Academia.eduAcademia.edu
Merawat Pemikiran Buya Syafii Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan Pengantar Abd. Rohim Ghazali Penyunting Moh. Shofan Merawat Pemikiran Buya Syafii: Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan Ozi Setiadi | Anis Kurniawan | Dwi Wahyuni | Hamka Husein Hasibuan | Indah Fajar Rosalina | Jalaluddin B. | Aminah | Magfirah | Mulyadi | Noor Hasanah | Pangky Febriantanto | Putri Wulansari | Nuraini | Suryani Musi | Eko Nur Wibowo | Didi Rahmadi | Masthuriyah Sa’dan | Iqbal Suliansyah | Vidiel Tania Pratama | M. Mirza Ardi Pengantar : Abd. Rohim Ghazali Penyunting : Moh. Shofan Proofreader : M. Supriadi Desain & layout : Riamawati iv , 402 halaman ukuran 150 x 230 mm Cetakan I, Desember 2019 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Segala bentuk pengutipan sebagian atau seluruhnya diperbolehkan dengan tetap menyebutkan sumber tulisan. Penerbit: MAARIF Institute for Culture and Humanity Jl. Tebet Barat Dalam II No.6, Tebet, Jakarta Selatan 12810 Telp. (021) 8379 4554, 8379 4560 Fax.(021) 8379 5758 maarif@maarifinstitute.org maarifinstitute.org ISBN . Daftar Isi Daftar Isi iii Kata Pengantar Penyunting Nafas Keindonesiaan yang Kian Sesak Menguatkan (Kembali) Komitmen Keindonesiaan yang Mulai Memudar vi Kata Pengantar Direktur Eksekutif MAARIF Institute Buya Manusia yang Selalu Gelisah Memikirkan Bangsa x Islam dengan Demokrasi Ahmad Syafii Maarif Ozi Setiadi 1 Etika Politik Ahmad Syaafii Maarif: Mengakomodasi Pluralitas dan Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Berpolitik Anis Kurniawan 24 Islam dan Masa Lalu yang Membelenggu: Refleksi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Dwi Wahyuni 43 Nilai-nilai al-Quran dengan Pendekatan Kontekstual: Membaca Ulang Tawaran Membumikan al-Quran Ahmad Syafii Maarif Hamka Husein Hasibuan 63 Menangkal Hate Speech dan Merawat Keberagaman Indonesia ala Syafii Maarif Indah Fajar Rosalina 79 Politik Pasca-Kebenaran Sebagai Simbol Disimulasian Negara (wan) Islam: Menyelami Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Jalaluddin. B. 97 Islam dan Negosiasi Gender: Studi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Hak-hak Perempuan Aminah 113 Menjadi “Muslim Otentik”: Membaca Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Magfirah 128 Daftar Isi iii Pandangan Ahmad Syafii Maarif Mengenai Islam dan Masa Depan Indonesia dalam Bingkai Pluralisme Mulyadi 146 Menangkal Paham Intoleransi: Kritik Ahmad Syafii Maarif Terhadap Radikalisme Beragama Noor Hasanah 176 Meneladani Kesederhanaan, Toleransi, dan Integritas Buya Ahmad Syafii Maarif Pangky Febriantanto 192 Reaktualisasi Spritualitas dan Humanitas Ahmad Syafii Maarif dalam Agenda Pembaruan Pendidikan Islam Inklusif Putri Wulansari 209 Cerminan Islam Universal Ahmad Syafii Maarif dalam Upaya Membangun Indonesia Berkemajuan Nuraini 232 Islam Sebagai Political Branding: Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Suryani Musi 251 Revitalisasi Pendidikan Islam di Zaman Kontemporer: Membaca Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Pendidikan Islam Eko Nur Wibowo 274 Sikap Intelektual, Spiritualitas dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif Didi Rahmadi 298 Ibu Kemanusiaan: Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dan Kontribusinya Terhadap Kajian Feminisme Islam Masthturiyah Sa’dan 318 Memahami Islam dan Indonesia dalam Balutan Kemanusiaan: Pemikiran Buya Syafii Maarif Iqbal Suliansyah 343 Sikap Intelektual, Spiritualitas dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif Vidiel Tania Pratama Negara Pancasila: Islam Yes, Syariat Islam No (Refleksi iv 359 Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Indonesia, Islam, dan Kebangsaan) M. Mirza Ardi 373 Tentang Penulis 390 Kata Pengantar v NAFAS KEINDONESIAAN YANG KIAN SESAK MENGUATKAN (KEMBALI) KOMITMEN KEINDONESIAAN YANG MULAI MEMUDAR Indonesia bagaikan sebuah kapal raksasa dengan penumpangnya yang sangat beragam. Keberagaman ini ditandai bukan hanya sebatas letak geografis,—yang terdiri atas berbagai pulau dari Sabang sampai Merauke—namun keberagaman ditunjukkan dengan beraneka suku, adat, tradisi, bahasa etnis maupun agama, termasuk di dalamnya para penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tersebar di sudut-sudut halaman nusantara. Ini tentu, sebuah anugerah terbesar yang jarang ditemui di dunia. Namun, hari ini, kita merasakan nafas ruang publik kita semakin sesak oleh kegaduhan politik. Politik identitas dan populisme agama dengan lenggang menari untuk tujuan-tujuan politis. Pilkada Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, telah memberikan potret bagaimana tafsir agama bisa dijadikan alat memukul pihak sebelah. Politisasi agama, ujaran kebencian, dan paham radikal menjadi virus yang sedemikian cepat menyebar di tengah Islam yang sedang bergelora. Keberislaman yang mestinya menjadi sumber rahmat dan kebahagiaan bagi semua makhluk justru dicemari dengan caci maki dan kebencian. Ditambah lagi dengan semakin luasnya jangkauan akses internet di negeri ini, perang opini melalui udara untuk saling menjatuhkan dan memengaruhi semakin berserakan. Bisa dilihat bagaimana retorika Pancasila versus Khilafah, kriminalisasi ulama, antiIslam, dan anti-NKRI sangat mendominasi percakapan di ruang publik demokrasi Indonesia. Kegaduhan ini bisa menjadi salah satu faktor penghambat laju kebinekaan maupun toleransi dalam kehidupan berbangsa. Di sisi lain, derasnya arus radikalisme transnasional berhaluan radikal juga merembes ke altar bumi Indonesia. Bahkan aksi-aksi teror pasca-Reformasi justru makin menggila dengan merebaknya serangkaian aksi-aksi teror. Ini semua mencerminkan bahwa nilai-nilai keindonesiaan tengah menghadapi tantangan yang amat sangat serius. Yang disebut terakhir, di atas, cukup mengkhawatirkan, yakni maraknya fenomena radikalisme. Hanya sebagian vi kecil yang menganggap situasi keagamaan kondusif, aman dan harmonis. Wajah keagamaan (keislaman) di Indonesia pasca-Reformasi menunjukkan realitas yang sedikit paradoks. Hal ini terkait dengan tingginya angka intoleransi dan kekerasan berbasis agama. Dianggap paradoks karena sebagian besar kasus-kasus ini melibatkan umat Islam di dalamnya. Korban intoleransi ini terutama adalah kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, Kristen dan para penganut agama atau kepercayaan lokal. Di tahun 2011, misalnya, jumlah kasus yang ada meningkat dua kali lipat, yakni 185 kasus terjadi.1 Pada 2012, kasus yang ada menurun menjadi 110,2 tapi meningkat menjadi dua kali lipat, yakni 245, pada 2013.3 Jumlah kasus yang ada meningkat secara berangsur-angsur yakni dari 158, 190, 204 hingga 213, berturut-turut di sepanjang tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017.4 Sementara itu, kasus-kasus terorisme terus bermunculan baik dalam skala kecil maupun besar. Fakta terakhir yang mengejutkan semua pihak adalah pengeboman di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan, Rusunawa Wonocolo Sidoarjo, dan Markas Polrestabes Surabaya pada tahun 2018. Apalagi dalam salah satu peristiwa tersebut melibatkan anak dalam aksinya. Dan, belakangan bom bunuh diri juga menyasar Polrestabes Medan, Sumatera Utara. Bom bunuh diri ini dilakukan oleh seorang remaja. Di sisi lain, pendidikan agama yang seharusnya diarahkan menjadi media penyadaran umat, pada kenyataannya masih memelihara kesan eksklusifitas. Sehingga, hilangnya kesadaran inklusif di tengah masyarakat dapat merusak sekaligus menghambat harmonisasi agama-agama serta menghasilkan corak paradigma beragama yang rigid dan tidak toleran. Padahal, guru-guru seharusnya mampu menjadi mediator pertama untuk menterjemahkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme kepada siswa, yang 1 The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The Wahid Institute, 2011). 2 The Wahid Institute, Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012 (Jakarta: The Wahid Institute, 2012). 3 The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2013 (Jakarta: The Wahid Institute, 2013). 4 The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2014 (Jakarta: The Wahid Institute, 2014); The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2015); The Wahid Foundation, Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2016); The Wahid Foundation, A Measure of the Extent of Socio-Religious Intolerance and Radicalism within Muslim Society in Indonesia (Jakarta: Wahid Foundation and Lembaga Survei Indonesia, 2017). Kata Pengantar vii pada tahap selanjutnya juga ikut berperan aktif dalam mentransformasikan kesadaran toleransi secara lebih intensif dan massif. Tidak terlalu mengherankan jika berkecambahnya bentuk-bentuk radikalisme agama yang belakangan semakin membuncah menjadi ancaman yang sangat serius bagi berlangsungnya pendidikan agama yang menekankan pada adanya saling keterbukaaan dan dialog. Ajaran Islam, misalnya, mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) dari pada kebencian dan permusuhan. Islam secara jelas melarang sikap menghujat atau mendiskreditkan agama atau kelompok lain, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 11. Sikap kaum Muslim kepada penganut agama lain jelas ditegaskan dalam al-Qur’an, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalani hubungan kerjasama dengan mereka, lebih-lebih mengambil sikap tidak toleran dengan mereka. Dalam kerangka seperti ini, mestinya semua agama memiliki kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai yang harus dibangun untuk mewujudkan masyarakat yang toleran, menegakkan keadilan, menjunjung tinggi keseteraan dan persamaan hak yang merupakan ajaran semua agama. Dan, sebagai penerus cita-cita bangsa, tentunya kita wajib merawat serta menjaganya serta meneguhkan komitmen untuk mendalami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai pijakan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentang Buku Ini Buku yang kini ada di hadapan para pembaca ini merupakan kumpulan tulisan anak-anak muda yang tersebar dari berbagai sudut halaman bumi nusantara. Mereka adalah para peserta kegiatan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM) periode pertama, yang diselenggarakan oleh MAARIF Institute, di penghujung bulan Nopember 2018 lalu. Mereka adalah ; Mereka adalah ; Anis Kurniawan, Dwi Wahyuni, Ozi Setiadi, Hamka Husein Hasibuan, Indah Fajar Rosalina, Jalaluddin B., Aminah, Maghfirah, Mulyadi, Noor Hasanah, Pangky Febriantanto, Putri Wulansari, Nuraini, Suryani Musi, Eko Nur Wibowo, Didi Rahmadi, Masthuriyah Sa’dan, Iqbal Suliansyah, Vidiel Tania Pratama dan Mirza Ardi. Buku ini adalah bagian dari komitmen mereka untuk mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan dan kebhinnekaan serta menempatkan viii dan mendialogkan berbagai perbedaan terutama di antara berbagai identitas bangsa Indonesia dalam posisi yang setara, demi terpeliharanya keutuhan dan persatuan bangsa. Sosok Buya Syafii Maarif digunakan sebagai inspirasi nyata atas kiprah dan gagasannya dalam wacana akademik tentang Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Kegiatan SKK-ASM —yang kini sudah memasuki periode ketiga— merupakan gerbang pengembangan dan penguatan untuk menyebarkan pemikiran Islam yang inklusif, toleran, moderat serta berpihak pada kemanusiaan, kenegaraan serta keindonesiaan. Kegiatan ini menjadi energi baru dalam upaya melembagakan gagasan dan cita-cita sosial Buya Syafii, baik di ranah keislaman, kenegaraan, yang mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan dan kebhinnekaan yang dapat diwariskan kepada anak-anak bangsa. Juga sebuah ruang sekaligus arena yang memungkinkan generasi muda dapat berjumpa, berbagi pengetahuan dan pengalaman antarsesama yang berasal dari daerah berbeda di seluruh Indonesia yang memiliki latar belakang identitas beragam, baik agama, etnis, suku, bahasa maupun budaya. Melalui program ini pula generasi muda Indonesia memiliki perspektif, sikap dan pendirian yang relatif sama dalam memotret dinamika, perubahan dan perkembangan kehidupan keberagaman di Indonesia. Kegiatan ini memungkinkan para generasi muda Indonesia untuk menjelaskan dan menegaskan komitmen dan konsistensi mereka untuk menjadi bagian dari pemecah masalah (problem solver) berbangsa dan bernegara. Dengan komitmen ini generasi muda Indonesia akan mampu memainkan peran strategis serta mengambil tanggung jawab secara proporsional dalam mendorong dan mengakselerasi proses pembangunan bangsa. Dan buku yang ada di hadapan para pembaca ini, adalah bagian kecil dari komitmen mereka itu. Ada banyak sekali pihak yang terlibat dalam proses penerbitan buku ini. Sayangnya kami tak bisa menyebut semuanya. Dalam kesempatan ini kami perlu mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Buya Ahmad Syafii Maarif, yang dalam berbagai kesempatan bertemu telah memberikan masukan, saran, maupun dukungan terhadap terselenggaranya kegiatan SKK-ASM, sehingga lahirlah karya sederhana ini. Kepada Direktur Ekskutif MAARIF Institute, Kang Abd. Rohim Ghozali, terima kasih atas support dan arahannya, serta atas waktunya memberikan pengantar buku ini. Prof. Dr. Amin Abdullah, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Mas Luthfi Assyaukanie, Romo Zuly Qodir, yang tak pernah lelah memberikan Kata Pengantar ix masukan, membimbing dan juga meluangkan waktu untuk menjadi Tim Juri kegiatan SKK-ASM. Juga rekan-rekan MAARIF Institute ; Supriadi, Khelmy Pribadi, Pipit Aidul Fitriyana, Mbak Henny Ridhowati, Fithri Dzakiyya H., Titi Lestari, Pripih Utomo, dan Riamawati, kepada mereka semuanya, kami ucapkan terimakasih atas dukungan dan apresiasinya. Akhirnya kepada para pembaca, kami berharap artikel-artikel yang terhimpun pada edisi jurnal kali ini dapat memberikan informasi, pencerahan dan pemahaman secara komprehensif guna mencari dan menemukan formasi yang tepat dalam menempatkan dan mendialogkan berbagai perbedaan terutama di antara berbagai identitas bangsa Indonesia dalam posisi yang setara, demi terpeliharanya keutuhan dan persatuan bangsa. Penyunting Moh. Shofan Kordinator Program SKK-ASM, dan Direktur Riset MAARIF Institute x BUYA MANUSIA YANG SELALU GELISAH MEMIKIRKAN BANGSA Mengawali pengantar buku ini, tegas saya sampaikan bahwa Buya Syafii —begitu panggilan akrab Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif— merupakan salah seorang tokoh yang boleh dibilang sangat bersahaja. Sebagai mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan cendekiawan terkemuka, justru dalam kesehariannya lebih memilih hidup sederhana, bahkan kesederhanaan Buya kadang terlihat terlampau ekstrem. Di usia yang sudah sangat tua, ia masih menggunakan angkutan publik dalam menjalankan aktivitasnya. Buya Syafii adalah guru bangsa yang patut diteladani sepak terjangnya. Ia memiliki cita-cita besar dan terus-menerus gelisah terhadap krisis yang menerpa bangsanya. Buya banyak menyoroti dinamika perkembangan umat Islam akhir-akhir ini. Hal yang menjadi fokus utama Buya adalah adanya sekelompok orang yang rela “menjual” agama demi kepentingan politis. Menurut Buya, orang-orang semacam itulah yang akan merusak tatanan bangsa di masa depan. Dalam banyak tulisannya, Buya tampaknya memiliki satu obsesi akan tampilnya Islam sebagai agama yang memiliki kekuatan transformatif bagi kehidupan umat. Sayangnya, diakui oleh Buya, obsesinya itu masih “jauh panggang dari api”. Islam, bagi Buya, adalah sumber moral utama dan pertama. Al-Quran adalah kitab suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang jelas sebagai pedoman dan acuan tertinggi dalam semua hal, termasuk acuan dalam berpolitik. Pasca Chicago, pemikiran keindonesiaan dan keagamaan Buya telah lebur menjadi satu. Menurutnya, Islam yang dianut mayoritas penduduk tidak boleh menang sendiri, saudara-saudara sebangsa dan setanah air tetapi berbeda iman haruslah dilindungi dan diperlakukan secara adil dan prporsional. (Titik kisar perjalananku, xi) Pemikiran-pemikiran Buya merupakan khazanah intelektual yang sangat berharga, karena gagasan-gagasannya tidak bisa dilihat sematamata sebagai renungan intelektual dari tokoh yang berada di atas menara gading, sebab ia menulis dalam konteks sebuah pergerakan sosial, Kata Pengantar xi keagamaan dan politik di Indonesia, di mana beliau terlibat secara intens dan serius sebagai pelaku utama yang bergerak di luar sistem praktis yang mencurahkan segenap perhatiannya sebagai pelaku yang menyerukan pergerakan moral dan memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Buya tak segan-segan mengkritik pihak yang suka main hakim sendiri, melakukan kekerasan atas nama agama, yang justru bertentangan dengan nilai Islam. Saking jengkelnya, Buya pernah memberi mereka predikat sebagai preman berjubah. Buya juga geram melihat sebagian ustadz yang dengan seenaknya sendiri menafsirkan ayat-ayat al-Quran, serta digunakan untuk melegitimasi ideologi kekerasan untuk merebut kekuasaan. Beberapa kegelisahan Buya yang sampai hari ini terus-menerus dipikirkan. Pertama, mengentalnya budaya arabisme di masyarakat. Buya menilai dunia Arab kontemporer menjadi referensi global dari segala bentuk kekacauan selama ini. Pemakaian simbol-simbol Arab di ruang publik bisa dimaknai sebagai wujud ketidakpercayaan diri umat Islam Indonesia akan entitas budayanya sendiri. Meski begitu bukan berarti Buya Syafii antiArab. Hanya saja ia selalu menyerukan agar bersikap kritis bahwa Arab dan Islam adalah dua variabel yang berlainan dan harus dibedakan. Kedua, anomali kehidupan demokrasi. Bagi Buya, demokrasi tak selalu berbanding lurus dengan tingkat pembangunan manusia. Yang paling menyita perhatian Buya adalah tingkah pongah para elit yang “tuna visi dan misi”. Para politisi hanya mengedepankan kepentingan pragmatis, sembari dalam waktu yang bersamaan, abai terhadap hak-hak hidup masyarakat. Apalagi yang paling membuat geram tatkala sekelompok elit itu menggunakan isu-isu SARA demi memenuhi syahwat politiknya. Ketiga, rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Menurut Buya, umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas secara kuantitas, namun minoritas secara kualitas. Faktanya umat Islam malah terisolir dan tak mampu bersaing di kancah global. Hal ini terjadi karena lemahnya etos dan miskinnya kreativitas. Bagi Buya, untuk mendongkel manusia Indonesia dari lubang keterpurukannya maka memperbaiki kualitas pendidikan adalah cara paling ideal yang bisa ditempuh. Kepada anak-anak muda, Buya sering berpesan untuk memahami kondisi negeri ini. Setidak-tidaknya dimulai dari bagaimana negeri ini bisa terbentuk. Agar kelak dapat menjadi pemeran utama dalam proses memajukan bangsa. Dalam sebuah acara Jambore Teladan Bangsa di xii Kaliurang, Yogyakarta beberapa waktu lalu, Buya mengatakan, “Sebuah keniscayaan bahwa pelajar akan manjadi pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dan kebangsaan sedini mungkin, dengan harapan terbentuknya para pemimpin bangsa yang berwatak toleran dan inklusif di masa yang akan datang,” kata Buya. Keprihatinan Buya tentang agama yang dijadikan alat politik bukan cerita baru. Sejak pulang sekolah dari Amerika awal tahun 80an, Buya sudah lantang menyuarakan itu. Bahkan dosisnya kadang berlebihan sehingga tak jarang terkesan naif, karena faktanya mungkin masih banyak politisi Muslim yang menjadikan al-Quran sebagai panduan moral, tak semata alat politik. Tapi di mata Buya, bangunan politik yang sesuai moralitas al-Quran hanya ada pada periode Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa al-Rasyidin (empat sahabat Nabi), khususnya sebelum pecah perang Siffin. Pada periode berikutnya (hingga saat ini?), panduan moral al-Quran mulai telantar di bawah duli mahkota khalifah, amir, raja, sultan, atau presiden di negara Islam yang tidak jarang saling baku hantam sesama mereka. Sikap hidup Buya Syafii dimulai ketika ia “nyantri” di universitas Chicago Amerika Serikat pada tahun 80-an. Semula Buya Syafii bisa dikategorikan sebagai seorang tradisionalis yang bercita-cita ingin mendirikan negara Islam. Sikap ini kekeh dipegangnya sampai sebelum ia bertemu dan dibimbing oleh seorang “kiai” neo-modernis bernama Fazlur Rahman. Saat pertama kali mengikuti kuliah Fazlur Rahman, Buya Syafii dengan percaya diri berujar: “Professor Rahman, please gives me one fourth of your knowledge of Islam, I will convert Indonesia into an Islamic state”. Keyakinan semacam itulah yang dulu kukuh dipegangnya meski kakinya tak lagi menginjak bumi Indonesia. Namun setelah beberapa kali mengikuti perkuliahan Fazlur Rahman, kata-kata semacam itu tidak pernah terlontar kembali. Inilah tonggak awal perubahan cara pandang Buya Syafii dari Islamis-tradisionalis ke modernis-progresif. Perubahan sikap Buya itu karena pergulatannya dalam konsep keilmuan serta pengaruh gurunya Fazlur Rahman yang tampak begitu kentara. Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan: Proyek Kaderisasi Intelektual Saya berharap, sikap intelektual, kebersahajaan dan keteladanan yang ada pada diri Buya bisa menjadi virus positif bagi segenap masyarakat di Indonesia, terutama di kalangan generasi muda—sebagaimana ini Kata Pengantar xiii menjadi salah satu tujuan diselenggarakannya “Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif”. Saya berharap sekolah singkat yang berlangsung selama satu minggu ini dapat menggerakkan gairah intelektual generasi muda di tingkat lokal, di berbagai daerah di Indonesia, serta mampu merespon persoalan-persoalan krusial keindonesiaan. Buku yang berada di hadapan pembaca ini, merupakan kumpulan esai yang ditulis oleh para alumni SKK-ASM periode kedua. Mereka adalah kader-kader intelektual muda yang sudah terbiasa dengan latihan intelektual di lingkungannya masing-masing, karena pada dasarnya sebagian di antara mereka sedang dalam proses menyelesaikan kuliah atau sudah menjadi dosen di sejumlah Perguruan Tinggi di Indonesia. Kegiatan sekolah ini lebih pada mematangkan diskursus intelektual yang selama ini telah mereka geluti. Semoga penerbitan buku ini menjadi salah satu pemicu intelektual anak-anak muda untuk secara lebih jauh menyebarluaskan gagasan-gagasan Buya Syafii, tentang isu-isu kebangsaan, keislaman, dan kemanusiaan. Selamat membaca ! Tebet, 19 November 2019 Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif MAARIF Institute xiv Kata Pengantar xv PETA PEMIKIRAN DAN RELASI ISLAM DENGAN DEMOKRASI AHMA SYAFII MAARIF Ozi Setiadi Pendahuluan Demokrasi bukanlah produk baru dalam dunia modern. Ia adalah produk lama yang dikenalkan oleh Herodetos pada lebih dari 2500 tahun lalu.1 demokrasi berkembang dengan cepat, seperti demokrasi liberal yang menjadi cikal-bakal demokrasi modern yang lahir di Amerika pada tahun 1776, kemudian revolusi Prancis yang terjadi pada tahun 1789 hingga 1799 juga mendukung lahirnya demokrasi di kawasan tersebut.2 Perkembangan demokrasi yang telah berlangsung lama menandakan bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang baku, melainkan terus berkembang hingga kini dan dianut sekitar lebih dari 119 negara di dunia. Jumlah negara yang menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang mencapai 62% tersebut menandakan bahwa demokrasi dianggap sebagai sistem yang paling ideal saat ini dibandingkan dengan sistem pemerintahan 1 2 Affan Ghafar, “Islam dan Demokrasi: Pengalaman Empirik Yang Terbatas” dalam Munawwir Syadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: PHI dan Paramadina, 1996), 345-360. Barry R. Weingast, “A Postscript to ‘Political Foundations of Democracy and the Rule of Law’”, dalam Democracy and the Rule of Law, ed. Jose´ Marı´a Maravall dan Adam Przeworski (New York: Cambridge University Press, 2003), 110. 1 yang populer sebelumnya, seperti monarki, dan oligarki.3 Kebesaran nama demokrasi mengakibatkan negara-negara yang sebelumnya dipimpin oleh rezim yang otoriter seperti dilanda badai tornado yang meluluhlantakkan pemerintahan tersebut. Ini misalnya terjadi pada negara-negara di Timur Tengah seperti Tunisia, Irak, Mesir, Libya, bahkan sebelum negara-negara Arab tersebut, Indonesia sendiri juga mengalami hal yang sama, yakni peristiwa reformasi pada tahun 1998 yang menumbangkan pemerintahan “demokrasi otoriter”. Pantas saja bila rezim pemerintahan lain yang dianggap otoriter dan kini masih bertahan dengan serius menyebut pemerintahan yang dipimpin olehnya adalah pemerintahan yang demokratis agar tidak terkena imbas dari badai demokrasi.4 Meski pemerintahan otoriter telah menguasai selama ratusan tahun sumber daya politik dalam masyarakat pramodern, termasuk agama. Agama sebagai bagian dari prinsip hidup yang dianut oleh umat manusia dianggap menjadi sesuatu yang ikut bertanggung jawab dalam pergantian sistem pemerintahan. Ini dikarenakan agama memiliki Nilai-nilai yang dipegang oleh penganutnya, termasuk dalam menjalankan pemerintahan, sehingga agama idealnya dapat menjembatani pemeluknya dalam berhubungan dengan sistem pemerintahan. Selain agama juga memberi ruang kepada manusia untuk berpartisipasi secara aktif di lingkungannya masing-masing, tanpa rasa takut atau dimata-matai.5 Islam sebagai agama yang universal diyakini dapat memberikan solusi atas berbagai persoalan pemerintahan yang muncul. Ia menjadi agama yang “ramah” dan dapat diterima oleh berbagai sistem pemerintahan, seperti monarki, oligarki, bahkan 3 4 5 2 Mohammad Jafar Hafsah, politik untuk Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2011), cet. I, 106. negara di Timur Tengah yang tidak terkena badai demokrasi adalah Arab Saudi. negara ini menganut sistem pemerintahan monarki dan menjadi negara yang mempertemukan umat Muslim seluruh dunia dalam wilayah baitullah, Ka’bah. Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2015), ed. II, Cet. I,154. demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dianggap paling ideal sekalipun.6 Permasalahan yang timbul kemudian datang dari para pemikir politik Islam yang memberikan banyak pandangan yang berbeda tentang relasi antara Islam dengan demokrasi. Terdapat beberapa anggapan tentang hubungan Islam dengan demokrasi. Anggapan pertama, bahwa demokrasi tidak berasal dari Islam, sehingga bukan Islam yang harus menyesuaikan diri dengan demokrasi, tetapi sebaliknya, demokrasi yang harus menyesuaikan diri dengan Islam. Hal ini dikarenakan Islam adalah agama yang diyakini berasal dari Tuhan, sedang demokrasi adalah murni produk budaya manusia. Kedua, demokrasi, sebagai produk budaya manusia, akan sangat mungkin tercampuri “kepentingankepentingan kotor” manusia dalam proses formulasinya. Oleh sebab itu, adanya anggapan bahwa kesucian agama tidak harus ternodai dengan “kekotoran” demokrasi sebagai buah pemikiran manusia, sehingga pemisahan antara keduanya mutlak untuk dilakukan. Ketiga, demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem pemerintahan yang baik di antara yang buruk, sehingga penggunaan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan adalah sesuatu yang harus dilakukan dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai pendapat di atas mengindikasikan bahwa terdapat pemetaan pemikiran yang dilakukan oleh cendekiawan, termasuk pula hubungan Islam dan demokrasi, sehingga sangat terbuka untuk diperdebatkan. Termasuk oleh Ahmad Syafii Maarif, seorang tokoh bangsa yang cukup getol berbicara tentang demokrasi. Ia mengusung moderasi antara Islam dengan demokrasi yang membuat 6 Fazlur Rahman menggunakan istilah yang lain dalam menjelaskan universalitas Islam. Ia lebih menyebutnya sebagai agama yang “hadir di mana-mana” (omnipresence). Ini merupakan sebuah pandangan yang mengakui bahwa “dimana-mana”, kehadiran Islam selalu memberikan “panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.” Fazlur Rahman, “Islam”, New York, Chicago, San Fransisco: Holt, Reinhart,Winston, 1966, h. 241. dalam Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik politik Islam di Indonesia, edisi digital (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011), 7. 3 keduanya dapat berjalan beriringan tanpa harus terpisah atau bahkan memisahkan diri antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, makalah ini akan memaparkan tentang peta pemikiran dan hubungan Islam dengan demokrasi Ahmad Syafii Maarif. Ini dilakukan untuk mengetahui peta pemikiran Islam sekaligus pola hubungan Islam dan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan modern dengan melakukan kategorisasi atau tipologisasi: pemikiran politik Islam fundamental, yang sekuler, dan yang moderat. Diskursus tentang Peta Pemikiran Islam Ada beberapa pendapat terkait dengan peta pemikiran Islam khususnya dalam memandang demokrasi. Khaled Abou El Fadl melakukan kategorisasi secara kasar atas kelompok yang menyikapi masalah demokrasi dan hak asasi manusia, yakni puritan dan moderat.7 Akan tetapi, pada makalah ini penulis melakukan kategorisasi tidak seperti Fadl yang “terlalu kasar”, melainkan lebih halus agar dapat diketahui dengan baik dan secara mendetail tentang peta pemikiran tersebut. Setidaknya ada empat pendapat terkait dengan pola pemikiran Islam dalam memandang demokrasi. Pendapat pertama mengemukakan bahwa Islam adalah agama yang suci, sehingga menyesuaikan antara Islam dengan demokrasi merupakan sebuah kesalahan. Kamil menyebutnya sebagai tipologi pemikiran politik Islam organik tradisional.8 Pada pendapat pertama ini, agama diartikan sebagai sebuah sistem negara (din wa daulah).9 Yaitu 7 8 9 4 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah,154. Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan Kontemporer,” Jurnal Universitas Paramadina Vol. 3 No. 1, (September 2003), 64, http:// paramadina.ac.id/downloads/Jurnal%20Universitas%20Paramadina/ Jurnal%20UPM%20Vol-3%20No-1,%2009-2003/314-sukron.pdf (diakses pada tanggal 4 September 2013). Baca juga Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). Ayubi mengistilahkan hal ini dengan Tiga D, yaitu Din: agama, Dunya: dunia, dan Daulah: negara. Baca penyatuan antara agama dengan negara atau sistem pemerintahan. Assyaukanie menyebut keinginan penyatuan agama dengan negara tersebut dengan istilah “negara sakral tanpa kehendak manusia”. Ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Kamil. Bedanya, Assyaukanie lebih menitikberatkan hal tersebut kepada kehendak Tuhan. Ia menegaskan pendapat Ahmed bahwa “Allah tidak menyerahkan kehidupan di dunia ke dalam tangan manusia, tapi telah menetapkan jalan yang sudah ditentukan, dengan perintah terperinci tentang bagaimana menempuh jalan itu”.10 Oleh karenanya, pemimpin dalam hal ini dianggap sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi. Ia menjalankan apa yang sudah ditetapkan dalam ajaran normatif, sehingga hal-hal lain yang tidak tertuang dalam ajaran tersebut dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang, apalagi lahir dari rahim pemikiran kalangan non Muslim. Begitu pula dengan Syafii Maarif, dalam karyanya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan ia mengemukakan pendapat Fahmi Huwaydi, seorang penulis dari Mesir yang populer. Menurut Maarif, Huwaydi merasa heran terhadap orang Islam yang menolak demokrasi dengan mengajukan pertanyaan: “Lalu apakah demokasi dengan substansinya yang diutarakan di atas bertentangan dengan Islam? Dari mana pertentangan itu berasal? Adakah dalil pasti dalam Al-Qur’an dan hadis yang memperkuat dakwaan itu?” Lebih tegas lagi dikatakan: “Kenyataannya, orang yang benar-benar memahami substansi demokrasi akan menemukan bahwa substansi tersebut berasal dari konsep Islam”.11 Huwaydi berbeda, bahkan menentang pendapat Nazih Ayubi, “Political Islam: Religion and Politics in the Arab World,” hh. 63-64, dalam Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik politik Islam di Indonesia, 8. 10 Ishtiaq Ahmed, “The Concept of an Islamic State: An Analysis of the Ideological Controversy in Pakistan”(London: Pinter, 1987), 31 dalam Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model negara demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 14. 11 Maarif menyebut betapa serius Huwaydi dengan statemennya, sehingga ia menyertakan dalil-dalil agama dalam tidak kurang dari 23 halaman pada karyanya itu. Maarif mengemukakan dalil-dalil agama yang diutarakan 5 kalangan fundamentalis tentang ketidaksesuaian antara Islam dengan demokrasi. Tipologi di atas dengan penuh keyakinan menganganggap Islam sebagai agama yang kompleks mengatur berbagai dimensi kehidupan, termasuk di dalamnya urusan politik dan negara, sehingga tidak lagi diperlukan alat lain seperti demokrasi guna menjalankan kehidupan bernegara. Lebih dari itu, demokrasi dianggap gagal dengan munculnya berbagai hambatan dalam demokrasi, seperti kapitalisme pasar, suatu sistem ekonomi yang cenderung menciptakan ketidaksetaraan dalam pembagian hasil pertumbuhan.12 Dengan kata lain, pintu ijtihad dalam menemukan sistem pemerintahan, yang bisa saja lahir bukan dari produk budaya Islam, tertutup rapat bagi kalangan yang menganut tipologi ini. Pendapat Maarif membuka lebar mata yang setengah terpejam dalam memandang demokrasi, utamanya kalangan fundamentalis. Ia berpendapat bahwa sejatinya penolakan terhadap demokrasi bukan karena sifatnya yang asing, melainkan demokrasi akan membahayakan kepentingan para elit yang telah sekian lama memonopoli kekuasaan dan kekayaan. demokrasi pasti membuka mata rakyat banyak tentang segala kebobrokan yang dilakukan penguasa.13 Ini menjadi sebuah kekhawatiran yang pasti bagi para penguasa, apalagi yang otoriter, yang telah menguasi sumber daya politik dan sumber-sumber daya lainnya selama bertahun-tahun. Maka, bila melihat apa yang dikemukakan oleh Maarif ini, kalangan fundamental itu sendiri sangat dekat dengan penguasa yang anti demokrasi, dan merupakan bagian serta pendukung pemerintahan itu. Oleh karenanya, wajar bila kalangan fundamentalis berikut dengan pemerintahan yang sepaham dengannya berusaha mati-matian untuk mengatakan bahwa demokrasi oleh Huwaydi adalah sebuah bentuk pembelaan atas teorinya tentang demokrasi. Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, 149. 12 Baca R. William Liddle, “Tantangan dan Harapan demokrasi (1)”, Republika, 16 Desember 2011. 13 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, 150. 6 bukan bagian dari Islam, dan tidak sejalan dengannya. Maarif melanjutkan penjelasannya mengenai kalangan fundamentalis yang ia sebut sebagai puritan itu dalam sebuah kutipan yang dikutip secara utuh oleh penulis dalam karyanya: Kelompok puritan umumnya berideologi tunggal. Ingin melakukan perubahan dunia dengan begitu cepat, sekalipun harus dibayar dengan darah. Sebenarnya kelompok ini tidak memiliki gagasan peradaban yang jelas, tetapi relatif terikat oleh ideologi tunggal yang fasistis. Diantara doktrin yang mengikat mereka adalah doktrin taat kepada pemimpin, hampir tanpa resercer. Karena itu, ada yang menggolongkan sebagai faksi totalitarian dengan payung Syariah.14 Pendapat yang kedua yaitu pendapat yang mengemukakan bahwa Islam dan demokrasi adalah sesuatu yang tidak dapat disatukan. Pemisahan Islam dengan demokrasi merupakan sebuah kewajiban agar tidak ada campur tangan agama dalam sistem pemerintahan. Kamil mengemukakan bahwa dalam tipologi ini Islam sama seperti agama lainnya yang hanya mengajarkan tata cara beribadah kepada Tuhan tidak mengajarkan bagaimana manusia melakukan pengaturan atas negara dan pemerintahan.15 Oleh sebab itu, pendapat yang kedua ini lebih condong kepada sekularisasi antara Islam dengan demokrasi. Menurut pendapat ini, Islam tidak mengajarkan sebuah sistem pemerintahan yang jelas, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai acuan bagi pemerintahan. Assyaukanie membagi tipologi di atas menjadi dua bagian, yaitu “negara sekuler dengan kehendak Ilahi” dan “negara sekuler tanpa kehendak Ilahi”. Pada negara sekuler yang pertama, ia kembali menjelaskan pendapat Ahmed bahwa Islam tidak mengharuskan 14 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, 154. 15 Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan Kontemporer,” 68. 7 penganutnya untuk menjadikan Islam sebagai konsep negara apa pun.16 Lebih jauh, pendapat ini terkesan ingin mengatakan bahwa keberhasilan menjadikan Islam sebagai konsep politik hanya tersedia dalam sistem politik klasik, sedangkan kehidupan modern saat ini menjadikan demokrasi sebagai penyedia kehidupan politik yang lebih baik dan tanpa alternatif. Berbeda dengan pendapat berikutnya yang dikemukakan oleh Assyaukanie, yakni “negara sekular tanpa kehendak Ilahi”. Pendapat ini sama sekali tidak menginginkan agama masuk dalam wacana politik, sehingga ia harus dilepaskan tanpa ada tawar-menawar lagi. Pada pendapat kedua ini para pemikir mengabaikan keberhasilan yang terdapat dalam politik Islam klasik. Menurut penganut model pemikiran ini, dahulu dan sekarang sama saja, yaitu wajib dilakukan pemisahan antara Islam dengan sistem politik yang ada.17 Pada tipologi kedua ini, dengan atau tanpa kehendak Tuhan, pada prinsipnya tetap terjadi pemisahan antara agama dengan negara, dalam hal ini sistem pemerintahan, yaitu demokrasi. Pernyataan Assyaukanie yang mengemukakan bahwa pada masa politik Islam klasik pernah terjadi keharmonisan antara agama dengan negara yang juga memuat sistem pemerintahan, ternyata hal ini bukan dengan demokrasi. Ibn Bajjah mengemukakan bahwa tindakan mulia hanya dimungkinkan dalam negara utama.18 Pada negara utama, rakyat mendisiplinkan diri pada hal-hal yang baik16 Pendapat ini menyandarkan segala sesuatunya kepada Allah, sehingga adanya Islam sebagai sistem politik yang terjadi pada masa kekhalifahan dan demokrasi yang juga pernah hidup (2500 tahun yang lalu) jauh sebelum sistem politik Islam adalah dua hal yang berbeda, sehingga negara sekuler dengan kehendak Allah bermakna, yang menghendaki adanya hal tersebut berdasarkan ayat Alquran surat Al-Baqarah [2]: 117. 17 Baca lebih lanjut dalam Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model negara demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 15. 18 Al-Farabi mengemukakan bahwa negara utama ibarat tubuh manusia yang satu dengan yang lain saling bekerjasama sesuai dengan tugasnya masingmasing. Baca dalam Wawan Hermawan, “Konsep negara Menurut AlFarabi,”5, http://file.upi.edu/WAWAN_HERMAWAN/Konsep_Negara_ Mnrt_al-Farabi.pdf (diakses pada tanggal 12 Januari 2015). 8 baik saja, dan hanya makan dan minum yang baik serta bermanfaat bagi tubuh. Berbeda dengan negara yang rusak, semua tindakan dilakukan secara terpaksa dan impulsif, karena penduduknya tidak bertindak secara rasional dan sukarela tetapi didorong, misalnya oleh pencaharian kebutuhan hidup, kesenangan, pujian, atau kejayaan.19 Hal mendasar yang perlu untuk dipahami dari pendapat ibnu Bajjah bila dikaitkan dalam hal ini adalah, bahwa demokrasi tidak dapat menghasilkan masyarakat yang disiplin, sehingga dalam pendapat kedua ini sekularisasi adalah jalan yang terbaik agar tidak tercampurinya agama dengan politik. Kamil menyebutkan bahwa kalangan yang berpendapat perlu dilakukan sekularisasi terbelenggu dalam pesona pemikiran Nation State Barat yang modern. Mereka menganggap bahwa kemodernan identik dengan sekularisasi, yakni dengan tidak mencampuradukkan agama dengan politik. Pemisahan atau spesifikasi lebih mengemuka dalam kehidupan modern, sehingga jelas wilayah yang dapat dijalankan oleh agama dan mana yang dijalankan oleh negara. Sama halnya dengan tipologi pertama yang juga terbelenggu dalam pesona pemikiran politik klasik, sehingga menjadikan agama sebagai negara (din wa daulah).20 Kedua pendapat ini seolah menyuguhkan sebuah tawaran tanpa alternatif, sehingga mau atau tidak harus dilaksanakan. Selain Kamil dan Assyaukanie, teman senegara mereka Saiful Mujani berpendapat lebih spesifik. Mujani dalam penelitiannya“Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-Suharto Indonesia,” berpendapat bahwa Islam dan demokrasi adalah hal yang berbeda, berjalan pada wilayah yang berbeda. Hal ini menurutnya sejalan dengan pernyataan Samuel Huntington, Bernard Lewis dan Ellie Kedourie yang pernah menulis bahwa Islam adalah berbeda (bertentangan) dengan demokrasi. Mereka meyakini bahwa 19 Ibn Bajjah, Opera Metaphysiva, 162-163, dalam Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 101. 20 Baca Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan Kontemporer,” 70. 9 kekuatan Islam berada pada sebuah masyarakat yang mana demokrasi juga terdapat di sana. Karena terdapat hubungan yang bertentangan, demokrasi bukanlah karakteristik masyarakat Muslim secara umum. Jika hal ini terjadi, ini tidak akan tumbuh subur.21 Meski Mujani tidak menyebutkan dengan tegas perlu dilakukan sekularisasi atas Islam dan demokrasi, namun penjelasan di atas mengisyaratkan “boleh” demikian. Bila tidak dilakukan sekularisasi, namun setidaknya keduanya berbeda. Pendapat ketiga sebagai pendapat yang juga populer dalam kalangan pemikir politik Islam, adalah pendapat yang mengemukakan bahwa meski Islam tidak menentukan sistem politik atau menolak sistem politik tertentu, namun terdapat prinsip dan Nilai-nilai yang secara moral dapat diterapkan dalam sistem perPolitikan. Pendapat ini menolak penggunaan pendapat pertama yang fundamental dan pendapat kedua yang sekuler secara ekstrem. Pendapat ketiga ini lebih dikenal dengan tipologi moderat.22 Tipologi yang menganggap antara Islam dan demokrasi tetap memiliki nilai yang dapat dipertemukan. Maarif menyebut kelompok moderat sebagai kelompok yang sama dengan kelompok fundamental. Kesamaan itu terletak pada penggunaan Al-Qur’an sebagai pedoman dan sumber ijtihad mereka. Bila kalangan fundamentalis atau puritan mengklaim menggunakan kitab suci sebagai dasar bagi mereka untuk mengatakan bahwa Islam tidak sejalan dengan demokrasi, maka kaum moderat juga menggunakan kitab suci untuk mengatakan bahwa Islam sejalan dengan demokrasi. Namun, meski memiliki kesamaan dalam penggunaan Al-Qur’an sebagai pendoman, hakikatnya kedua model pemikiran ini sangat bertentangan. Kalangan moderat, menurut Maarif, umumnya menerima dan membela gagasan demokrasi dan hak-hak manusia. Mereka tidak risau, apakah gagasan itu berasal dari Barat ataukah dari Timur. Selama prinsip-prinsip yang terdapat dalam demokrasi itu mendukung cita-cita Al-Qur’an bagi 21 Saiful Mujani, “Religious Democrats: Democratic Culture And Muslim Political Participation In Post-Suharto Indonesia,” (New York: Ohio University, 2003). 22 Baca Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan Kontemporer,” 70-71. 10 tegaknya keadilan, perdamaian, moralitas, dan hubungan yang baik sesama umat manusia, mengapa harus ditolak.23 Atas dasar pendapat Maarif di atas, dapat ditemukan alur pemikiran yang tegas, yakni penolakan terhadap demokrasi justru merupakan suatu hal yang tidak berdasar. Apalagi bila tidak terdapat pertentangan antara demokrasi dengan Al-Qur’an. Artinya, demokrasi dapat menjamin apa yang juga tertuang dalam Al-Qur’an, yaitu hadirnya apa yang disebut oleh Maarif sebagai keadilan, perdamaian, moralitas dan hubungan baik sesama umat manusia. Lebih dari itu, sistem politik yang mengekang kebebasan manusia, seperti yang sudah dipraktikkan selama ratusan tahun di berbagai negara Arab, menurutnya sudah mulai digugat secara serius oleh para pemikir mereka yang sangat kritikal terhadap sistem politik dinasti-otoritarian, dengan baju khilafah, malakah, kesultanan, kerajaan, imarah, atau imamah. Akan tetapi, Maarif juga tidak sepeakat atas apa yang dilakukan oleh Amerika. Ia menyebut pemaksaan sistem demokrasi ala Amerika, seperti di Irak dan Afganistan, harus dikutuk, karena akan melahirkan sesuatu yang kontraproduktif. Pihak asing tidak bisa memaksakan demokrasi kepada bangsa lain, tetapi jika gagasan itu datang dari dalam secara sadar, hasilnya akan langgeng dan mantap.24 Ini menunjukkan bahwa demokrasi yang adaptif lebih prokspektif daripada demokrasi yang dipaksakan. M. Hakan Yavuz menjelaskan betapa pentingnya kehadiran demokrasi, sehingga ia bisa memfasilitasi, bahkan bagi kelompokkelompok yang radikal, untuk dapat berpartisipasi dalam politik. Karyanya tentang “Secularism and Muslim Democracy in Turkey,” menjelaskan bahwa sistem politik Turki yang terbuka dan demokratis telah mendorong kelompok-kelompok keagamaan yang semula radikal untuk memoderasi praktik dan ideologi politik mereka, dalam rangka memenangkan pemilu. Ini juga ditopang 23 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah,155. 24 Baca Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah,155-157. 11 oleh kondisi ekonomi yang baik dan ruang publik yang sehat, yang memungkinkan dinegosiasikannya berbagai perbedaan secara terbuka dan damai. Kemenangan bagi AKP pada pemilu 2007, lanjutnya, semakin memperkokoh pandangan ini bahwa realitas politik sehari-hari pada akhirnya akan mengalahkan kekakuan ideologi dan dogma yang semula dipeluk kalangan Islamis radikal.25 Meski Turki adalah negara yang sekuler, mau atau tidak komponen demokrasi itu tidak dapat dipisahkan. Lebih jauh lagi, ia mempertemukan antara cita-cita kelompok radikal dengan sistem politik kenegaraan Turki yang sekuler itu sendiri. Berbeda dengan Yavuz, Bahtiar Effendy dalam tulisannya,“Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik politik Islam di Indonesia,”menjelaskan dalam konteks Indonesia. Ia mengemukakan bahwa pertimbangan-pertimbangan keagamaan sesungguhnya bersifat temporer dan tidak langgeng. Menurutnya, tingkat dan bobot dukungan untuk Islam ideologis dan simbolik relatif rendah dan kecil. Mayoritas kaum Muslim (Indonesia), seperti ditunjukkan dengan terbatasnya jumlah kursi yang berhasil diraih oleh partai-partai Islam di DPR dan penolakan Piagam Jakarta, tetap bersikap moderat dan lebih mengaspirasikan hubungan antara Islam dan negara yang lebih mungkin dan lebih pas. Tampaknya, akomodasi parsial merupakan pilihan yang mungkin diambil agar hubungan antara Islam dan negara dapat menjadi lebih langgeng.26 Effendy menitik beratkan adanya akomodasi parsial dalam membidani hubungan Islam dan negara, begitupun dengan demokrasi. Artinya, demokrasi tetap memiliki nilai yang bisa diakomodir, begitu pula dengan Islam, sehingga keduannya dapat saling melengkapi. Assyaukanie menggunakan istilah yang berbeda dalam menjelaskan tipologi moderat. Ia menyebut tipologi moderat 25 Hakan Yavuz, Secularism and Muslim Democracy in Turkey (New York: Cambridge University Press, 2009). 26 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011). 12 sebagai “negara sakral dengan kehendak manusia”. Ini didasarkan pada asumsi bahwa pemerintahan Islam tidak sepenuhnya teokratik (berdasarkan agama) dan tidak pula sekuler yang dengan tegas memisahkan keduanya, melainkan memiliki banyak model mulai dari otokratik seperti Ghulam Ahmad Perwez (1903-1985), hingga liberal, seperti Iqbal. Assyaukanie menambahkan tokohtokoh yang termasuk dalam tipologi ini selain yang dikemukakan di atas adalah Khalifa Abdul Hakim (wafat 1959), dan Javid Iqbal (putra filsuf-penyair Muhammad Iqbal).27 Mereka adalah tokoh yang mengedepankan pemikiran moderat dalam menanggapi hubungan Islam dengan demokrasi. Senada dengan Assyaukanie, Kamil menjelaskan tentang tipologi moderat. Pada tipologi ini terdapat penolakan atas klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan manusia, termasuk politik dan juga klaim yang menyatakan bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik.28 Klaim yang pertama mengarah pada satu titik, yakni Islam dan demokrasi tidak kompatibel. Baik dalam pemikrian Islam fundamental maupun pemikiran Islam sekuler. Sedangkan pada klaim berikutnya, lebih lagi pada tipologi moderat, Islam dan demokrasi dapat dipertemukan pada tatanan nilai yang sama. Ini kemudian mengakibatkan Islam akan terlihat kompatibel dengan demokrasi, begitu sebaliknya. Relasi Islam dan Demokrasi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syafii Maarif seorang putra kelahiran Sumatera Barat, tepatnya di Sumpurkudus, Sijunjung pada tanggal 31 Mei 1935. Maarif bukanlah orang pertama yang mengemukakan tentang keselarasan antara Islam dengan demokrasi. Banyak sarjana lain, tidak hanya dari Indonesia, yang juga mendukung kesesuaian antara Islam dengan demokrasi. Sebut saja Fatimah Mernissi, Khaled Abou 27 Baca Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model negara demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 15. 28 Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan Kontemporer,” 70. 13 El Fadl, dan Muhammad Syahrur, sebagaimana yang dikutip oleh Maarif dalam bukunya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan dan turut pula dijelaskan di atas, juga Matthew Gordner dan Dilshod Achilov. Matthew Gordner dalam “Islam and Democracy: Beyond ‘Compatibility’ and Toward Cross-cultural Democratic Dialogue,” mengemukakan bahwa Islam sejalan dengan demokrasi. Menurutnya, tugas para Ilmuan, khususnya ilmuan Barat adalah mencari tahu bagaimana umat Muslim mempraktikkan demokrasi tersebut. Artinya, pasti demokrasi yang adaptif dipraktikkan umat Muslim berdasarkan pada konteks mereka, sehingga Barat tidak dapat memaksakan demokrasi yang dilakukan oleh umat Muslim berdasarkan demokrasi yang mereka pahami. Hal ini disebabkan paradigma ‘Islam dan Barat’ telah tersumbat dialog miring tentang topik ‘Islam dan demokrasi’ dalam perdebatan mengenai apakah keduanya kompatibel atau tidak. Gordner kemudian merekomendasikan agar dilakukan dekonstruksi atas paradigma ‘Islam dan Barat’ dan menunjukkan ketidakmampuan sebagai pendekatan yang layak untuk topik ‘Islam dan demokrasi’. Ia juga berpendapat perlu adanya penjelajahan dari situs “demokrasi Muslim” dan “pasca Islamisme”, sebagai titik awal untuk dialog lintas-budaya antara masyarakat Barat dan teori Muslim.29 Sama halnya dengan Gordner, Dilshod Achilov dalam “Can Islam and democracy coexist? A cross-national analysis of Islamic institutions in the Muslim world,” juga berpendapat bahwa Islam dan demokrasi adalah sejalan di dunia Muslim. Lebih lanjut ia mengemukakan Islam memiliki banyak sumber daya untuk mengakomodasi sebuah negara demokrasi yang sukses.30 Sayangnya 29 Matthew Gordner, “Islam and democracy: Beyond ‘Compatibility’ and Toward Cross-cultural Democratic Dialogue,” University of Alberta (Canada), ProQuest Dissertations Publishing, 2010. MR60579 http://e-resources.perpusnas.go.id:2071/docview/304655628/ fulltextPDF/2221203C2B3A48F7PQ/2?accountid=25704 (diakses pada tanggal 29 Maret 2017) 30 Dilshod Achilov, “Can Islam and Democracy Coexist? A Cross-national 14 berbagai macam sumber baik sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya politik serta berbagai sumber yang lain telah lama dikuasai oleh kalangan otoritarian, sehingga perlu waktu bagi umat Muslim untuk bisa menggunakan berbagai sumber itu dengan benar. Akan tetapi, bukan berarti bahwa adaptasi demokrasi atas berbagai sumber yang dimiliki itu tidak bisa dilakukan. Bila terdapat gesekan dalam implementasinya, sejatinya itu adalah riak-riak yang muncul dan biasa terjadi dalam implementasi demokrasi, tapi tidak lantas menjadikan Islam dan demokrasi bertentangan.31 Sejalan dengan para pemikir di atas, Ahmad Syafii Maarif menyebut bahwa Islam sejalan dengan demokrasi. Menolak demokrasi akan menyebabkan seorang Muslim gagal hidup dalam dunia modern. Sebab demokrasi dengan Syuro yang ada dalam Islam adalah dekat. Kata Syuro ada dalam Al-Qur’an. Pada konteks keindonesiaan, Maarif meyakini bahwa demokrasi adalah jalan satusatunya, karena dengannya dapat menjamin kebebasan manusia. Masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim malah memandang bahwa demokrasi adalah realisasi dari prinsip Syuro seperti yang diajarkan dalam Al-Qu’an. Maarif berpendapat bahwa demokrasi adalah sesuatu yang amat penting, khususnya dalam konteks kebernegaraan Indonesia. Ia menyebut bahwa Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat diabaikan. Ia menjadi jaminan bagi keberadaan demokrasi. Oleh Analysis of Islamic Institutions in the Muslim World,” The University of Arizona, ProQuest Dissertations Publishing, 2010. 3423709, http://e-resources.perpusnas.go.id:2071/docview/760101147/fulltextPDF/2221203C2B3A48F7PQ/4?accountid=25704(diakses pada tanggal 29 Maret 2017). 31 Riak-riak itu seperti pemberitaan yang dilakukan oleh media massa (pers) secara keseluruhan. Mishra adalah yang berpendapat demikian melakukan. Ia menyebutkan bahwa pemberitaan pers tiga kali lebih mungkin untuk menekankan ketidakcocokan Islam dan demokrasi, daripada kompatibilitas agama Islam dan sistem pemerintahan yang demokratis. Selanjutnya, kompatibilitas Islam dan demokrasi adalah lebih mungkin untuk muncul dalam surat kepada editor dan editorial dari artikel berita dan kolom pendapat. Smeeta Mishra, “Islam and democracy: An analysis of representations in the United States prestige press from 1985–2005.” 15 karenanya demokrasi harus tetap ada, sebab lenyapnya demokrasi maka lenyap pulalah Indonesia merdeka.32 Ia percaya bahwa demokrasi adalah jalan yang baik untuk membangun pemerintahan. Pengalamannya dalam barisan Masyumi memberikan pemahaman demikian. Maarif, melalui gurunya Fazlur Rahman, mendapatkan argumentasi teologis, sosiologis, dan historis tentang betapa sejalannya Islam dengan demokrasi, bahkan lebih luas lagi dengan dunia modern.33 Bagi Maarif, demokrasi haruslah menolak diskriminasi, membuat kesetaraan dimata hukum, inklusif dalam beragama, dan melakukan dialog dalam membicarakan perbedaan dengan penuh keadaban.34 Lebih dari itu, ia berpendapa bahwa untuk menggapai harmoni masyarakat, perlu adanya dialog komunitas agama dengan komunitas non agama.35 Dialog ini bisa terjadi bila demokrasi dapat tumbuh dengan “cantik”. Ini disebabkan setiap penganut agama harus bersikap terbuka dan toleran. Kedua sikap itu dibutuhkan dalam menumbuhkembangkan pluralisme. Untuk menggapai harapan mulia itu Maarif menyarankan suasana bernegara yang demokratis yang dibangun di atas landasan moral ketuhanan dan 32 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah,163. 33 Muhammad Al Kaf, “Demokrasi yang Berkeadaban”, Ahmad Syafii Maarif,” dalam Merawat Kewarasan Publik : Refleksi Kritis Kader Intelektual Muda tentang Pemikiran Ahmad Syafii Maarif (Jakarta: Maarif Institute, 2018), 52. 34 Muhammad Al Kaf, “Demokrasi yang Berkeadaban”, Ahmad Syafii Maarif,” dalam Merawat Kewarasan Publik : Refleksi Kritis Kader Intelektual Muda tentang Pemikiran Ahmad Syafii Maarif (Jakarta: Maarif Institute, 2018), 54. 35 Pemikiran itu ia sampaikan pada acara “Cebu Dialogue on Regional Interfaith Cooperation for Peace“ 13-16 Maret 2006 di Manila. Lihat Ahmad Syafii Maarif, Tuhan Menyapa Kita (Jakarta: Grafindo, 2006), 219-220. Hal yang serupa juga pernah dilakuan oleh Gülen. Dialog yang dilakukan oleh Gülen mencapai puncaknya pada sebuah konferensi yang dilakukan di Vatikan, Roma. Gülen bertemu dengan Paus Johanes Paulus II atas undangan pimpinan tertinggi Gereja katolik tersebut. Muhammad Fethullah Gülen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, terj. Fuad Saefuddin (Jakarta: Republika, 2013), XVIII. 16 kemanusiaan yang adil dan beradab. Golongan mayoritas dan golongan minoritas harus mendapatkan tempat secara proporsional dalam semua kegiatan bangsa.36 Menurutnya, sikap tertutup, intoleran, penuh rasa curiga hanya akan bermuara pada kegagalan.37 Ini menjadi hambatan bagi demokrasi untuk tumbuh menjadi apa yang ia sebut sebagai “Demokrasi yang Berkeadaban”,. Sebaliknya, keterbukaan, keadilan, kesamaan, kebebasan, persaudaraan akan dapat tumbuh pada suatu negara. Namun, pertumbuhan itu menurut Maarif akan terjadi apabila ia diberikan ruang yang memadai. Dan ruang itu hanyalah diberikan oleh sistem demokrasi yang implementasinya disesuaikan dengan bingkai kultur bangsa masing-masing, bisa sangat berbeda dengan yang berlaku di Barat.38 Ini bermakna bahwa demokrasi yang acceptable yang dapat menyerap kultur budaya lokal. Maarif mengemukakan pendapat Syahrur dalam hal ini. Menurut Maarif, Syahrur menjelasakan bahwa “kebebasan” merupakan “kehendak sadar” untuk meniadakan atau mengakui suatu eksistensi, sedangkan “demokrasi” adalah praktik kebebasan yang dilakukan sekelompok manusia sesuai dengan otoritas pengetahuan, etika, estetika, dan adat istiadat.39 Oleh karena itu, kehendak tersebut sejalan dengan praktik kebebasan yang terdapat dan diakui dalam demokrasi. Demokrasilah yang memfasilitasi seseorang untuk dapat melakukan kehendak yang ia miliki, dan mewujudkannya dalam berbagai bentuk tindakan, selama tindakan itu tidak menyalahi dan mengganggu kehendak dan tindakan orang lain. Muhammad Syahrur, sang pemikir asal Suriah ini, agaknya 36 Ahmad Syafii Maarif, Meluruskan Makna Jihad: Cerdas Beragama Ikhlas Beramal (Jakarta: CMM, 2005), 27. 37 Hery Sucipto dan Nadjamuddin Ramli, Tajdid Muhammadiyah: dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Maarif (Jakarta: Grafindo Khasanah Ilmu, 2005), 237-238. 38 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, 154. 39 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah,159. 17 menelusuri gagasan demokrasi dalam masyarakat pra-Islam dalam format Dar Al Nadwah. Dar Al Nadwah merupakan sebuah lembaga yang dibuat oleh Bani-bani superior yang ada jazirah Arab. Lebih tepatnya dibentuk oleh Bani Quraisy. Bani Quraisy adalah keturunan langsung dari Fihr b. Mâlik b. al Nadr b. Kinânah b. Khuzaymah b. Mudrikah b. Ilyâs b. Mudar b. Nizar b. Maad b. Adnân. Kabilah Quraysh terdiri atas sepuluh keluarga, yaitu Banî Hâshim, Banî Umayyah, Banî Nawfal, Banî Abd al-Dâr, Banî Asad, Banî Ta’im, Banî Zurah, Banî ‟Adî, Banî Jumah dan Banî Sahm. Setiap keluarga memegang jabatan dalam Majelis tertentu, sesuai kesepakatan yang diputuskan melalui musyawarah dalam suatu lembaga yang disebut sebagai Dâr Al Nadwah.40 Keluarga yang paling berpengaruh, seperti Bani Hasyim, Bani Mahdum, dan Bani Umayyah, melakukan musyawarah untuk masalah-masalah politik dan kesukuan. Mejelis ini merupakan majelis Syuro bagi masyarakat kesukuan, khususnya dalam membincangkan sistem perdagangan.41 Tidak hanya itu, lembaga ini menjadi semacam lembaga yang berkewenangan untuk melakukan fit and proper test (uji kelayakan), dan proses seleksi serta penempatan keturunan Quraisy pada posisi-posisi tertentu. Sayangnya, lembaga ini bersifat ekslusif yang hanya menempatkan keturunan Quraisy sebagai keturunan yang memiliki otoritas dalam menduduki posisi-posisi yang telah ditetapkan oleh mereka. Meskipun demikian, apa yang dilakukan oleh Syahrur jelas sangat membantu kalangan akademisi yang terlahir belakangan untuk mengetahui bahwa ternyata dalam masyarakat pra Islam 40 Munawwar Khalil, “Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad” (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), 73 dalam Moh. Misbakhul Khoir , “Kultur Arab Dalam Hadis Pemimpin negara Dari Suku Quraysh,” Mutawâtir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Volume 4, Nomor 2, Desember 2014, 250, dalam mutawatir.uinsby. ac.id/index.php/Mutawatir/article/download/60/58 (diaksespadatanggal 06 Nopember 2017). 41 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah,157. 18 budaya demokrasi sudah diterapkan dan dilakukan secara serius oleh kalangan masyarakat itu. Oleh karenanya, wajar bila para pemikir-pemikir yang lain, dari negara yang lain, kemudian berpikir lebih terbuka terhadap demokrasi, seperti Ahmad Syafii Maarif, sebab cikal bakal demokrasi telah lama ada. Untuk itu, Maarif tidak kaku dalam memandang demokrasi. Beberapa literatur menjelaskan tentang pandangan Maarif terhadap demokrasi. Dijelaskan bahwa demokrasi menjalankan dua hal utama, yakni prosedural dan substansial. demokrasi prosedural adalah demokrasi yang memastikan berjalannya proses politik yang adil dan terbuka. Inilah yang disebut sebagai bagian dari proses politik yang dikenal sebagai pemilu, maupun pemilihan Presiden. demokrasi prosedural memastikan ketidakhadiran tirani dalam pemerintahan karena adanya pemilihan berjangka, serta sirkulasi kekuasaan yang dapat berlangsung secara teratur. Sedangkan demokrasi substansial adalah memastikan segala bentuk yang terjadi pada tataran demokrasi prosedural menjadikan manusia sebagai pelaku politik dan mendapatkan hak asasinya yang terdalam.42 Sama halnya dengan Maarif yang menyebutkan bahwa substansi demokrasi adalah terjaminnya kemerdekaan rakyat untuk memilih pemimpin atau sistem politik formal secara bebas dan sekaligus untuk menjatuhkannya jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan konstitusi.43 Oleh karenanya, maksud utama demokrasi secara umum adalah memastikan kemanusiaan itu terlindungi tidak terabaikan dan penuh dengan penghormatan. Inilah yang disebut sebagai demokrasi keadaban.44 Maarif, sebagai cendekiawan Muslim, selalu merujuk pada ayat Al-Qur’an dalam memberikan pandangannya. Termasuk pendangannya tentang demokrasi yang berkadaban. Ayat yang 42 Muhammad Al Kaf, “Demokrasi yang Berkeadaban”, Ahmad Syafii Maarif,” 42. 43 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah,148 44 Muhammad Al Kaf, “Demokrasi yang Berkeadaban”, Ahmad Syafii Maarif,” 42. 19 dikutip adalah Quran surat Al Hujarat ayat 13. Melalui ayat tersebut Syafii memahami bahwa “Bumi disediakan oleh Allah untuk seluruh makhluk, bukan hanya spesies manusia, sekalipun manusialah yang diberi tanggung jawab untuk menjaga dan mengelolanya. Manusia beradab pastilah bersikap toleran dalam perbedaan. Apapun perbedaan itu.45 Pernyataan ini memberikan pemahaman tersirat tentang pengakuan Maarif bahwa Al-Qu’an adalah pedoman dalam melihat berbagai permasalahan kemanusiaan, karena Al-Qu’an merupakan pedoman yang diturunkan oleh Tuhan bagi manusia, bukan sebaliknya, dari manusia untuk kepentingan Tuhan. Oleh karena itu, Maarif menghubungkan demokrasi dengan berbagai topik yang luas, bukan sekedar proses pemilihan atau suksesi kepemimpinan semata. Penutup Melihat relasi antara Islam dengan demokrasi, maka terdapat tiga pola yang umum tentangnya, yakni pola hubungan yang fundamental, yang sekuler, dan yang moderat. Sedangkan bila ditelisik lebih dalam, akan terlihat pula bahwa pola hubungan tersebut masih dapat berkembang, khususnya pola yang sekuler. Pola ini dibagi menjadi dua, yakni sekuler atas kehendak Tuhan dan sekuler tanpa kehendak Tuhan. Pola-pola tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman kalangan pemikir politik Islam dalam memahmi hubungan antara Islam dengan demokrasi. Ahmad Syafii Maarif, cendekiawan Muslim Indonesia, adalah salah satu pemikir Islam yang mendukung keselarasan atau kesesuaian antara Islam dengan demokrasi. Ia menganggap dalam demokrasi terdapat Nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Ini membuatnya sejalan dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lain. 45 Muhammad Al Kaf, “Demokrasi Berkeadaban”, Ahmad Syafii Maarif,” 55. 20 Daftar Pustaka Ari Zandy, Aan, dkk. Merawat Kewarasan Publik: Refleksi Kritis Kader Intelektual Muda tentang Pemikiran Ahmad Syafii Maarif. Jakarta: Maarif Institute, 2018. Assyaukanie, Luthfi. Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model negara demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011). Bugin, Burhan, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo, 2001). Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik politik Islam di Indonesia, Edisi Digital (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011). Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011). Gṻlen, Muhammed Fethullah, Essays-Perspectives-Opinions (Istanbul: Tughra Books, 2010). Gṻlen, Muhammed Fethullah, Bangkitnya Spiritualitas Islam, terj. Fuad Saefuddin. Jakarta: Republika, 2013. Hafsah, Mohammad Jafar, politik Untuk kesejahteraan Rakyat (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2011), cet. I. Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). Maarif, Ahmad Syafii, Meluruskan Makna Jihad: Cerdas Beragama Ikhlas Beramal. Jakarta: CMM, 2005. Maarif, Ahmad Syafii, Tuhan Menyapa Kita. Jakarta: Grafindo, 2006. Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan, 2015. ed. II, Cet. I 21 Moeloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda, 2007), 3. Mujani, Saiful. Religious Democrats: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-Suharto Indonesia (New York: Ohio University, 2003). Muzakki, Akh, Sang Pahlawan Reformasi: Mengupas Pemikiran Agama dan politik (Jakarta: Lentera, 2004). Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002). Sucipto, Hery. dan Ramli; Nadjamuddin. Tajdid Muhammadiyah: dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Maarif. Jakarta: Grafindo Khasanah Ilmu, 2005. Syadzali, Munawwir, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: PHI dan Paramadina, 1996). Yavuz, Hakan, Secularism and Muslim Democracy in Turkey (New York: Cambridge University Press, 2009). Jurnal Diane Nahl, “A Discourse Analysis Technique for Charting the Flow of Micro-information Behavior,” Journal of Documentation 63.3 (2007), 323-339, http://e-resources. pnri.go.id:2058/ docview/ 217962167/ fulltextPDF /1418ADB178B58B8D CB8/2? accountid=25704 (diakses pada tanggal 5 Nopember 2013). Dilshod Achilov, “Can Islam and Democracy Coexist: A Cross-national Analysis of Islamic Institutions in the Muslim World,” The University of Arizona, ProQuest Dissertations Publishing, 2010. 3423709, http://e-resources.perpusnas.go.id:2071/docview/ 760101147/fulltextPDF/2221203C2B3A48F7 PQ/4?accountid=25704(diakses pada tanggal 29 Maret 2017). 22 Matthew Gordner, “Islam and Democracy: Beyond ‘compatibility’ and Toward Cross-cultural Democratic Dialogue,” University of Alberta (Canada), Pro-Quest Dissertations Publishing, 2010. MR60579 http:/ /e-resources.perpusnas. go.id: 2071/docview/304655628/ fulltextPDF/2221203C 2B3A48F7PQ/2?accountid=25704 (diakses pada tanggal 29 Maret 2017). Moh. Misbakhul Khoir, “Kultur Arab dalam Hadis Pemimpin negara dari Suku Quraysh,” Mutawâtir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Volume 4, Nomor 2, Desember 2014, 250, dalam mutawatir.uinsby.ac.id/index.php/Mutawatir/article/ download/60/58 (diakses pada tanggal 06 Nopember 2017). R. William Liddle, “Tantangan dan Harapan demokrasi (1)”, Republika, 16 Desember 2011. Reksa Fiaji Tamara, “Analisis Kemenangan Adalet Ve Kalkinma Partisi (AKP) dalam Pemilu Turki 2011,” eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (4), dalam http://ejournal. hi. fisip-unmul.ac.id/site/ wp-content/ uploads/2013/11/ (RFT)%20eJournal%20Ilmu%20Hubungan%20 Internasional%20(11-21-13-06-04-58).pdf (diakses pada tanggal 1 April 2017). Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan Kontemporer,” Jurnal Universitas Paramadina Vol. 3 No. 1, (September 2003), http://paramadina .ac.id/downloads/ Jurnal%20 Universitas% 20Paramadina/Jurnal%20 UPM%20Vol-3%20No-1,%20 09-2003/314-sukron.pdf (diakses pada tanggal 4 September 2013). Teun A. Van Dijk, “18 Critical Discourse Analysis,” http://www. discourses.org/OldArticles/Critical%20discourse%20 analysis.pdf (diakses pada tanggal 24 Juli 2013). Wawan Hermawan, “Konsep negara Menurut Al-Farabi,” http:// file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/197402092005011WAWAN_HERMAWAN/Konsep_Negara_Mnrt_al-Farabi. pdf (diakses pada tanggal 12 Januari 2015). 23 ETIKA POLITIK AHMAD SYAFII MAARIF: MENGAKMODASI PLURALITAS DAN MEMBUMIKAN Nilai-nilai ISLAM DALAM BERPOLITIK Anis Kurniawan Negara itu tidak perlu bernama negara Islam. Dengan kata lain untuk kasus Indonesia, negara Pancasila dapat dijadikan instrumen yang mantap untuk mencapai dan melaksanakan keadilan, kebebasan, kemakmuran, persamaan dan persaudaraan. Ahmad Syafii Maarif Pendahuluan Tradisi berdemokrasi di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena bertumbuh di atas heterogenitas budaya. Tidak hanya itu, demokrasi juga berkembang pada masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ada dua makna filosofis dari perihal ini; pertama, sebelum Indonesia merdeka dan memilih berdemokrasi, kita telah memiliki tradisi sosiologis yang kuat. Kedua, Islam menerima Nilai-nilai demokrasi sebagai sesuatu yang tidak saling bersinggungan satu sama lain. Selain keduanya, modal dasar kita sebagai suatu bangsa adalah keberterimaan atas kebinekaan sebagai takdir bernusa-bangsa. Kemerdekaan diraih atas perjuangan keras anak-anak bangsa dari semua golongan suku, golongan dan agama. Oleh sebab itu, kebinekaan adalah sebuah realitas yang memiliki akar kesejarahan yang kuat. Indonesia tidak akan mungkin ada tanpa kebinekaan dan pluralitas. 24 Maka, memilih Pancasila sebagai dasar negara adalah jalan tepat yang mengakomodasi kebinekaan dan pluralitas sebagai fakta sejarah. Sebagai spirit berbangsa, Nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan agama apa pun yang ada. Dengan kata lain, Pancasila adalah jalan tengah yang mempertemukan dua kutub besar, demokrasi di satu sisi dan Nilai-nilai agama (khususnya Islam) di sisi lain. Polemik soal ideologi negara, apakah Pancasila atau Islam, sejatinya tidak dimunculkan kembali. Pancasila tidaklah mengeliminasi Nilai-nilai keislaman. Sebaliknya, Nilai-nilai Pancasila adalah manifestasi dari Nilai-nilai Islam itu sendiri. Dalam hal ini, aspirasi sebagian kecil kelompok Islam yang resisten dengan ideologi Pancasila cenderung bersifat pragmatis, yakni memainkan narasi politik identitas. Spektrum politik identitas tidaklah sesuai dengan Nilai-nilai Islam karena melihat politik sekadar pergantian kekuasaan dan ideologi. Padahal, masalah besar yang dialami bangsa saat ini adalah tidak adanya transformasi Nilainilai Islam dalam politik Indonesia. Kritik atas perihal ini diajukan oleh cendekiawan Buya Ahmad Syafii Maarif (selanjutnya disingkat ASM atau Buya) yang melihat bahwa Islam belum menjadi spirit berpikir masyarakat dalam politik dan demokrasi. Padahal, jika keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan telah selaras dengan jiwa, pikiran dan tindakan umat Islam Indonesia, Islam di Indonesia akan dapat memberikan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa. Tulisan ini akan mengulas tentang pemikiran visioner Buya ASM dalam memandang posisi Islam sebagai agama besar merespon masalah politik, kepemimpinan, serta bagaimana Nilai-nilai Islam ditransformasikan ke dalam praktik politik dan demokrasi? Pemikiran Buya sangat penting dikembangkan di tengah menguatnya narasi politik identitas sebagai diskursus yang berbahaya bagi demokrasi kita. Pemikiran Buya ASM juga diperlukan untuk menginpirasi tokoh-tokoh muda Muslim Indonesia dalam memainkan peran politik dalam demokrasi dengan basis sosisologis 25 yang plural. Pendeknya, pemikiran Buya ASM adalah kontra narasi dari pemikiran arus dominan yang cenderung konservatif-esklusif. Sekilas Tentang Sosok Buya Syafii Siapa sebenarnya Buya Syafii Maarif? Buya ASM lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, tanggal 13 Mei 1935. Memiliki pengalaman mengajar sebagai dosen di IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.Ia juga pernah tercatat sebagai dosen tamu untuk mengajar mata kuliah Sejarah Perang Salib dan Islam dan Perubahan Sosial di Asia Tenggara di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1992), dan pernah menjadi anggota Kelompok Pemikir Masalah Agama Departemen Agama (1984).46 Pendidikan formal yang pernah ditempuh ASM dimulai di tingkat dasar yaitu Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah Sumpur Kudus (tamat 1947), kemudian masuk ke tingkat menengah pertama Madrasah Muallimin di Balai Tangah, Lintau, Sumatera Barat (1950-1953). Kemudian ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan menengahnya di Mualimin Muhammadiyah (tamat 1956). Kemudian ia meneruskan pendidikan ke Universitas Cokroaminoto, Solo, dan meraih gelar sarjana muda pada jurusan Sejarah Budaya (1964). Gelar sarjana Sejarah ia peroleh di IKIP Yogyakarta (1968). Untuk menekuni ilmu sejarah, ia kemudian mengikuti program master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika Serikat dan berhasil mengantongi ijazah Master (1980), dengan judul tesis: Islamic Politics under Guided Democracy in Indonesia (19591965). Syafii Maarif kemudian diterima di Universitas Chicago, dan berhasil meraih gelar doktor pada program studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent 46 Ahmad Syafii Maarif.2009. Titik-Titik Kisar di Perjalananku. Bandung: Mizan 26 Assembly Debates in Indonesia. Selama kuliah di Chicago, Buya ASM secara intensif juga aktif melakukan pengkajian Al-Qur’an, yang dibimbing langsung oleh seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, ia sering terlibat diskusi dengan beberapa tokoh Indonesia seperti Nurcholish Madjid (Alm.) dan M. Amien Rais yang juga sedang mengikuti program doktornya. Kini, dalam usia senjanya, Syafii Maarif tidak lagi memiliki kedudukan atau jabatan formal, baik sebagai Ketua PP Muhammadiyah maupun sebagai PNS (dosen). Namun, sebagai sosok intelektual Muslim yang memiliki komitmen kebangsaan, kritis, tegas, dan bersahaja, undangan sebagai pembicara dari berbagai kalangan dan beragam latar belakang masih terus mengalir. Saat ini, ia bersama istrinya Ny. Hj. Nurkhalifah dan anak semata wayangnya, Mohammad Hafiz, tetap menikmati hari-harinya. Ia berharap di sisa akhir hidupnya, mampu menghasilkan karya besar tentang Islam dan kemanusiaan, dan akan menjadi sumbangan besar bagi peradaban manusia. Mendapatkan penghargaan masyarakat Ilmu pemerintahan Indonesia (MIPI) Award pada tahun 2011 untuk kategori Tokoh Pemerhati pemerintahan. Buya juga mendapat penghargaan lifetime avhievement Soegeng Sarjadi Award on Good Governance untuk kategori intelectual integrity dari Soegeng Sarjadi Cyndicate ditahun 2011 yang menilai Buya sebagai tokoh yang terus-menerus memperjuangkan hak-hak publik melalui kritikan dan ajakan untuk menegakkan keadilan di Indonesia. Pandangan keislaman dan keindonesiaan Buya ASM sangat relevan untuk diperbincangkan. Terlebih di tengah menguatnya diskursus yang mencoba membenturkan antara Islam dan nasionalisme. Narasi ini berkembang dalam lima tahun terakhir— seolah-olah ada pandangan bahwa yang nasionalis cenderung tidak Islami—begitu pun sebaliknya. Seorang Buya ASM adalah inspirator dan saksi hidup bagaimana berIslam secara sempurna, tetapi juga menerima konsepsi bernegara dengan semangat nasionalisme kuat. 27 Buya ASM telah menunjukkan kapasitasnya sebagai cendekiawan Muslim yang memiliki etika politik yang yang baik. Buya ASM selalu memandang suatu persoalan secara obyektif tanpa harus tersandera oleh embel-embel tertentu—Buya konsisten merawat nalar kritisnya sebagai umat beragama yang berkemanfaatan luas pada manusia lainnya. Islam dalam Pandangan Buya Syafii Seperti kebanyakan tokoh Muslim konservatif lainnya yang esklusif-radikal, Buya ASM pernah bersepakat pada upaya mengusung Islam sebagai ideologi berbangsa. Hal ini tentu didasari oleh pergulatan spiritualitas Buya yang sebelumnya memang sangat fundamentalis. Pemikiran Buya yang fundamentalis tentu tidak bisa dipisahkan dari pendidikan dan lingkungan sosial yang membesarkannya. Di Sampur Kudus Sumatera Barat, Buya Syafii sejak kecil dididik dalam lingkungan Muhammadiyah yang dienyamnya sejak Madrasah Ibtidaiyah hingga tingkat Madrasah Mualimin Yogyakarta. Doktrin keagamaan yang kuat melalui Muhammadiyah telah memengaruhi Buya saat itu yang bercorak Maududian. Metamorfosa pemikiran Buya terjadi saat mengenyam pendidikan Strata Tiga (S3) di Universitas Chicago Amerika Serikat. Di kampus itulah, Buya bertemu dengan gurunya Fazlur Rahman. Pertemuan dan pergulatan keilmuan dengan Fazlur Rahman telah mengubah cara pandang Buya tentang Islam. Sebagaimana pengakuan Buya berikut: “Pergumulanku dengan kuliah-kuliah rahman selama empat belas tahun telah memengaruhi sikap hidupku dengan sangat mendasar sekalipun ilmuku tidak sampai seperempat ilmunya.” Setidaknya, terdapat empat titik kisar perubahan dan pandangan ASM pasca menempuh studi di Chicago. Pertama, perubahan pandangan Buya terhadap Islam. Buya akhirnya menyadari bahwa mendirikan negara Islam di Indonesia sudah tidak relevan lagi. Sebab, yang terpenting dari sebuah negara adalah bagaimana membangun Islam dalam masyarakat luas. 28 Kedua, Buya ASM lebih terbuka dalam mendorong isu-isu toleransi inter dan antar umat beragama. Dalam konteks ini, Buya sangat menyadari betapa pentingnya memberikan penghargaan, baik pada pemeluk agama lain, maupun pada penganut ateis. Hubungan persaudaraan dengan kelompok yang berbeda harus dibangun di atas prinsip-prinsip humanis. Dalam bahasa Buya ASM: “bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan.” Ketiga, Buya ASM lebih terbuka dengan pandangan terkait kepemimpinan perempuan dalam politik. Buya juga banyak mengkritisi isu-isu poligami dalam Islam yang cenderung merugikan perempuan dan menimbulkan masalah sosial lainnya. Keempat, pemahaman kritis Buya ASM tentang aliran-aliran dalam Islam. Menurut Buya, kemunculan aliran-aliran dalam Islam berpangkal dari konflik politik berdarah antara Ali dan Muawwiah dalam perang Shiffin pada tahun 657 M, yang menyebabkan munculnya aliran besar dalam Islam yang terdiri dari Sunni, Syiah, dan Khawarij. Keempat titik kisar pandangan Buya tentang Islam di atas senantiasa disuarakan pada forum-forum terbuka. Dalam konteks ini, Buya ASM ingin menekankan pentingnya transformasi Nilainilai Islam ke dalam segala dimensi kehidupan manusia. Bukan sebaliknya, sekadar menjadikan Islam sebagai simbol-simbol yang kehilangan makna dan terjebak pada ritual belaka. Menurut Buya, Islam adalah agama yang sangat egaliter. Sekalipun tidak secara gamblang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits perihal egalitarianisme, Buya memandang bahwa semangat dan nilai Islam sungguh sangat egaliter. Sebagaimana Buya berpegang pada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan: “Manusia merupakan umat yang tunggal (QS 2:213). Oleh sebab itu, kata Buya, tugas penting manusia di muka bumi ini adalah lita’arafu yang maknanya tidak saja saling mengenal tapi juga saling bertukar makna peradaban. 29 Islam menurut Buya adalah sebuah agama yang menjalankan misi rahmatan lilalamin. Maka, sebagai Muslim yang taat, telah menjadi kewajiban untuk meindungi, mengayomi, mengasihi, dan bersikap inklusif. Dalam hal memahami Al-Qur’an, Buya ASM memandangnya sebagai sumber moral. Oleh sebab itu, Al-Qur’an menurut Buya harus dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman—dimana di dalamnya membutuhkan kajian dan refleksi yang bersifat kritis. Paradigma keberIslama Buya ASM yang demikian justru membuatnya tampak otentik dan bersahaja. Buya adalah manusia merdeka yang memeluk Islam sebagai buah kesadaran dan kemerdekaannya. Walau begitu, ia sangat menghargai atas kemerdekaan dan kebebasan orang lain dalam beragama dan berkeyakinan. Sikapnya ini tak lain disandarkan pada Al-Qur’an yang menurutnya jauh lebih toleran dari sebagian umat Islam sendiri.47 Islam, demokrasi sebagai Dua Pintu yang Bertemu Dalam konteks politik, Buya ASM melihat perlunya melibatkan diri dalam politik sebagai jalan memperjuangkan orang banyak. Hal ini, tentu berkaitan dengan visi Islam sebagai sebuah agama kemanusiaan, Islam yang rahmatan lil alamain. Menurut Buya ASM, Islam tidak menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum Muslim. Buya ASM memahami bahwa baik Al-Qur’ân maupun Sunnah tidak memberikan petunjuk yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan persatuannya.48 Terminologi “kerajaan Islam”, “kesultanan Islam”, atau “monarki Islam” menurut Buya Syafii sebenarnya bersifat kontradiktif di 47 Catatan Pengantar Ahmad Najib Burhani, dkk pada Buku “Muazin Bangsa dari Makkah Darat” 2015: h. 21. 48 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h 193. 30 dalamnya. Monarki, kesultanan, dan seterusnya tidak secara otomatis dapat menjadi Islam kendatipun menggunakan embel-embel nama Islam. Ia juga mengkritik gagasan negara Islam. Menurutnya, gagasan negara Islam tidak memiliki basis religio-intelektual yang kukuh, yang berbicara secara teoritik. Terminologi negara Islam tidak ada dalam kepustakaan Islam klasik. Dalam Piagam Madinah pun, terminologi ini tidak ditemukan. Gagasan negara Islam (daulatul-islâmiyyah), menurutnya, merupakan fenomena abad ke-20. Kendati demikian, Islam sangat membutuhkan mesin negara untuk membumikan cita-cita dan ajaranajaran moral. Al-Qur’ân yang penuh dengan ajaran imperatif moral, lanjutnya, tidak diragukan lagi sangat membutuhkan negara sebagai institusi “pemaksa” bagi pelaksanaan perintah dan ajaran moralnya. Demokrasi sebagai sebuah sistem politik bagi Buya ASM, adalah tatanan yang terbaik (walau bukanlah yang sempurna) untuk dipilih di antara sistem lainnya seperti khilafah, kerajaan dan lainnya. Menurut Buya ASM, lebih dekat kepada gagasan demokrasi sebagaimana dipahami di era modern. Dalam sistem demokrasi, keikutsertaan rakyat dijamin dan dihormati secara bebas dan aktif dalam proses pengambilan keputusan mengenai masalah bangsa dan negara. Pemikiran Buya ASM tentang demokrasi sangat sejalan dengan gagasan Bung Hatta. Hatta menegaskan bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yaitu rakyat yang memerintah diri sendiri. Sebuah bangsa merdeka harus bisa menentukan nasibnya sendiri. Pendeknya, cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian negeri, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Rakyat adalah daulat alias raja atas dirinya. demokrasi atau kerakyatan yang seluas-luasnya. Tidak saja dalam hal politik, melainkan juga dalam hal ekonomi dan sosial, demokrasi: keputusan dengan mufakat rakyat yang banyak.49 Buya Syafii Maarif pernah menegaskan bahwa masalah besar dalam perPolitikan Indonesia adalah kita mengalami krisis 49 Mohammad Hatta, demokrasi Kita. 2009. Bandung. Sega Arsy. 31 negarawan. demokrasi kita lebih disesaki politisi sumbu pendek. Padahal kalau negara ini mau bertahan harus ada negarawan di setiap tingkat atau lapisan. Negarawan dan politikus berbeda, karena politikus memiliki jangkauan pendek dan lebih bercorak pragmatis. Artinya, hanya memikirkan seputar kekuasaan lewat Pileg, Pilkada dan Pilpres. Sementara negarawan adalah sosok yang memikirkan bangsa untuk ratusan bahkan ribuan tahun yang akan datang. Negarawan pasti politikus, politikus belum tentu negarawan.50 Masalah utamanya adalah pada saat Islam melihat kepentingan politik dan kekuasaan sebagai sebuah tujuan dari politik Islam. Buya ASM mengingatkan, “Orang harus berhati-hati membedakan ‘ekspansi politik kekuasaan’ dan ‘pengembangan agama’”. Pola kecenderungan ini sebenarnya diakui oleh Buya masih kerap hadir dalam pentas politik Indonesia saat ini. Buya ASM sangat tidak setuju bila penyebaran Nilai-nilai dan ajaran Islam harus dilakukan dengan proses ekspansi perebutan kekuasaan. Buya ASM juga tidak menafikan bahwa ada arus pemikiran Islam yang masih melihat ‘sistem demokrasi’ sebagai sistem yang ‘kafir dan sesat’, dan arus besar lain yang melihat justru sebaliknya bahwa ‘demokrasi’ sama sekali tidak bertentangan dengan Nilai-nilai keislaman. Menghadapi aliran ekstrim seperti ini, Buya menunjukkan kapasitas intelektualnya dengan elegan. Tidak frontal dan terlampau keras, tetapi ia tegas di pemikirannya, bahwa Islam dan demokrasi sama sekali tidak bersinggungan. Dalam memberi penjelasan tengang perihal ini, Buya ASM seringkali meminjam beberapa pemikirpemikir Islam seperti Fahmi Huwaydi dari Mesir, Fatimah Mernissi, Zuhairi Misrawi, Khaled Abou El Fadl, dan Muhammad Syahrur dari Suria, buku ini ingin meyakinkan bahwa sistem demokrasi sebenarnya banyak terkandung dalam spirit Islam secara fundamental. Gagasan Khaled Abou El Fadl misalnya melihat bahwa pengalaman umat manusia, hanya dalam sistem pemerintahan 50 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Sebuah Refleksi Sejarah). Bandung.Mizan 32 konstitusional demokratik, keadilan bisa ditegakkan karena rakyat punya akses kepada lembaga-lembaga kekuasaan dan adanya akunpemerintahanlitas pada jabatan-jabatan publik. Sebaliknya dalam sistem yang non-demokratik, akan sangat sulit penguasa diminta bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Tentu saja jika lebih mendalam dan mengkaji apa yang pernah terlintas dalam nilai dan sekaligus sejarah keislaman, ada praktik berdemokrasi yang pada Islam awal sebenarnya sudah pernah muncul. Prinsip demokrasi pada hakikatnya sama dengan prinsip Syuro (musyawarah). Pada Surat Al-Syuro ayat 38 lebih terjelaskan: “Dan orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan, menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah di antara mereka, dan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, mereka infaqkan adalah bagian dari akidah dan ibadah yang prinsip prinsipnya tidak bisa diganti oleh umat Islam. Keyakinan pada prinsip berdemokrasi sejatinya juga didasarkan pada berbagai pengalaman sejarah umat manusia yang panjang. Yang pasti, dalam sistem demokrasi rakyat diberi akses untuk mengetahui secara terbuka tentang bagaimana mesin kekuasaan itu dijalankan, bagaimana sumber-sumber ekonomi keuangan ditata dan dialokasikan. Dan bahkan lebih dari itu, mereka punya hak dasar untuk turut memimpin secara langsung perputaran mesin kekuasaan itu. Tentu saja ini mustahil akan terjadi pada sistem yang “non-demokratis”, yang kerap kali menunjukan wajah despotik dan korup, sebagaimana yang dilontarkan secara kritis oleh Fatimah Mernissi dalam mengkritik berbagai sistem Monarki kerajaan Arab yang penuh dengan eksploitasi dan korupsi.51 Selaras dengan masa depan Islam, Mernissi sebagaimana dikutip oleh Buya ASM, juga sangat meyakini bahwa Islam dan demokrasi merupakan nilai yang selaras dan sejalan. Dalam ruang 51 Opcit, halaman 151 33 demokrasilah pengembangan Nilai-nilai Islam yang lebih substansial bisa berjalan. Menambahkan keyakinan ini seorang pemikir Islam dari Suria, Muhammad Syahrur menegaskan bahwa sistem demokrasi melampaui masyarakat keluarga, klan, kabilah (suku), kelompok, mazhab, dan juga melampui masyarakat patriarki”. Islam menurut Buya ASM harus senantiasa bersentuhan langsung dengan realitas. Bahkan tak sekadar bersentuhan, tetapi juga memiliki kewajiban untuk mengubah realitas yang semula penuh dengan ketidakadilan, menjadi penuh rahmat bagi siapa pun. Kesadaran kritis seorang Buya ASM bukanlah suatu pemikiran yang sifatnya sporadis—sikap Buya tumbuh dari suatu pergulatan panjang. Sebagaimana seorang Buya yang bermetamorfosa dari seorang “fundamentalis” menjadi Muslim moderat alias “sang fundamentalis insyaf”. Tranformasi Nilai-nilai Islam dalam Politik Menurut Buya, Islam bukanlah agama yang memaksakan Nilai-nilainya secara politis melalui kekerasan atau sistem politik kekuasaan. Tetapi, proses-proses transformatif itu lebih kultural dan demokratis, dengan misi yang damai untuk membawa mandat Nilainilai Islam. Di sanalah substansi, hakikat dan isi tentang Nilai-nilai Islam bisa diperjuangkan. Masih menurut Buya, dewasa ini agama tidak jarang dijadikan sebagai pembenaran terhadap sebuah sistem kekuasaan, yang sebetulnya justru menghianati pesan utama dari agama itu sendiri. Pikiran Buya ASM, sejalan dengan gagasan Hasyim Muzadi yang memandang Islam sebagai sebuah spirit berpikir yang secara historis berlandaskan etika budaya. Islam dapat diterima di kalangan masyarakat Nusantara karena para pedagang yang masuk sekaligus menyiarkan Islam menggunakan budaya, adat dan bahasa penduduk setempat sebagai pintu masuk dalam berdakwah. Mereka tidak menggunakan pendekatan fisik atau kekuasaan (power), juga tidak memaksakan impor budaya asal mereka ke masyarakat setempat. Model-model transformasi ini menegaskan bahwa Islam 34 menyediakan ruang dialog dengan rasionalitas dan kesadaran humanitas. Nilai-nilai dasar keislaman yang inklusif dan dialogis menunjukkan bahwa Islam bukanlah doktrin ekstrim yang berorientasi pada kepatuhan mutlak. Islam adalah agama yang menempatkan musyawarah dan dialog dalam menentukan masalahmasalah sosiologis. Islam adalah agama yang tidak melihat politik sebagai bagian yang terpisah. Itulah sebabnya, Islam bisa menerima demokrasi sebagai sebuah sistem politik. Hanya saja, Buya ASM menegaskan bahwa yang terpenting dari sebuah demokrasi adalah bagaimana mendorong sistem politik yang layak, efektif, egalitarian, dan demokratik demi menjawab masalah-masalah zaman. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Bagus Takwin tentang definisi politik kaitannya dengan masalah sosial (orang banyak). Politik adalah jalan terbaik mengkontestasikan masalahmasalah bersama yang menyangkut khalayak orang banyak. Politik pada awalnya dimaknai sebagai pengelolaan polis di masa Yunani kuno, atau hal-hal mengenai polis (makna harafiahnya: kota; sering dipadankan dengan istilah “negara kota”). Polis merupakan tempat individu manusia bergabung. Aristoteles menyatakan, polis adalah tempat terbaik bagi manusia, meleluasakan orang mencapai tujuannya, mencapai yang terbaik. Manusia mengaktualisasi dirinya dan berfungsi optimal dalam kebersamaannya dengan manusia lain, di dalam polis. Politik mengikhtiarkan optimalnya kehidupan bersama sehingga aktualisasi diri dan fungsi optimal individu dapat berlangsung serta pencapaian kebahagiaan dapat dilakukan. Dari situ bisa kita pahami, bahwa politik adalah implikasi dari kehidupan bersama. Keberadaan manusia dengan manusia lain di dunia, kehidupan bersama di sebuah wilayah, memerlukan pengaturan agar orang-orangnya dapat memenuhi kebutuhan dan mengembangkan dirinya masing-masing, lebih jauh lagi bersamasama mengembangkan dunia. Pengaturan menjadikan kebersamaan itu bukan sekadar kumpulan atau kerumunan orang, melainkan himpunan yang memiliki struktur dan aturan, sebuah masyarakat. Orang-orang yang terhimpun di dalamnya punya hak dan kewajiban, 35 bukan hanya bertanggungjawab atas dirinya, tetapi juga orang lain. Mereka menjadi warga dari kebersamaan, bukan sekadar individu yang lepas dari individu lain. Politik menjadi fungsi pengaturan itu: Menghasilkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan kehidupan bersama, memungkinkan kehidupan bersama berlangsung terus. Dalam hal ini, budaya politik sangat penting dalam menjalankan tatanan demokrasi yang sehat. Menurut Ignas Kleden, budaya politik tidak sekadar menjadi dasar bagi tingkah laku politik, tetapi juga dibentuk dan diberi wujud nyata oleh tingkah laku politik. Hubungan antara budaya politik dan tingkah laku pollitik bukanlah yang pertama memengaruhi yang kedua, melainkan tingkah laku politik memengaruhi wujud dan sifat budaya politik. Ini berarti tingkah laku politik yang bersih akan menghasilkan budaya politik yang menjunjung tinggi Nilai-nilai kejujuran. Sebaliknya, tingkah laku politik yang korup akan menghasilkan budaya politik yang dengan mudah memaafkan (dan pada akhirnya membenarkan) berbagai penyelewengan. Bila dikaitkan dengan pemahaman Buya ASM, maka apa yang dimaksud dengan budaya politik tidak lain adalah penguatan Nilai-nilai etis setiap Muslim dalam berpikir dan merespon masalahmasalah sosial, dengan pendekatan kemanusiaan. Bila Nilai-nilai Islam telah tertanam dalam pola pikir umat Islam, maka masalah kebangsaan seperti intoleransi, kesetaraan gender, kekerasan tidak lagi terjadi dan membudaya. Buya ASM telah mencontohkan pada diri dan keluarganya sebagai cendekiawan Muslim, ia mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama apapun, bahkan dengan seorang atheis, dengan syarat masing-masing pihak saling menghormati secara tulus dan siap untuk hidup berdampingan secara damai di muka bumi di atas prinsip: ”Bersaudara dalam perbedaan, dan berbeda dalam persaudaraan”. Pemahamannya ini didasarkan pada Alquran dalam surah Al-Baqarah: 256 dan surat Yunus: 99. Baginya planet bumi ini bukan hanya untuk satu pemeluk agama saja, tetapi untuk semua. Semuanya punya hak yang sama untuk hidup dan memanfaatkan kekayaan bumi ini di atas keadilan dan toleransi. 36 Buya juga memandang bahwa yang terpenting dari semua cara pandang kita sebagai manusia adalah memanusiakan manusia lainnya (sekalipun berbeda). Nilai-nilai luhur seperti ini, sebetulnya adalah makna-makna yang ada dalam Al-Qur’an, tetapi tidak terfungsikan dalam kehidupan politik. Oleh sebab itu, sekali lagi tidak ada jalan lain, Nilai-nilai Islam harus dibumikan agar perspektif kita sebagai Muslim tidak condong pada pemikiran sempit dan sektoral yang anti kebhinekaan. Etika politik ASM: Mata Air Keteladanan Para Pemuda Perjalanan panjang Buya ASM dalam menapaki pergulatan pemikirannya, terutama dalam hal bagaimana ia bermetamorfosa dari fundamentalis menjadi “fundamentalis insyaf”, telah menjadikannya teladan bagi generasi muda. Kritiknya terhadap perpolitikan Indonesia yang dipenuhi politisi tanpa negarawan, seolah menantang anak-anak muda progresif untuk bangkit dari kungkungan tradisi berpolitik di Indonesia yang suram nan gelap. Narasi “kenegarawan” yang dibangun Buya ASM adalah suatu espektasi besar ke depan. Kenegarawanan itu tentu bukanlah suatu yang dapat diraih secara instan dan sporadis—kenegarawanan harus bertumbuh dan berkembang dengan dinamika dan dialektika panjang. Di sinilah diperlukan karakter kepemimpinan politik yang tidak hanya teruji kapasitas dan integritasnya, tetapi konsisten merawat impiannya memperjuangkan isu-isu kebangsaaan di atas isu sektoral yang mungkin menghinggapinya.52 Kenegarawan itu juga dapat terlihat pada kematangan seseorang dalam merespon isu-isu keberagaman. Buya telah menunjukkan suatu etika berbangsa di tengah masyarakat yang plural yakni saling merangkul. Berkolaborasi dengan siapa pun tanpa memandang perbedaan suku, agama, warna kulit apalagi perbedaan bendera partai politik. Keteladanan Buya dalam berpolitik yang 52 Ignas Kleden. Menulis politik, Indonesia Sebagai Utopia. Kompas Media. 2001. 37 paling menarik adalah bagaimana mengaktivasi Nilai-nilai Islam sebagai basis moral dalam bertindak. Bukan sebaliknya, menjadikan agama sebagai sebuah komoditas politik. Dalam hal ini, transformasi Nilai-nilai keislaman sebagai sumber inspirasi dalam bersikap dan berkontestasi adalah pilihan cerdas seorang anak muda kekinian. Dalam bahasa yang lain, keislaman yang kita miliki sungguh-sungguh dapat terpancar dalam sikap dan tindakan kita termasuk dalam berpolitik. Bila ini terjadi, maka politikus di Indonesia yang mayoritas Muslim, sejatinya dapat menjadi pelopor perubahan yang merawat kehidupan berbangsa dengan nasionalisme kuat. Pentingnya toleransi dalam berpolitik juga ditegaskan oleh Ignas Kleden. Menurut Kleden, para pemimpin politik dituntut memiliki sikap toleransi terhadap berbagai pendapat yang berbeda (seperti halnya tingkat toleransi terhadap pelbagai produk yang dijajakan di pasar). Toleransi tersebut juga dapat dilihat pada kemampuan seorang pemimpin politik untuk mengambil beberapa keputusan politik setelah meninjau semua pendapat yang ada. Apa yang dijelaskan Kleden, sejalan dengan pemikiran Buya ASM yang melihat pentingnya sikap inklusif dan egaliter bagi para politikus. Nilai-nilai seperti inilah yang sepatutnya dihidupkan kembali oleh para politikus di Indonesia. Terutama mereka yang merasa sebagai politisi muda, yang cenderung belum terkontaminasi dengan paradigma berpolitik status quo— yang melulu memperjuangkan kelompoknya sendiri. Nurcholish Madjid menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mengandung Nilai-nilai perdamaian dan sikap saling menghormati. Perbedaan antara sesama manusia harus didasari sebagai ketentuan Tuhan, karena Dia tidak menghendaki terjadinya susunan masyarakat yang monolitik. Pluralitas yang sehat justru diperlukan sebagai kerangka adanya kompetisi ke arah berbagai kebaikan, sehingga perbedaan yang sehat 38 merupakan rahmat bagi manusia.53 Penutup Buya ASM menganggap bahwa semua aspek kehidupan tidak dapat ditempatkan dalam kategori yang dikotomis, antara ibadah dan kerja sekuler. Dalam hal ini, ia sepakat dengan pandangan Ibnu Taimiyyah dalam kitab as-Siyâsi as-Syar’iIyyah yang mengemukakan bahwa negara (kekuasaan Politik) merupakan sesuatu yang penting bagi agama. Tanpa adanya negara, agama tidak akan tegak dengan kukuh. Ibnu Taimiyyah menuturkan bahwa Allah mewajibkan amar ma’ruf nahî munkar, jihad, keadilan, menegakkan hudûd, dan semua hal yang Allah wajibkan. Hal itu tidak mungkin terealisasi dengan sempurna tanpa kekuatan dan kekuasaan.54 Islam dan demokrasi, bagi Buya Syafii, bukanlah hal yang dipertentangkan. Dengan kata lain, demokrasi adalah jalan kebaikan, yang meski belum sempurna, tetapi sama sekali memiliki kesamaan dengan Nilai-nilai keislaman, yang menempatkan posisi setiap individu sebagai makhluk yang bebas dan berhak mendapat perlindungan. Bagi Buya ASM, masalah utama dari demokratisasi di Indonesia bukanlah soal sistemnya, tetapi pada perilaku elit politik dan masyarakat sebagai subjek politik. Terutama politikus yang tidak menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi (nilai) sebagai sandaran dalam berperilaku dalam politik, agama dalam demokrasi yang liberal seringkali dijadikan komoditas demi kepentingan sesaat. Pancasila sebagai dasar negara adalah pilihan rasional yang mengilhami pentingnya merawat toleransi antar umat beragama secara baik. Pancasila, konstitusi dan sejumlah Undang-undang secara tegas menyatakan kebebasan beragama merupakan hak 53 Nurcholish Madjid. Fatsoen. Republika, 2002. 54 Ibid, halaman 133 39 asasi manusia yang paling mendasar (non derogable) dan negara menjamin kebebasan beragama sebagai hak sipil setiap warga negara. Islam mengajarkan kebebasan beragama sangat penting bagi kehidupan manusia karena merupakan hak dan kebutuhan dasar manusia yang dapat menimbulkan rasa aman, tentram dan damai.55 Pada akhirnya, tugas kita semua adalah mempelajari dan membaca gagasan Buya ASM. Tidak sekadar sebuah pembelajaran positif, tetapi sebagai sebuah perbandingan pemikiran. Buya telah mengajarkan kita bagaimana berIslam yang sejati yakni mengakomodasi keberagaman dan pluralitas sebagai realitas sejarah bangsa. 55 Musdah Mulia, Memaknai Ulang Kebebasan Beragama di Indonesia. Makalah. 2018. 40 Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, Intelektual Sekaligus Aktivis”, dalam Abdul Rahim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, eds., Cermin untuk Semua: Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif. Jakarta: Maarif Institute, 2005. Fazlur, Rahman, Kontroversi KeNabian dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, Bandung: Mizan, 2003. Fukuyama, Francis, Memperkuat negara. Jakarta. Gramedia, 2005. Hardiman, F. Budi dkk. Empat Esai Etika politik. Komunitas Salihara. Hatta, Mohammad. demokrasi Kita. Bandung. Sega Arsy, 2009. Kamseno, Sigit, “Komprehensivisme Dîn al-Islâm: Kritik atas Konsep Kulturalisme dan Strukturalisme Islam”, Jurnal politik Islam, Vol. 1, No. 2, 2006, h 164. Kleden, Ignas, Menulis politik, Indonesia Sebagai Utopis. Kompas Media. 2001. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Mizan: Jakarta, 1993. Maarif, Ahmad Syafii, Titik-Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif (Bandung: Mizan, 2009). Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES,1985. Maarif, Ahmad Syafii, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani Press, 1997. 41 Maarif, Ahmad Syafii, Titik-Titik Kisar di Perjaananku. Bandung: Mizan, 2009. Madjid, Nurcholish, Fatsoen. Jakarta. Republika, 2002. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992). Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: LP3ES, 1982. 42 ISLAM DAN MASA LALU YANG MEMBELENGGU: REFLEKSI PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF Dwi Wahyuni Pendahuluan Menulis tentang pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif ini sebenarnya cukup sulit bagi saya. Saya tidak banyak memahami setiap pemikiran Buya. Hanya saja, beberapa kali saya pernah mendengar penyampaian Buya di berbagai media. Saya juga telah membaca buku Buya yang menurut saya sangat menyentuh ke akar permasalahan umat Islam dewasa ini. Buku tersebut diterbitkan tahun 2018 dengan judul Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Dalam konteks Islam di Indonesia, saya juga pernah membaca buku Buya yang berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Pada tulisan ini saya mencoba untuk menyampaikan pendapat saya terhadap pemikiran Buya. Ya, paling tidak poin-poin penting yang pernah saya dengar dari setiap penyampaian Buya di beberapa media, dan buku Buya yang telah saya sebutkan di atas. Islam mengajarkan untuk berada dalam barisan teratur sehingga kita seakan-akan seperti suatu bangunan yang kokoh (Q.S. As-Shaff: 3). Ayat Al-Qur’an ini mengisyaratkan kepada kita untuk bersatu dalam kehidupan ini. Tapi seperti pepatah, jauh panggang daripada api, bagaimana panggangan itu akan matang bila jauh dari api, mustahil memang. Dalam tulisannya di buku Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, Buya menyatakan “Sejarah Muslim telah terpasung dalam kotak-kotak politik akibat 43 perseteruan elite Arab Muslim saat perang Shiffin, yang kemudian menciptakan polarisasi umat Islam sampai sekarang. Sunisme, Syi’isme, dan Kharijisme telah menjadi sesembahan baru bagi dunia Islam dengan “memaksa” Tuhan berpihak pada kotak-kotak itu.56 Lebih jauh, tulis Buya, “Kotak-kotak dalam Islam amat bertanggung jawab bagi lumpuhnya persaudaraan umat beriman. Maka, jika umat Islam di muka bumi memang mau memiliki masa depan yang diperhitungkan manusia lain, jalan satu-satunya adalah agar kita keluar dari kotak Sunni dan kotak Syiah, karena semua itu adalah hasil dari pabrik sejarah sekitar 25 tahun sesudah Nabi wafat.57 Islam yang merupakan agama mayoritas masyarakat Indonesia, diharapkan dapat menjadi cahaya kehidupan dalam kegelapan bangsa. Islam yang diimpikan sebagai rahmatan lil alamin, masih mengawang di atas langit sebagai suatu yang tidak terbumikan. Wajah Islam yang ramah terkalahkan dengan wajah kejam penganutnya, Islam seperti tidak berdaya. Persoalannya kini, bagaimana kita dapat membumikan Islam. Tentu persoalan ini terlalu rumit dan tidak akan mampu terjawabkan hanya dengan tulisan singkat ini. Namun izinkan tulisan ini hadir sebagai refleksi terhadap pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif. Mengenal Buya Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syafii Maarif yang biasa dipanggil Buya Syafii Maarif lahir pada 31 Mei 1935 di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Pendidikan dasar dan menengah Buya Syafii Maarif ditempuhnya di kampung halamannya. Gelar sarjana muda Buya diperoleh pada 1964 dari FKIP Universitas Cokroaminoto Surakarta dan pada 1968 dari FKIS IKIP Yogyakarta. Pada tahun 1980, Buya memperoleh gelar Master of Art (MA) dalam Ilmu Sejarah dari Ohio University, Athens, Amerika Serikat. Selanjutnya pada tahun 56 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2018, h. 33. 57 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan..., h. 48. 44 1982, Buya memperoleh gelar Ph.D dalam bidang Pemikiran Islam dari University of Chicago, Amerika Serikat.58 Buya Syafii Maarif merupakan Guru Besar Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta. Selain aktif berkarir sebagai Dosen, Buya juga telah aktif di Muhammadiyah sejak muda sampai sekarang. Pada tahun 1990-1994, Buya pernah menjadi Bendahara pengurus Pusat Muhammadiyah. Periode selanjutnya, pada tahun 1994-1998, Syafii Maarif menjadi Wakil Ketua pengurus Pusat Muhammadiyah. pada tahun 1998-2005, Buya menjadi Ketua Umum pengurus Pusat Muhammadiyah.Pada tahun 2003, bersama dengan tokoh lainnya, Buya mendirikan MAARIF Institute for Culture and Humanity.59 Sampai sekarang Buya Syafii Maarif masih aktif menghadiri setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh MAARIF Institute for Culture and Humanity. Saya sendiri berkesempatan bertemu langsung dengan Buya saat kegiatan pembukaan Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif periode kedua yang dilaksanakan oleh MAARIF Institute for Culture and Humanity pada tanggal 23 November 2018 di Gedung Pusat Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta. Pada suatu kesempatan, dalam mengisi Nurcholish Madjid Memorial Lecture ke-III, Buya menyampaikan orasi ilmiah tentang politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia. Dari sitematika penyampaian Buya dalam video yang berdurasi sekitar 55 menit itulah, menurut saya, sikap intelektual yang ditunjukkan Buya merupakan sikap intelektual yang kritis dan konsisten. Dua poin penting, kritis dan konsisten dalam intelektual ini yang mestinya terus dimiliki setiap intelektual Muslim Indonesia. Sebab dua poin ini sebagai implementasi kemerdekaan berpikir dari setiap ihsan intelek. Tanpa ada kemerdekaan berpikir, seorang intelektual tidak akan mampu tampil sebagai intelektual kritis dan konsisten yang merupakan karakter intelektual seseorang. 58 Ahmad Najib Burhani, dkk, Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015, h. 10. 59 Ahmad Najib Burhani, dkk, Muazin Bangsa dari..., h. 11. 45 Sikap intelektual Buya Ahmad Syafii Maarif tercermin dari spirit Buya dalam menuntut ilmu, Buya merantau dari tanah kelahiran, Sumatera Barat, ke pulau Jawa, bahkan sampai ke luar negeri, di Chicago. Buya Syafii dengan bimbingan Fazlur Rahman, seorang pembaru pemikiran Islam. Sikap intelektual Buya lebih terbuka. Banyak persamaan pemikiran-pemikiran kedua tokoh intelektual ini, Buya dan Nurcholish Madjid. Salah satu contohnya, adalah tentang hubungan Islam dan Pancasila. Buya sendiri menyampaikan kalau awalnya Buya tidak menerima positif Pancasila, sedangkan Nurcholish Madjid telah lebih dulu menerima Pancasila. Namun setelah Buya belajar banyak di Chicago, Buya menyadari begitu luar biasanya Pancasila dalam menjaga integritas bangsa Indonesia. Lebih jauh lagi, bahkan Buya memandang Pancasila merupakan bagian integral dari ketuhanan, kemanusian dan keadilan. Sikap intelektual Buya juga dapat terlihat dari berbagai media yang menampilkan kemampuan analisis yang cerdas mengenai permasalahan dalam masyarakat. Misalkan tanggapan Buya terhadap kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Purnama (Ahok). Bila mayoritas Muslim Indonesia berpendapat bahwa Ahok telah menistakan agama Islam, begitu juga dengan fatwa MUI yang menduga kalau Ahok telah menistakan agama Islam, namun Buya saat itu berbicara dengan lugas kalau Ahok tidak menistakan agama Islam. Saya pribadi sependapat dengan Buya, dan saya yakin masih banyak juga yang sependapat dengan Buya dalam kasus Ahok ini. Namun yang membedakan kami, saya dan kebanyaan orang tidak berani seperti Buya yang secara lugas menyampaikan kalau Ahok tidak menistakan agama Islam. Bagi saya, ini merupakan bukti bahwa Buya adalah seorang intelektual kritis dan konsisten. Subtansi Ajaran Islam Pada dasarnya manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan ini di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan 46 hidup, musibah dan berbagai bencana, manusia mengeluh dan meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskan dari keadaan itu. Hal ini dialami semua manusia. Karena fitrahnya tersebut, maka manusia memerlukan kepercayaan yang menjadi tata nilai dalam perjalanan hidup menuju peradaban dan kebudayaan yang lebih baik. Jadi manusia tidak mungkin hidup kecuali kalau mempunyai kepercayaan.60 Kepercayaan yang dimaksudkan adalah, kepercayaan kepada suatu wujud Maha Tinggi yang menguasai alam sekitar manusia dan hidup manusia, apapun nama yang diberikan kepada wujud Maha Tinggi dan Maha Kuasa tersebut.61 Menurut Nurcholish Madjid, karena manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembahNya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing-masing manusia yang berbeda-beda, satu tempat ke tempat dan dari satu masa ke masa, maka agama menjadi beraneka ragam dan berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri untuk percaya kepada wujud Maha Tinggi tersebut.62 Karena latar belakang manusia yang berbeda-beda serta ruang dan waktu manusia juga berbeda-beda, maka menimbulkan bentuk-bentuk kepercayaan yang beranekaragam dalam kehidupan manusia. Karena itu, hanya ada dua kemungkinan, benar atau salah, terhadap bentuk-bentuk kepercayaan manusia tersebut. Kemungkinan pertama semua bentuk kepercayaan itu salah semua, dan kemungkinan kedua salah satu bentuk kepercayaan tersebut benar. Sebagaimana sudah menjadi kenyataan manusia itu hidup tidak mungkin tanpa kepercayaan, namun terlalu banyak bentuk kepercayaan, disini terdapat masalahnya. Semua kepercayaan dan sistem kepercayaan tersebut melahirkan Nilai-nilai, dan Nilai60 Azhari Akmal Tarigan, Jalan Ketiga Pemikiran HMI; Menembus Batas Antara Fundamentalisme Dan Liberalisme.Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008, h.xxii. 61 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan.Jakarta: Paramadina, 1992, h. xviii. 62 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. xix. 47 nilai itu melembaga dalam tradisi. Tradisi tersebut cenderung membelenggu, sehingga menghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Tetapi jika manusia tidak memiliki kepercayaan sama sekali juga tidak mungkin. Karena itu harus ada kepercayaan, tetapi kepercayaan itu harus sedemikian rupa sehingga tidak membelenggu manusia, bahkan menyelamatkan manusia. Itulah kepercayaan kepada Allah, satu-satunya Tuhan, yang Allah ini adalah the High God, Tuhan Yang Maha Tinggi, Tuhan Yang Maha Esa.63 Tuhan yang merupakan asal dan tujuan (sangkan-paran)64 hidup manusia dan seluruh yang ada.65 Pertama-tama beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan.66 Ketuhanan Yang Maha Esa atau monotheisme atau dalam istilah teknis Islam yang diciptakan para ahli kalam, paham Tauhid, tidak ada sama sekali klaim eksklusifistik Islam.67 Paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini adalah kepercayaan kepada Tuhan yang universal. Tuhan universal sesungguhnya adalah Tuhan seluruh umat manusia. Di muka bumi ini hanya ada satu Tuhan, Tuhan semua umat manusia dari segala zaman dan tempat.68 Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti dari semua agama yang benar. Setiap umat manusia telah pernah mendapatkan ajaran tentang Ketuhanan Yang Maha Esa melalui para Rasul Tuhan.69 Terdapat banyak penegasan dalam Al-Qur’an bahwa setiap kelompok manusia (umat) telah didatangi pengajar kebenaran, 63 Azhari Akmal Tarigan, Jalan Ketiga Pemikiran HMI..., h. xxiii. 64 Ungkapan “sangkan-Paran” terdapat dalam pembendaharaan spiritualisme Jawa yang diketahui banyak sekali mengambil dari gagasan-gagasan sufi Islam. Diduga ungkapan ini merupakan terjemahan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 156 “inna lillahi wa inna ilayhi raji’un” (sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan sesungguhnya kita akan kembali kepadaNya). 65 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. xiv. 66 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. 1. 67 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. xxv. 68 Azhari Akmal Tarigan, Jalan Ketiga Pemikiran HMI..., h. 47. 69 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. 1. 48 yaitu utusan atau Rasul Tuhan. Karena itu terdapat titik pertemuan (kalimah sawa’) antara semua agama manusia, dan orang-orang Muslim diperintahkan dan mengembangkan titik pertemuan itu sebagai landasan hidup bersama.70 Di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya, untuk bertemu dalam pangkal tolak ajaran kesamaan yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.71 Lebih-lebih lagi di Indonesia, dukungan kepada optimisme itu lebih besar dan kuat, karena pertama, bagian terbesar penduduk Indonesia beragama Islam. Kedua, seluruh bangsa sepakat untuk bersatu dalam titik pertemuan besar, yaitu Nilai-nilai dasar yang disebut Pancasila. Dengan demikian, titik pertemuan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa akan memiliki implikasi lebih jauh terhadap umat beragama yang akan merasakan persaudaraan satu Tuhan dengan umat agama lainnya. Semua umat beragama adalah ciptaan Tuhan yang sah hidup dan berkembang di atas bumi Tuhan ini. Sebagian umat Islam memandang paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau monotheisme atau dalam istilah teknis Islam yang diciptakan para ahli kalam, paham Tauhid, hanyalah beriman dan percaya kepada Allah. Apakah benar Tauhid hanya sebatas demikian. Coba kita kembali pada Al-Qur’an surah Al-‘Ankabut ayat 63. Allah berfirman “Dan jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu dengan (air) itu dihidupkan bumi yang sudah mati?’ pasti mereka akan menjawab ‘Allah’. Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah’. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti”. Firman Allah di atas menyatakan bahwa masyarakat Arab pra Islam sudah percaya kepada Allah. Mereka percaya bahwa Allah lah yang menurunkan hujan, Allah-lah yang menciptakan alam jagat raya ini. Namun walaupun begitu, mereka tidak dikatakan sebagai kaum bertauhid, bahkan mereka disebutkan sebagai kaum syirik, kaum yang mempersekutukan Allah. Sekalipun masyarakat Arab pra Islam percaya bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi, 70 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. 1. 71 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. xxxix. 49 Allah yang menurunkan hujan yang menyuburkan bumi, mereka juga memitoskan mahluk lain seperti binatang-binatang dan sebagainya. Misalnya, mereka memitoskan jenis burung tertentu yang disebut gharnaq atau gharaniq, dimana mereka percaya bahwa burung ini mampu memberi pertolongan atau syafaat kepada manusia dalam berhubungan dengan Tuhan. Dengan kondisi masyarakat Arab pra Islam yang demikian, maka tugas suci Nabi Muhammad ialah menyampaikan seruan kepada umat manusia agar membebaskan diri dari berbagai kepercayaan palsu, sekaligus hanya berpegang kepada kepercayaan yang benar. Tauhid tidak hanya sebatas percaya saja kepada Allah, sebab percaya kepada Allah masih mengandung kemungkinan percaya kepada yang lain-lain selain Allah. Tauhid harus mencangkup pengertian tentang Allah yang dipercayai itu dan bagaimana semestinya bersikap kepada-Nya dan kepada obyek lain selain Dia. Ini memang menjadi permasalahan manusia sampai sekarang. Pada umunya manusia percaya kepada Allah namun tidak murni. Disamping manusia percaya kepada Allah mereka juga masih mempercayai sekutu Allah lainnya. Karena itu, umat manusia mesti percaya kepada Allah dan lebih dalam lagi manusia mesti memurnikan kepercayaan kepada Allah. Umat manusia mesti melepaskan diri dari kepercayaan-kepercayaan palsu dan umat manusia mesti memusatkan kepercayaan hanya kepada yang benar, yaitu Allah. Islam dalam Konteks Indonesia Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya, adat istiadat, bahasa, suku bahkan agama. Kemajemukan bangsa Indonesia ini telah melahirkan perpaduan yang sangat indah dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat yang berdampingan dan memiliki komunikasi yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, usaha untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa menjadi hal penting yang harus diupayakan secara terus menerus. Menariknya kehidupan beragama di Indonesia mengedepankan 50 sikap toleran dan tidak disampaikan dengan cara-cara kekerasan.72 Kenyataan ini merupakan bukti sejarah kemajemukan dalam beragama tidak menjadi halangan untuk hidup berdampingan walaupun berbeda keyakinan. Bahkan menghasilkan kosensus nasional yang tertuang dengan terbentuknya negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).73 Seluruh umat beragama dan komponen bangsa Indonesia hendaknya selalu saling menghormati, menghargai dan saling bertenggang rasa untuk senantiasa menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, umat beragama juga harus senantiasa terpanggil dan berkewajiban mengedepankan gotong royong untuk menjaga kesatuan dan persatuan Indonesia. Serta terus memelihara dan mengembangkan kerukunan nasional demi keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejak awal, kesadaran, bahwa bangsa ini harus didirikan di atas keanekaragaman, telah tertanam dalam benak para pendiri bangsa dan diwujudkan dalam azas dan landasan negara kita, yakni Pancasila dan juga dituangkan dalam dasar negara yakni UndangUndang Dasar 1945. Oleh karena itu, sebagai penerus para pendiri bangsa, sudah semestinya, warga Indonesia saat ini semakin siap belajar menerima dan menghormati satu sama lain, berkerjasma dan membangun kerukunan. Tidaklah dapat disangkal kiranya bahwa setiap warga negara Indonesia wajib membina hidup rukun, terutama hidup rukun beragama.74 Namun harus diakui dengan jujur, bahwa sampai saat ini bangsa Indonesia belum mampu maksimal dalam memanfaatkan 72 M. Yusuf Asry, “Merajut Kerjasama Antar Umat Beragama di Indonesia” dalam kata pengantar Jurnal Harmoni Multikultural dan Multireligius. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Vol VIII No.30 April-Juni 2009, h. 6. 73 M. Yusuf Asry, “Merajut Kerjasama Antar..., h. 6. 74 Martin Sardy, Agama Multidimensional; Kerukunan Hidup Beragama dan Integritas Nasional. Bandung: Penerbit Alumni, h. v. 51 keanekaragaman dengan baik. Keanekaragaman ini seringkali belum dihayati sebagai suatu kekayaan aset bangsa Indonesia, justru menjadi sumber perpecahan bangsa Indonesia. Konflik yang terus menerus terjadi, ketika pemahaman akan keagamaan saling dipertentangkan, kadang berwujud dalam bentuk tindakan anarkis dan radikal. Sejak digulirkannya era reformasi pada tahun 1998, bangsa Indonesia tampaknya belum berhasil melepaskan diri dari pola-pola kekerasan yang mengganggu kohesifitas kehidupan berbangsa dan bernegara.75 Kondisi keberagamaan rakyat Indonesia sejak pasca krisis 1998 sangat memperhatikan. Konflik bernuansa agama terjadi di beberapa daerah seperti Ambon, Poso dan daerah lainnya. Konflik tersebut sangat mungkin terjadi karena kondisi rakyat Indonesia yang multi etnis, multi budaya dan multi agama. Belum lagi kondisi masyarakat yang mudah terprovokasi oleh pihak ketiga, yang merusak watak bangsa Indonesia yang suka damai dan rukun. Ahmad Mansur Suryanegara menyatakan dalam bukunya “Benarkah Reformasi Melahirkan Perang Agama”, bahwa “agar persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dapat dilumpuhkan dengan cepat, maka dikembangkan konflik agama akan lebih mudah menumbuhkan perpecahan.”76 Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa konflik agama ataupun konflik yang bernuansa agama tidak terlepas dari faktor eksternal, selain memang ada faktor internal. Akan tetapi, patut disadari bahwa sering kali bukan faktor eksternal yang lebih berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan faktor internal yang berasal dari umat beragama itu sendiri.77 Dengan demikian pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama yang benar merupakan usaha utama untuk mewujudkan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia. Guna menumbuhkan kesadaran akan persatuan dan kesatuan bangsa 75 Departemen Agama RI, Penelitian Agama dan Kemasyarakatan;Konflik dan Kebijakan Kerukunan. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008, h. 421. 76 Ahmad Mansur Suryanegara, Benarkah Reformasi Melahirkan Perang Agama. Jakarta: Al-Ishlahy Press, 1999, h. 27. 77 Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan. Jakarta: Predana Media, 2011, h. 5-6. 52 dengan terwujudnya kerukunan hidup umat beragama. Pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama yang benar dalam memahami dan menyikapi kehidupan bangsa yang plural, contoh dari negarawan, tokoh-tokoh politik, agama, budaya, pemuda dan dari seluruh komponen bangsa Indonesia, amatlah penting bagi kelangsungan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Akhir-akhir ini juga, di negara Indonesia khususnya, terjadi pembentukan benturan antara Islam dan nasionalisme. Benturan ini membesar yang diawali dari peristiwa Aksi Damai 212 diakhir tahun 2016, dan berlanjut dengan aksi-aksi seterusnya. Dari serangkaian kejadian-kejadian tersebut seakan-akan ingin dikatakan bahwa orang yang berIslam itu adalah orang yang tidak nasionalis. Sehingga memunculkan asumsi, bahwa umat Islam yang melaksanakan Aksi Damai 212 dikatakan minim nasionalisme. Respon terhadap Aksi Damai 212 adalah aksi Parade kebinekaan Indonesia yang diselenggarakan di arena Car Free Day. Bagi panitia Aksi Parade, aksi ini diklaim sebagai parade pemersatuan bangsa Indonesia dengan menggelar kebudayaan dari seluruh Indonesia. Sebaliknya, ada pesan tersirat bahwa Aksi Damai 212 yang bersifat memecah antar umat beragama. Sedangkan bagi pendukung Aksi Damai 212, aksi yang mereka lakukan diklaim lebih nasionalis karena memiliki tujuan yang jelas dan tidak menimbulkan hal negatif seperti merusak taman dan meninggalkan kotoran di lokasi. Aksi Damai 212 membawa aspirasi bangsa dan agama, di mana ditunaikan shalat Jumat yang fenomenal dengan jamaah terbanyak di dunia, sekitar 7 juta . Sebaliknya aksi Parade kebinekaan Indonesia yang diselenggarakan di arena Car Free Day, di sepanjang jalan Thamrin, Jakarta Pusat dikatakan tidak memiliki tujuan yang jelas. Saling klaim kedua kelompok ini telah melahirkan benturan antara Islam dan nasionalisme. Seakan-akan orang yang berIslam dengan taat tidak nasionalis, begitupun juga orang yang nasionalis tidak berIslam dengan taat. Karena itu, dengan keadaaan obyektif bangsa Indonesia mesti dipahami bahwa Islam dan nasionalisme bukanlah suatu yang bertentangan. Seorang Muslim juga bagian dari seorang 53 warga negara. Seorang warga negara yang telah berkeyakinan terhadap Islam sebagai agamanya, tidak bisa dibenarkan bila mengenyampingkan keyakinannnya. Oleh karena itu, semestinya seorang Muslim menyadari penuh bahwa ia adalah seorang umat dan sekaligus sebagai warga negara. Spirit ketauhidan yang menjadi pokok ajaran Islam seharusnya tetap terus selalu diperdalam, dikembangkan dan diamalkan. Spirit ketauhidan mesti terus menjiwai setiap Muslim Indonesia, baik ia sebagai umat, hamba, rakyat, pemimpin, atau apapun posisinya. sudah semestinya spirit ketauhidan terus mengisi setiap langkah kehidupannnya. Sebagai suatu pondasi, spririt ketauhidan berkonsekuensi terhadap nasionalisme. Oleh karena itu nasionalisme sejalan dengan spirit ketauhidan. Hal ini penting, dikarenakan ketauhidan harus selalu menjadi spirit dalam kehidupan seorang Muslim, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Sekalipun dukungan pada Nilai-nilai keislaman itu tetap dalam format yang tidak dapat dipisahkan dari keindonesiaan. Artinya, penghayatan pada Nilainilai keislaman itu tidak dapat lepas dari lingkungan keindonesiaan.78 Spirit Ketauhidan bukan hanya kompatibel bagi nasionalisme tapi juga mendukungnya. Upaya kontekstualisasi spirit Ketauhidan dengan nasionalisme tidak lepas dari pemaknaan kalimat tauhid itu sendiri. La ilaaha illallah,“ tiada Tuhan selain Allah”, merupakan bentuk kepatuhan atau ketaatan yang diimplementasikan dengan kepasrahan hanya kepada Allah, Tuhan semesta alam. Karena ketauhidan itu suatu kepasrahan hanya kepada Tuhan saja, maka kosekuensinya ialah menghargai Nilai-nilai kemanusiaan. Nasionalisme sejati akan terbentuk bila adanya spirit ketauhidan yang berkosekuensi terhadap Nilai-nilai kemanusiaan. Spirit ketauhidan dapat menghantarkan pada pemahaman yang substansial dan inklusif terhadap ajaran Islam. Pemahaman seperti ini akan menghasilkan umat Muslim yang lebih toleran terhadap 78 Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997, h. 89. 54 penganut agama lain. Lebih jauh lagi, dengan spirit ketauhidan ini, Muslim Indonesia, sejatinya tidak akan mempersoalkan keberadaan dirinya dalam negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia akan tetap menjadi seorang Muslim yang taat sekaligus ia akan mampu menjadi warga negara Indonesia yang baik. Ia tidak akan memisahkan jati dirinya sebagai seorang Muslim dalam kontribusinya membangun peradaban Indonesia yang lebih baik kedepannya. Ia adalah seorang umat Islam dan sekaligus sebagai warga negara Indonesia. Belenggu Masa Lalu Secara historis, polarisasi umat Islam di awali dari Perang Shiffin yang terjadi sekitar tahun 657 M yang berlangsung selama tiga bulan. Perang ini terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Gubernur Suriah saat itu, Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Ali dari pihak Bani Hasyim berhadapan dengan Mu’awiyah yang licik dan cerdik dari Bani Umayyah, sebenarnya kedua Bani ini merupakan Bani dalam lingkungan suku Quraisy yang masih bersaudara. Saat pasukan Ali hampir menang, utusannya, Abu Musa Al“Asy’ari, ditipu oleh utusan Mu’awiyah, Amr bin ‘Ash yang cerdik. Pihak Mu’awiyah mengusulkan agar peperangan dihentikan dan berdamai (Tahkim) di Daumatul Jandal, sebuah tempat di Lembah Sirhan yang terletak antar Damaskus dan Madinah. Peluang ini digunakan dengan licik oleh Amr bin ‘Ash untuk mengganti Ali sebagai khalifah, dengan menobatkan Mu’awiyah. Namun kekuasaan penuh Mu’awiyah harus menanti dulu kematian Ali yang ditikam oleh mantan pengikutnya Ali di Masjid Kufah. Kelompok garis keras ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai golongan Khawarij, kelompok yang memisahkan diri dari Ali karena menentang tahkim di Daumatul Jandal.79 Dari tragedi Shiffin inilah kemudian berkembang tiga kelompok besar umat Islam yang tidak pernah berdamai, yaitu: Suni, Syi’ah, dan Khawarij. Syi’ah merupakan kelompok yang fanatik 79 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan..., h. 3-4. 55 terhadap Ali, dan Khawarij ialah kelompok yang memisahkan diri dari Ali. Sedangkan, Suni yang muncul sebagai golongan mayoritas, merasa selalu berada di pihak yang benar dengan menuduh kelompok Syi’ah dan Khawarij sebagai pihak yang salah. Suni, Syi’ah, dan Khawarij adalah buah dari perpecahan politik, mengapa kemudian “diberhalakan?”. Pemberhalaan inilah yang selama ratusan tahun telah menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam, termasuk umat Islam yang tidak ada hubungannya dengan budaya Arab, yang suka berpecah belah itu.80 Sampai saat ini, kotak-kotak dalam umat Islam sudah berusia belasan abad dan belum ada tanda-tanda untuk berdamai. Buya Syafii Maarif, mengungkapkan kecemasannya yang sangat serius atas kondisi ini dengan pertanyaan: “Apakah umat Islam memang telah menyembah sejarah yang selalu memicu perpecahan, bukan menyembah Allah yang dapat mempersatukan hati?.”81 Pertanyaannya, mengapa umat Islam tidak merasa ditipu oleh kotak-kotak yang tidak ada kaitannya dengan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw itu ? Masih menurut Buya, alasannya ialah kesadaran sejarah umat Islam amatlah lemah, termasuk Buya sendiri yang padahal sudah mengalami kajian tingkat tinggi. Saat mengambil program S-3, Pemikiran Islam di Universitas Chicago (1979-1982), Buya juga belum sadar bahwa kotak-kotak itu adalah sumber bencana yang bertanggung jawab bagi hancurnya persaudaraan umat beriman. Dalam perjalanan waktu dengan usia yang semakin menua, Buya sampai pada sebuah kesimpulan: “Jika umat Islam mau menata kehidupan kolektifnya secara benar berdasarkan agama, tidak ada jalan lain, kecuali kotak-kotak pemicu perbelahan itu harus ditinggalkan sama sekali dan selama-lamanya.”82 Selanjutnya bagaimana langkah upaya membumikan Islam dalam kontek Indonesia dewasa ini. Berikut saya coba paparkan analisis terhadap tiga poros kekuasaan yang memiliki peranan 80 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan..., h. 5. 81 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan..., h. 58. 82 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan..., h. 34. 56 yang menentukan. Analsis ini berdasarkan Buku yang ditulis J.B, Banawiratma, dkk pada tahun 2010, berjudul Dialog Antar Umat Beragama; Gagasan dan Praktik di Indonesia. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa medan kehidupan kita bersama terdapat tiga poros kekuasaan yang memainkan peranan menentukan, yakni komunitas, pasar, dan negara. Komunitas menunjuk pada hubungan dan kegiatan spontan dari para warga masyarakat tanpa ciri transaki atau adminitrasi. Kerekatan antar warga menentukan hidup komunitas. Komunitas dapat terbentuk atas dasar sejarah, daerah, suku, ras, agama dan atau bahasa yang sama. Kemudian pasar menunjuk transaksi ekonomi antara penjual dan pembeli yang ada. Untung-rugi dan efisiensi ekonomi merupakan motif yang mendorong bergeraknya pasar. Sedangkan negara secara konkret bertindak-tindak melalui badan-badan publik. Ia berarti tindakmelalui badan-badan publik. Ia bertangggungjawab bagi terwujudnya tatanan kehidupan publik demi kesejahteraan bersama. negara juga mempunyai kuasa untuk mengatur tatanan sosial. Pada setiap poros terdapat pelaku-pelaku utama seperti: Bupati, Gubernur di poros negara: para investor, industrialis, pengusaha di poros pasar: dan para petani di poros komunitas. Meski demikian kita semua ikut bersentuhan dengan tiga poros kekuasaan itu. Kalau kita berbelanja, kita berada dalam poros pasar. Kita memasuki poros negara ketika kita mengurus KTP, kartu keluarga, dan dokumendokumen lain yang menyangkut pribadi kita. Jika kita berada di desa, bersama-sama mengambil inisiatif untuk mengembangkan pertanian organik, atau di kampung untuk membersihkan kampung menjelang peringatan kemerdekaan 17 Agustus, kita masuk dalam poros komunitas. Hubungan ketiga poros bidang dan kekuasaan itu memengaruhi kenyataaan untuk mengamalkan Pancasila. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui peran tiga poros kekuasaan dalam ranah publik, di mana ketiga poros kekuasaan itu memainkan peranan penting. Mengamalkan Pancasila merupakan salah satu ciri ranah publik dari masyarakat yang beradab dan manusiawi. Ranah publik merupakan aset dan barang-barang kolektif, yang terbuka dan dapat diakses oleh rakyat. Rakyat dapat berbagi bersama. Cakupan ranah publik meliputi ruang dan tempat-tempat umum, 57 pelayanan-pelayanan umum seperti kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Ranah publik menyangkut juga berbagai kepentingan kultural, sosial, dan politik-berserta kesejahteraan komunitas. Semua aset dan barang-barang ranah publik merupakan milik umum dan tidak dapat diperjual belikan. Hal yang sentral dalam konsepsi ranah publik adalah Nilai-nilai kewargaan, persamaan, pelayanan dan kepentingan umum, yang dibedakan dari Nilai-nilai yang disebut kepentingan pribadi. Nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan kalau ada kesadaran akan kehidupan bersama, kepekaan untuk berbagi dalam kehidupan, dan kepekaan terhadap hak dan kepentingan bersama atas fasilitasfasilitas umum. Dengan kata lain dituntut adanya penghayatan hidup bersama sebagai “kami”. Paradigma kita dapat dikatagorikan pada paradigma holistik. Dalam paradigma holistik itu keutamaan dasar adalah partisipasi dan rasa berbagi. Oleh karena itu, bagian dari keseluruhan yang paling menderita akan mendapat perhatian khusus. Rakyat miskin dan lemah akan didahulukan. Banyak diskusi mengenai demokrasi menekankan kuasa pada rakyat dan terasa bernada sosial, akan tetapi seringkali tidak memberikan perhatian pada rakyat miskin dan lemah. Akibatnya kaum miskin dan lemah tetap saja terpinggirkan, dan ranah publik menjadi ranah bagi yang berkuasa dan yang kaya. Untuk mencapai ranah publik yang terjangkau kaum miskin, diperlukan komunikasi antar ketiga poros diatas secara terbuka, dengan partisipasi dari kaum miskin dan lemah. “Idealnya bahwa diantara ketiga poros kekuasaan itu terjalin komunikasi terbuka, dan bersama-sama membangun ranah publik yang semakin baik. Dengan demikian, masyarakat demokratis yang ingin diwujudkan. Masalahnya muncul ketika kekuasaan tidak berfungsi semestinya, malahan terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Ketika pengusaha-pengusaha besar bersama dengan publik pemerintah menggunakan topeng agama, agama ikut melalaikan kemaslahatan masyarakat, terutama yang paling miskin. Satu komunitas (dengan atau tanpa atas nama agama) juga bisa bertindak dengan mengunakan kekerasan terhadap komunitas lain dan dengan demikian mengabaikan poros kuasa badan publik. negara seharusnya menjaga kepentingan umum dan tidak membiarkan komunitas melakukan kekerasan tanpa kontrol negara. 58 Semakin agama tenggelam dalam urusan konflik dengan agama lain, semakin hilang pula orientasi agama pada kaum miskin dan lemah. Ketidakadilan yang ditanggung kaum miskin berkaitan erat dengan ketidakadilan gender, ketidakadilan ekologis, dan perendahan martabat serta hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, solidaritas agama-agama terhadap kaum miskin dan terlantar harus sekaligus memperhatikan perspektif perempuan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa “The monst critical relious problem is intra Islamic reliqion”. Sehubungan dengan masalah itu HAM merupakan tuntutan asasi yang harus diperhatikan oleh negara. Penutup Sebelum saya membaca buku Buya yang judul Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, saya pernah berkesempatan di ruang kuliah bersama Prof Dr. Afif Muhammad MA. Saat itu, Pak Afif menyampaikan yang senanda dengan Buya, untuk membangun peradaban masa depan yang lebih baik, kita (umat Islam) mesti keluar dari sekat-sekat yang memisahkan kita. Beberapa karya Pak Afif fokus dengan masalah kotak-kotak dalam Islam ini, seperti bukunya yang berjudul Islam “Mazhab” Masa Depan: Menuju Islam NonSektarian, diterbitkan oleh Pustaka Hidayah tahun 1998. umat Islam terus saja terpecah dalam berbagai hal, parahnya setiap perbedaan telah melahirkan sikap eklusif umat Islam. Islam terkotak-kotak, umat Islam jauh dari subtansi ajaran agamanya, jauh dari pesan Al-Qur’an dan kenabian. Ada jurang yang sangat lebar memisahkan umat Islam dengan ajaran Islam. Saya sendiri menyakini Islam merupakan agama yang benar, namun pada batas intervensi terhadap Islam, selalu saja tersadarkan, apakah sudah benar beIslamnya saya ini?. Kita sering kehilangan arah dalam kehidupan, petunjuknya ialah Al-Qur’an dan pesan kenabian. Namun kita sering kehilangan jejak subtansi ajaran Islam tersebut, dikarenakan kotak-kotak yang telah membelenggu kita sampai saat ini. Pilihannya hanya satu, kita mesti keluar dari kotak-kotak yang ada. Kita berkumpul di suatu halaman 59 yang luas, bersatu padu, bersama-sama melawan musuh bersama. Menentukan musuh bersama memerlukan suatu kriteria. Musuh bersama pertama-tama adalah yang menyebabkan rakyat miskin dan menderita, dan paling utama ialah ketidakadilan. Tentu saja yang menjadi musuh bersama bukan hanya pada ketidakadilan, namun juga yang menjadi musuh bersama ialah siapa yang menggerakan ketidakadilan tersebut. Hal utama dalam mengamalkan ajaran Islam ialah “keluar” dari kotak-kotak yang selama ini memecah belah umat Islam. Keluar kotak-kotak bukan bearti keluar dari organisasi atau perkumpulan atau mahzab yang ada saat ini, namun keluar di sini dimaknai bahwa tidak fanatik terhadap kotak-kotak yang ada. Nyatanya sekarang kotakkotak itu menyebabkan umat Islam saling berhadap-hadapan satu sama lain, ini sebabnya ialah fanatisme. Karena itu, keluar dari kotakkotak ialah tidak fanatisme. Ketika umat Islam telah mampu bersikap tidak fanatik, saat itulah umat Islam mampu memahami subtansi ajaran Islam dan mengamalkannya secara benar. Sehingga Islam terbumikan, di sini dan saat ini. 60 Daftar Pustaka Asry, M. Yusuf, “Merajut Kerjasama Antar Umat Beragama di Indonesi” dalam kata pengantar Jurnal Harmoni Multikultural dan Multireligius. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Vol VIII No.30 April-Juni 2009. J.B, Ginaya, Banawiratma, dkk. Dialog Antarumat Beragama; Gagasan dan Praktik di Indonesia. Jakarta: Mizan Publika, 2010. Burhani, Ahmad Najib, dkk. Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015. Departemen Agama RI, Penelitian Agama dan Kemasyarakatan;Konflik dan Kebijakan Kerukunan. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008. Harahap, Syahrin, Teologi Kerukunan. Jakarta: Predana Media Group, 2011. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderena. Jakarta: Paramadina, 1992. Madjid, Nurcholish, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997. Maarif, Ahmad Syafii, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2018. Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2015. Sardy, Martin, Agama Multidimensional; Kerukunan Hidup Beragama dan Integritas Nasional. Bandung: Penerbit 61 Alumni. Suryanegara, Ahmad Mansur, Benarkah Reformasi Melahirkan Perang Agama. Jakarta: Al-Ishlahy Press, 1999. Tarigan, Azhari Akmal, Jalan Ketiga Pemikiran HMI; Menembus Batas Antara Fundamentalisme dan Liberalisme. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008. 62 NILAI-NILAI AL-QUR’AN DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL: MEMBACA ULANG TAWARAN “MEMBUMIKAN Al-QUR’AN” AHMAD SYAFII MAARIF Hamka Husein Hasibuan Pendahuluan Al-Qur’an sejak dini, sudah menyatakan dirinya sebagai pentunjuk (hudan).83 Fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk tentu mendapat tantangan ketika perbedaan realitas yang dihadapi oleh Al-Qur’an sudah berbeda. Ahmad Syafii Maarif (1995), selaku cendekiawan ternama Indonesia, pernah melontarkan ide tentang membumikan Al-Qur’an di penghujung abad ke dua puluh. Pembumian ini perlu dilakukan, karena kultur, tradisi, dan budaya Indonesia berbeda jauh dengan budaya Arab, tempat Al-Qur’an diturunkan. Ide ini tentunya sangat cemerlang, mengingat Al-Qur’an adalah kitab wahyu Tuhan bersifat Ilahiyah yang diturunkan kepada manusia sebagai hudan (petunjuk). Proposisi ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki dua karakteristik sekaligus: “melangit” dan “membumi.” Disebut “melangit” karena memang ia berasal dari sesuatu yang transendental, Ilahiyah, dan bersumber dari kalam Tuhan, Sang Maha Gaib. Tetapi disebut juga “membumi” karena fungsi dan tujuannya sebagai pedoman, petunjuk, dan aturan hidup manusia, dalam dinamika kehidupan mereka di muka bumi. Dalam konteks ini, 83 Lihat QS Al-Baqarah (2): 02. 63 bagaimana agar wahyu, yang sifatnya Ilahiyah itu, bisa menjawab dan memberikan sumbangsih terhadap tantangan dan perkembangan realitas kehiduapan manusia yang terus bergerak cepat, maka proyek membumikan Al-Qur’an, menjadi sesuatu yang urgent, tidak bisa tidak, ketika berbicara tentang Al-Qur’an. Proyek membumikan Al-Qur’an pada periode awal tentunya dinahkodai oleh Nabi Muhammad sendiri, sebagai pesuruh Tuhan. Pada masa itu, Nabilah yang berfungsi untuk memediasi dan membumikan teks wahyu yang bersifat Ilahiyah itu, dengan realitas hidup sesuai dengan kebutuhan manusia ketika itu.84 Setiap zaman, tempat, situasi, dan budaya mempunyai cara dan metodenya sendirisendiri dalam hal membumikan Al-Qur’an ini. Proses pembumian AlQur’an pada abad ketujuh masehi yang dihadapi oleh Nabi umpanya, berbeda dengan proses pembumian pada abad pertengahan, atau abad modern, dan sangat jauh berbeda dengan era kontemporer, khususnya apa yang disebut sekarang dengan era milenial. Ahmad Syafii Maarif dan Membumikan al-Qur’an Pertanyaan besar bagaimana mendialogkan Islam dengan keindonesian mempunyai tanggapan dari para cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia. Setiap mereka mempunyai tawaran dan gagasan masing-masing. Jika Hasbie Ashiddiquey menawarkan gagasan Fiqih Indonesia, Nurcholish Madjid (Cak Nur) mempunyai ide sekularisasi, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memiliki ide ribumisasi Islam, Farid F. Ma’sudi mengusulkan Zakat itu Pajak, Munawir Sjadzali mengajukan Islam Kontekstual, maka Ahmad Syafii Maarif mempunyai gagasan Membumikan Al-Qur’an.85 Gagasan Membumikan Al-Qur’an dalam tahap selajutnya –sekalipun hanya sepintas –dilontarkan oleh Ahmad 84 Wahbah Az-Zuhailīy, Al-Wajīz fi Usūl al-Fiqh (Damaskus: Dār al-Fikr, 1999), h 43 85 Usulan ini pernah dimuat dalam majalah Panji Masyarakat dengan judul: “Membumikan Al-Qur an: Menghilangkan Unsur-unsur Subyektifit Nurani,” nomor 562, 1-10 Januari 1988, halaman 29. Artikel ini merupakan hasil wawancara dengan Ahmad Syafii Maarif. 64 Syafii Maarif dalam bukunya Membumikan Islam.86 Sekalipun dalam perjalanannya, gagasan ini lebih dipopulerkan dan lebih dikenal oleh khalayak luas dari buku Membumikan Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab.87 Maksud membumikan Al-Qur’an berkaitan langsung dengan upaya memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an sesuai dengan konteks zamannya. Dengan kata lain, Islam yang disebut dengan shalihun likulli zaman wa makan agar mendapat momentumnya. Pembumian ini perlu, karena perubahan realitas pertama kali Al-Qur’an diturunkan dengan realitas yang dihadapi oleh manusia kontemporer sekarang ini berbeda. Perbedaan realitas, baik itu budaya, ekonomi, politik, dan sosial, tentu berimplikasi dengan perbedaan cara memahami, mensosialisasikan, dan mengapliksikan ajaran Al-Qur’an. Selain itu, setidaknya ada satu alasan utama menurut Ahmad Syafii Maarif, mengapa membumikan Al-Qur’an itu penting, yaitu Al-Qur’an itu di samping memuat doktrin-doktrin yang bersifat metafisik, yang sifatnya melangit, akidah, doktrin, juga mengandung Nilai-nilai praktis yang bisa dijadikan sebagai pedoman bagi manusia dalam memecahkankan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu politik, kebudayaan, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.88 Klasifikasi metafisik dan praktis ala Ahmad Syafii Maarif ini hampir mirip dengan klasifikasi yang dibuat oleh Maulana Muhammad Ali, sekalipun dengan sedikit penekanan yang berbeda. Menurut Muhammad Ali, secara garis besar Al-Qur’an itu berisi dua prinsip utama, yakni prinsip utama yang bersifat teoritis, dan prinsip umum yang bersifat praktis.89 Prinsip umum yang bersifat teoritis berupa: 86 Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). 87 Lihat buku M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2010) 88 Ahmad, Syafii Maarif, Membumikan Al-Qur an: Menghilangkan Unsur-unsur Subyektifit Nurani.. halm. 29. 89 Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam: A Comprehensive Discussion of The Sources, Principles and Practices of Islam, (Lahore: The Ah- 65 keimanan kepada Tuhan, malaikat, adanya makhluk gaib serta kitabkitab yang diturunkan. Sementara prinsip umum yang bersifat praktis terwujud dalam salat, puasa, zakat dan sumbangan keagamaan (infak, candah, sedekah, dan wakaf). Dalam hal-hal yang bersifat praktis, Nabi Muhammad berfungsi sebagai penjelas, penafsir, sekaligus penguat terhadap teks Al-Qur’an,90 sesuai situasi dan kondisi kebutuhan manusia ketika itu. Dengan demikian, peran Nabi saat itu adalah menjadi mediator – dalam konteks membumikan –antara teks Al-Qur’an dengan realitas yang hidup. Sekalipun menurut penyelidikan Abdullah Saeed, interpretasi Nabi terhadap teks Al-Qur’an lebih banyak bersifat praktis daripada bersifa teks planatoris. Maksud interpretasi bersifat praktis adalah Nabi mengamalkan dan mengaplikasikan ajaranjaran dalam Al-Qur’an secara langsung dalam kehidupan sehari-hari (fi’liyah). Sementara interpretasi eksplanatoris Nabi menjelaskan secara verbal (qauliyah).91 Pasca wafatnya Nabi, tentunya peran proses membumikan dan mensosialisasikan Al-Qur’an seperti ini tidak boleh berhenti, hanya karena pertimbangan wahyu telah terhenti turun dan Nabi telah tiada. Sebaliknya, peran membumikan ini sepeninggal Nabi, diserahkan kepada kepada penerus beliau, yaitu para sahabat, tabi’in serta para pakar yang kompoten di bidangnya sampai saat ini.92 Logika membumikan Al-Qur’an ini, jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya tidak lepas dari dimensi tajdid (pembaruan) –salah satu tujuan utama Ahmad Syafii Maarif sebagai tokoh Muhammadiyah. Proyek tajdid ini mengupayakan agar Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam tidak hanya dijadikan ritual saja: dibaca, ditilawah, madiyya Anjuma Isha’at Islam, 1990), h 341 90 Wahbah az-Zuhailīy, Al-Wajīz fi Usūl al-Fiqh, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1999), h 38 dan Abdul Wahāb Khāllaf, ‘Ilmu Usūl al-Fiqh, (Indonesia: Haramain, 2004), h 39-40 91 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Toward a Contemprorary Approach (London & New York: Routledge, 2006) 92 Abu Yasid, Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syariat (Jakarta: Erlangga, 2007), h 3 66 dihafal, dan diperlombakan. Melainkan bisa memberikan dampak praksis dan positif dalam kehidupan manusia. Dengan ungkapan lain menerjemahkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dalam kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Adanya upaya penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan konteks zaman, menggambarkan betapa pentingnya rekonstruksi dan pembaruan dalam ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an. Memperlakukan Al-Qur’an: Tekstualis, Semi-tekstualis, dan Kontekstualis Membumikan Al-Qur’an ala Ahmad Syafii Maarif ini setidaknya mengandung dua dimensi yang saling terkait. Pertama, dimensi kontekstual, dalam arti kandungan ajaran Al-Qur’an bisa diterjemahkan, diaplikasikan, dibumikan dan disosialisasikan sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat. Kedua, berkaitan dengan dimensi metode dalam penerapan kontekstualisai isi dan kandungan Al-Qur’an itu sendiri. Kedua dimensi ini – kontekstualisasi dan metode kontekstualisasi –bagaikan dua sisi koin mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Tawaran membumikan Al-Qur’an dengan asumsi isi Al-Qur’an bisa dikontekstualisasikan, mengandung pertanyaan besar: Bagaimana cara yang tepat untuk merealisasikan proyek ini? Atau dengan kata lain apa metode yang sistematis untuk menjembatani antara isi Al-Qur’an dengan realitas manusia? Bila kedua pertanyaan diajukan, ternyata Syaafi’i Maarif belum memberikan jawaban yang runut. Sekalipun demikian, sebagai sebuah tawaran pemikiran, ide ini memang cemerlang. Menjawab pertanyaan, bagaimana metode yang digunakan untuk membumikan Al-Qur’an? Maka tawaran Abdullah Saeed –pemikir asal Pakistan yang sekarang bermukim di Australia – mengenai interpretasi terhadap Al-Qur’an bisa dijadikan sebagai jawaban. Saeed ketika berbicara mengenai penafsiran teks AlQur’an membagi kecenderungan para penafsir itu kepada tiga 67 kecenderungan: tekstualis, semi-tekstualis, dan kontekstulais.93 Ada dua tolak ukur yang dijadikan oleh Saeed sebagai standar, yaitu linguistik dan sosial-historis. Bagi kalangan yang hanya menekankan aspek linguistik dari teks Al-Qur’an dan mengabaikan sosio-historis dari teks itu sendiri disebut golongan tekstualis. Jika menekankan kedua aspek ini, bahkan dalam kondisi tertentu lebih memperhatikan aspek sosio-historis dari teks Al-Qur’an, baik ketika teks itu diturunkan pada empat belas abad yang lalu, maupun di era kontemporer, disebut sebagai kalangan kontekstualis. Sementara kalangan semi-tektualis sebenarnya lebih condong kepada tekstualis, lebih menekankan aspek teks tetapi dengan mengunakan adagium dan bahasa-bahasa modern.94 Kategori ini bila ditelusuri lebih lanjut, sejatinya timbul dari tiga lapis dalam kajian Islam. Level yang dimaksud adalah teks, penafsiran, dan praktik. Lapis pertama adalah sumber asasi, yakni teks Al-Qur’an, yang dari sana, ajaran-ajaranya mau diaplikasikan kepada realitas manusia. Lapis kedua, sebagai hasil dari para pemikir untuk mengaplikasikan ajaran dari tesk ini, yang sifatnya tidak absolut. Sedangkan lapis ketiga, adalah realitas manusia yang terus berubah. Ketiga lapis ini saling kait-mengait satu sama lain, bersifat –meminjam bahasa M. Amin Abdullah –saling berintegrasi dan berinterkoneksi. Dengan demikian, berbicara tentang Islam tidak lepas dari ketiga komponen ini: Teks, penafsiran, dan praktik. Menyebut Islam tidak bisa hanya merujuk kepada teks saja, dalam hal ini Al-Qur’an dan Sunnah, atau hanya sekadar menunjuk kumpulan interpretasi para pemikir Muslim terhadap teks, seperti fikih, tafsir, ilmu kalam, dan seterusnya, melainkan juga harus mengikutsertakan praktik dan tanggapan masyarakat dalam memahami teks dan interpretasinya. Selain ini budaya, adat istiadat, serta sosial-ekonomi-politik masyarakat ketika mempraktekkan ajaran agama itu adalah bagian 93 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran, Towards a Contemporary Approach (London dan New York: Routledge, 2006), hlm. 03. 94 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran... h 3-4. 68 dari Islam. Alasan inilah kemudian yang membuat Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan, bahwa bagi pengkaji Islamic studies harus menyadari sejak dini dan tahu posisinya dalam ketiga level ini: teks, penafsiran dan praktik.95 Bila ketiga level atau komponen ini disederhanakan lagi, maka Islam selain mempunyai sisi normatif (teks dan penafsiran terhadap teks), ia juga mempunyai sisi historis (praktik dan dinamika masyarakat Muslim). Kedua sisi ini ibarat dua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan. Mengabaikan salah satu dari kedua sisi ini akan mengakibatkan kajian terhadap Islam menjadi pincang. Teks sebagai level pertama merupakan unsur pertama dan utama dalam Islam. Dengan adanya teks, berupa Al-Qur’an dan sunnah, maka semua doktrin dan ajaran Islam diderivasi dan mendapat legitimasi dari teks wahyu. Hampir semua pokok ajaran dari semua praktik umat Muslim tidak lepas dari adanya sokongan nash, yang dalam istilah teknisnya disebut dengan dalil. Melihat realitas ini, Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa, hadarah al-Islam hiya hadarah al-nahs, peradaban Islam adalah peradaban teks.96 Keberadaan teks yang sudah final di satu sisi, dan dinamika kehidupan manusia yang berjalan terus di sisi yang lain, membuat 95 Khairuddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Ac Ademia, 2007 96 Nasr Ḥamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Bairūt: Al-Markaj as-Saqāfi al-‘Arabī, 2000), cet. ke-5, h 9. 69 para pemikir dan ulama untuk menafsirkan teks agar sesuai dengan realitas yang dihadapi, juga agar masyarakat Muslim tidak ketinggalan zaman. Interpretasi para pakar ini kemudian selama beberapa abad menjadi disiplin ilmu yang mapan. Kemapanan disiplin seperti fikih, tafsir, kalam, dan sejenisnya membuat sebagian pihak memperlakukan itu sama dengan teks wahyu. Dengan kondisi seperti ini maka wajar ketika Muhammad Arkoun –pemikir asal Al-Jazair ini –menyatakan bahwa telah terjadi penyaklaran bahkan dalam tingkat tertentu pengkultusan hasil produk penafsiran para ulama tersebut. Padahal sejatinya hasil penafsiran itu adalah produk pemikiran, yang sifatnya relatif, tentatif, bahkan lokal. Ini bisa dilihat dari berbagai perbedaan pendapat dari berbagai ulama, disebabkan oleh nilai, pengalaman, setting sosio-historis dari para ulama itu berbeda. Keragaman penafsiran merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan boleh disebut suatu yang fitrah. Meminjam bahasa Abdulkarim Soroush, Islam tidak lain adalah serangkaian interpretasi, Islam is nothing but a series of interpretation of Islam.97 Layaknya sebuah laut, di dalamnya terdapat berbagai macam jenis, bentuk, warna, dan spesies yang hidup. Hal yang sama juga ketika Islam itu dianggap sebagai lautan interpretasi, maka di dalamnya banyak keragaman, dan perbedaan pendapat. Keragaman itu juga timbul dari keragaman budaya yang dimasuki Islam. Islam ketika di Mekkah pertama kali masih memiliki corak budaya yang sederhana, akan tetapi pasca banyak penaklukan, serta beragamnya latar belakang manusia yang masuk ke dalam Islam, ikut mewarnai wajah Islam itu sendiri. Dalam hal ini terjadi dialektika dan dialog, Islam memengaruhi masyarakat di satu sisi, budaya masyarakat juga memengaruhi wajah ajaran agama di sisi yang lain. Agama, selain ia kumpulan doktrin, ia juga adalah fenomena sosial. Titik penting ditekankan, selain untuk melihat agama sebagai yang dinamis, juga untuk tujuan bahwa agama adalah 97 Abdulkarim Soraus, The Changeable and the Unchangeable, dalam New Directions in Islamic Thought, ed. Kari Vogt dkk (London-New York: I.B Tauris, 2009), h 14. 70 sesuatu yang sangat kompleks. Agama bukanlah seperti robot yang bisa digambarkan, dijelaskan, dan diberlakukan layaknya rumusrumus, ia sesuatu yang sangat kompleks, perlu pendekatan yang beragam dan multidisipliner. Kekompleksan agama (baca: Islam) bukan berarti ia tidak bisa dikaji. Jika level pertama dan kedua melahirkan berbagai disiplin ilmu seperti fikih, tafsir, ilmu kalam, sastra, dan seterusnya, maka level kedua kajian-kajian sosiologis dan antropologis –bahkan sekarang muncul living Quran atau Living Islam98 –untuk memahami level ketiga. Ketiga level ini harus mendapat perhatian yang sama, tidak bisa menganakemaskan yang satu, sementara yang lain ditinggal. Meminjam gagasan Amin Abdullah, ketiga level ini perlu adanya integrasi dan interkoneksi.99 Pertimbangan ketiga kecenderungan di atas, yakni tekstualis, semi-tektualis, dan kontekstualis, maka dapat disimpulkan, bahwa dalam konteks membumikan Al-Qur’an, pendekatan yang tepat digunakan adalah pendekatan kontekstualis. Pendekatan dianggap sebagai yang paling tepat, dengan alasan, dalam proses interpretasi, sosio-historis, baik itu aspek ekonomi, politik, kebudayaan, linguistik, sosial, semua unsur yang terkait dengan teks dan konteks, selalu dipertimbankan. Contextual Approach sebagai Kata Kunci Membumikan alQur’an Membumikan Al-Qur’an dalam realitas perkembangan dunia yang terus menerus merupakan salah satu tantangan yang dihadapi 98 Zuhri menyebut bahwa living Islam adalah memahami tradisi-tradisi keagamaan yang hidup dalam masyarakat Muslim, yang bukan hanya sekadar apa yang tampak, melainkan juga menjadi dasar pijakan dari tradisi tersebut yang sudah dibangun sejak lama. Lihat Zuhri, Living Islam: Apa dan Mau Kemana? (Yogyakarta: Makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan), h 2. 99 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h 45 71 oleh umat Islam. Seringkali dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam masih lemah dalam penghayatan relevansi Al-Qur’an. Hal ini disebabkan masih adanya kekhawatiran sebagian kalangan –dalam proses pembumian itu –menabrak otoritas pendapat “tradisional” yang dianggap paling otoritatif. Kekhawatiran Ahmad Syafii Maarif juga diamini oleh Abdullah Saeed. Menurut Saeed, mengekor kepada pendapat otoritas tradisional yang tekstualis, justru tidak akan menjawab kebutuhan-kebutuhan umat Islam dewasa ini.100 Dengan latar belakang ini, kemudian Saeed, menawarkan fresh perspective, yang ia sebut dengan pendekatan kontekstual (contextual approach).101 Di tangan Saeed, tawaran membumikan Al-Qur’an Syafii Maarif mendapat justifikasi metodologi ilmiahnya. Pengertian pendekatan kontekstual di sini adalah dalam prosesi terpretasi perlu penekanan pada aspek dari kandungan legal-etis Al-Qur’an. Dengan kata lain, pertimbangan konteks politik, sosial, budaya, dan ekonomi ketika Al-Qur’an ditafsirkan dan diaplikasikan merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan. Pertimbangan terhadap aspek tersebut akan melahirkan produk-produk penafsiran yang universal dan pro-kemanuasian. Dengan Nilai-nilai universal dan kemanusian ini, maka proyek membumikan Al-Qur’an mendapat aktualisasinya. Menurut Saeed, model pendekatan kontektual ini, dengan sendirinya bisa membuat manusia sebagai pembaca dan pengamal AlQur’an dapat berintraksi dengan Al-Qur’an secara interaktif. Makna interaktif di sini adalah manusia dalam mengaplikasikan makna Al-Qur’an berpartisipasi secara aktif –karena mempertimbangkan konteks sosio-hitoris dari teks wahyu itu sendiri. Ini berbeda dengan sikap yang tidak mempertimbangakan sosio-historis, yang akibatnya manusia sebagai audience justru bersifat pasif. Dengan sikap aktif yang dimiliki oleh manusia sebagai pembaca Al-Qur’an, maka akan terjadi proses pembumian Al-Qur’an secara terus-menerus sesuai dengan konteks budaya, adat, politik, dan ekonomi dari setiap 100 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran, h. 1 101 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran, h. 1 72 wilayah. Dalam konteks ini, apa yang disebut dengan interpretasi secara berkesinambungan (A continuous process) akan mendapat momentumnya.102 Elaborasi Saeed tentang contextual approach ini mendapat bukti konkret secara inheren dari semangat Al-Qur’an itu sendiri, dalam tahap selanjutnya dijadikan Saeed sebagai kerangka berpikir dari pendekatannya. Dalam hal ini ada bebarapa poin penting yang dijadikan oleh Saeed sebagai basis gagasannya tentang pendekatan kontekstual ini. Pertama, adanya fenomena cara membaca Al-Qur’an yang bervariasi (seven ahruf) dan konsep nasakh menunjukkan bahwa Al-Qur’an sangat fleksibel.103 Variasi qiraah dan konsep nasakh (abrogasi) merupakan tema pokok dalam kajian Al-Qur’an. Kedua fenomena ini mempunyai satu titik persamaan, bahwa ternyata dalam sejarahnya Al-Qur’an itu sangat fleksibel. Letak fleksibilitas AlQur’an bukannya hanya pada bunyi, nada, dan iramanya, melainkan juga dalam redaksinya, yang dalam sejarah Muslim awal merupakan sesuatu yang lumrah. Semangat fleksibilitas ini, tentunya seharusnya juga harus diterapkan pada saat proses interpretasi Al-Qur’an, bukan hanya pada waktu Al-Qur’an diturunkan. Fleksibilitas ini dengan sendirinya akan melahirkan bahwa makna itu tidaklah final. Finalitas makna dalam konteks membumikan dan menafsirakan Al-Qur’an adalah sesuatu yang mustahil. Perubahan budaya dan setting sosio-historis akan dengan sendirinya memengaruhi makna. Jika makna relatif, maka proses membumikan Al-Qur’an sebagaimana yang diinginkan oleh Ahmad Syafii Maarif akan lebih mudah dilaksanakan. Kedua, mengakui bahwa Al-Qur’an mempunyai kompleksitas makna. Relativitas makna dengan sendirinya akan melahirkan kompleksitas makna. Selain pertimbangan sosial-budaya dari konteks Al-Qur’an dan konteks kekinian, ternyata dalam Al-Qur’an sendiri banyak kata yang harus dibedakan sekalipun bentuknya 102 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, h. 149. 103 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, h. 67-89 73 sama. Begitu juga, harus diperhatikan mengenai adanya perubahan meaning dari kata dalam Al-Qur’an.104 Ketiga, menjadikan konteks sosio-historis sebagai pertimbangan dalam proses penafsiran. Pertimbangan ini perlu untuk melihat relevansi makna Al-Qur’an dengan kehidupan kontemporer. Dalam proses ini, menurut Saeed (2006: 116) perlu diperhatikan antara makna historis dan makna kontemporer. Makna historis adalah makna teks ketika Al-Qur’an diturunkan pada masa Nabi dan para sahabat memahaminya, sementara makna kontemporer adalah makna Al-Qur’an bagi kehidupan umat manusia sekarang. Banyak ayat Al-Qur’an menurut Saeed, khususnya ayat-ayat yang berkaitan dengan ethico-legal, sulit dipahami dengan baik, tanpa mempertimbangkan dan memperhatikan konteks sosio-historis masa pewahyuan. Konteks sosio-historis –baik itu asbab nuzul makro maupun mikro –bertujuan untuk membuat dan menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dan relevan untuk kehidupan Muslim kontemporer. Dalam kondisi inilah, interpretasi yang terus-menerus harus dilaksanakan, dengan alasan perubahan sosio-historis tentu berdampak pada perubahan cara memaknai dan mengaplikasikan ajaran dan nilai yang ada dalam Al-Qur’an. Proses membumikan Al-Qur’an, dengan demikin harus mempertimbangakan dua konteks sekaligus. Pertama, konteks ketika Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada generasi awal. Dalam hal ini, untuk melacak sosio-historis dan konteks itu perlu pengetahuan tentang ihwal kehidupan Nabi secara baik, baik itu ketika di Mekkah maupun di Madinah. Pengetahuan itu meliputi iklim sosial, politik, budaya, adat istiadat, ekonomi, dan intelektual, institusi dan nilai yang berlaku.105 Kedua, konteks kekinian, artinya situasi dan kondisi saat Al-Qur’an itu saat ini. Bila konteks pertama membutuhkan tentang ilmu kesejarahan, maka dalam konteks kedua 104 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, h. 104-105 105 Lien Iffah Naf’atu Fina, “Interpretasi Kontekstual; Sebuah Penyempurnaan terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman, dalam Hermeneutik (Volume. 9, No. 1, Juni 2015), h 75. 74 perlu mempertimbangkan perkembagan ilmu pengetahuan dan dinamika masyarakat. Keempat, merumuskan hierarki nilai ethico-legal dari teks AlQur’an. Rumusan hirarki nilai yang dibuat oleh Saeed ini tidak lepas dari dua inspirasi, yakni metodologi maqasid syariah dan interpretasi berbasisis nilai dari Fazlur Rahman. Dengan menggabungkan kedua inspirasi ini, Saeed telah berhasil merumuskan hierarki Nilai-nilai yang digunakan sebagai pedoman bagi penafsiran kontekstual terhadap ayat-ayat. Hierarki itu adalah: 1. Obligatory values, yakni nilai yang tidak terikat oleh waktu tertentu; nilai ini merupakan nilai esensial dari Al-Qur’an, baik itu terkait aspek kepercayaan (belief), praktik religius (religious practice), maupun soal halal haram; 2. Fundamental values: nilai yang berkaitan dengan hak asasi manusia (human right), seperti hak perlindungan hidup, properti, dan lain-lain; 3. Protectional values: nilai etis yang mendukung fundamental values, seperti hak proteksi; 4. Implementational values: aturan spesifik yang dipergunakan dalam implementasi protectional values; dan instructional values: nilai etis yang ada dalam Al-Qur’an yang dihubungkan dengan Al-Qur’an dalam menjawab permasalahan ketika AlQur’an diwahyukan. Dengan mempertimbangkan hierakisitas nilai yang disusun oleh Abdullah Saeed ini, maka proses membumikan Al-Qur’an mendapat landasan metodologisnya. Penutup Tawaran Syafii Maarif agar Al-Qur’an itu perlu dibumikan mendapat momentumnya di tanganAbdullah Saeed. Kerangka berpikir dan model penafsiran yang dibuat oleh Saeed ini tentunya sangat 75 berguna untuk menjawab tantangan dan dinamika perkembangan zaman. Sehingga Islam yang sering disebut sebagai shalihun likulli zaman wa makan tidak hanya slogan saja. Dengan menjadikan nilai etis sebagai titik berangkat –sebagaimana ditawarkan Saeed –maka proyek membumikan Al-Qur’an akan sedikit mendapat tantangan. Karena model pendekatan seperti ini akan melahirkan produkproduk nilai universal: Keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia, toleransi, kemanusiaan, dan seterusnya. Dengan pendekatan kontekstual ini, maka penafsiran AlQur’an yang tidak mempertimbangkan konteksnya –baik konteks Al-Qur’an diturunkan maupun konteks sekarang –akan sendirinya tertolak. Di tengan era sekarang ini, di mana Al-Qur’an seolah-olah barang langit, dan hanya dipanggil ketika musim pemilu, proyek membumikan Al-Qur’an perlu direspons dan didekati dengan berbagai pendekatan. Dengan demikian, reaktualisasi membumikan Al-Qur’an harus menjadi prioritas, khususnya dalam konteks Indonesia. 76 Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) Abu Zayd, Nasr Ḥamid, Mafhūm al-Naṣ Dirāsah fī ‘Ulūm alQur’ān (Bairūt: Al-Markaj as-Saqāfi al-‘Arabī, 2000) Ali, Maulana Muhammad, The Religion of Islam: A Comprehensive Discussion of The Sources, Principles and Practices of Islam (Lahore: The Ahmadiyya Anjuma Isha’at Islam, 1990) Az-Zuhailīy, Wahbah, Al-Wajīz fi Usūl al-Fiqh (Damaskus: Dār alFikr, 1999) Fina, Lien Iffah Naf’atu, “Interpretasi Kontekstual; Sebuah Penyempurnaan terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman, dalam Hermeneutik (Volume. 9, No. 1, Juni 2015) Khāllaf, Abdul Wahāb,‘Ilmu Usūl al-Fiqh, (Indonesia: Haramain, 2004) Maarif, Ahmad Syafii, “Membumikan Al-Qur an: Menghilangkan Unsur-unsur Subyektifit Nurani,” dalam Panji Masyarakat, Nomor 562, 1-10 Januari 1988, h 29. Maarif, Ahmad Syafi’i, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) Nasution, Khairuddin, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Ac Ademia, 2007) Saeed, Abdullah, Interpreting the Quran, Towards a Contemporary Approach (London dan New York: Routledge, 2006) Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2010 ) Soraus, Abdulkarim, The Changeable and the Unchangeable, dalam New Directions in Islamic Thought, ed. Kari Vogt dkk (London-New York: I.B Tauris, 2009) 77 Yasid, Abu Nalar dan Wahyu; Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syariat (Jakarta: Erlangga, 2007) Zuhri; Living Islam: Apa dan Mau Kemana? (Yogyakarta: Makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan) 78 MENANGKAL HATE SPEECH DAN MERAWAT KEBERAGAMAN INDONESIA ALA AHMAD SYAFII MAARIF Indah Fajar Rosalina Pendahuluan Indonesia belakangan ini dihadapkan dengan tantangan gerakan radikalisme, intoleransi dan terorisme. Kelompok tersebut menurut Ahmad Syafii Maarif adalah kelompok dengan pengetahuan yang sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang beragam dan tidak sederhana. Apalagi gerakan-gerakan semacam ini berpotensi untuk memecah belah bangsa Indonesia dengan kebhinekaannya dengan beragam cara, salah satunya dengan penyebaran ujaran kebencian (hate speech) di era post truth. Fenomena hate speech semacam ini yang menciptakan keresahan di masyarakat, dan bermuara pada krisis perpecahan bangsa Indonesia. Apalagi Buya, begitu pria ini akrab disapa, pernah menjadi korban dari hate speech dari netizen. Beragam ujaran kebencian seolah ‘kenyang’ diterima bagi sosok yang memiliki spiritualitas yang kuat namun tetap netral dan berpihak pada Nilai-nilai kemanusian. Misalnya pada saat Buya sempat dituduh menerima amplop dari pihak Gereja di Sleman setelah penyerangan pada Februari 2018 lalu.106 Beruntung kasus ini segera 106 DetikNews, Polisi Tangkap Pelaku Ujaran Kebencian Jokowi dan Buya 79 ditangani oleh kepolisian setempat. Kasus ujaran kebencian yang saat ini marak tentu menciderai penghormatan terhadap kemajemukan dan keberagaman yang menjadi nilai pokok bangsa Indonesia. Ujaran kebencian membuka peluang bagi berkembangnya praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok agama, ras, dan etnis minoritas, bahkan jika tanpa kendali, hal ini dapat mendorong pada tindak kekerasan terhadap kelompok tertentu, terutama kelompok minoritas. Pesan-pesan hate speech ini dengan mudahnya dapat kita lihat dalam media sosial, Program Koordinator ICT Watch Eddy Prayitno mengatakan, selain konten pornografi dan perjudian, internet menjadi wadah baru dalam berkembangnya industi kebencian. Bahkan penelitiannya, dari September hingga Oktober 2016 tercatat ada 28 ribu cuitan yang berkaitan dengan kata ‘sesat’ dalam Twitter. Bahkan pada saat menjelang aksi bela Islam 411, ada 19 ribu kata kafir ditemukan pada Twitter, dan itu baru dari Twitter saja.107 Permasalahan yang terjadi adalah, masyarakat begitu bebas berpendapat di media sosial sehingga perkembangan hate speech begitu marak terjadi. Padahal seharusnya media sosial berfungsi sebagai sarana informasi yang benar, mendidik, dan menghibur masyarakat, serta menjadi kontrol sosial negara. Meskipun upaya penangkalan hate speech ini sudah dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menerbitkan Surat Edaran No 6/X/2015 tentang ujaran kebencian yang menyangkut pokok-pokok ujaran kebencian yang merendahkan harkat dan martabat manusia, prinsip berbangsa dan berbhineka Tunggal Ika atau melindungi keberagaman kelompok, serta ujaran kebencian terkait penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, terhadap Syafii, lihat https://news.detik.com/berita/3868732/polisi-tangkap-pelakuujaran-kebencian-ke-jokowi-dan-Buya-Syafii, diakses pada 1 Oktober 16:13 WIB 107 Tifa Foundation, Menangkal Ujaran Kebencian, https://www.tifafoundation.org/menangkal-ujaran-kebencian/, diakses pada 1 Oktober 16:13 WIB 80 individu atau kelompok masyarakat tertentu yang dibedakan dari aspek suku/etnis, ras, agama, atau kepercayaan tertentu.108 Kenyataannya, tidak mudah dalam membendung ujaran kebencian yang masih marak di media sosial saat ini. Tanpa upaya preventif, upaya itu hanya menimbulkan efek jera sesaat bagi kaum tertentu yang memang sengaja menciptakan kegaduhan di Indonesia. Sikap kita sebagai intelektual adalah, membuat ruang literasi digital yang secara murni senantiasa merawat keberagaman Indonesia melalui pandangan pluralisme. Upaya preventif itulah yang semestinya juga didorong oleh bangsa ini. Menurut Buya, perbedaan yang ada di Indonesia harus disikapi dengan lapang dada, ini merupakan kalimat yang istimewa bagi Buya yang selalu menawarkan dan konsisten berkhidmat menjaga moral bangsa. Dengan sikap lapang dada dan keberanian itulah yang membuat Buya selalu siap menerima segala konsekuensi dari determinasi kelompok dominan yang tidak sepaham dengannya. Tentu masih segar diingatan kita juga, Buya senantiasa berlapang dada sempat menjadi korban hate speech pada kasus komentar Buya mengenai video mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), saat Pilgub DKI 2017 lalu yang sempat ramai diperbincangkan, Buya sempat menjadi korban bully di media sosial dan dunia nyata karena menurut Buya, Ahok tidak melakukan penodaan agama, dan kita wajib memaafkannya karena dia sudah minta maaf. Padahal dalam kasus tersebut, pembelaan Buya terhadap Ahok semata-mata ditempatkan dalam kerangka keadilan dan egaliterianisme dalam konteks Indonesia. Bahkan dalam salah satu tulisannya, Buya mengatakan, agar semua lawan Ahok puas, penjarakan saja Ahok selama 400 tahun. Itu menunjukkan bahwa tidak hanya secara teoritis Buya mengajarkan kita untuk memiliki paham pluralisme, tetapi juga secara praktik, dengan sikapnya yang senantiasa lapang dada dan memandang bijak segala persoalan. Bagi Buya, paham pluralisme/keberagaman memiliki fungsi 108 Lihat SKH Suara Pembaruan, SE Penanganan Ujaran Kebencian Jaga Pluralitas, Rabu 4 November 2015, h. 2 81 ganda. Pertama untuk merekatkan persatuan seluruh bangsa yang terdiri dari multi religius, yang kedua meredam potensi konflik dan kekerasan atas nama perbedaan sesama bangsa Indonesia. Pluralisme merupakan jembatan antar agama, suku, dan ras yang sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 serta falsafah Bhinneka Tunggal ika. Tulisan ini merangkum respon dari keprihatinan ujaran kebencian yang selama ini menyebar di Indonesia. Paparan ringkas dalam tulisan ini juga menjelaskan, bagaimana Buya Syafii Maarif sebagai intelektual Muslim menyikapi berbagai fenomena hate speech yang marak terjadi, serta sikap intelektualnya dalam menangkal itu demi merawat keberagaman Indonesia. Media Sosial dan Potensi Hate Speech Perkembangan era digital pada saat ini, ditandai dengan masifnya penetrasi media sosial dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya, dan pertahanan keamanan. Fenomena ini sekaligus menjadi konsekuensi perubahan pola komunikasi dari media konvensional menuju digitalisasi dengan berbagai kanal media sosial kekinian. Inovasi teknologi dengan pemanfaatan media sosial menjadikan arus informasi mengalir dengan deras dan cepat, pola-pola komunikasi linier mulai digantikan dengan pola-pola komunikasi simetris, real time melintas batas ruang dan waktu, dengan mengedepankan kecepatan. Hal ini sekaligus menandakan pola komunikasi saat ini yang sesungguhnya telah memasuki fase Interactive Communication Era, sebagaimana katagorisasi Everett M Rogers, fase lebih lanjut dari pengembangan era telekomunikasi dengan menjadikan penggunaan internet sebagai media baru (new media).109 Perkembangan era digital dengan masifnya penggunaan internet 109 Lihat Eddy Cahyono, “media sosial, Post Truth dan Literasi Digital” dalam http://ksp.go.id/media-sosial-antar manusia-dan-literasi-digital/index.html 22 Oktober 2018 82 sebagai media baru (new media), membawa konsekuensi pergeseran karakter khalayak yang tidak lagi obyek pasif (audiens), namun dapat berperan menjadi produsen informasi (prosumer). Bahkan lebih jauh lagi, masyarakat dapat berperan memproduksi berita, dan membentuk opini publik terhadap ujaran kebencian via platform media sosial. Melalui media sosial memungkinkan pengguna berinteraksi, membentuk ikatan sosial secara virtual dalam masyarakat jejaring (networking society) yang mulanya ditandai dengan munculnya jurnalisme warga (citizen journalism). Fenomena ini menempatkan media sosial sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru sekaligus berperan membentuk opini publik, memengaruhi persepsi perilaku publik, memengaruhi pengambilan keputusan institusi, kelompok masyarakat serta turut andil dalam pengembangan kesadaran kolektif opini publik. Bahkan lebih ekstrim lagi, Aylin Manduric dalam tulisannya “Sosial Media as a tool for information warfare” menyatakan bahwa media sosial sebagai senjata pemusnah massal dan pemicu timbulnya konflik, berperan sebagai senjata kata-kata yang memengaruhi hati dan pikiran audiens yang ditargetkan. Merujuk pada Oxford English Dictionary (OED), Robert Post, salah satu ilmuan yang banyak dirujuk dalam diskursus ini mendefinisikan penggiringan opini dalam era perkembangan teknologi bisa menyebabkan ujaran kebencian sebagai “Speech expressing hatred or intolerance of other social group especially on the basis of race and sexuality.’ Lalu apa yang bisa masuk dalam kategori atau istilah ‘hate’? Kembali merujuk OED, Post memahami hate sebagai ‘An emotion of extreme dislike or aversion; Abbhorence, hatred” (Post 2009: 123). Definisi ini mengandung dua aspek penting: Sebuah ujaran (speech) bisa dikatakan (hate) apabila yang pertama ia mengekspresikan perasaan kebencian atau intoleransi yang bersifat ekstrim dan yang kedua perasaan tersebut ditujukan kepada kelompok lain berdasarkan identitas mereka seperti ras dan orientasi seksual. Fenomena semacam ini, apabila tidak diantisipasi dengan mitigasi yang terencana dan terukur, juga akan berpotensi mempertajam polarisasi di masyarakat, ditandai dengan semakin viralnya pemberitaan yang tendensius mengusung sentimen 83 agama, ras dan kelompok kepentingan yang dapat memecah belah keberagaman NKRI.110 Seperti yang terjadi belum lama ini, Habib Bahar Smith yang kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial. Dalam sebuah ceramah yang rekaman videonya viral, Bahar Smith menyebut Jokowi pengkhianat bangsa, negara, dan rakyat. “Kamu kalau ketemu Jokowi, kalau ketemu Jokowi, kamu buka celananya itu. Jangan-jangan haid Jokowi itu, kayanya banci itu,” ujar Bahar.111 negara memang menjamin penduduknya untuk menyatakan pendapat, ini masuk dalam konteks hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia). Sebenarnya HAM memberikan kebebasan individu berekspresi dan berpendapat, namun harus dilihat terlebih dahulu ada tidaknya kepentingan publik. Batasan-batasan yang dibuat negara dalam UU harus dipahami sebagai sesuatu yang positif jika dipakai untuk menjaga ketertiban umum, agar hak asasi seseorang tidak terlanggar demi pemenuhan hak asasi orang lain. Penggunaan kata ‘banci’ sebenarnya jauh sebelum Bahar Smith sudah sering digunakan oleh para politisi pendahulu bangsa. Pada artikel Tirto yang berjudul “Makian Banci Bahar Smith dan Betapa Maskulinnya politik Indonesia”112 ada beberapa sejumlah politikus seperti Eggi Sudjana (PAN), Masinton Pasaribu, Agustina Wilujeng Pramestuti (Komisi IV DPR), bahakan Sjahrir kerap melontarkan kata ‘banci’ atas kritik pemerintah pada saat itu. Penggunaan kata ‘banci’ dalam makian yang bernada seksis karena kondisi politik Indonesia yang bersifat maskulin dan patriarkis. Jadi pemaknaanya diartikan sebagai plin-plan atau ketidaktegasan. Banyak aktor politik menggunakan kata-kata seperti itu (soundbite) alias yang gampang menarik perhatian publik. Dalam kasus Bahar Smith terlihat jelas ucapan tersebut 110 Ibid 111 Lihat DetikNews, Habib Bahar Smith Kesandung Ceramah ‘Jokowi Banci’ dalam https://news.detik.com/berita/4323911/habib-bahar-bin-smith-kesandung-ceramah-jokowi-banci 112 Lihat Tirto, Makian Banci Bahar Smith dan Betapa Maskulinnya politik Indonesia, “https://tirto.id/makian-banci-bahar-smith-dan-betapa-maskulinnya-politik-indonesia-daDb 84 sengaja dilontarkan sebagai bentuk penggiringan opininya, karena kekecewaannya terhadap Presiden Jokowi, yang dipicu karena ketidakhadiran sosok Presiden dalam aksi 411. Jelas, ini adalah pengertian ‘hate speech’ seperti yang disinggung di atas, merupakan tindakan ujaran kebencian yang nyata. Secara ekspresif Bahar Smith berpidato yang mengekspresikan kebencian atau intoleransi dari kelompok sosial lainnya, terutama atas dasar ras dan seksualitas. Sosiologi kemasyarakatan menganalisis hubungan atau interaksi antar manusia dalam suatu hubungan masyarakat, yaitu bagaimana mereka berkomunikasi, bekerjasama, dan berupaya mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Ketika struktur sosial dan budaya masyarakat masih sederhana, maka tata cara mereka berinteraksi satu sama lain juga terjadi secara sederhana, tidak banyak kerumitan yang dapat ditemukan dalam hubungan antar mereka. Namun ketika terjadi perkembangan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang komunikasi dan informasi, maka tata cara manusia berinteraksi juga mengalami perubahan. Sebab, teknologi menjadi sarana yang efektif dan efisien untuk berkomunikasi satu sama lain113. Masalah hate speech yang terjadi belakangan ini menunjukkan perkembangan masyarakat semula sederhana menuju kondisi yang semakin modern. Dengan dalih membawa bendera ‘kebebasan berpendapat’, masyarakat memasuki budaya baru yang belum sepenuhnya disadari kelebihan maupun kelemahannya. Apa yang terjadi saat ini, masyarakat belum sampai pada taraf pemahaman tentang bagaimana menggunakan media sosial dan mengambil sisi positif, serta menghindari dampak negatifnya. Babak baru kemajuan masyarakat dalam media sosial ini yang seolah membuka arus kebebasan seluas-luasnya tanpa ada batas dalam berkomunikasi. Kondisi tanpa tatap muka secara langsung pula yang menambah tingkat kepercayaan masyarakat menjadi lebih dalam mengekspresikan pendapatnya. Apalagi hal ini juga memudahkan mereka untuk sulit dideteksi identitas yang sesungguhnya. 113 SKH Suara Pembaruan, SE Penanganan Ujaran Kebencian Jaga Pluralitas, Rabu 4 November 2015, h. 10 85 Kondisi demikian selanjutnya dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab untuk menyerang orang lain demi kepentingan diri sendiri, atau kelompoknya yang biasa kita kenal dengan istilah buzzer. Berdasarkan konsep sosiologi yang memandang masyarakat sebagai kelompok manusia yang menghasilkan kebudayaan, masalah hate speech yang tidak dapat dikendalikan dalam media sosial tentu akan menjadi parasit bagi perkembangan dan peradaban masyarakat modern. Masyarakat bisa mengalami kemunduran moral yang membahayakan para generasi bangsa ke depan. Masa depan anakanak yang menyaksikan langsung bagaimana hate speech di media sosial berlangsung oleh generasi saat ini tentu akan terekam jelas dalam benak generasi berikutnya. Mereka senantiasa meniru apa yang telah dicontohkan generasi sekarang, apabila hal ini terus menerus terjadi. Bahaya ujaran kebencian terhadap demokrasi bahkan sudah tidak diragukan. Negara-negara Eropa yang mempunyai pengalaman buruk dengan propaganda kebencian seperti yang pernah dilakukan oleh Nazi, pada umumnya mempunyai regulasi yang lebih tegas untuk melarang ujaran kebencian. Sementara Amerika, di mana kebebasan sipil menjadi bagian penting dalam sejarah nasional, memilih untuk menoleransi ujaran kebencian. Meski demikian, tindakan kriminal berdasarkan kebencian (hate crime) diatur dalam perundang-undangan tersendiri. Dalam sejumlah kasus, Amerika juga memunyai preseden pemidanaan terhadap ujaran kebencian yang secara kuat dianggap menyebabkan aksi kekerasan. Bahaya ujaran kebencian juga diafirmasi oleh PBB yang pada tahun 1966 mengeluarkan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang melarang “kampanye kebencian terhadap kelompok kebangsaan, ras dan agama yang bersifat dorongan (incitement) kepada tindak diskriminasi, permusuhan dan kekerasan114.” Perdebatan serupa juga terjadi di Indonesia. Ujaran kebencian bukannya tidak dilarang di Indonesia, tetapi penerapannya dikhawatirkan akan mengembalikan model pemerintahan represif 114 M. Iqbal Ahnaf & Suhadi, Isu-Isu Kunci Ujaran.. h. 1 86 selama 32 tahun di bawah pemerintahan Soeharto. Dilema ini menciptakan situasi ‘tanpa tindakan’ yang membuat ujaran kebencian di Indonesia tersebar secara bebas tanpa sedikitpun hambatan. Kondisi ini memberi kesempatan bagi tranformasi sejumlah kelompok garis keras, terutama kelompok agama tertentu, untuk mengalihkan arena perjuangan dari ‘perang bersenjatakan bom’ ke ‘perang bersenjatakan kata-kata’. Padahal, sejatinya bukan hal mudah membangun cita-cita bangsa ini dari keanekaragaman suku, ras dan agama. Dalam hal ini, pemerintah sebaiknya bisa menjadi wasit, untuk pengukur, berperan sebagai menghalangi kebebasan seseorang, tetapi mengingatkan untuk terhadap batasan-batasan yang berpotensi untuk dilanggar. Paling tidak ada usaha tabayyun atau melakukan cek dan klarifikasi, negara berperan memfasilitasi penjelasan dari pihak yang melakukan ujaran kebencian. Tantangan di Era “antar Manusia” Istilah itu “antar manusia” sebenarnya mulai jadi perbincangan sejak 2016 oleh Oxford Dictionary. Menurut Oxford Dictionaries, antar manusia diartikan sebagai istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding faktafakta yang obyektif.115 Itu artinya bahwa dengan derasnya arus informasi seperti sekarang ini, virus post-trust ini benar adanya. Masyarakat cenderung tidak mencari kebenaran dari suatu informasi melainkan mencari sesuatu pembenaran sesuai perasaannya bukan logikanya. Romo Haryatmoko dalam materi SKK (Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan) II Ahmad Syafii Maarif menyebutkan, era antar manusia membuat sekelompok orang dalam paham fanatisme buta. Sulit untuk berdialog dalam kondisi tersebut, sekalipun harus dihadirkan para tokoh ahli untuk berdebatnya. 115 Lihat M. Faizan Banapon, Antar manusia dan Fenomena media sosial dalam https://www.qureta.com/post/antar manusia-dan-fenomena-media-sosial diakses pada 6 Desember 2018 87 Dilihat dari tinjauan sejarah, frasa antar manusia ini awalnya dikenal di ranah politik saat kontestasi politik memperebutkan kursi parlemen dan/atau tujuan politik lain sehingga istilah ini disebu antar manusia politik. Istilah antar manusia pertama kali diperkenalkan Steve Tesich, dramawan keturunan Amerika-Serbia. Tesich melalui esainya pada harian The Nation (1992) menunjukkan kerisauannya yang mendalam terhadap fenomena antar manusia, dengan maraknya upaya memainkan opini publik dengan mengesampingkan dan bahkan mendegradasi fakta dan data informasi yang obyektif. Secara sederhana, antar manusia dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran daripada kebenaran. Era antar manusia dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini. Fakta-fakta bersaing dengan hoaks dan kebohongan untuk dipercaya publik. Media mainstream yang dulu dianggap salah satu sumber kebenaran, harus menerima kenyataan semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi. Sudah selayaknya kita dapat mengambil pelajaran berharga dari sebagian kecil saja contoh bagaimana fenomena antar manusia memengaruhi kehidupan pada berbagai bangsa. Dari kasus yang terjadi di Ukrania, Rusia, Inggris, Amerika Serikat.116 Di Ukraina, tumbangnya Presiden Ukraina diawali dengan sebuah status di medsos yang dibuat seorang jurnalis di Facebook, yang dilanjutkan dengan seruan berkumpul di lapangan Maidan di Kiev, Rusia,. Presiden Putin memanfaatkan medsos sebagai kampanye terselubung kepada negeri tetangganya, seperti Ukraina, Prancis, dan Jerman. Di Amerika, Senat Amerika pernah memanggil perwakilan Google, Facebook dan Twitter dalam kasus mengarahkan suara pemilih dan memecah belah masyarakat, yang diduga melibatkan Rusia. Di Inggris referendum Brexit secara efektif menggunakan medsos seperti Facebook untuk memasang iklan. Trump 116 Lihat Eddy Cahyono, “media sosial, Post Truth dan Literasi Digital” dalam http://ksp.go.id/media-sosial-antar manusia-dan-literasi-digital/index.html 22 Oktober 2018 88 juga menggunakan medsos untuk kampanye memengaruhi pemilih dengan membuat 50.000-60.000 iklan yang berbeda di medsos, utamanya di Facebook.117 Antar manusia sengaja dikembangkan dan menjadi alat propaganda dengan tujuan mengolah sentimen masyarakat sehingga bagi yang kurang kritis akan dengan mudah terpengaruh yang diwujudkan dalam bentuk empati dan simpati terhadap agenda politik tertentu yang sedang diskenariokan. Di Indonesia fenomena semacam ini disebabkan oleh 4 hal; pertama, kemajuan teknologi informasi yang asimetris dengan kapasitas adaptasi pemerintah dan masyarakat. Kedua, adanya kompetisi politik yang tidak berkesudahan sejak Pilpres 2014. Ketiga, adanya dukungan dari masyarakat tertentu pada ideologi ekstrem anti-Pancasila. Keempat, adanya kegelisahan dengan perubahan dan perbaikan sistem yang dilakukan pemerintahan saat ini. Perkembangan teknologi informasi dan internet tidak bisa dihentikan. Meskipun pemerintah selalu berupaya mencari kesimbangan antara kebebasan demokrasi dalam hal informasi dan akses pada internet. Sementara fenomena “antar manusia tidak hanya menjadi ancaman bagi demokrasi tetapi juga bagi kebebasan sipil. pemerintah dan aparat penegak hukum menerapkan berbagai tindakan dalam menanggapi era “antar manusia”. Seperti antar manusia masuk dalam katagori ujaran kebencian seperti termuat dalam KUHAP (Pasal 156-157), mempidanakan ujaran kebencian seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Fenomena “antar manusia memberikan tantangan pada pemerintah dan masyarakat bahwa media sosial dapat digunakan dengan bijak tetapi juga bisa menjadi sumber masalah baru.118 Namun upaya preventif juga harus tetap dilakukan demi menjaga kewarasan bangsa di tengah keberagaman era digital. 117 Ibid 118 Lihat AntaraNews Literasi Anti-Hoax - Mengingatkan Kembali Bahaya “Post Truth” pada https://www.antaranews.com/berita/716876/literasi-anti-hoax-mengingatkan-kembali-bahaya-antar manusia 89 Merawat Keberagaman di Era Digital Menurut Buya Syafii Maarif, ada satu hal yang selalu ditekankan sejak sepeninggalan Nurcholis Majid tentang bagaimana menjaga kemajemukan Indonesia. Yakni keanekaragaman suku dan agama yang dimiliki negeri ini, bukanlah sesuatu yang layak dibangga-banggakan. Itu tidak unik, apalagi istimewa, dan bukan hanya dimiliki Indonesia. Mengapa demikian? Sebab adalah sebuah keniscayaan bahwa tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal, uniter (unitary), tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya. Ada masyarakat yang bersatu, tidak terpecah belah, tetapi keadaan bersatu (being united) tidaklah dengan sendirinya berarti kesatuan atau ketunggalan (unity) yang mutlak. Persatuan itu dapat terjadi, dan justru kebanyakan terjadi, dalam keadaan berbeda-beda (unity in diversity, E-Pluribus Unum, Bhinneka Tunggal Ika).119 Faktanya memang demikian. Praktis tidak ada masyarakat tanpa pluralitas, khususnya dalam persoalan agama, kecuali di kota-kota eksklusif tertentu saja seperti Vatican, Makkah, dan Madinah. Bahkan, negeri-negeri Islam Timur Tengah (dunia Arab), yang notabennya sebagai pusat-pusat zaman Jahiliyah, agama Kristen dan Yahudi yang sampai saat ini masih memiliki kelompok-kelompok minoritas. Posisi intelektual menurut Buya dalam kaitan-nya dengan gagasan besarnya tentang Pancasila yang mungkin dapat diangkat menjadi prinsip/pegangan/proposisi dasar bersama bagi Indonesia, dulu, sekarang, dan di masa depan. Dengan Pancasila yang dipahami dan dilaksanakan secara jujur dan bertanggungjawab, semua kecenderungan politik identitas negatif-destruktif yang dapat meruntuhkan bangunan bangsa dan negara ini, pasti dapat dicegah. 120 Pluralisme etnis, bahasa lokal, agama, dan latar belakang sejarah, kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya, demi terciptanya sebuah taman sari Indonesia, yang memberi keamanan dan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini. 119 Ahmad Syafii Maarif, 2012, politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Jakarta: Democracy Project) h. 43 120 Ibid, h. 9 90 Apalagi dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang terluas, dengan lebih dari 17 ribu pulau mengelilinginya diisi dengan segala etnisitas, sub-kultural, dan ratusan bahasa lokal. Dari sisi keberagaman itulah, budaya (pluralisme) Indonesia dapat bertahan dalam tempo lama, maka ini merupakan mukjizat sejarah terbesar bagi Buya yang bernilai sangat tinggi. Modal dasar untuk pengawalan keutuhan bangsa itulah yang sudah dimiliki bangsa ini berupa pergerakan Nasional, Sumpah Pemuda, Pancasila, dan adanya tekat bulat untuk mempertahankan dan membela keutuhan bangsa dan negara. Sekalipun sering digerogoti oleh kelakukan politisi atau oknum tertentu dalam tiap periode sejarah Indonesia. Namun saat ini yang menjadi isu utama dalam kaitannya dengan masalah Indonesia beberapa tahun belakangan ini ialah munculnya gerakan-gerakan radikal atau setengah radikal yang secara massif semakin terbuka, melalui perkembangan zaman ini. Sebagaimana partner mereka di bagian dunia lain, gerakan-gerakan ini juga anti-demokrasi dan anti-pluralisme, dan sampai batas-batas yang jauh juga anti-nasionalisme. Kelompok-kelompok radikal ini, dengan kemungkinan perbedaan dan bahkan konflik di antara berbagai faksi di kalangan mereka terdapat enam ciri yang menonjol: “Pemahaman dan penafsiran yang literal; keras dan menyulitkan; sombong terhadap pendapat mereka, tidak menerima perbedaan pendapat, mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengan mereka, dan tidak peduli terhadap fitnah. Inilah yang harus dipahami oleh kaum intelektual dalam rangka merawat keberagaman bangsa.” Karena sejatinya, menerima kemajemukan berarti menerima adannya perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan, tetapi justru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang tidak sama. Menerima kemajemukan bukanlah berarti bahwa membuat “penggabungan”, dimana kekhasan masing-masing terlebur atau hilang. Kemajemukan juga bukan berarti “tercampur baur” dalam satu “adonan”. Justru di dalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang membedakan hal (agama) yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap dipertahankan. Jadi pluralisme berbeda 91 dengan sinkritisme (penggabungan) dan asimilasi atau akulturasi (penyingkiran).121 Namun, yang perlu dipahami adalah, pluralisme tidak sematamata menunjuk pada kenyataan adanya kemajemukan semata, tetapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seseorang di tempat manapun. Akan tetapi dengan melihat pengertian ini, orang tersebut baru dapat dikatakan menyandang sifat “pluralis” apabila dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, dengan pluralisme tiap pemeluk agama, suku, maupun ras, menurut Buya, tidak hanya dituntut untuk mengakui keberadaan hak agama komunitas lain, tetapi ikut terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Inilah cara solutif untuk menangkal upaya preventif dari ujaran kebencian di Indonesia. Pahami dan toleransi segala peristiwa secara utuh tanpa merasa paling benar. Dengan gagasan dan idenya yang sejuk, Buya mengajak generasi saat ini untuk menciptakan atmosfer positif di dunia digital. Kecerdasan digital harus dimiliki setiap orang dengan meningkatkan literasi digital berbasis pluralisme. Melalui pendekatan plural atau kewargaan, berfokus pada upaya mempersiapkan individu yang melek informasi dan warga yang bertanggungjawab melalu studi hak, kebebasan dan tanggungjawab. Perhatian pendekatan pluralisme terkait pesan kebencian meliputi pengetahuan dan keterampilan untuk mengidentifikasi pesan kebencian, sehingga memungkinkan individu untuk menangkal pesan kebencian. Salah satu tantangannya adalah menyiapkan pengetahuan dan keterampilan teknologi, bahwa setiap warga mungkin perlu menetralkan kebencian yang disebarkan melalu berita media online atau media sosial. Literasi media dalam pendidikan pluralisme harus mampu melahirkan kemampuan literasi yang ditandai dengan 121 A. Shobiri Muslim, “Pluralisme Agama Dalam Perspektif negara dan Islam”, (Jakarta: Madania, 1998), 4. 92 daya kritis dalam menerima dan memaknai pesan, kemampuan untuk mencari dan memverifikasi pesan (saring sebelum sharing), kemampuan untuk menganalisis pesan dalam sebuah diskursus, memahami logika penciptaan realitas oleh media, dan kemampuan untuk mengkontruksikan pesan positif dan mendistribusikannya kepada pihak lain.122 Penutup Perkembangan era digital pada saat ini menggiring konsekuensi perubahan pola komunikasi dari konvensional menuju digital, dengan berbagai kanal media sosial kekinian. Pola-pola komunikasi linier mulai digantikan dengan pola-pola komunikasi simetris, real time melintas batas ruang dan waktu, dengan mengedepankan kecepatan. Masifnya penggunaan internet membawa konsekuensi pergeseran karakter khalayak yang tidak lagi obyek pasif (audiens), namun dapat berperan menjadi produsen informasi (prosumer). Bahkan lebih jauh lagi, masyarakat dapat berperan memproduksi berita, untuk membentuk opini publik ujaran kebencian via platform media sosial dan derasnya arus informasi, seperti sekarang ini, membawa virus post-trust yang cenderung membuat masyarakat tidak mencari kebenaran dari suatu informasi melainkan mencari sesuatu pembenaran sesuai perasaannya, bukan logikanya. Bahkan mendegradasi fakta dan data informasi yang obyektif. Secara sederhana, antar manusia dapat diartikan, bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran kelompoknya daripada kebenaran. Hal itu memungkinkan sekali dalam produksi ujaran kebencian terhadap sesama. Fenomena semacam ini, apabila tidak diantisipasi dengan mitigasi yang terencana dan terukur, juga akan berpotensi mempertajam polarisasi di masyarakat, ditandai dengan semakin 122 Vibriza Juliaswara, Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di media sosial, Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol 4, No 2, Agustus 2017 93 viralnya pemberitaan yang tendensius mengusung sentimen agama, ras dan kelompok kepentingan yang dapat memecah belah keberagaman NKRI. Buya Ahmad Syafii Maarif dalam kaitannya dengan gagasan besarnya tentang Pancasila yang mungkin dapat diangkat menjadi prinsip/pegangan/proposisi dasar bersama bagi Indonesia, dulu, sekarang, dan di masa depan. Pancasila yang dipahami dan dilaksanakan secara jujur dan bertanggungjawab, semua kecenderungan politik identitas negatif-destruktif yang dapat meruntuhkan bangunan bangsa dan negara ini pasti dapat dicegah. Idenya dan gagasan Buya yang sejuk mengajak generasi saat ini untuk menciptakan atmosfer positif di dunia digital. Kecerdasan digital harus dimiliki setiap orang dengan meningkatkan literasi digital berbasis pluralisme. Melalui pendekatan plural atau kewargaan, berfokus pada upaya mempersiapkan individu yang melek informasi dan warga yang bertanggungjawab melalu studi hak, kebebasan dan tanggungjawab. Perhatian pendekatan pluralisme terkait pesan kebencian meliputi pengetahuan dan keterampilan untuk mengidentifikasi pesan kebencian, sehingga memungkinkan individu untuk menangkal pesan kebencian. 94 Daftar Pustaka Buku Ahnaf, M. Iqbal, & Suhadi; Isu-Isu Kunci Ujaran (Hate Soeech): Implikasinya Terhadap Gerakan Sosial Membangun Toleransi, Jurnal Multikultural dan Multireligus Vol 13 Juliaswara, Vibriza, Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di media sosial, Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol 4, No 2, Agustus 2017 Maarif, Ahmad Syafii, 2012, politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Jakarta: Democracy Project) h. 43 Muslim, A. Shobiri , Pluralisme Agama Dalam Perspektif negara dan Islam, (Jakarta: Madania, 1998 SKH Suara Pembaruan, SE Penanganan Ujaran Kebencian Jaga Pluralitas, Rabu 4 November 2015 Tirto, Makian Banci Bahar Smith dan Betapa Maskulinnya politik Indonesia, “https://tirto.id/makian-banci-bahar-smith-danbetapa-maskulinnya-politik-indonesia-daDb Media Masa/online Antara News Literasi Anti-Hoax - Mengingatkan Kembali Bahaya “Post Truth” pada https://www.antaranews.com/ berita/716876/literasi-anti-hoax-mengingatkan-kembalibahaya-antar manusia Banapon, M. Faizan, Antar manusia dan Fenomena media sosial, https://www.qureta.com/post/antar manusia-dan-fenomenamedia-sosial Detik News, Habib Bahar Smith Kesandung Ceramah ‘Jokowi Banci’ dalam https://news.detik.com/berita/4323911/habib- 95 bahar-bin-smith-kesandung-ceramah-jokowi-banci Detik News, Polisi Tangkap Pelaku Ujaran Kebencian Jokowi dan Buya Syafii, lihat https://news.detik.com/berita/3868732/ polisi-tangkap-pelaku-ujaran-kebencian-ke-jokowi-danBuya-Syafii, diakses pada 1 Oktober 16:13 WIB Eddy Cahyono, “media sosial, Post Truth dan Literasi Digital” dalam http://ksp.go.id/media-sosial-antar manusia-danliterasi-digital/index.html 22 Oktober 2018 Tifa Foundation, Menangkal Ujaran Kebencian, https://www. tifafoundation.org/menangkal-ujaran-kebencian/, diakses pada 1 Oktober 16:13 WIB 96 POLITIK PASCA-KEBENARAN SEBAGAI SIMBOL DISIMULASIAN NEGARA(WAN) ISLAM: MENYELAMI PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF Jalaluddin B. Pendahuluan Kebenaran dan politik di era reformasi saat ini bagaikan suatu barang langka dan mahal, mengingat semakin rendahnya integritas pada hampir seluruh plolitikus bangsa ini. Hal ini membawa kembali ingatan saya, mengenai pengertian politik dari salah seorang mahasiswaku, yang mengatakan, bahwa politik adalah ‘kebohongan’. Menariknya, jawaban yang Ia berikan diambil dari masyarakat yang ada di lingkungannya. Ia kemudian melanjutkan, bahwa untuk menjadi seorang politik, maka kita harus pandai berbohong. Faktanya, Ia menemukan hampir seluruh politikus, ketika sudah terpilih, lupa pada janji kampanyenya (bohong). Dari sini saya dapat menarik sedikit kesimpulan bahwa kebohongan politik sudah melekat pada para politikus bahkan telah menjadi habit kultural, dan bagi sebagian kelompok masyarakat kita, politik telah mengalami degradasi nilai yang dapat dimaknai sebagai perilaku immoral atau tuna martabat. Hal ini sepertinya bukan mereka dapatkan di bangku sekolah atau kuliah karena rasanya sulit menemukan definisi semacam ini di sana, tetapi ini adalah bentuk ekspresi spontanitas dan korespondesif yang selama ini mereka temui. Dengan kata lain, hal ini dapat dijelaskan sebagai bentuk kejengkelan publik terhadap para ‘pengkhianat’ amanah politik, yang bangga dengan simbol kehormatan mereka sehingga kejengkelan itu melahirkan diksi ‘bohong’ dari publik. 97 Hal senada yang disampaikan oleh David Roberts yang menyebut perilaku di atas adalah ‘politik pasca-kebenaran’ atau politik kebohongan. Ahmad Syafii Maarif dalam pandangannya bahkan menyebut tindakan ini sebagai hal yang bukan lagi menjadi rahasia umum di dunia politik, bahwa kebanyakan politisi itu gemar menjual dusta untuk meraih tujuan-tujuan jangka pendek, demi kekuasaan dan kepuasaan sesaat di dunia. Jelas hal ini menjadi pukulan telak bagi para politikus yang sudah seharusnya diubah oleh mereka. Lebih lanjut, menurut Buya Maarif, sapaan akrabnya, persoalan politik dusta atau bohong ini semakin meradang ketika sebagian besar politikus menggunakan agama sebagai perisai mereka untuk menguatkan legitimasi kebenarannya, demi memuluskan kepentingan partikularnya. Sungguh apa yang dipikirkan oleh Ahmad Syafii Maarif ini adalah sebuah warning atau lampu kuning bagi kita, bahwa praktik politik pasca-kebenaran yang memanipulasi agama di dalamnya benar adanya sehingga masyarakat harus lebih berhati-hati lagi di dalam menerima pesan politik yang ada. Sesungguhnya Buya Maarif tidak mempersoalkan bilamana agama digandengkan dengan politik karena dalam sejarahnya, politik tidak dapat dipisahkan dengan agama. Hal yang membuatnya gelisah adalah ketika banyak para politikus tidak tahu diri, ingin mempermainkan agama untuk kepentingan diri atau kelompoknya, seperti menjual ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk membela seorang tokoh tertentu. Era reformasi kodratinya menjadikan bentuk komunikasi politik lebih transparan, dan mengedepankan kebenaran sebagai nilai fundamental dalam (ber)komunikasi politik. Dengan kata lain, kebenaran dalam politik menjadi unsur yang tidak dapat dielakkan terutama dalam proses demokrasi yang lebih baik. Perlunya transparansi dan kebenaran dalam berpolitik, tidak hanya sekedar ingin menunjukkan sisi moralitas dari berpolitik itu, tetapi juga yang paling utama adalah bagaimana praktik transparansi dan kebenaran ini mampu membentuk dan mendorong masyarakat ke arah era politik yang lebih beradab dan berbudaya. Sehingga mampu menciptakan masyarakat yang otonom yaitu masyarakat yang mampu menentukan arah pilihan hidupnya, dan senantiasa mengikutkan dignitas (martabat) dalam pilihan tersebut. 98 Kecemasan muncul, ketika banyak politikus hanya memanfaatkan sistem demokrasi ini untuk jualan komunikasi politik mereka. Akibatnya adalah komunikasi politik sensasional banyak dipertontonkan yang justru menafikkan esensi dari praktik politik tersebut. Hal ini dikarenakan politik di era modern saat ini hanyalah berorientasi pada pandangan pragmatis belaka. Pada gilirannya, praktik ini hanya menempatkan masyarakat sebagai obyek dari praktik politik tersebut yang sebenarnya menjadi subyek dari politik ini. Terlebih dengan adanya sistem demokrasi yang banyak memberi ruang komunikasi kepada masyarakat. Pada tahun politik ini, tontonan politik banyak menghiasi layar televisi kita yang menjual berbagai macam produk dan agenda politik mereka layaknya seorang salest atau marketer yang tubuh dan bahasa lisannya begitu mempesona merayu para pembelinya. Urgensitas dari realitas ini semakin runcing mengingat demokrasi dan politik yang secara tidak langsung bersama-sama membicarakan kekuasaan di dalamnya. Terkooptasi dengan partai politik yang cenderung hanya mengejar kekuasaan dan kepuasan duniawi yang oleh Ahmad Syafii Maarif, disebut sebagai ‘politik cari makan’.123 Politik cari makan secara tidak langsung dapat diartikan sebagai bentuk dorongan libido atau motivated consciousness untuk memenuhi kebutuhan primer. Karena bila tidak, perasaan lapar dan mungkin juga miskin, akan datang menghampiri sebagai hal yang secara sosial dinilai buruk, dan karenanya segala macam upaya dan tawaran akan diambil untuk mengenyangkan libidonya tersebut. Termasuk di dalamnya berbohong, berdusta, atau bahkan menjadi penjilat politik, dimana kepribadian id-nya menunjukkan kehasratan besar, sehingga menjadikan politik itu semakin primitif, immoral, dan impulsive. Hal ini makin diperparah ketika mereka, para politikus, menggunakan ayat-ayat suci untuk menghidupi hasrat kekuasaan dan kepuasaan mereka, tanpa mempertimbangkan implikasi dari perilaku mereka. Hal ini nyata, bagaimana agama, yang oleh Rasulullah s.a.w, dijadikan salah satu bangunan dasar gagasan 123 Baca Ahmad Syafii Ma’arif, “Politik PASCAKEBENARAN”, (2018). Diunduh 28 Agustus 2018. 99 dari perjanjian Madinah atau masyarakat sipil, di era modern ini tergerus dan bahkan bergeser menjadi alat kepentingan politik pragmatis. Akibatnya masyarakat hidup dalam dua persimpangan atau pilihan, sekalipun memiliki satu keyakinan yang pada gilirannya menjadi embrio munculnya konflik, baik internal agama maupun antaragama. Disimulasi Komunikasi Politik Negara(wan) Islam Dunia politik di era reformasi ini merupakan sebuah dunia yang penuh dengan polesan citra dan kepentingan pragmatis yang dengan kedua hal tersebut politik menjadi semacam panggung teatrikal atau entertainment, yang menuntut mereka harus mampu memainkan peran mereka, sebagaimana yang diinginkan oleh pemilik partai, demi memuaskan dan menyenangkan para pendukung atau audiens mereka (konstituen), sekalipun apa yang mereka lakukan dan sampaikan berseberangan dengan realitas yang ada. Bahaya laten dari panggung politik semacam ini, adalah bentuk komunikasi yang mereka sampaikan tidak lagi sebuah komunikasi yang menekankan pada otentitas dan humanitas dalam penyampaiannya, tapi sebuah pesan yang hanya ingin membuat publik menjadi bahagia di setiap akhir dari sebuah cerita. Padahal, sebuah cerita tidak bisa dilepaskan dari proses panjang para tokoh pemain, baik pemain utama maupun pembantu, yang di dalamnya menampilkan berbagai macam adegan hingga berakhir pada satu adegan yakni, kalah atau menang, sedih atau bahagia. Artinya para politikus saat ini cenderung berusaha menunjukkan adegan politik mereka melampaui citra dari politik itu sendiri sehingga menutupi keberadaan yang sebenarnya. Akibatnya adalah banyak para politikus bertindak ‘lebay’ dalam menyampaikan pesan politik mereka diantaranya: ♯2019gantiPresiden atau yang paling mempesona adanya gerakan makar di balik gerakan ♯2019gantiPresiden tersebut. Baik mereka yang berada pada kubu pendukung pemerintah maupun oposisi sesungguhnya telah bermain dan terperangkap dengan sendirinya dalam permainan teks dan citra tersebut. Tidak ada yang otentik diantara kedua kubu 100 tersebut, karena mereka memainkan teks dan citra mereka masingmasing untuk menghadirkan dan menguatkan posisi mereka di tengah-tengah masyarakat, demi meraih rasa simpati dan tepuk tangan meriah dari publik, sebagaimana layaknya panggung teatrikal. Inilah dinamika panggung politik reformasi saat ini, sebuah panggung politik yang pada titik terendah hanya menciptakan karyakarya imajinatif, yakni adegan-adegan manipulasi penuh kepalsuan untuk menutupi keberadaan sesungguhnya dari praktik politik saat ini. Konfigurasi dari adegan-adegan tersebut mendorong sebuah praktik transaksi begundal dari peran yang dimainkan masingmasing secara rapih dan teratur untuk menghindari kebocoran dari adegan manipulasi tersebut. Adalah benar bahwa setiap manusia akan selalu berusaha menampilkan dirinya secara baik atau impresif di hadapan manusia lainnya sebagaimana yang dimaknai oleh Erving Goffman sebagai self-impression management.124 Manusia ini memilih setiap karakter yang dimainkan, berdasarkan situasi yang dihadapinya pada saat itu. Karena itu, agar manusia terhindar dari kesalahan impresi, maka Ia perlu mempelajari terlebih dahulu situasi yang dihadapinya. Sekali situasi itu dapat ditaklukkan dan dikendalikan, maka hal ini akan memunculkan suatu definisi umum yang diterima oleh semua pihak dan definisi ini dikuatkan dengan tekanan moral yang ada di sekelilingnya. Sehingga bagi mereka yang mencoba menolak dan meragukan hal ini akan dianggap sebagai pengacau, penghalang, atau bahkan pemberontak. Dengan kata lain, setiap tindakan yang dimaksudkan untuk memperkaya terlebih merubah definisi ini, akan ditentang atau digugat. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa setiap manusia tidak terkecuali politikus selalu dihadapkan pada persoalan impresi atau like or dislike, dalam pergaulan sosialnya, baik itu formal maupun non-formal. Pentingnya impresi ini berkenaan langsung pada tingkat kepercayaan publik, bahkan berujung pada prestasi 124 Baca Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, (2013), h. 124. Teoi 101 yang melekat pada setiap diri manusia, yang mampu menjaga dan mengembangkan impresinya di hadapan manusia lainnya (konstituen). Sebagaimana disebutkan oleh Dowling bahwa reputasi adalah seperangkat citra atau impresi yang relatif konsisten dalam pelaksanaannya dari waktu ke waktu yang didasarkan pada pola, kinerja, dan program (bila perusahaan/instansi) yang diberikan langsung oleh konstituennya.125 Artinya, untuk membangun dan menjaga reputasi bukanlah hal yang sederhana, melainkan suatu pekerjaan menyeluruh dan melibatkan seluruh komponen yang ada di dalamnya, untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini tegas disampaikan oleh L’Etang, bahwa kemunculan reputasi menandakan adanya struktur-struktur kompleks, komunikasi instan, dan permainan canggih simbol-simbol teks dan citra, sehingga memudahkan pencapaian reputasi tersebut.126 Apa yang disampaikan oleh L’Etang nyata mengindikasikan adanya semacam sistem, yang dalam hal ini adalah sistem sosial-politik yang sengaja dibentuk secara berkelompok dan massif melalui praktik-praktik komunikasi pada tingkat elit hingga tingkat akar rumput. Praktik-praktik pragmatis semacam ini memang bersandar sepenuhnya pada teks-teks dan citra/impresi yang hanya menekankan pada simbol-simbol disimulatif, yakni simbol-simbol yang sengaja dihadirkan untuk mengaburkan atau menutupi keadaan sebenarnya, dengan maksud menjaga dan mempertahankan hubungan dominasi yang ada.127 Salah satu yang dimaksud adalah membangun model komunikasi antar manusiapolitics (Politik Pasca-kebenaran). Politik pasca-kebanaran dijelaskan oleh David Roberts sebagai budaya politik dimana opini publik dan narasi-narasi media lepas dari substansi kebijakan politik legislatif sesungguhnya. Betapapun hal ini dapat dinilai sebagai bentuk ekspresi kebebasan, tetapi sayangnya hal ini jauh dari substansi kebijakan legislatif, 125 Baca Keith Butterick, Pengantar Public Relations TEORI dan Praktik, (2013), h. 58. 126 Ibid, h. 58. 127 Baca Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi “Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu, (2003), h. 131. 102 yang seharusnya mampu mewujudkan kebaikan bersama. Dalam jagat simbol disimulatif, bentuk substansi dari komunikasi politik dipindahkan dan dihaluskan agar terkesan menimbulkan dampak positif dan baik. Hadirnya narasi-narasi media yang ikut mendukung hal tersebut memperparah komunikasi politik ini hingga mengakibatkan thick effect, dalam arti efek besar atau kuat. Media yang seharusnya menjadi alat kontrol sosial, ikut mengotori demokrasi ini dengan menjadi media partisipan atau media parsial, yang tidak melihat utuh permasalahan dan kepentingan masyarakat secara lebih luas. Lebih berbahaya lagi adalah ‘politik pascakebenaran’ yang dikemas dalam bungkusan teologis. Di titik inilah, tak aneh jika kemudian elit politik banyak mempertontonkan logika-logika pragmatis mereka yang terkesan ingin membela dan mensejahterakan masyarakatnya, tetapi nyatanya tidak. Mereka senantiasa mengambil manfaat dari momentum yang telah ada, tanpa berpikir panjang. Karena hanya didorong oleh orientasi kekuasaan dan kepuasan politik belaka (lihat kasus Ahok dalam kasus ‘212’). Mereka saat ini boleh jadi berpikir, bahwa hanya dengan transpolitika (Politik dan agama) demokrasi Pancasila dapat direpresentasikan secara nyata, dan melaluinya patriotisme dan (ke) negara (wanan) terukir dengan jelas dan baik. Dalam konteks ini kemudian siapa yang disebut oposisi, penentang, atau pengkhianat atau pahlawan dapat ditarik secara jelas batasannya. Sementara itu, rangkaian adegan, baik itu dalam televisi, seminar, diskusi, maupun acara talkshow lainnya, tidak hanya sekedar ditendensikan untuk membangun citra/impresi dalam konteks politik ini, tapi juga paling utama adalah membangun subyek yang paling demokratis dan konstituen. Dalam kacamata Ahmad Syafii Maarif, kekuasaan dan kepuasan adalah dua hal yang wajib bagi penyelenggara pemerintah untuk dipunyai, karena keduanya sudah tentu memberi ruang lebih bagi mereka untuk mengakses segala macam kepentingan dan kebutuhan yang mereka inginkan. Karena itu, tidak heran kemudian, menurut Buya Maarif, banyak ditemukan para politikus menghalalkan segala cara untuk memperoleh semua itu, tidak peduli jika nantinya akan dipermalukan secara hukum dan sosial. Seperti pepatah Minang, 103 kata Buya Maarif “Telunjuk lurus, kelingking berkait”, yang artinya para perakus politik mukanya tebal, tidak punya malu, karena hati nurani mereka telah ditutupi oleh tebalnya daki hedonisme duniawi yang dilakukannya berulang-ulang. Maka tak heran, banyak diantara mereka yang dengan santai mengumbar senyum dan tawa di depan televisi, seakan apa yang mereka perbuat adalah hal lucu dan biasa tapi semoga tidak ada pikiran sedikit pun dari mereka, bahwa ini adalah praktik (ke) budaya (an) atau kesatria karena pada hakekatnya budaya adalah suatu hal yang memiliki nilai luhur dan kebijaksanaan bagi seluruh pendukung kedua hal itu. Artinya jika betul berdusta dilihat sebagai sebuah tindakan kebudayaan atau perilaku kesatria, maka kita ini adalah masyarakat yang tergolong tuna moralitas dan tuna akal pikiran. Islam sendiri menyebut berdusta adalah sebuah perbuatan munafik dan disamakan dengan golongan Jin. Sebagaimana Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan, bahwa perbuatan dusta akan mengikis keimanan (‫ب َذكْل ُبِن َاجُي َن َا ْميِإل‬ ِ )ُ maka tak heran banyak para politikus yang identik dengan perkataan dusta ini banyak melakukan tindakan-tindakan tercela, seperti korupsi, karena keimanan mereka yang telah tiada. Perbuatan dusta ini semakin menahun, ketika para politikus membungkusnya dengan ayat-ayat kitab suci, sehingga mereka yang berpikiran pinggiran akan mudah termanipulasi oleh kebohongan ini. Hal ini tentu saja tidak bisa dianggap sederhana seperti yang dipikirkan oleh Syafii Maarif, bahwa bila ini terus berlanjut maka kiranya hal ini akan merusak kerukunan tidak saja sesama agama tapi juga dengan agama lainnya yang pada akhirnya akan menjatuhkan nilai (ke) Tuhan (an) itu pada level yang paling rendah, yaitu level di mana ‘Tuhan’ tidak lagi dipandang sebagai episentrum dari dunia dan alam semesta ini. Inilah kerisauan yang dirasakan oleh Syafii Maarif dari praktik kebohongan politik yang dibungkus agama oleh mereka yang tidak bertanggungjawab. Dalam bahasa berbeda, Syafii Maarif menyinggung hal ini sebagai cacat kualitas dalam beragama, dimana jika hal ini tidak diberhentikan dengan pemahaman to be religion, not to have religion, maka ke depan hal ini akan menjadi beban sejarah bagi generasi selanjutnya. Sekiranya agama masih diperlukan untuk mengatur keberadaan 104 dan hubungan manusia dengan manusia lainnya, serta alam dan lingkungan sekitarnya sama halnya dari arti agama itu sendiri dalam bahasa Arab, yakni a’din yang dapat diartikan sebagai tatanan atau hukum.128 Di sini, perhatian kita sekali lagi tertuju pada gagasan Syafii Maarif bahwa betapapun komunikasi politik harus dijalankan sesuai dengan Nilai-nilai moral dan dikokohkan dengan Nilai-nilai teologis, untuk menjadikan, baik komunikator dan komunikannya bersamasama menjadi makhluk yang berintegritas. Praktik politik kebohongan terutama yang dibungkus dengan saduran teologis seharusnya dapat dihindari jika para pelakunya mendapati bahwa sejatinya praktik ini tidak menjadi satu-satunya tujuan utama dalam berpolitik. Jiwa dalam politik selalu terdorong untuk memenuhi kemerdekaan politiknya yang bermanifestasi dalam bentuk kekuasaan dan kesejahteraan. Namun sayangnya hal ini diubah menjadi obyek infinite (tak terbatas) sehingga tujuan berpolitik tidak lagi melihat substansi dekaden dari politik itu, yaitu untuk mensejahterakan masyarakat, tapi berpenetrasi menjadi suatu kebutuhan pribadi atau golongan. Dengan logika sederhananya bahwa politik sudah menjadi tempat untuk mencari makan, tapi bukan untuk mewujudkan kebaikan bersama dengan kekuasaan yang dipunyai. Kita dapat memaklumi kenapa fenomena seperti itu dapat muncul sekalipun membungkus diskursus politik dengan agama, jelas merupakan suatu kesia-siaan apalagi diskursus agama dipakai untuk selalu membenarkan praktik Politiknya.129 Syafii Maarif dalam 128 Ide-ide tentang metafisik dalam kenyataannya diperlukan sebagai ide regulatif, penjaga keberlangsungan hidup manusia. Tanpa ide-ide tersebut, kehidupan manusia akan kacau dan tidak berketentuan. Untuk mencegah kekacauan dan menjaga keberlangsungan hidup manusia, hal-hal metafisik (agama) tentu harus diandaikan sebagai ide-ide yang menjaga keteraturan hidup manusia secara imperatif, yaitu kewajiban dan keharusan manusia dalam menjalankan hidupnya dikaitkan dengan ide-ide metafisik tersebut hingga menjadi teratur. Lihat Ibid, hal: 48-49. 129 Berger menyebutkan bahwa agama adalah alat legitimasi yang paling efektif sehingga sering dipakai untuk memperjuangkan kepentingan tertentu, termasuk politik. (Lihat Abdul Rozak (2008: 20), “Komunikasi Lintas Agama: 105 tulisannya “Pascakebenaran” secara tersirat ingin menyampaikan bahwa politik dusta/bohong adalah suatu praktik politik yang sangat buruk karena bertentangan dengan Nilai-nilai moralitas yang ada termasuk di dalamnya Nilai-nilai suci keagamaan. Pada posisi ini Ahmad Syafii Maarif dengan tegas menjelaskan bahwa politik dan agama adalah dua hal yang sakral dimana kehadirannya tidak bisa dicampuradukkan demi kepentingan sesaat. Berpolitiklah dengan membawa martabat politik itu dan juga beragamalah dengan membawa martabat agama tersebut. Jadikan agama sebagai pondasi atau rujukan dalam berpolitik bukan dibalik dengan agama hanya sebagai bungkusan yang dalam praktiknya tentu bersifat parsial dan hanya menguntungkan golongan tertentu. Dengan kata lain, Syafii Maarif ingin berkata bahwa, bagaimana negara ini mampu menciptakan antara ‘dzikir’ dan ‘pikir’ sebagai hal yang tidak asing satu sama lain dan mampu menciptakan peradaban yang mencerminkan kedua hal tersebut, yaitu Islam dan kebinekaan (Pluralisme). Bahaya kebohongan juga pernah disinggung oleh aktor Hollywood, Leonardo DiCaprio yang menyebutkan bahwa, “Be very careful of people whose words don’t match with their action” (Berhati-hatilah dengan orang-orang yang perkataannya tidak sesuai dengan perilakunya). Sebagai warga negara yang akan memilih calon Presiden pada tahun 2019 dituntut untuk lebih cermat dan kritik terhadap mereka. Sikap cermat dan kritik dalam pandangan Islam terhadap informasi yang diterima, disebutkan pula dalam Surat Al-Hujurat ayat 6 yang menjelaskan kepada kita agar lebih teliti dalam menyimpulkan suatu berita. Karena bila tidak, hal ini akan menimbulkan musibah yang paling dekat adalah konflik internal agama Islam. Karena itu, sikap kritik perlu ditanamkan dimana tidak dimaksudkan untuk mengganggu atau menggagalkan pesta demokrasi atau sistem negara yang telah ada. Tetapi dengan sikap kritik ini, masyarakat mampu membangun kesadaran mereka untuk melihat suatu kebenaran politik, tanpa menghalangi kebenarankebenaran lainnya. Modal Sosial Pembentukan Masyarakat Sipil”). 106 Kebenaran tidak pernah berdiri sendiri, dia selalu merindukan obyek kebenaran lainnya untuk melepaskan kerinduannya sebagai sebuah kebenaran. Sebuah kebenaran akan menjadi kebenaran otentik apabila telah berhasil membuat satu dampak kebenaran, yang di dalamnya mewakili seluruh subyek dari kebenaran tersebut. Oleh karena itu, tidak benar atau bohong jika kemudian kebenaran itu hanya mewakili ketunggalan (diri) tanpa menyertakan kebenaran-kebenaran lainnya. Secara umum kebenaran berbicara tentang apa “yang sesungguhnya terjadi” Arti dari “yang sesungguhnya terjadi” adalah kebenaran itu tidak hanya bersumber pada satu dimensi kebenaran tapi bersumber dari adanya hubungan dialektis antara kebenaran satu dengan lainnya. Jika kebenaran yang bersifat satu dimensi ini terus diberlakukan tanpa adanya keterbukaan dengan kebenaran lainnya, maka yang terjadi adalah kebenaran yang bersifat absolut, dan pada akhirnya akan menimbulkan rezim otoritarian, yaitu rezim yang hanya memiliki satu pintu kebenaran yang dimaksud sebagai sebuah negara. Dalam pencarian ini, baik negara maupun masyarakatnya haruslah terus-menerus membuka ruang dialog atau perbincangan untuk menemukan klaim kebenaran yang saling bertautan antara dimensi alamiah dan obyektif. Dengan demikian, negara tidak boleh totaliter dalam menjalankan sistem kenegaraan ini dengan menjadi aparat diktator yang melarang masyarakat menyampaikan aspirasinya, tetapi menjadi negarawan yang menunjukkan kebijaksanaan dan kewibawaannya dalam bernegara. Dalam bahasa Jurgen Habermas menyebutnya sebaga komunikasi bebas penguasaan, yaitu tindakan komunikasi untuk menempuh jalan konsensus sebagai unsur penting dari demokrasi lewat perbincangan rasional yang menyulut lahirnya gerakan emansipatoris, yakni sebuah gerakan membebaskan diri dari belenggu-belenggu pengetahuan mapan yang manipulatif dan kontemplatif diantaranya ‘politik pasca-kebenaran’ ini.130 130 Baca Franky Budi Hardiman, Kritik Ideologi Menyingkap Pertautan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, (2009), h. 91. 107 Eksistensialis: Menjadi Komunikator Politik Kompeten Dalam pembicaraan-pembicaraan politik, aspek komunikator tidak bisa diabaikan sebagai bagian penting berjalannya sistem politik yang demokratis. Itu artinya sistem pemerintahan yang baik tidak dapat dijauhkan dari kompetensi seorang komunikator politik yang memadai, paling tidak dalam mode komunikasi lisan. Orang-orang dengan kemampuan lisan dalam setingan politik biasanya mendapat pujian dan penghormatan dari masyarakat. Hal ini terjadi bilamana orang-orang yang dimaksud memiliki kompetensi sebagai seorang komunikator yang ulung, handal, dan dapat dipercaya. Kompetensi komunikator sendiri dapat dinilai dari tiga aspek, yakni kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan, atau oleh Aristoteles disebut sebagai karakter Ethous131 Kredibilitas komunikator (politik) dapat diartikan sebagai bentuk penilaian komunikate atau konstituen politiknya yang diukur dari kemampuan atau keahlian dirinya di dalam menguasai persoalanpersoalan politik secara kompleks, dan apa yang disampaikannya dapat kemudian dipercaya. Sementara atraksi dapat ditandai sebagai bentuk daya tarik diri terhadap orang lain atau kesamaan yang ada dalam diri penyampai pesan kepada pendengar atau publiknya sehingga hal tersebut relatif memudahkan terjalinnya proses sosial-politik diantara mereka. Terakhir adalah kekuasaan yang diorientasikan pada sumber daya yang dimiliki oleh komunikator politik dalam menundukkan konstituennya atau pemilihnya. Dapat dicatat di sini adalah pentingnya kekuasaan bagi para pelaku politik, baik itu kekuasaan koersif, keahlian, informasional, referensial, maupun legalitas, untuk menjamin dan memberi kepercayaan kepada mereka guna memenuhi ekspektasi dan pandangan politiknya apakah itu lewat internalisasi, identifikasi, atau ketundukan. Dalam khasanah komunikasi politik modern atau ‘milenial’ dewasa ini, para komunikator politik perlu melakukan suatu “reself-actualizing of politics” yang merupakan proses penyadaran diri mengenai aktualisasi atau eksistensi berpolitik secara menyeluruh. 131 Baca Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (2011), h. 252-253. 108 Artinya, kesadaran berpolitik yang secara kompleksitas sanggup untuk paling tidak menghadirkan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai seorang politikus yang mampu memainkan peran dan fungsinya secara lebih etis. Dalam kalimat lain, perilaku etistik dari mereka para politikus sudah sangat sulit untuk ditemukan dewasa ini secara aposteriori. Akhirnya penampilan mereka di depan publik tidak lagi otentik tapi penuh dengan polesan manipulatif untuk menyakinkan para pemilihnya. Padahal menekankan dan mengedepankan kepentingan publik adalah prioritas utama sebagai menjadi seorang politikus sekalipun perkembangan atau tren media politik mengalami perkembangan yang cukup drastis dan cenderung menggerakkan atau memobilisasi cara pandang mereka. Sehingga publik tidak memiliki semacam pilihan atau kebijakan politik tertentu akibat dari gangguan informasi atau pengetahuan yang sengaja dibiarkan seperti itu (manipulasi [disimulasian]). Tiap kita, manusia politik (homo politicon), adalah manusia yang sadar, bukan sekedar bagian dari kerumunan manusia politik yang kuantitatis dan statis. “Selami kehidupan dan temukan jati dirimu”. Demikian, dan pernyataan Soren Kierkegaard, seorang pemikir Eksistensialis. Keyakinan yang tak jauh beda dikatakan oleh Socrates ialah “gnothi seauton” (kenali dirimu). Kedua premis ini mengindikasikan salah satu persoalan yang dulu dan bahkan masa sekarang makin sentralis pembicaraan ini, yakni kebutuhan menjadi obyektif dengan pengetahuan sistemik sebagai legitimasinya. Pertanyaannya adalah benarkah yang obyektif itu adalah obyektif? Secara harfiah ‘obyektif’adalah, sebuah pandangan yang sesungguhnya tanpa dicampuri oleh pandangan atau pendapat pribadi. Obyektivitas bisa saja dimaksudkan untuk mewakili suara massa/ mayoritas, tapi representasi tersebut tidak menutup bisa menegasikan keberadaan suara-suara lainnya, sehingga obyektivitas dipandang tidak merangkul dua kubu. Melalui obyektivitas, manusia dipaksa untuk menjadi seragam dengan orang banyak tanpa mengindahkan arti eksistensi diri atau menjadi subyektif. Manusia dilarang menjadi subyektif atau aktualisasi terhadap dirinya sendiri, demikian pandangan obyektif tersebut sehingga manusia pada gilirannya teraleniasi pada dirinya sendiri. 109 Premis dasar dari pandangan obyektivitas adalah adanya kecenderungan kekuasaan atau pengetahuan yang melekat pada diri obyektif ini. Dengan bahasa lain, obyektif dikonstruksi pula secara subyketif oleh mereka yang secara politis dan pengetahuan memiliki legitimasi untuk mengadakan hal tersebut. Artinya terbuka ruang konflik kepentingan dalam pandangan obyektif tersebut. Pada poin ini, manusia perlu menjadi otonom bagi dirinya sendiri karena dengan itu manusia bisa mengenali dan terutama menjadi pribadinya sendiri, yakni kesanggupan manusia menyadari dirinya tentang hakekat bermanusia dan menyatu dengan realitasnya yang saat ini sudah sulit ditemukan, misal, sulit beragama karena itu sulit bermanusia karena beragama bukan hanya sekedar ber-Tuhan, tapi juga bermanusia dengan manusia lainnya. Kesadaranlah yang merupakan aspek yang menyebabkan keistimewaan manusia, yang tidak terdapat pada makhluk lain. Manusia bukan saja ada, tetapi ia mengerti bahwa ia ada. Bila manusia berbuat sesuatu, maka ia sendiri yang menjadi subyek yang bergerak atau berbuat hal tersebut. Dia mengerti dan merasa akan perbuatannya karena di dalamnya ia mengalami proses eksistensialis. Manusia secara inheren adalah manusia baik, demikian yang dikatakan oleh Filsuf Italia, Cicero. Manusia membekali dirinya tidak hanya dengan pengetahuan, tapi juga spritualitas (pikir dan dzikir). Karena itu, pandangan ini menyakini manusia bisa berbuat baik atas kehendak dirinya sendiri tanpa keterlibatan orang lain. Hanya manusia yang sanggup melakukan self-reflection untuk meninjau jauh ke belakang tentang perbuatan yang telah dilakukannya untuk kemudian mengevaluasi dan menyempurnakannya kembali. Manusia selalu ingin menggapai pengakuan dan penerimaan akan dirinya di tengah-tengah masyarakat, termasuk para politikus. Dua hal tersebut, pengakuan dan penerimaan adalah capaian utama dari mereka sehingga hal ini relatif memudahkan untuk memenuhi motivasi berpolitiknya. Untuk itu semua, para politikus ini perlu menjadi manusia berkompeten dalam berkomunikasi melebihi superfisial dalam berkomunikasi. Apa itu komunikasi nonsuperfisial? Adalah komunikasi yang tidak hanya memerhatikan capaian dan pengaruh dari pesan komunikasi tersebut, tetapi apa 110 yang dikomunikasikan itu sanggup membangun dan mengangkat martabat (maintaining dignity) manusia lainnya. Hal ini ditegaskan oleh Martin Buber bahwa komunikasi humanis adalah interaksi yang memperlakukan manusia bukan pada ciri, atribut, atau tipefikasi yang melekat pada dirinya semata, melainkan yang utama adalah memaknai mereka sebagai manusia yang juga memiliki kebutuhan yang sama dengan kita. Karena itu, diperlukan model komunikasi reciprocity (timbal-balik) untuk mencapai komunikasi yang sehat dalam arti tidak mengalienasi orang lain. Pernyataan Martin Buber di atas dapat menjadi refleksi nyata bagi para kumpulan politikus (DPR/Partai Politik) yang belakangan ini kurang mendapat kepercayaan publik (51%) dikarenakan perilaku politik mereka yang cenderung di luar dari ekspektasi para konstituennya.132 Akibatnya publik terkesan tidak lagi atau bahkan masa bodoh dengan para politikus yang sudah dianggap tidak mampu mewakili suara rakyat (publicdistrust) sebagaimana hasil survey tersebut. Apa yang bisa kita pertimbangkan dari gagasan di atas adalah pentingnya menjadi komunikator (politik) yang kompeten untuk tidak hanya mendapatkan keinginan dalam berpolitik. Tapi lebih dari itu, pesan politik ini. Kuasa memberikan pengakuan hak berpolitik. Adalah, orang lain dalam arti hak-hak berpolitik dia diakui dan difasilitasi oleh negara demi mewujudkan ekuilibrium politik yang beradab dan bermartabat. 132 Lihat Denita Matondang, Survey Kepercayaan Publik: KPK-Presiden Tertinggi, DPR Terendah, 2017. (Diunduh hari Rabu, 2 Januari 2019) 111 Daftar Pustaka: Butterick, Keith, 2013. Pengantar Public Relations Teori dan Praktik. PT. Rajagrafindo Persada: Depok. Hardiman, Franky Budiman, 2009. Kritik Ideologi Menyingkai Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Penerbit Kanisius: Yogyakarta. Morrisan, 2013. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Kencana Prenada Media Group: Jakarta. Rakhmat, Jalaluddin, 2011. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Takwin, Bagus, 2003. Akar-akar Ideologi “Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Jalasutra: Yogyakarta. Daftar Publikasi: Rozak, Abdul, 2008. Komunikasi Lintas Agama: Modal Sosial Pembentukan Masyarakat Sipil. Jurnal Dakwah: UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Daftar Internet: Maarif, Ahmad Syafii, 2018.Politik PASCAKEBENARAN. Jakarta. http://maarifinstitute.org/Politik-pasca-kebenaran/ Matondang, Denita, 2017. Survey Kepercayaan Publik: KPKPresiden Tertinggi, DPR Terendah. Jakarta. http://m.detik.com/news/berita/3567239/survey-kepercayaanpublik-kpk-Presiden-tertinggi-dpr-terendah 112 ISLAM DAN NEGOSIASI GENDER STUDI PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG HAK PEREMPUAN Aminah Pendahuluan Berbicara mengenai kedudukan dan hak perempuan dalam Islam, mengantarkan kita untuk terlebih dahulu melihat pandangan Al-Qur’an tentang asal kejadian perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah firman Allah, dalam Al-Hujurat ayat 13 “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa”. Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan yang dasar kemuliaannya bukan dari keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah SWT. Secara tegas dapat dikatakannya bahwa perempuan dalam pandangan Al-Qur’an memiliki kedudukan terhormat. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena 113 mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanitawanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”(An-Nisa ayat 34) Yang menjadi perdebatan hingga sekarang adalah Surat AnNisa ayat 34, kata qawwam menurut para ahli tafsir klasik dan beberapa tafsir modern mengartikan kata ini sebagai : pemimpin, penguasa, yang memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria menjadi pengelola masalah-masalah perempuan. Tim Departemen Agama dalam Al-Qur’an dan Terjemahanya pun mengartikannya demikian. Dari sini kemudian muncul pandangan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dan ditempatkan sebagai pengikut saja.133Laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya.134Gender sebenarnya adalah behavior differences antara laki-laki dan perempuan yang socially differences yakni perbedaan yang bukan kodrat atau ciptaan Tuhan melainkan diciptakan oleh laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.135 Tidak semua ulama setuju dengan pandangan yang mewajibkan laki-laki sebagai pemimpin, terlebih mengeneralisasinya menjadi 133 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2015, h 259-260 134 Nasaruddin Umar, Qur’an untuk Perempuan, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Teater Utan Kayu Jakarta, 2002, h 27 135 Dzuhayatin,Siti Ruhaini, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Cet. I, Yogyakarta, PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2019, h 18 114 pemimpin di berbagai sektor. Ada juga ulama yang membolehkan kepemimpinan perempuan dengan tetap berpijak pada ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Muhammad Sayid Thanthawi, Yusuf Qardhawi, dan Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab merupakan representasi ulama yang membolehkan kepemimpinan perempuan. Menurut Yusuf Qardhawi, perempuan boleh masuk ke ranah publik selama perempuan itu tidak ber-khalwat, melaksanakan perannya sebagai ibu bagi anak-anaknya dan berakhlak Islami.136Quraish Shihab mengedepankan bahwa seorang wanita memiliki hak-hak tersendiri yaitu antara lain: a) Hak di luar rumah b) Hak dan kewajiban belajar c) Hak di bidang politik.137 Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan adalah tentang kepemimpinan perempuan, baik kepemimpinan dalam rumah tangga, kepemimpinan sosial ekonomi dan kepemimpinan negara. Menurut sejumlah ahli tafsir berperspektif feminis, menjadikan ayat diatas sebagai dasar untuk melarang perempuan menjadi pemimpin tidaklah relevan. 1. Ayat ini turun dalam konteks hubungan suami istri, bukan dalam konteks kepemimpinan. 2. Menghubungkan ayat ini untuk melarang perempuan menjadi pemimpin adalah sebuah keangkuhan yang bertentangan dengan konsep dasar Tuhan menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi dan mengelola bumi secara bertanggung jawab dengan mempergunakan akal yang telah di anugerahkan Allah kepada manusia laki-laki dan perempuan. 3. Konteks ayat ini turun berkaitan dengan kuatnya kecenderungan kekerasan domestic dalam rumah tangga pada masyarakat di Arab pra Islam. 136 Anton Jamal, dkk, Perempuan dan Hak Asasi Manusia, PUSHAM UMM, Bandung, 2018, h 70 137 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , Cet.IV, Bandung, Mizan,1996, h 303 115 Oleh karena itu, makna yang cukup netral terhadap kata ini adalah pencari nafkah, penopang ekonomi atau mereka yang menyediakan sarana pendukung kehidupan. Musdah Mulia dalam bukunya, menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender, menyatakan bahwa Islam sangat tegas membawa prinsip kesetaraan manusia, termasuk kesetaraan perempuan dan laki-laki. Karena itu, Islam menolak semua bentuk ketimpangan dan ketidakadilan, terutama terkait relasi gender. Islam juga menolak budaya patriarki, budaya fedal dan semua sistem tiranik, despotic dan totaliter.138 Namun dalam hal ini pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang perjuangan kesetaraan dan keadilan gender membuka cakrawala luas cara pandang masyarakat modern sekarang ini. Beliau mencoba menghapus bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan pembelaannya terhadap persoalan kemanusiaan universal. Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah, sepanjang tidak melahirkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender (gender inequality). Akan tetapi realitas historis memperlihatkan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender, terlebih lagi bagi perempuan. Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Perempuan Ahmad Syafii Maarif banyak berkontribusi dalam dunia pendidikan dan organisasi sosial. Cara pandang kesetaraan dan keadilan manusia ini terus menerus di serukan oleh beliau yang menjadi gagasan utamaya di tengah-tengah menguatnya arogansi manusia berbasis pengakuan keunggulan gender, keunggulan ras, keunggulan agama, keunggulan organisasi dan kelompok. Perhatian Ahmad Syarii Maarif pada isu ketidakadilan gender, terlihat sekali melalui pandangan-pandangannya dan ditunjukkan pula dalam praktik kehidupannya. Ia meruntuhkan pemikiran masyarakat tentang jenis pekerjaan antara kaum pria dan perempuan, 138 Musdah Mulia, Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender, cet. I, Nauvan Pustaka, Yogyakarta, 2014, h 55 116 beliau membuktikannya dalam kehidupan kesehariannya dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak. Ada hal menarik dari pernyataan beliau : “Jika Istriku tidak ada di rumah, aku biasa berbelanja dan memasak sendiri. Dalam budaya hidup mandiri ini, aku termasuk yang beruntung karena merasa tidak ada kecanggungan sama sekali. Untuk membuat menu sambal yang agak lezat, aku sering minta di ajari istriku. Sekarang jenis makanan rebus ikan, aku bisa bertanding dengan siapa saja dari segi rasa, tanpa bumbu masak yang aneh-aneh, tanpa merek Ajinomoto”. Kesetaraam gender yang beliau implementasikan dalam lingkungan kecil yakni keluarga sangat menghargai kedudukan wanita.139. Ahmad Syafii Maarif memproklamirkan tentang kesetaraan manusia atas dasar keragaman latar belakang, tak terkecuali kesetaraan gender. Beliau berkata : “Bagiku gelar-gelar sayid, syarifah, wali, habib dan 1.001 gelar lain, yang mengaku keturunan Nabi, atau keturunan raja, hulubalang, atau keturunan bajak laut dan perompak lanun yang kemudian ditakdirkan menjadi raja, sultan, amir, dan dianggap keramat dan suci oleh sebagian orang, akan runtuh berkeping-keping berhadapan dengan penegasan ayat Al-Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 13 “Sesungguhnya yang termulia di antara kamu di sisi Allah adalah kamu yang paling takwa”. Untuk merebut posisi takwa, terbuka bagi seluruh orang beriman, tanpa terkait dengan latar belakang keturunan, kultur, sejarah, ekonomi, dan apa pun. Posisi seseorang di dunia ini menurut yang kupahami ditentukan oleh kualitas hidupnya, kualitas iman dan amalnya, tidak oleh yang lain”.140 139 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa ……, h 257-258 140 Ibid, hlm, 251 117 Beliau juga berpendapat bahwa Islam tidak mengenal perbedaan kepemimpnan berdasarkan gendernya, tetapi berdasarkan ketakwaan yang merupakan prasyarat mendasar dari seorang pemimpin. Sebagaimana yang ditulisnya : “Kepemimpinan perempuan ini berangkat dari dictum AlQur’an tentang keterbukaanya pintu kemuliaan di sisi Allah buat mereka yang paling takwa, laki-laki maupun perempuan. Posisi pemimpin formal (laki-laki dan perempuan) akan menjadi mulia di mata rakyat jika ia bertakwa dengan menegakkan keadilan dan siap bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama tanpa pilih kasih. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya yang tepat. Sebaliknya zalim adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang salah. Pemimpin laki-laki atau perempuan yang adil haruslah memenuhi kriteria yang elementer tetapi cukup mendasar ini”.141 Beliau juga tegas dalam menolak poligami bahwa sistem pernikahan yang benar menurut Al-Qur’an adalah monogami. Poligami dibuka pada saat-saat yang sangat terpaksa dengan syaratsyarat yang berat. Menurutnya, perkawinan monogami adalah yang sesungguhnya yang dikehendaki oleh ajaran Islam dengan berbasis pada kesetiaan dan saling menyayangi antar pasangan. Hak Perempuan dalam Kepemimpinan (Politik) Saat ini sudah banyak perempuan yang bekerja di instansi pemerintah, swasta, perusahaan, pertokoan dan sebagainya. Tidak sedikit dari mereka menduduki posisi penting di tempat kerjanya, bahkan menduduki posisi puncak seperti kepala perusahaan, Bupati, Gubernur, Menteri sampai Presiden. Bagi seorang Muslimah yang bekerja, terasa masih ada yang membelenggu mereka karena anggapan adanya larangan Islam terhadap perempuan. Tak 141 Ibid, hlm, 261 118 dipungkiri, dalam kajian fikih Islam terdapat semacam larangan bagi perempuan untuk menduduki posisi tertentu yang dianggap hanya lelaki yang bisa mendudukinya seperti kepala pemerintahan terutama jika perempuan terjun ke dunia politik. Perjuangan perempuan dalam mengakhiri sistem yang tidak adil (ketidakadilan gender) tidaklah merupakan perjuangan perempuan melawan laki-laki, melainkan perjuangan melawan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat, berupa ketidakadilan gender. Untuk mengakhiri sistem yang tidak adil ini ada beberapa agenda yang perlu dilakukan, yakni: 1. Melawan hegemoni yang merendahkan perempuan, dengan cara melakukan dekonstruksi idiologi. Melakukan dekonstruksi artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan di mana saja. 2. Melawan paradigma developmentalism yang berasumsi bahwa keterbelakangan kaum perempuan disebabkan karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembangunan. Melawan hegemoni yang merendahkan harkat dan martabat perempuan patut dilakukan, sebab hegemoni itu sebenarnya hanya merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial. Diantara caranya adalah dengan melakukan konstruksi hukum, yang memberi dasar bagi perempuan dalam melawan hegemoni yang tidak adil dijamin dalam berbagai instrumen hukum, baik dalam instrumen hukum internasional maupun nasional. Di antara cara untuk dapat mewujudkan kesetaraan bagi perempuan dengan meningkatkan jumlah perempuan yang menjadi anggota parlemen, karena pembentukan suatu peraturan perundang-undangan dipengaruhi oleh anggota parlemen itu sendiri. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan keanggotaan perempuan di parlemen harus terus dilakukan. Karena sampai saat ini jumlah anggota DPR perempuan belum pernah mencapai angka 30%. Untuk itu, perlu dirumuskan mekanisme yang dapat menjamin keterwakilan perempuan di sektor publik semakin meningkat di masa mendatang. Demikian halnya seorang wanita boleh menjadi anggota legislatif atau DPR, 119 argumentasi ini diperkuat oleh Yusuf Qardhawi juga Mustafa alSiba’i142 (Abu Syuqqah, 1999 :540) Perdebatan Surah An-Nisa ayat 34 di didukung hadis yang sangat popular dan diyakini memiliki tingkat validitas yang tinggi kecelakaan bagi kaum yang menjadikan perempuan sebagai pemimpin. Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusan mereka pada wanita”.143 Hadis di atas merupakan dalil yang sering dilontarkan untuk menghalangi perempuan berkiprah dalam dunia politik, pemerintahan, Hakim dan sebagainya. Hadis tersebut muncul karena adanya kabar yang sampai kepada Nabi saw tentang pemerintahan Persia yang rajanya seorang perempuan. Sejahrawan menyatakan perempuan tersebut tidak memiliki kecakapan dalam memimpin, dan faktanya kerajaan Persia mengalami kemunduran akibat saling bunuh di antara mereka.144 Sementara dalam Al-Qur’an menceriterakan adanya kerajaan makmur dan kuat padahal pemimpinnya seorang perempuan. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar” (Surah An-Naml ayat 23). Penggalan kalimat “wa utiyat min kulli syaiin” dalam surah AnNaml di atas, menunjukkan adanya kemakmuran dan kesejahtreaan di kerajaan Balqis, perempuan yang burung Hud-hud sebut dalam ayat di atas. Jelas Al-Qur’an mengilustrasikan kondisi tersebut berarti di antara perempuan ada yang berhasil menjadi pemimpin tertinggi. Muhammad al-Ghazali secara lugas membeberkan beberapa 142 Abu Syuqqah, Abdul Halim, Tahrir al-Mar’ah fi Ashri Al-Risalah diterjemahkan oleh Chairul Halim dengan judul Kebebasan Wanita, Jilid II, Jakarta, Gema Insani Press, 1999, h 540 143 Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, Juz II-IV. Beirut: Dar al-Fikr, 1995, hlm.89 144 Al-Asqalani, Ahmad bin Ali, Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Shahih alBukhari, Juz VIII, Beirut, Dar al-Fikr, 2000, h 472 120 fakta tentang keberhasilan kepemimpinan perempuan di era modern seperti perempuan Yahudi (Golda Meir) yang mampu memimpin bangsanya sehingga berhasil mempermalukan beberapa tokoh dari kalangan politisi Arab. Sama sekali tidak boleh kita abaikan peranan perempuan di kancah international hanya karena di lapangan lainnya berlangsung perbuatan kaum perempuan yang rendah dan tak bermoral. Di sisi lain, kita dapati Ibn Hazm (w. 456 H) menyatakan bahwa Islam tak pernah membatasi perempuan untuk menduduki jabatan tertentu, kecuali pemimpin tertinggi (Presiden atau perdana menteri). Walau kurang setuju dengan mereka yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin tertinggi, tapi alGhazali masih membenarkan perempuan memimpin termasuk menjadi kepala negara bila memenuhi beberapa syarat seperti Golda Meir, ratu Victoria di Inggris dan Indira Gandhi dan pemimpin perempuan dunia lainnya yang berhasil.Disini menunjukkan kalau perempuan memliki hak dalam pemerintahan dan politik selama memenuhi kualifikasi. Dengan kaca mata kesetaraan, kepemimpinan laki-lakiterhadap perempuan dalam keluarga bukanlah hal yang tetap.Menurut Amina Wadud, perempuan dapatmenggantikan laki-lakibila syarat-syarat dalam ayat Al-Qur’an mengenai kepemimpinanitu dapat dipenuhi, yakni memberi nafkah dan keistimewaan dalamhal fisik dan psikologis.145 Ahmad Syafii Maarif berpendapat tentang kepemimpinan perempuan dalam politik tidak ada masalah perempuan dipilih jadi bupati, gubernur, dan bahkan Presiden, jika mempunyai kemampuan yang prima dan bermoral. Sebagaimana yang ditulisnya : ”Bagiku tidak ada masalah dan halangan seorang perempuan dipilih jadi bupati, gubernur dan bahkan Presiden, suatu yang tabu dalam khazanah klasik Islam. Tidak saja pada masa klasik, di era modern pun masih cukup banyal ulama dan sarjana Muslim yang menolak perempuan untuk jadi pemimpin 145 Amina WadudMuhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, Terj.Yaziar Radianti, Pustaka,Bandung,1994, h 93-94 121 dengan berbagai alasan. Tentu tidak asal perempuan, harus di cari untuk dipilih pribadi yang benar-benar punya kemampuan prima, bermoral, dan akan lebih baik pasca usia 40 tahun pada saat ia telah lebih longgar untuk berkiprah di bidang Politik”.146 Konsep Ketidakadilan dan Dikriminasi Perempuan Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih tinggi dikenal dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi atau ketidakadilan. Patokan atau ukuran sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur apakah perbedaan gender itu menimbulkan ketidakadilan atau tidak adalah sebagai berikut: 1. Stereotipe (Stereotype) Stereotipe merupakan jalan pikiran yang menyederhanakan hal-hal kompleks untuk mengambil keputusan secara tepat. Dalam kajian gender umumnya dipahami sebagai pengklasifikasian asumsi mengenai standar perilaku yang cocok untuk laki-laki dan perempuan. Pengklasifikasian asumsi ini sering digunakan sebagai dalih untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Karena itu, akta stereotype dalam kajian gender umumnya dipahami sebagai prasangka negatif.147 Perlakuan yang dilabeli kepada perempuan dalam masyarakat yakni perempuan dianggap tidak rasional, tidak bisa mengambil keputusan penting, perempuan tugasnya hanya sebagai ibu rumah tangga. Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan. Pelabelan umumnya dilakukan 146 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa h 262-263 147 Anton Jamal, dkk, Perempuan dan, h 61-62 122 dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya. Pelabelan juga menunjukan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan. 2. Kekerasan Kekerasan (violence) bisa berwujud tindakan penyerangan yang melukai fisik seseorang atau melalui tindakan penyerangan verbal yang melukai mental dan psikologi seseorang.148 Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminisme dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan. Korban kekerasan gender tentunya lebih banyak dialami oleh kaum perempuan. Korban ini tidak mengenal usia maupun status sosial, bisa kaya, pejabat, orang miskin, pembantu, anak-anak, dewasa bahkan lansia. Tindakan kekerasaan yang sering terjadi yakni kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga, pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan, pelecehan seksual, eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi. 148 Ibid, h 65 123 3. Beban ganda (double burden) Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik.149 Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda. Kondisi yang tidak menguntungkan kerap terjadi pada perempuan karir atau ketika suami kena PHK atau bangkrut. Dalam kondisi ini para perempuan memiliki peran ganda, aktivitas domestik dan aktivitas publik. Para perempuan ini memiliki beban ganda, harus mengurus rumahtangga sekaligus mencari nafkah. Yang memprihatinkan lagi perempuan atau istri cenderung selalu di jadikan obyek pelampiasan kesalahan 4. Marjinalisasi Marjinalisasi artinya, suatu proses peminggiran atau pemojokan perempuan oleh struktur sosial atau budaya. Peminggiran ini seringkali di sandarkan pada alasan biologis perempuan. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender. Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai 149 www.academia.edu/6189259/Gender_dan_kebudayaan 124 pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima. Masih banyaknya pekerja perempuan di pabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan faktor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. 5. Subordinasi Subordinasi Artinya, suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.150 Perempuan adalah obyek pelengkap laki-laki, atau lakilaki superior dan perempuan inferior. Telah diketahui, Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi. Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan dibanding lakilaki. Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak. Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislatif dan eksekutif). Pendangan Syafii Maarif tentang masalah kepemimpinan perempuan ini berdasarkan pada Alquran surat al-Hujurat ayat 3, dan ayat-ayat lain yang saling mendukung, yaitu berisi tentang terbukanya pintu kemuliaan di sisi Allah buat mereka yang paling taqwa, lakilaki maupun perempuan. Seorang Muslim laki-laki dan perempuan yang bertaqwa dijamin oleh ayat ini untuk meraih kemuliaan di sisi Allah, asal diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Posisi pemimpin, laki-laki maupun perempuan, akan menjadi mulia di mata rakyat jika ia bertaqwa dengan menegakkan keadilan, dan siap 150 menegpp.go.id/v2/index.php/glosari/ketidakadilan-gender 125 bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama tanpa pilih kasih. Menurutnya, pemimpin perempuan yang ideal harus memenuhi syarat yaitu: memiliki kemampuan prima, bermoral, dan akan lebih baik pasca usia 40 tahun, pada saat ia sudah banyak waktu untuk berkiprah di bidang politik. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah izin suami, sekiranya ia masih bersuami. Perjuangan perempuan dalam meningkatkan representasi perempuan di legislatif, melalui affirmative action dapat dilakukan dengan melibatkan kaum perempuan lebih banyak aktif di partai politik. Memberdayakan perempuan dalam partai politik merupakan langkah paling awal untuk mendorong kesetaraan dan keadilan bisa dicapai antara laki-laki dan perempuan, di dunia publik dalam waktu tidak terlalu lama. Langkah ini diperlukan agar jumlah perempuan, di lembaga legislatif bisa seimbang jumlahnya dengan laki-laki. Penutup Ahmad Syafii Maarif memiliki pemikiran keberpihakan kesetaraan dan keadilan gender, sebagai suatu prasyarat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan pembelaannya terhadap persoalan kemanusiaan universal. Banyak sisi pembelaan beliau dalam menghormati perempuan, yakni beliau tegas dalam menolak poligami bahwa sistem pernikahan yang benar menurut Al-Qur’an adalah monogami. Poligami, dibuka pada saat-saat yang sangat terpaksa dengan syarat-syarat yang berat. Menurutnya, perkawinan monogami adalah yang sesungguhnya yang dikehendaki oleh ajaran Islam, dengan berbasis pada kesetiaan dan saling menyayangi antar pasangan. Beliau juga tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam kepemimpinan, ,karena Islam tidak mengenal perbedaan kepemimpinan berdasarkan gendernya, tetapi berdasarkan ketakwaan yang merupakan prasyarat mendasar dari seorang pemimpin serta mempunyai kemampuan yang prima dan bermoral. Beliau juga mencoba menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dengan menyampaikan pemikirannya secara tertulis maupun lisan, serta memberikan contoh melalui keteladanan yang di praktikkan dalam keluarganya. 126 Daftar Pustaka Burhani, Ahmad Najib, dkk; Muazin Bangsa dari Makkah Darat, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2015 Abu Syuqqah, Abdul Halim, Tahrir al-Mar’ah fi Ashri Al-Risalah diterjemahkan oleh Chairul Halim dengan judul Kebebasan Wanita, Jilid II, Jakarta, Gema Insani Press, 1999 Al-Asqalani, Ahmad bin Ali, Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Juz VIII, Beirut, Dar al-Fikr, 2000 Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi, Juz II-IV. Beirut: Dar al-Fikr, 1995 Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Cet. I, Yogyakarta, PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2019, h. 18 Jamal, Anton, dkk, Perempuan dan Hak Asasi Manusia, PUSHAM UMM, Bandung, 2018 Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur’an, Terj. Yaziar Radianti, Pustaka, Bandung, 1994 Mulia, Siti Musdah, Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender, cet. I, Nauvan Pustaka, Yogyakarta, 2014 Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , Cet.IV, Bandung, Mizan, 1996 Umar, Nasaruddin, Qur’an untuk Perempuan, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Teater Utan Kayu Jakarta, 2002 www.academia.edu/6189259/Gender_dan_kebudayaan menegpp.go.id/v2/index.php/glosari/ketidakadilan-gender 127 MENJADI “MUSLIM OTENTIK”: MEMBACA PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF Magfirah Pendahuluan. Kebangkitan Islam adalah “istilah ajaib” yang muncul pada abad kelima belas Hijria ini. Banyak orang terilhami dan tak sedikit pula yang salah mengerti. Apa sesungguhnya yang terjadi dengan Islam dalam usianya yang panjang ini? Sudah sampai di manakah umat Islam membawa warisan Nabi Muhammad SAW. di tengah gejolak perubahan sosial yang begitu cepat? Adakah evolusi aktualisasi Nilai-nilai Islam oleh umatnya yang dapat didata dan diproyeksikan ke masa depan?. Beginilah kira-kira pernyataan dan pertanyaan dari seorang Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat, dalam prolog bukunya yang berjudul Islam aktual pada edisi terbitan 1991151. Namun dalam situasi sekarang ini, menarik jika pernyataan dan pertanyaan di atas penulis coba telusuri dan mengkontektualisasikannya dalam ranah kekinian, pertanyaan ini akan terjawab setelah kita menyelusuri pemikiran Ahmad Syafi Maarif mengenai wacana menjadi “Muslim Otentik”, yang penulis akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya. Sebelum melangkah lebih jauh untuk menjawab pertanyaan 151 Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Sorang Cendekiawan Muslim, (Bandung: PT Mizan Pustaka IKAPI)), h. 13 128 diatas, alangkah baiknya kita melihat terlebih dahulu gelayut umat Islam sekarang ini, gelayut Islam yang kaffah di Indonesia telah mengikis, di tengah-tengah arus global yang tidak menentu. Sejak munculnya era reformasi, yang dibungkus dengan ormas-ormas aliran keras nampaknya telah memberikan “wajah baru” bagi peradaban umat Islam di Indonesia. Angin pergerekan ini peradaban tersebut nampaknya telah mengibas yang sampai saat masih bisa kita rasakan. Hal ini bisa dilihat dari kebangkitan populisme Islam yang di tandai dengan hadirnya hawa-hawa kelompok-kelompok aliran keras. Kelompok tersebut bisa kita lihat dengan berkaca pada aksi-aksi bela agama yang terjadi akhir tahun 2016 kemarin152. Jumlah penduduk di Indonesia dihuni oleh lebih dari 200 juta, dan mayoritas pendudu dihni oleh umat Islam. Pertanyaan pentingnya adalah; mengapa posisi umat Islam di Indonesia semakin tidak toleran” Mengapa umat Islam di Indonesia tidak dapat memancarkan “ruh Islam” sebagai ajaran otentik di bumi Pertiwi? Justru sebaliknya, Ppopulisme Islam semakin mengibar, dengan rangkaian dinamika yang dibungkus dengan kekerasan akibat dari angin era reformasi. Dalam situasi tersebut, sekiranya warga masyarakat Muslim di Indonesia butuh suatu konep untuk mengarungi gelombang arus yang tidak menentu, umat Muslim di zaman sekarang ini sudah kehilangan identitasnya sebagai Muslim yang rahmatan Lil alamin, maraknya fenomena penindasan yang terjadi sekarang ini, bisa dilihat dari perubahan yang tidak semestinya dilakukan terhadap kelompok-kelompok minoritas, seakan mempertontonkan wajah umat Islam sesungguhnya. Namun dibalik dari gejolak arus diatas, kita masih bersyukur karena muncul seorang intelektual Muslim yang dikenal sebagai 152 Untuk melihat kasus ini lebih jauh baca buku: Adakah evolusi aktualisasi Nilai-nilai Islam oleh umatnya yang dapat didata dan diproyeksikan ke masa depan?, (Penerbit: Pustaka IndoPROGRESS & Islam Bergerak, 2017), h. 56, dan Jurnal Maarif : Arus Pemikiran Islam dan SosialSkenario Populisme Islam di Indonesia Pasca Aksi Bela Islam, MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni 2017, h.2 129 sosok yang pluralis, toleran, inklusif, dan moderat yaitu Ahmad Syafii Maarif. Muncul sebagai mercusuar pemberantasan paham radikalisme, sehingga bisamengimbangi arus gelombang percaturan paham inklusifisme. Kehadiran pemikiran Ahmad Syafii Maarif setidaknya mengibas angin reformasi yang membawa ideologi kekerasan. Ahmad Syafii Maarif selalu tampil dalam mengampayekan agar umat Islam menjadi Muslim yang otentik tanpa paham-paham hantu-hantu sejarah yang sampai sekarang ini masih berkeliaran. Tapi tidak lengkap rasanya jika kita terus mengeluk-elukkan pemikiran beliau, tapi hal yang menjadi penting dalam ranah imiah adalah sikap kritis atas pemikiran beliau penting untuk diungkap dan dituliskan. Karena beliau adalah contoh cendekiawan Muslim yang tepat untuk dikupas pemikirannya dalam situasi, Indonesia yang akhir-akhir ini agak “menyebalkan” karena sifat penghuninya didalamnya.Keramahan penghuni Indonesia tidak akan bisa kita menikmatinya jikalau daki-daki sejarah peradaban sejarah masih diberhalalkan. Membincang Keindonesiaan dan Keislaman dalam Konteks Kekinian Wacana mengenai isu keindonesiaan dan keislaman mulai hangat ketika pentas kontestasi politik di ibukota mulai memainkan sumbu apinya. Percikan apinya dimulai dari suasana perebutan kekuasaan, sejak pemilihan serentak Kepala daerah pada 2017 hingga 2018, dan pemilihan legislatif dan Presiden 2019, dan tak sedikit dari kelompok-kelompok tertentu memainkan bara apinya utamanya umat Islam di Indonesia yang terbilang sebagai mayoritas. Kunkungan api tersebut bisa dilihat dari Populime Islam yang terus menguak diruang publik, sehingga belakangan ini, umat Islam di Indonesia menjadi topik tren perbincangan hangat di belahan mata dunia. Tepatnya ketika gerakan-gerakan aksi bela agama, atau yang biasa disebut gerakan 212, reuni kelompok-kelompok ormas agama hingga sampai penghujung akhir tahun 2018 tepatnya pada tanggal 2 desember 2018 di Monas Jakarta, yang konon pesertanya hampir 3 juta lebih. Sehingga isu-isu keindonesiaan dan isu keislaman kembali menguak diruang publik. 130 Perbincangan hangat tersebut tidak terlepas dari masa lalu umat Islam di indonesia, tepatnya ketika momentum jatuhnya rezim Orde Baru telah dimanfaatkan secara baik oleh kelompok Islam radikal untuk bangkit dan sumbu memanasnya tepatnya ketika kran era api reformasi dibuka, ditandai dengan ormas Islam ini membuat pentas politik nasional semakin ramai dengan tuntutan aspirasi Islam, seperti misalnya tuntutan Piagam Jakarta, syariat Islam, penolakan Presiden wanita, konflik SARA di Ambon. hal ini pula diakui oleh Buya, Buya menyebutnya sebagai gerakan “khawarij gaya baru” dalam format MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam), disusul HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang bercorak transnasional dengan menyusung bendera Khilafah Islamiyah, kelompok-kelompok ini lahir dari rahim Islam Sunni, MMI dan FPI dipimpin oleh warga Indonesia keturunan Arab, filosofi dasarnya tidak banyak berbeda dengan doktrin fundamentalisme153. Puncak perbincangan hangat umat Islam di Indonesia ketika gerakan Islam radikal di Indonesia telah menebarkan aroma baru, yang kembali menegaskan hubungan agama dan negara. Kecenderungan ini diakibatkan oleh dua spektrum (internal dan eksternal). Secara Internal, carut-marut permasalahan bangsa telah membangkitkan semangat Islam sebagai solusi alternatif. Islam diyakini dapat memberikan jalan keluar dengan jargon “kembali kepada Islam”, atau “berlakunya syariat Islam secara kaffah”. Keyakinan ini adalah buah frustasi yang berkepanjangan terhadap problem bangsa, sehingga memunculkan semangat kembali kepada Islam sebagai alternatif. Namun kita harus bersyukur karena umat Islam dianugerahi oleh seorang Tokoh Muslim Indonesia yaitu Abdurrahman Wahid, atau biasa disapa dengan Gus Dur, yang hadir dengan pemikirannya yang moderat, yang mampu menjembatani, sehingga wajah umat Islam tidak begitu mengerikan di mata dunia. Walaupun Barat, secara politik, telah membangkitkan kebencian di kalangan umat Islam dengan tuduhan “Islam sebagai agama 153 Ahmad SyafiiMaarif, Islam dalambingkaikeindonesiaan dan Kemanusiaan: SebuahRefleksi Sejarah, (Bandung:Mizan, 2015), h. 196 131 teroris”, yang ditandai dengan kebijakan politik Barat yang menekan Islam di beberapa negara Muslim telah membangkitkan solidaritas Islam melawan Barat. Secara budaya pun, Barat telah melancarkan perang (ghazwulfikr) terhadap Islam. Modernisasi, sekularisasi, kapitalisme, Marxisme, sosialisme, dan imperialisme adalah produk budaya dan intelektual Barat yang bermusuhan dengan Islam. Maka jangan heran apabila Islam dengan kekuatan ideologi, selalu berjuang melawan Barat dan produk budaya-intelektualnya154. Kasus ini lantas membuka kembali pertanyaan: Pantaskah umat Islam di Indonesia mempersandingkan perang ideologi dengan menggunakan Ayat-ayat sucinya dengan gerakan radikal?, lalu bagaimana seharusnya umat Islam menghadapi peran tersebut? tentunya pertanyaan akan terjawab jika konsep keislaman dan dan keindonesiaanyang ditawarkan oleh Buya dapat teraplikasikan dengan bijaksana oleh umat Islam, lalu pertanyaan selanjutnya, sejauh manakah umat Islam merelesasikan konsep tersebut? Maka tak heran apabila tahun 2017 kemarin muncul wacana umat Islam kembali mengemuka tepatnya ketika terjadi kontestasi politik di ibukota yang ditandai dengan Aksi Bela Islam (1, 2, 3, 4) vs Aksi kebinekaan dan Kita Indonesia, sehingga kita terjebak pada dua sudut ekstrim: With us or argaints us, Muslim atau munafik, hal ini makin parah ketika muncul berbagai spanduk di beberapa masjid yang mengajak memboikot untuk tidak menshalati para pendukung Ahok, yang dianggap sebagai munafik, dan karena itu tidak boleh dishalati sebagai Muslim ketika meninggal dunia nanti, adalah penggunaan simbol agama yang sangat serius dalam memerangi para pendukung Ahok. Inilah kerisauan yang membuat saya bertanya dan Najib Burhani bertanya: “Apakah ketaatan kepada Islam itu tidak bisa bersanding dengan kesetiaan kebangsaan dan kebhinekaan? Apakah kesalehan itu harus diwujudkan dalam bentuk intoleransi?155. Ahmad Syafii Maarif merupakan salah satu intelektual Muslim 154 Khamami Zada, Islam Radikal pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesua, (Jakarta: Teraju, 2002), h. x 155 Ahmad Najib Burhani,Menegosiasikan keindonesiaan dan keislaman:Jurnal: MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni, 2017, h. 12-13 132 yang berani mengambil sikap tegas, untuk keluar dari kungkungan api hangat pergolakan umat Islam, yang merupakan produk sejarah yang sudah harus ditinggalkan. Buya hadir dengan membawa air pemikiran kesejukan untuk menyiram kunkungan api tersebut, dengan konsep menjadi Muslim otentik berdasarkan dalil umat Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan kemanusiaan. umat Islam tak boleh lagi terperangkap dalam api penyembahan sejarah masa lalu yang sarat dengan pertumpahan darah, melainkan harus melihat ke masa depan dengan panduan prinsip etik Al-Qur’an, yang menekankan pada persaudaraan universal. Dari perbincangan hangat di atas mengenai isu keindonesiaan dan keislaman yang tidak saling bergandengan tangan, karena sifat penghuninya. Buya Syafii Maarif terus menyuarakan keprihatinan batinnya mengajak seluruh anak bangsa, khususnya umat Islam sebagai umat mayoritas untuk menjadi “Muslim otentik” bagi yang masih merasa waras akalnya, oleh karenanya penulis akan menelusuri pemikiran Ahmad Syafii Maarif, bagaimana menjadi Muslim otentik. Menjadi Muslim yang Otentik: Menulusuri Wacana Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syafii Maarif adalah manusia otentik dengan kemerdekaan sejati, atau mungkin bisa dikatakan sebagai manusia otentik yang senantiasa mewujudkan kemerdekaannya. Keberaniannya melakukan serangkaian kritik terhadap situasi yang dianggapnya tidak sesuai dengan nurani dan akal sehat, menjadi karakternya yang mudah kita temukan, beginilah kira-kira pernyataan yang dilukiskan oleh para orang-orang terdekat Buya, yang mengenalnya lebih mendalam, sebagaimana yang dilukiskan dalam buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat156 Selain itu yang menjadi pembahasan penting terkait hal yang cukup mononjol dari pemikiran Buya beberapa tahun terakhir ini, 156 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta), h.19 133 yakni terkait suara moral-kemanusiaan yang terus menerus digemakan oleh Buya melalui berbagai kesempatan, terutama dalam berbagai tulisan di media cetak. Terbaca jelas bagaimana Buya secara kritis menggelisahkan problem kebangsaan hari ini, salah satunya adalah keterpurukan umat Islam di berbagai belahan dunia, dan persoalan kemanusiaan global. Seruan moral ini tidak lain berpijak pada pedalaman dan perenungan Buya terhadap realitas yang terjadi, yang sering kali beliau adukan kepada sumber utama petunjuk hidup umat Islam, Al-Qur’an157. Hal ini diakui pula oleh Neng Dara Affiah dalam catatannya di media sosial, “Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh intelektual mmuslim yang otentik. Keontentikan pemikiran Maarif tidak terlepas dari hasil akumulasi pemikiran dari alm. Cak Nur, Gusdur, dan gurunya Fazhlur rahman. Dari hasil berguru inilah kemudian melahirkan pemikiran otentik. Semua tidak terlepas dari misi untuk membangun kultur Islam inklusif, yang membedakaanya dengan Intelektual Muslim lainnya. Tak jarang jati dirinya muncul di media sosial sebagai Sang Penentang Arus”158 Pada usianya yang sudah senja, perhatian dan kegelisahan Buya Maarif terhadap masa depan Islam, khususnya dunia Islam yang tengah porak-poranda, semakin menguat. Buya yang kini telah berusia 83 tahun sangat prihatin terhadap berbagai konflik dan peperangan yang terjadi di berbagai kawasan, khususnya di dunia Arab. salah satunya ISIS sebagai rongsokan peradaban Arab yang sedang kalah terpakar. Namun anehnya, rongsokan ini diminati dan “dibeli” oleh sebagian orang Indonesia. Hal ini merujuk pada munculnya beberapa kelompok yang membaiatkan diri mereka kepada kekhalifahan al-Baghdadi, dan Oman Abdurahman yang sejak awal telah berbaiat. Menurut pandangan Buya, menjadi sebuah kekeliruan, ketika dunia Arab sedang mengalami malapetaka konflik, kekerasan, dan peperangan 157 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, h. 16 158 Neng Dara Affiah: Ahmad Syafii Maarif : Sang Penentang Arus, Geotimes. co.id 134 antarsesama, tetapi justru sebagai umat Islam di dunia, beberapa di antaranya dari Indonesia, malah ikut terlibat dan berkiblat ke kawasan dengan peradaban yang rapuh dan setengah sekarat itu. Dalam bahasa Buya, peperangan di kawasan159. Yang saya kagumi dari pemikiran Buya adalah, Buya berani menerobos kemapanaan ideologi. Baginya keilmuan jauh lebih utama dibandingkan pakem ideologi. Itulah sebabnya mengapa Buya lebih leluasa masuk dalam isu-isu arus gelombang, yang terkadang sebagian intelektual Muslim takut bermain diarus gelombang tersebut. Maka jangan heran apabila Buya dianggap sebagai arus radikal yang dibungkus dengan wacana Pluralisme, kritik atas wacana agama. Walaupun arus caci-maki terus mengalir ditelinga Buya, namun tak menyurutkan Buya untuk terus mengampanyekan pemikirannya dengan tulus, jujur, dan berani menyuarakan hati nuraninya, meski ia ke gelanggang sendiri melawan arus besar, sekalipun nyawa taruhannya. Karna Buya mempunyai prinsip hidup yang berkemajuan adalah hidup yang sarat dengan pertarungan ide untuk mencari yang terbaik dan benar160. Setidaknya keberanian Buya dalam mengampanyekan menjadi Muslim yang otentik tidak terlepas dari hasil berkelana dalam mengarungi ilmu di Chicago, pertama sebelum Buya berkelana di Chicago pemikiranya masih dihantui oleh teks AlQur’an yang masih hitam putih tapi setelah berkenalan dengan Fazlur Rahman Buya sudah mendapatkan warna baru dari gurunya dalam memahami teks Al-Qur’an, warna itulah kemudian Buya mampu menjawab persoalan umat Islam khususnya di umat Islam Indonesia yang serba berwarna juga161.sehinggaBuya mampu 159 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, (Yogyakarta: Bunyam, 2018), h ix 160 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2015), h. 22 161 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2015), 135 merevisi pandangannya terkait Teks Al-Qur’an yang kaku menjadi tidak kaku. Kedua, lewat ketajaman pemaknaan dalam menganalisa sejarah, yang dilihat dari ruang dan waktu, sehingga sangat selaras dalam melihat kondisi sekarang ini. Berbeda dengan sejarawan lainnya, misalnya sejarawan Ahmad Mansur Sang Suryanegara, yang dalam buku Api Sejarah-nya mengobarkan pembaca untuk bangkit dari sikap nasionalisme Islam.162 Pembacaan Buya dengan pembacan Ahmad Mansur Suryanegara, terhadap sejarah, berbeda dalam metode penafsiranya, khususnya dalam membaca situasi era sekarang ini. Buya misalnya sering kali mempertanyakan, “Di manakah pesan QS Ali Imran 105: ‘kalian adalah umat terbaik’ dalam realitas historis?”, ketika kemiskinan, kekerasan, kebiadaban, peperangan, dan konflik antarsesama Muslim secara berulang terus dipertontonkan.Masih layakkah identitas “khaira ummah” ini disandang oleh kaum Muslim dewasa ini?163. Dari pertanyaan yang diajukan Buya seharusnya sudah menjadi refleksi kepada kita dalam pemaknaan dalam memahami sejarah. Kegelisahan intelektual seorang Buya Syafii seperti ini dengan melakukan pembacaan kritikal terhadap realitas historis sebetulnya bukanlah peristiwa baru, setidaknya pasca kepulangannya dari belajar Di Universitas Chicago di bawah bimbingan Prof. Fazlur Rahman, seorang ilmuan kaliber dunia, pandangan kritisnya terus menyala secara konsisten hingga saat ini164. Ketiga, lebih terbuka dalam melihat percaturan Islam dalam politik menurutnya Islam lebih sering dijadikan doktrin pembenar terhadap perilaku politikus yang cacat dan tunamoral. Dalam sejarah h.135 162 Lihat Buku: Ahmad Mansur Suryanegara “Api Sejarah” Jilid I dan II (PT Grafindo: Bandung). 163 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, (Yogyakarta: Bunyam, 2018), h. x 164 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, (Yogyakarta: Bunyam, 2018), h. xiv 136 kontemporer Indonesia, contoh-contoh tentang penyimpangan moral tidak sulit untuk dicari Pernyataa-pernyataan dukungan beberapa kelompok Muslim kepada rezim otoritarian yang korup dan represif, yang dipraktekkan beberapa tahun yang lalu. Selain itu yang paling parah menurut Buya ketika dalil-dalil agama dijadikan pembenaran bagi pernyataan tersebut. Agama dijadikan barang dangangan. Inilah di antara perilaku beragama yang tidak tulus, beragama untuk meraih tujuan yang rendah, sebuah perilaku yang kosong nilainnya di mata Allah165. Tak sampai di situ, Buya menjadi lebih memahami bagaimana sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, kaitannya dengan hal-hal fundamen (prinsip) yang diyakini seorang Muslim. Tulisan ini akan berfokus pada pemikiran Buya terkait denganmembumikan konsep menjadi zMuslim otentik serta relevansinya dengan keisalaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Maka tak heran apabila Buya dalam setiap kesempatanya, baik dalam diskusi keagamaan maupun tampil dalam wacana diskusi publik, Buya selalu menawarkan sebuah konsep yakni ”Menjadi Muslim yang otentik” ditengah-tengah arus inteloransi yang terus megalir pada kelompok-kelompok Minoritas. Seperti dalam menyikapi kejadian tersebut, dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC), (Selasa 25/06/2013) bertajuk “Syiah Diusir, negara Kemana?”, Buya selaku salah satu narasumber mengkritik para ulama agar tidak mengungkit-ungkit lagi tuduhan-tuduhan negatif terhadap Syiah yang sudah out-of-date, yang pada ujungnya hanya makin memperkeruh hubungan antara Sunni dan Syiah. Justru dengan sikap tegasnya dalam wawancara tersebut, Buya di lempari sebuah pertanyaan untuk memberikan nasehat kedua aliran tersebut, dalam keterangannya Buya menawarkan sebuah konsep saling membuka diri, menurutnya Agama dan Al-Qur’an hanya akan berbicara kepada mereka yang memiliki pikiran yang jernih dan hati yang suci (aqlun shahih wa qalbun salim), tanpa itu subjektifitasme 165 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, h.28-29. 137 sejarah yang akan bercerita. Diakhir penutup kalimatnya, Buya tidak membanggakan menjadi sunnih maupun aliran lainnya tapi ia ingin berusaha menjadi Muslim yang otentik. Menjadi Muslim otentik menurutnya mudah dan tidak sulit lapang. Mudah asalkan kita mau. Menjadi Muslim yang otentik adalah lepas dari belenggu sejarah166. Selain itu, Buya selalu menampilkan tulisan-tulisan yang bisa memutus tali rantai persoalan kondisi umat Islam yang sekarang ini terus dipertontonkan, sebagaimana dalam tulisan lepasnya di media sosial yang berjudul Ketika Paham Agama jadi Ancaman. Dalam tulisan tersebut ada beberapa isu yang diangkat; Pertama, Buya mengomentari pemikiran Bertrad Russel dalam bukunya “Why I Am Not a Charistian”. Buya tidak setuju dengan pernyataan Russel yang menyatakan agama sendiri yang tidak benar dan jahat, menurutnya perkataan Harmful bisa bermakna berbahaya, merusak, jahat, menyakiti, dan kesalahan moral. Pendek kata, semua agama bagi Russel harus ditolak karena daya rusaknya yang dahsyat, bahwa agama yang disalahgunakan oleh penganutnya sebagai teologi pembenar untuk merusak dan bahkan membunuh sesama manusia memang sudah merupakan fakta sejarah. Semua penganut agama apa pun tidak bisa mengingkari fakta ini, tetapi manusia yang memahami agama secara benar pasti akan beradab, berbudaya, dan lapang dada dalam menyikapi perbedaan. Sikap yang membunuh perbedaan adalah bagian dari kultur primitif dan melawan sunatullah, dan sebuah hidup yang serba seragam pasti akan sangat membosankan. Dalam perjalanannya selama 20 tahun terakhir, Buya banyak bergaul dalam lingkungan lintas agama, lintas etnis, lintas kultur, dan lintas bangsa, telah membawa kesimpulan: jika orang beragama secara benar dan otentik, tidak ada alasan untuk saling meniadakan dan apalagi untuk saling membunuh. Kekeliruan besar Bertrand Russell terletak pada penolakannya terhadap semua agama, bukan pada paham dan praktik agama yang salah dan sesat, karena semua agama itu baginya adalah untrue 166 https://m.youtube.com/watch?v=pxoW_M6A9Mo.diakses pada tanggal 21 september 2018. 138 and harmful. Segi positif dari kritik Russell ini agar orang tidak mempermainkan agama untuk tujuan tujuan rendah yang tunaadab, sebab daya rusaknya juga akan sangat masif167. Kaitannya dengan tawaran Buya di atas menjadi Muslim yang otentik dalam konteks menyikapi arus gelombong posisi umat Islam di era sekarang ini yang tidak menentu Buya setidaknya mempunyai konsep sendiri dalam menjawab posisi umat Islam maka umat Islam harus menghilhami konsep tersebut menuju menjadi Muslim yang otentik, pertama, konsep keislaman Buya menyakini bahwah umat Islam akan bersinar apabila nadi-nadi Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang sahih selalu dijadikan pedoman utama dalam pernafasan umat Islam, tidak ada yang harus dicemaskan jika kita semua siap mengucapkan selamat tinggal pada kotak-kotak penuh darah dan dendam kesumat itu, pemikiran Maarif dilandasi oleh sejarah masa lalu kelam umat Islam dengan bercermin, pada ketegangan hubungan antara Iran dan Arab Saudi sekarang ini, tidak bisa dipisahkan dari kotak-kotak itu, sekalipun nasionalisme juga merupakan faktor penting. Buta terhadap realitas sejarah, umat ini telah kehilangan jati dirinya sebagai manusia beriman yang tulus. Dalam logikanya, “Lumpuh di sini, lumpuh di sana, atau tersungkur di sini, tersungkur di sana”. Dalam bacaan Buya, kelumpuhan umat ini sama sekali tidak masuk di nalar jika Al-Qur’an dijadikan rujukan dalam ungkapan “kuntum khaira umma ukrijat lil al-nas (kamu adalah umat terbaik yang ditampilkan untuk manusia),” seperti yang tersebut dalam surah Ali-Imran (3) ayat 110. Tidak nalar, tetapi itulah yang berlaku, semata-mata karena kebodohan dan kecerobohan kita sebagai umat yang hobinya berpecah belah sambil menguras energi untuk sesuatu yang sia-sia. Syarat untuk merebut posisi umat terbaik itu menurut lanjutan ayat adalah: kemampuan memerintahkan kebaikan (al-ma’ruf), kesigapan mencegah yang buruk (al-munkar), dan beriman kepada 167 Baca Ahmad Syafii Maarif, “Ketika Paham Agama Jadi Ancaman” Republika, 22September 2018. 139 Allah. Tiga kualitas itu harus berjalan bersama dalam susunan gerak yang menyatu, tidak boleh dipisah-pisahkan. Iman sebagai landasan spritual yang teramat kokoh, yang mampu membuahkan kemampuan menegakkan mencegah keburukan. Jika tidak demikian, iman itu sedang berada pada posisi mandul, tak bertenaga. Akhirnya, agar tidak “buta di sini dan di sana”, bangunan keislaman dan keimanan, kata Buya, perlu untuk dikoreksi dan dipertanyakan kembali, apakah sudah benar dan otentik diukur dengan benang merah Al-Qur’an dan misi kenabian168. Kedua, dalil kemanusiaan. Islam dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab yang harus dikembangkan adalah Islam sebagai kekuatan spriritual pelindung, bukan pengancam. Ke arah kutub inilah, bola jihad dan ijtihad harus dihentikan, sekali dan untuk selamanya. Islam adalah agama pembela keadilan dan persaudaraan sejati sebagai wujud ajaran tauhid dalam kehidupan kolektif manusia169. Ketiga, konsep keindonesiaan. Dalil ini menyatakan bahwa umat dalam beragama harus secara beradab, Bung Karno, setidaktidaknya dalam teori, menekankan prinsip Ketuhanan yang berkeadaban atau Ketuhanan yang berkebudayaan, dalam arti orang beragama dengan berbudi pekerti luhur dan dengan sikap saling menghormati satu sama lain. Sekalipun tantangan isu antara keislaman dan keindonesiaan yang terus menghantam diruang publik, tetapi harapan untuk membangun suatu Muslim Otentik, yang hidup ditengah-tengah mayoritas Muslim, untuk terus menyuarakan pesan-pesan Islam universal ini. Pesan-pesan Islam arus dibumikan dalam kehidupan keislaman sehingga wajah yang terpancar umat Islam diruang publik adalah wajah Muslim Otentik sebagaimana Buya pesan-pesan universal didalam Al-Qur’an,sehingga umat Islam di Indonesia tidak begitu mengerikan. 168 Ahmad SyafiiMaarif, Arab dan Masa Depan Dunia Islam,h.180-195. 169 Ahmad Syafi Maarif, Islam dalam Bingkai kemanusian dan keindonesian: Sebuah refleks Sejarah, h 109 140 Muslim otentik adalah kembali kepada Al-Qur’an dengan cara mengambil nilai norma-norma yang ada di dalam Al-Qur’an, Muslim otentik adalah Muslim yang harus memahami Nilai-nilai normatif yang membawa pesan-pesan moral universal, Muslim otentik dalam pandangan Buya adalah, Muslim yang memahami Nilai-nilai subsantif atau esensialis ajaran agama, otensititas Muslim mampu membawa pesan-pesan prospektif transformatif yang mendasarkan pada Paradigma quranik sehingga tidak terbelenggu dari sejarah. Sebaimana juga yang digambarkan Zaprulkhan dalam bukunya, “Islam yang Santun dan Ramah”, Toleran dan Menyejukkan Sifat Al-Qur’an dan Sunah yang poly interpretable (hummalat lil wujuh), maka cukup bijak kiranya jika kita menyadari bahwa tidak pernah ada pandangan tunggal terhadap Islam dalam menyikapi problemproblem sosial politik kemasyarakatan. Walaupun demikian, saya sepakat dengan Khaled Abou El Fadl, bahwa Islam yang otentik adalah Islam humanistik yang menebarkan pesan kasih sayang, rahmat, cinta, dan keindahan. Islam humanistik, ini memiliki orientasi religius yang bersifat fokus pada mengakhiri penderitaan manusia dan yakin bahwa kesejahteraan dan kemajuan merupakan sebuah tugas Ilahiah.170 Hal ini sejalan dengan pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif dalam pemikirannya menjadi Muslim otentik. Buya adalah sosok yang tepat hadir ruang publik pada saat ruang publik mengalami ketidakwarasan, karena pada sejatinya Buya sudah membuktikkan dirinya sebagai seoarang intelektual publik dan ilmuwan produktif. Karena pada dasarnya dalam setiap jantung agama terdapat sumber-sumber otentik yang bisa memberikan kontribusi secara positif bagi pembangunan masyarakat dunia. Karena itulah, agama perlu terus menggali tradisinya dan menemukan kebijaksanaan yang mampu mengusahakan kedamaian dan rekonsiliasi, kerja sama dan tolerans, bukannya menebarkan kemarahan dan kebencian, perang dan permusuhan. Akhirnya kearifan itu harus disemaikan bukan hanya 170 Zaprulkhan, Islam yang Santun dan Ramah, Toleran dan Menyejukkan (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017), h. Vii 141 dalam konteks kemanusiaan yang bersifat lokal, melainkan dalam konteks global dan plural171. Menurut Buya, Al-Qur’an seharusnya kita ajak berunding sebagaimana dalam bukunya yang berjudul, Islam dan Politik. Menurutnya, dalam situasi yang sekarang ini, Al-Qur’an harus kita ajak berunding dalam kerja mencari jalan keluar dari kerumitan masalah pendidikan yang tengah dihadapi umat manusia sekarang ini. Sehingga peradaban yang akan datang adalah peradaban yang ramah, peradaban yang menempatkan fitrah manusia pada posisi yang wajar. Secara tegas Buya mengingatkan kepada kita semua; “Bila memang ke sana bola peradaban ingin kita gulirkan, maka corak perilaku seoarang anak manusia, sepenuhnya ditentukan oleh pandangan moralnya. Dan moral itu, menurut Al-Qur’an, hanyalah mungkin menjadi solid bila ia didasarkan pada Nilai-nilai transendental kenabian. Mencari landasan moral di luar itu sudah pastit akan mencemari fitrah manusia. Itu berarti merenggut nilai kesucian yang paling asasi. Seperti kita saksikan pada abad ini, Prinsip moral menjadi terombang-ambing oleh perputaran situasi. Ia kehilangan makna universalnya. Dan itu, mungkin masih akan berlangsung pada abad yang akan datang, abad XXI, umat Islam dengan jumlah sekitar satu miliar, sebenarnya merupakan potensi penyelamat kemanusiaan yang dapat diandalkan, sekiranya mereka mengenal dan mengamalkan petunjuk-petunjuk AlQur’an secara cerdas dan bertanggung jawab. Cerdas dan bertanggung jawab itu, sebenarnya, pengejawantahan iman dalam kehidupan kolektif manusia.172 Suasana cerdas dan bertanggung jawab ini masih belum membudaya secara menyeluruh dalam masyarakat Islam. Realitas kehidupan kita masih jauh dari cita dan citra yang dituntut oleh Al-Qur’an. Padahal, generasi awal umat pernah dipilih Allah sebagai pengawal moral yang dipercaya. Menegakkan moral adalah kerja Jihad. Dan itu hanyalah dapat dilaksanakan oleh umat pillihan yang berkualitas tinggi. Orang yang telah mempelajari Al-Qur’an 171 Zaprulkhan, Islam yang Santun dan Ramah, Toleran dan Menyejukkan, h. 119 172 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan politik (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h.322 142 dengan serius dan hati terbuka, tentunya tidak akan gagal dalam menangkap esensi ajaran Kitab Suci ini tentang apa yang kita kenal dengan ungkapan ukhuwah Islamiyah. Suatu ungkapan yang sering benar disebut, tetapi tampaknya masih sedikit di antara kita yang mau mendaratnnya dalam perilaku sehari-hari. Dalam analisis, Buya sebab utama dari kesenjangan ini, berasal dari kenyataan bahwa internalisasi Nilai-nilai iman dalam diri belum terjadi secara meyakinkan, tingkat keberagamaan kita barulah pada tingkat awam. Kualitas keberagamaan pada tingkat ini, sudah berang tentu tidak akan mampu menangkap secara cerdas sinyal-sinyal halus Qur’ani tentang makna ukhuwah bagi pemeluk beriman. Keberagamaan pada tingkat ini lebih pandai berbicara tentang dan melihat pada segi-segi formal, ketimbang menukik pada substansi ajaran. Proses internalisasi Nilai-nilai iman belum terjadi seperti yang dituntut oleh Al-Qur’an dan ditelandankan Nabi dan generasi awal umat ini. Penutup Buya adalah seorang intelektual Muslim yang telah selesai menemukan jati dirinya di tengah-tengah peradaban yang tidak menentu. Ia tak ingin lagi terjebak dalam daki-daki sejarah. Buya menjadi Bapak Sejarah yang bertugas mengingatkan umat Islam sebagai kaum mayoritas di Indonesia untuk meninggalkan daki-daki sejarah sehingga wajah Islam yang ditampilkan adalah Islam yang ramah yang memperjuangkan keadilan dan perlindungan kepada seluruh warga yang mendiami bumi Indonesia. Konsistensi Buya dalam memperjuangkan Islam yang terbuka dan Islam yang ramah, tentu tindakannya ini tidak dapat dilepaskan dari pandangannya yang meyakini bahwa keislaman harus senafas dengan keindonesiaan dan kemanusiaan. Atas dasar itu, Buya meyakini bahwa apa yang disebut dengan penuh haru oleh sebagian komunitas Muslim tentang “ The Golden Ages of Islam”. Peradaban Islam berkembang hingga mencapai puncak tertingginya. Namun, kita perlu memahami bahwa semua itu juga dibangun di atas darah 143 umat Islam yang berbeda pandangan politik. Pada kenyataannya, nafsu kekuasaan tanpa didampingi kekuatan moral yang tangguh, pasti merusak. Agama sering benar tidak berdaya. Rasa haus akan “kejayaan” mengalahkan sisi kerohanian manusia, Akibatnya, bahkan masih kita rasakan sampai hari ini. Kita terpasung dalam kotak-kotak politik. Dan Akhirnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas yang cukup menggelisahkan hanya ada satu cara untuk bisa menjawabnya yaitu kita harus menjadi Muslim yang otentik dengan bingkai kemanusiaan, adil, beradab dan keindonesiaan dalam bingkai Islam yang ramah, dan berucap dengan ikhlas, “selamat tinggal daki-daki sejarah. Sehingga akan terpancar Islam yang damai, Islam yang konstruktif dan Islam yang dapat mengayomi bangsa ini, dengan tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan lain-lain. Itulah Islam yang benar. keislaman harus satu nafas dengan keindonesiaan dan kemanusian, inilah pesan-pesan Buya yang ingin disampakan terhadap umat Islam di muka bumi jagat ini agar menjadi Muslim yang otentik. Muslim sebagaimana cita-cita Al-Qur’an yaitu Muslim yang menebarkan Nilai-nilai rahmatan lil alamin di Bumi Pertiwi. umat Islam harus mampu membangun sebuah peradaban yang mampu mengawinkan kekuatan zikir dan pikir, kekuatan langit dan bumi, sehingga fenomena modernitas barat yang sedang kehilangan jangkar spritual tidak ditiru dan diwarisi. 144 Daftar Pustaka Burhan, Ahmad Najib, Muazin Bangsa dari Makkah Darat. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2015 Maarif, Ahmad Syafii, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam .Yogyakarta: Bunyam, 2018 Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: SebuahRefleksi Sejarah. Bandung: Mizan, 2015. Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan politik. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018. Rakhmat, Jalaluddin, Islam Aktual. Bandung: PT Mizan Pustaka IKAPI, 1991. Sangadji, Anto, dkk. “Adakah Evolusi Aktualisasi Nilai-nilai Islam oleh Umatnya yang Dapat Didata dan Diproyeksikan ke Masa Depan?”, Jakarta: Pustaka IndoPROGRESS & Islam Bergerak, 2017 Zada, Khamami, Islam Radikal Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesua. Jakarta: Teraju, 2002. Zaprulkhan, Islam yang Santun dan Ramah, Toleran dan Menyejukkan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017. Zuhri, Saefudin, Gelombang Populisme Islam di Indonesia, Jurnal MAARIF.Vol. 12, No. 1 — Juni2017. Link https://m.youtube.com/watch?v=pxoW_M6A9Mo.diakses pada tanggal 21 september 2018. 145 PANDANGAN AHMAD SYAFII MAARIF MENGENAI ISLAM DAN MASA DEPAN INDONESIA DALAM BINGKAI PLURALISME Mulyadi Pendahuluan Ahmad Syafii Maarif atau lazim dipanggil dengan Buya Syafii merupakan sosok sejarawan terkemuka pemersatu bangsa Indonesia. Sebagai seorang guru besar sejarah, beliau tidak diragukan lagi dalam kiprahnya sebagai seorang penulis ide-ide segar mengenai kebangsaan, kenegaraan, kebhinekaan, Pancasila, dan ide-ide masadapan Indonesia yang lebih baik. Kiprah akademis Buya Syafii sangatlah fenomenal sehingga masyarakat Indonesia menilai beliau sebagai insan sosial, inklusif, moderat, terbuka, toleran, berkarakter, serta yang paling menonjol adalah bagunan idiologisnya mengenai Pluralisme. Ide-ide Buya menitih-beratkan pada kecerdasan generasi bangsa untuk lebih maju dan berperadaban. Diusianya yang telah lanjut, Buya Syafii tidak henti-hentinya untuk mengikuti perkembangan Islam, politik, demokrasi Indonesia yang selalu menjadi perdebatan sehingga tidak kunjung selaras dengan ide-ide kelopok tertentu, baik yang mengatasnamamakan ormas, kelopok Islam, maupun bentukan barisan lainnya. Mengikuti perkembangan Islam kekinian, Buya Syafii mengkritik keras kelompok yang menamakan Islam tetapi mengancam kesatuan bangsa.Kelompok tersebut, dengan mengedepankan jubah besarnya dan beridiologi Islam tegasnya rentan meneror siapa saja 146 yang tidak sejalan dengan ide-ide mereka.Semestinya idiologi Islam membangun konsep keteduhan dan kemajemukan yang saling menghargai dalam perbedaan. Jika hal ini tidak berwujud dalam kebinekaan masyarakat Indonesia yang majemuk maka masa depan generasi bangsa terancam ketentramaanya. Ditambah lagi dengan Ide-ide doktrin yang berbasis epistimologis radikalis yang mengobrak-abrik kesatuan dan persatuan bangsa. Buya Syafii dalam banyak buku dan tulisan beliau sangat berharap pada masadepan bangsa yang damai, tentram, adil dan sejahtera sesuai dengan maklumat Idiologi Pancasila. Dengan demikian, tulisan ini mencoba menguak sepintas pemikiran Buya Syafii mengenai pentingnya nilai dan idiologi serta etika pluralisme sebagai poros masa depan bangsa Indonesia. Mengingat kekinian tengah gencar-gencarnya arus radikalisme, politik yang tidak menentu, ekonomi yang menekan rakyat serta pendidikan anak bangsa yang masih teromabang-ambing. Pluralisme Sebagai Sebuah Ide Pemersatu Bangsa Saat ini wacana mengenai pluralisme173 mesti dilihat kembali sebagai sebuah gagasan idea pemersatu bangsa dalam bentuk aspek praktis. Telah banyak disaksikan bahwa segolongan manusia atau sekelompok orang mengatasnamakan agama keliru terhadap cara 173 Akar kata Pluralisme adalah Plural yang berarti jamak atau lebih dari satu. Dengan demikian pluralisme merupakan pernyataan kejamakan atau beranekaragam. Dalam kajian filosofis, pluralisme diberi makna sebagai doktrin bahwa substansi hakiki itu tidak satu (monoisme), tidak dualisme, akan tetapi banyak (jamak). Sekurang-kurangnya terdapat beberapa ciri pluralisme yaitu: selalu berkaitan dengan memelihara dan menjungjung tinggi hak dan kewajiban masing masing kelompok, menghargai perbedaan dalam kebersamaan masyarakat yang benar-benar memiliki karakter bahwa masing-masing pihak berada pada tataran yang sama, pluralisme menunjukkan kepada wahana untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara jujur, terbuka dan adil., pluralisme harus didudukkan pada posisi yang proposional, dan menunjukkan adanya persamaan kepemilikan bersama untuk kepentingan kemanusiaan yang diupayakan bersama tanpa adanya diskriminasi sesama manusia, kelompok, dan pemeluk agama. 147 pandang toleransi. Melihat fakta ini perlu diluruskan kembali apa itu pluralisme sebenarnya, apakah dia sekuleris (bebas tanpa spiritual), moderat, atau sesuatu yang dapat memecah-belahkan bangsa. Jika pluralisme disebut dengan keragaman maka tidak banyak polemik yang muncul, akan tetapi jika ide pluralisme mutlak yang muncul maka banyak yang menolak, antara paham atau tidak mau memahami. Keragaman agama dan budaya menurut Buya Syafii sama denganmemformularisasikan pluralismeagama dan budaya,174 karena Pluralisme ini merupakan ajaran Islam dari Allah Swt, melalui kitab suci-Nya. Konsep pluralisme dalam Islam sebanarnya merupakan sunnatullah, karena sejak dahulu memang menjadi fakta yang nyata terlihat.Islam merupakan agama damai, tentram, toleran serta mengayomi agama-agama lain yang berbeda tanpa kekerasan dan penyerangan.Nasr mengatakan bahwa Islam merupakan agama wahyu Allah Swt, baik tertulis maipun pesan tersirat setelahnya. Islam merupakan imanensi-transedensi religius yang menjadikan manusia aman dan tentram dalam kehidupan keagamaanya juga sisi kemanusiaannya (sosial).175Mengenai pluralisme, Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Muslim telah berangkat lebih jauh mengenai hal ini.Pluralisme tidak mesti dianut oleh manusia yang beragama, mereka yang tidak menganut agama jugaharus memiliki tempat di bumi. Al-Qur’an ternyata telah mengintruksikan umat untuk toleran, akan tetapi umat masih gagal paham dalam memaknakan tolerasni tersebut. Islam melalui pesan Al-Qur’an mengajak manusia untuk beriman, memberikan keamanan ontologis pada diri setiap individu dalam pengembaraan hidupnya yang tak luput dari guncangan dan tantangan. Manusia memang mahluk yang sukar dipahami.Manusia merupakan mahluk unik, mereka tidak selalu tampil dalam format 174 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009), h. 166. 175 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengan Dunia Modern, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 73. 148 yang otentik, karena kemapuannya untuk bersandiwara demikian besar.Dalam konsep pluralisme, semua keunikan tersebut harus diakui sebagai fakta mental yang melekat dalam batin manusia. Untuk sampai pada pengakuan ini haruslah mengembangkan budaya toleransi yang tinggi dan mengakui keberbagian dan kemajemukan itu secara sadar dan dengan sikap positif.Tidak hanya saja agama dan budaya yang beraneka ragam, bahasa, dan kulit manusia juga mutlak dengan kemajemukan.Dengan demikian, kemajemukan itu memang sengaja Allah Swt, ciptakan agar peradaban umat manusia penuh corak dan saling melengkapi. Mengenai pluralisme, perlu adanya diskursus lebih lanjut agar generasi bangsa tidak mudah gagal paham akan pengertian dan maknanya. Konsep pluralisme membangun peradaban umat manusia untuk menjunjung tinggi Nilai-nilai Islam secara mutlak untuk dipraktikkan bukan hanya sebagai wacana intelektual semata. Argumentasi pluralisme mencirikan sikap toleransi antara agama-agama yang ada di Indonesia merupakan hal yang mesti dilakukan.Realitas Indonesia memang terdiri dari berbagai suku, bangsa, dan agama yang berbeda-beda, maka sikap toleransi menjadi suatu hal mutlak yang mesti dijunjung. Menganggap semua agama itu sama dapat menimbulkan makna ganda yang dapat menuai perdebatan. Wacana kekinian yang dipahami bahwa argumentasi Islam untuk pluralitas cenderung menganggap bahwa semua agama itu sama. Padahal tidak demikian adanya, Islam pluralisme mengarah pada bentuk aktualitas dari sebuah agama yang merupakan obyek toleransi terhadapnya.Segala bentuk perbedaan dalam agama, juga pemahaman di luar Islam mestilah dijadikan sebagai warna-warni budaya dan corak masyarakat multi kultural bangsa Indonesia.176 Buya Syafii persisnya menyadari ancaman kelompokkelompok radikal yang dapat mengancam kesatuan dan persatuan umat, baik yang telah mengakar di Nusantara maupun yang akan muncul kemudian. Kelompok radikal yang bersembunyi di balik 176 Husein Muhammad, Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gus Dur, (Yogyakarta: LKIS, 2012), h 54-55. 149 bendera Islam seperti Laskar Pembela Islam, Laskar Jihat dan Laskar Mujahidin Indonesia dapat mengecaukan suasana pluralitas bangsa Indonesia.Saat ini mereka begitu gencar untuk melakukan demonstrasi di jalan-jalan menuntut terbentuknya syariat Islam secara menyeluruh.Kelompok tersebut cenderung melakukan serangan fisik, perusakan secara sepihak yang mengatasnamakan Islam dan ketentraman.177Kelompok-kelompok tersebut menganggap bahwa idiologi bangsa saat ini tidak berhasil mengatasi masyarakat dalam hal sistem politik, ekonomi, keamanan dan ketentraman bangsa. Mereka mendesak agar pemerintah serta cendikiawan Muslim bertangung jawab atas kekeosan yang tidak menentu ini. Bagi Buya Syafii, kehadiran kelompok-kelompok radikal tersebut merupakan ancaman bagi sistem demokrasi Indonesia. Kelompok-kelompok tersebut mencoba mengambil celah untuk didengarkan atas klaim mereka terhadap politik yang berubah-ubah. Wacana yang mereka angkat kepermukaan dalam ruang publik terbuka telah bergeser dari prinsip-prinsip pluralis dan demokratis. Tidak hanya itu, mereka mencoba mengacaukan pesan kesan moral dalam kebinekaan dengan melakukan aksi yang mengatasnamakan Islam.Kehadiran serta kemunculan kelompok tersebut secara tidak langsung membuat Islam ditakuti masyarakat Indonesia khususnya non-Muslim dan opini miring terhadap Islam. Padahal Islam tidak seperti apa yang meraka lakukan sebagai alat untuk kepentingan kelompok tersebut. Islam merupakan agama Rahmatan lilalamin, menjungjung tinggi pluralitas, melakukan elaborasi intelektual religius secara mendalam serta mendiskusikan hal-hal berkaitan dengan sosial, hukum Islam, kelembagaan sosial Islam, dan perPolitikan.178 Buya Syafii memberikan pernyataan bahwa tekanan radikalisme ini merupakan sebuah politik identitas.179 Tekanan tersebut 177 Ahmad Najib Burhan, dkk, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, (Jakarta: Maarif Institute dan Serambi 2015), h. 77. 178 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, ( Bandung: Mizan, 2017), h. XV. 179 politik Identitas secara substantive merupakan kepentingan anggota-anggota 150 setidaknya menimbulkan beberapa hal yaiti: pertama,kekerasan fisik seperti pengrusakan tempat ibadah seperti geraja, masjid, maupun kekerasan fisik lainnya yang menyebabkan obyek kekerasan tersebut menjedi trauma, terluka, bahkan menyebabkan korban jiwa. Kedua, kekerasan simbolik, yang merupakan kekerasan semiotik seperti bentuk retorika propokatif, tulisan-tulisan, dan ceramah-ceramah bernada pelecehan sesuatu mengenai agama.Ketiga, kekerasan struktural, yaitu berbentuk kekerasan yang dilakukan oleh Negara, baik melalui perangkat hukum maupun aparatur negara.180 Dalam kancah Indonesia, radikalisme muncul diakibatkan oleh ingin mendominasi atas nama kelompok tertentu untuk melakukan tindakan menyingkirkan kaum yang mereka anggap minoritas yang dianggap menyimpang dan tidak sejalan dengan pemahaman kelompok tersebut. Perihal itu semestinya tidak terjadi di Indonesia, mengingat bahwa Muslim Indonesia sangat mengerti perihal toleransi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ide bawaan (fundamentalisme ortodok) atas agama yang tidak menerima wawasan terbuka menyebabkan mereka keliru dalam memahmi agama secara universal. Pergumulan historis antara Islam dan pluralitas di Nusantara telah berlangsung lama, melahirkan Nilai-nilai sejarah yang terus berlanjut dan rumit, namun nilai toleransi keduanya tetap terjalin sampai saat ini. Dengan demikian, membentuk nilai pluralitas itu tidaklah mudah dan membutuhkan proses internalisasi mendalam, akantetapi menjaga dan merawat nilai pluralitas lebih susah dan banyak hambatan. Gagasan keislaman Buya Syafii sangat menarik, pemikirannya terlampau jauh kedepan untuk menjaga keutuhan kelompok tertentu atau kelopok tertentu yang meresa dikungkung bahkan disingkirkan oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa dan negara. Fokus utama poltik identitas yaitu permasalahan yang menyangkut perbedaan yang didasarkan atas politik etnisitas primodialisme, primodialisme, pertentangan agama, kepercayaan, dan retorika publik., lihat Ahmad Syafii Maarif, politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Jakarta: PUSAD, 2010). 180 Ahmad Syafii Maarif, politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Jakarta: PUSAD, 2010), h. 44. 151 bangsa Indonesia. Pluralitas yang dijunjung Buya Syafii tidaklah lain untuk menjaga bangsa dari radikalisme serta idiologi kelompok tertentu saja yang mengatasnamakan Islam. Buya selalu mengajak bangsa Indonesia secara keseluruhan untuk selalu menjaga idiologi Pancasila sebagai falsafah negara yang merupakan tujuan final bagi bangsa Indonesia.181Kelompok-kelopok radikalis di atas jelas sangatlah bahaya jika terus berkembang di Indonesia.Idiologinya dapat membuat bangsa Buyar, bangsa berantakan, bangsa berdebat mencari akar kebenaran bukan lagi bagaimana merawat keberagamaan dalam Bingkai Keindonesiaan. Konsep pluralisme adalah imanensi sebuah prilaku manusia yang dibangun atas dasar kesadaran spiritualitas individu serta ditempuh melalui jalan panjang dari kontemplasi intelektualitas. Melalui pemahaman mendalam tentang pluralitas Buya Syafii berkeyakinan bahwa Islam di Indonesia dapat memberikan nilai spiritual, etika, dan moral bagi kedaimaian bangsa.Konsep pluralitas jika dicermati dengan baik maka memunculkan nilai toleransi tanpa pamrih, sikap saling menghargai dalam keberagaman dan memahami dalam pembedaan.Jelas disini bahwa Buya Syafii menegaskan bahwa pluralisme adalah jalan beragama secara beradab, jujur, tulus, lapang dada, dan berbudi luhur.Dengan sikap lapang dada berarti prinsip pluralisme menjadi penting dalam kesediaan menghargai hak otoritas individu lain untuk berpendirian bahwa agama yang dipeluknya adalah agama kebenaran, sekalipun kita tidak perlu menyatakan kebenaran akan hal tersebut.182 Pada waktu yang bersamaan, kelompok lain mesti menghargai Islam bahwa Islam merupakan agama yang paling benar, namun ungkapan paling benar di sini mesti dikembalikan kepada hak individu pemeluk agamanya. Jika dalam sebuah bangsa telah terbangun pemikiran pluralis murni dengan penuh kesadaran maka sangat yakin tidak ada golongan atau kelompok radukalisme yang bersembunyi di balik jubah putih Islam. 181 Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 144-145. 182 Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009), h. 30. 152 Buya Syafii menegaskan bahwa ide-ide serba radikal yang terus muncul dan tidak menerima inti pluralisme maka faktor utamanya adalah ketertidak sanggupan ide besar dikerjakan oleh otak-otak yang kecil yang telah dipengaruhi oleh emosi dan syahwat kekuasaan dan politik tidak sehat.Ide mereka tidak ditopang oleh kemantapan teori maupun pengetahuan memadai tentang kekuatan penalaran orisinil.Ada yang membangun argumentasi secara teori tetapi belum sepenuhnya berangkat dari pemahaman Al-Qur’an dan sunnah Nabi secara tepat dan otentik. Suasana Islam yang tengah terjepit terlalu tergesa-gesa dijadikan alas an untuk membangun teori yang lemah dasarnya.Hasil akhirnya pasti kacau karena suasana batin yang marah menghadapi realitas telah dijadikan pangkal tolak untuk membangun sebuah teori.183Ide dan pergerakan tersebut akan siasia dan menguras energi sehingga bukan memunculkan pencerahan melainkan membuat bangsa semakin bingung dan ketakutan. Reaksi yang berlebihan dan tempramental terhadap isuisu agama hanya akan memperumit keadaan yang berujung pada perpecahan umat secara teologis, merupakan kesia-sian belaka yang sebenarnya tidak perlu diperbesar-besarkan dan tidak perlu terjadi. Kondisi ini semestinya dapat mengukur diri bangsa, membuka mata hati individu untuk lebuh fokus terhadap masalah apa yang sebenarnya tengan dihadapi Islam. Pluralismeakan bertahan lama manakala masyarakat membangun budaya toleransi dan bukan mendiskriminasi. Tekanan diskriminasi tersebut dapat memecah kebersatuan bangsa baik dalam diskrimnisai agama, ras dan budaya. Sikap pluralisme harus dibungkus dengan tidak adanya paksaan dan kepura-puraan, konsistensi, penetapan hati secara sadar toleransi merupakan salah satu capaian terbaik bangsa beradab.184Dengan demikian maka ide pluralisme Buya Syafii merupakan sebuah gagasan cemerlang sebagai pemersatu Bangsa untuk saling menghargai dan 183 Ahmad Syafii Maarif, Memorial Seorang Anak Kampung, (Yogyakarta: Ombak IKAPI, 2013), h. 224. 184 Wawan Gunawan Abd. Wahid, dkk, Fiqih kebinekaan Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim, (Bandung: Mizan, 2015), h. 24. 153 saling menghormati sesama tanpa adanya diskriminasi, intimidasi maupun radikalisasi. Perbedaan mengenai pembenaran ide otentik pada semua agama tidak pernah ada ujungnya sepanjang sejarah umat manusia. Menurut Buya Syafii bagi setiap pemeluk agama masing-masing perlu mengembalikan masalah otoritas pembenaran tersebut kepada keyakinannya terhadap Tuhan.Tugas utama masing-masing penganut agama adalah berlomba-lomba dalam menaburkan kebaikan sesama manusia, menjunjung tinggi toleransi sesama bukan hanya untuk diri sendiri maupun kelompoknya.Untuk membentuk generasi Islam di masa yang akan datang maka perlu adanya pendidikan yang memadai bagi setiap individu-individu bangsa Indonesia. Dengan pendidikan generasi penerus bangsa dapat dengan cerdas untuk membaca situasi dan kondisi umat mengenai apa yang dibutuhkan. Cerai-berainya umat saat ini diakibatkan pula oleh sikapnya yang merasa paling benar dan tidak membangun satu kesatuan utuh.umat Islam yang suka berpecah-belah adalah akibat mereka telah berhenti berunding denganinti ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan hawanafsu telah dijadikan sesembahan untuk menyetir diri kearah keduniaan.Lebih jauh lagi adalah kenyataan sebahagian individu Islam memakai dalil agama dan prinsip demokrasi untuk melestarikan perpecahan tersebut tanpa rasa dosa sedikitpun.Dengan kondisi demikian maka bagaimanamungkin para alhli pikir bangsa menawarkan solusi logis untuk bangsa yang berperadaban dan berkemajuan.185 Masa Depan Islam Indonesia dengan Idiologi Pluralisme Diskursus panjang mengenai pluralisme memang bukan hal baru di Indonesia, sempat heboh pada era 1990-an. Sampai saat ini diskursus tersebut selalu hangat untuk dibicarakan walaupun penuh dengan kotraversi.Perdebatan tersebut tidak semerta-merta 185 Heri Sucipto, Senarai Tokoh Muhammadiyah Pemikiran dan Kiprahnya, (Jakarta Selatan: Grafindo, 2005), h. 211. 154 menjadikan kondisi bangsa ini semakin baik, malah sebaliknya menjadi akar perdebatan yang tiada ujungnya.Kedamaian publik, penerimaan kesetaraan masyarakat serta sikap toleransi antara penganut agama sulit berkembang ketika kontraversi atas istilah harus berlangsung tanpa adanya sikap dan pemahaman yang memadai. Oleh sebab demikian maka perlu adanya perluasan wawasan secara terus menerus untuk menyadarkan umat yang memungkinkan adanya perubahan dalam pola pikir bangsa Indonesia kedepan. Menanggapi hal tersebut maka Buya Syafii mencoba melihat masa depan bangsa yang multikultural, multireligion, multietnik ini dengan ide pemersatu yaitu pluralisme. Oleh sebab kaum Muslim yang lebih dominan di negara ini maka umat Muslim harus berdiri digarda depan dalam menjaga Nilai-nilai etis, moral, dan adab yang terkandung dalam pluralisme. Sebaliknya, bukan pula umat Muslim atas kedangkalan pemahaman akan agamanya memunculkan radikalisasi serta ortodoksi yang tidak kunjung terbuka untuk menerima ide pemersatu bangsa. Melihat kondisi bangsa saat ini mungkin banyak orang merasa pesimis, entah sampai kapan negiri ini segera menetas dari carut-marut yang kiat tak menentu.Tapi perlu digaris bawahi bahwa pesimis tersebut tidak berlaku bagi Buya Syafii dan seakan tidak pernah ada kata menyerah dalam upaya untuk mempersatukan bangsa. Buya Syafii melihat masa depan Islam di Indonesia ini harus di mulai dari pemahaman Islam yang universal. Pemahaman demikian mesti meninjau ulang Nilai-nilai substantive seperti kebebasan, perdamaiaan, keadilan dan kesejahteraan hidup bersama.Karena itu, baginya, Islam harus terbuka dan menawarkan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan Negara, Muslim dan nonMuslim, tanpa diskriminasi.Islam juga harus bersifat membebaskan masyarakat, dan selalu berpihak pada rakyat ekonomi rendah. Menyikapi kekerasan ferbal atas nama Islam, Buya menegaskan bahwa Islam mestilah memakai akal, santun, tegas, dan penuh tangung jawab bukan menggunakan tenaga atau kekuatan fisik.186Islam 186 Najib Burhan, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, h. 280. 155 merupakan agama pembebasan agar bangsa Indonesia dapat menjadi dirinya dengan seutuhnya, tidak hanyut dalam perbudakan idiologi ortodok dan spritiualitas yang kaku.Pembebasan tersebut merupakan bagian dari harkat dan martabat manusia di hadapan Allah Swt, dan segala jenis intimidasi harus dilenyapkan karena bertentangan dengan Nilai-nilai keislaman seutuhnya. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki pengenut Islam terbesar di dunia.Dengan demikian Buya Syafii mengharapkan bahwa masyarakat Islam harus terbuka untuk menjaga kedaimaan bangsa.Inti ajaran Islam sebagaimana diketahui adalah menghabakan diri ketapa Allah Swt, bukan malah menjadikan Islam beringas, ganas, dan suka main hakim sendiri.Pandangan mengenai pencerahan Islam untuk pluralisme jangan dilihat dalam kaca mata sempit, melainkan Islam tidak sekedar berisikan ajaran-ajaran yang bersifat teologis, melaikan sebuah sistem peradaban yang lengkap.umat Islam mesti mencari solusi atas kegaduhan bangsa yang tidak berkesudahan, kegaduhan itu bukan diselesaikan secara internal semata melainkan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk nimbrung dalam penyelesaian masalah bangsa. Kajian khusus tentang doktrin Islam sudah saatnya dilakukan secara intensif dan kontekstual, dalam rumusan dan konsep layak pakai dengan dijadikan rujukan kebersatuan umat. Islam sebenarnya sudah sejak senja mengandung tawaran yang bersifat solutif dalam mengatasi problematika kehidupan dan kemanusiaan. Namun, individu doktrinal Islam yang gagal paham menyebabkan umat menjadi monster kekeosan umat yang sedang menikmati kemerdekaan. Sebagai seorang Muslim yang taat, Buya Syafii berani memasukkan ide pluralisme agama dalam pembahasan Islam, hak asasi manusia (HAM), dan demokrasi. Meskipun banyak kritikan dari umat Islam sendiri, pendirian Buya untuk menata masa depan Indonesia tidak tergoyahkan. Baginya, pluralisme agama tidak boleh berdiri sendiri sebagai doktrin teologis bahkan filosofis semata. Pluralisme agama lebih dalam bermakna kebebasan beragama dan sekaligus ketulusan beragama.Buya sangat menjunjung tinggi hak kemerdekaan beragama dan penganut suatu paham.Setiap individu beragama atau tidak, wajib menghormati dan menghargai hak-hak 156 setiap warga negara dalam menganut agama dan kepercayaannya, dan tidak ada hak bagi setiap individu untuk memaksa individu lainnya untuk menganut agama yang dipeluknya.187Jelas di sini terlihat bahwa betapa tegas sikap Buya Syafii terhadap Nilai-nilai pluralisme dalam teologi beragama. Diskriminasi dan radikalisasi agama tentu menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa dalam bingkai kemanusiaan dan kebhinekaan. Pluralisme dalam gagasan kontemplasi intelektual Buya Syafii sangatlah mungkin diimplemtasikan jika masyarakat sadar akan kediriannya yang utuh. Pluralisme sebagai ide gagasan kemajuan bangsa menekankan prinsip penghargaan dan kesetaraan dalam hubungan humanisme antar manusia. Sikap saling menghargai dan kesetaraan sebagi wujud dari permersatu bangsa merupakan dasar bagi pembangunan keharmonisan dalam hubungan sesama manusia. Melalui ide pluralisme Buya Syafii diharapkan dapat tercipta suatu spemerintahanlitas kehidupan yang ditandai oleh sikap toleransi dalam keberagamaa, kebersamaan, di masyarakat majemuk.188Namun sayangnya dalam kehidupan sehari-hari pluralitas sering mengalami gangguan dan ancaman secara langsung maupun tidak langsung.Maka dengan memahami pluralisme secara mendasar akan menemukan titik terang pencerahan dalam diri manusia secara substantive. Perlu disadari bahwa pluralisme merupakan sebuah keharusan, sebab Islam menekankan agar kaum Muslim dapat menempatkan diri mereka pada kedudukan dan peran sebagai umat satha (Q.S. 2:143), yaitu umat pilihan yang menjungjung tinggi keadilan. Umat Muslim juga diingatkan Allah Swt, sebagai umat muqtasidah (Q.S.5:66), dengan tampilan karakteristik sebagai kelompok yang jujur, lurus, dan tidak menyimpang dari kebenaran. Keseluruhan ini didasarkan kesatuan awal yang disandangnya, yaitu sebagai umat 187 Ahamad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 170-172. 188 M, Tuwah dan Subardi, dkk, Islam Humanis: Islam dan Persolan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum, dan Masyarakat Marjinal, (Jakarta: Mayo Segoro agung, 2001), h. 33. 157 yang berpegang kepada agama tauhid (Q.S.39:92). Dari seruan ayat Al-Qur’an di atas jelas kiranya bahwa Islam sebagai umat terbaik mesti menjunjung tinggi nilai akidah toleransi tanpa tekanan kepada sesama manusia meskipun berbeda dalam kepercayaan dan keyakinan.Pluralisme merupakan kenyataan yang bersumber dari takdir Allah Swt, bahwa manusia dijadikan bersuku suku, berbangsabangsa agar saling meghormati, mengenal dan menghargai (Q.S. 39:13). Harmonisasi pluralisme dapat memunculkan karakteristik bangsa yang lebih beradab.Keangungan harmonisasi nilai pluralisme bangsa tetuang dalam idiologi Pancasila yang merupakan falsafah bangsa.Pancasila adalah hasil ramuan kontemplatif sosio historis pendiri bangsa yang kemudian Soekarno rumuskan dalam lima prinsip. Doktrin Pancasila misalnya mengenai ketuhanan tidak memiliki kaitan organik dengan doktrin sentral agama manapun. Dalam pandangan Soekarno bahwa konsep ketuhan yang tercantum dalam Pancasila bersifat sosiologis, relatif, sehingga dapat ditafsirkan menjadi keutuhan beragama dan keseragaman dalam beragaman.189Nilai pluralisme dalam Pancasila jelas mulai dari sila pertamanya, dimana keutuhan umat beragama saling mengisi dan menjaga, inilah kejelasan nilai Pluralisme yang cerdas.Sejak kelahiran Pancasila yang identik dengan kelahiran Indonesia, menyematkan nilai budi luhur yang menjaga marwah bangsa serta ketinggian bangsa Indonesia.Ruh pluralisme memang harus tertuju keabsahannya dalam aspek praktis, namun kemaujudannya telah terlihat dalam Pancasila sebagai bukti nyata idiologi bangsa. Mengukuhkan keindonesiaan dan kemanusiaan masa depan bangsa harus diambil ruhnya dari Nilai-nilai pluralitas luhur dengan tegaknya keadilan yang merata bagi seluruh penghuni Nusantara. Kekinian, Asumsi pernyataan mengenai keragu-raguan dalam memahami prluralisme semakin menjadi-jadi, sepeti yang telah dijelaskan di atas.Dengan tidak memahami secara benar inti dasar 189 Maarif,Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan dalam Konstituante, ( Bangdung: Mizan, 2017), h. 196. 158 Islam terhadap pluralisme maka bisa jadi bahwa Nilai-nilai dasar ajaran Islam dalam kehidupan individu Muslim baru teradopsi dalam bentuk serpihan-serpihannya saja.Islam tidak hanya membahas masalah aspek ibadah dan kepentingan akhirat semata, melainkan aspek humanisme, sosial, maupun ekonomi. Jika ketidak terbukaanya Islam terhadap pluralitas maka dengan secara tidak langsung umat Muslim seperti telah memasung Nilai-nilai ajaran agamanya.Dengan demikian maka prinsi-prinsip harmonisasi pluralitas dari ajaran Islam sesuangguhnya tidak tersentuh untuk teraplikasikan. Buya Syafii menginginkan umat terbebas dari doktris ortodok Islam yang tidak menerima Nilai-nilai kebangsaanya, yang padahal ia bertempat dimana dia tinggal. Poklamasi pluralisme agama dalam memajukan masa depan bangsa harus terangkum dalam segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang beranekaragam dan multi dimensi. Buya Syafii memberikan isyarat keras bahwa tanpa adanya perubahan sikap yang mendasar dalam masalah pluralisme maka akan menghambat kebersatuan umat. Umat harus berkaca dengan sungguh-sungguh, dan cerdas untuk melihat masa depan bangsa dalam bingkai kebhinekaan. Jangan mengharap pihak lain untuk menolong bangsa ini jika tidak siap untuk merubah diri sendiri. Meskipun usianya yang sudah senja, Buya Syafii tidak pernah berhenti untuk meberikan trobosan-trobosan baru walaupun nilainya belum seberapa jika dikaitkan dengan harapan bangsa yang teramat besar untuk sebuah perubahan fundamental dengan Al-Qur’an sebagai hakim tertinggi.190Begitu besar harapan Buya untuk mempersatukan umat tanpa terpecah dengan penuh pluralisme dan harmonisasi Nilai-nilai kebudayaan dan kebhinekaan.Dengan pluralisme tersebut secara perlahan bangsa mulai bisa berubah dan berbenah kearah kesatuan dan persatuan.Tidak ada masalah yang terlalu sulit untuk dipecahkan jika semua pihak memiliki pikiran cerdas dan jernih, lapang dada serta memiliki ilmu memadai. Kultur keiklasan dalam beragama merupakan modal dasar yang harus dimiliki oleh semua pihak.Dalam ungkapan lain, egoisme mazhab, 190 Maarif, Memorial Seorang Anak Kampung, h. 226. 159 golongan, dan latar belakang sejarah secara berangsur-angsur harus digantikan dengan semangat persaudaraan dan persatuan sesama manusia yang multukultural. Pluralisme diibaratkan sebagai mozoik yang Indah dan tata warna dalam sebuah lukisan atau kelompok paduan suara merdu sekaligus kelompok musik yang secara bersamaan menyanyikan lagu dalam bentuk simponi.Pluralistikdikarakteristik oleh difusi yang sangat luas dari berbagai kepentingan dan kompetisi antar kelompok masyarakat.Pluralisme mencerminkan elaborasi kepentingan yang terpancar dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam dunia kerja, keluarga, pengajian, dan lainnya.Mewujudkan tugas pluralisme kelompok yang mengatasnamakan agama harus saling bergandengan satu dengan lainnya demi mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.Tegasnya bahwa dalam masyarakat plural kebersamaan menjadi esnsial dan penuh dengan makna.191Harmoni pluralisme akan terwujud manakala umat dapat memahami hakikat dari pluralisme itu sendiri. Dalam memaknakan tersebut butuh kajian panjang serta keterbukaan mental serta spiritual untuk mewujudkan masas depan bangsa dalam bingkai keislaman. Relevansi permasalahan pluralisme dengan kenyataan yang ada saat ini nampaknya menjadi wacana yang sangat menarik untuk direnungi kembali, dengan memandang banyaknya terjadi diskrimansi agama, sosial, budaya bahkan kekerasan secara langsung. Dengan mengamati berbagai peristiwa yang ada di Indonesia akhirakhri ini, patut disangsikan kebenaran bahwa Indonesia adalah bangsa pluralis.Tapi hal tersebut tidak berlaku bagi Busya Syafii untuk terus berjuang memperjuangkan kebinekaan dan kemaslahan bangsa. Konflik epistomologis dalam agam akan terkurangi bahkan dapat hilang sekaligus apabila setiap pemeluk agama internal maupun eksternal saling bersikap terbuka saling menghargai dan mengakui eksistensi umat lain. Konsekuensi dari sikap demikian adalah adanya kemauan untuk mengakui bahwa semua agama itu 191 Yusuf Qordhawi, Anatomi Masyrakat Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 1999), h. 96. 160 sama akan tetapi pengakuan tersebut dalam rangka sebagai bagian dari keyakinan semata dan dari pemeluk agama yang beragam. Ide pluralisme bukan berangkat dari ide sekularisme,192dengan jelas Buya tidak sepaham dengan kata tersebut.Masyarakat luas cenderung memahami bahwa pluralisme mengandung dilainilai sekularisme, padahal tidak demikian adanya.Buya Syafii malah memandang sekularisme cenderung ateistik dan menolak peran agama dalam kehidupan publik.Sekularisme berasal dari agama Protestan berupa rasionalisasi, pencerahan, diferensiasi, atau pembedaan antara agama dan negara.Kebebasan tanpa batas merupakan prototipe sekularisme, privatisasi agama dan keyakinan, universalisme, modernisasi dan sebagainya menjadi inti ideologi sekularisme.Buya Syafii menekankan ketidak setujuannya terhadap sekularisme sebab menegasikan peran tuhan terhadap agama-agama, ini dapat merusak Nilai-nilai kemanusiaan yang universal.Bagi Buya Syafii bahwa universalisme harus memasukkan Tuhan dan agamaagama, jika agama ditiadakan di bawah pesan Tuhan maka itu tidak disebut sebagai universalisme.193 Sekularisme dapat didefinisikan sebagai pembebasan manusia dari agama dan metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya.AlAttas mengatakan bahwa sekuler mengandung bibit pemahaman perubahan dan keduniaan. Perubahan yang dimaksut ialah perubahan dalam pikiran manusia menurut perubahan-perubahan di sekelilingnya, yakni perubahan nilai, religius, ilmu, dan seterusnya akan berlaku sebagai suatu evolusi.194Mulyadhi Kartenegara 192 Sekularisme dapat didefinisikan sebagai pembebasan manusia dari agama dan metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya.Al-Attas mengatakan bahwa sekuler mengandung bibit pemahaman perubahan dan keduniaan. Perubahan yang dimaksud ialah perubahan dalam pikiran manusia menurut perubahan-perubahan di sekelilingnya, yakni perubahan nilai, religius, ilmu, dan seterusnya akan berlaku sebagai suatu evolusi. Lihat Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the future, (London: Mansell Publishing Limited, 1985), h. 14. 193 Maarif, Muazin Bangsa, h. 286. 194 Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTACT, 2001), h. 196. 161 mendefinisikan sekulerisme dengan sesuatu yang bersifat keduniawian (worldly) sebagai lawan dari spiritual dan religius.Kata sekuler lebih mengedepankan kehidupan dunia dan mengabaikan akhirat, dan dari sudut ontologis mementingkan yang bersifat materil ketimbang spiritual.195Di sini jelas kiranya bahwa Buya Syafii tidak sepaham dengan sekularisme jika dikait-kaitkan dengan pluralisme, sebab idiologi tersebut dapat mengancam spemerintahanlitas bangsa yang utuh.Mengingat juga bahwa Indonesia didiami oleh salah satu hegomoni Muslim terbesar di dunia. Masyarakat Muslim Indonesia semetinya tidak menjadikan sekularisasi sebagai prototipe untuk menentukan arah keberIslamannya. Doktrin sekulriasi sangatlah jelas yaitu mengajak umat untuk menganut paham bahwa kehidupan keagamaan adalah kehidupan pribadi masing-masing, yaitu kehidupan keagamaan hanya sekedar berfungsi untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya.Paham Islam sekularisme identik dengan urusan negara (Politik) berbeda dengan urusan agama.196 Sedangkan yang berkenaan dengan masalah keduniawian, mengajak untuk memecahkan dan menyelesaikannya dengan cara lain yang lebih rasional. Akan tetapi hal tersebut merupakan hal yang lumrah bagi agama selain Islam.Islam tidak memiliki alasan untuk menggunakan Istilah sekular, sebab istilah tersebut bukan berasal dari Islam.197Memang, jika kita perhatikan bahwa sekularisme selalu diakit-kaitkan dengan isu agama dan keyakinan umat beragama. Seperti yang diutarakan oleh Paul Tillich bahwa sekularisme memang diciptakan untuk merasuki agama dan tidak bisa keluar dari komunitas yang mengimani agama tersebut. Sekularisme akan terus bersandar pada agama-agama dan menggangu kepada tahapan yang lebih dalam 195 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistimologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 120. 196 Pradoyo, Sekularisasi dalam Polemik, (Jakarta: Grafiti, 1993), h. 19. Lihat juga Budhi Munawar Rachman, Argumentasi Islam untuk Sekularisme, Islam Progresif dan Perekembangan Diskursusnya, (Jakarta: Grafindo, 2010), h . 2-11. 197 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), h . 191. 162 yaitu pada aspek spiritual kehidupan manusia.198 Di sini tampak jelas bahwa argumentasi sekularisme jauh berbeda dengan konsep pluralisme.Sebab Islam menghendaki adanya saling keterkaitan antara hukum dunia dan hukum akhirat.Keduanya tidaklah harus terpisah melainkan berjalan selaras sebagai ketetapan Tuhan.Aturan-aturan di bawah garis keagamaan mestilah selaras dengan aturan manusia, dalam hal ini termasuk hubungannya dengan hukum, negara, sosial, budaya, maupun hal lainnya.Segala sesuatu yang menyangkut masalah umat Islam telah tertera dalam aturan syariat serta merupakan satu kesatuan yang utuh.Islam memiliki doktrin bahwa adanya kehidupan setelah kematian, oleh sebab itu maka kehidupan itu tidak hanya bersifat keduniaan semata.Dalam membangun ide Pluralisme, Buya Syafii tidak memasukkan ide-ide sekulraisme sebab dapat membahayakan umat dan memunculkan radikalisasi agama yang semakin meluas. Pluralisme Merawat Kewarasan Publik Isu yang sangat serius terhadap hegomoni pemikiran publik saat ini adalah kegagalah individu dan kelompok bahkan aparatur negara sekalipun, keliru dalam memaknaik arti sebuah harmonisasi Nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan bangsa.Individu religius gagal paham terhadap Islam yang harmonis dan humanis.Demikian pula dengan semangat kelopok tertentu yang mengatasnamakan agam namun aplikatifnya jauh dari Nilai-nilai agama.Hal ini membuat Nilai-nilai keislaman dalam bingkai kemanusiaan dan kebangsaan dipertanyakan kewarasaanya.Kemunculan keganasan kelompok keagamaan membuat salinan baru atas fundamentalis saleh menju fundamentalis radikal. Atas nama dialog agama semestinya publik religius harus sadar secara mendasar bahwa tindakan hegomoni yang terlalu berlebihan dapat memecahkan Nilai-nilai keragaman bangsa dan memunculkan sikap kebencian. Semestinya dialog agama memunculkan keselarasan dan kedamaian publik ternadap 198 Altaf Gauhar, The Challenge of Islam, (London: Islamic Council of Europe, 1978), h. 301. 163 Nilai-nilai pemersatu bangsa. Kepentingan kelompok dan individu dapat daiatur dengan tidak menimbulkan kegelisahan masyarakat secara kemunal. Hari ini terdapat berbagai kegelisahan publik terhadap sikapsikap aparatur religius yang tidak terbuka untuk menerima hasil dari buah asimsi orang lain di luar kelompoknya. Kelompok seolah-olah menjadi kekuatan besar untuk memunculkan kebenaran, kelompok seolah-olah wadah terbaik untuk mengklaim kebenaran yang sesungguhnya, sejatinya tidak demikian.Pada khasus penerapan aturan dalam masyarakat melalui Peraturan Daerah (Perda) syariah pada wilayah khusus tertentu sangatlah keliru dan jauh dari Nilainilai kemanusiaan dan etika publik.Peraturan tersebut seperti dikuasai oleh kelompok tertentu untuk menunjukkan eksistensinya ke publik tanpa mempertimbangakan nilai dan kemaslahatan umat secara berkelanjutan.Penguasaan dan hak atas ganjaran yang diberikan kepada pihak yang melanggar pun diputuskan secara tidak begitu dimengerti.Hal ini memunculkan sebuat tanda Tanya dikalangan publik terhadap teoritis yang dibangun dan aplikasinya sangat paradoks.Belum lagi pada saat aksi nyata dalam sebuah ganjaran yang diberikan, terlihat bagaimana rumusan sebuah aturan tersebut jauh dari pertimbangan Nilai-nilai psikologis, manusiawi, dan empati kedewasaan. Pluralime mengajak masyarakat untuk waras dalam melihat dinamika publik agar tidak gagal paham memaknai Islam berkemajuan. Demikian pula dengan konten aturan syariah, mengajak membongkar kembali syariat Islam seutuhnya sehingga sesuai dengan Nilai-nilai humanisasi dan tolerasi sosial. Pluralisme mencoba membawa nilai teologis untuk merawat kewarasan publik yaitu menjungjung tinggi kesepakatan bersama tentang adanya hakikat agama sebagai sebuah sikap kepasrahan mengikuti cara keberagamaan yang terbuka dan lapang dada.199Peraturat syariat seharusnya meneguhkan substansi peraturan hidup dalam Islam lebih terarah dan terbuka, bukan malah 199 Andito, Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 84. 164 mengekang dan menghambat.Selayaknya pluralisme yaitu bagaimana menjadikan masyarakat public berkamajian saling menerima dan mengahragi sesame serta menjungjung tinggi nilai humanis yang harmonis.Aturan Islam seharusnya bukan malah ditakuti, melainkan sebagai sebuah kewajiban bagi pemeluknya.Kekinian, memudarnya Nilai-nilai kemanusiaan dalam aturan Islam membuat peraturan tersebut hilang jati dirinya sebagai sebuah implemtasi Nilai-nilai kemanusiaan dan memuliakan manusia. Konsep pluralisme merupakan sebuah keunikan dan kekhasan khususnya bagi bangsa Indonesia.Kemajemukan dalam diri masyarakat multi dimensi bangsa ini didasari oleh keutamaan keunikan dan cirikhas khusus.Karena demikian, pluralitas tidak dapat terwujud atau diadakan atau terbayangkan keberadaanya kecuali sebagai sebuah antithesis dan sebagai sebuah obyek komparatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya.200 Melihat situasi saat ini bahwa pluralisme tidak dapat ikut andil besar pada situasi cerai-berai dan permusuhan, tidak saling mengaktualkan diri dengan baik, tidak menjungjung tinggi tali persatuan yang mengikat semua pihak. Jika pluralisme diserap dalam konteks publik yang demikian maka Nilai-nilai kesalehan dalam pluralitas tidak sama sekali dapat diimplementasikan. Tanpa adanya kesatuan yang mencangkup seluruh segi maka tidak perlu berharap banyak adanya kemajemukan, keunikan, toleransi, dan kekhasan pluralitas itu sendiri. Masyarakat majemuk itu ditawarkan kepada masyarakat yang waras secara pengetahuan, pendidikan, sosial dan humanisasi yang terbuka, bukan pada figur masyarakat yang fundamentalis konservatif. Secara tidak langsung, dialog antara agama dan peradaban di tengan kehidupan global merupakan sebuah keniscayaan belaka, karena seringnya dialog tersebut menimbulkan kesimpulan yang miskin terhadap makna. Kecenderungan figur fundamentalis religius melahirkan aktivis dan pakar dialog tanpa memahami makna dan 200 Muhammad Imara, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan,(Depok: Gema Insani, 1999), h. 9. 165 nilai dalam pemikirannya. Mereka sangat mahir dalam merangkai konsep kognitif untuk kerukunan dan perdamaian antar imam, tetapi egoistis, ekslusif dan cenderung tidak sesuai dengan praktik keseharian.201 Kedamaian sejati akan terwujud manakala masyarakat waras dan sadar toleransi, membangun budaya toleran, bersikap positif terhadap perbedaan, bekerjasama untuk kemanusiaan, dan mengakomodir mereka yang berbeda keyakinan. Mengakomodir pluralisme sebagai salah satu alat pemersatu bangsa bukanlah hal yang gampang, namun harus penuh keteduhan dan kesabaran.Pluralisme di Indonesia berada pada dua kutup secara umum, ada yang menerima danada yang menolak secara mentah-mentah.Pandangan individu maupun kelompok yang menolak menganggap bahwa pluralisme merupakan bencana yang membawa pada perpecahan idiologi umat sehingga keseragaman harus lebih dimunculkan.Biasanya manusia demikian delebel dengan kelompok fundamentalis-konservatif, tradisionalis, teologisnormatif, Islam eksklusif, dan pemahaman Islam yang ortodok tidak terbuka.202Demikian pula dengan kelompok yang mendukung dan menjalankan ide dan praktik pluralisme mengatakan bahwa pluralitas merupakan bentuk sunnatullah dan kebebasan publik dengan kondisi dan struktur budaya masyarakat yang ada.Individu maupun kelompok ini sangat beragam yaitu Islam rasionalis, Islam transformatif, Islam aktual, Islam Kontekstual, Islam Esoteris, Islam modernis, Islam kultural, Islam inklusif pluralis.203Penempatan pemahaman pluralisme di antara kedua kutub besar itu dapat disebut juga sebagai kelopok Islam moderat.Sikap Islam yang moderat menerima pluralitas sekaligus menerima keseragaman, dapat dilihat pada keberterimaannya terhadap beragam mazhab yang ada, namun dalam kerangka kesatuan dan persatuan akidah yang lebih toleran. 201 Abdul Mu’ti, Inkulturasi Islam Menyemai Persaudaraan, Keadilan, dan Emansipasi Kemanusiaan, (Jakarta: Al-Wasat PH, 2009), h. 64. 202 H. Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 222-223. 203 Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h. 30-179. 166 Sebagai sebuah ketentuan positif, pluralisme agama mesti tumbuh dan berkembang pada saat ini. Dengan kata lain, pluralisme harus dipandang sebagai aturan etika normatif publik berdasarkan standarisasi khazanah hukum Islam. Sebagai sebuah epistimologi, proses, metodologi pemahaman dan pencarian sebuah alat pemersatu bangsa, pluralisme memiliki kesempatan khusus untuk diterapkan dan dikembangka. Selain sebagai sebuah idiologi, pluralisme dipandang sebagai sebuah proses aplikatif pemahaman dan solusi pemersatu multikultural bangsa.Meskipun kerap menuai kritikan baik secara personal maupun publik, konsep pluralisme tetap tegak dikumandangkan oleh Buya Syafii untuk masyarakat Islam yang waras dan berkemajuan. Menurut Khalid Abou el Fadl bahwa sering kali para pendukung neo-radikalisme yang mengatasnamakan agama terdiri atas aktivis politik dan sosial yang hanya menyerap sedikit pendidikan dalam tradisi kesarjaan Islam, dan ingin membangun aturan Islam yang sangat dogmatis dan simplisit gagal dalam menyerap pengetahuan Islam secara keseluruhan.204 Seharusnya yang dilakukan adalah membawa Islam dengan teks Al-Qur’an menjadi sebuah proses diskursus dan penetapannya secara terbuka terhadap publik. Umat Muslim pada saat ini belum sepenuhnya menjadi pendorong untuk pembangunan kemajuan secara nyata dan terbuka. Di antara sesama kerap terjadi pertentangan dan saling tidak menaruh kepercayaan secara mendalam.Kegiatan umat yang diamatisaat ini disibukkan dengan berbagai ritual-ritual bersifat sementara dan memperbanyak pembangunan fisik untuk beribadah.Padahal jika dicermati bahwa semakin banyak pembangunan rumah ibadah maka maka secara tidak sadar banyak pula praktik kewajiban beribadah individu yang kosong.Semestinya, tempat ibadah dibagun atas dasar kapasitas masyarakat agar masyarakat dapat maksimal dalam beribadah.Lebih penting lagi bahwa ritual-ritual serta pembangunan fisik tempat ibadah secara berlebihan diganti dengan penyiaran agama untuk mengangangkat derajat manusia dari kemiskinan dan 204 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, (Jakarta: Ilmu Serambi Semesta, 2004), h. 249. 167 penghinaan.205Kemaslahatan umat atas dasar Nilai-nilai toleransi sosial umat lebih utama dibandingkan dengan pembangunan fisik yang tidak menyentuh secara langsung. Islam menganjurkan sikap toleransi dan meringankan beban pemeluk agamanya, akan tetapi betapa jauhnya individu Muslim di mana-mana dari ajaran pokok agama mereka. Pluralisme yang dimunculkan adalah pluralisme yang tumbuh atas dasar kesadaran, keselarasan, keharmonisan, dan kesamaan penerimaan dan pandangan secara menyeluruh tentang makna dan hakikatnya.Sebab, pluralisme butuh penerangan bagi individu awam agar terbukam pikirannya untuk dipraktikkan dalam keseharian. Semakin besar akan Nilai-nilai pluralisme maka akan semakin tinggi tingkat kewarasan publik, sebaliknya jika tidak maka tingkat kewarasan publik belum mendapatkan pencerahan. Semakin tinggi pluralisme yang membuat publik sadar maka semakin maju dan berkembang pula martabat agamanya.Pluralisme merupakan sebuah perjuangan agama sebagai sikap prilaku dan moralitas, yang menjadi tolak ukur tingginya pemahaman keagamaan sebagai individu yang saleh.Doktrin pluralisme dalam Islam adalah Pluralisme yang mencoba masuk secara mendalam untuk merasa terlibat dengan beban dan penderitaan sesame manusia, bukan justru menjastifikasi serta menghukumi mereka atas dasar perbedaan.Oleh karena itu maka nilai pluralisme adalah nilai Islam, demikian juga Islam mengandung nilai pluralisme praktik. Serangkaian Nilai-nilai kemanusiaan, individu yang merdeka, nurani yang bebas tanpa kekerasan merupakan ruh pluralisme.Nilai kemanusiaan menjadikan individu untuk menerapkan keberanian moral atas tindakannya terhadap kekacauan publik.Jika etika kemajemukan sudah tumbuh dan mengekar dalam jiwa individu maka aksi-aksi ekstremis dan fundamentalis dipastikan tidak muncul ke publik.Bagi Irshad Manji, masyarakan yang relatif bebas dan pluralis dan semakin majemuk akan terancam eksistensinya oleh 205 Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak Perlu dibela, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 86. 168 ekstremis Muslim yang bermaksut untuk mewujudkan sistem syariat secara global.206Sebagai masyarakat publik aktif secara individu maupun komunal, perjuangan mengenai integritas kemajemukan harus terealisasikan dengan segala resiko yang ada.Perjuangan ini tidak hanya demi keterbukaan dan kesatuan dalam perbedaan semata, melainkan melangkah lebih jauh yaitu demi terjaganya integritas bangsa dan demi ruh keyakinan kita yaitu Islam.Hanya manusia yang waras secara mental dan spiritual serta masyarakat terbuka dan menerima perbedaan yang dapat menyampaikan interpretasi alternatif mengenai Islam yang membawa visi keamanan, kemajuan dan kesetaraan serta toleransi. Peranan individu maupun kelompok dalam pembenahan konsep pluralis sangat dibutuhkan untuk kelangsungan peradaban masyarakat secara terus-menerus.Peranan itu dapat diwujudkan melalui penyatuan persepsi, menggalang persatuan umat dan membangkitkan ruh pemikiran Islam secara dinamis.Untuk itu maka peranan intelektual dan cendikiawan Muslim yang terbuka dan toleran yang kembali pada ruh Al-Qur’an guna mengeser krisis yang sedang terjadi sangat diutamakan.Umat harus membuka mata utuk keluar dari pengaruh tren konservatif yang telah membuat candu umat sehingga kehilangan ruh tajdȋd, daya kreativitas, dan ideide Pembaruan.207Arus konservatif menghambat kewarasan publik untuk mencari solusi kekinian atas peliknya permasalahan umat. Oleh sebab itu maka tajdȋd berkemajuan menjadi salah satu jalan alternative efektuf untuk merawat kewarasan publik yang pluralis. Tajdȋd berkemajuan merupakan sebuah pelita menuju cahaya kebangkitan umat dalam berbagai dimensi kehidupan yang dinamis dan pluralis. Penting kiranya dipahami di sini bahwa, keberagamaan masyarakat Indonesia memiliki varian-varian khusus dan bukan merupakan agama yang tercabut dari kemurniannya. Corak 206 Irshad Manji, Allah Libery and Love: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan, (Jakarta: Rene Book, 2012), h. 83-84. 207 M. Aunul Abied Shah, dkk, Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bangdung: Mizan, 2001), h. 200-201. 169 keagamaan di Nusantara akan tampak jika agama tersebut berakulturasi dan berasimilasi dengan budaya lokal. Sesuai dengan sejarahnya bahwa agama manapun yang datang ke Nusantara mestilah mampu masuk ke ruang budaya yang telah ada.Khususnya bagi Islam, harus lebih lapang dada dalam menerima perbedaan, sebab Islam secara teks menjalankan Kalam Tuhan untuk rahmat semesta alam.Sebagai penganut agama terbesar di Indonesia, Islam seharusnya yang menjungjung tinggi pluralitas secara praktis, akan tetapi individu Islam belum terbuka untuk hal tersebut. Sungguh sangat disesali bahwa Islam warna-warni saat ini tengah bersitegang dengan ide purifikasi model Arab modern di bawah kelompokkelompok militan.Bagi mereka Islam yang sah adalah Islam model kearaban dengan agenda mega proyeknya ialah menjadikan Indonesia model negera Islam (Khilafah Islamiyah).208 Kontestasi ketegangan, kebhinekaan, otentisitas, puritanisme, dan kejumutan masyarakat menjadi tantangan penting terhadap nilai aplikatif pluralisme agama, budaya, dan humanisme.Keadaan kontestasi hal-hal di atas mungkin menjadi penyebab utama munculnya fundamentalisme agama.Konstruksi fundamentalisme merujuk pada strategi yang digunakan kelopok ideologi puritan Islam untuk membangun ientitas keagamaan dan tatanan humanisme Islam eksklusif untuk penataan kembali tatanan sosial politik.Mereka berkeyakinan bahwa tatanan Islam dalam bahaya dicemari oleh kebhinekaan, pluralisme, dan konsep kemanusiaan, dan kebebasan budaya.Mereka berusaha keras untuk memperkuat barisan dan mencari penafsiran kembali untuk menghidupkan kembali doktrin dan prakti keislaman yang berasal dari masalalu yang suci.209 Peranan Islam sejak awal mulanya merupakan sebuah sistem moral dan keadilan sosial, mencangkup segala aspek yang dibutuhkan oleh kaum mukminin untuk membentuk tatanan masyarakat dan menjamin kemakmuran bersama dan kemerdekaan individu dalam 208 Abdul Kholiq, dkk, Warna-Warni Islam: Potret Keragaman umat Islam di Seluruh Dinia, (Yogyakarta: GRIM IKAPI, 2014), h. 137-139. 209 Riaz Hassan, Keragaman Iman: Studi Kompartif Masyarakat Muslim, (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 270-274. 170 persamaan.210Tidak perlu menyusun suatu tatanan pergerakan politik identitas baru melainkan membumikan Islam secara konkrit secara toleran dan berkemajuan.Dengan memakai interpretasi yang sehat maka umat hanya perlu memurnikan kembali secara konstektual wayu Tuhan dari kekacuan-kekacauan publik dan kegelisahan masyarakat secara umum. Maka dengan demikian, sikap masyrakat yang pluralis memberikan ruang khusus bagi pemeluk agama, keseragaman budaya, dan perbedaan cara pandang menjadi warnawarni kemanusiaan yang tinggi nilainya. Khusus di Indonesia hal ini sangat mungkin di capai, sebab Buya Syafii telah merumuskan banyak hal mengenai idiologi pluralisme yang sesuai dengan konteks bangsa kekinian menuju peradaban umat berkemajuan secar terusmenerus. Dengan demikian maka telah terlihat jelas bahwa argumentasi pluralisme Buya Syafii ingin menatap masa depan Indonesia dalam bingkai kemanusiaan dan keindonesiaa. Pluralisme mengandung nilai religiusitas secara universal, memahami agama secara matang, memahami sesama, dan saling membuka diri untuk selalu menerima perbedaan. Jika pluralisme dipahami secara menyeluruh maka dipastikan bahwa kekhawatiran bangsa kekinian tidak akan pernah ada. Melihat bahwa pluralisme yang ditawarkan oleh Buya Syafii adalah aksiologis intelektual, damai, bersahaja, saling memahami, dan jauh daripada Nilai-nilai radikalisme bahkan fundamentalisme. Demikian juga dengan argumentasi pluralisme Buya Syafii jauh dari idiologi sekularisme, mengingat bahwa bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dirinya dari nilai agama dan negaranya.Untuk menyatukan bangsa Indonesia yang lemah lembut, berwarna-warni, beranekaragam dan bermacam-macam, berbunga-bunga maka bingkai pluralisme harus di junjung tinggi dengan penuh kesadaran, wawasan dan keyakinan serta paham dengan baik epistimologi pluralisme yang sebenarnya. 210 Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 321. 171 Kesimpulan Pluralisme mesti menjadi solutif untuk kemajuan dan keberlangsungan bangsa ke depan. Dengan ide pluralisme dapat memberikan manfaat kedaimaian, ketentraman dan sikap saling menghargai satu sama lain. Buya Syafii melihat Pluralisme sebagai salah satu solusi untuk memersatukan bangsa dalam bingkai kemanusiaan dan kebhinekaan.Maklumat yang terkandung dalam Nilai-nilai Pancasila jelas menghantarkan umat Islam maupun nonMuslim untuk saling menghormati dan menghargai sesama. Harkat dan martabat bangsa akan sangat disegani bangsa lain apabila Nilai-nilai pluralisme dipegang teguh dan diimplemtasikan sesuai keyakinan dan ketauhidannya secara cerdas dan lanpang dada. Buya Syafii dilihat sangat bekerja keras untuk kemajuan melalui pluralisme ini, sebab dengan hal ini maka masadepan Indosensia di bawah payung Islam akan dalam tanpa adanya diskriminasi agama, radikalisasi agama, bahkan tekanan doktrinal yang gagal paham. Buya Syafii melihat tidak perlu adanya radikalisasi agama, tidak perlu adanya kelompok-kelopok yang mengatasnamakan Islam secara berlebihan, tidak perlu adanya saling menjatuhkan satu sama lain yang semua itu dapat menyuramkan masadepan bangsa. Buya Syafii mengharapkan akan adanya pemahaman agama yang terbuka, terduh, toleran dan lapang dada walaupun tidak sama dalam akidan dan kepercayaan. Agama yang diharapkan Buya bersahaja dan membangun Nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan yang majemuk serta sikap saling menghormati tanpa tawar-menawar dalam menjaga keindonisian dan kebinekaan dibawah payung Pancasila yang berbudi luhur. 172 Daftar Pustaka Al-Attas,Syed Muhammad, Naquib Islam, Secularism and the Philosophy of the future,London: Mansell Publishing Limited, 1985. Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTACT, 2001. Abied Shah, M. Aunul, dkk, Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bangdung: Mizan, 2001. Burhan, Ahmad Najib, dkk, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Maarif Institute dan Serambi 2015. El Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta: Ilmu Serambi Semesta, 2004. Gauhar, Altaf, The Challenge of Islam, .London: Islamic Council of Europe, 1978. Hassan, Riaz, Keragaman Iman: Studi Kompartif Masyarakat Muslim, Jakarta: Gramedia, 2006. Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan, 2009. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Bandung: Mizan, 2017. politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta: PUSAD, 2010. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante,Jakarta: LP3ES, 1985. Memorial Seorang Anak Kampung, Yogyakarta: Ombak IKAPI, 2013. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985. 173 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistimologi Islam,Bandung: Mizan, 2003. Muhammad, Husein, Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gus Dur, Yogyakarta: LKIS, 2012. Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Nasr, Seyyed Hossein, Islam Tradisi di Tengan Dunia Modern, Bandung: Pustaka, 1994. Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan keindonesiaan, Bandung: Mizan, 2008. Qordhawi, Yusuf, Anatomi Masyrakat Islam, Jakarta: Rabbani Press, 1999. Rachman, Budhi Munawar, Argumentasi Islam untuk Sekularisme, Islam Progresif dan Perekembangan Diskursusnya, Jakarta: Grafindo, 2010. Sucipto, Heri, Senarai Tokoh Muhammadiyah Pemikiran dan Kiprahnya, Jakarta Selatan: Grafindo, 2005. Subardi, M, Tuwah dkk, Islam Humanis: Islam dan Persolan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum, dan Masyarakat Marjinal,Jakarta: Mayo Segoro agung, 2001. Pradoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta: Grafiti, 1993. Wahid, Abd.Wawan Gunawan, dkk, Fiqih kebinekaan Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim, Bandung: Mizan, 2015. Imran, Muhammad, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Depok: Gema Insani, 1999. Andito, Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Mut’ti, Abdul, Inkulturasi Islam Menyemai Persaudaraan, 174 Keadilan, dan Emansipasi Kemanusiaan, Jakarta: Al-Wasat PH, 2009. Arfan, H. Abbas, Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008. Nata, Abuddin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2001. Wahid, Abdurrahman, Tuhan tidak Perlu dibela, Yogyakarta: LKiS, 1999. Manji, Irshad, Allah Libery and Love: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan, Jakarta: Rene Book, 2012. Von Grunebaum , Gustave. E, Islam Kesatuan dalam Keragaman, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1975. 175 MENANGKAL PAHAM INTOLERANSI (KRITIK AHMAD SYAFII MAARIF TERHADAP RADIKALISME BERAGAMA) Noor Hasanah Pendahuluan Ahmad Syafii Maarif (yang selanjutnya akan dituliskan ASM) adalah seorang intelektual Muslim Indonesia yang banyak menyuarakan moderasi dan keramahan Islam. Pemikiran tersebut tidak hanya menjadi nafas dalam setiap tulisannya, tetapi juga menjadi corak dalam setiap ceramah dan dialog ilmiah yang dilakukannya. Gagasan yang dikemukakan oleh ASM tidak jarang menuai kontroversi, bahkan di kalangan umat Islam Indonesia sendiri. Ia dinilai liberal dan ‘nyeleneh’. Hasil pemikirannya dianggap tidak biasa dan terkesan melawan arus. Sebagai contoh adalah ketika ASM memandang bahwa sikap sebagian umat Islam dalam menafsirkan pidato Ahok saat berkampanye untuk menjadi Gubernur Jakarta di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016 adalah hal yang berlebihan (untuk tidak menyebutkan terlalu sentimentil). Pada pidatonya, Ahok memang menyinggung surah Al Mâ`idah ayat 51 yang melarang umat Islam memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nashrani. Ia menyebutkan jangan mau dibodohi oleh para ustadz yang menggunakan ayat tersebut demi jamaah tidak memilihnya sebagai pemimpin. Sebagaimana diketahui bahwa Ahok beragama Nashrani. 176 Atas pernyataan Ahok ini tidak sedikit kalangan Muslim yang menilai bahwa pidato tersebut merupakan bentuk penistaan terhadap ajaran agama Islam. Kandidat gubernur Jakarta tersebut dianggap telah menggunakan ayat tersebut untuk memprovokasi umat Islam disana. Maka aksi demo pun digelar di beberapa wilayah Indonesia untuk mengecam tindakan Ahok. Berita pidato Ahok tersebut kemudian menyebar pesat di internet. Media nasional pun baik daring atau tidak sangat intens memberitakan kasus tersebut. Menyikapi fenomena tersebut, ASM malah bersikap sebaliknya. Ia justru berpandangan lebih longgar. Menurutnya akan lebih baik jika kita menonton video pidato tersebut (yang banyak tersebar di internet dan media sosial) secara utuh, tidak sepotong saja. Sehingga kita akan menyikapinya dengan lebih obyektif, tidak begitu responsif hingga melakukan aksi demo massal. Selain itu ia juga kerap mengemukakan suara kalangan minoritas. Seakan ia membela mereka. Padahal sebenarnya tidak bermaksud demikian, melainkan hanya sebagai ajakan untuk bersikap lebih toleran terhadap mereka yang berbeda. Misalnya sikap lunaknya terhadap penganut Syi’ah kendati MUI telah memfatwakan agar umat perlu waspada terhadap Syi’ah.211 Sebagaimana diketahui bahwa pada pertengahan tahun 2012, sekelompok penganut Sunni melakukan penyerangan kepada penganut Syiah di Sampang, Madura. Kemudian di tahun 2013, oleh mereka para penganut Syiah tersebut diusir dari Sampang. Pada akhirnya mereka mengungsi ke Sidoarjo, Jawa Timur hingga sekarang. Konon mereka diperbolehkan untuk kembali ke Sampang jika menganut Sunni. ASM tanpa takut memberikan kritik kepada aparat penegak hukum negara agar bersikap netral dan mengedepankan penegakan hukum tanpa tebang pilih. Bagaimanapun juga, pengusiran yang telah dilakukan itu merupakan bentuk sikap anarkis. Pembelaannya 211 Lihat fatwa MUI yang dihasilkan pada Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984 M, ditetapkan di Jakarta 7 Maret 1984. Lihat juga Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur No. Kep01/SKF-MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan Ajaran Syi’ah. 177 kepada penganut Syi’ah ini tidak berarti bahwa dirinya merupakan bagian dari mereka. Ia bukan seorang Syi’ah. Sikapnya itu sematamata didasari semangat kemanusiaan, semangat keislaman dan semangat keindonesiaan. Semangat kemanusiaan bahwa setiap manusia berada pada kesamaan hak, semangat keislaman bahwa Islam adalah agama yang menebarkan kasih sayang, dan semangat keindonesiaan bahwa negara ini adalah majemuk, maka menjadi berbeda adalah hal yang wajar, kita hanya perlu memaklumi heterogenitas dan perlu lebih toleran. Tidak kalah penting, ia berpikiran terbuka perihal kepemimpinan perempuan pada aspek politik. Padahal sebagaimana diketahui bahwa selama ini perempuan tidak lebih hanya dipandang sebagai warga kelas dua (untuk tidak menyebut sebagai ‘pelengkap’). Berpedoman pada Al Qur`ân surah Al Hujurât ayat 3, ASM berpandangan bahwa kemuliaan di sisi Allah swt terbuka baik untuk laki-laki maupun perempuan. Posisi sebagai pemimpin baik laki-laki maupun perempuan akan menjadi mulia pada pandangan rakyat jika ia bertakwa yang dimanifestasikan dengan komitmen menegakan keadilan dan siap bekerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bersama. Gagasan yang dikemukakan olehnya selalu dibarengi dengan pertimbangan kebinekaan yang ada di Indonesia. Menurutnya, umat Islam Indonesia harus mampu memahami Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan menjadi satu nafas. Sebab ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Muslim harus mampu berIslam di tengah kemajemukan, tanpa perlu memaksakan penegakan negara berdasarkan Islam secara formal.212 Hal ini dapat diamati pada sejarah perjalanan bangsa Indonesia dan budayanya yang bergandengan mesra dengan Islam sebagai agama dan Nilainilai tanpa berlabel ‘syari’at Islam’. Sehingga Islam yang dipraktikan di negara kita ini adalah Islam yang terbuka, inklusif, ramah dan solutif terhadap permasalahan bangsa dan negara. 212 Ahmad Syafii Maarif, “Islam di Masa demokrasi Liberal dan demokrasi Terpimpin”, Prisma No. 5, Tahun 1988, h 26. 178 Tulisan ini akan menyoroti sikap intoleransi yang menggejala dan mewabah dalam tubuh umat Islam sehingga memunculkan paham radikalisme dalam beragama. Paham ini cukup meresahkan dan mengancam keamanan negara. Ini didasari kesadaran akan pentingnya tindakan preventif untuk menanggulangi persebaran paham radikalisme tersebut, terlebih kepada generasi muda, dimana melalui berbagai media, tidak terkecuali media sosial yang sangat akrab dengan kehidupan milenial213, radikalisme terpapar dengan sangat bebas. Ahmad Syafii Maarif : Dari Radikal-Konservatif ke Moderat-Progresif Mulanya ASM pernah menjadi pengagum Al Maududi, Maryam Jameela, tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi dan gagasan tentang negara Islam.214 Ia sangat tertarik untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam (untuk tidak menyebutkan mendirikan negara Islam Indonesia). Pengalaman ini cukup menunjukan bahwa tadinya ia seorang yang radikal-konservatif. Padahal saat itu tahun 1976 – 1978 ia sedang menempuh pendidikan master pada Departemen Sejarah di Universitas Ohio, Amerika Serikat. Kendati Amerika adalah negara bebas, itu tidak lantas serta merta merubah pemikirannya. Perubahan pemikirannya menjadi lebih terbuka dan tidak kaku terjadi ketika ia melanjutkan studi doktor di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Disana ia bertemu dengan Fazlur Rahman. Ia mengikuti perkuliahan Profesor itu mulai dari studi Al Qur`an, Filsafat, Tasawuf, Teori politik Islam, modernisme Islam dan sebagainya.215 Tadinya ia mengikuti perkuliahan itu 213 Menurut KBBI Daring, milenial adalah: 1) Berkaitan dengan milenium, 2) berkaitan dengan generasi yang lahir di antara tahun 1980-an dan 2000-an: kehidupan generasi tidak dapat dilepaskan dari teknologi informasi , terutama internet. Lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/milenial akses pada 26 September 2018. 214 Ahmad Syafii Maarif, Ahmad Syafii Maarif: Memoar Seorang Anak Kampung, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h 203. 215 Ahmad Syafii Maarif, Ahmad Syafii Maarif: Memoar..., h 219. 179 demi menguatkan tekad dan mempertajam referensi dalam rangka mewujudkan keinginan mengubah Indonesia menjadi negara Islam. Akan tetapi setelah mengikuti kelas tersebut, ia tidak ‘berselera’ lagi merealisasikakan apa yang pernah sangat menggebu-gebu dalam batinnya. Ia menyadari bahwa Islam hendaklah menjadi nafas bagi setiap aktivitas Muslim tanpa harus menggunakan label Islam secara formal. Sebab inti dari agama adalah moralitas. Pemikiran Fazlur Rahman yang terbuka, modern dan wasatiyyah memengaruhi wawasan keilmuan dan keislaman ASM. Maka ia yang tadinya seorang yang memiliki pemikiran radikalkonservatif perlahan berubah menjadi moderat-progresif. Ia menyadari bahwa tidak menjadi penting pelekatan label Islam itu, sebab yang utama adalah bagaimana moral Islam itu mengintegrasi dalam jiwa masyarakatnya. Terlebih pada Indonesia yang majemuk, sangat beragam. Adalah suatu kekonyolan jika memaksakan Islam menjadi dasar Negara, sebab kendati di Indonesia ini Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas, akan tetapi cukup banyak juga agama-agama lainnya yang berkembang di bumi pertiwi ini. Maka hendaknya Muslim menunjukan wajah Islam sebagai agama yang damai dan ramah sehingga penganut agama lain tidak merasa terancam dan terdiskriminasi. Fokusnya bukan lagi pada simbol-simbol dan label, akan tetapi lebih kepada spirit Islam itu sendiri yang sebagai rahmatan li al’âlamîn. Hendaknya Islam itu seperti garam yang tidak terlihat tetapi terasa, bukan sebagai lipstick yang terlihat namun tidak terasa.216 Pancasila yang menjadi falsafat negara Indonesia sebenarnya mengayomi sebagian Nilai-nilai Islam. Tidak ada satupun sila dari Pancasila itu menyalahi Nilai-nilai dan ajaran Islam. Utamanya sekarang adalah bagaimana kita mampu mengejawantahkan Nilainilai tersebut kemudian mengisi pembangunan ini secara efektif. Islam mengajarkan semangat menuntut ilmu karena itu 216 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2015), h 290 – 298. 180 yang akan meninggikan derajatnya217, maka Muslim hendaknya berlomba-lomba dalam meningkatkan kapasitas diri dari segi keilmuan, bukan belajar hanya demi mendapatkan ijazah. Al Qur`ân seringkali memberikan sinyal pada banyak ayat agar kita mau berpikir dan menganalisa218, maka Muslim hendaknya melakukan hal demikian agar memiliki pemikiran yang terbuka. Islam juga mengajarkan belas kasih dan menyuarakan rasa kemanusiaan seperti mengayomi anak yatim dan fakir miskin219, maka hendaknya Muslim mempraktikannya demi meminimalisir kesenjangan sosial, bukan malah bersikap hedonis, menimbun harta terlebih serakah. Beberapa yang disebutkan itu hanya merupakan contoh Nilai-nilai Islam, masih banyak lagi spirit Al Qur`ân lainnya yang belum terpraktikan oleh Muslim dengan baik, karena sebagian kalangan hanya menggebu-gebu untuk mewujudkan penegakan negara Islam. Seakan-akan ketika sudah berlabel Islam, fenomena sosial dapat terselesaikan secara otomatis. Padahal sebenarnya tidaklah semudah demikian. Zaman akan terus berkembang, tantangan hidup akan semakin meningkat. Itu bermakna ada daya saing yang tinggi yang menuntut pada kompetensi diri yang tinggi pula. Hanya terfokus pada pemaksaan pemberlakuan sya’riat Islam secara radikal hanya akan membuat Muslim terlupa bahwa kita memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar untuk mengisi pembangunan. Selalu mengemukakakan ide homogenitas hanya akan membuat kita terjebak pada intoleransi. Sikap ini akan menggiring pada eksklusivisme hingga radikalisme yang mengancam keamanan negara. Kita saksikan contohnya nasib negara tetangga kita, seperti Rohingya (Myanmar) dan Vietnam, dimana radikalisme hanya akan berujung pada kegagalan. Al Qur`ân dan sunnah sebenarnya tidak memberikan sinyal tegas terkait dengan bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lain sebagai cara bagi umat Islam untuk mempertahankan 217 QS. Al Mujadilah [58] : 11. 218 Seperti QS. Al Baqarah [2] : 219 & 266, QS Ali Imran [3] : 191, An-Nahl [16] : 11, dan sebagainya. 219 QS. Al Mâ’ûn [107] : 1 – 7. 181 persatuan.220 Bumi ini diciptakan Tuhan bukan hanya diperuntukan bagi penganut salah satu agama saja. Semua penganut agama memiliki hak yang sama untuk hidup dan memanfaatkan kekayaan bumi ini atas dasar keadilan dan toleransi. Maka hendaknya kita semua harus mampu bersaudara dalam perbedaan, dan berbeda dalam persaudaraan. Jika kita meyakini bahwa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, maka penganut agama lain pun juga harus dapat merasakan bentuk rahmat itu dari orang Islam, bukan hanya terbatas pada orang Islam saja. Islam itu membawa kedamaian, ramah, memperjuangkan hak asasi manusia dan solutif. Akan tetapi jika umat Islam menampilkan wajah Islam sebagai bengis, egois, eksklusif dan radikal, maka sesungguhnya sikap demikian terlepas dari rahmat yang dimaksudkan oleh misi Islam sebagai rahmatan li al’âlamîn. Memahami Kebinekaan Indonesia Indonesia adalah negara dengan multi agama, multi etnis, multi bahasa dan keragaman lainnya. Di Indonesia terdapat 665 bahasa daerah, 300 suku yang tersebar di 17.670 pulau serta multi agama.221 Kondisi ini sekaligus menunjukan bahwa kita perlu mengenal keragaman yang ada, seperti perbedaan agama, budaya, pandangan politik, etnis, tradisi dan sebagainya. Inilah kekayaan Indonesia. Keragamaan hayati, multi kultur, perbedaan topografi dan juga multi agama yang diakui secara sah oleh negara dan boleh untuk dianut rakyat Indonesia. negara ini tidak mengamini pengutamaan salah satu agama saja, namun melindungi semua agama itu untuk masing-masing diyakini dan beribadah sesuai keyakinan. negara 220 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h 20. 221 Disampaikan juga oleh Said Assagaff, selaku Gubernur Maluku saat menjadi keynote speech pada Kongres Pancasila VI: Penguatan, Sinkronisasi, Harmonisasi, Integrasi Pelembagaan dan Pembudayaan Pancasila dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan Bangsa, yang diselenggarakan di Ambon pada 31 Mei – 1 Juni 2014, atas kejasama Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Universitas Pattimura, Ambon. 182 ini tidak mengutamakan salah satu golongan saja, tetapi menjamin hak semua orang untuk berekspresi sesuai dengan norma-norma agama, kesusilaan dan kesopanan yang ada. Ini membuktikan bahwa Indonesia sejak masa awal berdirinya sangat mengedepankan toleransi dan menghargai ke-Binekaan. Dipandang dari jumlah penganut agama, walaupun Islam sebenarnya diimani oleh mayoritas penduduk Indonesia, namun sangat tidak tepat jika memaksakan syariat Islam menjadi asas negara, sebab pada kenyataannya Indonesia ini adalah plural. Setiap penganut agama pada dasarnya akan berpandangan bahwa agamanya adalah yang paling benar, paling ideal, paling berdasar. Sangat celaka jika terdapat beberapa kalangan –dengan mengatasnamakan dalildalil kitab suci- merasa mendapatkan pembenaran atas aksi-aksinya yang meresahkan sekitarnya. Mengamati fenomena seperti itu, terlebih pelakunya adalah Muslim, ASM sampai menyebut mereka sebagai ‘Preman Berjubah’.222 Mereka melakukan aksi anarkis sambil menyerukan takbir dan asma Allah, menggunakan simbol-simbol agama dan bersikap seakan sangat memahami makna jihad. Mereka mencoba menutup tempat hiburan malam melangkahi aparat penegak hukum yang berwenang. Tidak segan mereka menyebarkan ujaran kebencian melalui ceramahnya. Lebih dari itu ada yang nekad melakukan aksi bom bunuh diri dan teror di tempat umum, tempat ibadah agama lain dan kantor aparat keamanan. Lebih parah lagi, aksi tersebut diyakini sebagai bentuk jihad untuk memberantas kemungkaran, atas alasan pengorbanan yang besar untuk agama. Dalih mereka adalah kemelut konflik yang diperjuangkan umat Islam seperti di Palestina, Iraq, Yaman dan sebagainya. Maka mencegah kemungkaran dengan tangan (aksi nyata yang identik dengan radikalisme –perang-) 222 Istilah yang disebutkan ASM, lihat Ahmad Syafii Maarif, “Preman Berjubah”, Republika, edisi 9 Agustus 2005. Kemudian istilah itu dikutip oleh banyak pihak, seperti M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008, (terj.), (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), h 722. Bandingkan dengan Hd. Haryo Sasongko, Terorisme: Dialog & Toleransi, (Pustaka Grafiksi, 2006), h 137. 183 merupakan salah satu ekspresi keimanan yang kuat daripada hanya sekedar mendoakan. Sungguh ini adalah hasil pemikiran yang sangat dangkal. Memang cukup banyak ayat Al Qur`ân yang menyinggung perkara jihad, seperti Al Baqarah [2] : 218 & 273, Âli Imran [3] : 142, AnNisâ [4] : 95, Al Mâ`idah [5] : 35, At-Taubah [9] : 20 dan sebagainya. Akan tetapi konteks ayat tersebut bukan dimaksudkan melakukan aksi radikalisme. Bukankah sebetulnya aksi tersebut tidak bernilai memperjuang agama, melainkan hanya membuat kehinaan semata. Tidak ada empati dan simpati atas radikalisme. Bagi kalangan Muslim, Al Qur`ân memang wahyu yang mengandung kebenaran mutlak. Ia berisi pesan-pesan yang agung dan ajaran yang luhur. Namun sebenarnya, bukan Al Qur`ân yang keliru, hanya saja interpretasi dan kekakuan pemahaman umat Islam yang menjadikan penafsiran terhadap ayat-ayat itu menjadi sangat kaku dan sempit. Tidak jarang lebih tekstual dari mempertimbangkan kontekstual, yang sebenarnya sangat beragam di berbagai bumi Muslim. Membenarkan tindak kekerasan kepada agama lain, berpikiran kaku dan bersikap eksklusif hanya akan mengantarkan peradaban Islam kepada kemunduran. Lebih lanjut lagi, perubahan yang cepat dan menyeluruh (revolusi) akan selalu berefek kepada kekacauan politik dan anarki, sehingga menghancurkan infrastruktur sosial politik bangsa dan negara.223 Memaksakan untuk menjadi homogen bukan saja menjadi hal sulit, namun juga merupakan sebuah ketidak mungkinan. Menjadi mayoritas, tidak lantas dapat berlaku sewenang-wenang untuk menundukan penganut agama lain pada hukum Islam. Maka sangat penting memahami keragaman Indonesia, ini berarti juga toleransi menjadi suatu keharusan. Keragaman memang diakui berpotensi besar untuk menyulut konflik-konflik yang mendorong pada aksi radikalisme dan terorisme, terlebih perbedaan agama. Namun bersikap radikal bukan menjadi 223 Ahmad Syafii Maarif, Menggugat Terorisme: Pendapat Para Pengamat dan Tokoh, (Karsa Rezeki, 2002), h 87. 184 solusi bagi permasalahan bangsa, bahkan memperparah krisis yang terjadi. Bangsa ini wajib dibela secara jujur dan bertanggung jawab, karena inilah makna konkret dan makna sejati dari nasionalisme pasca-Proklamasi.224 Sebagai bangsa Indonesia yang beradab, kita perlu memahami ke-Binekaan. Perlu juga ada kesamaan persepsi untuk menangkal radikalisme terlebih terorisme. Ini dilakukan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sangat disayangkan jika negeri yang sangat indah ini tidak bertahan lama (kedaulatannya) diakibatkan oleh kepentingan politik jangka pendek yang tidak sehat. Negeri Indonesia ini sangat indah, namun perjalanan sejarahnya tidak seindah alamnya.225 Radikalisme bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin membuat kekacauan dan ketidak percayaan publik terhadap kinerja Pemerintah. Disamping salah satu sisi isu radikalisme juga dimanfaatkan salah satu pihak sebagai dalih untuk untuk mengendalikan atau menekan gerakan-gerakan Islam.226 Kendati demikian, radikalisme tetap tidak dapat dibiarkan karena meresahkan dan menyesatkan. Intoleransi yang Kian Menyubur Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme dapat diartikan sebagai: 1) paham atau aliran yang radikal dalam politik, 2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau Pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan 3) sikap ekstrem dalam aliran politik.227 Radikalisme menjadi perhatian karena mengancam keamanan negara. Ini bermakna juga bahwa radikalisme yang menjadi efek dari intoleransi itu sangat 224 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam ..., h 14. 225 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam ..., h 14. 226 John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas, (Bandung: Mizan, 1994), h 192. 227 KBBI Daring, lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/radikalisme akses pada 26 September 2018. 185 bertentangan dengan paham dan Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, khususnya sila ke-3 yaitu “Persatuan Indonesia.” Islam selalu diindentikan dengan Arab dan isu radikalisme, maka pada akhirnya muncul beberapa intelektual, profesor dan pemikir Muslim yang mengenalkan Islam ke Barat secara metodologis yang lebih mengedepankan substansi daripada sekedar bungkus atau labelnya saja.228 Formula yang populer digaungkan mereka adalah the heart of religion is a religion of the heart.229 Bahwa hal yang terpenting dalam agama adalah yang sejalan dengan hati nurani, fitrah kemanusiaan yang paling suci, mendamba kedamaian, kebenaran, keindahan dan kasih sayang terhadap sesama. Kaedah ini nampak lebih menenangkan setiap penganut agama terlebih pada kehidupan yang majemuk. Jika saja setiap pemuka agama menyebarkan kedamaian dan kasih sayang (bukan ujaran kebencian), maka kekerasan sosial atas nama agama akan terhindarkan. Akan dengan mudah memupuk rasa persaudaraan. Indonesia memiliki masalah peningkatan radikalisme sebagai akibat dari sikap intoleransi230. Patut dipahami bersama bahwa Indonesia bukan negara Islam. Dalam konteks demokrasi, apapun latar belakang etnis dan agama seseorang, maka ia akan memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Indonesia sebagai negara yang demokratis, hubungan antara negara dengan warga negara diatur jelas dalam konstitusi negara, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.231 Misalnya jaminan negara terhadap fakir miskin dan orang terlantar [pasal 34], jaminan dan perlindungan negara terhadap hak-hak warga negara untuk beragama sesuai dengan keyakinan [pasal 29]. Dalam rangka menjamin hak-hak warga negara inilah, maka negara harus 228 Komaruddin Hidayat, Mamaknai Jejak-Jejak Kehidupan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), h 143. 229 Komaruddin Hidayat, Mamaknai..., h 144. 230 Ahmad Syafii Maarif, Menggugat Terorisme: Pendapat Para Pengamat dan Tokoh, (Karsa Rezeki, 2002), h 137. 231 Lebih detail, lihat A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, demokrasi dan Pencegahan Korupsi, (Jakarta: Kencana, 2017), h 146. 186 menjamin keamanan dan kenyamanan warga negara, baik dalam menyalurkan aspirasi maupun untuk menikmati sarana publik. Ketika radikalisme berkembang, maka keamanan dan kenyamanan ini menjadi terganggu. Di era reformasi ini, paham yang bertentangan dengan semangat Pancasila semakin berkembang di Indonesia. ASM menyebutkan bahwa kehadiran paham tersebut disebabkan oleh: 1) belum terwujudnya keadilan sosial ekonomi di masyarakat Indonesia, 2) ideologi impor dan Arabisme yang salah kaprah, lebih parahnya lagi ideologi ini diterima mentah-mentah oleh sebagian masyarakat Indonesia.232 Kedua poin ini dapat mengarahkan kepada paham dan sikap intoleransi dalam beragama, bahkan akan mendorong kepada radikalisme. Disebutkan sebelumnya bahwa 2 hal yang memicu radikalisme yaitu ketidak adilan sosial ekonomi dan penerimaan ideologi impor yang salah kaprah. Beberapa kalangan tidak berdaya menghadapi perubahan kondisi yang terjadi akibat dari kedua hal tersebut. Akan tetapi ketidakberdayaan sebuah komunitas untuk menghadapi tantangan dunia modern dengan segala permasalahannya yang kompleks ini tidak lantas mengecilkan hati dan nyali anggota komunitas itu, yang kemudian menempuh jalan ekstrem yang berbahaya misalnya melakukan bom bunuh diri, aksi teror dan sejenisnya. Itu tidak lain adalah ekspresi dari putus harapan dan ketidak berdayaan.233 Islam adalah agama perdamaian, dinamis dan memberikan perlindungan. Maka meskipun kita berbeda agama, suku, ras, hendaknya tampil bersama-sama menjaga perdamaian, tidak hanya dalam tataran lokal tetapi juga nasional dan global. Penting bagi generasi muda untuk membangun semangat saling menghargai diantara para pemeluk agama. ASM menyebutkan dengan jelas 232 Dipaparkan oleh ASM saat berdialog dengan tokoh lintas agama di Hotel Jayakarta dalam rangkaian acara Asian Youth Day (AYD) ke-7, pada hari Kamis (3/8/2017). 233 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam..., h 15 – 16. 187 bahwa sesama orang yang beriman itu bersaudara dan berdamai.234 Jika Al Qur`an saja sudah menegaskan demikian, maka tidak ada alasan bagi kita untuk bersikap eksklusif bahkan radikal. Spirit yang terkandung dalam surah Al Hujurât [49]:13, sangat jelas bahwa kita tidak hanya diinginkan-Nya untuk saling mengenal, tetapi juga saling memaklumi dan bertukar kebudayaan. Ini bukan bermakna menganggap semua agama itu benar, tetapi sekedar memberikan hak yang sama bagi penganut agama yang lain untuk untuk tidak terdiskriminasi. Menyadari kemajemukan Indonesia sekaligus juga menyadari urgensi sikap saling menghargai dalam kehidupan bersama, menepikan primordial masing-masing. Patut diingat juga, perlu sinergi kedua belah pihak. Minoritas tidak menyinggung mayoritas, dan sebaliknya mayoritas tidak semena-mena terhadap minoritas. Ada kekhawatiran dalam batin ASM bahwa hingga kini Indonesia belum juga berhasil mewujudkan janji-janji kemerdekaan yang pernah diucapkan oleh para pemimpin sejak puluhan tahun yang lalu.235 Ada kecurigaan bahwa janganjangan ada ketidak-beresan dalam pengaturan negara ini. Contohnya saja kemunculan aksi radikal yang dilakukan oleh beberapa kalangan sebagai reaksi terhadap kondisi ketidak-adilan sosial. Kesenjangan ini menunjukan adanya indikasi pengaturan negara yang sedang bermasalah. Intoleransi merupakan bibit dari ekstremisme dalam beragama atau yang juga dikenal dengan radikalisme. Kemunculan paham radikalisme berawal dari sikap intoleransi terhadap perbedaan yang ditemukan di kehidupan sosial. Misalnya perbedaan agama, perbedaan suku dan sebagainya. Intoleransi ini harus dicegah, mengingat bahayanya mengancam persatuan dan kesatuan. Potensi konflik tersebut menunjukan akan perlunya forum dialog lintasagama dan budaya. Sebab ketika agama dipandang sebagai sumber kekacauan dan konflik, maka kehadiran agama itu 234 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, (Yogyakarta: Bunyam, 2018), h 4. 235 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam..., h 14. 188 hanya akan menghilangkan legitimasi agama sebagai kekuatan moral dan penyebar misi perdamaian di bumi ini. Patut diakui bahwa kita sangat merindukan kondisi damai, rukun, tertib, aman dan nyaman. Penutup Buya ASM adalah intelektual Muslim yang memiliki komitmen teguh untuk mewujudkan Indonesia yang damai dalam persatuan dan kesatuan. Ia kritis, tegas namun juga bersahaja. Pemikirannya yang terbuka mengantarkan layak untuk disebut sebagai pengayom bangsa. Pemikirannya selalu berdasar kepada keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Ia mengedepankan moralitas Islam, toleransi inter dan antar umat beragama, mengecam dominasi mayoritas terhadap minoritas dan hak-hak persamaan antara laki-laki dan perempuan pada ranah publik. Keragaman merupakan hal yang lumrah, karena Tuhan memang menciptakan dunia ini dengan potensi keragaman. Memaksakan terjadinya homogenitas, merupakan hal yang tidak akan pernah menjadi mungkin, sebab pada dasarnya kita memang sudah berbeda. Isu besarnya adalah bagaimana kita mampu bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan, bukan bagaimana kita harus seragam. umat Islam harus bermental terbuka, bersemangat untuk maju, optimis, tidak putus asa dan tidak bermental minoritas. Bukan pesimis pada keadaan, tidak mampu menghadapi perbedaan lantas sewenang-wenang bersikap radikal. Mayoritas harus memberi kesempatan terbuka bagi minoritas untuk dapat melaksanakan keyakinannya dalam beragama, sebaliknya minoritas harus menghormati mayoritas. 189 Daftar Pustaka Fatwa MUI pada Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984 M, ditetapkan di Jakarta 7 Maret 1984 Esposito, John L. Ancaman Islam: Mitos atau Realitas. Bandung: Mizan. 1994. Hidayat, Komaruddin. Mamaknai Jejak-Jejak Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013. Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan Ajaran Syi’ah. Maarif, Ahmad Syafii. “Islam di Masa demokrasi Liberal dan demokrasi Terpimpin”, Prisma No. 5, Tahun 1988. Maarif, Ahmad Syafii. Ahmad Syafii Maarif: Memoar Seorang Anak Kampung. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2013. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan. 2015. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES. 1985. Menggugat Terorisme: Pendapat Para Pengamat dan Tokoh. Karsa Rezeki. 2002. Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Yogyakarta: Bunyam. 2018. Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008, (terj.). Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. 2008. Sasongko, Hd. Haryo. Terorisme: Dialog & Toleransi. Pustaka Grafiksi. 2006. Ubaedillah, A. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): 190 Pancasila, demokrasi dan Pencegahan Korupsi. Jakarta: Kencana. 2017. Website https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/milenial akses pada 26 September 2018. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/radikalisme akses pada 26 September 2018. Koran Ahmad Syafii Maarif, “Preman Berjubah”, Republika, edisi 9 Agustus 2005. 191 MENELADANI KESEDERHANAAN, TOLERANSI, DAN INTEGRITAS BUYA AHMAD SYAFII MAARIF Pangky Febriantanto Perjalanan Sang Tokoh Pertengahan tahun 1935, di Nagari Calau di Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung Sumatera Baratlahirlah seorang yang kelak menjadi guru bangsa sekaligus tokoh besar bagi umat Islam dan Bangsa Indonesia. Di sebuah wilayah yang nantinya menjadi markas pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) selama 3 minggu itulah Ahmad Syafii Maarif lahir pada 31 Mei 1935. Dan kelak karena menjadi seorang ulama yang memiliki pemahaman agama sangat mendalam, gelar “Buya” disematkan, menjadi Buya Ahmad Syafii Maarif. Dalam buku “Cermin untuk Semua : Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif” dijelaskan bahwa Ahmad Syafii Maarif sering di panggil dengan istilah Buya oleh orang yang dekat dengannya. Istilah Buya di ucapkan kepada Syafii Maarif karena ia pantas menyandang panggilan Buya yang memang sudah menjadi ulama yang benarbenar alim, dan juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus ilmuwan atau cendekiawan yang mempunyai reputasi intelektual yang sangat tinggi236.Bahkan kelak Buya Ahmad Syafii Maarif tidak hanya dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan tokoh Islam 236 Ghazali, Abdul Rohim & Daulay, Saleh P, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua (Jakarta: Maarif Institute, 2005) h. 37 192 saja, melainkan juga seorang tokoh nasionalis yang berkomitmen kebangsaan yang sangat tinggi. Putra Minangkabau yang lahir dari pasangan ayah Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan ibu Fathiyah tersebut merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Seiring waktu berjalan, Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu diangkat menjadi kepala suku di kaumnya237. Dan Ahmad Syafii Maarif pun tumbuh sebagai anak yang kental dengan ajaran-ajaran religi. “Aku lahir di Bumi Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935. Sumpur Kudus “Makkah Darat” adalah Bumi Bersejarah”. Kata-kata Buya Ahmad Syafii Maarif tersebut tertulis dalam Buku Titik-titik Kisar di Perjalanku. Tidak mengagetkan bila Sumpur Kudus tempat kelahiran Buya Ahmad Syafii Maarif kental akan Nilai-nilai religi khususnya Islam238. Hal itu dipengaruhi sejarah Minangkabau yang memang memiliki keterkaitan erat antara Budaya Minangkabau dengan Agama Islam. Pada masa kecil, sambil menempuh sekolah SR atau Sekolah Rakyat setingkat Sekolah Dasar, Ahmad Syafii Maarif juga menempuh pendidikan agama di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah. Selain itu, juga menyempatkan belajar mengaji di surau di sekitar Nagari Calau. Pendidikan pun berlanjut ke jenjang lebih tinggi di Madrasah Mualimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau yang masuk wilayah Kabupaten Tana Datar Sumatera Barat239. Memasuki usia remaja, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikan ke Tanah Jawa.Selain belajar di Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta, juga aktif dalam kepanduan Hizbul 237 Maarif, Ahmad Syafii, Titik-titik Kisar di Perjalananku, (Yogyakarta: Ombak, 2006) h. 3 238 Maarif, Ahmad Syafii, Titik-titik Kisar di Perjalananku, (Yogyakarta: Ombak, 2006) h. 3 239 Ibid. 106. 193 Wathan. Hizbul Wathan sendiri merupakan organisasi kepanduan yang bersifat otonom dalam naungan Muhammadiyah. Ahmad Syafii Maarif juga menekuni pers pelajar Mualimin yaitu Majalah Sinar. Bahkan, beliau pernah bertugas sebagai pimpinan redaksi. Lulus dari Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta, beliau sempat menjadi guru di Sekolah Muhammadiyah di Lombok Nusa Tenggara Barat. Selang beberapa lama, beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Cokroaminoto Surakarta kemudian Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Yogyakarta.Setelah mendapat gelar Sarjana Muda dan Sarjana, beliau melanjutkan kuliah tingkat master dan doktor di Amerika Serikat. Beliau mengambil Sejarah pada program master di Departemen Sejarah Ohio University dan Pemikiran Islam pada program doktor di Universitas Chicago. Wawasan yang luas dan intelektual tinggi tidak hanya membuat Buya Ahmad Syafii Maarif berprestasi, namun juga membawa beliau menjadi seorang akademisi baik itu sebagai guru, asisten dosen, dosen, bahkan sampai pada jabatan guru besar. Jabatan guru besar bidang sejarah beliau dapatkan di Universitas Negeri Yogyakarta. Gelar Profesor pun disandang di depan gelar Buya beberapa waktu setelah mengabdi sebagai dosen.Beliau juga sempat menerima banyak penghargaan yang diantaranya Magsaysay Award Tahun 2008, BJ Habiebie Award Tahun 2010, Tokoh Perbukuan Islam 2011, Masyarakat Ilmu pemerintahan Indonesia (MIPI) Award 2011, Penghargaan Lifetime Achievement Soegeng Sarjadi Award on Good Governance untuk kategori Intelectual Integrity dari Soegeng Sarjadi Syndicate 2011, dan segudang penghargaan lainnya. Meski demikian, beliau juga sempat aktif sebagai penulis dan jurnalis. Sebagian karya-karya yang ditulis oleh Buya Ahmad Syafii Maarif dalam sebuah buku maupun bentuk lain yaitu antara lain240: 1. Islam as The Basic of State : Study of the Islamic Political Ideas as Reflection in the Constituent Asembly Debates in 240 Hilyah, Lia. Skripsi Sarjana. Dinamika Pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif : Tinjauan Terhadap Ideologi negara (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2009). H. 139-140 194 Indonesia Dinamika Islam Islam, Mengapa Tidak? Islam dan Masalah Kenegaraan Islam dan politik Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan : Sebuah Refleksi Sejarah 7. Titik-titik Kisar Perjalananku : Autobiografi Ahmad Syafii Maarif 8. Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam 9. Memoar Seorang Anak Kampung 10. Islam dan politik Membingkai Peradaban 11. Menerobos Kemelut Refleksi Cendekiawan Muslim 12. Menggugah Nurani Bangsa 13. Mencari Autentitas dalam Kegalauan 14. Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Poltik 15. Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat 16. Keterkaitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama 17. Muhammadiyah dalam Konteks Intelektual Muslim 18. Membumikan Islam 19. Percik-percik Pemikiran Iqbal 20. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia 21. Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah 22. Islam, politik dan demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi umat Islam Indonesia 23. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis 24. Tuhan Menyapa Kita 25. Meluruskan Makna Jihad 26. Masa Depan dalam Taruhan 2. 3. 4. 5. 6. Ketokohan Buya Ahmad Syafii Maarif juga diakui bahkan telah diterbitkan Buku tentang Biografi Intelektual beliau yang berjudul “Muazin Bangsa dari Makkah Darat”. Buku tersebut merupakan karya Mun’im Sirry, Noorhaidi Hasan, Hilman Latief, Alois Nugroho, Akhmad Sahal, Ahmad Norma Permata, Rahmawati 195 Husein, Sudirman Nasir, Neng Dara Affifah, Muhammad Ali, Sumanto Al Qurtuby, Abdul Munir Mulkhan, sampai Zuly Qodir yang mendeskripsikan buah pikiran dan kompilasi pengkajian atas pemikiran-pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif.Selain “Muazin Bangsa dari Makkah Darat”, ada buku lain yang juga sebagai gambaran bahwa sosok Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan panutan bagi segenap Bangsa Indonesia. Buku yang berjudul “Cermin untuk Semua” yang merupakan Buku refleksi 70 tahun Ahmad Syafii Maarif terbitan Maarif Institute yang ditulis oleh Abdul Rahim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay. Dalam buku “Cermin Untuk Semua”, secara eksplisit terdapat pesan agung kepada khalayak ramai bahwa sosok Buya Ahmad Syafii Maarif sangat patut dijadikan cerminan teladan bangsa. Selain dunia akademis, Buya Ahmad Syafii Maarif yang pernah menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan juga pernah menjadi Presiden World Conference on Religion for Peace ini juga tidak lupa untuk tetap mengabdikan diri pada Organisasi Islam Muhammadiyah. Tidak hanya aktif, beliau bahkan menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat awal-awal masa reformasi. Beliau juga berhasil menjaga marwah Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah untuk tidak terserat ke Politik241. Dengan kata lain, Buya Ahmad Syafii Maarif berhasil membawa Muhammadiyah ke jalur khittahnya. Pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2000, beliau didaulat kembali untuk menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah masa bhakti 2000-2005. Dalam Buku Karya Abdul Rahim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay yang berjudul “Muhammadiyah dan politik Islam Inklusif” disebutkan bahwa selama kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif di Muhammadiyah, banyak terobosan baru yang belum pernah dilakukan pada periode kepemimpinan sebelumnya. Jika pada periode sebelumnya Muhammadiyah lebih banyak tampil dan dikenal 241 Website Muhammadiyah. Profil Tokoh Muhammadiyah : Prof Dr Ahmad Syafii Maarif (Ketua 1998-2005). http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-168-det-prof-dr-ahmad-safii-maarif.html Diakses pada 05 Desember 2018 196 sebagai gerakan da‘wah, pendidikan, dan amal usaha sosial, maka pada era Buya Ahmad Syafii Maarif, Muhammadiyah lebih mewarnai percaturan bangsa dan menjawab tantangan perkembangan dunia242. Dorongan beliau untuk membubuhkan dan memberikan ruang pada lahirnya pemikiran kritis di Muhammadiyah, intensifnya hubungan antar umat beragama dan ormas Islam lainnya, keterlibatan yang sangat aktif dalam gerakan Moral Anti Korupsi, serta partisipasi aktifnya dalam berbagai forum dialog dunia untuk memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan adalah di antara beberapa terobosan yang sangat terasa signifikansinya. Di era Buya Ahmad Syafii Maarif, posisi Muhammadiyah yang mengambil jarak dari semua partai politik dan tidak terlibat pada politik praktis juga kembali ditegaskan. Hal itu terumuskan lewat Tanwir Makassar pada Juni 2003 yang tidak mendukung partai dan calon Presiden tertentu. Bahkan, di saat tokoh-tokoh bangsa dan ormas Islam lainnya larut dan tergoda pada perebutan kekuasaan, Buya Ahmad Syafii Maarif justru tidak bergeming dan tetap konsisten dengan perannya sebagai pemimpin umat dan guru bangsa. Hal ini tentu saja berangkat dari keyakinan beliau selama ini, bahwa Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan pemikiran, sosial, dan da‘wah. Jadi, Muhammadiyah bukan gerakan politik yang bisa dijadikan untuk dijadikan alat untuk merebut kekuasaan243. Dan setelah secara baik menuntaskan masa bahaktinya dan tidak menjadi orang nomor satu di Muhammadiyah, beliau yang tinggal di Kawasan Nogotirto Sleman Yogyakarta ini tetap memiliki concernserta kepedulian tinggi akan perkembangan Islam khususnya Muhammadiyah dan Indonesia. Selain aktif di Suara Muhammadiyah dan mendirikan Maarif Institute, beliau sempat beberapa kali mengemban amanah penting dalam bernegara.Antara lain seperti jabatan Dewan Pertimbangan Presiden dan Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). 242 Rojani, Deden Muhammad. Skripsi Sarjana. Gagasan Pluralisme Ahmad Syafii Maarif. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2019), h. 28 243 Ghazali, Abd Rohim & Daulay, Saleh P, Muhammadiyah dan politik Islam Inklusif (Jakarta : Maarif Institute, 2005) h. 116-117 197 Dari sosok Buya Ahmad Syafii Maarif, setidaknya ada 3 hal yang dapat diteladani oleh Bangsa Indonesia. Meskipun masih ada banyak Nilai-nilai serta sikap yang patut dijadikan panutan serta teladan yang baik. Ketiga hal tersebut adalah : 1. Kesahajaan dan Kesederhanaan 2. Menjunjung Toleransi 3. Integritas Kesahajaan dalam Kesederhanaan Buya Ahmad Syafii Maarif telah menjadi guru Bangsa dan tokoh besar, namun tetap bersikap sederhana yang membuat beliau semakin bersahaja. Beliau memang seorang yang low profile high quality. Keseharian beliau memang dekat dengan kesederhanaan mulai dari hal-hal kecil dan tidak suka bermewah-mewah. Dalam berbelanja di toko dekat rumah beliau di Nogotirto, beliau lebih suka bersepeda dan membeli sesuai kebutuhan. Bahkan, beliau juga tidak canggung saat berkunjung dan membeli sesuatu ke angkringan. Ketika beliau pergi mengajar ke Universitas Negeri Yogyakarta atau ke tempat lain, beliau sering mengemudikan mobil sendiri tanpa bantuan sopir. Begitu pula saat bepergian jauh via pesawat, tokoh bangsa tersebut sering berbaur dengan penumpang biasa serta lebih memilih fasilitas ekonomi244. Walau terkadang ada beberapa orang yang meminta foto bersama, Buya tetap menunjukkan keramahannya. Salah satu yang pernal viral serta mendapat banyak pujian adalah sikap kesederhanaan Buya Ahmad Syafii Maarif saat menanti Kereta Rel Listrik (KRL) pagi-pagi buta. Di mana saat itu beliau akan menghadiri sebuah acara yang diinidiasi BPIP yang saat itu masih bernama UKP-PIP atau Unit Kerja Presiden – Penguatan Ideologi 244 Ribas. Kesederhanaan Buya Syafii. http://www.suaramuhammadiyah. id/2017/08/14/kesederhanaan-Buya-Syafii-makan-di-angkringan-naik-kereta-hingga-bersepeda/ . Diakses 05 Desember 2018 198 Pancasila. Hanya ditemani keponakannya, Buya tanpa meminta fasilitas, sopir, ataupun pengawalan melaju dari Jakarta menuju Bogor. Petinggi Maarif Institute juga sempat menawarkan fasilitas antar jemput dengan mobil serta dikemudikan oleh sopir dari Maarif Institute namun beliau tetap menolak secara halus dengan alasan saat itu Hari Sabtu245. Dan kesederhanaan juga terlihat ketika Buya Ahmad Syafii Maarif sedang memeriksa kesehatannya di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Rumah Sakit yang notabene dimiliki persyarikatan yang pernah beliau pimpin. Beliau tetap memilih untuk ikut antri tanpa dibeda-bedakan dengan pasien yang lain246. Kesahajaan Buya Ahmad Syafii Maarif juga tercermin dalam kesehariannya ketika berada di lingkungan tempat tinggal di Kawasan Nogotirto, Sleman, Yogyakarta. Buya dikenal masyarakat sebagai tokoh yang membumi dan tidak berbelit-belit apabila ingin bertemu, mewawancarai, atau bahkan sekadar berfoto bersama. Untuk menemui Buya Ahmad Syafii Maarifdapat dikatakan sangatlah tidak rumit dan tidak berbelit-belit dengan birokrasi. Hal demikian itu termasuk langka mengingat Buya Ahmad Syafii Maarif tidak hanya seorang tokoh bangsa, namun juga seorang guru bangsa. Apabila sedang berada di Yogyakarta khususnya di rumah tempat tinggalnya pada sore hari, Buya Ahmad Syafii Maarif selalu menyempatkan berjalan kaki untuk melaksananakan Shalat Maghrib di Masjid Nogotirto, sebuah masjid yang berada tidak jauh dari rumah beliau. Setelah Shalat Maghrib, sosok Buya dengan senyuman khas berbaur dengan tetangga sekitar. Bahkan, tidak jarang selepas Shalat Maghrib Buya dengan tangan terbuka menerima orang-orang yang ingin bertemu atau bahkan mewawancarai beliau.Meski demikian, memang sebaiknya menghubungi beliau terlebih dahulu untuk konfirmasi keberadaan dan kesediaan beliau. 245 Andryanto, S.Dian. Kesederhanaan Ekstreem Buya Syafii Maarif. https:// nasional.tempo.co/read/899470/kesederhanaan-ekstrem-Buya-Syafii-maarif/full&view=ok . Diakses 05 Desember 2018 246 Ribas. Buya Syafii Menunggu Antrian. http://www.suaramuhammadiyah. id/2017/11/30/Buya-Syafii-menunggu-antrian/ . Diakses 05 Desember 2018 199 Hal demikian juga dibuktikan oleh dua orang peserta Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif angkatan 2 (SKK-ASM 2) binaan Maarif Institute yang merasa beruntung dapat bertemu dan berdiskusi langsung dengan sosok Buya Ahmad Syafii Maarif pada selepas Shalat Maghrib di Masjid Nogotirto. Pada September 2018, dua peserta Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif angkatan 2 yaitu Nuraini Zainal Chaniago (S1 UIN Imam Bonjol Padang dan S2 IAIN Bengkulu) bersama Pangky Febriantanto (S1 FISIPOL UGM, S2 MIP UMY dan Student Mobility Program KKU Thailand) selepas melaksanakan Shalat Maghrib berjamaah bersama warga sekitar yang salah satunya adalah Buya Ahmad Syafii Maarif, dapat bertemu dan berdiskusi langsung dengan beliau. Dalam kesempatan tersebut, Buya dari awal memang dengan tangan terbuka menyambut kedua orang peserta SKK ASM angkatan kedua tersebut. Wawancara dan diskusi berjalan mengalir. Namun, ada satu hal yang patut diapresiasi tinggi dari sosok Buya Ahmad Syafii Maarif. Beliau selalu semangat dan seolah-olah memiliki energi lebih apabila berdiskusi terutama tentang kebangsaan dan keislaman. Dan satu hal yang masih menjadi sorotan Buya saat berdiskusi adalah umat Islam dalam konteks berbangsa seharusnya mampumengayomi Umat dari Agama selain Islam, namun kondisi yang terjadi justru menunjukkan bukan hanya belum sepenuhnya mampu mengayomi agama lain, untuk mengayomi sesama Agama Islam pun juga belum sepenuhnya mampu. Selain itu, satu hal yang menjadi sorotan Buya adalah Islam harus satu satu tarikan nafas dengan keindonesiaan dan kemanusiaan. Islam, Keindonesiaan, Kemanusiaan: Menjunjung Toleransi Dalam Buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: sebuah Refleksi Sejarah”yang ditulis oleh Buya Ahmad Syafii Maarif, Buya menjelaskan ada keinginan agar Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi 200 solusi terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara247. Agar bisa mengembangkan Islam seperti itu, umat Islam harus bermental terbuka, semangat untuk maju, optimis dan tidak putus asa, serta tidak bermental minoritas. Dengan demikian, umat Islam bisa bersama-sama umat agama lain berkontribusi untuk kemanusiaan, kebangsaan, kebangsaan, dan persyarikatan atau jamaah masingmasing baik urutan dari global ke lokal atau kelompok. Masih dalam buku yang sama, Buya Ahmad Syafii Maarif juga membahas tentang Islam, keindonesiaan, dan Kemanusiaan berarti telah masuk dalam tataran yang lebih dalam dan luas. Di mana, masa depan Indonesia harus diciptakan dengan sedemikian rupa agar setiap yang hidup di Indonesia benar-benar merasakan kenyamanan dan keamanan. Adanya kenyamanan dan keamanan berkaitan erat dengan prinsip keadilan yang berlaku untuk semua yang mana tidak ada diskriminasi dengan pertimbangan atau alasan apapun. Dan karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka sudah menjadi tanggung jawab Islam untuk menciptakan Indonesia yang adil dan berwajah ramah248. Pandangan Buya Ahmad Syafii Maarif yang menjunjung tinggi toleransi dan tanpa diskriminasi juga terpapar jelas dalam buku tersebut. Bahkan dalam bab V buku tersebut, Buya menjelaskan bahwa sebagai upaya mengukuhkan keindonesiaan dan kemanusiaan, ruh Piagam Jakarta tidak perlu terus menerus dipandang dalam perspektif legal formal, tetapi diambil ruhnya sebagai tegaknya keadilan yang merata bagi seluruh penghuni Nusantara atau Indonesia, tanpa diskriminasi. Dan Pancasila harus membuka pintu selebar-lebarnya untuk menerima sumber moral dari agama-agama yang berkembang di Indonesia dan kelima sila Pancasila juka dipahami secara benar dalam satu kesatuan maka tidak ada yang perlu dipersoalkan lagi dalam sudut pandang teologi, khususnya teologi Islam. Buya juga berpandangan bahwa untuk menciptakan bangunan 247 Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2009) h. 17 248 Ibid, h. 320 201 Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan kemanusiaan dalam satu tarikan nafas lebih merupakan kerja dakwah dan kebudayaan dibanding dengan kerja politik. Dengan pendekatan dakwah dan kebudayaan, Nilai-nilai dasar Islam, keindonesiaa, dan kemanusiaan dapat dirancang dengan lebih teliti, sabar, dan berdaya jangka yang jauh. Jika Nilai-nilai dasar sudah kuat maka pengaruh di bidang politik juga akan terasa yang politik yang berkeadaban. Dan politik yang dibimbing oleh Nilai-nilai profetik maka akan bermuara pada kedamaian dan keadilan249. Pemaparan Buya Ahmad Syafii Maarif tersebut jelas menitikberatkan salah satunya pada Islam yang progresif sehingga terjalin toleransi. Maka penting untuk menjaga Islam Indonesia dengan menjadi Muslim yang progresif dengan menjunjung keadilan,pluralisme,kesetaraan gender, melindungi kaum minoritas, dan berani menentang kebijakan negara manapun yang diskriminatif. Sebelumnya, Buya juga menyoroti adanya fundamentalisme agama yang mengancam kedamaian dan keadilan. Pada tahun 2004, Buya Ahmad Syafii Maarif bahkan pernah mengatakan bahwa konservatisme atau fundamentalisme agama yang bernafsu memonopoli kebenaran atas nama Tuhan akan berakibat tidak jauh berbeda dengan sekularisme-ateistik yang telah talak tiga dengan apa yang bernama iman. Dengan kehidupan yang tanpa iman itu, seseorang akan gampang melakukan apa saja demi mencapai tujuannya meski ia melanggar prinsip dasar agama yang mengajarkan kebaikan dan mencegah kebenaran atau tidak sesuai dengan prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Masih menurut pandangan Buya Ahmad Syafii Maarif, Islam yang rahmatan lil ‘alamin memang merupakan Islam yang memberi rahmat bagi semesta termasuk semua manusia. Bahkan termasuk manusia ateis sekalipun. Hal itu juga sudah sesuai dengan Al Qur’an Surat Al Anbiya’ Ayat 107. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa :“(Dan tiadalah Kami mengutus kamu) hai Muhammad! (melainkan untuk menjadi rahmat) yakni merupakan rahmat (bagi semesta 249 Ibid, h. 326 202 alam) manusia dan jin melalui keRasulanmu.” Dan apabila ditelaah lebih lanjut terutama tentang Muslim kontemporer, pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif terkait Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan kemanusiaan lebih kepada arah teori pemikiran politik Islam integrasi. Hal tersebut terletak pada konsepsi pemikiran Islam dan relasinya dengan negara dan masyarakat yang dianut oleh pemikir seperti Husein Haikal, Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Para pemikir tersebut menyatakan bahwa menurut teori tersebut, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Dalam buku Buya yang lain, yaitu Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa demokrasi Terpimpin, 1959-1965”, Buya Ahmad Syafii Maarif menyebutkan toleransi itu penting. Lebih lanjut, toleransi itu penting bagi Indonesia yang majemuk dalam banyak hal. Dengan mengacu pada Piagam Madinah, Buya menulis, “Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap”250. Hal itu karena Buya sudah lama risih dengan sikap-sikap intoleransi yang terjadi Indonesia. Satu hal yang didapat dari sebagian kecil buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah” dan Buku “Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa demokrasi Terpimpin, 1959-1965 ” tersebut adalah keterkaitan Islam di Indonesia dengan toleransi. Di mana, Indonesia merupakan negara dengan keberagaman sehingga diperlukan toleransi. Termasuk Islam sebagai agama terbesar di Indonesia juga menjunjung toleransi karena juga sesuai dengan tuntunan Islam itu sendiri. Selain itu, juga dikarenakan Islam sebagai agama Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, artinya Islam yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta.Bahkan, Buya 250 Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa demokrasi Terpimpin (1959-1965). (Jakarta: Gema Insani, 1996). H. 154 203 pernah mengatakan bahwa : 1. Islam yang asli alias original adalah Islam yang santun dan lembut, Islam yang ramah, Islam yang penuh rahmat, Islam yang toleran, Islam yang mengakomodir budaya lokal, Islam yang tidak main paksa. 2. Islam yang damai, Islam yang konstruktif dan Islam yang dapat mengayomi bangsa ini, dengan tanpa membedabedakan Suku, Agama dan lain-lain, itu Islam yang benar. keislaman harus satu nafas dengan keindonesiaan dan Kemanusiaan. Kedua pernyataan Buya juga senada dengan Al-Qur’an Surat Al Hujarat Ayat 11dan Al-Qur’an Surat Al Mumtahanah Ayat 8 dan 9. Dalam Al-Qur’an Surat Al Hujarat Ayat 11disebutkan bahwa : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang di perolok-olokkan lebih baik dari mereka yang mengolokngolok. Dan jangan pula sekumpulan perempuan mengolokngolokkan perempuan lain, boleh jadi perempuan yang diperolok-olokkan lebih baik daripada perempuan yang mengolok-olok. Dan janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”. Dan Al-Qur’an Surat Al Mumtahanah Ayat 8 dan 9 disebutkan bahwa : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku 204 adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. Selain itu, dalam berbangsa dan bernegara Buya Ahmad Safii Maarif berpegang teguh dengan nilai Pancasila. Karena, dalam bernegara terdapat dasar fundamen sebagai ideologi, bintang penuntun agar setiap tindakan yang dilakukan memiliki pijakan yang kuat. Meskipun agama dan negara harus terpisah,namun tetap saling melengkapi satu sama lain. Integritas Tinggi Sang Guru Bangsa Buya Ahmad Syafii Maarif memang sudah dikenal sebagai tokoh bangsa yang berintegritas. Karena integritasnya salah satu alasan Buya diberi amanat untuk menjabat sebagai Anggota Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Integritas Buya secara sekilas sudah dapat dilihat dari kegigihan, kedisiplinan, serta komitmen Buya dalam setiap menyelesaikan pekerjaannya. Kegigihan Buya Ahmad Syafii Maarif salah satunya dapat dibuktikan dengan semangat untuk terus memikirkan tentang keindonesiaan dan memperjuangan Islam yang toleran. Hal itu terlaksana dalam Maarif Institute, sebuah lembaga kajian dan riset yang Buya dirikan. Selain itu, semangat Buya juga dapat dilihat dari tulisan-tulisan dan pernyataan-pernyataan beliau di media massa. Mengenai kedisiplinan, seorang Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan salah satu tokoh yang paling disiplin. Terutama, tentang disiplin waktu dan aturan. Dan tentang komitmen, Buya selalu menyelesaikan apa yang menjadi ketugasan dengan tuntas. Bahkan, Buya pernah mengoreksi tugas mahasiswa-mahasiwa di dalam pesawat saat perjalanan menuju Amerika Serikat. Buya Ahmad Syafii Maarif memang dikenal sebagai bapak bangsa 205 yang mencintai bangsa Indonesia secara tulus dan dalam sekali. Bagi Buya Ahmad Syafii maarif, membela bangsa adalah dalam rangka membela Islam. Tidak mengherankan apabila Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan sosok yang gigih dan berani bahkan berintegritas tinggi. Gambaran akan integritas tercermin juga dalam usaha dan perjuangan Buya Ahmad Syafii Maarif tidak berhenti sekaligus ketika beliau meletakkan kepemimpinan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada gernerasi di bawahnya. Ketika menjelang berakhirnya masa bhakti beliau sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buya Ahmad Syafii Maarif kemudian mendirikan Maarif Institute sebagai wahana melanjutkan ikhtiar dalam rangka mengawal dan menggapai kebangkitan intelektual di kalangan generasi muda Islam. Di mana, Maarif Institute memiliki komitmen dasar lembaga ini sebagai gerakan kebudayaan dalam konteks keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan. Tiga area ini merupakan hal pokok dan terpenting dalam perjalanan intelektualisme dan aktivisme Buya Ahmad Syafii Maarif. Dan Nilai-nilai yang dianut oleh Maarif Institute adalah251 : Egaliter, Non-diskriminasi, Toleran, Inklusif Selain pendiri Maarif Institute, Buya Ahmad Syafii Maarif juga berperan besar bagi Suara Muhammadiyah. Sejak tahun 1965 hingga 1982 Buya Syafii telah berperan sebagai korektor dan redaktur majalah Suara Muhammadiyah. Selain itu, Buya juga tercatat sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bahkan dalam beberapa tahun setelah reformasi bahakan sampai tahun 2018, Buya Ahmad Syafii Maarif masih aktiftercatat sebagai Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah. Dalam Suara Muhammadiyah secara khusus dan masyarakat Muhammadiyah secara umum, Buya Ahmad Syafii Maarif diapresiasi sebagai tokoh inti yang menjadi tonggak bertahannya Suara Muhammadiyah hingga 1 abad.252 251 Maarif Institue. Tentang Maarif Institute. http://maarifinstitute.org/profil/#toggle-id-3. Diakses 5 Desember 2018 252 PP Muhammadiyah. Buya Syafii Maarif Tonggak Bertahannya Suara Muhammadiyah hingga 1 Abad. http://www.umm.ac.id/id/muhammadiyah/13295.html. Diakses 5 Desember 2018 206 Daftar Pustaka Al Qur’an dan Terjemahannya. 2015. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bantul Yogyakarta: Penerbit Gramasurya. Ghazali, Abdul rahim & Daulay, Saleh Patraonan. 2005. Cermin Untuk Semua: Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif. Jakarta : Maarif Institute. Ghazali, Abdul rahim & Daulay, Saleh Patraonan. 2005. Muhammadiyah & politik Islam Inklusif. Jakarta: Maarif Institute. Hilyah, Lia. 2009. Skripsi “Dinamika Pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif : Tinjauan Terhadap Ideologi negara.” Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Maarif, Ahmad Syafii. 2009.Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. (Edisi Revisi). Bandung : Mizan. Maarif, Ahmad Syafii. 2000. Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan politik. Jakarta: Cidesindo. Maarif, Ahmad Syafii. 2009.Otobiografi Ahmad Syafii Maarif: Titik-titik Kisar di Perjalananku. Jakarta : Penerbit Ombak. Maarif, Ahmad Syafii. 1996.Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa demokrasi Terpimpin (1959-1965).Jakarta: Gema Insani. Rojani, Deden Muhammad. 2019. Skripsi “Gagasan Pluralisme Ahmad Syafii Maarif” Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Link: maarifinstitute.org (diakses pada 05 Desember 2018) nasional.tempo.co (diakses pada 05 Desember 2018) muhammadiyah.or.id (diakses pada 05 Desember 2018) 207 suaramuhammadiyah.id (diakses pada 05 Desember 2018) umm.ac.id (diakses pada 05 Desember 2018) 208 REAKTUALISASI SPRITUALITAS DAN HUMANITAS AHMAD SYAFII MAARIF DALAM AGENDA PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF Putri Wulansari Pendahuluan Era reformasi menjadi angin segar bagi kebebasan berekspresi di Indonesia setelah sekian lama tersendat oleh rezim otoriter. Kebebasan tersebut tak hanya membuka keran-keran demokrasi dan kebebasan pers namun turut memperkuat ekisitensi Islam baik secara gerakan umat maupun politis dari dominansi kaum nasionalis. Namun, terbukanya kebebasan berekpresi turut menjadi gerbang masuknya gerakan Islam transnasional dari Mesir seperti Ikhwanul Muslimin. Kemunculan Gerakan transnasional di Indonsesia di ditandai oleh kemunculan-kemunculan Ormas Islam seperti FPI, MMI dan laskar Jihad.253 Gerakan tersebut sangat kentara terlihat dari penggunaaan kekerasan dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar seperti penggrebakan tempat-tempat yang dianggap maksiat ataupun penutupan paksa warung makan saat bulan ramadhan tiba. Kendati alasan yang berdasar serta dalam rangka penegakan syriat. Namun gerakan-gerakan tersebut justru menimbulkan kegaduhan serta menimbulkan konflik horizontal ditengah masyarakat, terlebih 253 Sa’dullah Afandy, Akar Sejarah dan Pola Gerakan Radikalisme Islam di Indonesia di akses dari www.nu.or.id pada Senin 20 Mei 2019 pukul 23.00 209 sentimen terhadap isu-isu sara masih menguat pasca huru-hara reformasi. Kemudian, Konflik horizontal berbau sentimen agama semakin menguat tatkala Majelis ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram atas pluralisme, liberalisme dan sekulerisme yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam254. Keputusan tersebut secara tidak langsung menjadi dalih kuat bagi kalangan ektrimis untuk merubah Indonesia menjadi negara Islam. Disatu sisi keputusan tersebut ditentang secara keras oleh kalangan intelektual Muslim Indonesia yang menamakan diri mereka sebagai koalisi aktivis demokrasi yang mendeklasrikan maklumat keindonesian sebagai wujud keberpihakan atas gagasan pluralisme, liberalisme dan sekulerisme.255 Membaca dan menganalisis dampak keputusan MUI terhadap pengharaman atas pluralisme, liberalisme dan sekulerisme ialah menguatnya sentimen keagaamaan serta polarisasi dikalangan umat Islam Indonesia dalam rentang 2005 hingga 2006. Setidaknya terdapat beberapa kasus sentimen keagamaan yang mencabik-cabik kemanusian dan persatuan bangsa seperti kasus Sunni-Syiah di Sampang Madura. Konflik tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaaan madzab. Sebagaimana dipahami bersama bahwa secara historis konflik antara sunni dan syiah telah terjadi sejak masa khalifah Ali yang bermula dari perebutan atas tafsir Al-Qur’an dan justru berakhir menjadi konflik perebutan kekuasaan karena Muawiyah berhasil mempolitisi ayat-ayat Al-Qur’an sehingga membuatnya menjadi penguasa Bani Umayah256. Hal yang sama terjadi pada konflik sunni-syiah di sampang Madura. Bahwasanya konflik tersebut bukan hanya disebabkan oleh perbedaan madzab tetapi terdapat kepentingan tertentu. Hal ini 254 Carool Kersten, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana umat Islam Era Reformasi, (Bandung: Mizan, 2018). h. xi. 255 Carool Kersten, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana umat Islam Era Reformasi, h. xi 256 Taufik Kustiawan dalam Alquran dan Budaya Kontemporer diakses dari alif. id pada 16 Desember 2018 210 didasarkan pada hasil reportase Rusdi Mathari mengenai penyebab konflik antara sunni syiah di Sampang Madura yaitu257: Pertama, terdapat beberapa kyai yang terlibat dalam kepentingan politik tertentu sehingga dengan mudahnya mengeluarkan fatwa haram ketika berbeda kepentingan, sebaliknya mendukung bahkan melabeli alim bagi mereka yang berkepentingan sama. Kedua, ialah persoalan eksistensi sekaligus resource. Telah menjadi rahasia umum bahwa maulidan menjadi hal yang wajib khususnya bagi masyarakat omben yang dilaksanakan tidak hanya di masjid atau di mushala-mushala tetapi disetiap rumah warga sehingga memberatkan masyarakat terutama bagi yang menengah kebawah. Terlebih beban uang saku yang ditanggung umat untuk diberikan kepada kyai. Kemudian sikap rasisme dari para kyai yang lebih mendahulukan mereka yang lebih banyak memberikan uang saku serta bingkisan dibanding sebaliknya, sehingga membuat kekecewaan umat dan berkeinginan berpindah ke Syiah atau Muhammadiyah. Respon masyarakat tersebutlahh diduga menjadi pemicu konflik yang terjadi di Sampang. Pasalnya, musim Maulidan merupakan masa panen bagi para kyai bahkan mereka bisa membeli sepeda motor dari hasil uang saku yang diberikan oleh umat. Memahami dan menganalisa hasil reportase Rusdi Mathari menegaskan bahwa agama/ keyakinan bukanlah sumber utama konflik horizontal yang terjadi. Tetapi, kepentingan-kepentingan dibelakangnya baik itu motif ekonomi, egoisme kelompok maupun politik, sehingga diperlukan upaya dindakan preventif dalam mengatasi problematika tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan karena pada dasarnya pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia, tetapi pendidikan Indonesia terutama pendidikan Islam menujukkan realitas lain. Pendidikan Islam tidak mampu menjadi pengendali moralitas dan spritual bangsa tetapi justru menjadi media reproduksi dan transmisi dari paham-paham radikal, ektrimis, ekslusif, 257 Rusdi Mathari, Mereka Sibuk Menghitung Jejak Langkah Ayam: Sehimpun Reportase Rusdi mathari, (Yogjakarta: Mojok, 2018). h. 191-214. 211 intoleransi dan takfirisme dan bukan sebaliknya menjadi wadah menyemai Islam moderat dan inklusif258 Menganlisa problematika pendidikan Islam tersebut bukan hanya diperlukan sebuah tindakan preventif. Namun diperlukan sebuah upaya pembharuan dalam pendidikan Islam menuju pendidikna Islam inklusif, tetapi Islam inklusif tersebut perlu ditempatkan sesuai pada tempatnya, agar gagasan Islam inklusif tersebut tidak menjadi eklusif gaya baru. Oleh karenanya dalam merumuskan desain pendidikan Islam inklusif tidak boleh keluar dari kerangka spritualisme dan humanisme sehingga gagasan ini menjadi jawaban yng konkret atas polemik yang ada dan berkembang. Maka membaca, Memahami dan mereaktualiasikan gagasan Ahmad Syafii Maarif mengenai spritualitas dan humanitas pada agenda Pembharuan pendidikan Islam menuju Islam inklusif. Reaktualisasi pemikiran Syafii Maarif menegnai spritualitas dan humanitas dapat menjadi salah satu alternatif dalam merumuskan Pendidikan Islam inklusif, mengingat sumbangsih yang luarbiasa dari Syafiii Maarif terhadap kemanusian dan KeIndonesian. Oleh karenaya, tulisan ini akan membahas upaya merumuskan desain pendidikan Islam inklusif dengan mereaktualisasikan pemikiran Ahmad Syafii Maarif mengenai Spritualitas dan humanisme dalam upaya pembharuan pendidikan Islam menuju pendidikan Islam inklusif. Spritualitas dan Humanitas Syafii Maarif Spritualitas dan Humanitas Ahmad Syafii Maarif Kini udara kita diperkaya sekaligus dicemari oleh informasi yang bisa kita peroleh semudah menarik napas rupanya hal ini perlu kita amini bersama259. Pasalnya sekarang informasi tumpah ruah bagaikan banjir bah yang tak tak dapat dibendung. Parahnya dengan 258 Report Covey Indonesia, Pelita yang Meredup: Keberagaman Guru Sekolah/ Madrasah di Indonesia, Vol 2 No 1 tahun 2019. h. 1. 259 Bre Redana, Koran Kami With Lucy in The Sky (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017): . 212 arus informasi yang begitu cepat justru menghasilkan informasi yang simpang siur dan membinggungkan. Tak sebatas itu arus informasi membuat orang mengalami kemunduran berpikir karena melemah daya kritisme atau critical thinking. Maka tak heran jika ini dimanfaatkan oleh para fundamentalis untuk memproduksi kontenkonten keislaman dalam presfektif mereka yang mampu menjawab kebinggungan umat Islam atas kesimpangsiuran informasi yang ada. Efektifitasnya tersebut teruji dari berkembangnya sikap taklid buta atau menelan mentah-mentah sehingga menyebabkan penyebaran Islam garis keras yang mengarah kepada radikalisme tumbuh subur.260 Keefektifan media ini pun diungkapkan oleh Sholahuddin seorang pakar teorisme saat mengisi materi pada penyelenggaraann Sekolah Kebudayaan dan Kemanusian Ahmad Syafii Maarif Periode II bahwasanya seseorng hanya butuh kurang lebih 9 Bulan untuk terpapar radikalisme karena mengonnsumsi konten-konten radikal di sosial media khususnya telegram.261 Fenomena-fenomena tersebutlah yang disebut oleh Kuntowijoyo dalam esai Muslim tanpa masjid sebagai generasi yang lahir tanpa ayah. “Generasi baru Muslim telah lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui saudara-saudaranya. Kelahiranya bahkan tidak terdengar oleh Muslim yang lain.262 Mereka dalah generasi baru yang kini bermekaran dalam satuan-satuan lain, seperti negara, bangsa, daerah, partai, ormas, kelas usaha dan sebagainya. Pengetahuan agama mereka bukan dari lembaga konvesional seperti masjid pesantren atau madrasah melainkan dari sumber anonim, seperti kursus, seminar, buku, majalah, kaset, CD, VCD, 260 Haidar Baqir, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spritualitas di Zaman Kacau h. 44 261 Sholahuddin, Jaringan Islam dan Terorisme di Indonesia: kasus Ansharul daulah di Indoesia, tulisan disampaikan dalam Sekolah Kebudayaan dan Kemanusia Ahmad Syafii Maarif Periode 2 Selasa 27 Oktober 2018. 262 Kuntowijoyo, Muslim tanpa Masjid: Mencari Metode Aplikasi Nilai-nilai Al-Qur’an pada Masa Kini, (Yogjakarta, IRCiSoD: 2018): h 130. 213 internet, radio, dan televisi. Banyak agama yang tidak sanggup melihat gejala-gejala modern sehingga gagal memahami makna kesenjangan struktural atau para pelaku korupsi, kolusi dan neotisme yang berwajah kesalihan” 263 Perihal krisis spritualisme abad modern kegelisahan yang sama turut dirasakan oleh Ahmad Syafii Maarif bahwasanya Abad modern semakin jauh dari Nilai-nilai moral-transendental serta semakin menjadi gersang dan ganas.”264 Kegelisahan-Kegelisahan atas krisis spritualitas yang melanda Sumpur Kudus yang mulai menerima modernisasi: Tetapi apakah itu merupakan sebuah yang patut ditangisi? Belum tentu juga, sebab berkat kemajuan komunikasi dan informasi, kawasan pedesaan sudah semakin mengecil digusur oleh kekuatan urbanisasi. 265 Dari kutipan tersebut dapat di tergambar jelas kegelisahankegelisahan Ahmad Syaffi Maarif dalam merespon dinamika modernisasi yang telah merambah hingga ke Sumpur Kudus. Tetapi bukan antipati terhadap segala bentuk perubahan. Sebab selama perubahan tersebut mengarah pada kebaikan maka perlu diserap dengan baik tetapi jika itu berubah menjadi tidak sehat maka diperlukan sebuah tameng untuk membendungnya. Tameng tersebut adalah agama yang di internalisasikan kedalam pemasifan pendidikan agama sebagai bagian dari pengontrol moral sosial. Berkat daya kritisnya dan pribadinya yang slalu gelisah mengantarkanya menjadi seorang cendikiawan Muslim Indonesia sekaligus guru bangsa. Penyematan gelar guru bangsa pada Buya Syafii memang sangat koheran karena beliau merupakan seorang intelektual organik yaitu seorang intelektual yang slalu gelisah menghadapi relaitas yang penuh dengan problematika dan 263 Kuntowijoyo, Muslim tanpa Masjid: Mencari Metode Aplikasi Nilai-nilai Al-Qur’an pada Masa Kini, h 133. 264 Ahmad Syafii Maarif, Titik Kisar Perjananku, (Bandung; Mizan, 2009): h 217. 265 Ahmad Syafii Maarif, Titik Kisar Perjananku, h 39-40. 214 menggunakan segala daya dan kemampuanya untuk merumuskan alternatif pemecahan atas segala problematika tersebut. Penggolongan tersebut berdasarkan tipologi intelektual yang dibuat olem Gramsci yang membaginya menjadi dua jenis intelektual yaitu: tradisional dan organik.266 Itelektual tradisonal adalah intelektual yang berada di menara gading dan antirealitas sedangkan intelektual organik adalah kaum intelektual- intelktual seperti Buya Syaffi yang mengabdikan dirinya pada kemanusian dan peradaban. Sebagai seorang intelektual organik tentunya telah banyak kerja-kerja inteektual maupun kemanusian. Kerja-kerja intelektual tersebut terintrpretasikan dalam berbagai tulisanya baik tulisan akedemik maupun populer. Sedangkan kerja kemanusianya terwejentahkan dalam sebuah lembaga yaitu Maarif Institut: for culter and humanity.. Sikap kemanusian tersebut terlihat dari keberpihakanya terhadap kaum minoritas seperti kasus sunni-syiah di sampang madura, Ahmadiyah, LGBT dan ateisme. Kendati golongan tersebut dilabeli sebagai golongan yang sesat oleh beberapa kalangan, bukan berarti kita dapat bertidak sewenang-wenang dengan golongan sesat tersebut seperti yag diungkapkan Buya: Melihat sikap dan ketegasan Buya terhadap para perilaku intoleran perlu kita tauladani serta sikap beliau dalam melihat suatu persoalan secara komprehensif. Pemikiran Buya sangatlah luas dan berbagai isu diantaranya mengenai demokrasi ataupun antara sekularisme dan fundamentalisme yang dianggap poros ekstrim dalam wacana keislaman. demokrasi sebagai salah satu produk humanis dan dilabeli paling beradab yang diciptakan oleh manusia modern dan ditentang oleh kalangan fundamentalisme. Namun Buya menyakini jika demokrasi adalah pegewenjentahan dari Nilai-nilai humanis: “Dalam pemahamanku terhadap Syuro (mutual consultation), 266 Abdul Rohim Ghozali, Sikap Intelektual Spritualitas dan Kemanusian Ahmad Syafii Maarif, Tulisan disampaikan dalam Sekolah Kebudayaan dan kemanusian Ahmad Syafii maarif periode II pada Selasa 27 November 2018. 215 sistem politik demokrasi rasanya lebih sesuai untuk dilaksanakan dalam konteks modern. demokrasi tidak harus bercorak Barat. Aspekaspek sekuler dari sistem ini dapat saja disingkirkan, sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolaknya. Kita ambil contoh, sebutlah misalnya parlemen sebuah negara menghalalkan judi karena didukung oleh lebih 50% anggotanya. Dalam sistem demokrasi Barat, judi dengan demikian menjadi halal. hal ini menempatkan manusia pada posisi sama dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama. Di sini doktrin egalitarian mendapatkan tempatnya secara wajar, sementara dalam sistem kerajaan yang masih berlaku pada beberapa negara Muslim, rakyat tidak punya hak untuk berkuasa. Pada waktu membahas konsep “daulat rakyat” dan “daulat tuanku” sebelumnya aku sudah menyinggung masalah ini. Dengan demikian di mana posisiku dalam masalah sistem politik ini sudah sangat jelas, tidak perlu diperpanjang lagi, kecuali dalam konteks yang sangat memerlukan. Tetapi jika aku berbicara tentang demokrasi, hendaklah dibaca dalam konsep “demokrasi yang berkeadilan.” Tanpa keadilan, sistem politik mana pun tidak lebih dari panggung sandiwara yang mengatasnamakan rakyat. Meresapi pemikiran Ahmad Syafii Maarif mengenai gagasanya terhadap demokrasi mengisnyaratkan agar masyarakat menjadi seorang pelajar yang cerdas terutama dalam hal menyikapai demokrasi. Realitas demokrasi sebagai produk peradaban barat tak dapat ditampikkan tetapi membuang demokrasi ke tong sampah merupakan tindakan yang tak bijakasana. Pasalnya dalam memahami demokrasi yang digambarkan oleh Syafii Maarif tidak boleh terjebak pada fatwa halal terhadap judi yang didukung oleh suara parlemen hingga 50%, tetapi esesensi kebebasan berpendapat serta kesetaran di mata hukum yang merupakan hak setiap warga negara berbeda dengan sistem kerajaan yang tak mengakomodir hal-hal tersebut. Sehingga dapat disederhanakan bahwa sebagai masyarakat dunia tidak bisa terlepas dari kebudayaan lain ataupun peradaban tetapi saling berkaitan. Peradaban dan kebudayan Islam tak dapat berdiri sendiri akan slalu ada peradaban dan kebudayaan lain yang memberikan sumbangsihnya entah itu Hindu, Yunani, Cina atau Eropa dan lainya. Terlepas dari pengewejentahan demokrasi yang 216 menimbulkan polemik dan kerap kali diperdebatkan, sehingga perlu ditegaskan bahwasanya demokrasi akan menjadi solusi atas polemik yang ada ketika gagasan tersebut dimaknai esensinya dengan baik serta ditempatkan pada demokrasi yang berkeadilan. Ketika prinsip keadilan tersebut dikesampingkan maka seperti apa yang ditegaskan Syafii Maarif Tanpa keadilan, sistem politik mana pun tidak lebih dari panggung sandiwara yang mengatasnamakan rakyat. Menuju Pendidikan Islam Inkulsif Pembharuan Islam lahir tatkala Islam mengalami masa kemunduran di berbagai bidang yang menyebabkan Islam jauh tertinggal dari peradaban Barat. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan Islam mengalami kemunduran diantaranya: Pertama, Rasisme dan politik identitas yang seolah-olah telah menjadi sebuah keniscayaan dikalangan umat Muslim setelah meletusnya perang Siffin sekaligus melahirkan takfirisme dan fanatisme golongan dikalangan umat Islam terutama dalam penginterpretasian AlQur’an.267. Kedua, Taklid buta yang menjadi problematika serius sera turut menjadi perhatian para pembharu Islam seperti Abdul Wahab dan Abduh agar membuka pintu Itjitihad selebar-lebarnya268. Dengan demikan secara tidak langsung menuntut penggunaan akal dalam mengkaji teks maupun pengetahuan tetapi pengunaaan akal ini pun perlu dibatasi agar tidak menjadi bebas nilai. Selain 267 Sejak meninggalnya Nabi Muhammad Saw, kesejarahan penafsiran AlQur’an mengalami perbedaan pendapat antar golongan umat Islam. Perbedaan penafsiran itu sering memicu adanya tindakan fundamental agama yang menyebabkan umat Islam terpecah dan mulai berkonflik demi kekuasaan. Geneologi itu bisa dilihat ketika masa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah yang berseteru dalam perang siffin. Pada peperangan itu, Mu’awiyah berhasil mengelabuhi Ali dan menafsirkan Alquran sebagai kepentingan politis untuk memperoleh kekuasaan. Ketidaksadaran itu yang menyebabkan Ali dan umat Muslim mulai terpecah belah menjadi: kontekstal, konservatif, tektual dan rasionalis. Lihat Taufik Kustiawan dalam Alquran dan Budaya Kontemporer diakses dari Alif.id pada 16 Desember 2018 268 Harun Nasution, Pembharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta, Bulan Bintang:1996), h 12. 217 itu betapapun kemulian posisi akal sudah disepakat, ia memiliki kemungkinan untuk digangu oleh nafsu yang mengakibatkan tidak tercapainya keadilan269. Ketiga, fase Jumud justru dimulai semenjak fondasi keilmuwan Islam dibentuk yaitu saat Khalifah Umayah Al Ma’mun. Al Ma’mun270 bermimpi ditemui seorang seorang laki-laki berjanggut dan menerangkan mengenai Nilai-nilai filsafat. Orang ini bicara dengan bahasa yang aneh yang tidak digunakan pada masa itu, tapi entah bagaimana Al-Ma’mun mampu memahaminya, kemudian mereka berdiskusi tentang iman, kebaikan, etika, arti etimologi tumbuh-tumbuhan serta Nilai-nilai karya klasik. Dari mimpi tersebutlah Ma’mun menyadari jika laki-laki didalam mimpinya tersebut adalah aristoteles yang menyuruhnya untuk menyalin karyakaryanya. Oleh karenya Ma’mun mengumpulkan seluruh kaum terpelajar dari seluruh negerinya untuk mengumpulkan seluruh manuskrip-manuskrip untuk disalin kedalam bahasa arab. Masa-masa penyalinan manuskrip-manuskrip tersebut disebut sebagai awal masa kejayaan Islam namun tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan fase ini hanya melakukan penyalinan-penyalinan atau pengalihbahasaaan secara leterlek dari bahasa yunani kedalam bahasa arab sehingga belum ada kemandirian berpikir. Terlebih penghargaan terhadap para penyalin manuskrip yang luar biasa dengan imbalan berupa emas sesuai berat manuskrip yang telah disalinya secara tidak langsung menyebabkan para penyalin ini enggan untuk mengkaji secara kritis manuskrip-manuskrip yang disalinnya. Selain itu, penghancuran buku yang dilakukan oleh pasukan perang salib turut membuat umat Islam kehilangan fondasi keilmuwanya kemudian diperparah oleh sikap ketidakproduktifan umat Muslim sehingga hanya mensyara kaya ulama-ulama terdahulu dan menganggapnya sebagai sesuatu yang final. 269 Haidar Baqir, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spritualitas di Zaman Kacau, (Bandung, Mizan: 2017): h 3. 270 Dikutip dari Fernanndo Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, (Tanggerang, Marjin Kiri: 2013): h 121. 218 Keempat, Budaya fatalisme dan Otoritarianisme menjadi penyebab selanjutnya dari kemunduran Islam. Menurut Al-Afghani271 budaya fatalisme ini membuat Islam dalam keadaan statis. Kemudian gagalnya penginterpretasian hadits yang megatakan jika umat Islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman. Kesalahan atas tafsir hadits tersebut membuat umat Islam menerima kemunduran mereka sebagai sebuah keniscayaan sehingga muncul keengganan untuk bangkit. Terlebih hal ini diperparah dengan sistem politik yang semakin kacau akibat sistem pemerintahan dinasti sehingga menyebabkan adanya otoritarisme yang membatasi berbagai bidang termasuk kebebasan berpikir dan keilmuwan. Belajar terhadap sejarah masa pembharuan serta bagiamana kejatuhan ataupun kemuduran Islam dapat terjadi, maka jika teliti intelektualisme kita akan merasakan bangsa Indonesia berada dalam fase kemunduran tersebut. Hal ini didasarkan pada faktor-faktor penyebab kemunduran yang secara konkret dan gamblang telah terjadi di Indonesia seperti faktor pertama yaitu rasisme dan politik identitas yang menguat menjelang Pilkada DKI 2018 serta Pemilu dan pilpres dengan terpolarisasinya umat Islam kedalam dua kubu capres. Kedua, sikap jumud, fatalisme, taklid buta yang tak hanya disebebkan pemahaman agama yang minim serta sentimen politik berbau agama menjadi penyebab utama fatalisme. Oleh karenya diperlukan sebuah upaya pembharuan dalam Pendidikan Islam yaitu pendidikan yang bersifat inklusif. Pasalnya, eklusifisme diproduksi justru di lingkungan pendidikan, sehingga pembharuan pendidikan Islam menuju Pendidikan Islam yang inklusif adalah sebuah keharusan. Akan tetapi, gagasan Islam Inklusif tersebut haruslah ditempatkan pada porsinya agar sifat inklusif tidak ada bedanya dengan eklusif karena sama-sama menimbulkan intoleransi272, sehingga menempatkan gagasan Spritualisme dan humanisme Ahmad Syafii Maarif menjadi salah satu alternatif 271 Harun Nasution, Pembharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta, Bulan Bintang:1996), h 55. 272 Muniim Sirry, Mempertanyakan Esklusivisme, Inklusivisme, Pluralisme. diakses dari www.goetimes.com diakses pada kamis 30 Mei 2019. 219 dalam pemecahan probelematikan pendidikan yang bersifat eklusif menjadi inklusf. Dalam konteks kaum Muslim, terdapat sebuah teologi yang disebut dengan teologi inklusif. Inklusivisme merupakan bentuk keterbukaan sikap dalam menerima perbedaan atas keanekaragaman yang ada di masyarakat dan keadaan yang multikultural.273 Inklusivisme juga diartikan sebagai cara pandang positif terhadap pluralitas kehidupan manusia, dengan menjunjung sikap-sikap yang toleran, terbuka, luwes, danmau menerima kebenaran lain selain kebenarannya sendiri.274 Sedangkan apa yang dimaksud dengan pendidikan inlusif berdasarkan deskripsi yang telah penulis paparkan sebelumnya yaitu sebuah sistem pendidikan yang diselenggarakan dengan dijiwai Nilai-nilai Islam yang toleran, terbuka dan menghargai perbedaan dalam keanekaragaman. Ciri dari pendidikan yang mengusung teologi inklusif yaitu mengakomodir Nilai-nilai Islam moderat yaitu untuk tidak fokus pada konsistensi terhadap agamanya, melainkan penghormatan akan seseorang. Sikap moderat tersebut kemudian memunculkan semangat inklusif yaitu pertama, semangat mencari kebenaran dan mendialogkannya. Kedua, pantang menggunakan kekerasan dalam menegakkan kebenaran. Ketiga, bersikap terbuka dalam menerima kebenaran yang ada dalam ajaran agama lain untuk bersama-sama membangun masyarakat dengan menjunjung tinggi Nilai-nilai kemanusiaan.275 Selain itu, terdapat beberapa karekteristik Islam moderat menurut Qodir adalah:276 Pertama, Menerima hermeneutika, sehingga ada pluralisme pemahaman. Kedua, Kritis atas teks dan pemahaman kitab suci agama-agama. Ketiga, Menerima modernisasi, 273 Syamsul Huda Rohmadi, Pendidikan Islam Inklusif Pesantren (Kajian Historis- Sosiologis di Indonesia). Jurnal Fikrotuna. 5(1) 2017: h.5. 274 Zain Abidin Islam Inklusif: Telaah atas Doktrin dan Sejarah. Jurnal Humaniora. 4(2). 2013 h. 1278. 275 Zain Abidin Islam Inklusif: Telaah atas Doktrin dan Sejarah, h. 1274. 276 Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman. Yogyakrta: Pustaka Pelajar. 2009 220 sekularisasi, dan liberalisme agama. Kempat, Menerima relativisme pemahaman. Kelima, Mengakui pluralisme agama. Karakteristik inilah yang akan dijadikan sebagai analisis serta indikator dalam melakukan pembharuan pendidikan Islam menuju pendidikan Islam Inklusif dapat dirumuskan secara konspetual serta menempatkan spritualisme dan humanisme agar gagasan-gagasan tersebut dapat menjawab problematikan Pendidikan Islam secara komprehensif. 1. Menerima hermeneutika, dan peningkatan daya kritis terhadap kita suci agama agama sehingga ada pluralisme pemahaman. Pertama, mengenai hermenutika merupakan salah satu pendekatan dalam penginterpretasian teks (Al-Qur’an) dan dalam proses penginterpretasian tersebut setiap orang memilki perbedaan baik dari segi metode menafsirkan ataupun hasil dari interpretasi tersebut. Hal ini, tidak terlepas dari latar belakang budaya serta keilmuwan dari sang ahli tafsir tersebut, sehingga Teks (Alquran) dalam kajian ilmiah menjadi kajian menarik serta tidak pernah habis ditelaah dan diperdebatkan. Alquran sebagai Teks serta dijadikan sebagai sumber hukum tentunya diperlukan sebuah interpretasian teks untuk memahami pesan Tuhan yang terkandung dalam Teks tersebut yang mengikat manusia sebagai seorang mukkalaf. Mengkaji Teks dalam kaca mata ilmiah berdasarkan Nasr Hamid maka akan terfokus pada tiga pokok permasalahan yaitu277: formatisasi teks dan formatisasi oleh teks, mekanisme teks dan pergeseran fungsi serta konsep teks. Pembahasan pada bagian pertama yaitu formatisasi teks dan formatisasi oleh teks terfokus pada teks didudukan dalam bingkai komunikasi. Komunikasi ini diartikan bahwa formatisasi teks mengalami pergumulan budaya melalui penafsiranya sehingga dalam pembentukan formatnya disebabkan beberapa faktor diantaranya: kondisi penerima pertama (Muhammad) kemudian sasaran 277 Nasr Hamid Abu Zaid (Penerjemah: Khoron Nahdliyyin), Tektualitas Alquran:Kritik terhadap Ulumul Quran, (Yogjakarta: LKIS 2002): hal. X-XII. 221 pembicaraan yaitu bangsa arab dengan segala kebudayaan yang melinggkupinya sedangkan formatisasi oleh teks adalah bagaimana teks tersebut memengaruhi serta mengubah situasi awal menjadi sesuai dengan kehendak dari teks tersebut. Kedua yaitu mekanisme Teks yang membahas mengenai proses teks dalam memproduksi makna yaitu melalui nalar penafsir secara intertekstual sehingga proses ini teks dimaknai dari luar teks sedangkan saat ekerja secara otonom yaitu saat ia diubah menjadi mushaf teks yang mengoreksi teks itu sendiri. Pembahasan Terakhir ialah mengenai pergeseran konsep serta fungsi teks dengan kekayaan makna yang dikandungnya menjadi tanpa makna, sesuatu yang mati dan tertutup. Pembahasan Nasr hamid mengenai Teks dapat kita sederhanakan menjadi sebuah piramida hubungan anatara penulis (author), teks, pembaca (reader) sehingga piramida ini melahirkan tiga pendekatan yaitu: berpusat pada penulis (author centered approach), berpusat pada teks (teks centered approach) dan berpusat pada pembaca (reader centered approach). Membaca pemikiran Nasr Hamid maka menerima perbedaan terhadap cara tafsir adalah sebuah keniscaayaan. Selain itu, pemahaman tersebut perlu dinternalisasikan dan masif ke dalam pendidikan Islam dikarenakan penguatan politik identitas. Realitas plural dikalangan umat Islam sendiri yang terdiri dari beberapa ormas Islam yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman umat Islam Indonsesia terhadap agama Yaitu NU, Muhammadiyah, LDII, MTA, FPI yang tentunya memilki cara berbeda dalam menafsirkan teks. Publik tentu masih mengingat Fenomena penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tcahaya Purnama (Ahok) Gubernur DKI Jakarta serta membuatnya terlibat dalam tindak pidana telah melahirkan sebuah gairah baru dalam kajian ilmu tafsir. Spirit ini terlihat dari adanya berebut tafsir Qs Al-Maidah: 51 yaitu mengenai tafsir kepemimpinan ataupun tafsir yang berkenaan dengan ayat-ayat jihad menjadi sebuah kajian yang menarik, sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan diantaranya: benarkah pidana yang dilayangkan kepada Ahok murni sebagai bentuk penistaan agama atau terdapat motif politik dibelakangnya. Selain itu, Titik poin dari polemik tersebut ialah tafsir terhadap Al-maidah 51 sehingga tulisan ini pun 222 turut terfokus pada paradigma masyarakat dalam memahami Teks khususnya pada Al-Maidah 51 yang jika dikaitkan dengan kasus penistaan agama telah melahirkan konflik horizontal antara Islam dan non-Muslim sehingga turut memperkeruh politik identitas yang ada. Bukti politik identitas ini diperkuat dengan peluncuran Laporan Indeks Kota Toleran 2017 yang dikeluarkan oleh Setara Institut. Laporan tersebut menempatkan Jakarta sebagai kota paling tidak toleran dengan skor 2,30 lebih rendah 0,3 poin dari kota Banda Aceh yaitu 2,90 sedangkan sebagaiamana kita ketahui Banda Aceh yang merupakan salah satu kota di provinsi Nanggro Aceh Darusalam yang terkenal dengan penerapan Qanun atau hukum syariah yang dianggap bersifat deskriminatif.278 sehingga dalam penafsiran tersebut diperlukan daya kritisme agar tidak terjebak kedalam taklid buta yaitu dengan melihat teks, konteks dan kontekstualitas dari ayat tersebut. Setidaknya dengan daya kritisme tersebut akan membuat orang keluar dari sikap hitam putih. Selain itu, antara penerimaan terhadap hermeneutika dan daya krititisme menjadi suatu hal yang berkesinambungan dan salaing terkait satu sama lain. 2. Sekulerisme dan Modernitas Wacana modernitas dan sekulerisasi merupakan wacana yang tak henti diperdebatkan. Namun ada satu tokoh yang menarik untuk dikaji pemikiranya dalam menyikapi hal tersebut yaitu Syafii Maarif sebagai berikut: “Apa yang disebut kemajuan sebenarnya adalah hasil dan buah dari ketegangan itu. Ada pun bagi manusia yang malas berpikir, ketegangan itu tidak begitu dirasakan. Saraf otaknya terlalu 278 Laporan Setara Institut mengenai Indek Kota Toleran 2017 menempatkan Kota Jakarta sebagai kota paling tidak toleran dengan skor 2.30 kemudian Banda Aceh 2.90, Bogor 3.05, Cilegon 3.20, Depok 3.30, Yogjakarta 3.40, Banjarmasin 3.55, Makasar 3.65, Padang 3.75 dan peringkat sepuluh di duduki oleh Mataram dengan skor 3,78. lihat di http://setara-institute.org. id/indeks-kota-toleran-tahun-2017/ diakses pada 01-01-19 puku 223 dimanjakan. Semuanya dibiarkan berlalu begitu saja, setelah itu menghilang tanpa bekas. Mereka singgah ke dunia hanyalah untuk beranak pinak, setelah itu berlalu tanpa ada sesuatu yang bermakna yang dapat dikenang orang. “Dan pada pergantian malam dan siang dan pada apa yang diturunkan Allah dari langit berupa rezki, yang menghidupkan bumi setelah mati, dan pada perkisaran angin, merupakan ayat-ayatbagi kaum yang menggunakan akalnya.”279 Modernitas atau yang dapat disebut kemajuan perlu disikapi dengan baik, modernitas tidak boleh dipandang sebagai sebuah ancaman atau tantangan saja, tetapi merupakan realitas perkembangan zaman yang tak dapat ditampikkan. Padangan anti terhadap modernitas dan kemajuan teknologi tersebut direduksi dan direkontruksi. Hal tersebut mengacu pada pendapat Syafii Maarif yang melihat sebuah kemajuan sebagai hasil proses perenungan dan pergulatan intelektualitas hingga menghasilkan sebuah pengethuan baru ataupun teknologi baru, sehingga yang dibangun bukanlah sikap pesimistis ataupun anti terhadap modernitas tetapi opitimise demi kemaslahatan bersama dengan Sains serta Agama. Selain modernitas perdebatan selanjutanya yaitu sekulerisme yang menjadi anti tesis dari konservatisme. Berdasarkan pendapat Syafii Maarif,280 konservatisme dan sekularisme dalam kenyataan tidak banyak bedanya. Pendukung kekuatan pertama seperti sangat beriman, tetapi agama tidak disentuhkan dengan masalah-masalah kemanusiaan yang semakin akut dari tahun ke tahun akibat perubahan sosial yang kencang. Mereka tidak punya poin lagi yang dapat ditawarkan untuk mengarahkan perubahan itu sebagaimana dituntut oleh wahyu. Sebaliknya kaum sekuler hanya mau menempuh jalan pintas saja dengan membuang secara kasar apa saja yang berbau agama dan Nilai-nilai kenabian sebagai sumber satu-satunya dari keamanan ontologi. Sehingga keduanya perlu ditempatkan secara 279 Ahmad Syafii Marif, Titik Kisar perjalananku, h. 10. 280 Ahmad Syafii Marif, Titik Kisar perjalananku, h. 262. 224 propional tanpa menghilangkan Nilai-nilai kebaikan dari dua gagasan tersebut. Gagasan sekuler akan efektif ketika gagasan konservatifisme telah masuki oleh politik sehingga menimbulkan konflik horizontal yang mengacam pluralitas umat Islam dan konservatisme memberikan ruh kepada sekulerisme yang kering akan Nilai-nilai yang bersifat ketahuidan. 3. Wacana Liberalisme dan Pluralisme Pluralisme merupakan salah satu dari tipologi kerukuanan agama yang memandang bahwa semua manusia dengan keyakinan apapun memiliki Nilai-nilai kebaikan dalam dirinya. Sedangkan, Liberalisme bermula dari revolusi Prancis yang mengusung ide libertian atau kebebasan dan hal tersebut lebih diwejentahkan kedalam gagasan demokrasi. Tetapi gagasan atas demokrasi tersebut banyak ditentang dikalangan umat Islam terutama dikalangan kaum konservatif. Namun melupakan esensi dari demokrasi tersebut yang menghargai suara setiap warganya dan hal ini berbanding terbalik dengan negara yang mengusung kerajaan terlebih yang mengusung imperium. Selain itu liberalisme, dimanknai sebagai upaya untuk menjadi ruang dari kebebasan berpikir dibatasi maka ilmu pengetahuan tidak akan berkembang dengan cepat.. Hal ini diungkapkan oleh Syafii Maarif sebagai berikut: “Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab yang puritan begitu dominan di Saudi sehingga pemikiran lain yang berbeda tidak boleh berkembang. Dari sisi terobosan intelektual Islam, Saudi hampir tidak ada yang dapat ditiru karena sudah terkurung dalam pasungan Wahabisme yang menyatu dengan penguasa otoritarian. Teman-teman Indonesia alumni Saudi rata-rata tidak bisa diajak berpikir melampaui guru-gurunya di sana, kecuali mereka yang berani membuka hati dengan membaca sumber-sumber pemikiran dari sarjana Muslim yang lain. Kenyataan ini merupakan kesulitan tersendiri bagi umat Islam Indonesia karena begitu beragamnya hasil pemikiran 225 keislaman yang lahir dalam sejarah kontemporer Indonesia281. Selanjutnya, “Kalau aku mengatakan bahwa Islam merupakan pilihanku yang terbaik dan terakhir, hak sama harus pula diberikan secara penuh kepadasiapa saja yang mempunyai keyakinan selain itu. Semuanya ini kulakukan berdasarkan pemahamanku terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah: 256, surat Yunus: 99, dan masih ada beberapa ayat lagi. Bagiku planet bumi ini bukan hanya untuk pemeluk Islam, tetapi untuk semua, apakah mereka beriman atau pun tidak. Semuanya punya hak yang sama untuk hdup dan memanfaatkan kekayaan bumi ini di atas dasar keadilan dan toleransi. Tak seorang pun punya hak monopoli atas bumi ini. Oleh sebab itu umat Islam semestinya secara aktif mengembangkan budaya toleransi ini dengan syarat pihak lain pun berbuat serupa. Jika ada gerakan agama atau politik yang ingin mengusir pihak lain dari muka bumi, maka mereka adalah musuh peradaban dan kemanusiaan yang harus dilawan”282 Kutipan tersebut merupakan buah pemikiran Ahmad Syafii Maarif untuk melihat manusia sebagai manusia kendati berbeda keyakinan ia tetap memilki Nilai-nilai kemanusian ataupun kebaikan yang melekat pada dirinya, sehingga ia pun berhak menjadi seorang pemimpin jika memang ia memiliki kapasitas sebagai seorang pemimpin daripada memilih pemimpin Muslim yang tidak memilki kapasitas dan korup283. Selain itu, publik terlalu terfokus untuk hanya melihat ayat-ayat tentang permusuhan dan kebencian padahal terdapat banyak ayat yang mendeskripsikan Islam sebagai 281 Ahmad Syafii Marif, Titik Kisar perjalananku, h.184. 282 Ahmad Syafii Maarif, Titik Kisar Perjananku, (Bandung; Mizan, 2009): h 204. 283 Ahmad Syafii Maarif, Alquran dan relaitas Umat, (Jakarta: Republika, 2010): hal.3. 226 rahamatan lil alamin seperti Al-Baqarah 62: sesungguhnya orangorang beriman dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabbiin, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal salih maka untuk mereka ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita. Oleh karenanya membenci atau memusihi Non-Muslim bahkan melakukan tindakan kekerasan kepadanya merupakan tidakan yang tak beradab kecuali satusatunya alasan penggunaan kekerasan yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Ini pun masih diperdebatkan oleh sebagian ulama. Misalnya diperdebatkan, bolehkah kaum membunuh orang lain jika jiwanya sendiri tidak terancam. 284 Sehingga perlu pembharuan dalam pendidikan bukan hanya pendidkan secara umum. Mengingat realitas Indonesia dengan mayoritas umat Islam. Maka pendidikan pada tingkat dasar dan menengah pertama sesuai kerikulum nasional tetapi ditingakatkan daya kritisnya dan ini relevan dengan program pemerintah dengan menggunakan pendekatan saintifik. Sedangkan, tingkat menengah ketas ialah: Pertama, pendidikan hukum agar setiap warga negara Indonesia mengetahui hak dan kewajibanya di mata hukum. Pendidikan agama yang mengakomodir pendekatan intereligius. Ketiga, mengkaji dan menelaah sastra baik sastra Indonesia, Islam dan dunia. Keempat, sains terapan dengan mengaplikasikan riset untuk mengembangkan pengetahuan dan teknologi. keenam, peningkatan kajian terhadap ilmu sosial dan humaniora serta filsafat. Kemudian pada tingkat pendidikan tinggi lebih terfokus pada upaya peningkatan dan pendalaman kemampuan sesuai dispin keilmuwan yang ia ingin geluti. Dengan demikian, diharapkan mampu menciptkan generasi Muslim dan tentunya generasi Indonesia menjadi manusia yang kritis, progresif dan responsif dalam menghadapi segala tantangan zaman tanpa keluar dari kerangka spritualitas dna humanitasnya. 284 Dikutip dari Abdurahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam kita, (Jakarta: Wahid Isntitute, 2006): Hal. xxviii. 227 Penutup Pasca reformasi dan dibukanya keran kebebasan berekspresi telah menjadi gerbang dari masuknya gerakan Islam Tranasional di Indonesia. Gerakan tersebut bersifat Eklusif dan kaku dalam memandang ajaran Islam atau yang disebut Syafii Maarif sebagai Preman berjubah. Oleh karena itu, diperlukan sebuah upaya pembharuan pendidikan Islam untuk merumuskan pendidikan Islam Inklusif dengan mengedepankan spritualitas dan humanitas sebagai sebuah keseimbangan, maka tulisan ini berupaya menggangkat Nilai-nilai spritualitas dan humanitas Ahmad Syafii Maarif dalam merumuskan pembharuan pendidikan menuju pendidikan Islam yang Inklusif. Menganlisa problematika pendidikan Islam tersebut bukan hanya diperlukan sebuah tindakan preventif. Namun diperlukan sebuah upaya pembharuan dalam pendidikan Islam menuju pendidikna Islam inklusif, tetapi Islam inklusif tersebut perlu ditempatkan sesuai pada tempatnya, agar gagasan Islam inklusif tersebut tidak menjadi eklusif gaya baru. Oleh karenanya dalam merumuskan desain pendidikan Islam inklusif tidak boleh keluar dari kerangka spritualisme dan humanisme sehingga gagasan ini menjadi jawaban yng konkret atas polemik yang ada dan berkembang. Mengingat realitas Indonesia dengan mayoritas umat Islam. Maka pendidikan pada tingkat dasar dan menengah pertama sesuai kerikulum nasional tetapi ditingakatkan daya kritisnya dan ini relevan dengan program pemerintah dengan menggunakan pendekatan saintifik. Sedangkan, tingkat menengah ketas ialah: Pertama, pendidikan hukum agar setiap warga negara Indonesia mengetahui hak dan kewajibanya di mata hukum. Pendidikan agama yang mengakomodir pendekatan intereligius. Ketiga, mengkaji dan menelaah sastra baik sastra Indonesia, Islam dan dunia. Keempat, sains terapan dengan mengaplikasikan riset untuk mengembangkan pengetahuan dan teknologi. keenam, peningkatan kajian terhadap ilmu sosial dan humaniora serta filsafat. Kemudian pada tingkat 228 pendidikan tinggi lebih terfokus pada upaya peningkatan dan pendalaman kemampuan sesuai dispin keilmuwan yang ia ingin geluti. Dengan demikian, diharapkan mampu menciptkan generasi Muslim dan tentunya generasi Indonesia menjadi manusia yang kritis, progresif dan responsif dalam menghadapi segala tantangan zaman tanpa keluar dari kerangka spritualitas dna humanitasnya. 229 Daftar Pustaka Abidin . Zain , Islam Inklusif: Telaah atas Doktrin dan Sejarah. Jurnal Humaniora. 4(2). 2013. Afandy. Sa’dullah, Akar Sejarah dan Pola Gerakan Radikalisme Islam di Indonesia di akses dari www.nu.or.id pada Senin 20 Mei 2019 pukul 23.00 Baez. Fernando, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, Tanggerang, Marjin Kiri: 2013 Baqir. Haidar, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spritualitas di Zaman Kacau . 2014 Carool Kersten. Carol, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana umat Islam Era Reformasi, (Bandung: Mizan, 2018). h. xi. Hamid Abu Zaid . Naasr(Penerjemah: Khoron Nahdliyyin), Tektualitas Alquran:Kritik terhadap Ulumul Quran, (Yogjakarta: LKIS 2002): hal. X-XII. Harun Nasution. Harun, Pembharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang:1996 Huda Rohmadi. Syamsul, Pendidikan Islam Inklusif Pesantren (Kajian Historis- Sosiologis di Indonesia). Jurnal Fikrotuna. 5(1) 2017 Kuntowijoyo, Muslim tanpa Masjid: Mencari Metode Aplikasi Nilainilai Al-Qur’an pada Masa Kini, Yogjakarta, IRCiSoD: 2018 Kuntowijoyo, Muslim tanpa Masjid: Mencari Metode Aplikasi Nilainilai Al-Qur’an pada Masa Kini, Yogjakarta, IRCiSoD: 2018 Kustiawan. Kustiawan, dalam Alquran dan Budaya Kontemporer diakses dari alif.id pada 16 Desember 2018 Laporan Setara Institut mengenai Indek Kota Toleran 2017 http:// setara-institute.org.id/indeks-kota-toleran-tahun-2017/ diakses pada 01-01-19 puku 230 Mathari. Rusdi, Mereka Sibuk Menghitung Jejak Langkah Ayam: Sehimpun Reportase Rusdi mathari, (Yogjakarta: Mojok, 2018). h. 191-214 Qodir.Zuly, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman. Yogyakrta: Pustaka Pelajar. 2009 Redana. Bre, Koran Kami With Lucy in The Sky (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017. Report Covey Indonesia, Pelita yang Meredup: Keberagaman Guru Sekolah/Madrasah di Indonesia, Vol 2 No 1 tahun 2019. h. 1. Rohim Ghozali. Abdul, Sikap Intelektual Spritualitas dan Kemanusian Ahmad Syafii Maarif, Tulisan disampaikan dalam Sekolah Kebudayaan dan kemanusian Ahmad Syafii maarif periode II pada Selasa 27 November 2018. Sholahuddin, Jaringan Islam dan Terorisme di Indonesia: kasus Ansharul daulah di Indoesia, tulisan disampaikan dalam Sekolah Kebudayaan dan Kemanusia Ahmad Syafii Maarif Periode 2 Selasa 27 Oktober 2018. Sirry . Munim, Mempertanyakan Esklusivisme, Inklusivisme, Pluralisme. diakses dari www.goetimes.com diakses pada kamis 30 Mei 2019. Syafii Maarif. Ahmad , Titik Kisar Perjananku, Bandung; Mizan, 2009 Wahid. Abdurahman, Islamku Islam Anda Islam kita, Jakarta: Wahid Isntitute, 2006 231 CERMINAN ISLAM UNIVERSAL AHMAD SYAFII MAARIF DALAM UPAYA MEMBANGUN INDONESIA BERKEMAJUAN Nuraini Pendahuluan Sejujurnya sebelum saya menjadi bagian dari Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif pada gelombang II ini, saya sudah tahu sedikit banyak tentang sosok dan figur seorang Ahmad Syafii Maarif yang kemudian dikenal dengan sebutan Buya Syafii. Saya sudah membaca dan mengikuti berbagai tulisan-tulisan Buya baik dalam bentuk buku ataupun tulisantulisannya di Media sosial. Namun pemahaman dan kekaguman saya pada sosok Buya Syafii ini semakin baik dan bertambah ketika saya memiliki kesempatan secara langsung bisa bertemu dan berdialog secara berhadapan dengan beliau. Pertemuan pertama saya dengan sosok luar biasa ini diawali dengan kebutuhan tesis yang sedang saya garap dalam jenjang pascasarjana IAIN Bengkulu. Pertemuan yang tak berlangsung lama ini telah mampu membuat saya begitu terkesan dengan kesederhanaan seorang sosok Buya Syafii. Saya pernah menuliskan perjalanan saya bertemu dengan Buya Syafii ini dalam bentuk tulisan singkat yang saya beri judul dengan “Setengah Jam Bersama Buya Syafii Maarif” yang telah saya share di Media sosial pribadi saya. 232 Sebagai seorang pengagum Buya Syafii mungkin saya terkesan memberikan pandangan-pandangan yang subjektif akan sosok manusia otentik yang satu ini. Oleh sebab itu, bisa saja penilaian-penilaian saya akan sosok Buya berbeda dengan yang lainnya. Kesederhanaan seorang Buya Syafii menyadarkanku bahwa persamaan dan sikap lapang dada itu adalah jalan dalam membentuk keharmonisan antar sesama manusia di muka bumi ini. Kepiawaian dan kesederhanaan Buya sebagai sosok Bapak Moral Bangsa tak perlu diragukan lagi. Bahkan saya perfikir bahwa Buya adalah satusatunya orang yang memiliki kesederhanaan dan ketulusan dalam menjalani agamanya di muka bumi ini tanpa dijubahi oleh apapun. Sebagai mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan orang yang senantiasa dimintai nasehatnya oleh pemimpin bangsa ini, maka kesederhanaan hidup beliau patut diteladani. Jika kita amati para pemimpin-pemimpin ataupun orangorang yang memiliki jabatan di negeri ini begitu sulit untuk dimintai waktu bertemu, apalagi sampai berdialog langsung tanpa perjanjian terlebih dahulu sebelumnya. Inilah yang saya rasakan denga sosok sang Buya yang saya temui di kediaman beliau di Nogotirto Yogyakarta beberapa waktu lalu. Bermodalkan nekad dan tanpa perjanjian terlebih dahulu saya akhirnya bisa bertemu dan berdiskusi secara langsung bersama beliau. Mungkin jika hal ini saya lakukan terhadap orang-orang besar lainnya akan mustahil rasanya untuk bisa bertemu tanpa perjanjian terlebih dulu. Inilah yang membuat saya semakin kagum akan sosok beliau. Gagasan-gagasannya tak perlu dipertanyakan lagi, karena memang telah terbukti dengan berbagai karya-karya beliau yang begitu banyak serta tulisan-tulisan beliau yang tak pernah kosong di media sosial. Penghargaan yang diterima Buya akan kiprahnya, baik dalam maupun luar negeri. Pergumulan Buya dengan dialog lintas agama juga telah membuat Buya dikenal baik oleh dunia Internasional.Buya Syafii merupakan pigur yang sangat dibutuhkan bangsa ini. Dengan kemajemukan dan pluralitas agama yang dimiliki bangsa Indonesia begitu sesuai dengan sosok sang Buya ini. Permasalahan bangsa ini akan terselesaikan jika semua 233 penguasa bangsa ini memiliki karakter seperti beliau. 285 Sosok sederhana yang sudah menginjak umur 83 tahun ini ialah salah satu dari “Tiga Pendekar dari Chicago”. Buya ialah sosok tokoh lintas agama yang tak kenal lelah menggagas dan menyuarakan toleransi di Indonesia. Sosok yang toleran ini adalah salah satu dari sedikit tokoh-tokoh yang masih peduli akan kondisi bangsa ini. Selepas kepergian Cak Nur dan Gusdur, maka Buya merupakan satu-satunya yang masih bertahan dan diberi umur panjang oleh Tuhan untuk selalu gelisah dengan kondisi bangsa yang hampir punah ini. Buya adalah sosok yang senantiasa kritis, dan moderat dalam membangun Nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Sang Buya sebagi tokoh lintas agama, cendikiawan Muslim Indonesia, mantan Ketua PP Muhammadiyah, serta sebagai Guru Bangsa. Kondisi bangsa Indonesia yang begitu dilema dariberbagai krisis multidimensi yang tak berujung ini, membutuhkan sosok sang Buya yang memiliki sikap mengayomi dan peduli dengan sesama dan semuanya, beliau adalah sosok yang tak pernah membeda-bedakan latar belakang keyakinan, suku, ras, golongan, pendidikan, tingkatan sosial, dan lain sebagainya yang menjadi dambaan bangsa ini. Kepedulian Buya yang begitu besar terhadap bangsa ini, membuat beliau senantiasa merasa terpanggil untuk mengatasi permasalahn masyarakat dari lilitan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, keterpasungan, serta penyakit sosial lainnya. Bagi Buya ketidakberdayaan dan ketidakberhasilan bangsa ini dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa yang telah terjadi dari setengah abad lebih ini adalah karena bangsa ini belum mampu menegakkan prinsip-prinsip dan Nilai-nilai keadilan dalam kehidupannya, baik keadilan sosial, keadilan ekonomi, maupun keadilan politik. Akar permasalahan ini adalah kegagalan bangsa 285 Ahmad Syafii Maarif, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif: Cermin Untuk Semua, (Jakarta Selatan: MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2005), h. 32 234 ini dalam menampilkan kepemimpinan nasional yang memiliki visi dan gagasan yang tajam tentang demokrasi dan keadilan.286 Sikap beliau yang begitu konsisten dalam mengusung gagasan-gagasan kemanusiaan dan keindonesiaan selalu beliau kumandangkan di mana-mana dengan tindakan anti KKN, kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan ini bagi beliau sudah berada diambang batas toleransi. Praktek KKN yang terjadi di bangsa ini semakin tak terbendung. Puak-Puak negeri ini menyalahkan kekuasaan yang dimilikinya untuk bertindak sewenang-wenang dan memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan lagi kondisi rakyatnya. Ini adalah masalah yang sangat serius, dan butuh tenaga ekstra untuk menghadapinya. Mereka tanpa rasa malu menjarah kekayaan negara untuk kebutuhan pribadinya. Batin Buya begitu gelisah melihat kondisi ini, yang terlihat dibiarkan saja oleh negara tanpa adanya penyelesaian yang berujung. Keprihatinan Buya dalam perkembangan KKN ini begitu membuat beliau gelisah, karena tindakan-tindakan tuna moral ini malah terjadi di negeri tercinta ini, yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Miris memang, namun itulah kenyataan yang tengah dan terus dihadapi bangsa ini jika tak ada penyelesaian yang jelas. Kondisi yang demikian menimbulkan pertanyaan, apakah agama (Islam) telah gagal memberi acuan moral kepada pemeluknya? Namun Buya dengan tegas memberikan jawaban bahwa yang salah bukanlah agamanya, melainkan “yang gagal itu bukanlah Nilai-nilai Islamnya, melainkan para pemeluknya sendiri yang telah gagal melakukan internalisasi Nilai-nilai agamanya. Apabila proses internalisasi terjadi, maka agama pasti akan berfungsi sebagai pengawal perilaku, baik dalam kehidupan individu, maupun kolektif. Apabila proses ini belum terjadi, perangai orang beragama dan tidak beragama tidak akan ada bedanya. Agama ataupun iman yang berfungsi secara benar, pasti akan mendorong pemeluknya untuk berprilaku baik dan benar.”287 286 Ahmad Syafii Maarif, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif…, h. 27 287 Ahmad Syafii Maarif, Refleksi 70 Tahun…, h. 28 235 Wajah Indonesia dan Posisi Sang Bapak Moral Bangsa Pluralisme merupakan salah satu topik hangat yang selalu menarik untuk dihidangkan dikalangan akademisi maupun para pemikir Muslim kontemporer. Selain itu juga ada pembicaraan tentang teokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, kebebasan berfikir dan gagasan tentang kemajuan. Demikian pula di Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, wacana pluralisme agama menjadi salah satu tema yang banyak diperbincangkan oleh para akademisi, serta cendikiawan Muslim tanah air. Jika melihat konteks keindonesiaan, dan keberagaman yang merupakan konstruksi dari berdirinya Bumi Pertiwi.288 Berbicara tentang Indonesia, maka kita akan berbicara tentang kemajemukan dari segala sudut, baik etnis, suku, ras, pulau, agama, bahkan warna kulit, yang merupakan takdir dari Tuhan yang harus diterima. Jadi, tidaklah mengherankan ketika pendiri negara ini meletakkan Bhinekka Tunggal Ika sebagai semboyan negara, dengan harapan besar tentunya bahwa dengan segala perbedaan yang ada, Indonesia tetap bersatu. Hal ini dimaksudkan agar antara warga negara yang majemuk dapat saling menghargai satu sama lainnya dalam bingkai perbedaan untuk memajukkan negara. Tapi pada kenyataannya, harapan yang begitu mulia ini masih jauh dari harapan. Tujuh puluh tiga tahun sudah Indonesia merdeka tetapi konflik sesama anak bangsa masih saja terjadi. Perbedaan suku, agama, dan ras, menjadi alasan untuk saling bertikai, tak jarang nyawa pun menjadi taruhannya. Dan bukti yang nyata bisa kita lihat dari konflik yang terjadi berakar dari tidak adanya kata sepakat dari pelaku konflik di Indonesia yang selalu saja mengklaim golongan, suku, agama mereka adalah yang paling benar. Klaim kebenaran inilah yang telah terus saja menjadi penyakit bangsa Indonesia sehingga merusak kerukunan dan kedamaian yang merupakan tujuan utama dan bersama bangsa ini. Dan diantara konflik yang banyak melanda bangsa ini adalah konflik yang bernuansa agama. Sehingga fenomena 288 Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan , Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah, (Malang: UMM Press,2009), h. 1 236 di atas menunjukan kesenjangan antara idealitas agama sebagai ajaran dan peran suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat.289 Inilah esensi dari pluralisme agama, saling menghargai atas perbedaan agama baik dari keyakinan, praktek keagamaan dan banyak hal lainnya. Tapi tidak menutupi bahwa seluruh teks suci keagamaan mengajarkan akan kebaikan dan perdamaian. Maka para cendikiawan Muslim di Indonesia mengembangkan paham pluralisme agama untuk menjaga harmonisasi kehidupan antar umat beragama di Indonesia, khususnya cendikiawan dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah. Di kalangan NU, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid adalah para tokoh penyebaran paham pluralisme. Bahkan Gus Dur dijuluki Bapak Pluralisme, karena usahanya ketika menjadi Presiden Indonesia untuk mengakui agama Kong Hu Chu sebagai salah satu agama resmi negara dan membebaskan Warga negara Indonesia yang berasal dari etnis tionghoa untuk menggunakan identitas asli mereka. Hal ini dikarenakan pada masa orde baru etnis tionghoa dilarang untuk menampakkan identitas etnis mereka. Dari kebijakannya sebagai Presiden dan Tokoh besar NU, Gus Dur telah memulai langkah besar dalam penegakkan Pluralisme di Indonesia. Selain itu Ahmad Syafii Maarif, dalam pergulatannya dalam Muhammadiyah, merupakan mantan ketua Umum Pusat Muhammadiyah selama dua periode. Jadi tak perlu diragukan lagi pengetahuannya tentang Islam, Muhammadiyah dan Pluralisme agama, intelektual sang Buya yang luar biasa juga tak diragukan lagi. Buya yang merupakan Guru Besar Ilmu Sejarah dari UNY. Kemudian pemikiran beliau yang malatar-belakangi lahirnya Maarif Institut dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) sebagai wadah bagi anak muda Muhammadiyah mendiskusikan Islam Kontemporer, salah satunya adalah masalah pluralisme agama. Belakangan ini, Muhammadiyah dan NU yang mewakili arus besar Islam di Indonesia telah bahu membahu dalam megibarkan 289 M. Zainuddin, Pluralisme Agama Pergulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h. 33 237 panji-panji Islam terbuka, modern, dan moderat, sebuah modal sosial yang sangat strategis bagi kelangsungan Indonesia sebagai bangsa yang plural pada masa yang akan datang. Sudah menjadi semacam aksioma, selama NU dan Muhammadiyah bergandengan tangan, bangsa ini tetap marasa aman dari ancaman radikalisme ekstrim. Selain itu, kiprah Muhammadiayh dan NU dalam ranah pendidikan perlu diapresiasi karena Belanda dalam menyebarkan radius pengaruh mereka melalui pendidikan dan pelayanan sosial kesehatan. Namun berkat adanya lembaga pendidikan dan kesehatan yang dimiliki Muhammadiya, serta kekuatan kultural yang berasal dari pesantren NU, pengaruh Belanda setidaknya dapat ditangani.290 Sejarah yang baik selalu menuntut kejujuran penulisnya, sesuatu yang tidak mudah karena manusia itu bersifat nisbi dan sarat akan kepentingan.291 Yang selalu diminta adalah agar orang jangan menulis sejarah tanpa fakta, betapapun fakta itu dapat merugikan dirinya atau golongan manusia yang dikaguminya. Menulis sejarah selalu menuntut integritas, karya sejarah yang dihasilkan pasti akan mengandung cacat akademik. Islam dan Kemanusiaan Sang Manusia Otentik Ahmad Syafii Maarif membahas isu demokrasi terkait kemanusiaan, kemajemukan, toleransi, dan kebangsaan yang menyatakan bahwa Indonesia kedepannya harus menyatakan secara sadar bahwa sistem demokrasi adalah pilihan satu-satunya, warga negara Indonesia tidak boleh berpaling pada sistem yang lain. Nabi yang mendapat wahyu tidak menunjukkan dirinya lebih tinggi dari para sahabatnya jika sedang bermusyawarah. Penampilan Nabi yang mulia do tengah-tengah sahabatnya pastilah akan terus mengilhami kultur egalitarianisme pada umat Islam.292 290 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, (Bandung : Mizan, 2015), h. 56 291 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 49 292 Musa Al-Musawi, Meluruskan Penyimpamgan Syi’ah, Terj. Ahmad Munif. (Jakarta: Qalam, 1995), h. 36-37 238 Masalah keragaman agama dan budaya tidak bisa lepas dari prinsip kebebasan yang merupakan salah satu pilar utama demokrasi. Tetapi di mata Al-Qur’an kebebasan bukanlah tanpa batas, yaitu dibatasi oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri. Manusia hanya bebas dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang betul-betul bersifat ikhtiari, yakni yang di dalamya Ia mempunyai pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan. Oleh karena itu Ia pun bertanggung jawab dalam hal-hal yang benar-benar Ia tidak terpaksa dalam melakukan atau tidak melakukannya. Dalam Islam jiwa kebangsaan yang sejati tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, melainkan harus menjadi bentuk dan kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu, kebangsaan ini tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagian hidup lahir dan batin seluruh bangsa. Jalan terbaik dan sah bagi seorang Muslim dalam kehidupan bermasyarakat adalah mengembangkan kultur toleransi. Karena Al-Qur’an menguatkan adanya eksistensi bermacam-macam suku, bangsa, agama, bahasa,dan sejarah. Semua ini hanya mungkin hidup dalam harmonis, aman, dan damai jika di sana budaya lapang dada dijadikan perekat utama antar sesama. Karena dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang membahas akan pentingnya sebuah toleransi. Perbedaan dan keragaman dalam menafsirkan ajaran agama adalah fakta yang harus diakui. Peradaban Islam yang dibangun di Indonesia boleh hanyut dan larut dalam unsur-unsur lokal yang negatif dan terbelakang dan terseret akan arus global yang dapat mengundang malapetaka bagi Islam Indonesia, seperti perilaku kekerasan atas nama agama dan gaya hidup yang materialistik. Islam sebagai acuan moral individu dan publik harus diberi posisi utama dalam pergaulan antara manusia baik lokal, nasional, dan global.293 Dan untuk menghadapi tantangan global yang semakin dahsyat, 293 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai, h.208 239 Islam Indonesia perlu melahirkan para intelektual-intelektual yang hebat. Karena memang selain paham pemikiran Islam klasik dengan baik juga harus paham dan menguasai perkembangan peradaban kontemporer umat manusia. Kesenjangan antara bentuk dan isi sudah lama terlihat di semua masyarakat Muslim di dunia. Karena umat Islam lebih terpaku oleh bentuk namun mengabaikan isi. Corak dan bentuk yang serba Islam akan menjadi bumerang bagi bangsa itu sendiri, jika bentuk-bentuk yang serba formal gagal menampilkan Nilai-nilai keislaman dengan kualitas tinggi. Inilah kesenjangan yang berlaku pada orang umumnya dengan mengabaikan kualitas. Islam mampu bertahan berabad-abad di Nusantara ini, dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Agar jumlah umat Islam ini tidak menurun, maka masalah peningkatan kualitas harus lebih diutamakan dan menjadi perhatian utama kita saat ini. Indonesia dengan semboyan Bineka Tunggal Ika menunjukan bahwa Indonesia itu multi etnis, multi iman, dan multi ekspresi kultural dan politik. Maka jika hal ini kita kelola dengan baik, cerdas, dan jujur pasti akan menjadi kekayaan kultural bagi bangsa. Inilah yang harus menjadi tugas pokok kita bersama dalam memajukkan Indonesia ini.Ketulusan adalah sifat dasar yang menyatu dengan karakter manusia. Orang yang mengaku dirinya bijak dan baik namun curang dalam berbuat berarti itu adalah pengakuan palsu belaka. Begitu juga seseorang yang menjajakan agama atas nama Tuhan adalah orang yang senang main api akan kebenaran dan sekaligus mengingkari konsep ketulusan itu sendiri. Peta peradaban global saat ini juga jauh dari harapan jika kita tinjau dari sistem kenabian yang sudah semakin tersingkirkan ditengahtengah arus sekularisme/ateisme, ataupun arus fundamentalisme agama itu sendiri. Namun pada kenyataannya saat ini yang terjadi di hadapan kita pada abad ke-21 ini adalah bukan lagi pemahaman moral dan kultural yang berlaku, melainkan justru oleh si kuat atas si lemah dengan korban ribuan manusia yang tak berdosa. Sasaran utamanya adalah beberapa bangsa-bangsa Muslim. Ini akibat dari ilmu pengetahuan yang tidak digunakan umtuk memuliakan manusia, melainkan untuk menghancurkannya. 240 Ahmad Syafii Maarif meyakini bahwa, hubungan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan dengan hubungan budayayang tak bisa dipisahkan. Lebih lanjut Buya mengatakan, bahwa hubungan antara ketiga unsur tersebut ditempatkan dalam satu nafas. Islam lahir dan berkembang di Indonesia sepenuhnya dalam dara dan daging sejarah dan bukan dalam kefakuman budaya. Sebagai agama sejarah, Islam telah, sedang, dan akan terus bergumul dengan lingkungan yang senantiasa berubah. Karena tujuan Islam adalah mengarahkan perubahan tersebut agar tidak tergelincir dari jalan yang lurus. Esensi keislaman yaitu peradaban, kemanusiaan, dan keadilan. Islam yang tidak berwatak keras, kasar, teror, dan radikal. Namun Islam yang ramah bagi semua manusia di muka bumi ini. Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara positif dan optimis. Islam memandang semua manusia berasal dari nenek moyang yang satu, tetapi kemudianTuhan menciptakan kemajemukan suku, bangsa agar manusia dapat saling mengenal dan belajar atas kelemahan dan kelebihan masing-masing.294 Buya Syafii Maarif senantiasa berpedoman kepada Al-Qur’an. Menurutnya Al-Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa sikap moderat merupakan pilihan tepat dalam menjaga dan menjalin hubungan antar umat beragama. Semangat Al-Qur’an telah memberikan lampu hijau tentang pluralisme di mana setiap kelompok masyarakat diakui eksistensinya.Kepedulian Syafii Maarif akan masalah-masalah yang membelit bangsa ini begitu besar, sebut saja radikalisme agama.295 Bagi Syafii Maarif inilah pekerjaan utama bagi setiap agama yang perlu dihadapi dan dicarikan solusinya. Kondisi yang demikian, maka agama harus diletakkan sebagai fungsional supaya berbagai ancaman terhadap eksistensi keberagamaan dan kemanusiaan dapat diatasi.296 Menurut Buya Syafii Maarif di sinilah letak kesenjangan 294 Ahmad Syafii Maarif, wawancara 22 Oktober 2018. Lihat Q.S. Al-Hujurat/49:13 295 Lihat Roxanne L. Euben, Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of modern Rasionalism, (Princeton University Press, 1999), xi-iv; Mohammad Sobary, NU dan keindonesiaan, (Jakarta: Gramedia, 2010), h. 60 296 Lihat penjelasannya dalam Muhammad Shafiq dan Muhammad Abu Nimer, 241 dalam memahami agama, sehingga yang tampak dari peran agama hanyalah sebatas lembaga peribadatan antara manusia dan Tuhan, ataukah juga sebagai lembaga untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan antara urusan manusia dengan manusia dan masalahmasalah kemanusiaan lainnya. Sisi humanis Buya Syafii Maarif meniscayakan peran nyata agama itu sendiri daripada hanya sebatas janji-janji keselamatan yang selalu diagung-agungkannya. Oleh sebab itu, maka Buya Syafii Maarif menegaskan bahwa agama tidak sebatas menyerah terhadap berbagai persolan duniawi tersebut.297Syafii Maarif mengisyaratkan bahwa agama merupakan sesuatu yang melekat dengan kehidupan manusia, yang merupakan sumber dari berbagai perubahan sosial. Pendangan Syafii Maarif ini setara dengan pemikiran para peletak ilmu sosial seperti Max Weber (1864-1920),298 Erich Fromm (19001980),299 serta Peter L Berger.300 Mereka berpendapat bahwa agama merupakan aspek yang urgen dalam kehidupan manusia, sehingga agama dalam pemikiran mereka memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia baik positif ataupun sebaliknya. Sehingga apabila kita cermati maka antara pemikiran para tokoh tersebut saling keterkaitan dengan Buya Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii Maarif senantiasa mengingatkan kepada setiap penganut agama, terutama Islam agar senantiasa mendasari prilaku keseharian dnegan Nilai-nilai yang terkandung dalam Islam yang sesungguhnya. Sehingga, jangan hanya menampilkan sisi formal sebuah agama saja, namun kering dari Nilai-nilai luhur dari agama itu sendiri. Sehingga agama dalam kontesk ini dijadikan sebagai 297 298 299 300 242 Interfaith Dialogue: A Guide for Muslim, (Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 2007), h. vii-xii Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan, (Jakarta: PSAP, 2004), h. 8 Lihat Max Weber, The Protestanst Ethic and the Spirit of Capitalism, (Mineola N.V.: Dover Publications, Inc., 2003), 35-46 Lihat Erich Fromm, Psychoanalysis and Religion, (New Haven & London: Yale University Press, 1977) Peter L. Berger, The Secularization of the World: Resurgent Religions and World Politics, (Washington: Public Policy Center, 2009), h. 1-18 motif dalam bentuk sektarian. Jika dalam Bahasa kerasnya Buya Syafii Maarif mengatakan bahwa Tuhan telah dibajak demi sebuah kepentingan yang rendah. Dalam hal ini, maka para penganut agama telah mengalami split personality (pribadi yang terpecah).301 Kondisi yang demikian akan membuat agama yang fungsi awalnya sebagai petunjuk yang baik, namun diseret menjadi sebuah kendaraan yang sarat dengan berbagai kepentingan masing-masing. Jika ini yang terjadi, maka akan lahirlah sebuah “dunia baru” yang dalam istilah Syafii Maarif sebagai tuna moral yang akan bermuara kepada kebenaran dari sebuah kekuatan.302 Menurut hemat Syafii Maarif, keadaan yang demikian akan menggeser peran agama yang semula sebagai petunjuk yang baik bagi manusia ke jalan yang benar berubah seketika menjadi sejenis alat untuk mendasari berbagai tindakan yang amoral.303 Sesuai dengan pendapat Fazlur Rahman yang dikutip Buya Syafii Maarif, yang ditulis, “We livein a different kind of Islam, not in Qur’anic Islam/ Kita hidup dalam sebuah Islam yang lain, bukan Islam Qur’ani itu sendiri”.304 Menurut Buya Syafii Maarif penyalahgunaan fungsi agama inilah yang sebetulnya perlu diperhatikan oleh para penganut agama sehingga mampu mengembalikan peran agama itu sebagaimana mestinya. Dengan memakai istilah Kuntowijoyo, obyektifikasi.305 Menurut Ahmad Syafii Maarif pentingnya autentisitas dalam beragama, sehingga terciptanya ketulusan seseorang dalam beragama. Beragama secara tulus ibarat benteng yang akan menjadi perisai bagi penganutnya dari berbagai isu-isu agama dari berbagai kepentingan tertentu. Ketulusan merupakan bentuk kejujuran, kemurnian, dan 301 Ahmad Syafii Maarif, Menggugah Nurani Bangsa, (Jakarta: MAARIF Institute, 2005), h. 77 302 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai…, h. 290 303 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 302 304 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 285 305 Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), h. 280 243 kebersihan. Sehingga beragama dengan mempedomani pokokpokok ajaran yang benar akan melahirkan konsep yang benar dalam pemahaman para penganut agama.306 Pada 22 November 2005, atas permintaan Dewan Kesenian Jakarta Syafii Maarif menyampaikan pidato kebudayaan yang berjudul: “Penghianatan Kaum Intelektual dalam Perspektif Kebudayaan.” Meminjam istilah Endo Suanda, bahwa substansi pemikiran Buya Syafii Maarif mencerminkan Nilai-nilai ketulusan yang ia promosikan, yang mampu menembus sekat-sekat teologis serta mampu melintasi keragaman iman. Suanda menambahkan, ketulusan yang dimaksudkan Buya Syafii Maarif merupakan magnet spiritual demi terwujudnya hubungan yang harmonis di antara sesama manusia yang solid dan bermutu.307Substansi ajaran agama memang sangat penting, meskipun begitu, dalam pemikiran Ahmad Syafii Maarif untuk menemukan pelaksanaan ketulusan seseorang dalam beragama tersebut bukanlah masalah mudah. Sebagaimana Arnold Toynbee (1889-1975) pernah menyatakan hal yang sama. Baginya terlalu sulit menemukan si bijak dalam beragama yang diistilahkannya (homo sapiens). Si bijak yang mampu menjalankan agama secara benar dan proporsional.308 Buya Syafii Maarif secara eksplisit menuding bahwa peran politik adalah sebagai faktor utama terjadi disfungsi agama tersebut. Buya kecewa dengan para elit politik yang menggunakan agama sebagai alat untuk kepentingan kekuasaan yang bermuara kepada kekacauan sosial. Idealnya Buya Syafii Maarif menginginkan agama digunakan sebagai pengembangan agama itu sendiri, bukan malah sebaliknya.Bagi Buya Syafii Maarif, sistem politik yang terlepas dari bingkai ketulusan itu cenderung merusak dan menghalalkan segala cara sebab manusia dapat menjalankan kekuasaannya tanpa 306 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 272 307 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di PerjalananKu: Otobiografi , (Yogyakarta: Ombak, 2006), h. 354-355 308 Arnold J. Toynbee, Surviving the Future, (New York and London: Oxford University Press, 1973), h. 44. Lihat juga Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas., h. 10 244 batas. Dengan lantang ia mengatakan bahwa jarang politik yang bersih “Politik Itu kotor”. Hal ini wajar dilakukan oleh orang-orang tak bermoral, namun yang disayangkan oleh Buya Syafii Maarif, ini kerap dilakukan oleh orang-orang yang paham akan agama itu sendiri.309 Pada konteks yang demikian,Buya Syafii Maarif menilai agama yang awalnya sebagai way of live (jalan hidup) dan kohesi sosial, sebagaimana istilah Auguste Comte (1798-1857), “to humanize human being”/ untuk memanusiakan manusia”, pada realitanya kerap kali dijadikan alat untuk menindas, legitimasi, bahkan dijadikan dalih untuk melakukan tindakan-tindakan radikal dengan sebuah resiko; hancurnya sebuah peradaban.310 Sehingga kondisi ini membuat agama sebagai “sosok” yang ternoda yang menyebabkan lahirnya radikalisme.311 Bahkan agama seolah-olah menjadi sebuah landasan yang menimbulkan konflik.312 inilah salah satu pandangan pesimis A.N. Wilson terhadap agama.313 Syafii Maarif meluruskan pandangannya ini dengan menyatakan bahwa Wilson melakukan generalisasi atas agama. Di satu sisi agama seolah-olah menjadi sumber dari berbagai persoalan. Secara historis, dalam kasus-kasus tertentu memang dapat dibenarkan. Namun, Syafii Maarif menjelaskan lagi bahwa itu merupakan kesalahan yang perlu diluruskan, permasalahan tersebut bukan pada doktrin agama, melainkan lebih kepada pemahaman dan pengalaman penganutnya. Di sinilah agama kehilangan Nilai-nilai profetiknya.314 Buya Syafii Maarif menegaskan bahwa dalam memahami agama harus mampu menjadikan agama sebagai upaya untuk 309 Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas., h. 53-54 310 Ahmad Syafii Maarif, Tuhan Menyapa Kita, (Jakarta: Grafindo, 2006), h. 43-46 311 A.N. Wilson, Against Religion, Why We Should Try to Live Without It, (London: Chatto and Windus, 1992), h. 1 312 Tedi Kholiludin, Kuasa negara atas Agama: politik Pengakuan. Diskursus Agama Resmi dan Diskriminasi Hak Sipil, (Semarang: RaSAIL, 2009), h. 17 313 A.N. Wilson, Against., h. 1 314 Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas., h. xii 245 mengembalikan Nilai-nilai profetiknya. Melestarikan Islam (AlQur’an) tidak hanya sekedar terbatas dalam mengawal kemurnian teks Al-Qur’an, namun harus mampu membawa pesan Islam ke bumi.315 Dengan demikian, agama hadir untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Jika agama pada realita saat ini tak mampu lagi memuaskan, maka agama yang dipahami secara kontekstual merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak saat ini. Menurut Syafii Maarif seharusnya agama mampu melawan bentuk kesenjangan sosial saat ini, seperti HAM, keadilan, kemiskinan, keserakahan, keegoisan serta peperangan.316 Menurut Buya Syafii, agama seharusnya mampu menghantarkan penganutnya kepada kesejahteraan, berkonstribusi dalam perubahan-perubahan sosial, penegak HAM dan keadilan, penerap demokrasi yang baik, pembela Pancasila secara utuh, serta memberikan pembebasan terhadap kaum yang tertindas dan minoritas. Agama bagi Syafii Maarif berfungsi sebagai kekuatan revolusioner dan liberatif.317Sejalan dengan Buya Syafii Maarif, Abd A’la juga berpendapat bahwa internalisasi agama bersifat fungsional, bukan hanya untuk kebutuhan akhirat yang bersifat eskatologis murni dan terpisah dari kehidupan modern. Melainkan juga berfungsi sebagai praktis untuk kehidupan dunia.318 Sebab internalisasi itulah yang memunculkan ungkapan bahwa status manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini merupakan bukti nyata dari realisasi iman tersebut. Buya Syafii Maarif menegaskan bahwa dengan sikap sadar akan arti penting misi liberatif yang diusung oleh agama-agama adalah syarat mutlak yang mesti dimiliki oleh setiap penganut agama. Para penganut agama diharapkan memiliki keberanian untuk duduk bersama dan sanggup berucap bahwa setiap agama mampu 315 Ahmad Syafii Maarif, wawancara 22 Oktober 2018. Lihat juga Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 271 316 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 271 317 Ahmad Syafii Maarif, wawancara 22 Oktober 2018 318 Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas., h. 32 246 menyumbangkan kemaslahatan untuk kemanusiaan.319 Sehingga diharapkan mampu menembus dinding teologis yang amat sensitif tersebut.320 Dalam istilah Amin Abdullah, Buya Syafii Maarif mencoba meletakkan Nilai-nilai sacral agama dengan realitas kultural.321 Bentuk agama yang demikian rupa akan mampu menjadi pemikat tersendiri bagi pemeluknya. Ali Maschan Moesa menambahkan, konteks historis agama yang demikian tak hanya mampu menjadi pilihan tepat masyarakat di tengah kegamangan mereka akan Nilainilai, tetapi juga menjadi pencerah bagi setiap masalah yang kerap dimunculkan oleh Rahim sejarah.322 Sejalan dengan hal itu, Komaruddin Hidayat menegaskan bahwa panggung kemanusiaan merupakan lokus aktualisasi atas praktik keimanan seseorang.323 Bahkan dalam pandangan Nurcholish Madjid bahwa kerja-kerja kemanusiaan merupakan sebuah rangkaian tak terpisahkan dari kerja vertikal (habl min Allah).William C. Chittick dan Sachico Murata juga ikut memperkuat hal tersebut. Dalam pandangan mereka, masalah kemanusiaan saat ini hanya mampu diatasi oleh mereka diistilahkan dengan: “to return to God through religion/ kembali kepada Tuhan melalui agama”.324 Buya Syafii Maarif memiliki empat hal pokok yang dikembangkannya dalam pemikiran keislamannya yaitu: a. Al-Qur’an merupakan sebuah petunjuk dan sistem moral yang memiliki cakupan makna yang luas dan mampu dijadikan pedoman dasar bagi arah pembangunan. Sebagai acuan moral, 319 Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas., h. 39 320 Ahmad Syafii Maarif, wawancara 22 Oktober 2018 321 Amin Abdullah, filsafat dan Teologi: Hak Asasi Manusia Tantangan Bagi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 59 322 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiyai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 70-71 323 Komaruddin Hidayat, Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan, (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 151 324 Sachico Murata dan William C. Chittick, The Vision of Islam, (New York: Paragon House, 1994), h. 292 247 maka Al-Qur’an tidak bersifat elitis. Al-Qur’an terbuka untuk semua kaum bernalar yang mencari kebenaran, dan AlQur’an ialah “korpus terbuka” yang memungkinkan lahirnya interpretasi-interpretasi baru yang sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Bagi Syafii Maarif untuk menemukan pikiran yang seperti bukanlah sebuah usaha yang mudah. Usaha ini memerlukan kerja keras dan waktu yang panjang demi terciptanya ijtihad-ijtihad baru.325 b. Menurut Syafii Maarif Al-Qur’an merupakan sumber moral bagi kaum Muslim untuk menegakkan keadilan dan kebaikan, daripada hanya sebagai kitab yang mengedepankan bentuk pemahaman formal saja. Sebab itu, maka dalam konteks Indonesia saat ini maka Nilai-nilai Al-Qur’an harus dikontekstualisasikan bukan sebaliknya yang tanpa refleksi kritis. c. Bagi Syafii Maarif untuk memahami Al-Qur’an senantiasa ada jarak yang terbuka antara realitas dan idealitas. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan orang saat ini menjadikan Al-Qur’an sebagai perebutan otoritas mazhab. Dalam hal ini Syafii Maarif menegaskan bahwa makna universal Al-Qur’an harus mampu “menundukkan” berbagai kepentingan pragmatis manusia, bukan sebaliknya. d. Syafii Maarif yang notabennya adalah seorang peminat sejarah yang lahir dari filsafat sejarah sering memotret kondisi dan situasi saat ini dengan keilmuan yang dimilikinya. Baginya, sejarah ialah cermin bagi umat yang datang kemudian. Yang berisikan akan sebab terjadinya pertumbuhan, perkembangan, kemajuan dan kejatuhan umat manusia.Berpedoman kepada sejarah akan menimbulkan sikap yang lebih cermat dari segala peristiwa yang terjadi di masa lalu. 325 Ahmad Syafii Maarif, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah: Sebuah Refleksi, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 2-7 248 Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin, Filsafat dan Teologi: Hak Asasi Manusia Tantangan Bagi Agama,Yogyakarta: Kanisius, 1998 Al-MusawiMusa, Meluruskan Penyimpamgan Syi’ah, Terj. Ahmad Munif.Jakarta: Qalam, 1995 Berger, Peter L, The Secularization of the World: Resurgent Religions and World Politics,Washington: Public Policy Center, 2009 Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan , Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah,Malang: UMM Press,2009 Fromm, Erich, Psychoanalysis and Religion,New Haven & London: Yale University Press, 1977 Hidayat, Komaruddin, Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan,Jakarta: Gramedia, 2009 Kholiludin, Tedi, Kuasa negara atas Agama: politik Pengakuan. Diskursus Agama Resmi dan Diskriminasi Hak Sipil, Semarang: RaSAIL, 2009 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi,Bandung: Mizan, 2008 Maarif, Ahmad Syafii, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah: Sebuah Refleksi,Bandung: Pustaka, 1985 Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan,Bandung : Mizan, 2015 Maarif, Ahmad Syafii, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan,Jakarta: PSAP, 2004 Maarif, Ahmad Syafii, Menggugah Nurani Bangsa,Jakarta: MAARIF Institute, 2005 Maarif, Ahmad Syafii, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif: 249 Cermin Untuk Semua, Jakarta Selatan: MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2005 Maarif, Ahmad Syafii, Titik-Titik Kisar di PerjalananKu: Otobiografi, Yogyakarta: Ombak, 2006 Maarif, Ahmad Syafii, Tuhan Menyapa Kita,Jakarta: Grafindo, 2006 Maarif, Ahmad Syafii, wawancara 22 Oktober 2018 Moesa, Ali Maschan, Nasionalisme Kiyai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama,Yogyakarta: LKiS, 2007 Murata Sachico and William C. Chittick, The Vision of Islam,New York: Paragon House, 1994 Q.S. Al-Hujurat/49:13 Shafiq Muhammad dan Muhammad Abu Nimer, Interfaith Dialogue: A Guide for Muslim,Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 2007 Sobary Mohammad, NU dan keindonesiaan,Jakarta: Gramedia, 2010 Toynbee, Arnold J. Surviving the Future,New York and London: Oxford University Press, 1973 Weber,Max, The Protestanst Ethic and the Spirit of Capitalism,Mineola N.V.: Dover Publications, Inc., 2003 Wilson, A.N. Against Religion, Why We Should Try to Live Without It,London: Chatto and Windus, 1992 Zainuddin, M, Pluralisme Agama Pergulatan Dialogis IslamKristen di Indonesia,Malang: UIN Maliki Press, 2010 250 ISLAM SEBAGAI POLITICAL BRANDING (PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF) Suryani Musi Pendahuluan Islam dan politik ibaratnya dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Islam adalah satu-satunya agama yang mempunyai pengaturan dalam kehidupan agama yang mempunyai pengaturan dalam kehidupan untuk manusia. Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah manusia kepada penciptanya, tapi dia mengatur urusan manusia dengan dirinya sendiri dan juga sesamanya. Islam adalah agama yang mempunyai solusi bagi permasalahan manusia. Tidak hanya melulu mengurusi persoalan dunia dan akhirat, melainkan juga mengurusi tentang tatacara manusia menjalankan kehidupannya agar sesuai dengan aturan sang pencipta sebagai bekal di akhirat, sehingga tidak heran jika Islam digunakan sebagai political branding dalam kampanye misalnya. Oleh karena itu, Islam adalah jalan hidup, maka Islam mengurusi semua aspek termasuk politik. Islam tidak pernah jauh dari politik, terutama pada politik Islam. Dalam bahasa Arab, politik dikenal sebagai politik as-siyasah yang berarti pengurus. Karena Islam bukan hanya agama ritual, tetapi aturan hidup maka politik dalam Islam adalah dalam konteks mengurusi umat. Baik dalam Pemerintah, pengaturan pemilikan, kesejahteraan umat, dan lainnya. 251 Gagasan tentang relasi Islam dan negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan mengalami flactuative discourse dalam pencaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive dalam momen-momen tertentu. Apalagi menjelang Pilpres di tahun 2019. Ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang pemilu karena momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi Politiknya, baik itu yang beridiologikan nasional maupun Islam.326 Agama sebagai political branding belakangan ini dianggap sebagai suatu hal yang negatif. Bila politisasi agama berkonotasi negatif bila bertujuan pribadi. Misalnya, bila calon pemimpin daerah atau capres melakukan kunjungan atau mengundang ulama dengan niat agar dianggap dekat dengan umat Islam, maka hal tersebut merupakan hal yang keliru. Politisasi agama yang berkonotasi negatif tidak ada yang berhak melarang karena secara hukum itu tidak melanggar. Namun, dalam agama hal tersebut ditegaskan dalam Qs At Taubah [9]: 9): Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan. Jika menilik ayat di atas, merupakan kaum musrik yang biasa menukar ayat-ayat Allah swt dengan harga rendah. Mereka memutarbalikkan ayat-ayat tersebut hanya mendapatkan kepentingan dunia, baik berupa kekuasaan, kepemimpinan, maupun harta hal ini tentu saja berkaitan dengan political branding. Sejalan dengan waktu dan disertai oleh tersebarnya agama Islam ke seluruh penjuru dunia, telah terjadi kontak sosial dan budaya dan akan memengaruhi kepada ajaran agama Islam itu sendiri. Budaya masyarakat dari waktu ke waktu akan mengalami perubahan, sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan sebuah ajaran, paham yang berasal dan diciptakan oleh sekelompok masyarakat 326 Solikin, Ahmad. Pemikiran politik negara dan Agama “Ahmad Syafi’I Maarif”. Jurnal politik Muda, Volume 2 Nomor I, Januari-Maret 2012, h. 194. 252 atau perorangan akan hidup dan tumbuh pada waktu yang bersamaan selagi tokoh atau orang yang menciptakan ajaran itu masih hidup. Dalam pandangan Buya Maarif327, ketika Islam diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan maka akan memunculkan sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa Indonesia328. Memang jika ditinjau dari segi perjalanan Syafii Maarif, yang notabene juga merupakan orang Muhammadiyah, dalam perjalanannya, hubungan antara Muhammadiyah dengan negara sangat menarik. Muhammadiyah yang dianggap sebagai gerakan dakwah sosial-kultural harus menjaga jarak dengan dengan dunia politik praktis. Meskipun Muhammadiyah bukan organisasi politik atau partai politik, tetapi kontribusi Muhammadiyah terhadap politik Islam tidaklah sedikit. Beberapa tokoh elit yang secara aktif memperjuangkan Muhammadiyah di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan pada masa penjajahan Belanda, KH Mas Mansur pada waktu pendudukan Jepang, KH Abdul Kahar Muzakkir, Sudirman, Mr Kasman Sugodirejo, Hamka, KH AR Fachruddin hingga Prof Dr Amin Rais, dan Prof Syafii Maarif juga di antaranya. Beberapa tokoh ini memberi kontribusi kepada negara dengan berpegang pada budaya politik Muhammadiyah yang amar ma’ruf dan nahi mungkar. Peran orang-orang Muhammdiyah menarik untuk dianalisis terutama pada pemikiran Buya Maarif karena dengan perkembangan politik nasional, karena Muhammadiyah dan termasuk Buya Maarif adalah bagian dari organisasi keagamaan dan mempunyai sikap kehati-hatian data bersentuhan dengan dunia dan politik praktis. Pada dasarnya politik Muhammadiyah adalah politik yang dilandasi dengan ahlak mulia dan moral karena itu merupakan bagain dari dakwah Muhammadiyah. Menurut Muhammdiyah politik juga dapat 327 https://www.viva.co.id/siapa/read/297-ahmad-Syafii-maarif, didownload pada Sabtu 12 Desember 2018. 328 Solikin, Ahmad. Pemikiran politik negara dan Agama “Ahmad Syafi’I Maarif”. Jurnal politik Muda, Volume 2 Nomor I, Januari-Maret 2012, h. 194. 253 bertujuan karena menyangkut dengan kehidupan umat. Jika dikaitkan dengan konteks sekarang ini, isu lain yang bakal menyeruak adalah seputar masalah agama. Bahwa akan ada isu tentang kerukunan hidup umat beragama yang terkoyak-koyak lantaran ada Islam phobia dan kriminalisasi terhadap ulama. Juga akan ada isu bahwa KH Ma’ruf Amin hanya dijadikan perisai untuk menjaring suara pemilih umat Islam. Dalih dari isu ini, bahwa pada pemerintahan Jokowi bersama Jusuf Kalla justru terjadi Islam phobia.329 Bahkan hal tersebut pernah dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan demokrasi (Perludem), Titi Angraeni menekankan bahwa isu SARA, dan tentu saja isu agama di dalamnya akan mengancam pemilu maupun pilpres 2019 mendatang, karena antara lain, persaingan ketat oleh para partai politik.330 Lalu Azyumardi Azra, Presiden the Asian Muslim Action Network (AMAN Indonesia), berharap politisi tidak menggunakan isu agama sebagai salah satu bahan dalam kampanyenya. Hal tersebut untuk meminimalisir maraknya penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong menjelang tahun politik 2018-2019. Karena menurutnya, isu agama yang dipolitisasi berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Di sisi lain, lembaga keagamaan berbasis agama seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, harus pula berperan aktif untuk mencegah adanya politisasi agama. 331 Hubungan Islam dengan Negara Berdasarkan pembacaannya atas konteks historis khas Indonesia, Buya Syafii berupaya melibatkan diri dalam diskusi- 329 h t t p s : / / e l s h i n t a . c o m / n e w s / 1 5 5 3 9 0 / 2 0 1 8 / 0 9 / 1 2 / p e n g a m a t - p i lpres-2019-akan-mencuat-isu-jokowiaseng-vs-prabowopribumi. 330 BBC. News Indonesia. Pilkada 2018: Isu SARA diprediksi akan kembali panaskan tensi. 331 Kompas.com Hentikan Goreng Isu bernuangsa SARA. 254 diskusi kesarjanaan mutakhir tentang relasi Islam dan politik, apakah Islam itu merupakan agama dan system kekuasaan (din wa al-daulah) sekaligus? Ternyata, Buya Syafii menolak adanya gagasan tentang negara Islam. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan tata politik dan pemerintahan yang khas dengan Islam. Tetapi Al-Qur’an secara eksplisit menekankan agar nilai dan perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas berbagai kegiatan sosio-politik dan sosio-kultural umat Islam. Agar Nilainilai etik Al-Qur’an inilah bangunan politik Islam dan bangunan sosiokultural wajib ditegakkan332 Demikian juga konsep tentang pemerintahan pada masa AlKhulafa’ a Rasyidun tidak ditemukan sesuatu yang khas Islami. Meskipun begitu, ia berkeyakinan bahwa Islam menyajikan tauhid yang darinya terpancar hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama yang mampu menjadikan sumber inspirasi bagi umat Islam yang bergairah untuk menaati ajaran-ajaran tuhan pada situasi dan kondisi negara tertentu. Islam sejarah dan Islam cita-cita, sebagaimana dikutip Buya Syafii dari Fazlur Rahman, harus ada kaitan yang positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin, dan juga menjadi sama pentingnya bagi gerak yang demikian itu agar yang ideal (cita-cita) selalu berada pada posisi yang lebih tinggi. Islam citacita ini, menurut Buya Syafii, sebagaimana yang telah diterjemahkan ke dalam realitas sejarah pada masa Nabi dan beberapa tahun sesudah itu, tetap merupakan sumber inspirasi yang tak pernah habis bagi umat Islam sejak saat itu333 Meskipun demikian, Buya Syafii sangat meyakini akan pentingnya negara sebagai mesin kekuasaan sebagaimana banyak dibicarakan Al-Qur’an. Mesin kekuasaan atau negara berfungsi 332 Maarif, Muazim Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi 2015, h. 82. Baca juga Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, Cet III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 145. 333 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 45 255 sebagai alat pemaksa terhadap anggota masyarakat agar mematuhi undang-undang yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Yang menjadi persoalan menurut Buya Syafii adalah: Apakah mesin kekuasaan itu merupakan perpanjangan tangan dari agama atau semata-mata sebagai alat yang efektif untuk melaksanakan pesan-pesan moral agama. Ternyata di antara sarjana Muslim tidak ada kata sepakat untuk menjawab pertanyaan ini. Ia menyebutkan dua sarjana Muslim yang berpendapat tentang hal ini.334 Menanggapi pendapat tersebut di atas, Buya Syafii menulis: “Tapi kuatkah tesis yang mengatakan bahwa Islam itu din dan daulah? Dari Al-Qur’an dan Sunnah, begitu pula dari Piagam Madinah, kita tidak menemukan landasan yang kuat untuk mengikuti pendapat itu. Tapi bahwa Islam itu memerlukan “pedang penolong” yang mendukungnya, maka Islam dengan sarwa ajarannya yang sempurna dan komprehensif tidak akan mungkin ditancapkan pada realitas sosial. Yang kita gagal memahaminya ialah bahwa daulah ditempatkan sejajar dengan din yang berasal dari wahyu. Bukankah tesis ini dapat bermakna bahwa kita secara tidak sadar telah menyamakan alat dengan risalah?”335 Oleh karena itu, Buya Sayii menolak slogam al-Islamu huwa al dinu wa al daulah (Islam adalah agama dan sekaligus negara) yang tampaknya justru telah mengaburkan hakikat yang sebenarnya dari din dan posisi kenabian Muhammad. Nabi Muhammad menurut Buya Syafii tidak pernah menyatakan diri sebagai penguasa. Muhammad hanyalah seorang Rasul.336 Ayat tersebutlah kemudian 334 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 15. 335 Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), h. 206. 336 Posisi Muhammd sebagai RTasul Allah tatp tidak berubah sampai saat wafatnya pada 632 M. Dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 144 Muhammad 256 menjadi landasaN dari statemen Syafii Maarif selama ini bahwa Islam adalah agama dan negara. Begitu juga dengan makna din, menurut Buya din adalah sesuatu yang immutable (abadi). Menempatkan daulah sebagai yang mutable (berubah). Menempatkan daulah sebagai setara dengan posisi din (Islam), itun sama halnya dengan mengagungkan negara seperti halnya mengagungkan din al-Islam337 Lebih lanjut, Buya Syafii menegaskan bahwa: “Negara itu tidak perlu bernama negara Islam. Dengan kata lain untuk kasus Indonesia, negara Pancasila dapat dijadikan instrument yang mantap untuk mencapai dan melaksanakan keadilan, kebebasan, kemakmuran, persamaan, dan persaudaraan. Menurut pandangan Islam prinsip-prinsip ini tidak akan punya landasan yang kokoh bila menolak intervensi wahyu sebagai sumber moral transcendental”338 Menurut Buya Syafii, siapapun tidak akan menemukan konsep tentang negara dalam Al-Qur’an baik secara terurai maupun tidak terurai. Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak memberikan suatu pola teori kenegaraan yang pasti yang harus diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri. Dalam hal ini, ia memberikan alasan kenapa Al-Qur’an tidak berbicara tentang masalah kenegaraan. Pertama, Al-Qur’an pada prinsipnya adalah petunjuk etik bagi manusia; ia hanyalah seorang Rasul, Maarif, Muazim Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi 2015, h. 82. Baca juga Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, Cet III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 82. 337 Baca, M Syafii Anwar, M Syafii Anwar, “ Syafii Maarif, bung Hatta dan Deformalisasi Syariat, dalam abd Rhohim Ghazali dan Shaleh Partaonan Daulay (ed). Muhammad dan politik Islam Inklusif, 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif (Jakarta: Maarif Institute, 2005), h. 40, Maarif, Muazim Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi 2015, h. 82. Baca juga Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, Cet III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 83 338 Maarif, Muazim Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi 2015, h. 82. Baca juga Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, Cet III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 83. Baca juga Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalahg Kenegaraan: stdui Tentang Percaturan dalam Konstituante, h. 15. 257 bukanlah sebuah kitab ilmu politik. Kedua, sudah merupakan suatu kenyataan bahwa institusi-institusi sosio-politik dan organisasi manusia selalu berubah dari masa ke masa. Tujuan yang terpenting Al-Qur’an adalah agar Nilai-nilai ini dan perintah-perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan sosial-politik umat manusia. Nilai-nilai ini bertalian secara organik dengan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan kemerdekaan yang juga menempati posisi sentral dalam ajaran moral Al-Qur’an. Dari perspektif ini, menurut Buya Syafii, suatu negara hanyalah dapat dikatakan bercorak Islam manakala keadilan dan lain-lainnya itu benar-benar terwujud dan terasa di dalamnya dan memengaruhi seluruh kehidupan rakyat.339 Dinamika Identitas Sesungguhnya identitas adalah persoalan lama yang menemukan vitalitas dan langgamnya yang lain pada masa kini, sebagaimana tegas Bauman ; Kalau ”problem identitas” dalam dunia modern adalah bagai mana membangun suatu identitas dan menjaganya agar kokoh serta menetap, maka ”problem identitas” dalam dunia pascamodern ialah bagaimana menghindari fiksasi dan membuatnya tetap terbuka… Dalam ihwal identitas ... kata utama dunia modern ialah membentuk; dalam dunia pasca-modern ialah mendaur ulang.1 Maka pergulatan kita: bisakah soal identitas tidak surut menjadi pengerasan politik tetapi pada proses negosiasi dan pilihan-pilihan tanpa henti? Bisakah soalnya bukan menjadi proses yang penuh resah pada ”esensi” dan fiksasi, tetapi lincah berkontestasi di hadapan prosesproses sosial di luar dirinya? Bisakah juga ditegaskan bahwa soal identitas bukan terutama soal roots, tetapi lebih soal routes yang ditempuh setiap komunitas?340 339 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 16 340 Syafii Maarif dkk, politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: nDemocracy Project, 2012: 34. 258 Uniknya, identitas sedemikian mau tak mau adalah hasil dari perjumpaan yang mendalam dengan merebaknya produk kultural kolonialisme itu sendiri, yaitu print-capitalism, yang bagi Benedict Anderson merupakan salah satu penyebab nasionalisme. Kapitalisme cetak-mencetak itulah yang perlahan-lahan memungkinkan orang mengambil jarak dari dunia tradisionalnya dan memikirkan dirinya sendiri dalam hubungan dengan orang lain. Di situ ada forum pertukaran dan komunikasi yang secara serempak tampil di hadapan sekelompok manusia, dan membantu mereka membayangkan dan membicarakan suatu komunitas, membantu terbentuknya negara bangsa (nation-state) baru selaku, dalam istilah terkenal Anderson, imagined community.341 Namun, dalam proses ini jugalah berlangsung proses distortion dan disabling tadi: sebab ada konflik dalam melupakan, mengenang dan memberi makna masa lalu; ada proses yang berat dalam menemukan dasar identitas (apalagi identitas di tengah pluralisme), dan memelihara perekat mengelola masa depan bangsa yang baru tersebut. Belum lagi dicatat bahwa para aktivis nasionalisme itu adalah sekelompok elit hasil pendidikan Barat yang membicarakan bangsa yang baru itu dalam wacana yang dipinjam dari wacana para kolonialis. Di sini agama pun ikut mengalami proses distorted dan disabling tadi, khususnya karena sistem kolonial telah pula merekonstruksi identitas dan kelembagaan agama sedemikian mendalamnya. Dan saat agama hendak keluar dari dunia kolonialistis itu, lalu hendak ”memulihkan” diri dan menempuh sejarahnya yang baru, ia gam pang terjerumus memilih jalan politik identitas di atas. Jadi, masih bisakah kita kreatif dan tidak serba cemas lalu mengeras, dalam ihwal identitas yang lahir dari proses sedemikian kompleks di atas? Bisakah agama (dari dinamika internalnya) mengukir identitasnya sedemikian rupa agar tidak terjerembab dalam lubang hitam politik identitas itu?342 341 Syafii Maarif dkk, politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: nDemocracy Project, 2012: 35. 342 Ibid, h. 36. 259 Political Branding sebagai Trend Masa Kini Brand tidak hanya menrupakan sebuah nama yang baik (good name) dari sebuah produk, organisasi atau tempat. Namun lebih dari itu. Brand sesungguhnya merupakan sebuah janji. Adapun branding adalah kegiatan untuk menciptakan nilai/value, reputasinya, produk atau jasa dan bagi siapapun yang terlibat di dalam brand tersebut, para desainer, investor, para penjual/salesforce dan menciptakan nilai/value bagi costumer yang menginginkan produk tersebut. Branding menggabungkan unsur-unsur yang meliputi perencanaan strategis, komunikasi pemasaran, penelitian pasar pengembangan organisasi. Sedangkan menurut Scammel sebagaimana dikutip oleh Soetomo, branding adalah penggunaan langkah strategis dalam seni menggabungkan citra politik. Hal ini mengacu pada taktik yang digunakan politisi untuk mendapatkan popularitas dan pemilihan343. Menurut Fredrich, partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara spemerintahanl dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pemimpin partai, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya, pemanfaatan keuntungan yang bersifat ideal dan material344. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa political branding adalah upaya untuk menciptakan atau membangun citra politik yang baik. Political branding dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang menggunakan pamflet, poster, pemberian cedera mata, dan juga tidak ketinggalan menggunakan iklan, termasuk di media mainstream. Dalam berpolitik, bagi seorang Muslim merupakan suatu tindakan politik baik bila tindakan tersebut berguna bagi seluruh 343 Soetomo, Personal Branding dalam Peningkatan Elekpemerintahanlitas. Magister Ilmu Komunikasi Undip, Praktisi Fotografi dalam jurnal Ilmiah Komunikasi’Makna’ Fakultas Ilmu Komunikasi UNISULLA Semarang Volume 4 nomor 1, Februari-Juli 2013, h. 58 344 Winaryanto. Komuniksi politik. Surakarta: UNS Press: 2011, h. 31 260 rakyat sesuai dengan ajaran ‘rahmatalilalamin’. Dengan demikian, dari tinjauan Islam ada dua jenis politik, yaitu politik kualitas tinggi (high political) dan politik kualitas rendah (low politics). Apabila menginginkan politik yang dijalankan berkualitas tinggi, maka paling tidak ada tiga ciri yang harus ditegaskan: yaitu: Pertama: setiap jabatan politik dan hakikatnya berupa amanah dari masyarakat yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Amanah itu tidak boleh disalahgunakan, misalnya untuk memperkaya diri atau menguntungkan golongan sendiri dan menelantarkan kepentingan umum. Kekuasaan harus dilihat sebagai sebagai nikmat yang dikaruniakan oleh Allah untuk mengayomi masyarakat, menegakkan keadilan dan memelihara tata tertib sosial yang egalitarian. Kekuasaan betapapun kecilnya, harus dimanfaatkan untuk membangun kesejahteraan bersama, sesuai dengan amanah yang telah dipercayakan masyarakat luas. Kedua, setiap jabatan politik mengandum dalam dirinya mas’uliyah atau bertanggungjawab (accounpemerintahanlity). Sebagaimana diajarkan Nabi SAW, sebagai orang pada dasarnya pemimpin yang harus mempertanggungjawabkan yang dimaksud di sini bukan hanya tanggungjawab di hadapan Allah, di mahkamah paling adil di akhirat kelak. Ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan secara ketat dengan prinsip ukhuwah (brotherhood), yakni persudaraan di antara sesama umat manusia. Ukhuwah dalam arti luas melampaui batasbatas , enik, agama, latarbelakang sosial, keturunan, dan lainnya sebagainya. Kegiatannya menghindari gaya politik konfrontatif yang penuh dengan konflik dan melihat pihak lain sebagai pihak yang harus dieliminasi, gaya politik yang diambil adalah yang penuh dengan ukhuwah, mencari saling pengertian dan membangun kerjasama dunia seoptimal mungkin dalam menunaikam tugas-tugas kekhilafaan.345 Dalam ilmu politik, terdapat dua pengertian definisi politik 345 M. Amin Rais. Hubungan antara politik dan Dakwah (Berguru Kepada M Nasir). Bandung: Mujahid, 2004, h. 10-12. 261 di mana politik dibagi ke dalam dua lingkup atau definisi lingkup tersebut adalah “politics at its best” dan “politics at its worse”. Untuk pengertian definisi yang pertama, politics at its best adalah suatu pengertian akan penerapan politik untuk kemaslahatan bersama. Para pelaku politik versi ini mendahulukan kepentingan rakyat dan mempergunakan politik sebagai pemenuhan kesejahteraan rakyat. Contohnya adalah dalam setiap perumusan kebijakan oleh pemerintah di suatu negara maka di dalamnya terdapat unsur-unsur politik yang terlibat. Politik adalah seni untuk saling memengaruhi, merumuskan kebijakan dengan tujuantujuan yang baik. Jadi sebenarnya dalam politics at its best adalah para politisi menerapkan ilmu politik yang mereka punya untuk merumuskan kebijakan yang memang benarbenar akan dimanfaatkan oleh masyarakat luas346 Politisasi Agama di Indonesia Setidaknya dua ironi menandai politik Islamis di Indonesia, pertama: Kekuatan-kekuatan politik Politik Islamis di Indonesia mulai berkembang pada saat rekan mereka di beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim (misalnya Turki, Iran, dan lainnya) mulai mengalami krisis serius. Kedua, Islamisme di Indonesia sempat menikmati periode legitimasi formal dalam kehidupan dalam kehidupan bernegara berkat tindakan para politis sekuler yang tidak memperhatikan pengabdian yang berbobot yang menyakinkan pada agenda-agenda keagamaan. Sementara itu, beberapa partai Islam yang sejak semula beraspirasi mengejar cita-cita politik Islam, telah terpinggirkan. Sudah berkali-kali gagal meraih suara yang signifikan dalam pemilu.347 Masalahnya bertambah rumit karena partai politik besar yang konstituen utamanya bukan berdasarkan agama juga turut mengambil 346 Assyari Abdullah. Membaca Komunikasi politik gerakan Aksi Bela Isla 212. Antara politik Islam dan Ijtihad politik Alternatif. Jurnal An-Nida, jurnal Pemikiran Islam. Edisi Desember 2017, vol 41, no 2, h. 207. 347 Ariel Heryanto. Identitas dan Kenikmatan:Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Poluler Gramedia, 2018, 68. 262 retorika Islami dan menggunakannya untuk meningkatkan kekuatan politik mereka. Sekalipun kekuatan-kekuatan pendukung Islamisme memiliki sejarah panjang di Indonesia, mereka merasakan pertama kali kekusaan melalui mekanisme formal yang terlegitimasi dalam kehidupan bernegara pada dekade 1990. Ketika itu, Soeharto penguasa Orde Baru, secara drastis berputarhaluan dengan tiba-tiba mengundang banyak pemimpin Islam dari berbagai sektrum politik untuk ikut menikmati kekuasan negara dalam upaya menyelamatkan rezimnya yang sekarat. Tidak seluruh menerima rayauan tersebut, termasuk di antaranya adalah Abdul Rahman Wahid menjadi penentang politisasi agama348. Pada awal 2000-an, menjadi jelas bahwa menguatnya Islam, termasuk Islamisme, telah melampaui Soeharto, Rezim Orde Baru, dan pemerintahan sementara di bawah BJ Habibie. Habibie memanfaatkan pendahulunya untuk mengembangkan politik Islam untuk tujuan Politiknya, termasuk melakukan perekrutan massal pada millisi-millisi yang baru dibentuk. Seberapa jauh efektivitasan penggunaan simbolisme, konsep dan praktis Islam dalam politik masih harus dikaji lebih jauh. Tetapi sejumlah indikator yang agaknya merupakan trend menujukkan bahwa inefektivitas agama dalam politik Inonesia mutakhir. Pertama, parpol-parpol Islam gagal memenangkan seluruh pemilu pasca Soeharto, 1999,2004, 2009, dan 2014. Kedua, usaha penerangan syariah berbenturan dengan komplikasi politik, legalkonstitutional, dan cultural sosiologis. Ketiga, kelompok garis keras cenderung kian tidak popular, karena selain ditentang dengan kelompok mainstream modern Muslim, juga semakin mendapatkan tekanan dari aparat kepolisian, keempat, penggunaan konsep fikih siyasah klasik seperti bughat dan jihad gagal mengubah political course Indonesia, sehingga Gus Dur tetap dilengserkan dalam SI MPR. Kelima, penggunaan kekerasan yang dilakukan kelompok dan sel teror yang tidak hanya gagal mencapai tujuannya, tetapi lebih 348 Heryanto, Ariel. Identitas dan Kenikmatan:Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Poluler Gramedia, 2018, h. 66. 263 celakanya lagi menimbulkan citra bagi Islam dan kaum Muslimin pada umumnya.349 Pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Islam sebagai Political Branding Ahmad Syafii Maarif, sebelum meneruskan kuliah ke Universitas Chichago, pola pikir Maarif terikat pada pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi dan menjadikannya sebagai rujukan primer. Pada tahun 19776-1978, Syafi’I Maarif aktif dalam MSA (Muslim Student’s Assciations), yang masih sangat merindukan tegaknya sebuah negeri Islam di suatu negeri. Sampai meninggalkan Athens tahun 1978, masih belum ada yang dapat ditawarkan Sya’I Maarif untuk menembus kebuntuan intelektual Islam. Kesamaan ideologi Maarif dengan tokoh-tokoh Masyumi ini pertahankan hingga akhirnya berubah haluan setelah sampai di Chichago pada awal 1980-an. Menurut Ahmad Syafii Maarif bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah menyatakan diri sebagai penguasa. Fakta ini memberikan sebuah interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana, sebagai alat bagi agama, dan bahkan sebagai sebuah perwujudan (suatu eksistensi) dari agama itu sendiri. Apalagi fakta bahwa sunnah Nabi maupun realitas Al-Qur’an memang tidak memberikan pola teori kenegaraan secara baku, karena memang Al-Qur’an lebih merupakan petunjuk etik bagi manusia, bukan sebuah kitab politik. umat Islam diberi kebebasan untuk membangun sistem politiknya sesuai dengan tantangan zaman dan tuntutan masyarakatnya. Tujuan terpenting dalam Al-Qur’an lebih terarah pada upaya agar nilai dan perintahan etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas berbagai kegiatan sosio politik dan sosio kultural umat Islam. Maka atas daar-dasar nilai etik Al-Qur’anlah, bangunan politik Islam dan bangunan sosio kultural wajib ditegakkan. 349 Azyumardi Azra, Islam dan Konsep Negara dalam Fikih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan non-Muslim, Bandung: Mizan Media Utama, 2015: 120 264 Fakta itu memberikan sebuah interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana dari agama itu sendiri. Apalagi fakta bahwa sunnah Nabi maupun realitas Al-Qur’an memang tidak memberikan pola teori kenegaraan secara baku, karena Al-Qur’an memang tidak menjadi sebuah petunjuk etik bagi manusia, bukan sebuah kitab ilmu politik. umat Islam diberi kebebasan untuk membangun sistem politiknya sesuai dengan tantangan zaman dan tuntutan masyarakat. Tujuan terpenting dalam Al-Qur’an lebih terarah pada upaya agar nilai dan perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas berbagai kegiatan sosio politik dan sosio kultural umat Islam. Maka atas dasar Nilai-nilai etika AlQur’an lah bangunan politik Islam dan bangunan sosio kultural bisa diwujudkan.350 Ahmad Syafii Maarif tidak setuju terhadap tokoh-tokoh Islam yang terus mendesakkan dasar negara Islam untuk Indonesia. Berbeda dengan pandangan para tokoh Islam lainnya, terutama dari golongan tua dari kubu modernis, Ahmad Syafii Maarif justru bersyukur karena usaha tokoh Islam untuk menjadikan Islam sebagai sebagai ideologi dan dasar negara gagal. Secara subjektif jika membaca hasil pemikirannya sebelumnya, penulis menilai bahwa Ahmad Syafi’I Maarif boleh jadi tidak terlalu sepakat dengan menjadikan Islam sebagai political Branding dalam kancah perPolitikan sekarang ini di Indonesia. Bahkan pernyataan tersebut pernah ia tegaskan, bahwa jangan menggunakan agama untuk tujuan politik. “Ahmad Syafii Maarif mengingatkan bangsa ini adalah bangsa yang heteregoen dan Bineka tunggal ika itu suatu yang perlu diperhatikan. pluralisme itu sebaguah faka sejarah. Keberagaman menjadi sumber untuk menciptakan harmonisasi, kedamaian,. Agama itu adalah sumber moral, jadi agama harus menjinakkan politik agara politik bisa berorientasi pada keadilan, kepada kejujuran, kepada kesatuan,. Namun yang terjadi, agama dipakai alat untuk mencapai tujuan politik.” (Liputan6.com, 2017:17April). 350 Dhuroruddin Mashad, Akar Konlik politik Islam di Indonesia, h. 53. 265 Sekarang ini, babak reformasi telah melewati lembaran sejarah yang menghadirkan fenomena gerakan Islam memengaruhi konstelasi politik di Indonesia. Terutama ketika dipilihnya KH Ma’ruh Amin sebagai Cawapres Jokowi, maka sudah dipastikan bahwa banyak orang yang akan melemahkan isu agama di Pilpres 2019. Prediksi tersebut sebenarnya berpatokan kepada sosok Ma’ruh Amin yang keulamaannya sudah tidak diragukan lagi sehingga secara simplistik bisa diasumsikan akan membuat permainan isu agama. Sementara, lawannya yakni Prabowo-Sandi justru diragukan keislamannya lantaran ia dIlahirkan dari seorang ibu yang Nasrani. Agama dipaksa untuk hadir dalam kampanyekampanye politik demi menunjukkan diri sebagai rumah bagi kaum Muslimin di Indonesia. Agama menjadi isu yang belakangan paling sering menjadi tunggangan politik demi merebut hati rakyat. Jika dikaitkan dengan fenomena tersebut, Buya Syafii pernah menyayangkan, jika pada abad modern ini belum ada satu contoh pun tentang negara Islam yang dapat dijadikan sebagai teladan, apalagi Indonesia. Semuanya bermasalah. Islam malah sering digunakan untuk tangga mendapatkan keuntungan duniawi termasuk keuntungan untuk mendapatkan kekuasaan melalui politik Islam. Buya, tidak rela bahkan berontak jika melihat kenyataan buruk semacam ini. Dia tidak ingin Islam dijadikan sebagai ‘barang dagangan’ dengan harga rendah. Islam adalah pedoman hidup sempurna. Buya melihat proyek negara Islam yang diawali di abad 20 tidak satupun yang berdasarkan hasil penelitian konferehensif dan mendalam dengan menyugukan di bawah cahaya Al-Qur’an dengann konsep syuranya dengan menempatkan manusia pada posisi setara. Jika dikaitkan dengan peta perPolitikan sekarang, political branding yang dipakai oleh para politikus di Indonesia bukan sebagai gerakan ideologi. Islam sebagai Political Branding hanyalah komunikasi kerakyatan untuk merebut kekuasaan. Karena ini bukan ideologi, maka siapa saja bisa digaet. Mereka memberi ruangan kepada siapa saja selama mempunyai kesamaan politik. Kelompok politik ingin mengontrol jalannya roda pemerintahan 266 sesuai dengan apa yang menjadi tolok ukur mereka, sesuai dengan standar selera yang mereka punya. Kaum elit agama, ingin menjadikan Indonesia sama seperti yang mereka pikirkan. Olehnya itu, wajar saja jika ketika kampanye mereka biasanya menggunakan tempat-tempat ibadah sebagai lahan untuk kampanye politik, dengan menggunakan Islam sebagai political branding mereka. Jika upaya serba radikal tersebut gagal, dan memang tidak punya syarat untuk beradil, maka menurut Buya Syafii sebab utamanya adalah karena sebuah gagasan besar yang dikerjakan oleh otak-otak kecil yang lebih banyak dikuasai emosi, bukan oleh kekuatan penalaran yang mantap secara teori, tetapi belum berangkat dari pemahaman Al-Qur’an dan hadis secara outentik. Suasana dunia Islam yang telah terjepit telah dijadikan dasar tidak langsung dari teori yang coba dibangun itu. Hasil akhirnya pasti akan kacau balau karena suasana batin yang marah menghadapi realitas telah dijadikan pangkal tolak dalam membangun teori, pasti akan sia-sia. Pandangan Buya Syafii tentang pola hubungan antara negara dan agama secara garis besar bukan sekedar pola hubungan dikotomis yang saling meniadakan. Pola hubungan Islam dan negara adalah dimana Islam bukanlah semata-mata sebagai ritual peribadatan hamba kepada tuhannya saja, tetapi lebih dari itu Islam menyangkut tentang kaedah-kaedah, batas-batas dalam muamalah dan bersosialisasi dalam masyarakat. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Buya Syafii menginginkan supaya aturan-aturan dan patokan-patokan tersebut dapat terjaga dan direalisasikan maka harus ada negara atau kekuasaan politik yang melindunginya. Buya Syafii dengan cermat memahami antara antara Al-Qur’an dan karier Muhammad dalam selama keRasulannya mengatakan bahwa wawasan kekuasaan dalam Islam harus disinari dengan wawasan moral sebagai salah satu indikator iman dalam konteks dan realitas sosial. Relitas sejarah telah menujukkan bahwa bagaimana Islam dalam berbagai priode dan di berbagai negara seringkali menghianati politik Islam itu sendiri. Hanya karena alasan yang dicari-cari, tetapi cita-cita politik Islam tidak akan lenyap dari 267 pemikir-pemikir Islam.351 Islam Sebagai Political Branding, Sebuah Simbol Gincu Buya Syafii menceritakan bagaimana politik gincu pertama kali dikemukakan oleh Hatta yang berusaha mendidik umat Islam pada tahun 1976, dalam rangka mendidik umat Islam Indonesia agar relatif arif dalam memperjuangkan cita-cita politik Islam. Menurut Maarif, pernyataan tentang politik gincu dan politik garam itu bertujuan mendidik umat Islam agar pandai-pandai membawa diri bilamana ingin memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia. Meski Maarif mengakui bahwa, selama ini otaknya berpikir keras untuk mengumpulkan gagasan Bung Hatta dengan mengaitkan kondisi realitas yang terjadi saat ini di Indonesia. Kemudian ia menyimpulkan bahwa sikap positif Hatta ini harus disambut dengan positif, karena selama ini di situlah letak krusial yang selama puluhan tahgun telah membebani perasaan umat Islam di Indonesia ketika berbicara mengenai hubungan antara Islam dan politik. Seperti telah berulang saya katakan, bahwa jika orang ingin memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia, pakailah ‘ilmu garam, tidak ilmu gincu’. Ketika garam larut dalam makanan, bekasnmya tidak kelihatan, tetapi pengaruhnya di dalam cita rasa makanan sangat menentukan. Sebaliknya, gincu yang dipakai oleh perempuan, terbelalak merah di bibir, tetapi tunarasa. 352 Bagi Buya Syafii, negara dan atribut yang disandangnya bukanlah masalah yang fundamental dalam Islam.353 Dengan kata lain, apapun bentuk negara tidak masalah, yang penting pemerintah bisa mewujudkan kemaslahatan, kebebasan, keadilan, dan Nilai-nilai substansial Islam lainnya bagi rakyat. Kekuasaan harus dibangun di 351 Ahmad Solikin. Pemikiran politik negara dan Agama “Ahmad Syafii Maarif”. Jurnal politik Muda, Volume 2 Nomor I, Januari-Maret 2012, h. 198. 352 Ahmad Syaii Maarif. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan (Sebuah Refleksi Sejarah), Bandung: Mizan.2015: 291. 353 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal.193 268 atas landasan etik-moral. Ia menuturkan ; “Kekuasaan semestinya menjadi kendaraan moral atau alat moral yang efektif untuk tegaknya moral. Jangan di balik, di banyak negara agama atau moral yang dijadikan kendaraan untuk mencapai kekuasaan.”354 Dalam landasan prinsip-prinsip moral inilah, prinsipprinsip Islam yang lain dapat ditegakkan dengan mantap. Buya Syafii Maarif mengecam para elit yang acapkali membawa nama Islam, namun prilakunya buruk dan tidak mencerminkan Nilainilai Islam. Kendatipun pada dasarnya ia tidak keberatan dengan formalisasi Syariat Islam asal dilakukan dengan cara konstitusional dan demokratis, namun ia tetap mengkritik aspirasi tersebut. Ia menuturkan, “Apa alasan kita untuk mengejar yang formal, atau lebih mengutamakan bentuknya dan melalaikan isi. Yang saya takutkan merek begitu indah, tapi isinya kosong”.355 Buya Syafii mengkhawatirkan ideologisasi Islam justru akan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Perpecahan tersebut tak hanya akan melibatkan antara kelompok Muslim dan nonMuslim saja, akan tetapi juga perpecahan antarsesama umat Islam356 Menurut Buya Syafii, peradaban politik kita rendah dan kumuh. Memang, setelah reformasi bergulir sejak 1998, proses politik di Indonesia boleh dikatakan ditata menuju demokrasi yang sehat dan kuat. Indonesia menjadi lebih demokratis dan dipuji oleh dunia internasional. Akan tetapi, proses demokrasi itu berada di tangan mereka yang kurang bertanggungjawab, yang mempunyai wawasan yang picik. Terlalu banyak dusta dan kepentingan pragmatik elit yang memboncengi reformasi. Politik menjadi ajang kompetisi 354 Ahmad Asroni, Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan Syariat Islam di Indonesia, jurnal Millah vol X, nomor 2, februari 2011, h. 369. 355 Ahmad Asroni, Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan Syariat Islam di Indonesia, jurnal Millah vol X, nomor 2, februari 2011, h. 369. 356 Wawancara Republika dengan Ahmad Syafii Maarif, “Pertimbangkan Dampak yang akan Timbul”. Lihat Ahmad Syafii Maarif, dkk., Syariat Islam Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Madinah dalam Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Paramadina, 2001), h 41-44, lihat juga di Ahmad Asroni, Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan Syariat Islam di Indonesia, jurnal Millah vol X, nomor 2, februari 2011, h. 371. 269 kepentingam yang sempit dari kelompok-kelompok politik. Politik tidak lagi ditunjukkan untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri negara kesatuam Republik Indonesia.357 Penutup Jika sejak dulu Buya Syafii menolak gagasan tentang negara Islam karena dinilai tidak memiliki basis region-intektual yang kukuh, tentu saja itu berlaku dalam menjadikan Islam sebagai political Branding. Pandangan politik Buya Syafii lebih menekankan pada Nilai-nilai substantif Islam sebagai persamaan, keadilan, kebebasan dan seterusnya. Politik Islamnya bukanlah yang terpenting, yang terpenting adalah bagaimana orang-orang yang bergabung dalam dunia perPolitikan mampu mewujudkann permasalahan, keadilan, kebebasan, dan Nilai-nilai substansial lainnya bagi masyarakat. Kekuasaan Islam harus dibangun atas dasar landasan etik moral, menurut Buya Syafii kekuasaan semestinya menjadi kendaraan moral atau alat moral yang efektif bagi tegaknya moral, tetapi sekarang banyak orang termasuk partai politik menjadikan agama sebagai kendaraan untuk mengapai kekuasaan. Dalam prinsip moral inilah Buya Syafii berpedoman bahwa prinsip-prinsip Islam akan menjadi tegak. Selain itu, Buya sangat mengecam para elit yang sering membawa nama Islam, tetapi perilakunya sangat jauh dari perilaku yang mencerminkan sebagai seorang Muslim. Sampai sekarang, menurutnya, partai politik Islam belum banyak melahirkan politisi yang berintegritas dan bisa menjadi seorang negarawan. Walau pun, Buya Syafii mengatakan partai politik Islam di Indonesia masih lebih baik ketimbang di kawasan Arab. Politisi yang baik, lanjutnya, adalah yang berpihak pada keadilan, rakyat jelata, dan kebenaran.358 Buya mendorong 357 Maarif, Muazim Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi 2015, hal127. Baca juga di Indonesia, demokrasi ‘Tetapi’, Kompas.com, 30 Juni 2011. 358 https://nasional.tempo.co/read/1081336/jika-2019-umat-terbelah-lagiBuya-Syafii-lebih-bodoh-dari-unta/full&view=ok, didownload, Sabtu 15 270 parpol berkaca pada kelakuan masa lampau yang masih tidak sesuai dengan prinsip demokrasi untuk bisa membangun demokrasi yang sehat. Desember 2018. 271 Daftar Pustaka Abdullah, Assyari. Membaca Komunikasi politik gerakan Aksi Bela Isla 212. Antara politik Islam dan Ijtihad politik Alternatif. Jurnal An-Nida, jurnal Pemikiran Islam. Edisi Desember 2017, vol 41, no 2. Azra, Azyumardi. Islam dan Konsep negara dalam Fiqih kebinekaan (Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan kepemimpinan Non-Muslim, Bandung: Mizan Media Utama, 2015. Ahmad Asroni, Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan Syariat Islam di Indonesia, jurnal Millah vol X, nomor 2, Februari 2011. BBC. News Indonesia. Pilkada 2018: Isu SARA diprediksi akan kembali panaskan tensi, didownload pada hari Sabtu, 1 Desember 2018. https://elshinta.com/news/155390/2018/09/12/pengamat-pilpres2019-akan-mencuat-isu-jokowiaseng-vs-prabowopribumi didownload pada hari Sabtu, 1 Desember 2018. Heryanto, Ariel. Identitas dan Kenikmatan:Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Poluler Gramedia, 2018. Kompas.com. Hentikan Goreng Isu bernuangsa SARA, didownload pada hari Sabtu, 1 Desember 2018. Rais, M. Amin. Hubungan antara politik dan Dakwah (Berguru Kepada M Nasir). Bandung: Mujahid, 2004. Rolilawati, Yeni. Employee Branding Sebagai Strategi Komunikasi untuk Mengkomunikasikan Merek (Brand Image) jurusan Ilmu Komunikasi (FISIP) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jurnal Veteran Yogyakarta, volume nomor 3 September-Desember 2008 Soetomo, Personal Branding dalam Peningkatan 272 Elekpemerintahanlitas. Magister Ilmu Komunikasi Undip, Praktisi Fotografi dalam jurnal Ilmiah Komunikasi’Makna’ Fakultas Ilmu Komunikasi UNISULLA Semarang Volume 4 nomor 1, Februari-Juli 2013. Solikin, Ahmad. Pemikiran politik negara dan Agama “Ahmad Syafi’I Maarif”. Jurnal politik Muda,Volume 2 Nomor I, Januari-Maret 2012. Maarif, Ahmad Syafii. Muazim Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi 2015. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996) Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia, (Bandung: Mizan) 1994. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Democracy Project. 2012 Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan (Sebuah Refleksi Sejarah), Bandung: Mizan.2015 Syafruddin. Peran politik Muhammdiyah Era Reformasi (Studi Kritis Perilaku-Perilaku politik Muhammadiyah di Era Reformasi 1999-2000. Skripsi fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga . Yogyakarta, 2004. Solikin, Ahmad. Pemikiran politik negara dan Agama “Ahmad Syafi’I Maarif”. Jurnal politik Muda, Volume 2 Nomor I, Januari-Maret 2012. Winaryanto. Komuniksi politik. Surakarta: UNS Press: 2011. 273 REVITALISASI PENDIDIKAN ISLAM DI ZAMAN KONTEMPORER: MEMBACA PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG PENDIDIKAN ISLAM Eko Nur Wibowo Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang kaya, kaya akan sumber daya alam maupun kaya dengan keanekaragaman suku, budaya maupun agama. Agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia yaitu Islam. Sekitar 87,2 % (sekitar 207 juta) penduduk Indonesia menganut agama Islam.359 Namun apabila dilihat dalam peta dunia, negara Indonesia saat ini masih dalam kategori negara yang berkembang belum termasuk negara maju. Hal ini menjadi sebuah tanda tanya apabila dikaitkan dengan mayoritas penduduk yang Islam. Islam merupakan agama rahmat dengan kitab Al-Qur’an sebagai landasan kehidupannnya. Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah mengandung segala ilmu untuk bekal kehidupan dunia maupun akhirat. Namun pada kenyataannya mayoritas penduduk Islam di Indonesia saat ini dalam masa krisis atau kualitas kehidupan masih tertinggal jauh dengan bangsa barat (mayoritas non-Muslim). Dalam hal ini Ahmad Syafii Maarif menyebutnya dengan posisi mayoritas yang tunakualitas. Tunakualitas ini didasari karena masih 359 Https://Www.Indonesia-Investments.Com/Id/Budaya/Agama/Item69, Agama Di Indonesia, Diakses Kamis,27 September 2018 Pukul 20.08 274 begitu banyaknya permasalahan di Indonesia, bisa dilihat dari kemiskinan, minimnya pengetahuan dan kesejahteraan hidup yang belum menyeluruh dinikmati masyarakat Indonesia. Beberapa hal itu kemudian menjadi sebuah beban tersendiri bagi Islam, sebagai agama yang berusaha membangun peradaban yang berkualitas tinggi di dunia. Membangun peradaban Indonesia melalui pendidikan, Pendidikan menjadi salah satu jalan yang bertujuan untuk membentuk manusia yang unggul dari berbagai segi, baik ilmu pengetahuan, sikap-tindakan maupun moral. Hal ini sebagaimana cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kemudian lebih khusus lagi tujuan dari pendidikan nasional dijabarkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang beramartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Apabila melihat dari paparan tujuan di atas maka pendidikan memiliki peran penting. Pendidikan berperan besar dalam membangun peradaban bangsa dengan membentuk kualitas manusia yang unggul.. Namun apabila dilihat kajian dirkusus pendidikan seolah terabaikan, terlihat kurang menarik dibandingkan kajian politik dan ekonomi. Hal ini setidaknya memberi efek pula pada perkembangan pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia terlihat seolah-olah stagnan belum memberi gebrakan-gebrakan luar biasa bagi kehidupan manusia dan membangunan peradaban yang lebih baik. Hal ini bisa dilihat dari realita pendidikan nasional sekarang, lebih khusus pendidikan Islam saat ini. Pendidikan Islam di Indonesia telah mengalami berbagai perkembangan. Mulai dari pendidikan Islam yang saat itu hanya 275 diajarkan secara tradisional di pesantren sampai dengan masuknya pendidikan Islam dalam sistem pendidikan formal. Namun di tengah perkembangan tersebut sampai sekarang masih meninggalkan beberapa problem di dunia pendidikan Islam. Permasalahan itu diantaranya adalah adanya unsur dikotomi ilmu dengan agama, output manusia dari proses pendidikan Islam juga masih rendah, pengajaran pendidikan Islam yang tekstual, bersifat eksklusif (menafikan ajaran agama lainnya), bersifat indoktrinasi (dalam segala hal), dan fanatisme. Sikap eksklusif dan fanatisme ini menimbulkan bahaya tersendiri bagi Islam. Dengan kata lain seperti tertulis dalam otobiografi Ahmad Syafi’i Ma’arif, bahwa orang yang mengurung diri dalam pasungan yang sempit atau hanya mengenal satu alur aliran pasti akan memperlama berada pada kebuntuan intelektual yang pengap. Membawa pada kehidupan semu tanpa menyentuh realitas. Padahal Islam sejatinnya berupaya mengubah realitas pengap itu menjadi suasana yang asri, adil, dan penuh rahmat.360 Kebuntuan intelektual memang dapat terjadi manakala seseorang tidak mau membuka diri akan pengetahuan yang luas. Sikap eksklusif atau tertutup juga menjadi seseorang bertindak fanatik. Seseorang bersikap fanatik atau taklid buta karena tidak adanya kemauan untuk membuka diri mencari ilmu pengetahuan yang luas. Apabila hal tersebut dibiarkan maka seseorang menjadi sulit berkembang secara intelektualitasnya atau dalam kata Buya, “intelektual pengap”. Pengap karena tidak tersegarkan oleh pengetahuan-pengetahuan baru yang berguna bagi kehidupan manusia Berdasarkan beberapa problematika pendidikan Islam di atas maka perlu adanya revitalisasi dalam pendidikan Islam. Revitalisasi pendidikan Islam disini bermakna sebagai suatu upaya memperlakukan dan menghidupkan kembali suatu kearifan atau tradisi tertentu (masa keemasan Islam) yang dikorelasikan dengan perkembangan zaman saat ini. Zaman yang semakin dinamis dan praktis dengan adanya 360 Ahmad Syafii Maarif,, Titik Kisar Perjalananku, Bandung:Mizan, 2009, hlm.186 276 perkembangan IPTEK. Melihat problematika pendidikan tersebut, maka penulis menuliskan sebuah tulisan tentang revitalisasi pendidikan Islam di zaman kontemporer. Dunia pendidikan Islam perlu adanya suatu paradigma revitalisasi pendidikan Islam guna mewujudkan manusia paripurna (insan kamil). Dengan begitu akan terwujudlah peradaban bangsa yang semakin maju. Peradaban yang bersumber pada ilmu dan agama untuk mewujudkan kesejahteraan setiap manusia. Dalam tulisan ini bentuk dari revitalisasi pendidikan Islam mengejawentahkan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Pendidikan Islam. Apabila dilihat dari pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan Islam, maka dapat dikatakan bahwa Ahmad Syafii Maarif memiliki pemikiran pendidikan yang bercorak kritis-religius. Corak pemikiran pendidikan Buya Syafii yang sedemikian terlihat dari pemahaman keagamaannya. Buya Syafii memiliki pemikiran Islam yang “Modernisme Islam” dan “Ideal Islam” yang berorientasi pada kemajuan dan idealnya Islam bagi umat seluruh alam semesta.361 Corak pemikiran tersebut yang mendorong untuk terus berpikir mengarahkan pendidikan Islam yang integratif, kesatuan ilmu pengetahuan (unity of knowledge), kontekstual, dan inklusif. Sehingga dapat menjadikan manusia yang berilmu, beramal shaleh dan anggun (bijaksana) dalam tindakannya. Sebelum membahas lebih jauh tentang problematika pendidikan Islam saat ini, maka perlu penulis uraikan terlebih dahulu tentang pendidikan Islam. Pendidikan merupakan proses pencarian ilmu guna meningkatkan harkat martbat seseorang. Pendidikan sejatinya bertujuan untuk memanusiakan manusia. Dalam Islam pendidikan bertujuan untuk membentuk insan kamil (manusia seutuhnya). Manusia yang utuh, seimbang (balance) dari segala aspeknya. 362Pendidikan Islam merupakan sebuah sistem kependidikan yang mencakup seluruh 361 Mohamad Ali, Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif, Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 17, No. 2, Desember 2016, hlm.4 362 Sukarman, Urgensi Pendidikan Holistik Dalam Membentuk Insan Kamil”, Tarbawi Ii, No.2 (Juli-Desember): 2014.Hlm.36 277 aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh manusia. Sistem kependidikan ini kemudian dipahami dan dikembangkan berdasarkan Nilai-nilai fundamental ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan hadis dan diwujudkan dalam bentuk pemikiran dan teori-teori pendidikan.363 Pendidikan Islam adalah proses bimbingan dari pendidik yang mengarahkan anak didiknya pada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan dan terbentuknya pribadi Muslim yang baik.364 Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan utama pada Al-Qur’an dan hadis.Dalam pendidikan Islam mengandung tujuan untuk menumbuh kembangkan keimanan, ketakwaan dan membentuk akhlak mulia kepada Allah, sesama manusia maupun alam semesta. Hal ini sebagai wujud realisasi dari cita-cita ajaran Islam yang memiliki visi dan misi untuk mensejahterakan kehidupan manusia agar mencapai kebahagian di dunia maupun akhirat. Sketsa Problematika Pendidikan Islam Pendidikan Islam memang memiliki tujuan yang sangat mulia. Namun tujuan mulia dari pendidikan Islam tersebut dalam realitasnya belum sepenuhnya dapat terlaksana. Dalam proses pembelajaran dan pelaksanaan pendidikan Islam, masih banyak ditemui masalahmasalah terkait pendidikan Islam. Hal inilah mendorong untuk adanya suatu revitalisasi pendidikan Islam. Problematika pendidikan Islam tersebut diantaranya yaitu : 1. Dikotomik Pendidikan Islam Islam merupakan agama yang sangat menghargai ilmu, hal ini dibuktikan dengan pengangkatan derajat bagi orang yang ilmu. Orang berilmu akan sangat dihargai oleh manusia maupun Allah. Penghargaan terhadap ilmu, mendorong manusia untuk selalu 363 Achmad Rois, Pendidikan Islam Multikultural Telaah Pemikiran Muhammad Amin Abdullah, Epistemé 8, No.2 (Desember ), 2013.hlm.306 364 Yaya Suryana Dan Rusdiana, Pendidikan Multikultural Sebagai Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa, Bandung: Pustaka Setia, 2015.hlm.320 278 menuntut ilmu. Menuntut ilmu dalam Islam adalah wajib baik. Kewajiban yang abadi dari sejak dalam buaian hingga ke ilang kubur. Uthlub al-‘ilma-a min al-mahd-I ila al-lahd-i.(Tuntutlah ilmu dari sejak dalam ayunan hingga ke liang kubur). Hal ini menunjukkan bahwa menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban yang abadi, sepanjang hayat. Konsep tersebut di zaman sekarang sering disebut dengan pembelajaran seumur hidup (long life education). Dalam dunia Islam kecintaan terhadap ilmu telah dicontohkan para ulama terdahulu, puncaknya yaitu ketika masa keemasan Islam. Zaman kejayaan Islam kala itu menunjukkan semangat para ulama yang menimba, menekuni dan mengembangkan ilmu pengetahuan. umat Islam klasik telah menjadi pemimpin intelektual dunia selama sekurang-kurangnya empat abad dengan puncaknya pada zaman Khalifah Harun al-Rasyid dan Khalifah al-Ma’mun yang secara beruntun memerintah dari tahun 783 sampai 933 M. Pada saat itu Barat (Eropa Kristen) masih dalam kegelapan mutlak.365 Namun setelah kejayaan Islam kala itu runtuh, kemunduran umat terasa sampai dengan sekarang ini. Dikotomi menjadi isu yang sering dibincangkan dan disebut oleh beberapa pakar sebagai faktor yang memengaruhi kemunduran umat. Dikotomi merupakan pemisahan ilmu antar agama dengan ilmu umum. Dalam tingkatan pemisahan yang ekstrim memandang bahwa mempelajari ilmu dunia adalah kafir. Sehingga banyak umat Islam yang hanya fokus pada ilmu agama tanpa menyentuh ilmu umum. Akibatnya umat Islam mengalami suatu keterpurukan dari berbagai aspek di banding dengan bangsa Barat saat ini. Akar-akar mula adanya sistem dikotomi dalam pendidikan di Indonesia sudah terlihat sejak zaman kolonial. Pada masa kolonial menerapkan suatu pendidikan yang dualistik, pendidikan kolonial dan sistem pendidikan Islam yang tradisional. Kedua sistem pendidikan tersebut banyak mempunyai perbedaan yang mendasar, bukan hanya 365 A. Ilyas Ismail, True Islam:Moral Intelektual, Spiritual, Bogor: Mitra Wacana Media, 2013, hlm.122 279 metode, tetapi juga dari segi kurikulum dan tujuannya.366 Di pondok pesantren siswa atau biasa disebut santri bebas untuk memilih bidang studi dan guru yang diinginkan. Sistem yang dipergunakan dua macam, yaitu sorogan dan bandongan. Di pondok pesantren tidak ada sistem kelas, tidak ada ujian pengontrolan kemajuan santri, dan tidak ada batas waktu berapa lama santri harus tinggal di pondok pesantren. Sistem yang dipergunakan lebih menekankan hafalan, tidak merangsang santri untuk berdiskusi. Cabang-cabang ilmu yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu agama dan yang berkaitan dengannya, seperti fiqih, hadis, bahasa Arab dan sebagainya. Di lain pihak, Kolonial Belanda mendirikan sekolah-sekolah sekuler, yang bertujuan untuk mendidik anak-anak priyayi untuk menjadi juru tulis tingkat rendah dan pemegang buku sebagai pegawai-pegawai yang dapat membantu majikan-majikan Belanda dalam tugas di bidang perdagangan, teknik dan administrasi. Jadi orientasi pendidikan itu hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan pemerintah Belanda untuk tenaga-tenaga pembantu di kantor. Di sekolah ini para siswa tidak diperkenalkan sama sekali dengan pendidikan Islam, sehingga menjadikan corak berfikir dan tingkah laku lulusan-lulusannya (walaupun pada umumnya beragama Islam) jauh dari ajaran Islam. Selanjutnya, dengan bergulirnya kebijakan politik etis, lembaga sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda tidak hanya dikhususkan untuk orang Belanda atau orang Indonesia yang berasal dari kalangan priyayi saja, tetapi juga diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Indonesia.367 Apabila melihat sejarah tersebut ternyata efeknya masih terbawa sampai dengan sekarang. Masih ada dalam benak masyarakat bahwa agama (Islam) dengan ilmu tidak dapat bersatu padu. Keduanya dianggap mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dengan lainnya, baik dari segi obyek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh 366 Nelly Yusra, Muhammadiyah: Gerakan Pembaruan Pendidikan Islam, Potensia: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 4, No. 1, Januari – Juni 2018, hlm.112 367 Nelly Yusra, Muhammadiyah: Gerakan Pembaruan Pendidikan Islam, Potensia: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 4, No. 1, Januari – Juni 2018, hlm.113 280 ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. 368 Demikianlah keberadaan pendidikan di Indonesia, terlihat sekali adanya pemisahan atau dikotomi antara ilmu dengan agama. Seolah-olah keduanya bisa berdiri sendiri-sendiri. Padahal sejatinya keduanya perlu bersatu padu untuk menghadapi persolan-persoalan zaman yang terus berkembang secara dinamis. 2. Problematika dalam Manajemen Pendidikan Islam Pendidikan Islam saat ini masih menyimpan berbagai permasalahan dari mulai tentang konseptual-teoritis hingga operasional praktis dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Pengaruh kebijakan pendidikan masa kolonial sampai masa sekarang masih terasa. Hal ini bisa dilihat dalam pengelolan pendidikan di Indonesia yang terbagi menjadi dua, pendidikan umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendikbud) dan pendidikan Islam atau madrasah di bawah pengelolaan Kementerian Agama (Kemenag). 369 Sekolah-sekolah dengan basis pendidikan Islam masih dianggap sebelah mata, karena dirasa kurang dapat menjawab tantangan zaman. Sekolah yang berbasis Islam dipandang hanya belajar dalam tataran menghafal saja. Hal ini kemudian menjadikan seseorang akan lebih tertarik mempelajari ilmu umum dengan belajar di pendidikan umum. Mereka menganggap ilmu umum lebih praktis dan menjanjikan kebahagian hidup, karena peluang kerja yang lebih banyak daripada lulusan yang berasal dari pendidikan Islam. Hal itu tidak terlepas dengan sistem kurikulum pendidikan dan manajmen pendidikan Islam yang belum begitu jelas. Secara 368 M. Amin Abdullah,Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2012.hlm.92 369 http://guraru.org/guruberbagi/dualisme_pendidikan_nasional_sentralisasi_ kemenag_desentralisasi_kemdikbud/ diakses 7 Desember 2018 pukul 09.15 WIB 281 teori kurikulum maupun manajemen pendidikan Islam telah baik, namun dalam realita di lapangan dunia pendidikan terlihat beberapa hal yang bermasalah atau kurang sesuai dengan rumusan teorinya. Dalam sistem pengajaran pendidikan Islam sering kali hanya bersifat tradisional-konservatif, tekstual dengan menekankan pembacaan teks dan kurang memperhatikan realitas sosial kehidupan yang ada. Selain itu pendidikan juga belum komprehensif mempelajari ilmu dari segala aspek baik agama maupun ilmu secara umum. Sehingga menurut Buya Syafii pendidikan Islam model seperti itu akan membentuk seseorang dengan kepribadian pecah (SpIit Personality). Proses pengajaran yang bersifat doktrinal tanpa adanya penggalian lebih dalam ilmu pengetahuan juga mengkibatkan pendidikan Islam terlihat belum mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan zaman yang semakin modern. 3. Problematika Intelektulisme Islam Saat ini terlihat bahwa pendidikan Islam masih sulit dalam menelurkan para pemikir Islam yang memiliki gagasan baru, otentik-produktif dan fungsional dalam menghadapi permasalahan kehidupan. Gerakan modernis Islam baru mampu menelorkan intelektual pemamah yang mereproduksi pemikiran-pemikiran dari luar untuk dibawa masuk ke Indonesia. Ini artinya, pendaratan dan pembumian gerakan intelektualisme masih mengalami kemandekan.370 Keberadaan intelektualitas yang masih rendah tersebut terkadang juga dipengaruhi oleh ketundukan. Ketundukan yang menganggap bahwa konsep ilmu-ilmu yang berada dalam kitab-kitab klasik terdahulu adalah suatu yang mutlak benar. Sehingga muncul anggapan bahwa perkembangan ilmu tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah ada tersebut. Hal itu menimbulkan lemahnya perkembangan pengetahuan. Ada pula genggaman erat kaum tua 370 Mohamad Ali, Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif, Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 17, No. 2, Desember, 2016, Hlm.9 282 dengan format “kultur museum” yang serba antik.371 Tak jarang kaum tua ini memandang sebelah mata dan remeh generasi baru yang sedang mengembangkan ilmunya. Sehinnga tak jarang generasi baru menjadi tak bergairah untuk mengembangkan ilmu lebih lanjut. Selain itu terdapat beberapa pemikir yang tak mampu memahami adanya suatu perbedaan pemikiran. Sehingga menimbulkan terpecahpecahnya Islam sendiri. Perpecahan ini menjadi semakin berbahaya jika dilandasi kompetisi negatif, yang kemudian menafikan adanya perbedaan dan menganggap dirinya paling benar. Keberadaan-keberadaan seperti yang diuraikan di atas akan menyebabkan semakin sulitnya perkembangan pendidikan Islam. Sehingga yang terjadi umat Islam hanya berjalan di tempat (stagnan). umat Islam hanya menanggapi perbedaan pendapat antar umat sendiri, bukan berusaha berkembang secara progresif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan guna mengatasi permasalahanpermasalahan kehidupan. Hal ini sangat kontras dibandingkan pada zaman keemasan Islam yang semangat pengembangan ilmu pengetahuan sangat tinggi.Para ulama berlomba-lomba untuk berkarya guna memberikan kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia. Revitalisasi Pendidikan Islam di Jaman Kontemporer Mattulada menyatakan bahwa, Revitalisasi adalah suatu upaya memperlakukan dan menghidupkan kembali suatu kearifan atau tradisi tertentu. Tradisi tertentu disini dimaksudkan tradisi suatu kelompok tertentu. Yang memelihara sendi-sendi peradaban untuk bertahan dalam kehidupannya372. Selanjutnya revitalisasi dalam dunia pendidikan Islam bermaksud untuk memperlakukan dan menghidupkan kembali suatu kearifan atau tradisi keilmuan di masa 371 Ahmad Syafii Maarif. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan.2015,hlm.216 372 Sri Hidayati Djoeffa, Revitalisasi Pendidikan Sebagai Paradigma Peningkatan Kualitas Bangsa, Jurnal Mimbar Volume XX No. 2 April – Juni 2004,hlm.227 283 keemasan Islam. Sehingga dapat memajukkan pendidikan Islam di zaman sekarang. Pendidikan Islam yang akhirnya dapat melahirkan sosok ilmuwan yang professional dengan landasan etika cahaya AlQur’an. Dalam menghadapi beberapa permasalahn pendidikan maka lahirlah percikan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi permasalahan pendidikan tersebut, sebagaimana berikut ini : 1. Mengatasi Dikotomi Ilmu Pengetahuan dengan Memperkuat Fondasi Filasafat Sistem Pendidikan Dalam sebuah artikel, Buya Syafii menjabarkan akar dan dampak munculnya dualisme dikotomi ilmu dalam penyelenggaraan pendidikan Islam dan pandangan hidup umat umat Islam. Menurut analisisnya, kemunculan dualism dikotomi ilmu di kalangan umat Islam disebabkan oleh, dan berakar pada, fondasi filosofis yang rapuh, yang pada urutannya melahirkan pandangan keilmuan yang dikotomis, di mana ilmu-ilmu umum cenderung dianak-tirikan di kalangan umat Islam. Padahal, penguasaan dan eksplorasi dunia memerlukan piranti ilmu-ilmu umum.373 Selanjutnya apabila dilihat dari sejarah fondasi filosofis tentang sistem pendidikan yang rapuh sebagaimana yang dikatakan Buya Syafii tersebut bersumber dari adanya salah pemahaman beberapa orang tentang kewajiban menuntut ilmu dari imam Ghazali.Menurut Imam Ghazali, kewajiban menuntut ilmu ini adakalanya berstatus fsardhu ‘ain (kewajiban individual), seperti keharusan belajar aqidah, ibadah dan hukum-hukum agama, dan adakalanya berstatus sebagai fardhu kifayah (kewajiban kolektif), seperti belajar berbagai ilmu pengetahuan, pekerjaan dan industry yang diperlukan untuk memenuhi kehidupan manusia.374 Apabila dilihat dari teoritik-epistemologis klasifikasi yang dibuat oleh al-Ghazali tersebut tepat, namun dalam realitasnya terjadi salah 373 Mohamad Ali, Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif, Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 17, No. 2, Desember, 2016, hlm.7 374 A.Ilyas Ismail, True Islam:Moral Intelektual, Spiritual,Bogor: Mitra Wacana Media, 2013, hlm.121 284 pemahaman di beberapa kalangan umat Islam.Mereka menganggap kalsifikasi itu adalah sebuah pemisahan, padahal hal itu sebagai bentuk kalsifikasi yang berisfat hirarki urutan pengetahuan yang harus dipelajari. Salah pemahaman dari beberapa orang tersebut kemudian menimbulkan suatu dikotomi dan berefek pada terjadinya kemunduran umat, karena umat lebih menyukai mempelajari ilmu agama dan mengenyampingkan ilmu umum dalam kehidupan. Padahal apabila dilihat lebih jauh sejatinya secara ontologi pendidikan Islam tidak mengenal adanya dikotomi. Pendidikan Islam mengacu pada ajaran dasar Islam yang tidak memilah-milah antara dunia dan akhirat. Hal ini bisa tercermin dalam doa selamat dunia akhirat (doa sapu jagat) yang di dalamnya mengandung makna permohonan keselamatan dunia dan akhirat. Islam sebagai religion of nature menghindari adanya diotomi antara agama dan sains. Alam penuh dengan tanda-tanda, pesan-pesan illahi yang menunjukkan kehadiran kesatuan sistem global. Semakin jauh ilmuwan mendalami sains, dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic parennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence.375 Manusia hidup di muka bumi tidak hanya sebagai hamba Allah namun juga sebagai Khalifatullah. Sebagai khalifah di muka bumi tentu manusia akan terus mengembangkan diri guna menghadapi persoalan-persoalan kehidupan. Untuk itu antara wahyu dan akal perlu untuk selalu tersinkronkan, keduanya tidak dibenarkan terdikotomi dalam pendidikan Islam. Keterhubungan keduanya sangat perlu dan penting. Dalam dimensi kultural, Nabi mengajarkan umar agar bebas dari tradisi taklid buta, yakni kecenderungan meniru adat nenek moyang tanpa menggunakan akal kritis. Dalam hal di atas Rasulullah mengenalkan tradisi baru bahwa akal sebagai inti keberagamaan seseorang. Dalam artian selain tunduk pada aturan Alqur’an dan Hadis, seorang Muslim harus mempertimbangkan akal atau reasom. Oleh karena itu antara agama 375 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam),Yogyakarta:Gama Media,2002,hlm.44-45 285 dengan ilmu umum atau sains haruslah saling berhubungan tidak terpisahkan. Dalam menanggapi kondisi umat yang mengalami kekrisisan karena adanya dikotomi ilmu pendidikan Islam, Ahmad Syafii Maarif memiliki sebuah konsep pemikiran tentang kesatuan ilmu pengetahuan (The Unity of Knowledge) untuk mengatasi dikotomi tersebut.376 Konsep ini berbeda dengan konsep sebelumnya yang diutarakan oleh Al-Faruqi yaitu Islamisasi Pengetahuan (Islamization of Knowledge). Buya Syafii menghendaki adanya suatu kesatuan ilmu pengetahuan baik agama maupun umum sebagai jalan untuk menghadapi praktek pendidikan yang dijalankan dengan masih melakukan pemisahan antara dua kubu ilmu yang diposisikan berhadapan secara dikotomis-antagonistis. Dalam konsep kesatuan ilmu, dijelaskan bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan sejatinya bertujuan untuk mendekatkan manusia kepada Allah sebagai sumber tertinggi atas segala hal. Konsep tersebut menjadi suatu sistem pendidikan yang harus dikembangkan dengan corak pendidikan yang kokoh/kuat secara spiritual, unggul secara intelektual, dan anggun secara moral (hikmah) serta berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini berakar dari citacita Al-Qur’am dalam rangka menciptakan manusia yang beriman, berilmu dan beramal, secara terampil dengan memintegrasikan antara 3 komponen yaitu, otak, hati dan tangan. Konsep kesatuan ilmu pengetahuan tersebut rasanya akan ideal untuk menghadapi dikotomi ilmu pengetahuan. Sehingga mampu membentuk manusia yang utuh bukan manusia yang terpecah, kepribadian ganda (split personality). Sehingga nantinya pendidikan Islam dapat merubah dan mengarahkan perubahan manusia untuk dapat mengarungi kehidupan lebih baik. Namun proses tersebut tentu akan membutuhkan waktu yang tidak cepat (poses panjang). Selanjutnya terdapat pula tokoh memiliki konsep yang sejalan 376 Ahmad Syafii Maarif. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan, 2015, hlm.230 286 dengan kesatuan ilmu pengetahuan (The Unity of Knowledge) Tokoh tersebut yaitu M.Amin Abdullah yang memiliki gagasan integrasi ilmu pengetahuan. Salah satu langkah awal yang dilakukan yaitu dengan mentransformasi IAIN menjadi UIN, dengan tujuan agar terjadi suatu integrasi dan interkoneksi antara hadharat al-nashsh (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks), hadharat alilm (sains dan teknologi), dan hadharat al-falsafat (budaya filsafat, interconecter entities). 377 Proses mentransformasi IAIN menjadi UIN tersebut dilatar belakangi dari kegelisahan akan perkembangan ilmu di Perguruan Tinggi Umum maupun Perguruan Tinggi Agama. Perkembangan dan pertumbuhan ilmu-ilmu sekular sebagai simbol keberhasilan Perguruan Tinggi Umum yang tercerabut dari Nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia di satu pihak. Sementara di pihak lainnya, perkembangan dan pertumbuhan Perguruan Tinggi Agama (Islam) yang hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan teksteks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan, menjadikan kedua-duanya mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat. Pertumbuhan yang tidak sehat karena pertumbuhannya bersifat terpisah, terjadi krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami kemandekan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian alternative-alternatif yang lebih mensehaterahkan manusia), dan penuh bias-bias kepentingan (keagamaan,ras, etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban).378 Melihat adanya krisis pertumbuhan ilmu tersebut, kemudian M. Amin Abdullah dalam bukunya, mendorong adana gerakan rapprochement (kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada). Gerakan ini juga disebut sebagai gerakan reintegrasi epistemology keilmuan. Bangunan ilmu pengetahuan 377 A.Ilyas Ismail, Ibid., hlm.182 378 M. Amin Abdullah,Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2012.hlm.96-97 287 yang dikotomik antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum harus diubah menjadi bangunan keilmuan baru yang lebih holistikintegralistik atau paling tidak bersifat komplementer. 379 Kemudian lebih lanjut dalam mengatasi dikotomi ilmu pengetahuan, M. Amin Abdullah memiliki konsep, “Jaring LabaLaba Keilmuan Teoantroposentris-Integralistik” Teoantroposentris yang memiliki makna bahwa sumber pengetahuan ada dua macam yaitu yang berasal dari Tuhan dan berasal dari manusia. Selanjutnya paradigma keilmuan harus menyatukan bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmuilmu holistik-integralistik)380 Jaring Laba-Laba Keilmuan381 Dalam jaring laba-laba keilmuan, diilustrasikan bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisional maupun modern.Di samping itu tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu 379 M.Amin Abdullah, ibid.,hlm.98 380 Ibid., hlm.104 381 Ibid., hlm.107 288 yang menyentuk problem kemanusian dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social science) dan humaniora (humanities) kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan obyektif dan kokoh, karena keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang etnisitas, agama, ras maupun golonngan.382 Selain itu juga muncul pandangan interconnected entities dalam memahami ilmu dan agama., dalam arti masing-masing sadar akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan manusia, lalu menjalin kerjasama setidaknya dalam hal yang menyentuh persoalan pendekatan (approach) dan metode berpikir penelitian (process and procedure). 383 Selanjutnya Kuntowijoyo dalam menanggapi krisis keilmuan ini mengeluarkan gagasan “Pengilmuan Islam”. Pengilmuan Islam disini bermakna bahwa orang Islam harus melihat “realitas melalui Islam, dan eksistensi Humaniora dalam Al-Qur’an”. Untuk itu adanya beberapa tindakan untuk mewujudkannya. Pertama yaitu melalui demistifikasi, yaitu suatu gerakan intelektual untuk menghubungkan kembali teks dengan konteks. Supaya antara teks dengan konteks ada koresnpondensi, ada kesinambungan. Dalam hal ini perlu dilakukan pendekatan sintetik analitik untuk memahami Al-Qur’an secara komprehensif. Al-Qur’an yang berisi konsep-konsep dan kisah dengan pernyataan-pernyataan normatif di dalamnya dianalisa dan dibawa kepada level obyektif bukan subjektif.384 382 Ibid.,hlm.106 383 Ibid.,hlm.371 384 Kuntowijoyo,Islam sebagai Ilmu: Epistemologi,Metodologi, dan Etika, Yogyakarta:Tiara Wacana,2006,hlm.12-16. 289 Obyektifikasi dan keterbukaan sangat diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sikap obyektifikasi bermaksud bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan memperhatikan kegunaan bagi seluruh umat (rahmatan lil ‘alamin) bukan hanya untuk Islam saja. 385 Selanjutnya sikap keterbukaan disini berarti kita tidak menafikan adanya ilmu sekular dimana di dalamnya ada pula unsur-unsur tertentu yang dapat dipinjam untuk merekonstruksi pengetahuan Islam. Jadi mengambil apa yang dianggap baik untuk melakukan perubahan dalam pertumbuhan ilmu pengetahun Islam. Sehingga dapat memenuhi misi profetik Islam untuk membangun peradaban yang lebih baik. Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa terdapat usahausaha untuk menghapus dikotomi ilmu pengetahuan. Usaha tersebut telihat dari adanya suatu konsep penyatuan ilmu pengetahuan yang bersifat holistik dan komprehensif antara ilmu agama denga ilmu umum (sains dan teknologi). Kedua ilmu tersebut diintegrasikan dan salin terkoneksi menjadi kesatuan ilmu yang pada akhirnya dapat mendorong umat Islam untuk bangkit dan memajukan peradaban bangsa. Ketiga, langkah pengankatan makna teks yang direalisasikan dengan kontekstual kehidupan. Sehingga dapat mengatasi permasalahan yang beragam di zaman kontemporer. 2. Meningkatkan Kualitas Pendidikan dengan Pendekatan Holistik-Integralistik Dalam mengatasi permasalahan pendidikan Islam perlu kerjasama antar berbagai komponen, baik pembuat kebijakan atau kurikulum sampai dengan pengajar dalam kelas. Guna mengatasi permasalahan tersebut, setidaknya dapat dilakukan dengan cara pendekatan hoslitik terhadap pendidikan Islam. Pendekatan holistik ini berarti suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitias, makna, dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, 385 Ibid.,hlm.46 290 lingkungan alam, dan Nilai-nilai spiritual.386 Apabila dilihat maka pendekatan ini bertujuan untuk membentuk manusia humanis dengan mengembangan potensi yang dimiliki secara harmonis baik potensi intelektual, emosional, fiisik, sosial, estetika, maupun spiritual. Hal ini sebagaiamana yang dijelaskan Ahmad Syafi’I Ma’arif dari beberapa tulisannya mengenai kurikulum pendidikan Islam, yang menekankan agar kurikulum kajian keislaman itu disajikan dengan berprinsip ekuilibruim (keseimbangan) dalam meramu pilar-pilar peradaban Islam yang holistik dan komprehensif sebagaimana yang diisyaratkan oleh AlQur’an. Pendidikan holistik ini memiliki beberapa prinsip utama yang saling berkaitan. Dalam hal ini, Miller387 mengemukakan prinsip penyelenggaraan pendidikan holistik, yaitu: keterhubungan (connectedness);keterbukaan (inclusion); dan keseimbangan (balance). Keterhubungan, artinya bahwa pendidikan hendaknya selalu dihubungkan dengan lingkungan fisik, lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Keterbukaan, dimaksudkan dengannya bahwa pendidikan hendaknya menjangkau semua anak tanpa kecuali. Semua anak pada hakikatnya berhak memperoleh pendidikan. Keseimbangan, maksudnya bahwa pendidikan hendaknya mampu mengembangkan ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara seimbang. Termasuk seimbang dalam kemampuan intelektual, emosional, fisik, sosial, estetika, dan spiritual. Pendidikan holistik dapat dilihat dalam tiga kesatuan dimensi yang utuh dan tidak boleh dipisahkan, karena antara yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Dengan itu manusia dapat memahami suatu hal secara menyeluruh, tidak terpecah-pecah yang menimbulkan kesalahpahaman. Pada akhirnya hal itu bertujuan untuk membentuk 386 Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar Dan Menengah, Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, Vol. 18. No. 4. 2012, h 469 387 Herry Widyastono, Ibid., h 470. 291 manusia paripurna (insan kamil). Selanjutnya ilmu yang integralistik berakar pada agama, Al-Qur’an yang menjadi wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,diri-sendiri, dan lingkungan (fisik,sosial,budaya). Menjadi petunjuk etika, kebijaksanaan dan dapat menjadi setidaknya Grand Theory. Kemudian berkembang pada konsep Teoantroposentrisme dalam artian sumber pengetahuan dari Tuhan dan yang berasal dari manusia. Muncul pula konsep dediferensiasi (rujuk kembali) dalam artian penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu. Pada akhirnya terbentuklah ilmu integralistik yang berarti ilmu yang menyatukan (bukan sekedar gabungan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu, bagaimana ilmu diproduksi dan tujuan-tujuan ilmu. Ilmu yang lahir dari induk agama harus menjadi ilmu yang obyektif. Obyektifikasi ilmu adalah ilmu dan orang beriman untuk seluruh manusia, tidak hanya untuk orang beriman saja. Contohnya etika bagi hasil (al-mudharabah), hal ini terjadi proses obyektifikasi ilmu dari agama menjadi ilmu ekonomi yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua agama, non agama atau bahkan anti agama.388 Dari orang beriman untuk seluruh manusia. Hal yang demikian perlu terus dikembangkan sebagai bentuk membangun peradaban yang lebih baik. 3. Peningkatan Intelektualisme Islam Zaman semakin berkembang dengan IPTEK yang semakin canggih. Hal ini perlu pula dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan Islam sehingga dapat melahirkan sosok ilmuwan yang unggul secara intelektual, anggun secara moral dan terampil dalam bertindak (hikmah). Hal itu sering disebut dengan profil ideal intelektual Muslim (ulu al-abab). Ulu al-abab adalah sebutan 388 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta:Tiara Wacana, 2006, hlm.53-56 292 untuk orang-orang yang diberi keistimewaan oleh Allah dan diberi kebajikan (hikmah). Ulu al-abab menurut Al-Qur’an memiliki beberapa ciri diantaranya yaitu389; mereka adalah orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh, dapat membedakan yang baik dari yang buruk, bersikap kritis serta menggunakan ilmu dan pengetahuannya untuk memperbaiki dan membantu kepentingan umat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ulu al-abab merupakan ilmuwan plus yang dapat mengintegrasikan antara IMTAK (Iman dan Takwa) dengan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Pembentukan manusia ulu al-abab dapat dimulai dengan hal-hal sederhana melalui ranah pendidikan dasar. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kisah teladan kepada anak-anak, lebih lanjut bukan hanya sekedar kisah tapi juga diberikan contoh keteladanan nyata dari seorang guru melalui sikap-sikap kecil yang sederhana, seperti guru memulai pelajaran dengan salam dan berdoa bersama dahulu. Sikap bersalaman di lingkungan sekolah, sebagai wujud rasa kekeluargaan sesama manusia. Hal-hal kecil itu setidaknya akan membentuk manusia-manusia yang santun dan beradab. Kemudian ditambah dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang akan mampu menjadikan manusia ulu al-abab. Selanjutnya dalam meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam, Ahmad Syafii Maarif memberikan tiga resep kunci. Tiga resep kunci tersebut yaitu; Pertama, komitmen idealism (dengan semangat tinggi, komitmen kepada Nilai-nilai idealisme, kekompakan dan nilai plus lainnya, punya peluang besar untuk memenangkan masa depan, kapan pun dimana pun). Kedua, sikap akomodatif dan fleksibel (sikap akomodatif dan fleksibel tapi tidak pernah menjual prinsip terhadap lingkungan: budaya, birokrasi, ekonomi merupakan cara yang layak dikembangkan dalam melakukan ekspansi gerakannya) dan ketiga, membangun jamaah atau kebersamaan (membiasakan koordinasi, silaturahmi sebagai implementasi gerakan jamaah). 389 A.Ilyas Ismail, Ibid., hlm.236 293 Selain itu dalam hal ini perlu pula prinsip keterbukaan atas pemikiran-pemikiran kritis kaum muda. Bentuk apresiasi ini dituliskan Ahmad Syafii Ma’arif dalam buku, “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusian” bertujuan untuk menghargai kuncup-kuncup segar yang mulai mekar, karena hal itu nantinya akan menjadi kafilah perjalanan panjang yang telah dirintis dan dikembangkan oleh generasi lebih awal.390 Sehingga atas beberapa uraian di atas, nantinya pendidikan Islam akan dapat membentuk manusia paripurna. Manusia yang unggul, manusia professional yang dapat memecahkan permasalahanpermasalahan kontemporer dengan berlandaskan cahaya Al-Qur’an. Penutup Pendidikan Islam di Indonesia idealnya dapat mencerminkan tak cita-cita Islam yang bersumber dari Al-Qur’an. Menjadikan manusia menjadi hamba maupun khalifah di muka bumi. Pendidikan Islam selayaknya dapat mengurai dan mengatasi permasalahan kehidupan kotemporer saat ini. Namun apabila pendidikan Islam dalam pelaksanaanya masih berputar pada permasalahan sendiri seperti, adanya dikotomi ilmu pengetahuan, manajemen pendidikan yang belum begitu jelas serta kualitas output pendidikan yang masih samar-samar dalam menghadapi tantangan zaman kontemporer, tentu tujuan pendidikan yang mampu mengatasi permasalahan kontemporer tersebut menjadi sulit terwujud. Oleh karena itu perlu adanya revitalisasi pendidikan Islam guna mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Revitalisasi pendidikan dalam tulisan ini bermuara dari pemikiranpemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif tentang pendidikan Islam. Pemikirannya yang bercorak kritis-religius menjadi dasar dalam mengatasi pergolakan dan permasalahan pendidikan Islam saat 390 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Dan Kemanusian, Bandung:Mizan, 2015, h 216 294 ini. Revitalisasi pendidikan ini melalui beberapa langkah seperi kesatuan ilmu pengetahuan, pendekatan holistik dalam pendidikan, serta memperjelas arah kurikulum ataupun manajemen lembaga pendidikannya. 295 Daftar Pustaka Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam),Yogyakarta:Gama Media,2002 Achmad Rois, Pendidikan Islam Multikultural Telaah Pemikiran Muhammad Amin Abdullah, Jurnal Epistemé Vol. 8, No.2 2013 Ahmad Syafii Maarif. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan,2015 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Titik Kisar Perjalananku, Bandung:Mizan,2009 A.Ilyas Ismail, True Islam:Moral Intelektual, Spiritual,Bogor: Mitra Wacana Media,2013 Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar Dan Menengah, Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, Vol. 18. No. 4 2012 Http://guraru.org/guru/berbagi/dualisme_pendidikan_nasional_ sentralisasi_kemenag_desentralisasi_kemdikbud/ diakses 7 Desember 2018 pukul 09.15 WIB Https://www.Indonesia-Investments.Com/Id/Budaya/Agama/ Item69, Agama Di Indonesia, Diakses Kamis,27 September 2018 Pukul 20.08 Kuntowijoyo,Islam sebagai Ilmu: Epistemologi,Metodologi, dan Etika, Yogyakarta:Tiara Wacana,2006 M. Amin Abdullah,Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2012 Mohamad Ali, 2016, Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif, Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 17, No. 2, 296 Desember Nelly Yusra, Muhammadiyah: Gerakan Pembaruan Pendidikan Islam, Potensia: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 4, No. 1, Januari – Juni 2018 Sri Hidayati Djoeffa, Revitalisasi Pendidikan Sebagai Paradigma Peningkatan Kualitas Bangsa, Jurnal Mimbar Volume Xx No. 2 April – Juni 2004 Sukarman, Urgensi Pendidikan Holistik Dalam Membentuk Insan Kamil, Tarbawi Vol.Ii, No.2(Juli-Desember) 2014 Yaya Suryana Dan Rusdiana, Pendidikan Multikultural Sebagai Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa,Bandung: Pustaka Setia, 2015 297 SIKAP INTELEKTUAL, SPIRITUALITAS DAN KEMANUSIAAN AHMAD SYAFII MAARIF Didi Rahmadi Tidak banyak tokoh yang berani tampil dalam dua peran sekaligus yakni sebagai intelektual sekaligus aktivisme seperti yang ditampilkan Buya sapaan akrab Prof. Ahmad Syafii Maarif. Sepanjang perjalanan Beliau, dalam berbagai peristiwa yang berkaitan dengan isu keumatan dan kebangsaan, Buya tidak ragu untuk menyampaikan kritik serta gagasannya meskipun harus berhadapan dengan kemapanan cara pandang mayoritas umat Islam. Tak jarang, pemikiran-pemikiran Buya juga harus berhadapan dengan penghujatan yang datang dari keluarga terdekatnya yaitu dari kalangan Muhammadiyah sendiri.Terlahir dari keluarga Minangkabau yang egalitarian dan religius, Buya merupakan sosok guru yang teguh dalam berpegang pada prinsip-prinsip moralitas, dan kesederhanaan. Dengan usia yang tidak lagi muda, 83 tahun, tidak membuat Buya berhenti menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk umat dan Indonesia. Aktivitas intelektual dan aktivismenya telah berkontribusi banyak bagi gerakan sosial umat dan semangat keterbukaan akan perbedaan dalam bingkai republik. Sesuatu yang jarang diambil menjadi pilihan bagi orang-orang yang seangkatan dengan Buya.Di saat sebagian tokoh bersitungkin dengan posisi dan jabatan politik, Buya menjadi salah satu yang memilih jalan sunyi untuk menjadi pendidik bangsa.Sebuah jalan panjang dan 298 melelahkan, namun itulah panggilan jiwa Buya yang masih terus digeluti sampai saat ini. Tulisan ini bermaksud merekam kontribusi Buya dalam bingkai keumatan kebangsaan Indonesia. Saya akan mencoba mengurai beberapa aspek lewat aspek sikap intelektual, spiritualitas, dan kemanusiaan Buya. Saya pikir ketiga aspek tersebut juga sangat pas untuk melihat upaya Buya mengedepankan pandangan keislamanan yang rahman dan rahim.Terutama memberikan garis tegas dan pembeda dari perjuangan penegakan moralitas di tengah miskinnya contoh yang diberikan elit kepada generasi muda. Selayang Pandang Tentang Buya Buya lahir pada 31 Mei 1935 di Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat.Sumpur Kudus adalah sebuah daerah kecil yang dikenal sebagai tempat persinggungan gerakan perlawanan, pedagangan dan dakwah Islam.Sumpur Kudus sendiri dikenal sebagai daerah keramat sampai sekarang.Sebab, disinilah tempat Syekh Ibrahim dimakamkan.Syekh Ibrahim sendiri adalah seorang ulama yang berhasil menaklukkan Sumpur Kudus yang dikenal sebagai daerah parewa (preman) dan membawa ajaran Islam pertama sekali ke Sumpur Kudur.391 Malah, selain berkaul yakni tradisi makan berjamba di makam syekh seperti yang ditulis Buya dalam otobiografinya, ada kebiasaan yang masih dilakukan baik penduduk setempat maupun para pendatang yakni tanam ranting sebagai bentuk penghormatan kepada Syekh Ibrahim. Bagi Buya identifikasi daerah kelahirannya sebagai tempat keramat mungkin kurang disukai. Penghormatan berlebihan yangmenjurus kepada perbuatan-perbuatan yang mengabaikan akal 391 Ahmad Syafii Maarif, Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Risau di Perjalananku. Yogjakarta: Ombak, 2006, h 23. 299 sehat, akan membuat manusia mudah diperbudak. Menurut Buya, rendahnya kualitas iman manusia disebabkan, manusia masuk ke perbudakan-perbudakan spiritual, sehingga abai terhadap metode berpikir yang kritikal, radikal dan rasional. Buya meminjam ayat AlQur’ansurat al-Hujarat 13 sebagai landasan argumentasinya, yakni “Sesungguhnya yang termulia di antara kamu di sisi Allah adalah kamu yang paling taqwa.”392 Buya sendiri merekam dengan baik pengalamannya semasa kecil.Secara sosial kultural, adat Minangkabau menjadi tradisi yang melekat kuat dalam ingatan Buya.Keseharian Buya dilakoni seperti lazimnya anak kampung lainnya, seperti mandi di Batang, mengembala sapi, melaga ayam, sampai bersawahpun adalah hal yang lumrah.Namun, Buya sedikit lebih beruntung dibandingkan teman sebayanya.Buya berasal dari keluarga yang cukup terpandang dikampungnya.Ayahnya sendiri adalah Datuk yang merupakan kepala suku dalam adat Minangkabau.Meskipun berasal dari keluarga yang disegani, masa kecil Buya jauh dari kemewahan malah hidup susahlah yang akrab dengan keseharian hidup Buya.393 Singkatnya, perjalanan serta pergulatan pemikiran Buya seperti dirangkum dalam catatan penerbit otobiografi Buya, ada tiga fase penting yakni, fase belajar awal yang memaksa Buya keluar kampung untuk belajar di Madrash Mu’allimin Muhammadiyah Lintau.Pada fase ini, Buya telah tampil sebagai seorang pendakwah pemula yang militant atas dasar pemahamannya tentang Islam yang beliau dapat dari Muhammadiyah.Fase kedua, merantau melanjutkan sekolah ke Madrasah Mu’allimin di Yogjakarta.Dengan segala perjuangan dan kegigihan Buya menyelesaikan sekolahnya, sekaligus lingkungan Muhammadiyah yang kental, paham Islamisme Buya juga semakin kuat ditandai dengan adanya keinginan hadirnya negara Islam.Fase ketiga, merantau sampai ke Amerika ketika mendapatkan kesempatan melanjutkan studi sampai ke jenjang Doktoral.Pada titik ini, kedewasaan intelektual Buya semakin matang.Buya menanggalkan 392 Ibid., h 65. 393 Ibid., h 80. 300 gagasan awalnya yang cenderung fundamental yakni pentingya negara Islam.Hal ini tidak lepas dari pengaruh guru penting Buya yaitu Fazlur Rahman seorang Intelektual Islam asal Pakistan yang mengajar di Universitas Chicago.394 Islam dan Realitas Keindonesiaan Islam adalah obor kemerdekaan bagi kemajuan kemanusiaan. Ia perangkat yang bisa digunakan untuk mendorong manusia menemukan fitrahnya terhadap cinta kebenaran, kebaikan dan keindahan. Bukan hanya itu, selain mengatur hubungan spiritual antara Tuhan dan makhluknya, Islam meminta kita untuk tunduk terhadap aturan moral di setiap aktifitas yang dilakukan.Sebagai wakil Tuhan maka perbuatan-perbuatan kita secara tidak langsung harus cerminan Tuhan.Seperti yang diuraikan oleh Fazlur Rahman Guru Besar Studi Islam di Universitas Chicago dalam bukunya Islam, “AlQur’an adalah ajaran yang terutama berkepentingan untuk membina sikap moral yang benar bagi tindakan manusia.Tindakan yang benar, apakah itu tindakan politik, keagamaan ataupun sosial, dipandang Al-Qur’an sebagai ibadah atau pengabdian kepada Tuhan.”395 Uraian Ali Syariati patut pula kita kutip sebagai bangunan argument universalitas ajaran Islam yang lebih mementingkan kemanusiaan di atas segalanya.Ali Syariati mengutarakan AlQur’an membantu manusia untuk melahirkan kesadaran yang tercerahkan yang bersumber dari cahaya Ilahiah. Kesadaran tersebut menuntun manusia untuk bertanggung jawab, menyinari, dan mencintapenggunaan praktis yaitu kekuatan politik. Namun sayangnya, praktik yang terakhir ini lebih mendomini masyarakat. Dari dua argument tersebut tergambar bahwa pesan Islam adalah penegakkan norma- norma yang pada akhirnya menjadi kekuatan sosial budaya daripada sekedar upaya mewujudkan Islam sebagai kekuatan politik.396 394 Ibid., hal. xi 395 Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Mizan, 2017) h 363. 396 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 301 Titik singgung yang sama, juga ada pada Buya. Ahmad Syafii Maarif menjadi salah satu tokoh intelektual Islam Indonesia yang secara konsisten memperjuangkan Islam sebagai kekuatan sosial budaya. Islam dipandang sebagai semangat moral yang dapat menjadi inspirasi dari Nilai-nilai yang bersifat universal dan melampaui batas-batas negara. Menurut Buya inti dari agama adalah semangat moral, sekaligus rahmat bagi alam semesta yang menggiring menuju persaudaraan universal.Islam harus menjadi payung bersama untuk mendapatkan rahmat tersebut, sebab itulah nilai utama sosial dalam Islam. Atas dasar itu, kata Buya, apapun latar belakang seseorang baik dia sekuler, atau ateis sekalipun akan merasakan rahmat. Perbedaan harus disikapi dengan cara-cara yang beradab, bukan dengan cara-cara kekerasan. Dengan semangat keislaman yang tak pernah padam, Buya berjuang seolah-olah terinspirasi dengan dahsyatnya getaran puisi Chairil Anwar yakni hidup seribu tahun dengan pengabdian yang kekal.Penjiwaan Islam Buya tanpa tedeng aling-aling, bukan kualitas gincu, yang sanggup bermanis muka terhadap ketidakadilan.Di kenal sebagai pengagum Mohammad Iqbal serta Hatta, sikap Buya sebagai tokoh umat adalah tampil dengan ketulusan mencontoh para pendahulunya.Keprihatinannya terhadap persoalan bangsa menebus batas-batas kultural yang tidak hanya menyuarakan Islam tetapi telah masuk ke dalam sisi universalitas kemanusiaan.Tak perduli dengan ancaman dikucilkan, tugas amar ma’ruf nahi mungkar harus tetap dijalankan seberapa besarpun resiko yang akan dihadapi oleh Buya. Islam Qur’ani sebagai simpulan perjalanan spritualitas Buya telah membangkitkan akal sehat serta hidupnya hati nuraniyang menjadi bahan bakar gerak kemanusiaannya.Atas pandangan yang menjunjung Nilai-nilai universalitas, Buya dikenal sebagai tokoh Islam yang inklusif dan moderat sekaligus tegas.Karena itu, Buya tidak pernah berkompromi dengan gagasan radikalisme agama. Menurut Buya, “Pendukung radikalisme agama tampaknya tidak punya modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan. 1994) hal.30. 302 Napas yang sesak karena berbagai hantaman sejarah yang datang bertubi-tubi telah menempatkan sebagaian Muslim dalam posisi bengis tetapi tak berdaya. Oleh sebab itu mereka menempuh jalan pintas, berupa self defeating (menghancurkan diri sendiri) atas nama agama yang dipahami dalam suasana jiwa yang sangat rentan dan tertekan.”397 Filosofi sederhana yang disampaikan oleh Islam adalah rahmat sekalian alam (rahmatan lil alamin).Konsep inilah yang dipegang teguh oleh Buya. Bagi Buya, umat harus berhenti memainkan peran seperti burung alit yang hanya terbang dari satu kembang ke kembang yang lain, tetapi ambillah peran sang rajawali yang memiliki ketajaman mata untuk melihat realitas.398Maksudnya, banyak dari sebagian umat yang terjebak dalam pikiran terkepung (undersieged), sehingga memandang penuh curiga.Sebaliknya, peran rajawali artinya, umat harus mampu memandang setiap permasalahan dengan akal yang jernih dan ketenangan jiwa.Umat harus menjadi insan yang ulet, pantang menyerah pada keadaan, sekalipun situasinya sudah sedemikian ruwet, kritikal, dan berbahaya.Sebagai umat Muhammad, kita harus mampu menciptakan corak hidup yang santun, ramah, cerah, terbuka, lapang dada, serta progresif.Sebaliknya, bukan umat yang pemarah, egois, dan akal pendek.399 Pandangan Buya yang lebih komprehensif tentang Islam dan negara sesungguhnya tertuang dalam Buku Beliau yang berjudul Islam dan Pancasila Sebagai Dasar negara dituliskan kalau pandangan negara Islam baik dalam Al-Qur’an dan Nabi tidak memberikan konsep tentang negara Islam yang harus diikuti oleh umat Islam, ia tak lebih merupakan produk sejarah yang berkembang di zaman Islam abad pertengahan. Selain itu, beberapa prinsip dasar dari konstitusional dari negara belum sepenuhnya 397 Hasyim Mujadi, Ahmad Syafii Maarif, Didin Hafidhuddin, Refleksi Tiga kiai, (Jakarta: Republika, 2004) h 1. 398 Hery Sucipto, Senarai Tokoh Muhammadiyah, (Jakarta: Grafindo, 2005) h 210. 399 Ibid., h 209. 303 terjawab, bila hanya merujuk pada praktik Kekhalifahan Quraisy, maka hanya membawa Islam mundur dan suatu kerja yang siasia.400 Lantas bagaimana realitasnya dengan Islam di Indonesia?Pada dasarnya corak Islam di Indonesia adalah Islam yang sangat toleran, dinamis dan terbuka.Meskipun demikian, sepertinya masih sangat sulit mematrikan corak Islam tersebut di Indonesia.Seolah-olah ada saja orang-orang yang silih berganti menghapus corak tersebut dari wajah bangsa ini.Fenomena tersebut bisa kita sebut sebagai upaya orang-orang frustasi yang mencoba mengambil jalan pintas menerapkan Islam.Banyak peristiwa kegaduhan di masyarakat didasarkan pada sikap emosional tak terkontrol, tanpa memikirkan sebab akibatnya.Semua tindakan dilakukan tanpa nalar terlebih dahulu.Menurut Buya, Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari aspek kesejarahannya. Bahwa ia berkelindan secara dinamis dengan lingkungan kebudayaan yang berkembang di Indonesia. Karena sifat Islam yang ramah, terbuka, inklusif, serta solutif maka tidak pernah Islam berperan antagonis dengan memusuhi setiap aspek diluar Islam.Jadi bagi sesiapapun yang berusahamencabut kesejarahan Islam di Indonesia dengan menawarkan Islam dengan wajah bengis dan cara-cara kekerasan adalah orang yang sedang tersesat diruang hampa.401 Tak bisa dinafikkan juga, menguatnya gerakan fundamentalisme dan ekstrimisme Islam di Indonesia turut menjadi keprihatian Buya. Gerakan-gerakan tersebut tak segan-segan menghalalkan cara kekerasan untuk mencapai tujuannya. Kebenaran dan otoritas hukum Tuhan di monopoli untuk pembenaran perbuatan mereka.Apalagi cita-cita untuk mendirikan negara Islam sesungguhnya disebagian kelompok Islam di Indonesia tak benar padam.Bagi Buya, menguatnya gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia mendapatkan ruang saat negara juga gagal menjalankan fungsinya. Cita-cita untuk 400 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Bandung: Mizan, 2017) h 275 401 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2009) h 18 304 mewujudkan kemerdekaan, keadilan sosial, serta kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya masih jauh dari yang dibayangkan rakyat. Akibatnya, dari nyala yang hampir redup tersebut kian membesar dan menjadi alasan untuk aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Tanpa ragu, pesan gerakan ini yakni kembali menghadirkan masyarakat Islam yang tunduk terhadap syariat Tuhan. Setiap sendi kehidupan masyarakat harus bersandarkan kepada perintah-perintah Tuhan yang tertuang dalam wahyu-Nya dan sunnah Nabi. Maka, Islam tak boleh tidak absen dalam setiap kehidupan masyarakat.Suatu tatanan moral masyarakat yang komprehensif dibawah naungan Qur’an dan hadits.Kaitannya dengan bangkitnya gerakan mendirikan negara berdasarkan agama,di dalam wawancara tentang Membela Kebebasan Beragama yang dimuat dalam situs nurcholishmadjid. org, Buya menegaskan bahwa konsep negara Islam tidak memiliki landasan di dalam Al-Qur’an dan hadits maupun dalam literatur klasik kajian Islam. Menurut Buya nama tidaklah penting, yang paling utama adalah bagaimana merumuskan pemerintahan yang adil. negara harus hadir sebagai tempat menjunjung tinggi moral, yang diisi oleh orang-orang yang menjunjung tinggi pula moral.402 Menurut Buya, seharusnya, umat tidak menghabiskan energi hanya berdebat di ruang dari produk hasil ijtihad tersebut, umat diharapkan meluaskan cakrawala religius intelektualnya dan menyibukkan diri mempelajarai Al-Qur’an sebagai pedoman ajaranajaran moral dan etika dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin. Pesan yang disampaikan Buya di saat ini dirasakan urgensinya, ditengah menguatnya gerakan Islamisme, Islam harus hadir dalam model kualitas daripada kuantitas.Setiap sudut aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi terisi dengan Nilai-nilai moral yang bersumber dari Al-Qur’an. Sebagai contoh, sebagai seorang Muslimyang yang soleh tentu harus selaras dengan keshalehan sosial yang tegak atas nilai keadilan, kebenaran, serta terbuka. Selain itu, perlu juga menghadirkan moral solidaritas lintas batas. Seorang 402 Dikutip dari makalah wawancara oleh portal nurcholishmadjid.org, Membela Kebebasan Beragama, tanpa tahun. 305 Muslimbukan hanya bersaudara dengan Muslim yang lain, tetapi atas nama kemanusiaan dia bersaudara dengan sesama manusia tak perduli apa warna kulit, keyakinannya dan bangsanya.403 Persoalan lain yang menjadi perhatian Buya di Indonesia adalah praktik puritanisme Islam yang kebablasan, sehingga mudah mengkafirkan kelompok Islam lain yang dianggap tidak sepaham. Setiap praktik sosial Islam dalam bingkai budaya yang multikultural tentunya tidak mungkin bebas dari pengaruh lokal, nasional, dan global.Adalah sesuatu yang alamiah bila ada partikularitas dalam Islam asalkan doktrin pokoknya berupa tauhid, iman, dan amal saleh tetap dipegang teguh seorang Muslim, begitu kata Buya. Jadi munculnya gagasan Islam Nusantara yang dikembangkan oleh NU dan Islam Berkemajuan oleh Muhammadiyah bukanlah kesalahan terminologis, selama itu dilakukan dalam konteks yang memiliki benang merah dalam bersikap dan konsisten dalam pandangan moral, tanpa tergerus oleh zaman. Hidup menurut Buya, adalah hidup yang sarat dengan pertarungan ide untuk mencari yang terbaik dan benar.404 Semangat Spiritualitas Perjalanan spiritualitas Buya adalah hasil kontemplasi panjang yang bercorak progresif.Dari hasil perjalanan panjang tersebut, tersirat bahwa Buya ingin menunjukkan ajaran agama harus mampu menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.405Mengutip 403 Op. Cit., h 276. 404 Ibid.,hal.22. 405 Di dalam tulisan Prof. M. Amin Abdullah dalam Prolog buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat yang berjudul “Posisi Intelektual Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Perkembangan Pemikiran Islam Kontemporer” halaman 29, menyebut Buya sebagai pemikir Islam kontemporer yang bercorak progressive ijtihaditss. Adapun ciri-ciri dari pemikir Muslim progresif-ijtihadis ditulis oleh Abdullah Saed dalam bukunya Islamic Thought yaitu: (1) adopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional perlu perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim saat ini; (2) cenderung mendukung ijtihad alternative dan metodologi baru dalam ijti- 306 pendapat Prof. M. Amin Abdullah, spiritualitas Buya adalah upaya menjembatani solusi kenabian dengan setiap masalah sosialkemasyarakatan dan sosial-keagamaan.406Sejalan dengan itu, Buya sendiri pernah menyebutkan bahwa semangat spiritualitas bersumber dari semangat Islam Qur’ani.Semangat tersebut adalah upaya menonjolkan Nilai-nilai universal Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.Tentunya transformasi pemikiran tersebut tidak lepas dari pengalamannya selama berada dalam padepokan Chicago di bawah bimbingan Fazlur Rahman.Buya mengisahkan dalam otobiografinya, Prof. Fazlur Rahman lah yang telah memperluas cakrawala berpikir tentang pesan universalisme Al-Qur’an.Oleh karena itu, sikap spiritualitas Buya lahir dari konsep Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dari bentuk pemahaman Fazlur Rahman. Bagi Buya, Islam dipahami sebagai agama yang secara tegas menawarkan prinsip-prinsip keseimbangan, karena tujuan yang ingin dicapai adalah prinsip kesamaan, keadilan, persaudaraan, dan toleransi. Pandangan ini bersumber pada beberapa ayat dalam AlQur’an: al-Hujarat, 49:10, 13 dan 15; an-Nisa, 4:58; an-Nahl, 16:90; al-Maidah, 5:8; al-Zumar, 39:18; Al-Baqarah, 2:256. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman bagi Buya.Sekaligus menggambarkan bahwa terjadinya kemunduran dalam peradaban Islam dikarenakan memudarnya etik yang bersumber dari Qur’ani.407Dengan demikian, Al-Qur’an bagi Buya telah memberikan jalan kepada manusia untuk bersikap atas dasar pilihan bebasnya.Tentunya, sebuah pilihan yang bertanggunjawab.Sebab, hanya manusia bebaslah yang secara moral had untuk menjawab persoalan kontemporer; (3)diperlukan juga kombinasi pemikiran Islam tradisional dengan pemikiran kontemporer terutama yang datang dari Barat; (4) berkeyakinan perubahan sosial termasuk teknologi dan keilmuan perlu direfleksikan dalam hukum Islam; (5) tidak dogmatis terhadap pendekatan tertentu; (6) titik tekan pada keadilan sosial, dan menjunjung Nilai-nilai universalitas kemanusiaan. 406 Ahmad Najib Burhani, Darraz, Fanani, (eds), Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif,Prolog: Prof. M. Amin Abdullah, (Jakarta: Serambi, 2015) h 40. 407 Damanhuri, D.,Islam, keindonesiaan, Dan Kemanusiaan (Telaah Pemikiran Ahmad Syafii Maarif). Al-Banjari, 14(1) (2015), pp.76-84. 307 dapat diminta pertanggungjawabannya.Jadi manusia bukanlah budak atas keputusannya yang pasrah atas segala konsekuensinya.408 Dengan semangat untuk menghidupkan nilai praksis Islam, Buya sependapat dengan gagasan Iqbal tentang hadirnya ijtihad kontemporer. Tidak mudah memang merubah pandangan dari sebagian ulama yang menganggap final hukum fikih warisan empat ulama besar dalam tradisi sunni.Karena itu menurut Buya konsep Iqbal tentang perlunya dibuka kembali pintu ijtihad menjadi penting agar terjadi relevansi dengan kondisi dunia Islam yang sering gagap menghadapi persoalan modernisme.409Di samping itu, Buya setuju dengan pemaknaan ijtihadnyaIqbal yaitu sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam. Pemaknaan ulang ijtihad dapat membawa dunia Islam lebih dinamis dan cerah menatap masa depan. Selain itu, akan mendorong kembali semangat kreatifitas berpikir cendekiawan Muslim. Pekerjaan ijtihad berarti juga sebuah kerja-kerja yang membutuhkan keterbukaan cara pandang yang luas sekaligus luwes. Bukan hanya kerja konstruksi tetapi mengandung kerja dekonstruksi (pembongkaran) terhadap kemapanan cara pandang yang lampau. Setiap pemikiran yang lapuk akibat perkembangan zaman harus dikoreksi sekaligus dibangun pengetahuan yang lebih kontekstual.410 Untuk memahami lebih lanjut pergulatan spiritualitas Buya, maka ada baiknya juga kita merujuk tulisan-tulisan Fazlur Rahman. Ini sejalan apa yang dikatakan Buya, untuk memahami utuh pandangannya perlu membaca gagasan Fazlur Rahman. Dikarenakan kemiripan tersebut, Buya sering disebut sebagai replikasi Fazlur Rahman.Seperti gagasan modernitas dan bacaan AlQur’an kontemporer Buya dapat ditelusuri lewat dua karya Fazlur Rahman yakni Major Themes of the Qur’an (1980) dan Islam and Modernity (1982) yang memiliki sisi polemik dan konstruktif. Di sisi pertama, gagasan neo-modernis yang dikembangkan Rahman untuk menjawab kegagalan pendekatan tafsir kelompok fundamentalis 408 Op.Cit.,h 268. 409 Ibid.,h 268 410 Ibid, h 271 308 dan pembaharu.Ia mengkritik pendekatan kaum fundamentalis dan pembaru modernis yang gagal menemukan metode tafsir Al-Qur’an yang lebih kokoh. Implikasinya, metode tafsir yang dihasilkan hanya digunakan untuk kepentingan isu tertentu.Sisi kedua, dengan pendekatan neo-modernisnya, Rahman mencoba untuk mengeluarkan sakralitas Al-Qur’an yang tidak terjamah menjadi AlQur’an yang makna dan pesannya dapat dijangkau dalam kehidupan umat.411 Di buku Fazlur Rahman yang lain, Islam, menuliskan “AlQur’an adalah ajaran yang terutama berkepentingan untuk membina sikap moral yang benar bagi tindakan manusia. Tindakan yang benar, apakah itu tindakan politik, keagamaan ataupun sosial, dipandang Al-Qur’an menekankan tegangan moral dan faktor psikologis yang membentuk kerangka berpikir yang benar dalam melandasi tindakan.”Pemikiran Fazlur tentang Islam moral begitu kuat bagi Buya, sehingga tidak ragu menanggalkan pemikiran Islam formalistiknya dan mengamini gagasan gurunya yang menekankan pada Islam sebagai nilai kebajikan sosial (social virtues).412 Semenjak itu, Buya tidak sungkan-sungkan menunjukkan ajaran-ajaran Islam yang menekankan pada penegakkan keadilan sosial, menjunjung tinggi nilai inklusifitas dan pluralisme, serta pembelaannya yang total kepada kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi.413 Hal penting lain yang dipegang kuat oleh Buya yaitu konsep amar ma’ruf nahi munkar. Landasan melakukan amar ma’ruf nahi munkar tertuang dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 17, sekaligus mensejajarkannya dengan perintah menegakkan salat dan sikap tabah dalam menghadapi cobaan yang merupakan perkara yang besar dan berat (min ‘azmi ‘l-umur). Bisa dipahami bahwa perintah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas berat yang harus diemban oleh setiap Muslim.Karena itu, dibutuhkan kesiapan stamina dan spiritual yang prima untuk melakukan tugas penting dan strategis 411 Ibid., h 44-45 412 Lihat, Rahman, Islam, h 363 413 Lihat, Burhani dkk.,Muazin, hal.238 309 ini.Dalam praktik sehari-harinya perintah untuk menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar ini direinterpretasikan oleh Buya dengan membawa doktrin ini lebih aplikatif dalam kehidupan sosial politik. Buya membagi dua substansi dari konsep amar ma’ruf nahi munkar ini, pertama, substansi doktrin yang berasal dari wahyu adalah bersifat immutable (Buya mengartikannya sebagai tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas), sementara yang kedua, secara metode dan strategi pelaksanaannya adalah wilayah ijtihad yang mutable atau bisa lapuk dan lekang karena dinamisnya waktu dengan kata lain implementasinya diserahkan kepada kondisi material sosial masyarakatnya. Dengan demikian, menurut Buya doktrin amar ma’ruf nahi munkar akan bertahan sepanjang zaman sebagai ideologi. Akan tetapi, untuk mekanismenya dapat diserahkan kepada negara, organisasi gerakan, masyarakat, maupun individu.414 Konsep amar ma’ruf nahi munkar menurut Buya merupakan lentera moral yang menerangkan jalan lurus agar tidak bengkok dan rancu dalam menilai antara baik dan buruk.Diterangkan lagi, secara moral, rancu dalam menilai baik dan buruk membuat kacau persepsi manusia tentang benar dan salah yang berujung kepada tindakan destruktif. Pada akhrinya, masyarakat akankebingungan memahami realitas masalah agama, politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Dengan itu, Islam menurut Buya telah menjelaskan secara utuh konsep kebaikan dan keburukan.Sehingga baik menurut agama pada prinsipnya baik juga untuk akal sehat.Sebaliknya, akal yang sehat adalah akal yang dibimbing oleh agama.Sinergi antara akal dan agama dijelaskan oleh Buya dalam formulasi akal membutuhkan agama sebagai fondasi spiritual-transendental, sedangkan agama memerlukan akal untuk memahami pesan-pesan kemanusiaannya. Dengan ungkapan itu, Buya memandang penting hubungan akal dan agama.Baginya, agama adalah kendali akal agar terarah, sedangkan akal bagi agama memperkuat makna agama sebagai pembawa 414 Takdi Ali Mukti, dkk.,Membangun Moralitas Bangsa: Bab I: Reinterpretasi dan Sosialisasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Konteks Keagamaan, oleh: Prof. Ahmad Syafii Maarif, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1998) h 3-4. 310 perubahan.415 Dalam konteks kesejarahan perbuatan amar ma’ruf nahi munkar adalah jalan sunyi yang penuh dengan aral.Tidak semua orang sanggung memikul tugas berat menegakkan perintah Tuhan ini. Realitasnya hanya segelintir orang yang mampu dan konsisten dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar tersebut.Ada tiga persoalan yang berat yang harus diemban seseorang dalam menunaikan amal ma’ruf nahi munkar: (1) doktrin keesaan Allah (tauhid); (2) prinsip keadilan sosial-ekonomi-politik berhadapan dengan sistem zhalim dan penindasan sosial-ekonomi-politik; (3) doktrin eskatologis berupa iman kepada Hari Akhir. Jadi, Buya menyimpulkan bahwa tauhid, keadilan, iman kepada Hari Akhir adalah bagian dari ma’ruf, sedangkan syirik, kezaliman, dan ingkar terhadap Hari Akhir adalah bagian dari munkar.416 Nafas Kemanusiaan Buya Gerakan seorang intelektual, tidak hanya sebatas pada wilayah keilmuan yang ditekuni.Dari filsafat, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, atau setiap bidang akitifitas manusia merangkul sebuah jejak yang tidak terhapuskan dari peran campur tangan seorang intelektual yang tercerahkan.417Gramsci mendefenisikan intelektual sebagai individu yang mempunyai fungsi organisator yang terlibat langsung dalam masyarakat, bukan hanya ditandai dengan aktifitas sebagai pemikir dan penulis.Oleh karena itu, Gramsci mengatakan,“Setiap orang adalah intelektual, namun tidak semua orang memiliki fungsi intelektual.”418 Dengan kata lain, seorang intelektual berperan sebagai suluh yang mencerahkan hati dan gerak masyarakat. 415 Ibid.,h 5. 416 Ibid.,h 12. 417 Ian Shapiro, The Moral Foundations of Politics, (Yale University: Aakar Books, 2004) hal.7. 418 Roger Simon, Gagasan-gagasan politk Gramsci, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h 141. 311 Begitu juga Buya, di saat usia yang telah delapan dekade, begitu kontras bila melihat kesibukan Buya yang seperti tak ada habisnya. Seolah menolak tunduk dengan kondisi fisik, Buya terus menjaga kegelisahannya seraya berjuang mewujudkan agenda utamanya yakni urung tangan berbuat sesuatu untuk negeri, sebagai pemikir sekaligus pemikir.Buya gelisah melihat Indonesia sebagai bangsa yang besar terancam terkoyak-koyak oleh kepentingan politik sesaat.Anak bangsa tidak boleh tercerai berai hanya dikarenakan satu anak bangsa memaksakan kehendak terhadap yang lain. Artinya, bangsa ini harus satu berdasarkan semangat kebersamaan dalam perbedaan.Karena itu menurut Buya, keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan harus menyatu dalam nafas, jiwa, pikiran, dan tindakan.Sebuah warna Islam yang lebih menonjolkan substansi dibandingkan sekedar bungkusnya saja. Kecintaan Buya terhadap bangsa ini begitu tulus, setiap sumbangsih tak pernah diharapkan kembali kepada Buya dalam bentuk materi.Bagi Buya, bangsa ini telah memberikan banyak hal dan tidak mungkin terbayarkan. Sudah selayaknyalah anak yang dIlahirkan dalam rahim ibu pertiwi membalas jasa tersebut. Apalagi ditengah menguatnya pragmatisme politik kekinian, ancaman kehilangan masa depan demokrasi Indonesia begitu besar. Berkali-kali Buya menegaskan bahwa bangsa ini harus terus menjaga dan merawat akal sehat agar tidak tergilas roda zaman dan tercabik-cabik seperti nasib banyak negara Muslim lainnya.Buya berkata: “Di sini “kita” dan “mereka” harus dilihat dalam perspektif kemanusiaan yang bulat dan utuh, bukan kemanusiaan palsu. Realitas di depan kita adalah bahwa kesenjangan antara negara-negara kaya dalam belahan bumi yang miskin masing menganga. Dunia Islam yang menguasai sekitar 70% cadangan energy minyak belum cukup siuman untuk memainkan peran sejarah globalnya, karena rendahnya kualitas kepemimpinan yang bertengger di puncak piramida kekuasaan. Situasi ini sangat memprihatinkan, dan orang yang berpikir jujur dan cerdas pasti menyadarinya, tetapi belum sanggup berbuat banyak, karena beratnya 312 tantangannya yang ada di depan mata.”419 Sebagai intelektual Islam, pemikiran keislaman Buya begitu renyah dan aplikatif.Pesan- pesan Buya kontekstual dan mudah. Tentu tidak sedikit pula yang mempertanyakan autentisitas keilmuan Buya. Namun, bagi sebagian yang lain itu tidak soal, selama pesanpesan Beliau progressif maka jauh lebih baik dibandingkan doktrin keagamaan yang tak cecah. Menurut Buya, agama harus berhasil memberikan solusi kemasyarakatan dan kemanusiaan. Karena itu, Agama sudah seharusnya menjadi energy perubahan untuk keluar dari kebodohan, kemiskinan, serta egoisme.Umat harus berubah kata Buya, salah satunya sikap untuk berani melihat borok diri sendiri. Tanpa perubahan untuk berani jujur, bersungguh-sungguh, dan cerdas, ranah keislaman yang otentik, toleran, dan berkualitas tinggi jauh panggang dari api. Kegelisahan dan imajinasi kemanusiaan Buya sejalan dengan konsep masyarakat komunikatif Habermas.Dalam perspektif Habermas, bayangan masyarakat komunikatif mengedepankan rasionalitas sebagai paradigmanya yang terbebas dari dominasi.Lebih jauh, adanya rasio menunjukkan dimensi keberpihakan terhadap kebebasan dan menolak hidup dalam bentuk dogmatis.Konkritnya, ada aktivitas dialektis antar anggota masyarakat yang bersifat dialogal (saling komunikasi) yang tujuannya untuk membina suasana saling memahami dan mencapai consensus. Hal ini berarti, bentukan masyarakat Indonesia masa depan tidak lagi hanya didasarkan pada pandangan dunia atau agama tertentu, melainkan hanya berdasarkan pada kesepakatan bersama (konsensus) yang tidak terdistorsi oleh tekanan-tekanan kekuasaan dan dogmatis atau pun ideologi.420 Dengan demikian, Habermas menjelaskan bahwa ada suatu proses pembelajaran masyarakat yang secara perlahan berkaitan erat dengan kompetensi individu anggotanya. Kompetensi, menurut Habermas harus dikembangkan tidak dengan mengisolasi diri atau 419 Lihat, Maarif, Islam dalam Bingkai, hal.311-212 420 Listiyono Santoso, Sunarto, dkk.,Epistemologi Kiri, Epistemologi Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Penerbit Ar-Ruzz, 2003) h 240-243. 313 berkutat dengan pemikiran sendiri, melainkan lewat interaksi sosial dari berbagai macam lapisan kehidupan masyarakat.Habermas mencoba membuat konsep tiga tahap perkembangan kompetensi komunikatif.Pertama, tahap interaksi lewat simbol-simbol, di mana tuturan dalam sikap dan tindakan masih berada dalam kerangka kerja komunikasi tunggal yang bersifat memerintah.Kedua, tahap tuturan yang diturunkan dengan pernyataan-pernyataan, yang untuk pertama sekali ada pemisahan antara tindakan dan tuturan. Pada proses ini disebut bahwa telah tercipta sebuah ‘peran sosial’, karena setiap individu sekaligus bersamaan dapat menyatakan sikap sebagai pelaku atau pernyataan seorang pengamat, di mana tingkah laku masing-masing individu membentuk sistem motivasi yang timbal balik. Ketiga, pada tingkat perbincangan (diskursus) argumentative, komunikasi sudah menyangkut pencairan klaim-klaim kesahihan tindakan-tuturan (speech-acts).421 Titik sambung gerak kemanusiaan Buya tergambar jelas bila dikaitkan dengan usaha pembelaannya terhadap kelompok-kelompok minoritas.Di bawah payung demokrasi, Buya yakin seyakinnya setiap kebebasan dan kemerdekaan warga harus hadir dan dilindungi. Imajinasi keindonesiaan yang dirancang oleh para pendiri bangsa adalah rumah bagi beragam keyakinan keagamaan, latar belakang suku.Islam menjadi warna yang kental terhadap berdirinya republik ini.Selayaknya Islam mengayomi dan menjadi rahmat untuk berbagai golongan masyarakat Indonesia. Atas rahmat Islam yang tanpa batas, tidak berhak sekelompok orang memaksakan kehendaknya atas kelompok lain. Menurut Buya, Al-Qurán sendiri menegaskan Islam ditegakkan atas Nilai-nilai kemanusiaan. Seperti ayat 256 Surah AlBaqarah yang menegaskan tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Buya mengutip tafsir A. Hasan, untuk memahami makna kandungan ayat tersebut. Pertama, “Tidak boleh sekali-kali dipaksa seseorang buat masuk satu agama”; kedua, “Tidak dapat sekali-kali dipaksa seseorang di dalam urusan iman.” Artinya, pemaksaan keyakinan terhadap orang lain adalah pembangkangan kepada perintah Allah.422 421 Ibid., h 242. 422 Op.Cit.,h 168. 314 Untuk mewujudkan itu, Buya berupaya untuk menunjukkan cara-cara beradab sebagai cara untuk menyelesaikan masalah yang bersumber dari Nilai-nilai keislaman. Meskipun harus mengambil posisi berseberang, terpaksa Buya ambil untuk menunjukkan keteguhan terhadap Nilai-nilai kemanusiaan itu.Buya seakan memahami psikologis masyarakat Indonesia yang belum terbiasa belajar tentang kedewasaan berpikir (kritikal), evaluative, dan kreatif.Bila ditemui perbedaan pandangan sering sekali berujung kepada pemaksaan pendapat kepada orang lain dan berakhir kepada kekerasan verbal maupun fisik. Meskipun disebut dalam Al-Qur’an bahwa perbedaan itu rahmat, pada saat pengamalan banyak yang belum siap dengan perbedaan dan cenderung menganggap sebagai musuh.Tak jarang pula, akibat memandang perbedaan sebagai musuh dan lemahnya bertoleransi, terjadi partumpahan darah antar kelompok agama Muslim dan non-Muslim, malahan lebih banyak konflik yang terjadi antar sesama kelompok Muslim itu sendiri.423 Keberpihakan pikiran dan sikap Buya terhadap kelompok minoritas yang terzhalimin sungguh merupakan oase penyegar dahaga di negeri ini.Salah satu peran krusial yang diambil Buya adalah saat kasus penodaan Al-Qur’an oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Terlihat begitu gamblangnya pembelaan Buya terhadap Ahok dengan mengatakan Ahok tidak melakukan pelecehan Al-Qur’an, sebuah sikap yang keluar dari arus utama banyak ulama dan intelektual Muslimlainnya. Menurut Buya, dalam sebuah wawancara di laman online Tempo.co, menegaskan bahwa apa yang diucapkan Ahok adalah kritikan bagi politisasi ayat saat kampanye Pilkada DKI.424Tentunya cacian dan fitnah pun akhirnya menyerang Buya termasuk dari rumah yang membesarkan Beliau, Muhammadiyah.Apa yang menimpa Buya, tak sedikitpun terlihat perubahan sikap atau gentar dari Buya. Buya terus pasang badan untuk tetap menunjukkan pembelaannya dan keberpihakannya kepada kelompok-kelompok yang terzhalimin. 423 Lihat, Maarif, Islam dalam Bingkai, hal.190 424 https://nasional.tempo.co/read/824797/Buya-Syafii-maarif-penjarakan-ahok-selama-400-tahun/full&view=ok(diakses pada 11 Desember 2018 Pkl. 10.44) 315 Begitu juga dengan sikap dan pandangan Buya kepada perempuan. Jelas bagi Buya kedudukan perempuan dihadapan laki-laki adalah setara yang membedakannya adalah ‘amal shalih. Pandangan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Nahl (16):97: Barang siapa beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan yang beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya penghidupan yang baik, dan akan Kami anugerahkan kepada mereka ganjaran yang lebih baik dibandingkan dengan apa yang pernah mereka lakukan. Oleh sebab itu, Buya menolak dengan tegas kultur patriarki dengan mengatakan bahwa budaya patriarki bertolak belakang dengan semangat pembelaan kepada perempuan dan harus dikubur dalam-dalam.425 Penutup Kesan yang begitu mendalam saat membaca beberapa karya Buya Syafii baik berupa buku beliau maupun artikel-artikel tentang beliau.Setelah membaca sedikit dari karya-karya beliau, tersirat kesedihan saat suatu ketia beliau akan meninggalkan kita semua. Semoga Allah memanjangkan usia Beliau. Tersadarkan kalau kita memang sangat sedikit mempunyai tokoh-tokoh hidup yang konsisten dengan sikap dan perbuatannya.Buya adalah salah satu yang masih ada berada ditengah-tengah kita.Buya berusaha membumikan wajah Islam yang damai, ramah, inklusif, toleran dan kritis.Sehingga, pemikiran-pemikirannya sungguh menjadi oase ditengah kekeringan kebijaksanaan dan suri tauladan. Ada pesan yang perlu kita renungkan bersama-sama sekaligus berusaha untuk mewujudkannya yaitu bangun dari ketakutan dan kemalasan intelektual yang telah menjadi penyakit akut umat. Khususnya di Indonesia, umat Islam kata Buya, harus benar-benar membangun pondasi intelektual spiritual keagamaan yang kokoh bagi aktualisasi dan pengembangan potensi. Untuk itulah, Buya berikhtiar membangun Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang selaras. 425 Lihat, Maarif, Islam dalam Bingkai, h 179. 316 Daftar Pustaka Burhani, A., Darraz, M. and Fanani, A. (2015). Muazin Bangsa dari Makkah Darat. 1st ed. Jakarta: Serambi. Maarif, A. (2006). Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Risau di Perjalananku. 1st ed. Yogyakarta: Ombak. Maarif, A. (2009). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan. 2nd ed. Bandung: Mizan. Mukti, T. (1998). Membangun Moralitas Bangsa. 1st ed. Yogyakarta: LPPI UMY. Muzadi, H., Maarif, A. and Hafidhuddin, D. (2004). Refleksi Tiga Kiai. 1st ed. Jakarta: Republika. Rahman, F. (2017). Islam. 1st ed. Bandung: Mizan. Santoso, L. (2003). Epistemologi Kiri. 1st ed. Yogyakarta: Ar-Ruzz. Shapiro, I. (2004). The Moral Foundations of Politics. 2nd ed. Yale University: Aakar Books. Shariati, A. (1994). Tugas Cendekiawan Muslim. 1st ed. Jakarta: RajaGrafindo. Simon, R. (2004). Gagasn-gagasan politik Gramsci. 1st ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sucipto, H. (2005). Senarai Tokoh Muhammadiyah. 1st ed. Jakarta: Grafindo. Tempo. (2018). Buya Syafii Maarif: Penjarakan Ahok Selama 400 Tahun. [online] Available at: https://nasional.tempo.co/ read/824797/Buya-Syafii-maarif-penjarakan-ahok-selama400-tahun/full&view=ok [Accessed 12 Dec. 2018]. 317 IBU KEMANUSIAAN: PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP KAJIAN FEMINISME ISLAM Masthuriyah Sa’dan Pendahuluan Ahmad Syafii Maarif atau yang biasa di panggil dengan sebutan “Buya” adalah seorang ulama’, cendekiawan Muslim Muhammadiyah dan akademisi di Universitas Negeri Yogyakarta, dan spesifikasi keilmuwan Buya adalah sejarah. Umumnya, mayoritas masyarakat Indonesia lebih mengenal Buya dengan sebutan “Bapak Bangsa” setelah Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Gusdur (Abdurrrahman Wahid) meninggal dunia. Hal itu karena Buya dalam setiap elemen hidupnya memiliki komitmen kebangsaan, yang terimplementasi baik pemikiran maupun aksinya selalu mengedepankan sikap pluralis, kritis dan penuh dengan kebersahajaan.426 Bahkan, pemikiran Buya tentang Indonesia, kebudayaan dan kemanusiaan yang tertulis karya-karya Buya lebih banyak membahas tentang konsep pluralisme, toleransi, demokrasi, refleksi sejarah dan moral publik para elit politik. Secara umum, jarang sekali masyarakat Indonesia membaca pemikiran Buya dalam konsep kesetaraan gender. Melalui tulisan ini, penulis menarasikan salah satu konsep pemikiran Buya tentang perempuan yang “Jarang” terdengar di 426 Lihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Syafii_Maarif 318 khalayak pembaca buku-buku Buya. Sebenarnya, salah satu karya Buya yang berjudul “Titik-Titik Kisar Perjalanan Hidupku” tahun 2006, Buya telah menarasikan konsep kesetaraan gender dalam sikap dan kehidupan keluarga Buya, akan tetapi konsep tersebut seperti yang saya sampaikan diawal “jarang” pembaca mendengarnya. Bahkan Amien Abdullah mengatakan bahwa Buya memahami betul persoalan humanities kontemporer, tetapi Buya kurang vocal berbicara isu kesetaraan gender.427 Sepengetahuan penulis, satusatunya buku Buya yang membahas tentang perempuan dari seluruh karya Buya yang ada hanya satu buku karya Buya, dan itupun ada di salah satu sub judul di dalam buku tersebut, Buya menulis dengan sangat ringkas tentang konsep perempuan sebagai ibu kemanusiaan.428 Berdasarkan hasil literatur, satu-satunya penulis yang membumikan ide-ide kesetaraan gender Buya dan telah didokumentasikan dalam bentuk tulisan adalah Neng Dara Affiah. Affiah menulis dengan rinci bagaimana kegetiran Buya terhadap persoalan relasi kesetaraan gender yang timpang dalam bentuk pembagian kerja seksual, poligami, kepemimpinan perempuan, pendidikan perempuan dan perkawinan perempuan. Salah satu keberhasilan Affiah adalah berhasil melakukan pemetaan konsep pemikiran Buya dengan terlebih dahulu membuka arkeologi terbentuknya pemikiran Buya tentang kesetaraan gender.429Tetapi Affiah belum sampai membahas pada konsep pemikiran Buya tentang perempuan sebagai ibu kemanusiaan. 427 Lihat M. Amien Abdullah, Posisi Intelektual Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Perkembangan Pemikiran Islam Kontemporer, Dalam “Muazin Bangsa dari Makkah Darat”, Ahmad Najib Burhani, dkk (edit.), Jakarta: Serambi, 2015. h 30. 428 Lihat Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung:Mizan & Maarif Institute, 2015. h. 177-187. 429 Lihat Neng Dara Affiah, Pengobar Lampu Terang Peradaban: Ahmad Syafii Maarif dan Perjuangan Kesetaraan Gender dan Keadilan Gender, dalam “Muazin Bangsa dari Makkah Darat”, Ahmad Najib Burhani, dkk (edit.), Jakarta: Serambi, 2015. hal.243-244. 319 Amin Abdullah telah melakukan pengklarifikasian pemikiran Islam model Abdullah Saeed, bahwa dalam konteks pemikiran Islam kontemporer, pemikiran Buya tentang kemanusiaan masuk dalam corak pemikiran progresif-ijtihadi.430 Oleh karena itu, penulis ingin mengkorelasikan antara pemikiran Buya tentang ibu kemanusiaan dengan keresahatan Buya terhadap persoalan perempuan. Oleh karena itu, tulisan ini ingin “mencoba” berdialektika antara keresehatan Buya tentang perempuan dengan konsep pemikiran Buya tentang ibu kemanusiaan. Melalui tulisan ini, fokus tulisan saya adalah kajian pemikiran Buya tentang perempuan sebagai ibu kemanusiaan. Tulisan ini merupakan kajian pemikiran tokoh, pendekatan perempuan (feminist perspektive),431 dan menggunakan metode dokumentasi literatur dan wawancara tokoh. Fokus tulisan ini adalah pada substansi pemikiran Buya tentang ibu kemanusiaan dan kontribusinya terhadap kajian gender dalam Islam. Adapun tujuan dari kajian ini adalah sebagaimana tujuan dari penelitian filsafat adalah sebagai dokumentasi ilmu pengetahuan432 dan wacana pemikiran Ahmad Syafii Maarif, juga sebagai tambahan literatur referensi kajian feminisme Islam. Sekilas Biografi Ahmad Syafii Maarif “Tak kenal maka tak sayang”, begitulah kata pepatah Indonesia menjelaskan pentingnya menarasikan kehidupan seorang tokoh untuk mengetahui pola pemikirannya. adalah buku “Titik-Titik Kisar Perjalanan Hidupku” yang membuat penulis meneteskan air mata. 430 Lihat M. Amien Abdullah, Posisi Intelektual Ahmad Syafii Maarif……h 40. 431 Maksud dari pendekatan perempuan dalam sebuah penelitian adalah sebuah penelitian yang berpihak kepada perempuan. Karena umumnya penelitian itu hasilnya bias gender dan over-generalition, sehingga penekanan terhadap pendekatan perempuan itu menjadi penting. Lihat Trisakti Handayani & Sugiarti, Konsep dan Tekhnik Penelitian Gender, Malang:UMMPress,2002, h 1. 432 Hal itu karena pengetahuan adalah ilmu, dan ilmu adalah filsafat, lihat Anton Baker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990,h 15. 320 Membaca kalimat perkalimat, masa ke masa narasi kehidupan Buya menjadikan penulis tenggelam dalam kondisi sedih bercampur bangga. Sedih karena Buya lahir dan besar dalam keluarga miskin yang menurut penulis “kurang” beruntung, tetapi penulis merasa bangga kepada Buya, karena Buya adalah seorang pribadi yang tegar dan tanpa putus asa. Jika boleh menyimpulkan, hidupnya Buya berteman dengan Iman dan Tuhan. Itu bisa dilihat dari rentetan perjalanan kehidupan Buya yang penuh dengan pilu dan cobaan. Ahmad Syafii Maarif lahir di Sumpur Kudus Sumatera Barat pada tanggal 31 Mei 1935. Syafii begitu biasa disapa adalah anak bungsu dari empat bersaudara seibu seayah, dari tiga ibu tirinya ia memiliki 15 saudara. Ia adalah anak dari pedagang gambir, dan ibuknya meninggal dunia ketika Syafii berusia 1.5 tahun. Ia kemudian diitipkan kepada saudara ibuknya.433 Pendidikan Syafii bermula di Sekolah Rakyat (setara SD) pada tahun 1942 di Sumpur Kudus, dan sore harinya belajar agama di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah dan malamnya belajar mengaji di surau yang tidak jauh dari lokasi rumahnya. Pada tahun 1950, Syafii melanjutkan sekolah ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangau Lintau hingga duduk di kelas tiga. Kemudian pada tahun 1953, Syafii meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke pulau Jawa. Di tanah rantauan inilah, ketangguhan hidup Syafii ditempa, dalam lika-liku perjalanannya ia akhirnya tamat di sekolah Madrasah Muallimin Yogyakarta pada tahun 1956. Syafii melanjutkan jenjang kuliah S1 di Universitas Cokroaminoto Surakarta dan mendapat gelar Sarjana Muda pada tahun 1964. Kemudian melanjutkan program Doktoral di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP Yogyakarta dan tamat pada tahun 1968. Dalam cerita hidupnya, Syafii sebelum melanjutkan sekolah di Muallimin Yogyakarta, ia pernah mengajar bahasa Inggris di 433 Lihat di https://www.viva.co.id/siapa/read/297-ahmad-Syafii-maarif . pembahasan lain mengenai biografi Buya, penulis mengutip dari berbagai bukubuku, utamanya buku-buku terbitan Maarif Institute tentang Ahmad Syafii Maarfi. 321 Madrasah Muallimin. Kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki Syafii menjadikan ia memilih melanjutkan studinya ke luar negeri. Syafii memperoleh gelar M.A pendidikan sejarah pada tahun 1973 di Northern Illinois University. Kemudian Syafii melanjutkan ke ilmu sejarah di Ohio University Athens Amerika Serikat pada tahun 1980. Syafii mendapat gelar Ph.D dalam bidang pemikiran Islam dari University of Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1983 dengan judul disertasi “Islam as the Basis of State: A Study of The Islamic Political Ideas as Reflected in The Constituent Assembly Debates in Indonesia”. Selama di Chicago inilah, Syafii terlibat aktif dan intensif melakukan kajian terhadap Al-Qur’an dengan bimbingan langsung dari tokoh reformis Islam yakni Fazlur Rahman. Dalam bidang sosial, Syafii terlibat aktif dalam organisasi sosial Muhammadiyah. Ketika sekolah di Madrasah Muallimin Yogyakarta, ia aktif dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Sinar di bawah lembaga Pers Muallimin Yogyakarta. Pernah menjadi guru karena permintaan Konsul Muhammadiyah di kampung Pohgading Kabupaten Lombok Timur NTB. Perjalanan panjang Syafii akhirnya mencapai puncak keemasan, Syafii mendapat amanah menjadi wakil ketua pimpinan pusat Muhammadiyah pada tahun 1995-1999 dan kemudian naik menjadi Ketua pimpinan pusat Muhammadiyah periode 2000-2005 menggantikan Amien Rais yang terjun ke dunia politik. Tidak hanya aktif di lembaga keagamaan nasional tersebut, Syafii juga membangun sebuah lembaga sosial dengan tujuan untuk mendorong proses demokratisasi dan pembangunan tata sosial yang inklusif, toleran dan pluralis, maka pada tahun 2003 Syafii bersama dengan teman-teman Muhammadiyah mendirikan Maarif Institute for Culture and Humanity. Dalam lingkup Internasional, Syafii Maarif menjadi President World Conference on Religion for Peace (WCRP) yang berpusat di Amerika. Syafii Maarif dikenal sebagai bapak bangsa karena sikapnya yang plural, kritis dan bersahaja dan tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan mesipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri. Karena dedikasi Syafii Maarif terhadap kemanusiaan, ia 322 mendapat beberapa penghargaan, tidak hanya di level nasional tetapi juga di internasional. Penghargaan yang diraih antara lain Hamengkubuwono IX award kategori multikulturalisme pada tahun 2000, Ramon Magsaysay award (dari pemerintah Filipina) kategori perdamaian dan pemahaman internasional pada tahun 2008, Mpu Pradah Award Kategori Pluralisme pada tahun 2009, Habibie Award pada tahun 2010, IBF Award kategori tokoh perbukuan Islam pada tahun 2011, Nabil Award pada tahun 2013, Cendekiawan berdedikasi harian Kompas pada tahun 2013, dan UMM award pada tahun 2014. Telah banyak tulisan pemikiran Syafii Maarif. Salah satu diantaranya adalah Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009). Mencari Autentisitas Dalam Kegalauan (2004), Meluruskan Makna Jihad (2005), Menerobos Kemelut (2005), Menggugah Nurani Bangsa (2005), Tuhan Menyapa Kita (2006), Gilad Atzmon: Catatan Kritikal Tentang Palestina dan Masa Depan Zionis (2012), dan Memoar Seorang Anak Kampung (2013) dan masih banyak yang lain. Mengkaji pemikiran tokoh tidak terlepas dari guru-guru yang memengaruhi latar belakang pemikiran tokoh terbentuk. Dalam hal ini, Buya Syafii terlibat aktif dalam kajian pemikiran Islam bersama dengan gurunya Fazlur Rahman. Bahkan Buya Syafii seringkali menyebut nama Fazlur Rahman dalam setiap kata pengantar di buku-bukunya. Menurut Buya, Fazlur Rahman adalah pembimbing utama dalam penyelesaian diserta Buya di Chicago University Amerika Serikat, juga Fazlur Rahman telah memberikan kunci penting dalam memahami Al-Qur’an dalam konteks istilah dan makna yang dikehendaki oleh Kitab Suci sebagai petunjuk bagi umat manusia.434 434 Lebih jelas lihat tulisan Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante, Bandung:Mizan,2017, hal:vi 323 Dalam kancah pemikiran Islam kontemporer, Fazlur Rahman435 adalah pemikir Islam yang sangat berpengaruh karena telah memberikan angin segar terhadap cara membaca Al-Qur’an yang berbeda dengan mufassir sebelumnya. Dalam salah satu karya Buya.436 Buya mengatakan bahwa Fazlur Rahman menghimbau kepada umat Muslim untuk menempuh cara berpikir radikal guna menangkap ruh Al-Qur’an. Corak pemikiran Rahman adalah Al-Qur’an oriented, corak pemikiran inilah yang membedakan Rahman dengan pemikir Islam lainnya baik yang klasik maupun yang kontemporer. Sehingga Rahman mampu merumuskan sebuah metodologi untuk memahami Al-Qur’an, bahkan Rahman menawarkan suatu metodologi yang sistematis dan padu dalam memahami Al-Qur’an. Pemikiran Fazlur Rahman tentang pembacaan kritis Al-Qur’an inilah menurut penulis yang memengaruhi cara pandang Buya terhadap kajian pemikiran Islam, terutama cara pandang Buya terhadap posisi dan peran perempuan dalam kajian feminisme Islam. 435 Fazlur Rahman adalah seorang pemikir Islam kontemporer yang lahir di Hazara Pakistan pada tanggal 21 September 1919, dan meninggal dunia di Chicago Amerika pada tanggal 26 Juli 1988. Rahman adalah seorang guru besar untuk pemikiran Islam di Universitas Chicago, dan menerima medali Giorgio Levi della Vida yang melambangkan puncak prestasi dalam bidang studi peradaban Islam dari Gustave E.Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies UCLA Amerika Serikat. Analisa pemikiran Fazlur Rahman lebih condong kepada persoalan hukum dalam Al-Qur’an. Dalam kajian Rahman, hukum yang ada sekarang sampai batas waktu tertentu kurang menunjukkan sinaran bukti Al-Qur’an yang terkesan bersifat tertutup. Hal itu karena pendekatan yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat hukum cenderung bersifat parsial, terpisah dan atomistik, aspek-aspek keterpaduan ayat kurang diperhatikan, sehingga rumusan yang dihasilkan tidak mencerminkan rumusan hukum yang komprehensif. Lihat Masthuriyah Sa’dan, Khitan Anak Perempuan, Tradisi & Paham Keagamaan Islam: Analisa Teks Hermeneutika Fazlur Rahman, dalam Jurnal Buana Gender Vol. 1, No 2 Juli-Desember 2016 IAIN Surakarta Jawa Tengah. h 115-128. 436 Ahmad Syafi’ie Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung:Mizan,1993. h 135. 324 Ahmad Syafii Maarif Membela Perempuan Seperti yang telah saya sampaikan di awal tulisan ini, bahwa narasi pemikiran Buya tentang perempuan hanya tertulis di satu chapter dalam satu buku, yaitu buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan” terbit tahun 2015. Menurut Buya, penulisan tentang perempuan dalam Islam itu terlambat, karena baru ditulis setelah beberapa tahun terbit pertama di tahun 2009.437 Penulisan tema perempuan dalam Islam sebagaimana yang Buya narasikan dengan singkat di bukunya adalah karena mendapat tanggapan dari sahabat Buya yakni KH. Husein Muhammad, seorang Kyai yang populer dengan sebutan Kyai feminis dari Cirebon Jawa Barat. Buya mengakui kelalaian tersebut dan menulis kembali tanggapan Kyai Husein dalam tulisannya;438 Sayang sekali Buya kelupaan bicara soal feminisme. Meski telah menyebut nama Fatima Mernissi, Muslimah yang jagoan feminisme, namun Buya tidak menyinggung pikiran-pikirannya yang cemerlang tentang feminisme. Konon tidaklah sempurna, jika diskursus feminisme tidak dilibatkan dalam perbincangan demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM) dan pluralisme. Memang yang sering lupa soal ini bukan hanya Buya. Menanggapi tanggapan Kyai Husein Muhammad, Buya mulai menjawab bagaimana posisi perempuan dalam Islam. Buya mencontohkan kondisi perempuan di Afghanistan yang dilarang menempuh pendidikan tinggi, bahkan perempuan di Arab Saudi baru-baru ini mendapatkan angin modernisasi berupa dibolehkannya perempuan mengendarai mobil seorang diri. Menurut Buya, perempuan di Indonesia lebih maju daripada perempuan di Arab, karena perempuan di Indonesia bisa sekolah tinggi dan menguasai perekonomian di pasar. Hanya saja menurut Buya, perspektif masyarakat Indonesia secara umum melihat perempuan yang bias 437 Hasil wawancara dengan Buya Syafii di Yogyakarta, 10/12/2018. 438 Lihat di tulisan Buya Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung:Mizan & Maarif Institute, 2015. h. 177. 325 gender.439 Dalam artian, masyarakat masih menganggap bahwa perempuan adalah konco wingking (teman belakang) dalam tradisi jawa. Pandangan Buya tersebut menurut penulis senada dengan pandangan Simone de Beauvoir bahwa perempuan adalah makhluk kedua (the second seks) dalam struktur sosial budaya suatu masyarakat di seluruh belahan bumi.440 Untuk membangun pemikirannya terhadap kesetaraan gender, Buya mengawali dengan terlebih dahulu mengkritik pandangan cendekiawan Indonesia Yunahar Ilyas441 dan Hamka442 tentang asal usul penciptaan perempuan (Hawa) dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Sebagaimana redaksi haditsnya; Saling berpesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atasnya. Kalau engkau luruskan tulang yang bengkok itu, engkau akan mematahkannya, (tapi) kalau engkau biarkan, dia akan tetap bengkok. (HR. Bukhari-Muslim) 439 Hasil wawancara dengan Buya Syafii di Yogyakarta, 10/12/2018 440 Simone de Beauvoir, Second Sex: Kehidupan Perempuan, tej. Nuraini Juliastuti, Yogyakarta: Narasi, 2016. h 361. 441 Prof. Dr. Yunahar Ilyas adalah akademisi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan ulama’ Indonesia dari Muhammadiyah. Ia pernah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) pusat sejak tahun 1986. Beliau adalah alumni dari Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Su’ud di Riyadh Arab Saudi pada tahun 1983. Beberapa karya beliau tentang gender antara lain, Feminisme Dalam kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka pelajar tahun 1997. Kemudian Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufassir, Yogyakarta: Labda Press, tahun 2006. Lihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Yunahar_Ilyas 442 Hamka adalah nama pena dari nama Abdul Malik Karim Amrullah, ia lahir di Nagari Sungai, Tanjung Raya, Kabupaten Agam Sumatera Barat tanggal 17 Februari 1908 dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981. Hamka adalah seorang wartawan, penulis, pengajar, politikus Masyumi, ketua MUI dan aktif di Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Karya fenomenal Hamka adalah tafsir al-Azhar dan novel-novel. Lihat di https:// id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_Karim_Amrullah 326 Yunahar Ilyas mengatakan dalam tulisannya bahwa,“Riffat Hassan menolak penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam dengan asumsi bahwa penciptaan dari tulang rusuk lebih rendah nilainya dari penciptaan tanah, padahal asumsi yang demikian sama sekali tidak ada dasarnya”. Kemudian Buya juga menolak pandangan mufassir Indonesia Hamka, yang memberikan pandangan terhadap hadits asal kejadian manusia yang ditolak oleh Riffat Hassan. Hamka mengatakan “Apabila kita perhatikan bunyi hadits ini dengan seksama, tidaklah ia dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa perempuan, yakni Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam”.443 Dua pendapat tokoh dari Indonesia inilah yang ditolak oleh Buya. Buya kemudian membangun argumentasi penolakan penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Menurut analisa penulis, argumentasi Buya dibangun dengan menggunakan pendekatan sejarah penciptaan manusia. Langkah pertama yang dilakukan oleh Buya adalah dengan memahami substansi pesan suci Al-Qur’an QS. Al-Nahl (16): 97 tentang konsep egalitarianisme manusia. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik lakilaki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. QS. Al-Nahl (16): 97. Kemudian QS. Al-Hujurat:13 Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling 443 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 184. 327 taqwa diantara kamu. QS. Al-Hujurat:13. Menurut Buya, kedua ayat tersebut mengindikasikan sebuah fakta bahwa perempuan dan laki-laki yang beramal sholeh tidak ada perbedaan di hadapan Allah. Kalaupun ada perbedaan, perbedaan itu hanya karena kualitas keimanan, bukan karena fisik, dan jenis kelamin. Kemudian ayat kedua menurut Buya mengindikasikan ajaran egalitarianisme dalam Al-Qur’an bahwa posisi manusia di hadapan Allah setara baik laki-laki maupun perempuan, karena itu sejatinya Al-Qur’an menyuruh umat manusia untuk berebut posisi tertinggi di hadapan Allah dengan cara berlomba-lomba dalam kebaikan (Faspemerintahanqu al-Khairat), kesungguhan dan ketulusan untuk mencapai derajad iman yang tinggi karena keduaduanya sama-sama akan mendapatkan penghargaan tanpa adanya diskriminasi. Menurut Buya, tindakan diskriminasi atas nama gender kepada perempuan yang dilakukan selama sepanjang sejarah hidup manusia yang termanifestasi dalam kultur patriarki merupakan tindakan melawan perintah Al-Qur’an. Karenanya, Buya berpesan agar kultur patriarki tersebut harus dikubur sekali dan untuk selamalamanya.444 Dalam tulisannya Ruhaini Dzuhayatin, dikatakan bahwa budaya patriarki terjadi karena dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain. Dominasi melingkupi dominasi kekuasaan, ideologi budaya untuk melanggengkan kekuasaan, mengkonstruksi nilai, norma dan moralitas yang mempertinggi kedudukan pemilik kuasa dalam struktur sosial budaya. Ironisnya, konstruksi budaya patriarki yang mapan secara universal dan berjalan selama berabad-abad lamanya tidak lagi kemudian dipandang sebagai sebuah ketimpangan sosial, bahkan di klaim sebagai sebuah fakta kebenaran.445Dalam realitas yang demikian, sepanjang budaya 444 Ibid,.h 179. 445 Lihat Ruhaini Dzuhayatin, Pergulatan pemikiran Feminis Dalam Wacana Islam, Dalam “Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002, h 10-11 328 patriarki kokoh ditegakkan, maka digaris yang sama kehidupan perempuan juga berada dalam ketertindasan. Maka benarlah jika kemudian Buya menganjurkan kepada umat Islam untuk mengubur budaya patriakhi. Karena disitulah biang persoalan ketidak adilan perempuan. Peneliti melihat bahwa arkeologi pemikiran Buya adalah Riffat Hassan-seorang feminis Muslim dari Lahore-Pakistan yang ahli Al-Qur’an. Riffat Hassan lahir pada tahun 1943, berasal dari strata sosial keluarga Muslim Sayyid, memulai pendidikannya di Cathedral High School di Anglican Missionary School dan St. Mary’s Colloge di Durham University Inggris pada tahun 1968 dengan mengkaji pemikiran Muhammad Iqbal. Riffat mengajar di University of Punjab pada tahun 1966-1967, pada tahun 1972 Riffat pindah kewarganegaraan ke Amerika Serikat bersama saudaranya dan sekarang menjadi professor religion studies di University of Loisville Kentucky Amerika Serikat.446Dalam wacana pemikirannya, Riffat mengusulkan agar diskursus perempuan dalam Islam ditulis oleh perempuan. Hal itu karena tafsir Al-Qur’an, kajian hadits dan diskursus fikih selama ini ditulis oleh mufassir, muhaddist dan mufaqih laki-laki hingga sampai ke ranah ontologi, teologi, sosiologi, dan eskatologi. 447 Salah satu pemikiran Riffat Hassan yang brilian adalah penolakannya terhadap pandangan bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki. Alasan penolakan Riffat karena hadits yang dijadikan dalil legitimasi penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok adalah dari hadits yang berasal dari cerita Yahudi dan Nasrani yang menyusup ke dalam Islam melalui hadits. Oleh karena itu, Riffat mengkritisi awal penciptaan manusia dan menuding bahwa pandangan perempuan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok adalah adalah awal dari degradasi otonomi perempuan.448 Karenanya, Riffat 446 Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Riffat_Hassan 447 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 181. 448 Riffat Hassan, An Islamic Perspective, Women, Religion and Sexuality, Jeanne Becher (edit), Philadelphia: Trinity Press International, 1990. 329 menekankan pentingnya menyakini kebenaran substansi hadits dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai alat pertimbangan kebenaran. Di kesempatan berbeda, Buya menyampaikan bahwa sejatinya yang menjadi tolak ukur keadilan kepada perempuan adalah AlQur’an dan bukan hadits maupun pandangan ulama’. Tetapi karena realitas sosial yang tercermin dalam budaya patriarki landasannya dari hadits israiliyat (cerita dari umat Yahudi yang diadopsi oleh Islam kemudian di tetapkan sebagai hadits), dan Buya menolak tegas hadits israiliyat. Karenanya tugas ulama’ adalah sebagai penyampai kebenaran. Bahwa hadits tersebut tidak selaras dengan cita-cita Al-Qur’an. Menurut Buya, ulama’ kini harus mengoreksi ulang pandangan-pandangan ulama’ klasik agar adil gender dan agar berpihak kepada perempuan, karena selama ini gema ulama’ pro perempuan masih terdengar dalam senyap. Padahal menurut Buya, ulama’ inilah yang dijadikan rujukan keagamaan utama oleh umat Islam.449 Buya mengusulkan agar diadakan validitas otentisitas teks hadits, seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Turki melalui proyek penelitian validitas hadits di Universitas Ankara.450Adalah Ismail Hakki Unal sebagai kepala departemen hadits kampus tersebut menyampaikan hasil penelitianya bahwa “Hadits tentang perempuan lemah iman dan akal adalah tidak sejalan dengan cara bagaimana Nabi hidup dan juga tidak sejalan dengan Al-Qur’an, karenanya hadits tersebut tidak dapat diterima”.451Oleh karena itu, Buya memberikan lampu kuning, agar umat Islam tidak bergantung kepada otoritas seseorang tentang keshahihan atau kelemahan sebuah hadits. Sehingga tidak ada lagi istilah bahwa para sahabat Nabi dan para ulama’ telah berjasa mengumpulkan dan meriwayatkan hadits tanpa ada kritisme terhadap hadits. Hal itu karena periwayat hadits dan ulama’ adalah manusia yang memiliki sisi kekurangan dan kelebihan. Karenanya, Buya menekankan untuk mengkritisi sebuah hadits yang mengandung 449 Hasil wawancara dengan Buya Syafii di Yogyakarta, 10/12/2018 450 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 184. 451 Ibid,,hal.185. 330 unsur-unsur diksriminasi terhadap perempuan. Jauh sebelum Unal mengumumkan hasil temuanya, Fatima Mernissi memandang bahwa penyebab kebodohan yang dialami oleh perempuan dalam Islam adalah karena legitimasi hadits, maka Mernissi mengkategorikan hadits-hadits yang mendiskriminasikan perempuan sebagai hadits-hadits misoginis, yaitu hadits yang mencerminkan streotipe dan subordinasi dan didukung oleh hadits dari Nabi Muhammad, sehingga dengan adanya hadits misoginis tersebut, isu keadilan dan pemberdayaan perempuan tidak tersentuh dalam wacana pergumulan pemikiran Islam.452 Maka Amina Wadud berfokus kepada tafsir Al-Qur’an, ia berpandangan bahwa kajian tentang tafsir Al-Qur’an yang berperspektif perempuan selama 14 abad hampir tidak ada dalam wacana pemikiran Islam. Karenanya ia menawarkan tafsir Al-Qur’an dengan metode tauhid, yaitu tafsir berbasis keadilan kepada perempuan.453 Jika argumentasi hadits tulang bengkok sebagai pembelaan Buya kepada perempuan cenderung bercorak Riffat Hassan. Buya memberikan argumentasi yang bercorak kesejarahan atau melalui perspektif sejarah Islam. Menurut penulis, disinilah arkeologi pemikiran Buya yang kedua yang merupakan sejarah Islam awal era Nabi Muhammad. Pertama, Buya menarasikan kisah Nabi Muhammad menerima wahyu pertama kali yang ditemani oleh istrinya Sayyidah Khatijah binti Khuwailid, seorang perempuan yang berdaya dan mandiri secara ekonomi, dewasa dalam usia dan pikiran, menginfaqkan seluruh hartanya untuk dakwah dan perkembangan agama Islam dan selalu di garda depan membela Nabi Muhammad dari serangan kafir quraisy.454Totalitas perjuangan Khatijah terhadap Islam dibalas dengan sikap Nabi Muhammad yang tidak berpoligami selama Khatijah masih hidup. Ironisnya, umat Islam lebih melihat 452 Lihat Fatima Mernissi, Women and Islam, London:Basill Backwell,1991,hal.49 453 Lihat Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir, Abdullah Ali (Terj.), Jakarta:Serambi, 2001, h 14. 454 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 186. 331 kisah hidup Nabi Muhammad sebagai pelaku poligami dengan banyak istri, daripada kisah hidup Rasul bersama Sayyidah Khatijah. Contoh bukti nyata dapat dilihat bagaimana banyak laki-laki yang melakukan poligami dengan istri nomor dua dan kesekian lebih muda dan lebih cantik dari istri sebelumnya. Inilah kemudian yang terjadi pergeseran makna poligami dari yang dilakukan oleh Rasul dengan umat setelahnya. Eksistensi perempuan seperti sayyidah Khatijah yang berani, mandiri, tangguh, rendah hati dan mewakafkan seluruh hartanya untuk dakwah Islam memiliki nilai tersendiri bagi perempuanperempuan Islam pasca wafatnya sayyidah Khatijah. Ironisnya atas nama agama dan perlindungan, perempuan pasca Nabi Muhammad tidak mencerminkan sosok perempuan seperti Sayyidah Khatijah maupun Aisyah. Perempuan Islam kembali dipaksan masuk dan dininabobokkan oleh janji-janji surga tentang perempuan sholelah adalah perempuan yang taat dan patuh kepada suami, sholat wajib di dalam rumah, suara perempuan adalah aurat dan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, kesemuanya disampaikan oleh laki-laki. Kedua, Buya menyebut hadits Nabi “‫”ةاهمالا مدقا تحت ةنجلا‬ bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.455 Jika dikaitkan dengan sejarah hidup Nabi Muhammad, salah satu keberhasilan Nabi Muhammad terhadap kaum perempuan adalah Nabi melarang penguburan bayi perempuan hidup-hidup di tradisi Arab pra Islam datang. Kemudian Nabi melarang perempuan dijadikan sebagai layaknya barang warisan dan barang yang layak diperjual-belikan, warisan dari suami kepada anak laki-laki untuk diperlakukan sebagaimana layaknya istrinya sendiri dan boleh di perjual-belikan kepada laki-laki lain sesuka hati. Memberikan batasan pernikahan memiliki istri empat karena di tradisi Arab, laki-laki Arab memiliki banyak istri, dengan puluhan gundik dan ratusan budak perempuan yang diperjual belikan. Perempuan berhak mendapatkan hak harta warisan dengan ¼ bagian dari ½ bagian harta warisan saudara lakilaki. Begitu mulianya, Nabi memposisikan perempuan di zaman 455 Hasil wawancara dengan Buya Syafii di Yogyakarta, 10/12/2018 332 yang mana perempuan tidak memiliki nilai kemanusiaan sama sekali. Perjuangan kemanusiaan yang dilakukan oleh Nabi bukanlah tanpa halangan, kaum quraisy bahkan menuduh Nabi sebagai orang gila dan penyihir. Hanya Sayyidah Khadijah perempuan satu-satunya yang memberikan Nabi semangat untuk terus menyampaikan misi Islam yang rahmatan lil ‘alamien. Begitu mulianya perempuan di mata Nabi, sehingga Nabi mengatakan dalam salah satu hadits, bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu. Bahkan di redaksi hadits yang lain, Nabi menjawab bahwa yang patut dihormati adalah ibu, ibu, ibu dan setelah itu bapak.456 Dari Abi Hurairah r.a berkata: seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw., ia berkata: Ya Rasulullah, siapakah diantara para manusia yang saya hormati?, jawab Rasulullah: ibumu, kemudian siapa?. Ibumu, kemudian siapa?, ibumu, kemudian siapa? Bapakmu. (HR. Bukhari dan Muslim) Tidak hanya satu hadits yang mengatakan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, tetapi ada juga hadits yang mengatakan bahwa perempuan kurang akal dan iman. Haditshadits misoginis tersebut menjadi sebuah pengetahuan bersama dalam sepanjang sejarah umat Islam bahwa Islam memberikan legitimasi terhadap perempuan untuk menjadi perempuan cerdas dengan hak-hak kemanusiaan yang dimiliki. Pada ranah berikutnya, hadits itulah kemudian yang menjadi norma tidak tertulis terhadap pelarangan perempuan keluar rumah dan menempuh pendidikan tinggi seperti yang terjadi di Taliban Afganistan. Dimana Malala Yousafzai memperjuangkan agar beribu-ribu anak perempuan Muslim di Taliban di perbolehkan oleh negara untuk sekolah. Ironisnya, perjuangan tersebut tersendat karena argument teologis dan nalar patriarki yang digunakan oleh pemerintah Taliban. 456 Dikutip dari tulisan Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan Dalam Islam, Jakarta:Magawati Institute,2014, h 61-62. 333 Pada kondisi yang demikian Buya mengutip pandangan Muhammad Iqbal seorang penyair dan filosof terkenal abad 20 dari Pakistan. Iqbal mengatakan dalam bahasa Urdu bahwa “Mendidik seorang laki-laki sama artinya mendidik seorang individu, tetapi pendidikan seorang perempuan sama dengan mendidik seluruh keluarga”.457Bagi mereka yang sadar dan paham dengan arti dan makna pendidikan, pendidikan itu sangat penting bagi anak perempuan. Karena seperti yang dikatakan dalam hadits Nabi “Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak”. Karena perempuan adalah menjadi pendidik pertama bagi anak-anak, maka perempuan cerdas dan sekolah tinggi adalah menjadi keharusan. Karena perempuan yang akan melahirkan generasi-generasi di masa depan, yang mana ketangguhan sebuah bangsa dapat dilihat dari ketangguhan pemudanya. Tetapi realita di negara Arab masih terkungkung dengan dogma yang menganggap perempuan sebagai bengkok dan kurang akal. Padahal pendidikan adalah hak asasi setiap anak manusia, dan menghormati perempuan adalah sebuah kemulyaan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad;458 Dari Mughirah bin Syu’bah berkata dari Nabi “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada ibu, menolak untuk memberikan hak orang lain dan menuntut apa yang bukan haknya, serta mengubur anak perempuan hiduphidup….” (HR. Bukhari-Muslim) Meski hadits Nabi tentang menghormati perempuan dengan memenuhi hak-haknya, dan pernyataan Al-Qur’an mengenai konsep kesetaraan manusia di hadapan Allah. Tetapi realita yang ada masih banyak kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan, seperti perkosaaan, kekerasan seksual, pelecahan seksual dan pembatasan hak-hak perempuan dalam ranah publik. Kondisi 457 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 178. 458 Dikutip dari Nurhayati, Perbudakan Zaman Modern: Perdagangan Orang Dalam Perspektif Ulama’, Medan:Perdana Publishing,2016, h 112. 334 demikian inilah yang menjadikan Buya memiliki sebuah pandangan yang menurut penulis unik dan menjadi sebuah konsep pemikiran bahwa perempuan adalah “Ibu Kemanusiaan”. Makna Ibu Kemanusiaan Konsep ibu kemanusiaan tidak bisa dipisah dengan konsep Buya dalam melihat manusia dan kemanusiaan. Buya seringkali mengatakan bahwa “Melihat (perempuan) sejatinya harus melihat dengan perspektif kemanusiaan yang bulat dan utuh, dan bukan kemanusiaan yang lonjong dan terbelah”.459 Melihat fenomena sekarang, apa yang dikatakan oleh Buya itu menjadi benar adanya. Bagaimana banyak orang melihat kasus permpuan sebagai korban tidak sebagai korban yang harus dilindungi dan dibela melainkan korban menjadi yang dipersalahkan dan pelaku kekerasan mendapat promosi jabatan. Sungguh ironi kemanusiaan bangsa ini. Tetapi begitulah realitas yang ada. Padahal jika mengkaitkan konsep kesetaraan dalam AlQur’an QS. Al-Hujurat (49):13, Buya memahami bahwa bumi disediakan oleh Allah untuk seluruh makhluk, tidak hanya untuk spesies manusia (berjenis kelamin laki-laki), karena manusia yang beradab pastilah bersikap toleran terhadap adanya perbedaan, apapun corak perbedaan tersebut. Tetapi dalam kenyataan empiris, idealisme itu seringkali dirusak oleh prilaku manusia yang ingin memonopoli kebenaran atas nama agama, ideologi atau atas nama apa saja.460Dari pemahaman Buya tersebut dapat diketahui, bahwa meskipun perbedaan itu sebagai sebuah realitas alam, bahkan Kitab Suci Al-Qur’an juga memberikan tujuan tentang realitas perbedaan untuk saling mengenal, tetapi seringkali “Manusia” mengingkari realitas. Sehingga yang terjadi adalah dominasi dan diskriminasi. 459 Ahmad Syafii Maarif, Fikih kebhinekaan: Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan dan Kepemimpinan Non Muslim, Wawan Gunawan Abdul Wahid dkk (edit.), Bandung: Mizan, 2015, h 21. 460 Dikutip dari tulisan Buya, ibid,.h 27. 335 Pada konteks diskriminasi gender, perempuan menjadi kelompok marginal yang acapkali berada di posisi “korban”. Seperti yang telah disampaikan diatas, bahwa teks “hadits” yang mengatakan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok dan perempuan kurang akal, menjadi salah satu “penyebab” kokohnya budaya patriarki yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Kondisi yang demikian inilah Buya hadir. Dalam tulisannya, Buya mengatakan bahwa “Saya tidak menerima jika perempuan adalah bengkok, perempuan adalah jenis ibu kita, dan bahkan ibu kemanusiaan seluruhnya, jika perempuan diciptakan bengkok, maka alangkah sialnya ibu kemanusiaan ini”.461 Menurut penulis pandangan Buya yang demikian lahir karena secara manusiawi, Buya lahir dari rahim seorang perempuan, meminum air susu ibu (ASI) kepada perempuan, dibesarkan oleh perempuan, dan memiliki pasangan hidup perempuan yang menemaninya hingga di usia senja. Karenanya wajar saja jika keberpihakan Buya terhadap kelompok perempuan kental dalam wacana kemanusiaan. Buya sendiri memiliki pemahaman lain tentang makna ibu kemanusiaan. Menurut Buya: “Ibu kemanusiaan dalam hal ini perempuan terbagi menjadi dua jenis. Jenis pertama sebagai perempuan biologis, dalam arti perempuan bisa mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat anak lebih dekat. Jenis kedua adalah perempuan spiritual, perempuan selalu dikaitkan dengan sifa-sifat feminine seperti lembut, penuh kasih sayang, empati dan simpati.”462 Pengkategorian perempuan dengan dua jenis bagian, menurut penulis inilah yang menjadi ciri khas pandangan Buya terhadap 461 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 184. 462 Hasil wawancara dengan Buya Ahmad Syafii Maarif di Yogyakarta, 10/12/2018 336 perempuan. Buya melihat perempuan secara holistik dengan dua sisi pandangan sekaligus yaitu sisi biologis dan sisi spriritual. Perempuan biologis memiliki arti bahwa perempuan sejak lahir telah dianugerahi oleh Allah fisik yang berbeda dengan laki-laki. Dalam konteks kajian seks, yaitu konsep tentang pembedaan jenis kelamin manusia berdasarkan faktor-faktor biologis.463Dipahami bahwa perempuan memiliki rahim sehingga bisa mengandung, perempuan memiliki indung telur sehingga setiap bulan keluar darah haid atau menstruasi, perempuan memiliki vagina dan klitoris dan perempuan memiliki payudara yang bisa mengeluarkan air susu sehingga bisa menyusui. Perbedaan seks perempuan dan laki-laki bersifat fitrah, dan merupakan pemberian (given) Tuhan yang tidak bisa dipertukarkan dengan siapapun. Perempuan secara spiritual diartikan oleh Buya sebagai sifatsifat feminin yang “selalu” melekat pada diri perempuan seperti lemah lembut, penuh kasih sayang, penyabar, santun dan lain sebagainya. Pengkategorian Buya terhadap perempuan dari sisi spiritual menurut penulis “hanya” bisa dipahami melalui pendekatan tasawuf. Karena spiritualitas adalah ilmu esotrik Islam dan berada di wilayah pengakajian ilmu tasawuf. Dalam konteks tasawuf, berdasarkan kajian literature Islam klasik Persia-Arab-Turki yang dilakukan oleh Annemarie Schimmelseorang orientalis asal Jerman (1922-2003). Menurut Schimmel, tafsir Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah (2):228) dan hadits Nabi (tulang rusuk, sujud kepada suami, menjadi istri) dan ahli hukum Islam-fikih (warisan, perceraian, perkawinan) hakikatnya telah merendahkan perempuan dan melakukan pemangkasan terhadap hak asasi perempuan sehingga perempuan dibiarkan berada dalam kebodohan, padahal ada satu wilayah yang benar-benar perempuan menikmati hak yang sama sebagai manusia yaitu tasawuf.464 463 Lihat Musdah Mulia, Mengupas Seksualitas:Mengerti Arti, Fungsi dan problematika Seksual Manusia Era Kita, Jakarta:Serambi,2015. hal. 04. 464 Lihat, Annemarie Schimmel, My Soul is a Women: Aspek Feminin Dalam Spiritualitas Islam, Bandung:Mizan,2017. H 48. 337 Maulana Jalaludin Rumi seorang penyair sufi dari Konya Turki (1207-1273 M) dalam karyanya Matsnawi menulis sebuah syair “(karena) kelembutan ibu berasal dari Tuhan, merupakan kewajiban suci dan tugas mulia bagi kita untuk berbakti kepadanya”. Kemudian Ibn ‘Arabi seorang sufi dan filosof dari Andalusia Spanyol (11651240 M) menyebut ibu kandungnya sebagai ibu biologis dan gurugurunya yakni Fatimah binti Al-Mutsannah dari Sevilla, Syams dari Sevilla, Sayyidah Nizam dari Persia dan Sayyidah Zainab al-Qal’iyah dari Makkah, sebagai ibu spiritual. Schimmel menulis bahwa “Ibu biologis Ibn ‘Arabi pun mengunjungi dan memuliakan “Ibu Spiritual” putranya yakni Fatimah binti Al-Mutsannah adalah suatu kenyataan yang tercatat dalam biografi tokoh besar Andalusia”.465 Disini, penulis menemukan titik kesamaan pandangan pemikiran tentang ibu biologis dan ibu spiritual antara yang disampaikan oleh Buya dengan yang ditulis oleh Ibn ‘Arabi. Bahwa ibu yang melahirkan dan guru sufi perempuan adalah ibu biologis dan sekaligus ibu spiritual. Kontribusi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Terhadap Kajian Feminisme Islam Penulis menemukan bahwa pembelaan Buya terhadap perempuan dalam konteks hadits tulang rusuk yang bengkok menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan sejarah Islam klasik. Kemudian yang kedua merupakan pendekatan dan analisa pemikiran yang dilakukan oleh Riffat Hassan, dan posisi Buya menurut penulis “melanjutkan” apa yang telah ditulis oleh Riffat Hassan. Meski demikian, pembelaan Buya tersebut memiliki pengaruh besar kepada perkembangan kajian feminisme dalam Islam. Pengaruhnya adalah dalam hal pengecekan kembali sand-sanad hadits yang misoginis dan menggunakan Al-Qur’an sebagai tolak ukur interpretasi hadits. Sehingga, mengutip bahasa KH. Faqihuddin Abdul Qadir, ada ketersalingan antara teks Al-Qur’an, teks hadits dan konteks. 465 Ibid,.h 145. 338 Sebagai tokoh pluralisme, menurut penulis pemikiran Buya terhadap konsep ibu kemanusiaan merupakan sesuatu yang baru diwacanakan dalam lingkup cendekiawan Muslim laki-laki di Indonesia. Karena diakui atau tidak, seringkali wacana pemikiran tasawuf hanya berhenti pada tataran konsep di ruang-ruang kuliah dan dikusi tasawuf. Namun jarang sekali untuk tidak mengatakan tidak ada tokoh yang menurunkan konsep tasawuf ke ruang-ruang sosial atau istilahnya membumikan konsep ibu kemanusiaan. Apalagi Buya dalam konsep tersebut, menggunakan pendekatan tasawuf Ibn ‘Arabi dan Rumi. Menurut penulis, membela perempuan dalam wacana feminisme dengan menggunakan pendekatan tasawuf merupakan pendekatan yang masih “baru” dalam kajian feminisme Islam kontemporer. Adalah Sachiko Murata466 yang menemukan polaritas atau ketersalingan sifat feminin dan maskulin dengan konsep Taoisme yaitu Yin dan Yang. Murata menemukan kesamaan konsep dalam Islam yang terbagi dalam pembagian Nama-nama Tuhan “Asmaul Husna” yang terdiri dari 99 nama, dengan pembagian nama-nama keindahan (jamal) dan nama-nama keagungan (jalal). Bahwa kualitas Yin identik dengan nama-nama keindahan seperti ghofur (pemaaf), lutf (lembut), rahmah (kasih) dan lain sebagainya. Sedangkan kualitas Yang identik dengan nama-nama keagungan seperti aziz (agung), kabir (besar) jabbar dan lain sebagainya. Keberhasilan Murata dalam kajiannya adalah membuktikan bahwa sifat feminin dan sifat maskulin pada tataran manusia memiliki sisi-sisi kelebihan, yaitu positif dan negatif. Kedua-duanya saling melengkapi seperti Yin dan Yang, Jamal dan Jalal, feminin dan maskulin, perempuan dan laki-laki. Kelengkapan dualitas polaritas dalam satu kesatuan 466 Sachiko Murata lahir pada tahun 1943. Pendidikanya dimulai di Chiba University di jepang, kemudian di S3 University of Tehran di Iran dengan mengambil jurusan Hukum Islam Fiqih literatur bahasa Persia. Ia adalah professor agama dan Asia studies di Stony Brook University Amerika dan mengajar tentang Islam, Confucianism, Taoism dan Buddhism. Karya fenomenal Murata adalah The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought. Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Sachiko_Murata 339 tersebut akan tercipta sifat insan kamil (manusia paripurna),467 seperti yang tercermin pada diri manusia dalam konsep tasawuf. Penulis menemukan titik kesamaan konsep “ibu kemanusiaan” pemikiran Buya dengan konsep polaritas-dualitas-kualitas namanama Tuhan dari Murata. Bahwa sifat-sifat feminin seperti penyayang, lembut, perhatian dan lain sebagainya selalu dilekatkan kepada pribadi perempuan baik sebagai ibu biologis maupun ibu spiritual. Akan tetapi, jika berpedoman pada konsep pemikiran Murata, Buya Syafii lebih “melihat” perempuan dari sifat-sifat feminin yang melekat, dan “melupakan” sifat-sifat maskulin yang dalam konstruksi sosial diasumsikan identik kepada laki-laki. Padahal sifat feminin dan maskulin bisa dimiliki oleh laki-laki dan bisa perempuan. Mengutip pandangan Murata, bahwa kedua sifat tersebut saling melengkapi dalam kehidupan manusia dan alam semesta, dan tidak ada kepemilikan sifat mutlak di salah satunya. Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis akan mengutip syair Maulana Jalaluddin Rumi dalam Kitab Mastnawi, IV,2923. Menurut penulis, syair tersebut menjadi bukti, bahwa perempuan sebagai ibu kemanusiaan, adalah tempat “berlindung” dari segala macam persoalan kehidupan. Karena tempat berlindung, maka tugas masyarakat, negara dan tokoh agama “selayaknya” memberikan pelayanan yang baik kepada perempuan, baik pelayanan pendidikan, kesehatan, keselamatan dan tafsir agama yang ramah perempuan. Rumi mengatakan “Jika Tuhan adalah tempat berlindung bagi umat manusia, maka Ibu adalah tempat berlindung bagi anak-anaknya”. 467 Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender Dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah (terj.), Bandung:Mizan,1996. 340 Daftar Pustaka Simone de Beauvoir, Second Sex: Kehidupan Perempuan, tej. Nuraini Juliastuti, Yogyakarta: Narasi, 2016. Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender Dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah (terj.), Bandung:Mizan,1996. Riffat Hassan, An Islamic Perspective, Women, Religion and Sexuality, Jeanne Becher (edit), Philadelphia: Trinity Press International, 1990. Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir, Abdullah Ali (Terj.), Jakarta:Serambi, 2001. Annemarie Schimmel, My Soul is a Women: Aspek Feminin Dalam Spiritualitas Islam, Bandung:Mizan,2017. Neng Dara Affiah, Pengobar Lampu Terang Peradaban: Ahmad Syafii Maarif dan Perjuangan Kesetaraan Gender dan Keadilan Gender, dalam buku “Muazin Bangsa dari Makkah Darat”, Ahmad Najib Burhani, dkk (edit.), Jakarta: Serambi, 2015. M. Amien Abdullah, Posisi Intelektual Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Perkembangan Pemikiran Islam Kontemporer, Dalam “Muazin Bangsa dari Makkah Darat”, Ahmad Najib Burhani, dkk (edit.), Jakarta: Serambi, 2015. Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung:Mizan & Maarif Institute, 2015. Ahmad Syafi’ie Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan,1993. Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante, 341 Bandung:Mizan,2017. Ahmad Syafii Maarif, Fikih kebhinekaan: Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan dan Kepemimpinan Non Muslim, Wawan Gunawan Abdul Wahid dkk (edit.), Bandung: Mizan, 2015. Anton Baker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990. Trisakti Handayani & Sugiarti, Konsep dan Tekhnik Penelitian Gender, Malang:UMMPress,2002. Musdah Mulia, Mengupas Seksualitas: Mengerti Arti, Fungsi dan problematika Seksual Manusia Era Kita, Jakarta:Serambi,2015. Nurhayati, Perbudakan Zaman Modern: Perdagangan Orang Dalam Perspektif Ulama’, Medan:Perdana Publishing,2016. Masthuriyah Sa’dan, Khitan Anak Perempuan, Tradisi & Paham Keagamaan Islam: Analisa Teks Hermeneutika Fazlur Rahman, dalam Jurnal Buana Gender Vol. 1, No 2 JuliDesember 2016 IAIN Surakarta Jawa Tengah. Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan Dalam Islam, Jakarta:Magawati Institute,2014. Fatima Mernissi, Women and Islam, London:Basill Backwell,1991. Media online https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Syafii_Maarif https://id.wikipedia.org/wiki/Yunahar_Ilyas https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_Karim_Amrullah https://en.wikipedia.org/wiki/Riffat_Hassan 342 MEMAHAMI ISLAM DAN INDONESIA DALAM BALUTAN KEMANUSIAAN: PEMIKIRAN BUYA SYAFII MAARIF Iqbal Suliansyah Pendahuluan Lahir 83 tahun silam, tepatnya 31 Mei 1935, tokoh bangsa bernama Ahmad Syafii Maarif merupakan intelektual Muslim yang senantiasa ditempatkan sebagai tokoh toleran, plural bahkan moderat. Pernah menjabat Ketua Umum salah satu organisasi Islam besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah periode 19982005 dikenal sebagi tokoh yang mewakafkan hidupnya berjuang menegakkan visi keislaman dalam bingkai ke Indonesiaan. Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) ini selalu menjadi pelopor dalam berbagai hal yang berkaitan dengan hak-hak dan kebebasan beragama. Terkait kemanusiaan Buya Syafii Maarif serius menjadi bagian terdepan membela kaum atau kelompok minoritas yang mendapat perlawanan dari kelompok intoleran. Usia yang tidak lagi muda, bukan alasan bagi Ahmad Syafii Maarif berhenti berkarya, melalui “Maarif Institute For Culture and Humanity “ yang berdiri semenjak tahun 2002 terus menyuarakan aktualisasi Nilai-nilai demokrasi, HAM, dan kebinekaan , sehingga saling menghargai dan kerja sama yang konstruktif terwujud dalam Bingkai Keindonesiaan dan kemanusiaan. Tahun 2016 lalu Ahmad Syafii Maarif mengkritik keras fatwa penistaan yang ditujukan kepada Gubernur Jakarta saat itu , yaitu Ahok. Ahok menurutnya tidak melakukan penistaan agama. Pandangannya ini melawan pendapat 343 mayoritas tokoh Islam lainnya termasuk MUI yang memfatwakan bahwa Ahok melakukan penistaan agama Islam dan para ulama. Ahmad Syafii Maarif dinilai terlalu berani oleh pihak-pihak intoleran sehingga tak jarang keberpihakan terhadap minoritas mendapat respon beragam. Indonesia sebagai tanah tumpah darah dan Islam sebagai agama mayoritas sepatutnya menjadi semangat bersama untuk mewujudkan keadilan. Adapun niat dan tujuan Buya Syafii Maarif tertuang disalah satu karyanya,yang merupakan makna konkret dan sejati dari nasionalisme pasca-Proklamasi “agar Indonesia sebagai bangsa dan negara tetap utuh dan bertahan lama, jangan sampai dibinasakan oleh tangan anak-anaknya sendiri yang tak tahu diri, rakus , dan buta peta “ 468. Hubungan Islam dan Indonesia Islam selain sebagai agama mayoritas, keberadaannya idelanya menjadi agama yang ramah, terbuka dan menjadi solusi terkait berbagai permasalahan yang ada, khususnya masalah-masalah besar yang terkait dengan bangsa dan negara. Islam adalah ajaran yang berpihak kepada siapapun rakyatnya, baik kaya ataupun miskin. Keberadaan Islam menjadi alasan untuk setiap individu dinamis dan bersahabat dengan keberagaman. Menjadi pelopor untuk hadirnya kenyamanan dan kedamaian, meski tidak jarang ada persepsi buruk yang ditujukan sebagai bentuk ketidakpahaman segelintir orang akan agama Islam. Apapun agamanya, jika agama dihadirkan dengan penampilan yang menyeramkan yaitu dengan wajah-wajah garang, layaknya monster dan dipastikan akan menghadirkan kebencian dan ketakutan dimasyarakat.Sebuah monster yang sering berbicara atas nama Tuhan, jelas terlepas dari kawalan syariah dalam maknanya yang benar 469 . 468 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 16. 469 2 Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name. Oxford : Oneworld Publications, 2001. 344 Ada kecurigaan yang coba dihadirkan kepada masyarakat bahwa Islam dan keindonesiaan tidak akan bisa disatukan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Buya Syafii Maarif meyakini “bahwa antara Islam, keindonesiaan dan Kemanusiaan harus ditempatkan dalam satu napas “470. Kondisi saat ini Islam sering dianggap dijadikan komoditas politik kekuasaan yang bersifat duniawi. Keberadaan dalil-dalil agama dinilai menguatkan keberadaanya. Kaitannya dengan Indonesia Buya Syafii Maarif pernah mengatakan : “Terlalu banyak penyimpangan dan bahkan kejahatan moral yang kita lakukan, tidak jarang atas nama Tuhan. Ini tidak lain dari perbuatan yang membajak Tuhan untuk kepentingan –kepentingan rendah sesaat tanpa rasa dosa dan menyesal. Pemandangan yang tidak elok ini tidak boleh diperagakan terus, sebab pasti akan memuakkan orang suka berpikir jernih dan dalam, apapun agama dan sukunya...Indonesia adalah sebuah bangsa yang mengaku beragama tetapi setiap hari dab setiap malam nilai luhur agama itu diinjak dan diperkosa dengan dipayungi oleh berbagai pembenaran teologis dan kutipan sakral “ 471. Selalu ada perbedaan pendapat berbeda di Indonesia terkait sitem demokrasi, keragaman, pluralisme, toleransi bahkan pesan anti kekerasan dianggap tidak ada korelasinya dengan dunia Islam. Tidak jarang hal-hal tersebut diangap saling berlawanan. Hingga sekarang, masih terdapat label haram bagi demokrasi dan pluralisme bahkan tidak jarang para penganut atau pendukungnya dianggap menyimpang dan sesat. Sepatutnya agama itu menggambarkan ketulusan, bukan malah 470 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 18. 471 Ahmad Syafii Maarif, Indonesia Baru di tengah Pertarungan Antara, Mosaik Budaya yang Elok dan Kaya dengan Ancaman Keserkahan, 2004. 345 sebaliknya. Dalam pengertiannya kata tulus, ketulusan yang berarti kejujuran, keikhlasan, kebersihan. Tak jarang digandeng menjadi tulus ikhlas = suci hati, jujur 472Dari bahasa Arab perkataan ikhlas berasal dari akar kata kh l sh, yang mengandung makna murni, suci, tidak bercampur, bebas. Ikhlash (Arab) bermakna pengabdian yang tulus, ketulusan dan kejujuran 473. Merujuk makna ketulusan dalam berbagai bahasa memiliki substansi yang tidak berbeda. Adanya kandungan kemurnian, kebersihan dan kejujuran. Menurut Buya Syafii Maarif, saudara kandung atau saudara kembar ketulusan adalah kejujuran. Tanpa kecuali, semua agama mengajarkan kejujuran, sekalipun para penganutnya belum tentu jujur 7.474 Terkait perbedaan agama yang dianut, Dalam sejarah Indonesia memiliki pengalaman kerjasama. Persahabatan dibidang politik terjalin harmonis baik itu tokoh Masyumi, dengan pemimipin Katolik, Protestan , Hindu dan dengan agama yang lain. Tersebut nama Natsir atau Prawoto Mangkusasmito dekat dengan I.J Kasimo, Herman Johannes, A.M Tambunan yang terbangun revolusi kemerdekaan maupun sesudahnya. Antara Islam, keindonesiaan dan Kemanusiaan tidak saja bisa berjalan bersama dan seiring, namun idealnya mampu bersatu untuk mengisi taman indah bernama Indonesia.Di taman ini, watak universal Islam tampil dalam wujud yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Nusantara, semua gerakan yang bercorak Islam harus senantiasa mempertimbangkan dengan cermat dan cerdas realitas sosio-historis Indonesia, demi keamanan, kedamaian , dan kejayaan agama ini mencapai tujuan ulia yang harus pula ditempuh dengan cara yang mulia dan beradab 475 . 472 J. S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta ; Pustaka Sinar Harapan, 1994, halaman 1.547 473 J.M. Cowan, the Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic. Ithaca, New York : Spoken Langyage Sevice, 1976, halaman 254-255. 474 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 285 475 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanu- 346 Dalam pidato 4 Maret 2008 saat penerimaan anugerah Gelar Doktor Honoris Causa Universitas Gadjah Mada, Rendra mengungkapkan sesuatu hal yaitu “Mesin Budaya” kedaulatan rakyat untuk membentuk Indonesia masa depan yang adil serta kreatif. Adapun isinya “Mesin Budaya” yang berdaulat rakyat, adil, berperikemanusiaan, dan menghargai dinamika kehidupan, adlah “Mesin Budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan cipta anggota masyarakat dalam negara. tetapi “Mesin budaya” [sic]. yang berdaulat penguasa, yang menindas dan menjajah, yang elitis, dan tidak populis , sanagat berbahaya. 476 Sepertiya Rendra menyindir tataran negara yang belum berubah semenjak masa penjajahan. Daulat rakyat merupakan ungkapan demokrasi yang sehat. demokrasi menghadirkan kejujuran, tanggung jawab, lapang dada, serta yang tertama adalah integritas. Untuk Indonesia perntingnya ditumbuhkan integritas agar nantinya sistem politik demokrasi yang dengan sungguh-sunguh melahirkan kepentingan dan kesejahteraan umum. Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, menjadi alasan utama terbentuknya generasi penerus yang memilki jiwa kepemimpinan yang lapang hati, serta memiliki komitmen kemanusiaan yang tulus dan berilmu.Melahirkan atau menciptakan kesan Islam yang baik dan ramah di Indonesia adalah tugas yang harus diwujudkan. Adanya NU dan Muhammadiyah menjadi warna untuk menciptakan gerakan-geraan Islam yang moderat.. Ada harapn yang terselip oleh Syafii Maarif yang ditujukan kepada intelektual muda NU dan Muhammadiyah, agar memikirkan sebuah bangunan Islam Indonesia dalam paradigma pasca -Muhammadiyah dan pasca -NU, terutama dalam orientasi pemikiran inovatif dan kreatif 477. Indonesia jika diumpakan sebagai sebuah peta, dan siaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 313 476 W.S Rendra, Megatruh Kambuh : Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu, Yoyakarta : Universitas gadjah Mada, 2008 , H. 2. 477 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 316. 347 diproyeksikan dimasa akan datang, idealnya harus dari hari ini dibangun sedemikian rupa, agar kenyamanan bisa tercipta, tanpa mengenyampingkan prinsip-prinsip keadilan, serta jauh dari Nilainilai diskriminasi. Memiliki ciri khas mayoritas Muslim, menjadi tugas utama menghadirkan wajah cantik berbalut keramahan dan kebersamaan. Ada pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan yaitu kualitas umat Islam itu sendiri. Misalnya saja kaitannya dengan pendidikan, hingga kemiskinan. Meski tidak mudah, namun itu menjadi keharusan agar bicara, Islam, Keindonesian dan kemanusian menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Buya kaitannya dengan cara beragama yang benar harus terlihat secara konkret dalam perilaku penganutnya yang jujur, ikhls dan lapamg dada 11478. Terciptanya perbedaan seharusnya menjadi ruang bagi bangsa ini memperkaya pengalaman kehidupan beragama yang begitu beragam. Ada bahan renungan yang sudi kiranya menjadi pertimbangan bagi pemikir Muslim Indonesia yang pernah disampaikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana da nada kaitannya dengan Islam, dan keindonesiaan yaitu : “Kalau kita lihat dan bandingkan berbagai kebudayaan ekspresif, yaitu kebudayaan yang dikuasai oleh intuisi, perasaan, dan fantasi agama dan seni, mungkin kebudayaan Ilsam yang dianut oleh bagian terbesar rakyat Indonesiadan yang kuat nilai agama maupun nilai ilmu dan ekonominya, seolah-olah teruntuk serta mencari jawab soal-soal manusia abad ke-20.” Tetapi untuk mungkin melakukan itu, ahli-ahli pikir Islam mesti kembali merumuskan kesetimbangan antara agama dan ilmu, antara kekudusan rahasia hidup dan alam semesta dengan kenyataan dunia empiris, yang dapat dikaji oleh pikiran. Siapa tahu dalam zaman ini, 478 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 323 348 Indonesia mempunyai pemeluk agama Islam yang terbesar di dunia dapat memimpin umat Islam seluruh dunia dalam menghadapi masa yang akan datang 479. Kesimpulan di atas adalah bagian akhir orasi Sutan Takdir Alisjahbana bertempat di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta, bertepatan 11 Februari 1975. Sesungguhnya kekayaan dan keberagaman sosiologis bangsa menjadi alasan bahwa harus tercipta pendekatan yang tidak hanya serba legal dan formal agar Islam benar-benar menjadi solusi faktor penentu masa depan Indonesia. Terdapatnya perbedaan dalam Bingkai Keindonesiaan menjadikan bangsa ini dewasa dalam mencari titik temu agar kenyamanan lahir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidaklah mudah mewujudkan negeri yang selalu berhasil mewujudkan kehidupan yang berkeadilan dan bermartabat serta senantiasa hidup rukun. Adanya optimisme menjadi kekuatan utama agar berbagai halangan yang mencoba memupukkan pesimisme terus hilang. Keinginan mewujudkan Indonesia yang terus ada sampai batas waktu yang tidak bisa ditetukan adalah tujuannya. Bukan seperti menulis di atas air yang sudah dapat dipastikan tidak akan mungkin terjadi, namun layaknya menulis di batu menjadi kekuatan yang tidak dapat terhapus dan lekang oleh waktu bahwa Islam, Keindonesia serta kemanusiaan adalah hal yang harus terus tercipta dan dijaga sehingga Indonesia bukan hanya menjadi bukti kekayaan akan keberagaman namun mampu menjadi pelopor kenyamanan dan ketentrama bagi masyarakat di seluruh dunia. Buya Syafii Maarif menitip pesan dan harapan kepada anak anak muda Indonesia dengan alasan masih terdapatnya idealis dan potensi ilmu yang dimiliki untuk suatu saat bisa membawa mendekati tujuan kemerdekaan 480. Mungkin penantian panjang akan berbuah keberhasilan, yang nantinya lahir generasi mua yang tidak hanya 479 Sutan Takdir Alsjahbana, Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-nilai, Jakarta :Dian Rakyat, 1982, H. 50. 480 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 327. 349 memiliki hati nurani namun peka terhadap berbaga permasalahan bangsa. Tentunya harapan ini tidak sekedar harapan , namun menjadi kenyataan dan akan segera terjadi tanpa harus menunggu lama lagi. Selalu lahir alasan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik bukanlah pekerjaan mudah mengingat luasnya negeri ini. Solusinya tidak berhenti pada lahirnya orang-oraang cerdas, namun hati yang senantiasa tulus menjadi keharusan. Tidak bermaksud mengatakan hatiyang tulus tidak ada di hati masyarakat Indonesia, namun selama maih adanya kecemburuan, kecurigaan bahkan iri hati terhadap orang lain secara berjamaah sepertinya akan sulit melahirkan kekuatan besar agar pembangunan Indonesia tidak hanya sekedar teori namun juga pratek yang sebenarnya menjadi kekayaan dan warisan dari setiap generasi ke generasi. Cerdas otak dibarengi dengan cerdas hati setidaknya menjadi modal primer. Pemimpin negeri ini idealnya mampu mengawinkan dua hal tersebut tidak hanya menjadi sebuah kampanye namun menjadi catatan sejarah yang diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada yang menarik jika Indonesia dimasa depan lahir berdasarkan dasar-dasar spiritual yang kokoh dibarengi dengan dasar kultural agar harkat dan martabat bangsa menjadi utama sehigga mampu melewati lintas zaman untuk terus dijaga. Lahirnya Pertarungan Ideologi Tepatnya September 1955 digelarnya pemilihan umum untuk pertama kalinya di Indonesia. Ada dua agenda yang menjadi tujuan yaitu memilih parlemendan membentuk Majelis Konstituante yang bertugas menyususn UUD sebagai pengganti UUDS. Kedua agenda berjalan sempurna, namun dalam perjalanannya yaitu tepatnya tiga tahun bersidang terbentuk oleh terkait dasar negara : Pancasila atau Islam. Akhir sidang pada 22 Juni 1959, Pancasila vs Islam menjadi dua kekuatan yang saling bertarung, nmun gagal memilki dukungan dari 2/3 suara dalam majelis. Sebenarnya ada tiga usulan sebelumnya sebagai dasar negara, yaitu, Pancasila, Islam dan Sosial 350 Ekonomi. Terkait usulan ke tiga hanya mendapat dukungan dari kalangan minoritas. Ada pendapat bahwa majelis gagal menyusun UUD, padahal sekitar 10 % yang tidak memiliki kesepakatan antar partai yang terkait dasar negara. Akibat ini lahirlah Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit berisi : 1. Deklarasi berlakunya kebali UUD 1945 menggantikan UUDS, 2. Pembubaran Majelis Konstituante sebgai hasil Pemilu 1955. Dekrit ini mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara. Ahmad Syafii Maarif dalam salah satu karyanya, tidak ada konsep lain yang tepat secara rasional dapat mengukuhkan persatuan dan keutuhan bangsa, kecuali lima dasar itu, tetapi yang harus dibaca dalam satu kesatuan.481 Secara nyata, bangsa ini harus terus ada, dan tentunya dibela. Berbagai permasalahan yang bisa merusak, mencabik kepentingan bangsa harus diminimalisir. Apapun kepentingan buruk berbalut nasionalimse lokal, primordialisme atau sikap-sikap yang menunjukan bagian dari sempitnya wawasan harus dibasmi layaknya hama bagi tanaman kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesunguhnya Pancasila sebagai dasar negara adalah final dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Beberapa waktu lalu, Indonesia dihebohkan dengan statement Ketua Umum salah satu Partai politik, bahwa Indonesia akan bubar 2030 482. Dalam kenyataanya selalu lahir semangat atau sebaliknya akan keberadaan Indonesia dimasa depan. Prasangka Indonesia suram, atau tidak akan tertolong menjadi kesimpulan yang mengerikan menghantui pikiran-pikiran anak bangsa. Mengahadapi prasangka negatif membutuhkan energi positif yang idealnya memanggil jiwajiwa masyarakat Indonesia. Diam adalah emas bukanlah peribahasa yang tepat menghadapi kondisi ini. Bukan bersifat reaktif namun menyelamatkan bangsa dari pesimis adalah kewajiban siapa saja, tanpa terkecuali. Adanya keteladanan sepertinya menjadi pelopor gerak baru untuk menjadi imam dala menyuarakan kebaikan. 481 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 27 482 Liputan 6.com link https://www.liputan6.com/cek-fakta/read/3406228/ cek-fakta-ramalan-indonesia-bubar-2030 351 Mungkin tidaklah mudah mencari sosok teladan namun tidak menjadi alasan untuk hadi menjadi teladan miniml bagi keluarga, saudara, tetangga, ya minimal lingkungan. Islam telah menaklukan Nusantara telah menjadi agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Kenyataan ini menunjukan, golongan minoritas, seperti Kristen, Protestan, hindu, Budha serta Konfusianisme hidup damai bersama saudara Muslim. Dalam kenyataannya masih terdapat kelemahan umat Islam di Nusantara. Jumlah yang banyak berbanding terbalik dengan kualitasnya. Pendidikan dan kemiskinan menjadi salah satu permasalahan. Buya Syafii Maarif berpesan, bangsa ini harus bangkit kembali secara otentik dengan melahirkan karya besar dan prestasi yang bermutu tinggi dalam lingkungan suasana keadilan dan kesejahteraan yang dirasakan semua. Islam jika dipahami secara dan cerda akan memberikan dorongan dan sumbangan yang dahsyat untuk mengukuhkan keindonesiaan kita dibawah naungan paying “Ke Tuhanan Yang Maha Esa” dan “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab“ sebagai salah satu manifestasi iman kita dalam kehidupan bersama sebagai bangsa, Islam, Ke Indonesiaan, dan kemanusiaan haruslah dianyam sedemikian elok dan asri sehingga sub-kultur yang bertebarab yang membentuk Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara merasa aman dan tenteram untuk bertahan di Benua Kepulauan ini sampai masa yang tak terbatas483. Tantangan tersebar agama termasuk Islam adalah fungsionalisasinya di tengah kemajuan peradaban. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai makin berlomba-lombanya manusia mengejar tingkat tertinggi rasionalitas bermasyarakat sepertinya menempatkan agama hsnya sebagai entitas kebenaran saja, namun menjadi solusi atas berbagai problem kehidupan. Islam tampil tidak hanya sekedar menjadi dimensi pemurnian kebenaran namun menjadi pemberi solusi dari berbagai problem peradaban dan permasalahan di negeri ini. 483 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 42 352 Kaitannya dengan Islam Moderat Islam moderat sebagai suatu proses dan gagasan pengungkapan kembali tradisi berIslam di Nusantara. Dalam sejarah Islam di Nusantara, masuknya Islam tekstual sebenarnya belum terlalu lama. Tidak lama setelah pengaruh pemikiran Ibnu Taimiyah merebak ke berbagai belahan dunia, beberapa Tokoh di Nusantara juga tampil membawa pemikiran tersebut. Titik Tolak pertentangan antara keduanya adalah Perang Paderi di Sumatera Barat. Dialektika antara gagasan pemurnian akidah Islam atau perlawanan terhadap sinkretisme budaya dalam masyarakat Islam di satu pihak dengan implementasi substansi ajaran Islam di tengah perkembangan masyarakat mewujudkan dua kelompok besar Islam yang sering dikenal dengan Islam modernis dan Islam tradisionalis. Perlembagaanya terlihat melalui Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah serta sejumlah organisasi kemasyarakatan yang sefikrah dengannya 484. Adanya argumen terkait penghargaan Islam terhadap keberagaman telah dikemukakan Nurcholish Madjid terkait kosmopolitanisme Islam yang ditandai dengan kemampuannya menerima berbagai perbedaan. Menurut Nurcholis Madjid, Islam sebagai ajaran yang memiliki dimensi doctrinal yang tekstual dan sejarah kontekstual, dalam rangka mengurai kerumitan yang sedang dihadapi masyarakat sehingga ajaran agama dari masa ke masa perlu direinterprestasi menggunakan substansi-substansi ajarannya.485 Keberadaan Syiah di Indonesia Syiah keberadaannya di tengah keberagaman agama di Indonesia sering dinilai menjadi ancaman, khususnya bagi Islam. 484 Syafinuddin Al Mandari, Syiah, Sektarianisme, dan GeoPolitik, Jakarta : Maarif Institue, 2003, h. 178. 485 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 181. 353 Keberadaan Syiah di Indonesia dapat ditelusuri asal-usulnya hingga sejarah awal perkembangan Islam di tanah Nusantara. Beberapa literatur sejarah menyebutkan Islam Syiah d Nusantara sudah ada sejak abad ke- 9 masehi 486. Menurut Profesor A.Hasjmy dalam bukuyang berjudul Syiah dan Ahlusunnah : Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, Islam Syiah awalnya dbawakan oleh para migran dari Arab, Persia, Gujarat (India). Berawal dari hubungan dagang berlanjut berasimilasi dengan warga lokal, Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan Islam pertama di Nusantara, kemudian berdiri. Beberapa tradisi ritual syiah dianggap berhubungan dengan beberapa upacara adat di Jawa, Sulawesi bahkan Sumatera. Hingga sekarang, Syiah dianggap asing oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim Sunni. Di tahun 1990, kebencian berbalut wacana anti syiah sudah lahir meski tidak separah saat ini. Terdapat perdebatan terkait sesat atau tidaknya syiah itu sendiri. Bagi kaum syiah, konsepsi politik berasal bagian dari ushuluddin 487 , khususnya rukun imamah. Ulama-ulama Syiah memahami bahwa Allah selaku pemegang otoritas tertinggi dalam agama Islam memilih utusan –Nya yang terpilih, Nabi Muhammad saw untuk membawa risalah Islam dan menyebarkan ke seluruh umat manusia menjelang Kiamat. Peran Nabi Muhammad di dunia adalah pembawa syariat dan pembimbing umat manusia. Seiring dengan wafatnya Rasulullah maka agama Islam menjadi penutup hingga Kiamat. Meski pembawa ajaran agama Islam tidak ada, tetap risalah Ilahi berupa ajaran agama Islam tidak berakhir karena penyebaran dan bimbingan dalam agama dilanjutkan para Imam pilihan Rasulullah saw dari Ahlulbait 488. 486 Hikmawan Saefullah, Syiah, Sektarianisme, dan GeoPolitik, Jakarta : Maarif Institue, 2003, h. 26. 487 Akidah dalam Mazhab Syiah, didasarkan pada lima rukun. Menurut Ayatullah Nasir Makaarim Ash – Shirazi dalam A Summary of Ruling : Zubdatul Ahkaam (Qum-Iran,1996). 488 Ahmad Sahidin, Syiah, Sektarianisme, dan GeoPolitik, Jakarta : Maarif Institue, 2003, h. 40. 354 Penutup Demi majunya berbagai kepentingan umat dan bangsa Indonesia, sesungguhnya seluruh komponen perlu menjalin ikatan dan kerja sma yang baik. Islam di Indonesia melalui cerminan umat yang masih tertinggal secara ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan bahkan teknologi, politik dan budaya menjadi alasan bangkit membangun dan memperbaiki. Islam memancarkan cahaya pencerahan yang membebaskan umat manusia dari belenggu kegelapan berganti terang benderang menuju peradaban. Pandangan Islam berkemajuan serta senantiasa mengutamakan antidiskriminasi dan anti kekerasan harus terus didorong tidak hanya menjadi teori namun dalam praktiknya. Islam lahir, tumbuh, bahkan berkembang memiliki tujuan menjadi solusi terhadap berbagai permasalahan bangsa. Islam yang bersahabat memberi ruang-ruang keadilan, perlindungan, keamanan, serta kenyamanan bagi warga negara Indonesia. Buya Syafii Maarif menitip pesan cinta yaitu : keragaman itu sunnatullah, Sunnah Allah jangan diubah-ubah lagi, keragaman menjadi sumber untuk menciptakan harmonisasi kedamaian sesama yang berbeda itu.489 Buya selalu saja kritis dan peka terhadap berbagai problem kebangsaan, keterpurukan umat Islam di berbagai tempat, tidak hanya di Indonesia namun belahan dunia lain. Kepeduliaannua juga termasuk problem kemanusiaan global.Buya dalam kesehariannya mungkin selalu merenung akan permasalahan tersebut dan paham untuk merujuk kepada sumber utama petunjuk hidup manusia yaitu Al-Qur’an. Sebagai cendekiawan neo-modernis, Buya Syafii Maarif menjadikan Al-Qur’an sebagai solusi dari problem sosial kemanusiaan kontemporer dengan model pembacaan yang baru dan segar. Harus diakui bicara konteks lainnya, misalnya konteks kebangsaan, seruan Buya sering sekali terdengar nyaring bahkan bising untuk 489 Wawancara Liputan 6.com, publikasi 17 Apr 2017 link https://www.youtube.com/watch?v=ZlKElXKssko&feature=youtu.be 355 kalangan-kalangn tertentu dan merasa terganggu. Ahmad Syafii Maarif dalam perjalanan hidup berani menyuarakan ketakutan tanpa takut. Kritikan oernah ditujukan kepada Presiden SBY yang tidak serius bahkan dirasa lemah terkait menghadapi berrnagai persoalan kebangsaan, khususnya korupsi yang semakin akut490. Semoga Buya Ahmad Syafii Maarif selalu sehat dan senantiasa menjadi manusia atentik dengan kemerdekaan sejati. Segala keberanian untuk cerdas dan berada pada sikap yang tidak segan-segan memberi kritik terkait situasi yang tidak sesuai dengan akal sehat dan nurani. Buya sebagai guru besar ilmu sejarah selalu terlatih dalam hal menganalisis dan mempelajari berbagai kondisi masyarakat dari waktu ke waktu, dan terbiasa melihat atau memandang gejolak sosial untuk mendapatkan kesetaraan dan kebebasan di berbagai belahan dunia dan periode sejarah. Buya Syafii Maarif tidak pernah bosan dan selalu bersemangat untuk memberi semangat untuk setiap generasi tidak mengulangi kesalahan-kesalahan historis yang pernah terjadi, tidak terkecuali dalam lingkup nasional dan global. Keberadaan Syafii Maarif dipercaya menjadi warna bahkan sebagai bagian keberhasilan membangun akselerasi kerja sama dua organisasi Islam terbesar di Inonesia, Muhammadiyah dan NU. Keberhasilan ini menjadi sejarah bahkan warisan yang selalu kemilau di tengah wajah umat dan bangsa yang kusam.491 Seruan Buya terkait pentingnya menegakkan etika politik demokrasi, moralitas publik, perilaku politisi dan birokrat yang baik menjadi sasaran semangat Buya dalam menyuarakan perubahan. Buya selalu memasukkan isu-isu pluralisme agama, hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Pluralisme agama menurut Buya, tidak berdiri sendiri sebagai sebuah doktrin teologis atau filosofis semata namun lebih bermakna kebebasan beragama dan ketulusan dalam beragama492. Buya selalu berpendapat setiap individu manusia 490 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, Jajarta :Serambi Ilmu Semesta, 2015, h. 17. 491 Abdul Mu’thi dalam Abd. Rohim Ghazali, (ed), Muhammadiyah dan politik Islam Inklusif, 2005: h. 115. 492 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, Jajarta :Serambi 356 harus menghormati hak-hak orang lain khususnya dalam menganus agama atau kepercayaan. Semoga Buya terus menjadi inspirasi untuk semua kalangan di tengah semakin sulitanya menemukan ketokohan di zaman sekarang. Kemandirian, kecerdasan, keberanian dan ketulusan Buya Ahmad Syafii Maarif yang selalu dirindukan. Ilmu Semesta, 2015, h. 291. 357 Daftar Pustaka Abou El Fadl, Khaled, et al., The Place of Tolerrance in Islam. Boston : Beacon Press, 2002. Alisjahbana, Sutan Takdir. Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-nilai. Jakarta : Dian Rakyat, 1982. Badudu, J.S. dan Sutan Mohammad Zain. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PustakaSinar Harapan, 1994. Cowan, J. M . (ed). The Hans Wehr Dictionary of Modern Writeen Arabic. Ithaca, New York : Spoken Language Sevice, 1976. Maarif, Ahmad Syafii . Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan . Bandung : Mizan 2015. Maarif, Ahmad Syafii . Muazin Bangsa dari Makkah Darat . Jakarta : Serambi Ilmu Semesta 2015. Rendra, WS. Megatruh Kambuh : Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu,. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 2008. 358 SIKAP INTELEKTUAL, SPIRITUALITAS DAN KEMANUSIAAN AHMAD SYAFII MAARIF Vidiel Tania Pratama Pendahuluan Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) adalah anak Minangkabau yanglahir di Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei 1935 adalah seorang ulama, ilmuwan dan pendidik Indonesia. Buya Syafii pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute, dan juga dikenal sebagai seorang tokoh yang mempunyai komitmen kebangsaan yang tinggi. Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja telah memposisikannya sebagai “Bapak Bangsa”. Ia tidak segansegan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri. Dinegeri ini, tak banyak orang yang dipanggil sebagai “guru bangsa”, selain Buya Syafii beberapa nama yang pernah dipanggil dengan sebutan itu hanya Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), memang tak ada proses formal untuk mendapatkan sebutan sebagai guru bangsa, setiap orang bisa memakai istilah itu untuk disematkan kepada lorang yang dihormati atau disukainya. Namun demikian panggilan sebagai guru bangsa yang diematkan kepada Buya Syafii, cak nur, dan gus dur bukan hanya diberikan oleh orang-orang terdekatnya, media masa, tokoh 359 nasional, dan masyarakat secara umum bisa memanggi ketiga orang itu sebaagai guru bangsa, jadi walau pada dasarnya panggilan itu bisa dipakai secara arbitrary (secara asal, tidak memakai sistem tertentu), namun panggilan itu baru bisa dipanggil secara umum jika memang ada social recognition (pengakuan sosial) terhadap orang yang dipanggil terhadap itu, dan kini Buya Syafii sepertinya menjadi tokoh yang tersisa yang mendapat panggilan sebagai guru bangsa.493 Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif (Buya) merupakan seorang keprihatina dikenal sebagai sosok yang pluralis, toleran, inklusif, dan moderat,Buyaselama ini telah mewakafkan dirinya memporomosikan dan memperjuangkan visi keislaman yang senafas dengan keindonesiaan dan kemanusiaan, di tengah menguatnya gempuran paham radikalisme yang tuna moral dan tuna intelektual. Buya Syafii selama ini konsisten memperjuangkan Islam yang berkerahmatan dan berkemajuan dengan berlandaskan visi etik Al-Qur’an. Buya Syafii merupakan seorang intelektual Muslim yang berani mengambil sikap dan pandangan yang berbeda dengan arus utama, walaupun konsekuensinya ia akan dibenci dan dimusuhitermasuk di dalamorganisasi Muhammadiyah yang telah membesarkan namanya. Buya Syafii selalu terdepan dalam memperjuangkan hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan para kelompok minoritas yang dilucuti oleh negara dan kelompok intoleran. Buyasering mengkritik keras kelompok intoleran yang disebutnya “preman berjubah” yang dianggap suka meneror dan menakut-nakuti siapa saja yang berbeda pendapat dengannyamelalui aksi kekerasan fisik.Buya Syafiijuga kerap mengkritik negara yang terkadang dianggap lebih tunduk pada kelompok intoleran dibandingkan konstitusi. Yang menarik dari sikap dan pandangan Buya Syafii adalah selain getol membela minoritas, ia juga aktif menjadi tokoh yang aktif mengedukasi umat Islam agar senantiasa jernih dan kritis 493 William H. frederich, Muazin Bangsa dari Makkah Darat; Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif, Serambi Ilmu Semesta, Cetakan Pertama, Jakarta, 2015, Halaman 9 360 melihat sejarah agar manusia jaman sekarangtidak terjebak dalam penyembahan dan penyakralan sejarah. Dalam kasus Sunni-Syiah, masih banyak umat Islam terjebak dan berpendapat bahwa konflik ini adalah konflik teologis, padahal menurut Buya, konflik ini adalah murni konflik politik antara para elit Arab. Pada tahun 1942, Buya Syafii dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus. Sepulang sekolah, Buya Syafii belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabaupada masa itu. Pendidikannya di SR, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Buya Syafii tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan. Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga. Pada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, Buya Syafii meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa. Bersama dua adik sepupunya, yakni Azra’i dan Suward, ia diajak belajar ke Yogyakarta oleh M. Sanusi Latief. Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud, karena pihak sekolah menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah penuh. Tidak lama Kemudian ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama. Pada saat bersamaan, Buya Syafii bersama Azra’i mengikuti sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah beberapa bulan belajar. Kemudian ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima tetapi ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga. Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar (Kini Dibawahi oleh Lembaga Pers Mu’allimin), 361 sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta. Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya. Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru. Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru. Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya, kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta. Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat doktoral pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968. Selama kuliah, Buya Syafii sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Buya Syafii pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958. Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo. Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia. Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi : Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected 362 in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Selama di Chicago inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap AlQur’an, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya. Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Buya Syafi’i Maarif, yang berjudul ‘Si Anak Kampung’. Novel ini telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF). Setelah meninggalkan posisnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini Buya Syafii aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain berjudul : Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari Pemerintah Filipina Sikap Intelektual Buya Syafii Maarif Buya ASM adalah satu dari sekian banyak intelektual organik yang dimiliki Indonesia.Beliau intelektual sekaligus aktivis.Dari aktivis Himpunan Mahasiswa Islam hingga menjadi ketua umum Muhammadiyah –organisasi Islam dengan amal usaha terbesar di dunia. Dalam bahasa Emil Salim (2005), Buya ASM adalah tokoh pemikir, aktivis, dan pejuang Islam yang berkaca pada pemahaman sejarah yang ditekuninya, dan memimpin organisasi Muihammadiyah memberi derma baktinya pada bangsa Indonesia dan masyarakat 363 dunia.494 Peran-peran sosial Buya ASM pasca-Muhammadiyah, selain berkiprah pada ranah supra struktur politik dengan berperan sebagai “dewan etik” di sejumlah lembaga negara, Buya juga banyak mencurahkan pikirannya dalam tulisan-tulisan yang tajam dan bernas, berisi tentang panduan hidup bagi siapa pun dalam posisi apa pun. Tulisan-tulisan Buya memiliki spektrum yang mencandra semua kelompok masyarakat.Dari marbot masjid hingga pemimpin dunia tidak lepas dari perhatian Buya. Tulisan-tulisan Buya yang sarat dengan pesan-pesan moral inilah saya kira, yang membuatnya disebut sebagai Guru Bangsa, atau dalam bahasa Alois A Nugroho, Guru Besar Etika Komunikasi politik Unika Atmajaya, sebagai “muazin moralitas bangsa”. Dalam amal sosial Islam, muazin adalah “tukang azan” atau orang yang bertugas untuk memanggil, menyeru kepada kebaikan. Secara denotatif, seruan dimaksud untuk menunaikan ibadah shalat, tapi secara konotatif bisa dimaknai sebagai seruan untuk hal-hal yang baik dan konstruktif. Pada saat Amien Rais menyerukan untuk dilakukan suksesi politik nasional pada awal tahun 90an, oleh Hajriyanto Y. Thohari, Amien juga disebut sebagai muazin. Dalam prosesi shalat berjamaah, muazin biasanya tidak akan merangkap imam, kecuali pada kondisi darurat dimana tidak ada orang yang mau menjadi imam, muazin “terpaksa” merangkap jadi imam. Tapi ini tidak lazim.Sebagai muazin, Buya merupakan tokoh yang konsisten dan tidak pernah tertarik menjadi “imam” walaupun ada yang menginginkannya menjadi calon Presiden.Amien Rais bahkan pernah memintanya untuk memimpin partai politik.Buya tidak bersedia. Tetapi perlu dicatat, penolakan Buya bukan dengan cara jumawa dan membusungkan dada bahwa dirinya tidak 494 Kutipan materi Abdul Rohim Ghozalidengan judul Pemikiran Ahmad Syafii Maarif, yang disampaikan pada hari Senin, 26 November 2018 dalam acara Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif Priode ke 2 tahun 2018 (SKK-ASM II 2018) yang diselenggarakan Maarif Institute di Hotel Grand Mulya Bogor 364 berkeinginan menjadi penguasa. Buya kerap berseloroh bahwa ia mungkin saja akan tergoda jika permintaan itu diajukan pada saat dirinya masih muda. Pada November 2016, ia membela Ahok dengan mengatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama. Pandangannya ini melawan pendapat mayoritas tokoh Islam lainnya termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwakan bahwa Ahok melakukan penistaan agama Islam dan para ulama.”Sekiranya saya telah membaca secara utuh pernyataan Ahok di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu yang menghebohkan itu. Dalam fatwa itu jelas dituduhkan bahwa Ahok telah menghina Al-Qur’an dan menghina ulama sehingga harus diproses secara hukum, semua berdasarkan Fatwa MUI yang tidak teliti itu, semestinya MUI sebagai lembaga menjaga martabatnya melalui fatwa-fatwa yang benar-benar dipertimbangkan secara jernih, cerdas, dan bertanggung jawab, fatwa atau pandangan agama itu benar, shahih, jelas atau sama seperti apa yang disampaikan ahli agama, jadi jangan percaya sama orang. “Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya.”495 Perhatikan, apa terdapat penghinaan Al-Qur’an? Hanya otak sakit saja yang kesimpulan begitu, yang dikritik Ahok adalah mereka yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih dirinya, apakah kita mau mengorbankan kepentingan bangsa dan negara itu akibat fatwa yang tidak cermat itu? Atau apakah seorang Ahok begitu ditakuti di negeri ini, sehingga harus dilawan dengan demo besar-besaran? Jangan jadi manusia dan bangsa kerdil, untuk kepentingan klarfiikasi atas legalitas pendapat keagamaan atau fatwa tentang adanya dugaan 495 Pendapat Buya Syafii Maarif tentaang rekaman ahok tentang stentennya soal sursh Al-Maida 51 di Kepulauan Seribu. 365 kasus penistaan atau penistaan agama yang dilakukan oleh saudara petahana Basuki Purnama.” Sikap Spiritualitas Buya Syafii Maarif Ada kata kunci penting yang biasa dikemukakan Buya Ahmad Syafii Maarif dalam berbagai kesempatan dan tulisan yang relevan dengan pemikiran Islam, yaitu bagaimana umat Islam memperlakukan Al-Qur’an sebagai kitab suci yang bermuatan pedoman etika sosial dan pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat Islam, ungkapan yang biasa digunakan Buya ahmad Syafii maarif adalah “mari kita berdialog dengan Al-Qur’an” dan “Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu”.496 Dua untaian yang dicoba diramu ulang dari gurunya Fazlur Rahman sewaktu mengambil program doctor di Chicago tahun 1970-1980an, ungkapan dialog dengan Al-Qur’an mengingatkan tafsir tematik rahman, “The Major Temes of the Qur’an”, sedang “gerakan ilmu” terinspirasi dari bukunya yang lain Islam and Modernity, tulisan itu hanya akan memfokuskan kepada dua kata tersebut dengan sudut telaah perspektif pemikiran Islam tahun 2000an ke atas, di mana pemikiran Islam telah berkembang sedemikian rupa pasca proyek modernisasinya Fazlur Rahman. Penyakit umat Islam di Indonesia adalah kerap menyamaratakan antara Islam dengan Arabisme, ada Arabisme yang positif. Yang negatif ya kelompok-kelompok garis keras, ada ISIS, Bokoharam dan sebagainya.Banyak orang Islam Indonesia berpendapat, karena Islam itu berasal dari tanah Arab, semua yang ada di Arab Saudi sudah pasti 100 persen Islam. Tak heran jika Islam hanya terlihat seperti parade peci dan baju koko dengan diiringi semangat barbar. “Agama dipakai tidak untuk mengarahkan pemeluknya kepada hal-hal yang lebih baik. Orang memakai tasbih saja seakan-akan 496 William H. frederich, Muazin Bangsa dari Makkah Darat; Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif, Serambi Ilmu Semesta, Cetakan Pertama, Jakarta, 2015, Halaman 25 366 sudah Islam.Ini pembodohan”. Buya Syafii menilai, seperti ditulisnya dalam Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (2018), “Muslim yang non Arab itu pada umumnya tidak mampu mempelajari ajaran Islam dari sumber aslinya dalam bahasa Arab.” Maka kebergantungan rumusan kelompok Islam dalam bungkus Arabisme itu tidak dapat dielakkan lagi” Buya Syafii melihat ada bahaya besar dalam hal ini. Menurutnya, jika kondisi ini terus terjadi, “sama saja dengan melanggengkan malapetaka dan penderitaan bagi umat ini.” Masih menurut Buya Syafii hendaknya seorang Muslim di masa kini bisa membedakan antara Arabisme dan Islam. Dengan tingkat pendidikan pendidikan lebih tinggi dan alat komunikasi yang canggih, harusnya itu mungkin. Fazlur Rahman berpendapat, dalam konteks sosssial ekonomikeagamaan itulah, Al-Qur’an surah al-Maun turun, Surah alMaun (107);1-4 yang turun setalah surah al-Humazah ini mengandung doktrin agama Islam yang sangat penting, yaitu mengajarkan kaitan dengan etatantara penghayatan iman dengan pengamalan sosial, suatu ajaran yang menyimpulkan hubungan antara ide monoteisme (Tauhid) dengan semangat humanism (kemanusiaan), serta rasa keadilan ekonomi sosial.497 Di masa Orde Baru, waktu masih ada lembaga prestisius bernama Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), pergesekan antarumat beragama sulit ditemukan. Setelah Orde Baru runtuh, berpuluh tahun setelah Kopkamtib yang tak disukai Buya Syafiidibubarkan, maka dengan mudah konflik antaragama meledak. Karena itu, banyak orang dengan mudah merindukan spemerintahanlitas keamanan ala Orde Baru. Mereka tak sadar bahwa toleransi tinggalan Orde Baru itu semu karena bukan dari kesadaran paling dalam. Toleransi ada karena kemauan Pemerintah. Toleransi, menurut Buya Syafii, sulit ditegakkan di Indonesia. Tak hanya toleransi, demokrasi juga tidak tumbuh dengan baik. 497 Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Ahsin Mohammad, Bandung, Pustaka, 2003, halaman 3 367 Menurutnya, seperti dituangkan dalam Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009), “Kepentingan politik sempit yang menutup ruang untuk mengembangkan budaya toleransi di kalangan elit. Kemudian di bawah sistem politik otoritarian selama empat dasawarsa (19591988), demokrasi telah dibunuh secara sadar” (h 162). Di usianya yang makin senja, dan dalam segala kegaduhan saat ini, Buya Syafi’i masih menjadi pegiat sekaligus contoh toleransi yang diinginkan itu. Sikap toleransi Buya Syafii sering kali dianggap negative sebagain orang bahkan banyak kelompok-kelompok yang mengatakan Buya Syafii sesat atau kafir, padahal dasar-dasar yang orang-orang mengatakan itu hanya karena beda pandangan dan pemahaman tentang politik dan sebagainya. Sebagai tokoh agama, Buya dikenal memiliki konsistensi untuk “membumikan Islam” atau dalam bahasa Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”. Setiap Muslim, terutama yang taat dengan agamanya, pasti akan menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan utama –di samping sabda Rasulullah (hadits) dan hasil ijtihad serta ijtimak ulama-- dalam setiap ucapan dan tindakannya. Tapi, tidak semua tokoh agama mau dan mampu mengamalkan secara maksimal setiap pesan yang ada dalam ayat-ayat kitab suci itu.498 Yang kita saksikan saat ini, banyak kalangan menjadikan pesan-pesan Al-Qur’an sebagai komoditas politik, menjadikan Islam sebagai alat untuk melegitimasi atau untuk membungkus hasrat Politiknya. Maka kampanye politik untuk kepentingan elektoral pun sarat dengan bungkus ayat-ayat kitab suci. Buya Syafii adalah salah satu tokoh yang mengritik keras tindakan semacam ini.Terhadap mereka yang menjadikan Islam sebagai alat meraih kekuasaan, Buya mengistilahkannya dengan “Politik bendera” atau “Politik gincu”. 498 Kutipan materi Abdul Rohim Ghozali dengan judul Pemikiran Ahmad Syafii Maarif, yang disampaikan pada hari Senin, 26 November 2018 dalam acara Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif Priode ke 2 tahun 2018 (SKK-ASM II 2018) yang diselenggarakan Maarif Institute di Hotel Grand Mulya Bogor 368 Begitu pun pada mereka yang memperjuangkan Islam dengan peraturan-peraturan yang berbungkus agama seperti Perda Syariah atau yang sejenisnya.Kebalikan dari “Politik gincu” adalah “Politik garam”. Gincu tampak merah merona tapi tidak ada rasanya kecuali sekadar untuk membangkitkan hasrat atau syahwat libidinal kekuasaan. Sedangkan sifat garam larut dan tak tampak dalam air tapi bisa dirasakan. Menurut Buya, Islam harus seperti garam, pesan-pesannya terimplemantasi dalam kehidupan, dampak positifnya bisa dirasakan semua orang walaupun tidak ada bendera yang dikibarkan, atau kalimat-kalimat tauhid yang diteriakkan. Bagi Buya, spiritualitas harus membumi dan inklusif. KeRasulan Muhammad yang menjadi “rahmatan lil-‘alamin” adalah legitimasi tak terbantahkan bahwa agama yang dibawa Rasulullah ini harus menjadi rahmat, memberikan kenyamanan, bagi semua kalangan, bukan secara eksklusif bagi Muslim saja. Bendera dan Perda hanya menunjukkan eksklusivitas yang menegasikan perbedaan keyakinan. Pandangan spiritualitas yang membumi dan inklusif yang dikembangkan Buya ASM tidak lepas dari pengaruh gurunya, Fazrul Rahman yang dikenal karena konseptualisasinya terhadap Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang harus bisa mendorong umat Islam untuk memiliki pemikiran, wawasan, dan perilaku yang bersumber dari pandangan dunia dan etika Qurani. Sikap Kemanusiaan Buya Syafii Maarif Mesin budaya yang berdaulat, rakyat, adil, berperikemanusiaan, dan menghargai dinamika kehidupan adalah “Mesin budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota mansyarakat dalam Negara, tetap “Mesin budaya” yang berdaulat penguasa, yang menindas dan menjajah yang elitis dan tidak popilis sangat berbahaya.499 499 W. S. Rendra, Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Pentyair dalam Menanggapi Kalabendu, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2008, Hala- 369 Ahmad Syafii Maarif sang Penganjur Toleransi. Setahun terakhir, Buya Syafii dikenal sebagai tokoh lintas agama yang berjuang keras menggalakkan toleransi di Indonesia. Pembelaannya kepada Ahok terkait kasus Al-Maidah 51, bahkan membuatnya dicerca orang-orang anti-Ahok di sosial media. Bahkan ada orang yang mengaku satu suku dengan Syafi’i, selain mengecam juga secara sepihak mencabut gelar Buya yang disandang Syafi’i. Buya Syafii, yang membaca secara utuh pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu, menyebut “Ahok tidak mengatakan Al Maidah (ayat 51) itu bohong”. Buya Syafii hanya ingin berpikir adil sebagai orang terpelajar, dan juga sebagai orang Islam. Buya Syafii sejak lama risih dengan sikap intoleran di Indonesia. Itu bahkan terjadi di kelasnya. Suatu kali, waktu zaman Orde Baru, ada seorang mahasiswa menjelekjelekkan agama lain. Itu mahasiswa intoleran lalu disemprotnya. Menurut Buya Syafii, toleransi itu penting bagi Indonesia yang majemuk dalam banyak hal. Dalam bukunya, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa demokrasi Terpimpin, 1959-1965 (1996), dengan mengacu pada Piagam Madinah, Buya Syafii menulis, “Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan budaya tidak mantap.Wajah Islam Indonesia hari ini sebagian sisinya tercitra begitu negatif, hingga jauh dari nilai sejatinya sebagai agama damai. Mudah sekali menemukan orang-orang yang mengaku Islam namun perilakunya kasar dan merasa paling suci. Hal-hal baik gagal ditegakkan. Islam Indonesia golongan ini hanya terjebak pada simbolsimbol saja dan menjauh dari esensi. Bagi Buya Syafii, Islam adalah agama yang sarat dengan Nilainilai kemanusiaan. Sumber utama doktrin Islam yang utama, AlQur’an, pada dasarnya merupakan refleksi dari hasil dialog konstruktif antara pesan langit dengan realitas obyektif yang ada di bumi.Pesanpesan utama demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM), meskipun secara literal tidak ada dalam Al-Qur’an, tapi jelas terkandung dalam kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW ini. man 2 370 Pesan-pesan partikular seperti cara hidup sehari-hari yang diajarkan Al-Qur’an adalah ditujukan kepada semua umat manusia secara universal, bukan terbatas pada Muslim saja. Larangan tidak boleh membuhun, mencuri, berzina, bersumpah palsu, menuduh (tanpa bukti), berprasangka buruk, memfitnah, dan menyakiti orang lain, adalah pesan-pesan yang berlaku bagi siapa pun dan dimana pun, tanpa memandang agama, suku, golongan, dan strata sosial. Menurut kesaksian banyak kalangan, seperti yang tersaji dalam buku “Cermin untuk Semua” yang menjadi kado ulang tahun beliau yang ke-70, Buya Syafii adalah sosok yang konsisten menjalankan pesan-pesan moral agamanya. Buya Syafii, menurut Sudhamek AWS adalah sosok “walk the talk” yang mampu menyatukan kata dan perbuatan. Moral kemanusiaan universal Buya Syafii jelas terlihat, misalnya, dalam tulisan-tulisannya yang antara lain secara rutin dimuat di harian Republika. Pembelaan Buya terhadap orang-orang yang terpinggirkan, dan nasihat-nasihatnya kepada para politisi, termasuk kolega-koleganya sendiri, merupakan refleksi dari “dialog” yang selama ini ia lakukan dengan Al-Qur’an. Nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci ini ia yakini sebagai kebenaran universal dan berlaku secara universal. Penutup Generasi muda dalam memahami dan meneladani Sikap Intelektual, Spiritual, dan Kemnusiaan Ahmad Syafii Maarif: 1. Mendekatkan jarak yang masih terlalu jauh antara “Pendidikan Agama”, “Pendidikan Sosial”, “Pendidikan Budaya” dan “Pendidikan Sains” 2. Generasi milenial memimpikan memperoleh asupan Liberal Arts Education dan atau General Education 3. Menginfus pemahaman baru tentang Teologi (Kalam), Etik, Ilmu-ilmu Sosial dan Filsafat dalam pendidikan agama (Islam) 4. Pendekatan kajian keislaman: Multi-, inter- dan transdisiplin [takamul al-’ulum wa izdiwaj al-ma’arif) 371 Daftar Pustaka Ahmad Syafii Maarif, Ahmad Syafii Maarif: Memoar Seorang Anak Kampung Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan, 2015 Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Ahsin Mohammad, Bandung, Pustaka, 2003 William H. frederich, Muazin Bangsa dari Makkah Darat; Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif, Serambi Ilmu Semesta, Cetakan Pertama, Jakarta, 2015 W. S. Rendra, Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Pentyair dalam Menanggapi Kalabendu, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 372 NEGARA PANCASILA: ISLAM YES, SYARIAT ISLAM NO (REFLEKSI PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG INDONESIA, ISLAM, DAN KEBANGSAAN) M. Mirza Ardi Pendahuluan Argumen utama tulisan ini sebagai berikut: dengan adanya penolakan pada Piagam Jakarta, maka inti dari negara Pancasila adalah penolakan untuk menjadi negara Islam yang memaksa warga negaranya untuk melaksanakan syariat Islam. Pada sisi yang lain, negara Pancasila bukan pula negara yang memberangus ekspresi keberagamaan dan keberagaman. negara Pancasila adalah negara yang menjamin kebebasan warga negaranya, tetapi pada saat yang sama membatasi agar kebebasan itu agar jangan sampai mengganggu kebebasan warga negara yang lain. Dengan kata lain, negara Pancasila adalah negara yang sekuler, liberal, tapi juga religius. Mendebat Pancasila Sejak awal, sebelum merdeka sampai masa sekarang, Indonesia memang punya bakat menjadi negara Islam. Argumentasi untuk pelaksanaan syariat Islam yang diutarakan sejak debat perumusan Pancasila masih terdengar hingga kini. Diantara dalil-dalil pikiran yang sering digunakan adalah: Islam adalah buatan Tuhan, sehingga pasti sempurna. Sedangkan Pancasila adalah buatan manusia, 373 sehingga pasti ada cacat dan salah. Maka, Islam lebih dari baik daripada Pancasila. Maka, kelompok Islam mengupayakan kewajiban pelaksanaan hukum syariat Islam sebagai dasar negara. Untungnya, berkat lobi politik, kelompok sekuler berhasil membujuk kelompok Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan itu, Indonesia berhasil menyelamatkan diri dari menjadi negara Islam. Dalam perspektif sejarah, Pancasila yang kita kenal sekarang merupakan antitesa dari Piagam Jakarta. Yakni suatu sikap politik yang menolak pemaksaan negara kepada Muslim untuk menjalankan syariat Islam. Pancasila menolak pemberlakuan hukum agama. Akan tetapi, tidak semua rakyat Muslim Indonesia setuju akan hal ini. Ada kelompok yang menolak Pancasila sebagai dasar negara, dan ingin menggantikannya dengan Islam (atau Al-Qu’an dan Hadits). Jenis kelompok ini adalah pemberontak DII/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Daud Beureueh di Aceh. Pancasila di Tengah Tiga Model Penafsiran Meskipun dalam sejarahnya, Pancasila berhasil diselamatkan dari syariatisme. Namun sebagai sebuah teks, Pancasila bisa ditafsirkan dengan pelbagai paradigma. Paradigma yang berbeda akan melahirkan penafsiran yang berbeda, bahkan bertolak belakang satu sama lain. Dalam hubungan antara agama dan negara, bagi kelompok yang menerima Pancasila, ada tiga model dalam menafsirkan Pancasila. Negara Islam Yang pertama, model negara Islam.Kelompok ini tidak secara terang-terangan menolak Pancasila, tetapi melakukan penafsiran ulang terhadap Pancasila. Mereka tidak berupaya menjadikan Indonesia menjadi negara Islam melalui revolusi sekejab, melainkan melalui evolusi budaya dan pertarungan di proses pembuatan kebijakan. Sehingga lahirlah perda-perda syariat yang mendapat dukungan massa setempat. Bagi pendukung model ini, negara 374 berfungsi untuk melindungi agama Islam dan menegakkan syariat500. Dalam praktiknya di beberapa negara Islam, tidak ada model negara Islam yang baku. negara Islam seperti Arab Saudi sangat berbeda dengan negara Islam seperti Pakistan. Bisa dikatakan, pendukung negara Islam berbeda-beda dalam menentukan seperti apakah model ideal negara Islam. Yang jelas, karena tujuan bernegara adalah untuk melayani agama, maka pendukung negara Islam menolak pemisahan antara agama dan negara (sekulerisme). Sekulerisme ditolak tidak hanya karena meniadakan peran negara dalam urusan agama, tetapi juga karena merongrong fungsi ideal sebuah negara. Demikian pula penggagas negara Islam menolak netralitas negara dalam urusan agama, karena dianggap membiarkan pemimpin agama (ulama) mengurusi urusan agama tanpa bantuan negara. Singkatnya, sekulerisme atau netralitas negara atas agama dianggap sebagai bentuk marginalisasi terhadap agama. Negara Demokrasi Agama Premis negara demokrasi agama adalah Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar agama, bukanlah negara sekuler dan bukan negara teokrasi. Bagi kelompok ini, semua sila di Pancasila adalah ajaran-ajaran agama. Sehingga tak perlu ditolak. Karena Pancasila dianggap sebagai inti sari ajaran-ajaran agama, maka kelompok ini menganggap Pancasila (terutama sila pertama) menolak sekularisme. Sekularisme juga ditolak karena dianggap bertentangang dengan karakter masyarakat Indonesia yang religius. Sehingga tidak cocok dengan iklim budaya Indonesia. 501Sementara itu, negara Islam ditolak oleh kelompok ini karena gagasan negara Islam pasti memprioritaskan satu agama di atas agama-agama lain (apa pun prioritas itu), maka pentinglah menyingkirkan gagasan itu dari setiap agenda politik Muslim.502 500 Assyaukanie, L. (2011). Ideologi Islam dan Utopia. 1st ed. Jakarta: Freedom Institute.p88 501 ibid, 145 502 Ibid, 166 375 Negara Demokrasi Liberal Model ini mengusung ide sekularisme, yakni pemisahan total antara agama dan negara.Negara dituntut untuk netral, tidak membela atau menomorsatukan agama manapun diatas agama yang lain. Urusan agama bukan wewenang negara, tetapi diberikan kepada individu-individu masyarakat yang kebebasan beragamanya telah diatur oleh konstitusi. Bagi kelompok Muslim yang mendukung ide ini, berargumen bahwa Islam memiliki tiga doktrin. Pertama, doktrin Islam yang bersifat pribadi seperti rukun iman (percaya pada Tuhan, Malaikat, dsb). Perkara yang bersifat metafisis ini tak bisa diseragamkan oleh negara beserta aparaturnya. Kedua, doktrin yang bersifat ibadah dan komunal, negara juga tak bisa memaksa warga negara untuk shalat lima waktu atau berpuasa. Ketiga, perkara yang bersifat publik seperti sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan sejenisnya. Untuk ini, negara punya wewenang. Namun, karena peraturan dan undang-undang adalah milik publik, maka mereka harus bebas dari kepentingan doktrin agama tertentu503. Bagi eksponen demokrasi liberal, pemisahan negara dan agama penting demi menyelamatkan agama itu sendiri dari kepentingan politik, dan menyelamatkan negara dari kepentingan satu agama diatas agama yang lain. Dalam sistem sekulerisme, yang bertanggung jawab menerapkan syariat bukan negara, tetapi pemimpin agama dan keluarga. Ahmad Syafii Maarif sebagai Demokrat Agamis Jika dilihat dari tiga sikap Muslim Indonesia terhadap Pancasila, Ahmad Syafii Maarif termasuk pendukung demokrasi agama. Sebagai intelektual publik yang menentang teokrasi, sikap Ahmad Syafii Maarif terlihat gamblang ketika ia menolak peraturan daerah yang bernuansa syariat yang tumbuh subur di Indonesia pasca reformasi. Baginya, yang penting bagi Indonesia adalah hukum yang 503 Ibid 193-194 376 sudah ada sekarang (KUHP) dilaksanakan sesuai dengan peraturan504. Dengan kata lain, bukan jenis hukumnya yang perlu dipersoalkan, melainkan penegakan hukum itu yang perlu ditegakkan. Selain itu, menurut Maarif, perda syariat sebenarnya problematik karena “sesungguhnya pendukung Perda itu bukan hanya partai Islam, partai macam-macam, sekuler, lebih beriorientasi kepada kekuasaan jangka pendek untuk menjaga mendapatkan konstituen.” Bahkan, lebih jauh lagi ia menginginkan agar perda-perda syariat yang berlawanan dengan UUD itu agar diuji kembali keabsahannya di Mahkamah Konstitusi, karena perda syariat adalah “Duri dalam daging itu, artinya mengganggu pelaksanaan konstitusi Indonesia ini dan bisa menimbulkan perpecahan,”505 Lebih jauh lagi, bagi Maarif, bukan sesuatu yang mudah untuk menempatkan Syariat Islam ke dalam mekanisme kehidupan politik modern. negara Pakistan adalah sebuah contoh bagaimana sebuah negara Islam yang hingga sampai saat ini masih bingung untuk menerapkan Syariat Islam dalam kehidupan kenegaraannya. Karena itu, moral etik yang berjalan di sebuah negara jauh lebih penting daripada nama ataupun sistem pemerintahan yang dipakai. Menurut Buya Syafii Islam tidak mempermasalahkan apapun nama dan bentuk pemerintahan yang dipakai oleh pemimpin Is- lam, yang terpenting adalah bagaimana moral- etik dapat berjalan dengan baik dalam sebuah negara tersebut. 506 Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana landasan berpikir Ahmad Syafii Maarif sehingga sikap dan pernyataan diatas bisa muncul? Bagaimana Maarif merekonsiliasi identitasnya sebagai seorang yang beragama Islam dengan identitas dirinya sebagai orang Indonesia yang berfalsafah Pancasila yang menolak perda syariat. Untuk menjawab pertanyaan ini, posisi Maarif adalah Islam 504 https://nasional.tempo.co/read/1147608/2-tokoh-yang-pernah-menolak-perda-syariah 505 https://www.jawapos.com/nasional/humaniora/24/11/2018/Buya-Syafii-kurang-setuju-dengan-perda-syariah-ini-alasannya 506 Asroni, A. (2011). Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan Syariat Islam di Indonesia. Millah Jurnal Studi Agama, X(2). 377 merupakan penafsiran dan pemahaman manusia yang tak sempurna dan berbeda-beda terhadap teks kitab suci. Ada pemahaman Islam yang justru menolak negara Islam dan segala bentuk pemaksaan negara kepada warga negara untuk menjalankan syariat.507 Penafsiran seperti ini sangat cocok untuk iklim bangsa Indonesia yang kaya ragam perbedaan. Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, bukanlah sebuah kitab ilmu politik yang mendikte bagaimana seharusnya institusi atau sistem politik yang bagaimana harus dipakai, melainkan sebagai petunjuk etik bagi umat manusia. Diamnya Al-Qur’an dalam masalah sistem pemerintahan mana yang harus digunakan oleh umat Islam, merupakan suatu kesempatan yang sangat luas bagi manusia untuk menggunakan akal kreatifnya dalam memilih sistem pemerintahan yang tepat sesuai dengan konteks daerahnya sendiri. Yang ditawarkan Al-Qur’an adalah Nilai-nilai kebajikan seperti keadilan, persamaan, dan kebebasan untuk dihidupkan dalam kehidupan bernegara, apapun sistem Pemerintahnya. Dengan begitu, umat Islam bisa dengan bebas kreatif memodifikasi sistem pemerintahannya saat kondisi sosial-ekonomi tidak memungkinkan lagi sistem lama untuk dipertahankan. Selain itu, dibalik klaim negara-negara yang mendeklerasikan diri sistem Islam, sulit sekali menemukan negara yang menerapkan Nilai-nilai Islam seperti egaliter dan keadilan di praktiknya. Banyak negara Timur Tengah yang masih menerapkan sistem Monarki dimana kekuasaan milik satu keluarga. Negara-negara yang mengaku Islami juga masih gagal menjadi negara superpower dibandingkan negara Amerika Serikat dan Tiongkok yang tidak pernah memproklamirkan diri sebagai negara agama tertentu. Sebagai demokrat agamis, Maarif juga menolak sekulerisme sebagaimana ia menolak teokrasi. Baginya, dibutuhkan negara untuk menyokong Nilai-nilai agama Islam. Ia merujuk pada tafsir Muhammad Assad yang menyatakan bahwa Al-Qur’an 507 Maarif, A. S. (2017) Islam dan Pancasila sebagai dasar negara : studi tentang perdebatan dalam konstituante. Bandung Mizan, 2017 378 menjawab pertanyaan sentral kehidupan manusia, yakni: bagaimana seharusnya seseorang berperilaku dalam kehidupan ini untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada wilayah manusia yang sepenuhnya menjadi sekular, semua menjadi wilayah agama, yang berorientasi pada Nilai-nilai transendental. Al-Qu’an menyediakan prinsip etika dan moral yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa untuk bisa maju. Misalnya Al-Qur’an mengajarkan prinsip Syuro yang sangat erat dengan demokrasi. Karena itu, demokrasi di Indonesia bisa mengambil konsep Syuro yang ada di Al-Qu’an sebagai inspirasi untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia.508Dan konsekuensinya juga, berdemokrasi sama juga dengan beribadah kepada Allah SWT. Selain Assad, Maarif juga mengambil Mahmud Shalthout, mantan rektor Al-Azhar, sebagai inspirasi. Bagi Shalthout, Islam tidak hanya soal aqidah dan syariat, tapi juga keadilan. Hal ini dipertegas lagi oleh fungsi Islam sebagai rahmat buat semesta alam, dimana orang sekuler dan atheis pun akan merasakan nikmat itu. Dengan demikian, Muslim tak boleh mendiskriminasi orang atheis, agnostic, atau sekuler. Kecuali jika terjadi pelanggaran hukum positif dimana setiap warga negara diperlakukan sama di mata hukum apapun keyakinannya. 509 Karena itu, sebagai demokrat agamis, ada tiga landasan pemikiran yang menjadi dasar sikap Maarif. Yang pertama, sikap essensialist. Kedua, prinsip kemaslahatan. Ketiga, etika garam dan gincu.Sikap essensialis adalah mendahulukan maqasith syarait ketimbang pelaksanaan hukum syariat secara tekstualist. Jika tujuan maqasith syariat adalah menjaga harkat dan martabat manusia (perempuan dan laki-laki), maka Islam diturunkan bukan untuk membuat wanita disweeping di tengah jalan lalu dipaksa untuk memakai jilbab, melainkan untuk memberi kebebasan kepada 508 Asroni, A. (2011). Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan Syariat Islam di Indonesia. Millah Jurnal Studi Agama, X(2). 509 Maarif, A. (n.d.). Percakapan dengan Ahmad Syafii Maarif. nurcholismadjid.org. 379 perempuan untuk memilih pakaiannya sendiri. Jika perempuan memilih untuk memakai jilbab, maka tak seorang pun (bahkan negara) yang boleh melarangnya. Sebaliknya, jika seorang perempuan memilih tidak memakai jilbab, maka tak satu manusia pun berhak memaksa dia memakai jilbab. Dengan kata lain, yang perlu ditegakkan dalam Islam adalah ‘api’nya, bukan ‘debu’nya. Maka dalam menyikapi suatu masalah, Maarif selalu menjadikan substansi Islamsebagai tolak ukur, seperti: keadilan, kebaikan, dan keindahan. Menurut Maarif, negara merupakan alat untuk menjunjung tinggi moralitas yang menjadi esensi dari Islam.. Karena itu, ada istilah hudan li al-nâs; hudan li al-muttaqîn: hakikat agama adalah petunjuk bagi manusia, yang di dalamnya mencakup moral yang komperhensif. Jadi, posisi negara tidak lain untuk menuntun warganya mencapai moralitas yang salah satunya, dan terutama, bersumber dari agama Prinsip kemashlahatan adalah kelanjutan dari sikap substansialis. Cara pandang kemashlahatan adalah dengan melihat dampak jangka panjang. Yakni, apakah keputusan yang diambil lebih banyak manfaat atau mudharatnya dimasa depan. Alasan utama Piagam Jakarta ditolak oleh pendiri bangsa yang beragama Islam adalah karena menganak-emaskan satu agama dibandingkan dengan agama yang lain akan membuat bangsa Indonesia yang majemuk ini pecah. Kebebasan beragama telah diberikan, tak perlu negara ikut campur memaksa warga negara untuk taat beribadah. Peribadatan yang dikerjakan dengan terpaksa hanya akan melahirkan kepalsuan. Ketiga, filosofi garam dan gincu510. Yang dimaksud dengan falsafah garam adalah tidak tampak tapi terasa, sementara filosofi gincu ialah tampak tapi tak terasa. Artinya, simbol-simbol seperti nama “negara Islam” atau “provinsi syariat” justru akan mempermalukan wajah Islam sendiri jika negara atau provinsi itu penuh dengan korupsi, hukum yang tumpul ke atas, dan perusakan 510 Maarif, A. S. (2004) Mencari Autentisifitas dalam Kegalauan. Jakarta. Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiah, 2015. 380 lingkungan. Sebaliknya, jika tak memakai nama ‘Islam” tetapi mampu menampilkan performa akhlak dan peradaban yang menawan, maka akan membuat orang tertarik pada Islam. Karena bukan hanya kualitasnya bermutu, tetapi juga ada sifat inklusif. Sifat inklusif yang berperadaban ini jugalah yang membuat negara Eropa menarik bagi Muhammad Abduh, sehingga ia pernah berkata “Aku ke Barat, ku temukan Islam tapi tak kutemukan Muslim. Aku ke Timur, aku temukan banyak sekali Muslim, tetapi tidak kutemukan Islam”. Singkatnya, yang penting bukan bentuk negaranya. Tapi apakah negara itu mampu mewujudkan moral dan etika publik. Sebagai negara bangsa, etika publik Indonesia adalah Pancasila. Argumenargumen moral publik harus dibangun dari ayat-ayat konstitusi dan Pancasila, bukan dari ayat-ayat kitab suci. Meskipun ada inspirasi etika dari kitab suci, hal itu harus disampaikan dengan argumentasi rasional untuk diuji secara publik. Bukan dengan mengutip ayat suci dan mengancam yang tidak menerimanya sebagai sesat atau kafir. Kekuatan Pancasila ‘Kekuatan’ di sini bukan bermaksud membandingkan siapa lebih baik antara Pancasila dengan Islam maupun dengan agama atau ideologi lainnya. Melainkan sebagai refleksi atas potensi apa yang Pancasila punya, tidak hanya sebagai pemersatu bangsa, melainkan juga sebagai sumber nilai dan falsafah hidup orang Indonesia. Cara melihat kesesuaian Pancasila dengan Islam bukan dengan cara melihat akar sejarah kelahiran mereka, tetapi dengan mengadu kesesuaian Nilai-nilai yang dikandung mereka. Bagi Maarif, Pancasila yang mengandung lima nilai luhur merupakan parafrase dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Dia memang bukan terdiri dari kutipan ayat-ayat suci, tapi pesannya terdapat di semua kitab suci. Oleh karena itu, Pancasila adalah ajaran Islam bagi Muslim, ajaran Hindu bagi penganut Hindu, ajaran Sidharta bagi pemeluk Budha, ajaran Kristen bagi umat Kristiani, ajaran Confusius bagi warga Kong Ho Cu. Pancasila adalah titik temu dari Nilai-nilai kebaikan 381 agama dunia. Di saat yang bersamaan, Pancasila juga merupakan perpaduan lima ideologi besar dunia, yakni monoteisme, humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme511. Untuk merevitalisasi pesan Pancasila, Yudi Latif512 memparafrase kelima sila menjadi: 1. Ketuhanan Yang Berkebudayaan 2. Kemanusiaan Universal 3. Persatuan dalam kebhinekaan 4. demokrasi Permusyawaratan 5. Keadilan Sosial Krisis Keteladanan Pancasila Jika Pancasila memiliki potensi sehebat itu, pertanyaannya kemudian kenapa sebagian penduduk Indonesia masih berpaling dari Pancasila dan masih mengimpikan negara Islam, sistem khilafah, dan hukum syariat? Menurut Maarif, hal ini disebabkan oleh perilaku orang yang mengangung-agungkan Pancasila, tetapi perilaku mereka justru sangat tidak Pancasilais. Sehingga orang memilih alternatif ideologi lain. Contoh yang paling sering dikutip Maarif adalah Soekarno, ia kecewa cara Soekarno memperlakukan lawan-lawan politiknya dan bagaimana sang proklamator itu berubah menjadi pemimpin otoriter.513 Tetapi semua bangsa di dunia memiliki paradoks yang serupa. Yakni sang pencetus ide merupakan orang yang melanggar ide itu 511 Rahardjo, M Dawam. (2010) Merayakan Kemajemukan Kebebasan Dan Kebangsaan. Kencana, 2010 512 Latif, Y. (2011) Negara paripurna : historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2011 513 Maarif, A. S. (2004) Mencari Autentisifitas dalam Kegalauan. Jakarta. Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiah. 382 sendiri. Misalnya saja Thomas Jefferson yang menulis di konstitusi Amerika bahwa “semua manusia diciptakan sama”, tetapi dia sendiri memiliki budak. Atau John Stuart Mill yang menjadi pemikir tentang ide liberalism, tetapi dia sendiri mendukung penjajahan Inggris terhadap India. Padahal, seperti yang kita tahu, penjajahan merupakan pemberangusan kebebasan manusia. Meskipun demikian, tidak berarti Indonesia miskin suri tauladan. Maarif memang mengkritik pendiri bangsa Soekarno, tapi dia juga sangat mengagumi pendiri bangsa satunya lagi: Muhammad Hatta. “Diantara sekian banyak tokoh bangsa yang saya hormati dan kagumi, Bung Hatta adalah puncaknya.”514 Keteladanan, bagi Maarifadalah ‘antara kata dan perbuatan haruslah seiring sejalan’515. Keteladanan tokoh nasional bagi Maarif ada pada Bung Hatta, “jika bangsa ini masih ingin punya masa depan yang cerah, Hatta wajib dijadikan rujukan utama dan pertama”. Bisa dilihat, pemimpin yang diutamakan Maarif adalah pemimpin moral, bukan pemimpin yang sifatnya eksekutor dengan kemampuan menyelesaikan masalah kongkret bangsa sehari-hari seperti harga sembako yang naik, kualitas pendidikan yang anjlok, dan penegakan hukum yang tumpul. Masalahnya kemudian, bagaimana kita bisa memastikan Indonesia akan melahirkan reinkarnasi Hatta di tiap dekade? Adalah sebuah utopia memimpikan bangsa ini akan terus menerus melahirkan philoshoper king. Kepemimpinan itu penting, tapi yang lebih penting adalah membangun institusi yang berasaskan Pancasila. Yang diperlukan adalah membangun institusi yang mampu memaksa Presiden terpilih yang awalnya Islamis, tapi oleh sistem mau tidak mau harus menjadi seorang Pancasilais. Untuk menjaga Pancasila sebagai institusi, diperlukan kerja keras angkatan muda Islam Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. 514 Ibid., h. 229 515 Ibid., h. 222. 383 Muslim-Pancasila Sebagai negara mayoritas Islam yang barhaluan Pancasila. Paradigma Muslim Indonesia sepatutnya adalah Muslim Pancasila. Artinya Pancasila dan UUD 1945 harus dilihat sebagai Nilainilai makruf yang harus diperjuangkan. Bukan berarti bahwa kita menggantikan Al-Qur’an dan Hadits dengan Pancasila dan UUD 1945, tetapi kita sadar bahwa tak ada Nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 yang bertentangan dengan nilai Al-Qur’an. Sebaliknya, kita pun juga perlu melawan segala bentuk usaha yang menggantikan Pancasila sebagai nahi mungkar. Menjadi Bineka adalah sunnatullah, melawan keberagaman berarti melawan hukum Tuhan. Oleh karena itu, membela Pancasila sama dengan membela Islam. Menjadi Pancasialis berarti menjadi Muslim. Untuk membangun kader Muslim-Pancasila, Maarif berharap banyak pada lembaga keagamaan seperti NU dan Muhammadiah. Bahkan dia menginginkan agar dua organisasi Islam itu melampaui sekat-sekat sektarian dan kepentingan politik sesaat, sehingga betulbetul bisa fokus untuk membangun peradaban Islam yang inklusif dan moderat. Karena itu, yang harus dilakukan oleh Muslim Indonesia adalah memperbaiki kualitasnya menjadi rahmatan lil alamin. Jika setiap Muslim di Indonesia menjadi rahmat bagi semesta alam, otomatis bangsa ini akan menjadi besar dengan sendirinya.516 Selain meningkatkan kualitias diri menjadi Muslim yang rahmatan lil alamin, Muslim-Pancasila juga harus berupaya membuat Indonesia menjadi negara Pancasila. Bagi seorang Muslim-Pancasila, negara Pancasila adalah negara berfilosofi garam, yakni secara kasat mata bukan negara agama, tetapi Nilai-nilai yang hidup dan aktif di dalam negara itu adalah Nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari mata air agama. Ditinjau dari pemikiran Maarif sebagai seorang Muslim-Pancasila, karakteristik negara Pancasila sebagai berikut: Pertama, negara bangsa, yakni bukan negara yang menomor 516 Maarif, A. S. (2015) Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan kemanusiaan : sebuah refleksi sejarah. Ujungberung, Bandung Kerja sama Mizan [dan] Maarif Institute, 2015. 384 satukan agama tertentu dan menganaktirikan agama lain karena minoritas atau mayoritas. Tetapi negara netral agama yang berdasarkan konsensus dari beragam suku, budaya, dan aliran kepercayaan. Karena itu, negara syariat tertolak dengan sendirinya. “Piagam Jakarta tidak perlu lagi dilihat dari perspektif legal formal, tetapi diambil ruhnya berupa tegaknya keadilan yang merata bagi seluruh penghuni Nusantara, tanpa diskriminasi”517. Dari konsep negara bangsa ini, maka lahirlah konsep warga negara. Kewarganegaraan adalah saat seorang individu hanya dilihat sebagai warga negara yang memilki hak dan kewajiban seperti warga negara lainnya, tak peduli latar belakang agama, suku, dan identitas lainnya. Istilah mayoritas dan minoritas dihapus, yang ada hanya satu: warga negara Indonesia yang setara. Kedua, negara yang menjunjung tinggi kebebasan manusia, bahkan jika ia memilih untuk menjadi ateis. Bagi Maarif, manusia yang memilih untuk tidak beriman pun harus diberikan haknya untuk tidak percaya kepada Tuhan, sama seperti manusia yang memilih untuk percaya kepada Tuhan. Yang penting, baik yang beriman maupun yang ateis, mereka tak melanggar hukum.518 Dari sini, bisa dikatakan negara Pancasila adalah negara hukum yang melindungi kebebasan beragama, berpikir, berekspresi, dan berpendapat. Ketiga, negara yang memiliki transaparansi, akuntabilitas, dan nilai-nilai integritas dalam tata kelola pemerintahan. Salah satu yang membuat negara ini ambruk adalah korupsi yang sudah menjadi budaya. Oleh sebab itu, jihad melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak boleh kendor. Keempat, negara demokrasi. demokrasi ada dua, yakni prosedural dan substansial. demokrasi prosedural adalah demokrasi yang hanya peduli dengan pemilihan langsung kepala negara atau daerah, tanpa peduli dengan Nilai-nilai budaya masyarakat di dalamnya. Efek dari demokrasi yang hanya prosedural adalah ia bisa melahirkan negara yang illiberal demokrasi. Secara proses 517 Ibid., h. 322 518 Ibid., h. 320 385 pergantian pemimpin dengan metode dipilih langsung, tapi dalam menjalankan kekuasaannya bersifat otoriter dan memberangus kebebasan warga negara. Sementara itu, demokrasi substansial adalah sistem yang menghidupkan Nilai-nilai demokrasi agar hidup dijantung masyarakat. Nilai-nilai demokrasi adalah kebebasan. Sambil mengutip Hatta, bagi Maarif, menjadi Indonesia adalah menjadi seorang demokrat dan jika demokrasi jatuh maka jatuhlah Indonesia.519 Muslim-Pancasila harus melindungi demokrasi di Indonesia agar jangan sampai dibajak oleh orang-orang yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Kelima, negara yang mengemansipasi perempuan. Perempuan adalah separuh dari populasi Indonesia. Jika separuh populasi ini tidak sekolah, maka separuh Indonesia akan bodoh. Bila separuh populasi ini tidak bekerja, maka separuh tenaga dan pikiran produktif bangsa ini tumpul dan mandul. Oleh karena itu, hak-hak perempuan sebagai warga negara harus dilindungi negara (Maarif, 2004, 2015). Keenam, negara yang multikultural. Keberagaman adalah takdir dari Tuhan. Indonesia ditakdirkan menjadi bangsa yang Bineka. Tantangannya adalah bagaimana agar anak bangsa yang berbedabeda ini bisa bahu-membahu membangun negeri dan peradaban (Maarif, 2004, 2015, 2017). Untuk itu, dengan semangat Bineka Tunggal Ika, negara harus menjamin persamaan hak kelompok minoritas yang tinggal di negara ini. Bahkan kalau perlumemberikan kebijakan afirmasi kepada kelompok minoritas yang selama ini ditindas dan diperlakukan tidak adil secara struktural. Ketujuh, pendidikan kritis yang bermutu. Peradaban dibangun oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahun dibangun oleh sistem pendidikan yang berkualitas. Masalah yang dihadapi Muslim Indonesia saat ini adalah mereka menang secara kuantitas, tapi kalah total secara kualitas. Menurut Maarif, salah satu faktor penyebabnya adalah dualisme ilmu pengetahuan (ilmu agama vs ilmu dunia) yang hinggap di mental Muslim Indonesia. Akibatnya, orang lebih 519 Maarif, A. S. (2004) Mencari Autentisifitas dalam Kegalauan. Jakarta. Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiah 386 terpanggil untuk mempelajari agama dan menganggap rendah ilmu eksakta, sosial, dan humaniora. Tantangan Muslim-Pancasila adalah menghapus dualisme ilmu dalam mental berpikir Muslim Indonesia.520 Tujuh poin negara Pancasila diatas: negara bangsa, kebebasan, integritas, demokrasi, emansipasi, multikultural, dan pendidikan kritis adalah Nilai-nilai Islam. Sebuah negara bisa menjadi Islam tanpa harus menjadi negara Islam yang sifatnya memaksa. Oleh sebab itu, meminjam istilah Cak Nur, bisa diambil kesimpulan bahwa negara Pancasila adalah ‘Islam Yes, negara Syariat No’. Dengan kata lain, negara Islam bukan Pancasila, tapi bukan berarti Pancasila bukan Islam. Krisis Kebijakan Pancasila Meskipun demikian, pasal-pasal diskriminasi terus terjadi di Indonesia karena pengambil kebijakan tidak memiliki perspektif dan tidak menjiwai pentingnya Pancasila. Bagi mereka, perda syariat atau kebijakan yang memberangus hak minoritas dilegitimasi oleh Pancasila. Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, generasi Muslim-Pancasila harus mengambil alih kembali kebijakan publik sebagaimana pendiri bangsa menyelamatkan Indonesia dari Piagam Jakarta. Pancasila itu tidak sakti, maka karena itu perlu kita jaga dan bela. Salah satu penyebab maraknya keinginan Muslim Indonesia untuk menegakkan syariat sebagai hukum positif disebabkan oleh kegagalan negara Indonesia dalam menegakkan keadilan sosial. Jika menegakkan syariat Islam gagal dalam skala nasional, maka diupayakan dalam skala daerah melalui peraturan daerah (perda). Menurut Gus Dur, Pancasila berperan dalam merefleksikan pesan-pesan utama seluruh agama. Dalam perspektif Islam sendiri, 520 Maarif, A. S. (2015) Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan kemanusiaan : sebuah refleksi sejarah. Ujungberung, Bandung Kerja sama Mizan [dan] Maarif Institute, 2015. 387 Pancasila sendiri merupakan perwujudan dari maqashid Syariah yang terekspresikan dalam bahasa non-agama. Dengan kesadaran ini, Muslim Pancasila menolak pendirian dan formalisasi agama. Mereka lebih menekankan substansi agama yang berupa Nilainilai universal ketimbang peraturan teknis cara menghukum orang berdosa. Mereka memposisikan negara Indonesiasebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Dengan demikian, melalui Pancasila, Muslim Indonesia menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya dalam arti sebenarnya. Dalam konteks ideal Pancasila ini, setiap orang bisa saling membantu untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahateraan duniawi, dan setiap orang bebas beribadah untuk meraih kesejahteraan ukhrawi tanpa mengabaikan yang pertama.521 Sikap nasionalis ini merupakan tanggung jawab mereka untuk menjamin agar Indonesia tidak pecah dimasa depan karena konflik agama. Pancasila diharap mampu merawat budaya dan tradisi Nusantara yang mampu menampung keragaman. Dengan Pancasila, Muslim Indonesia diharapkan mampu menjadi pribadi-pribadi yang terus berusaha untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada siapa pun tanpa mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan cara demikian, Muslim Indonesia bisa menjadi rahmat bagi semua manusia. 521 Wahid, A. Musuh Dalam Selimut. In: A. Wahid, ed., Ilusi negara Islam, 1st ed. Jakarta: The Wahid Institute. 2009. H. 17 388 Daftar Pustaka Asroni, A. (2011). Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan Syariat Islam di Indonesia. Millah Jurnal Studi Agama, X(2). Assyaukanie, L Ideologi Islam dan Utopia. 1st ed. Jakarta: Freedom Institute.2011 Latif, Y. (2011) Negara paripurna : historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2011. Maarif, A. S. (2017) Islam dan Pancasila sebagai dasar negara : studi tentang perdebatan dalam konstituante. Bandung Mizan, 2017 Maarif, A. S. (2015) Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan kemanusiaan : sebuah refleksi sejarah. Ujungberung, Bandung Kerja sama Mizan [dan] Maarif Institute, 2015. Maarif, A. S. (2004) Mencari Autentisifitas dalam Kegalauan. Jakarta. Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiah, Rahardjo, M Dawam. (2010) Merayakan Kemajemukan Kebebasan Dan Kebangsaan. Kencana, 2010 Wahid, A. Musuh Dalam Selimut. In: A. Wahid, ed., Ilusi negara Islam, 1st ed. Jakarta: The Wahid Institute. 2009 389 TENTANG PENULIS Aminah dIlahirkan di Pangkalan Berandan Kecamatan Babalan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada 25 Juli 1989. Penulis merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara. Kedua orangtuanya bernama (Alm) Ahmad Basri dan Alinuri. Pendidikan dasar penulis di SD Negeri 8 Pangkalan Beran dan selesai pada tahun 2001. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan di SLTP Dharma Patra UP-1 T. Lagan Pangkalan Berandan yang diselesaikan pada tahun 2004. Selepas itu penulis melanjutkan pendidikan di SMA Dharma Patra Pertamina Pangkalan Berandan diselesaikan pada tahun 2007. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan Strata I (S-1) di STAIN Zawiyah Cot Kala Langsapada prodi Ahwal Asy-Syakhsiyah tiap tahunnya selalu mendapatkan beasiswa prestasi dari Pemerintah dan lulus pada tahun 2011 dengan predikat Cumlaude tertinggi saat itu. Kemudian pada tahun 2013 penulis berhasil mendapatkan beasiswa studi untuk melanjutkan pendidikan Strata II (S-2) ke Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara pada prodi Ilmu Hukum dan selesai dengan predikat Terpuji pada tahun 2015. Selama menempuh pendidikan penulis aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IKM) dan sekarang menjadi Ketua Nasyiatul Aisyah Cabang Kota Langsa. Saat ini penulis aktif sebagai Dosen PNS di IAIN Langsa pada Fakultas Syariah dan memiliki jabatan tambahan sebagai Ketua Pusat Studi Peradilan Semu. Anis Kurniawan, Penulis dan peneliti kelahiran Bulukumba Sulawesi Selatan 9 November. Menyelesaikan kuliah di Program Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar (UNM), dan pernah belajar Ilmu Politik di Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta. Menulis buku “Demokras di Sarang Penyamun” (Kumpulan Esai Politik) 2017, Politik Pemiskinan (diterbitkan Ford Foundation dan FIK Ornop Sulsel 2012), Pemilu 2014 dan Dilema Mendorong Demokrasi Subtantif (diterbitkan Tifa Foundation dan Fik Ornop 390 Sulsel), Kumpulan Cerpen “Wajah dan Wajah” (2008), Telinga Palsu (Antologi Esai, 2018) dan beberapa antologi bersama. Aktif sebagai peneliti di Perkumpulan KATALIS sejak 2017, sebelumnya pernah bekerja sebagai Media konsultan di Oxfam. Pada tahun 2008 menjadi Delegasi Indonesia pada Temu Cerpenis muda se-ASEAN. Mengikuti Sekolah Pemimpin Muda Indonesia, KBFP Fellowship Program 2018. Menjadi editor puluhan buku tema Sastra, Budaya dan Politik. Selain menulis buku dan menjadi narasumber di berbagai forum, ia juga aktif menulis di berbagai media antara lain Tribun Timur, Harian Fajar, Kendari Pos, Media Indonesia, dan lainnya. Tulisan-tulisannya juga dapat dijumpai di Detik.com, qureta.com dan klikhijau.com. Sejak setahun terakhir, mendirikan Klikhijau. com, sebuah portal yang concern pada isu-isu lingkungan hidup dan menjadi penulis tetap di dalamnya. Menerima penghargaan KAHATI AWARD dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2019) atas dedikasinya pada literasi lingkungan. Dapat dihubungi melalui email: ayyin2009@gmail.com. Didi Rahmadi, riwayat pendidikan Strata Satu (S1) ditamatkan di Jurusan IlmuPolitik, FISIP USU (2007) dan Studi Master Ilmu Politik (S2) ditamatkan di Department of Political Science Faculty of Arts, Aligarh Muslim University, India (2013). Saat ini mengajar pada Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas dan Jurusan Ilmu Politik FISIP UMSB, Padang, untuk mata kuliah Sistem Politik Indonesia, Ekonomi Politik dan Gerakan Sosial. Selain aktif mengajar, Ia juga relawan gerakan petani di DPW SPI Sumatera Barat, dan Direktur Daulat Institute Sumatera Barat. Beberapa artikelnya sempat dimuat di Padang Ekspres (Sumbar), Waspada (Sumut), dan Analisa (Sumut) dan Ia juga terlibat dalam penulisan Buku bersama yang diterbitkan Mizan (Politik Kaum Muda, 2017) dan DKPP R.I. (Problematika Pemilukada Serentak 2015, 2016). Dwi Wahyuni dIlahirkan di Desa Lubar Kecamatan Simpang Martapura Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan pada 19 Maret 1993. Penulis merupakan anak ke enam dari enam bersaudara. 391 Kedua orang tua bernama Bahrom dan Suparti, namun sejak kecil telah diasuh oleh kedua orang tua angkat bernama Suparman (alm) dan Siti Patimah. Pendidikan dasar penulis di SD Negeri 2 Muaradua selesai pada tahun 2005. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan di SMP Negeri 1 Muaradua yang diselesaikan pada tahun 2008. Selepas SMP melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Muaradua diselesaikan pada tahun 2011. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Jurusan Perbandingan Agama,lulus tahun 2015. Pada tahun 2016 penulis melanjutkan pendidikan Magister pada program studi Religious Studies di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, lulus pada Agustus 2018. Selama menjalani pendidikan di UIN Raden Fatah Palembang penulis aktif di organisasi ekstra kampus, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Penulis menyelesaikan pendidikan Strata Satu dalam jangka waktu 8 (Delapan) semester dengan Skripsi berjudul “Peranan HMI dalam Mewujudkan Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia (Analisis Terhadap Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI)”. Penulis menyelesaikan pendidikan program Magister di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam jangka waktu 4 (empat) semester dengan Tesis berjudul “Gerakan Dialog Keagamaan Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) dan Kontribusinya Terhadap Kerukunan Hidup Umat Beragama di Kota Bandung”. Saat ini penulis telah menetap di kota Padang dan sebagai dosen pada prodi Studi AgamaAgama Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang. Eko Nur Wibowo, lahir di Sukoharjo 1 Januari 1997. Penulis tinggal di Sumuran Wetan rt 01/06, Kragilan Mojolaban, Sukoharjo. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Orang tuanya bernama Sutrisno dan Sulistiyani telah merawat, mendidik dan membimbingnya dengan penuh kasih sayang. Pendidikan dasar penulis dimulai dari TK Aisyah Suruh Kalang, Kemudian lanjut masuk SD Negeri 3 Kragilan(2003-2009), SMP Negeri 1 Mojolaban (2009-2012) dan SMK Negeri 2 Surakarta (2012-2015). Untuk program S-1 ditempuh di IAIN Surakarta prodi Pendidikan Agama Islam (2015-2019). Saat ini sedang proses S2 di IAIN Surakarta 392 program studi Pendidikan Agama Islam. Selain belajar, aktivitas penulis yaitu mengajar di salah satu SD area Solo Raya, freelance writer dan menjadi editor dan CMO Elsage Publisher. Beberapa prestasi yang diperolehnya antara lain, penerima beasiswa Bidikmisi 2015, salah satu penulis artikel jurnal berjudul, “Variasi Pemahaman Keagamaan Mahasiswa IAIN Surakarta” di Jurnal Academica IAIN Surakarta, tulisannya, “Kisah Petualang Berburu Buku” dimuat dalam antalogi Memoar Teladan Para Pembaca Buku diterbitkan Diomedia, tulisan berjudul, “Ketupat dan Hidangan Pertaubatan diterbitkan di web IAIN Surakarta tanggal 14 Juli 2016, tulisan, “Model Pengembangan Multikultural Berbasis Pendidikan Islam” publikasikan di Proceeding International Student Conference on Islamic Studies (ISCIS) 2018, Tulisan, “Relevansi Pendidikan Karakter Dalam Film Kungfu Panda terhadap Pendidikan Agama Islam”, di Jurnal Raushn Fikr 2018, narasumber menulis esai dan memoar Komunitas Kuncup Imajinatif Club, founder Komunitas Omah Karya Indonesia dan lain-lain. Untuk info lebih lanjut bisa hubungi via wa 085728650142 atau email di ekonurw8@gmail.com / ekoonoer@gmail.com Hamka Husein Hasibuan, lahir pada tanggal 01 Mei 1992 di Desa Siolip, Kec.Barumun, Kab. Padang Lawas, Sumatera Utara. Ia menyelesaikan Strata Satu (S1) pada Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan melanjutkan S2 pada kampus yang sama dengan Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik, Interdisciplinary Islamic Studies (IIS). Sejumlah prestasi pernah diperolehnya: Martha C. Beck’s Scholarship (2018) untuk beasiswa penelitian tesis, pemenang Sayembara Penulisan Artikel Ilmiah Panangkaran (2017), dan finalis Musabaqah FahmiKutubit Turas (Mufakat) Tingkat Nasional. Saat ini, ia aktif menulis di berbagai media on-line: IBTimes.id, jalandamai. org, Islami.co, dutaIslam, lekfis, dan qureta.com, dan menjadi kontributor tetap pada sejumlah media resmi nasional dan lokal Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Karya yang sudah dipublikasikan: Konstruksi Pemikiran Candah dalam JemaatAhmadiyah: Tinjauan Filsafat Hukum Islam (Panangkaran, 393 2017). Penulis bisa dihubungi lewat email: hasibuan152@gmail. com dan nomor kotak (+6282369323463). Indah Fajar Rosalina, lahir di Jakarta, pada 19 Agustus 1992. Penulis menempuh pendidikan S1 Komunikasi Penyiaran Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lalu melanjutkan studi S2 nya di Universitas Mercu Buana Jakarta sebagai Magister Komunikasi Politik. Selama perjalanan karirnya, penulis banyak menghabiskan waktu dalam dunia jurnalis. Ia pernah bekerja sebagai wartawan harian Koran Jawa Pos, baik Surabaya maupun Jakarta. Penulis juga pernah bekerja dalam perusahaan media terbesar di Indonesia (MNC Group) sebagai reporter dan produser TV sebuah acara talkshow di MNC News. Selain itu, penulis juga pernah mengelola media informasi dan pemberitaan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri RI, baik media, website, dan jurnal ilmiah selama 3 tahun. Semasa menjadi mahasiswa di UIN Jogja, penulis aktif dalam organisasi Lembaga Pers Mahasiswa ARENA sebagai redaktur Bahasa, dan punggawa kampus (wartawan kampus) pada Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Di Jogja, penulis juga pernah terlibat dalam proses penelitian dan penulisan buku yang berjudul “Perlindungan Polisi Terhadap Kaum Minoritas dan Pelayanan Publik di Wilayah Polda DIY” penerbit PUSHAM UII (Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam Indonesia). Untuk informasi lebih lanjut tentang penulis, dapat menghubungi email indahfajarrosalin@gmail.com Iqbal Suliansyah lahir pada Sabtu, 21 Maret 1987 di Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Ia menyelesaikan studi Strata Satu (S1) di Jurusan Teknik Mesin, Fakultas teknik, Universitas Malikussaleh, Aceh (2012). Ia mengawali karirnya menjadi Presenter dan Reporter Radio Republik Indonesia dari tahun 2008 hingga 2017. Ia sempat bertugas mewakili Provinsi Aceh dalam program Protokoler Perbantuan Istana Presiden ditahun 2012. Saat ini, ia fokus mengembangkan Klik Aceh (www.klikaceh.net) , serta program sosial SERBU (Sebar nasi bungkus) gratis setiap hari Jumat dan 394 aktif di berbagai organisasi diantaranya Purna Paskibraka Indonesia Provinsi Aceh sebagai Wakil Ketua dan Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Provinsi Aceh serta Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Langsa Kota. Untuk berkomuikasi lebih lanjut dapat dihubungi melalui email : iqbalsuliansyah@gmail.com Jalaluddin. B lahir pada tanggal 13 Juni 1987 di Ujung Pandang yang saat ini lebih dikenal dengan Kota Makassar. Ia menyelesaikan studi Strata Satu (S1) pada Program Studi Sastra Inggris dengan konsentrasi pada Studi Linguistik, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin Makassar (2009) dan menyelesaikan studi Magisternya (S2) pada Program Studi Kajian Budaya dan Media (KBM) di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2013). Saat ini, Ia adalah Dosen Tetap pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Fak. Dakwah dan Komunikasi, UIN Alauddin Makassar dengan mata kuliah binaan, yakni Komunikasi Lintas Agama dan Budaya. Mata kuliah peminatan yang sering Ia ajarkan adalah Filsafat Komunikasi, Komunikasi Politik dan Opini Publik, Komunikasi Massa, dan Psikologi Komunikasi. Sejumlah prestasi yang pernah diperolehnya, antara lain: Penerima Partial Scholarship untuk Program Ph.D. dari Mahidol University, Thailand (2018); Selected Panels pada acara Seminar Internasional Annual International Conference On Islamic Studies (AICIS) ke-18 di IAIN Palu (2018); Pembicara pada International Conference On Social and Political Sciences (ICOSPS) di Bandung (2019); Pembicara pada Kuliah Umum Program Studi Ilmu Komunikasi, Fak. Dakwah dan Komunikasi, UIN Alauddin Makassar dengan tema: “Moderasi Agama: Perwajahan Pluralisme Dalam Bingkai Bhinneka Tunggal Ika” (2019); dan Pembicara pada kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (IMIKI) Cab. V Makassar (2019). Untuk informasi lebih lanjut, Ia dapat dihubungi melalui nomor WA: +62 82137443127 atau gmail: jalal.basyir@uinalauddin.ac.id. 395 Magfirah lahir pada tanggal 5 september 1995 di Pangkajene, Ia menyelesaikan studi Strata satu (S1) di Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negri Manado, Manado (2019). Semasa kulliah beliau aktif berorganisasi salah satunya Ikatan Mahasiswa Muhammadiayah, pada tahun 2017 beliau diangkat sebagai ketua komisariat IMM IAIN MANADO, bukan itu saja beliau juga dipercayakan sebagai seketaris perkembangan ilmu pengetahuan oleh Dema FUAD, dalam amanah tersebut beliau mendirikan sebuah forum yang dinamai forum suara emas Mahasiswa. aktif pada komunitas Pemuda Pemudi Lintas Iman yang tergabung dalam keluarga besar Ingage Manado, selain aktif berorganisasi penulis juga mencetak beberapa prestasi semasa kulliah juara 1 Lomba entrepreneur Festival Ekonomi Syariah BI Manado 2017, lolos Peserta Internasional Student Conference on Islamic (ISCIS) Manado, tahun 2018, untuk informasi lebih lanjut dapat dihubungi melalui gmail Magfirah@iain-manado.ac.id. Masthuriyah Sa’dan lahir di Sumenep Madura JawaTimur, pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, kuliah S1 di Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Sumenep lulus tahun 2010, dan S2 di Jurusan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga lulus tahun 2014. Saat ini menjadi peneliti di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Guru di Pondok Pesantren Waria Al-Fattah Yogyakarta, anggota PW. Fatayat DIY dan anggota Perserikatan Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta. Penulis bias dihubungi di masthuriyah.sadan@gmail.com M Mirza Ardi dIlahirkan di Banda Aceh pada Januari 1986. Menamatkan pendidikan Sarjana di FKIP Bahasa Inggris Unsyiah. Selama menjadi mahasiswa S1 dia aktif di kegiatan dakwah kampus (LDK) dan Badan Eksekutif Mahasiswa. Tahun 2009 dia mendapat beasiswa untuk studi singkat (short course) di Ohio University, Amerika Serikat. Setelah tamat dari Unsyiah, Mirza aktif di gerakan 396 sipil yang mengusung ide Hak Asasi Manusia. Tahun 2016 dia melanjutkan sekolah di The University of Melbourne, Australia, mengambil program Master of Public Policy and Management. Selesai program Master, ia sempat menjadi peneliti di Pusat Studi Ilmu Sosial dan Budaya Unsyiah selama setahun. Pertengahan tahun 2019, Mirza pindahke Jakarta dan bekerja sebagai SustaiNability and Knowledge Management Officer di salah satu perusahaan swasta multinasional. Tulisan Mirza yang berupa artikel opini sering dimuat di Serambi Indonesia, The Jakarta Post, dan Tirto. Mulyadi lahir pada tanggal 02 Juli 1992 di Sigli Kabupaten Sigli, Aceh. Salah satu dari anak ketiga dari tiga bersaudara dari bapak Idris dan Sakinah. Ia adalah Alumni Sekolah Sukma Bangsa Aceh angkatan pertama (2009) yang melanjutkan studi Strata Satu (S1) pada Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, selesai tahun 2013. Ia melanjutkan program Magisternya (S2) di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh tahun 2015, dengan Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam. Saat ini sedang mengajar dan memberikan kontribusi ilmu dan pengetahuannya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa, Aceh, fokus memberikan pengajaran pada mata kuliah Filsafat, Studi Islam, Science, dan studi Humaniora. Selain mengajar, Ia juga aktif memberikan Forum Kajian Ilmiah mahasiswa pada setiap minggunya dalam bidang Aqidah, Tauhid, dan Tasawuf, dan pernah mengisi kajian Mingguan Friday Forum Dosen IAIN Langsa. Ia juga aktif menuis Jurnal dan buku yang telah diterbitkan di antaranya; Jurnal Bidayah Studi Ilmu-Ilmu KeIslaman STAIN Meulaboh, Aceh, Jurnal At-Tafkir IAIN Langsa, Jurnal Millati: Journal of Islamic Studies and Humanities IAIN Salatiga, dan merupakan salah satu Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebangsaan (SKK II) Ma’arif Institut for Cultur and Humanities. Ia telah menulis buku tentang Filosofi Islam Nusantara Perspektif Syed Muhammad Naquib Al-Attas (2018) dan sedang menunggu buku selanjutnya yaitu Islamisasi dan Islam Nusantara. Selain itu, ia merupakan salah kontributor tulisan pada buku Antologi Islam Formalisasi Syariat Islam dan Post-Islamisme Di Aceh (2019) yang 397 merupakan kumpulan tulisan-tulisan hasil buah pikir dari Intelektual Muda Aceh (IMA). Saat ini ia aktif untuk terus mengajar dan produktif untuk terus menulis serta menggeluti isu-isu yang sedang terjadi di dunia Nasional maupun Internasional untuk memperkaya ketajaman keilmuannya. Noor Hasanah terlahir di Martapura, Kalimantan Selatan. Ia pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Husnul Khatimah Kuningan – Jawa Barat, Universitas Al Azhar Kairo – Mesir konsentrasi Psikologi Islam, Institut Agama Islam Al Aqidah Jakarta Timur konsentrasi Pendidikan Agama Islam, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta konsentrasi Pendidikan Islam. Merintis pengalaman sebagai dosen honorer di STAI Sholahuddin Al Ayyubi (Jakarta), personal asisten pimpinan yayasan perguruan Islam Diniyyah – Al Azhar (Jambi), sekretaris kantor Noveline Sdn. Bhd (Selangor – Malaysia) dan dosen Islamic Media di eMedia Academy Institut Teknologi Utama Yayasan Felda (Malaysia), Dosen Tetap Yayasan di Universitas Achmad Yani Banjarmasin pada Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan. Saat ini aktif sebagai Dosen Tetap di UIN Antasari Banjarmasin dan Dosen Luar Biasa di STIKES Husada Borneo Banjarbaru dan Universitas Sari Mulia Banjarmasin. Selain memberi kuliah, aktivitas lainnya adalah sebagai penerjemah kitab-kitab Arab dan menulis berbagai buku. Beberapa karyanya atas kerjasama dengan Almihrab Publication (Malaysia): Ketika Kematian Datang Begitu Indah; Sejarah Nabi Isa AS; Yahudi: Catatan Hitam Sejarah; Tuhan, Tolong Aku; Kejayaan Islam Pasca Rasulullah ; Menuju Kejayaan Islam (ditulis bersama Afdilla Nisa, Lc, M. Ag), dan ; Siapa Dibalik Kejayaan Islam (ditulis bersama Afdilla Nisa, Lc, M. Ag). Di tahun 2019 ini ia mendapat bantuan hibah penerbitan buku dari PIU UIN Antasari Banjarmasin dengan judul Psikologi Agama Memahami Kesadaran dan Pengalaman Beragama Penganut Agama. Nuraini, lahir pada tanggal 19 november 1993 di Pesisir Selatan, Padang, Sumatera Barat. Dari seorang ibu bernama Erna Chaniago, 398 dan bapak Zainul. Penulis menyelesaikan Studi Srata Satu (S1) di Jurusan Filsafat, fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol, Padang (2015), dan melanjutkan Studi Megisternya (S2) pada Jurusan yang sama, pada Institut Agama Islam Negeri Fatmawati Bengkulu (2019), dengan judul tesis “Humanisme Islam dalam Pemikiran Ahmad Syafii Maarif”. Saat ini, penulis mengajar pada jurusan Filsafat, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah serta pada Jurusan Hukum, Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Bukittinggi dengan pengampuh mata kuliah Filsafat Nusantara dan Ilmu kalam. Saat ini penulis juga aktif dalam Pemuda Pelopor Perdamaian Sumatera Barat dengan tergabung dalam organisasi Pusaka Foundation kota Padang. Prestasi yang pernah diraih, diantaranya adalah Penerima Penghargaan lulusan terbaik S2 Filsafat dari IAIN Bengkulu, 2019; sebagai partisipan Indonesia Youth leader Volunteer dalam bidang Pendidikan Chapter Malaysia 2019; sebagai peserta terpilih dalam lomba Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, oleh IAIN Lampung 2018; Narasumber dalam talkshow dan Temu Maba Fuad yang dilaksanakan oleh Dema Fuad IAIN Bukittinggi, dengan topik “Menghilangkan Rasisme dengan Rasa Kebinekaan dan Islam” (2019); sebagai peserta terpilih dalam Short Course Pengelolaan Keragaman angkatan pertama, yang diadakan oleh Pusaka Foundation kota Padang; sebagai Ketua Umum PLI (Organisasi Kepenulisan Online), 2018; untuk info lebih lanjut tentang penulis bisa melalui WA 081267836092 atau FB, dengan akun Nuraini Zainal Chaniago. Ozi Setiadi dIlahirkan 14 Januari 1987 di sebuah desa bernama Kepala Sungai, desa di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Anak ke tiga dari empat bersaudara yang telah mengenyam pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sekolah Dasar (SD) Negeri 056616 adalah tempat pertama kalinya menimba ilmu di institusi formal sejak 1994 hingga 2000. Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebagai jenjang lanjutan di tempuh di SMP Negeri 1 Secanggang tahun 2000-2003, dan kemudian berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Stabat tahun 2003-2006. Usai menyelesaikan pendidikan 399 pada tingkat atas, kemudian mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, tepatnya di IAIN Sumatera Utara dengan jurusan Filsafat Politik Islam (FPI). Pendidikan S1 ini diselesaikan selama 3 tahun 8 bulan sejak 2006 hingga 2010. Vakum selama 1 tahu, kemudian pendidikan dilanjutkan pada jenjang strata dua (S2) di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Pemikiran Politik Islam tepat pada tahun 2011. Lulus dengan predikat cumlaude pada tahun 2013, sama seperti ketika berada di jenjang Strata 1. Kini, sedang mengikuti program beasiswa 5000 Doktor Kementerian Agama Republik Indonesia sejak tahun 2017 di perguruan tinggi dengan konsentrasi yang sama. Pangky Febriantanto, S.IP, M.IP merupakan alumnus S1 Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Universitas Gadjah Mada dan S2 Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, serta lulus dalam Student Mobility Program on Public Administration Studies di Khon Kaen University – Thailand. Aktif menulis di beberapa jurnal ilmiah terindeks, prosiding, paper, maupun artikel surat kabar. Penulis juga sering mempresentasikan tulisan-tulisannya dalam forum, seminar, konferensi tingkat nasional maupun internasional seperti dalam ICONPO VI International Conference tahun 2016 di Thammasat University, Bangkok – Thailand, 3rd Journal of Government and Politics International Conference tahun 2018 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta – Indonesia, maupun narasumber utama dalam seminar internasional “Social And Economic Development Challenges: Comparison Between Indonesia and Thailand” tahun 2018. Tulisan-tulisannya juga beberapa kali mendapat penghargaan, salah satunya adalah tulisan ilmiah yang berjudul “Revolusi Mental Dunia Pendidikan dalam Menghadapai Revolusi Industri 4.0” terpilih sebagai Juara 3 dalam LKTI Nasional 2018. Selain itu, runner up Pemuda Pelopor Kota Yogyakarta 2017 inijuga menjadi salah satu wakil Indonesia dalam Next Leader’s Asia Summit 2019 di Singapura. Selain aktif sebagai penulis dan peneliti social Politik yang menyukai olahraga bridge, juga aktif sebagai dosen serta akademisi yang sempat bergelut sebagai pegiat kepemiluan. Saatini, 400 dosen di SFGE Kulon Progo Yogyakarta yang juga memiliki bisnis trading ini merupakan anggota komunitas otomotif Ayla Community sejak tahun 2016, anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia sejak tahun 2017,serta Wakil Ketua Umum Bidang Ideologi Politik dan Hubungan Antar lembaga KNPI Kota Yogyakarta 2019-2022. Riwayat pekerjaan; pernah menjadi Carroline Officer Telkomsel (116), Staff Yayasan Annaba Center Indonesia, dosen di STAI Bina Madani Ciledug, STAI Nurul Iman Parung Bogor, dan kini menjadi dosen CPNS di IAIN Kudus. Beberapa karya tulis telah diterbitkan dalam bentuk buku maupun jurnal ilmiah seperti Islam dan Civil Society, Hidup adalah Perbuatan, Faktor-Faktor Penyimpangan dalam Tafsir, Kepemimpinan Bani Quraisy, Islam dan Pergerakan Civil Society Kebudayaan Hizmet di Indonesia, Peta Pemikiran Politik Islam, dan lainnya. Suryani Musi, S.Sos, M.I Kom adalah dosen muda di Jurusan Ilmu Komunikasi UIN Alauddin Makassar dIlahirkan di Desa Alenangka, Kecamatan Sinjai Selatan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan pada tanggal 02 Februari 1989. Anak ketiga dari tujuh bersaudaraini menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar dengan predikat cumlaude. Dua tahun kemudian, lalu menyelesaikan kuliah di Universitas Diponegoro Semarang di jurusan kebijakan Media, lalu untuk keduakalinya menyandang gelar cumlaude. Sejak SMA, Suryani Musi telah menekuni dunia tulis menulis. Sejak SMP telah sering mengirim cerpen ke RRI, kemudian cerpen tersebut dibacakan setiap hari Minggu. Ketika kuliah, beberapa kali tulisannya dimuat di media lokal berupa cerpen. Namun, setelah bergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Informatika Mahasiswa Alauddin Wahilah sejak semester satu, kegiatan menulis fiksi berhenti lalu fokus untuk menulis berita. Pernah menjadi editor dan redaktur di Washilah, masing-masing satu tahun. Semester lima, ia kemudian gabung di UIN Online sampai selesai di tahun di 2015. Penulis pernah menjadi peserta kegiatan Serikat Jurnalis untuk 401 Keberagaman (Sejuk). Selain itu, Suryani juga menjadi anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel, dan gabung di UKM Seni Budaya eSA di bagian Sastra. Penulis juga merupakan anggota Assosiation of Sulawesi Students (Asset) dan di Semarang ia bergabung dengan Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Indonesia Sulsel (Ikami). Semenjak gabung di UIN Alauddin menjadi dosen, pernah menjadi redaktur di salah satu media online di Makassar hampir setahun. Kemudian hanya menghabiskan waktu dengan mengajar, meneliti, dan mengurus penerbitan jurnal Komodifikasi, milik jurusan Ilmu Komunikasi. Vidiel Tania Pratama, anak dari pasangan Mesrah Lubis dan Ilmiati lahir di sebuah kampung kecil Kecamatan Sungai Aur, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat pada tanggal 7 Februari 1994, adalah seorang aktivis kemahasiswaan dan Kepemudaan Kota Batam yang saat ini menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jendral Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Wasekjend PBHMI)periode 2018-2020, pernah diamanahi menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Batam periode 2017-2018,Ketua Aliansi Mahasiswa Kepri di tahun 2015, pernah juga menjadi pengurus DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Kepulauan Riau periode 2015-2018, serta turut aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dan kepemudaan sampai sekarang ini. Memulai pendidikan dasar (SD) dan SMP di Sungai Aur, Pasaman Barat melanjutkan sekolah SMA di Pekanbaru dan menyelesaikan pendidikan Sarjana jurusan Teknik Sipil konsentrasi GeologiTeknik (Geotek) Universitas Riau Kepulauan di Kota Batam dan sekarang melanjutkan kuliah Magister di Universitas Paramadina Jakarta jurusan Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). HP dan WA; 085355916291 Email; vidil.yakusa@gmail.com 402 403