Demokrasi Politik sudah berjalan, kalau Demokrasi Ekonomi kapan?

M Sena Luphdika
334455 — Demokrasi Ekonomi?
14 min readJan 12, 2018

--

sumber: Film Dokumenter Can We Do It Ourselves?

Jika kita membicarakan demokrasi, hal pertama yang terbayang pada umumnya adalah pemilu untuk memilih anggota DPR(D), kepala daerah, atau presiden.

Kenapa? Karena demokrasi yang kita pahami dan rasakan saat ini hanya ada di bidang politik. Padahal demokrasi bisa diterapkan di bidang yang lain, salah satunya ekonomi.

Kenapa demokrasi politik begitu populer dan dipahami banyak orang, sedangkan demokrasi ekonomi adalah suatu hal yang asing dan aneh?

Demokrasi, Sistem Politik Terpopuler

Pernah dengar Arab Spring yang terjadi tahun 2011 lalu?

sumber: Polandball

Dalam Arab Spring, rakyat beberapa negara arab melawan diktator di negaranya masing-masing demi mewujudkan sistem pemerintahan demokrasi.

Tanggapan dunia internasional terhadap kejadian Arab Spring hampir semuanya senada, yaitu mendukung dan menganggap bahwa pergerakan ini mulia karena menginginkan demokrasi.

Reaksi tersebut tidak mengherankan, karena saat ini demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang terbaik. Hal ini terbukti dengan tren semakin banyaknya negara yang menggunakan sistem demokrasi.

sumber: Ourworld in Data

Tapi kalau memang demokrasi adalah sistem yang lebih baik dibanding autokrasi (diktator) di bidang politik dan pemerintahan, kenapa dalam sistem ekonomi negara (makro) maupun perusahaan (mikro) kecenderungan yang terjadi adalah sistem autokrasi atau oligarki (dikuasai oleh sekelompok orang)?

Dalam konteks makro, adakah keterlibatan masyarakat umum dalam penentuan kebijakan ekonomi? Adakah kontrol atau pengaruh dari aspirasi rakyat dalam bidang ekonomi secara langsung? Siapa pihak yang sering diajak untuk ikut merumuskan aturan main, orang-orang “besar” atau orang-orang “kecil”? Padahal dari sisi jumlah, lebih banyak siapa?

Dari sisi mikro, lihat saja di perusahaan mana pun, selalu terlihat hierarki yang sangat kentara antara majikan/pemilik dengan pekerja/buruh. Kendali perusahaan pun dipegang hanya oleh satu (pemilik) atau beberapa orang saja (direksi & komisaris).

Kenapa terjadi perbedaan yang begitu kentara?

Relasi antara Politik & Ekonomi

Mayoritas negara di dunia (termasuk Indonesia) mengadopsi sistem yang sama. Politiknya demokrasi, sedangkan ekonomi-nya oligarki (lebih tepatnya plutokrasi, dikuasai oleh orang kaya). Penyebab sekaligus dampak dari sistem ini adalah kedekatan yang tak wajar antara pemangku jabatan politik dengan pemilik uang/modal/kekayaan.

Tidak percaya? Coba saja cek berita akhir-akhir ini, berapa banyak pejabat publik yang terkena OTT KPK? Mayoritas orang ingin berpolitik bukan untuk memajukan rakyat, tetapi untuk menyalahgunakan kekuasaan demi cuan.

Kalau orang bilang, UUD — ujung-ujungnya duit

Dalam buku Why Nation Fails karya Daron Acemoglu and James A. Robinson, dikatakan bahwa penentu kesejahteraan dan kesuksesan suatu negara dapat dikerucutkan menjadi dua hal saja, yaitu institusi politik dan institusi ekonomi-nya.

Institusi dapat dibagi dalam dua kutub ekstrim, yaitu inklusif dan ekstraktif. Secara sederhana, inklusif berarti melibatkan sebanyak mungkin elemen di dalam suatu negara, sedangkan ekstraktif hanya melibatkan sebagian kecil.

sumber: Christensen Institute

Politik merepresentasikan kekuasaan dan pemerintahan, sedangkan ekonomi merepresentasikan kekayaan dan swasta. Ketika kekuasaan dan kekayaan berhubungan erat tentu wajar kalau muncul kebijakan atau keberpihakan yang cenderung menguntungkan kaum berduit dan usaha-usaha besar.

Cek saja berita-berita terbaru tentang penggusuran petani dari tanahnya dengan dalih Bandara (Jabar dan Yogya), sengketa tanah di Maj Hotel dan Tamansari Bandung, belum lagi demo buruh di mana-mana (AMT Pertamina dan Aice)

Kesenjangan Ekonomi

Dengan penindasan dan ketimpangan yang berat sebelah ini, tidak heran bila kesenjangan ekonomi di dunia kini semakin parah.

Separah apa sih?

sumber: Oxfam & Howmuch.net

Separah 8 orang terkaya memiliki kekayaan yang sama dengan 3,6 miliar orang termiskin di dunia.

Kekayaan atau kesejahteraan yang tidak sama itu wajar. Tidak mungkin dan tidak baik pula jika semua orang sama persis kekayaannya. Namun, yang perlu diperhatikan adalah level kesenjangannya itu lho, semakin tidak rasional.

Tidak-kah Anda merasa ada yang salah jika di satu sisi ada orang yang makan hari ini saja belum tentu ada, sedangkan di sisi lainnya ada orang yang sanggup membeli tas dengan harga Miliaran?

Kesenjangan tingkat ekstrim ini penyebab utamanya nya adalah proses ekstraksi kesejahteraan satu arah (wealth extraction) yang dimulai dari zaman Enclosure Movement di Inggris.

Enclosure Movement adalah gerakan dari para pemilik tanah besar dan bangsawan untuk memaksa para petani kecil pergi dari tanah yang ia miliki supaya tanahnya bisa mereka manfaatkan sebagai pertanian yang masif atau pabrik.

Bagaimana cara petani yang kehilangan tanahnya itu mencari makan? Dengan menjadi pegawai di pertanian dan pabrik yang ada.

Lucunya, meski ini cara lama, ternyata masih digunakan juga di masa kini:

“Kalau di bandara itu nantinya akan butuh 3000 pegawai. Warga yang mengisi form yang kami buat ada yang ingin jadi cleaning servis, ada yang security, ada juga yang minta diberikan pelatihan. Saya juga akan tanda tangan MoU dengan dengan Angkasa Pura jika nanti bandara dibangun, warga yang ikut pelatihan harus diutamakan,” — Hasto Wardoyo, Bupati Kulonprogo

Pasar = Jahat?

Dengan dalih “pasar bebas”, banyak kebutuhan dan hak rakyat kecil tidak dapat dipenuhi. Bahkan untuk kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan. Salah satu penyebabnya adalah mekanisme pasar yang terlihat bebas tapi sebenarnya memihak (kepada yang punya duit), seperti yang dijabarkan di atas.

Saya di sini bukannya menolak mekanisme pasar, karena yang namanya pasar itu sudah ada dari zaman dahulu kala. Sejak manusia mengenal yang namanya barter, ya di situ pasar terbentuk. Pasar kan intinya tempat orang melakukan pertukaran barang dan uang. Dari dulu memang sudah ada pasar, yaitu pasar barang dan jasa. Pasar yang ini normal-normal saja.

Sebenarnya ada 2 lagi jenis pasar, yaitu pasar modal dan pasar tenaga kerja. Pada dua pasar ini terdapat relasi yang aneh dan tidak seimbang.

Dalam ekonomi kapitalisme seperti yang mayoritas negara-negara di dunia kini gunakan, terdapat mindset yang tidak tergoyahkan, yaitu:

Modal > Tenaga Kerja

Atau meminjam istilah yang lebih internasional : Capital > Labor

Dalam pendirian PT saja, pembagian saham dibagi berdasarkan modal disetor. Ya tidak heran kalau modal merasa menjadi bos dari tenaga. Padahal realitas di lapangan menunjukkan bahwa founder startup saja mendapatkan saham yang dimilikinya karena usaha — karena kerja di awal — bukan karena modal yang disetor. Modal keringat atau modal dengkul kalau kata orang.

Kenapa mindset yang ada selalu pemilik modal menjadi pemilik perusahaan, sehingga profit hanya untuk para pemegang saham saja? Padahal yang namanya kerja kan juga harus dihargai.

Perusahaan tanpa tenaga kerja pasti tidak bisa berjalan. Sedihnya, tenaga kerja baru dihargai kalau terjadi pemogokan.

Kenapa dengan memiliki alat-alat dan bahan produksi maka berarti perusahaan yang berhak memiliki semua keuntungan dari hasil produksi? Padahal kenyataannya kan modal dan tenaga kerja sama-sama saling membutuhkan.

Penyebabnya adalah norma yang berlaku saat ini, yaitu pemilik modal yang merekrut pemilik kerja. Ada orang punya modal, ia buat perusahaan, lalu ia rekrut pegawai sebagai tenaga kerja.

Kenapa tidak dibalik? Pemilik kerja yang merekrut pemilik modal. Bayangkan sekelompok orang yang memiliki kemampuan, lalu mereka mencari pemilik modal, sehingga bisa memulai usaha milik mereka bersama.

Kalau kita perhatikan pula, demo antara buruh dengan pengusaha selalu terjadi. Mungkinkah “konflik” ini dihilangkan?

Bentuk perusahaan seperti apa yang memungkinkan ini semua terjadi?

Jawabannya = Koperasi

Terutama koperasi pekerja.

sumber: Popular Resistance

Eits, tapi jangan dianggap koperasi pekerja yang saya maksud adalah koperasi pegawai seperti yang umumnya ada saat ini di berbagai perusahaan dan kantor pemerintahan di Indonesia.

Koperasi pekerja yang saya maksud adalah “worker-owned cooperative”, suatu istilah yang asing di Indonesia, namun sudah umum di negara lain.

Koperasi di mana anggotanya berhimpun mendirikan perusahaan yang mereka miliki dan kendalikan secara demokratis, di mana mereka sekaligus menjadi pekerja pada perusahaan itu — M Jaya Nasti

Koperasi tipe ini sangat berbeda dari tipikal perusahaan yang biasa ada (PT, CV) karena ia tidak membedakan antara pegawai dengan pemilik. Anggota = pegawai = pemilik koperasi yang didirikan bersama.

Karena kapitalisme dan neoliberalisme, muncul segegrasi kelas dalam masyarakat, utamanya pemilik modal dan pemilik tenaga kerja (buruh/pegawai). Padahal, kedua hal ini tidak harus terpisah.

Dalam koperasi pekerja, pemilik modal dan pemilik tenaga kerja adalah kelompok yang sama. Karena itu, tidak akan ada penindasan satu arah dan peraturan yang semena-mena.

Pendapatan para pekerja pun akan meningkat karena selain gaji sebagai pekerja, mereka juga berhak mendapatkan Sisa Hasil Usaha (SHU) setiap tahun sebagai anggota dan pemilik di dalam koperasi.

Dampak dari Pemisahan Modal dan Tenaga Kerja

Di zaman sekarang ini kita sudah terlanjur terbiasa melihat bahwa ada orang yang menjadi pengusaha dan ada yang menjadi pekerja. Norma yang ada kini adalah pengusaha memiliki alat-alat dan bahan-bahan produksi sehingga ia berhak mengatur, sedangkan pegawai tinggal mengikuti perintah saja.

Pegawai menjadi terbiasa diarahkan pada pekerjaannya sehari-hari. Ini juga berdampak pada keterlibatan dan keaktifannya dalam bermasyarakat.

sumber: Sabina Becker

Kenapa? Karena ketika dia terbiasa mengikuti perintah atau arahan dari atasan saja, dia tidak terbiasa untuk menyampaikan pendapatnya. Lama kelamaan mode “pasrah” ini akan terbawa pada kehidupan sehari-harinya. Ini menimbulkan ketidakpedulian, keacuhan, dan apatisme terhadap orang lain, keluarga lain, anggota masyarakat yang lain.

Ceritanya akan berbeda kalau ia menjadi pekerja-pemilik dalam suatu koperasi pekerja atau minimal anggota aktif dari koperasi jenis apapun. Memang apa dampaknya?

Dalam koperasi, suara anggota-anggotanya benar-benar diperhitungkan karena sistemnya demokrasi. Ketika seseorang terbiasa speak-up mengenai hal yang ia pikirkan, mengenai ide yang ia miliki, mengenai kegelisahan yang ia rasakan dan berbagai macam hal lain dalam lingkup pekerjaannya, maka otomatis dalam kehidupan sehari-harinya rasa peduli dan berani berbicara ini akan terbawa.

Orang-orang zaman sekarang semakin individualis, padahal hakekat warga kita Indonesia adalah gotong royong. Kenapa? Karena kehidupan sehari-hari kita, media, hingga lingkungan sehari-hari kita mendorong untuk apatis.

Kita lupa pada para Bapak Bangsa kita yang sudah susah payah membangun dasar negara dan UUD yang begitu menonjolkan nilai kebersamaan, bahkan dari sisi ekonominya. Ingat pasal penting di bawah ini?

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan — UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1

Neoliberalisme dan kapitalisme begitu menjunjung tinggi individualisme, sehingga kita menjadi lupa akan hakikat kita yang komunal dan kekeluargaan.

Ki Hajar Dewantara berkali-kali menyampaikan dalam tulisan-tulisan beliau bahwa kita harus berhati-hati terhadap nilai-nilai yang tidak selaras dengan akar budaya Indonesia, yaitu:

  1. Individualisme
  2. Materialisme
  3. Intelektualisme

Tapi lihat, bagaimana realita di lapangan sekarang?

Emang Koperasi Sukses?

Wah jangan salah, mereka justru menunjukkan kekuatannya ketika krisis ekonomi melanda.

Dokumenter tentang ketahanan koperasi terhadap krisis

Ada Fonderie de l’Aisne, sebuah workshop metal yang bangkrut dan ditinggalkan oleh pemiliknya, namun dihidupkan kembali oleh para pekerjanya. Mereka tidak ingin kehilangan mata pencaharian mereka, sehingga mereka berjuang untuk mengambil alih perusahaan tersebut dan diubahnya menjadi bentuk koperasi.

Ada Muszynianka, perusahaan air mineral di Polandia yang sudah berbentuk koperasi pekerja dari berpuluh tahun yang lalu. Mereka selalu berusaha memberikan manfaat bagi warga sekitarnya dan semakin kuat walaupun terkena dampak krisis global.

Ada pula Consorzio SIS, sebuah konsorsium/federasi dari beberapa koperasi di Italia yang fokus pada ranah sosial dan penyaluran pekerjaan bagi para difabel. Kedua bidang tersebut tentu tidak “seksi” dari sisi profit, namun sebenarnya tetap dibutuhkan oleh masyarakat umum. Itulah salah satu keunggulan koperasi, penyediaan fasilitas dan layanan demi kebaikan bersama.

Lalu satu lagi yang paling besar dan terkenal, Mondragon. Koperasi yang lahir pada tahun 1956 di Basque, Spanyol ini levelnya sangat tinggi. Ia sudah memiliki universitas, pusat riset, pabrik industri, supermarket, bank, bahkan asuransinya sendiri. Mondragon — sebuah institusi besar yang kini telah terdiri dari 261 perusahaan dan koperasi — memiliki cara yang unik dalam menghadapi krisis.

Ada 2 langkah utama yang dilakukan Mondragon, yaitu memotong gaji seluruh karyawan sementara waktu secara proporsional dan memindahkan pekerja dari perusahaan yang sedang sulit kepada perusahaan yang siap menerima kelebihan pegawai (dalam satu jaringan Mondragon).

Artinya, anggota Mondragon mendapatkan jaminan penghidupan. Mondragon tidak ingin ada pemecatan pegawai, sehingga ia memilih untuk membagi beban bersama-sama selama sementara waktu.

Keuntungan dan kelangsungan hidup perusahaan memang penting, tapi jauh lebih penting orang-orang yang ada di dalamnya.

Prinsip Penentu Kehebatan Koperasi

Apa sih sebenarnya yang membuat koperasi begitu hebat dan berhak menyandang status sebagai kunci atas demokrasi ekonomi?

Jawabannya adalah 7 Prinsip Koperasi, terutama poin 2 dan 5:

  1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
  2. Pengelolaan dilakukan secara demokrasi
  3. Partisipasi ekonomi anggota
  4. Otonomi dan independensi
  5. Pendidikan, pelatihan, dan informasi
  6. Kerjasama antar koperasi
  7. Kepedulian terhadap komunitas

Demokrasi dalam koperasi di sini memiliki arti bahwa satu orang memiliki tepat satu suara. Hal ini memastikan keadilan dan kesetaraan anggota.

Sayangnya, demokrasi memiliki satu kelemahan, yaitu nilai suara antara orang yang lebih mengerti suatu topik dengan orang yang kurang memahami topik tersebut nilainya sama besar.

Hal ini menimbulkan risiko terlahirnya keputusan yang bodoh. Kenapa? Karena mayoritas anggota tidak memahami duduk perkara dari yang apa yang ia pilih.

Sempatkah Anda berpikir, dalam demokrasi politik kita di Indonesia, bahwa sebenarnya ada rasa tidak adil atau tidak tepat yang mengganjal ketika kita melakukan pilkada atau pilpres?

sumber: Viva

Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap berbagai jenis profesi, apakah tepat sekiranya nilai suara dari seorang pemulung/pengemis — yang jarang mengikuti perkembangan politik di Indonesia sehingga mudah digoyahkan oleh “serangan fajar” — dianggap sama dengan seorang profesor ahli politik dan hukum yang benar-benar memahami mana calon yang lebih baik atau lebih buruk?

Saya pribadi pernah terpikir ide untuk melakukan pembobotan nilai suara. Tapi ketika saya olah lagi ide tersebut, malah muncul pertanyaan-pertanyaan baru, terutama pertanyaan krusial satu ini:

Parameter apa yang akan digunakan untuk membedakan bobot suara antar orang?

Pendidikan? Pekerjaan? Penghasilan? Prestasi? Pengetahuan?

Semakin saya renungkan, semakin saya yakin bahwa pembobotan suara berdasarkan parameter apapun tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Pasti akan terjadi protes dari berbagai sisi dalam hal parameter apa saja dan bobotnya berapa untuk masing-masing parameter. Kacau-balau.

Solusinya bagaimana? Di sinilah poin 5 masuk, Pendidikan.

Ketika mayoritas anggota telah terdidik, maka keputusan yang diambil dengan suara mayoritas pasti akan memberikan hasil yang terbaik.

Inilah mengapa dalam kehidupan politik kita, meskipun prinsipnya demokrasi, seringkali hasil yang didapatkan ternyata bukan yang terbaik. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang kurang dari mayoritas warga negara.

Pemahaman yang kurang ini sebenarnya bukan karena mereka apatis, tapi ya memang dibuat seperti ini. Para pemegang kekuasaan tidak ingin terlalu ribut mengurusi aspirasi dari rakyatnya, sehingga rakyat dilenakan dan dibiarkan tidak sepenuhnya paham akan apa yang terjadi. Lama-lama jadinya apolitis.

apolitis/apo·li·tis/ a

1 tidak berminat pada politik; 2 tidak bersifat politis

Coba perhatikan, kapan masyarakat Indonesia mendapatkan pendidikan politik yang benar? Menurut saya, pendidikan politik yang warga kita dapatkan hanyalah melalui pelajaran Kewarganegaraan (PPKn/PKn).

sumber: Blog Riefawa

Tapi apa yang diajarkan pun sekadar normatifnya saja, hanya teori. Tidak pernah diajarkan metode pembentukan opini, pengumpulan masa, interaksi antar pemilik kekuasaan, serta realitas politik yang ada di lapangan secara nyata.

Secara aturan, fungsi pendidikan politik terletak pada partai politik. Tetapi apakah mungkin mendapatkan pendidikan politik yang netral dari parpol? Ya ngarep kalo itu, mah.

Kalau mau demokrasi (ekonomi maupun politik) yang seutuhnya, harus ada sisi pendidikannya.

“Kalau koperasi sebagus itu, kenapa di Indonesia kaga rame, Sen?”

Nah, justru di situlah letak kelucuannya. Indonesia adalah negara berasaskan Gotong Royong dan Bhinneka Tunggal Ika plus UUD 1945 Pasal 33, tapi sistem ekonominya cenderung neoliberal dan kapitalis. Ada yang aneh di sini.

Keanehan itu diperparah dengan jeleknya nama koperasi di Indonesia, negara yang dahulu meneriakkan koperasi sebagai sokoguru ekonominya.

Sebenarnya elemen penyebab jeleknya reputasi koperasi di Indonesia ada banyak, tapi beberapa diantaranya adalah:

  1. Tipu-tipu

Ada yang tahu koperasi ini?

Koperasi Pandawa. Sumber: Kontan

atau mungkin pernah dengar berita yang ini?

Mereka adalah contoh koperasi yang “terkenal” karena tindakan kriminal.

Tidak heran koperasi di Indonesia sering disalahpahami, karena yang dikenal oleh orang banyak hanyalah koperasi kredit. Sudah begitu, ia sering disalahgunakan untuk penipuan. Wajar jika orang menjadi skeptis begitu mendengar kata koperasi.

Belum lagi Koperasi Unit Desa (KUD) yang diharapkan dapat menyejahterakan masyarakat desa, eh malah sering dijadikan guyonan sebagai KUD = Ketua Untung Duluan. Kini malah posisinya mulai digantikan oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang kepemilikannya terpusat di pemerintah desa, bukan penduduk desanya.

2. Landasan Hukum

Di zaman yang sudah serba modern ini, UU Koperasi masih menggunakan UU tahun 1992. Di tahun 2012 sebenarnya sudah ada UU yang baru, tapi dibatalkan oleh MK karena dianggap tidak sesuai dengan semangat koperasi.

Hingga kini, UU koperasi belum ada pembaharuan. Panja RUU-nya masih jalan-jalan ke Prancis untuk studi banding. Kurang tahu jadinya kapan.

3. Syarat yang Lebih Sulit

Pendirian PT & CV hanya membutuhkan minimal 2 orang, sedangkan koperasi minimal harus sampai 20 orang anggota.

Rapat pendiriannya harus diikuti dan diketahui oleh petugas dinas koperasi terkait, di samping aktanya dibuat oleh notaris.

Banyak sekali persyaratan administrasi dan modal lainnya yang menyulitkan orang untuk membuat koperasi, sehingga orang kebanyakan lebih memilih membuat PT/CV.

Masa Depan Ekonomi Kerakyatan

Tidak heran jika banyak rakyat Indonesia merasa demokrasi yang mereka rasakan kok tidak komplit, lha aspirasi mereka hanya diwadahi dalam ruang politik (pemilu). Itu pun hanya 5 tahun sekali, tugasnya hanya nyoblos, biar merasa sudah berpartisipasi.

Di sisi lain, urusan “perut” yang dekat dengan kebutuhan sehari-hari, eh keterlibatan mereka tidak ada sama sekali. Coba lihat, IMF, Bank Dunia, OJK, BI, memang ada yang dipilih oleh masyarakat? Adakah masyarakat umum terlibat untuk dimintai pendapatnya atau paling tidak didengarkan keluh kesahnya?

politik hanya tabir, supaya masyarakat merasa sudah terlibat.
padahal dalam ekonomi dan penghidupannya, mereka tidak merdeka.

Meski situasi yang ada terkesan runyam, tapi sebenarnya masa depan koperasi dan ekonomi kerakyatan sangatlah cerah.

Di seluruh dunia, pergerakan untuk memperjuangkan koperasi sedang tinggi-tingginya. Bahkan di US — dedengkotnya kapitalisme — bermunculan gerakan untuk menghasilkan union co-op, kombinasi antara serikat pekerja dan koperasi pekerja.

Penyebab dari menggebu-gebunya semangat koperasi ini sebenarnya didorong oleh muaknya orang-orang dengan krisis ekonomi 2008–2009 yang disebabkan oleh para kapitalis, bankir, dan permainan finansial.

Tren ke depan gerakan koperasi akan semakin besar karena saya rasa arah pergerakan dunia ke depannya adalah desentralisasi.

Struktur ekonomi yang ada sekarang sangat memungkinkan monopoli atau oligopoli beberapa perusahaan besar (sentralisasi). Sentralisasi ini akan menguntungkan segelintir pihak namun membuat ketahanan ekonomi secara keseluruhan semakin rentan.

Pernah dengar Bitcoin dan/atau blockchain?

salah satu video penjelasan bitcoin yang lumayan bagus

Dia lahir salah satunya karena Satoshi Nakamoto, konseptor dari Bitcoin, muak dengan kontrol bank (terutama bank sentral) terhadap pergerakan uang dan ekonomi dunia. Terbukti dengan pencatatan transaksi pertama Bitcoin yang disertai dengan kata-kata:

The Times 03/Jan/2009 Chancellor on brink of second bailout for banks.

Hal ini menjadi semacam manifesto dari Bitcoin yang menentang kontrol para pemilik modal dan penguasa ekonomi keuangan di dunia.

IT saja yang sering dianggap sebagai garda terdepan inovasi justru mempopulerkan mindset desentralisasi. Koperasi adalah realisasi nyata dari desentralisasi, karena kekuasaan dan keuntungannya disebar kepada banyak elemen.

Nassim Nicholas Taleb, penulis buku Black Swan dan Anti-Fragile juga menekankan perlunya desentralisasi karena sistem yang ter-desentralisasi justru lebih stabil.

Jadi mau menunggu apalagi?

Koperasi harus bangkit demi terwujudnya demokrasi ekonomi sehingga cita-cita kesejahteraan umum bisa tercapai.

Katanya koperasi adalah sokoguru (tiang penyangga utama) perekonomian, tapi sekarang ini jangankan level tiang utama, level “tusuk gigi” juga belum.

Padahal Bung Hatta sudah berkali-kali menyampaikan dalam berbagai pidatonya, bahwa UUD pasal 33 ayat 1 sebagai dasar sistem perekonomian Indonesia itu tafsirnya jelas:

Azas kekeluargaan itu ialah Koperasi! — Bung Hatta

Salah satu inspirasi utama saya dalam pembuatan tulisan ini adalah video berikut:

keren banget dan mudah dipahami, sumber: Friatidningar Channel

Jika ada waktu, mangga ditonton sampai habis ya. Asli keren banget.

Terima kasih :)

Mohon komentar dan tanggapannya ya!

Jika Anda suka tulisan ini, jangan lupa klik clap (lambang tepuk tangan) sebanyak-banyaknya dan sebarkan pada kawan-kawan Anda.

Editor : Nadya Kemala Amira

--

--