Academia.eduAcademia.edu
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com TAFSIR AL-MISHB AH Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Oleh: M. QURAISH SHIHAB Hak cipta dilindungi undang-undang A ll rights reserved .Cetakan I, Sya‘ban 1423 / Oktober 2002 Cetakan II, Jwmadil Akhir 1425 / Juli 2004 Cetakan III, Rabi‘ul Awal 1426 / Mei 2005 Cetakan IV, Dzulqa’dah 1426 / Desember 2005 Diterbitkan oleh: Penerbit Lentera Hati Jl. Ir. H. Juanda N o. 166 Ciputat, Jakarta 15419 Telp./Fax: (021) 7424373 e-m ail: lenterahatijakarta@ yahoo.com Kerjasama dengan Perpustakaan Umum Islam Iman Ja n a Jl. Raya Pasar Jum’at No. 46 Telp. (0 2 1)7699528 Lay Out / Arab: Wahid Hisbullah Desain Sampul: Lisa S. Bahar Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Shi hab, M . Qu r a i s h Tafsir A l Mishbah : pesan, kesan dan keserasian Al-Q ur’an / M. Quraish Shihab. — Jakarta : Lentera Hati, 2002. 15 vol.; 24 cm. Diterbitkan atas kerja sama dengan perpustakaan Umum Islam Iman Jam a’. ISBN 979-9048-08-7 (no. vol. lengkap) ISBN 979-9048-18-4 (vol9) 1. A l Quran —Tafsir. I. Judul. 7.122 Sanksi P elanggaran Pasal 14: Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta ayat 1 : B ara n g s ia p a d engan sen g a ja atau tanpa hak m engum um kan atau m em perbanyak suatu ciptaan atau m em beri izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,- (seratus juta rupiah). ayat 2 : B arangsiapa dengan sengaja m enyiarkan, m em am erkan, m engedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak dpta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5 0 .0 0 0 .0 0 0 ,-(lima puluh juta rupiah). ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com M. Quraish Shihab TAFSIR AL-MISHBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an VOLUME Surah Al-Hajj Surah Al-Mu’minun Surah An-Nur Surah Al-Furqan £ Lentera Hati ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN ARAB LATIN i a/’ dh o b th o t Jj ts t C j I c h c kh J d i dz J 1 J r ? m j z 0 n U- s J w U* sy » h J q k y iJUlU l (i panjang), contoh u (u panjang), contoh 4 f sh a (a panjang), contoh zh : al-M alik : ar-R ahim j : al-G hafur ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com D A F T A R ISI Pedom an Transliterasi Daftar Isi .......................................................................................................... iv v Su rah A l-H ajj (22) KELO M PO K KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK I H El IV V VI VII (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat 1-16) ..................................................... 17-24).................................................... 25-37) ................................................. 38-41) ................................................. 42-54) ................................................. 55-66) ................................................. 67-78) .................................................. 5 27 37 63 76 95 119 I II HI IV V VI (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat 1-11) ................................................. 12-22) ................................................ 23-54) ................................................ 55-77) ................................................ 78-100)................................................ 101-118)............................................... 145 164 179 202 220 257 I H HI IV V VI (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat 1-10) 11-26) 27-34) 35-46) 47-57) 58-64) 277 294 318 343 375 394 Surah A l-M u’m in u n (23) KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK Surah A n-N ur (24) KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK ................................................... ................................................ ................................................ ................................................ ................................................ ................................................ v ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah Al-Furqan (25) KELO M PO K KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK I H III IV V VI VII (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat (Ayat 1-3) ....................................................... ......415 4-20) ...........................................................425 21-31) .................................................. ......445 " 32-34) .................................................. ......468 35-40) .................................................. ......474 41-62) .................................................. ......479 63-77) .................................................. ......525 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123,vi TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi aC-J£ajj Surah al-Hajj termasuk golongan surah-surah Madaniyyah, terdiri atas 78 ayat. Dinamakan surah ini “A L -H A JJ” karena mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah Haji. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com SURAH AL-HAJJ urah ini dinamai Surah al-Hajj, nama yang telah dikenal sejak m asa Rasulullah saw. Pakar-pakar hadits, Abu Daud dan atTirm idzi meriwayatkan bahwa sahabat Nabi saw., ‘Uqbah Ibn ‘Amir bertanya kepada Nabi saw.: “Wahai Rasulullah, apakah surah al-Hajj memperoleh keutamaan dari surah-surah al-Qur’an yang lain dengan adanya dua sujud?” Beliau menjawab: “Ya.” Nama al-Hajj, adalah satu-satunya nama yang dikenal untuk surah ini. Penamaan tersebut agaknya disebabkan karena dalam surah ini diuraikan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim as. agar mengumandangkan panggilan berkunjung ke Baitullah serta beberapa uraian tentang ibadah haji dan m anfaatnya. Surah ini dimulai dengan mengajak seluruh manusia agar bertakwa dan m empersiapkan diri menghadapi kedahsyatan Kiamat. Ajakan kepada seluruh manusia mengesankan bahwa surah ini Makkiyyah, karena salah satu ciri ayat-ayat Makkiyyah adalah ajakannya yang berbunyi ( Igjib ) yd ajyuhan n a si wahai manusia. Di dalam surah ini juga ditemukan ajakan kepada kaum musyrikin untuk mempercayai prinsip-prinsip pokok ajaran Islam (U shul ad-din) sambil mengancam mereka dengan siksa yang pedih. Ini juga adalah ciri-ciri ayat-ayat Makkiyyah. Tetapi adanya ayat-ayat yang m em erin tahkan shalat serta uraian tentang haji dan izin berperang, m engesankan bahwa ayat-ayat itu turun setelah Nabi saw. berhijrah ke ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------3 INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 4 §8® , Surafi aC-Hajj (22) Madinah, karena persoalan syariat banyak dibicarakan oleh ayat-ayat yang turun di Madinah, apalagi dalam surah ini ada uraian tentang izin berperang, yang tentu saja baru dapat terlaksana setelah terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kemampuan berperang. Dari sini, maka para ulama berbeda pendapat menyangkut masa turun surah ini, apakah sebelum Nabi berhijrah atau sesudahnya. Pendapat yang dinilai tepat adalah sebagian dari ayat-ayatnya turun di Mekah dan sebagian lainnya di Madinah, keduanya dalam jumlah ayatayat yang hampir sama serta tanpa dapat menentukan secara pasti mana ayat-ayat M akkiyyah dan m ana pula yang M adaniyyah. K arena itulah sementara ulama menamakannya Mukhthalatb/Bercampur. Pakar tafsir alQurthubi mengutip pendapat al-Ghaznawi yang menyatakan bahwa surah al-Hajj term asuk surah yang unik. Ada yang turun malam, ada juga siang; ada ketika N abi saw. dalam perjalanan dan ada juga di tempat kediaman beliau; ada di Mekah atau ada juga di Madinah; ada dalam keadaan damai dan ada juga saat perang; serta ada yang ndsikh dan juga yang mansukh\ ada yang mubkam (jelas maknanya) dan ada juga yang mutasyabih (samar). Perlu dicatat bahwa walaupun surah ini berbicara tentang haji, namun ia turun sebelum ditetapkannya kewajiban itu atas umat Islam. Rukun Is­ lam yang kelima, baru menjadi wajib setelah Nabi saw. berhijrah ke Madinah melalui ayat-ayat surah al-Baqarah dan A1 ‘Imran. Demikian juga dengan izin berperang. Ayat itu baru berbicara tentang izin, belum lagi perintah berperang. Peperangan pertama Nabi Muhammad saw. adalah Perang Badr yang terjadi pada tahun ke II Hijrah. Surah ini adalah surah yang keseratus lima jika ditinjau dari bilangan turunnya surah-surah al-Q ur’an. Dia turun sesudah surah an-N ur dan sebelum surah al-M unafiqun. Jum lah ayat-ayatnya sebanyak 77 ayat, m enurut perhitungan pakar-pakar qird'at Mekah dan Madinah. Al-Biqa‘i berpendapat bahwa tujuan pokok dan tema utama surah in i ad a la h m en d o ro n g m an u sia gun a m en cap ai k e tak w aa n yan g mengantarnya terhindar dari putusan Ilahi yang adil guna meraih peringkat perolehan anugerah-Nya di hari berkumpulnya semua makhluk kelak di Padang Mahsyar. Dari sini menjadi sangat jelas penamaan surah ini dengan surah al-Hajj. Demikian lebih kurang al-Biqa‘i. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ( Y) 4JU1 L j \ J Z ^ “H ai m anusia bertakwalah kepada Tuhan kamu; sesungguhnya goncangan hari Kiamat adalah suatu y a n g sangat agung. Pada hari kamu melihatnya lengah semua wanita y a n g sedang menyusui dari anak y a n g disusuinya dan semua wanita yang m em iliki kandungan menggugurkan kandungannya, dan engkau melihat manusia mabuk, padahal sebenamya mereka tidak mabuk, akan tetapi a^ab Allah sangat keras. ” Surah yang lalu diakhiri dengan ancaman hari ya n g menakutkan, serta akan dilipatnya langit oleh Allah swt. serta pemenuhan janji-janji-Nya. Itu semua akan terjadi di hari Kemudian nanti. Dari sini sangat wajar jika awal ayat pada surah ini m engajak semua m anusia untuk m enghindar dari ancam an h ari K iam at dengan jalan bertakw a kepada-N ya. A yat ini menyatakan: H ai seluruh manusia yang sudah dekat datangnya perhitungan mereka, seperti dinyatakan awal surah al-Anbiya’, bertakwalah kepada Tuhan Pembimbing dan Pemelihara kamu dengan jalan melaksanakan perintahN ya dan m en jauhi larangan-N ya dan ketahuilah bahw a; sesungguhnya goncangan bumi menjelang hari Kiamat serta sesaat sebelum terbitnya matahari dari sebelah barat adalah suatu peristiwa y a n g sangat agung dan dahsyat seh in gga tid ak terjangkau oleh akal, tidak juga dapat digam barkan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, 5TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ; 6 Surah aC-Hajj (22) Kelompok I ayat 1-2 hakikatnya dengan kata-kata yang kamu gunakan. Pada hari kamu melihatnya yakni goncangan Kiamat itu menyebabkan letigah tanpa kecuali - semua wanita ya n g sedang menyusui — dari anak yang disusuinya dan kamu melihat juga semua orang ketakutan sampai-sampai semua wanitayang memiliki kandungan sedemikian takut sehingga ketakutan itu menggugurkan kandungannya yakni anak yang dikandungnya dan engkau melihat semua manusia dalam keadaan m abuk, p a d a h a l sebenam ya mereka tidak mabuk, akan tetapi a-^ab A llah itu sangat keras sehingga mereka terlihat bagaikan mabuk tak sadarkan diri. Kata ( ) an-nds pada ayat ini mencakup semua m anusia baik m ukmin maupun kafir, lelaki atau perempuan, kecil atau besar, yang ketika turunnya ayat ini berada di Mekah maupun di tempat atau waktu yang lain. M em ang al-Qur’an sering menggunakan panggilan ini untuk masyarakat Mekah, tetapi di sini agaknya merupakan salah satu ayat yang dimulai dengan panggilan demikian, yang tertuju kepada semua manusia. Kata ( Iy j l ) ittaqu yang seakar dengan kata ( i j j£j) taqwd, terambil dari kata ( ) waqd-yaqi yang antara lain berarti menghindar. Tentu saja m anusia tidak dapat menghindari Allah, karena itu ada kata yang harus disisipkan di sini yakni siksa atau — ancaman sehingga perintah bertakwa kepada Allah, berarti perintah untuk menghindarkan diri dari ancaman atau siksa-Nya. Bagi kaum musyrikin, penghindaran itu dimulai dengan beriman kepada-N ya serta m engakui keesaan-N ya untuk kem udian bergabung dengan kaum m uslim in dengan m elaksanakan perintah-N ya sepanjang kemampuan dan menjauhi semua larangan-Nya. A yat di atas m enggarisbaw ahi perintah bertakw a kepada A llah, dengan kata ( ) Rabbakum/Tuhan Pemelihara dan Pendidik kamu. Hal itu antara lain untuk mengisyaratkan bahwa perintah tersebut adalah untuk k c p e n tin g a n m an u sia se n d iri, d alam ran g k a p e m e lih a ra a n dan pendidikannya. Kata ( iJj) j ) ^al^a/ah/goncangan agaknya terambil dari kata ( J j ) '^aUa yang berarti jatuh tergelincir. Pengulangan kata %alla mengesankan ketergelinciran yang berulang-ulang dan penambahan ( i ) td ’ marbuthah mengisyaratkan besar dan hebatnya ketergelinciran itu, dalam hal ini adalah penyebabnya yaitu gerakan yang sangat dahsyat/gempa. Sebenam ya yang bergerak dan bergoncang adalah bumi atau bersama dengan planet-planet yang lain, tetapi ayat ini menisbahkan goncangan itu kepada Kiamat. Hal itu disebabkan karena goncangan/gempa tersebut m erupakan tanda datangnya Kiamat, atau terjadi pada saat Kiamat. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi af-'Kajj (22) Kelompok I ayat 1-2 Bisa juga kata ~al%alat> pada ayat ini dipahami dalam arti kcgoncangan jiwa akibat kedahsyatan dan kengerian ya n g terjadi menjelang atau saat Kiamat. Sama artinya dengan makna kata serupa pada firman-Nya yang melukiskan aneka ujian yang dialami oleh umat beriman generasi lalu yakni: *!/f <dJl 'J&j Ijlil*. J J yk *•'. r ^ ' j ^ x $ 9 y <UJl j*a> j l “M ereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orangyang beriman bersam anya, “Bilakah datangnya pertolongan A.llah'?” Jngatlah, sesungguhnya pertolongan A llah itu amat dekat” (QS. al-Baqarah [2]: 214). Ketakwaan yang diperintahkan oleh ayat ini disebabkan karena adanya •~al~alah yakni kedahsyatan goncangan hari Kiamat, di mana semua orang akan m erasa takut dan khawatir. Bahkan bagi yang tidak bertakw a, kekhawatirannya berlanjut tanpa henti disertai oleh siksa yang amat pedih. Ayat ini di samping menggarisbawahi rasa takut sebagai dorongan bertakw a, juga m engisyaratkan kewajaran A llah swt. untuk dipatuhi, b erd asar an ugerah p em elih araan -N ya. D engan d em ik ian , m o tiv asi ketakwaan dapat muncul dari rasa takut atau mengharap anugerah-Nya bahkan oleh dorongan syukur, terima kasih dan cinta kepada-Nya. Berbeda pendapat ulama tentang goncangan yang dimaksud di sini. Ada yang berpendapat bahwa goncangan tersebut menjelang Kiamat, dengan alasan ayat ini menyebut tentang wanita yang hamil dan sedang menyusukan, padahal setelah hari Kebangkitan tidak ada lagi kehamilan atau penyusuan. Ada juga yang berpendapat bahwa ini terjadi setelah kebangkitan dari kubur; ketika itu yang m eninggal dalam keadaan hamil atau menyusukan akan bangkit demikian, tetapi dengan segera mereka keguguran dan melupakan anak yang disusukannya. Kata ( Ja-U ) tad^halu berarti m elupakan sesuatu y a n g m estinya tidak dilupakan apalagi ada faktor yang mendorong mengingatkannya. Dalam konteks ayat ini, adalah kehadiran anak yang sedang disusui itu. Kata ( y>) murdhi'ah berarti wanita yang sedang menyusukan. Bahasa Arab tidak menggunakan tanda feminis bagi pelaku sesuatu yang ddak dapat dilakukan kecuali oleh wanita. Anda tidak perlu berkata ( iUaJb-) h d ’idhah atau (3jw?y>) m urdhi'ah untuk menunjuk kepada w anita yang haid dan m enyusukan. Anda cukup berkata ( ) h a ’idh dan ( ) murdhV, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com i 8 'v * -•. , J 7{V Surah aC-Qfajj (22) Kelompok I ayat 3-4 karena tidak ada pria yang datang bulan, tidak ada .juga yang dapat menyusukan. Jika ditemukan tanda feminis pada kata semacam itu, maka ia m engandung m akna sedang menyusui. Dengan demikian karena ayat di atas m enyatakan m urdhi'ah maka yang dimaksudnya adalah wanita yang sedang menyusukan anaknya. Kata ( J-?' ) ham l dengan fathah pada huruf ( —?-) h a' berarti beban yang dipikul dan berada dalam diri seseorang, seperti anak dalam kandungan ibu. Ada juga yang menambahkan dalam pengertiannya apa ya n g terdapat pada pucuk pobon. Sedang him ! dengan kasrah pada huruf ( _?-) ^ ’ berarti beban ya n g dipikul di punggung atau dan di atas kepala. Ayat di atas menggunakan kata ( j j j ) tarauna/ kamu melihat (bentuk jam ak) ketika berbicara tentang kelengahan dan kelalaian w anita yang menyusui, dan menggunakan kata ( j ) tard/engkau melihat (bentuk tunggal) ketika m enguraikan tentang mabuknya manusia. Hal ini agaknya disebabkan karena kelengahan tersebut berkaitan dengan kegoncangan bumi, dan ini m enyentuh semua manusia, sedang kemabukan lahir dari pandangan setiap orang yang melihat orang lain. Ketika itu setiap orang merasa dirinya tidak mabuk dan menduga orang lain mabuk. AYAT 3-4 ) J b y> ** ^ O lJ a li -5 ( £ ) J ^ y s- ju aJUI ^ s’ s s 4JLjaj Aj\i s j} * A jl “Dan ada di antara m anusiayang memperdebatkan tentang A llah tanpa pengetahuan dan mengjkuti setiap setan ya n g sangat jahat. Telah ditetapkan terhadapnya bahwa siapa y a n g m enjadik annya kawan, m aka p a stila h dia m enyesatk annya, dan memberinya petunjuk ke siksa neraka. ” A yat yang lalu m enjelaskan keadaan sem ua m anusia m enjelang K iam at atau sa at K iam at. Sem ua takut, tetap i ada m an u sia yang ketakutannya berlanjut dan ada juga yang terhenti. Yang percaya dan bertakw a akan m em peroleh keselam atan, sedang yang durhaka akan m endapat siksa. Dan mem ang ada di antara m anusia walau telah diberi penjelasan dan peringatan, yang buta mata hatinya serta tidak menggunakan pikirannya sehingga memperdebatkan tentang sifat-sifat Allah Yang Maha Esa dan m engingkari kekuasaan-N ya m em bangkitkan m anusia dari kubur. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-ttajj (22) Kelompok I ayat 3-4 ^ Perdebatan dan perbantahan itu dilakukannya tanpa pengetahuan, yakni tanpa dasar dan pemikiran bahkan dengan Rebodohan dan dengan mengikuti secara sungguh-sungguh, jejak dan tipu daya setiap yakni banyak setan ya n g sangat jahat. Telah ditetapkan terhadapnya yakni terhadap setan yang sangat jahat itu bahwa siapa pun yang menjadikannya kawan dan mengikuti rayuannya, maka pastilah dia yakni setan itu terus menerus menyesatkannya, dan memberinya petunjuk yang membawanya ke siksa neraka. Kata ( oUa__ii) shay than/ setan merupakan kata Arab asli yang sudah sangat tua, bahkan boleh jadi lebih tua dari kata-kata serupa yang digunakan oleh selain orang Arab. Ini dibuktikan dengan adanya sekian kata Arab asli yang dapat dibentuk dengan bentuk kata setan. Misalnya ( J a k i) syathatha, (J?Ui) sydtha, ( b syawatha, dan ( j k i ) syathana yang mengandung maknamakna jauh, sesat, berkobar dan terbakar serta ekstrim. Setan adalah semua ya n g membangkang perintah A llah serta mengajak kepada kedurhakaan. Karena itu kata setan dapat mencakup manusia maupun jin. jy il JB MJ\/ 4 x ur" x x x x x “Setan-setan manusia dan jin , sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan ya n g indah untuk m enipu” (QS. al-An‘am [6]: 112). Makhluk durhaka dan penggoda itu, boleh jadi dinamai setan yang terambil dari akar kata syathana yang berarti jauh, karena setan menjauh dari kebenaran atau menjauh dari rahmat Allah. Boleh jadi juga ia terambil dari kata sydtha dalam arti melakukan kebatilan atau terbakar. Kata (-U^) marid terambil dari kata (iy> ) maruda yakni yang melampaui ba tas dalam k eburuk an, sehingga bagaikan telah m en jad i tabiat dan kesehariannya. Ia luput dari segala macam kebajikan dan tenggelam dalam aneka kebejatan. Firman-Nya: ( Jj y JT ) yattabi' kulta syaithanin marid I mengikuti setiap setan ya n g sangat ja h a t, m engisyaratkan bahwa yang bersangkutan m elakukan aneka kedurhakaan dan kejahatan, m asing-m asing kejahatan dipimpin oleh satu setan. Memang kedurhakaan banyak, setiap kedurhakaan dipimpin oleh seorang setan. Firm anN ya: ( aJLc) kutiba ‘alaihi/telah ditetapkan terhadapm z, semakna dengan firman Allah yang ditujukan kepada iblis: J jlj c (j-4 o \ \a 1.*! g. l fr viJJ “Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka; ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com I 10 \ |H S| Kelompok I ayat 5 S um h a[- ^ aJ i (2Z) kecuali orang-orangyang mengikutimu,yaitu orang-orangyang sesat. D m sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat ya n g telah diancamkan kepada mereka semuanya” (QS. al-Hijt [15]: 42-43). Sementara ulama menyebut nama an-Nadliar Ibn al-Harits sebagai tokoh kaum musyrikin yang dimaksud ayat ini. Memang dia dikenal sangat banyak membantah dan melecehkan ajaran Islam. Kalaupun itu dapat diterima, namun melihat redaksi ayat yang bersifat umum, maka yang dimaksud dapat mencakup banyak orang sejak zaman Nabi saw., seperti Abu Jahl, Ubayy Ibn Khalaf dan lain-lain, serta mencakup juga pemukapemuka kedurhakaan masa kini dan mendatang, karena zaman tidak pernah akan luput dari mereka yang membantah ajaran agama tanpa pengetahuan dan dasar yang benar. AYAT 5 i i k j j-# c ->\'J ■fi * ' \j> d\9 C J u l l 'ja i w J j ^ ' ' ^9 ^ & A • s s} 0 * 0 ^ jr i o* ' * * / 0 } ' ? s } t * 0 4, ? . J | 9^1 S ^ . 1 , | J f5 r* # s > (*-» s 01 ' ' t e l a * j-# iU iA i j l p j ' > j V tfSO & ( O) ' * > 0 X A (*^r s ? O f t .} f , i iiip 4 * ^ I sf l4 t -' ^4 s *[ > 1 {■ s j& ' M J \ ‘>A & f & j C . J j j O jiftl j-UJl SlulA “H ai m anusia seandainya kamu dalam keraguan tentang K ebangkitan m aka: Sesungguhnya K am i telah menjadikan kamu dari tan ah, kemudian dari nuthfah, kemudian ‘a laqah, kemudian mudhghah yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna kejadiannya agar Kami je/askan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kam i kehendaki sampai waktu ya n g sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian agar kamu mencapai masa terkuat kamu, dan di antara kamu ada ya n g diwafatkan dan di antara kamu ada yang dikembalikan sampai ke um uryang rendah hingga akhirnya dia tidak mengetahui sesuatu p u n y a n g dahulu telah diketahuinya. Dan engkau m elihat bum i kering kerontang, m aka apabila telah K am i turunkati air di atasnya dia bergerak dan mengembang dan menumbuhkan berbagai jetiisy a n g indah. ” Ayat-ayat yang lalu menjelaskan bahwa ada manusia yang tidak ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 11 Kelompok I ayat 5 Surah aC-J£ajj (22) percaya dan membantah tanpa dasar tentang kuasa Allah membangkitkan manusia setelah kematiannya. Nah, melalui ayat ini Allah mengajak semua manusia, baik yang membantah dan menolak secara jelas keniscayaan hari Kebangkitan maupun yang masih ragu, untuk merenungkan kuasa Allah dan bukti keniscayaan hari Kebangkitan. Ayat ini menyatakan bahwa: Hai semua manusia, seandainya kamu dalam keraguan tentang keniscayaan hari Kebangkitan serta kekuasaan Kami untuk m enghidupkan m anusia setelah m ereka m eninggalkan dunia ini, maka camkanlah penjelasan Kami ini: Sesungguhnya kamu tadinya tidak pernah berada di pentas wujud ini, lalu Kami dengan Kuasa Kami telah menjadikan kamu yakni orang tua kamu Adam dari tanah, kemudian kamu selaku anak cucunya Kami jadikan dari nuthfah yakni setetes mani, kemudian setetes mani itu setelah bertemu dengan indung telur berubah menjadi ‘a laqah yakni sesuatu yang berdempet di dinding rahim, kemudian ‘alaqah itu mengalami proses dalam rahim ibu sehingga menjadi mudhghah yakni sesuatu yang berupa sekerat daging kecil, sebesar apa yang dapat dikunyah; ada mudhghah yang sempurna kejadiannya sehingga dapat berproses sampai lahir manusia sempurna, dan ada juga yang tidak sempurna kejadiannya. Proses ini Kami kemukakan agar Kami je/askan kepada kamu Kuasa Kami mencipta dari tiada menjadi ada, dan dari mati menjadi hidup, sekaligus menjadi bukti Kuasa Kami membangkitkan kamu setelah kematian. Bukankah perpindahan tanah yang m ati ke nuthfah sampai akhirnya menjadi bayi yang segar bugar adalah bukti yang tidak dapat diragukan tentang terjadinya peralihan yang mati menjadi hidup? A y a t di atas m elan ju tk an se te lah p e rh en tian di atas u n tu k m en un ju kkan leb ih banyak lagi bukti-bukti kekuasaan-N ya dengan menyatakan, bahwa Kami tetapkan bagi mudhghah yang tidak sempurna kejadiannya itu untuk gugur dan Kami tetapkan dalam rahim bagi mudhghah yang sempurna kejadiannya untuk berlanjut proses kejadiannya sesuai apa yang K am i kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan oleh Allah untuk kelahirannya antara enam dan sembian bulan lebih, kemudian Kami keluarkan m asing-m asing kamu dari perut ibu kamu m asing-m asing sebagai bayi, kemudian dengan berangsur-angsur kamu Kami pelihara agar kamu mencapai masa terkuat kamu yakni masa puncak kedewasaan dan kekuatan fisik, mental dan pikiran, dan di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum mencapai tahaptahap yang disebut itu dan ada pula di antara kamu ada yang berlanjut usianya sehingga dikembalikan sampai ke um ur yang rendah kualitasnya, yakni usia ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Jfajj (22) Kelompok I ayat 5 lanjut dan menjadi pikun hingga akhirnya dia tidak memiliki daya dan dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang penting bagi kemaslahatan hidup yang dahulu telah diketahuinya. Kami yang menciptakan kamu sekalian demikian itu, tidak akan mengalami sedikit kesulitan pun untuk mengembalikan kamu dan semua manusia untuk hidup kembali setelah meninggalkan dunia yang fana ini. Boleh jadi bukti yang dikemukakan penggalan ayat yang lalu tidak terjangkau oleh pem ikiran kaum m usyrikin ketika itu, apalagi proses kejadian manusia hingga kelahirannya tidak dapat terlihat dengan pandangan mata. Dari sini ayat di atas memberikan contoh lain yang sedikit banyak dapat mereka saksikan dengan pandangan mata, bahwa: Dan di samping apa yang Kam i kemukakan di atas, engkau juga yakni setiap orang di antara kamu dapat terus menerus melihat bumi ini kering kerontang gersang dan mati, maka apabila telah Kami turunkan air di atasnya maka engkau melihat tandatanda kehidupan padanya yakni dia bergerak dan mengembang permukaannya, m en in ggi ak ib at air dan udara yang m enyela-nyelanya dan akhirnya menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan yang indah, memukau dan membuat senang siapa saja yang melihatnya. Banyak ulama memahami firman: (*_jIy ja ^ Lil>) khalaqndkum min turdblK am i telah menjadikan kamu dari tanah dalam arti menciptakan leluhur kamu yakni Adam dari tanah. Ada juga yang memahami kata turdbl tanah di sini dalam arti sperma sebelum pertemuannya dengan indung telur. Mereka m em aham i demikian atas dasar bahwa asal usul sperma adalah dari makanan manusia —baik tumbuhan maupun hewan —yang bersumber dari tanah. jika dipahami demikian, maka keseluruhan tahap yang disebut pada ayat ini berbicara tentang reproduksi manusia, bukan seperti pendapat banyak ulama bahwa kata tanah dipahami sebagai berbicara tentang asal kejadian leluhur manusia yakni Adam as. Sayyid Quthub mengom entari kata tersebut dengan menyatakan: “Manusia adalah putra bumi ini; dari tanahnya dia tumbuh berkembang, dari tanahnya dia terbentuk, dan dari tanahnya pula dia hidup. Tidak terdapat satu unsur pun dalam jasm ani m anusia yang tidak m em iliki persamaan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam bumi, kecuali rahasia yang sangat halus itu yang ditiupkan Allah padanya dari Ruh-Nya, dan dengan ruh itulah manusia berbeda dari unsur-unsur tanah itu, tetapi pada dasarnya manusia berasal dari tanah. Makanan dan semua unsur jasmaninya berasal dari tanah”. Demikian Sayyid Quthub. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 13 Kelompok I ayat 5 Surafi aC-Hajj (22) f Kata ( ) nuthfah dalam bahasa Arab berarti setetes yang dapat m em basahi. Penggunaan kata ini m enyangkut proses kejadian manusia sejalan dengan penemuan ilmiah yang menginformasikan bahwa pancaran mani yang menyembur dari alat kelamin pria mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia, sedang yang berhasil bertemu dengan indung telur wanita hanya satu saja. Itulah yang dimaksud dengan nuthfah. Ada juga yang memahami kata nuthfah dalam arti hasil pertemuan sperma dan ovum. Kata ( ) ‘a laqah terambil dari kata ( jIp ) ‘alaq. Dalam kamuskamus bahasa kata itu diartikan dengan a) segumpal darah ya n g membeku, b) sesuatu y a n g seperti caring, berwarna hitam, terdapat dalam air, bila air itu diminum, caring tersebut menyangkut di kerongkongan, c) sesuatuyang bergantung atau berdempet. Dahulu kata tersebut dipahami dalam arti segumpal darah, tetapi setelah kem ajuan ilm u pengetahuan serta maraknya penelitian, para embriolog enggan m enafsirkannya dalam arti tersebut. M ereka lebih cenderung memahaminya dalam arti sesuatuyang bergantung atau berdempet di dinding rahim. M enurut mereka, setelah terjadi pembuahan (nuthfah yang berada dalam rahim itu), maka terjadi proses di mana hasil pembuahan itu menghasilkan zat baru, yang kemudian terbelah menjadi dua, lalu yang dua menjadi empat, empat menjadi delapan, demikian seterusnya berkelipatan dua, dan dalam proses itu, ia bergerak menuju ke dinding rahim dan akhirnya bergantung atau berdem pet di sana. Nah, inilah yang dinamai 'alaqah oleh al-Qur’an. Dalam periode ini — kata para pakar em briologi — sama sekali belum ditemukan unsur-unsur darah, dan karena itu, tidak tepat menurut mereka mengartikan ‘a laqah atau ‘a laq dalam arti segumpal darah. Kata ( ) mudhghah terambil dari kata ( ) madhagha yang berarti mengunyah. M udhghah adalah sesuatu y a n g kadarnya kecil sehingga dapat dikunyah. Kata ( ) mukkallaqah terambil dari kata ( ) khalaqa yang berarti mencipta atau menjadikan. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna pengulangan. Dengan demikian penyifatan ( ) mudhghah dengan kata ( ) mukhallaqah mengisyaratkan bahwa sekerat daging itu mengalami penciptaan berulang-ulang kali dalam berbagai bentuk, sehingga pada akhirnya m engambil bentuk manusia (bayi) yang sempurna semua organnya dan tinggal m enanti masa kelahirannya. Kata ( J i k ) thifl yakni anak kecil/ bayi berbentuk tunggal. Walaupun red ak si ayat di atas ditujukan kepada jam ak, nam un karena ayat ini m enggam barkan keadaan setiap yang lahir, maka kata tersebut dipahami dalam arti masing-masing kamu lahir dalam bentuk anak kecil/bayi. Penggunaan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Jfajj (22) Kelompok 1 ayat 5 bentuk tunggal ini juga mengisyaratkan bahwa ketika lahirnya semua thifl yang dalam hal ini berarti bayi dalam keadaan sama, mereka semua suci, m engandalkan orang lain, belum m em iliki berahi dan keinginan yang berbeda-beda. Pada QS. an-Nur [24]: 59, Allah menggunakan bentuk jamak dari kata ( ) thifl untuk menunjuk anak-anak yaitu ( ) al-athfal karena yang dimaksud di sana bukan lagi bayi tetapi anak- anak remaja yang telah hampir m encapai umur akil balig. Nah, ketika itu keadaan mereka —selaku anak-anak —telah berbeda-beda, dan perbedaan itu diisyaratkan oleh bentuk jamak tersebut. K ata ( J i j i ) ard^al teram bil dari kata ( J i j ) rad~ala yang berarti sesuatu yang hina atau nilainya rendah. Yang dimaksud di sini adalah usia yang sangat tua yang m enjadikan seseorang tidak memiliki lagi produktivitas karena daya fisik dan ingatannya telah sangat berkurang. Pada ayat di atas tidak disebut fase ketuaan, sebagaimana dalam surah QS. Ghafir [40]: 67. D i sana setelah fase ( ) asyudd/ masa terkuat disebut lagi kalimat ( Iy ^ ) tsumma litakunu syuyukhan/kemudian sampai kamu menjadi orang-orang tua. Agaknya hal itu disebut di sana karena ayat tersebut dikemukakan dalam konteks penyebutan anugerah Allah, dan tentu saja semua orang ingin berlanjut usianya hingga masa tua. Adapun pada surah al-Hajj, karena konteksnya adalah pembuktian kuasa Allah dan peringatan buat kaum m usyrikin, maka yang digarisbawahi adalah masa kelemahan dan p iku n . D ih arap k an dengan m en gin gat m asa itu , m ereka yang m engandalkan kekuatannya akan sadar bahwa suatu ketika bila usianya berlanjut dia akan mengalami masa kritis. Kata ( ) hdmidah dipahami dalam arti suatu kondisi antara hidup dan mati. Bila kata ini menyifati api maka ia berarti padam —walau sisa-sisa bara apinya masih terlihat. Dan bila ia menyifati tanah maka ia berarti tidak m emiliki tumbuhan karena gersang dan kering. Kata ( ^ j j ) ^awj yang menunjuk kepada aneka tumbuhan, dapat juga diartikan pasangan, dalam arti Allah swt. menciptakan pasangan-pasangan bagi tumbuh-tumbuhan, yang dengan pasangannya ia dapat berkembang biak. Ini sejalan dengan firman-Nya antara lain pada QS. Yasin [36|: 36 yang m enjelaskan bahwa semua makhluk memiliki pejantan dan betina, baik makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia maupun benda tak bernyawa. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com S u rat aC-tfajj (22) Kelompok I ayat 6-7 AYAT 6-7 J\ j ( n ) y A v * j t J * x * ( y ) J j* !' ^ j* ' j* a t && *■ ' a jl J l j 1^-3 <--Jj S? AJ's- itf-LJl ‘Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah y a n g Haq dan karena sesungguhnya Dialah y a n g menghidupkan segala ya n g mati dan karena sesungguhnya Allah M aha Kuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Kiamat pasti datang, tak ada keraguan padanya, dan sesungguhnya A llah akan membangkitkan siapa ya n g di dalam kubur. ” A yat ini m em buktikan keniscayaan hari K iam at sekaligus bukti kekuasaan Allah untuk maksud tersebut. Ayat di atas menyatakan bahwa: Yang demikian itu yakni penciptaan manusia dan penumbuhan tumbuhan dalam proses tersebut adalah satu bukti kemahakuasaan Allah swt., karena sesungguhnya A llah, Dialah y a n g Haq wujud-Nya, serta sifat dan perbuatanNya D ia tidak m elakukan sesuatu secara sia-sia, dan penciptaan dan pertumbuhan di atas disebabkan karena sesungguhnya Dialah yang senantiasa dan silih berganti menghidupkan segala yang mati baik manusia, binatang, tanah dengan menumbuhkan tumbuhan dan lain-lain. Dan itu semua dilakukan Allah dengan amat mudah karena sesungguhnya A llah M aha Kuasa atas segala sesuatu. A llah m elaku kan itu sem ua tidak sia-sia bukan pula untuk permainan. Bukankah Dia adalah al-Haq? Dia tidak menyia-nyiakan amal seseorang. Dia juga akan menegakkan keadilan sempurna, karena itu Dia mengadakan hari tertentu untuk pembalasan sempurna dan sebab itulah maka sesungguhnya hari Kiam at pastiA^Sx datang, tak ada keraguan padanya; dan karena itu pula sesungguhnya Allah akan membangkitkan siapa yang di dalam kubur agar masing-masing mempertanggungjawabkan amal usahanya dan masing-masing menerima balasan dan ganjaran. Kata ((Js’-) haq, m aknanya berkisar pada kem antapan sesuatu dan kebenarannya. Lawan dari yang batil/ lenyap adalah haq. Sesuatu yang mantap tidak berubah, juga dinamai haq, demikian juga yang m esti dilaksanakati atau yang wajib. Tikam an yang mantap sehingga menembus ke dalam —karena mantapnya —juga dilukiskan dengan akar kata ini yakni muhtaqqah. Pakaian yang baik dan mantap tenunannya dinamai Tsaubun Muhaqqaq. Nilai-nilai agama adalah haq, karena nilai-nilai tersebut harus selalu mantap tidak dapat diubah-ubah. Sesuatu yang tidak berubah, sifatnya pasti, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com - 16 1 'x lv t P Surah aC-Hajj (22) Kelompok I ayat 6-7 dan sesuatu yang pasti, menjadi benar, dari sisi bahwa ia tidak mengalami perubahan. Allah Haq karena Dia tidak mengalami perubahan sedikit pun, Dia wujud dan wujud-Nya bersifat wajib; tidak dapat tergambar dalam benak bahwa Dia dapat disentuh oleh ketiadaan atau perubahan, sebagaimana yang dialami oleh makhluk. Dia yang berhak (yang mesti) disembah, tiada yang berhak disem bah kecuali Allah. Dia juga H aq karena segala yang bersumber darinya pasti benar, mantap dan tidak berubah. Dia juga Haq karena segala yang dibuatnya adalah haq dan Dia pun selalu melakukan yang haq. Karena itu adalah haq melakukan perhitungan terhadap manusia karena keadilan adalah nilai yang haq, dan karena kesempurnaan keadilan tidak dapat terpenuhi dalam hidup dunia ini, maka merupakan keniscayaan adanya hari di luar kehidupan dunia ini, yaitu hari Akhirat, dan di sanalah manusia akan dibangkitkan setelah kematiannya, dan itu merupakan haq yakni kepastian yang dilakukan oleh Yang Maha Haq. Thabathaba’i mengomentari firman-Nya: ( y j i « . JS" ) annahu ‘a id kulli syay ’in qad.tr/ sesungguhnya A llah M aha Kuasa atas segala sesuatu, bahwa penggalan ayat ini berkaitan dengan penggalan-penggalan ayat yang lalu, dalam arti bahwa penciptaan manusia, tumbuhan dan pengaturan keadaan mereka m enyangkut kehidupan dan kematiannya berkaitan dengan apa yang terjadi di alam raya, yakni sistem wujud ini, dan bahwa penciptaan dan pengaturan makhluk itu, tidak dapat terjadi kecuali atas kudrat dan kuasa Allah atasnya, dan kudrat dan kuasa itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya kudrat atas segala sesuatu, dan dengan demikian penciptaan dan pengaturannya disebabkan karena kudrat-Nya mencakup segala sesuatu. Demikian lebih kurang Thabathaba’i. Dan dengan begitu terlihat, bahwa kandungan penggalan demi penggalan ayat-ayat yang lalu berakhir dengan sebab utam a yang mencakup segala sesuatu yakni bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia tidak hanya kuasa m enciptakan m anusia dan m enumbuhkan tumbuhan serta memelihara kelangsungan hidupnya, tetapi juga m ematikan dan menghidupkannya kembali karena Dia adalah al-Haq, serta mem beri mereka balasan dan ganjarannya. Itu semua pada akhirnya karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ayat di atas tidak menyebut kuasa-Nya mendatangkan hari Kiamat, tetapi m enggunakan redaksi bahwa Kiam at pasti datang. Agaknya hal ini disebabkan karena kedatangannya yang demikian mendadak dan begitu rahasia, sehingga yang mendatangkannya pun tidak dibicarakan lagi, atau ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com .,1 7 j Surafi af-H ajj (22) Kelompok I ayat 8-10 'is dirahasiakan juga (baca kem bali penafsiran QS. T haha [20]: 15 yang m en yatak an : ( alT! ) a k adu u k h fth a jA k u h a m p ir-h a m p ir sa ja menyembunyikannya. ” AYAT 8-10 ^S ( A ) 0j AS j i > J i l> ij& XX fi X X S y 'j fji y 'j X ,) J.>JtU X X X^ ji / u y ^ X X / ^ x LS® x x X X X X J* j* x x X XX/ X C ^ J i Uj d i i i ( ^ ) X X “D«« antara manusia ya n g membantah tentang A llah tanpa ilmu dan tanpa petunjuk, dan tanpa kitab ya n g bercahaya, dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari ja la n Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan Kami merasakan kepadanya di akhirat kelak a-^ab neraka ya n g membakar. Yang demikian itu disebabkan apayang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya A llah sekali-kali bukanlah Penganiaya hamba-hamba-Nya. ” W alaupun b u kti-b u k ti tentang ken iscayaan K iam at, kekuasaan Allah dan keesaan-Nya telah dipaparkan demikian jelas, namun masih ada yang membangkang dan membantah. Ayat ini menegaskan bahwa: Dan ada di antara m anusiayang membantah tentangAllah tanpa ilmu yang diperolehnya dari siapa pun yang memiliki otoritas, baik secara langsung maupun tertulis dan juga tanpa petunjuk, yakni hasil pengembangan nalar atau jiwanya yang suci dan objektif dan tanpa kitab y a n g bercahaya yakni keterangan kitab suci yang dapat dijadikan pelita hidup. Perbantahan itu dilakukannya dengan sikap keras kepala dan dengan memalingkan lambungnya yakni memalingkan muka karena angkuh. Apa yang dilakukannya itu wituk yakni bertujuan dan terus m enerus sehingga akhirnya ia m enyesatkan m anusia dari jalan Allah. Ia pasti akan mendapat kehinaan di dunia walau setelah sekian lama ia angkuh dan Kami merasakan kepadanya di akhirat kelak nanti, pedihnya a-^ab neraka y a n g membakar. Akan dikatakan kepadanya: ‘Yang demikian itu, yakni kehinaan dan siksa neraka itu, disebabkan apayang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu yakni amal-amal buruk kamu dan sesungguhnya balasan yang kamu peroleh itu sangat wajar dan sesuai dengan kedurhakaan kamu karena Allah sekali-kali bukanlah Penganiaya hamba-hamba-Nya. ” Ayat ini berbicara tentang pemimpin-pemimpin yang menyesatkan, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com %)$¥$ Surafi a(-2£ajj (22) Kelompok I ayat 8-10 sedang ayat 4 yang lalu berbicara tentang pengikut-pengikut yang bertaklid buta kepada mereka. Itu sebabnya di sana para pengikut itu dinyatakan sebagai mengikuti setiap setan ya n g sangat jahat. Setiap setan jahat itu adalah mereka yang dibicarakan di sini, dan karena itu pada ayat ini dinyatakan bahwa yang mereka lakukan itu adalah untuk menyesatkan manusia dari ja la n A.llah. A yat di atas m enyebut tiga hal yang ddak m endasari jid d l yakni perbantahan yang dicela itu. Hal mana mengisyaratkan bahwa setiap diskusi, penerimaan atau penolakan satu idc, hendaklah berdasarkan dalil-dalil, yang terdiri dari tiga hal atau paling tidak salah satu dari tiga hal, yaitu ilmu, h id ayah , dan kitab yan g bercah aya. M em ang, b erb ed a-b ed a ulam a memahami ketiga kata itu. Thabathaba’i misalnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu adalah argumentasi akliah, dan hudan adalah hidayah Ilahi yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang tulus sehingga hatinya menjadi cerah karena ma'rifat itu, sedang kitab yang bercahaya adalah wahyu Ilahi yang melimpah kepada para nabi. Ulama beraliran Syi‘ah itu m enghubungkan pendapat ini dengan ketiga alat pengetahuan yang disebut Allah dalam QS. al-Isra’ [17]: 36: y j L s ilp OlT J JT jJU <0 U Tj “Dan janganlah engkau mengikuti apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan ditanyai. ” Sayyid Quthub menyebut tiga hal secara berurut ketika menafsirkan penggalan ayat ini, yaitu dalil, m a'rifat dan kitab suci. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Thabathaba’i. K ata ( SaUc j i j ) tsaniya ‘ithfihi terdiri dari kata ( ) tsdny yang terambil dari kata ( ^ ) tsany yaitu memutar dan membe/okkan, dan kata ( ) ‘ithfihi yang terambil dari kata ( ) 'ithf yaitu bagian samping sesuatu, atau arah ketiak sampai ke pu sar atau pertengahan punggung. Yang dimaksud oleh ayat ini dengan gabungan kedua kata tersebut adalah bersifat angkuh, karena biasanya seseorang yang angkuh memalingkan badan/wajahnya, enggan melihat orang atau apa yang dinilainya remeh. K ata ( ^hallam adalah bentuk mubd/aghah/hiperbola yang m engandung makna banyak dan sering kali. Bentuk tunggalnya adalah ( ) ^halim. Anda jangan berkata bahwa menafikan sesuatu yang banyak bukan bukti tidak terjadinya yang sedikit, dengan dalih bahwa ayat ini hanya menafikan tidak terjadinya kezaliman yang banyak dari Allah, maka boleh ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com i 19 J S urah aC-tfajj (22) Kelompok I ayat 11 ||g j jadi terjadi sedikit kezaliman. Sekali lagi jangan berkata demikian, karena penggunaan patron tersebut untuk menyesuaikan dengan bentuk jamak dari kata ( .i. .c ) ‘abtd. Sehingga dengan demikian ayat ini pada akhirnya menyatakan A llah tidak. berlaku ~alim kepada seorang hamba pun. Ibn ‘Asyur memahami penggunaan bentuk itu untuk mengisyaratkan bahwa kezaliman apapun bentuknya adalah sesuatu yang sangat buruk dan kejam, yakni yang sedikitnya sama dengan banyaknya. Kata ( XfS- ) ‘a btd adalah bentuk jamak dari kata ( xs- ) ‘a bd, tetapi bentuk jamak ini digunakan oleh al-Qur’an untuk menggambarkan hambahamba Allah yang durhaka dan bergelimang dosa, berbeda dengan kata ( aLf- ) ‘ib ad yang juga m erupakan bentuk jam ak dari kata ‘abd tetapi biasanya digunakan oleh al-Qur’an untuk menunjuk hamba-hamba-Nya yang taat, atau kalaupun durhaka namun telah menyadari kedurhakaannya. AYAT 11 <U>CpI 0\j 4j o U J?' (s \ o i Ol9 ja j ? - J s - iJLil JLju viJJi o “Dan ada di antara manusia yang menyembah A llah dengan berada di tepi; maka jik a ia m em peroleh kebajikan, tenanglah ia; dan jik a ia ditimpa suatu ttjian, berl?a/iklah ia atas wajahnya. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian besar ja n g nyata. ” Setelah ayat yang lalu menguraikan manusia-manusia yang terangterangan durhaka dan m engajak kepada kedurhakaan, ayat 11 di atas berbicara tentang kelompok lain, yang bersifat munafik atau yang sangat lemah imannya. Ayat ini menyatakan: Dan ada pula d i antara mamtsia yang belum atau tidak kuat imannya yang menyembah A llah dengan berada di tepi\ tidak pernah m erasa tenang dan mantap jiwanya, serta selalu goncang, maka jik a ia atau keluarganya memperoleh kebajikan yakni keuntungan duniawi, tenanglah ia yakn i tetaplah ia dalam keadaannya itu, dan jik a ia atau keluarganya ditimpa oleh suatu ujian berupa kesulitan, bencana atau hal-hal yang tidak m enguntungkan dunianya, berbaliklah ia tersungkur jatuh atas wajahnya yakni ia m engalami kecelakaan akibat ulahnya itu. Rugilah ia di dunia karena dengan demikian ia tidak memperoleh apa yang diharapkannya bahkan kehilangan ketenangan dan rugi pula ia di akhirat karena sikapnva ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 20 a- j « | Surah aC-Jfajj (22) Kelompok I ayat 8-10 10 itu m en g ak ib atk an dia tidak m em peroleh an ugerah A llah bahkan m engakibatkan ia disiksa. Yang demikian itu yakni kerugian ganda itu adalah kerugian besar y a n g nyata. Imam Bukhari meriwayatkan melalui sahabat Nabi saw. Ibn Abbas ra. bahwa ayat ini turun menyangkut beberapa orang yang pergi berhijrah ke Madinah. Bila di sana istrinya melahirkan anak lelaki, atau kudanya melahirkan, dia berkata: “Ini (yakni agama Islam) adalah agama yang baik,” dan bila sebaliknya yang terjadi, dia berkata: “Ini adalah agama buruk.” Kata ( y ) b a rf berarti pinggir atau ujung sesuatu, baik sesuatu itu berada di puncak, maupun di tempat yang datar. Ayat di atas memperhadapkan kata ( yp- ) khayr/ kebajikan dengan ( ) fitnah/ujian. Padahal antonim dari khayrjkebajikan adalah ( ^ ) syarr/ kejahatan, keburukan. Agaknya ayat tersebut m em ilih kata fitnah untuk mengisyaratkan bahwa ujian dan cobaan yang dihadapi manusia, tidak selalu berupa kejahatan dan tidak selalu buruk. Namun orang yang lemah iman, selalu m enganggapnya buruk. Memahami kalimat ( ) inqalaba ‘aid wajhihi dalam arti ia terbalik (tersungkur ja tu h ) atas wajahnya, sejalan dengan keberadaan yang bersangkutan di pinggir satu tempat yang tinggi. Ajaran Islam digambarkan sebagai suatu jalan yang tinggi dan lebar lagi m em iliki sifat moderasi/ pertengahan. Yang bersangkutan enggan berada di tengah, tetapi memilih d ae ra h n in g g ira n , se h in g g a b egitu te rja d i co b aan , ia k e h ilan g an keseim bangan dan akhirnya terjatuh ke bawah dan w ajahnya-lah yang pertama menyentuh tanah. Banyak ulama memahami penggalan ayat ini dalam arti ia berbalik ke belakang, meninggalkan tempatnya menuju tempat yang diduganya baik dan aman. AYAT 12-13 ( ^Y ) J* (\Y ) Si Uj Si U OjS jS'Jj o‘ * “Ia menyeru selain A llah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat dan tidak memberi manfaat. Yang demikian itu adalah kesesatan ya n gja u h . la menyeru sesuatu yangm udharatnya lebih dekat dari manfaatnya. Sesungguhnya seburuk-buruk penolong dan sejahatjahat kawan (adalah siapa ya n g diserunya itu). ” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok I ayat 8-10 Surafi aC-tfajj (22) Pada saat sang munafik meninggalkan agama Islam, maka ketika itu ia kembali kepada keyakinannya yang lama, yakni terus menerus menyeru dan menyembah selain AUah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat walau ia tidak m enyem bahnya dan tid ak pula m em b eri m a n ja a t w alau ia menyembahnya. Yang demikian itu yakni apa yang dilakukannya itu adalah kesesatan ya n g jau h dari haq dan kebenaran. ia menyeru yakni bermohon kepada sesuatu yang sebenarnya mudharat dan bahaya-nya lebih dekat dari m anfaat yang diharapkan oleh penycmbah-//^/ yakni harapan berupa pertolongannya. Memang menyeru selain Allah, mengakibatkan perusakan akal pikiran, kebejatan jiwa dan penguasaan takhyul, sedang manfaat yang diharapkan oleh penyembahnya sekadar harapan berupa fatamorgana. Sesungguhnya seburuk-buruk penolong dan sejahat-jahat kawan adalah siapa yang disembah dan diserunya itu. Sementara ulama berusaha mempertemukan antara ayat 12 yang secara tegas menyatakan sesembahan itu tidak dapat memberi manfaat, dan ayat 13 yang mengisyaratkan adanya manfaat walau ( <uij j a u^il a ) dharruhu aqrabu m in nafihi/mudharatnya lebih dekat dan manfaatnya. Ibn ' A s y u r memahami kata m u d h ara tn ya leb ih dek at d a ri m anfaatnya, dalam arti sesembahan itu sepenuhnya hanyalah mudharat, tidak mengandung sedikit manfaat pun, karena —menurutnya —sesuatu yang dekat, terjadi sebelum yang jauh, dan ini b erarti bahwa sem bahan-sem bahan itu, tidak menghasilkan sesuatu kecuali mudharat. Banyak ulama antara lain pakar tafsir al-Alusi, demikian juga Thabathaba’i, memahami ayat 13 di atas sebagai uraian tentang kesudahan dari penycmbahan berhala-berhala itu. Mereka memahami kata ( ) yad'u pada ayat tersebut dalam arti ucapan yang keras. Dengan demikian —menurut mereka - ayat ini bagaikan berkata: “Kesudahan dari penycmbahan berhalaberhala adalah bahwa para nenyembahnya kelak di hari Kemudian akan berucap dengan suara keras —setelah menyadari kecelakaan mereka bahwa: Engkau wahai para berhala adalah seburuk buruk penolong dan sejahat-jahat kawan. Kami dahulu mengharapkan manfaat dari kamu, tetapi kini ternyata mudharadah yang kami ternukan.” A da juga yang memahami ayat 12 sebagai berbicara tentang penyembah berhala, yang jelas-jelas tidak mendatangkan manfaat walau disembah, sedang ayat 13 berbicara tentang manusia-manusia yang dipcrtuhan oleh para penyembahnya, seperti P'ir‘aun. Mereka memang dapat memberi manfaat kepada para penyembahnya berupa kenikmatan duniawi ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ‘ii'0 Surafi aC-tfajj (22) Kelompok I ayat 8-10 —baik harta maupun kedudukan —tetapi itu semua sangat sedikit dan tidak ada artinya dibanding dengan siksa ukhrawi yang akan mereka dapatkan. Inilah yang dimaksud dengan mudharatnya lebih dekat dari manfaatnya. Salah satu alasan yang mereka kemukakan adalah bahwa ayat 12 menggunakan kata ( l» ) m d yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang tidak hidup dan tidak berakal, dalam hal ini adalah berhala-berhala. Sedang ayat 13 m enggunakan kata ( j* ) man yang biasanya menunjuk kepada sesuatu yang hidup dan berakal, sehingga itu menunjukkan bahwa yang dibicarakan di sini adalah manusia yang memiliki potensi hidup dan berakal. Al-Biqa‘i m em ahami penyifatan berhala-berhala sebagai seburuk-buruk penolong karena berhala-berhala itu tidak dapat diharapkan manfaatnya atau ditakuti mudharatnya oleh siapa pun, dan ia adalah sejahat-jahat kawan, karena mendekati dan menyembahnya menimbulkan mudharat bagi penyeru dan penyem bahnya. AYAT 14 “Sesungguhnya A llah akan memasukkan orang-orangyang beriman dan mengerjakan am al yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya m engalir sungai-sungai. Sesungguhnya A llah berbuat apa ya n g Dia kehendaki. ” Ayat-ayat yang lalu telah menggambarkan betapa lemah tuhan-tuhan yang disembah selain Allah, dan betapa penyembahannya tidak membawa manfaat bahkan mengakibatkan mudharat. Nah, ayat ini menggambarkan kuasa Allah sekaligus m anfaat besar yang akan diperoleh mereka yang m em percayai-N ya dan m em benarkan Rasul-N ya serta m em buktikan keim anan itu dengan am al saleh. A yat di atas m en egaskan bahw a: Sesungguhnya A llah di hari Kemudian nanti akan memasukkan orang-orang yang telah beriman m enyangkut apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. dengan keimanan yang mencakup semua aspeknya dan telah membuktikan kebenaran im annya dengan mengerjakan am al y a n g saleh dalam kehidupan dunia, Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga ya n g di bawahnya mengalir sungai-sungai di bawah istana dan pepohonannya. Sesungguhnya hal tersebut m udah bagi Allah karena Allah kuasa berbuat apayang Dia kehendaki ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com I 23 Surafi a f-Jfa jj (22) Kelompok I ayat 15 sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Mya, tanpa dapat dihalangi oleh siapa dan apapun. AYAT 15 * C j i J\ u ftji j &\ fi, y of ljhi b ir ^ „ «• ^. # j »* 0 ^ 0✓9/ / . / i ^ 9/^ t**x l ♦ Of^ 9H-'t ^^ ^‘ ( ^ d ) -JaJu U OwLS j-Awb J j t y aL lS * hfl.l “Barang siapa y a n g menyangka bahwa Al/ah sekali-kali tidak menolongnya di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit kemudian hendaklah ia memutuskan kemudian hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan a p a ya n g menyakitkan hatinya?” Sayyid Quthub —demikian juga al-Biqa‘i —menghubungkan ayat ini dengan uraian ayat 11 lalu tentang orang-orang yang tidak tahan uji. Sayyid Quthub m enulis, bahwa sesungguhnya Allah telah m enyediakan untuk orang-orang yang beriman seperti yang disebut ayat 14 yang lalu, karena itu siapa yang terkena suatu cobaan dan ujian, hendaklah ia tabah dan hendaklah ia memantapkan keyakinannya tentang rahmat dan pertolongan Allah, serta kuasa-Nya menyingkirkan kesulitan dan menggantinya dengan kebaikan dan ganjaran. Adapun yang kehilangan kepercayaan akan bantuan Allah di dunia dan di akhirat, maka hendaklah ia melakukan terhadap dirinya apa yang hendak ia lakukan, terserah ia. Barang siapa ya n g menyangka bahwa A llah sekali-kali tidak menolongnya di dunia dan akhirat, m aka hendaklah ia merentangkan tali ke langit lalu menggantungkan diri dengannya atau mencekik lehernya, kemudian hendaklah ia memutuskan tali itu atau memutuskan nafasnya sehingga ia tercekik, kemudian hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya? Demikian Sayyid Quthub. D apat juga dikatakan bahw a ayat yang lalu berbicara tentang terlaksananya apa yang dikehendaki Allah. Salah satu di antaranya adalah memenangkan Nabi-Nya. Nah, ayat ini menurut sementara ulama seperti az-Zamakhsyari menyatakan bahwa: Barang siapa di antara musuh-masuh Nabi Muhammad yang iri hati dan dengki yang menyangka bahw aslllah sekalikali tidak menolongnya yakni Nabi Muhammad di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan apa yang menjadi sebab kedengkiannya itu, walau dengan melakukan apa yang dilakukan oleh orang yang telah mencapai puncak kedengkian dan kesakitan hati yaitu ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 24 Surah aC-Kajj (22) Kelompok I ayat 15 ''% ir dengan merentangkan tali ke langit yakni ke atap rumahnya, kemudian hendaklah ia memutuskan yakni mencekik lehernya sehingga urat nadinya putus kemudian hendaklah ia pik irk an apakah tipu dayanya itu dapat m elenyapkan apa yang menyakitkan ha tiny a t Pasti tidak! Karena Allah selalu bersama Nabi-Nya. M em ang pada ayat di atas, tidak ada kata yang m enyebut Nabi M uhammad saw., tetapi m enurut penganut penafsiran ini, kata tersebut diisyaratkan oleh firman-Nya: ( \ jjJJi ) allad^ina dmami/ orang-orang yang berim an’’, karena keimanan y.uig dimaksud adalah keimanan terhadap apa yang disam paikan oleh Nabi Muhammad saw. Ibn ‘A syur menilai ayat di atas mengandung beberapa kemungkinan m akna dan hubungan. Ia bisa merupakan uraian baru yang berbicara tentang kelom pok m anusia ketiga selain kedua kelompok yang dibicarakan oleh ay at-ayat yan g lalu (ayat 8 dan 11). N am un ulam a in i m enguatkan kemungkinan bahwa ayat tersebut berhubungan dengan firman-Nya: Dan ada di antara manusia y a n g menyembah Allah dengan berada di tepi dan yang rugi dunia dan akhirat (ayat 11). Nah, mereka itulah yang menduga bahwa mereka tidak akan memperoleh bantuan Allah di dunia dan akh«'?.t kalau tetap dalam keislaman. Ini karena mereka telah begitu lama menanti bantuan itu di dunia, namun mereka tidak merasakannya, dan mereka tidak vakin tentang adanya hari Kebangkitan, sehingga mereka pun tidak m e.iduga dan menantikannya di akhirat nanti. Ibn ‘Asyur menguatkan pendapat ini, dengan ridak adanya kata dan pada awal ayat tersebut, tidak juga terdapat kata ( ) wa min an-nds/dan ada di antara mamtria, sebagaimana dalam ayat-ayat 8 dan 11. Apapun m akna dan hubungan yang dipilih, kita dapat menyimpulkan bahwa ayat ini merupakan tuntunan dan peringatan kepada kaum beriman, agar tidak berputus asa menghadapi aneka cobaan, dan hendaklah mereka yakin bahwa bantuan Allah di dunia dan akhirat, atau paling tidak di akhirat nanti —bagi yang keburu wafat atau gugur - pasti akan datang. I<ata ( ) yanshurahu dipahami oleh sementara ulama dalam arti dtben rezeki. Kata ( j.Uf-) sam a’ dan segi bahasa berarti segala sesuatu yang di atas Anda. K arena itu, langit, atap rum ah, tingkat atas dari satu bangunan (loteng) dan lain-lain dapat dinamai ( ^ ) sam a’. Maksud ayat ini pun dapat dipaham i dalam makna-makna tersebut. Jika Anda memahaminya dalam arti langit, tentu saja p erintah ayat in i adalah perin tah yang mengandung makna tantangan dalam rangka membuktikan ketidakmampuan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com I 25 I Surafi aC-Hajj (22) Kelompok I ayat 16 siapa yang ditantang. Kata ( ) sabab digunakan dalam arti segala sesuatu ya n g dipakai untuk meraih sesuatu. Dari sini kata tersebut dipahami juga dalam arti tali. Kata ( £-k£j ) yaqtha‘ berarti memutus. Objeknya tidak dijelaskan, bisa sabab/tali yang disebut sebelumnya. Bisa juga nafas yang bersangkutan sehingga ia tercekik, tidak dapat bernafas. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa objek kata ( ) yaqtha‘ yang tidak disebut di sini adalah al-masafah/jarak, dan dengan demikian penggalan ayat ( vi , .U) falyamdudbisababin ila as-sama mereka pahami dalam arti: Siapa yang menduga bahwa Allah tidak akan membantu Nabi-Nya di dunia dan di akhirat, maka hendaklah ia menempuh jarak menuju ke langit guna m em batalkan ketetapan Allah itu, lalu ia lihat apakah ia berhasil m elakukan tipu daya itu sehingga hilang dan terhapus sebab kedengkian dan iri hatinya, atau ia gagal. AYAT 16 0*0 J* o l£ j oUJj j ! JLSTj “Dan demikianlah; Kami telah menurunkannya ayat-ayat ya n g nyata; dan bahwa Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. ” Setelah jelas sikap manusia tentang ajaran dan dakwah, kejelasan yang demikian gamblang, kini ayat di atas menyatakan: Dan sebagaimana Kam i telah m enerangkan m elalui ayat-ayat yang lalu keterangan yang demikian jelas tentang sikap bermacam-macam manusia, dan menjelaskan pula kesudahan mereka, maka demikianlah ju g a Kami telah menurunkannya yakni kitab suci al-Q ur’an secara keseluruhan yang m erupakan ayat-ayat yakni keterangan dan bukti-bukti kebenaran yang nyata; dan bahwa A llah memberikan petunjuk kepada siapayang Dia kehendaki untuk Dia beri petunjuk. Kehendak Allah itu berkaitan dengan kesiapan manusia menerima petunjukNya antara lain menjauhkan diri dari sikap keras kepala atau berpaling dari penjelasan-penjelasan itu. Ada juga yang memahami kata ( j i ") kad^alika menunjuk kepada apa y a n g diturunkan A llah sehingga ayat ini bermakna: Demikianlah Kami memirunkannya, dan yang Kami turunkan itu adalah bahwa Allah memberi petunjuk siapayang Dia kehendaki. Ada lagi yang menyatakan bahwa ayat ini ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 26 j ; Surah aC-Hajj (22) Kelompok 1 ayat 16 Vi/ menyatakan: “Sebagaim ana Kami telah menerangkan dengan jelas ayatayat yang telah K am i turunkan kepada para rasul terdahulu, Kami juga telah m en urun kan keseluruhan al-Q ur’an dem ikian itu pula halnya. Pendapat ini tidak didukung oleh redaksi ayat, karena tidak ada pcmbicaraan sebelumnya tentang para rasul terdahulu. Firman-Nya: ( Joy_ ja ill j i j ) u>a annaslllaha yahdimanyurid, dapat juga dipaham i dalam arti A llah m emberi petunjuk siapa yakni orang yang berkehendak untuk mendapat petunjuk. Dengan demikian ayat ini mengandung m akna bahw a A llah m enyesuaikan pem berian hidayah-N ya dengan kehendak manusia. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com AYAT 17 I£ jJ i! ijU jC ailj IjiC a y ) s-^-i x * J s * AJJl 01 <UCii)l x x x 0} ^g <LUl 01 x x “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shdbi’in, orangorang Nasrani, orang-orang M ajusi dan orang-orang musyrik. Sesungguhnya Allah akan memberi putusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sesungguhnya A llah atas segala sesuatu M aha Menyaksikan. ” Setelah ayat-ayat yang lalu m enguraikan sikap m anusia terhadap dakwah R asul saw., ada yang sesat karena disesatkan, ada pula yang menyesatkan, ada yang ragu sehingga menyembah Allah di pinggiran, dan ada juga yang beriman, kini ayat di atas berbicara tentang sikap manusia menyangkut aneka agam a-agam a serta apa yang akan mereka hadapi di hari Kemudian. Ayat ini menyatakan bahwa: Sesungguhnya orang-orang beriman yakni berim an kepada N abi Muhammad saw., orang-orang Yahudi yang mengaku beriman kepada Nabi Musa as., orang-orang S hdbi’in penyembah bintang atau malaikat, orang-orang N asrani yang mengaku beriman kepada ‘Isa as., orang-orang M ajusi para penyembah api dan orang-orang musyrik yang menyembah berhala - semua penganut agama dan kepercayaan yang berselisih satu sama lain itu, sesungguhnya A llah akan m emberi putusan di antara mereka pada hari Kiam at yakni Dia akan menentukan siapakah di antara mereka yang benar dan siapa pula yang salah. Sesungguhnya A llah atas segala sesuatu M aha Menyaksikan dan Mengetahui serta akan memberi balasan sesuai 27 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com fjjgfS Surah aC-2£ajj (22) Kelompok II ayat 17 '''"'iff' dengan amal perbuatan mereka semua itu-; K etika m enafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 62, penulis antara lain menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata ( Ijjla ) hadu adalah orangorang Yahudi atau yang beragama Yahudi. Mereka dalam bahasa Arab disebut ( ) yahud. Sementara ulama berpendapat bahwa kata ini terambil dari bahasa Ibrani ( ij$ t ) yalmd-^a. Dalam bahasa Arab kata ini ditulis hanya dengan sedikit sekali perbedaan yaitu meletakkan titik di atas huruf ( i ) dal. Perlu diingat bahwa peletakan titik dan baris pada aksara Arab dikenal jauh setelah turunnya al-Q ur’an. Di sisi lain, bahasa Arab sering kali mengubah pengucapan satu kata asing yang diserapnya. Di sini hal tersebut pun demikian. Penamaan tersebut —menurut Thahir Ibn ‘Asyur baru dikenal setelah kem atian N abi Sulaim an as. sekitar 975 S.M. A da juga yang mem ahami kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang berarti kembali yakni bertaubat. M ereka din am ai dem ikian, karena m ereka b ertau b at dari penyembahan anak sapi. Penulis mengam ati bahwa al-Qur’an tidak menggunakan kata yabiul kecuali dalam konteks kecaman, agaknya itulah sebabnya maka di sini tidak digunakan kata tersebut tetapi digunakan kata (lj.su) hadu. Memang tidak tepat dalam konteks ayat ini mereka dikecam, karena yang ditekankan di sini ialah adanya perselisihan yang kelak akan ditentukan siapa yang salah dan siapa yang benar melalui peradilan Ilahi. Dalam keadaan demikian, yang bersalah pun belum dapat ditetapkan bersalah karena status tersangka . belum dapat dinyatakan bersalah atau dikecam sebelum jatuhnya putusan. Thahir Ibn ‘Asyur berpendapat lain. Menurutnya, kerajaan Bani Isra’il terbagi dua setelah kem atian N abi Sulaim an as. Yang pertam a adalah kerajaan putra N abi Sulaim an bernam a R ahbi’am dengan ibukotanya Yerusalem . K erajaan ini tidak diikuti kecuali cucu Yahudza dan cucu Benyamin. Sedang kerajaan kedua dipimpin oleh Yurbi’am putra Banath, salah seorang anak buah Nabi Sulaiman as. yang gagah berani dan diserahi oleh beliau kekuasaan yang berpusat di Samirah. Ia digelar dengan sebutan raja Isra’il. Tetapi masyarakatnya sangat bejat dan mengaburkan ajaran agama. Mereka menyembah berhala dan akhirnya kekuasaan mereka porakporanda bahkan mereka diperbudak lalu kerajaan itu punah setelah 250 tahun. Sejak itu tidak ada lagi kekuasaan dan kerajaan Bani Isra’il kecuali kerajaan pertama di atas, dan ini bertahan sampai dihancurkan pada tahun 120 SM. oleh Adrian, salah seorang penguasa Imperium Romawi, dan yang mengusir m ereka sehingga terpencar ke mana-mana. Agaknya —tulis Ibn ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok II ayat 17 Surafi aC-Hajj (22) V'; iT Asyur mereka itulah yang dimaksucf dengan hadu, dan karena itu ayat ini menggunakannya walaupun pada akhirnya kata mi mencakup semua yang beragama Yahudi. Kata ( ijjL a lll) an-nasbara terambil dari kata Vi) ndshirab yaitu satu wilayah di Palestina, di mana Maryam ibu Nabi ‘Isa as. dibesarkan dan dari sana dalam keadaan mengandung ‘Isa as. beliau menuju ke Bait al-Maqdis, tetapi sebelum tiba beliau melahirkan ‘Isa as. di Bedehem. Dari sini sehingga Nabi ‘Isa as. digelar oleh Ban! Isra’il dengan Yasu’, begitu pula pengikutpengikut beliau dinamai Nashdrd yang merupakan bentuk jamak dari kata Nashriy atau Nashiriy, menunjuk kota tempat Maryam as. dibesarkan. Kata ( ^ j i r ' ) al-majus dikenal sebagai orang-orang yang percaya dan mengikuti ajaran Zaradasyt, namun sejarah hidup dan masa tokoh ini tidak jelas. Ada yang menduga sekitar enam abad sebelum Masehi. Kitab sucinya pun telah dada setelah Alexander The Great mcnguasai Iran, walau kemudian ditulis kem b ali pada m asa raja-raja Sasan dan dinam ai Z andavesta. Penganut kepercayaan ini bersekte-sekte, namun pada prinsipnya mereka mengakui adanya dua penguasa dan pengatur alam raya, pengatur kebaikan dan kejahatan. Yakni tuhan cahaya yang bernama Yazdan atau Ahuramazda, dan tuhan gelap yaitu Ahrumun. Mereka meyakini adanya malaikat-malaikat serta b e ru sa h a m en d ek atk an diri kep ad an ya, tetap i m ereka tidak menyembah berhala, mereka menyembah api. Penganut agama ini, pada masa lalu banyak bermukim di Iran, India dan Cina. Kata ( ) ash-shdbi’in ada yang berpendapat terambil dari kata ( L^> ) shaba’ yang berarti muncul dan nampak. Misalnya ketika melukiskan bintang yang muncul. Dari sini ada yang memahami istilah al-Qur’an ini dalam arti penyembah bintang. Ada juga yang memahaminya terambil dari kata S aba’ yaitu suatu daerah di Yaman, di mana pernah berkuasa Ratu Balqis dan penduduknya menyembah matahari dan bintang. Ada lagi yang berpendapat bahw a kata ini adalah kata lam a dari bahasa Arab yang digunakan oleh penduduk Mesopotamia di Irak. Kata ( J-g-i ) jyahid berkisar maknanya pada kehadiran, pengetahuan, informasi dan kesaksian. Allah syahid dalam arti Dia hadir, tidak gaib dari segala sesuatu, serta menyaksikan segala sesuatu (QS. Saba’ [34]: 47) atau disaksikan oleh segala sesuatu —melalui bukti-bukti kehadiran-Nya di alam raya (QS. Ibrahim [14]: 10) atau melalui potensi yang dianugerahkan-Nya kepada setiap manusia dan makhluk. Allah berfirman: ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com S u ra t at-JCajj (22) ‘t& y. Kelompok II ayat 18 "<y ^ -j y > s Uj^_i ^yL Ijili “D^« (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan ketumnan anak-anak Adam dari su lb i m erek a dan A llah m engam bil kesaksian terhadap jiw a m erek a (seraya berjirman): “Bukankah A ku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi” (QS. al-A‘raf [7]: 172). Ojiili ^ ^ aJj J|5” “Kepunyaan-N ya-lah siapa saja yang ada di langit dan di burnt. Semuanya hanya tunduk kepada-N ya” (QS. ar-Rum [30]: 26). Imam Ghazali ketika menjelaskan makna sifat ini membandingkannya dengan sifat-sifat Allah yang lain. Makna sifat ini - menurutnya - sejalan dengan sifat ‘A lim (Maha Mengetahui), dengan kekhususan tersendiri. Allah M aha M engetahui yang gaib dan yang nyata. Yang gaib adalah yang tersem bunyi, sedang syahadah adalah antonim yang gaib, yakni yang nyata. Maka jika Allah dengan sifat A lim mengetahui yang gaib dan nyata, maka dengan sifat al-Khabtr Dia mengetahui yang gaib dan hal-hal yang bersifat batiniah. Sedang asy-Syahid adalah pengetahuan-Nya menyangkut hal-hal nyata. AYAT 18 %s s^&|j / % j < 0 °Lti ‘t i p 'tj* ( \ A) &> "’ ■'''M i 5>' si ' ' 9 s\st <tUl u i j j *■* « o ✓✓ <U 3 o I j lU lj y r J i J t j *!)' <^i ^ ^ ^ ^ a J -• U i iUl «• > “A pakah engkau tidak melihat bahwa Allah, bersujud kepada-Nya siapa yang ada di langit, dan di bum i; matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatangbinatang yang me lata; dan banyak di antara manusia; dan banyak (pula) yang telah ditetapkan a-^ab atasnya. Dan barang siapayang dihinakan A llah maka tidak ada yang memuliakannya. Sesungguhnya A llah berbuat a p a ya n g Dia kehendaki. ” Sebagian besar di antara penganut agama dan kepercayaan yang disebut pada ayat yang lalu, tidak menyembah dan mengesakan Allah swt., tidak juga mengamalkan tuntunan rasul-rasul-Nya. Namun pada hakikatnya kalau sekarang m ereka belum sujud dan patuh, maka pasti di hari Kemudian ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 31 Kelompok II ayat 18 Surafi aC-Jfajj (22) t nanti m ereka semua akan menyesal. Dalam kehidupan dunia ini semua m akh lu k tu n d u k k e p ad a-N ya. A pak ah engk au tid ak m elih a t yakn i mengetahui,- wahai siapa pun yang dapat melihat dan menggunakan akalnya bahwa A llah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa itu, bersujud yakni tunduk dan p atu h k epa da-N ya yakn i sem ua berada dalam keku asaan dan pengendalian-Nya siapa dan apa yang ada di langit, dan siapa serta apa yang ada di bum i; matahari, bulan, bintang pun yang disembah oleh sementara manusia, demikian juga gunung,pepohonan yang dijadikan pembuatan berhala, serta binatang-binatang ya n g melata baik yang disucikan oleh kaum tertentu maupun tidak, semua itu sujud, dan patuh tidak dapat mengelak dari sistem yang ditetapkan-Nya atas masing-masing mereka, dan manusia termasuk dalam apa yang disebut di atas. Mereka berbeda dengan manusia yang diberi tugas khusus yakni melaksanakan syariat agama serta dianugerahi kebebasan menerima dan melaksanakan atau menolak tugas itu. Yang sujud dan patuh melaksanakan tuntunan Allah karena kehendak dan dorongan batinnya itulah yang terpuji dan banyak di antara manusia, yang berbuat demikian. Mereka sujud dan patuh melaksanakan syariat itu. Mereka itulah yang akan memperoleh ganjaran yang baik, dan banyak pula di antara manusia yang lelah ditetapkan a-yab atasnya disebabkan keengganannya sujud melaksanakan tuntunan syariat; mereka itulah yang dihinakan Allah. Dan barang siapa ya n g dihinakan A llah dengan ketetapan siksa-Nya itu maka tidak ada sesuatu pun yang memuUakannya. Sesungguhnya Allah berbuat a p aya n g Dia kehendaki. Kata ( -brs-*o ) yasjud dipahami dalam arti kepatuhan alam raya kepada sistem yang ditetapkan A llah bagi masing-masing. Allah memerintahkan air untuk membeku atau mendidih pada derajat tertentu, kapan dan di mana pun, dan dia patuh melaksanakannya. Api pun diperintahkannya panas dan m em bakar. Itu dipatuhi oleh api, dan jika Allah dalam suatu ketika memerintahkannya tidak panas dan membakar, api pun akan sujud yakni patuh, sebagaimana halnya dalam peristiwa Nabi Ibrahim as. ketika dibakar oleh penguasa masanya yakni Namrud. Kata ( j ) wa/dan dalam firman-Nya ( j* j ) iva katstrin min an-ndsjdan banyak di antara manusia, tidak dapat dipahami sebagai kelanjutan dari kalimat sebelumnya, karena sujud manusia berbeda dengan sujudnya makhluk-makhluk yang disebut sebelumnya. Karena itu seperti terbaca di atas, sebelum kata dan ada kalim at yang kand u ngannya b erfu n gsi membedakan sujud manusia dan sujudnya makhluk tersebut. Kata ( ^ ) mukrim terambil dari kata ) akrama yang asal katanya ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com t 32 ; S lfr f V Surafi a[-J£ajj (22) Kelompok II ayat 19-22 adalah ( ) karuma. Kata ini biasa diartikan mulia, namun secara umum ia berarti segala sesuatu ya n g baik sesuai dengan objeknya. Jika Anda menyifati rezeki dengan kata tersebut, maka ia berarti memuaskan dan halal. Jika yang disifatinya adalah ucapan, maka yang dimaksud adalah yang baik dan benar. Di sini karena yang dibicarakan adalah jatuhnya siksa, maka kata mukrim dipahami dalam arti sesuatu atau seseorangyang mampu mencegah jatuhnnya siksa itu, karena itulah yang baik bagi yang bersangkutan dalam situasi yang sedang dihadapinya. Para ulam a sepakat menyatakan bahwa ayat ini adalah salah satu ayat yang disunahkan bagi pembaca dan pendengar untuk bersujud. Yakni su ju d tila w a h , se b a g a i p e rta n d a, se k alig u s h arap an k ira n y a yan g m elakukannya tercatat di sisi Allah sebagai orang-orang yang sujud dan patuh kepada-Nya dalam menerapkan sistem serta syariat yang ditetapkanNya. AYAT 19-22 “Inilah dua seteru; mereka saling bertengkar, mengenai Tuhan mereka. M aka orang kafir akan dipotongkan untuk merekapakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan ke atas kepala mereka air mendidih. Dengannya dihancurluluhkan apa yang ada dalam peru t mereka dan kulit-kulit (mereka). Dan untuk mereka palu-palu godam dari besi. Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka karena kesengsaraan, mereka dikembalikan ke dalamnya: ‘Rasailah a-^abyang membakar in i’. ” Dua kelompok manusia yang berbeda sikapnya seperti diuraikan oleh ayat yang lalu, kini —melalui ayat di atas —diuraikan keadaan keduanya, d alam k eh id u p an dunia in i dan di akh irat kelak. A yat-ayat di atas menyatakan bahwa: Inilah dua seteru; yang pertama melaksanakan tuntunan syariat dan yang kedua mengabaikannya. Mereka yakni anggota-anggota kelompok yang berseteru itu saling bertengkar, berdebat dan berselisih mengenai ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 33 Kelompok II ayat 19-22 Surafi aC-Hajj (22) • vi \T Tuhan Pemelihara mereka menyangkut keesaan dan sifat-Nya, serta manakah yang seharusnya disembah. Maka orang kafir yang tidak mengakui keesaanNya, dalam dzat, sifat atau perbuatan-Nya akan dipotongkan yakni diukur dan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka sehingga seluruh tubuh mereka dililit api yang sesuai dengan kadar dosa mereka. Di samping itu disiramkan juga ke atas kepala mereka air mendidih. Dengannya yakni melalui air itu dihancurluluhkan segala apayang ada dalam perut mereka dan sebagaimana sebelumnya ketika mereka memakai pakaian-pakaian api telah dilelehkan kulit-kulit mereka. Dan ada juga untuk, mereka palu-palu godam atau cemeticemeti dari be si. Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka karena kesengsaraan dan penderitaan yang mereka alami, niscaya mereka dipukuli dengan palupalu godam itu untuk dikembalikan ke dalamnya yakni ke dalam neraka. Kepada mereka dikatakan: “Rasailah a^ab yang membakar ini sebagai balasan kedurhakaan kamu.” Kata ( j l w 5> ) khashmdn adalah bentuk dual dari kata ( khasbm/ seteru (lawan), sedang kata ( \ ) ikhtishamu/mereka saling bertengkar yang seakar dengan kata khasbman adalah upaya bersungguh untuk berdebat, bertengkar dan berselisih guna mengalahkan pihak lain. Kata ikhtashamu berbentuk jamak, walaupun yang ditunjuknya adalah dua kelompok. Hal ini disebabkan karena kata ( ) khasbm dapat berarti tunggal dan dapat juga jamak. Ini karena masing-masing kelompok mempunyai anggota yang banyak, dan ketika m ereka bertengkar atau berselisih, m asing-m asing anggotanya m enghadapi anggota yang lain, dan ini menjadikan mereka banyak sehingga untuk itu digunakan bentuk jamak pada kata ikhtashamu/ mereka bertengkar. Sahabat Nabi saw., Abu Dzarr ra. berpendapat bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peperangan pertama dalam Islam yakni Perang Badr. Ketika itu berhadapan dua kelompok, kelompok muslim yang mengesakan Allah dan sujud kepada-Nya terdiri dari Hamzah Ibn ‘A bdul Muththalib, ‘Ali Ibn Abi Thalib dan ‘Utbah Ibn al-Harits ra. ketiganya berhadapan dengan kelompok yang enggan sujud kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan berhala-berhala, yaitu Syaibah Ibn Rabfah, ‘Utbah Ibn Rabfah dan al-Walid Ibn ‘Utbah. Hamzah ra. berhasil membunuh Syaibah, ‘Ali ra. membunuh ‘Utbah Ibn R abi‘ah, sedang Ibn al-H arits ra. dan lawannya al-Walid saling melukai, namun Hamzah dan ‘A li datang membantu lalu membunuh al-Walid. Pergulatan mereka itu tentulah cerminan dan akibat dari perdebatan serta perselisihan kepercayaan mereka tentang Allah swt. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com rtrt. 34 £ S urah aC-'Xajj (22) x Kelompok II ayat 23-24 irw Kata ( l-.«US ) quththi'at terambil dari.kata ( ) qdtha‘ yang berarti memotong. Patron yang digunakan ayat ini, di samping berbentuk pasif yakni tidak disebutkan siapa pelakunya, juga mengandung makna banyak atau berkali-kali. Ini dapat berarti bahwa para penghuni neraka itu diukurkan dan dibuatkan oleh m alaikat banyak pakaian dari api, sehingga mereka , m em akai pakaian berlapis-lapis. Ibn ‘A syur m em aham i kata tersebut m engandung makna hiperbola dan menurutnya itu mengisyaratkan cepatnya pengukuran dan pembuatan baju-baju itu buat mereka. AYAT 23-24 CJ&r o U d C flJl I Ii i 1 ^^ * 1 X J (rr) j i f 1 4-9 ® * 1 (y i) a I t t^ x 0 * j x I t f ® 01 »x 'j J j ) j v * - 5 j * JJ'-* 1' j * ^ X ® x ' > > s o " 0 x • , 0 ix J o yj% j C? IjJJS j J j i J l j a v-4 IaJl “Sesungguhnya A llah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amalam al saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di sana mereka dihiasi antara lain dengan gelang-gelang dari emas dan m u tiara, dan pakaian mereka adalah sutra. Dan bagi mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan dilunjuki ke ja la n (Allah) ya n g terpuji.” Ayat-ayat yang lalu menjelaskan balasan yang menimpa mereka yang e n g g an su ju d k ep ad a A llah Tuhan Yang M aha Esa. A yat-ayat ini menjelaskan ganjaran yang diterima oleh mereka yang sujud serta patuh kepada Allah dalam tuntunan-Nya yang berkaitan dengan hukum alam dan syariat. Allah berfirman: Sesungguhnya A llah memasukkan orang-orang beriman kepada Allah Yang Maha Esa dengan keimanan yang benar yang mencakup segala aspek keim anan dan m em buktikan kebenaran im annya dengan m engerjakan am al-am al saleh sesuai tuntunan Allah dan Rasul-N ya, Allah memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang di bawahnya yakni di bawah istana-istana dan pepohonannya mengalir sungai-sungai. Di sana mereka akan m em peroleh aneka kenikmatan ruhani dan jasmani. Untuk kenikmatan jasmani mereka dihiasi antara Iain dengan ge/ang-gelangyang terbuat dari emas dan mutiara, dan pakaian yang mereka pakai adalah sutra. Dan bagi kenikmatan ruhani mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik yakni diilhami Allah untuk mengucapkan kalimat indah dan benar dan dilunjuki pula ke ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com | 35 I Surafi aC-Jfajj (22) Kelompok II ayat 23-24 jalan Allah yang lebar dan Petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik, antara k in berarti ucapan yang benar dan indah susunan kata-katanya, serta mencakup segala apa yang dimaksud oleh pembicara dan sesuai pula dengan kondisi mitra bicara. Ucapan yang baik dimaksud antara lain yang disebut dalam QS. Yunus [ 10 ]: 10 : s 0 tf L4JJ © x x x ^ , (> 3* 1^-3 j PJ Doa mereka di dalamnya ialah: ",Subhanakal/ahumma”, dan salam penghormatan mereka ialah: “Salam. ” Dan penutup doa mereka ialah: “A lhamdulillahi K abbil ‘A-lamin. ’’Penggalan ayat ini dapat juga berarti bahwa mereka diberi petunjuk oleh A llah m enuju tem pat-tem pat yang baik di m ana m ereka tidak mendengar ucapan kecuali ucapan yang baik dan benar. Mereka akan selalu mendengar ucapan yang mengandung makna keselamatan dan kesejahteraan yang diucapkan oleh m alaikat, karena seperti firman A llah dalam QS. ar-Ra‘d [13]: 23-24: “Dan malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu surga, sam bil mengucapkan: “Saldmun ‘alaikum bima shabartum. ” (Salam sejahtera buat kamu disebabkan karena kesabaran kamu). Ucapan malaikat itu benar-benar bertolak belakang dengan ucapan mereka kepada penghuni neraka “Rasailah a^ab yang membakar ini (ayat 22), sebagaimana pakaian penghuni surga pun bertolak belakang dengan pakaian penghuni neraka. Adapun hidayah mereka ke jalan (Allah) yang terpuji maka ia dapat dipaham i dalam arti sem ua pekerjaan dan aktivitas mereka baik dan terpuji. Sehingga dengan demikian, ucapan dan perbuatan mereka semuanya baik dan terpuji. Penggalan ayat ini ada juga yang memahaminya dalam arti mereka diberi petunjuk dalam kehidupan dunia ini menuju jalan Allah yakni agama Islam. Kata ( al-H amul merupakan salah satu nama Allah. Maknanya adalah antonim tercela. Allah al-Hamtd berarti Dia yang menciptakan segala sesuatu dan segalanya diciptakan dengan baik serta atas dasar ikhtiar dan kehendakN ya sem ata-mata tanpa sedikit paksaan pun. Kalau demikian, maka segala perbuatan-Nya terpuji dan segala yang terpuji merupakan perbuatan-Nya juga, sehingga wajar Dia menyandang sifat tersebut. Allah juga al-H am idj Yang M aha terpuji karena Dia yang mencipta dan menghidupkan, Dia pula ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi aC-Hajj (22) Kelompok II ayat 23-24 eyang menganugerahkan sarana dan prasarJina kehidupan serta petunjukpetunjuk kebahagiaan hidup duniawi, selanjutnya Dia yang mcwafatkan kem udian m enghidupkan kem bali m anusia agar m ereka m em peroleh kebahagiaan ukhrawi. Semua itu adalah anugerah yang dilimpahkan-Nya tanpa menanti sedikit imbalan pun. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com AYAT 25 old*?' j^xJl ' (ye) ,*J| o 'i* - ' ja dJJl ■ /- 4iaj -< e> (jP Oj*U<ajj X 01 X X o o X os* jt-Uaj iUxJb <L3 i j j iU Jtj <13 c ^ U j l «.!j **i ^ X X^ XX X X X XX X “Sesungguhnya orang-orangyang kafir dan menghalangi manusia dari ja la n A llah dan M asjid al-tlaram , yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, sama yang bermukim padanya maupun pengunjung dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan penyim pangan dengan %alim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. ” A yat 23 dan 24 berbicara tentang ganjaran yang diperoleh kaum beriman yang sujud dan patuh kepada Allah, apa yang mereka peroleh itu bertolak belakang dengan perolehan siapa pun yang enggan sujud dan patuh kepada syariat agama. Di atas telah dikemukakan perbedaan-perbedaan mereka, kecuali apa yang bertolak belakang dengan perolehan kaum beriman dalam hal bahwa mereka ditunjuki ke ja la n Allah yang lebar dan terpuji. Nah, ayat 25 ini —m enurut Thahir Ibn ‘Asyur adalah perolehan dan balasan orang-orang yang enggan patuh itu, berhadapan dengan perolehan kaum beriman itu. Thabathaba’i menjadikan ayat 25 ini sebagai awal kelompok ayatayat baru, dan mukaddimah dari uraian tentang ibadah haji. Sayyid Quthub juga m enjadikannya sebagai awal kelompok ayat-ayat baru. Ulama ini menulis bahwa berakhir sudah pelajaran yang lalu dengan menggambarkan kesudahan perdebatan tentang Allah yakni neraka Jahannam yang membakar orang-orang kafir dan surga yang dipenuhi naungan bagi kaum mukminin. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------37 INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com c Surafi a t-Jfa jj (22) Kelompok III ayat 25 Pelajaran baru kini dimulai. Ia berhubungan dengan akhir ayat yang lalu yang berbicara tentang orang-orang kafir yang menghalangi manusia ke jalan Allah serta menghalangi Rasul saw. dan kaum mukminin memasuki Masjid al-Haram. Dalam konteks inilah ayat-ayat di atas berbicara tentang dasar pembangunan masjid tersebut, sejak Allah menugaskan Nabi Ibrahim as. untuk m em bangunnya (kembali) dan mengumandangkan ajakan kepada sem ua m anusia untuk berkunjung m elaksanakan haji ke sana. A llah menugaskan Nabi Ibrahim as. untuk membangun masjid tersebut atas dasar tauhid serta menyingkirkan kemusyrikan dan membolehkan semua orang baik yang berm ukim maupun pendatang untuk mengunjunginya. Siapa pun tidak boleh dihalangi, dan dalam saat yang sama masjid bukan menjadi milik seorang pun. Demikian lebih kurang Sayyid Quthub. A l-Biqa‘i ddak menyusun tafsirnya atas dasar kelompok-kelompok ayat, tetapi menghubungkan ayat demi ayat. Menurutnya setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan keadaan kedua kelompok —kafir dan mukmin. Di sana ketika dijelaskan keadaan kelompok mukmin, diuraikan pula amalamal mereka yang menunjukkan kebenaran iman mereka. Nah, ayat 25 di atas m en g u lan g i u raian ten tan g kelom pok o ran g-o ran g k afir yang bersinambung kekufurannya sambil menegaskan balasan yang akan mereka peroleh. Demikian lebih kurang al-Biqa‘i. A papun hubungannya, yang jelas ayat 25 m enyatakan bahwa: Sesungguhnya orang-orangyang kafir y a n g bersikeras mengingkari keesaan Allah dan utusan-utusan-N ya dan juga yang terus menerus menghalangi manusia yakni orang-orang beriman dan yang siap untuk beriman dengan menyakiti, mengancam atau mengejek dengan tujuan menghalangi mereka dan jalan A llah dan berkunjung untuk shalat dan melakukan thawaf ke M asjid alHaram, satu wilayah yang telah Kami jadikan terhormat dan aman untuk semua manusia yang bermaksud patuh kepada Allah, sama yakni baik yang bermukim padanya maupun pengunjung. Mereka yang menghalangi akan Kami siksa dan demikian juga siapa pun yang bermaksud di dalamnya yakni di kawasannya melakukan penyim pangan dari ajaran agama dan m elaksanakannya dengan ~ahm, yakni secara aniaya niscaya akan Kami rasakan kepadanya di dunia ini sebagian siksa yang pedih dan di akhirat Kami akan menyempurnakan siksa itu. Sementara ulama merujuk kepada sahabat Nabi saw. Ibn Abbas ra. yang m enyatakan bahwa ayat ini turun menyangkut apa yang dilakukan oleh Abu Sufyan Ibn Harb yang menghalangi Rasul saw. dan sahabat-sahabat ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 39 i. Kelompok III ayat 25 Surah at-'Hajj (22) ^ ( ^ v « beliau untuk berkunjung ke Mekah guna melakukan ‘Umrah pada tahun Perjanjian Hudaibiyah. Kalaupun riwayat ini diterima, maka ia merupakan salah satu contoh yang paling jelas tentang upaya kaum m usyrikin m enghalangi orang lain berkunjung ke Masjid al-Haram. Namun contohcontoh lain yang terjadi sebelum peristiwa Perjanjian Hudaibiyah cukup1banyak, bahkan sesudahnya pun m ereka masih m elakukannya dengan berbagai cara, karena ayat di atas menggunakan kata kerja masa kim dan mendatang pada kata ( ojJ-flj ) yashuddun/menghalangi. Kata ( ) al-M asjid al-H_ardm yang dimaksud di sini bukan sekadar bangunan Masjid tetapi semua area Tanah Haram. Kata ( f. \ ) saw d’ berarti sama. Persamaan ini diperselisihkan oleh ulama. Ada vang memahaminya bahwa baik penduduk setempat maupun pendatang sam a-sam a berhak m elaksanakan ibadah serta sam a-sam a berkew ajiban m engagungkannya. Ada juga yang berpendapat bahwa persamaan tersebut adalah dalam menempatinya, sehingga yang bermukim di w ilayah itu tidak m em iliki keistim ew aan dib and ing dengan para pengunjungnya. Dalam Tafsir al-Otirthiibi dikemukakan, bahwa ada juga pendapat yang menyatakan persamaan itu pada perumahan dan tempat-tempat tinggalnya. Ini berd asarkan pendapat yang m engatakan bahw a M asjid al-Haram adalah semua wilayah Tanah Haram. Pendapat ini dianut oleh Mujahid dan Imam M alik dalam suatu riwayat. Memang —tulis pakar hukum Islam itu selanjutnya —diriwayatkan bahwa ‘Umar Ibn al-Khaththab, Ibn ‘Abbas ra. dan sekelompok ulama lain berpendapat, bahwa para pendatang bebas untuk m en em pati tem pat m ana pun di M ekah. Para pem ilik rum ah b erkew ajiban m enam pung m ereka — suka atau tidak suka. Dem ikian diriw ayatkan oleh Sufyan ats-Tsauri. D iriwayatkan juga bahwa dahulu rum ah-rum ah tidak berpintu, dan ketika pada masa Sayyidina ‘Umar ra. ad a p e n g h u n i y an g m em b u at p in tu un tu k ru m ah n ya , la lu b eliau menegurnya, tetapi kemudian beliau perbolehkan setelah mendengar alasan m ereka, yaitu guna m enjaga jangan sam pai terjadi pencurian. Namun dem ikian, ada juga riw ayat yang m enyatakan bahwa Sayyidina ‘Umar memerintahkan untuk mencabut pintu-pintu rumah di musim haji. Namun demikian mayoritas ulama termasuk Imam Malik dalam banyak riwayat lain —membedakan antara rumah dan masjid. Masjid harus terbuka untuk umum, dan rumah ddak demikian. Imam Syafi‘i berpendapat bahwa masingmasing pemilik rumah berhak atas miliknya, dan dengan demikian mereka ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok III ayat 26 *v S % Sumfl a[- ^ aj j (22) '3'';}P' dapat mewariskan, menjual atau mempersewakannya. Salah satu alasannya adalah bahwa ‘Umar Ibn al-Khaththab pernah membeli rumah dari Shafwan Ibn U m ayyah lalu m enjadikannya penjara. Imam Ahm ad Ibn Hanbal m enem puh jalan tengah. Menurutnya rum ah-rum ah dapat dimiliki dan diwariskan, tetapi tidak dapat dipersewakan. Kata (oiS"Ull) al-'dkij terambil dari kata ( tJ& s. ) ‘akajit yang berarti m enyertai sesuatu, tidak meninggalkannya. Dari sini ia dipaham i dalam arti seseorangjang bermukim I bertempat tinggal. Sedang kata ( jU l) al-bdd yakni orang yang datang dari tempat lain untuk berkunjung. Nomaden yang berpindah dari satu tem pat ke tem pat yang lain dengan m em bawa kem ah-kem ahnya dinamai a b l al-Bawddy. Kata ( ■sU-U ) bi ilhdd terambil dari kata ( j J - ) lahad yakni kemiringan. Seorang yang melakukan ( j l i - l ) ilhdd dalam bidang agama, berarti melakukan p enyim pan gan dari tuntunannya atau dengan kata lain kedurhakaan. Sementara ulama memahami huruf ( —>) b d ’ (bi) pada awal kata bi ilhdd berfungsi sebagai penguat. Dengan demikian ayat ini menyatakan siapa yang menghendaki penyimpangan di M asjid al-Haram, maka ia akan disiksa Allah. Ini berarti bahwa ancaman tersebut ditujukan bukan saja terhadap pelaku penyim p an gan , tetap i terhadap m ereka yang hendak/m erencanakan penyimpangan. Ada juga yang berpendapat bahwa huruf b d ’itu mengandung m akna kesertaan dan pelaksanaan. Dengan demikian penggalan ayat ini m engancam siapa yang m erencanakan penyim pangan, lalu rencana itu disertai dengan pelaksanaannya, maka itulah yang akan disiksa. Kata bi vfjulm l dengan ~alim, mengecualikan penyimpangan yang haq. Ayat di atas mengecam mereka yang menghalangi siapa yang berm aksud mengunjungi Masjid al-Haram. Namun jika yang dihalanginya adalah orang kafir, atau wanita yang sedang haid atau junub, atau seorang pengkhianat, m aka penghalangannya tidak terlarang karena hal tersebut adalah haq dan bukan kezaliman. Demikian al-Biqa‘i. AYAT 26 i^ v k ju °&5 ^ u iy l\j Si b ' j Jt ( Y*\ ) ^ J ' 9 £ ^ jJ lj ' 0 j Dan ketika Kami menempatkan buat Ibrahim tempat a I- Wait "Janganlah engkau m em perserikatkan dengan A ku sesuatu apapnn dan sucikanlah rum ah-Ku bagi ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com • 4i Kelompok III ayat 26 Surafi a f-Jfa jj (22) vr ^ €• orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang berdiri serta orang-orangyang ruku', sujud. ” A yat yang lalu telah m enguraikan kedurhakaan kaum m usyrikin menyangkut Masjid al-Haram. Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk m en gin gatkan m ereka dan sem ua pihak tentang sejarah pembangunan kembali Masjid itu serta tujuannya, kiranya dengan demikian menjadi jelas bahwa apa yang dilakukan kaum musyrikin Mekah sungguh bertentangan dengan tujuan pembangunan dan keberadaan Masjid itu. A yat ini m enyatakan: Dan ingatkan jugalah kepada siapa pun, termasuk orang-orang musyrik yang mengaku pengikut Nabi Ibrahim as., ketika K am i m enem patkan yakni m enunjukkan buat N abi Ibrahim tempat al-Bait yakni Bait Allah yaitu Ka‘bah lalu atas perintah Kami dia bersama p u tran y a Ism a ’il as. m em b an gu n n ya k em b ali dan se te lah selesai p e m b a n g u n a n n y a K am i b e rfirm an k ep ad an ya: 'Ja n ga n la h en gk au memperserikatkan dengan A k u dalam beribadah sesuatu apapun dan sedikit perserikatan pun dan sucikanlah rumah-Ku ini dari segala kekotoran lahir dan batin agar siap menjadi tempat ibadah bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang berdiri secara sempurna untuk berdoa dan mengabdi serta bagi orang-orang ya n g ruk u', sujud yakni shalat. Dari ayat ini diketahui bahwa berkunjung untuk melaksanakan ibadah haji m erup akan ibadah yang telah dikenal jauh sebelum m asa Nabi Muhammad saw., yakni sejak masa Nabi Ibrahim as. Pada masa Jahiliah, kaum musyrikin Mekah pun melaksanakannya, tetapi dalam bentuk yang telah menyimpang dari tuntunan Nabi Ibrahim as. Mereka pun melakukan thawaf, tetapi sebagian mereka melakukannya tanpa busana, dengan alasan bahwa seseorang harus benar-benar suci ketika berkeliling di Baitullah, padahal pakaian sedikit atau banyak telah dinodai najis, atau dipakai berdosa. Kata ( \j\'y) bawiva’na terambil dari kata ( j.j _>) tabawwu’ yaitu bertempat tinggal, atau menyediakan dan memungkinkan bertempat tinggal. Banyak yang memahaminya dalam arti menunjukkan kepada N abi Ibrahim as. tempat pondasi Ka'bah agar beliau membangunnya kembali. Thabathaba’i memahami firman-Nya: (C -J' j\£j> UIjj ) bawwa’nd lilbrdhtm a makan al-Bait, dalam arti Allah menjadikan tempat al-Bait sebagai mabcVa yakni tempat kembali kepada A llah dengan kata lain beribadah kepadaNya, bukan m enjadikannya tem pat tinggal. Ini agaknya karena ulama ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com | 42 tjf§ | Surah aC-ttajj (22) Kelompok III ayat 27-29 tersebut mem ahaini kata bawwa’n d terambil dari kata ( «.U) b d ’a yang berarti kembali. Pemahamaii ini menurutnya diperkuat oleh kata sudkanlah rumahKu yakni m enunjuk rumah itu kepada diri-N ya. Selanjutnya ulama itu menegaskan bahwa tentu saja hal tersebut disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim as. m elalui wahyu-Nya, dan dengan demikian penggalan ayat ini bagaikan menyatakan: “ Kami telah mewahyukan kepada Ibrahim bahwa jadikanlah tempat ini, tempat kembali untuk beribadah kepada-Ku” atau Anda dapat juga berkata: “Kami telah mewahyukan kepadanya bahwa menujulah ke tempat ini untuk beribadah kepada-Ku” atau dengan kata lain: “Sem bahlah Aku di tem pat in i”, dan dengan dem ikian — lanjut Thabathaba’i —firman-Nya: “Janganlah engkau memperserikatkan dengan s ik u sesuatu apapun” m erupakan penafsiran dari apa yang diwahyukan kepada beliau itu, dan ini berarti tidak perlu disisipkan kalimat “Kami berfirman kepadanya bahwa”. Lebih jauh Thabathaba’i berpendapat bahwa larangan syirik di sini bukan dimaksudkan larangan mempersekutukan Allah secara mutlak, tetapi larangan mempersekutukan-Nya dalam melaksanakan ibadah haji, seperti melakukan Ta/bijah kepada berhala-berhala. Apapun pendapat yang dipilih, apakah menyisipkan kalimat: “Kami telah berfirm an kepadanya” atau tanpa penyisipan, namun yang jelas m enurut mayoritas ulama, larangan tersebut ditujukan kepada Nabi Ibrahim as. Bukankah ayat ini dimulai dengan kata ( j] ) id^ yang mengandung m akna perintah kepada N abi M uhamm ad saw. untuk m engingat dan m engingatkan peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim as. itu? M em ang ada segelintir ulam a yang berpendapat bahwa perintah ‘Janganlah engkau memperserikatkan dengan A ku sesuatu apapun" tertuju kepada N abi M uham m ad saw. B ukankah - m enurut m ereka — rcd aksin ya m enggunakan bentuk persona kedua, sedang ketika berbicara tentang Nabi Ibrahim, redaksinya berbicara tentang orang ketiga, sehingga bila ia ditujukan kepada Nabi Ibrahim as., tentu saja redaksi itu pun berbentuk persona ketiga. AYAT 27-29 ✓ (Jsap J i ’" j * jo I j ^ ij* 0 J" p ^ * * * , ^ ^ | , 0 ^ $ ® ^ 0£ 0 ** oilj ^9 J j l j*lit Ij j T j j j ^ f 0 0 s IjJaJ*j' (tA) 's , JjT ( YV) >> * y 0 j-a ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 43 * Surafi aC-Jfajj (22) Kelompok III ayat 27-29 ' (Y O 9 c d u ij J j J d j ij i j j j berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat buat mereka dan supaya mereka menyebut nama A llah pada hari-hariyang telah ditentukan atas rezekiy a n g Dia telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. M aka m akanlah sebagian darinya dan berikanlah untuk dimakan oleh orang-orangyang sengsara lagi fakir. Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada p a d a badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan na~ar-na%cir mereka dan hendaklah mereka melakukan thaw af di Bait al-Atiq. ” Selanjutnya Allah memerintahkan Nabi Ibrahim as. mengajak semua orang —yang m am pu — untuk berkunjung ke rumah Allah itu, dengan menyatakan: Dan wahai Nabi Ibrahim, berseru/ah kepada manusia memanggil mereka untuk mengerjakan haji yaitu berkunjung ke Masjid al-Haram dan sekitarnya untuk melaksanakan ibadah tertentu pada waktu tertentu demi karena Allah. Serukanlah itu, niscaya mereka akan datang kepadamu menyambut panggilanm u itu dengan berjalan kaki bagi m ereka yang tinggal dalam jangkauan perjalanan kaki serta bagi yang tidak mampu berkendaraan, atau mengendarai semua atau setiap yakni banyak unta ya n g telah menjadi lelah dan kurus karena jauhnya perjalanan bagi yang datang dari segenap penjuru yang jauh lagi mampu berkendaraan. Panggilan itu, supaya mereka menyaksikan, dengan mata kepala yakni menghadiri dan menyaksikan dengan mata hati sehingga m endapatkan berbagai manfaat duniawi dan ukhrawi yang besar dan banyak melalui pertemuan mereka satu sama lain membicarakan serta melakukan aneka aktivitas bermanfaat, serta memperoleh ketenangan batin d en gan p e n g am p u n an dan g an jaran Ilah i atas k e tu lu san m ereka mengunjungi rumah-Nya. Manfaat itu bukan buat Allah atau untukmu tetapi buat mereka dan juga supaya mereka menyebut lebih banyak lagi nama A llah pada hari-hariy a n g telah ditentukan yaitu pada hari Arafah, atau hari Lebaran 10 Dzulhijjah atau dan hari-hari Tasyriq, yaitu 11 s/d 14 Dzulhijjah atas rezeki yang Dia yakni Allah telah berikan kepada mereka antara lain berupa binatang ternak yaitu kambing, sapi, kerbau dan unta. Mereka hendaknya m en yeb u t n am a A llah saat m elih at b in ata n g itu m en u ju tem p at penyem belihan m aupun saat menyembelihnya. M aka makanlah sebagian darinya yakni dari binatang sembelihan itu jika kamu mau dan sebagian ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com i 44 Surah aC-Hajj (22) Kelompok III ayat 27-29 v :> lam ya berik anlab untuk dimakan oleh oraftg-orang y a n g sengsara lagi fakir. Kemudian setelah penyembelihan dan pelontaran Jamrah al-Aqabah maka hendaklah m ereka menghilangkan kotoran ya n g ada pada badan mereka akibat perjalanan jauh dan keringat saat berihram antara lain dengan menggunting atau memotong rambut, kuku, serta membersihkan segala macam najis dan kotoran dan hendaklah mereka menyempurnakan na^ar-na-^ar mereka bila mereka bernazar dan hendaklah mereka tnetakukan thaw af ifadhah yaitu berkelihng demi karena Allah sebanyak tujuh di Bait al-A tiq yakni sekeliling K a‘bah, yang merupakan rumah peribadatan pertama dan tertua yang dibangun umat manusia di permukaan bumi ini. Kata ( ) ad^d-:(in terambil dari kata ( o i l ) ad^ina yang pada mulanya berarti m endengar. K em udian m akna ini berkem bang sehingga berarti m enyam paik an sam pai terdengar. Patron kata yang digunakan ayat ini m engandung m akna “pengulangan” yakni perbanyaklah penyam paian itu. Sementara ulama berpendapat bahwa Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai tokoh yang senang berjalan. Karena itu boleh jadi pengulangan tersebut beliau lakukan setiap beliau berkunjung ke suatu tempat. Ada juga ulam a yang berpendapat bahwa perintah ini ditujukan kepada N abi Muhammad saw., dengan alasan bahwa semua redaksi yang ditujukan kepada orang kedua pada prinsipnya tertuju kepada N abi Muhammad saw. —selama tidak ada indikator yang mengalihkannya kepada selain beliau. Dalam konteks ini —menurut mereka indikator itu tidak ada, bahkan firman-Nya yang melarang mempersekutukan Allah —pada ayat yang lalu —mendukung ditujukannya perintah penyampaian ajakan berhaji itu kepada N abi M uham m ad saw. Tentu Anda telah m engetahui dari penjelasan yang lalu alasan mayoritas mengapa perintah dalam rangkaian ayat-ayat ini mereka pahami ditujukan kepada Nabi Ibrahim as. Kata ( Mb-j ) rijalan bukan bentuk jamak dari ( J^r j ) rajul, tetapi bentuk jamak dari kata ( J-Hj ) rdjil yaitu pejalan ’ kaki. H uruf ( j ) w auw pada kata ( J i ” ,J s - j ) wa 'aid k u lhdhdm irbukan dalam arti dan tetapi atau karena tentu saja yang telah berjalan kaki, tidak lagi mengendarai unta. Demikian juga kata ) kulli tidak dapat diartikan semua atau setiap karena tentu saja tidak semua atau setiap unta yang kurus mereka kendarai. Demikian Ibn ‘Asyur. Kata ( ^ti) /^/berarti jalan antara dua gunung. Ini mengisyaratkan kondisi geografis kota Mekah yang dikelilingi oleh gunung-gunung, di mana di celahcelahnya terdapat jalan-jalan menuju Bait al-Haram. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 45 J Kelompok III ayat 27-29 Surafi aC-QCajj (22) CKata ( t ) liyasyhadu terambil dari kata ) syahida yang berarti m ertyak sik an b aik dengan m ata kepala m aupun dengan m ata h a ti/ pengetahuan. Siapa yang menyaksikan sesuatu dengan m ata kepalanya, maka tentu saja dia hadir di tempat apa yang disaksikannya itu. Dari sini kata tersebut diartikan juga dengan menghadiri. ' M anfaat duniawi yang dimaksud di sini berkaitan dengan banyak aspek, tetapi pada akhirnya mengantar umat manusia meraih kemajuan dan kemaslahatan bersama. Ini tentu saja dapat diperoleh karena tidaklah berkumpul banyak orang yang memiliki pandangan dan tujuan yang sama, lalu mereka saling kenal mengenal dan berdiskusi, kecuali perkenalan dan diskusi mereka itu akan menghasilkan kerja sama yang saling menguntungkan. Ini melengkapi kekurangan yang itu, dan itu membantu menyelesaikan problem yang ini, sehingga akhirnya semua memperoleh keuntungan duniawi. Ini dikukuhkan pula dengan bahwa Allah tidak menghalangi adanya interaksi ekonomi pada musim haji (QS. al-Baqarah [2]: 198). Firm an-N ya: ( <&l b j ) wa yad^kurtt ism A llah I supaya mereka m enyebut nama Allah, dibatasi pemahamannya oleh sementara ulama dalam arti hendaklah mereka menyembelih binatang, karena pada penyembelihan itu dianjurkan untuk dilakukan sambil menyebut nama Allah, bukan nama berhala-berhala sebagaimana kebiasaan kaum musyrikin. Ayat di atas menggunakan bentuk redaksi persona kedua pada firmanNya: ( I ) fakulu m inhdlm ak a makanlah sebagian darinya setelah penggalan sebelumnya menggunakan redaksi persona ketiga. Ada ulama yang m enyisipkan kalimat maka Wahai N abi Ibrahim katakankanlah kepada m erek a bahw a m ak anlah dan seterusnya. Ada juga yan g m enyatakan pengalihan redaksi itu ditujukan kepada umat Nabi Muhammad saw. dengan tujuan m enekankan bolehnya memakan daging kurban, karena masyarakat jahiliah enggan m em akannya, atau karena N abi saw. pernah m elarang memakan daging kurban. Dengan demikian, perintah makan itu, bukanlah perintah wajib. Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar untuk membagi tiga daging kurban. Sepertiga dimakan oleh yang menyembelih bersama kcluarganya, sepertiga disedekahkan dagingnya, dan sepertiga lagi dibuat makanan bagi yang butuh. Ada juga yang berpendapat dibagi dua saja, seperdua bagi yang berkurban, dan seperdua lainnya dibagikan kepada yang butuh dengan alasan bagi kata ( ) al-bd’is al-jaqir merupakan satu kelompok saja. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 46 Surah aC-Jfajj (22) Kelompok III ayat 30 Kata ( j-j'IJi'al-ba’i s terambil dari kata al-bu’s yang berarti keras atau kesulitan, yang dimaksud di sini adalah kesulitan dan kesempitan dalam bidang materi. Yang fakir pada hakikatnya tidak memiliki kecukupan materi, nam un d em ik ian ayat in i m en ggan d en gkan kedua kata itu, untuk m engingatkan orang lain bahwa kehidupan para fakir bersifat keras dan dalam kesempitan sehingga membutuhkan uluran tangan. Ada juga yang memahami kata al-bd’i s dalam arti yang nampak kemiskinan dan kebutuhannya secara lahiriah p a da wajah dan pakaiannya, sedang faqtr adalah semua yang butuh, walau penampilannya tidak memperlihatkan kebutuhan. Kata ( . -. a-i ) tafats diperselisihkan maknanya oleh pakar-pakar bahasa dan ulama tafsir. Ada yang memahaminya dalam arti amalan-amalan haji semuanya. Ini berdasar suatu riwayat dari Ibn Abbas. Namun makna yang po pu ler ad alah k otoran-k otoran ya n g m elek at di badan. A da juga yang memahaminya dalam arti memotong kuku dan mencukur kumis. Betapapun, makna-makna itu semua dapat diterima dan dapat ditampung oleh perintah ayat ini. Kata ( jJu ) nad^ar adalah amal kebajikan yang tidak wajib, tetapi diwajibkan seseorang atas dirinya, bila memperoleh sesuatu yang positif, atau terhindar dari yang negatif. Patron kata ( . 9jU. ) yalhthawwafu mengandung makna kesungguhan sekaligus pada kata tersebut ada huruf yang dx-tdgbam-kzn yakni digabung pengucapannya dengan huruf th d ’. Atas dasar itu, al-Biqa‘i memperoleh kesan bahwa ayat ini memerintahkan kesungguhan dalam melaksanakan thawaf dan ibadah haji sekaligus keikhlasan yang dipahaminya dari idghdm tersebut. Kata ( ) a l-‘a tiq ada yang memahaminya dalam arti tua, karena K a‘bah adalah rum ah peribadatan tertua. Ada juga yang memahaminya dalam arti yang tidak dimiliki oleh siapa pun (kecuali oleh Allah). Hamba sahaya yang dimerdekakan sehingga tidak menjadi milik seseorang, dinamai juga ‘atiq. Bila dipahami demikian, maka ini mengandung sindiran kepada kaum musyrikin yang bermaksud menguasai Ka'bah dengan melarang kaum muslimin melaksanakan thawaf dan beribadah ditempat itu. A Y A T 30 u 'i\ c JU fj 4 j j j - ii > ^ ( r . ) jjjlt jj5 Ijjaplj OBjVi > J ji o i j i I r ir > IjJSrli ) aii ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 47 '* Kelompok III ayat 30 Surafi af-K ajj (22) e"Demikianlah. Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka dia adalah baik baginya di sisi 'Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu binatang ternak, terkecuali yang dibacakan kepada kamu maka hindarilah berhala-berhala yang najis dan hindarilah (pula) perkataan-perkataan dusta.” Ayat-ayat yang lalu berbicara tentang sekian banyak petunjuk dan perintah Allah swt. Nah, ayat ini menunjuk kepada perintah dan petunjuk tersebut dengan menyatakan: Demikianlah petunjuk dan perintah Allah yang sungguh jauh dan tinggi kedudukannya. Dan barang siapa yang mematuhi perintah dan larangan Allah dalam ibadah haji serta mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi A llah maka dia yakni penghormatan yang memotivasinya untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya itu adalah baik baginya di sisi Tuhannya yakni mendatangkan baginya kebaikan dunia dan akhirat. Selanjutnya ayat di atas menyatakan bahwa: Ketahuilah bahwa Allah telah m engharam kan sekian hal untuk kamu kerjakan atau harus kamu tinggalkan dan telah dihalalkan oleh-Nya bagi kamu memakan daging binatang ternak, unta, sapi/kerbau dan kambing, terkecuali yang dibacakan kepada kamu tentang keharamannya pada ayat-ayat yang lalu yang telah turun dan akan turun, m aka hindarilah sekuat kemampuan dan sepanjang hayat kamu penycmbahan berhala-berhala yang najis yakni yang mengakibatkan kekotoran akal dan jiwa yang mestinya kamu hindari walau tanpa dilarang dan hindarilah pula selalu semua perkataan-perkataan dusta baik terhadap Allah pada saat m enyem b elih b in atan g-b in atan g m aupun di luarnya, dem ikian juga kebohongan terhadap sesama manusia. Kata ( ) hurumdt adalah bentuk jamak dari kata ( iay ) hurmah yakni sesuatu yang dihormati. Ia terambil dari kata ( f ) haram yang juga diartikan terlarang, karena yang dihorm ati biasanya melahirkan laranglarangan dalam rangka penghormatan kepadanya atau kepada siapa yang melarangnya. Dalam konteks ibadah haji al-hunimdt mencakup Masjid al-Haram, K a'bah, w ilayah haram seluruhnya serta bulan-bulan haram . Bahkan termasuk pula binatang ternak yang dikurbankan serta amalan haji lainnya, seperti bercukur, mandi dan sebagainya, karena itu semua adalah tuntunan dan petunjuk Allah, Tuhan Yang harus diagungkan, sehingga tuntunanNya itu harus diagungkan pula. Ayat di atas mcnegaskan bahwa dihalalkan bagi kamu binatang ternak. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com I 48 Surafi af-J£ajj (22) Kelompok III ayat 30 ■>>- '55* Penegasan ini perlu dikemukakan karena kaum musyrikin mengharamkan binatang ternak tertentu dalam konteks haji mereka. Pengecualian pada firman-Nya: ( U ’j l ) illamdyutla 'alaikumi terkecualiyang dibacakan kepada kamu adalah apa yang tercantum dalam QS. al-An‘am [6]: 145 dan an-Nahl [16]: 115 yang telah turun sebelum ayat ini, di mana diharamkan, antara lain binatang yang mati tanpa disembelih secara sah m enurut syariat term asuk yang disembelih atas nama selain Allah. D em ikian juga dalam QS. al-M a’idah yang turun sesudah turunnya ayat ini. Baca kembali penafsiran QS. al-Ma’idah [5]: 103. T habathaba’i m enggarisbawahi bahwa walaupun pengecualian itu mencakup hal-hal yang disebut pada surah di atas, tetapi penekanannya adalah pada: (^il J J a l u ) md uhilla li ghairi Allah /apayang disembelih selain menyebut nama A.llah sebagai terbaca dalam konteks ayat ini baik ayat sebelumnya maupun sesudahnya. Penekanan itu diperlukan karena kaum m usyrikin m elakukan hal tersebut dalam haji mereka, yakni di hadapan berhala-berhala yang mereka letakkan di hadapan Ka‘bah, Shafa, Marwah dan di Mina. Ada juga yang memahami pengecualian itu menunjuk kepada firmanNya dalam QS. al-Maidah [5]: 1 yaitu j j * j»jU>'j ^ cJb-f “Dihalalkan bagi kamu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepada kamu. (Yang demikian ituj dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. ” Kata ( j# ) min pada firman-Nya: ( j a ) min al-autsan, ada yang m em aham inya berfungsi sebagai penjelasan, sehingga ayat ini hanya m elaran g kekoto ran yang berkaitan dengan berh ala-berhala, adapun kekotoran yang lain, maka tidak dicakup oleh ayat ini tetapi oleh ayat-ayat yang lain. A da juga yang m em aham inya berfungsi sebagai aw al dari penjelasan, sehingga ayat ini melarang segala macam kekotoran, bermula dan yang terutama adalah berhala-berhala sampai kepada tingkat terendah dari kekotoran. Thabathaba’i memahami kata min berfungsi sebagai penjelasan tetapi ulama ini memahami penggalan ayat di atas dalam arti hindarilah berhalaberhala karena dia adalah kekotoran. Perintah menghindari pada ayat ini dengan m enyebut terlebih dahulu kata ( j ) rijs/kotor lalu disusul dengan penjelasannya bahwa dia adalah minal autsdn untuk mengisyaratkan bahwa ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 49 Surafi af-Jfajj (22) Kelompok III ayat 31-32 . larangan m endekati itu disebabkan karena dia adalah kekotoran. Selanjutnya ulama itu menyatakan bahwa larangan itu tertuju langsung kepada berhalaberhala, bukan larangan m enyem bahnya, atau m endekatkan diri dan mengarah kepadanya atau memegangnya dan lain-lain —padahal larangan pada hakikatnya berkaitan dengan pengamalan, bukan pada benda (larangan langsung bukan pada pengamalan), bertujuan penekanan dan hiperbola terhadap larangan itu. M emang, pada hakikatnya tidaklah terlarang keberadaan berhalaberhala, selama tidak ada aktivitas yang melahirkan kesan penyembahan atau p en gagun gan n ya. K arena itu tidak terlaran g ia d ipegang, atau diletakkan di museum untuk ditonton, atau bahkan meletakkan patungpatung di rum ah — selama tidak disakralkan — tetapi katakanlah untuk dipajang sebagai karya seni, atau peninggalan lama yang dapat dijadikan pelajaran tentang kesesatan kaum yang menyembah dan menyakralkannya. A Y A T 31-32 s - lw J l <UJl j \ ^ J \ . 1x3 H aD U £ jJjj 4j ^ ( rr) V jJ iji jS * *'■! fXo aJ J s - l a l ? - j' o j* ^ “Hunafd ’ karena Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Nja. Barang siapa mempersekutukan A llah maka ia bagaikanjatuh dari langit disambar oleh burung, atau diluncurkan oleh angin ke tempat yangjauh. Demikianlah; dan barang siapa mengagungkan syi‘ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu bermula dari ketakwaan hati. ” Ayat 31 di atas m erupakan lanjutan dari ayat yang lalu, dengan menyatakan: Jika kamu mengikuti petunjuk-petunjuk Allah, niscaya kalian menjadi hunafd’ lillah yakni orang-orang yang tulus ikhlas beribadah kepada A llah sesu ai dengan ajaran N abi Ibrahim as. D em ikian Ibn ‘A syur m en gh u b u n gkan ayat ini dengan ayat yang lalu. T h ab ath ab a’i juga b erp end apat serupa. U lam a ini m enulis bahwa ayat in i m enyatakan hindarilah mendekati berhala-berhala dan menyebut-nyebut namanya (pada saat penyembelihan kurban) hindari hal itu dalam keadaan kamu hunafa’ tidak mempersekutukan Allah dalam pelaksanaan ibadah haji kamu. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 1 50 i&P&jk Tit? Surafi af-Jiajj (22) Kelompok HI ayat 31-32 Hunafd’ yakni tulus ikhlas selalu cehderung kepada kebenaran demi karena A llah , tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Nya. Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah maka ia bagaikan jatuh dari langit lalu dalam perjalanannya jatuh ke bawah sebelum tiba di bumi, ia disambar oleh burttng, atau kalau tidak ada sesuatu di udara yang mencelakakannya maka ia diluncurkan oleh angin jatuh ke tempat yangjauh, lalu kemudian hancur binasa, berkeping-keping serta tidak diketahui di mana rimbanya. Demikianlah p en jelasan A llah yang sungguh jauh dan tinggi nilainya. Siapa yang memperhatikannya akan bahagia dan yang mengabaikan akan celaka dan barang siapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya pengagungan tin adalah sesuatu yang baik dan bermula yakni timbul dari ketakwaan hati. Kata ( s-UL?-) hunafd ’ adalah bentuk jamak dari kata ( ui-w) hanffyang oleh al-Biqa‘i dipahami dalam arti mudah, penuh toleransi, lurus dan konsisten dalam kebenaran, karena berpijak pada dalil yang kukuh lagi tidak kaku atau bercokol dalam taklid buta yang terlepas dari cahaya bukti-bukti kebenaran. Ketika menafsirkan ayat 135 surah al-Baqarah, penulis antara lain m engemukakan bahwa kata itu biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu. Ia pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya kepada telapak pasangannya; yang kanan condong ke arah kiri dan yang kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan manusia dapat berjalan lurus. Kelurusan itu, menjadikan si pejalan tidak mencong ke kill, tidak pula ke kanan. Seorang yang hanif tidak bengkok ke arah kiri atau ke arah kanan, tidak tenggelam pada spiritualisme, tidak juga pada materialisme, tetapi tidak juga mengabaikan keduanya. Ayat di atas menggambarkan betapa buruk dan membinasakan sikap syirik. Ia memberikan perumpamaan tentang keadaan seorang musyrik yang pasti binasa dan tidak kuasa melakukan sesuatu yang dapat mengelakkannya dari kebinasaan, seperti halnya yang terjatuh dari ketinggian, disambar burung, lalu diterkam dan dipotong berkeping-keping atau diterbangkan angin sedemikian jauh lalu dicampakkan kedaratan sehingga hancur binasa. Penggunaan kata ( t-\s? ) sama yang biasa diartikan langit atau sesuatu yang tinggi, dapat dipaham i sebagai isyarat bahwa seorang manusia bila m em elihara fitrah tauhid yang melekat pada dirinya sebenarnya berada dalam ketinggian, sedang yang mengabaikan tauhid dan mempersekutukan Allah, adalah orang yang tidak memiliki pegangan dan pijakan tetapi berada dalam kekuasaan sesuatu yang akhirnya membinasakannya, atau dengan kemusyrikannya itu pikiran kacau, tidak menentu arahnya, terbawa dengan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com = 51 j Kelompok III ayat 31-32 Surafi aC-tfajj (22) V arah angin yang akhirnya menghempaskannya ke tanah. M e n u ru t T h a h ir Ibn ‘A syu r ayat di atas m em b erik an dua perumpamaan tentang orang kafir. Pertama yang bimbang dan ragu. Mereka itulah yang diperumpamakan dengan seseorang yang jatuh dari langit lalu disam bar burung. Hatinya tidak pernah mantap, setiap m uncul dalam benaknya suatu khayalan atau pandangan, datang yang lain, sehingga yang lalu dilupakan dan ditinggalkannya. Sedang yang kedua adalah kafir yang telah bersikeras dan mantap kekufurannya. Inilah yang diilustrasikan dengan seorang yang dihtncurkan angin jatuh ke tempat yang jauh. Yang pertama mengisyaratkan bahwa ia tidak mungkin memperoleh keselamatan, sedang yang kedua boleh jadi m asih dapat m em peroleh keselam atan dengan bertaubat, walaupun hal tersebut sulit tercapai. Kata ( yU £> ) sya‘a ’ir adalah jamak dari ( < j ) jya'irab atau ( ojU-i ) syV'rah yakni tanda. Dalam konteks ayat ini adalah tanda-tanda haji, dan secara khusus di sini adalah unta atau binatang tertcntu yang disembelih pada saat pelaksanaan ibadah haji. Al-Biqa‘i menduga bahwa kata tersebut terambil dari kata ( ) sya‘r yakni bulu atau rambut, karena bila binatang itu dilukai untuk ditandai atau disembelih, maka terpotong atau hilang juga sebagian bulunya. Pada masa dahulu mereka memberi tanda pada binatang yang dipersembahkan kepada Allah dengan melukai/menusuk arah kanan badannya sehingga menyemburkan darah. Firman-Nya: ( ojJUJl tS j* <&' yU-i j ^ j ) waman yu'a^h^him sya'd’i r A llah fa innahd min taqwd al-qulub/barang siapa mengagungkan syi'arsyi'ar A llah, maka sesungguhnya itu bermula dari ketakivaan hati firman-Nya ini saling berkaitan dan melengkapi firman-Nya pada ayat 30 yang lalu, yakni ( 4) jjjfc jqS o U y ^^ •; j a j ) wa manyu ‘a^h^him hun/mat A llah fa huiva khairun lahu/ dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka dia adalah baik baginya di sisi Tuhannya. Di sana dijelaskan tentang kehormatan dan kebaikannya, dan di sini dijelaskan tentang sifatnya sebagai tanda, dan sebab yang melahirkan pengagungan itu. D engan demikian terdapat inform asi pada ayat 30 yang tidak disebut di sini, demikian juga sebaliknya, sehingga keduanya saling melengkapi. Jika kata sya'd’i r pada ayat ini dipaham i terbatas dalam arti unta, maka ayat ini menyebutkan sesuatu yang bersifat khusus, sedangkan ayat 30 menyebut banyak hal dan sifatnya umum. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com $ Surafi aC-Qfajj (22) Kelompok III ayat 33-34 AYAT 33 ( rr) c*^' J \ J! ^ kamu padanya ada beberapa manfaat, sampai kepada waktuyang ditentukan, kemudian tempat (wajib penyembelihan)nya ialah setelah sampai ke Baitul ‘Atfq. ” A yat 28 yan g lalu m en yebut tentang b in atan g -b in atan g yang disembelih dalam rangka ibadah haji, dan yang dinilai sebagai bagian dari hurumdt Allah (ayat 30) dan sya‘a ’ir-'Nyn. (ayat 32); kini ayat 33 berbicara tentang binatang-binatang tersebut dengan menyatakan bahwa: Bagi kamu padanya yakni binatang-binatang “hadyu” itu, ada beberapa manfaat duniawi seperti menunggangnya dan meminum susunya. Manfaat itu dapat kamu nikmati, sampai kepada waktu yang ditentukan yakni waktu pcnyembelihannya. Bukan seperti kepercayaan kaum musyrikin yang melarang memanfaatkan sedikit pun binatang yang telah diniatkan sebagai “hadyu”/persembahan kepada Allah. Di samping itu kamu pun mendapat manfaat ukhrawi bila menyembelihnya demi karena Allah. Kemudian ketahuilah bahwa tempat yakni tem pat wajib serta akhir masa penyembelihan-tfjw ialah setelah sampai ke wilayah Baitul ‘A-ttq yakni Tanah Haram seluruhnya. Kata ( igl<£ ) mahilluhd terambil dari kata ( J i - ) halla yang berarti wajib atau berakhirnya masa sesuatu. Yang dimaksud di sini adalah berakhirnya masa hidup binatang-binatang itu dengan keharusan menyembelihnya, atau wajibnya ia disembelih di tempat itu. Al-Q urthubi memahami kata tersebut terambil dari kata ( ^ ) ihldl al-muhrim yakni kebolehan bagi yang berpakaian ihram untuk bertahallul, D engan demikian penggalan ayat ini bagaikan menyatakan bahwa akhir dari semua syi‘ar haji seperti wuquf, melempar Jamrah, sa‘iy dan lain-lain, adalah di B ait al-‘A tiq yakni di K a‘bah dengan m elaksanakan thawaf ifadhah. Bila thaw af ifadhah telah dilakukan oleh sang haji, maka halal-lah baginya m engerjakan segala perbuatan yang tadinya haram dia kerjakan akibat m em akai pakaian ihram. A Y A T 34 f ii& i ^ u \y/h d jiij ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok III ayat 34 Surafi af-Hajj (22) J ' ^ “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan mansak supaya’mereka menyebut nama A llah atas apa yang Dia re^ekikan untuk mereka yaitu binatang ternak. Maka Tuhan kamu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu kepada-Nya saja hendaknya kamu berserah diri. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang timduk patuh. ” Setelah ayat yang lalu menjelaskan tentang syariat Allah menyangkut penyem belihan binatang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, maka ayat ini menegaskan bahwa hal tersebut bukan hanya khusus bagi umat Islam. Ayat ini menyatakan bahwa, tuntunan di atas merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah dan memang bagi tiap-tiap umat sebelum kamu telah Kami syariatkan mansak yakni syariat kurban dan tem pat penyembelihannya.Tujuan syariat itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan supaya mereka menyadari kebesaran Allah dan menyebut nama Allah saja —bukan nama selain-Nya —pada penyembelihan bahkan semua ibadah mereka, sambil merenungkan dan mensyukuri atas apa yang Dia re^ekikan untuk merekayaitu bahwa Allah menciptakan dan menganugerahkan kepada mereka binatang ternak. Itulah yang dilakukan umat-um at yang lalu dan demikian pula yang kamu harus lakukan, karena Allah Yang Maha Esa yang mensyariatkannya kepada kamu dan umat-umat yang lalu. Selanjutnya karena Allah yang mensyariatkan ibadah itu untuk setiap umat, sehingga setiap umat ada mansaknya, maka itu membuktikan bahwa Tuhan kamu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu kepada-Nya saja bukan kepada apa dan siapa pun selain-Nya hendaknya kamu semua berserah diri. Kemudian penggalan ayat ini mengarahkan perintah kepada Nabi terakhir yang menerima tuntunan-tuntunan Allah itu, bahwa sampaikanlah tuntunan itu dan berilah kabar gembira kepada orang-orangyang tunduk patuh yakni orang-orang yang tulus menyerahkan semua urusan kepada-Nya, lagi merendahkan diri mematuhi tuntunan-Nya. Kata (\< .. •») mansakan terambil dari kata ( ...;) nasakayakni menyembelih. Patron kata yang digunakan ayat ini menunjuk pada tempat, sehingga ia bernama tempat penyembelihan. Sem entara ulama mem perluas maknanya sehingga memahaminya dalam arti ibadah dan ketaatan secara umum. Mansak yang ditetapkan Allah untuk umat yang kepadanya diutus N abi M uham m ad saw. —dalam konteks ib adah h aji —ad alah al-B ait al-‘Atiq (ayat 33). Berbeda dengan kaum musyrikin Mekah yang memiliki banyak tata cara dan tem pat m enyem belih kurban. Ini karena mereka ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 54 Surah aC-Hajj (22) Kelompok HI ayat 34 percaya bahwa tuhan berbilang, padahal Tuhan yang berhak disembah adalah Maha Esa. Kata ( ) al-mukbbitin terambil dari kata ( C - i- ') al-khabt yaitu dataran rendah yang siap diolah guna berbagai manfaat. Patron kata yang digunakan ayat ini berm akna orang jang berjalan di dataran rendah. Kata tersebut secara majd^i berm akna orang yang rendah hati, tidak angkuh, tulus, tidak pamrih, serta selalu siap melakukan hal-hal yang bermanfaat. Ayat di atas menjelaskan bahwa penyembelihan kurban telah dikenal oleh um at-um at yang lalu. Ini dapat dibuktikan m elalui al-Q ur’an dan sejarah. Hanya saja sebagian dari umat-umat itu menyelewengkan ajaran kurban sehingga bertentangan dengan tuntunan Allah swt, baik pada cara, tujuan maupun jenis binatang yang disembelih sebagai kurban. Putra-putra Adam as., Q abil dan Habil bertikai justru karena kurban yang mereka persembahkan, ada yang baik dan dipersembahkan dengan tulus sehingga diterima dan ada pula sebaliknya sehingga ditolak (baca QS. al-Ma’idah [5]: 27). Pada masa lalu kurban yang dipersembahkan sebagai sesaji untuk d ew a-d ew a ad alah m an u sia. Di M esir — m isaln ya, gad is tercan tik dipersembahkan untuk Dewa sungai Nil; sementara di Kan'an, Irak, bayibayi dipersembahkan kepada Dewa yang mereka sembah yaitu Baal; suku Aztec di Meksiko, menyerahkan jantung dan darah manusia kepada Dewa M atahari; di Eropa Utara, orang-orang V iking yang tadinya mendiami Skandinavia mempersembahkan para pemuka agama mereka kepada Dewa Perang “Odin”. Demikian seterusnya. Pada m asa Nabi Ibahim as., yang hidup pada abad ke 18 SM., muncul pikiran -p ikiran di kalangan tokoh-tokoh m asyarakat ketika itu yang m enyatakan, bahwa m engorbankan manusia demi untuk Tuhan adalah sesuatu yang sangat mahal. Mereka ingin menggantinya dengan sesuatu selain manusia. Allah swt. melalui Nabi Ibrahim as., meluruskan pendapat mereka. Yang M aha Kuasa itu memerintahkan Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih putra beliau yang satu-satunya —ketika itu —sebagai pertanda, bahwa apapun —walau manusia dan anak kandung tercinta —tidak dapat dinilai m ahal atau tidak w ajar untuk berkurban dan dikurbankan, jika panggilan A llah dan ketetapan-N ya telah datang. Tetapi, begitu N abi Ibrahim as. meletakkan pisau di leher putranya Isma'il, Allah swt. mengganti sang putra dengan seekor domba, untuk membuktikan bahwa kasih sayang Allah kepada manusia sedemikian tinggi, sehingga Dia melarang sekaligus m em batalkan tradisi masyarakat manusia yang mengorban manusia. Syariat ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com : 55 J Kelompok III ayat 35 Surafi aC-Hajj (22) kurban tetap terlaksana, tujuannya-pun adalah pendekatan kepada Allah, tetapi yang dikurbankan adalah binatang ternak yang sempurna, yakni jantan, sehat, tanpa cacat, sebagai pertanda bahwa pengurbanan hendaknya dilaksanakan secara sempurna —sekaligus untuk membedakannya dengan tradisi m asyarakat Jahiliah yang memberi tanda —sehingga cacat —binatang —binatang yang mereka duga dapat mendekatkan mereka kepada Allah swt. Sayyid Quthub mengomentari ayat di atas antara lain bahwa “Binatangbinatang yang disembelih itu adalah sya'irah/tanda yang dikenal oleh umatumat yang lalu. Islam datang mengarahkannya ke daerah yang benar, yaitu hanya kepada A llah sem ata. M em ang — tulisnya lebih jauh — Islam mempersatukan rasa dan arah, menuju kepada Allah semata. Karena itulah sehingga agam a ini sangat memperhatikan upaya mengarahkan rasa dan amal, kegiatan dan ibadah, gerak dan adat kebiasaan, menuju ke arah yang satu itu, dan dengan demikian, hidup secara keseluruhan terwarnai dengan warna akidah Islamiah. Atas dasar itulah Allah m engharam kan semua binatang yang disembelih dengan nama selain nama Allah, sampai-sampai ayat ini menjadikan penyebutan nama Allah sebagai tujuan penyembelihan yang sangat menonjol, seakan-akan binatang itu disembelih untuk tujuan menyebut nama Allah.” Demikian Sayyid Quthub. P ada ay at-ayat b eriku t kita akan m em peroleh keteran gan dari al-Qur’an tentang tujuan utama dari penyembelihan —selain yang disebut pada ayat di atas —yakni memperbanyak penyebutan nama Allah. A Y A T 35 “Orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah had mereka, dan para penyabar terhadap apa yang menimpa mereka dan para pelaksana shalat dan yang sebagian dari apa yang telah Kami re^ekikan kepada mereka, mereka menafkahkannya. ” Ayat sebelum ini memerintahkan agar berserah diri kepada Allah, penyerahan diri yang tulus dan rendah, sebagaimana disebut pada akhir ayat lalu d en gan m en am ai m ereka yang m elak san ak an n ya seb agai ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 56 : 'b\A l'f lt i Surafi aC-QCajj (22) Kelompok III ayat 35 fr al-mukhbitm yakni yang tulus lagi rendah ’hati. Mereka yakni al-mukhbitin itu adalah orang-orangyang apabila disebut nama Slllah gemetarlah hati mereka karena mereka m enyadari kekuasaan, keindahan dan keagungan-N ya, dan m ereka juga adalah para penyabar terhadap apa yang menimpa mereka yakni yang sangat tangguh dalam kesabarannya menghadapi aneka kesulitan atau gangguan dan parapelaksana y ak n i yan g telah terb iasa sehingga m em budaya dalam d iri m ereka pelaksanaan shalat dengan baik dan bersinambung dan yang sebagian dari apa yang telah Kami re^ekikan kepada mereka, mereka senantiasa menafkahkannya. Kata ( c~Urj ) wajilat terambil dari kata ( J^r j ) wajal yaitu kegentaran hati menghadapi keagungan sesuatuyang dapat menjatuhkan sanksi atau mencabut fa silitas. Ketika menafsirkan penggalan yang sama dalam QS. al-Anfal [8]: 2 penulis antara lain mengutip Sayyid Quthub yang menyatakan bahwa kata ( C- b- j ) wajilat qulubuhum menggambarkan getaran rasa yang menyentuh kalbu seorang m ukm in ketika diingatkan tentang Allah, perintah atau la ra n g a n -N y a . K etik a itu jiw an y a d ip en u h i oleh k e in d a h an dan kem ahabesaran A llah. B angkit dalam dirinya rasa takut kepada-N ya, tergambar keagungan dan haibah-Nya serta terlintas juga dalam benaknya pelanggaran dan dosa-dosanya. Semua itu mendorongnya untuk beramal dan taat. W ajilat qulubuhum — m enurut Q uthub — ad alah apa yang digambarkan oleh Ummu ad-Darda’, wanita muslimah yang sempat melihat dan beriman kepada Nabi saw. Beliau berkata: “Kegentaran hati serupa dengan terbakarnya jerami. Tidakkah Anda mendengar suara getaran? Yang ditanya menjawab: “Ya”. Nah, saat engkau mendapatkan itu dalam hatimu, maka berdoalah kepada Allah. Doa akan menghilangkannya (dan Allah akan m enggantinya dengan ketenangan).” Demikian Ummu ad-Darda’. Penggalan ayat ini tidak bertentangan dengan firman-Nya: , 0_ * 0 *UJl “Dengan mengingat A.llah hati menjadi tentram” (QS. ar-Ra‘d [13]: 28), karena ayat yang ditafsirkan ini berbicara tentang tahap pertam a dari kondisi kejiwaan seseorang yang mendengar ayat-ayat Allah. Ketika itu hatinya bergetar m engingat ancaman Allah dan kebesaran-Nya, namun beberapa saat kemudian, ia akan merasa tenang karena bersangka baik kepada-Nya, dan ketenangan itulah yang dinyatakan dalam surah ar-Ra‘d tersebut. Patron kata ( ) ash-shdbirin mengisyaratkan kemantapan sifat itu bagi penyandangnya. Dicantumkannya sifat ini dalam konteks ibadah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ■57, Kelompok III ayat 35 Surafi aC-Hajj (22) haji, m engesankan betapa pentingnya sifat tersebut, khususnya dalam ibadah haji di mana kondisi tempat, cuaca dan pengunjung begitu sulit, dibanding dengan tempat dan waktu-waktu yang lain. Hal tersebut lebih terasa lagi dewasa ini, di mana jamaah haji mencapai jutaan orang. Kata ) al-muqimijuga mengisyaratkan kemantapan pelaksanaan shalat yang m ereka lakukan. Perlu dicatat bahwa dalam al-Qur’an tidak ditemukan satu perintah m elaksanakan shalat atau pujian kepada yang melaksanakan kegiatan yang dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam itu, kecuali dibarengi dengan kata ( aqimu atau yang seakar dengannya, seperti pada ayat al-Hajj ini, sedang ketika berbicara tentang mereka yang mendustakan agama lagi wajar mendapat neraka, ditunjuknya orang-orang shalat dengan kata ( jJL flll) al-mushallin (QS. al-Ma‘un 107: 4) tanpa menyebut kata yang seakar dengan aqimu. Kata tersebut mengandung makna melaksanakan sesuatu secara bersinambung dan dengan sempurna sesuai d engan syarat dan ru kunnya serta sunn ah-sun nahnya. K ata al-mushallin pada ayat al-M a‘un di atas m enunjuk kepada m ereka yang kalaupun telah m elaksanakan shalat, tetapi shalatnya tidak sempurna, karena mereka tidak khusyu’, tidak pula memperhatikan syarat dan rukunrukunnya, atau tidak menghayati arti serta tujuan hakiki dari ibadah tersebut. Mereka itulah yang lengah akan hakikat dan tujuan shalatnya sehingga dinilai oleh surah itu sebagai orang yang mendustakan agama. A yat di atas m enyatakan bahwa sebagian dari apa yang telah Kami re^ekikan kepada mereka, mereka menafkahkannya. Sebagian yang lain menurut sementara ulama mereka tabung. Ini karena kata nafkah mencakup segala apa yang dikeluarkan termasuk nafkah kepada keluarga, sehingga dengan demikian sebagian yang tidak dikeluarkan itulah yang tin ggal untuk ditabung. Ini m em beri kesan, bahwa mereka itu bekerja mencari rezeki dengan sungguh-sungguh, sehingga mereka mampu menyisihkan sebagian dari perolehannya untuk masa depan. Ada juga ulam a yang m em aham i kata sebagian pada ayat di atas berfungsi mengisyaratkan bahwa sebenamya rezeki yang dilimpahkan Allah kepada manusia melimpah amat banyak, bukan hanya yang mereka peroleh setelah berusaha, tetapi juga yang mereka peroleh tanpa usaha. Katakanlah udara segar yang sama sekali tidak pernah habis, cahaya matahari atau kehangatan yang terus hadir, atau angin sepoi yang dari saat ke saat berhem bus, kesehatan, dan lain-lain. Ini berarti kalaupun seseorang menafkahkan semua materi yang berada dalam genggaman tangannya, maka ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ' 58 * Surah aC-Hajj (22) Kelompok III ayat 36 C* itu pada hakikatnya hanyalah sebagian dari rezeki yang dianugerahkan Allah kepadanya. M asih tersisa rezeki-N ya yang setiap saat dapat ia nikmati, walaupun bukan dalam bentuk materi. A Y A T 36 Lg-jlp dJJl Ia Ij . 13 j* ?- l^j*3 d J J i i ’” js 5 u Jlj <UJl lAUijt?- j j J l j I I g l « IjJl^O l^j^1?- c 4 ? - j l i l i (rv) o Kami menjadikannya untuk kamu sebagian dari syi‘ar-syi‘a r Allah. Bagi kamu kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama A llah atasnya dalam keadaan berdiri. I^alu apabila ia telah roboh maka makanlah sebagian darinya dan beri makanlah orangyang rela dengan apa yang ada padanya danyang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkannya kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. ” Setelah ayat-ayat yang lalu m enganjurkan untuk m enyem belih binatang sebagai kurban guna mendekatkan diri kepada Allah, kini secara khusus disebut salah satu jenis binatang kurban yaitu unta, karena binatang inilah yang terbesar di antara binatang-binatang yang dikurbankan. Ayat ini menyatakan: Dan unta yang menjadi kesayangan kamu serta harta paling berharga bagi kamu Kami menjadikannya untuk kamu sebagian dari syi‘ar-syi‘a r Allah. Bagi kamu kebaikan duniawi dan ukhrawi yang banyak padanya, maka sebutlah oleh kam u nama A lla h atasnya k etik a kam u menyembelihnya dalam keadaan unta itu berdiri dan telah terikat kaki kirinya, sehingga ia berdiri dengan tiga kaki untuk kemudian kamu sembelih sambil berucap: Bismillah, Allahu Akbar, Minka Wa Ilaika (dengan nama Allah, Allahu Akbar, dari-M u sumber-Nya dan kepada-Mu aku tujukan). Lm Iu apabila ia telah roboh mati, maka makanlah sebagian dari daging- nya dan beri makanlah orangyang rela dengan apayang ada padanya yakni yang tidak memintaminta dan juga berilah yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkannya yakni unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Karena kalau bukan Allah yang menundukkan unta untuk kamu, niscaya kamu ddak mampu mengendarai dan menyembelihnya. Kata ( OjJI ) al-budn adalah bentuk jamak dari kata ( iiJu ) badanah. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 59 Surah aC-Hajj (22) Kelompok III ayat 37 Kata ini ada yang memahaminya terbatas pada makna unta. Pendapat ini antara lain dianut oleh Imam SyafTi. Ada juga yang memahaminya mencakup juga sapi, atas dasar binatang ini juga berbadan besar. Ini adalah pendapat Imam Malik. Bahwa Allah menjadikan unta atau sapi sebagai sya'a ’i r yakni tanda>tanda dalam konteks ibadah haji, karena Allah mensyariatkan pcnycmbelihan binatang itu, dalam pelaksanaan ibadah haji atau lebaran haji. Firman-Nya: ( ^ ) lakum fihd khayrj bagi kamu kebaikan yang banyak padanya, yakni dalam kehidupan duniawi unta sangat bermanfaat. Ia digunakan sebagai alat transportasi yang tangguh, apalagi di padang pasir dengan kemampuannya menahan panas, bahkan menyediakan air untuk dirinya, dan kalau terpaksa bagi penunggangnya yang kehausan, di samping susunya yang sangat bergizi. K ebaikan ukhraw i diperoleh bagi yang menyembelihnya, serta membagikannya kepada fakir misikin karena Allah. Seekor unta atau sapi, dapat dijadikan kurban oleh tujuh orang secara bersama-sama. Kata ( Li I ) shaivdff dipahami dalam arti dibanskan seperti shaf, dalam keadaan berdiri dan terikat salah satu kakinya. Demikian al-Qurthubi. Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan keadaan kuda pada saat ini berdiri dengan tiga kakinya. Ibn ‘Asyur memahami kata ini sebagai bentuk jamak dari kata ( SiUj) shajfah/barisan. Menurutnya, agaknya penamaan ini karena unta-unta itu dibariskan di tempat penyembelihan di Mina, pada hari Raya Idul Adha. Ini sengaja disebut untuk menggambarkan betapa indah pem andangan unta-unta itu dikelilingi oleh m ereka yang berkurban pada hari itu. Demikian lebih kurang Ibn ‘Asyur. Kata ( ) al-qani' terambil dari kata ( ) qana‘ yang berarti merendah, yang dimaksud adalah meminta dalam keadaan merendah. Imam Syafi'i antara lain yang menganut pendapat ini. Ada juga ulama yang memahami kata tersebut bermakna puas, sehingga yang dimaksud adalah orang yang butuh tetapi tidak m em inta karena puas dengan apa yang dimilikinya. Kata ( > l l ) al-mu‘tarr terambil dari kata ( i'tarra yakni berkunjung, maksudnya adalah orangyang datang kepada orang lain, baik untuk meminta maupun tidak. A Y A T 37 l i y C * £1i J S f a ^ l (yy) *J£ a il I y C# j s - <UJl I ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ^9 0 1 Kelompok V ayat 52 Surafl a[-2£aH(22) S is v ^ dan kegiatannya seperti itu, bahkan sering kali kedua jenis setan itu (setan jin, dan setan m anusia) bekerja sama dalam kedurhakaan. A l-Q ur’an m enegaskan bahwa: ,_r^n y„ j <# - “ x x x OjjiJu U j x x 'j^ £ ^ ~* s d JJji* j s 0jJj*S U lLLij S-Ui j J j IJ J j^ <J “ Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataanyang indah-indah untuk menipu (manusia). ]ikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apayang mereka ada-adakan” (QS. al-An‘am [6]: 112). Sayyid Quthub lain pula pendapatnya. Ulama ini menulis bahwa para ra su l k e tik a d ib e b a n i tu gas m en yam p aik an risa la h Ila h i kep ad a m asyarakatnya, pastilah yang paling mereka dambakan adalah sambutan m asyarakatnya terhadap ajakan dakwahnya, dan harapan kiranya mereka meraih kebajikan dengan mengikuti apa yang mereka sampaikan dari Allah itu. Tetapi lintangan yang dihadapi sungguh banyak, padahal para rasul adalah m anusia-m anusia yang terbatas usianya. M ereka m enyadari hal tersebut, maka mereka mengharap dan mengidamkan seandainya mereka dapat m enarik m anusia m enerim a dakwah m ereka m elalui jalan yang tercepat. Mereka misalnya, berkeinginan sekiranya dapat mengalah kepada m asyarakat dengan membiarkan mereka melakukan hal-hal yang sangat sulit mereka tinggalkan seperti dalam hal adat istiadat, atau tradisi mereka, yaitu dengan mendiamkan mereka sementara dengan harapan kiranya satu saat mereka akan kembali kepada kebenaran. Nah, jika masyarakat telah masuk m emeluk agama yang disampaikan para rasul itu, maka bisalah — pada satu saat —mereka dialihkan dari tradisi yang mereka warisi dan yang m ereka nilai sangat berharga itu. Para rasul itu, misalnya berkeinginan seandainya mereka dapat dibenarkan untuk memperturutkan sedikit dari hawa nafsu mereka, dengan harapan bahwa hal tersebut dapat mengantar mereka kepada akidah dan dengan harapan kiranya pada waktu yang lain, m erek a d ap at d id id ik dengan p en d id ik an yan g b en ar y an g dapat m enyingkirkan dorongan nafsu yang telah m enjadi kebiasaan mereka. Demikian para rasul itu, berkeinginan dan berkeinginan, seperti keinginan dan harapan manusia yang berkaitan dengan dakwah dan suksesnya. Itu terjadi pada diri para rasul, pada saat Allah swt. berkehendak agar dakwah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-ttajj (22) p g j| Kelompok V ayat 52 berlanjut sesuai dengan prinsip-prinsipnya'yang sempurna dan tolok ukurnya yang tepat. Setelah itu, “Siapa yang ingin beriman, silahkan beriman, dan siapa yang ingin kufur, silahkan pula”. Ini karena sukses yang sebenarnya bagi suatu dakwah di sisi Allah dalam ukurannya yang sempurna lagi ddak bercampur dengan kelemahan manusia dan penilaian mereka adalah bahwa dakwah harus berjalan atas dasar prinsipnya yang sempurna dan sesuai dengan tolok ukurnya yang tepat seperti tersebut di atas. Nah, setan menemukan peluang pada harapan dan keinginan para rasul itu, dan pada yang disampaikan dari ucapan dan kelakuan mereka, — peluang —untuk melakukan tipu daya terhadap dakwah dan mengalihkannya dari landasan-landasannya serta menanamkan benih-benih keraguan dalam jiwa manusia. Tetapi A llah ‘ swt. m enghalangi m aksud buruk setan itu, dengan menjelaskan ketetapan yang pasti menyangkut kelakuan dan ucapan itu, dan menugaskan para rasul untuk menjelaskan ketetapan yang pasti kepada m asyarakat serta kesalahan ijtihad para rasul itu dalam bidang dakw ah, se b a g a im a n a y an g te rja d i pada b e b e rap a tin d ak a n dan kecenderungan Rasulullah Muhammad saw. yang dijelaskan oleh al-Qur’an. Demikian ini Sayyid Quthub yang dalam kontes ini menyebut —sebagai contoh —kasus-kasus Nabi Muhammad saw. dengan Abdullah Ibn Ummi Maktum yang m engantar turunnya awal surah ‘A hasa Wa Tawalla (QS. ‘Abasa [80]: 1-10), dem ikian juga kasus yang m engantar turunnya firman Allah: °ja °j a d ill S- ta j j a XX " O jplb J jJ jji j “ °ja ' S?J ^ gflfr d ijC j' ' ' ‘j A X laj # ■ “Dan janganlah engkau mengusir orang-orangyang menyeru Tuhan mereka di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Engkau tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak tnemikul tanggungjawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga engkau termasuk orang-orangyang t^alim” (QS. al-An‘am [6]: 52), dan kasus pengangkatan Zaid sebagai anak beliau dan perkawinan beliau dengan Zainab binti Jahesy (QS. al-Ahzab [33]: 37). Di atas penulis kemukakan bahwa sementara pakar memahami kata ( J * ) tamanna dalam arti membaca. Kalaupun makna itu diterima, maka ayat ini bagaikan berkata: Dan Kami tidak mengutus sebelummu seorang rasul pun dan tidakjuga seorang nabi, melainkan apabila ia membacakan sesuatu dari ayat---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com | j| P Kelompok V ayat 53-54 Surafi aC-tfajj (22) ayat Kami setan pun mencampakkan penafsiran dan makna-makna batil dan keliru terhadap bacaan itu, untuk menghalangi manusia memahami dan melaksanakan tuntunan wahyu itu. Lalu Allah menghilangkan apa yang dicampakkan oleh setan dari penafsiran-penafsiran keliru itu dan A llah menguatkan ayat-ayat-Nya, dengan berbagai bukti yang dipaparkan oleh rasul dan kaum beriman dan A llah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. A Y A T 5 3 -5 4 o l j jt-gjjifl U liJ b j ^ J L L ~ a Js>1j * p ( ®V ) \ aAJi 0 ) j *^5*^ jis <3^-** aJ Aj I ( et ) “^TVivj agar Dia menjadikan apa yang dicampakkan oleh setan, sebagai ujian bagi orang-orangyang di dalam hati mereka ada penyakit dan yang bejat hati mereka. Dan sesungguhnya orang-orangyang %alim itu benar-benar dalam permusuhan yang jauh, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu mengetahui bahwa sesungguhnya ia adalah yang haq dari Tuhanmu lalu mereka beriman terhadapnya dan tenang hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orangorang yang beriman menuju jalan yang lurus. ” Adapun mengapa Allah membiarkan terjadi apa yang diuraikan ayat yang lalu terhadap para nabi dan rasul —serta penganjur kebenaran —maka itu adalah agar Dia yakni Allah swt. menjadikan apayang dicampakkan oleh setan itu, sebagai ujian bagi orang-orang munafik yang di dalam hati mereka ada penyakit dan orang-orang kafir yang bejat hati mereka. Dan sesungguhnya orangorangyang %alim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat jauh sehingga m ereka m engam bil sikap keras kepala itu dan sebaliknya agar orang-orang yang telah diberi ilmu menyadari betapa jelasnva ayat-ayat yang dipaparkan A llah, serta lem ahnya dalih setan dan pengikutnya sehingga m ereka mengetahui dengan sebenam ya bahwa sesungguhnya ia yakni al-Qur’an dan apa yang engkau sam paikan w ahai N abi M uham m ad, atau apa yang diinginkan dan diidamkan oleh para nabi dan rasul adalah yang haq dari ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Xajj (22) | | g j ^ V1 Kelompok V ayat 53-54 Tuhan Pemelihara dan Pembimbmg-w//, lalu dengan demikian mereka beriman terhadapnya yakni membenarkannya dan menjadi tenang lagi tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya A.llah dengan kebesaran dan kasih sayang-Nya adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman menuju jalan yang lebar lagi lurus. Firman-Nya: ( hsi OUa-iJi ) liyaj'ala mdyulqi asy-syaithan fitnatanj Dia yakni Allah menjadikan apayang dicampakkan oleh setan itu, sebagai ujian, mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan setan itu, diizinkan Allah dalam arti bahw a A llah yang m em beri potensi kepada setan untuk melakukan hal itu dalam rangka menguji manusia. Memang itu dilakukan oleh setan, tetapi kemampuannya itu bersumber dari Allah swt. karena tidak ada sesuatu pun yang dapat terjadi —baik atau buruk —kecuali atas izin-Nya. Namun demikian, apa yang dilakukan setan itu terhadap para nabi dan rasul, tidak mengakibatkan gagalnya kehendak Allah menyangkut misi para nabi dan rasul, karena Allah pada akhirnya —cepat atau lambat — menghapus dan membatalkan apa yang dilakukan oleh setan itu. Thahir Ibn ‘Asyur menulis bahwa yang dimaksud dengan menjadikan pada penggalan ayat di atas adalah menjadikan m elalui sistem yang ditetapkan-Nya dalam hal terjadinya akibat dari adanya sebab, serta adanya perbedaan k em am p u an m en an gkap p e n g etah u an dan p e rin g k atperingkatnya. D engan demikian, ayat ini menyatakan bahwa Allah swt. m emungkinkan setan m elakukan hal tersebut. K arena adanya fitrah bawaannya sejak kejadiannya yaitu naluri penyesatan. Penghapusan apa yang dicampakkan setan itu, melalui para rasul-Nya dan ayat-ayat-Nya, adalah agar ia m enjadi ujian tentang kesesatan kufur dan hidayah iman, sesuai dengan perbedaan kecenderungan masing-masing. Ini —menurutnya - serupa dengan dialog iblis dengan Allah: ^ S l J jA Ml Ol i ai l i (*4* i dJ J jj c ^ v 'j iJLft i j j j l i i l 'ja d i i j l “]a berkata ‘Tuhanku, disebabkan oleh penyesatan-Mu terhadap diriku, pasti aku akan memperindah bagi mereka di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka. ” Dia betjirman: “Ini adalah jalan; Kewajiban-Ku; latrus. Sesungguhnya hamba-hamba---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com - 94 ; 's , j Surat aM ajj (22) Kelompok V a ,a t 53-54 Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap'mereka; kecuali orang-orang yang mengikutimu,yaitu orang-orangyang sesat” (QS. al-Hijr [15]: 39-42). H uruf lam pada kalimat ( DUaJiJl U J^rtJ ) liyaja'ala mayulqiasysyaithan, dipahami oleh Ibn ‘Asyur dalam mengakibatkan atau kestidahannya, tetapi h u ru f lam pada firm an-N ya: ( Ijjjt oJl j ) wa liya‘lama allad-%tna utu al- 'ilm bermakna agar supaya, sehingga menurutnya penggalan ayat ini menyatakan: (Itu) agar Dia yakni Allah menjadikan kesudahan atau akibat apayang dicampakkan setan itu sebagai ujian bagi orang-orang yang di dalam h ati m ereka ada pen yakit dan yang bejat h ati m ereka (dst). Selanjutn ya, “P enghapusan yang dilakukan A llah terhadap apa yang dicampakkan setan itu adalah bertujuan agar orang-orang yang telah diberi ilmu yakni orang-orang beriman, mengetahui bahwa sesungguhnya ia adalah haq dengan mantapnya apa yang diharapkan para nabi dan rasul buat kaum mukmin yang telah diberi ilmu itu, sebagaimana terjadi juga buat mereka penambahan hidayah dalam hati mereka dengan pengukuhan Allah terhadap ayat-ayat-N ya. Kata ( JjULi ) syiqaq pada firmannya: ( liULi ) wa inna ad%d%alimina la f i syiqaqin ba’id/ sesungguhnya orang-orangyang %alim itu, benar-benar dalam permusuhan yang jauh terambil dari kata ( j - i ) syiq yaitu belahan, atau samping. D ua orang yang berselisih, enggan berhadapan, sehingga kalaupun mereka berada pada tempat yang sama, masing-masing enggan berhadapan dan masing-masing memberi sisi sampingnya. Dari sini, kata tersebut dipahami dalam arti permusuhan atau perselisihan. Kata ( ) ba'idjjauh pada ayat ini bukan menjadi adjective dari kata permusuhan, tetapi menyifati orang-orang yang ^alim yakni mereka itu dalam permusuhan dan perselisihan yang pelaku-pelakunya bersifat zalim itu sangat jauh dari kebenaran dan orang-orang yang benar. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com AYAT 55 } , s • . 0 'I ^ I • » . *#, »♦» . s .<M I. OlJL £- j*-£Jb j i 4 i* j 4 ^ L *J l 0 % %s *s **»x H /S <Ua 5 j y> ^ » . % x x . ^ x & f • » , I . / / ✓ . , / JUl J l Jj V J (00) fjd #^ < * orang-orang kajir terns menents berada di dalam keraguan darinya sampai datang kepada mereka Kiamat secara tiba-tiba. Atau datang kepada mereka siksa hariyang mandul. ” Akhir ayat 54 m enyatakan bahwa, “Sesungguhnya A llah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman menuju jalan yang lurus”, dan dengan dem ikian m ereka m em peroleh kebahagiaan duniaw i dan ukhrawi, dan adapun orang-orang kafir dan munafik yang enggan menemukan kebenaran maka mereka itu terus menents berada di dalam keraguan darinya yakni dari apa yang disampaikan Nabi Muhammad termasuk al-Qur’an atau menyangkut rayuan setan dan pencampakannya itu. Keraguan tersebut mereka bawa sampai datang kepada mereka Kiamat yakni kematian atau hari Kiamat yang datangnya secara tiba-tiba. Atau datang kepada mereka siksa hari yang mandul yakni hari yang hampa dari segala macam kebajikan, misalnya dengan terbunuhnya mereka dan keluarga dalam peperangan. Yang dimaksud dengan ( IjyjT jjJLSl) alladtjna kafaru/orang-orang kajir pada ayat ini, bukanlah seluruh yang kafir ketika itu, kini atau masa datang. Karena terbukti ada sebagian dari mereka yang pada akhirnya tulus beriman dan beramal saleh. Ayat ini serupa dengan firman-Nya pada QS. al-Baqarah [2]: 6: 95 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 96 :k*-r < Surafi af-'Jfajj (22) Kelompok VI ayat 55 ' ■{P OyJy_ *il frijli 1} jjj!\ Ol “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja buat mereka apakah engkau memberi mereka peringatan atau engkau tidak beri peringatan, mereka tetap tidak akan beriman.” Yakni orang-orang kafir tertentu, seperti tokoh-tokoh mereka, atau siapa yang bersifat kepala batu. Thabathaba’i memahami kata ( JpCJl) as-sa‘ah dalam arti Kiamat dan siksa hari yang mandul dalam arti siksa hari K iam at nanti. U lam a ini menjelaskan bahwa pemisahan itu - yakni antara hari Kiamat dan siksanya, disebabkan karena para pendurhaka akan m engakui kebenaran ketika m ereka menyaksikan keduanya —Kiamat dan siksa —dan akan sirna ketika itu keraguan mereka. s 0 l i i JJb bUi j * ^jA \j J j u l I L jl J 1jJlii Mereka berkata: “A duh celakalah kami! Siapakahyang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan ar-Rahmdn (Tuhan Yang Maha Pemurah) dan benarlah rasu/-rasul-Nya (QS. Yasin [36]: 52). Demikian juga firman-Nya dalam QS. al-A hqaf [46] yang menguraikan jawaban orangorang kafir ketika ditanyakan kepada mereka tentang neraka yang sedang mereka hadapi: L jjj 1jJlli \jjb “Bukankah (a~ab) ini benar?” Mereka menjawab: ‘Ya, benar, demi Tuhan kami” (QS. al-A hqaf [46]: 34). K ata ( ) ‘aqim/mandul selain m akna di atas, ada juga yang memahaminya dalam arti hari A kh ir dalam kehidupan dunia ini. Setiap harihari yang kita lalui selama ini, selalu melahirkan hari esok, tetapi jika hari K iam at datang, m aka tidak ada lagi hari esok di dunia ini, dan dengan demikian, hari mandul itu adalah hari Kiamat. Jika penafsiran ini diterima, m aka kata as-sd‘ah yang diterjemahkan di atas dengan Kiamat ada yang m em ahami dalam arti Kiamat kecil, yakni hari kematian orang perorang. Memang, siapa yang m eninggal dunia, maka Kiamat telah tiba baginya. Ibn ‘A syur m em aham i kata ‘aqim dalam arti sial, karena m enurutnya, m asyarakat Arab menganggap wanita yang mandul sial. Kata ( >ji s-1' ^ ) ‘ad^abyaumin ‘ac/m ada juga yang memahaminya dalam arti kekalahan kaum musyrikin dalam Perang Badr. Pendapat ini dapat d ip ertim ban gkan untuk diterim a jika ia dijadikan salah satu contoh ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com \ 97 I Surafi at-Hajj (22) Kelompok VI ayat 56-57 w “pem belaan A llah kep ada kaum berim an yang hidup bersam a N abi Muhammad saw. serta penyiksaan-Nya kepada kaum musyrikin Mekah. AYAT 56-57 o& r J o W C a J i ' j L f i j lp W j i M (ay) ^ j J J j l i Uj Vj L Jj iiL I l (o^) “Kekuasaan di hari itu ada pada Allah, Dia memberi keputusan di antara mereka. Maka orang-orangyang beriman dan beramal saleh di dalam surga-surga yang nikmat. Dan orang-orangyang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, maka bagi mereka a^ab yang menghin'akan.” Ayat yang lalu berbicara tentang siksa yang akan m enim pa para pendurhaka. M em ang mereka banyak, tetapi itu bukan masalah bagi Allah karena kekuasaan penuh dan mudak di hari Kiamat itu di mana manusia diadili ada pada A llah Yang Maha Kuasa, Dia sendiri tanpa campur tangan siapa pun yang memberi keputusan di antara mereka semua —mukmin dan kafir. Bukankah penetapan putusan merupakan salah satu aspek kekuasaan? Maka orang-orangyang beriman dengan keimanan yang benar dan membuktikan keimanan mereka dengan beramal saleh akan hidup kekal dan terhormat di dalam surga-surga yang penuh dengan aneka jenis dan ragam nikmat. Dan adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan yakni mengingkari ayat-ayat Kami baik yang terbaca maupun yang terhampar di alam raya, maka bagi mereka yang sangat jauh kedurhakaannya itu a-^ab yang menghinakan. Firman-Nya: ( aL JLoy_ dUU ) al-mulku yauma ’id-^in lillah/ kekuasaan di hari itu ada pada A llah, bukan berarti hanya pada hari itu yakni hari Kiamat kekuasaan berada di tangan Allah, tetapi sepanjang masa dalam kehidupan dunia yang lalu, kini dan yang akan datang, serta dalam kehidupan akhirat kelak. Jika dem ikian A nda boleh bertanya: M engapa ayat in i tidak menyatakan m enguasai “hari akhirat dan hari dunia?” Bukankah Tuhan menguasai pula hari dunia ini? Jaw abannya terletak pada m akna yang dikandung oleh kata “kekuasaan” seperti yang dikemukakan di atas, yakni bahwa ketika itu kekuasaan dan kerajaan Ilahi sedem ikian m enonjol sehingga tidak satu m akhluk pun yang tidak merasakannya dan tidak satu pun yang berani membangkang, serta tidak sesaat pun terlintas dalam benak siapa pun kem am puan/kehendak untuk m engingkari kekuasaan-N ya. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com i 98 <1*.. Surah a(-J£ajj (22) Kelompok VI ayat 58-59 'U T> Berbeda dengan kekuasaan dan kerajaan-Nya dalam kehidupan dewasa ini. Walaupun Allah juga Penguasa dan Raja dalam kehidupan dunia, namun tidak semua makhluk menyadari kekuasaan dan kerajaan-Nya. Ada saja di antara mereka yang membangkang bahkan mengaku sebagai Tuhan. Di sisi lain kekuasaan ada yang hakiki lagi langgeng, ada juga yang semu dan sementara. Allah m em iliki yang hakiki dan mutlak, sedang kepemilikan makhluk bersifat semu dan sementara. Nah, di hari Kiamat nanti semua kepemilikan yang semu dan sementara sirna, bahkan hilang, sehingga yang tinggal hanya kekuasaan yang hakiki dan mudak yang dimiliki oleh Allah swt. Ayat yang berbicara tentang keputusan Allah terhadap orang-orang berim an, dikem ukakan dengan m enggunakan kata maka, sedang yang berbicara tentang keputusan-N ya terhadap orang-orang kafir penghuni neraka, tanpa didahului oleh kata maka. M enurut al-B iqa‘i perbedaan tersebut mengisyaratkan bahwa ganjaran surga bukan karena keimanan dan amal saleh seseorang, tetapi semata-mata karena anugerah Allah swt, sedang keterjerumusan dalam neraka adalah akibat kedurhakaan manusia. Thahir Ibn ‘Asyur memahami kata maka itu disebabkan karena kata dan pada awal ayat 57 yang berbicara tentang orang-orang kafir, berard adapun. Kata ( j^ a ) muhtn menegaskan bahwa siksa itu, di samping memenuhi substansi siksa yang menyakitkan jasmani, juga m enyakitkan ruhani, karena ia menghina yang disiksa. Memang bisa saja seseorang disiksa dengan pedih, namun ia berbangga dengan siksaan yang diterimanya itu seperd halnya para pejuang kem erdekaan, kebenaran dan keadilan yang dianiaya oleh penjajah atau tirani. A Y A T 5 8 -5 9 j l j I S j j <UJl ^ ^ •«' ^ s j U j ! I jis S / *I)i d i j s Ij / 4JUl / / /■ / 1# * : 4 (eA) j t j t y X ✓ > y j f aLi /- ✓ (M) “Dan orang-orangyang berhijrah di jalan Allah kemudian mereka dibunuh atau mati, benar-benar A llah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik dan sesungguhnya A llah adalah sebaik-baik Pemberi rezeki. Dia pasti akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat yang mereka meridhainya, dan sesungguhnya Allah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com I 99 ? Kelompok VI ayat 58-59 Surah aC-Hajj (22) Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.'1’ Salah satu akibat kedurhakaan kaum musyrikin dan pengingkaran ayat-ayat A llah adalah penganiayaan mereka terhadap kaum mukminin. Nah, di sini Allah menyampaikan ganjaran bagi mereka yang berhijrah itu dengan berfirman: Dan orang-orangyang berhijrah m eninggalkan kampung halaman mereka, karena kebenciannya terhadap kedurhakaan di tempat tinggalnya dan melakukan hijrah itu dijalan Allah bukan untuk tujuan yang tidak diridhai-Nya, kemudian mereka dibunuh dalam perjalanannya atau di medan perang atau mereka mati tanpa terbunuh atau sesudah mereka tiba ke tempat hijrahnya, demi karena Allah, maka benar-benar A llah akan mmberikan kepada mereka rezeki yang baik sejak ruhnya m eninggalkan badannya di alam barzakh dan surga di m ana m ereka hidup kelak. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa menghidupkan mereka kembali di kedua alam itu sambil memberi mereka rezeki dan sesungguhnya Allah adalah sebaikbaik Pemberi rezeki baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Selanjutnya karena dalam berhijrah mereka keluar m eninggalkan negeri yang m ereka cintai, dengan rasa puas hati kepada Allah, maka setelah kematian m ereka Allah memasukkan di negeri yang sangat memuaskan mereka. Di sisi lain, karena rezeki baru sempurna jika disertai dengan tempat yang indah dan memuaskan, maka agaknya atas dasar kedua faktor tersebut ayat 59 menyatakan: Demi Allah, Dia pasti akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempatyang mereka meridhainya yakni puas dengannya dan tidak lagi menghendaki selainnya, karena terpenuhi segala yang mereka inginkan. Sesungguhnya A llah M aha Pem beri ganjaran dan M aha T erpuji dan sesungguhnya A llah Maha Mengetahui niat, sikap dan perbuatan hamba-hambaNya, dan m engetahui pula keinginan mereka sehingga Dia menyiapkan buat mereka di akhirat nanti apa mereka inginkan lagi Dia Yang Maha Kuasa itu Maha Penyantun sehingga tidak segera menjatuhkan hukuman kepada siapa pun yang durhaka guna memberi mereka kesempatan m enyadari kesalahannya lalu Allah mengampuni mereka. Firman-Nya: ( y> <U)I) Alldhu lahuwa khairu ar-rdsjqmlAllah adalah sebaik-baik Pemberi rezeki, mengandung isyarat bahwa ada “pemberi rezeki” selain Allah, tetapi tidak sebaik Allah swt. Memang demikian itulah halnya. Pem beri rezeki selain A llah hanya perantara yang m engantar seseorang d ap at m em p ero leh n ya. A dap un A llah , m aka D ia yang menciptakan bahan mentah rezeki itu, atau bahkan rezeki itu sendiri, Dia ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com mm U ooi '$t\. % Surah aC-Qfajj (22) Kelompok VI ayat 58-59 juga yang m em beri kemudahan kepada 'makhluk untuk memperolehnya dan D ia p u la yan g m enganugerahkan kem udahan, kesem p atan dan kemampuan kepada selain-Nya untuk menjadi perantara. Demikian Allah adalah sebaik-baik Pemberi rezeki. Kata al-halim terambil dari akar kata yang terdiri dari hurufhuruf ha’, lam dan mim, yang mempunyai tiga makna dasar, yaitu tidak tergesa-gesa, lubang karena kerusakan serta mimpi. Makna pertama itulah yang disandangkan kepada Tuhan dan dapat juga kepada manusia. Bagi manusia, ketidaktergesa-gesaan itu, antara lain disebabkan karena ia memikirkan secara matang tindakannya, dari sini kata inipun diartikan dengan akalpikiran, dan antonim kejahilan. Bisa saja ketidaktergesa-gesaan lahir dari ketid'aktahuan seseorang atau keraguannya, ketika itu ia tidak dapat dinamai halim, walau ia tidak tergesa. Bisa juga ia menunda sanksi karena ia tak mampu, ini juga menggugurkan sifat tersebut darinya. Selanjutnya, penyandangnya pun harus dapat menempatkan setiap kasus yang dihadapinya pada tempat yang semestinya, antara lain mengetahui sampai batas mana setiap kasus ditangguhkan, dan ini mengharuskan ia bersifat hakim (bijaksana). Perlu dicatat bahwa sifat ini, tidak berarti secara otomatis sanksi tidak akan dijatuhkannya, karena ia tidak sama dengan sifat P em aaf atau Pengam pun. Penyandang sifat ini bisa m enjatuhkan sanksi, setelah m enundanya guna m em beri kesem patan kepada yang bersalah m em perbaiki diri, m em inta ampun, atau m enundanya untuk m enutup dalih si pem bangkang bahwa ia didadak, yakni tidak diberi kesempatan memperbaiki diri, atau penundaan itu oleh hikmah lainnya. Allah swt. yang m enyandang sifat ini, m enurut Imam al-Ghazali, adalah: “D ia yang m enyaksikan kedurhakaan para pendurhaka, melihat pem bangkangan mereka, tetapi kemarahan tidak segera mengundangnya bertindak, tidak juga ia disentuh oleh kemurkaan atau didorong olehnya untuk bergegas menjatuhkan sanksi padahal Dia amat mampu dan kuasa.” Memang, Allah berfirman melukiskan sekelumit santunan-Nya: ja \ a j ^p * ' ' Qy I j ) ' j ' Seandainya A llah menjatuhkan sanksi (di dunia ini) terhadap manusia sebagai balasan atas perbuatan mereka, maka Dia tidak akan membiarkan di atas permukaan bumi ini satu binatang melatapun (manusia)” (QS. Fathir [35]: 45). S ifat ) al-H alfm, yan g disandang A llah dan d iseb ut dalam al-Q ur’an sebanyak dua belas kali itu, tidak satu pun yang berdiri sendiri. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com > Surah aC-tfajj (22) Kelompok VI ayat 60 JO U ^ C1-.■[ §| | §§J fr Enam di antaranya dirangkaikan dengan sifat ( jyUJl ) al-Ghafur. Agaknya itu untuk memberi isyarat, bahwa yang ditangguhkan sanksinya pun masih mungkin diampuni. Tiga kaH sifat itu dirangkaikan dengan sifat al-Alim , untuk m enekankan kem ahatahuan-N ya, tentang si pelaku dan dosadosanya. Sekali dirangkaikan dengan ( ) al-Ghaniyy, untuk mengisyaratkan bahwa Allah swt. tidak butuh sedikit pun memberi balasan kepada para penjahat, nam un m erekalah yang m em butuhkan kasih sayang A llah. Selanjutnya, sekali dirangkaikan dengan sifat Allah ( j jSLiJl) asy-Syakur, untuk mengisyaratkan bahwa syukur Allah kepada makhluk-Nya dicerminkan pula oleh penangguhan sanksi-Nya. Tidak dapat disangkal bahwa ada di antara pendurhaka yan g ditan ggu h kan sanksi hukum annya itu yaitu yang mempunyai kebaikan, dan penangguhan ini dapat merupakan kesempatan baginya untuk m elakukan introspeksi sehingga ia dapat m em perbaiki kesalahan. Tuhan menangguhkan, tetapi tidak mengabaikan. AYAT 60 j j a '(■ aJJi 01 aJJi a .:J aJ S ’ pi ^ U (n O “Demikian itulah, dan barang napa membalas seimbang dengan penganiayaanyang pernah ia derita, kemudian ia dianiaya, pasti A llah akan memenangkannya. Sesungguhnya A llah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. ” Beberapa ayat sebelum ini telah mengizinkan kaum muslimin untuk berperang melawan penganiayaan dan penindasan kaum musyrikin (ayat 39). Tetapi akhir ayat yang lalu m enyebut sifat A llah al-hfalim dengan pengertian seperti dikem ukakan di atas. O rang berim an sadar bahwa keberagamaan yang baik adalah upaya meneladani sifat-sifat Allah sesuai kemampuan manusia. Dari sini boleh jadi timbul kesan bahwa sebaiknya mereka pun menangguhkan perang, bahkan boleh jadi ada yang menduga bahwa ajaran Islam, serupa dengan ajaran Nabi ‘Isa as. yang menekankan perlunya kasih. Dari sini ayat di atas menjelaskan bahwa: Demikian itulah yakni apa telah K am i jelaskan tentang kekuasaan dan sifat Kami serta ganjaran dan balasan yang akan Kami berikan kelak di hari Kemudian. Karena itu tidak perlu ragu membalas tetapi jangan juga melampaui batas dan barang siapa membalas penganiayaan pihak lain seimbang denganpenganiayaan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Jfajj (22) Kelompok VI ayat 60 ■"-Q yang pernah ia derita, kemudian ia dianiaya lagi, m aka pasti A-llah akan memenangkannya yakni menolongnya menghadapi siapa yang m enganiayanya se k a li la g i. Sesungguhnya A lla h benar-benar M aha Pemaaf lagi M aha Pengampun. Ibn ‘Asyur menghubungkan ayat ini dengan ayat 58 yang berbicara tentang orang-orang yang berhijrah dan gugur atau mati. Menurut ulama ini, tujuan pemaparan ayat di atas adalah untuk mempersiapkan jiwa kaum muslimin guna pelaksanaan jihad, serta menghubungkannya dengan janji A llah untuk m em beri kem enangan kepada kaum m uslim in yang telah m em peroleh izin berperang (baca ayat 39 dan sesudahnya). A yat-ayat tersebut di sana dipaparkan di celah kecaman terhadap pendustaan kaum musyrikin, dan pengingkaran mereka terhadap nikmat-nikmat Allah. Nah, ayat 60 di atas, melanjutkan uraian tentang izin perang itu, setelah terpisah dengan kecaman di atas. Atas dasar pemahamannya di atas, sehingga Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa kata ( liiii ) d^alika/itu tidak menunjuk kepada kekuasaan dan sifat Allah serta ganjaran dan balasan yang akan di berikanNya —seperti yang penulis kemukakan di atas —tetapi kata d^alika berfungsi m em isahkan dua uraian —uraian tentang izin berperang dan uraian yang m engandung kecaman kepada kaum musyrikin —dengan tujuan menarik perhatian pendengar tentang apa yang akan disampaikan dalam ayat 60 ini. Sem entara ulam a m enyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sejumlah kaum musyrikin Mekah, yang bertemu dengan beberapa orang kaum muslimin pada dua malam terakhir dari bulan Muharram (salah satu dari em pat bulan yang diharam kan berperang — baik oleh kaum m usyrikin maupun oleh al-Qur’an). Salah seorang dari kaum musyrikin itu berkata bahwa, “Sahabat Muhammad enggan berperang di bulan haram, maka marilah kita menyerang mereka”. Usulnya diterima oleh yang lain, dan ketika kedua pihak bertem u itu, beberapa orang kaum m uslim in m enghimbau agar mereka tidak berperang di bulan haram itu. Tetapi kaum m usyrikin m enolak dan terjadilah peperangan antara kedua kelompok, yang akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin. Tetapi usai perang, hati kaum muslimin gusar, karena itu terjadi di bulan haram. Maka turunlah ayat ini m enenangkan mereka. R iw ayat di atas ditolak oleh sem entara ulam a, karena di sana digambarkan keinginan kaum musyrikin berperang, sekaligus menilai bahwa hanya N abi saw. yang melarang peperangan di bulan haram, bukan orangorang musyrik, padahal kaum musyrikin pun sangat mengindahkan larangan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com j 103 ' Surah a[-JCajj (22) Kelompok VI ayat 60 yang telah menjadi tradisi itu, sampai justru mereka yang mengecam kaum muslimin, ketika pada suatu waktu terjadi pertumpahan darah atas inisiatif kaum muslimin. (Baca QS. al-Ma’idah [5]: 27-30). Kata (i_ilp) ‘aqaba terambil dari kata ( k_Jip) ‘aqiba yakni sesudah, yang dimaksud di sini adalah datangnya sesuatu setelah yang lain. Pembalasan datang sesudah adanya penganiayaan. Sebenamya firman-Nya ( <u j t ) ‘uqiba bihi yang maksudnya adalah penganiayaan tidaklah sejalan dengan pengertian kebahasaan di atas, tetapi ini dapat dibenarkan dalam sastra bahasa dalam rangka menamakan sesuatu yang menjadi sebab (dalam hal ini penganiayaan) dengan akibatnya yaitu pembalasan. Dalam percakapan sehari-sehari pun sering kali disebut “penyebab” sesuatu, sedang yang dim aksud adalah “akibat”nya, seperti jika !A nda berkata: “Saya takut hujan”, maksud Anda saya takut akibat hujan, yaitu basah atau sakit. Penggunaan bentuk tunggal, pada redaksi ayat di atas, bertujuan menjadikan ayat ini sebagai kaidah kulliy/bersifat umum, sehingga ia mencakup siapa pun, tanpa kecuali dan bentuk penganiayaan apapun. Kata ( J *- ) mitsl berarti sama atau seperti. Huruf ba' pada kata bi mitsl menjadikan persamaan itu “persis sama". Dari sini pembalasan tidak boleh berlebih sedikit pun dengan penganiayaan yang dialami. Dalam konteks ini, sebagaimana orang-orang musyrik mengusir kaum muslimin dari Mekah, kaum muslimin pun berhak melakukan hal serupa terhadap mereka. M enurut T habathaba’i jika m emperhatikan konteks ayat-ayat ini, yaitu berbicara tentang izin berperang, maka yang dimaksud firman-Nya: ( *j)i J ) layanshurannahu Allah/pasti Allah akan memenangkannya adalah m enolong dan m em bantu para yang teraniaya terhadap siapa yang menganiayanya dengan memenangkan mereka dalam peperangan. Namun demikian, lanjut Thabathaba’i, ( j~aj ) nashrjpertolongan itu dapat juga dipahami dalam arti penetapan hukum berupa izin kepada yang teraniaya untuk menghapus aib dan rasa malu akibat kezaliman dan penganiayaan yang dideritanya. I%in A llah itulah yang dimaksud dengan “ pasti A llah akan menolongnya”. F irm an-N ya dalam QS. al-Isra’ [17]: 33 dijadikan oleh Thabathaba’i sebagai penguat pendapat ini. Di sana Allah berfirman: I O l S f djJ ^ yS IjUalL 5 LU^- llflS la jllia JiS jA j “Dan barang siapa dibunuh secara %alim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah keluarganya melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang manshur (dimenangkan). ’’ Dari sini, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 104 v >1*' J . m lsSi Surah aC-Qfajj (22) ^ 'iP Kelompok VI ayat 60 lanjutnya kita dapat memahami mengapa kemenangan —yang dijanjikan ayat in i — dikaitkan dengan sifat A llah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. M em ang —lanjut ulama asal Iran itu —izin dan kebolehan melakukan halhnl itu dalam situasi keterpaksaan, kesulitan dan semacamnya, merupakan keniscayaan sifat pemaafan dan pengampunan. Di atas, penulis kemukakan bahwa penggunaan bentuk tunggal pada redaksi ayat di atas, bertujuan menjadikan ayat ini sebagai kaidah kulliy/ bersifat umum, sehingga ia mencakup siapa pun tanpa kecuali dan bentuk penganiayaan apapun. Dari sini kita dapat berkata bahwa kemenangan yang dijanjikan itu, bisa dalam berbagai bentuk, antara lain yang dikemukakan oleh ulama beraliran Syi‘ah di atas. Selanjutnya, karena pemaafan terhadap yang menganiaya hak-hak pribadi lebih utama daripada membalas, maka di sini A llah m enyebut kedua sifat-N ya Pemaaf dan Pengampun untuk m engisyaratkan bahwa kedua sifat itulah yang sebaiknya diteladani manusia m en gh ad ap i siapa yan g m elakukan penganiayaan terhadap diri atau keluarganya. Bukan penganiayaan yang berkaitan dengan hak agama atau m asyarakat. Kata ( ) la ‘afuwwun terdiri dari huruf lam yang berfungsi sebagai penguat, dan kata ‘afuww yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada dua hal, yaitu meninggalkan sesuatu, dan memintanya. Dari sini lahir kata ( yts- ) ‘afw, yang berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah (memaafkan). Perlindungan Allah dari keburukan, dinamai ( SJlp ) ‘djiah. Perlindungan itu mengandung makna ketertutupan, dari sini kata 'afw juga diartikan menutupi, bahkan dari rangkaian ketiga huruf kata ini juga lahir makna terhapus, atau habis tiada berbekas, karena yang terhapus, habis, dan tidak berbekas, pasti ditinggalkan. Selanjutnya ia dapat juga bermakna kelebihan, karena yang berlebih seharusnya tidak ada atau ditinggalkan dengan memberi siapa yang m em intanya. D alam beberapa kamus bahnsa dinyatakan bahw a pada dasarnya kata ‘afw, berarti menghapus, membinasakan, dan mencabut akar sesuatu. D alam al-Q ur’an kata ( jip ) ‘afuww ditemukan sebanyak tiga kali, kesemuanya menunjuk kepada Allah swt. Selain itu ditemukan juga sekian banyak kata kerja masa lampau, masa kini dan datang yang pelakunya adalah Allah swt. Di samping yang pelakunya manusia. Jangan menduga bahwa pemaafan Allah hanya tertuju kepada mereka yang bersalah secara tidak sengaja, atau melakukan kesalahan karena tidak tahu. Jangan juga menduga bahwa Allah selalu menunggu yang bersalah untuk meminta maaf. Tidak, sebelum manusia meminta maaf, Allah telah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com F 105 j Surafi aC-Jfajj (22) Kelompok VI ayat 61 c- memaafkan banyak hal. Bukan hanya-Rasul saw. yang dimaafkan sebelum beliau meminta m aaf (QS. at-Taubah [9]: 43), tetapi orang-orang durhaka pun. Dengarkanlah firman Yang Maha Pemaaf itu, i jC*9 ^ Ol « ^ ^ / ✓ / jllk jA {J s - / / Oj X x X X x ^ jU i J p Ut*JJ ^ / 0 s J . 0 XX Uj . X x x X X 9 Jl &>^ * 9 I x D/« menghendaki, Dia akan menenangkan angin, makajadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya padayang demikian itu terdapat tandatanda (kekuasaan)-Nya bagi setiap orangyang banyak bersabar dan banyak bersyukur, atau kapal-kapal itu dibinasakan-Nya karena perbuatan mereka atau Dia Yafu (memberi maaf) banyak (dhri dosa mereka) ” (QS. asy-Syura [42]: 33-34). Allah yang m enyandang sifat ‘Afuww adalah Dia yang menghapus kesalahan hamba-hamba-Nya, serta memaafkan pelanggaran-pelanggaran mereka. Sifat ini mirip dengan sifat al-Ghafur, hanya saja menurut Imam Ghazali, pemaafan Allah lebih tinggi nilainya dari maghftrah. Bukankah kata ‘afwiv m engandung m akna menghapus, mencabut akar sesuatu, membinasakan dan sebagainya, sedang kata ghafur terambil dari akar kata yang berarti menutup? Sesuatu yang ditutup, pada hakikatnya tetap wujud, hanya tidak terlihat, sedang yang dihapus, hilang, kalaupun ada yang tersisa, paling tinggi, hanya bekas-bekasnya. Penegasan tentang kedua sifat Allah di atas, Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun, merupakan alasan mengapa pembalasan yang dibenarkan Allah itu terbatas pada bi m itslj serupa bukan melebihi. M em ang, kalau ingin mengikuti nafsu amarah, maka tentu saja pembalasan —apalagi dalam posisi kuat - akan m elam pauinya. Di sisi lain perlu dicatat bahwa ayat yang berbicara tentang pembalasan ini, bukan berkaitan dengan hubungan pribadi orang perorang, tetap i berkaitan dengan pengusiran dari negeri dan penganiayaan terhadap agama, dua hal yang tidak dapat ditoleransi. AYAT 61 a n h'\j j i i j x X X jiii k ij m k i j j j\ $ \ j X X X X o l && X X ( n ^) Jr^ . ‘Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan Dia memasukkan siang ke dalam malam dan A llah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 1 106" Surafi aC-Hajj (22) Kelompok VI ayat 61 ^ '"-fit Ayat yang lalu antara lain menguraikan tentang pertolongan Allah kepada yang teraniaya. Kini ayat di atas menjelaskan bahwa: Yang demikian itu yakni pertolongan yang dijanjikan Allah itu, ringan bagi-Nya, karena sesungguhnya ylllah menyandang sifat-sifat sempurna antara lain Dia Maha Kuasa. D i antara tanda-tanda kekuasaan-N ya yang paling jelas adalah kekuasaan-Nya mengatur alam raya, guna kemaslahatan makhluk. Allah sendiri m elalui sistem yang Dia tetapkan dan jadikan di bawah kendaliN ya, senantiasa, sehingga menjadi kebiasaan yang terlihat sehari-hari sebagaimana dipahami dari bentuk kata kerja mudhari‘(masa kini dan datang) —memasukkan bagian dari malam ke dalam siang sehingga berkurang waktu malam dan bertambah waktu siang dan Dia sendiri pula yang senantiasa memasukkan sebagian dari waktu siang ke dalam waktu malam sehingga bertambah waktu malam, dan dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna itu pula Dia mendengar keluhan orang-orang yang teraniaya dan mengetahui keadaan para penganiaya dan memang A llah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Firman-Nya: ( J J J ' j y .j J ) yuliju al-laila ft annahar wa yuliju an-nahdra jt al-laillA llah memasukkan malam ke dalam siang dan Dia memasukkan siang ke dalam malam, dalam arti bahwa Allah melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya menjadikan malam suatu ketika lebih panjang daripada siang, dan di kali lain menjadikan siang lebih panjang daripada malam. Ini terjadi dengan sangat jelas di sejumlah wilayah yang jauh dari garis khatulisdwa, di mana terjadi perbedaan waktu siang dan malam. Ketika menafsirkan ayat serupa pada QS. Al ‘Imran [3]: 27, penulis mengutip antara lain uraian Syeikh Mutawalli asy-Sya‘rawi yang memberi ulasan sangat indah m enyangkut ayat ini. Uraiannya antara lain adalah, bahwa Allah swt. tidak membuat kadar siang untuk setiap waktu persis sama; terkadang siang berkurang sekian jam, dan terkadang juga malam berkurang sekian jam. Namun pengurangan itu tidak sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit. Memang ada saat-saat perhentian antara pergantian jarum menit ke menit berikutnya, tetapi sebenamya waktu bergerak setiap m enit, bahkan setiap detik, walau kita tidak melihat atau menyadarinya. Kita tidak m enyadari pertumbuhan anak yang kita lihat sedap saat, ini berbeda kalau kita meninggalkannya sebulan atau dua bulan. Ia sebenamya m em besar setiap detik. Yang demikian itu merupakan suatu pengaturan yang am at teliti, yang tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah swt. yang ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Jfajj (22) Kelompok VI ayat 62 'v ;- memasukkan m alam ke dalam siang, dan m em asukkan siang ke dalam malam. Kalau keadaan anak merupakan contoh dari yang kecil menjadi besar, m aka yang besar pun dapat m engecil. M anusia tidak m em iliki kemampuan untuk mengamatinya secara langsung. Asy-Sya‘rawi memberi contoh tentang hal ini dengan gambar New York yang diambil oleh satelit. Yang terlihat pada gam bar hanya titik kecil dari kota itu. Tidak terlihat gedung-gedung pencakar langit dan jalan-jalan raya yang lebar dalam titik itu. Semuanya tidak terlihat dengan mata telanjang, kecuali jika titik-titik yang dihasilkan oleh satelit itu diperbesar. Begitulah yang besar dimasukkan ke dalam yang kecil, dan begitu pula malam dimasukkan ke siang dan siang dimasukkan ke malam. Terdapat kesesuaian yang serasi antara penyebutan malam dan siang, serta diambilnya bagian dari yang satu untuk bagian yang lain —terdapat keserasian —antara hal tersebut dengan kemenangan yang dijanjikan Allah swt. kepada kaum muslimin setelah penganiayaan dan kekalahan mereka dari kaum musyrikin. Demikian juga pembalasan yang dibolehkan untuk yang teraniaya setelah sebelumnya ia dianiaya. Hidup adalah pergantian malam dan siang, demikian juga kekalahan dan kemenangan, penganiayaan dan pembalasan. Kaki kiri dan kanan silih berganti di depan dan di belakang. Kalau Allah m ampu memasukkan malam ke dalam siang dan sebaliknya, maka Dia pun mampu melakukan hal yang sama bagi kaum muslimin dan kaum musyrikin, bagi yang teraniaya dan yang menganiaya. A Y AT 62 jA aJJI lM j jA d jjJ ^ \j* O 'j jA <UJl Ob ciAii (nr) ‘Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain A llah, dialah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. ” Kuasa Allah yang demikian itu yakni antara lain yang disebut pada ayat yang lalu, m enyangkut pengaturan malam dan siang, bahkan alam raya serta penetapan hukum, adalah karena sesungguhnya A llah, hanya Dialah Tuhan Yang Haq yang wujud dan terlaksana apa yang Dia kehendaki dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain A llah seperti berhala-berhala, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com '• 108 ^ 80, H i# Surah aC-Qfajj (22) Kelompok VI ayat 62 dialahyang batil yang tidak mampu melakukan sesuatu lagi pasti akan lenyap, karena selain Allah adalah makhluk, dan sesungguhnya Allah, hanya Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Rujuklah ke ayat 6 surah ini untuk memahami makna al-Haq dan m akna sifat Allah itu. Kata al-‘aliyy yang terdiri dari huruf-huruf ‘am, lam dan yd’ atau wauw, menunjuk kepada makna ketinggian yang merupakan antonim dari kerendahan material maupun immaterial. Dari sini kemudian lahir maknam akna lainnya seperti, sombong karena yang bersangkutan merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain, menaklukkan, dan mengalahkan karena keduanya berkedudukan lebih tinggi dari yang ditaklukkan dan yang dikalahkan. Allah swt. M aha T inggi, sekaligus; menaklukkan seluruh mahkluk-Nya. Allah M aha T inggi dan tidak ada ketinggian yang hampir m enyam ai apalagi m elebihi ketinggian-N ya. Ketinggian Allah tidak bersifat material atau keberadaan pada satu tempat. M em ang pada mulanya manusia memahami makna ketinggian dan segi tempat, ini karena ia mengaitkannya dengan mata kepala, tetapi setelah orang-orang berpengetahuan menyadari bahwa ada juga pandangan bashtrah (mata akal dan hati) yang berbeda dengan pandangan yang bersifat indrawi, m aka m ereka m em injam /m enggunakan kata tinggi, tetapi tidak dalam pen gertian yang dijangkau oleh m ata kepala atau oleh orang awam. W alaupun pengertian mereka itu boleh jadi diingkari oleh sementara orang awam yang tidak m em aham i ketinggian, kecuali yang berkaitan dengan tempat. Allah Maha Tinggi, sedemikian tinggi-Nya sehingga Dia tidak dapat terjangkau, sedemikian tinggi-Nya sehingga tidak ada yang serupa denganN ya, sedemikian kuat-Nya sehingga tidak ada yang dapat mengalahkanNya, bahkan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak juga yang serupa bahkan yang m endekati kedudukan-Nya. Sementara ulama merinci pengertian ketinggian-Nya pada ketinggian dzat-N ya dan ketinggian kedudukan-N ya. K etinggian kedudukan-N ya adalah kesempurnaan yang diniscayakan oleh sifat-sifat terbaik al-Asmd' al-Husna yang disandang-Nya. Adapun ketinggian-Nya dari segi dzat, adalah karena pengetahuan tentang siapa Dia, tidak terjangkau kecuali oleh-Nya sendiri, dan karena Dia yang mencakup seluruh tempat, dan Dia yang wujud sebelum penciptaan semua yang maujud. Kata ) al-kabir terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VI ayat 62 Surafi af-tfajj (22) I g g g huruf kaj, bd’ dan ra yang berarti antonim kecil. Sementara ulama berpendapat bahwa kebesaran adalah keagungan dan kekuasaan. M enurut al-Ghazali, '‘kebesaran’' adalah kesempurnaan d%at, yang dimaksud dengan dzat adalah wujud-Nya sehingga kesempurnaan dzatNya adalah kesempurnaan wujud-Nya. Selanjutnya, kesempurnaan wujud, ditandai oleh dua hal yaitu keabadian dan sumber wujud. Allah, kekal abadi, Dia awal yang tanpa permulaan dan akliir yang tanpa akhir. Tidak dapat tergambar dalam benak, apalagi dalam kenyataan bahwa Dia pernah tiada, atau suatu ketika akan tiada. Allah adalah dzat yang wajib wujud-Nya. Berbeda dengan makhluk yang wujudnya didahului oleh ketiadaan dan diakhiri pula oleh ketiadaan. Dari segi sumber wujud, Dia ad alah sum berriya, karena setiap yan g m aujud p asti ada yan g mewujudkannya. Mustahil sesuatu dapat mewujudkan dirinya sebagaimana mustahil pula ketiadaan yang mewujudkannya. Jika demikian, benak kita pasti berhenti pada wujud yang wajib dan yang merupakan sumber dari segala yang wujud. Dialah Allah Yang Maha Besar itu. A yat in i m enunjukkan betapa kuasanya A llah swt, sekaligus ia menanamkan optnnisme ke dalam hati setiap orang yang percaya kepada Allah. Kalau llmuwan atau filosof memperkenalkan apa yang mereka namai hukum dialektika, maka ayat ini serupa dalam kesan yang ditimbulkannya dengan hukum itu; demikian tulis sementara pakar muslim. J angan berputus asa ketika m en gh ad ap i situ asi yang sulit, karena A llah yan g kuasa memasukkan malam ke dalam siang dan sebaliknya, Dia juga mampu mengganti kecemasan m enjadi ketenangan, kekalahan menjadi kemenangan. Kalau Anda sudah tidak dapat lagi melakukan suatu usaha, maka serahkan kepada Allah dan biarkan saja kesulitan berlanjut, hingga mencapai puncaknya. Pada saatnya nanti akan timbul peluang baru yang dapat Anda raih dan gunakan v.ivuk mengalihkan kesulitan menjadi kemudahan; kesengsaraan menjadi kebahagiaan. Di sisi lain jangan juga angkuh, karena bila kekuasaan yang Anda m iliki mendorong Anda bersifat angkuh, maka ingatlah Kuasa Allah terhadap Anda. Ayat di atas menyebut nama “Allah” dua kali, di samping tiga lainnya dari Asm a’ al-H_usna, sam bil menekankan tentang kebatilan segala yang disembah selain-Nya. Imam G hazali menulis bahwa manusia hamba Allah harus dapat mengambil dari lafadz “Allah” kesadaran tentang ( &\j ) ta Allah, yakni kekuasaan-Nya yang mutlak dalam kepemilikan dan pengaturan seluruh ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 110 j Surah aC-Hajj (22) Kelompok VI ayat 63-64 makhluk. Seluruh jiwa dan himmah (kehendak) manusia, harus dikaitkan dengan Allah, sehingga seseorang tidak memandang kecuali kepada-Nya, tidak menoleh ke selain-Nya. Tidak mengharap, tidak pula takut kecuali kepada-Nya. Bagaimana tidak demikian, sedang ia seharusnya telah paham dari nama ini, bahwa sesungguhnya Allah adalah wujud yang hakiki dan haq, sedang selain-Nya, adalah batil yakni akan lenyap dan binasa. Dengan demikian manusia akan memandang bahwa dirinya adalah yang pertama akan binasa dan dia adalah sesuatu yang batil. Seperti yang digarisbawahi oleh Rasul saw. ketika bersabda: “Kalimat yang paling benar diucapkan seorang penyair adalah kalimat Labid yaitu: ‘Segala sesuatu selain Allah pastilah batil’.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibn Majah melalui Abu Hurairah). 1 A Y A T 6 3 -6 4 U kl m j> i a ii jf y b\ o\j ^ Uj u (M ) "Apakah engkau tidak melihat bahwa A llah menurunkan air dari langit, maka jadilah bumi menghijau? Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. Milik A llah segalayang ada di langit dan segalayang ada di bumi. Dan sesungguh­ nya A llah benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji. ” Ayat-ayat yang lalu mengandung uraian tentang betapa kuasa Allah swt. Ayat ini dan ayat-ayat berikut menguraikan betapa luas anugerah-Nya. Uraian ini dapat juga dikaitkan dengan janji-Nya memberi rezeki kepada mereka yang berjuang dan atau gugur di jalan Allah (baca ayat 58). Ayat 63 di atas dengan gaya bertanya guna mengundang pengakuan mitra bicaranya menyatakan bahwa: Apakah engkau —siapa pun engkau —tidak melihat dengan m ata kepala atau m ata hatim u sehingga m engetahui bahwa A llah telah menurunkan air hujan dari langit yakni awan, dengan jalan menetapkan hukum alam yang mengantar turunnya, tnaka jadilah bumi menghijau ditumbuhi aneka jenis tumbuhan padahal sebelumnya tanah kering ? Sesungguhnya Allah Maha lembut lagi Maha Mengetahui. M ilik Allah sendiri secara mutlak serta dalam wewenang dan kendali-N ya segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Dan sesungguhnya A llah benar-benar Maha Kaya tidak butuh kepada ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Jfajj (22) Kelompok VI ayat 63-64 «■ sesuatu lag Maha Terpuji baik Dia memberi maupun menahan. Karena semua perbuatan-Nya adalah haq/benar indah dan baik. Kata ( ) fatushbihu berbentuk mudhari‘ (kata kerja masa kini dan datang) walaupun kata ( J j j l ) an^ala berbentuk mddhi (kata kerja masa lalu). Ini karena bentuk mudhari‘ pada kata fatushbihu itu dim aksudkan untuk menghadirkan dalam benak keindahan apa yang dikaitkan dengan kata tersebut yaitu ( -p-i.) mukhdharrahfmenghijau. Dengan demikian tergambar keindahan bumi dengan kehijauan tumbuh-tumbuhan, sekaligus terbayang bahwa keh ijau an itu b erlan jut dari saat ia dilih at sam pai esok dan seterusnya. D engan penggambaran yang dilakukan ayat ini, diperoleh kesan bahwa al-Qur’an pun menghadirkan keindahan alam, sebagai salah satu nikmat A llah yang harus disyukuri. Di sisi lain, penyebutan kata hijau mengisyaratkan juga anugerah Allah kepada umat manusia, karena hal itu menunjuk kepada zat hijau daun (clorophyl) yang sangat diperlukan dalam proses asim ilasi gas karbondioksida. A ktivitas utam a zat itu adalah menjelmakan zat organik dari zat anorganik sederhana dengan bantuan sinar matahari. Ini pada gilirannya dapat menyimpan tenaga matahari dalam tumbuh-tumbuhan berupa makanan dan bahan bakar, yang nantinya dapat muncul sebagai api atau tenaga kalori sewaktu pembakaran, atau apa yang diistilahkan oleh QS. Yasin [36]: 80. “Maka serta merta kamu dapat melakukan pembakaranj menyalakan api. ” Kata ( ) al-lathij terambil dari akar kata ( ) lathafa yang menurut pakar-pakar bahasa, kata yang hurufnya terdiri dari lam, tha’ dan fa’ mengandung makna lembut, halus atau kecil. Dari makna ini kemudian lahir makna ketersembunyian dan ketelitian. Kata al-Tathif ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak tujuh kali, lima di antaranya disebut bergandengan dengan sifat Khabir. Dua ayat secara tegas menyebut sifat ini tercurah kepada hamba-Nya yakni: j i j i i i U jaii > j l y 13 “A llah h ath if terhadap hamba-hamba-Nya, Dia memberi rezeki siapa yang dikehendakinya dan Dia Maha Kuat lagi Maha M ulia” (QS. asy-Syura [42]: 19), dan QS_ Y u su f [12]: 100. D ari sini agaknya sehingga az-Z ajjaj berpendapat, bahw a al-L athif berarti bahwa A llah yang m elim pahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya secara tersembunyi dan tertutup, tanpa ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 112 iff. * Surah aC-ttajj (22) Kelompok VI ayat 63-64 tV em ereka ketahui, serta menciptakan untuk mereka sebab-sebab yang mereka tak duga guna meraih anugerah-Nya. Ini - menurutnya - sama dengan firman-Nya: } V t t 7 'L~?- 0 0 ja >» t 0 ** i .* * „ - «. x *t 9 * i ' 0 ' ' Ht «u Jjwru ft* * s . Jsj ^ j “Dan barang siapayang bertakwa kepada Sillah, Dia akan memberinyajalan keluar, dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arahyang mereka tidak sangka-sangka” (QS. ath-Thalaq [65]: 2-3). Apa yang dikemukakan oleh az-Zajjaj di atas dapat diterima, hanya saja perlu dicatat bahwa rezeki yang dimaksud bukan hanya yang bersifat material, tetapi juga - dalam berbagai bentuk immaterial, baik di dunia maupun di akhirat. Rezeki yang dijanjikan Allah bagi para muhajirin yang gugur atau mati yang disebut pada ayat 58 yang lalu, adalah rezeki setelah kehidupan duniawi, yang mencakup kenikmatan ruhani. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa yang berhak menyandang sifat ini adalah yang mengetahui rincian kemaslahatan dan seluk beluk rahasianya, y a n g k e c il dan y a n g h alu s, kem u d ian m en em p u h ja la n u n tu k m en yam p aikan n ya kepada yang berhak secara lem ah lem but bukan kekerasan. Kalau bertemu kelemahlembutan dalam perlakuan, dan rincian dalam pengetahuan, m aka wujudlah apa yang dinamai al-luthj dan menjadilah pelakunya w ajar m enyandang nama al-lathif. Ini tentunya tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Mu ha LMlhif itu. Sekelum it dari bukti “Kemahalemahlembutan ” Ilahi (kalau istilah ini dapat dibenarkan) dapat terlihat bagaimana Dia memelihara janin dalam perut ibu dan m elindunginya dalam tiga kegelapan, kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim. Demikian juga memberinya makan melalui tali pusar sampai ia lahir kemudian mengilhaminya menyusu, tanpa diajar oleh siapa pun. Termasuk juga dalam bukti-bukti kewajaran-Nya menyandang sifat ini, apa yang dihamparkan-Nya di alam raya untuk makhluk-Nya, memberi melebihi kebutuhan mereka, tetapi tidak membebani mereka dengan beban berat yang tidak mampu dipikul. Pada akhirnya tidak keliru jika dikatakan bahwa al-Lathif adalah Dia yang selalu menghendaki untuk makhluk-Nya kemaslahatan dan kemudahan lagi menyiapkan sarana dan prasarana guna kemudahan meraihnya. Dia yang bergegas menyingkirkan kegelisahan pada saat terjadinya cobaan, serta m elim pahkan anugerah sebelum terbetik dalam benak. Penjelasan di atas, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 113| Safes®*-; Surah aC-Hajj (22) m tSW « fr Kelompok VI ayat 63-64 adalah bila makna kata itu dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan Allah. QS. al-An‘am [6]: 103 mengemukakan kata tersebut dalam konteks uraian tentang sifat-Nya. Di sana dinyatakan: jA j j& j jCajSM Si ‘Dia tidak dijangkau olehpandangan mata, dan Dia menjangkau segala penglihatan (karena) Dia Lathif lagi Khabir). ” Allah tidak dapat dilihat paling tidak dalam kehidupan dunia ini. Nabi Musa as. pernah bermohon untuk melihat-Nya, tetapi begitu Allah menampakkan kebesaran dan kekuasaan-Nya atau pancaran cahaya-Nya, ke sebuah gunung, gunung itu hancur berantakan (baca QS. al-A‘raf [7]: 143). A llah juga L atb if dalam arti tidak dapat diketahui hakikat-N ya. Walhasil Dia tertutup dari pandangan mata dengan selendang keagunganNya, terlindungi dari jangkauan akal dengan pakaian kebesaran-N ya, terbatasi dari bayangan imajinasi dengan cahaya keindahan-Nya, dan karena cem erlangnya pancaran cahaya-N ya, D ia gaib sehingga seperti kata sementara orang arif: “Dia tidak terjangkau hanya karena Dia menyingkap kerudung w a ja h -N y a , su n g gu h an eh , p e n am p ak an m en gh asilk an keterlindungan. Memang mata kelelawar tak mampu memandang cahaya matahari.” Kata ( ) al-ghaniyy terambil dan akar kata yang terdiri dari hurufhuruf ghain, nun dan yd’. Maknanya adalah kecukupan, baik menyangkut harta maupun selainnya, dan juga bermakna suara. Dari makna pertama lahir kata ( ) gbaniyyab yaitu wanita yang tidak kawin dan merasa berkecukupan hidup di rumah orang tuanya, atau merasa cukup hidup sendirian tanpa suami. Dan dari yang kedua lahir kata ( {e** ) mughanniy dalam arti penarik suara atau penyanyi. Menurut Imam al-Ghazali, Allah al-Gbaniyy adalah “Dia yang tidak memerlukan hubungan dengan selain-Nya, tidak dalam dzat-Nya tidak pula dalam sifat-Nya, bahkan Dia Maha Suci dalam segala macam hubungan ketergantungan.” Demikian, terlihat bahwa “kekayaan” Allah yang dimaksud dalam sifat-Nya ini, bukan sekadar melimpahnya materi, tetapi juga ketidakbutubanNya kepada selain-Nya. Kata Gbaniyy yang merupakan sifat Allah, pada umumnya oleh al-Qur’an dirangkaikan dengan kata Hamid. Perangkaian sifat Gbaniyy dengan H_^td, menunjukkan bahwa dalam kekayaan-Nya Dia amat terpuji, bukan saja pada sifat-Nya, tetapi juga jenis dan kadar bantuan/ ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 114 Surah aC-'Kajj (22) Kelompok VI ayat 65 anugerah kekayaan-N ya itu. Sebalikrtya, dapat juga dikatakan bahwa perangkaian sifat Hamid dengan Ghaniyy, m engisyaratkan bahwa pujian kepada A llah , sam a sekali tidak dibutuhkan oleh-N ya, pujian tidak menambah keagungan dan kesempurnaan-Nya, cercaan dan kedurhakaan pun tidak m en gurangi keperkasaan dan kem utlakan-N ya, karena itu ditegaskan-Nya bahwa: <UJl jC& <U«jLS jSLio 1<JL9 j “Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Luqman [31]: 12). AYAT 65 ay l y d \ (\0) i i & V j U y £■& O' S-U lJl ‘A pakah engkau tidak melihat bahwa Allah menundukkan bagi kamu apa yang ada di bumi dan bahtera berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan langit jatuh ke bumi melainkan dengan i^in-Nya. Sesungguhnya Allah terhadap manusia benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. ” A yat yan g lalu ditutu p dengan m enyebut dua sifat A llah , yaitu al-Ghanyy/Maha Kaya lagi tidak butuh kepada sesuatu apapun, dan al-Hamid/ Maha Terpuji. Nah, kedua ayat di atas, mengungkap sekelumit dari kuasa dan lim pahan karunia-N ya yang dapat mengantar siapa pun menyadari kebesaran-N ya dan tunduk kepada-Nya. Ayat ini m enyatakan: Apakah engkau siap a pun engkau tidak melihat dan m en yad ari bahwa A llah menundukkan yakni memudahkan bagi kamu pemanfaatan dan penggunaan apayang ada di bumi yakni di daratan dan juga lautan, karena Dia juga yang memudahkan bahtera berlayar di lautan dengan perintah-Nya yakni atas izinNya m elalui hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya, dan di samping itu Dia menahan benda-benda langit yakni mengendalikan bintang-bintang dan planet m elalui aturan peredaran dan hukum gravitasi sehingga benda-benda angkasa itu tidak jatuh ke bumi dan menimpa kamu. Satu pun tidak jatuh melainkan dengan i%in-N ya yakn i m elain kan k alau D ia m en etapkan kejatuhannya. Apakah engkau tidak menyadari hal itu? Sesungguhnya Allah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VI ayat 65 Surafi aC-Hajj (22) "‘'Y'A eterhadap semua manusia benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kata ( jS w ) sakhkhara digunakan dalam arti menundukkan sesuatu agar dapat dim anfaatkan, padahal sesuatu itu m enurut sifatnya atau keadaannya enggan tunduk, tanpa penundukan Allah. Penundukan itu antara lain m elalui pengilham an manusia tentang sifat, ciri dan bawaan sesuatu, sehingga pada akhirnya ia dapat tunduk dan dimanfaatkan manusia. Perhatikanlah —misalnya —kuda, angin, laut dan lain-lain sebagainya. Firman-Nya ( *ilj ) ilia bi id-^nihi/melainkan dengan i^in-Nya — dengan makna yang dikemukakan di atas —mengandung peringatan setelah sebelumnya menyebut nikmat-Nya bahwa Allah yang menahan benda-benda langit sehingga tidak jatuh. Kata ( «.U U l) as-sama ’ pada mulanya berarti segala apayang berada di atas slnda. Dari sini kata tersebut dipahami dalam arti langit yang dalam konteks ayat ini adalah benda-benda langit. Ada juga yang memahaminya dalam arti hujan karena hujan turun dari atas/awan. Jika makna kedua ini yang dipilih, m aka ayat tersebut bagaikan menyatakan bahwa Allah swt berkat pcngaturan-N ya, m enjadikan curahan hujan dalam batas-batas tertentu. D engan dem ikian, ketika A llah menahan langit yakni tidak menurunkan hujan, m aka itu adalah anugerah dari-N ya, dan jika Dia m enurunkannya, m aka itu pun anugerah-N ya. D engan m enahannya, m anusia te rh in d a r d ari b a n jir y an g m em b in asa k an , dan d en gan m enurunkannya dalam batas tertentu, m anusia dan binatan g dapat memanfaatkannya sebaik mungkin. Sedang jika makna pertama yang dipilih, maka ayat ini dapat dinilai mengandung fakta-fakta ilmiah yang sangat teliti. Langit —yaitu semua yang ada di atas kita — dimulai dari atmosfer, ruang angkasa dan semua benda-benda langit baik yang bersinar sendiri seperti bintang, nebula, dan galaksi, maupun yang tidak bercahaya sendiri seperti satelit, planet, komet, meteor, molekul, atom, dan debu alam, semuanya bisa tetap eksis dan berada pada posisinya disebabkan oleh adanya pengaturan Allah swt. antara lain dan terutama oleh gravitasi dan kekuatan yang ditimbulkan oleh gerak. Sifat kasih Allah kepada hamba-Nya tampak pada disediakannya atmosfer yang mengandung zat-zat yang diperlukan untuk hidup dan dapat melindungi penduduk bumi dari bahaya yang diakibatkan oleh berbagai macam sinar alam dan debu-debu meteor yang mengambang di angkasa. Debu-debu itu, apabila menyentuh bagian atas atmosfer, akan tcrbakar sehingga tidak sempat mencapai permukaan bumi. Selain itu, di antara ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ' 1161 Surafi aC-Jfajj (22) Kelompok VI ayat 66 perwujudan kasih sayang-Nya adalah bahwa jatuhnya meteor yang dapat m enghancurkan bumi sangat jarang terjadi. Bahkan, kalaupun terjadi, meteor itu akan jatuh di bagian bum i yang terpencil dan tidak berpenduduk. Demikian komentar para pengarang Tafsir al-Muntakhab menyangkut ayat 65 di atas. Kata ( j*.j ) Ra’u f yang di atas diterjemahkan dengan Maha Penyayang, terambil dari akar kata yang maknanya berkisar pada kelemablembutan dan kasih sayang. Kata ini m enurut pakar bahasa az-Zajjaj mengandung makna kepemilikan rahmat, hanya saja ia tidak digunakan kecuali jika rahm at dimaksud telah mencapai puncaknya. Memang bisa saja rahmat yang tercurah pada sesuatu tidak m encapai puncak. Bukankah Allah mencurahkan juga rahm at kepada selain orang-orang beriman? Al-Harrali berpendapat, bahwa sifat yang disandang oleh yang dinamai R a’u jAdalah kasih sayang yang dicurahkan kepada yang memiliki hubungan baik dengan pencurah yang m emiliki sifat itu. Allah sebagai Rahman mencurahkan rahmat kepada orang kafir, walau hubungan si kafir dengan Allah sangat buruk, tetapi Allah sebagai R a ’u f mencurahkan rahmat-Nya hanya kepada ( iLp ) ‘ibdd, yakni kepada ham ba-ham ba-N ya yang taat atau yang m enyesali kesalahankesalahannya dan bertaubat kepada-Nya. Sementara ulama menambahkan perbedaan antara R a’u j dan Rahim. Yaitu penekanan pada kata Rahim adalah terhadap yang dianugerahi rahmat, sedang penekanannya pada R a’u f adalah pada yang m encurahkannya. Selanjutnya kata ( Sjfj) ra’fah tidak digunakan kecuali untuk anugerah yang menyenangkan penerimanya sejak awal hingga akhir, sedang rahmat, bisa jadi pada awalnya tidak menyenangkan tetapi akibatnya menyenangkan. Seseorang yang ingin tergesa-gesa sampai ke tujuan, akan merasa sedih jika keberangkatannya tertunda, tetapi ketertundaan itu m enjadi rahmat bagi-N ya jika ternyata kendaraan yang akan ditum panginya m engalami kecelak aan . A llah R a ’uf, Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya, yakni m encurahkan rahm at kasih sayang yang tidak disertai oleh sedikit kekeruhan pun kepada mereka. AYAT 66 “Dialah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi). Sesungguhnya manusia, benar-benar sangat ingkar. ” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com b1171 __ ,;v. Kelompok VI ayat 66 Surah aC-J£ajj (22) l l f l l l t Setelah ayat-ayat yan g lalu m enguraikan kuasa A llah sekaligus n ikm at-n ikm at-N ya, kin i diseb ut nikm at-N ya yan g terak h ir dalam kehidupan dunia, sekaligus nikmat-Nya dengan kehidupan baru di akhirat kelak, bagi yang percaya dan mempersiapkan diri menghadapinya. Ayat ini menyatakan: Dialah yakni Allah Yang Kuasa-Nya sedemikian besar dan nikmat-Nya yang begitu melimpah, yang telah menghidupkan kamu sehingga kini kamu berada di pentas bumi, kemudian bila tiba ajal kamu masingmasing Dia mematikan kamu, kemudian bila Kiamat datang Dia menghidupkan kamu lagi untuk memasukkan kamu ke surga —sebagai anugerah dari-Nya, jika kamu taat, dan memasukkan ke neraka, berdasar keadilan-Nya, jika kamu durhaka. Sesungguhnya manusia kendati demikian banyak anugerah Allah namun m ereka, benar-benar sangat ingkar tidak m ensyukuri nikmatnikmat Allah. Ayat ini berbeda dengan QS. al-Baqarah [2]: 28 tidak m enyebut kehidupan di alam barzakh, tetapi langsung menyebut kehidupan ukhrawi, karena penekanan surah ini adalah tentang kebangkitan di hari kemudian. Pada QS. al-Baqarah itu, Allah swt berfirman: “Bagaimama kamu terus menerus kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, yakni tidak berada di pentas bum i ini lalu Dia menghidupkan kamu di perm ukaan bumi ini, kemudian Dia mematikan kamu dengan mencabut nyawa kamu sehingga kamu meninggalkan pentas bumi ini, kemudian Dia menghidupkan kamu lagi yakni di alam b arzakh , kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan dalam kehidupan akhirat nanti untuk dinilai amal-amal perbuatan kamu selama hidup di dunia?” Ayat di atas —sebagaimana ayat al-Baqarah —mengisyaratkan bahwa kematian dapat merupakan nikmat bagi yang hidup dan yang mati. Memang, seandainya tidak ada kematian maka bumi ini akan penuh sesak dengan manusia jompo. Di sisi lain, kematian juga merupakan nikmat karena dia adalah pintu gerbang bagi yang taat untuk masuk ke surga. Kematian adalah proses yang harus dilalui manusia guna mencapai kesempurnaan evolusinya. Setiap ayat —sejak ayat 58 sampai dengan 65 (delapan ayat) —secara berturut-turut selalu m enyebut dua dari Asm a’ A llah al-Husna setelah menyebut kata Allah yang merupakan nama dzat yang wajib wujud-Nya. Bahkan pada ayat 66 ini tersirat sifat Allah sebagai ( ) al-Muhyiy (Yang Menghidupkan) dan ( c — al-Mumit (Yang Mematikan), melalui firmanNya di atas: “ Dialahyang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu. ” Penyebutan nam a-nam a Allah itu adalah salah satu keunikan al-Qur’an ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com J g f f *'J Surah aC-Hajj (22) Kelompok VI ayat 66 tf yang tidak ditemukan di tempat lain selain pada surah irii. Kata ( jjiS ” ) kafur adalah bentuk hiperbola dari kata ( ) kafir; yang terambil dari kata ( ) kafara yakni menutitpi. Wajar m anusia durhaka dinamai amat banyak menutupi/tidak mengakui nikmat Allah, karena sungguh banyak nikmat-Nya yang melimpah, tetapi mereka angkuh dan kepala batu sehingga mengingkarinya. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com AYAT 67-69 & O Jl ^ J Z & jti W » (*\ A ) ^ J -U ju U j j* ip f Alii J i 3 ✓ O l j ( *\ v ) ^ , J • | S0 ^ / * 0 ( *\ ^ ) 0 ^A Ju^u <L3 « j u 5 J ,•' l£^ A ✓ * ♦* • ' ' . <- ' » » » j U -3 <U L ajI 0 / 9 / 0 ^ ^ •'■0 / J ^ X # -- (*-^ 4 Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat yang mereka beribadah dengannya, maka janganlah sekali-kali mereka membantahmu dalam urusan ini dan serulah menuju Tuhanmu. Sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas petunjuk yang lurus. Danjik a mereka membantahmu, maka katakanlah: ‘A llah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan. Allah akan memutuskan di antara kamu pada hari Kiamat tentang apa yang kamu dahulu tentangnya selalu berselisih. ” A yat ini kem bali berbicara tentang tata cara peribadatan dalam kaitannya dengan penyembelihan yang telah dibicarakan pada ayat 34 yang lalu. Demikian Thahir Ibn ‘Asyur melihat hubungan ayat ini. Tujuannya menurut ulama itu adalah untuk menekankan larangan membenarkan sikap kaum musyrikin yang menyembelih binatang kurban mereka di tempat yang berbeda-beda sesuai dengan berhala-berhala yang mereka sembah. Namun demikian Ibn ‘Asyur tidak memahami kata mansakan di sini —dalam arti tempat penyembelihan tetapi tempat ibadah haji. Ayat ini menyatakan: Bagi tiap-tiap umat setiap masa telah Kami tetapkan syariat khusus buat mereka yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan mereka dan berdasar syariat itulah yang mereka beribadah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123,119 TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Jfajj (22) Kelompok VII ayat 67-69 edengannya. Syariat yang datang kemudian membatalkan syariat sebelumnya. Umat yang engkau diutus kepadanya pun Kami tetapkan untukmu bersama mereka, syariat yang berlaku hingga hari Kiamat, makajanganlah sekali-kali yakni tidak w ajar mereka kaum musyrikin Mekah itu membantahmu dalam urusan syariat ini karena tidak ada sedikit pun dalih yang dapat dibenarkan untuk pandangan m ereka serta semua dalih m ereka telah terpatahkan. Karena itu jangan perdulikan bantahan mereka dan serulah yakni lanjutkan seruanmu kepada semua manusia menuju jalan yang ditunjukkan kepadamu oleh Tuhan Pemelihara dan Pembimbing -mu. Sesungguhnya engkau wahai Nabi Muhammad benar-benar berada di atas petunjuk yakni jalan yang lurus. Dan jika mereka masih terus menerus bersikeras membantahmu, dalam soal syariat agam a, term asuk yang berkaitan dengan ibadah haji, setelah engkau berkalikali m enjelaskan duduk persoalan maka katakanlah kepada mereka agar tidak terjadi perbantahan dan tanpa menghina kepercayaan mereka bahwa: “A llah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan term asuk keinginan kamu m elanjutkan perbantahan dan lebih mengetahui pula balasan yang akan kamu terima. ” Selanjutnya Allah menyampaikan kepada kaum muslimin yang boleh ja d i san gat in gin m em buktikan kebenaran Islam dan m enunjukkan kesalahan agama dan kepercayaan lain sambil menyampaikan pula kepada kaum musyrikimn bahwa Allah akan mengadili kamu wahai kaum muslimin bersam a m ereka semua, lalu memutuskan di antara kamu semua pada hari Kiamat —di mana tidak akan ada lagi perdebatan - tentang apa yang kamu dahulu ketika hidup di dunia tentangnya yakni secara khusus tentang persoalan agama yang kamu selalu berselisih dan perdebatkan. B anyak hal yang dibantah oleh kaum m usyrikin, m isalnya yang b erkaitan dengan ibadah haji adalah soal wuquf. Suku Q uraisy yang m erupakan kelompok paling berpengaruh dalam masyarakat Mekah, wuquf di al-Masy‘a r al-Haram, Muzdalifah, sedang suku-suku lainnya di Arafah. Nabi M uhamm ad saw. dan umat Islam pun wuquf di Arafah. Dalam soal binatang, mereka menyatakan mengapa Islam mengharamkan binatang yang m ati dengan sendirinya (tanpa disembelih) dan menghalalkan apa yang disembelih. Bukankah yang mati dengan sendirinya dimatikan Allah, dan yang disembelih dimatikan manusia? Bukankah yang dimatikan Tuhan lebih wajar dimakan daripada yang dimatikan manusia? T h ab ath ab a’i m em aham i kata mansakan dalam arti syariat dan m em aham i perbantahan itu terjadi setelah orang-orang kafir dari Ahl ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 121 Kelompok VII ayat 67-69 Surafi aC-Tfajj (22) al-Kitab atau kamu musyrikin Mekah melihat ibadah yang dilaksanakan umat Islam berbeda dengan apa yang selama ini mereka ketahui dari syariatsyariat yang lalu. Dari sini mereka mempertanyakan dan menyatakan bahwa seandainya syariatm u b en ar, ten tu lah sam a dengan sy ariat-sy a ria t sebelumnya. Maka turunlah ayat ini menjelaskan adanya perbedaaan antar rincian syariat, akibat perkembangan masyarakat dan kemaslahatan umat manusia. Ayat di atas m erupakan salah satu prinsip dasar dalam diskusi keagam aan, yakni tidak m enghina atau m em persalahkan agam a dan kepercayaan pihak lain. Tetapi mengembalikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa putusan akhir, tanpa ragu sedikit pun menyangkut keyakinan yang dianut. Firman-Nya: ( illlp jtj ) falayuna^j'unnaka/janganlah sekali-kali mereka membantahmu, pada lahirnya redaksi ini ditujukan kepada Rasul saw., tetapi maksudnya adalah kaum m usyrikin yang m em bantah itu. Ini karena perbantahan dari mereka, tertuju kepada apa yang disampaikan oleh Rasul saw., maka secara lahiriah Rasul saw. lah yang dilarang, tetapi maksudnya adalah kaum musyrikin itu. Hal tersebut disebabkan karena bukti-bukti kebenaran telah Rasul saw. sampaikan, dalih-dalih kaum musyrikin pun telah dipatahkan, karena itu seharusnya m ereka tidak dibiarkan lagi melakukan perbantahan. Ada juga yang berpendapat bahwa larangan tersebut tertuju kepada kedua belah pihak —Rasul saw. dan kaum musyrikin. Ini dipahami dari patron kata ( dilpjUj ) yuna^i'unnaka. Flanya saja larangan itu di sini dinisbahkan k e p ad a kaum m u syrik in (janganlah sekali-kali mereka membantahmuj untuk menekankan larangan kepada Nabi saw. melakukan perb antahan itu . Y akn i w ah ai N ab i M uh am m ad , ja n g an laku kan perbantahan, karena jika engkau melakukannya —menghadapi mereka yang kepala batu itu —niscaya mereka akan membantahmu. Dengan demikian kandungan redaksi penggalan ayat ini menyampaikan larangan kepada Nabi saw. sekaligus dengan alasannya. Kata ( bainakum/ di antara kamu pada firman-Nya ( <5>' ) Allah jah k u m bainakum /A llah akan memutuskan di antara kamu , mengilustrasikan posisi Allah dalam menetapkan hukum pada pengadilan itu. Dia di tengah antara kamu wahai kaum musyrikinin dan kaum muslimin, tidak memihak kepada salah satu pihak didorong oleh suka atau tidak suka, tetapi semata-mata berpihak kepada kebenaran dan keadilan. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-3£ajj (22) | | g| I Kelompok VII ayat 70-71 AYAT 70 ' 0 ! x d J J i 0 1 J p j S ' j s - U lJ i / ✓ x x x ✓ a il of x ^ if 55 ( v , ) jl - J <dJi “A pakah engkau tidak mengetahui bahwa sesungguhnya A llah mengetahui apayang ada di langit dan di bumi? Yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab. Sesungguhnyayang demikian itu bagi Allah amat mudah. ” Banyak sekali perselisihan manusia menyangkut soal agama yang tidak dapat terselesaikan dalam kehidupan dunia ini. Itu semua mudah bagi Allah m enyelesaikannya. Mengapa ragu? Apakah engkau wahai yang ragu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, term asuk perselisihan kamu, betapapun banyak dan rincinya? Semua itu tidak akan luput dari pengetahuan Allah. Yang demikian itu terdapat dalam pengetahuan Allah yang tidak hilang atau berubah sebagaim ana halnya sesuatu yang tercatat dalam sebuah kitab atau itu semua tercatat dalam kitab Lauh Mahfuzh. Sesungguhnya yang demikian itu yakni pengetahuan tentang hal-hal yang diperselisihkan itu, baik dicatat dalam sebuah buku maupun tidak, bagi A llah secara khusus, tidak bagi selain-Nya adalah amat mudah. Firman-Nya: ( alam ta‘lam/apakah engkau tidak mengetahui, dapat juga dipahami sebagai pertanyaan yang mengandung pembenaran, dalam •arti sebenarnya engkau telah mengetahui. AYAT 71 •fcj& ju U} j i p $ ^ 4 Uj 'S £ [ j u J j i o jS > b / j & j ( V>) “Dan mereka menyembah selain Allah, apa yang tidak diturunkan bersamanya satu bukti pun dan apa yang mereka sendiri terhadapnya tidak mempunyai pengetahuan dan sekali-kali tidak ada bagi orang-orang %a/im satu penolong pun. ” Ayat-ayat yang lalu telah memaparkan sekian banyak bukti kekuasaan dan keesaan Allah serta kebenaran Rasul-Nya, namun kaum musyrikin masih juga m enyem bah berhala dan menolak kebenaran. M ereka masih terus menerus berada di dalam keraguan tentang apa yang disampaikan oleh Nabi ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com X1h Kelompok VII ayat 71 Surah aC-Jfajj (22) Muhammad saw. term asuk al-Qur^an (baca ayat 55) dan mereka juga senantiasa menyembah selain Allah, apa yakni berhala-berhala dan semacamnya yang tidak diturunkan bersamanya yakni bersama penyembahan itu, atau tentang kebenaran penyembahan itu satu bukti pun dan bukan hanya tanpa bukti, tetapi apa yang mereka sendiri terhadapnya tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun sehingga penyembahan itu semata-mata berdasar hawa nafsu dan tradisi usang yang batil. M ereka sungguh zalim karena m enem patkan sesuatu bukan pada tempatnya dan sekali-kali tidak ada bagi orang-orang \alim yakni yang menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya satu penolong pun, yang dapat mengelakkan mereka dari bencana dan siksa, baik pertolongan itu dari yang disembahnya maupun selainnya. Kata ( OUaJLi ) sulthan terambil dari kata ( U1 ) sallatha yang berarti menguasai dan menundukkan. Kata sulthan pada mulanya berarti kekuasaan yang dapat memaksapihak lain tunduk. Kekuasaan dimaksud bisa dalam bentuk fisik, bisa juga dalam bentuk argumen/dalil yang sangat kuat. Sementara ulama memahami kata tersebut di sini dalam arti dalil berdasar wahyu Ilahi. Yakni penyembahan kaum musyrikin terhadap berhala-berhala itu, sama sekali tidak dikenal dalam agama-agama yang disampaikan oleh para rasul sebelum ini, sedang firman-Nya: ( ^ ^ 1_r J U j) wa md laysa lahum bihi ‘ilmunlapa yang mereka sendiri terhadapnya tidak mempunyai pengetahuan, dipahami dalam arti dalil yang berdasar nalar yang shahih. Di sisi lain karena ketiadaan bukti, tidak otomads menjadikan apa yang dilakukan keliru, maka kalimat tidak mempunyai pengetahuan perlu ditambahkan agar menjadi jelas bahwa yang mereka lakukan itu benar-benar tidak memiliki sedikit dasar pun. Didahulukannya penyebutan dalil berdasar wahyu atas dalil berdasar nalar m en un ju kkan bahw a d alil yan g b erd asar w ahyu lebih tin gg i m artabatnya d arip ad a d alil yan g berdasar nalar. Ini, karen a w ahyu merupakan kebenaran mudak, sedang nalar adalah kebenaran relatif. Thabathaba’i cenderung memahami kata ( jw ti) nashirlpenolong dalam firman-Nya: ( jdlkU j ) wa md li a^h-^hdhmin min nashirl tidak ada bagi orang-orang %alim satu penolongpun dalam arti hujjah (argumen yang kuat), dan ilmu karena argumen yang kuat sebagaimana halnya ilmu, menolong siapa yang menggunakannya dalam perdebatan. Kaum musyrikin tidak memiliki keduanya. j a ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 124 Surah aC-Jfajj (22) Kelompok VII ayat 72 AYAT 72 Oj ^\Ssj \ A te j j\ lji f a i j a ^ ' " ' ^ ' ^ j i iifUis( VY) d * ' * - ' (.5^ '^ !j ' o j& jj j J u o <j~*0 £ W apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya engkau mengetahui pada muka orang-orangyang kafir keingkaran. Mereka hampirhampir saja menyerang orang-orangyang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah: ‘Maka apakah akan aku kabarkan kepada ka?mt yang tebib buruk daripada itu? Neraka. 1Itu dijanjikan A.llah kepada orang-orang kajir dan sungguh buruk kesudahan itu. ” Bukan hanya menyembah yang tidak wajar disembah serta mengakui yang seharusnya diingkari, lebih dari itu, orang-orang kafir tersebut selalu bersifat angkuh terhadap siapa pun yang menasihati mereka. Ayat di atas menyatakan bahwa: Dan yakni di samping keburukan mereka yang telah diuraikan oleh ayat yang lalu, juga apabila dari saat ke saat dibacakan di hadapan mereka oleh siapa pun ayat-ayat Kami yakni al-Qur’an yang demikian terang dan jelas redaksi serta kebenaran petunjuk-petunjuknya, niscaya engkau wahai N abi Muhammad dan siapa pun di antara kaum mukminin yang m em iliki firasat akan mengetahui yakni melihat pada muka orang-orang yang kajir itu tanda-tanda keingkaran berupa keangkuhan dan kemarahan karena disampaikan kepadanya ayat-ayat Allah, bahkan lebih dari itu, mereka hampirhampir saja menyerang orang-orangyang membacakan ayat-ayat Kami itu di hadapan mereka. Nah, sikap mereka yang mengingkari ayat-ayat Allah serta bermaksud jahat terhadap para pembacanya, menjadikan mereka wajar mendapat siksa llahi, karena itu Rasul saw. diperintahkan: Katakanlah kepada orang-orang kafir yang angkuh itu: ‘Maka apakah yakni apakah kamu mau mendengar maka akan aku kabarkan kepada kamu yang lebih buruk daripada itu, yakni lebih buruk dan menyakitkan daripada kemarahan kamu serta keinginan kamu m enyerang siapa yang membaca ayat-ayat al-Qur’an? Yang lebih buruk dari itu adalah neraka. Itu adalah ancaman yang dijanjikan ylllah kepada orangorang kajir. Sungguh buruk dan mengerikan ancaman itu dan sungguh buruk kesudahan itu. ” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 125 J Surah a[-Jfajj (22) Kelompok Vll ayat 73-74 eKata ( Ojk—a ) yasthm terambil dari kata ( Ua-> ) satha yakni meloncat untuk menyerang/menerkam. Yang dimaksud di sini adalah menampakkan sesuatu yang mengandung bahaya agar lawan takut. Sem entara ulam a m em aham i firman-Nya: ( libl* Ojla j j jJ l ) alladqjna yatluna ‘dlaihim dyatindj orang-orangyang membacakan ayat-ayat Kami > di hadapan mereka, menunjuk kepada Nabi Muhammad saw. Memang ia berbentuk jam ak (allad^jnayatluna / orang-orang yang membacakan), tetapi bahasa sering kali menggunakan bentuk jamak untuk pertimbangan makna tertentu misalnya sebagai penghormatan. AYAT 73-74 * IjjLbxj ^ 4_U) 0 ijA 0 <Ua 0 ( ) jjjP ^ I Si 9 0 ' 3> jiS ii ll 01 O jJi J j w Lj ^ aJJ| 1 j Jj Ij IO %' t# ( y % fo o ) t - J j lla d lj “Hai manusia, telah dibuat suatu perumpamaan maka dengarkanlah perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah, sekali-kali tidak dapat menciptakan lalat pun, walaupun mereka bersatu untuknya. Dan jik a lalat itu merampas sesuatu dari mereka tiadalah mereka dapat merehutnya kembali darinya. Amat lemahlahyang meminta dan amat lemah (pula) yang dimintai. Mereka tidak mengagungkan A llah dengan sebenar-benar pengagungan-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. ” Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan bahwa tidak ada sedikit pun alasan dan dalih untuk menyembah selain Allah, kini dijelaskannya bahwa sembahan-sembahan kaum musyrikin sungguh hina dan remeh, tidak wajar disembah, apalagi diduga akan mampu menghalangi jatuhnya siksa Allah atas para penyembahnya. Ayat di atas m enyatakan: Hai seluruh manusia khususnya kaum musyrikin, telah dibuat oleh A llah suatu perumpamaan yakni K am i akan menampakkan satu hal yang aneh di depan mata kalian, maka dengarkanlah perumpamaan yakni keanehan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru yakni kamu sembah dan seru untuk memenuhi keinginan kamu selain Allah, sekalikali sejak dahulu hingga kini dan akan datang tidak dapat menciptakan seekor lalat pun yang merupakan salah satu binatang kecil yang remeh dan hina, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com HHH Surah aC-tfajj (22) Kelompok VII ayat 73-74 fr apalagi yang lebih besar darinya, walaupun- mereka yakni seluruh sembahan yang berm acam -m acam itu bersatu untuk menciptakan- nya. Dan jik a lalat yang remeh dan hina itu merampas sesuatu sedikit atau banyak dari mereka yakn i sesem b ahan itu, — bahkan dari m anusia — sep erti m eram pas wewangian yang kamu letakkan di wajah patung-patung itu, atau sesaji yang kamu mempersembahkan untuk mereka, maka tiadalah mereka dapat merebutnya kembali darinya yakni dari lalat itu. Am at lemahlah yang meminta dan berusaha untuk merebutnya kembali, yakni yang disembah atau yang menyembahnya, dan amat lemah pula yang dimintai yakni lalat atau sembahansembahan itu. Karena itu bagaimana seorang manusia berakal menyembah atau mengharap manfaat dari sesembahan-sesembahan selain Allah? Kaum musyrikin yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu itu, mereka pada h akikatnya tidak mengagungkan A llah dengan sebenar-benar pengagungan-Nya. Betapa tidak demikian, padahal mereka mempersekutukanNya dengan sesuatu yang lebih remeh daripada apa yang mereka nilai remeh, yaitu lalat. Sesungguhnya A llah benar-benar Maha Kuat untuk mencipta segala sesuatu lagi Maha Perkasa tidak terkalahkan oleh siapa pun dan tidak pula terbendung kehendak-Nya oleh apapun. Kata ( Jio ) matsal digunakan dalam arti perumpamaan/contohyang aneh atau menakjubkan. Ia sering kali juga diartikan dengan “peribahasa”. Tetapi pengertian kedua ini tidak sepenuhnya sama dengan peribahasa, karena matsal al-Q ur’an sifatnya panjang dan mempersamakan satu hal dengan hal-hal lain yang saling kait berkait. Kata matsal digunakan juga dalam arti serupa. Rujuklah ke QS. al-Baqarah [2]: 17 untuk memahami lebih dalam makna kata ini, namun apapun maknanya, yang jelas ia ditampilkan untuk menjadi bahan renungan, guna mencapai kebenaran. Kata ( ) dhuriba/ dibuat, mengambil bentuk pasif (tidak disebut siapa pelakunya). Ini berbeda dengan banyak ayat yang lain yang menyebut pelakunya. Pelaku itu terkadang Allah seperti dalam QS. Ibrahim [14]: 24 atau an-N ahl [16]: 75, terkadang juga manusia seperti (QS. Yasin [36]: 78). Jika Anda pada ayat di atas memahami pelaku dhuriba adalah Allah maka m aknanya lebih kurang seperti yang dijelaskan sebelum ini, dan jika Anda m em ahami yang memberi perumpamaan itu adalah kaum musyrikin, maka yang dimaksud adalah mereka menjadikan berhala-berhala mereka serupa dengan Allah. A yat 74 di atas ditutup dengan menyebut dua sifat Allah yaitu Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Kedua sifat itu ditekankan di sini guna menunjukkan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ! 127 Kelompok VII ayat 75-76 Surafi aC-ttajj (22) «• betapa tidak berbanding antara Allah "Swt. Yang Maha Kuat lagi Perkasa itu dengan tuhan-tuhan kaum musyrikin, yang justru lebih hina, lemah dan remeh daripada lalat yang merupakan makhluk yang sangat remeh dalam pandangan manusia sekaligus lalat itulah yang meremehkan tuhan-tuhan itu, karena mereka tidak dapat merebut apa yang telah dirampas oleh lalat. Al-Qurthubi menulis bahwa ayat ini menyebut lalat sebagai contoh, karena lalat adalah binatang yang remeh, lemah, kotor sekaligus banyak, dan jika makhluk yang demikian, tidak dapat diciptakan serta dihalangi gangguannya oleh apa yang dianggap tuhan oleh kaum musyrikin, maka bagaimana m ungkin m ereka dipertuhan. Sayyid Quthub menambahkan bahwa sebenamya menciptakan lalat sama mustahilnya dengan menciptakan unfa atau gajah, karena lalat pun memiliki rahasia yang tidak dapat terungkap yakni hidup, tetapi gaya bahasa al-Qur’an yang sungguh istimewa memilih lalat yang kecil dan hina karena ketidakmampuan menciptakannya lebih menanamkan dalam benak kesan kelemahan daripada jika yang disebut adalah unta atau gajah. Di sisi lain —tulis Sayyid Quthub lebih jauh —lalat membawa aneka kuman penyakit yang dapat merampas dari manusia sesuatu yang termahal dari dirinya, mata, anggota badan bahkan hidup dan jiwa manusia. Ini sebab lain dari penyebutan lalat. Seandainya yang disebut adalah binatang buas, m aka itu akan m em beri kesan keku atan , w alaupun sebenamya binatang buas tidak dapat merebut dari manusia, hal-hal yang lebih berharga dari apa yang direbut oleh lalat. S em en tara p ak ar b erk ata bahw a w alau p u n m an u sia m am pu menangkap lalat, dia pun tidak akan mampu mengambil kembali apa yang telah direbutnya, karena lalat saat menggunakan belalainya, mengeluarkan zat-zat yang menjadikan apa yang direbutnya itu, berubah sifatnya sehingga ia tidak lagi sepenuhnya sama dengan keadaannya sebelum direbut. Ayat ini m erupakan ayat yang paling jelas dan keras kecamannya kepada kaum musyrikin yang menyembah berhala-berhala. Di sini tuhantuhan yang mereka sembah, yang mestinya —jika dia benar-benar Tuhan — pastilah memiliki kekuatan dan kemampuan, justru digambarkan oleh ayat di atas, tidak memiliki sedikit kemampuan pun —walau membela dirinya sendiri. AYAT 75-76 u fa (v o > ja J * u > &\ ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 128 1 1 s .' ' Surat aC-Jfajj (22) Kelompok VII ayat 75-76 u if ( vn) ^ X jij ^ X ^ X X * “Allah memilih dari malaikat dan dari manusia menjadi utusan-utusan (-Nya). Sesungguhnya A llah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala persoalan. ” Setelah ayat yang lalu menetapkan kekuatan dan keperkasaan-Nya, dan sebelumnya menetapkan kuasa-Nya terhadap segala apa yang di langit dan di bumi, kini ayat di atas mengukuhkan para rasul utusan-Nya dengan menyatakan bahwa Allah berkehendak dan menetapkan memilih dari jenis malaikat siapa yang dikehendaki-N ya guna m enjadi utusan-utusan-N ya membawa siksa, rahmat, atau informasi dan juga dari jenis manusia menjadi utusan-utusan-Nya m enyam paikan petunjuk kebahagiaan duniaw i dan ukhrawi, karena itu tidak wajar seseorang menolak utusan-Nya, apalagi kehadiran utusan-utusan itu sangat dibutuhkan oleh manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar apapun dan dari mana pun sumbernya, termasuk ucapan mereka tentang para rasul-Nya lagi Maha Melihat keadaan seluruh makhluk. Dia yakni Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka yakni yang nampak atau yang telah dikerjakan oleh para rasul itu, atau kaum musyrikin itu dan apa yang di belakang mereka yakni yang tidak nampak bagi makhluk atau yang akan mereka kerjakan. Dan hanya kepada A llah dikembalikan segala persoalan. Firman-Nya: ( j aSJViIi ill I ) Allah yashthafi min al-mala’ikati rusulan wa min an-ndsjAllah memilih dari malaikat dan dari manusia menjadi utusan-utusan-Nya, menunjukkan bahwa risalah Ilahiah —kerasulan atau kenabian — adalah w ew enang Allah sem ata-m ata. Ia tidak dapat diusahakan dengar cara apapun oleh makhluk. Ia adalah anugerah Allah, dan berdasar kehendak dan pilihan-Nya. Ayat yang berbicara tentang kerasulan di atas (ayat 75) ditutup dengan menegaskan dua sifat Allah, yaitu Maha Mendengar dan Maha Melihat. Ini dijadikan oleh al-Biqa‘i sebagai bukti kekuasaan Allah menjatuhkan sanksi terhadap m ereka yang memusuhi rasul. Thabathaba’i berpendapat lain. Menurutnya, penyebutan kedua sifat itu sebagai penjelasan tentang sebab pengutusan para rasul Allah. Jenis m anusia, secara fitri membutuhkan petunjuk Allah guna kebahagiaan dan kesempurnaan wujud mereka. Nah, kebutuhan m ereka itu, atau —katakanlah upaya manusia menampakkan j a ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 129 Surah aC-Hajj (22) I it? Kelompok VII ayat 75-76 Us kebutuhan itu m erupakan permohonan dan perm intaan, kiranya Allah menutupi kebutuhan dan memenuhinya. Allah Maha Mendengar dan Maha M elihat. D ia m e lih a t k ead aan m ereka yan g secara fitri m em an g membutuhkannya dan mendengar pula permintaan permohonan mereka. Nah, berdasar penglihatan dan pendengaran-Nya itulah, maka A llah Ta‘ala mengutus rasul untuk memberi mereka petunjuk menuju kebahagiaan yang memang manusia diciptakan untuk meraihnya. Pengutusan rasul ini perlu, karena tidak semua manusia mampu berhubungan dengan alam suci. Ada manusia yang bejat ada juga yang suci, ada yang baik ada juga yang buruk. Rasul ada dua macam, yaitu malaikat dan manusia. Malaikat menerima dari Allah untuk dia sampaikan kepada rasul macam kedua yaitu manusia, dan rasul manusia itu berttigas menyampaikan kepada manusia lain yang merupakan sasaran penugasan/dakwahnya. Kedua kata “mereka” pada firman-Nya: ( p Uj jy U ) ya'lamu md bayna aidihim wa md khalfahum/Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka —dipahami oleh Thabathaba’i sebagai berbicara tentang para rasul, baik malaikat maupun manusia. Ini menurutnya dikuatkan oleh firman-Nya dalam QS. Maryam [19]: 64 yang mengabadikan ucapan malaikat CLUi Uj & U j iLjjf jL ; U ii dJJj y i J j » ' Uj “Dan tidaklah kami turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nyalah apa yang ada di hadapan kami dan apa yang ada di belakang kami dan apa yang ada di antara keduanya”, dan juga dikuatkan oleh QS. al-Jinn [72]: 2628 yang menyatakan: £ ja i i L ; ^ J A , > U j ^ t \yd!>\ AS o f J* ’jm. t Aj Jj \yjs. ^ jr * “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahuiyang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentangyang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga di muka dan di belakangnya. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya mereka (rasul-rasul itu) telah menyampaikan risalah-risalah Tuhan mereka, sedang (sebenamya) ilmu-Nya meliputi apayang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. ” Selanjutnya ulama itu menulis bahwa pengetahuan-Nya tentang apa ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 1 130 ‘ r"y$ lljlg Surah aC-Hajj (22) Kelompok VII ayat 75-76 yang dihadapan dan di belakang para rasjil yang malaikat dan rasul yang manusia itu, menunjukkan bahwa Dia mengawasi jalur yang dilalui oleh wahyu sepanjang perjalanan wahyu itu antara diri-Nya hingga sampai kepada manusia. Dia yang memeliharanya sehingga tidak terjadi kerancuan atas w ahyu itu , baik yan g diakib atkan oleh kelupaan, pengub ahan, atau penyimpangan makna akibat ulah dan tipu daya setan. Semua itu karena para pem baw a w ahyu yang m erupakan para rasul-N ya selalu dalam pem eliharaan-N ya dan disaksikan oleh-N ya m enyangkut apa yang di hadapan dan di belakang mereka. Dari sini Thabathaba’i memahami kata ma baina aidihim dalam arti antara mereka dengan siapa yang kepadanya m ereka sam paikan w ahyu itu. Dalam hal rasul yang dim aksud adalah malaikat, m aka pengawasan dan pemeliharaan Allah adalah dalam konteks penyam paian rasul dari jenis m alaikat itu kepada rasul yang dari jenis manusia, sedang pengawasan-Nya dalam konteks penyampaian rasul dari jenis m anusia, adalah antara para rasul manusia itu dengan m asyarakat manusia. Adapun yang dimaksud dengan ( ) md khalfahum menurut Thabathaba’i, maka ia adalah antara mereka yakni para rasul kedua jenis itu dengan Allah swt., dan kesemuanya bertolak dari sisi Allah menuju semua manusia. A pa yan g d ik em u kakan T h ab ath ab a’i di atas sejalan dengan pem ahaman al-Biqa‘i yang menghubungkan ayat 76 di atas dengan ayat 75. Ulama yang hidup jauh sebelum Thabathaba’i menulis bahwa karena boleh jadi siapa yang menyandang kedua sifat tersebut (Maha Mendengar dan Maha Melihat) boleh jadi tidak mengetahui segala sesuatu, maka ayat 76 m enegaskan ketercakupan pengetahuan-Nya. Yakni Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka yakni para rasul itu dan apa yang di belakang mereka yakni pengetahuan Allah mencakup apa yang para rasul itu ketahui dan apa yang m ereka tidak ketahui, maka mereka tidak melakukan sesuatu kecuali atas izin-Nya, dan Allah mengadakanpenjagaan di muka dan di belakang mereka supaja Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya mereka (rasul-rasul itu) telah menyampaikan risalah-risalah Tuhan mereka walaupun orang-orang bodoh tidak m engetahui tentang hal tersebut. Al-Biqa‘i juga menggarisbawahi bahwa penjagaan Allah itu menjadikan para rasul terpelihara, sehingga mereka tidak mungkin menyampaikan sesuatu yang tidak diperintahkan-Nya, ddak juga setan atau selainnya dapat menyampaikan sesuatu melalui lidah para rasul, bahkan setiap orang di antara mereka terpelihara dari dirinya sendiri, sesuai firman-Nya: ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aCOfajj (22) |§||f|| Kelompok VII ayat 77 ej* ° ! 1 o* <3^- ^3 “Dia tidak berucap menurut kemauan nafsunya, ia tidak lain kecuali wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. an-Najm [53]: 3-4), serta terpelihara pula pengaburan pihak lain, yaitu firman-Nya: w 0 lljj Ui j i j p v IJJ “Sesungguhnya Kami telah menurunkan ad^-D^ikr (al-Qur’dn) dan kami adalah Pemelihara-Pemelihara(nya) ’’ (QS. al-Hijr [15]: 9). Pemeliharaan dan pengawasan Allah itu, dilakukan dengan berbagai cara dan m elalui beberapa petugas, antara lain melalui para alim ulama yang selalu memperhatikan wahyu dan menjelaskan kandungannya serta memelihara kesuciannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa Sunnah Nabi saw. yang berfungsi menjelaskan kandungan al-Qur’an pun termasuk bagian yang dipelihara-N ya, m elalui upaya para ulam a m enetapkan kaidah-kaidah penyeleksian hadits-hadits serta upaya mereka menerapkan kaidah-kaidah itu pada satuan-satuan hadits. Perlu penulis catat bahwa terdapat kesan perbedaan antara makna ayat 64 surah Maryam oleh Thabathaba’i yang dikutip di sini dan apa yang dikemukakannya pada surah Maryam [19]: 64. Rujuklah ke apa yang penulis kemukakan di sana. AYAT 77 Jl 1j i i j i a l j . ( V V ) ^ jnh&i “Hai orang-orangyang beriman, ruku’ dan sujudlah, serta sembahlah Tuhan kamu dan perbuatlah kebajikan, semoga kamu mendapat kemenangan. ” Al-Biqa‘i menulis tentang hubungan ayat ini dengan ayat yang lalu, bahwa setelah Allah swt. membuktikan bahwa kekuasaan dan wewenang hanya milik-Nya, dan bahwa Dia telah menyempurnakan syariat agamaNya, memelihara para rasul-Nya, serta memberi kebebasan kepada siapa pun untuk menganut agama apapun, dan itu semua diakhiri dengan uraian yang mengandung dorongan dan peringatan. Nah, setelah itu —tulisnya — maka sebagaimana halnya para raja dan penguasa, yang telah menyampaikan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 132 1 . Surafi aC-Hajj (22) Kelompok VII ayat 77 perintah mereka dan telah tersebar utusan-utusannya, maka tentulah akan datang kepada para raja dan penguasa itu sekian banyak orang yang siap m elaksanakan perintah m ereka itu. Nah, kepada m ereka yang siap itu ditujukan perintah ayat 77 di atas. Demikian al-Biqa‘i. Terlepas apakah Anda setuju atau tidak dengan pendapat di atas, yang jelas bahwa dengan ayat 76 dan sebelumnya, selesai sudah uraian tentang kesesatan kaum musyrikin, serta kecaman terhadap keburukan mereka. Kini perintah ditujukan kepada kaum beriman agar melaksanakan misi mereka. Allah berfirman: Hai orang-orangyang beriman, jangan sampai kamu teperdaya oleh kaum musyrikin. Kiiku’ dan sujudlah kamu semua, yakni lak san ak an lah sh alat dengan baik dan benar, serta sembahlah Tuhan Pemelihara dan Yang selalu'berbuat baik kepada kamu, persembahan dan ibadah antara lain dengan berpuasa, mengeluarkan zakat, melaksanakan haji, dan aneka ibadah lainnya dan perbuatlah kebajikan seperti bersedekah, silaturrahim , serta aneka amal-amal baik dan akhlak yang mulia, semoga kamu yakni lakukanlah semua itu dengan harapan mendapat kemenangan. Ayat ini, secara umum telah mencakup semua tuntunan Islam, dimulai dari akidah yang ditandai dengan penamaan mereka yang diajak dengan ( I jjJUi ) alladsjna amanuI orang-orang yang beriman, selanjutnya dengan memerintahkan shalat dengan menyebut dua rukunnya yang paling menonjol yaitu ruku’ dan sujud. Penyebutan shalat secara khusus karena ibadah ini m erup akan tian g agam a, “Siapa yang m en dirikann ya m aka ia telah m en d irikan agam a, dan siapa yan g m en gab aik annya m aka ia telah meruntuhkannya. “Setelah itu, disebut aneka ibadah yang dapat mencakup banyak hal, bahkan dapat mencakup aktivitas sehari-hari jika motivasinya adalah mencari ridha Ilahi, dan akhirnya ditutup dengan perintah berbuat kebajikan yang menampung seluruh kebaikan duniawi dan ukhrawi, baik yang berdasar wahyu maupun nilai-nilai yang sejalan dengan tujuan syariat, baik ia berupa hukum dan undang-undang maupun tradisi dan adat istiadat. Jika hal-hal di atas dipenuhi oleh satu masyarakat, maka tidak diragukan pastilah mereka —secara individual dan kolektif —akan meraih keberuntungan yakni meraih apa yang mereka harapkan di dunia dan di akhirat. Firman-Nya: (d)y*iAj la'allakum tujlihunlsemoga kamu mendapat kemenangan mengandung isyarat bahwa amal-amal yang diperintahkan itu, hendaknya dilakukan dengan harapan memperoleh al-falah/keberuntungan yakni apayang diharapkan di dunia dan di akhirat. Kata ( Jj*J) la ‘aliaj semoga yang tertuju kepada para pelaksana kebaikan itu, memberi kesan bahwa ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 133 f Surah a[-J£ajj (22) f ;j'r ^■vr* ' ebukan amal-amal kebajikan itu yang menjamin perolehan harapan dan keberuntungan apalagi surga, tetapi surga adalah anugerah Allah dan semua keberuntungan merupakan anugerah dan atas izin-Nya semata. Kata ( 0 ) tuflihm terambil dari kata ( ) falaha yang juga digunakan dalam arti bertani. ( ) fallah adalah petani. Penggunaan kata itu memberi kesan bahwa seorang yang melakukan kebaikan, hendaknya jangan segera mengharapkan tibanya hasil dalam waktu yang singkat. Ia harus merasakan dirinya sebagai petani yang harus bersusah payah membajak tanah, menanam benih, menyingkirkan hama dan menyirami tanamannya, lalu harus menunggu hingga memetik buahnya. Banyak ulama menganggap ayat ini sebagai salah satu ayat sajdah. Yakni dianjurkan bagi yang membaca atau mendengarnya agar sujud kepada Allah. Ini antara lain pendapat Imam Syafi'i, Ahmad, dan ulama-ulama Madinah. Tetapi banyak juga yang tidak berpendapat demikian, antara lain Imam Malik, Abu Hanifah dan ats-Tsauri. Pada pendahuluan uraian tentang surah ini, penulis telah kemukakan riwayat yang intinya menyatakan bahwa Nabi saw. mengakui adanya dua sajdah pada surah ini. Tetapi riwayat ini dilemahkan oleh sementara ulama. Para ulama hanya sepakat menilai ayat 18 surah ini sebagai ayat sajdah. Yang menerima hadits itu, menilai ayat 77 di atas sebagai ayat sajdah kedua. Kelompok VII ayat 78 A Y A T 78 Jy* <UJb J j iAA J-3 j* (ju J— jti'U l) jJS <lLa ^'*^ 6 “4 I jjU j (VA) 'jA “Dan berjihadlah pada jalan Allah denganjihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama sedikit kesempitan pun; agama orang tua kamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu muslimin sejak dahulu dan di dalam ini, supaya Rasul menjadi saksi atas kamu dan supaya kamu menjadi saksi atas segenap manusia, maka laksanakanlah shalat dan tunaikanlah %akat dan berpeganglah pada (tali) Allah. Dia Pelindung kamu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. ” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 1 3 4 } Surafl a[-^aJJ (22) Kelompok VII ayat 78 Shalat, ibadah dan amal kebajikan -bukanlah sesuatu yang mudah dipenuhi, karena dalam diri manusia ada nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan, di sekelilingnya ada setan yang menghambat, karena itu manusia perlu berjihad mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuan agar amalamal kebajikan itu dapat terlaksana dengan baik. Dari sini ayat 78 yang menyusul perintah beramal baik itu menegaskan bahwa: Perhatikanlah ajakan K am i di atas (ayat 77) dan berjihadlah yakni curahkan semua kemampuan dan totalitas kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya yakni demi karena Allah serta sesuai keagungan-Nya untuk menegakkan kalimat Allah dan mengalahkan musuh dan hawa nafsu kamu sehingga kamu menjadi hamba-hamba-Nya yang taat. Sungguh perlu kamu lakukan hal itu dalam rangka mensyukuri-Nya karena Dia telah memilih kamu sebagai umat pertengahan dan pilihan serta menjadi pembela-pembela agama-Nya dan apa yang diperintahkan itu tidaklah berat bagi kamu karena Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama yang dipilih-Nya untuk kamu itu sedikit kesempitan pun yakni Allah tidak menetapkan satu hukum agama yang menyulitkan atau memberatkan kamu, Dia justru memberikan kemudahan setiap terjadi kasus yang memberatkan kamu. Oleh karena itu, pegang teguhlah agama ini, sebagaimana Dia tidak menjadikan sedikit kesulitan pun pada agama orang tua kamu Ibrahim. Nabi yang sangat agung dan diagungkan oleh semua penganut agama samawi. Nabi yang menolak penyembahan berhala sambil mengumandangkan akidah tauhid. Dia yakni Allah telah menamai kamu muslimin yakni orang-orang yang berserah diri. Penamaan itu sejak dahulu, di dalam kitab-kitab suci yang telah diturunkan-Nya dan begitu pula di dalam al-Qur’an ini; supaya Rasul menjadi saksi atas kamu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Karena banyaknya nikmat Allah kepada kamu, antara lain yang disebut di atas dan karena kamu adalah um at pilihan-N ya, maka laksanakanlah shalat secara baik dan bersman>bung dan tunaikanlah %akat secara sempurna dan berpeganglah kamu semua pada tali agama Allah. Dia saja Pelindung dan Yang menangani serta memenuhi keperluan kamu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Kata ( ) jihad terambil dari kata ( ) juhd yang mempunyai aneka makna, antara lain: upaya, kesungguhan, keletihan, kesulitan, penyakit, kegelisahan dan lain-lain. Dalam al-Qur’an ditemukan sekitar empat puluh kali kata jihad, dengan berbagai bentuknya. Maknanya bermuara kepada mencurahkan seluruh kemampuan atau menanggung pengorbanan. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 135 Surafi aC-Jfafj (22) Kelompok VII ayat 78 f ' ^ J, cM ujahid adalah yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban dengan nyawa atau tenaga, pikiran, emosi dan apa saja yang berkaitan dengan diri manusia. Jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Caranya disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan dengan modal yang tersedia. Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, bahkan kelesuan, tidak pula pamrih. Ada kesalahpaham an tentang pengertian jihad; ini m ungkin disebabkan karena sering kali kata itu baru terucapkan pada saat perjuangan fisik, sehingga diidentikkan dengan perlawanan bersenjata. Kesalahpahaman itu disuburkan juga oleh terjemahan yang keliru terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang jihad dengan anfus. Kata anfus sering kali diterjemahkan dengan jiwa. Sebenamya banyak arti dari nafs/anfus dalam al-Qur’an, sekali berarti nyawa di kali lain hati, di kali ketiga jenis dan ada pula yang berarti totalilas manusia, di mana terpadu jiwa raganya. Al-Qur’an mempersonifikasikan wujud seseorang di hadapan Allah dan masyarakat dengan menggunakan kata nafs. Kalau demikian, tidak meleset jika kata itu dalam konteks jihad dipahami dalam arti totalitas manusia, sehingga kata nap mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, walhasil totalitas manusia, bahkan juga waktu dan tempat, karena manusia tidak dapat memisahkan diri dari keduanya. Pengertian ini, dapat diperkuat dengan perintah berjihad pada ayat yang ditafsirkan ini yang tidak menyebut objek jihad. Sejak masih di Mekah, ketika kaum muslimin belum kuat dan belum mampu m engangkat senjata atau melawan secara fisik, A llah telah memerintahkan berjihad. Ketika itu Allah berfirman: *Jai \ jS x x x x x xx / / “Maka janganlah engkau mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengannya (yakni dengan al-Qur’an) dengan jih a d y a n g besar’’ (QS. al-Furqan [25]: 52). Beraneka ragam jihad dari segi lawan dan buahnya. Ada jihad melawan orang-orang kafir, munafik, setan, hawa nafsu, dan lain-lain. Buahnya pun berbeda-beda. Jihad Ilmuwan adalah pemanfaatan ilmunya; Karyawan adalah karyanya yang baik; Guru adalah pendidikannya yang sempurna; Pemimpin adalah keadilannya; Pengusaha adalah kejujurannya, Pemangkul senjata adalah kemerdekaan dan penaklukan musuh yang zalim. Semua ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok Vll ayat 78 cjihad, apapun bentuknya dan siapa pun lawannya, harus karena Allah dan tidak boleh berhenti sebelum berhasil atau kehabisan modal. Itulah yang dimaksud dengan ( ajlg*haqqjihddihi. Kata ( ^ ) ijtabakumltelah memilih kamu, dipahami oleh Thabathaba’i dalam arti pilihan khusus yang menjadikan seseorang hanya mengarahkan pandangan kepada Allah. Allah telah menjadi perhatiannyayang penuh sehingga tidak ada lagi tempat di dalam hatinya untuk selain Allah. Ia tidak lagi menoleh kepada dirinya tetapi selalu dalam hubungan harmonis dengan Allah yang telah memilihnya untuk hanya mengingat dan mengabdi kepada-Nya. Jika pendapat Thabathaba’i ini diterima, maka yang dimaksud terpilih oleh Allah itu, adalah manusia-manusia khusus, bukan sembarang orang beriman. Firman-Nya: ( j* J ) wa mdja‘ala ‘alaikum ft ad-din min harajin/ Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama yang dipilih-Nya untuk kamu itu sedikit kesempitan pun, sejalan dengan firman-Nya: “Allah menghendaki untuk kamu kemudahan dan Dia tidak menghendaki buat kamu kesulitan” (QS. al-Baqarah [2]: 185). A gam a Islam sejalan dengan fitrah manusia, sehingga semua tuntunannya mudah dilaksanakan. Apabila dalam satu situasi atau kondisi terjadi hal-hal yang menjadikan seseorang mengalami kesulitan dalam melaksanakan tuntunannya, maka tuntunan yang terasa memberatkannya itu menjadi ringan melalui tuntunan lain. Siapa yang berat berpuasa di bulan Ramadhan, maka dia dapat menangguhkannya di bulan lain, kalaupun di bulan lain dia tetap mengalami kesulitan, maka dia dapat membayar fidyah, kalau ini pun tidak, maka Allah Maha Pengampun. Hanya beberapa jenis makanan yang dilarang, itupun jika terpaksa, misalnya karena rasa lapar yang mengancam kelangsungan hidup maka yang haram itu menjadi halal dalam batas memelihara hidup. Walhasil, “Kalau satu tuntunan agama terasa berat, maka otomatis ada jalan keluar yang meringankannya.” Kata ( a1» ) millah, terambil dari kata yang berati meng-imla -kan, yakni membacakan kepada orang lain agar ditulis olehnya. Kata ini sering kali dipersamakan dengan kata din/agama. Ini karena agama atau millah adalah tuntunan-tuntunan yang disampaikan Allah swt. yang bagaikan sesuatu yang di-zW a-kan dan ditulis, sehingga sama sepenuhnya dengan apa yang disampaikan itu. Menurut ar-Raghib al-Ashfahani, penggunaan kata millah, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VII ayat 78 Surah aC -tfajj (22) y J 33 © if i selalu dikaitkan dengan nama penganjurnya, yang dalam ayat ini dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as. Di sisi lain, biasanya kata millab tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan keseluruhan ajaran agama, tidak dalam nnciannya, sedang kata ( j/ i ) din penggunaan, di samping untuk keseluruhan ajaran, juga dapat untuk rinciannya. Firman-Nya: ( ) tttillata abiknm IbrahimI agama orang tua kamu Ibrahim, ada juga yang memahaminya dalam arti agama Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. yang tidak terdapat sedikit kesempitan itu, sama dalam dasar dan prinsip-prinsipnya dengan mil/ah Ibrahim as., yaitu tauhid, kesesuaian dengan fitrah, moderasi, penegakan hak dan keadilan, keramahtamahan dan lain-lain. Thahir Ibn ‘Asyur memahami penggalan1ayat ini sebagai pujian terhadap ajaran Islam sekaligus dorongan agar memeluknya, karena agama Islam adalah agama yang dibawa oleh dua orang Nabi agung —Nabi Muhammad saw. dan Nabi Ibrahim as. — dan ini —menurutnya —merupakan ciri khusus agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Inilah juga —menurut Thahir Ibn ‘Asyur —makna sabda Nabi saw.: “Aku adalah doa ayahku Ibrahim” (HR. Abu Daud athThayalisi melalui ‘Ubadah Ibn Shamith). Doa dimaksud adalah permohonan Nabi Ibrahim as.: “Tuhan kami utuslah dari kalangan mereka (masyarakat Mekah) seorang rasul dari mereka” (QS. al-Baqarah [2]: 129). Jika makna ini yang dipilih —lanjutnya - maka itu berarti bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. itu adalah agama Nabi Ibrahim as, dalam arti bahwa agama Islam, mencakup agama Nabi Ibrahim as. Benar bahwa agama Islam mengandung banyak hukum dan tuntunan, tetapi ia mengandung juga banyak dari tuntunan dan ajaran Nabi Ibrahim as., yang tidak dikandung oleh syariatsyariat yang lain, sehingga agama yang disampaikan Nabi Muhammad saw. dijadikan bagaikan millah Nabi Ibrahim as. Demikian lebih kurang Thahir Ibn ‘Asyur. Ayat ini menamai Nabi Ibrahim as. sebagai ( ) abikum yang secara harfiah berarti ayah kamu. Ini bukan berarti bahwa mitra bicara di sini hanyalah orang-orang Arab tertentu karena mereka memiliki garis keturunan kepada Nabi Ibrahim as. Kata ( ) abikum terambil dari kata ( o i ) ab yang tidak selalu berarti ayah kandung atau sumber garis keturunan. Al-Qur’an menamai A%ar paman Nabi Ibrahim as. dengan ( i_ji ) ab (baca ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com im r| | !| i i Surafi aC-Q£ajj(22) Kelompok VII ayat 78 CQS. al-An‘am [6]: 74). Istd-istri Nabi Muhammad saw. pun dinamai ( jo j jil o l^ ii) ummahdt al-mu'minin!ibu-ibu kaum mukminin. Di sisi lain, putra kandung Nabi Nuh as. tidak diakui Allah sebagai anak dan keluarganya (baca QS. Hud fl 1]: 45-46). Salman al-Farisi diakui Nabi Muhammad saw. sebagai keluarga beliau, walaupun dia berasal dari Persia. Semua umat Islam yang taat dapat dinamai putra-putra Nabi Ibrahim as. dan beliau adalah ayah mereka, karena: “Sesungguhnya orang y a n g paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orangyang beriman kepada Nabi Muhammad dan A.llah adalah Pelindung orang-orang mukmin” (QS. Al ‘Imran [3]: 68). Nabi Ibrahim as. dinamai bapak orang-orang beriman karena beliau diakui oleh al-Qur’an sebagai orang pertama/yang paling utama menyatakan dirinya sebagai menyerahkan diri kepada Allah (baca QS. al-Baqarah [2]: 131, dan beliau juga yang menyatakan bahwa: •4 f f ' / / j /^ “Siapa yang mengikutiku maka sesungguhnya ia adalah bagian dari diriku” (QS. Ibrahim [14]: 36). Firman-Nya: ( ) syahidan/ saksi dapat berarti objek dan juga berarti subjek, sehingga kata tersebut dapat berarti yang disaksikan atau yang menyaksikan. Rasul menjadi saksi kebenaran dan kebaikan amal-amal kaum muslimin di hari Kemudian, atau Rasul akan menjadi saksi apakah sikap dan gerak umat Islam sesuai dengan tuntunan Ilahi atau tidak. Makna ini jika kita memahami kata syahid sebagai subjek. Sedang kalau kata itu dipahami dalam arti objek maka beliau adalah yang disaksikan dan diteladani oleh kaum muslimin. Umat Islam sebagai syuhadd’ (bentuk jamak kata dari syahid) juga demikian. Mereka kelak di hari Kemudian akan menjadi saksi bahwa para rasul terdahulu telah menyampaikan ajaran Ilahi kepada umat mereka. Kesaksian ini lahir karena semua kaum muslimin mempercayai semua rasul dan tidak membedakan dalam kepercayaan mereka itu antara satu rasul dengan rasul yang lain (QS. al-Baqarah [2]: 285), dan mereka juga percaya kepada al-Qur’an yang menyatakan bahwa para rasul itu telah menunaikan amanah Ilahi dengan sempurna. Jika kata tersebut dipahami dalam arti objek, maka kaum muslimin adalah syuhada’ yang harus menjadi teladan-teladan kebajikan bagi umat ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 139 Kelompok VII ayat 78 isplsif<j;r' Surah a[-2£ajj (22) lain setelah mereka menjadikan Nabi Muliammad saw. teladan mereka. Selanjutnya rujuklah ke QS. al-Baqarah [2]: 143 untuk memperoleh informasi yang lain menyangkut fungsi rasul sebagai syahtd dan fungsi umat Islam sebagai syuhada’. Kata ( I 1 ) i'tashimu terambil dari kata ( ) ‘ashama, yang bermakna menghalangi. Penggalan ayat ini mengandung perintah untuk berpegang kepada tali agama Allah yang berfungsi menghalangi seseorang terjatuh. Memang —seperti tulis Fakhruddin ar-Razi —setiap orang yang berjalan pada jalan yang sulit, khawatir tergelincir jatuh, tetapi jika ia berpegang pada tali yang terulur pada kedua ujung jalan yang dilaluinya, maka ia akan merasa aman untuk tidak terjatuh, apalagi jika tali tersebut kuat dan cara memegangnya pun kuat. Yang memilih tali yang rapuh, atau tidak berpegang teguh —walau talinya kuat —kemungkinan besar akan tergelincir sebagaimana dialami oleh banyak orang. Ayat di atas memang tidak menyebut kata tali, tetapi firman-Nya dalam QS, A1 ‘Imran [3]: 103, menyebut kata tali sambil memerintahkan agar berpegang teguh dengan tali At'lab itu. Yang dimaksud dengan tali adalah ajaran agama, atau al-Q ur’dn. Rasul saw. melukiskan al-Qur’an dengan sabdanya.- “l luwa habl Allah al-matin (Dia adalah tali Allah yang kukuh). ” Kata ( i ^ V ) mauldkum terambil dari kata ( J j ) waliya yang berarti dekat. Dari makna tersebut lahir makna-makna baru seperti pembela, pelindung. Karena yang dekat pada Anda pastilah membela, melindungi serta memperhatikan kemaslahatan Anda. Pelaksanaan tuntunan ayat-ayat di atas hasilnya adalah takwa, dan perlu diingat bahwa awal ayat surah ini adalah perintah bertakwa, dan di sini ditunjuk cara untuk mencapai takwa itu. Dengan demikian, bertemu akhir ayat ini dengan awalnya. Demikian, Wa yillah A Ham. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com \ Surafi aC-OVLu’minun Surah al-M u’minun termasuk golongan surah-surah Makiyyah, terdiri atas 118 ayat. Dinamakan surah ini “AL-MU’MINUN” karena permulaan surah ini menerangkan bagaimana seharusnya sifat-sifat orang mu’min yang menyebabkan keberuntungan mereka di akhirat dan ketentraman jiw a mereka di dunia. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com SURAH AL-MU’MINUN urah al-Mu’minun adalah salah satu surah yang disepakati oleh ulama turun sebelum Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah, atau yang diistilahkan dengan surah Makkiyyah. Memang ada juga segelintir kecil ulama yang menduga sebagian ayatnya turun di Madinah. Misalnya ada yang menduga bahwa ayat 75-77 surah ini adalah M adaniyyah. Tetapi pendapat tersebut dinilai serupa dengan kelemahan pendapat yang menduga ayat 4 surah ini berbicara tentang kewajiban zakat yang baru disyariatkan di Madinah. Nama al-Mu’minun atau al-Mu’minin dikenal sejak masa Nabi saw. Imam an-Nasa’i meriwayatkan bahwa sahabat Nabi saw., yakni Abdullah Ibn Sa’ib mengatakan, “Pada hari pembukaan kota Mekah, aku shalat bersama Rasulullah saw. Beliau shalat dengan menghadap ke Ka‘bah, setelah membuka alas kaki beliau dan meletakkannya di sebelah kiri beliau. Sewaktu itu, beliau membaca surah al-Mu’minun, dan ketika tiba pada ayat yang berbicara tentang Musa atau ‘Isa, beliau terbatuk-batuk, dan beliau pun ruku‘.” Ada juga yang menamai surah ini dengan surah Qad Aflaha. Kedua nama itu terambil dari kata-kata yang terdapat pada awal ayat surah ini. Surah ini merupakan surah yang ke-76 jika ditinjau dari perurutan turunnya surah. Ia turun sebelum surah al-Mulk/Tabarak, dan sesudah surah ath-Thur. Jum lah ayat-ayatnya sebanyak 117 ayat. Ada juga yang menghitungnya sebanyak 118 atau 119 ayat. Mereka yang berpendapat 118, 143 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com tpp!M Surafi aC-'Mu’minun (23) aw menghitung firman-Nya: ( oyj>jJl dJUJj!) ula’ika hum al-waritsun (ayat 10) satu ayat, dan ( j jjJl> ^ j iy i il o jj y ^>^1) allad^tna yaritsfina al-firdaus hum fihd khalidun (ayat 11) satu ayat lagi. Berbeda dengan ulama yang menggabung kedua kalimat itu dan menjadikannya satu ayat saja. Tujuan dan tema utama surah ini adalah uraian tentang kebahagiaan dan kemenangan yang akan diraih secara khusus untuk orang-orang mukmin, sebagaimana jelas dipahami dari namanya. Demikian al-Biqa‘i. Thabathaba’i berpendapat serupa, walaupun ulama ini menambahkan bahwa surah ini m erupakan ajakan beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta menjelaskan sifat-sifat orang mukmin dan orang-orang kafir. Penjelasan Sayyid Quthub lebih jelas. Menurutnya, “Nama surah ini menunjuk dan menetapkan tujuannya. Ia dimulai dengan uraian tentang sifat orang-orang mukmin, lalu dilanjutkan dengan bukti keimanan dalam diri manusia dan alam raya, kemudian uraian tentang hakikat iman sebagaimana dipaparkan oleh para rasul Allah sejak Nabi Nuh as. sampai dengan Nabi dan Rasul terakhir Muhammad saw. Kemudian dipaparkan dalih para pengingkar dan keberatan-keberatan mereka serta pembangkangan mereka, sampai dengan kebinasaan para pengingkar dan kemenangan orang-orang mukmin.” Dengan demikian —tulis Sayyid Quthub —“Surah ini adalah surah alMu’minun atau surah al-Iman dalam seluruh aspek, dalil-dalil dan sifatsifatnya, dan itulah tema utamanya.” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com A Y A T 1-2 “Sesungguhnya telah beruntunglah orang-orang mukmin (yaitu) merekayang khusyu' dalam shalatnya” Ayat surah al-Hajj ditutup dengan ajakan kepada orang-orang yang beriman serta perintah kepada mereka untuk melaksanakan tuntunan agama, baik yang khusus maupun yang umum, yang diakhiri dengan perintah shalat dan zakat, serta berpegang teguh dengan tali Allah yang terulur dari langit. Mereka yang melaksanakan tuntunan itu akan menjadi orang-orang mukmin yang mantap imannya. Nah, di sini dikemukakan dampak dari keimanan itu sekaligus rincian dari sifat-sifat mereka. Dapat juga dikatakan bahwa pada akhir-akhir ayat surah yang lalu (ayat 77), kaum beriman diperintahkan agar melakukan aneka ibadah dengan harapan agar mereka memperoleh keberuntungan, atau dengan redaksi ayat itu ( o jsxJLai ) la‘allakum tuflihun. Harapan tersebut dapat menjadi kepastian jika mereka menghiasi diri dengan apa yang disebut pada kelompok pertama ayat-ayat surah ini. Itu sebabnya sehingga awal ayat ini menggunakan kata ( j j ) qad yang mengandung makna kepastian. Ayat di atas menyatakan bahwa: Sesungguhnya telah yakni pasti beruntunglah mendapat apa yang didambakannya orang-orang mukmin, yang mantap imannya dan mereka buktikan kebenarannya dengan amal-amal saleh yaitu mereka yang khusyu ‘ dalam shalatnya, yakni tenang, rendah hati 145 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-CMu’minun (23) Kelompok I ayat 1-2 lahir dan batin, serta yang perhatiannya terarah kepada shalat yang sedang mereka kerjakan. Kata ( jJ if ) aflaha terambil dari kata ( ) al-falh yang berarti membelah, dari sini petani dinamai ( ) al-falldh karena dia mencangkul untuk membelah tanah lalu menanam benih. Benih yang ditanam petani menumbuhkan buah yang diharapkannya. Dari sini agaknya sehingga memperoleh apa yang diharapkan dinamai faldh dan hal tersebut tentu m elahirkan kebahagiaan yang juga m enjadi salah satu m akna faldh. Selanjutnya rujuklah ke QS. al-Hajj [22]: 77 untuk memperoleh imformasi tambahan. K ebahagiaan ada yang duniaw i dan ada pula yang ukhrawi. K eb ah agiaan duniaw i — mtenurut ar-R aghib al-A sh fah an i adalah memperoleh hal-hal yang menjadikan hidup duniawi nyaman antara lain berupa kelanggengan hidup, kekayaan dan kemuliaan. Sedang yang ukhrawi terdiri dari empat hal, yaitu wujud yang langgeng tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan, dan ilmu tanpa ketidaktahuan. Iman dari segi bahasa adalah pembenaran hati menyangkut apa yang didengar. Menurut Thabathaba’i, iman adalah kepatuhan dan pembenaran yang disertai dengan pemenuhan konsekuensinya. Dengan demikian keimanan kepada Allah dalam pengertian al-Qur’an adalah pembenaran tentang keesaan-N ya, para rasul-Nya, hari Kemudian, serta apa yang disampaikan oleh para rasul-Nya disertai dengan al-ittiba ‘ yakni mengikuti dan melaksanakannya secara umum. Karena itu —tulis Thabathaba’i —setiap al-Qur’an menyebut kaum mukminin dengan sifat yang indah, atau ganjaran yang melimpah —kita temukan pula —ia digandengkan dengan menyebut amal saleh, seperti firman-Nya: 3U?- j Aj " j ! jSo if jjo S btJCo ' [ir® ' “Siapayang mengamalkan (amal) saleh, baik lelaki maupun perempuan, sedang dia mukmin, maka pasti Kami menghidupkannya dengan kehidupan yang baik ” (QS. an-Nahl [16]: 97) Sekadar kepercayaan menyangkut sesuatu, belum dapat dinamai iman. Iman menghasilkan ketenangan. Karena itu pula dia berbeda dengan ilmu, walau salah satu yang mengukuhkan iman adalah ilmu. Tetapi ilmu tidak jarang menghasilkan keresahan dalam hati pemiliknya, berbeda dengan iman. Ilmu walau diibaratkan dengan air telaga tetapi tidak jarang ia keruh, dan iman ketika diibaratkan dengan air bah dengan gemuruhnya, tetapi ia ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok 1 ayat 1-2 Surat af-^Mu’minun (23) '* l r “ selalu jernih sehingga menenangkan. Kata ( ) shalatihim menisbahkan shalat itu kepada pelakunya, bukan kepada Allah, walaupun pada hakikatnya shalat tersebut ditujukan k epada-N ya. H al in i disebabkan karena ayat in i berm aksud m enggarisbaw ahi aktivitas pelaku, apalagi mereka itulah yang akan memperoleh manfaat shalatnya, bukan Allah swt. Kata ( 0 ) khdsyi‘un terambil dari kata ( khasya‘a yang dari segi bahasa berarti diam dan tenang. Ia adalah kesan khusus dalam hati siapa yang khusyu‘ terhadap siapa yang dia khusyu‘ kepadanya, sehingga yang bersangkutan mengarah sepenuh hati kepada siapa yang dia khusyu' kepadanya sambil mengabaikan selainnya. Patron kata yang digunakan ayat ini menunjuk kepada pelaku yang mantap melakukan kekhusyu‘an itu. Sementara ulama menyatakan bahwa khusyu' yang dimaksud ayat ini adalah rasa takut jangan sampai shalat yang dilakukannya tertolak. Rasa takut ini antara lain ditandai dengan ketundukan mata ke tempat sujud. Rasa takut itu bercampur dengan kesigapan dan kerendahan hati. Ibn Katsir m enulis bahw a k h u syu ‘ dalam shalat baru terlaksan a bagi yang mengkonsentrasikan jiwanya bagi shalat itu dan mengabaikan segala sesuatu selain yang berkaitan dengan shalat. Imam ar-Razi menulis bahwa apabila seorang sedang melaksanakan shalat, maka terbukalah tabir antara dia dengan Tuhan, tetapi begitu dia menoleh, tabir itupun tertutup. Ulama-ulama fiqh berbeda pendapat tentang khusyu' dalam shalat. A pakah dia fardhu/ w ajib atau sunnah. M ayoritas ulam a tidak mewajibkannya, namun ulama-ulama tasawuf mewajibkannya. Para ulama fiqh tidak memasukkan kekhusyu'an pada bahasan rukun, atau syarat shalat, karena mereka menyadari bahwa khusyu‘ lebih banyak berkaitan dengan kalbu, sedang mereka pada dasarnya hanya mengarahkan pandangan ke sisi lahiriah manusia. Nahnu nabkumu bi %hahir wa Allah yatawalla as-sara’ir (kami hanya menetapkan hukum berdasaryang lahir dan Allah yang menangani yang batin). Khusyu‘ adalah kondisi kejiwaan yang tidak dapat terjangkau hakikatnya oleh pandangan manusia termasuk para ahli fiqh itu. Sebenarnya para ulama fiqh pun secara tidak langsung telah menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengarah kepada keharusan khusyu' dalam shalat, tetapi dalam bahasa fiqh dan keterbatasannya pada hal-hal yang bersifat lahiriah. Hal ini antara lain dapat terlihat dalam penekanan para fuqahd’ tentang perlunya memelihara gerak di luar gerak shalat, sehingga tidak melampaui batas tertentu, misalnya tiga kali gerak yang besar. Mereka ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-'Mu’minun (23) Kelompok I ayat 1-2 juga menekankan bahwa khusyu* tergamhar pada sikap antara lain tidak m enoleh, menguap, atau membunyikan jari-jari tangan, tidak juga m emandang ke atas, tetapi ke depan atau ke tempat sujud. Apalagi, sementara ulama berkata, bahwa Nabi saw. sebelum turunnya ayat ini sering mengarahkan pandangan ke langit —saat shalat —dan sejak turunnya beliau tidak melakukannya lagi tetapi selalu memandang ke arah tempat sujud beliau. Demikian antara lain ulama fiqh menetapkan makna khusyu1 dalam disiplin ilmu mereka. Memang Nabi Muhammad saw. menjadikan gerakan anggota badan, di luar gerak shalat, sebagai pertanda lahiriah dari ketiadaan khusyu1. Suatu ketika beliau berkomentar ketika melihat seorang yang shalat sambil memegang-megang jerfggotnya bahwa: “Seandainya hatinya khusyu1, niscaya tangannya pun khusyu' (tidak bergerak-gerak)” (HR. an-Nasa’i dan Ibn Majah melalui Abu Sa'id al-Khudhri. Di sisi lain perlu dicatat bahwa khusyu' yang merupakan upaya menghadirkan kebesaran Allah dalam benak, pada hakikatnya bertingkattingkat. Para ulama fiqh ketika menetapkan sunnahnya khusyu', melihat pada khusyu' yang peringkatnya tinggi, dan ketika mereka menetapkan larangan banyak bergerak dalam shalat, maka pada hakikatnya mereka menetapkan bentuk khusyu' dalam peringkat minimal. Dari sini dapat dim engerti pandangan Imam M alik ketika yang m enyatakan bahwa khusyu'an pada dasarnya adalah wajib, walaupun dalam rinciannya sunnah. Banyak orang menduga bahwa khusyu' dalam shalat menjadikan seseorang larut dalam rasa dan ingatan kepada Allah swt., tidak mengingat selain-Nya dan tidak merasakan sesuatu yang tidak berhubungan denganNya. Dalam konteks ini, sering kali contoh yang dikemukakan adalah kasus Sayyidina 'Ali Zainal Abidin, yang digelar dengan as-Sajjad, cucu Sayyidina A li Ibn Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra’ ra. (putri Rasul saw.). Dalam riwayat dikemukakan bahwa as-Sajjad menderita penyakit di kakinya yang mengharuskan pembedahan. Maka kepada para dokter disarankan agar melakukan pembedahan itu pada saat beliau shalat, karena pada saat itu ingatan dan perasaan beliau terpaku pada kebesaran Allah swt., tidak kepada sesuatu lainnya. Beliau tidak akan merasakan sakit pembedahan itu, karena sedang berada dalam puncak kenikmatan menghadap Allah swt. Contoh ini banyak dikemukakan oleh para sufi tetapi ulama fiqh mengetengahkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi saw. sendiri pun dalam shalatnya tidak selalu larut dalam kebesaran Allah. Bukankah beliau dalam ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok I ayat 3 Surafi aC-Mu’minun (23) V?ft cshalat mendengar tangisan bayi sehingga mempercepat shalatnya? (HR. Bukhari m elalui Abu Qatadah). Bukankah suatu ketika beliau sujud sedemikian lama sehingga para sahabat yang mengikuti beliau menduga ada perubahan dalam tata cara shalat, tetapi ternyata beliau menjelaskan bahwa “Cucu saya sedang menunggang punggung saya dan saya enggan m engangkat kepala sebelum dia puas.” Bukankah kedua kasus ini menunjukkan bahwa paling ddak - sekali-sekali ketika shalat —Rasul saw. pun tidak sepenuhnya larut dalam ingatan kepada Allah swt.? Kewajiban shalat dan khusyu‘ yang ditetapkan Allah dapat diibaratkan dengan kehadiran pada pameran lukisan. Banyak yang diundang hadir untuk menikmati keindahan lukisan, dan bermacam-macam sikap mereka. Ada yang hadir tanpa mengerti sedikit pun —apalagi menikmati lukisan; ada juga yang tidak mengerti tetapi berusaha mempelajari dan bertanya; ada lagi yang mengerti dan menikmatinya; dan ada pula yang demikian paham dan menikmati, sehingga terpukau dan terpaku, tidak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya. Dia tidak mendengar sapaan orang kepadanya, bahkan tidak merasakan senggolan orang sekitarnya. Dia benar-benar larut dalam kenikmatan. Pengundang akan bergembira jika Anda datang walau tidak m en gerti tentang lukisann ya, dia bergem bira karena Anda menghormati undangannya. Tetapi tentu pengundang akan lebih bergembira jika Anda mau belajar dan bertanya, apalagi jika Anda menikmati bahkan larut dalam menikmati lukisannya. Yang perlu diingat adalah jangan tidak menghadiri undangan itu dengan alasan apapun, karena itu berarti Anda melecehkan si pengundang. Begitulah lebih kurang ihwal shalat dan khusyu1 dalam pandangan ulama fiqh. Tentu saja kekhusyu'an yang disebut ayat ini bukanlah kekhusyu'an pada peringkatnya yang rendah, karena yang dibicarakan oleh ayat ini adalah al-M u’minun, yakni orang-orang yang telah mantap imannya, bukan ( jjjJ l ) allad^tna amanu/ orang-orang beriman walau masih belum mantap. Rujuklah ke QS. al-Anfal [8]: 2 untuk mengetahui lebih banyak tentang mereka. AYAT 3 O ' . • ^ ( r ) ® . * 0 1t I x 9 ^ / c f (•-* * • |.x J “Dan mereka yang terhadap al-laghw adalah orang-orangyang tidak acuh. ” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 150 *> *■ Surah aC-^Mu'minun (23) Kelompok I ayat 3 ''^ 0 Selanjutnya, karena shalat yang Ijenar dan baik m enjauhkan pelakunya dari hal-hal yang buruk bahkan yang mestinya ditiadakan, maka sifat selanjutnya yang disebut adalah tidak memberi perhatian kepada halhal yang tidak bermanfaat. Thahir Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa persoalan al-laghw yang disebut setelah kekhusyu‘an dalam shalat, karena kekhusyu'an bertolak belakang dengan al-laghw. Siapa yang berbicara atau mendengar tentang khusyu' akan terlintas dalam benaknya al-laghw; dan demikian mengabaikannya merupakan keniscayaan dari kekhusyu'an dalam shalat. Karena siapa yang terbiasa dengan ucapan yang baik, dia akan menjauhi ucapan yang buruk. Siapa yang terbiasa khusyu' kepada Allah tentulah dia akan meninggalkan kebohongan. Demikian Ibn ‘Asyur. Ayat di atas menyatakan: Dan di samping mereka yang telah disebut pada ayat yang lalu, termasuk juga yang akan memperoleh kebahagiaan adalah mereka yang terhadap al-laghw yakni hal-hal yang tidak bermanfaat adalah orang-orang yang tidak acuh, yakni tidak memberi perhatian atau menjauhkan diri secara lahir dan batin dari hal-hal tersebut. Kata ( ) al-laghw terambil dari kata ( ) lagha yang berarti batal, yakni sesuatuyang seharusnya tidak adaj ditiadakan. Ini dapat berbeda antara satu waktu, hal dan situasi dengan lainnya, sehingga bisa saja satu ketika ia dinilai tidak berfaedah sehingga menjadi laghw, dan di kali lain ia berfaedah. Menegur kekeliruan adalah baik, tetapi menegur kekeliruan saat khatib Jumat menyampaikan khutbahnya dinilai oleh Rasul saw. sebagai sesuatu yang laghw. Beliau bersabda: “Apabila Anda berkata kepada teman Anda pada hari Jum at saat imam berkhutbah: Diamlah (dengarkan khutbah)!, maka A nda telah m elakukan laghw (sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan)” (HR. Keenam Imam Hadits Standar). Apa yang haram dan makruh, sejak semula sudah harus ditinggalkan, sehingga ia bukanlah masuk kategori laghw—sebagaimana diduga sementara ulama. Laghw pada dasarnya adalah hal-hal yang bersifat mubah, yakni sesuatu yang tidak terlarang, tetapi tidak ada kebutuhan atau manfaat yang diperoleh ketika melakukannya. Banyak aktivitas, ucapan, perhatian dan perasaan yang dapat termasuk dalam kategori laghw. Kata ( j ) mu'ridhun terambil dari kata ( Je ^*ll ) al-‘urdh yang berarti samping. Seorang yang tidak memberi perhatian kepada sesuatu, maka dia tidak akan melihat dan menghadapkan wajah kepadanya, atau dengan kata lain dia mengenyampingkannya. Dari sini kata mu‘ridhun dipahami dalam ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok I ayat 3 Surah aC-^Mu'minun (23) c earti tidak memberi perhatian kepadanya.'Dengan demikian, ayat di atas bukannya m elarang orang-orang mukmin, tetapi menyatakan bahwa perhatian m ereka tidak tertuju kepadanya. M em ang tidak mudah meninggalkan sepenuhnya al-laghw, apalagi ia begitu banyak, tetapi yang dituntut adalah ketika seseorang menghadapinya, maka dia hendaknya memikirkan apakah hal tersebut membawa keuntungan ukhrawi, atau keuntungan duniawi yang melahirkan manfaat ukhrawi, untuk kemudian mengambil sikap, apakah memberinya perhatian atau tidak. Iman menjadikan seseorang merasa berada di hadirat Ilahi, atau dalam alam suci yang mulia. Siapa yang merasakan nikmatnya, pastilah dia tidak akan menghiraukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan alam suci itu, tidak juga menghiraukan hal-hal yang dapat mengantarnya tidak merasakan lezatnya iman. Namun perlu dicatat bahwa ini bukan berarti bahwa seorang mukmin harus selalu serius, tidak mengenal senyum atau canda. Hal ini perlu digarisbawahi karena terdapat kesalahpahaman, bahkan ditemukan sekian riwayat yang mengarah kepada larangan bercanda dan bergurau. Ambillah sebagai contoh ucapan yang diduga sementara orang sebagai sabda Nabi Muhammad saw. yaitu: “Jangan memperbanyak tawa karena banyak tawa mematikan kalbu.” Riwayat ini dan yang semacamnya, jika dinilai shahih —harus dipahami dalam arti lelucon “yang tidak lucu”, yang m enyakitkan hati dan m elengahkan dari tugas-tugas pokok, karena para nabi pun tertawa mendengar ucapan atau melihat kelakuan yang lucu. Nabi Sulaiman as. yang mendengar suara/ucapan semut dinyatakan oleh al-Qur’an, * * 6 " _'.rJ “Maka dia tersenyum tertawa mendengar ucapan semut." (QS. an-Naml [27]: 19) Sekian banyak juga riwayat yang menginformasikan bahwa Rasulullah saw. pun tertawa dan bergurau. Menurut istri beliau ‘Aisyah ra., “Rasulullah saw. adalah seorang yang sering tersenyum dan tertawa, bahkan tertawa sampai terlihat gigi geraham beliau —walau tidak terbahak, dan tidak mengucapkan kecuali yang haq" Seorang wanita tua datang kepada beliau memohon didoakan agar masuk surga, maka beliau bersabda: “Surga tidak dimasuki oleh wanita tua.” Wanita tersebut berteriak kecewa, dan ketika itu Rasul saw. tersenyum dan membacakan kepadanya firman Allah: ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com l ! 152J SuraH aC-Mu’minun (23) i Ij'y' Kelompok I ayat 3 ‘ 0 "^ ' i s.CiJj jaUQJI ill “Sesungguhnya Kami jadikan mereka dengan langsung. Kamijadikan mereka gadisgadis perawan, penuh cinta lag sebaya umurnya, untuk kelompok kanan (penghuni surga)” (QS. al-Waqi‘ah [56]: 35-38) Di kali lain datang seseorang berkata kepada beliau: “Suami saya mengundang Anda ke rumah kami.” Nabi saw. menjawab: “Apakah dia yang di matanya ada sesuatu yang putih?” Sang istri tidak membenarkan, tetapi Nabi saw. “berkeras” dan mengulangi ucapan beliau. Bahkan satu riwayat menyatakan bahwa Rasul saw. bersabda: “Bergegaslah melihat suamimu, karena di kedua matanya ada sesuatu yang putih.” Ketika sang istri menemui suaminya, san£ suami menenangkannya dengan berkata, “Memang ada yang putih di mata saya, tetapi bukan penyakit. Tenanglah hai istriku.” Istri Nabi saw., ‘Aisyah ra., berkata bahwa suatu ketika aku memasak makanan dan memberikannya kepada Rasul saw., yang ketika itu berada bersama istri beliau Saudah. ‘Aisyah mengharap Saudah ra. ikut makan, tetapi ia enggan karena tidak sesuai dengan seleranya. ‘Aisyah bersikeras sambil berkata, “Demi Allah, engkau harus makan, kalau tidak, akan kukotori wajahmu dengan makanan ini.” Karena Saudah bersikeras untuk tidak m akan, ‘A isyah m engam bil sebagian dari m akanan itu dan menempclkannya ke wajah Saudah. Saudah pun melakukan hal yang sama ke wajah ‘Aisyah sambil tertawa. Rasul saw. yang melihatnya pun ikut tertawa. Seorang sahabat Nabi saw. bernama Nu‘aiman Ibn Rufa‘ah, pejuang yang terlibat dalam sekian banyak peperangan bersama Rasul. Ia dikenal pula sebagai seorang jenaka, sampai ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda: “Dia akan masuk surga dengan tertawa.” Sahabat ini sering ke pasar untuk mengambil makanan atau buah yang disenanginya, kemudian membawanya kepada Nabi saw. sambil berkata: “Ini hadiah dari saya untukmu.” Tetapi tidak lama berselang datang sang penjual dan menagih harganya. Nu‘aiman meminta agar Nabi saw. membayarnya. Beliau bersabda kepada Nu‘aiman: “Bukankah engkau telah menghadiahkannya kepadaku.” Dia menjawab: “Benar, tetapi saya tidak memiliki uang dan saya ingin agar engkau (dan saya) memakannya. Nabi saw. pun membayar sambil tertawa. Seorang sahabat beliau bernama Hanzhalah yang dikenal sangat taat dan selalu terharu mendengar tuntunan Rasul saw., pada suatu ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com | 153j Kelompok I ayat 4 Surafi aC-Mu 'minun (23) -« jf | § hari bergurau dengan istrinya, kemudian dia sadar dan menduga gurauan itu bertentangan dengan ajaran agama, maka dia berkata: “Hanzhalah (aku) telah menjadi munafik.” Ia kemudian menemui Nabi saw. dan mengadukan dirinya, maka Nabi saw. bersabda: “Hai Hanzhalah, seandainya kamu sekalian terus menerus dalam keadaan itu (terharu ketika mendengar wejanganku); maka pastilah para malaikat berjabat tangan dengan kalian di tengah jalan; tetapi hai Hanzhalah - ada waktu untuk ini, dan ada juga waktu untuk itu,” yakni ada waktu di mana seseorang harus serius, dan ada juga waktunya bergurau dan santai. AYAT 4 “Dan mereka yang menyangkut akat adalah pelaksana-pelaksana.” Menurut al-Biqa‘i, penyebutan pengeluaran zakat setelah sebelumnya dinyatakan bahwa mereka menjauhkan diri dari al-laghw, disebakan karena menghindari al-laghw bukanlah hal yang mudah. Manusia hampir tidak dapat luput darinya. Di sisi lain, pengeluaran harta dalam hal ini membayar fidyah merupakan cara membebaskan diri dari ucapan sumpah yang dibatalkan. Jika demikian, ucapan dan perbuatan yang mestinya dibatalkan/ditiadakan tetapi telah dikerjakan, tentulah - melalui zakat, infak dan sedekah - dapat pula membebaskan manusia dari dosa atau kekeliruan karena melakukan al-laghw. Ayat di atas menyatakan: Dan di samping mereka yang telah disebut pada ayat yang lalu yang akan memperoleh kebahagiaan, termasuk juga yang akan memperolehnya adalah merekayang menyangkut \akalyakni sedekah atau penyucian jiwa adalah pelaksana-pelaksana yakni yang melakukannya dengan sempurna lagi tulus. Kata ( alS'j ) %akdh dari segi bahasa berarti suci dan berkembang. Ini karena menafkahkan harta mengantar kepada kesuciannya dan kesucian jiwa penafkah. Di samping itu, ia menjadi penyebab bagi pengembangan harta itu. Al-Qur’an sering kali menggunakan kata ini dalam arti sedekah, walaupun ulama fiqh memahami kata tersebut dalam istilah mereka sebagai bagian tertentu dari harta benda yang wajib dikeluarkan, setelah menenuhi syaratsyaratnya. Di sisi lain, al-Qur’an menggunakan kata shadaqah/sedekah dalam ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 154 ^vL'Hc Surah aC-^Mu’minun (23) Kelompok I ayat 4 arti zakat, yaitu pada firman-Nya dalam QS. at-Taubah [9]: 60. Al-Qur’an sering kali menggunakan kata kerja ( Iy\ ) at-it untuk menunjuk pengeluaran zakat/harta benda. Tetapi di sini, kata yang digunakan untuk menunjuk pelaku pengeluaran itu adalah kata ( 0 ) fa ‘Hurt yang terambil dari kata kerja ( J*i ) fa'ala. Pemilihan kata ini menurut Thabathaba’i, mengisyaratkan betapa besar perhatian mereka terhadap ibadah itu. Seseorang yang diperintahkan minum lalu berkata: “Ya, saya akan minum.” Jawaban ini tidaklah sekuat bila dia berkata: “Ya, saya akan melaksanakannya,” atau “Saya pelaksana hal itu.” Di sisi lain —menurut Ibn ‘Asyur —bahasa yang menggunakan materi kata fa'ala, mengandung makna pemberian kebajikan. Im an yan g m antap 'akan m endorong penyandangnya untuk menafkahkan sebagian hartanya, dan ini dapat mengantar masyarakat menikmati kecukupan bahkan kebahagiaan yang juga akan ikut berperan dalam kebahagiaan pemberi, karena kesempurnaan kebahagiaan seseorang, adalah keberadaannya di tengah masyarakat bahagia. Zakat, sedekah, dan berbagai infak mempererat hubungan sosial, sehingga masing-masing anggota masyarakat merasakan dan bertanggung jawab atas derita yang dialami oleh anggota lainnya. Dampak positifnya terlihat pada terkikisnya dengki atau iri hati (baca QS. Muhammad [47]: 36-37). Terbaca sejak ayat pertama sampai ayat di atas dan beberapa ayat berikut, bahw a yang didahulukan penyebutannya adalah apa yang berkedudukan sebagai objek —yakni ash-shalat, al-laghw, a^-^akdt, li furujihim, li amdnatihim dan shalawatihim. Itu semua didahulukan sebelum menyebut pelakunya. Hal tersebut bertujuan memberi penekanan dan perhatian menyangkut objek-objek yang disebut itu. Ia juga mengisyaratkan bahwa m asin g-m asin g sifat tersebut dapat m engantar pelakunya m eraih kebahagiaan. Anda jangan berkata bahwa mengerjakan shalat atau zakat saja, atau hanya memelihara kemaluan, tidaklah cukup. Dari satu sisi Anda benar. Tetapi jika shalat yang Anda lakukan itu benar-benar khusyu‘ dan memenuhi ketentuan-ketentuan serta sunnah-sunnahnya dan dilakukan secara mantap —sebagaimana yang dimaksud ayat di atas —maka ini akan mendorong lahirnya amal-amal kebajikan yang pada gilirannya mengantar kepada kebahagiaan. Demikian juga halnya dengan zakat, atau pemeliharaan kemaluan. Siapa yang melakukan hal tersebut didorong oleh ketaatan kepada Allah, maka itu pun pada gilirannya akan menghasilkan kebahagiaan. Anda harus ingat bahwa sebelum menyebut masing-masing sifat tersebut, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-'Mu’minun (23) Kelompok I ayat 5-7 terlebih dahulu digarisbawahi bahwa pelakunya adalah orang-orang mukmin yang mantap dan berakar imannya, dan tentu belum jauh dari ingatan Anda penjelasan yang lalu tentang makna iman dan konsekuensinya. Alhasil, pahamilah kandungan makna ayat demi ayat di atas, Anda akan menemukan kebenaran isyarat yang penulis kemukakan di atas. A Y A T 5-7 fV V t" c & u j i >?! <♦><>t y - ' r f f & ( V ) O jiU Jl j i i i U j i i iiU i t ' j j J2 t\ ^ ( 1) “Dan mereka menyangkut kemaluan mereka adalah pemelihara-pemelihara kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanitayang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka tidaklah dicela. Barang siapa mencari di balik itu, maka mereka itulah pelampau-pelampau batas. ” Ayat yang lalu menyebut tentang penunaian zakat atau pengeluaran harta benda yang fungsinya antara lain adalah penyucian harta itu dari kekotoran. Kini ayat-ayat di atas menyebutkan penyucian diri manusia dan yang pertam a serta terutam a disucikan adalah alat kelam in, karena perzinahan adalah puncak kebejatan moral serta perusakan generasi dan masyarakat. Ayat di atas melanjutkan penjelasannya tentang orang mukmin yang akan memperoleh kebahagiaan, yaitu bahwa: Dan di samping mereka yang telah disebut pada ayat-ayat yang lalu, termasuk juga yang akan memperoleh kebahagiaan, adalah mereka yang selalu menyangkut kemaluan mereka adalah pemelihara-pemelihara, yakni tidak menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui hal dan cara-cara yang tidak dibenarkan atau direstui agama, kecuali terbatas dalam melakukannya terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanitayang mereka yakni para pria miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal menyalurkan kebutuhan biologis melalui pasangan dan budak mereka itu tidaklah dicela selama ketentuan yang ditetapkan agama tidak mereka langgar. Misalnya, tidak bercampur saat istri haid, atau melakukan hubungan pada tempat yang dilarang agama. Barang siapa mencari pelampiasan hawa nafsu di balik itu yakni selain yang disebut itu, maka mereka itulah pelampau-pelampau batas ajaran agama dan moral, sehingga wajar dicela dan atau disiksa. Kata ( i l ) ) hafi^hun terambil dari kata ( Jai?- ) hif%h yang antara ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com f 156 j Surafi aC-Mumntin (23) Kelompok I ayat 5-7 lain berarti memelihara atau menahan. Yang dimaksud adalah memelihara kemaluan sehingga tidak digunakan pada tempat dan waktu yang tidak dibcnarkan agama, serta menahannya sehingga selalu terawasi dan ddak tergelincir dalam keburukan. Bahkan boleh jadi pemeliharaan ini meluas maknanya sehingga mencakup tuntunan Nabi saw. agar memilih calon pasangan yang tepat dan baik, tidak hanya berdasar kecantikan dan ketampanannya saja. “Pilih-pilihlah tempat kamu meletakkan nuthfah kamu, karena gen itu berpengaruh.” Demikian lebih kurang nasihat yang ditemukan dalam literatur agama dan yang dinilai sementara ulama sebagai pesan Nabi Muhammad saw. Patron kata yang digunakan ayat ini mengesankan perhatian yang besar dan sungguh-sungguh.1 Kata ( ji ) furuj adalah jamak dari kata ( ^ f ) farj yang pada mulanya dimaksudkan dalam arti segala yang buruk diucapkan pada pria atau wanita. Dari sini kata tersebut biasa diterjemahkan dengan alat kelamin. Ayat-ayat di atas mengisyaratkan dampak negatif dari penyaluran dorongan seksual secara tidak sah. Dari segi sosial, zina dapat berakibat tidak diketahuinya asal keturunan anak secara pasti. Sedangkan dari segi kesehatan fisik, efek negatif zina antara lain dapat mengakibatkan penyakit gonore, spilis (raja singa) dan luka. Dalam keadaan gawat, gonore dapat mengakibatkan komplikasi pada saluran kencing, persendian atau trakhoma yang dapat mengakibatkan kebutaan. Sedangkan spilis dapat menyerang seluruh tubuh, sel-sel dan urat saraf, dan ini pada gilirannya dapat mengakibatkan kegilaan. Di samping itu, bayi yang lahir dari penderita spilis akan mudah mati atau cacat. Sedang dari segi kesehatan mental, zina demikian juga onani dan homoseksual, dapat menimbulkan perasaan bersalah dan berdosa yang pada akhirnya dapat berakibat lemahnya saraf. Penyebab utama penyakit AIDS yang kini tersebar, adalah hubungan seksual yang diharamkan agama, baik dengan berganti-ganti pasangan, maupun dengan menyalurkan bukan di tempat yang semestinya ia disalurkan tetapi di tempat pengeluaran kotoran manusia, atau binatang. Firman-Nya: ( c~£UU ) md malakat aimanuhum yang diterjemahkan dengan budak wanita yang mereka miliki, menunjuk kepada satu kelompok masyarakat yang ketika turunnya al-Qur’an merupakan salah satu fenomena umum masyarakat manusia di seluruh dunia. Dapat dipastikan, Allah dan Rasul-Nya tidak merestui perbudakan, walau dalam saat yang sama harus pula diakui bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah tidak mengambil langkah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok I ayat 5-7 Surafi af-Mu’minun (23) m vvW •hif’L . ^ drastis untuk menghapuskanya sekaligus. Al-Qur’an dan as-Sunnah menutup semua pintu untuk lahir dan berkembangnya perbudakan, kecuali satu pintu yaitu n w a n a n yan g diakib atkan oleh peperangan dalam rangka mempertahankan diri dan akidah. Itu pun disebabkan karena ketika itu demikianlah perlakuan umat manusia di seluruh dunia terhadap tawanan perangnya. N am un kendati tawanan perang diperkenankan untuk diperbudak, tetapi perlakuan terhadap mereka sangat manusiawi. Bahkan al-Qur’an memberi peluang kepada penguasa muslim untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa tcbusan, berbeda dengan sikap umat manusia ketika itu. Islam menempuh cara bertahap dalam pembebasan perbudakan, antara lain disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak yang ditemuinya. Para budak ketika itu hidup bersama tuan-tuan mereka, sehingga kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka terpenuhi. Anda dapat membayangkan bagaimana jadinya jika perbudakan dihapus sekaligus. Pasti akan terjadi problema sosial, yang jauh lebih parah dari PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Ketika itu, —para budak bila dibebaskan —bukan saja pangan yang harus mereka siapkan sendiri, tetapi juga papan. Atas dasar itu kiranya dapat dimengerti jika al-Qur’an dan as-Sunnah menempuh jalan bertahap dalam menghapus perbudakan. Dalam konteks ini, dapat juga kiranya dipahami perlunya ketentuan-ketentuan hukum bagi para budak tersebut. Itulah yang mengakibatkan adanya tuntutan agama, baik dari segi hukum atau moral yang berkaitan dengan perbudakan. Salah satu tuntunan itu adalah izin mengawini budak wanita. Ini bukan saja karena mereka juga adalah manusia yang mempunyai kebutuhan biologis, tetapi juga merupakan salah satu cara menghapus perbudakan. Seorang budak perempuan yang dikawini oleh budak lelaki, maka ia akan tetap menjadi budak dan anaknya pun demikian, tetapi bila ia dikawini oleh pria merdeka, dan memperoleh anak, maka anaknya lahir bukan lagi sebagai budak, dan ibu sang anak pun demikian. Dengan demikian, perkawinan seseorang merdeka dengan budak wanita, merupakan salah satu cara menghapus perbudakan. Budak-budak wanita yang disebut di atas, kini tidak ada lagi. Pembantu-pembantu rumah tangga atau tenaga kerja wanita yang bekerja atau dipekerjakan di dalam atau di luar negeri, sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan budak-budak pada masa itu. Ini karena Islam hanya merestui adanya perbudakan melalui perang, itu pun jika peperangan itu perang agama dan musuh menjadikan tawanan kaum muslimin sebagai ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 1.58 Surafi af-'Mu’minun (23) Kelompok I ayat 5-7 budak-budak, sedang para pekerja wanita itu adalah manusia-manusia merdeka kendati mereka miskin dan butuh pekerjaan. Di sisi lain, walau perbudakan secara resmi tidak dikenal lagi oleh umat manusia dewasa ini, namun itu bukan berarti bahwa ayat di atas dan semacamnya dapat dinilai tidak relevan lagi. Ini karena al-Qur’an tidak hanya diturunkan untuk putra putri abad lalu, tetapi ia diturunkan untuk umat manusia sejak abad ke VI hingga akhir zaman. Semua diberi petunjuk dan semua dapat menimba petunjuk sesuai dengan kebutuhan dan perkem bangan zam annya. M asyarakat abad ke VI menemukan budak-budak wanita, dan bagi merekalah tuntunan itu diberikan. Al-Qur’an akan terasa kurang oleh mereka, jika petunjuk ayat ini tidak mereka temukan. Di lain segi kita tidak tahu perkembangan masyarakat pada abad-abad yang akan datang. Boleh jadi mereka mengalami perkembangan yang belum dapat kita duga dewasa ini. Ayat-ayat ini atau jiwa petunjuknya dapat mereka jadikan rujukan dalam kehidupan mereka. Firman-Nya: ( ji jji Ml ) Hid ‘aid a^wajibim arnv md malakat aimanahum! kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita yang mereka miliki, dijadikan oleh sementara ulama sebagai salah satu alasan menetapkan haramnya onani, karena penyaluran kebutuhan seks hanya dibenarkan dengan pasangan hidup dan atau bagi pria dengan budakbudak wanita, ketika yang terakhir ini masih ada. Demikian pendapat banyak ulama. Tetapi Imam Ahmad Ibn Hanbal membolehkan onani dengan alasan ia adalah bagian dari apa yang dikandung oleh badan manusia, dan yang dapat keluar atau dikeluarkan, tidak ubahnya dengan darah bagi yang berbekam. Flanya saja Imam kenamaan itu, menetapkan tiga syarat bagi bolehnya onani; pertama, yang bersangkutan khawatir terjerumus dalam zina; kedua, tidak memiliki kemampuan keuangan untuk kawin/memiliki budak wanita; dan ketiga, onani dilakukannya sendiri atau oleh pasangannya, tidak dengan melalui orang lain. Kata ( ) malumin terambil dari kata ( ) lum yaitu kecaman atau celaan terhadap perbuatan dan atau ucapan pihak lain yang dinilai oleh pengecam sebagai tidak wajar. Pernyataan ayat di atas “Maka sesungguhnya mereka tidaklah dicela”, —setelah memperingatkan agar memelihara alat kelamin kecuali terhadap yang dibenarkan —mengisyaratkan bahwa Allah merestui hubungan seks atau penyaluran kebutuhan biologis yang dilakukan secara sah. Ini berarti bahwa Islam tidak memandang seks sebagai sesuatu yang buruk atau kotor. Betapa ia dipandang demikian, padahal ia adalah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com f 159 J Suraf aC-!Mu’minun (23) Kelompok I ayat 8 %is"' salah satu fitrah m anusia yang suci. Bahkan apa yailg keluar akibat penyaluran biologis itu (mani/sperma) dinilai oleh ulama-ulama sebagai sesuatu yang suci. Lebih dari itu, Rasulullah saw. menegaskan bahwa “ft budh‘i ahadikum shadaqah.” Maksudnya Allah menganugerahkan ganjaran kepada suami istri yang melakukan hubungan intim. Yang mendengar pertanyaan ini terheran-heran, maka Nabi saw. menambahkan bahwa: “Bukankah jika ia meletakkannya pada yang haram dia berdosa?” (HR. Muslim melalui Abu Dzarr). Karena itu pula, puasa sunnah seorang istri haruslah seizin suaminya, bahkan ia harus membatalkannya jika suaminya mendesak untuk melakukan hubungan itu, khawatir jangan sampai suami terjerumus dalam haram jika istri menolak. AYAT 8 X • ( A) ^i 0 9 s s © S i i1! ^ t * 9 ^ & * * (*-* o 1 - *l 3 “Dan merekayang terhadap amanat-amanat mereka dan perjanjian mereka adalah pemelihara-pemelihara. ” Perkawinan adalah amanat manusia antara sesamanya, pemeliharaan kelangsungannya pun menuntut amanat dan kepercayaan dari masingmasing. Nah, setelah ayat yang lalu berbicara tentang perkawinan yang merupakan salah satu bagian amanat, maka kini digarisbawahi amanat secara umum. Ayat di atas menegaskan bahwa: Dan di samping mereka yang telah disebut pada ayat yang lalu, termasuk juga yang akan memperoleh kebahagiaan adalah merekayang terhadap amanat-amanat yang dipikulkan atas mereka dan juga perjanjian yang mereka jalin dengan pihak lain adalah pemelihara-pemelihara. Kata ( ) amanatihim adalah bentuk jamak dari ( isui ) amanah. Ia adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya ia dikembalikan oleh si penerima dengan baik serta lapang dada. Kata amanah terambil dari akar kata ( ) amina/percaya dan aman. Ini karena amanat disampaikan oleh pemiliknya atas dasar kepercayaannya kepada penerima bahwa apa yang diserahkannya itu akan terpelihara dan aman di tangan penerima. Islam mengajarkan bahwa amanat/kepercayaan adalah asas keimanan, berdasar sabda Nabi saw.: “Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah.” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com U 60 ; l,,,;J ^< Surafi aC-^Mu’minun (23) Kelompok I ayat 9 Selanjutnya, amanah yang merupakan lawan^dari khianat adalah sendi utama interaksi. Amanah tersebut membutuhkan kepercayaan, dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan batin yang selanjutnya melahirkan keyakinan dan kepercayaan. Amanat yang berada dalam pundak manusia mencakup empat aspek. Pertama, antara manusia dengan Allah, seperti aneka ibadah, misalnya nazar. Kedua, antara seseorang dengan orang lain, seperti titipan, rahasia, dan lainlain. Ketiga, antara seseorang dengan lingkungan, antara lain menyangkut pemeliharaannya agar dapat juga dinikmati oleh generasi mendatang. Dan keempat, am anat dengan dirinya sendiri, antara lain m enyangkut kesehatannya, karena seperti sabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu” (HR. al-Bukhari melalui Abu Juhaifah). Kata ( ) ‘ahd antara lain berarti wasiat dan janji. Yang dimaksud adalah komitmen antara dua orang atau lebih untuk sesuatu yang disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Misalnya berjanji untuk bertemu di tempat dan waktu tertentu. A ‘ hd/'janji semacam ini adalah salah satu yang paling banyak dilanggar oleh umat manusia termasuk kaum muslimin, padahal ia merupakan ciri orang beriman. Bahkan menurut pandangan masyarakat modern, ia adalah salah satu dari tiga sifat yang harus dipenuhi seseorang yang ingin menyandang gelar gentleman. Dua sifat lainnya adalah harga diri dan penghormatan kepada wanita. Kata ( o jp lj ) ra ‘un terambil dari kata ( ^ j ) ra ‘iya yaitu memperhatikan sesuatu sehingga tidak rusak, sia-sia atau terbengkalai, dengan jalan memelihara membimbing dan juga memperbaikinya bila terjadi kerusakan. Dari akar kata yang sama, lahir kata ra‘iy, yakni penggembala, karena yang bersangkutan memberi perhatian kepada gembalaannya, memelihara dan membimbingnya sehingga tidak mengalami bencana. Kata itu yang dikaitkan oleh ayat ini dengan amanat dan janji berarti bahwa pelakunya memberi perhatian terhadap kedua hal tersebut. AYAT 9 “Dan mereka menyangkut shalat-shalat mereka selalu memelihara (nya). ” Salah satu yang terpenting menyangkut amanat dan janji adalah shalat. Karena itu di sini ibadah tersebut ditekankan lagi, antara lain dalam konteks ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 161 0 Kelompok I ayat 9 Surafi af-Mu’minuti (23) memelihara pelaksanaannya pada waktu yang ditetapkan. Ayat di atas melanjutkan sifat-sifat orang mukmin dengan menyatakan bahwa: Dan di samping mereka yang telah disebut pada ayat yang lalu, termasuk juga yang akan memperoleh kebahagiaan adalah mereka juga menyangkut shalat-shalat mereka selalu memelihara -nya yakni antara lain memelihara waktunya sehingga terlaksana pada waktu yang ditetapkan serta memelihara pula rukun, wajib dan sunnah-sunnahnya. Kata ( ( * - £ ' ) shalawatihim/shalat-shalat mereka yang digunakan ayat di atas berbentuk jamak, tetapi ada juga bacaan dalam bentuk tunggal yakni shalatihim. Penggunaan bentuk jamak mengisyaratkan bahwa mereka benar-benar memperhatikan dan memelihara semua shalat, bukan hanya sh alat-sh alat terten tu, bahkan tidak m ustahil m ereka itu m em perhatikan juga shalat-shalat sunnah, paling tidak yang bersifat muakkadah, yakni shalat sunnah yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. Bahwa pada ayat pertama kata shalat berbentuk tunggal, karena yang dibicarakan di sana adalah tentang kekhusyu'annya, dan ini mereka wujudkan dalam setiap shalat. Lihatlah kembali ayat 5 surah ini untuk memahami makna haft^hun. Ayat ini merupakan ayat penutup sifat-sifat terpuji bagi seorang mukmin yang penyandangnya masing-masing dapat meraih kebahagiaan. Memang pada ayat kedua telah disebut juga shalat, tetapi dalam konteks yan g b erbed a. Di sana tentang kekhusyu'an dan di sin i tentang pemeliharaannya secara keseluruhan dan untuk tiap-tiap shalat. Walaupun pelakunya di sini tidak mencapai kekhusyu'an sempurna sebagaimana mereka yang dibicarakan oleh ayat kedua. Kalau Anda memperhatikan sifat-sifat di atas, Anda akan menemukan bahwa apa yang diperintahkan adalah hal-hal yang biasanya nafsu terdorong mengabaikannya seperti khusyu' dalam shalat, meninggalkan laghw, serta pemeliharaan dorongan biologis. Selain itu ada juga sifat-sifat yang biasanya nafsu manusia ingin mempertahankannya seperti membelanjakan harta, atau menunaikan amanat yang biasanya ingin terus disimpan oleh pemiliknya, dan oleh yang diberi amanat. Dengan demikian, sifat-sifat terpuji di atas mencerminkan dua hal pokok yang harus menghiasi setiap muslim, yakni m em iliki kemampuan melaksanakan serta kemampuan menahan diri. Demikian lebih kurang Thahir Ibn Asyur. Sayyid Quthub bertanya “Apakah nilai dari sifat-sifat yang disebut di atas?” Ia menjawab bahwa: “Nilainya adalah bahwa dia menggambarkan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ajjn P j f Surafi al-9Au minun (23) Kelompok I ayat 10-11 kepribadian seorang muslim dalam ufuknya yang tertinggi —'ufuk Nabi Muhammad saw. —Rasul Allah dan sebaik-baik makhluk-Nya dan yang telah dididik oleh-Nya dengan sebaik-baik pendidikan.” A Y A T 10 -11 (U ) ji ( ) >) pA d U j! “Mereka itulah pewaris-pewaris, orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka di dalamnya adalah orang-orang yang kekal. ” Setelah menyebut tujuh macam orang-orang mukmin dengan sifat yang bermacam-macam dan yang penyandangnya masing-masing akan mendapat keberuntungan, ayat-ayat di atas menunjuk orang-orang mukmin itu dengan menyatakan: Mereka itulah yang menyadang sifat-sifat yang sangat tinggi dan luhur sebagaimana tersebut di atas, merupakan pewaris-pewaris yakni orang-orangyang pasti atas janji dan anugerah Allah, yang akan mewarisi dan memperoleh surga Firdaus, yang merupakan puncak surga lagi yang teristimewa. Mereka secara khusus akan berada di dalamnya, bukan di tempat lain, dan di sana mereka adalah orang-orang yang kekal dalam kenikmatan dan kebahagiaan. Kata ( o jjjI jJ l) al-waritsun dan ( o y y ) yaritsun terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf wait, ra’ dan I s a Maknanya berkisar pada peralihan sesuatu kepada sesuatuyang lain. Ada yang memahami ayat ini dalam arti, orang mukmin yang sifatnya seperti diuraikan ayat-ayat yang lalu, akan mewarisi yakni akan dialihkan kepada mereka surga yang tadinya Allah telah siapkan untuk semua manusia. Tetapi karena ada di antara mereka yang kafir, maka mereka tidak berhak memperolehnya, dan dengan demikian surga yang Allah siapkan buat orang-orang kafir itu diwarisi, yakni beralih kepemilikannya kepada orang-orang mukmin. Dapat juga dikatakan bahwa pewarisan harta benda, merupakan ketentuan Allah yang dianugerahkan-Nya kepada ahli waris. Ahli waris sama sekali tidak mempunyai peranan dalam perolehannya. Yang berperanan memberi hanya A llah semata, berkat kebijaksanaan-Nya menetapkan hukum. Nah, demikian juga dengan surga. Orang mukmin, kendati telah menyandang sifat-sifat yang terpuji, namun itu bukanlah sebab yang menjadikan mereka berhak memperoleh surga. Bukankah sifat terpuji ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ; 163 Kelompok I ayat 10-11 Surafi af-Mu’min&n (23) e demikian, juga amalan-amalan baik, kemaslahatan dan manfaatnya, bukan buat Allah tetapi buat pelakunya sendiri? Surga yang dijanjikan ini serupa dengan kewarisan, yang tidak ada sedikit pun peranan sang mukmin, tetapi semata-mata anugerah dari Allah swt. Pengulangan kata ( 0 j i y ) yaritsun setelah sebelumnya telah dinyatakan bahwa mereka adalah ( 0 jjj! ) al-wdritsun bertujuan mengundang perhatian pendengar. Karena pada ayat 10 di atas, belum lagi disebut apa yang diwarisi itu sehingga pasti timbul pertanyaan di benak pendengarnya. Nah, dari sini ayat 11 menjelaskan bahwa yang diwarisi itu adalah surga al-Firdaus. Seperti penulis kemukakan sebelum ini, ulama qira’at berbeda pendapat apakah firman Allah di atas, dihitung satu ayat atau dua ayat. Memang ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. bersab da: “Telah diturunkan kepadaku sepuluh ayat. Siapa yang melaksanakannya dengan sempurna, dia masuk ke surga.” Lalu beliau membaca Qad Aflaha al-Mu 'minun sampai sepuluh ayat (HR. at-Tirmidzi melalui ‘Umar Ibn al-Khaththab). Tentu saja beliau membaca sampai sempurna informasi ayat di atas, yakni sampai firman-Nya orang-orang yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka di dalamnya adalah orang-orang yang kekal. Nah, jika riwayat ini diterima, maka tentu saja keseluruhan informasi Allah di atas merupakan satu ayat saja bukan dua ayat, dan dengan demikian keseluruhannya terhitung sebagai ayat kesepuluh. Hadits ini dinilai shahih oleh at-Tirmidzi, tetapi banyak ulama lain yang melemahkannya —antara lain an-Nasa’i dan adz-Dzahabi —karena dalam rangkaian perawinya terdapat nama orang-orang yang lemah. Kesempurnaan iman dan budi pekerti seseorang dicerminkan oleh ayat-ayat di atas, karena itu ketika istri Nabi saw., ‘Asiyah ra., ditanya tentang akhlak Rasulullah saw., beliau menjawab: “Akhlak beliau adalah al-Qur’an.” Lalu ‘Aisyah ra. membaca Qad Aflaha al-Mukminun sampai wa allad^jna hum ‘ala sbalawatihimyuhdft^hun. ” (HR. Ahmad dan an-Nasa’i melalui Yazid Ibn Babanus). ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com A Y A T 12-16 y y 0 ^9 s ^ 2 Jtia j ^ y ) jjJ? s s. s ^ s ? / ^ 0 i s / # ^ s s s S b j» « o C J ) M llal?- l U J j ' 9 y ? ' s fi s s " / / 0 j 0 ^ ^ A \jy~&3 UlJiP 4A../1U.I 1 Uil?x3 4.».^La <UU*!l UsiixS ijUp 3aU:U LiLb* t+j (^Y*) fe \ p ( ^ t ) c r - ^ ' i l l 2 J jl3 > '* ^ o -o O j i j a i d i ^ > : ^ a t& jf ^ & J f lL J I ( ^o) o j g J i u ' i a * “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya nuthfah dalam tempat yang kokoh. Kemudian Kami ciptakan nuthfah itu ‘alaqah, lalu Kami ciptakan ‘alaqah itu mudhghah, lalu Kami ciptakan mudhghah itu tulang belulang, lalu Kami bungkus tulang belulang itu dengan daging. Kemudian Kami mewujudkannya makhluk lain. Maka Maha banyak keberkahan Allah, Pencipta Yang Terbaik. Kemudian, sesudah itu benar-benar kamu akan mati. Kemudian sesungguhnya kamu pada hari Kiamat akan dibangkitkan. ” Setelah ayat-ayat yang lalu menguraikan keberuntungan orang-orang mukmin dengan aneka sifat mereka yang terpuji, kini ayat-ayat di atas menjelaskan proses kejadian manusia. Uraian tentang proses tersebut yang demikian mengagumkan membuktikan perlunya beriman dan tunduk kepada Allah Sang Pencipta, serta keharusan mengikuti jejak orang-orang mukmin yang disebut pada ayat-ayat kelompok pertama. Hal itulah yang dapat mengantar manusia mencapai kesempurnaan hidup duniawi dan ukhrawi, dan inilah —menurut Sayyid Quthub - yang menghubungkan ayat-ayat di atas dengan ayat-ayat sebelumnya. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------164 INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 165 Kelompok II ayat 12-16 Surafi a[-cM ii’minun (23) r \ ~ Ada tujuh macam sifat orang-ora'ng mukmin yang diuraikan melalui kelompok ayat-ayat yang lalu. Di sini dikemukakan juga tujuh tahap proses kejadian manusia sehingga ia lahir di pentas bumi ini. Seakan-akan ayat ini menyatakan bahwa engkau berhasil keluar dan berada di pentas bumi ini setelah melalui tujuh fase, dan engkau pun perlu menghiasi diri dengan tujuh hal agar berhasil dalam kehidupan sesudah kehidupan dunia ini. Demikian uraian Abu Ja'far Ibn az-Zubair tentang hubungan ayat ini, yang selanjutnya menulis bahwa agaknya yang menguatkan keterangan di atas adalah disebutnya tujuh jalan di atas manusia (ayat 17) sesudah uraian tentang ketujuh fase kejadian manusia itu. Al-Biqa‘i menguraikan hubungan ayat-ayat di atas dengan menyatakan bahwa, akhir ayat yang lalu yang berbicara tentang pewarisan surga di hari Kemudian, mengandung makna seakan-akan Allah berfirman: Kami telah menetapkan adanya kebangkitan bagi seluruh hamba Kami setelah kematian mereka. Ada sekelompok menuju surga yang penuh kenikmatan dan ada juga kelompok yang menuju neraka. Kami kuasa membangkitkan kamu kembali, walau jasad kamu telah koyak dan telah menjadi tanah. Karena tanah pernah m enjadi sumber kehidupan. Sebagaimana Kami kuasa memulai —dengan menciptakan orang tua kamu, Adam, dari tanah yang ketika itu belum menjadi sumber kehidupan, maka kini Kami mampu menghidupkan kamu semua kembali setelah kamu menjadi tanah yang sudah pernah hidup. Demikian lebih kurang al-Biqa‘i. Apapun hubungan yang Anda pilih atau kemukakan, yang jelas ayat ini lebih kurang menyatakan: Dan sesungguhnya Kami bersumpah bahwa Kami telah menciptakan manusia, yakni jenis manusia yang kamu saksikan, berm ula dari suatu saripati yang berasal dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya yakni saripati itu nuthjah yang disimpan dalam tempatyang kokoh, yakni rahim lbu. Kemudian Kami ciptakan yakni jadikan nuthfah itu ‘alaqah, lalu Kami ciptakan yakni jadikan ‘alaqah itu mudhghah yang merupakan sesuatu yang kecil sekerat daging, lalu Kami ciptakan yakni jadikan mudhghah itu tulang belulang, lalu Kami bungkus tulang belulang itu dengan daging. Kemudian Kami mewujudkannya yakni tulang yang terbungkus daging itu menjadi setelah Kami meniupkan ruh ciptaan Kami kepadanya —makhluk lain daripada yang lain yang sepenuhnya berbeda dengan unsur-unsur kejadiannya yang tersebut di atas bahkan berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Maka Maha banyak lagi mantap keberkahan yang tercurah dari Allah, Pencipta Yang Terbaik. Kemudian, sesungguhnya kamu wahai anak cucu Adam sekalian ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-CMu’minun (23) ^ Kelompok V ayat 96-98 ' ''r 7 & AYAT 96-98 A • s ^ f ? . ^ 0 A ( ^ A) s I**-' i j £ 1 « _ J j J 3j ( • A ♦ * A ) « J j f l ■/?.' U j ^JLPi 8e^ o ' ‘-r’j ^ ^Jitf ^ s to s f A o s s s ^ . * 'p <m d JU -JI ( *\V ) t . A s o s & f s *. y e«o ^ ■"' o l J aA iiL 7 'olaklah dengan yang lebih baik. keburukan itu. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan, dan katakanlah: ‘Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung kepada-Mu Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku. ” Ayat yang lalu mengesankan bahwa Allah akan menunda jatuhnya siksa terhadap orang-orang zalim itu, karena adanya hikmah di balik itu. Penundaan ini menimbulkan pertanyaan bahwa bagaimana menghadapi mereka yang terus menerus berbuat kezaliman itu. Nah, ini dijawab dengan firman-Nya di atas. Bisa juga dikatakan bahwa ayat yang lalu ketika menyatakan kuasa Allah menjatuhkan siksa, juga mengandung pesan agar Nabi Muhammad saw. tidak perlu risau menghadapi mereka. Dari sini Allah berfirman: Hendaklah engkau melanjutkan dakwah dan menghadapi para pendurhaka itu dengan tabah dan simpatik. Tolaklah dengan cara, ucapan, perbuatan dan sikap yang lebih baik keburukan mereka itu antara lain dengan berbuat baik sem am pum u kepada m ereka, atau kalau tidak, maka memaafkan kesalahan mereka yang berkaitan dengan pribadimu, atau dengan tidak menanggapi ejekan dan cemooh mereka. Kami lebih mengetahui dari siapa pun apayang mereka sifatkan terhadap diri Kami, agama yang Kami syariatkan dan terhadap dirimu. Kalau Kami berkehendak, niscaya Kami langsung menjatuhkan sanksi terhadap mereka, tetapi itu Kami tidak lakukan. Kendati demikian, penganiayaan mereka tidak akan Kami biarkan, karena itu pula jangan bersedih dan jangan juga risau. Selanjutnya Allah menyatakan bahwa Kami mengetahui bahwa setan akan datang memanas-manaskan dan merayumu untuk membalas kejahatan mereka. Jangan ikuti rayuan itu, tetapi hendaklah engkau memantapkan kesabaranmu dan katakanlah, yakni mohonlah kepada Allah dengan berkata: ‘Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung pula kepada-Mu Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku dalam segala ak tiv itask u - baik duniaw i m aupun ukhraw i - w alaupun kedatangannya bukan untuk merayu, karena kehadirannya di satu tempat saja sudah merupakan ancaman. ” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 247;: Surah aC-Mu'minun (23) Kelompok V ayat 96-98 Kata ( o l j ^ ) hama-^at adalah bentuk jamak dari kata ( t y ? ) bama^ab yang pada m ulanya berarti menolak/mendorong dengan tangan. Hama^at asy-syaydthin berarti dorongan-dorongan setan, yakni bisikan-bisikannyayangmuncul dalam benak guna mendorong kepada keburukan. Memang, setan saat menggoda dan m erayu, mendorong seseorang dengan keras untuk melakukan pelanggaran. Itu sebabnya sehingga yang terdorong dinamai juga terjerumns dalam kesulitan, dosa bahkan ke neraka. Penggunaan bentuk jamak di sini memberi kesan bahwa setan bila datang merayu, maka itu dilakukannya bukan sekali, tetapi berkali-kali. Jika ia gagal di kali pertama ia akan m elanjutkannya. Dan jika di kali pertama dia berhasil, ia pun akan melanjutkan rayuannya sehingga kedurhakaan manusia beralih dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Itu pula agaknya yang diisyaratkan oleh kata khuthuwat asy-syaitbdn/langkah-langkah setan, yakni yang berpindah dari satu posisi ke posisi yang lain. Permohonan perlindungan kepada Allah dari setan yang diajarkan di atas, memberi kesan bahwa apa yang dilakukan kaum musyrikin, adalah ulah setan serta kehadirannya di tengah kaum musyrikin itu. Pengulangan ( L jj ) Rabbi pada ayat-ayat di atas, merupakan upaya pendekatan diri pemohon kepada Allah swt., kiranya permohonannya dikabulkan. Memang dalam berdoa seseorang hendaknya meminta dengan tulus, rendah hati, serta menampakkan kebutuhan bahkan merengek dan merengek kepada Yang Maha Kuasa itu. Ketika menafsirkan QS. al-A‘raf [7]: 200, yakni firman-Nya: dlib ^ j) jlk .llJ l 'ja “Dan jik a engkau dibisikan oleh setan dengan satu bisikan, maka mohonlah perlindungan kepadaSlllab”, penulis antara lain mengemukakan bahwa Rasul saw. sebagai manusia, tentu saja dapat marah jika kejahilan orang-orang musyrik telah mencapai puncaknya. Apalagi setan yang merupakan musuh abadi manusia, selalu enggan melihat siapa pun berbudi pekerti luhur. Karena itu Nabi saw. dan umatnya diingatkan dengan menggunakan redaksi yang mengandung penekanan-penekanan bahwa: Dan jika engkau benarbenar dibisikan, yakni dirayu dengan halus dan ditipu oleh setan dengan satu bisikan untuk meninggalkan apa yang dianjurkan kepadamu, misalnya mendorongmu secara halus untuk marah, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Dengan demikian, Allah akan mengusir bisikan dan godaan itu serta melindungimu karena sesungguhnya Dia Maha Mendengar termasuk ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com J248 Surah aC-fflu'minun (23) Kelompok V ayat 96-98 * "if0 mendengar permohonanmu lagi Maha Mengetahui apa yang engkau dambakan dan apa yang direncanakan oleh setan. Untuk memperoleh informasi tambahan rujuklah lebih jauh QS. al-A‘raf [7]: 200. Boleh jadi ada yang bertanya: “Bukankah Nabi saw. telah menyatakan bahwa beliau selamat dari godaan setan, atau bahwa jin beliau telah masuk Islam? Mengapa ayat ini masih menggambarkan seolah-olah beliau dapat diganggu, sehingga perlu meminta perlindungan Allah?” Jawabannya antara lain adalah bahwa jin beliau yang masuk Islam, tetapi masih ada setan-setan lain yang berusaha mengganggu. Dalam sebuah hadits, Rasul saw. menyampaikan kepada para sahabat. btlwOi “Semalam tiba-tiba muncul di hadapanku jin ‘Ifrit untuk membatalkan shalatku, maka Allah menganugerahkan aku kemampuan menangkapnya dan aku bermaksud mengikatnya pada salah satu tiang masjid hingga kalian semua di pagi hari dapat melihatnya. Tetapi aku mengingat ucapan (permohonan) saudaraku (Nabi) Sulaiman: “Ya Tuhanku, a?npunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang ju a pun sesudahku” (QS. Shad [38]: 35). Berkata perawi hadits ini: “Maka Nabi saw. m engusir (tidak m engikatnya) dalam keadaan hina terku tu k.” Ini menunjukkan bahwa setan berupaya mengganggu beliau. Thabathaba’i memahami perintah ayat di atas sebagai perintah kepada umatnya. Sedang Ibn ‘Asyur memahaminya sebagai salah satu bentuk kesyukuran atas nikmat kerasulan dan ishmat (pemeliharaan Allah atas beliau sehingga tidak terjerumus dalam dosa). Ini karena sebagai Nabi, beliau telah dan terus menerus akan terpelihara dari dosa. Kesyukuran tersebut — menurut Ibn ‘Asyur —bertujuan menampakkan kebutuhan kepada-Nya, sehingga pemeliharaan tersebut dapat bersinambung. Ini serupa dengan istighfar yang beliau lakukan —sesuai sabdanya—tidak kurang dari tujuh puluh kali sehari semalam. Hemat penulis, ayat ini dan semacamnya menunjukkan bahwa setan selalu berupaya menggoda dan mencari peluang dari semua manusia, siapa tahu ia tergelincir sehingga dapat mengurangi keberhasilan manusia termasuk para nabi. Keterpeliharaan para nabi dari melakukan pelanggaran terhadap A llah, tidak m engurungkan niat setan untuk m erayu dan menggodanya, walaupun selalu gagal, karena pertahanan mereka sangat ampuh. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com :2 4 9 ,. Surah aC-‘Mu’minun (23) i|§|||§ Kelompok V ayat 99-100 A Y A T 9 9 -100 U-S X (55) X t-Jj J\3 O ja JI X X o . . ) 0 > s f je j ; c 3>: ^ j.1^- lil X 33 'c / i m ■ ^ ' 4 \ y s ‘J r j “Hingga apabila datang kepada salah seorang dari mereka kematian, dia berkata, “Tuhanku, kembalikanlah aku agar aku beramal saleh pada apa yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja, sedang di hadapan mereka ada bar^akh sampai hari mereka dibangkitkan. ” t Al-Biqa‘i menghubungkan ayat ini dengan penggalan ayat yang lalu yang mengajarkan Nabi saw. memohon perlindungan dari kehadiran setan. Menurut ulama itu, kehadiran setan yang paling membahayakan adalah saat-saat kematian, karena ketika itulah tersingkap (sebagian dari) apa yang selama ini tersembunyi, dan menjadi pasti pula kehinaan atau kemuliaan seseorang. Maka dari sini, ayat di atas berbicara tentang kematian, untuk mengingatkan bahwa hendaknya seseorang bersungguh-sungguh berdoa sambil merendahkan diri agar terpelihara pada saat-saat itu. Lebih lanjut menurutnya, ayat ini dikaitkan dengan firman-Nya yang menguraikan tentang para pendurhaka yang dinilai tidak sadar itu (baca ayat 56 surah ini). Mereka tidak sadar sampai datangnya kematian sebagaimana dilukiskan ayat-ayat di atas. D apat juga dikatakan bahwa ayat-ayat yang lalu m elukiskan pembangkangan dan kedurhakaan kaum musyrikin, antara lain menyangkut penolakan mereka akan keesaan Allah, serta keniscayaan Kiamat, yang disusul dengan pembuktian kebatilan kepercayaan tersebut (ayat 81-92). Selanjutnya Allah mengajarkan Nabi Muhammad saw. doa agar terhindar dari .siksa serta tempat dan waktu jatuhnya siksa atas orang-orang kafir itu sambil mengajarkan bagaimana sikap yang beliau harus ambil karena adanya penangguhan siksa atas mereka (93-98). Nah, ayat di atas kembali berbicara tentang orang-orang kafir dan menyatakan bahwa mereka yang keras kepala itu akan terus-menerus membangkang hingga apabila datang kepada salah seorang dari mereka kematian untuk mengakhiri hidupnya di dunia ini dan menghentikan kenikmatan yang selama ini dirasakannya, ketika itu pula dinampakkan masa depan yang menantinya. Maka saat itulah baru ia sadar dan menyesal. Dia berkata memohon kepada Allah: ‘Tuhanku yang selama ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com SfK6i'#iS££i Surah aC-cM u’minun (23) Kelompok V ayat 99-100 ft0 mi berbuat baik kepadaku, kembalikanlah^aku ke dunia, agar aku beramal saleh pada apa, yakni sebagai ganti yang telah aku tinggalkan, yakni waktu yang berlalu, kekayaan dan nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kin i telah kutin ggalkan dengan kem atian, setelah menggunakannya dalam kedurhakaan. Bila Engkau mengizinkan aku kembali, maka kedurhakaan yang kulakukan melalui anugerah-Mu itu akan kuganti dengan menggunakannya sesuai tuntunan-Mu. Malaikat menghardik sambil berkata: “Sekali-kali tidak! Permintaan itu tidak mungkin akan dipenuhi, yang kalau pun dipenuhi, dia tidak akan menepati janjinya. Sesungguhnya itu, yakni ucapannya adalah perkataan yang diucapkannya saja tanpa akan mendatangkan sedikit manfaat pun apalagi akan diterima dan menjadikan ia hidup kembali di dunia. Sedang di hadapan serta belakang mereka ada bar^akh, yakni dinding pemisah antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat yang menghalangi mereka kembali ke dunia atau menuju ke kehidupan kekal di akhirat. Dinding itu akan menghalangi siapa pun yang mati sampai, yakni baru akan terbuka pada hari mereka dibangkitkan dari kubur masing-masing. Ayat di atas mendahulukan penyebutan kata ( ^0^-1) abadahum/salah seorang dari mereka yang berkedudukan sebagai obyek atas penyebutan kata ( O jil ) al-maut/ kematian, yang berkedudukan sebagai subyek. Padahal biasanya subyek disebut sebelum obyek. Hal ini agaknya untuk memberi tempat bagi aneka imajinasi bagi mitra bicara guna menantikan “siapa” yang datang itu, agar dengan demikian semakin banyak keinginantahuan yang kemudian didadak dengan kata yang mengerikan dan tidak dinantikan oleh siapa pun yaitu al-maut/kematian. Kata ( 0 j« r j! ) irji‘un berbentuk jamak, padahal kata sebelumnya tunggal dan merupakan doa yang ditujukan kepada Rabbi Tuhan Yang Maha Esa itu. Sementara ulama berpendapat bahwa bentuk jamak tersebut ditujukan kepada malaikat-malaikat yang menangani sang kafir, setelah sebelumnya ia bermohon kepada Allah. Yakni dia berkata: “Tuhanku,__” Lalu setelah itu, si pemohon mengarahkan pembicaraan kepada malaikat. Ada juga yang berpendapat bahwa bentuk jamak di sini mengisyaratkan pengulangan permohonan. Seakan-akan yang bersangkutan berkata: “Tuhanku, pulangkanlah aku ke dunia, pulangkanlah aku ke dunia, pulangkanlah aku ke dunia”, serupa dengan firman-Nya dalam QS. Qaf [50]: 24 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok V ayat 99-100 Surafi aC-CMu’minuti (23) “l^nparkanlah olehmu berdua ke daiam neraka semua orangyang sangat ingkar dan keras kepala. ’’Padahal konteks ayat menunjukkan bahwa yang diperintah di sini hanya seorang saja. Ada lagi yang berpendapat bahwa bentuk jamak di sini, digunakan sebagai salah satu cara menghormati mitra bicara. Memang bentuk jamak jika digunakan oleh pembicara menunjuk dirinya, maka itu antara lain mengesankan keagungannya, seperti seorang raja yang berkata: “Kami”. Sedang bila bentuk itu ditujukan kepada mitra bicara, maka si pembicara menampakkan penghormatan dan pengagungan untuk mitranya. Kata ( ^ ) kalla digunakan untuk empat hal. Pertama, menafikan sesuatu yang disebut sebelumnya baik tersurat maupun tersirat. Ini bila ada sesuatu yang perlu dinafikan. Kedua, untuk menghardik dan mengancam, jika dalam konteks uraian terdapat seseorang atau kelompok yang perlu dihardik. Ketiga, membenarkan kandungan uraian sebelumnya khususnya bila ia berkaitan dengan sumpah. Keempat, sebagai pembukaan kata, yaitu apabila hal-hal yang disebut pada butir-butir yang lalu tidak ditemukan. Untuk ayat yang ditafsirkan ini, sementara ulama berpendapat bahwa la berfungsi menafikan dan ada juga yang memahaminya dalam arti ancaman dan hardikan kepada sang kafir. Kata ( iT jj ) ward ’ bias a diterjemahkan belakang. Ia terambil dari kata ( ) wdrd yakni menutup/tidak terlihat. Ketertutupan itu bisa dari belakang, bisa juga dari depan, atau keduanya. Dari sini kata ward' dapat diartikan depan atau belakang. Kata ( j ) bar^akh dari segi pengertian kebahasaan adalah pemisah antara dua hal. Dalam al-Qur’an kata itu ditemukan dua kali. Pertama berbicara tentang pemisahan antara air sungai dan air laut, yaitu firmanNya dalam QS. ar-Rahman [55]: 19-20: Dia membiarkan dua lautan, yakni air laut dan air sungai saling bertemu, dan mengalir tetapi antara keduanya ada pemisah sehingga masing-masing tidak melampaui, yakni air laut tidak menjadikan air sungai asm, tidak juga air sungai yang tawar itu menjadikan air laut tawar. Banyak penafsiran ulama tentang makna ayat ini, bukan di sini tempatnya diuraikan. Yang jelas bahwa ada pemisah sehingga keduanya tidak saling mengalahkan, sehingga menjadikan ini dan itu asin atau menjadikan keduanya tawar. Ayat kedua yang menggunakan kata bar^akh adalah ayat di atas yang menguraikan keadaan orang-orang durhaka setelah kematiannya. Yang dimaksud di sini adalah waktu yang menjadi pemisah antara dunia dan j . ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com C252,Surah aC-'Mu’minun (23) Kelompok V ayat 99-100 alam akhirat, yaitu saat kebangkitan dari kubur. Kedua ayat yang menggunakan kata barzakh itu menjelaskan adanya faktor pemisah, sekaligus mengisyaratkan perbedaan keduanya. Kedua laut, yakni sungai dan laut, berbeda; yang ini tawar dan itu asin. Air laut menguap dan turun menjadi tawar. ]ika demikian, lautan asalnya dan sungai hasilnya. Namun keduanya sangat bermanfaat bagi yang ingin memanfaatkannya. Kedua kehidupan pun demikian, dunia akan punah dan akhirat kekal. Keduanya, dunia dan akhirat, baik dan bermanfaat bagi siapa yang akan m em anfaatkannya. K epercayaan akan adanya akh irat itulah yang membuahkan amal-amal yang bermanfaat di dunia, dan ini berarti akhirat adalah sumber, dan kehidupan dunia yang baik adalah buah. Ayat al-Mu’minun di'atas menunjukkan bahwa saat kematian tiba, seorang kafir ingin kembali ke dunia, tetapi itu tidak dapat terlaksana. Karena ada dinding!pemisah antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Dinding pemisah itu adalah alam kubur di mana manusia hidup setelah kematiannya di dunia. Menurut ayat di atas, mereka terus akan berada di sana sampai hari mereka dibangkitkan. Dengan demikian, barzakh atau pemisah itu berfungsi menghalangi manusia menuju ke alam yang lain yang lebih sempurna dari alam barzakh, dan dalam saat yang sama menghalanginya pula kembali ke dunia. Untuk menuju ke alam sana mereka harus menunggu sampai semua orang mati, dan itu baru akan terjadi saat kebangkitan, yakni setelah dunia Kiamat. Sementara ulama menjadikan alam Barzakh sebagai bagian dari alam Akhirat, karena siapa yang meninggal dunia telah masuk ke alam Akhirat. Ada juga yang memahaminya belum wajar disebut sebagai alam Akhirat, karena ayat al-Mu’minun di atas menyatakan bahwa dia berfungsi sebagai pemisah yang menghalangi seseorang kembali ke dunia dan menghalanginya pula menuju alam kebangkitan yang merupakan bagian dari alam Akhirat. Betapapun, Barzakh bukan alam duniawi, walau lebih dekat ke alam dunia. Kiranya Anda tidak bertanya mengapa harus sekian lama orang-orang yang meninggal dunia harus menunggu di alam Barzakh. Kalaulah kita berkata bahwa umur manusia di dunia itu sudah ribuan tahun, dan mereka semua sejak manusia pertama yang mati harus menunggu sampai tibanya manusia yang terakhir mati, maka itu juga berarti bahwa ada manusia yang m enanti di alam itu ribuan tahun. Pertanyaan Anda benar dan pada tem patnya, tetapi persoalan yang dihadapi di sini adalah persoalan m etafisika, yang berada di luar kemampuan akal untuk mencari dan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 253 Kelompok V ayat 99-100 Surat a.C-!Mu’minun (23) >3 menemukan jawabannya. Atau paling tidak, pengetahuan dan akal saya yang terbatas tidak mengetahui jawabannya. Ada sementara orang yang menolak memahami ayat al-Mu’minun di atas dalam arti alam Barzakh itu adalah "kubur”, mereka, yang berada di alam kubur tidak tersiksa atau memperoleh nikmat, karena di sana orangorang yang mati ‘tertidur’, tak sadar seperti halnya tidur yang dialami di dunia ini. Mereka berpegang kepada firman Allah dalam QS. Yasin [36]: 52 yang menyatakan bahwa orang-orang kafir yang telah terkubur itu kelak apabila d iban gkitkan dari kuburnya akan berkata: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tempat tidur kami. Inilahyang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah para rasul-Nya. ” Di sini terlihat —menurut penganut pendapat ini —bahwa orang-orang kafir sebelum kebangkitan itu merasa diri mereka tertidur dan tidak merasakan siksa, serta baru sadar setelah adanya kebangkitan. Memang, kalau kita hanya melihat ayat itu saja, maka pendapat tersebut sepintas dapat dibenarkan. Tetapi ada sekian banyak ayat dan hadits yang menginformasikan bahwa yang telah meninggalkan dunia ini, hidup di satu alam dan bahwa mereka merasakan nikmat atau siksa “dikubur”, yakni di alam Barzakh tersebut. Karena itu, ayat QS. Yasm di atas harus dipahami sejalan dengan sekian banyak ayat dan hadits yang lain, apalagi ayat tersebut tidak menyatakan bahwa mereka tidur, tetapi dibangkitkan dari tempat tidur mereka. Bahwa ayat itu menggunakan istilah bangkit dari tempat tidur karena setelah kebangkitan ke alam Akhirat, mereka sadar bahwa siksaan di neraka jauh lebih pedih, sehingga siksa yang di alam Barzakh/kubur jika dibanding dengannya adalah bagaikan tempat tidur belaka. Demikian tulis al-Biqa‘i. Thabathaba’i berpendapat bahwa ucapan kaum musyrikin itu berdasar keyakinan mereka dalam kehidupan duniawi yang mengingkari adanya kebangkitan. Pengingkaran itu telah meresap ke dalam jiwa mereka sehingga pada saat mereka bangkit dari kubur menuju Padang Mahsyar, mereka didadak oleh satu alam yang demikian menakutkan dan karena itu mereka mempertanyakan siapa yang membangkitkan mereka dari tempat tidur mereka/kubur sebagaimana keyakinan mereka di dunia menyangkut kubur. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan kubur, adalah dalam konteks siksa dan nikmat, bukannya tempat di mana jasad seorang yang telah wafat ditempatkan. Tetapi maksudnya adalah alam Barzakh. Di mana alam itu, kita tidak mengetahuinya. Akal kita tidak dapat menjangkaunya, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ,2 5 4 : 8* k-. Surafi aC-^Mu'minun (23) Kelompok V ayat 99-100 sehingga tidaklah tepat menggunakan akal untuk membenarkan atau menolak satu pendapat yang berkaitan dengan masalah metafisika. Kita hanya percaya dan menerima baik seluruh informasi yang disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Memang kita harus mempercayai sesuatu bukan karena kita tahu, tetapi justru karena tidak tahu. Jika bukti-bukti kebenaran seseorang atau sesuatu telah Anda peroleh, maka apapun yang disampaikannya, walau belum dimengerti oleh akal Anda, maka ketika itu Anda dapat menerima dan membenarkan informasinya. Tidak ubahnya dengan keadaan pasien yang percaya pada informasi dokter yang merawatnya. Kalau Anda sependapat dengan penulis dan sekian banyak ulama dalam memahami ayat al-Mu’minun [23]: 99-100 di atas sebagai informasi tentang adanya alam Barzakh dan mengakui bahwa yang meninggalkan dunia ini hidup di alam sana, maka agaknya tidak terlalu sulit untuk memahami uraian al-Qur’an dan as-Sunnah tentang “panjar” kenikmatan dan siksa yang diterima di sana. Ada sekian ayat dan hadits yang dijadikan dalil oleh mayoritas ulama yang meyakini adanya alam Barzakh serta siksa dan kenikmatannya. Harus diakui bahwa sebagian ayat yang mereka kemukakan tidak secara jelas, apalagi pasti, menerangkan tentang hal ini. Demikian juga riwayat-riwayat yang dikemukakan. Sebagian di antaranya sangat jelas ketidakshahihannya. Namun sebagian lainnya sangat sulit ditolak jika penolakannya berdasar kaidah-kaidah ilmu riwayat. Dari ayat al-Quran, kita dapat menunjuk kepada firman-Nya pada QS. Ghafir [40]: 46 yang menguraikan keadaan Fir‘aun dan pengikutpengikutnya bahwa: J-il O ^jjb L— XsPj IjJIp Ig-ip 0 “Kepada mereka dinampakkan neraka, pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat (dikatakan kepada para malaikat): “Masukkanlah pengikut-pengikut Fir'aun (bersama Fir'aunj ke siksa yang paling keras. ” Anda lihat, kepada mereka, pagi dan petang, dinampakkan neraka. Tentu saja itu tidak terjadi di dunia. Karena tidak mungkin mereka melihatnya di dunia ini. Nah jika demikian, itu terjadi setelah mereka meninggalkan dunia. Tetapi karena lanjutan ayat itu menyatakan bahwa sampai hari mereka dibangkitkan diperintahkan kepada m alaikat untuk memasukkan mereka ke neraka, maka penampakan neraka kepada mereka ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 255.; Kelompok V ayat 99-100 Surah aC-'Mu’minun (23) ^ v-' ^ tentulah terjadi sebelum terjadinya Kiamat. Dari satu sisi ini menunjukkan bahwa mereka hidup di satu alam yang berbeda dengan alam dunia. Di sana pandangan mereka lebih tajam daripada pandangan di dunia ini, karena mereka telah dapat melihat neraka. Di sisi lain, melihat neraka yang akan menjadi tempat mereka pastilah sangat mengerikan, dan ini berarti siksa yang luar biasa, sebelum mereka mendapatkan siksa yang lebih berat lagi, yakni benar-benar terjerumus ke dalam neraka. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa kehidupan di alam Barzakh itu, berlanjut sampai hari Kiamat, dan dengan demikian informasi ayat ini bertemu dengan firman-Nya yang ditafsirkan ini tentang barzakh yang merupakan dindingpemisah antara dunia dan akhirat. (Baca kembali QS. al-Mu’minun [23]: 99-100). Salah satu dari sekiaii banyak hadits yang dapat menguatkan adanya apa yang dinamai ‘siksa kubur’, yakni siksa di alam Barzakh, adalah hadits yang menyatakan bahwa satu ketika Rasul saw. melewati salah satu tembok (kuburan) dari tembok-tembok kota Madinah, beliau mendengar suara dua orang yang merintih. Rasul saw. bersabda: “Keduanya sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena dosa besar. Yang pertama tidak mencuci bersih bekas kencingnya, dan yang kedua berjalan mengedarkan isu yang memecah belah.” Kemudian beliau meminta diambilkan dahan pohon kurma, lalu beliau belah dua dan meletakkan pada masing-masing kubur. Beliau ditanya mengapa melakukan itu? Rasul saw. menjawab: “Semoga itu meringankan siksa buat mereka selama dahan itu belum kering.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibn ‘Abbas). Sekali lagi, bila berdasar ilmu Hadits, apa yang diinformasikan di atas adalah sepenuhnya shahih. Sangat sulit menolaknya, kecuali jika akan ditolak berdasar penggunaan akal oleh mereka yang tidak percaya. Sekian banyak riwayat lain yang berkaitan dengan siksa ini. Karena itu, ditemukan pula doa dan anjuran Rasul saw. agar kaum muslimin memohon perlindungan dari siksa neraka. Jika kita mengakui adanya siksa bagi yang durhaka, maka tentu ada juga nikmat bagi yang taat. Dalam QS. Al ‘Imran [3]: 169-170 ditegaskan bahwa para syuhada hidup di sisi Allah dan bahwa mereka memperoleh rezeki dari-Nya. Kalau merujuk kepada as-Sunnah, kita menemukan banyak sekali riwayat menyangkut kehidupan di alam Barzakh. Misalnya bahwa orang-orang mati saling ziarah-menziarahi di kubur mereka, yakni di alam Barzakh itu (HR. at-Tirmidzi melalui Abu Sa‘id), juga bahwa mereka mengetahui keadaan keluarga mereka yang masih hidup di dunia (HR. Ahmad melalui Anas Ibn Malik). Kendati sebagian ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com usm Surah aC-tMu'minun (23) Kelompok V ayat 99-100 riw ayat-riw ayat tersebut lemah atau diperselisihkan nilainya, namun banyaknya riwayat yang sebagian di antaranya sangat kuat, menjadikan kita sulit mengingkari siksa dan kenikmatan di alam tersebut hanya dengan alasan yang berdasarkan logika alam duniawi dan hukum-hukum yang berlaku di sini, padahal sebelum ini telah terbukti bahwa ada alam lain dan ada juga hukum-hukum yang berlaku bagi yang berada di sana. Ini serupa dengan hukum-hukum alam yang berlaku di luar angkasa, yang berbeda dengan yang berlaku di bumi, sebagaimana terbukti dan telah dialami oleh para antariksawan. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com A Y A T 10 1-10 4 y % f x CJU? x x ( \ <)) & ^ V j ^ ° J i 1+ y / ^ iJ y ^ ^ X $ x ^ 0 ^ 0 X ^ I j j - ^ - ^ j J l d i i l j l f l < U » j l C j S?- ^ » j (^ « Y ) (1)j ?x L L U | x . x •* 1 1 o.t) ,X . fl J y ^ ^ ^ ^ X j ^ i 4-9 (^>J jUJI X 0 x .IX x . x ^ # ' ^ x L^lU f ■*!»'' x X X £x ik )jl3 X fix X « 0 ^ x ^ x ,« f O. r ) O jJJb- X X X “Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak pula mereka saling bertanya. Barang siapa yang berat timbangan-timbangannya, maka mereka itulah orang-orang beruntung. Dan barang siapa yang ringan timbangan-timbangannya, maka mereka itulah orang-orangyang merugikan diri mereka sendiri, di dalam Jahannam. Mereka kekal. Dibakar wajah mereka oleh api, dan mereka di dalamnya sangat menyeramkan. ” Setelah ayat yang lalu menjelaskan apa yang terjadi bagi orang orang kafir bahkan bagi seluruh manusia setelah kematiannya, yakni mereka semua akan berada di alam Barzakh sampai hari Kebangkitan, maka kini dijelaskan tentang hari Kebangkitan itu, dengan firman-Nya: Apabila sangkakala ditiup tiupan yang pertama, maka semua yang hidup segera mati, dan dalam tiupan yang kedua semua manusia dibangkitkan dari kuburnya, yakni di alam Barzakh itu, maka semua orang akan datang sendiri-sendiri. Ayah melupakan anak dan istrinya. Anak dan istri pun demikian. Tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, yakni pertalian nasab yang dapat mereka jadikan kebanggaan atau sarana untuk saling bantumembantu, dan tidak pula mereka saling bertanya tentang keadaan masing257 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ^2581 Surah aC-Mu’minun (23) Kelompok VI ayat 101-104 lit* masing karena semua sibuk dengan keadaannya sendiri-sendiri, atau tidak juga mereka saling meminta untuk dibantu, karena ketika itu telah jelas bahwa segala sesuatu kembali kepada Allah semata-mata. Ketika itu, barang siapa yang berat timbangan-timbangan kebaikan-nya, maka mereka itulah orangorang beruntung yang sangat mantap keberuntungannya. Dan barang siapa yang ringan timbangan-timbangan amal kebaikan-/?)'^ maka mereka itulah orangorangyang merugikan diri mereka sendiri sehingga kehilangan modal karena mengikuti hawa nafsu. Itu mengakibatkan mereka tersiksa di dalam neraka Jahannam. Mereka adalah orang-orang yang tinggal kekal dalam azab itu. Dibakar wajah mereka, apalagi anggota badan yang lain oleh api neraka, dan mereka di dalamnya yakni di dalam kobaran api itu dalam keadaan cacat sehingga tampak sangat menyeramkan. Ayat di atas tidak bertentangan dengan firman-Nya yang menyatakan bahwa: l^alu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela-mencela (QS. al-Qalam [68]: 30), karena yang dinafikan pada ayat yang ditafsirkan ini adalah percakapan dalam hal tolong-menolong, bukan cela-mencela. Di sisi lain, situasi pada hari Kebangkitan demikian panjang, sehingga bisa saja pada satu ketika mereka tidak berbicara sama sekali, dan di kali lain mereka saling kecam-mengecam. Yakni ketiadaan percakapan dan saling meminta tolong itu terjadi pada saat peniupan sangkakala pertama, karena ketika itu semua mati. Sedang percakapan dan cela-mencela terjadi setelah peniupan sangkakala kedua setelah mereka bangkit dari kubur masing-masing mengetahui putusan Allah atas diri mereka; atau tidak ada percakapan saat manusia menuju ke Padang Mahsyar, dan percakapan terjadi setelah selesai perhitungan di Padang Mahsyar. Ayat di atas ketika menyatakan bahwa apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian nasab, dapat juga dipahami dalam arti pertalian nasab bagi orang-orang kafir, karena semua ingin melepaskan diri dari ikatan apapun yang menghubungkannya dengan para pendurhaka. Adapun orangorang mukmin, maka ikatan kekeluargaan masih tetap terjalin, khususnya setelah jelas kedudukan mereka di sisi Allah. Banyak ayat yang menunjuk hal tersebut antara lain: Cs * 9 9 S is* 0 9 f . *9*f (►$*** i r4 ' ' ' .s s 0 * * 9 . ^ J (*^ij5 (*-£ ' ' , .- . |t Of \ 9 >9- . ( H R J * f' •f , ' '>*'* Ji-U'J " " 3 * 1-oj ‘‘Orang-orangyang beriman, dan anak vucu mereka yang mengikuti mereka dalam ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 259 Kelompok VI ayat 101-104 Surah aC-Mu’minbn (23) keimanan, Kami hubungkan anak cum mereka dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (QS. ath-Thur [52]: 21). Penggunaan bentuk jamak bagi kata ( <ujl y>) maivavjnuhu/timbangantimbangannya dipahami oleh al-Biqa‘i sebagai isyarat yang menunjukkan adanya timbangan khusus yang digunakan untuk setiap amal, sehingga semua am al benar-benar menghasilkan ketepatan timbangan dan ini menurut ulama tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah swt. Banyak ulama berpendapat, bahwa di hari Kemudian memang ada timbangan yang diciptakan Allah untuk menimbang amal-amal manusia. Mereka berpegang kepada redaksi ayat ini dan semacamnya, serta sekian banyak hadits dengan memahaminya secara harfiah. Tetapi sebagian memahami kata timbangan dalam arti tolok ukur yang pasti dan benar untuk menilai amal-amal perbuatan manusia, dan ini hanya diketahui oleh Allah swt., karena tidak ada yang mengetahui kadar keikhlasan seseorang kecuali Allah swt. Padahal amal selalu berkaitan dengan niat. Hemat penulis, kita harus percaya bahwa di hari Kemudian ada yang dinamai penimbangan amal. Bagaimana cara menimbang dan apa alatnya tidaklah harus kita ketahui, tetapi yang jelas dan yang harus dipercaya adalah, bahwa ketika itu keadilan Allah swt. akan sangat nyata, dan tidak seorang pun —walau yang terhukum —mengingkari keadilan itu. Mayoritas ulama memahami bahwa amal baik dan amal buruk akan ditimbang di hari Kemudian, lalu dibandingkan yang mana yang lebih berat. Lalu atas dasar itulah Allah memutuskan bahwa yang berat timbangan amal kebaikannya, akan beruntung dengan surga, dan yang ringan amal kebaikannya, akan merugi. Thabathaba’i ketika menafsirkan QS. al-A‘raf [7]: 8-9 mengemukakan pendapat lain. Menurutnya, kalau demikian itu cara penimbangan di hari Kemudian, maka tidak mustahil —paling tidak dalam benak —adanya kemungkinan persamaan kedua sisi timbangan, sebagaimana terjadi dalam penimbangan kita di dunia ini. Ulama beraliran Syi‘ah ini menjelaskan lebih jauh bahwa menurut pemahamannya, amal-amal kebajikan menampakkan berat dalam timbangan, sedang amal-amal buruk menampakkan ringan, sebagaimana bunyi ayat yang ditafsirkan ini. Demikian pula bunyi sekian banyak ayat antara lain QS. al-Qari‘ah [101]: 6-9). Ayat-ayat ini selalu menjadikan sisi kebaikan yang berat dan sisi keburukan yang ringan. Thabathaba’i ingin sampai kepada kesimpulan bahwa seandainya cara ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ; 260 i W ]0 Surah aC-Mu’minun (23) Kelompok VI ayat 101-104 penimbangan ketika itu sama dengan cata yang disebut oleh mayoritas ulama, maka tentu ayat-ayat tersebut akan berkata siapa yang berat amal keburukannya, bukan berkata siapa yang ringan timbangan-timbangannya. Dari sini Thabathaba’i berpendapat, bahwa nalar mengharuskan kita berkata bahwa ada sesuatu sebagai tolok ukur yang digunakan mengukur/ menimbang beratnya amal-amal. Amal-amal yang baik, beratnya sesuai dengan tolok ukur yang digunakan itu, dan itulah yang menunjukkan beratnya timbangan. Sedang amal-amal yang buruk tidak sesuai dengan tolok ukur itu, maka ia tidak perlu ditimbang, atau kalaupun ditimbang ia amat ringan. Ini serupa dengan timbangan yang kita kenal. Ia memiliki anak timbangan yang menjadi tolok ukur dan yang diletakkan di satu bagian dari sayap timbangan, misalnya sayapnya yang di sebelah kiri, kemudian barang yang akan ditimbang diletakkan di sayapnya yang sebelah kanan. Kalau apa yang ditimbang itu sesuai beratnya dengan apa yang menjadi tolok ukurnya, maka ia diterima, dan bila tidak, maka ia ditolak. Ia ditolak karena ia ringan dan menjadikan kedua sayap timbangan tidak seimbang. Sebagai contoh, jika Anda mcnsyaratkan berat satu barang yang Anda akan beli 2 kg., maka Anda akan menggunakan timbangan yang memiliki tolok ukur berupa anak timbangan yang menunjukkan apakah barang tersebut telah memenuhi syarat yang Anda tetapkan itu (2 kg.) atau belum. Ketika itu Anda akan menggunakan timbangan. Kalau berat barang itu sesuai dengan syarat yang Anda kehendaki, yakni 2 kg. berdasar keseimbangan timbangan antara anak timbangan dan barang yang Anda akan beli, maka Anda menerima barang itu. Sedang kalau tidak sesuai, maka Anda akan menolaknya. Semakin kurang syarat yang dibutuhkan oleh satu barang, maka sem akin ringan pula timbangannya. Jika demikian, yang tidak m em enuhi syarat atau dengan kata lain am al-am al buruk, pastilah timbangannya ringan, sedang yang baik akan berat atau sesuai dengan anak timbangan. Setiap amal ada tolok ukurnya untuk diterima Allah swt. Sedang yang tidak memenuhi tolok ukur itu akan ditolak. Persis seperti anak timbangan ada yang seons, seperempat atau setengah kilo dan seterusnya. Semakin banyak amal baik semakin berat timbangan, dan semakin banyak amal buruk, semakin ringan timbangan, bahkan bisa jadi timbangan seseorang tidak memiliki berat sama sekali. Shalat yang diterima ada syarat berat yang harus dipenuhinya. Kalau kurang dari syarat itu ia tertolak. Demikian juga zakat, haji dan setiap amal baik manusia. Untuk jelasnya rujuklah kembali kepada apa yang penulis hidangkan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com W61J Kelompok VI ayat 105-107 Surafi aC-’Mu’minun (23) C5r~ ketika menafsirkan ayat 8 dan 9 sur&h al-si ‘raj itu. Kata ( I ) khasiru anfusahum terambil dari kata ( j —>■ ) khasira yakni rugi. Ayat ini menyatakan bahwa orang-orang kafir itu merugikan diri mereka sendiri. Kerugian dapat terjadi akibat hilangnya keuntungan yang diharapkan sedang puncaknya adalah hilangnya modal. Diri manusia adalah modalnya. Jika yang rugi adalah diri mereka, maka itu berarti mereka kehilangan modal, sehingga tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Berbeda jika yang hilang adalah keuntungan yang diharapkan atau sebagian modal saja. Penggalan ayat ini bermaksud melukiskan sirnanya harapan kaum musyrikin terhadap perolehan syafaat berhala-berhala yang mereka sembah, bahkan tersiksanya mereka di neraka. Kata ( ) taljahu terambil dan kata ( ) lafaha yakni membakar dengan menggunakan kobaran apiyang sangat besar. Kata ( j ) kalihun terambil dari ( ) kalaha. Ada yang memahaminya dalam arti berkerut wajahnya. Ada juga yang melukiskannya sebagai seseorang yang bibir atasnya tertarik ke atas dan bibir bawahnya tertarik ke bawah, sehingga giginya nampak menonjol. Ini disebabkan karena api neraka telah membakarnya sehingga menjadilah kepalanya bagaikan kepala kambing setelah dipanggang. A Y A T 10 5 -107 ‘Bukankah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepada kamu, tetapi kamu selalu mendustakannya? Mereka berkata: ‘Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kesengsaraan kami, dan adalah kami kaum sesat. Tuhan kami, keluarkanlah kami darinya, maka jik a kami kembali, sesungguhnya kami adalah orang-orang %alim. ” Setelah ayat yang lalu melukiskan siksaan lahiriah yang menimpa para pendurhaka di hari Kemudian, kini mereka dikecam untuk menambah siksaan batin mereka. Kepada mereka Allah berfirman: Bukankah ketika kamu hidup di dunia, ayat-ayat-Ku yakni al-Qur’an telah sering kali dan terusmenerus dibacakan kepada kamu sekalian, baik oleh Rasul yang Aku utus maupun pewaris-pewarisnya, tetapi kamu selalu mendustakannya?Mereka berkata dengan penuh kerendahan diri dan penyesalan: ‘Tuhan, yang selama kami ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com J jB f Surah aC-Mu’minun (23) Kelompok VI ayat 105-107 hidup di dunia telah melimpahkan pemeliharaan-Nya kepada kami, kami telah dikuasai sehingga kebahagiaan yang dapat kami raih telah dikalahkan oleh kesengsaraan kami, yakni hawa nafsu kami telah mendorong kami kepada kedurhakaan sehingga mengakibatkan kami kini dikuasai oleh kesengsaraan, dan adalah kami dahulu ketika hidup di dunia merupakan kaum sesat yang mantap kesesatannya sehingga kami tidak mengetahui dan menyadari jalan kebahagiaan. Dengan pengakuan dan penyesalan itu, mereka mengharap akan memperoleh pengampunan atau keringanan. Karena itu mereka segera bermohon: Tuhan yang selalu melimpahkan aneka karunia kepada kami, anugerahilah kami sekali lagi karunia-Mu. Keluarkanlah kami darinya, yakni dari kobaran neraka dan liputan kesengsaraan ini, dan kembalikanlah kami ke dunia. Makajik a Engkau memperkenankan permohonan kami ini, lalu setelah itu kami masih kembali kepada kedurhakaan, maka sesungguhnya kami adalah orang-orang %alim yang mantap kezalimannya sehingga dengan demikian Engkau wajar menyiksa kami. Kata ( ujjL i ) syiqwatuna terambil dari kata ( a asy-syiqwah yaitu kesengsaraan yakni antonim kebahagiaan. Kata ini menggunakan patron yang menunjukkan keadaan. Sebenamyakata-kata ( ) ghalabatyangmendahului kata syiqwah berarti mengalahkan, sehingga penggalan ayat ini berarti bahwa kesengsaraanyang melekatpada diri itu telah mengalahkan kebahagiaan. Ini berarti pengakuan bahwa sebenamya diri mereka berpotensi untuk memperoleh kebahagiaan. Tetapi terjadi pertarungan antara keduanya, dan satu pihak dalam hal ini kesengsaraan - mampu menundukkan kebahagiaan. Hal tersebut tentu saja karena mereka mengikuti rayuan setan dan hawa nafsu serta m engabaikan panggilan fitrah dan tuntunan Ilahi. Thabathaba’i memperoleh kesan dari penisbahan kata kesengsaraan itu pada diri mereka (syiqwatuna/ kesengsaraan kami) sebagai isyarat pengakuan mereka bahwa kesengsaraan adalah akibat ulah mereka sendiri. Ini dikuatkan pula oleh ucapan mereka bahwa makajika kami kembali, sesungguhnya kami adalah orangorang %alim. Dan dikuatkan juga oleh pengakuan mereka bahwa adalah kami kaum sesat. Kata ( ) qaum/kaum pada ayat 106 mengesankan juga kemantapan kesesatan itu pada kepribadian mereka sampai mereka bagaikan kelompok tersendiri yang menyandang sifat buruk tersebut. Pengakuan itu mereka sampaikan ketika mereka melihat siksa dengan harapan akan memperoleh pengampunan atau keringanan sebagaimana ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 263 Kelompok VI ayat 108-110 Surafi aC-iMu'minuti (23) ^ ^ NffV' halnya seorang yang menyesal dan bertaubat dalam kehidupan dunia ini. A Y A T 10 8 -110 “Dia berjirman: ‘Tinggal diamlah di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara kepada-Ku.” Sesungguhnya, dahulu ada segolongan dari hamba-hamba-Kuyang berkata: ‘Tuhan kami, kami telah beriman maka ampunilah kami dan rahmatilah kami, dan Engkau adalah sebaik-baik Pemberi rahmat. ” Ealu kamu menjadikan mereka buah ejekan, sampai-sampai mereka menjadikan kamu lupa peringatan-Ku, dan adalah kamu terhadap mereka selalu tertawa. ” Setelah mendengar permohonan itu, Allah mcnghardik mereka. Dia Yang Maha Kuasa itu berfirman: Tinggal diamlah dengan hina seperti anjing. Tinggallah di dalamnya, yakni dalam neraka dan kesengsaraan itu, dan janganlah kamu berbicara kepada-Ku, karena kamu tidak wajar memperoleh penghormatan berdialog dengan-Ku. Selanjutnya Allah mengingatkan salah satu kedurhakaan mereka, agar bertambah siksa dan penyesalan mereka. Allah berfirman: Sesungguhnya dahulu ketika kamu hidup di dunia, kamu sangat angkuh dan menghina kaum berim an. K etika itu ada segolongan dari hamba-hamba-Ku yang memanjatkan doa dengan tulus lagi terus-menerus berkata: Tuhan Pemelihara dan Pelimpah aneka rezeki kepada kami, kami telah beriman sesuai apa yang Engkau perintahkan melalui Rasul-Mu. Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan kami, maka ampunilah kesalahan-kesalahan kami berkat iman kami itu dan rahmatilah kami, yakni limpahkan kasih sayang dan aneka anugerah-Mu yang khusus kepada kami, yaitu surga. Karena sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik Pemberi ampun dan Engkau adalah sebaik-baik Pemberi rahmat. Hai para pendurhaka, orang-orang yang beriman yang demikian tulus, rendah hati dan yang terus mengabdi kepada-Ku itu kamu pandang sebelah mata, lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan, sampai-sampai mereka, yakni kesibukan kamu mengejek kaum mukminin menjadikan kamu lupa peringatan---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surat aC-Mu'minun (23) Kelompok VI ayat 108-110 Ku, yakni ayat-ayat al-Qur’an yang mengakibatkan kamu meninggalkan tuntunan-Ku dan tidak menghargai hamba-hamba-Ku yang taat, dan adalah kamu terhadap mereka secara khusus, selalu tertawa melecehkan dan menghina mereka. Kata ( ' ) ikhsa’u digunakan untuk menghardik dan menghina sam bil m em erintahkan diam. Kata ini sering kali digunakan untuk menghardik anjing yang menggonggong. Di sini, kata tersebut dimaksudkan sebagai penghinaan sekaligus memutus harapan mereka. Sebelum ini, sebenamya Allah mengajukan pertanyaan kepada mereka (baca ayat 105), tetapi pertanyaan itu, bukanlah dimaksudkan untuk dijawab. Ia bertujuan menambah penyesalan mereka. Namun mereka menjawab dan bermohon, jawaban dan permohonan yang panjang lagi tak berguna. Maka karena itu, mereka dihardik dan diperintahkan diam. Ucapan dan doa kaum mukminin yang direkam ayat ini, pada hakikatnya adalah taubat dan permohonan ampun serta limpahan rahmat khusus berupa surga. Para pendurhaka yang sebelum ini bermohon, juga telah bertaubat dan mengharapkan pengampunan Ilahi serta mendambakan surga-Nya. Hanya saja kaum mukmin memohonkannya ketika mereka masih hidup di dunia sambil mempersiapkan bekal dan dengan menghiasi diri dengan kesabaran. Sedangkan orang-orang kafir baru bermohon setelah kematian mereka, tidak pula menyiapkan diri atau membawa bekal dan tidak juga bersabar, bahkan mereka memperturutkan hawa nafsu. Dari sini wajar jika doa kaum beriman dikabulkan, dan doa para pendurhaka ditolak. Karena bukan saja waktu berdoa mereka berbeda, tetapi juga persiapan mereka bertolak-belakang. Kata ( \jyt-j ) sukhriyyan dengan dhammah pada huruf ( — j ) sin, ada juga yang membacanya dengan kasrah sehingga terbaca sikhrryyan. Sementara ulam a m em bedakan m aknanya. Yang dengan dhammah berm akna mempeherjakan tanpa imbalan upah, sedang dengan kasrah bermakna ejekan. Redaksi ayat di atas tidak menyatakan bahwa ejekan itu yang menjadikan para pendurhaka lupa, tetapi menyatakan bahwa mereka, yakni kaum beriman menjadikan mereka lupa. Ini karena sifat dan keadaan kaum mukmin itulah yang menyebabkan mereka mengejek. Keadaan dan sifat dimaksud lahir dari kepercayaan mereka terhadap ajaran Islam. Kaum musyrikin memusuhi ajaran itu, dan karena itu mereka mengejek dan menyiksa pemeluknya. Thabathaba’i berpendapat bahwa penisbahan ejekan itu kepada kaum mukminin mengisyaratkan bahwa para pendurhaka itu ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VI ayat 111 Surafi aC-!Mu’minun (23) L f K* benar-benar dan sepenuhnya menghjna dan mengejek kaum beriman, sehingga buat mereka, kaum mukminin tidak lain kecuali bahan ejekan semata-mata. Didahulukannya kata ( ) minhum/terhadap mereka pada firmanNya: ( t ) j ) wa kuntum minhum tadhhakun/adalah kamu terhadap mereka selalu tertawa, bertujuan menyatakan bahwa semua potensi tawa dan ejekan yang mereka miliki ditujukan kepada kaum mukminin secara khusus. Kalaupun ada yang tertuju kepada selain kaum mukminin, maka itu sedemikian sedikit dan kecil sehingga tidak berarti sama sekali. A Y A T 111 “Sesungguhnya A.ku telah memberi mereka balasan pada hari ini, karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka, merekalah pemenang-pemenang. ” Untuk menimbulkan rasa penyesalan yang lebih dalam lagi di hati para pengolok-olok kaum mukminin itu, Allah berfirman kepada mereka: SesungguhnyaA.ku telah memberi mereka yang kamu perolok-olokkan itu balasan yang sangat menyenangkan dan yang mereka terima pada hari ini, yaitu berupa surga dan aneka kenikmatan. Karena, yakni anugerah itu sebagai ganti kesabaran mereka menghadapi ejekan dan siksaan kamu serta kesabaran mereka melaksanakan tuntunan-tuntunan-Ku. Sesungguhnya mereka itulah yang kim sungguh tinggi kedudukannya. Merekalah bukan kamu dan bukan siapa pun yang merupakan pemenang-pemenang sejati. Kata In pada firman-Nya: ( U ) bima shabant tidak dipahami dalam arti sebab, karena anugerah surga dan aneka nikmatnya, bukanlah disebabkan karena amal perbuatan seseorang. Rasul saw. menegaskan hal ini ketika bersabda: “Tidak seorang pun yang masuk ke surga karena am alnya.” Beliau ditanya: Walaupun engkau wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Walau aku. (aku tidak memasukinya) kecuali jika Allah melimpahkan kepadaku rahmat-Nya” (HR. Bukhari). P engulangan kata ( (►* ) hum/mereka pada ayat di atas untuk mengisyaratkan bahwa kemenangan dan keberuntungan itu, khusus buat mereka, tidak kepada selain mereka. Kata ( Ojjibi)! ) al-fa’i^un adalah bentuk jamak dari kata ( jJ\i ) fd’it^ ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com -2 6 6 %\ Surat aC-'Mu’minun (23) Kelompok VI ayat 112-114 yakni peraih keberuntungan. Ivata tersebut terambil dari kata ( j j j ) fau-^ dan biasa diterjem ah kan dengan keberuntungan!kemenangan. A l-Q ur’an menggunakan kata ( jj9 ) faux dalam berbagai bentuknya dalam arti pengampunan dan perolehan surga. Perhatikan misalnya QS. Al ‘Imran [3]: 185: jli Jiis ‘Barang siapayang dijauhkan walau sedikit dari neraka dan dimasukkan ke surga maka sungguh dia telah beruntung”, atau firman-Nya: “Penghuni surga adalah orang-orang al-fdi-^un/ orang-orang beruntung” (QS. al-Hasyr [59]: 20). Di sisi lain, seperti penulis kemukakan ketika menafsirkan QS. an-Nisa’ [4]: 73, bahwa dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak dua puluh sembilan kali akar kata ( ) fau^ dalam berbagai bentuknya, tetapi hanya sekali dalam bentuk tunggal personal pertama {aju^a/aku beruntung), yakni hanya pada ayat an-Nisa’ 73 itu. Di sana pengucapnya adalah seorang munafik yang menyesal karena tidak memperoleh harta rampasan perang akibat tidak ikut bersama kaum mukminin dalam peperangan. Dia berucap seperti direkam al-Qur’an: ( UJa£■\jji c-i* ) yd laitam kuntu ma ‘ahumfa afii^afau-^an ‘a^lnman/wahai, kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat keberuntunganyang besar. Perolehan harta rampasan, mereka nilai sebagai fau^ (keberuntungan) dan itu hanya ingin dinikmatinya sendiri, sebagaimana dikesankan oleh penggunaan bentuk tunggal itu. Adapun orang-orang beriman, maka mereka selalu bersama-sama dalam kesedihan dan keberuntungan sebagaimana dikesankan oleh bentuk jamak yang digunakan untuk melukiskan keadaan mereka. A Y A T 112 -114 jo m ( jf d j ijJls ( ^ y ) t ) h jt e ^ sr yj£ ^ j j y j 'i| ^ 4 j 01 J i i ( „ r ) Dia betjirman: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab: “Kami tinggal sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada para penghitung. ” Dia berfirman: ‘Kamu tidak tinggal melainkan sedikit. Seandainya ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi a[-9Au’minun (23) Kelompok VI ayat 112-114 benar-benar kamu mengetahui. ” A yat-ayat yang lalu telah memutus sepenuhnya harapan kaum m usyrikin dan pendurhaka itu untuk kembali hidup di dunia, atau memperoleh pengampunan dan rahmat Ilahi di Akhirat. Allah melalui ayat di atas melanjutkan kecaman terhadap mereka sambil mengisyaratkan banyaknya kesempatan dan panjangnya waktu yang telah diberikan kepada mereka dalam kehidupan dunia agar mereka merenung, bertaubat, serta membawa bekal ke Akhirat. Dia berjirman melalui malaikat: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi, yakni dalam kehidupan dunia ini berfoya-foya dan menghabiskan waktu dan usia kamu? Mereka menjawab: “Kami tinggal hidup di dunia hanya sehari atau setengah hari saja. Kami tidak tahu persis. Atau kami bercakap benar. Maka tanyakanlah kepada para penghitung, yakni orang-orang yang pandai berhitung, karena kami tidak tahu persis berapa lamanya. Atau tanyakalah kepada mereka untuk membuktikan kebenaran kami. Dia, yakni Allah berjirman melalui para malaikat bahwa: Berapa pun lamanya kamu tinggal di dunia pada hakikatnya kamu tidak tinggal di sana melainkan sedikit, yakni sebentar saja, jika dibandingkan dengan lamanya masa yang akan kamu lalui di Akhirat sini. Seandainya benar-benar kamu mengetahui dan menyadari bahwa kenikmatan dunia yang singkat akibat memperturutkan hawa nafsu akan mengakibatkan kesengsaraan yang lama, sebagaim ana orang-orang mukminin mengetahui dan menyadarinya, tentulah kamu tidak akan menggunakan waktu yang sebentar itu untuk berfoya-foya dan mengabaikan kebahagiaan yang abadi. Thabathaba’i menulis bahwa pertanyaan tentang berapa lama kamu tinggal merupakan salah satu pertanyaan Allah di hari Kemudian tentang lamanya pendurhaka berada di dunia. Tetapi —tulisnya lebih jauh —bahwa disebut juga dalam beberapa ayat pertanyaan menyangkut lamanya mereka dalam kubur. Seperti firman-Nya dalam QS. ar-Rum [30]: 55: j S- IjiJ ( 1 ) Jt x -A; x ^j Oj ^JiJ x Dan pada hari terjadinya Kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa: ‘Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja). ’’Juga firman-Nya: . x x 0 j* <> MX . x S i • A 0 I '' x x ® t • ^ / J , x x ' O x x x O x O J xx 'jM i (»■>OjJ s-jt U O jji f “Pada hari mereka melihat a^abyang diancamkan kepada mereka (merasa) seolaholah tidak tinggal melainkan sesaat pada siang hari (QS. al-Ahqaf [46]: 35). ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com IIIIIP Suraf a[-tMu'minun (23) Kelompok VI ayat 112-114 * “u Atas dasar ini, Thabathaba’i tidak sependapat dengan ulama yang memahami pertanyaan itu dalam arti berapa lama mereka tinggal hidup di dunia, tidak juga dalam arti berapa lama mereka tinggal di dunia dan dalam kubur. Tetapi menurutnya, pertanyaan itu adalah tentang berapa lama mereka tinggal di kubur/alam Barzakh. Atas dasar itu, Thabathaba’i memahami ayat di atas dalam arti: “Kalian benar, bahwa kalian tidak tinggal kecuali sebentar. Alangkah baiknya seandainya sewaktu kalian tinggal di dunia, kalian menyadari bahwa kalian tidak akan tinggal di kubur kalian kecuali sebentar lalu kalian dibangkitkan. Dan dengan demikian, kalian tidak mengingkari keniscayaan hari Kebangkitan dan tidak juga tersiksa dengan siksaan ini. Perandaian yang dimaksud di sini —sebagaimana semua perandaian dalam firm an A llah — tertuju kepada mitra bicara, bukan oleh Allah yang berfirman.” Demikian Thabathaba’i. Agaknya Thabathaba’i memahaminya demikian, karena ayat tersebut menggunakan kata al-ardh/ bumi yang mengesankan makna perut bumi/kubur, bukan seperti pemahaman banyak ulama bahwa yang dimaksud adalah kehidupan di pentas bumi. Kata ( ) al-‘dddin terambil dari kata ( Js-) ‘adda berarti menghitung. Ada yang memahami para pengbitung dimaksud adalah para malaikat. Ada juga yang m emahaminya dalam arti manusia-manusia yang memiliki keahlian dalam menghitung hari-hari. Ini menurut Ibn ‘Asyur sejalan dengan kebiasaan m asyarakat Jahiliah yang tidak mengerti hitungan. Dalam masyarakat Jahiliah, para penghitung hari-hari —Qamariah dan Syamsiah — dilakukan oleh orang-orang khusus dari suku Kinanah. Nah, agaknya mereka dan yang semacam merekalah yang dimaksud oleh kaum musyrikin sebagai al-'addin. Demikian lebih kurang Ibn ‘Asyur. Di atas, penulis kemukakan bahwa Allah berfirman melalui malaikat, walaupun ayat di atas menyatakan ( ‘/j ) qala, yakni Dia (Allah) berfirman. Ini berdasar bacaan sejumlah pakar qira’at seperti Ibn Katsir, Hamzah dan lain-lain, yang membacanya ( J j ) qulj katakanlah. Nah, perintah Allah untuk menyampaikan hal tersebut ditujukan kepada para malaikat. Ibn ‘Asyur memahami “pertanyaan” Allah ini bertujuan mengantar kaum musyrikin mengakui kesesatan mereka ketika hidup di dunia, yakni kesesatan mereka mengingkari keniscayaan Kiamat, sambil membuktikan kekeliruan dalih mereka yang menyatakan bahwa: “Yang telah menjadi tulang-belulang tidak mungkin akan dapat dibangkitkan lagi oleh Allah swt.” Ini —menurut ulama itu lebih jauh —dikuatkan pula oleh ayat berikut ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com [m ; Surafi af-Mu'minun (23) ||§|§|f Kelompok VI ayat 112-114 yang menyatakan: ‘A pakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara sia-sia. ” Ibn ‘Asyur juga menyatakan bahwa di sini mereka digiring oleh Allah sehingga menjawab bahwa mereka tidak tinggal kecuali sedikitj sebentar, guna menambah buruknya kesalahan mereka. Yakni setelah mereka merasa bahwa mereka telah hidup kembali sebagaimana kehidupan mereka di dunia, pemikiran mereka ikut kembali pula sebagaimana sebelum kematian mereka. Tadinya ketika mereka hidup di dunia, mereka menduga bahwa bila badan mereka telah hancur, mereka tidak mungkin akan hidup lagi. Tetapi kini, karena mereka telah hidup kembali dengan badan yang utuh, maka mereka menjawab bahwa mereka tidak hidup di dunia1 kecuali dalam waktu yang singkat, waktu yang tidak mengakibatkan kebinasaan jasmani mereka. Begitulah para pendurhaka membuat kesalahan berdasar kesalahan yang lama. Selan ju tn ya Ibn ‘A syur m enyatakan bahwa ucapan m ereka: ‘’Tanyakanlah kepada para penghitung”, merupakan pengakuan tentang ketidaktelitian mereka menghitung masa keberadaan mereka. Dan karena itu, mereka meminta kepada penanya agar menanyakan kepada siapa yang pandai menghitung, dan yang diduga oleh para pendurhaka itu masih hidup. Ini karena mereka menduga - ketika dibangkitkan dari kubur itu - bahwa dunia masih utuh dan pertanyaan yang diajukan tersebut benar-benar merupakan pertanyaan hakiki. Lebih jauh Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa jaw aban yan g m ereka terim a: “Kamu tidak tinggal kecuali sebentar” mengandung kalimat yang tersirat. Kalimat tersebut menjadi perlu karena sebenarnya mereka telah tinggal jauh lebih lama dari sehari atau setengah hari. Kalimat tersirat tersebut adalah: JJS’ Lojj ( J I j t J S 'j rtJJl W* S 0 * * ^ j j u J lJ jiJ lj liL ijl^ u V w U j S / <• / /< “bahkan kalian telah tinggal berabad-abad, walaupun kalian tidak tinggal menurut perhitungan Allah kecuali sebentar, karena sehari di sisi Allah seperti seribu tahun dalam perhitungan kamu” (QS. al-Hajj [22]: 47). Jawaban para pendurhaka itu bahwa mereka tinggal sehari atau setengah hari, sama dengan jawaban seorang yang telah dimatikan selama seratus tahun. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 259 Allah berfirman: ■ ** y A x 4 ^ 4j‘1# Oi-J J j Jl9 ^ ^ Jo**, j ' ^jd ^ 0 / / / 0 s ^ s ^ •* / ^ ^ ^ xx x/ ^ ^ 1 Agaknya yang dimaksud adalah tidak hidup di kubur/alam Barzakh. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com i 270i surah aC-Mu’minun (23) Kelompok VI ayat 115-116 “Maka S ill ah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya fambali. Allah bertanya: “Berapa lama kamu tinggal di sini?’’ la menjawab: “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari. ” Allah berfirman: “Sebenamya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. ” Ibn ‘Asyur mengukuhkan pendapatnya ini dengan penggalan akhir ayat di atas, yakni “seandainya benarbenar kamu mengetahui”. Dalam arti, kalau seandainya kamu mengetahui, tentulah kamu mengetahui bahwa kamu tidak tinggal hanya sedikit. AY A T 115-116 a u i i &\ j u a 6 >o Hd j ■(m ) f-Jti' <J\ \ Si ‘Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu secara sia-sia dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Haq; tidak ada tuhan selain Dia, Tuhan Arsy yang mulia. ” Nah, setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan apa yang akan dihadapi oleh para pendurhaka, kini mereka diingatkan tentang kelengahan mereka dengan menyatakan: Jika demikian kenyataan yang akan kamu hadapi, maka apakah kamu durhaka dan melecehkan tuntunan Kami dan kaum beriman karena kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu secara sia-sia tanpa hikmah dan kamu menyatakan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami, yakn i d ib an g k itk an hidup kem bali setelah kem atian kam u guna mempertanggungjawabkan semua amal kamu?Tidak, sungguh kamu keliru jika mengira demikian. Maka Maha Tinggi Allah, Raja Penguasa Tunggal Yang Haq, yang tidak disentuh oleh kebatilan, kekurangan dan kepunahan; tidak ada tuhan penguasa dan pengendali alam raya lagi yang berhak disembah selain Dia, Tuhan Pemilik dan Pengendali Arsy yang mulia. Kata ( ) ‘abatsan/sia-sia, yakni perbuatan yang tidak bermanfaat. Pernyataan ayat di atas menunjukkan keniscayaan adanya hari Pembalasan. Karena dalam kehidupan dunia ini, terbukti ada manusia yang baik dan berlaku adil dan ada pula yang sebaliknya. Seandainya Allah tidak memberi balasan kepada masing-masing sesuai dengan amal perbuatannya, maka tentu hal tersebut mengakibatkan sia-sianya kebaikan yang berbuat baik. Demikian juga harapan mereka yang belum terbalas kekejaman para penganiaya. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi af-CMu'minun (23) Kelompok VI ayat 117*118 Firman-Nya: maka Maha Tinggi Allah dan seterusnya, merupakan argumen tentang kekeliruan kepercayaan kaum musyrikin. Yakni Allah Maha Tinggi. Ketetapan-Nya pasti terlaksana, karena Dia adalah al-Malik yakni Penguasa Tunggal. Dan apa yang di tetap kan-Nya pastilah benar, karena Dia adalah al-Haqq. Selanjutnya karena Dia al-Haqq, maka tidak ada yang bersumber dari-Nya yang sia-sia atau tanpa makna, antara lain p en ciptaan m anusia. Jan gan duga ada yang dapat m enyaingi dan membatalkan kehendak-Nya. Dia adalah jR.abbul ‘arsy, yakni Penguasa alam raya Yang bersumber dari-Nya segala ketetapan, dan Yang kepada-Nya segala sesuatu akan kembali, termasuk manusia yang diciptakan-Nya itu. Kata ( HO) RabbiI ‘arsy telah diuraikan pada ayat 86 surah ini. Rujuklah ke sana. Di sini ‘arsy disifati dengan kata ( f./ S \ ) al-karim. Sedang di beberapa tempat yang lain seperti pada ayat 86 dengan ( al-‘a^htm. Perbedaan itu karena perbedaan konteks. Pada ayat ini konteksnya adalah limpahan anugerah Allah, sehingga lebih digunakan kata ( ) karim yang m engandung m akna keutamaan, kemuliaan, serta keistimewaan sesuai obyeknya. Sedang di sana, konteksnya adalah uraian tentang agungnya kuasa-Nya, yang tepat adalah kata ‘A^him/Agung. A Y A T 117-118 SI P Jj Aj <J O U fcjj ( MA ) c J 'j j j i j (^ v ) “Dan barang siapa menyembah tuhanyang lain bersama Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya tidaklah beruntung orang-orangyang kafir. Dan katakanlah: ‘Tuhanku, ampunilah dan rahmatilah dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik. ” S elan ju tn ya A llah m engingatkan bahwa: B arang siapa yang menyembah Allah Yang Maha Esa semata-mata, maka mereka itulah yang akan berbahagia dan mewarisi surga. Dan barang siapa menyembah tuhanyang lain bersama A llah , padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang penyembahan itu, apalagi demikian banyak bukti yang menunjukkan keesaan-N ya, maka sesungguhnya perhitungannya, yakni balasannya yang dihitung dengan sangat teliti akan berada di sisi Tuhannya, dan itu akan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Mu’minun (23) Kelompok VI ayat 117-118 dibenkzn kepada masing-masing. Ses’ungguhnya tidaklah beruntung orang-orang yang kafir baik sekarang maupun akan datang. Dan katakanlah, yakni berdoalah wahai Rasul dengan berkata: ,eTuhanku, ampunilah aku dan umatku, dan rahmatilah kami semua. Engkau adalah Pengampun Yang Paling sempurna dan Engkau juga adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik. ” Firman-Nya: ( ^ *j| ULl <ij)l ^ ) wamanyad‘u ma'a Allah ilahan akhar la burhana lahu bihi/barang siapa menyembah tuhanyang lain bersama Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya, menunjukkan bahwa keimanan dalam Islam, lebih-lebih menyangkut keesaan Allah swt., haruslah dengan argumen yang kuat. Tidak dikenal dalam ajaran al-Qur’an ungkapan yang dikenal pada beberapa agama yang menyatakan: “Percayalah sambil menutup mata.” Tidak! Keimanan tentang keesaan Allah dalam ajaran Islam memerlukan akal yang sehat dan argumentasi yang kuat. Firman-Nya: ( y**' v 'j) Rabbighfir ivarham/Tuhan, ampunilah dan rahmatilah, tidak m enyebut obyeknya. Sementara ulama menjadikan obyeknya adalah orang-orang beriman. Ada juga yang beranggapan bahwa obyeknya adalah aku, dan ada lagi yang berpendapat bahwa obyeknya sengaja tidak disebut dengan tujuan menerima kebijaksanaan Allah dalam menganugerahkan rahmat dan pengampunan bagi siapa yang dikehendakiNya. Perintah ayat ini untuk mengucapkan doa tersebut, mengisyaratkan pengabulannya. Dengan demikian, penutup ayat ini dan penggalan terakhir ayat sebelumnya (ayat 117) yang menyatakan (<1)jyi£3l 4j) ) innahu la yuflihu al-kafirun/sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir, kesemuanya bertem u dengan ayat pertam a surah ini yang m enegaskan bahwa ( ) qadaflaha al-mu’minun/sesungguhnya telah beruntunglah orangorang mukmin. Demikian, bertemu akhir ayat pada surah ini dengan awal ayatnya, dan demikian terbukti sekali lagi betapa serasi hubungan ayatayat al-Quran. Maha Suci Allah Yang menurunkan firman-Nya. Demikian Wa Allah A ‘lam. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi an-fifur Surah an-Nur termasuk golongan surah-surah Madaniyyah, terdiri dari 64 ayat. Dinamakan surah ini “AN-NUR ” yang berarti “CAHAYA ” di ambil dari kata An-Nur yang terdapat pada ayat 35. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi an-!Nur (24) ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com SURAH AN-NUR V ) urah an-Nur yang terdiri dari 64 ayat adalah surah Madaniyyah, yakni ayat-ayatnya turun setelah N abi M uhammad saw. ^ —-x berhijrah ke Madinah. Ulama sepakat menyatakan hal ini. Namanya, an-Nur telah dikenal sejak zaman Nabi saw. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. berpesan: “Ajarkanlah surah an-Nur kepada keluarga kamu.” ‘Umar ra. juga berpesan serupa dan menambahkan di samping surah anNur juga an-Nisa’ dan al-Ahzab. Sementara riwayat menyatakan bahwa surah ini merupakan surah yang keseratus dalam perurutan surah-surah al-Qur’an yang turun. Namun ia tidak turun sekaligus. Kisah kebohongan dan isu negadf yang dilontarkan kepada istri Nabi saw., ‘Aisyah ra. yang diuraikan surah ini (ayat 11-26) turun beberapa saat setelah terjadinya Perang Bani al-Mushthalaq yang terjadi pada tahun ke IV Hijrah. Sedang uraian tentang hukum Allah terhadap yang menuduh istrinya berzina (ayat 4-10) turun jauh setelah itu, yakni pada bulan Sya'ban tahun ke IX, yakni setelah Perang Tabuk. Thahir Ibn ‘Asyur menilai bahwa surah ini berintikan uraian tentang hukum dan tuntunan pergaulan wanita dan pria. Memang banyak sekali ayat-ayat yang berbicara tentang hal tersebut sebagaimana akan terbaca sebentar. Thabathaba’i berpendapat bahwa tujuan utama surah ini — seb agaim an a d iisyaratk an oleh pem bukaannya (ayat 1) — adalah mengingatkan sejumlah ketetapan hukum syariat yang disusul dengan sekian ( 275 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah att-!N:ur(24) banyak tuntunan Ilahi yang sesuai, agar n\enjadi peringatan bagi orangorang mukmin. Al-Biqa‘i berpendapat bahwa tujuan utamanya sebagaimana ditunjuk oleh namanya adalah penjelasan tentang keluasan dan ketercakupan ilmu Allah swt. yang keniscayaannya adalah keluasan kuasa-Nya. Dan ini mengantar kepada penetapan segala persoalan dalam bentuk yang sangat bijaksana. Selanjutnya ini mengukuhkan kemuliaan Nabi Muhammad saw., yang menjadikan Yang Maha Kuasa itu memilihkan untuk beliau sahabatsahabat dalam aneka tingkat kedekatan kepadanya, dan ini juga mengantar kepada kemuliaan dan kesucian pendamping hidup beliau dalam hal ini adalah ‘Aisyah ra. yang Nabi wafat dalam keadaan ridha terhadapnya, dan istri beliau itu wafat dalam keadaan shalihah dan penuh bakti. Inilah — menurut al-Biqa‘i —tujuan utama surah ini, tetapi untuk membuktikannya diperlukan mukaddimah-mukaddimah di atas. Sayyid Quthub menulis bahwa surah ini adalah surah an-Nur. Kata ( j ji ) nur/ Cahaya itu dikaitkan dengan Allah: ‘‘A llah adalah cahaya langit dan bumi. ” Nur juga disebut melalui dampak dan manifestasinya dalam hati dan jiwa, yaitu yang tercermin dampaknya pada etika dan akhlak yang menjadi dasar uraian surah ini. Akhlak tersebut berkaitan dengan jiwa pribadi demi pribadi, keluarga dan masyarakat. Nur itu menerangi hati, dan kehidupan, serta dikaitkan dengan cahaya alam raya, cahaya jiwa dan terangnya had, serta ketulusan nurani, yang kesemuanya bersumber dari cahaya Allah yang menerangi jagat raya. Demikian lebih kurang Sayyid Quthub. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com AYAT 1 ( ^ ) O jjS'JlJ ^iCUJ O l l j J* * \ J j 5lj U b U * > J j l A U j i i fl "Surah Kami menurunkannya dan Kami mewajibkannya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayatyang jelas, agar kamu selalu ingat. ” Ayat yang lalu diakhiri dengan penegasan bahwa manusia tidak diciptakan secara sia-sia, dan bahwa Allah adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik. Nah, melalui surah ini dan juga ayat ini, Allah menjelaskan ketentuanketentuan hukum yang harus diindahkan sebagai konsekuensi dari penciptaan manusia yang tidak sia-sia itu, sekaligus penjelasan-penjelasan yang diberikan itu merupakan perwujudan rahmat yang bersumber dari Allah “Pemberi rahmat Yang Paling baik.” Untuk itu surah ini dimulai dengan firman-Nya: Ini adalah satu surah yang agung yang Kami menurunkannya dan Kami mewajibkan pelaksanaan hukum-hukum yang termaktub di dalam-nya, dan di samping itu Kami turunkan juga di dalamnya ayat-ayat yakni buktibukti yang jelas berkaitan dengan keesaan Allah, kemahakuasaan dan keluasan ilmu-Nya, serta kebenaran kitab suci al-Qur’an agar kamu selalu ingat dan mengambil pelajaran darinya. Kata ( 3j ) surah terambil dari kata ( j j- » ) sur yaitu tembok yang mengelilingi kota atau bangunan. Dalam istilah al-Qur’an surah adalah "Sekumpulan ayat-ayat al-Qur’dn yang mempunyai tujuan yang sama dalam pemaparannya. ” Demikian Thabathaba’i mendefinisikannya. Dapat juga dikatakan bahwa surah al-Q ur’an adalah sekumpulan ayat-ayat yang ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------277 INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ''s$S&rrW, '278 v ^ | Surah an-m r (24) Kelompok I ayat 2 memiliki pendahuluan dan penutup, minimal terduri dari tiga ayat, yaitu surah al-Kautsar, dan maksimal 286 ayat, yaitu surah al-Baqarab. Kata ( i»-i- >y ) faradhnaha terambil dari kata ( J ? j ) faradha yang pada mulanya berarti memotong sesuatuyang keras dan atau memberi bekas padanya. Kata ini juga digunakan serupa dengan kata ( i_? -ji) aujaba yakni mewajibkan. Hanya saja kata ( J ) faradha lebih banyak ditekankan pada penetapan kepastian hukum wajibnya sesuatu, sedang aujaba pada jatuh dan mantapnya ketetapan itu. Firman-Nya bahwa surah ini mengandung penetapan kepastian hukum, bukan berarti semua ayat-ayatnya adalah ayat hukum, tetapi maksudnya adalah sebagian besar kandungannya. Ini, karena sebagian ayatnya tidak berbicara tentang hukum, seperti m isalnya ayat yang menguraikan cahaya petunjuk Ilahi pada ayat 35 surah ini. Karena itu pula lanjutan ayat tersebut menyatakan: ( oUjj o b it Uljilj ) wa an^alna fihd aydtin bayyindtjK.ami turunkan di dalamnya ayat-ayat yangjelas. Ibn ‘Asyur memahami kata ( y ) faradhna dalam arti penetapan saja, seperti kata ( Uj j jl » ) nashiban mafrudhan dalam firman-Nya pada QS. an-Nisa’ [4]: 7. Di sana Allah berfirman: UlwUtjJl £jJ UJ> S-UJOUj 0 jJ * t °.y .0 s s 9 f JS j l f 0 S |- Ji laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wamta ada hak bagian (pulaj dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak, sebagai nashiban mafrudhan, yakni bagian yang telah ditetapkan. ” Ditutupnya ayat di atas yang berbicara tentang surah ini dengan harapan agar mitra bicara mengingat dan mengambil pelajaran, mengisyaratkan bahwa al-Qur’an al-Karim sangat berpotensi untuk menjadi peringatan dan pelajaran bagi yang memperhatikannya. AYAT 2 ^ 3 aM j JL?1-V5 S i j SjU J&-\j J i * I jjJ b r li ( t ) ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 279 , Kelompok I ayat 2 Surah an-Nur (24) y-'M'ii&• if V''v' “Perempuan pezina dan laki-laki pezina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah kamu dicegah oleh belas kasih kepada keduanya dalam agama Allah, jik a kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Dan hendaklah hukuman mereka berdua disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang mukmin. ” Ayat yang lalu menjelaskan bahwa surah ini mengandung ketetapan hukum yang bersifat pasti, salah satu di antaranya adalah yang disebut oleh ayat di atas yaitu perempuan pezina yang gadis dan laki-laki pezina yang masih jejaka, yakni yang keduanya belum pernah menikah, maka cambuklah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali cambukan, jika kesalahannya terbukti sesuai dengan syarat-syaratnya. Laksanakanlah ketentuan ini dengan sungguh-sungguh danjanganlah kamu dicegah oleh belas kasih yang melimpah kepada keduanya dalam menjatuhkan ketetapan agama Allah sehingga kamu mengabaikan ketentuan ini. Jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat, pasti kamu melaksanakan ketentuan ini karena konsekuensi keimanan adalah melaksanakan ketetapan Allah dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka berdua disaksikan oleh sekumpulan, yakni sedikitnva tiga atau empat dari orang-orang mukmin agar hukuman itu menjadi pelajaran bagi semua pihak yang melihat dan mendengarnya. Zina adalah persentuhan dua alat kelamin dari jenis yang berbeda dan yang tidak terikat oleh akad nikah atau kepemilikan, dan tidak juga disebabkan oleh syubhat (kesamaran). Ayat di atas menggunakan kata ( ) a^-^anidan ( AJIjJl) a^-%aniyah yakni menggunakan patron kata yang mengandung makna kemantapan kelakuan itu pada yang bersangkutan. Tentu saja kemantapan tersebut, tidak mereka peroleh kecuali setelah berzina berulang-ulang kali. Nah, apakah jika demikian, seorang baru dijatuhi hukuman yang disebut ayat ini, bila ia berulang-ulang melakukan perzinahan? Mayoritas ulama berpendapat tidak, yakni siapa pun yang ditemukan berzina atau mengaku berzina, dengan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan agama —walau baru sekali —maka ia dijatuhi hukuman tersebut. Nah, jika demikian, m engapa ayat di atas m enggunakan patron kata tersebut? K etika menafsirkan QS. al-Ma’idah [5]: 38 yang menggunakan patron yang sama untuk menunjuk pria dan wanita yang mencuri (pencuri), penulis antara lain m engem ukakan bahwa jawaban pertanyaan di atas antara lain ditemukan dalam memahami sifat Allah al-Ghaffar yakni Yang Maha ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com £280j j|||| ■Surafi an-m r (24) Kelompok I ayat 2 Pengampun. Imam Ghazali menjelaskan bahwa al-Ghajfar adalah “Yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Dosa-dosa —tulisnya —adalah bagian dari sejumlah keburukan yang ditutupi-Nya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia serta mengenyampingkan siksanya di Akhirat. Nah, atas dasar itu kita dapat berkata “Seorang pencuri yang tertangkap, sebenarnya telah berulang-ulang melakukan pencurian.” Tetapi selam a ini A llah Yang Ghaffar itu telah berulang-ulang m enutupi kesalahannya, sehingga tidak diketahui orang. Tetapi karena ia tidak menghentikan pencurian, maka Allah tidak lagi menutupi kesalahannya, dan ketika itu si pencuri tertangkap. Orang lain yang tidak mengetahui bahwa Allah selama ini menutupi kesalahan yang bersangkutan menduga bahwa ia baru sekali mencuri tetapi pada hakikatnya telah berulang-ulang kali dan dari sini ayat di atas menamai mereka pencuri. Dalam satu riwayat dikem ukakan bahwa ada seseorang tertangkap basah mencuri tetapi bersumpah berkali-kali bahwa baru kali itu dia mencuri. Sayyidina ‘A li tetap m emerintahkan memotong tangannya, sambi menyatakan Allah tidak mempermalukan seseorang yang baru sekali melakukan dosa. Setelah sanksi hukum dilaksanakan, beliau menggugah hati si pencuri dan bertanya kepadanya: “Telah berapa kali engkau mencuri?” Si pencuri menjawab: “Telah berkali-kali.” Nah, demikian juga halnya dengan perempuan pezina dan laki-laki pezina. Kata ( sjJbr) jaldah terambil dari kata ( jJbr ) jild yakni kulit. Sementara ulama antara lain az-Zamakhsyari dan al-Biqa‘i memperoleh kesan dari penggunaan kata tersebut bahwa pencambukan yang dilakukan ketika menjatuhkan hukuman, hendaknya tidak terlalu keras sehingga tidak menyakitkan dan tidak sampai ke daging. Dari sini pula sehingga kata ( ) ra’fah yang digunakan di sini, bukan ( 12-^ ) rahmahfrahmat. Karena rajah adalah belas kasih yang mendalam melebihi rahmat. Dan dengan demikian ayat ini tidak melarang rahmat dan kasih sayang kepada yang dicambuk selama rahmat itu tidak mengakibatkan diabaikannya hukuman. M ufassir al-Biqa‘i, ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 143 menjelaskan bahwa ra’fah adalah rahmat yang dianugerahkan kepada yang menghubungkan diri dengan Allah melalui amal saleh, karena tulisnya — mengutip pendapat al-Harrali, ra’fah adalah kasih sayangpengasih kepada siapa yang memiliki hubungan dengannya. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok 1 ayat 2 Surah an-Mur (24) $H $|| Dengan memahami makna ra’fah dalam pengertian di atas, dapat dipahami larangan-Nya untuk tidak menghalangi jatuhnya sanksi terhadap pezina pria dan wanita yang memiliki hubungan dengan seseorang atas dasar ra’fah, tetapi —seperti dikemukakan di atas - tidak melarang rahmah dan belas kasihan terhadapnya. Memang, terjalinnya hubungan terhadap yang dikasihi itu, dalam penggunaan kata ra’fah, membedakan kata ini dengan rahmah. Karena rahmah digunakan untuk menggambarkan tercurahnya kasih, baik terhadap siapa yang m em iliki hubungan dengan pengasih, maupun yang tidak memiliki hubungan dengannya. Di sisi lain, rafah menggambarkan sekaligus menekankan melimpahruahnya anugerah, karena yang ditekankan pada ra’fah adalah pelaku yang amat kasih, sehingga melimpah-ruah kasihnya. Sedang yang ditekankan pada pelaku yang dinamai rahim adalah penerima. Karena itu pula, ra’fah selalu melimpah ruah bahkan melebihi kebutuhan. Sedang rahmah, sesuai dengan kebutuhan. Ini sekali lagi berarti, bahwa terhadap para pezina itu, rahmat harus tetap tercurah dan yang dilarang hanya rahmat yang berlebihan, yang mengakibatkan batal atau terabaikan atau berkurangnya hukuman. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa sahabat Nabi saw. Abu ad-Darda’, menangis tersedu-sedu ketika pasukan Islam berhasil menaklukkan Cyprus dan beberapa tawanan yang sangat anti Islam lagi berbahaya dijatuhi hukuman mati. Anggota pasukan ketika itu berkata kepadanya: “Bukankah hari ini adalah hari gembira dengan keberhasilan kita?” Sahabat Nabi itu menjawab: “Anda benar, tetapi saya menangis sedih karena kasihan kepada manusia-manusia durhaka itu yang terpaksa harus dibunuh.” Sebelum ini, pada akhir surah yang lalu telah diajarkan doa yang antara lain menyatakan bahwa Allah adalah Pengampun Yang Paling sempurna dan Pemberi rahmat Yang Paling baik (baca penjelasan ayat 118). Seseorang yang m engurangi satu kali cambukan dari yang ditentukan itu, maka dia menganggap dirinya lebih pengasih dan lebih baik kasihnya dari Allah, sedang siapa yang menambah melebihi batas yang ditetapkan maka dia menganggap dirinya lebih bijaksana dari Tuhan Yang Maha Bijaksana itu. Ayat di atas mendahulukan penyebutan kata ( ajIjJi ) a^-^anijahf perempuanpezina atas ( jljJ l) a^-^ani/laki-lakipezina. Ini bukan saja disebabkan karena bukti perzinahan dapat nampak dengan jelas pada wanita akibat kehamilannya, atau dampak negatif yang diakibatkan oleh perzinahan lebih banyak ditanggung oleh wanita ketimbang lelaki, tetapi juga —dan lebih---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com .2 8 2 ; ^ Surah an-m r (24) Kelompok I ayat 2 lebih —karena walaupun keduanya bersalah dan kedurhakaan itu tidak dapat terlaksana kecuali dengan keterlibatan dan kerelaan kedua belah pihak, tetapi agaknya kesalahan wanita adalah kesalahan berganda. Seperti diketahui, perzinahan tidak terjadi kecuali di tempat yang tersembunyi jauh di luar pandangan manusia. Nah, di sinilah terlihat kesalahan pertama wanita. Ia apalagi yang gadis tidak dibenarkan agama ke tempat-tempat yang sepi kecuali dengan mahram (keluarga)nya, berbeda dengan lelaki yang dapat keluar ke mana saja sendirian. Kesalahannya yang kedua, dan juga merupakan kesalahan lelaki adalah perzinahan itu. Sementara orang menduga bahwa sanksi hukum terhadap pezina sangat berat. Mereka lupa bahwa syarat-syarat jatuhnya siksa tersebut sangat sulit bahkan hampir-hampir saja mustahil terpenuhi, kecuali atas dasar pengakuan yang bersangkutan dan itu pun dengan syarat-syarat yang cukup ketat. Dalam konteks kesaksian orang lain terhadap pezina, perlu diingat bahwa Islam memberi petunjuk kepada setiap muslim agar tidak mendatangi tempat-tempat yang tidak wajar sekaligus melarang mereka mematai-matai orang lain (QS. al-Hujurat [49]: 12). Islam juga melarang membuka aib seseorang kecuali dalam batas-batas yang sangat sempit dan dengan syaratsyarat yang ketat. Hazzal adalah seorang yang memerintahkan Maiz untuk m endatangi Rasul saw. guna menyampaikan pengakuannya. Setelah pengakuannya diterima, dan yang bersangkutan dijatuhi sanksi, Nabi saw. menoleh kepada Hazzal sambil bersabda: “Seandainya engkau menutupinya dengan pakaianmu, maka itu adalah lebih baik” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah). Di samping itu, setiap yang menuduh pihak lain tanpa memenuhi persyaratan kesaksian, maka dia terancam dijatuhi siksa. Kesaksian dimaksud harus melalui empat orang lelaki yang menyaksikan dengan mata kepala kedua pezina memasukkan pedang dalam sarungnya sambil menjelaskan siapa, kapan, di mana, serta bagaimana caranya. Bila salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi maka kesaksiannya tertolak, bahkan sang saksi terancam didera. Jadi ini berarti, siapa yang berani memberi kesaksian dalam hal perzinahan, maka ia dapat diduga terlebih dahulu telah mengabaikan tuntunan-tuntunan agar tidak pergi ke tempat-tempat yang tidak wajar, ia melanggar juga tuntunan untuk tidak memata-matai orang lain atau membuka aibnya yang tersembunyi. Dan tentu saja ia harus berhati-hati dalam kesaksiannya. Karena kalau salah seorang dari ketiga rekannya enggan menyaksikan, maka si penuduh terancam dijatuhi delapan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 283 * Kelompok I ayat 2 Surah an-Nur (24) fe# m s #| puluh kali cambukan dan ketika itu juga kesaksiaannya tidak berlaku lagi sepanjang masa (kecuali kalau ia bertaubat). Terhadap yang menyampaikan kesaksiannya pun harus memenuhi sekian syarat. Kesaksian tersebut oleh sementara ulama baru dapat terpenuhi dengan pengakuan empat kali dari pezina dalam empat majelis yang berbeda, dan yang bersangkutan harus menjelaskan dengan siapa dia berzina serta bagaimana cara perzinahannya. Ini, karena boleh jadi apa yang diduganya zina, belum dinilai sebagai perzinahan yang mengakibatkan hukuman yang disebut ayat ini. Dan di samping itu harus diingat bahwa yang berwenang menerima pengakuan itu, hendaknya berupaya tidak segera menerima kesaksian yang bersangkutan bahkan berupaya secara halus untuk membatalkan pengakuannya. Seorang pezina datang kepada Nabi saw. sambil meminta agar beliau menjatuhkan sanksi terhadapnya. Nabi saw. p u ra-p u ra tid ak m endengar, namun yang bersangkutan berkeras menyampaikan dosanya. Nabi bersabda: “Boleh jadi engkau tidak berzina, boleh jadi sekadar menciumnya.” Yang bersangkutan menegaskan bahwa: “Aku telah memperlakukannya seperti perlakuan suami terhadap istrinya.” Ketika itu, Nabi saw. bertanya: “Apakah engkau gila?” Nanti setelah semua itu beliau tempuh dan yang bersangkutan tetap berkeras, barulah Nabi saw. m enjatuhkan sanksi hukum (HR. Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah). Agaknya hal tersebut ditempuh Nabi saw., karena tujuan hukum adalah mendidik dan membersihkan jiwa pelaku dosa, sedang pengakuan tersebut membuktikan ketulusannya bertaubat. Ketika menafsirkan QS. al-Ma’idah [5]: 33-34 yang berbicara tentang sanksi hukum terhadap para perampok, penulis mengemukakan bahwa pengecualian jatuhnya sanksi hukum terhadap siapa yang dinamai oleh ayat itu “Orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat mengiiasai (.menangkap) mereka”; memberi kesan bahwa siapa yang datang menyerah secara sukarela dan menyesali kesalahannya, maka seluruh sanksi hukum atasnya menjadi gugur. Ayat ini —tulis penulis di sana —dijadikan dasar oleh sementara ulama untuk menggugurkan aneka sanksi hukum Allah, bila yang pelaku kejahatan benar-benar bertaubat, atau menyampaikan pengakuannya. Ini mereka kuatkan juga dengan riwayat yang menyatakan bahwa seorang sahabat Nabi saw. datang kepada beliau agar dijatuhi sanksi hukum. Yang bersangkutan memohon hal tersebut setelah berwudhu’ dan sebelum shalat. Setelah selesai shalat ia m engulangi perm ohonannya, maka Rasul saw. menjawab: ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com jjw **"4jrW* Surah an-W r (24) Kelompok I ayat 2 “Bukankah tadi Anda telah berwudhu’ dan shalat bersama?” Sementara ulama berpendapat bahwa sanksi yang dimaksudkan oleh si pemohon itu adalah berupa hadd akibat pelanggaran yang mengharuskan ia didera. Jika demikian sanksi dapat gugur jika yang bersangkutan bertaubat dan berbuat baik, seperti bunyi ayat ini. Cara ketiga untuk jatuhnya sanksi perzinahan adalah kehamilan seorang wanita yang tidak bersuami. Tetapi sanksi dera tidak dijatuhkan bila yang bersangkutan mengingkari terjadinya perzinahan karena memang wanita yang hamil tanpa suami, tidak otomatis berzina. Bisa saja, ia hamil bukan akibat perzinahan, misalnya dengan inseminasi buatan, sehingga bayi yang dikandungnya adalah bayi tabung, atau karena pemerkosaan. Ada yang berpendapat bahwa sanksi hukum perzinahan yang ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah sungguh sangat berat. Pendapat itu boleh jadi benar jika dibandingkan dengan sanksi yang dijatuhkan oleh hukum positif modern yang memang memberlakukan sanksi yang terlalu rin gan , seperti penjara, terhadap pezina. Nah, ini m engakibatkan m erajalelanya prostitusi dan penyelewengan rumah tangga di tengah masyarakat. Selain itu, timbul pula berbagai penyakit dan ketidakjelasan keturunan. Di samping ringannya sanksi, sementara negara Barat memberi perlindungan terhadap para pezina yang melakukannya atas dasar suka sama suka. Ini mereka dasarkan pada azas kebebasan individu. Dalam undangundang Perancis misalnya, terdapat ketentuan bahwa pelaku zina —baik laki-laki maupun perempuan —yang belum kawin tidak dikenakan sanksi apa-apa, selama mereka telah mencapai usia dewasa. Sedangkan jika pelaku zina itu sudah kawin, baik laki-laki maupun perempuan, maka sanksinya adalah penjara. Al-Qur’an dan as-Sunnah ketika menetapkan hukum perzinahan dan menetapkan syarat-syaratnya antara lain disebabkan oleh dampak-dampak negatif perzinahan dan pergaulan bebas yang demikian besar dan berbahaya dan yang kini tidak perlu diuraikan lagi karena masyarakat Barat sendiri pun telah mulai merasakannya. Ayat di atas hanya menjelaskan sanksi hukum terhadap perzinahan yang dilakukan oleh mereka yang belum kawin. Adapun sanksinya terhadap pezina yang telah kawin, maka itu dijelaskan melalui sekian banyak hadits. ‘Umar Ibn Khaththab mengingatkan bahwa: “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad saw. dengan haq, dan menurunkan kepada beliau Kitab Suci. Salah satu yang diturunkan adalah ayat tentang kewajiban rajam ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ■ 285J Surah an-Nur (24) M p f ! , Kelompok I ayat 3 (melempar pezina yang telah kawin Jiingga mati). Kami telah membaca ayat itu dan memahaminya, dan Rasul saw. pun telah pernah merajam, dan kami pun demikian. Saya khawatir, bila masa berkelanjutan ada orang yang berkata: “Kami tidak menemukan hukum rajam dalam kitab Allah, sehingga dia sesat akibat m engabaikan kew ajiban yang ditetapkan A llah .” Sesungguhnya hukum rajam adalah hak yang dijatuhkan terhadap siapa yang berzina di antara lelaki dan perempuan, apabila dia telah menikah dan jika bukti telah tegak, atau kehamilan yang disertai pengakuan. Demi Allah, kalau bukan karena khawatir orang berkata: ‘“Umar menambah sesuatu dalam kitab suci al-Qur’an, maka pasti aku menulisnya” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lain-lain). Ayat yang dimaksud oleh Sayyidina ‘Umar ra. yang telah pernah turun itu adalah: ja L»ja3 U Li j lil “Lelakiyang telah kawin dan perempuanyang telah kawin, apabila mereka berzina, maka rajamlah mereka berdua secara pasti, akibat mereka telah meraih kele^atan (secara tidak sah)” (HR. Ibn Hibban melalui Ubayy Ibn I<a‘b). AYAT 3 ^>3 a y 013 ^1 Si bijjij bi} f&j Si “I^aki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orangyang mukmin. ” S etelah m en jelaskan hukum an terhadap pezina, ayat ini mengemukakan keharusan menghindari pezina, apalagi jika ingin dijadikan pasangan hidup. Ayat ini menyatakan: l^aki-laki pezina, yakni yang kotor dan terbiasa berzina tidak wajar mengawini melainkan perempuan pezina yang kotor dan terbiasa pula berzina, atau perempuan musyrik; dan demikian juga sebaliknya perempuan pezina yang terbiasa berzina tidak wajar dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu yakni perkawinan dengan pezina diharamkan yakni tidak pantas terjadi atas ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah an-Nur (24) Kelompok I ayat 3 orang-orangyang mukmin. Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa ayat ini mendahulukan penyebutan lelaki pezina atas perempuan pezina —berbeda dengan ayat yang lalu — karena ayat ini adalah penjelasan menyangkut kasus yang menjadi sabab nu%ul-ny2 L. Sabab nui^ulyang dimaksud adalah kasus Murtsid Ibn Abu Murtsid yang sering kali menyelundupkan tawanan-tawanan muslim di Mekah menuju Madinah. Sebelum sahabat Nabi ini memeluk Islam, ia mempunyai teman wanita bernama ‘A naq yang mengajaknya tidur bersama, tetapi dia menolak, sambil menyatakan bahwa Islam mengharamkan perzinahan. Sang wanita itu marah dan membongkar rahasia tugas Murtsid sehingga ia dikejar oleh delapan orang kaum musyrikin. Tetapi akhirnya ia berhasil menghindar bahkan mengantar seorang lagi tawanan ke Madinah. Ia kemudian meminta izin Rasul saw. untuk mengawini bekas teman kencannya itu. Rasul saw. tidak memberi jawaban, sampai turun ayat ini. Lalu beliau melarang Murtsid mengawininya (HR. at-Tirmidzi dan Abu Daud). Riwayat lain menyebut sahabat Nabi yang lain dan seorang wanita tuna susila yang bernama Ummu Mahzul. Riwayat lain lagi menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan sekelompok kaum muslimin yang miskin dan yang digelar dengan ahl ash-shuffah. Mereka ingin kawin tetapi tidak memiliki kemampuan-kemampuan keuangan, jadi mereka bermaksud mengawini wanita-wanita tuna susila, sekaligus memperoleh kebutuhan pokok mereka. Imam Syafi‘i mengemukakan bahwa pakar-pakar tafsir berbeda pendapat tentang ayat ini. Kemudian beliau mengemukakan suatu riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan wanita tuna susila yang pada masa Jahiliah memasang tanda-tanda/bendera di depan rumah mereka. Nah, ketika itu ada sementara kaum muslimin yang berencana kawin dengan mereka. Maka ayat ini mengharamkan perkawinan tersebut. Lebih jauh Imam Madzhab itu mengemukakan riwayat lain yang menyatakan bahwa ayat ini bukan hanya berkaitan dengan kasus di atas tetapi bersifat umum, namun telah dibatalkan keberlakuan hukumnya melalui ayat 32 surah ini. Ulama-ulama bermadzhab Hambali dan Zhahiri menetapkan bahwa perkawinan dengan pelaku zina (laki-laki atau perempuan) tidak dianggap sah sebelum ada pernyataan taubat. Banyak ulama yang memahami ayat di atas dalam arti: galibnya, seorang yang cenderung dan senang berzina, enggan menikahi siapa yang ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 287 j Kelompok I ayat 3 Surah an-Nur (24) Xhi:'' taat beragama. Demikian juga wanita pezina tidak diminati oleh lelaki yang taat beragama. Ini karena tentu saja masing-masing ingin mencari pasangan yang sejalan dengan sifat-sifatnya, sedang kesalehan dan perzinahan adalah dua hal yang bertolak belakang. Perkawinan antara lain bertujuan melahirkan ketenangan, kebahagiaan dan langgengnya cinta kasih antara suami istri bahkan semua keluarga. Nah, bagaimana mungkin hal-hal tersebut terpenuhi bila perkawinan itu terjalin antara seorang yang memelihara kehormatannya dengan yang tidak memeliharanya? Firman-Nya: ^ p illii wa hurrima d^alika ‘aid al-tnu’minin/ danyang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin, diperselisihkan juga maknanya oleh ulama. Ada yang berpendapat bahwa sabab nu^ul ayat ini khusus bagi kasus Murtsid dan Anaq, yang ketika itu di samping pezina juga bersatus sebagai wanita kafir, tidak bagi pezina yang muslimah. Ada juga yang mengartikan bahwa kata itu pada penutup ayat ini, menunjuk kepada perzinahan bukan perkawinan, sehingga ayat ini berarti: “Perzinahan diharamkan atas orang-orang mukmin.” Ada lagi yang memahami kata diharamkan bukan dalam pengertian hukum, tetapi dalam pengertian kebahasaan yakni terlarang dan dengan demikian ayat ini bagaikan berkata bahwa itu tidak wajar dan kurang baik. Ulama ketiga madzhab —Abu Hanifah, Malik dan Syafi‘i menilai sah perkawinan seorang pria yang taat dengan seorang wanita pezina, tetapi hukumnya makruh. Alasannya antara lain firman Allah dalam QS. an-Nisa’ [4]: 24 yang menyebut sekian banyak yang haram dikawini lalu menyatakan, “Dan dihalalkan untuk kamu selain yang disebut itu. ” Nah, pezina tidak termasuk yang disebut dalam kelompok “yang selain itu”, sehingga itu berarti menikahi adalah halal. Imam Ahm ad dan sekelompok ulama lain berpendapat bahwa perkawinan pezina pria kepada wanita yang memelihara diri/baik-baik atau sebaliknya, tidaklah sah. Salah satu alasannya adalah ayat yang ditafsirkan ini. Salah satu implikasi dari ayat ini adalah perkawinan yang didahului oleh kehamilan. Banyak ulama yang menilainya sah. Sahabat Nabi saw. Ibn ‘Abbas berpendapat bahwa hubungan dua jenis kelamin yang tidak didahului oleh pernikahan yang sah, lalu dilaksanakan sesudahnya pernikahan yang sah, menjadikan hubungan tersebut awalnya haram dan akhirnya halal. Atau dengan kata lain perkawinan seseorang yang telah berzina dengan wanita kemudian menikahinya dengan sah, adalah seperti keadaan seorang yang ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com j.288 i Surah an-Nur (24) Kelompok I ayat 4-5 mencuri buah dari kebun seseorang, kemudian dia membeli dengan sah kebun tersebut bersama seluruh buahnya. Apa yang dicurinya (sebelum pembelian itu) haram, sedang yang dibelinya setelah pencurian itu adalah halal. Inilah pendapat Imam Syafi‘i dan Abu Hamfah. Sedang Imam Malik m enilai bahwa siapa yang berzina dengan seseorang kemudian dia menikahinya, maka hubungan seks keduanya adalah haram, kecuali dia melakukan akad nikah yang baru, setelah selesai iddah dari hubungan seks yang tidak sah itu. AYAT 4-5 ojUL^- J y U j Jju X X <OujU Iy\j Ijj \j *^1 ( X X i Oy> ) 0jiL-iliiJl +Jt> dUjlj X Ijiui.'i *}j X ^ ( 0) x t f t f x X X X ' y x L e \J d S i “Dan orang-orangyang menuduh wanita-wanita yang baik-baik kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka delapan puluh kali cambukan, danjanganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya dan mereka itulah, merekalah orang-orang fasik. Kecuali orang-orangyang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ” Setelah ayat yang lalu menguraikan keburukan mengawini pezina, ayat-ayat di atas mengingatkan tentang keburukan serta sanksi hukum terhadap mereka yang menuduh dan mencemarkan nama baik seorang wanita terhormat. Dan orang-orang baik pria maupun wanita, yang menuduh wanita-wanitayang baik-baik, yakni menuduhnya berbuat zina, kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi pria yang menyaksikan kebenaran tuduhannya di hadapan pengadilan, maka cambuklah wahai kaum mukminin melalui penguasa kamu mereka yang menuduh itu delapanpuluh kali cambukan jika penuduhnya adalah orang-orang merdeka, sedang kalau hamba sahaya cukup empat puluh kali berdasar QS. an-Nisa’ [4]: 25. Dan janganlah kamu terima kesaksian apapun dari mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah yang sangat ceroboh melempar tuduhan tanpa dasar, dan mereka itulah, merekalah bukan selain mereka yang merupakan orang-orang fasik yang benar-benar telah keluar dengan mantap dari ketentuan agama. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com I 28 9 1 Kelompok I ayat 4-5 Surah an-Nur (24) Ketentuan ini berlaku atas semua yang melakukan hal serupa, kecuali orang-orangyang bertaubat yakni menyesali perbuatannya, serta bertekad tidak akan m engulanginya. Sesudah itu, yakni sesudah dia dicam buk dan membuktikan pertaubatan mereka itu dengan memperbaiki diri dan beramal saleh. Jika demikian itu halnya, maka terimalah kesaksiannya dan jangan lagi menamainya fasik, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kata ( o ja ji ) yarmun pada mulanya berarti melempar, tetapi yang dimaksud di sini adalah makna maja^i, yakni menuduh. Ayat ini tidak menjelaskan tuduhan apa yang dimaksud, tetapi dari konteksnya dipahami bahwa ia adalah tuduhan berzina. Memang pada masa Jahiliah sering kali tuduhan semacam ini dilontarkan bila mereka melihat hubungan akrab antara pria dan wanita. Mereka juga sering kali menuduh wanita berzina, jika melihat anak yang dilahirkan tidak mirip dengan suami ibu yang melahirkannya. Kata (olwa^O al-muhshandt terambil dari akar kata ( j-a*- ) hashana yang berarti menghalangi. Benteng dinamai ( ) hishn karena dia menghalangi musuh masuk atau melintasmya. Wanita yang dilukiskan dengan akar kata ini oleh al-Qur’an, dapat diartikan sebagai wanita yang terpelihara dan terhalangi dari kekejian, karena dia adalah seorang yang suci bersih, bermoral tinggi, atau karena dia merdeka, bukan budak, atau karena seorang istri yang mendapat perlindungan dari suaminya. Yang dimaksud pada ayat ini menurut Ibn ‘Asyur adalah wanita merdeka yang telah bersuam i. A gaknya Ibn ‘A syur keliru atau salah tulis ketika mengemukakan pendapat itu, karena semua ulama yang sempat penulis rujuk pendapatnya sepakat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata tersebut di sini adalah wanita yang suci bersih, bermoral tinggi, baik telah menikah maupun belum. Jika demikian siapa pun wanita terhomat dengan keimanannya yang dicemarkan nama baiknya dengan tuduhan zina, maka pencemarnya dituntut mendatangkan empat orang saksi atau didera. Ulama-ulama berbeda pendapat tentang cakupan pengecualian pada ayat di atas. Seperti terbaca ada tiga sanksi yang dijatuhkan pada pencemar nama baik itu, yaitu: a) dicambuk delapan kali, b) ditolak kesaksiannya sepanjang masa, c) dinilai sebagai seorang fasik. Mayoritas ulama memahami pengecualian itu m enyangkut ketiganya, hanya saja karena ayat ini menyatakan sesudah itu dan yang dimaksud adalah sesudah pencambukan, maka pengecualian itu hanya mencabut sanksi (b) dan (c). Dengan demikian, apabila terbukti dia bertaubat dan melakukan perbaikan, maka kesaksiannya ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com "290 A Kelompok I ayat 6-7 Surah an-Nur (24) ^'W'V. dapat diterima dan dia tidak lagi wajar dinamai fasik. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengecualian itu hanya tertuju kepada yang terakhir disebut, dengan dem ikian, walau dia bertaubat dan berbuat baik, kesaksiannya tetap tidak dapat diterima. Sanksi pencambukan yang disebut di sini, ada yang memahaminya — antara lain Abu Hanifah —sebagai hak Allah. Sehingga yang dicemarkan namanya tidak berhak memaafkan dan yang bersangkutan tetap harus dicam buk. Sedangkan Imam M alik dan Syafi'i m enilainya hak yang dicem arkan nam anya, sehingga bila ia m em aafkan maka gugurlah pencambukan itu. Ayat ini memberi kesan perlunya menutupi aib orang lain dan memelihara nama baik siapa, pun yang tidak terang-terangan melakukan kedurhakaan. AYAT 6-7 J so * 0 s f — o f t 2! X X x 0 f t 0 X x 0 •x © J x . x O ? . J e x x X X X • i / x 0 J (HpHjj' X o l T 0 } <l1s- 4JU1 ja t' ' K . . . £>.j ' X Ol i l l «dSu X XX X X X X j? ( y ) ‘Dan orang-orangyang menuduh istri mereka, padahal tidak ada bagi mereka saksisaksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang mereka ialah empat ■kesaksian dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan yang kelima bahwa laknat Allah atasnya, jik a dia termasuk para pembohong. ” Setelah menyebut tuduhan terhadap wanita-wanita secara umum, ayat di atas menguraikan tunduhan suami kepada istrinya. Ayat ini menyatakan bahwa: Dan adapun sanksi hukum terhadap orang-orang yang menuduh istri mereka berzina, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi yang menguatkan tuduhannya itu selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang mereka, yakni suami ialah empat kali kesaksian yakni bersumpah empat kali sambil m enggandengkan ucapan sumpahnya itu dengan nama A llah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk kelompok orang-orangyang benar dalam tuduhannya kepada istrinya itu. Dan sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk kelompok para pembohong yakni orang-orang ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah an-W r (24) I p f ^ Kelompok I ayat 8-10 yang telah mendarah daging sifat buruk itu dalam kcpribadiannya. Ayat im turun berkenaan dengan Hilal Ibn Umayyah yang menuduh dihadapan Nabi saw. bahwa istrinya menyeleweng. Nabi saw. menuntut darinya empat orang saksi atau dicambuk. Ia mempertanyakan hal tersebut dan menyatakan bahwa ketentuan itu tidak mungkin dapat dipenuhi oleh seorang suami. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa sahabat Nabi saw. Sa‘id Ibn M u‘adz bersum pah akan membunuh siapa yang didapati menyeleweng dengan istrinya tanpa menunggu datangnya empat orang saksi yang menyaksikan penyelewengan tersebut. Ada riwayat lain menyangkut sabab nu^ul ayat ini, namun khususnya mengemukakan problem yang dihadapi oleh suami yang mendapatkan istrinya menyeleweng. Karena jika ia harus mendatangkan empat orang saksi, maka kemungkinan keras penyelewengan telah selesai. Dan jika dia bertindak dan membunuh keduanya, ia terancam dengan qishdsh yakni dibunuh pula. Nah, ayat ini turun memberi jalan keluar kepada para suami yang memang sering kali cemburu terhadap istrinya, kecemburuan yang tidak dapat terhapus kecuali dengan membunuh para penyeleweng itu. AlQur’an menghalangi pembunuhan, apalagi boleh jadi tuduhan tersebut tidak benar. AYAT 8-10 ( A) <dJl J ja 3 S ljJ j ( ^ ) O' <^i 'j* ^ ^ 9 ( \t jjjJj ** ^ /• 1* & s » f o 1y <UJ1 O lj A As 9 J lj s s 0 A s ^ 0 i j j ajOIp “Dan dihindarkan darinya hukuman dengan bersaksi dengan empat kesaksian dengan nama Allah sesungguhnya dia benar-benar termasuk orang-orang pembohong, dan yang kelima bahwa murka Allah atasnyajik a dia termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia Allah atas diri kamu dan rahmat-Nya dan Allah adalah Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana. ” Setelah menjelaskan apa yang harus ditempuh oleh suami yang menuduh istrinya, kini istri diberi kesempatan untuk menunjukkan kesuciannya dan kepalsuan tuduhan suaminya. Ayat ini menyatakan: Apabila sang istri diam tidak membantah tuduhan suami, maka ia dijatuhi sanksi ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com I 292 Suraf an-Nur (24) Kelompok I ayat 8-10 hukum zina, dan dihindarkan darinya yakni dari sang istri hukuman zina itu dengan jalan bersaksi yakni bersumpah dengan empat kesaksian yakni empat kali bersumpah dengan menyebut nama Allah dalam sumpahnya itu bahwa sesungguhnya dia yakni suaminya benar-benar termasuk kelompok orang-orang pembohong, dan sumpah yang kelima bahwa murka Allah atasnyajik a dia yakni suaminya itu termasuk kelompok orang-orangyang benar. Seandainya Allah bukan sebaik-baik Pengampun dan sebaik-baik Pencurah rahmat dan andaikata tidak ada karunia Allah yang menurunkan al-Qur’an atas diri kamu dan kalau juga tidak ada rahmat-Nya yang memberi pertaubatan kepada kamu, serta menetapkan ketentuan hukum yang bijaksana dalam mengatur kehidupan kamu, maka pastilah kamu akan terjerumus dalam kedurhakaan dan kekacauan. Tetapi itu tidak terjadi karena pengampunan Allah, kebijaksanaan dan rahmat-Nya dan Allah adalah Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana. Ayat di atas menamai sumpah dengan ( ) syahddah/kesaksian. Ini karena sumpah-sumpah yang dituntut ayat ini berfungsi sebagai syahddah dalam kasus selain suami yang menuduh seorang wanita baik-baik. Memang, yang dituntut terhadap suami dan istri sebanyak lima kali. Yang kelima adalah pengukuhan terhadap syahddah/sumpah yang empat kali itu, karena yang tampil di sini hanya dia sendiri, sehingga yang kelima itu berfungsi mengingat dampak buruk dari sumpahnya bila ia berbohong. Itu pula agaknya yang menjadi sebab mengapa redaksi sumpah kelima berbeda dengan keempat sumpah sebelumnya. Di sisi lain, dalam sumpah kelima suami, redaksi yang dituntut darinya adalah mengatakan “Laknat Allah atas diriku jika aku termasuk para pembohong”, sedang yang dituntut dari wanita adalah murka Allah atas dirinya jika suaminya termasuk kelompok orang yang benar. Pemilihan kata ( iyJ ) la'nah yang mengandung arti dijauhkan dari rahmat Allah, karena sang suami —walau seandainya ia berbohong —maka sedikit atau banyak sang istri telah terkena kejauhan dan kutukan manusia, karena apa saja yang dilakukan oleh sang suami itu, telah menjauhkan masyarakat darinya terutama para lelaki yang boleh jadi berminat untuk menikahinya. Demikian Ibn ‘Asyur. Di sisi lain, sang istri harus mengucapkan kesediaannya menerima ( ■_. W e . ) gadhab yakni murka Tuhan, yang mengandung makna lebih dalam dari la'nah (karena kejauhan dari rahmat, bisa saja bukan akibat murka) —istri harus mengucapkan kata yang lebih keras itu, agaknya agar ia terd o ro n g m enyam paikan pengakuannya secara tu lu s, sam bil ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok I ayat 8-10 Surah an -m r (24) « £ » % ;r c membuktikan bahwa ia bersedia menerima apa yang lebih berat dari kemungkinan apa yang diterima oleh suami yang menuduhnya itu. Memang ini perlu, karena sang istri dalam posisi membela diri dari tuduhan. Di sisi lain itu juga perlu untuk lebih memantapkan kebersihan namanya, karena tuduhan kepadanya sangat buruk dan kalau namanya telah tercemar, maka masa depannya pun sebagai wanita terhormat akan habis. Ayat 10 di atas tidak menyebut apa yang diakibatkan oleh kata seandainya. Ini dimaksudkan untuk melukiskan betapa besar anugerah Allah sehingga akibat buruk yang merupakan ancaman tersebut tidak jadi lahir dalam kenyataan. Prosedur yang ditetapkan ayat ini diistilahkan dalam hukum Islam dengan nama li‘an. Jika seorang suami menuduh istrinya melakukan penyelewengan maka dengan prosedur di atas gugurlah sanksi pencemaran nama atas suami, gugur pula sanksi perzinahan atas istri dan hubungan suami istri mereka terputus untuk selama-lamanya. Bila suami dalam tuduhannya itu menunjuk seorang pria tertentu yang melakukannya dengan istrinya, maka gugur juga sanksi tuduhan atas orang itu dan atas suami yang menuduhnya, karena dalam ayat ini Allah hanya menyebut satu sanksi. Demikian pendapat Imam Syafi'i. Tetapi Imam Malik dan Abu Hamfah berpendapat bahwa pencemaran nama orang itu tidak gugur, dan karenanya sang suami harus didera. Memang —menurut pendukung pendapat ini — pada ayat di atas hanya disebut satu sanksi, dan tidak disebut sanksi terhadap pencemaran nama orang lain itu. Hal itu disebabkan karena telah disebut sebelum ini sanksi pencemaran nama. K etetapan hukum li'an dan konsekuensinya yakni pemutusan hubungan suami istri secara abadi menunjukkan bahwa perkawinan haruslah didasari oleh rasa saling percaya. Di sini, pasti salah satu di antara pasangan itu ada yang salah dalam kesaksian/sumpahnya, apakah suami yang menuduh ataukah istri yang membela diri. Tuduhan dan pembelaan yang bertolak belakang itu, telah melahirkan ketidakpercayaan kedua belah pihak sepanjang masa, karena itu suka atau tidak suka, menyesal atau tidak, perkawinan telah kehilangan syarat kelanggengannya yaitu saling percaya. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com AYAT 11 Hf a O O fJ* ^ ^ j V * U tj "£e* d lh fb ijfrUr j i j J i i ] > S^> “Sesungguhnya orang-orangyang membawa berita bohong adalah dari golongan kamu. Janganlah kamu menganggapnya buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.Tiap-tiap seseorang dari mereka memperoleh apayang dia kerjakan dari dosa itu. Dan siapayang mengambil bagianyang terbesar di dalamnya di antara mereka, baginya a^ab yang besar. ” A yat-ayat yan g lalu berbicara tentang tuduhan m elakukan penyelewengan terhadap wanita-wanita yang suci, dan cara penyelesaiannya, kemudian disusul dengan tuntutan hukum bila tuduhan tersebut dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Sanksi dan dampak tuduhan itu sangat berat dan buruk. Nah, di sini Allah mengemukakan suatu kasus serupa yang terjadi terhadap keluarga Nabi Muhammad saw. Ayat ini mengecam mereka yang menuduh istri beliau ‘Aisyah ra. tanpa bukti-bukti. Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orangyang membawa yakni menyebarluaskan dengan sengaja berita bohong yang keji itu menyangkut kehormatan keluarga Nabi Muhammad adalah dari golongan yang dianggap bagian dari komunitas kamu yakni yang hidup di tengah kamu wahai kaum mukminin. Janganlah kamu menganggapnya yakni menganggap berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu karena dengan demikian kamu dapat membedakan siapa yang munafik dan siapa yang kuat imannya. Tiap-tiap seseorang dari mereka yang 294 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok II ayat 11 Surah an-Nur (24) r295i menyebarkan rumor itu memperoleh balasan sesuai kadar apa yang dengan sengaja dan sungguh-sungguh dia kerjakan dari dosa isu buruk itu. Dan siapa yang mengambil bagianyang terbesaryzkm yang menjadi sumber serta pemimpin kelompok itu di dalamnya yakni dalam penyiaran berita bohong itu, di antara mereka yang menyebarkannya maka baginya a^abyang besar di akhirat nanti. Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa peristiwa kebohongan besar yang dimaksud ayat di atas berkenaan dengan istri Nabi saw. ‘Aisyah ra. Ini terjadi pada kepulangan beliau dari pertempuran Bani al-Mushthalaq. Ketika itu, jarak kota Madinah sudah ddak terlalu jauh, maka Nabi saw. mengizinkan pasukan untuk kembali menjelang fajar. Ketika ‘Aisyah mendengar rencana itu, beliau keluar kemah untuk suatu keperluan. Kemudian kedka akan berangkat bersama rombongan, tiba-tiba beliau sadar bahwa kalungnya hilang, sehingga beliau terpaksa kembali mencarinya. Setelah menemukannya beliau kembali menuju tempat rombongan dan m endapati m ereka telah berangkat. Rupanya petugas yang ditugasi m engangkat haudaj (yaitu semacam tempat yang berbentuk kubah, diletakkan di punggung kendaraan/unta, dan di dalamnya ditempatkan wanita-wanita terhormat, untuk melindunginya dari sengatan panas atau dingin serta pandangan usil) —rupanya para pemikul haudaj —menduga bahwa istri Nabi saw. itu telah berada di dalam haudaj —apalagi ‘Aisyah ra. kedka itu berbadan kecil dan ringan, ditambah lagi dengan suasana malam yang gelap. ‘Aisyah ra. yang menyadari ketertinggalannya menand di tempat pemberangkatan dengan harapan kafilah akan datang menjemputnya. Dalam saat yang sam a, seorang sahabat Nabi saw. bernam a Shafwan Ibn al-Mu‘aththil as-Sulami yang mendapat tugas dari Nabi saw. untuk mengamati pasukan musuh jangan sampai ada yang membuntuti pasukan muslimin. Setelah sahabat mulia —yang termasuk salah seorang yang paling terdahulu memeluk Islam dan terlibat juga dalam Perang Badr bersama Nabi saw. — itu yakin ddak ada musuh yang membuntud ia segera —enggan mengendarai untanya —menyusul untuk bergabung dengan pasukan kaum muslimin. Dalam perjalanannya itu ia melalui tempat di mana tadinya pasukan berada sebelum meninggalkan tempat, dan ketika itulah beliau menemukan ‘Aisyah ra. yang ketinggalan rombongan itu sedang terddur. Beliau mengenal ‘Aisyah sebelum turunnya perintah memakai hijab bagi wanita-wanita muslimah. B eliau tidak m engucapkan satu kata pun kecuali berdzikir. Lalu memerintahkan untanya untuk duduk sebagai isyarat kepada ‘Aisyah ra. agar mengendarainya, sedang sahabat kepercayaan Nabi saw. itu sendiri ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi an-Nur (24) Kelompok II ayat 11 berjalan sambil menuntun unta itu. Di siang hari mereka menemukan pasukan Islam, dalam rombongan pasukan itu, terdapat tokoh kaum munafik yaitu ‘A bdullah Ibn Ubayy Ibn Salul. Dialah yang mengambil inisiatif dan berperan besar dalam memutarbalikkan fakta dengan menuduh ‘Aisyah ra. menjalin hubungan mesra dengan Shafwan. Dari sini isu menyebar bagaikan api dalam sekam, dan akhirnya didengar pula oleh Nabi saw., dan yang terakhir mendengarnya adalah ‘Aisyah ra. Kata al-ifk terambil dari kata ( ) al-afku yaitu keterbalikan baik material seperti akibat gempa yang menjungkirbalikkan negeri, maupun immaterial seperti keindahan bila dilukiskan dalam bentuk keburukan atau sebaliknya. Yang dim aksud di sini adalah kebohongan besar, karena kebohongan adalah pemutarbalikan fakta. Kata ( 2 nc. ) ‘ushbah terambil dari kata ( . r*- ) ‘ashaba yang pada mulanya berarti mengikat dengan keras. Dari akar kata yang sama lahir kata ) muta'ashshib yakni fanatik, juga kata (LUap) ‘ishabah yakni kelompok pembangkang. Kata yang digunakan al-Qur’an ini dipahami dalam arti kelompok yang terjalin kuat oleh satu ide, dalam hal ini isu negatif itu yang jumlah mereka antara sepuluh sampai empat puluh orang, atau menurut pendapat lain dari tiga sampai sepuluh orang. Diperoleh kesan dari kata ini bahwa ada di antara m ereka telah berkomplot untuk melakukan fitnah besar guna mencemarkan nama baik keluarga Nabi dan merusak rumah tangga beliau. Riwayat-riwayat menyebut sekian nama selain ‘A bdullah Ibn Ubayy Ibn Salul pemimpin kelompok itu, antara lain sahabat dan penyair Nabi yaitu Hassan Ibn Tsabit, Misthah Ibn Atsatsah dan Hamnah (saudara perempuan istri Nabi saw. yakni Zainab bind Jahsy). Sekian banyak ulama meragukan keterlibatan Hassan, walaupun namanya disebut-sebut bahkan al-Biqa‘i dan beberapa ulama lainnya sangat meragukan keterlibatan Hassan mengingat kecintaan yang begitu besar serta pembelaannya kepada Rasul saw. M emang bisa saja periwayat-periwayat yang jujur keliru dalam menyampaikan informasinya. Demikian tulis al-Biqa‘i menjawab sanggahan yang boleh jadi muncul dari siapa yang menyatakan bahwa riwayat tersebut disampaikan oleh orang-orang yang jujur sesuai informasi al-Bukhari dalam Shahih-nya. Firman-Nya: ( yt J j ^ a Id tahsabuhusyarran lakum bal huwa khairun lakum/janganlah kamu menganggapnya buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu, dapat dipahami dalam arti khusus bagi mereka yang terkena langsung dampak fitnah itu —dalam hal ini Nabi saw. dan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok II ayat 11 Surah an-Nur (24) keluarga beliau —karena dengan peristiwa ini, Allah menurunkan ayat alQur’an yang dibaca sepanjang masa menyatakan tentang kesucian mereka. Ia juga baik untuk masyarakat muslim secara keseluruhan, karena dengan diketahuinya penyebar isu itu, masyarakat akan berhati-hati dari ulah mereka, serta dapat pula mereka meluruskan kesalahan anggota masyarakat lain yan g k eliru . Bahkan um at m anusia secara keseluruhan akan memperoleh manfaat dan kebaikan bila mengikuti tuntunan ayat-ayat yang turun dalam konteks peristiwa pencemaran nama baik keluarga Nabi Muhammad saw. itu. Kata ( ' ) iktasaba menunjukkan bahwa penyebaran isu itu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Ini bukan saja dipahami dari kata ( _£ )kasaba yan g m engandung m akna usaha, tetap i juga dari penambahan huruf ( _ j ) ta’ pada kata tersebut. Ketika menjelaskan QS. al-Baqarah [2]: 286 yang menggunakan kata kasaba dan iktasaba, penulis antara lain mengemukakan bahwa: al-Qur’an menggunakan kata kasaba untuk menggambarkan usaha yang baik, dan kata iktasaba untuk usaha yang buruk. Walaupun keduanya bcrakat kata sama, tetapi kandungan maknanya berbeda. Patron kata iktasaba digunakan untuk menunjuk adanya kesungguhan, serta usaha ekstra. Berbeda dengan kasaba, yang berarti melakukan sesuatu dengan mudah dan tidak disertai dengan upaya sungguh-sungguh. Penggunaan kata kasaba dalam menggambarkan usaha positif, memberi isyarat bahwa kebaikan walau baru dalam bentuk niat dan belum wujud dalam kenyataan, sudah mendapat imbalan dari Allah. Berbeda dengan keburukan. Ia baru dicatat sebagai dosa setelah diusahakan dengan kesungguhan dan lahir dalam kenyataan. Di samping itu, penggunaan bentuk kata tersebut juga menggambarkan, bahwa pada prinsipnya jiwa manusia cenderung berbuat kebajikan. Kejahatan pada mulanya dilakukan manusia dengan kesungguhan dan dengan usaha ekstra, karena kejahatan tidak sejalan dengan bawaan dasar manusia. Bandingkanlah keadaan kedua orang berikut: Yang pertama berjalan dengan istrinya, ia akan berjalan santai, tidak khawatir dilihat orang, masuk ke rumah di malam hari, dan diketahui orang banyak pun tidak menjadi persoalan baginya. Berbeda dengan seorang pria yang berjalan dengan wanita tuna susila. Jalannya hati-hati, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, khawatir ketahuan orang. Demikian terlihat kebaikan dilakukan dengan santai dan kejahatan dengan upaya ekstra. Kata ( • A ) kibrabu terambil dari kata kibr atau kubr yang ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surat an-Nur (24) Kelompok II ayat 11 digunakan dalam arti yang terbanyak dan terbesar. Yang dimaksud di sini adalah yang paling banyak terlibat dan paling besar peranannya dalam penyebaran isu itu. Ayat di atas menegaskan adanya siksa yang pedih bagi yang terlibat langsung dalam penyebaran isu itu, khususnya yang paling berperan. Ulama berbeda pendapat apakah siksa duniawi berupa pencambukan delapan puluh kali, diterapkan atas mereka yang terlibat itu atau tidak. Namun demikian, walaupun mereka tidak terkena sanksi pencambukan, kecaman ayat-ayat ini serta pandangan negatif yang tertuju kepada mereka setelah turunnya ayat-ayat ini, sungguh telah merupakan siksaan batin yang tidak kecil. Di sisi lain, penegasan ayat ini bahwa yang paling banyak terlibat dalam isu itu akan tersiksa yakni di Akhirat, antara lain dapat ditemukan indikatornya yang sangat jelas pada diri Abdullah Ibn Ubayy Ibn Salul, yang akhirnya mati sebagai munafik terbesar, bahkan Allah swt. menilainya kafir dan melarang Nabi Muhammad saw. mendoakannya (baca QS. atTaubah [9]: 84). Ketika tersebarnya isu itu, Nabi saw. gundah dan bimbang. Beliau mencari informasi dari banyak pihak, antara lain istri beliau yang selama ini “ bersaing” dengan ‘Aisyah, Zainab binti Jahsy. Yang ini —walau sebagi “madu” sama sekali tidak mendiskreditkan ‘Aisyah. Dia menjawab: “Saya tidak mengetahui kecuali yang baik dari ‘Aisyah.” Usamah juga menjawab dengan nada yang sama. Tetapi Sayyidina ‘Ali Ibn Abi Thalib yang merupakan kemenakan Rasul iba melihat beliau, sehingga menjawab: “Wahai Rasul, Allah tidak mempersempit wanita untukmu. Banyak wanita selainnya. Jika engkau bertanya pada jariyah/pembantunya yakni Burairah, tentulah dia akan menjawab yang sebenamya.” Jawaban Sayyidina ‘AH ra. ini melukai ‘Aisyah ra. yang agaknya berbekas sehingga berdampak pada sikapnya terhadap pengangkatan Sayyidina ‘A li sebagai khalifah. Betapapun sang jariyah ketika ditanya Nabi saw., menjawab: “Demi Allah yang mengutusmu dengan haq, kalau aku melihat sesuatu yang aku menutup mata karenanya, maka itu hanyalah bahwa ‘Aisyah adalah seorang wanita yang masih muda usia, dia tertidur di depan gandum keluarganya sehingga burung-burung datang memakannya.” Kegelisahan Nabi saw. baru berakhir dengan turunnya ayat-ayat kelompok ini yang menampik isu negatif tersebut. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa masa antara tersebarnya isu itu sampai dengan turunnya ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah an-Nur (24) Kelompok II ayat 12 Eggggj ayat-ayat ini adalah sekitar sebulan, dan pada masa itulah Nabi saw. sangat gelisah. Agaknya hati kecil Nabi saw. percaya kepada ‘Aisyah ra., hati kecil beliau tidak mungkin membenarkan isu itu, tetapi tidak ada bukti yang dapat beliau kemukakan untuk menampiknya, apalagi indikator yang ditonjolkan oleh penyebar isu dapat mendukung kebenarannya. Dari sini kita dapat berkata seandainya al-Qur’an ciptaan Nabi Muhammad saw., tentu beliau tidak perlu menanti sedemikian lama. Bukankah beliau dapat dengan segera menghapus isu itu dengan mempcratasnamakan wahyu, dan bila itu terjadi, tidak seorang muslim pun akan meragukannya. Namun karena wahyu berada di luar kemampuan beliau, maka dengan terpaksa Nabi agung itu, hidup dalam kegelisahan sekian lama. A Y A T 12 illdl tJJb I ^ alb o l l a 0y j * r j e o j} Or) Mengapa di waktu kamu mendengarnya orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka dan berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata. ” Ketika isu itu merebak, ada di antara kaum muslimin yang terdiam, tidak membenarkan dan tidak pula membantah. Ada juga membicarakannya sambil bertanya-tanya tentang kebenarannya, atau sambil menampakkan keheranannya, dan ada lagi yang sejak semula tidak mempercayainya dan menyatakan kepercayaannya tentang kesucian ‘Aisyah ra. N ah, ayat in i m engecam m ereka yang diam seakan-akan membenarkan, apalagi yang membicarakan sambil bertanya-tanya tentang kebenaran isu itu. Ayat ini menyatakan sambil menganjurkan mereka mengambil langkah positif bahwa: Mengapa di waktu kamu mendengarnya yakni berita bohong itu, kamu selaku orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap saudara-saudara mereka yang dicemarkan namanya, padahal yang dicemarkan namanya itu adalah bagian dari diri mereka sendiri, bahkan menyangkut Nabi mereka dan keluarga beliau, dan mengapa juga mereka tidak berkata: “Ini adalah suatu berita bohongyang nyata karena kami mengenal mereka sebagai orang-orang mukmin apalagi mereka adalah istri Nabi bersama sahabat tepercaya beliau.” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com |3°° % 838S8 ; Surah an-Nur(24) Kelompok II ayat 12 Kecaman ayat di atas amat terasa dengan penyebutan kedudukan mereka sebagai orang mukmin pria dan wanita, padahal ayat ini dapat saja bahkan “sewajarnya” menggunakan kata kamu sebagai kata ganti orangorang mukminin dan mukminat. Itu semua mengisyaratkan bahwa konsekuensi keimanan adalah pembelaan terhadap kaum beriman, paling tidak pembelaan pasif dengan berkata: Isu itu sangat diragukan kebenarannya bahkan dia adalah kebohongan karena ia ditujukan kepada orang-orang mukmin. Memang —seperti ucap Sayyidina ‘Ali,“Bila kebaikan meliputi suatu masa beserta orang-orang di dalamnya, lalu seorang berburuk sangka terhadap orang lain yang belum pernah melakukan cela, maka sesungguhnya ia telah menzaliminya. Tetapi apabila kejahatan telah meliputi suatu masa beserta banyak pula yang berlaku zalim, lalu seorang berbaik sangka terhadap orang yang belum dikenalnya, maka ia akan sangat mudah tertipu.” Ketersebaran isu itu adalah dalam kelompok orang-orang mukmin serta terhadap orang-orang yang selama ini sangat terpercaya, maka sungguh wajar ayat ini mengecam mereka. Di sisi lain, seorang mukmin mestinya sangat berhati-hati dalam menerima dan membedakan isu, apalagi jika penyebarnya seorang fasiq (baca QS. al-Hujurat [49]: 6). Mereka seharusnya memperhatikan indikator-indikator peristiwa. Dalam konteks isu ini, mereka misalnya harus dapat memperhatikan bahwa kedatangan ‘Aisyah ra. bersama Shafwan justru terjadi di siang hari bolong dan di tengah kerumunan pasukan. Seandainya mereka melakukan sesuatu yang buruk pastilah mereka tidak akan datang bersama. Dari sini sungguh sangat wajar dan pada tempatnya, jika ayat ini menuntut kaum beriman menyatakan bahwa: ( dJiiJ iJLa ) had^a ifkun mulrin/ini adalah berita bohong yang nyata. Ayat ini menekankan bahwa suatu berita yang disebarkan oleh seseorang padahal dia tidak mengetahui asal usul berita itu, sebagaimana halnya tuntutan tanpa bukti yang mendukungnya, dinilai sama dengan kebohongan yang nyata, walaupun dalam kenyataan berita tersebut benar. Ini disebabkan karena sesuatu dinilai oleh agama benar, selama apa yang disampaikan itu sesuai dengan keyakinan si pembicara, walau informasinya tidak sesuai dengan kenyataan. Jika Anda menduga si A sakit, kemudian Anda memberitakannya, maka Anda dinilai berucap yang benar walau dugaan Anda itu tidak sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya jika Anda mengetahui bahwa dia sakit, kemudian Anda berkata bahwa dia sehat, maka Anda dinilai berbohong, walau dalam kenyataan dia memang sehat. Ini karena Allah menilai niat dan motivasi pembicara, bukan kenyataan yang ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ,™ g Surafi an-Nur (24) Kelompok II ayat 13-14 tidak diketahuinya. Karena itu tidaklah wajar seseorang berbicara — membenarkan atau membantah apa yang tidak diketahuinya, karena bila dia mengambil sikap yang membenarkan atau mendukung ia dinilai berbohong dalam sikapnya itu. Allah berfirman: janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya" (QS. al-Isra’ [17]: 36). A Y A T 13-14 jU <&\ & 'd d jf i 5 > ^ i j tiSdi ^ i/L; 4^ i ^ aIsi £) j*JsP r j j () r ) <L3 U^ "Mengapa mereka tidak mendatangkan empat orang saksi? Oleh karena mereka tidak mendatangkan sak.si-sak.si maka mereka itulah di sisi Allah, merekalah para pembohong. Sekiranya tidak ada karunia Allah atas kamu dan rahmat-Nya di dunia dan di akhirat niscaya pasti kamu ditimpa - akibat kecerobohan kamu yang demikian luas —oleh a%ab yang besar. ” Setelah mengecam kaum mukminin yang tidak mengambil sikap yang tepat, ayat ini beralih kepada para penyebar isu yang menuduh itu, tanpa m engarahkan secara langsung pem bicaraan kepada m ereka, guna mengisyaratkan murka Allah. Ayat di atas menyatakan: Mengapa mereka yang menuduh itu —bila memang mereka benar dalam tuduhannya —tidak mendatangkan empat orang saksi yang menyaksikan kebenaran tuduhan mereka? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di sisi Allah yakni dalam ketetapan hukum-Nya, dan secara khusus pada kasus ini merekalah bukan selain mereka yang merupakan para pembohong yang mantap kebohongannya. Sekiranya tidak ada karunia Allah atas katmt semua antara lain dengan menjelaskan tuntunan agama-Nya dan demikian juga seandainya tidak ada rahmat-Nya yang melimpah di dunia dengan jalan menerima taubat kamu dan di akhirat dengan memberi pemaafan bagi yang dikehendaki-Nya niscaya pasti kamu ditimpa —akibat kecerobohan kamu yang ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com - 302 | Suraf an-Nur (24) Kelompok II ayat 15-18 demikian luas dalam pembicaraan negatif tentang berita bohong itu —ditimpa oleh a^ab yang besar. Kata ( ) afadhtum terambil dari kata ) ifadha yaitu keluasan dalam sesuatu, serta tampil tidak hati-hati dan tanpa perhitungan. Kata kerjanya adalah ( ) fadha yang berarti melimpah. Jika Anda menuang air terlalu banyak melebihi kapasitas wadah tempat Anda menuang, pastilah air itu melimpah keluar. Ayat ini menilai kaum mukminin telah melampaui batas kewajaran berkaitan dengan isu negatif itu. Pelampauan dimaksud bisa secara hakiki, yakni mereka yang benar-benar ikut membicarakan dan mempertanyakannya, atau secara majd^i karena diam, tidak ikut menyatakan keraguannya tentang hal tersebut. Kata yang digunakan ayat ini, di sini, tidak m enyebut objeknya. Ini untuk m engisyaratkan betapa buruk pembicaraan itu, sehingga tidak wajar untuk terucapkan. A Y A T 15-18 j \jjjt 4j b\ lIJ d jl \ J u \ dliuj \ ji O A) o j t u 0j j Xs ky* i l of diil ^< Cla*ji ( >*\) J ^e ) 5) aLi JLP 'jA j lUA iJLgj (w ) “Ketika kamu menerimanya dari lidah ke lidah dan kamu katakan dengan mulutmulut kamu, apa yang tidak ada bagi kamu tentangnya sedikit pengetahuan pun, dan kamu menganggapnya suatu yang remeh, padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu saat mendengarnya tidak berkata: “Sekali-kali tidak pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau, ini adalah dusta yang besar. "Allah memperingatkan kamu karena tidak suka kamu kembali memperbuat serupa dengannya selama-lamanya; jik a kamu orang-orang mukmin dan Allah menerangkan kepada kamu ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ” Ayat-ayat di atas masih merupakan lanjutan kecaman ayat-ayat yang lalu. Di sini Allah menggambarkan situasi terjadinya rumor itu, yakni ketika itu kamu menyebarkan berita bohong itu dari mulut ke mulut, atau melalui ayat ini Allah menggambarkan jatuhnya siksa yang diancamkan oleh ayat ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com f 303 Kelompok II ayat 15-18 Surah an-m r (24) lalu. Apapun hubungannya, yang jelas Allah berfirman: Ketika kamu menerimanya dan menyebarluaskan isu negatif itu dengan sungguh-sungguh dari tidah ke lidah yakni dan kamu katakan secara aktif oleh sebagian kamu dan sebagian yang lain pasif dengan jalan bertanya untuk ingin tahu bukan untuk membantah, kamu katakan dengan mulut-mulut kamu sendiri bukan dengan isyarat, apayang tidak ada bagi kamu terutama tentangnya yakni tentang duduk persoalan menyangkut isu itu sedikit pengetahuan pun, dan kamu menganggapnya yakni pembicaraan kamu itu suatu yang remeh tanpa dosa dan celaan atau tanpa dibalas dengan keras. Padahal dia pada sisi Allah ada/ah dosa yang besar serta kedurhakaan yang sangat buruk. Dan mengapa kamu, yakni semestinya kamu saat mendengarnya yakni begitu mendengar berita bohong itu tidak berkata dengan tegas dan langsung ketika itu juga bahwa: “Sekali-kali tidak pantas bagi kita memperkatakan yang seperti ini terhadap sesama manusia, apalagi muslim, lebih-lebih terhadap Ummul Mukminin istri Nabi Muhammad saw.” Ucapan yang mestinya kamu ucapkan sambil menunjukkan rasa keheranan dan ketidaklogisannya adalah: “Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami, isu ini adalah dusta yang besar. ” Demikian Allah memperingatkan yakni menyentuh hati kamu dengan nasihat karena tidak suka kamu kembali memperbuat kesalahan dan kedurhakaan serupa dengannya untuk selama-lamanya; jik a kamu orang-orang mukmin yang mantap imannya maka tentu kamu tidak akan mengulanginya karena keimanan bertentangan dengan sikap tersebut, dan di samping peringatan dan nasihat itu Allah juga menerangkan kepada kamu ayat-ayatNya serta menunjukkan kebenaran tuntunan dan hukum-hukum-Nya. Allah Maha Kuasa dan Allah Maha Mengetahui, karena itu ikuti tuntunan-Nya, lagi Dia juga adalah Maha Bijaksana dalam ketetapan-ketetapan-Nya dan karena itu terima dan laksanakanlah dengan tekun. Kata ( ) mayaktinu biasa diterjemahkan dengan tidak pantas atau tidak wajar. Namun terjemahan tersebut belum mencerminkan dengan tepat pesan kata itu, yang pada hakikatnya bermaksud menyatakan bahwa hal yang dinafikan pada ayat ini tidak dapat wujud dalam kenyataan sekarang atau masa datang —walau seandainya seseorang menghendaki wujudnya. Dengan demikian, maknanya lebih dalam daripada tidak pantas atau tidak wajar. Karena kedua kata terakhir ini, masih membuka kemungkinan bagi wujud dan terjadinya apa yang tidak pantas itu, tetapi ia hanya tidak wujud karena alasan moral. Alasan ini, bisa saja diabaikan oleh orang lain sehingga akhirnya ia wujud juga dalam kenyataan. Ini tentu berbeda bila sejak semula ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 1304 Surafi an-Nur (24) Kelompok II ayat 15-18 "‘Hr# Anda memahami kata md kdna atau md yakitnu dengan tidak dapat wujud dalam kenyataan. Kata alsinatikum adalah bentuk jamak dari kata ( j L J ) lisan yang berarti lidah. Ia dapat diartikan secara hakiki dalam hal ini alat yang berada di mulut yang digunakan untuk menjilat, mengecap dan berkatakata, dan dapat juga dalam arti majavj antara lain berarti bahasa. Yang dimaksud di sini adalah pengertian hakiki. Ia dikemukakan di sini guna menggambarkan keburukan ucapan-ucapan yang mereka sendiri ucapkan dengan lidah yang merupakan organ tubuh mereka dan dengan bahasa yang jelas. Penggunaan kata tersebut agaknya bertujuan mengesankan bahwa ucapan tersebut adalah sekadar kata-kata yang tidak memiliki substansi di alam nyata, lagi tidak dapat diterima oleh kalbu, karena dia tidak berdasar pengetahuan dan penelitian tentang kebenarannya. Sedang penyebutan kata mulut di samping untuk mengukuhkan makna kata lidah, sekaligus sebagai pengantar untuk menegaskan pernyataan sesudahnya yakni: tidak ada bagi kamu tentangnya yakni tentang duduk persoalan menyangkut isu itu sedikit pengetahuan pun. Didahulukannya kata tentangnya pada penggalan ayat ini, untuk menggarisbawahi bahwa seandainya dalam hal lain mereka memiliki pengetahuan, tetapi dalam hal isu itu sedikit pengetahuan pun mereka tidak miliki. D idahulukannya kata ( a 3 J ) id ^ sami'tumuhu!saat kamu mendengarnya atas kata ( qultumjkamu berkata untuk mengisyaratkan besarnya dampak buruk peristiwa serta apa yang mereka dengarkan itu, sehingga seharusnya begitu mereka mendengarnya saat itu pula mereka harus membantahnya. Demikian al-Biqa‘i Kata ( o U ) buhtan adalah kebohongan yang sangat besar. Kata ini terambil dari kata ( cj& ) buhita yang antara lain berarti tercengang dan bingung tak mengetahui apayang harus dilakukan. Kebohongan besar biasa menjadikan seseorang tak habis pikir bagaimana hal tersebut bisa diucapkan sehingga tercengang dan bingung. Penyebarluasan isu itu, dinilai sebagai buhtan karena ia adalah ucapan yang disengaja dan tanpa alasan serta bukti, dan juga karena ia berkaitan dengan kehormatan manusia bahkan rumah tangga Rasul saw. yang merupakan manusia agung pilihan Allah swt. Kata ( OItuj ) subhana digunakan untuk menyucikan Allah dari segala sifat kekurangan. Ia diucapkan juga saat seseorang menyadari dan takjub akan kebesaran atau kehebatan ciptaan Allah. Biasa juga ia diucapkan saat merasa ada sesuatu yang mengherankan, seperti ucapan Nabi ‘Isa as. ketika ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok II ayat 19-20 Surah an-Nur (24) Allah “bertanya” apakah dia yang'menyuruh manusia menyembah dirinya dan menyembah ibunya (baca QS. al-Ma’idah [5]: 116), atau ucapan serupa yang disebut pada awal surah al-Isra’ yang berbicara tentang Isra’ Nabi Muhammad saw. Bahkan dia diucapkan untuk sesuatu yang mengherankan walau tidak dengan tujuan menyucikan Allah, seperti pada ayat ini. Betapa tidak mengherankan, istri seorang Nabi yang agung dan rumah tangganya yang suci, dinodai oleh isu tanpa dasar sedikit pun. AYAT 19-20 LjjlSi ^3 oIJLp f a j * *1)1 J j a i ^ Ow>-UJl 0 , ) C sj& s ^ (Y O ol fa & \J ^ “Sesungguhnya orang-orangyang senang tersebarnya kekejian di kalangan orangorangyang beriman, bagi mereka a%ab yang pedih di dunia dan di akhirat dan Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Dan sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu dan A.llah Maha Penyantun dan Maha Penyayang. ” Setelah ayat-ayat sebelum ini mengecam dan menetapkan sanksi bagi penyebar isu, dan setelah mengecam sambil menasihati yang mendengarnya tanpa membantah, kini disusul dengan penjelasan tentang orang-orang yang tidak berkomentar tetapi senang agar isu itu atau semacam itu tersebar. Pemaparannya di sini agaknya untuk menunjukkan bahwa siapa yang menyambut gembira isu-isu negatif (walau tidak terlibat secara langsung) maka mereka pun wajar dikecam dan dicela. Dengan demikian, yang terangterangan melakukan kedurhakaan ini akan mendapat siksa, dan yang mendukungnya secara sembunyi-sembunyi pun akan mendapat siksa. Ayat ini masih melanjutkan kecaman sekaligus pengajaran Allah disertai dengan ancaman-Nya dengan menyatakan: Sesungguhnya orang-orang yang senang tersebarnya dalam bentuk ucapan, berita atau perbuatan kekejian di kalangan orang-orangyang beriman yakni masyarakat umum bagi mereka yang senang itu a^ab yang pedih di dunia dengan mencambuknya atau apapun yang dianggap tepat dan bagi mereka juga siksaan yang lebih pedih di akhirat nanti jika mereka tidak bertaubat. Allah menetapkan hukuman yang tepat ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ; 306 ;s Surah an-Nur (24) Kelompok II ayat 19-20 dan Allah sendiri Yang senantiasa Mengetahui kondisi serta motivasi dan perbuatan setiap orang dan mengetahui pula siapa yang wajar menerima siksa di dunia atau di akhirat, sedang kamu tidak mengetahui secara pasti dan dalam banyak hal, karena itu serahkanlah kepada Allah soal batin manusia. Dan sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, niscaya kamu akan ditimpa bencana yang besar, akibat kedurhakaan kamu, tetapi bencana itu tidak segera Allah jatuhkan karena Dia memberi kamu kesempatan bertaubat serta Dia mengundang kamu mendekat untuk meraih rahmat-Nya dan Allah Maha Penyantun karena itu Dia menangguhkan siksa dan Maha Penyayang terhadap kaum beriman, apalagi di akhirat kelak. Kata ( ) tasyi'a terambil dari kata ( ) syd‘a yang berarti tersebar. Dari akar kata yang sama lahir kata ( u i ) syfah yang berarti pengikut yang tersebar di mana-mana. Al-Biqa‘i memperoleh kesan dari penggunaan kata yang seakar dengan kata syi'ah itu, bahwa ayat ini mengisyaratkan kesenangan tentang tersebarnya kekejian dan tidak adanya pencegahan terhadapnya dapat melahirkan pendukung-pendukung kekejian itu dan pengikut-pengikut kedurhakaan. Ayat ini dapat dijadikan petunjuk bagi yang berkecimpung dalam bidan g in fo rm asi, di sini terbaca tanggung jawab m ereka dalam menyampaikan informasi, yang seharusnya tidak membawa dampak negatif dalam masyarakat. Dalam buku Secercah Cahaya Ilahi, penulis antara lain mengemukakan bahwa: Adalah baik menyampaikan informasi yang benar dan positif asal tidak berlebihan —sehingga menjurus pada pujian yang menjerumuskan, sedang yang negatif dianjurkan agar tidak dikemukakan kecuali dalam batas yan g d ip erlu k an . A nda tidak perlu menelanjangi seseo rang untuk m em buktikan kejahatannya. Anda juga dilarang m enginform asikan kejahatan/ketidakwajaran yang dapat merangsang timbulnya kejahatan b aru , tidak juga m engungkap perseteruan orang, sehingga lebih memperuncing keadaan. Suatu ketika Rasul saw. menyampaikan kepada Abu Hurairah, bahwa: “Siapa yang mengucapkan “La ilaha ilia A llah” dengan penuh keyakinan dia m asuk su rga.” M endengar hal ini sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi itu, bergegas ke pasar untuk menyampaikan informasi Rasul ini, tetapi di tengah jalan ia dicegat oleh Sayyidina ‘Umar ra. yang mengetahui maksudnya itu, dan membawa Abu Hurairah kembali kepada Rasul saw. ‘Umar bertanya: “Apakah engkau mengutus Abu Hurairah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com tm 'j Kelompok IF ayat 19-20 Surat an-!Nur(24) ... membawa kedua alas kakimu —sebagai bukti —bahwa engkau yang berkata: Siapa yang dia temui bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dengan keyakinan hati yang penuh, maka sampaikan kepadanya berita gembira?” Nabi menjawab “Ya”. ‘Umar berkata: “Jangan lakukan (wahai Rasul), saya khawatir orang (hanya) mengandalkan (ucapan) itu. Biarkan saja, mereka beramal.” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Kalau begitu, biarkan saja mereka” (HR. Bukhari dan Muslim). Sayyidina ‘Umar ra. khawatir jangan sampai penyampaian informasi ini di pasar, disalahpahami orang, apalagi tingkat pengetahuan mereka yang ada di sana sangat heterogen. Nabi saw. menyetujui usul ‘Umar, boleh jadi karena m em ang b eliau tidak m em erintahkan A bu H urairah menyampaikannya kepada orang-orang yang dikhawatirkan tidak mengerti, dan juga karena informasi ini ketika itu dan di tempat itu —tidak sadidanj tepat sasaran, walaupun informasinya benar. Imam asy-Syathibi (w 790 H) menulis dalam bukunya al-Muwdfacjat lebih kurang sebagai berikut: “Tidak semua apa yang diketahui termasuk yang boleh disebarluaskan, walaupun hal (informasi itu) bagian dari ilmu syariat dan bagian dari informasi tentang pengetahuan hukum. Informasi terbagi, ada yang dituntut untuk disebarluaskan —kebanyakan dari ilmu syariat demikian —dan ada juga yang tidak diharapkan sama sekali untuk disebarluaskan, atau baru diharapkan untuk disebarluaskan setelah mempertimbangkan keadaan, waktu atau pribadi.” Selanjutnya ulama itu menulis: “Tidak semua informasi disampaikan sama, bagi yang pandai dan bodoh, atau anak kecil dan dewasa, tidak semua pertanyaan juga perlu dijawab. Rumus m enyangkut hal ini adalah, paparkanlah masalah yang Anda akan informasikan kepada tuntunan agama, kalau sudah dapat dibenarkan dalam pertimbangannya, maka perhatikanlah dam paknya b erk aitan dengan w aktu dan m asyarakat, kalau penginformasiannya tidak menimbulkan dampak negatif, maka paparkan lagi masalah itu dalam benak Anda yakni kepada pertimbangan nalar, kalau nalar memperkenankan, maka Anda boleh menyampaikannya kepada umum atau orang tertentu, jika menurut pertimbangan tidak wajar disampaikan kepada umum. Seandainya masalah yang Anda ingin informasikan itu tidak mengena apa yang dikemukakan ini, maka berdiam diri adalah (pilihan yang) sesuai dengan kemaslahatan agama dan akal.” Demikian pakar Ushul Fiqh asy-Syathibi. Ayat 19 di atas menurut Thabathaba’i dapat merupakan kelanjutan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surat an-Nur (24) Kelompok II ayat 21 dari uraian tentang kasus isu negatif terhadap istri Nabi Muhammad saw. dan dengan demikian ia merupakan ancaman terhadap semua yang terlibat, dan dapat juga ia bcrbicara secara umum, sehingga kata fahisyah mencakup segala macam kekejian, baik berupa tuduhan perzinahan, maupun selainnya. AYAT 21 Ulja-Xll O l y s s s . O lk -jJl O l j}aa>- I O / / / / s l i ) ; c i i 'j> j-£ a i l j s 3i a ; f (T ,) L ii s I ✓ .» ✓ “I lai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan menyuruh yang keji dan mungkar. Dan sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih selamalamanya, tetapi Allah membersihkati siapa yang dikehendaki-Nya Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” Ayat ini dan ayat-ayat mendatang turun setelah turunnya ayat-ayat yang lalu. Sayyidah ‘Aisyah ra. sendiri mengakui bahwa ada sepuluh ayat yang turun berkaitan dengan kasus yang menimpa beliau. Kendati demikian, ayat ini masih sangat berhubungan dengan ayat-ayat yang lalu. Apa yang berkaitan dengan kasus rumor yang menimpa keluarga Nabi itu, tidak lain kecuali ulah setan yang memperdaya manusia, langkah demi langkah, sedikit demi sedikit sehingga akhirnya mereka terjerumus ke dalam jurang. Dari sini, ayat di atas memperingatkan bahwa: Hat orang-orang yang beriman bentengilah diri kamu dengan keimanan dan janganlah kamu memaksakan diri menentang fitrah kesucian kamu dengan mengikuti langkah-langkah setan ’ yang antara lain mengajak kamu berprasangka buruk kepada sesama kamu, menyebarkan berita bohong dan mengajak kepada kedurhakaan. Barang siapayang mengikuti langkah-langkah setan, dengan penuh kesungguhan, bukan karena lupa atau tak tahu maka dia telah m elakukan kekejian dan kem ungkaran karena sesungguhnya setan senantiasa menyuruh manusia mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Beruntunglah kamu karena Allah masih memberi peringatan dan mengarahkan kamu ke jalan yang benar, serta melimpahkan rahmat dan pengampunan-Nya, sekiranya tidak, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 309 Surah an-Nur (24) Kelompok II ayat 22 pastilah kamu mengikuti setan dan sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya yang tercurah kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu selama-lamanya, karena memang rayuan setan tidak kecil, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya untuk dibersihkan. Sedang Allah tidak menghendaki pembersihan itu kecuali terhadap siapa yang menyiapkan dirinya untuk itu sambil berusaha dan bermohon kepada-Nya. Dan Allah Maha Mendengar permohonan siapa pun lagi Maha Mengetahui isi hati dan ketulusannya. Firman-Nya: ( Q'U_'r.U o l ) khuthuwcit asy-syaithdn/langkah-langkah setan, menggambarkan dengan sangat teliti rayuan setan. Ayat ini bagaikan berkata: Setan mempunyai jejak dan langkah-langkah. Ia menjerumuskan manusia langkah demi langkah, tahap demi tahap. Langkah hanyalah jarak antara dua kaki sewaktu berjalan, tetapi bila tidak disadari, langkah demi langkah dapat menjerumuskan ke dalam bahaya. Setan pada mulanya hanya mengajak manusia melangkah selangkah, tetapi langkah itu disusul dengan langkah lain, sampai akhirnya ia mengantar manusia masuk bersama dia ke dalam neraka. Kata ( al-fahsyd’ adalah ucapan dan perbuatan yang tidak sejalan dengan tuntunan agama, dan akal sehat, khususnya yang telah ditetapkan sanksi duniawinya seperti zina, pembunuhan, dan pencemaran nama baik dalam bentuk menuduh berzina. Sedang ( al-munkar adalah perbuatan buruk, yang tercela oleh adat istiadat lagi tidak sejalan dengan nilai-nilai agama. Bahwa jika tidak ada anugerah Allah, tidak seorang pun dapat bersih dari kekejian, karena memang dalam genggaman tangan kekuasaan Allah segala kebajikan dan tidak ada kebajikan yang menyentuh manusia, kecuali bersumber dari Allah jua. Baca QS. Al ‘Imran [3]: 26 dan an-Nisa’ [4]: 79. AYAT 22 ^ x x ^ 3 x ^}\ I jjjj O' ✓ s ii3 / iii jJ ji ✓ ^ y o jS j ^ i i j i d ) / / Slj ^ ✓ Jji / j / / / ( YY) ‘Dan janganlah orang-orangyang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi kepada kaum kerabat, orangorangyang miskin dan para muhajirin pada jalan Allah dan hendaklah mereka ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Sura/i an-Nur(24) Kelompok II ayat 22 memaafkan dan berlapang dada. Apakah kaniu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ” Salah satu bentuk godaan setan adalah mencarikan dalih agar seseorang enggan membantu orang lain. Diriwayatkan bahwa setelah turunnya firman Allah yang menyatakan kebohongan para penyebar isu, di mana salah seorang di antaranya adalah Misthah yang selama ini dibantu oleh Sayyidina Abu Bakr ra., maka yang terakhir itu bersumpah untuk tidak lagi akan membantunya, kendati Misthah adalah keluarga Sayyidina Abu Bakr ra. yakni kemenakannya (putra saudara perempuan ayahnya). Nah, ayat ini turun menyangkut S a y y id in a Abu Bakr ra. dan orang-orang yang enggan memberi bantuan kepada yang butuh. Ayat ini menyatakan: Dan janganlah orang-orangyang mempunyai kelebihan dalam kesalehan beragama serta akhlak luhur dan kelapangan rezeki di antara kamu hai orang-orang yang beriman, janganlah mereka bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat-nya, orang-orangyang miskin dan para muhdjirin yakni orang-orang yang pindah dari Mekah menuju ke Madinah atau tempat yang lain pada jalan Allah dan demi menegakkan agama-Nya, dan siapa pun yang memerlukan uluran tangan, hanya dengan alasan bahwa yang bersangkutan pernah melakukan kesalahan terhadapnya atau karena ketersinggungan pribadi. Sebaiknya mereka yang mampu itu berhati besar, serta terus membantu yang butuh dan hendaklah mereka memaafkan siapa yang pernah melukai hatinya dan berlapang dada sehingga membuka lembaran putih bersih yang baru dalam hubungan antar mereka. Ayolah maafkan mereka! Apakah kamu wahai yang memiliki kelebihan dan kelapangan tidak ingin Allah mengampuni kesalahan dan kekurangan kamu? Tentu saja kamu mau, karena itu maafkanlah mereka agar Allah pun memaafkan dan mengampuni kamu. Allah Maha Mengetahui sikap dan perbuatan sehingga mensyukuri kamu dan A llah adalah Maha Pengampun sehingga bila Dia berkehendak Dia mengampuni dosa-dosa kamu, lagi Maha Penyayang sehingga aneka nikmat yang lebih banyak lagi kepada kamu. Kata ( J ii i) y a ’tali terambil dari kata ( JT ) dia dan ( ) i'tala yakni bersumpah. Kata ini pada umumnya digunakan untuk sumpah yang pengucapnya bermaksud menyatakan tekadnya untuk ddak melakukakan sesuatu. Dalam konteks ayat ini adalah sumpah Sayyidina Abu Bakr ra. untuk tidak lagi membantu Misthah yang selama ini dibantunya. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa ketika Rasul saw. membaca ayat ini di ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok II ayat 22 Surah an-Nur (24) I L/ hadapan Sayyidina Abu Bakr, sahabat kental Nabi saw. itu menyambut firman Allah: ( yJu 0 ) aid tuhibbuna an yaghjira Allahu lakum/ apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? dengan berkata: “Saya ingin diampuni Allah”, dan ketika itu juga beliau membatalkan sumpahnya dan melanjutkan bantuannya kepada Misthah sebagaimana sediakala. Kata ( \yju ) yafu terambil dari kata ( ys- ) ‘afw, yakni terdiri dari huruf-huruf ‘ain, f a ’ dan ivauw. Maknanya berkisar pada dua hal, yaitu meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini, kata ‘afw diartikan meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah (memaafkan). Perlindungan Allah dari keburukan, juga dinamai ‘aftah. Perlindungan mengandung makna ketertutupan, dari sini kata ‘afw juga diartikan menutupi, bahkan dari rangkaian ketiga huruf itu juga lahir makna terhapus, atau habis tiada berbekas, karena yang terhapus dan habis tidak berbekas pasti ditinggalkan. Selanjutnya ia dapat juga bermakna kelebihan, karena yang berlebih seharusnya tidak ada dan ditinggalkan yakni dengan memberi siapa yang memintanya. Dalam beberapa kamus bahasa dinyatakan bahwa pada dasarnya kata 'afw, berarti menghapus dan membinasakan, serta mencabut akar sesuatu. Menurut Imam Ghazali, ‘afw/pemaafan Allah lebih tinggi nilainya dari maghfiraA-N y a. Bukankah kata ‘afw mengandung makna menghapus, mencabut akar sesuatu, membinasakan dan sebagainya, sedang kata maghjirah, terambil dari akar kata yang berarti menutup? Sesuatu yang ditutup, pada hakikatnya tetap wujud, hanya tidak terlihat, sedang yang dihapus, hilang, kalau pun ada tersisa, paling hanya bekas-bekasnya. Kata ( Iy Ju a J j ) walyashfahu terambil dari kata ( ) ash-shafh. Pakar bahasa al-Qur’an, ar-Raghib al-Ashfahani, menulis dalam Mufradatnya bahwa apa yang ash-shafh berada pada tingkat yang lebih tinggi dari ( ) al-‘afw. Dari akar kata ash-shafh, lahir kata shafhat yang antara lain berarti lembaran yang terhampar, dan ini memberi kesan bahwa yang melakukannya membuka lembaran baru, putih bersih, belum pernah dipakai, apalagi dinodai oleh sesuatu, yang harus dihapus. Selanjutnya perlu dicatat, bahwa sepanjang penelitian penulis, tidak penulis temukan dalam al-Qur’an perintah meminta maaf. Ayat-ayat yang ditemukan adalah perintah atau permohonan agar memberikan maaf. ]adilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma ‘rufi serta berpalinglah dari orangorangyang bodoh (QS. al-A‘raf [7]: 199). Ketiadaan perintah meminta, bukan berarti yang bersalah tidak diperintahkan meminta maaf, bahkan ia wajib memintanya, tetapi yang ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi an-!Nur (24) lliflli Kelompok II ayat 23-25 lebih perlu adalah menuntun manusia agar berbudi luhur sehingga tidak menunggu atau membiarkan yang bersalah datang mengeruhkan air mukanya dengan suatu permintaan, walaupun permintaan itu adalah pemaafan. Di sisi lain, perintah meminta maaf, boleh jadi memberi kesan pemaksaan untuk memintanya, sedang permintaan maaf hendaklah dilakukan dengan tulus dan penuh kesadaran tentang kesalahan yang dilakukan. AYAT 23-25 y . J*. y ^ * 0 1^15 U j /■ A A i J S 0 f s’ y j S 0 Of x * * ^ jr ^ J I (JpxS 1 "jA i l l I 0 1 0 j J ^ j y 0 J . w j ^ x QS Ay S 0is i f ® * S / A* 0 * * 0 * ( y r ) ' (*-£>*£■ (3 ^ ^ * ^ «O dJU 1 ^ * \* S s . ** * jj ( y t ) 0 jj ^ t. •" it ' (Tfi) “Sesungguhnya orang-orangyangmelemparkan (tuduhan vyna) terhadap wanita-wanita yang baik-baik dan lugu serta mukminah mereka dilaknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka a^ab yang besar. Hari ketika bersaksi atas mereka lidah-lidah mereka tangan-tangan mereka dan kaki-kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hati itu, Allah akan memberi mereka balasanyang haq dan tahulah mereka bahwa Allah Yang Benar, lagi Yang Maha Menjelaskan. ” Boleh jadi ayat yang lalu, yang menganjurkan siapa yang pernah dilukai hatinya agar melanjutkan pemberian nafkah dan memerintahkan memberi m aaf kepada yang bersalah dan telah bertaubat dalam kasus penyebaran isu itu —boleh jadi anjuran itu —mengundang kesalahpahaman m enyangkut besarnya dosa pencemaran nama. Dari sini ayat di atas melanjutkan dan mengingatkan besar dosa tersebut. Demikian lebih kurang hubungan ayat ini menurut al-Biqa‘i. Ayat ini menyatakan: Sesungguhnya orang-orangyang melemparkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita yang baikbaik yang selalu melindungi diri mereka dengan kesucian lagi merupakan wanita-wanita dan lugu lengah serta tidak sempat berpikir apalagi mengerjakan keburukan karena kebersihan hatinya serta di samping itu mereka juga adalah wanita-wanita mukminah yang sempurna imannya - orang-orang yang menuduh wanita yang sifatnya seperti itu - mereka dilaknat oleh Allah, Rasul, kaum mukminin bahkan semua yang taat dan tunduk kepada Allah. Mereka melaknatnya di dunia dan akhirat, dan bag mereka a^abyang besar, pada hari ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 313 j Kelompok II ayat 23-25 Surah an-Nur (24) Uir ketika bersaksi atas mereka yakni memberatkan mereka lidah-lidah mereka masing-masing, tangan-tangan mereka dan demikian juga kak.i-k.aki mereka terhadap apa yang dahu/u mereka terus menerus kerjakan termasuk tuduhantuduhan palsu mereka. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang haq dan setimpal menurut semestinya, dan ketika itu juga tahulah dan sadarlah mereka bahwa Allah Yang Benar, lagi Yang Maha jelas keesaan dan kekuasaan-Nya serta Menjelaskan segala sesuatu. Ayat di atas memberi sifat-sifat yang demikian terpuji kepada wanitawanita. Tentu saja yang pertama dimaksud adalah istri Nabi yang dituduh itu yakni ‘Aisyah ra. bahkan seluruh istri Nabi saw. Di sisi lain perlu dicatat bahwa menuduh siapa pun termasuk wanita kafir tidak dibenarkan agama tanpa ada bukti-bukti, hanya saja sanksi hukum (dera) tidak dijatuhkan kepada penuduh terhadap yang kafir. Ini karena jaminan dasar tentang kesuciannya tidak ditemukan pada dirinya akibat kekufuran itu. Yang dimaksud dengan laknat di dunia, adalah kejauhan mereka dari rahm at A llah antara lain tercermin dalam cambukan, serta antipati masyarakat muslim, di samping penolakan kesaksian mereka untuk selamalamanya. Tentu saja ini bagi yang tidak bertaubat sebagaimana diuraikan oleh ayat 5 yang lalu. Pembicaraan lidah, tangan dan lain-lain banyak ditegaskan oleh alQur’an. Namun ulama berbeda pendapat tentang hakikatnya. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah tam paknya bekas-bekas perbuatan dan dosa mereka pada anggota tubuh itu, dan ada juga yang memahaminya dalam arti hakiki, yakni memang anggota tubuh berbicara, sebagaimana lidah kita sekarang berbicara. Penyebutan anggota tubuh tertentu pada ayat di atas agaknya disebabkan karena organ-organ itulah yang berperan besar dalam penyebaran isu itu, yakni lidah dan mulut yang bercakap, tangan yang menunjuk dan kaki yang berjalan ke kiri dan ke kanan menyebarkan isu itu ke mana-mana. Firman-Nya: ( * > ! ' p& fji) yuwaffihimullahu dinahum/memberi mereka balasan, mengisyaratkan bahwa sebelum hari Kiamat - di dunia atau di alam barzakh - mereka telah memperoleh “panjar” balasan, hanya saja penyempurnaannya akan terjadi kelak di hari Kemudian. Kata ( ji-\ ) al-haqq terdiri dari huruf-huruf ( _?-) ha’ dan ( _j) qaf yang maknanya berkisar pada kemantapan sesuatu dan kebenarannya. Lawan dari yang bathiljlenyap adalah haqq. Sesuatu yang mantap tidak berubah, juga dinamai haqq, demikian juga yang mesti dilaksanakan atau yang wajib. Tikaman ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah an-Nur (24) Kelompok II ayat 23-25 £ yang mantap sehingga menembus ke dalam - karena mantapnya - juga dilukiskan dengan akar kata ini yakni muhaqqah. Pakaian yang baik dan mantap tenunannya dinamai Tsaubun Muhaqqaq. Nilai-nilai agama adalah haqq karena nilai-nilai tersebut harus selalu mantap tidak dapat diubah-ubah. Sesuatu yang tidak berubah, sifatnya pasti dan sesuatu yang pasti, menjadi benar, dari sisi bahwa ia tidak mengalami perubahan. Salah satu nama Allah swt. yang disebut dalam al-Jisma’ al-Husnd adalah Haqq karena Dia tidak mengalami perubahan sedikit pun, Dia wujud dan wujud-Nya bersifat wajib, tidak dapat tergambar dalam benak. Dia tidak disentuh oleh ketiadaan atau perubahan sebagaimana yang dialami oleh makhluk. Dia yang berhak (yang mesti) disembah, tiada yang berhak disembah kecuali Allah. Dia juga Haqq karena segala yang besumber darinya pasti benar, mantap dan tidak berubah. Kata al-Haqq pada firman-Nya: ( ji- t 4i' j l ) inna Alldha huwa alHaqq dapat berarti bahwa Allah adalah dzat yang menvandang sifat Haqq. sebagaimana dilukiskan dalam nama-nama-Nya yang indah itu dan dapat juga berarti pemilik dan penegak al-Haqq dalam hal ini adalah keadilan. Penafsiran kedua ini sejalan dengan kata ( ) ad-din yang dalam ayat ini berarti pembalasan. Jika Anda memahami kata al-Haqq dalam pengertian pertama, maka kata ( jjAl ) al-mubin berarti yang jelas keesaan, kekuasaan dan sifat-sifatNya yang lain, sedang jika Anda memahami al-Haqq dalam pengertian kedua, maka yang dimaksud adalah yang menjelaskan segala sesuatu, khususnya — dalam konteks ayat ini —adalah amal perbuatan manusia dan balasan serta ganjaran mereka. Thabathaba’i memahami kata ( ) al-Haqq pada ayat ini dalam arti bahwa Allah swt. demikian jelas tidak tertutupi wujud-Nya oleh apapun. Wujud-Nya adalah satu aksioma yang tidak disentuh oleh ketidaktahuan, walaupun sesuatu yang sangat jelas dan aksioma, boleh jadi terlengahkan. Dengan demikian yang dimaksud dengan pengetahuan tentang Allah, adalah ketidaklengahan menyangkut diri-Nya. Dan inilah yang merupakan sesuatu yang nampak dan terjadi kelak di hari Kemudian dan ketika itu mereka benar-benar mengetahui bahwa Allah adalah al-Haqq al-Mubin. Dan ini pula yang diisyaratkan oleh firman-Nya: ‘Tadinya engkau tengah dari hal ini, maka kini Kami membuka darimu tabiryang menutupimu, sehingga pandanganmu kini amatjelas” (QS. Qaf [50]: 22). Demikian lebih kurang Thabathaba’i. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com I315! Surah an-N&r (24) Kelompok II ayat 26 <l§ | f e AYAT 26 O L Ja JJ O J l j O l.tia llj O li—ix ii 0 V1 ( Yn ) f -y ^ !*«• © x j jj V« H/ «0 / 9 ^ ^ | , f l(^ § J o ^ | U „ ✓ ^ . t* * ^ , J . S , ' ' I t t Oj s-dliJ J i 'Wanita-wanitayang keji adalah untuk laki-lakiyang keji dan laki-lakiyang keji adalah untuk wanita-wanitayang keji, dan wanita-wanitayang baik adalah untuk laki-lakiyang baik dan laki-lakiyang baik adalah untuk wanita-wanitayang baik. Mereka itulahyang bebas dari apa yang dikatakan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan re^ekiyang mulia. ” A yat ini kem bali m enguraikan sebab penegasan ayat 3 yang menyatakan bahwa pezina tidak wajar menikahi kecuali lawan seksnya yang pezina pula. Hal itu disebabkan karena telah menjadi sunnatullah bahwa seseorang selalu cenderung kepada yang memiliki kesamaan dengannya. Ayat di atas menyatakan bahwa: Wanita-wanitayang keji jiwanya dan buruk akhlaknya adalah untuk laki-laki yang keji seperti wanita itu, dan laki-laki yang keji jiwanya dan buruk perangainya adalah untuk wanita-wanitayang keji seperti lelaki itu pula, dan begitu juga sebaliknya wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanitawanitayang baik pula. Ini disebabkan karena jiwa manusia selalu cenderung mencari temannya, dan tidak senang bersama lawannya. Jika demikian, bagaimana mungkin istri Nabi saw. dituduh dengan tuduhan yang demikian buruk, padahal pasangannya adalah manusia teragung, tersuci dan terpuji? Mereka itulah yakni yang baik dari kedua jenis dan termasuk pula yang dituduh oleh kaum munafik yang bebas dan bersih dari apa yakni tuduhan dan keburukan yang dikatakan yakni dituduhkan oleh mereka yang menuduh itu. Bagi mereka ampunan atas kesalahan dan keteledoran mereka dan juga re^ekiyang mulia di dunia dan akhirat. Sementara ulama menyatakan bahwa ayat ini menjadi kebanggaan Sayyidah ‘Aisyah ra. Betapa tidak, Nabi Yusuf saja ketika dituduh hanya dinyatakan kesuciannya oleh salah seorang dari keluarga suami wanita yan g m enuduhnya. M aryam as. yang dituduh berbuat zina yang membebaskannya dari tuduhan adalah anaknya yang masih bayi dalam hal ini ‘Isa as., sedang ‘Aisyah ra. dinyatakan langsung oleh Allah kebersihannya dari tuduhan tersebut melalui ayat-ayat-Nya yang dibaca sepanjang masa. Ini tentu adalah karena beliau merupakan istri Nabi Muhammad saw., ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 0161 ii Surah an-Nur (24) Kelompok II ayat 26 sehingga kita pun dapat berkata bahwa hal tersebut adalah berkat Nabi agung itu. Walaupun jika merujuk kepada riwayat-riwayat tentang sabab nu^ul dan konteks uraian ayat ini, kita dapat berkata bahwa ia menunjuk kepada orang-orang tertentu, seperti pendapat sementara ulama yang disinggung di atas, namun melihat redaksinya yang bersifat umum, kita juga dapat berkata bahwa ayat di atas menegaskan salah satu hakikat ilmiah menyangkut hubungan kedekatan antara dua insan, khususnya kedekatan pria dan wanita, atau suami dan istri. Jalinan hubungan antar keduanya harus bermula dari adanya kesamaan antara kedua belah pihak. Tanpa kesamaan itu, maka hubungan mereka tidak akan langgeng. Menurut sementara pakar ada empat fase yang harus dilalui agar cinta antar manusia mencapai puncaknya. Fase pertama, adalah bahwa kedua belah pihak harus merasakan ada atau tidaknya kedekatan. Biasanya kedekatan itu lahir karena kesamaan perangai pandangan hidup, latar belakang sosial dan budaya, dan ini pada giJirannya akan mendorong kedua belah pihak untuk saling memperkenalkan diri secara lebih terbuka. Fase kedua, setelah kedekatan itu adalah fase pengungkapan diri di mana masing-masing merasakan ketenangan dan rasa aman berbicara tentang dirinya lebih dalam lagi, tentang harapan, keinginan dan cita-citanya bahkan kekhawatiran-kekhawatirannya. Fase ketiga, melahirkan saling ketergantungan dan pada fase ini, masing-masing mengandalkan bantuan yang dicintainya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadinya, karena masing-masing merasa dari dalam lubuk hatinya yang terdalam bahwa ia memerlukan pasangannya dalam kegembiraan dan kesedihannya. Masing-masing merasa bahwa dirinya adalah untuk pasangannya. Nah, di sinilah sampai kepada apa yang dikemukakan ayat di atas bahwa Wanita-wanita yang keji adalah untuk lakilaki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji, dan wanita-wanitayang baik adalah untuk laki-lakiyang baik dan laki-lakiyang baik adalah untuk wanita-wanitayang baik. Dan bila ini telah dirasakan, maka ketika itu tibalah fase keempat, yaitu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pribadi itu, yang diberikan oleh pasangannya dengan tulus bahkan menganggap sedikit pem b erian n ya yan g banyak dan m enganggap banyak pem berian pasangannya walau sedikit. Pengulangan kata-kata al-khabitsdt dan (jji-jt-l) al-khabitsun demikian juga sebaliknya, bertujuan memantapkan keterangan tersebut ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok II ayat 26 Surat an-Nur (24) f p sekaligus untuk tidak membedakan siapa pun yang Anda tiiju dalam kalimat yang Anda ungkapkan. Jika dia wanita yang bejat maka penggalan pertama ayat ini mengenainya, dan jika dia pria bejat, maka penggalan kedua yang mengenainya, demikian juga sebaliknya ( o L jk il) atb-thayyibat dan ( j j.'Uii ) ath-thayyibun. Al-Biqa‘i menambahkan bahwa penyebutan al-khabitsat terlebih dahulu karena konteks pembicaraan adalah wanita dalam arti isu yang disebarluaskan adalah menyangkut ‘Aisyah ra. Sedang penyebutan lawan dari al-khabitsdt yakni al-khabitsun karena jika yang disebut hanya kekhususan wanita-wanita yang bejat akhlaknya untuk lelaki yang bejat akhlaknya, bisa saja ada yang menduga bahwa lelaki yang bejat akhlaknya bisa kawin dengan yang tid ak b ejat akhlaknya. N ah, untuk m enam pik hal terseb ut ditegaskanlah bahwa lelaki yang bejat akhlaknya pula hanya pantas menjadi pasangan wanita yang bejat akhlaknya bukan wanita baik-baik. Kata ( 0 j j ) ri^qun karim dipahami oleh banyak ulama dalam arti rezeki di surga. Makna ini tidak keliru, tetapi ia merupakan makna terbatas jika ditinjau dari redaksi yang digunakan ayat ini, karena kata ( i3j j ) ri^cj mencakup banyak sekali arti, material dan spiritual, dunia dan akhirat. Di sisi lain rezeki di akhirat tidak saja terbatas pada surga, tetapi masih banyak lainnya. Apalagi kata ( ) karim digunakan untuk menyifati sesuatu secara sempurna dan memuaskan, masing-masing sesuai objeknya. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com AYAT 27-28 ^ I j jS - W Ij * . L**jj 1 I t I s Js . O A t fsO s +* < UJ|j lg-3 ^ jf $ % ^ » j* > * y l 0 u j-j I % . 0 9 ) . j I •* s ® Xp - J j jl I * kt I * d ti jA s' , 0 . jS - Ij* ^ - jl3 (yv) S i & ■" * t I 1/ ^ j 'u I ** ti * s ^ ^ I^LaI ^ ^-^sJ J^ S j l j O iji (TA) lA jJb "* U Uj “Hi?/ orang-orangyang berimanjanganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumah kamu, sebelum kamu meminta it^in dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu agar kamu ingat. Jika kamu tidak mendapatkan seorangpun di dalamnya makajanganlah kamu memasukinya sampai kamu mendapat isjn. Dan jik a dikatakan kepada kamu: “Kembalilah”, maka kembalilah. Itu lebih suci bagi kamu dan Allah Maha Mengetahui apayang kamu kerjakan” Kelompok ayat-ayat ini berbicara tentang etika kunjung mengunjungi, yang merupakan bagian dari tuntunan Ilahi yang berkaitan dengan pergaulan sesama manusia, karena seperti apa yang dikemukakan pada awal uraian, bahwa surah ini mengandung sekian banyak ketetapan hukum-hukum dan tuntunan-tuntunan yang sesuai antara lain dengan pergaulan antar manusia —pria dan wanita. Al-Biqa‘i menghubungkan ayat ini dengan ayat-ayat yang lalu dari sisi bahwa apa yang dilakukan penyebar isu itu pada hakikatnya adalah prasangka buruk yang ditanamkan oleh iblis dalam hati mereka terhadap orang-orang beriman. Nah, di sini Allah swt. memerintahkan untuk menutup 318 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com *3 1 9 l Kelompok III ayat 27-28 Surat an-Nur (24) ^ vr salah satu pintu masuknya setan, dengan jalan memerintahkan kaum muslimin untuk m enghindari tem pat dan sebab-sebab yang dapat menimbulkan kecurigaan dan prasangka buruk. Karena itu, di sini diperintahkan untuk meminta izin sebelum masuk ke rumah. Diriwayatkan bahwa ayat ini, turun berkenaan dengan pengaduan seorang wanita Anshar yang berkata: Wahai Rasulullah, saya di rumah dalam keadaan enggan dilihat oleh seseorang, tidak ayah tidak pula anak. Lalu ayah masuk menemuiku, dan ketika beliau masih di rumah, datang lagi seorang dari keluarga, sedang saya ketika itu masih dalam keadaan semula (belum siap bertemu seseorang), maka apa yang harus saya lakukan?” Nah, menjawab keluhannya, turunlah ayat ini yang menyatakan: Hai orang-orang yang beriman janganlah salah seorang dari kamu memasuki rumah tempat tinggal yang bukan rumah tempat tinggal kamu, sebelum kamu meminta i-^in kepada yang berada dalam rumah dan mengetahui bahwa dia bersedia menerima kamu dan juga sebelum kamu memberi salam kepadapenghuninya. Yang demikian itu yakni meminta kerelaan dan mengucapkan salam lebih baik bagi kamu daripada masuk tanpa kerelaannya dan atau menggunakan cara Jahiliah dalam meminta izin. Allah menuntun kamu dengan tuntunan ini agar kamu selalu ingat bahwa itulah yang terbaik buat kamu, karena kamu pun enggan didadak oleh pengunjung tanpa persiapan dan kerelaan kamu. Jika kamu tidak mendapatkan seorangpun di dalamnya yakni di dalam rumah-rumah yang kamu kunjungi itu tidak ada orang sama sekali, atau tidak ada yang berwenang mengizinkan, atau yang berwenang melarang kamu masuk, maka janganlah kamu memasukinya sampai yakni sebelum kamu mendapat i^in dari yang berwenang karena jika kamu masuk, maka kamu melanggar hak dan kebebasan orang lain. Danjik a dikatakan kepada kamu oleh penghuni atau siapa pun: “Kembali saja-/a/>” maka kembalilah karena tidak seorang pun boleh masuk ke rumah orang lain tanpa izin penghuninya yang sah, apalagi setiap orang mempunyai rahasia yang enggan dilihat atau diketahui orang lain. Jangan kecil hati jika kamu harus kembali, karena sebenarnya itu lebih suci serta lebih baik dan terhormat bagi kamu daripada berdiri lama menanti di pintu masuk, apalagi kalau kamu diusir dengan kasar, dan itu juga menghindarkan tuan rumah dari kecanggungan melarang kamu dengan tegas dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan di luar dan di dalam rumah, baik kamu masuk ke rumah yang tidak berpenghuni seizin atau tanpa izin, maupun kembali tanpa memasukinya, dan nanti Allah akan memberi balasan dan ganjaran yang sesuai dan setimpal. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com llff? Surah an-Nur (24) -3201 Kelompok III ayat 27-28 Kata ( I tasta'nisu terambil dari kata ( ) uns yaitu kedekatan, ketenangan hati dan keharmonisan. Penambahan huruf ( —J)sm dan ( _j ) ta\ pada kata ini bermakna permintaan, dengan demikian penggalan ayat ini memerintahkan mitra bicara untuk melakukan sesuatu yang mengundang simpati tuan rumah agar mengizinkannya masuk ke rumah, sehingga ia tidak didadak dengan kehadiran seseorang tanpa persiapan. Dengan kata lain perintah di atas adalah perintah meminta izin. Ini, karena rumah pada prinsipnya adalah tempat beristirahat, dan dijadikan sebagai tempat perlindungan bukan saja dari bahaya, tetapi juga dari hal-hal yang penghuninya malu bila terlihat oleh “orang luar”. Rumah adalah tempat penghuninya mendapatkan kebebasan pribadinya dan di sanalah ia dapat m endapatkan privasinya secara sempurna. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh tamu untuk maksud tersebut, misalnya mengetuk pintu, berdeham, berdzikir dan lain-lain. Salah satu yang terbaik dan yang digarisbawahi ayat ini adalah mengucapkan salam. Kata ( I j j ) wa tusallimu/kamu memberi salam merupakan salah satu contoh dari meminta izin. Dalam konteks ini diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Zaid Ibn Tsabit berkunjung ke rumah ‘A bdullah Ibn ‘Umar. Di pintu dia berkata: “Bolehkah saya masuk?” Setelah diizinkan dan dia masuk ke rumah, ‘A bdullah berkata kepadanya: “Mengapa engkau menggunakan cara meminta izin orang-orang Arab masa Jahiliah?” Jika engkau meminta izin maka ucapkanlah as-Salamu A ‘ laikum, dan bila engkau mendapatkan jawaban, maka bertanyalah: “Bolehkah saya masuk?” Sem entara ulam a m enyatakan bahwa hendaknya pengunjung m em inta izin dah ulu baru m engucapkan salam , karena ayat ini mendahulukan penyebutan i*in atas salam. Tetapi pendapat ini ditolak dengan alasan bahwa kata dan tidak menunjukkan perurutan, ia hanya menunjuk penggabungan dua hal yang tidak selalu mengandung makna bahwa yang pertama terjadi sebelum yang kedua. Apalagi ada hadits Nabi saw. yang m enyatakan as-Salam qabla al-Kalam yakni salam sebelum pembicaraan (HR. at-Tirmidzi melalui Jabir Ibn ‘A bdillah). Sementara ulama merinci bahwa jika pengunjung itu melihat seseorang di dalam rumah, maka hendaklah ia mengucapkan salam, baru meminta izin, sedang jika tidak melihat seseorang maka dia hendaknya meminta izin misalnya dengan mengetuk pintu. Ayat ini tidak menyebut berapa kali izin dan salam harus dilakukan sebelum kembali. Namun beberapa hadits memberi petunjuk agar meminta ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok III ayat 27-28 Surah an-Nur (24) '321j izin dan salam maksimum sebanyak tiga kali. Abu Sa‘id al-Khudri pernah berkunjung ke rumah ‘Umar Ibn al-Khaththab, tetapi kemudian kembali setelah meminta izin tiga kali. Setelah kepergiannya, Sayyidina ‘Umar menanyakan kepadanya mengapa ia kembali, dan dijawab oleh Abu Sa‘id bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika salah seorang di antara kamu telah meminta izin tiga kali tetapi belum mendapat izin, maka hendaklah dia kembali saja.” ‘Umar ra. yang mendengar penyampaian Abu Sa‘id itu meminta agar ada orang lain yang dapat mengukuhkan Abu Sa‘id — karena ‘Umar khawatir jangan sampai ia lupa. Ternyata Ubayy Ibn Ka‘ab pun mendengar sabda Nabi itu dan membenarkan Abu Sa‘id (HR. Bukhari melalui Abu Sa‘id). Ayat di atas walaupun hanya melarang memasuki rumah orang lain tanpa izin, tetapi etika Islam menuntut dari siapa pun untuk tetap meminta izin atau memberi isyarat tentang kedatangannya —walau ke rumahnya sendiri. Memang boleh jadi dapat dikatakan bahwa tidak ada privasi antara suami istri, tetapi bukankah dalam rumah boleh jadi ada orang lain, selatn suami atau istri. Dalam konteks ini Nabi saw. pernah ditanya oleh seorang sahabat: “Apakah saya harus meminta izin dari ibuku untuk masuk ke rumah?” Nabi menjawab: “Ya”. Si penanya melanjutkan: “Di rumah tidak ada seorang pun yang melayaninya (bertempat tinggal dengannya) kecuali saya sendiri, apakah saya masih harus meminta izin setiap saya masuk?” Nabi saw. menjawab dengan bertanya: “Apakah engkau rela melihat ibumu telanjang?” Si penanya menjawab: “Tidak”. “Kalau begitu minta izinlah”, ucap Nabi lagi (HR. Malik melalui ‘A tha Ibn Yasar). Bahkan seorang ayah sebaiknya tidak masuk ke rumah atau kamar anaknya tanpa izin. Imam Bukhari dalam bukunya al-Adab al-Mujrad meriwayatkan bahwa sahabat Nabi saw. Ibn ‘Umar tidak lagi masuk ke tempat anaknya yang sudah balig, tanpa izin sang anak. Suami istri pun sebaiknya saling meminta izin - walau ini bukan sesuatu yang wajib — tetapi bukankah lebih baik jika masing-masing mengetahui tentang kedatangan pasangannya, agar masing-masing tampil dalam bentuk yang baik untuk menyambutnya, atau bahkan paling tidak, yang di dalam rumah tidak terperanjat dengan kedatangan tuan rumah secara tiba-tiba. Rasul saw. pun mengingatkan para suami agar tidak mengejutkan istri dengan kedatangannya. Dalam etika permintaan izin, Islam juga menekankan agar ketika berada di pintu hendaknya pengunjung tidak mengarahkan pandangan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com r322 j Surah an-Nur (24) Kelompok III ayat 29 langsung bcrhadapan dengan pintu, apalagi melihat dari lubang pintu, tetapi dia hendaknya berada di arah kiri dan kanan pintu, untuk menghindari pandangan langsung ke dalam. Karena boleh jadi saat itu, penghuni rumah dalam keadaan yang tidak berkenan untuk dilihat orang lain. Imam Bukhari dan M uslim m eriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Seandainya seseorang berusaha melihatmu pada saat engkau enggan dilihat (dalam situasi privasi kam u) lalu engkau m elem parnya dengan batu, dan membutakan matanya, maka tidaklah engkau berdosa.” Di sisi lain, dalam memperkenalkan diri, Rasul saw. mengajarkan agar bila seseorang ditanya tentang siapa yang mengetuk atau meminta izin, maka hendaknya ia tidak menjawab “Saya”. Ini karena kata tersebut belum mencerminkan siapa yang bermaksud masuk. AYAT 29 . x u® . * x i 0 x . & 4 ||. x • > X x | 0 |x x . x . ^w® \ n ^ Aj J X o x ✓ x 9 , .# . J |J O x 0 / • f ' * O' ^ x (Y ^ ) . x f 0 > V 0 X J y ^ 8 I x x x x s , / 0* * 0> la j O jX J ‘Tidak ada dosa atas kamu memasuki rumah-rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada pemanfaatan untuk kamu dan Allah mengetahui apayang kamu nyatakan dan apayang kamu sembunyikan. ” Setelah ayat yang lalu memberi tuntunan bagi pengunjung rumahrumah pribadi, baik yang penghuninya hadir di tempat maupun tidak, kini melalui ayat di atas Allah memberi tuntunan menyangkut rumah dan bangunan yang disediakan sebagai tempat umum, seperti penginapan dan kedai-kedai. Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakr bertanya kepada Nabi saw. bahwa: Bagaimana tuntunan Allah menyangkut kedai-kedai dan penginapan-penginapan yang kita temukan dalam perjalanan kita menuju Syam? Ayat ini menjawab pertanyaan tersebut dengan menyatakan: Tidak ada dosa dan halangan agama serta moral atas kamu untuk tidak meminta izin terlebih dahulu guna memasuki rumah-rumah yakni tempat-tempat umum yang tidak disediakan untuk didiami oleh orang-orang tertentu,jw»(; di dalamnya ada hak pemanfaatan-nya untuk keperluan kamu seperti tempat peristirahatan umum, tempat berlindung, kedai-kedai, perpustakaan, supermarket, rumahrumah ibadah serta hotel-hotel dan sebagainya, karena memang sejak semula ia dibangun dan telah disiapkan dan diizinkan untuk dikunjungi. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah ati-Nur (24) Kelompok III ayat 30 Sesungguhnya Allah tidak menghalangi'sesuatu yang bermanfaat bagi kamu selama tidak m engakibatkan mudharat bagi selain kamu, dan Allah senantiasa mengetahui apayang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan. Penutup ayat ini berbunyi: Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu setnbunyikan memberi kesan peringatan agar jangan berdesak-desak di satu tem pat dengan dalih bahw a A llah telah m em bolehkan m engunjunginya tanpa izin. Sebagaim ana ia juga mengingatkan agar jangan menggunakan tempat-tempat umum itu —apalagi penginapan-penginapan —untuk tujuan yang tidak dibenarkan Allah dan Rasul-Nya, serta adat istiadat dan moral, karena sesunguhnya Allah mengetahui yang nyata dan tersembunyi termasuk aktivitas fisik manusia yang nyata dan yang tersembunyi termasuk detak detik hati dan niatnya. Peringatan di atas perlu, karena di tempat-tempat umum sering kali bercampur orang-orang baik dan jahat. Sering kali juga kejauhan dari rumah atau kam pung halaman — menjadikan seseorang tidak dikenal oleh lingkungannya sehingga dapat terdorong melakukan kedurhakaan. AYAT 30 a i l i>! J * ) j ' j j&H) j» "o»1 M . ( Y *) O J so / / j Uj 1# / Katakanlah kepada ptia-pria mukmin: “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. ” Setelah memberi tuntunan menyangkut kunjungan ke rumah-rumah yang intinya m elarang m elihat apa yang dirahasiakan atau enggan dipertunjukkan oleh penghuni rumah, kini dilanjutkan dengan perintah memelihara pandangan dan kemaluan. Larangan ini sejalan pula dengan izin memasuki tempat-tempat umum. Karena di tempat umum apalagi yang jauh dari pemukiman seseorang, boleh jadi matanya menjadi liar dan dorongan seksualnya menjadi-jadi. Thahir Ibn ‘Asyur menghubungkan ayat ini dengan yang lalu, bahwa setelah ayat yang lalu menjelaskan ketentuan memasuki rumah, di sini diuraikan etika yang harus diperhatikan bila seseorang telah berada di dalam ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com - 324 >•>.-t-*j« Surah an-Nur(24) Kelompok III ayat 30 J f,yf rum ah, yakni tidak mengarahkan seluruh pandangan kepadanya dan membatasi diri dalam pembicaraan serta tidak mengarahkan pandangan kepadanya kecuali pandangan yang sukar dihindari. Apapun hubungannya, yang jelas ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad saw. bahwa hai Rasul katakanlah yakni perintahkanlah kepada pria-pria mukmin yang demikian mantap imannya bahwa: Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka yakni tidak membukanya lebar-lebar untuk melihat segala sesuatu yang terlarang seperti aurat wanita dan kurang baik di lihat seperti tempat-tempat yang kemungkinan dapat melengahkan, tetapi tidak juga menutupnya sekali sehingga merepotkan mereka, dan di samping itu hendaklah mereka memelihara secara utuh dan sempurna kemaluan mereka sehingga sama sekali tidak menggunakannya kecuali pada yang halal, tidak juga membiarkannya kelihatan kecuali kepada siapa yang boleh melihatnya, bahkan kalau dapat tidak menampakkannya sama sekali walau terhadap istri-istri mereka; yang demikian itu yakni menahan pandangan dan memelihara kemaluan adalah lebih suci dan terhormat bagi mereka karena dengan demikian, mereka telah menutup rapat-rapat salah satu pintu kedurhakaan yang besar yakni perzinahan. Wahai Rasul sampaikanlah tuntunan ini kepada orang-orang mukmin agar mereka melaksanakannya dengan baik dan hendaklah mereka terus awas dan sadar karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Ayat ini menggunakan kata ( al-mu’minun yang mengandung makna kemantapan iman yang bersangkutan, berbeda dengan (! jjJLil yd ayyuhallad^ina dmanu yang digunakan oleh ayat 27 ketika berbicara tentang perizinan masuk rumah. Hal ini menurut al-Biqa‘i mengisyaratkan sulitnya m enghindarkan mata di tempat umum, dan bahwa ini hanya dapat dilaksanakan secara baik oleh mereka yang telah mantap iman dalam kalbunya, karena kedurhakaan di sini tidak sejelas dan sekentara kedurhakaan ketika memasuki rumah tanpa izin. Kata ( l_pa*j ) yaghudhdhu terambil dari kata ( 'ja i- ) ghadhdha yang berarti menundukkan atau mengurangi. Yang dimaksud di sini adalah mengalihkan arah pandangan, serta tidak memantapkan pandangan dalam waktu yang lama kepada sesuatu yang terlarang atau kurang baik. Kata ( furujadalah jamak dari kata ( ) fa rj yang pada mulanya berarti celah di antara dua sisi. Al-Qur’an menggunakan kata yang sangat halus itu untuk sesuatu yang sangat rahasia bagi manusia, yakni alat kelamin. Memang kitab suci al-Qur’an dan as-Sunnah selalu menggunakan kata---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com -325 j Suraf ati-Nur (24) Kelompok III ayat 31 kata halus, atau kiasan untuk menunjttk hal-hal yang oleh manusia terhormat, aib untuk diucapkan. Ayat di atas menggunakan kata ( j* ) min ketika berbicara tentang ( jLflji) abshar/pandangan-pandangan dan tidak menggunakan kata min ketika berbicara tentang ( ^ j / ) furiijlkemaluan. Kata min itu dipahami dalam arti sebagian. Ini agaknya disebabkan karena m emang agam a memberi kelonggaran bagi mata dalam pandangannya. “Anda di tolerir dalam pandangan pertama tidak dalam pandangan kedua.” Di sisi lain, ulama sepakat tentang bolehnya melihat wajah dan telapak tangan wanita yang bukan mahram, tetapi sama sekali tidak memberi peluang bagi kemaluan untuk selain istri dan hamba sahaya yang bersangkutan. Bahkan kepada suami pun, N abi saw. berpesan: “Apabila salah seorang dari kamu “mendatangi” istri, maka hendaklah dia menutup diri, jangan sekali-kali dia telanjang seperti halnya dua keledai” (HR. Ibn Majah melalui ‘Utbah Ibn Abd as-Sulami). Thabathaba’i memahami perintah memelihara furuj bukan dalam arti memeliharanya sehingga tidak digunakan bukan pada tempatnya, tetapi memeliharanya sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Bukan dalam arti larangan berzina. A yat in i tid ak m enyebut pengecualian dalam hal kem aluan sebagaimana halnya dalam QS. al-Mu’minun [23]: 5-6. Agaknya ayat ini mencukupkan penjelasan surah al-Mu’minun itu, dan juga karena di sini ia berbicara tentang orang-orang mukmin yang sempurna imannya dan dikemukakan dalam konteks peringatan. A Y A T 31 I & A yy ^ y 0 ^ . 1/ S' % y * 1 t* £ jF -J | ^ *1 y y y y ^ y i f 0 * 6 AA y y y y t & * f t ' 9t 0 ^ \ ' ijs - 6 t 0^ y 4 % A y 0 0 9 i ^ t l ' J I » y y . y 0 y Jj , - y y * y y • 9 I ^ l" j 1j f ' y ' ^ J iia J l j l . s Jp U y y l ' 0 O Lflj^U J 3 j J **.J J i y wj1 o !jjp y ja & y y os**®' y ^ J jO i r j | y u i u & . & r J* y 0 . . y J A jU j! x y 0 f £ . x ft j1 ja 4 jjV I ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqdn (25) Kelompok II ayat 12-14 tentang Keesaan Allah dan keniscayaan Kiamat, dan Kami telah menyiapkan bagi siapayang mendustakan keniscayaan Kiamat baik mereka maupun selain mereka, neraka sa'iran yang amat besar kobarannya. Sementara ulama berpendapat bahwa ayat di atas berbicara tentang keburukan lain dari kaum musyrikin, yakni pengingkaran terhadap Kiamat. Kata ( J j ) baljsebenarnya pada ayat ini yang mengandung makna peningkatan, menurut mereka bertujuan menekankan bahwa keburukan yang disebut ini, melebihi keburukan-keburukan sebelumnya. Thahir Ibn ‘Asyur mengutip pendapat pakar tafsir Ibn ‘Athiyah yang m enyatakan bahwa kata ( J j ) hal yang dalam hal ini berarti bahkan, membatalkan apa yang dikandung oleh penggalan ayat yang menyatakan ‘jik a Dia menghendaki, niscaya Dia menjadikan untukmu yang lebih baik dan itu. ” Dalam arti bahwa kaum kafir itu tidak puas dengan sedikit dan remeh dari kenikmatan duniawi yang diperoleh Rasul saw. dalam hidup ini, bahkan mereka pun tidak puas dengan perolehannya yang demikian besar di akhirat nanti. Ini karena mereka tidak mempercayai adanya hari Kiamat. Seandainya mereka mempercayainya, niscaya pendustaan mereka tidak akan berlanjut. Demikian kutipan Ibn ‘Asyur. Kata () sa'iran terambil dari kata ( y u - ) sa'ara yang berarti berkobar. Patron kata tersebut digunakan di sini dalam arti objek. Yakni sesuatuyang dikobarkan yaitu neraka. Ia dikobarkan dengan menambah bahan bakarnya dari saat ke saat. Bahan bakar tersebut antara lain adalah batu dan manusia durhaka (QS. al-Baqarah [2]: 24), sedang manusia itu sendiri, setiap hangus kulitnya, Allah menggantinya dengan kulit yang baru lagi, sehingga mereka terus menerus merasakan kepedihan neraka (QS. an-Nisa’ [4]: 56). A Y A T 12-14 0 i) ' jr f ‘A pabila ia melihat mereka dari kejauhan niscaya mereka telah mendengar darinya kegeraman dan desis. Dan apabila mereka dilemparkan ke sana yakni di tempat yang sempit dengan dibelenggu maka di sana mereka berteriak mengharapkan kebinasaan, ‘Janganlah kamu mengharapkan —pada hari ini —satu kebinasaan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok II ayat 12*14 Surah aC-Turqan (25) f§f§Jff saja tetapi harapkan dan teriakkanlah kebinasaan yang jpanyak. ” Ayat-ayat di atas mengungkap sekelumit dari neraka yang disiapkan bagi para pendurhaka yang diuraikan sikapnya oleh ayat-ayat yang lalu. Ayat di atas menyatakan: Apabila ia yakni neraka itu dapat melihat mereka dari kejauhan niscaya dari jarak yang jauh itu - walau mereka belum melihatnya, mereka telah mendengar darinya suara kegeraman bagaikan sesuatu yang mendidih yang siap menyambut mereka dan desis apinya bagaikan nafas seorang yang tertarik dan berhembus dari dada yang penuh kemarahan. Setelah menyebut penyambutan mereka, kini disampaikan keadaan mereka ketika dilemparkan ke neraka dengan menyatakan: Dan apabila mereka dilemparkan dengan kasar dan hina bagaikan sampah ke sana yakni ke neraka itu yakni di tempat yang sempit dengan dibelenggu tangan mereka ke leher mereka, lalu tangan itu diangkat ke dagu, sehingga mereka tertengadah, atau mereka dibelenggu bersama Qarin yakni setan penggoda mereka, maka cli sana dan ketika itu mereka berteriak mengharapkan segera datangnya kebinasaan, agar segera pula mereka terhindar dari siksa yang demikian pedih. Ketika itu juga akan dikatakan kepada mereka: “janganlah kamu berteriak mengharapkan —pada hari ini — satu kebinasaan saja tetapi harapkan dan teriakkanlah kebinasaan yang banyak yang tidak dapat terhitung karena setiap kamu binasa, kamu akan dihidupkan lagi untuk merasakan kebinasaan yang lain. Atau tidak berguna bagi kamu teriakan dan harapan itu, baik teriakan sekali maupun berkali-kali karena siksaan atas diri kamu akan terus berlanju’t.” Kata ( U'i-. ) taghayyu^h terambil dari kata ( J ) ghai^h yang berarti amarahyang meluap-luap. Taghayyunj) adalah menampakkan kemarahan dan yang dimaksud di sini adalah suara amarah, karena kata sebelumnya adalah ( I ) sami'u yakni mendengar dan tentu saja yang di dengar adalah suara. Kata ( j J j ) %afir adalah suara tarikan nafas karena amarah atau karena sesaknya dada. Kata ( Ijf-i ) da'au terambil dari kata ( tUo) du'a yang pada mulanya berarti memanggil dengan suara keras. Sedang kata ( j j J ) tsuburadalah kebinasaan yang besar. Dengan demikian mereka meneriakkan kebinasaan, yakni mengharapkan kiranya kebinasaan segera datang mengakhiri kesengsaraan mereka. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 438 Surafi aC-Turqdn (25) Kelompok II ayat 15-16 '“tiv A Y A T 15-16 O o) i c J i =* r f o i apj * ( \ *; ) *)}j£L* ItlP j d L j * u k i i aSr ^ > " ' OlS* ' iU M j i A s Ca “Katakanlah: “A pakah ituyang baik, atau surgayang kekalyang telah dijanjikan kepada orang-orang bertakwa? “Ia menjadi balasan dan tempat kembali bagi mereka?” Bagi mereka di sana apayang mereka inginkan sedang mereka dalam keadaan kekal. Itu adalah janji pasti dari Tuhanmu yang patut dimohonkan. ” Setelah menguraikan kebinasaan yang menanti para pendurhaka, ayatayat di atas mengejek mereka dengan perintahnya kepada Nabi Muhammad saw. bahwa: Katakanlah wahai Nabi Muhammad kepada para pendurhaka itu: “A pakah itu yakni siksaan yang demikian mengerikan dan yang dijanjikan kepada para pendurhaka —apakah itu —yang baik, atau surgayang kekal yang telah dijanjikan oleh Allah yang tidak pernah memungkiri janji-Nya kepada orang-orang bertakwa yang mantap ketakwaannya?” la menjadi balasan baik terhadap keimanan dan amal mereka dan tempat kembali yang kekal bagi mereka?” Bagi mereka orang-orang bertakwa itu di sana yakni dalam surga yang dijanjikan ini apayang mereka inginkan sedang mereka dalam keadaan kekal di dalamnya dan mereka pun enggan beranjak dari sana. Itu semua adalah janji pasti dari Tuhan yang selama ini berbuat baik kepada-w//, janji yang patut dimohonkan kepada-Nya. Karena itu bermohonlah kepada Allah, Dia akan memenuhi permohonan kamu. Kata ( jAi-t ) al-khuld/kekekalan dikaitkan dengan surga ( jJi-l 31?- ) jannah al-khuld/surgayang kekal untuk mengisyaratkan bahwa surga itu kekal selama-lamanya, sedang kata ( ) khalidm!mereka kekal menunjuk kepada penghuninya, dengan demikian penghuni dan surga keduanya kekal. Bukan hanya surga dan bukan juga hanya penghuninya. Firman-Nya: ( jjtU ijU ) mdyasya’un/apa yang mereka inginkan, harus dipahami dalam arti bahwa keinginan itu adalah yang sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah swt. Bukankah sejak mereka hidup di dunia mereka telah selalu mcnyesuaikan kehendak mereka dengan kehendak Allah swt. Mereka tidak akan menginginkan sesuatu yang bukan pada tempatnya, baik karena hal itu tidak wajar bagi penghuni surga maupun tidak sesuai dengan kedudukan mereka di surga. Bukankah juga sejak hidup di dunia mereka telah mengenal buruknya kezaliman yakni buruknya menempatkan sesuatu ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi aC-Turqan (25) Kelompok II ayat 15-16 1 /< ■ bukan pada tempatnya? Apalagi di dalam surga itu mereka telah puas dan ridha dengan apa yang mereka peroleh karena mereka masuk ke sana dalam keadaan ridha dan diridhai oleh Allah swt. (Baca QS. al-Fajr [89]: 27-30). Kata (^ it) ‘aid pada firman-Nya: ( y \Jl£j ditj olT ) kdna ‘aid Rabbika wa'dan mas’ulan mengandung makna kewajiban, sehingga penggalan ayat yang disertai kata ( -U-j ) wa'd/janjiitu mengandung makna terjaminnya pemenuhan janji itu dari sisi Allah swt. Ia menjadi pasti karena Dia telah menjanjikan ganjaran itu antara lain melalui firman-Nya: i" J 1? i■*\texzjm •* JJLP • ®' Oi^- t u U (xj — » *»x It O . j,"j e * * * * ' ' "Dan sesutigguhnya bagi orang-orangyang bertakwa benar-benar (disediakan) tempat kembali yang baik, (yaitu) surga !Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka” (QS. Shad [38]: 49-50). Kata ( ) mas’ulan dipahami oleh Thabathaba’i dalam arti bahwa janji itu pada hakikatnya telah dimohonkan oleh orang-orang bertakwa melalui lisan hal mereka yakni kondisi kejiwaan dan potensi ruhaniah mereka, atau melalui lisan maqaljucapan mereka yakni dengan memanjatkan aneka doa kiranya Allah mcnganugerahkan surga itu untuk mereka. Di samping itu para malaikat pun memanjatkan doa kiranya Allah swt. memasukkan orang-orang mukmin ke dalam surga-Nya sebagaimana terekam dalam QS. Ghafir [40]: 8: f 0 s O ./ 8 s 9 s ® J* 9 9 s* t I 0 * 0 ^ (*4’APJ ls"' OJs" I 0 ^ | * ® f' ” I HJ c J i lLAj J "Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga Adnyang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orangyang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ” Al-Biqa‘i —dan banyak ulama lain - memahami kata mas’ulan dalam arti yang wajar untuk dimohonkan pengabulannya, dan pemohon pun wajar untuk disambut permohonannya serta dipenuhi keinginan dan harapannya. Nah, jika itu demikian, dan itu menyatu dengan jaminan Allah swt. sebagaimana dipahami dari penggunaan kata ( tJ s- ) ‘aid dan ( Js-j ) wa ‘d, maka tentulah Allah swt. akan memenuhinya. Ini menurut al-Biqa‘i serupa dengan firman-Nya: olio lij 5 jp i L~r' ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok II ayat 17-18 “A ku memperkenankan doa siapayang berdoajika (kapan pun) dia berdoa” (QS. al-Baqarah [2]: 186). Ibn ‘Asyur memahami kata mas’ulan dalam arti yang dimohonkan dan dimintaj dituntut oleh merekayang wajar menerimannya. Dalam arti sangat wajar bagi orang-orang bertakwa untuk menantikan pemenuhannya karena ia bagaikan hak dan upah amal baik yang selama ini telah mereka kerjakan. Ini —tulisnya —dikemukakan dalam konteks mubalaghah/hiperbola untuk menunjukkan kepastian pemenuhan janji itu sekaligus untuk menunjukkan kemahamurahan Allah swt. Ini serupa dengan ucapan terima kasih dari seseorang yang memperoleh aneka anugerah, lalu berkata kepada yang memberinya: Apa yang engkau berikan itu tidak lain hanyalah kewajiban darimu yakni sesuatu yang engkau wajibkan atas dirimu, bukan karena sesuatu yang wajar kuperoleh berkat usahaku. A Y A T 17-18 ✓ # f / l . i K ' ' i '' g. j!J a d ijji S O a) 0 S/ / I 1® f / / / ® •*$ f UJ S S ✓ 1 OlST U /■ ttl • * ® t to * .s s 0 f J i J < U 3 I J j i ^ J jJ u u U j p A 0 s j s 0 1jilfl ()V ) s * (•-* x ‘j & j ®-$j' Dan suatu hari Kami menghimpun mereka beserta apayang mereka sembah selain Allah, lalu Dia beifirman: “A pakah kamu yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu ataukah mereka sendiriyang sesat darijalan?” Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau tidaklah dapat wujud bagi kami mengambil selain Engkau para pelindung yang menangani urusan kami selain Engkau, akan tetapi Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup sampai mereka lupa d^ikir. Dan mereka adalah kaum yang binasa. ” Ayat 15 yang lalu memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk “bertanya” apakah siksa neraka yang membakar sebagaimana diuraikan pada ayat 13-14 “lebih baik” daripada surga yang dijanjikan kepada orangorang bertakwa dan yang wajar untuk selalu dimohonkan itu (ayat 16). Nah, ayat di atas melanjutkan perintah kepada Nabi Muhammad saw. untuk menyampaikan kepada kaum musyrikin itu —atau kepada orang-orang mukmin tentang kengerian yang menanti kaum musyrikin sebelum mereka tersiksa di neraka. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok II ayat 17-18 Surah aC-Turqan (25) \SvTJ' Dapat juga dikatakan bahwa ayat-ayat yang lalu menjelaskan apa yang akan diterima oleh kaum musyrikin dan kaum mukmin dari Allah swt. Nah, di sini dijelaskan bagaimana kesudahan tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum musyrikin. Ayat di atas menyatakan: Sampaikan dan ingatkan pula tentang suatu hari ketika Kami menghimpun mereka kaum musyrikin itu beserta apa yang mereka sembah selain Allah , baik malaikat, jin, manusia maupun makhluk-makhluk tak bernyawa seperti berhala-berhala, lalu Dia Yang Maha Esa itu berjirman kepada tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah: ‘A pakah kamu—wahai yang disembah —yang menyesatkan melalui pemaksaan atau tipu daya kamu hamba-hamba-Ku itu —sambil menunjuk kepada kaum musyrikin —ataukah bukan kamu, tetapi mereka sendiriyang sesat darijalan yang benar yang telah Ku jelaskan kepada kamu semua?” Mereka yang disembah itu baik makhluk hidup maupun makhluk tak bernyawa menjawab dengan bahasanya masing-masing bahwa; “Maha Suci Engkau dari segala kekurangan dan sifat buruk term asuk mempersekutukan-Mu dengan sesuatu, sungguh mengherankan pertanyaan ini, karena tidaklah dapat wujud dan terbayang dalam benak apalagi patut bagi kami m emaksakan diri menentang fitrah kesucian yang Engkau tancapkan dalam kepribadian kami sehingga kami mengambil selain Engkau untuk menjadi para pelindung dan mencari para penolong yangmenangani urusan kami. Tidak terbayang hal itu dapat terjadi, maka bagaimana mungkin kami mengajak orang lain untuk menyembah selain Engkau?, akan tetapi yang terjadi adalah mereka sendiri yang sesat dan bejat tak tahu berterima kasih. Betapa tidak demikian, Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup yang melimpah dan cukup lama, sampai mereka lupa bersyukur dan d^ikir mengingat-Mu dan memang mereka sejak dahulu dan sesuai dengan pengetahuan-Mu yang azali adalah kaum yang benar-benar binasa dan bejat sehingga wajar memperoleh siksa dan kebinasaan. Kata ( ( « - * ) nahsyuruhum/Kami menghimpun mereka adalah bacaan mayoritas pakar qira'at. Ada juga yang membacanya ( p&jSS-.') yahsyuruhum/ Dia menghimpun mereka. Bacaan kedua ini sejalan dengan kata ( J j&j ) f* yaquluj lalu Dia berfirman. Agaknya penggunaan bentuk jamak pada kata nahsyuruhumI Kami menghimpun mereka untuk mengisyaratkan bahwa itu terjadi atas perintah Allah dan dalam penghimpunan di Padang Mahsyar itu terdapat keterlibatan para malaikat. Sedang kata Dia berjirman, di samping untuk menyesuaikannya dengan kata (^.sUp) ‘ibadif hamba-hamba-Ku, juga untuk mengisyaratkan bahwa yang mengajukan pertanyaan - dalam proses ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 442 6 Surafi aC-Turqan (25) Kelompok II ayat 17-18 pengadilan itu adalah Allah swt. secara langsung. Kata (t£ 3 Up ) ‘ibadijbamba-hamba-Ku sebagaimana telah dikemukakan di beberapa tempat menunjuk kepada hamba-hamba Allah yang taat kepada-Nya, atau mereka yang bergelimang dosa dan telah menyadari dosanya, berbeda dengan kata ( JI- p ) ‘abid yang digunakan untuk menunjuk hamba-hamba slllab yang bergelim ang dosa dan enggan bertaubat. Penggunaan kata tersebut di sini sungguh pada tempatnya, karena ia dikem ukakan dalam proses pengadilan, di mana A llah swt. belum menjatuhkan putusan, dan seperti diketahui seorang tersangka masih tetap dinilai tidak bersalah sebelum jatuhnya putusan. Kata ( ) subhana digunakan untuk menyucikan A.llah swt. dari segala sifat kekurangan atau bahkan menyucikan-Nya dari pujian yang tidak sesuai dengan dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Di samping itu, ia juga digunakan untuk menggambarkan keheranan dan rasa takjub menyangkut sesuatu yang tidak terjangkau oleh nalar atau sesuatu yang sangat mengagumkan. Di sini kata tersebut digunakan untuk menyucikan Allah dari segala macam sekutu, sekaligus keheranan para yang disembah atas pertanyaan Allah kepada mereka dan penyembahan kaum musyrikin itu. Istilah ( JlS'u ) ma kana yang secara harfiah berarti tidak pernah ada dan sering kali juga diterjemahkan dengan tidak sepatutnya —menurut Thahir Ibn ‘Asyur —digunakan untuk menekankan sesuatu dengan sungguhsungguh. Asy-Sya‘rawi berpendapat bahwa istilah itu bagaikan menafikan adanya kemampuan melakukan sesuatu. Redaksi itu menurutnya berbeda dengan redaksi ( ^ ) md yanbaghi yang secara harfiah berarti tidak sepatutnya karena yang terakhir ini m asih m enggam barkan adanya kemampuan, hanya saja tidak sepatutnya dilakukan. Dengan menegaskan tidak ada kemampuan, maka tertutup sudah kemungkinan bagi wujudnya sesuatu yang dimaksud, berbeda jika baru dinyatakan tidak patut. Di sini terletak penekanan dan kesungguhan yang dikandung oleh redaksi itu. Ayat di atas menyebut ( ) aba’ahum/bapak-bapak mereka, kendati pada hakikatnya orang tua itu tidak wajar dikecam karena mereka hidup pada masa fatrab yakni masa sebelum hadirnya rasul Tuhan. Karena itu penyebutannya di sini bertujuan menggambarkan betapa bejat mereka karena kenikmatan telah mereka rasakan sejak masa kecil bahkan oleh leluhur mereka. Kenikmatan itu seharusnya mengantar mereka bersyukur, tetapi ternyata mereka gunakan untuk meningkatkan kedurhakaan mereka. Tetapi itu tidak mengherankan karena memang sejak dahulu kebejatan dan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ■443 J Surah aC-Turqan (25) Kelompok II ayat 19 ta § kebinasaan telah melekat dan mantap pada diri mereka, sebagaimana diisyaratkan oleh ayat di atas dengan kata ( IjjlS") kdnu. Kata ( Ijjj ) buran adalah bentuk jamak dari kata ( yli ) bair yaitu yang binasa atau bejat. AYAT 19 diJj \^ p j Sij Ii ' j l p d j»Jas!Lj Ui 0 j £j Uj y jS ' lui 0 5 ) 'j**" “Maka sesungguhnya mereka telah mendustakan kamu tentang apa yang kamu katakan maka kamu tidak akan dapat menolak dan tidak (pula) memperoleh pertolongan dan barang siapa di antara kamu yang berbuat %alim, niscaya Kami rasakan kepadanya siksa yang besar.” Dalam proses pengadilan yang digambarkan oleh ayat yang lalu, telah didengar kesaksian tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum musyrikin itu. Nah, kini pembicaraan ditujukan kepada kaum musyrikin yang menyembah selain Allah itu. Kepada mereka dinyatakan bahwa: Kalau kamu berkata bahwa apa yan g kam u sembah itulah yang m em erintahkan kamu menyembah selain Allah, maka kamu berbohong, karena sesungguhnya mereka yang disembah itu telah mendustakan kamu tentang apa yang kamu katakan yakni bahwa mereka adalah tuhan-tuhan yang berhak disembah, maka karena itu pula kamu wahai para penyembah selain Allah tidak akan dapat menolak siksa atas diri kamu melalui usaha kamu sendiri dan tidak pula memperoleh pertolongan dari pihak lain untuk dapat menyelamatkan kamu. Ini, demikian itu halnya, karena telah menjadi ketetapan Allah yang telah disampaikan-Nya melalui para nabi dan rasul bahwa siapa yang berlaku adil dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya maka dia akan memperoleh ganjaran dan nikmat surgawi, dan barang siapa di antara kamu wahai seluruh manusia yang berbuat yahm, niscaya Kami rasakan kepadanya siksa yang besar terutama yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Penggalan terakhir ayat ini dapat juga dipahami dalam arti dan barang siapa di antara kamu —wahai yang sedang mengalami proses pengadilan — yang terbukti berbuat %alim, niscaya Kami rasakan kepadanya siksa yang besar. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 444 Surah aC-Turqan (25) Kelompok II ayat 20 A Y A T 20 “Dan Kami tidak mengutus sebelummupara rasul, melainkan sesungguhnya mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu menjadi cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat. ” Setelah ayat-ayat yang lalu menampik tuduhan kaum kafir terhadap Rasul menyangkut ayat-ayat al-Qur’an, dan setelah menjelaskan’ sanksi dan balasan yang akan mereka terima, kini ayat di atas kembali membantah keberatan mereka tentang kemanusiaan Rasul yang mereka nyatakan makan sebagaimana mereka makan dan masuk ke pasar untuk mencari nafkah pada ayat 7 yang lalu. Ayat di atas menyatakan: Engkau wahai Nabi Muhammad saw., bukanlah Rasul pertama yang*Kami utus. Sudah banyak sekali nabi dan rasul sebelummu dan Kami tidak mengutus sebelummu seorang rasul pun dari para rasul itu —wahai Nabi Muhammad saw., melainkan sesungguhnya mereka adalah manusia-manusia juga seperti engkau dan karena itu sungguh mereka pun memakan makanan dan berjalan pulang pergi di pasarpasar sebagaimana keadaan manusia yang lain. Dan sebagaimana diakui pula oleh kaum musyrikin Mekah. Tidak ada juga perbendaharaan yang dijatuhkan dari langit buat mereka, tidak juga kepem ilik^ kebun sebagai syarat kenabian dan kerasulan mereka. Demikianlah keadaan semua nabi dan rasul dan Kami jadikan keadaan mereka seperti itu, karena memang telah menjadi kebijaksanaan Kami bahwa sebagian kamu wahai manusia menjadi cobaan bagi sebagian yang lain. Yang kaya menjadi cobaan bagi yang miskin, demikian juga sebaliknya; Nabi menjadi cobaan bagi umatnya, demikian juga sebaliknya; kaum musyrikin menjadi cobaan buat kaum beriman, demikian pula sebaliknya, begitu seterusnya. Maukah kamu bersabar? yak n i bersab arlah m enghadapi ujian itu, serta tabahlah melaksanakan tuntunan-tuntunan agama, dan adalah Tuhanmu yang selalu memelihara dan membimbingmu Maha Melihat lagi Maha Mengetahui segala sesuatu dan akan memberi balasan yang adil dan ganjaran yang sempurna bagi setiap orang. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ✓ ✓ / / berkata orang-orangyang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami: “Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau kita melihat Tuhan kita?” Sesungguhnya mereka memandang terlalu besar diri mereka dan mereka benarbenar telah melampaui batas pelampauan yang sangat besar. ” Setelah ayat-ayat yang lalu menyebut sekian macam kedurhakaan kaum kafir dan musyrik, kini diuraikan keburukan mereka yang lain. Yang disebut di sini adalah pengingkaran mereka terhadap hari Kiamat, dengan tidak mempersiapkan diri menghadapinya padahal kehidupan dunia adalah ujian —sebagaimana disebut oleh ayat yang lalu —dan hasil ujian itu akan diumumkan pada hari yang mereka ingkari itu. Ayat ini menyatakan: Dan di samping ucapan-ucapan kaum kafir dan zalim yang telah dikemukakan sebelum ini, berkata juga orang-orangyang mengingkari keniscayaan Kiamat lagi tidak mengharapkan pertemuan dengan balasan dan ganjaran yang Kami siapkan buat mereka yang Kami uji: “Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau mengapa kita tidak melihat Tuhan kita yakni mengapa Yang Maha Kuasa itu tidak menampakkan diri-Nya di dunia ini dan memberi tahu kita secara langsung tentang ajaran-ajaran-Nya atau bahwa Muhammad adalah utusan-Nya?” Sesungguhnya demi keagungan Allah, sungguh aneh ucapan itu, mereka memandang terlalu besar diri mereka yakni mereka amat ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123,445 TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 21 sombong dan mereka benar-benar telah jnelampaui batas kezaliman dalam permintaan mereka itu pelampauan batasyang sangat besar. Kata ( j y r y. ) la yarjunaj tidak mengharapkan mengandung makna tidak percaya sehingga tidak mempersiapkan diri menghadapinya. Kata ( J ) ft pada firman-Nya: ( J ) ft anfusihim, mengesankan arti wadah, seakan-akan diri mereka adalah wadah dan kesombongan telah memenuhi setiap ruang pada wadah itu telah dipenuhi oleh kesombongan. Dapat juga kata ft dipahami dalam arti disebabkan, yakni mereka sombong disebabkan karena memandang diri mereka melebihi pihak-pihak lain. Kata ( Ijsp ) ‘ataw adalah melampaui batas dalam kezaliman. Ucapan kaum musyrikin ini serupa jika digabung dengan ucapan mereka sebelumnya (ayat 7-8 yang lalu) mengandung dua alasan penolakan yang dihadapkan kepada Rasul saw. Pertama, “Kalau risalah kenabian yang dinyatakan oleh (Nabi) Muhammad adalah anugerah Ilahi yang merupakan hubungan gaib yang tidak dapat dilakukan oleh manusia-manusia selain (N abi) M uham m ad, m aka hendaklah ada m alaikat yang turun mendukungnya, atau diturunkan kepadanya perbendaharaan atau ada kebun baginya (ayat 7-8).” Kedua, “Kalau anugerah itu berkaitan dengan manusia secara um um , m aka m engapa kam i yang juga m anusia in i tidak memperolehnya? Mestinya ada malaikat yang turun kepada kami atau kami melihat Tuhan.” Begitu logika kaum musyrikin. Sisi pertama dari keberatan mereka itu telah terjawab pada bagian yang lalu. Adapun sisi kedua yakni permintaan melihat malaikat maka ini dijawab oleh ayat berikut. Thabathaba’i memahami kata ( b'j ) Rabbana/ Tuhan Pemelihara Kita yang diucapkan kaum musyrikin itu, sebagai salah satu bentuk ejekan. Ini karena kaum musyrikin tidak mengakui Allah swt. sebagai Rabb/Pemelihara. Mereka percaya bahwa malaikat yang mereka personifikasikan dalam bentuk berhala-berhala, itulah yang merupakan tuhan-tuhan pemelihara, sedang Allah swt. adalah Tuhan dari tuhan-tuhan pem elihara itu sekaligus Dia Penciptanya. Maka kaum musyrikin itu bagaikan berkata kepada Nabi saw.: “Engkau menyatakan bahwa Tuhan Pemeliharamu adalah Allah, dan Dia telah berbuat baik kepadamu sehingga Dia berdialog dan berfirman kepadamu, dan engkau juga berkata bahwa Dia adalah Tuhan Pemelihara kami. Jika demikian, hendaklah Dia pun berbuat baik kepada kami. Hendaklah Dia berdialog dengan kami dan kami secara langsung melihatNya, sebagaimana yang dilakukan-Nya terhadapmu.” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com I 447J : ssasiM mm. Surah aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 22 AYAT 22 (y y ) I “^®J d t £ O j j J 7-Wrf Aarc mereka melihat malaikat, tidak ada kabargembira buat para pendurhaka pada hari itu, dan mereka berkata: “Hi/ran mahjuran.” Seperti terbaca di atas, kaum musyrikin menuntut agar mereka pun melihat malaikat. Ayat di atas menjelaskan bahwa melihat malaikat dalam bentuk aslinya tidaklah dapat terlaksana buat manusia dalam kehidupan dunia ini. Tetapi suatu ketika mereka akan melihatnya termasuk kaum musyrikin itu, yakni di hari Kiamat, atau menjelang ruh akan berpisah dengan jasad. Pada hari mereka melihat malaikat itu tidak ada kabar gembira buat para pendurhaka yakni mereka yang telah mendarah daging dan membudaya kedurhakaan pada kepribadiannya pada hari yakni saat itu, dan ketika itu bukannya mereka bergembira menyambutnya tetapi sebaliknya mereka senantiasa berkata: “Hijran mahjuran”. Yakni mereka memohon kiranya kehadiran malaikat itu dijauhkan dari mereka, seperti jauhnya segala yang menakutkan. Firman-Nya: ( ) la busyra dipahami oleh sementara ulama sebagai ucapan malaikat kepada para pendurhaka itu. Ini menurut mereka serupa dengan ucapan malaikat kepada penghuni surga, Allah berfirman: p c* t f t o* 'r ife * ' jk ib * “Dan para malaikat masuk menemui mereka dari semua pintu (sambil berucap) salamun ‘alaikum” (QS. ar-Ra‘d [13]: 23-24). Kata ( I ) hijran digunakan dalam arti larangan, halangan atau penyempitan, sedang kata ( ) mahjuran, berarti sesuatu yang terhalangi, atau terlarang (haram). Kata ( 1 yr^~) hijran mahjuran diucapkan oleh masyarakat Arab pada masa Jahiliah saat mereka menghadapi marabahaya atau ketakutan yang mencekam. Ini telah diganti oleh Islam dengan ta‘an>wud%_ yakni ucapan A ‘ud%u billah. Penggunaan bentuk kata kerja masa kini dan datang/ mudhdri‘ pada kata ( o j &j ) yaqulunaImereka akan berkata mengisyaratkan bahwa ucapan hijran mahjuran itu akan senantiasa mereka ucapkan, karena ketakutan dan m arabahaya silih berganti datang mengancam mereka. Ada juga yang memahami ucapan di atas diucapkan oleh para malaikat kepada para penghuni neraka. Pakar tafsir ath-Thabari ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi aC-<Furqdn (25) Kelompok III ayat 22 t menguatkan pendapat ini dengan pengertian kebahasaan dari kata ( ) hijr yang antara lain berarti terlarang!haram —seperti penulis kemukakan di atas —sehingga menurutnya adalah lebih tepat memahami kata tersebut diucapkan oleh malaikat karena merekalah yang semestinya berkata kepada para pendurhaka itu bahwa “Haram bagi kamu mendengar berita gembira”. H emat penulis, dari segi substansi kedua pendapat tersebut dapat dibenarkan, dengan pengertiannya masing-masing. Malaikat menyampaikan bahwa para pendurhaka haram menerima berita gem bira, dan para pendurhaka itu memohon perlindungan dari siksa yang menimpa mereka itu. Sekian b anyak ayat al-Q u r’an dan hadits N abi saw. yang mengisyaratkan tentang akan dilihatnya malaikat, pada saat-saat kematian, atau di alam barzakh, sebelum kebangkitan manusia dari kuburnya. Misalnya, QS. al-An‘am [6]: 93: ^jJl O 0 j jj* O 4JUl l ^9 0 jdliiil il OjJj&3 <J, j jJ j Ljljip “Sekiranya engkau wahai yang hidup dapat melihat di waktu orang-orangyang %alim dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat membuka tangan mereka, (sambil berkata): ‘Keluarkanlah nyawa kamu Pada hari ini kamu dibalas dengan siksaanyang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah yang tidak benar dan kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. ” Demikian juga QS. an-Nisa’ [4]: 97: ^ I* I IaT IjJli •’ d 9 J ./ ^ j * y 0 j IjJli l' f" l 'e I i t 1^9 dioSUJl f / ./ ft ^ AjuuIj <uJl J 0 "f 9 p j j JLJI 61 ff \,C 0 ^\ ^Ssj *Jl 1jJlS “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaaan menganiaya diri mereka sendiri. Mereka (para malaikat) bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu dahulu?” Mereka menjawab: “Kami orang-orangyang sangat lemah di bumi. ” Mereka (malaikat) berkata: “bukankah bumi Allah luas, sehingga kamu dapat berhijrah di sana?” Maka orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan dia adalah seburuk-buruk tempat tinggal. ” Jasmani manusia menjadi penghalang bagi jiwa untuk melihat sekian banyak wujud selain wujud yang kasar. Karena itu, saat jiwa telah berpisah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Suraf aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 22 Wt!H > s VT dari badan, maka penghalang tersebut tersingkirkan dan ini menjadikan wujud yang selama ini tidak terlihat, nampak di pelupuk mata. Dalam konteks ini Allah berfirman melukiskan keadaan manusia saat sakaratul maut dan kehadiran malaikat penggiring dan penyaksi bahwa: Jb Ji?- 2}^a3 IJLa j * c JS T J i J “Sesungguhnya engkau berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari dirimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam” (QS. Qaf [50]: 22). Dalam kehidupan dunia ini pun kita mengenal perbedaan frekuensi. Manusia dengan jasadnya tidak dapat menembus tembok, karena lapangan tingkat frekuensi di alam materi ini sama/setingkat. Adapun jika berbeda, maka sama sekali tidak ada kem ustahilan bagi satu tem pat untuk menampung dua hal. Dengan pesawat radio dapat dibuktikan bahwa alam raya penuh ratusan gelombang-gelombang radio yang memiliki berbagai frekuensi yang berbeda-beda. Gelombang-gelombang radio itu saling masukmemasuki sesuai dengan perbedaan-perbedaan tersebut, yang satu tidak merasakan yang lain atau mempengaruhi dan membatalkan kerjanya. Semua ditampung oleh pesawat radio, sehingga dengan memutar atau menyentuh knopnya Anda dapat mendengar suara dari stasiun radio yang berbeda dengan stasiun radio yang lain, seandainya Anda menyentuh lagi knopnya. Masing-masing menampilkan yang berbeda, tanpa mengganggu atau diganggu, akibat perbedaan getaran dan gelombang-gelombangnya. Wujud malaikat berada pada satu tingkat frekuensi yang demikian tinggi, lagi berbeda dengan tingkat getaran jasad manusia yang berada di pentas bumi ini. Karena itu pula mata kita tidak dapat melihatnya. Dari sini pula dapat dimengerti firman Allah yang menyatakan: / » A O j j~ »> o -3 / * / . •* of i U j ( O jj- A J U j j*— oi s . * I . “A ku tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan apa tidak kamu lihat” (QS. al-Haqqah [69]: 38-39), atau firman-Nya yang berbicara tentang kematian dan keluarnya nafs/nvawajii man*. uterrfatakan: "Maka mengapa ketika nyawa kamu atau selain kamu sampai di kerongkongan, padahal kamu (yang berada di sekeliling siapa yang segera akan mati ketika itu melihat keadaannya yan g sudah parah itu, dan Kami yakni- A llah dengan pengetahuan-Nya dan malaikat-malaikat-Nya lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat Kami walaupun kamu melihat dengan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com >450 I Surah aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 23 sepenuh mata kamu siapa yang akan meninggal itu. Maka mengapa —jika kamu memang tidak dikuasai Allah — kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada yang bersangkutan) jik a memang kamu adalah orang-orangyang benar” (QS. al-Waqi‘ah [56]: 83-87). Demikian ayat-ayat di atas menggarisbawahi bahwa banyak hal yang wujud yang tidak dapat dilihat dengan pandangan mata manusia saat hidupnya di pentas bumi ini. AYAT 23 ( YV ) 'JJ' “ a {j * I C * x x # l l aOi J X X “Dan Kami telah datang menuju amalyang mereka telah kerjakan, lalu Kami telah menjadikannya debuyang beterbangan.” Kaum musyrikin dalam kehidupan dunia ini melakukan sekian banyak amal yang secara lahiriah dinilai baik. Mereka yakin bahwa amal-amal mereka itu berdampak positif di dunia ini. Nah, boleh jadi ada di antara mereka yang menduga, bahwa kalau pun Kiamat datang, maka tentu amal-amal mereka itu akan bermanfaat sebagaimana manfaat yang mereka rasakan di dunia. Dugaan tersebut segera ditampik oleh Allah melalui ayat di atas dengan menyatakan bahwa: Dan Kami telah yakni pasti akan datang menuju segala amal yang mereka duga baik dan yang mereka telah kerjakan dalam kehidupan dunia ini, lalu Kami telah yakni pasti akan menjadikannya yakni semua amal itu bagaikan debu yang beterbangan. Yakni semua terhapus dan sia-sia tanpa sedikit manfaat pun, karena mereka tidak beriman. Kata ( ) qadimna terambil dari kata ( ) qadima yang berarti datang. Bahasa Arab menggunakan kata-kata seperti ( ) d^ahaba/pergi, ( ) ja ’a/ datang, ( ^13) qama/berdiri dan semacamnya dalam arti berkehendak dan sengaja menuju atau membulatkan tekad. Yang dimaksud di sini kehendak dan ketetapan pasti Allah memperlakukan amal-amal orang kafir itu menjadi sia-sia. Kata ( sUa ) habd’an adalah sesuatu yang sangat kecil —lebih kecil dari debu —dan yang tidak terlihat kecuali dalam sorotan matahari di satu celah yang terbatas dan yang ketika itu terlihat bagaikan beterbangan di udara. Kata ( I « ) mantsuran berarti tidak teratur. Sebenamya tidak ada debu yang teratur, yakni semuanya tidak teratur, karena itu kata ini dimaksudkan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-<Furqan (25) Kelompok III ayat 24 ijg | iiy '' untuk menggambarkan kcremehan amal-amal orang kafir yang dijadikan Allah debu yang beterbangan tanpa teratur itu. Ayat ini merupakan perumpamaan tentang kesudahan amal-amal “baik” orang-orang kafir yang tidak percaya kepada Allah dan juga orangorang yang pamrih dalam amal-amalnya. Seperti di singgung di atas, amal-amal orang kafir yang secara lahiriah baik, menjadi sia-sia karena hal tersebut tidak disertai dengan keimanan pelakunya. Iman dijadikan Allah syarat bagi diterimanya amal seseorang. Memang tidaklah wajar seseorang menuntut ganjaran atau imbalan kepada pihak lain yang tidak diakui oleh si pelaku, sebagaimana tidak wajar Anda menuntut upah kepada Si A, jika Anda tidak bekerja untuknya. Siapa yang tidak beriman kepada Allah, bahkan yang beriman tetapi tidak tulus dalam amalnya demi karena Allah, maka ia tidak akan menemukan ganjaran Allah di hari Kemudian. Ini, tidak hanya terbatas pada orang-orang kafir, tetapi mencakup juga orang-orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat yang melakukan satu amal “kebaikan” tanpa ketulusan kepada Allah. Bacalah misalnya firman Allah yang memperingatkan orang-orang beriman: s -U j Si IjJL)aJ Si 1 J jI j L»\'J li£»j o j j j jb\j>s\ Si < u jij i s- o jjjjii '' ' <• # ✓ “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu ■dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orangyang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu lian yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apayang mereka usahakan; dan A-llah tidak memberi petunjuk kepada orang-orangyang kafir” (QS. al-Baqarah [2]: 264). AYAT 24 1 ( Yi ) ® *^4 % ll 0/ J* ? - • / 0 / (.iS/’ » % ty 0 f “Penghuni-penghuni surga pada hari itu lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat istirahat(nya). ” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-<Furqdn (25) Kelompok III ayat 25-26 Kalau demikian itu keadaaan penghuni neraka di hari Kemudian — sebagaimana dilukiskan oleh ayat-ayat yang lalu —, maka penghuni-penghuni surga yakni orang bertakwa yang sebelum ini telah dinyatakan bahwa mereka dijanjikan surga (ayat 15) pada hari itu yakni hari Kiamat lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat istirahat-nyz daripada apa yang dinikmati oleh para pendurhaka dalam kehidupan dunia ini. Kata ( jjf- ) khair/lebih baik dan ( ) ahsan/lebih indah, dipahami oleh sementara ulama sebagai ejekan terhadap penghuni neraka. Ini jika dipahami perbandingan itu dalam arti perbandingan antara tempat penghuni neraka dan penghuni surga, karena sama sekali tidak ada perbandingan antara keduanya. Bahkan tidak berlebih jika dikatakan bahwa tidak ada perbandingan antara istana-istana yang dihuni oleh sementara calon penghuni neraka di dunia ini dengan istana-istana di surga. Keduanya tidak dapat disandingkan untuk diperbandingan, karena memang tidaklah wajar dan bukan pada tempatnya membandingkan antara meriam dan bambu runcing. Ada juga ulama yang memahami kedua kata itu bukan dalam arti “Perbandingan antara dua hal yang keduanya memiliki persamaan walau salah satunya melebihi yang lain,” tetapi mereka memahaminya dalam arti yang terbaik dan teridah. Kata ( '%&a ) maqilan terambil dari kata ( Jj y j ) qailulah yaitu istirahat di siang hari, baik disertai dengan tidur maupun tanpa tidur. Tentu saja yang dimaksud di sini sekadar istirahat tanpa tidur, karena pada hari Kemudian tidak akan ada tidur. “Tidur adalah saudara mati, sedang di hari Kemudian tidak ada lagi mati.” AYAT 25-26 ( yo ) * ' y ii " J jjj ' s-U—J( ' J ' “Dan hari langit pecah, mengeluarkan kabut putih dan diturunkanlah malaikat-malaikat bergelombang-gelombang. Kerajaanjang haq pada hari itu adalah milik ar-Rahman. Dan adalah ia satu hariyang bagi orang-orang kafir penuh dengan kesukaran. ” Ayat ini merupakan komentar lebih jauh dari permintaan kaum kafir itu untuk melihat malaikat. Ayat ini menyatakan: Dan mereka juga akan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok III ayat 25-26 Suraf aC-Turqan (25) melihat malaikat pada hari ketika langit^pecah terbelah-belah mengeluarkan kabut putih serupa dengan keadaaan tanah ketika mengeluarkan tumbuhtumbuhan dan diturunkanlah tahap demi tahap malaikat-malaikat dalam keadaan bergelombang-gelombang. Ketika itulah terjadi Kiamat. Kerajaan dan kekuasaan mutlak, yang sangat jelas lagi yang haq tanpa sedikit keraguan dan tanpa dapat diganggu gugat pada hari itu adalah milik ar-Rahman Tuhan Pelimpah Kasih. Semua makhluk saat itu mengakui keesaan dan kekuasaanNya tanpa sedikit keraguan pun, bukan seperti halnya di dunia ini. Dan adalah ia yakni hari itu merupakan satu hariyang bagi orang-orang kafir secara khusus bukan orang mukmin penuh dengan kesukaran. Sementara ulama memahami kata ( fjt ) yaum/hari sebagai objek dari kata ingatlah, seakan-akan ayat ini menyatakan: “Dan ingat serta ingatkanlah tentang satu hari.. .dst,” (dan pada hari itu juga mereka akan melihat malaikat). Kata ( j i t- ) tasyaqqaq terambil dari kata ( j j j ) syaqqa yang berarti melubangi atau membuka. Patron kata yang digunakan ayat ini mengesankan keterbukaan sesuatu yang utuh dan rapat. Dari sini ia diterjemahkan menjadi pecab terbelah. Penggunaan kata tersebut di sini memberi kesan kehebatan dan kengerian akibat terpecah belahnya langit. Kata ( ^U*)l) al-ghamam terambil dari kata ( ^j.) ghamma yang berarti menutup. A.wan dinam ai ghamam karena dia menutup cahaya matahari. Berbeda-beda pendapat ulama tentang arti huruf ( _>) ba’ yang mendahului kata ghamam itu. Di samping dalam arti ( jS-) ‘an dengan makna seperti yang dikemukakan di atas ada juga yang memahaminya dalam arti sebab, sehingga penggalan ayat tersebut bagaikan menyatakan bahwa langit terpecah belah disebabkan adanya awan yang diciptakan Allah yang menghancurkan langit itu. Ada juga yang memahaminya dalam arti mulabasah yakni kesertaan, sehingga itu berarti langit beserta awan terpecah belah. Banyak ulama mengutip riwayat yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas yang mengaitkan kehancuran langit itu dengan turunnya malaikat. Para malaikat penghuni langit pertama turun ke dunia, yang di langit kedua turun ke langit pertama, demikian seterusnya sampai penghuni langit ketujuh. Ibn ‘Asyur menggarisbawahi bahwa tidak ada keterkaitan antara pecahnya langit dan turunnya malaikat, karena itu —tulisnya —biarlah nalar berangkat ke arah mana pun yang memungkinkan untuk memahami teks ini. Hemat penulis, QS. al-Baqarah [2]: 210 mengaitkan antara awan dan turunnya malaikat. Di sana Allah berfirman: ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 1454 siV ^ J ff§ | § <d)l Surah aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 25-26 j i k ^ Jjjl ....................................................................% ' of ' clj^IaJ JJ& ' , “A pakah yang mereka nantikan hanya Allah yang datang bersama malaikat dalam naungan awan? dan diputuskanlahperkara. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan. ” Memang kita tidak dapat mengetahui bagaimana kedatangan malaikat itu, bahkan kita tidak dapat memastikan apa makna kedatangan Allah di sini. Dan karena itu pula kita tidak dapat juga mengetahui apa yang terjadi sehingga langit menjadi terpecah belah. T h ab athaba’i m engem ukakan bahwa bukanlah hal yang jauh memahami penggalan ayat ini dalam arti terbukanya tabir ketidaktahuan serta nampaknya alam langit yakni alam gaib serta nampaknya para penghuninya yaitu malaikat dan turunnya mereka ke alam dunia di bumi di mana manusia bertempat tinggal. Firman-Nya: ( j i - ' - U d i l i l ) al-mulkuyawmaid^in al-haqq li ar-Rahman/ kerajaanyang haq pada hari itu adalah milik ar-Rahman, dalam arti kekuasaan mutlak yang sangat jelas ketika itu adalah milik Allah swt. Hal in i diseb ab kan karena A llah telah m enarik po tensi yang pernah dianugerahkan-Nya kepada sebab dan perantara. Dalam kehidupan dunia, sementara orang menduga bahwa yang mewujudkan sesuatu adalah sebab atau faktor-faktor yang terjadi menjelang atau saat terjadinya peristiwa. Mereka tidak sadar bahwa Allah yang mengendalikan sebab-sebab itu. Di hari Kemudian nanti hal tersebut akan sangat jelas dan akan jelas pula bahwa tidak ada lagi sebab atau faktor yang dikenal dalam kehidupan dunia yang dapat berperan ketika itu. Semua telah kembali kepada Penyebab segala sebab, kepada Causa Prima yakni Allah swt., yang pandai dan yang bodoh —mukmin atau kafir —semua sadar dan mengakui bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan Allah swt. Kata ( ) ar-Rahman telah penulis jelaskan secara panjang ketika menafsirkan surah al-Fatihah dan surah Maryam [19]: 18-19 dan 90-91. K etika m enafsirkan ayat 90-91 surah M aryam, penulis antara lain mengemukakan bahwa: Imam Ghazali dalam bukunya al-Maqshad al-A ‘la setelah menjelaskan bahwa kata Rahman merupakan kata khusus yang menunjuk kepada Allah, dan kata Rahim bisa disandang oleh Allah dan selain-Nya, maka berdasar pembedaan itu, Hujjatul Islam ini berpendapat bahwa rahmat yang dikandung oleh kata Rahman seyogianya merupakan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surat aC-<Furqan (25) Kelompok III ayat 25-26 fcffvSJ rahmat yang khusus dan yang tidak dapat' diberikan oleh makhluk yakni rahmat yang berkaitan dengan kebahagiaan ukhrawi, sehingga ar-Rahman adalah Tuhan Yang Maha Kasih terhadap hamba-hamba-Nya, pertama dengan penciptaan, kedua dengan petunjuk hidayah meraih iman dan sebabsebab kebahagiaan, ketiga dengan kebahagiaan ukhrawi yang dinikmati kelak, dan keempat adalah kenikmatan memandang wajah-Nya (di hari Kemudian). Pendapat Imam Ghazali di atas tidak memuaskan, karena dengan demikian makhluk-makhluk lain yang tidak dibebani taklif atau katakanlah tumbuhtumbuhan dan binatang, sama sekali tidak tersentuh oleh rahmat-Nya yang dikandung oleh kata ar-Rahman. Bukankah makhluk-makhluk itu tidak akan meraih surga apalagi memandang wajah-Nya kelak? Pendapat lain dikemukakan oleh mereka yang melakukan tinjauan kebahasaan. Mereka berpendapat bahwa timbangan ( ) fa'lan biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan dan atau kesementaraan, sedang timbangan fa ‘i l menunjuk kepada kesinambungan dan kemantapan, karena itu Syeikh Muhammad ‘A bduh berpendapat bahwa ar-Rahman adalah Allah Pencurah rahm at yang sempurna tapi sifatnya sementara, dan yang dicurahkan-Nya kepada semua makhluk. Kata ini dalam pandangan Abduh adalah kata yang menunjuk sifat /z‘///perbuatan Tuhan. Ini antara lain dapat berarti bahwa Allah mencurahkan rahmat yang sempurna dan menyeluruh, tetapi tidak langgen g terus menerus. Rahmat m enyeluruh tersebut menyentuh semua manusia - mukmin atau kafir - bahkan menyentuh seluruh m akhluk di alam raya, tetapi karena ketidaklanggengan/ kesementaraannya, maka ia hanya berupa rahmat di dunia saja. Bukankah rahmat di dunia menyentuh semua makhluk, begitu juga rahmat yang diraih di dunia tidak bersifat abadi? Adapun kata ( ) ar-Rahim yang patronnya menunjukkan kemantapan dan kesinambungan, maka ia menunjuk kepada sifat dzat Allah, atau menunjukkan kepada kesinambungan dan kemantapan nikmatnya. Kemantapan dan kesinambungan hanya dapat wujud di akhirat kelak, di sisi lain rahmat ukhrawi hanya diraih oleh orang taat dan bertakwa. Dalam konteks ini Allah berfirman: / / / Is* j * " «■ o ✓ / i ✓ / / /y ✓ / y ji d iiir Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari A llah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapapulakahyang mengharamkanj ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 25-26 rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orangyang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari Kiamat. ” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orangyang mengetahui” (QS. al-A raf [7]: 32). Ada juga yang berpendapat bahwa kata ar-Rahman menunjuk kepada Allah dari sudut pandang bahwa Dia mencurahkan rahmat secara faktual sedang rahmat yang disandang-Nya dan yang melekat pada diri-Nya, menjadikan Dia berhak menyandang sifat ar-Rahim sehingga dengan gabungan kedua kata itu tergambarlah di dalam benak bahwa Allah adalah ar-Rjibman yakni Pencurah rahmat kepada seluruh makhluk-Nya karena Dia adalah ar-Rahim yakni Dia adalah wujud/dzat Yang memiliki sifat rahmat. Selanjutnya rujuklah lebih jauh ke surah al-Fatihah dan surah Maryam untuk memperoleh lebih banyak informasi tentang makna kata ini. Kaum musyrikin mengingkari ar-Rahman bahkan seperti bunyi ayat 60 surah ini. Apabila dikatakan kepada mereka sujudlah kepada ar-Rahman, mereka menjawab: “Siapakah ar-Rahman? Apakah kami sujud kepada apa yang kamu perintahkan?” Maka mereka bertambah enggan. Nah, di sini mereka diingatkan bahwa penguasa mutlak pada hari itu adalah ar-Rahman yang mereka ingkari itu. Sementara ulama menyatakan bahwa kata itu dipilih untuk mengisyaratkan bahwa masuknya seseorang ke surga, tidak lain kecuali karena rahmat yang bersumber dari ar-Rjahman itu. Pendapat ini tidak di dukung oleh ulama yang menyatakan bahwa kata ar-Rahman menunjuk kepada Allah yang melimpahkan curahan nikmat di dunia, sedang kata ar-Rahim yang mencurahkannya di akhirat, walaupun semua mengakui bahwa tidak seorang pun yang masuk ke surga karena amalnya. Dalam kamus-kamus bahasa, kata ( ) ‘astr antara lain berarti sesuatu yang sangat kerns/ sulit/ sukar/ berat. Seseorang wanita yang hendak melahirkan tetapi mengalami kesulitan, digambarkan dengan kata-kata: ( O j-.Pi ) a'sarat al-mar’atu, binatang (unta)yang liar dinamai ( ) ‘astr, seseorang yang kidal (menggunakan tangan kiri yang biasanya sulit digunakan secara baik oleh orang lain) dinamai ( ) a ‘sar, saat-saat krisis yang mencapaipuncaknya dinamai ( ) sa’ah al-'usrah. Demikian kata ini menunjuk kepada kesulitan dan kesukaran yang sangat besar. Didahulukannya kata ( ^Js-) ‘ala al-kaftrin!bagi orang-orang kafir sebelum kata ( Ijw*p ) ‘asiran/penuh kesukaran, mengisyaratkan bahwa ketika itu aneka kesulitan menimpa mereka. Tidak ada sedikit kemudahan pun j j ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 27-29 \j| | f^ | yang mereka peroleh. Memang semua manusia mengalami kesulitan pada hari itu, Allah berfirman: <K ^ / «' Jj»Li 4JJI lij j “?WiZ hari kamu melihatnya lengah semua wamtayang sedang menyusui dari anak yang disusuinya dan semua wanita yang memiliki kandungan menggugurkan kandungannya, dan engkau melihat manusia mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi a%ab Allah sangat keras” (QS. al-Hajj [22]: 2). Namun demikian ada saja kemudahan yang diterima oleh orang-orang yang beriman, sebagaimana diisyaratkan oleh firman-Nya: » f j \ dUi > iln “Maka Allah memelihara mereka dari kesulitan hari itu dan Dia menganugerahkan kepada mereka kejernihan (wajahj dan kegembiraan (hati)” (QS. al-Insan [76]: 11). Adapun orang-orang kafir, maka mereka tidak memperoleh sedikit kemudahan pun sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Muddatstsir [74]: 9: 10: 4 ' s ■> s 4 * s "Hari itu adalah hariyang sulit. Atas orang-orang kafir tidaklah mudah. ” AYAT 27-29 * (YY ) / * $ JJ-*1 s s t s & s * * s Os s ' s } * {S OJ bUi ( Y^ ) Ulla^iJl JlSTj “Dan hari orang yang %alim menggigit kedua tangannya seraya berkata: “Aduhai seandainya aku mengambiljalan bersama-sama Rasul Penyesalan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan teman akrab. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari peringatan ketika ia telah datang kepadaku. Dan adalah setan terhadap manusia selalu enggan menolong. ” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com I lip p j Surah aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 27-29 Ayat yang lalu menjelaskan bah^a kekuasaan mutlak pada hari Kemudian adalah milik ar-Rahman dan hari itu adalah hari yang sangat sulit bagi orang-orang kafir. Nah, di sini dijelaskan sekaligus diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw. dan siapa pun untuk mengingatkan sekelumit dari apa yang dialami oleh orang-orang zalim itu. Ayat di atas menyatakan: Dan ingatkanlah hari yakni ketika orangyang %alim menggigit kedua tangannya yakni sangat menyesal —sampai-sampai yang dia gigit adalah kedua tangannya bukan hanya satu —penyesalan akibat kedurhakaanya dan karena dia melihat kesudahan yang akan dialaminya. Dia menyesal, seraya terus menerus dan dari saat ke saat berangan-angan dengan berkata: ‘Aduhai seandainya dahulu ketika aku hidup di dunia aku mengekang hawa nafsuku dan memaksanya mengambil walau hanya satu jalan kecil saja dari sekian banyak jalan kebaikan yang mengantar ke jalan lebar yang lurus sehingga aku menempuhnya bersama-sama Rasul yakni mengikuti langkah dan petunjuk-petunjuk yang beliau sampaikan. Penyesalan dan kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku dulu tidak menjadikan si fulan —sambil menyebut salah satu nama yang menjerumuskannya - sebagai teman akrab-ku, karena sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari peringatan al-Qur’an ketika ia yakni peringatan itu telah datang kepadaku menawarkan dirinya agar aku mengikutinya dan bukan aku yang bersusah-payah mencarinya. Dan adalah setan itu sejak dahulu hingga kini senantiasa terhadap manusia secara khusus selalu enggan menolong setelah memberi harapan bahkan setan selalu menjerumuskan.” Kata ( ) ‘adhdha/menggigit pada ayat ini bukan dalam arti hakiki yakni menjepit dan mencekam dengangigi, sebagaimana dipahami oleh sementara orang, tetapi ia adalah kiasan dari penyesalan. Memang yang menyesal atau sangat marah sering kali “menggigit jari”. Al-Qur’an menggunakan istilah menggigitjari untuk makna terakhir ini (baca QS. A1 ‘Imran [3]: 119). Ayat di atas tidak menggunakan kata jari tetapi tangan bahkan kedua tangannya untuk mengisyaratkan besarnya penyesalan yang bersangkutan. Kata ( ) sabil yang digunakan ayat di atas berbentuk tunggal. Ia adalah jalan kecil dari sekian banyak jalan kebaikan dan kedamaian yang ditawarkan oleh Rasul saw. Ketika menafsirkan QS. al-Fatihah, penulis antara lain mengemukakan bahwa kata sabil ada yang berbentuk jamak seperti subul as-salam (jalan-jalan kedamaian), ada pula yang tunggal, dan ini ada yang dinisbahkan kepada Allah, seperti sabilillah, atau kepada orang bertakwa, seperti sabil al-muttaqin, dan ada juga yang dinisbahkan kepada setan dan tirani sabil ath-thaghut atau orang-orang berdosa sabil al-mujrimin. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok III ayat 27-29 Surah a(-<Furqdn (25) |ggg! Berbeda dengan kata shirdth yang selalu berbentuk tunggal dan dinisbahkan kepada Allah, atau orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Dari kedua penggunaan itu kita dapat menyimpulkan bahwa shirdth hanya satu, dan selalu bersifat benar dan haq, berbeda dengan sabil yang banyak (karena dia dapat berbentuk jamak). Sabil bisa benar dan bisa salah, bisa merupakan jalan orang-orang bertakwa, bisa juga jalan orang-orang durhaka. Kepada ash-Shirath al-Mustaqim bermuara semua sabil yang baik. Perhatikan firman-Nya dalam QS. al-Ma’idah [5]: 16: (^! OUikjl jfi <UI'yfi) aJJi <U J\ “Dengan kitab itulah Allah membimbing orang-orangyang mengikuti keridhaanNya ke jalan-jalan kedamaian, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahayayang terang benderang dengan sei^inNya, dan membimbing mereka menuju ke ash-Shirath al-Mustaqim. ” Dengan demikian sabil adalah jalan-jalan kecil yang beraneka ragam, dan selama jalan itu bercirikan kedamaian, maka ia dapat mengantar seseorang menuju jalan lebar dan lurus yakni mengantar menuju ash-Shirath al-Mustaqim. Kata ( £jjJL\) ittakhad^tu terambil dari kata ( j> !) akhad-^a/mengambil. Penambahan huruf ( _i ) ta’ pada kata tersebut mengisyaratkan bahwa itu dilakukan dengan kesungguhan dan pemaksaan diri. Kata ( ) yd laitani terdiri dari kata ( U ) yd’ yang merupakan kata seru, dan kata ( < ) laita yang biasa digunakan untuk menggambarkan harapan tetapi yang tidak dapat tercapai lagi, serta penyisipan huruf ( _i ) nun dan ( t£ ) yd ’ yang berarti kepemilikan. Atas dasar itu, kata ini secara harfiah berarti ‘Wahai harapanku datanglah menemuiku”. Selanjutnya karena harapan dimaksud tidak dapat tercapai lagi, maka ia dipahami dalam arti penyesalan dan kecelakaan. Demikian juga halnya dengan ( jjL jj ) ya wailata yang terdiri dari kata ( U ) yd yang merupakan kata seru, serta ( J j j ) wail yang berarti kecelakaan/ kebinasaan, serta ( _ i ) ta’ dan ( {) alif yang berarti kepemilikan. Dengan demikian kata tersebut secara harfiah bermakna Wahai kebinasaanku (inilah waktunya engkau hadir). Anda lihat si pendurhaka itu memohon terlebih dahulu agar harapannya dapat hadir, siapa pun dan apapun harapan itu, lalu setelah dia sepenuhnya yakin bahwa yang diharapkan tak mungkin hadir, maka kali kedua dia memohon agar kecelakaan dan kebinasaan datang kepadanya ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 27-29 untuk mengakhiri hidupnya sehingga dapat'terbebas dari siksaan yang pedih. Kata ( o*As) fulan adalah kata yang menunjuk kepada seseorang yang tidak disebut namanya secara jelas. Baik karena nama itu tidak diketahui atau diketahui, tetapi sengaja tidak disebut oleh satu dan lain sebab, misalnya karena takut atau untuk menutup aibnya, atau karena tidak ada gunanya menyebut nama itu, atau karena yang dimaksud siapa saja. Sementara ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan fulan oleh ayat ini adalah setan, sebagaimana diisyaratkan oleh ayat berikut. Pendapat ini baik, selama yang dimaksud adalah setan secara umum, yakni siapa pun yang durhaka dan membangkang serta m engajak kepada kedurhakaan. Memahaminya demikian, menjadikan kata tersebut mencakup siapa saja. Kata ( *>U>) khalilan terambil dari kata ( ) khullah yaitu celah. Yang dimaksud adalah teman yang demikian akrab, sehingga persahabatan, jalinan kasih sayang dengannya telah meresap masuk ke celah-celah relung hati, serta telah mengetahui pula rahasia yang terdapat di dalamnya. Kata ( jTiJl ) ad^-d^ikr ada juga yang memahaminya dalam arti kalimat syahadat. Kata ( ^ ji> ) khad^ulan terambil dari kata ( JJb1 ) khad^ala yang bermakna tidak memberi bantuan. Kata ini dapat digunakan menunjuk kepada seseorang yang enggan memberi bantuan padahal ia mampu, dan dapat juga m enjerum uskan seseorang setelah sebelum nya m enjanjikan pertolongan, baik ia mampu menolong maupun tidak. Dalam konteks ayat in i, setan sam a sek ali tidak m ampu m enolong, w alau sebelum menjerumuskan yang bersangkut, setan selalu menjamin akan menolongnya jika dia mengalami kesulitan. Banyak ulama yang menyebut kasus yang terjadi antara tokoh kaum musyrikin ‘Uqbah Ibn Abi Mu‘ith, Ubayy Ibn Khalaf Nabi Muhammad saw. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa ‘Uqbah setiap kembali dari satu perjalanan selalu mengundang teman-temannya untuk makan. Suatu ketika dia —yang memang sering kali duduk bersama Nabi saw. serta senang mendengar percakapan beliau - mengajak Rasul saw. untuk makan di rumahnya. Tetapi Nabi saw. bersabda: “Aku tidak akan makan makananmu sampai engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku adalah Rasul-Nya.” ‘Uqbah berkata: “Makanlah wahai anak saudaraku.” Nabi saw. berkeras dan sekali lagi bersabda: “Aku tidak akan makan, sampai engkau m engucap kan (kedua kalim at syahadat itu ).” M aka ‘U qbah pun ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok III ayat 27-29 Surah aC-Turqan (25) mengucapkannya. Peristiwa ini didengar oleh sahabat karib ‘Uqbah yaitu Ubayy Ibn Khalaf, maka ia mendatangi ‘Uqbah dan mengecamnya. ‘Uqbah menceritakan kepada Ubayy apa yang terjadi ketika itu, dan bahwa dia malu jika Nabi Muhammad saw. keluar dari rumahnya tanpa mencicipi makanan yang disediakannya, sehingga dia mengucapkan kalimat syahadat itu. Mendengar hal tersebut, Ubayy berkata kepada ‘Uqbah: “Saya tidak akan rela kepadamu, sampai engkau mendatangi Muhammad dan meludah di wajahnya.” ‘Uqbah menerima desakan sahabatnya itu dan melakukan permintaannya itu. Nabi saw. bersabda kepada ‘Uqbah: “Aku tidak menemuimu di luar Mekah, kecuali kepalamu akan ku penggal dengan pedang. Benar juga, dalam Perang Badr, ‘Uqbah ditawan dan akhirnya Nabi saw. memerintahkan ‘A li Ibn Abi Thalib ra. membunuhnya. Ketika itu, tidak ada tawanan yang dibunuh kecuali dia. Sedang Ubayy Ibn Khalaf mendapat “kehormatan” ditikam oleh tangan Nabi Muhammad saw. sendiri pada Perang Uhud, tikaman yang dalam tempo tidak lama mengakhiri hayatnya. Riwayat ini disebut - baik secara singkat atau panjang oleh banyak sekali ulama, termasuk Thabathaba’i, Ibn ‘Asyur, bahkan Sayyid Quthub dan Muhammad Sayyid Thanthawi. Namun ada sesuatu yang mengganjal hati penulis menyangkut riwayat itu. Dari kisah di atas terkesan bahwa Nabi saw. san g at m endesak bahkan “m em aksa” ‘U qbah untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. “Pemaksaan” itu lebih terasa lagi, jika kita menyadari sifat orang-orang Arab —khususnya pada masa lampau — yang sangat menghormati tamu, dan selalu ingin agar hidangan yang disiapkannya dimakan oleh tamu. Nabi saw. tentu menyadari hal tersebut, dan tentu menyadari pula bahwa permintaan —seperti bunyi riwayat di atas —mengandung di celah-celahnya semacam unsur paksaan, apalagi hal tersebut dilakukan Nabi saw. sebanyak dua kali. Nah, ini tentu saja tidak sejalan dengan prinsip kebebasan memeluk agama, bahkan keharusan tulus menerimanya yang ditegaskan dalam berbagai tempat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Atas dasar itu, penulis tidak cenderung membenarkan riwayat tadi dan tanpa ragu menyatakan bahwa ayat di atas bersifat umum. Siapa pun yang zalim serta memiliki sahabat yang menjerumuskan, semua akan menggigit “kedua tangannya” di hari Kemudian dan berucap serupa dengan ucapan yang direkam ayat-ayat di atas Ayat-ayat di atas memperingatkan setiap orang agar pandai-pandai memilih teman. Karena teman merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perangai seseorang, sampai-sampai dinyatakan: “Tentang ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ""'*** Surah aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 30 seseorang, janganlah bertanya tentang dia, tetapi tanyakanlah tentang temannya, karena setiap teman akan meneladani temannya.” Rasul saw. pun dalam berbagai kesempatan mengingatkan bahwa, “Manusia akan dibangkitkan bersama teman akrabnya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu memilih teman akrabnya”(HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi melalui Abu Hurairah ra.). Nabi saw. juga bersabda melalui Abu Sa‘id al-Khudri, sebagaimana diriwayatkan oleh kedua pakar hadits di atas bahwa: “Janganlah menemani kecuali mukmin, dan janganlah dimakan m akananm u k e cu ali oleh yang bertakw a. Di kali lain beliau mengilustrasikan teman yang baik seperti tukang jual parfum. Bila berteman dengannya maka boleh jadi dia memberi atau menjual, dan paling tidak temannya menghirup aroma harum. Sedang teman yang buruk bagaikan tukang las, maka semburan api boleh jadi membakar pakaian temannya, atau paling tidak temannya mendapat aroma buruk (HR. Bukhari dan Muslim melalui Abu Musa al-Asy‘ari). AYAT 30 ( T *) O) v ’jIj J j “Dan berkatalah Rasul: ‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan. ” Ayat yang lalu menggambarkan kesombongan kaum musyrikin, khususnya penduduk Mekah yang pada hakikatnya mengetahui tentang keistimewaan al-Qur’an tetapi enggan menerimanya. Pada ayat yang lalu juga terbaca bagaimana sang zalim kelak di hari Kemudian mengaku bahwa temannya telah menyesatkannya dari tuntunan adz-Dzikr yakni al-Qur’an. Nah, di sini Nabi Muhammad saw. pun dinyatakan mengadu kepada Allah menyangkut sikap kaumnya terhadap al-Qur’an. Tanpa menyebut nama, tetapi menam pilkan gelar dan fungsi Nabi Muhammad saw. sebagai pengajaran kepada umatnya dan penghormatan kepada beliau, ayat di atas menyatakan bahwa: Dan berkatalah Rasul yakni Nabi Muhammad: ‘Wahai Tuhanku yang selama ini membimbing dan berbuat baik kepadaku, sesungguhnya kaumku yakni umatku khususnya kaum kafir Quraisy penduduk Mekah dan yang memiliki kemampuan - sebagaimana dipahami dari kata “qaum”, telah berusaha sekuat tenaga menjadikan al-Qur’an ini suatuyang tidak diacuhkan. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com :4 63 % $ Kelompok III ayat 30 Surah aC-Turqan (25) Kata ( j ) wa/dan pada awal ayat ini dikaitkan oleh banyak ulama dengan ucapan si zalim yang disebut pada ayat yang lalu. Dan karena sang zalim itu menyampaikan penyesalannya di hari Kemudian, maka pengaduan Rasul saw. ini pun dipahami dalam arti pengaduan beliau kelak di hari Kemudian. Bahwa kata ( J li ) qdla menggunakan bentuk kata kerja masa lampau, sehingga ia mengesankan telah beliau ucapkan, bukanlah alasan untuk menolak pendapat di atas, karena sering kali al-Qur’an menggunakan bentuk kata kerja masa lampau untuk peristiwa-peristiwa masa datang (hari Kiamat) guna menunjukkan kepastiannya, seperti misalnya firman Allah: ‘Telah dekat hari Kiamat dan telah terpecah bulan” (QS. al-Qamar [54]: 1). Bulan hingga kini masih utuh, ia baru akan hancur terpecah belah di hari Kemudian, namun ayat di atas menggunakan bentuk kata kerja masa lampau untuk menunjukkan kepastiannya. K endati dem ikian, hemat penulis tidak tertutup kemungkinan memahami pengaduan Rasul itu, telah dan juga akan beliau sampaikan kelak di hari Kemudian. Apalagi jika memperhatikan ayat berikut, yang dapat merupakan jawaban terhadap pengaduan itu. Ayat di atas menggunakan kata ( ^ j j ) qaumi/ kaumku. Dalam buku Wawasan al-Qur’an, ketika membahas tentang “Wawasan Kebangsaan” penulis antara lain menyatakan bahwa sementara orang yang bermaksud mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan menyatakan bahwa Allah swt. dalam al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk menyeru masyarakat umum, bukan dengan kata ( ^ U ) yd qaumi/ wahai kaumku, tetapi ( Igjlb ) yd ayyuhan nas/wahai seluruh manusia, serta menyeru masyarakat yang mengikuti beliau dengan yd ayyuhallad^ina amanu/ wahai orang-orang beriman. Pendapat ini penulis buktikan kekeliruannya dengan ayat 30 di atas Di samping ciri khusus itu —seperti tersebut di atas —ciri khusus kedua yang juga membedakan ayat ini dengan ayat-ayat lain adalah bahwa ayat ini menggunakan kata seru ketika menyeru Tuhan, yaitu dengan menyatakan: ( o jb ) yd Rabbi/wahai Tuhanku. Al-Qur’an selalu melukiskan doa dan permohonan para nabi dan hamba-hamba Allah yang taat dengan menyeru-Nya tanpa menggunakan kata yd/wahai. Hal tersebut agaknya karena kata “wahai” mengesankan kejauhan, sedang mereka adalah orangorang dekat kepada-Nya. Penggunaan kata yd pada ayat ini mengesankan betapa sedih dan luka hati Nabi saw. melihat orang-orang meninggalkan al-Qur’an, tidak memperkenankan tuntunannya bahkan tidak mendengar ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 30 ayat-ayat yang dibacakan. A yat di atas, bahkan semua ayat yang m enunjuk kepada kata “al-Qur’an” selalu menggunakan isyarat dekat yakni kata ( Ijjn ) hdd^a. Ini untuk m engisyaratkan bahwa kandungan kitab suci al-Q ur’an adalah sesuatu yang sangat dekat dengan setiap insan, karena petunjukpetunjuknya sejalan dengan fitrah dan jati diri manusia. Kedekatan tersebut semakin terasa oleh mereka yang memahami dan menghayati bahasa alQur’an yang demikian indah, serasi dan mempesona. Kaum musyrikin Mekah —kaum Nabi Muhammad saw. —tahu persis tentang hal ini, sehingga itu pulalah agaknya yang merupakan sebab mengapa ayat ini menggunakan kata ( ittakhad^u yakni menyisipkan huruf (_;) ta ’ pada kata ( ljj> ? ) akha^u. Penyisipan itu bertujuan menggambarkan bahwa apa yang mereka lakukan terhadap al-Qur’an dengan meninggalkannya adalah satu upaya yang sungguh-sungguh dan berat diterima oleh fitrah kesucian mereka. K ata ( ) mahjuran teram bil dari kata ( ) hajara yakni meninggalkan sesuatu karena tidak senang kepadanya. Nabi saw. dan kaum muhajirin meninggalkan kota Mekah menuju ke Madinah pada hakikatnya disebabkan oleh ketidaksenangan mereka —bukan kepada kota Mekah —, tetapi kepada perlakuan penduduk kota —ketika itu —yang menghalangi mereka melaksanakan ajaran agama Islam. Menurut Ibn al-Qayyim, banyak hal yang dicakup oleh kata mahjuran ini antara lain: a) Tidak tekun mendengarkan al-Qur’an. b) Tidak mengindahkan halal dan haramnya - walau dipercaya dan dibaca. c) T id ak m enjad ikannya rujukan dalam m enetapkan hukum menyangkut Ushul ad-Din (prinsip-prinsip ajaran agama) dan rinciannya. d) Tidak berupaya memikirkan apa yang dikehendaki oleh Allah swt. yang menurunkannya. e) Tidak menjadikannya obat bagi semua penyakit-penyakit kejiwaan. Ada juga ulama yang memahami kata mahjuran terambil dari kata ( ) al-hujr dengan dhammah pada huruf ha yang berarti mengigau dan mengucapkan kata-kata buruk. M aksudnya bahwa kaum kafir itu —jika al-Qur’an dibacakan —mereka mengeraskan suara dengan ucapanrucapan buruk dan semacamnya agar ayat-ayat yang dibaca tidak terdengar. Ini serupa dengan ucapan orang-orang kafir yang diabadikan al-Qur’an: ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi af-<Furqan (25) Kelompok III ayat 31 i f| | | l 'Si*'*' <L3 j O U y i ll I j j U I vJ S i ‘Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh al-Qur’dn ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya” (QS. Fushshilat [41]: 26). Direkamnya oleh al-Qur’an pengaduan Nabi saw. ini, mengesankan ancaman kepada kaum musyrikin karena jangankan seorang Nabi, manusia biasa yang kafir pun akan disambut oleh A llah, bila ia tulus dalam pengaduannya menyangkut penganiayaan pihak lain. Dalam konteks ini Nabi saw. bersabda: “Hati-hatilah terhadap doa orang yang teraniaya, walaupun dia kafir, karena tidak ada batas antara pengaduannya dengan Allah swt.” Dalam pengaduan itu Rasul saw. tidak memohon sesuatu. Beliau tidak hanya berucap: “Maka berilah mereka hidayah, atau ampunilah mereka, tidak juga memohon jatuhnya siksa atas mereka”. Beliau sekadar mengadu dan menyerahkan kepada Allah swt. untuk menentukan apa yang merupakan kebijaksanaan-N ya. Kalau ini dipaham i sebagai pengaduan di hari Kemudian, maka ia dapat dinilai serupa dengan ucapan Nabi ‘Isa as yang menyatakan tentang kaumnya: j ) c j f d llli x x <• j& s OJj / ^ <*#***■’ £>! / / / ‘Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hambaMu, danjik a Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa hgi Maha Bijaksana” (QS. al-Ma’idah [5]: 118). AYAT 31 ( f )) I ff “Dan seperti itulah telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi musuh-musuh dari para pendurhaka. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi hidayah dan Penolong. ” Ayat yang lalu berbicara tentang pengaduan Rasul saw., dan disambut oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa: Umat para nabi yang lalu juga melakukan hal serupa terhadap tuntunan para nabi mereka dan sebagaimana halnya kaummu memusuhimu dan menolak ajaran yang engkau sampaikan, seperti itu juga -lah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi sebelummu, musuhmusuh dari para pendurhaka yang mendarah daging kedurhakaannya, karena ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 1 4 6 6 }. Surah aC-Turqan (25) Kelompok III ayat 31 “'if# itu tabah dan sabarlah menghadapi mereka sebagaimana para nabi yang lalu telah bersabar, dan tidak usah bersedih karena akan banyak manusia yang Kami beri hidayah untuk mengikuti ajaran yang engkau sampaikan dan Kami pun akan menolongmu menghadapi musuh-musuhmu dan sangat cukuplah Tuhan Pemelihara dan Pembimbing-/»# menjadi Pemberi hidayah siapa yang dikehendaki-Nya dan Penolong bagi tegaknya agama yang engkau sampaikan. Firman-Nya: (1 jJLcJSJ LLwr) ja'alnd li kulli nabiyyin ‘aduwtvan/Kami adakan bagi tiap-tiap nabi musuh-musuh, bukan berarti bahwa musuh-musuh itu diciptakan Allah tanpa keterlibatan masing-masing musuh. Penggunaan bentuk jamak pada kata ja'alndI Kami adakan menunjukkan keterlibatan mereka. Dengan demikian, keterlibatan mereka dalam kedurhakaan dan kekeraskepalaan mereka menolak ajaran yang disampaikan oleh para nabi mengantar mereka mencapai sunnatullah yang berlaku umum, yaitu setiap perbuatan —baik atau buruk —jika dilakukan berulang-ulang, maka pada akhirnya akan mengantar pelakunya berperangai baik atau buruk —sesuai dengan kebiasaan masing-masing dan itu kemudian mendarah daging dalam diri mereka, sehingga yang durhaka pada akhirnya “dijadikan Allah” melalui ketetapan sunnatullah yang berlaku umum itu —sebagai musuh-musuh nabi. Seandainya mereka membuka hati dan pikiran, serta berupaya memahami tuntunan agama, dan menghiasi diri dengan akhlak luhur, niscaya —melalui sunnatullah itu juga —yang ini pun “dijadikan Allah “ orang-orang berbakti dan pembela-pembela agama. Huruf ( —i ) bd pada kata ( ) hi Rabbika adalah sisipan yang m engandung m akna penekanan dan pengukuhan pem eliharaan dan perto lo n gan A llah kepada N abi M uhammad saw. D alam konteks mengukuhkan pemeliharaan itu pulalah agaknya sehingga ayat ini memilih kata (C-Jj) Rabb yang mengandung makna pemeliharaan bukan kata ( ) Allah, sebagaimana dalam beberapa ayat lain. Kata ( oij j ) Rabbika juga mengisyaratkan bahwa keberadaan musuhmusuh itu serta apa yang beliau alami dari mereka, tidak terlepas dari pemeliharaan Allah dan bimbingan-Nya, serta dalam rangka mengangkat deraj at dan kedudukan beliau. Gangguan mereka sama sekali bukan untuk merendahkan, apalagi menyiksa beliau. Seakan-akan ayat ini memerintah Nabi saw. untuk selalu mengingat betapa banyak anugerah Allah kepada beliau dan agar beliau selalu mengandalkan-Nya. Ketika menafsirkan ayat serupa pada QS. al-An‘am [6]: 112, penulis ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok HI ayat 31 Surah aC-Turqan (25) antara lain mengutip pandangan asy-Sya‘rawi yang menggarisbawahi bahwa musuh para rasul tidak pernah mematahkan semangat rasul, bahkan justru menjadikan mereka lebih kuat dan tabah menghadapi segala ancaman. Ayat ini bagaikan berpesan bahwa janganlah duga hai Nabi Muhammad saw., bahwa tujuan keberadaan musuh adalah membiarkan mereka menjadi musuh sekadar untuk memusuhi. Tidak! Bahkan Kami menghendaki dari permusuhan itu untuk kem aslahatan dakwah, karena m anusia bila menelusuri jalan kebajikan kemudian diganggu oleh kejahatan, maka ketika itu ia akan lebih bersem angat untuk kebajikan. Engkau tidak akan menemukan kebangkitan iman, kecuali pada saat orang-orang beriman menemui tantangan dari lawan-lawan mereka, karena tanpa tantangan itu kebangkitan iman akan redup. Dengan demikian, permusuhan pun ada manfaatnya, jangan duga ada satu kenyataan apapun yang terjadi di alam raya ini sebagai pertanda bahwa kehendak Allah terkalahkan. Keburukan pun ada fungsinya. Demikian lebih kurang asy-Sya‘rawi. Ayat di atas menggunakan bentuk mashdar/infinitive noun untuk kata ( ja p ) ‘aduwiv/musuh, sedang dalam ayat lain seperti QS. Al ‘Imran [3]: 103, ketika menguraikan permusuhan antar sesama manusia, digunakan bentuk jamak ( ) a ‘da Memang, mashdarI infinitive noun dapat digunakan menunjuk kepada tunggal dan jamak, feminin dan maskulin, tetapi kendati demikian al-Qur’an ingin menggambarkan bahwa musuh —walaupun banyak - tetapi jika tujuannya sama, maka mereka dilukiskan dengan bentuk mashdar atau tunggal, sedang jika mereka banyak dan motivasi serta tujuan permusuhannya berbeda-beda, maka kata yang digunakan adalah bentuk jamak. Dalam ayat ini yang dilukiskan adalah permusuhan yang mempunyai satu tujuan yaitu menggagalkan misi Rasul. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com “Dan berkata orang-orangyang kafir: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya al-Qur’dn sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kamiperkuat dengannya hatimu dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah mereka datang kepadamu membawa sesuatuyang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu suatuyang haq dan yang paling baik penjelasannya. ” Ayat ini kembali menguraikan keberatan-keberatan dan dalih-dalih kaum musyrikin yang mereka arahkan kepada al-Qur’an. Kali ini ayat di atas menjelaskan bahwa: Dan berkata juga orang-orangyang kafir itu: ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya al-Qur’dn sekali turun saja?”; demikianlah melalui malaikat Jibril Kami menurunkannya berangsur-angsur, sedikit demi sedikit supaya malaikat itu datang berkali-kali membawanya kepadamu dan dengan demikian Kami perkuat dengannya yakni dengan turunnya berkali-kali itu hatimu dan Kami melalui malaikat Jibril membacakannya secara tartil yakni teratur dan benar sehingga semakin mudah bagimu memahami, menghayati maknanya dan menghafalnya. Di sisi lain tidaklah mereka yakni orang-orang kafir itu atau siapa pun selain mereka yang datang kepadamu sekarang atau masa mendatang dengan membawa sesuatuyang aneh baik pertanyaan, tuduhan maupun sanggahan menyangkut tugas-tugasmu sebagai Nabi dan Rasul, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu keterangan yang haq yakni penuh 468 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok IV ayat 32-33 Surah aC-Turqan (25) kebenaran dan yang paling baik penjelasannya sehingga pertanyaan atau sanggahan mereka terpatahkan. Kata ( J j j ) nusgila dipahami oleh sementara ulama dalam arti turun sedikit demi sedikit, serupa dengan kata ( J y i ) un^ila, tetapi pendapat ini dihadang oleh kalimat sesudahnya yaitu ( al?-) jumlatan wahidah/sekali turun. Dengan demikian pendapat tersebut bukan pada tempatnya. Kata ( *Ajy ) tartilan terambil dari kata ( J i j ) ratila/teratur. Kamuskamus bahasa m enggunakan contoh penggunaan kata itu dengan melukiskan gigi yang teratur rapi atau bentengyang kuat dan kokoh. Sementara ulama memahami kata tersebut di sini sebagai penjelasan keadaan al-Qur’an yang turun itu. Dalam arti bahwa Allah menurunkannya sangat serasi, teratur lagi indah dalam lafadz dan maknanya, serta tidak bertumpuktumpuk karena tidak turun sekaligus, tetapi berangsur-angsur. Ayat-ayatnya yang tersusun rapi serta sangat serasi itu walau turun dalam waktu yang berbeda-beda, namun keserasian dan keteraturannya menjadikan ia bagaikan turun sekaligus. Di samping makna di atas, firman-Nya: ( y sUj j j ) wa rattalnahu tartilan dapat juga dipahami dalam arti perintah untuk membacanya secara perlahan dan teratur, sejalan dengan firman-Nya: J jjj “Dan bacalah al-Qur’an dengan perlahan-lahan” (QS. al-Muzzammil [73]: 4). Perintah membaca al-Qur’an dengan perlahan adalah perintah memperjelas huruf-huruf yang diucapkan, memulai dan berhenti pada tempat-tempatnya masing-masing, sehingga pembaca dan pendengarnya dapat memahami dan menghayati kandungan pesan-pesannya. Thabathaba’i mengemukakan makna lain dari penggalan ayat ini yang akan penulis kutip setelah ini. Kata ( it jj ) fu’dd sama dengan ( ._.U ) qalb, hanya saja menurut 'Fhabathaba’i ia digunakan untuk menunjuk potensi yang dengannya manusia meraih kesadaran dan pengetahuan. Memang kata qalb biasa juga dipahami dalam arti wadah pengetahuan, di samping sebagai alat untuk mengetahui. QS. Al ‘Imran [3]: 154 misalnya menggunakannya dalam arti wadah. Di sana antara lain Allah berfirman: “Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apayang ada dalam dada kamu dan untuk membersihkan apayang ada dalam kalbu kamu. Allah Maha Mengetahui isi ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi aC-Turq&n (25) Kelompok IV ayat 32-33 ifi? hati!' Sedang firman-Nya dalam QS. al-A‘raf [7]: 179, kata qulub digunakan dalam arti alat untuk memahami. Di sana antara lain Allah berfirman tentang orang-orang kafir bahwa: ojQtei Si ^ “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayatayat A llah).” Usui kaum kafir di atas sama sekali tidak beralasan. Karena Allah swt. tidak pernah menurunkan kitab suci-Nya sekaligus. Sementara ulama pun ada yang menduga bahwa Taurat diturunkan sekaligus, padahal tidaklah demikian dalam kenyataannya. Yang turun sekaligus hanyalah “Kesepuluh wasiat Tuhan” (The Ten Comandements). Ia turun dalam bentuk al-Alivah dan itu hanya seperti sekitar satu surah pendek al-Qur’an. Tentu saja Nabi Musa as. tidak hanya menerima kesepuluh wasiat itu. Bahwa al-Alwah yang turun itu, turunnya sekaligus karena dia dalam bentuk material, sehingga tentu saja ke semua bagiannya harus turun sekaligus. Ini berbeda dengan al-Qur’an yang diterima oleh Rasul saw. dalam bentuk penyampaian lisan dan dengan tujuan seperti jawaban yang disampaikan ayat ini. Jawaban dimaksud adalah bahwa turunnya al-Qur’an sedikit demi sedikit agar ayat-ayat al-Qur’an mengukuhkan hati Nabi saw. Betapa hati beliau tidak kukuh, padahal dari saat ke saat m alaikat Jib ril datang berkunjung membawa pesan-pesan Allah. Jika beliau bersedih, maka datang firman-Nya menghibur, jika beliau kesulitan maka ayat turun memberi jalan keluar. Kehadiran Jibril as. membawa ketenangan dan pengukuhan jiwa kepada Nabi Muhammad saw., melebihi kehadiran ayah kepada anaknya yang kecil yang sedang kebingungan. Di sisi lain, Nabi Muhammad saw. dan masyarakat pertama yang ditemui al-Qur’an adalah masyarakat yang tidak pandai membaca dan menulis. Tuntunan al-Qur’an pun perlu dihayati dan diamalkan. Nah, jika al-Qur’an turun sekaligus, maka bukan saja kesulitan penghafalannya yang akan dialami oleh kaum muslimin - yang tidak pandai membaca dan menulis itu —tetapi juga pemahaman, penghayatan, bahkan pengamalannya. Dengan turunnya al-Qur’an secara bertahap sedikit demi sedikit, maka sekian banyak tuntunan al-Qur’an dapat mereka terapkan secara bertahap, lebih-lebih tuntunan-tuntunannya yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan buruk mereka, seperti meminum khamar. Memang boleh jadi turunnya tahap demi tahap itu dapat dinilai memutuskan hubungan bagian terdahulu dari ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok IV ayat 32-33 Surah aC-Turqan (25) bagian yang lain, tetapi buat al-Qur’-an tidaklah demikian keadaannya, karena seperti bunyi ayat di atas wa rattalnahu tartttan yakni Kami telah menyusunnya sedemikian rapi dan saling kait berkait. Inilah makna lain yang dikemukakan Thabathaba’i menyangkut penggalan ayat ini. A llah juga berkehendak agar al-Q ur’an berinteraksi dengan masyarakat. Kitab suci al-Qur’an “hidup” di tengah mereka, berdialog serta memecahkan problema-problema mereka yang muncul dari saat ke saat. Seandainya al-Qur’an turun sekaligus, maka dia tidak dapat berinteraksi dan berdialog, dan karena itu pula rattalnahu tartilan yakni Kami bacakan secara perlahan, sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya ayat 33 di atas yang menyatakan bahwa: “Tidaklah mereka datang kepadamu sesuatuyang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang haq dan yang paling baik penjelasannya,” mengisyaratkan bahwa dalam interaksi al-Qur’an dengan masyarakat, tidak jarang timbul sanggahan dan pertanyaan. Jika al-Qur’an turun sekaligus, maka pastilah Nabi Muhammad saw. harus mencari dan membuka lembaran al-Qur’an atau ingatan beliau guna menemukan jawaban pertanyaan dan sanggahan itu. Di samping itu, jawaban demikian akan menjadikannya tidak sesegar jawaban spontan. Berbeda jika ia turun dari saat ke saat, menjawab setiap sanggahan dan pertanyaan. Demikian ketiga ayat di atas menjelaskan mengapa al-Qur’an turun sedikit demi sedikit. Thahir Ibn ‘Asyur —dan banyak ulama lain —berpendapat bahwa hanya penggalan ( ib l jj aj <: ) li nutsabbita bihifu’adaka yang merupakan jawaban atas usul atau keberatan kaum kafir itu tentang cara turun al-Qur’an, adapun rattalnahu tartilan maka ia adalah penjelasan tentang keistimewaan al-Q ur’an atau perintah membacanya dengan perlahan. Sedang ayat 33 —menurutnya —bertujuan membantah semua tuduhan dan dalih kaum kafir, baik yang telah lalu maupun yang akan datang, dan bahwa itu semua terbantahkan dengan dalil-dalil yang sangat jelas. Ayat ini m enurutnya b erarti: M ereka tidak m endatangkan satu dalih yang menyamarkan keadaanmu —wahai Nabi Muhammad saw. —dan yang bertujuan membedakanmu dengan para rasul Allah yang lain, melainkan Kami membatalkan upaya mereka itu sambil membuktikan bahwa kerasulan dan kenabian tidaklah berkaitan dengan apa yang mereka duga dan ucapkan, baik secara langsung seperti bahwa al-Qur’an adalah dongengan orang dahulu, atau bahwa engkau bukan Rasul karena makan dan masuk ke pasar, maupun secara tidak largsung, seperti usul mereka agar diturunkan kepada ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Sura ft aC-Turqan (25) Kelompok IV ayat 34 mereka malaikat atau al-Qur’an diturunkan sekaligus. Firman-firman Allah yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. melalui malaikat fibril itu turun dalam rentang waktu dua puluh dua tahun lebih. Itu agaknya m engisyaratkan bahwa bacaan/pendidikan, baru dapat m enunjukkan hasilnya setelah berlalu masa sepanjang itu. Memang kemajuan atau kemunduran suatu masyarakat ditentukan oleh Sumber Daya Manusianya, dan ini ditentukan oleh bacaan dan pendidikannya. Generasi muda yang dididik, baru akan tampil setelah sekitar dua puluh tahun dari awal masa pendidikannya. Ketika itu baru akan nampak peranan mereka yang di arahkan oleh bacaan dan pendidikan selama ini. Dan karena itu pulalah agaknya Allah swt. tidak menurunkan al-Qur’an sekaligus, dan menjadikannya bertahap dalam dua puluh dua tahun lebih. AYAT 34 $ (ft) s * i k J j f (Hpr j ! j* r j j * ^ “Orang-orangyang akan dihimpun dengan diseret atas muka-muka mereka ke neraka jahannam, mereka itulah orang yang paling buruk tempatnya dan paling sesat jalannya. ” Usui kaum musyrikin dan sikap mereka kepada al-Qur’an serta penghinaan mereka kepada Rasul saw. yang menerima kitab suci itu, menjadikan orang-orang kafir tersebut wajar menerima siksa Ilahi. Ayat ini memang tidak menyebut penghinaan mereka kepada Rasul saw., agaknya hal tersebut —menurut Thabathaba’i - untuk tidak mencatat penghinaan itu di sini demi mengagungkan Nabi Muhammad saw. Penghinaan mereka sekadar diisyaratkan melalui ayat keempat dalam kelompok ayat-ayat yang membicarakan sikap orang-orang kafir terhadap al-Qur’an ini. Ayat di atas m enyatakan: O rang-orang yang melecehkan al-Q ur’an, mengingkari risalahmu wahai Nabi agung dan menghinamu dengan berbagai penghinaan, adalah orang-orangyang akan dihimpun —dengan diseret dengan paksa atas mukamuka mereka ke neraka Jahannam, mereka itulah yang san gat jauh kedurhakaannya adalah orang yang paling buruk tempatnya dan paling sesat jalannya. Berbeda-beda pendapat ulama tentang makna ( j ) yuhsyaruna ‘aid wujuhihim. Ada yang memahaminya dalam arti hakiki. Yakni ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok IV ayat 34 Surah a(-Turqan (25) kaki mereka akan berada di atas daft wajah mereka di bawah, lalu wajah itulah yang berjalan sebagai ganti kedua kakinya. Al-Biqa‘i merupakan salah seorang ulama yang memahaminya demikian. Ulama ini menunjuk kepada hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim melalui Anas Ibn Malik yang menyatakan bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi saw. tentang makna penggalan ayat ini. Lalu beliau menjawab: “Bukankah Yang Kuasa memperjalankan manusia di dunia ini dengan kedua kakinya, dan Yang Kuasa pula memperjalankannya di akhirat kelak atas wajahnya?” Ada lagi yang memahami penggalan ayat ini dalam arti mereka diseret sehingga wajah mereka berada di bawah m enyentuh lantai. Periyeretan ini ditegaskan antara lain oleh QS. al-Qamar [54]: 48. Ada juga yang memahaminya sebagai kiasan tentang penghinaan yang akan mereka alami. Patron kata ( ) syarr dan ( J js i ) adhall pada mulanya digunakan untuk membandingkan dan menyandingkan dua hal atau lebih, yang salah satu di antaranya melebihi yang lain. Dengan demikian ia secara harfiah berarti lebih buruk dan lebih sesat. Tetapi ayat ini bukan bermaksud membandingkan, karena itu ia dipahami dalam arti paling buruk dan paling sesat. Lebih jauh bacalah juga ayat 24 surah ini. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com “Dan Kami telah menganugerahkan kepada Musa al-Kitdb dan Kami telahjadikan bersama dia saudaranya Haritn sebagai wa^tr. Maka Kami betjirman: “Pergilah kamu berdua kepada kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami." Maka Kami membinasakan mereka sebinasa-binasanya. ” A yat-ayat kelompok yang lalu berbicara tentang al-Q ur’an dan kedurhakaan kaum musyrikin terhadap firman-firman Allah. Di sini Allah menguraikan sikap kaum Nabi Musa as. yang juga dianugerahi kitab suci namun mereka pun mendurhakainya sehingga Allah menjatuhkan siksa kepada mereka. Hal ini di samping untuk menghibur Nabi saw., juga menyiratkan ancaman kepada kaum musyrikin. Ayat di atas menyatakan: Dan Kami bersumpah sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada Musa al-Kitdb yakni Taurat sebagaimana Kami menganugerahkan kepadamu al-Qur’an, dan Kami pun menurunkannya secara bertahap sebagaimana al-Qur’an dan Kami telahjadikan yakni angkat bersama dia yakni bersama Musa untuk menyertainya dalam berdakwah saudaranya yaitu Hdrun sebagai wasjr yakni pembantu dalam tugas-tugas kenabian. Maka Kami berftrman kepada keduanya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun dan rezimnya yang merupakan kaumyang mendustakan ayatayat Kami yang terhampar di alam raya dan yang telah disampaikan oleh ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------474 081335196837, www.bektiharjo.com INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP Kelompok V ayat 35-36 Surafi aC-<Furqdn (25) ir ^ para rasul terdahulu. ’’Maka mereka segera pergi menyampaikan pesan Allah itu, tetapi kaum yang durhaka —tanpa berpikir panjang —menolak ajakan dan tuntunan Nabi Musa as. dan Harun as., maka Kami membinasakan mereka sebinasa-binasanya yakni menenggelamkan mereka di Laut Merah. Ayat di atas memulai dengan menyebut nama Nabi Musa as. dan Harun as., walau pada ayat berikut disebutkan kaum para nabi yang lain sebelum beliau. Agaknya hal tersebut disebabkan karena syariat mereka masih tetap dikenal dan sebagian di antaranya masih diakui atau diamalkan oleh penganut agama Yahudi yang berada di Madinah ketika itu. Di sisi lain, boleh jadi yang mengajukan keberatan atau usul agar al-Qur’an turun sekaligus —sebagaimana yang dibicarakan oleh ayat-ayat kelompok yang lalu —adalah orang-orang Yahudi. Sehingga penyebutan Nabi Musa as. dan kaumnya serta kitab suci mereka, menjadi sangat tepat dan serasi. Huruf ( j ) wauw yang diterjemahkan “dan”, tidak mengandung makna perurutan, dia sekadar menggabung dua hal atau lebih. Dengan demikian firman-Nya “dan Kami telah jadikan bersama dia saudaranya Harun sebagai iva^tr” setelah “Kami telah menganugerahkan kepada Musa al-Kitab” tidak harus dipahami dalam arti pengangkatan Nabi Harun as. itu terjadi setelah penganugerahan kitab Taurat. Memang seperti diketahui, Nabi Musa as. diangkat menjadi Nabi dan Rasul “bersamaan dengan Nabi Harun as” dan sebelum penganugerahan Taurat (baca QS. Thaha [20]: 9-30). Atas dasar itu kita tidak perlu berkata bahwa wahyu yang dimaksud di sini bukan wahyu yang diterim a oleh N abi Musa as. yang berupa al-A.lwah_ — sebagaimana dikatakan oleh Ibn ‘Asyur - karena apapun wahyu itu, tidak menjadi masalah dalam kaitannya dengan informasi ayat ini. Kata ( y .jj ) watjr terambil dari kata ( ) al-u^r yaitu sesuatu yang kuat atau berat. Pembantu adalah seseorang yang menolong pihak lain dan menguatkannya. Atau boleh jadi juga seorang pembantu dinamai waytr karena beratnya tanggung jawab yang dipikulnya. Dari sini juga kata dosa dinamai ( j j j ) m%ir karena ia menjadi beban yang berat di hari Kemudian. Ayat di atas memberikan informasi yang sangat singkat. Ia hanya menyebut awal pengangkatan dan penugasan Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. kepada umatnya yang dalam konteks ayat-ayat ini adalah Fir‘aun dan orang-orang Mesir, dan kesudahan akhir mereka. Ini karena ayat di atas tidak bertujuan m enguraikan kisah m ereka, tetap i hanya hendak menggarisbawahi kesudahan buruk yang dialami oleh para pembangkang para nabi. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com f 476J 1 Surah aC-Turqan (25) Kelompok V ayat 37-39 Firman-Nya: ( Uibb Iy j£ ) kad%d%bu bi dyatina!mendustakan ayat-ayat Kami, seperti penulis kemukakan di atas berarti ayat-ayat yang terhampar di alam raya bukan ayat-ayat yang disampaikan oleh Nabi Musa as., karena sebelum Nabi Musa as. ditugaskan dan sebelum beliau menyampaikan ayatayat Allah, mereka telah dinamai “Kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah”. Dapat juga dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat adalah apa yang akan disampaikan oleh Nabi Musa as. dan Harun as. Hanya saja dalam konteks keringkasan informasi, maka ayat di atas langsung menamai mereka dengan kaumyang mendustakan ayat-ayat Kami, karena pada akhirnya mereka mendustakan kedua nabi itu sehingga mereka dibinasakan. AYAT 37-39 iTo&fj h i s * * £5j \ / jf CJ / / * 5y S J (T A ) (r< 0 ii f i (fy) jiM is JLP^3 “Dan kaum Nuh tatkala mereka mendustakan para rasul. Kami tenggelamkan tuervka dan Kami jadikan mereka bukti bagi seluruh manusia. Dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang %alim siksa yang pedih; dan kaum ‘/Id dan Tsamud dan penduduk ar-Rass serta generasi-generasiyang banyak di antara itu. Dan masingmasing telah Kami beri perumpamaan-perumpamaan dan masing-masing benar-benar telah Kami binasakan dengan sehancur-hancurnya. ” Setelah menguraikan secara singkat tentang kaum Nabi Musa as. dan pembinasaan mereka, ayat ini melanjutkan dengan menyinggung pula secara sepintas kaum Nabi Nuh as. —yang merupakan Rasul pertama - disusul dengan umat para nabi sesudah beliau. Ayat-ayat di atas menyatakan: Dan telah Kami binasakan juga kaum Nuh tatkala mereka mendustakan para rasul. Kami tenggelamkan juga mereka sebagaimana Kami menenggelamkan Fir'aun dan rezimnya yang mendustakan Nabi Musa dan Nabi Harun dan Kami jadikan peristiwa yang mereka alami itu bukti kekuasaan Kami bagi seluruh manusia. Dan Kami telah menyediakan bagi mereka dan bagi semua orang-orang %alim seperti mereka, siksayang amat pedih; dan di samping kaum Nuh, Kami binasakan juga kaum Nabi Hud as. yaitu A ‘ .d dengan menimpakan kepada mereka angin taufan yang sangat dingin dan berlanjut sampai tujuh malam ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 477; Kelompok V ayat 37-39 Surah aC-Turqan (25) tpSskg dan delapan hari dan kaum Nabi Shalih as. yaitu Tsamud dengan gempa yang disertai suara yang menggelegar, dan demikian juga penduduk ar-Rass Kami hancurkan mereka dengan gempa serta demikian pula generasi-generasi yang jumlahnya banyak di antara kaum-kaum itu. Semua Kami binasakan dengan berbagai cara. Jangan duga pembinasaan itu sewenang-wenang. Tidak! Kami telah mengutus buat mereka Nabi dan Rasul dan masing-masing dari kaum-kaum tersebut telah Kami beri perumpamaan-perumpamaan yakni penjelasan-penjelasan yang gamblang tentang tuntunan Kami melalui para rasul itu, tetapi semua membangkang, sehingga Kami jatuhkan siksa atas mereka dan masing-masing mereka itu benar-benar telah Kami binasakan dengan sehancur-hancurnya. Nabi Nuh as. dikenal sebagai Rasul pertama. Namun demikian, ayat di atas menggunakan bentuk jamak ( ) rusul/para rasul ketika menguraikan pembangkangan kaumnya. Hal ini menurut banyak ulama agaknya disebabkan karena Nabi Nuh as. hidup di tengah kaumnya dalam waktu yang lama yakni 950 tahun. Walau kita tidak mengetahui cara perhitungan tahun mereka ketika itu. Boleh jadi setahun dalam perhitungan mereka sama dengan semusim yakni empat bulan dalam perhitungan kita dewasa ini, namun —betapapun —waktu tersebut cukup lama sehingga masa sepanjang itu dapat diisi oleh banyak rasul. Di sisi lain, semua rasul utusan Allah swt., pada hakikatnya membawa ajaran yang prinsip-prinsipnya sama, sehingga siapa yang mendustakan seorang rasul, maka ia bagaikan mendustakan semua rasul. Kata ) ar-rass ada yang memahaminya dalam arti lembah atau sumur yang besar. Sem entara ulam a yang m em aham i ashhab ar-Rass (penduduk ar-Rass) yang disebutkan ayat di atas adalah sisa-sisa kaum Tsamud. Mereka berada di Aden (Yaman), lalu Allah mengutus kepada mereka rasul bernama Handzalah Ibn Shafwan. Ada juga yang menduga mereka adalah penduduk satu lem bah di A zribijan. Ada lagi yang menyatakan mereka adalah penduduk Antokiyah. Namun banyak ulama yang menduga bahwa mereka adalah kaum Nabi Syu'aib as. Di dalam alQur’an, kaum Nabi Syu'aib as. terkadang disebut sebagai penduduk Aykah, yang berarti tempat yang dipenuhi pepohonan yang rindang. Terkadang juga disebut dengan penduduk ar-Rass. Kata ( Uj j ) tabbarna terambil dari kata ( J j ) tabbara yakni menghancur luluhkan sesuatuyang padat dan kuat, seperti besi atau kaca. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok V ayat 40 AYAT 40 H ijA r j ; frjU i > i o > i f a r^ ii iy f lu r , (to “D<2« sungguh mereka telah melalui negeriyang dihujani dengan hujanyang sejelekjeleknya. Maka apakah mereka tidak menyaksikannya?; bahkan mereka tidak mengharapkan adanya kebangkitan. ” Setelah menyebut beberapa umat yang lalu yang telah dibinasakan Allah akibat kedurhakaan mereka, ayat di atas menyebut satu umat lagi yang tidak asing bagi masyarakat Mekah, yaitu umat Nabi Luth as. Dengan bersum pah, ayat di atas mengingatkan semua pihak khususnya para pembangkang bahwa: Dan di samping umat-umat yang diuraikan sebelum ini, demi Allah, sungguh mereka juga yakni kaum musyrikin Mekah telah melalui negeri hujan yaitu negeri Sadum dan negeri-negeri sekitarnya tempat pemukiman kaum Nabi Luth yang pernah dihujani dengan hujan yang sejelekjeleknya yakni bebatuan dari tanah yang terbakar dan jatuh dari langit bagaikan hujan, sehingga Allah menjungkirbalikkan perkampungan-perkampungan mereka yang jumlahnya empat atau lima kampung. Maka apakah mereka buta sehingga tidak menyaksikannya yakni runtuhan perkampungan itu dalam perjalanan mereka menuju ke Palestina lalu me'ngambil pelajaran dari pengalaman kaum itu?; bahkan sebenarnya mereka tidak buta, bukan juga tidak mengetahui kesudahan buruk kaum-kaum itu tetapi mereka tidak mengharapkan adanya ganjaran setelah kebangkitan manusia dari kuburnya, tidak juga menakuti siksa yang terjadi ketika itu, karena mereka tidak mengakui keniscayaan Kiamat. Penggalan akhir ayat ini merupakan penjelasan tentang sebab kedurhakaan kaum musyrikin Mekah itu, yakni bahwa segala dosa dan pelanggaran mereka pada hakikatnya disebabkan oleh karena mereka tidak m em percayai hari Kiamat. Memang siapa yang percaya adanya hari Pembalasan tentu akan berhati-hati dan selalu mempersiapkan diri dengan amal-amal kebajikan serta menghindari segala macam dosa. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com AYAT 41-42 ilS*" 01 ( ' j j& ^! viJLiji-^ty 01 -^ j'j '^!j ) Vj*»>j *^1 ^ OlJtaJl OjjJ j ^ “ UjaLu l3 j - oj Igjlp U 0 i SijJ Ld«jaJ ( 1Y ) ‘>W-’ t K ' ‘Dan apabila mereka melihatmu mereka tidak menjadikanmu selain ejekan: “Inikah yang diutus Allah sebagai Rasul? Sesungguhnya hampir-hampir saja dia menyesatkan kita dari tuhan-tuhan kita seandainya kita tidak bersabar atasnya. ” Dan mereka akan mengetahui —saat mereka melihat a%ab —siapakahyangpaling sesatjalannya. ” Setelah ayat yang lalu menetapkan bahwa kaum kafir itu menolak keniscayaan Kiamat, ayat di atas menegaskan kembali keburukan mereka yang lain. Kali ini menyangkut Rasulullah saw. Ayat di atas menyatakan: Dan di samping keburukan mereka yang lalu, mereka juga melecehkanmu wahai Nabi Muhammad, sehingga apabila mereka melihatmu wahai Nabi agung, mereka selalu tidak menjadikanmu selain sebagai bahan ejekan dan caci maki padahal mereka mengetahui betapa luhur akhlakmu, dan betapa indah dan mempesona firman-firman Allah yang merupakan ajaran dan bukti kebenaranmu. Mereka sering mengatakan dengan nada mengejek: “Inikah orangnyajwzg diutusAllah kepada kami sebagai Rasul? Sungguh tidak mungkin dia seorang Rasul Allah! Selanjutnya kaum kafir itu “memuji” Rasul dengan tujuan memperingatkan masyarakat agar tidak terpengaruh oleh ajakan Rasul saw. dengan m enyatakan: Sesungguhnya hampir-hampir saja dia 479 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 1 IIJI Surah aC-Turqdn (25) Kelompok VI ayat 41-42 menyesatkan yakni merusak kepercayaan kita dan mengalihkan kita dari tuhanluhan yang kita sembah akibat kesungguhan dan kepandaiannya, serta argumentasinya yang tidak mudah dibatalkan oleh sembarang orang. Seandainya kita tidak bersabar atas penyembahan-»)« dan tekun mempertahankan keyakinan kita, pastilah dia akan berhasil menyesatkan kita. Sikap orang-orang kafir itu dikecam oleh Allah dengan menyatakan: Kelak mereka —atau sebagian mereka —akan melihat dan nanti mereka juga akan mengetahui —saat mereka melihat a^ab —siapakahyang paling sesatjalannya. Mereka sendiri atau siapa yang mereka tuduh menyesatkan mereka. Sikap kaum musyrikin melecehkan Nabi Muhammad saw., antara lain disebabkan oleh penilaian mereka terhadap manusia. Orang-orang yang tenggelam dalam kenikmatan duniawi, sering kali mengukur kedudukan seseorang bukan atas dasar budi pekertinya yang luhur, tetapi berdasar penampilannya yang anggun, pakaiannya yang indah serta teman-temannya yang berkedudukan sosial tinggi. Rasul saw. hidup dalam kesederhanaan, bergaul dengan orang-orang miskin serta berpenampilan sederhana. Beliau dikenal sangat halus, enggan menyinggung perasaan orang lain, bahkan beberapa riwayat melukiskan beliau sangat pemalu —jika berkaitan dengan hak-hak pribadinya. Kendati wajah beliau dipenuhi oleh wibawa, namun karena tokoh-tokoh musyrik seperti Abu Jahal dan kawan-kawannya hanya memperhatikan penampilan lahiriah, maka lahirlah penghinaan itu. Kata ( Ijja ) hu^uivan dipahami oleh sementara ulama dalam arti penghinaan atau gurauan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan melecehkan. Patron kata yang digunakan ayat ini adalah bentuk kata jadian ( infinitive noun), sehingga ia m engandung makna kesempurnaan olok-olok itu. Ini, jika ditambah dengan redaksi sebelumnya yang menyatakan tidak menjadikanmu selain, maka olok-olok mereka itu telah mencapai puncaknya sekaligus tidak ada aktivitas mereka menyangkut Rasul saw. kecuali olok-olok. Dan dengan demikian sungguh jauh mereka dari upaya mendengar tuntunan-tuntunan beliau. Kata ( oj ) in pada firman-Nya: ( alT oj ) in kada asalnya ( jt ) inna, karena itu ia diterjemahkan dengan sesungguhnya. Ayat 42 di atas tidak membantah atau melayani pelecehan itu, tetapi mengabaikan mereka sambil menyatakan: “Kelak —kalau siksa telah datang —akan diketahui siapa yang akan terbukti kebenarannya dan siapa pula yang bersalah.” Pada ayat 63 nanti, insya Allah penulis akan menguraikan lebih banyak tentang hal ini. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VI ayat 43 Surafi aC-Turqan (25) Firman-Nya: ( <_j\JLuJ1 j j y_ ) hinayarawna al-'ad^ab/saat mereka melihat a%ab, ada yang memahaminya siksa di dunia antara lain kekalahan kaum musyrikin dalam Perang Badr, dan ada juga ulama yang menyatakan siksa dimaksud adalah siksa ukhrawi. AYAT 43 ‘Terangkanlah kepadaku tentang orangyang menjadikan tuhannya hawa nafsunya. Maka apakah engkau dapat menjadi wakil atasnya?” Ayat-ayat yang lalu menggambarkan keengganan dan kedurhakaan kaum musyrikin serta pelecehan mereka terhadap pribadi dan ajaran Nabi Muhammad saw. Hal ini tentu saja menyedihkan Nabi Muhammad saw. yang sangat ingin agar semua manusia meraih keselamatan. Nah, untuk itu, Allah menghibur Nabi-Nya dengan menyatakan: Terangkanlah kepadaku tentang orangyang memaksakan diri menentang fitrah kesuciannya dengan menjadikan tuhannya adalah hawa nafsunya. Nah, jika demikian maka apakah engkau menduga dapat menjadi wakil yakni pemelihara atau pemaksa atasnya sehingga mempercayai ajaran yang engkau sampaikan? Tidak! Kata ( c-i'jf ) ara’aita secara harfiah berarti apakah engkau telah melihat. Tetapi maksud kalimat semacam ini bukanlah makna harfiah itu, tetapi ia dipahami dalam arti ‘Terangkanlah kepadaku”, dan ini pun bukan bertujuan meminta informasi, tetapi untuk menarik perhatian mitra bicara sambil menunjukkan betapa aneh yang dipertanyakan itu. Kata ( ) hawa adalah kecenderungan hati kepada dorongan syahwat tanpa kendali akal. Firman-Nya: ( aljA aAI Ji>Jl ) ittakhad^a ilahahu hawdhujmenjadikan tuhannya hawa nafsunya didiskusikan maknanya oleh para ulama. Ini karena kata ( ) ittakhad^a memerlukan dua objek, sebab ia berarti “Menjadikan sesuatu berbeda dengan keadaanya yang sebelumnya”. Biasanya yang disebut pertama menjadi objeknya yang pertama dan dialah yang diubah keadaannya, sedang yang disebut kedua adalah objeknya yang kedua dan itulah hasil dari upaya “m enjadikan” itu. Jika Anda berkata: “Saya menjadikan kayu ini bangku”, maka kayu adalah objek pertama, dan bangku adalah objek yang kedua sekaligus bangku itu merupakan hasil kerja itu. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 11!Hf ■jit Suraf aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 43 Nah, jika Anda memahami ayat ini sesuai dengan kebiasaan yang disebut di atas, maka itu berarti menjadikan tuhannya hawa nafsunya yakni tuhan yang disembah oleh yang bersangkutan dijadikannya sesuai keinginan hawa nafsunya. Yakni dia menjadikan tuhannya adalah apa yang disenanginya, bukan karena tuhan tersebut berhak untuk dipertuhan. Ini dikukuhkan antara lain oleh riwayat Imam Bukhari melalui Mahdi Ibn Maimun, bahwa yang terakhir ini mendengar Abu Raja’ al-Atharidi —salah seorang yang hidup pada masa Rasul saw. walau tidak bertemu dengan beliau —beikata: “Kami (pada masa Jahiliah) menyembah batu, tetapi kalau kami mendapat batu yang lebih baik, batu itu kami buang dan mempertuhan batu yang lebih baik itu.” Thabathaba’i memahami kata ( <dl ) ilah berkedudukan sebagai objek pertama. Dengan alasan konteks ayat di atas adalah kecaman terhadap kaum musyrikin yang mempersekutukan Allah swt. dengan menyembah berhala-berhala, sambil berpaling dari kewajiban taat kepada Allah menuju ketaatan kepada hawa nafsu yang memperindah buat mereka kepercayaan syirik. Mereka —tulis Thabathaba’i - telah menemukan kebenaran ketika mempercayai adanya tuhan yang harus ditaati, tetapi mereka keliru ketika menjadikan yang mereka taati itu adalah hawa nafsu, bukan Allah swt. Dengan demikian mereka meletakkan hawa nafsu di tempat al-Haqq yakni Allah swt., bukannya menempatkan yang ditaati pada tempat selainnya. Tetapi ada juga ulama yang memahami objek pertama penggalan ayat itu adalah yang disebut terakhir yakni ( alys) hawahu/hawa nafsunya, sedang objeknya yang kedua adalah yang disebut pertama yakni ( ) ilahahuj tuhannya. Dengan demikian penggalan ayat tersebut berarti menjadikan hawa nafsunya adalah tuhannya. Yakni bagaikan tuhan yang ditaati dan diikuti. Makna kedua ini lebih umum, karena dengan demikian yang bersangkutan dicela bukan saja karena menyembah tuhan selain Allah, tetapi juga karena melakukan aneka kedurhakaan - misalnya berzina, mencuri, menganiaya dan sebagainya karena m engikuti kehendak hawa nafsu yang selalu mendorong kepada keburukan. Menurut al-Biqa'i ayat di atas bermaksud menyatakan bahwa mereka itu telah menghina tuhan sehingga merendahkannya hingga mencapai peringkat hawa nafsu dan dengan demikian mereka tidak “menyembah” kecuali hawa nafsu m ereka. Yang dimaksud oleh al-B iqa‘i dengan “menyembah” adalah “menaati dan mengikuti”. Memang al-Qur’an sering menggunakan kata “ibadah” dalam arti mengikuti dan taat, seperti firman---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 43 Nya dalam QS. Yasin [36]: 60: jj j- Z\ b ik ls i \/j£ s y U ^ °^\ “Bukankah A ku telah berpesan kepada kamu bahwajanganlah engkau “mettyembah ” setan sesungguhnya dia bagi kamu adalah musubyangjelas.” Al-Biqa‘i lebih jauh mengutip pendapat penafsir dan pakar bahasa Arab, Abu Hayyan, yang menyatakan bahwa ayat ini bermakna: “Yang bersangkutan tidak menjadikan satu tuhan pun kecuali hawa nafsunya.” Seandainya kalimat itu dibalik, maka maknanya akan menjadi: “Dia tidak menjadikan keinginan nafsu kecuali tuhannya”, dan bila demikian artinya maka yang bersangkutan telah mencabut hawa nafsunya dan tidak melakukan satu aktivitas kecuali apa yang sesuai dengan perintah tuhannya. Hal yang dapat lebih menjelaskan perbedaan makna akibat adanya kata yang didahulukan dan dikem udiankan adalah contoh berikut yang dikemukan al-Biqa‘i. Menurutnya, jika Anda berkata: “Dia menjadikan pembantunya ayahnya”, maka itu berarti yang bersangkutan mengagungkan sang pembantu karena mendudukkannya sebagai ayahnya. Tetapi jika dikatakan: “Dia menjadikan ayahnya pembantunya”, maka di sini yang bersangkutan melecehkan ayahnya, karena dia menempatkannya dalam kedudukan pembantu”. Demikian al-Biqa‘i. Firm an-N ya: ( *>LTj <uU 0 cJ l i l ) afa anta takunu ‘alaihi waktlan, dipahami oleh al-Biqa‘i dalam arti “Apakah engkau wahai Nabi Muhammad saw. dapat memaksanya meninggalkan kedurhakaan dan mempercayai ajaranmu? Tidak! Engkau tidak mampu, karena engkau hanya Rasul. Tugasmu hanya menyampaikan ajaran. Karena itu jangan bersedih.” Sedang Thabathaba’i memahaminya dalam arti “Engkau wahai Nabi Muhammad saw. bukanlah seorang yang bertugas menangani urusan yang bersangkutan sampai harus mampu memberinya petunjuk ke jalan yang lurus. Engkau tidak mampu melakukan itu karena Allah telah mencabut dari yang bersangkutan sebab-sebab yang dapat menjadikannya meraih petunjuk.” Ini menurutnya serupa dengan firman-Nya: lOo ^ 4 ; m jfij “Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi petunjuk (.walauj orangyang engkau sangat cintai, tetapi A llah memberi petunjuk siapa yans Dia kehendaki” (QS. al-Qashash [28]: 56). ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 14841 Surah aC-<Furqan (25) Kelompok VI ayat 44 A Y A T 44 & I-” S f o © J / 1/ 9 / i ' 9Lt t ^ J j ^ w u ilT f 4 1 , 9 ^ a . , ✓ • ^ I „0 s / 0 f o j Ojlibu j l y , /O S O % s ^ S / • f j& \ *1M t / J / .» O f j»\ s# (it) “Atan apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka mendengar atau memaham? Mereka tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya. ” Setelah ayat yang lalu menegaskan ketidakmampuan Nabi saw. m em aksa seseo ran g untuk berim an, ayat di atas m enguraikan ketidakmampuan beliau secara baik-baik tanpa paksaan untuk menjelaskan buruknya kesesatan buat mereka yang telah mendarah daging kesesatannya. K etidakm am puan dim aksud dilukiskan dengan m enafikan dugaan kem am puan beliau “m em perdengarkan” dan m enjadikan m ereka menghayati sehingga mengamalkan tuntunan agama. Demikian al-Biqa‘i menghubungkan ayat ini dengan ayat yang lalu. Ibn ‘Asyur menguraikan bahwa ayat 44 di atas beralih dari uraian tentang ketidakpercayaan orang-orang kafir itu disebabkan oleh desakan hawa nafsu yang mengalahkan akal mereka —beralih dari uraian itu —kepada mengingatkan Nabi Muhammad saw. agar tidak menduga mereka telah memahami uraian dan bukti-bukti yang selama ini telah beliau sampaikan. .Ini menurut ulama asal Tunisia itu merupakan tuntunan lain dalam rangka berpaling menjauhkan diri dari pertengkaran yang tidak berguna sambil m enanti jatuhnya siksa atas mereka, sebagaimana tuntunan pertama terdahulu pada ayat 42 surah ini yang menyatakan: Dan mereka akan mengetahui —saat mereka melihat a%ab —siapakah yang paling sesatjalannya. Apapun hubungan yang Anda pilih atau kemukakan, yang jelas ayat ini menyatakan: Atau apakah engkau wahai Nabi mulia mengira bahwa kebanyakan mereka yakni orang-orang kafir itu mendengar uraian-uraianmu dengan pendengaran yang mengantar mereka meraih hasil positif atau memahami dengan akal mereka bukti-bukti kebenaran yang terhampar di alam raya? Tidak. Mereka tidak mendengar dan tidak juga menggunakan akal mereka untuk memahami bukti-bukti itu. Mereka tidak lain hanyalah seperti binatang ternak yang juga tidak mampu mendengar ajakanmu dan tidak memiliki akal bahkan seperti binatang yang hanya makan, minum dan hubungan seks, bahkan mereka lebih sesatjalannya dari binatang ternak itu, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi af-Turqdn (25) Kelompok VI ayat 45-46 i karena binatang mengikuti nalurinya walau tidak memiliki fitrah kesucian, sedang mereka mengabaikan nalurinya serta mengotori fltrahnya. Binatang tidak m enjerum uskan d iri dalam kebinasaan, sedang m ereka menjerumuskan diri. Binatang mengikuti penggembala dan menurut bila ditegur apalagi dihardik, sedang mereka membangkang penuntunnya. Dengan demikian binatang memiliki sedikit kemampuan untuk mendengar dan mengikuti, sedang mereka tidak memilikinya sedikit pun. Ayat di atas menggabung antara ( Ojju-o) yasma'un/mereka mendengar dan ( o ) ya \qilun/mereka menggunakan akal atau memahami. Penyebutan keduanya mengisyaratkan bahwa sarana perolehan kebahagiaan adalah salah satu dari kedua hal tersebut. Yaitu menggunakan akal yang sehat untuk meraih kebenaran, atau kalau tidak, maka mendengar tuntupan orang lain yang memiliki akal yang sehat. Surah al-Mulk [67]: 10 merekam ucapan orang orang kafir yang terjerumus ke neraka. jJ u J l »\ ^ La J i i k i °j\ x ^ J L J lIS* j i \jilij Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengar atau berakal niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” Demikian Thabathaba’i. Ayat di atas menyatakan ( I ) aktsarahum/ kebanyakan mereka bukan semua mereka karena sebagian di antara orang-orang kafir itu sebenarnya mengerti dan menggunakan akalnya, tetapi enggan mengikuti tuntunan Nabi saw. karena keangkuhan dan kekhawatiran kehilangan keistimewaan dan status sosial yang selama ini mereka nikmati. Kebanyakan yang dimaksud oleh ayat di atas adalah masyarakat awam yang hanya bertaklid buta mengikuti pemimpin-pemimpin mereka. AYAT 45-46 4* °Jj j y i l . ( j C ali £ Jj o\£e3 J\ y $ (to) “Apakah engkau tidak memperhatikan Tuhanmu, bagaimana Dia membentangkan bayang-bayangj dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadikannya tetap. Kemudian Kami menjadikan matahari atasnya sebagai bukti. Kemudian Kami menggenggamnya kepada Kami dengan gengaman perlahan-lahan. ” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com § | p Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 45-46 Ayat ini dan ayat-ayat berikut merupakan bukti-bukti yang terhampar di alam raya yang mestinya diamati dan dipahami oleh semua manusia, khususnya mereka yang pada ayat yang lalu dipersamakan dengan binatang ternak. Menurut Thabathaba’i, kedua ayat di atas bahkan ayat-ayat berikut hingga ayat 62, bagaikan contoh yang mempersamakan keadaan mereka yang disebut oleh kedua ayat yang lalu. Allah swt. telah mengutus Rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia menuju jalan kebahagiaan dan menyelamatkan mereka dari kesesatan. Nah, sebagian manusia —yang dikehendaki Allah —memperoleh petunjuk. Adapun sebagian lainnya yakni yang menjadikan tuhannya adalah hawa nafsunya, maka mereka itu tidak mendengar dan tidak berakal, dan dengan demikian tidak satu pun yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (tidak memberinya petunjuk). Ini bukanlah sesuatu yang aneh, karena dalam ciptaan Allah yang lain serta melalui ayat-ayat-Nya yakni bukti-bukti yang terhampar di alam raya pun kita dapat melihat hal serupa, antara lain apa yang dilakukan Allah terhadap bayangan dengan memanjangkannya serta menjadikan matahari bukti atas keberadaan bayangan dengan menghapusnya. Atau seperti menjadikan malam sebagai pakaian dan tidur untuk istirahat serta siang untuk bertebaran mencari nafkah, dan seterusnya. Demikian Thabathaba’i. Kalau mengikuti pendapat Ibn ‘Asyur, maka ayat ini hingga ayat 62 m erupakan satu kelompok tersendiri. M enurutnya, ayat-ayat di atas merupakan uraian baru yang merupakan perpindahan dari uraian tentang bukti kebenaran Rasul saw. dan bahwa al-Qur’an bersumber dari Allah swt. yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, ayat ini berhubungan dengan ayat 32 yang berbicara tentang usul atau sanggahan kaum musyrikin menyangkut turunnya al-Qur’an secara bertahap tidak sekaligus. Ayat-ayat di atas —masih menurut Ibn ‘Asyur —juga merupakan peralihan dari pembuktian tentang kesesatan kepercayaan syirik sekaligus bukti keesaan A llah swt. Bila dipahami demikian, maka ayat-ayat ini berhubungan dengan ayat 3 surah ini yang berbicara tentang tuhan-tuhan kaum musyrikin yang antara lain tidak dapat mencipta, bahkan diciptakan dan dibuat. Lebih jauh Thahir Ibn ‘Asyur menjadikan dari gaya ayat ini yang m engarahkan pem bicaraan kepada Nabi saw. selaku persona kedua (Tidakkah engkau melihat) sebagai bukti bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat yang lain yang menggunakan gaya serupa, bermula dari firman---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VI ayat 45-46 Surah aC-<Furqan (25) | B | Nya: Katakanlah bahwa dia (al-Furqan) telah diturunkan oleh yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi (ayat 6), lalu Katakanlah apakah itu yang baik (ayat 15), lalu Dan Kami tidak mengutus sebelummupara rasul (ayat 20) sampai pada ayat Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi hidayah dan Penolong (ayat 31) yang kesemuanya ditujukan kepada mitra bicara dalam hal ini adalah Nabi Muhammad saw. Atas dasar itu, ulama ini berpendapat bahwa keadaan bayangan yang diperpanjang dan diperpendek Allah adalah contoh dari pentahapan dalam penciptaan Ilahi. Hal-hal itu pun tidak secara langsung. Contoh ini merupakan premis pertama untuk membuktikan bahwa turunnya al-Qur’an sedikit demi sedikit sejalan dengan hikmah pentahapan, karena cara tersebut lebih sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai yakni tujuan yang dijelaskan oleh firman-Nya di sana yaitu: Agar Kami kuatkan dengannya hatimu. Dengan demikian, firman-Nya “Apakah engkau tidak melihat Tuhanmu, bagaimana D ia memanjangkan bayang-bayang” m erupakan tam bahan pengukuhan terhadap kandungan firman-Nya yang di sana yakni ‘AgarKami kuatkan dengannya hatimu”. Lebih jauh Ibn ‘Asyur menjadikan ayat di atas — sejalan dengan pem aham annya ini — sebagai isyarat m enyangkut perumpamaan turunnya al-Qur’an dengan memancarnya cahaya matahari di tempat-tempat yang dipenuhi bayangan (karena gelapnya), karena Allah berfirman ‘Kemudian Kami menjadikan matahari atasnya sebagai bukti. ” Situasi manusia sebelum turunnya al-Qur’an serupa dengan situasi di mana kegelapan bayangan berkelanjutan. Kehadiran al-Qur’an sedikit demi sedikit serupa dengan tersingkapnya sedikit demi sedikit apa yang tadinya dipenuhi bayangan itu. Ia tersingkap tahap demi tahap sampai akhirnya segalanya menjadi terang dan bayang pun hilang sama sekali. Dengan demikian tulis Ibn ‘Asyur —ayat ini dengan per-umpamaan yang dipaparkannya, menjelaskan turunnya ayat al-Qur’an secara bertahap serupa dengan keadaan bayangan yang juga bertahap, sedang jika Allah menghendaki, Dia dapat menjadikan bayangan itu tetap, tidak berubah-ubah, dan demikian juga al-Qur’an langsung sekaligus tidak mengalami pentahapan. Apapun hubungan yang Anda pilih atau kemukakan, yang jelas ayat di atas menyatakan bahwa: Apakah engkau tidak memperhatikan penciptaan Tuhanmu, bagaimana Dia membentangkan bayang-bayang di pagi hari dan juga m em endekkannya sesuai terpaan cahaya m atah ari; dan kalau Dia menghendaki, niscaya Dia menjadikannya yakni bayang-bayang itu tetap tidak bergerak dan tidak berubah-ubah. Tetapi Allah tidak menghendaki ia menjadi demikian, agar makhluk memperoleh manfaat yang banyak di balik ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com * 488 'i ...... *£ Surah aC-Turqati (25) Kelompok VI ayat 45-46 r/v ketentuan-Nya yang berlaku dewasa ini. Kemudian bukti kekuasaan Allah yang lebih hebat lagi dari keadaan bayang-bayang itu adalah Kami Yang Maha Kuasa menjadikan kemunculan cahaya matahari atasnya yakni atas bayang-bayang itu sebagai bukti adanya bayangan. Karena dengan sinar matahari bayangan menghilang. Kemudian yang lebih hebat dari itu adalah kuasa Kami menggenggamnya yakni menghilangkan bayang-bayang itu kepada Kami dan dengan kuasa Kami. Itu Kami lakukan dengan genggaman perlahanlahan tidak sekaligus. Ayat ini menggunakan gaya bahasa persona ketiga ketika menunjuk kepada Allah swt. Perhatikan firman-Nya pada ayat 45 yang memulai dengan kalim at: A.pakah engkau tidak memperhatikan Tuhanmu, lalu mengulang-ulangi kata “Dia” pada penggalan berikutnya. Perhatikanlah firman-Nya: Bagaimana Dia membentangkan bayang-bayang; dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadikannya tetap ”. Itu berbeda dengan penggalan berikutnya yang berbunyi: ‘Kemudian Kami menjadikan matahari atasnya sebagai bukti, "penggalan ayat ini menggunakan persona pertama yaitu kata ‘Kami’’. D em ikian juga dengan ayat 46 yang m enyatakan: “Kemudian Kami menggenggamnya kepada Kami. ” Pengalihan gaya bahasa ini —menurut Thabathaba’i —memberi kesan bahwa persoalan hidayah semata-mata kembali kepada Allah swt. bukan kepada Nabi Muhammad saw., sedang Yang Maha Kuasa itu telah menetapkan —berdasar hukum-hukum-Nya yang bersifat umum —bahwa kaum musyrikin itu tidak akan memperoleh hidayah-Nya. Ayat-ayat itu juga memberi kesan bahwa risalah dan dakwah yang haq, dalam kaitannya dengan kesesatan para pendurhaka, serta keberhasilannya menghapus kesesatan adalah bagian dari sunnah Ilahiah dalam membagi dan menyebarluaskan rahmat-Nya. Ia serupa dengan terbitnya matahari di permukaan bumi ini, dan keterhapusan bayangan yang terbentang di sana. Hal ini secara khusus perlu disampaikan kepada Nabi saw. lebih-lebih menyangkut ketiadaan kemampuan beliau untuk memberi hidayah kepada siapa pun. Itu perlu disampaikan kepada beliau secara khusus, karena beliau sangat mengharapkan kiranya semua manusia taat kepada Allah. Hal ini tidak perlu disampaikan kepada kaum musyrikin dan para pendurhaka itu karena memang mereka enggan memperoleh hidayah setelah menjadikan tuhan mereka adalah hawa nafsu mereka, serta enggan mendengar dan menggunakan akalnya. Itu pula sebabnya ayat di atas mengarahkan pembicaraan langsung kepada Nabi Muhammad saw. dengan menyatakan: “A pakah engkau tidak memperhatikan”. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com U 89 J Kelompok VI ayat 47 Surah aC-Turqan (25) i |||||| Kata ( ^ ) tsumma pada ayat di atas digunakan untuk menunjukkan jarak kedudukan dan kehebatan kuasa Allah yang demikian jauh dan tinggi antara yang disebut sebelum nya dengan yang disebut sesudahnya. Pembentangan bayang-bayang adalah suatu hal yang menunjukkan kuasaNya yang amat besar, namun yang lebih hebat lagi adalah peranan matahari dalam keberadaan dan hilangnya bayangan itu. Dan yang lebih dari ini adalah Kuasa-Nya menghilangkan bayang-bayang itu secara perlahan, sambil menganugerahkan manusia aneka manfaat darinya. Dalam Tafsir al-Muntakhab yang disusun oleh sejumlah pakar Mesir, dijelaskan bahwa panjang dan pendek yang terjadi pada bayangan menunjukkan adanya proses perputaran bumi —baik pada porosnya maupun mengelilingi matahari —dalam posisi miring. Jika dua proses perputaran itu tidak ada, bayangan akan diam, karena matahari hanya menyinari salah satu paruh bumi saja, sedangkan paruh yang lain akan gelap dan malam sepanjang tahun. Akibatnya, keseimbangan suhu udara menjadi rusak dan kehidupan menjadi tidak mungkin. Selanjutnya, hal itu juga bisa terjadi apabila tempo gerak bumi pada porosnya (rotasi) berbanding lurus dengan tempo gerak bumi mengelilingi matahari (revolusi). Tidak ada yang dapat melakukan hal seperti itu kecuali Allah, di samping bayangan itu sendiri adalah salah satu karunia Allah. Seandainya Allah menjadikan semua benda menjadi bening atau tembus pandang, maka bayangan tidak akan ada dan kehidupan menjadi tidak mungkin. AYAT 47 (tv) J*J “Dan Dialahyang menjadikan untuk kamu malam sebagai pakaian dan tidur sebagai pemutus dan Dia menjadikan siang untuk bertebaran. ” Setelah menyebut bukti-bukti keesaan dan kekuasaan-Nya melalui bayangan yang dibuktikan keberadaanya oleh kehadiran cahaya matahari, kini ayat di atas berbicara tentang manfaat lain yang diperoleh manusia dari terbit dan tenggelamnya matahari. Keserasian perurutan uraian ayat ini dengan ayat sebelumnya dapat juga ditemukan jika kita menyadari bahwa kegelapan malam dari remangremang hingga sangat kelam, lalu disusul lagi sedikit demi sedikit dengan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com jp g s Surah aC-Turqdn (25) Kelompok VI ayat 47 datangnya terang, serupa juga dengan keqdaan bayangan yang didahului oleh gelap hingga ia menghilang dengan datangnya terang. Thabathaba’i menulis: Keadaan manusia yang ditutupi oleh pakaian kegelapan malam, keterhentian dari aktivitas untuk beristirahat, lalu ketersebaran mereka mencari rezeki setelah munculnya siang, sebagaimana disebut oleh ayat ini memiliki keserupaan dengan apa yang diuraikan ayat yang lalu tentang kehadiran bayangan (gelap) kemudian menjadikan matahari sebagai bukti, lalu menggenggam dan menghilangkan bayangbayang itu. Ayat di atas menyatakan: Dan di antara bukti-bukti keesaan Allah dan kekuasaan-Nya adalah bahwa Dialah sendiri yang menjadikan untuk kamu sekalian malam dengan kegelapannya sebagai pakaian yang menutupi diri kamu, dan menjadikan tidur sebagai pemutus aneka kegiatan kamu sehingga kamu dapat beristirahat guna memulihkan tenaga, dan Dia juga menjadikan siang untuk bertebaran antara lain berusaha mencari rezeki. Kata ( ) subdtan terambil dari kata ( ) sabata yaitu memutus. Yang dimaksud adalah memutus kegiatan dan gerak tanpa mencabut nyawa. Sementara ulama — seperti pakar tafsir az-Zamakhsyari — memahami kata subdtan dalam arti kematian, karena ulama ini memperhadapkan kata tersebut dengan kata ( ) nusyuran yang dipahaminya dalam arti kebangkitan dari kubur. Memang dari segi bahasa kematian dapat dinamai subdt karena ia memutus hidup duniawi. D i sisi lain al-Qur’an (QS. az-Zumar [39]: 42) dan as-Sunnah mempersamakan kematian dengan tidur, bahkan Rasul saw. menamai tidur “maut”, seperti dalam doa bangun tidur yang beliau baca dan ajarkan: ( j j J J l d Jlj UUt U Juy ULt-I <us .u i - l ) al-Hamdulilldh allad^i ahyana ba ‘da ma amatana wa ilaihi an-nusyur/segala puji bagi A-llah yang menghidupkan kami setelah mematikan (menidurkan) kami, dan hanya kepadaNya kebangkitan. Ibn ‘Asyur juga membuka dua kemungkinan makna bagi kata nusyur. Pertama dalam arti bertebaran mencari rezeki di siang hari dan kedua dalam arti kebangkitan dari kubur. Dalam konteks membuktikan kebenaran kemungkinan kedua ini, ulama itu menulis bahwa ayat di atas mengulangi kata ja'ala ketika berbicara tentang nusyur di siang hari untuk mengisyaratkan bahwa Allah menjadikan nusyur/ kebangkitan dari kubur itu, memiliki perbedaan dengan menjadikan malam sebagai pakaian. Ulama ini berpendapat bahwa di sini ayat tersebut menggunakan peluang untuk menguraikan persoalan kebangkitan dari kubur sambil mengisyaratkan dalil ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 491 'A ; . Suraf aC-<Furqdn (25) Kelompok VI ayat 48-49 dan persamaannya (secara mini) denga'n bertebarannya manusia di siang hari. Ini mcnurutnya serupa juga dengan doa bangun tidur yang diajarkan Nabi saw. sebagaimana terbaca di atas. A Y A T 4 8 -4 9 f.\j > j-U—J l ^ („ , V ^ ijii '_/**■? a fc 4 . * jA j h i; * ^ ( 1 A) “EW Dia yang mengirim angin sebagai pembawa kabar gembira sebelum rahmatNya; dan Kami tuntnkan dari langit airyang sangat suci, agar Kami menghiditpkan dengannya negeri yang mati; dan Kami memberi minum dengannya sebagian dari apa yang Kami ciptakan yaitu binatang-binatang ternak dan manusiayang banyak. ” Selanjutnya Allah menyebut nikmat-nikmat-Nya yang lain guna menunjukkan kekuasaan dan keesaan-Nya serta kewajaran-Nya untuk disembah. Ayat ini menyatakan bahwa: Dan di antara bukti kekuasaan dan keesaan-Nya yang lain, adalah bahwa Dia yakni Tuhanmu-lah —wahai Nabi Muhammad —bukan selain-Nya yang mengirim angin guna menggiring awan sebagai pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya yakni sebelum turunnya hujan; dan Kami turunkan dari langit yakru dari udara, airyang sangat suci yakni amat bersih dan dapat digunakan untuk menyucikan agar Kami menghidupkan dengannya yakni dengan air yang Kami turunkan itu negeri yakni tanah gersang yang mati karena tanpa ditumbuhi sesuatu, dan agar Kami memberi minum dengannya sebagian dari apa yang Kami ciptakan yaitu binatangbinatang ternak dan manusia yang banyak. Kata ( j ) riyah adalah bentuk jamak dari kata ( ) rih. Al-Qur’an sering kali menggunakan bentuk jamak itu untuk menunjuk angin yang membawa nikmat, sedang bentuk tunggalnya digunakannya untuk angin yang membawa bencana. Seperti firman-Nya dalam QS. al-Haqqah [69]: 6 yang membicarakan kebinasaan kaum ‘Ad dengan angin kencang yang sangat dingin. Kata ( ) al-an'dm adalah bentuk jamak dari kata ( ) na‘am yakni unta, sapi dan kerbau. Ayat ini sengaja menyebut binatang-binatang tersebut - walaupun selainnya juga memperoleh minum dari air hujan — karena binatang-binatang itu sangat populer lagi dibutuhkan oleh masyarakat Arab. Di sisi lain, beberapa binatang seperti burung atau binatang buas misalnya ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Sura ft aC-Turqan (25) Kclompok VI ayat 50 dapat mencari sendiri minumannya, berbeda dengan binatang ternak itu. Kata ( ) anasiyy/ manusia, asalnya adalah (jw U I) anastn, lalu huruf ( —i ) nun yang terakhir diganti dengan ( <S ) yd>dan digabung dengan yd sebelumnya. Kata ( I^ ) katstran yang dikaitkan dengan manusia diperlukan untuk mengisyaratkan bahwa tidak semua manusia minum dari air hujan. Di antara mereka ada yang minum dari mata air atau danau dan sebagainya. Masyarakat Arab — apalagi di Jazirah Arab - dikenal dengan nama “Putra langit” dalam arti mereka sangat mengandalkan air hujan, antara lain untuk minuman mereka. Berbeda dengan penduduk Mesir yang mengandalkan sungai Nil. Dengan demikian, ayat ini secara tidak langsung mengingatkan kaum musyrikin Mekah tentang nikmat Allah kepada mereka. Kata ( j ) thahur terambil dari kata ( ) thahura yang biasa diartikan suci. Patron kata ini mengandung makna hiperbola, sehingga ia diartikan amat sangat suci. Dengan kata tersebut ayat ini menginformasikan bahwa air yang turun dari langit ketika pertama kali terbentuk merupakan air yang sangat bersih, bebas dari kuman dan polusi, meskipun ketika telah turun, air tersebut boleh jadi telah membawa benda-benda dan atom-atom yang ada di udara. Namun demikian ia masih tetap sangat suci dan dapat digunakan menyucikan sekian banyak najis. Perurutan penyebutan makhluk di atas dari segi kebutuhan kepada air, sungguh sangat serasi. Ayat-ayat di atas memulai menyebutkan turunnya air ke bumi, lalu pemberian minum binatang, selanjutnya manusia. Ini karena tanah sangat membutuhkan air agar tumbuhan dapat muncul dan hidup. T u m bu han-tum bu han am at dibutuhkan oleh binatang di samping kebutuhannya kepada air, karena itu binatang disebutkan sesudahnya. Terakhir adalah manusia yang membutuhkan air, tumbuhan dan binatang. A Y A T 50 ( e . ) r , y r Vi ^ o ii> o il) “Dan sesungguhnya Kami telah menganekaragamkannya di antara mereka supaya mereka mengambil pelajaran; lalu kebanyakan manusia tidak mau kecuali sangat kufur. ’’ Ulama-ulama berbeda pendapat tentang persoalan yang dibicarakan oleh ayat ini. Apakah air yang turun dari langit atau al-Qur’an. Jika Anda ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 493 i Kelompok VI ayat 50 Surah aC-Turqan (25) W ir memahaminya berbicara tentang air, maka hubungannya dengan ayat yang lalu cukup jelas. Ayat ini bagaikan berkata: Dan Kami bersumpah bahwa sesungguhnya Kami telah menganekaragamkannya yakni air yang turun itu di antara mereka, sekali turun di tempat dan waktu ini dan di kali lain di tempat waktu itu, sekali untuk penduduk ini dan di kali lain untuk yang itu. Tidak menjadikannya terus menerus pada kaum ini dan di tempat itu atau menghalangi dari kaum itu secara terus. Itu Kami lakukan agar mereka tidak binasa oleh banyaknya air (banjir), tidak juga karena ketiadaan air. Kami melakukannya seperti itu supaya mereka yang hidup di berbagai tempat itu mengambilpelajaran dari keanekaragaman itu; lalu sungguh mengherankan, kebanyakan manusia tidak mau kecuali sangat kufur yakni mengingkari nikmat Kami yang melimpah itu. Ada juga ulama yang memahami kata Kami menganekaragamkannya dalam arti menganekaragamkan apa yang diuraikan oleh ayat-ayat al-Qur’an - yakni tentang peranan angin dan awan dalam turunnya hujan dan lainlain — menganekaragamkannya di berbagai tempat dalam kitab al-Qur’an ini dan di tempat-tempat serta situasi yang lain. Banyak juga ulama yang m em aham i penganekaragam an itu menyangkut al-Qur’an. Al~Biqa‘i yang menganut pendapat ini menulis bahwa setelah sebelum ini Allah swt. menjelaskan bahwa salah satu dampak positif dari turunnya al-Qur’an secara bertahap adanya kehidupan jiwa manusia, lalu itu disusul dengan uraian yang sesuai dengan uraian yang serasi dengannya yaitu kehidupan jasmani makhluk, maka setelah selesainya uraian kedua ini, adalah sangat wajar jika Allah kembali menguraikan tentang al-Qur’an dan kehidupan jiwa. Nah, untuk itu ayat di atas sambil mengarah kepada firman-Nya sebelum ini yang menyatakan: Demikianlah, supaya Kami perkuat dengannya hatimu (ayat 32) melanjutkan bahwa: Dan Kami bersum pah bahwa sesungguhnya Kami telah mengarahkannya yakni al-Qur’an di antara mereka di setiap wilayah supaya mereka tJiengingat melalui ayat-ayat yang mereka dengar itu, apa yang Kami mantapkan dalam diri mereka menyangkut dalil-dalil akliah yang didukung oleh bukti-bukti yang terham par di alam raya, walau mengingatnya hanya dalam bentuk sesederhana mungkin selama telah dapat menyelamatkan mereka/ lalu kebanyakan manusia tidak mau karena kekeraskepalaan mereka kecuali amat sangat kufur. Demikian lebih kurang al-Biqa‘i ketika menafsikan ayat di atas. Pendapat al-Biqa‘i di atas yang menggambarkan bahwa peringatan yang diharapkan walau dalam bentuk sesederhana mungkin, dia pahami ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 50 ** dari kata ( I liyad^d^akkaru yang asalnya adalah ( Ij f Jb J) liyatadyakkaru. Idghdm yakni penggabungan salah satu huruf ( _; ) td kepada huruf ( i ) d%al yang mengisyaratkan pengurangan huruf itulah yang menjadikan alBiqa‘i memperoleh kesan. Jika kita memahami ayat di atas sebagai berbicara tentang air yang turun dari langit, maka kekufuran dimaksud adalah kekufuran nikmat Allah, serta keengganan mensyukuri nikmat-Nya sampai dengan kepercayaan bahwa hujan turun berkat bintang A atau B. Dalam konteks ini, sahabat Nabi saw., Zaid Ibn Khalid al-Juhani, menyampaikan bahwa: Rasulullah saw. mengimami kami shalat subuh di Hudaibiyah, setelah pada malamnya hujan turun. Seusai (shalat) beliau mengarah kepada hadirin dan bersabda: “Tahukah kamu sekalian apa yang difirmankan Tuhan (Pemelihara) kamu?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa Allah berfirman: “Pagi (ini) ada hamba-Ku yang percaya pada-Ku serta kafir (kepada yang lain). Adapun yang berkata: “Kami memperoleh curahan hujan berdasarkan anugerah Allah dan rahmatNya, maka itulah yang percaya pada-Ku serta kafir terhadap bintang, sedangkan yang berkata: “Kami memperoleh curahan hujan oleh bintang ini dan itu, maka itulah yang kafir pada-Ku dan percaya kepada bintang.” (HR. Bukhari, Malik dan an-Nasa’i). Termasuk juga dalam makna kekufuran dalam kaitannya dengan turunnya hujan, adalah mengabaikan peranan Allah swt. dalam pengaturan hukum -hukum alam tentang turunnya hujan. Sebagai muslim yang berpengetahuan, kita harus menerima pandangan ilmuwan tentang proses turunnya hujan, dan hukum-hukum alam yang berkaitan dengannya. Ini bukan saja karena itu merupakan hakikat ilmiah tetapi juga karena demikian itu pula informasi al-Qur’an sebagaimana terbaca di atas dan banyak ayat lain di antaranya dalam QS. an-Nur [24]: 43. Hanya saja kita tidak berhenti pada hukum-hukum alam itu, kita masih harus percaya bahwa hanya Allah swt. yang menetapkan dan mengatur hukum-hukum alam itu. H ujan m em ang ada sebabnya, berdasarkan hukum alam yang dijelaskan oleh ilmuwan dan dijelaskan oleh ayat-ayat al-Qur’an, tetapi apa hakikat “ sebab”? Benar ia mendahului akibat atau berbarengan dengannya, tetapi bukan ia yang mewujudkan akibat. Sederetan keberatan ilmiah dan filosofis menghadang peran “sebab” yang demikian besar —jika kita berkata demikian — karenanya para ilmuwan beragama menegaskan bahwa dibalik sebab dan hukum alam ada satu kekuatan Yang Maha Perkasa ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 495; Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 51-52 fp§ lagi Maha Mengetahui, yaitu Allah a l-'A a l-H a k im . A YA T 51-52 <0 ^kj Ju 4j jfl ^ L£aJ (®Y) j Jj fjrf "Sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami pasti mengutus kepada setiap negeri seorang pemberi peringatan. Maka janganlah engkau menaati orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka — dengannya — dengan jihad yang besar. ” Al-Biqa‘i yang menjadikan ayat yang lalu berbicara tentang al-Qur’an menjadikan ayat ini sebagai salah satu penguat pendapatnya itu. Ulama tersebut menghubungkannya dengan ayat lalu dengan menyatakan bahwa kekeraskepalaan kaum musyrikin yang menuntut diturunkannya malaikat untuk mendukung Rasul saw., boleh jadi melahirkan kecenderungan di hati sementara orang tentang wajarnya permintaan itu dikabulkan demi keislaman mereka, maka terlebih dahulu pertama kali diisyaratkan bahwa dukungan Nabi Harun as. kepada Nabi Musa as. tidak membawa hasil apaapa ketika mereka menghadapi Fir'aun dan orang-orang Mesir (ayat 35-36) dan bahwa untuk meyakinkan orang-orang yang ragu, yang dibutuhkan adalah mukjizat dan ini pun telah dipaparkan melalui ayat-ayat al-Qur’an, yang telah dianekaragamkan pada setiap waktu, tempat dan penjelasan sebagaim ana d isebu t pada ayat yang lalu, m aka ayat 52 di atas mengisyaratkan bahwa tidak dikabulkannya permintaan kaum musyrikin di atas justru karena adanya hikmah yang diketahui oleh Allah swt. Pada ayat di atas Allah berfirman: Sekiranya Kami menghendaki —tetapi ini Kami tidak kehendaki —sebagaimana dipahami dari kata ( £ ) laurv pada awal ayat ini, Sekiranya Kam i menghendaki, niscaya Kami pasti mengutus kepada setiap negeri seorang pemberi peringatan baik dengan mengutus malaikat maupun manusia atau siapa pun seperti halnya Kami membagi-bagi hujan di daerah yang berbeda-beda. Itu sungguh mudah bagi Kam i karena kekuasaan dan kerajaan mudak adalah milik Kami semata, sebagaimana Kami sebutkan sejak semula (ayat 2). Memang kalau itu terjadi engkau — wahai Nabi Muhammad — tidak akan memikul beban yang sangat berat, tetap i K am i tidak m enghendaki hal tersebu t karena K am i ingin menganugerahkan kepadamu penghormatan terbesar kepadamu dengan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com : 496 Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 51-52 '<1? mengutusmu kepada seluruh alam. Maka- karena itu, tunaikanlah misimu dan janganlah engkau menaati yakni mengikuti hawa nafsu orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka dengannya yakni dengan al-Qur’an dengan jihadyang besar, yakni dengan jalan menjelaskan hakikat ajaran al-Qur’an, menonjolkan keistimewaannya, menampik dalih-dalih yang bermaksud melemahkannya serta menampilkan dalam bentuk keteladanan keunggulan ajarannya. Thabathaba’i menjelaskan bahwa ayat-ayat ini bagaikan menyatakan: Kalau perumpamaan risalah Ilahiah dan ajaran agama dalam hal menyingkap tabir kejahilan dan kelengahan yang menyelubungi jiwa manusia, serta penampakannya terhadap kebenaran dan peranannya dalam memaparkan bukti-bukti —kalau itu semua —serupa dengan matahari dalam membuktikan adanya bayangan yang terbentang serta penghapusan bayangan itu atas kehendak Allah, dan serupa pula dengan matahari dalam kaitannya dengan malam dan penghentian aktivitas atau serupa dengan hujan dalam peranannya menghidupkan tanah yang gersang, serta memberi minum binatang ternak dan manusia yang haus —kalau itu semua serupa —sedang Kami telah mengutusmu untuk penduduk semua negeri, maka janganlah engkau mengikuti orang-orang kafir, karena mengikuti mereka merupakan pembatalan ketentuan umum yang ditetapkan Allah di atas — dalam hal p em b erian p etu n ju k. C urahkanlah semua kem am puanm u untuk menyampaikan risalah dan menyempurnakan hujjah, melalui al-Qur’an yang mengandung ajakan yang benar, serta berjihadlah dengan jihad yang besar. Demikian Thabathaba’i. Kata ( ) biht/dengannya pada firman-Nya: (<u ^ .lab r j ) wajahidhum bihi/ berjihadlah menghadapi mereka dengannya, merujuk kepada al-Qur’an yakni dengan al-Qur’an. Atas dasar itu sehingga Sayyid Quthub pun mendukung pendapat ulama yang mengatakan bahwa ayat 50 yang berbicara tentang penganekaragaman adalah penganekaragaman ayat-ayat al-Qur’an, bukan air hujan yang turun dari langit. Ayat ini menggarisbawahi pentingnya berdakwah dalam menghadapi lawan-lawan agama. Tuntunan ayat ini sangat relevan dewasa ini, karena kini inform asi merupakan senjata yang paling ampuh untuk meraih kemenangan sekaligus alat yang sangat kuat untuk mendiskreditkan lawan. Sekian banyak tuduhan dan kesalahpahaman tentang Islam yang harus dibendung melalui inform asi yang benar serta keteladanan yang baik. Agaknya dapat dikatakan bahwa berjihad dengan al-Qur’an dalam pengertian ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VI ayat 53 Surah aC-Turqan (25) yang penulis kemukakan di atas jauh lebih penting untuk dipersiapkan dan dilaksanakan daripada betjihad dengan senjata. Karena setiap saat kita menghadapi informasi, dan tidak setiap saat kita menghadapi musuh dengan senjata. Banyak yang dapat ikut membela dengan senjata — bahkan boleh jadi — ada non muslim yang bersedia ikut, jika kebetulan lawan yang menyerang itu adalah lawan politiknya pula. Tetapi berjihad dengan al-Qur’an hanya dapat dilakukan oleh yang percaya kepada al-Qur’an sekaligus memahaminya dengan baik. Sungguh menghadapi lawan-lawan yang bermaksud memutarbalikkan fakta, atau bahkan yang tidak memiliki pengetahuan atau menyalahpahami ajaran jauh lebih berat daripada pertempuran dengan senjata. Sungguh tepat ayat di atas menamai jihad dengan al-Qur’an dengan jihadyang besar. Ayat ini juga menjadi bukti bahwa jihad tidak selalu berkaitan dengan mengangkat senjata. Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad saw. masih berada di Mekah, dalam situasi umat Islam masih sangat lemah, belum memiliki kekuatan fisik, namun demikian beliau diperintahkan untuk berjihad, dalam arti mencurahkan semua kemampuan menghadapi kaum musyrikin dengan kalimat-kalimat yang menyentuh nalar dan kalbu, bukan dengan senjata yang melukai fisik atau mencabut nyawa. A YA T 53 % o ✓ .* o / (or) “Dan Diayang mengalirkan kedua lautyang ini tawar lagi le^at danyang ini sangat asin lagi pahit. Dan Dia telah menjadikan antara keduanya pemisah dan hijran mahjuran. ” Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan tentang penganekaragaman ayat-ayat al-Qur’an dan penyebarannya ke wilayah yang berbeda-beda, dan sebelumnya menguraikan penggiringan angin dan penyebaran awan, serta percampuran air dengan tanah untuk menumbuhkan tumbuhan, kini ayat di atas menguraikan tentang pemisahan sekian ragam air yang merupakan benda yang paling mudah bercam pur, serta kuasa-Nya menghalangi percampurannya, padahal semua berada di bumi yang berdampingan satu sama lain. Demikian al-Biqa‘i menghubungkan ayat ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com St||||i Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 53 di atas dengan ayat-ayat yang lalu. Thahir Ibn ‘Asyur menilai bahwa ayat di atas walau secara lahiriah berbicara tentang kuasa Allah menyangkut pertemuan laut dan sungai, tetapi dalam celahkandungannya terdapat perumpamaan tentang dakwah Islam di Mekah ketika itu, serta percampuran antara kaum mukmin dan kafir, yang serupa dengan percampuran laut dan sungai itu. Yang satu tawar menyegarkan bila diminum, dan yang kedua asin lagi pahit. Iman adalah yang tawar dan segar itu, sedang syirik adalah yang asin lagi pahit. Allah menjadikan pemisah antara kedua laut sehingga sungai yang tawar tidak dapat diasinkan oleh laut yang asin. Demikian juga Yang Maha Kuasa itu memisahkan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Kaum musyrikin — walaupun banyak — tidak dapat memasukkan kekufurannya di tengah kaum muslimin. Ini merupakan juga janji dan peneguhan hati kaum muslimin bahwa Allah akan menghalangi bahaya kaum musyrikin: JA % y “Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan (celaan) saja” (QS. Al ‘Imran [3]: 111), dan ini juga mengandung isyarat bahwa Allah swt. akan memelihara agama Islam sehingga tidak dikeruhkan oleh kemusyrikan. Demikian Ibn ‘Asyur yang kemudian berkata —dalam konteks hubungan ayat —bahwa karena adanya perumpamaan dan peneguhan itulah sehingga penempatannya setelah larangan mentaati kaum kafir serta perintah berjihad dengan al-Qur’an menghadapi mereka menjadi sangat-sangat serasi. Ayat di atas menyatakan: Dan di samping Allah menggiring angin membawa berita gembira tentang turunnya hujan, Dia juga yang mengalirkan kedua laut yakni laut dan sungai yang ini yakni air sungai tawar lagi le^at rasanya dan yang ini yakni air laut sangat asin lagi pahit. Walaupun keduanya mengalir berdampingan lagi saling bertemu, namun keduanya tidak saling mengalahkan dan itu dapat terjadi karena Dia Yang Maha Kuasa itu telah menjadikan antara keduanya pemisah dan hijran mahjuran. Kata ( £ y> ) maraja pada mulanya berarti melepas. Kata ini antara lain digunakan untuk menggambarkan binatang yang dilepas untuk mencari sendiri makanannya. Melepas laut dalam arti membiarkannya mengalir secara bebas. Dari sini ia dipahami juga dalam arti pulangpergi dan berbolak-balik. Kata ini dapat juga dipahami dalam arti bercampur secara tidak teratur sehingga menimbulkan keterombang-ambingan dan kegelisahan, seperti ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com ftv-- Surah aC-Turqan (25) t Kelompok VI ayat 53 firman-Nya: ( y> y>\ J ) fahumf i amrin marij (QS. Q af [50]: 5), yakni mereka dalam keadaan bercampur baur. Penggunaan kata ( |JLa) hdd^a yang merupakan isyarat dekat kepada kedua laut itu mengesankan bahwa kendati terjadi kedekatan laut dan sungai satu sama lain, namun yang satu tidak bercampur dengan yang lain, sampaisampai — tulis al-Biqa‘i — yang mendapatkan kesan ini, seandainya Anda menggali di pantai laut yang asin — walau pada jarak yang sangat dekat dengannya —Anda akan menemukan air yang sangat tawar. Kata ( o l j i ) Jurat terambil dari kata ( c j£ ) farata yang berarti menundukkan dan mengalahkan. Bila kata tersebut menyifati air, maka ia diartikan air yang sangat tawar, sehingga kehausan pem inumnya ditundukkan dan dikalahkan oleh segar dan tawamya air itu. Kata ( t_jIs-) ‘ad%b jika menyifati air, maka ia adalah yang sangat segar dan terasa nyaman di minum. Ayat di atas ddak menggabung kata ‘a%b dan furat dengan menggunakan kata penghubung dan. Demikian juga ketika melukiskan air laut yang bersifat ( ) milhun ujaj. Kata ) milh berarti asin, sedang ( ) ujaj ada yang memahaminya dalam arti panas atau pahit atau sangat asin. Makna-makna itu —yang mana pun yang Anda pilih — melukiskan betapa air itu tidak nyaman diminum berbeda dengan air yang disebut sebelumnya. Istilah ( I ) hijran mahjuran telah penulis jelaskan ketika menafsirkan ayat 22 surah ini. Istilah ini —untuk ayat di atas mengandung isyarat bahwa ada sesuatu yang terdapat di kedua laut itu yang menjadi penghalang sehingga keduanya tidak saling bertemu. Atau katakanlah bahwa keduanya bagaikan berm ohon kiranya tidak terjadi pertem uan dan percampuran antar keduanya, serupa dengan orang-orang kafir yang dibicarakan pada ayat 22 yang mengharap kiranya tidak terjadi pertemuan antara mereka dengan bahaya yang mengancam. Istilah ini diartikan oleh para penulis Tafsir al-Muntakhab dalam arti “Pembatas yang tersembunyi yang tidak dapat kita lihat”. Ayat ini menurut para pengarang tafsir itu menguraikan salah satu nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu keadaan air asin yang merembes atau mengalir dari lautan ke batu-batuan di dekat pantai, namun ia tidak bercampur dengan air tawar yang merembes atau mengalir ke laut dari daratan. Sem entara ulama seperti Sayyid Quthub m enyatakan, bahwa penghalang yang dijadikan Allah itu adalah posisi aliran sungai yang biasanya lebih tinggi dari permukaan laut, karena itu air sungai yang tawar itulah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 1 500 a Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 53 J "aw yang mengalir ke laut bukan sebaliknya —kecuali amat sangat jarang —dan dengan pengaturan yang sangat teliti ini, air laut walaupun banyak, tidak mengasinkan air sungai yang merupakan sumber air minum manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Sedang air sungai karena kadarnya sedikit, maka walaupun ia mengalir ke laut —yang banyak airnya itu - namun tidak dapat mengubah rasa asin air laut. Lebih jauh Sayyid Quthub menjelaskan bahwa Allah swt. telah menetapkan hukum-hukum yang mengatur alam raya ini, sehingga air laut tidak mengalahkan air sungai, tidak juga daratan walaupun dalam keadaan pasang naik dan turun yang terjadi akibat pengaruh daya tarik bulan terhadap air di permukaan bumi dan pada saat air membumbung tinggi. Sayyid Quthub mengutip kembali tulisan A. Morison — yang sebelum ini telah penulis kutip pula ketika menafsirkan ayat kedua surah ini. Pakar tersebut menulis bahwa jarak antara bulan dengan bumi kita adalah 240.000 mil. Pasang naik yang terjadi dua kali mengingatkan kita secara halus tentang keberadaan bulan. Pasang naik yang terjadi di samudra bisa jadi —di beberapa tempat — mencapai enam puluh kali, bahkan kulit bumi menonjol keluar sebanyak dua kali sekitar beberapa inchi disebabkan oleh daya tarik bulan. Terlihat bagi kita bagaimana segalanya teratur sedemikian rapi, sampaisampai kita tidak dapat menjangkau kekuatan yang demikian besar sehingga dapat meninggikan samudra sekian kali, dan menonjolkan kulit bumi yang terlihat sangat kuat itu. Mars mempunyai satu bulan kecil, hanya sekitar 6000 mil jauhnya dari planet itu. Seandainya bulan kita, jauhnya dari bumi lianya 50.000 mil saja —bukan seperti sekarang yang demikian jauh —maka pastilah pasang naik akan sedemikian dahsyat menjadikan bagian-bagian dari lapisan bumi akan dilanda air yang demikian kuat sehingga meratakan gunung-gunung, dan jika itu terjadi, maka kemungkinan besar kini tidak akan ada benua yang muncul dari kedalaman dengan kecepatannya yang tertentu, dan bumi kita akan hancur akibat kegoncangan itu, serta pasang naik yang ada di udara akan menimbulkan angin ribut setiap hari. Demikian sebagian dari kutipan Sayyid Quthub. Sementara pakar yang berkecimpung dalam bidang kemukjizatan al-Qur’an, menjadikan ayat ini sebagai salah satu mukjizat ilmiah al-Qur’an. Mereka tidak memahami penghalang itu dalam pengertian penciptaan posisi sungai lebih tinggi dari lautan. Tetapi lebih dari itu. Pendapat mereka dikemukakan setelah kemajuan-kemajuan yang dicapai manusia dalam bidang ilmu kelautan. Pendapat itu bermula dari penemuan yang tercapai ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com i 5011 Kelompok VI ayat 53 Surah aC-Turqan (25) VvT melalui perjalanan ilmiah sebuah kapaLberkebangsaan Inggris “Challenger” (1872-1876) hingga penggunaan alat-alat canggih di angkasa guna penelitian dan pemotretan jarak jauh ke dasar laut. Sebelum mengemukakan lebih banyak tentang penemuan ilmiah itu, petlu diingat bahwa ketika al-Qur’an turun, pengetahuan tentang laut masih amat terbatas namun demikian — seperti terb aca pada ayat yang ditafsirkan ini — a l-Q u r’an telah menginformasikan bahwa Allah swt. melakukan apa yang diistilahkan-Nya dengan (Maraja al-Babrain) dan bahwa antara laut dan sungai ada (Bar^akb) dan (Hijran Majuran). Dari bunyi ayat di atas diketahui pula bahwa ada air yang ‘ad^bun furat. ‘Ad^jy berarti tawar dan furat berarti amat segar. Seperti penulis kemukakan di atas ayat ini tidak menyatakan ‘ad^bun wa Jurat (tawar dan segar) tetapi menggabungkan keduanya tanpa kata penghubung “dan” sehingga dari situ dapat dipahami bahwa air dimaksud benar-benar sangat tawar lagi segar. Ini berarti bahwa air yang tidak terlalu asin atau tidak terlalu tawar, tidak termasuk dalam pembicaraan ayat ini. Setiap orang dapat melihat ada air sungai yang terjun ke laut dan bila diamati terbukti bahwa air sungai itu sedikit demi sedikit berubah warna dan rasanya sejauh percampurannya dengan air laut. Dari kenyataan di atas dapat dipahami bahwa ada jenis air sungai dan laut yang telah bercampur, namun tidak dinamai ‘ad^lmn Jurat (tawar lagi segar) atau sebaliknya milhun ujaj (asin yang sangat pahit). Air ini berada pada satu lokasi yang memisahkan antara laut dan sungai, pergi-pulang, terombang-ambing, sesuai dengan pasang-surut laut serta melimpah dan keringnya sungai. Bertam bah kegaramannya dan berkurang ketawarannya bila mendekat ke laut, dan berkurang kegaramannya serta bertambah rasa tawarnya bila mendekat ke sungai. Kembali ke ayat di atas, di sana dijelaskan bahwa Allah swt. telah menciptakan ( ) bar^akb (pemisah) yang memelihara ciri masing-masing air laut dan sungai, sehingga walaupun air sungai terjun dengan derasnya dari tempat tinggi, ciri-ciri tersebut tetap terpelihara yang tawar tetap tawar dan yang asin pun demikian. Bar^akh ini berfungsi menghalangi kedua air tersebut, sehingga tidak satu pun dari keduanya yang dapat menghapus sama sekali ciri-cirinya. Bagaimana yang demikian itu terjadi, dan apa yang dimaksud dengan bar^akb (pemisah) ini? Pada tahun 1873, para pakar ilmu kelautan dengan menggunakan kapal “Challenger” yang disinggung sebelum ini, menemukan perbedaan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 53 ciri-ciri laut dari segi kadar garam, temperatur, jenis ikan/binatang, dan sebagainya. Nam un demikian pertanyaan yang tetap muncul adalah mengapa air tersebut tidak bercampur dan menyatu? Jawabannya baru ditemukan pada tahun 1948, setelah penelitian yang lebih saksama menyangkut samudra. Rupanya perbedaan-perbedaan mendasar yang disebutkan di atas menjadikan sedap jenis air berkelompok dengan sendirinya dalam bentuk tertentu, terpisah dari jenis air yang lain betapapun ia mengalir jauh. Gambar-gambar dari ruang angkasa pada akhir abad ke-20 ini menunjukkan dengan sangat jelas adanya batas-batas air di Laut Tengah yang panas dan sangat asin, dan di Samudra Adantik yang temperatur aimya lebih dingin serta kadar garamnya lebih rendah. Batasbatas itu juga terlihat di Laut Merah dan Teluk Aden. Muhammad Ibrahim as-Sumaih — Guru Besar pada fakultas Sains, jurusan ilmu kelautan Universitas Qatar —dalam penelitian yang dilakukan di Teluk Oman dan Teluk Persia (1984-1988) melalui sebuah kapal peneliti, menemukan perbedaan rinci dengan angka-angka dan gambar-gambar pada kedua teluk tersebut. Penelitiannya menemukan adanya daerah antara kedua teluk itu yang dinamai Mixed Water Area atau daerah bar^akh (dalam istilah al-Qur’an). Hasil penelitiannya juga menemukan adanya dua tingkat air pada area tersebut. Pertama, tingkat permukaan yang bersumber dari Teluk Oman, dan kedua, tingkat bawah yang bersumber dari Teluk Persia. Adapun area yang jauh dari Mixed Area itu, tingkat air seragam adanya. Garis pemisah atau bar^akh yang memisahkan kedua tingkat pada M ixed A rea tersebut, berupa daya tarik stabil (gravitational stability) yang terdapat pada kedua tingkat tersebut sehingga menghalangi percampuran dan perbaurannya. Garis pemisah tersebut terdapat pada kedalaman antara 10 hingga 50 meter, kalau pertemuan air itu secara horizontal. Nah, itulah bar%akh yang disebut oleh QS. al-Furqan ini. Air sungai Amazon yang mengalir deras ke Laut Adantik sampai batas dua ratus mil, masih tetap tawar. Demikian juga mata air-mata air di Teluk Persia. Ikan-ikannya sangat khas dan masing-masing tidak dapat hidup kecuali di lokasinya. Agaknya itulah yang dimaksud oleh al-Qur’an dengan hijran mahjuran. Demikian rangkuman uraian Prof. Dr. Abdul Hamid az-Zanjani, yang dikemukakannya pada seminar Internasional Mukjizat A l-Q ur’an dan Sunnah yang diadakan di Bandung, September 1994. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 54 AYAT 54 (o i) t C-*^ '^-*4 ^ “Da» Diayang menciptakan manusia dari air, lalu Dia menjadikannya (mempunyai) keturunan dan mushaharah dan Tuhanmu senantiasa Maha Kuasa.” Ayat yang lalu berbicara tentang air yang demikian banyak sambil menunjukkan kuasa Allah swt. dalam mengatur dan mengendalikannya sehingga tidak dapat bercampur. Ayat 54 ini berbicara juga tentang air, namun yang kadarnya sangat sedikit, hanya bagian dari setetes. D i sini ditunjukkan juga kuasa Allah, tetapi bukan menghalangi percampurannya namun sebaliknya mempermudah percampurannya, lalu menjadikan dari percampuran itu makhluk yang sangat unik, lagi amat sempurna yakni manusia. Ayat di atas menyatakan: Dan di samping Dia Yang Maha Esa itu mengatur air laut dan sungai sehingga tidak bercampur, Dia juga yang menciptakan manusia dari setetes air mani, lalu Dia menjadikannya yakni manusia itu, berjenis kelamin lelaki atau perempuan yang mempunyai hubungan kekerabatan melalui keturunan yakni yang lelaki itu dan melalui mushaharah yakni perkawinan dengan yang perempuan itu dan adalah Tuhan Pemelihara dan Pembimbing-w^ wahai Nabi Muhammad senantiasa Maha Kuasa atas segala sesuatu sehingga dapat menciptakan dari setetes air dua jenis kelamin makhluk yang berbeda namun sungguh sangat sempurna. Dan dari setetes itu pula lahir anak keturunan yang berbeda-beda wajah dan perangainya. Kata ( j«£j ) basyar digunakan al-Qur’an untuk menunjuk manusia secara umum, dengan persamaan-persam aannya dari segi fisik dan kemanusiaannya tanpa penekanan pada sisi-sisi kejiwaan dan mentalnya. Rasul saw. diperintahkan untuk menyatakan bahwa: “A ku adalah hanya basyar (manusia) seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku” (QS. al-Kahf [18]: 110), yakni beliau memiliki juga pancaindra sebagaimana yang lain, merasakan lapar, dahaga, serta memiliki naluri dan kebutuhankebutuhan faali dan psikologis. Inilah persamaan Nabi Muhammad saw. dengan manusia yang lain. Yang membedakan beliau dari manusia lain adalah penerimaan wahyu itu, yang tentu saja tidak akan beliau peroleh tanpa ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surat aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 55 kesucian jiwa, dan kcluhuran akhlak. Kata ( ' ) shihran berarti hubungan kckerabatan antara seorang suami atau istri dengan keluarga pasangan masing-masing. A Y A T 55 ■^ ^ |x A • , X I j 3 l S J ( li • • OlSj 0 A £ A »* . » / / m if. , % gtflw ^1 U 4jjl Oj^ 0 . O } s* ( 00) “Dan mereka menyembah selain Allah, apa yang tidak memberi manfaat kepada mereka dan tidak (pula) memberi mudharat kepada mereka dan adalah orang-orang kafir penolong (setan) terhadap Tuhannya. ” Sungguh aneh sikap orang-orang kafir itu. Sedemikian banyak buktibukti kekuasaan Allah dan keesaan-Nya yang telah dihidangkan namun mereka tetap membangkang, dan membantah. Betapa tidak aneh, bukan hanya sekali tetapi dan yakni keadaan mereka adalah terus menerus menyembah selain Allah apa yakni berhala-berhala yang tidak memberi manfaat kepada mereka walau mereka menyembahnya dan tidak pula memberi mudharat kepada mereka walau mereka menghinanya. Dengan sikap dan keyakinan mereka itu, maka mereka bekerja sama dengan setan dan adalah orang-orang kafir yakni siapa pun yang melakukan kekufuran dan dosa senantiasa adalah penolong setan terhadap Tuhannya. Huruf ( j ) wauw yang biasa diterjemahkan dan pada awal ayat ini berfungsi menjelaskan keadaan, sedang bentuk kata kerja masa kini pada kata ( d> ) ya ‘budunjmenyembah mengandung makna kesinambungan. Kata ( 1 ) %hahiran pada mulanya terambil dari kata ( ) %hahr yakni punggung manusia atau binatang. Dari kata itu lahir kata ( <uU y&lk ) %hahara ‘alaihi yang berarti menolong siapa yang menentang untuk mengalahkan laivannya. Seakan-akan yang bersangkutan meletakkannya di punggung, guna m enopang dan mendukungnya dalam pertikaian dan peperangan. Selanju tnya setan, atau berhala-berhala bagaikan melawan A llah. Kedurhakaan yang dilakukan oleh si kafir dipersamakan dengan upaya menolong setan dan berhala yang merupakan lawan-lawan Allah dalam “memerangi Allah”. Atas dasar ini, maka kata ( ) %hahir dipahami sebagai pelaku yang menolong setan menghadapi Allah. Inilah pendapat yang populer di kalangan para mufassir. Ada juga yang berpendapat bahwa ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com >505J Kelompok VI ayat 56-57 Surah aC-Turqan (25) te f kata tersebut bukan berarti subjek (yang melakukan pertolongan), tetapi objek dan maknanya ketika itu adalah mudah dan ringan. Jika dipahami demikian, penggalan akhir ayat di atas berarti si kafir dan kekufurannya adalah sangat mudah dan enteng dihadapi oleh Allah swt. Kata ( ) kafir terambil dari kata ( yiT) kafara yang berarti menutup. Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk berbagai makna yang pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa ia pada dasarnya digunakan bukan hanya dalam arti seseorang yang tidak percaya kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad saw., tetapi mencakup segala yang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan tujuan agama. Itu sebabnya kekikiran dipersamakan dengan kekufuran (baca QS. Ibrahim [14]: 7), kedurhakaan yang dilakukan seorang muslim pun demikian (baca QS. al-Baqarah [2]: 104). Begitu seterusnya. Atas dasar itu, siapa pun yang melakukan pelanggaran agama, maka ia dapat dinilai ikut “membantu” setan dalam memerangi (agama) Allah. Apalagi kata tersebut berbentuk nakirah/ indefinit lagi tunggal, sehingga dapat mencakup siapa pun yang wajar dinamai kafir. AYAT 56-57 ( o y ) ‘A*-*' ‘^ tSi “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan hanya sebagaipembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Katakanlah: “A k u tidak meminta kepada kamu atasnya sedikit pun upah, kecuali siapayang mau - kepada Tuhannya - mengambiljalan. ” Karena orang-orang kafir termasuk kaum musyrikin Mekah itu memerangi (agama) Allah, maka engkau wahai Nabi agung, tidak perlu risau. Allah yang akan menghadapi mereka. Tidaklah Kami mengutusmu untuk menjadi pemaksa buat mereka, dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira kepada siapa yang taat dan pemberi peringatan kepada siapa yang m em bangkang. Jik a itu telah engkau laksanakan, maka selesailah tugasmu. Katakanlah: bahwa “Dalam upayaku menyampaikan risalah agama, berita gembira dan peringatan itu aku tidak meminta kepada kamu atasnya yakni atas penyampaian risalah ini walau sedikit pun upah, kecualisiapayangmau secara bersungguh-sungguh - kepada Tuhannya saja, tidak kepada selain-Nya dia - mencarijalan. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 56-57 A l-B iqa‘i m enjadikan perintah di atas berkaitan dengan kaum musyrikin yang meminta agar diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. perbendaharaan (ayat 8). Menurutnya Nabi saw. diperintahkan untuk menyampaikan bahwa: “Aku tidak meminta kepadamu atas penyampaian berita gembira dan peringatan itu sedikit pun upah, yang dapat mendorong kamu menuduhkan berdakwah untuk tujuan upah itu, atau mengantar kalian berkata: “Seandainya diturunkan kepadanya perbendaharaan” (ayat 8) agar dia mencukupkan diri dengan perbendaharaan itu dan tidak perlu meminta upah.” Nabi Muhammad saw. — tulis al-Biqa‘i lebih jauh — seakan-akan berkata: “Berupaya untuk memperbanyak harta, hanya tercela jika memintaminta dari orang lain, sedang itu bukanlah perangaiku sebelum kenabian, apalagi sesudahnya. D engan demikian, aku tidak bermaksud kecuali memberi manfaat kepada kamu.” Nah, pernyataan ini dikukuhkan oleh penggalan berikut ayat yang m enafikan perm intaan upah/imbalan. Demikian al-Biqa‘i. Ulama-ulama berbeda pendapat tentang makna kata ( ) ilia pada ayat di atas, yang kemudian melahirkan perbedaan tentang makna penggalan terakhir ayat itu. Ada yang berpendapat bahwa ia adalah istisna’ munqathi'/ pengecualian terputus, dalam arti apa yang dikecualikan tidak termasuk bagian dari apa yang disebut sebelumnya, dan dengan demikian ia diterjemahkan tetapi lalu dimunculkan dalam benak —pengucap dan pendengar —kalimat yang menyempurnakannya. Mayoritas ulama menilainya demikian. Tetapi mereka berbeda pendapat menyangkut kalimat yang harus dimunculkan dalam benak untuk memahami maksudnya. Ada yang menyatakan: “Aku tidak meminta sedikit pun upah, tetapi siapa yang hendak mau mengambil jalan menuju Tuhannya, dengan jalan berinfak dan bersedekah di jalan Allah, maka hendaklah dia melakukannya.” Jika Anda memahami kata ilia sebagai istisna muttashil/pengecualian bersambung, maka yang dikecualikan merupakan bagian dari upah dan dengan demikian ia diterjemahkan kecuali. Al-Biqa‘i menjadikan istitsna’ itu muttashil/ bersambung, sehingga ketika menafsirkan ayat ini, ulama tersebut menulis antara lain: “Kecuali upah siapa yang mau bersungguhsungguh menentang hawa nafsunya dan mengambil jalan menuju Tuhannya, karena bila dia m em peroleh petunjuk dari Tuhannya, maka aku pun memperoleh upah (ganjaran) seperti ganjarannya. Aku tidak memperoleh satu manfaat pun dari kamu kecuali hal ini. Nah, kalau kamu menamai itu upah, maka itulah yang kuharapkan.” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VI ayat 56-57 Surah aC-Turqan (25) Thabathaba’i memahami pengecualian itu munqathi‘, tetapi menurut istilahnya dalam makna yang serupa dengan muttashil. Penggalan ayat ini bagi ulama itu bagaikan bermakna: “Kecuali siapa yang melakukan kegiatan yang mengantarnya kepada Allah sebagai tanda syukur kepada-Nya.” Nah, di sini — tulis Thabathaba’i — Nabi saw. bagaikan menyatakan bahwa penerimaan ajaran Islam telah merupakan imbalan beliau, dan dengan demikian beliau sama sekali tidak mengharapkan materi, tidak juga kedudukan atau popularitas dan karena itu hendaklah masyarakat yang diajak menerima ajakan beliau dengan hati yang lapang. Pendapat yang mirip dikemukakan oleh Ibn ‘Asyur. Ulama ini terlebih dahulu menjelaskan bahwa ( ) ajr/upah adalah imbalan bagi satu pekerjaan, walau dalam bentuk pekerjaan yang lain. Dari sini, ulama asal Tunis itu memahami ayat di atas dalam arti: “Kecuali pekerjaan siapa yang mau bersungguh-sungguh mencari jalan menuju Tuhannya yaitu dengan mengikuti agama Islam.” Nah, karena hal tersebut merupakan pemenuhan ajakan dan dakwah Rasulullah saw., maka ia serupa dengan ajr! upah atas ajakan itu. Pengecualian semacam ini —tulis Ibn ‘Asyur —terkadang dinamai istisna’ munqathi‘. Sayyid Quthub berkomentar tentang ayat ini bahwa Rasul saw. tidak mengharapkan imbalan atau materi dan kenikmatan dunia dari mereka yang menyambut ajakan beliau. Tidak ada upeti, tidak ada pemberian dalam bentuk apapun yang harus dipersembahkan seorang muslim kepada beliau, saat seseorang masuk dalam jamaah muslim dengan mengucapkan kalimat syahadat dengan lidahnya yang dikukuhkan oleh hatinya. Ini merupakan keistimewaan ajaran Islam. Tidak ada petugas agama atau dukun yang menerima upah atas layanan agama, tidak ada perantara yang menuntut imbalan, tidak juga tarif masuk, biaya penyambutan atau harga buat keberkatan. Inilah kesederhanaan ajaran Islam, serta keterasingan dan kejauhannya dari segala yang dapat menghalangi kalbu manusia untuk beriman. Hanya satu upah/imbalan buat Rasul, yaitu perolehan hidayah menuju Tuhannya dan kedekatannya kepada-Nya, seperti dinyatakan oleh ( “i - j <Uj -btu of t l i ja ) ilia man jyd’a anyattakhid^a ila Rabbihi sabilan. Hanya itu saja upah beliau. Yang memuaskan hati beliau yang suci, menenangkan jiwa beliau yang luhur, adalah ketika melihat seorang hamba dari hamba-hamba Allah telah mendapat petunjuk menuju Tuhannya, karena memang beliau hanya mencari ridha-Nya, menelusuri jalan-Nya serta mengarah kepada Tuhan Pemeliharanya. Demikian lebih kurang Sayyid Quthub. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 58 Satu hal lain lagi yang perlu dicatat, dalam firman-Nya: ilia man jyd’a anyattakhid^a ila Rabbibi sabtlan/ kecuali (tetapi) siapayang mau kepada Tuhannya mengambiljalan, adalah bahwa pelaku yang mau dan bersungguh-sungguh itu adalah manusia itu sendiri, bukan Allah. Demikian ayat ini meletakkan tanggung jawab di atas pundak manusia agar mau dan bersungguh-sungguh mencari jalan, dan bila mereka telah melakukan hal tersebut, pasti Allah akan mengantarnya ke sana. Didahulukannya kata ila Kabbihi/kepada Tuhannya sebelum kata sabtlan/jalan bertujuan menekankan perlunya keikhlasan dan ketulusan kepada Allah, dan tidak mencari jalan-jalan lain selainnya. Ini serupa dengan yang ditegaskan oleh firman Allah swt.: ‘J t ’ Slj ® t J L a 0 fj “Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalanjalan (yang lain), karena jalanjalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. al-An‘am [6]: 153). A YA T 58 (©A ) ‘Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Maha Hidup Yang tidak akan mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya dan cukuplah Dia menyangkut dosa-dosa hamba-hamba-Nya Maha Mengetahui. ” Setelah ayat yang lalu memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk menyampaikan prinsip-prinsip dakwah, ayat ini memerintahkan beliau untuk b erserah diri kepada A llah swt. Ayat ini m enyatakan: “ H ai N abi Muhammad, sampaikanlah apa yang diperintahkan kepadamu itu, dan bertawakkallah kepada Allah dalam segala urusan —setelah engkau berupaya sekuat tenaga dan pikiran melakukan apa yang mestinya engkau lakukan. Jangan khawatir melaksanakan apa yang ditugaskan kepadamu karena Yang menugaskanmu serta yang kepada-Nya engkau bertawakkal adalah Dia Yang Maha Hidup dengan kehidupan yang sempurna lagi Pemberi hidup. Dia adalah wujud Yang tidak akan mati untuk selama-lamanya, dan di samping berserah diri, bertasbihlah menyucikan Allah dari segala yang tidak wajar ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VI ayat 58 Surah aC-Turqan (25) disandangkan kepada-Nya. Jangan terlintas. dalam benak siapa pun dugaan bahwa Dia tidak mampu atau tidak tahu. Lakukan semua itu dengan memujiNya yakni dengan menetapkan segala macam sifat kesempumaan yang sesuai dengan keagungan-Nya. Memang masih banyak yang menolak ajakanmu dan membangkang perintah Allah, namun jangan risaukan itu, karena jika Allah menangguhkan sesuatu atau mengaturnya secara bertahap maka itu bukan karena Dia tidak mampu atau tidak tahu. Alhasil cukuplah Allah bagimu sebagai Penolong dan cukuplah Dia menyangkut dosa-dosa hamba-hambaNya dan dosa-dosa selain hamba-Nya Maha Mengetahui dan karena itu jangan tergesa-gesa mengharapkan hasil usahamu dan jangan juga menduga bahwa Allah tidak menjatuhkan sanksi bagi yang berdosa tanpa taubat. Kata (JO O tawakkal terambil dari kata ( J T j ) wakala yang pada dasarnya berm akna pengandalan pihak lain dalam hal urusan yang seharusnya ditangani oleh satu pihak. Ayat di atas memerintahkan bertawakkal kepada Allah swt., atau dengan kata lain menjadikan Allah sebagai ivakil yakni mewakilkan-Nya dalam segala urusan. Siapa yang diwakilkan atau diandalkan peranannya dalam satu urusan, maka pewakilan tersebut boleh jadi menyangkut hal-hal tertentu dan boleh jadi juga dalam segala hal. ^ * J* J*J “Dia (Allah) atas segala sesuatu menjadi wakil” (QS. al-An‘am [6]: 102). Yang diwakilkan boleh jadi wajar untuk diandalkan karena adanya sifat-sifat dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga menjadi tenang hati yang mengandalkannya, dan boleh jadi juga yang diandalkan itu tidak sepenuhnya memiliki kemampuan bahkan dia sendiri pada dasarnya masih memerlukan kemampuan dari pihak lain agar dapat diandalkan. Allah adalah Wakil yang paling dapat diandalkan karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu lagi Maha Mengetahui. Selanjutnya yang diwakilkan boleh jadi berhasil memenuhi semua harapan yang mewakilkannya, sehingga ia merasa cukup dengan yang diwakilkannya itu, dan boleh jadi juga tidak ada jaminan keberhasilan, bahkan tidak berhasil^ seluruhnya, maka ketika itu yang mewakilkan menunjuk wakil lain. Allah Maha Kuasa memenuhi semua harapan yang mewakilkan-Nya, karena itu Allah menegaskan bahwa: ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com |510) Surah aC-<Furqan (25) Kelompok VI ayat 58 ‘'Cukuplah Allah sebagai Wakil’’ (QS. an-Nisa’ [4]: 81). Bila seseorang mewakilkan orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikannya sebagai dirinya sendiri dalam persoalan tersebut, sehingga yang diwakilkan (wakil) melaksanakan apa yang dikehendaki oleh yang menyerahkan kepadanya perwakilan. Menjadikan Allah sebagai wakil, dengan makna yang digambarkan di atas, berarti menyerahkan kepada-Nya segala persoalan. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan “kehendak” yakni kemaslahatan manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya. Makna seperti ini dapat menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih jauh. Dalam hal ini pertama sekali yang harus diingat bahwa keyakinan tentang keesaan Allah berarti antara lain bahwa perbuatan-Nya E sa sehingga tidak dapat dipersamakan dengan perbuatan manusia, walaupun penamaannya sama. Allah swt. yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan, adalah Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan segala Maha yang m engandung m akna pujian. Manusia, sebaliknya. M ereka m emiliki keterbatasan-keterbatasan dalam segala hal. Kalau demikian “perwakilan” yang diserahkan kepada-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia kepada manusia yang lain. Benar bahwa wakil diharapkan/dituntut agar dapat memenuhi kehendak dan harapan yang mewakilkan kepadanya. Namun karena dalam perwakilan manusia, sering kali atau paling tidak boleh jadi yang mewakilkan lebih tinggi kedudukan dan atau pengetahuannya dari sang wakil, maka ia dapat saja tidak menyetujui/membatalkan tindakan sang wakil atau menarik kembali perwakilannya — bila ia merasa berdasarkan pengetahuan dan keinginannya —bahwa tindakan tersebut merugikan. Ini bentuk perwakilan manusia. Tetapi jika seseorang menjadikan Allah sebagai wakil, maka hal serupa tidak akan/wajar terjadi, karena sejak semula seseorang telah harus menyadari keterbatasannya, dan menyadari pula kemahamudakan Allah swt. M anusia tahu atau tidak tahu hikmah satu kebijaksanaan yang ditetapkan-Nya, ia akan menerimanya dengan sepenuh hati karena: U Si ‘'JJlj “A.llah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui” (QS. al-Baqarah [2]: 216). ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-<Furqan (25) Kelompok VI ayat 58 Ini salah satu segi perbedaan antara perwakilan manusia terhadap Tuhan dengan terhadap selain-Nya. Perbedaan yang kedua adalah dalam keterlibatan yang mewakilkan. Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, maka Anda telah menugaskannya melaksanakan hal tersebut. Anda tidak perlu atau tidak harus melibatkan diri lagi. Dalam hal bertawakkal kepada Allah, manusia masih tetap dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya. “Ikatlah/Tambatlah (untamu) baru kemudian bertawakkal.” Demikian sabda Nabi saw. mengajar seorang yang menduga bahwa bertawakkal tidak harus didahului oleh usaha manusia. (HR. at-Tirmidzi). Dalam al-Qur’an perintah bertawakkal kepada Allah kesemuanya dapat dikatakan didahului oleh perintah melakukan sesuatu, baru disusul dengan perintah bertawakkal. Perhatikan misalnya QS. al-Ma’idah [5]: 23: s' ii\ i Jtj b ^ o •> odi p i^ “Serbulah mereka melaluipintugerbang (kota), maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang dan hanja kepada Allah hendaknja kamu bertawakkaljika kamu benar-benar orang yang beriman. ” Perhatikan juga QS. al-Anfal [8]: 61, atau QS. Hud [11]: 123. Ayat yang ditafsirkan ini pun memerintahkan bertawakkal setelah perintah berdakwah menyampaikan berita gembira dan peringatan serta meluruskan kesalahpahaman dan menangkis dalih. Dari sini jelas bahwa perintah al-Qur’an untuk bertawakkal bukannya anjuran untuk tidak berusaha atau mengabaikan hukum-hukum sebab dan akibat. Tidak! Yang dimaksud dengannya antara lain adalah agar manusia hidup dalam realita, realita yang menunjukkan bahwa tanpa usaha dari yang bersangkutan, harapan tak mungkin terpenuhi. D i sisi lain tak ada gunanya berlarut dalam kesedihan jika realita tidak dapat diubah lagi. Kata O ' ) al-Hayy sebagai salah satu Asmd’ al-Husna (Nama-nama Allah yang terindah), menurut Imam Ghazali bermakna ( iiljjJl Ju iJl ) a/-Fa‘al ad-D arrak yakni Maha Pelaku lagi Maha Mengetahui/ Maha M enyadariBanyak ulama yang mengartikan hidup bagi makhluk adalah “Sesuatu yang menjadikannya merasa/mengetahui dan bergerak.” Yang tidak memiliki pengetahuan, tidak merasa, dan tidak juga dapat bergerak dari dirinya sendiri, maka ia tidaklah hidup. Pengetahuan atau kesadaran dimaksud, minimal adalah menyadari eksistensi dirinya sendiri. Allah swt. adalah Yang Maha Hidup karena Dia mengetahui segala ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Suraf aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 59 sesuatu, hidup-Nya langgeng tidak berakhir, bahkan Dia yang memberi dan m encabut kehidupan dari yang hidup. Selain-Nya hidup karena dianugerahi oleh-Nya hidup, adapun Allah, maka Dia hidup bukan karena anugerah. Selain-Nya akan mati, sedang Allah jangankan mati, tidur atau kantuk pun tidak menyentuh-Nya. Agaknya pemilihan sifat Allah di atas dalam konteks perintah bertawakkal, seperti bunyi ayat di atas, bertujuan untuk lebih meyakinkan siapa pun tentang kewajaran bertawakkal kepada Allah swt. Biasanya yang m enjadikan seseorang ragu melakukan sesuatu, adalah kekhawatiran tercabut hidupnya. Allah Maha Hidup yang memberi kehidupan, karena itu bila berserah diri kepadanya, maka tidak perlu khawatir tentang kesinambungan hidup, di dunia sampai ke akhirat. Penyebutan sifat Allah ini juga menyindir kaum musyrikin yang menyembah dan mengandalkan berhala-berhala yang tidak mampu memberi hidup bahkan mati, tidak sesaat pun pernah merasakan hidup. A YA T 59 (M ) ^ “Yang telah menciptakan langit dan bumi dan apayang ada antara keduanya dalam enam hari. Kemudian Dia bersemayam di atas !Arsy (DialaB) ar-Rahman, maka tanyakanlah tentang Dia kepada yang mengetahui. ” Ayat ini masih merupakan uraian tentang sifat Allah yang kepadaNya manusia diminta bertawakkal. Kewajaran bertawakkal kepada Allah antara lain karena Dia Maha Hidup dan Penganugerah Hidup yang tidak disentuh mati bahkan kantuk, serta karena Dia Maha Mengetahui. D i sam ping itu, D ia juga Maha Kuasa sebagaimana diisyaratkan oleh kandungan ayat 59 di atas. D i sisi lain pada ayat yang lalu diperoleh kesan bahwa Allah menunda sukses dakwah, dan menunda jatuhnya sanksi atas para pendurhaka yang diketahui Allah dosa-dosanya. Nah, ayat ini menjelaskan betapa Allah tidak tergesa-gesa walau Dia Maha Kuasa. Dia Kuasa menciptakan alam raya dalam sekejap, karena: “SesungguhnyaperintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia” (QS. Yasin [36]: 82), tetapi itu tidak dilakukan-Nya. Dia ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-<Furqan (25) Kelompok VI ayat 59 menciptakan alam raya dalam enam hari. Agar manusia - lebih-lebih yang berserah diri kepada-Nya — tidak tergesa-gesa. Ayat di atas menyatakan: Allah swt. yang kepada-Nya manusia harus bertawakkal adalah Dia Yang telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam hari yakni enam masa. Kemudian yakni yang lebih hebat dari penciptaan itu adalah bahwa Dia bersemayam di atas ‘A.rsy yakni menguasai seluruh wujud — tidak sekadar menciptakannya. Dialah ar-Rahman Yang Maha Pelimpah rahmat, Yang menganugerahkan aneka nikmat dan menangguhkan jatuhnya siksa atas para pendurhaka, maka tanyakanlah tentang Dia kepadayang mengetahui dan sesungguhnya Yang Maha Mengetahui adalah Allah swt. Firman-Nya: ( ) jUtah ayyam/enam hari telah penulis jelaskan ketika m enafsikan QS. al-A ‘ra f [7]: 54. D i sana antara lain penulis kemukakan bahwa makna penggalan ayat ini menjadi bahasan panjang lebar di kalangan mufassir. Ada yang memahaminya dalam arti enam kali 24 jam. Kendati ketika itu matahari, bahkan alam raya belum lagi tercipta, dengan alasan ayat ini ditujukan kepada manusia dan menggunakan bahasa manusia, sedang manusia memahami sehari sama dengan 24 jam. Ada lagi yang memahaminya dalam arti, “enam hari” menurut perhitungan Allah, sedang menurut al-Qur’an: u j Jj u U^o iL h j JLP U jj J l j “Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurutperhitungan kamu” (QS. al-Hajj [22]: 47). Tetapi menurut ulama yang lain, manusia mengenal aneka perhitungan, perhitungan berdasar kecepatan cahaya, atau suara, atau kecepatan detik-detik jam. Bahkan al-Qur’an sendiri pada satu tempat menyebut sehari sama dengan seribu tahun. Seperti bunyi ayat alHajj yang dikutip di atas dan di tempat lain disebutkan selama lima puluh ribu tahun: ^ ‘Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun” (QS. al-Ma‘arij [70]: 4). Perbedaan di atas bukan berarti ada ayat-ayat al-Qur’an yang saling bertentangan, tetapi ini adalah isyarat tentang relativitas waktu. Ada pelaku yang menempuh jarak tertentu dalam waktu yang lebih cepat dari pelaku lain. Cahaya misalnya, memerlukan waktu lebih singkat dibanding dengan f * ' ' ' / ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Ifijl! Kelompok VI ayat 59 Surafl “C-Turqan suara untuk mencapai satu sasaran, demikian seterusnya. D i sisi lain, kata hari tidak selalu diartikan berlalunya sehari yang 24 jam itu, tetapi ia digunakan untuk menunjuk periode atau masa tertentu, yang sangat panjang atau pun singkat. Atas dasar ini, sementara ulama memahami kata hari di sini dalam arti periode atau masa yang tidak secara pasti dapat ditentukan berapa lama waktu tersebut. Yang jelas Allah swt. menyatakan bahwa itu terjadi dalam “enam hari” . Sayyid Quthub menulis bahwa enam hari penciptaan langit dan bumi, juga termasuk gaib yang tidak dilihat dan dialami oleh seorang manusia, bahkan seluruh makhluk: “A k u tidak menghadirkan mereka untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri” (QS. al-Kahf [18]: 51). Semua pendapat yang dikemukakan tentang hal tersebut tidak mempunyai satu dasar yang meyakinkan. Demikian Sayyid Quthub. Para ilmuwan yang menetapkan waktu bagi penciptaan alam raya berhak menyampaikan pendapatnya, tetapi jangan mengatasnamakan al-Qur’an dalam pendapat itu, karena kata hari dapat mengandung sekian banyak makna. D i sisi lain, siapa yang menentukan kadar waktu untuk perbuatan-perbuatan Allah, maka ia pada hakikatnya hanya mengira-ngira dalam memahami makna kata, karena perbuatan Allah maha suci dari p ersam aan -N ya dengan perbuatan m anusia yang m em iliki aneka keterbatasan. Selanjutnya, informasi tentang penciptaan alam dalam enam hari mengisyaratkan tentang qudrah dan ilmu, serta hikmah Allah swt. Jika merujuk kepada qudrah-Nya, maka penciptaan alam tidak memerlukan waktu. j j T i) J joj o? “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia” (QS. Yasin [36]: 82). D i tempat lain ditegaskan: \Jja \ ‘Danperintah Kami hanyalah satuperkataan seperti kejapan mata” (QS. al-Qamar [54]: 50). Tetapi hikmah dan ilmu-Nya menghendaki agar alam raya tercipta dalam “enam hari” untuk menunjukkan bahwa ketergesa-gesaan bukanlah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 59 ffH sesuatu yang terpuji, tetapi yang terpuji adalah keindahan dan kebaikan karya, serta persesuaiannya dengan hikmah dan kemaslahatan. Firman-Nya: ( jS> i S j=—>' ^ ) tsumma istawd \aid al- ‘arsy, juga menjadi bahasan para ulama. Ada yang enggan menafsirkannya, “Hanya Allah yang tahu maknanya” demikian ungkapan ulama-ulama salaf (abad I-III H.). “Kata ( is ) istawd dikenal oleh bahasa, kaifiyat/ caranya tidak diketahui, mempercayainya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid 'ah.” Demikian ucap Imam Malik ketika makna kata tersebut ditanyakan kepadanya. Ulama-ulama sesudah abad k e-III berupaya menjelaskan maknanya dengan mengalihkan makna kata ( ) istawd dari makna dasarnya, yaitu bersemayam ke makna majazi yaitu “berkuasa”, dan dengan demikian penggalan ayat ini bagaikan menegaskan tentang kekuasaan Allah swt. dalam mengatur dan mengendalikan alam raya, tetapi tentu saja hal tersebut sesuai dengan kebesaran dan kesucian-Nya dari segala sifat kekurangan atau kemakhlukan. Thabathaba’i mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang menyatakan antara lain, bahwa kata ( ‘arsy yang dari segi bahasa adalah tempat duduk raja/ singgasana, kadang-kadang dipahami dalam arti kekuasaan. Sebenarnya kata ini pada mulanya berarti sesuatuyang beratap. Tempat duduk penguasa dinamai Arsy, karena tingginya tempat itu dibanding dengan tempat yang lain. Yang jelas hakikat makna kata tersebut pada ayat ini tidak diketahui manusia. Adapun yang terlintas dalam benak orang-orang awam tentang artinya, maka Allah Maha Suci dari pengertian itu, karena jika demikian Allah yang terangkat dan ditahan oleh Arsy, padahal: sJju JL^-( j>« 01 IsJlj SIjJJ 01 Jl iUl ol “Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah” (QS. Fathir [35]: 41). Merupakan sesuatu yang sangat lumrah sejak dahulu kala bagi para penguasa atau hakim atau siapa pun yang menjadi sumber rujukan orang lain, bahwa mereka memiliki tempat duduk yang berbeda dengan orang lain, baik dalam bentuk permadani atau tempat bersandar atau bahkan semacam balai-balai. Yang paling terhormat adalah tempat duduk raja yang dinamai Arsy/singgasana. Peringkat bawahnya adalah kursi, yang digunakan untuk menunjuk tempat duduk raja atau siapa yang di bawah peringkat raja. Kata ‘arsy dalam pemakaian sehari-hari selalu dikaitkan dengan raja, ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 59 lalu makna tersebut berkembang sehingga kekuasaan raja pun dinamai ‘any. Pada pemilik ‘Arsy, terpulang kendali pemerintahan dan kekuasaan dan semua merujuk kepadanya. Sebagai contoh, setiap masyarakat terlibat dalam berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, militer, dan lain-lain. Karena banyak dan bercabangnya aspek-aspek tersebut, maka setiap aspek ditangani oleh kelompok, dan kelompok ini mempunyai hirarki dan kursi sesuai dengan kemampuan atau bobot masing-masing. Yang di bawah harus mengikuti ketetapan yang di atasnya, demikian seterusnya. H irarki ini harus terpelihara, karena perbedaan yang ada bila tidak disatukan dalam satu tujuan dan diserasikan atau dikoordinasikan oleh satu kendali, pastilah akan kacau. Dari sini masyarakat maju mengatur kegiatan-kegiatan yang beraneka ragam — ragam demi ragam — masing-masing ada kursinya dan berbedabeda pula tingkat dan nilainya. Ia dimulai dari yang kecil, kemudian yang ini tunduk di bawah kursi yang lebih besar, dan ini pun demikian sampai akhirnya pemilik kursiI kekuasaan besar tunduk pada pemilik ‘Arsy. Demikian juga ada kursi buat Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri dan Presiden. Demikian lebih kurang kehidupan bermasyarakat. Demikian juga kejadian-kejadian juz’i yang terlihat sehari-hari. Masing-masing ada sebabnya dan sebab itu merujuk kepada sebab yang lebih umum, dan sebab-sebab umum itu kembali kepada Allah swt. Tetapi perlu dicatat, bahwa Allah yang duduk di kursi/‘Arsy yang tertinggi itu keadaan dan pengaturan-Nya terhadap alam raya, berbeda dengan m ahklu k penguasa, m isalnya m anusia dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia yang duduk di atas kursi tidak mengetahui dan tidak juga mengatur secara rinci apa yang dikuasai oleh pemilik kursi yang berada di bawahnya. Adapun Allah swt., maka Dia mengetahui dan mengatur secara rinci apa yang ada di bawah kekuasaan dan pengaturan pemilik kursi-kursi yang di bawahnya. Nah, inilah yang dimaksud dengan Dia bersemayam di atas Arsy. Dia yang menciptakan dan Dia pula yang mengatur segala sesuatu. Demikian lebih kurang penjelasan Thabathaba’i dalam tafsirnya. Kata ( £ ) tsumma/ kemudian pada ayat di atas bukan dimaksudkan untuk menunjukkan jarak waktu, tetapi untuk menggambarkan betapa jauh tingkat penguasaan ‘Arsy dibanding dengan penciptaan langit dan bumi. Penciptaan itu selesai dengan selesainya kejadian langit dan bumi, sedang penguasaan-Nya berlanjut terus-menerus, pemeliharaan-Nya pun demikian. Ini selalu sejalan dengan hikmah kebijaksanaan yang membawa manfaat ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 60 untuk seluruh makhluk-Nya. D i sisi lain, hal ini juga dapat merupakan bantahan kepada orang-orang Yahudi yang menyatakan bahwa setelah Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, Dia beristirahat pada hari ketujuh. Maha Suci Allah atas kepercayaan sesat itu. Makna kata ( ) ar-Rahman telah dikemukakan pada penafsiran ayat 26 surah ini. Hanya saja para penafsir berbeda pendapat tentang kedudukan kata tersebut pada ayat ini. Banyak ulama yang memahaminya sebagai predikat dari satu subjek yang tersirat, sehingga ia bermakna Dialah ar-Rahman Yang bersemayam/menguasai ‘Arsy, Yang melimpahkan rahmatNya, lalu dilanjutkan dengan ( Aj JL ilj ) fas’al bihi khabiran dipahami dalam arti tanyakanlah kepada-Nya tentang hal itu karena sesungguhnya Dia Maha Mengetahui. Ada juga ulama yang memahami kata ar-Ruihmdn sebagai kata yang berdiri sendiri yang ditampilkan sebagai pujian. Sedang fas’al bihi khabiran bermakna tanyakanlah tentang ar-Rahman itu, siapa pun yang mengenalNya. Kata bihi dipahami dalam arti tentang Dia, sedang kata khabiran bukan merupakan sifat Allah swt., tetapi siapa pun yang mengetahui. Ibn ‘Asyur memahami kalimat fas’al bihi khabiran sebagai salah satu peribahasa yang tercipta melalui al-Qur’an. Serupa dengan pribahasa Arab yang populer, yaitu ungkapan seorang yang berpengetahuan yang didatangi oleh seorang yang bertanya kemudian berkata kepadanya: !Ala al-Khabir saqathta (pada ahlinya engkau terjatuhf datang). Ibn ‘Asyur memahami kata khabir mencakup siapa pun yang mengetahui, karena kata itu berbentuk nakirah/indefinite, sedang satu kata yang berbentuk nakirah bila dikemukakan dalam konteks perintah, maka ia berarti umum. Ungkapan itu, menurutnya untuk menggambarkan betapa luasnya rahmat Allah sehingga tidak ada kalimat yang dapat melukiskannya dan untuk itu yang ingin mengetahui agar bertanya kepada yang mengetahui dan memiliki pengalaman. Ayat yang menganjurkan untuk bertanya di atas yang berbicara tentang Allah dan penciptaan alam raya dalam enam hari, serta penguasaanNya terhadap ‘Arsy dipahami oleh para pengarang Tafsir al-Muntakhab sebagai mengandung anjuran akan pentingnya meneliti dan menggali gejalagejala alam dan sistem yang ada di dalamnya untuk mengetahui rahasiarahasia kekuasaan Allah dalam penciptaan alam. AYAT 60 Ijja \3 UJ I J - j f l lilj ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Im*1 81 m Surah aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 60 (* l.) * -J “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Sujudlah kepada ar-Rahman”, mereka berkata: “A pakab ar-Rahman itu? Apakah kami sujud kepada apa yang engkau perintahkan kami?” Dan itu menambah mereka jauh. ” Ayat sebelum ini berbicara tentang ar-Rahman dan kekuasaan-Nya serta rahmat-Nya yang sedemikian luas. Kaum musyrikin Mekah —kendati mendapat rahmat dari Yang Maha Pencurah rahmat itu — enggan tunduk dan percaya kepada-Nya. Bahkan sungguh aneh, mereka melecehkan-Nya. Mereka selalu mencari dalih untuk menolak ajakan Rasul-Nya, sehingga mereka selalu membangkang dan apabila dikatakan kepada mereka oleh siapa pun di antara kaum beriman: “Sujudlah yakni patuhlah kamu sekalian kepada ar-Rahman!” Mereka berkata menjawab dengan angkuh sambil melecehkan: “Apakah ar-Rahman itu'i Kam i tidak mengenal-Nya. Yang kami kenal bernama demikian, hanyalah seorang yang dijuluki Musailamah al-Kadzdzab dan kami tidak perlu sujud kepadanya. Apakah kami harus sujud kepada apa yang kami tidak kenal yang engkau perintahkan kami bersujud kepadanya itu?” Sama sekali tidak perlu. Demikian mereka sangat angkuh dan perintah itu yakni sujud kepada ar-Rahman menambah mereka lebih jauh lagi dari keimanan dan ketaatan kepada Allah swt. Sementara ulama berpendapat bahwa nama Allah sebagai ar-Rahman tidak dikenal sebelum diperkenalkan oleh al-Q ur’an, sehingga kaum musyrikin ketika diperintahkan untuk sujud kepada-Nya, b.ertanya seperti pertanyaan di atas. Namun pendapat ini tidaklah tepat. Ketika menafsikan Basmalah dalam surah al-Fatihah, penulis antara lain mengemukakan pendapat Thahir Ibn ‘Asyur yang menyatakan bahwa Basmalah dengan ketiga lafadznya yang menunjuk kepada Allah swt. telah dikenal jauh sebelum turunnya al-Qur’an. Basmalah serupa dengan ucapan para nabi sejak zaman Nabi Ibrahim as. Allah swt. mengabadikan ucapan beliau yang menyebut dan mengisyaratkan sifat Rahman dan Rahim Yang Maha Kuasa itu dalam QS. Maryam [19]: 45, kata “ar-Rahman ” beliau ucapkan: LJj Olia-JuJJ (J-4 colJip O' u3G»-i “Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir engkau akan ditimpa a%ab dari ar-Rahman, maka engkau menjadi kawan bagi setan. ”Kata “ar-Rahim”pun beliau sebut antara lain dalam doa beliau: ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VI ayat 60 Suraf aC-Turqan (25) 8 8 ® ‘Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orangyang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umatyang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya EngkauIah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Rahim” (QS. al-Baqarah [2]: 128). Nabi Sulaiman as. pun memulai suratnya kepada ratu Saba’ (Balqis) dengan Basmalah (QS. an-Naml [27]: 30). Ini agaknya merupakan salah satu dari peninggalan ajaran Nabi Ibrahim as. Terlepas apakah Basmalah yang mereka ucapkan atau tulis itu berbahasa Arab atau tidak. Jika demikian, ucapan kaum musyrikin itu bertujuan melecehkan, bukannya bertanya karena tidak tahu. In i dikuatkan pula dengan penggunaan kata ( U ) ma ketika mereka menanyakan tentang ar-Rahman. Kata itu digunakan untuk menunjuk sesuatu yang tidak berakal. Firman-Nya: ( (►* lM li] ) id%a qtla lahum/apabila dikatakan kepada mereka, dipahami oleh Thabathaba’i bahwa yang mengatakan itu adalah Nabi Muhammad saw. Ini menurutnya dikukuhkan oleh penggalan berikutnya yakni ‘A pakah kami sujud kepada apa yang engkau perintahkan kami?” Memang —lanjutnya - ayat ini tidak secara jelas menunjuk beliau, agar lebih tercermin lagi keangkuhan mereka kepada Allah swt. Kata sujud yang dimaksud ayat ini tidak harus dipahami dalam arti perintah shalat, tetapi ia bermakna patuh kepada Allah. Ini tentu saja bermula dengan mengakui Keesaan-Nya, bukan langsung menyuruh mereka shalat, karena shalat tanpa pengakuan itu dan pengakuan akan kerasulan Nabi Muhammad saw. tidak berarti sama sekali. Kata ( \jjii) nufuran terambil dari kata ( y j) nafara yang pada mulanya digunakan dalam arti berlari atau berjalan denganpenuh semangat meninggalkan satu tempat menuju ke tempat yang lain. Siapa yang melakukan hal itu, pastilah menjauh dari posisinya semula. Nah, makna inilah yang dimaksud di sini. Ayat ini merupakan salah satu ayat yang disepakati oleh semua ulama sebagai sajdah. Yakni pembaca dan pendengarnya dianjurkan untuk sujud kepada Allah swt., sebagai pertanda identitas seorang muslim yang selalu patuh setiap saat kepada Allah swt. dan itulah yang membedakannya dengan orang-orang kafir. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com SBBPf Surat aC-Furqan (25) Kelompok VI ayat 61 A YA T 61 ( *\ \ ^ J**- ‘Maha Melimpah anugerah Dia Yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan padanja siraj dan bulan yang bercahaya. ” Pelecehan kaum musyrikin ditanggapi dengan mengingatkan mereka sekali lagi tentang Kuasa Allah dan aneka karunia-Nya. Thabathaba’i menolak pendapat sementara ulama yang menjadikan pemaparan ayat ini bertujuan membuktikan Keesaan Allah serta pengaturan dan pengendalianNya yang demikian mengagumkan terhadap alam langit dan bumi, sehingga semua m akhluk harus mengarah kepada-Nya. Menurutnya, ayat ini dipaparkan untuk menunjukkan betapa kemuliaan dan ketidakbutuhan Allah swt. kepada apa dan siapa pun. Kaum musyrikin yang melecehkan itu tidak akan mampu menghalangi kehendak Allah swt., betapapun besarnya keangkuhan mereka terhadap Allah dan bagaimana seringnya mereka memperolok-olokkan Rasul saw. Bahkan mereka itu terhalangi untuk dapat mendekat kehadirat-Nya dan meningkat menuju ketinggian langit guna meraih ma‘rifat Ilahiah sebagaimana diraih oleh hamba-hamba-Nya yang disinari Allah oleh sinar hidayah-Nya dan cahaya risalah-Nya. Demikian lebih kurang Thabathaba’i. Ayat di atas menjelaskan bahwa: Maha Melimpah anugerah ar-Rahman yaitu Dia Yang menjadikan di langitgugusan-gugusan bintang dan di antara gugusan bintang itu D ia m enciptakan garis orbit tempatnya beredar dan Dia menjadikan jug# padanya siraj yakni pelita yang terang benderang yaitu matahari yang bersinar dan bulan yang bercahaya. Kata ( ) tabdraka telah penulis jelaskan maknanya pada ayat pertama surah ini. Rujuklah ke sana! Kata ( If j j j ) burujan yang dimaksud di sini adalah rasi yaitu gugusan bintang di zodiak yang dilalui matahari ketika berputar mengelilingi bumi. Gugusan bintang tersebut seakan-akan menjadi tempat berputarnya matahari sepanjang tahun. Setiap tiga bulan terjadi satu musim yang dimulai dengan musim semi. Rasi-rasi tersebut terbagi lagi atas dua belas kumpulan dengan nama masing-masing yaitu: Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, Virgo, Libra, Scorpio, Sagitarius, Capricornus, Aquarius dan Pisces. Kata (l*-l j-») sirdjan yang dari segi bahasa berarti pelita yang terang ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 62 'W ‘ benderang, maksudnya di sini adalah matahari. Ini berdasar firman-Nya: £•1'j* \ jJ J jv tj “Dan ytllah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai siraj (pelita) ” (QS. Nuh [71]: 16). Matahari adalah salah satu bin tang yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Seperti halnya bintang-bintang lain, matahari bersinar dengan sendirinya karena interaksi atom yang ada di dalamnya. Sinar matahari yang timbul dari energi tersebut jatuh ke planetplanet, bumi, bulan dan benda-benda langit lainnya yang tidak dapat bersinar. Karena bersifat menyinari, maka matahari disebut siraj. Ketika menafsikan QS. Yunus [10]: 5 yang menyatakan bahwa Allah yang menjadikan matahari dhiya’ (bersinar) dan bulan nur (bercahaya), penulis antara lain mengemukakan bahwa al-Qur’an menggunakan kata dhiya’ dalam berbagai bentuknya untuk benda-benda yang cahayanya bersumber dari dirinya sendiri. Misalnya api, kilat dan minyak zaitun. Penggunaan kata tersebut untuk matahari membuktikan bahwa al-Qur’an menginformasikan bahwa cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri. Ini berbeda dengan bulan yang sinarnya dinamai nur untuk mengisyaratkan bahwa sinar bulan bukan dari dirinya tetapi pantulan dari cahaya matahari. Karena itu pula pada ayat di atas bulan disifati dengan mumran. Lebih jauh rujuklah QS. Yunus itu! AYAT 62 “Dan Dia yang menjadikan malam dan siting silih berganti bagi siapa yang ingin mengambil pelajaran atau bagiyang ingin bersyukur. ” Setelah ayat yang lalu membicarakan tentang matahari dan bulan serta pancaran cahaya dan peredarannya, kini disinggung tentang akibat peredaran matahari dan kehadiran bulan. Dan Dia pula yangmenjadikan malam dan siang silih berganti yang satu datang setelah yang lain. D ia Yang mengaturnya seperti itu bagi yakni untuk dimanfaatkan oleh siapayang ingin mengambil pelajaran sehingga menyadari betapa Allah Maha Esa, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana atau bagiyang ingin bersyukur atas segala limpahan karunia-Nya. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surafi aC-Turqan (25) Kelompok VI ayat 62 Kata ( iiiJ> ) khilfatan terambil dari kata ( uds>-) khalafa yang berarti tU belakang atau sesudah. Patron kata yang digunakan ayat ini menunjuk kepada sesuatu yang datang sesudah yang lain guna melaksanakan sebagian dari apa yang diperankan oleh yang lain. Malam dan siang silih berganti. Masingmasing dapat memerankan sebagian dari peran yang digantikannya. Kalau kita menjadikan salah satu peran yang menjadi konteks uraian ayat ini adalah pembuktian tentang keesaan Allah serta keharusan beribadah kepada-Nya, maka itu berarti bahwa hal tersebut dapat diperankan oleh kehadiran malam demikian juga kehadiran siang. Kata ( ji j j ) yad%d%akkara terambil dari kata ( ) dsjkr yang berarti mengingat dengan hati dan pikiran sesuatu yang dilupakan, atau memantapkan ingatan menyangkut sesuatu atau menyebut-nyebut dengan lidah dalam rangka pemantapan ingatan itu. Kata tersebut biasa juga dipahami dalam arti merenung. Dalam konteks ajaran agama, adalah merenungkan ajarannya, atau merenungkan tentang diri sendiri, dengan melakukan muhasabah, yakni menghitung-hitung kadar dosa untuk memohon ampun kepada-Nya. Diperhadapkannya kata ( JfJu ) yad^d^akkara dengan kata ( jjS L i ) syukur, mengantar Thabathaba’i memahami kata yad^d^akkara dalam arti merenungkan kembali apa yang telah dikenal manusia melalui fitrahnya tentang bukti-bukti keesaan Allah swt. serta sifat-sifat dan nama-nama yang wajar bagi-Nya, yang kesemuanya bertujuan mengantar kepada keimanan kepada Allah, sedang syukur dia pahami dalam arti ucapan dan perbuatan yang mengandung pujian kepada-Nya atas anugerah-anugerah-Nya yang sangat indah dan itu tercermin melalui ibadah serta amal-amal saleh. Kata ( ) syukur terambil dari kata ( £ ji>) syakara yang maknanya berkisar antara lain pada pujian atas kebaikan, serta penuhnya sesuatu. Ia diartikan juga dalam arti menampakkan sesuatu ke permukaan. Karena itu ia diperhadapkan dengan kata kufur yang berarti menutupi. Syukur juga berarti puji, dan bila Anda melihat makna syukur dari segi pujian, maka kiranya dapat disadari bahwa pujian terhadap yang terpuji baru menjadi pada tempatnya bila ada suatu kebaikan yang dilakukannya secara sadar, dan tidak terpaksa. Setiap pekerjaan, atau setiap yang baik yang lahir di alam raya ini adalah atas izin dan perkenan Allah swt. Apa yang baik dari Anda dan orang lain, pada hakikatnya adalah dari Allah swt.; jika demikian, pujian apapun yang Anda sampaikan kepada pihak lain, akhirnya kembali kepada A llah jua. Itu sebabnya kita diajarkan oleh-N ya untuk m engucapkan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com f5 2 3 ] Kelompok VI ayat 62 Surah aC-Turqan (25) d F al-Hamdulillah, dalam arti segala — .rekali lagi segala puji bagi/milik Allah. Manusia bersyukur kepada makhluk/manusia lain, adalah dengan memuji kebaikan serta membalasnya - jika dia mampu - dengan sesuatu yang lebih baik atau lebih banyak dari apa yang telah dilakukan oleh yang disyukurinya itu. Syukur yang demikian dapat juga merupakan bagian dari syukur kepada Allah, karena: “Tidak bersyukur kepada Allah, siapa yang tidak bersyukur kepada manusia” (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi). Syukur manusia kepada Allah dimulai dengan menyadari dari lubuk hatinya yang terdalam betapa besar nikmat dan anugerah-Nya, disertai dengan ketundukan dan kekaguman yang melahirkan rasa cinta kepadaNya dan dorongan untuk bersyukur dengan lidah dan perbuatan. M elalui perbuatan, kita dapat bersyukur kepada-Nya dengan. menghayati makna syukur. Syukur juga diartikan sebagai menggunakan anugerah llahi sesuai tujuan penganugerahannja. Ini berarti Anda harus dapat menggunakan segala yang dianugerahkan Allah di alam raya ini sesuai dengan tujuan penciptaannya. Pelajarilah mengapa laut, angin, bumi dan lain-lain diciptakan Allah, kemudian gunakan ciptaan itu sesuai dengan tujuan ia diciptakan. Semakin sesuai sikap dan tindakan Anda dengan tujuan penciptaan, semakin banyak dan mantap pula kesyukuran Anda. Thahir Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa ayat ini berpesan agar setiap orang berpikir tentang pergantian malam dan siang, sehingga ia dapat mengetahui bahwa di balik pergantian itu pasti ada wujud yang berperanan lagi Maha Bijaksana. Dari sini ia sampai kepada kesimpulan tentang keesaan Allah dan bahwa kekuasaan-Nya Maha Agung, dan ini pada gilirannya mengantarnya untuk percaya bahwa tidak ada yang berhak dipertuhan kecuali Allah swt. Dan hendaklah setiap orang bersyukur atas pergantian malam dan siang itu, karena dibaliknya terdapat banyak nikmat Allah, antara lain apa yang disebut pada ayat 47 yang lalu. Sayyid Quthub ketika menafsirkan ayat ini, mengutip pendapat ilmuwan yang m enunjukkan betapa besar kuasa dan betapa teliti pengaturan-Nya. “Bumi beredar dalam orbitnya sekali setiap dua puluh empat jam, atau sekitar seribu mil sejam. Kalaulah bumi kita hanya beredar sejauh seratus mil sejam - (dan ini mengapa tidak terjadi?) - maka ketika itu malam dan siang kita akan lebih panjang puluhan kali dari keadaannya sekarang ini. D an bila itu terjadi, maka matahari musim panas bisa membakar semua tumbuhan kita di siang hari, dan pada malamnya akan membeku semua tumbuhan bumi. Maka sungguh melimpah anugerah Allah ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Jg | | f Surah aC-Turqdn (25) Kelompok VI ayat 62 kepada makhluk-Nya. Itulah sebagian yang p'erlu direnungkan dan disyukuri oleh manusia. Ayat ini juga — m enurut Ibn ‘Asyur dan banyak ulama lain — mengandung makna: Hendaklah siapa yang lupa berdzikir mengingat Allah atau bersyukur kepada-Nya di waktu malam —karena tertidur atau keletihan, atau bahkan karena lengah atau durhaka — maka hendaklah ia melakukan apa yang tertinggal atau ditinggalkannya —di waktu siang. Atau apabila ia tidak bersyukur atau berdzikir pada siang hari — karena terlalu disibukkan oleh aktivitasnya —maka hendaklah apa yang tertinggal atau ditinggalkannya itu, digantinya pada waktu malam saat ia telah terbebaskan dari tugastugasnya. Pada ayat yang lalu telah penulis kemukakan pendapat Thabathaba’i yang menyatakan bahwa kaum musyrikin terhalangi untuk dapat mendekat kehadirat-Nya dan meningkat menuju ketinggian langit guna meraih ma‘rifat Ilahiah. D i sini ketika menafsirkan ayat di atas, ulama itu menambahkan bahwa kendati demikian, Allah tidak melarang hamba-hamba-Nya untuk m endekat kepada-Nya dan meraih cahaya-Nya, dan karena itu Dia menjadikan siang memiliki matahari yang terbit memancarkan sinar, dan menjadikan malam memiliki bulan yang bercahaya yang keduanya silih berganti, sehingga siapa yang tidak dapat mengingat atau bersyukur di waktu malam, maka ia dapat melakukannya di siang hari, demikian juga sebaliknya. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com AYAT 63 l i i j «* / O \j j A / j -X o j iU X x- p j ✓ (nr) “D«« hamba-hamba ar-Rahman adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan lemah lembut dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka berucap salam. ” Setelah ayat yang lalu berbicara tentang pergantian malam dan siang, yang antara lain dijadikan Allah peluang untuk berdzikir dan bersyukur. Kini diuraikan sifat hamba-hamba-Nya yang memanfaatkan sebaik mungkin peluang itu. Al-Biqa‘i berpendapat bahwa ayat yang menguraikan sifat hambahamba Allah yang taat ini berhubungan dengan awal surah yang berbicara tentang fungsi al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw. sebagai Nad^fran/ Pemberi peringatan. Yang diberi peringatan itu adalah m ereka yang dipengaruhi oleh setan dan masuk ke dalam kelompoknya. Memang —tulis al-Biqa‘i — nama mereka tidak dikaitkan dengan salah satu nama Allah (misalnya “m usuh A llah ” , atau “yang dilaknat al-Khaliq”) sebagai penghinaan kepada mereka (berbeda dengan hamba-hamba-Nya yang taat yang di sini disifati sebagai hamba-hamba ar-Rahman). Mereka yang taat dan dipilih Allah itulah yang berdzikir dan bersyukur sebagaimana diisyaratkan oleh ayat yang lalu, dan diisyaratkan sebelum ini dengan kata al-Furqan yakni memperhatikan al-Qur’an atau yang memperoleh berkat al-Furqan 525 ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com 1526 IS f lf Surafl aC-Turcl&n (25) Kelompok VII ayat 63 potensi membedakan yang haq dan yang batil. Nah, ayat di atas dan ayatayat berikut menyebut sifat-sifat mereka sambil mengaitkan dengan firmanNya yang berbicara tentang orang-orang kafir yang bila dikatakan kepada mereka sujudlah kepada ar-Rahman mereka enggan dan angkuh. Demikian lebih kurang salah satu hubungan yang dikemukakan al-Biqa‘i. Ada hubungan lain yang dikemukakannya dan yang dinilainya lebih baik dari yang disebut di atas. Yakni setelah Allah swt. dalam surah ini menguraikan sifat-sifat buruk orang-orang kafir, serta ketidaksopanan dan kekasaran mereka kepada Nabi Muhammad saw. dan permusuhan mereka terhadap beliau dan lain-lain serta setelah mengakhiri (kelompok ayat-ayat yang lalu) dengan dzikir dan syukur, maka ayat ini bagaikan menyatakan: Hamba-hamba setan tidak berdzikir dan tidak bersyukur, akibat kebejatan dan kekerasan hati mereka, sedang hamba-hamba ar-Rahman selalu berdzikir dan bersyukur, karena itu sifat-sifat mereka bertolak belakang dengan sifatsifat orang-orang kafir dan balasan buat mereka pun bertolak belakang, yang ini surga dan yang itu neraka. Apapun hubungannya, yang jelas di sini Allah berfirm an: Para pendurhaka dan penyembah setan enggan sujud kepada ar-Rahman, mereka adalah orang-orang yang berjalan di persada bumi membusungkan dada dan adapun hamba-hamba ar-Rahman, mereka adalah orang-orangyang senantiasa berjalan di atas bumi dengan lemah lembut rendah hati, serta penuh wibawa. Salah satu dari bentuk kelemahlembutan dan kerendahan hati mereka adalah sikap mereka terhadap orang-orang jahil. Karena itu ayat di atas — berbeda dengan ayat-ayat berikut — langsung menggabung sifat yang lalu dengan sifat berikut dengan menyatakan dan apabila orang-orangjahil menyapa mereka, dengan sapaan yang tidak wajar atau yang mengundang amarah mereka berucap salam yakni mereka membiarkan dan meninggalkan mereka, atau mereka berdoa untuk keselamatan semua pihak. Sepakat ulama menyatakan bahwa kata ‘ibad ar-Rahman berkedudukan sebagai subjek, namun mereka berbeda pendapat tentang predikatnya. Ada yang berpendapat bahwa predikatnya adalah penggalan berikutnya yakni orang-orangyang berjalan di atas bumi dengan lemah lembut dan seterusnya. Ada juga yang menjadikan predikatnya adalah ayat 75 yang akan datang yang menyatakan: Mereka itulah yang diberi ganjaran dengan martabatyang tinggi. Hamba-hamba ar-R^ahman yang dimaksud adalah sahabat-sahabat Nabi saw., bahkan dapat mencakup semua orang mukmin, kapan dan di mana saja selama mereka menyandang sifat-sifat yang diuraikan oleh ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VII ayat 6 3 Surah aC-Turqan (25) kelompok ayat ini. Penyifatan mereka dengan hamba ar-Rahman di samping menyindir kaum m usyrikin yang enggan sujud kepada-N ya, juga mengisyaratkan bahwa mereka meneladani Allah terutama dalam sifat agung-Nya itu. Rujuklah ke ayat 17 surah ini untuk memahami makna kata ( iUc-) ‘ibad. Kata ( o 3' ? ) ar-Ruihman telah penulis kemukakan pengertiannya pada ayat 26 surah ini. Rujuklah ke sana! Yang penulis ingin tambahkan di sini, adalah tentang meneladani sifat ar-Rahman. Dalam buku Menyingkap Tabir llahi, penulis menguraikan hal tersebut antara lain dengan mengutip Imam Ghazali. Menurut Hujjatul Islam itu, buah yang dihasilkan oleh peneladanan sifat ar-Rahman pada diri seseorang akan menjadikannya memercikkan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, dan ini mengantarnya mengalihkan mereka dari jalan kelengahan menuju Allah dengan memberinya nasihat secara lemah lembut, tidak dengan kekerasan. Dia akan memandang orang-orang berdosa dengan pandangan kasih sayang - bukan dengan gangguan —serta menilai setiap kedurhakaan yang terjadi di alam raya bagaikan kedurhakaan terhadap dirinya, sehingga dia tidak m enyisihkan sed ikit upaya pun untuk m enghilangkannya sesuai kemampuannya, sebagai pengejawantahan dari rahmatnya terhadap si durhaka jangan sampai ia mendapatkan murka-Nya dan kejauhan dari sisiNya. Selanjutnya penulis kemukakan di sana bahwa: “Kita juga dapat berkata bahwa seseorang yang menghayati bahwa Allah adalah Rahman (Pemberi rahmat kepada makhluk-makhluk-Nya dalam kehidupan dunia), akan berusaha memantapkan pada dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri kepribadiannya, selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan, serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain baik yang hidup maupun yang mati. Ia akan menjadi bagai matahari yang tidak kikir atau bosan memancarkan cahaya dan kehangatannya, kepada siapa pun dan di mana pun. Kata ( Uj» ) haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang dipilih di sini, adalah mashdar/indefinite noun yang mengandung makna “kesempurnaan” . Dengan demikian maknanya adalah penuh dengan kelemahlembutan. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Jill? Kelompok VII ayat 63 Surah aC-Turqdn (25) Sifat hamba-hamba Allah itu yang dilukiskan dengan ( Uyt je>jSi' o jJ.s ) yamsyuna ‘aid al-ardhi haunan/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam konteks cara jalan, Nabi saw. mengingatkan agar seseorang tidak berjalan dengan angkuh, membusungkan dada. Namun ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh cara jalan ini dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini” (HR. Muslim). Kini pada masa kesibukan dan kesemrautan lalu lintas kita dapat memasukkan dalam pengertian kata ( Uj * ) haunan, disiplin lalu lintas dan penghorm atan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri sehingga berjalan dengan cepat dengan melecehkan kiri dan kanannya. Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan, atau larangan tergesa-gesa. Nabi Muhammad saw. dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit, penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi. Seorang pemuda dilihat oleh Sayyidina ‘Umar ra. berjalan melempem, tanpa semangat bagaikan orang sakit. Beliau menghentikannya sambil bertanya: “Apakah engkau sakit?” Setelah anak muda itu menjawab: “Tidak”. Sayyidina ‘Umar ra. menghardik dan memerintahkannya untuk berjalan dengan penuh semangat. Sementara ulama memahami kata ( o ) yamsyun/ mereka berjalan pada ayat di atas dalam arti interaksi antar manusia. Pendapat ini dikaitkan dengan QS. al-Baqarah [2]: 205 yang mencela para pendurhaka dengan firman-Nya: i0 IfJ J j y lif j 9 f, 0 * “A.pabila ia berpaling (meninggalkan kamu), ia berjalan di bumi untuk melakukan kerusakan padanya. ” Penganut pemahaman di atas memperhadapkan kata “berjalan” pada kedua ayat tersebut. Kalau interaksi orang kafir dan amalamalnya sangat buruk, maka interaksi orang mukmin yang dilukiskan dengan kata haunan adalah baik dan benar. Dengan demikian — menurut mereka —penggalan ayat tersebut tidak sekadar menggambarkan cara jalan mereka, atau sikap mereka ketika berjalan tetapi lebih luas lagi yakni bahwa melakukan interaksi dengan pihak lain dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Thabathaba’i ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VII ayat 6 3 Surah aC-Turqan (25) Ww cenderung memahami penggalan ayat ini dalam pengertian tersebut. Kata ( d>jlaUH ) al-jahilun adalah bentuk jamak dari kata ( JaU -' ) al-ja yang terambil dari kata ( J^?-) jahala. Ia digunakan al-Qur’an bukan sekadar dalam arti seorang yang tidak tahu, tetapi juga dalam arti pelaku yang kehilangan kontrol dirinya sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai ajaran Ilahi. Kata ( u*>L» ) salaman terambil dari akar kata ) salima yang maknanya berkisar pada keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Menurut al-Biqa‘i keselamatan adalah batas antara keharmonisan/ kedekatan dengan perpisahan, serta batas antara rahmat dengan siksaan. Jika dipahami dalam arti ini, maka ucapan tersebut mengandung makna tidak ada hubungan baik antara kita yang dapat melahirkan pemberian positif dari saya kepada Anda atau dari Anda kepada saya, namun tidak ada juga hubungan buruk yang mengundang pertengkaran dan perkelahian antara kita. Ia dapat juga berarti ucapan as-salam yang maksudnya di sini adalah sapaan perpisahan. Dengan demikian ini berarti bahwa hamba-hamba ar-Rahman itu bila disapa oleh orang-orang jahil mereka meninggalkan tempat menuju ke tempat lain di mana mereka tidak berinteraksi dengan sang jahil itu. Sikap itu yang diambilnya karena seperti dikemukakan di atas salami keselamatan adalah batas antara keharm onisan/kedekatan dengan perpisahan, serta batas antara rahmat dengan siksaan. Inilah yang paling wajar atau batas minimal yang diterima seorang jahil dari hamba Allah yang Rahman, atau seorang penjahat dari yang kuasa. Itu dalam rangka menghindari kejahilan yang lebih besar atau menanti waktu untuk lahirnya kemampuan mencegahnya. Salah satu nasihat yang amat berharga disampaikan oleh Sayyidina Ja‘far ash-Shadiq kepada ‘Unwan ra. yang datang meminta nasihatnya adalah: “Jik a ada yang datang kepadamu lalu berkata: “Jika engkau mengucapkan satu cercaan, maka engkau mendengar dariku sepuluh”, maka jawablah: “Jika engkau memakiku sepuluh, engkau tak mendengar dariku walau satu; Jik a engkau memakiku, maka bila makianmu benar, aku bermohon semoga Tuhan mengampuniku, dan bila keliru, aku bermohon semoga Tuhan mengampunimu.” Nasihat itu demikian, karena kata atau kalimat buruk diibaratkan sebagai indung telur. Menanggapinya sama ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surat aC-Turqan (25) Kelompok VII ayat 64 dengan membuahi indung telur itu dengan'sperma. Pertemuan keduanya melahirkan anak, atau kalimat baru yang beranak cucu. Ini melahirkan perang kata-kata yang mengakibatkan putusnya hubungan atau lahirnya kerusuhan dan perkelahian, atau paling tidak habisnya waktu dan terbuangnya energi secara sia-sia. Tetapi bila tidak dijawab dan dibiarkan berlalu, maka itu berarti ia tidak dibuahi, dan dengan demikian indung telur menjadi sia-sia persis seperti haidh yang menjijikkan. A Y A T 64 I# . (*\i) wUSj f O » , f s j j u jiw J *■ •f / “Dan orang-orangyang memasuki malam hari —demi untuk Tuhan mereka —dalam keadaan sujud dan berdiri. ” Setelah menjelaskan sifat ‘ibad ar-Rahman di siang hari dalam interaksi mereka dengan sesama manusia, kini diuraikan keadaan mereka di malam hari. Ini merupakan sifat mereka yang kedua. Ayat di atas menyatakan: Dan di samping sifat mereka yang disebut sebelum ini, orang-orang yang digelar ‘Ibad ar-Rahman itu juga adalah mereka yang senantiasa ketika memasuki malam hari beribadah secara tulus demi untuk Tuhan Pemelihara mereka tanpa pamrih - dalam keadaan sujud dan berdiri yakni shalat. K ata ( j ) wa] dan pada awal ayat ini dan ayat-ayat berikut mengisyaratkan bahwa sifat yang disebut ini — sebagaimana halnya sifatsifat yang lain — secara berdiri sendiri merupakan sifat yang sangat terpuji dan itu saja telah dapat menunjukkan betapa tinggi kedudukan mereka. Ia juga mengisyaratkan bahwa mereka dikenal melalui sifat tersebut. Didahulukannya kalimat ( ) li Rabbihimf demi untuk Tuhan mereka atas ( Ijbvx ) sujjadan/dalam keadaan sujud, bertujuan menggarisbawahi keikhlasan mereka beribadah, dan bahwa ibadah itu tidak disertai dengan pamrih, bahkan dapat dikatakan bahwa ibadah mereka itu semata-mata atas dorongan cinta kepada Allah swt., bukan untuk meraih surga-Nya atau menghindar dari neraka-Nya. Kata ( J js - j ) yabitun terambil dari kata ( o b ) bata yang mengandung makna keberadaan di waktu malam, baik dengan tidur maupun tidak. Kata ( Ijtsv** ) sujjadan dan ( UL4 ) qiyaman adalah bentuk jamak dari ( ) sajid yakni yang sujud dan ( ^j\3 ) qaim yakni yang berdiri. Berdiri dan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-<Furqan (25) Kelompok VII ayat 65-66 sujud adalah dua rukun shalat yang utama, dan karena itu banyak ulama memahami gabungan kedua kata tersebut dalam arti shalat. Ada juga yang memahaminya lebih khusus lagi yakni shalat tahajjud. Pendapat tersebut cukup beralasan, walau memahaminya dalam pengertian umum —di mana shalat termasuk — adalah lebih baik. Ini agar yang melakukan kegiatan positif yang mencerminkan sujud dan ketundukan kepada Allah dapat tercakup olehnya. Didahulukannya kata ( ) sujjadan padahal dalam shalat qaydman/ berdiri dilakukan setelah terlebih dahulu berdiri, bukan saja untuk tujuan mempersamakan bunyi akhir masing-masing ayat sebelum dan sesudahnya, tetapi yang lebih penting adalah untuk mengisyaratkan betapa penting dan dekatnya seseorang kepada Allah saat sujudnya dalam shalat. D i sisi lain ia juga merupakan sindiran kepada kaum musyrikin yang enggan sujud dan patuh kepada ar-Rahman sebagaimana tercantum dalam ayat 60 yang lalu. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa siapa yang shalat sunnah dua rakaat setelah shalat Isya, maka dia telah dapat dinilai melaksanakan kandungan ayat ini. Perlu dicatat bahwa sifat pertama yang disandang oleh hamba-hamba Allah itu yang disebut oleh ayat yang lalu adalah sifat mereka yang berkaitan dengan makhluk, sedang di sini adalah yang berkaitan dengan al-Khaliq. Ini mengisyaratkan pentingnya interaksi antar sesama makhluk serta perlunya mendahulukan kepentingan mereka daripada ketaatan kepada Allah yang bersifat sunnah. AYAT 65-66 015"" < < o l j p Up 1 iL j 0 ^ ^ ( / • *j &Um-a O s-Lo Dan orang-orangyang berkata: ‘Tuhan kami,jauhkanlah dari kami siksa Jahannam, sesungguhnya siksanya adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. ” Setelah ayat-ayat yang lalu menguraikan aktivitas ‘Ibad ar-Rahman pada malam dan siang hari terhadap makhluk dan Khaliq, ayat di atas menggambarkan sikap kejiwaan mereka. Ayat yang menguraikan sifat ketiga hamba-hamba Allah itu bagaikan menyatakan: Kendati akhlak mereka ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-<Furqan (25) Kelompok VII ayat 67 terhadap sesama makhluk demikian terpuji, dan ibadah mereka kepada Allah demikian tulus dan baik, namun mereka tetap prihatin. Keprihatinan dan rasa takut mereka berdampingan dengan harapan dan optdmisme mereka. Ini ditandai dengan permohonan mereka yang diabadikan di sini. Ayat di atas menyatakan: Dan di samping sifat yang disebut sebelum ini, hambahamba Allah itu juga adalah orang-orangyang selalu berkata karena takutnya kepada Allah: Tuhan kami,jauhkanlah dari kami siksa neraka Jahannam, karena kami sadar bahwa dosa kami sangat banyak, dan ibadah kami tidak sempurna. Sesungguhnya siksanya adalah kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya ia yakni neraka Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Permohonan agar dijauhkan dari siksa neraka, mengandung makna p e rm o h o n a n u ntuk m eningkatkan am al kebaikan m ereka, serta pem eliharaan dari godaan setan, karena kedua hal itulah yang dapat menyelamatkan seseorang dari siksa neraka. Firm an-N ya: ( U ly - olS” UIJLp o l ) inna ‘ad^abaha kana gharam an/ sesungguhnya siksanya adalah kebinasaan yang kekal, dapat dipahami sebagai lanjutan ucapan ham ba-hamba Allah itu, dan dapat juga merupakan komentar atas ucapan mereka. Kata ( Ulj i ) gharaman adalah kebinasaan abadi. Kata ( ) mustaqarran adalah tempat menetap, sedang ( ) muqaman adalah tempat bermukim/tinggal. Sementara ulama memahami yang pertama menunjuk para pendurhaka yang hanya bermukim di neraka itu untuk beberapa waktu saja, seperti halnya mereka yang durhaka tetapi mengakui keesaan Allah swt., sedang yang kedua menunjuk orang-orang yang akan menetap dan mantap dalam siksa neraka itu. Pendapat ini mendapat hambatan dari penggunaan kedua kata itu, juga ketika melukiskan penghuni surga pada ayat 76 berikut. Hambahamba Allah yang dibicarakan oleh ayat 76 itu adalah hamba-hamba-Nya yang terpuji, dan tentu saja mereka akan langsung dan segera masuk ke surga untuk selama-lamanya. Tidak ada di antara mereka yang masuk setelah tersiksa, tidak ada juga akan menanti sekian lama. A YA T 67 ( y) OlTj J “Dan orang-orangyang apabila bernafkah, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah ia pertengahan antara keduanya. ” ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VII ayat 67 Surah aC-Turqan (25) Setelah menyebut hubungan hamba-hamba Allah itu dengan makhluk dan Khaliq, kini dilukiskan sifat mereka menyangkut harta benda. Ayat di atas menyatakan bahwa: Dan mereka juga adalah orang-orangyang apabila bernafkah yakni membelanjakan harta mereka, baik untuk dirinya, maupun keluarga atau orang lain, mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah ia yakni pembelanjaan mereka pertengahan antara keduanya. Kata ( Ij i i ) yusrifu terambil dari kata ( ^ ) sarf yaitu melampaui batas kewajaran sesuai dengan kondisi yang bernafkah dan yang diberi nafkah. Walaupun Anda kaya raya, Anda tercela jika memberi anak kecil melebihi kebutuhannya, namun Anda tercela jika memberi seorang dewasa yang butuh lagi dapat bekerja, sebanyak pemberian Anda kepada sang anak itu. Kata ( Ij^saj) yaqturu adalah lawan dari ( t yusrifu. Ia adalah memberi kurang dari apa yang dapat diberikan sesuai dengan keadaan pemberi dan penerima. Ayat ini mengisyaratkan bahwa hamba-hamba Allah itu memiliki harta benda sehingga mereka bernafkah, dan bahwa harta itu mencukupi kebutuhan mereka sehingga mereka dapat menyisihkan sedikit atau banyak dari harta tersebut. Ini mengandung juga isyarat bahwa mereka sukses dalam usaha mereka meraih kebutuhan hidup, bukannya orang-orang yang mengandalkan bantuan orang lain. Ini akan semakin jelas — jika kita sependapat dengan ulama yang menegaskan bahwa nafkah yang dimaksud di sini adalah nafkah sunnah, bukan nafkah wajib. Dengan alasan, bahwa berlebihan dalam nafkah wajib tidaklah terlarang atau tercela, sebagaimana sebaliknya, yakni walau sedikit sekali dari pengeluaran harta yang bersifat haram adalah tercela. Kata ( U lji ) qawaman berarti add, moderat dan pertengahan. Melalui anjuran ini, Allah swt. dan Rasul saw. mengantar manusia untuk dapat memelihara hartanya, tidak memboroskan sehingga habis, tetapi dalam saat yang sama tidak menahannya sama sekali sehingga m engorbankan kepentingan pribadi, keluarga, atau siapa yang butuh. Memelihara sesuatu yang baik — termasuk harta — sehingga selalu tersedia dan berkelanjutan, merupakan perintah agama. Moderasi dan sikap pertengahan yang dimaksud ini, adalah dalam kon d isi norm al dan umum. T etap i bila situasi menghendaki penafkahan seluruh harta, maka moderasi dimaksud tidak berlaku. Sayyidina Abu Bakr ra. menafkahkan seluruh hartanya dan Sayyidina ‘Utsman ra. menafkahkan setengah dari miliknya, pada saat ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com M l Surah af-Turqan (25) Kelompok VII ayat 68-69 mobilisasi umum dalam rangka persiapan perang. Ini karena berjihad menuntut pengerahan semua kemampuan, hingga tujuan tercapai. Dengan kata lain, moderasi itu hendaknya dilihat dari kondisi masing-masing orang dan keluarga serta situasi yang dihadapi. A Y A T 68-69 aLi fa J>\ b Y j 'jt-w (*\A) ^ jijtftj wiJJi Ja Aj . OjjJj Slj x ) ( *\^ ) u\^a f 0 XX oU^uj . 0 “Dan orang-orangyang tidak menyembah tuhanyang lain bersama Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, dan tidak ber^ina. Barang siapa yang melakukan itu, niscaya dia menemukan dosa (nya). Dilipatgandakan untuknya siksapada hari Kiamat, dan dia akan kekal di dalamnya dalam keadaan terhina. ” Setelah m enyebut sifat-sifat terpuji mereka dalam hal-hal yang berkaitan dengan pokok-pokok ketaatan serta sikap moderasi mereka, kini diuraikan keterhindaran mereka dari dari pokok-pokok kedurhakaan. Ayat di atas menggambarkan sifat Ibdd ar-Rahman yang kelima yakni memurnikan Tauhid, serta yang keenam yaitu tidak melakukan penganiayaan yang berupa pembunuhan dengan mencabut jiwa manusia serta yang ketujuh tidak juga membunuh secara moral dengan melakukan perzinahan dan pelecehan seksual tetapi mereka mencukupkan diri dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui pernikahan yang sah semata-mata. Ayat di atas menyatakan: Dan di samping sifat-sifat terpuji yang disandang oleh hamba-hamba Allah itu, mereka juga terhindar dari sifatsifat tercela. Mereka adalah orang-orang yang memurnikan Tauhid, yang tidak menyembah dan bermohon kepada tuhan yang lain bersama Allah baik secara terang-terangan dalam bentuk menyekutukan-Nya maupun dalam bentuk tersembunyi dalam bentuk pamrih dan tidak tulus kepada-Nya, dan di samping itu mereka juga tidak membunuhjiwa manusia yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan haq yakni sebab yang dibenarkan Allah, m isalnya dalam bentu k m em bela nyawa, qishash atau peperangan menegakkan kebenaran, dan tidak beryjna. Barang siapayang melakukan dosa---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VII ayat 6 8-69 Surah aC-Turqan (25) |f||f|| dosa yang sangat jauh keburukannya itu, niscaya dia menemukan balasan dosanya. Balasan yang diterimanya itu berupa dilipatgandakan untuknya siksa pada ban Kiamat, dan dia akan kekal di dalamnya yakni dalam siksa itu dalam keadaan terhina. Penggalan pertama ayat ini berbicara tentang syirik. Dalam konteks ini, Thabathaba’i mengangkat satu masalah yang agaknya menurut ulama ini - secara sepintas - tidak sejalan dengan kepercayaan kaum musyrikin Mekah yang dibicarakan ayat di atas. Ini karena mereka pada prinsipnya tidaklah membenarkan beribadah dan berdoa kepada Allah swt., baik untukNya sendiri, maupun bersama tuhan-tuhan yang mereka sembah. Mereka hanya membenarkan doa dan ibadah kepada tuhan-tuhan/berhala-berhala yang mereka jadikan perantara antara diri mereka dengan Allah. Nah, jika demikian kepercayaan mereka, maka pada hakikatnya mereka tidak mempersekutukan Allah, tetapi mereka menyembah dan berdoa kepada selain Allah. Nah, jika demikian halnya, mengapa ayat 69 di atas menyindir melalui penyifatan ‘Ibad ar-Rahman bahwa hamba-hamba yang terpuji itu la yad'una ma‘a /Allah/tidak menyembah tuhan yang lain bersama Allah — seperti kaum musyrikin Mekah —padahal kaum musyrikin Mekah tidak demikian. Untuk menyelesaikan hal ini, ulama beraliran Syi‘ah itu mengemukakan tiga kemungkinan makna bagi firman Allah itu. Pertama, ia sebagai isyarat bahwa fitrah dan naluri suci manusia hanya mengarah dalam beribadah dan berdoa kepada Allah swt. semata-mata, dan dengan demikian walau seseorang hanya berdoa dan beribadah kepada tuhan selain Allah, — dan secara lahiriah tidak kepada Allah — namun pada hakikatnya dia telah mempersekutukan Allah, karena secara naluriah dan fitriah dia pun berdoa kepada Yang Maha Esa itu. Demikian lebih kurang kemungkinan pertama yang dikemukakan Thabathaba’i. Kemungkinan kedua adalah memahami penggalan ayat-ayat itu sebagai kecaman kepada sementara kaum musyrikin yang percaya bahwa berdoa kepada tuhan-tuhan yang mereka sembah, hanya bermanfaat jika doa itu dipanjatkan di daratan. Adapun di laut saat ombak dan gelombang atau angin taufan, maka doa hanya akan bermanfaat jika di arahkan kepada Allah semata. Dengan demikian, mereka sebenarnya mempersekutukan Allah. Kemungkinan ketiga adalah bahwa wujud Allah swt. merupakan keniscayaan yang haq dan mantap, baik ada selain-Nya yang diharapkan bantuannya maupun tidak. Baik ada yang beribadah kepada tuhan-tuhan yang lain maupun tidak, karena itu di sini walau kaum musyrikin itu beribadah kepada tuhan-tuhan yang lain - bukan kepada Allah, namun ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqdn (25) Kelompok VII ayat 68-69 wujud Allah adalah sesuatu yang pasti. Dengan demikian, apa yang dilakukan kaum musyrikin itu sama dengan syirik. Pendapat inilah yang dianggap terbaik oleh Thabathaba’i untuk menyesuaikan makna redaksi ayat di atas dengan hakikat penyembahan dan doa kaum musyrikin Mekah yang dibicarakan ayat ini. Namun jika Anda memahaminya secara umum —tanpa mengaitkan dengan kepercayaan masyarakat Mekah yang musyrik ketika turunnya ayat ini — maka dapat saja seseorang mempersekutukan Allah dalam beribadah dan berdoa, baik persekutuan yang jelas maupun tersembunyi. Atas dasar itulah penulis tidak menemukan dari para mufassir selain Thabathaba’i yang mempersoalkan masalah di atas. Ayat ini menyebut tiga sifat mereka, tetapi itu dikemukakan dalam satu ayat dan hanya menggunakan sekali kata ( ) allad^jna yang d iterjem ah k an dengan orang-orang yaitu ketika b erb icara tentang keterhindaran mereka dari praktek syirik. Dengan demikian ayat ini tidak se p e rti ayat-ayat yang lalu dan akan datang. In i agaknya untuk mengisyaratkan bahwa keterhindaran mereka dari syirik, serta terhiasnya jiwa mereka dengan Tauhid, membuahkan pula keterhindaran dari kedua keburukan yang disebut oleh ayat ini yakni membunuh dan berzina. Boleh jadi juga pengulangan kata ( ) la/tidak berfungsi menggantikan kata ( jj-UJI ) allad^ina itu. Ayat di atas menggunakan kata yang berbentuk negasi yakni tidak menyembah, tidak membunuh dan tidak berzina, berbeda dengan ayat-ayat yang lalu. Ini agaknya bertujuan menyindir kaum musyrikin yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut, di samping karena upaya seseorang menghindari kejahatan-kejahatan itu pada hakikatnya telah merupakan amal saleh yang terpuji. Kata (vliii) d^alika/itu, menunjuk kepada gabungan ketiga dosa yang disebut di atas, yakni mempersekutukan Allah, membunuh tanpa haq dan berzina. Ini karena ayat di atas menegaskan adanya pelipatgandaan dan adanya kekekalan, yang tentu saja diakibatkan oleh syirik itu. Memang siapa yang melakukan syirik akan kekal dalam siksa, tetapi yang hanya melakukan salah satu dari ketiganya, akan memperoleh siksa yang pedihnya relatif kurang dibandingkan dengan yang melakukan ketiganya. Kata ( Uttl ) atsdman terambil dari kata ( ^I ) itsm yang berarti dosa. Kata tersebut lebih menggambarkan keburukan daripada kata itsm. Yang dimaksud di sini adalah balasan dosa. Dengan demikian, penggalan ayat di atas menggambarkan besarnya dosa dan pedihnya siksa, apalagi dengan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VII ayat 70 Surah aC-Turqan (25) penyebutan kata ( j L ) yalqa yang berarti menemukan. Kata terakhir ini m engesankan adanya sesuatu yang telah m enanti untuk m em balas kejahatannya dan menyiksanya. Pelipatgandaan balasan dosa yang dimaksud di sini, adalah akibat keragaman siksa. Dengan demikian, siksa yang terbesar - walau telah dijalani - tidaklah membatalkan siksa dosa yang lain. Ini serupa dengan seorang yang melakukan tiga kejahatan. Jika hukuman kejahatan pertama sepuluh tahun, dan kedua lima tahun, ketiga setahun, maka ia harus menggabung ketiga masa itu yakni enam belas tahun, bukan sekadar sepuluh tahun. Kata ( .Uai ) yakhlud sebagaimana dikemukakan di atas adalah akibat dosa mempersekutukan Allah. Ada juga ulama yang memahami kata ini mencakup dua makna. Pertama, kekekalan tanpa akhir, dan kedua, waktu yang lama. Jika pendapat ini diterima, maka yang membunuh atau berzina saja tanpa melakukan syirik, akan tersiksa dalam waktu yang lama. Kata ( Ul$*) muhanan menggambarkan bahwa siksa yang dialami itu bukan sekadar fisik, tetapi juga siksa kejiwaan yang menjadikan si tersiksa mengalami kepedihan batin yang luar biasa. AYAT 70 p if * *' ( y * ) lo.j?-j " “Kecuali siapa yang telah bertaubat, dan telah beriman serta telah mengamalkan amal saleh; maka mereka itu akan diganti oleh Allah dosa-dosa mereka dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ” Setelah ayat-ayat yang lalu menyampaikan ancaman siksa terhadap para pendurhaka, Allah Yang Maha Pengampun dan Pelimpah rahmat itu, membuka peluang keterbebasan dari ancaman siksa dan kekekalan itu. Ayat ini menyatakan: Siksa dan ancaman itu akan m enimpa semua yang melakukan dosa-dosa di atas, kecuali siapayang telah bertaubat yakni menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya serta bermohon ampun kepada Allah, dan telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan keimanan yang benar dan tulus serta telah mengamalkan amal saleh yang sempurna; - kalau itu telah dipenuhinya - maka mereka itu yakni bertaubat, beriman, dan beram al saleh, akan diampuni Allah, sehingga mereka ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com §g$ -■vS'al Surah aC-Turqan (25) Kelompok VII ayat 70 terbebaskan dari ancaman siksa bahkan akan diganti oleh Allah dosa-dosa mereka dengan kebajikan. Dan adalah Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ayat di atas menyebut kata ‘amal dua kali, sekali dalam bentuk kata kerja masa lampau ( ) ‘amila/telah mengamalkan untuk menunjukkan telah terlaksananya amal itu, dan yang kedua menggunakan bentuk mashdarj infinitive noun yaitu dengan kata ( ) ‘amalan. Penggunaan bentuk kata ini mengandung makna kesempurnaan. Persoalan ini, akan kembali penulis bicarakan saat menafsirkan ayat berikut. Ayat ini turun berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad saw. menyangkut sekelompok orang musyrik yang ingin insaf namun telah membunuh sedemikian banyak orang, dan telah sering kali pula berzina. Mereka mengakui keunggulan Islam, tetapi kata mereka: “Bagaimana dengan dosa-dosa kami itu, adakah jalan keluarnya?” Nah, ayat ini —demikian juga ayat QS. az-Zumar [39]: 53 —turun mengomentari pertanyaan itu. Dem ikian penjelasan sahabat Nabi saw., Ibn A bbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari. U la m a b e r b e d a p e n d a p a t te n ta n g m ak n a fir m a n -N y a : ( ^ <us( J j_ j ) yubaddilu Allah sayyiatihim hasanat/ akan diganti oleh Allah dosa-dosa mereka dengan kebajikan. Yang jelas ia bukan berarti bahwa amal-amal buruk yang pernah mereka lakukan akan dijadikan baik oleh Allah dan diberi ganjaran. Karena jika demikian, bisa saja seseorang yang selama hidupnya berbuat kejahatan lalu bertaubat, memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dari orang yang tidak banyak berdosa. Ada ulama yang memahami penggalan ayat ini dalam arti Allah mengganti aktivitas mereka — yakni yang tadinya merupakan amal-amal buruk — setelah mereka bertaubat menjadi aktivitas yang berkisar pada amal-amal baik. Dengan kata lain, kalau tadinya yang bersangkutan akibat dosa-dosa yang dilakukannya bagaikan mengasah dan mengembangkan potensi negatifnya sehingga selalu terdorong untuk melakukan dosa, maka dengan bertaubat secara tulus, ia mengasah, mengasuh dan mengembangkan potensi positifnya, sehingga pada akhirnya dia selalu terdorong untuk melakukan amal-amal saleh. Ada juga yang memahaminya dalam arti kenangan mereka terhadap amal-amal buruk itu membuahkan kebajikan. Ini terjadi karena begitu mereka mengenangnya, mereka bertaubat. Taubat pertama ini diterima oleh Allah, sehingga terhapuslah dosa itu. Namun yang bersangkutan masih terus ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com l 539J Surat aC-Turqan (25) Kelompok VII ayat 71 mengenangnya dan takut jangan sampai Allah belum menerima taubatnya, maka dia bertaubat lagi untuk kedua kalinya. Nah, di sini - karena dosanya telah terhapus oleh taubat pertama - maka taubat kedua ini dicatat sebagai amal saleh. Demikian seterusnya, bertambah amal baiknya setiap dia mengenang dosa tersebut sambil bertaubat. A YA T 71 ( y ^ ) b li# <dil 4^9 b xJC tf “Dan siapa yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubatyang sebenar-benarnya. ” Ayat ini merupakan pengulangan terhadap informasi ayat yang lalu. Jika Anda mengulangi informasi yang sama dalam satu susunan kalimat, maka itu pada dasarnya merupakan peneguhan informasi yang lalu, atau mengisyaratkan adanya sisipan yang perlu disampaikan untuk memperjelas informasi itu. Ayat di atas dapat dikatakan serupa informasinya dengan ayat yang lalu, namun di sini ada informasi yang perlu ditambahkan untuk menghilangkan kesalahpahaman yang mungkin ditimbulkan oleh redaksi ayat yang lalu. Ayat yang lalu boleh jadi mengesankan beratnya m em peroleh pengampunan, karena amal saleh yang dituntut di sana dinyatakan dalam bentuk mashdarlinfinitive noun yaitu dengan kata ( s. ) ‘amalan/amal yang mengandung arti kesempurnaan —seperti yang penulis kemukakan sebelum ini — bahkan mengandung arti “banyak” menurut al-Biqa‘i — setelah sebelumnya telah menyatakan ( ) ‘amila/ telah mengamalkan. Apalagi — tulis al-Biqa‘i — ayat yang lalu menggunakan kata “maka” pada firmanNya: ( didjU ) fa ulaikajmaka mereka itu yang mengesankan syarat. Nah, kesan berat itu perlu segera dihilangkan, apalagi konteks ayat ini adalah dorongan untuk bertaubat. D i sisi lain, boleh jadi juga ada yang terheran-heran mendengar penggantian keburukan dengan kebaikan sebagaimana diinformasikan ayat yang lalu. D i samping itu, ayat yang lalu boleh jadi mengesankan bahwa penganugerahan taubat yang dimaksud hanya tertuju kepada kaum musyrikin yang melakukan dosa-dosa yang disebut di sana —bukan kepada ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------selain mereka dari orang muslim yang berdosa. Nah, untuk menampik kesan INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-Turqan (25) Kelompok VII ayat 71 dan kemungkinan kesalahpahaman di atas, ayat ini menegaskan bahwa: Dan siapa saja di antara manusia yang bertaubat menyesali semua dosanya — apapun dosa itu, memohon ampun kepada Allah dan atau kepada yang dizaliminya dan mengerjakan amal saleh walau hanya sekadar yang wajib baginya, maka sesungguhnya dia telah dinilai senantiasa bertaubat kepada A.Uah dengan taubatyang sebenar-benarnya. Allah akan menerima amalnya yang sedikit itu dan mengembangkannya. Yang bersangkutan akan dianugerahi-Nya taufik dan hidayah, sehingga dari saat ke saat niat dan tekadnya untuk mendekat kepada-Nya semakin kukuh dan amalnya akan semakin baik dan bertambah. Akan semakin mudah baginya apa yang tadinya dia rasakan sulit, serta semakin ringan apa yang sebelumnya di duga berat. Ini sejalan dengan firman-Nya: OjJxQ 0 ^ ' s * * 1 Oj “Sesungguhnya orang-orangyang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanan mereka” (QS. Yunus [10]: 9). D em ikianlah ketentuan Allah yang berlaku, jangan heran dengan ketentuan ini, dan jangan juga terhadap penggantian kejahatan dan kebaikan itu! Bukankah Dia telah menyatakan sebelum ini (antara lain pada ayat yang lalu) bahwa: Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang? Penggunaan bentuk mudhari‘ (kata kerja masa kini dan datang) pada kata ( s-’.p ) yatubul dia bertaubat, dan yang didahului oleh pengukuhan dengan kata ( ) fa innahu, mengandung isyarat bahwa Allah menjanjikan untuk yang bersangkutan kesinambungan taubatnya, sehingga dia akan semakin dekat kepada-Nya. D an seperti apa yang penulis kemukakan sebelum ini, kesinambungan taubat itulah yang mengantar kepada lahirnya amal-amal baik yang baru dan yang merupakan penggantian amal buruk menjadi amal baik. Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai dorongan kepada yang bermaksud meninggalkan sesuatu yang negatif, agar meninggalkannya disertai dengan niat bertaubat kepada Allah. Merokok misalnya — paling tidak —adalah sesuatu yang negatif, kalau enggan berkata haram. Ada orang yang ingin m en gh en tikan kebiasaannya m ero k ok , dengan alasan kesehatannya terganggu. Kepada mereka dianjurkan oleh ayat ini, agar menghentikan kebiasaan buruk itu, bukan sekadar atas dorongan menjaga kesehatan, tetapi meninggalkannya demi karena Allah yang melarang melakukan hal-hal buruk, kurang baik atau tidak bermanfaat. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Surah aC-<Furqan (25) Kelompok VII ayat 72 Wm/ig AYAT 72 ( VY) 'jy 'jy u t ^ 'j “Dan orang-orangyang tidak bersaksi palsu, dan apabila mereka melewati al-laghw mereka melewati (nya) dengan menjaga kehormatan. ” Ayat ini menjelaskan sifat kedelapan dan kesembilan dari hambahamba ar-Rahman itu, yakni selalu menjaga identitas diri serta kehormatan lingkungannya dengan tidak melakukan sumpah palsu, serta tidak menanggapi perkataan atau perbuatan yang tidak wajar. Ayat di atas menyatakan: Dan ‘Ibad ar-Rahman adalah orang-orangyang tidak bersaksipalsu apapun akibatnya, dan apabila mereka melewati atau bertemu dengan orangorang yang mengerjakan al-laghw yakni perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka melewati-nya saja tanpa menanggapinya dengan menjaga kehormatan baik kehormatan dirinya maupun pihak lain. Kata ( o j- 4 - ij ) yasyhadun pada mulanya berarti menghadiri. Lalu makna ini berkembang sehingga dipahami juga dalam arti menyaksikan. Jika kata di atas dipahami dalam arti menghadiri, maka yang dimaksud adalah hadir atau mengunjungi tempat-tempat ( j j j l ' ) a^-^ur yakni tempattempat yang tidak wajar, yang pada lahirnya terlihat baik, tetapi hakikatnya tidak demikian. Apalagi yang sejak semula sudah jelas bahwa tempat itu buruk. Ini semakna dengan firman Allah dalam QS. al-An‘am [6]: 68: UJj o. . x ^ . . S ✓ £/• o * O s o • f •" i i •'i** • j * '* wtful* ^3 O fjAl\ ^ * C * * * - J • ?i l *?■" j t" bl j '•& W o ik D i ‘Apabila engkau melihat orang-orangyang membicarakan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sampai mereka membicarakan pembicaraan selainnya. Dan jika setan benar-benar menjadikan engkau lupa, maka janganlah engkau duduk — sesudah teringat — bersama orang-orangyang %alim. ” Selanjutnya rujuklah ke ayat 4 surah ini untuk memahami kata a^t(pr. Bila Anda m em aham i kata yasyhadun dalam arti bersaksi yakni menyampaikan apa yang dilihat oleh pandangan mata atau diketahui melalui salah satu cara meraih pengetahuan, maka penggalan ayat ini berarti tidak memberi kesaksian palsu. ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kata ( Ij jINFO t ) marru/ mereka berlalu, melewati terambil dari kata (~y>) L542. m i .... Surah aC-Turqan (25) Kelompok VII ayat 72 marra/dia berlalu, melewati. Kata ( j ) murur berarti lalu lintas. Kata ( ycUl ) al-laghw telah penulis uraikan cukup panjang ketika menafsirkan QS. al-Mu’minun [23]: 3. Di sana antara lain penulis kemukakan bahwa kata tersebut terambil dari kata ( ^ ) laghd yang berarti batal, yakni sesuatu yang seharusnya tidak ada/ditiadakan. Ini dapat berbeda antara satu waktu, hal dan situasi dengan lainnya, sehingga bisa saja satu ketika ia dinilai tidak berfaedah sehingga menjadi laghw, dan di kali lain ia berfaedah. Menegur kekeliruan adalah baik, tetapi menegur kekeliruan saat khatib Jumat menyampaikan khutbahnya, dinilai oleh Rasul saw. sebagai sesuatu yang laghw. Beliau bersabda: “Apabila Anda berkata kepada teman Anda pada hari Jum at saat imam berkhutbah: “Diamlah (Dengarkan khutbah!), maka Anda telah melakukan laghw” (sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan) (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain). Apa yang haram dan makruh, sejak semula sudah harus ditinggalkan, sehingga ia bukanlah termasuk kategori laghw, sebagaimana diduga sementara ulama. Laghw pada dasarnya adalah hal-hal yang bersifat mubdh, yakni sesuatu yang tidak terlarang, tetapi tidak ada kebutuhan atau manfaat yang diperoleh ketika melakukannya. Banyak aktivitas ucapan, perhatian dan perasaan yang dapat termasuk dalam kategori laghw. Kata ( ui£ ) kiraman adalah bentuk jamak dari kata ( <*/ ) karim. Kata ini biasa diartikan mulia, atau “yang baik sesuai dengan objek yang disifatinya” . M anusia yang karim adalah yang terhorm at, m enjaga identitasnya, serta memelihara integritasnya. Jika Anda memahami kata tersebut dalam arti yang baik sesuai objeknya, maka itu berarti hamba-hamba Allah tersebut menyesuaikan sikap mereka menghadapi al-laghw itu dengan apa yang terbaik. Jika situasi dan kondisi ketika ia melewatinya dianggap baik dan tepat untuk memberi peringatan maka itu dilakukannya, jika kondisinya tidak baik maka mereka tidak memperingatkan. Demikian seterusnya, hingga sampai ke batas minimal yaitu mencukupkan dengan mengingkari dalam hati. Penggunaan kedua kata ( Ijy>) marru dan ( ) kiraman memberi kesan bahwa sebenarnya hamba-hamba ar-Rahman itu tidak bermaksud berkunjung ke tempat atau terlibat dalam hal-hal yang bersifat laghw itu, namun demikian mereka mendapatkan diri mereka di sana, dan karena itu, mereka hanya berlalu mengabaikan hal tersebut guna menjaga identitas dirinya sebagai seorang yang terhormat dan menjaga juga kehormatan pihak lain yang boleh jadi dapat terganggu bila mereka menanggapinya. Mereka ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VII ayat 73 Surah af-Turqan (25) itulah yang digambarkan antara lain oleh firman-Nya: jp jJ O 'j UJUfcf d I j j i j i-p I y J i i H I ^ b] ) apabila mereka mendengar al-laghw (perkataanyang tidak bermanfaat), mereka berpaling darinya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu, “Salamun ‘alaikum”, kami tidak ingin bergaul dengan orangorangjahil” (QS. al-Qashash [28]: 55). AYAT 73 (yr) “Dan orang-orangyang apabila diingatkan tentang ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidak tersungkur sebagai orang-orang tuli dan buta. ” Ayat di atas masih melanjutkan uraian tentang sifat-sifat ‘Ibad arRahman sambil menyindir pengikut setan. Allah berfirman: Dan mereka juga adalah orang-orang yang apabila diingatkan oleh siapa pun tentang ayat-ayat Tuhan Pem elihara mereka, mereka tidak bersikap dan berlaku seperti perlakuan orang yang keras kepala. Mereka tidak tersungkur menghadapinya sebagai orang-orang yang menutup telinganya, enggan mendengar bagaikan orang tuli dan tidak juga menutup matanya bagaikan orang-orang buta. Tetapi mereka bersungkur dengan membuka telinga dan mata. Kata ( Ij jT i ) d^ukktru/ diingatkan berbentuk pasif. Yakni tidak disebut siapa yang memberi peringatan tentang ayat-ayat Allah itu. Hal ini untuk mengisyaratkan bahwa bagi mereka kebenaran selalu harus diikuti dan diindahkan, terlepas siapa pun yang menyampaikan. Mereka hanya melihat pada substansi peringatan, tidak melihat siapa yang menyampaikannya. Kata ( \jj*s ) yakhirru terambil dari kata ( 'jr ) kharra yang berarti terjatuh. Redaksi ayat ini menafikan adanya keterjatuhan, namun sementara ulama menyatakan bahwa yang dinafikan bukan keterjatuhannya, tetapi kata yang disebut sesudahnya yaitu ( Cw?) shumman!tuli dan ( U U ) ‘umyanan/ buta. Keterjatuhan yang dimaksud di sini bukanlah dalam arti harfiahnya, tetapi ia digunakan untuk menggambarkan terjadinya perubahan dari ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com |544 l l t l l 1 Surah aC-<Furqan (25) Kelompok VII ayat 74 keadaan semula akibat sesuatu yang terjadi sebelumnya. Bagi orang-orang kafir, perubahan tersebut adalah mengabaikan ayat-ayat Ilahi dengan menutup mata dan telinga lebih bersungguh-sungguh lagi, sedangkan hamba-hamba Allah itu memberi perhatian yang sangat besar sehingga mereka membuka telinga lebih lebar untuk mendengar ayat-ayat Allah yang terbaca (al-Qur’an) dan mengarahkan pandangan mata lebih jauh lagi untuk melihat ayat-ayat-Nya yang terhampar di alam raya. Penggunaan bentuk negasi oleh ayat ini, adalah untuk menyindir dan mengecam kaum musyrikin yang menutup mata dan telinga terhadap peringatan-peringatan yang disampaikan kepada mereka. Ayat ini menggambarkan sifat Ibad ar-Rahman yang kesepuluh yang yakni bahwa hati mereka selalu terbuka, siap menerima peringatan atau kritik yang membangun. Mereka tidak seperti orang-orang yang gelisah ketika mendengar ayat-ayat Allah dan berpaling darinya. Tidak juga menolak saran atau kritik yang membangun. A YA T 74 (Vt) “Dan mereka senantiasa berkata: ‘Tuhan kami, anugerahkanlah buat kami, dari pasangan-pasangan kami serta anak keturunan kami, penyejuk-penjejuk mata dan jadikanlah kami — bagi orang-orang bertakwa — teladan-teladan. ” Setelah menyebut sekian banyak sifat terpuji bagi ‘Ibad ar-Rahman, ayat ini mengakhiri uraian tentang sifat itu dengan menampilkan perhatian mereka kepada keluarga serta masyarakat, dengan harapan kiranya mereka dihiasi dengan sifat-sifat terpuji sehingga dapat diteladani. Ini adalah sifat kesebelas mereka. Ayat di atas menyatakan: Dan hamba-hamba Allah yang terpuji itu adalah mereka yang juga senantiasa berkata yakni berdoa setelah berusaha bahwa: “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah buat kami, dari pasangan-pasangan hidup kami yakni suami atau istri kami serta anak keturunan kami, kiranya mereka semua menjadi penyejuk-penjejuk mata kami dan orang lain melalui budi pekerti dan karya-karya mereka yang terpuji, danjadikanlah kami yakni yang berdoa bersama pasangan dan anak keturunannya, jadikan kami secara ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com Kelompok VII ayat 74 Surah aC-<Furqdn (25) ”'" 1 khusus bagi orang-orang bertakwa sebagai teladan-teladan. Kata ( i ' J ) qurrah pada mulanya berarti dingin. Yang dimaksud di sini adalah menggembirakan. Sementara ulama berpendapat bahwa air mata yang mengalir dingin m enunjukkan kegem biraan, sedang yang hangat menunjukkan kesedihan. Karena itu, pada masa lalu, di mana gadis-gadis masih malu menunjukkan perasaan atau kesediaannya menerima pinangan calon suami, para wali menemukan indikator kesediaan atau penolakannya melalui air matanya. Bila dingin, maka itu berarti ia bergembira menerima pinangan, dan bila hangat, maka itu tanda penolakan. Ada juga yang berpendapat bahwa masyarakat Mekah pada umumnya merasa sangat terganggu dengan teriknya panas matahari dan datangnya musim panas. Sebaliknya mereka menyambiit gembira kedatangan musim dingin, apalagi dingin di daerah sana tidak terlalu menyengat. Dari sini kata tersebut diartikan juga dengan kegembiraan. Ayat ini membuktikan bahwa sifat hamba-hamba Allah yang terpuji itu tidak hanya terbatas pada upaya menghiasi diri dengan amal-amal terpuji, tetapi juga memberi perhatian kepada keluarga dan anak keturunan, bahkan masyarakat umum. D oa mereka itu, tentu saja dibarengi dengan usaha mendidik anak dan keluarga agar menjadi manusia-manusia terhormat, karena anak dan pasangan tidak dapat menjadi penyejuk mata tanpa keberagamaan yang baik, budi pekerti yang luhur serta pengetahuan yang memadai. Kata ( ^UJ ) imam terambil dari kata ( - j»l ) amma-ya’ummu yang berarti menuju, menumpu atau meneladani. Dari akar kata yang sama lahir antara lain kata umm yang berarti ibu dan imam yang maknanya pemimpin, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan dan harapan. Ada juga yang berpendapat bahwa kata imam pada mulanya berarti cetakan, seperti cetakan untuk membuat sesuatu yang serupa bentuknya dengan cetakan itu. Dari sini, kemudian imam diartikan teladan. Patron kata yang digunakan ayat ini dapat bermakna tunggal dan dapat juga bermakna jamak. Jika Anda memahaminya dalam arti tunggal, maka yang mereka mohonkan menjadi pemimpin adalah diri mereka sendiri, tetapi jika dalam arti jamak maka semua yang di doakannya itu. Thahir Ibn ‘Asyur mengamati bahwa sifat-sifat yang disandang oleh hamba-hamba ar-Rahman itu terdiri dari empat sifat pokok. Pertama, berkaitan dengan menghiasi diri dengan kesempurnaan agama yaitu yang diuraikan oleh ayat 63 yakni yang berjalan di atas bumi ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------INFAQ UTK ISLAM. INFO WA: 08113010123, TELP 081335196837, www.bektiharjo.com