Academia.eduAcademia.edu
SEJARAH KERAJAAN SAMUDERA PASAI DAN MATA UANG DI ACEH Kerajaan Samudera Pasai Sejarah Kerajaan Samudera Pasai ini biasanya lebih dikenal dengan Kesultanan Pasai atau Samudera Darussalam. Kerajaan Islam tertua ini merupakan kerajaan pertama sekaligus yang tertua dalam sejarah Islam. Selain itu kerajaan tersebut terletak di daerah pesisir pantai sebelah utara Pulau Sumatera yang lebih tepatnya lagi berada diantara kota Lhokseumawe dengan Aceh Utara (sekarang bernama Geudong). Kerajaan ini dibangun setelah terjadi runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, tepatnya dibangun sekitar abad ke 13 M. Selain itu Kerajaan Samudera Pasai juga didirikan oleh yang bernama Sultan Malik As-Shaleh yang sebelum memeluk Islam lebih dikenal dengan nama Meurah Silu. Adanya berita tentang Kerajaan Samudera Pasai ini ditemukan oleh seorang sejarawan dari maroko yang bernama Ibnu Butatah saat ia berlayar dan kemudian ia berkunjung ke Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1345 – 1346. Kemudian Ibnu Butatah menyebutnya dengan “Sumutrah” atau ejaannya untuk nama Samudera yang sekarang berubah menjadi Sumatera. Ketika sampai di pelabuhan Pasai, Ibnu Butatah lalu dijemput oleh laksamana muda dari Pasai yang bernama Bohruz. Kemudian laksamana tersebut memberitakan kedatangan Butatah kepada raja. Tak lama kemudian Butatah diundang oleh sang raja untuk bertemu dengan Sultan Muhammad (cucu Malik As-Shaleh). Kemudian Butatah pun singgah sebentar di Samudra Pasai. diberitakan bahwa Sultan Pasai ini melakukan hubungan dengan Sultan Mahmud di Delhi dan juga Kesultanan Usmani Ottoman. Selain itu juga diberitakan pula bahwa ada pegawai kerajaan yang berasal dari Isfahan (Kerajaan Safawi) yang datang ke Istana Pasai untuk mengabdi. Oleh sebab itu, karya sastra yang berasal dari Persia begitu sangat populer di Kerajaan Samudera Pasai. Tak heran jika sastra Persia sangat berpengaruh terhadap kesusastraan di Melayu pada saat itu. Menurut catatan dari Butatah, Islam telah hadir sejak satu abad yang lalu tepatnya sekitar abad ke 12 M. Setelah selama setahun berada di Pasai, kemudian Butatah melanjutkan pelayarannya ke China. Dan akhirnya pada tahun 1347 Butatah kembali lagi ke Samudera Pasai. Tak lama kemudian masa pemerintahan Sultan Malik As-Shaleh pun digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Muhammad Malik Az-Zahir. Pada masa pemerintahannya, koin emas digunakan sebagai mata uang di Kerajaan Samudera Pasai. Seiring dengan perkembangan zaman, Pasai menjadi salah satu tempat untuk berdagang dan sekaligus untuk pengembangan dakwah Islam. Pada tahun 1326 Sultan Muhammad Malik Az-Zahir pun meninggal dan kemudian pemerintahan Kerajaan Samudera Pasai di pimpin oleh putranya yang bernama Sultan Mahmud Malik Az-Zahir dan ia hanya memerintah sampai tahun 1345 saja. Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (putra dari Sultan Mahmud Malik Az-Zahri) Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh pasukan dari Kerajaan Majapahit antara tahun 1345 dan 1350. Dalam serangan itu membuat Sultan Pasai harus melarikan diri dari ibukota kerajaan. Pada tahun 1383 Kerajaan Pasai mulai bangkit lagi dibawah pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin dan ia hanya memimpin sampai tahun 1405 saja. Kemudian dalam catatan sejarah ia pun tewas dibunuh oleh Raja Nakur. Dan akhirnya Kerajaan Samudera Pasai dilanjutkan oleh istrinya yang bernama Sultanah Narasiyah. Kemudian pada tahun 1405, 1408 dan 1412 Kerajaan Samudera Pasai kedatangan armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal. Menurut catatan Cheng Ho, Kerajaan Samudera Pasai ini memiliki batas wilayah pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur. Sementara itu disebelah barat dan utara memiliki berbatasan dengan dua kerajaan, yaitu Nakur dan Lide. Dalam kunjungannya tersebut Cheng Ho juga memberikan hadiah dari Kaisar China yang berupa Lonceng Cakra Donya. Menjelang akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian yang berujung dengan perang saudara. Sulalatus Salatin menceritakan bahwa Sultan Pasai meminta bantuan kepada Sultan Malaka untuk menghentikan pertikaian tersebut. Kemudian pada abad ke 16, bangsa Portugis berhasil masuk didaerah Selat Malaka dan berhasil menguasai Kerajaan Samudera Pasai pada tahun 1521 sampai 1541. Selanjutnya wilayah Kerajaan Samudera Pasai direbut kembali oleh Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Dimana waktu itu Kerajaan Aceh dipimpin oleh Raja Sultan Ali Mughayat. Raja-raja Kerajaan Samudera Pasai No Nama Sultan atau Gelar periode Catatan dan peristiwa penting 1 Sultan Malik al-Saleh (Meurah Silu) 1267 – 1297 Pendiri Kerajaan Samudra Pasai 2 Sultan Al-Malik azh-Zhahir I / Muhammad I 1297 – 1326 Menjadikan koin emas sebagai mata uang 3 Sultan Ahmad I 1326 – 133? Penyerangan ke Kerajaan Karang Baru, Tamiang 4 Sultan Al-Malik azh-Zhahir II 133? – 1349 Dikunjungi Ibnu Batutah 5 Sultan Zainal Abidin I 1349 – 1406 Diserang Majapahit 6 Ratu Nahrasyiyah 1406 – 1428 Masa kejayaan Samudra Pasai 7 Sultan Zainal Abidin II 1428 – 1438 8 Sultan Shalahuddin 1438 – 1462 9 Sultan Ahmad II 1462 – 1464 10 Sultan Abu Zaid Ahmad III 1464 – 1466 11 Sultan Ahmad IV 1466 – 1466 12 Sultan Mahmud 1466 – 1468 13 Sultan Zainal Abidin III 1468 – 1474 Digulingkan oleh saudaranya 14 Sultan Muhammad Syah II 1474 – 1495 15 Sultan Al-Kamil 1495 – 1495 16 Sultan Adlullah 1495 – 1506 17 Sultan Muhammad Syah III 1506 – 1507 Memiliki 2 makam 18 Sultan Abdullah 1507 – 1509 19 Sultan Ahmad V 1509 – 1514 Malaka jatuh ke tangan Portugis 20 Sultan Zainal Abidin IV 1514 – 1517 Kehidupan Ekonomi Kehidupan ekonomi masyarakat di Kerajaan Samudera Pasai ini bersumber dari perdagangan dan pelayaran. Hal tersebut disebabkan karena Kerajaan Samudera Pasai berada di dekat Selat Malaka yang menjadi jalur utama pelayaran dunia saat ini. Samudera Pasai memanfaatkan Selat Malaka untuk menghubungkan berbagai pedagang yang berasal dari Arab, India dan China. Selain itu Samudera Pasai juga menyiapkan beberapa bandar-bandar dagang yang digunakan untuk menambah perbekalan dalam berlayar selanjutnya, mengumpulkan berang dagangan untuk dijual ke luar negeri, mengurus masalah perkapalan dan menyimpan barang-barang perdagangan sebelum diantar ke beberapa tempat di wilayah nusantara. Masa Kejayaan Tepatnya pada tahun 1383 sampai tahun 1405 Kerajaan Samudera Pasai mulai bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain Al-Abidin Az-Zahir. Selain itu menurut catatan dari negeri China dalam bentuk kronik China Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir dikenal dengan nama cina Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki. Kemudian masa pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir berakhir dan saat itu kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai dipimpin oleh Janda Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yaitu Sultanah Nahrasiyah, ia juga bisa disebut dengan raja perempuan pertama di Kerajaan Samudera Pasai. Runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai Kerajaan Samudera Pasai ini menjadi runtuh karena disebabkan oleh beberapa faktor Internal dan Eksternal. Runtuhnya kerajaan tersebut berawal dengan adanya peperangan antar saudara di kerajaan tersebut. Dalam peperangan tersebut terjadi sebuah perebutan kekuasaan dan jabatan dalam kerajaan, hingga akhirnya peperangan tersebut tidak bisa dihindari. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1521 Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh bangsa Portugis. Dan saat itu menjadi sebab runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai dari faktor eksternal. Akan tetapi bibit-bibit kejayaan kerajaan tersebut masih ada tahun 1524 Kerajaan Samudera Pasai kerena menjadi bagian dari Kesultanan Aceh. Mata Uang Kerajaan-Kerajaan Aceh (ACEH) Menurut catatan sejarah, sejak anad XII dan abad XIII sudah berlangsung hubungan perdagangan antara Negeri Cina di timur dan India (Cambay) di barat dengan Kerajaan Pasai. Pedagang-pedagang Cina yang menggunakan perahu-perahu jong yang berniaga pada kota-kota pelabuhan dalam wilayah Kerajaan Pasai waktu itu telah mempergunakan mata uang perak yang bernama ketun sebagai alat tukar dalam mendapatkan barang-barang dari penduduk setempat. Uang ketun ini bentuknya panjang, lebar, dan beratnya hampir sama dengan ringgit Spanyol yang kemudian diedarkan oleh orang-orang Portugis di beberapa kerajaan di Aceh. Mata uang ketun ini beredar dan berlaku hingga masa datangnya orang-orang Portugis yang pada tahun 1521 berhasil menduduki Kerajaan Pasai.   Orang-orang Portugis ini selanjutnya juga mengedarkan mata uang ringgit yang bergambar tiang yang populer dengan sebutan ringgiet Spanyol (ringgit Spanyol), namun orang-orang Aceh menamakan mata uang ini dengan nama ringgiet meriam (ringgit meriam). Dinamakan demikian karena pada mata uang ini terdapat dua buah pilar (tiang) yang menyerupai meriam. Mata uang ringgit meriam ini dikenal secara luas di Aceh dan dinamakam juga reyal yang dalam istilah disebut rieyeu. Pada masa Kerajaan Aceh riyal ini cukup populer sebagai alat tukar khususnya dalam transaksi lada. Sebagaimana disebutkan dalam karya Pieter van Dam bahwa alat pembayaran dalam pembelian lada di Aceh digunakan uang reyal. Jika sebelumnya datang orang-orang Belanda dan Inggris ke Aceh harga lada sekitar 8 riyal per bahar (1 bahar ± 375 lbs. Inggris), maka setelah datang pedagang-pedagang tersebut naik menjadi 20 riyal per bahar, dan ketika datang pedagang-pedagang Perancis naik lagi hingga menjadi 48 reyal per bahar.   Selain reyal atau ringgit meriam ini orang-orang Portugis mengedarkan pula tiga jenis mata uang tembaga, yaitu: Mata uang tembaga yang ukurannya sebesar ringgit meriam, dengan tulisan Arab di salah satu sisinya yang berbunyi empat kepeng, disebut dengan nama duet (duit). Mata uang tembaga yang agak lebih kecil dengan tulisan Arab yang berbunyi dua kepeng. Mata uang ini tidak mempunyai nama dalam istilah Aceh. Mata uang tembaga berbentuk kecil dengan tulisan Arab berbunyi satu kepeng.   Mata uang-mata uang tersebut di atas, kemudian hilang dari peredaran bersamaan dengan diusirnya orang-orang Portugis dari kerajaan-kerajaan di Aceh (Pasai dan Pedir).   Selain jenis mata uang tersebut di atas menurut Tome Pires di kerajaan-kerajaan pada bagian timur Sumatra di pusat-pusat kerajaan telah digunakan jenis-jenis mata uang tertentu sebagai alat tukar dalam perdagangan. Di Kerajaan Pedir terdapat mata uang dari timah yang bentuknya kecil yang disebut keuh (istilah Aceh) dan mata uang dari emas yang disebut drama serta mata uang yang dibuat dari perak yang disebut tanga yaitu sejenis mata uang yang menyerupai uang Siam. Selain di Pedir, di Kerajaan Pasai juga terdapat mata uang emas yang menurut Tome Pires juga disebut drama. Mungkin apa yang disebut Tome Pires dengan drama yaitu yang populer disebut masyarakat setempat deureuham. Istilah ini berasal dari kata Arab, namun jenis mata uang ini dibuat dari perak. T. Ibrahim Alfian yang merupakan satu-satunya sarjana Indonesia di luar penulis-penulis Belanda yang membahas tentang mata uang emas kerajaan-kerajaan di Aceh mengatakan bahwa mata uang emas yang pernah diketemukan di bekas Kerajaan Pasai adalah mata uang emas pertama dan dianggap sebagai deureuham tertua. Mata uang emas ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikal-Zahir (1297-1326). Selain itu, T. Ibrahim Alfian juga menyebutkan bahwa mata uang emas ini ditiru oleh Kerajaan Aceh, setelah kerajaan itu menaklukkan Pasai pada tahun 1624. Pedangang-pedangang Pasai yang pergi ke Malaka memperkenalkan pula sistem penempaan mata uang emas ini kepada penduduk Malaka. Kerajaan Aceh Darussalam baru mengeluarkan mata uang sendiri yaitu pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Riayatsyah al-Kahhar (1537-1568), yang populer dengan sebutan Sultan Al-Kahhar. Menurut sumber lokal (Kisah Lada Sicupak). Sultan Al-Kahhar pernah mengirim utusan kepada Sultan Turki dan sebaliknya oleh Sultan Turki dikirim ke Aceh ahli-ahli dalam berbagai bidang ketrampilan seperti ahli dalam pembuatan senjata (penuangan meriam) dan juga para ahli dalam pembuatan mata uang. Kepada orang-orang Turki inilah Sultan Al-Kahhar menyuruh membuat mata uang emas yang juga disebut dengan nama deureuham (dirham), menurut nama mata uang Arab. Sultan Aceh menetapkan ringgit Spanyol sebagai kesatuan mata uang yang hendak dilaksanakan itu. Ditetapkan pula bahwa dari sejumlah emas untuk satu ringgit Spanyol dapat ditempa menjadi 4 deureuham sehingga 4 deureuham sama dengan satu ringgit Spanyol. Selanjutnya, mutu emas yang diperlukan untuk mata uang emas harus pula memenuhi syarat, yaitu kadarnya harus sikureung mutu (sembilan mutu). Berdasarkan jenis logam yang digunakan untuk membuat deureuham, maka mata uang ini dinamakan meuih (mas). Dari orang-orang Inggris Sultan membeli mata uang tembaga yang di atasnya dibubuhi gambar seekor ayam betina, yang dinamakan duet manok (mata uang ayam betina). Sultan menetapkan pula bahwa untuk 1000 duet manok ini sama nilainya dengan 1 ringgit Spanyol. Adapun hitungan mata uang ditetapkan oleh sultan ini adalah, 1 ringgit meriam sama dengan 4 meuih (mas) sama dengan 250 duet manok (duit ayam betina). Selain membuat mata uang emas yang disebut deureuham, Kerajaan Aceh pada waktu itu juga membuat mata uang dari timah yang dinamakan keuh. John Davis yang menjadi nakhoda pada kapal Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman yang datang ke Kerajaan Aceh pada masa Sultan Alaudin Riayatsyal al-Mukammil (1568-1604) menyebutkan ada dua jenis mata uang yang utama yang beredar di Kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu mata uang emas yang bentuknya sebesar uang sen di Inggris dan mata uang timah yang disebut cashes (yang dimaksud mungkin yang dinamakan oleh orang Aceh keuh, orang Portugis menyebutnya caxa, dibuat dari timah dan kuningan, Belanda menyebutnya kasja atau kasje). Selain kedua jenis mata uang utama tersebut, terdapat pual jenis-jenis mata uang lain seperti yang disebut kupang (mata uang dibuat dari perak), pardu (juga dibuat dari perak yang ditempa oleh Portugis di Goa) dan tahil. Adapun nilai dari masing-masing mata uang tersebut adalah nilai 1600 cashes sama dengan 1 kupang; 4 kupang sama dengan satu deureuham, 5 deureuham (uang emas) sama dengan 4 schelling (sic) Inggris, 4 uang emas sama dengan 1 pardu dan 4 pardu sama dengan 1 tahil. Sistem mata uang tersebut di atas tidak mengalami perubahan hingga pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Di bawah sultan ini ia menetapkan suatu ketentuan terhadap mata uang emas yaitu dari jumlah emas yang sama tanpa mengubah kadar emasnya, 1 uang emas (1 deureuham) dijadikan 5 deureuham. Meskipun nilai emas yang sebenarnya telah dikurangi, tetapi nilai peredarannya masih tetap dapat dipertahankan seperti sebelumnya. Jadi 4 deureuham emas tetap bernilai 1 ringgit Spanyol dalam peredarannya. Di bawah pemerintahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddinsyah (1641-1675) putri Sultan Iskandar Muda, dilakukan lagi pengurangan timbangan emas dari sebuah deureuham; bahkan sultanah ini juga mengurangi pula kadar emasnya. Dari sejumlah emas untuk menempa satu ringgit Spanyol ia menyuruh tempa menjadi enam buah deureuham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih atau menurut hitungan emas Belanda menjadi 19,2 karat. Walaupun demikian deureuham ini tidak berubah dalam nilai sirkulasinya seperti sebelumnya. Sultanah ini juga memerintahkan supaya dikumpulkan semua deureuham yang telah diperbuat sebelum masa pemerintahannya untuk kemudian dilebur menjadi deureuham baru. Itulah sebabnya mungkin deureuham-deureuham yang berasal dari sultan-sultan yang memerintah di Kerajaan Aceh sebelum sultanah ini sangat sukar diperoleh. Baik deureuham yang berasal dari Kerajaan Pasai maupun deureuham dari Kerajaan Aceh bentuknya kecil, tipis dan bulat, bergaris tengah ± 1 cm, beratnya tidak lebih dari 9 grein Inggris (1 grein sama dengan 0,583 gram). Dalam karya T. Ibrahim Alfian dapat kita lihat bahwa berat deureuham ini mulai dari 0,50 gr (yang paling rendah) sampai 0,60 gr (yang paling tinggi) dan deureuham ini umumnya terbuat dari emas 18 karat. Huruf-huruf yang terdapat pada kedua muka/sisi uang tersebut dicetak timbul dengan aksara Arab yang relatif kasar di dalam lingkaran titik-titik timbul sebagai garis pinggirnya. Di sisi bagian muka mata uang ini umumnya tertera nama sultan dengan memakai gelar Malik Az-Zahir. Hal ini berlaku baik bagi deureuham yang dikeluarkan oleh Sultan-sultan Pasai sendiri maupun untuk deureuham yang dikeluarkan oleh sultan-sulatan yang memerintah di Kerajaan Aceh. Ini terjadi karena sultan-sultan di Kerajaan Aceh meniru kebiasaan sultan-sultan Pasai dengan memberi gelar Malik az-Zahir pada deureuham-deureuham mereka. Namun demikian tidak semua sultan Kerajaan Aceh membubuhi gelar Malik az-Zahir ini karena sesudah pemerintahan Sultan Ali Riayatsyah (1571-1579), sultan-sultan berikutnya tidak menggunakannya lagi. Sementara pada muka/sisi lain terdapat tulisan dalam bentuk ungkapan yang berbunyi as-sultan al-adil, dan sebagaimana pada deureuham-deureuham Pasai, tulisan/ungkapan ini juga digunakan oleh sultan-sultan di Kerajaan Aceh hingga masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah al-Mukammil (1589-1604). Mulai masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) ungkapan ini tidak dipakai lagi. Deureuham yang dikeluarkan oleh Sultan Iskadar Muda pada sisi mukanya terdapat tulisan namanya yaitu Sultan Iskandar Muda dan pada sisi lainnya tertulis Johan berdaulat fil-Alam. Pada masa Tajul Alam Safiatuddinsyah pada deureuham yang dikeluarkannya ditulis namanya sendiri Safiatuddinsyah pada satu sisi dan pada sisi/muka lainnya tertera nama Paduka Sri Sultan Tajul Alam. Pada semua deureuham yang pernah dikeluarkan oleh sultan-sultan di Kerajaan Aceh tidak dinyatakan tahun pembuatannya. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk tetap menjamin nilai sirkulasinya hingga pada masa-masa pemerintahan sultan berikutnya. Sesudah pemerintahan Tajul Alam tidak ada lagi sultan-sultan Kerajaan Aceh yang menempa mata uang deureuham. Baru pada masa pemerintahan Sultan Syamsul Alam (1723) ditempa sejenis mata uang seng yang dinamakan keueh Cot Bada. Penamaan demikian karena mata uang ini beredar di wilayah Cot Bada saja yang memiliki pasar yang sangat ramai. Nilainya 140 keueh Cot Bada ini sama dengan 1 ringgit Spanyol. Selanjutnya pengganti Sultan Syamsul Alam yaitu Sultan Alauddin Akhmadsyah (1723-1735) menempa lagi pecahan mata uang timah yang juga dinamakan keueh. Ia menetapkan bahwa 800 keueh ini bernilai 1 ringgit Spanyol. Dengan demikian, mata uang berlaku di Kerajaan Aceh pada waktu itu, yaitu 1 ringgit Spanyol sama dengan 4 deureuham, 1 deureuham sama dengan 200 keueh.Pembuatan mata uang keueh terus berlanjutnya pada pemerintahan sultan-sultan selanjutnya hingga yang terakhir yaitu Sultan Alauddin Mahmudsyah (1870-1874). Sejak waktu itu dan seterusnya Kerajaan Aceh terlibat perang dengan Belanda.Bentuk uang keueh yang dikeluarkan oleh masing-masing sultan tidak serupa. Variasinya terdapat pada nilai untuk setiap ringgit Spanyol pada masa pemerintahan masing-masing. Berbeda dengan deureuham yang berlaku di seluruh Kerajaan Aceh, sirkulasi mata uang keueh ini terbatas di wilayah Aceh Besar saja. Di Pidie misalnya mata uang ini tidak berlaku sebagai alat tukar. Di sini ulebalangnya mendapat izin untuk menempa/mengeluarkan mata uang sendiri yang dinamakan gupang (kupang) dan busok yang terbuat dari perak. Pembuatnya adalah orang-orang Keling. Pada mata gupang terdapat gambar, sedangkan pada busok tidak. Pada sebuah sisi gupang terdapat tulisan yang dapat dibaca yaitu paduka Sultan Alauddinsyah, pada sisi satunya tertulis 6 (=peng) azizul berkat. Adapun sistem nilai terhadap mata uang yang beredar di Pidie adalah 1 ringgit Spanyol sama dengan 4 deureuham atau meuih, 1 meuih sama dengan 4 gupang, 1 gupang sama dengan 2 busok dan 1 busok sama dengan 3 peng. Mata uang peng ini dibuat dari tembaga pada masa kompeni Inggris dan Belanda yang bernilai 2½ duet (duit).   KEUH ACEH DINAR ACEH