RSS

Hari Ke 5 : Amsterdam – Munich (Edam, Volendam & Marken)

16 Jan

Oleh : Vicky Kurniawan

Udara pagi terasa dingin ketika saya menapakkan kaki keluar dari hostel. Termometer di hand phone sebenarnya masih menunjuk ke angka 12 derajat tapi dinginnya sudah ampun ampunan. Sambil menunggu suami dan ibu mertua check out saya mengamati tukang ledeng yang sedang bekerja memperbaiki pipa di sepanjang jalan Warmoesstraat. Ternyata susah juga memperbaiki pipa di sini mengingat jalanan yang sempit dan berbatu. Seperti layaknya kota-kota kuno di Eropa, jalan kebanyakan ditutupi dengan ubin atau batu dan bukan aspal. Tapi dengan mengerahkan sedikit tenaga bisa juga mas tukang mengangkat batu tersebut dan memeriksa pipa di dalamnya. Kalau diamati tukang pipanya ganteng juga. Kelihatan maskulin dengan celana jeans, kaos putih dan sabuk peralatan di pinggang. Coba kalau dibawa ke Indonesia bisa jadi artis dia. Sambil mengamatinya bekerja saya berpikir, “Duh, kalau pipanya diperbaiki pasti jalanan bakal tambah macet, soalnya jalan ini kan sempit,”. Tapi pemikiran saya ternyata salah karena petang harinya saat saya kembali ke hotel jalannya sudah rapi seperti sedia kala seolah-olah tidak pernah didongkel sama sekali. Bah, coba tukang-tukang PDAM di Indonesia seperti ini nggak bakalan ada tuh orang jatuh ke lubang galian sampai masuk rumah sakit.

Jalan Warmoesstraat depan Hostel Meeting Point

Jalan Warmoesstraat depan Hostel Meeting Point

Perhatian saya sedikit teralihkan ketika terdengar suara gedebuk keras barang-barang dijatuhkan dari tingkat atas rumah sebelah. Rupanya si penghuni sedang mengadakan pembersihan besar-besaran. Cara membersihkannya juga unik. Cukup menaruh gerobak sampah besar di bawah jendela dan mereka tinggal membuang barang-barang yang tidak dikehendaki melaluinya. Dengan begitu mereka tidak perlu naik turun tangga yang sempit untuk membuang sampah-sampah itu. Praktis juga. Saat akan memasukkan barang-barang berat ke dalam rumah, mereka mengikatnya dengan tali dan mengereknya masuk lewat jendela. Tidak heran banyak rumah-rumah kuno di Amsterdam yang memiliki kerekan di atapnya. Jadi kerekan disini memang ada fungsinya dan bukan sekedar hiasan saja.

Kerekan di atap rumah (atas) dan cara mereka memasukkan barang (bawah) Photo by : gypsynester.com

Kerekan di atap rumah (atas) dan cara mereka memasukkan barang (bawah) Photo by : gypsynester.com

Setelah selesai urusan check out dan menitipkan backpack, mulailah kami berjalan menuju stasiun Amsterdam Centraal untuk naik bis menjelajah dua kota dalam itinerary saya yaitu Volendam dan Marken.

Sepeda di Amsterdam

Dalam perjalanan menuju halte bis di Amsterdam Centraal, saya dibuat kagum melihat tempat parkir sepeda yang bertingkat-tingkat. Bukan sepeda motor tapi sepeda pancal. Yah, dengan jumlah sepeda lebih banyak dari jumlah penduduk seharusnya saya tidak perlu terlalu heran dengan hal tersebut. Bagi Amsterdammers, sepeda sudah menjadi bagian dari hidup. Hampir 58% warganya menggunakan sepeda untuk pergi kemana saja. Dari orang tua, anak-anak, remaja bahkan mbak-mbak kantoran dengan sepatu hak tinggi semuanya menggunakan sepeda. Jenis sepeda yang digunakan pun bermacam-macam dari city bikes, road bikes sampai mountain bikes. Tapi kebanyakan mereka menggunakan city bikes berjenis omafiets atau opafiets yang modelnya tidak banyak berubah sejak abad ke 18.

Tempat Parkir Sepeda (Fietsflat) dekat Amsterdam Centraal (atas), Omafiets (bawah)

Tempat Parkir Sepeda (Fietsflat) dekat Amsterdam Centraal (atas), Omafiets (bawah)

Omafiets atau di Indonesia disebut sepeda onthel atau sepeda kebo ini kebanyakan tidak memiliki rem di kemudinya, jadi bila ingin mengerem harus dikayuh balik ke belakang. Tapi jangan salah, dengan sepeda seberat itu mereka nyetirnya ngebut-ngebut loh. Maklum saja karena sepeda mendapatkan prioritas utama daripada mobil dan pejalan kaki. Jadi hati-hati kalau di jalan, jangan seperti saya yang tanpa sadar selalu nyelonong ke jalur sepeda hingga sering banget di kring-kring-kring sampai nyaring 🙂 . Untuk membedakan jalur sepeda sebenarnya mudah saja, tinggal cari jalur yang dicat warna merah dan bergambar sepeda. Nah itu tempat yang harus dihindari bila menjadi pejalan kaki.

Jalur Sepeda (Fietspad)

Jalur Sepeda (Fietspad)

Kalau melihat mereka ngebut naik sepeda, saya jadi berpikir “Pantas saja mereka sehat-sehat sampai tua, lha wong dari kecil sampai jadi kakek nenek setiap hari olahraga bersepeda”. Tanpa terasa sambil memperhatikan warga Amsterdam bersepeda sampailah kami di halte bis menuju Volendam.

Edam

Area Waterland yang berhubungan erat dengan perikanan seperti Volendam dan Marken dapat dicapai dengan menggunakan bis EBS dari terminal Amsterdam Centraal. Halte bis EBS ini terletak di sebelah utara Amsterdam Central station pada bagian yang menghadap IJ waterside. Untuk mencapainya kita bisa melewati jalur utama dalam stasiun sampai platform 14/15, kemudian berjalan terus sampai pintu exit utara dilanjutkan naik eskalator karena terminal bisnya berada di lantai atas. Di terminal ini terdapat kantor informasi sekaligus loket penjualan tiket EBS. Peta letak terminal bis EBS dapat dilihat pada gambar dibawah.

Ams_CS_IJzijde

Saat membeli tiket ke Volendam, petugasnya menawarkan Waterland day tickets seharga €10 untuk orang dewasa. Dengan tiket ini kita bisa naik jaringan bis EBS/R-NET tanpa batas sampai jam 1 malam. Areanya meliputi daerah-daerah Waterland mulai dari Broek, Edam, Marken, Monnickendam dan Volendam. Kalau mau kita bahkan bisa mencapai Graft-De Rijp, Hoorn , Middenbeemster dan  Purmereend. Tertarik dengan tiket ini akhirnya kami memutuskan membeli dan memperluas eksplorasi sampai ke Edam. Jadi Edam merupakan destinasi kagetan yang benar-benar di luar rencana. Sebenarnya kalau ada waktu pengennya jalan juga ke Broek dan Monnickendam yang berada antara Amsterdam dan Edam. Tapi apa daya waktunya sangat terbatas sehingga dari hasil berunding dengan suami, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi tiga tempat saja yaitu Edam, Volendam dan Marken. Selain di kantor EBS, Waterland day tickets ini dapat dibeli langsung ke supir EBS atau di VVV tourist information yang berada di depan Amsterdam central station. Untuk menggunakannya kita cukup menggesekkan kartu pada card readers yang berada dalam bis. Brosur mengenai Waterland Day Tickets dapat didownload di website localbus.nl .

Bis EBS menuju Edam

Bis EBS menuju Edam

Untuk menuju Edam Bus Station dari Amsterdam Central Station kita dapat naik bis EBS no. 110, 118, 312, 314, 316 dan 317. Jangan kuatir haltenya terlewat karena di dalam bis terdapat layar monitor yang memberitahukan tiap pemberhentian. Bila tidak yakin, minta pak sopir menurunkan kita di Edam Bus Station. Dari bus station ini kita harus berjalan lagi sekitar 500 mt untuk menuju pusat kotanya. Jangan kuatir capek karena pemandangan di sekitarnya cukup bagus. Bagi penggemar kota-kota atau desa-desa kuno khas Belanda, kota ini bisa menjadi alternatif destinasi walaupun menurut saya masih kalah bagus dari Marken. Bila mendengar kata Edam, tidak salah bila orang mengaitkannya dengan keju karena selama berabad-abad kota ini menjadi penghasil keju paling digemari di Belanda. Sebenarnya Edam bukan hanya keju, pada abad ke 17 bersama-sama dengan Amsterdam, Hoorn dan Enkhuizen, Edam menjadi salah satu kota perdagangan paling penting di Belanda. Bukan hanya sebagai penghasil keju tapi sebagai tempat pembangunan kapal. Banyak kapal terkenal dibangun disini salah satunya bahkan menjadi kapal ekspedisi yang berlayar sampai ke Amerika. Sekarang, Edam menjadi kota kuno dengan bangunan-bangunan abad ke 17 yang tetap dipertahankan keasliannya. Berjalan-jalan menikmati pemandangan kanal-kanal, rumah-rumah tua dengan jalan berbatu didalamnya seolah-olah waktu membawa kita kembali ke masa lampau saat kota ini mencapai puncak kejayaan. Acara jalan-jalan saya di Edam akan dimulai dari Edam Bus Station menuju (1).Schepenmakersdijk, (2). Hotel-Café-Restaurant De Fortuna, (3).City Hall, (4). Edams Museum, (5).Kaasspeciaalzaak Edam, (6).De Kaaswaag  dan kembali ke Edam Bus Station. Peta Walking Tour di Edam bisa dilihat pada gambar dibawah ini

Schepenmakersdijk, tempat ini sebenarnya adalah nama jalan di sebelah kanal dengan rumah-rumah cantik abad ke 17 diseberangnya. Selain rumah-rumah, di jalan ini kita juga akan menjumpai salah satu jembatan tarik dari beberapa jembatan serupa yang ada di Edam. Jembatan tarik ini digunakan bila ada kapal besar lewat di bawahnya. Melewati Schepenmakersdijk kita akan sampai di Hotel-Café-Restaurant De Fortuna yang menjadi salah satu hotel paling populer di Edam. Hotel yang dulunya adalah sekolah ini terlihat cantik dengan teras menghadap ke kanal. Melihat eksteriornya saja sudah terasa nyaman apalagi kalau menginap di dalamnya. Sayang harga menginap permalamnya sudah jutaan (harga termurah E 82.5 permalam) dan hanya cocok bagi orang-orang yang memang tujuannya untuk istirahat dan mencari ketenangan karena praktis di Edam tidak banyak yang bisa dilihat selain bangunan-bangunan kuno.

Schem (atas) dan Hotel De Fortuna (bawah). Photo by : fortuna-edam.nl & koleksi pribadi)

Schepenmakersdijk (atas) dan Hotel De Fortuna (bawah). Photo by : fortuna-edam.nl & koleksi pribadi)

Melewati hotel ini sampailah kita di Edam City Hall, gedung balaikota yang dibangun pada abad ke 17 ini masih aktif digunakan sebagai tempat perayaan perkawinan oleh warga Edam yang berjumlah sekitar 7 ribuan. Berdekatan dengan City Hall ini terdapat VVV Edam, semacam pusat informasi bagi pengunjung Edam. Disini setiap sabtu jam 14.00 diadakan City Walk Tour keliling kota Edam selama 1 jam yang sayangnya tidak gratis tapi harus bayar E 4 perorang. VVV juga menawarkan program Cheese Tasting yang dibarengi dengan kunjungan ke gudang penyimpanan keju dengan biaya E 6 perorang. Setelah mampir sebentar di VVV Edam, kami berjalan menyeberangi kanal menuju Edam Museum. Dulunya bangunan ini bukan merupakan sebuah museum tapi sebuah rumah tinggal yang dibangun pada abad ke 15. Dari keterangan yang saya baca di brosur VVV, rumah ini memiliki gudang dengan lantai yang bisa di naik turunkan untuk menjaga supaya barang-barang yang disimpan tetap kering dan tidak lembab. Suatu teknologi yang sangat maju bagi rumah yang berusia hampir 500 tahun ini. Sayang saat saya kesana museum ini sedang tutup dalam rangka renovasi. Bagi yang tertarik untuk berkunjung, museum ini menyimpan berbagai macam koleksi perabotan dan perlengkapan rumah tangga abad ke 17, lukisan, keramik, foto dan berbagai macam pernak pernik yang menceritakan tentang sejarah Edam. Tiket masuknya E 5 untuk orang dewasa.

Edam Town Hall (atas) & Kanal-kanal di Edam (Bawah)

Edam Town Hall (atas) & Kanal-kanal di Edam (Bawah)

Cuaca semakin dingin ketika kami berjalan menuju The Cheese Weight House atau De Kaaswaag kali ini dibarengi dengan gerimis kecil membuat suasana menjadi sendu. Kebetulan kami berjalan bersama-sama dengan sekumpulan nenek-nenek yang saat itu sedang berwisata juga ke Edam. Walaupun sudah nenek-nenek, jangan salah mereka jalannya cepat sekali loh. Kalau melihat orang tua yang masih semangat dan enerjik seperti mereka saya selalu selalu berdoa semoga saat tua nanti bisa seperti itu. Sambil berjalan menembus hawa dingin, mata saya tertarik dengan kehangatan yang dipancarkan sebuah toko keju yang berada di pojokan jalan. Jajaran keju Edam yang ditata rapi berwarna kuning membuat kaki ini berhenti sejenak untuk mengaguminya. Kebetulan gerombolan nenek-nenek ini  juga mampir kesitu, jadilah saya ikutan masuk ke Kaas & Wijn Speciaalzaak Edam, sebuah toko yang mengkhususkan diri pada keju dan anggur. Selain berfoto bersama jajaran keju Edamnya, saya juga diperbolehkan mencicipi berbagai macam keju yang dijual disini karena mereka membuat irisan keju kecil-kecil sebagai contoh sekaligus dengan celupannya. Hmmm enak sekali. Keju-keju yang dijual disini dibuat secara homemade dengan menggunakan susu sapi, kambing dan biri-biri. Selain keju mereka juga menjual berbagai jenis anggur yang biasa dijadikan minuman pendamping saat makan keju. Setelah puas icip-icip, kami melanjutkan perjalanan menuju De Kaaswaag yang berjarak kurang lebih 300 mt dari toko itu. The Cheese Weight House atau De Kaaswaag adalah sebuah bangunan yang fungsi utamanya adalah untuk menimbang. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kecurangan dan sekaligus penentuan pajak bagi penjual. Yang ditimbang bisa bermacam-macam dari keju, tepung sampai orang pun ditimbang disitu. Konon pada abad ke 17 dan 18 orang yang dicurigai sebagai penyihir dibawa ke Weigh House untuk ditimbang sebagai “Witch Test”. Bila beratnya lebih ringan dari bobot yang sudah ditentukan maka habislah dia dibakar sebagai tukang sihir. He he ada-ada saja. Maka dari itu banyak weight house yang dibangun dekat pasar atau pusat kota. Sebagai daerah penghasil keju, fungsi utama dari Weight House di Edam adalah untuk menimbang keju. Di abad modern seperti sekarang ini Weight House Edam berubah fungsi menjadi museum. Di dalamnya ditunjukkan proses pembuatan keju secara tradisional sekaligus sejarah tentang weight house di Edam. Kalau tadi tidak sempat mampir di Kaas & Wijn, di dalam museum ini ada juga toko keju lengkap dengan icip-icipnya. Museum ini hanya buka dari bulan April sampai September dengan tiket masuk gratis.

Kaas & Wijn (atas) & De Kaaswaag Edam (bawah)

Toko keju Kaas & Wijn Edam (atas) & De Kaaswaag Edam (bawah)

Persis di dekat De Kaaswag tepatnya di Jan van Nieuwenhuizen Square atau Jan Nieuwenhuizenplein diadakan Cheese Market yang merekontruksi kegiatan pasar keju jaman dahulu. Sayangnya events besar semacam ini hanya diadakan tiap hari Rabu pada bulan Juli dan Agustus jam 10.30 sampai 12.30. Saat itu sekitar 90 sukarelawan yang dibiayai oleh sebuah perusahaan keju terkenal Beemsterkaas memperagakan tradisi Cheese Market yang sudah ada di daerah itu sejak abad ke 16 sampai akhirnya secara resmi ditutup abad ke 19. Saat itu, produsen keju dari berbagai pelosok negeri datang ke Edam dengan membawa contoh-contoh terbaik dari kejunya. Di Cheese Market ini, keju mereka diambil contohnya, kemudian dirasakan oleh para ahli sebelum ditentukan harganya. Setelah harga ditetapkan barulah perdagangan dimulai, yang cocok segera dibawa ke Weight House untuk ditimbang. Even ini bersifat gratis dan menjadi kesempatan yang baik untuk merasakan bagaimana suasana Edam jaman dahulu ketika masih menjadi salah satu pusat penghasil keju di Belanda. Informasi mengenai event ini bisa dilihat di website resminya kaasmarktedam .

Suasana di Cheese Market Edam (Photo by : kaasmarktedam.nl)

Suasana di Cheese Market Edam (Photo by : kaasmarktedam.nl)

Setelah puas menjelajahi Edam, kami berjalan kembali ke Edam Bus Station untuk melanjutkan perjalanan ke Volendam. Dari Edam, kita bisa naik bis no. 110 jurusan Amsterdam Noord atau bis no 316 jurusan Amsterdam CS turun di bus stop Vissersstraat yang terletak di jalan Julianaweg. Dari pemberhentian bis ini tinggal jalan kaki ke pusat keramaian Volendam yang berada di sepanjang Noordeinde, Haven dan Zuideinde. Peta jalan kaki dari Vissersstraat Bus Stop sampai Volendam bisa dilihat pada peta dibawah ini.

Volendam

Mungkin bagi turis Indonesia tidak ada tempat paling top di Belanda selain Volendam. Daerah yang dulunya adalah desa nelayan kecil ini sekarang berkembang menjadi pusat turisme yang luar biasa. Hampir semua travel agen di Indonesia menawarkan perjalanan ke Volendam dalam paket tour nya. Apa sih yang dikerjakan turis Indonesia di Volendam? kebanyakan datang kesini untuk berfoto dengan baju tradisional Belanda karena banyak studio foto disekitar Haven yang menawarkan paket ini dan bila diteliti harganya pun sama. Menariknya lagi banyak studio foto yang menjadikan artis atau tokoh-tokoh politik di Indonesia sebagai modelnya. Mulai dari Rano Karno, Maya Rumantir, Debby Sahertian sampai Gus Dur semuanya ada disini. Belum lagi petunjuk-petunjuk dalam bahasa Indonesia yang banyak bertebaran disekitar tempat ini menjadikan Volendam berasa Indonesia. Saya pribadi kurang tertarik dengan Volendam apalagi berfoto menggunakan baju tradisional seperti yang dilakukan kebanyakan orang. Tapi ibu tampaknya sangat tertarik dan ingin mencoba, jadilah kami mengantarkan beliau ke salah satu studio foto yang menyediakan fasilitas ini. Waktu itu kami pilih studio foto De Boer yang paling banyak direkomendasikan di Trip Advisor. Harga termurah adalah E 15 untuk 2 foto ukuran 13×18 cm dan 20×30 cm.

Setelah berpuluh puluh tahun akhirnya kesampaian juga ibu berfoto ala nenek-nenek Belanda di Volendam

Setelah berpuluh puluh tahun akhirnya kesampaian juga ibu berfoto ala nenek-nenek Belanda di Volendam

Selama menunggu giliran foto, mereka mengijinkan kami mengambil gambar dengan menggunakan kamera sendiri. Jadi puas-puasin deh ambil foto mumpung kostumnya dipinjami. Mereka menyediakan berbagai macam ukuran untuk kostum dan klompennya. Kita juga dibebaskan memilih background serta aksesoris yang bisa berupa bunga tulip, akordion, guci sampai gilingan kopi. Selesai difoto, kita masih harus menunggu kurang lebih 1 jam untuk mengambil CD dan hasil cetakannya. Sementara menunggu fotonya jadi kami berjalan-jalan di sekitar Noordeinde, Haven dan Zuideinde. Sebenarnya kalau mau hemat, perusahaan ferry Volendam – Marken Express menawarkan tiket kombi seharga E 18.95 untuk tiket ferry Volendam – Marken pulang pergi dan foto dengan tradisional kostum. Fotonya sendiri senilai E 9 tapi tidak jelas juga fotonya di studio mana.

Volendam

Volendam

Selain sebagai studio foto, De Boer juga merangkap sebagai toko souvenir di lantai bawah. Souvenir yang dijual bermacam-macam mulai dari gantungan kunci, magnet kulkas sampai baju tradisional untuk anak kecil. Untuk harga saya tidak sempat membandingkan, tapi dilihat sepintas tampaknya lebih murah daripada harga-harga souvenir di Damraak. Dari De Boer kami mengunjungi Cheese Factory Volendam. Ini merupakan toko keju ketiga yang kami kunjungi selama di Belanda tapi tetap tidak bosan melihat demostrasi dan cheese tastingnya. Ada 4 hal yang bisa kita lakukan disini. Yang pertama adalah mengunjungi Cheese Museum yang terletak di lantai bawah (basement). Dalam museum akan ditunjukkan berbagai peralatan pembuatan keju, bahan dan komposisi yang digunakan serta proses pembuatan keju secara tradisional. Setelah tahu sejarahnya, kita bisa mengikuti kegiatan kedua yaitu Demonstrasi dengan menyaksikan proses pembuatan keju secara modern. Demo secara langsung ini diperagakan secara jenaka oleh host-nya dan diakhir acara demo seperti biasa diadakan salah satu kegiatan favorit saya yaitu Cheese Tasting. Sebelum mencicipi, kita akan dibekali sedikit pengetahuan bagaimana cara membedakan jenis-jenis keju berdasarkan struktur dan baunya setelah itu barulah acara mencicipi dimulai. Yang menjadi primadona disini adalah Volendam Cheese. Nah kalau tertarik ingin membeli keju-keju tersebut bisa langsung membeli di toko yang terletak di lantai 2.

Cheese Factory Volendam

Cheese Factory Volendam

Keluar dari Cheese Factory, kami berjalan-jalan sepanjang Haven dan duduk-duduk di pinggir laut sambil menikmati pemandangan dan hawa dingin. Kebetulan di pinggir dermaga banyak disediakan kursi-kursi panjang untuk duduk. Tanpa terasa 1,5 jam telah berlalu, selesai mengambil foto kami berjalan ke tempat penyeberangan ferry Volendam – Marken yang dioperasikan oleh perusahaan ferry Rederij Volendam Marken Express. Kami berencana naik ferry menuju Marken, sebuah desa nelayan diseberang Volendam yang sangat terkenal dengan rumah-rumah kunonya.

Marken 

Salah satu moda transportasi menuju Marken adalah naik ferry dari Volendam. Harga tiketnya E 9.95  pulang pergi dengan jadwal keberangkatan bisa dicek di website resminya disini . Selain ferry, Marken juga bisa dicapai dengan bis EBS no 315 dari Amsterdam Central melalui Monickendam.  Ada dua pemberhentian bis di Marken yaitu Kerkbuurt / Centrum dan Minneweg, diantara dua pemberhentian tersebut Kerkbuurt-lah yang paling dekat ke area dermaga Marken. Jadi untuk menghemat waktu dan biaya, lebih baik pulangnya tidak naik ferry lagi seperti saya tapi langsung naik bis ke Amsterdam Central dari Marken. Dengan demikian kita dapat menghemat biaya E 2.45 karena tidak usah naik ferry lagi ke Volendam. Walaupun ada bis, untuk menjelajah Marken orang tetap harus berjalan kaki karena adanya larangan untuk naik mobil tanpa ada ijin khusus. Jadi bisa dibayangkan betapa menyenangkannya menjelajah Marken karena kita bisa jalan kaki sepuas hati tanpa takut ditabrak mobil. Peta jalan kaki saya di Marken dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Marken menjadi pulau yang terpisah dari daratan setelah adanya banjir besar pada abad ke 13. Selama ratusan tahun Marken tetap terpisah dan terisolasi sehingga perkembangannya sedikit berbeda dari daerah-daerah lain di Belanda. Marken berbeda karena ia memiliki dialek, tradisi, kostum dan gaya arsitektur sendiri yang membuatnya unik. Akhirnya setelah dibangun bendungan dan jalan pada tahun 1957, pulau ini menjadi semenanjung dan bersatu kembali dengan daratan. Puluhan tahun setelah bersatu, Marken tetap menjadi pusat perhatian para ahli budaya dan sejarah karena dianggap memiliki peninggalan budaya asli tradisional yang dikhawatirkan akan lekang oleh perkembangan jaman. Berikut beberapa tempat yang sempat saya kunjungi di Marken.

a. Kijkhuisje Sijtje Boes 

Setiba di dermaga Marken, hal pertama yang saya lakukan adalah mengunjungi Kijkhuisje Sijtje Boes. Namanya berasal dari seorang wanita bernama Sijtje Boes yang membuka toko souvenir pertama di Marken pada tahun 1900. Di sebelah toko souvenir tersebut terdapat museum kecil yang menggambarkan bagaimana interior rumah nelayan tradisonal Marken lengkap dengan segala pernak perniknya. Tiket masuknya gratis tapi kita bisa memberi donasi secara sukarela. Guidenya adalah anak cucu Sijtje Boes yang akan menerangkan sejarah tentang rumah tersebut.

Bagian Depan Museum Kijhuisje Sitje Boes (Photo by : Chris10 panoramio.com)

Bagian Depan Museum Kijhuisje Sitje Boes (Photo by : Chris10 panoramio.com)

Terus terang walaupun kecil saya suka museum ini. Penataannya sangat sederhana tapi tiap detail sudutnya mampu bercerita tentang kehidupan masyarakat Marken saat itu. Salah satu sudut yang membuat saya terkesan adalah tempat tidurnya. Digambarkan dulunya keluarga yang menghuni rumah ini memiliki tiga anak. Sangat sulit bagi saya membayangkan bagaimana mereka semua tidur di kotak kecil bertingkat dua yang disebut tempat tidur. Dua anak tidur di tempat tidur paling bawah, sedangkan si bayi di tidurkan di semacam rak kayu yang menggantung di tempat tidur orang tuanya.

Tempat Tidur Utama (atas), tempat tidur anak (kiri bawah), tempat tidur bayi (kanan bawah)

Tempat Tidur Utama (atas), tempat tidur anak (kiri bawah), tempat tidur bayi (kanan bawah)

Sudut kedua yang cukup menyita perhatian adalah perapiannya. Dihiasi dengan berbagai macam simbol keagamaan terlihat betapa religiusnya masyarakat Marken saat itu. Maklum saja kehidupan sebagai nelayan yang berjuang dengan alam menjadikan mereka dekat dengan Tuhan. Selain itu adanya fakta bahwa gereja pertama pada abad pertengahan di bangun disini. Saat itu gereja mendominasi kehidupan masyarakat Marken termasuk bagaimana cara mereka berpakaian. Tiap perayaan keagamaan melahirkan satu desain kostum yang hanya dipakai sekali setahun pada saat perayaan itu. Satu lagi yang mendominasi tempat itu adalah foto-foto anggota keluarga kerajaan Belanda. Mungkin itu juga sebagai salah satu cara mereka menghormati kerajaannya.

Sudut Perapian (atas), Sudut Barang-Barang Keramik (Bawah)

Sudut Perapian (atas), Sudut Barang-Barang Keramik (Bawah)

b. Grote Kerk & Marker Museum

Dari museum Kijkhuisje Sijtje Boes, kami menjelajah Marken sampai Grote Kerk, sebuah gereja Protestan yang dibangun pada abad ke 19. Interiornya lain daripada yang lain karena banyak model-model kapal kayu yang digantung di langit-langitnya. Dari Grote Kerk, saya menjelajah sebentar ke Marker Museum. Berbeda dengan museum Kijkhuisje Sijtje Boes yang gratis, Marker Museum ini berbayar dengan harga tiket E 2.5 per orang. Museum ini tidak buka sepanjang tahun dan hanya buka dari bulan April sampai November. Karena berbayar tentu saja koleksinya jauh lebih lengkap dan mendalam daripada Kijkhuisje Sijtje Boes. Bangunan luarnya sudah mencerminkan rumah khas Marken dengan bagian dinding dan perapian dihiasi banyak piring cetak dari Delft, baju-baju dan peralatan yang disimpan dalam kotak-kotak bercat warna-warni, perapian terbuka, tangki tadah air hujan dan tempat tidur serta lemari yang dicat.

Bagian Dalam Grote Kerk dengan hiasan kapal diatasnya (atas), Bagian Depan Marker Museum (Bawah)

Bagian Dalam Grote Kerk dengan hiasan kapal diatasnya (atas), Bagian Depan Marker Museum (Bawah)

Begitu masuk ke dalamnya, kita akan disuguhi berbagai macam koleksi mulai dari baju dan kain-kain tradisional, peralatan rumah tangga, lukisan, keramik, buku sampai peralatan memancing. Mengamati berbagai macam koleksinya membuat saya mengerti mengapa para ahli sejarah dan budaya tertarik pada Marken. Salah satu aspek yang berbeda dan banyak dibahas di museum ini adalah baju tradisionalnya. Baju tradisional Marken berbeda dengan baju tradisional yang lain karena memiliki gaya yang disesuaikan dengan situasi. Baju saat berduka, pernikahan, kelahiran, baju untuk hari Minggu, hari libur dan acara-acara keagamaan seperti Natal, Paskah, Pantekosta, pengakuan dosa dan misa semuanya memiliki gaya yang berbeda. Beberapa gayanya diambil dari fashion abad ke 16 dimana anak-anak memiliki gaya dan style yang benar-benar berbeda dengan orang dewasa. Di Marken anak laki-laki kecil memakai rok sampai usai 6 tahun tapi roknya beda gaya dengan rok anak perempuan. Setelah 6 tahun, mereka mulai memakai celana tapi celananyapun beda dengan celana dewasa. Setelah beberapa tahun barulah mereka mengenakan pakaian dewasa. Hal ini berlaku pula dengan anak perempuan. Yang mengagumkan semua baju dan segala aksesorisnya dibuat dengan tangan. Tiap detail aksesoris, pinggiran dan bordir yang dipasang memiliki arti tersendiri. Detailnya sangat kaya sehingga orang yang memakainya tidk perlu menggunakan perhiasan lagi.

Berbagai Koleksi Marker Museum

Berbagai Koleksi Marker Museum

Selain baju, hal lain yang menarik perhatian saya adalah kepiawaian mereka dalam melukis dan menghias perabotan. Dari lemari, papan setrika sampai rak-rak semua dihiasi lukisan-lukisan bunga, cerita-cerita atau tokoh yang diambil dari kitab suci. Selain perabotan mereka juga menghias kotak-kotak untuk menyimpan baju dan berbagai peralatan. Pendeknya tidak ada hal yang luput dari coretan seni mereka. Biasanya kegiatan ini dilakukan saat cuaca tidak memungkinkan untuk melaut.

c. Klompenmakerij & Ma Korving

Keluar dari Marker Museum kami berjalan kaki mengikuti petunjuk arah ke Klompenmakerij di jalan Kets 52. Sepanjang perjalanan mata saya tidak henti-hentinya dimanjakan oleh pemandangan rumah-rumah kayu yang nyaman dengan taman-taman bunga kecil didepan rumah serta kayu-kayu untuk perapian ditata dan disusun rapi di sebelahnya. Selain itu keadaan yang tenang dan sepi membuat suasana terasa nyaman dan menyenangkan. Sama sekali tidak tampak kalau Marken adalah salah satu destinasi turis paling terkenal di Belanda terutama karena letaknya yang dekat dengan Volendam.

Berbagai Sudut Marken

Berbagai Sudut Marken

Di Klompenmakerij seperti juga di Zaanse Shans, kita diberi demostrasi cara pembuatan klompen baik dengan cara tradisional atau menggunakan mesin. Toko ini juga memiliki museum dimana kita bisa belajar sejarah perklompenan dengan the wedding shoes from Marken sebagai primadonanya. Ternyata sudah menjadi tradisi di Marken bila seorang pria ingin menikahi kekasihnya, dia akan membuat sendiri sebuah klompen indah berukir. Klompen ini akan ditaruh secara diam-diam di depan pintu rumah si gadis. Bila keesokan paginya sang kekasih hati memakai klompen maka itu menjadi pertanda bahwa lamarannya diterima. Awww sungguh tindakan yang romantis sekaligus merepotkan. Bayangkan saja bila dia tidak tahu cara membuat apalagi mengukir klompen, belum lagi mengira-ngira ukuran kakinya, sudah begitu masih ada kemungkinan klompennya dipakai orang yang salah he he he. Tapi mungkin daya upayanya itulah yang membuat romantis. Sayangnya seiring dengan perkembangan jaman, kebiasaan ini tampaknya sudah mulai pudar.

The Wedding Shoe From Marken

The Wedding Shoe From Marken

Saat tengah asyik melihat demonstrasi pembuatan klompen tercium bau yang sedap. Sampai heran sendiri kok demo tentang klompen tapi baunya bau masakan. Ternyata selain membuat klompen, Klompenmakerij ini juga membuat sirup waffles sendiri. Jadi kalau pas lapar bisa juga beli waffle hangat-hangat kemudian disiram dengan sirup segar yang baru dibuat. Hmmm..sedap. Dari Klompenmakerij, kita mampir ke Ma Korving di Het Rietland 4. Tempat ini adalah toko souvenir yang juga menjual berbagai macam barang antik dan barang bekas khas Marken. Toko ini juga menjual baju tradisional Marken lengkap dengan segala pernak perniknya. Duh kalau nggak ingat harga dan kegunaannya rasa-rasanya pengen dibeli untuk koleksi.

Ma Korving dan barang-barang yang dijual

Ma Korving dan barang-barang yang dijual

Toko souvenir ini akhirnya menjandi tempat terakhir yang kita kunjungi di Marken. Dari sini kami berjalan kembali ke Havenburt untuk menunggu ferry yang membawa kami kembali ke Volendam. Buat saya pribadi, Marken lebih berkesan daripada Volendam. Jadi kalau kebetulan ke Volendam tidak mampir ke Marken seperti makan telur tapi putihnya aja 🙂 . Sesampai di Volendam kami berjalan kaki menuju halte bis jurusan Amsterdam Central. Sebenarnya ada satu tempat di Volendam yang masih ingin saya kunjungi, tapi sayang waktunya tidak memungkinkan. Tempat itu adalah Volendams Museum yang terletak di jalan Zeestraat 41. Gedungnya mudah dicari karena dekat dengan pusat informasi turis Volendam. Pada dasarnya museum ini menggambarkan kehidupan di Volendam periode 1850 – 1950 lengkap dengan pernak perniknya. Informasi lebih lanjut tentang museum ini bisa dilihat di website resminya disini .

Volendam Museum (Photo By : Volendam Museum)

Volendam Museum (Photo By : Volendam Museum)

Untuk kembali ke stasiun Amsterdam Centraal dari Volendam ada dua cara. Pertama, kita bisa naik bis no. 316 jurusan Amsterdam Central. Naiknya dari halte Vissersstraat di jalan Julianawegg (tempat kita pertama turun dari bis menuju Edam). Untuk menuju hostel Meeting Point, kita tidak usah turun di stasiun Amsterdam Centraal tapi turun di halte Prins Hendrikkade yang terletak didepan stasiun. Dari halte ini kita tinggal jalan kurang lebih 240 mt menuju hotel. Cara yang kedua, naik bis no 118 jurusan Amsterdam Centraal dari halte bis Zeestraat/Centrum yang berada di seberang Museum Volendam. Peta halte bis di Volendam dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Volendam-map

FEBO & Surinaams Chinees Restaurant Kam Yin

Dalam perjalanan pulang, suhu menurun hingga saat tiba di halte Prins Hendrikkade saya sudah sangat kedinginan dan kelaparan. Saat itu yang kepikiran hanya makan nasi dan sup hangat-hangat. Satu pilihan murah, meriah dan halal adalah makan kebab lagi di restoran I Love Kebab. Tapi saat itu rasanya saya sudah muak dengan kebab, perut saya menuntut pengen makan nasi dan sesuatu yang hangat karena rasa dingin rasanya sudah menjalar dari ujung tangan sampai ujung kaki. Akhirnya kalah dengan rasa lapar, kami mampir di restoran Surinaams Chinees Restaurant Kam Yin yang letaknya kurang lebih 30 mt dari hostel. Terus terang saya tidak menganjurkan makan di restoran ini karena tidak ada tanda halal dan mereka punya masakan babi di menunya. Hanya karena terpaksa saya makan disini, itupun sebisa mungkin saya pesan menu minimalis hanya nasi putih, sup tomat dan ikan goreng. Suami saya, yang jauh lebih sholeh malah tidak makan sama sekali. Dia hanya bertahan dengan minum air putih sambil menonton saya makan (hebat, tidak salah saya memilih dia 🙂 ).

Surinaams Chinees Restaurant Kam Yin

Surinaams Chinees Restaurant Kam Yin

Sebenarnya bagi non muslim, restoran ini lumayan juga buat direkomendasikan karena harga makanannya tidak begitu mahal. Selain itu mereka juga memiliki menu yang lengkap dan bervariasi, mulai dari aneka sup, aneka nasi goreng, mie goreng, roti, bihun sampai masakan khusus vegetarian. Harganya bervariasi dari E 2 sampai 17.5. Menu lengkapnya bisa dilihat disini . Selesai makan, kami mengambil backpack di hostel dan minta ijin menggunakan kamar mandi untuk mandi bebek dan ganti baju sebagai persipan menginap di kereta. Setelah siap, kami berjalan kembali ke stasiun Amsterdam Centraal untuk naik kereta malam ke Munich yang tiketnya sudah direservasi pada hari pertama kami sampai di Amsterdam. Dalam perjalanan menuju stasiun, saya tertarik dengan deretan Vending Machine FEBO yang menjual berbagai macam makanan. FEBO adalah salah satu waralaba Fast Food terkenal di Belanda yang menjual makanannya melalui mesin otomatis. Mereka meletakkan berbagai makanan siap saji seperti burger, kentang goreng, kroket, perkedel bahkan minuman di dalam deretan loker-loker kecil berkaca. Pembeli dapat memasukkan koin dan membuka loker untuk mengambil makanannya. Pernah lihat di siaran National Geographic bahwa setiap makanan yang diletakkan petugas didalam loker FEBO akan diberi waktu hanya 20 menit sebelum berakhir di tempat sampah. Jadi terjual atau tidak terjual dalam waktu 20 menit isi loker harus diganti dengan yang baru untuk menjaga kesegarannya.

FEBO

FEBO

Harga makanan di FEBO ini cukup murah berkisar antara E 1.20 sampai 3 walaupun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bila membeli makanan disini. Pertama, mesin-mesin ini hanya menerima koin dan tidak menerima pengembalian jadi harus pakai uang pas. Yang kedua, banyak konter FEBO yang menunya ditulis dalam bahasa Belanda dan tidak terjemahkan kedalam bahasa Inggris. Jadi kita hanya bisa mengira-ngira saja artinya. Beberapa menunya antara lain : Rundvleeskroket yang artinya kroket daging, Speciaaltje artinya separuh daging sapi separuh daging babi, Kaassoufflé artinya keju. Seru juga kan makan di FEBO, tinggal cemplungin koinnya dan kira-kira aja apa yang didapat dan gimana rasanya 🙂 . Sayangnya bagi muslim kurang dijamin kehalalannya.

City Night Line Amsterdam – Munich

Kereta malam yang akan membawa kami ke Munich berjenis City Night Line yang dalam Eurail Timetable diberi kode CNL dan bernama Pollux. Perjalanan malam dari Amsterdam – Munich dengan menggunakan kereta ini akan memakan waktu kurang lebih 10,5 jam. Dengan rentang waktu yang panjang dan demi kesehatan ibu, kami memutuskan untuk memilih kereta tidur. Diantara 3 tipe akomodasi yang ditawarkan CNL, bentuk Couchettes lah yang kami rasa masih masuk dalam anggaran. Couchettes ini berbentuk tempat tidur yang bisa dirubah menjadi tempat duduk bila siang hari. Dalam satu kompartemen biasanya berisi 4 dan 6 tempat tidur. Tapi per 1 Desember 2015, CNL hanya menawarkan 5 tempat tidur karena satu tempat tidur akan digunakan sebagai tempat bagasi . Saat itu kami pilih couchettes berisi 6 orang karena harga reservasinya paling murah yaitu E 35 atau Rp. 570.500 per orang. Pada saat reservasi, seingat saya tidak meminta tempat tidur khusus tapi Alhamdulillah dari 3 tempat tidur kami mendapat jatah 1 tempat tidur dibawah dan 2 tempat tidur paling atas. Jadi ibu kami tempatkan di tempat tidur terbawah sedangkan saya dan suami menempati tempat tidur teratas. Bagi yang bertubuh kecil langsing seperti saya (ehem) tidak masalah bila dapat tempat tidur teratas. Tapi yang bertubuh endut seperti suami bisa menjadi masalah karena tangga naiknya sangat kecil dan mudah goyah. Belum lagi jarak antara tempat tidur dan langit-langit sangat dekat sehingga orang harus membungkuk bahkan bagi yang bertubuh pendek seperti saya. Jadi sholatpun akhirnya harus dilakukan sambil tidur.

CNL Couchette ber 6 (atas) dan suasana tempat tidur teratas (bawah)

CNL Couchette ber 6 (atas) dan suasana tempat tidur teratas, perhatikan jaraknya dengan langit-langit (bawah)

Selain jarak tempat tidur dengan langit-langit, yang bisa dinilai sebagai kekurangan adalah tidak tersedianya tempat duduk di koridor sehingga penumpang yang mendapat jatah tempat tidur di tengah dan atas harus berdiri bila ingin melihat pemandangan di luar. Untung saja kami masih punya jatah satu tempat tidur di bawah jadi masih bisa duduk-duduk dan mengobrol disitu sebelum tidur.

Koridor di kereta CNL

Koridor di kereta CNL

Beberapa hal yang perlu diperhatikan bila naik kereta malam ini antara lain, pertama, siapkan waktu yang cukup sebelum naik. Minimal satu jam sebelum keberangkatan sudah harus ada di stasiun sehingga tersedia waktu yang cukup untuk membeli makanan dan mencari platform serta kompartemen yang tepat. Kedua, pada umumnya kereta malam memiliki gerbong lebih panjang daripada kereta biasa. Jadi setelah tahu nomer platformnya segera cari gambar denah kereta. Semisal kompartemen kita berada di gerbong no 462 (di tiket ditulis Wagen) dan di denah berada di sektor E maka berdirilah di sektor tersebut (biasanya tanda sektor ditulis di tembok atau digantung di kanopi platform). Hal ini untuk menghindari lari-lari atau jalan-jalan yang tidak perlu karena begitu kereta datang kita tinggal masuk ke gerbong yang dituju dan mencari nomor kompartemennya. Ketiga, jangan risau bila di tiket tidak tercantum nama penumpang karena disini nama tidak penting. Tapi bila tiket dibeli secara online dari website bahn.de maka penumpang biasanya diminta untuk menunjukkan kartu kredit yang dipergunakan sebagai pembayaran. Terakhir dan yang paling penting persiapkan dokumen – dokumen yang diperlukan seperti tiket dan paspor di tempat yang aman tapi mudah dijangkau. Petugas perbatasan biasanya memeriksa paspor dan kelengkapan dokumen di waktu malam saat orang tertidur nyenyak. Jadi persiapkan dokumen tersebut dengan baik sehingga saat dibangunkan tengah malam pada kondisi mata sepet dan pikiran masih kosong, kita masih ingat dimana letaknya dan tidak perlu mencari cari lagi. Berikut penampakan tiket City Night Line.

cnl1

Kami bertiga masih mengobrol kurang lebih 1 jam setelah kereta berangkat sambil melihat ke luar jendela walaupun diluar hari sudah menggelap dan tidak banyak yang bisa dilihat. Ketika mata mulai mengantuk, akhirnya kami membubarkan diri dan tidur di posisi masing-masing. Ketika menarik selimut dan mengucapkan doa sebelum tidur saya kembali membayangkan desa-desa Waterland yang indah dengan rumah-rumah kayunya yang unik dan nyaman. Tanpa terasa pemandangan itu mengabur dan hanyut kedalam mimpi.

Biaya Hari Ke 5 (Per Orang)

untitled

Kronologi Waktu

untitled2

 
21 Comments

Posted by on January 16, 2016 in Belanda, Edam, Marken, Volendam

 

Tags: , , , , , , ,

21 responses to “Hari Ke 5 : Amsterdam – Munich (Edam, Volendam & Marken)

  1. Irien

    January 18, 2016 at 5:14 am

    Mba…untuk kereta CNL sudah tercover di Eurail Pass? Anak2 bs naik juga ya?

     
    • Vicky Kurniawan

      January 18, 2016 at 10:04 am

      Iya mbak Irien, harga tiketnya sudah termasuk dalam Eurail Pass tapi kita masih harus membayar biaya reservasinya. Anak Anak bisa naik juga.

       
      • Raden Aldi

        February 26, 2017 at 3:55 am

        Halo Mba.

        Mau bertanya, apabila dalam jadwal kereta tersebut diperlukan reservasi, namun tertulis di detil perjalanan kereta akan ada transfer, semisal Kota A ke C, namun akan transfer kereta di Kota B.

        Apakah perlu reservasi 2 kereta tersebut atau reservasi cukup dilaksanakan sesuai detil perjalanan (1 kali) ?

         
      • Vicky Kurniawan

        February 26, 2017 at 4:16 pm

        Bila ada pergantian kereta mas Aldi cukup reservasi kereta yang memerlukan reservasi. Bila dua duanya memerlukan reservasi berarti reservasinya juga harus dua kali.

         
  2. tiara

    January 25, 2016 at 10:24 am

    mb mohon bantuannya dong, saya beli tiket Hongkong – JKT tapi tidak bersama dgn airport tax, bagaimana cara membayar AIRPORT TAX ketika kita berada di HKIA dan CHANGI ?
    mengingat penerbangan ini akan transit di SG, Artinya akan 2 kali bayar AIRPORT tax bukan ? dan dimana membayar AIRPORT TAX tsb, tks ya

     
    • Vicky Kurniawan

      January 27, 2016 at 10:13 am

      Halo mbak Tiara. Kalau boleh tahu mbak memakai maskapai apa?. Sepengetahuan saya sangat jarang maskapai yang tidak memasukkan airport tax dalam tiketnya apalagi tujuannya Hongkong dan Singapura. Airport tax biasanya dibayarkan di konter maskapai yang bersangkutan pada saat check inn untuk mendapatkan boarding pass. Semoga membantu

       
  3. wooclipmovie

    February 12, 2016 at 3:26 pm

    wah keren ya

     
  4. Novita

    February 17, 2016 at 12:51 pm

    Mba maaf mau nanya u tiket yg sudah terbeli krn saya beli point to point apa wajib menggunakan reservasi? bukan include dengan harga ya mba.? Thanks

     
    • Vicky Kurniawan

      February 17, 2016 at 3:19 pm

      Kalau belinya bukan pass tapi point to point tidak usah reservasi mbak Novita.

       
  5. Tia

    August 11, 2016 at 5:28 pm

    MB mau tanya:
    1. Apakah mungkin dihari pertama dari jam 7 pagi saya ke Zaanse Schan smpe jam 10an, lalu sampe sore explore volendam dkk ?
    2. Pada malam hari nya mb pergi dr amsterdam ke munich, mengapa tidak stop saja di munich,stay disana semalam, lalu main ke castil baru ke halsat ? mengapa harus ke halsat dulu, lalu nanti mb balik lagi ke muncih ? jatuhnya 2x? apakah karena ada sesuatu y mb?

     
    • Vicky Kurniawan

      August 14, 2016 at 8:51 pm

      Halo mbak Tia..
      1. Bisa saja kalau mau dipakai rute seperti itu. Tapi eksplorenya mungkin tidak sampai Edam karena untuk eskplore Edam, Volendam dan Marken saya perlu waktu hampir seharian.
      2. Soalnya dalam menentukan rute saya punya pedoman yang jauh dulu yang harus di datangi. Hallstaat – Salzburg – Munich itu letaknya sejajar dengan Hallstaat sebagai titik terjauh.

       
  6. Tia

    August 16, 2016 at 8:26 am

    1. Atau jika saya hari pertama ke Zanse schan, lalu ke Bloemenmarkt dan Albert Cuypmarkt lebih baik kan ya ?
    2. Jika saya mau ke munich dulu, lalu explore munich baru ke halsat apa kah tidak masalah ? Apakah selain pertimbangan rute yang jauh dulu, apakah memang sedikit ribet dr halsat menuju swiss mb ?mgkn lebih mudah jika dr munich ke swiss ?

     
    • Vicky Kurniawan

      August 19, 2016 at 7:16 pm

      Halo mbak Tia:
      1. Rute itu juga bisa, disesuaikan saja dengan kondisi mbak Tia saat itu.
      2. Tidak masalah mbak. Waktu itu saya memang kepikiran dari Salzburg langsung naik kereta ke Zurich saja. Tapi dibolak balik rutenya tetap saja lebih baik lewat Munich dulu. Karena kebanyakan kereta dari Salburg ke Zurich tetap mampir di Munich dulu

       
  7. syahril

    April 5, 2017 at 1:29 am

    mbak maw tanya kmren saya beli tiket kereta pake CC punya temen saya belinya di website NS international kira kira bermasalah ngg ya waktu penegecheckan dokumen…thx before

     
    • Vicky Kurniawan

      May 15, 2017 at 4:27 pm

      Sepengetahuan saya tidak bermasalah mbak. Apakah temannya ikut dalam perjalanan?. Kalau tidak ikut mending mbak minta paling tidak kopi kartu kreditnya saja untuk berjaga jaga.

       
  8. Johanes

    December 30, 2018 at 5:41 pm

    Hallo Mbak Vicky, mohon bertanya: apakah rute Amsterdam- Edam- Volendam – Marken – Amsterdam ini tidak bisa tercover oleh Eurorail pass. Kalau tercover , bagiamanakah rute terbaiknya? Terimakasih sebelumnya

     
    • Vicky Kurniawan

      January 17, 2019 at 7:35 pm

      Halo mas Johanes, rute Amsterdam- Edam- Volendam – Marken – Amsterdam ini tidak tercover oleh Eurorail pass

       
  9. ENtin

    March 25, 2019 at 5:17 pm

    hi salam kenal .. beli tiket eurorailpass nya yang model apa, dan untuk negara mana saja, saya ada rencana di amsterdam 4 hari, germany, 3 hari, austria 4 hari… kira2 perlu nga beli eurorailpass

     
  10. Yori

    March 15, 2022 at 8:36 pm

    hai mbak..ijin bertanya, Amsterdam Munich tercover dengan eurail pass ya mbak? bisa dapat yang kasur bagaimana? terimakasih

     
    • Vicky Kurniawan

      March 23, 2022 at 5:02 pm

      Halo yori, sayangnya night sleeper amsterdam munich sudah tidak ada lagi.

       

Leave a comment