Coping Strategy pada Perempuan yang Dipoligami
COPING STRATEGY PADA PEREMPUAN YANG DIPOLIGAMI
Ilmaniar Fitriani Dewi
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNESA, Email: ilmaniardewi@mhs.unesa.ac.id
Nurchayati
Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNESA, Email: nurchayati@unesa.ac.id
Abstrak
Penelitian ini berupaya mengungkapkan alasan istri pertama yang dipoligami mempertahankan pernikahannya,
persoalan-persoalan yang ia hadapi dalam menjalani poligami, dan coping strategy yang ia terapkan guna mengatasi
tekanan-tekanan yang ia alami. Riset ini berpendekatan studi kasus kualitatif. Yang berperan sebagai subjek penelitian
adalah 2 istri pertama yang dipoligami secara paksa oleh suami. Dalam mengumpulkan data, riset ini menggunakan
teknik wawancara semi terstruktur, observasi dan dokumentasi. Dalam mengolah data, riset ini menerapkan triangulasi
dan analisis tematik. Penelitian ini membuahkan beberapa temuan. Ternyata istri pertama mempertahankan pernikahan
demi anak. Dalam menjalani poligami, istri pertama menghadapi beberapa persoalan. Pertama, ada persoalan ekonomi.
Kedua, ada persoalan psikologis, seperti rasa sakit hati, komunikasi tak optimal, relasi pernikahan tak harmonis, dan tak
terpenuhinya kebutuhan seksual. Persoalan ketiga adalah gangguan kesehatan fisik. Riset ini mengungkapkan bahwa
dalam menanggulangi tekanan, kedua subjek mengerahkan coping strategy yang berorientasi pada emosi (emotional
focused coping).
Kata kunci: emotional focused coping, poligami, istri pertama
Abstract
This study seeks to discover the reasons why some first wives continue to preserve their polygamous marriage, the
problems they encounter in such a marriage, and the strategies they employ to cope with the pressures they experience.
This research uses the qualitative case study approach. Serving as subjects in this research are two first wives whose
husband has taken a new wife without their consent. Collected through semi-structured interviews, observation, and
documentation, the data were triangulated and then interpreted by means of a thematic analysis. The study yields
several findings. The first wives keep their marriage because they want to ensure the wellbeing of their child/children.
On the other hand, polygamous marriage exposes these women to a number of problems. First, they face financial
pressures. Second, they wrestle with psychological problems such as resentment, poor interpersonal communications,
dysfunctional marital relations, and frustrated sexual needs. Third, they suffer from physical health issues. In managing
their problems, both subjects rely on a strategy known as emotional focused coping.
Keywords: emotional focused coping, polygamy, first wives
prinsip saling melengkapi dan mendukung, dan prinsip
mu’asyarah bi al-ma’ruf (Sunaryo, 2010
Dalam masyarakat Jawa pernikahan merupakan tanda
terbentuknya sebuah rumah tangga baru yang akan hidup
mandiri secara ekonomi, maupun tempat tinggal (Geertz,
1993). Umumnya pernikahan dalam keluarga Jawa
bersifat monogami. Poligami diizinkan apabila bertujuan
untuk mengangkat derajat seseorang. Sayangnya hal ini
jarang dilakukan.
Poligami sendiri merupakan keadaan dimana seorang
suami memiliki dua istri dalam waktu yang sama (Mulia,
2004). Poligami merupakan hak yang dimiliki oleh
suami, sedangkan istri tidak memiliki hak serupa. Hal ini
dipandang oleh beberapa kalangan sebagai ketidakadilan
bagi kaum perempuan. Oleh karena itu, banyak pro dan
kontra mengenai poligami ini (Ropiah, 2018).
Hasil dari penelitian Romli (2016) dalam masyarakat
perempuan yang setuju dengan poligami rata-rata berasal
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin yang
menyatukan antara perempuan dengan laki-laki,
pengertian ini diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal
1. Dalam masyarakat sering dibedakan antara pernikahan
dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya hanya
berbeda dalam penarikan akar katanya saja (Wibisana,
2016).
Dalam sebuah pernikahan terdapat tanggungjawab
bersama dalam membina keluarga. Setiap pernikahan
umumnya mempunyai tujuan yaitu, membentuk keluarga
yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Untuk mencapai
tujuan tersebut, terdapat beberapa prinsip yang harus
dipedomani, baik oleh suami, maupun istri, yaitu; prinsip
kebebasan dalam memilih jodoh, prinsip cinta kasih,
1
Volume 06, Nomor 02. (2019). Character : Jurnal Penelitian Psikologi
dari golongan islam modern. Akan tetapi satu hal yang
tidak terpikirkan adalah kondisi sosial masyarakat
sekarang dan tidak menyadari akan hakikat poligami
yang akan memunculkan dampak negatif sosial dan
psikologis bagi istri (Setyanto, 2017).
Poligami menimbulkan beragam dampak psikologis,
terutama bagi pihak perempuan yang dipoligami. Di
Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, seorang perempuan
nekat bunuh diri minum racun akibat sakit hati suaminya
menikah lagi dengan perempuan dari desa tetangga
(Abdurrahman, 2018). Walaupun sempat dibawa ke
rumah sakit, nyawanya tidak tertolong. Hal serupa juga
terjadi di negara lain. Di Arab Saudi, tepatnya Al-Jouf—
sebuah kawasan di sebelah utara Arab Saudi—seorang
perempuan memilih membunuh suaminya karena
menikah lagi. Suami dan istri mudanya diserang oleh istri
pertama di (Istri bunuh suami karena poligami, 2018).
Suami tersebut meninggal di tempat setelah ditembak
berkali-kali. Istri kedua juga ikut mendapat tembakan
tersebut yang menyebabkannya kritis.
Dari berita tersebut peneliti mencoba untuk
melakukan studi pendahuluan ke dusun Talun,
mengenai poligami. Alasan peneliti melakukan studi
pendahuluan di dusun ini dikarenakan adanya informasi
yang mengatakan bahwa terdapat beberapa perempuan
yang dipoligami oleh suaminya di daerah tersebut.
Selain itu dalam kehidupan sosial di dusun ini
memandang poligami merupakan tindakan yang tidak
sesuai dengan nilai dan norma dalam masyarakat.
Masyarakat mengatakan bahwa ada beberapa
perempuan yang dipoligami di dusun tersebut. Jumlah
pasti kasus poligami tidak dapat diketahui karena
banyak perempuan yang dipoligami malu untuk
mengakui kondisi pernikahannya. Para perempuan ini
biasanya berdalih bahwa suaminya sedang dikirim dinas
ke luar kota oleh kantornya.
Melalui percakapan dengan masyarakat, peneliti
disarankan untuk mendekati beberapa nama perempuan
yang di poligami oleh suaminya. Sebelum melakukan
pendekatan kepada perempuan yang dituju, peneliti
berkunjung ke ketua RT setempat, yaitu pak Rohman.
Peneliti secara langsung bertanya pada pak Rohman
mengenai perizinan poligami. Pak Rohman mengatakan
bahwa tidak ada data yang pasti mengenai masalah
poligami. Tidak pernah ada warganya yang datang untuk
melaporkan mengenai perizinan mengenai poligami.
Menurut pak Rohman, selama ini juga tidak ada prosedur
formal yang harus diikuti. Kalaupun ada yang berniat
poligami biasanya secara sembunyi-sembunyi tanpa
persetujuan istri pertama (Pak Rohman, 12 Mei 2018).
Jawaban dari pak Rohman ternyata sama juga dengan
Ketua RW, yaitu pak Zainal. Menurut beliau, masalah
poligami bukanlah bagian dari tugas ataupun urusannya.
Beliau juga meyampaikan bahwa bahwa pihak
kelurahanpun juga tidak memiliki data seperti itu.
Sepengetahuan beliau, rata-rata mereka yang berpoligami
tidak meminta izin istri pertama. Istri kedua ini kemudian
diberikan rumah yang jauh dari yang pertama. Banyak
laki-laki yang melakukan poligami, akan tetapi tidak
melalui prosedur yang benar (Pak Zainal, 12 Mei 2018).
Pada 25 Mei 2018, peneliti sudah melakukan
wawancara singkat dengan perempuan dari dusun Talun
yang di poligami oleh suaminya. Di dusun tersebut,
terdapat beberapa perempuan yang dipoligami. Salah
satu perempuan tersebut adalah Ibu Mawar.1 Ibu Mawar
telah di poligami selama 25 tahun. Beliau mengatakan
bahwa suaminya tidak pernah meminta izin untuk
menikah lagi. Beliau mengetahui hal tersebut setelah
tujuh bulan suami menikah lagi. Hal itu pun diketahui
ketika ada tetangga baik, Ibu Indra, yang melihat suami
bu Mawar tinggal di rumah seorang perempuan yang
bukan anggota keluarga. Ibu Indra akhirnya bertanya
pada tetangga sekitar perempuan itu. Berdasarkan
informasi yang ia dapat, diketahui bahwa suami bu
Mawar dan perempuan itu merupakan pasangan suami
istri yang baru menikah sekitar tujuh bulan secara siri.
Hal pertama yang bu Mawar rasakan adalah perasaan
hancur, apalagi ketika melihat dua anaknya yang masih
kecil. Selama dua tahun pertama pernikahan suami
dengan istri yang baru, nafkah masih lancar. Setelah itu,
beliau mulai merasakan perlakuan yang tidak adil.
Nafkah mulai tidak sesuai: disamping pemberiannya
yang mulai tersendat, nominalnya pun kian kecil. Pernah
dalam satu bulan, bu Mawar tidak mendapat nafkah sama
sekali. Bahkan suatu ketika, saat suami mengalami
kesulitan keuangan, sang suami malah meminta uang
kepadanya. Suaminya bu Mawar juga sudah tidak pernah
lagi menginap di rumahnya. Ia datang ketika pagi dan
pulang saat malam hari.
Akibat poligami yang dialaminya, kesehatan ibu
Mawar mulai terganggu. Beliau sering sakit sehingga
harus rutin mengkonsumsi obat-obatan. Banyak hal yang
membebani pikirannya, mulai dari biaya hidup, cibiran
orang mengenai keluarganya, dan juga perkembangan
anak-anak. Dengan bertambahnya usianya, kondisi
kesehatan bu Mawar semakin menurun. Saat peneliti
berkunjung ke rumahnya, bu Mawar menggunakan
tongkat sebagai alat bantu jalan.
Dalam kasus seperti yang dialami oleh bu Mawar,
beberapa perempuan lebih memilih untuk bercerai. Hal
ini tentu saja berkontribusi pada pertambahan angka
perceraian di Indonesia. Dari tahun 2015 sampai 2017,
angka perceraian di Indonesia mengalami kenaikan
Untuk melindungi privasi subjek penelitian, nama-nama
asli mereka disamarkan.
1
2
Coping Strategy pada Perempuan yang Dipoligami
observasi, bahan audiovisual, dokumen, laporan,
selanjutnya melaporkan diskripsi kasus dan tema kasus
(Creswell, 2018).
Responden dalam penelitian ini adalah perempuan
yang dipoligami oleh suaminya. Peniliti menggunakan
dua responden, yaitu bu Mawar dan bu Melati.2
Responden beralamat di Dusun Talun, Desa Gunung
Gangsir, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa
Timur.
sebanyak 3%. Pada tahun 2015, angka perceraian
mencapai 353.843. Angka perceraian meningkat menjadi
365.654 pada tahun 2016 dan 374.516 di tahun 2017.
Salah satu sebab perceraian ini adalah poligami (Badan
Pusat Statistik, 2018). Di tengah banyaknya kasus
perceraian di Indonesia, Ibu Mawar yang menanggung
beban psikologi karena dipoligami lebih memilih untuk
mempertahankan pernikahanya.
Dalam kondisi diatas dapat menimbulkan dampak
negatif dalam diri individu perempuan tersebut. Dimana
akan membawa dampak ekonomi, psikis, emosional dan
stres.
Stres merupakan keadaan dimana individu
mengalami kesulitan dan tekanan dalam beberapa waktu,
yang kemudian mereka tidak dapat mengungkapkannya
(Baqutayan, 2015). Stres yang dialami oleh perempuan
ini bisa jadi merupakan hasil dari ketidaksiapan mereka
dalam menerima kondisinya dipoligami. Ketika
kebanyakan orang memandang stres dalam konteks yang
buruk, individu bisa membuat stres ini menjadi sebuah
dorongan untuk memecahkan masalah.
Walaupun perempuan tersebut mengalami tekanan
dan ketidaksiapan untuk dipoligami akan tetapi dia tetap
harus melanjutkan kehidupanya. Oleh karena itu mau
tidak mau perempuan tersebut berupaya mencari cara
untuk mengatasi tekanan dan stres yang dihadapi. Upaya
yang dilakukan untuk mengatasi mengatasi tekanan ini
disebut dengan coping strategy (Maryam, 2017). Coping
strategy adalah sebuah usaha berupa tindakan yang
dilakukan oleh individu untuk mengatasi masalah dan
tekanan yang sedang dihadapi (Lazarus & Folkman,
1984). Coping strategy ini biasanya dipengaruhi oleh
latar belakang budaya, pengalaman menghadapi masalah,
faktor lingkungan, kepribadian, konsep diri, faktor sosial
dan pengaruh dari kemampuan individu dalam
menyelesaikan masalahnya.
Berdasarkan kondisi di atas, peneliti ingin mengetahui
latar belakang mengapa perempuan lebih memilih untuk
mempertahankan pernikahannya ketika dipoligami.
Peneliti juga ingin melihat persoalan-persoalan apa saja
yang dihadapi oleh para perempuan yang dipoligami dan
bagaimana mereka mengatasinya. Peneliti ingin menggali
coping strategy yang dikerahkan oleh perempuan yang
di poligami oleh suaminya.
Tabel 3.1
Responden Penelitian
No
Nama
Usia
Pekerjaan
Lama di
Poligami
Usia
Pernikahan
saat
Dipoligami
1.
Bu
Mawar
56
tahun
Ibu
Rumah
Tangga
27 tahun
12 tahun
2.
Bu
Melati
42
tahun
Swasta
7 tahun
5 tahun
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang
digunakan adalah analisis tematik. Peneliti memilih
analisis tematik dikarenakan analisis ini untuk
memberikan gambaran yang lebih rinci dalam tema
penelitian ini. Analisis tematik merupakan metode untuk
menidentifikasi, menganalisis dan melaporkan pola-pola
atau tema dalam data. Langkah-langkah yang digunakan
dalam analisis data berdasar Creswel (2010), sebagai
berikut :
1. Mengolah data dan mempersiapkannya untuk
dianalisis.
2. Membaca keseluruhan data.
3. Melakukan pengkodingan pada data.
4. Menerapkan proses coding untuk mendiskripsikan
setting, responden, kategori, dan tema yang akan
dianalisis.
5. Pendekatan naratif dilakukan dengan melakukan
deskripsi terhadap tema yang akan disajikan
kembali dalam bentuk narasi atau laporan kualitatif.
Membuat interpretasi dalam penelitian kualitatif
dengan melakukan pemaknaan data yang dihasilkan.
Sedangkan dalam pengukuran dan keabsahan
datanya menggunakan metode member check dan
triangulasi sumber data. Untuk mengecek keabsahan data
yang diperoleh, peneliti juga melakukan wawancara
kembali dengan significant other yaitu suami responden
untuk memastikan kebenaran data yang telah diperoleh
peneliti dari sudut pandang yang berbeda.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan studi kasus. Metode kualitatif yaitu suatu
asumsi teoritis dalam sebuah studi yang terkait dengan
permasalahan sosial atau manusia (Creswell, 2018). Studi
kasus merupakan pendekatan penelitian yang menggali
kehidupan subjek. Hal tersebut dilakukan melalui
pengempulan data secara detail dan mendalam dan
melibatkan banyak sumber informasi seperti wawancara,
Untuk melindungi privasi responden, nama yang
digunakan adalah nama samaran.
2
3
Volume 06, Nomor 02. (2019). Character : Jurnal Penelitian Psikologi
Perasaan negatif pertama yang muncul yaitu sakit
hati. Bu Mawar dan Bu Melati sama-sama merasakan
sakit hati setelah mengetahui suami mereka menikah
lagi.
Sedangkan Bu Melati tidak dapat mengungkapkan
bagaimana rasa sakit hati yang dialaminya. Ketika
mengatakan sangat sakit hatinya mengetahui dia
menikah lagi Bu Melati mengungkapkannya dengan
menangis. Begitu dalam sakit yang dirasakanya
hingga saat mengatakanya Bu Melati menangis dan
tubuhnya bergetar. Jawaban Bu melati ketika ditanya
bagaimana rasa sakit yang dirasakanya adalah sebagai
berikut :
HASIL PENELITIAN
Alasan Mempertahankan Pernikahan
Kedua subjek penelitian ini memiliki alasan yang
sama dalam mempertahankan pernikahanya. Alasan
tersebut adalah anak. Namun secara lebih mendalam
masing-masing subjek memiliki alasan yang berbeda
mengenai anak tersebut. Ada dua kebutuhan anak yang
menjadi alasan subjek bertahan dalam pernikahanya
yaitu, kebutuhan ekonomi anak dan kebutuhan kasih
sayang.
Pada subjek I alasan dalam mempertahankan
pernikahanya adalah karena biaya hidup anak-anaknya.
Pada saat Bu Mawar mengetahui bahwa Wak Budi
menikah lagi yang beliau takutkan adalah nasib biaya
hidup anak-anaknya. Bu Mawar melihat anak-anaknya
yang masih kecil dan membutuhkan biaya untuk sekolah
serta kehidupan sehari-harinya. Seperti yang dikatakan
Bu Mawar pada saat wawancara :
“Sakit, sakitnya gimana, sakit itu nggak bisa
diutarakan sakitnya pol, rasanya itu kayak
mbedodok, apalagi kalau liat orange pengen
nyakar” (Bu Melati, 25 Maret 2019).
Persoalan lain yang muncul adalah kedua subjek
tidak mendapatkan perhatian serta dukungan dari
pasangan. Perhatian dari suami semakin lama
semakin berkurang setelah mempunyai istri kedua.
Perasaan iri dirasakan kedua subjek ketika melihat
temanya yang mendapat perhatian dari suami mereka.
Dalam 27 tahun terakhir Bu Mawar mengakui bahwa
beliau tidak pernah pergi dengan suaminya. Sampai
sekarang aku nggak pernah diperhatikan, nggak
pernah diajak kemana-mana (Bu Mawar, 9 Februari
2019).
Sejak tahun 2012 Bu Melati tidak mendapat
perhatian lagi dari suaminya. Bu Melati juga
menginginkan sosok imam yang dapat membimbing
dan menyayangi keluarganya. Sebagai seorang
perempuan Bu Melati juga ingin merasakan rasanya
mendapat dukungan dari pasangan. Karena selama ini
beliau tidak pernah mendapatkanya. Kebutuhan
perhatian kearah hubungan intim juga menjadi
keinginan Bu Melati. Kayak perhatian dari hubungan
intim juga, itukan ya nggak munafik memang kita
manusia normal (Bu Melati, 2 Januari 2019).
Uraian di atas dapat diambil kesimpulan jika
dalam hasil wawancara memunculkan perasaan
negatif subjek yaitu rasa sakit hati dan tidak
terpenuhinya kebutuhan perhatian dari pasangan.
b. Hubungan Tidak Harmonis
Masalah-masalah yang mulai muncul dalam
pernikahan subjek membuat hubungan rumah tangga
mereka tidak harmonis. Komunikasi yang kurang baik
antara subjek dan suami menimbulkan terjadinya
pertengkaran diantara mereka. Pertengkaran terjadi
karena subjek merasakan adanya perubahan perilaku
yang terjadi pada suami mereka. Bu Mawar
mengatakan hal tersebut pada saat wawancara :
“Iya, lihat anak kalau tidak lihat anak yawes
selesai nak, kasihan anak-anak, kalau misalkan
aku pisah (nafkah) anakku ikut siapa nak” (Bu
Mawar, 4 Februari 2019).
Sedangkan pada subjek II alasan bertahan dalam
pernikahanya adalah kebutuhan kasih sayang dari sosok
ayah. Bu Melati melihat anak-anaknya masih kecil, dan
masih
membutuhkan
sosok
ayah
dalam
perkembangannya. Bu Melati berfikir untuk memberikan
kebutuhan kasih sayang dari sosok ayah dengan cara
bertahan. Dulu suami pertama Bu Melati meninggal
dunia ketika anak-anaknya masih kecil , sehingga kedua
anak perempuannya kurang kasih sayang dari sosok ayah.
Dalam pernikahan yang sekarang beliau mengusahakan
kehadiran sosok ayah ini untuk anak-anaknya. Bu Melati
memikirkan dua nasib anaknya yang masih kecil hasil
pernikahan dengan suami sekarang. Sebisa mungkin Bu
Melati bertahan demi anak-anaknya memiliki sosok ayah
dalam dunia mereka.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
alasan mendasar Bu Mawar dan Bu Melati dalam
mempertahankan pernikahannya adalah anak, terkait
kelanjutan biaya hidup anak-anaknya dan kebutuhan
kasih sayang dan juga sosok ayah untuk anak-anaknya.
Persoalan Pernikahan
Hasil dari wawancara subjek menunjukan beberapa
persoalan yang muncul dalam pernikahan. Ada beberapa
persoalan yang sama-sama dihadapi oleh subjek. Namun
ada juga persoalan yang hanya dialami oleh salah satu
subjek. Berikut ini merupakan persoalan pernikahan dari
hasil wawancara :
a. Perasaan Negatif
Persoalan pernikahan pertama yang dialami subjek
adalah mengenai perasaan. Perasaan yang muncul
dari hasil wawancara mengarah ke arah negatif.
4
Coping Strategy pada Perempuan yang Dipoligami
“Setelah itu ya setiap hari bertengkar, nggak
pernah memperhatikan anaknya, dia senangsenang sendiri, lama-lama ya bertengkar
terus sama aku” (Bu Mawar, 9 Februari
2019).
Kesimpulan dari uraian di atas adalah kedua
subjek yang kesehatan fisiknya sama-sama terganggu
akibat suaminya menikah lagi tanpa sepengetahuan
mereka.
e. Beban Ekonomi
Kedua subjek memiliki persoalan yang sama
dalam masalah ekonomi. Persoalan tersebut adalah
dimana suaminya tidak memberi nafkah kepada
mereka. Namun sebelum Bu Mawar tidak menerima
nafkah sama sekali, suaminya dulu masih
memberinya
nafkah
walaupun
mengalami
pengurangan 50%. Peribahasanya biasanya dikasih
100% tinggal 50% (Bu Mawar, 4 Februari 2019).
Persoalan ekonomi ini juga dialami oleh Bu
Melati. Sebelum sang suami menikah lagi persoalan
keuangan Bu Melati sudah mulai muncul. Suami Bu
Melati membebankan biaya hidup keluarganya pada
Bu Melati. Suaminya jarang memberi nafkah sejak
awal pernikahan. Bu Melati sudah terbiasa tidak
diberi nafkah suaminya. Suaminya tidak memberikan
nafkah dengan alasan bahwa Bu Melati sudah bisa
mendapatkan uang sendiri.
Persoalan yang di alami Bu Melati bukan hanya
pada masalah tidak dinafkahi. Namun saat suaminya
meninggalkan Bu Melati dengan hutang yang cukup
banyak. Hutang-hutang tersebut menjadi tanggung
jawab Bu Melati. Selain itu Bu Melati juga harus
membayar sewa rumahnya serta menebus rumah
tersebut. Karena rumahnya sudah digadaikan oleh
suaminya. Hasil dari kerja Bu Melati selalu digunakan
untuk mengangsur hutang-hutang suaminya
Berbagai macam beban ekonomi yang dialami
oleh subjek. Beban-beban ekonomi tersebut dimulai
dari uang nafkah yang diberikan berkurang, berlanjut
dengan mulai tidak mendapat nafkah hingga terbiasa
untuk tidak diberi nafkah oleh suami. Keadaan Bu
Melati diperparah dengan menanggung pembayaran
hutang-hutang suaminya.
Uraian mengenai persoalan yang muncul dalam
pernikahan subjek sudah dijelaskan diatas. Secara
garis besar persoalan pernikahan yang dialami kedua
subjek mencakup tentang persoalan perasaan negatif
yang muncul, hubungan yang tidak harmonis,
persoalan dalam hubungan intim, kesehatan fisik
subjek yang terganggu, serta beban ekonomi.
Bu Melati juga mengungkapkan jika dalam
pernikahanya sering terjadi pertengkaran dengan
suaminya. Karena isine rumah tangga aku tuh
pertengkaran terus nantik diterusno ya tambah dosa
ibu nak (Bu Melati, 2 Januari 2019). Dari sana suami
mulai mengalami perubahan perilaku.Salah satu
perubahan perilaku yang terlihat yaitu suami yang
jarang pulang ke rumah. Hal ini dirasakan kedua
subjek.
Pertengkaran, perubahan perilaku suami dan juga
suami yang jarang pulang ke rumah hingga
memutuskan komunikasi merupakan persoalan dalam
pernikahan yang membuat hubungan menjadi tidak
harmonis.
c. Hubungan Intim
Kedua subjek memiliki persoalan yang berbeda
dalam hubungan intim. Bu Mawar masih menjalankan
kewajibanya sebagai seorang istri dengan suka rela
setelah suaminya menikah lagi. Sedangkan Bu Melati
walaupun tetap menjalankan kewajibanya sebagai
seorang istri namun dengan perasaan terpaksa dan
tidak nyaman.
Sejak tahun 1999 atau kurang lebih selama 20
tahun Bu Mawar tidak pernah berhubungan intim
dengan suaminya. Hal tersebut merupakan beban
biologis yang dialami oleh Bu Mawar sebagai
perempuan normal. Bu Melati juga menjadikan hal
tersebut sebagai beban. Kurang lebih selama setahun
Bu Melati tidak berhubungan intim dengan suaminya.
Dari penjelasan singkat di atas dapat disimpulkan
jika subjek memiliki perasaan yang berbeda dalam
menjalankan kewajibanya sebagai seorang istri.
d. Kesehatan
Beban perasaan dan pikiran yang dialami subjek
berdampak pada kesehatan fisik mereka. Pengaruh
terhadap kesehatan fisik ini paling dominan dialami
oleh Bu Mawar. Ketika mengetahui suaminya
menikah lagi nafsu makan Bu Mawar hilang, beliau
mengatakan jika pernah tidak makan 4 hari. Sampai
nggak ada nafsu makan, makanya akhirnya sakitsakitan sampai sekarang ini (Bu Mawar, 4 Februari
2019).
Hingga sekarang kesehatan fisik Bu Mawar sering
terganggu, yang mengakibatkan nya bergantung pada
obat-obatan. Kondisi ini juga dialami oleh Bu Melati
dimana setelah mengetahui suaminya menikah lagi
Bu Melati jatuh sakit, darah tingginya naik.
Coping Strategy; Emotional Focus Coping
Hasil dari wawancara subjek menunjukan adanya
coping strategy yang digunakan subjek untuk mengatasi
masalahnya. Coping stretegy yang muncul dari hasil
wawancara lebih banyak memunculkan penggunaan
emotion focused coping. Berikut ini data yang muncul
dari hasil wawancara :
5
Volume 06, Nomor 02. (2019). Character : Jurnal Penelitian Psikologi
a. Positive Reappaisal
Persamaan kedua subjek dalam hal ini adalah
sama-sama memiliki keyakinan positif dalam diri
mereka bahwa mereka mampu untuk melewati saatsaat sulit ketika suami menikah lagi.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa subjek
mampu untuk melakukan pengendalian diri. Bentuk
dari pengendalian diri tersebut adalah menahan diri.
d. Escape Avoidance
Coping strategy dalam bagian ini mengarah pada
penyangkalan subjek untuk meminimalkan tekanan
yang sedang dihadapinya. Hal yang dilakukan subjek
II adalah dengan menambah kegiatan yang
dimilikinya. Bu Melati melakukan itu supaya
kesibukanya bertambah. Bertambahnya kesibukan
diluar rumah membuatnya merasa tidak kesepian.
“Terus aku mikir lama-lama, kemana aku
nantik kalau sakit. Ya gitu tok, kehidupanku
dibolak-balik. Sebenarnya juga nggak kuat,
tapi ya dikuat-kuatkan” (Bu Mawar, 16
Februari 2019).
Pada subjek II selain melakukan hal tersebut di
atas juga mengintrospeksi diri. Mencari penyebab
pada dirinya apa yang membuat suaminya menikah
lagi. Bu Melati mencari letak kesalahanya agar bisa
memperbaiki kesalahan yang diperbuatnya. Sehingga
hubunganya dengan sang suami bisa diperbaiki.
Dari uraian diatas bisa diambil kesimpulan jika
yang dilakukan subjek untuk memberikan penilaian
postif pada dirinya yaitu dengan cara menanamkan
keyakinan positif jika mereka mampu.
b. Accepting Responbility
Subjek II menyadari peranya sebagai seorang ibu
hingga Bu Melati memberikan pengertian pada anakanaknya jika mereka tidak boleh menaruh dendam
pada ayah mereka. Jangan sampek sekali-kali kamu
dendam sama orang yang sudah membesarkan kamu
(Bu Melati, 2 Januari 2019).
Selain Bu melati harus menerima keadaan yang
terjadi beliau juga menyadari tanggung jawabnya
sebagai seorang ibu. Ketika suaminya meninggalkan
Bu Melati membuat beliau harus bekerja untuk
memenuhi kebutuhannya dan anak-anak.
Uraian di atas menunjukan bahwa Bu Melati
menyadari akan tanggung jawabnya sebagai seorang
ibu sehingga beliau berusaha untuk menyesuaiakan
dirinya dengan kondisi yang sedang dialaminya.
c. Self Controling
Bentuk dari pengendalian diri subjek yang
muncul dalam wawancara adalah menahan diri.
Subjek melakukan hal tersebut karena menyadari
bahwa semua ada saatnya. Bertindak secara berlebih
justru akan menimbulkan luka pada diri subjek.
Seperti yang dikatakanya “ tak ketawai tok sama aku,
belum saatnya semua ada karma, belum sekarang sek
enak, enjoy” (Bu Melati, 2 Januari 2019). Selain itu
beliau juga melakukan self controling ini untuk
menghadapi olokan tetangganya.
“Iya mencari kesibukan ya kerja ya segalae, ya
usaha kan jadi agen juga kerjakan, memang
kalau berhenti di rumah itu jarang, jara diam di
rumah kalau nggak ada anak satupun biasanya
aku meloncat ke rumah siapa gitu, kadang ke
rumah teman siapa gitu biar dapat kerjaan,
kerjaan ya kayak survei sehari-hari ya, ya saya
kasih kesibukan sendiri nggak harus berdiam
diri, tambah stres engkokkan teringat sama
dia” (Bu Melati, 25 Maret 2019).
Kesimpulan yang dapat di lihat jika coping
strategy yang digunakan Bu Melati adalah dengan
cara menambah kesibukan dalam kegiatan sehariharinya. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan rasa
kesepian dan melupakan masalah dengan suaminya.
e. Mencari Dukungan Emosional
Ada beberapa hal yang menjadi pendukung secara
emosional dari kedua subjek. Pertama yaitu dukungan
yang didapatkan dari anak. Kedua subjek sama-sama
bisa bertahan dan mengatasi masalah yang di hadapi
karena anak-anak mereka memberikan dukungan
dengan penuh kasih sayang.
“Iya. Anakku bilang gini “ Sudah nggak usah
dipikirkan, nantik ibu tambah sakit. Anak-anak
ibuloh ngerti sama kondisi ibu, ibu sakit ya
yang tanggung jawab anak semua. Kalau
oulang bapakku kalau nggak pulang bukan
bapakku, ngapain mikirin bapak” (Bu Mawar,
16 Februari 2019).
Selain itu anak-anak ini menjadi penghibur bagi
kedua subjek saat dalam kondisi terpuruk. Subjek I
mengatakan jika saat stres ada anak membuatnya
terhibur. Ya hasilnya aku terhibur, nggak keluar
kemana-mana (Bu Mawar, 16 Februari 2019) . Begitu
juga dengan subjek II, tapi sakit kalo lihat anak
hilang, kalo sama suami biasanya sorekan ada di
rumahkan pagi-pagi itu wes ilang rasanya sakit (Bu
Melati, 25 Maret 2019).
Kedua yaitu dukungan dari teman ataupun
tetangga. Dukungan ini didapatkan Bu Melati dari
teman-teman sepekerjaanya. Jika Bu Melati
mendapatkan dukungan dari temanya, maka Bu
Mawar mendapatkan dukungan dari tetangganya.
“Tapi rasa malu karena dihadapan orangorang ada perempuan ada laki, banyak anakanak, malu asline nduk cuma karena apa,
biarlah anjing menggonggong kafilah
berlalu” (Bu Melati, 2 Januari 2019).
6
Coping Strategy pada Perempuan yang Dipoligami
Uraian di atas dapat disimpulkan jika subjek
membutuhkan dukungan secara emosional untuk
membangun kembali kepercayaan diri subjek dalam
mengatasi masalahnya. Dukungan yang diterima
subjek kebanyakan berasal dari anak mereka. Anak
selain penyemangat bagi subjek juga penghibur hati
mereka saat terpuruk. Dukungan dari teman dan juga
tetangga didapatkan oleh kedua subjek.
f. Agama
Penyelesaian masalah kedua subjek salah satunya
dengan berdoa dan berserah diri pada Allah. Usaha
yang mereka lakukan untuk bertahan dalam mengatasi
masalah pernikahan di barengi dengan berdoa kepada
Allah. Sisi baiknya dengan kondisi yang dihadapi
subjek, mereka lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Seperti yang dikatakan subjek II,“ Allah nggak akan
diam utama kita harus berdoa, doa ya sambil bekerja
(Bu Melati, 2 Januari 2019). Begitu juga dengan
subjek I, “pasrah sama Allah di doakan saja (Bu
Mawar, 16 Februari 2019)”.
Kesimpulan yang di dapat adalah kedua subjek
mempercayakan masalah yang mereka hadapi pada
Allah. Usaha yang dilakukan juga dibarengi dengan
doa.
g. Penerimaan Diri
Penerimaan diri pada subjek membantu subjek
untuk mengurangi beban yang mereka tanggung. Ada
beberapa cara yang dilakukan oleh subjek dalam
melakukan penerimaan diri mereka, yang pertama
yaitu memaafkan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penerimaan
diri ini adalah dimana kedua subjek mencoba untuk
realistis menerima keadaan yang ada. Hal ini
dilakukan subjek untuk mengurangi tekanan yang
membuat mereka stres.
PEMBAHASAN
Perempuan memiliki karakteristik tidak ingin
diduakan oleh pasanganya dalam sebuah hubungan
(Ropiah, 2018). Hal tersebut yang mendasari
perempuan menolak untuk dipoligami. Penolakan
tersebut disebabkan karena secara mental para
perempuan ini tidak rela jika harus berbagi hati dengan
perempuan lain (Ropiah, 2018). Selain itu rasa takut
jika nantinya suami tidak dapat berlaku adil juga
menjadi salah satu alasan bagi perempuan menolak
dipoligami.
Umunya bagi seorang laki-laki jika ingin
berpoligami haruslah mendapat izin pada istri pertama
(Bukhori, 2008). Selain izin, laki-laki juga harus
memenuhi beberapa syarat untuk menjalankan
pernikahan poligami. Syarat-syarat tersebut tercantum
dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4. Sehingga
secara peraturan suami diperbolehkan berpoligami jika
memenuhi syarat yang sudah ditentukan.
Sayangnya praktek tersebut jarang terjadi di
masyarakat. Dalam penelitian Putri dan Lestari (2015)
diungkapkan bahwa dalam masyarakat yang berhak
mengambil keputusan adalah suami. Hal tersebut
berlaku juga untuk pengambilan keputusan dalam
poligami. Jika pihak istri tidak setuju maka suami akan
melakukan poligami tanpa izin dari istrinya.
Kedua subjek dalam penelitian ini juga dipoligami
oleh suaminya secara paksa. Artinya suami subjek tidak
meminta izin untuk melakukan poligami. Subjek pada
penelitian ini merupakan istri pertama. Subjek I
mengetahui suaminya berpoligami setelah poligami
tersebut berjalan 4 bulan. Hingga sekarang subjek I
sudah dipoligami selama 27 tahun. Sedangkan pada
subjek II mengetahui suaminya berpoligami setelah
poligami tersebut berjalan 6 tahun. Terhitung hingga
sekarang subjek II sudah dipoligami selama 7 tahun.
Poligami secara paksa ini menimbulkan persoalanpersoalan dalam kehidupan pernikahan kedua subjek.
Persoalan yang timbul banyak yang merugikan subjek
sebagai seorang perempuan (Kurniawati, 2013). Alasan
tersebut yang membuat sebagian besar perempuan yang
dipoligami memutuskan untuk bercerai (Badan Pusat
Statistik, 2018). Akan tetapi kedua subjek dalam
penelitian ini memutuskan untuk tidak bercerai dan
bertahan dalam pernikahanya. Alasan kedua subjek
dalam mempertahankan pernikahanya adalah anak.
“Wak Budi ini sakit berobat ke Bangil, “iya
dek tadi aku berobat biar sembuh”, terus bapak
ini sumpah ke aku kalau dia udah tobat, kan
sudah tobat dong nak” (Bu Mawar, 4 Februari
2019).
“Menurut aku semua manusia itu ada khilaf
ya, jadiwong Allah saja bisa memaafkan
apalagi manusia, tak coba nduk, tak coba
karena si anak-anak, masak aku nikah dua kali
kok kayak gini, bertahan ya sampek sekarang”
(Bu Melati, 2 Januari 2019).
Kedua subjek sama-sama mencoba untuk
memaafkan suami mereka. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi rasa dendam pada diri subjek. Kedua,
kedua subjek juga sama-sama mengikhlaskan suami
mereka untuk perempuan lain. Subjek menyadari jika
mereka terlalu memaksa keadaan itu akan membuat
hati mereka sakit.
Ketiga subjek belajar untuk menerima keadaan
yang sedang dihadapi. Penerimaan ini dilakukan
karena subjek secara relalistis mengetahui
konsekuensi jika mereka terus-terusan melakukan
penolakan dengan kondisi yang ada.
7
Volume 06, Nomor 02. (2019). Character : Jurnal Penelitian Psikologi
Hasil dari penelitian Kurniawati (2013) juga
menyebutkan jika alasan istri pertama bertahan dalam
pernikahan poligami adalah anak.
Namun ada perbedaan mengenai alasan subjek
menyangkut tentang anak. Subjek II mengungkapkan
alasanya bertahan dalam pernikahan agar anak-anaknya
yang masih kecil dapat tumbuh dengan kasih sayang
dari sosok ayah. Sama halnya dengan penjelasan Mulia
(2007) bahwa keutuhan keluarga supaya anak tetap
mendapatkan kasih sayang dari sosok ayah menjadi
pertimbangan untuk bertahan dalam pernikahan
poligami. Sedangkan pada subjek I mempertahankan
pernikahanya demi biaya hidup anak-anaknya.
Alasan pada subjek I juga menimbulkan salah satu
persoalan yang dihadapi setelah dipoligami, yaitu
menyangkut masalah ekonomi. Penelitian yang
dilakukan oleh Nurohmah (dalam Mulia, 2007)
mengatakan jika masalah ekonomi pada pernikahan
poligami sering menimbulkan konflik. Subjek I
merupakan ibu rumah tangga yang tidak bekerja,
sehingga bergantung pada suaminya. Pada subjek I
masalah yang ekonominya dimana nafkah yang
diterimanya berkurang menjadi 50%. Subjek I juga
mengungkapkan bahwa suaminya pernah tidak
memberinya nafkah selama 2 tahun. Pengalaman
subjek I memberikan pelajaran jika penting bagi
perempuan untuk dapat mandiri secara ekonomi.
Perempuan harus memiliki keterampilan dalam
memenuhi kebutuhanya sehingga tidak bergantung
pada suami, selain itu mereka juga dapat menjadi
bagian dari suatu komunitas (Kurniawati, 2013).
Keadaan subjek I didukung oleh hasil penelitian
Kurniawati (2013), dimana istri yang tidak bekerja akan
bergantung pada pemberian nafkah suami dan harus
menghemat uang yang diterimanya. Hal ini tentu saja
jika lebih baik perempuan untuk mempunyai
keterampilan dalam menghasilkan uang. Sehingga
nantinya kemampuan perempuan untuk mandiri secara
ekonomi dapat membantunya mengambil keputusan
ketika
kesejahteraan
psikologisnya
terganggu
(Prawitasari, 2011).
Sedangkan subjek II mampu untuk mandiri secara
ekonomi dengan bekerja sebagai sales produk dan bank
swasta. Kemandirian ekonomi yang dimiliki oleh
subjek II merupakan dampak positif dari poligami.
Keadaan yang dialami sesuai dengan hasil penelitian
Kurniawati (2013) bahwa subjek memiliki kesadaran
untuk tidak bergantung pada suami dengan cara bekerja
untuk mendukung ekonomi keluarganya. Pada subjek II
ada dua masalah ekonomi yang dihadapinya, yaitu tidak
diberi nafkah dan beban hutang. Suami subjek II ketika
meningglakannya juga meninggalkan beban hutang
yang cukup banyak. Beban hutang itu diambil oleh
suaminya tapi yang melunasi adalah subjek II. Subjek
mengungkapkan jika diantara banyaknya tekanan yang
dihadapinya hutang adalah beban terberat baginya.
Persoalan lain yang muncul adalah persoalan
psikologis. Persoalan tersebut pada perasaan negatif.
Cacioppo dan Bernston (1999, dalam Baron & Byrne
2003) perasaan negatif dalam diri subjek dapat
membantu kesiagaan dan kemungkinan untuk mundur
jika memang kondisi tersebut diperlukan. Perasaan
negatif yang paling kuat terlihat dalam diri subjeck
adalah rasa marah. Rasa marah ini memiliki dampak
yang kuat tidak hanya pada hubungan sosial, namun
juga pada orang yang mengalaminya (King, 2014).
Perasaan marah ini juga mendominasi subjek saat
mengetahui bahwa suaminya menikah lagi. Penelitian
ini mengungkap jika kedua subjek merasakan sakit hati
yang begitu dalam. Subjek merasa jika kepercayaan
mereka sudah dihianati oleh suaminya. Santrock (2011)
menjelaskan bahwa kegagalan pada rasa cinta tidak
hanya menimbulkan sakit hati akan tetapi juga
mengakibatkan depresi, pikiran obsesif, disfungsi
seksual, ketidakmampuan bekerja secara efektif,
kesulitan menjalin relasi dengan teman baru dan
menghukum diri sendiri.
Keadaan lain yang muncul yaitu komunikasi yang
kurang baik antara subjek dan suaminya. Ketika
komunikasi dalam pernikahan sudah tidak berjalan baik
maka akan mempengaruhi kepuasaan pernikahan.
Kepuasaan pernikahan akan menurun sehingga
menyebabkan hubungan menjadi tidak harmonis.
Hubungan bisa dikatakan harmonis jika suami istri
dapat mengelola emosi dan mengatasi masalah yang
dihadapi, hal tersebut membutuhkan kemampuan untuk
mengkomunikasikan pikiran dan perasaan secara efektif
(Sukmawati, 2014). Dalam penelitian Sukmawati
(2014) dijelaskan bahwa hubungan yang tidak harmonis
memicu kekerasan dalam rumah tangga. Hal itu terjadi
pada subjek I, beliau mengungkapkan bahwa setelah
suaminya berpoligami sempat beberapa kali dipukul
pada bagian mata.
Ketika subjek dipoligami oleh suaminya keduanya
masih sama-sama dalam keadaan produktif, dimana
masih membutuhkan untuk berhubungan intim. Subjek
berada pada masa dewasa awal, dimana usia subjek I 36
tahun dan subjek II 35 tahun sesuai dengan kategori
yang disampaikan Hurlock (2003). Masa dewasa awal
merupakan keadaan dimana kebanyakan individu aktif
secara seksual (Lefkowitz & Gillen, 2006, dalam
Santrock, 2011). Akan tetapi Subjek I sudah tidak
berhubungan seksual dengan suaminya selama kurang
lebih 20 tahun. Sedangkan subjek II merasa jika masih
membutuhkan hubungan intim, namun sering merasa
8
Coping Strategy pada Perempuan yang Dipoligami
jijik dan tidak ikhlas ketika berhubungan dengan
suaminya.
Persoalan terakhir yaitu kesehatan fisik subjek yang
terganggu setelah dipoligami oleh suaminya. Kesehatan
fisik ini dipengaruhi oleh subjek yang mempunyai
tekanan pikiran, sehingga menimbulkan stress. Stress
dapat menjadi pemicu timbulnya penyakit atau
mengganggu kesehatan individu (Kahana, Kahana, &
Hammel, 2009, dalam Santrock, 2011). Efek kumulatif
yang diakibatkan oleh stress ini menimbulkan dampak
negatif pada kesehatan subjek. Penyakit yang timbul
biasanya menyangkut tentang kekebalan tubuh dan
penyakit kardiovaskular (Bauer, Jeckel, & Luz, 2009;
Ho & kawan-kawan, 2010, dalam Santrock, 2011).
Subjek I mengalami gangguan darah tinggi dan
diabetes. Pada subjek I mengalami gangguan kesehatan
yang berlanjut hingga sekarang. Keadaan ini di dukung
oleh pendapat Santrock (2011) Secara normal, individu
yang mengalami stres, tubuhnya akan melepaskan
hormon-hormon tertentu, namun saat bertambahnya
usia sistem hormon pada tubuh mengalami penurunan
resistensi terhadap stres, sehingga presentase terkena
penyakit semakin meningkat. Oleh sebab itu, hingga
saat ini subjek I bergantung pada obat-obatan yang
diberikan dokter untuk kesehatanya.
Keadaan kesehatan dari subjek I merupakan
pengaruh dari kurangnya kemampuan dalam
menyelesaikan tekanan yang dihadapinya. Folkman dan
Lazarus (1984) mengatakan jika usaha mengatasi
tekanan adalah upaya kognitif dan perilaku untuk
mengurangi, atau meminimalisir tekanan tersebut.
Usaha yang dilakukan dinamakan dengan coping
strategy. Penyebab dari kurangnya kemampuan subjek
untuk melakukan coping strategy dilatarbelakangi oleh
dua faktor, yaitu faktor pendidikan dan faktor
lingkungan. Subjek I tidak bekerja sehingga setiap
harinya berada pada lingkungan sama dengan
komunitas yang sama. Hal tersebut membuat subjek
jarang untuk bertukar informasi dengan orang baru.
Lazarus dan Folkman (1984) juga mengatakan jika
individu dalam melakukan coping strategy dipengaruhi
oleh beberapa sumber daya, yaitu kondisi kesehatan,
kepribadian, konsep diri, dukungan sosial dan aset
keluarga. Selain kurangnya kemampuan dalam coping,
subjek I juga melakukan supresi. Supresi merupakan
salah satu mekanisme pertahanan diri dimana secara
sadar individu menekan dorongan-dorongan dengan
cara menahan perasaannya dan mengikari hal tersebut
secara umum (Feist & Feist, 2010/2014). Kedua
keadaan inilah yang membuat kesehatan fisik subjek I
terganggu hingga sekarang.
Berbeda hal dengan subjek I, subjek II mengalami
gangguan kesehatan hanya diawal saat beliau
mengetahui bahwa suaminya menikah lagi tanpa
sepengetahuanya. Hal ini dikarenakan subjek II mampu
mengatasi masalahnya. Allport (Feist & Feist, 2008)
mengatakan jika penerimaan diri merupakan salah satu
ciri kepribadian yang sehat. Salah satu pendukungnya
dimana subjek II mampu mengekspresikan tekanan
yang dihadapinya secara spontan. Ekspresi yang
muncul pada subjek II ini adalah sublimasi, dimana
individu mengekspresikan perasaanya pada hal yang
positif (Feist & Feist, 2010/2014). Hal itu membuat
individu mampu menerima keadaannya dan mengatasi
persoalan-persoalan yang menimbulkan stress (Sari,
Yeniar, & Nailul, 2014).
Lazarus
dan Folkman (1984) membagi fokus
coping strategy menjadi dua, yaitu problem focused
coping dan emotional focused coping. Hasil data dari
penelitian ini menunjukan jika kedua subjek
menggunakan coping strategy emotional focused
coping. Emotional focused coping ini bertujuan untuk
mengatasi tekanan berorientasi pengelolaan emosi
(Lazarus & Folkman, 1984). Namun terdapat perbedaan
antara subjek I dan II dalam mengungkapkan coping
straety coping strategy yang digunakan. Carver (1989)
mangatakan jika masing-masing individu berbeda
dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.
Emotional focused coping pertama yang digunakan
subjek adalah positive reappaisal. Possitive reappraisal
atau memberi penilaian positif, mengarahkan individu
untuk selalu berfikir positif pada masalah yang
dihadapinya dan sebisa mungkin tidak menyalahkan
orang lain (Lazarus & Folkman, 1984). Kedua subjek
menerapkan keyakinan bahwa mereka mampu melewati
masa-masa sulit setelah dipoligami dan tekanan yang
dihadapi. Pada subjek I keadaan yang secara tidak
langsung membuatnya untuk mempunyai keyakinan
pada dirinya, untuk memperbaiki kondisinya.
Sedangkan pada subjek II juga menginstropeksi dirinya,
mencari kesalahan pada dirinya sehingga alasanya yang
membuat suaminya menikah lagi. Hal ini dilakukan
subjek II untuk memperbaiki masalah tersebut,
sehingga suaminya tidak kembali pada istri keduanya.
Coping strategy yang kedua adalah accepting
responbility. Responbility atau menekankan pada
tanggung jawab. Coping ini bertujuan agar individu
dapat menerima kondisi sekarang sehingga mampu
melakukan penyesuaian diri (Lazarus & Folkman,
1984). Coping ini hanya dilakukan oleh subjek II.
Subjek menyadari peranya sebagai ibu bagi anakanaknya. Sehingga ketika suaminya berpoligami subjek
II menanamkan pada dirinya dan anak-anaknya bahwa
tidak boleh menaruh dendam pada ayah mereka. Selain
itu subjek II juga mulai bekerja untuk meneruskan
hidupnya dan anak-anak. Terlihat jika subjek II
9
Volume 06, Nomor 02. (2019). Character : Jurnal Penelitian Psikologi
dihadapinya. Selain itu anak bagi kedua subjek
merupakan penghibur utama dikala mereka merasa
terpuruk. Selain mendapatkan dukungan dari anak
subjek juga mendapatkan dukungan emosional dari
teman dan tetangga. Ketika subjek mulai merasa tidak
mampu untuk menghadapi masalahnya, mereka
menceritakan hal tersebut pada orang kepeceryaan
mereka. Pada subjek menceritakan masalahnya pada
anak, saudara dan tetangga. Namun pada subjek II
hanya menceritakan masalahnya pada anak.
Sebagai umat beragama tentunya ketika individu
mempunyai masalah dan berada diambang batas
mereka akan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Agama merupakan coping strategy yang juga
digunakan oleh kedua subjek. Individu mencari
ketenangan dan emosi positif pada diri mereka dengan
cara beribadah kepada Allah (Carver, Weinstraub, &
Scheier, 1989). Kedua subjek mengatakan jika semua
ini memang sudah diatur oleh Allah, sehingga untuk
mengatasi masalah yang dihadapi selain berusaha juga
berdoa. Selain berdoa kedua subjek juga berserah diri
kepada Allah. Mereka melakukan hal tersebut untuk
mendapatkan ketenangan pada diri mereka. Rasa tenang
yang didapat membuat tekanan stress berkurang.
Subjek juga mengungkapkan jika dengan berdoa
mereka merasa lebih ikhlas dengan kondisi dimana
mereka dipoligami sekarang ini. Sejalan dengan temuan
dari penelitian Rohmad (2016) salah satu cara
mengatasi tekanan istri yang dipoligami adalah
bersikap sabar dan berserah diri pada Allah.
Terakhir adalah penerimaan diri. Secara realistis
individu mencoba untuk menerima keadaan dirinya
yang sekarang (Carver, Weinstraub, & Scheier, 1989).
Ketika subjek menerima bahwa mereka dipoligami,
subjek merasa lebih lega dan merasa bebanya
berkurang. Ada beberapa hal yang dilakukan subjek
dalam penerimaan diri ini. Kedua subjek mengaku jika
mereka memaafkan sang suami. Tujuan dari coping
tersebut adalah untuk mengurangi rasa dendam pada
diri mereka. Kedua subjek juga mengaku bahwa
mereka mengikhlaskan sang suami untuk berpoligami.
Walaupun waktu yang diperlukan subjek untuk ikhlas
cukup lama, namun hal itu dilakukan karena subjek
sama-sama menyadari jika terlalu memaksakan keadaan
malah akan menimbulkan sakit hati. Subjek juga
menerima keadaan dimana mereka dipoligami dan tidak
diberi nafkah secara lahir dan batin. Penerimaan ini
dilakukan untuk mengurangi stressor pada diri mereka.
Rohmad
(2016)
dalam
penelitianya
juga
mengungkapkan bahwa kesadaran untuk ikhlas lebih
baik dari pada menolak realita yang ada, karena hal
tersebut
dapat
memunculkan
konflik
yang
berkepanjangan dan merugikanya.
berusaha menyesuaikan dirinya dengan kondisi yang
dialaminya. Pada subjek I coping ini tidak muncul.
Subjek I enggan untuk menerima keadanya ketika
beliau dipoligami. Subjek I berusaha untuk membuat
suaminya kembali lagi padanya dan tidak menerima
jika dirinya dipoligami. Subjek I mempercayai jika
suaminya terkena guna-guna. Hal ini menunjukan
bahwa subjek I melakukan denial. Denial yang
ditunjukan subjek adalah dengan menolak keadaannya
yang dipoligami dengan mengatakan bahwa suaminya
terkena guna-guna (Maryam, 2017).
Coping strategy ketiga adalah self controling.
Individu sebelum bertindak akan memikirkan dengan
matang dalam menyusun strategy mengatasi masalah
yang dihadapinya (Lazarus & Folkman, 1984). Hal ini
juga dilakukan oleh subjek II dalam mengatasi
persoalannya. Dimana subjek menahan dirinya untuk
tidak mudah marah dalam menghadapi tetangga yang
memandang buruk dirinya. Subjek menanamkan pada
dirinya jika semua itu ada saatnya, beliau merasa
bukan kehendaknya untuk membalas perlakuan buruk
yang diterimanya. Pada subjek I coping ini tidak
muncul. Hal tersebut terlihat dari subjek I yang mudah
marah dan terpancing emosi ketika menghadapi
tekanan. Dalam menyelesaikan masalahnya subjek I
akan langsung bertindak tanpa memikirkan jangka
panjang dan juga akibat dari perilaku tersebut.
Tindakanya tersebut dianggap benar dengan
mengatasnamakan keadilan. Subjek I disini melakukan
rasionalisasi, dimana menganggap bahwa apa yang
dilakukanya adalah benar untuk menutupi kurangnya
kemampuan dalam mengendalikan diri (Maryam,
2017).
Selanjutnya yang keempat adalah escape
avoidance. Coping ini membuat individu menghindari
masalah yang dihadapinya (Lazarus & Folkman, 1984).
Penghindaran diri ini diarahkan pada hal negatif
(Lazarus & Folkman, 1984). Namun pada subjek II
coping ini diarahkan pada hal positif. Subjek
menyibukkan diri untuk menghindari masalah yang
dihadapinya. Masalah tersebut berupa rasa kesepian dan
ingatan tentang suaminya. Selain itu menyibukan diri
juga berguna untuk menghilangkan rasa sakit hati pada
diri subjek. Coping ini hanya muncul pada subjek II,
tidak dengan subjek I.
Coping selanjutnya yaitu mencari dukungan
emosional, disini individu mencari dukungan berupa
perhatian, pengertian dan simpati (Carver, Weinstraub,
& Scheier, 1989). Kedua subjek dalam hal ini samasama mendapatkan dukungan dari anak. Bagi subjek
anak tidak hanya sebagai alasan untuk bertahan, namun
mereka juga yang memberikan dorongan kepada subjek
untuk kuat dan mampu mengatasi tekanan yang
10
Coping Strategy pada Perempuan yang Dipoligami
pada Allah. Kedua anak adalah coping strategy paling
ampuh untuk subjek II mampu bertahan dalam mengatasi
semua masalah yang dihadapinya. Ketiga mencari
kesibukan untuk menghilangkan rasa sakit hati dan
kesepian. Keempat mengikhlaskan dan menerima
keadaanya sekarang. hal tersebut membuat subjek II
merasa hidupnya lebih bahagia. Pada subjek II ini
mengekspresikan keadaanya secara spontan berbeda
dengan subjek I.
PENUTUP
Simpulan
Penelitian ini mengungkap persoalan-persoalan
pernikahan yang muncul setelah dipoligami, akan tetapi
tetap memilih untuk bertahan dan mengatasinya
menggunakan coping strategy. Alasan kedua subjek
dalam mempertahankan pernikahannya adalah karena
anak. Subjek I karena takut kehilangan nafkah dan tidak
bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sedangkan
subjek II tidak ingin anak-anaknya kehilangan sosok
ayah.
Saran
Berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian yang
telah diuraikan sebelumnya, maka saran yang dapat
diberikan oleh peneliti sebagai bahan masukan adalah
sebagai berikut :
1. Subjek penelitian
Bagi subjek penelitian ini, penelti menyarankan
agar subjek mampu untuk mengambil keputusan
dengan matang mengenai kondisi pernikahan saat
ini. Subjek tidak hanya memikirkan keadaan anakanaknya namun juga mengenai tekanan psikologis
dan beban ekonomi yang dihadapi subjek, karena
keadaan subjek juga secara tidak langsung
berpengaruh pada anak-anak mereka.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya ada bebera sarana
untuk mengembangkan penelitian ini dalam
membahas mengenai istri yang dipoligami secara
paksa. Pertama, peneliti selanjutnya diharapkan
untuk memperdalam dan melakukan kajian tentang
istri kedua dan suami yang melakukan poligami
secara paksa. Kedua, banyak hal yang bisa digali
dari tema poligami secara paksa ini salah satunya
kondisi anak korban poligami ini.
3. Bagi masyarakat
Bagi masyarakat terdapat beberapa hal yang
menjadi saran bagi peneliti. Pertama, untuk laki-laki
setidaknya mengkomunikasikan dengan istri jika
memang ingin melakukan poligami sehingga tidak
menimbulkan masalah dalam keluarga. Kedua, bagi
perempuan, hendaknya belajar untuk mampu
mandiri secara ekonomi sehingga tidak terlalu
bergantung pada suami. Ketiga, ketika istri memilih
bertahan dalam pernikahan poligami, sebaiknya
sudah mengetahui akibatnya dan siap secara lahir
dan batin. Keempat, perempuan setidaknya
menempuh pendidikan untuk menambah wawasan
pengetahuan,
sehingga
mampu
untuk
mempertahankan kesejahteraan hidupnya.
4. Bagi Lembaga Pemerintahan
Bagi lembaga pemerintahan sebaiknya diadakan
sosialisasi mengenai peraturan tentang perkawinan
pada pasangan yang akan menikah. Tujuanya agar
Beberapa berapa persoalan dalam pernikahan muncul
pada kedua subjek setelah dipoligami. Persoalan pertama
merupakan persoalan psikologis. Persoalan psikologis
pertama yaitu sakit hati, perasaan ini sulit dijelaskan oleh
kedua subjek, yang secara garis besar perasaan ini
diwakilkan denga air mata. Kedua masalah komunikasi
kedua subjek yang kurang baik dengan suami.
Komunikasi tersebut mempengaruhi kepuasan dalam
pernikahan subjek. Ketiga hubungan pernikahan yang
tidak harmonis akibat dari komunikasi yang kurang baik.
Keempat mengenai persoalan mengarah pada tidak
terpenuhinya kebutuhan biologis. Persoalan kedua adalah
kesehatan fisik kedua subjek yang terganggu setelah
mengetahui suaminya menikahlagi. Ada perbedaan antara
subjek I dan II, hingga sekarang kesehatan fisik subjek I
masih sering terganggu dan bergantung pada obatobatan, sedangkan kesehatan fisik subjek II hanya
terganggu ketika mengtahui kabar suaminya menikah lagi
tidak berlanjut sampai sekarang. Persoalan ketiga adalah
masalah ekonomi. Pada subjek I setelah menikah nafkah
yang diterimnya berkurang sebanyak 50%. Sedangkan
subjek dari awal poligami tidak mendapat nafkah sama
sekali. Selain itu subjek II masih harus menanggung
beban hutang cukup banyak yang ditinggalkan oleh
suaminya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa coping strategy
yang digunakan kedua subjek dalam mengatasi
masalahnya yaitu emotional focused coping. Pada subjek
I kurang mampu untuk menunjukan coping strategy yang
digunakanya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pendidikan
dan faktor lingkungan. Selain itu subjek melakukan
supresi dalam mekanisme pertahanan dirinya, sehingga
berpengaruh terhadap hasil dari coping. Sedangkan
coping yang muncul mengungkap jika subjek lebih
banyak membutuhkan dukungan emosional dari anakanaknya. Seiring berjalanya waktu subjek I menerima
keadaannya, hal itu membuat kehidupanya lebih baik.
Berdoa dan mempercayakan semuanya pada Allah juga
dilakukan subjek dalam mengatasi stresnya. Subjek II
coping strategy yang digunakanya yaitu mendekatkan
diri pada Allah, berdoa dan mempercayakan semuanya
11
Volume 06, Nomor 02. (2019). Character : Jurnal Penelitian Psikologi
pasangan memiliki wawasan dalam menjalankan
pernikahan dan mengurangi terjadinya kegagalan
dalam pernikahan.
Maryam, S. (2017). Strategi coping: teori dan
sumberdayanya. Jurnal Konseling Andi Matappa,
1(2), 101-107
Mulia, S.M. (2007). Islam menggugat poligami. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Prawitasari, J. E. (2011). Psikologi klinis: pengantar
terapan mikro & makro. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Putri, D. P. K & Lestari S. (2015). Pembagian peran
dalam rumah tangga pasangan suami istri Jawa.
Jurnal Penelitian Humaniora, 16(1), 72-85
Rohmad, M., A. (2016). Kesabaran istri poligami.
Journal of Islamic Studies and Humanities, 1(1),
21-36
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M, N. (30 Agustus 2018). Tak sudi
dipoligami, Subaedah nekat minum racun.
Detiknews
(online).
https://news.detik.com/berita/d-3607591/tak-sudidipoligami-subaedah-nekat-minum-racun
Badan Pusat Statistik. (14 November 2018). Diunduh dari
https://www.bps.go.id/publication/downlad.html?
nrbvfeve=NWE5NjNjMWVhOWIwZmVkNjQ5N
2QwODQ1&xzmn=aHR0cHM6Ly93d3cuYnBzL
mdvLmlkL3B1YmxpY2F0aW9uLzIwMTgvMDc
vMDMvNWE5NjNjMWVhOWIwZmVkNjQ5N2
QwODQ1L3N0YXRpc3Rpay1pbmRvbmVzaWEt
MjAxOC5odG1s&twoadfnoarfeauf=MjAxOC0x
MS0xNCAyMDoxMDo0Nw%3D%3D
Romli, D. (2016). Persepsi perempuan tentang poligami
(studi pada Badan Musyawarah Organisasi Islam
Wanita Indonesia Provinsi Lampung). Al-‘Adalah,
13(1), 117-126 Ropiah, S. (2018). Studi kritis
poligami dalam islam (analisa terhadap alasan pro
dan kontra poligami). Al-Afkar, 1(1), 89-104
Ropiah, S. (2018). Studi kritis poligami dalam islam
(analisa terhadap alasan pro dan kontra poligami).
Al-Afkar, 1(1), 89-104
Santrock, J. W. (2011). Life-span development; edisi
ketiga belas, jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga
Baron, A. R & Byrne, D. (2003). Psikologi sosial: edisi
kesepuluh, jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga
Baqutayan, S. M. S. (2015). Stress and coping
mechanisms: a historical overview. Mediterranean
Journal Of Social Sciences, 6(2), 479-488 ,
doi:10.5901/mjss.2015.v6n2s1p479
Bukhori, M. K. (2008). Pandangan hukum islam terhadap
praktek poligami pada masyarakat Kecamatan
Subah Kabupaten Batang Jawa Tengah. Skripsi.
Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Carver, C. S., Scheier, M. F., & Wintraub, J.K. (1989).
Assessing coping strategies: A theoretically
based approach. Journal of Personality and
Social Psychology, 56 (2), 267-283.
Creswell, J. W. (2018). Penelitian kualitatif & desain
riset: Memilih di antara lima pendekatan.
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Feist, J. & Gregory J. Feist. (2008). Teori Kepribadian,
edisi 6. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santrock, J. W. (2011). Life-span development; edisi
ketiga belas, jilid 2. Jakarta : Penerbit Erlangga
Sari, A., Yeniar, I. & Nailul F. (2014). Penerimaan diri
terhadap poligami pada istri pertama. Jurnal
Empati, 3(2), 1-13
Setyanto, D.A. (2017). Poligami dalam perspektif filsafat
hukum islam (kritik terhadap hukum perkawinan
di indonesia). Al-ahwal, 10(1), 49-60
Sukmawati, B. (2014). Hubungan tingkat kepuasan
pernikahan istri dan coping strategy dengan
kekerasan dalam rumah tangga. Jurnal Sains dan
Praktik Psikologi, 2(3), 205-218
Sunaryo, A. (2010). Poligami di indonesia (sebuah
analisis normatif-sosiologis). Jurnal Study Gender
& Anak, 5(1), 143-167
Feist, J. & Gregory, J. F. (2010). Teori kepribadian, edisi
7, buku 1. (penerjemah Handriatno). Jakarta:
Salemba Humanika (karya asli terbit 2010-2014)
Geertz, H. (1983). Keluarga jawa (penerjemah grafiti
pers). Jakarta: PT Temprint (karya asli terbit
1961)
Istri bunuh suami karena poligami. (30 Agustus 2018).
Tempo.com
(online).
https://dunia.tempo.co/read/584233/istri-bunuhsuami-karena-poligami
King, L. A. (2014). Psikologi umum. Jakarta: Salemba
Humanika
Kurniawati, A. (2013). Dampak psikologis kehidupan
keluarga pada pernikahan poligami. Skripsi.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Pasal 1
Wibisana, W. (2016). Pernikahan dalam islam. Jurnal
Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, 14(02), 185-193
Lazarus, R.S & Folkman, S. (1984). Stress, apprasial,
and coping. New York: Mc Graw – Hill, Inc.
12