Academia.eduAcademia.edu
WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 109-118 DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v29i3.2061 Kewaspadaan terhadap Munculnya Penyakit Glanders pada Kuda di Indonesia (Awareness of Emerging Glanders in Horses in Indonesia) Susan M Noor dan T Ariyanti Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114 Kontributor utama: susan_yurismono@yahoo.com (Diterima 22 Juli 2019 – Direvisi 5 September 2019 – Disetujui 6 September 2019) ABSTRACT Glanders is a zoonotic disease that is highly contagious in animals and humans, caused by the Burkholderia mallei. The clinical manifestations of glanders in horses are in the form of skin, nose and lungs. Horses play a role in transmitting glanders to healthy animal populations around them due to latent infections. Infection of glanders in humans is acute causing respiratory failure and could be fatal without proper treatment. Recently re-emerging glanders is reported in several countries that have eradicated diseases such as in India, Germany and China. The status of glanders in Indonesia is declared free, but surveillance showed positive antibodies to B. mallei in horses, as had been reported in 1939 and in 2018 in Jakarta. Glanders has a negative impact on a country's economy resulting in restrictions on international trade. Prevention of emerging glanders to Indonesia needs to be alerted because there is no effective treatment, no vaccines available and the economic impacts This paper aims to discuss glanders in horses, countermeasures through monitoring and surveillance, early detection in order to increase awareness of emerging glanders in Indonesia. Key words: Glanders, Burkholderia mallei, horses, emerging, Indonesia ABSTRAK Glanders adalah zoonosis yang sangat menular pada hewan dan manusia, disebabkan oleh bakteri Burkholderia mallei. Manifestasi klinis glanders pada kuda ada dalam bentuk kulit, hidung dan paru-paru. Kuda berperan menularkan glanders pada populasi hewan sehat disekitarnya karena infeksi laten. Glanders pada manusia bersifat akut menyebabkan kegagalan pernapasan dan berakibat fatal tanpa pengobatan yang tepat. Re-emerging glanders (muncul kembali penyakit) banyak dilaporkan di beberapa negara yang sudah melakukan eradikasi penyakit seperti India, Jerman dan Cina. Status glanders di Indonesia sampai saat ini masih dinyatakan bebas, namun antibodi positif terhadap B. mallei pada kuda pernah dilaporkan pada tahun 1939 dan 2018 di Jakarta dari hasil surveilans penyakit. Glanders berdampak negatif pada perekonomian suatu negarayang berakibat pada pembatasan perdagangan internasional. Pencegahan masuknya glanders ke Indonesia perlu diwaspadai mengingat tidak ada pengobatan yang efektif dan belum tersedia vaksin untuk pencegahan serta dampak ekonomi yang ditimbulkan. Tulisan ini bertujuan untuk membahas glanders pada kuda, strategi penanggulangan melalui monitoring dan surveilans penyakit, perangkat deteksi dini termasuk biosekuriti untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap muculnya penyakit glanders di Indonesia. Kata kunci: Glanders, Burkholderia mallei, kuda, emerging, Indonesia PENDAHULUAN Glanders atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit ingus jahat pada kuda bersifat zoonosis yang sangat menular yang disebabkan oleh bakteri Burkholderia mallei (Malik et al. 2010; Burtnick et al. 2012; Khan et al. 2013a; OIE 2019). Glanders merupakan salah satu penyakit tertua di dunia seperti dijelaskan oleh Aristoteles pada abad ke-3 dan dikenal sebagai malleus (Marr & Malloy 1996). Bakteri B. mallei pertama kali diisolasi oleh Loeffler dan Schutz di Jerman pada tahun 1882 (Colahan et al. 1999). Manifestasi klinis glanders pada kuda ditandai dengan kombinasi lesi pada kulit, hidung dan paru-paru (Radostits et al. 2007). Jika lesi terbentuk pada nostril, glandula submaxiliaris dan paru-paru maka disebut penyakit glanders, namun jika lesi terbentuk pada permukaan anggota badan atau kulit maka disebut farcy (Timoney 2013). Gejala umum glanders pada hewan adalah demam, malaise, depresi, batuk, anoreksia, dan penurunan berat badan. Kuda positif glanders harus dimusnahkan untuk mencegah penyebaran penyakit sehingga sangat sulit untuk mengetahui angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini, tetapi diduga mencapai tingkat fatalitas kasus 95% atau lebih pada kondisi septikemia dan 90-95% dalam bentuk paruparu. Glanders bentuk akut menyebabkan kematian dalam beberapa hari hingga 1-4 minggu, sedangkan 109 WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 109-118 bentuk kronis biasanya dapat bertahan hingga bertahun-tahun. Glanders endemik di Afrika, Asia, Mongolia, Timur Tengah, Amerika Tengah dan Selatan. Sebagian besar negara maju telah melakukan eradikasi glanders, namun dilaporkan penyakit ini muncul kembali (reemerging) dan menjadi wabah baru, seperti di Bahrain, Jerman dan Cina (Elschner et al. 2016; Scholz et al. 2014). Hewan karier dan infeksi laten glanders tidak menunjukkan gejala klinis spesifik namun memainkan peran penting dalam penyebaran infeksi. Status penyakit glanders pada kuda di Indonesia masih dinyatakan bebas, namun dalam era globalisasi sekarang ini memungkinkan penyakit ini muncul di Indonesia melalui berbagai sarana dan prasarana yang dapat berdampak pada pembatasan perdagangan internasional. Seropositif antibodi terhadap glanders pada kuda di Indonesia pernah dilaporkan oleh Veterinary Institute Buitenzorg, Java pada tahun 1939 (Blieck 1911). Pada tahun 2018 terdeteksi seropositif glanders pada kuda di Jakarta berdasarkan hasil surveilan penyakit dalam pembentukan kompartemen bebas penyakit kuda (Equine Disease Free Zone /EDFZ) dalam rangka penyelenggaraan kompetisi berkuda pada Asean Games ke-18 di Jakarta (Dirkeswan 2018). Tulisan ini bertujuan untuk mengulas penyakit glanders pada kuda dan strategi pencegahan dan pengendalian penyakit termasukan tindakan biosekuriti untuk mewaspadai munculnya glanders di Indonesia. tidak berkapsul dan tidak membentuk spora dengan panjang bakteri 1–5 µm dan lebar 0,3–1 (Sprague & Neubauer 2004). Spesies Burkholderia mallei terkait erat dengan B. pseudomallei penyebab maleoidosis, tetapi secara fenotipik dan genetik ke dua spesies tersebut banyak perbedaan (Galyov et al. 2010). Burkholderia mallei awalnya dikenal sebagai Pseudomonas mallei, Malleomyces mallei, Actinomyces mallei. Genus Burkholderia diusulkan pada tahun 1992 berdasarkan urutan 16S ribosomal ribonucleic acid (rRNA), homologi DNA, komposisi seluler lipid dan asam lemak serta karakteristik fenotipik (Yabuuchi et al. 1992). The Centers for Disease Control (CDC) mengkategorikan B. mallei sebagai salah satu selected agent kategori B (Rotz et al. 2002; Gilad et al. 2007; Khan et al. 2013b), yaitu agen yang cukup mudah disebarluaskan, menghasilkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah dari kategori A, dan membutuhkan kapasitas diagnostik spesifik dan peningkatan pengawasan penyakit. Bakteri B. mallei pernah diapkai sebagai agen senjata biologi oleh Jerman dan Jepang pada perang dunia 1 dan 2 (Darling & Woods 2004), karena sangat infeksius dan fatal serta mudah menginfeksi melalui rute inhalasi/ aerosol. (Gilad et al. 2007; Ricketti et al. 2011; Anderson & Bokor 2012; Burtnick et al. 2012). GLANDERS PADA KUDA Kuda sangat rentan terhadap infeksi B. mallei dan merupakan reservoir alami (Neubauer et al. 2005). Selain kuda, glanders juga dapat menginfeksi bagal, keledai dan hewan lain termasuk keluarga kucing dan singa, anjing, beruang, srigala, hyena, unta, domba dan kambing, sedangkan babi, sapi dan burung tahan terhadap infeksi (CFSPH 2015; Verma et al. 2014). Secara geografis distribusi glanders sulit untuk ditentukan secara tepat karena B. mallei secara serologis dapat bereaksi silang dengan B. pseudomallei penyebab meleiodosis. Glanders pada awalnya menyebar di seluruh dunia, tetapi sekarang telah diberantas dari sebagian besar daerah seperti Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara (Wittig et al. 2006; Slater 2013; Van Zandt et al. 2013). Status glanders di dunia berdasarkan OIE (2019) seperti terlihat pada Gambar 1. Glanders merupakan penyakit hewan lintas batas dan berdampak ekonomi pada perdagangan hewan internasional dan produk sampingnya. Glanders mudah menyebar secara luas ketika sejumlah besar hewan berada dalam populasi yang berdekatan. Faktor predisposisi seperti kekurangan gizi atau kondisi buruk mempermudah terjangkitnya penyakit. Etiologi Glanders disebabkan oleh infeksi bakteri Burkholderia mallei yang termasuk ordo Burkholderiales, Famili Burkholderiaceae, Genus Burkholderia. Bakteri ini bersifat intraseluler, berbentuk batang (bacillus), Gram negatif, tidak motil, 110 Epidemiologi Susan M Noor: Kewaspadaan terhadap Munculnya Penyakit Glanders pada Kuda di Indonesia Gambar 1. Status glanders di dunia (OIE 2019) Glanders masih menjadi ancaman bagi industri secara global karena penyakit ini endemis di Timur Tengah, Asia, Afrika, dan beberapa negara di Amerika Selatan (Khan et al. 2013a; OIE 2019). Beberapa negara yang bebas glanders adalah Eropa Barat, Kanada, Australia, Amerika Utara dan Jepang. Glander tetap dilaporkan secara sporadis di sejumlah negara Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Selatan (OIE 2019). Wabah glander telah dilaporkan di Turki, Uni Emirat Arab, Irak, Iran, Pakistan, Cina, Brasil, Bahrain dan India (Al-Ani et al. 1998; Arun et al. 1999; Bazargani et al. 1996; Elschner et al. 2009; Malik et al. 2010). Terjangkitnya kembali glanders pada kuda dilaporkan di India tahun 2006 (Malik et al. 2010; Malik et al. 2012), Jerman pada tahun 2014 dan di Cina pada tahun 2018. Penularan penyakit Glanders pada hewan disebarkan melalui kontak langsung atau tidak langsung terutama dengan kuda, keledai atau bagal yang terinfeksi dalam bentuk akut atau kronis. Rute paparan bakteri yang paling umum adalah melalui pakan yang terkontaminasi atau air yang mengandung sekresi dari pernapasan. Karnivora dilaporkan merupakan hewan yang paling sering terinfeksi akibat mengkonsumsi daging yang terkontaminasi bakteri B. mallei (Timoney 2015; Verma et al. 2014; CSFPH 2015). Burkholderia mallei menyebar melalui kulit yang luka, selaput lendir, inhalasi aerosol atau kontak melalui fomite (tali kekang kuda atau alat perawatan) yang terkontaminasi. Hewan terinfeksi akan shadding bakteri ke dalam tinja, urin, air liur dan air mata. Pada kuda shadding bakteri terjadi secara sporadis atau terus-menerus. Faktor predisposisi penyebaran glanders pada hewan dipengaruhi oleh kepadatan hewan dalam kandang, kedekatan dengan hewan terinfeksi dan stress yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (OIE 2013; Timoney 2013). Vektor biologis lalat (Musca domestica) dapat membawa B. mallei dari hewan sakit ke hewan sehat (Lopez et al. 2003). Infeksi glanders pada manusia terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang sakit, fomite, jaringan atau kultur bakteri. Bakteri akan masuk ke dalam tubuh melalui luka atau lecet pada kulit, konsumsi atau inhalasi. Sebagian besar infeksi glanders pada manusia didapat di laboratorium terjadi selama penanganan dan pemrosesan kultur B. mallei atau sampel hewan terinfeksi (CDC 2000; Gilad et al. 2007; CSFPH 2015). Gejala klinis Masa inkubasi glanders berkisar dari beberapa hari hingga 6 minggu, dan menurut OIE inkubasi penyakit selama 6 bulan (OIE 2016). Gejala klinis glanders akut pada kuda terlihat dalam tiga bentuk yaitu nasal, paru-paru dan kulit yang dapat muncul secara individual atau kombinasi. (Radostits et al. 2007; Malik et al. 2012). Kuda bisa terinfeksi secara laten dan sebagai carrier penyakit (Khan et al. 2013b). 111 WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 109-118 Manifestasi klinis glanders bentuk nasal ditandai dengan demam tinggi dan kehilangan nafsu makan, batuk, keluar lendir hijau kekuningan dan lengket, leleran mata. Terlihat bisul dan nodul di saluran hidung serta terjadi ulkus berkeropeng (Khan et al. 2013a). Glanders bentuk paru-paru adalah yang paling umum, membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang daripada bentuk nasal, namun masih bersifat akut. Manisfetasi klinis kulit merupakan bentuk kronis glanders dimana infeksi dimulai dengan tanda-tanda ringan hingga tidak terlihat yang mengarah ke kondisi lemah dengan gejala klinis yang dominan adalah batuk, demam, terlihat nodul pada kulit kulit yang pecah dan menjadi borok, pembengkakan kelenjar getah bening dan sendi (Malik et al. 2012). Teknik diagnosis Glanders pada hewan dapat didiagnosis dengan deteksi antigen (biakan kuman/kultur dan deteksi molekuler/PCR) dan respon kekebalan dengan (uji serologis dan uji mallein) (OIE 2018). Glanders pada hewan dapat didiagnosis dengan deteksi antigen (biakan kuman/ kultur dan deteksi molekuler/PCR) dan respon kekebalan dengan (uji serologis dan mallein) (OIE 2018). Pemilihan teknik diagnosis glanders dilakukan tergantung pada maksud dan tujuan, apakah untuk surveilan, konfirmasi penyakit atau program eradikasi. Ringkasan teknik diagnosis glanders pada hewan untuk berbagai tujuan deteksi seperti tercantum pada Tabel 1. Isolasi bakteri berbasis kultur merupakan prosedur standar baku emas (gold standard) untuk diagnosis genus Burkholderia (Blue et al. 1998). namun untuk mengisolasi bakteri ini sangat sulit bahkan pada sampel segar yang dikoleksi secara steril (Wernery 2009). Isolat B. mallei dapat diisolasi dari lesi pada kulit, sampel darah, eksudat saluran hidung dan saluran pernapasan bagian atas. Bakteri B. mallei sangat lambat pertumbuhannya dan berpotensi mudah terkontaminasi bakteri lain sehingga diperlukan media yang spesifik dengan penambahan enrichment media, seperti gliserol. Ukuran koloni B. mallei pada media agar darah atau agar serum Loeffler sekitar diameter 1 mm, berwarna putih, semi-translusen, kental dan akan berubah menjadi kuning pada koloni. Kultur bakteri pada media gliserin-kentang akan terlihat lapisan seperti madu pada hari ketiga dan kemudian berubah menjadi coklat kemerahan atau coklat (Naureen 2006). Teknik deteksi molekuler glanders dengan uji Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat mengurangi risiko paparan bakteri pada manusia dan lingkungan. Melalui uji PCR (restriction fragment length polymorphism, pulse-field gel electrophoresis, 16S rRNA sequencing) dapat dibedakan species B. mallei dengan B. pseudomallei (Lowe et al. 2014; Obersteller et al. 2016). Metode deteksi glanders lain yang telah banyak digunakan adalah lateks aglutinasi, imunofluoresensi (OIE 2018). Deteksi antibodi glanders pada kuda dapat dilakukan dengan uji serologis Complement Fixation Test (CFT) dan Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA). Uji CFT dan ELISA dapat digunakan untuk deteksi glanders hewan lain, termasuk unta dan kucing tetapi CFT tidak dapat dipakai untuk deteksi glanders pada keledai. Uji CFT merupakan metode yang direkomendasikan oleh OIE 2019 untuk skrining glanders pada kuda dalam perdagangan internasional. Uji CFT memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi tergantung dari pada antigen dan metodologi yang dipakai (Elschner et al. 2011; Khan et al. 2012). Permasalahan yang ditemui pada uji serologis CFT dan ELISA dalam mendiagnosis glanders adalah positif palsu dan negatif palsu, selain itu, juga tidak mampu membedakan antara antibodi B. mallei dan B. pseudomallei (Elschner et al. 2011). Tabel 1. Teknik diagnosis glanders pada hewan Tujuan deteksi Metode deteksi Identifikasi antigen PCR Kultur bakteri Deteksi respon kekebalan CFT ELISA Mallein Test Western blotting Populasi bebas infeksi Individu bebas infeksi Program eradikasi Konfirmasi kasus klinis Prevalensisurveilans - - - + + - ++ + + + ++ + + + +++ ++ + ++ + + + + +++ ++ + ++ Keterangan: +++ (metode yang direkomendasikan), ++ (metode yang cocok) Sumber: (OIE 2018) 112 Susan M Noor: Kewaspadaan terhadap Munculnya Penyakit Glanders pada Kuda di Indonesia Uji westernblot lebih spesifik dibandingkan CFT (Elschner et al. 2011; Khan et al. 2012) dan lebih efisien dalam pendeteksian serologis glanders (Katz et al. 1999). Uji ini sangat menjanjikan untuk deteksi glanders dan dapat dikombinasikan dengan uji lainnya. Penggunaan uji westernblot dilakukan untuk konfirmasi CFT karena (1) CFT tidak dapat diandalkan untuk uji serum hewan dengan aktivitas antikomplementer atau bereaksi sendiri dengan antigen normal (Hagebock et al. 1993); (2) CFT tidak dapat mendeteksi antibodi selambat-lambatnya 40 hari sejak timbulnya penyakit/negatif palsu (Gilad et al. 2007) dan (3) CFT bereaksi silang dengan serum yang terinfeksi strangles di daerah endemis yang berakibat positif palsu (Sprague et al. 2009). Pencegahan dan kontrol penyakit Glanders telah berhasil dieliminasi dari sebagian besar negara melalui pemusnahan hewan positif uji mallein yang ketat. Peran karantina dalam pengujian kuda sebelum dilalulintaskan merupakan komponen yang sangat penting untuk pengendalian penyakit. Glanders merupakan salah satu penyakit yang harus dilaporkan oleh OIE (2019). Tidak ada vaksin untuk pencegahan glanders pada hewan. Penelitian pengembangan vaksin glanders saat ini difokuskan pada manusia untuk antisipasi penggunaan B. mallei sebagai instrumen bioterorisme. Desinfektan yang sesuai sangat diperlukan untuk melakukan dekontaminasi area terpapar glanders karena B. mallei dapat bertahan/ resisten pada lingkungan yang lembab dan basah selama 3-5 minggu, dalam air bersih hingga 4 minggu dan sekitar 6 minggu dalam kandang yang terkontaminasi (Silva & Dow 2013). Resistensi B. mallei terhadap beberapa kondisi lingkungan seperti tercantum pada Tabel 2. Table 2. Resistensi bakteri B. mallei terhadap beberapa kondisi lingkungan Kondisi Resistensi Temperatur Mati pada pemanasan 55°C (131°F) selama 10 menit atau iradiasi sinar ultraviolet Desinfektan Tahan terhadap desinfektan iodin, merkuri klorida dalam alkohol, potasium permanganat, benzalkonium klorida (1/2000), sodium hipoklorit (500 ppm). Alkohol 70%, glutaraldehida 2% Daya tahan hidup Tahan pada kondisi kering tetapi sensitif terhadap sinar matahari dan inaktif pada penyinaran langsung kurun waktu 24 jam. Dapat bertahan hidup lebih dari 6 minggu pada area yang terkontaminasi dan 1 bulan pada air keran Resistensi B. mallei pada lingkungan yang sesuai dikarenakan adanya kapsul polisakarida yang merupakan faktor virulensi bakteri yang memperpanjang daya hidup bakteri. Menurut Ribolzi et al. (2016) ada hubungan yang kuat antara karakteristik tanah, kekeruhan air dan kelangsungan hidup patogen di lingkungan yang dapat meningkatkan risiko pajanan/ penularan. Bakteri B. mallei telah terbukti dapat bertahan hidup di tanah dan palung air di kandang (Coenye & Vandamme 2003) dan sifat fisikokimia tanah dan vegetasi di sekitarnya dapat mempengaruhi kelangsungan hidup bakteri (Limmathurotsakul et al. 2010). Pemberantasan glanders pada kuda yang telah dilakukan di beberapa negara menggunakan uji mallein dengan mengamati hasil reaksi hipersensitivitas di sekitar suntikan. Aplikasi uji mallein dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu penyuntikan fraksi protein dari B. mallei pada kelopak mata (intradermo-palpebral), diberikan dalam tetes mata, atau disuntikkan secara subkutan pada daerah selain mata. Penyuntikan pada intradermo-palpebral dianggap sebagai versi paling andal dan sensitif. Hasil uji malein dinyatakan positif jika terjadi pembengkakan pada kelopak mata setelah 1-2 hari pasca penyuntikan. Pengujian Mallein dapat menyebabkan positif palsu dan reaksi hipersensitivitas dapat menjadi permanen jika hewan diuji berulang kali dan uji ini dapat memberikan hasil dubius pada kondisi glanders akut, atau pada tahap akhir penyakit kronis (OIE 2019). Antibiotik mungkin efektif untuk pengobatan glanders pada hewan, namun pada umumnya tidak dianjurkan, karena infeksi dapat menyebar ke manusia dan hewan lain sehimgga hewan yang teinfeksi harus di eutanasi. Selain itu pengobatan antibiotika dapat meyebabkan hewan carrier tidak menunjukkan gejala klinis yang simptomatis. Pencegahan glanders jika terjadi wabah di daerah non-endemis dilakukan pemusnahan hewan positif glanders, area tempat gladers positif dikarantina dan dibersihkan dengan didesinfeksi. Karkas, alas tidur dan makanan yang terkontaminasi harus dimusnahkan secara aman (dibakar atau dikubur) dan semua peralatan harus didesinfeksi. Untuk daerah endemis glanders, hewan yang rentan harus dijauhkan dari area tempat pakan dan minum karena wabah glanders sering terjadi ketika hewan berkumpul. Pengujian glanders secara rutin dan eutanasia pada hewan yang terinfeksi dapat memberantas penyakit atau mengurangi kejadiannya. Daging dari kuda yang terinfeksi tidak boleh diumpankan ke hewan lain atau dikonsumsi manusia. Sumber: OIE (2018) 113 WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 109-118 GLANDERS SEBAGAI ZOONOSIS Penularan glanders langsung dari kuda ke manusia jarang terjadi, dan jika terjadi penularan maka biasanya gejala klinis yang terlihat ringan atau tidak nampak (CFSPH 2015) karena untuk timbulnya infeksi diperlukan dosis infeksius yang tinggi (Van Zandt et al. 2013). Sejumlah besar kasus glanders pada manusia dilaporkan di Rusia selama dan setelah Perang Dunia I. Pada 1793, Kasus glanders pada manusia dilaporkan pertama kali pada tahun 1793 oleh dokter hewan Prancis Dr. Charles Vial de Sainbel, Kepala Sekolah Tinggi London Veterinary College (Hunting 1913; Wilkinson 1981). Infeksi glanders pada manusia mengakibat kegagalan fungsi pernafasan, septisemia dan kematian mencapai 95% (CFSPH 2015). Pada manusia, glanders terutama merupakan penyakit terkait dengan pekerjaan seperti dokter hewan, peternak dan pekerja laboratorium yang memiliki kontak dekat dengan hewan yang terinfeksi (Neubauer et al. 1997; CFSPH 2015; Gilad et al. 2007). Infeksi glanders pada manusia secara sistemik dan tingkat kematian kasus di atas 50% dengan pengobatan antibiotik secara tradisional (CDC 2012). Masa inkubasi glanders akut pada manusia adalah 1 - 14 hari dan sebagian besar kasus ganders pada manusia terlokalisir. Manifestasi klinis glanders pada manusia dalam empat tipe penyakit: septikemia, infeksi paru-paru, infeksi lokal akut atau infeksi kronis (Van Zandt et al. 2013). Kombinasi sindrom ke empat tipe tersebut dapat terjadi. Glanders tipe septisemia ditandai dengan demam, menggigil, mialgia dan nyeri dada pleuritik yang berkembang secara akut. Gejala lain yang mungkin terlihat adalah eritroderma, kekuningan, fotofobia, lakrimasi, diare dan lesi granulomatosa atau nekrotikans. Takikardia, adenopati serviks dan hepatomegali ringan atau splenomegali juga dapat terlihat. Kematian biasanya terjadi dalam 7 hingga 10 hari (Gregory & Waag 2007). Glanders tipe paru ditandai dengan gejala pneumonia, abses paru dan infus pleura. Batuk, demam, dispnea, dan keluarnya mukopurulen mungkin terlihat. Abses kulit terkadang berkembang setelah beberapa bulan (CFSPH 2015). Infeksi yang terlokalisasi ditandai oleh nodul, abses, dan bisul pada membran mukosa, kulit, pembuluh limfatik dan atau jaringan subkutan. Leleran mukopurulen dan berdarah dapat terlihat pada selaput lendir. Pembengkakan kelenjar getah bening dapat terjadi. Infeksi pada mukosa atau kulit dapat menyebar; gejala infeksi yang menyebar meliputi ruam papular atau pustular, abses pada organ internal (terutama hati dan limpa) dan lesi paru (Wernery et al. 2012). Infeksi diseminata berhubungan dengan syok septik dan mortalitas tinggi. Dalam bentuk kronis, beberapa abses, nodul atau bisul dapat dilihat di kulit, hati, limpa atau otot. 114 MEWASPADAI EMERGING GLANDERS DI INDONESIA Kasus wabah Glanders pada kuda telah meningkat terus selama dekade terakhir. Glanders adalah salah satu penyakit zoonosis menular yang harus dilaporkan (notifiable diseases) berdasarkan pedoman OIE (2019). Badan Karantina menggolongkan glanders sebagai hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) golongan I yang harus dicegah masuk ke dalam, tersebar di dalam dan keluar dari wilayah negara Indonesia (Kementan 2009). Situasi glanders di Indonesia saat ini masih dinyatakan bebas. Antisipasi emerging glanders perlu dilakukan karena antibodi terhadap glanders pada kuda pernah dilaporkan pada jaman penjajahan belanda tahun 1939 berdasarkan laporan dari Veeartsenijkundid Institute Buitzorg, Java oleh Blieck (1911). Pada tahun 2018, positif glanders pada kuda di Jakarta juga terdeteksi dengan uji CFT oleh Balai Besar Penelitian Veteriner ketika dilakukan surveilans dalam rangka pembentukan EDFZ sesuai dengan pedoman OIE (2018). Kuda seropositif glanders tersebut telah dimusnahkan dan dinyatakan negatif berdasarkan hasil pemeriksaan patologis dan bakteriologis.Hasil surveilans glanders pada kuda di sekitar Jakarta, Bogor, Tangerang dan Depok (Jabotabek) telah dilakukan dengan hasil tidak terdeteksi seroprevalensi glanders pada kuda-kuda yang di uji (Gambar 2). Untuk mewaspadai emerging glanders di Indonesia dana untuk mempertahankan status bebas glanders, pemerintah perlu melakukan surveilans penyakit yang berkelanjutan dan menerapkan strategi pencegahan dan kontrol penyakit melalui deteksi dini penyakit, tindakan karantina yang ketat, pengujian dan pemusnahan hewan suspek dan disinfeksi tempat yang terinfeksi. Deteksi dini glanders pada kuda perlu dilakukan dengan menggunakan metode deteksi yang akurat dan handal karena diagnosis klinis dan bakteriologis sulit dilakukan pada tahap awal penyakit, hewan carrier dan infeksi laten. Hampir 90% infeksi glanders pada kuda dalam bentuk nonklinis atau laten. Uji CFT dipakai secara luas untuk diagnosis glanders dan direkomendasikan oleh OIE untuk perdagangan internasional, namun memiliki keterbatasan positif palsu dan negatif palsu (Neubauer et al. 2005; Kettle & Wernery 2016). Positif palsu menjadi masalah bagi pemilik kuda dan otoritas veteriner, sedangkan negatif palsu dapat memungkinkan re-emerging B. mallei ke dalam daerah bebas glanders. Hasil positif palsu menyebabkan kerugian finansial bagi pemilik hewan, dan hasil negatif palsu dapat mengubah risiko menjadi kemungkinan ancaman karena pergerakan hewan pembawa (carrier) tanpa gejala klinis yang spesifik akan menyadi sumber penyebaran penyakit jika tidak dilakukan skrining yang tepat (Khan et al. 2013b). WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 109-118 DOI: http://dx.doi.org/10.14334/wartazoa.v29i3.2061 Gambar 2. Surveilans glanders pada kuda di Jabodetabek dengan hasil negatif (Dirkeswan 2018) Peraturan sanitasi Internasional untuk memusnahkan hewan positif glanders harus dilakukan untuk menghentikan penyebaran B. mallei dan untuk menghindari perpindahan penyakit dari hewan ke manusia (Sprague & Neubauer 2004). Penerapan karantina yang ketat termasuk pengujian serologis terhadap hewan sebelum transportasi dapat mengurangi risiko impor dari daerah tertular glanders ke daerah bebas. Untuk impor kuda dari dari negara terinfeksi glanders dan daerah bebas glanders harus mengikuti persyaratan dari OIE (OIE 2019). Selain itu masyarakat dan pemilik ternak harus diberikan edukasi tentang sifat penyakit menular, pembatasan perawatan, langkah-langkah sanitasi yang perlu diadopsi dan melaporkan jika terlihat gejala suspek glanders pada kuda. Pendekatan one health untuk melawan emerging dan re-emerging zoonosis penyakit menular dan ancaman zoonosis perlu diterapkan dari semua aspek untuk memerangi glanders (Kahn et al. 2007; Dhama et al. 2013). KESIMPULAN Glanders pada hewan dapat muncul kembali walaupun telah dilakukan eradikasi. Kesenjangan pemahaman epidemiologi glanders, infeksi laten/ karier dan kelemahan uji diagnostik menjadi faktor risiko utama penyebaran agen infeksi dalam konteks pergerakan kuda internasional. Mewaspadai masuknya glanders ke Indonesia perlu strategi penanggulangan melalui monitoring dan surveilans penyakit, didukung dengan perangkat deteksi dini, karantina yang ketat dan penerapan biosekuriti terhadap kuda-kuda yang masuk ke Indonesia serta edukasi terhadap masyarakat dan pemilik ternak. DAFTAR PUSTAKA Al-Ani FK, Al-Rawashdeh OF, Ali AH, Hassan FK. 1998. Glanders in horses: Clinical, biochemical and serological studies in Iraq. Vet Arch. 68:155-162. Anderson PD, Bokor G. 2012. Bioterrorism: Pathogens as weapons. J Pharm Practice. 25:521-529. Arun S, Neubauer H, Gürel A, Ayyildiz G, Kusçu B, Yesildere T, Meyer H, Hermanns W. 1999. Equine glanders in Turkey. Vet Rec. 144:255-258. Bazargani TT, Tadjbakhs H, Badii A, Zahraei T. 1996. The outbreak of glanders in some racehorses in three states of Iran. J Equine Vet Sci. 16:232-236. 115 WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 109-118 Blieck De L. 1911. Kwadedroes-infectie in verband met de conjunctivale malleinatie en agglutinate. Java: Veeartsenijkundige Mededeeling Van Het Department Van Landboue, Veterinary Institute Buitenzorg. 3:1-20. Blue SR, Pombo DJ, Woods ML. 1998. Glanders and melioidosis. In: Palmer SR, Soulsby L, DIH Simpson, editors. Zoonoses: Biology, clinical practice and public health control. 2nd ed. Oxford (UK): Oxford University Press. p. 105-113. Burtnick MN, Heiss RA, Roberts HP. Schweizer P, Azadi, Brett PJ. 2012. Development of capsular polysaccharide-based glycoconjugates for immunization against melioidosis and glanders. Front Cell Infect Microbiol. 2:108. doi: 10.3389/fcimb.2012.00108. [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2000. Laboratory-acquired human glanders—Maryland, Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR). 49:532–535. [CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2012. Information for health care workers. Glanders [Internet]. [diakses pada 19 September 2018]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/glanders/healthcare-workers.html. [CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2015. Glanders [Internet]. [diakses pada 19 September 2019]. Tersedia dari: http://www.cfsph. iastate.edu/Factsheets/pdfs/glanders.pdf. Coenye T, Vandamme P. 2003. Diversity and significance of Burkholderia species occupying diverse ecological niches. Environ Microbiol. 5:719-729. Colahan PT, Mayhew IG, Merritt AM, Moore JN. 1999. Manual of equine medicine and surgery. Missouri (USA): Mosby, Inc. p. 17-22. Darling P, Woods J. 2004. US Army Medical Research Institute of Infectious Diseases Medical Management of Biological Casualties Handbook. 5th ed. Fort Detrick, MD (USA): USAMRIID. Dhama K, Chakraborty S, Kapoor S, Tiwari R, Kumar A, Deb R, Rajagunalan S, Singh R, Vora K, Natesan S. 2013. One world, one health veterinary perspectives. Adv Anim Vet Sci. 1:5-13. [Dirkeswan] Direktorat Kesehatan Hewan. 2018. SelfDeclaration of an Equine Disease Free Zone in Jakarta, Indonesia, for the purpose of facilitating the equestrian competitions in the framework of the 18th Asian Games 2018. Jakarta (Indonesia): Direktorat Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Elschner MC, Klaus CU, Liebler‐Tenorio E, Schmoock G, Wohlsein P, Tinschmann O, Lange E, Kaden V, Klopfleisch R, Melzer F, Rassback A, Neubauer H. 2009. Burkholderia mallei infection in a horse imported from Brazil. Equine Vet Educ. 21:147-150. Elschner MC, Scholz HC, Melzer F, Saqib M, Marten P. Rassbach A, Dietzsch M, Schmoock G, de Assis 116 Santana VL, de Souza MM. 2011. Use of a Western blot technique for the serodiagnosis of glanders. BMC Vet Res. 7:4. doi: 10.1186/1746-6148-7-4. Elschner MC, Liebler TE, Brügmann M, Melzer F, Neubauer H. 2016. Re-appearance of glanders into Western Europe −clinical, laboratory and pathological findings in a German horse. OIE Sci Technol Rev Bull. 1:7679. Galyov EE, Brett PJ, DeShazer D. 2010. Molecular insights into Burkholderia pseudomallei and Burkholderia mallei pathogenesis. Ann Rev Microbiol. 64:495-517. Gilad J, Harary I, Dushnitsky T, Schwartz D, Amsalem Y. 2007. Burkholderia mallei and Burkholderia pseudomallei as bioterrorism agents: National aspects of emergency preparedness. Israeli Med Assoc J. 9:499-503. Gregory BC, Waag DM. 2007. Glanders. In: Dembek ZF, editor. Medical aspects of biological warfare. Washington DC (USA): Borden Institute. p. 121-146. Hagebock JM, Schlater LK, Frerichs WM, Olson DP. 1993. Serologic responses to the mallein test for glanders in solipeds. J Vet Diagn Invest. 5:97-99. Hunting W. 1913. Glanders. In: Hoarse EW, editor. A system of veterinary medicine. London (UK): Balliere Tindall and Cox. [Kementan] Kementerian Pertanian. 2009. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238/Kpts/PD.630/9/2009 tentang penggolongan jenis-jenis hama penyakit hewan karantina, penggolongan dan klasifikasi media pembawa. Berita Negara RI tahun 2009 Nomor 307. Jakarta (Indonesia): Kementerian Pertanian. Katz JB, Chieves LP, Hennager SG, Nicholson JM, Fisher TA, Byers PE. 1999. Serodiagnosis of equine piroplasmosis, dourine, and glanders using an arrayed im- munoblotting method. J Vet Diagn Invest. 11:292-294. Kahn LH, Kaplan B, Steele JH. 2007. Confronting zoonoses through closer collaboration between medicine and veterinary medicine (as 'one medicine'). Vet Italiana. 43:5-19. Kettle ANB, Wernery U. 2016. Glanders and the risk for its introduction through the international movement of horses. Equine Vet J. 48:654-658. Khan I, Wieler LH, Butt MA, Elschner MC, Cheema AH, Sprague LD, Neubauer H. 2012. On the current situation of glanders in various districts of the Pakistani Punjab. J Equine Vet Sci. 32:783-787. Khan I, Wieler LH, Melzer F, Elschener C, Muhammad G, Ali S, Sprague LD, Neubauer H, Saqib M. 2013a. Glanders in animals: A review on epidemiology, clinical presentation, diagnosis and countermeasures. Transbound Emerg Dis. 60:204-221. Khan I, Ali S, Gwida M, Elschner MC, Ijaz, M, Anjum AA, Neubauer H. 2013b. Prevalence of Burkholderia Susan M Noor: Kewaspadaan terhadap Munculnya Penyakit Glanders pada Kuda di Indonesia mallei in Equids of Remount Depot Sargodha, Pakistan. Pak J Zool. 45:1751-1756. Limmathurotsakul D, Wuthiekanun V, Chantratita N, Wongsuvan G, Amornchai P, Day NP, Peacock SJ. 2010. Burkholderia pseudomallei is spatially distributed in soil in northeast Thailand. PLoS Negl Trop Dis. 4:e694. doi: 10.1371/journal.pntd.0000694. Lopez J, Copps J, Wilhelmsen C, Moore R, Kubay J, StJacques M, Halayko S, Kranendonk C, Toback S, DeShazer D, Fritz DL, Tom M, Woods DE. 2003. Characterization of experimental equine glanders. Microb Infect. 5:1125-1131. Lowe W, March JK, Bunnell AJ, O’Neill KL, Robinson RA. 2014. PCR-based methodologies used to detect and differentiate the Burkholderia pseudomallei complex: B. pseudomallei, B. mallei, and B. thailandensis. Curr Issues Mol Biol. 16:23-54. Malik P, Khurana SK, Dwivedi SK. 2010. Re-emergence of glanders in India: Report of Maharashtra state. Indian J Microbiol. 50:345-348. Malik P, Singha H, Khurana SK, Kumar R, Kumar S, Raut AA, Riyesh T, Vaid RK, Virmani N, Singh BK, Pathak SV, Parkale DD, Singh B, Pandey SB, Sharma TR, Chauhan BC, Awasthi V, Jain S, Singh RK. 2012. Emergence and re-emergence of glanders in India: A description of outbreaks from 2006 to 2011. Vet Ital. 48:167-178. Marr JS, Malloy CD. 1996. An epidemiologic analysis of the ten plagues of Egypt. Caduceus. 12:7-24. Naureen A, Saqib M, Faqeer M, Ahmad R. Muhammad G, Asi MN, Hussain MH, Lodhi LA, Khan MS, Thibault FM. 2010. Antimicrobial susceptibility of 41 B urkholderia mallei isolates from outbreaks of equine glanders in Punjab, Pakistan. J Equine Vet Sci. 30:134-140. Neubauer H, Meyer H, Finke EJ. 1997. Human glanders. Rev Int Serv Sante Forces Armees. 70:258-265. Neubauer H, Sprague LD, Zacharia R, Tomaso H, Al Dahouk S, Wernery R, Wernery U, Scholz HC. 2005. Serodiagnosis of Burkholderia mallei infections in horses: state-of-the-art and perspectives. J Vet Med B Infect Dis Vet Public Health. 52:201-205. Obersteller S, Neubauer H, Hagen RM, Frickmann H. 2016. Comparison of five commercial nucleic acid extraction kits for the PCR-based detection of Burkholderia pseudomallei DNA in formalin-fixed, paraffinembedded tissues. Eur J Microbiol Immunol. 6:244-252. [OIE] World Organization for Animal Health. 2013. Glanders: Technical disease card [Internet]. [diakses pada 19 September 2018]. Tersedia dari: http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Animal_Heal th_in_the_World/docs/pdf/Disease_cards/GLANDER S.pdf. [OIE] World Organization for Animal Health. 2016. Chapter 12.10: Glanders, Terrestrial Animal Health Code [Internet]. [diakses pada 19 September 2018]. Tersedia dari: http://www.oie.int/index.php?id=169& L=0&htmfile=chapitre_glanders.htm [OIE] World Organization for Animal Health. 2018. Glanders and melioidosis [Internet]. [diakses pada 19 September 2018]. Tersedia dari: http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_stand ards/tahm/3.05.11_GLANDERS.pdf. [OIE] World Organization for Animal Health. 2019. Glanders. Information on aquatic and terrestrial animal diseases [Internet]. [diakses pada 19 September 2018]. Tersedia dari: https://www.oie.int/en/animal-health-in-theworld/animal-diseases/Glanders/. Radostits OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2007. Veterinary medicine – a textbook of diseases of cattle, horses, sheep, pigs and goats. 10th ed. Philadelphia (USA): WB Saunders Elsevier. Ribolzi O, Rochelle-Newall E, Dittrich S, Auda Y, Newton PN, Rattanavong S, Knappik M, Soulileuth B, Sengtaheuanghoung O, Dance DA. 2016. Land use and soil type determine the presence of the pathogen Burkholderia pseudomallei in tropical rivers. Environ Sci Pollut Res Int. 23:7828-7839. Ricketti AJ, Cunha BA, Cleri DJ, Shenk SH, Vemaleo JR, Unkle DW. 2011. Biological terrorism and the allergist's office practice. Allergy Asthma Proc. 32:272-287. Rotz LD, Khan AS, Lillibridge SR, Astroff SM, Hughes JM. 2002. Public health assessment of potential biological terrorism agents. Emerg Infect Dis. 2:225-230. Scholz HC, Pearson T, Hornstra H, Projahn M, Terzioglu R, Wernery R, Georgi E, Riehm JM, Wagner DM, Keim PS. 2014. Genotyping of Burkholderia mallei from an outbreak of glanders in Bahrain suggests multiple introduction events. PLoS Negl Trop Dis. 8:e3195. doi: 10.1371/journal.pntd.0003195. Silva EB, Dow SW. 2013. Development of Burkholderia mallei and pseudomallei vaccines. Front Cell Infect Microbiol. 3:3389. doi: 10.3389/fcimb.2013.00010 Slater J. 2013. From glanders to Hendra virus: 125 years of equine infectious diseases. Vet Record. 173:186-189. Sprague LD, Neubauer H. 2004. Melioidosis in Animals: a review on epizootiology, diagnosis and clinical presentation. J Vet Med B. 51:305-320. Sprague LD, Zachariah R, Neubauer H, Wernery R, Joseph M, Scholz HC, Wernery U. 2009. Prevalencedependent use of serological tests for diagnosing glanders in horses. BMC Vet Res. 5:32. doi: 10.1186/1746-6148-5-32. Timoney J. 2013. Overview of glanders (Farcy): Merck Veterinary Manual [Internet]. [diakses pada 19 September 2018]. Tersedia dari: http://www.merckvetmanual.com/mvm/generalized_c onditions/glanders/overview_of_glanders.html. 117 WARTAZOA Vol. 29 No. 3 Th. 2019 Hlm. 109-118 Van Zandt KE, Greer MT, Gelhaus HC. 2013. Glanders: An overview of infection in humans. Orphanet J Rare Dis. 8:131. doi: 10.1186/1750-1172-8-131. Verma AK, Saminathan M, Neha, Tiwari R, Dhama K, Singh SV. 2014. Glanders - a re-emerging zoonotic disease: a review. J Biol Sci. 14:38-51. Wernery U. 2009. Glanders. In: Mair TS, Hutchinson RE, editors. Infectious diseases of the horse. Cambridgeshire (UK): Equine Vet J Ltd. p. 253-260. Wilkinson L. 1981. Glanders: Medicine and veterinary medicine in common pursuit of a contagious disease. Med Hist. 25:363-384. 118 Wittig MB, Wohlsein P, Hagen RM, Al Dahouk S, Tomaso H, Scholz HC, Nikolaou K, Wernery R, Wernery U, Kinne J, Elschner M, Neubauer H. 2006. Glanders-a comprehensive review. Dtsch Tierarztl Wochenschr. 113:323-330. Yabuuchi E, Kosako Y, Oyaizu H, Yano I, Hotta H, Hashimoto Y, Ezaki T, Arakawa M. 1992. Proposal of Burkholderia genus and transfer of seven species of the genus Pseudomonas homology group II to the new genus. J Microbiol Immunol. 36:1251-1275.