogen. Ketiga. Matriks L yang
menunjukkan pengeluaran neraca endogen untuk neraca eksogen, disebut juga leakages.
Keempat. Matriks Y yang merupakan pendapatan total dari neraca endogen. Kelima. Matriks Y’
yang merupakan pengeluaran total dari neraca endogen.
Matriks T sebagai matriks transaksi antar blok di dalam neraca endogen dapat ditulis
sebagai berikut.
⎡0 0 T1.3 ⎤

T = ⎢T2.1 T2.2 0 ⎥⎥
⎢⎣ 0 T3.2 T3.3 ⎥⎦

Sebagai salah satu submatriks dari SNSE, matriks T juga menggambarkan transaksi
penerimaan dan pengeluaran, dengan lingkup yang lebih sempit, yakni di dalam neraca
endogen.

Tabel C.1
Kerangka Dasar SNSE
Pengeluaran
Neraca Endogen
Neraca
Faktor Institusi Kegiatan Total
Eksogen
Produksi Produksi
1 2 3 4 5
T13 X1 Y1
N Distribusi Pendapatan Jumlah
e Faktor 1 0 0 Nilai Eksogen Pendapatan
r Produksi Tambah Faktor Faktor
a Produksi Produksi
c
a T21 T22 X2 Y2
P Pendapatan Transfer Pendapatan Jumlah
E E Institusi 2 Institusi dari Antar 0 Institusi Pendapatan
N n Faktor Institusi Dari Institusi
E d Produksi Eksogen
R o T32 T33 X3 Y3
I g Kegiatan 3 0 Permintaan Transaksi Ekspor Jumlah
M e Produksi Akhir Antar Dan Output
A n Domestik Kegiatan Investasi Kegiatan
A (I-O) Produksi
N L1 L2 L3 R
Neraca 4 Pengeluaran Tabungan Impor dan Transfer Jumlah
Eksogen Eksogen pajak Antar Pendapatan
Faktor Tak langsung Eksogen Eksogen
Produksi
Y1’ Y2’ Y3’
Jumlah 5 Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran Pengeluaran
Faktor Institusi Kegiatan Eksogen
Produksi Produksi
Sumber: diolah dari Thorbecke, 1988

189
Tabel C.2
Ringkasan Kerangka Dasar Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Neraca Penerimaan Pengeluaran


Faktor Produksi Y1 = T1.3 + X 1 Y1' = T2.1 + L1
Institusi Y2 = T2.1 + T2.2 + X 2 Y2' = T2.2 + T3.2 + L2
Sektor Produksi Y3 = T3.2 + T3.3 + X 3 Y3' = T1.3 + T3.3 + L3
Sumber: Manaf, 2000

Apabila dibaca per baris, matriks T menunjukkan penerimaan salah satu blok dari blok
yang lain. Pada baris satu, T1.3 menunjukkan penerimaan faktor produksi dari kegiatan
produksi. Pada baris dua, T2.1 menunjukkan penerimaan institusi dari faktor produksi dan T2.2
menunjukkan penerimaan institusi dari institusi itu sendiri. Pada baris tiga, T3.2 menunjukkan
penerimaan kegiatan produksi dari institusi dan T3.3 menunjukkan penerimaan kegiatan
produksi dari kegiatan produksi itu sendiri.
Sebaliknya jika dibaca per kolom, matriks T menunjukkan pengeluaran salah satu blok
untuk blok yang lain. Pada kolom satu, T2.1 menunjukkan pengeluaran faktor produksi untuk
institusi. Pada kolom dua, T2.2 menunjukkan pengeluaran institusi untuk institusi itu sendiri
dan T3.2 menunjukkan pengeluaran institusi untuk kegiatan produksi. Pada kolom tiga, T1.3
menunjukkan pengeluaran kegiatan produksi untuk faktor produksi dan T3.3 menunjukkan
pengeluaran kegiatan produksi untuk kegiatan produksi itu sendiri.
Gambar C.2
Penyederhanaan Pola Transaksi Antar Blok dalam SNSE

Aktifitas
Produksi
T33
Pola Pengeluaran Nilai Tambah
Konsumsi
T32 T13

Institusi T21 Faktor Produksi


(termasuk distri- (distribusi
busi pendapatan Distribusi Pendapatan pendapatan dari
rumah tangga) faktor produksi)
T22 T22
Sumber: Thorbecke (1988)

190
Ditinjau dari sama tidaknya blok yang bertransaksi, maka di dalam matriks transaksi T
diatas terdapat transaksi yang terjadi antar blok yang berbeda seperti T1.3 , T2.1 , T3.2 dan yang
terjadi di dalam blok yang sama seperti T2.2 dan T3.3 . Hubungan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 4.2. Tanda panah dalam Gambar 4.2 menunjukkan aliran uang.
Penjelasan lebih rinci dari tiap matriks sebagai berikut.
(i) Pada baris satu, T1.3 menunjukkan alokasi nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai
sektor produksi ke faktor produksi, sebagai balas jasa dari penggunaan faktor produksi
tersebut. Misalnya upah dan gaji sebagai balas jasa bagi penggunaan faktor produksi
tenaga kerja.
(ii) Pada baris dua, T2.1 menunjukkan alokasi pendapatan faktor produksi ke berbagai
institusi, yang umumnya terdiri dari rumah tangga, pemerintah dan perusahaan. Matriks
ini merekam distribusi pendapatan dari faktor produksi ke berbagai institusi. T2.2
menunjukkan transfer pembayaran antar institusi. Misalnya pemberian subsidi dari
pemerintah ke rumah tangga.
(iii) Pada baris ketiga, T3.2 menunjukkan permintaan terhadap barang dan jasa oleh institusi.
Artinya jumlah uang yang dibayarkan institusi ke sektor produksi untuk membeli barang
dan jasa yang dikonsumsi. T3.3 menunjukkan permintaan barang dan jasa antarindustri
atau transaksi antarsektor produksi.

2 Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) DKI Jakarta Tahun 200048

2.1 Konsep dan Definisi

Secara garis besar konsep dan definisi dari klasifikasi kerangka SNSE DKI Jakarta
Tahun 2000 sebagai berikut:

a. Neraca Faktor Produksi


Neraca faktor produksi dibedakan atas tenaga kerja dan bukan tenaga kerja (atau
modal). Tenaga kerja dibedakan menurut jenis dan status pekerjaan dari tenaga kerja, yang
terdiri dari tenaga kerja pertanian, tenaga kerja produksi, operator alat angkutan, manual (buruh
kasar), tenaga kerja tata-usaha, penjualan dan jasa-jasa, tenaga kepemimpinan, ketatalaksanaan,
militer, profesional dan teknisi, ekivalen tenaga kerja49.
Faktor produksi tenaga kerja menerima upah dan gaji (termasuk imputasi upah dan
gaji) sebagai balas jasa bagi penyertaan faktor produksi tenaga kerja dalam kegiatan ekonomi.
Sementara faktor produksi modal menerima keuntungan, dividen, bunga, sewa rumah sebagai
balas jasa bagi penyertaan faktor produksi modal dalam kegiatan ekonomi.

48
Dikutip dengan beberapa penyesuaian dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta 2000. BPS
DKI Jakarta, 2002.
49
Ekivalen Tenaga Kerja (ETK) adalah sepadan dengan satu tenaga kerja yang bekerja selama 40 jam
seminggu. Ukuran ETK dimaksudkan untuk mengakomodasi tenaga kerja yang bekerja di beberapa
sektor atau untuk tenaga kerja yang bekerja kurang atau lebih dari jam kerja normal (40 jam seminggu).
Ukuran ini berbeda dengan yang digunakan dalam tabel I-O yang menggunakan ukuran orang (BPS
DKI Jakarta, 2002)

191
b. Neraca Institusi
Neraca institusi dibedakan dalam tiga klasifikasi yaitu pemerintah (DKI Jakarta),
swasta, dan rumah tangga. Pada SNSE DKI Jakarta 2000, rumah tangga dikelompokkan dalam
tiga golongan pada SNSE ukuran 38x38, dan 10 golongan pada SNSE ukuran 103x103.
Masing-masing klasifikasi neraca institusi didefinisikan sebagai (i) pemerintah adalah
pemerintah DKI Jakarta, (ii) swasta adalah swasta yang menjalankan operasi bisnis di DKI
Jakarta, dan (iii) rumah tangga adalah sekelompok orang yang tinggal dalam satu atap dan
makan dari satu dapur, yang bertempat tinggal di DKI Jakarta (BPS DKI Jakarta, 2002).
Pada SNSE ukuran 38x38, tiga golongan rumah tangga adalah (i) 40 persen rumah
tangga dengan pengeluaran konsumsi paling rendah; (ii) 40 persen golongan rumah tangga
dengan pengeluaran konsumsi menengah; (iii) 20 persen golongan rumah tangga dengan
pengeluaran konsumsi tertinggi.
Pada SNSE ukuran 103x103, rumah tangga diklasifikasikan dalam 10 golongan
berdasar pengelompokan 10 persen rumah tangga dengan tingkat konsumsi terendah sebagai
golongan I; 10 persen rumah tangga berikutnya sebagai golongan II, dan seterusnya hingga 10
persen rumah tangga terakhir dengan tingkat konsumsi tertinggi sebagai golongan X.

c. Neraca Sektor Produksi


Klasifikasi sektor produksi dalam kerangka SNSE DKI Jakarta 2000 merupakan
penggabungan klasifikasi lapangan usaha pada tabel I-O DKI Jakarta 2000. Pada SNSE ukuran
38x38, lapangan usaha digabungkan menjadi hanya 9 sektor produksi, sementara pada SNSE
ukuran 103x103 digabungkan menjadi 26 sektor produksi.

d. Neraca Lainnya
Neraca lain meliputi marjin perdagangan dan pengangkutan, neraca kapital, pajak tidak
langsung dan neraca luar negeri (luar DKI Jakarta).

2.2 Klasifikasi

Terdapat 3 klasifikasi SNSE DKI Jakarta 2000, yaitu (i) klasifikasi agregat ukuran
12x12, (ii) klasifikasi agregat ukuran 38x38, dan (iii) klasifikasi agregat ukuran 103x103. Pada
masing-masing klasifikasi SNSE DKI Jakarta 2000 tersebut terdapat empat neraca utama, yaitu
(a) faktor produksi, (b) institusi, (c) sektor produksi, (d) neraca lainnya. Perbedaan masing-
masing klasifikasi ditentukan oleh perbedaan rinciannya. Selengkapnya pada Lampiran 4.

192
Lampiran 4. Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta, 2000 (45x45; dalam Rp juta)
LABOR CAPAM CAPNAM VEPOIHH VEPOIIHH POORIHH POORIIHH MIDIHH MIDIIHH MIDIIIHH HIGHIHH HIGHIIHH VEHIGHH COMPANY GOVERN AGRI PLANT LIVESTOC
LABOR 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 81500.43 18973.74 14089.16
CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
CAPNAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 158717.64 24750.28 15966.03
VEPOIHH 1103375.70 0.00 703292.66 533.30 1070.60 868.25 1305.26 3672.63 4732.04 4566.80 6455.42 10018.16 23720.80 17355.82 26777.56 0.00 0.00 0.00
VEPOIIHH 2177006.66 0.00 481041.23 935.88 1878.77 1523.68 2290.57 6445.04 8304.17 8014.20 11328.51 17580.70 41627.22 38926.63 41236.28 0.00 0.00 0.00
POORIHH 2596843.46 0.00 707810.81 841.83 1689.97 1370.56 2060.38 5797.35 7469.65 7208.82 10190.06 15813.95 37443.94 2826.52 49588.07 0.00 0.00 0.00
POORIIHH 3633268.02 0.00 1117052.71 820.38 1646.91 1335.64 2007.89 5649.65 7279.34 7025.15 9930.44 15411.05 36489.96 32604.15 89803.99 0.00 0.00 0.00
MIDIHH 4064596.81 0.00 1324344.80 1853.70 3721.30 3017.96 4536.95 12765.72 16448.10 15873.76 22438.43 34822.18 82451.23 4958.81 71704.34 0.00 0.00 0.00
MIDIIHH 5143752.46 0.00 1854663.07 1264.99 2539.47 2059.50 3096.08 8711.52 11224.43 10832.49 15312.32 23763.18 56265.97 62064.42 141504.51 0.00 0.00 0.00
MIDIIIHH 6679774.06 0.00 2508930.62 1351.21 2712.56 2199.88 3307.11 9305.31 11989.50 11570.84 16356.02 25382.90 60101.10 29752.84 163838.97 0.00 0.00 0.00
HIGHIHH 7653883.89 0.00 3224056.68 3833.99 7696.73 6242.02 9383.73 26403.24 34019.47 32831.55 46409.21 72022.42 170533.18 163144.74 107050.72 0.00 0.00 0.00
HIGHIIHH 9716699.87 0.00 4567797.79 2546.81 5112.72 4146.40 6233.34 17538.92 22598.16 21809.06 30828.31 47842.44 113280.33 415548.00 453234.93 0.00 0.00 0.00
VEHIGHH 31077055.30 0.00 21436827.23 2550.57 5120.26 4152.52 6242.55 17564.81 22631.52 21841.26 30873.82 47913.06 113447.55 1164005.48 336633.55 0.00 0.00 0.00
COMPANY 0.00 168116.54 83118640.63 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 220284.77 0.00 0.00 0.00 0.00
GOVERN 0.00 7499.97 614047.80 3495.96 5028.23 8067.98 11618.48 8211.78 34627.35 14301.20 38569.60 71545.66 131656.32 657877.40 1575869.17 0.00 0.00 0.00
AGRI 0.00 0.00 0.00 8837.39 15430.29 19653.53 21782.34 26829.13 36757.61 42768.53 52967.23 66160.91 108813.04 0.00 0.00 3525.54 132.25 366.15
PLANT 0.00 0.00 0.00 703.77 1188.73 1557.08 1514.25 1965.02 2705.65 3485.19 3546.22 4234.58 6563.35 0.00 0.00 3.28 1116.00 16.60
LIVESTOC 0.00 0.00 0.00 963.18 1626.89 2131.02 2072.40 2689.33 3702.95 4769.82 4853.35 5795.43 8982.58 0.00 0.00 554.86 256.74 156.11
FISHERY 0.00 0.00 0.00 841.68 1895.13 2675.23 3038.88 4049.07 5548.98 6946.89 8558.33 11456.01 21872.96 0.00 0.00 8.03 0.00 12.78
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.22
FOODTOB 0.00 0.00 0.00 112556.59 159682.55 208937.87 228764.40 272869.25 354835.33 459007.27 509186.30 639136.85 1127327.61 0.00 0.00 0.00 0.00 8709.24
TEXLEATH 0.00 0.00 0.00 42169.48 59481.95 85453.64 106058.09 106470.34 165009.72 218295.92 255408.34 377227.96 820429.79 0.00 0.00 724.14 26.71 6.06
CHEBSRUB 0.00 0.00 0.00 20513.93 26938.42 34870.30 40065.78 47437.78 62645.41 81502.62 90975.19 111939.72 230729.04 0.00 0.00 10847.83 2006.53 1338.86
MACHINEQ 0.00 0.00 0.00 310.76 2907.14 6465.87 6916.98 4450.93 16300.02 47175.82 69039.49 132876.21 976778.01 0.00 0.00 174.90 38.76 1230.60
BBMBBG 0.00 0.00 0.00 3207.06 605.77 1347.31 1441.31 927.45 3396.48 9830.17 14385.97 27687.82 203534.19 0.00 0.00 258.73 14.08 1.04
PAPWOMET 0.00 0.00 0.00 5590.58 10751.04 14961.42 21509.93 26087.61 45667.71 55348.26 76003.21 116340.32 290961.17 0.00 0.00 1120.00 1112.44 188.52
LIGAS 0.00 0.00 0.00 17099.85 22295.19 29616.25 33822.37 45499.13 60685.15 82239.28 99650.74 140013.45 479244.53 0.00 0.00 2.50 299.25 153.57
WATPAM 0.00 0.00 0.00 2002.45 3271.91 3573.74 4585.03 4902.73 6913.92 9572.46 9933.09 12209.38 29139.51 0.00 0.00 0.00 0.34 33.86
WATNPAM 0.00 0.00 0.00 705.72 776.41 949.69 1352.34 1581.38 2268.60 3399.21 4199.71 5870.27 15012.67 0.00 0.00 0.00 0.14 0.00
COSTRUC 0.00 0.00 0.00 18.77 37.54 61.35 560.49 459.92 966.44 598.04 1195.06 3545.97 26718.50 0.00 0.00 1607.79 499.65 483.11
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 963195.64 158757.53 157407.26
HOTEL 0.00 0.00 0.00 11711.57 26769.30 15601.83 14459.23 15288.97 34944.28 37161.45 91910.66 157052.02 970197.41 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
REST 0.00 0.00 0.00 591155.79 621836.82 801287.01 886860.17 1003138.68 1302374.76 1748906.02 1815220.24 2403846.44 4208878.44 0.00 0.00 2058.94 0.00 280.26
TRANS 0.00 0.00 0.00 83697.09 120508.55 157451.74 189411.35 241887.03 350279.69 411816.90 452964.29 574411.38 1031177.94 0.00 0.00 35145.21 5824.48 5759.75
AIRSEA 0.00 0.00 0.00 27722.25 39914.98 52151.35 62737.05 80118.11 116020.05 136402.48 150031.36 190257.21 340836.73 0.00 0.00 35398.96 5834.59 5786.22
TRANSSEV 0.00 0.00 0.00 20066.24 28891.72 37748.79 45411.05 57992.01 83978.97 98732.41 108597.43 137714.16 246116.64 0.00 0.00 11068.87 1812.65 1798.00
COMSEV 0.00 0.00 0.00 2740.66 3709.15 6946.09 13601.44 40187.68 60885.21 108389.35 187927.70 327047.61 885735.08 0.00 0.00 330.37 54.02 28.62
BANKOSEV 0.00 0.00 0.00 1973.78 95023.33 22839.44 43705.09 7613.15 174538.40 41731.31 24249.28 355280.10 15358791.57 0.00 0.00 550.54 13.09 461.73
RENTSEV 0.00 0.00 0.00 209664.60 276870.03 364560.57 420620.50 549779.85 747306.49 962713.24 1123372.15 1592886.47 4231680.71 0.00 0.00 399.83 56.35 281.10
GOVSEV 0.00 0.00 0.00 20007.92 29154.39 37829.18 45548.08 61095.21 82412.00 113340.71 152381.92 256469.94 844173.79 0.00 9361349.90 211.42 116.36 28.24
SOSSEV 0.00 0.00 0.00 38803.03 70837.13 100493.37 131592.87 168371.93 379858.51 410801.75 528610.71 748238.37 1728483.06 0.00 0.00 87.30 0.00 293.45
HHSEV 0.00 0.00 0.00 71716.08 81649.83 87148.46 99812.67 150560.02 212938.22 264311.61 427633.89 824455.82 4828618.12 0.00 0.00 1183.66 426.16 54.14
CAPACC 0.00 0.00 0.00 69482.80 106971.38 198064.66 333792.15 393248.25 459527.65 577829.91 843096.31 1354517.88 1202048.14 9108855.68 767117.91 0.00 0.00 0.00
INTXSUB 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 31.72 7.03 3.33
ROW 12051972.18 0.00 7076243.62 529721.29 995096.56 1120539.72 2149454.64 2227295.56 2384289.68 3434585.17 4213607.25 4466778.69 13197245.24 175483738.08 805654.00 12700.52 2264.66 6181.99
TOTAL 85898228.41 175616.51 128734749.65 1914012.93 2842339.65 3449900.90 4962573.22 5664861.49 7338081.61 9527536.92 11558197.56 15425566.67 54287107.42 187401943.34 13991363.90 1321408.65 224393.83 221116.00

193
Lanjutan Lampiran 4 Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta, 2000 (45x45; dalam Rp juta)
FISHERY MINE FOODTOB TEXLEATH CHEBSRUB MACHINEQ BBMBBG PAPWOMET LIGAS WATPAM WATNPAM COSTRUC TRADE HOTEL REST TRANS AIRSEA TRANSSEV
LABOR 128427.32 112333.95 1666730.94 3900118.31 2397508.82 4549128.23 13634.88 2835232.37 1631068.72 127325.74 311.87 8866544.65 16196910.60 1073075.74 4457519.31 3111265.23 1025741.74 598166.77
CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 175616.51 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
CAPNAM 155436.54 1248092.55 3178448.49 6955554.15 4019017.24 9123076.72 66228.46 4205321.07 2957599.28 0.00 99213.12 11289174.53 17912479.11 1332444.63 3806259.71 1621119.37 1437696.81 1505947.91
VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGHIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGHIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
AGRI 0.31 0.00 538543.61 7658.56 12044.50 0.00 0.00 608.60 0.44 0.02 0.00 0.00 0.00 1167.55 259256.10 0.00 0.00 0.00
PLANT 132.54 36.59 0.00 0.00 10148.72 118.57 0.00 23288.46 0.01 0.01 0.00 111988.54 0.00 1167.36 14123.24 0.36 0.00 0.00
LIVESTOC 7.04 0.00 98727.27 1998.56 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 0.06 0.00 0.00 0.03 0.00 58109.41 0.15 0.00 0.00
FISHERY 7033.91 0.00 105299.75 0.00 74.08 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 276775.58 0.00 0.00 0.00
MINE 0.00 35.12 12.78 0.00 181.16 153.93 26.11 3179.96 5766.30 0.00 0.00 7056.07 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 7364.83 0.00 2172376.70 4302.54 16797.67 0.00 0.00 966.05 3.85 0.31 0.00 0.00 4243.41 105622.35 4060213.84 0.00 52617.38 0.00
TEXLEATH 2214.43 15276.22 16187.94 6276535.32 16450.97 5667.32 240.37 35074.92 15633.33 744.34 0.00 8834.96 109089.48 27792.66 98548.00 9274.60 25194.36 11397.15
CHEBSRUB 954.82 19942.99 236045.42 443692.36 2685009.03 623938.45 504.12 494472.27 26403.34 43283.70 0.00 960033.41 422136.38 17346.87 74066.28 28966.87 49707.24 3032.75
MACHINEQ 2129.79 62335.36 15011.78 64069.00 50812.21 6926031.68 343.61 183254.94 500214.17 6129.71 0.00 808581.15 162943.81 9061.13 38461.24 525801.34 77296.31 12874.49
BBMBBG 4978.41 11572.53 33388.10 91934.35 35627.93 63240.79 1038.11 98249.33 310858.93 2080.58 0.00 262637.61 132339.40 9438.22 95516.33 256095.93 126067.53 17277.87
PAPWOMET 745.25 8666.42 206165.64 199039.24 107927.57 1452624.61 252.48 2224226.76 66748.74 8283.57 10.19 4720963.13 412458.14 34246.07 175813.28 19749.86 30632.43 11729.72
LIGAS 752.32 2113.01 391415.80 277953.38 178444.29 346518.67 432.51 518033.25 897533.75 17883.00 0.00 155968.80 818276.28 264681.88 410952.26 39521.36 30114.59 39587.35
WATPAM 68.52 784.74 31115.56 39213.05 39658.43 42905.58 6.53 49360.41 48.43 6381.37 926.11 14296.83 15775.46 28108.31 24018.65 3907.51 22644.69 7427.81
WATNPAM 0.24 0.00 9161.19 7795.55 7455.78 18140.48 1.88 9812.85 2.71 0.00 0.00 47.18 923.60 4643.49 2219.32 0.00 0.00 0.00
COSTRUC 5766.61 53849.65 6221.00 4024.00 0.00 0.00 0.00 0.00 259987.62 14025.53 12.99 71168.39 385464.02 71949.85 130397.46 33981.47 67794.73 90010.38
TRADE 277225.53 18123.91 2558813.75 5864794.54 3820776.09 12753019.26 1839449.59 7894616.15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 0.00 1177.88 1094.65 1241.33 895.37 747.99 0.10 739.14 2901.90 873.37 0.00 10350.00 47658.47 23664.41 55531.23 5822.61 5308.47 35144.60
REST 6398.36 5789.85 2043.10 18200.66 4317.53 18885.70 0.26 30481.70 20353.25 3838.14 0.00 116284.51 702568.12 14812.98 216262.56 106523.68 18718.22 14807.18
TRANS 10105.05 36017.08 99725.82 227436.73 150206.79 476387.87 66967.78 342145.25 35788.36 3737.07 1.15 82125.02 657199.48 5166.22 21910.21 68318.78 4963.89 3315.11
AIRSEA 10289.70 5910.28 96327.58 229588.65 143350.50 475330.46 67603.71 292706.87 51578.78 57.39 0.00 1659.97 124589.09 485.54 9.62 24552.88 56241.26 3638.08
TRANSSEV 3165.28 4248.97 34273.38 82478.39 54064.25 153997.14 21004.57 99724.90 1178.70 44.43 0.00 4313.65 87878.10 4374.29 30213.97 225598.68 185467.15 103750.10
COMSEV 299.35 3712.65 71846.67 98890.13 168664.06 143050.19 957.22 245148.04 65196.48 1850.94 0.00 116540.42 650296.18 63730.56 231958.57 43889.27 56577.23 123425.35
BANKOSEV 2435.52 240553.95 285060.56 1316817.56 269837.23 1625824.57 829.83 335295.14 90507.71 8412.95 1.03 912278.39 1749525.71 273839.03 285411.16 193311.26 293988.62 18815.32
RENTSEV 181.82 113230.42 179253.44 1210557.17 472096.27 977160.02 44.59 351733.29 550309.07 3502.88 4.31 1274577.71 1283642.39 122249.59 326828.60 66177.19 122975.30 183795.54
GOVSEV 925.00 0.00 7617.16 0.00 0.00 48549.29 0.00 0.00 80895.28 2527.39 0.93 26790.27 7859.49 47587.44 98991.37 47507.36 12152.29 19943.76
SOSSEV 597.02 6898.69 37652.41 105547.44 85355.97 73689.04 7.99 60019.63 23260.22 590.20 0.00 86200.43 52419.10 105950.89 91380.96 12142.39 15948.67 20578.61
HHSEV 1293.11 25773.92 65190.70 53826.67 54403.96 100355.05 192.06 60539.18 5524.86 2802.54 0.00 97657.34 113192.91 16036.54 10198.36 289267.05 7513.34 23914.05
CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
INTXSUB 181.29 4246.29 24130.02 32059.19 -2600.54 57876.26 3.07 24962.26 -2108635.13 1478.22 0.00 118782.90 149979.02 71441.96 370026.65 28156.25 11394.67 7936.74
ROW 39309.39 395968.63 7380895.59 6380233.13 4402449.83 11851377.26 3438.05 6240392.27 2325178.56 41263.72 1.31 9011044.49 2199918.28 290301.37 4408203.50 1701743.85 1257120.73 125898.08
TOTAL 668419.30 2396691.65 19548776.80 33895559.96 19200975.71 51907795.13 2083207.88 26659585.06 7815907.89 472733.69 100483.01 39135900.35 44399766.06 4020386.94 20129176.77 8462695.30 4993877.65 2982414.72

194
Lanjutan Lampiran 4 Sistem Neraca Sosial Ekonomi DKI Jakarta, 2000 (45x45; dalam Rp juta)
COMSEV BANKOSEV RENTSEV GOVSEV SOSSEV HHSEV CAPACC INTXSUB ROW TOTAL
LABOR 2042336.59 11497395.09 6812199.88 5833639.47 3255546.52 3391181.47 0.00 0.00 260320.87 85898228.41
CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 175616.51
CAPNAM 3178628.27 15683659.06 11951690.34 955420.85 1245449.95 5114992.58 0.00 0.00 19492364.96 128734749.65
VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6267.93 1914012.93
VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4200.11 2842339.65
POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2945.53 3449900.90
POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2247.94 4962573.22
MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1327.40 5664861.49
MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1027.20 7338081.61
MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 964.00 9527536.92
HIGHIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 685.99 11558197.56
HIGHIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 349.59 15425566.67
VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 247.94 54287107.42
COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 103894901.40 187401943.34
GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -677796.72 11486743.72 13991363.90
AGRI 0.00 0.00 0.10 11512.77 21691.59 0.00 0.00 0.00 64900.56 1321408.65
PLANT 0.00 1.16 0.96 37.47 4793.73 8.09 17.50 0.00 29930.80 224393.83
LIVESTOC 0.00 0.00 0.00 1934.67 3839.72 0.00 1753.42 0.00 16190.78 221116.00
FISHERY 0.00 0.00 0.00 4100.39 58.19 0.00 0.24 0.00 208173.18 668419.30
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2380280.00 2396691.65
FOODTOB 0.80 0.44 0.69 63346.58 208563.14 1494.94 29604.41 0.00 8740243.61 19548776.80
TEXLEATH 10092.28 9797.96 54832.80 92103.89 122480.57 347717.26 350004.44 0.00 23997612.25 33895559.96
CHEBSRUB 10873.00 16110.73 425585.68 483567.39 581810.64 272072.39 106415.12 0.00 10413193.05 19200975.71
MACHINEQ 62172.67 25701.51 479773.72 214767.61 72543.76 198088.46 21841950.41 0.00 18302779.78 51907795.13
BBMBBG 27584.24 18605.62 125229.41 52153.09 24615.08 16039.23 1.88 0.00 0.00 2083207.88
PAPWOMET 117221.71 325818.83 396861.07 574821.08 322362.83 73943.78 1552300.25 0.00 12950330.20 26659585.06
LIGAS 159470.10 351496.89 866211.71 393493.69 217408.04 427021.33 2.37 0.00 0.00 7815907.89
WATPAM 8878.89 2642.60 22040.87 6936.34 13246.54 6579.45 -377.41 0.00 0.00 472733.69
WATNPAM 298.33 141.64 960.98 729.70 312.62 179.26 1540.07 0.00 0.00 100483.01
COSTRUC 510413.12 376623.47 1471866.40 1016219.18 120899.34 60776.79 34347695.72 0.00 0.00 39135900.35
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 883.68 0.00 8092703.13 44399766.06
HOTEL 27171.33 46019.48 124239.76 48532.96 20011.90 4942.00 4643.49 0.00 2176577.78 4020386.94
REST 34341.24 90432.09 166061.74 451023.84 36339.38 1349.97 2219.32 0.00 2661279.82 20129176.77
TRANS 17068.52 96752.52 83224.05 69884.75 12145.96 9530.57 0.00 0.00 2222235.87 8462695.30
AIRSEA 21749.10 1154.16 33661.76 34275.01 2198.41 67.62 6.00 0.00 2073633.89 4993877.65
TRANSSEV 33949.96 6391.68 62946.14 146697.95 7932.70 2614.67 0.00 0.00 746176.73 2982414.72
COMSEV 476388.17 1028217.01 763352.83 274957.55 122803.88 105105.56 298.33 0.00 2344149.15 8838888.77
BANKOSEV 171614.32 5875120.29 3710216.64 244801.12 99114.09 48808.08 141.64 0.00 5521562.92 39700895.45
RENTSEV 530210.01 2508612.44 2059004.44 263662.94 512068.34 312873.94 960.98 0.00 9444609.07 33350513.65
GOVSEV 76491.34 51702.04 352890.68 610842.94 206706.13 11061.95 729.70 0.00 665892.87 13381783.74
SOSSEV 53914.69 60551.96 506452.32 26457.42 385584.27 39184.83 25418.36 0.00 2574920.63 8757195.62
HHSEV 12419.74 62528.63 383849.69 68924.13 42195.62 22187.31 43860.82 0.00 2522578.45 11136734.71
CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 55903343.01 71317895.73
INTXSUB 23738.68 132209.74 101608.48 9.74 82767.61 36905.74 0.00 0.00 153502.09 -677796.72
ROW 1231861.67 1433208.41 2395750.51 1436929.22 1011705.07 632007.44 13007824.99 0.00 95287239.01 404648633.21
TOTAL 8838888.77 39700895.45 33350513.65 13381783.74 8757195.62 11136734.71 71317895.73 -677796.72 404648633.21

195
LAMPIRAN 5
PENYESUAIAN SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI

Tabel E.1
Penyesuaian Neraca Faktor Produksi Berdasar Ukuran SNSE
103x103 38x38 12x12 CGE
Pertanian* [1], [2]
Produksi, Operator alat angkutan,
Tenaga Buruh kasar* [3], [4]
Tenaga Tenaga Tenaga Kerja
Kerja Tata usaha, Penjualan, Jasa-Jasa*
Kerja [1] Kerja [1] [1]
[5], [6]
Kepemimpinan, Ketatalaksanaan,
Militer, Profesional, Teknisi* [7],
[8]
Modal Air
Minum
perpipaan**
[2]
Bukan
Modal [9] Modal
Tenaga
Modal Modal Bukan Air
Kerja
[2] [2] Minum
perpipaan**
[3]

Sumber: Diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.

Keterangan: *Keempat bagian ini masing-masing dipilah menjadi (i) penerima upah dan gaji; (ii)
bukan penerima upah dan gaji
**Modal air minum perpipaan dimaksudkan sebagai investasi yang ditanamkan pada sektor air
minum perpipaan. Modal bukan air minum perpipaan adalah investasi air minum yang ditanamkan
selain dari investasi air minum perpipaan , dan investasi lainnya.

196
Tabel E.2
Penyesuaian Neraca Institusi Berdasar Ukuran SNSE
103x103 38x38 12x12 CGE
Golongan I
Golongan I [10] Gol. Bawah [3]
[4]
Golongan II
Golongan II [11] Gol. Menengah [4]
[5]
Golongan III
Golongan III [12] Gol. Atas [5]
[6]
Golongan IV
Golongan IV [13]
[7]
Golongan V
Golongan V [14]
Rumah Rumah [8]
tangga [3] Golongan VI
Tangga Golongan VI [15]
[9]
Golongan VII
Golongan VII [16]
[10]
Golongan VIII
Golongan VIII [17]
[11]
Golongan IX
Golongan IX [18]
[12]
Golongan X
Golongan X [19]
[13]
Perusahaan
Perusahaan
Perusahaan Perusahaan [20] Perusahaan [6] [14]
[4]

Pemerintah Pemerintah Pemerintah


Pemerintah [21] Pemerintah [7]
[5] [15]
Sumber: Diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.

197
Tabel E.3 Penyesuaian Neraca Sektor Produksi Berdasar Ukuran SNSE

103x103 38x38 12x12 CGE

Pertanian tanaman pangan [22] Pertanian [8] Sektor Pro- Pertanian tanaman pangan [16]
duksi [6]
Tanaman hias [23] Tanaman hias [17]
Peternakan [24] Peternakan [18]
Perikanan [25] Perikanan [19]
Barang Tambang dan galian [26] Pertambangan [9] Barang Tambang dan galian [20]
Industri Makanan., Minuman dan Industri Makanan, Minuman dan
Industri [10]
Tembakau [27] Tembakau [21]
Industri tekstil, barang dari kulit dan alas Industri tekstil, barang dari kulit dan
kaki [28] alas kaki [22]
Industri pupuk, kimia dan barang dari Industri pupuk, kimia dan barang dari
karet [29] karet [23]
Industri Alat angkutan, mesin dan Industri Alat angkutan, mesin dan
peralatannya [30] peralatannya [24]
Industri bahan bakar, minyak dan gas
Industri bahan bakar, minyak dan gas [31] [25]
Industri Kayu. Kertas, semen, logam dan Industri Kayu. Kertas, semen, logam
lainnya [32] dan lainnya [26]
Listrik dan gas [33] Listrik, Gas dan Air Listrik dan gas [27]
Minum [11]
Air minum [34] Air minum perpipaan [28]
Air minum nonperpipaan*** [29]
Bangunan [35] Bangunan [12] Bangunan [30]

Perdag., Rest. & Perdagagangan Besar dan


Hotel [13] eceran [31]
Perdagagangan Besar dan eceran [36]
Hotel [37] Hotel [32]
Restoran [38] Restoran [33]
Angk. Jln raya [39] Angkutan dan Angk. Jln raya [34]
Komunikasi [14]
Angk. rel, laut, udara, ASDP [40]
Angk. rel, laut, udara, ASDP [35]
Jasa penunjang angk. [41] Jasa penunj. angk. [36]
Jasa komunikasi dan jasa penunjang Jasa komunikasi dan jasa penunjang
komunikasi [42] komunikasi [37]
Bank & lemb. Keu non bank [43] Bank & lemb. Keu.
[15] Bank & lemb. Keu non bank [38]
Sewa bang. & jasa perus. [44] Sewa bang. & jasa perus. [39]
Pemerintahan Umum [45] Jasa-jasa [16] Pemerintahan Umum [40]
Jasa sosial kemasy & hiburan [46] Jasa sos kemasy & hiburan [41]
Jasa perseorangan & RT [47] Jasa perseorangan & RT [42]
Sumber: diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.
***Sektor air minum nonperpipaanÆ kran umum, penjaja air keliling, air tanah dalam, air sumur, air
kemasan.

198
Tabel E.4 Penyesuaian Neraca Komoditi Domestik Berdasar Ukuran SNSE

103x103 38x38 12x12 CGE

Pertanian tanaman pangan [49] Pertanian [18] Sektor Produksi


[8]
Tanaman hias [50]
Peternakan [51]
Perikanan [52]
Pertambangan
Barang Tambang & Galian [53] [19]

Ind. Makanan, Minuman dan


Industri [20]
Tembakau [54]
Industri Tekstil, Brg dari kulit dan
alas kaki [55]
Ind. Pupuk, kimia dan brg dari karet
[56]
Ind. Alat angkutan, mesin dan
peralatannya [57]
Ind. Bahan bakar, minyak dan gas
[58]
Ind. Kayu. Kertas, semen, logam dan
lainnya [59]
Listrik dan gas [60] Listrik, Gas dan Air
Minum [21]
Air minum [61]

Bangunan [62] Bangunan [22]


Perdag. Besar dan eceran [63] Perdagn, Rest. &
Hotel [23]
Hotel [64]
Restoran [65]
Angk. Jln raya [66] Angkutan dan
Komunikasi [24]
Angk. Rel, laut, udara, ASDP [67]
Jasa penunjang angk. [68]
Jasa komunikasi dan jasa
penunjang komunikasi [69]
Bank dan lembaga keuangan non
Bank & Lembaga
bank [70]
Keuangan [25]

Sewa bang. & jasa perus. [71]


Pemerintahan Umum [72] Jasa-jasa [26]
Jasa sosial kemasy dan hiburan
[73]
Jasa perseorangan & RT [74]

Sumber: diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000

199
Tabel E.5
Penyesuaian Neraca Komoditi Luar Negeri Berdasar Ukuran SNSE

103x103 38x38 12x12 CGE


Pertanian tanaman pangan [75] Pertanian [27] Sektor produksi [9]
Tanaman hias [76]
Peternakan [77]
Perikanan [78]
Barang tambang & galian [79] Pertambangan [28]
Ind. Makanan, Minuman dan Industri [29]
Tembakau [80]
Industri Tekstil, Brg dari kulit dan alas
kaki [81]
Ind. Pupuk, kimia dan brg dari karet
[82]
Ind. Alat angkutan, mesin dan
peralatannya [83]
Ind. Bahan bakar, minyak dan gas [84]
Ind. Kayu. Kertas, semen, logam dan
lainnya [85]
Listrik dan gas [86] Listrik, Gas dan Air
Minum [30]
Air minum [87]

Bangunan [88] Bangunan [31]


Perdag. Besar dan eceran [89] Perdagn, Rest. & Hotel
[32]
Hotel [90]
Restoran [91]
Angk. Jln raya [92] Angkutan dan Komunikasi
[33]
Angk. Rel, laut, udara, ASDP [93]
Jasa penunjang angk. [94]
Jasa komunikasi dan jasa penunjang
komunikasi [95]
Bank dan lembaga keuangan non Bank & Lembaga
bank [96] Keuangan [34]

Sewa bang. & jasa perus. [97]


Pemerintahan Umum [98] Jasa-jasa [35]

Jasa sosial kemasy dan hiburan [99]


Jasa perseorangan & RT [100]
Sumber: diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.

200
Tabel E.6 Penyesuaian Neraca Lainnya Berdasar Ukuran SNSE

103x103 38x38 12x12 CGE


Marjin perdagangan dan Marjin perdagangan dan Marjin perdagangan
pengangkutan [48] pengangkutan [17] dan pengangkutan [7]
Neraca Kapital [101] Neraca Kapital [36] Neraca Kapital [10] Neraca Kapital
[43]
Pajak tidak langsung [102] Pajak tidak langsung Pajak tidak
Pajak tidak langsung [37] [11] langsung [44]
Bagian Lain dunia [103] Bagian Lain dunia [38] Bagian Lain
Bagian Lain dunia [12] dunia [45]
Sumber: diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.

Tabel E.7 Klasifikasi dalam Model CGE

Neraca Rincian
Tenaga Kerja 1
Faktor Modal Air Minum 2
Produksi
Modal Bukan Air Minum 3
Rumah Tangga Golongan I 4
Rumah Tangga Golongan II 5
Rumah
Rumah Tangga Golongan III 6
Tangga
Rumah Tangga Golongan IV 7
Rumah Tangga Golongan V 8
Rumah Tangga Golongan VI 9
Rumah Tangga Golongan VII 10
Rumah
Tangga Rumah Tangga Golongan VIII 11
Rumah Tangga Golongan IX 12
Rumah Tangga Golongan X 13
Perusahaan 14
Institusi
Pemerintah DKI Jakarta 15
Pertanian Tanaman Pangan 16
Tanaman Hias 17
Peternakan 18
Perikanan 19
Barang Tambang dan Galian 20
Industri Makanan Minuman dan Tembakau 21
Ind. Tekstil Brg dari Kulit dan Alas Kaki 22
Ind. Pupuk Kimia dan Brg dari Karet 23
Ind. Alat Angkutan Mesin dan Peralatannya 24
Bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Gas 25
Ind. Kayu Kertas Semen Logam dan Lainnya 26
Listrik dan Gas 27
Air Minum Perpipaan 28
Air Minum Nonperpipaan 29
Bangunan 30
Perdagangan Besar dan Eceran 31

201
Neraca Rincian
Hotel 32
Restauran 33
Angkutan Jalan Raya 34
Angkutan Rel Laut Udara dan ASDP 35
Jasa Penunjang Angkutan 36
Jasa Komunikasi dan Penunjang Komunikasi 37
Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank 38
Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan 39
Pemerintahan Umum 40
Jasa Sosial dan Kemasy. Dan Hiburan 41
Jasa Perseorangan dan Rumah Tangga 42
Neraca Kapital 43
Neraca 44
Pajak tak langsung
Lainnya
Neraca Luar Negeri 45
Sumber: diolah dari SNSE DKI Jakarta 2000.

202
LAMPIRAN 6

DEKLARASI INDEKS

1 Variabel dan Skalar

Variabel dan skalar diklasifikasikan berdasarkan kategori (i) blok harga, (ii)
blok produksi, (iii) blok faktor, (iv) blok pendapatan dan pengeluaran, dan (v) blok
neraca pembayaran. Variabel selengkapnya pada Tabel F.1

Tabel F.1 Definisi Model Skalar dan Variabel


BLOK HARGA
I, J Indeks seperangkat sektor produktif (27 sektor)
EXR Nilai tukar
PX (I) Harga output rata-rata
PN (I) Harga input antara
PV (I) Harga nilai tambah
PQ (I) Harga permintaan domestik rata-rata
PD (I) Harga penawaran domestic
PD (IE) Harga penawaran domestic barang ekspor
PK (I) Harga modal baru
PE (I) Harga domestik barang ekspor
PM (I) Harga domestik barang impor
PWE (I) Harga pasar ekspor (Rp)
PWM (I) Harga pasar impor (Rp)
PINDEX Indeks harga komposit
PINDOM Indeks harga domestic

BLOK PRODUKSI
TM (I) Tingkat Pajak Impor
ITX (I) Tingkat pajak tidak langsung
ALPHAX (I) Parameter perubahan/pergeseran fungsi produksi
ALPHAV(I) Parameter perubahan/pergeseran fungsi nilai tambah
IOMI (I,J) Koefisien tetap input bahan
X (I) Output sektor domestik komposit
XEX (I) Ekspor sektor ke domestic
XIM (I) Impor sektor dari domestic
XD (I) Penjualan domestic
Q (I) Penawaran barang komposit
IN (I) Input antara sektor komposit
VA (I) Nilai tambah sektor komposit

BLOK FAKTOR
F Indeks seperangkat faktor primer
F = {TK, Modal}
FD (F) Permintaan factor
LABFOR Total angkatan kerja
UNEMPL Total pengangguran
FACDEM (I,F) Permintaan faktor sector
WFDIST (I,F) Harga input proporsional faktor sektor
WA (F) Harga input faktor rata-rata
YF (F) Pendapatan factor

203
BLOK PENGELUARAN dan PENDAPATAN
CHS (I,H) Parameter pangsa konsumsi rumah tangga
CGS (I) Parameter pangsa konsumsi pemerintah
CD (I) Permintaan akhir konsumsi rumah tangga
HHSAV Tabungan rumah tangga
HHTAX Pajak pendapatan rumah tangga
YH (HH) Pendapatan rumah tangga
YCORP Pendapatan perusahaan
CORTCOR Transfer perusahaan ke perusahaan
CORSAV Tabungan perusahaan
CORTAX Pajak pendapatan perusahaan
CORBOR Pinjaman luar negeri perusahaan dari bagian lain dunia
CORAMOR Pembayaran amortisasi hutang luar negeri perusahaan
CORINTR Pembayaran bunga hutang luar negeri perusahaan
CGOV (I) Permintaan akhir konsumsi pemerintah
GOVSAV Tabungan pemerintah local
GOVTR(H) Transfer pemerintah ke rumah tangga
GOVFAM Pendapatan pemerintah dari modal air minum
GOVFNAM Pendapatan pemerintah dari modal nonair minum
GOVGOV Transfer pemerintah ke pemerintah
GR Pendapatan pemerintah local
GOVBOR Pinjaman luar negeri pemerintah
GOVAMOR Pembayaran amortisasi hutang luar negeri pemerintah
GOVINTR Pembayaran bunga hutang luar negeri pemerintah
GOVBUD Total konsumsi komoditi pemerintah
INDTAX Pendapatan pajak tidak langsung dari komoditi
TINDTAX Total penerimaan pajak tidak langsung
TARIFF Penerimaan biaya masuk

BLOK PENGELUARAN dan PENDAPATAN


INT(I,J) Permintaan antara sector
TOTINT(I) Total penggunaan antara
INVEST Total investasi
TMREAL Tingkat tarif riil
GRDP PDB riil
GDVA Nilai tambah domestic kotor
SAVING Total tabungan
DK (I) Investasi tetap per sektor tujuan
FXDINV Total investasi tetap
ID (I) Permintaan akhir investasi produktif
INV (I) Parameter pangsa stok persediaan

BLOK NERACA PEMBAYARAN


CURRACW Current account
SAVROW Tabungan luar negeri
FROW(F) Transfer pendapatan faktor ke bagian lain dunia
GOVROW Transfer pemerintah netto ke bagian lain dunia
CORROW Transfer perusahaan ke bagian lain dunia
HHTROW(H) Transfer rumah tangga ke bagian lain dunia
ROWHH (H) Pendapatan rumah tangga dari bagian lain dunia
ROWCOR Pendapatan perusahaan dari bagian lain dunia
ROWGOV Pendapatan pemerintah dari bagian lain dunia
ROWTAX Pendapatan pajak dari bagian lain dunia
ROWTRW Transfer dari bagian lain dunia ke bagian lain dunia
FIROW (F) Pendapatan faktor dari bagian lain dunia
FORINV Investasi asing dari bagian lain dunia

204
2 Parameter
2.1 Elastisitas Sektor
Elastisitas substitusi antara input diperlukan untuk memperkirakan fungsi
produksi CES. Elastisitas perdagangan juga dibutuhkan untuk memperkirakan CES
dan CET dalam persamaan ekspor impor. Data ini disediakan oleh SAM disertai
asumsi terkait teknologi dan sektor eksternal.
Tabel F.2 Elastisitas

ELASTISITAS
RHOX(I) Eksponen fungsi produksi
RHOEX(I) Eksponen fungsi ekspor
RHOIM(I) Eksponen fungsi impor
RHOV(I) Eksponen fungsi nilai tambah

2.2 Pemilihan Nilai Parameter


Nilai parameter bagi bentuk fungsi merupakan hal penting dalam menentukan
hasil simulasi kebijakan yang dihasilkan dari penerapan model. Prosedur yang paling
umum digunakan adalah memilih nilai parameter yang dikenal dengan istilah
kalibrasi. Parameter ataupun share pada Tabel F.3 merupakan parameter dari faktor
produksi, institusi, maupun sektor produksi.
Tabel F.3 Parameter

PARAMETER
TH(H) Patokan (benchmark) pajak pendapatan rumah tangga
MPS(H) Patokan kecenderungan marjinal menabung rumah tangga
CSAV Patokan tingkat tabungan perusahaan
CCOR Patokan tingkat pendapatan perusahaan
CTAX Patokan tingkat pajak pendapatan perusahaan
INVO(I) Patokan perubahan persediaan tingkat investasi
CGSO(I) Patokan pangsa (shares) konsumsi pemerintah
TGOV(H) Pangsa transfer pemerintah ke rumah tangga
ITXO(I) Patokan tingkat pajak tidak langsung
TMO(I) Patokan tingkat biaya masuk impor
ZZ(I) Pangsa investasi per sector
IO(I,J) Koefisien input-output
CHSO(I,H) Pangsa konsumsi rumah tangga
THS(H,HH) Pangsa transfer antar rumah tangga
TROWS(H) Pangsa transfer rumah tangga ke bagian lain dunia
THR(H) Transfer rumah tangga ke bagian lain dunia
CTH(H) Pangsa transfer perusahaan ke rumah tangga
SEDW(H,FLAB) Pangsa kepemilikan tenaga kerja dari rumah tangga
SFROW(F) Pangsa pendapatan faktor ke bagian lain dunia
SHHCPAM(H) Pangsa modal air minum perpipaan yang dimiliki rumah tangga
SHHCNPAM(H) Pangsa modal air minum nonperpipaan yang dimiliki rumah tangga
SGOVCPAM Pangsa modal air minum perpipaan yang dimiliki pemerintah
SGOVCNAM Pangsa modal air minum nonperpipaan yang dimiliki pemerintah

205
LAMPIRAN 7

UKURAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Salah satu ukuran ketidakmerataan pendapatan, yaitu suatu ukuran yang


membandingkan pendapatan seseorang atau sekelompok orang dengan orang atau kelompok
yang lain, yang sering dipergunakan adalah rasio Gini (disebut juga sebagai koefisien atau
indek Gini), ukuran World Bank (Todaro, 1987)
Rasio Gini dirumuskan sebagai berikut:

n
GR = 1− ∑ fpi(Fci + Fci−1 )
i=1

dimana:
G = Rasio Gini yaitu rasio antara persentase kumulatif jumlah golongan rumah tangga
dengan persentase kumulatif jumlah pendapatan golongan rumah tangga.
fpi = Frekuensi populasi dalam kelas pengeluaran.
Fci = Frekuensi kumulatif total dari kelas pengeluaran
Fci -1 = Frekuensi kumulatif total pengeluaran dari kelas pengeluaran i-1
Rasio Gini mempunyai nilai diantara 0 dan 1. Bila rasio Gini bernilai 0 berarti
distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat merata, sebaliknya bila bernilai 1
berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat tidak merata (Widyono, 2004).
Dalam kaitan ini Todaro (1987) mengatakan bahwa:
(i) Bila rasio Gini berada diantara 0,2 sampai dengan 0,35, maka distribusi
pendapatan disebut relatif merata.
(ii) Bila rasio Gini berada diantara 0,35 sampai dengan 0,50, maka distribusi
pendapatan disebut tidak merata.
(iii) Bila rasio Gini berada diantara 0,50 sampai dengan atau lebih dari 0,70, maka
distribusi pendapatan disebut sangat tidak merata (Suratman, 2004)

Tabel G.1 Perhitungan Rasio Gini DKI Jakarta Kondisi Awal (Tahun 2000)
Total Pendapatan Proporsi Proporsi
Golongan Jumlah Pendapatan per Total Total RT Yi Yi + Yi -1 P * (Yi + Yi-1)
Rumah Tangga penduduk Disposabel Kapita/tahun Pendapatan (Pi) (%) kumulatif
(jiwa) (Yi) (Rp. Ribu) Disposabel (%)
(Rp. Juta) (Yi) (%)
Sangat Miskin I 1.055.905 1.914.013 7.794 1,64 12,59 1,64 1,64 20,60625747
Sangat Miskin II 1.020.618 2.842.340 11.975 2,43 12,17 4,07 5,70 69,41323417
Miskin I 985.015 3.449.901 15.060 2,95 11,75 7,02 11,08 130,1860921
Miskin II 946.080 4.962.573 22.555 4,24 11,28 11,26 18,27 206,1887772
Menengah I 849.298 5.664.861 28.681 4,84 10,13 16,10 27,36 277,1236583
Menengah II 792.495 7.338.082 39.816 6,27 9,45 22,37 38,48 363,6562943
Menengah III 735.012 9.527.537 55.738 8,15 8,77 30,52 52,89 463,6726695
Tinggi I 696.575 11.558.198 71.350 9,88 8,31 40,40 70,92 589,1818095
Tinggi II 675.782 15.425.567 98.153 13,19 8,06 53,59 93,99 757,5198614
Sangat Tinggi 628.073 54.287.107 371.668 46,41 7,49 100,00 153,59 1150,468142
Jumlah 8.384.853 116.970.179 59.986 100,00 100 4028,016796

206
Rasio Gini = 1 - ∑ P*(Yi + Yi-1)/10000
= 1 - (4.028/10000)
= 1 - 0,40280168 Rasio Gini 0.59719832

Sedangkan ukuran World Bank menganalisa masalah ketidakmerataan pendapatan


dengan membagi penduduk menjadi tiga kelompok, yaitu 40 persen berpendapatan rendah, 40
persen berpendapatan menengah, dan 20 persen berpendapatan tinggi.
Kategori ketidakmerataan dapat diklasifikasikan berdasar penerimaan dari 40 persen
penduduk berpendapatan rendah, yaitu (i) menerima kurang dari 12 persen dari total
pendapatan, ketidakmerataan pendapatan disebut tinggi, (ii) menerima antara 12 persen
sampai dengan 17 persen dari total pendapatan, ketidakmerataan pendapatan disebut sedang,
dan (iii) menerima lebih dari 17 persen dari total pendapatan, ketidakmerataan pendapatan
disebut rendah (Remi, 2002).
Berdasarkan pada kategori di atas, penduduk berpendapatan rendah di DKI Jakarta
pada tahun 2000 hanya menerima sebesar 11,3 persen dari total pendapatan sehingga
ketidakmerataan pendapatan dikategorikan tinggi. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel G.2

Tabel G.2
Distribusi Pendapatan DKI Jakarta
Kondisi Awal (Tahun 2000)
Ukuran Bank Dunia

Total Proporsi Total


Kelompok Rumah Pendapatan Pendapatan
Tangga Disposebel Disposebel
Rp. Juta (%)
Miskin 13,168,827 11.3
Menengah 34,088,678 29.1
Tinggi 69,712,674 59.6
Total 116,970,179 100

Jika membandingkan pendapatan 10 persen penduduk berpendapatan paling rendah


dengan pendapatan 10 persen penduduk berpendapatan paling tinggi, didapatkan angka
sebesar 0,03526.

207
BIOGRAFI SINGKAT

Oswar Muadzin Mungkasa dilahirkan di Makassar, pada tanggal 26 Juli 1963.


Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya pada jurusan Teknik Planologi, Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1988. Selepas dari
ITB, ia sempat bekerja pada Lembaga Penelitian Planologi ITB, kemudian sejak tahun
1989 sampai tahun 1990 bekerja di Bank Panin. Selepas itu, ia bekerja sebagai
konsultan perencana kota dan wilayah pada berbagai perusahaan konsultan sampai
tahun 1992. Sejak tahun 1992, ia mulai bekerja di Bappenas sampai sekarang.
Pada tahun 1996 sampai 1998, ia mendapat tugas belajar di jurusan Urban and
Regional Planning, Graduate School of Public and International Affair (GSPIA),
University of Pittsburgh, USA dan mendapat gelar Master of Urban and Regional
Planning (MURP). Kemudian pada tahun 2000, sambil tetap bekerja di Bappenas,
dengan inisiatif pribadi ia melanjutkan pendidikan S-3 pada Program Studi Ilmu
Ekonomi, Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dengan
kekhususan Ekonomi Publik.
Pada saat ini ia bekerja di Direktorat Permukiman dan Perumahan Bappenas,
sekaligus juga terlibat sebagai anggota Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan (Pokja AMPL).

208
Program CGE Air Minum DKI Jakarta

*$ONTEXT
$TITLE MODEL COMPUTABLE GENERAL EQUILIBRIUM (CGE) AIR MINUM DKI JAKARTA
$STITLE I. Model awal dibangun oleh Budy P. Resosudarmo (2000)
$STITLE II. Model dimodifikasi oleh Donny Azdan untuk disertasi di University
$STITLE of Ohio (2001)
$STITLE III. Model diperbaharui oleh Oswar Mungkasa untuk disertasi Universitas
$STITLE Indonesia (2006) dengan judul
$STITLE Pengaruh Investasi Air Minum terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan
$STITLE Distribusi Pendapatan di DKI Jakarta
*$$OFFSYMLIST OFFSYMXREF
*$OFFTEXT

*#########################CGE MODEL##################################
* SECTION I DATA SPECIFICATION AND BENCHMARKING

SETS
F Faktor Produksi
/ LABOR Tenaga Kerja
CAPAM Kapital Air Minum Perpipaan
CAPNAM Kapital Bukan Air Minum Non Perpipaan dan lainnya /

H Rumah Tangga
/ VEPOIHH RT dgn income kurang dari 192000 rupiah
VEPOIIHH RT dgn income antara 192001-240000 rupiah
POORIHH RT dgn income antara 240001-316000 rupiah
POORIIHH RT dgn income antara 316001-420000 rupiah
MIDIHH RT dgn income antara 420001-536000 rupiah
MIDIIHH RT dgn income antara 536001-740000 rupiah
MIDIIIHH RT dgn income antara 740001-995000 rupiah
HIGIHH RT dgn income antara 995001-1400000 rupiah
HIGIIHH RT dgn income antara 1400001-2850000 rupiah
VEHIGHH RT dgn income lebih dari 2850000 rupiah /

GH(H) Rumah Tangga mendapat subsidi WATPAM

/ VEPOIHH RT dgn income kurang dari 192000 rupiah


VEPOIIHH RT dgn income antara 192001-240000 rupiah
POORIHH RT dgn income antara 240001-316000 rupiah
POORIIHH RT dgn income antara 316001-420000 rupiah /

NGH(H) Rumah Tangga tidak mendapat subsidi WATPAM

/ VEPOIHH RT dgn income kurang dari 192000 rupiah


VEPOIIHH RT dgn income antara 192001-240000 rupiah
POORIHH RT dgn income antara 240001-316000 rupiah
POORIIHH RT dgn income antara 316001-420000 rupiah
MIDIHH RT dgn income antara 420001-536000 rupiah
MIDIIHH RT dgn income antara 536001-740000 rupiah
MIDIIIHH RT dgn income antara 740001-995000 rupiah
HIGIHH RT dgn income antara 995001-1400000 rupiah
HIGIIHH RT dgn income antara 1400001-2850000 rupiah
VEHIGHH RT dgn income lebih dari 2850000 rupiah /

OI Institusi Lainnya
/ COMPANY Perusahaan
GOVERN Pemerintah DKI Jakarta /

Disertasi OM Final I-1


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

I Barang dan Sektor Produksi


/ AGRI Pertanian Tanaman Pangan
PLANT Tanaman Hias
LIVESTOC Peternakan
FISHERY Perikanan
MINE Barang Tambang dan Galian
FOODTOB Industri Makanan Minuman dan Tembakau
TEXLEATH Industri Tekstil Barang dari Kulit & Alas kaki
CHEBSRUB Industri Pupuk Kimia dan Barang Dari Karet
MACHINEQ Industri Alat Angkutan Mesin dan Peralatannya
BBMBBG Bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Gas
PAPWOMET Industri Kayu Kertas Semen Logam dan Lainnya
LIGAS Listrik Gas
WATPAM Air Minum Perpipaan
WATNPAM Air Minum Nonperpipaan
COSTRUCT Bangunan
TRADE Perdagangan Besar dan Eceran
HOTEL Hotel
REST Restaurant
TRANS Angkutan Jalan Raya
AIRSEA Angkutan Rel Laut Udara dan ASDP
TRANSSEV Jasa Penunjang Angkutan
COMSEV Jasa Komunikasi dan Penunjang Komunikasi
BANKOSEV Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank
RENTSEV Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan
GOVSEV Pemerintahan Umum
SOSSEV Jasa Sosial Kemasyarakatan dan Hiburan
HHSEV Jasa Perseorangan dan Rumah Tangga/

PLTW(I) Sektor air minum


/ WATPAM, WATNPAM /

PLTW1(I) Sektor air minum


/ WATPAM /

PLTW2(I) Sektor air minum nonperpipaan


/ WATNPAM /

NPLTW(I) Non Sektor Air Minum


/ AGRI, PLANT, LIVESTOC, FISHERY, MINE, FOODTOB, TEXLEATH,
CHEBSRUB, MACHINEQ, BBMBBG, PAPWOMET, LIGAS,
COSTRUCT, TRADE, HOTEL, REST, TRANS, AIRSEA, TRANSSEV,
COMSEV, BANKOSEV, RENTSEV, GOVSEV, SOSSEV, HHSEV/

NFLAB(F) Faktor Produksi Bukan Tenaga Kerja


/ CAPAM Kapital Air Minum Perpipaan
CAPNAM Kapital Bukan Air Minum Perpipaan dan lainnya /

FLAB(F) Faktor Produksi Tenaga Kerja


/ LABOR /

IE(I) Export sector to domestic and foreign


IEN(I) Non eksport sector

IM(I) Import from domestic and foreign


IMN(I) Not IM ;

Disertasi OM Final I-2


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

ALIAS (I,J);
ALIAS (H,HH);
ALIAS (GH,GJ);

TABLE SAM(*,*) Social Accounting Matrix of DKI Jakarta in 2000


(in millions of rupiahs)

LABOR CAPAM CAPNAM VEPOIHH


LABOR 0.00 0.00 0.00 0.00
CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00
CAPNAM 0.00 0.00 0.00 0.00
VEPOIHH 1103375.70 0.00 703292.66 533.30
VEPOIIHH 2177006.66 0.00 481041.23 935.88
POORIHH 2596843.46 0.00 707810.81 841.83
POORIIHH 3633268.02 0.00 1117052.71 820.38
MIDIHH 4064596.81 0.00 1324344.80 1853.70
MIDIIHH 5143752.46 0.00 1854663.07 1264.99
MIDIIIHH 6679774.06 0.00 2508930.62 1351.21
HIGIHH 7653883.89 0.00 3224056.68 3833.99
HIGIIHH 9716699.87 0.00 4567797.79 2546.81
VEHIGHH 31077055.30 0.00 21436827.23 2550.57
COMPANY 0.00 168116.54 83118640.63 0.00
GOVERN 0.00 7499.97 614047.80 3495.96
AGRI 0.00 0.00 0.00 8837.39
PLANT 0.00 0.00 0.00 703.77
LIVESTOC 0.00 0.00 0.00 963.18
FISHERY 0.00 0.00 0.00 841.68
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 0.00 0.00 0.00 112556.59
TEXLEATH 0.00 0.00 0.00 42169.48
CHEBSRUB 0.00 0.00 0.00 20513.93
MACHINEQ 0.00 0.00 0.00 310.76
BBMBBG 0.00 0.00 0.00 3207.06
PAPWOMET 0.00 0.00 0.00 5590.58
LIGAS 0.00 0.00 0.00 17099.85
WATPAM 0.00 0.00 0.00 2002.45
WATNPAM 0.00 0.00 0.00 705.72
COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 18.77
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 0.00 0.00 0.00 11711.57
REST 0.00 0.00 0.00 591155.79
TRANS 0.00 0.00 0.00 83697.09
AIRSEA 0.00 0.00 0.00 27722.25
TRANSSEV 0.00 0.00 0.00 20066.24
COMSEV 0.00 0.00 0.00 2740.66
BANKOSEV 0.00 0.00 0.00 1973.78
RENTSEV 0.00 0.00 0.00 209664.60
GOVSEV 0.00 0.00 0.00 20007.92
SOSSEV 0.00 0.00 0.00 38803.03
HHSEV 0.00 0.00 0.00 71716.08
CAPACC 0.00 0.00 0.00 69482.80
INTXSUB 0.00 0.00 0.00 0.00
ROW 12051972.18 0.00 7076243.62 529721.29
TOTAL 85898228.41 175616.51 128734749.65 1914012.93

+ VEPOIIHH POORIHH POORIIHH MIDIHH MIDIIHH


LABOR 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Disertasi OM Final I-3


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00


CAPNAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEPOIHH 1070.60 868.25 1305.26 3672.63 4732.04
VEPOIIHH 1878.77 1523.68 2290.57 6445.04 8304.17
POORIHH 1689.97 1370.56 2060.38 5797.35 7469.65
POORIIHH 1646.91 1335.64 2007.89 5649.65 7279.34
MIDIHH 3721.30 3017.96 4536.95 12765.72 16448.10
MIDIIHH 2539.47 2059.50 3096.08 8711.52 11224.43
MIDIIIHH 2712.56 2199.88 3307.11 9305.31 11989.50
HIGIHH 7696.73 6242.02 9383.73 26403.24 34019.47
HIGIIHH 5112.72 4146.40 6233.34 17538.92 22598.16
VEHIGHH 5120.26 4152.52 6242.55 17564.81 22631.52
COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
GOVERN 5028.23 8067.98 11618.48 8211.78 34627.35
AGRI 15430.29 19653.53 21782.34 26829.13 36757.61
PLANT 1188.73 1557.08 1514.25 1965.02 2705.65
LIVESTOC 1626.89 2131.02 2072.40 2689.33 3702.95
FISHERY 1895.13 2675.23 3038.88 4049.07 5548.98
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 159682.55 208937.87 228764.40 272869.25 354835.33
TEXLEATH 59481.95 85453.64 106058.09 106470.34 165009.72
CHEBSRUB 26938.42 34870.30 40065.78 47437.78 62645.41
MACHINEQ 2907.14 6465.87 6916.98 4450.93 16300.02
BBMBBG 605.77 1347.31 1441.31 927.45 3396.48
PAPWOMET 10751.04 14961.42 21509.93 26087.61 45667.71
LIGAS 22295.19 29616.25 33822.37 45499.13 60685.15
WATPAM 3271.91 3573.74 4585.03 4902.73 6913.92
WATNPAM 776.41 949.69 1352.34 1581.38 2268.60
COSTRUCT 37.54 61.35 560.49 459.92 966.44
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 26769.30 15601.83 14459.23 15288.97 34944.28
REST 621836.82 801287.01 886860.17 1003138.68 1302374.76
TRANS 120508.55 157451.74 189411.35 241887.03 350279.69
AIRSEA 39914.98 52151.35 62737.05 80118.11 116020.05
TRANSSEV 28891.72 37748.79 45411.05 57992.01 83978.97
COMSEV 3709.15 6946.09 13601.44 40187.68 60885.21
BANKOSEV 95023.33 22839.44 43705.09 7613.15 174538.40
RENTSEV 276870.03 364560.57 420620.50 549779.85 747306.49
GOVSEV 29154.39 37829.18 45548.08 61095.21 82412.00
SOSSEV 70837.13 100493.37 131592.87 168371.93 379858.51
HHSEV 81649.83 87148.46 99812.67 150560.02 212938.22
CAPACC 106971.38 198064.66 333792.15 393248.25 459527.65
INTXSUB 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
ROW 995096.56 1120539.72 2149454.64 2227295.56 2384289.68
TOTAL 2842339.65 3449900.90 4962573.22 5664861.49 7338081.61

+ MIDIIIHH HIGIHH HIGIIHH VEHIGHH COMPANY


LABOR 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
CAPNAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEPOIHH 4566.80 6455.42 10018.16 23720.80 17355.82
VEPOIIHH 8014.20 11328.51 17580.70 41627.22 38926.63
POORIHH 7208.82 10190.06 15813.95 37443.94 2826.52
POORIIHH 7025.15 9930.44 15411.05 36489.96 32604.15
MIDIHH 15873.76 22438.43 34822.18 82451.23 4958.81
MIDIIHH 10832.49 15312.32 23763.18 56265.97 62064.42
MIDIIIHH 11570.84 16356.02 25382.90 60101.10 29752.84

Disertasi OM Final I-4


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

HIGIHH 32831.55 46409.21 72022.42 170533.18 163144.74


HIGIIHH 21809.06 30828.31 47842.44 113280.33 415548.00
VEHIGHH 21841.26 30873.82 47913.06 113447.55 1164005.48
COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 220284.77
GOVERN 14301.20 38569.60 71545.66 131656.32 657877.40
AGRI 42768.53 52967.23 66160.91 108813.04 0.00
PLANT 3485.19 3546.22 4234.58 6563.35 0.00
LIVESTOC 4769.82 4853.35 5795.43 8982.58 0.00
FISHERY 6946.89 8558.33 11456.01 21872.96 0.00
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 459007.27 509186.30 639136.85 1127327.61 0.00
TEXLEATH 218295.92 255408.34 377227.96 820429.79 0.00
CHEBSRUB 81502.62 90975.19 111939.72 230729.04 0.00
MACHINEQ 47175.82 69039.49 132876.21 976778.01 0.00
BBMBBG 9830.17 14385.97 27687.82 203534.19 0.00
PAPWOMET 55348.26 76003.21 116340.32 290961.17 0.00
LIGAS 82239.28 99650.74 140013.45 479244.53 0.00
WATPAM 9572.46 9933.09 12209.38 29139.51 0.00
WATNPAM 3399.21 4199.71 5870.27 15012.67 0.00
COSTRUCT 598.04 1195.06 3545.97 26718.50 0.00
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 37161.45 91910.66 157052.02 970197.41 0.00
REST 1748906.02 1815220.24 2403846.44 4208878.44 0.00
TRANS 411816.90 452964.29 574411.38 1031177.94 0.00
AIRSEA 136402.48 150031.36 190257.21 340836.73 0.00
TRANSSEV 98732.41 108597.43 137714.16 246116.64 0.00
COMSEV 108389.35 187927.70 327047.61 885735.08 0.00
BANKOSEV 41731.31 24249.28 355280.10 15358791.57 0.00
RENTSEV 962713.24 1123372.15 1592886.47 4231680.71 0.00
GOVSEV 113340.71 152381.92 256469.94 844173.79 0.00
SOSSEV 410801.75 528610.71 748238.37 1728483.06 0.00
HHSEV 264311.61 427633.89 824455.82 4828618.12 0.00
CAPACC 577829.91 843096.31 1354517.88 1202048.14 9108855.68
INTXSUB 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
ROW 3434585.17 4213607.25 4466778.69 13197245.24 175483738.08
TOTAL 9527536.92 11558197.56 15425566.67 54287107.42 187401943.34

+ GOVERN AGRI PLANT LIVESTOC FISHERY


LABOR 0.00 81500.43 18973.74 14089.16 128427.32
CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
CAPNAM 0.00 158717.64 24750.28 15966.03 155436.54
VEPOIHH 26777.56 0.00 0.00 0.00 0.00
VEPOIIHH 41236.28 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIHH 49588.07 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIIHH 89803.99 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIHH 71704.34 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIHH 141504.51 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIIHH 163838.97 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIHH 107050.72 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIIHH 453234.93 0.00 0.00 0.00 0.00
VEHIGHH 336633.55 0.00 0.00 0.00 0.00
COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
GOVERN 1575869.17 0.00 0.00 0.00 0.00
AGRI 0.00 3525.54 132.25 366.15 0.31
PLANT 0.00 3.28 1116.00 16.60 132.54
LIVESTOC 0.00 554.86 256.74 156.11 7.04
FISHERY 0.00 8.03 0.00 12.78 7033.91

Disertasi OM Final I-5


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

MINE 0.00 0.00 0.00 0.22 0.00


FOODTOB 0.00 0.00 0.00 8709.24 7364.83
TEXLEATH 0.00 724.14 26.71 6.06 2214.43
CHEBSRUB 0.00 10847.83 2006.53 1338.86 954.82
MACHINEQ 0.00 174.90 38.76 1230.60 2129.79
BBMBBG 0.00 258.73 14.08 1.04 4978.41
PAPWOMET 0.00 1120.00 1112.44 188.52 745.25
LIGAS 0.00 2.50 299.25 153.57 752.32
WATPAM 0.00 0.00 0.34 33.86 68.52
WATNPAM 0.00 0.00 0.14 0.00 0.24
COSTRUCT 0.00 1607.79 499.65 483.11 5766.61
TRADE 0.00 963195.64 158757.53 157407.26 277225.53
HOTEL 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
REST 0.00 2058.94 0.00 280.26 6398.36
TRANS 0.00 35145.21 5824.48 5759.75 10105.05
AIRSEA 0.00 35398.96 5834.59 5786.22 10289.70
TRANSSEV 0.00 11068.87 1812.65 1798.00 3165.28
COMSEV 0.00 330.37 54.02 28.62 299.35
BANKOSEV 0.00 550.54 13.09 461.73 2435.52
RENTSEV 0.00 399.83 56.35 281.10 181.82
GOVSEV 9361349.90 211.42 116.36 28.24 925.00
SOSSEV 0.00 87.30 0.00 293.45 597.02
HHSEV 0.00 1183.66 426.16 54.14 1293.11
CAPACC 767117.91 0.00 0.00 0.00 0.00
INTXSUB 0.00 31.72 7.03 3.33 181.29
ROW 805654.00 12700.52 2264.66 6181.99 39309.39
TOTAL 13991363.90 1321408.65 224393.83 221116.00 668419.30

+ MINE FOODTOB TEXLEATH CHEBSRUB MACHINEQ


LABOR 112333.95 1666730.94 3900118.31 2397508.82 4549128.23
CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
CAPNAM 1248092.55 3178448.49 6955554.15 4019017.24 9123076.72
VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
AGRI 0.00 538543.61 7658.56 12044.50 0.00
PLANT 36.59 0.00 0.00 10148.72 118.57
LIVESTOC 0.00 98727.27 1998.56 0.00 0.00
FISHERY 0.00 105299.75 0.00 74.08 0.00
MINE 35.12 12.78 0.00 181.16 153.93
FOODTOB 0.00 2172376.70 4302.54 16797.67 0.00
TEXLEATH 15276.22 16187.94 6276535.32 16450.97 5667.32
CHEBSRUB 19942.99 236045.42 443692.36 2685009.03 623938.45
MACHINEQ 62335.36 15011.78 64069.00 50812.21 6926031.68
BBMBBG 11572.53 33388.10 91934.35 35627.93 63240.79
PAPWOMET 8666.42 206165.64 199039.24 107927.57 1452624.61
LIGAS 2113.01 391415.80 277953.38 178444.29 346518.67
WATPAM 784.74 31115.56 39213.05 39658.43 42905.58

Disertasi OM Final I-6


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

WATNPAM 0.00 9161.19 7795.55 7455.78 18140.48


COSTRUCT 53849.65 6221.00 4024.00 0.00 0.00
TRADE 18123.91 2558813.75 5864794.54 3820776.09 12753019.26
HOTEL 1177.88 1094.65 1241.33 895.37 747.99
REST 5789.85 2043.10 18200.66 4317.53 18885.70
TRANS 36017.08 99725.82 227436.73 150206.79 476387.87
AIRSEA 5910.28 96327.58 229588.65 143350.50 475330.46
TRANSSEV 4248.97 34273.38 82478.39 54064.25 153997.14
COMSEV 3712.65 71846.67 98890.13 168664.06 143050.19
BANKOSEV 240553.95 285060.56 1316817.56 269837.23 1625824.57
RENTSEV 113230.42 179253.44 1210557.17 472096.27 977160.02
GOVSEV 0.00 7617.16 0.00 0.00 48549.29
SOSSEV 6898.69 37652.41 105547.44 85355.97 73689.04
HHSEV 25773.92 65190.70 53826.67 54403.96 100355.05
CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
INTXSUB 4246.29 24130.02 32059.19 -2600.54 57876.26
ROW 395968.63 7380895.59 6380233.13 4402449.83 11851377.26
TOTAL 2396691.65 19548776.80 33895559.96 19200975.71 51907795.13

+ BBMBBG PAPWOMET LIGAS WATPAM WATNPAM


LABOR 13634.88 2835232.37 1631068.72 127325.74 311.87
CAPAM 0.00 0.00 0.00 175616.51 0.00
CAPNAM 66228.46 4205321.07 2957599.28 0.00 99213.12
VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
AGRI 0.00 608.60 0.44 0.02 0.00
PLANT 0.00 23288.46 0.01 0.01 0.00
LIVESTOC 0.00 0.00 0.23 0.06 0.00
FISHERY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MINE 26.11 3179.96 5766.30 0.00 0.00
FOODTOB 0.00 966.05 3.85 0.31 0.00
TEXLEATH 240.37 35074.92 15633.33 744.34 0.00
CHEBSRUB 504.12 494472.27 26403.34 43283.70 0.00
MACHINEQ 343.61 183254.94 500214.17 6129.71 0.00
BBMBBG 1038.11 98249.33 310858.93 2080.58 0.00
PAPWOMET 252.48 2224226.76 66748.74 8283.57 10.19
LIGAS 432.51 518033.25 897533.75 17883.00 0.00
WATPAM 6.53 49360.41 48.43 6381.37 926.11
WATNPAM 1.88 9812.85 2.71 0.00 0.00
COSTRUCT 0.00 0.00 259987.62 14025.53 12.99
TRADE 1839449.59 7894616.15 0.00 0.00 0.00
HOTEL 0.10 739.14 2901.90 873.37 0.00
REST 0.26 30481.70 20353.25 3838.14 0.00
TRANS 66967.78 342145.25 35788.36 3737.07 1.15
AIRSEA 67603.71 292706.87 51578.78 57.39 0.00
TRANSSEV 21004.57 99724.90 1178.70 44.43 0.00
COMSEV 957.22 245148.04 65196.48 1850.94 0.00

Disertasi OM Final I-7


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

BANKOSEV 829.83 335295.14 90507.71 8412.95 1.03


RENTSEV 44.59 351733.29 550309.07 3502.88 4.31
GOVSEV 0.00 0.00 80895.28 2527.39 0.93
SOSSEV 7.99 60019.63 23260.22 590.20 0.00
HHSEV 192.06 60539.18 5524.86 2802.54 0.00
CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
INTXSUB 3.07 24962.26 -2108635.13 1478.22 0.00
ROW 3438.05 6240392.27 2325178.56 41263.72 1.31
TOTAL 2083207.88 26659585.06 7815907.89 472733.69 100483.01

+ COSTRUCT TRADE HOTEL REST


LABOR 8866544.65 16196910.60 1073075.74 4457519.31
CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00
CAPNAM 11289174.53 17912479.11 1332444.63 3806259.71
VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00
VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIHH 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00
VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00
COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00
GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00
AGRI 0.00 0.00 1167.55 259256.10
PLANT 111988.54 0.00 1167.36 14123.24
LIVESTOC 0.00 0.03 0.00 58109.41
FISHERY 0.00 0.00 0.01 276775.58
MINE 7056.07 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 0.00 4243.41 105622.35 4060213.84
TEXLEATH 8834.96 109089.48 27792.66 98548.00
CHEBSRUB 960033.41 422136.38 17346.87 74066.28
MACHINEQ 808581.15 162943.81 9061.13 38461.24
BBMBBG 262637.61 132339.40 9438.22 95516.33
PAPWOMET 4720963.13 412458.14 34246.07 175813.28
LIGAS 155968.80 818276.28 264681.88 410952.26
WATPAM 14296.83 15775.46 28108.31 24018.65
WATNPAM 47.18 923.60 4643.49 2219.32
COSTRUCT 71168.39 385464.02 71949.85 130397.46
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 10350.00 47658.47 23664.41 55531.23
REST 116284.51 702568.12 14812.98 216262.56
TRANS 82125.02 657199.48 5166.22 21910.21
AIRSEA 1659.97 124589.09 485.54 9.62
TRANSSEV 4313.65 87878.10 4374.29 30213.97
COMSEV 116540.42 650296.18 63730.56 231958.57
BANKOSEV 912278.39 1749525.71 273839.03 285411.16
RENTSEV 1274577.71 1283642.39 122249.59 326828.60
GOVSEV 26790.27 7859.49 47587.44 98991.37
SOSSEV 86200.43 52419.10 105950.89 91380.96
HHSEV 97657.34 113192.91 16036.54 10198.36
CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00
INTXSUB 118782.90 149979.02 71441.96 370026.65
ROW 9011044.49 2199918.28 290301.37 4408203.50
TOTAL 9135900.35 44399766.06 4020386.94 20129176.77

Disertasi OM Final I-8


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

+ TRANS AIRSEA TRANSSEV COMSEV BANKOSEV


LABOR 3111265.23 1025741.74 598166.77 2042336.59 11497395.09
CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
CAPNAM 1621119.37 1437696.81 1505947.91 3178628.27 15683659.06
VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
AGRI 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
PLANT 0.36 0.00 0.00 0.00 1.16
LIVESTOC 0.15 0.00 0.00 0.00 0.00
FISHERY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 0.00 52617.38 0.00 0.80 0.44
TEXLEATH 9274.60 25194.36 11397.15 10092.28 9797.96
CHEBSRUB 28966.87 49707.24 3032.75 10873.00 16110.73
MACHINEQ 525801.34 77296.31 12874.49 62172.67 25701.51
BBMBBG 256095.93 126067.53 17277.87 27584.24 18605.62
PAPWOMET 19749.86 30632.43 11729.72 117221.71 325818.83
LIGAS 39521.36 30114.59 39587.35 159470.10 351496.89
WATPAM 3907.51 22644.69 7427.81 8878.89 2642.60
WATNPAM 0.00 0.00 0.00 298.33 141.64
COSTRUCT 33981.47 67794.73 90010.38 510413.12 376623.47
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 5822.61 5308.47 35144.60 27171.33 46019.48
REST 106523.68 18718.22 14807.18 34341.24 90432.09
TRANS 68318.78 4963.89 3315.11 17068.52 96752.52
AIRSEA 24552.88 56241.26 3638.08 21749.10 1154.16
TRANSSEV 225598.68 185467.15 103750.10 33949.96 6391.68
COMSEV 43889.27 56577.23 123425.35 476388.17 1028217.01
BANKOSEV 193311.26 293988.62 18815.32 171614.32 5875120.29
RENTSEV 66177.19 122975.30 183795.54 530210.01 2508612.44
GOVSEV 47507.36 12152.29 19943.76 76491.34 51702.04
SOSSEV 12142.39 15948.67 20578.61 53914.69 60551.96
HHSEV 289267.05 7513.34 23914.05 12419.74 62528.63
CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
INTXSUB 28156.25 11394.67 7936.74 23738.68 132209.74
ROW 1701743.85 1257120.73 125898.08 1231861.67 1433208.41
TOTAL 8462695.30 4993877.65 2982414.72 8838888.77 39700895.45

+ RENTSEV GOVSEV SOSSEV HHSEV CAPACC


LABOR 6812199.88 5833639.47 3255546.52 3391181.47 0.00
CAPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
CAPNAM 11951690.34 955420.85 1245449.95 5114992.58 0.00
VEPOIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEPOIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
POORIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Disertasi OM Final I-9


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

MIDIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00


MIDIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MIDIIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HIGIIHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
VEHIGHH 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COMPANY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
GOVERN 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
AGRI 0.10 11512.77 21691.59 0.00 0.00
PLANT 0.96 37.47 4793.73 8.09 17.50
LIVESTOC 0.00 1934.67 3839.72 0.00 1753.42
FISHERY 0.00 4100.39 58.19 0.00 0.24
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 0.69 63346.58 208563.14 1494.94 29604.41
TEXLEATH 54832.80 92103.89 122480.57 347717.26 350004.44
CHEBSRUB 425585.68 483567.39 581810.64 272072.39 106415.12
MACHINEQ 479773.72 214767.61 72543.76 198088.46 21841950.41
BBMBBG 125229.41 52153.09 24615.08 16039.23 1.88
PAPWOMET 396861.07 574821.08 322362.83 73943.78 1552300.25
LIGAS 866211.71 393493.69 217408.04 427021.33 2.37
WATPAM 22040.87 6936.34 13246.54 6579.45 -377.41
WATNPAM 960.98 729.70 312.62 179.26 1540.07
COSTRUCT 1471866.40 1016219.18 120899.34 60776.79 34347695.72
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 883.68
HOTEL 124239.76 48532.96 20011.90 4942.00 4643.49
REST 166061.74 451023.84 36339.38 1349.97 2219.32
TRANS 83224.05 69884.75 12145.96 9530.57 0.00
AIRSEA 33661.76 34275.01 2198.41 67.62 6.00
TRANSSEV 62946.14 146697.95 7932.70 2614.67 0.00
COMSEV 763352.83 274957.55 122803.88 105105.56 298.33
BANKOSEV 3710216.64 244801.12 99114.09 48808.08 141.64
RENTSEV 2059004.44 263662.94 512068.34 312873.94 960.98
GOVSEV 352890.68 610842.94 206706.13 11061.95 729.70
SOSSEV 506452.32 26457.42 385584.27 39184.83 25418.36
HHSEV 383849.69 68924.13 42195.62 22187.31 43860.82
CAPACC 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
INTXSUB 101608.48 9.74 82767.61 36905.74 0.00
ROW 2395750.51 1436929.22 1011705.07 632007.44 13007824.99
TOTAL 33350513.65 13381783.74 8757195.62 11136734.71 71317895.73

+ INTXSUB ROW TOTAL


LABOR 0.00 260320.87 85898228.41
CAPAM 0.00 0.00 175616.51
CAPNAM 0.00 19492364.96 128734749.65
VEPOIHH 0.00 6267.93 1914012.93
VEPOIIHH 0.00 4200.11 2842339.65
POORIHH 0.00 2945.53 3449900.90
POORIIHH 0.00 2247.94 4962573.22
MIDIHH 0.00 1327.40 5664861.49
MIDIIHH 0.00 1027.20 7338081.61
MIDIIIHH 0.00 964.00 9527536.92
HIGIHH 0.00 685.99 11558197.56
HIGIIHH 0.00 349.59 15425566.67
VEHIGHH 0.00 247.94 54287107.42
COMPANY 0.00 103894901.40 187401943.34
GOVERN -677796.72 11486743.72 13991363.90
AGRI 0.00 64900.56 1321408.65

Disertasi OM Final I-10


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

PLANT 0.00 29930.80 224393.83


LIVESTOC 0.00 16190.78 221116.00
FISHERY 0.00 208173.18 668419.30
MINE 0.00 2380280.00 2396691.65
FOODTOB 0.00 8740243.61 19548776.80
TEXLEATH 0.00 23997612.25 33895559.96
CHEBSRUB 0.00 10413193.05 19200975.71
MACHINEQ 0.00 18302779.78 51907795.13
BBMBBG 0.00 0.00 2083207.88
PAPWOMET 0.00 12950330.20 26659585.06
LIGAS 0.00 0.00 7815907.89
WATPAM 0.00 0.00 472733.69
WATNPAM 0.00 0.00 100483.01
COSTRUCT 0.00 0.00 39135900.35
TRADE 0.00 8092703.13 44399766.06
HOTEL 0.00 2176577.78 4020386.94
REST 0.00 2661279.82 20129176.77
TRANS 0.00 2222235.87 8462695.30
AIRSEA 0.00 2073633.89 4993877.65
TRANSSEV 0.00 746176.73 2982414.72
COMSEV 0.00 2344149.15 8838888.77
BANKOSEV 0.00 5521562.92 39700895.45
RENTSEV 0.00 9444609.07 33350513.65
GOVSEV 0.00 665892.87 13381783.74
SOSSEV 0.00 2574920.63 8757195.62
HHSEV 0.00 2522578.45 11136734.71
CAPACC 0.00 55903343.01 71317895.73
INTXSUB 0.00 153502.09 -677796.72
ROW 0.00 95287239.01 404648633.21
TOTAL -677796.72 404648633.21 ;

TABLE IMPORTLN(*,*) Benchmark Import

VEPOIHH VEPOIIHH POORIHH POORIIHH MIDIHH


AGRI 43852.52 76567.52 97523.89 108087.37 133130.34
PLANT 2794.82 4720.68 6183.48 6013.39 7803.49
LIVESTOC 9275.19 15666.55 20521.17 19956.69 25897.52
FISHERY 3755.07 8454.93 11935.27 13557.68 18064.55
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 115044.48 163212.08 213556.11 233820.88 278900.59
TEXLEATH 25600.74 36110.98 51878.18 64386.97 64637.24
CHEBSRUB 105519.35 138565.58 179365.50 206089.93 244009.99
MACHINEQ 1961.31 18347.77 40807.97 43655.04 28091.07
BBMBBG 22857.73 42988.89 46524.74 60642.94 74424.17
PAPWOMET 15214.96 29259.35 40718.06 58540.08 70998.39
LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 234.05 534.97 311.80 288.96 305.54
REST 2893.94 3044.14 3922.62 4341.53 4910.76
TRANS 2288.61 3295.19 4305.36 5179.27 6614.16
AIRSEA 11297.22 16265.94 21252.43 25566.26 32649.29
TRANSSEV 311.34 448.27 585.69 704.57 899.77
COMSEV 88.19 119.36 223.52 437.68 1293.19
BANKOSEV 15.40 741.60 178.25 341.09 59.42

Disertasi OM Final I-11


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

RENTSEV 456.94 603.41 794.53 916.70 1198.19


GOVSEV 288.73 420.73 545.91 657.30 881.66
SOSSEV 1307.69 2387.27 3386.71 4434.79 5674.27
HHSEV 123.63 140.76 150.24 172.07 259.55

+ MIDIIHH MIDIIIHH HIGIHH HIGIIHH VEHIGHH


AGRI 182397.00 212224.10 262831.63 328300.73 539947.26
PLANT 10744.68 13840.37 14082.74 16816.35 26064.34
LIVESTOC 35658.48 45932.18 46736.53 55808.58 86500.00
FISHERY 24756.24 30992.87 38182.14 51109.86 97584.53
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 362678.40 469152.90 520441.06 653263.95 1152245.40
TEXLEATH 100176.00 132525.60 155056.24 229011.89 498075.96
CHEBSRUB 322234.82 419232.33 467957.24 575794.41 1186821.70
MACHINEQ 102874.05 297740.02 435727.90 838619.62 6164724.14
BBMBBG 95754.65 132154.47 160975.58 260995.69 975596.72
PAPWOMET 124286.36 150632.36 206845.56 316624.52 791861.66
LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 698.35 742.66 1836.79 3138.62 22732.05
REST 6375.64 8561.59 8886.23 11767.79 22253.31
TRANS 9578.05 11260.73 12385.86 15706.71 23568.57
AIRSEA 47279.86 55585.99 61139.96 77532.58 137796.87
TRANSSEV 1302.97 1531.87 1684.93 2136.69 3845.54
COMSEV 1959.20 3487.82 6047.26 10523.95 32740.70
BANKOSEV 1362.17 325.69 189.25 2772.75 122163.56
RENTSEV 1628.68 2098.14 2448.28 3471.55 16486.37
GOVSEV 1189.28 1635.61 2199.01 3701.10 12183.22
SOSSEV 12801.54 13844.36 17814.62 25216.25 61663.33
HHSEV 367.09 455.65 737.20 1421.28 9221.13

+ COMPANY GOVERN AGRI PLANT LIVESTOC


AGRI 0.00 0.00 3893.65 53.13 147.12
PLANT 0.00 0.00 0.69 276.58 46.70
LIVESTOC 0.00 0.00 2380.63 965.85 805.10
FISHERY 0.00 0.00 5.97 0.00 9.50
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 0.00 0.00 0.00 0.00 4288.46
TEXLEATH 0.00 0.00 220.56 6.15 1.39
CHEBSRUB 0.00 0.00 4974.72 693.99 379.16
MACHINEQ 0.00 0.00 4.10 0.91 455.34
BBMBBG 0.00 0.00 602.42 32.80 0.61
PAPWOMET 0.00 0.00 548.29 226.35 30.98
LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
REST 0.00 0.00 9.89 0.00 1.34
TRANS 0.00 0.00 2.09 1.22 6.01
AIRSEA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
TRANSSEV 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COMSEV 0.00 0.00 6.32 0.74 0.00

Disertasi OM Final I-12


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

BANKOSEV 0.00 0.00 4.18 0.00 2.52


RENTSEV 0.00 0.00 0.00 0.00 0.82
GOVSEV 0.00 120393.63 0.00 0.00 0.00
SOSSEV 0.00 0.00 8.66 0.00 6.04
HHSEV 0.00 0.00 38.35 6.94 0.90

+ FISHERY MINE FOODTOB TEXLEATH CHEBSRUB


AGRI 0.00 0.00 3558365.40 21386.72 32184.89
PLANT 563.59 155.51 0.00 0.00 6245.46
LIVESTOC 47.34 0.00 1138659.99 9287.44 0.00
FISHERY 5680.49 0.00 350973.62 0.00 55.05
MINE 0.00 248762.76 277.84 0.00 6011.14
FOODTOB 6689.60 0.00 1829734.94 500.01 21033.23
TEXLEATH 1328.67 464.69 5890.06 5099072.40 45688.90
CHEBSRUB 121.44 8380.43 89082.87 614779.88 3969540.92
MACHINEQ 3777.04 45460.40 4375.76 115825.90 6987.17
BBMBBG 19957.48 46950.12 131884.44 208706.99 137092.69
PAPWOMET 750.00 5032.32 239950.03 227847.85 127359.10
LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 0.00 29.24 11.56 24.86 18.28
REST 31.28 28.32 9.60 40.41 21.17
TRANS 0.00 964.18 179.11 107.86 302.87
AIRSEA 26.95 31686.35 11615.21 24053.09 17619.38
TRANSSEV 0.00 516.65 825.69 1149.64 1491.01
COMSEV 34.83 296.14 942.96 1276.79 7546.59
BANKOSEV 32.80 4729.59 1989.52 7561.50 1771.53
RENTSEV 0.00 2190.62 6914.56 38938.16 11747.44
GOVSEV 2.00 0.00 233.84 0.00 0.00
SOSSEV 213.47 310.74 640.04 1564.11 1534.60
HHSEV 52.41 10.57 8338.55 8109.52 8198.41

+ MACHINEQ BBMBBG PAPWOMET LIGAS WATPAM


AGRI 0.00 0.00 1664.00 0.00 0.00
PLANT 505.43 0.00 99304.37 0.00 0.00
LIVESTOC 0.00 0.00 0.00 1.58 0.02
FISHERY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
MINE 6925.78 567.55 713808.92 491417.19 0.00
FOODTOB 0.00 0.00 127.59 1.07 0.00
TEXLEATH 2620.91 4.63 122899.83 1544.78 7.10
CHEBSRUB 1174365.08 140.81 489159.75 4615.25 22374.57
MACHINEQ 8361475.57 15.22 259541.76 525937.20 7941.26
BBMBBG 242923.94 2419.17 387748.92 1261317.23 8808.26
PAPWOMET 2003949.99 159.23 4099764.20 9669.59 1320.91
LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 16.01 0.00 15.08 67.07 19.95
REST 83.36 0.00 148.92 99.57 18.78
TRANS 334.06 0.05 1497.19 975.94 101.94
AIRSEA 17850.37 1.31 13433.60 16134.76 50.64
TRANSSEV 942.83 0.00 5241.95 487.32 44.90

Disertasi OM Final I-13


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

COMSEV 2633.24 89.95 20732.09 7449.09 27.59


BANKOSEV 9946.70 10.15 2211.18 703.31 96.02
RENTSEV 5872.36 1.03 12922.98 2840.01 8.47
GOVSEV 4545.71 0.00 0.00 693.30 14.79
SOSSEV 1331.92 0.00 1062.70 388.32 6.29
HHSEV 15054.00 28.95 9107.24 835.98 422.23

+ WATNPAM COSTRUCT TRADE HOTEL


AGRI 0.00 0.00 0.00 2502.45
PLANT 0.00 630193.73 0.00 729.29
LIVESTOC 0.00 0.00 0.00 0.00
FISHERY 0.00 0.00 0.00 0.01
MINE 0.00 335280.19 0.00 0.00
FOODTOB 0.00 0.00 763.98 76443.48
TEXLEATH 0.00 1967.77 20498.55 3148.57
CHEBSRUB 0.00 430432.44 140467.32 7466.22
MACHINEQ 0.00 573781.77 91941.23 6310.95
BBMBBG 0.00 1077822.98 540793.11 37836.16
PAPWOMET 1.31 5083688.31 447262.66 41062.40
LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00
WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00
WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00
COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 0.00 291.07 2518.77 620.29
REST 0.00 568.87 4255.34 157.36
TRANS 0.00 2239.52 86063.23 140.88
AIRSEA 0.00 33752.34 93783.05 529.00
TRANSSEV 0.00 491.62 18130.09 207.38
COMSEV 0.00 1744.46 259778.39 6602.11
BANKOSEV 0.00 10642.10 158835.60 19380.28
RENTSEV 0.00 824739.95 229511.42 64306.76
GOVSEV 0.00 621.98 27.88 0.89
SOSSEV 0.00 1295.36 3640.50 14645.90
HHSEV 0.00 1490.03 101647.16 8210.99

+ REST TRANS AIRSEA TRANSSEV COMSEV


AGRI 657961.02 0.00 0.00 0.00 0.00
PLANT 36342.65 0.00 0.00 0.00 0.00
LIVESTOC 1027096.05 0.00 0.00 0.00 0.00
FISHERY 394657.52 0.00 0.00 0.00 0.00
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 1625063.00 0.00 17959.29 0.00 0.00
TEXLEATH 9753.95 518.63 3950.33 434.12 2578.93
CHEBSRUB 26067.43 6261.81 7502.31 907.36 2089.33
MACHINEQ 7839.90 502107.85 245090.17 3929.61 34715.82
BBMBBG 391055.72 1049785.40 509212.81 66670.44 110966.97
PAPWOMET 94924.35 7849.92 11292.17 6634.54 43742.89
LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 1092.46 131.26 275.31 731.20 777.94
REST 1742.67 768.76 192.39 81.97 297.93
TRANS 12109.49 9125.26 135.36 494.47 479.23
AIRSEA 2661.08 2739.00 7617.54 11862.95 81360.96

Disertasi OM Final I-14


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

TRANSSEV 9620.00 7320.40 414986.03 13219.50 2680.81


COMSEV 3699.87 572.68 12942.41 13972.68 922255.58
BANKOSEV 11054.84 20045.47 19082.39 1747.94 14249.40
RENTSEV 81127.15 52658.80 4663.58 3132.90 11245.28
GOVSEV 2.00 4.27 403.03 0.00 1167.22
SOSSEV 12795.83 490.57 686.80 558.83 1382.19
HHSEV 1536.52 41363.77 1128.81 1519.57 1871.19

+ BANKOSEV RENTSEV GOVSEV SOSSEV HHSEV


AGRI 0.00 0.00 19843.55 46421.72 0.00
PLANT 0.00 0.00 74.07 1149.38 34.65
LIVESTOC 0.00 0.00 14471.56 41133.84 0.00
FISHERY 0.00 0.00 5104.42 45.03 0.00
MINE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 0.00 0.00 15669.26 74790.64 148.18
TEXLEATH 1003.12 10511.64 12535.39 21781.13 131116.87
CHEBSRUB 4732.55 124061.87 285154.34 284041.08 100616.47
MACHINEQ 1356.83 743603.45 90197.19 25552.71 143161.80
BBMBBG 72498.12 512004.13 209692.52 94994.64 159317.86
PAPWOMET 171762.93 355427.92 430433.55 266002.03 62504.93
LIGAS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
WATNPAM 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
COSTRUCT 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
TRADE 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
HOTEL 2203.76 2871.36 144559.14 507.70 104.65
REST 1165.83 1015.63 2791.12 232.22 206.00
TRANS 8134.95 11398.07 28638.40 827.28 259.90
AIRSEA 170365.14 189571.89 52807.21 16623.36 741.49
TRANSSEV 465.80 1136.31 22672.28 1369.11 324.77
COMSEV 156564.08 47535.54 4365.34 2533.09 3305.25
BANKOSEV 205161.11 65583.41 2238.04 1125.37 317.88
RENTSEV 625858.47 251823.59 73955.43 27212.81 24729.64
GOVSEV 1542.46 11117.82 9172.27 10486.18 275.99
SOSSEV 2088.65 45902.15 4750.92 94145.05 1410.66
HHSEV 8304.61 22185.73 7803.22 730.70 3430.45

+ FXDCAP INVSTK TAX


AGRI 0.00 0.00 0.00
PLANT 4.00 0.00 0.00
LIVESTOC 28403.00 0.00 0.00
FISHERY 0.00 0.00 0.00
MINE 0.00 0.00 0.00
FOODTOB 12929.00 0.00 0.00
TEXLEATH 9564.00 0.00 0.00
CHEBSRUB 350227.00 0.00 0.00
MACHINEQ 174892.00 0.00 0.00
BBMBBG 0.00 0.00 0.00
PAPWOMET 241190.00 0.00 0.00
LIGAS 0.00 0.00 0.00
WATPAM 0.00 0.00 0.00
WATNPAM 0.00 0.00 0.00
COSTRUCT 0.00 0.00 0.00
TRADE 0.00 0.00 0.00
HOTEL 0.00 0.00 0.00
REST 0.00 0.00 0.00
TRANS 0.00 0.00 0.00

Disertasi OM Final I-15


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

AIRSEA 0.00 0.00 0.00


TRANSSEV 0.00 0.00 0.00
COMSEV 0.00 0.00 0.00
BANKOSEV 0.00 0.00 0.00
RENTSEV 0.00 0.00 0.00
GOVSEV 0.00 0.00 0.00
SOSSEV 0.00 0.00 0.00
HHSEV 0.00 0.00 0.00 ;

TABLE FIXCAP(*,*) Domestic Capital information

FXIN DEPRE
AGRI 5399 0.0216
PLANT 491 0.0029
LIVESTOC 1710 0.0051
FISHERY 25917 0.0018
MINE 473927 0.0049
FOODTOB 1357592 0.0102
TEXLEATH 4816766 0.0015
CHEBSRUB 2167886 0.0007
MACHINEQ 11138288 0.0029
BBMBBG 78978 0.0000
PAPWOMET 3771393 0.0021
LIGAS 3875182 0.0203
WATPAM 99818 0.0154
WATNPAM 21217 0.0154
COSTRUCT 1373854 0.0002
TRADE 9120265 0.0004
HOTEL 2704676 0.0004
REST 1616795 0.0004
TRANS 3916135 0.0024
AIRSEA 1479367 0.0016
TRANSSEV 1310195 0.0005
COMSEV 5722957 0.0003
BANKOSEV 5358488 0.0022
RENTSEV 5171850 0.0074
GOVSEV 1093303 0.0070
SOSSEV 2711462 0.0183
HHSEV 1746446 0.0087;

TABLE FACDEMO(*,*) Benchmark Factor Demand by Sector

LABOR CAPAM CAPNAM


AGRI 7530 0 375
PLANT 1721 0 530
LIVESTOC 1235 0 384
FISHERY 12307 0 31587
MINE 3084 0 104601
FOODTOB 80566 0 180326
TEXLEATH 185559 0 4309259
CHEBSRUB 112966 0 3912147
MACHINEQ 213016 0 4985129
BBMBBG 646 0 209831
PAPWOMET 136281 0 2303637
LIGAS 44226 0 254220
WATPAM 3444 8529 0
WATNPAM 8 0 1813

Disertasi OM Final I-16


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

COSTRUCT 436093 0 4051646


TRADE 524383 0 25617764
HOTEL 33495 0 7536475
REST 142793 0 4821082
TRANS 124717 0 3433752
AIRSEA 39160 0 1260836
TRANSSEV 22926 0 3654329
COMSEV 78103 0 10287603
BANKOSEV 441045 0 3803154
RENTSEV 260402 0 1406651
GOVSEV 248024 0 195250
SOSSEV 133887 0 248774
HHSEV 139115 0 603589;

TABLE ICAP(*,*) Capital Composition Matrix

AGRI PLANT LIVESTOC FISHERY MINE


AGRI 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
PLANT 0.0000 1.0000 0.0000 0.0000 0.0000
LIVESTOC 1.0000 0.0000 0.9932 0.0000 1.0000
FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
MINE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
FOODTOB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TEXLEATH 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
MACHINEQ 0.0000 0.0000 0.0068 1.0000 0.0000
BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
PAPWOMET 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
COSTRUCT 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TRADE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
REST 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TRANS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

+ FOODTOB TEXLEATH CHEBSRUB MACHINEQ BBMBBG


AGRI 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
PLANT 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
LIVESTOC 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
MINE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
FOODTOB 0.2485 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TEXLEATH 0.0039 0.8660 0.0005 0.0000 0.0006
CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.8202 0.0000 0.0000
MACHINEQ 0.2810 0.0621 0.1474 0.9748 0.7925
BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
PAPWOMET 0.0000 0.0000 0.0000 0.0238 0.0000

Disertasi OM Final I-17


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000


WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
COSTRUCT 0.4666 0.0719 0.0319 0.0014 0.2069
TRADE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
REST 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TRANS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

+ PAPWOMET LIGAS WATPAM WATNPAM WATLPAM


AGRI 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
PLANT 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
LIVESTOC 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
MINE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
FOODTOB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TEXLEATH 0.0006 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
MACHINEQ 0.8592 0.0709 0.1623 0.1623 0.1623
BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
PAPWOMET 0.1130 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
COSTRUCT 0.0272 0.9291 0.8377 0.8377 0.8377
TRADE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
REST 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TRANS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

+ COSTRUCT TRADE HOTEL REST TRANS


AGRI 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
PLANT 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
LIVESTOC 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
MINE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
FOODTOB 0.0000 0.0000 0.0360 0.0558 0.0000
TEXLEATH 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
MACHINEQ 0.0006 0.0126 0.2817 0.1758 1.0000
BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

Disertasi OM Final I-18


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

PAPWOMET 0.1249 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000


LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
COSTRUCT 0.8745 0.9874 0.6823 0.7684 0.0000
TRADE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
REST 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TRANS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

+ AIRSEA TRANSSEV COMSEV BANKOSEV RENTSEV


AGRI 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
PLANT 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
LIVESTOC 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
MINE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
FOODTOB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TEXLEATH 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
MACHINEQ 1.0000 0.0037 0.1219 0.1384 0.0058
BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
PAPWOMET 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
COSTRUCT 0.0000 0.9963 0.8781 0.8616 0.9942
TRADE 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
REST 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TRANS 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

+ GOVSEV SOSSEV HHSEV


AGRI 0.0000 0.0000 0.0000
PLANT 0.0000 0.0000 0.0000
LIVESTOC 0.0000 0.0000 0.0000
FISHERY 0.0000 0.0000 0.0000
MINE 0.0000 0.0000 0.0000
FOODTOB 0.0000 0.0000 0.0000
TEXLEATH 0.0000 0.0000 0.0000
CHEBSRUB 0.0000 0.0000 0.0000
MACHINEQ 0.1244 0.0979 0.0211

Disertasi OM Final I-19


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

BBMBBG 0.0000 0.0000 0.0000


PAPWOMET 0.0000 0.0000 0.0000
LIGAS 0.0000 0.0000 0.0000
WATPAM 0.0000 0.0000 0.0000
WATNPAM 0.0000 0.0000 0.0000
COSTRUCT 0.8756 0.9021 0.9789
TRADE 0.0000 0.0000 0.0000
HOTEL 0.0000 0.0000 0.0000
REST 0.0000 0.0000 0.0000
TRANS 0.0000 0.0000 0.0000
AIRSEA 0.0000 0.0000 0.0000
TRANSSEV 0.0000 0.0000 0.0000
COMSEV 0.0000 0.0000 0.0000
BANKOSEV 0.0000 0.0000 0.0000
RENTSEV 0.0000 0.0000 0.0000
GOVSEV 0.0000 0.0000 0.0000
SOSSEV 0.0000 0.0000 0.0000
HHSEV 0.0000 0.0000 0.0000;

TABLE ELAS(*,*) Elasticity of Substitution by Sector

AGRI PLANT LIVESTOC FISHERY MINE FOODTOB TEXLEATH


ELASX 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
ELASV 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60
ELASEX 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 1.20 0.75
ELASIM 1.38 1.38 1.38 1.57 0.81 0.33 0.52

+ CHEBSRUB MACHINEQ BBMBBG PAPWOMET LIGAS WATPAM WATNPAM


ELASX 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
ELASV 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60
ELASEX 0.75 0.75 0.80 0.75 0.60 0.60 0.60
ELASIM 0.95 1.08 0.95 0.97 0.50 0.50 0.50

+ COSTRUCT
ELASX 0.50
ELASV 0.60
ELASEX 0.67
ELASIM 0.82

+ TRADE HOTEL REST TRANS AIRSEA TRANSSEV


ELASX 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
ELASV 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60
ELASEX 0.67 0.67 0.67 0.66 0.73 0.55
ELASIM 0.82 0.38 0.82 0.67 0.53 0.67

+ COMSEV BANKOSEV RENTSEV GOVSEV SOSSEV HHSEV


ELASX 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50
ELASV 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60
ELASEX 0.55 0.75 0.75 0.75 0.73 0.75
ELASIM 0.90 0.90 0.43 0.90 0.90 0.90;

TABLE HHTR(*,*) Total HH Transfer to ROW (Rp)

VEPOIHH VEPOIIHH POORIHH POORIIHH MIDIHH


ROW 164539.38 433200.59 375868.29 1291663.45 1226592.41

Disertasi OM Final I-20


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

+ MIDIIHH MIDIIIHH HIGIHH HIGIIHH VEHIGHH


ROW 938186.17 1430627.86 1789401.24 983043.82 1213168.88 ;

SCALARS
UNEMPLO Total unemployment (2000)(thousand) /287000/
EXRO US dollar-Rupiah exchange rate (2000) /1/
GOVBORO Government foreign borrowing (Rp) /0/
GOVAMORO Gov amortization payment to ROW (Rp) /0/
GOVINTRO Government interest payment to ROW (Rp) /0/
CORBORO Company foreign borrowing (Rp million) /0/
CORAMORO Com amortization payment to ROW (Rp) /0/
CORINTRO Company interest payment to ROW (Rp) /0/
FORINVO Foreign investment (Rp) /0/ ;

PARAMETER Z(I) dummy variable for implementing watpam tax;

Z(I)=1;
Z("WATPAM") = 0;

*#########################################################################
* SECTION II PARAMETER DECLARATION AND BENCHMARK VARIABLES
*#########################################################################

PARAMETER

*# Read from benchmark variables from table values:


XO(I) Benchmark sectoral domestic output
XEXO(I) Benchmark sectoral export total
XIMO(I) Benchmark comodity import total
INTDO(I,J) Benchmark intermediate demand domestic
INTO(I,J) Benchmark sectoral intermediate demand
INTIMO(I) Benchmark sectoral imported inputs
ITXSBO(I) Benchmark total sectoral indirect tax minus subsidy
FINCO(I,F) Benchmark sectoral factor income
FIROWO(F) Benchmark factor income from ROW
CHDO(I,H) Benchmark households domestic demand
CDO(I,H) Benchmark households demand
HHTROWO(H) Benchmark HH transfer to ROW excluded imported goods
CDGOVO(I) Benchmark government domestic demand
CGOVO(I) Benchmark government demand
FROWO(F) Benchmark factor income transfer to ROW
HHROWO(H) Benchmark households transfer to ROW
GOVROWO Benchmark government transfer net to ROW
CORROWO Benchmark company transfer to ROW
ROWTROWO Benchmark ROW transfer to ROW
HSAVO(H) Benchmark household saving
GOVSAVO Benchmark government saving
CORSAVO Benchmark company saving
HHTRO(H,HH) Benchmark transfer among households
HHTAXO(H) Benchmark total household income tax
GOVTRO(H) Benchmark government transfer to households
GOVGOVO Benchmark government transfer to government
CORTRO(H) Benchmark corporate transfer to households
CORTAXO Benchmark total company income tax
CORTCORO Benchmark corporate transfer to corporate
HFO(H,F) Benchmark household income from factor endowments
CORFAMO Benchmark corporate income from capital PAM

Disertasi OM Final I-21


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

CORFNAMO Benchmark corporate income from capital NPAM


GOVFAMO Benchmark total government income from capital PAM
GOVFNAMO Benchmark total government income from capital NPAM
ROWFAMO Benchmark total ROW income from capital PAM
ROWFNAMO Benchmark total ROW income from capital NPAM
ROWHHO(H) Benchmark household income from abroad
ROWCORO Benchmark company income from abroad
ROWGOVO Benchmark government income from abroad
ROWTAXO Benchmark tax received from ROW
FORINVO Foreign investment (Rp)
GOVTXO Benchmark total indirect tax minus subsidy
IMPTXO(I) Benchmark total sectoral import tariff
TARIFFO Benchmark total tax on imported goods
DEPR(I) Benchmark sectoral depreciation rate
TRANSFO Benchmark transfer
SUBO(PLTW1,H) Benchmark water subsidy to the poor households
TOTSUBSO Benchmark total subsidy and transfer

*# Calculate benchmark variables:


PXO(I) Average output price
PNO(I) Intermediate input price
PVO(I) Value added price
PQO(I) Average domestic demand price
PDO(I) Domestic suply price
PKO(I) Price for new capital
PEO(I) Domestic market price for export
PMO(I) Domestic market price for import
PWEO(I) World market price for export (in $)
PWMO(I) World market price for import (in $)
PINDEXO Benchmark price index
PINDOMO Benchmark domestic price index
WFO(I,F) Factor input price
WFDISTO(I,F) Benchmark proportional factor input price
WAO(F) Average input price
SUMHHTRO(H) Total transfer to other households
EDWO(H,F) Benchmark household endowment
GOVCAMO Benchmark government capital PAM
GOVCNAMO Benchmark government capital NPAM
CORCAMO Benchmark company capital PAM
CORCNAMO Benchmark company capital NPAM
FORCAMO Benchmark foreign capital PAM
FORCNAMO Benchmark foreign capital NPAM
FDO(F) Benchmark aggregate factor demand
TOTLABO Benchmark total workers
LABFORO Benchmark labor suplly
XDO(I) Benchmark domestic sale
QO(I) Benchmark composite good supply
INO(I) Benchmark composite sectoral intermediate input
VAO(I) Benchmark composite sectoral value added
TOTINTO Benchmark sectoral total intermediate demand
YFO(F) Benchmark factor income summed over sector
YFSECTO(I) Benchmark factor income by sector
YHO(H) Benchmark household income
YCORPO Benchmark company income
STKINVO(I) Benchmark domestic total investment
STKDO(I) Benchmark change in domestic inventory investment
IDDO(I) Benchmark sectoral domestic fixed investment

Disertasi OM Final I-22


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

STKMO(I) Benchmark change in imported inventory investment


IDMO(I) Benchmark sectoral imported fixed investment
IDO(I) Benchmark total sectoral fixed investment
STKO(I) Benchmark sectoral total change in inventory investment
FXDINVO Benchmark total investment
DKO(I) Benchmark fixed investment by destination
SAVINGO Benchmark total saving
INVESTO Benchmark total investment
SAVROWO Benchmark saving abroad
RGDPO Benchmark gross domestic product
GDVAO Benchmark gross domestic value added
CURRACWO Benchmark current account ROW

*# Read in parameters as rates, shares, and elasticity


RHOX(I) Production function exponent
RHOEX(I) Export function exponent
RHOIM(I) Import function exponent
RHOV(I) Value added function exponent

*# Calculate parameters as rates and shares:


TH(H) Benchmark household income tax
MPS(H) Benchmark household marginal propensity to save
CSAV Benchmark saving rate for company
CCOR Benchmark income rate for company
CTAX Benchmark tax rate for corporate income
INVO(I) Benchmark change inventory investment rate
CGSO(I) Benchmark government consumption shares
TGOV(H) Government transfer to household shares
ITXO(I) Benchmark indirect tax rate
TMO(I) Benchmark import tarif rate
ZZ(I) Share of investment by sector
IO(I,J) Input-output coefficient
CHSO(I,H) Household consumption shares
THS(H,HH) Transfer among household shares
TROWS(H) Transfer households to ROW shares
THR(H) Household transfer to ROW
CTH(H) Company transfer to household shares
SEDW(H,FLAB) Share household endowment of labor
SFROW(F) Share factor income to ROW
SHHCPAM(H) Share of capital PAM owned by households
SHHCNPAM(H) Share of capital NPAM owned by households
SGOVCPAM Share of capital PAM owned by government
SGOVCNAM Share of capital NPAM owned by government
SCORCPAM Share of capital PAM owned by company
SCORCNAM Share of capital NPAM owned by company
SROWCPAM Share of capital PAM owned by ROW
SROWCNAM Share of capital NPAM owned by ROW
CTR Share of company payment to the ROW
ALPHAXO(I) Production function shift parameter
BETAX(I) Production function share parameter
IOMIO(J,I) Fixed coefficient of material input
ALPHAEX(I) Export function shift parameter
BETAEX(I) Export function share parameter
BETAIM(I) Domestic supply share parameter in import model
ALPHAIM(I) Import function shift parameter
ALPHAVO(I) Value added function shift parameter
BETAV(I,F) Value added function share parameter

Disertasi OM Final I-23


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

QD(I) Dummy variable for computing shift and share parameters


SUMSHH Sum of share correction parameter
SUMFHH(F) Sum of share correction parameter
TMREALO(I) Real tariff rate
WTD(I) Domestic price index weight
WTQ(I) Composite price index weight
SUMSH(I) Calibration sum parameter
DUMCEK(I,F) Dummy Variable ;

*===============================================================================
*# Parameter and benchmark variables assignment
*## Extract benchmark variables from the SAM and Import tables:

*Benchmark sectoral domestic output


XO(I) = SAM(I,"TOTAL");

*Benchmark sectoral export to abroad


XEXO(I) = SAM(I,"ROW");

*Benchmark commodity Import non-domestic


XIMO(I) = SUM(H,IMPORTLN(I,H))+SUM(OI,IMPORTLN(I,OI))
+SUM(J,IMPORTLN(I,J))+IMPORTLN(I,"FXDCAP")+IMPORTLN(I,"INVSTK");

*Benchmark Intermediate demand domestic


INTDO(I,J) = SAM(I,J);

*Benchmark sectoral Intermediate demand


INTO(I,J) = SAM(I,J)+IMPORTLN(I,J);

*Benchmark sectoral imported input from abroad


INTIMO(I) = SAM("ROW",I);

*Benchmark total sectoral indirect tax minus subsidy


ITXSBO(I) = SAM("INTXSUB",I);

*Benchmark sectoral factor income


FINCO(I,F) = SAM(F,I);

*Benchmark factor income from abroad


FIROWO(F) = SAM(F,"ROW");

*Benchmark household domestic demand


CHDO(I,H) = SAM(I,H);

*Benchmark household demand


CDO(I,H) = CHDO(I,H)+IMPORTLN(I,H);

*Benchmark HH transfer to ROW excluded imported goods


HHTROWO(H) = HHTR("ROW",H);

*Benchmark Domestic Government demand


CDGOVO(I) = SAM(I,"GOVERN");

*Benchmark sectoral government demand


CGOVO(I) = CDGOVO(I)+IMPORTLN(I,"GOVERN");

Disertasi OM Final I-24


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

*Benchmark government transfer net to ROW


GOVROWO = SAM("ROW","GOVERN")-SUM(I,IMPORTLN(I,"GOVERN"))
-GOVINTRO-GOVAMORO+GOVBORO;

*Benchmark factor income transfer to ROW


FROWO(F) = SAM("ROW",F);

*Benchmark ROW income from tax


ROWTAXO = SAM("INTXSUB","ROW");

*Benchmark households transfer to ROW


HHROWO(H) = HHTROWO(H) + SUM(I,IMPORTLN(I,H));

*Benchmark company transfer to ROW


CORROWO = SAM("ROW","COMPANY")-CORINTRO;

*Benchmark ROW transfer to ROW


ROWTROWO = SAM("ROW","ROW");

*Benchmark Domestic Household,Government and Corporate Savings


HSAVO(H) = SAM("CAPACC",H);
GOVSAVO = SAM("CAPACC","GOVERN");
CORSAVO = SAM("CAPACC","COMPANY");
HHTRO(H,HH) = SAM(H,HH);
HHTAXO(H) = SAM("GOVERN",H);
GOVTRO(H) = SAM(H,"GOVERN");
GOVGOVO = SAM("GOVERN","GOVERN");
CORTRO(H) = SAM(H,"COMPANY");
CORTCORO = SAM("COMPANY","COMPANY");
CORTAXO = SAM("GOVERN","COMPANY");
HFO(H,F) = SAM(H,F);
CORFAMO = SAM("COMPANY","CAPAM");
CORFNAMO = SAM("COMPANY","CAPNAM");
GOVFAMO = SAM("GOVERN","CAPAM");
GOVFNAMO = SAM("GOVERN","CAPNAM");
ROWFAMO = SAM("ROW","CAPAM");
ROWFNAMO = SAM("ROW","CAPNAM");
ROWHHO(H) = SAM(H,"ROW");
ROWCORO = SAM("COMPANY","ROW")-CORBORO+CORAMORO;
ROWGOVO = SAM("GOVERN","ROW");
GOVTXO = SAM("GOVERN","INTXSUB");
IMPTXO(I) = IMPORTLN(I,"TAX");
TARIFFO = SUM(I, IMPTXO(I));

*### Benchmark for Investment

*#Foreign abroad Investment


FORINVO = SAM("CAPACC","ROW");

*#Benchmark sectoral depreciation rate


DEPR(I) = FIXCAP(I,"DEPRE");

*# benchmark total fixed investment by destination


DKO(I) = FIXCAP(I,"FXIN");

*# benchmark total sectoral fixed investment


IDO(I) = SUM(J, ICAP(I,J)*DKO(J));

Disertasi OM Final I-25


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

*#Benchmark sectoral foreign imported fixed investment


IDMO(I) = IMPORTLN(I,"FXDCAP");

*# sectoral domestic fixed investment


IDDO(I) = IDO(I)-IDMO(I);

*#Total Investment
STKINVO(I) = SAM(I,"CAPACC") ;

*#Benchmark change in domestic inventory


STKDO(I) = SAM(I,"CAPACC") - IDDO(I);

*#Benchmark change in imported foreign inventory investment


STKMO(I) = IMPORTLN(I,"INVSTK");

*#Benchmark sectoral total change in inventory investment


STKO(I) = STKDO(I)+STKMO(I);

*# Benchmark saving abroad


SAVROWO = -SUM(I, STKMO(I)+IDMO(I))+SAM("ROW","CAPACC");

*# Benchmark subsidy and transfer


TRANSFO = 0.00;
SUBO(PLTW1,H) = 0.00;
TOTSUBSO = 0.00;

*#####################SAM Construction##############################

*=====SAM Based=========

SET ACC Social Accounts


/VALUAD,HOUSEHOLDS,CORPO,GOVT,ACTIVITY,COMMODITY
KACCOUNT,INTXSUB,WORLD,TOTAL/;

ALIAS(ACC,ACCP);

PARAMETERS
SAMREC(ACC,ACCP) rows in initial accounts
SAMEXP(ACC,ACCP) columns in initial accounts
TOTREC(ACC) row sum in initial accounts
TOTEXP(ACCP) column sum in initial accounts
ROWTOT(ACC) row totals in FINALSAM
COLTOT(ACCP) column totals in FINALSAM
FINALSAM(ACC,ACCP) social accounting matrix
SAMDIFF(ACC) receipts minus expenditures in FINALSAM;

*=====RECEIVES

* VALUEADDED
SAMREC("VALUAD","ACTIVITY") = SUM(F, SUM(I, FINCO(I,F)));
SAMREC("VALUAD","WORLD") = SUM(F, FIROWO(F));
TOTREC("VALUAD") = SUM(ACCP,SAMREC("VALUAD",ACCP));

* HOUSEHOLDS
SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SUM((H,F), HFO(H,F));
SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SUM((H,HH),HHTRO(H,HH));

Disertasi OM Final I-26


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT") = SUM(H, GOVTRO(H));


SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO") = SUM(H, CORTRO(H));
SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD") = SUM(H, ROWHHO(H));
TOTREC("HOUSEHOLDS") = SUM(ACCP,SAMREC("HOUSEHOLDS",ACCP));

* GOVT
SAMREC("GOVT","VALUAD") = GOVFAMO+GOVFNAMO;
SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS") = SUM(H, HHTAXO(H));
SAMREC("GOVT","GOVT") = GOVGOVO;
SAMREC("GOVT","CORPO") = CORTAXO;
SAMREC("GOVT","INTXSUB") = GOVTXO + TARIFFO;
SAMREC("GOVT","WORLD") = ROWGOVO;
TOTREC("GOVT") = SUM(ACCP,SAMREC("GOVT",ACCP));

* CORPORATE
SAMREC("CORPO","VALUAD") = CORFAMO+CORFNAMO;
SAMREC("CORPO","CORPO") = CORTCORO;
SAMREC("CORPO","WORLD") = ROWCORO+CORBORO-CORAMORO;
TOTREC("CORPO") = SUM(ACCP,SAMREC("CORPO",ACCP));

* ACTIVITY
SAMREC("ACTIVITY","HOUSEHOLDS") = SUM((I,H),CHDO(I,H));
SAMREC("ACTIVITY","GOVT") = SUM(I,CDGOVO(I));
SAMREC("ACTIVITY","ACTIVITY") = SUM(I,SUM(J,INTDO(I,J)));
SAMREC("ACTIVITY","KACCOUNT") = SUM(I,STKDO(I)+IDDO(I));
SAMREC("ACTIVITY","WORLD") = SUM(I,XEXO(I));
TOTREC("ACTIVITY") = SUM(ACCP,SAMREC("ACTIVITY",ACCP));

* SAVINGS
SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = SUM(H, HSAVO(H));
SAMREC("KACCOUNT","GOVT") = GOVSAVO;
SAMREC("KACCOUNT","CORPO") = CORSAVO;
SAMREC("KACCOUNT","WORLD") = FORINVO;
TOTREC("KACCOUNT") = SUM(ACCP,SAMREC("KACCOUNT",ACCP));

* NET INDIRECT TAX (INDIRECT TAX MINUS SUBSIDY)


SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY") = SUM(I, ITXSBO(I));
SAMREC("INTXSUB","WORLD") = ROWTAXO + SUM(I, IMPTXO(I));
TOTREC("INTXSUB") = SUM(ACCP,SAMREC("INTXSUB",ACCP));

* WORLD ACCOUNT
SAMREC("WORLD","VALUAD") = SUM(F,FROWO(F));
SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS") = SUM(H,HHROWO(H));
SAMREC("WORLD","GOVT") = GOVROWO+GOVINTRO+GOVAMORO-GOVBORO
+SUM(I,IMPORTLN(I,"GOVERN"));
SAMREC("WORLD","CORPO") = CORROWO+CORINTRO;
SAMREC("WORLD","ACTIVITY") = SUM((I,J),IMPORTLN(I,J));
SAMREC("WORLD","KACCOUNT") = SAVROWO+SUM(I, STKMO(I)+IDMO(I));
SAMREC("WORLD","WORLD") = ROWTROWO;
TOTREC("WORLD") = SUM(ACCP,SAMREC("WORLD",ACCP));

*= EXPENDITURES

* VALUEADDED
SAMEXP("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD");
SAMEXP("GOVT","VALUAD") = SAMREC("GOVT","VALUAD");
SAMEXP("CORPO","VALUAD") = SAMREC("CORPO","VALUAD");

Disertasi OM Final I-27


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

SAMEXP("WORLD","VALUAD") = SAMREC("WORLD","VALUAD");
TOTEXP("VALUAD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"VALUAD"));

*HOUSEHOLDS
SAMEXP("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("GOVT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("ACTIVITY","HOUSEHOLDS") = SAMREC("ACTIVITY","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("WORLD","HOUSEHOLDS") = SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS");
TOTEXP("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"HOUSEHOLDS"));

*GOVERNMENT
SAMEXP("HOUSEHOLDS","GOVT") = SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT");
SAMEXP("GOVT","GOVT") = SAMREC("GOVT","GOVT");
SAMEXP("ACTIVITY","GOVT") = SAMREC("ACTIVITY","GOVT");
SAMEXP("KACCOUNT","GOVT") = SAMREC("KACCOUNT","GOVT");
SAMEXP("WORLD","GOVT") = SAMREC("WORLD","GOVT");
TOTEXP("GOVT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"GOVT"));

*CORPORATE
SAMEXP("HOUSEHOLDS","CORPO") = SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO");
SAMEXP("CORPO","CORPO") = SAMREC("CORPO","CORPO");
SAMEXP("GOVT","CORPO") = SAMREC("GOVT","CORPO");
SAMEXP("KACCOUNT","CORPO") = SAMREC("KACCOUNT","CORPO");
SAMEXP("WORLD","CORPO") = SAMREC("WORLD","CORPO");
TOTEXP("CORPO") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"CORPO"));

*ACTIVITY
SAMEXP("VALUAD","ACTIVITY") = SAMREC("VALUAD","ACTIVITY");
SAMEXP("ACTIVITY","ACTIVITY") = SAMREC("ACTIVITY","ACTIVITY");
SAMEXP("INTXSUB","ACTIVITY") = SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY");
SAMEXP("WORLD","ACTIVITY") = SAMREC("WORLD","ACTIVITY");
TOTEXP("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"ACTIVITY"));

*INVESTMENTS
SAMEXP("ACTIVITY","KACCOUNT") = SAMREC("ACTIVITY","KACCOUNT");
SAMEXP("WORLD","KACCOUNT") = SAMREC("WORLD","KACCOUNT");
TOTEXP("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"KACCOUNT"));

* TAX COLLECTION
SAMEXP("GOVT","INTXSUB") = SAMREC("GOVT","INTXSUB");
TOTEXP("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"INTXSUB"));

*WORLD ACCOUNT
SAMEXP("GOVT","WORLD") = SAMREC("GOVT","WORLD");
SAMEXP("ACTIVITY","WORLD") = SAMREC("ACTIVITY","WORLD");
SAMEXP("KACCOUNT","WORLD") = SAMREC("KACCOUNT","WORLD");
SAMEXP("WORLD","WORLD") = SAMREC("WORLD","WORLD");
SAMEXP("VALUAD","WORLD") = SAMREC("VALUAD","WORLD");
SAMEXP("HOUSEHOLDS","WORLD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD");
SAMEXP("CORPO","WORLD") = SAMREC("CORPO","WORLD");
SAMEXP("INTXSUB","WORLD") = SAMREC("INTXSUB","WORLD");
TOTEXP("WORLD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"WORLD"));

Disertasi OM Final I-28


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

* ========================== BALANCE ACCOUNTS =========================

* DEFINE PARAMETERS FOR MATRIX CHECKING


FINALSAM(ACC,ACCP) = SAMEXP(ACC,ACCP);
COLTOT(ACCP) = TOTEXP(ACCP);
ROWTOT(ACC) = TOTREC(ACC);
SAMDIFF(ACC) = TOTREC(ACC) - TOTEXP(ACC);
OPTION DECIMALS = 5;
DISPLAY "*** SAM BASED: FOR JAKARTA MODEL";
DISPLAY FINALSAM,COLTOT,ROWTOT,SAMDIFF;

*###########################End of SAM Construction######################

*## Calibrate the investment capital coefficients

SUMSH(J) = SUM(I, ICAP(I,J));


ICAP(I,J) = ICAP(I,J)/SUMSH(J);

DISPLAY SUMSH, ICAP;

*## Compute benchmark variables:


PXO(I) = 1;
PQO(I) = 1;
PDO(I) = 1;
PNO(I) = 1;
PVO(I) = 1;
PEO(I) = 1;
PMO(I) = 1;

*# Factor input price


WFO(I,F)$FACDEMO(I,F) = FINCO(I,F)/FACDEMO(I,F);
WFO(I,F)$(FACDEMO(I,F) EQ 0) = 0.0;

*# Average input price


WAO(F) = SUM(I, FINCO(I,F))/SUM(I, FACDEMO(I,F));

*# Benchmark proportional factor input price


WFDISTO(I,F) = WFO(I,F)/WAO(F);

*Benchmark households endowments


EDWO(H,F) = HFO(H,F)/WAO(F);

*Benchmark sectoral total intermediate demand


TOTINTO(I) = SUM(J, INTO(I,J));

*Benchmark foreign capital


CORCAMO = CORFAMO/WAO("CAPAM");
CORCNAMO = CORFNAMO/WAO("CAPNAM");
GOVCAMO = GOVFAMO/WAO("CAPAM");
GOVCNAMO = GOVFNAMO/WAO("CAPNAM");
FDO(F) = SUM(I, FACDEMO(I,F));
TOTLABO = SUM(FLAB, FDO(FLAB));
LABFORO = SUM(FLAB, FDO(FLAB))+UNEMPLO;
XDO(I) = XO(I)-XEXO(I);
QO(I) = XDO(I)+XIMO(I);
YCORPO = CORFAMO+CORFNAMO+CORTCORO+ROWCORO+CORBORO-CORAMORO-CORINTRO;

Disertasi OM Final I-29


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

YHO(H) = SUM(F, HFO(H,F))+SUM(HH, HHTRO(H,HH))+GOVTRO(H)+CORTRO(H)


+ROWHHO(H);
YFO(F) = SUM(I, FINCO(I,F))+FIROWO(F);
YFSECTO(I) = SUM(F, FINCO(I,F));
SAVINGO = SUM(H, HSAVO(H))+CORSAVO+GOVSAVO-SAVROWO+FORINVO;
INVESTO = SAVINGO;
PKO(I) = SUM(J, ICAP(J,I)*PQO(J));
FXDINVO = INVESTO-SUM(I, STKO(I));

*##Define indexes based on read in data


IE(I) = yes$XEXO(I);
IEN(I) = not IE(I);
IM(I) = yes$XIMO(I);
IMN(I) = not IM(I);

*## Extract parameters from elasticity table


RHOX(I) = (1/ELAS("ELASX",I))-1;
RHOV(I) = (1/ELAS("ELASV",I))-1;
RHOEX(IE) = (1/ELAS("ELASEX",IE))+1;
RHOIM(IM) = (1/ELAS("ELASIM",IM))-1;

*## Compute parameters

SEDW(H,FLAB) = HFO(H,FLAB)/YFO(FLAB);
SFROW(FLAB) = FROWO(FLAB)/YFO(FLAB);
SUMFHH(FLAB) = SUM(H, SEDW(H,FLAB))+ SFROW(FLAB);

SEDW(H,FLAB) = SEDW(H,FLAB)/SUMFHH(FLAB);
SFROW(FLAB) = SFROW(FLAB)/SUMFHH(FLAB);

SHHCPAM(H) = HFO(H,"CAPAM")/YFO("CAPAM");
SCORCPAM = CORFAMO/YFO("CAPAM");
SGOVCPAM = GOVFAMO/YFO("CAPAM");
SROWCPAM = ROWFAMO/YFO("CAPAM");
SUMSHH = SUM(H,SHHCPAM(H))+SCORCPAM+SGOVCPAM+SROWCPAM;
SHHCPAM(H) = SHHCPAM(H)/SUMSHH;
SCORCPAM = SCORCPAM/SUMSHH;
SGOVCPAM = SGOVCPAM/SUMSHH;
SROWCPAM = SROWCPAM/SUMSHH;

SHHCNPAM(H) = HFO(H,"CAPNAM")/YFO("CAPNAM");
SCORCNAM = CORFNAMO/YFO("CAPNAM");
SGOVCNAM = GOVFNAMO/YFO("CAPNAM");
SROWCNAM = ROWFNAMO/YFO("CAPNAM");
SUMSHH = SUM (H,SHHCNPAM(H))+SCORCNAM+SGOVCNAM+SROWCNAM;
SHHCNPAM(H) = SHHCNPAM(H)/SUMSHH;
SCORCNAM = SCORCNAM/SUMSHH;
SGOVCNAM = SGOVCNAM/SUMSHH;
SROWCNAM = SROWCNAM/SUMSHH;

TH(H) = HHTAXO(H)/YHO(H);
MPS(H) = HSAVO(H)/(YHO(H)*(1-TH(H)));
TROWS(H) = HHTROWO(H)/(YHO(H)*(1-TH(H))*(1-MPS(H)));
CTAX = CORTAXO/YCORPO;
CCOR = CORTCORO/(YCORPO*(1-CTAX));
CSAV = CORSAVO/(YCORPO*(1-CTAX));
CTH(H) = CORTRO(H)/(YCORPO*(1-CTAX));

Disertasi OM Final I-30


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

CTR = CORROWO/(YCORPO*(1-CTAX));
SUMSHH = CCOR+CSAV+ SUM(H,CTH(H))+CTR;
CCOR = CCOR/SUMSHH;
CSAV = CSAV/SUMSHH;
CTH(H) = CTH(H)/SUMSHH;
CTR = CTR/SUMSHH;
INVO(I) = (STKDO(I)+STKMO(I))/(XO(I)+XIMO(I));

CGSO(I) = CGOVO(I)/(SUM(J, CGOVO(J))+SUM(H, GOVTRO(H)));


TGOV(H) = GOVTRO(H)/(SUM(J, CGOVO(J))+SUM(HH, GOVTRO(HH)));
SUMSHH = SUM(I, CGSO(I))+SUM(H, TGOV(H));
CGSO(I) = CGSO(I)/SUMSHH;
TGOV(H) = TGOV(H)/SUMSHH;

ITXO(I) = ITXSBO(I)/XO(I);
IO(I,J) = INTO(I,J)/XO(J);
SUMHHTRO(H) = SUM(HH, HHTRO(HH,H));

CHSO(I,H) = CDO(I,H)/(YHO(H)*(1-TH(H))*(1-MPS(H))*(1-TROWS(H)));
THS(HH,H) = HHTRO(HH,H)/(YHO(H)*(1-TH(H))*(1-MPS(H))*(1-TROWS(H)));
SUMHHTRO(H) = SUM(I, CHSO(I,H))+SUM(HH, THS(HH,H));
CHSO(I,H) = CHSO(I,H)/SUMHHTRO(H);
THS(HH,H) = THS(HH,H)/SUMHHTRO(H);
ZZ(I) = PKO(I)*DKO(I)/FXDINVO;

*## Specify parameters that depend on defined index IM

TMO(IM) = IMPTXO(IM)/(PMO(IM)*XIMO(IM)-IMPTXO(IM));
TMO(IMN) = 0.0;

*## Compute from benchmark data

PWEO(I) = PEO(I)/EXRO;
PWMO(I) = PMO(I)/((1+TMO(I))*EXRO);
TMREALO(I) = TMO(I)*PWMO(I)*EXRO;

*# Calculate value added and intermediate inputs

INO(I) = SUM(J,PQO(J)*INTO(J,I))/PNO(I);
VAO(I) = (PXO(I)*(1-ITXO(I))*XO(I)-PNO(I)*INO(I))/PVO(I);

*# Calibration of shift and share parameters

*## For import domestic and foreign


**## For import-domestic composite

BETAIM(I)$IM(I) = (PMO(I)/PDO(I))*(XIMO(I)/XDO(I))**(1+RHOIM(I));
BETAIM(I)$IM(I) = BETAIM(I)/(1.0+BETAIM(I));

ALPHAIM(I)$IM(I) = QO(I)/(BETAIM(I)*XIMO(I)**(-RHOIM(I))+(1-BETAIM(I))*XDO(I)
**(-RHOIM(I)))**(-1/RHOIM(I));
ALPHAIM(I)$IMN(I) = 1.0;

*## For export domestic and foreign

BETAEX(IE)$ELAS("ELASEX",IE) = (PEO(IE)/PDO(IE))*(XEXO(IE)/XDO(IE))
**(1-RHOEX(IE));

Disertasi OM Final I-31


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

BETAEX(IE)$ELAS("ELASEX",IE) = BETAEX(IE)/(1.0+BETAEX(IE));

ALPHAEX(IE)$ELAS("ELASEX",IE)= XO(IE)/(BETAEX(IE)*XEXO(IE)**RHOEX(IE)
+(1-BETAEX(IE))*XDO(IE)**RHOEX(IE))
**(1/RHOEX(IE));
ALPHAEX(I)$(ELAS("ELASEX",I) EQ 0) = 1.0;

*## For production sectors

BETAX(I) = (PNO(I)/PVO(I))*(INO(I)/VAO(I))**(1+RHOX(I));
BETAX(I) = BETAX(I)/(1.0+BETAX(I));
ALPHAXO(I) = XO(I)/(BETAX(I)*INO(I)**(-RHOX(I))+(1-BETAX(I))*VAO(I)
**(-RHOX(I)))**(-1/RHOX(I));
IOMIO(J,I) = INTO(J,I)/INO(I);

BETAV(NPLTW,"LABOR") = ((WAO("LABOR")*WFDISTO(NPLTW,"LABOR"))/(WAO("CAPNAM")
*WFDISTO(NPLTW,"CAPNAM")))*(FACDEMO(NPLTW,"LABOR")/
FACDEMO(NPLTW,"CAPNAM"))**(1+RHOV(NPLTW));
BETAV(NPLTW,"CAPNAM") = 1;
BETAV(NPLTW,"LABOR") = BETAV(NPLTW,"LABOR")*BETAV(NPLTW,"CAPNAM");

BETAV("WATPAM","LABOR") = ((WAO("LABOR")*WFDISTO("WATPAM","LABOR"))/
(WAO("CAPAM")*WFDISTO("WATPAM","CAPAM")))
*(FACDEMO("WATPAM","LABOR")/
FACDEMO("WATPAM","CAPAM"))**(1+RHOV("WATPAM"));
BETAV("WATPAM","CAPAM") = 1;
BETAV("WATPAM","LABOR") = BETAV("WATPAM","LABOR")*BETAV("WATPAM","CAPAM");

BETAV("WATNPAM","LABOR") = ((WAO("LABOR")*WFDISTO("WATNPAM","LABOR"))/
(WAO("CAPNAM")*WFDISTO("WATNPAM","CAPNAM")))*
(FACDEMO("WATNPAM","LABOR")/
FACDEMO("WATNPAM","CAPNAM"))**(1+RHOV("WATNPAM"));
BETAV("WATNPAM","CAPNAM")= 1;
BETAV("WATNPAM","LABOR") = BETAV("WATNPAM","LABOR")*BETAV("WATNPAM","CAPNAM");

QD(I) = 0;
QD(I) = SUM(F, BETAV(I,F));
BETAV(I,F) = BETAV(I,F)/QD(I);

ALPHAVO(I) = VAO(I)/(SUM(F, (BETAV(I,F)


*FACDEMO(I,F)**(-RHOV(I))))**(-1/RHOV(I)));

RGDPO = SUM(I, SUM(H, CDO(I,H))+STKO(I)+IDO(I)+CGOVO(I))+SUM(IE, XEXO(IE))


-SUM(IM, (1-TMREALO(IM))*XIMO(IM));

GDVAO = SUM(I, PVO(I)*VAO(I)+ITXSBO(I))+TARIFFO;

*# Benchmark current account balance with ROW

CURRACWO = SUM(F, FIROWO(F))+SUM(H, ROWHHO(H))+ROWGOVO+ROWCORO


+SUM(IE, PEO(IE)*XEXO(IE))+FORINVO+ROWTAXO
+SUM(I, TMO(I)*PWMO(I)*XIMO(I))+ROWTROWO+GOVBORO+CORBORO
-SUM(FLAB, SFROW(FLAB)*YFO(FLAB))-SROWCPAM*YFO("CAPAM")
-SROWCNAM*YFO("CAPNAM")-SUM(I,PWMO(I)*XIMO(I)*EXRO)
-SUM(H,HHTROWO(H))-GOVROWO-CORROWO-SAVROWO-GOVINTRO-CORINTRO
-GOVAMORO-CORAMORO-ROWTROWO;

Disertasi OM Final I-32


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

*## Specify weights for producer price index and price index

WTQ(I) = QO(I)/ SUM(J, QO(J));


WTD(I) = XO(I)/SUM(J, XO(J));
PINDEXO = SUM(I, WTQ(I)*PQO(I));
PINDOMO = SUM(I, WTD(I)*PQO(I));

* SECTION III THE CGE MODEL

VARIABLES
*# Variable declaration

*## Price block


EXR Exchange rate
PX(I) Average output price
PN(I) Intermediate input price
PV(I) Value added price
PQ(I) Average domestic demand price
PD(I) Domestic suply price
PK(I) Price for new capital
PE(I) Foreign price of export
PM(I) Foreign price of export
PWE(I) World market price for export (in $)
PWM(I) World market price for import (in $)
PINDEX Composite price index
PINDOM Domestic price index

*# Production block
TM(I) Import tax rate for foreign
ITX(I) Indirect tax rate
ALPHAX(I) Production function shift parameter
ALPHAV(I) Value added function shirt parameter
IOMI(I,J) Fixed coefficient of material input
X(I) Composite sectoral domestic output
XEX(I) Sectoral export to domestic
XIM(I) Sectoral import to domestic
XD(I) Domestic sale
Q(I) Composite good supply
IN(I) Composite sectoral intermediate input
VA(I) Composite sectoral value added

*# Factor block
FD(F) Factor demand
LABFOR Total labor forced
UNEMPL Total unemployment
FACDEM(I,F) Sectoral factor demand
WFDIST(I,F) Propotional sectoral factor input price
WA(F) Average factor input price
YF(F) Factor income

*# Income and expenditure block


CHS(I,H) Household consumption share parameters
CGS(I) Government consumption share parameters
CD(I,H) Final demand for household consumptions
HSAV Household savings
HHTAX Household income tax
YH(HH) Household income

Disertasi OM Final I-33


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

YCORP Company income


CORTCOR Company transfer to company
CORSAV Company savings
CORTAX Company income tax
CORBOR Company foreign borrowing from ROW
CORAMOR Company amortization payment on foreign debt
CORINTR Company interest payment on foreign debt
CGOV(I) Final demand for government consumption
GOVSAV Government savings
GOVTR(H) Government transfer to households
GOVFAM Government income from capital
GOVFNAM Government income from capital
GOVGOV Government transfer to GOVT
GR Government revenue
GOVBOR Government foreign borrowing
GOVAMOR Government amortization payment on foreign debt
GOVINTR Government interest payment on foreign debt
GOVBUD Total Government Consumption on Commodities
INDTAX Indirect tax revenue from commodity
TINDTAX Total indirect tax revenue
TARIFF Tariff revenue
TOTINT(I) Total intermediate uses
INVEST Total investment
TMREAL Real tariff rate
RGDP Real GDP
GDVA Gross Domestic Value Added
SAVING Total saving
DK(I) Fixed investment by sector of destination
FXDINV Total fixed investment
ID(I) Final demand for productive investment
INV(I) Share parameter for inventory stock
HHTROW Household transfer to ROW
INT(I,J) Intermediate uses
TOTSUBS Total subsidy for low income household using PAM water

*# Balance of payment block


SAVROW Saving abroad
FROW(F) Factor income transfer to ROW
GOVROW Net Government transfer to ROW
CORROW Company transfer to ROW
ROWHH(H) Household income from ROW
ROWCOR Company income from ROW
ROWGOV Government income from ROW
ROWTAX Tax income from ROW
ROWTRW ROW transfer to ROW
FIROW(F) Factor income from ROW
FORINV Foreign investment from ROW
HHTRW(H) Household transfer to ROW
CURRACW Current account ROW
TRANSF Central government transfer to local government
SUB(PLTW1,H) Water Subsidy to poor Households;

*# Variable initialization
EXR.L = EXRO;
TM.L(I) = TMO(I);
ITX.L(I) = ITXO(I);
ALPHAX.L(I) = ALPHAXO(I);

Disertasi OM Final I-34


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

ALPHAV.L(I) = ALPHAVO(I);
IOMI.L(J,I) = IOMIO(J,I);
PX.L(I) = PXO(I);
PN.L(I) = PNO(I);
PV.L(I) = PVO(I);
PQ.L(I) = PQO(I);
PD.L(I) = PDO(I);
PK.L(I) = PKO(I);
PE.L(I) = PEO(I);
PWE.L(I) = PWEO(I);
PWM.L(I) = PWMO(I);
PM.L(I) = PMO(I);
PINDEX.L = PINDEXO;
PINDOM.L = PINDOMO;
X.L(I) = XO(I);
XEX.L(I) = XEXO(I);
XIM.L(I) = XIMO(I);
XD.L(I) = XDO(I);
Q.L(I) = QO(I);
IN.L(I) = INO(I);
VA.L(I) = VAO(I);
FACDEM.L(I,F) = FACDEMO(I,F);
FD.L(F) = SUM(I, FACDEMO(I,F));
UNEMPL.L = UNEMPLO;
LABFOR.L = UNEMPL.L+SUM(FLAB, FD.L(FLAB));
WFDIST.L(I,F) = WFDISTO(I,F);
WA.L(F) = WAO(F);
YF.L(F) = YFO(F);
CGS.L(I) = CGSO(I);
CD.L(I,H) = CDO(I,H);
CHS.L(I,H) = CHSO(I,H);
GOVTR.L(H) = GOVTRO(H);
YH.L(HH) = YHO(HH);
HSAV.L = SUM(H, MPS(H)*YH.L(H)*(1-TH(H)));
HHTAX.L = SUM(H, TH(H)*YH.L(H));
HHTROW.L = SUM(H, TROWS(H)*YH.L(H)*(1-TH(H))*(1-MPS(H)));
YCORP.L = YCORPO;
CORTCOR.L = CORTCORO;
CORSAV.L = CORSAVO;
CORTAX.L = CORTAXO;
CORBOR.L = CORBORO;
CORAMOR.L = CORAMORO;
CORINTR.L = CORINTRO;
CGOV.L(I) = CGOVO(I);
GOVFAM.L = GOVFAMO;
GOVFNAM.L = GOVFNAMO;
GOVGOV.L = GOVGOVO;
GOVSAV.L = GOVSAVO;
GOVBOR.L = GOVBORO;
GOVAMOR.L = GOVAMORO;
GOVINTR.L = GOVINTRO;
INDTAX.L = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I));
TINDTAX.L = INDTAX.L+ROWTAXO;
INT.L(I,J) = INTO(I,J);
TOTINT.L(I) = SUM(J, INTO(I,J));
FXDINV.L = FXDINVO;
INVEST.L = INVESTO;

Disertasi OM Final I-35


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

SAVING.L = SAVINGO;
DK.L(I) = DKO(I);
ID.L(I) = IDO(I);
INV.L(I) = INVO(I);
SAVROW.L = SAVROWO;
FORINV.L = FORINVO;
FROW.L(F) = FROWO(F);
GOVROW.L = GOVROWO;
CORROW.L = CORROWO;
ROWHH.L(H) = ROWHHO(H);
HHTRW.L(H) = HHTROWO(H);
ROWCOR.L = ROWCORO;
ROWGOV.L = ROWGOVO;
FIROW.L(F) = FIROWO(F);
ROWTAX.L = ROWTAXO;
ROWTRW.L = ROWTROWO;
TARIFF.L = TARIFFO;
GR.L = TARIFF.L+INDTAX.L+ROWTAX.L+CORTAX.L+HHTAX.L+GOVFAM.L+GOVFNAM.L
+ROWGOV.L+GOVGOV.L+GOVBOR.L;
GOVBUD.L = GR.L-GOVSAV.L-GOVROW.L-GOVINTR.L-GOVAMOR.L-GOVGOV.L;
TMREAL.L(I) = TMREALO(I);
RGDP.L = RGDPO;
GDVA.L = GDVAO;
CURRACW.L = CURRACWO;
TRANSF.L = TRANSFO;
SUB.L(PLTW1,GH) = SUBO(PLTW1,GH);
TOTSUBS.L = TOTSUBSO;

*#########################SAM Construction##############################

SAMREC(ACC,ACCP)=0;
SAMEXP(ACC,ACCP)=0;

*== Before Optimality SAM

*= RECEIVES

* VALUEADDED
SAMREC("VALUAD","ACTIVITY") = SUM(F,SUM(I,WA.L(F)*WFDIST.L(I,F)*FACDEM.L(I,F)));
SAMREC("VALUAD","WORLD") = SUM(F, FIROW.L(F));
TOTREC("VALUAD") = SUM(ACC,SAMREC("VALUAD",ACC));

* HOUSEHOLDS
SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SUM(H,SUM(FLAB,SEDW(H,FLAB)*YF.L(FLAB))
+ SHHCPAM(H)*YF.L("CAPAM")+ SHHCNPAM(H)
*YF.L("CAPNAM"));
SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SUM((HH,H),(THS(HH,H)*(YH.L(H)*(1-TH(H))
*(1-MPS(H))*(1-TROWS(H)))));
SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT") = SUM(H, TGOV(H)*GOVBUD.L);
SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO") = SUM(H,CTH(H)*YCORP.L*(1-CTAX));
SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD") = SUM(H, ROWHH.L(H));
TOTREC("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMREC("HOUSEHOLDS",ACC));

* GOVT
SAMREC("GOVT","VALUAD") = SGOVCPAM*YF.L("CAPAM")+SGOVCNAM*YF.L("CAPNAM");
SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS") = SUM(H, YH.L(H)*TH(H));
SAMREC("GOVT","GOVT") = GOVGOV.L;

Disertasi OM Final I-36


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

SAMREC("GOVT","CORPO") = YCORP.L*CTAX;
SAMREC("GOVT","INTXSUB") = TINDTAX.L + SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*TM.L(I)
*XIM.L(I));
SAMREC("GOVT","WORLD") = ROWGOV.L+GOVBOR.L;
TOTREC("GOVT") = SUM(ACC,SAMREC("GOVT",ACC));

* CORPORATE
SAMREC("CORPO","VALUAD") = SCORCPAM*YF.L("CAPAM")+SCORCNAM*YF.L("CAPNAM");
SAMREC("CORPO","CORPO") = CCOR*YCORP.L*(1-CTAX);
SAMREC("CORPO","WORLD") = ROWCOR.L+CORBOR.L;
TOTREC("CORPO") = SUM(ACC,SAMREC("CORPO",ACC));

* ACTIVITY
SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY") = SUM(I, PD.L(I)*XD.L(I));
SAMREC("ACTIVITY","WORLD") = SUM(I, PE.L(I)*XEX.L(I));
TOTREC("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMREC("ACTIVITY",ACC));

*COMMODITY
SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SUM((I,H), PQ.L(I)*CD.L(I,H));
SAMREC("COMMODITY","GOVT") = SUM(I, PQ.L(I)*CGOV.L(I));
SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY") = SUM(I, PQ.L(I)*TOTINT.L(I));
SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT") = SUM(I, PQ.L(I)*(ID.L(I)+INV.L(I)*X.L(I)
+INV.L(I)*XIM.L(I)));
TOTREC("COMMODITY") = SUM(ACC, SAMREC("COMMODITY",ACC));

*SAVINGS
SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = HSAV.L;
SAMREC("KACCOUNT","GOVT") = GOVSAV.L;
SAMREC("KACCOUNT","CORPO") = CORSAV.L;
SAMREC("KACCOUNT","WORLD") = FORINV.L;
TOTREC("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMREC("KACCOUNT",ACC));

* NET INDIRECT TAX (INDIRECT TAX MINUS SUBSIDY)


SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY") = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I));
SAMREC("INTXSUB","WORLD") = ROWTAX.L+SUM(I,TM.L(I)*PWM.L(I)*XIM.L(I));
TOTREC("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMREC("INTXSUB",ACC));

* WORLD ACCOUNT
SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS") = SUM(H,HHTRW.L(H));
SAMREC("WORLD","GOVT") = GOVROW.L+GOVINTR.L+GOVAMOR.L;
SAMREC("WORLD","CORPO") = CORROW.L+CORINTR.L+CORAMOR.L;
SAMREC("WORLD","COMMODITY") = SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*XIM.L(I));
SAMREC("WORLD","VALUAD") = SUM(FLAB, SFROW(FLAB)*YF.L(FLAB))
+SROWCPAM*YF.L("CAPAM")+SROWCNAM
*YF.L("CAPNAM");
SAMREC("WORLD","KACCOUNT") = SAVROW.L+CURRACW.L;
SAMREC("WORLD","WORLD") = ROWTRW.L;
TOTREC("WORLD") = SUM(ACC,SAMREC("WORLD",ACC));

*= EXPENDITURES

* VALUEADDED
SAMEXP("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD");
SAMEXP("GOVT","VALUAD") = SAMREC("GOVT","VALUAD");
SAMEXP("CORPO","VALUAD") = SAMREC("CORPO","VALUAD");
SAMEXP("WORLD","VALUAD") = SAMREC("WORLD","VALUAD");
TOTEXP("VALUAD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"VALUAD"));

Disertasi OM Final I-37


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

*HOUSEHOLDS
SAMEXP("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("GOVT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("WORLD","HOUSEHOLDS") = SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS");
TOTEXP("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"HOUSEHOLDS"));

*GOVERNMENT
SAMEXP("HOUSEHOLDS","GOVT") = SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT");
SAMEXP("GOVT","GOVT") = SAMREC("GOVT","GOVT");
SAMEXP("ACTIVITY","GOVT") = SAMREC("ACTIVITY","GOVT");
SAMEXP("COMMODITY","GOVT") = SAMREC("COMMODITY","GOVT");
SAMEXP("KACCOUNT","GOVT") = SAMREC("KACCOUNT","GOVT");
SAMEXP("WORLD","GOVT") = SAMREC("WORLD","GOVT");
TOTEXP("GOVT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"GOVT"));

*CORPORATE
SAMEXP("HOUSEHOLDS","CORPO") = SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO");
SAMEXP("CORPO","CORPO") = SAMREC("CORPO","CORPO");
SAMEXP("GOVT","CORPO") = SAMREC("GOVT","CORPO");
SAMEXP("COMMODITY","CORPO") = SAMREC("COMMODITY","CORPO");
SAMEXP("KACCOUNT","CORPO") = SAMREC("KACCOUNT","CORPO");
SAMEXP("WORLD","CORPO") = SAMREC("WORLD","CORPO");
TOTEXP("CORPO") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"CORPO"));

*ACTIVITY
SAMEXP("VALUAD","ACTIVITY") = SAMREC("VALUAD","ACTIVITY");
SAMEXP("ACTIVITY","ACTIVITY") = SAMREC("ACTIVITY","ACTIVITY");
SAMEXP("COMMODITY","ACTIVITY") = SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY");
SAMEXP("INTXSUB","ACTIVITY") = SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY");
TOTEXP("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"ACTIVITY"));

*COMMODITY
SAMEXP("ACTIVITY","COMMODITY") = SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY");
SAMEXP("WORLD","COMMODITY") = SAMREC("WORLD","COMMODITY");
TOTEXP("COMMODITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"COMMODITY"));

* INVESTMENTS
SAMEXP("ACTIVITY","KACCOUNT") = SAMREC("ACTIVITY","KACCOUNT");
SAMEXP("COMMODITY","KACCOUNT") = SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT");
SAMEXP("WORLD","KACCOUNT") = SAMREC("WORLD","KACCOUNT");
TOTEXP("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"KACCOUNT"));

* TAX COLLECTION
SAMEXP("GOVT","INTXSUB") = SAMREC("GOVT","INTXSUB");
TOTEXP("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"INTXSUB"));

*WORLD ACCOUNT
SAMEXP("VALUAD","WORLD") = SAMREC("VALUAD","WORLD");
SAMEXP("HOUSEHOLDS","WORLD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD");
SAMEXP("GOVT","WORLD") = SAMREC("GOVT","WORLD");
SAMEXP("CORPO","WORLD") = SAMREC("CORPO","WORLD");
SAMEXP("ACTIVITY","WORLD") = SAMREC("ACTIVITY","WORLD");
SAMEXP("KACCOUNT","WORLD") = SAMREC("KACCOUNT","WORLD");
SAMEXP("INTXSUB","WORLD") = SAMREC("INTXSUB","WORLD");

Disertasi OM Final I-38


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

SAMEXP("WORLD","WORLD") = SAMREC("WORLD","WORLD");
TOTEXP("WORLD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"WORLD"));

* ========================== BALANCE ACCOUNTS =========================

* DEFINE PARAMETERS FOR MATRIX CHECKING

FINALSAM(ACC,ACCP) = SAMEXP(ACC,ACCP);
COLTOT(ACC) = TOTEXP(ACC);
ROWTOT(ACCP) = TOTREC(ACCP);
SAMDIFF(ACC) = TOTREC(ACC) - TOTEXP(ACC);

OPTION DECIMALS = 5;

DISPLAY "*** BEFORE-OPTIMALITY SAM REPLICATION: FOR JAKARTA MODEL";


DISPLAY FINALSAM,COLTOT,ROWTOT,SAMDIFF;

* ====================================================================
*##########################CGE Program################################

EQUATIONS

*# Equation Declaration
*## Production Equations
PXDEF(I) Definition of producer price
PNDEF(I) Definition of intermediate input price
XFNC(I) Production functions
PROFITX(I) FOC production function
VAFNC(I) Value added industrial production
PROFITV1(NPLTW,F) FOC value added non water supply production
PROFITV2(PLTW1,F) FOC value added water supply PAM production
PROFITV3(PLTW2,F) FOC value added water supply non PAM production

*## Factor Labor


UNEMPLEQ Defining unemployment

*### Export and Import Equations


PMDEF(I) Definition of domestic import DM prices
PEDEF(I) Definition of domestic export DM prices
ABSORPTION(I) Value of domestic sales
SALES(I) Value of domestic output
CET1(I) CET export aggregation function
CET2(I) CET non export aggregation function
ESUPPLY(I) Export supply for foreign and domestic
ARMINGTON1(I) Composite good (Armington) aggregation function
ARMINGTON2(I) Composite good non import
COSTMIN(I) FOC for cost minimization of composite good
SUBSIDY1(I,GH) Water subsidy for poor community
SUBSIDY2(I,GH) Water subsidy for non poor community

*### Capital

PKDEF(I) Definition of capital good price


IEQ(I) Fix investment by destination
FIXEDINV Fixed investment net of inventory
PRODINV(I) Investment by sector of destination

Disertasi OM Final I-39


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

*## Income Equations

YFEQ(F) Labor factor income


HHINC1(H) Household incomes not getting water subsidy
HHINC2(H) Household incomes getting water subsidy
YCORPEQ Company income
TARIFDEF Tariff revenue
INDTAXDEF Indirect taxes
CORTAXDEF Company income tax revenue
HHTAXDEF Total household tax collected by government
GREV Government revenue
HSAVEQ Total household savings
CORSAVEQ Company savings
TOTSAV Total savings
CORTCREQ Corporate transfer to corporate
CORROWEQ Corporate transfer to ROW

*## Expenditure Equations

INTEQ(I) Total intermediate uses


CDEQ(I,H) Private consumption behaviour
RGDPEQ Real GDP
GDVAEQ Gross Domestic Value Added
GDEQ1(I) Government consumption behavior
TOTSUBEQ1 Total subsidy for low income household using PAM Water
TOTSUBEQ2 Total transfer from central governmant for low income
household using PAM Water

*## Market Clearing

EQUIL(I) Goods market equilibrium


FMEQUIL(F) Factor market equilibrium
GOVSAVEQ Government savings
CURRACWE Current account ROW equation

*## Price Index

PINDEXDEF Definition of general price index level


PINDOMDEF Definition of domestic price index level;

*# Equation Assignment

*## Production Sector

PXDEF(I).. PX(I)*X(I)*(1-ITX(I)) =E= PV(I)*VA(I)+PN(I)*IN(I);

PNDEF(I).. PN(I) =E= SUM(J, PQ(J)*IOMI(J,I));

XFNC(I).. X(I) =E= ALPHAX(I)*(BETAX(I)*IN(I)


**(-RHOX(I))+(1-BETAX(I))*VA(I)**(-RHOX(I)))
**(-1/RHOX(I));

PROFITX(I).. IN(I)/VA(I) =E= (PV(I)/PN(I)*BETAX(I)/(1-BETAX(I)))


**(1/(1+RHOX(I)));

VAFNC(I).. VA(I) =E= ALPHAV(I)*(SUM(F, BETAV(I,F)


*FACDEM(I,F)**(-RHOV(I))))**(-1/RHOV(I));

Disertasi OM Final I-40


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

PROFITV1(NPLTW,F)$FACDEMO(NPLTW,F).. FACDEM(NPLTW,F)/VA(NPLTW) =E=


((BETAV(NPLTW,F)*PV(NPLTW))/((ALPHAV(NPLTW)**RHOV(NPLTW))
*WA(F)*WFDIST(NPLTW,F)))**(1/(1+RHOV(NPLTW)));

PROFITV2(PLTW1,F)$FACDEMO(PLTW1,F).. FACDEM(PLTW1,F)/VA(PLTW1) =E=


((BETAV(PLTW1,F)*PV(PLTW1))/((ALPHAV(PLTW1)**RHOV(PLTW1))
*WA(F)*WFDIST(PLTW1,F)))**(1/(1+RHOV(PLTW1)));

PROFITV3(PLTW2,F)$FACDEMO(PLTW2,F).. FACDEM(PLTW2,F)/VA(PLTW2) =E=


((BETAV(PLTW2,F)*PV(PLTW2))/((ALPHAV(PLTW2)**RHOV(PLTW2))
*WA(F)*WFDIST(PLTW2,F)))**(1/(1+RHOV(PLTW2)));

*### Factor Labor

UNEMPLEQ.. LABFOR =E= UNEMPL+SUM(FLAB, FD(FLAB));

*### Export and Import Equation

PMDEF(IM).. PM(IM) =E= PWM(IM)*EXR*(1+TM(IM));

PEDEF(IE).. PE(IE) =E= PWE(IE)*EXR;

ABSORPTION(I).. PQ(I)*Q(I) =E= PD(I)*XD(I)+(PM(I)*XIM(I))$IM(I);

SALES(I).. PX(I)*X(I) =E= PD(I)*XD(I)+(PE(I)*XEX(I))$IE(I);

CET1(IE).. X(IE) =E= ALPHAEX(IE)*(BETAEX(IE)*XEX(IE)


**RHOEX(IE)+(1-BETAEX(IE))*XD(IE)**RHOEX(IE))**(1/RHOEX(IE));

CET2(IEN).. X(IEN) =E= XD(IEN);

ESUPPLY(IE).. XEX(IE)/XD(IE) =E= (PE(IE)/PD(IE)*(1-BETAEX(IE))


/BETAEX(IE))**(1/(RHOEX(IE)-1));

ARMINGTON1(IM).. Q(IM) =E= ALPHAIM(IM)*(BETAIM(IM)*XIM(IM)**(-RHOIM(IM))


+(1-BETAIM(IM))*XD(IM)**(-RHOIM(IM)))**(-1/RHOIM(IM));

ARMINGTON2(IMN).. Q(IMN) =E= XD(IMN);

COSTMIN(IM).. (XIM(IM)/XD(IM)) =E= (PD(IM)/PM(IM)


*BETAIM(IM)/(1-BETAIM(IM)))**(1/(1+RHOIM(IM)));

*### Capital

PKDEF(I).. PK(I) =E= SUM(J, ICAP(J,I)*PQ(J));

IEQ(I).. ID(I) =E= SUM(J, ICAP(I,J)*DK(J));

FIXEDINV.. FXDINV =E= INVEST - SUM(I, INV(I)*(X(I)+XIM(I))*PQ(I));

PRODINV(I).. PK(I)*DK(I) =E= ZZ(I)*FXDINV;

TOTSUBEQ1.. TOTSUBS =E= (ITX("WATPAM")-itxo("WATPAM"))


*PX("WATPAM")*X("WATPAM");

TOTSUBEQ2.. TOTSUBS =E= transf;

Disertasi OM Final I-41


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

*## Income Equations

SUBSIDY1("WATPAM",GH)$(Z("WATPAM") EQ 0).. SUB("WATPAM",GH) =E=


TOTSUBS*CDO("WATPAM",GH)/(SUM(GJ, CDO("WATPAM",GJ)));

SUBSIDY2("WATPAM",GH)$Z("WATPAM").. SUB("WATPAM",GH)=E=0;

*## Income Equations

YFEQ(F).. YF(F) =E= SUM(I, WA(F)*WFDIST(I,F)*FACDEM(I,F))+FIROW(F);

HHINC1(NGH).. YH(NGH) =E= SUM(FLAB, SEDW(NGH,FLAB)*YF(FLAB))+SHHCPAM(NGH)


*YF("CAPAM")+SHHCNPAM(NGH)*YF("CAPNAM")
+SUM(HH, THS(NGH,HH)*YH(HH)*(1-TH(HH))*(1-MPS(HH))*(1-TROWS(HH)))
+CTH(NGH)*YCORP*(1-CTAX)+TGOV(NGH)*GOVBUD+ROWHH(NGH);

HHINC2(GH).. YH(GH) =E= SUM(FLAB, SEDW(GH,FLAB)*YF(FLAB))


+SHHCPAM(GH)*YF("CAPAM")+SHHCNPAM(GH)*YF("CAPNAM")
+SUM(HH, THS(GH,HH)*YH(HH)*(1-TH(HH))*(1-MPS(HH))*(1-TROWS(HH)))
+CTH(GH)*YCORP*(1-CTAX)+TGOV(GH)*GOVBUD+ROWHH(GH)
+SUB("WATPAM",GH);

YCORPEQ.. YCORP =E= SCORCPAM*YF("CAPAM")+SCORCNAM*YF("CAPNAM")+CORTCOR


+ROWCOR+CORBOR-CORAMOR-CORINTR;

TARIFDEF.. TARIFF =E= SUM(I, TM(I)*XIM(I)*PWM(I))*EXR;

INDTAXDEF.. INDTAX =E= SUM(I, ITX(I)*PX(I)*X(I));

CORTAXDEF.. CORTAX =E= YCORP*CTAX;

HHTAXDEF.. HHTAX =E= SUM(H, TH(H)*YH(H));

GREV.. GR =E= TARIFF+INDTAX+CORTAX+HHTAX+ROWTAX+SGOVCPAM*YF("CAPAM")


+SGOVCNAM*YF("CAPNAM")+ROWGOV+GOVGOV+GOVBOR;

HSAVEQ.. HSAV =E= SUM(H, MPS(H)*YH(H)*(1-TH(H)));

CORSAVEQ.. CORSAV =E= CSAV*YCORP*(1-CTAX);

CORTCREQ.. CORTCOR =E= CCOR*YCORP*(1-CTAX);

CORROWEQ.. CORROW =E= CTR*YCORP*(1-CTAX);

TOTSAV.. SAVING =E= HSAV+CORSAV+GOVSAV-SAVROW+FORINV;

*## Expenditure equations

INTEQ(I).. TOTINT(I) =E= SUM(J, IOMI(I,J)*IN(J));

CDEQ(I,H).. PQ(I)*CD(I,H) =E= CHS(I,H)*YH(H)*(1-TH(H))*(1-MPS(H))*(1-TROWS(H));

GDEQ1(I).. PQ(I)*CGOV(I) =E= CGS(I)*GOVBUD;

Disertasi OM Final I-42


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

RGDPEQ.. RGDP =E= SUM(I, PQ(I)*(SUM(H, CD(I,H))+INV(I)*(X(I)+XIM(I))+ID(I)


+CGOV(I)))+SUM(IE, PE(IE)*XEX(IE))
-SUM(IM, (PM(IM)-TM(IM)*PWM(IM)*EXR)*XIM(IM));

GDVAEQ.. GDVA =E= SUM(I, PV(I)*VA(I))+INDTAX+TARIFF;

*## Market Clearing

EQUIL(I).. Q(I) =E= TOTINT(I)+SUM(H,CD(I,H))+CGOV(I)+ID(I)+


INV(I)*X(I)+INV(I)*XIM(I);

FMEQUIL(F).. SUM(I, FACDEM(I,F)) =E= FD(F);

GOVSAVEQ.. GR =E= GOVBUD+GOVSAV+GOVROW+GOVGOV+GOVINTR+GOVAMOR;

CURRACWE.. CURRACW =E= SUM(F, FIROW(F))+SUM(H, ROWHH(H))+ROWGOV+ROWCOR


+SUM(IE, PE(IE)*XEX(IE))+FORINV+ROWTAX+SUM(I, TM(I)*PWM(I)*XIM(I))
+ROWTRW+GOVBOR+CORBOR-SUM(FLAB, SFROW(FLAB)*YF(FLAB))
-SROWCPAM*YF("CAPAM")-SROWCNAM*YF("CAPNAM")
-SUM(I,PWM(I)*XIM(I)*EXR)-SUM(H,HHTRW(H))-GOVROW-CORROW
-SAVROW-GOVINTR-CORINTR-GOVAMOR-CORAMOR-ROWTRW;

*## Price Index

PINDEXDEF.. PINDEX =E= SUM(I, WTQ(I)*PQ(I));

PINDOMDEF.. PINDOM =E= SUM(I, WTD(I)*PQ(I));

* Some restrictions

*# Production function

ALPHAX.FX(I) = ALPHAX.L(I);
IOMI.FX(I,J) = IOMI.L(I,J);

*# Prices and commodities

PWE.FX(I) = PWE.L(I);
PWM.FX(I) = PWM.L(I);
PM.FX(IMN) = PM.L(IMN);
PE.FX(IEN) = PE.L(IEN);
XEX.FX(IEN) = 0;
XIM.FX(IMN) = 0;
PD.FX(I) = PD.L(I);

*# Tax rate

TM.FX(I) = TM.L(I);
ITX.FX(I) = ITX.L(I);

*# Household expenditure

CHS.FX(I,H) = CHS.L(I,H);

Disertasi OM Final I-43


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

*# Government expenditure

CGS.FX(I) = CGS.L(I);
GOVBUD.FX = GOVBUD.L;
GOVGOV.FX = GOVGOV.L;
TRANSF.FX = TRANSF.L;

*# Inventory

INV.FX(I) = INV.L(I);

* Model Closure

*# Foreign exchange market closure

EXR.FX = EXR.L;
CORINTR.FX = CORINTR.L;
CORAMOR.FX = CORAMOR.L;
CORBOR.FX = CORBOR.L;
GOVROW.FX = GOVROW.L;
ROWGOV.FX = ROWGOV.L;
GOVINTR.FX = GOVINTR.L;
GOVAMOR.FX = GOVAMOR.L;
GOVBOR.FX = GOVBOR.L;
ROWHH.FX(H) = ROWHH.L(H);
FIROW.FX(F) = FIROW.L(F);
SAVROW.FX = SAVROW.L;
FORINV.FX = FORINV.L;
ROWTRW.FX = ROWTRW.L;
HHTRW.FX(H) = HHTRW.L(H);
ROWTAX.FX = ROWTAX.L;
CURRACW.FX = CURRACW.L;

*# Factor market closure

FACDEM.FX(I,"CAPAM") = FACDEM.L(I,"CAPAM");
WFDIST.FX(NPLTW,"CAPAM") = 0;
WFDIST.FX("WATNPAM","CAPAM") = 0;
FACDEM.FX(I,"CAPNAM") = FACDEM.L(I,"CAPNAM");
WFDIST.FX("WATPAM","CAPNAM") = 0;
WFDIST.FX(I,"LABOR") = WFDIST.L(I,"LABOR");
FACDEM.FX("PLANT","LABOR") = FACDEM.L("PLANT","LABOR");
FACDEM.FX("TEXLEATH","LABOR") = FACDEM.L("TEXLEATH","LABOR");
UNEMPL.FX = UNEMPL.L;
LABFOR.FX = LABFOR.L;

*# Numeraire price index


PINDEX.FX = PINDEX.L;

* Solve and display


*##############################Benchmarking#################################

OPTION ITERLIM=0;
OPTION LIMROW=0, LIMCOL=0;
OPTION SOLPRINT=OFF, sysout = ON ;
MODEL ECGE0 /ALL/;
SOLVE ECGE0 USING MCP;

Disertasi OM Final I-44


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

*#########################SAM Construction##############################
SAMREC(ACC,ACCP)=0;
SAMEXP(ACC,ACCP)=0;

*== Post Optimality SAM

*= RECEIVES

* VALUEADDED

SAMREC("VALUAD","ACTIVITY") = SUM(F,SUM(I,WA.L(F)*WFDIST.L(I,F)*
FACDEM.L(I,F)));
SAMREC("VALUAD","WORLD") = SUM(F, FIROW.L(F));
TOTREC("VALUAD") = SUM(ACC,SAMREC("VALUAD",ACC));

* HOUSEHOLDS

SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SUM(H,SUM(FLAB,SEDW(H,FLAB)*YF.L(FLAB)))
+ SUM(H, SHHCPAM(H)*YF.L("CAPAM")
+ SHHCNPAM(H)*YF.L("CAPNAM"));
SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SUM((HH,H),(THS(HH,H)*(YH.L(H)*(1-TH(H))
*(1-MPS(H)))*SUMHHTRO(H)));
SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT") = SUM(H, TGOV(H)*GOVBUD.L);
SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO") = SUM(H,CTH(H)*YCORP.L*(1-CTAX));
SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD") = SUM(H, ROWHH.L(H));
TOTREC("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMREC("HOUSEHOLDS",ACC));

* GOVT

SAMREC("GOVT","VALUAD") = SGOVCPAM*YF.L("CAPAM")+SGOVCNAM*YF.L("CAPNAM");
SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS") = SUM(H, YH.L(H)*TH(H));
SAMREC("GOVT","GOVT") = GOVGOV.L;
SAMREC("GOVT","CORPO") = YCORP.L*CTAX;
SAMREC("GOVT","INTXSUB") = TINDTAX.L
+SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*TM.L(I)*XIM.L(I));
SAMREC("GOVT","WORLD") = ROWGOV.L+GOVBOR.L;
TOTREC("GOVT") = SUM(ACC,SAMREC("GOVT",ACC));

* CORPORATE

SAMREC("CORPO","VALUAD") = SCORCPAM*YF.L("CAPAM")+SCORCNAM*YF.L("CAPNAM");
SAMREC("CORPO","CORPO") = CCOR*YCORP.L*(1-CTAX);
SAMREC("CORPO","WORLD") = ROWCOR.L+CORBOR.L;
TOTREC("CORPO") = SUM(ACC,SAMREC("CORPO",ACC));

* ACTIVITY
SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY") = SUM(I, PD.L(I)*XD.L(I));
SAMREC("ACTIVITY","WORLD") = SUM(I, PE.L(I)*XEX.L(I));
TOTREC("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMREC("ACTIVITY",ACC));

*COMMODITY

SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SUM((I,H), PQ.L(I)*CD.L(I,H));


SAMREC("COMMODITY","GOVT") = SUM(I, PQ.L(I)*CGOV.L(I));
SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY") = SUM(I, PQ.L(I)*TOTINT.L(I));

Disertasi OM Final I-45


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT") = SUM(I, PQ.L(I)*(ID.L(I)+INV.L(I)*X.L(I)


+INV.L(I)*XIM.L(I)));
TOTREC("COMMODITY") = SUM(ACC, SAMREC("COMMODITY",ACC));

*SAVINGS

SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = HSAV.L;
SAMREC("KACCOUNT","GOVT") = GOVSAV.L;
SAMREC("KACCOUNT","CORPO") = CORSAV.L;
SAMREC("KACCOUNT","WORLD") = FORINV.L;
TOTREC("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMREC("KACCOUNT",ACC));

* NET INDIRECT TAX (INDIRECT TAX MINUS SUBSIDY)

SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY") = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I));


SAMREC("INTXSUB","WORLD") = ROWTAX.L+SUM(I,TM.L(I)*PWM.L(I)*XIM.L(I));
TOTREC("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMREC("INTXSUB",ACC));

* WORLD ACCOUNT

SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS") = SUM(H,HHTRW.L(H));
SAMREC("WORLD","GOVT") = GOVROW.L+GOVINTR.L+GOVAMOR.L;
SAMREC("WORLD","CORPO") = CORROW.L+CORINTR.L+CORAMOR.L;
SAMREC("WORLD","COMMODITY") = SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*XIM.L(I));
SAMREC("WORLD","VALUAD") = SUM(FLAB, SFROW(FLAB)*YF.L(FLAB))
+SROWCPAM*YF.L("CAPAM")+SROWCNAM*YF.L("CAPNAM");
SAMREC("WORLD","KACCOUNT") = SAVROW.L+CURRACW.L;
SAMREC("WORLD","WORLD") = ROWTRW.L;
TOTREC("WORLD") = SUM(ACC,SAMREC("WORLD",ACC));

*= EXPENDITURES

* VALUEADDED

SAMEXP("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD");
SAMEXP("GOVT","VALUAD") = SAMREC("GOVT","VALUAD");
SAMEXP("CORPO","VALUAD") = SAMREC("CORPO","VALUAD");
SAMEXP("WORLD","VALUAD") = SAMREC("WORLD","VALUAD");
TOTEXP("VALUAD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"VALUAD"));

*HOUSEHOLDS

SAMEXP("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("GOVT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("WORLD","HOUSEHOLDS") = SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS");
TOTEXP("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"HOUSEHOLDS"));

*GOVERNMENT

SAMEXP("HOUSEHOLDS","GOVT") = SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT");
SAMEXP("GOVT","GOVT") = SAMREC("GOVT","GOVT");
SAMEXP("COMMODITY","GOVT") = SAMREC("COMMODITY","GOVT");
SAMEXP("KACCOUNT","GOVT") = SAMREC("KACCOUNT","GOVT");
SAMEXP("WORLD","GOVT") = SAMREC("WORLD","GOVT");
TOTEXP("GOVT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"GOVT"));

Disertasi OM Final I-46


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

*CORPORATE

SAMEXP("HOUSEHOLDS","CORPO") = SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO");
SAMEXP("CORPO","CORPO") = SAMREC("CORPO","CORPO");
SAMEXP("GOVT","CORPO") = SAMREC("GOVT","CORPO");
SAMEXP("KACCOUNT","CORPO") = SAMREC("KACCOUNT","CORPO");
SAMEXP("WORLD","CORPO") = SAMREC("WORLD","CORPO");
TOTEXP("CORPO") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"CORPO"));

*ACTIVITY

SAMEXP("VALUAD","ACTIVITY") = SAMREC("VALUAD","ACTIVITY");
SAMEXP("COMMODITY","ACTIVITY") = SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY");
SAMEXP("INTXSUB","ACTIVITY") = SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY");
TOTEXP("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"ACTIVITY"));

*COMMODITY

SAMEXP("ACTIVITY","COMMODITY") = SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY");
SAMEXP("WORLD","COMMODITY") = SAMREC("WORLD","COMMODITY");
TOTEXP("COMMODITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"COMMODITY"));

* INVESTMENTS

SAMEXP("COMMODITY","KACCOUNT") = SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT");
SAMEXP("WORLD","KACCOUNT") = SAMREC("WORLD","KACCOUNT");
TOTEXP("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"KACCOUNT"));

* TAX COLLECTION

SAMEXP("GOVT","INTXSUB") = SAMREC("GOVT","INTXSUB");
TOTEXP("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"INTXSUB"));

*WORLD ACCOUNT

SAMEXP("VALUAD","WORLD") = SAMREC("VALUAD","WORLD");
SAMEXP("HOUSEHOLDS","WORLD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD");
SAMEXP("GOVT","WORLD") = SAMREC("GOVT","WORLD");
SAMEXP("CORPO","WORLD") = SAMREC("CORPO","WORLD");
SAMEXP("ACTIVITY","WORLD") = SAMREC("ACTIVITY","WORLD");
SAMEXP("KACCOUNT","WORLD") = SAMREC("KACCOUNT","WORLD");
SAMEXP("INTXSUB","WORLD") = SAMREC("INTXSUB","WORLD");
SAMEXP("WORLD","WORLD") = SAMREC("WORLD","WORLD");
TOTEXP("WORLD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"WORLD"));

* ========================== BALANCE ACCOUNTS =========================

* DEFINE PARAMETERS FOR MATRIX CHECKING


FINALSAM(ACC,ACCP) = SAMEXP(ACC,ACCP);
COLTOT(ACC) = TOTEXP(ACC);
ROWTOT(ACCP) = TOTREC(ACCP);
SAMDIFF(ACC) = TOTREC(ACC) - TOTEXP(ACC);
OPTION DECIMALS = 5;

DISPLAY "*** POST-OPTIMALITY SAM REPLICATION: FOR JAKARTA MODEL";

Disertasi OM Final I-47


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

DISPLAY FINALSAM,COLTOT,ROWTOT,SAMDIFF;

* ====================================================================

*Reporting

SET SCN /BASE, SCENARIO1 /


PRC / PD, PX, PQ, PE, PM /;

PARAMETER GDPDKI(SCN) GDP DKI Jakarta


HINC1(SCN,GH) Household income getting water subsidy
HINC2(SCN,NGH) Household income not getting water subsidy
FINC(SCN,F) Factor income
INVES(SCN) Total investment
GRE(SCN) Government Revenue
INTAX(SCN) Indirect Tax from commodity
SAVIN(SCN) Total saving
HHSAV(SCN,H) Household Saving
GSAV(SCN) Government Saving
PRICE(SCN,PRC,I) Commoditi prices
CONSU(SCN,H,PLTW) Household consumption
SUBSID(SCN,GH,PLTW1) Water subsidy;

GDPDKI("BASE") = RGDP.L;
HINC1("BASE",GH) = YH.L(GH);
HINC2("BASE",NGH) = YH.L(NGH);
FINC("BASE",F) = YF.L(F);
INVES("BASE") = INVEST.L;
GRE("BASE") = TARIFF.L+INDTAX.L+ROWTAX.L+CORTAX.L+HHTAX.L+GOVFAM.L
+GOVFNAM.L+ROWGOV.L+GOVGOV.L+GOVBOR.L;
INTAX("BASE") = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I));
SAVIN("BASE") = SAVING.L;
HHSAV("BASE",H) = MPS(H)*YH.L(H)*(1-TH(H));
GSAV("BASE") = GOVSAV.L;
PRICE("BASE","PD",I) = PD.L(I);
PRICE("BASE","PX",I) = PX.L(I);
PRICE("BASE","PQ",I) = PQ.L(I);
PRICE("BASE","PM",I) = PM.L(I);
PRICE("BASE","PE",I) = PE.L(I);
CONSU("BASE",H,PLTW) = CD.L(PLTW,H);
SUBSID("BASE",GH,PLTW1)= SUB.L(PLTW1,GH);

*##############################Counterfactual#################################

* Simulasi I kenaikan investasi air minum perpipaan

FACDEM.FX("WATPAM","CAPAM") = 1.1*FACDEM.L("WATPAM","CAPAM");

* Simulasi II Kenaikan investasi air minum nonperpipaan

FACDEM.FX("WATNPAM","CAPNAM") = 1.1*FACDEM.L("WATNPAM","CAPNAM");

* Simulasi III subsidi dari pajak air minum perpipaan

ITX.FX("WATPAM") = ITX.L("WATPAM")*1.1;

* Simulasi IV subsidi dari pemerintah pusat

Disertasi OM Final I-48


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

TRANSF.FX = 149;

* Simulasi V investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pajak air minum
* perpipaan utk RT miskin

FACDEM.FX("WATPAM","CAPAM") = 1.1*FACDEM.L("WATPAM","CAPAM");
ITX.FX(“WATPAM”) = ITX.L(“WATPAM”)*1.1;

* Simulasi VI investasi air minum perpipaan disertai subsidi dari pemerintah


* pusat utk RT miskin

FACDEM.FX("WATPAM","CAPAM") = 1.1*FACDEM.L("WATPAM","CAPAM");
TRANSF.FX = 149;

OPTION ITERLIM=1000;
MODEL ECGE1 /ALL/;
SOLVE ECGE1 USING MCP;

GDPDKI("SCENARIO1") =
RGDP.L;
HINC1("SCENARIO1",GH) =
YH.L(GH);
HINC2("SCENARIO1",NGH) =
YH.L(NGH);
FINC("SCENARIO1",F) =
YF.L(F);
INVES("SCENARIO1") =
INVEST.L;
GRE("SCENARIO1") =
TARIFF.L+INDTAX.L+ROWTAX.L+CORTAX.L+HHTAX.L+GOVFAM.L
+GOVFNAM.L+ROWGOV.L+GOVGOV.L+GOVBOR.L;
INTAX("SCENARIO1") = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I));
SAVIN("SCENARIO1") = SAVING.L;
HHSAV("SCENARIO1",H) = MPS(H)*YH.L(H)*(1-TH(H));
GSAV("SCENARIO1") = GOVSAV.L;
PRICE("SCENARIO1","PX",I) = PX.L(I);
PRICE("SCENARIO1","PQ",I) = PQ.L(I);
PRICE("SCENARIO1","PD",I) = PD.L(I);
PRICE("SCENARIO1","PM",I) = PM.L(I);
PRICE("SCENARIO1","PE",I) = PE.L(I);
CONSU("SCENARIO1",H,PLTW) = CD.L(PLTW,H);
SUBSID("SCENARIO1",GH,PLTW1) = SUB.L(PLTW1,GH);

PARAMETER DIFFGDP, DIFFHINC1(GH), DIFFHINC2(NGH), DIFFFINC(F), DIFFINV,


DIFFGR, DIFFITAX, DIFFTSAV, DIFFHSAV(H), DIFFGSAV,
DIFFPRICE(PRC,I), DIFFHCON(H,I);

DIFFGDP = GDPDKI("SCENARIO1")-GDPDKI("BASE");
DIFFHINC1(GH) = HINC1("SCENARIO1",GH)-HINC1("BASE",gH);
DIFFHINC2(NGH) = HINC2("SCENARIO1",NGH)-HINC2("BASE",NGH);
DIFFFINC(F) = FINC("SCENARIO1",F)-FINC("BASE",F);
DIFFINV = INVES("SCENARIO1")-INVES("BASE");
DIFFGR = GRE("SCENARIO1")-GRE("BASE");
DIFFITAX = INTAX("SCENARIO1")-INTAX("BASE");
DIFFTSAV = SAVIN("SCENARIO1")-SAVIN("BASE");
DIFFGSAV = GSAV("SCENARIO1")-GSAV("BASE");
DIFFHSAV(H) = HHSAV("SCENARIO1",H)-HHSAV("BASE",H);
DIFFPRICE(PRC,I) = PRICE("SCENARIO1",PRC,I)-PRICE("BASE",PRC,I);
DIFFHCON(H, PLTW) = CONSU("SCENARIO1",H,PLTW)-CONSU("BASE",H,PLTW);

PARAMETER PDIFGDP, PDIFHINC1(GH), PDIFHINC2(NGH), PDIFOUT(I), PDIFFINC(F),

Disertasi OM Final I-49


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

PDIFINV, PDIFGR, PDIFITAX, PDIFTSAV, PDIFHSAV(H), PDIFGSAV,


PDIFPRICE(PRC,I), PDIFHCON(H,I);

PDIFGDP = (GDPDKI("SCENARIO1")-GDPDKI("BASE"))/GDPDKI("BASE")*100;
PDIFHINC1(GH) = (HINC1("SCENARIO1",GH)-HINC1("BASE",GH))/HINC1("BASE",GH)*100;
PDIFHINC2(NGH) = (HINC2("SCENARIO1",NGH)-HINC2("BASE",NGH))
/HINC2("BASE",NGH)*100;
PDIFFINC(F) = (FINC("SCENARIO1",F)-FINC("BASE",F))/FINC("BASE",F)*100;
PDIFINV = (INVES("SCENARIO1")-INVES("BASE"))/INVES("BASE")*100;
PDIFGR = (GRE("SCENARIO1")-GRE("BASE"))/GRE("BASE")*100;
PDIFITAX = (INTAX("SCENARIO1")-INTAX("BASE"))/INTAX("BASE")*100;
PDIFTSAV = (SAVIN("SCENARIO1")-SAVIN("BASE"))/SAVIN("BASE")*100;
PDIFGSAV = (GSAV("SCENARIO1")-GSAV("BASE"))/GSAV("BASE")*100;
PDIFHSAV(H) = (HHSAV("SCENARIO1",H)-HHSAV("BASE",H))/HHSAV("BASE",H)*100;
PDIFPRICE(PRC,I) = (PRICE("SCENARIO1",PRC,I)-PRICE("BASE",PRC,I)
/PRICE("BASE",PRC,I))*100;
PDIFHCON(H,PLTW)$(CONSU("BASE",H,PLTW)) = (CONSU("SCENARIO1",H,PLTW)
-CONSU("BASE",H,PLTW))/CONSU("BASE",H,PLTW)*100;

*#########################SAM Construction##############################
SAMREC(ACC,ACCP)=0;
SAMEXP(ACC,ACCP)=0;

*== Post Optimality SAM-Counterfactual

*= RECEIVES

* VALUEADDED

SAMREC("VALUAD","ACTIVITY") = SUM(F,SUM(I,WA.L(F)*WFDIST.L(I,F)*
FACDEM.L(I,F)));
SAMREC("VALUAD","WORLD") = SUM(F, FIROW.L(F));
TOTREC("VALUAD") = SUM(ACC,SAMREC("VALUAD",ACC));

* HOUSEHOLDS

SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SUM(H,SUM(FLAB,SEDW(H,FLAB)*YF.L(FLAB)))
+ SUM(H, SHHCPAM(H)*YF.L("CAPAM")
+ SHHCNPAM(H)*YF.L("CAPNAM"));
SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SUM((HH,H),(THS(HH,H)*(YH.L(H)*(1-TH(H))
*(1-MPS(H)))*SUMHHTRO(H)));
SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT") = SUM(H, TGOV(H)*GOVBUD.L);
SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO") = SUM(H,CTH(H)*YCORP.L*(1-CTAX));
SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD") = SUM(H, ROWHH.L(H));
TOTREC("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMREC("HOUSEHOLDS",ACC));

* GOVT

SAMREC("GOVT","VALUAD") = SGOVCPAM*YF.L("CAPAM")+SGOVCNAM*YF.L("CAPNAM");
SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS") = SUM(H, YH.L(H)*TH(H));
SAMREC("GOVT","GOVT") = GOVGOV.L;
SAMREC("GOVT","CORPO") = YCORP.L*CTAX;
SAMREC("GOVT","INTXSUB") = TINDTAX.L
+SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*TM.L(I)*XIM.L(I));
SAMREC("GOVT","WORLD") = ROWGOV.L+GOVBOR.L;
TOTREC("GOVT") = SUM(ACC,SAMREC("GOVT",ACC));

Disertasi OM Final I-50


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

* CORPORATE

SAMREC("CORPO","VALUAD") = SCORCPAM*YF.L("CAPAM")+SCORCNAM*YF.L("CAPNAM");
SAMREC("CORPO","CORPO") = CCOR*YCORP.L*(1-CTAX);
SAMREC("CORPO","WORLD") = ROWCOR.L+CORBOR.L;
TOTREC("CORPO") = SUM(ACC,SAMREC("CORPO",ACC));

* ACTIVITY

SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY") = SUM(I, PD.L(I)*XD.L(I));


SAMREC("ACTIVITY","WORLD") = SUM(I, PE.L(I)*XEX.L(I));
TOTREC("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMREC("ACTIVITY",ACC));

*COMMODITY

SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SUM((I,H), PQ.L(I)*CD.L(I,H));


SAMREC("COMMODITY","GOVT") = SUM(I, PQ.L(I)*CGOV.L(I));
SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY") = SUM(I, PQ.L(I)*TOTINT.L(I));
SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT") = SUM(I, PQ.L(I)*(ID.L(I)+INV.L(I)*X.L(I)
+INV.L(I)*XIM.L(I)));
TOTREC("COMMODITY") = SUM(ACC, SAMREC("COMMODITY",ACC));

*SAVINGS

SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = HSAV.L;
SAMREC("KACCOUNT","GOVT") = GOVSAV.L;
SAMREC("KACCOUNT","CORPO") = CORSAV.L;
SAMREC("KACCOUNT","WORLD") = FORINV.L;
TOTREC("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMREC("KACCOUNT",ACC));

* NET INDIRECT TAX (INDIRECT TAX MINUS SUBSIDY)

SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY") = SUM(I, ITX.L(I)*PX.L(I)*X.L(I));


SAMREC("INTXSUB","WORLD") = ROWTAX.L+SUM(I,TM.L(I)*PWM.L(I)*XIM.L(I));
TOTREC("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMREC("INTXSUB",ACC));

* WORLD ACCOUNT

SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS") = SUM(H,HHTRW.L(H));
SAMREC("WORLD","GOVT") = GOVROW.L+GOVINTR.L+GOVAMOR.L;
SAMREC("WORLD","CORPO") = CORROW.L+CORINTR.L+CORAMOR.L;
SAMREC("WORLD","COMMODITY") = SUM(I, PWM.L(I)*EXR.L*XIM.L(I));
SAMREC("WORLD","VALUAD") = SUM(FLAB, SFROW(FLAB)*YF.L(FLAB))
+SROWCPAM*YF.L("CAPAM")+SROWCNAM*YF.L("CAPNAM");
SAMREC("WORLD","KACCOUNT") = SAVROW.L+CURRACW.L;
SAMREC("WORLD","WORLD") = ROWTRW.L;
TOTREC("WORLD") = SUM(ACC,SAMREC("WORLD",ACC));

*= EXPENDITURES

* VALUEADDED

SAMEXP("HOUSEHOLDS","VALUAD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","VALUAD");
SAMEXP("GOVT","VALUAD") = SAMREC("GOVT","VALUAD");

Disertasi OM Final I-51


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

SAMEXP("CORPO","VALUAD") = SAMREC("CORPO","VALUAD");
SAMEXP("WORLD","VALUAD") = SAMREC("WORLD","VALUAD");
TOTEXP("VALUAD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"VALUAD"));

*HOUSEHOLDS

SAMEXP("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS") = SAMREC("HOUSEHOLDS","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("GOVT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("GOVT","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("COMMODITY","HOUSEHOLDS") = SAMREC("COMMODITY","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("KACCOUNT","HOUSEHOLDS") = SAMREC("KACCOUNT","HOUSEHOLDS");
SAMEXP("WORLD","HOUSEHOLDS") = SAMREC("WORLD","HOUSEHOLDS");
TOTEXP("HOUSEHOLDS") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"HOUSEHOLDS"));

*GOVERNMENT

SAMEXP("HOUSEHOLDS","GOVT") = SAMREC("HOUSEHOLDS","GOVT");
SAMEXP("GOVT","GOVT") = SAMREC("GOVT","GOVT");
SAMEXP("COMMODITY","GOVT") = SAMREC("COMMODITY","GOVT");
SAMEXP("KACCOUNT","GOVT") = SAMREC("KACCOUNT","GOVT");
SAMEXP("WORLD","GOVT") = SAMREC("WORLD","GOVT");
TOTEXP("GOVT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"GOVT"));

*CORPORATE

SAMEXP("HOUSEHOLDS","CORPO") = SAMREC("HOUSEHOLDS","CORPO");
SAMEXP("CORPO","CORPO") = SAMREC("CORPO","CORPO");
SAMEXP("GOVT","CORPO") = SAMREC("GOVT","CORPO");
SAMEXP("KACCOUNT","CORPO") = SAMREC("KACCOUNT","CORPO");
SAMEXP("WORLD","CORPO") = SAMREC("WORLD","CORPO");
TOTEXP("CORPO") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"CORPO"));

*ACTIVITY

SAMEXP("VALUAD","ACTIVITY") = SAMREC("VALUAD","ACTIVITY");
SAMEXP("COMMODITY","ACTIVITY") = SAMREC("COMMODITY","ACTIVITY");
SAMEXP("INTXSUB","ACTIVITY") = SAMREC("INTXSUB","ACTIVITY");
TOTEXP("ACTIVITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"ACTIVITY"));

*COMMODITY

SAMEXP("ACTIVITY","COMMODITY") = SAMREC("ACTIVITY","COMMODITY");
SAMEXP("WORLD","COMMODITY") = SAMREC("WORLD","COMMODITY");
TOTEXP("COMMODITY") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"COMMODITY"));

* INVESTMENTS

SAMEXP("COMMODITY","KACCOUNT") = SAMREC("COMMODITY","KACCOUNT");
SAMEXP("WORLD","KACCOUNT") = SAMREC("WORLD","KACCOUNT");
TOTEXP("KACCOUNT") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"KACCOUNT"));

* TAX COLLECTION

SAMEXP("GOVT","INTXSUB") = SAMREC("GOVT","INTXSUB");
TOTEXP("INTXSUB") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"INTXSUB"));

*WORLD ACCOUNT

Disertasi OM Final I-52


Program CGE Air Minum DKI Jakarta

SAMEXP("VALUAD","WORLD") = SAMREC("VALUAD","WORLD");
SAMEXP("HOUSEHOLDS","WORLD") = SAMREC("HOUSEHOLDS","WORLD");
SAMEXP("GOVT","WORLD") = SAMREC("GOVT","WORLD");
SAMEXP("CORPO","WORLD") = SAMREC("CORPO","WORLD");
SAMEXP("ACTIVITY","WORLD") = SAMREC("ACTIVITY","WORLD");
SAMEXP("KACCOUNT","WORLD") = SAMREC("KACCOUNT","WORLD");
SAMEXP("INTXSUB","WORLD") = SAMREC("INTXSUB","WORLD");
SAMEXP("WORLD","WORLD") = SAMREC("WORLD","WORLD");
TOTEXP("WORLD") = SUM(ACC,SAMEXP(ACC,"WORLD"));

* ========================== BALANCE ACCOUNTS =========================

* DEFINE PARAMETERS FOR MATRIX CHECKING


FINALSAM(ACC,ACCP) = SAMEXP(ACC,ACCP);
COLTOT(ACC) = TOTEXP(ACC);
ROWTOT(ACCP) = TOTREC(ACCP);
SAMDIFF(ACC) = TOTREC(ACC) - TOTEXP(ACC);
OPTION DECIMALS = 5;

DISPLAY "*** POST-OPTIMALITY COUNTERFACTUAL SAM REPLICATION: FOR JAKARTA MODEL";


DISPLAY FINALSAM,COLTOT,ROWTOT,SAMDIFF;

* ====================================================================

*Reporting

DISPLAY GDPDKI, HINC1, HINC2, FINC, INVES, GRE, INTAX, SAVIN, PRICE, HHSAV,
GSAV, CONSU, SUBSID, DIFFGDP, DIFFHINC1, DIFFHINC2, DIFFFINC, DIFFINV,
DIFFGR, DIFFITAX, DIFFTSAV, DIFFHSAV, DIFFGSAV, DIFFHCON, PDIFGDP,
PDIFHINC1, PDIFHINC2, PDIFFINC, PDIFINV,
PDIFGR, PDIFITAX, PDIFTSAV, PDIFHSAV, PDIFGSAV, PDIFHCON;

Disertasi OM Final I-53

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai