Artikel saya ‘terkunci’ di Turnitin, ini yang bisa saya lakukan

Artikel saya ‘terkunci’ di turnitin! Yang dimaksud ‘terkunci’ di sini adalah dikala sebuah artikel terupload di turnitin dengan mode standard paper repository (pelajari lebih lanjut di sini). Memang ini akan menjadi persoalan baru dikala kita tidak mengetahui fungsi dan juga cara mengatasinya. Bagi administrator turnitin, saya rasa ini bukanlah masalah besar. Dia memiliki kewenangan menghapus artikel yang sebelumnya tersimpan di repository turnitin. Menjadi persoalan dikala kita hanya memiliki akun user, kita sama-sekali tidak memiliki akses untuk menghapusnya. Perlu dipahami bersama bahwa menghapus artikel di database turnitin adalah satu tugas penting dikala ada artikel yang menscan artikel yang sama dimana diupload oleh 2 akun turnitin berbeda. Sebagai contoh saya memiliki artikel yang diupload dengan mode standard paper repository oleh akun turnitin A. Kemudian saya mengupload ke turnitin kembali dengan menggunakan akun B. Apa yang akan terjadi? Artikel yang sebelumnya terupload menggunakan akun A akan terscan oleh akun B. Alhasil hasil similarity index artikel di akun B akan sangat tinggi (mendekati 100%). Merugikan bukan? – Iya sangat merugikan dikala kita hanya menjadi turnitin reader alias tukang baca hasil scan. Kita harus menganalisis dan menginterpretasikannya. Penjelasan mengenai cara menginterpretasi turnitin bisa dibaca di tulisan saya berjudul menyikapi similarity index tinggi di turnitin. Bisa kita bayangkan jika para turnitin reader ini memiliki kapasitas membuat kebijakan atas nasib artikel itu. Misalnya saja dia adalah seorang tim PAK (panitia angka kredit), dengan alasan similarity index tinggi kemudian menganggapnya hasil plagiat. Kemudian dia bisa menggagalkan proses pengajuan pangkat seseorang. Lebih parah lagi, jika hasil scan dan hasil reviewnya diupload di internet, tentu akan sangat merugikan. Atau bisa juga dikala petugas perpustakaan yang menscan tugas akhir mahasiswa, menemukan hal serupa dan akhirnya menolak TA itu. Tidak menutup kemungkinan kejadian itu terjadi di kalangan editor jurnal. Dengan niat baik untuk menjaga kualitas artikel dan juga kualitas jurnal, tetapi karena kemampuan membaca hasil scan belum mumpuni akhirnya membuat keputusan tidak pas atas artikel.

Di dunia editor jurnal ilmiah, menjaga kualitas artikel adalah kewajiban seorang editor. Mereka akan mengecek banyak hal sebelum membuat keputusan artikel ini layak di terbitkan ataukah tidak?. Pengecekan itu bisa memuat lingkup substansi maupun lingkup etika penulisan, salah satunya indikasi plagiasi. Harus bijak sebelum membuat keputusan atas sebuah artikel. Bijak disini tentu berdasarkan standar akademik. Akan lebih baik jika kebijakan itu didasarkan pada kemampuan membaca, menganalisis, dan menginterpretasi hasil scan mesin pencegah plagiasi. Turnitin, salah satu platform pencegah plagiasi yang cukup populer di Indonesia harus menjadi penolong dan bukanlah penghambat. Harus cerdas menginterpretasikannya. Jangan hanya melihat indek kesamaan (similarity index) saja. Itu tidak cukup, sangat tidak cukup. Butuh literasi, butuh ilmu pengetahuan untuk membacanya agar tidak keliru. Seperti kejadian yang saya alami.

Artikel saya ditolak karena similarity index-nya 93%, apakah saya melakukan plagiat?

Senin (4/5/2020) pukul 19:12 malam, saya menerima email dari redaksi jurnal nasional terakreditasi Sinta 2 mengenai penolakan manuskrip. Artikel yang ditulis oleh mahasiswa bimbingan skripsi dan saya. Dia sebagai penulis pertama, dan saya kedua. Penolakan artikel oleh redaksi jurnal ilmiah itu hal yang sangat biasa. Mereka memang memiliki standar yang harus dipegang erat agar kualitas jurnal bisa dipertahankan atau justru ditingkatkan. Mereka bekerja untuk menjaga kualitas jurnal dan juga membantu penulis. Membantu disini bukan berarti seluruh artikel harus diterima kemudian memberikan bantuan substantif ke penulis. Tidak, tidak seperti itu. Tugas mereka adalah memberikan koreksi, memberikan masukan dan terkadang mendebat pernyataan yang kita tulis di artikel. Critical thinking harus diasah, dibuktikan dan ditulis secara lugas, singkat dan runtut. Jadi, tidak salah jika ada sebutan bahwa pekerjaan editor itu adalah pengabdian, tidak mendapatkan kredit dan penghargaan. Apalagi sebagian besar jurnal-jurnal di Indonesia itu open access dan gratis. Itulah tugas seorang editor, jadi menolak suatu artikel itu suatu hal yang lumrah dengan tujuan untuk mempertahankan kualitas jurnal yang dia kelola. Sayapun juga demikian, bahkan terkadang artikel teman/ kolega sendiri yang bekerja di satu atap yang sama, terpaksa harus di-reject. Konsekuensi pekerjaan!

Surat dari redaksi jurnal nasional bereputasi

Surat penolakan dari redaksi jurnal nasional bereputasi Sinta 2. Surat ini dikirimkan pada hari Selasa, 5 Mei 2020 pukul 19:12 setelah sebelumnya (4/5/2020) mengirimkan email penolakan – tanpa surat resmi berkop dan bertanda tangan. Surat ini diberikan setelah saya menanyakan kelangsungan artikel kami pada hari Senin (4 Mei 2020), dan kurang dari 30 menit langsung dibalas oleh redaksi yang mengatakan bahwa artikel dengan judul tertulis dalam surat tidak dapat diterbitkan di dalam jurnal mereka. Selisih 1 hari, surat resmi berkop dan ditandatangi pimpinan redaksi dikirimkan melalui email.

Identitas redaksi dan juga ketua redaksi sengaja saya buat blur/ tidak jelas untuk menjaga privasi mereka. Karena tujuan dari tulisan ini bukanlah untuk mencari kebenaran ataupun pembenaran tetapi lebih menyajikan ˆlesson learned dari kasus ini.

Gambar diatas merupakan surat resmi penolakan atas artikel dimana ada tuduhan berat yaitu plagiat. Ada 4 alasan penolakan yaitu:

  1. Ditemukannya tindak plagiasi melebihi batas standar jurnal yaitu 20%.
  2. Alasan selanjutnya adalah karena artikel yang saya tulis tidak sesuai guidelines.
  3. Tidak adanya diskusi yang relevan, dan tidak jelas dengan penelitian sebelumnya.
  4. Terakhir adalah saya tidak mengakomodasi seluruh masukan/ rekomendasi reviewer/ mitra bebestari. Akan saya jelaskan satu-satu nanti di posting blog ini.

Untuk point 2 sampai 4 saya rasa bakal debatable dan itu merupakan hak redaksi, meskipun menurut persepsi saya sudah memenuhi saran yang diberikan baik oleh reviewer maupun guidelines. Namun untuk point No. 1, ini harus ditelisik dengan cerdas dan bijak. Sedikit kita review beberapa konsekuensi dari perbuatan plagiat ini (jika benar plagiat). Dr. Anggito Abimanyu, dosen senior UGM di tahun 2014 harus mengundurkan diri dari kampusnya karena tuduhan plagiasi. Kemudian di tahun 2010, Professor Anak Agung Banyu Perwita dari Universitas Parahyangan (UNPAR) juga harus berurusan dengan majelis etik kampusnya karena kasus yang sama, plagiat. Kemudian di lingkup global, ada Menteri Pendidikan Jerman, Annette Schavan juga harus menerima konsekuensi pencopotan gelar doktornya. Presiden Hongaria Pal Schmitt juga harus meletakkan jabatannya di tahun 2012 karena kasus etik ini. Begitu besar konsekuensi dari tindak plagiasi ini. Saya rasa tidak salah jika tuduhan plagiat merupakan salah satu tuduhan serius, dan harus dibuktikan.

Alasan penolakan sangat serius yaitu adanya plagiasi melebihi batas toleransi yang menjadi standar redaksi jurnal. Similarity index artikel saya itu adalah 93% dari hasil turnitin tanggal 11 April 2019 (lihat screenshot di atas). Empat gambar di atas saya ambil dari bukti scan turnitin yang telah dilakukan oleh redaksi, dimana menjadi bagian dari email (attachment) yang dikirimkan ke saya sebagai penulis. Dari 4 screenshot itu, bisa kita baca sebagai berikut:

  • Artikel telah diupload ke turnitin pada tanggal 11 April 2019 pukul 11.22 (siang) dengan kode submission ID 1316942690 (Gambar di sebelah kiri atas)
  • Artikel itu memiliki indek kesamaan sebesar 95% (gambar di sebelah kiri atas)
  • Dari 93% indek kesamaan, ternyata sebesar 90% berasal dari salah satu artikel yang sebelumnya sudah diupload di repository salah satu universitas. Katakanlah diupload di Universitas A oleh salah satu pemilik akun (Gambar sebelah kiri bawah).
  • Melihat pola kesamaan artikel dapat diketahui ada 3 komponen artikel yang memiliki kesamaan yaitu: (1) judul artikel, (2) nama penulis dan afiliasinya, dan (3) body text.

Dari hasil scan turnitin yang dikirimkan oleh redaksi dapat kita baca sebagai berikut:

1) Judul artikel sama dengan sumber no 1 (student paper submitted to Universitas A)
2) Nama dan afiliasi penulis juga sama dengan sumber no 1 (student paper submitted to Universitas A)
3) Seluruh text juga sama dengan sumber no 1 (student paper submitted to Universitas A)

Dari 3 komponen itu bisa kita tarik kesimpulan bahwa artikel yang saya submit ini telah melakukan tindak plagiat dari judul, nama dan afiliasi penulis hingga text. Apakah ini logis?

Saya memplagiat artikel saya sendiri? Saya rasa perlu dicek kembali definisi plagiat menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dimana saya ulas di tulisan berjudul Menyikapi Similarity Index Tinggi di Turnitin.

Plagiat itu bukan suatu persoalan enteng yang dengan mudah bisa disematkan. Bahkan software antiplagiasi seperti turnitin.com saja menyebutnya bukan plagiat tetapi similarity atau kesamaan. Kita perlu menelaah lebih dalam, untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak plagiat! Bagaimana menginterpretasi similarity index tinggi? silakan baca tulisan saya berikut. Terus bagaimana dengan tulisan saya itu? – Bukan, itu bukanlah tindak plagiat. Yang terjadi adalah seperti penjelasan di awal tulisan ini. Artikel yang sebelumnya terupload oleh akun turnitin A terscan oleh artikel yang sama dimana diupload oleh akun turnitin B. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang telah mengupload ke turnitin dengan menggunakan akun A (di Universitas A)? Saya sendiri hanya mensubmit artikel itu di universitas B, pengelola jurnal nasional bereputasi SInta 2. Saya jamin hanya ke satu pengelola jurnal. Tidak lebih. Tetapi kenapa artikel itu bisa jalan-jalan hingga ke universitas A, dan kemudian diupload ke turnitin dengan mode standard paper repository? Saya tidak tahu proses dibalik proses review di dapur redaksi. Namun dari pengalaman saya sendiri sebagai salah satu editor jurnal nasional yang juga bereputasi Sinta 2, sangat wajar dikala kita menerima artikel kemudian mengirimkannya kembali ke reviewer yang berada di luar universitas. Kita kirim keahlinya untuk mendapatkan feedback. Sekali lagi, reviewer ini tidak harus dari satu universitas yang sama dengan pengelola jurnal. Saya menduga bahwa artikel itu dikirim oleh redaksi jurnal ke salah satu reviewer di luar kampusnya, Kemudian reviewer ini mengupload artikel ke turnitin. Dugaan itu didasari oleh kronologi pengiriman artikel yang hanya dikirimkan ke 1 redaksi jurnal. Jika dugaan saya itu benar, sebenarnya proses itu adalah proses yang normal, tidak salah sama sekali. Termasuk jika sang reviewer mengupload artikel ke turnitin untuk cek kesamaan, itu juga tidak salah. Antisipasi itu penting dan memang harusnya seperti itu.

Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah kalau proses itu normal dan sah kenapa artikel itu dianggap plagiat dan pada akhirnya ditolak oleh dapur redaksi? – Jawabannya ada di tingkat kecerdasan dan kebijakan redaksi. Sebenarnya dari 3 komponen artikel yang menunjukkan kesamaan yaitu (1) judul artikel, (2) nama dan afiliasi penulis, dan (3) text artikel bisa kita simpulkan bahwa itu adalah artikel saya sendiri. Apakah mungkin saya memplagiasi artikel saya sendiri? ataukah apa mungkin ada nama orang dan afiliasi yang sama sedangkan orangnya berbeda? – Itu tidak mungkin. Di sinilah kita perlu kecerdasan dan kebijakan dalam menyikapi hasil scan turnitin. Meskipun saya bisa menjelaskan dan membuktikan bahwa saya tidak melakukan plagiasi, tetapi persoalan tidaklah selesai begitu saja. Redaksi tetap menolak. Di samping itu, artikel yang sudah terupload di Universitas A ini dalam mode standard paper repository yang artinya tidak hanya tersimpan diakun turnitin tetapi juga di repository turnitin. Artinya jika saya resubmit artikel itu ke universitas lain misalnya ke universitas C, D, E ataupun ke universitas saya sendiri maka tetap saja bakal terscan dan mendapatkan similarity 93%. Karena artikel yang saya resubmit akan mescan artikel yang sama di universitas A. Persoalan similarity index akan terus bergulir dan bakal capek menjelaskan. Artikel saya ‘terkunci’ di akun turnitin universitas A, akun sang reviewer yang saya sendiri tidak tahu siapa beliau. Apa yang harus saya lakukan?

Cara saya keluar dari perangkap turnitin

Meskipun kita bisa membuktikan bahwa artikel itu disusun bukan dari proses plagiat, tetapi kenyataannya tidak semua editor memahami cara baca similarity index. Mereka menemukan bahwa similarity index tinggi (93%) maka dengan sangat generik disimpulkan bahwa telah melakukan tindakan plagiasi. Langsung vonis plagiat dan saya adalah seorang plagiator. Duh… kejam! Karena persoalan itu, artikel saya akhirnya harus ditolak. Saya sudah memberikan penjelasan detail seperti tulisan di atas, tetapi tetap saja sang editor tetap pada pendiriannya, menolak. Menurut saya, ada 2 cara keluar dari perangkap turnitin untuk meyakinkan editor, yaitu:

  1. Paper View Request, siapapun yang memiliki akun turnitin bisa melakukan tindakan ini yaitu paper view request. Di mode pencarian, turnitin melakukan pencarian kesamaan berdasarkan 3 sumber yaitu (a) repository yang dimiliki turnitin, (b) sumber-sumber dari internet seperti blog, berita, dan website, dan (c) sumber dari artikel-artikel ilmiah terpublikasi online. Di kala kita menggunakan standard paper repository maka artikel yang kita upload ke turnitin akan tersimpan di repository-nya. Sama halnya dengan reviewer dari Universitas A di atas, dia menggunakan standard paper repository. Kemudian dikala kita upload artikel serupa ke turnitin maka akan menscan artikel yang sebelumnya di upload di Universitas A, tertulis submitted to Universitas A (student paper). Bagi siapa saja yang memiliki akun turnitin di universitas A, mereka memiliki otoritas untuk melihat artikel itu secara langsung. Tetapi bagi yang berada di universitas berbeda tidak akan memiliki otoritas melihat artikel itu. Cara yang bisa dilakukan adalah paper view request dengan click tombol view request. Turnitin secara langsung akan mengirimkan email ke pemilik akun untuk meminta ijin melihat artikel. Jika pemilik akun baik hati dan tau cara memberikan feedback maka dia akan memberikan email balasan yang berisi artikel asli. Langkah selanjutnya adalah membandingkannya. Bagaimana dengan artikel saya? – saya memiliki akun turnitin dan melakukan paper view request, dan pemilik akun turnitin di Universitas A juga membalas dan memberikan otoritas ke saya untuk melihat sumber artikel asil. Dan benar itu artikel saya, kemudian email saya forward ke redaksi untuk membuktikan bahwa saya tidak melakukan plagiat.
  2. Resubmit artikel ke Universitas A. Karena langkah 1 (paper view request) tidak bisa meyakinkan redaksi, maka strategi kedua yang bisa di tempuh adalah mensubmit artikel kita ke salah satu jurnal di universitas A, dimana salah satu reviewer telah upload artikel saya ke akun turnitin. Langkah ini akan cukup efektif karena redaksi jurnal akan mengupload artikel itu ke turnitin kembali dan akan mendapatkan similarity index yang sama (93%), yang membedakan adalah mereka memiliki otoritas melihat sumber asli artikel yang sebelumnya diupload oleh reviewer A. Dia akan mengecek secara langsung dari judul, nama dan afiliasi penulis hingga ke body text. Dan langkah ke-2 ini saya lakukan. Dan berhasil.

Langkah ke-2 ternyata yang berhasil dan cukup efektif. Artikel saya yang sebelumnya ditolak oleh jurnal nasional bereputasi Sinta 2 saya kirim ke salah satu redaksi jurnal di universitas tempat reviewer mengupload artikel ke turnitin. Dengan harapan, redaksi jurnal akan mengupload kembali ke turnitin dan dia bisa mengecek langsung dengan sumber asli yang sudah terupload. Dan strategi ini bekerja dengan sangat baik. Artikel yang ditolak oleh jurnal terakreditasi Sinta 2 ternyata justru diterima dengan sangat baik oleh jurnal nasional bereputasi terakreditasi Sinta 1, terindek Scopus.

Bukti penerimaan artikel oleh redaksi jurnal bereputasi Sinta 1
Bukti pengiriman artikel pada tanggal 5 Mei 2020 jam 01.23 pagi.

Karena redaksi tidak memahami dan menerima penjelasan, artikel yang ditolak pada tanggal 4 Mei 2020 saya resubmit ke jurnal yang terakreditasi Sinta 1 pada tanggal 5 Mei 2020. Kronologi pengiriman artikel ini perlu saya jelaskan untuk memastikan bahwa saya tidak melakukan double submission. Ini juga menjadi bukti bahwa hasil scan turnitin dari redaksi universitas B tertanggal 11 April 2019 tidaklah menscan artikel yang saya submit ke universitas A, tempat dimana reviewer jurnal dari universitas B berada. Saya rasa ini bisa menjadi strategi efektif dikala artikel kita terkunci di salah satu akun turnitin.

Sumber gambar: freepik.com