Merawat Pemikiran
Buya Syafii
Keislaman, Keindonesiaan dan
Kemanusiaan
Pengantar
Abd. Rohim Ghazali
Penyunting
Moh. Shofan
Merawat Pemikiran Buya Syafii:
Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Ozi Setiadi | Anis Kurniawan | Dwi Wahyuni | Hamka Husein Hasibuan |
Indah Fajar Rosalina | Jalaluddin B. | Aminah | Magfirah | Mulyadi | Noor
Hasanah | Pangky Febriantanto | Putri Wulansari | Nuraini | Suryani Musi |
Eko Nur Wibowo | Didi Rahmadi | Masthuriyah Sa’dan | Iqbal Suliansyah |
Vidiel Tania Pratama | M. Mirza Ardi
Pengantar : Abd. Rohim Ghazali
Penyunting : Moh. Shofan
Proofreader : M. Supriadi
Desain & layout : Riamawati
iv , 402 halaman
ukuran 150 x 230 mm
Cetakan I, Desember 2019
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Segala bentuk pengutipan sebagian atau seluruhnya diperbolehkan
dengan tetap menyebutkan sumber tulisan.
Penerbit:
MAARIF Institute for Culture and Humanity
Jl. Tebet Barat Dalam II No.6, Tebet, Jakarta Selatan 12810
Telp. (021) 8379 4554, 8379 4560
Fax.(021) 8379 5758
maarif@maarifinstitute.org
maarifinstitute.org
ISBN
.
Daftar Isi
Daftar Isi
iii
Kata Pengantar Penyunting
Nafas Keindonesiaan yang Kian Sesak Menguatkan
(Kembali) Komitmen Keindonesiaan yang Mulai Memudar
vi
Kata Pengantar Direktur Eksekutif MAARIF Institute
Buya Manusia yang Selalu Gelisah Memikirkan Bangsa
x
Islam dengan Demokrasi Ahmad Syafii Maarif
Ozi Setiadi
1
Etika Politik Ahmad Syaafii Maarif: Mengakomodasi
Pluralitas dan Membumikan Nilai-nilai Islam dalam
Berpolitik
Anis Kurniawan
24
Islam dan Masa Lalu yang Membelenggu: Refleksi
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif
Dwi Wahyuni
43
Nilai-nilai al-Quran dengan Pendekatan Kontekstual:
Membaca Ulang Tawaran Membumikan al-Quran Ahmad
Syafii Maarif
Hamka Husein Hasibuan
63
Menangkal Hate Speech dan Merawat Keberagaman
Indonesia ala Syafii Maarif
Indah Fajar Rosalina
79
Politik Pasca-Kebenaran Sebagai Simbol Disimulasian Negara
(wan) Islam: Menyelami Pemikiran Ahmad Syafii Maarif
Jalaluddin. B.
97
Islam dan Negosiasi Gender: Studi Pemikiran Ahmad Syafii
Maarif tentang Hak-hak Perempuan
Aminah
113
Menjadi “Muslim Otentik”: Membaca Pemikiran Ahmad
Syafii Maarif
Magfirah
128
Daftar Isi
iii
Pandangan Ahmad Syafii Maarif Mengenai Islam dan Masa
Depan Indonesia dalam Bingkai Pluralisme
Mulyadi
146
Menangkal Paham Intoleransi: Kritik Ahmad Syafii Maarif
Terhadap Radikalisme Beragama
Noor Hasanah
176
Meneladani Kesederhanaan, Toleransi, dan Integritas Buya
Ahmad Syafii Maarif
Pangky Febriantanto
192
Reaktualisasi Spritualitas dan Humanitas Ahmad Syafii
Maarif dalam Agenda Pembaruan Pendidikan Islam Inklusif
Putri Wulansari
209
Cerminan Islam Universal Ahmad Syafii Maarif dalam
Upaya Membangun Indonesia Berkemajuan
Nuraini
232
Islam Sebagai Political Branding: Pemikiran Ahmad Syafii
Maarif
Suryani Musi
251
Revitalisasi Pendidikan Islam di Zaman Kontemporer:
Membaca Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
Pendidikan Islam
Eko Nur Wibowo
274
Sikap Intelektual, Spiritualitas dan Kemanusiaan
Ahmad Syafii Maarif
Didi Rahmadi
298
Ibu Kemanusiaan: Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dan
Kontribusinya Terhadap Kajian Feminisme Islam
Masthturiyah Sa’dan
318
Memahami Islam dan Indonesia dalam Balutan Kemanusiaan:
Pemikiran Buya Syafii Maarif
Iqbal Suliansyah
343
Sikap Intelektual, Spiritualitas dan Kemanusiaan Ahmad
Syafii Maarif
Vidiel Tania Pratama
Negara Pancasila: Islam Yes, Syariat Islam No (Refleksi
iv
359
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Indonesia, Islam,
dan Kebangsaan)
M. Mirza Ardi
373
Tentang Penulis
390
Kata Pengantar
v
NAFAS KEINDONESIAAN YANG KIAN SESAK
MENGUATKAN (KEMBALI) KOMITMEN
KEINDONESIAAN YANG MULAI MEMUDAR
Indonesia bagaikan sebuah kapal raksasa dengan penumpangnya
yang sangat beragam. Keberagaman ini ditandai bukan hanya sebatas
letak geografis,—yang terdiri atas berbagai pulau dari Sabang sampai
Merauke—namun keberagaman ditunjukkan dengan beraneka suku, adat,
tradisi, bahasa etnis maupun agama, termasuk di dalamnya para penganut
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tersebar di sudut-sudut
halaman nusantara. Ini tentu, sebuah anugerah terbesar yang jarang ditemui
di dunia.
Namun, hari ini, kita merasakan nafas ruang publik kita semakin
sesak oleh kegaduhan politik. Politik identitas dan populisme agama
dengan lenggang menari untuk tujuan-tujuan politis. Pilkada Jakarta 2017
dan Pilpres 2019, telah memberikan potret bagaimana tafsir agama bisa
dijadikan alat memukul pihak sebelah. Politisasi agama, ujaran kebencian,
dan paham radikal menjadi virus yang sedemikian cepat menyebar di
tengah Islam yang sedang bergelora. Keberislaman yang mestinya menjadi
sumber rahmat dan kebahagiaan bagi semua makhluk justru dicemari
dengan caci maki dan kebencian. Ditambah lagi dengan semakin luasnya
jangkauan akses internet di negeri ini, perang opini melalui udara untuk
saling menjatuhkan dan memengaruhi semakin berserakan. Bisa dilihat
bagaimana retorika Pancasila versus Khilafah, kriminalisasi ulama, antiIslam, dan anti-NKRI sangat mendominasi percakapan di ruang publik
demokrasi Indonesia.
Kegaduhan ini bisa menjadi salah satu faktor penghambat laju
kebinekaan maupun toleransi dalam kehidupan berbangsa. Di sisi lain,
derasnya arus radikalisme transnasional berhaluan radikal juga merembes
ke altar bumi Indonesia. Bahkan aksi-aksi teror pasca-Reformasi justru
makin menggila dengan merebaknya serangkaian aksi-aksi teror. Ini
semua mencerminkan bahwa nilai-nilai keindonesiaan tengah menghadapi
tantangan yang amat sangat serius. Yang disebut terakhir, di atas, cukup
mengkhawatirkan, yakni maraknya fenomena radikalisme. Hanya sebagian
vi
kecil yang menganggap situasi keagamaan kondusif, aman dan harmonis.
Wajah keagamaan (keislaman) di Indonesia pasca-Reformasi menunjukkan
realitas yang sedikit paradoks. Hal ini terkait dengan tingginya angka
intoleransi dan kekerasan berbasis agama. Dianggap paradoks karena
sebagian besar kasus-kasus ini melibatkan umat Islam di dalamnya. Korban
intoleransi ini terutama adalah kelompok-kelompok minoritas seperti
Ahmadiyah, Syiah, Kristen dan para penganut agama atau kepercayaan
lokal.
Di tahun 2011, misalnya, jumlah kasus yang ada meningkat dua kali
lipat, yakni 185 kasus terjadi.1 Pada 2012, kasus yang ada menurun menjadi
110,2 tapi meningkat menjadi dua kali lipat, yakni 245, pada 2013.3 Jumlah
kasus yang ada meningkat secara berangsur-angsur yakni dari 158, 190, 204
hingga 213, berturut-turut di sepanjang tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017.4
Sementara itu, kasus-kasus terorisme terus bermunculan baik dalam skala
kecil maupun besar. Fakta terakhir yang mengejutkan semua pihak adalah
pengeboman di Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, Gereja
Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Sawahan, Rusunawa Wonocolo
Sidoarjo, dan Markas Polrestabes Surabaya pada tahun 2018. Apalagi
dalam salah satu peristiwa tersebut melibatkan anak dalam aksinya. Dan,
belakangan bom bunuh diri juga menyasar Polrestabes Medan, Sumatera
Utara. Bom bunuh diri ini dilakukan oleh seorang remaja.
Di sisi lain, pendidikan agama yang seharusnya diarahkan menjadi
media penyadaran umat, pada kenyataannya masih memelihara kesan
eksklusifitas. Sehingga, hilangnya kesadaran inklusif di tengah masyarakat
dapat merusak sekaligus menghambat harmonisasi agama-agama serta
menghasilkan corak paradigma beragama yang rigid dan tidak toleran.
Padahal, guru-guru seharusnya mampu menjadi mediator pertama untuk
menterjemahkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme kepada siswa, yang
1 The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011 (Jakarta: The
Wahid Institute, 2011).
2 The Wahid Institute, Laporan Akhir Tahun Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012 (Jakarta:
The Wahid Institute, 2012).
3 The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2013
(Jakarta: The Wahid Institute, 2013).
4 The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2014
(Jakarta: The Wahid Institute, 2014); The Wahid Institute, Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2015); The Wahid Foundation,
Laporan Tahunan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia (Jakarta: The Wahid
Institute, 2016); The Wahid Foundation, A Measure of the Extent of Socio-Religious Intolerance
and Radicalism within Muslim Society in Indonesia (Jakarta: Wahid Foundation and Lembaga Survei Indonesia, 2017).
Kata Pengantar
vii
pada tahap selanjutnya juga ikut berperan aktif dalam mentransformasikan
kesadaran toleransi secara lebih intensif dan massif. Tidak terlalu
mengherankan jika berkecambahnya bentuk-bentuk radikalisme agama
yang belakangan semakin membuncah menjadi ancaman yang sangat
serius bagi berlangsungnya pendidikan agama yang menekankan pada
adanya saling keterbukaaan dan dialog.
Ajaran Islam, misalnya, mengedepankan sikap keterbukaan
(inklusif) dari pada kebencian dan permusuhan. Islam secara jelas
melarang sikap menghujat atau mendiskreditkan agama atau kelompok
lain, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 11. Sikap kaum
Muslim kepada penganut agama lain jelas ditegaskan dalam al-Qur’an,
yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama
sebagai alasan untuk tidak menjalani hubungan kerjasama dengan mereka,
lebih-lebih mengambil sikap tidak toleran dengan mereka.
Dalam kerangka seperti ini, mestinya semua agama memiliki
kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai yang harus
dibangun untuk mewujudkan masyarakat yang toleran, menegakkan
keadilan, menjunjung tinggi keseteraan dan persamaan hak yang merupakan
ajaran semua agama. Dan, sebagai penerus cita-cita bangsa, tentunya kita
wajib merawat serta menjaganya serta meneguhkan komitmen untuk
mendalami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila
sebagai pijakan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tentang Buku Ini
Buku yang kini ada di hadapan para pembaca ini merupakan kumpulan
tulisan anak-anak muda yang tersebar dari berbagai sudut halaman bumi
nusantara. Mereka adalah para peserta kegiatan Sekolah Kebudayaan dan
Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM) periode pertama, yang
diselenggarakan oleh MAARIF Institute, di penghujung bulan Nopember
2018 lalu. Mereka adalah ; Mereka adalah ; Anis Kurniawan, Dwi Wahyuni,
Ozi Setiadi, Hamka Husein Hasibuan, Indah Fajar Rosalina, Jalaluddin
B., Aminah, Maghfirah, Mulyadi, Noor Hasanah, Pangky Febriantanto,
Putri Wulansari, Nuraini, Suryani Musi, Eko Nur Wibowo, Didi Rahmadi,
Masthuriyah Sa’dan, Iqbal Suliansyah, Vidiel Tania Pratama dan Mirza
Ardi.
Buku ini adalah bagian dari komitmen mereka untuk mengusung
nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan dan kebhinnekaan serta menempatkan
viii
dan mendialogkan berbagai perbedaan terutama di antara berbagai identitas
bangsa Indonesia dalam posisi yang setara, demi terpeliharanya keutuhan
dan persatuan bangsa. Sosok Buya Syafii Maarif digunakan sebagai
inspirasi nyata atas kiprah dan gagasannya dalam wacana akademik
tentang Keislaman, Keindonesiaan dan Kemanusiaan.
Kegiatan SKK-ASM —yang kini sudah memasuki periode ketiga—
merupakan gerbang pengembangan dan penguatan untuk menyebarkan
pemikiran Islam yang inklusif, toleran, moderat serta berpihak pada
kemanusiaan, kenegaraan serta keindonesiaan. Kegiatan ini menjadi
energi baru dalam upaya melembagakan gagasan dan cita-cita sosial Buya
Syafii, baik di ranah keislaman, kenegaraan, yang mengusung nilai-nilai
keterbukaan, kesetaraan dan kebhinnekaan yang dapat diwariskan kepada
anak-anak bangsa. Juga sebuah ruang sekaligus arena yang memungkinkan
generasi muda dapat berjumpa, berbagi pengetahuan dan pengalaman
antarsesama yang berasal dari daerah berbeda di seluruh Indonesia yang
memiliki latar belakang identitas beragam, baik agama, etnis, suku, bahasa
maupun budaya. Melalui program ini pula generasi muda Indonesia
memiliki perspektif, sikap dan pendirian yang relatif sama dalam memotret
dinamika, perubahan dan perkembangan kehidupan keberagaman di
Indonesia.
Kegiatan ini memungkinkan para generasi muda Indonesia untuk
menjelaskan dan menegaskan komitmen dan konsistensi mereka untuk
menjadi bagian dari pemecah masalah (problem solver) berbangsa dan
bernegara. Dengan komitmen ini generasi muda Indonesia akan mampu
memainkan peran strategis serta mengambil tanggung jawab secara
proporsional dalam mendorong dan mengakselerasi proses pembangunan
bangsa. Dan buku yang ada di hadapan para pembaca ini, adalah bagian
kecil dari komitmen mereka itu.
Ada banyak sekali pihak yang terlibat dalam proses penerbitan buku
ini. Sayangnya kami tak bisa menyebut semuanya. Dalam kesempatan ini
kami perlu mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Buya Ahmad
Syafii Maarif, yang dalam berbagai kesempatan bertemu telah memberikan
masukan, saran, maupun dukungan terhadap terselenggaranya kegiatan
SKK-ASM, sehingga lahirlah karya sederhana ini. Kepada Direktur
Ekskutif MAARIF Institute, Kang Abd. Rohim Ghozali, terima kasih
atas support dan arahannya, serta atas waktunya memberikan pengantar
buku ini. Prof. Dr. Amin Abdullah, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Mas
Luthfi Assyaukanie, Romo Zuly Qodir, yang tak pernah lelah memberikan
Kata Pengantar
ix
masukan, membimbing dan juga meluangkan waktu untuk menjadi Tim
Juri kegiatan SKK-ASM. Juga rekan-rekan MAARIF Institute ; Supriadi,
Khelmy Pribadi, Pipit Aidul Fitriyana, Mbak Henny Ridhowati, Fithri
Dzakiyya H., Titi Lestari, Pripih Utomo, dan Riamawati, kepada mereka
semuanya, kami ucapkan terimakasih atas dukungan dan apresiasinya.
Akhirnya kepada para pembaca, kami berharap artikel-artikel
yang terhimpun pada edisi jurnal kali ini dapat memberikan informasi,
pencerahan dan pemahaman secara komprehensif guna mencari dan
menemukan formasi yang tepat dalam menempatkan dan mendialogkan
berbagai perbedaan terutama di antara berbagai identitas bangsa Indonesia
dalam posisi yang setara, demi terpeliharanya keutuhan dan persatuan
bangsa.
Penyunting
Moh. Shofan
Kordinator Program SKK-ASM, dan
Direktur Riset MAARIF Institute
x
BUYA MANUSIA YANG SELALU GELISAH
MEMIKIRKAN BANGSA
Mengawali pengantar buku ini, tegas saya sampaikan bahwa
Buya Syafii —begitu panggilan akrab Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif—
merupakan salah seorang tokoh yang boleh dibilang sangat bersahaja.
Sebagai mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan cendekiawan
terkemuka, justru dalam kesehariannya lebih memilih hidup sederhana,
bahkan kesederhanaan Buya kadang terlihat terlampau ekstrem. Di usia
yang sudah sangat tua, ia masih menggunakan angkutan publik dalam
menjalankan aktivitasnya.
Buya Syafii adalah guru bangsa yang patut diteladani sepak
terjangnya. Ia memiliki cita-cita besar dan terus-menerus gelisah terhadap
krisis yang menerpa bangsanya. Buya banyak menyoroti dinamika
perkembangan umat Islam akhir-akhir ini. Hal yang menjadi fokus utama
Buya adalah adanya sekelompok orang yang rela “menjual” agama demi
kepentingan politis. Menurut Buya, orang-orang semacam itulah yang akan
merusak tatanan bangsa di masa depan. Dalam banyak tulisannya, Buya
tampaknya memiliki satu obsesi akan tampilnya Islam sebagai agama yang
memiliki kekuatan transformatif bagi kehidupan umat. Sayangnya, diakui
oleh Buya, obsesinya itu masih “jauh panggang dari api”.
Islam, bagi Buya, adalah sumber moral utama dan pertama. Al-Quran
adalah kitab suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang jelas
sebagai pedoman dan acuan tertinggi dalam semua hal, termasuk acuan
dalam berpolitik. Pasca Chicago, pemikiran keindonesiaan dan keagamaan
Buya telah lebur menjadi satu. Menurutnya, Islam yang dianut mayoritas
penduduk tidak boleh menang sendiri, saudara-saudara sebangsa dan
setanah air tetapi berbeda iman haruslah dilindungi dan diperlakukan
secara adil dan prporsional. (Titik kisar perjalananku, xi)
Pemikiran-pemikiran Buya merupakan khazanah intelektual yang
sangat berharga, karena gagasan-gagasannya tidak bisa dilihat sematamata sebagai renungan intelektual dari tokoh yang berada di atas menara
gading, sebab ia menulis dalam konteks sebuah pergerakan sosial,
Kata Pengantar
xi
keagamaan dan politik di Indonesia, di mana beliau terlibat secara intens
dan serius sebagai pelaku utama yang bergerak di luar sistem praktis yang
mencurahkan segenap perhatiannya sebagai pelaku yang menyerukan
pergerakan moral dan memberikan masukan-masukan yang bermanfaat
bagi bangsa Indonesia.
Buya tak segan-segan mengkritik pihak yang suka main hakim
sendiri, melakukan kekerasan atas nama agama, yang justru bertentangan
dengan nilai Islam. Saking jengkelnya, Buya pernah memberi mereka
predikat sebagai preman berjubah. Buya juga geram melihat sebagian
ustadz yang dengan seenaknya sendiri menafsirkan ayat-ayat al-Quran,
serta digunakan untuk melegitimasi ideologi kekerasan untuk merebut
kekuasaan.
Beberapa kegelisahan Buya yang sampai hari ini terus-menerus
dipikirkan. Pertama, mengentalnya budaya arabisme di masyarakat. Buya
menilai dunia Arab kontemporer menjadi referensi global dari segala bentuk
kekacauan selama ini. Pemakaian simbol-simbol Arab di ruang publik bisa
dimaknai sebagai wujud ketidakpercayaan diri umat Islam Indonesia akan
entitas budayanya sendiri. Meski begitu bukan berarti Buya Syafii antiArab. Hanya saja ia selalu menyerukan agar bersikap kritis bahwa Arab
dan Islam adalah dua variabel yang berlainan dan harus dibedakan.
Kedua, anomali kehidupan demokrasi. Bagi Buya, demokrasi tak
selalu berbanding lurus dengan tingkat pembangunan manusia. Yang
paling menyita perhatian Buya adalah tingkah pongah para elit yang “tuna
visi dan misi”. Para politisi hanya mengedepankan kepentingan pragmatis,
sembari dalam waktu yang bersamaan, abai terhadap hak-hak hidup
masyarakat. Apalagi yang paling membuat geram tatkala sekelompok elit
itu menggunakan isu-isu SARA demi memenuhi syahwat politiknya.
Ketiga, rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.
Menurut Buya, umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas secara
kuantitas, namun minoritas secara kualitas. Faktanya umat Islam malah
terisolir dan tak mampu bersaing di kancah global. Hal ini terjadi karena
lemahnya etos dan miskinnya kreativitas. Bagi Buya, untuk mendongkel
manusia Indonesia dari lubang keterpurukannya maka memperbaiki
kualitas pendidikan adalah cara paling ideal yang bisa ditempuh.
Kepada anak-anak muda, Buya sering berpesan untuk memahami
kondisi negeri ini. Setidak-tidaknya dimulai dari bagaimana negeri ini
bisa terbentuk. Agar kelak dapat menjadi pemeran utama dalam proses
memajukan bangsa. Dalam sebuah acara Jambore Teladan Bangsa di
xii
Kaliurang, Yogyakarta beberapa waktu lalu, Buya mengatakan, “Sebuah
keniscayaan bahwa pelajar akan manjadi pemimpin bangsa di masa yang
akan datang. Oleh karena itu, penting untuk menanamkan nilai-nilai
toleransi dan kebangsaan sedini mungkin, dengan harapan terbentuknya
para pemimpin bangsa yang berwatak toleran dan inklusif di masa yang
akan datang,” kata Buya.
Keprihatinan Buya tentang agama yang dijadikan alat politik bukan
cerita baru. Sejak pulang sekolah dari Amerika awal tahun 80an, Buya sudah
lantang menyuarakan itu. Bahkan dosisnya kadang berlebihan sehingga
tak jarang terkesan naif, karena faktanya mungkin masih banyak politisi
Muslim yang menjadikan al-Quran sebagai panduan moral, tak semata
alat politik. Tapi di mata Buya, bangunan politik yang sesuai moralitas
al-Quran hanya ada pada periode Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa
al-Rasyidin (empat sahabat Nabi), khususnya sebelum pecah perang Siffin.
Pada periode berikutnya (hingga saat ini?), panduan moral al-Quran mulai
telantar di bawah duli mahkota khalifah, amir, raja, sultan, atau presiden di
negara Islam yang tidak jarang saling baku hantam sesama mereka.
Sikap hidup Buya Syafii dimulai ketika ia “nyantri” di universitas
Chicago Amerika Serikat pada tahun 80-an. Semula Buya Syafii bisa
dikategorikan sebagai seorang tradisionalis yang bercita-cita ingin
mendirikan negara Islam. Sikap ini kekeh dipegangnya sampai sebelum ia
bertemu dan dibimbing oleh seorang “kiai” neo-modernis bernama Fazlur
Rahman. Saat pertama kali mengikuti kuliah Fazlur Rahman, Buya Syafii
dengan percaya diri berujar: “Professor Rahman, please gives me one
fourth of your knowledge of Islam, I will convert Indonesia into an Islamic
state”. Keyakinan semacam itulah yang dulu kukuh dipegangnya meski
kakinya tak lagi menginjak bumi Indonesia. Namun setelah beberapa kali
mengikuti perkuliahan Fazlur Rahman, kata-kata semacam itu tidak pernah
terlontar kembali. Inilah tonggak awal perubahan cara pandang Buya Syafii
dari Islamis-tradisionalis ke modernis-progresif. Perubahan sikap Buya
itu karena pergulatannya dalam konsep keilmuan serta pengaruh gurunya
Fazlur Rahman yang tampak begitu kentara.
Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan: Proyek Kaderisasi
Intelektual
Saya berharap, sikap intelektual, kebersahajaan dan keteladanan
yang ada pada diri Buya bisa menjadi virus positif bagi segenap masyarakat
di Indonesia, terutama di kalangan generasi muda—sebagaimana ini
Kata Pengantar
xiii
menjadi salah satu tujuan diselenggarakannya “Sekolah Kebudayaan
dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif”. Saya berharap sekolah singkat
yang berlangsung selama satu minggu ini dapat menggerakkan gairah
intelektual generasi muda di tingkat lokal, di berbagai daerah di Indonesia,
serta mampu merespon persoalan-persoalan krusial keindonesiaan.
Buku yang berada di hadapan pembaca ini, merupakan kumpulan
esai yang ditulis oleh para alumni SKK-ASM periode kedua. Mereka
adalah kader-kader intelektual muda yang sudah terbiasa dengan latihan
intelektual di lingkungannya masing-masing, karena pada dasarnya
sebagian di antara mereka sedang dalam proses menyelesaikan kuliah atau
sudah menjadi dosen di sejumlah Perguruan Tinggi di Indonesia. Kegiatan
sekolah ini lebih pada mematangkan diskursus intelektual yang selama ini
telah mereka geluti.
Semoga penerbitan buku ini menjadi salah satu pemicu intelektual
anak-anak muda untuk secara lebih jauh menyebarluaskan gagasan-gagasan
Buya Syafii, tentang isu-isu kebangsaan, keislaman, dan kemanusiaan.
Selamat membaca !
Tebet, 19 November 2019
Abd Rohim Ghazali
Direktur Eksekutif MAARIF Institute
xiv
Kata Pengantar
xv
PETA PEMIKIRAN DAN RELASI ISLAM DENGAN
DEMOKRASI AHMA SYAFII MAARIF
Ozi Setiadi
Pendahuluan
Demokrasi bukanlah produk baru dalam dunia modern. Ia
adalah produk lama yang dikenalkan oleh Herodetos pada lebih
dari 2500 tahun lalu.1 demokrasi berkembang dengan cepat, seperti
demokrasi liberal yang menjadi cikal-bakal demokrasi modern yang
lahir di Amerika pada tahun 1776, kemudian revolusi Prancis yang
terjadi pada tahun 1789 hingga 1799 juga mendukung lahirnya
demokrasi di kawasan tersebut.2 Perkembangan demokrasi yang
telah berlangsung lama menandakan bahwa demokrasi bukanlah
sebuah sistem yang baku, melainkan terus berkembang hingga kini
dan dianut sekitar lebih dari 119 negara di dunia. Jumlah negara yang
menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang mencapai
62% tersebut menandakan bahwa demokrasi dianggap sebagai sistem
yang paling ideal saat ini dibandingkan dengan sistem pemerintahan
1
2
Affan Ghafar, “Islam dan Demokrasi: Pengalaman Empirik Yang Terbatas”
dalam Munawwir Syadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: PHI dan
Paramadina, 1996), 345-360.
Barry R. Weingast, “A Postscript to ‘Political Foundations of Democracy
and the Rule of Law’”, dalam Democracy and the Rule of Law, ed. Jose´
Marı´a Maravall dan Adam Przeworski (New York: Cambridge University
Press, 2003), 110.
1
yang populer sebelumnya, seperti monarki, dan oligarki.3
Kebesaran nama demokrasi mengakibatkan negara-negara
yang sebelumnya dipimpin oleh rezim yang otoriter seperti dilanda
badai tornado yang meluluhlantakkan pemerintahan tersebut. Ini
misalnya terjadi pada negara-negara di Timur Tengah seperti Tunisia,
Irak, Mesir, Libya, bahkan sebelum negara-negara Arab tersebut,
Indonesia sendiri juga mengalami hal yang sama, yakni peristiwa
reformasi pada tahun 1998 yang menumbangkan pemerintahan
“demokrasi otoriter”. Pantas saja bila rezim pemerintahan lain yang
dianggap otoriter dan kini masih bertahan dengan serius menyebut
pemerintahan yang dipimpin olehnya adalah pemerintahan yang
demokratis agar tidak terkena imbas dari badai demokrasi.4 Meski
pemerintahan otoriter telah menguasai selama ratusan tahun sumber
daya politik dalam masyarakat pramodern, termasuk agama.
Agama sebagai bagian dari prinsip hidup yang dianut oleh
umat manusia dianggap menjadi sesuatu yang ikut bertanggung
jawab dalam pergantian sistem pemerintahan. Ini dikarenakan agama
memiliki Nilai-nilai yang dipegang oleh penganutnya, termasuk
dalam menjalankan pemerintahan, sehingga agama idealnya dapat
menjembatani pemeluknya dalam berhubungan dengan sistem
pemerintahan. Selain agama juga memberi ruang kepada manusia
untuk berpartisipasi secara aktif di lingkungannya masing-masing,
tanpa rasa takut atau dimata-matai.5
Islam sebagai agama yang universal diyakini dapat
memberikan solusi atas berbagai persoalan pemerintahan yang
muncul. Ia menjadi agama yang “ramah” dan dapat diterima oleh
berbagai sistem pemerintahan, seperti monarki, oligarki, bahkan
3
4
5
2
Mohammad Jafar Hafsah, politik untuk Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: PT.
Pustaka Sinar Harapan, 2011), cet. I, 106.
negara di Timur Tengah yang tidak terkena badai demokrasi adalah Arab
Saudi. negara ini menganut sistem pemerintahan monarki dan menjadi
negara yang mempertemukan umat Muslim seluruh dunia dalam wilayah
baitullah, Ka’bah.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2015), ed. II, Cet. I,154.
demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang dianggap paling ideal
sekalipun.6 Permasalahan yang timbul kemudian datang dari para
pemikir politik Islam yang memberikan banyak pandangan yang
berbeda tentang relasi antara Islam dengan demokrasi.
Terdapat beberapa anggapan tentang hubungan Islam dengan
demokrasi. Anggapan pertama, bahwa demokrasi tidak berasal
dari Islam, sehingga bukan Islam yang harus menyesuaikan
diri dengan demokrasi, tetapi sebaliknya, demokrasi yang harus
menyesuaikan diri dengan Islam. Hal ini dikarenakan Islam adalah
agama yang diyakini berasal dari Tuhan, sedang demokrasi adalah
murni produk budaya manusia. Kedua, demokrasi, sebagai produk
budaya manusia, akan sangat mungkin tercampuri “kepentingankepentingan kotor” manusia dalam proses formulasinya. Oleh sebab
itu, adanya anggapan bahwa kesucian agama tidak harus ternodai
dengan “kekotoran” demokrasi sebagai buah pemikiran manusia,
sehingga pemisahan antara keduanya mutlak untuk dilakukan.
Ketiga, demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem pemerintahan
yang baik di antara yang buruk, sehingga penggunaan demokrasi
sebagai sebuah sistem pemerintahan adalah sesuatu yang harus
dilakukan dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbagai pendapat di atas mengindikasikan bahwa terdapat
pemetaan pemikiran yang dilakukan oleh cendekiawan, termasuk
pula hubungan Islam dan demokrasi, sehingga sangat terbuka
untuk diperdebatkan. Termasuk oleh Ahmad Syafii Maarif, seorang
tokoh bangsa yang cukup getol berbicara tentang demokrasi. Ia
mengusung moderasi antara Islam dengan demokrasi yang membuat
6
Fazlur Rahman menggunakan istilah yang lain dalam menjelaskan universalitas Islam. Ia lebih menyebutnya sebagai agama yang “hadir di mana-mana”
(omnipresence). Ini merupakan sebuah pandangan yang mengakui bahwa
“dimana-mana”, kehadiran Islam selalu memberikan “panduan moral yang
benar bagi tindakan manusia.” Fazlur Rahman, “Islam”, New York, Chicago,
San Fransisco: Holt, Reinhart,Winston, 1966, h. 241. dalam Bahtiar Effendy,
Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik politik Islam di Indonesia, edisi digital (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi,
2011), 7.
3
keduanya dapat berjalan beriringan tanpa harus terpisah atau bahkan
memisahkan diri antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu,
makalah ini akan memaparkan tentang peta pemikiran dan hubungan
Islam dengan demokrasi Ahmad Syafii Maarif. Ini dilakukan untuk
mengetahui peta pemikiran Islam sekaligus pola hubungan Islam
dan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan modern dengan
melakukan kategorisasi atau tipologisasi: pemikiran politik Islam
fundamental, yang sekuler, dan yang moderat.
Diskursus tentang Peta Pemikiran Islam
Ada beberapa pendapat terkait dengan peta pemikiran
Islam khususnya dalam memandang demokrasi. Khaled Abou El
Fadl melakukan kategorisasi secara kasar atas kelompok yang
menyikapi masalah demokrasi dan hak asasi manusia, yakni puritan
dan moderat.7 Akan tetapi, pada makalah ini penulis melakukan
kategorisasi tidak seperti Fadl yang “terlalu kasar”, melainkan lebih
halus agar dapat diketahui dengan baik dan secara mendetail tentang
peta pemikiran tersebut.
Setidaknya ada empat pendapat terkait dengan pola
pemikiran Islam dalam memandang demokrasi. Pendapat pertama
mengemukakan bahwa Islam adalah agama yang suci, sehingga
menyesuaikan antara Islam dengan demokrasi merupakan sebuah
kesalahan. Kamil menyebutnya sebagai tipologi pemikiran politik
Islam organik tradisional.8 Pada pendapat pertama ini, agama
diartikan sebagai sebuah sistem negara (din wa daulah).9 Yaitu
7
8
9
4
Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah,154.
Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan Kontemporer,”
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 3 No. 1, (September 2003), 64, http://
paramadina.ac.id/downloads/Jurnal%20Universitas%20Paramadina/
Jurnal%20UPM%20Vol-3%20No-1,%2009-2003/314-sukron.pdf (diakses
pada tanggal 4 September 2013).
Baca juga Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin politik
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). Ayubi mengistilahkan hal ini
dengan Tiga D, yaitu Din: agama, Dunya: dunia, dan Daulah: negara. Baca
penyatuan antara agama dengan negara atau sistem pemerintahan.
Assyaukanie menyebut keinginan penyatuan agama dengan
negara tersebut dengan istilah “negara sakral tanpa kehendak
manusia”. Ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh
Kamil. Bedanya, Assyaukanie lebih menitikberatkan hal tersebut
kepada kehendak Tuhan. Ia menegaskan pendapat Ahmed bahwa
“Allah tidak menyerahkan kehidupan di dunia ke dalam tangan
manusia, tapi telah menetapkan jalan yang sudah ditentukan, dengan
perintah terperinci tentang bagaimana menempuh jalan itu”.10 Oleh
karenanya, pemimpin dalam hal ini dianggap sebagai bayang-bayang
Tuhan di muka bumi. Ia menjalankan apa yang sudah ditetapkan
dalam ajaran normatif, sehingga hal-hal lain yang tidak tertuang
dalam ajaran tersebut dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang,
apalagi lahir dari rahim pemikiran kalangan non Muslim.
Begitu pula dengan Syafii Maarif, dalam karyanya Islam
dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan
ia mengemukakan pendapat Fahmi Huwaydi, seorang penulis
dari Mesir yang populer. Menurut Maarif, Huwaydi merasa heran
terhadap orang Islam yang menolak demokrasi dengan mengajukan
pertanyaan: “Lalu apakah demokasi dengan substansinya yang
diutarakan di atas bertentangan dengan Islam? Dari mana
pertentangan itu berasal? Adakah dalil pasti dalam Al-Qur’an dan
hadis yang memperkuat dakwaan itu?” Lebih tegas lagi dikatakan:
“Kenyataannya, orang yang benar-benar memahami substansi
demokrasi akan menemukan bahwa substansi tersebut berasal dari
konsep Islam”.11 Huwaydi berbeda, bahkan menentang pendapat
Nazih Ayubi, “Political Islam: Religion and Politics in the Arab World,” hh.
63-64, dalam Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan
dan Praktik politik Islam di Indonesia, 8.
10 Ishtiaq Ahmed, “The Concept of an Islamic State: An Analysis of the Ideological Controversy in Pakistan”(London: Pinter, 1987), 31 dalam Luthfi
Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model negara demokrasi di
Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 14.
11 Maarif menyebut betapa serius Huwaydi dengan statemennya, sehingga ia
menyertakan dalil-dalil agama dalam tidak kurang dari 23 halaman pada
karyanya itu. Maarif mengemukakan dalil-dalil agama yang diutarakan
5
kalangan fundamentalis tentang ketidaksesuaian antara Islam dengan
demokrasi.
Tipologi di atas dengan penuh keyakinan menganganggap
Islam sebagai agama yang kompleks mengatur berbagai dimensi
kehidupan, termasuk di dalamnya urusan politik dan negara, sehingga
tidak lagi diperlukan alat lain seperti demokrasi guna menjalankan
kehidupan bernegara. Lebih dari itu, demokrasi dianggap gagal
dengan munculnya berbagai hambatan dalam demokrasi, seperti
kapitalisme pasar, suatu sistem ekonomi yang cenderung menciptakan
ketidaksetaraan dalam pembagian hasil pertumbuhan.12 Dengan kata
lain, pintu ijtihad dalam menemukan sistem pemerintahan, yang
bisa saja lahir bukan dari produk budaya Islam, tertutup rapat bagi
kalangan yang menganut tipologi ini.
Pendapat Maarif membuka lebar mata yang setengah terpejam
dalam memandang demokrasi, utamanya kalangan fundamentalis. Ia
berpendapat bahwa sejatinya penolakan terhadap demokrasi bukan
karena sifatnya yang asing, melainkan demokrasi akan membahayakan
kepentingan para elit yang telah sekian lama memonopoli kekuasaan
dan kekayaan. demokrasi pasti membuka mata rakyat banyak tentang
segala kebobrokan yang dilakukan penguasa.13 Ini menjadi sebuah
kekhawatiran yang pasti bagi para penguasa, apalagi yang otoriter,
yang telah menguasi sumber daya politik dan sumber-sumber
daya lainnya selama bertahun-tahun. Maka, bila melihat apa yang
dikemukakan oleh Maarif ini, kalangan fundamental itu sendiri
sangat dekat dengan penguasa yang anti demokrasi, dan merupakan
bagian serta pendukung pemerintahan itu. Oleh karenanya, wajar bila
kalangan fundamentalis berikut dengan pemerintahan yang sepaham
dengannya berusaha mati-matian untuk mengatakan bahwa demokrasi
oleh Huwaydi adalah sebuah bentuk pembelaan atas teorinya tentang
demokrasi. Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, 149.
12 Baca R. William Liddle, “Tantangan dan Harapan demokrasi (1)”, Republika,
16 Desember 2011.
13 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah, 150.
6
bukan bagian dari Islam, dan tidak sejalan dengannya.
Maarif melanjutkan penjelasannya mengenai kalangan
fundamentalis yang ia sebut sebagai puritan itu dalam sebuah kutipan
yang dikutip secara utuh oleh penulis dalam karyanya:
Kelompok puritan umumnya berideologi tunggal. Ingin
melakukan perubahan dunia dengan begitu cepat, sekalipun
harus dibayar dengan darah. Sebenarnya kelompok ini tidak
memiliki gagasan peradaban yang jelas, tetapi relatif terikat
oleh ideologi tunggal yang fasistis. Diantara doktrin yang
mengikat mereka adalah doktrin taat kepada pemimpin,
hampir tanpa resercer. Karena itu, ada yang menggolongkan
sebagai faksi totalitarian dengan payung Syariah.14
Pendapat yang kedua yaitu pendapat yang mengemukakan
bahwa Islam dan demokrasi adalah sesuatu yang tidak dapat
disatukan. Pemisahan Islam dengan demokrasi merupakan sebuah
kewajiban agar tidak ada campur tangan agama dalam sistem
pemerintahan. Kamil mengemukakan bahwa dalam tipologi ini
Islam sama seperti agama lainnya yang hanya mengajarkan tata cara
beribadah kepada Tuhan tidak mengajarkan bagaimana manusia
melakukan pengaturan atas negara dan pemerintahan.15 Oleh sebab
itu, pendapat yang kedua ini lebih condong kepada sekularisasi
antara Islam dengan demokrasi. Menurut pendapat ini, Islam tidak
mengajarkan sebuah sistem pemerintahan yang jelas, sehingga tidak
dapat dijadikan sebagai acuan bagi pemerintahan.
Assyaukanie membagi tipologi di atas menjadi dua bagian,
yaitu “negara sekuler dengan kehendak Ilahi” dan “negara sekuler
tanpa kehendak Ilahi”. Pada negara sekuler yang pertama, ia kembali
menjelaskan pendapat Ahmed bahwa Islam tidak mengharuskan
14 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah, 154.
15 Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan Kontemporer,”
68.
7
penganutnya untuk menjadikan Islam sebagai konsep negara apa
pun.16 Lebih jauh, pendapat ini terkesan ingin mengatakan bahwa
keberhasilan menjadikan Islam sebagai konsep politik hanya tersedia
dalam sistem politik klasik, sedangkan kehidupan modern saat ini
menjadikan demokrasi sebagai penyedia kehidupan politik yang
lebih baik dan tanpa alternatif. Berbeda dengan pendapat berikutnya
yang dikemukakan oleh Assyaukanie, yakni “negara sekular tanpa
kehendak Ilahi”. Pendapat ini sama sekali tidak menginginkan
agama masuk dalam wacana politik, sehingga ia harus dilepaskan
tanpa ada tawar-menawar lagi. Pada pendapat kedua ini para pemikir
mengabaikan keberhasilan yang terdapat dalam politik Islam klasik.
Menurut penganut model pemikiran ini, dahulu dan sekarang sama
saja, yaitu wajib dilakukan pemisahan antara Islam dengan sistem
politik yang ada.17 Pada tipologi kedua ini, dengan atau tanpa
kehendak Tuhan, pada prinsipnya tetap terjadi pemisahan antara
agama dengan negara, dalam hal ini sistem pemerintahan, yaitu
demokrasi.
Pernyataan Assyaukanie yang mengemukakan bahwa pada
masa politik Islam klasik pernah terjadi keharmonisan antara agama
dengan negara yang juga memuat sistem pemerintahan, ternyata
hal ini bukan dengan demokrasi. Ibn Bajjah mengemukakan bahwa
tindakan mulia hanya dimungkinkan dalam negara utama.18 Pada
negara utama, rakyat mendisiplinkan diri pada hal-hal yang baik16 Pendapat ini menyandarkan segala sesuatunya kepada Allah, sehingga
adanya Islam sebagai sistem politik yang terjadi pada masa kekhalifahan
dan demokrasi yang juga pernah hidup (2500 tahun yang lalu) jauh sebelum
sistem politik Islam adalah dua hal yang berbeda, sehingga negara sekuler
dengan kehendak Allah bermakna, yang menghendaki adanya hal tersebut
berdasarkan ayat Alquran surat Al-Baqarah [2]: 117.
17 Baca lebih lanjut dalam Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia:
Tiga Model negara demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute,
2011), 15.
18 Al-Farabi mengemukakan bahwa negara utama ibarat tubuh manusia yang
satu dengan yang lain saling bekerjasama sesuai dengan tugasnya masingmasing. Baca dalam Wawan Hermawan, “Konsep negara Menurut AlFarabi,”5,
http://file.upi.edu/WAWAN_HERMAWAN/Konsep_Negara_
Mnrt_al-Farabi.pdf (diakses pada tanggal 12 Januari 2015).
8
baik saja, dan hanya makan dan minum yang baik serta bermanfaat
bagi tubuh. Berbeda dengan negara yang rusak, semua tindakan
dilakukan secara terpaksa dan impulsif, karena penduduknya tidak
bertindak secara rasional dan sukarela tetapi didorong, misalnya
oleh pencaharian kebutuhan hidup, kesenangan, pujian, atau
kejayaan.19 Hal mendasar yang perlu untuk dipahami dari pendapat
ibnu Bajjah bila dikaitkan dalam hal ini adalah, bahwa demokrasi
tidak dapat menghasilkan masyarakat yang disiplin, sehingga
dalam pendapat kedua ini sekularisasi adalah jalan yang terbaik
agar tidak tercampurinya agama dengan politik.
Kamil menyebutkan bahwa kalangan yang berpendapat
perlu dilakukan sekularisasi terbelenggu dalam pesona pemikiran
Nation State Barat yang modern. Mereka menganggap bahwa
kemodernan identik dengan sekularisasi, yakni dengan tidak
mencampuradukkan agama dengan politik. Pemisahan atau
spesifikasi lebih mengemuka dalam kehidupan modern, sehingga
jelas wilayah yang dapat dijalankan oleh agama dan mana yang
dijalankan oleh negara. Sama halnya dengan tipologi pertama yang
juga terbelenggu dalam pesona pemikiran politik klasik, sehingga
menjadikan agama sebagai negara (din wa daulah).20 Kedua
pendapat ini seolah menyuguhkan sebuah tawaran tanpa alternatif,
sehingga mau atau tidak harus dilaksanakan.
Selain Kamil dan Assyaukanie, teman senegara mereka
Saiful Mujani berpendapat lebih spesifik. Mujani dalam
penelitiannya“Religious Democrats: Democratic Culture and
Muslim Political Participation in Post-Suharto Indonesia,”
berpendapat bahwa Islam dan demokrasi adalah hal yang berbeda,
berjalan pada wilayah yang berbeda. Hal ini menurutnya sejalan
dengan pernyataan Samuel Huntington, Bernard Lewis dan Ellie
Kedourie yang pernah menulis bahwa Islam adalah berbeda
(bertentangan) dengan demokrasi. Mereka meyakini bahwa
19 Ibn Bajjah, Opera Metaphysiva, 162-163, dalam Hasyimsyah Nasution,
Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 101.
20 Baca Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan
Kontemporer,” 70.
9
kekuatan Islam berada pada sebuah masyarakat yang mana
demokrasi juga terdapat di sana. Karena terdapat hubungan yang
bertentangan, demokrasi bukanlah karakteristik masyarakat Muslim
secara umum. Jika hal ini terjadi, ini tidak akan tumbuh subur.21
Meski Mujani tidak menyebutkan dengan tegas perlu dilakukan
sekularisasi atas Islam dan demokrasi, namun penjelasan di atas
mengisyaratkan “boleh” demikian. Bila tidak dilakukan sekularisasi,
namun setidaknya keduanya berbeda.
Pendapat ketiga sebagai pendapat yang juga populer dalam
kalangan pemikir politik Islam, adalah pendapat yang mengemukakan
bahwa meski Islam tidak menentukan sistem politik atau menolak
sistem politik tertentu, namun terdapat prinsip dan Nilai-nilai yang
secara moral dapat diterapkan dalam sistem perPolitikan. Pendapat ini
menolak penggunaan pendapat pertama yang fundamental dan pendapat
kedua yang sekuler secara ekstrem. Pendapat ketiga ini lebih dikenal
dengan tipologi moderat.22 Tipologi yang menganggap antara Islam dan
demokrasi tetap memiliki nilai yang dapat dipertemukan.
Maarif menyebut kelompok moderat sebagai kelompok yang sama
dengan kelompok fundamental. Kesamaan itu terletak pada penggunaan
Al-Qur’an sebagai pedoman dan sumber ijtihad mereka. Bila kalangan
fundamentalis atau puritan mengklaim menggunakan kitab suci sebagai
dasar bagi mereka untuk mengatakan bahwa Islam tidak sejalan dengan
demokrasi, maka kaum moderat juga menggunakan kitab suci untuk
mengatakan bahwa Islam sejalan dengan demokrasi. Namun, meski
memiliki kesamaan dalam penggunaan Al-Qur’an sebagai pendoman,
hakikatnya kedua model pemikiran ini sangat bertentangan. Kalangan
moderat, menurut Maarif, umumnya menerima dan membela gagasan
demokrasi dan hak-hak manusia. Mereka tidak risau, apakah gagasan
itu berasal dari Barat ataukah dari Timur. Selama prinsip-prinsip yang
terdapat dalam demokrasi itu mendukung cita-cita Al-Qur’an bagi
21 Saiful Mujani, “Religious Democrats: Democratic Culture And Muslim
Political Participation In Post-Suharto Indonesia,” (New York: Ohio
University, 2003).
22 Baca Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan Kontemporer,” 70-71.
10
tegaknya keadilan, perdamaian, moralitas, dan hubungan yang baik
sesama umat manusia, mengapa harus ditolak.23
Atas dasar pendapat Maarif di atas, dapat ditemukan alur
pemikiran yang tegas, yakni penolakan terhadap demokrasi
justru merupakan suatu hal yang tidak berdasar. Apalagi bila
tidak terdapat pertentangan antara demokrasi dengan Al-Qur’an.
Artinya, demokrasi dapat menjamin apa yang juga tertuang dalam
Al-Qur’an, yaitu hadirnya apa yang disebut oleh Maarif sebagai
keadilan, perdamaian, moralitas dan hubungan baik sesama umat
manusia. Lebih dari itu, sistem politik yang mengekang kebebasan
manusia, seperti yang sudah dipraktikkan selama ratusan tahun
di berbagai negara Arab, menurutnya sudah mulai digugat secara
serius oleh para pemikir mereka yang sangat kritikal terhadap
sistem politik dinasti-otoritarian, dengan baju khilafah, malakah,
kesultanan, kerajaan, imarah, atau imamah. Akan tetapi, Maarif
juga tidak sepeakat atas apa yang dilakukan oleh Amerika. Ia
menyebut pemaksaan sistem demokrasi ala Amerika, seperti
di Irak dan Afganistan, harus dikutuk, karena akan melahirkan
sesuatu yang kontraproduktif. Pihak asing tidak bisa memaksakan
demokrasi kepada bangsa lain, tetapi jika gagasan itu datang dari
dalam secara sadar, hasilnya akan langgeng dan mantap.24 Ini
menunjukkan bahwa demokrasi yang adaptif lebih prokspektif
daripada demokrasi yang dipaksakan.
M. Hakan Yavuz menjelaskan betapa pentingnya kehadiran
demokrasi, sehingga ia bisa memfasilitasi, bahkan bagi kelompokkelompok yang radikal, untuk dapat berpartisipasi dalam politik.
Karyanya tentang “Secularism and Muslim Democracy in
Turkey,” menjelaskan bahwa sistem politik Turki yang terbuka
dan demokratis telah mendorong kelompok-kelompok keagamaan
yang semula radikal untuk memoderasi praktik dan ideologi politik
mereka, dalam rangka memenangkan pemilu. Ini juga ditopang
23 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah,155.
24 Baca Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah,155-157.
11
oleh kondisi ekonomi yang baik dan ruang publik yang sehat, yang
memungkinkan dinegosiasikannya berbagai perbedaan secara
terbuka dan damai. Kemenangan bagi AKP pada pemilu 2007,
lanjutnya, semakin memperkokoh pandangan ini bahwa realitas
politik sehari-hari pada akhirnya akan mengalahkan kekakuan
ideologi dan dogma yang semula dipeluk kalangan Islamis
radikal.25 Meski Turki adalah negara yang sekuler, mau atau tidak
komponen demokrasi itu tidak dapat dipisahkan. Lebih jauh lagi, ia
mempertemukan antara cita-cita kelompok radikal dengan sistem
politik kenegaraan Turki yang sekuler itu sendiri.
Berbeda dengan Yavuz, Bahtiar Effendy dalam
tulisannya,“Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan
Praktik politik Islam di Indonesia,”menjelaskan dalam konteks
Indonesia. Ia mengemukakan bahwa pertimbangan-pertimbangan
keagamaan sesungguhnya bersifat temporer dan tidak langgeng.
Menurutnya, tingkat dan bobot dukungan untuk Islam ideologis
dan simbolik relatif rendah dan kecil. Mayoritas kaum Muslim
(Indonesia), seperti ditunjukkan dengan terbatasnya jumlah kursi
yang berhasil diraih oleh partai-partai Islam di DPR dan penolakan
Piagam Jakarta, tetap bersikap moderat dan lebih mengaspirasikan
hubungan antara Islam dan negara yang lebih mungkin dan lebih
pas. Tampaknya, akomodasi parsial merupakan pilihan yang
mungkin diambil agar hubungan antara Islam dan negara dapat
menjadi lebih langgeng.26 Effendy menitik beratkan adanya
akomodasi parsial dalam membidani hubungan Islam dan negara,
begitupun dengan demokrasi. Artinya, demokrasi tetap memiliki
nilai yang bisa diakomodir, begitu pula dengan Islam, sehingga
keduannya dapat saling melengkapi.
Assyaukanie menggunakan istilah yang berbeda dalam
menjelaskan tipologi moderat. Ia menyebut tipologi moderat
25 Hakan Yavuz, Secularism and Muslim Democracy in Turkey (New York:
Cambridge University Press, 2009).
26 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project Yayasan Abad
Demokrasi, 2011).
12
sebagai “negara sakral dengan kehendak manusia”. Ini didasarkan
pada asumsi bahwa pemerintahan Islam tidak sepenuhnya
teokratik (berdasarkan agama) dan tidak pula sekuler yang dengan
tegas memisahkan keduanya, melainkan memiliki banyak model
mulai dari otokratik seperti Ghulam Ahmad Perwez (1903-1985),
hingga liberal, seperti Iqbal. Assyaukanie menambahkan tokohtokoh yang termasuk dalam tipologi ini selain yang dikemukakan
di atas adalah Khalifa Abdul Hakim (wafat 1959), dan Javid Iqbal
(putra filsuf-penyair Muhammad Iqbal).27 Mereka adalah tokoh yang
mengedepankan pemikiran moderat dalam menanggapi hubungan
Islam dengan demokrasi.
Senada dengan Assyaukanie, Kamil menjelaskan tentang
tipologi moderat. Pada tipologi ini terdapat penolakan atas klaim
ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur
semua urusan manusia, termasuk politik dan juga klaim yang
menyatakan bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik.28 Klaim
yang pertama mengarah pada satu titik, yakni Islam dan demokrasi
tidak kompatibel. Baik dalam pemikrian Islam fundamental maupun
pemikiran Islam sekuler. Sedangkan pada klaim berikutnya, lebih
lagi pada tipologi moderat, Islam dan demokrasi dapat dipertemukan
pada tatanan nilai yang sama. Ini kemudian mengakibatkan Islam
akan terlihat kompatibel dengan demokrasi, begitu sebaliknya.
Relasi Islam dan Demokrasi Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif seorang putra kelahiran Sumatera
Barat, tepatnya di Sumpurkudus, Sijunjung pada tanggal 31 Mei
1935. Maarif bukanlah orang pertama yang mengemukakan tentang
keselarasan antara Islam dengan demokrasi. Banyak sarjana lain,
tidak hanya dari Indonesia, yang juga mendukung kesesuaian antara
Islam dengan demokrasi. Sebut saja Fatimah Mernissi, Khaled Abou
27 Baca Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model negara
demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011), 15.
28 Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan Kontemporer,”
70.
13
El Fadl, dan Muhammad Syahrur, sebagaimana yang dikutip oleh
Maarif dalam bukunya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan dan turut pula dijelaskan di atas,
juga Matthew Gordner dan Dilshod Achilov.
Matthew Gordner dalam “Islam and Democracy: Beyond
‘Compatibility’ and Toward Cross-cultural Democratic Dialogue,”
mengemukakan bahwa Islam sejalan dengan demokrasi.
Menurutnya, tugas para Ilmuan, khususnya ilmuan Barat adalah
mencari tahu bagaimana umat Muslim mempraktikkan demokrasi
tersebut. Artinya, pasti demokrasi yang adaptif dipraktikkan umat
Muslim berdasarkan pada konteks mereka, sehingga Barat tidak
dapat memaksakan demokrasi yang dilakukan oleh umat Muslim
berdasarkan demokrasi yang mereka pahami. Hal ini disebabkan
paradigma ‘Islam dan Barat’ telah tersumbat dialog miring
tentang topik ‘Islam dan demokrasi’ dalam perdebatan mengenai
apakah keduanya kompatibel atau tidak. Gordner kemudian
merekomendasikan agar dilakukan dekonstruksi atas paradigma
‘Islam dan Barat’ dan menunjukkan ketidakmampuan sebagai
pendekatan yang layak untuk topik ‘Islam dan demokrasi’. Ia
juga berpendapat perlu adanya penjelajahan dari situs “demokrasi
Muslim” dan “pasca Islamisme”, sebagai titik awal untuk dialog
lintas-budaya antara masyarakat Barat dan teori Muslim.29
Sama halnya dengan Gordner, Dilshod Achilov dalam
“Can Islam and democracy coexist? A cross-national analysis
of Islamic institutions in the Muslim world,” juga berpendapat
bahwa Islam dan demokrasi adalah sejalan di dunia Muslim. Lebih
lanjut ia mengemukakan Islam memiliki banyak sumber daya untuk
mengakomodasi sebuah negara demokrasi yang sukses.30 Sayangnya
29 Matthew Gordner, “Islam and democracy: Beyond ‘Compatibility’
and Toward Cross-cultural Democratic Dialogue,” University of
Alberta (Canada), ProQuest Dissertations Publishing, 2010. MR60579
http://e-resources.perpusnas.go.id:2071/docview/304655628/
fulltextPDF/2221203C2B3A48F7PQ/2?accountid=25704 (diakses pada
tanggal 29 Maret 2017)
30 Dilshod Achilov, “Can Islam and Democracy Coexist? A Cross-national
14
berbagai macam sumber baik sumber daya alam, sumber daya
manusia, sumber daya politik serta berbagai sumber yang lain telah
lama dikuasai oleh kalangan otoritarian, sehingga perlu waktu bagi
umat Muslim untuk bisa menggunakan berbagai sumber itu dengan
benar. Akan tetapi, bukan berarti bahwa adaptasi demokrasi atas
berbagai sumber yang dimiliki itu tidak bisa dilakukan. Bila terdapat
gesekan dalam implementasinya, sejatinya itu adalah riak-riak yang
muncul dan biasa terjadi dalam implementasi demokrasi, tapi tidak
lantas menjadikan Islam dan demokrasi bertentangan.31
Sejalan dengan para pemikir di atas, Ahmad Syafii Maarif
menyebut bahwa Islam sejalan dengan demokrasi. Menolak
demokrasi akan menyebabkan seorang Muslim gagal hidup dalam
dunia modern. Sebab demokrasi dengan Syuro yang ada dalam
Islam adalah dekat. Kata Syuro ada dalam Al-Qur’an. Pada konteks
keindonesiaan, Maarif meyakini bahwa demokrasi adalah jalan satusatunya, karena dengannya dapat menjamin kebebasan manusia.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim malah memandang
bahwa demokrasi adalah realisasi dari prinsip Syuro seperti yang
diajarkan dalam Al-Qu’an.
Maarif berpendapat bahwa demokrasi adalah sesuatu yang
amat penting, khususnya dalam konteks kebernegaraan Indonesia.
Ia menyebut bahwa Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat
diabaikan. Ia menjadi jaminan bagi keberadaan demokrasi. Oleh
Analysis of Islamic Institutions in the Muslim World,” The University of
Arizona, ProQuest Dissertations Publishing, 2010. 3423709, http://e-resources.perpusnas.go.id:2071/docview/760101147/fulltextPDF/2221203C2B3A48F7PQ/4?accountid=25704(diakses pada tanggal 29 Maret 2017).
31 Riak-riak itu seperti pemberitaan yang dilakukan oleh media massa (pers)
secara keseluruhan. Mishra adalah yang berpendapat demikian melakukan.
Ia menyebutkan bahwa pemberitaan pers tiga kali lebih mungkin untuk
menekankan ketidakcocokan Islam dan demokrasi, daripada kompatibilitas
agama Islam dan sistem pemerintahan yang demokratis. Selanjutnya,
kompatibilitas Islam dan demokrasi adalah lebih mungkin untuk muncul
dalam surat kepada editor dan editorial dari artikel berita dan kolom pendapat.
Smeeta Mishra, “Islam and democracy: An analysis of representations in the
United States prestige press from 1985–2005.”
15
karenanya demokrasi harus tetap ada, sebab lenyapnya demokrasi
maka lenyap pulalah Indonesia merdeka.32 Ia percaya bahwa
demokrasi adalah jalan yang baik untuk membangun pemerintahan.
Pengalamannya dalam barisan Masyumi memberikan pemahaman
demikian. Maarif, melalui gurunya Fazlur Rahman, mendapatkan
argumentasi teologis, sosiologis, dan historis tentang betapa
sejalannya Islam dengan demokrasi, bahkan lebih luas lagi dengan
dunia modern.33
Bagi Maarif, demokrasi haruslah menolak diskriminasi,
membuat kesetaraan dimata hukum, inklusif dalam beragama, dan
melakukan dialog dalam membicarakan perbedaan dengan penuh
keadaban.34 Lebih dari itu, ia berpendapa bahwa untuk menggapai
harmoni masyarakat, perlu adanya dialog komunitas agama dengan
komunitas non agama.35 Dialog ini bisa terjadi bila demokrasi dapat
tumbuh dengan “cantik”. Ini disebabkan setiap penganut agama
harus bersikap terbuka dan toleran. Kedua sikap itu dibutuhkan
dalam menumbuhkembangkan pluralisme. Untuk menggapai
harapan mulia itu Maarif menyarankan suasana bernegara yang
demokratis yang dibangun di atas landasan moral ketuhanan dan
32 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah,163.
33 Muhammad Al Kaf, “Demokrasi yang Berkeadaban”, Ahmad Syafii Maarif,”
dalam Merawat Kewarasan Publik : Refleksi Kritis Kader Intelektual Muda
tentang Pemikiran Ahmad Syafii Maarif (Jakarta: Maarif Institute, 2018),
52.
34 Muhammad Al Kaf, “Demokrasi yang Berkeadaban”, Ahmad Syafii Maarif,”
dalam Merawat Kewarasan Publik : Refleksi Kritis Kader Intelektual Muda
tentang Pemikiran Ahmad Syafii Maarif (Jakarta: Maarif Institute, 2018),
54.
35 Pemikiran itu ia sampaikan pada acara “Cebu Dialogue on Regional
Interfaith Cooperation for Peace“ 13-16 Maret 2006 di Manila. Lihat Ahmad
Syafii Maarif, Tuhan Menyapa Kita (Jakarta: Grafindo, 2006), 219-220.
Hal yang serupa juga pernah dilakuan oleh Gülen. Dialog yang dilakukan
oleh Gülen mencapai puncaknya pada sebuah konferensi yang dilakukan di
Vatikan, Roma. Gülen bertemu dengan Paus Johanes Paulus II atas undangan
pimpinan tertinggi Gereja katolik tersebut. Muhammad Fethullah Gülen,
Bangkitnya Spiritualitas Islam, terj. Fuad Saefuddin (Jakarta: Republika,
2013), XVIII.
16
kemanusiaan yang adil dan beradab. Golongan mayoritas dan
golongan minoritas harus mendapatkan tempat secara proporsional
dalam semua kegiatan bangsa.36 Menurutnya, sikap tertutup,
intoleran, penuh rasa curiga hanya akan bermuara pada kegagalan.37
Ini menjadi hambatan bagi demokrasi untuk tumbuh menjadi apa
yang ia sebut sebagai “Demokrasi yang Berkeadaban”,.
Sebaliknya, keterbukaan, keadilan, kesamaan, kebebasan,
persaudaraan akan dapat tumbuh pada suatu negara. Namun,
pertumbuhan itu menurut Maarif akan terjadi apabila ia diberikan
ruang yang memadai. Dan ruang itu hanyalah diberikan oleh
sistem demokrasi yang implementasinya disesuaikan dengan
bingkai kultur bangsa masing-masing, bisa sangat berbeda dengan
yang berlaku di Barat.38 Ini bermakna bahwa demokrasi yang
acceptable yang dapat menyerap kultur budaya lokal. Maarif
mengemukakan pendapat Syahrur dalam hal ini. Menurut Maarif,
Syahrur menjelasakan bahwa “kebebasan” merupakan “kehendak
sadar” untuk meniadakan atau mengakui suatu eksistensi,
sedangkan “demokrasi” adalah praktik kebebasan yang dilakukan
sekelompok manusia sesuai dengan otoritas pengetahuan, etika,
estetika, dan adat istiadat.39 Oleh karena itu, kehendak tersebut
sejalan dengan praktik kebebasan yang terdapat dan diakui dalam
demokrasi. Demokrasilah yang memfasilitasi seseorang untuk dapat
melakukan kehendak yang ia miliki, dan mewujudkannya dalam
berbagai bentuk tindakan, selama tindakan itu tidak menyalahi dan
mengganggu kehendak dan tindakan orang lain.
Muhammad Syahrur, sang pemikir asal Suriah ini, agaknya
36 Ahmad Syafii Maarif, Meluruskan Makna Jihad: Cerdas Beragama Ikhlas
Beramal (Jakarta: CMM, 2005), 27.
37 Hery Sucipto dan Nadjamuddin Ramli, Tajdid Muhammadiyah: dari Ahmad
Dahlan hingga A. Syafii Maarif (Jakarta: Grafindo Khasanah Ilmu, 2005),
237-238.
38 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah, 154.
39 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah,159.
17
menelusuri gagasan demokrasi dalam masyarakat pra-Islam
dalam format Dar Al Nadwah. Dar Al Nadwah merupakan sebuah
lembaga yang dibuat oleh Bani-bani superior yang ada jazirah
Arab. Lebih tepatnya dibentuk oleh Bani Quraisy. Bani Quraisy
adalah keturunan langsung dari Fihr b. Mâlik b. al Nadr b. Kinânah
b. Khuzaymah b. Mudrikah b. Ilyâs b. Mudar b. Nizar b. Maad
b. Adnân. Kabilah Quraysh terdiri atas sepuluh keluarga, yaitu
Banî Hâshim, Banî Umayyah, Banî Nawfal, Banî Abd al-Dâr, Banî
Asad, Banî Ta’im, Banî Zurah, Banî ‟Adî, Banî Jumah dan Banî
Sahm. Setiap keluarga memegang jabatan dalam Majelis tertentu,
sesuai kesepakatan yang diputuskan melalui musyawarah dalam
suatu lembaga yang disebut sebagai Dâr Al Nadwah.40
Keluarga yang paling berpengaruh, seperti Bani Hasyim,
Bani Mahdum, dan Bani Umayyah, melakukan musyawarah untuk
masalah-masalah politik dan kesukuan. Mejelis ini merupakan
majelis Syuro bagi masyarakat kesukuan, khususnya dalam
membincangkan sistem perdagangan.41 Tidak hanya itu, lembaga
ini menjadi semacam lembaga yang berkewenangan untuk
melakukan fit and proper test (uji kelayakan), dan proses seleksi
serta penempatan keturunan Quraisy pada posisi-posisi tertentu.
Sayangnya, lembaga ini bersifat ekslusif yang hanya menempatkan
keturunan Quraisy sebagai keturunan yang memiliki otoritas dalam
menduduki posisi-posisi yang telah ditetapkan oleh mereka.
Meskipun demikian, apa yang dilakukan oleh Syahrur jelas
sangat membantu kalangan akademisi yang terlahir belakangan
untuk mengetahui bahwa ternyata dalam masyarakat pra Islam
40 Munawwar Khalil, “Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad” (Jakarta: Bulan
Bintang, 1969), 73 dalam Moh. Misbakhul Khoir , “Kultur Arab Dalam Hadis
Pemimpin negara Dari Suku Quraysh,” Mutawâtir: Jurnal Keilmuan Tafsir
Hadis, Volume 4, Nomor 2, Desember 2014, 250, dalam mutawatir.uinsby.
ac.id/index.php/Mutawatir/article/download/60/58 (diaksespadatanggal 06
Nopember 2017).
41 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah,157.
18
budaya demokrasi sudah diterapkan dan dilakukan secara serius
oleh kalangan masyarakat itu. Oleh karenanya, wajar bila para
pemikir-pemikir yang lain, dari negara yang lain, kemudian
berpikir lebih terbuka terhadap demokrasi, seperti Ahmad Syafii
Maarif, sebab cikal bakal demokrasi telah lama ada. Untuk itu,
Maarif tidak kaku dalam memandang demokrasi.
Beberapa literatur menjelaskan tentang pandangan Maarif
terhadap demokrasi. Dijelaskan bahwa demokrasi menjalankan
dua hal utama, yakni prosedural dan substansial. demokrasi
prosedural adalah demokrasi yang memastikan berjalannya proses
politik yang adil dan terbuka. Inilah yang disebut sebagai bagian
dari proses politik yang dikenal sebagai pemilu, maupun pemilihan
Presiden. demokrasi prosedural memastikan ketidakhadiran
tirani dalam pemerintahan karena adanya pemilihan berjangka,
serta sirkulasi kekuasaan yang dapat berlangsung secara teratur.
Sedangkan demokrasi substansial adalah memastikan segala
bentuk yang terjadi pada tataran demokrasi prosedural menjadikan
manusia sebagai pelaku politik dan mendapatkan hak asasinya yang
terdalam.42 Sama halnya dengan Maarif yang menyebutkan bahwa
substansi demokrasi adalah terjaminnya kemerdekaan rakyat untuk
memilih pemimpin atau sistem politik formal secara bebas dan
sekaligus untuk menjatuhkannya jika terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan konstitusi.43 Oleh karenanya, maksud utama demokrasi
secara umum adalah memastikan kemanusiaan itu terlindungi tidak
terabaikan dan penuh dengan penghormatan. Inilah yang disebut
sebagai demokrasi keadaban.44
Maarif, sebagai cendekiawan Muslim, selalu merujuk pada
ayat Al-Qur’an dalam memberikan pandangannya. Termasuk
pendangannya tentang demokrasi yang berkadaban. Ayat yang
42 Muhammad Al Kaf, “Demokrasi yang Berkeadaban”, Ahmad Syafii Maarif,” 42.
43 Ahmad Syaii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah,148
44 Muhammad Al Kaf, “Demokrasi yang Berkeadaban”, Ahmad Syafii Maarif,” 42.
19
dikutip adalah Quran surat Al Hujarat ayat 13. Melalui ayat tersebut
Syafii memahami bahwa “Bumi disediakan oleh Allah untuk seluruh
makhluk, bukan hanya spesies manusia, sekalipun manusialah yang
diberi tanggung jawab untuk menjaga dan mengelolanya. Manusia
beradab pastilah bersikap toleran dalam perbedaan. Apapun
perbedaan itu.45 Pernyataan ini memberikan pemahaman tersirat
tentang pengakuan Maarif bahwa Al-Qu’an adalah pedoman dalam
melihat berbagai permasalahan kemanusiaan, karena Al-Qu’an
merupakan pedoman yang diturunkan oleh Tuhan bagi manusia,
bukan sebaliknya, dari manusia untuk kepentingan Tuhan. Oleh
karena itu, Maarif menghubungkan demokrasi dengan berbagai
topik yang luas, bukan sekedar proses pemilihan atau suksesi
kepemimpinan semata.
Penutup
Melihat relasi antara Islam dengan demokrasi, maka terdapat
tiga pola yang umum tentangnya, yakni pola hubungan yang
fundamental, yang sekuler, dan yang moderat. Sedangkan bila
ditelisik lebih dalam, akan terlihat pula bahwa pola hubungan
tersebut masih dapat berkembang, khususnya pola yang sekuler.
Pola ini dibagi menjadi dua, yakni sekuler atas kehendak Tuhan dan
sekuler tanpa kehendak Tuhan. Pola-pola tersebut menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan pemahaman kalangan pemikir politik
Islam dalam memahmi hubungan antara Islam dengan demokrasi.
Ahmad Syafii Maarif, cendekiawan Muslim Indonesia, adalah salah
satu pemikir Islam yang mendukung keselarasan atau kesesuaian
antara Islam dengan demokrasi. Ia menganggap dalam demokrasi
terdapat Nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Ini membuatnya
sejalan dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lain.
45 Muhammad Al Kaf, “Demokrasi Berkeadaban”, Ahmad Syafii Maarif,” 55.
20
Daftar Pustaka
Ari Zandy, Aan, dkk. Merawat Kewarasan Publik: Refleksi Kritis
Kader Intelektual Muda tentang Pemikiran Ahmad Syafii
Maarif. Jakarta: Maarif Institute, 2018. Assyaukanie, Luthfi.
Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model negara demokrasi
di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011).
Bugin, Burhan, Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian
Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo, 2001).
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan
Praktik politik Islam di Indonesia, Edisi Digital (Jakarta:
Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011).
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan
Praktik politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy
Project Yayasan Abad Demokrasi, 2011).
Gṻlen, Muhammed Fethullah, Essays-Perspectives-Opinions
(Istanbul: Tughra Books, 2010).
Gṻlen, Muhammed Fethullah, Bangkitnya Spiritualitas Islam,
terj. Fuad Saefuddin. Jakarta: Republika, 2013.
Hafsah, Mohammad Jafar, politik Untuk kesejahteraan Rakyat
(Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2011), cet. I.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin politik
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
Maarif, Ahmad Syafii, Meluruskan Makna Jihad: Cerdas
Beragama Ikhlas Beramal. Jakarta: CMM, 2005.
Maarif, Ahmad Syafii, Tuhan Menyapa Kita. Jakarta: Grafindo,
2006.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan,
2015. ed. II, Cet. I
21
Moeloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:
Rosda, 2007), 3.
Mujani, Saiful. Religious Democrats: Democratic Culture and
Muslim Political Participation in Post-Suharto Indonesia
(New York: Ohio University, 2003).
Muzakki, Akh, Sang Pahlawan Reformasi: Mengupas Pemikiran
Agama dan politik (Jakarta: Lentera, 2004).
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002).
Sucipto, Hery. dan Ramli; Nadjamuddin. Tajdid Muhammadiyah:
dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Maarif. Jakarta:
Grafindo Khasanah Ilmu, 2005.
Syadzali, Munawwir, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: PHI
dan Paramadina, 1996).
Yavuz, Hakan, Secularism and Muslim Democracy in Turkey
(New York: Cambridge University Press, 2009).
Jurnal
Diane Nahl, “A Discourse Analysis Technique for Charting
the Flow of Micro-information Behavior,” Journal of
Documentation 63.3 (2007), 323-339, http://e-resources.
pnri.go.id:2058/ docview/ 217962167/ fulltextPDF
/1418ADB178B58B8D CB8/2? accountid=25704 (diakses
pada tanggal 5 Nopember 2013).
Dilshod Achilov, “Can Islam and Democracy Coexist:
A Cross-national Analysis of Islamic Institutions
in the Muslim World,” The University of Arizona,
ProQuest Dissertations Publishing, 2010. 3423709,
http://e-resources.perpusnas.go.id:2071/docview/
760101147/fulltextPDF/2221203C2B3A48F7
PQ/4?accountid=25704(diakses pada tanggal 29 Maret
2017).
22
Matthew Gordner, “Islam and Democracy: Beyond ‘compatibility’
and Toward Cross-cultural Democratic Dialogue,”
University of Alberta (Canada), Pro-Quest Dissertations
Publishing, 2010. MR60579 http:/ /e-resources.perpusnas.
go.id: 2071/docview/304655628/ fulltextPDF/2221203C
2B3A48F7PQ/2?accountid=25704 (diakses pada tanggal 29
Maret 2017).
Moh. Misbakhul Khoir, “Kultur Arab dalam Hadis Pemimpin
negara dari Suku Quraysh,” Mutawâtir: Jurnal Keilmuan
Tafsir Hadis, Volume 4, Nomor 2, Desember 2014, 250,
dalam mutawatir.uinsby.ac.id/index.php/Mutawatir/article/
download/60/58 (diakses pada tanggal 06 Nopember 2017).
R. William Liddle, “Tantangan dan Harapan demokrasi (1)”,
Republika, 16 Desember 2011.
Reksa Fiaji Tamara, “Analisis Kemenangan Adalet Ve Kalkinma
Partisi (AKP) dalam Pemilu Turki 2011,” eJournal Ilmu
Hubungan Internasional, 2013, 1 (4), dalam http://ejournal.
hi. fisip-unmul.ac.id/site/ wp-content/ uploads/2013/11/
(RFT)%20eJournal%20Ilmu%20Hubungan%20
Internasional%20(11-21-13-06-04-58).pdf (diakses pada
tanggal 1 April 2017).
Sukron Kamil, “Peta Pemikiran politik Islam Modern dan
Kontemporer,” Jurnal Universitas Paramadina Vol. 3 No.
1, (September 2003), http://paramadina .ac.id/downloads/
Jurnal%20 Universitas% 20Paramadina/Jurnal%20
UPM%20Vol-3%20No-1,%20 09-2003/314-sukron.pdf
(diakses pada tanggal 4 September 2013).
Teun A. Van Dijk, “18 Critical Discourse Analysis,” http://www.
discourses.org/OldArticles/Critical%20discourse%20
analysis.pdf (diakses pada tanggal 24 Juli 2013).
Wawan Hermawan, “Konsep negara Menurut Al-Farabi,” http://
file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/197402092005011WAWAN_HERMAWAN/Konsep_Negara_Mnrt_al-Farabi.
pdf (diakses pada tanggal 12 Januari 2015).
23
ETIKA POLITIK AHMAD SYAFII MAARIF:
MENGAKMODASI PLURALITAS DAN MEMBUMIKAN
Nilai-nilai ISLAM DALAM BERPOLITIK
Anis Kurniawan
Negara itu tidak perlu bernama negara Islam. Dengan kata
lain untuk kasus Indonesia, negara Pancasila dapat dijadikan
instrumen yang mantap untuk mencapai dan melaksanakan
keadilan, kebebasan, kemakmuran, persamaan dan persaudaraan.
Ahmad Syafii Maarif
Pendahuluan
Tradisi berdemokrasi di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri
karena bertumbuh di atas heterogenitas budaya. Tidak hanya itu,
demokrasi juga berkembang pada masyarakat yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Ada dua makna filosofis dari perihal ini;
pertama, sebelum Indonesia merdeka dan memilih berdemokrasi, kita
telah memiliki tradisi sosiologis yang kuat. Kedua, Islam menerima
Nilai-nilai demokrasi sebagai sesuatu yang tidak saling bersinggungan
satu sama lain.
Selain keduanya, modal dasar kita sebagai suatu bangsa adalah
keberterimaan atas kebinekaan sebagai takdir bernusa-bangsa.
Kemerdekaan diraih atas perjuangan keras anak-anak bangsa dari
semua golongan suku, golongan dan agama. Oleh sebab itu, kebinekaan
adalah sebuah realitas yang memiliki akar kesejarahan yang kuat.
Indonesia tidak akan mungkin ada tanpa kebinekaan dan pluralitas.
24
Maka, memilih Pancasila sebagai dasar negara adalah jalan
tepat yang mengakomodasi kebinekaan dan pluralitas sebagai
fakta sejarah. Sebagai spirit berbangsa, Nilai-nilai Pancasila tidak
bertentangan dengan agama apa pun yang ada. Dengan kata lain,
Pancasila adalah jalan tengah yang mempertemukan dua kutub besar,
demokrasi di satu sisi dan Nilai-nilai agama (khususnya Islam) di
sisi lain.
Polemik soal ideologi negara, apakah Pancasila atau
Islam, sejatinya tidak dimunculkan kembali. Pancasila tidaklah
mengeliminasi Nilai-nilai keislaman. Sebaliknya, Nilai-nilai
Pancasila adalah manifestasi dari Nilai-nilai Islam itu sendiri.
Dalam hal ini, aspirasi sebagian kecil kelompok Islam yang
resisten dengan ideologi Pancasila cenderung bersifat pragmatis,
yakni memainkan narasi politik identitas. Spektrum politik identitas
tidaklah sesuai dengan Nilai-nilai Islam karena melihat politik
sekadar pergantian kekuasaan dan ideologi. Padahal, masalah besar
yang dialami bangsa saat ini adalah tidak adanya transformasi Nilainilai Islam dalam politik Indonesia.
Kritik atas perihal ini diajukan oleh cendekiawan Buya Ahmad
Syafii Maarif (selanjutnya disingkat ASM atau Buya) yang melihat
bahwa Islam belum menjadi spirit berpikir masyarakat dalam
politik dan demokrasi. Padahal, jika keislaman, keindonesiaan dan
kemanusiaan telah selaras dengan jiwa, pikiran dan tindakan umat
Islam Indonesia, Islam di Indonesia akan dapat memberikan solusi
terhadap masalah-masalah besar bangsa.
Tulisan ini akan mengulas tentang pemikiran visioner Buya
ASM dalam memandang posisi Islam sebagai agama besar merespon
masalah politik, kepemimpinan, serta bagaimana Nilai-nilai Islam
ditransformasikan ke dalam praktik politik dan demokrasi?
Pemikiran Buya sangat penting dikembangkan di tengah
menguatnya narasi politik identitas sebagai diskursus yang berbahaya
bagi demokrasi kita. Pemikiran Buya ASM juga diperlukan
untuk menginpirasi tokoh-tokoh muda Muslim Indonesia dalam
memainkan peran politik dalam demokrasi dengan basis sosisologis
25
yang plural. Pendeknya, pemikiran Buya ASM adalah kontra narasi
dari pemikiran arus dominan yang cenderung konservatif-esklusif.
Sekilas Tentang Sosok Buya Syafii
Siapa sebenarnya Buya Syafii Maarif? Buya ASM lahir di
Sumpur Kudus, Sumatera Barat, tanggal 13 Mei 1935. Memiliki
pengalaman mengajar sebagai dosen di IAIN Sunan Kalijaga
dan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.Ia juga pernah
tercatat sebagai dosen tamu untuk mengajar mata kuliah Sejarah
Perang Salib dan Islam dan Perubahan Sosial di Asia Tenggara di
Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1992), dan pernah menjadi
anggota Kelompok Pemikir Masalah Agama Departemen Agama
(1984).46
Pendidikan formal yang pernah ditempuh ASM dimulai di
tingkat dasar yaitu Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah
Sumpur Kudus (tamat 1947), kemudian masuk ke tingkat menengah
pertama Madrasah Muallimin di Balai Tangah, Lintau, Sumatera
Barat (1950-1953). Kemudian ia pindah ke Yogyakarta untuk
melanjutkan pendidikan menengahnya di Mualimin Muhammadiyah
(tamat 1956). Kemudian ia meneruskan pendidikan ke Universitas
Cokroaminoto, Solo, dan meraih gelar sarjana muda pada jurusan
Sejarah Budaya (1964). Gelar sarjana Sejarah ia peroleh di IKIP
Yogyakarta (1968).
Untuk menekuni ilmu sejarah, ia kemudian mengikuti program
master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika Serikat
dan berhasil mengantongi ijazah Master (1980), dengan judul
tesis: Islamic Politics under Guided Democracy in Indonesia (19591965). Syafii Maarif kemudian diterima di Universitas Chicago,
dan berhasil meraih gelar doktor pada program studi Bahasa dan
Peradaban Timur Dekat, dengan disertasi: Islam as the Basis of State:
A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent
46 Ahmad Syafii Maarif.2009. Titik-Titik Kisar di Perjalananku. Bandung: Mizan
26
Assembly Debates in Indonesia. Selama kuliah di Chicago, Buya
ASM secara intensif juga aktif melakukan pengkajian Al-Qur’an,
yang dibimbing langsung oleh seorang tokoh pembaharu pemikiran
Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, ia sering terlibat diskusi dengan
beberapa tokoh Indonesia seperti Nurcholish Madjid (Alm.) dan M.
Amien Rais yang juga sedang mengikuti program doktornya.
Kini, dalam usia senjanya, Syafii Maarif tidak lagi
memiliki kedudukan atau jabatan formal, baik sebagai Ketua PP
Muhammadiyah maupun sebagai PNS (dosen). Namun, sebagai
sosok intelektual Muslim yang memiliki komitmen kebangsaan,
kritis, tegas, dan bersahaja, undangan sebagai pembicara dari
berbagai kalangan dan beragam latar belakang masih terus mengalir.
Saat ini, ia bersama istrinya Ny. Hj. Nurkhalifah dan anak semata
wayangnya, Mohammad Hafiz, tetap menikmati hari-harinya. Ia
berharap di sisa akhir hidupnya, mampu menghasilkan karya besar
tentang Islam dan kemanusiaan, dan akan menjadi sumbangan besar
bagi peradaban manusia.
Mendapatkan penghargaan masyarakat Ilmu pemerintahan
Indonesia (MIPI) Award pada tahun 2011 untuk kategori Tokoh
Pemerhati pemerintahan. Buya juga mendapat penghargaan lifetime
avhievement Soegeng Sarjadi Award on Good Governance untuk
kategori intelectual integrity dari Soegeng Sarjadi Cyndicate
ditahun 2011 yang menilai Buya sebagai tokoh yang terus-menerus
memperjuangkan hak-hak publik melalui kritikan dan ajakan untuk
menegakkan keadilan di Indonesia.
Pandangan keislaman dan keindonesiaan Buya ASM sangat
relevan untuk diperbincangkan. Terlebih di tengah menguatnya
diskursus yang mencoba membenturkan antara Islam dan
nasionalisme. Narasi ini berkembang dalam lima tahun terakhir—
seolah-olah ada pandangan bahwa yang nasionalis cenderung tidak
Islami—begitu pun sebaliknya. Seorang Buya ASM adalah inspirator
dan saksi hidup bagaimana berIslam secara sempurna, tetapi juga
menerima konsepsi bernegara dengan semangat nasionalisme kuat.
27
Buya ASM telah menunjukkan kapasitasnya sebagai
cendekiawan Muslim yang memiliki etika politik yang yang baik.
Buya ASM selalu memandang suatu persoalan secara obyektif tanpa
harus tersandera oleh embel-embel tertentu—Buya konsisten merawat
nalar kritisnya sebagai umat beragama yang berkemanfaatan luas pada
manusia lainnya.
Islam dalam Pandangan Buya Syafii
Seperti kebanyakan tokoh Muslim konservatif lainnya yang
esklusif-radikal, Buya ASM pernah bersepakat pada upaya mengusung
Islam sebagai ideologi berbangsa. Hal ini tentu didasari oleh pergulatan
spiritualitas Buya yang sebelumnya memang sangat fundamentalis.
Pemikiran Buya yang fundamentalis tentu tidak bisa dipisahkan
dari pendidikan dan lingkungan sosial yang membesarkannya. Di
Sampur Kudus Sumatera Barat, Buya Syafii sejak kecil dididik
dalam lingkungan Muhammadiyah yang dienyamnya sejak Madrasah
Ibtidaiyah hingga tingkat Madrasah Mualimin Yogyakarta. Doktrin
keagamaan yang kuat melalui Muhammadiyah telah memengaruhi
Buya saat itu yang bercorak Maududian.
Metamorfosa pemikiran Buya terjadi saat mengenyam
pendidikan Strata Tiga (S3) di Universitas Chicago Amerika Serikat.
Di kampus itulah, Buya bertemu dengan gurunya Fazlur Rahman.
Pertemuan dan pergulatan keilmuan dengan Fazlur Rahman telah
mengubah cara pandang Buya tentang Islam. Sebagaimana pengakuan
Buya berikut: “Pergumulanku dengan kuliah-kuliah rahman selama
empat belas tahun telah memengaruhi sikap hidupku dengan sangat
mendasar sekalipun ilmuku tidak sampai seperempat ilmunya.”
Setidaknya, terdapat empat titik kisar perubahan dan pandangan
ASM pasca menempuh studi di Chicago. Pertama, perubahan
pandangan Buya terhadap Islam. Buya akhirnya menyadari bahwa
mendirikan negara Islam di Indonesia sudah tidak relevan lagi. Sebab,
yang terpenting dari sebuah negara adalah bagaimana membangun
Islam dalam masyarakat luas.
28
Kedua, Buya ASM lebih terbuka dalam mendorong isu-isu
toleransi inter dan antar umat beragama. Dalam konteks ini, Buya
sangat menyadari betapa pentingnya memberikan penghargaan, baik
pada pemeluk agama lain, maupun pada penganut ateis. Hubungan
persaudaraan dengan kelompok yang berbeda harus dibangun di atas
prinsip-prinsip humanis. Dalam bahasa Buya ASM: “bersaudara
dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan.”
Ketiga, Buya ASM lebih terbuka dengan pandangan terkait
kepemimpinan perempuan dalam politik. Buya juga banyak
mengkritisi isu-isu poligami dalam Islam yang cenderung merugikan
perempuan dan menimbulkan masalah sosial lainnya.
Keempat, pemahaman kritis Buya ASM tentang aliran-aliran
dalam Islam. Menurut Buya, kemunculan aliran-aliran dalam Islam
berpangkal dari konflik politik berdarah antara Ali dan Muawwiah
dalam perang Shiffin pada tahun 657 M, yang menyebabkan
munculnya aliran besar dalam Islam yang terdiri dari Sunni, Syiah,
dan Khawarij.
Keempat titik kisar pandangan Buya tentang Islam di atas
senantiasa disuarakan pada forum-forum terbuka. Dalam konteks
ini, Buya ASM ingin menekankan pentingnya transformasi Nilainilai Islam ke dalam segala dimensi kehidupan manusia. Bukan
sebaliknya, sekadar menjadikan Islam sebagai simbol-simbol yang
kehilangan makna dan terjebak pada ritual belaka.
Menurut Buya, Islam adalah agama yang sangat egaliter.
Sekalipun tidak secara gamblang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan
hadits perihal egalitarianisme, Buya memandang bahwa semangat
dan nilai Islam sungguh sangat egaliter. Sebagaimana Buya
berpegang pada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan:
“Manusia merupakan umat yang tunggal (QS 2:213). Oleh sebab itu,
kata Buya, tugas penting manusia di muka bumi ini adalah lita’arafu
yang maknanya tidak saja saling mengenal tapi juga saling bertukar
makna peradaban.
29
Islam menurut Buya adalah sebuah agama yang menjalankan
misi rahmatan lilalamin. Maka, sebagai Muslim yang taat, telah
menjadi kewajiban untuk meindungi, mengayomi, mengasihi, dan
bersikap inklusif.
Dalam hal memahami Al-Qur’an, Buya ASM memandangnya
sebagai sumber moral. Oleh sebab itu, Al-Qur’an menurut Buya
harus dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman—dimana
di dalamnya membutuhkan kajian dan refleksi yang bersifat kritis.
Paradigma keberIslama Buya ASM yang demikian justru membuatnya
tampak otentik dan bersahaja. Buya adalah manusia merdeka yang
memeluk Islam sebagai buah kesadaran dan kemerdekaannya. Walau
begitu, ia sangat menghargai atas kemerdekaan dan kebebasan
orang lain dalam beragama dan berkeyakinan. Sikapnya ini tak lain
disandarkan pada Al-Qur’an yang menurutnya jauh lebih toleran
dari sebagian umat Islam sendiri.47
Islam, demokrasi sebagai Dua Pintu yang Bertemu
Dalam konteks politik, Buya ASM melihat perlunya melibatkan
diri dalam politik sebagai jalan memperjuangkan orang banyak.
Hal ini, tentu berkaitan dengan visi Islam sebagai sebuah agama
kemanusiaan, Islam yang rahmatan lil alamain. Menurut Buya ASM,
Islam tidak menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam
yang wajib digunakan oleh kaum Muslim. Buya ASM memahami
bahwa baik Al-Qur’ân maupun Sunnah tidak memberikan petunjuk
yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga
politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan
persatuannya.48
Terminologi “kerajaan Islam”, “kesultanan Islam”, atau “monarki
Islam” menurut Buya Syafii sebenarnya bersifat kontradiktif di
47 Catatan Pengantar Ahmad Najib Burhani, dkk pada Buku “Muazin Bangsa
dari Makkah Darat” 2015: h. 21.
48 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h 193.
30
dalamnya. Monarki, kesultanan, dan seterusnya tidak secara otomatis
dapat menjadi Islam kendatipun menggunakan embel-embel nama
Islam. Ia juga mengkritik gagasan negara Islam. Menurutnya, gagasan
negara Islam tidak memiliki basis religio-intelektual yang kukuh,
yang berbicara secara teoritik.
Terminologi negara Islam tidak ada dalam kepustakaan
Islam klasik. Dalam Piagam Madinah pun, terminologi ini tidak
ditemukan. Gagasan negara Islam (daulatul-islâmiyyah), menurutnya,
merupakan fenomena abad ke-20. Kendati demikian, Islam sangat
membutuhkan mesin negara untuk membumikan cita-cita dan ajaranajaran moral. Al-Qur’ân yang penuh dengan ajaran imperatif moral,
lanjutnya, tidak diragukan lagi sangat membutuhkan negara sebagai
institusi “pemaksa” bagi pelaksanaan perintah dan ajaran moralnya.
Demokrasi sebagai sebuah sistem politik bagi Buya ASM, adalah
tatanan yang terbaik (walau bukanlah yang sempurna) untuk dipilih di
antara sistem lainnya seperti khilafah, kerajaan dan lainnya. Menurut
Buya ASM, lebih dekat kepada gagasan demokrasi sebagaimana
dipahami di era modern. Dalam sistem demokrasi, keikutsertaan
rakyat dijamin dan dihormati secara bebas dan aktif dalam proses
pengambilan keputusan mengenai masalah bangsa dan negara.
Pemikiran Buya ASM tentang demokrasi sangat sejalan dengan
gagasan Bung Hatta. Hatta menegaskan bahwa demokrasi adalah
pemerintahan rakyat, yaitu rakyat yang memerintah diri sendiri.
Sebuah bangsa merdeka harus bisa menentukan nasibnya sendiri.
Pendeknya, cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun
perekonomian negeri, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan
mufakat. Rakyat adalah daulat alias raja atas dirinya. demokrasi
atau kerakyatan yang seluas-luasnya. Tidak saja dalam hal politik,
melainkan juga dalam hal ekonomi dan sosial, demokrasi: keputusan
dengan mufakat rakyat yang banyak.49
Buya Syafii Maarif pernah menegaskan bahwa masalah
besar dalam perPolitikan Indonesia adalah kita mengalami krisis
49 Mohammad Hatta, demokrasi Kita. 2009. Bandung. Sega Arsy.
31
negarawan. demokrasi kita lebih disesaki politisi sumbu pendek.
Padahal kalau negara ini mau bertahan harus ada negarawan di setiap
tingkat atau lapisan.
Negarawan dan politikus berbeda, karena politikus memiliki
jangkauan pendek dan lebih bercorak pragmatis. Artinya, hanya
memikirkan seputar kekuasaan lewat Pileg, Pilkada dan Pilpres.
Sementara negarawan adalah sosok yang memikirkan bangsa untuk
ratusan bahkan ribuan tahun yang akan datang. Negarawan pasti
politikus, politikus belum tentu negarawan.50
Masalah utamanya adalah pada saat Islam melihat kepentingan
politik dan kekuasaan sebagai sebuah tujuan dari politik Islam.
Buya ASM mengingatkan, “Orang harus berhati-hati membedakan
‘ekspansi politik kekuasaan’ dan ‘pengembangan agama’”. Pola
kecenderungan ini sebenarnya diakui oleh Buya masih kerap hadir
dalam pentas politik Indonesia saat ini. Buya ASM sangat tidak setuju
bila penyebaran Nilai-nilai dan ajaran Islam harus dilakukan dengan
proses ekspansi perebutan kekuasaan.
Buya ASM juga tidak menafikan bahwa ada arus pemikiran
Islam yang masih melihat ‘sistem demokrasi’ sebagai sistem yang
‘kafir dan sesat’, dan arus besar lain yang melihat justru sebaliknya
bahwa ‘demokrasi’ sama sekali tidak bertentangan dengan Nilai-nilai
keislaman. Menghadapi aliran ekstrim seperti ini, Buya menunjukkan
kapasitas intelektualnya dengan elegan. Tidak frontal dan terlampau
keras, tetapi ia tegas di pemikirannya, bahwa Islam dan demokrasi
sama sekali tidak bersinggungan. Dalam memberi penjelasan tengang
perihal ini, Buya ASM seringkali meminjam beberapa pemikirpemikir Islam seperti Fahmi Huwaydi dari Mesir, Fatimah Mernissi,
Zuhairi Misrawi, Khaled Abou El Fadl, dan Muhammad Syahrur dari
Suria, buku ini ingin meyakinkan bahwa sistem demokrasi sebenarnya
banyak terkandung dalam spirit Islam secara fundamental.
Gagasan Khaled Abou El Fadl misalnya melihat bahwa
pengalaman umat manusia, hanya dalam sistem pemerintahan
50 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Sebuah Refleksi Sejarah). Bandung.Mizan
32
konstitusional demokratik, keadilan bisa ditegakkan karena rakyat
punya akses kepada lembaga-lembaga kekuasaan dan adanya
akunpemerintahanlitas pada jabatan-jabatan publik. Sebaliknya
dalam sistem yang non-demokratik, akan sangat sulit penguasa
diminta bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Tentu saja jika lebih mendalam dan mengkaji apa yang pernah
terlintas dalam nilai dan sekaligus sejarah keislaman, ada praktik
berdemokrasi yang pada Islam awal sebenarnya sudah pernah
muncul. Prinsip demokrasi pada hakikatnya sama dengan prinsip
Syuro (musyawarah). Pada Surat Al-Syuro ayat 38 lebih terjelaskan:
“Dan orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan,
menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
melalui musyawarah di antara mereka, dan sebagian rezeki
yang kami berikan kepada mereka, mereka infaqkan adalah
bagian dari akidah dan ibadah yang prinsip prinsipnya tidak
bisa diganti oleh umat Islam.
Keyakinan pada prinsip berdemokrasi sejatinya juga
didasarkan pada berbagai pengalaman sejarah umat manusia
yang panjang. Yang pasti, dalam sistem demokrasi rakyat diberi
akses untuk mengetahui secara terbuka tentang bagaimana mesin
kekuasaan itu dijalankan, bagaimana sumber-sumber ekonomi
keuangan ditata dan dialokasikan. Dan bahkan lebih dari itu, mereka
punya hak dasar untuk turut memimpin secara langsung perputaran
mesin kekuasaan itu. Tentu saja ini mustahil akan terjadi pada sistem
yang “non-demokratis”, yang kerap kali menunjukan wajah despotik
dan korup, sebagaimana yang dilontarkan secara kritis oleh Fatimah
Mernissi dalam mengkritik berbagai sistem Monarki kerajaan Arab
yang penuh dengan eksploitasi dan korupsi.51
Selaras dengan masa depan Islam, Mernissi sebagaimana
dikutip oleh Buya ASM, juga sangat meyakini bahwa Islam dan
demokrasi merupakan nilai yang selaras dan sejalan. Dalam ruang
51 Opcit, halaman 151
33
demokrasilah pengembangan Nilai-nilai Islam yang lebih substansial
bisa berjalan. Menambahkan keyakinan ini seorang pemikir
Islam dari Suria, Muhammad Syahrur menegaskan bahwa sistem
demokrasi melampaui masyarakat keluarga, klan, kabilah (suku),
kelompok, mazhab, dan juga melampui masyarakat patriarki”.
Islam menurut Buya ASM harus senantiasa bersentuhan
langsung dengan realitas. Bahkan tak sekadar bersentuhan, tetapi
juga memiliki kewajiban untuk mengubah realitas yang semula
penuh dengan ketidakadilan, menjadi penuh rahmat bagi siapa pun.
Kesadaran kritis seorang Buya ASM bukanlah suatu pemikiran
yang sifatnya sporadis—sikap Buya tumbuh dari suatu pergulatan
panjang. Sebagaimana seorang Buya yang bermetamorfosa dari
seorang “fundamentalis” menjadi Muslim moderat alias “sang
fundamentalis insyaf”.
Tranformasi Nilai-nilai Islam dalam Politik
Menurut Buya, Islam bukanlah agama yang memaksakan
Nilai-nilainya secara politis melalui kekerasan atau sistem politik
kekuasaan. Tetapi, proses-proses transformatif itu lebih kultural dan
demokratis, dengan misi yang damai untuk membawa mandat Nilainilai Islam. Di sanalah substansi, hakikat dan isi tentang Nilai-nilai
Islam bisa diperjuangkan. Masih menurut Buya, dewasa ini agama
tidak jarang dijadikan sebagai pembenaran terhadap sebuah sistem
kekuasaan, yang sebetulnya justru menghianati pesan utama dari
agama itu sendiri.
Pikiran Buya ASM, sejalan dengan gagasan Hasyim Muzadi
yang memandang Islam sebagai sebuah spirit berpikir yang
secara historis berlandaskan etika budaya. Islam dapat diterima di
kalangan masyarakat Nusantara karena para pedagang yang masuk
sekaligus menyiarkan Islam menggunakan budaya, adat dan bahasa
penduduk setempat sebagai pintu masuk dalam berdakwah. Mereka
tidak menggunakan pendekatan fisik atau kekuasaan (power),
juga tidak memaksakan impor budaya asal mereka ke masyarakat
setempat. Model-model transformasi ini menegaskan bahwa Islam
34
menyediakan ruang dialog dengan rasionalitas dan kesadaran
humanitas.
Nilai-nilai dasar keislaman yang inklusif dan dialogis
menunjukkan bahwa Islam bukanlah doktrin ekstrim yang
berorientasi pada kepatuhan mutlak. Islam adalah agama yang
menempatkan musyawarah dan dialog dalam menentukan masalahmasalah sosiologis. Islam adalah agama yang tidak melihat politik
sebagai bagian yang terpisah. Itulah sebabnya, Islam bisa menerima
demokrasi sebagai sebuah sistem politik. Hanya saja, Buya ASM
menegaskan bahwa yang terpenting dari sebuah demokrasi adalah
bagaimana mendorong sistem politik yang layak, efektif, egalitarian,
dan demokratik demi menjawab masalah-masalah zaman.
Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Bagus Takwin
tentang definisi politik kaitannya dengan masalah sosial (orang
banyak). Politik adalah jalan terbaik mengkontestasikan masalahmasalah bersama yang menyangkut khalayak orang banyak. Politik
pada awalnya dimaknai sebagai pengelolaan polis di masa Yunani
kuno, atau hal-hal mengenai polis (makna harafiahnya: kota;
sering dipadankan dengan istilah “negara kota”). Polis merupakan
tempat individu manusia bergabung. Aristoteles menyatakan, polis
adalah tempat terbaik bagi manusia, meleluasakan orang mencapai
tujuannya, mencapai yang terbaik. Manusia mengaktualisasi dirinya
dan berfungsi optimal dalam kebersamaannya dengan manusia
lain, di dalam polis. Politik mengikhtiarkan optimalnya kehidupan
bersama sehingga aktualisasi diri dan fungsi optimal individu dapat
berlangsung serta pencapaian kebahagiaan dapat dilakukan.
Dari situ bisa kita pahami, bahwa politik adalah implikasi
dari kehidupan bersama. Keberadaan manusia dengan manusia
lain di dunia, kehidupan bersama di sebuah wilayah, memerlukan
pengaturan agar orang-orangnya dapat memenuhi kebutuhan dan
mengembangkan dirinya masing-masing, lebih jauh lagi bersamasama mengembangkan dunia. Pengaturan menjadikan kebersamaan
itu bukan sekadar kumpulan atau kerumunan orang, melainkan
himpunan yang memiliki struktur dan aturan, sebuah masyarakat.
Orang-orang yang terhimpun di dalamnya punya hak dan kewajiban,
35
bukan hanya bertanggungjawab atas dirinya, tetapi juga orang lain.
Mereka menjadi warga dari kebersamaan, bukan sekadar individu
yang lepas dari individu lain. Politik menjadi fungsi pengaturan itu:
Menghasilkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan kehidupan bersama,
memungkinkan kehidupan bersama berlangsung terus.
Dalam hal ini, budaya politik sangat penting dalam menjalankan
tatanan demokrasi yang sehat. Menurut Ignas Kleden, budaya politik
tidak sekadar menjadi dasar bagi tingkah laku politik, tetapi juga
dibentuk dan diberi wujud nyata oleh tingkah laku politik. Hubungan
antara budaya politik dan tingkah laku pollitik bukanlah yang
pertama memengaruhi yang kedua, melainkan tingkah laku politik
memengaruhi wujud dan sifat budaya politik. Ini berarti tingkah
laku politik yang bersih akan menghasilkan budaya politik yang
menjunjung tinggi Nilai-nilai kejujuran. Sebaliknya, tingkah laku
politik yang korup akan menghasilkan budaya politik yang dengan
mudah memaafkan (dan pada akhirnya membenarkan) berbagai
penyelewengan.
Bila dikaitkan dengan pemahaman Buya ASM, maka apa
yang dimaksud dengan budaya politik tidak lain adalah penguatan
Nilai-nilai etis setiap Muslim dalam berpikir dan merespon masalahmasalah sosial, dengan pendekatan kemanusiaan. Bila Nilai-nilai
Islam telah tertanam dalam pola pikir umat Islam, maka masalah
kebangsaan seperti intoleransi, kesetaraan gender, kekerasan tidak
lagi terjadi dan membudaya.
Buya ASM telah mencontohkan pada diri dan keluarganya
sebagai cendekiawan Muslim, ia mampu hidup berdampingan
dengan pemeluk agama apapun, bahkan dengan seorang atheis,
dengan syarat masing-masing pihak saling menghormati secara tulus
dan siap untuk hidup berdampingan secara damai di muka bumi
di atas prinsip: ”Bersaudara dalam perbedaan, dan berbeda dalam
persaudaraan”. Pemahamannya ini didasarkan pada Alquran dalam
surah Al-Baqarah: 256 dan surat Yunus: 99. Baginya planet bumi ini
bukan hanya untuk satu pemeluk agama saja, tetapi untuk semua.
Semuanya punya hak yang sama untuk hidup dan memanfaatkan
kekayaan bumi ini di atas keadilan dan toleransi.
36
Buya juga memandang bahwa yang terpenting dari semua cara
pandang kita sebagai manusia adalah memanusiakan manusia lainnya
(sekalipun berbeda). Nilai-nilai luhur seperti ini, sebetulnya adalah
makna-makna yang ada dalam Al-Qur’an, tetapi tidak terfungsikan
dalam kehidupan politik. Oleh sebab itu, sekali lagi tidak ada jalan
lain, Nilai-nilai Islam harus dibumikan agar perspektif kita sebagai
Muslim tidak condong pada pemikiran sempit dan sektoral yang anti
kebhinekaan.
Etika politik ASM: Mata Air Keteladanan Para Pemuda
Perjalanan panjang Buya ASM dalam menapaki pergulatan
pemikirannya, terutama dalam hal bagaimana ia bermetamorfosa dari
fundamentalis menjadi “fundamentalis insyaf”, telah menjadikannya
teladan bagi generasi muda. Kritiknya terhadap perpolitikan Indonesia
yang dipenuhi politisi tanpa negarawan, seolah menantang anak-anak
muda progresif untuk bangkit dari kungkungan tradisi berpolitik di
Indonesia yang suram nan gelap.
Narasi “kenegarawan” yang dibangun Buya ASM adalah suatu
espektasi besar ke depan. Kenegarawanan itu tentu bukanlah suatu
yang dapat diraih secara instan dan sporadis—kenegarawanan harus
bertumbuh dan berkembang dengan dinamika dan dialektika panjang.
Di sinilah diperlukan karakter kepemimpinan politik yang tidak
hanya teruji kapasitas dan integritasnya, tetapi konsisten merawat
impiannya memperjuangkan isu-isu kebangsaaan di atas isu sektoral
yang mungkin menghinggapinya.52
Kenegarawan itu juga dapat terlihat pada kematangan
seseorang dalam merespon isu-isu keberagaman. Buya telah
menunjukkan suatu etika berbangsa di tengah masyarakat yang
plural yakni saling merangkul. Berkolaborasi dengan siapa pun tanpa
memandang perbedaan suku, agama, warna kulit apalagi perbedaan
bendera partai politik. Keteladanan Buya dalam berpolitik yang
52 Ignas Kleden. Menulis politik, Indonesia Sebagai Utopia. Kompas Media.
2001.
37
paling menarik adalah bagaimana mengaktivasi Nilai-nilai
Islam sebagai basis moral dalam bertindak. Bukan sebaliknya,
menjadikan agama sebagai sebuah komoditas politik. Dalam hal
ini, transformasi Nilai-nilai keislaman sebagai sumber inspirasi
dalam bersikap dan berkontestasi adalah pilihan cerdas seorang
anak muda kekinian. Dalam bahasa yang lain, keislaman yang
kita miliki sungguh-sungguh dapat terpancar dalam sikap dan
tindakan kita termasuk dalam berpolitik. Bila ini terjadi, maka
politikus di Indonesia yang mayoritas Muslim, sejatinya dapat
menjadi pelopor perubahan yang merawat kehidupan berbangsa
dengan nasionalisme kuat.
Pentingnya toleransi dalam berpolitik juga ditegaskan
oleh Ignas Kleden. Menurut Kleden, para pemimpin politik
dituntut memiliki sikap toleransi terhadap berbagai pendapat
yang berbeda (seperti halnya tingkat toleransi terhadap pelbagai
produk yang dijajakan di pasar). Toleransi tersebut juga dapat
dilihat pada kemampuan seorang pemimpin politik untuk
mengambil beberapa keputusan politik setelah meninjau semua
pendapat yang ada.
Apa yang dijelaskan Kleden, sejalan dengan pemikiran
Buya ASM yang melihat pentingnya sikap inklusif dan egaliter
bagi para politikus. Nilai-nilai seperti inilah yang sepatutnya
dihidupkan kembali oleh para politikus di Indonesia. Terutama
mereka yang merasa sebagai politisi muda, yang cenderung
belum terkontaminasi dengan paradigma berpolitik status quo—
yang melulu memperjuangkan kelompoknya sendiri.
Nurcholish Madjid menegaskan bahwa Islam adalah
agama yang mengandung Nilai-nilai perdamaian dan sikap
saling menghormati. Perbedaan antara sesama manusia harus
didasari sebagai ketentuan Tuhan, karena Dia tidak menghendaki
terjadinya susunan masyarakat yang monolitik. Pluralitas yang
sehat justru diperlukan sebagai kerangka adanya kompetisi
ke arah berbagai kebaikan, sehingga perbedaan yang sehat
38
merupakan rahmat bagi manusia.53
Penutup
Buya ASM menganggap bahwa semua aspek kehidupan tidak
dapat ditempatkan dalam kategori yang dikotomis, antara ibadah
dan kerja sekuler. Dalam hal ini, ia sepakat dengan pandangan
Ibnu Taimiyyah dalam kitab as-Siyâsi as-Syar’iIyyah yang
mengemukakan bahwa negara (kekuasaan Politik) merupakan
sesuatu yang penting bagi agama. Tanpa adanya negara, agama
tidak akan tegak dengan kukuh. Ibnu Taimiyyah menuturkan bahwa
Allah mewajibkan amar ma’ruf nahî munkar, jihad, keadilan,
menegakkan hudûd, dan semua hal yang Allah wajibkan. Hal itu
tidak mungkin terealisasi dengan sempurna tanpa kekuatan dan
kekuasaan.54
Islam dan demokrasi, bagi Buya Syafii, bukanlah hal yang
dipertentangkan. Dengan kata lain, demokrasi adalah jalan
kebaikan, yang meski belum sempurna, tetapi sama sekali memiliki
kesamaan dengan Nilai-nilai keislaman, yang menempatkan posisi
setiap individu sebagai makhluk yang bebas dan berhak mendapat
perlindungan.
Bagi Buya ASM, masalah utama dari demokratisasi di
Indonesia bukanlah soal sistemnya, tetapi pada perilaku elit politik
dan masyarakat sebagai subjek politik. Terutama politikus yang
tidak menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi (nilai) sebagai
sandaran dalam berperilaku dalam politik, agama dalam demokrasi
yang liberal seringkali dijadikan komoditas demi kepentingan
sesaat.
Pancasila sebagai dasar negara adalah pilihan rasional yang
mengilhami pentingnya merawat toleransi antar umat beragama
secara baik. Pancasila, konstitusi dan sejumlah Undang-undang
secara tegas menyatakan kebebasan beragama merupakan hak
53 Nurcholish Madjid. Fatsoen. Republika, 2002.
54 Ibid, halaman 133
39
asasi manusia yang paling mendasar (non derogable) dan negara
menjamin kebebasan beragama sebagai hak sipil setiap warga
negara. Islam mengajarkan kebebasan beragama sangat penting
bagi kehidupan manusia karena merupakan hak dan kebutuhan
dasar manusia yang dapat menimbulkan rasa aman, tentram dan
damai.55
Pada akhirnya, tugas kita semua adalah mempelajari dan
membaca gagasan Buya ASM. Tidak sekadar sebuah pembelajaran
positif, tetapi sebagai sebuah perbandingan pemikiran. Buya
telah mengajarkan kita bagaimana berIslam yang sejati yakni
mengakomodasi keberagaman dan pluralitas sebagai realitas
sejarah bangsa.
55 Musdah Mulia, Memaknai Ulang Kebebasan Beragama di Indonesia. Makalah. 2018.
40
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Intelektual Sekaligus Aktivis”, dalam Abdul
Rahim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, eds., Cermin
untuk Semua: Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif.
Jakarta: Maarif Institute, 2005.
Fazlur, Rahman, Kontroversi KeNabian dalam Islam: Antara
Filsafat dan Ortodoksi, Bandung: Mizan, 2003.
Fukuyama, Francis, Memperkuat negara. Jakarta. Gramedia, 2005.
Hardiman, F. Budi dkk. Empat Esai Etika politik. Komunitas
Salihara.
Hatta, Mohammad. demokrasi Kita. Bandung. Sega Arsy, 2009.
Kamseno, Sigit, “Komprehensivisme Dîn al-Islâm: Kritik atas
Konsep Kulturalisme dan Strukturalisme Islam”, Jurnal
politik Islam, Vol. 1, No. 2, 2006, h 164.
Kleden, Ignas, Menulis politik, Indonesia Sebagai Utopis. Kompas
Media. 2001.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Mizan:
Jakarta, 1993.
Maarif, Ahmad Syafii, Titik-Titik Kisar di Perjalananku:
Otobiografi Ahmad Syafii Maarif (Bandung: Mizan, 2009).
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan:
Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta:
LP3ES,1985.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan
Umat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa
demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani
Press, 1997.
41
Maarif, Ahmad Syafii, Titik-Titik Kisar di Perjaananku. Bandung:
Mizan, 2009.
Madjid, Nurcholish, Fatsoen. Jakarta. Republika, 2002.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992).
Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam, Jakarta: LP3ES,
1982.
42
ISLAM DAN MASA LALU YANG MEMBELENGGU:
REFLEKSI PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF
Dwi Wahyuni
Pendahuluan
Menulis tentang pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif ini
sebenarnya cukup sulit bagi saya. Saya tidak banyak memahami
setiap pemikiran Buya. Hanya saja, beberapa kali saya pernah
mendengar penyampaian Buya di berbagai media. Saya juga telah
membaca buku Buya yang menurut saya sangat menyentuh ke akar
permasalahan umat Islam dewasa ini. Buku tersebut diterbitkan
tahun 2018 dengan judul Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam.
Dalam konteks Islam di Indonesia, saya juga pernah membaca
buku Buya yang berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Pada
tulisan ini saya mencoba untuk menyampaikan pendapat saya
terhadap pemikiran Buya. Ya, paling tidak poin-poin penting yang
pernah saya dengar dari setiap penyampaian Buya di beberapa
media, dan buku Buya yang telah saya sebutkan di atas.
Islam mengajarkan untuk berada dalam barisan teratur
sehingga kita seakan-akan seperti suatu bangunan yang kokoh
(Q.S. As-Shaff: 3). Ayat Al-Qur’an ini mengisyaratkan kepada
kita untuk bersatu dalam kehidupan ini. Tapi seperti pepatah, jauh
panggang daripada api, bagaimana panggangan itu akan matang
bila jauh dari api, mustahil memang. Dalam tulisannya di buku
Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, Buya menyatakan
“Sejarah Muslim telah terpasung dalam kotak-kotak politik akibat
43
perseteruan elite Arab Muslim saat perang Shiffin, yang kemudian
menciptakan polarisasi umat Islam sampai sekarang. Sunisme,
Syi’isme, dan Kharijisme telah menjadi sesembahan baru bagi
dunia Islam dengan “memaksa” Tuhan berpihak pada kotak-kotak
itu.56 Lebih jauh, tulis Buya, “Kotak-kotak dalam Islam amat
bertanggung jawab bagi lumpuhnya persaudaraan umat beriman.
Maka, jika umat Islam di muka bumi memang mau memiliki masa
depan yang diperhitungkan manusia lain, jalan satu-satunya adalah
agar kita keluar dari kotak Sunni dan kotak Syiah, karena semua
itu adalah hasil dari pabrik sejarah sekitar 25 tahun sesudah Nabi
wafat.57
Islam yang merupakan agama mayoritas masyarakat
Indonesia, diharapkan dapat menjadi cahaya kehidupan dalam
kegelapan bangsa. Islam yang diimpikan sebagai rahmatan lil
alamin, masih mengawang di atas langit sebagai suatu yang tidak
terbumikan. Wajah Islam yang ramah terkalahkan dengan wajah
kejam penganutnya, Islam seperti tidak berdaya. Persoalannya
kini, bagaimana kita dapat membumikan Islam. Tentu persoalan
ini terlalu rumit dan tidak akan mampu terjawabkan hanya dengan
tulisan singkat ini. Namun izinkan tulisan ini hadir sebagai refleksi
terhadap pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif.
Mengenal Buya Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif yang biasa dipanggil Buya Syafii
Maarif lahir pada 31 Mei 1935 di Sumpur Kudus, Sumatera Barat.
Pendidikan dasar dan menengah Buya Syafii Maarif ditempuhnya
di kampung halamannya. Gelar sarjana muda Buya diperoleh
pada 1964 dari FKIP Universitas Cokroaminoto Surakarta dan
pada 1968 dari FKIS IKIP Yogyakarta. Pada tahun 1980, Buya
memperoleh gelar Master of Art (MA) dalam Ilmu Sejarah dari
Ohio University, Athens, Amerika Serikat. Selanjutnya pada tahun
56 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2018, h. 33.
57 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan..., h. 48.
44
1982, Buya memperoleh gelar Ph.D dalam bidang Pemikiran Islam
dari University of Chicago, Amerika Serikat.58
Buya Syafii Maarif merupakan Guru Besar Sejarah di
Universitas Negeri Yogyakarta. Selain aktif berkarir sebagai
Dosen, Buya juga telah aktif di Muhammadiyah sejak muda sampai
sekarang. Pada tahun 1990-1994, Buya pernah menjadi Bendahara
pengurus Pusat Muhammadiyah. Periode selanjutnya, pada tahun
1994-1998, Syafii Maarif menjadi Wakil Ketua pengurus Pusat
Muhammadiyah. pada tahun 1998-2005, Buya menjadi Ketua
Umum pengurus Pusat Muhammadiyah.Pada tahun 2003, bersama
dengan tokoh lainnya, Buya mendirikan MAARIF Institute for
Culture and Humanity.59 Sampai sekarang Buya Syafii Maarif masih
aktif menghadiri setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh MAARIF
Institute for Culture and Humanity. Saya sendiri berkesempatan
bertemu langsung dengan Buya saat kegiatan pembukaan Sekolah
Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif periode kedua
yang dilaksanakan oleh MAARIF Institute for Culture and Humanity
pada tanggal 23 November 2018 di Gedung Pusat Dakwah Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, Jakarta.
Pada suatu kesempatan, dalam mengisi Nurcholish Madjid
Memorial Lecture ke-III, Buya menyampaikan orasi ilmiah tentang
politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia. Dari
sitematika penyampaian Buya dalam video yang berdurasi sekitar 55
menit itulah, menurut saya, sikap intelektual yang ditunjukkan Buya
merupakan sikap intelektual yang kritis dan konsisten. Dua poin
penting, kritis dan konsisten dalam intelektual ini yang mestinya
terus dimiliki setiap intelektual Muslim Indonesia. Sebab dua poin
ini sebagai implementasi kemerdekaan berpikir dari setiap ihsan
intelek. Tanpa ada kemerdekaan berpikir, seorang intelektual tidak
akan mampu tampil sebagai intelektual kritis dan konsisten yang
merupakan karakter intelektual seseorang.
58 Ahmad Najib Burhani, dkk, Muazin Bangsa dari Makkah Darat: Biografi
Intelektual Ahmad Syafii Maarif. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015,
h. 10.
59 Ahmad Najib Burhani, dkk, Muazin Bangsa dari..., h. 11.
45
Sikap intelektual Buya Ahmad Syafii Maarif tercermin dari
spirit Buya dalam menuntut ilmu, Buya merantau dari tanah
kelahiran, Sumatera Barat, ke pulau Jawa, bahkan sampai ke
luar negeri, di Chicago. Buya Syafii dengan bimbingan Fazlur
Rahman, seorang pembaru pemikiran Islam. Sikap intelektual
Buya lebih terbuka. Banyak persamaan pemikiran-pemikiran
kedua tokoh intelektual ini, Buya dan Nurcholish Madjid. Salah
satu contohnya, adalah tentang hubungan Islam dan Pancasila.
Buya sendiri menyampaikan kalau awalnya Buya tidak menerima
positif Pancasila, sedangkan Nurcholish Madjid telah lebih dulu
menerima Pancasila. Namun setelah Buya belajar banyak di
Chicago, Buya menyadari begitu luar biasanya Pancasila dalam
menjaga integritas bangsa Indonesia. Lebih jauh lagi, bahkan Buya
memandang Pancasila merupakan bagian integral dari ketuhanan,
kemanusian dan keadilan.
Sikap intelektual Buya juga dapat terlihat dari berbagai
media yang menampilkan kemampuan analisis yang cerdas
mengenai permasalahan dalam masyarakat. Misalkan tanggapan
Buya terhadap kasus penistaan agama yang menjerat Basuki
Purnama (Ahok). Bila mayoritas Muslim Indonesia berpendapat
bahwa Ahok telah menistakan agama Islam, begitu juga dengan
fatwa MUI yang menduga kalau Ahok telah menistakan agama
Islam, namun Buya saat itu berbicara dengan lugas kalau Ahok
tidak menistakan agama Islam. Saya pribadi sependapat dengan
Buya, dan saya yakin masih banyak juga yang sependapat dengan
Buya dalam kasus Ahok ini. Namun yang membedakan kami, saya
dan kebanyaan orang tidak berani seperti Buya yang secara lugas
menyampaikan kalau Ahok tidak menistakan agama Islam. Bagi
saya, ini merupakan bukti bahwa Buya adalah seorang intelektual
kritis dan konsisten.
Subtansi Ajaran Islam
Pada dasarnya manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan.
Secara naluri, manusia mengakui kekuatan dalam kehidupan ini di
luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia mengalami kesulitan
46
hidup, musibah dan berbagai bencana, manusia mengeluh dan
meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat
membebaskan dari keadaan itu. Hal ini dialami semua manusia.
Karena fitrahnya tersebut, maka manusia memerlukan
kepercayaan yang menjadi tata nilai dalam perjalanan hidup menuju
peradaban dan kebudayaan yang lebih baik. Jadi manusia tidak
mungkin hidup kecuali kalau mempunyai kepercayaan.60 Kepercayaan
yang dimaksudkan adalah, kepercayaan kepada suatu wujud Maha
Tinggi yang menguasai alam sekitar manusia dan hidup manusia,
apapun nama yang diberikan kepada wujud Maha Tinggi dan Maha
Kuasa tersebut.61
Menurut Nurcholish Madjid, karena manusia pada dasarnya
mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembahNya,
dan disebabkan berbagai latar belakang masing-masing manusia yang
berbeda-beda, satu tempat ke tempat dan dari satu masa ke masa, maka
agama menjadi beraneka ragam dan berbeda-beda meskipun pangkal
tolaknya sama, yaitu naluri untuk percaya kepada wujud Maha Tinggi
tersebut.62 Karena latar belakang manusia yang berbeda-beda serta
ruang dan waktu manusia juga berbeda-beda, maka menimbulkan
bentuk-bentuk kepercayaan yang beranekaragam dalam kehidupan
manusia. Karena itu, hanya ada dua kemungkinan, benar atau salah,
terhadap bentuk-bentuk kepercayaan manusia tersebut. Kemungkinan
pertama semua bentuk kepercayaan itu salah semua, dan kemungkinan
kedua salah satu bentuk kepercayaan tersebut benar.
Sebagaimana sudah menjadi kenyataan manusia itu hidup
tidak mungkin tanpa kepercayaan, namun terlalu banyak bentuk
kepercayaan, disini terdapat masalahnya. Semua kepercayaan dan
sistem kepercayaan tersebut melahirkan Nilai-nilai, dan Nilai60 Azhari Akmal Tarigan, Jalan Ketiga Pemikiran HMI; Menembus Batas Antara Fundamentalisme Dan Liberalisme.Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008, h.xxii.
61 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis
Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan.Jakarta: Paramadina, 1992, h. xviii.
62 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. xix.
47
nilai itu melembaga dalam tradisi. Tradisi tersebut cenderung
membelenggu, sehingga menghambat perkembangan peradaban dan
kemajuan manusia. Tetapi jika manusia tidak memiliki kepercayaan
sama sekali juga tidak mungkin. Karena itu harus ada kepercayaan,
tetapi kepercayaan itu harus sedemikian rupa sehingga tidak
membelenggu manusia, bahkan menyelamatkan manusia. Itulah
kepercayaan kepada Allah, satu-satunya Tuhan, yang Allah ini
adalah the High God, Tuhan Yang Maha Tinggi, Tuhan Yang Maha
Esa.63 Tuhan yang merupakan asal dan tujuan (sangkan-paran)64
hidup manusia dan seluruh yang ada.65
Pertama-tama beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini
berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan.66 Ketuhanan Yang
Maha Esa atau monotheisme atau dalam istilah teknis Islam yang
diciptakan para ahli kalam, paham Tauhid, tidak ada sama sekali
klaim eksklusifistik Islam.67 Paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini
adalah kepercayaan kepada Tuhan yang universal. Tuhan universal
sesungguhnya adalah Tuhan seluruh umat manusia. Di muka
bumi ini hanya ada satu Tuhan, Tuhan semua umat manusia dari
segala zaman dan tempat.68 Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti
dari semua agama yang benar. Setiap umat manusia telah pernah
mendapatkan ajaran tentang Ketuhanan Yang Maha Esa melalui para
Rasul Tuhan.69 Terdapat banyak penegasan dalam Al-Qur’an bahwa
setiap kelompok manusia (umat) telah didatangi pengajar kebenaran,
63 Azhari Akmal Tarigan, Jalan Ketiga Pemikiran HMI..., h. xxiii.
64 Ungkapan “sangkan-Paran” terdapat dalam pembendaharaan spiritualisme
Jawa yang diketahui banyak sekali mengambil dari gagasan-gagasan sufi Islam. Diduga ungkapan ini merupakan terjemahan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 156 “inna lillahi wa inna ilayhi raji’un” (sesungguhnya kita berasal
dari Tuhan dan sesungguhnya kita akan kembali kepadaNya).
65 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. xiv.
66 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. 1.
67 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. xxv.
68 Azhari Akmal Tarigan, Jalan Ketiga Pemikiran HMI..., h. 47.
69 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. 1.
48
yaitu utusan atau Rasul Tuhan.
Karena itu terdapat titik pertemuan (kalimah sawa’) antara
semua agama manusia, dan orang-orang Muslim diperintahkan
dan mengembangkan titik pertemuan itu sebagai landasan hidup
bersama.70 Di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya, untuk
bertemu dalam pangkal tolak ajaran kesamaan yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa.71 Lebih-lebih lagi di Indonesia, dukungan kepada
optimisme itu lebih besar dan kuat, karena pertama, bagian terbesar
penduduk Indonesia beragama Islam. Kedua, seluruh bangsa sepakat
untuk bersatu dalam titik pertemuan besar, yaitu Nilai-nilai dasar yang
disebut Pancasila. Dengan demikian, titik pertemuan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa akan memiliki implikasi lebih jauh
terhadap umat beragama yang akan merasakan persaudaraan satu
Tuhan dengan umat agama lainnya. Semua umat beragama adalah
ciptaan Tuhan yang sah hidup dan berkembang di atas bumi Tuhan
ini.
Sebagian umat Islam memandang paham Ketuhanan Yang
Maha Esa atau monotheisme atau dalam istilah teknis Islam yang
diciptakan para ahli kalam, paham Tauhid, hanyalah beriman dan
percaya kepada Allah. Apakah benar Tauhid hanya sebatas demikian.
Coba kita kembali pada Al-Qur’an surah Al-‘Ankabut ayat 63. Allah
berfirman “Dan jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang
menurunkan air dari langit lalu dengan (air) itu dihidupkan bumi
yang sudah mati?’ pasti mereka akan menjawab ‘Allah’. Katakanlah,
‘Segala puji bagi Allah’. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti”.
Firman Allah di atas menyatakan bahwa masyarakat Arab pra
Islam sudah percaya kepada Allah. Mereka percaya bahwa Allah lah
yang menurunkan hujan, Allah-lah yang menciptakan alam jagat
raya ini. Namun walaupun begitu, mereka tidak dikatakan sebagai
kaum bertauhid, bahkan mereka disebutkan sebagai kaum syirik,
kaum yang mempersekutukan Allah. Sekalipun masyarakat Arab
pra Islam percaya bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi,
70 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. 1.
71 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban..., h. xxxix.
49
Allah yang menurunkan hujan yang menyuburkan bumi, mereka juga
memitoskan mahluk lain seperti binatang-binatang dan sebagainya.
Misalnya, mereka memitoskan jenis burung tertentu yang disebut
gharnaq atau gharaniq, dimana mereka percaya bahwa burung ini
mampu memberi pertolongan atau syafaat kepada manusia dalam
berhubungan dengan Tuhan. Dengan kondisi masyarakat Arab
pra Islam yang demikian, maka tugas suci Nabi Muhammad ialah
menyampaikan seruan kepada umat manusia agar membebaskan diri
dari berbagai kepercayaan palsu, sekaligus hanya berpegang kepada
kepercayaan yang benar.
Tauhid tidak hanya sebatas percaya saja kepada Allah, sebab
percaya kepada Allah masih mengandung kemungkinan percaya
kepada yang lain-lain selain Allah. Tauhid harus mencangkup
pengertian tentang Allah yang dipercayai itu dan bagaimana
semestinya bersikap kepada-Nya dan kepada obyek lain selain
Dia. Ini memang menjadi permasalahan manusia sampai sekarang.
Pada umunya manusia percaya kepada Allah namun tidak murni.
Disamping manusia percaya kepada Allah mereka juga masih
mempercayai sekutu Allah lainnya. Karena itu, umat manusia
mesti percaya kepada Allah dan lebih dalam lagi manusia mesti
memurnikan kepercayaan kepada Allah. Umat manusia mesti
melepaskan diri dari kepercayaan-kepercayaan palsu dan umat
manusia mesti memusatkan kepercayaan hanya kepada yang benar,
yaitu Allah.
Islam dalam Konteks Indonesia
Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan budaya, adat
istiadat, bahasa, suku bahkan agama. Kemajemukan bangsa
Indonesia ini telah melahirkan perpaduan yang sangat indah dalam
berbagai bentuk kehidupan masyarakat yang berdampingan dan
memiliki komunikasi yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, usaha untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa
menjadi hal penting yang harus diupayakan secara terus menerus.
Menariknya kehidupan beragama di Indonesia mengedepankan
50
sikap toleran dan tidak disampaikan dengan cara-cara kekerasan.72
Kenyataan ini merupakan bukti sejarah kemajemukan dalam
beragama tidak menjadi halangan untuk hidup berdampingan
walaupun berbeda keyakinan. Bahkan menghasilkan kosensus
nasional yang tertuang dengan terbentuknya negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).73
Seluruh umat beragama dan komponen bangsa Indonesia
hendaknya selalu saling menghormati, menghargai dan saling
bertenggang rasa untuk senantiasa menjunjung tinggi Bhinneka
Tunggal Ika sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu,
umat beragama juga harus senantiasa terpanggil dan berkewajiban
mengedepankan gotong royong untuk menjaga kesatuan dan
persatuan Indonesia. Serta terus memelihara dan mengembangkan
kerukunan nasional demi keutuhan negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Sejak awal, kesadaran, bahwa bangsa ini harus didirikan di
atas keanekaragaman, telah tertanam dalam benak para pendiri
bangsa dan diwujudkan dalam azas dan landasan negara kita, yakni
Pancasila dan juga dituangkan dalam dasar negara yakni UndangUndang Dasar 1945. Oleh karena itu, sebagai penerus para pendiri
bangsa, sudah semestinya, warga Indonesia saat ini semakin siap
belajar menerima dan menghormati satu sama lain, berkerjasma dan
membangun kerukunan. Tidaklah dapat disangkal kiranya bahwa
setiap warga negara Indonesia wajib membina hidup rukun, terutama
hidup rukun beragama.74
Namun harus diakui dengan jujur, bahwa sampai saat ini
bangsa Indonesia belum mampu maksimal dalam memanfaatkan
72 M. Yusuf Asry, “Merajut Kerjasama Antar Umat Beragama di Indonesia” dalam kata pengantar Jurnal Harmoni Multikultural dan Multireligius. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
RI, Vol VIII No.30 April-Juni 2009, h. 6.
73 M. Yusuf Asry, “Merajut Kerjasama Antar..., h. 6.
74 Martin Sardy, Agama Multidimensional; Kerukunan Hidup Beragama dan
Integritas Nasional. Bandung: Penerbit Alumni, h. v.
51
keanekaragaman dengan baik. Keanekaragaman ini seringkali belum
dihayati sebagai suatu kekayaan aset bangsa Indonesia, justru menjadi
sumber perpecahan bangsa Indonesia. Konflik yang terus menerus
terjadi, ketika pemahaman akan keagamaan saling dipertentangkan,
kadang berwujud dalam bentuk tindakan anarkis dan radikal. Sejak
digulirkannya era reformasi pada tahun 1998, bangsa Indonesia
tampaknya belum berhasil melepaskan diri dari pola-pola kekerasan
yang mengganggu kohesifitas kehidupan berbangsa dan bernegara.75
Kondisi keberagamaan rakyat Indonesia sejak pasca krisis 1998
sangat memperhatikan. Konflik bernuansa agama terjadi di beberapa
daerah seperti Ambon, Poso dan daerah lainnya.
Konflik tersebut sangat mungkin terjadi karena kondisi rakyat
Indonesia yang multi etnis, multi budaya dan multi agama. Belum
lagi kondisi masyarakat yang mudah terprovokasi oleh pihak ketiga,
yang merusak watak bangsa Indonesia yang suka damai dan rukun.
Ahmad Mansur Suryanegara menyatakan dalam bukunya “Benarkah
Reformasi Melahirkan Perang Agama”, bahwa “agar persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia dapat dilumpuhkan dengan cepat, maka
dikembangkan konflik agama akan lebih mudah menumbuhkan
perpecahan.”76 Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa konflik
agama ataupun konflik yang bernuansa agama tidak terlepas dari
faktor eksternal, selain memang ada faktor internal.
Akan tetapi, patut disadari bahwa sering kali bukan faktor
eksternal yang lebih berbahaya bagi persatuan dan kesatuan
bangsa, melainkan faktor internal yang berasal dari umat beragama
itu sendiri.77 Dengan demikian pemahaman, penghayatan dan
pengamalan agama yang benar merupakan usaha utama untuk
mewujudkan kerukunan hidup umat beragama di Indonesia. Guna
menumbuhkan kesadaran akan persatuan dan kesatuan bangsa
75 Departemen Agama RI, Penelitian Agama dan Kemasyarakatan;Konflik dan
Kebijakan Kerukunan. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008, h. 421.
76 Ahmad Mansur Suryanegara, Benarkah Reformasi Melahirkan Perang Agama. Jakarta: Al-Ishlahy Press, 1999, h. 27.
77 Syahrin Harahap, Teologi Kerukunan. Jakarta: Predana Media, 2011, h. 5-6.
52
dengan terwujudnya kerukunan hidup umat beragama.
Pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama yang benar
dalam memahami dan menyikapi kehidupan bangsa yang plural,
contoh dari negarawan, tokoh-tokoh politik, agama, budaya, pemuda
dan dari seluruh komponen bangsa Indonesia, amatlah penting bagi
kelangsungan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Akhir-akhir ini juga, di negara Indonesia khususnya, terjadi
pembentukan benturan antara Islam dan nasionalisme. Benturan ini
membesar yang diawali dari peristiwa Aksi Damai 212 diakhir tahun
2016, dan berlanjut dengan aksi-aksi seterusnya. Dari serangkaian
kejadian-kejadian tersebut seakan-akan ingin dikatakan bahwa orang
yang berIslam itu adalah orang yang tidak nasionalis. Sehingga
memunculkan asumsi, bahwa umat Islam yang melaksanakan Aksi
Damai 212 dikatakan minim nasionalisme.
Respon terhadap Aksi Damai 212 adalah aksi Parade
kebinekaan Indonesia yang diselenggarakan di arena Car Free
Day. Bagi panitia Aksi Parade, aksi ini diklaim sebagai parade
pemersatuan bangsa Indonesia dengan menggelar kebudayaan dari
seluruh Indonesia. Sebaliknya, ada pesan tersirat bahwa Aksi Damai
212 yang bersifat memecah antar umat beragama. Sedangkan bagi
pendukung Aksi Damai 212, aksi yang mereka lakukan diklaim
lebih nasionalis karena memiliki tujuan yang jelas dan tidak
menimbulkan hal negatif seperti merusak taman dan meninggalkan
kotoran di lokasi. Aksi Damai 212 membawa aspirasi bangsa dan
agama, di mana ditunaikan shalat Jumat yang fenomenal dengan
jamaah terbanyak di dunia, sekitar 7 juta . Sebaliknya aksi Parade
kebinekaan Indonesia yang diselenggarakan di arena Car Free Day,
di sepanjang jalan Thamrin, Jakarta Pusat dikatakan tidak memiliki
tujuan yang jelas. Saling klaim kedua kelompok ini telah melahirkan
benturan antara Islam dan nasionalisme. Seakan-akan orang yang
berIslam dengan taat tidak nasionalis, begitupun juga orang yang
nasionalis tidak berIslam dengan taat.
Karena itu, dengan keadaaan obyektif bangsa Indonesia
mesti dipahami bahwa Islam dan nasionalisme bukanlah suatu
yang bertentangan. Seorang Muslim juga bagian dari seorang
53
warga negara. Seorang warga negara yang telah berkeyakinan
terhadap Islam sebagai agamanya, tidak bisa dibenarkan bila
mengenyampingkan keyakinannnya. Oleh karena itu, semestinya
seorang Muslim menyadari penuh bahwa ia adalah seorang umat
dan sekaligus sebagai warga negara.
Spirit ketauhidan yang menjadi pokok ajaran Islam seharusnya
tetap terus selalu diperdalam, dikembangkan dan diamalkan. Spirit
ketauhidan mesti terus menjiwai setiap Muslim Indonesia, baik ia
sebagai umat, hamba, rakyat, pemimpin, atau apapun posisinya.
sudah semestinya spirit ketauhidan terus mengisi setiap langkah
kehidupannnya.
Sebagai suatu pondasi, spririt ketauhidan berkonsekuensi
terhadap nasionalisme. Oleh karena itu nasionalisme sejalan
dengan spirit ketauhidan. Hal ini penting, dikarenakan ketauhidan
harus selalu menjadi spirit dalam kehidupan seorang Muslim, baik
sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Sekalipun dukungan
pada Nilai-nilai keislaman itu tetap dalam format yang tidak dapat
dipisahkan dari keindonesiaan. Artinya, penghayatan pada Nilainilai keislaman itu tidak dapat lepas dari lingkungan keindonesiaan.78
Spirit Ketauhidan bukan hanya kompatibel bagi nasionalisme
tapi juga mendukungnya. Upaya kontekstualisasi spirit Ketauhidan
dengan nasionalisme tidak lepas dari pemaknaan kalimat tauhid itu
sendiri. La ilaaha illallah,“ tiada Tuhan selain Allah”, merupakan
bentuk kepatuhan atau ketaatan yang diimplementasikan dengan
kepasrahan hanya kepada Allah, Tuhan semesta alam. Karena
ketauhidan itu suatu kepasrahan hanya kepada Tuhan saja,
maka kosekuensinya ialah menghargai Nilai-nilai kemanusiaan.
Nasionalisme sejati akan terbentuk bila adanya spirit ketauhidan
yang berkosekuensi terhadap Nilai-nilai kemanusiaan.
Spirit ketauhidan dapat menghantarkan pada pemahaman yang
substansial dan inklusif terhadap ajaran Islam. Pemahaman seperti
ini akan menghasilkan umat Muslim yang lebih toleran terhadap
78 Nurcholis Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997, h. 89.
54
penganut agama lain. Lebih jauh lagi, dengan spirit ketauhidan ini,
Muslim Indonesia, sejatinya tidak akan mempersoalkan keberadaan
dirinya dalam negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia akan tetap
menjadi seorang Muslim yang taat sekaligus ia akan mampu menjadi
warga negara Indonesia yang baik. Ia tidak akan memisahkan jati
dirinya sebagai seorang Muslim dalam kontribusinya membangun
peradaban Indonesia yang lebih baik kedepannya. Ia adalah seorang
umat Islam dan sekaligus sebagai warga negara Indonesia.
Belenggu Masa Lalu
Secara historis, polarisasi umat Islam di awali dari Perang
Shiffin yang terjadi sekitar tahun 657 M yang berlangsung selama
tiga bulan. Perang ini terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Gubernur
Suriah saat itu, Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Ali dari pihak Bani
Hasyim berhadapan dengan Mu’awiyah yang licik dan cerdik dari
Bani Umayyah, sebenarnya kedua Bani ini merupakan Bani dalam
lingkungan suku Quraisy yang masih bersaudara.
Saat pasukan Ali hampir menang, utusannya, Abu Musa Al“Asy’ari, ditipu oleh utusan Mu’awiyah, Amr bin ‘Ash yang cerdik.
Pihak Mu’awiyah mengusulkan agar peperangan dihentikan dan
berdamai (Tahkim) di Daumatul Jandal, sebuah tempat di Lembah
Sirhan yang terletak antar Damaskus dan Madinah. Peluang ini
digunakan dengan licik oleh Amr bin ‘Ash untuk mengganti Ali
sebagai khalifah, dengan menobatkan Mu’awiyah. Namun kekuasaan
penuh Mu’awiyah harus menanti dulu kematian Ali yang ditikam
oleh mantan pengikutnya Ali di Masjid Kufah. Kelompok garis keras
ini kemudian dikenal dalam sejarah sebagai golongan Khawarij,
kelompok yang memisahkan diri dari Ali karena menentang tahkim
di Daumatul Jandal.79
Dari tragedi Shiffin inilah kemudian berkembang tiga
kelompok besar umat Islam yang tidak pernah berdamai, yaitu: Suni,
Syi’ah, dan Khawarij. Syi’ah merupakan kelompok yang fanatik
79 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan..., h. 3-4.
55
terhadap Ali, dan Khawarij ialah kelompok yang memisahkan diri
dari Ali. Sedangkan, Suni yang muncul sebagai golongan mayoritas,
merasa selalu berada di pihak yang benar dengan menuduh kelompok
Syi’ah dan Khawarij sebagai pihak yang salah. Suni, Syi’ah, dan
Khawarij adalah buah dari perpecahan politik, mengapa kemudian
“diberhalakan?”. Pemberhalaan inilah yang selama ratusan tahun
telah menghancurkan persaudaraan sejati umat Islam, termasuk
umat Islam yang tidak ada hubungannya dengan budaya Arab, yang
suka berpecah belah itu.80
Sampai saat ini, kotak-kotak dalam umat Islam sudah berusia
belasan abad dan belum ada tanda-tanda untuk berdamai. Buya
Syafii Maarif, mengungkapkan kecemasannya yang sangat serius
atas kondisi ini dengan pertanyaan: “Apakah umat Islam memang
telah menyembah sejarah yang selalu memicu perpecahan, bukan
menyembah Allah yang dapat mempersatukan hati?.”81
Pertanyaannya, mengapa umat Islam tidak merasa ditipu
oleh kotak-kotak yang tidak ada kaitannya dengan Al-Qur’an dan
Nabi Muhammad Saw itu ? Masih menurut Buya, alasannya ialah
kesadaran sejarah umat Islam amatlah lemah, termasuk Buya sendiri
yang padahal sudah mengalami kajian tingkat tinggi. Saat mengambil
program S-3, Pemikiran Islam di Universitas Chicago (1979-1982),
Buya juga belum sadar bahwa kotak-kotak itu adalah sumber
bencana yang bertanggung jawab bagi hancurnya persaudaraan
umat beriman. Dalam perjalanan waktu dengan usia yang semakin
menua, Buya sampai pada sebuah kesimpulan: “Jika umat Islam
mau menata kehidupan kolektifnya secara benar berdasarkan agama,
tidak ada jalan lain, kecuali kotak-kotak pemicu perbelahan itu harus
ditinggalkan sama sekali dan selama-lamanya.”82
Selanjutnya bagaimana langkah upaya membumikan Islam
dalam kontek Indonesia dewasa ini. Berikut saya coba paparkan
analisis terhadap tiga poros kekuasaan yang memiliki peranan
80 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan..., h. 5.
81 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan..., h. 58.
82 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan..., h. 34.
56
yang menentukan. Analsis ini berdasarkan Buku yang ditulis J.B,
Banawiratma, dkk pada tahun 2010, berjudul Dialog Antar Umat
Beragama; Gagasan dan Praktik di Indonesia. Dalam buku tersebut
dijelaskan bahwa medan kehidupan kita bersama terdapat tiga poros
kekuasaan yang memainkan peranan menentukan, yakni komunitas,
pasar, dan negara. Komunitas menunjuk pada hubungan dan
kegiatan spontan dari para warga masyarakat tanpa ciri transaki atau
adminitrasi. Kerekatan antar warga menentukan hidup komunitas.
Komunitas dapat terbentuk atas dasar sejarah, daerah, suku, ras, agama
dan atau bahasa yang sama. Kemudian pasar menunjuk transaksi
ekonomi antara penjual dan pembeli yang ada. Untung-rugi dan
efisiensi ekonomi merupakan motif yang mendorong bergeraknya
pasar. Sedangkan negara secara konkret bertindak-tindak melalui
badan-badan publik. Ia berarti tindakmelalui badan-badan publik. Ia
bertangggungjawab bagi terwujudnya tatanan kehidupan publik demi
kesejahteraan bersama. negara juga mempunyai kuasa untuk mengatur
tatanan sosial.
Pada setiap poros terdapat pelaku-pelaku utama seperti: Bupati,
Gubernur di poros negara: para investor, industrialis, pengusaha di
poros pasar: dan para petani di poros komunitas. Meski demikian
kita semua ikut bersentuhan dengan tiga poros kekuasaan itu. Kalau
kita berbelanja, kita berada dalam poros pasar. Kita memasuki poros
negara ketika kita mengurus KTP, kartu keluarga, dan dokumendokumen lain yang menyangkut pribadi kita. Jika kita berada di
desa, bersama-sama mengambil inisiatif untuk mengembangkan
pertanian organik, atau di kampung untuk membersihkan kampung
menjelang peringatan kemerdekaan 17 Agustus, kita masuk dalam
poros komunitas. Hubungan ketiga poros bidang dan kekuasaan
itu memengaruhi kenyataaan untuk mengamalkan Pancasila. Hal
tersebut dapat dijelaskan melalui peran tiga poros kekuasaan dalam
ranah publik, di mana ketiga poros kekuasaan itu memainkan peranan
penting. Mengamalkan Pancasila merupakan salah satu ciri ranah
publik dari masyarakat yang beradab dan manusiawi.
Ranah publik merupakan aset dan barang-barang kolektif, yang
terbuka dan dapat diakses oleh rakyat. Rakyat dapat berbagi bersama.
Cakupan ranah publik meliputi ruang dan tempat-tempat umum,
57
pelayanan-pelayanan umum seperti kesehatan, pendidikan, dan
lapangan kerja. Ranah publik menyangkut juga berbagai kepentingan
kultural, sosial, dan politik-berserta kesejahteraan komunitas. Semua
aset dan barang-barang ranah publik merupakan milik umum dan tidak
dapat diperjual belikan. Hal yang sentral dalam konsepsi ranah publik
adalah Nilai-nilai kewargaan, persamaan, pelayanan dan kepentingan
umum, yang dibedakan dari Nilai-nilai yang disebut kepentingan
pribadi. Nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan kalau ada kesadaran
akan kehidupan bersama, kepekaan untuk berbagi dalam kehidupan,
dan kepekaan terhadap hak dan kepentingan bersama atas fasilitasfasilitas umum. Dengan kata lain dituntut adanya penghayatan hidup
bersama sebagai “kami”.
Paradigma kita dapat dikatagorikan pada paradigma holistik.
Dalam paradigma holistik itu keutamaan dasar adalah partisipasi dan
rasa berbagi. Oleh karena itu, bagian dari keseluruhan yang paling
menderita akan mendapat perhatian khusus. Rakyat miskin dan lemah
akan didahulukan. Banyak diskusi mengenai demokrasi menekankan
kuasa pada rakyat dan terasa bernada sosial, akan tetapi seringkali
tidak memberikan perhatian pada rakyat miskin dan lemah. Akibatnya
kaum miskin dan lemah tetap saja terpinggirkan, dan ranah publik
menjadi ranah bagi yang berkuasa dan yang kaya.
Untuk mencapai ranah publik yang terjangkau kaum miskin,
diperlukan komunikasi antar ketiga poros diatas secara terbuka,
dengan partisipasi dari kaum miskin dan lemah. “Idealnya bahwa
diantara ketiga poros kekuasaan itu terjalin komunikasi terbuka, dan
bersama-sama membangun ranah publik yang semakin baik. Dengan
demikian, masyarakat demokratis yang ingin diwujudkan. Masalahnya
muncul ketika kekuasaan tidak berfungsi semestinya, malahan
terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Ketika pengusaha-pengusaha
besar bersama dengan publik pemerintah menggunakan topeng
agama, agama ikut melalaikan kemaslahatan masyarakat, terutama
yang paling miskin. Satu komunitas (dengan atau tanpa atas nama
agama) juga bisa bertindak dengan mengunakan kekerasan terhadap
komunitas lain dan dengan demikian mengabaikan poros kuasa badan
publik. negara seharusnya menjaga kepentingan umum dan tidak
membiarkan komunitas melakukan kekerasan tanpa kontrol negara.
58
Semakin agama tenggelam dalam urusan konflik dengan agama lain,
semakin hilang pula orientasi agama pada kaum miskin dan lemah.
Ketidakadilan yang ditanggung kaum miskin berkaitan erat
dengan ketidakadilan gender, ketidakadilan ekologis, dan perendahan
martabat serta hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, solidaritas
agama-agama terhadap kaum miskin dan terlantar harus sekaligus
memperhatikan perspektif perempuan. Ada pendapat yang menyatakan
bahwa “The monst critical relious problem is intra Islamic reliqion”.
Sehubungan dengan masalah itu HAM merupakan tuntutan asasi yang
harus diperhatikan oleh negara.
Penutup
Sebelum saya membaca buku Buya yang judul Krisis Arab
dan Masa Depan Dunia Islam, saya pernah berkesempatan di
ruang kuliah bersama Prof Dr. Afif Muhammad MA. Saat itu, Pak
Afif menyampaikan yang senanda dengan Buya, untuk membangun
peradaban masa depan yang lebih baik, kita (umat Islam) mesti keluar
dari sekat-sekat yang memisahkan kita. Beberapa karya Pak Afif
fokus dengan masalah kotak-kotak dalam Islam ini, seperti bukunya
yang berjudul Islam “Mazhab” Masa Depan: Menuju Islam NonSektarian, diterbitkan oleh Pustaka Hidayah tahun 1998.
umat Islam terus saja terpecah dalam berbagai hal, parahnya
setiap perbedaan telah melahirkan sikap eklusif umat Islam. Islam
terkotak-kotak, umat Islam jauh dari subtansi ajaran agamanya,
jauh dari pesan Al-Qur’an dan kenabian. Ada jurang yang sangat
lebar memisahkan umat Islam dengan ajaran Islam. Saya sendiri
menyakini Islam merupakan agama yang benar, namun pada batas
intervensi terhadap Islam, selalu saja tersadarkan, apakah sudah benar
beIslamnya saya ini?.
Kita sering kehilangan arah dalam kehidupan, petunjuknya ialah
Al-Qur’an dan pesan kenabian. Namun kita sering kehilangan jejak
subtansi ajaran Islam tersebut, dikarenakan kotak-kotak yang telah
membelenggu kita sampai saat ini. Pilihannya hanya satu, kita mesti
keluar dari kotak-kotak yang ada. Kita berkumpul di suatu halaman
59
yang luas, bersatu padu, bersama-sama melawan musuh bersama.
Menentukan musuh bersama memerlukan suatu kriteria. Musuh
bersama pertama-tama adalah yang menyebabkan rakyat miskin dan
menderita, dan paling utama ialah ketidakadilan. Tentu saja yang
menjadi musuh bersama bukan hanya pada ketidakadilan, namun
juga yang menjadi musuh bersama ialah siapa yang menggerakan
ketidakadilan tersebut.
Hal utama dalam mengamalkan ajaran Islam ialah “keluar”
dari kotak-kotak yang selama ini memecah belah umat Islam. Keluar
kotak-kotak bukan bearti keluar dari organisasi atau perkumpulan atau
mahzab yang ada saat ini, namun keluar di sini dimaknai bahwa tidak
fanatik terhadap kotak-kotak yang ada. Nyatanya sekarang kotakkotak itu menyebabkan umat Islam saling berhadap-hadapan satu
sama lain, ini sebabnya ialah fanatisme. Karena itu, keluar dari kotakkotak ialah tidak fanatisme. Ketika umat Islam telah mampu bersikap
tidak fanatik, saat itulah umat Islam mampu memahami subtansi ajaran
Islam dan mengamalkannya secara benar. Sehingga Islam terbumikan,
di sini dan saat ini.
60
Daftar Pustaka
Asry, M. Yusuf, “Merajut Kerjasama Antar Umat Beragama
di Indonesi” dalam kata pengantar Jurnal Harmoni
Multikultural dan Multireligius. Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
RI, Vol VIII No.30 April-Juni 2009.
J.B, Ginaya, Banawiratma, dkk. Dialog Antarumat Beragama;
Gagasan dan Praktik di Indonesia. Jakarta: Mizan Publika,
2010.
Burhani, Ahmad Najib, dkk. Muazin Bangsa dari Makkah Darat:
Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2015.
Departemen Agama RI, Penelitian Agama dan
Kemasyarakatan;Konflik dan Kebijakan Kerukunan. Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Badan Litbang
dan Diklat Departemen Agama RI, 2008.
Harahap, Syahrin, Teologi Kerukunan. Jakarta: Predana Media
Group, 2011.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah
Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemoderena. Jakarta: Paramadina, 1992.
Madjid, Nurcholish, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1997.
Maarif, Ahmad Syafii, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam.
Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2018.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah.
Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2015.
Sardy, Martin, Agama Multidimensional; Kerukunan Hidup
Beragama dan Integritas Nasional. Bandung: Penerbit
61
Alumni.
Suryanegara, Ahmad Mansur, Benarkah Reformasi Melahirkan
Perang Agama. Jakarta: Al-Ishlahy Press, 1999.
Tarigan, Azhari Akmal, Jalan Ketiga Pemikiran HMI; Menembus
Batas Antara Fundamentalisme dan Liberalisme. Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2008.
62
NILAI-NILAI AL-QUR’AN DENGAN PENDEKATAN
KONTEKSTUAL: MEMBACA ULANG TAWARAN
“MEMBUMIKAN Al-QUR’AN” AHMAD SYAFII MAARIF
Hamka Husein Hasibuan
Pendahuluan
Al-Qur’an sejak dini, sudah menyatakan dirinya sebagai
pentunjuk (hudan).83 Fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk tentu
mendapat tantangan ketika perbedaan realitas yang dihadapi oleh
Al-Qur’an sudah berbeda. Ahmad Syafii Maarif (1995), selaku
cendekiawan ternama Indonesia, pernah melontarkan ide tentang
membumikan Al-Qur’an di penghujung abad ke dua puluh.
Pembumian ini perlu dilakukan, karena kultur, tradisi, dan budaya
Indonesia berbeda jauh dengan budaya Arab, tempat Al-Qur’an
diturunkan. Ide ini tentunya sangat cemerlang, mengingat Al-Qur’an
adalah kitab wahyu Tuhan bersifat Ilahiyah yang diturunkan kepada
manusia sebagai hudan (petunjuk).
Proposisi ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki
dua karakteristik sekaligus: “melangit” dan “membumi.”
Disebut “melangit” karena memang ia berasal dari sesuatu yang
transendental, Ilahiyah, dan bersumber dari kalam Tuhan, Sang
Maha Gaib. Tetapi disebut juga “membumi” karena fungsi dan
tujuannya sebagai pedoman, petunjuk, dan aturan hidup manusia,
dalam dinamika kehidupan mereka di muka bumi. Dalam konteks ini,
83 Lihat QS Al-Baqarah (2): 02.
63
bagaimana agar wahyu, yang sifatnya Ilahiyah itu, bisa menjawab
dan memberikan sumbangsih terhadap tantangan dan perkembangan
realitas kehiduapan manusia yang terus bergerak cepat, maka proyek
membumikan Al-Qur’an, menjadi sesuatu yang urgent, tidak bisa
tidak, ketika berbicara tentang Al-Qur’an.
Proyek membumikan Al-Qur’an pada periode awal tentunya
dinahkodai oleh Nabi Muhammad sendiri, sebagai pesuruh Tuhan.
Pada masa itu, Nabilah yang berfungsi untuk memediasi dan
membumikan teks wahyu yang bersifat Ilahiyah itu, dengan realitas
hidup sesuai dengan kebutuhan manusia ketika itu.84 Setiap zaman,
tempat, situasi, dan budaya mempunyai cara dan metodenya sendirisendiri dalam hal membumikan Al-Qur’an ini. Proses pembumian AlQur’an pada abad ketujuh masehi yang dihadapi oleh Nabi umpanya,
berbeda dengan proses pembumian pada abad pertengahan, atau abad
modern, dan sangat jauh berbeda dengan era kontemporer, khususnya
apa yang disebut sekarang dengan era milenial.
Ahmad Syafii Maarif dan Membumikan al-Qur’an
Pertanyaan besar bagaimana mendialogkan Islam dengan
keindonesian mempunyai tanggapan dari para cendekiawan Muslim
terkemuka Indonesia. Setiap mereka mempunyai tawaran dan gagasan
masing-masing. Jika Hasbie Ashiddiquey menawarkan gagasan Fiqih
Indonesia, Nurcholish Madjid (Cak Nur) mempunyai ide sekularisasi,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memiliki ide ribumisasi Islam, Farid F.
Ma’sudi mengusulkan Zakat itu Pajak, Munawir Sjadzali mengajukan
Islam Kontekstual, maka Ahmad Syafii Maarif mempunyai gagasan
Membumikan Al-Qur’an.85 Gagasan Membumikan Al-Qur’an dalam
tahap selajutnya –sekalipun hanya sepintas –dilontarkan oleh Ahmad
84 Wahbah Az-Zuhailīy, Al-Wajīz fi Usūl al-Fiqh (Damaskus: Dār al-Fikr,
1999), h 43
85 Usulan ini pernah dimuat dalam majalah Panji Masyarakat dengan judul:
“Membumikan Al-Qur an: Menghilangkan Unsur-unsur Subyektifit Nurani,” nomor 562, 1-10 Januari 1988, halaman 29. Artikel ini merupakan hasil
wawancara dengan Ahmad Syafii Maarif.
64
Syafii Maarif dalam bukunya Membumikan Islam.86 Sekalipun dalam
perjalanannya, gagasan ini lebih dipopulerkan dan lebih dikenal oleh
khalayak luas dari buku Membumikan Al-Qur’an karya M. Quraish
Shihab.87
Maksud membumikan Al-Qur’an berkaitan langsung dengan
upaya memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an
sesuai dengan konteks zamannya. Dengan kata lain, Islam yang
disebut dengan shalihun likulli zaman wa makan agar mendapat
momentumnya. Pembumian ini perlu, karena perubahan realitas
pertama kali Al-Qur’an diturunkan dengan realitas yang dihadapi oleh
manusia kontemporer sekarang ini berbeda. Perbedaan realitas, baik
itu budaya, ekonomi, politik, dan sosial, tentu berimplikasi dengan
perbedaan cara memahami, mensosialisasikan, dan mengapliksikan
ajaran Al-Qur’an. Selain itu, setidaknya ada satu alasan utama menurut
Ahmad Syafii Maarif, mengapa membumikan Al-Qur’an itu penting,
yaitu Al-Qur’an itu di samping memuat doktrin-doktrin yang bersifat
metafisik, yang sifatnya melangit, akidah, doktrin, juga mengandung
Nilai-nilai praktis yang bisa dijadikan sebagai pedoman bagi manusia
dalam memecahkankan masalah-masalah yang dihadapinya dalam
kehidupan sehari-hari, baik itu politik, kebudayaan, ekonomi, sosial,
dan lain sebagainya.88
Klasifikasi metafisik dan praktis ala Ahmad Syafii Maarif ini
hampir mirip dengan klasifikasi yang dibuat oleh Maulana Muhammad
Ali, sekalipun dengan sedikit penekanan yang berbeda. Menurut
Muhammad Ali, secara garis besar Al-Qur’an itu berisi dua prinsip
utama, yakni prinsip utama yang bersifat teoritis, dan prinsip umum
yang bersifat praktis.89 Prinsip umum yang bersifat teoritis berupa:
86 Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995).
87 Lihat buku M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan,
2010)
88 Ahmad, Syafii Maarif, Membumikan Al-Qur an: Menghilangkan Unsur-unsur Subyektifit Nurani.. halm. 29.
89 Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam: A Comprehensive Discussion of The Sources, Principles and Practices of Islam, (Lahore: The Ah-
65
keimanan kepada Tuhan, malaikat, adanya makhluk gaib serta kitabkitab yang diturunkan. Sementara prinsip umum yang bersifat praktis
terwujud dalam salat, puasa, zakat dan sumbangan keagamaan (infak,
candah, sedekah, dan wakaf).
Dalam hal-hal yang bersifat praktis, Nabi Muhammad
berfungsi sebagai penjelas, penafsir, sekaligus penguat terhadap teks
Al-Qur’an,90 sesuai situasi dan kondisi kebutuhan manusia ketika
itu. Dengan demikian, peran Nabi saat itu adalah menjadi mediator –
dalam konteks membumikan –antara teks Al-Qur’an dengan realitas
yang hidup. Sekalipun menurut penyelidikan Abdullah Saeed,
interpretasi Nabi terhadap teks Al-Qur’an lebih banyak bersifat
praktis daripada bersifa teks planatoris. Maksud interpretasi bersifat
praktis adalah Nabi mengamalkan dan mengaplikasikan ajaranjaran dalam Al-Qur’an secara langsung dalam kehidupan sehari-hari
(fi’liyah). Sementara interpretasi eksplanatoris Nabi menjelaskan
secara verbal (qauliyah).91
Pasca wafatnya Nabi, tentunya peran proses membumikan dan
mensosialisasikan Al-Qur’an seperti ini tidak boleh berhenti, hanya
karena pertimbangan wahyu telah terhenti turun dan Nabi telah tiada.
Sebaliknya, peran membumikan ini sepeninggal Nabi, diserahkan
kepada kepada penerus beliau, yaitu para sahabat, tabi’in serta para
pakar yang kompoten di bidangnya sampai saat ini.92
Logika membumikan Al-Qur’an ini, jika ditelusuri lebih jauh,
sebenarnya tidak lepas dari dimensi tajdid (pembaruan) –salah satu
tujuan utama Ahmad Syafii Maarif sebagai tokoh Muhammadiyah.
Proyek tajdid ini mengupayakan agar Al-Qur’an sebagai kitab suci
umat Islam tidak hanya dijadikan ritual saja: dibaca, ditilawah,
madiyya Anjuma Isha’at Islam, 1990), h 341
90 Wahbah az-Zuhailīy, Al-Wajīz fi Usūl al-Fiqh, (Damaskus: Dār al-Fikr,
1999), h 38 dan Abdul Wahāb Khāllaf, ‘Ilmu Usūl al-Fiqh, (Indonesia:
Haramain, 2004), h 39-40
91 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran: Toward a Contemprorary Approach (London & New York: Routledge, 2006)
92 Abu Yasid, Nalar dan Wahyu: Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syariat (Jakarta: Erlangga, 2007), h 3
66
dihafal, dan diperlombakan. Melainkan bisa memberikan dampak
praksis dan positif dalam kehidupan manusia. Dengan ungkapan
lain menerjemahkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dalam kenyataan yang
berkembang dalam masyarakat. Adanya upaya penafsiran Al-Qur’an
sesuai dengan konteks zaman, menggambarkan betapa pentingnya
rekonstruksi dan pembaruan dalam ajaran Islam yang bersumber
dari Al-Qur’an.
Memperlakukan Al-Qur’an: Tekstualis, Semi-tekstualis, dan
Kontekstualis
Membumikan Al-Qur’an ala Ahmad Syafii Maarif ini
setidaknya mengandung dua dimensi yang saling terkait. Pertama,
dimensi kontekstual, dalam arti kandungan ajaran Al-Qur’an bisa
diterjemahkan, diaplikasikan, dibumikan dan disosialisasikan
sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat. Kedua,
berkaitan dengan dimensi metode dalam penerapan kontekstualisai
isi dan kandungan Al-Qur’an itu sendiri. Kedua dimensi ini –
kontekstualisasi dan metode kontekstualisasi –bagaikan dua sisi
koin mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Tawaran membumikan
Al-Qur’an dengan asumsi isi Al-Qur’an bisa dikontekstualisasikan,
mengandung pertanyaan besar: Bagaimana cara yang tepat untuk
merealisasikan proyek ini? Atau dengan kata lain apa metode yang
sistematis untuk menjembatani antara isi Al-Qur’an dengan realitas
manusia? Bila kedua pertanyaan diajukan, ternyata Syaafi’i Maarif
belum memberikan jawaban yang runut. Sekalipun demikian,
sebagai sebuah tawaran pemikiran, ide ini memang cemerlang.
Menjawab pertanyaan, bagaimana metode yang digunakan
untuk membumikan Al-Qur’an? Maka tawaran Abdullah Saeed
–pemikir asal Pakistan yang sekarang bermukim di Australia –
mengenai interpretasi terhadap Al-Qur’an bisa dijadikan sebagai
jawaban. Saeed ketika berbicara mengenai penafsiran teks AlQur’an membagi kecenderungan para penafsir itu kepada tiga
67
kecenderungan: tekstualis, semi-tekstualis, dan kontekstulais.93
Ada dua tolak ukur yang dijadikan oleh Saeed sebagai standar,
yaitu linguistik dan sosial-historis. Bagi kalangan yang hanya
menekankan aspek linguistik dari teks Al-Qur’an dan mengabaikan
sosio-historis dari teks itu sendiri disebut golongan tekstualis. Jika
menekankan kedua aspek ini, bahkan dalam kondisi tertentu lebih
memperhatikan aspek sosio-historis dari teks Al-Qur’an, baik ketika
teks itu diturunkan pada empat belas abad yang lalu, maupun di era
kontemporer, disebut sebagai kalangan kontekstualis. Sementara
kalangan semi-tektualis sebenarnya lebih condong kepada tekstualis,
lebih menekankan aspek teks tetapi dengan mengunakan adagium
dan bahasa-bahasa modern.94
Kategori ini bila ditelusuri lebih lanjut, sejatinya timbul dari
tiga lapis dalam kajian Islam. Level yang dimaksud adalah teks,
penafsiran, dan praktik. Lapis pertama adalah sumber asasi, yakni
teks Al-Qur’an, yang dari sana, ajaran-ajaranya mau diaplikasikan
kepada realitas manusia. Lapis kedua, sebagai hasil dari para
pemikir untuk mengaplikasikan ajaran dari tesk ini, yang sifatnya
tidak absolut. Sedangkan lapis ketiga, adalah realitas manusia yang
terus berubah. Ketiga lapis ini saling kait-mengait satu sama lain,
bersifat –meminjam bahasa M. Amin Abdullah –saling berintegrasi
dan berinterkoneksi.
Dengan demikian, berbicara tentang Islam tidak lepas dari
ketiga komponen ini: Teks, penafsiran, dan praktik. Menyebut Islam
tidak bisa hanya merujuk kepada teks saja, dalam hal ini Al-Qur’an
dan Sunnah, atau hanya sekadar menunjuk kumpulan interpretasi
para pemikir Muslim terhadap teks, seperti fikih, tafsir, ilmu kalam,
dan seterusnya, melainkan juga harus mengikutsertakan praktik dan
tanggapan masyarakat dalam memahami teks dan interpretasinya.
Selain ini budaya, adat istiadat, serta sosial-ekonomi-politik
masyarakat ketika mempraktekkan ajaran agama itu adalah bagian
93 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran, Towards a Contemporary Approach (London dan New York: Routledge, 2006), hlm. 03.
94 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran... h 3-4.
68
dari Islam. Alasan inilah kemudian yang membuat Nasr Hamid
Abu Zayd menyatakan, bahwa bagi pengkaji Islamic studies harus
menyadari sejak dini dan tahu posisinya dalam ketiga level ini:
teks, penafsiran dan praktik.95 Bila ketiga level atau komponen ini
disederhanakan lagi, maka Islam selain mempunyai sisi normatif
(teks dan penafsiran terhadap teks), ia juga mempunyai sisi historis
(praktik dan dinamika masyarakat Muslim). Kedua sisi ini ibarat dua
sisi koin yang tidak bisa dipisahkan. Mengabaikan salah satu dari
kedua sisi ini akan mengakibatkan kajian terhadap Islam menjadi
pincang.
Teks sebagai level pertama merupakan unsur pertama dan
utama dalam Islam. Dengan adanya teks, berupa Al-Qur’an dan
sunnah, maka semua doktrin dan ajaran Islam diderivasi dan
mendapat legitimasi dari teks wahyu. Hampir semua pokok ajaran
dari semua praktik umat Muslim tidak lepas dari adanya sokongan
nash, yang dalam istilah teknisnya disebut dengan dalil. Melihat
realitas ini, Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa, hadarah
al-Islam hiya hadarah al-nahs, peradaban Islam adalah peradaban
teks.96
Keberadaan teks yang sudah final di satu sisi, dan dinamika
kehidupan manusia yang berjalan terus di sisi yang lain, membuat
95 Khairuddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Ac Ademia,
2007
96 Nasr Ḥamid Abu Zayd, Mafhūm al-Naṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Bairūt:
Al-Markaj as-Saqāfi al-‘Arabī, 2000), cet. ke-5, h 9.
69
para pemikir dan ulama untuk menafsirkan teks agar sesuai dengan
realitas yang dihadapi, juga agar masyarakat Muslim tidak ketinggalan
zaman. Interpretasi para pakar ini kemudian selama beberapa abad
menjadi disiplin ilmu yang mapan. Kemapanan disiplin seperti fikih,
tafsir, kalam, dan sejenisnya membuat sebagian pihak memperlakukan
itu sama dengan teks wahyu. Dengan kondisi seperti ini maka wajar
ketika Muhammad Arkoun –pemikir asal Al-Jazair ini –menyatakan
bahwa telah terjadi penyaklaran bahkan dalam tingkat tertentu
pengkultusan hasil produk penafsiran para ulama tersebut. Padahal
sejatinya hasil penafsiran itu adalah produk pemikiran, yang sifatnya
relatif, tentatif, bahkan lokal. Ini bisa dilihat dari berbagai perbedaan
pendapat dari berbagai ulama, disebabkan oleh nilai, pengalaman,
setting sosio-historis dari para ulama itu berbeda.
Keragaman penafsiran merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan
boleh disebut suatu yang fitrah. Meminjam bahasa Abdulkarim
Soroush, Islam tidak lain adalah serangkaian interpretasi, Islam is
nothing but a series of interpretation of Islam.97 Layaknya sebuah
laut, di dalamnya terdapat berbagai macam jenis, bentuk, warna, dan
spesies yang hidup. Hal yang sama juga ketika Islam itu dianggap
sebagai lautan interpretasi, maka di dalamnya banyak keragaman, dan
perbedaan pendapat.
Keragaman itu juga timbul dari keragaman budaya yang
dimasuki Islam. Islam ketika di Mekkah pertama kali masih
memiliki corak budaya yang sederhana, akan tetapi pasca banyak
penaklukan, serta beragamnya latar belakang manusia yang masuk
ke dalam Islam, ikut mewarnai wajah Islam itu sendiri. Dalam hal
ini terjadi dialektika dan dialog, Islam memengaruhi masyarakat di
satu sisi, budaya masyarakat juga memengaruhi wajah ajaran agama
di sisi yang lain. Agama, selain ia kumpulan doktrin, ia juga adalah
fenomena sosial. Titik penting ditekankan, selain untuk melihat
agama sebagai yang dinamis, juga untuk tujuan bahwa agama adalah
97 Abdulkarim Soraus, The Changeable and the Unchangeable, dalam New
Directions in Islamic Thought, ed. Kari Vogt dkk (London-New York: I.B
Tauris, 2009), h 14.
70
sesuatu yang sangat kompleks. Agama bukanlah seperti robot yang
bisa digambarkan, dijelaskan, dan diberlakukan layaknya rumusrumus, ia sesuatu yang sangat kompleks, perlu pendekatan yang
beragam dan multidisipliner. Kekompleksan agama (baca: Islam)
bukan berarti ia tidak bisa dikaji.
Jika level pertama dan kedua melahirkan berbagai disiplin ilmu
seperti fikih, tafsir, ilmu kalam, sastra, dan seterusnya, maka level
kedua kajian-kajian sosiologis dan antropologis –bahkan sekarang
muncul living Quran atau Living Islam98 –untuk memahami level
ketiga. Ketiga level ini harus mendapat perhatian yang sama, tidak
bisa menganakemaskan yang satu, sementara yang lain ditinggal.
Meminjam gagasan Amin Abdullah, ketiga level ini perlu adanya
integrasi dan interkoneksi.99
Pertimbangan ketiga kecenderungan di atas, yakni tekstualis,
semi-tektualis, dan kontekstualis, maka dapat disimpulkan, bahwa
dalam konteks membumikan Al-Qur’an, pendekatan yang tepat
digunakan adalah pendekatan kontekstualis. Pendekatan dianggap
sebagai yang paling tepat, dengan alasan, dalam proses interpretasi,
sosio-historis, baik itu aspek ekonomi, politik, kebudayaan,
linguistik, sosial, semua unsur yang terkait dengan teks dan konteks,
selalu dipertimbankan.
Contextual Approach sebagai Kata Kunci Membumikan alQur’an
Membumikan Al-Qur’an dalam realitas perkembangan dunia
yang terus menerus merupakan salah satu tantangan yang dihadapi
98 Zuhri menyebut bahwa living Islam adalah memahami tradisi-tradisi keagamaan yang hidup dalam masyarakat Muslim, yang bukan hanya sekadar
apa yang tampak, melainkan juga menjadi dasar pijakan dari tradisi tersebut
yang sudah dibangun sejak lama. Lihat Zuhri, Living Islam: Apa dan Mau
Kemana? (Yogyakarta: Makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan
Kalijaga, tidak diterbitkan), h 2.
99 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h 45
71
oleh umat Islam. Seringkali dalam kehidupan sehari-hari, umat
Islam masih lemah dalam penghayatan relevansi Al-Qur’an. Hal ini
disebabkan masih adanya kekhawatiran sebagian kalangan –dalam
proses pembumian itu –menabrak otoritas pendapat “tradisional”
yang dianggap paling otoritatif. Kekhawatiran Ahmad Syafii Maarif
juga diamini oleh Abdullah Saeed. Menurut Saeed, mengekor
kepada pendapat otoritas tradisional yang tekstualis, justru tidak
akan menjawab kebutuhan-kebutuhan umat Islam dewasa ini.100
Dengan latar belakang ini, kemudian Saeed, menawarkan fresh
perspective, yang ia sebut dengan pendekatan kontekstual (contextual
approach).101 Di tangan Saeed, tawaran membumikan Al-Qur’an
Syafii Maarif mendapat justifikasi metodologi ilmiahnya.
Pengertian pendekatan kontekstual di sini adalah dalam prosesi
terpretasi perlu penekanan pada aspek dari kandungan legal-etis
Al-Qur’an. Dengan kata lain, pertimbangan konteks politik, sosial,
budaya, dan ekonomi ketika Al-Qur’an ditafsirkan dan diaplikasikan
merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan. Pertimbangan
terhadap aspek tersebut akan melahirkan produk-produk penafsiran
yang universal dan pro-kemanuasian. Dengan Nilai-nilai universal
dan kemanusian ini, maka proyek membumikan Al-Qur’an mendapat
aktualisasinya.
Menurut Saeed, model pendekatan kontektual ini, dengan
sendirinya bisa membuat manusia sebagai pembaca dan pengamal AlQur’an dapat berintraksi dengan Al-Qur’an secara interaktif. Makna
interaktif di sini adalah manusia dalam mengaplikasikan makna
Al-Qur’an berpartisipasi secara aktif –karena mempertimbangkan
konteks sosio-hitoris dari teks wahyu itu sendiri. Ini berbeda dengan
sikap yang tidak mempertimbangakan sosio-historis, yang akibatnya
manusia sebagai audience justru bersifat pasif. Dengan sikap aktif
yang dimiliki oleh manusia sebagai pembaca Al-Qur’an, maka akan
terjadi proses pembumian Al-Qur’an secara terus-menerus sesuai
dengan konteks budaya, adat, politik, dan ekonomi dari setiap
100 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran, h. 1
101 Abdullah Saeed, Interpreting the Quran, h. 1
72
wilayah. Dalam konteks ini, apa yang disebut dengan interpretasi
secara berkesinambungan (A continuous process) akan mendapat
momentumnya.102
Elaborasi Saeed tentang contextual approach ini mendapat
bukti konkret secara inheren dari semangat Al-Qur’an itu sendiri,
dalam tahap selanjutnya dijadikan Saeed sebagai kerangka berpikir
dari pendekatannya. Dalam hal ini ada bebarapa poin penting yang
dijadikan oleh Saeed sebagai basis gagasannya tentang pendekatan
kontekstual ini.
Pertama, adanya fenomena cara membaca Al-Qur’an yang
bervariasi (seven ahruf) dan konsep nasakh menunjukkan bahwa
Al-Qur’an sangat fleksibel.103 Variasi qiraah dan konsep nasakh
(abrogasi) merupakan tema pokok dalam kajian Al-Qur’an. Kedua
fenomena ini mempunyai satu titik persamaan, bahwa ternyata dalam
sejarahnya Al-Qur’an itu sangat fleksibel. Letak fleksibilitas AlQur’an bukannya hanya pada bunyi, nada, dan iramanya, melainkan
juga dalam redaksinya, yang dalam sejarah Muslim awal merupakan
sesuatu yang lumrah. Semangat fleksibilitas ini, tentunya seharusnya
juga harus diterapkan pada saat proses interpretasi Al-Qur’an, bukan
hanya pada waktu Al-Qur’an diturunkan.
Fleksibilitas ini dengan sendirinya akan melahirkan
bahwa makna itu tidaklah final. Finalitas makna dalam konteks
membumikan dan menafsirakan Al-Qur’an adalah sesuatu yang
mustahil. Perubahan budaya dan setting sosio-historis akan dengan
sendirinya memengaruhi makna. Jika makna relatif, maka proses
membumikan Al-Qur’an sebagaimana yang diinginkan oleh Ahmad
Syafii Maarif akan lebih mudah dilaksanakan.
Kedua, mengakui bahwa Al-Qur’an mempunyai kompleksitas
makna. Relativitas makna dengan sendirinya akan melahirkan
kompleksitas makna. Selain pertimbangan sosial-budaya dari
konteks Al-Qur’an dan konteks kekinian, ternyata dalam Al-Qur’an
sendiri banyak kata yang harus dibedakan sekalipun bentuknya
102 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, h. 149.
103 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, h. 67-89
73
sama. Begitu juga, harus diperhatikan mengenai adanya perubahan
meaning dari kata dalam Al-Qur’an.104
Ketiga, menjadikan konteks sosio-historis sebagai
pertimbangan dalam proses penafsiran. Pertimbangan ini perlu untuk
melihat relevansi makna Al-Qur’an dengan kehidupan kontemporer.
Dalam proses ini, menurut Saeed (2006: 116) perlu diperhatikan
antara makna historis dan makna kontemporer. Makna historis
adalah makna teks ketika Al-Qur’an diturunkan pada masa Nabi dan
para sahabat memahaminya, sementara makna kontemporer adalah
makna Al-Qur’an bagi kehidupan umat manusia sekarang.
Banyak ayat Al-Qur’an menurut Saeed, khususnya ayat-ayat
yang berkaitan dengan ethico-legal, sulit dipahami dengan baik,
tanpa mempertimbangkan dan memperhatikan konteks sosio-historis
masa pewahyuan. Konteks sosio-historis –baik itu asbab nuzul
makro maupun mikro –bertujuan untuk membuat dan menjadikan
ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dan relevan untuk kehidupan Muslim
kontemporer. Dalam kondisi inilah, interpretasi yang terus-menerus
harus dilaksanakan, dengan alasan perubahan sosio-historis tentu
berdampak pada perubahan cara memaknai dan mengaplikasikan
ajaran dan nilai yang ada dalam Al-Qur’an.
Proses membumikan Al-Qur’an, dengan demikin harus
mempertimbangakan dua konteks sekaligus. Pertama, konteks
ketika Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada generasi awal.
Dalam hal ini, untuk melacak sosio-historis dan konteks itu perlu
pengetahuan tentang ihwal kehidupan Nabi secara baik, baik itu
ketika di Mekkah maupun di Madinah. Pengetahuan itu meliputi
iklim sosial, politik, budaya, adat istiadat, ekonomi, dan intelektual,
institusi dan nilai yang berlaku.105 Kedua, konteks kekinian, artinya
situasi dan kondisi saat Al-Qur’an itu saat ini. Bila konteks pertama
membutuhkan tentang ilmu kesejarahan, maka dalam konteks kedua
104 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, h. 104-105
105 Lien Iffah Naf’atu Fina, “Interpretasi Kontekstual; Sebuah Penyempurnaan
terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman, dalam Hermeneutik (Volume. 9,
No. 1, Juni 2015), h 75.
74
perlu mempertimbangkan perkembagan ilmu pengetahuan dan
dinamika masyarakat.
Keempat, merumuskan hierarki nilai ethico-legal dari teks AlQur’an. Rumusan hirarki nilai yang dibuat oleh Saeed ini tidak lepas
dari dua inspirasi, yakni metodologi maqasid syariah dan interpretasi
berbasisis nilai dari Fazlur Rahman. Dengan menggabungkan kedua
inspirasi ini, Saeed telah berhasil merumuskan hierarki Nilai-nilai
yang digunakan sebagai pedoman bagi penafsiran kontekstual
terhadap ayat-ayat. Hierarki itu adalah:
1. Obligatory values, yakni nilai yang tidak terikat oleh waktu
tertentu; nilai ini merupakan nilai esensial dari Al-Qur’an,
baik itu terkait aspek kepercayaan (belief), praktik religius
(religious practice), maupun soal halal haram;
2. Fundamental values: nilai yang berkaitan dengan hak asasi
manusia (human right), seperti hak perlindungan hidup,
properti, dan lain-lain;
3. Protectional values: nilai etis yang mendukung fundamental
values, seperti hak proteksi;
4. Implementational values: aturan spesifik yang dipergunakan
dalam implementasi protectional values; dan instructional
values: nilai etis yang ada dalam Al-Qur’an yang dihubungkan
dengan Al-Qur’an dalam menjawab permasalahan ketika AlQur’an diwahyukan.
Dengan mempertimbangkan hierakisitas nilai yang disusun
oleh Abdullah Saeed ini, maka proses membumikan Al-Qur’an
mendapat landasan metodologisnya.
Penutup
Tawaran Syafii Maarif agar Al-Qur’an itu perlu dibumikan
mendapat momentumnya di tanganAbdullah Saeed. Kerangka berpikir
dan model penafsiran yang dibuat oleh Saeed ini tentunya sangat
75
berguna untuk menjawab tantangan dan dinamika perkembangan
zaman. Sehingga Islam yang sering disebut sebagai shalihun likulli
zaman wa makan tidak hanya slogan saja. Dengan menjadikan nilai
etis sebagai titik berangkat –sebagaimana ditawarkan Saeed –maka
proyek membumikan Al-Qur’an akan sedikit mendapat tantangan.
Karena model pendekatan seperti ini akan melahirkan produkproduk nilai universal: Keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia,
toleransi, kemanusiaan, dan seterusnya.
Dengan pendekatan kontekstual ini, maka penafsiran AlQur’an yang tidak mempertimbangkan konteksnya –baik konteks
Al-Qur’an diturunkan maupun konteks sekarang –akan sendirinya
tertolak. Di tengan era sekarang ini, di mana Al-Qur’an seolah-olah
barang langit, dan hanya dipanggil ketika musim pemilu, proyek
membumikan Al-Qur’an perlu direspons dan didekati dengan
berbagai pendekatan. Dengan demikian, reaktualisasi membumikan
Al-Qur’an harus menjadi prioritas, khususnya dalam konteks
Indonesia.
76
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
Abu Zayd, Nasr Ḥamid, Mafhūm al-Naṣ Dirāsah fī ‘Ulūm alQur’ān (Bairūt: Al-Markaj as-Saqāfi al-‘Arabī, 2000)
Ali, Maulana Muhammad, The Religion of Islam: A Comprehensive
Discussion of The Sources, Principles and Practices of Islam
(Lahore: The Ahmadiyya Anjuma Isha’at Islam, 1990)
Az-Zuhailīy, Wahbah, Al-Wajīz fi Usūl al-Fiqh (Damaskus: Dār alFikr, 1999)
Fina, Lien Iffah Naf’atu, “Interpretasi Kontekstual; Sebuah
Penyempurnaan terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman,
dalam Hermeneutik (Volume. 9, No. 1, Juni 2015)
Khāllaf, Abdul Wahāb,‘Ilmu Usūl al-Fiqh, (Indonesia: Haramain,
2004)
Maarif, Ahmad Syafii, “Membumikan Al-Qur an: Menghilangkan
Unsur-unsur Subyektifit Nurani,” dalam Panji Masyarakat,
Nomor 562, 1-10 Januari 1988, h 29.
Maarif, Ahmad Syafi’i, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995)
Nasution, Khairuddin, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Ac
Ademia, 2007)
Saeed, Abdullah, Interpreting the Quran, Towards a Contemporary
Approach (London dan New York: Routledge, 2006)
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan,
2010 )
Soraus, Abdulkarim, The Changeable and the Unchangeable,
dalam New Directions in Islamic Thought, ed. Kari Vogt dkk
(London-New York: I.B Tauris, 2009)
77
Yasid, Abu Nalar dan Wahyu; Interrelasi dalam Proses
Pembentukan Syariat (Jakarta: Erlangga, 2007)
Zuhri; Living Islam: Apa dan Mau Kemana? (Yogyakarta: Makalah
Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, tidak
diterbitkan)
78
MENANGKAL HATE SPEECH DAN MERAWAT
KEBERAGAMAN INDONESIA
ALA AHMAD SYAFII MAARIF
Indah Fajar Rosalina
Pendahuluan
Indonesia belakangan ini dihadapkan dengan tantangan
gerakan radikalisme, intoleransi dan terorisme. Kelompok
tersebut menurut Ahmad Syafii Maarif adalah kelompok dengan
pengetahuan yang sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia
yang beragam dan tidak sederhana. Apalagi gerakan-gerakan
semacam ini berpotensi untuk memecah belah bangsa Indonesia
dengan kebhinekaannya dengan beragam cara, salah satunya
dengan penyebaran ujaran kebencian (hate speech) di era post
truth.
Fenomena hate speech semacam ini yang menciptakan
keresahan di masyarakat, dan bermuara pada krisis perpecahan
bangsa Indonesia. Apalagi Buya, begitu pria ini akrab disapa,
pernah menjadi korban dari hate speech dari netizen. Beragam
ujaran kebencian seolah ‘kenyang’ diterima bagi sosok yang
memiliki spiritualitas yang kuat namun tetap netral dan berpihak
pada Nilai-nilai kemanusian. Misalnya pada saat Buya sempat
dituduh menerima amplop dari pihak Gereja di Sleman setelah
penyerangan pada Februari 2018 lalu.106 Beruntung kasus ini segera
106 DetikNews, Polisi Tangkap Pelaku Ujaran Kebencian Jokowi dan Buya
79
ditangani oleh kepolisian setempat.
Kasus ujaran kebencian yang saat ini marak tentu menciderai
penghormatan terhadap kemajemukan dan keberagaman yang
menjadi nilai pokok bangsa Indonesia. Ujaran kebencian membuka
peluang bagi berkembangnya praktik diskriminasi dan kekerasan
terhadap kelompok agama, ras, dan etnis minoritas, bahkan jika
tanpa kendali, hal ini dapat mendorong pada tindak kekerasan
terhadap kelompok tertentu, terutama kelompok minoritas.
Pesan-pesan hate speech ini dengan mudahnya dapat kita
lihat dalam media sosial, Program Koordinator ICT Watch Eddy
Prayitno mengatakan, selain konten pornografi dan perjudian,
internet menjadi wadah baru dalam berkembangnya industi
kebencian. Bahkan penelitiannya, dari September hingga Oktober
2016 tercatat ada 28 ribu cuitan yang berkaitan dengan kata ‘sesat’
dalam Twitter. Bahkan pada saat menjelang aksi bela Islam 411,
ada 19 ribu kata kafir ditemukan pada Twitter, dan itu baru dari
Twitter saja.107
Permasalahan yang terjadi adalah, masyarakat begitu bebas
berpendapat di media sosial sehingga perkembangan hate speech
begitu marak terjadi. Padahal seharusnya media sosial berfungsi
sebagai sarana informasi yang benar, mendidik, dan menghibur
masyarakat, serta menjadi kontrol sosial negara. Meskipun upaya
penangkalan hate speech ini sudah dilakukan dengan berbagai
cara, salah satunya dengan menerbitkan Surat Edaran No 6/X/2015
tentang ujaran kebencian yang menyangkut pokok-pokok ujaran
kebencian yang merendahkan harkat dan martabat manusia, prinsip
berbangsa dan berbhineka Tunggal Ika atau melindungi keberagaman
kelompok, serta ujaran kebencian terkait penghinaan, pencemaran
nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, terhadap
Syafii, lihat https://news.detik.com/berita/3868732/polisi-tangkap-pelakuujaran-kebencian-ke-jokowi-dan-Buya-Syafii, diakses pada 1 Oktober 16:13
WIB
107 Tifa Foundation, Menangkal Ujaran Kebencian, https://www.tifafoundation.org/menangkal-ujaran-kebencian/, diakses pada 1 Oktober 16:13 WIB
80
individu atau kelompok masyarakat tertentu yang dibedakan
dari aspek suku/etnis, ras, agama, atau kepercayaan tertentu.108
Kenyataannya, tidak mudah dalam membendung ujaran kebencian
yang masih marak di media sosial saat ini. Tanpa upaya preventif,
upaya itu hanya menimbulkan efek jera sesaat bagi kaum tertentu
yang memang sengaja menciptakan kegaduhan di Indonesia. Sikap
kita sebagai intelektual adalah, membuat ruang literasi digital yang
secara murni senantiasa merawat keberagaman Indonesia melalui
pandangan pluralisme. Upaya preventif itulah yang semestinya juga
didorong oleh bangsa ini.
Menurut Buya, perbedaan yang ada di Indonesia harus disikapi
dengan lapang dada, ini merupakan kalimat yang istimewa bagi
Buya yang selalu menawarkan dan konsisten berkhidmat menjaga
moral bangsa. Dengan sikap lapang dada dan keberanian itulah
yang membuat Buya selalu siap menerima segala konsekuensi dari
determinasi kelompok dominan yang tidak sepaham dengannya.
Tentu masih segar diingatan kita juga, Buya senantiasa berlapang
dada sempat menjadi korban hate speech pada kasus komentar Buya
mengenai video mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama
(Ahok), saat Pilgub DKI 2017 lalu yang sempat ramai diperbincangkan,
Buya sempat menjadi korban bully di media sosial dan dunia nyata
karena menurut Buya, Ahok tidak melakukan penodaan agama, dan
kita wajib memaafkannya karena dia sudah minta maaf.
Padahal dalam kasus tersebut, pembelaan Buya terhadap Ahok
semata-mata ditempatkan dalam kerangka keadilan dan egaliterianisme
dalam konteks Indonesia. Bahkan dalam salah satu tulisannya, Buya
mengatakan, agar semua lawan Ahok puas, penjarakan saja Ahok
selama 400 tahun. Itu menunjukkan bahwa tidak hanya secara teoritis
Buya mengajarkan kita untuk memiliki paham pluralisme, tetapi juga
secara praktik, dengan sikapnya yang senantiasa lapang dada dan
memandang bijak segala persoalan.
Bagi Buya, paham pluralisme/keberagaman memiliki fungsi
108 Lihat SKH Suara Pembaruan, SE Penanganan Ujaran Kebencian Jaga Pluralitas, Rabu 4 November 2015, h. 2
81
ganda. Pertama untuk merekatkan persatuan seluruh bangsa yang
terdiri dari multi religius, yang kedua meredam potensi konflik dan
kekerasan atas nama perbedaan sesama bangsa Indonesia. Pluralisme
merupakan jembatan antar agama, suku, dan ras yang sama sekali tidak
bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 serta falsafah Bhinneka
Tunggal ika.
Tulisan ini merangkum respon dari keprihatinan ujaran
kebencian yang selama ini menyebar di Indonesia. Paparan
ringkas dalam tulisan ini juga menjelaskan, bagaimana Buya Syafii
Maarif sebagai intelektual Muslim menyikapi berbagai fenomena
hate speech yang marak terjadi, serta sikap intelektualnya dalam
menangkal itu demi merawat keberagaman Indonesia.
Media Sosial dan Potensi Hate Speech
Perkembangan era digital pada saat ini, ditandai dengan
masifnya penetrasi media sosial dalam berbagai aspek kehidupan
ekonomi, politik, budaya, dan pertahanan keamanan. Fenomena
ini sekaligus menjadi konsekuensi perubahan pola komunikasi dari
media konvensional menuju digitalisasi dengan berbagai kanal
media sosial kekinian. Inovasi teknologi dengan pemanfaatan
media sosial menjadikan arus informasi mengalir dengan deras
dan cepat, pola-pola komunikasi linier mulai digantikan dengan
pola-pola komunikasi simetris, real time melintas batas ruang
dan waktu, dengan mengedepankan kecepatan. Hal ini sekaligus
menandakan pola komunikasi saat ini yang sesungguhnya telah
memasuki fase Interactive Communication Era, sebagaimana
katagorisasi Everett M Rogers, fase lebih lanjut dari pengembangan
era telekomunikasi dengan menjadikan penggunaan internet sebagai
media baru (new media).109
Perkembangan era digital dengan masifnya penggunaan internet
109 Lihat Eddy Cahyono, “media sosial, Post Truth dan Literasi Digital” dalam
http://ksp.go.id/media-sosial-antar manusia-dan-literasi-digital/index.html
22 Oktober 2018
82
sebagai media baru (new media), membawa konsekuensi pergeseran
karakter khalayak yang tidak lagi obyek pasif (audiens), namun
dapat berperan menjadi produsen informasi (prosumer). Bahkan
lebih jauh lagi, masyarakat dapat berperan memproduksi
berita, dan membentuk opini publik terhadap ujaran kebencian
via platform media sosial. Melalui media sosial memungkinkan
pengguna berinteraksi, membentuk ikatan sosial secara virtual
dalam masyarakat jejaring (networking society) yang mulanya
ditandai dengan munculnya jurnalisme warga (citizen journalism).
Fenomena ini menempatkan media sosial sebagai garda terdepan
dalam komunikasi model baru sekaligus berperan membentuk
opini publik, memengaruhi persepsi perilaku publik, memengaruhi
pengambilan keputusan institusi, kelompok masyarakat serta turut
andil dalam pengembangan kesadaran kolektif opini publik. Bahkan
lebih ekstrim lagi, Aylin Manduric dalam tulisannya “Sosial Media
as a tool for information warfare” menyatakan bahwa media sosial
sebagai senjata pemusnah massal dan pemicu timbulnya konflik,
berperan sebagai senjata kata-kata yang memengaruhi hati dan
pikiran audiens yang ditargetkan.
Merujuk pada Oxford English Dictionary (OED), Robert
Post, salah satu ilmuan yang banyak dirujuk dalam diskursus
ini mendefinisikan penggiringan opini dalam era perkembangan
teknologi bisa menyebabkan ujaran kebencian sebagai “Speech
expressing hatred or intolerance of other social group especially on
the basis of race and sexuality.’ Lalu apa yang bisa masuk dalam
kategori atau istilah ‘hate’? Kembali merujuk OED, Post memahami
hate sebagai ‘An emotion of extreme dislike or aversion; Abbhorence,
hatred” (Post 2009: 123). Definisi ini mengandung dua aspek
penting: Sebuah ujaran (speech) bisa dikatakan (hate) apabila yang
pertama ia mengekspresikan perasaan kebencian atau intoleransi
yang bersifat ekstrim dan yang kedua perasaan tersebut ditujukan
kepada kelompok lain berdasarkan identitas mereka seperti ras dan
orientasi seksual. Fenomena semacam ini, apabila tidak diantisipasi
dengan mitigasi yang terencana dan terukur, juga akan berpotensi
mempertajam polarisasi di masyarakat, ditandai dengan semakin
viralnya pemberitaan yang tendensius mengusung
sentimen
83
agama, ras dan kelompok kepentingan yang dapat memecah belah
keberagaman NKRI.110
Seperti yang terjadi belum lama ini, Habib Bahar Smith yang
kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial. Dalam sebuah
ceramah yang rekaman videonya viral, Bahar Smith menyebut Jokowi
pengkhianat bangsa, negara, dan rakyat. “Kamu kalau ketemu Jokowi,
kalau ketemu Jokowi, kamu buka celananya itu. Jangan-jangan
haid Jokowi itu, kayanya banci itu,” ujar Bahar.111 negara memang
menjamin penduduknya untuk menyatakan pendapat, ini masuk
dalam konteks hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia). Sebenarnya
HAM memberikan kebebasan individu berekspresi dan berpendapat,
namun harus dilihat terlebih dahulu ada tidaknya kepentingan publik.
Batasan-batasan yang dibuat negara dalam UU harus dipahami
sebagai sesuatu yang positif jika dipakai untuk menjaga ketertiban
umum, agar hak asasi seseorang tidak terlanggar demi pemenuhan
hak asasi orang lain. Penggunaan kata ‘banci’ sebenarnya jauh
sebelum Bahar Smith sudah sering digunakan oleh para politisi
pendahulu bangsa. Pada artikel Tirto yang berjudul “Makian Banci
Bahar Smith dan Betapa Maskulinnya politik Indonesia”112 ada
beberapa sejumlah politikus seperti Eggi Sudjana (PAN), Masinton
Pasaribu, Agustina Wilujeng Pramestuti (Komisi IV DPR), bahakan
Sjahrir kerap melontarkan kata ‘banci’ atas kritik pemerintah pada
saat itu. Penggunaan kata ‘banci’ dalam makian yang bernada seksis
karena kondisi politik Indonesia yang bersifat maskulin dan patriarkis.
Jadi pemaknaanya diartikan sebagai plin-plan atau ketidaktegasan.
Banyak aktor politik menggunakan kata-kata seperti itu (soundbite)
alias yang gampang menarik perhatian publik.
Dalam kasus Bahar Smith terlihat jelas ucapan tersebut
110 Ibid
111 Lihat DetikNews, Habib Bahar Smith Kesandung Ceramah ‘Jokowi Banci’
dalam https://news.detik.com/berita/4323911/habib-bahar-bin-smith-kesandung-ceramah-jokowi-banci
112 Lihat Tirto, Makian Banci Bahar Smith dan Betapa Maskulinnya politik Indonesia, “https://tirto.id/makian-banci-bahar-smith-dan-betapa-maskulinnya-politik-indonesia-daDb
84
sengaja dilontarkan sebagai bentuk penggiringan opininya, karena
kekecewaannya terhadap Presiden Jokowi, yang dipicu karena
ketidakhadiran sosok Presiden dalam aksi 411. Jelas, ini adalah
pengertian ‘hate speech’ seperti yang disinggung di atas, merupakan
tindakan ujaran kebencian yang nyata. Secara ekspresif Bahar Smith
berpidato yang mengekspresikan kebencian atau intoleransi dari
kelompok sosial lainnya, terutama atas dasar ras dan seksualitas.
Sosiologi kemasyarakatan menganalisis hubungan atau interaksi
antar manusia dalam suatu hubungan masyarakat, yaitu bagaimana
mereka berkomunikasi, bekerjasama, dan berupaya mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi. Ketika struktur sosial dan budaya
masyarakat masih sederhana, maka tata cara mereka berinteraksi satu
sama lain juga terjadi secara sederhana, tidak banyak kerumitan yang
dapat ditemukan dalam hubungan antar mereka. Namun ketika terjadi
perkembangan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,
terutama di bidang komunikasi dan informasi, maka tata cara manusia
berinteraksi juga mengalami perubahan. Sebab, teknologi menjadi
sarana yang efektif dan efisien untuk berkomunikasi satu sama lain113.
Masalah hate speech yang terjadi belakangan ini menunjukkan
perkembangan masyarakat semula sederhana menuju kondisi yang
semakin modern. Dengan dalih membawa bendera ‘kebebasan
berpendapat’, masyarakat memasuki budaya baru yang belum
sepenuhnya disadari kelebihan maupun kelemahannya. Apa yang
terjadi saat ini, masyarakat belum sampai pada taraf pemahaman
tentang bagaimana menggunakan media sosial dan mengambil sisi
positif, serta menghindari dampak negatifnya.
Babak baru kemajuan masyarakat dalam media sosial ini yang
seolah membuka arus kebebasan seluas-luasnya tanpa ada batas
dalam berkomunikasi. Kondisi tanpa tatap muka secara langsung pula
yang menambah tingkat kepercayaan masyarakat menjadi lebih dalam
mengekspresikan pendapatnya. Apalagi hal ini juga memudahkan
mereka untuk sulit dideteksi identitas yang sesungguhnya.
113 SKH Suara Pembaruan, SE Penanganan Ujaran Kebencian Jaga Pluralitas, Rabu 4 November 2015, h. 10
85
Kondisi demikian selanjutnya dimanfaatkan oleh orang yang tidak
bertanggungjawab untuk menyerang orang lain demi kepentingan diri
sendiri, atau kelompoknya yang biasa kita kenal dengan istilah buzzer.
Berdasarkan konsep sosiologi yang memandang masyarakat
sebagai kelompok manusia yang menghasilkan kebudayaan, masalah
hate speech yang tidak dapat dikendalikan dalam media sosial tentu
akan menjadi parasit bagi perkembangan dan peradaban masyarakat
modern. Masyarakat bisa mengalami kemunduran moral yang
membahayakan para generasi bangsa ke depan. Masa depan anakanak yang menyaksikan langsung bagaimana hate speech di media
sosial berlangsung oleh generasi saat ini tentu akan terekam jelas
dalam benak generasi berikutnya. Mereka senantiasa meniru apa yang
telah dicontohkan generasi sekarang, apabila hal ini terus menerus
terjadi.
Bahaya ujaran kebencian terhadap demokrasi bahkan sudah
tidak diragukan. Negara-negara Eropa yang mempunyai pengalaman
buruk dengan propaganda kebencian seperti yang pernah dilakukan
oleh Nazi, pada umumnya mempunyai regulasi yang lebih tegas
untuk melarang ujaran kebencian. Sementara Amerika, di mana
kebebasan sipil menjadi bagian penting dalam sejarah nasional,
memilih untuk menoleransi ujaran kebencian. Meski demikian,
tindakan kriminal berdasarkan kebencian (hate crime) diatur dalam
perundang-undangan tersendiri. Dalam sejumlah kasus, Amerika
juga memunyai preseden pemidanaan terhadap ujaran kebencian
yang secara kuat dianggap menyebabkan aksi kekerasan. Bahaya
ujaran kebencian juga diafirmasi oleh PBB yang pada tahun 1966
mengeluarkan International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR), yang melarang “kampanye kebencian terhadap kelompok
kebangsaan, ras dan agama yang bersifat dorongan (incitement)
kepada tindak diskriminasi, permusuhan dan kekerasan114.”
Perdebatan serupa juga terjadi di Indonesia. Ujaran kebencian
bukannya tidak dilarang di Indonesia, tetapi penerapannya
dikhawatirkan akan mengembalikan model pemerintahan represif
114 M. Iqbal Ahnaf & Suhadi, Isu-Isu Kunci Ujaran.. h. 1
86
selama 32 tahun di bawah pemerintahan Soeharto. Dilema ini
menciptakan situasi ‘tanpa tindakan’ yang membuat ujaran kebencian
di Indonesia tersebar secara bebas tanpa sedikitpun hambatan.
Kondisi ini memberi kesempatan bagi tranformasi sejumlah
kelompok garis keras, terutama kelompok agama tertentu, untuk
mengalihkan arena perjuangan dari ‘perang bersenjatakan bom’
ke ‘perang bersenjatakan kata-kata’. Padahal, sejatinya bukan hal
mudah membangun cita-cita bangsa ini dari keanekaragaman suku,
ras dan agama. Dalam hal ini, pemerintah sebaiknya bisa menjadi
wasit, untuk pengukur, berperan sebagai menghalangi kebebasan
seseorang, tetapi mengingatkan untuk terhadap batasan-batasan
yang berpotensi untuk dilanggar. Paling tidak ada usaha tabayyun
atau melakukan cek dan klarifikasi, negara berperan memfasilitasi
penjelasan dari pihak yang melakukan ujaran kebencian.
Tantangan di Era “antar Manusia”
Istilah itu “antar manusia” sebenarnya mulai jadi perbincangan
sejak 2016 oleh Oxford Dictionary. Menurut Oxford Dictionaries,
antar manusia diartikan sebagai istilah yang berhubungan dengan
atau mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi
lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding faktafakta yang obyektif.115
Itu artinya bahwa dengan derasnya arus informasi seperti
sekarang ini, virus post-trust ini benar adanya. Masyarakat
cenderung tidak mencari kebenaran dari suatu informasi melainkan
mencari sesuatu pembenaran sesuai perasaannya bukan logikanya.
Romo Haryatmoko dalam materi SKK (Sekolah Kebudayaan dan
Kemanusiaan) II Ahmad Syafii Maarif menyebutkan, era antar
manusia membuat sekelompok orang dalam paham fanatisme
buta. Sulit untuk berdialog dalam kondisi tersebut, sekalipun harus
dihadirkan para tokoh ahli untuk berdebatnya.
115 Lihat M. Faizan Banapon, Antar manusia dan Fenomena media sosial dalam
https://www.qureta.com/post/antar
manusia-dan-fenomena-media-sosial
diakses pada 6 Desember 2018
87
Dilihat dari tinjauan sejarah, frasa antar manusia ini awalnya
dikenal di ranah politik saat kontestasi politik memperebutkan kursi
parlemen dan/atau tujuan politik lain sehingga istilah ini disebu antar
manusia politik. Istilah antar manusia pertama kali diperkenalkan
Steve Tesich, dramawan keturunan Amerika-Serbia. Tesich melalui
esainya pada harian The Nation (1992) menunjukkan kerisauannya
yang mendalam terhadap fenomena antar manusia, dengan maraknya
upaya memainkan opini publik dengan mengesampingkan dan
bahkan mendegradasi fakta dan data informasi yang obyektif. Secara
sederhana, antar manusia dapat diartikan bahwa masyarakat lebih
mencari pembenaran daripada kebenaran.
Era antar manusia dapat disebut sebagai pergeseran sosial
spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini.
Fakta-fakta bersaing dengan hoaks dan kebohongan untuk dipercaya
publik. Media mainstream yang dulu dianggap salah satu sumber
kebenaran, harus menerima kenyataan semakin tipisnya pembatas
antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi
dan nonfiksi. Sudah selayaknya kita dapat mengambil pelajaran
berharga dari sebagian kecil saja contoh bagaimana fenomena antar
manusia memengaruhi kehidupan pada berbagai bangsa. Dari kasus
yang terjadi di Ukrania, Rusia, Inggris, Amerika Serikat.116
Di Ukraina, tumbangnya Presiden Ukraina diawali dengan
sebuah status di medsos yang dibuat seorang jurnalis di Facebook,
yang dilanjutkan dengan seruan berkumpul di lapangan Maidan
di Kiev, Rusia,. Presiden Putin memanfaatkan medsos sebagai
kampanye terselubung kepada negeri tetangganya, seperti Ukraina,
Prancis, dan Jerman. Di Amerika, Senat Amerika pernah memanggil
perwakilan Google, Facebook dan Twitter dalam kasus mengarahkan
suara pemilih dan memecah belah masyarakat, yang diduga melibatkan Rusia. Di Inggris referendum Brexit secara efektif menggunakan medsos seperti Facebook untuk memasang iklan. Trump
116 Lihat Eddy Cahyono, “media sosial, Post Truth dan Literasi Digital” dalam
http://ksp.go.id/media-sosial-antar manusia-dan-literasi-digital/index.html
22 Oktober 2018
88
juga menggunakan medsos untuk kampanye memengaruhi pemilih
dengan membuat 50.000-60.000 iklan yang berbeda di medsos,
utamanya di Facebook.117 Antar manusia sengaja dikembangkan
dan menjadi alat propaganda dengan tujuan mengolah sentimen
masyarakat sehingga bagi yang kurang kritis akan dengan mudah
terpengaruh yang diwujudkan dalam bentuk empati dan simpati
terhadap agenda politik tertentu yang sedang diskenariokan.
Di Indonesia fenomena semacam ini disebabkan oleh 4 hal;
pertama, kemajuan teknologi informasi yang asimetris dengan
kapasitas adaptasi pemerintah dan masyarakat. Kedua, adanya
kompetisi politik yang tidak berkesudahan sejak Pilpres 2014.
Ketiga, adanya dukungan dari masyarakat tertentu pada ideologi
ekstrem anti-Pancasila. Keempat, adanya kegelisahan dengan
perubahan dan perbaikan sistem yang dilakukan pemerintahan
saat ini. Perkembangan teknologi informasi dan internet tidak
bisa dihentikan. Meskipun pemerintah selalu berupaya mencari
kesimbangan antara kebebasan demokrasi dalam hal informasi dan
akses pada internet. Sementara fenomena “antar manusia tidak hanya
menjadi ancaman bagi demokrasi tetapi juga bagi kebebasan sipil.
pemerintah dan aparat penegak hukum menerapkan berbagai tindakan
dalam menanggapi era “antar manusia”. Seperti antar manusia masuk
dalam katagori ujaran kebencian seperti termuat dalam KUHAP (Pasal
156-157), mempidanakan ujaran kebencian seperti UU Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor
40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Fenomena “antar manusia memberikan tantangan pada pemerintah
dan masyarakat bahwa media sosial dapat digunakan dengan bijak
tetapi juga bisa menjadi sumber masalah baru.118 Namun upaya
preventif juga harus tetap dilakukan demi menjaga kewarasan bangsa
di tengah keberagaman era digital.
117 Ibid
118 Lihat AntaraNews Literasi Anti-Hoax - Mengingatkan Kembali Bahaya
“Post Truth” pada https://www.antaranews.com/berita/716876/literasi-anti-hoax-mengingatkan-kembali-bahaya-antar manusia
89
Merawat Keberagaman di Era Digital
Menurut Buya Syafii Maarif, ada satu hal yang selalu ditekankan
sejak sepeninggalan Nurcholis Majid tentang bagaimana menjaga
kemajemukan Indonesia. Yakni keanekaragaman suku dan agama yang
dimiliki negeri ini, bukanlah sesuatu yang layak dibangga-banggakan.
Itu tidak unik, apalagi istimewa, dan bukan hanya dimiliki Indonesia.
Mengapa demikian? Sebab adalah sebuah keniscayaan bahwa tidak
ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal, uniter (unitary),
tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya. Ada masyarakat yang
bersatu, tidak terpecah belah, tetapi keadaan bersatu (being united)
tidaklah dengan sendirinya berarti kesatuan atau ketunggalan (unity)
yang mutlak. Persatuan itu dapat terjadi, dan justru kebanyakan terjadi,
dalam keadaan berbeda-beda (unity in diversity, E-Pluribus Unum,
Bhinneka Tunggal Ika).119
Faktanya memang demikian. Praktis tidak ada masyarakat tanpa
pluralitas, khususnya dalam persoalan agama, kecuali di kota-kota
eksklusif tertentu saja seperti Vatican, Makkah, dan Madinah. Bahkan,
negeri-negeri Islam Timur Tengah (dunia Arab), yang notabennya
sebagai pusat-pusat zaman Jahiliyah, agama Kristen dan Yahudi yang
sampai saat ini masih memiliki kelompok-kelompok minoritas.
Posisi intelektual menurut Buya dalam kaitan-nya dengan
gagasan besarnya tentang Pancasila yang mungkin dapat diangkat
menjadi prinsip/pegangan/proposisi dasar bersama bagi Indonesia,
dulu, sekarang, dan di masa depan. Dengan Pancasila yang
dipahami dan dilaksanakan secara jujur dan bertanggungjawab,
semua kecenderungan politik identitas negatif-destruktif yang dapat
meruntuhkan bangunan bangsa dan negara ini, pasti dapat dicegah. 120
Pluralisme etnis, bahasa lokal, agama, dan latar belakang
sejarah, kita jadikan sebagai mozaik kultural yang sangat kaya, demi
terciptanya sebuah taman sari Indonesia, yang memberi keamanan dan
kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini.
119 Ahmad Syafii Maarif, 2012, politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme
Kita, (Jakarta: Democracy Project) h. 43
120 Ibid, h. 9
90
Apalagi dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan
yang terluas, dengan lebih dari 17 ribu pulau mengelilinginya diisi
dengan segala etnisitas, sub-kultural, dan ratusan bahasa lokal.
Dari sisi keberagaman itulah, budaya (pluralisme) Indonesia dapat
bertahan dalam tempo lama, maka ini merupakan mukjizat sejarah
terbesar bagi Buya yang bernilai sangat tinggi. Modal dasar untuk
pengawalan keutuhan bangsa itulah yang sudah dimiliki bangsa ini
berupa pergerakan Nasional, Sumpah Pemuda, Pancasila, dan adanya
tekat bulat untuk mempertahankan dan membela keutuhan bangsa
dan negara. Sekalipun sering digerogoti oleh kelakukan politisi atau
oknum tertentu dalam tiap periode sejarah Indonesia.
Namun saat ini yang menjadi isu utama dalam kaitannya
dengan masalah Indonesia beberapa tahun belakangan ini ialah
munculnya gerakan-gerakan radikal atau setengah radikal yang
secara massif semakin terbuka, melalui perkembangan zaman ini.
Sebagaimana partner mereka di bagian dunia lain, gerakan-gerakan
ini juga anti-demokrasi dan anti-pluralisme, dan sampai batas-batas
yang jauh juga anti-nasionalisme.
Kelompok-kelompok radikal ini, dengan kemungkinan
perbedaan dan bahkan konflik di antara berbagai faksi di kalangan
mereka terdapat enam ciri yang menonjol: “Pemahaman dan
penafsiran yang literal; keras dan menyulitkan; sombong terhadap
pendapat mereka, tidak menerima perbedaan pendapat, mengkafirkan
orang yang berbeda pendapat dengan mereka, dan tidak peduli
terhadap fitnah. Inilah yang harus dipahami oleh kaum intelektual
dalam rangka merawat keberagaman bangsa.” Karena sejatinya,
menerima kemajemukan berarti menerima adannya perbedaan.
Menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan, tetapi justru
mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang tidak sama. Menerima
kemajemukan bukanlah berarti bahwa membuat “penggabungan”,
dimana kekhasan masing-masing terlebur atau hilang.
Kemajemukan juga bukan berarti “tercampur baur” dalam
satu “adonan”. Justru di dalam pluralisme atau kemajemukan,
kekhasan yang membedakan hal (agama) yang satu dengan yang
lain tetap ada dan tetap dipertahankan. Jadi pluralisme berbeda
91
dengan sinkritisme (penggabungan) dan asimilasi atau akulturasi
(penyingkiran).121
Namun, yang perlu dipahami adalah, pluralisme tidak sematamata menunjuk pada kenyataan adanya kemajemukan semata,
tetapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan
tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari seseorang di tempat manapun. Akan tetapi
dengan melihat pengertian ini, orang tersebut baru dapat dikatakan
menyandang sifat “pluralis” apabila dapat berinteraksi secara
positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata
lain, dengan pluralisme tiap pemeluk agama, suku, maupun ras,
menurut Buya, tidak hanya dituntut untuk mengakui keberadaan
hak agama komunitas lain, tetapi ikut terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan
dalam kebhinekaan. Inilah cara solutif untuk menangkal upaya
preventif dari ujaran kebencian di Indonesia. Pahami dan toleransi
segala peristiwa secara utuh tanpa merasa paling benar.
Dengan gagasan dan idenya yang sejuk, Buya mengajak
generasi saat ini untuk menciptakan atmosfer positif di dunia digital.
Kecerdasan digital harus dimiliki setiap orang dengan meningkatkan
literasi digital berbasis pluralisme. Melalui pendekatan plural atau
kewargaan, berfokus pada upaya mempersiapkan individu yang
melek informasi dan warga yang bertanggungjawab melalu studi
hak, kebebasan dan tanggungjawab. Perhatian pendekatan pluralisme
terkait pesan kebencian meliputi pengetahuan dan keterampilan
untuk mengidentifikasi pesan kebencian, sehingga memungkinkan
individu untuk menangkal pesan kebencian.
Salah satu tantangannya adalah menyiapkan pengetahuan
dan keterampilan teknologi, bahwa setiap warga mungkin perlu
menetralkan kebencian yang disebarkan melalu berita media online
atau media sosial. Literasi media dalam pendidikan pluralisme
harus mampu melahirkan kemampuan literasi yang ditandai dengan
121 A. Shobiri Muslim, “Pluralisme Agama Dalam Perspektif negara dan
Islam”, (Jakarta: Madania, 1998), 4.
92
daya kritis dalam menerima dan memaknai pesan, kemampuan
untuk mencari dan memverifikasi pesan (saring sebelum sharing),
kemampuan untuk menganalisis pesan dalam sebuah diskursus,
memahami logika penciptaan realitas oleh media, dan kemampuan
untuk mengkontruksikan pesan positif dan mendistribusikannya
kepada pihak lain.122
Penutup
Perkembangan era digital pada saat ini menggiring konsekuensi
perubahan pola komunikasi dari konvensional menuju digital, dengan
berbagai kanal media sosial kekinian. Pola-pola komunikasi linier
mulai digantikan dengan pola-pola komunikasi simetris, real time
melintas batas ruang dan waktu, dengan mengedepankan kecepatan.
Masifnya penggunaan internet membawa konsekuensi
pergeseran karakter khalayak yang tidak lagi obyek pasif (audiens),
namun dapat berperan menjadi produsen informasi (prosumer).
Bahkan lebih jauh lagi, masyarakat dapat berperan memproduksi
berita, untuk membentuk opini publik ujaran kebencian via platform
media sosial dan derasnya arus informasi, seperti sekarang ini,
membawa virus post-trust yang cenderung membuat masyarakat
tidak mencari kebenaran dari suatu informasi melainkan mencari
sesuatu pembenaran sesuai perasaannya, bukan logikanya. Bahkan
mendegradasi fakta dan data informasi yang obyektif. Secara
sederhana, antar manusia dapat diartikan, bahwa masyarakat lebih
mencari pembenaran kelompoknya daripada kebenaran. Hal itu
memungkinkan sekali dalam produksi ujaran kebencian terhadap
sesama.
Fenomena semacam ini, apabila tidak diantisipasi dengan
mitigasi yang terencana dan terukur, juga akan berpotensi
mempertajam polarisasi di masyarakat, ditandai dengan semakin
122 Vibriza Juliaswara, Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di media sosial, Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol 4, No 2, Agustus 2017
93
viralnya pemberitaan yang tendensius mengusung sentimen
agama, ras dan kelompok kepentingan yang dapat memecah belah
keberagaman NKRI.
Buya Ahmad Syafii Maarif dalam kaitannya dengan
gagasan besarnya tentang Pancasila yang mungkin dapat diangkat
menjadi prinsip/pegangan/proposisi dasar bersama bagi Indonesia,
dulu, sekarang, dan di masa depan. Pancasila yang dipahami
dan dilaksanakan secara jujur dan bertanggungjawab, semua
kecenderungan politik identitas negatif-destruktif yang dapat
meruntuhkan bangunan bangsa dan negara ini pasti dapat dicegah.
Idenya dan gagasan Buya yang sejuk mengajak generasi saat ini
untuk menciptakan atmosfer positif di dunia digital. Kecerdasan
digital harus dimiliki setiap orang dengan meningkatkan literasi
digital berbasis pluralisme. Melalui pendekatan plural atau
kewargaan, berfokus pada upaya mempersiapkan individu yang
melek informasi dan warga yang bertanggungjawab melalu studi
hak, kebebasan dan tanggungjawab. Perhatian pendekatan pluralisme
terkait pesan kebencian meliputi pengetahuan dan keterampilan
untuk mengidentifikasi pesan kebencian, sehingga memungkinkan
individu untuk menangkal pesan kebencian.
94
Daftar Pustaka
Buku
Ahnaf, M. Iqbal, & Suhadi; Isu-Isu Kunci Ujaran (Hate Soeech):
Implikasinya Terhadap Gerakan Sosial Membangun
Toleransi, Jurnal Multikultural dan Multireligus Vol 13
Juliaswara, Vibriza, Mengembangkan Model Literasi Media yang
Berkebhinekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu
(Hoax) di media sosial, Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol 4, No
2, Agustus 2017
Maarif, Ahmad Syafii, 2012, politik Identitas dan Masa Depan
Pluralisme Kita, (Jakarta: Democracy Project) h. 43
Muslim, A. Shobiri , Pluralisme Agama Dalam Perspektif
negara dan Islam, (Jakarta: Madania, 1998
SKH Suara Pembaruan, SE Penanganan Ujaran Kebencian Jaga
Pluralitas, Rabu 4 November 2015
Tirto, Makian Banci Bahar Smith dan Betapa Maskulinnya politik
Indonesia, “https://tirto.id/makian-banci-bahar-smith-danbetapa-maskulinnya-politik-indonesia-daDb
Media Masa/online
Antara News Literasi Anti-Hoax - Mengingatkan Kembali
Bahaya “Post Truth” pada https://www.antaranews.com/
berita/716876/literasi-anti-hoax-mengingatkan-kembalibahaya-antar manusia
Banapon, M. Faizan, Antar manusia dan Fenomena media sosial,
https://www.qureta.com/post/antar manusia-dan-fenomenamedia-sosial
Detik News, Habib Bahar Smith Kesandung Ceramah ‘Jokowi
Banci’ dalam https://news.detik.com/berita/4323911/habib-
95
bahar-bin-smith-kesandung-ceramah-jokowi-banci
Detik News, Polisi Tangkap Pelaku Ujaran Kebencian Jokowi dan
Buya Syafii, lihat https://news.detik.com/berita/3868732/
polisi-tangkap-pelaku-ujaran-kebencian-ke-jokowi-danBuya-Syafii, diakses pada 1 Oktober 16:13 WIB
Eddy Cahyono, “media sosial, Post Truth dan Literasi Digital”
dalam http://ksp.go.id/media-sosial-antar manusia-danliterasi-digital/index.html 22 Oktober 2018
Tifa Foundation, Menangkal Ujaran Kebencian, https://www.
tifafoundation.org/menangkal-ujaran-kebencian/, diakses
pada 1 Oktober 16:13 WIB
96
POLITIK PASCA-KEBENARAN SEBAGAI
SIMBOL DISIMULASIAN NEGARA(WAN) ISLAM:
MENYELAMI PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF
Jalaluddin B.
Pendahuluan
Kebenaran dan politik di era reformasi saat ini bagaikan suatu
barang langka dan mahal, mengingat semakin rendahnya integritas
pada hampir seluruh plolitikus bangsa ini. Hal ini membawa kembali
ingatan saya, mengenai pengertian politik dari salah seorang
mahasiswaku, yang mengatakan, bahwa politik adalah ‘kebohongan’.
Menariknya, jawaban yang Ia berikan diambil dari masyarakat yang
ada di lingkungannya. Ia kemudian melanjutkan, bahwa untuk
menjadi seorang politik, maka kita harus pandai berbohong. Faktanya,
Ia menemukan hampir seluruh politikus, ketika sudah terpilih, lupa
pada janji kampanyenya (bohong). Dari sini saya dapat menarik
sedikit kesimpulan bahwa kebohongan politik sudah melekat pada
para politikus bahkan telah menjadi habit kultural, dan bagi sebagian
kelompok masyarakat kita, politik telah mengalami degradasi nilai
yang dapat dimaknai sebagai perilaku immoral atau tuna martabat.
Hal ini sepertinya bukan mereka dapatkan di bangku sekolah atau
kuliah karena rasanya sulit menemukan definisi semacam ini di sana,
tetapi ini adalah bentuk ekspresi spontanitas dan korespondesif yang
selama ini mereka temui. Dengan kata lain, hal ini dapat dijelaskan
sebagai bentuk kejengkelan publik terhadap para ‘pengkhianat’
amanah politik, yang bangga dengan simbol kehormatan mereka
sehingga kejengkelan itu melahirkan diksi ‘bohong’ dari publik.
97
Hal senada yang disampaikan oleh David Roberts yang
menyebut perilaku di atas adalah ‘politik pasca-kebenaran’ atau
politik kebohongan. Ahmad Syafii Maarif dalam pandangannya
bahkan menyebut tindakan ini sebagai hal yang bukan lagi menjadi
rahasia umum di dunia politik, bahwa kebanyakan politisi itu gemar
menjual dusta untuk meraih tujuan-tujuan jangka pendek, demi
kekuasaan dan kepuasaan sesaat di dunia. Jelas hal ini menjadi
pukulan telak bagi para politikus yang sudah seharusnya diubah
oleh mereka. Lebih lanjut, menurut Buya Maarif, sapaan akrabnya,
persoalan politik dusta atau bohong ini semakin meradang ketika
sebagian besar politikus menggunakan agama sebagai perisai mereka
untuk menguatkan legitimasi kebenarannya, demi memuluskan
kepentingan partikularnya. Sungguh apa yang dipikirkan oleh Ahmad
Syafii Maarif ini adalah sebuah warning atau lampu kuning bagi kita,
bahwa praktik politik pasca-kebenaran yang memanipulasi agama di
dalamnya benar adanya sehingga masyarakat harus lebih berhati-hati
lagi di dalam menerima pesan politik yang ada.
Sesungguhnya Buya Maarif tidak mempersoalkan bilamana
agama digandengkan dengan politik karena dalam sejarahnya,
politik tidak dapat dipisahkan dengan agama. Hal yang membuatnya
gelisah adalah ketika banyak para politikus tidak tahu diri, ingin
mempermainkan agama untuk kepentingan diri atau kelompoknya,
seperti menjual ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk membela seorang
tokoh tertentu. Era reformasi kodratinya menjadikan bentuk
komunikasi politik lebih transparan, dan mengedepankan kebenaran
sebagai nilai fundamental dalam (ber)komunikasi politik. Dengan
kata lain, kebenaran dalam politik menjadi unsur yang tidak dapat
dielakkan terutama dalam proses demokrasi yang lebih baik.
Perlunya transparansi dan kebenaran dalam berpolitik, tidak hanya
sekedar ingin menunjukkan sisi moralitas dari berpolitik itu, tetapi
juga yang paling utama adalah bagaimana praktik transparansi dan
kebenaran ini mampu membentuk dan mendorong masyarakat
ke arah era politik yang lebih beradab dan berbudaya. Sehingga
mampu menciptakan masyarakat yang otonom yaitu masyarakat
yang mampu menentukan arah pilihan hidupnya, dan senantiasa
mengikutkan dignitas (martabat) dalam pilihan tersebut.
98
Kecemasan muncul, ketika banyak politikus hanya
memanfaatkan sistem demokrasi ini untuk jualan komunikasi politik
mereka. Akibatnya adalah komunikasi politik sensasional banyak
dipertontonkan yang justru menafikkan esensi dari praktik politik
tersebut. Hal ini dikarenakan politik di era modern saat ini hanyalah
berorientasi pada pandangan pragmatis belaka. Pada gilirannya,
praktik ini hanya menempatkan masyarakat sebagai obyek dari
praktik politik tersebut yang sebenarnya menjadi subyek dari politik
ini. Terlebih dengan adanya sistem demokrasi yang banyak memberi
ruang komunikasi kepada masyarakat. Pada tahun politik ini, tontonan
politik banyak menghiasi layar televisi kita yang menjual berbagai
macam produk dan agenda politik mereka layaknya seorang salest
atau marketer yang tubuh dan bahasa lisannya begitu mempesona
merayu para pembelinya.
Urgensitas dari realitas ini semakin runcing mengingat
demokrasi dan politik yang secara tidak langsung bersama-sama
membicarakan kekuasaan di dalamnya. Terkooptasi dengan partai
politik yang cenderung hanya mengejar kekuasaan dan kepuasan
duniawi yang oleh Ahmad Syafii Maarif, disebut sebagai ‘politik cari
makan’.123 Politik cari makan secara tidak langsung dapat diartikan
sebagai bentuk dorongan libido atau motivated consciousness untuk
memenuhi kebutuhan primer. Karena bila tidak, perasaan lapar dan
mungkin juga miskin, akan datang menghampiri sebagai hal yang
secara sosial dinilai buruk, dan karenanya segala macam upaya dan
tawaran akan diambil untuk mengenyangkan libidonya tersebut.
Termasuk di dalamnya berbohong, berdusta, atau bahkan menjadi
penjilat politik, dimana kepribadian id-nya menunjukkan kehasratan
besar, sehingga menjadikan politik itu semakin primitif, immoral, dan
impulsive. Hal ini makin diperparah ketika mereka, para politikus,
menggunakan ayat-ayat suci untuk menghidupi hasrat kekuasaan
dan kepuasaan mereka, tanpa mempertimbangkan implikasi dari
perilaku mereka. Hal ini nyata, bagaimana agama, yang oleh
Rasulullah s.a.w, dijadikan salah satu bangunan dasar gagasan
123 Baca Ahmad Syafii Ma’arif, “Politik PASCAKEBENARAN”, (2018). Diunduh 28 Agustus 2018.
99
dari perjanjian Madinah atau masyarakat sipil, di era modern ini
tergerus dan bahkan bergeser menjadi alat kepentingan politik
pragmatis. Akibatnya masyarakat hidup dalam dua persimpangan
atau pilihan, sekalipun memiliki satu keyakinan yang pada
gilirannya menjadi embrio munculnya konflik, baik internal agama
maupun antaragama.
Disimulasi Komunikasi Politik Negara(wan) Islam
Dunia politik di era reformasi ini merupakan sebuah dunia
yang penuh dengan polesan citra dan kepentingan pragmatis yang
dengan kedua hal tersebut politik menjadi semacam panggung
teatrikal atau entertainment, yang menuntut mereka harus
mampu memainkan peran mereka, sebagaimana yang diinginkan
oleh pemilik partai, demi memuaskan dan menyenangkan para
pendukung atau audiens mereka (konstituen), sekalipun apa yang
mereka lakukan dan sampaikan berseberangan dengan realitas
yang ada. Bahaya laten dari panggung politik semacam ini, adalah
bentuk komunikasi yang mereka sampaikan tidak lagi sebuah
komunikasi yang menekankan pada otentitas dan humanitas dalam
penyampaiannya, tapi sebuah pesan yang hanya ingin membuat
publik menjadi bahagia di setiap akhir dari sebuah cerita. Padahal,
sebuah cerita tidak bisa dilepaskan dari proses panjang para
tokoh pemain, baik pemain utama maupun pembantu, yang di
dalamnya menampilkan berbagai macam adegan hingga berakhir
pada satu adegan yakni, kalah atau menang, sedih atau bahagia.
Artinya para politikus saat ini cenderung berusaha menunjukkan
adegan politik mereka melampaui citra dari politik itu sendiri
sehingga menutupi keberadaan yang sebenarnya. Akibatnya adalah
banyak para politikus bertindak ‘lebay’ dalam menyampaikan
pesan politik mereka diantaranya: ♯2019gantiPresiden atau
yang paling mempesona adanya gerakan makar di balik gerakan
♯2019gantiPresiden tersebut. Baik mereka yang berada pada
kubu pendukung pemerintah maupun oposisi sesungguhnya telah
bermain dan terperangkap dengan sendirinya dalam permainan
teks dan citra tersebut. Tidak ada yang otentik diantara kedua kubu
100
tersebut, karena mereka memainkan teks dan citra mereka masingmasing untuk menghadirkan dan menguatkan posisi mereka di
tengah-tengah masyarakat, demi meraih rasa simpati dan tepuk
tangan meriah dari publik, sebagaimana layaknya panggung
teatrikal.
Inilah dinamika panggung politik reformasi saat ini, sebuah
panggung politik yang pada titik terendah hanya menciptakan karyakarya imajinatif, yakni adegan-adegan manipulasi penuh kepalsuan
untuk menutupi keberadaan sesungguhnya dari praktik politik saat
ini. Konfigurasi dari adegan-adegan tersebut mendorong sebuah
praktik transaksi begundal dari peran yang dimainkan masingmasing secara rapih dan teratur untuk menghindari kebocoran dari
adegan manipulasi tersebut. Adalah benar bahwa setiap manusia
akan selalu berusaha menampilkan dirinya secara baik atau impresif
di hadapan manusia lainnya sebagaimana yang dimaknai oleh
Erving Goffman sebagai self-impression management.124 Manusia
ini memilih setiap karakter yang dimainkan, berdasarkan situasi
yang dihadapinya pada saat itu. Karena itu, agar manusia terhindar
dari kesalahan impresi, maka Ia perlu mempelajari terlebih dahulu
situasi yang dihadapinya. Sekali situasi itu dapat ditaklukkan dan
dikendalikan, maka hal ini akan memunculkan suatu definisi umum
yang diterima oleh semua pihak dan definisi ini dikuatkan dengan
tekanan moral yang ada di sekelilingnya. Sehingga bagi mereka
yang mencoba menolak dan meragukan hal ini akan dianggap
sebagai pengacau, penghalang, atau bahkan pemberontak. Dengan
kata lain, setiap tindakan yang dimaksudkan untuk memperkaya
terlebih merubah definisi ini, akan ditentang atau digugat.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa setiap manusia
tidak terkecuali politikus selalu dihadapkan pada persoalan impresi
atau like or dislike, dalam pergaulan sosialnya, baik itu formal
maupun non-formal. Pentingnya impresi ini berkenaan langsung
pada tingkat kepercayaan publik, bahkan berujung pada prestasi
124 Baca Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa, (2013), h. 124.
Teoi
101
yang melekat pada setiap diri manusia, yang mampu menjaga
dan mengembangkan impresinya di hadapan manusia lainnya
(konstituen). Sebagaimana disebutkan oleh Dowling bahwa reputasi
adalah seperangkat citra atau impresi yang relatif konsisten dalam
pelaksanaannya dari waktu ke waktu yang didasarkan pada pola,
kinerja, dan program (bila perusahaan/instansi) yang diberikan
langsung oleh konstituennya.125 Artinya, untuk membangun dan
menjaga reputasi bukanlah hal yang sederhana, melainkan suatu
pekerjaan menyeluruh dan melibatkan seluruh komponen yang
ada di dalamnya, untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hal
ini tegas disampaikan oleh L’Etang, bahwa kemunculan reputasi
menandakan adanya struktur-struktur kompleks, komunikasi
instan, dan permainan canggih simbol-simbol teks dan citra,
sehingga memudahkan pencapaian reputasi tersebut.126 Apa yang
disampaikan oleh L’Etang nyata mengindikasikan adanya semacam
sistem, yang dalam hal ini adalah sistem sosial-politik yang sengaja
dibentuk secara berkelompok dan massif melalui praktik-praktik
komunikasi pada tingkat elit hingga tingkat akar rumput.
Praktik-praktik pragmatis semacam ini memang bersandar
sepenuhnya pada teks-teks dan citra/impresi yang hanya menekankan
pada simbol-simbol disimulatif, yakni simbol-simbol yang sengaja
dihadirkan untuk mengaburkan atau menutupi keadaan sebenarnya,
dengan maksud menjaga dan mempertahankan hubungan dominasi
yang ada.127 Salah satu yang dimaksud adalah membangun model
komunikasi antar manusiapolitics (Politik Pasca-kebenaran).
Politik pasca-kebanaran dijelaskan oleh David Roberts sebagai
budaya politik dimana opini publik dan narasi-narasi media
lepas dari substansi kebijakan politik legislatif sesungguhnya.
Betapapun hal ini dapat dinilai sebagai bentuk ekspresi kebebasan,
tetapi sayangnya hal ini jauh dari substansi kebijakan legislatif,
125 Baca Keith Butterick, Pengantar Public Relations TEORI dan Praktik,
(2013), h. 58.
126 Ibid, h. 58.
127 Baca Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi “Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu, (2003), h. 131.
102
yang seharusnya mampu mewujudkan kebaikan bersama. Dalam
jagat simbol disimulatif, bentuk substansi dari komunikasi
politik dipindahkan dan dihaluskan agar terkesan menimbulkan
dampak positif dan baik. Hadirnya narasi-narasi media yang ikut
mendukung hal tersebut memperparah komunikasi politik ini
hingga mengakibatkan thick effect, dalam arti efek besar atau kuat.
Media yang seharusnya menjadi alat kontrol sosial, ikut mengotori
demokrasi ini dengan menjadi media partisipan atau media parsial,
yang tidak melihat utuh permasalahan dan kepentingan masyarakat
secara lebih luas. Lebih berbahaya lagi adalah ‘politik pascakebenaran’ yang dikemas dalam bungkusan teologis.
Di titik inilah, tak aneh jika kemudian elit politik banyak
mempertontonkan logika-logika pragmatis mereka yang terkesan
ingin membela dan mensejahterakan masyarakatnya, tetapi nyatanya
tidak. Mereka senantiasa mengambil manfaat dari momentum yang
telah ada, tanpa berpikir panjang. Karena hanya didorong oleh
orientasi kekuasaan dan kepuasan politik belaka (lihat kasus Ahok
dalam kasus ‘212’). Mereka saat ini boleh jadi berpikir, bahwa hanya
dengan transpolitika (Politik dan agama) demokrasi Pancasila dapat
direpresentasikan secara nyata, dan melaluinya patriotisme dan (ke)
negara (wanan) terukir dengan jelas dan baik. Dalam konteks ini
kemudian siapa yang disebut oposisi, penentang, atau pengkhianat
atau pahlawan dapat ditarik secara jelas batasannya. Sementara itu,
rangkaian adegan, baik itu dalam televisi, seminar, diskusi, maupun
acara talkshow lainnya, tidak hanya sekedar ditendensikan untuk
membangun citra/impresi dalam konteks politik ini, tapi juga paling
utama adalah membangun subyek yang paling demokratis dan
konstituen.
Dalam kacamata Ahmad Syafii Maarif, kekuasaan dan kepuasan
adalah dua hal yang wajib bagi penyelenggara pemerintah untuk
dipunyai, karena keduanya sudah tentu memberi ruang lebih bagi
mereka untuk mengakses segala macam kepentingan dan kebutuhan
yang mereka inginkan. Karena itu, tidak heran kemudian, menurut
Buya Maarif, banyak ditemukan para politikus menghalalkan segala
cara untuk memperoleh semua itu, tidak peduli jika nantinya akan
dipermalukan secara hukum dan sosial. Seperti pepatah Minang,
103
kata Buya Maarif “Telunjuk lurus, kelingking berkait”, yang artinya
para perakus politik mukanya tebal, tidak punya malu, karena hati
nurani mereka telah ditutupi oleh tebalnya daki hedonisme duniawi
yang dilakukannya berulang-ulang. Maka tak heran, banyak diantara
mereka yang dengan santai mengumbar senyum dan tawa di depan
televisi, seakan apa yang mereka perbuat adalah hal lucu dan biasa
tapi semoga tidak ada pikiran sedikit pun dari mereka, bahwa ini
adalah praktik (ke) budaya (an) atau kesatria karena pada hakekatnya
budaya adalah suatu hal yang memiliki nilai luhur dan kebijaksanaan
bagi seluruh pendukung kedua hal itu. Artinya jika betul berdusta
dilihat sebagai sebuah tindakan kebudayaan atau perilaku kesatria,
maka kita ini adalah masyarakat yang tergolong tuna moralitas dan
tuna akal pikiran.
Islam sendiri menyebut berdusta adalah sebuah perbuatan
munafik dan disamakan dengan golongan Jin. Sebagaimana Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan, bahwa perbuatan dusta akan
mengikis keimanan (ب َذكْل ُبِن َاجُي َن َا ْميِإل
ِ )ُ maka tak heran banyak para
politikus yang identik dengan perkataan dusta ini banyak melakukan
tindakan-tindakan tercela, seperti korupsi, karena keimanan mereka
yang telah tiada. Perbuatan dusta ini semakin menahun, ketika para
politikus membungkusnya dengan ayat-ayat kitab suci, sehingga
mereka yang berpikiran pinggiran akan mudah termanipulasi oleh
kebohongan ini. Hal ini tentu saja tidak bisa dianggap sederhana
seperti yang dipikirkan oleh Syafii Maarif, bahwa bila ini terus
berlanjut maka kiranya hal ini akan merusak kerukunan tidak saja
sesama agama tapi juga dengan agama lainnya yang pada akhirnya
akan menjatuhkan nilai (ke) Tuhan (an) itu pada level yang paling
rendah, yaitu level di mana ‘Tuhan’ tidak lagi dipandang sebagai
episentrum dari dunia dan alam semesta ini. Inilah kerisauan yang
dirasakan oleh Syafii Maarif dari praktik kebohongan politik yang
dibungkus agama oleh mereka yang tidak bertanggungjawab. Dalam
bahasa berbeda, Syafii Maarif menyinggung hal ini sebagai cacat
kualitas dalam beragama, dimana jika hal ini tidak diberhentikan
dengan pemahaman to be religion, not to have religion, maka ke
depan hal ini akan menjadi beban sejarah bagi generasi selanjutnya.
Sekiranya agama masih diperlukan untuk mengatur keberadaan
104
dan hubungan manusia dengan manusia lainnya, serta alam dan
lingkungan sekitarnya sama halnya dari arti agama itu sendiri dalam
bahasa Arab, yakni a’din yang dapat diartikan sebagai tatanan atau
hukum.128
Di sini, perhatian kita sekali lagi tertuju pada gagasan Syafii
Maarif bahwa betapapun komunikasi politik harus dijalankan sesuai
dengan Nilai-nilai moral dan dikokohkan dengan Nilai-nilai teologis,
untuk menjadikan, baik komunikator dan komunikannya bersamasama menjadi makhluk yang berintegritas. Praktik politik kebohongan
terutama yang dibungkus dengan saduran teologis seharusnya dapat
dihindari jika para pelakunya mendapati bahwa sejatinya praktik ini
tidak menjadi satu-satunya tujuan utama dalam berpolitik. Jiwa dalam
politik selalu terdorong untuk memenuhi kemerdekaan politiknya
yang bermanifestasi dalam bentuk kekuasaan dan kesejahteraan.
Namun sayangnya hal ini diubah menjadi obyek infinite (tak terbatas)
sehingga tujuan berpolitik tidak lagi melihat substansi dekaden dari
politik itu, yaitu untuk mensejahterakan masyarakat, tapi berpenetrasi
menjadi suatu kebutuhan pribadi atau golongan. Dengan logika
sederhananya bahwa politik sudah menjadi tempat untuk mencari
makan, tapi bukan untuk mewujudkan kebaikan bersama dengan
kekuasaan yang dipunyai.
Kita dapat memaklumi kenapa fenomena seperti itu dapat
muncul sekalipun membungkus diskursus politik dengan agama,
jelas merupakan suatu kesia-siaan apalagi diskursus agama dipakai
untuk selalu membenarkan praktik Politiknya.129 Syafii Maarif dalam
128 Ide-ide tentang metafisik dalam kenyataannya diperlukan sebagai ide regulatif, penjaga keberlangsungan hidup manusia. Tanpa ide-ide tersebut,
kehidupan manusia akan kacau dan tidak berketentuan. Untuk mencegah
kekacauan dan menjaga keberlangsungan hidup manusia, hal-hal metafisik
(agama) tentu harus diandaikan sebagai ide-ide yang menjaga keteraturan
hidup manusia secara imperatif, yaitu kewajiban dan keharusan manusia
dalam menjalankan hidupnya dikaitkan dengan ide-ide metafisik tersebut
hingga menjadi teratur. Lihat Ibid, hal: 48-49.
129 Berger menyebutkan bahwa agama adalah alat legitimasi yang paling efektif
sehingga sering dipakai untuk memperjuangkan kepentingan tertentu, termasuk politik. (Lihat Abdul Rozak (2008: 20), “Komunikasi Lintas Agama:
105
tulisannya “Pascakebenaran” secara tersirat ingin menyampaikan
bahwa politik dusta/bohong adalah suatu praktik politik yang sangat
buruk karena bertentangan dengan Nilai-nilai moralitas yang ada
termasuk di dalamnya Nilai-nilai suci keagamaan. Pada posisi ini
Ahmad Syafii Maarif dengan tegas menjelaskan bahwa politik dan
agama adalah dua hal yang sakral dimana kehadirannya tidak bisa
dicampuradukkan demi kepentingan sesaat. Berpolitiklah dengan
membawa martabat politik itu dan juga beragamalah dengan membawa
martabat agama tersebut. Jadikan agama sebagai pondasi atau
rujukan dalam berpolitik bukan dibalik dengan agama hanya sebagai
bungkusan yang dalam praktiknya tentu bersifat parsial dan hanya
menguntungkan golongan tertentu. Dengan kata lain, Syafii Maarif
ingin berkata bahwa, bagaimana negara ini mampu menciptakan
antara ‘dzikir’ dan ‘pikir’ sebagai hal yang tidak asing satu sama lain
dan mampu menciptakan peradaban yang mencerminkan kedua hal
tersebut, yaitu Islam dan kebinekaan (Pluralisme).
Bahaya kebohongan juga pernah disinggung oleh aktor
Hollywood, Leonardo DiCaprio yang menyebutkan bahwa, “Be
very careful of people whose words don’t match with their action”
(Berhati-hatilah dengan orang-orang yang perkataannya tidak sesuai
dengan perilakunya). Sebagai warga negara yang akan memilih
calon Presiden pada tahun 2019 dituntut untuk lebih cermat dan
kritik terhadap mereka. Sikap cermat dan kritik dalam pandangan
Islam terhadap informasi yang diterima, disebutkan pula dalam Surat
Al-Hujurat ayat 6 yang menjelaskan kepada kita agar lebih teliti
dalam menyimpulkan suatu berita. Karena bila tidak, hal ini akan
menimbulkan musibah yang paling dekat adalah konflik internal
agama Islam. Karena itu, sikap kritik perlu ditanamkan dimana
tidak dimaksudkan untuk mengganggu atau menggagalkan pesta
demokrasi atau sistem negara yang telah ada. Tetapi dengan sikap
kritik ini, masyarakat mampu membangun kesadaran mereka untuk
melihat suatu kebenaran politik, tanpa menghalangi kebenarankebenaran lainnya.
Modal Sosial Pembentukan Masyarakat Sipil”).
106
Kebenaran tidak pernah berdiri sendiri, dia selalu merindukan
obyek kebenaran lainnya untuk melepaskan kerinduannya sebagai
sebuah kebenaran. Sebuah kebenaran akan menjadi kebenaran
otentik apabila telah berhasil membuat satu dampak kebenaran, yang
di dalamnya mewakili seluruh subyek dari kebenaran tersebut. Oleh
karena itu, tidak benar atau bohong jika kemudian kebenaran itu hanya
mewakili ketunggalan (diri) tanpa menyertakan kebenaran-kebenaran
lainnya. Secara umum kebenaran berbicara tentang apa “yang
sesungguhnya terjadi” Arti dari “yang sesungguhnya terjadi” adalah
kebenaran itu tidak hanya bersumber pada satu dimensi kebenaran
tapi bersumber dari adanya hubungan dialektis antara kebenaran satu
dengan lainnya. Jika kebenaran yang bersifat satu dimensi ini terus
diberlakukan tanpa adanya keterbukaan dengan kebenaran lainnya,
maka yang terjadi adalah kebenaran yang bersifat absolut, dan pada
akhirnya akan menimbulkan rezim otoritarian, yaitu rezim yang
hanya memiliki satu pintu kebenaran yang dimaksud sebagai sebuah
negara.
Dalam pencarian ini, baik negara maupun masyarakatnya
haruslah terus-menerus membuka ruang dialog atau perbincangan
untuk menemukan klaim kebenaran yang saling bertautan antara
dimensi alamiah dan obyektif. Dengan demikian, negara tidak boleh
totaliter dalam menjalankan sistem kenegaraan ini dengan menjadi
aparat diktator yang melarang masyarakat menyampaikan aspirasinya,
tetapi menjadi negarawan yang menunjukkan kebijaksanaan dan
kewibawaannya dalam bernegara. Dalam bahasa Jurgen Habermas
menyebutnya sebaga komunikasi bebas penguasaan, yaitu tindakan
komunikasi untuk menempuh jalan konsensus sebagai unsur penting
dari demokrasi lewat perbincangan rasional yang menyulut lahirnya
gerakan emansipatoris, yakni sebuah gerakan membebaskan diri
dari belenggu-belenggu pengetahuan mapan yang manipulatif dan
kontemplatif diantaranya ‘politik pasca-kebenaran’ ini.130
130 Baca Franky Budi Hardiman, Kritik Ideologi Menyingkap Pertautan dan
Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, (2009), h. 91.
107
Eksistensialis: Menjadi Komunikator Politik Kompeten
Dalam pembicaraan-pembicaraan politik, aspek komunikator
tidak bisa diabaikan sebagai bagian penting berjalannya sistem politik
yang demokratis. Itu artinya sistem pemerintahan yang baik tidak
dapat dijauhkan dari kompetensi seorang komunikator politik yang
memadai, paling tidak dalam mode komunikasi lisan. Orang-orang
dengan kemampuan lisan dalam setingan politik biasanya mendapat
pujian dan penghormatan dari masyarakat. Hal ini terjadi bilamana
orang-orang yang dimaksud memiliki kompetensi sebagai seorang
komunikator yang ulung, handal, dan dapat dipercaya. Kompetensi
komunikator sendiri dapat dinilai dari tiga aspek, yakni kredibilitas,
atraksi, dan kekuasaan, atau oleh Aristoteles disebut sebagai karakter
Ethous131
Kredibilitas komunikator (politik) dapat diartikan sebagai
bentuk penilaian komunikate atau konstituen politiknya yang diukur
dari kemampuan atau keahlian dirinya di dalam menguasai persoalanpersoalan politik secara kompleks, dan apa yang disampaikannya dapat
kemudian dipercaya. Sementara atraksi dapat ditandai sebagai bentuk
daya tarik diri terhadap orang lain atau kesamaan yang ada dalam
diri penyampai pesan kepada pendengar atau publiknya sehingga hal
tersebut relatif memudahkan terjalinnya proses sosial-politik diantara
mereka. Terakhir adalah kekuasaan yang diorientasikan pada sumber
daya yang dimiliki oleh komunikator politik dalam menundukkan
konstituennya atau pemilihnya. Dapat dicatat di sini adalah
pentingnya kekuasaan bagi para pelaku politik, baik itu kekuasaan
koersif, keahlian, informasional, referensial, maupun legalitas, untuk
menjamin dan memberi kepercayaan kepada mereka guna memenuhi
ekspektasi dan pandangan politiknya apakah itu lewat internalisasi,
identifikasi, atau ketundukan.
Dalam khasanah komunikasi politik modern atau ‘milenial’
dewasa ini, para komunikator politik perlu melakukan suatu “reself-actualizing of politics” yang merupakan proses penyadaran diri
mengenai aktualisasi atau eksistensi berpolitik secara menyeluruh.
131 Baca Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (2011), h. 252-253.
108
Artinya, kesadaran berpolitik yang secara kompleksitas sanggup
untuk paling tidak menghadirkan dirinya di tengah-tengah masyarakat
sebagai seorang politikus yang mampu memainkan peran dan
fungsinya secara lebih etis. Dalam kalimat lain, perilaku etistik dari
mereka para politikus sudah sangat sulit untuk ditemukan dewasa ini
secara aposteriori. Akhirnya penampilan mereka di depan publik tidak
lagi otentik tapi penuh dengan polesan manipulatif untuk menyakinkan
para pemilihnya. Padahal menekankan dan mengedepankan
kepentingan publik adalah prioritas utama sebagai menjadi seorang
politikus sekalipun perkembangan atau tren media politik mengalami
perkembangan yang cukup drastis dan cenderung menggerakkan atau
memobilisasi cara pandang mereka. Sehingga publik tidak memiliki
semacam pilihan atau kebijakan politik tertentu akibat dari gangguan
informasi atau pengetahuan yang sengaja dibiarkan seperti itu
(manipulasi [disimulasian]).
Tiap kita, manusia politik (homo politicon), adalah manusia
yang sadar, bukan sekedar bagian dari kerumunan manusia politik
yang kuantitatis dan statis. “Selami kehidupan dan temukan jati
dirimu”. Demikian, dan pernyataan Soren Kierkegaard, seorang
pemikir Eksistensialis. Keyakinan yang tak jauh beda dikatakan
oleh Socrates ialah “gnothi seauton” (kenali dirimu). Kedua premis
ini mengindikasikan salah satu persoalan yang dulu dan bahkan
masa sekarang makin sentralis pembicaraan ini, yakni kebutuhan
menjadi obyektif dengan pengetahuan sistemik sebagai legitimasinya.
Pertanyaannya adalah benarkah yang obyektif itu adalah obyektif?
Secara harfiah ‘obyektif’adalah, sebuah pandangan yang sesungguhnya
tanpa dicampuri oleh pandangan atau pendapat pribadi.
Obyektivitas bisa saja dimaksudkan untuk mewakili suara massa/
mayoritas, tapi representasi tersebut tidak menutup bisa menegasikan
keberadaan suara-suara lainnya, sehingga obyektivitas dipandang
tidak merangkul dua kubu. Melalui obyektivitas, manusia dipaksa
untuk menjadi seragam dengan orang banyak tanpa mengindahkan
arti eksistensi diri atau menjadi subyektif. Manusia dilarang menjadi
subyektif atau aktualisasi terhadap dirinya sendiri, demikian pandangan
obyektif tersebut sehingga manusia pada gilirannya teraleniasi pada
dirinya sendiri.
109
Premis dasar dari pandangan obyektivitas adalah adanya
kecenderungan kekuasaan atau pengetahuan yang melekat pada diri
obyektif ini. Dengan bahasa lain, obyektif dikonstruksi pula secara
subyketif oleh mereka yang secara politis dan pengetahuan memiliki
legitimasi untuk mengadakan hal tersebut. Artinya terbuka ruang
konflik kepentingan dalam pandangan obyektif tersebut. Pada poin
ini, manusia perlu menjadi otonom bagi dirinya sendiri karena dengan
itu manusia bisa mengenali dan terutama menjadi pribadinya sendiri,
yakni kesanggupan manusia menyadari dirinya tentang hakekat
bermanusia dan menyatu dengan realitasnya yang saat ini sudah sulit
ditemukan, misal, sulit beragama karena itu sulit bermanusia karena
beragama bukan hanya sekedar ber-Tuhan, tapi juga bermanusia
dengan manusia lainnya.
Kesadaranlah yang merupakan aspek yang menyebabkan
keistimewaan manusia, yang tidak terdapat pada makhluk lain.
Manusia bukan saja ada, tetapi ia mengerti bahwa ia ada. Bila
manusia berbuat sesuatu, maka ia sendiri yang menjadi subyek yang
bergerak atau berbuat hal tersebut. Dia mengerti dan merasa akan
perbuatannya karena di dalamnya ia mengalami proses eksistensialis.
Manusia secara inheren adalah manusia baik, demikian yang
dikatakan oleh Filsuf Italia, Cicero. Manusia membekali dirinya tidak
hanya dengan pengetahuan, tapi juga spritualitas (pikir dan dzikir).
Karena itu, pandangan ini menyakini manusia bisa berbuat baik
atas kehendak dirinya sendiri tanpa keterlibatan orang lain. Hanya
manusia yang sanggup melakukan self-reflection untuk meninjau
jauh ke belakang tentang perbuatan yang telah dilakukannya untuk
kemudian mengevaluasi dan menyempurnakannya kembali.
Manusia selalu ingin menggapai pengakuan dan penerimaan
akan dirinya di tengah-tengah masyarakat, termasuk para politikus.
Dua hal tersebut, pengakuan dan penerimaan adalah capaian
utama dari mereka sehingga hal ini relatif memudahkan untuk
memenuhi motivasi berpolitiknya. Untuk itu semua, para politikus
ini perlu menjadi manusia berkompeten dalam berkomunikasi
melebihi superfisial dalam berkomunikasi. Apa itu komunikasi nonsuperfisial? Adalah komunikasi yang tidak hanya memerhatikan
capaian dan pengaruh dari pesan komunikasi tersebut, tetapi apa
110
yang dikomunikasikan itu sanggup membangun dan mengangkat
martabat (maintaining dignity) manusia lainnya. Hal ini ditegaskan
oleh Martin Buber bahwa komunikasi humanis adalah interaksi yang
memperlakukan manusia bukan pada ciri, atribut, atau tipefikasi
yang melekat pada dirinya semata, melainkan yang utama adalah
memaknai mereka sebagai manusia yang juga memiliki kebutuhan
yang sama dengan kita. Karena itu, diperlukan model komunikasi
reciprocity (timbal-balik) untuk mencapai komunikasi yang sehat
dalam arti tidak mengalienasi orang lain.
Pernyataan Martin Buber di atas dapat menjadi refleksi nyata
bagi para kumpulan politikus (DPR/Partai Politik) yang belakangan
ini kurang mendapat kepercayaan publik (51%) dikarenakan
perilaku politik mereka yang cenderung di luar dari ekspektasi para
konstituennya.132 Akibatnya publik terkesan tidak lagi atau bahkan
masa bodoh dengan para politikus yang sudah dianggap tidak mampu
mewakili suara rakyat (publicdistrust) sebagaimana hasil survey
tersebut.
Apa yang bisa kita pertimbangkan dari gagasan di atas adalah
pentingnya menjadi komunikator (politik) yang kompeten untuk
tidak hanya mendapatkan keinginan dalam berpolitik. Tapi lebih dari
itu, pesan politik ini. Kuasa memberikan pengakuan hak berpolitik.
Adalah, orang lain dalam arti hak-hak berpolitik dia diakui dan
difasilitasi oleh negara demi mewujudkan ekuilibrium politik yang
beradab dan bermartabat.
132 Lihat Denita Matondang, Survey Kepercayaan Publik: KPK-Presiden Tertinggi, DPR Terendah, 2017. (Diunduh hari Rabu, 2 Januari 2019)
111
Daftar Pustaka:
Butterick, Keith, 2013. Pengantar Public Relations Teori dan
Praktik. PT. Rajagrafindo Persada: Depok.
Hardiman, Franky Budiman, 2009. Kritik Ideologi Menyingkai
Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen
Habermas. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.
Morrisan, 2013. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa.
Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Rakhmat, Jalaluddin, 2011. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja
Rosdakarya: Bandung.
Takwin, Bagus, 2003. Akar-akar Ideologi “Pengantar Kajian
Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Jalasutra:
Yogyakarta.
Daftar Publikasi:
Rozak, Abdul, 2008. Komunikasi Lintas Agama: Modal Sosial
Pembentukan Masyarakat Sipil. Jurnal Dakwah: UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta.
Daftar Internet:
Maarif, Ahmad Syafii, 2018.Politik PASCAKEBENARAN. Jakarta.
http://maarifinstitute.org/Politik-pasca-kebenaran/
Matondang, Denita, 2017. Survey Kepercayaan Publik: KPKPresiden Tertinggi, DPR Terendah. Jakarta.
http://m.detik.com/news/berita/3567239/survey-kepercayaanpublik-kpk-Presiden-tertinggi-dpr-terendah
112
ISLAM DAN NEGOSIASI GENDER STUDI PEMIKIRAN
AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG HAK PEREMPUAN
Aminah
Pendahuluan
Berbicara mengenai kedudukan dan hak perempuan dalam
Islam, mengantarkan kita untuk terlebih dahulu melihat pandangan
Al-Qur’an tentang asal kejadian perempuan. Dalam hal ini, salah
satu ayat yang dapat diangkat adalah firman Allah, dalam Al-Hujurat
ayat 13
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah
menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan dan
kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu adalah yang paling bertakwa”.
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia dari seorang
laki-laki dan perempuan, sekaligus berbicara tentang kemuliaan
manusia baik laki-laki maupun perempuan yang dasar kemuliaannya
bukan dari keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan
kepada Allah SWT. Secara tegas dapat dikatakannya bahwa
perempuan dalam pandangan Al-Qur’an memiliki kedudukan
terhormat.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
113
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanitawanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”(An-Nisa
ayat 34)
Yang menjadi perdebatan hingga sekarang adalah Surat AnNisa ayat 34, kata qawwam menurut para ahli tafsir klasik dan
beberapa tafsir modern mengartikan kata ini sebagai : pemimpin,
penguasa, yang memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria
menjadi pengelola masalah-masalah perempuan. Tim Departemen
Agama dalam Al-Qur’an dan Terjemahanya pun mengartikannya
demikian. Dari sini kemudian muncul pandangan bahwa perempuan
tidak boleh menjadi pemimpin dan ditempatkan sebagai pengikut
saja.133Laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan
yang sama, dan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan
hanyalah dari segi biologisnya.134Gender sebenarnya adalah behavior
differences antara laki-laki dan perempuan yang socially differences
yakni perbedaan yang bukan kodrat atau ciptaan Tuhan melainkan
diciptakan oleh laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan
budaya yang panjang.135
Tidak semua ulama setuju dengan pandangan yang mewajibkan
laki-laki sebagai pemimpin, terlebih mengeneralisasinya menjadi
133 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, PT. Serambi
Ilmu Semesta, Jakarta, 2015, h 259-260
134 Nasaruddin Umar, Qur’an untuk Perempuan, Jaringan Islam Liberal (JIL)
dan Teater Utan Kayu Jakarta, 2002, h 27
135 Dzuhayatin,Siti Ruhaini, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan
Gender dalam Islam, Cet. I, Yogyakarta, PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2019,
h 18
114
pemimpin di berbagai sektor. Ada juga ulama yang membolehkan
kepemimpinan perempuan dengan tetap berpijak pada ayat Al-Qur’an
dan Hadis Nabi. Muhammad Sayid Thanthawi, Yusuf Qardhawi,
dan Ali Jumah Muhammad Abdul Wahab merupakan representasi
ulama yang membolehkan kepemimpinan perempuan. Menurut
Yusuf Qardhawi, perempuan boleh masuk ke ranah publik selama
perempuan itu tidak ber-khalwat, melaksanakan perannya sebagai
ibu bagi anak-anaknya dan berakhlak Islami.136Quraish Shihab
mengedepankan bahwa seorang wanita memiliki hak-hak tersendiri
yaitu antara lain: a) Hak di luar rumah b) Hak dan kewajiban belajar
c) Hak di bidang politik.137
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang penghapusan
diskriminasi terhadap perempuan adalah tentang kepemimpinan
perempuan, baik kepemimpinan dalam rumah tangga, kepemimpinan
sosial ekonomi dan kepemimpinan negara. Menurut sejumlah ahli
tafsir berperspektif feminis, menjadikan ayat diatas sebagai dasar
untuk melarang perempuan menjadi pemimpin tidaklah relevan.
1. Ayat ini turun dalam konteks hubungan suami istri, bukan
dalam konteks kepemimpinan.
2. Menghubungkan ayat ini untuk melarang perempuan menjadi
pemimpin adalah sebuah keangkuhan yang bertentangan
dengan konsep dasar Tuhan menciptakan manusia laki-laki
dan perempuan untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka
bumi dan mengelola bumi secara bertanggung jawab dengan
mempergunakan akal yang telah di anugerahkan Allah kepada
manusia laki-laki dan perempuan.
3. Konteks ayat ini turun berkaitan dengan kuatnya kecenderungan
kekerasan domestic dalam rumah tangga pada masyarakat di
Arab pra Islam.
136 Anton Jamal, dkk, Perempuan dan Hak Asasi Manusia, PUSHAM UMM,
Bandung, 2018, h 70
137 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , Cet.IV, Bandung, Mizan,1996, h 303
115
Oleh karena itu, makna yang cukup netral terhadap kata
ini adalah pencari nafkah, penopang ekonomi atau mereka yang
menyediakan sarana pendukung kehidupan. Musdah Mulia dalam
bukunya, menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender, menyatakan
bahwa Islam sangat tegas membawa prinsip kesetaraan manusia,
termasuk kesetaraan perempuan dan laki-laki. Karena itu, Islam
menolak semua bentuk ketimpangan dan ketidakadilan, terutama
terkait relasi gender. Islam juga menolak budaya patriarki, budaya
fedal dan semua sistem tiranik, despotic dan totaliter.138
Namun dalam hal ini pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
perjuangan kesetaraan dan keadilan gender membuka cakrawala
luas cara pandang masyarakat modern sekarang ini. Beliau
mencoba menghapus bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan
pembelaannya terhadap persoalan kemanusiaan universal.
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah, sepanjang
tidak melahirkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender (gender
inequality). Akan tetapi realitas historis memperlihatkan bahwa
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender,
terlebih lagi bagi perempuan.
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Perempuan
Ahmad Syafii Maarif banyak berkontribusi dalam dunia
pendidikan dan organisasi sosial. Cara pandang kesetaraan dan
keadilan manusia ini terus menerus di serukan oleh beliau yang
menjadi gagasan utamaya di tengah-tengah menguatnya arogansi
manusia berbasis pengakuan keunggulan gender, keunggulan ras,
keunggulan agama, keunggulan organisasi dan kelompok.
Perhatian Ahmad Syarii Maarif pada isu ketidakadilan gender,
terlihat sekali melalui pandangan-pandangannya dan ditunjukkan
pula dalam praktik kehidupannya. Ia meruntuhkan pemikiran
masyarakat tentang jenis pekerjaan antara kaum pria dan perempuan,
138 Musdah Mulia, Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender, cet. I, Nauvan Pustaka, Yogyakarta, 2014, h 55
116
beliau membuktikannya dalam kehidupan kesehariannya dengan
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak.
Ada hal menarik dari pernyataan beliau :
“Jika Istriku tidak ada di rumah, aku biasa berbelanja
dan memasak sendiri. Dalam budaya hidup mandiri ini,
aku termasuk yang beruntung karena merasa tidak ada
kecanggungan sama sekali. Untuk membuat menu sambal
yang agak lezat, aku sering minta di ajari istriku. Sekarang
jenis makanan rebus ikan, aku bisa bertanding dengan siapa
saja dari segi rasa, tanpa bumbu masak yang aneh-aneh,
tanpa merek Ajinomoto”.
Kesetaraam gender yang beliau implementasikan dalam
lingkungan kecil yakni keluarga sangat menghargai kedudukan
wanita.139. Ahmad Syafii Maarif memproklamirkan tentang
kesetaraan manusia atas dasar keragaman latar belakang, tak
terkecuali kesetaraan gender. Beliau berkata :
“Bagiku gelar-gelar sayid, syarifah, wali, habib dan 1.001
gelar lain, yang mengaku keturunan Nabi, atau keturunan
raja, hulubalang, atau keturunan bajak laut dan perompak
lanun yang kemudian ditakdirkan menjadi raja, sultan, amir,
dan dianggap keramat dan suci oleh sebagian orang, akan
runtuh berkeping-keping berhadapan dengan penegasan
ayat Al-Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 13 “Sesungguhnya
yang termulia di antara kamu di sisi Allah adalah kamu yang
paling takwa”. Untuk merebut posisi takwa, terbuka bagi
seluruh orang beriman, tanpa terkait dengan latar belakang
keturunan, kultur, sejarah, ekonomi, dan apa pun. Posisi
seseorang di dunia ini menurut yang kupahami ditentukan
oleh kualitas hidupnya, kualitas iman dan amalnya, tidak oleh
yang lain”.140
139 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa ……, h 257-258
140 Ibid, hlm, 251
117
Beliau juga berpendapat bahwa Islam tidak mengenal
perbedaan kepemimpnan berdasarkan gendernya, tetapi berdasarkan
ketakwaan yang merupakan prasyarat mendasar dari seorang
pemimpin. Sebagaimana yang ditulisnya :
“Kepemimpinan perempuan ini berangkat dari dictum AlQur’an tentang keterbukaanya pintu kemuliaan di sisi Allah
buat mereka yang paling takwa, laki-laki maupun perempuan.
Posisi pemimpin formal (laki-laki dan perempuan) akan
menjadi mulia di mata rakyat jika ia bertakwa dengan
menegakkan keadilan dan siap bekerja keras untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama tanpa
pilih kasih. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya
yang tepat. Sebaliknya zalim adalah meletakkan sesuatu pada
tempat yang salah. Pemimpin laki-laki atau perempuan yang
adil haruslah memenuhi kriteria yang elementer tetapi cukup
mendasar ini”.141
Beliau juga tegas dalam menolak poligami bahwa sistem
pernikahan yang benar menurut Al-Qur’an adalah monogami.
Poligami dibuka pada saat-saat yang sangat terpaksa dengan syaratsyarat yang berat. Menurutnya, perkawinan monogami adalah yang
sesungguhnya yang dikehendaki oleh ajaran Islam dengan berbasis
pada kesetiaan dan saling menyayangi antar pasangan.
Hak Perempuan dalam Kepemimpinan (Politik)
Saat ini sudah banyak perempuan yang bekerja di instansi
pemerintah, swasta, perusahaan, pertokoan dan sebagainya. Tidak
sedikit dari mereka menduduki posisi penting di tempat kerjanya,
bahkan menduduki posisi puncak seperti kepala perusahaan, Bupati,
Gubernur, Menteri sampai Presiden. Bagi seorang Muslimah
yang bekerja, terasa masih ada yang membelenggu mereka
karena anggapan adanya larangan Islam terhadap perempuan. Tak
141 Ibid, hlm, 261
118
dipungkiri, dalam kajian fikih Islam terdapat semacam larangan
bagi perempuan untuk menduduki posisi tertentu yang dianggap
hanya lelaki yang bisa mendudukinya seperti kepala pemerintahan
terutama jika perempuan terjun ke dunia politik.
Perjuangan perempuan dalam mengakhiri sistem yang
tidak adil (ketidakadilan gender) tidaklah merupakan perjuangan
perempuan melawan laki-laki, melainkan perjuangan melawan
sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat, berupa ketidakadilan
gender. Untuk mengakhiri sistem yang tidak adil ini ada beberapa
agenda yang perlu dilakukan, yakni:
1. Melawan hegemoni yang merendahkan perempuan,
dengan cara melakukan dekonstruksi idiologi. Melakukan
dekonstruksi artinya mempertanyakan kembali segala sesuatu
yang menyangkut nasib perempuan di mana saja.
2. Melawan paradigma developmentalism yang berasumsi bahwa
keterbelakangan kaum perempuan disebabkan karena mereka
tidak berpartisipasi dalam pembangunan.
Melawan hegemoni yang merendahkan harkat dan martabat
perempuan patut dilakukan, sebab hegemoni itu sebenarnya hanya
merupakan konstruksi ataupun rekayasa sosial. Diantara caranya
adalah dengan melakukan konstruksi hukum, yang memberi
dasar bagi perempuan dalam melawan hegemoni yang tidak adil
dijamin dalam berbagai instrumen hukum, baik dalam instrumen
hukum internasional maupun nasional. Di antara cara untuk dapat
mewujudkan kesetaraan bagi perempuan dengan meningkatkan
jumlah perempuan yang menjadi anggota parlemen, karena
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan dipengaruhi
oleh anggota parlemen itu sendiri. Oleh karena itu, upaya untuk
meningkatkan keanggotaan perempuan di parlemen harus terus
dilakukan. Karena sampai saat ini jumlah anggota DPR perempuan
belum pernah mencapai angka 30%. Untuk itu, perlu dirumuskan
mekanisme yang dapat menjamin keterwakilan perempuan di
sektor publik semakin meningkat di masa mendatang. Demikian
halnya seorang wanita boleh menjadi anggota legislatif atau DPR,
119
argumentasi ini diperkuat oleh Yusuf Qardhawi juga Mustafa alSiba’i142 (Abu Syuqqah, 1999 :540)
Perdebatan Surah An-Nisa ayat 34 di didukung hadis yang
sangat popular dan diyakini memiliki tingkat validitas yang tinggi
kecelakaan bagi kaum yang menjadikan perempuan sebagai
pemimpin. Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan beruntung kaum
yang menyerahkan urusan mereka pada wanita”.143
Hadis di atas merupakan dalil yang sering dilontarkan
untuk menghalangi perempuan berkiprah dalam dunia politik,
pemerintahan, Hakim dan sebagainya. Hadis tersebut muncul karena
adanya kabar yang sampai kepada Nabi saw tentang pemerintahan
Persia yang rajanya seorang perempuan. Sejahrawan menyatakan
perempuan tersebut tidak memiliki kecakapan dalam memimpin,
dan faktanya kerajaan Persia mengalami kemunduran akibat saling
bunuh di antara mereka.144
Sementara dalam Al-Qur’an menceriterakan adanya kerajaan
makmur dan kuat padahal pemimpinnya seorang perempuan. Allah
swt berfirman: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita
yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta
mempunyai singgasana yang besar” (Surah An-Naml ayat 23).
Penggalan kalimat “wa utiyat min kulli syaiin” dalam surah AnNaml di atas, menunjukkan adanya kemakmuran dan kesejahtreaan
di kerajaan Balqis, perempuan yang burung Hud-hud sebut dalam
ayat di atas. Jelas Al-Qur’an mengilustrasikan kondisi tersebut
berarti di antara perempuan ada yang berhasil menjadi pemimpin
tertinggi.
Muhammad al-Ghazali secara lugas membeberkan beberapa
142 Abu Syuqqah, Abdul Halim, Tahrir al-Mar’ah fi Ashri Al-Risalah diterjemahkan oleh Chairul Halim dengan judul Kebebasan Wanita, Jilid II, Jakarta, Gema Insani Press, 1999, h 540
143 Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari bi
Hasyiah al-Sindi, Juz II-IV. Beirut: Dar al-Fikr, 1995, hlm.89
144 Al-Asqalani, Ahmad bin Ali, Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Shahih alBukhari, Juz VIII, Beirut, Dar al-Fikr, 2000, h 472
120
fakta tentang keberhasilan kepemimpinan perempuan di era modern
seperti perempuan Yahudi (Golda Meir) yang mampu memimpin
bangsanya sehingga berhasil mempermalukan beberapa tokoh dari
kalangan politisi Arab. Sama sekali tidak boleh kita abaikan peranan
perempuan di kancah international hanya karena di lapangan lainnya
berlangsung perbuatan kaum perempuan yang rendah dan tak
bermoral. Di sisi lain, kita dapati Ibn Hazm (w. 456 H) menyatakan
bahwa Islam tak pernah membatasi perempuan untuk menduduki
jabatan tertentu, kecuali pemimpin tertinggi (Presiden atau perdana
menteri). Walau kurang setuju dengan mereka yang membolehkan
perempuan menjadi pemimpin tertinggi, tapi alGhazali masih
membenarkan perempuan memimpin termasuk menjadi kepala
negara bila memenuhi beberapa syarat seperti Golda Meir, ratu
Victoria di Inggris dan Indira Gandhi dan pemimpin perempuan
dunia lainnya yang berhasil.Disini menunjukkan kalau perempuan
memliki hak dalam pemerintahan dan politik selama memenuhi
kualifikasi.
Dengan kaca mata kesetaraan, kepemimpinan laki-lakiterhadap
perempuan dalam keluarga bukanlah hal yang tetap.Menurut Amina
Wadud, perempuan dapatmenggantikan laki-lakibila syarat-syarat
dalam ayat Al-Qur’an mengenai kepemimpinanitu dapat dipenuhi,
yakni memberi nafkah dan keistimewaan dalamhal fisik dan
psikologis.145
Ahmad Syafii Maarif berpendapat tentang kepemimpinan
perempuan dalam politik tidak ada masalah perempuan dipilih jadi
bupati, gubernur, dan bahkan Presiden, jika mempunyai kemampuan
yang prima dan bermoral. Sebagaimana yang ditulisnya :
”Bagiku tidak ada masalah dan halangan seorang perempuan
dipilih jadi bupati, gubernur dan bahkan Presiden, suatu yang
tabu dalam khazanah klasik Islam. Tidak saja pada masa
klasik, di era modern pun masih cukup banyal ulama dan
sarjana Muslim yang menolak perempuan untuk jadi pemimpin
145 Amina WadudMuhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, Terj.Yaziar Radianti,
Pustaka,Bandung,1994, h 93-94
121
dengan berbagai alasan. Tentu tidak asal perempuan, harus di
cari untuk dipilih pribadi yang benar-benar punya kemampuan
prima, bermoral, dan akan lebih baik pasca usia 40 tahun
pada saat ia telah lebih longgar untuk berkiprah di bidang
Politik”.146
Konsep Ketidakadilan dan Dikriminasi Perempuan
Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau
yang lebih tinggi dikenal dengan perbedaan gender yang terjadi di
masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan
tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi atau ketidakadilan.
Patokan atau ukuran sederhana yang dapat digunakan untuk
mengukur apakah perbedaan gender itu menimbulkan ketidakadilan
atau tidak adalah sebagai berikut:
1. Stereotipe (Stereotype)
Stereotipe merupakan jalan pikiran yang menyederhanakan
hal-hal kompleks untuk mengambil keputusan secara tepat. Dalam
kajian gender umumnya dipahami sebagai pengklasifikasian
asumsi mengenai standar perilaku yang cocok untuk laki-laki
dan perempuan. Pengklasifikasian asumsi ini sering digunakan
sebagai dalih untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap
perempuan. Karena itu, akta stereotype dalam kajian gender
umumnya dipahami sebagai prasangka negatif.147 Perlakuan yang
dilabeli kepada perempuan dalam masyarakat yakni perempuan
dianggap tidak rasional, tidak bisa mengambil keputusan penting,
perempuan tugasnya hanya sebagai ibu rumah tangga.
Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya
berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype
gender laki-laki dan perempuan. Pelabelan umumnya dilakukan
146 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa h 262-263
147 Anton Jamal, dkk, Perempuan dan, h 61-62
122
dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai
alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas
kelompok lainnya.
Pelabelan juga menunjukan adanya relasi kekuasaan yang
timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan
atau menguasai pihak lain. Pelabelan negatif juga dapat dilakukan
atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negatif
ditimpakan kepada perempuan.
2. Kekerasan
Kekerasan (violence) bisa berwujud tindakan penyerangan
yang melukai fisik seseorang atau melalui tindakan penyerangan
verbal yang melukai mental dan psikologi seseorang.148 Peran gender
telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan
dianggap feminisme dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian
mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap
gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap
lembut, lemah, penurut dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang
salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter
tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa
perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan
semena-mena, berupa tindakan kekerasan.
Korban kekerasan gender tentunya lebih banyak dialami oleh
kaum perempuan. Korban ini tidak mengenal usia maupun status
sosial, bisa kaya, pejabat, orang miskin, pembantu, anak-anak,
dewasa bahkan lansia. Tindakan kekerasaan yang sering terjadi
yakni kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami
terhadap isterinya di dalam rumah tangga, pemukulan, penyiksaan
dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan,
pelecehan seksual, eksploitasi seks terhadap perempuan dan
pornografi.
148 Ibid, h 65
123
3. Beban ganda (double burden)
Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang
diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis
kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap
peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan
jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik, namun tidak
diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik.149
Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan
pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah
tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian,
tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan.
Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
Kondisi yang tidak menguntungkan kerap terjadi pada
perempuan karir atau ketika suami kena PHK atau bangkrut.
Dalam kondisi ini para perempuan memiliki peran ganda, aktivitas
domestik dan aktivitas publik. Para perempuan ini memiliki beban
ganda, harus mengurus rumahtangga sekaligus mencari nafkah.
Yang memprihatinkan lagi perempuan atau istri cenderung selalu di
jadikan obyek pelampiasan kesalahan
4. Marjinalisasi
Marjinalisasi artinya, suatu proses peminggiran atau
pemojokan perempuan oleh struktur sosial atau budaya. Peminggiran
ini seringkali di sandarkan pada alasan biologis perempuan. Banyak
cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau
kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi
gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi
sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar
rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut.
Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses
pemiskinan dengan alasan gender. Guru TK, perawat, pekerja
konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai
149 www.academia.edu/6189259/Gender_dan_kebudayaan
124
pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang
diterima. Masih banyaknya pekerja perempuan di pabrik yang
rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal
dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti
sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan
faktor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan
menyusui.
5. Subordinasi
Subordinasi Artinya, suatu penilaian atau anggapan bahwa
suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari
yang lain.150 Perempuan adalah obyek pelengkap laki-laki, atau lakilaki superior dan perempuan inferior. Telah diketahui, Nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat telah memisahkan dan memilah-milah
peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap
bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau
reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi.
Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau
peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan dibanding lakilaki. Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai
lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena
potongan pajak. Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan
dalam dunia politik (anggota legislatif dan eksekutif).
Pendangan Syafii Maarif tentang masalah kepemimpinan
perempuan ini berdasarkan pada Alquran surat al-Hujurat ayat 3, dan
ayat-ayat lain yang saling mendukung, yaitu berisi tentang terbukanya
pintu kemuliaan di sisi Allah buat mereka yang paling taqwa, lakilaki maupun perempuan. Seorang Muslim laki-laki dan perempuan
yang bertaqwa dijamin oleh ayat ini untuk meraih kemuliaan di
sisi Allah, asal diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Posisi
pemimpin, laki-laki maupun perempuan, akan menjadi mulia di
mata rakyat jika ia bertaqwa dengan menegakkan keadilan, dan siap
150 menegpp.go.id/v2/index.php/glosari/ketidakadilan-gender
125
bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
bersama tanpa pilih kasih. Menurutnya, pemimpin perempuan yang
ideal harus memenuhi syarat yaitu: memiliki kemampuan prima,
bermoral, dan akan lebih baik pasca usia 40 tahun, pada saat ia sudah
banyak waktu untuk berkiprah di bidang politik. Syarat lain yang
harus dipenuhi adalah izin suami, sekiranya ia masih bersuami.
Perjuangan perempuan dalam meningkatkan representasi
perempuan di legislatif, melalui affirmative action dapat dilakukan
dengan melibatkan kaum perempuan lebih banyak aktif di partai
politik. Memberdayakan perempuan dalam partai politik merupakan
langkah paling awal untuk mendorong kesetaraan dan keadilan bisa
dicapai antara laki-laki dan perempuan, di dunia publik dalam waktu
tidak terlalu lama. Langkah ini diperlukan agar jumlah perempuan,
di lembaga legislatif bisa seimbang jumlahnya dengan laki-laki.
Penutup
Ahmad Syafii Maarif memiliki pemikiran keberpihakan
kesetaraan dan keadilan gender, sebagai suatu prasyarat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan pembelaannya
terhadap persoalan kemanusiaan universal. Banyak sisi pembelaan
beliau dalam menghormati perempuan, yakni beliau tegas dalam
menolak poligami bahwa sistem pernikahan yang benar menurut
Al-Qur’an adalah monogami. Poligami, dibuka pada saat-saat
yang sangat terpaksa dengan syarat-syarat yang berat. Menurutnya,
perkawinan monogami adalah yang sesungguhnya yang dikehendaki
oleh ajaran Islam, dengan berbasis pada kesetiaan dan saling
menyayangi antar pasangan. Beliau juga tidak membedakan antara
laki-laki dan perempuan dalam kepemimpinan, ,karena Islam
tidak mengenal perbedaan kepemimpinan berdasarkan gendernya,
tetapi berdasarkan ketakwaan yang merupakan prasyarat mendasar
dari seorang pemimpin serta mempunyai kemampuan yang prima
dan bermoral. Beliau juga mencoba menghapuskan diskriminasi
terhadap perempuan dengan menyampaikan pemikirannya secara
tertulis maupun lisan, serta memberikan contoh melalui keteladanan
yang di praktikkan dalam keluarganya.
126
Daftar Pustaka
Burhani, Ahmad Najib, dkk; Muazin Bangsa dari Makkah Darat,
PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2015
Abu Syuqqah, Abdul Halim, Tahrir al-Mar’ah fi Ashri Al-Risalah
diterjemahkan oleh Chairul Halim dengan judul Kebebasan
Wanita, Jilid II, Jakarta, Gema Insani Press, 1999
Al-Asqalani, Ahmad bin Ali, Ibn Hajar, Fath al-Bari bi Syarh Shahih
al-Bukhari, Juz VIII, Beirut, Dar al-Fikr, 2000
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari
bi Hasyiah al-Sindi, Juz II-IV. Beirut: Dar al-Fikr, 1995
Dzuhayatin, Siti Ruhaini, Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam, Cet. I, Yogyakarta, PSW
IAIN Sunan Kalijaga, 2019, h. 18
Jamal, Anton, dkk, Perempuan dan Hak Asasi Manusia, PUSHAM
UMM, Bandung, 2018
Muhsin, Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur’an, Terj. Yaziar
Radianti, Pustaka, Bandung, 1994
Mulia, Siti Musdah, Menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender,
cet. I, Nauvan Pustaka, Yogyakarta, 2014
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat , Cet.IV, Bandung,
Mizan, 1996
Umar, Nasaruddin, Qur’an untuk Perempuan, Jaringan Islam Liberal
(JIL) dan Teater Utan Kayu Jakarta, 2002
www.academia.edu/6189259/Gender_dan_kebudayaan
menegpp.go.id/v2/index.php/glosari/ketidakadilan-gender
127
MENJADI “MUSLIM OTENTIK”:
MEMBACA PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF
Magfirah
Pendahuluan.
Kebangkitan Islam adalah “istilah ajaib” yang muncul pada
abad kelima belas Hijria ini. Banyak orang terilhami dan tak sedikit
pula yang salah mengerti. Apa sesungguhnya yang terjadi dengan
Islam dalam usianya yang panjang ini? Sudah sampai di manakah
umat Islam membawa warisan Nabi Muhammad SAW. di tengah
gejolak perubahan sosial yang begitu cepat? Adakah evolusi
aktualisasi Nilai-nilai Islam oleh umatnya yang dapat didata dan
diproyeksikan ke masa depan?. Beginilah kira-kira pernyataan dan
pertanyaan dari seorang Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat,
dalam prolog bukunya yang berjudul Islam aktual pada edisi terbitan
1991151.
Namun dalam situasi sekarang ini, menarik jika
pernyataan dan pertanyaan di atas penulis coba telusuri dan
mengkontektualisasikannya dalam ranah kekinian, pertanyaan ini
akan terjawab setelah kita menyelusuri pemikiran Ahmad Syafi
Maarif mengenai wacana menjadi “Muslim Otentik”, yang penulis
akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
Sebelum melangkah lebih jauh untuk menjawab pertanyaan
151 Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Sorang Cendekiawan
Muslim, (Bandung: PT Mizan Pustaka IKAPI)), h. 13
128
diatas, alangkah baiknya kita melihat terlebih dahulu gelayut umat
Islam sekarang ini, gelayut Islam yang kaffah di Indonesia telah
mengikis, di tengah-tengah arus global yang tidak menentu. Sejak
munculnya era reformasi, yang dibungkus dengan ormas-ormas
aliran keras nampaknya telah memberikan “wajah baru” bagi
peradaban umat Islam di Indonesia. Angin pergerekan ini peradaban
tersebut nampaknya telah mengibas yang sampai saat masih bisa
kita rasakan. Hal ini bisa dilihat dari kebangkitan populisme Islam
yang di tandai dengan hadirnya hawa-hawa kelompok-kelompok
aliran keras. Kelompok tersebut bisa kita lihat dengan berkaca pada
aksi-aksi bela agama yang terjadi akhir tahun 2016 kemarin152.
Jumlah penduduk di Indonesia dihuni oleh lebih dari 200
juta, dan mayoritas pendudu dihni oleh umat Islam. Pertanyaan
pentingnya adalah; mengapa posisi umat Islam di Indonesia
semakin tidak toleran” Mengapa umat Islam di Indonesia tidak dapat
memancarkan “ruh Islam” sebagai ajaran otentik di bumi Pertiwi?
Justru sebaliknya, Ppopulisme Islam semakin mengibar, dengan
rangkaian dinamika yang dibungkus dengan kekerasan akibat dari
angin era reformasi.
Dalam situasi tersebut, sekiranya warga masyarakat Muslim
di Indonesia butuh suatu konep untuk mengarungi gelombang arus
yang tidak menentu, umat Muslim di zaman sekarang ini sudah
kehilangan identitasnya sebagai Muslim yang rahmatan Lil alamin,
maraknya fenomena penindasan yang terjadi sekarang ini, bisa
dilihat dari perubahan yang tidak semestinya dilakukan terhadap
kelompok-kelompok minoritas, seakan mempertontonkan wajah
umat Islam sesungguhnya.
Namun dibalik dari gejolak arus diatas, kita masih bersyukur
karena muncul seorang intelektual Muslim yang dikenal sebagai
152 Untuk melihat kasus ini lebih jauh baca buku: Adakah evolusi aktualisasi Nilai-nilai Islam oleh umatnya yang dapat didata dan diproyeksikan ke
masa depan?, (Penerbit: Pustaka IndoPROGRESS & Islam Bergerak, 2017),
h. 56, dan Jurnal Maarif : Arus Pemikiran Islam dan SosialSkenario Populisme Islam di Indonesia Pasca Aksi Bela Islam, MAARIF Vol. 12, No. 1
— Juni 2017, h.2
129
sosok yang pluralis, toleran, inklusif, dan moderat yaitu Ahmad
Syafii Maarif. Muncul sebagai mercusuar pemberantasan paham
radikalisme, sehingga bisamengimbangi arus gelombang percaturan
paham inklusifisme. Kehadiran pemikiran Ahmad Syafii Maarif
setidaknya mengibas angin reformasi yang membawa ideologi
kekerasan. Ahmad Syafii Maarif selalu tampil dalam mengampayekan
agar umat Islam menjadi Muslim yang otentik tanpa paham-paham
hantu-hantu sejarah yang sampai sekarang ini masih berkeliaran.
Tapi tidak lengkap rasanya jika kita terus mengeluk-elukkan
pemikiran beliau, tapi hal yang menjadi penting dalam ranah imiah
adalah sikap kritis atas pemikiran beliau penting untuk diungkap
dan dituliskan. Karena beliau adalah contoh cendekiawan Muslim
yang tepat untuk dikupas pemikirannya dalam situasi, Indonesia
yang akhir-akhir ini agak “menyebalkan” karena sifat penghuninya
didalamnya.Keramahan penghuni Indonesia tidak akan bisa kita
menikmatinya jikalau daki-daki sejarah peradaban sejarah masih
diberhalalkan.
Membincang Keindonesiaan dan Keislaman dalam Konteks
Kekinian
Wacana mengenai isu keindonesiaan dan keislaman mulai
hangat ketika pentas kontestasi politik di ibukota mulai memainkan
sumbu apinya. Percikan apinya dimulai dari suasana perebutan
kekuasaan, sejak pemilihan serentak Kepala daerah pada 2017 hingga
2018, dan pemilihan legislatif dan Presiden 2019, dan tak sedikit dari
kelompok-kelompok tertentu memainkan bara apinya utamanya umat
Islam di Indonesia yang terbilang sebagai mayoritas. Kunkungan api
tersebut bisa dilihat dari Populime Islam yang terus menguak diruang
publik, sehingga belakangan ini, umat Islam di Indonesia menjadi
topik tren perbincangan hangat di belahan mata dunia. Tepatnya ketika
gerakan-gerakan aksi bela agama, atau yang biasa disebut gerakan 212,
reuni kelompok-kelompok ormas agama hingga sampai penghujung
akhir tahun 2018 tepatnya pada tanggal 2 desember 2018 di Monas
Jakarta, yang konon pesertanya hampir 3 juta lebih. Sehingga isu-isu
keindonesiaan dan isu keislaman kembali menguak diruang publik.
130
Perbincangan hangat tersebut tidak terlepas dari masa lalu umat
Islam di indonesia, tepatnya ketika momentum jatuhnya rezim Orde
Baru telah dimanfaatkan secara baik oleh kelompok Islam radikal
untuk bangkit dan sumbu memanasnya tepatnya ketika kran era api
reformasi dibuka, ditandai dengan ormas Islam ini membuat pentas
politik nasional semakin ramai dengan tuntutan aspirasi Islam, seperti
misalnya tuntutan Piagam Jakarta, syariat Islam, penolakan Presiden
wanita, konflik SARA di Ambon. hal ini pula diakui oleh Buya, Buya
menyebutnya sebagai gerakan “khawarij gaya baru” dalam format
MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam),
disusul HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang bercorak transnasional
dengan menyusung bendera Khilafah Islamiyah, kelompok-kelompok
ini lahir dari rahim Islam Sunni, MMI dan FPI dipimpin oleh warga
Indonesia keturunan Arab, filosofi dasarnya tidak banyak berbeda
dengan doktrin fundamentalisme153.
Puncak perbincangan hangat umat Islam di Indonesia ketika
gerakan Islam radikal di Indonesia telah menebarkan aroma baru, yang
kembali menegaskan hubungan agama dan negara. Kecenderungan ini
diakibatkan oleh dua spektrum (internal dan eksternal). Secara Internal,
carut-marut permasalahan bangsa telah membangkitkan semangat
Islam sebagai solusi alternatif. Islam diyakini dapat memberikan
jalan keluar dengan jargon “kembali kepada Islam”, atau “berlakunya
syariat Islam secara kaffah”. Keyakinan ini adalah buah frustasi yang
berkepanjangan terhadap problem bangsa, sehingga memunculkan
semangat kembali kepada Islam sebagai alternatif. Namun kita harus
bersyukur karena umat Islam dianugerahi oleh seorang Tokoh Muslim
Indonesia yaitu Abdurrahman Wahid, atau biasa disapa dengan Gus
Dur, yang hadir dengan pemikirannya yang moderat, yang mampu
menjembatani, sehingga wajah umat Islam tidak begitu mengerikan
di mata dunia.
Walaupun Barat, secara politik, telah membangkitkan kebencian
di kalangan umat Islam dengan tuduhan “Islam sebagai agama
153 Ahmad SyafiiMaarif, Islam dalambingkaikeindonesiaan dan Kemanusiaan:
SebuahRefleksi Sejarah, (Bandung:Mizan, 2015), h. 196
131
teroris”, yang ditandai dengan kebijakan politik Barat yang menekan
Islam di beberapa negara Muslim telah membangkitkan solidaritas
Islam melawan Barat. Secara budaya pun, Barat telah melancarkan
perang (ghazwulfikr) terhadap Islam. Modernisasi, sekularisasi,
kapitalisme, Marxisme, sosialisme, dan imperialisme adalah produk
budaya dan intelektual Barat yang bermusuhan dengan Islam. Maka
jangan heran apabila Islam dengan kekuatan ideologi, selalu berjuang
melawan Barat dan produk budaya-intelektualnya154. Kasus ini lantas
membuka kembali pertanyaan: Pantaskah umat Islam di Indonesia
mempersandingkan perang ideologi dengan menggunakan Ayat-ayat
sucinya dengan gerakan radikal?, lalu bagaimana seharusnya umat
Islam menghadapi peran tersebut? tentunya pertanyaan akan terjawab
jika konsep keislaman dan dan keindonesiaanyang ditawarkan oleh
Buya dapat teraplikasikan dengan bijaksana oleh umat Islam, lalu
pertanyaan selanjutnya, sejauh manakah umat Islam merelesasikan
konsep tersebut?
Maka tak heran apabila tahun 2017 kemarin muncul wacana
umat Islam kembali mengemuka tepatnya ketika terjadi kontestasi
politik di ibukota yang ditandai dengan Aksi Bela Islam (1, 2, 3, 4)
vs Aksi kebinekaan dan Kita Indonesia, sehingga kita terjebak pada
dua sudut ekstrim: With us or argaints us, Muslim atau munafik, hal
ini makin parah ketika muncul berbagai spanduk di beberapa masjid
yang mengajak memboikot untuk tidak menshalati para pendukung
Ahok, yang dianggap sebagai munafik, dan karena itu tidak boleh
dishalati sebagai Muslim ketika meninggal dunia nanti, adalah
penggunaan simbol agama yang sangat serius dalam memerangi para
pendukung Ahok. Inilah kerisauan yang membuat saya bertanya dan
Najib Burhani bertanya: “Apakah ketaatan kepada Islam itu tidak bisa
bersanding dengan kesetiaan kebangsaan dan kebhinekaan? Apakah
kesalehan itu harus diwujudkan dalam bentuk intoleransi?155.
Ahmad Syafii Maarif merupakan salah satu intelektual Muslim
154 Khamami Zada, Islam Radikal pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras
di Indonesua, (Jakarta: Teraju, 2002), h. x
155 Ahmad Najib Burhani,Menegosiasikan keindonesiaan dan keislaman:Jurnal: MAARIF Vol. 12, No. 1 — Juni, 2017, h. 12-13
132
yang berani mengambil sikap tegas, untuk keluar dari kungkungan
api hangat pergolakan umat Islam, yang merupakan produk sejarah
yang sudah harus ditinggalkan. Buya hadir dengan membawa air
pemikiran kesejukan untuk menyiram kunkungan api tersebut,
dengan konsep menjadi Muslim otentik berdasarkan dalil umat Islam
dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan kemanusiaan.
umat Islam tak boleh lagi terperangkap dalam api penyembahan
sejarah masa lalu yang sarat dengan pertumpahan darah, melainkan
harus melihat ke masa depan dengan panduan prinsip etik Al-Qur’an,
yang menekankan pada persaudaraan universal.
Dari perbincangan hangat di atas mengenai isu keindonesiaan
dan keislaman yang tidak saling bergandengan tangan, karena sifat
penghuninya. Buya Syafii Maarif terus menyuarakan keprihatinan
batinnya mengajak seluruh anak bangsa, khususnya umat Islam
sebagai umat mayoritas untuk menjadi “Muslim otentik” bagi yang
masih merasa waras akalnya, oleh karenanya penulis akan menelusuri
pemikiran Ahmad Syafii Maarif, bagaimana menjadi Muslim otentik.
Menjadi Muslim yang Otentik:
Menulusuri Wacana Pemikiran Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif adalah manusia otentik dengan
kemerdekaan sejati, atau mungkin bisa dikatakan sebagai manusia
otentik yang senantiasa mewujudkan kemerdekaannya. Keberaniannya
melakukan serangkaian kritik terhadap situasi yang dianggapnya
tidak sesuai dengan nurani dan akal sehat, menjadi karakternya
yang mudah kita temukan, beginilah kira-kira pernyataan yang
dilukiskan oleh para orang-orang terdekat Buya, yang mengenalnya
lebih mendalam, sebagaimana yang dilukiskan dalam buku Muazin
Bangsa dari Makkah Darat156
Selain itu yang menjadi pembahasan penting terkait hal yang
cukup mononjol dari pemikiran Buya beberapa tahun terakhir ini,
156 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta), h.19
133
yakni terkait suara moral-kemanusiaan yang terus menerus digemakan
oleh Buya melalui berbagai kesempatan, terutama dalam berbagai
tulisan di media cetak. Terbaca jelas bagaimana Buya secara kritis
menggelisahkan problem kebangsaan hari ini, salah satunya adalah
keterpurukan umat Islam di berbagai belahan dunia, dan persoalan
kemanusiaan global. Seruan moral ini tidak lain berpijak pada
pedalaman dan perenungan Buya terhadap realitas yang terjadi,
yang sering kali beliau adukan kepada sumber utama petunjuk
hidup umat Islam, Al-Qur’an157.
Hal ini diakui pula oleh Neng Dara Affiah dalam catatannya
di media sosial, “Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh intelektual
mmuslim yang otentik. Keontentikan pemikiran Maarif tidak
terlepas dari hasil akumulasi pemikiran dari alm. Cak Nur, Gusdur,
dan gurunya Fazhlur rahman. Dari hasil berguru inilah kemudian
melahirkan pemikiran otentik. Semua tidak terlepas dari misi
untuk membangun kultur Islam inklusif, yang membedakaanya
dengan Intelektual Muslim lainnya. Tak jarang jati dirinya muncul
di media sosial sebagai Sang Penentang Arus”158
Pada usianya yang sudah senja, perhatian dan kegelisahan
Buya Maarif terhadap masa depan Islam, khususnya dunia Islam
yang tengah porak-poranda, semakin menguat. Buya yang kini
telah berusia 83 tahun sangat prihatin terhadap berbagai konflik
dan peperangan yang terjadi di berbagai kawasan, khususnya di
dunia Arab. salah satunya ISIS sebagai rongsokan peradaban
Arab yang sedang kalah terpakar. Namun anehnya, rongsokan
ini diminati dan “dibeli” oleh sebagian orang Indonesia. Hal ini
merujuk pada munculnya beberapa kelompok yang membaiatkan
diri mereka kepada kekhalifahan al-Baghdadi, dan Oman
Abdurahman yang sejak awal telah berbaiat. Menurut pandangan
Buya, menjadi sebuah kekeliruan, ketika dunia Arab sedang
mengalami malapetaka konflik, kekerasan, dan peperangan
157 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, h. 16
158 Neng Dara Affiah: Ahmad Syafii Maarif : Sang Penentang Arus, Geotimes.
co.id
134
antarsesama, tetapi justru sebagai umat Islam di dunia, beberapa
di antaranya dari Indonesia, malah ikut terlibat dan berkiblat ke
kawasan dengan peradaban yang rapuh dan setengah sekarat itu.
Dalam bahasa Buya, peperangan di kawasan159.
Yang saya kagumi dari pemikiran Buya adalah, Buya berani
menerobos kemapanaan ideologi. Baginya keilmuan jauh lebih
utama dibandingkan pakem ideologi. Itulah sebabnya mengapa
Buya lebih leluasa masuk dalam isu-isu arus gelombang, yang
terkadang sebagian intelektual Muslim takut bermain diarus
gelombang tersebut. Maka jangan heran apabila Buya dianggap
sebagai arus radikal yang dibungkus dengan wacana Pluralisme,
kritik atas wacana agama.
Walaupun arus caci-maki terus mengalir ditelinga Buya,
namun tak menyurutkan Buya untuk terus mengampanyekan
pemikirannya dengan tulus, jujur, dan berani menyuarakan hati
nuraninya, meski ia ke gelanggang sendiri melawan arus besar,
sekalipun nyawa taruhannya. Karna Buya mempunyai prinsip hidup
yang berkemajuan adalah hidup yang sarat dengan pertarungan ide
untuk mencari yang terbaik dan benar160.
Setidaknya keberanian Buya dalam mengampanyekan
menjadi Muslim yang otentik tidak terlepas dari hasil berkelana
dalam mengarungi ilmu di Chicago, pertama sebelum Buya
berkelana di Chicago pemikiranya masih dihantui oleh teks AlQur’an yang masih hitam putih tapi setelah berkenalan dengan
Fazlur Rahman Buya sudah mendapatkan warna baru dari gurunya
dalam memahami teks Al-Qur’an, warna itulah kemudian Buya
mampu menjawab persoalan umat Islam khususnya di umat Islam
Indonesia yang serba berwarna juga161.sehinggaBuya mampu
159 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, (Yogyakarta: Bunyam, 2018), h ix
160 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2015),
h. 22
161 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2015),
135
merevisi pandangannya terkait Teks Al-Qur’an yang kaku menjadi
tidak kaku.
Kedua, lewat ketajaman pemaknaan dalam menganalisa
sejarah, yang dilihat dari ruang dan waktu, sehingga sangat selaras
dalam melihat kondisi sekarang ini. Berbeda dengan sejarawan
lainnya, misalnya sejarawan Ahmad Mansur Sang Suryanegara,
yang dalam buku Api Sejarah-nya mengobarkan pembaca untuk
bangkit dari sikap nasionalisme Islam.162 Pembacaan Buya dengan
pembacan Ahmad Mansur Suryanegara, terhadap sejarah, berbeda
dalam metode penafsiranya, khususnya dalam membaca situasi era
sekarang ini.
Buya misalnya sering kali mempertanyakan, “Di manakah
pesan QS Ali Imran 105: ‘kalian adalah umat terbaik’ dalam
realitas historis?”, ketika kemiskinan, kekerasan, kebiadaban,
peperangan, dan konflik antarsesama Muslim secara berulang
terus dipertontonkan.Masih layakkah identitas “khaira ummah” ini
disandang oleh kaum Muslim dewasa ini?163. Dari pertanyaan yang
diajukan Buya seharusnya sudah menjadi refleksi kepada kita dalam
pemaknaan dalam memahami sejarah. Kegelisahan intelektual
seorang Buya Syafii seperti ini dengan melakukan pembacaan
kritikal terhadap realitas historis sebetulnya bukanlah peristiwa
baru, setidaknya pasca kepulangannya dari belajar Di Universitas
Chicago di bawah bimbingan Prof. Fazlur Rahman, seorang ilmuan
kaliber dunia, pandangan kritisnya terus menyala secara konsisten
hingga saat ini164.
Ketiga, lebih terbuka dalam melihat percaturan Islam dalam
politik menurutnya Islam lebih sering dijadikan doktrin pembenar
terhadap perilaku politikus yang cacat dan tunamoral. Dalam sejarah
h.135
162 Lihat Buku: Ahmad Mansur Suryanegara “Api Sejarah” Jilid I dan II (PT
Grafindo: Bandung).
163 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, (Yogyakarta: Bunyam, 2018), h. x
164 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, (Yogyakarta: Bunyam, 2018), h. xiv
136
kontemporer Indonesia, contoh-contoh tentang penyimpangan moral
tidak sulit untuk dicari Pernyataa-pernyataan dukungan beberapa
kelompok Muslim kepada rezim otoritarian yang korup dan represif,
yang dipraktekkan beberapa tahun yang lalu. Selain itu yang paling
parah menurut Buya ketika dalil-dalil agama dijadikan pembenaran
bagi pernyataan tersebut. Agama dijadikan barang dangangan. Inilah
di antara perilaku beragama yang tidak tulus, beragama untuk meraih
tujuan yang rendah, sebuah perilaku yang kosong nilainnya di mata
Allah165.
Tak sampai di situ, Buya menjadi lebih memahami bagaimana
sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, kaitannya dengan hal-hal
fundamen (prinsip) yang diyakini seorang Muslim. Tulisan ini akan
berfokus pada pemikiran Buya terkait denganmembumikan konsep
menjadi zMuslim otentik serta relevansinya dengan keisalaman,
keindonesiaan dan kemanusiaan.
Maka tak heran apabila Buya dalam setiap kesempatanya,
baik dalam diskusi keagamaan maupun tampil dalam wacana
diskusi publik, Buya selalu menawarkan sebuah konsep yakni
”Menjadi Muslim yang otentik” ditengah-tengah arus inteloransi
yang terus megalir pada kelompok-kelompok Minoritas. Seperti
dalam menyikapi kejadian tersebut, dalam program Indonesia
Lawyers Club (ILC), (Selasa 25/06/2013) bertajuk “Syiah Diusir,
negara Kemana?”, Buya selaku salah satu narasumber mengkritik
para ulama agar tidak mengungkit-ungkit lagi tuduhan-tuduhan
negatif terhadap Syiah yang sudah out-of-date, yang pada ujungnya
hanya makin memperkeruh hubungan antara Sunni dan Syiah.
Justru dengan sikap tegasnya dalam wawancara tersebut, Buya di
lempari sebuah pertanyaan untuk memberikan nasehat kedua aliran
tersebut, dalam keterangannya Buya menawarkan sebuah konsep
saling membuka diri, menurutnya Agama dan Al-Qur’an hanya akan
berbicara kepada mereka yang memiliki pikiran yang jernih dan hati
yang suci (aqlun shahih wa qalbun salim), tanpa itu subjektifitasme
165 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, h.28-29.
137
sejarah yang akan bercerita. Diakhir penutup kalimatnya, Buya tidak
membanggakan menjadi sunnih maupun aliran lainnya tapi ia ingin
berusaha menjadi Muslim yang otentik. Menjadi Muslim otentik
menurutnya mudah dan tidak sulit lapang. Mudah asalkan kita mau.
Menjadi Muslim yang otentik adalah lepas dari belenggu sejarah166.
Selain itu, Buya selalu menampilkan tulisan-tulisan yang bisa
memutus tali rantai persoalan kondisi umat Islam yang sekarang
ini terus dipertontonkan, sebagaimana dalam tulisan lepasnya di
media sosial yang berjudul Ketika Paham Agama jadi Ancaman.
Dalam tulisan tersebut ada beberapa isu yang diangkat; Pertama,
Buya mengomentari pemikiran Bertrad Russel dalam bukunya
“Why I Am Not a Charistian”. Buya tidak setuju dengan pernyataan
Russel yang menyatakan agama sendiri yang tidak benar dan
jahat, menurutnya perkataan Harmful bisa bermakna berbahaya,
merusak, jahat, menyakiti, dan kesalahan moral. Pendek kata,
semua agama bagi Russel harus ditolak karena daya rusaknya yang
dahsyat, bahwa agama yang disalahgunakan oleh penganutnya
sebagai teologi pembenar untuk merusak dan bahkan membunuh
sesama manusia memang sudah merupakan fakta sejarah. Semua
penganut agama apa pun tidak bisa mengingkari fakta ini, tetapi
manusia yang memahami agama secara benar pasti akan beradab,
berbudaya, dan lapang dada dalam menyikapi perbedaan. Sikap
yang membunuh perbedaan adalah bagian dari kultur primitif dan
melawan sunatullah, dan sebuah hidup yang serba seragam pasti
akan sangat membosankan. Dalam perjalanannya selama 20 tahun
terakhir, Buya banyak bergaul dalam lingkungan lintas agama, lintas
etnis, lintas kultur, dan lintas bangsa, telah membawa kesimpulan:
jika orang beragama secara benar dan otentik, tidak ada alasan
untuk saling meniadakan dan apalagi untuk saling membunuh.
Kekeliruan besar Bertrand Russell terletak pada penolakannya
terhadap semua agama, bukan pada paham dan praktik agama yang
salah dan sesat, karena semua agama itu baginya adalah untrue
166 https://m.youtube.com/watch?v=pxoW_M6A9Mo.diakses pada tanggal 21
september 2018.
138
and harmful. Segi positif dari kritik Russell ini agar orang tidak
mempermainkan agama untuk tujuan tujuan rendah yang tunaadab, sebab daya rusaknya juga akan sangat masif167.
Kaitannya dengan tawaran Buya di atas menjadi Muslim yang
otentik dalam konteks menyikapi arus gelombong posisi umat Islam
di era sekarang ini yang tidak menentu Buya setidaknya mempunyai
konsep sendiri dalam menjawab posisi umat Islam maka umat Islam
harus menghilhami konsep tersebut menuju menjadi Muslim yang
otentik, pertama, konsep keislaman Buya menyakini bahwah umat
Islam akan bersinar apabila nadi-nadi Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
yang sahih selalu dijadikan pedoman utama dalam pernafasan
umat Islam, tidak ada yang harus dicemaskan jika kita semua siap
mengucapkan selamat tinggal pada kotak-kotak penuh darah dan
dendam kesumat itu, pemikiran Maarif dilandasi oleh sejarah masa
lalu kelam umat Islam dengan bercermin, pada ketegangan hubungan
antara Iran dan Arab Saudi sekarang ini, tidak bisa dipisahkan dari
kotak-kotak itu, sekalipun nasionalisme juga merupakan faktor
penting.
Buta terhadap realitas sejarah, umat ini telah kehilangan jati
dirinya sebagai manusia beriman yang tulus. Dalam logikanya,
“Lumpuh di sini, lumpuh di sana, atau tersungkur di sini, tersungkur
di sana”. Dalam bacaan Buya, kelumpuhan umat ini sama sekali tidak
masuk di nalar jika Al-Qur’an dijadikan rujukan dalam ungkapan
“kuntum khaira umma ukrijat lil al-nas (kamu adalah umat terbaik
yang ditampilkan untuk manusia),” seperti yang tersebut dalam
surah Ali-Imran (3) ayat 110. Tidak nalar, tetapi itulah yang berlaku,
semata-mata karena kebodohan dan kecerobohan kita sebagai umat
yang hobinya berpecah belah sambil menguras energi untuk sesuatu
yang sia-sia.
Syarat untuk merebut posisi umat terbaik itu menurut lanjutan
ayat adalah: kemampuan memerintahkan kebaikan (al-ma’ruf),
kesigapan mencegah yang buruk (al-munkar), dan beriman kepada
167 Baca Ahmad Syafii Maarif, “Ketika Paham Agama Jadi Ancaman” Republika, 22September 2018.
139
Allah. Tiga kualitas itu harus berjalan bersama dalam susunan gerak
yang menyatu, tidak boleh dipisah-pisahkan. Iman sebagai landasan
spritual yang teramat kokoh, yang mampu membuahkan kemampuan
menegakkan mencegah keburukan. Jika tidak demikian, iman itu
sedang berada pada posisi mandul, tak bertenaga. Akhirnya, agar
tidak “buta di sini dan di sana”, bangunan keislaman dan keimanan,
kata Buya, perlu untuk dikoreksi dan dipertanyakan kembali, apakah
sudah benar dan otentik diukur dengan benang merah Al-Qur’an dan
misi kenabian168.
Kedua, dalil kemanusiaan. Islam dalam bingkai kemanusiaan
yang adil dan beradab yang harus dikembangkan adalah Islam
sebagai kekuatan spriritual pelindung, bukan pengancam. Ke
arah kutub inilah, bola jihad dan ijtihad harus dihentikan, sekali
dan untuk selamanya. Islam adalah agama pembela keadilan dan
persaudaraan sejati sebagai wujud ajaran tauhid dalam kehidupan
kolektif manusia169.
Ketiga, konsep keindonesiaan. Dalil ini menyatakan bahwa
umat dalam beragama harus secara beradab, Bung Karno, setidaktidaknya dalam teori, menekankan prinsip Ketuhanan yang
berkeadaban atau Ketuhanan yang berkebudayaan, dalam arti orang
beragama dengan berbudi pekerti luhur dan dengan sikap saling
menghormati satu sama lain.
Sekalipun tantangan isu antara keislaman dan keindonesiaan
yang terus menghantam diruang publik, tetapi harapan untuk
membangun suatu Muslim Otentik, yang hidup ditengah-tengah
mayoritas Muslim, untuk terus menyuarakan pesan-pesan Islam
universal ini. Pesan-pesan Islam arus dibumikan dalam kehidupan
keislaman sehingga wajah yang terpancar umat Islam diruang publik
adalah wajah Muslim Otentik sebagaimana Buya pesan-pesan
universal didalam Al-Qur’an,sehingga umat Islam di Indonesia tidak
begitu mengerikan.
168 Ahmad SyafiiMaarif, Arab dan Masa Depan Dunia Islam,h.180-195.
169 Ahmad Syafi Maarif, Islam dalam Bingkai kemanusian dan keindonesian:
Sebuah refleks Sejarah, h 109
140
Muslim otentik adalah kembali kepada Al-Qur’an dengan cara
mengambil nilai norma-norma yang ada di dalam Al-Qur’an, Muslim
otentik adalah Muslim yang harus memahami Nilai-nilai normatif
yang membawa pesan-pesan moral universal, Muslim otentik
dalam pandangan Buya adalah, Muslim yang memahami Nilai-nilai
subsantif atau esensialis ajaran agama, otensititas Muslim mampu
membawa pesan-pesan prospektif transformatif yang mendasarkan
pada Paradigma quranik sehingga tidak terbelenggu dari sejarah.
Sebaimana juga yang digambarkan Zaprulkhan dalam bukunya,
“Islam yang Santun dan Ramah”, Toleran dan Menyejukkan Sifat
Al-Qur’an dan Sunah yang poly interpretable (hummalat lil wujuh),
maka cukup bijak kiranya jika kita menyadari bahwa tidak pernah
ada pandangan tunggal terhadap Islam dalam menyikapi problemproblem sosial politik kemasyarakatan. Walaupun demikian, saya
sepakat dengan Khaled Abou El Fadl, bahwa Islam yang otentik
adalah Islam humanistik yang menebarkan pesan kasih sayang,
rahmat, cinta, dan keindahan. Islam humanistik, ini memiliki
orientasi religius yang bersifat fokus pada mengakhiri penderitaan
manusia dan yakin bahwa kesejahteraan dan kemajuan merupakan
sebuah tugas Ilahiah.170 Hal ini sejalan dengan pemikiran Buya
Ahmad Syafii Maarif dalam pemikirannya menjadi Muslim otentik.
Buya adalah sosok yang tepat hadir ruang publik pada saat ruang
publik mengalami ketidakwarasan, karena pada sejatinya Buya
sudah membuktikkan dirinya sebagai seoarang intelektual publik
dan ilmuwan produktif.
Karena pada dasarnya dalam setiap jantung agama terdapat
sumber-sumber otentik yang bisa memberikan kontribusi secara
positif bagi pembangunan masyarakat dunia. Karena itulah, agama
perlu terus menggali tradisinya dan menemukan kebijaksanaan yang
mampu mengusahakan kedamaian dan rekonsiliasi, kerja sama dan
tolerans, bukannya menebarkan kemarahan dan kebencian, perang
dan permusuhan. Akhirnya kearifan itu harus disemaikan bukan hanya
170 Zaprulkhan, Islam yang Santun dan Ramah, Toleran dan Menyejukkan (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017), h. Vii
141
dalam konteks kemanusiaan yang bersifat lokal, melainkan dalam
konteks global dan plural171.
Menurut Buya, Al-Qur’an seharusnya kita ajak berunding
sebagaimana dalam bukunya yang berjudul, Islam dan Politik.
Menurutnya, dalam situasi yang sekarang ini, Al-Qur’an harus kita
ajak berunding dalam kerja mencari jalan keluar dari kerumitan
masalah pendidikan yang tengah dihadapi umat manusia sekarang ini.
Sehingga peradaban yang akan datang adalah peradaban yang ramah,
peradaban yang menempatkan fitrah manusia pada posisi yang wajar.
Secara tegas Buya mengingatkan kepada kita semua; “Bila memang ke
sana bola peradaban ingin kita gulirkan, maka corak perilaku seoarang
anak manusia, sepenuhnya ditentukan oleh pandangan moralnya.
Dan moral itu, menurut Al-Qur’an, hanyalah mungkin menjadi solid
bila ia didasarkan pada Nilai-nilai transendental kenabian. Mencari
landasan moral di luar itu sudah pastit akan mencemari fitrah manusia.
Itu berarti merenggut nilai kesucian yang paling asasi. Seperti kita
saksikan pada abad ini, Prinsip moral menjadi terombang-ambing
oleh perputaran situasi. Ia kehilangan makna universalnya. Dan
itu, mungkin masih akan berlangsung pada abad yang akan datang,
abad XXI, umat Islam dengan jumlah sekitar satu miliar, sebenarnya
merupakan potensi penyelamat kemanusiaan yang dapat diandalkan,
sekiranya mereka mengenal dan mengamalkan petunjuk-petunjuk AlQur’an secara cerdas dan bertanggung jawab. Cerdas dan bertanggung
jawab itu, sebenarnya, pengejawantahan iman dalam kehidupan
kolektif manusia.172 Suasana cerdas dan bertanggung jawab ini masih
belum membudaya secara menyeluruh dalam masyarakat Islam.
Realitas kehidupan kita masih jauh dari cita dan citra yang dituntut
oleh Al-Qur’an. Padahal, generasi awal umat pernah dipilih Allah
sebagai pengawal moral yang dipercaya. Menegakkan moral adalah
kerja Jihad. Dan itu hanyalah dapat dilaksanakan oleh umat pillihan
yang berkualitas tinggi. Orang yang telah mempelajari Al-Qur’an
171 Zaprulkhan, Islam yang Santun dan Ramah, Toleran dan Menyejukkan, h.
119
172 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan politik (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018),
h.322
142
dengan serius dan hati terbuka, tentunya tidak akan gagal dalam
menangkap esensi ajaran Kitab Suci ini tentang apa yang kita kenal
dengan ungkapan ukhuwah Islamiyah. Suatu ungkapan yang sering
benar disebut, tetapi tampaknya masih sedikit di antara kita yang mau
mendaratnnya dalam perilaku sehari-hari.
Dalam analisis, Buya sebab utama dari kesenjangan ini,
berasal dari kenyataan bahwa internalisasi Nilai-nilai iman dalam
diri belum terjadi secara meyakinkan, tingkat keberagamaan kita
barulah pada tingkat awam. Kualitas keberagamaan pada tingkat
ini, sudah berang tentu tidak akan mampu menangkap secara cerdas
sinyal-sinyal halus Qur’ani tentang makna ukhuwah bagi pemeluk
beriman. Keberagamaan pada tingkat ini lebih pandai berbicara
tentang dan melihat pada segi-segi formal, ketimbang menukik pada
substansi ajaran. Proses internalisasi Nilai-nilai iman belum terjadi
seperti yang dituntut oleh Al-Qur’an dan ditelandankan Nabi dan
generasi awal umat ini.
Penutup
Buya adalah seorang intelektual Muslim yang telah selesai
menemukan jati dirinya di tengah-tengah peradaban yang tidak
menentu. Ia tak ingin lagi terjebak dalam daki-daki sejarah. Buya
menjadi Bapak Sejarah yang bertugas mengingatkan umat Islam
sebagai kaum mayoritas di Indonesia untuk meninggalkan daki-daki
sejarah sehingga wajah Islam yang ditampilkan adalah Islam yang
ramah yang memperjuangkan keadilan dan perlindungan kepada
seluruh warga yang mendiami bumi Indonesia.
Konsistensi Buya dalam memperjuangkan Islam yang terbuka
dan Islam yang ramah, tentu tindakannya ini tidak dapat dilepaskan
dari pandangannya yang meyakini bahwa keislaman harus senafas
dengan keindonesiaan dan kemanusiaan. Atas dasar itu, Buya
meyakini bahwa apa yang disebut dengan penuh haru oleh sebagian
komunitas Muslim tentang “ The Golden Ages of Islam”. Peradaban
Islam berkembang hingga mencapai puncak tertingginya. Namun,
kita perlu memahami bahwa semua itu juga dibangun di atas darah
143
umat Islam yang berbeda pandangan politik. Pada kenyataannya,
nafsu kekuasaan tanpa didampingi kekuatan moral yang tangguh,
pasti merusak. Agama sering benar tidak berdaya. Rasa haus akan
“kejayaan” mengalahkan sisi kerohanian manusia, Akibatnya,
bahkan masih kita rasakan sampai hari ini. Kita terpasung dalam
kotak-kotak politik.
Dan Akhirnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di
atas yang cukup menggelisahkan hanya ada satu cara untuk bisa
menjawabnya yaitu kita harus menjadi Muslim yang otentik dengan
bingkai kemanusiaan, adil, beradab dan keindonesiaan dalam bingkai
Islam yang ramah, dan berucap dengan ikhlas, “selamat tinggal
daki-daki sejarah. Sehingga akan terpancar Islam yang damai, Islam
yang konstruktif dan Islam yang dapat mengayomi bangsa ini,
dengan tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan lain-lain. Itulah
Islam yang benar. keislaman harus satu nafas dengan keindonesiaan
dan kemanusian, inilah pesan-pesan Buya yang ingin disampakan
terhadap umat Islam di muka bumi jagat ini agar menjadi Muslim
yang otentik. Muslim sebagaimana cita-cita Al-Qur’an yaitu Muslim
yang menebarkan Nilai-nilai rahmatan lil alamin di Bumi Pertiwi.
umat Islam harus mampu membangun sebuah peradaban yang
mampu mengawinkan kekuatan zikir dan pikir, kekuatan langit dan
bumi, sehingga fenomena modernitas barat yang sedang kehilangan
jangkar spritual tidak ditiru dan diwarisi.
144
Daftar Pustaka
Burhan, Ahmad Najib, Muazin Bangsa dari Makkah Darat. Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta. 2015
Maarif, Ahmad Syafii, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam
.Yogyakarta: Bunyam, 2018
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan: SebuahRefleksi Sejarah.
Bandung: Mizan, 2015.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan politik. Yogyakarta: IRCiSoD,
2018.
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Aktual. Bandung: PT Mizan Pustaka
IKAPI, 1991.
Sangadji, Anto, dkk. “Adakah Evolusi Aktualisasi Nilai-nilai Islam
oleh Umatnya yang Dapat Didata dan Diproyeksikan ke
Masa Depan?”, Jakarta: Pustaka IndoPROGRESS & Islam
Bergerak, 2017
Zada, Khamami, Islam Radikal Pergulatan Ormas-ormas Islam
Garis Keras di Indonesua. Jakarta: Teraju, 2002.
Zaprulkhan, Islam yang Santun dan Ramah, Toleran dan
Menyejukkan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2017.
Zuhri, Saefudin, Gelombang Populisme Islam di Indonesia, Jurnal
MAARIF.Vol. 12, No. 1 — Juni2017.
Link
https://m.youtube.com/watch?v=pxoW_M6A9Mo.diakses pada
tanggal 21 september 2018.
145
PANDANGAN AHMAD SYAFII MAARIF
MENGENAI ISLAM DAN MASA DEPAN INDONESIA
DALAM BINGKAI PLURALISME
Mulyadi
Pendahuluan
Ahmad Syafii Maarif atau lazim dipanggil dengan Buya Syafii
merupakan sosok sejarawan terkemuka pemersatu bangsa Indonesia.
Sebagai seorang guru besar sejarah, beliau tidak diragukan lagi
dalam kiprahnya sebagai seorang penulis ide-ide segar mengenai
kebangsaan, kenegaraan, kebhinekaan, Pancasila, dan ide-ide
masadapan Indonesia yang lebih baik. Kiprah akademis Buya Syafii
sangatlah fenomenal sehingga masyarakat Indonesia menilai beliau
sebagai insan sosial, inklusif, moderat, terbuka, toleran, berkarakter,
serta yang paling menonjol adalah bagunan idiologisnya mengenai
Pluralisme. Ide-ide Buya menitih-beratkan pada kecerdasan
generasi bangsa untuk lebih maju dan berperadaban. Diusianya
yang telah lanjut, Buya Syafii tidak henti-hentinya untuk mengikuti
perkembangan Islam, politik, demokrasi Indonesia yang selalu
menjadi perdebatan sehingga tidak kunjung selaras dengan ide-ide
kelopok tertentu, baik yang mengatasnamamakan ormas, kelopok
Islam, maupun bentukan barisan lainnya.
Mengikuti perkembangan Islam kekinian, Buya Syafii
mengkritik keras kelompok yang menamakan Islam tetapi mengancam
kesatuan bangsa.Kelompok tersebut, dengan mengedepankan jubah
besarnya dan beridiologi Islam tegasnya rentan meneror siapa saja
146
yang tidak sejalan dengan ide-ide mereka.Semestinya idiologi
Islam membangun konsep keteduhan dan kemajemukan yang
saling menghargai dalam perbedaan. Jika hal ini tidak berwujud
dalam kebinekaan masyarakat Indonesia yang majemuk maka masa
depan generasi bangsa terancam ketentramaanya. Ditambah lagi
dengan Ide-ide doktrin yang berbasis epistimologis radikalis yang
mengobrak-abrik kesatuan dan persatuan bangsa.
Buya Syafii dalam banyak buku dan tulisan beliau sangat
berharap pada masadepan bangsa yang damai, tentram, adil dan
sejahtera sesuai dengan maklumat Idiologi Pancasila. Dengan
demikian, tulisan ini mencoba menguak sepintas pemikiran Buya
Syafii mengenai pentingnya nilai dan idiologi serta etika pluralisme
sebagai poros masa depan bangsa Indonesia. Mengingat kekinian
tengah gencar-gencarnya arus radikalisme, politik yang tidak
menentu, ekonomi yang menekan rakyat serta pendidikan anak
bangsa yang masih teromabang-ambing.
Pluralisme Sebagai Sebuah Ide Pemersatu Bangsa
Saat ini wacana mengenai pluralisme173 mesti dilihat kembali
sebagai sebuah gagasan idea pemersatu bangsa dalam bentuk aspek
praktis. Telah banyak disaksikan bahwa segolongan manusia atau
sekelompok orang mengatasnamakan agama keliru terhadap cara
173 Akar kata Pluralisme adalah Plural yang berarti jamak atau lebih dari satu.
Dengan demikian pluralisme merupakan pernyataan kejamakan atau beranekaragam. Dalam kajian filosofis, pluralisme diberi makna sebagai doktrin bahwa substansi hakiki itu tidak satu (monoisme), tidak dualisme, akan
tetapi banyak (jamak). Sekurang-kurangnya terdapat beberapa ciri pluralisme yaitu: selalu berkaitan dengan memelihara dan menjungjung tinggi
hak dan kewajiban masing masing kelompok, menghargai perbedaan dalam
kebersamaan masyarakat yang benar-benar memiliki karakter bahwa masing-masing pihak berada pada tataran yang sama, pluralisme menunjukkan
kepada wahana untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan
berkomunikasi secara jujur, terbuka dan adil., pluralisme harus didudukkan
pada posisi yang proposional, dan menunjukkan adanya persamaan kepemilikan bersama untuk kepentingan kemanusiaan yang diupayakan bersama
tanpa adanya diskriminasi sesama manusia, kelompok, dan pemeluk agama.
147
pandang toleransi. Melihat fakta ini perlu diluruskan kembali apa itu
pluralisme sebenarnya, apakah dia sekuleris (bebas tanpa spiritual),
moderat, atau sesuatu yang dapat memecah-belahkan bangsa.
Jika pluralisme disebut dengan keragaman maka tidak banyak
polemik yang muncul, akan tetapi jika ide pluralisme mutlak yang
muncul maka banyak yang menolak, antara paham atau tidak mau
memahami. Keragaman agama dan budaya menurut Buya Syafii
sama denganmemformularisasikan pluralismeagama dan budaya,174
karena Pluralisme ini merupakan ajaran Islam dari Allah Swt, melalui
kitab suci-Nya.
Konsep pluralisme dalam Islam sebanarnya merupakan
sunnatullah, karena sejak dahulu memang menjadi fakta yang
nyata terlihat.Islam merupakan agama damai, tentram, toleran serta
mengayomi agama-agama lain yang berbeda tanpa kekerasan dan
penyerangan.Nasr mengatakan bahwa Islam merupakan agama
wahyu Allah Swt, baik tertulis maipun pesan tersirat setelahnya.
Islam merupakan imanensi-transedensi religius yang menjadikan
manusia aman dan tentram dalam kehidupan keagamaanya juga
sisi kemanusiaannya (sosial).175Mengenai pluralisme, Al-Qur’an
sebagai kitab suci umat Muslim telah berangkat lebih jauh mengenai
hal ini.Pluralisme tidak mesti dianut oleh manusia yang beragama,
mereka yang tidak menganut agama jugaharus memiliki tempat di
bumi. Al-Qur’an ternyata telah mengintruksikan umat untuk toleran,
akan tetapi umat masih gagal paham dalam memaknakan tolerasni
tersebut. Islam melalui pesan Al-Qur’an mengajak manusia untuk
beriman, memberikan keamanan ontologis pada diri setiap individu
dalam pengembaraan hidupnya yang tak luput dari guncangan dan
tantangan.
Manusia memang mahluk yang sukar dipahami.Manusia
merupakan mahluk unik, mereka tidak selalu tampil dalam format
174 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009),
h. 166.
175 Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengan Dunia Modern, (Bandung:
Pustaka, 1994), h. 73.
148
yang otentik, karena kemapuannya untuk bersandiwara demikian
besar.Dalam konsep pluralisme, semua keunikan tersebut harus
diakui sebagai fakta mental yang melekat dalam batin manusia.
Untuk sampai pada pengakuan ini haruslah mengembangkan budaya
toleransi yang tinggi dan mengakui keberbagian dan kemajemukan
itu secara sadar dan dengan sikap positif.Tidak hanya saja agama
dan budaya yang beraneka ragam, bahasa, dan kulit manusia juga
mutlak dengan kemajemukan.Dengan demikian, kemajemukan itu
memang sengaja Allah Swt, ciptakan agar peradaban umat manusia
penuh corak dan saling melengkapi. Mengenai pluralisme, perlu
adanya diskursus lebih lanjut agar generasi bangsa tidak mudah
gagal paham akan pengertian dan maknanya. Konsep pluralisme
membangun peradaban umat manusia untuk menjunjung tinggi
Nilai-nilai Islam secara mutlak untuk dipraktikkan bukan hanya
sebagai wacana intelektual semata.
Argumentasi pluralisme mencirikan sikap toleransi antara
agama-agama yang ada di Indonesia merupakan hal yang mesti
dilakukan.Realitas Indonesia memang terdiri dari berbagai suku,
bangsa, dan agama yang berbeda-beda, maka sikap toleransi menjadi
suatu hal mutlak yang mesti dijunjung. Menganggap semua agama
itu sama dapat menimbulkan makna ganda yang dapat menuai
perdebatan. Wacana kekinian yang dipahami bahwa argumentasi
Islam untuk pluralitas cenderung menganggap bahwa semua agama
itu sama. Padahal tidak demikian adanya, Islam pluralisme mengarah
pada bentuk aktualitas dari sebuah agama yang merupakan obyek
toleransi terhadapnya.Segala bentuk perbedaan dalam agama, juga
pemahaman di luar Islam mestilah dijadikan sebagai warna-warni
budaya dan corak masyarakat multi kultural bangsa Indonesia.176
Buya Syafii persisnya menyadari ancaman kelompokkelompok radikal yang dapat mengancam kesatuan dan persatuan
umat, baik yang telah mengakar di Nusantara maupun yang akan
muncul kemudian. Kelompok radikal yang bersembunyi di balik
176 Husein Muhammad, Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gus Dur, (Yogyakarta: LKIS, 2012), h 54-55.
149
bendera Islam seperti Laskar Pembela Islam, Laskar Jihat dan
Laskar Mujahidin Indonesia dapat mengecaukan suasana pluralitas
bangsa Indonesia.Saat ini mereka begitu gencar untuk melakukan
demonstrasi di jalan-jalan menuntut terbentuknya syariat Islam secara
menyeluruh.Kelompok tersebut cenderung melakukan serangan
fisik, perusakan secara sepihak yang mengatasnamakan Islam dan
ketentraman.177Kelompok-kelompok tersebut menganggap bahwa
idiologi bangsa saat ini tidak berhasil mengatasi masyarakat dalam
hal sistem politik, ekonomi, keamanan dan ketentraman bangsa.
Mereka mendesak agar pemerintah serta cendikiawan Muslim
bertangung jawab atas kekeosan yang tidak menentu ini.
Bagi Buya Syafii, kehadiran kelompok-kelompok radikal
tersebut merupakan ancaman bagi sistem demokrasi Indonesia.
Kelompok-kelompok tersebut mencoba mengambil celah untuk
didengarkan atas klaim mereka terhadap politik yang berubah-ubah.
Wacana yang mereka angkat kepermukaan dalam ruang publik
terbuka telah bergeser dari prinsip-prinsip pluralis dan demokratis.
Tidak hanya itu, mereka mencoba mengacaukan pesan kesan moral
dalam kebinekaan dengan melakukan aksi yang mengatasnamakan
Islam.Kehadiran serta kemunculan kelompok tersebut secara tidak
langsung membuat Islam ditakuti masyarakat Indonesia khususnya
non-Muslim dan opini miring terhadap Islam. Padahal Islam tidak
seperti apa yang meraka lakukan sebagai alat untuk kepentingan
kelompok tersebut. Islam merupakan agama Rahmatan lilalamin,
menjungjung tinggi pluralitas, melakukan elaborasi intelektual
religius secara mendalam serta mendiskusikan hal-hal berkaitan
dengan sosial, hukum Islam, kelembagaan sosial Islam, dan
perPolitikan.178
Buya Syafii memberikan pernyataan bahwa tekanan radikalisme
ini merupakan sebuah politik identitas.179 Tekanan tersebut
177 Ahmad Najib Burhan, dkk, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, (Jakarta:
Maarif Institute dan Serambi 2015), h. 77.
178 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, ( Bandung: Mizan, 2017), h. XV.
179 politik Identitas secara substantive merupakan kepentingan anggota-anggota
150
setidaknya menimbulkan beberapa hal yaiti: pertama,kekerasan fisik
seperti pengrusakan tempat ibadah seperti geraja, masjid, maupun
kekerasan fisik lainnya yang menyebabkan obyek kekerasan tersebut
menjedi trauma, terluka, bahkan menyebabkan korban jiwa. Kedua,
kekerasan simbolik, yang merupakan kekerasan semiotik seperti
bentuk retorika propokatif, tulisan-tulisan, dan ceramah-ceramah
bernada pelecehan sesuatu mengenai agama.Ketiga, kekerasan
struktural, yaitu berbentuk kekerasan yang dilakukan oleh Negara,
baik melalui perangkat hukum maupun aparatur negara.180 Dalam
kancah Indonesia, radikalisme muncul diakibatkan oleh ingin
mendominasi atas nama kelompok tertentu untuk melakukan
tindakan menyingkirkan kaum yang mereka anggap minoritas
yang dianggap menyimpang dan tidak sejalan dengan pemahaman
kelompok tersebut. Perihal itu semestinya tidak terjadi di Indonesia,
mengingat bahwa Muslim Indonesia sangat mengerti perihal
toleransi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ide bawaan
(fundamentalisme ortodok) atas agama yang tidak menerima
wawasan terbuka menyebabkan mereka keliru dalam memahmi
agama secara universal.
Pergumulan historis antara Islam dan pluralitas di Nusantara
telah berlangsung lama, melahirkan Nilai-nilai sejarah yang terus
berlanjut dan rumit, namun nilai toleransi keduanya tetap terjalin
sampai saat ini. Dengan demikian, membentuk nilai pluralitas itu
tidaklah mudah dan membutuhkan proses internalisasi mendalam,
akantetapi menjaga dan merawat nilai pluralitas lebih susah dan
banyak hambatan. Gagasan keislaman Buya Syafii sangat menarik,
pemikirannya terlampau jauh kedepan untuk menjaga keutuhan
kelompok tertentu atau kelopok tertentu yang meresa dikungkung bahkan
disingkirkan oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa dan negara.
Fokus utama poltik identitas yaitu permasalahan yang menyangkut perbedaan yang didasarkan atas politik etnisitas primodialisme, primodialisme,
pertentangan agama, kepercayaan, dan retorika publik., lihat Ahmad Syafii
Maarif, politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, (Jakarta: PUSAD, 2010).
180 Ahmad Syafii Maarif, politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita,
(Jakarta: PUSAD, 2010), h. 44.
151
bangsa Indonesia. Pluralitas yang dijunjung Buya Syafii tidaklah
lain untuk menjaga bangsa dari radikalisme serta idiologi kelompok
tertentu saja yang mengatasnamakan Islam. Buya selalu mengajak
bangsa Indonesia secara keseluruhan untuk selalu menjaga idiologi
Pancasila sebagai falsafah negara yang merupakan tujuan final
bagi bangsa Indonesia.181Kelompok-kelopok radikalis di atas jelas
sangatlah bahaya jika terus berkembang di Indonesia.Idiologinya
dapat membuat bangsa Buyar, bangsa berantakan, bangsa
berdebat mencari akar kebenaran bukan lagi bagaimana merawat
keberagamaan dalam Bingkai Keindonesiaan.
Konsep pluralisme adalah imanensi sebuah prilaku manusia
yang dibangun atas dasar kesadaran spiritualitas individu serta
ditempuh melalui jalan panjang dari kontemplasi intelektualitas.
Melalui pemahaman mendalam tentang pluralitas Buya Syafii
berkeyakinan bahwa Islam di Indonesia dapat memberikan nilai
spiritual, etika, dan moral bagi kedaimaian bangsa.Konsep pluralitas
jika dicermati dengan baik maka memunculkan nilai toleransi tanpa
pamrih, sikap saling menghargai dalam keberagaman dan memahami
dalam pembedaan.Jelas disini bahwa Buya Syafii menegaskan
bahwa pluralisme adalah jalan beragama secara beradab, jujur, tulus,
lapang dada, dan berbudi luhur.Dengan sikap lapang dada berarti
prinsip pluralisme menjadi penting dalam kesediaan menghargai
hak otoritas individu lain untuk berpendirian bahwa agama yang
dipeluknya adalah agama kebenaran, sekalipun kita tidak perlu
menyatakan kebenaran akan hal tersebut.182 Pada waktu yang
bersamaan, kelompok lain mesti menghargai Islam bahwa Islam
merupakan agama yang paling benar, namun ungkapan paling benar
di sini mesti dikembalikan kepada hak individu pemeluk agamanya.
Jika dalam sebuah bangsa telah terbangun pemikiran pluralis murni
dengan penuh kesadaran maka sangat yakin tidak ada golongan atau
kelompok radukalisme yang bersembunyi di balik jubah putih Islam.
181 Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 144-145.
182 Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009), h. 30.
152
Buya Syafii menegaskan bahwa ide-ide serba radikal yang
terus muncul dan tidak menerima inti pluralisme maka faktor
utamanya adalah ketertidak sanggupan ide besar dikerjakan oleh
otak-otak yang kecil yang telah dipengaruhi oleh emosi dan syahwat
kekuasaan dan politik tidak sehat.Ide mereka tidak ditopang oleh
kemantapan teori maupun pengetahuan memadai tentang kekuatan
penalaran orisinil.Ada yang membangun argumentasi secara teori
tetapi belum sepenuhnya berangkat dari pemahaman Al-Qur’an dan
sunnah Nabi secara tepat dan otentik. Suasana Islam yang tengah
terjepit terlalu tergesa-gesa dijadikan alas an untuk membangun teori
yang lemah dasarnya.Hasil akhirnya pasti kacau karena suasana batin
yang marah menghadapi realitas telah dijadikan pangkal tolak untuk
membangun sebuah teori.183Ide dan pergerakan tersebut akan siasia dan menguras energi sehingga bukan memunculkan pencerahan
melainkan membuat bangsa semakin bingung dan ketakutan.
Reaksi yang berlebihan dan tempramental terhadap isuisu agama hanya akan memperumit keadaan yang berujung pada
perpecahan umat secara teologis, merupakan kesia-sian belaka yang
sebenarnya tidak perlu diperbesar-besarkan dan tidak perlu terjadi.
Kondisi ini semestinya dapat mengukur diri bangsa, membuka
mata hati individu untuk lebuh fokus terhadap masalah apa yang
sebenarnya tengan dihadapi Islam. Pluralismeakan bertahan lama
manakala masyarakat membangun budaya toleransi dan bukan
mendiskriminasi. Tekanan diskriminasi tersebut dapat memecah
kebersatuan bangsa baik dalam diskrimnisai agama, ras dan budaya.
Sikap pluralisme harus dibungkus dengan tidak adanya paksaan dan
kepura-puraan, konsistensi, penetapan hati secara sadar toleransi
merupakan salah satu capaian terbaik bangsa beradab.184Dengan
demikian maka ide pluralisme Buya Syafii merupakan sebuah gagasan
cemerlang sebagai pemersatu Bangsa untuk saling menghargai dan
183 Ahmad Syafii Maarif, Memorial Seorang Anak Kampung, (Yogyakarta: Ombak IKAPI, 2013), h. 224.
184 Wawan Gunawan Abd. Wahid, dkk, Fiqih kebinekaan Pandangan Islam
Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim,
(Bandung: Mizan, 2015), h. 24.
153
saling menghormati sesama tanpa adanya diskriminasi, intimidasi
maupun radikalisasi.
Perbedaan mengenai pembenaran ide otentik pada semua
agama tidak pernah ada ujungnya sepanjang sejarah umat manusia.
Menurut Buya Syafii bagi setiap pemeluk agama masing-masing
perlu mengembalikan masalah otoritas pembenaran tersebut kepada
keyakinannya terhadap Tuhan.Tugas utama masing-masing penganut
agama adalah berlomba-lomba dalam menaburkan kebaikan sesama
manusia, menjunjung tinggi toleransi sesama bukan hanya untuk diri
sendiri maupun kelompoknya.Untuk membentuk generasi Islam di
masa yang akan datang maka perlu adanya pendidikan yang memadai
bagi setiap individu-individu bangsa Indonesia. Dengan pendidikan
generasi penerus bangsa dapat dengan cerdas untuk membaca situasi
dan kondisi umat mengenai apa yang dibutuhkan.
Cerai-berainya umat saat ini diakibatkan pula oleh sikapnya
yang merasa paling benar dan tidak membangun satu kesatuan
utuh.umat Islam yang suka berpecah-belah adalah akibat mereka
telah berhenti berunding denganinti ajaran Islam yaitu Al-Qur’an
dan hawanafsu telah dijadikan sesembahan untuk menyetir diri
kearah keduniaan.Lebih jauh lagi adalah kenyataan sebahagian
individu Islam memakai dalil agama dan prinsip demokrasi untuk
melestarikan perpecahan tersebut tanpa rasa dosa sedikitpun.Dengan
kondisi demikian maka bagaimanamungkin para alhli pikir bangsa
menawarkan solusi logis untuk bangsa yang berperadaban dan
berkemajuan.185
Masa Depan Islam Indonesia dengan Idiologi Pluralisme
Diskursus panjang mengenai pluralisme memang bukan hal
baru di Indonesia, sempat heboh pada era 1990-an. Sampai saat
ini diskursus tersebut selalu hangat untuk dibicarakan walaupun
penuh dengan kotraversi.Perdebatan tersebut tidak semerta-merta
185 Heri Sucipto, Senarai Tokoh Muhammadiyah Pemikiran dan Kiprahnya,
(Jakarta Selatan: Grafindo, 2005), h. 211.
154
menjadikan kondisi bangsa ini semakin baik, malah sebaliknya
menjadi akar perdebatan yang tiada ujungnya.Kedamaian publik,
penerimaan kesetaraan masyarakat serta sikap toleransi antara
penganut agama sulit berkembang ketika kontraversi atas istilah harus
berlangsung tanpa adanya sikap dan pemahaman yang memadai.
Oleh sebab demikian maka perlu adanya perluasan wawasan secara
terus menerus untuk menyadarkan umat yang memungkinkan adanya
perubahan dalam pola pikir bangsa Indonesia kedepan.
Menanggapi hal tersebut maka Buya Syafii mencoba melihat
masa depan bangsa yang multikultural, multireligion, multietnik ini
dengan ide pemersatu yaitu pluralisme. Oleh sebab kaum Muslim
yang lebih dominan di negara ini maka umat Muslim harus berdiri
digarda depan dalam menjaga Nilai-nilai etis, moral, dan adab yang
terkandung dalam pluralisme. Sebaliknya, bukan pula umat Muslim
atas kedangkalan pemahaman akan agamanya memunculkan
radikalisasi serta ortodoksi yang tidak kunjung terbuka untuk
menerima ide pemersatu bangsa. Melihat kondisi bangsa saat ini
mungkin banyak orang merasa pesimis, entah sampai kapan negiri
ini segera menetas dari carut-marut yang kiat tak menentu.Tapi perlu
digaris bawahi bahwa pesimis tersebut tidak berlaku bagi Buya
Syafii dan seakan tidak pernah ada kata menyerah dalam upaya
untuk mempersatukan bangsa.
Buya Syafii melihat masa depan Islam di Indonesia ini harus di
mulai dari pemahaman Islam yang universal. Pemahaman demikian
mesti meninjau ulang Nilai-nilai substantive seperti kebebasan,
perdamaiaan, keadilan dan kesejahteraan hidup bersama.Karena
itu, baginya, Islam harus terbuka dan menawarkan solusi terhadap
masalah-masalah besar bangsa dan Negara, Muslim dan nonMuslim, tanpa diskriminasi.Islam juga harus bersifat membebaskan
masyarakat, dan selalu berpihak pada rakyat ekonomi rendah.
Menyikapi kekerasan ferbal atas nama Islam, Buya menegaskan
bahwa Islam mestilah memakai akal, santun, tegas, dan penuh tangung
jawab bukan menggunakan tenaga atau kekuatan fisik.186Islam
186 Najib Burhan, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, h. 280.
155
merupakan agama pembebasan agar bangsa Indonesia dapat menjadi
dirinya dengan seutuhnya, tidak hanyut dalam perbudakan idiologi
ortodok dan spritiualitas yang kaku.Pembebasan tersebut merupakan
bagian dari harkat dan martabat manusia di hadapan Allah Swt,
dan segala jenis intimidasi harus dilenyapkan karena bertentangan
dengan Nilai-nilai keislaman seutuhnya.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki pengenut
Islam terbesar di dunia.Dengan demikian Buya Syafii mengharapkan
bahwa masyarakat Islam harus terbuka untuk menjaga kedaimaan
bangsa.Inti ajaran Islam sebagaimana diketahui adalah menghabakan
diri ketapa Allah Swt, bukan malah menjadikan Islam beringas, ganas,
dan suka main hakim sendiri.Pandangan mengenai pencerahan Islam
untuk pluralisme jangan dilihat dalam kaca mata sempit, melainkan
Islam tidak sekedar berisikan ajaran-ajaran yang bersifat teologis,
melaikan sebuah sistem peradaban yang lengkap.umat Islam mesti
mencari solusi atas kegaduhan bangsa yang tidak berkesudahan,
kegaduhan itu bukan diselesaikan secara internal semata melainkan
mengajak seluruh elemen masyarakat untuk nimbrung dalam
penyelesaian masalah bangsa. Kajian khusus tentang doktrin
Islam sudah saatnya dilakukan secara intensif dan kontekstual,
dalam rumusan dan konsep layak pakai dengan dijadikan rujukan
kebersatuan umat. Islam sebenarnya sudah sejak senja mengandung
tawaran yang bersifat solutif dalam mengatasi problematika
kehidupan dan kemanusiaan. Namun, individu doktrinal Islam yang
gagal paham menyebabkan umat menjadi monster kekeosan umat
yang sedang menikmati kemerdekaan.
Sebagai seorang Muslim yang taat, Buya Syafii berani
memasukkan ide pluralisme agama dalam pembahasan Islam, hak
asasi manusia (HAM), dan demokrasi. Meskipun banyak kritikan
dari umat Islam sendiri, pendirian Buya untuk menata masa depan
Indonesia tidak tergoyahkan. Baginya, pluralisme agama tidak boleh
berdiri sendiri sebagai doktrin teologis bahkan filosofis semata.
Pluralisme agama lebih dalam bermakna kebebasan beragama dan
sekaligus ketulusan beragama.Buya sangat menjunjung tinggi hak
kemerdekaan beragama dan penganut suatu paham.Setiap individu
beragama atau tidak, wajib menghormati dan menghargai hak-hak
156
setiap warga negara dalam menganut agama dan kepercayaannya,
dan tidak ada hak bagi setiap individu untuk memaksa individu
lainnya untuk menganut agama yang dipeluknya.187Jelas di sini
terlihat bahwa betapa tegas sikap Buya Syafii terhadap Nilai-nilai
pluralisme dalam teologi beragama. Diskriminasi dan radikalisasi
agama tentu menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa dalam
bingkai kemanusiaan dan kebhinekaan.
Pluralisme dalam gagasan kontemplasi intelektual Buya Syafii
sangatlah mungkin diimplemtasikan jika masyarakat sadar akan
kediriannya yang utuh. Pluralisme sebagai ide gagasan kemajuan
bangsa menekankan prinsip penghargaan dan kesetaraan dalam
hubungan humanisme antar manusia. Sikap saling menghargai
dan kesetaraan sebagi wujud dari permersatu bangsa merupakan
dasar bagi pembangunan keharmonisan dalam hubungan sesama
manusia. Melalui ide pluralisme Buya Syafii diharapkan dapat
tercipta suatu spemerintahanlitas kehidupan yang ditandai oleh
sikap toleransi dalam keberagamaa, kebersamaan, di masyarakat
majemuk.188Namun sayangnya dalam kehidupan sehari-hari
pluralitas sering mengalami gangguan dan ancaman secara langsung
maupun tidak langsung.Maka dengan memahami pluralisme secara
mendasar akan menemukan titik terang pencerahan dalam diri
manusia secara substantive.
Perlu disadari bahwa pluralisme merupakan sebuah keharusan,
sebab Islam menekankan agar kaum Muslim dapat menempatkan
diri mereka pada kedudukan dan peran sebagai umat satha (Q.S.
2:143), yaitu umat pilihan yang menjungjung tinggi keadilan.
Umat Muslim juga diingatkan Allah Swt, sebagai umat muqtasidah
(Q.S.5:66), dengan tampilan karakteristik sebagai kelompok yang
jujur, lurus, dan tidak menyimpang dari kebenaran. Keseluruhan ini
didasarkan kesatuan awal yang disandangnya, yaitu sebagai umat
187 Ahamad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 170-172.
188 M, Tuwah dan Subardi, dkk, Islam Humanis: Islam dan Persolan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum, dan Masyarakat
Marjinal, (Jakarta: Mayo Segoro agung, 2001), h. 33.
157
yang berpegang kepada agama tauhid (Q.S.39:92). Dari seruan
ayat Al-Qur’an di atas jelas kiranya bahwa Islam sebagai umat
terbaik mesti menjunjung tinggi nilai akidah toleransi tanpa tekanan
kepada sesama manusia meskipun berbeda dalam kepercayaan dan
keyakinan.Pluralisme merupakan kenyataan yang bersumber dari
takdir Allah Swt, bahwa manusia dijadikan bersuku suku, berbangsabangsa agar saling meghormati, mengenal dan menghargai (Q.S.
39:13).
Harmonisasi pluralisme dapat memunculkan karakteristik
bangsa yang lebih beradab.Keangungan harmonisasi nilai pluralisme
bangsa tetuang dalam idiologi Pancasila yang merupakan falsafah
bangsa.Pancasila adalah hasil ramuan kontemplatif sosio historis
pendiri bangsa yang kemudian Soekarno rumuskan dalam lima
prinsip. Doktrin Pancasila misalnya mengenai ketuhanan tidak
memiliki kaitan organik dengan doktrin sentral agama manapun.
Dalam pandangan Soekarno bahwa konsep ketuhan yang tercantum
dalam Pancasila bersifat sosiologis, relatif, sehingga dapat
ditafsirkan menjadi keutuhan beragama dan keseragaman dalam
beragaman.189Nilai pluralisme dalam Pancasila jelas mulai dari
sila pertamanya, dimana keutuhan umat beragama saling mengisi
dan menjaga, inilah kejelasan nilai Pluralisme yang cerdas.Sejak
kelahiran Pancasila yang identik dengan kelahiran Indonesia,
menyematkan nilai budi luhur yang menjaga marwah bangsa
serta ketinggian bangsa Indonesia.Ruh pluralisme memang harus
tertuju keabsahannya dalam aspek praktis, namun kemaujudannya
telah terlihat dalam Pancasila sebagai bukti nyata idiologi bangsa.
Mengukuhkan keindonesiaan dan kemanusiaan masa depan bangsa
harus diambil ruhnya dari Nilai-nilai pluralitas luhur dengan tegaknya
keadilan yang merata bagi seluruh penghuni Nusantara.
Kekinian, Asumsi pernyataan mengenai keragu-raguan dalam
memahami prluralisme semakin menjadi-jadi, sepeti yang telah
dijelaskan di atas.Dengan tidak memahami secara benar inti dasar
189 Maarif,Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan dalam Konstituante, ( Bangdung: Mizan, 2017), h. 196.
158
Islam terhadap pluralisme maka bisa jadi bahwa Nilai-nilai dasar
ajaran Islam dalam kehidupan individu Muslim baru teradopsi dalam
bentuk serpihan-serpihannya saja.Islam tidak hanya membahas
masalah aspek ibadah dan kepentingan akhirat semata, melainkan
aspek humanisme, sosial, maupun ekonomi. Jika ketidak terbukaanya
Islam terhadap pluralitas maka dengan secara tidak langsung umat
Muslim seperti telah memasung Nilai-nilai ajaran agamanya.Dengan
demikian maka prinsi-prinsip harmonisasi pluralitas dari ajaran
Islam sesuangguhnya tidak tersentuh untuk teraplikasikan. Buya
Syafii menginginkan umat terbebas dari doktris ortodok Islam yang
tidak menerima Nilai-nilai kebangsaanya, yang padahal ia bertempat
dimana dia tinggal. Poklamasi pluralisme agama dalam memajukan
masa depan bangsa harus terangkum dalam segala aspek kehidupan
masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang beranekaragam dan multi
dimensi.
Buya Syafii memberikan isyarat keras bahwa tanpa adanya
perubahan sikap yang mendasar dalam masalah pluralisme maka
akan menghambat kebersatuan umat. Umat harus berkaca dengan
sungguh-sungguh, dan cerdas untuk melihat masa depan bangsa
dalam bingkai kebhinekaan. Jangan mengharap pihak lain untuk
menolong bangsa ini jika tidak siap untuk merubah diri sendiri.
Meskipun usianya yang sudah senja, Buya Syafii tidak pernah
berhenti untuk meberikan trobosan-trobosan baru walaupun
nilainya belum seberapa jika dikaitkan dengan harapan bangsa
yang teramat besar untuk sebuah perubahan fundamental dengan
Al-Qur’an sebagai hakim tertinggi.190Begitu besar harapan Buya
untuk mempersatukan umat tanpa terpecah dengan penuh pluralisme
dan harmonisasi Nilai-nilai kebudayaan dan kebhinekaan.Dengan
pluralisme tersebut secara perlahan bangsa mulai bisa berubah dan
berbenah kearah kesatuan dan persatuan.Tidak ada masalah yang
terlalu sulit untuk dipecahkan jika semua pihak memiliki pikiran
cerdas dan jernih, lapang dada serta memiliki ilmu memadai. Kultur
keiklasan dalam beragama merupakan modal dasar yang harus
dimiliki oleh semua pihak.Dalam ungkapan lain, egoisme mazhab,
190 Maarif, Memorial Seorang Anak Kampung, h. 226.
159
golongan, dan latar belakang sejarah secara berangsur-angsur harus
digantikan dengan semangat persaudaraan dan persatuan sesama
manusia yang multukultural.
Pluralisme diibaratkan sebagai mozoik yang Indah dan tata
warna dalam sebuah lukisan atau kelompok paduan suara merdu
sekaligus kelompok musik yang secara bersamaan menyanyikan
lagu dalam bentuk simponi.Pluralistikdikarakteristik oleh difusi yang
sangat luas dari berbagai kepentingan dan kompetisi antar kelompok
masyarakat.Pluralisme mencerminkan elaborasi kepentingan yang
terpancar dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam dunia kerja,
keluarga, pengajian, dan lainnya.Mewujudkan tugas pluralisme
kelompok yang mengatasnamakan agama harus saling bergandengan
satu dengan lainnya demi mewujudkan kemanusiaan yang adil dan
beradab.Tegasnya bahwa dalam masyarakat plural kebersamaan
menjadi esnsial dan penuh dengan makna.191Harmoni pluralisme
akan terwujud manakala umat dapat memahami hakikat dari
pluralisme itu sendiri. Dalam memaknakan tersebut butuh kajian
panjang serta keterbukaan mental serta spiritual untuk mewujudkan
masas depan bangsa dalam bingkai keislaman.
Relevansi permasalahan pluralisme dengan kenyataan yang
ada saat ini nampaknya menjadi wacana yang sangat menarik
untuk direnungi kembali, dengan memandang banyaknya terjadi
diskrimansi agama, sosial, budaya bahkan kekerasan secara langsung.
Dengan mengamati berbagai peristiwa yang ada di Indonesia akhirakhri ini, patut disangsikan kebenaran bahwa Indonesia adalah
bangsa pluralis.Tapi hal tersebut tidak berlaku bagi Busya Syafii
untuk terus berjuang memperjuangkan kebinekaan dan kemaslahan
bangsa. Konflik epistomologis dalam agam akan terkurangi bahkan
dapat hilang sekaligus apabila setiap pemeluk agama internal
maupun eksternal saling bersikap terbuka saling menghargai dan
mengakui eksistensi umat lain. Konsekuensi dari sikap demikian
adalah adanya kemauan untuk mengakui bahwa semua agama itu
191 Yusuf Qordhawi, Anatomi Masyrakat Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 1999),
h. 96.
160
sama akan tetapi pengakuan tersebut dalam rangka sebagai bagian
dari keyakinan semata dan dari pemeluk agama yang beragam.
Ide pluralisme bukan berangkat dari ide sekularisme,192dengan
jelas Buya tidak sepaham dengan kata tersebut.Masyarakat luas
cenderung memahami bahwa pluralisme mengandung dilainilai sekularisme, padahal tidak demikian adanya.Buya Syafii
malah memandang sekularisme cenderung ateistik dan menolak
peran agama dalam kehidupan publik.Sekularisme berasal dari
agama Protestan berupa rasionalisasi, pencerahan, diferensiasi,
atau pembedaan antara agama dan negara.Kebebasan tanpa batas
merupakan prototipe sekularisme, privatisasi agama dan keyakinan,
universalisme, modernisasi dan sebagainya menjadi inti ideologi
sekularisme.Buya Syafii menekankan ketidak setujuannya terhadap
sekularisme sebab menegasikan peran tuhan terhadap agama-agama,
ini dapat merusak Nilai-nilai kemanusiaan yang universal.Bagi Buya
Syafii bahwa universalisme harus memasukkan Tuhan dan agamaagama, jika agama ditiadakan di bawah pesan Tuhan maka itu tidak
disebut sebagai universalisme.193
Sekularisme dapat didefinisikan sebagai pembebasan manusia
dari agama dan metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya.AlAttas mengatakan bahwa sekuler mengandung bibit pemahaman
perubahan dan keduniaan. Perubahan yang dimaksut ialah
perubahan dalam pikiran manusia menurut perubahan-perubahan di
sekelilingnya, yakni perubahan nilai, religius, ilmu, dan seterusnya
akan berlaku sebagai suatu evolusi.194Mulyadhi Kartenegara
192 Sekularisme dapat didefinisikan sebagai pembebasan manusia dari agama
dan metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya.Al-Attas mengatakan
bahwa sekuler mengandung bibit pemahaman perubahan dan keduniaan.
Perubahan yang dimaksud ialah perubahan dalam pikiran manusia menurut
perubahan-perubahan di sekelilingnya, yakni perubahan nilai, religius, ilmu,
dan seterusnya akan berlaku sebagai suatu evolusi. Lihat Al-Attas, Islam,
Secularism and the Philosophy of the future, (London: Mansell Publishing
Limited, 1985), h. 14.
193 Maarif, Muazin Bangsa, h. 286.
194 Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTACT, 2001),
h. 196.
161
mendefinisikan sekulerisme dengan sesuatu yang bersifat
keduniawian (worldly) sebagai lawan dari spiritual dan religius.Kata
sekuler lebih mengedepankan kehidupan dunia dan mengabaikan
akhirat, dan dari sudut ontologis mementingkan yang bersifat materil
ketimbang spiritual.195Di sini jelas kiranya bahwa Buya Syafii tidak
sepaham dengan sekularisme jika dikait-kaitkan dengan pluralisme,
sebab idiologi tersebut dapat mengancam spemerintahanlitas bangsa
yang utuh.Mengingat juga bahwa Indonesia didiami oleh salah satu
hegomoni Muslim terbesar di dunia.
Masyarakat Muslim Indonesia semetinya tidak menjadikan
sekularisasi sebagai prototipe untuk menentukan arah keberIslamannya.
Doktrin sekulriasi sangatlah jelas yaitu mengajak umat untuk
menganut paham bahwa kehidupan keagamaan adalah kehidupan
pribadi masing-masing, yaitu kehidupan keagamaan hanya sekedar
berfungsi untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya.Paham
Islam sekularisme identik dengan urusan negara (Politik) berbeda
dengan urusan agama.196 Sedangkan yang berkenaan dengan masalah
keduniawian, mengajak untuk memecahkan dan menyelesaikannya
dengan cara lain yang lebih rasional. Akan tetapi hal tersebut merupakan
hal yang lumrah bagi agama selain Islam.Islam tidak memiliki alasan
untuk menggunakan Istilah sekular, sebab istilah tersebut bukan
berasal dari Islam.197Memang, jika kita perhatikan bahwa sekularisme
selalu diakit-kaitkan dengan isu agama dan keyakinan umat beragama.
Seperti yang diutarakan oleh Paul Tillich bahwa sekularisme memang
diciptakan untuk merasuki agama dan tidak bisa keluar dari komunitas
yang mengimani agama tersebut. Sekularisme akan terus bersandar
pada agama-agama dan menggangu kepada tahapan yang lebih dalam
195 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistimologi
Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 120.
196 Pradoyo, Sekularisasi dalam Polemik, (Jakarta: Grafiti, 1993), h. 19. Lihat
juga Budhi Munawar Rachman, Argumentasi Islam untuk Sekularisme, Islam Progresif dan Perekembangan Diskursusnya, (Jakarta: Grafindo, 2010),
h . 2-11.
197 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008), h . 191.
162
yaitu pada aspek spiritual kehidupan manusia.198
Di sini tampak jelas bahwa argumentasi sekularisme jauh
berbeda dengan konsep pluralisme.Sebab Islam menghendaki adanya
saling keterkaitan antara hukum dunia dan hukum akhirat.Keduanya
tidaklah harus terpisah melainkan berjalan selaras sebagai ketetapan
Tuhan.Aturan-aturan di bawah garis keagamaan mestilah selaras
dengan aturan manusia, dalam hal ini termasuk hubungannya dengan
hukum, negara, sosial, budaya, maupun hal lainnya.Segala sesuatu
yang menyangkut masalah umat Islam telah tertera dalam aturan
syariat serta merupakan satu kesatuan yang utuh.Islam memiliki
doktrin bahwa adanya kehidupan setelah kematian, oleh sebab itu
maka kehidupan itu tidak hanya bersifat keduniaan semata.Dalam
membangun ide Pluralisme, Buya Syafii tidak memasukkan ide-ide
sekulraisme sebab dapat membahayakan umat dan memunculkan
radikalisasi agama yang semakin meluas.
Pluralisme Merawat Kewarasan Publik
Isu yang sangat serius terhadap hegomoni pemikiran publik
saat ini adalah kegagalah individu dan kelompok bahkan aparatur
negara sekalipun, keliru dalam memaknaik arti sebuah harmonisasi
Nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan bangsa.Individu religius gagal
paham terhadap Islam yang harmonis dan humanis.Demikian pula
dengan semangat kelopok tertentu yang mengatasnamakan agam
namun aplikatifnya jauh dari Nilai-nilai agama.Hal ini membuat
Nilai-nilai keislaman dalam bingkai kemanusiaan dan kebangsaan
dipertanyakan kewarasaanya.Kemunculan keganasan kelompok
keagamaan membuat salinan baru atas fundamentalis saleh menju
fundamentalis radikal. Atas nama dialog agama semestinya publik
religius harus sadar secara mendasar bahwa tindakan hegomoni
yang terlalu berlebihan dapat memecahkan Nilai-nilai keragaman
bangsa dan memunculkan sikap kebencian. Semestinya dialog
agama memunculkan keselarasan dan kedamaian publik ternadap
198 Altaf Gauhar, The Challenge of Islam, (London: Islamic Council of Europe,
1978), h. 301.
163
Nilai-nilai pemersatu bangsa. Kepentingan kelompok dan individu
dapat daiatur dengan tidak menimbulkan kegelisahan masyarakat
secara kemunal.
Hari ini terdapat berbagai kegelisahan publik terhadap sikapsikap aparatur religius yang tidak terbuka untuk menerima hasil dari
buah asimsi orang lain di luar kelompoknya. Kelompok seolah-olah
menjadi kekuatan besar untuk memunculkan kebenaran, kelompok
seolah-olah wadah terbaik untuk mengklaim kebenaran yang
sesungguhnya, sejatinya tidak demikian.Pada khasus penerapan
aturan dalam masyarakat melalui Peraturan Daerah (Perda) syariah
pada wilayah khusus tertentu sangatlah keliru dan jauh dari Nilainilai kemanusiaan dan etika publik.Peraturan tersebut seperti
dikuasai oleh kelompok tertentu untuk menunjukkan eksistensinya
ke publik tanpa mempertimbangakan nilai dan kemaslahatan
umat secara berkelanjutan.Penguasaan dan hak atas ganjaran yang
diberikan kepada pihak yang melanggar pun diputuskan secara
tidak begitu dimengerti.Hal ini memunculkan sebuat tanda Tanya
dikalangan publik terhadap teoritis yang dibangun dan aplikasinya
sangat paradoks.Belum lagi pada saat aksi nyata dalam sebuah
ganjaran yang diberikan, terlihat bagaimana rumusan sebuah aturan
tersebut jauh dari pertimbangan Nilai-nilai psikologis, manusiawi,
dan empati kedewasaan.
Pluralime mengajak masyarakat untuk waras dalam melihat
dinamika publik agar tidak gagal paham memaknai Islam berkemajuan.
Demikian pula dengan konten aturan syariah, mengajak membongkar
kembali syariat Islam seutuhnya sehingga sesuai dengan Nilai-nilai
humanisasi dan tolerasi sosial. Pluralisme mencoba membawa nilai
teologis untuk merawat kewarasan publik yaitu menjungjung tinggi
kesepakatan bersama tentang adanya hakikat agama sebagai sebuah
sikap kepasrahan mengikuti cara keberagamaan yang terbuka dan
lapang dada.199Peraturat syariat seharusnya meneguhkan substansi
peraturan hidup dalam Islam lebih terarah dan terbuka, bukan malah
199 Andito, Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas Konflik,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 84.
164
mengekang dan menghambat.Selayaknya pluralisme yaitu bagaimana
menjadikan masyarakat public berkamajian saling menerima dan
mengahragi sesame serta menjungjung tinggi nilai humanis yang
harmonis.Aturan Islam seharusnya bukan malah ditakuti, melainkan
sebagai sebuah kewajiban bagi pemeluknya.Kekinian, memudarnya
Nilai-nilai kemanusiaan dalam aturan Islam membuat peraturan
tersebut hilang jati dirinya sebagai sebuah implemtasi Nilai-nilai
kemanusiaan dan memuliakan manusia.
Konsep pluralisme merupakan sebuah keunikan dan
kekhasan khususnya bagi bangsa Indonesia.Kemajemukan dalam
diri masyarakat multi dimensi bangsa ini didasari oleh keutamaan
keunikan dan cirikhas khusus.Karena demikian, pluralitas tidak dapat
terwujud atau diadakan atau terbayangkan keberadaanya kecuali
sebagai sebuah antithesis dan sebagai sebuah obyek komparatif dari
keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya.200
Melihat situasi saat ini bahwa pluralisme tidak dapat ikut andil besar
pada situasi cerai-berai dan permusuhan, tidak saling mengaktualkan
diri dengan baik, tidak menjungjung tinggi tali persatuan yang
mengikat semua pihak. Jika pluralisme diserap dalam konteks
publik yang demikian maka Nilai-nilai kesalehan dalam pluralitas
tidak sama sekali dapat diimplementasikan. Tanpa adanya kesatuan
yang mencangkup seluruh segi maka tidak perlu berharap banyak
adanya kemajemukan, keunikan, toleransi, dan kekhasan pluralitas
itu sendiri.
Masyarakat majemuk itu ditawarkan kepada masyarakat yang
waras secara pengetahuan, pendidikan, sosial dan humanisasi yang
terbuka, bukan pada figur masyarakat yang fundamentalis konservatif.
Secara tidak langsung, dialog antara agama dan peradaban di tengan
kehidupan global merupakan sebuah keniscayaan belaka, karena
seringnya dialog tersebut menimbulkan kesimpulan yang miskin
terhadap makna. Kecenderungan figur fundamentalis religius
melahirkan aktivis dan pakar dialog tanpa memahami makna dan
200 Muhammad Imara, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan,(Depok: Gema Insani, 1999), h. 9.
165
nilai dalam pemikirannya. Mereka sangat mahir dalam merangkai
konsep kognitif untuk kerukunan dan perdamaian antar imam,
tetapi egoistis, ekslusif dan cenderung tidak sesuai dengan praktik
keseharian.201 Kedamaian sejati akan terwujud manakala masyarakat
waras dan sadar toleransi, membangun budaya toleran, bersikap
positif terhadap perbedaan, bekerjasama untuk kemanusiaan, dan
mengakomodir mereka yang berbeda keyakinan.
Mengakomodir pluralisme sebagai salah satu alat pemersatu
bangsa bukanlah hal yang gampang, namun harus penuh keteduhan
dan kesabaran.Pluralisme di Indonesia berada pada dua kutup
secara umum, ada yang menerima danada yang menolak secara
mentah-mentah.Pandangan individu maupun kelompok yang
menolak menganggap bahwa pluralisme merupakan bencana yang
membawa pada perpecahan idiologi umat sehingga keseragaman
harus lebih dimunculkan.Biasanya manusia demikian delebel
dengan kelompok fundamentalis-konservatif, tradisionalis, teologisnormatif, Islam eksklusif, dan pemahaman Islam yang ortodok
tidak terbuka.202Demikian pula dengan kelompok yang mendukung
dan menjalankan ide dan praktik pluralisme mengatakan bahwa
pluralitas merupakan bentuk sunnatullah dan kebebasan publik
dengan kondisi dan struktur budaya masyarakat yang ada.Individu
maupun kelompok ini sangat beragam yaitu Islam rasionalis, Islam
transformatif, Islam aktual, Islam Kontekstual, Islam Esoteris, Islam
modernis, Islam kultural, Islam inklusif pluralis.203Penempatan
pemahaman pluralisme di antara kedua kutub besar itu dapat disebut
juga sebagai kelopok Islam moderat.Sikap Islam yang moderat
menerima pluralitas sekaligus menerima keseragaman, dapat dilihat
pada keberterimaannya terhadap beragam mazhab yang ada, namun
dalam kerangka kesatuan dan persatuan akidah yang lebih toleran.
201 Abdul Mu’ti, Inkulturasi Islam Menyemai Persaudaraan, Keadilan, dan
Emansipasi Kemanusiaan, (Jakarta: Al-Wasat PH, 2009), h. 64.
202 H. Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum Islam,
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 222-223.
203 Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h. 30-179.
166
Sebagai sebuah ketentuan positif, pluralisme agama mesti
tumbuh dan berkembang pada saat ini. Dengan kata lain, pluralisme
harus dipandang sebagai aturan etika normatif publik berdasarkan
standarisasi khazanah hukum Islam. Sebagai sebuah epistimologi,
proses, metodologi pemahaman dan pencarian sebuah alat pemersatu
bangsa, pluralisme memiliki kesempatan khusus untuk diterapkan
dan dikembangka. Selain sebagai sebuah idiologi, pluralisme
dipandang sebagai sebuah proses aplikatif pemahaman dan solusi
pemersatu multikultural bangsa.Meskipun kerap menuai kritikan
baik secara personal maupun publik, konsep pluralisme tetap tegak
dikumandangkan oleh Buya Syafii untuk masyarakat Islam yang
waras dan berkemajuan. Menurut Khalid Abou el Fadl bahwa sering
kali para pendukung neo-radikalisme yang mengatasnamakan agama
terdiri atas aktivis politik dan sosial yang hanya menyerap sedikit
pendidikan dalam tradisi kesarjaan Islam, dan ingin membangun
aturan Islam yang sangat dogmatis dan simplisit gagal dalam
menyerap pengetahuan Islam secara keseluruhan.204 Seharusnya
yang dilakukan adalah membawa Islam dengan teks Al-Qur’an
menjadi sebuah proses diskursus dan penetapannya secara terbuka
terhadap publik.
Umat Muslim pada saat ini belum sepenuhnya menjadi
pendorong untuk pembangunan kemajuan secara nyata dan terbuka.
Di antara sesama kerap terjadi pertentangan dan saling tidak menaruh
kepercayaan secara mendalam.Kegiatan umat yang diamatisaat ini
disibukkan dengan berbagai ritual-ritual bersifat sementara dan
memperbanyak pembangunan fisik untuk beribadah.Padahal jika
dicermati bahwa semakin banyak pembangunan rumah ibadah maka
maka secara tidak sadar banyak pula praktik kewajiban beribadah
individu yang kosong.Semestinya, tempat ibadah dibagun atas
dasar kapasitas masyarakat agar masyarakat dapat maksimal dalam
beribadah.Lebih penting lagi bahwa ritual-ritual serta pembangunan
fisik tempat ibadah secara berlebihan diganti dengan penyiaran
agama untuk mengangangkat derajat manusia dari kemiskinan dan
204 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif, (Jakarta: Ilmu Serambi Semesta, 2004), h. 249.
167
penghinaan.205Kemaslahatan umat atas dasar Nilai-nilai toleransi
sosial umat lebih utama dibandingkan dengan pembangunan fisik
yang tidak menyentuh secara langsung. Islam menganjurkan sikap
toleransi dan meringankan beban pemeluk agamanya, akan tetapi
betapa jauhnya individu Muslim di mana-mana dari ajaran pokok
agama mereka.
Pluralisme yang dimunculkan adalah pluralisme yang tumbuh
atas dasar kesadaran, keselarasan, keharmonisan, dan kesamaan
penerimaan dan pandangan secara menyeluruh tentang makna dan
hakikatnya.Sebab, pluralisme butuh penerangan bagi individu awam
agar terbukam pikirannya untuk dipraktikkan dalam keseharian.
Semakin besar akan Nilai-nilai pluralisme maka akan semakin
tinggi tingkat kewarasan publik, sebaliknya jika tidak maka tingkat
kewarasan publik belum mendapatkan pencerahan. Semakin tinggi
pluralisme yang membuat publik sadar maka semakin maju dan
berkembang pula martabat agamanya.Pluralisme merupakan sebuah
perjuangan agama sebagai sikap prilaku dan moralitas, yang menjadi
tolak ukur tingginya pemahaman keagamaan sebagai individu yang
saleh.Doktrin pluralisme dalam Islam adalah Pluralisme yang
mencoba masuk secara mendalam untuk merasa terlibat dengan
beban dan penderitaan sesame manusia, bukan justru menjastifikasi
serta menghukumi mereka atas dasar perbedaan.Oleh karena itu
maka nilai pluralisme adalah nilai Islam, demikian juga Islam
mengandung nilai pluralisme praktik.
Serangkaian Nilai-nilai kemanusiaan, individu yang merdeka,
nurani yang bebas tanpa kekerasan merupakan ruh pluralisme.Nilai
kemanusiaan menjadikan individu untuk menerapkan keberanian
moral atas tindakannya terhadap kekacauan publik.Jika etika
kemajemukan sudah tumbuh dan mengekar dalam jiwa individu
maka aksi-aksi ekstremis dan fundamentalis dipastikan tidak muncul
ke publik.Bagi Irshad Manji, masyarakan yang relatif bebas dan
pluralis dan semakin majemuk akan terancam eksistensinya oleh
205 Abdurrahman Wahid, Tuhan tidak Perlu dibela, (Yogyakarta: LKiS, 1999),
h. 86.
168
ekstremis Muslim yang bermaksut untuk mewujudkan sistem syariat
secara global.206Sebagai masyarakat publik aktif secara individu
maupun komunal, perjuangan mengenai integritas kemajemukan
harus terealisasikan dengan segala resiko yang ada.Perjuangan ini
tidak hanya demi keterbukaan dan kesatuan dalam perbedaan semata,
melainkan melangkah lebih jauh yaitu demi terjaganya integritas
bangsa dan demi ruh keyakinan kita yaitu Islam.Hanya manusia
yang waras secara mental dan spiritual serta masyarakat terbuka
dan menerima perbedaan yang dapat menyampaikan interpretasi
alternatif mengenai Islam yang membawa visi keamanan, kemajuan
dan kesetaraan serta toleransi.
Peranan individu maupun kelompok dalam pembenahan
konsep pluralis sangat dibutuhkan untuk kelangsungan peradaban
masyarakat secara terus-menerus.Peranan itu dapat diwujudkan
melalui penyatuan persepsi, menggalang persatuan umat dan
membangkitkan ruh pemikiran Islam secara dinamis.Untuk itu
maka peranan intelektual dan cendikiawan Muslim yang terbuka dan
toleran yang kembali pada ruh Al-Qur’an guna mengeser krisis yang
sedang terjadi sangat diutamakan.Umat harus membuka mata utuk
keluar dari pengaruh tren konservatif yang telah membuat candu
umat sehingga kehilangan ruh tajdȋd, daya kreativitas, dan ideide Pembaruan.207Arus konservatif menghambat kewarasan publik
untuk mencari solusi kekinian atas peliknya permasalahan umat.
Oleh sebab itu maka tajdȋd berkemajuan menjadi salah satu jalan
alternative efektuf untuk merawat kewarasan publik yang pluralis.
Tajdȋd berkemajuan merupakan sebuah pelita menuju cahaya
kebangkitan umat dalam berbagai dimensi kehidupan yang dinamis
dan pluralis.
Penting kiranya dipahami di sini bahwa, keberagamaan
masyarakat Indonesia memiliki varian-varian khusus dan bukan
merupakan agama yang tercabut dari kemurniannya. Corak
206 Irshad Manji, Allah Libery and Love: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman
dan Kebebasan, (Jakarta: Rene Book, 2012), h. 83-84.
207 M. Aunul Abied Shah, dkk, Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam
Timur Tengah, (Bangdung: Mizan, 2001), h. 200-201.
169
keagamaan di Nusantara akan tampak jika agama tersebut
berakulturasi dan berasimilasi dengan budaya lokal. Sesuai dengan
sejarahnya bahwa agama manapun yang datang ke Nusantara
mestilah mampu masuk ke ruang budaya yang telah ada.Khususnya
bagi Islam, harus lebih lapang dada dalam menerima perbedaan,
sebab Islam secara teks menjalankan Kalam Tuhan untuk rahmat
semesta alam.Sebagai penganut agama terbesar di Indonesia, Islam
seharusnya yang menjungjung tinggi pluralitas secara praktis, akan
tetapi individu Islam belum terbuka untuk hal tersebut. Sungguh
sangat disesali bahwa Islam warna-warni saat ini tengah bersitegang
dengan ide purifikasi model Arab modern di bawah kelompokkelompok militan.Bagi mereka Islam yang sah adalah Islam
model kearaban dengan agenda mega proyeknya ialah menjadikan
Indonesia model negera Islam (Khilafah Islamiyah).208
Kontestasi ketegangan, kebhinekaan, otentisitas, puritanisme,
dan kejumutan masyarakat menjadi tantangan penting terhadap
nilai aplikatif pluralisme agama, budaya, dan humanisme.Keadaan
kontestasi hal-hal di atas mungkin menjadi penyebab utama
munculnya fundamentalisme agama.Konstruksi fundamentalisme
merujuk pada strategi yang digunakan kelopok ideologi puritan
Islam untuk membangun ientitas keagamaan dan tatanan humanisme
Islam eksklusif untuk penataan kembali tatanan sosial politik.Mereka
berkeyakinan bahwa tatanan Islam dalam bahaya dicemari oleh
kebhinekaan, pluralisme, dan konsep kemanusiaan, dan kebebasan
budaya.Mereka berusaha keras untuk memperkuat barisan dan
mencari penafsiran kembali untuk menghidupkan kembali doktrin
dan prakti keislaman yang berasal dari masalalu yang suci.209
Peranan Islam sejak awal mulanya merupakan sebuah sistem
moral dan keadilan sosial, mencangkup segala aspek yang dibutuhkan
oleh kaum mukminin untuk membentuk tatanan masyarakat dan
menjamin kemakmuran bersama dan kemerdekaan individu dalam
208 Abdul Kholiq, dkk, Warna-Warni Islam: Potret Keragaman umat Islam di
Seluruh Dinia, (Yogyakarta: GRIM IKAPI, 2014), h. 137-139.
209 Riaz Hassan, Keragaman Iman: Studi Kompartif Masyarakat Muslim, (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 270-274.
170
persamaan.210Tidak perlu menyusun suatu tatanan pergerakan politik
identitas baru melainkan membumikan Islam secara konkrit secara
toleran dan berkemajuan.Dengan memakai interpretasi yang sehat
maka umat hanya perlu memurnikan kembali secara konstektual
wayu Tuhan dari kekacuan-kekacauan publik dan kegelisahan
masyarakat secara umum. Maka dengan demikian, sikap masyrakat
yang pluralis memberikan ruang khusus bagi pemeluk agama,
keseragaman budaya, dan perbedaan cara pandang menjadi warnawarni kemanusiaan yang tinggi nilainya. Khusus di Indonesia hal
ini sangat mungkin di capai, sebab Buya Syafii telah merumuskan
banyak hal mengenai idiologi pluralisme yang sesuai dengan konteks
bangsa kekinian menuju peradaban umat berkemajuan secar terusmenerus.
Dengan demikian maka telah terlihat jelas bahwa argumentasi
pluralisme Buya Syafii ingin menatap masa depan Indonesia dalam
bingkai kemanusiaan dan keindonesiaa. Pluralisme mengandung
nilai religiusitas secara universal, memahami agama secara matang,
memahami sesama, dan saling membuka diri untuk selalu menerima
perbedaan. Jika pluralisme dipahami secara menyeluruh maka
dipastikan bahwa kekhawatiran bangsa kekinian tidak akan pernah
ada. Melihat bahwa pluralisme yang ditawarkan oleh Buya Syafii
adalah aksiologis intelektual, damai, bersahaja, saling memahami,
dan jauh daripada Nilai-nilai radikalisme bahkan fundamentalisme.
Demikian juga dengan argumentasi pluralisme Buya Syafii jauh
dari idiologi sekularisme, mengingat bahwa bangsa Indonesia tidak
dapat dipisahkan dirinya dari nilai agama dan negaranya.Untuk
menyatukan bangsa Indonesia yang lemah lembut, berwarna-warni,
beranekaragam dan bermacam-macam, berbunga-bunga maka
bingkai pluralisme harus di junjung tinggi dengan penuh kesadaran,
wawasan dan keyakinan serta paham dengan baik epistimologi
pluralisme yang sebenarnya.
210 Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1980), h. 321.
171
Kesimpulan
Pluralisme mesti menjadi solutif untuk kemajuan dan
keberlangsungan bangsa ke depan. Dengan ide pluralisme dapat
memberikan manfaat kedaimaian, ketentraman dan sikap saling
menghargai satu sama lain. Buya Syafii melihat Pluralisme sebagai
salah satu solusi untuk memersatukan bangsa dalam bingkai
kemanusiaan dan kebhinekaan.Maklumat yang terkandung dalam
Nilai-nilai Pancasila jelas menghantarkan umat Islam maupun nonMuslim untuk saling menghormati dan menghargai sesama. Harkat
dan martabat bangsa akan sangat disegani bangsa lain apabila
Nilai-nilai pluralisme dipegang teguh dan diimplemtasikan sesuai
keyakinan dan ketauhidannya secara cerdas dan lanpang dada.
Buya Syafii dilihat sangat bekerja keras untuk kemajuan melalui
pluralisme ini, sebab dengan hal ini maka masadepan Indosensia di
bawah payung Islam akan dalam tanpa adanya diskriminasi agama,
radikalisasi agama, bahkan tekanan doktrinal yang gagal paham.
Buya Syafii melihat tidak perlu adanya radikalisasi agama,
tidak perlu adanya kelompok-kelopok yang mengatasnamakan Islam
secara berlebihan, tidak perlu adanya saling menjatuhkan satu sama
lain yang semua itu dapat menyuramkan masadepan bangsa. Buya
Syafii mengharapkan akan adanya pemahaman agama yang terbuka,
terduh, toleran dan lapang dada walaupun tidak sama dalam akidan
dan kepercayaan. Agama yang diharapkan Buya bersahaja dan
membangun Nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan yang majemuk
serta sikap saling menghormati tanpa tawar-menawar dalam
menjaga keindonisian dan kebinekaan dibawah payung Pancasila
yang berbudi luhur.
172
Daftar Pustaka
Al-Attas,Syed Muhammad, Naquib Islam, Secularism and the
Philosophy of the future,London: Mansell Publishing
Limited, 1985.
Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTACT, 2001.
Abied Shah, M. Aunul, dkk, Islam Garda Depan: Mosaik
Pemikiran Islam Timur Tengah, Bangdung: Mizan, 2001.
Burhan, Ahmad Najib, dkk, Muazin Bangsa dari Makkah Darat,
Jakarta: Maarif Institute dan Serambi 2015.
El Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter
ke Fikih Otoritatif, Jakarta: Ilmu Serambi Semesta, 2004.
Gauhar, Altaf, The Challenge of Islam, .London: Islamic Council of
Europe, 1978.
Hassan, Riaz, Keragaman Iman: Studi Kompartif Masyarakat
Muslim, Jakarta: Gramedia, 2006.
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah,
Bandung: Mizan, 2009.
Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Bandung: Mizan,
2017.
politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Jakarta:
PUSAD, 2010.
Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam
Konstituante,Jakarta: LP3ES, 1985.
Memorial Seorang Anak Kampung, Yogyakarta: Ombak IKAPI,
2013.
Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Pencaturan dalam
Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985.
173
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar
Epistimologi Islam,Bandung: Mizan, 2003.
Muhammad, Husein, Sang Zahid Mengarungi Sufisme Gus Dur,
Yogyakarta: LKIS, 2012.
Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1980.
Nasr, Seyyed Hossein, Islam Tradisi di Tengan Dunia Modern,
Bandung: Pustaka, 1994.
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan keindonesiaan,
Bandung: Mizan, 2008.
Qordhawi, Yusuf, Anatomi Masyrakat Islam, Jakarta: Rabbani
Press, 1999.
Rachman, Budhi Munawar, Argumentasi Islam untuk Sekularisme,
Islam Progresif dan Perekembangan Diskursusnya, Jakarta:
Grafindo, 2010.
Sucipto, Heri, Senarai Tokoh Muhammadiyah Pemikiran dan
Kiprahnya, Jakarta Selatan: Grafindo, 2005.
Subardi, M, Tuwah dkk, Islam Humanis: Islam dan Persolan
Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi
Hukum, dan Masyarakat Marjinal,Jakarta: Mayo Segoro
agung, 2001.
Pradoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta: Grafiti, 1993.
Wahid, Abd.Wawan Gunawan, dkk, Fiqih kebinekaan Pandangan
Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan
Kepemimpinan Non-Muslim, Bandung: Mizan, 2015.
Imran, Muhammad, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan
Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Depok: Gema
Insani, 1999.
Andito, Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog Bebas
Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Mut’ti, Abdul, Inkulturasi Islam Menyemai Persaudaraan,
174
Keadilan, dan Emansipasi Kemanusiaan, Jakarta: Al-Wasat
PH, 2009.
Arfan, H. Abbas, Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum
Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Nata, Abuddin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia,
Jakarta: Rajawali Press, 2001.
Wahid, Abdurrahman, Tuhan tidak Perlu dibela, Yogyakarta: LKiS,
1999.
Manji, Irshad, Allah Libery and Love: Suatu Keberanian
Mendamaikan Iman dan Kebebasan, Jakarta: Rene Book,
2012.
Von Grunebaum , Gustave. E, Islam Kesatuan dalam Keragaman,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1975.
175
MENANGKAL PAHAM INTOLERANSI
(KRITIK AHMAD SYAFII MAARIF TERHADAP
RADIKALISME BERAGAMA)
Noor Hasanah
Pendahuluan
Ahmad Syafii Maarif (yang selanjutnya akan dituliskan
ASM) adalah seorang intelektual Muslim Indonesia yang banyak
menyuarakan moderasi dan keramahan Islam. Pemikiran tersebut
tidak hanya menjadi nafas dalam setiap tulisannya, tetapi juga
menjadi corak dalam setiap ceramah dan dialog ilmiah yang
dilakukannya. Gagasan yang dikemukakan oleh ASM tidak jarang
menuai kontroversi, bahkan di kalangan umat Islam Indonesia sendiri.
Ia dinilai liberal dan ‘nyeleneh’. Hasil pemikirannya dianggap tidak
biasa dan terkesan melawan arus.
Sebagai contoh adalah ketika ASM memandang bahwa
sikap sebagian umat Islam dalam menafsirkan pidato Ahok saat
berkampanye untuk menjadi Gubernur Jakarta di Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016 adalah hal yang
berlebihan (untuk tidak menyebutkan terlalu sentimentil). Pada
pidatonya, Ahok memang menyinggung surah Al Mâ`idah ayat 51
yang melarang umat Islam memilih pemimpin dari kalangan Yahudi
dan Nashrani. Ia menyebutkan jangan mau dibodohi oleh para ustadz
yang menggunakan ayat tersebut demi jamaah tidak memilihnya
sebagai pemimpin. Sebagaimana diketahui bahwa Ahok beragama
Nashrani.
176
Atas pernyataan Ahok ini tidak sedikit kalangan Muslim yang
menilai bahwa pidato tersebut merupakan bentuk penistaan terhadap
ajaran agama Islam. Kandidat gubernur Jakarta tersebut dianggap
telah menggunakan ayat tersebut untuk memprovokasi umat Islam
disana. Maka aksi demo pun digelar di beberapa wilayah Indonesia
untuk mengecam tindakan Ahok. Berita pidato Ahok tersebut
kemudian menyebar pesat di internet. Media nasional pun baik
daring atau tidak sangat intens memberitakan kasus tersebut.
Menyikapi fenomena tersebut, ASM malah bersikap
sebaliknya. Ia justru berpandangan lebih longgar. Menurutnya akan
lebih baik jika kita menonton video pidato tersebut (yang banyak
tersebar di internet dan media sosial) secara utuh, tidak sepotong
saja. Sehingga kita akan menyikapinya dengan lebih obyektif, tidak
begitu responsif hingga melakukan aksi demo massal.
Selain itu ia juga kerap mengemukakan suara kalangan
minoritas. Seakan ia membela mereka. Padahal sebenarnya tidak
bermaksud demikian, melainkan hanya sebagai ajakan untuk
bersikap lebih toleran terhadap mereka yang berbeda. Misalnya sikap
lunaknya terhadap penganut Syi’ah kendati MUI telah memfatwakan
agar umat perlu waspada terhadap Syi’ah.211 Sebagaimana diketahui
bahwa pada pertengahan tahun 2012, sekelompok penganut Sunni
melakukan penyerangan kepada penganut Syiah di Sampang,
Madura. Kemudian di tahun 2013, oleh mereka para penganut Syiah
tersebut diusir dari Sampang. Pada akhirnya mereka mengungsi ke
Sidoarjo, Jawa Timur hingga sekarang. Konon mereka diperbolehkan
untuk kembali ke Sampang jika menganut Sunni.
ASM tanpa takut memberikan kritik kepada aparat penegak
hukum negara agar bersikap netral dan mengedepankan penegakan
hukum tanpa tebang pilih. Bagaimanapun juga, pengusiran yang
telah dilakukan itu merupakan bentuk sikap anarkis. Pembelaannya
211 Lihat fatwa MUI yang dihasilkan pada Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil
Akhir 1404 H/Maret 1984 M, ditetapkan di Jakarta 7 Maret 1984. Lihat juga
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur No. Kep01/SKF-MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan Ajaran Syi’ah.
177
kepada penganut Syi’ah ini tidak berarti bahwa dirinya merupakan
bagian dari mereka. Ia bukan seorang Syi’ah. Sikapnya itu sematamata didasari semangat kemanusiaan, semangat keislaman dan
semangat keindonesiaan. Semangat kemanusiaan bahwa setiap
manusia berada pada kesamaan hak, semangat keislaman bahwa
Islam adalah agama yang menebarkan kasih sayang, dan semangat
keindonesiaan bahwa negara ini adalah majemuk, maka menjadi
berbeda adalah hal yang wajar, kita hanya perlu memaklumi
heterogenitas dan perlu lebih toleran.
Tidak kalah penting, ia berpikiran terbuka perihal
kepemimpinan perempuan pada aspek politik. Padahal sebagaimana
diketahui bahwa selama ini perempuan tidak lebih hanya dipandang
sebagai warga kelas dua (untuk tidak menyebut sebagai ‘pelengkap’).
Berpedoman pada Al Qur`ân surah Al Hujurât ayat 3, ASM
berpandangan bahwa kemuliaan di sisi Allah swt terbuka baik untuk
laki-laki maupun perempuan. Posisi sebagai pemimpin baik laki-laki
maupun perempuan akan menjadi mulia pada pandangan rakyat jika
ia bertakwa yang dimanifestasikan dengan komitmen menegakan
keadilan dan siap bekerja keras untuk mewujudkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat bersama.
Gagasan yang dikemukakan olehnya selalu dibarengi dengan
pertimbangan kebinekaan yang ada di Indonesia. Menurutnya, umat
Islam Indonesia harus mampu memahami Islam, keindonesiaan
dan kemanusiaan menjadi satu nafas. Sebab ketiga hal tersebut
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Muslim harus
mampu berIslam di tengah kemajemukan, tanpa perlu memaksakan
penegakan negara berdasarkan Islam secara formal.212 Hal ini dapat
diamati pada sejarah perjalanan bangsa Indonesia dan budayanya
yang bergandengan mesra dengan Islam sebagai agama dan Nilainilai tanpa berlabel ‘syari’at Islam’. Sehingga Islam yang dipraktikan
di negara kita ini adalah Islam yang terbuka, inklusif, ramah dan
solutif terhadap permasalahan bangsa dan negara.
212 Ahmad Syafii Maarif, “Islam di Masa demokrasi Liberal dan demokrasi
Terpimpin”, Prisma No. 5, Tahun 1988, h 26.
178
Tulisan ini akan menyoroti sikap intoleransi yang menggejala
dan mewabah dalam tubuh umat Islam sehingga memunculkan
paham radikalisme dalam beragama. Paham ini cukup meresahkan
dan mengancam keamanan negara. Ini didasari kesadaran akan
pentingnya tindakan preventif untuk menanggulangi persebaran
paham radikalisme tersebut, terlebih kepada generasi muda, dimana
melalui berbagai media, tidak terkecuali media sosial yang sangat
akrab dengan kehidupan milenial213, radikalisme terpapar dengan
sangat bebas.
Ahmad Syafii Maarif :
Dari Radikal-Konservatif ke Moderat-Progresif
Mulanya ASM pernah menjadi pengagum Al Maududi, Maryam
Jameela, tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi dan gagasan tentang negara
Islam.214 Ia sangat tertarik untuk mengubah Indonesia menjadi
negara Islam (untuk tidak menyebutkan mendirikan negara Islam
Indonesia). Pengalaman ini cukup menunjukan bahwa tadinya ia
seorang yang radikal-konservatif. Padahal saat itu tahun 1976 – 1978
ia sedang menempuh pendidikan master pada Departemen Sejarah di
Universitas Ohio, Amerika Serikat. Kendati Amerika adalah negara
bebas, itu tidak lantas serta merta merubah pemikirannya.
Perubahan pemikirannya menjadi lebih terbuka dan tidak
kaku terjadi ketika ia melanjutkan studi doktor di Universitas
Chicago, Amerika Serikat. Disana ia bertemu dengan Fazlur
Rahman. Ia mengikuti perkuliahan Profesor itu mulai dari studi
Al Qur`an, Filsafat, Tasawuf, Teori politik Islam, modernisme
Islam dan sebagainya.215 Tadinya ia mengikuti perkuliahan itu
213 Menurut KBBI Daring, milenial adalah: 1) Berkaitan dengan milenium, 2)
berkaitan dengan generasi yang lahir di antara tahun 1980-an dan 2000-an:
kehidupan generasi tidak dapat dilepaskan dari teknologi informasi , terutama internet. Lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/milenial akses pada 26
September 2018.
214 Ahmad Syafii Maarif, Ahmad Syafii Maarif: Memoar Seorang Anak Kampung, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h 203.
215 Ahmad Syafii Maarif, Ahmad Syafii Maarif: Memoar..., h 219.
179
demi menguatkan tekad dan mempertajam referensi dalam rangka
mewujudkan keinginan mengubah Indonesia menjadi negara Islam.
Akan tetapi setelah mengikuti kelas tersebut, ia tidak ‘berselera’ lagi
merealisasikakan apa yang pernah sangat menggebu-gebu dalam
batinnya. Ia menyadari bahwa Islam hendaklah menjadi nafas bagi
setiap aktivitas Muslim tanpa harus menggunakan label Islam secara
formal. Sebab inti dari agama adalah moralitas.
Pemikiran Fazlur Rahman yang terbuka, modern dan
wasatiyyah memengaruhi wawasan keilmuan dan keislaman ASM.
Maka ia yang tadinya seorang yang memiliki pemikiran radikalkonservatif perlahan berubah menjadi moderat-progresif. Ia
menyadari bahwa tidak menjadi penting pelekatan label Islam itu,
sebab yang utama adalah bagaimana moral Islam itu mengintegrasi
dalam jiwa masyarakatnya. Terlebih pada Indonesia yang majemuk,
sangat beragam. Adalah suatu kekonyolan jika memaksakan Islam
menjadi dasar Negara, sebab kendati di Indonesia ini Islam adalah
agama yang dianut oleh mayoritas, akan tetapi cukup banyak juga
agama-agama lainnya yang berkembang di bumi pertiwi ini. Maka
hendaknya Muslim menunjukan wajah Islam sebagai agama yang
damai dan ramah sehingga penganut agama lain tidak merasa
terancam dan terdiskriminasi.
Fokusnya bukan lagi pada simbol-simbol dan label, akan
tetapi lebih kepada spirit Islam itu sendiri yang sebagai rahmatan
li al’âlamîn. Hendaknya Islam itu seperti garam yang tidak terlihat
tetapi terasa, bukan sebagai lipstick yang terlihat namun tidak terasa.216
Pancasila yang menjadi falsafat negara Indonesia sebenarnya
mengayomi sebagian Nilai-nilai Islam. Tidak ada satupun sila dari
Pancasila itu menyalahi Nilai-nilai dan ajaran Islam. Utamanya
sekarang adalah bagaimana kita mampu mengejawantahkan Nilainilai tersebut kemudian mengisi pembangunan ini secara efektif.
Islam mengajarkan semangat menuntut ilmu karena itu
216 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2015), h 290 – 298.
180
yang akan meninggikan derajatnya217, maka Muslim hendaknya
berlomba-lomba dalam meningkatkan kapasitas diri dari segi
keilmuan, bukan belajar hanya demi mendapatkan ijazah. Al Qur`ân
seringkali memberikan sinyal pada banyak ayat agar kita mau
berpikir dan menganalisa218, maka Muslim hendaknya melakukan
hal demikian agar memiliki pemikiran yang terbuka. Islam juga
mengajarkan belas kasih dan menyuarakan rasa kemanusiaan
seperti mengayomi anak yatim dan fakir miskin219, maka hendaknya
Muslim mempraktikannya demi meminimalisir kesenjangan sosial,
bukan malah bersikap hedonis, menimbun harta terlebih serakah.
Beberapa yang disebutkan itu hanya merupakan contoh Nilai-nilai
Islam, masih banyak lagi spirit Al Qur`ân lainnya yang belum
terpraktikan oleh Muslim dengan baik, karena sebagian kalangan
hanya menggebu-gebu untuk mewujudkan penegakan negara Islam.
Seakan-akan ketika sudah berlabel Islam, fenomena sosial dapat
terselesaikan secara otomatis. Padahal sebenarnya tidaklah semudah
demikian.
Zaman akan terus berkembang, tantangan hidup akan semakin
meningkat. Itu bermakna ada daya saing yang tinggi yang menuntut
pada kompetensi diri yang tinggi pula. Hanya terfokus pada
pemaksaan pemberlakuan sya’riat Islam secara radikal hanya akan
membuat Muslim terlupa bahwa kita memiliki pekerjaan rumah yang
sangat besar untuk mengisi pembangunan. Selalu mengemukakakan
ide homogenitas hanya akan membuat kita terjebak pada intoleransi.
Sikap ini akan menggiring pada eksklusivisme hingga radikalisme
yang mengancam keamanan negara. Kita saksikan contohnya nasib
negara tetangga kita, seperti Rohingya (Myanmar) dan Vietnam,
dimana radikalisme hanya akan berujung pada kegagalan.
Al Qur`ân dan sunnah sebenarnya tidak memberikan sinyal
tegas terkait dengan bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga
politik lain sebagai cara bagi umat Islam untuk mempertahankan
217 QS. Al Mujadilah [58] : 11.
218 Seperti QS. Al Baqarah [2] : 219 & 266, QS Ali Imran [3] : 191, An-Nahl
[16] : 11, dan sebagainya.
219 QS. Al Mâ’ûn [107] : 1 – 7.
181
persatuan.220 Bumi ini diciptakan Tuhan bukan hanya diperuntukan
bagi penganut salah satu agama saja. Semua penganut agama
memiliki hak yang sama untuk hidup dan memanfaatkan kekayaan
bumi ini atas dasar keadilan dan toleransi. Maka hendaknya kita
semua harus mampu bersaudara dalam perbedaan, dan berbeda
dalam persaudaraan.
Jika kita meyakini bahwa Islam sebagai rahmat bagi semesta
alam, maka penganut agama lain pun juga harus dapat merasakan
bentuk rahmat itu dari orang Islam, bukan hanya terbatas pada orang
Islam saja. Islam itu membawa kedamaian, ramah, memperjuangkan
hak asasi manusia dan solutif. Akan tetapi jika umat Islam
menampilkan wajah Islam sebagai bengis, egois, eksklusif dan
radikal, maka sesungguhnya sikap demikian terlepas dari rahmat
yang dimaksudkan oleh misi Islam sebagai rahmatan li al’âlamîn.
Memahami Kebinekaan Indonesia
Indonesia adalah negara dengan multi agama, multi etnis,
multi bahasa dan keragaman lainnya. Di Indonesia terdapat 665
bahasa daerah, 300 suku yang tersebar di 17.670 pulau serta multi
agama.221 Kondisi ini sekaligus menunjukan bahwa kita perlu
mengenal keragaman yang ada, seperti perbedaan agama, budaya,
pandangan politik, etnis, tradisi dan sebagainya. Inilah kekayaan
Indonesia. Keragamaan hayati, multi kultur, perbedaan topografi dan
juga multi agama yang diakui secara sah oleh negara dan boleh untuk
dianut rakyat Indonesia. negara ini tidak mengamini pengutamaan
salah satu agama saja, namun melindungi semua agama itu untuk
masing-masing diyakini dan beribadah sesuai keyakinan. negara
220 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), h 20.
221 Disampaikan juga oleh Said Assagaff, selaku Gubernur Maluku saat menjadi keynote speech pada Kongres Pancasila VI: Penguatan, Sinkronisasi,
Harmonisasi, Integrasi Pelembagaan dan Pembudayaan Pancasila dalam
Rangka Memperkokoh Kedaulatan Bangsa, yang diselenggarakan di Ambon
pada 31 Mei – 1 Juni 2014, atas kejasama Pusat Studi Pancasila Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta dan Universitas Pattimura, Ambon.
182
ini tidak mengutamakan salah satu golongan saja, tetapi menjamin
hak semua orang untuk berekspresi sesuai dengan norma-norma
agama, kesusilaan dan kesopanan yang ada. Ini membuktikan
bahwa Indonesia sejak masa awal berdirinya sangat mengedepankan
toleransi dan menghargai ke-Binekaan.
Dipandang dari jumlah penganut agama, walaupun Islam
sebenarnya diimani oleh mayoritas penduduk Indonesia, namun
sangat tidak tepat jika memaksakan syariat Islam menjadi asas
negara, sebab pada kenyataannya Indonesia ini adalah plural. Setiap
penganut agama pada dasarnya akan berpandangan bahwa agamanya
adalah yang paling benar, paling ideal, paling berdasar. Sangat celaka
jika terdapat beberapa kalangan –dengan mengatasnamakan dalildalil kitab suci- merasa mendapatkan pembenaran atas aksi-aksinya
yang meresahkan sekitarnya.
Mengamati fenomena seperti itu, terlebih pelakunya
adalah Muslim, ASM sampai menyebut mereka sebagai ‘Preman
Berjubah’.222 Mereka melakukan aksi anarkis sambil menyerukan
takbir dan asma Allah, menggunakan simbol-simbol agama dan
bersikap seakan sangat memahami makna jihad. Mereka mencoba
menutup tempat hiburan malam melangkahi aparat penegak hukum
yang berwenang. Tidak segan mereka menyebarkan ujaran kebencian
melalui ceramahnya. Lebih dari itu ada yang nekad melakukan aksi
bom bunuh diri dan teror di tempat umum, tempat ibadah agama lain
dan kantor aparat keamanan. Lebih parah lagi, aksi tersebut diyakini
sebagai bentuk jihad untuk memberantas kemungkaran, atas alasan
pengorbanan yang besar untuk agama. Dalih mereka adalah kemelut
konflik yang diperjuangkan umat Islam seperti di Palestina, Iraq,
Yaman dan sebagainya. Maka mencegah kemungkaran dengan
tangan (aksi nyata yang identik dengan radikalisme –perang-)
222 Istilah yang disebutkan ASM, lihat Ahmad Syafii Maarif, “Preman Berjubah”, Republika, edisi 9 Agustus 2005. Kemudian istilah itu dikutip oleh
banyak pihak, seperti M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 –
2008, (terj.), (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), h 722. Bandingkan dengan Hd. Haryo Sasongko, Terorisme: Dialog & Toleransi, (Pustaka
Grafiksi, 2006), h 137.
183
merupakan salah satu ekspresi keimanan yang kuat daripada hanya
sekedar mendoakan.
Sungguh ini adalah hasil pemikiran yang sangat dangkal.
Memang cukup banyak ayat Al Qur`ân yang menyinggung perkara
jihad, seperti Al Baqarah [2] : 218 & 273, Âli Imran [3] : 142, AnNisâ [4] : 95, Al Mâ`idah [5] : 35, At-Taubah [9] : 20 dan sebagainya.
Akan tetapi konteks ayat tersebut bukan dimaksudkan melakukan
aksi radikalisme. Bukankah sebetulnya aksi tersebut tidak bernilai
memperjuang agama, melainkan hanya membuat kehinaan semata.
Tidak ada empati dan simpati atas radikalisme.
Bagi kalangan Muslim, Al Qur`ân memang wahyu yang
mengandung kebenaran mutlak. Ia berisi pesan-pesan yang agung
dan ajaran yang luhur. Namun sebenarnya, bukan Al Qur`ân yang
keliru, hanya saja interpretasi dan kekakuan pemahaman umat Islam
yang menjadikan penafsiran terhadap ayat-ayat itu menjadi sangat
kaku dan sempit. Tidak jarang lebih tekstual dari mempertimbangkan
kontekstual, yang sebenarnya sangat beragam di berbagai bumi
Muslim. Membenarkan tindak kekerasan kepada agama lain,
berpikiran kaku dan bersikap eksklusif hanya akan mengantarkan
peradaban Islam kepada kemunduran. Lebih lanjut lagi, perubahan
yang cepat dan menyeluruh (revolusi) akan selalu berefek kepada
kekacauan politik dan anarki, sehingga menghancurkan infrastruktur
sosial politik bangsa dan negara.223
Memaksakan untuk menjadi homogen bukan saja menjadi hal
sulit, namun juga merupakan sebuah ketidak mungkinan. Menjadi
mayoritas, tidak lantas dapat berlaku sewenang-wenang untuk
menundukan penganut agama lain pada hukum Islam. Maka sangat
penting memahami keragaman Indonesia, ini berarti juga toleransi
menjadi suatu keharusan.
Keragaman memang diakui berpotensi besar untuk menyulut
konflik-konflik yang mendorong pada aksi radikalisme dan terorisme,
terlebih perbedaan agama. Namun bersikap radikal bukan menjadi
223 Ahmad Syafii Maarif, Menggugat Terorisme: Pendapat Para Pengamat dan
Tokoh, (Karsa Rezeki, 2002), h 87.
184
solusi bagi permasalahan bangsa, bahkan memperparah krisis yang
terjadi. Bangsa ini wajib dibela secara jujur dan bertanggung jawab,
karena inilah makna konkret dan makna sejati dari nasionalisme
pasca-Proklamasi.224
Sebagai bangsa Indonesia yang beradab, kita perlu memahami
ke-Binekaan. Perlu juga ada kesamaan persepsi untuk menangkal
radikalisme terlebih terorisme. Ini dilakukan demi menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa. Sangat disayangkan jika negeri yang
sangat indah ini tidak bertahan lama (kedaulatannya) diakibatkan
oleh kepentingan politik jangka pendek yang tidak sehat. Negeri
Indonesia ini sangat indah, namun perjalanan sejarahnya tidak
seindah alamnya.225
Radikalisme bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak
tertentu yang ingin membuat kekacauan dan ketidak percayaan
publik terhadap kinerja Pemerintah. Disamping salah satu sisi isu
radikalisme juga dimanfaatkan salah satu pihak sebagai dalih untuk
untuk mengendalikan atau menekan gerakan-gerakan Islam.226
Kendati demikian, radikalisme tetap tidak dapat dibiarkan karena
meresahkan dan menyesatkan.
Intoleransi yang Kian Menyubur
Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme
dapat diartikan sebagai: 1) paham atau aliran yang radikal dalam
politik, 2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau
Pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis,
dan 3) sikap ekstrem dalam aliran politik.227 Radikalisme menjadi
perhatian karena mengancam keamanan negara. Ini bermakna juga
bahwa radikalisme yang menjadi efek dari intoleransi itu sangat
224 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam ..., h 14.
225 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam ..., h 14.
226 John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas, (Bandung: Mizan,
1994), h 192.
227 KBBI Daring, lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/radikalisme akses
pada 26 September 2018.
185
bertentangan dengan paham dan Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia, khususnya sila ke-3 yaitu “Persatuan Indonesia.”
Islam selalu diindentikan dengan Arab dan isu radikalisme,
maka pada akhirnya muncul beberapa intelektual, profesor
dan pemikir Muslim yang mengenalkan Islam ke Barat secara
metodologis yang lebih mengedepankan substansi daripada sekedar
bungkus atau labelnya saja.228 Formula yang populer digaungkan
mereka adalah the heart of religion is a religion of the heart.229 Bahwa
hal yang terpenting dalam agama adalah yang sejalan dengan hati
nurani, fitrah kemanusiaan yang paling suci, mendamba kedamaian,
kebenaran, keindahan dan kasih sayang terhadap sesama. Kaedah
ini nampak lebih menenangkan setiap penganut agama terlebih
pada kehidupan yang majemuk. Jika saja setiap pemuka agama
menyebarkan kedamaian dan kasih sayang (bukan ujaran kebencian),
maka kekerasan sosial atas nama agama akan terhindarkan. Akan
dengan mudah memupuk rasa persaudaraan.
Indonesia memiliki masalah peningkatan radikalisme sebagai
akibat dari sikap intoleransi230. Patut dipahami bersama bahwa
Indonesia bukan negara Islam. Dalam konteks demokrasi, apapun
latar belakang etnis dan agama seseorang, maka ia akan memiliki
hak yang sama sebagai warga negara. Indonesia sebagai negara yang
demokratis, hubungan antara negara dengan warga negara diatur
jelas dalam konstitusi negara, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.231
Misalnya jaminan negara terhadap fakir miskin dan orang terlantar
[pasal 34], jaminan dan perlindungan negara terhadap hak-hak warga
negara untuk beragama sesuai dengan keyakinan [pasal 29]. Dalam
rangka menjamin hak-hak warga negara inilah, maka negara harus
228 Komaruddin Hidayat, Mamaknai Jejak-Jejak Kehidupan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), h 143.
229 Komaruddin Hidayat, Mamaknai..., h 144.
230 Ahmad Syafii Maarif, Menggugat Terorisme: Pendapat Para Pengamat dan
Tokoh, (Karsa Rezeki, 2002), h 137.
231 Lebih detail, lihat A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, demokrasi dan Pencegahan Korupsi, (Jakarta: Kencana,
2017), h 146.
186
menjamin keamanan dan kenyamanan warga negara, baik dalam
menyalurkan aspirasi maupun untuk menikmati sarana publik.
Ketika radikalisme berkembang, maka keamanan dan kenyamanan
ini menjadi terganggu.
Di era reformasi ini, paham yang bertentangan dengan
semangat Pancasila semakin berkembang di Indonesia. ASM
menyebutkan bahwa kehadiran paham tersebut disebabkan oleh: 1)
belum terwujudnya keadilan sosial ekonomi di masyarakat Indonesia,
2) ideologi impor dan Arabisme yang salah kaprah, lebih parahnya
lagi ideologi ini diterima mentah-mentah oleh sebagian masyarakat
Indonesia.232 Kedua poin ini dapat mengarahkan kepada paham dan
sikap intoleransi dalam beragama, bahkan akan mendorong kepada
radikalisme.
Disebutkan sebelumnya bahwa 2 hal yang memicu radikalisme
yaitu ketidak adilan sosial ekonomi dan penerimaan ideologi impor
yang salah kaprah. Beberapa kalangan tidak berdaya menghadapi
perubahan kondisi yang terjadi akibat dari kedua hal tersebut.
Akan tetapi ketidakberdayaan sebuah komunitas untuk menghadapi
tantangan dunia modern dengan segala permasalahannya yang
kompleks ini tidak lantas mengecilkan hati dan nyali anggota
komunitas itu, yang kemudian menempuh jalan ekstrem yang
berbahaya misalnya melakukan bom bunuh diri, aksi teror dan
sejenisnya. Itu tidak lain adalah ekspresi dari putus harapan dan
ketidak berdayaan.233
Islam adalah agama perdamaian, dinamis dan memberikan
perlindungan. Maka meskipun kita berbeda agama, suku, ras,
hendaknya tampil bersama-sama menjaga perdamaian, tidak hanya
dalam tataran lokal tetapi juga nasional dan global. Penting bagi
generasi muda untuk membangun semangat saling menghargai
diantara para pemeluk agama. ASM menyebutkan dengan jelas
232 Dipaparkan oleh ASM saat berdialog dengan tokoh lintas agama di Hotel
Jayakarta dalam rangkaian acara Asian Youth Day (AYD) ke-7, pada hari
Kamis (3/8/2017).
233 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam..., h 15 – 16.
187
bahwa sesama orang yang beriman itu bersaudara dan berdamai.234
Jika Al Qur`an saja sudah menegaskan demikian, maka tidak ada
alasan bagi kita untuk bersikap eksklusif bahkan radikal.
Spirit yang terkandung dalam surah Al Hujurât [49]:13, sangat
jelas bahwa kita tidak hanya diinginkan-Nya untuk saling mengenal,
tetapi juga saling memaklumi dan bertukar kebudayaan. Ini bukan
bermakna menganggap semua agama itu benar, tetapi sekedar
memberikan hak yang sama bagi penganut agama yang lain untuk
untuk tidak terdiskriminasi. Menyadari kemajemukan Indonesia
sekaligus juga menyadari urgensi sikap saling menghargai dalam
kehidupan bersama, menepikan primordial masing-masing.
Patut diingat juga, perlu sinergi kedua belah pihak. Minoritas
tidak menyinggung mayoritas, dan sebaliknya mayoritas tidak
semena-mena terhadap minoritas. Ada kekhawatiran dalam batin
ASM bahwa hingga kini Indonesia belum juga berhasil mewujudkan
janji-janji kemerdekaan yang pernah diucapkan oleh para pemimpin
sejak puluhan tahun yang lalu.235 Ada kecurigaan bahwa janganjangan ada ketidak-beresan dalam pengaturan negara ini. Contohnya
saja kemunculan aksi radikal yang dilakukan oleh beberapa kalangan
sebagai reaksi terhadap kondisi ketidak-adilan sosial. Kesenjangan
ini menunjukan adanya indikasi pengaturan negara yang sedang
bermasalah.
Intoleransi merupakan bibit dari ekstremisme dalam beragama
atau yang juga dikenal dengan radikalisme. Kemunculan paham
radikalisme berawal dari sikap intoleransi terhadap perbedaan yang
ditemukan di kehidupan sosial. Misalnya perbedaan agama, perbedaan
suku dan sebagainya. Intoleransi ini harus dicegah, mengingat
bahayanya mengancam persatuan dan kesatuan.
Potensi konflik tersebut menunjukan akan perlunya forum
dialog lintasagama dan budaya. Sebab ketika agama dipandang
sebagai sumber kekacauan dan konflik, maka kehadiran agama itu
234 Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, (Yogyakarta: Bunyam, 2018), h 4.
235 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam..., h 14.
188
hanya akan menghilangkan legitimasi agama sebagai kekuatan moral
dan penyebar misi perdamaian di bumi ini. Patut diakui bahwa kita
sangat merindukan kondisi damai, rukun, tertib, aman dan nyaman.
Penutup
Buya ASM adalah intelektual Muslim yang memiliki komitmen
teguh untuk mewujudkan Indonesia yang damai dalam persatuan dan
kesatuan. Ia kritis, tegas namun juga bersahaja. Pemikirannya yang
terbuka mengantarkan layak untuk disebut sebagai pengayom bangsa.
Pemikirannya selalu berdasar kepada keislaman, keindonesiaan dan
kemanusiaan. Ia mengedepankan moralitas Islam, toleransi inter
dan antar umat beragama, mengecam dominasi mayoritas terhadap
minoritas dan hak-hak persamaan antara laki-laki dan perempuan
pada ranah publik.
Keragaman merupakan hal yang lumrah, karena Tuhan memang
menciptakan dunia ini dengan potensi keragaman. Memaksakan
terjadinya homogenitas, merupakan hal yang tidak akan pernah
menjadi mungkin, sebab pada dasarnya kita memang sudah berbeda.
Isu besarnya adalah bagaimana kita mampu bersaudara dalam
perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan, bukan bagaimana kita
harus seragam.
umat Islam harus bermental terbuka, bersemangat untuk
maju, optimis, tidak putus asa dan tidak bermental minoritas. Bukan
pesimis pada keadaan, tidak mampu menghadapi perbedaan lantas
sewenang-wenang bersikap radikal. Mayoritas harus memberi
kesempatan terbuka bagi minoritas untuk dapat melaksanakan
keyakinannya dalam beragama, sebaliknya minoritas harus
menghormati mayoritas.
189
Daftar Pustaka
Fatwa MUI pada Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404
H/Maret 1984 M, ditetapkan di Jakarta 7 Maret 1984
Esposito, John L. Ancaman Islam: Mitos atau Realitas. Bandung:
Mizan. 1994.
Hidayat, Komaruddin. Mamaknai Jejak-Jejak Kehidupan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur
No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 Tentang Kesesatan Ajaran
Syi’ah.
Maarif, Ahmad Syafii. “Islam di Masa demokrasi Liberal dan
demokrasi Terpimpin”, Prisma No. 5, Tahun 1988.
Maarif, Ahmad Syafii. Ahmad Syafii Maarif: Memoar Seorang
Anak Kampung. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2013.
Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah
Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan. 2015.
Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante. Jakarta: LP3ES. 1985.
Menggugat Terorisme: Pendapat Para Pengamat dan Tokoh. Karsa
Rezeki. 2002.
Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Yogyakarta: Bunyam.
2018.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008, (terj.).
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. 2008.
Sasongko, Hd. Haryo. Terorisme: Dialog & Toleransi. Pustaka
Grafiksi. 2006.
Ubaedillah, A. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education):
190
Pancasila, demokrasi dan Pencegahan Korupsi. Jakarta:
Kencana. 2017.
Website
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/milenial akses pada 26
September 2018.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/radikalisme akses pada 26
September 2018.
Koran
Ahmad Syafii Maarif, “Preman Berjubah”, Republika, edisi 9
Agustus 2005.
191
MENELADANI KESEDERHANAAN, TOLERANSI, DAN
INTEGRITAS BUYA AHMAD SYAFII MAARIF
Pangky Febriantanto
Perjalanan Sang Tokoh
Pertengahan tahun 1935, di Nagari Calau di Sumpur Kudus
Kabupaten Sijunjung Sumatera Baratlahirlah seorang yang kelak
menjadi guru bangsa sekaligus tokoh besar bagi umat Islam dan
Bangsa Indonesia. Di sebuah wilayah yang nantinya menjadi markas
pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) selama 3 minggu
itulah Ahmad Syafii Maarif lahir pada 31 Mei 1935. Dan kelak
karena menjadi seorang ulama yang memiliki pemahaman agama
sangat mendalam, gelar “Buya” disematkan, menjadi Buya Ahmad
Syafii Maarif.
Dalam buku “Cermin untuk Semua : Refleksi 70 Tahun Ahmad
Syafii Maarif” dijelaskan bahwa Ahmad Syafii Maarif sering di
panggil dengan istilah Buya oleh orang yang dekat dengannya.
Istilah Buya di ucapkan kepada Syafii Maarif karena ia pantas
menyandang panggilan Buya yang memang sudah menjadi ulama
yang benarbenar alim, dan juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus
ilmuwan atau cendekiawan yang mempunyai reputasi intelektual
yang sangat tinggi236.Bahkan kelak Buya Ahmad Syafii Maarif
tidak hanya dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan tokoh Islam
236 Ghazali, Abdul Rohim & Daulay, Saleh P, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii
Maarif Cermin untuk Semua (Jakarta: Maarif Institute, 2005) h. 37
192
saja, melainkan juga seorang tokoh nasionalis yang berkomitmen
kebangsaan yang sangat tinggi.
Putra Minangkabau yang lahir dari pasangan ayah Ma’rifah
Rauf Datuk Rajo Malayu dan ibu Fathiyah tersebut merupakan anak
bungsu dari 4 bersaudara. Seiring waktu berjalan, Ma’rifah Rauf
Datuk Rajo Malayu diangkat menjadi kepala suku di kaumnya237.
Dan Ahmad Syafii Maarif pun tumbuh sebagai anak yang kental
dengan ajaran-ajaran religi.
“Aku lahir di Bumi Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat,
pada 31 Mei 1935. Sumpur Kudus “Makkah Darat” adalah
Bumi Bersejarah”.
Kata-kata Buya Ahmad Syafii Maarif tersebut tertulis dalam
Buku Titik-titik Kisar di Perjalanku. Tidak mengagetkan bila
Sumpur Kudus tempat kelahiran Buya Ahmad Syafii Maarif kental
akan Nilai-nilai religi khususnya Islam238. Hal itu dipengaruhi
sejarah Minangkabau yang memang memiliki keterkaitan erat antara
Budaya Minangkabau dengan Agama Islam.
Pada masa kecil, sambil menempuh sekolah SR atau Sekolah
Rakyat setingkat Sekolah Dasar, Ahmad Syafii Maarif juga menempuh
pendidikan agama di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah. Selain
itu, juga menyempatkan belajar mengaji di surau di sekitar Nagari
Calau. Pendidikan pun berlanjut ke jenjang lebih tinggi di Madrasah
Mualimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau yang masuk
wilayah Kabupaten Tana Datar Sumatera Barat239.
Memasuki usia remaja, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan
pendidikan ke Tanah Jawa.Selain belajar di Madrasah Mualimin
Muhammadiyah Yogyakarta, juga aktif dalam kepanduan Hizbul
237 Maarif, Ahmad Syafii, Titik-titik Kisar di Perjalananku, (Yogyakarta: Ombak, 2006) h. 3
238 Maarif, Ahmad Syafii, Titik-titik Kisar di Perjalananku, (Yogyakarta: Ombak, 2006) h. 3
239 Ibid. 106.
193
Wathan. Hizbul Wathan sendiri merupakan organisasi kepanduan
yang bersifat otonom dalam naungan Muhammadiyah. Ahmad
Syafii Maarif juga menekuni pers pelajar Mualimin yaitu Majalah
Sinar. Bahkan, beliau pernah bertugas sebagai pimpinan redaksi.
Lulus dari Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta,
beliau sempat menjadi guru di Sekolah Muhammadiyah di Lombok
Nusa Tenggara Barat. Selang beberapa lama, beliau melanjutkan
pendidikannya di Universitas Cokroaminoto Surakarta kemudian
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Yogyakarta.Setelah
mendapat gelar Sarjana Muda dan Sarjana, beliau melanjutkan kuliah
tingkat master dan doktor di Amerika Serikat. Beliau mengambil
Sejarah pada program master di Departemen Sejarah Ohio University
dan Pemikiran Islam pada program doktor di Universitas Chicago.
Wawasan yang luas dan intelektual tinggi tidak hanya membuat
Buya Ahmad Syafii Maarif berprestasi, namun juga membawa beliau
menjadi seorang akademisi baik itu sebagai guru, asisten dosen,
dosen, bahkan sampai pada jabatan guru besar. Jabatan guru besar
bidang sejarah beliau dapatkan di Universitas Negeri Yogyakarta.
Gelar Profesor pun disandang di depan gelar Buya beberapa waktu
setelah mengabdi sebagai dosen.Beliau juga sempat menerima
banyak penghargaan yang diantaranya Magsaysay Award Tahun
2008, BJ Habiebie Award Tahun 2010, Tokoh Perbukuan Islam
2011, Masyarakat Ilmu pemerintahan Indonesia (MIPI) Award
2011, Penghargaan Lifetime Achievement Soegeng Sarjadi Award on
Good Governance untuk kategori Intelectual Integrity dari Soegeng
Sarjadi Syndicate 2011, dan segudang penghargaan lainnya. Meski
demikian, beliau juga sempat aktif sebagai penulis dan jurnalis.
Sebagian karya-karya yang ditulis oleh Buya Ahmad Syafii
Maarif dalam sebuah buku maupun bentuk lain yaitu antara lain240:
1. Islam as The Basic of State : Study of the Islamic Political
Ideas as Reflection in the Constituent Asembly Debates in
240 Hilyah, Lia. Skripsi Sarjana. Dinamika Pemikiran politik Ahmad Syafii
Maarif : Tinjauan Terhadap Ideologi negara (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2009). H. 139-140
194
Indonesia
Dinamika Islam
Islam, Mengapa Tidak?
Islam dan Masalah Kenegaraan
Islam dan politik
Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan
Kemanusiaan : Sebuah Refleksi Sejarah
7. Titik-titik Kisar Perjalananku : Autobiografi Ahmad Syafii
Maarif
8. Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam
9. Memoar Seorang Anak Kampung
10. Islam dan politik Membingkai Peradaban
11. Menerobos Kemelut Refleksi Cendekiawan Muslim
12. Menggugah Nurani Bangsa
13. Mencari Autentitas dalam Kegalauan
14. Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan
Pemikiran Islam dan Poltik
15. Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat
16. Keterkaitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama
17. Muhammadiyah dalam Konteks Intelektual Muslim
18. Membumikan Islam
19. Percik-percik Pemikiran Iqbal
20. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia
21. Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah
22. Islam, politik dan demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi
umat Islam Indonesia
23. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis
24. Tuhan Menyapa Kita
25. Meluruskan Makna Jihad
26. Masa Depan dalam Taruhan
2.
3.
4.
5.
6.
Ketokohan Buya Ahmad Syafii Maarif juga diakui bahkan
telah diterbitkan Buku tentang Biografi Intelektual beliau yang
berjudul “Muazin Bangsa dari Makkah Darat”. Buku tersebut
merupakan karya Mun’im Sirry, Noorhaidi Hasan, Hilman Latief,
Alois Nugroho, Akhmad Sahal, Ahmad Norma Permata, Rahmawati
195
Husein, Sudirman Nasir, Neng Dara Affifah, Muhammad Ali,
Sumanto Al Qurtuby, Abdul Munir Mulkhan, sampai Zuly Qodir
yang mendeskripsikan buah pikiran dan kompilasi pengkajian atas
pemikiran-pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif.Selain “Muazin
Bangsa dari Makkah Darat”, ada buku lain yang juga sebagai
gambaran bahwa sosok Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan
panutan bagi segenap Bangsa Indonesia. Buku yang berjudul
“Cermin untuk Semua” yang merupakan Buku refleksi 70 tahun
Ahmad Syafii Maarif terbitan Maarif Institute yang ditulis oleh
Abdul Rahim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay. Dalam buku
“Cermin Untuk Semua”, secara eksplisit terdapat pesan agung
kepada khalayak ramai bahwa sosok Buya Ahmad Syafii Maarif
sangat patut dijadikan cerminan teladan bangsa.
Selain dunia akademis, Buya Ahmad Syafii Maarif yang
pernah menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan juga
pernah menjadi Presiden World Conference on Religion for Peace
ini juga tidak lupa untuk tetap mengabdikan diri pada Organisasi
Islam Muhammadiyah. Tidak hanya aktif, beliau bahkan menjadi
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat awal-awal masa
reformasi. Beliau juga berhasil menjaga marwah Muhammadiyah
sebagai organisasi dakwah untuk tidak terserat ke Politik241.
Dengan kata lain, Buya Ahmad Syafii Maarif berhasil membawa
Muhammadiyah ke jalur khittahnya. Pada Muktamar Muhammadiyah
tahun 2000, beliau didaulat kembali untuk menjadi Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah masa bhakti 2000-2005.
Dalam Buku Karya Abdul Rahim Ghazali dan Saleh Partaonan
Daulay yang berjudul “Muhammadiyah dan politik Islam Inklusif”
disebutkan bahwa selama kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif
di Muhammadiyah, banyak terobosan baru yang belum pernah
dilakukan pada periode kepemimpinan sebelumnya. Jika pada
periode sebelumnya Muhammadiyah lebih banyak tampil dan dikenal
241 Website Muhammadiyah. Profil Tokoh Muhammadiyah : Prof Dr Ahmad
Syafii Maarif (Ketua 1998-2005). http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-168-det-prof-dr-ahmad-safii-maarif.html Diakses pada 05 Desember
2018
196
sebagai gerakan da‘wah, pendidikan, dan amal usaha sosial, maka
pada era Buya Ahmad Syafii Maarif, Muhammadiyah lebih mewarnai
percaturan bangsa dan menjawab tantangan perkembangan dunia242.
Dorongan beliau untuk membubuhkan dan memberikan ruang pada
lahirnya pemikiran kritis di Muhammadiyah, intensifnya hubungan
antar umat beragama dan ormas Islam lainnya, keterlibatan yang
sangat aktif dalam gerakan Moral Anti Korupsi, serta partisipasi
aktifnya dalam berbagai forum dialog dunia untuk memecahkan
berbagai persoalan kemanusiaan adalah di antara beberapa terobosan
yang sangat terasa signifikansinya.
Di era Buya Ahmad Syafii Maarif, posisi Muhammadiyah
yang mengambil jarak dari semua partai politik dan tidak terlibat
pada politik praktis juga kembali ditegaskan. Hal itu terumuskan
lewat Tanwir Makassar pada Juni 2003 yang tidak mendukung
partai dan calon Presiden tertentu. Bahkan, di saat tokoh-tokoh
bangsa dan ormas Islam lainnya larut dan tergoda pada perebutan
kekuasaan, Buya Ahmad Syafii Maarif justru tidak bergeming dan
tetap konsisten dengan perannya sebagai pemimpin umat dan guru
bangsa. Hal ini tentu saja berangkat dari keyakinan beliau selama ini,
bahwa Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan pemikiran,
sosial, dan da‘wah. Jadi, Muhammadiyah bukan gerakan politik
yang bisa dijadikan untuk dijadikan alat untuk merebut kekuasaan243.
Dan setelah secara baik menuntaskan masa bahaktinya dan
tidak menjadi orang nomor satu di Muhammadiyah, beliau yang
tinggal di Kawasan Nogotirto Sleman Yogyakarta ini tetap memiliki
concernserta kepedulian tinggi akan perkembangan Islam khususnya
Muhammadiyah dan Indonesia. Selain aktif di Suara Muhammadiyah
dan mendirikan Maarif Institute, beliau sempat beberapa kali
mengemban amanah penting dalam bernegara.Antara lain seperti
jabatan Dewan Pertimbangan Presiden dan Dewan Pengarah Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
242 Rojani, Deden Muhammad. Skripsi Sarjana. Gagasan Pluralisme Ahmad
Syafii Maarif. (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2019), h. 28
243 Ghazali, Abd Rohim & Daulay, Saleh P, Muhammadiyah dan politik Islam
Inklusif (Jakarta : Maarif Institute, 2005) h. 116-117
197
Dari sosok Buya Ahmad Syafii Maarif, setidaknya ada 3 hal
yang dapat diteladani oleh Bangsa Indonesia. Meskipun masih ada
banyak Nilai-nilai serta sikap yang patut dijadikan panutan serta
teladan yang baik. Ketiga hal tersebut adalah :
1. Kesahajaan dan Kesederhanaan
2. Menjunjung Toleransi
3. Integritas
Kesahajaan dalam Kesederhanaan
Buya Ahmad Syafii Maarif telah menjadi guru Bangsa dan
tokoh besar, namun tetap bersikap sederhana yang membuat beliau
semakin bersahaja. Beliau memang seorang yang low profile high
quality. Keseharian beliau memang dekat dengan kesederhanaan
mulai dari hal-hal kecil dan tidak suka bermewah-mewah.
Dalam berbelanja di toko dekat rumah beliau di Nogotirto,
beliau lebih suka bersepeda dan membeli sesuai kebutuhan. Bahkan,
beliau juga tidak canggung saat berkunjung dan membeli sesuatu
ke angkringan. Ketika beliau pergi mengajar ke Universitas Negeri
Yogyakarta atau ke tempat lain, beliau sering mengemudikan mobil
sendiri tanpa bantuan sopir. Begitu pula saat bepergian jauh via
pesawat, tokoh bangsa tersebut sering berbaur dengan penumpang
biasa serta lebih memilih fasilitas ekonomi244. Walau terkadang ada
beberapa orang yang meminta foto bersama, Buya tetap menunjukkan
keramahannya.
Salah satu yang pernal viral serta mendapat banyak pujian
adalah sikap kesederhanaan Buya Ahmad Syafii Maarif saat menanti
Kereta Rel Listrik (KRL) pagi-pagi buta. Di mana saat itu beliau akan
menghadiri sebuah acara yang diinidiasi BPIP yang saat itu masih
bernama UKP-PIP atau Unit Kerja Presiden – Penguatan Ideologi
244 Ribas. Kesederhanaan Buya Syafii. http://www.suaramuhammadiyah.
id/2017/08/14/kesederhanaan-Buya-Syafii-makan-di-angkringan-naik-kereta-hingga-bersepeda/ . Diakses 05 Desember 2018
198
Pancasila. Hanya ditemani keponakannya, Buya tanpa meminta
fasilitas, sopir, ataupun pengawalan melaju dari Jakarta menuju
Bogor. Petinggi Maarif Institute juga sempat menawarkan fasilitas
antar jemput dengan mobil serta dikemudikan oleh sopir dari Maarif
Institute namun beliau tetap menolak secara halus dengan alasan
saat itu Hari Sabtu245.
Dan kesederhanaan juga terlihat ketika Buya Ahmad Syafii
Maarif sedang memeriksa kesehatannya di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. Rumah Sakit yang notabene dimiliki persyarikatan yang
pernah beliau pimpin. Beliau tetap memilih untuk ikut antri tanpa
dibeda-bedakan dengan pasien yang lain246.
Kesahajaan Buya Ahmad Syafii Maarif juga tercermin dalam
kesehariannya ketika berada di lingkungan tempat tinggal di
Kawasan Nogotirto, Sleman, Yogyakarta. Buya dikenal masyarakat
sebagai tokoh yang membumi dan tidak berbelit-belit apabila ingin
bertemu, mewawancarai, atau bahkan sekadar berfoto bersama.
Untuk menemui Buya Ahmad Syafii Maarifdapat dikatakan
sangatlah tidak rumit dan tidak berbelit-belit dengan birokrasi.
Hal demikian itu termasuk langka mengingat Buya Ahmad Syafii
Maarif tidak hanya seorang tokoh bangsa, namun juga seorang guru
bangsa. Apabila sedang berada di Yogyakarta khususnya di rumah
tempat tinggalnya pada sore hari, Buya Ahmad Syafii Maarif selalu
menyempatkan berjalan kaki untuk melaksananakan Shalat Maghrib
di Masjid Nogotirto, sebuah masjid yang berada tidak jauh dari rumah
beliau. Setelah Shalat Maghrib, sosok Buya dengan senyuman khas
berbaur dengan tetangga sekitar. Bahkan, tidak jarang selepas Shalat
Maghrib Buya dengan tangan terbuka menerima orang-orang yang
ingin bertemu atau bahkan mewawancarai beliau.Meski demikian,
memang sebaiknya menghubungi beliau terlebih dahulu untuk
konfirmasi keberadaan dan kesediaan beliau.
245 Andryanto, S.Dian. Kesederhanaan Ekstreem Buya Syafii Maarif. https://
nasional.tempo.co/read/899470/kesederhanaan-ekstrem-Buya-Syafii-maarif/full&view=ok . Diakses 05 Desember 2018
246 Ribas. Buya Syafii Menunggu Antrian. http://www.suaramuhammadiyah.
id/2017/11/30/Buya-Syafii-menunggu-antrian/ . Diakses 05 Desember 2018
199
Hal demikian juga dibuktikan oleh dua orang peserta Sekolah
Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif angkatan 2
(SKK-ASM 2) binaan Maarif Institute yang merasa beruntung dapat
bertemu dan berdiskusi langsung dengan sosok Buya Ahmad Syafii
Maarif pada selepas Shalat Maghrib di Masjid Nogotirto. Pada
September 2018, dua peserta Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan
Ahmad Syafii Maarif angkatan 2 yaitu Nuraini Zainal Chaniago
(S1 UIN Imam Bonjol Padang dan S2 IAIN Bengkulu) bersama
Pangky Febriantanto (S1 FISIPOL UGM, S2 MIP UMY dan Student
Mobility Program KKU Thailand) selepas melaksanakan Shalat
Maghrib berjamaah bersama warga sekitar yang salah satunya adalah
Buya Ahmad Syafii Maarif, dapat bertemu dan berdiskusi langsung
dengan beliau.
Dalam kesempatan tersebut, Buya dari awal memang dengan
tangan terbuka menyambut kedua orang peserta SKK ASM angkatan
kedua tersebut. Wawancara dan diskusi berjalan mengalir. Namun,
ada satu hal yang patut diapresiasi tinggi dari sosok Buya Ahmad
Syafii Maarif. Beliau selalu semangat dan seolah-olah memiliki
energi lebih apabila berdiskusi terutama tentang kebangsaan dan
keislaman. Dan satu hal yang masih menjadi sorotan Buya saat
berdiskusi adalah umat Islam dalam konteks berbangsa seharusnya
mampumengayomi Umat dari Agama selain Islam, namun kondisi
yang terjadi justru menunjukkan bukan hanya belum sepenuhnya
mampu mengayomi agama lain, untuk mengayomi sesama Agama
Islam pun juga belum sepenuhnya mampu. Selain itu, satu hal yang
menjadi sorotan Buya adalah Islam harus satu satu tarikan nafas
dengan keindonesiaan dan kemanusiaan.
Islam, Keindonesiaan, Kemanusiaan: Menjunjung Toleransi
Dalam Buku “Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan: sebuah Refleksi Sejarah”yang
ditulis oleh Buya Ahmad Syafii Maarif, Buya menjelaskan ada
keinginan agar Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah
sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi
200
solusi terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara247. Agar bisa
mengembangkan Islam seperti itu, umat Islam harus bermental
terbuka, semangat untuk maju, optimis dan tidak putus asa, serta
tidak bermental minoritas. Dengan demikian, umat Islam bisa
bersama-sama umat agama lain berkontribusi untuk kemanusiaan,
kebangsaan, kebangsaan, dan persyarikatan atau jamaah masingmasing baik urutan dari global ke lokal atau kelompok.
Masih dalam buku yang sama, Buya Ahmad Syafii Maarif juga
membahas tentang Islam, keindonesiaan, dan Kemanusiaan berarti
telah masuk dalam tataran yang lebih dalam dan luas. Di mana, masa
depan Indonesia harus diciptakan dengan sedemikian rupa agar setiap
yang hidup di Indonesia benar-benar merasakan kenyamanan dan
keamanan. Adanya kenyamanan dan keamanan berkaitan erat dengan
prinsip keadilan yang berlaku untuk semua yang mana tidak ada
diskriminasi dengan pertimbangan atau alasan apapun. Dan karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka sudah menjadi
tanggung jawab Islam untuk menciptakan Indonesia yang adil dan
berwajah ramah248.
Pandangan Buya Ahmad Syafii Maarif yang menjunjung tinggi
toleransi dan tanpa diskriminasi juga terpapar jelas dalam buku
tersebut. Bahkan dalam bab V buku tersebut, Buya menjelaskan bahwa
sebagai upaya mengukuhkan keindonesiaan dan kemanusiaan, ruh
Piagam Jakarta tidak perlu terus menerus dipandang dalam perspektif
legal formal, tetapi diambil ruhnya sebagai tegaknya keadilan yang
merata bagi seluruh penghuni Nusantara atau Indonesia, tanpa
diskriminasi. Dan Pancasila harus membuka pintu selebar-lebarnya
untuk menerima sumber moral dari agama-agama yang berkembang
di Indonesia dan kelima sila Pancasila juka dipahami secara benar
dalam satu kesatuan maka tidak ada yang perlu dipersoalkan lagi
dalam sudut pandang teologi, khususnya teologi Islam.
Buya juga berpandangan bahwa untuk menciptakan bangunan
247 Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2009) h. 17
248 Ibid, h. 320
201
Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan
kemanusiaan dalam satu tarikan nafas lebih merupakan kerja dakwah
dan kebudayaan dibanding dengan kerja politik. Dengan pendekatan
dakwah dan kebudayaan, Nilai-nilai dasar Islam, keindonesiaa, dan
kemanusiaan dapat dirancang dengan lebih teliti, sabar, dan berdaya
jangka yang jauh. Jika Nilai-nilai dasar sudah kuat maka pengaruh di
bidang politik juga akan terasa yang politik yang berkeadaban. Dan
politik yang dibimbing oleh Nilai-nilai profetik maka akan bermuara
pada kedamaian dan keadilan249.
Pemaparan Buya Ahmad Syafii Maarif tersebut jelas
menitikberatkan salah satunya pada Islam yang progresif sehingga
terjalin toleransi. Maka penting untuk menjaga Islam Indonesia
dengan menjadi Muslim yang progresif dengan menjunjung
keadilan,pluralisme,kesetaraan gender, melindungi kaum minoritas,
dan berani menentang kebijakan negara manapun yang diskriminatif.
Sebelumnya, Buya juga menyoroti adanya fundamentalisme
agama yang mengancam kedamaian dan keadilan. Pada tahun
2004, Buya Ahmad Syafii Maarif bahkan pernah mengatakan
bahwa konservatisme atau fundamentalisme agama yang bernafsu
memonopoli kebenaran atas nama Tuhan akan berakibat tidak jauh
berbeda dengan sekularisme-ateistik yang telah talak tiga dengan
apa yang bernama iman. Dengan kehidupan yang tanpa iman itu,
seseorang akan gampang melakukan apa saja demi mencapai
tujuannya meski ia melanggar prinsip dasar agama yang mengajarkan
kebaikan dan mencegah kebenaran atau tidak sesuai dengan prinsip
Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Masih menurut pandangan Buya Ahmad Syafii Maarif, Islam
yang rahmatan lil ‘alamin memang merupakan Islam yang memberi
rahmat bagi semesta termasuk semua manusia. Bahkan termasuk
manusia ateis sekalipun. Hal itu juga sudah sesuai dengan Al Qur’an
Surat Al Anbiya’ Ayat 107. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa
:“(Dan tiadalah Kami mengutus kamu) hai Muhammad! (melainkan
untuk menjadi rahmat) yakni merupakan rahmat (bagi semesta
249 Ibid, h. 326
202
alam) manusia dan jin melalui keRasulanmu.”
Dan apabila ditelaah lebih lanjut terutama tentang Muslim
kontemporer, pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif terkait Islam
dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan kemanusiaan
lebih kepada arah teori pemikiran politik Islam integrasi. Hal
tersebut terletak pada konsepsi pemikiran Islam dan relasinya
dengan negara dan masyarakat yang dianut oleh pemikir seperti
Husein Haikal, Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun. Para
pemikir tersebut menyatakan bahwa menurut teori tersebut, kendati
Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu,
tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi
kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya umat Islam bebas
memilih sistem mana pun yang terbaik.
Dalam buku Buya yang lain, yaitu Islam dan Politik: Teori
Belah Bambu, Masa demokrasi Terpimpin, 1959-1965”, Buya
Ahmad Syafii Maarif menyebutkan toleransi itu penting. Lebih
lanjut, toleransi itu penting bagi Indonesia yang majemuk dalam
banyak hal. Dengan mengacu pada Piagam Madinah, Buya menulis,
“Sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial,
agama, dan budaya tidak mantap”250. Hal itu karena Buya sudah
lama risih dengan sikap-sikap intoleransi yang terjadi Indonesia.
Satu hal yang didapat dari sebagian kecil buku “Islam dalam
Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan:
Sebuah Refleksi Sejarah” dan Buku “Islam dan Politik: Teori Belah
Bambu, Masa demokrasi Terpimpin, 1959-1965 ” tersebut adalah
keterkaitan Islam di Indonesia dengan toleransi. Di mana, Indonesia
merupakan negara dengan keberagaman sehingga diperlukan
toleransi. Termasuk Islam sebagai agama terbesar di Indonesia juga
menjunjung toleransi karena juga sesuai dengan tuntunan Islam itu
sendiri. Selain itu, juga dikarenakan Islam sebagai agama Islam
adalah agama rahmatan lil ‘alamin, artinya Islam yang membawa
rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta.Bahkan, Buya
250 Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa demokrasi Terpimpin (1959-1965). (Jakarta: Gema Insani, 1996). H. 154
203
pernah mengatakan bahwa :
1. Islam yang asli alias original adalah Islam yang santun dan
lembut, Islam yang ramah, Islam yang penuh rahmat, Islam
yang toleran, Islam yang mengakomodir budaya lokal, Islam
yang tidak main paksa.
2. Islam yang damai, Islam yang konstruktif dan Islam yang
dapat mengayomi bangsa ini, dengan tanpa membedabedakan Suku, Agama dan lain-lain, itu Islam yang benar.
keislaman harus satu nafas dengan keindonesiaan dan
Kemanusiaan.
Kedua pernyataan Buya juga senada dengan Al-Qur’an Surat
Al Hujarat Ayat 11dan Al-Qur’an Surat Al Mumtahanah Ayat 8 dan
9. Dalam Al-Qur’an Surat Al Hujarat Ayat 11disebutkan bahwa :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-ngolok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang
di perolok-olokkan lebih baik dari mereka yang mengolokngolok. Dan jangan pula sekumpulan perempuan mengolokngolokkan perempuan lain, boleh jadi perempuan yang
diperolok-olokkan lebih baik daripada perempuan yang
mengolok-olok. Dan janganlah kamu saling mencela satu
sama lain, dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa
yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang
zalim”.
Dan Al-Qur’an Surat Al Mumtahanah Ayat 8 dan 9 disebutkan
bahwa :
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
204
adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan
mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim”.
Selain itu, dalam berbangsa dan bernegara Buya Ahmad Safii
Maarif berpegang teguh dengan nilai Pancasila. Karena, dalam
bernegara terdapat dasar fundamen sebagai ideologi, bintang
penuntun agar setiap tindakan yang dilakukan memiliki pijakan
yang kuat. Meskipun agama dan negara harus terpisah,namun tetap
saling melengkapi satu sama lain.
Integritas Tinggi Sang Guru Bangsa
Buya Ahmad Syafii Maarif memang sudah dikenal sebagai tokoh
bangsa yang berintegritas. Karena integritasnya salah satu alasan
Buya diberi amanat untuk menjabat sebagai Anggota Komite Etik
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Integritas Buya secara
sekilas sudah dapat dilihat dari kegigihan, kedisiplinan, serta
komitmen Buya dalam setiap menyelesaikan pekerjaannya.
Kegigihan Buya Ahmad Syafii Maarif salah satunya dapat
dibuktikan dengan semangat untuk terus memikirkan tentang
keindonesiaan dan memperjuangan Islam yang toleran. Hal itu
terlaksana dalam Maarif Institute, sebuah lembaga kajian dan riset
yang Buya dirikan. Selain itu, semangat Buya juga dapat dilihat
dari tulisan-tulisan dan pernyataan-pernyataan beliau di media
massa. Mengenai kedisiplinan, seorang Buya Ahmad Syafii Maarif
merupakan salah satu tokoh yang paling disiplin. Terutama, tentang
disiplin waktu dan aturan. Dan tentang komitmen, Buya selalu
menyelesaikan apa yang menjadi ketugasan dengan tuntas. Bahkan,
Buya pernah mengoreksi tugas mahasiswa-mahasiwa di dalam
pesawat saat perjalanan menuju Amerika Serikat.
Buya Ahmad Syafii Maarif memang dikenal sebagai bapak bangsa
205
yang mencintai bangsa Indonesia secara tulus dan dalam sekali. Bagi
Buya Ahmad Syafii maarif, membela bangsa adalah dalam rangka
membela Islam. Tidak mengherankan apabila Buya Ahmad Syafii
Maarif merupakan sosok yang gigih dan berani bahkan berintegritas
tinggi.
Gambaran akan integritas tercermin juga dalam usaha dan
perjuangan Buya Ahmad Syafii Maarif tidak berhenti sekaligus ketika
beliau meletakkan kepemimpinan Pimpinan Pusat Muhammadiyah
pada gernerasi di bawahnya. Ketika menjelang berakhirnya masa
bhakti beliau sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Buya Ahmad Syafii Maarif kemudian mendirikan Maarif Institute
sebagai wahana melanjutkan ikhtiar dalam rangka mengawal
dan menggapai kebangkitan intelektual di kalangan generasi
muda Islam. Di mana, Maarif Institute memiliki komitmen dasar
lembaga ini sebagai gerakan kebudayaan dalam konteks keislaman,
kemanusiaan, dan keindonesiaan. Tiga area ini merupakan hal pokok
dan terpenting dalam perjalanan intelektualisme dan aktivisme Buya
Ahmad Syafii Maarif. Dan Nilai-nilai yang dianut oleh Maarif
Institute adalah251 : Egaliter, Non-diskriminasi, Toleran, Inklusif
Selain pendiri Maarif Institute, Buya Ahmad Syafii Maarif juga
berperan besar bagi Suara Muhammadiyah. Sejak tahun 1965 hingga
1982 Buya Syafii telah berperan sebagai korektor dan redaktur
majalah Suara Muhammadiyah. Selain itu, Buya juga tercatat
sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Bahkan
dalam beberapa tahun setelah reformasi bahakan sampai tahun 2018,
Buya Ahmad Syafii Maarif masih aktiftercatat sebagai Pemimpin
Umum Suara Muhammadiyah. Dalam Suara Muhammadiyah secara
khusus dan masyarakat Muhammadiyah secara umum, Buya Ahmad
Syafii Maarif diapresiasi sebagai tokoh inti yang menjadi tonggak
bertahannya Suara Muhammadiyah hingga 1 abad.252
251 Maarif Institue. Tentang Maarif Institute. http://maarifinstitute.org/profil/#toggle-id-3. Diakses 5 Desember 2018
252 PP Muhammadiyah. Buya Syafii Maarif Tonggak Bertahannya Suara
Muhammadiyah hingga 1 Abad. http://www.umm.ac.id/id/muhammadiyah/13295.html. Diakses 5 Desember 2018
206
Daftar Pustaka
Al Qur’an dan Terjemahannya. 2015. Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Bantul Yogyakarta: Penerbit Gramasurya.
Ghazali, Abdul rahim & Daulay, Saleh Patraonan. 2005. Cermin
Untuk Semua: Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif.
Jakarta : Maarif Institute.
Ghazali, Abdul rahim & Daulay, Saleh Patraonan. 2005.
Muhammadiyah & politik Islam Inklusif. Jakarta: Maarif
Institute.
Hilyah, Lia. 2009. Skripsi “Dinamika Pemikiran politik Ahmad
Syafii Maarif : Tinjauan Terhadap Ideologi negara.” Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah.
Maarif, Ahmad Syafii. 2009.Islam dalam Bingkai Keindonesiaan
dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi
Sejarah. (Edisi Revisi). Bandung : Mizan.
Maarif, Ahmad Syafii. 2000. Independensi Muhammadiyah di
Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan politik. Jakarta:
Cidesindo.
Maarif, Ahmad Syafii. 2009.Otobiografi Ahmad Syafii Maarif:
Titik-titik Kisar di Perjalananku. Jakarta : Penerbit Ombak.
Maarif, Ahmad Syafii. 1996.Islam dan Politik: Teori Belah Bambu
Masa demokrasi Terpimpin (1959-1965).Jakarta: Gema
Insani.
Rojani, Deden Muhammad. 2019. Skripsi “Gagasan Pluralisme
Ahmad Syafii Maarif” Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Link:
maarifinstitute.org (diakses pada 05 Desember 2018)
nasional.tempo.co (diakses pada 05 Desember 2018)
muhammadiyah.or.id (diakses pada 05 Desember 2018)
207
suaramuhammadiyah.id (diakses pada 05 Desember 2018)
umm.ac.id (diakses pada 05 Desember 2018)
208
REAKTUALISASI SPRITUALITAS DAN HUMANITAS
AHMAD SYAFII MAARIF DALAM AGENDA PEMBARUAN
PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF
Putri Wulansari
Pendahuluan
Era reformasi menjadi angin segar bagi kebebasan berekspresi
di Indonesia setelah sekian lama tersendat oleh rezim otoriter.
Kebebasan tersebut tak hanya membuka keran-keran demokrasi
dan kebebasan pers namun turut memperkuat ekisitensi Islam baik
secara gerakan umat maupun politis dari dominansi kaum nasionalis.
Namun, terbukanya kebebasan berekpresi turut menjadi gerbang
masuknya gerakan Islam transnasional dari Mesir seperti Ikhwanul
Muslimin. Kemunculan Gerakan transnasional di Indonsesia di
ditandai oleh kemunculan-kemunculan Ormas Islam seperti FPI,
MMI dan laskar Jihad.253
Gerakan tersebut sangat kentara terlihat dari penggunaaan
kekerasan dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar seperti
penggrebakan tempat-tempat yang dianggap maksiat ataupun
penutupan paksa warung makan saat bulan ramadhan tiba. Kendati
alasan yang berdasar serta dalam rangka penegakan syriat. Namun
gerakan-gerakan tersebut justru menimbulkan kegaduhan serta
menimbulkan konflik horizontal ditengah masyarakat, terlebih
253 Sa’dullah Afandy, Akar Sejarah dan Pola Gerakan Radikalisme Islam di
Indonesia di akses dari www.nu.or.id pada Senin 20 Mei 2019 pukul 23.00
209
sentimen terhadap isu-isu sara masih menguat pasca huru-hara
reformasi.
Kemudian, Konflik horizontal berbau sentimen agama
semakin menguat tatkala Majelis ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa haram atas pluralisme, liberalisme dan
sekulerisme yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam254.
Keputusan tersebut secara tidak langsung menjadi dalih kuat bagi
kalangan ektrimis untuk merubah Indonesia menjadi negara Islam.
Disatu sisi keputusan tersebut ditentang secara keras oleh kalangan
intelektual Muslim Indonesia yang menamakan diri mereka
sebagai koalisi aktivis demokrasi yang mendeklasrikan maklumat
keindonesian sebagai wujud keberpihakan atas gagasan pluralisme,
liberalisme dan sekulerisme.255
Membaca dan menganalisis dampak keputusan MUI terhadap
pengharaman atas pluralisme, liberalisme dan sekulerisme ialah
menguatnya sentimen keagaamaan serta polarisasi dikalangan
umat Islam Indonesia dalam rentang 2005 hingga 2006. Setidaknya
terdapat beberapa kasus sentimen keagamaan yang mencabik-cabik
kemanusian dan persatuan bangsa seperti kasus Sunni-Syiah di
Sampang Madura. Konflik tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaaan
madzab. Sebagaimana dipahami bersama bahwa secara historis
konflik antara sunni dan syiah telah terjadi sejak masa khalifah Ali
yang bermula dari perebutan atas tafsir Al-Qur’an dan justru berakhir
menjadi konflik perebutan kekuasaan karena Muawiyah berhasil
mempolitisi ayat-ayat Al-Qur’an sehingga membuatnya menjadi
penguasa Bani Umayah256.
Hal yang sama terjadi pada konflik sunni-syiah di sampang
Madura. Bahwasanya konflik tersebut bukan hanya disebabkan
oleh perbedaan madzab tetapi terdapat kepentingan tertentu. Hal ini
254 Carool Kersten, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana umat Islam Era
Reformasi, (Bandung: Mizan, 2018). h. xi.
255 Carool Kersten, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana umat Islam Era
Reformasi, h. xi
256 Taufik Kustiawan dalam Alquran dan Budaya Kontemporer diakses dari alif.
id pada 16 Desember 2018
210
didasarkan pada hasil reportase Rusdi Mathari mengenai penyebab
konflik antara sunni syiah di Sampang Madura yaitu257: Pertama,
terdapat beberapa kyai yang terlibat dalam kepentingan politik
tertentu sehingga dengan mudahnya mengeluarkan fatwa haram
ketika berbeda kepentingan, sebaliknya mendukung bahkan melabeli
alim bagi mereka yang berkepentingan sama.
Kedua, ialah persoalan eksistensi sekaligus resource. Telah
menjadi rahasia umum bahwa maulidan menjadi hal yang wajib
khususnya bagi masyarakat omben yang dilaksanakan tidak hanya
di masjid atau di mushala-mushala tetapi disetiap rumah warga
sehingga memberatkan masyarakat terutama bagi yang menengah
kebawah. Terlebih beban uang saku yang ditanggung umat untuk
diberikan kepada kyai. Kemudian sikap rasisme dari para kyai
yang lebih mendahulukan mereka yang lebih banyak memberikan
uang saku serta bingkisan dibanding sebaliknya, sehingga membuat
kekecewaan umat dan berkeinginan berpindah ke Syiah atau
Muhammadiyah. Respon masyarakat tersebutlahh diduga menjadi
pemicu konflik yang terjadi di Sampang. Pasalnya, musim Maulidan
merupakan masa panen bagi para kyai bahkan mereka bisa membeli
sepeda motor dari hasil uang saku yang diberikan oleh umat.
Memahami dan menganalisa hasil reportase Rusdi Mathari
menegaskan bahwa agama/ keyakinan bukanlah sumber utama
konflik horizontal yang terjadi. Tetapi, kepentingan-kepentingan
dibelakangnya baik itu motif ekonomi, egoisme kelompok
maupun politik, sehingga diperlukan upaya dindakan preventif
dalam mengatasi problematika tersebut. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah melalui pendidikan karena pada dasarnya
pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia, tetapi
pendidikan Indonesia terutama pendidikan Islam menujukkan
realitas lain. Pendidikan Islam tidak mampu menjadi pengendali
moralitas dan spritual bangsa tetapi justru menjadi media reproduksi
dan transmisi dari paham-paham radikal, ektrimis, ekslusif,
257 Rusdi Mathari, Mereka Sibuk Menghitung Jejak Langkah Ayam: Sehimpun
Reportase Rusdi mathari, (Yogjakarta: Mojok, 2018). h. 191-214.
211
intoleransi dan takfirisme dan bukan sebaliknya menjadi wadah
menyemai Islam moderat dan inklusif258
Menganlisa problematika pendidikan Islam tersebut bukan
hanya diperlukan sebuah tindakan preventif. Namun diperlukan
sebuah upaya pembharuan dalam pendidikan Islam menuju
pendidikna Islam inklusif, tetapi Islam inklusif tersebut perlu
ditempatkan sesuai pada tempatnya, agar gagasan Islam inklusif
tersebut tidak menjadi eklusif gaya baru. Oleh karenanya dalam
merumuskan desain pendidikan Islam inklusif tidak boleh keluar dari
kerangka spritualisme dan humanisme sehingga gagasan ini menjadi
jawaban yng konkret atas polemik yang ada dan berkembang.
Maka membaca, Memahami dan mereaktualiasikan gagasan
Ahmad Syafii Maarif mengenai spritualitas dan humanitas pada
agenda Pembharuan pendidikan Islam menuju Islam inklusif.
Reaktualisasi pemikiran Syafii Maarif menegnai spritualitas dan
humanitas dapat menjadi salah satu alternatif dalam merumuskan
Pendidikan Islam inklusif, mengingat sumbangsih yang luarbiasa
dari Syafiii Maarif terhadap kemanusian dan KeIndonesian. Oleh
karenaya, tulisan ini akan membahas upaya merumuskan desain
pendidikan Islam inklusif dengan mereaktualisasikan pemikiran
Ahmad Syafii Maarif mengenai Spritualitas dan humanisme dalam
upaya pembharuan pendidikan Islam menuju pendidikan Islam
inklusif. Spritualitas dan Humanitas Syafii Maarif
Spritualitas dan Humanitas Ahmad Syafii Maarif
Kini udara kita diperkaya sekaligus dicemari oleh informasi
yang bisa kita peroleh semudah menarik napas rupanya hal ini perlu
kita amini bersama259. Pasalnya sekarang informasi tumpah ruah
bagaikan banjir bah yang tak tak dapat dibendung. Parahnya dengan
258 Report Covey Indonesia, Pelita yang Meredup: Keberagaman Guru Sekolah/
Madrasah di Indonesia, Vol 2 No 1 tahun 2019. h. 1.
259 Bre Redana, Koran Kami With Lucy in The Sky (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017): .
212
arus informasi yang begitu cepat justru menghasilkan informasi
yang simpang siur dan membinggungkan. Tak sebatas itu arus
informasi membuat orang mengalami kemunduran berpikir karena
melemah daya kritisme atau critical thinking. Maka tak heran jika ini
dimanfaatkan oleh para fundamentalis untuk memproduksi kontenkonten keislaman dalam presfektif mereka yang mampu menjawab
kebinggungan umat Islam atas kesimpangsiuran informasi yang ada.
Efektifitasnya tersebut teruji dari berkembangnya sikap
taklid buta atau menelan mentah-mentah sehingga menyebabkan
penyebaran Islam garis keras yang mengarah kepada radikalisme
tumbuh subur.260 Keefektifan media ini pun diungkapkan oleh
Sholahuddin seorang pakar teorisme saat mengisi materi pada
penyelenggaraann Sekolah Kebudayaan dan Kemanusian Ahmad
Syafii Maarif Periode II bahwasanya seseorng hanya butuh kurang
lebih 9 Bulan untuk terpapar radikalisme karena mengonnsumsi
konten-konten radikal di sosial media khususnya telegram.261
Fenomena-fenomena tersebutlah yang disebut oleh Kuntowijoyo
dalam esai Muslim tanpa masjid sebagai generasi yang lahir tanpa
ayah.
“Generasi baru Muslim telah lahir dari rahim sejarah, tanpa
kehadiran sang ayah, tidak ditunggui saudara-saudaranya.
Kelahiranya bahkan tidak terdengar oleh Muslim yang lain.262
Mereka dalah generasi baru yang kini bermekaran dalam
satuan-satuan lain, seperti negara, bangsa, daerah, partai,
ormas, kelas usaha dan sebagainya. Pengetahuan agama
mereka bukan dari lembaga konvesional seperti masjid
pesantren atau madrasah melainkan dari sumber anonim,
seperti kursus, seminar, buku, majalah, kaset, CD, VCD,
260 Haidar Baqir, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spritualitas di Zaman
Kacau h. 44
261 Sholahuddin, Jaringan Islam dan Terorisme di Indonesia: kasus Ansharul
daulah di Indoesia, tulisan disampaikan dalam Sekolah Kebudayaan dan
Kemanusia Ahmad Syafii Maarif Periode 2 Selasa 27 Oktober 2018.
262 Kuntowijoyo, Muslim tanpa Masjid: Mencari Metode Aplikasi Nilai-nilai
Al-Qur’an pada Masa Kini, (Yogjakarta, IRCiSoD: 2018): h 130.
213
internet, radio, dan televisi. Banyak agama yang tidak sanggup
melihat gejala-gejala modern sehingga gagal memahami
makna kesenjangan struktural atau para pelaku korupsi,
kolusi dan neotisme yang berwajah kesalihan” 263
Perihal krisis spritualisme abad modern kegelisahan yang
sama turut dirasakan oleh Ahmad Syafii Maarif bahwasanya Abad
modern semakin jauh dari Nilai-nilai moral-transendental serta
semakin menjadi gersang dan ganas.”264 Kegelisahan-Kegelisahan
atas krisis spritualitas yang melanda Sumpur Kudus yang mulai
menerima modernisasi: Tetapi apakah itu merupakan sebuah yang
patut ditangisi? Belum tentu juga, sebab berkat kemajuan komunikasi
dan informasi, kawasan pedesaan sudah semakin mengecil digusur
oleh kekuatan urbanisasi. 265
Dari kutipan tersebut dapat di tergambar jelas kegelisahankegelisahan Ahmad Syaffi Maarif dalam merespon dinamika
modernisasi yang telah merambah hingga ke Sumpur Kudus.
Tetapi bukan antipati terhadap segala bentuk perubahan. Sebab
selama perubahan tersebut mengarah pada kebaikan maka perlu
diserap dengan baik tetapi jika itu berubah menjadi tidak sehat
maka diperlukan sebuah tameng untuk membendungnya. Tameng
tersebut adalah agama yang di internalisasikan kedalam pemasifan
pendidikan agama sebagai bagian dari pengontrol moral sosial.
Berkat daya kritisnya dan pribadinya yang slalu gelisah
mengantarkanya menjadi seorang cendikiawan Muslim Indonesia
sekaligus guru bangsa. Penyematan gelar guru bangsa pada
Buya Syafii memang sangat koheran karena beliau merupakan
seorang intelektual organik yaitu seorang intelektual yang slalu
gelisah menghadapi relaitas yang penuh dengan problematika dan
263 Kuntowijoyo, Muslim tanpa Masjid: Mencari Metode Aplikasi Nilai-nilai
Al-Qur’an pada Masa Kini, h 133.
264 Ahmad Syafii Maarif, Titik Kisar Perjananku, (Bandung; Mizan, 2009): h
217.
265 Ahmad Syafii Maarif, Titik Kisar Perjananku, h 39-40.
214
menggunakan segala daya dan kemampuanya untuk merumuskan
alternatif pemecahan atas segala problematika tersebut.
Penggolongan tersebut berdasarkan tipologi intelektual
yang dibuat olem Gramsci yang membaginya menjadi dua jenis
intelektual yaitu: tradisional dan organik.266 Itelektual tradisonal
adalah intelektual yang berada di menara gading dan antirealitas
sedangkan intelektual organik adalah kaum intelektual- intelktual
seperti Buya Syaffi yang mengabdikan dirinya pada kemanusian dan
peradaban.
Sebagai seorang intelektual organik tentunya telah banyak
kerja-kerja inteektual maupun kemanusian. Kerja-kerja intelektual
tersebut terintrpretasikan dalam berbagai tulisanya baik tulisan
akedemik maupun populer. Sedangkan kerja kemanusianya
terwejentahkan dalam sebuah lembaga yaitu Maarif Institut: for
culter and humanity.. Sikap kemanusian tersebut terlihat dari
keberpihakanya terhadap kaum minoritas seperti kasus sunni-syiah
di sampang madura, Ahmadiyah, LGBT dan ateisme. Kendati
golongan tersebut dilabeli sebagai golongan yang sesat oleh beberapa
kalangan, bukan berarti kita dapat bertidak sewenang-wenang
dengan golongan sesat tersebut seperti yag diungkapkan Buya:
Melihat sikap dan ketegasan Buya terhadap para perilaku
intoleran perlu kita tauladani serta sikap beliau dalam melihat suatu
persoalan secara komprehensif. Pemikiran Buya sangatlah luas
dan berbagai isu diantaranya mengenai demokrasi ataupun antara
sekularisme dan fundamentalisme yang dianggap poros ekstrim
dalam wacana keislaman. demokrasi sebagai salah satu produk
humanis dan dilabeli paling beradab yang diciptakan oleh manusia
modern dan ditentang oleh kalangan fundamentalisme. Namun Buya
menyakini jika demokrasi adalah pegewenjentahan dari Nilai-nilai
humanis:
“Dalam pemahamanku terhadap Syuro (mutual consultation),
266 Abdul Rohim Ghozali, Sikap Intelektual Spritualitas dan Kemanusian Ahmad Syafii Maarif, Tulisan disampaikan dalam Sekolah Kebudayaan dan kemanusian Ahmad Syafii maarif periode II pada Selasa 27 November 2018.
215
sistem politik demokrasi rasanya lebih sesuai untuk dilaksanakan
dalam konteks modern. demokrasi tidak harus bercorak Barat. Aspekaspek sekuler dari sistem ini dapat saja disingkirkan, sehingga tidak
ada alasan bagi umat Islam untuk menolaknya. Kita ambil contoh,
sebutlah misalnya parlemen sebuah negara menghalalkan judi karena
didukung oleh lebih 50% anggotanya. Dalam sistem demokrasi
Barat, judi dengan demikian menjadi halal. hal ini menempatkan
manusia pada posisi sama dalam proses pengambilan keputusan
untuk kepentingan bersama. Di sini doktrin egalitarian mendapatkan
tempatnya secara wajar, sementara dalam sistem kerajaan yang
masih berlaku pada beberapa negara Muslim, rakyat tidak punya hak
untuk berkuasa. Pada waktu membahas konsep “daulat rakyat” dan
“daulat tuanku” sebelumnya aku sudah menyinggung masalah ini.
Dengan demikian di mana posisiku dalam masalah sistem politik
ini sudah sangat jelas, tidak perlu diperpanjang lagi, kecuali dalam
konteks yang sangat memerlukan. Tetapi jika aku berbicara tentang
demokrasi, hendaklah dibaca dalam konsep “demokrasi yang
berkeadilan.” Tanpa keadilan, sistem politik mana pun tidak lebih
dari panggung sandiwara yang mengatasnamakan rakyat.
Meresapi pemikiran Ahmad Syafii Maarif mengenai
gagasanya terhadap demokrasi mengisnyaratkan agar masyarakat
menjadi seorang pelajar yang cerdas terutama dalam hal menyikapai
demokrasi. Realitas demokrasi sebagai produk peradaban barat tak
dapat ditampikkan tetapi membuang demokrasi ke tong sampah
merupakan tindakan yang tak bijakasana. Pasalnya dalam memahami
demokrasi yang digambarkan oleh Syafii Maarif tidak boleh terjebak
pada fatwa halal terhadap judi yang didukung oleh suara parlemen
hingga 50%, tetapi esesensi kebebasan berpendapat serta kesetaran
di mata hukum yang merupakan hak setiap warga negara berbeda
dengan sistem kerajaan yang tak mengakomodir hal-hal tersebut.
Sehingga dapat disederhanakan bahwa sebagai masyarakat
dunia tidak bisa terlepas dari kebudayaan lain ataupun peradaban
tetapi saling berkaitan. Peradaban dan kebudayan Islam tak dapat
berdiri sendiri akan slalu ada peradaban dan kebudayaan lain yang
memberikan sumbangsihnya entah itu Hindu, Yunani, Cina atau
Eropa dan lainya. Terlepas dari pengewejentahan demokrasi yang
216
menimbulkan polemik dan kerap kali diperdebatkan, sehingga perlu
ditegaskan bahwasanya demokrasi akan menjadi solusi atas polemik
yang ada ketika gagasan tersebut dimaknai esensinya dengan baik
serta ditempatkan pada demokrasi yang berkeadilan. Ketika prinsip
keadilan tersebut dikesampingkan maka seperti apa yang ditegaskan
Syafii Maarif Tanpa keadilan, sistem politik mana pun tidak lebih
dari panggung sandiwara yang mengatasnamakan rakyat.
Menuju Pendidikan Islam Inkulsif
Pembharuan Islam lahir tatkala Islam mengalami masa
kemunduran di berbagai bidang yang menyebabkan Islam jauh
tertinggal dari peradaban Barat. Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan Islam mengalami kemunduran diantaranya: Pertama,
Rasisme dan politik identitas yang seolah-olah telah menjadi sebuah
keniscayaan dikalangan umat Muslim setelah meletusnya perang
Siffin sekaligus melahirkan takfirisme dan fanatisme golongan
dikalangan umat Islam terutama dalam penginterpretasian AlQur’an.267. Kedua, Taklid buta yang menjadi problematika serius
sera turut menjadi perhatian para pembharu Islam seperti Abdul
Wahab dan Abduh agar membuka pintu Itjitihad selebar-lebarnya268.
Dengan demikan secara tidak langsung menuntut penggunaan
akal dalam mengkaji teks maupun pengetahuan tetapi pengunaaan
akal ini pun perlu dibatasi agar tidak menjadi bebas nilai. Selain
267 Sejak meninggalnya Nabi Muhammad Saw, kesejarahan penafsiran AlQur’an mengalami perbedaan pendapat antar golongan umat Islam. Perbedaan penafsiran itu sering memicu adanya tindakan fundamental agama
yang menyebabkan umat Islam terpecah dan mulai berkonflik demi kekuasaan. Geneologi itu bisa dilihat ketika masa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah yang berseteru dalam perang siffin. Pada peperangan itu, Mu’awiyah
berhasil mengelabuhi Ali dan menafsirkan Alquran sebagai kepentingan
politis untuk memperoleh kekuasaan. Ketidaksadaran itu yang menyebabkan Ali dan umat Muslim mulai terpecah belah menjadi: kontekstal, konservatif, tektual dan rasionalis. Lihat Taufik Kustiawan dalam Alquran dan
Budaya Kontemporer diakses dari Alif.id pada 16 Desember 2018
268 Harun Nasution, Pembharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta, Bulan Bintang:1996), h 12.
217
itu betapapun kemulian posisi akal sudah disepakat, ia memiliki
kemungkinan untuk digangu oleh nafsu yang mengakibatkan tidak
tercapainya keadilan269.
Ketiga, fase Jumud justru dimulai semenjak fondasi keilmuwan
Islam dibentuk yaitu saat Khalifah Umayah Al Ma’mun. Al
Ma’mun270 bermimpi ditemui seorang seorang laki-laki berjanggut
dan menerangkan mengenai Nilai-nilai filsafat. Orang ini bicara
dengan bahasa yang aneh yang tidak digunakan pada masa itu, tapi
entah bagaimana Al-Ma’mun mampu memahaminya, kemudian
mereka berdiskusi tentang iman, kebaikan, etika, arti etimologi
tumbuh-tumbuhan serta Nilai-nilai karya klasik. Dari mimpi
tersebutlah Ma’mun menyadari jika laki-laki didalam mimpinya
tersebut adalah aristoteles yang menyuruhnya untuk menyalin karyakaryanya. Oleh karenya Ma’mun mengumpulkan seluruh kaum
terpelajar dari seluruh negerinya untuk mengumpulkan seluruh
manuskrip-manuskrip untuk disalin kedalam bahasa arab.
Masa-masa penyalinan manuskrip-manuskrip tersebut disebut
sebagai awal masa kejayaan Islam namun tidak sepenuhnya benar.
Hal ini dikarenakan fase ini hanya melakukan penyalinan-penyalinan
atau pengalihbahasaaan secara leterlek dari bahasa yunani kedalam
bahasa arab sehingga belum ada kemandirian berpikir. Terlebih
penghargaan terhadap para penyalin manuskrip yang luar biasa
dengan imbalan berupa emas sesuai berat manuskrip yang telah
disalinya secara tidak langsung menyebabkan para penyalin ini
enggan untuk mengkaji secara kritis manuskrip-manuskrip yang
disalinnya. Selain itu, penghancuran buku yang dilakukan oleh
pasukan perang salib turut membuat umat Islam kehilangan fondasi
keilmuwanya kemudian diperparah oleh sikap ketidakproduktifan
umat Muslim sehingga hanya mensyara kaya ulama-ulama terdahulu
dan menganggapnya sebagai sesuatu yang final.
269 Haidar Baqir, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spritualitas di
Zaman Kacau, (Bandung, Mizan: 2017): h 3.
270 Dikutip dari Fernanndo Baez, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa,
(Tanggerang, Marjin Kiri: 2013): h 121.
218
Keempat, Budaya fatalisme dan Otoritarianisme menjadi
penyebab selanjutnya dari kemunduran Islam. Menurut Al-Afghani271
budaya fatalisme ini membuat Islam dalam keadaan statis. Kemudian
gagalnya penginterpretasian hadits yang megatakan jika umat
Islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman. Kesalahan atas
tafsir hadits tersebut membuat umat Islam menerima kemunduran
mereka sebagai sebuah keniscayaan sehingga muncul keengganan
untuk bangkit. Terlebih hal ini diperparah dengan sistem politik
yang semakin kacau akibat sistem pemerintahan dinasti sehingga
menyebabkan adanya otoritarisme yang membatasi berbagai bidang
termasuk kebebasan berpikir dan keilmuwan.
Belajar terhadap sejarah masa pembharuan serta bagiamana
kejatuhan ataupun kemuduran Islam dapat terjadi, maka jika teliti
intelektualisme kita akan merasakan bangsa Indonesia berada dalam
fase kemunduran tersebut. Hal ini didasarkan pada faktor-faktor
penyebab kemunduran yang secara konkret dan gamblang telah
terjadi di Indonesia seperti faktor pertama yaitu rasisme dan politik
identitas yang menguat menjelang Pilkada DKI 2018 serta Pemilu
dan pilpres dengan terpolarisasinya umat Islam kedalam dua kubu
capres. Kedua, sikap jumud, fatalisme, taklid buta yang tak hanya
disebebkan pemahaman agama yang minim serta sentimen politik
berbau agama menjadi penyebab utama fatalisme.
Oleh karenya diperlukan sebuah upaya pembharuan dalam
Pendidikan Islam yaitu pendidikan yang bersifat inklusif. Pasalnya,
eklusifisme diproduksi justru di lingkungan pendidikan, sehingga
pembharuan pendidikan Islam menuju Pendidikan Islam yang
inklusif adalah sebuah keharusan. Akan tetapi, gagasan Islam Inklusif
tersebut haruslah ditempatkan pada porsinya agar sifat inklusif
tidak ada bedanya dengan eklusif karena sama-sama menimbulkan
intoleransi272, sehingga menempatkan gagasan Spritualisme dan
humanisme Ahmad Syafii Maarif menjadi salah satu alternatif
271 Harun Nasution, Pembharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta, Bulan Bintang:1996), h 55.
272 Muniim Sirry, Mempertanyakan Esklusivisme, Inklusivisme, Pluralisme.
diakses dari www.goetimes.com diakses pada kamis 30 Mei 2019.
219
dalam pemecahan probelematikan pendidikan yang bersifat eklusif
menjadi inklusf.
Dalam konteks kaum Muslim, terdapat sebuah teologi yang
disebut dengan teologi inklusif. Inklusivisme merupakan bentuk
keterbukaan sikap dalam menerima perbedaan atas keanekaragaman
yang ada di masyarakat dan keadaan yang multikultural.273
Inklusivisme juga diartikan sebagai cara pandang positif terhadap
pluralitas kehidupan manusia, dengan menjunjung sikap-sikap yang
toleran, terbuka, luwes, danmau menerima kebenaran lain selain
kebenarannya sendiri.274 Sedangkan apa yang dimaksud dengan
pendidikan inlusif berdasarkan deskripsi yang telah penulis paparkan
sebelumnya yaitu sebuah sistem pendidikan yang diselenggarakan
dengan dijiwai Nilai-nilai Islam yang toleran, terbuka dan menghargai
perbedaan dalam keanekaragaman.
Ciri dari pendidikan yang mengusung teologi inklusif yaitu
mengakomodir Nilai-nilai Islam moderat yaitu untuk tidak fokus
pada konsistensi terhadap agamanya, melainkan penghormatan
akan seseorang. Sikap moderat tersebut kemudian memunculkan
semangat inklusif yaitu pertama, semangat mencari kebenaran dan
mendialogkannya. Kedua, pantang menggunakan kekerasan dalam
menegakkan kebenaran. Ketiga, bersikap terbuka dalam menerima
kebenaran yang ada dalam ajaran agama lain untuk bersama-sama
membangun masyarakat dengan menjunjung tinggi Nilai-nilai
kemanusiaan.275
Selain itu, terdapat beberapa karekteristik Islam moderat
menurut Qodir adalah:276 Pertama, Menerima hermeneutika,
sehingga ada pluralisme pemahaman. Kedua, Kritis atas teks dan
pemahaman kitab suci agama-agama. Ketiga, Menerima modernisasi,
273 Syamsul Huda Rohmadi, Pendidikan Islam Inklusif Pesantren (Kajian Historis- Sosiologis di Indonesia). Jurnal Fikrotuna. 5(1) 2017: h.5.
274 Zain Abidin Islam Inklusif: Telaah atas Doktrin dan Sejarah. Jurnal Humaniora. 4(2). 2013 h. 1278.
275 Zain Abidin Islam Inklusif: Telaah atas Doktrin dan Sejarah, h. 1274.
276 Zuly Qodir, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman. Yogyakrta:
Pustaka Pelajar. 2009
220
sekularisasi, dan liberalisme agama. Kempat, Menerima relativisme
pemahaman. Kelima, Mengakui pluralisme agama. Karakteristik
inilah yang akan dijadikan sebagai analisis serta indikator dalam
melakukan pembharuan pendidikan Islam menuju pendidikan Islam
Inklusif dapat dirumuskan secara konspetual serta menempatkan
spritualisme dan humanisme agar gagasan-gagasan tersebut dapat
menjawab problematikan Pendidikan Islam secara komprehensif.
1. Menerima hermeneutika, dan peningkatan daya kritis terhadap
kita suci agama agama sehingga ada pluralisme pemahaman.
Pertama, mengenai hermenutika merupakan salah satu
pendekatan dalam penginterpretasian teks (Al-Qur’an) dan dalam
proses penginterpretasian tersebut setiap orang memilki perbedaan
baik dari segi metode menafsirkan ataupun hasil dari interpretasi
tersebut. Hal ini, tidak terlepas dari latar belakang budaya serta
keilmuwan dari sang ahli tafsir tersebut, sehingga Teks (Alquran)
dalam kajian ilmiah menjadi kajian menarik serta tidak pernah habis
ditelaah dan diperdebatkan. Alquran sebagai Teks serta dijadikan
sebagai sumber hukum tentunya diperlukan sebuah interpretasian
teks untuk memahami pesan Tuhan yang terkandung dalam Teks
tersebut yang mengikat manusia sebagai seorang mukkalaf. Mengkaji
Teks dalam kaca mata ilmiah berdasarkan Nasr Hamid maka akan
terfokus pada tiga pokok permasalahan yaitu277: formatisasi teks dan
formatisasi oleh teks, mekanisme teks dan pergeseran fungsi serta
konsep teks.
Pembahasan pada bagian pertama yaitu formatisasi teks dan
formatisasi oleh teks terfokus pada teks didudukan dalam bingkai
komunikasi. Komunikasi ini diartikan bahwa formatisasi teks
mengalami pergumulan budaya melalui penafsiranya sehingga dalam
pembentukan formatnya disebabkan beberapa faktor diantaranya:
kondisi penerima pertama (Muhammad) kemudian sasaran
277 Nasr Hamid Abu Zaid (Penerjemah: Khoron Nahdliyyin), Tektualitas
Alquran:Kritik terhadap Ulumul Quran, (Yogjakarta: LKIS 2002): hal.
X-XII.
221
pembicaraan yaitu bangsa arab dengan segala kebudayaan yang
melinggkupinya sedangkan formatisasi oleh teks adalah bagaimana
teks tersebut memengaruhi serta mengubah situasi awal menjadi
sesuai dengan kehendak dari teks tersebut. Kedua yaitu mekanisme
Teks yang membahas mengenai proses teks dalam memproduksi
makna yaitu melalui nalar penafsir secara intertekstual sehingga
proses ini teks dimaknai dari luar teks sedangkan saat ekerja secara
otonom yaitu saat ia diubah menjadi mushaf teks yang mengoreksi
teks itu sendiri. Pembahasan Terakhir ialah mengenai pergeseran
konsep serta fungsi teks dengan kekayaan makna yang dikandungnya
menjadi tanpa makna, sesuatu yang mati dan tertutup.
Pembahasan Nasr hamid mengenai Teks dapat kita
sederhanakan menjadi sebuah piramida hubungan anatara penulis
(author), teks, pembaca (reader) sehingga piramida ini melahirkan
tiga pendekatan yaitu: berpusat pada penulis (author centered
approach), berpusat pada teks (teks centered approach) dan berpusat
pada pembaca (reader centered approach). Membaca pemikiran
Nasr Hamid maka menerima perbedaan terhadap cara tafsir
adalah sebuah keniscaayaan. Selain itu, pemahaman tersebut perlu
dinternalisasikan dan masif ke dalam pendidikan Islam dikarenakan
penguatan politik identitas. Realitas plural dikalangan umat
Islam sendiri yang terdiri dari beberapa ormas Islam yang sangat
berpengaruh terhadap pemahaman umat Islam Indonsesia terhadap
agama Yaitu NU, Muhammadiyah, LDII, MTA, FPI yang tentunya
memilki cara berbeda dalam menafsirkan teks.
Publik tentu masih mengingat Fenomena penistaan agama
yang dilakukan oleh Basuki Tcahaya Purnama (Ahok) Gubernur
DKI Jakarta serta membuatnya terlibat dalam tindak pidana telah
melahirkan sebuah gairah baru dalam kajian ilmu tafsir. Spirit ini
terlihat dari adanya berebut tafsir Qs Al-Maidah: 51 yaitu mengenai
tafsir kepemimpinan ataupun tafsir yang berkenaan dengan ayat-ayat
jihad menjadi sebuah kajian yang menarik, sehingga menimbulkan
beberapa pertanyaan diantaranya: benarkah pidana yang dilayangkan
kepada Ahok murni sebagai bentuk penistaan agama atau terdapat
motif politik dibelakangnya. Selain itu, Titik poin dari polemik
tersebut ialah tafsir terhadap Al-maidah 51 sehingga tulisan ini pun
222
turut terfokus pada paradigma masyarakat dalam memahami Teks
khususnya pada Al-Maidah 51 yang jika dikaitkan dengan kasus
penistaan agama telah melahirkan konflik horizontal antara Islam
dan non-Muslim sehingga turut memperkeruh politik identitas yang
ada.
Bukti politik identitas ini diperkuat dengan peluncuran
Laporan Indeks Kota Toleran 2017 yang dikeluarkan oleh Setara
Institut. Laporan tersebut menempatkan Jakarta sebagai kota paling
tidak toleran dengan skor 2,30 lebih rendah 0,3 poin dari kota Banda
Aceh yaitu 2,90 sedangkan sebagaiamana kita ketahui Banda Aceh
yang merupakan salah satu kota di provinsi Nanggro Aceh Darusalam
yang terkenal dengan penerapan Qanun atau hukum syariah yang
dianggap bersifat deskriminatif.278 sehingga dalam penafsiran
tersebut diperlukan daya kritisme agar tidak terjebak kedalam taklid
buta yaitu dengan melihat teks, konteks dan kontekstualitas dari ayat
tersebut. Setidaknya dengan daya kritisme tersebut akan membuat
orang keluar dari sikap hitam putih. Selain itu, antara penerimaan
terhadap hermeneutika dan daya krititisme menjadi suatu hal yang
berkesinambungan dan salaing terkait satu sama lain.
2. Sekulerisme dan Modernitas
Wacana modernitas dan sekulerisasi merupakan wacana yang tak
henti diperdebatkan. Namun ada satu tokoh yang menarik untuk dikaji
pemikiranya dalam menyikapi hal tersebut yaitu Syafii Maarif sebagai
berikut:
“Apa yang disebut kemajuan sebenarnya adalah hasil dan buah
dari ketegangan itu. Ada pun bagi manusia yang malas berpikir,
ketegangan itu tidak begitu dirasakan. Saraf otaknya terlalu
278 Laporan Setara Institut mengenai Indek Kota Toleran 2017 menempatkan
Kota Jakarta sebagai kota paling tidak toleran dengan skor 2.30 kemudian Banda Aceh 2.90, Bogor 3.05, Cilegon 3.20, Depok 3.30, Yogjakarta
3.40, Banjarmasin 3.55, Makasar 3.65, Padang 3.75 dan peringkat sepuluh
di duduki oleh Mataram dengan skor 3,78. lihat di http://setara-institute.org.
id/indeks-kota-toleran-tahun-2017/ diakses pada 01-01-19 puku
223
dimanjakan. Semuanya dibiarkan berlalu begitu saja, setelah
itu menghilang tanpa bekas. Mereka singgah ke dunia hanyalah
untuk beranak pinak, setelah itu berlalu tanpa ada sesuatu yang
bermakna yang dapat dikenang orang. “Dan pada pergantian
malam dan siang dan pada apa yang diturunkan Allah dari
langit berupa rezki, yang menghidupkan bumi setelah mati, dan
pada perkisaran angin, merupakan ayat-ayatbagi kaum yang
menggunakan akalnya.”279
Modernitas atau yang dapat disebut kemajuan perlu disikapi
dengan baik, modernitas tidak boleh dipandang sebagai sebuah
ancaman atau tantangan saja, tetapi merupakan realitas perkembangan
zaman yang tak dapat ditampikkan. Padangan anti terhadap modernitas
dan kemajuan teknologi tersebut direduksi dan direkontruksi.
Hal tersebut mengacu pada pendapat Syafii Maarif yang melihat
sebuah kemajuan sebagai hasil proses perenungan dan pergulatan
intelektualitas hingga menghasilkan sebuah pengethuan baru ataupun
teknologi baru, sehingga yang dibangun bukanlah sikap pesimistis
ataupun anti terhadap modernitas tetapi opitimise demi kemaslahatan
bersama dengan Sains serta Agama.
Selain modernitas perdebatan selanjutanya yaitu sekulerisme
yang menjadi anti tesis dari konservatisme. Berdasarkan pendapat
Syafii Maarif,280 konservatisme dan sekularisme dalam kenyataan
tidak banyak bedanya. Pendukung kekuatan pertama seperti sangat
beriman, tetapi agama tidak disentuhkan dengan masalah-masalah
kemanusiaan yang semakin akut dari tahun ke tahun akibat perubahan
sosial yang kencang. Mereka tidak punya poin lagi yang dapat
ditawarkan untuk mengarahkan perubahan itu sebagaimana dituntut
oleh wahyu. Sebaliknya kaum sekuler hanya mau menempuh jalan
pintas saja dengan membuang secara kasar apa saja yang berbau
agama dan Nilai-nilai kenabian sebagai sumber satu-satunya dari
keamanan ontologi. Sehingga keduanya perlu ditempatkan secara
279 Ahmad Syafii Marif, Titik Kisar perjalananku, h. 10.
280 Ahmad Syafii Marif, Titik Kisar perjalananku, h. 262.
224
propional tanpa menghilangkan Nilai-nilai kebaikan dari dua gagasan
tersebut. Gagasan sekuler akan efektif ketika gagasan konservatifisme
telah masuki oleh politik sehingga menimbulkan konflik horizontal
yang mengacam pluralitas umat Islam dan konservatisme memberikan
ruh kepada sekulerisme yang kering akan Nilai-nilai yang bersifat
ketahuidan.
3. Wacana Liberalisme dan Pluralisme
Pluralisme merupakan salah satu dari tipologi kerukuanan
agama yang memandang bahwa semua manusia dengan keyakinan
apapun memiliki Nilai-nilai kebaikan dalam dirinya. Sedangkan,
Liberalisme bermula dari revolusi Prancis yang mengusung ide
libertian atau kebebasan dan hal tersebut lebih diwejentahkan
kedalam gagasan demokrasi. Tetapi gagasan atas demokrasi tersebut
banyak ditentang dikalangan umat Islam terutama dikalangan kaum
konservatif. Namun melupakan esensi dari demokrasi tersebut
yang menghargai suara setiap warganya dan hal ini berbanding
terbalik dengan negara yang mengusung kerajaan terlebih yang
mengusung imperium. Selain itu liberalisme, dimanknai sebagai
upaya untuk menjadi ruang dari kebebasan berpikir dibatasi maka
ilmu pengetahuan tidak akan berkembang dengan cepat.. Hal ini
diungkapkan oleh Syafii Maarif sebagai berikut:
“Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab yang puritan begitu
dominan di Saudi sehingga pemikiran lain yang berbeda tidak
boleh berkembang. Dari sisi terobosan intelektual Islam, Saudi
hampir tidak ada yang dapat ditiru karena sudah terkurung
dalam pasungan Wahabisme yang menyatu dengan penguasa
otoritarian. Teman-teman Indonesia alumni Saudi rata-rata
tidak bisa diajak berpikir melampaui guru-gurunya di sana,
kecuali mereka yang berani membuka hati dengan membaca
sumber-sumber pemikiran dari sarjana Muslim yang lain.
Kenyataan ini merupakan kesulitan tersendiri bagi umat
Islam Indonesia karena begitu beragamnya hasil pemikiran
225
keislaman yang lahir dalam sejarah kontemporer Indonesia281.
Selanjutnya,
“Kalau aku mengatakan bahwa Islam merupakan pilihanku
yang terbaik dan terakhir, hak sama harus pula diberikan
secara penuh kepadasiapa saja yang mempunyai keyakinan
selain itu. Semuanya ini kulakukan berdasarkan pemahamanku
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah: 256,
surat Yunus: 99, dan masih ada beberapa ayat lagi. Bagiku
planet bumi ini bukan hanya untuk pemeluk Islam, tetapi untuk
semua, apakah mereka beriman atau pun tidak. Semuanya
punya hak yang sama untuk hdup dan memanfaatkan kekayaan
bumi ini di atas dasar keadilan dan toleransi. Tak seorang pun
punya hak monopoli atas bumi ini. Oleh sebab itu umat Islam
semestinya secara aktif mengembangkan budaya toleransi
ini dengan syarat pihak lain pun berbuat serupa. Jika ada
gerakan agama atau politik yang ingin mengusir pihak lain
dari muka bumi, maka mereka adalah musuh peradaban dan
kemanusiaan yang harus dilawan”282
Kutipan tersebut merupakan buah pemikiran Ahmad Syafii
Maarif untuk melihat manusia sebagai manusia kendati berbeda
keyakinan ia tetap memilki Nilai-nilai kemanusian ataupun kebaikan
yang melekat pada dirinya, sehingga ia pun berhak menjadi
seorang pemimpin jika memang ia memiliki kapasitas sebagai
seorang pemimpin daripada memilih pemimpin Muslim yang tidak
memilki kapasitas dan korup283. Selain itu, publik terlalu terfokus
untuk hanya melihat ayat-ayat tentang permusuhan dan kebencian
padahal terdapat banyak ayat yang mendeskripsikan Islam sebagai
281 Ahmad Syafii Marif, Titik Kisar perjalananku, h.184.
282 Ahmad Syafii Maarif, Titik Kisar Perjananku, (Bandung; Mizan, 2009): h
204.
283 Ahmad Syafii Maarif, Alquran dan relaitas Umat, (Jakarta: Republika,
2010): hal.3.
226
rahamatan lil alamin seperti Al-Baqarah 62: sesungguhnya orangorang beriman dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan
Shabbiin, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
serta beramal salih maka untuk mereka ganjaran dari sisi Tuhan
mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka
akan berduka cita.
Oleh karenanya membenci atau memusihi Non-Muslim bahkan
melakukan tindakan kekerasan kepadanya merupakan tidakan yang
tak beradab kecuali satusatunya alasan penggunaan kekerasan
yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslimin diusir
dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Ini pun
masih diperdebatkan oleh sebagian ulama. Misalnya diperdebatkan,
bolehkah kaum membunuh orang lain jika jiwanya sendiri tidak
terancam. 284 Sehingga perlu pembharuan dalam pendidikan bukan
hanya pendidkan secara umum. Mengingat realitas Indonesia dengan
mayoritas umat Islam. Maka pendidikan pada tingkat dasar dan
menengah pertama sesuai kerikulum nasional tetapi ditingakatkan
daya kritisnya dan ini relevan dengan program pemerintah dengan
menggunakan pendekatan saintifik. Sedangkan, tingkat menengah
ketas ialah: Pertama, pendidikan hukum agar setiap warga negara
Indonesia mengetahui hak dan kewajibanya di mata hukum.
Pendidikan agama yang mengakomodir pendekatan intereligius.
Ketiga, mengkaji dan menelaah sastra baik sastra Indonesia, Islam dan
dunia. Keempat, sains terapan dengan mengaplikasikan riset untuk
mengembangkan pengetahuan dan teknologi. keenam, peningkatan
kajian terhadap ilmu sosial dan humaniora serta filsafat. Kemudian
pada tingkat pendidikan tinggi lebih terfokus pada upaya peningkatan
dan pendalaman kemampuan sesuai dispin keilmuwan yang ia ingin
geluti. Dengan demikian, diharapkan mampu menciptkan generasi
Muslim dan tentunya generasi Indonesia menjadi manusia yang
kritis, progresif dan responsif dalam menghadapi segala tantangan
zaman tanpa keluar dari kerangka spritualitas dna humanitasnya.
284 Dikutip dari Abdurahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam kita, (Jakarta:
Wahid Isntitute, 2006): Hal. xxviii.
227
Penutup
Pasca reformasi dan dibukanya keran kebebasan berekspresi
telah menjadi gerbang dari masuknya gerakan Islam Tranasional
di Indonesia. Gerakan tersebut bersifat Eklusif dan kaku dalam
memandang ajaran Islam atau yang disebut Syafii Maarif sebagai
Preman berjubah. Oleh karena itu, diperlukan sebuah upaya
pembharuan pendidikan Islam untuk merumuskan pendidikan Islam
Inklusif dengan mengedepankan spritualitas dan humanitas sebagai
sebuah keseimbangan, maka tulisan ini berupaya menggangkat
Nilai-nilai spritualitas dan humanitas Ahmad Syafii Maarif dalam
merumuskan pembharuan pendidikan menuju pendidikan Islam
yang Inklusif.
Menganlisa problematika pendidikan Islam tersebut bukan
hanya diperlukan sebuah tindakan preventif. Namun diperlukan
sebuah upaya pembharuan dalam pendidikan Islam menuju
pendidikna Islam inklusif, tetapi Islam inklusif tersebut perlu
ditempatkan sesuai pada tempatnya, agar gagasan Islam inklusif
tersebut tidak menjadi eklusif gaya baru. Oleh karenanya dalam
merumuskan desain pendidikan Islam inklusif tidak boleh keluar
dari kerangka spritualisme dan humanisme sehingga gagasan
ini menjadi jawaban yng konkret atas polemik yang ada dan
berkembang.
Mengingat realitas Indonesia dengan mayoritas umat Islam.
Maka pendidikan pada tingkat dasar dan menengah pertama
sesuai kerikulum nasional tetapi ditingakatkan daya kritisnya dan
ini relevan dengan program pemerintah dengan menggunakan
pendekatan saintifik. Sedangkan, tingkat menengah ketas ialah:
Pertama, pendidikan hukum agar setiap warga negara Indonesia
mengetahui hak dan kewajibanya di mata hukum. Pendidikan agama
yang mengakomodir pendekatan intereligius. Ketiga, mengkaji dan
menelaah sastra baik sastra Indonesia, Islam dan dunia. Keempat,
sains terapan dengan mengaplikasikan riset untuk mengembangkan
pengetahuan dan teknologi. keenam, peningkatan kajian terhadap
ilmu sosial dan humaniora serta filsafat. Kemudian pada tingkat
228
pendidikan tinggi lebih terfokus pada upaya peningkatan dan
pendalaman kemampuan sesuai dispin keilmuwan yang ia ingin
geluti. Dengan demikian, diharapkan mampu menciptkan generasi
Muslim dan tentunya generasi Indonesia menjadi manusia yang
kritis, progresif dan responsif dalam menghadapi segala tantangan
zaman tanpa keluar dari kerangka spritualitas dna humanitasnya.
229
Daftar Pustaka
Abidin . Zain , Islam Inklusif: Telaah atas Doktrin dan Sejarah.
Jurnal Humaniora. 4(2). 2013.
Afandy. Sa’dullah, Akar Sejarah dan Pola Gerakan Radikalisme
Islam di Indonesia di akses dari www.nu.or.id pada Senin 20
Mei 2019 pukul 23.00
Baez. Fernando, Penghancuran Buku dari Masa ke Masa,
Tanggerang, Marjin Kiri: 2013
Baqir. Haidar, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spritualitas
di Zaman Kacau . 2014
Carool Kersten. Carol, Berebut Wacana: Pergulatan Wacana umat
Islam Era Reformasi, (Bandung: Mizan, 2018). h. xi.
Hamid Abu Zaid . Naasr(Penerjemah: Khoron Nahdliyyin),
Tektualitas Alquran:Kritik terhadap Ulumul Quran,
(Yogjakarta: LKIS 2002): hal. X-XII.
Harun Nasution. Harun, Pembharuan dalam Islam: Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang:1996
Huda Rohmadi. Syamsul, Pendidikan Islam Inklusif Pesantren
(Kajian Historis- Sosiologis di Indonesia). Jurnal Fikrotuna.
5(1) 2017
Kuntowijoyo, Muslim tanpa Masjid: Mencari Metode Aplikasi Nilainilai Al-Qur’an pada Masa Kini, Yogjakarta, IRCiSoD: 2018
Kuntowijoyo, Muslim tanpa Masjid: Mencari Metode Aplikasi Nilainilai Al-Qur’an pada Masa Kini, Yogjakarta, IRCiSoD: 2018
Kustiawan. Kustiawan, dalam Alquran dan Budaya
Kontemporer diakses dari alif.id pada 16 Desember 2018
Laporan Setara Institut mengenai Indek Kota Toleran 2017 http://
setara-institute.org.id/indeks-kota-toleran-tahun-2017/
diakses pada 01-01-19 puku
230
Mathari. Rusdi, Mereka Sibuk Menghitung Jejak Langkah Ayam:
Sehimpun Reportase Rusdi mathari, (Yogjakarta: Mojok,
2018). h. 191-214
Qodir.Zuly, Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman.
Yogyakrta: Pustaka Pelajar. 2009
Redana. Bre, Koran Kami With Lucy in The Sky (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2017.
Report Covey Indonesia, Pelita yang Meredup: Keberagaman Guru
Sekolah/Madrasah di Indonesia, Vol 2 No 1 tahun 2019. h. 1.
Rohim Ghozali. Abdul, Sikap Intelektual Spritualitas dan
Kemanusian Ahmad Syafii Maarif, Tulisan disampaikan
dalam Sekolah Kebudayaan dan kemanusian Ahmad Syafii
maarif periode II pada Selasa 27 November 2018.
Sholahuddin, Jaringan Islam dan Terorisme di Indonesia: kasus
Ansharul daulah di Indoesia, tulisan disampaikan dalam
Sekolah Kebudayaan dan Kemanusia Ahmad Syafii Maarif
Periode 2 Selasa 27 Oktober 2018.
Sirry . Munim, Mempertanyakan Esklusivisme, Inklusivisme,
Pluralisme. diakses dari www.goetimes.com diakses pada
kamis 30 Mei 2019.
Syafii Maarif. Ahmad , Titik Kisar Perjananku, Bandung; Mizan,
2009
Wahid. Abdurahman, Islamku Islam Anda Islam kita, Jakarta: Wahid
Isntitute, 2006
231
CERMINAN ISLAM UNIVERSAL AHMAD SYAFII
MAARIF DALAM UPAYA MEMBANGUN INDONESIA
BERKEMAJUAN
Nuraini
Pendahuluan
Sejujurnya sebelum saya menjadi bagian dari Sekolah
Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif pada
gelombang II ini, saya sudah tahu sedikit banyak tentang sosok dan
figur seorang Ahmad Syafii Maarif yang kemudian dikenal dengan
sebutan Buya Syafii. Saya sudah membaca dan mengikuti berbagai
tulisan-tulisan Buya baik dalam bentuk buku ataupun tulisantulisannya di Media sosial. Namun pemahaman dan kekaguman saya
pada sosok Buya Syafii ini semakin baik dan bertambah ketika saya
memiliki kesempatan secara langsung bisa bertemu dan berdialog
secara berhadapan dengan beliau. Pertemuan pertama saya dengan
sosok luar biasa ini diawali dengan kebutuhan tesis yang sedang
saya garap dalam jenjang pascasarjana IAIN Bengkulu. Pertemuan
yang tak berlangsung lama ini telah mampu membuat saya begitu
terkesan dengan kesederhanaan seorang sosok Buya Syafii. Saya
pernah menuliskan perjalanan saya bertemu dengan Buya Syafii ini
dalam bentuk tulisan singkat yang saya beri judul dengan “Setengah
Jam Bersama Buya Syafii Maarif” yang telah saya share di Media
sosial pribadi saya.
232
Sebagai seorang pengagum Buya Syafii mungkin saya
terkesan memberikan pandangan-pandangan yang subjektif akan
sosok manusia otentik yang satu ini. Oleh sebab itu, bisa saja
penilaian-penilaian saya akan sosok Buya berbeda dengan yang
lainnya. Kesederhanaan seorang Buya Syafii menyadarkanku bahwa
persamaan dan sikap lapang dada itu adalah jalan dalam membentuk
keharmonisan antar sesama manusia di muka bumi ini. Kepiawaian
dan kesederhanaan Buya sebagai sosok Bapak Moral Bangsa tak
perlu diragukan lagi. Bahkan saya perfikir bahwa Buya adalah satusatunya orang yang memiliki kesederhanaan dan ketulusan dalam
menjalani agamanya di muka bumi ini tanpa dijubahi oleh apapun.
Sebagai mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan orang yang
senantiasa dimintai nasehatnya oleh pemimpin bangsa ini, maka
kesederhanaan hidup beliau patut diteladani.
Jika kita amati para pemimpin-pemimpin ataupun orangorang yang memiliki jabatan di negeri ini begitu sulit untuk
dimintai waktu bertemu, apalagi sampai berdialog langsung tanpa
perjanjian terlebih dahulu sebelumnya. Inilah yang saya rasakan
denga sosok sang Buya yang saya temui di kediaman beliau di
Nogotirto Yogyakarta beberapa waktu lalu. Bermodalkan nekad
dan tanpa perjanjian terlebih dahulu saya akhirnya bisa bertemu
dan berdiskusi secara langsung bersama beliau. Mungkin jika hal
ini saya lakukan terhadap orang-orang besar lainnya akan mustahil
rasanya untuk bisa bertemu tanpa perjanjian terlebih dulu. Inilah
yang membuat saya semakin kagum akan sosok beliau.
Gagasan-gagasannya tak perlu dipertanyakan lagi, karena
memang telah terbukti dengan berbagai karya-karya beliau yang
begitu banyak serta tulisan-tulisan beliau yang tak pernah kosong
di media sosial. Penghargaan yang diterima Buya akan kiprahnya,
baik dalam maupun luar negeri. Pergumulan Buya dengan
dialog lintas agama juga telah membuat Buya dikenal baik oleh
dunia Internasional.Buya Syafii merupakan pigur yang sangat
dibutuhkan bangsa ini. Dengan kemajemukan dan pluralitas agama
yang dimiliki bangsa Indonesia begitu sesuai dengan sosok sang
Buya ini. Permasalahan bangsa ini akan terselesaikan jika semua
233
penguasa bangsa ini memiliki karakter seperti beliau. 285
Sosok sederhana yang sudah menginjak umur 83 tahun ini ialah
salah satu dari “Tiga Pendekar dari Chicago”. Buya ialah sosok tokoh
lintas agama yang tak kenal lelah menggagas dan menyuarakan
toleransi di Indonesia. Sosok yang toleran ini adalah salah satu
dari sedikit tokoh-tokoh yang masih peduli akan kondisi bangsa
ini. Selepas kepergian Cak Nur dan Gusdur, maka Buya merupakan
satu-satunya yang masih bertahan dan diberi umur panjang oleh
Tuhan untuk selalu gelisah dengan kondisi bangsa yang hampir
punah ini. Buya adalah sosok yang senantiasa kritis, dan moderat
dalam membangun Nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan
kemanusiaan. Sang Buya sebagi tokoh lintas agama, cendikiawan
Muslim Indonesia, mantan Ketua PP Muhammadiyah, serta sebagai
Guru Bangsa.
Kondisi bangsa Indonesia yang begitu dilema dariberbagai
krisis multidimensi yang tak berujung ini, membutuhkan sosok
sang Buya yang memiliki sikap mengayomi dan peduli dengan
sesama dan semuanya, beliau adalah sosok yang tak pernah
membeda-bedakan latar belakang keyakinan, suku, ras, golongan,
pendidikan, tingkatan sosial, dan lain sebagainya yang menjadi
dambaan bangsa ini. Kepedulian Buya yang begitu besar terhadap
bangsa ini, membuat beliau senantiasa merasa terpanggil untuk
mengatasi permasalahn masyarakat dari lilitan kemiskinan,
kebodohan, keterbelakangan, keterpasungan, serta penyakit sosial
lainnya.
Bagi Buya ketidakberdayaan dan ketidakberhasilan bangsa
ini dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa yang telah
terjadi dari setengah abad lebih ini adalah karena bangsa ini belum
mampu menegakkan prinsip-prinsip dan Nilai-nilai keadilan dalam
kehidupannya, baik keadilan sosial, keadilan ekonomi, maupun
keadilan politik. Akar permasalahan ini adalah kegagalan bangsa
285 Ahmad Syafii Maarif, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif: Cermin Untuk Semua, (Jakarta Selatan: MAARIF Institute for Culture and Humanity,
2005), h. 32
234
ini dalam menampilkan kepemimpinan nasional yang memiliki
visi dan gagasan yang tajam tentang demokrasi dan keadilan.286
Sikap beliau yang begitu konsisten dalam mengusung
gagasan-gagasan kemanusiaan dan keindonesiaan selalu beliau
kumandangkan di mana-mana dengan tindakan anti KKN, kondisi
bangsa yang sangat memprihatinkan ini bagi beliau sudah berada
diambang batas toleransi. Praktek KKN yang terjadi di bangsa
ini semakin tak terbendung. Puak-Puak negeri ini menyalahkan
kekuasaan yang dimilikinya untuk bertindak sewenang-wenang
dan memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan lagi kondisi
rakyatnya. Ini adalah masalah yang sangat serius, dan butuh tenaga
ekstra untuk menghadapinya. Mereka tanpa rasa malu menjarah
kekayaan negara untuk kebutuhan pribadinya. Batin Buya begitu
gelisah melihat kondisi ini, yang terlihat dibiarkan saja oleh negara
tanpa adanya penyelesaian yang berujung.
Keprihatinan Buya dalam perkembangan KKN ini begitu
membuat beliau gelisah, karena tindakan-tindakan tuna moral ini
malah terjadi di negeri tercinta ini, yang mayoritas penduduknya
adalah Muslim. Miris memang, namun itulah kenyataan yang tengah
dan terus dihadapi bangsa ini jika tak ada penyelesaian yang jelas.
Kondisi yang demikian menimbulkan pertanyaan, apakah agama
(Islam) telah gagal memberi acuan moral kepada pemeluknya?
Namun Buya dengan tegas memberikan jawaban bahwa yang
salah bukanlah agamanya, melainkan “yang gagal itu bukanlah
Nilai-nilai Islamnya, melainkan para pemeluknya sendiri yang
telah gagal melakukan internalisasi Nilai-nilai agamanya. Apabila
proses internalisasi terjadi, maka agama pasti akan berfungsi
sebagai pengawal perilaku, baik dalam kehidupan individu, maupun
kolektif. Apabila proses ini belum terjadi, perangai orang beragama
dan tidak beragama tidak akan ada bedanya. Agama ataupun iman
yang berfungsi secara benar, pasti akan mendorong pemeluknya
untuk berprilaku baik dan benar.”287
286 Ahmad Syafii Maarif, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif…, h. 27
287 Ahmad Syafii Maarif, Refleksi 70 Tahun…, h. 28
235
Wajah Indonesia dan Posisi Sang Bapak Moral Bangsa
Pluralisme merupakan salah satu topik hangat yang selalu
menarik untuk dihidangkan dikalangan akademisi maupun para
pemikir Muslim kontemporer. Selain itu juga ada pembicaraan
tentang teokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, kebebasan
berfikir dan gagasan tentang kemajuan. Demikian pula di Indonesia,
sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia,
wacana pluralisme agama menjadi salah satu tema yang banyak
diperbincangkan oleh para akademisi, serta cendikiawan Muslim
tanah air. Jika melihat konteks keindonesiaan, dan keberagaman
yang merupakan konstruksi dari berdirinya Bumi Pertiwi.288
Berbicara tentang Indonesia, maka kita akan berbicara tentang
kemajemukan dari segala sudut, baik etnis, suku, ras, pulau, agama,
bahkan warna kulit, yang merupakan takdir dari Tuhan yang harus
diterima. Jadi, tidaklah mengherankan ketika pendiri negara ini
meletakkan Bhinekka Tunggal Ika sebagai semboyan negara, dengan
harapan besar tentunya bahwa dengan segala perbedaan yang ada,
Indonesia tetap bersatu. Hal ini dimaksudkan agar antara warga
negara yang majemuk dapat saling menghargai satu sama lainnya
dalam bingkai perbedaan untuk memajukkan negara.
Tapi pada kenyataannya, harapan yang begitu mulia ini masih
jauh dari harapan. Tujuh puluh tiga tahun sudah Indonesia merdeka
tetapi konflik sesama anak bangsa masih saja terjadi. Perbedaan
suku, agama, dan ras, menjadi alasan untuk saling bertikai, tak jarang
nyawa pun menjadi taruhannya. Dan bukti yang nyata bisa kita lihat
dari konflik yang terjadi berakar dari tidak adanya kata sepakat dari
pelaku konflik di Indonesia yang selalu saja mengklaim golongan,
suku, agama mereka adalah yang paling benar. Klaim kebenaran inilah
yang telah terus saja menjadi penyakit bangsa Indonesia sehingga
merusak kerukunan dan kedamaian yang merupakan tujuan utama
dan bersama bangsa ini. Dan diantara konflik yang banyak melanda
bangsa ini adalah konflik yang bernuansa agama. Sehingga fenomena
288 Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan , Pandangan Kaum
Muda Muhammadiyah, (Malang: UMM Press,2009), h. 1
236
di atas menunjukan kesenjangan antara idealitas agama sebagai ajaran
dan peran suci Tuhan dengan realitas empirik yang terjadi dalam
masyarakat.289 Inilah esensi dari pluralisme agama, saling menghargai
atas perbedaan agama baik dari keyakinan, praktek keagamaan dan
banyak hal lainnya. Tapi tidak menutupi bahwa seluruh teks suci
keagamaan mengajarkan akan kebaikan dan perdamaian. Maka
para cendikiawan Muslim di Indonesia mengembangkan paham
pluralisme agama untuk menjaga harmonisasi kehidupan antar umat
beragama di Indonesia, khususnya cendikiawan dari dua organisasi
Islam terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah.
Di kalangan NU, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid
adalah para tokoh penyebaran paham pluralisme. Bahkan Gus Dur
dijuluki Bapak Pluralisme, karena usahanya ketika menjadi Presiden
Indonesia untuk mengakui agama Kong Hu Chu sebagai salah satu
agama resmi negara dan membebaskan Warga negara Indonesia yang
berasal dari etnis tionghoa untuk menggunakan identitas asli mereka.
Hal ini dikarenakan pada masa orde baru etnis tionghoa dilarang untuk
menampakkan identitas etnis mereka. Dari kebijakannya sebagai
Presiden dan Tokoh besar NU, Gus Dur telah memulai langkah besar
dalam penegakkan Pluralisme di Indonesia.
Selain itu Ahmad Syafii Maarif, dalam pergulatannya
dalam Muhammadiyah, merupakan mantan ketua Umum Pusat
Muhammadiyah selama dua periode. Jadi tak perlu diragukan lagi
pengetahuannya tentang Islam, Muhammadiyah dan Pluralisme
agama, intelektual sang Buya yang luar biasa juga tak diragukan lagi.
Buya yang merupakan Guru Besar Ilmu Sejarah dari UNY. Kemudian
pemikiran beliau yang malatar-belakangi lahirnya Maarif Institut dan
Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) sebagai wadah
bagi anak muda Muhammadiyah mendiskusikan Islam Kontemporer,
salah satunya adalah masalah pluralisme agama.
Belakangan ini, Muhammadiyah dan NU yang mewakili arus
besar Islam di Indonesia telah bahu membahu dalam megibarkan
289 M. Zainuddin, Pluralisme Agama Pergulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h. 33
237
panji-panji Islam terbuka, modern, dan moderat, sebuah modal
sosial yang sangat strategis bagi kelangsungan Indonesia sebagai
bangsa yang plural pada masa yang akan datang. Sudah menjadi
semacam aksioma, selama NU dan Muhammadiyah bergandengan
tangan, bangsa ini tetap marasa aman dari ancaman radikalisme
ekstrim. Selain itu, kiprah Muhammadiayh dan NU dalam ranah
pendidikan perlu diapresiasi karena Belanda dalam menyebarkan
radius pengaruh mereka melalui pendidikan dan pelayanan sosial
kesehatan. Namun berkat adanya lembaga pendidikan dan kesehatan
yang dimiliki Muhammadiya, serta kekuatan kultural yang berasal
dari pesantren NU, pengaruh Belanda setidaknya dapat ditangani.290
Sejarah yang baik selalu menuntut kejujuran penulisnya,
sesuatu yang tidak mudah karena manusia itu bersifat nisbi dan sarat
akan kepentingan.291 Yang selalu diminta adalah agar orang jangan
menulis sejarah tanpa fakta, betapapun fakta itu dapat merugikan
dirinya atau golongan manusia yang dikaguminya. Menulis sejarah
selalu menuntut integritas, karya sejarah yang dihasilkan pasti akan
mengandung cacat akademik.
Islam dan Kemanusiaan Sang Manusia Otentik
Ahmad Syafii Maarif membahas isu demokrasi terkait
kemanusiaan, kemajemukan, toleransi, dan kebangsaan yang
menyatakan bahwa Indonesia kedepannya harus menyatakan secara
sadar bahwa sistem demokrasi adalah pilihan satu-satunya, warga
negara Indonesia tidak boleh berpaling pada sistem yang lain. Nabi
yang mendapat wahyu tidak menunjukkan dirinya lebih tinggi dari
para sahabatnya jika sedang bermusyawarah. Penampilan Nabi yang
mulia do tengah-tengah sahabatnya pastilah akan terus mengilhami
kultur egalitarianisme pada umat Islam.292
290 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, (Bandung : Mizan, 2015), h. 56
291 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 49
292 Musa Al-Musawi, Meluruskan Penyimpamgan Syi’ah, Terj. Ahmad Munif.
(Jakarta: Qalam, 1995), h. 36-37
238
Masalah keragaman agama dan budaya tidak bisa lepas
dari prinsip kebebasan yang merupakan salah satu pilar utama
demokrasi. Tetapi di mata Al-Qur’an kebebasan bukanlah tanpa
batas, yaitu dibatasi oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri.
Manusia hanya bebas dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang
betul-betul bersifat ikhtiari, yakni yang di dalamya Ia mempunyai
pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan. Oleh karena itu Ia
pun bertanggung jawab dalam hal-hal yang benar-benar Ia tidak
terpaksa dalam melakukan atau tidak melakukannya.
Dalam Islam jiwa kebangsaan yang sejati tidak boleh
bertentangan dengan kemanusiaan, melainkan harus menjadi bentuk
dan kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu, kebangsaan ini
tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan
mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka
dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagian
hidup lahir dan batin seluruh bangsa.
Jalan terbaik dan sah bagi seorang Muslim dalam kehidupan
bermasyarakat adalah mengembangkan kultur toleransi. Karena
Al-Qur’an menguatkan adanya eksistensi bermacam-macam suku,
bangsa, agama, bahasa,dan sejarah. Semua ini hanya mungkin hidup
dalam harmonis, aman, dan damai jika di sana budaya lapang dada
dijadikan perekat utama antar sesama. Karena dalam Al-Qur’an
banyak sekali ayat-ayat yang membahas akan pentingnya sebuah
toleransi.
Perbedaan dan keragaman dalam menafsirkan ajaran agama
adalah fakta yang harus diakui. Peradaban Islam yang dibangun
di Indonesia boleh hanyut dan larut dalam unsur-unsur lokal yang
negatif dan terbelakang dan terseret akan arus global yang dapat
mengundang malapetaka bagi Islam Indonesia, seperti perilaku
kekerasan atas nama agama dan gaya hidup yang materialistik. Islam
sebagai acuan moral individu dan publik harus diberi posisi utama
dalam pergaulan antara manusia baik lokal, nasional, dan global.293
Dan untuk menghadapi tantangan global yang semakin dahsyat,
293 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai, h.208
239
Islam Indonesia perlu melahirkan para intelektual-intelektual yang
hebat. Karena memang selain paham pemikiran Islam klasik dengan
baik juga harus paham dan menguasai perkembangan peradaban
kontemporer umat manusia.
Kesenjangan antara bentuk dan isi sudah lama terlihat di semua
masyarakat Muslim di dunia. Karena umat Islam lebih terpaku oleh
bentuk namun mengabaikan isi. Corak dan bentuk yang serba Islam
akan menjadi bumerang bagi bangsa itu sendiri, jika bentuk-bentuk
yang serba formal gagal menampilkan Nilai-nilai keislaman dengan
kualitas tinggi. Inilah kesenjangan yang berlaku pada orang umumnya
dengan mengabaikan kualitas.
Islam mampu bertahan berabad-abad di Nusantara ini, dengan
segala kekuatan dan kelemahannya. Agar jumlah umat Islam ini tidak
menurun, maka masalah peningkatan kualitas harus lebih diutamakan
dan menjadi perhatian utama kita saat ini. Indonesia dengan semboyan
Bineka Tunggal Ika menunjukan bahwa Indonesia itu multi etnis,
multi iman, dan multi ekspresi kultural dan politik. Maka jika hal ini
kita kelola dengan baik, cerdas, dan jujur pasti akan menjadi kekayaan
kultural bagi bangsa. Inilah yang harus menjadi tugas pokok kita
bersama dalam memajukkan Indonesia ini.Ketulusan adalah sifat
dasar yang menyatu dengan karakter manusia. Orang yang mengaku
dirinya bijak dan baik namun curang dalam berbuat berarti itu adalah
pengakuan palsu belaka. Begitu juga seseorang yang menjajakan
agama atas nama Tuhan adalah orang yang senang main api akan
kebenaran dan sekaligus mengingkari konsep ketulusan itu sendiri.
Peta peradaban global saat ini juga jauh dari harapan jika kita
tinjau dari sistem kenabian yang sudah semakin tersingkirkan ditengahtengah arus sekularisme/ateisme, ataupun arus fundamentalisme
agama itu sendiri. Namun pada kenyataannya saat ini yang terjadi
di hadapan kita pada abad ke-21 ini adalah bukan lagi pemahaman
moral dan kultural yang berlaku, melainkan justru oleh si kuat atas
si lemah dengan korban ribuan manusia yang tak berdosa. Sasaran
utamanya adalah beberapa bangsa-bangsa Muslim. Ini akibat dari
ilmu pengetahuan yang tidak digunakan umtuk memuliakan manusia,
melainkan untuk menghancurkannya.
240
Ahmad Syafii Maarif meyakini bahwa, hubungan Islam,
keindonesiaan dan kemanusiaan dengan hubungan budayayang tak
bisa dipisahkan. Lebih lanjut Buya mengatakan, bahwa hubungan
antara ketiga unsur tersebut ditempatkan dalam satu nafas. Islam
lahir dan berkembang di Indonesia sepenuhnya dalam dara dan
daging sejarah dan bukan dalam kefakuman budaya. Sebagai agama
sejarah, Islam telah, sedang, dan akan terus bergumul dengan
lingkungan yang senantiasa berubah. Karena tujuan Islam adalah
mengarahkan perubahan tersebut agar tidak tergelincir dari jalan
yang lurus. Esensi keislaman yaitu peradaban, kemanusiaan, dan
keadilan. Islam yang tidak berwatak keras, kasar, teror, dan radikal.
Namun Islam yang ramah bagi semua manusia di muka bumi ini.
Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara
positif dan optimis. Islam memandang semua manusia berasal
dari nenek moyang yang satu, tetapi kemudianTuhan menciptakan
kemajemukan suku, bangsa agar manusia dapat saling mengenal dan
belajar atas kelemahan dan kelebihan masing-masing.294
Buya Syafii Maarif senantiasa berpedoman kepada Al-Qur’an.
Menurutnya Al-Qur’an mengajarkan kepada kita bahwa sikap moderat
merupakan pilihan tepat dalam menjaga dan menjalin hubungan
antar umat beragama. Semangat Al-Qur’an telah memberikan lampu
hijau tentang pluralisme di mana setiap kelompok masyarakat diakui
eksistensinya.Kepedulian Syafii Maarif akan masalah-masalah yang
membelit bangsa ini begitu besar, sebut saja radikalisme agama.295
Bagi Syafii Maarif inilah pekerjaan utama bagi setiap agama yang
perlu dihadapi dan dicarikan solusinya. Kondisi yang demikian,
maka agama harus diletakkan sebagai fungsional supaya berbagai
ancaman terhadap eksistensi keberagamaan dan kemanusiaan dapat
diatasi.296 Menurut Buya Syafii Maarif di sinilah letak kesenjangan
294 Ahmad Syafii Maarif, wawancara 22 Oktober 2018. Lihat Q.S. Al-Hujurat/49:13
295 Lihat Roxanne L. Euben, Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and
the Limits of modern Rasionalism, (Princeton University Press, 1999), xi-iv;
Mohammad Sobary, NU dan keindonesiaan, (Jakarta: Gramedia, 2010), h.
60
296 Lihat penjelasannya dalam Muhammad Shafiq dan Muhammad Abu Nimer,
241
dalam memahami agama, sehingga yang tampak dari peran agama
hanyalah sebatas lembaga peribadatan antara manusia dan Tuhan,
ataukah juga sebagai lembaga untuk mengurus segala sesuatu yang
berhubungan antara urusan manusia dengan manusia dan masalahmasalah kemanusiaan lainnya.
Sisi humanis Buya Syafii Maarif meniscayakan peran nyata
agama itu sendiri daripada hanya sebatas janji-janji keselamatan
yang selalu diagung-agungkannya. Oleh sebab itu, maka Buya Syafii
Maarif menegaskan bahwa agama tidak sebatas menyerah terhadap
berbagai persolan duniawi tersebut.297Syafii Maarif mengisyaratkan
bahwa agama merupakan sesuatu yang melekat dengan kehidupan
manusia, yang merupakan sumber dari berbagai perubahan sosial.
Pendangan Syafii Maarif ini setara dengan pemikiran para peletak
ilmu sosial seperti Max Weber (1864-1920),298 Erich Fromm (19001980),299 serta Peter L Berger.300 Mereka berpendapat bahwa agama
merupakan aspek yang urgen dalam kehidupan manusia, sehingga
agama dalam pemikiran mereka memberikan pengaruh yang sangat
besar dalam kehidupan manusia baik positif ataupun sebaliknya.
Sehingga apabila kita cermati maka antara pemikiran para tokoh
tersebut saling keterkaitan dengan Buya Ahmad Syafii Maarif.
Buya Syafii Maarif senantiasa mengingatkan kepada setiap
penganut agama, terutama Islam agar senantiasa mendasari prilaku
keseharian dnegan Nilai-nilai yang terkandung dalam Islam yang
sesungguhnya. Sehingga, jangan hanya menampilkan sisi formal
sebuah agama saja, namun kering dari Nilai-nilai luhur dari agama
itu sendiri. Sehingga agama dalam kontesk ini dijadikan sebagai
297
298
299
300
242
Interfaith Dialogue: A Guide for Muslim, (Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 2007), h. vii-xii
Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan, (Jakarta:
PSAP, 2004), h. 8
Lihat Max Weber, The Protestanst Ethic and the Spirit of Capitalism, (Mineola N.V.: Dover Publications, Inc., 2003), 35-46
Lihat Erich Fromm, Psychoanalysis and Religion, (New Haven & London:
Yale University Press, 1977)
Peter L. Berger, The Secularization of the World: Resurgent Religions and
World Politics, (Washington: Public Policy Center, 2009), h. 1-18
motif dalam bentuk sektarian. Jika dalam Bahasa kerasnya Buya
Syafii Maarif mengatakan bahwa Tuhan telah dibajak demi sebuah
kepentingan yang rendah.
Dalam hal ini, maka para penganut agama telah mengalami
split personality (pribadi yang terpecah).301 Kondisi yang demikian
akan membuat agama yang fungsi awalnya sebagai petunjuk yang
baik, namun diseret menjadi sebuah kendaraan yang sarat dengan
berbagai kepentingan masing-masing. Jika ini yang terjadi, maka
akan lahirlah sebuah “dunia baru” yang dalam istilah Syafii Maarif
sebagai tuna moral yang akan bermuara kepada kebenaran dari
sebuah kekuatan.302
Menurut hemat Syafii Maarif, keadaan yang demikian akan
menggeser peran agama yang semula sebagai petunjuk yang baik
bagi manusia ke jalan yang benar berubah seketika menjadi sejenis
alat untuk mendasari berbagai tindakan yang amoral.303 Sesuai
dengan pendapat Fazlur Rahman yang dikutip Buya Syafii Maarif,
yang ditulis, “We livein a different kind of Islam, not in Qur’anic
Islam/ Kita hidup dalam sebuah Islam yang lain, bukan Islam
Qur’ani itu sendiri”.304 Menurut Buya Syafii Maarif penyalahgunaan
fungsi agama inilah yang sebetulnya perlu diperhatikan oleh para
penganut agama sehingga mampu mengembalikan peran agama
itu sebagaimana mestinya. Dengan memakai istilah Kuntowijoyo,
obyektifikasi.305
Menurut Ahmad Syafii Maarif pentingnya autentisitas dalam
beragama, sehingga terciptanya ketulusan seseorang dalam beragama.
Beragama secara tulus ibarat benteng yang akan menjadi perisai bagi
penganutnya dari berbagai isu-isu agama dari berbagai kepentingan
tertentu. Ketulusan merupakan bentuk kejujuran, kemurnian, dan
301 Ahmad Syafii Maarif, Menggugah Nurani Bangsa, (Jakarta: MAARIF Institute, 2005), h. 77
302 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai…, h. 290
303 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 302
304 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 285
305 Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung:
Mizan, 2008), h. 280
243
kebersihan. Sehingga beragama dengan mempedomani pokokpokok ajaran yang benar akan melahirkan konsep yang benar dalam
pemahaman para penganut agama.306
Pada 22 November 2005, atas permintaan Dewan Kesenian
Jakarta Syafii Maarif menyampaikan pidato kebudayaan yang
berjudul: “Penghianatan Kaum Intelektual dalam Perspektif
Kebudayaan.” Meminjam istilah Endo Suanda, bahwa substansi
pemikiran Buya Syafii Maarif mencerminkan Nilai-nilai ketulusan
yang ia promosikan, yang mampu menembus sekat-sekat teologis
serta mampu melintasi keragaman iman. Suanda menambahkan,
ketulusan yang dimaksudkan Buya Syafii Maarif merupakan magnet
spiritual demi terwujudnya hubungan yang harmonis di antara
sesama manusia yang solid dan bermutu.307Substansi ajaran agama
memang sangat penting, meskipun begitu, dalam pemikiran Ahmad
Syafii Maarif untuk menemukan pelaksanaan ketulusan seseorang
dalam beragama tersebut bukanlah masalah mudah. Sebagaimana
Arnold Toynbee (1889-1975) pernah menyatakan hal yang sama.
Baginya terlalu sulit menemukan si bijak dalam beragama yang
diistilahkannya (homo sapiens). Si bijak yang mampu menjalankan
agama secara benar dan proporsional.308
Buya Syafii Maarif secara eksplisit menuding bahwa peran
politik adalah sebagai faktor utama terjadi disfungsi agama tersebut.
Buya kecewa dengan para elit politik yang menggunakan agama
sebagai alat untuk kepentingan kekuasaan yang bermuara kepada
kekacauan sosial. Idealnya Buya Syafii Maarif menginginkan agama
digunakan sebagai pengembangan agama itu sendiri, bukan malah
sebaliknya.Bagi Buya Syafii Maarif, sistem politik yang terlepas
dari bingkai ketulusan itu cenderung merusak dan menghalalkan
segala cara sebab manusia dapat menjalankan kekuasaannya tanpa
306 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 272
307 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di PerjalananKu: Otobiografi , (Yogyakarta: Ombak, 2006), h. 354-355
308 Arnold J. Toynbee, Surviving the Future, (New York and London: Oxford
University Press, 1973), h. 44. Lihat juga Ahmad Syafii Maarif, Mencari
Autentisitas., h. 10
244
batas. Dengan lantang ia mengatakan bahwa jarang politik yang
bersih “Politik Itu kotor”. Hal ini wajar dilakukan oleh orang-orang
tak bermoral, namun yang disayangkan oleh Buya Syafii Maarif,
ini kerap dilakukan oleh orang-orang yang paham akan agama itu
sendiri.309
Pada konteks yang demikian,Buya Syafii Maarif menilai
agama yang awalnya sebagai way of live (jalan hidup) dan kohesi
sosial, sebagaimana istilah Auguste Comte (1798-1857), “to
humanize human being”/ untuk memanusiakan manusia”, pada
realitanya kerap kali dijadikan alat untuk menindas, legitimasi,
bahkan dijadikan dalih untuk melakukan tindakan-tindakan radikal
dengan sebuah resiko; hancurnya sebuah peradaban.310 Sehingga
kondisi ini membuat agama sebagai “sosok” yang ternoda yang
menyebabkan lahirnya radikalisme.311 Bahkan agama seolah-olah
menjadi sebuah landasan yang menimbulkan konflik.312 inilah salah
satu pandangan pesimis A.N. Wilson terhadap agama.313 Syafii
Maarif meluruskan pandangannya ini dengan menyatakan bahwa
Wilson melakukan generalisasi atas agama. Di satu sisi agama
seolah-olah menjadi sumber dari berbagai persoalan. Secara historis,
dalam kasus-kasus tertentu memang dapat dibenarkan. Namun,
Syafii Maarif menjelaskan lagi bahwa itu merupakan kesalahan yang
perlu diluruskan, permasalahan tersebut bukan pada doktrin agama,
melainkan lebih kepada pemahaman dan pengalaman penganutnya.
Di sinilah agama kehilangan Nilai-nilai profetiknya.314
Buya Syafii Maarif menegaskan bahwa dalam memahami
agama harus mampu menjadikan agama sebagai upaya untuk
309 Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas., h. 53-54
310 Ahmad Syafii Maarif, Tuhan Menyapa Kita, (Jakarta: Grafindo, 2006), h.
43-46
311 A.N. Wilson, Against Religion, Why We Should Try to Live Without It, (London: Chatto and Windus, 1992), h. 1
312 Tedi Kholiludin, Kuasa negara atas Agama: politik Pengakuan. Diskursus
Agama Resmi dan Diskriminasi Hak Sipil, (Semarang: RaSAIL, 2009), h.
17
313 A.N. Wilson, Against., h. 1
314 Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas., h. xii
245
mengembalikan Nilai-nilai profetiknya. Melestarikan Islam (AlQur’an) tidak hanya sekedar terbatas dalam mengawal kemurnian
teks Al-Qur’an, namun harus mampu membawa pesan Islam ke
bumi.315 Dengan demikian, agama hadir untuk mengangkat harkat
dan martabat manusia. Jika agama pada realita saat ini tak mampu
lagi memuaskan, maka agama yang dipahami secara kontekstual
merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak saat ini. Menurut Syafii
Maarif seharusnya agama mampu melawan bentuk kesenjangan
sosial saat ini, seperti HAM, keadilan, kemiskinan, keserakahan,
keegoisan serta peperangan.316
Menurut Buya Syafii, agama seharusnya mampu
menghantarkan penganutnya kepada kesejahteraan, berkonstribusi
dalam perubahan-perubahan sosial, penegak HAM dan keadilan,
penerap demokrasi yang baik, pembela Pancasila secara utuh, serta
memberikan pembebasan terhadap kaum yang tertindas dan minoritas.
Agama bagi Syafii Maarif berfungsi sebagai kekuatan revolusioner
dan liberatif.317Sejalan dengan Buya Syafii Maarif, Abd A’la juga
berpendapat bahwa internalisasi agama bersifat fungsional, bukan
hanya untuk kebutuhan akhirat yang bersifat eskatologis murni dan
terpisah dari kehidupan modern. Melainkan juga berfungsi sebagai
praktis untuk kehidupan dunia.318 Sebab internalisasi itulah yang
memunculkan ungkapan bahwa status manusia sebagai khalifah
Allah di muka bumi ini merupakan bukti nyata dari realisasi iman
tersebut.
Buya Syafii Maarif menegaskan bahwa dengan sikap sadar
akan arti penting misi liberatif yang diusung oleh agama-agama
adalah syarat mutlak yang mesti dimiliki oleh setiap penganut
agama. Para penganut agama diharapkan memiliki keberanian untuk
duduk bersama dan sanggup berucap bahwa setiap agama mampu
315 Ahmad Syafii Maarif, wawancara 22 Oktober 2018. Lihat juga Ahmad Syafii
Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 271
316 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai., h. 271
317 Ahmad Syafii Maarif, wawancara 22 Oktober 2018
318 Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas., h. 32
246
menyumbangkan kemaslahatan untuk kemanusiaan.319 Sehingga
diharapkan mampu menembus dinding teologis yang amat sensitif
tersebut.320
Dalam istilah Amin Abdullah, Buya Syafii Maarif mencoba
meletakkan Nilai-nilai sacral agama dengan realitas kultural.321
Bentuk agama yang demikian rupa akan mampu menjadi pemikat
tersendiri bagi pemeluknya. Ali Maschan Moesa menambahkan,
konteks historis agama yang demikian tak hanya mampu menjadi
pilihan tepat masyarakat di tengah kegamangan mereka akan Nilainilai, tetapi juga menjadi pencerah bagi setiap masalah yang kerap
dimunculkan oleh Rahim sejarah.322
Sejalan dengan hal itu, Komaruddin Hidayat menegaskan
bahwa panggung kemanusiaan merupakan lokus aktualisasi atas
praktik keimanan seseorang.323 Bahkan dalam pandangan Nurcholish
Madjid bahwa kerja-kerja kemanusiaan merupakan sebuah rangkaian
tak terpisahkan dari kerja vertikal (habl min Allah).William C.
Chittick dan Sachico Murata juga ikut memperkuat hal tersebut.
Dalam pandangan mereka, masalah kemanusiaan saat ini hanya
mampu diatasi oleh mereka diistilahkan dengan: “to return to God
through religion/ kembali kepada Tuhan melalui agama”.324
Buya Syafii Maarif memiliki empat hal pokok yang
dikembangkannya dalam pemikiran keislamannya yaitu:
a. Al-Qur’an merupakan sebuah petunjuk dan sistem moral yang
memiliki cakupan makna yang luas dan mampu dijadikan
pedoman dasar bagi arah pembangunan. Sebagai acuan moral,
319 Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas., h. 39
320 Ahmad Syafii Maarif, wawancara 22 Oktober 2018
321 Amin Abdullah, filsafat dan Teologi: Hak Asasi Manusia Tantangan Bagi
Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 59
322 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiyai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 70-71
323 Komaruddin Hidayat, Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan, (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 151
324 Sachico Murata dan William C. Chittick, The Vision of Islam, (New York:
Paragon House, 1994), h. 292
247
maka Al-Qur’an tidak bersifat elitis. Al-Qur’an terbuka
untuk semua kaum bernalar yang mencari kebenaran, dan AlQur’an ialah “korpus terbuka” yang memungkinkan lahirnya
interpretasi-interpretasi baru yang sesuai dengan konteks
perkembangan zaman. Bagi Syafii Maarif untuk menemukan
pikiran yang seperti bukanlah sebuah usaha yang mudah.
Usaha ini memerlukan kerja keras dan waktu yang panjang
demi terciptanya ijtihad-ijtihad baru.325
b. Menurut Syafii Maarif Al-Qur’an merupakan sumber
moral bagi kaum Muslim untuk menegakkan keadilan dan
kebaikan, daripada hanya sebagai kitab yang mengedepankan
bentuk pemahaman formal saja. Sebab itu, maka dalam
konteks Indonesia saat ini maka Nilai-nilai Al-Qur’an harus
dikontekstualisasikan bukan sebaliknya yang tanpa refleksi
kritis.
c. Bagi Syafii Maarif untuk memahami Al-Qur’an senantiasa ada
jarak yang terbuka antara realitas dan idealitas. Namun, tak
dapat dipungkiri bahwa kebanyakan orang saat ini menjadikan
Al-Qur’an sebagai perebutan otoritas mazhab. Dalam hal ini
Syafii Maarif menegaskan bahwa makna universal Al-Qur’an
harus mampu “menundukkan” berbagai kepentingan pragmatis
manusia, bukan sebaliknya.
d. Syafii Maarif yang notabennya adalah seorang peminat sejarah
yang lahir dari filsafat sejarah sering memotret kondisi dan
situasi saat ini dengan keilmuan yang dimilikinya. Baginya,
sejarah ialah cermin bagi umat yang datang kemudian. Yang
berisikan akan sebab terjadinya pertumbuhan, perkembangan,
kemajuan dan kejatuhan umat manusia.Berpedoman kepada
sejarah akan menimbulkan sikap yang lebih cermat dari segala
peristiwa yang terjadi di masa lalu.
325 Ahmad Syafii Maarif, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah: Sebuah Refleksi, (Bandung: Pustaka, 1985), h. 2-7
248
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Filsafat dan Teologi: Hak Asasi Manusia
Tantangan Bagi Agama,Yogyakarta: Kanisius, 1998
Al-MusawiMusa, Meluruskan Penyimpamgan Syi’ah, Terj.
Ahmad Munif.Jakarta: Qalam, 1995
Berger, Peter L, The Secularization of the World: Resurgent
Religions and World Politics,Washington: Public Policy
Center, 2009
Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan , Pandangan
Kaum Muda Muhammadiyah,Malang: UMM Press,2009
Fromm, Erich, Psychoanalysis and Religion,New Haven &
London: Yale University Press, 1977
Hidayat, Komaruddin, Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan,Jakarta:
Gramedia, 2009
Kholiludin, Tedi, Kuasa negara atas Agama: politik Pengakuan.
Diskursus Agama Resmi dan Diskriminasi Hak Sipil,
Semarang: RaSAIL, 2009
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk
Aksi,Bandung: Mizan, 2008
Maarif, Ahmad Syafii, Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo
Sejarah: Sebuah Refleksi,Bandung: Pustaka, 1985
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan,Bandung : Mizan, 2015
Maarif, Ahmad Syafii, Mencari Autentisitas dalam
Kegalauan,Jakarta: PSAP, 2004
Maarif, Ahmad Syafii, Menggugah Nurani Bangsa,Jakarta:
MAARIF Institute, 2005
Maarif, Ahmad Syafii, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif:
249
Cermin Untuk Semua, Jakarta Selatan: MAARIF Institute
for Culture and Humanity, 2005
Maarif, Ahmad Syafii, Titik-Titik Kisar di PerjalananKu:
Otobiografi, Yogyakarta: Ombak, 2006
Maarif, Ahmad Syafii, Tuhan Menyapa Kita,Jakarta: Grafindo,
2006
Maarif, Ahmad Syafii, wawancara 22 Oktober 2018
Moesa, Ali Maschan, Nasionalisme Kiyai: Konstruksi Sosial
Berbasis Agama,Yogyakarta: LKiS, 2007
Murata Sachico and William C. Chittick, The Vision of Islam,New
York: Paragon House, 1994
Q.S. Al-Hujurat/49:13
Shafiq Muhammad dan Muhammad Abu Nimer, Interfaith
Dialogue: A Guide for Muslim,Herndon: The International
Institute of Islamic Thought, 2007
Sobary Mohammad, NU dan keindonesiaan,Jakarta: Gramedia,
2010
Toynbee, Arnold J. Surviving the Future,New York and London:
Oxford University Press, 1973
Weber,Max, The Protestanst Ethic and the Spirit of
Capitalism,Mineola N.V.: Dover Publications, Inc., 2003
Wilson, A.N. Against Religion, Why We Should Try to Live
Without It,London: Chatto and Windus, 1992
Zainuddin, M, Pluralisme Agama Pergulatan Dialogis IslamKristen di Indonesia,Malang: UIN Maliki Press, 2010
250
ISLAM SEBAGAI POLITICAL BRANDING
(PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF)
Suryani Musi
Pendahuluan
Islam dan politik ibaratnya dua sisi mata uang yang tidak
bisa dipisahkan. Islam adalah satu-satunya agama yang mempunyai
pengaturan dalam kehidupan agama yang mempunyai pengaturan
dalam kehidupan untuk manusia. Islam tidak hanya mengatur urusan
ibadah manusia kepada penciptanya, tapi dia mengatur urusan
manusia dengan dirinya sendiri dan juga sesamanya. Islam adalah
agama yang mempunyai solusi bagi permasalahan manusia. Tidak
hanya melulu mengurusi persoalan dunia dan akhirat, melainkan
juga mengurusi tentang tatacara manusia menjalankan kehidupannya
agar sesuai dengan aturan sang pencipta sebagai bekal di akhirat,
sehingga tidak heran jika Islam digunakan sebagai political branding
dalam kampanye misalnya.
Oleh karena itu, Islam adalah jalan hidup, maka Islam
mengurusi semua aspek termasuk politik. Islam tidak pernah jauh
dari politik, terutama pada politik Islam. Dalam bahasa Arab, politik
dikenal sebagai politik as-siyasah yang berarti pengurus. Karena
Islam bukan hanya agama ritual, tetapi aturan hidup maka politik
dalam Islam adalah dalam konteks mengurusi umat. Baik dalam
Pemerintah, pengaturan pemilikan, kesejahteraan umat, dan lainnya.
251
Gagasan tentang relasi Islam dan negara selalu menjadi wacana
aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun
yang lalu, dan mengalami flactuative discourse dalam pencaturan
politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive dalam
momen-momen tertentu. Apalagi menjelang Pilpres di tahun 2019.
Ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang pemilu karena
momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan
yang ingin memperjuangkan aspirasi Politiknya, baik itu yang
beridiologikan nasional maupun Islam.326
Agama sebagai political branding belakangan ini dianggap
sebagai suatu hal yang negatif. Bila politisasi agama berkonotasi
negatif bila bertujuan pribadi. Misalnya, bila calon pemimpin daerah
atau capres melakukan kunjungan atau mengundang ulama dengan
niat agar dianggap dekat dengan umat Islam, maka hal tersebut
merupakan hal yang keliru. Politisasi agama yang berkonotasi
negatif tidak ada yang berhak melarang karena secara hukum itu
tidak melanggar. Namun, dalam agama hal tersebut ditegaskan dalam
Qs At Taubah [9]: 9): Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan
harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan
Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan.
Jika menilik ayat di atas, merupakan kaum musrik yang
biasa menukar ayat-ayat Allah swt dengan harga rendah. Mereka
memutarbalikkan ayat-ayat tersebut hanya mendapatkan kepentingan
dunia, baik berupa kekuasaan, kepemimpinan, maupun harta hal ini
tentu saja berkaitan dengan political branding.
Sejalan dengan waktu dan disertai oleh tersebarnya agama
Islam ke seluruh penjuru dunia, telah terjadi kontak sosial dan
budaya dan akan memengaruhi kepada ajaran agama Islam itu
sendiri. Budaya masyarakat dari waktu ke waktu akan mengalami
perubahan, sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan sebuah ajaran,
paham yang berasal dan diciptakan oleh sekelompok masyarakat
326 Solikin, Ahmad. Pemikiran politik negara dan Agama “Ahmad Syafi’I
Maarif”. Jurnal politik Muda, Volume 2 Nomor I, Januari-Maret 2012, h.
194.
252
atau perorangan akan hidup dan tumbuh pada waktu yang bersamaan
selagi tokoh atau orang yang menciptakan ajaran itu masih hidup.
Dalam pandangan Buya Maarif327, ketika Islam diaplikasikan dalam
konteks keindonesiaan maka akan memunculkan sebuah Islam yang
ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap
masalah-masalah besar bangsa Indonesia328.
Memang jika ditinjau dari segi perjalanan Syafii Maarif,
yang notabene juga merupakan orang Muhammadiyah, dalam
perjalanannya, hubungan antara Muhammadiyah dengan negara
sangat menarik. Muhammadiyah yang dianggap sebagai gerakan
dakwah sosial-kultural harus menjaga jarak dengan dengan dunia
politik praktis. Meskipun Muhammadiyah bukan organisasi politik
atau partai politik, tetapi kontribusi Muhammadiyah terhadap
politik Islam tidaklah sedikit. Beberapa tokoh elit yang secara aktif
memperjuangkan Muhammadiyah di antaranya adalah KH Ahmad
Dahlan pada masa penjajahan Belanda, KH Mas Mansur pada
waktu pendudukan Jepang, KH Abdul Kahar Muzakkir, Sudirman,
Mr Kasman Sugodirejo, Hamka, KH AR Fachruddin hingga Prof
Dr Amin Rais, dan Prof Syafii Maarif juga di antaranya. Beberapa
tokoh ini memberi kontribusi kepada negara dengan berpegang
pada budaya politik Muhammadiyah yang amar ma’ruf dan nahi
mungkar.
Peran orang-orang Muhammdiyah menarik untuk dianalisis
terutama pada pemikiran Buya Maarif karena dengan perkembangan
politik nasional, karena Muhammadiyah dan termasuk Buya Maarif
adalah bagian dari organisasi keagamaan dan mempunyai sikap
kehati-hatian data bersentuhan dengan dunia dan politik praktis.
Pada dasarnya politik Muhammadiyah adalah politik yang dilandasi
dengan ahlak mulia dan moral karena itu merupakan bagain dari
dakwah Muhammadiyah. Menurut Muhammdiyah politik juga dapat
327 https://www.viva.co.id/siapa/read/297-ahmad-Syafii-maarif,
didownload
pada Sabtu 12 Desember 2018.
328 Solikin, Ahmad. Pemikiran politik negara dan Agama “Ahmad Syafi’I
Maarif”. Jurnal politik Muda, Volume 2 Nomor I, Januari-Maret 2012, h.
194.
253
bertujuan karena menyangkut dengan kehidupan umat.
Jika dikaitkan dengan konteks sekarang ini, isu lain yang
bakal menyeruak adalah seputar masalah agama. Bahwa akan ada
isu tentang kerukunan hidup umat beragama yang terkoyak-koyak
lantaran ada Islam phobia dan kriminalisasi terhadap ulama. Juga
akan ada isu bahwa KH Ma’ruf Amin hanya dijadikan perisai untuk
menjaring suara pemilih umat Islam. Dalih dari isu ini, bahwa
pada pemerintahan Jokowi bersama Jusuf Kalla justru terjadi Islam
phobia.329
Bahkan hal tersebut pernah dikemukakan oleh Direktur
Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan demokrasi (Perludem),
Titi Angraeni menekankan bahwa isu SARA, dan tentu saja isu
agama di dalamnya akan mengancam pemilu maupun pilpres 2019
mendatang, karena antara lain, persaingan ketat oleh para partai
politik.330
Lalu Azyumardi Azra, Presiden the Asian Muslim Action
Network (AMAN Indonesia), berharap politisi tidak menggunakan
isu agama sebagai salah satu bahan dalam kampanyenya. Hal tersebut
untuk meminimalisir maraknya penyebaran ujaran kebencian
dan berita bohong menjelang tahun politik 2018-2019. Karena
menurutnya, isu agama yang dipolitisasi berpotensi menimbulkan
konflik di tengah masyarakat. Di sisi lain, lembaga keagamaan
berbasis agama seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, harus
pula berperan aktif untuk mencegah adanya politisasi agama. 331
Hubungan Islam dengan Negara
Berdasarkan pembacaannya atas konteks historis khas
Indonesia, Buya Syafii berupaya melibatkan diri dalam diskusi-
329 h t t p s : / / e l s h i n t a . c o m / n e w s / 1 5 5 3 9 0 / 2 0 1 8 / 0 9 / 1 2 / p e n g a m a t - p i lpres-2019-akan-mencuat-isu-jokowiaseng-vs-prabowopribumi.
330 BBC. News Indonesia. Pilkada 2018: Isu SARA diprediksi akan kembali
panaskan tensi.
331 Kompas.com Hentikan Goreng Isu bernuangsa SARA.
254
diskusi kesarjanaan mutakhir tentang relasi Islam dan politik,
apakah Islam itu merupakan agama dan system kekuasaan (din
wa al-daulah) sekaligus? Ternyata, Buya Syafii menolak adanya
gagasan tentang negara Islam. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an
tidak ditemukan tata politik dan pemerintahan yang khas dengan
Islam. Tetapi Al-Qur’an secara eksplisit menekankan agar nilai dan
perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas berbagai
kegiatan sosio-politik dan sosio-kultural umat Islam. Agar Nilainilai etik Al-Qur’an inilah bangunan politik Islam dan bangunan
sosiokultural wajib ditegakkan332
Demikian juga konsep tentang pemerintahan pada masa AlKhulafa’ a Rasyidun tidak ditemukan sesuatu yang khas Islami.
Meskipun begitu, ia berkeyakinan bahwa Islam menyajikan tauhid
yang darinya terpancar hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama yang
mampu menjadikan sumber inspirasi bagi umat Islam yang bergairah
untuk menaati ajaran-ajaran tuhan pada situasi dan kondisi negara
tertentu.
Islam sejarah dan Islam cita-cita, sebagaimana dikutip Buya
Syafii dari Fazlur Rahman, harus ada kaitan yang positif dan dapat
dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin, dan juga
menjadi sama pentingnya bagi gerak yang demikian itu agar yang
ideal (cita-cita) selalu berada pada posisi yang lebih tinggi. Islam citacita ini, menurut Buya Syafii, sebagaimana yang telah diterjemahkan
ke dalam realitas sejarah pada masa Nabi dan beberapa tahun sesudah
itu, tetap merupakan sumber inspirasi yang tak pernah habis bagi
umat Islam sejak saat itu333
Meskipun demikian, Buya Syafii sangat meyakini akan
pentingnya negara sebagai mesin kekuasaan sebagaimana banyak
dibicarakan Al-Qur’an. Mesin kekuasaan atau negara berfungsi
332 Maarif, Muazim Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi 2015, h. 82.
Baca juga Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, Cet III (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), h. 145.
333 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 45
255
sebagai alat pemaksa terhadap anggota masyarakat agar mematuhi
undang-undang yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang
untuk itu. Yang menjadi persoalan menurut Buya Syafii adalah:
Apakah mesin kekuasaan itu merupakan perpanjangan
tangan dari agama atau semata-mata sebagai alat yang efektif untuk
melaksanakan pesan-pesan moral agama. Ternyata di antara sarjana
Muslim tidak ada kata sepakat untuk menjawab pertanyaan ini. Ia
menyebutkan dua sarjana Muslim yang berpendapat tentang hal
ini.334
Menanggapi pendapat tersebut di atas, Buya Syafii menulis:
“Tapi kuatkah tesis yang mengatakan bahwa Islam itu din dan
daulah? Dari Al-Qur’an dan Sunnah, begitu pula dari Piagam
Madinah, kita tidak menemukan landasan yang kuat untuk
mengikuti pendapat itu. Tapi bahwa Islam itu memerlukan
“pedang penolong” yang mendukungnya, maka Islam dengan
sarwa ajarannya yang sempurna dan komprehensif tidak
akan mungkin ditancapkan pada realitas sosial. Yang kita
gagal memahaminya ialah bahwa daulah ditempatkan sejajar
dengan din yang berasal dari wahyu. Bukankah tesis ini dapat
bermakna bahwa kita secara tidak sadar telah menyamakan
alat dengan risalah?”335
Oleh karena itu, Buya Sayii menolak slogam al-Islamu huwa
al dinu wa al daulah (Islam adalah agama dan sekaligus negara)
yang tampaknya justru telah mengaburkan hakikat yang sebenarnya
dari din dan posisi kenabian Muhammad. Nabi Muhammad menurut
Buya Syafii tidak pernah menyatakan diri sebagai penguasa.
Muhammad hanyalah seorang Rasul.336 Ayat tersebutlah kemudian
334 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 15.
335 Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1994), h. 206.
336 Posisi Muhammd sebagai RTasul Allah tatp tidak berubah sampai saat wafatnya pada 632 M. Dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 144 Muhammad
256
menjadi landasaN dari statemen Syafii Maarif selama ini bahwa Islam
adalah agama dan negara. Begitu juga dengan makna din, menurut
Buya din adalah sesuatu yang immutable (abadi). Menempatkan
daulah sebagai yang mutable (berubah). Menempatkan daulah
sebagai setara dengan posisi din (Islam), itun sama halnya dengan
mengagungkan negara seperti halnya mengagungkan din al-Islam337
Lebih lanjut, Buya Syafii menegaskan bahwa:
“Negara itu tidak perlu bernama negara Islam. Dengan kata
lain untuk kasus Indonesia, negara Pancasila dapat dijadikan
instrument yang mantap untuk mencapai dan melaksanakan
keadilan, kebebasan, kemakmuran, persamaan, dan
persaudaraan. Menurut pandangan Islam prinsip-prinsip ini
tidak akan punya landasan yang kokoh bila menolak intervensi
wahyu sebagai sumber moral transcendental”338
Menurut Buya Syafii, siapapun tidak akan menemukan konsep
tentang negara dalam Al-Qur’an baik secara terurai maupun tidak
terurai. Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak memberikan suatu pola
teori kenegaraan yang pasti yang harus diikuti oleh umat Islam
di berbagai negeri. Dalam hal ini, ia memberikan alasan kenapa
Al-Qur’an tidak berbicara tentang masalah kenegaraan. Pertama,
Al-Qur’an pada prinsipnya adalah petunjuk etik bagi manusia; ia
hanyalah seorang Rasul, Maarif, Muazim Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi 2015, h. 82. Baca juga Ahmad Syafii Maarif, Membumikan
Islam, Cet III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 82.
337 Baca, M Syafii Anwar, M Syafii Anwar, “ Syafii Maarif, bung Hatta dan
Deformalisasi Syariat, dalam abd Rhohim Ghazali dan Shaleh Partaonan
Daulay (ed). Muhammad dan politik Islam Inklusif, 70 Tahun Ahmad Syafii
Maarif (Jakarta: Maarif Institute, 2005), h. 40, Maarif, Muazim Bangsa dari
Makkah Darat, Jakarta: Serambi 2015, h. 82. Baca juga Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, Cet III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 83
338 Maarif, Muazim Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi 2015, h. 82.
Baca juga Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, Cet III (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), h. 83. Baca juga Ahmad Syafii Maarif, Islam dan
Masalahg Kenegaraan: stdui Tentang Percaturan dalam Konstituante, h. 15.
257
bukanlah sebuah kitab ilmu politik. Kedua, sudah merupakan suatu
kenyataan bahwa institusi-institusi sosio-politik dan organisasi
manusia selalu berubah dari masa ke masa. Tujuan yang terpenting
Al-Qur’an adalah agar Nilai-nilai ini dan perintah-perintah etiknya
dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas kegiatan-kegiatan
sosial-politik umat manusia. Nilai-nilai ini bertalian secara organik
dengan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan kemerdekaan yang
juga menempati posisi sentral dalam ajaran moral Al-Qur’an. Dari
perspektif ini, menurut Buya Syafii, suatu negara hanyalah dapat
dikatakan bercorak Islam manakala keadilan dan lain-lainnya itu
benar-benar terwujud dan terasa di dalamnya dan memengaruhi
seluruh kehidupan rakyat.339
Dinamika Identitas
Sesungguhnya identitas adalah persoalan lama yang
menemukan vitalitas dan langgamnya yang lain pada masa kini,
sebagaimana tegas Bauman ;
Kalau ”problem identitas” dalam dunia modern adalah bagai
mana membangun suatu identitas dan menjaganya agar kokoh
serta menetap, maka ”problem identitas” dalam dunia pascamodern ialah bagaimana menghindari fiksasi dan membuatnya
tetap terbuka… Dalam ihwal identitas ... kata utama dunia
modern ialah membentuk; dalam dunia pasca-modern ialah
mendaur ulang.1 Maka pergulatan kita: bisakah soal identitas
tidak surut menjadi pengerasan politik tetapi pada proses
negosiasi dan pilihan-pilihan tanpa henti? Bisakah soalnya
bukan menjadi proses yang penuh resah pada ”esensi” dan
fiksasi, tetapi lincah berkontestasi di hadapan prosesproses
sosial di luar dirinya? Bisakah juga ditegaskan bahwa soal
identitas bukan terutama soal roots, tetapi lebih soal routes
yang ditempuh setiap komunitas?340
339 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 16
340 Syafii Maarif dkk, politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: nDemocracy Project, 2012: 34.
258
Uniknya, identitas sedemikian mau tak mau adalah hasil dari
perjumpaan yang mendalam dengan merebaknya produk kultural
kolonialisme itu sendiri, yaitu print-capitalism, yang bagi Benedict
Anderson merupakan salah satu penyebab nasionalisme. Kapitalisme
cetak-mencetak itulah yang perlahan-lahan memungkinkan orang
mengambil jarak dari dunia tradisionalnya dan memikirkan dirinya
sendiri dalam hubungan dengan orang lain. Di situ ada forum
pertukaran dan komunikasi yang secara serempak tampil di hadapan
sekelompok manusia, dan membantu mereka membayangkan dan
membicarakan suatu komunitas, membantu terbentuknya negara
bangsa (nation-state) baru selaku, dalam istilah terkenal Anderson,
imagined community.341
Namun, dalam proses ini jugalah berlangsung proses distortion
dan disabling tadi: sebab ada konflik dalam melupakan, mengenang dan
memberi makna masa lalu; ada proses yang berat dalam menemukan
dasar identitas (apalagi identitas di tengah pluralisme), dan memelihara
perekat mengelola masa depan bangsa yang baru tersebut. Belum
lagi dicatat bahwa para aktivis nasionalisme itu adalah sekelompok
elit hasil pendidikan Barat yang membicarakan bangsa yang baru itu
dalam wacana yang dipinjam dari wacana para kolonialis.
Di sini agama pun ikut mengalami proses distorted dan disabling
tadi, khususnya karena sistem kolonial telah pula merekonstruksi
identitas dan kelembagaan agama sedemikian mendalamnya. Dan
saat agama hendak keluar dari dunia kolonialistis itu, lalu hendak
”memulihkan” diri dan menempuh sejarahnya yang baru, ia gam pang
terjerumus memilih jalan politik identitas di atas. Jadi, masih bisakah
kita kreatif dan tidak serba cemas lalu mengeras, dalam ihwal identitas
yang lahir dari proses sedemikian kompleks di atas? Bisakah agama
(dari dinamika internalnya) mengukir identitasnya sedemikian rupa
agar tidak terjerembab dalam lubang hitam politik identitas itu?342
341 Syafii Maarif dkk, politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: nDemocracy Project, 2012: 35.
342 Ibid, h. 36.
259
Political Branding sebagai Trend Masa Kini
Brand tidak hanya menrupakan sebuah nama yang baik (good
name) dari sebuah produk, organisasi atau tempat. Namun lebih dari
itu. Brand sesungguhnya merupakan sebuah janji. Adapun branding
adalah kegiatan untuk menciptakan nilai/value, reputasinya, produk
atau jasa dan bagi siapapun yang terlibat di dalam brand tersebut,
para desainer, investor, para penjual/salesforce dan menciptakan
nilai/value bagi costumer yang menginginkan produk tersebut.
Branding menggabungkan unsur-unsur yang meliputi perencanaan
strategis, komunikasi pemasaran, penelitian pasar pengembangan
organisasi. Sedangkan menurut Scammel sebagaimana dikutip oleh
Soetomo, branding adalah penggunaan langkah strategis dalam seni
menggabungkan citra politik. Hal ini mengacu pada taktik yang
digunakan politisi untuk mendapatkan popularitas dan pemilihan343.
Menurut Fredrich, partai politik adalah sekelompok manusia
yang terorganisir secara spemerintahanl dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pemimpin
partai, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggota partainya, pemanfaatan keuntungan yang bersifat ideal dan
material344.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa political
branding adalah upaya untuk menciptakan atau membangun citra
politik yang baik. Political branding dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Yang menggunakan pamflet, poster, pemberian cedera
mata, dan juga tidak ketinggalan menggunakan iklan, termasuk di
media mainstream.
Dalam berpolitik, bagi seorang Muslim merupakan suatu
tindakan politik baik bila tindakan tersebut berguna bagi seluruh
343 Soetomo, Personal Branding dalam Peningkatan Elekpemerintahanlitas.
Magister Ilmu Komunikasi Undip, Praktisi Fotografi dalam jurnal Ilmiah
Komunikasi’Makna’ Fakultas Ilmu Komunikasi UNISULLA Semarang Volume 4 nomor 1, Februari-Juli 2013, h. 58
344 Winaryanto. Komuniksi politik. Surakarta: UNS Press: 2011, h. 31
260
rakyat sesuai dengan ajaran ‘rahmatalilalamin’. Dengan demikian,
dari tinjauan Islam ada dua jenis politik, yaitu politik kualitas tinggi
(high political) dan politik kualitas rendah (low politics). Apabila
menginginkan politik yang dijalankan berkualitas tinggi, maka
paling tidak ada tiga ciri yang harus ditegaskan: yaitu:
Pertama: setiap jabatan politik dan hakikatnya berupa amanah
dari masyarakat yang harus dipelihara sebaik-baiknya. Amanah
itu tidak boleh disalahgunakan, misalnya untuk memperkaya
diri atau menguntungkan golongan sendiri dan menelantarkan
kepentingan umum. Kekuasaan harus dilihat sebagai sebagai
nikmat yang dikaruniakan oleh Allah untuk mengayomi masyarakat,
menegakkan keadilan dan memelihara tata tertib sosial yang
egalitarian. Kekuasaan betapapun kecilnya, harus dimanfaatkan
untuk membangun kesejahteraan bersama, sesuai dengan amanah
yang telah dipercayakan masyarakat luas.
Kedua, setiap jabatan politik mengandum dalam dirinya
mas’uliyah atau bertanggungjawab (accounpemerintahanlity).
Sebagaimana diajarkan Nabi SAW, sebagai orang pada dasarnya
pemimpin yang harus mempertanggungjawabkan yang dimaksud di
sini bukan hanya tanggungjawab di hadapan Allah, di mahkamah
paling adil di akhirat kelak.
Ketiga, kegiatan politik harus dikaitkan secara ketat dengan
prinsip ukhuwah (brotherhood), yakni persudaraan di antara
sesama umat manusia. Ukhuwah dalam arti luas melampaui batasbatas , enik, agama, latarbelakang sosial, keturunan, dan lainnya
sebagainya. Kegiatannya menghindari gaya politik konfrontatif
yang penuh dengan konflik dan melihat pihak lain sebagai pihak
yang harus dieliminasi, gaya politik yang diambil adalah yang
penuh dengan ukhuwah, mencari saling pengertian dan membangun
kerjasama dunia seoptimal mungkin dalam menunaikam tugas-tugas
kekhilafaan.345
Dalam ilmu politik, terdapat dua pengertian definisi politik
345 M. Amin Rais. Hubungan antara politik dan Dakwah (Berguru Kepada M
Nasir). Bandung: Mujahid, 2004, h. 10-12.
261
di mana politik dibagi ke dalam dua lingkup atau definisi lingkup
tersebut adalah “politics at its best” dan “politics at its worse”. Untuk
pengertian definisi yang pertama, politics at its best adalah suatu
pengertian akan penerapan politik untuk kemaslahatan bersama.
Para pelaku politik versi ini mendahulukan kepentingan rakyat dan
mempergunakan politik sebagai pemenuhan kesejahteraan rakyat.
Contohnya adalah dalam setiap perumusan kebijakan oleh pemerintah
di suatu negara maka di dalamnya terdapat unsur-unsur politik yang
terlibat. Politik adalah seni untuk saling memengaruhi, merumuskan
kebijakan dengan tujuantujuan yang baik. Jadi sebenarnya dalam
politics at its best adalah para politisi menerapkan ilmu politik yang
mereka punya untuk merumuskan kebijakan yang memang benarbenar akan dimanfaatkan oleh masyarakat luas346
Politisasi Agama di Indonesia
Setidaknya dua ironi menandai politik Islamis di Indonesia,
pertama: Kekuatan-kekuatan politik Politik Islamis di Indonesia
mulai berkembang pada saat rekan mereka di beberapa negara
berpenduduk mayoritas Muslim (misalnya Turki, Iran, dan lainnya)
mulai mengalami krisis serius. Kedua, Islamisme di Indonesia
sempat menikmati periode legitimasi formal dalam kehidupan dalam
kehidupan bernegara berkat tindakan para politis sekuler yang tidak
memperhatikan pengabdian yang berbobot yang menyakinkan pada
agenda-agenda keagamaan. Sementara itu, beberapa partai Islam
yang sejak semula beraspirasi mengejar cita-cita politik Islam,
telah terpinggirkan. Sudah berkali-kali gagal meraih suara yang
signifikan dalam pemilu.347
Masalahnya bertambah rumit karena partai politik besar yang
konstituen utamanya bukan berdasarkan agama juga turut mengambil
346 Assyari Abdullah. Membaca Komunikasi politik gerakan Aksi Bela Isla 212.
Antara politik Islam dan Ijtihad politik Alternatif. Jurnal An-Nida, jurnal Pemikiran Islam. Edisi Desember 2017, vol 41, no 2, h. 207.
347 Ariel Heryanto. Identitas dan Kenikmatan:Politik Budaya Layar Indonesia.
Jakarta: Kepustakaan Poluler Gramedia, 2018, 68.
262
retorika Islami dan menggunakannya untuk meningkatkan kekuatan
politik mereka. Sekalipun kekuatan-kekuatan pendukung Islamisme
memiliki sejarah panjang di Indonesia, mereka merasakan pertama
kali kekusaan melalui mekanisme formal yang terlegitimasi dalam
kehidupan bernegara pada dekade 1990. Ketika itu, Soeharto
penguasa Orde Baru, secara drastis berputarhaluan dengan tiba-tiba
mengundang banyak pemimpin Islam dari berbagai sektrum politik
untuk ikut menikmati kekuasan negara dalam upaya menyelamatkan
rezimnya yang sekarat. Tidak seluruh menerima rayauan tersebut,
termasuk di antaranya adalah Abdul Rahman Wahid menjadi
penentang politisasi agama348.
Pada awal 2000-an, menjadi jelas bahwa menguatnya Islam,
termasuk Islamisme, telah melampaui Soeharto, Rezim Orde
Baru, dan pemerintahan sementara di bawah BJ Habibie. Habibie
memanfaatkan pendahulunya untuk mengembangkan politik Islam
untuk tujuan Politiknya, termasuk melakukan perekrutan massal
pada millisi-millisi yang baru dibentuk.
Seberapa jauh efektivitasan penggunaan simbolisme, konsep
dan praktis Islam dalam politik masih harus dikaji lebih jauh. Tetapi
sejumlah indikator yang agaknya merupakan trend menujukkan
bahwa inefektivitas agama dalam politik Inonesia mutakhir.
Pertama, parpol-parpol
Islam gagal memenangkan seluruh
pemilu pasca Soeharto, 1999,2004, 2009, dan 2014. Kedua, usaha
penerangan syariah berbenturan dengan komplikasi politik, legalkonstitutional, dan cultural sosiologis. Ketiga, kelompok garis
keras cenderung kian tidak popular, karena selain ditentang dengan
kelompok mainstream modern Muslim, juga semakin mendapatkan
tekanan dari aparat kepolisian, keempat, penggunaan konsep fikih
siyasah klasik seperti bughat dan jihad gagal mengubah political
course Indonesia, sehingga Gus Dur tetap dilengserkan dalam SI
MPR. Kelima, penggunaan kekerasan yang dilakukan kelompok dan
sel teror yang tidak hanya gagal mencapai tujuannya, tetapi lebih
348 Heryanto, Ariel. Identitas dan Kenikmatan:Politik Budaya Layar Indonesia.
Jakarta: Kepustakaan Poluler Gramedia, 2018, h. 66.
263
celakanya lagi menimbulkan citra bagi Islam dan kaum Muslimin
pada umumnya.349
Pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Islam sebagai Political
Branding
Ahmad Syafii Maarif, sebelum meneruskan kuliah ke
Universitas Chichago, pola pikir Maarif terikat pada pemikiran
tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi dan menjadikannya sebagai
rujukan primer. Pada tahun 19776-1978, Syafi’I Maarif aktif dalam
MSA (Muslim Student’s Assciations), yang masih sangat merindukan
tegaknya sebuah negeri Islam di suatu negeri. Sampai meninggalkan
Athens tahun 1978, masih belum ada yang dapat ditawarkan Sya’I
Maarif untuk menembus kebuntuan intelektual Islam. Kesamaan
ideologi Maarif dengan tokoh-tokoh Masyumi ini pertahankan
hingga akhirnya berubah haluan setelah sampai di Chichago pada
awal 1980-an.
Menurut Ahmad Syafii Maarif bahwa Nabi Muhammad saw
tidak pernah menyatakan diri sebagai penguasa. Fakta ini memberikan
sebuah interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana,
sebagai alat bagi agama, dan bahkan sebagai sebuah perwujudan
(suatu eksistensi) dari agama itu sendiri. Apalagi fakta bahwa
sunnah Nabi maupun realitas Al-Qur’an memang tidak memberikan
pola teori kenegaraan secara baku, karena memang Al-Qur’an lebih
merupakan petunjuk etik bagi manusia, bukan sebuah kitab politik.
umat Islam diberi kebebasan untuk membangun sistem politiknya
sesuai dengan tantangan zaman dan tuntutan masyarakatnya. Tujuan
terpenting dalam Al-Qur’an lebih terarah pada upaya agar nilai
dan perintahan etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas
berbagai kegiatan sosio politik dan sosio kultural umat Islam. Maka
atas daar-dasar nilai etik Al-Qur’anlah, bangunan politik Islam dan
bangunan sosio kultural wajib ditegakkan.
349 Azyumardi Azra, Islam dan Konsep Negara dalam Fikih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan
non-Muslim, Bandung: Mizan Media Utama, 2015: 120
264
Fakta itu memberikan sebuah interpretasi bahwa politik
hakikatnya hanyalah sarana dari agama itu sendiri. Apalagi fakta
bahwa sunnah Nabi maupun realitas Al-Qur’an memang tidak
memberikan pola teori kenegaraan secara baku, karena Al-Qur’an
memang tidak menjadi sebuah petunjuk etik bagi manusia, bukan
sebuah kitab ilmu politik. umat Islam diberi kebebasan untuk
membangun sistem politiknya sesuai dengan tantangan zaman dan
tuntutan masyarakat. Tujuan terpenting dalam Al-Qur’an lebih
terarah pada upaya agar nilai dan perintah etiknya dijunjung tinggi
dan bersifat mengikat atas berbagai kegiatan sosio politik dan
sosio kultural umat Islam. Maka atas dasar Nilai-nilai etika AlQur’an lah bangunan politik Islam dan bangunan sosio kultural bisa
diwujudkan.350
Ahmad Syafii Maarif tidak setuju terhadap tokoh-tokoh Islam
yang terus mendesakkan dasar negara Islam untuk Indonesia. Berbeda
dengan pandangan para tokoh Islam lainnya, terutama dari golongan
tua dari kubu modernis, Ahmad Syafii Maarif justru bersyukur
karena usaha tokoh Islam untuk menjadikan Islam sebagai sebagai
ideologi dan dasar negara gagal. Secara subjektif jika membaca hasil
pemikirannya sebelumnya, penulis menilai bahwa Ahmad Syafi’I
Maarif boleh jadi tidak terlalu sepakat dengan menjadikan Islam
sebagai political Branding dalam kancah perPolitikan sekarang ini
di Indonesia.
Bahkan pernyataan tersebut pernah ia tegaskan, bahwa jangan
menggunakan agama untuk tujuan politik.
“Ahmad Syafii Maarif mengingatkan bangsa ini adalah
bangsa yang heteregoen dan Bineka tunggal ika itu suatu yang perlu
diperhatikan. pluralisme itu sebaguah faka sejarah. Keberagaman
menjadi sumber untuk menciptakan harmonisasi, kedamaian,. Agama
itu adalah sumber moral, jadi agama harus menjinakkan politik agara
politik bisa berorientasi pada keadilan, kepada kejujuran, kepada
kesatuan,. Namun yang terjadi, agama dipakai alat untuk mencapai
tujuan politik.” (Liputan6.com, 2017:17April).
350 Dhuroruddin Mashad, Akar Konlik politik Islam di Indonesia, h. 53.
265
Sekarang ini, babak reformasi telah melewati lembaran
sejarah yang menghadirkan fenomena gerakan Islam memengaruhi
konstelasi politik di Indonesia. Terutama ketika dipilihnya KH
Ma’ruh Amin sebagai Cawapres Jokowi, maka sudah dipastikan
bahwa banyak orang yang akan melemahkan isu agama di
Pilpres 2019. Prediksi tersebut sebenarnya berpatokan kepada
sosok Ma’ruh Amin yang keulamaannya sudah tidak diragukan
lagi sehingga secara simplistik bisa diasumsikan akan membuat
permainan isu agama. Sementara, lawannya yakni Prabowo-Sandi
justru diragukan keislamannya lantaran ia dIlahirkan dari seorang
ibu yang Nasrani. Agama dipaksa untuk hadir dalam kampanyekampanye politik demi menunjukkan diri sebagai rumah bagi
kaum Muslimin di Indonesia. Agama menjadi isu yang belakangan
paling sering menjadi tunggangan politik demi merebut hati rakyat.
Jika dikaitkan dengan fenomena tersebut, Buya Syafii
pernah menyayangkan, jika pada abad modern ini belum ada satu
contoh pun tentang negara Islam yang dapat dijadikan sebagai
teladan, apalagi Indonesia. Semuanya bermasalah. Islam malah
sering digunakan untuk tangga mendapatkan keuntungan duniawi
termasuk keuntungan untuk mendapatkan kekuasaan melalui politik
Islam. Buya, tidak rela bahkan berontak jika melihat kenyataan
buruk semacam ini. Dia tidak ingin Islam dijadikan sebagai ‘barang
dagangan’ dengan harga rendah. Islam adalah pedoman hidup
sempurna. Buya melihat proyek negara Islam yang diawali di abad
20 tidak satupun yang berdasarkan hasil penelitian konferehensif
dan mendalam dengan menyugukan di bawah cahaya Al-Qur’an
dengann konsep syuranya dengan menempatkan manusia pada
posisi setara.
Jika dikaitkan dengan peta perPolitikan sekarang, political
branding yang dipakai oleh para politikus di Indonesia bukan
sebagai gerakan ideologi. Islam sebagai Political Branding
hanyalah komunikasi kerakyatan untuk merebut kekuasaan. Karena
ini bukan ideologi, maka siapa saja bisa digaet. Mereka memberi
ruangan kepada siapa saja selama mempunyai kesamaan politik.
Kelompok politik ingin mengontrol jalannya roda pemerintahan
266
sesuai dengan apa yang menjadi tolok ukur mereka, sesuai dengan
standar selera yang mereka punya. Kaum elit agama, ingin
menjadikan Indonesia sama seperti yang mereka pikirkan. Olehnya
itu, wajar saja jika ketika kampanye mereka biasanya menggunakan
tempat-tempat ibadah sebagai lahan untuk kampanye politik, dengan
menggunakan Islam sebagai political branding mereka.
Jika upaya serba radikal tersebut gagal, dan memang tidak
punya syarat untuk beradil, maka menurut Buya Syafii sebab
utamanya adalah karena sebuah gagasan besar yang dikerjakan
oleh otak-otak kecil yang lebih banyak dikuasai emosi, bukan oleh
kekuatan penalaran yang mantap secara teori, tetapi belum berangkat
dari pemahaman Al-Qur’an dan hadis secara outentik. Suasana
dunia Islam yang telah terjepit telah dijadikan dasar tidak langsung
dari teori yang coba dibangun itu. Hasil akhirnya pasti akan kacau
balau karena suasana batin yang marah menghadapi realitas telah
dijadikan pangkal tolak dalam membangun teori, pasti akan sia-sia.
Pandangan Buya Syafii tentang pola hubungan antara negara
dan agama secara garis besar bukan sekedar pola hubungan
dikotomis yang saling meniadakan. Pola hubungan Islam dan
negara adalah dimana Islam bukanlah semata-mata sebagai ritual
peribadatan hamba kepada tuhannya saja, tetapi lebih dari itu Islam
menyangkut tentang kaedah-kaedah, batas-batas dalam muamalah
dan bersosialisasi dalam masyarakat.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Buya Syafii menginginkan
supaya aturan-aturan dan patokan-patokan tersebut dapat terjaga dan
direalisasikan maka harus ada negara atau kekuasaan politik yang
melindunginya. Buya Syafii dengan cermat memahami antara antara
Al-Qur’an dan karier Muhammad dalam selama keRasulannya
mengatakan bahwa wawasan kekuasaan dalam Islam harus disinari
dengan wawasan moral sebagai salah satu indikator iman dalam
konteks dan realitas sosial. Relitas sejarah telah menujukkan bahwa
bagaimana Islam dalam berbagai priode dan di berbagai negara
seringkali menghianati politik Islam itu sendiri. Hanya karena alasan
yang dicari-cari, tetapi cita-cita politik Islam tidak akan lenyap dari
267
pemikir-pemikir Islam.351
Islam Sebagai Political Branding, Sebuah Simbol Gincu
Buya Syafii menceritakan bagaimana politik gincu pertama
kali dikemukakan oleh Hatta yang berusaha mendidik umat Islam
pada tahun 1976, dalam rangka mendidik umat Islam Indonesia agar
relatif arif dalam memperjuangkan cita-cita politik Islam. Menurut
Maarif, pernyataan tentang politik gincu dan politik garam itu
bertujuan mendidik umat Islam agar pandai-pandai membawa diri
bilamana ingin memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia. Meski
Maarif mengakui bahwa, selama ini otaknya berpikir keras untuk
mengumpulkan gagasan Bung Hatta dengan mengaitkan kondisi
realitas yang terjadi saat ini di Indonesia. Kemudian ia menyimpulkan
bahwa sikap positif Hatta ini harus disambut dengan positif, karena
selama ini di situlah letak krusial yang selama puluhan tahgun telah
membebani perasaan umat Islam di Indonesia ketika berbicara
mengenai hubungan antara Islam dan politik.
Seperti telah berulang saya katakan, bahwa jika orang ingin
memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia, pakailah ‘ilmu garam,
tidak ilmu gincu’. Ketika garam larut dalam makanan, bekasnmya
tidak kelihatan, tetapi pengaruhnya di dalam cita rasa makanan
sangat menentukan. Sebaliknya, gincu yang dipakai oleh perempuan,
terbelalak merah di bibir, tetapi tunarasa. 352
Bagi Buya Syafii, negara dan atribut yang disandangnya
bukanlah masalah yang fundamental dalam Islam.353 Dengan kata
lain, apapun bentuk negara tidak masalah, yang penting pemerintah
bisa mewujudkan kemaslahatan, kebebasan, keadilan, dan Nilai-nilai
substansial Islam lainnya bagi rakyat. Kekuasaan harus dibangun di
351 Ahmad Solikin. Pemikiran politik negara dan Agama “Ahmad Syafii Maarif”. Jurnal politik Muda, Volume 2 Nomor I, Januari-Maret 2012, h. 198.
352 Ahmad Syaii Maarif. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
dan Kemanusiaan (Sebuah Refleksi Sejarah), Bandung: Mizan.2015: 291.
353 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal.193
268
atas landasan etik-moral. Ia menuturkan ; “Kekuasaan semestinya
menjadi kendaraan moral atau alat moral yang efektif untuk tegaknya
moral. Jangan di balik, di banyak negara agama atau moral yang
dijadikan kendaraan untuk mencapai kekuasaan.”354
Dalam landasan prinsip-prinsip moral inilah, prinsipprinsip Islam yang lain dapat ditegakkan dengan mantap. Buya
Syafii Maarif mengecam para elit yang acapkali membawa nama
Islam, namun prilakunya buruk dan tidak mencerminkan Nilainilai Islam. Kendatipun pada dasarnya ia tidak keberatan dengan
formalisasi Syariat Islam asal dilakukan dengan cara konstitusional
dan demokratis, namun ia tetap mengkritik aspirasi tersebut. Ia
menuturkan, “Apa alasan kita untuk mengejar yang formal, atau
lebih mengutamakan bentuknya dan melalaikan isi. Yang saya
takutkan merek begitu indah, tapi isinya kosong”.355
Buya Syafii mengkhawatirkan ideologisasi Islam justru akan
menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Perpecahan tersebut
tak hanya akan melibatkan antara kelompok Muslim dan nonMuslim saja, akan tetapi juga perpecahan antarsesama umat Islam356
Menurut Buya Syafii, peradaban politik kita rendah dan kumuh.
Memang, setelah reformasi bergulir sejak 1998, proses politik di
Indonesia boleh dikatakan ditata menuju demokrasi yang sehat dan
kuat. Indonesia menjadi lebih demokratis dan dipuji oleh dunia
internasional. Akan tetapi, proses demokrasi itu berada di tangan
mereka yang kurang bertanggungjawab, yang mempunyai wawasan
yang picik. Terlalu banyak dusta dan kepentingan pragmatik elit
yang memboncengi reformasi. Politik menjadi ajang kompetisi
354 Ahmad Asroni, Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan Syariat
Islam di Indonesia, jurnal Millah vol X, nomor 2, februari 2011, h. 369.
355 Ahmad Asroni, Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan Syariat
Islam di Indonesia, jurnal Millah vol X, nomor 2, februari 2011, h. 369.
356 Wawancara Republika dengan Ahmad Syafii Maarif, “Pertimbangkan
Dampak yang akan Timbul”. Lihat Ahmad Syafii Maarif, dkk., Syariat Islam
Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Madinah dalam Amandemen UUD
1945, (Jakarta: Paramadina, 2001), h 41-44, lihat juga di Ahmad Asroni,
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan Syariat Islam di Indonesia, jurnal Millah vol X, nomor 2, februari 2011, h. 371.
269
kepentingam yang sempit dari kelompok-kelompok politik.
Politik tidak lagi ditunjukkan untuk mencapai keadilan sosial dan
kesejahteraan seluruh rakyat sebagaimana yang dicita-citakan para
pendiri negara kesatuam Republik Indonesia.357
Penutup
Jika sejak dulu Buya Syafii menolak gagasan tentang negara
Islam karena dinilai tidak memiliki basis region-intektual yang kukuh,
tentu saja itu berlaku dalam menjadikan Islam sebagai political
Branding. Pandangan politik Buya Syafii lebih menekankan pada
Nilai-nilai substantif Islam sebagai persamaan, keadilan, kebebasan
dan seterusnya. Politik Islamnya bukanlah yang terpenting, yang
terpenting adalah bagaimana orang-orang yang bergabung dalam
dunia perPolitikan mampu mewujudkann permasalahan, keadilan,
kebebasan, dan Nilai-nilai substansial lainnya bagi masyarakat.
Kekuasaan Islam harus dibangun atas dasar landasan etik moral,
menurut Buya Syafii kekuasaan semestinya menjadi kendaraan
moral atau alat moral yang efektif bagi tegaknya moral, tetapi
sekarang banyak orang termasuk partai politik menjadikan agama
sebagai kendaraan untuk mengapai kekuasaan.
Dalam prinsip moral inilah Buya Syafii berpedoman bahwa
prinsip-prinsip Islam akan menjadi tegak. Selain itu, Buya sangat
mengecam para elit yang sering membawa nama Islam, tetapi
perilakunya sangat jauh dari perilaku yang mencerminkan sebagai
seorang Muslim. Sampai sekarang, menurutnya, partai politik
Islam belum banyak melahirkan politisi yang berintegritas dan bisa
menjadi seorang negarawan. Walau pun, Buya Syafii mengatakan
partai politik Islam di Indonesia masih lebih baik ketimbang di
kawasan Arab. Politisi yang baik, lanjutnya, adalah yang berpihak
pada keadilan, rakyat jelata, dan kebenaran.358 Buya mendorong
357 Maarif, Muazim Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta: Serambi 2015, hal127.
Baca juga di Indonesia, demokrasi ‘Tetapi’, Kompas.com, 30 Juni 2011.
358 https://nasional.tempo.co/read/1081336/jika-2019-umat-terbelah-lagiBuya-Syafii-lebih-bodoh-dari-unta/full&view=ok, didownload, Sabtu 15
270
parpol berkaca pada kelakuan masa lampau yang masih tidak sesuai
dengan prinsip demokrasi untuk bisa membangun demokrasi yang
sehat.
Desember 2018.
271
Daftar Pustaka
Abdullah, Assyari. Membaca Komunikasi politik gerakan Aksi
Bela Isla 212. Antara politik Islam dan Ijtihad politik
Alternatif. Jurnal An-Nida, jurnal Pemikiran Islam. Edisi
Desember 2017, vol 41, no 2.
Azra, Azyumardi. Islam dan Konsep negara dalam Fiqih
kebinekaan (Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat,
Kewargaan, dan kepemimpinan Non-Muslim, Bandung:
Mizan Media Utama, 2015.
Ahmad Asroni, Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara
dan Syariat Islam di Indonesia, jurnal Millah vol X, nomor 2,
Februari 2011.
BBC. News Indonesia. Pilkada 2018: Isu SARA diprediksi akan
kembali panaskan tensi, didownload pada hari Sabtu, 1
Desember 2018.
https://elshinta.com/news/155390/2018/09/12/pengamat-pilpres2019-akan-mencuat-isu-jokowiaseng-vs-prabowopribumi
didownload pada hari Sabtu, 1 Desember 2018.
Heryanto, Ariel. Identitas dan Kenikmatan:Politik Budaya Layar
Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Poluler Gramedia, 2018.
Kompas.com. Hentikan Goreng Isu bernuangsa SARA,
didownload pada hari Sabtu, 1 Desember 2018.
Rais, M. Amin. Hubungan antara politik dan Dakwah (Berguru
Kepada M Nasir). Bandung: Mujahid, 2004.
Rolilawati, Yeni. Employee Branding Sebagai Strategi Komunikasi
untuk Mengkomunikasikan Merek (Brand Image) jurusan
Ilmu Komunikasi (FISIP) Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, Jurnal Veteran Yogyakarta, volume nomor 3
September-Desember 2008
Soetomo, Personal Branding dalam Peningkatan
272
Elekpemerintahanlitas. Magister Ilmu Komunikasi Undip,
Praktisi Fotografi dalam jurnal Ilmiah Komunikasi’Makna’
Fakultas Ilmu Komunikasi UNISULLA Semarang Volume 4
nomor 1, Februari-Juli 2013.
Solikin, Ahmad. Pemikiran politik negara dan Agama “Ahmad
Syafi’I Maarif”. Jurnal politik Muda,Volume 2 Nomor I,
Januari-Maret 2012.
Maarif, Ahmad Syafii. Muazim Bangsa dari Makkah Darat, Jakarta:
Serambi 2015.
Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996)
Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia, (Bandung: Mizan) 1994.
Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta:
Democracy Project. 2012
Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa demokrasi Terpimpin
(1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan
Kemanusiaan (Sebuah Refleksi Sejarah), Bandung:
Mizan.2015
Syafruddin. Peran politik Muhammdiyah Era Reformasi (Studi
Kritis Perilaku-Perilaku politik Muhammadiyah di Era
Reformasi 1999-2000. Skripsi fakultas Adab UIN Sunan
Kalijaga . Yogyakarta, 2004.
Solikin, Ahmad. Pemikiran politik negara dan Agama “Ahmad
Syafi’I Maarif”. Jurnal politik Muda, Volume 2 Nomor I,
Januari-Maret 2012.
Winaryanto. Komuniksi politik. Surakarta: UNS Press: 2011.
273
REVITALISASI PENDIDIKAN ISLAM DI ZAMAN
KONTEMPORER: MEMBACA PEMIKIRAN AHMAD
SYAFII MAARIF TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
Eko Nur Wibowo
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang kaya, kaya akan sumber
daya alam maupun kaya dengan keanekaragaman suku, budaya
maupun agama. Agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia
yaitu Islam. Sekitar 87,2 % (sekitar 207 juta) penduduk Indonesia
menganut agama Islam.359 Namun apabila dilihat dalam peta
dunia, negara Indonesia saat ini masih dalam kategori negara yang
berkembang belum termasuk negara maju. Hal ini menjadi sebuah
tanda tanya apabila dikaitkan dengan mayoritas penduduk yang
Islam.
Islam merupakan agama rahmat dengan kitab Al-Qur’an
sebagai landasan kehidupannnya. Al-Qur’an sebagai wahyu dari
Allah mengandung segala ilmu untuk bekal kehidupan dunia
maupun akhirat. Namun pada kenyataannya mayoritas penduduk
Islam di Indonesia saat ini dalam masa krisis atau kualitas kehidupan
masih tertinggal jauh dengan bangsa barat (mayoritas non-Muslim).
Dalam hal ini Ahmad Syafii Maarif menyebutnya dengan posisi
mayoritas yang tunakualitas. Tunakualitas ini didasari karena masih
359 Https://Www.Indonesia-Investments.Com/Id/Budaya/Agama/Item69, Agama Di Indonesia, Diakses Kamis,27 September 2018 Pukul 20.08
274
begitu banyaknya permasalahan di Indonesia, bisa dilihat dari
kemiskinan, minimnya pengetahuan dan kesejahteraan hidup yang
belum menyeluruh dinikmati masyarakat Indonesia. Beberapa hal
itu kemudian menjadi sebuah beban tersendiri bagi Islam, sebagai
agama yang berusaha membangun peradaban yang berkualitas tinggi
di dunia.
Membangun peradaban Indonesia melalui pendidikan,
Pendidikan menjadi salah satu jalan yang bertujuan untuk membentuk
manusia yang unggul dari berbagai segi, baik ilmu pengetahuan,
sikap-tindakan maupun moral. Hal ini sebagaimana cita-cita bangsa
yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu “mencerdaskan
kehidupan bangsa”.
Kemudian lebih khusus lagi tujuan dari pendidikan nasional
dijabarkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
karakter serta peradaban bangsa yang beramartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Apabila melihat dari paparan tujuan di atas maka pendidikan
memiliki peran penting. Pendidikan berperan besar dalam membangun
peradaban bangsa dengan membentuk kualitas manusia yang unggul..
Namun apabila dilihat kajian dirkusus pendidikan seolah terabaikan,
terlihat kurang menarik dibandingkan kajian politik dan ekonomi. Hal
ini setidaknya memberi efek pula pada perkembangan pendidikan di
Indonesia. Pendidikan di Indonesia terlihat seolah-olah stagnan belum
memberi gebrakan-gebrakan luar biasa bagi kehidupan manusia dan
membangunan peradaban yang lebih baik. Hal ini bisa dilihat dari
realita pendidikan nasional sekarang, lebih khusus pendidikan Islam
saat ini.
Pendidikan Islam di Indonesia telah mengalami berbagai
perkembangan. Mulai dari pendidikan Islam yang saat itu hanya
275
diajarkan secara tradisional di pesantren sampai dengan masuknya
pendidikan Islam dalam sistem pendidikan formal. Namun di tengah
perkembangan tersebut sampai sekarang masih meninggalkan
beberapa problem di dunia pendidikan Islam. Permasalahan itu
diantaranya adalah adanya unsur dikotomi ilmu dengan agama, output
manusia dari proses pendidikan Islam juga masih rendah, pengajaran
pendidikan Islam yang tekstual, bersifat eksklusif (menafikan ajaran
agama lainnya), bersifat indoktrinasi (dalam segala hal), dan fanatisme.
Sikap eksklusif dan fanatisme ini menimbulkan bahaya tersendiri bagi
Islam.
Dengan kata lain seperti tertulis dalam otobiografi Ahmad Syafi’i
Ma’arif, bahwa orang yang mengurung diri dalam pasungan yang
sempit atau hanya mengenal satu alur aliran pasti akan memperlama
berada pada kebuntuan intelektual yang pengap. Membawa pada
kehidupan semu tanpa menyentuh realitas. Padahal Islam sejatinnya
berupaya mengubah realitas pengap itu menjadi suasana yang asri,
adil, dan penuh rahmat.360
Kebuntuan intelektual memang dapat terjadi manakala seseorang
tidak mau membuka diri akan pengetahuan yang luas. Sikap eksklusif
atau tertutup juga menjadi seseorang bertindak fanatik. Seseorang
bersikap fanatik atau taklid buta karena tidak adanya kemauan untuk
membuka diri mencari ilmu pengetahuan yang luas. Apabila hal
tersebut dibiarkan maka seseorang menjadi sulit berkembang secara
intelektualitasnya atau dalam kata Buya, “intelektual pengap”. Pengap
karena tidak tersegarkan oleh pengetahuan-pengetahuan baru yang
berguna bagi kehidupan manusia
Berdasarkan beberapa problematika pendidikan Islam di atas
maka perlu adanya revitalisasi dalam pendidikan Islam. Revitalisasi
pendidikan Islam disini bermakna sebagai suatu upaya memperlakukan
dan menghidupkan kembali suatu kearifan atau tradisi tertentu (masa
keemasan Islam) yang dikorelasikan dengan perkembangan zaman
saat ini. Zaman yang semakin dinamis dan praktis dengan adanya
360 Ahmad Syafii Maarif,, Titik Kisar Perjalananku, Bandung:Mizan, 2009,
hlm.186
276
perkembangan IPTEK.
Melihat problematika pendidikan tersebut, maka penulis
menuliskan sebuah tulisan tentang revitalisasi pendidikan Islam di
zaman kontemporer. Dunia pendidikan Islam perlu adanya suatu
paradigma revitalisasi pendidikan Islam guna mewujudkan manusia
paripurna (insan kamil). Dengan begitu akan terwujudlah peradaban
bangsa yang semakin maju. Peradaban yang bersumber pada ilmu
dan agama untuk mewujudkan kesejahteraan setiap manusia. Dalam
tulisan ini bentuk dari revitalisasi pendidikan Islam mengejawentahkan
pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Pendidikan Islam. Apabila
dilihat dari pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan Islam, maka
dapat dikatakan bahwa Ahmad Syafii Maarif memiliki pemikiran
pendidikan yang bercorak kritis-religius.
Corak pemikiran pendidikan Buya Syafii yang sedemikian
terlihat dari pemahaman keagamaannya. Buya Syafii memiliki
pemikiran Islam yang “Modernisme Islam” dan “Ideal Islam” yang
berorientasi pada kemajuan dan idealnya Islam bagi umat seluruh alam
semesta.361 Corak pemikiran tersebut yang mendorong untuk terus
berpikir mengarahkan pendidikan Islam yang integratif, kesatuan ilmu
pengetahuan (unity of knowledge), kontekstual, dan inklusif. Sehingga
dapat menjadikan manusia yang berilmu, beramal shaleh dan anggun
(bijaksana) dalam tindakannya.
Sebelum membahas lebih jauh tentang problematika pendidikan
Islam saat ini, maka perlu penulis uraikan terlebih dahulu tentang
pendidikan Islam. Pendidikan merupakan proses pencarian ilmu
guna meningkatkan harkat martbat seseorang. Pendidikan sejatinya
bertujuan untuk memanusiakan manusia. Dalam Islam pendidikan
bertujuan untuk membentuk insan kamil (manusia seutuhnya). Manusia
yang utuh, seimbang (balance) dari segala aspeknya. 362Pendidikan
Islam merupakan sebuah sistem kependidikan yang mencakup seluruh
361 Mohamad Ali, Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif, Profetika,
Jurnal Studi Islam, Vol. 17, No. 2, Desember 2016, hlm.4
362 Sukarman, Urgensi Pendidikan Holistik Dalam Membentuk Insan Kamil”,
Tarbawi Ii, No.2 (Juli-Desember): 2014.Hlm.36
277
aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh manusia. Sistem kependidikan
ini kemudian dipahami dan dikembangkan berdasarkan Nilai-nilai
fundamental ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan hadis dan diwujudkan
dalam bentuk pemikiran dan teori-teori pendidikan.363 Pendidikan
Islam adalah proses bimbingan dari pendidik yang mengarahkan anak
didiknya pada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal
perbuatan dan terbentuknya pribadi Muslim yang baik.364
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa
pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berlandaskan utama
pada Al-Qur’an dan hadis.Dalam pendidikan Islam mengandung
tujuan untuk menumbuh kembangkan keimanan, ketakwaan dan
membentuk akhlak mulia kepada Allah, sesama manusia maupun
alam semesta. Hal ini sebagai wujud realisasi dari cita-cita ajaran
Islam yang memiliki visi dan misi untuk mensejahterakan kehidupan
manusia agar mencapai kebahagian di dunia maupun akhirat.
Sketsa Problematika Pendidikan Islam
Pendidikan Islam memang memiliki tujuan yang sangat mulia.
Namun tujuan mulia dari pendidikan Islam tersebut dalam realitasnya
belum sepenuhnya dapat terlaksana. Dalam proses pembelajaran
dan pelaksanaan pendidikan Islam, masih banyak ditemui masalahmasalah terkait pendidikan Islam. Hal inilah mendorong untuk
adanya suatu revitalisasi pendidikan Islam. Problematika pendidikan
Islam tersebut diantaranya yaitu :
1. Dikotomik Pendidikan Islam
Islam merupakan agama yang sangat menghargai ilmu, hal
ini dibuktikan dengan pengangkatan derajat bagi orang yang ilmu.
Orang berilmu akan sangat dihargai oleh manusia maupun Allah.
Penghargaan terhadap ilmu, mendorong manusia untuk selalu
363 Achmad Rois, Pendidikan Islam Multikultural Telaah Pemikiran Muhammad Amin Abdullah, Epistemé 8, No.2 (Desember ), 2013.hlm.306
364 Yaya Suryana Dan Rusdiana, Pendidikan Multikultural Sebagai Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa, Bandung: Pustaka Setia, 2015.hlm.320
278
menuntut ilmu. Menuntut ilmu dalam Islam adalah wajib baik.
Kewajiban yang abadi dari sejak dalam buaian hingga ke ilang kubur.
Uthlub al-‘ilma-a min al-mahd-I ila al-lahd-i.(Tuntutlah ilmu dari
sejak dalam ayunan hingga ke liang kubur). Hal ini menunjukkan
bahwa menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban yang abadi,
sepanjang hayat. Konsep tersebut di zaman sekarang sering disebut
dengan pembelajaran seumur hidup (long life education).
Dalam dunia Islam kecintaan terhadap ilmu telah dicontohkan
para ulama terdahulu, puncaknya yaitu ketika masa keemasan Islam.
Zaman kejayaan Islam kala itu menunjukkan semangat para ulama
yang menimba, menekuni dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
umat Islam klasik telah menjadi pemimpin intelektual dunia selama
sekurang-kurangnya empat abad dengan puncaknya pada zaman
Khalifah Harun al-Rasyid dan Khalifah al-Ma’mun yang secara
beruntun memerintah dari tahun 783 sampai 933 M. Pada saat itu
Barat (Eropa Kristen) masih dalam kegelapan mutlak.365
Namun setelah kejayaan Islam kala itu runtuh, kemunduran
umat terasa sampai dengan sekarang ini. Dikotomi menjadi isu
yang sering dibincangkan dan disebut oleh beberapa pakar sebagai
faktor yang memengaruhi kemunduran umat. Dikotomi merupakan
pemisahan ilmu antar agama dengan ilmu umum. Dalam tingkatan
pemisahan yang ekstrim memandang bahwa mempelajari ilmu
dunia adalah kafir. Sehingga banyak umat Islam yang hanya fokus
pada ilmu agama tanpa menyentuh ilmu umum. Akibatnya umat
Islam mengalami suatu keterpurukan dari berbagai aspek di banding
dengan bangsa Barat saat ini.
Akar-akar mula adanya sistem dikotomi dalam pendidikan di
Indonesia sudah terlihat sejak zaman kolonial. Pada masa kolonial
menerapkan suatu pendidikan yang dualistik, pendidikan kolonial dan
sistem pendidikan Islam yang tradisional. Kedua sistem pendidikan
tersebut banyak mempunyai perbedaan yang mendasar, bukan hanya
365 A. Ilyas Ismail, True Islam:Moral Intelektual, Spiritual, Bogor: Mitra Wacana Media, 2013, hlm.122
279
metode, tetapi juga dari segi kurikulum dan tujuannya.366 Di pondok
pesantren siswa atau biasa disebut santri bebas untuk memilih
bidang studi dan guru yang diinginkan. Sistem yang dipergunakan
dua macam, yaitu sorogan dan bandongan. Di pondok pesantren
tidak ada sistem kelas, tidak ada ujian pengontrolan kemajuan santri,
dan tidak ada batas waktu berapa lama santri harus tinggal di pondok
pesantren. Sistem yang dipergunakan lebih menekankan hafalan,
tidak merangsang santri untuk berdiskusi. Cabang-cabang ilmu
yang diajarkan terbatas pada ilmu-ilmu agama dan yang berkaitan
dengannya, seperti fiqih, hadis, bahasa Arab dan sebagainya.
Di lain pihak, Kolonial Belanda mendirikan sekolah-sekolah
sekuler, yang bertujuan untuk mendidik anak-anak priyayi untuk
menjadi juru tulis tingkat rendah dan pemegang buku sebagai
pegawai-pegawai yang dapat membantu majikan-majikan Belanda
dalam tugas di bidang perdagangan, teknik dan administrasi. Jadi
orientasi pendidikan itu hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan
pemerintah Belanda untuk tenaga-tenaga pembantu di kantor. Di
sekolah ini para siswa tidak diperkenalkan sama sekali dengan
pendidikan Islam, sehingga menjadikan corak berfikir dan tingkah
laku lulusan-lulusannya (walaupun pada umumnya beragama Islam)
jauh dari ajaran Islam. Selanjutnya, dengan bergulirnya kebijakan
politik etis, lembaga sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda
tidak hanya dikhususkan untuk orang Belanda atau orang Indonesia
yang berasal dari kalangan priyayi saja, tetapi juga diperuntukkan
bagi seluruh masyarakat Indonesia.367
Apabila melihat sejarah tersebut ternyata efeknya masih
terbawa sampai dengan sekarang. Masih ada dalam benak masyarakat
bahwa agama (Islam) dengan ilmu tidak dapat bersatu padu.
Keduanya dianggap mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah
antara satu dengan lainnya, baik dari segi obyek formal-material,
metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh
366 Nelly Yusra, Muhammadiyah: Gerakan Pembaruan Pendidikan Islam, Potensia: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 4, No. 1, Januari – Juni 2018, hlm.112
367 Nelly Yusra, Muhammadiyah: Gerakan Pembaruan Pendidikan Islam, Potensia: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 4, No. 1, Januari – Juni 2018, hlm.113
280
ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke
institusi penyelenggaranya. 368
Demikianlah keberadaan pendidikan di Indonesia, terlihat
sekali adanya pemisahan atau dikotomi antara ilmu dengan agama.
Seolah-olah keduanya bisa berdiri sendiri-sendiri. Padahal sejatinya
keduanya perlu bersatu padu untuk menghadapi persolan-persoalan
zaman yang terus berkembang secara dinamis.
2. Problematika dalam Manajemen Pendidikan Islam
Pendidikan Islam saat ini masih menyimpan berbagai
permasalahan dari mulai tentang konseptual-teoritis hingga
operasional praktis dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah.
Pengaruh kebijakan pendidikan masa kolonial sampai masa sekarang
masih terasa. Hal ini bisa dilihat dalam pengelolan pendidikan di
Indonesia yang terbagi menjadi dua, pendidikan umum di bawah
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendikbud) dan pendidikan
Islam atau madrasah di bawah pengelolaan Kementerian Agama
(Kemenag). 369
Sekolah-sekolah dengan basis pendidikan Islam masih
dianggap sebelah mata, karena dirasa kurang dapat menjawab
tantangan zaman. Sekolah yang berbasis Islam dipandang hanya
belajar dalam tataran menghafal saja. Hal ini kemudian menjadikan
seseorang akan lebih tertarik mempelajari ilmu umum dengan belajar
di pendidikan umum. Mereka menganggap ilmu umum lebih praktis
dan menjanjikan kebahagian hidup, karena peluang kerja yang lebih
banyak daripada lulusan yang berasal dari pendidikan Islam.
Hal itu tidak terlepas dengan sistem kurikulum pendidikan
dan manajmen pendidikan Islam yang belum begitu jelas. Secara
368 M. Amin Abdullah,Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2012.hlm.92
369 http://guraru.org/guruberbagi/dualisme_pendidikan_nasional_sentralisasi_
kemenag_desentralisasi_kemdikbud/ diakses 7 Desember 2018 pukul 09.15
WIB
281
teori kurikulum maupun manajemen pendidikan Islam telah baik,
namun dalam realita di lapangan dunia pendidikan terlihat beberapa
hal yang bermasalah atau kurang sesuai dengan rumusan teorinya.
Dalam sistem pengajaran pendidikan Islam sering kali hanya bersifat
tradisional-konservatif, tekstual dengan menekankan pembacaan
teks dan kurang memperhatikan realitas sosial kehidupan yang ada.
Selain itu pendidikan juga belum komprehensif mempelajari
ilmu dari segala aspek baik agama maupun ilmu secara umum.
Sehingga menurut Buya Syafii pendidikan Islam model seperti
itu akan membentuk seseorang dengan kepribadian pecah (SpIit
Personality). Proses pengajaran yang bersifat doktrinal tanpa adanya
penggalian lebih dalam ilmu pengetahuan juga mengkibatkan
pendidikan Islam terlihat belum mampu menjawab berbagai
tantangan dan permasalahan zaman yang semakin modern.
3. Problematika Intelektulisme Islam
Saat ini terlihat bahwa pendidikan Islam masih sulit dalam
menelurkan para pemikir Islam yang memiliki gagasan baru,
otentik-produktif dan fungsional dalam menghadapi permasalahan
kehidupan. Gerakan modernis Islam baru mampu menelorkan
intelektual pemamah yang mereproduksi pemikiran-pemikiran
dari luar untuk dibawa masuk ke Indonesia. Ini artinya, pendaratan
dan pembumian gerakan intelektualisme masih mengalami
kemandekan.370
Keberadaan intelektualitas yang masih rendah tersebut
terkadang juga dipengaruhi oleh ketundukan. Ketundukan yang
menganggap bahwa konsep ilmu-ilmu yang berada dalam kitab-kitab
klasik terdahulu adalah suatu yang mutlak benar. Sehingga muncul
anggapan bahwa perkembangan ilmu tidak boleh bertentangan
dengan apa yang sudah ada tersebut. Hal itu menimbulkan lemahnya
perkembangan pengetahuan. Ada pula genggaman erat kaum tua
370 Mohamad Ali, Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif, Profetika,
Jurnal Studi Islam, Vol. 17, No. 2, Desember, 2016, Hlm.9
282
dengan format “kultur museum” yang serba antik.371 Tak jarang
kaum tua ini memandang sebelah mata dan remeh generasi baru yang
sedang mengembangkan ilmunya. Sehinnga tak jarang generasi baru
menjadi tak bergairah untuk mengembangkan ilmu lebih lanjut.
Selain itu terdapat beberapa pemikir yang tak mampu memahami
adanya suatu perbedaan pemikiran. Sehingga menimbulkan terpecahpecahnya Islam sendiri. Perpecahan ini menjadi semakin berbahaya
jika dilandasi kompetisi negatif, yang kemudian menafikan adanya
perbedaan dan menganggap dirinya paling benar.
Keberadaan-keberadaan seperti yang diuraikan di atas
akan menyebabkan semakin sulitnya perkembangan pendidikan
Islam. Sehingga yang terjadi umat Islam hanya berjalan di tempat
(stagnan). umat Islam hanya menanggapi perbedaan pendapat antar
umat sendiri, bukan berusaha berkembang secara progresif untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan guna mengatasi permasalahanpermasalahan kehidupan. Hal ini sangat kontras dibandingkan
pada zaman keemasan Islam yang semangat pengembangan ilmu
pengetahuan sangat tinggi.Para ulama berlomba-lomba untuk
berkarya guna memberikan kehidupan yang lebih baik bagi umat
manusia.
Revitalisasi Pendidikan Islam di Jaman Kontemporer
Mattulada menyatakan bahwa, Revitalisasi adalah suatu upaya
memperlakukan dan menghidupkan kembali suatu kearifan atau
tradisi tertentu. Tradisi tertentu disini dimaksudkan tradisi suatu
kelompok tertentu. Yang memelihara sendi-sendi peradaban untuk
bertahan dalam kehidupannya372. Selanjutnya revitalisasi dalam
dunia pendidikan Islam bermaksud untuk memperlakukan dan
menghidupkan kembali suatu kearifan atau tradisi keilmuan di masa
371 Ahmad Syafii Maarif. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan.2015,hlm.216
372 Sri Hidayati Djoeffa, Revitalisasi Pendidikan Sebagai Paradigma Peningkatan Kualitas Bangsa, Jurnal Mimbar Volume XX No. 2 April – Juni
2004,hlm.227
283
keemasan Islam. Sehingga dapat memajukkan pendidikan Islam di
zaman sekarang. Pendidikan Islam yang akhirnya dapat melahirkan
sosok ilmuwan yang professional dengan landasan etika cahaya AlQur’an.
Dalam menghadapi beberapa permasalahn pendidikan
maka lahirlah percikan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi
permasalahan pendidikan tersebut, sebagaimana berikut ini :
1. Mengatasi Dikotomi Ilmu Pengetahuan dengan Memperkuat
Fondasi Filasafat Sistem Pendidikan
Dalam sebuah artikel, Buya Syafii menjabarkan akar dan
dampak munculnya dualisme dikotomi ilmu dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam dan pandangan hidup umat umat Islam. Menurut
analisisnya, kemunculan dualism dikotomi ilmu di kalangan umat
Islam disebabkan oleh, dan berakar pada, fondasi filosofis yang
rapuh, yang pada urutannya melahirkan pandangan keilmuan yang
dikotomis, di mana ilmu-ilmu umum cenderung dianak-tirikan di
kalangan umat Islam. Padahal, penguasaan dan eksplorasi dunia
memerlukan piranti ilmu-ilmu umum.373
Selanjutnya apabila dilihat dari sejarah fondasi filosofis
tentang sistem pendidikan yang rapuh sebagaimana yang dikatakan
Buya Syafii tersebut bersumber dari adanya salah pemahaman
beberapa orang tentang kewajiban menuntut ilmu dari imam
Ghazali.Menurut Imam Ghazali, kewajiban menuntut ilmu ini
adakalanya berstatus fsardhu ‘ain (kewajiban individual), seperti
keharusan belajar aqidah, ibadah dan hukum-hukum agama, dan
adakalanya berstatus sebagai fardhu kifayah (kewajiban kolektif),
seperti belajar berbagai ilmu pengetahuan, pekerjaan dan industry
yang diperlukan untuk memenuhi kehidupan manusia.374 Apabila
dilihat dari teoritik-epistemologis klasifikasi yang dibuat oleh
al-Ghazali tersebut tepat, namun dalam realitasnya terjadi salah
373 Mohamad Ali, Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii Maarif, Profetika,
Jurnal Studi Islam, Vol. 17, No. 2, Desember, 2016, hlm.7
374 A.Ilyas Ismail, True Islam:Moral Intelektual, Spiritual,Bogor: Mitra Wacana
Media, 2013, hlm.121
284
pemahaman di beberapa kalangan umat Islam.Mereka menganggap
kalsifikasi itu adalah sebuah pemisahan, padahal hal itu sebagai
bentuk kalsifikasi yang berisfat hirarki urutan pengetahuan yang
harus dipelajari. Salah pemahaman dari beberapa orang tersebut
kemudian menimbulkan suatu dikotomi dan berefek pada terjadinya
kemunduran umat, karena umat lebih menyukai mempelajari ilmu
agama dan mengenyampingkan ilmu umum dalam kehidupan.
Padahal apabila dilihat lebih jauh sejatinya secara ontologi
pendidikan Islam tidak mengenal adanya dikotomi. Pendidikan
Islam mengacu pada ajaran dasar Islam yang tidak memilah-milah
antara dunia dan akhirat. Hal ini bisa tercermin dalam doa selamat
dunia akhirat (doa sapu jagat) yang di dalamnya mengandung makna
permohonan keselamatan dunia dan akhirat. Islam sebagai religion
of nature menghindari adanya diotomi antara agama dan sains. Alam
penuh dengan tanda-tanda, pesan-pesan illahi yang menunjukkan
kehadiran kesatuan sistem global. Semakin jauh ilmuwan mendalami
sains, dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic parennis
yang dalam filsafat Islam disebut transendence.375
Manusia hidup di muka bumi tidak hanya sebagai hamba Allah
namun juga sebagai Khalifatullah. Sebagai khalifah di muka bumi
tentu manusia akan terus mengembangkan diri guna menghadapi
persoalan-persoalan kehidupan. Untuk itu antara wahyu dan akal
perlu untuk selalu tersinkronkan, keduanya tidak dibenarkan
terdikotomi dalam pendidikan Islam. Keterhubungan keduanya
sangat perlu dan penting. Dalam dimensi kultural, Nabi mengajarkan
umar agar bebas dari tradisi taklid buta, yakni kecenderungan meniru
adat nenek moyang tanpa menggunakan akal kritis.
Dalam hal di atas Rasulullah mengenalkan tradisi baru bahwa
akal sebagai inti keberagamaan seseorang. Dalam artian selain
tunduk pada aturan Alqur’an dan Hadis, seorang Muslim harus
mempertimbangkan akal atau reasom. Oleh karena itu antara agama
375 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam),Yogyakarta:Gama
Media,2002,hlm.44-45
285
dengan ilmu umum atau sains haruslah saling berhubungan tidak
terpisahkan.
Dalam menanggapi kondisi umat yang mengalami kekrisisan
karena adanya dikotomi ilmu pendidikan Islam, Ahmad Syafii
Maarif memiliki sebuah konsep pemikiran tentang kesatuan ilmu
pengetahuan (The Unity of Knowledge) untuk mengatasi dikotomi
tersebut.376 Konsep ini berbeda dengan konsep sebelumnya yang
diutarakan oleh Al-Faruqi yaitu Islamisasi Pengetahuan (Islamization
of Knowledge). Buya Syafii menghendaki adanya suatu kesatuan
ilmu pengetahuan baik agama maupun umum sebagai jalan untuk
menghadapi praktek pendidikan yang dijalankan dengan masih
melakukan pemisahan antara dua kubu ilmu yang diposisikan
berhadapan secara dikotomis-antagonistis.
Dalam konsep kesatuan ilmu, dijelaskan bahwa seluruh cabang
ilmu pengetahuan sejatinya bertujuan untuk mendekatkan manusia
kepada Allah sebagai sumber tertinggi atas segala hal. Konsep
tersebut menjadi suatu sistem pendidikan yang harus dikembangkan
dengan corak pendidikan yang kokoh/kuat secara spiritual, unggul
secara intelektual, dan anggun secara moral (hikmah) serta
berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis. Hal ini berakar dari citacita Al-Qur’am dalam rangka menciptakan manusia yang beriman,
berilmu dan beramal, secara terampil dengan memintegrasikan
antara 3 komponen yaitu, otak, hati dan tangan.
Konsep kesatuan ilmu pengetahuan tersebut rasanya akan ideal
untuk menghadapi dikotomi ilmu pengetahuan. Sehingga mampu
membentuk manusia yang utuh bukan manusia yang terpecah,
kepribadian ganda (split personality). Sehingga nantinya pendidikan
Islam dapat merubah dan mengarahkan perubahan manusia untuk
dapat mengarungi kehidupan lebih baik. Namun proses tersebut
tentu akan membutuhkan waktu yang tidak cepat (poses panjang).
Selanjutnya terdapat pula tokoh memiliki konsep yang sejalan
376 Ahmad Syafii Maarif. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan, 2015,
hlm.230
286
dengan kesatuan ilmu pengetahuan (The Unity of Knowledge) Tokoh
tersebut yaitu M.Amin Abdullah yang memiliki gagasan integrasi
ilmu pengetahuan. Salah satu langkah awal yang dilakukan yaitu
dengan mentransformasi IAIN menjadi UIN, dengan tujuan agar
terjadi suatu integrasi dan interkoneksi antara hadharat al-nashsh
(budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks), hadharat alilm (sains dan teknologi), dan hadharat al-falsafat (budaya filsafat,
interconecter entities). 377
Proses mentransformasi IAIN menjadi UIN tersebut dilatar
belakangi dari kegelisahan akan perkembangan ilmu di Perguruan
Tinggi Umum maupun Perguruan Tinggi Agama. Perkembangan
dan pertumbuhan ilmu-ilmu sekular sebagai simbol keberhasilan
Perguruan Tinggi Umum yang tercerabut dari Nilai-nilai akar moral
dan etik kehidupan manusia di satu pihak. Sementara di pihak
lainnya, perkembangan dan pertumbuhan Perguruan Tinggi Agama
(Islam) yang hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan teksteks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan
penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan,
menjadikan kedua-duanya mengalami proses pertumbuhan yang
tidak sehat.
Pertumbuhan yang tidak sehat karena pertumbuhannya
bersifat terpisah, terjadi krisis relevansi (tidak dapat memecahkan
banyak persoalan), mengalami kemandekan dan kebuntuan (tertutup
untuk pencarian alternative-alternatif yang lebih mensehaterahkan
manusia), dan penuh bias-bias kepentingan (keagamaan,ras, etnis,
filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban).378
Melihat adanya krisis pertumbuhan ilmu tersebut, kemudian
M. Amin Abdullah dalam bukunya, mendorong adana gerakan
rapprochement (kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang
lain dengan lapang dada). Gerakan ini juga disebut sebagai gerakan
reintegrasi epistemology keilmuan. Bangunan ilmu pengetahuan
377 A.Ilyas Ismail, Ibid., hlm.182
378 M. Amin Abdullah,Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2012.hlm.96-97
287
yang dikotomik antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum
harus diubah menjadi bangunan keilmuan baru yang lebih holistikintegralistik atau paling tidak bersifat komplementer. 379
Kemudian lebih lanjut dalam mengatasi dikotomi ilmu
pengetahuan, M. Amin Abdullah memiliki konsep, “Jaring LabaLaba Keilmuan Teoantroposentris-Integralistik” Teoantroposentris
yang memiliki makna bahwa sumber pengetahuan ada dua
macam yaitu yang berasal dari Tuhan dan berasal dari manusia.
Selanjutnya paradigma keilmuan harus menyatukan bukan sekedar
menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmuilmu holistik-integralistik)380
Jaring Laba-Laba Keilmuan381
Dalam jaring laba-laba keilmuan, diilustrasikan bahwa jarak
pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak
myopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisional
maupun modern.Di samping itu tergambar sosok manusia beragama
(Islam) yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu
379 M.Amin Abdullah, ibid.,hlm.98
380 Ibid., hlm.104
381 Ibid., hlm.107
288
yang menyentuk problem kemanusian dan keagamaan di era modern
dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru
yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu
sosial (social science) dan humaniora (humanities) kontemporer.
Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu
dibarengi landasan etika-moral keagamaan obyektif dan kokoh,
karena keberadaan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dimaknai secara
baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup
(weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu
tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabadikan untuk
kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar
belakang etnisitas, agama, ras maupun golonngan.382
Selain itu juga muncul pandangan interconnected entities
dalam memahami ilmu dan agama., dalam arti masing-masing sadar
akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan manusia, lalu
menjalin kerjasama setidaknya dalam hal yang menyentuh persoalan
pendekatan (approach) dan metode berpikir penelitian (process and
procedure). 383
Selanjutnya Kuntowijoyo dalam menanggapi krisis keilmuan
ini mengeluarkan gagasan “Pengilmuan Islam”. Pengilmuan Islam
disini bermakna bahwa orang Islam harus melihat “realitas melalui
Islam, dan eksistensi Humaniora dalam Al-Qur’an”. Untuk itu adanya
beberapa tindakan untuk mewujudkannya. Pertama yaitu melalui
demistifikasi, yaitu suatu gerakan intelektual untuk menghubungkan
kembali teks dengan konteks. Supaya antara teks dengan konteks ada
koresnpondensi, ada kesinambungan. Dalam hal ini perlu dilakukan
pendekatan sintetik analitik untuk memahami Al-Qur’an secara
komprehensif. Al-Qur’an yang berisi konsep-konsep dan kisah
dengan pernyataan-pernyataan normatif di dalamnya dianalisa dan
dibawa kepada level obyektif bukan subjektif.384
382 Ibid.,hlm.106
383 Ibid.,hlm.371
384 Kuntowijoyo,Islam sebagai Ilmu: Epistemologi,Metodologi, dan Etika, Yogyakarta:Tiara Wacana,2006,hlm.12-16.
289
Obyektifikasi dan keterbukaan sangat diperlukan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Sikap obyektifikasi bermaksud
bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan memperhatikan
kegunaan bagi seluruh umat (rahmatan lil ‘alamin) bukan hanya
untuk Islam saja. 385 Selanjutnya sikap keterbukaan disini berarti
kita tidak menafikan adanya ilmu sekular dimana di dalamnya ada
pula unsur-unsur tertentu yang dapat dipinjam untuk merekonstruksi
pengetahuan Islam. Jadi mengambil apa yang dianggap baik untuk
melakukan perubahan dalam pertumbuhan ilmu pengetahun Islam.
Sehingga dapat memenuhi misi profetik Islam untuk membangun
peradaban yang lebih baik.
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa terdapat usahausaha untuk menghapus dikotomi ilmu pengetahuan. Usaha tersebut
telihat dari adanya suatu konsep penyatuan ilmu pengetahuan yang
bersifat holistik dan komprehensif antara ilmu agama denga ilmu
umum (sains dan teknologi). Kedua ilmu tersebut diintegrasikan dan
salin terkoneksi menjadi kesatuan ilmu yang pada akhirnya dapat
mendorong umat Islam untuk bangkit dan memajukan peradaban
bangsa. Ketiga, langkah pengankatan makna teks yang direalisasikan
dengan kontekstual kehidupan. Sehingga dapat mengatasi
permasalahan yang beragam di zaman kontemporer.
2. Meningkatkan Kualitas Pendidikan dengan Pendekatan
Holistik-Integralistik
Dalam mengatasi permasalahan pendidikan Islam perlu
kerjasama antar berbagai komponen, baik pembuat kebijakan atau
kurikulum sampai dengan pengajar dalam kelas. Guna mengatasi
permasalahan tersebut, setidaknya dapat dilakukan dengan cara
pendekatan hoslitik terhadap pendidikan Islam. Pendekatan holistik
ini berarti suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran
bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitias,
makna, dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat,
385 Ibid.,hlm.46
290
lingkungan alam, dan Nilai-nilai spiritual.386
Apabila dilihat maka pendekatan ini bertujuan untuk
membentuk manusia humanis dengan mengembangan potensi
yang dimiliki secara harmonis baik potensi intelektual, emosional,
fiisik, sosial, estetika, maupun spiritual. Hal ini sebagaiamana yang
dijelaskan Ahmad Syafi’I Ma’arif dari beberapa tulisannya mengenai
kurikulum pendidikan Islam, yang menekankan agar kurikulum
kajian keislaman itu disajikan dengan berprinsip ekuilibruim
(keseimbangan) dalam meramu pilar-pilar peradaban Islam yang
holistik dan komprehensif sebagaimana yang diisyaratkan oleh AlQur’an.
Pendidikan holistik ini memiliki beberapa prinsip utama
yang saling berkaitan. Dalam hal ini, Miller387 mengemukakan
prinsip penyelenggaraan pendidikan holistik, yaitu: keterhubungan
(connectedness);keterbukaan (inclusion); dan keseimbangan
(balance). Keterhubungan, artinya bahwa pendidikan hendaknya
selalu dihubungkan dengan lingkungan fisik, lingkungan alam,
lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Keterbukaan,
dimaksudkan dengannya bahwa pendidikan hendaknya menjangkau
semua anak tanpa kecuali. Semua anak pada hakikatnya berhak
memperoleh pendidikan. Keseimbangan, maksudnya bahwa
pendidikan hendaknya mampu mengembangkan ranah pengetahuan,
sikap, dan keterampilan secara seimbang. Termasuk seimbang
dalam kemampuan intelektual, emosional, fisik, sosial, estetika, dan
spiritual.
Pendidikan holistik dapat dilihat dalam tiga kesatuan dimensi
yang utuh dan tidak boleh dipisahkan, karena antara yang satu dengan
lainnya saling berkaitan. Dengan itu manusia dapat memahami suatu
hal secara menyeluruh, tidak terpecah-pecah yang menimbulkan
kesalahpahaman. Pada akhirnya hal itu bertujuan untuk membentuk
386 Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar Dan Menengah, Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan, Vol. 18.
No. 4. 2012, h 469
387 Herry Widyastono, Ibid., h 470.
291
manusia paripurna (insan kamil).
Selanjutnya ilmu yang integralistik berakar pada agama,
Al-Qur’an yang menjadi wahyu Tuhan, yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan,diri-sendiri, dan lingkungan
(fisik,sosial,budaya). Menjadi petunjuk etika, kebijaksanaan dan
dapat menjadi setidaknya Grand Theory. Kemudian berkembang
pada konsep Teoantroposentrisme dalam artian sumber pengetahuan
dari Tuhan dan yang berasal dari manusia. Muncul pula konsep
dediferensiasi (rujuk kembali) dalam artian penyatuan kembali
agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan
ilmu. Pada akhirnya terbentuklah ilmu integralistik yang berarti
ilmu yang menyatukan (bukan sekedar gabungan) wahyu Tuhan dan
temuan pikiran manusia.
Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu, bagaimana
ilmu diproduksi dan tujuan-tujuan ilmu. Ilmu yang lahir dari induk
agama harus menjadi ilmu yang obyektif. Obyektifikasi ilmu adalah
ilmu dan orang beriman untuk seluruh manusia, tidak hanya untuk
orang beriman saja. Contohnya etika bagi hasil (al-mudharabah),
hal ini terjadi proses obyektifikasi ilmu dari agama menjadi ilmu
ekonomi yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua agama,
non agama atau bahkan anti agama.388 Dari orang beriman untuk
seluruh manusia. Hal yang demikian perlu terus dikembangkan
sebagai bentuk membangun peradaban yang lebih baik.
3. Peningkatan Intelektualisme Islam
Zaman semakin berkembang dengan IPTEK yang semakin
canggih. Hal ini perlu pula dibarengi dengan peningkatan kualitas
pendidikan Islam sehingga dapat melahirkan sosok ilmuwan yang
unggul secara intelektual, anggun secara moral dan terampil dalam
bertindak (hikmah). Hal itu sering disebut dengan profil ideal
intelektual Muslim (ulu al-abab). Ulu al-abab adalah sebutan
388 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta:Tiara Wacana, 2006, hlm.53-56
292
untuk orang-orang yang diberi keistimewaan oleh Allah dan diberi
kebajikan (hikmah).
Ulu al-abab menurut Al-Qur’an memiliki beberapa ciri
diantaranya yaitu389; mereka adalah orang-orang yang mendalami
ilmu pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh, dapat
membedakan yang baik dari yang buruk, bersikap kritis serta
menggunakan ilmu dan pengetahuannya untuk memperbaiki dan
membantu kepentingan umat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
ulu al-abab merupakan ilmuwan plus yang dapat mengintegrasikan
antara IMTAK (Iman dan Takwa) dengan IPTEK (Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi).
Pembentukan manusia ulu al-abab dapat dimulai dengan
hal-hal sederhana melalui ranah pendidikan dasar. Hal ini bisa
dilakukan dengan memberikan kisah teladan kepada anak-anak,
lebih lanjut bukan hanya sekedar kisah tapi juga diberikan contoh
keteladanan nyata dari seorang guru melalui sikap-sikap kecil
yang sederhana, seperti guru memulai pelajaran dengan salam dan
berdoa bersama dahulu. Sikap bersalaman di lingkungan sekolah,
sebagai wujud rasa kekeluargaan sesama manusia. Hal-hal kecil
itu setidaknya akan membentuk manusia-manusia yang santun dan
beradab. Kemudian ditambah dengan pengetahuan-pengetahuan
umum yang akan mampu menjadikan manusia ulu al-abab.
Selanjutnya dalam meningkatkan kualitas lembaga pendidikan
Islam, Ahmad Syafii Maarif memberikan tiga resep kunci. Tiga resep
kunci tersebut yaitu; Pertama, komitmen idealism (dengan semangat
tinggi, komitmen kepada Nilai-nilai idealisme, kekompakan dan nilai
plus lainnya, punya peluang besar untuk memenangkan masa depan,
kapan pun dimana pun). Kedua, sikap akomodatif dan fleksibel
(sikap akomodatif dan fleksibel tapi tidak pernah menjual prinsip
terhadap lingkungan: budaya, birokrasi, ekonomi merupakan cara
yang layak dikembangkan dalam melakukan ekspansi gerakannya)
dan ketiga, membangun jamaah atau kebersamaan (membiasakan
koordinasi, silaturahmi sebagai implementasi gerakan jamaah).
389 A.Ilyas Ismail, Ibid., hlm.236
293
Selain itu dalam hal ini perlu pula prinsip keterbukaan atas
pemikiran-pemikiran kritis kaum muda. Bentuk apresiasi ini
dituliskan Ahmad Syafii Ma’arif dalam buku, “Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusian” bertujuan
untuk menghargai kuncup-kuncup segar yang mulai mekar, karena
hal itu nantinya akan menjadi kafilah perjalanan panjang yang telah
dirintis dan dikembangkan oleh generasi lebih awal.390
Sehingga atas beberapa uraian di atas, nantinya pendidikan
Islam akan dapat membentuk manusia paripurna. Manusia yang
unggul, manusia professional yang dapat memecahkan permasalahanpermasalahan kontemporer dengan berlandaskan cahaya Al-Qur’an.
Penutup
Pendidikan Islam di Indonesia idealnya dapat mencerminkan
tak cita-cita Islam yang bersumber dari Al-Qur’an. Menjadikan
manusia menjadi hamba maupun khalifah di muka bumi.
Pendidikan Islam selayaknya dapat mengurai dan mengatasi
permasalahan kehidupan kotemporer saat ini. Namun apabila
pendidikan Islam dalam pelaksanaanya masih berputar pada
permasalahan sendiri seperti, adanya dikotomi ilmu pengetahuan,
manajemen pendidikan yang belum begitu jelas serta kualitas
output pendidikan yang masih samar-samar dalam menghadapi
tantangan zaman kontemporer, tentu tujuan pendidikan yang
mampu mengatasi permasalahan kontemporer tersebut menjadi
sulit terwujud.
Oleh karena itu perlu adanya revitalisasi pendidikan
Islam guna mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.
Revitalisasi pendidikan dalam tulisan ini bermuara dari pemikiranpemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif tentang pendidikan Islam.
Pemikirannya yang bercorak kritis-religius menjadi dasar dalam
mengatasi pergolakan dan permasalahan pendidikan Islam saat
390 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Dan Kemanusian, Bandung:Mizan, 2015, h 216
294
ini. Revitalisasi pendidikan ini melalui beberapa langkah seperi
kesatuan ilmu pengetahuan, pendekatan holistik dalam pendidikan,
serta memperjelas arah kurikulum ataupun manajemen lembaga
pendidikannya.
295
Daftar Pustaka
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan
Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma
Pendidikan Islam),Yogyakarta:Gama Media,2002
Achmad Rois, Pendidikan Islam Multikultural Telaah Pemikiran
Muhammad Amin Abdullah, Jurnal Epistemé Vol. 8, No.2
2013
Ahmad Syafii Maarif. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan Dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah.
Bandung: Mizan,2015
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Titik Kisar Perjalananku,
Bandung:Mizan,2009
A.Ilyas Ismail, True Islam:Moral Intelektual, Spiritual,Bogor:
Mitra Wacana Media,2013
Herry Widyastono, Muatan Pendidikan Holistik Dalam Kurikulum
Pendidikan Dasar Dan Menengah, Jurnal Pendidikan Dan
Kebudayaan, Vol. 18. No. 4 2012
Http://guraru.org/guru/berbagi/dualisme_pendidikan_nasional_
sentralisasi_kemenag_desentralisasi_kemdikbud/ diakses 7
Desember 2018 pukul 09.15 WIB
Https://www.Indonesia-Investments.Com/Id/Budaya/Agama/
Item69, Agama Di Indonesia, Diakses Kamis,27 September
2018 Pukul 20.08
Kuntowijoyo,Islam sebagai Ilmu: Epistemologi,Metodologi, dan
Etika, Yogyakarta:Tiara Wacana,2006
M. Amin Abdullah,Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2012
Mohamad Ali, 2016, Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Syafii
Maarif, Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 17, No. 2,
296
Desember
Nelly Yusra, Muhammadiyah: Gerakan Pembaruan Pendidikan
Islam, Potensia: Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 4, No. 1,
Januari – Juni 2018
Sri Hidayati Djoeffa, Revitalisasi Pendidikan Sebagai Paradigma
Peningkatan Kualitas Bangsa, Jurnal Mimbar Volume Xx
No. 2 April – Juni 2004
Sukarman, Urgensi Pendidikan Holistik Dalam Membentuk Insan
Kamil, Tarbawi Vol.Ii, No.2(Juli-Desember) 2014
Yaya Suryana Dan Rusdiana, Pendidikan Multikultural Sebagai
Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa,Bandung: Pustaka Setia,
2015
297
SIKAP INTELEKTUAL, SPIRITUALITAS DAN
KEMANUSIAAN AHMAD SYAFII MAARIF
Didi Rahmadi
Tidak banyak tokoh yang berani tampil dalam dua peran
sekaligus yakni sebagai intelektual sekaligus aktivisme seperti
yang ditampilkan Buya sapaan akrab Prof. Ahmad Syafii Maarif.
Sepanjang perjalanan Beliau, dalam berbagai peristiwa yang
berkaitan dengan isu keumatan dan kebangsaan, Buya tidak ragu
untuk menyampaikan kritik serta gagasannya meskipun harus
berhadapan dengan kemapanan cara pandang mayoritas umat Islam.
Tak jarang, pemikiran-pemikiran Buya juga harus berhadapan
dengan penghujatan yang datang dari keluarga terdekatnya yaitu
dari kalangan Muhammadiyah sendiri.Terlahir dari keluarga
Minangkabau yang egalitarian dan religius, Buya merupakan sosok
guru yang teguh dalam berpegang pada prinsip-prinsip moralitas,
dan kesederhanaan.
Dengan usia yang tidak lagi muda, 83 tahun, tidak membuat
Buya berhenti menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk
umat dan Indonesia. Aktivitas intelektual dan aktivismenya telah
berkontribusi banyak bagi gerakan sosial umat dan semangat
keterbukaan akan perbedaan dalam bingkai republik. Sesuatu yang
jarang diambil menjadi pilihan bagi orang-orang yang seangkatan
dengan Buya.Di saat sebagian tokoh bersitungkin dengan posisi
dan jabatan politik, Buya menjadi salah satu yang memilih jalan
sunyi untuk menjadi pendidik bangsa.Sebuah jalan panjang dan
298
melelahkan, namun itulah panggilan jiwa Buya yang masih terus
digeluti sampai saat ini.
Tulisan ini bermaksud merekam kontribusi Buya dalam
bingkai keumatan kebangsaan Indonesia. Saya akan mencoba
mengurai beberapa aspek lewat aspek sikap intelektual, spiritualitas,
dan kemanusiaan Buya. Saya pikir ketiga aspek tersebut juga
sangat pas untuk melihat upaya Buya mengedepankan pandangan
keislamanan yang rahman dan rahim.Terutama memberikan garis
tegas dan pembeda dari perjuangan penegakan moralitas di tengah
miskinnya contoh yang diberikan elit kepada generasi muda.
Selayang Pandang Tentang Buya
Buya lahir pada 31 Mei 1935 di Calau, Sumpur Kudus, Sumatera
Barat.Sumpur Kudus adalah sebuah daerah kecil yang dikenal sebagai
tempat persinggungan gerakan perlawanan, pedagangan dan dakwah
Islam.Sumpur Kudus sendiri dikenal sebagai daerah keramat sampai
sekarang.Sebab, disinilah tempat Syekh Ibrahim dimakamkan.Syekh
Ibrahim sendiri adalah seorang ulama yang berhasil menaklukkan
Sumpur Kudus yang dikenal sebagai daerah parewa (preman) dan
membawa ajaran Islam pertama sekali ke Sumpur Kudur.391 Malah,
selain berkaul yakni tradisi makan berjamba di makam syekh seperti
yang ditulis Buya dalam otobiografinya, ada kebiasaan yang masih
dilakukan baik penduduk setempat maupun para pendatang yakni
tanam ranting sebagai bentuk penghormatan kepada Syekh Ibrahim.
Bagi Buya identifikasi daerah kelahirannya sebagai tempat
keramat mungkin kurang disukai. Penghormatan berlebihan
yangmenjurus kepada perbuatan-perbuatan yang mengabaikan akal
391 Ahmad Syafii Maarif, Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Risau di
Perjalananku. Yogjakarta:
Ombak, 2006, h 23.
299
sehat, akan membuat manusia mudah diperbudak. Menurut Buya,
rendahnya kualitas iman manusia disebabkan, manusia masuk ke
perbudakan-perbudakan spiritual, sehingga abai terhadap metode
berpikir yang kritikal, radikal dan rasional. Buya meminjam ayat AlQur’ansurat al-Hujarat 13 sebagai landasan argumentasinya, yakni
“Sesungguhnya yang termulia di antara kamu di sisi Allah adalah
kamu yang paling taqwa.”392
Buya sendiri merekam dengan baik pengalamannya semasa
kecil.Secara sosial kultural, adat Minangkabau menjadi tradisi
yang melekat kuat dalam ingatan Buya.Keseharian Buya dilakoni
seperti lazimnya anak kampung lainnya, seperti mandi di Batang,
mengembala sapi, melaga ayam, sampai bersawahpun adalah hal
yang lumrah.Namun, Buya sedikit lebih beruntung dibandingkan
teman sebayanya.Buya berasal dari keluarga yang cukup terpandang
dikampungnya.Ayahnya sendiri adalah Datuk yang merupakan
kepala suku dalam adat Minangkabau.Meskipun berasal dari keluarga
yang disegani, masa kecil Buya jauh dari kemewahan malah hidup
susahlah yang akrab dengan keseharian hidup Buya.393
Singkatnya, perjalanan serta pergulatan pemikiran Buya seperti
dirangkum dalam catatan penerbit otobiografi Buya, ada tiga fase
penting yakni, fase belajar awal yang memaksa Buya keluar kampung
untuk belajar di Madrash Mu’allimin Muhammadiyah Lintau.Pada
fase ini, Buya telah tampil sebagai seorang pendakwah pemula yang
militant atas dasar pemahamannya tentang Islam yang beliau dapat
dari Muhammadiyah.Fase kedua, merantau melanjutkan sekolah ke
Madrasah Mu’allimin di Yogjakarta.Dengan segala perjuangan dan
kegigihan Buya menyelesaikan sekolahnya, sekaligus lingkungan
Muhammadiyah yang kental, paham Islamisme Buya juga semakin
kuat ditandai dengan adanya keinginan hadirnya negara Islam.Fase
ketiga, merantau sampai ke Amerika ketika mendapatkan kesempatan
melanjutkan studi sampai ke jenjang Doktoral.Pada titik ini,
kedewasaan intelektual Buya semakin matang.Buya menanggalkan
392 Ibid., h 65.
393 Ibid., h 80.
300
gagasan awalnya yang cenderung fundamental yakni pentingya
negara Islam.Hal ini tidak lepas dari pengaruh guru penting Buya
yaitu Fazlur Rahman seorang Intelektual Islam asal Pakistan yang
mengajar di Universitas Chicago.394
Islam dan Realitas Keindonesiaan
Islam adalah obor kemerdekaan bagi kemajuan kemanusiaan.
Ia perangkat yang bisa digunakan untuk mendorong manusia
menemukan fitrahnya terhadap cinta kebenaran, kebaikan dan
keindahan. Bukan hanya itu, selain mengatur hubungan spiritual
antara Tuhan dan makhluknya, Islam meminta kita untuk tunduk
terhadap aturan moral di setiap aktifitas yang dilakukan.Sebagai wakil
Tuhan maka perbuatan-perbuatan kita secara tidak langsung harus
cerminan Tuhan.Seperti yang diuraikan oleh Fazlur Rahman Guru
Besar Studi Islam di Universitas Chicago dalam bukunya Islam, “AlQur’an adalah ajaran yang terutama berkepentingan untuk membina
sikap moral yang benar bagi tindakan manusia.Tindakan yang benar,
apakah itu tindakan politik, keagamaan ataupun sosial, dipandang
Al-Qur’an sebagai ibadah atau pengabdian kepada Tuhan.”395
Uraian Ali Syariati patut pula kita kutip sebagai bangunan
argument universalitas ajaran Islam yang lebih mementingkan
kemanusiaan di atas segalanya.Ali Syariati mengutarakan AlQur’an membantu manusia untuk melahirkan kesadaran yang
tercerahkan yang bersumber dari cahaya Ilahiah. Kesadaran
tersebut menuntun manusia untuk bertanggung jawab, menyinari,
dan mencintapenggunaan praktis yaitu kekuatan politik. Namun
sayangnya, praktik yang terakhir ini lebih mendomini masyarakat.
Dari dua argument tersebut tergambar bahwa pesan Islam adalah
penegakkan norma- norma yang pada akhirnya menjadi kekuatan
sosial budaya daripada sekedar upaya mewujudkan Islam sebagai
kekuatan politik.396
394 Ibid., hal. xi
395 Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Mizan, 2017) h 363.
396 Ali Shariati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
301
Titik singgung yang sama, juga ada pada Buya. Ahmad Syafii
Maarif menjadi salah satu tokoh intelektual Islam Indonesia yang
secara konsisten memperjuangkan Islam sebagai kekuatan sosial
budaya. Islam dipandang sebagai semangat moral yang dapat menjadi
inspirasi dari Nilai-nilai yang bersifat universal dan melampaui
batas-batas negara. Menurut Buya inti dari agama adalah semangat
moral, sekaligus rahmat bagi alam semesta yang menggiring menuju
persaudaraan universal.Islam harus menjadi payung bersama untuk
mendapatkan rahmat tersebut, sebab itulah nilai utama sosial dalam
Islam. Atas dasar itu, kata Buya, apapun latar belakang seseorang
baik dia sekuler, atau ateis sekalipun akan merasakan rahmat.
Perbedaan harus disikapi dengan cara-cara yang beradab, bukan
dengan cara-cara kekerasan.
Dengan semangat keislaman yang tak pernah padam, Buya
berjuang seolah-olah terinspirasi dengan dahsyatnya getaran puisi
Chairil Anwar yakni hidup seribu tahun dengan pengabdian yang
kekal.Penjiwaan Islam Buya tanpa tedeng aling-aling, bukan kualitas
gincu, yang sanggup bermanis muka terhadap ketidakadilan.Di
kenal sebagai pengagum Mohammad Iqbal serta Hatta, sikap Buya
sebagai tokoh umat adalah tampil dengan ketulusan mencontoh para
pendahulunya.Keprihatinannya terhadap persoalan bangsa menebus
batas-batas kultural yang tidak hanya menyuarakan Islam tetapi telah
masuk ke dalam sisi universalitas kemanusiaan.Tak perduli dengan
ancaman dikucilkan, tugas amar ma’ruf nahi mungkar harus tetap
dijalankan seberapa besarpun resiko yang akan dihadapi oleh Buya.
Islam Qur’ani sebagai simpulan perjalanan spritualitas Buya
telah membangkitkan akal sehat serta hidupnya hati nuraniyang
menjadi bahan bakar gerak kemanusiaannya.Atas pandangan yang
menjunjung Nilai-nilai universalitas, Buya dikenal sebagai tokoh
Islam yang inklusif dan moderat sekaligus tegas.Karena itu, Buya
tidak pernah berkompromi dengan gagasan radikalisme agama.
Menurut Buya, “Pendukung radikalisme agama tampaknya tidak
punya modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan.
1994) hal.30.
302
Napas yang sesak karena berbagai hantaman sejarah yang datang
bertubi-tubi telah menempatkan sebagaian Muslim dalam posisi
bengis tetapi tak berdaya. Oleh sebab itu mereka menempuh jalan
pintas, berupa self defeating (menghancurkan diri sendiri) atas
nama agama yang dipahami dalam suasana jiwa yang sangat rentan
dan tertekan.”397
Filosofi sederhana yang disampaikan oleh Islam adalah
rahmat sekalian alam (rahmatan lil alamin).Konsep inilah yang
dipegang teguh oleh Buya. Bagi Buya, umat harus berhenti
memainkan peran seperti burung alit yang hanya terbang dari
satu kembang ke kembang yang lain, tetapi ambillah peran
sang rajawali yang memiliki ketajaman mata untuk melihat
realitas.398Maksudnya, banyak dari sebagian umat yang terjebak
dalam pikiran terkepung (undersieged), sehingga memandang
penuh curiga.Sebaliknya, peran rajawali artinya, umat harus
mampu memandang setiap permasalahan dengan akal yang jernih
dan ketenangan jiwa.Umat harus menjadi insan yang ulet, pantang
menyerah pada keadaan, sekalipun situasinya sudah sedemikian
ruwet, kritikal, dan berbahaya.Sebagai umat Muhammad, kita
harus mampu menciptakan corak hidup yang santun, ramah, cerah,
terbuka, lapang dada, serta progresif.Sebaliknya, bukan umat yang
pemarah, egois, dan akal pendek.399
Pandangan Buya yang lebih komprehensif tentang Islam
dan negara sesungguhnya tertuang dalam Buku Beliau yang
berjudul Islam dan Pancasila Sebagai Dasar negara dituliskan
kalau pandangan negara Islam baik dalam Al-Qur’an dan Nabi
tidak memberikan konsep tentang negara Islam yang harus diikuti
oleh umat Islam, ia tak lebih merupakan produk sejarah yang
berkembang di zaman Islam abad pertengahan. Selain itu, beberapa
prinsip dasar dari konstitusional dari negara belum sepenuhnya
397 Hasyim Mujadi, Ahmad Syafii Maarif, Didin Hafidhuddin, Refleksi Tiga
kiai, (Jakarta: Republika, 2004) h 1.
398 Hery Sucipto, Senarai Tokoh Muhammadiyah, (Jakarta: Grafindo, 2005) h
210.
399 Ibid., h 209.
303
terjawab, bila hanya merujuk pada praktik Kekhalifahan Quraisy,
maka hanya membawa Islam mundur dan suatu kerja yang siasia.400
Lantas bagaimana realitasnya dengan Islam di Indonesia?Pada
dasarnya corak Islam di Indonesia adalah Islam yang sangat toleran,
dinamis dan terbuka.Meskipun demikian, sepertinya masih sangat
sulit mematrikan corak Islam tersebut di Indonesia.Seolah-olah
ada saja orang-orang yang silih berganti menghapus corak tersebut
dari wajah bangsa ini.Fenomena tersebut bisa kita sebut sebagai
upaya orang-orang frustasi yang mencoba mengambil jalan pintas
menerapkan Islam.Banyak peristiwa kegaduhan di masyarakat
didasarkan pada sikap emosional tak terkontrol, tanpa memikirkan
sebab akibatnya.Semua tindakan dilakukan tanpa nalar terlebih
dahulu.Menurut Buya, Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
aspek kesejarahannya. Bahwa ia berkelindan secara dinamis dengan
lingkungan kebudayaan yang berkembang di Indonesia. Karena sifat
Islam yang ramah, terbuka, inklusif, serta solutif maka tidak pernah
Islam berperan antagonis dengan memusuhi setiap aspek diluar
Islam.Jadi bagi sesiapapun yang berusahamencabut kesejarahan
Islam di Indonesia dengan menawarkan Islam dengan wajah bengis
dan cara-cara kekerasan adalah orang yang sedang tersesat diruang
hampa.401
Tak bisa dinafikkan juga, menguatnya gerakan fundamentalisme
dan ekstrimisme Islam di Indonesia turut menjadi keprihatian Buya.
Gerakan-gerakan tersebut tak segan-segan menghalalkan cara
kekerasan untuk mencapai tujuannya. Kebenaran dan otoritas hukum
Tuhan di monopoli untuk pembenaran perbuatan mereka.Apalagi
cita-cita untuk mendirikan negara Islam sesungguhnya disebagian
kelompok Islam di Indonesia tak benar padam.Bagi Buya, menguatnya
gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia mendapatkan ruang
saat negara juga gagal menjalankan fungsinya. Cita-cita untuk
400 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Bandung: Mizan, 2017) h 275
401 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2009) h 18
304
mewujudkan kemerdekaan, keadilan sosial, serta kesejahteraan
bagi seluruh rakyatnya masih jauh dari yang dibayangkan rakyat.
Akibatnya, dari nyala yang hampir redup tersebut kian membesar
dan menjadi alasan untuk aksi-aksi kekerasan atas nama agama.
Tanpa ragu, pesan gerakan ini yakni kembali menghadirkan
masyarakat Islam yang tunduk terhadap syariat Tuhan. Setiap sendi
kehidupan masyarakat harus bersandarkan kepada perintah-perintah
Tuhan yang tertuang dalam wahyu-Nya dan sunnah Nabi. Maka,
Islam tak boleh tidak absen dalam setiap kehidupan masyarakat.Suatu
tatanan moral masyarakat yang komprehensif dibawah naungan
Qur’an dan hadits.Kaitannya dengan bangkitnya gerakan mendirikan
negara berdasarkan agama,di dalam wawancara tentang Membela
Kebebasan Beragama yang dimuat dalam situs nurcholishmadjid.
org, Buya menegaskan bahwa konsep negara Islam tidak memiliki
landasan di dalam Al-Qur’an dan hadits maupun dalam literatur
klasik kajian Islam. Menurut Buya nama tidaklah penting, yang
paling utama adalah bagaimana merumuskan pemerintahan yang
adil. negara harus hadir sebagai tempat menjunjung tinggi moral,
yang diisi oleh orang-orang yang menjunjung tinggi pula moral.402
Menurut Buya, seharusnya, umat tidak menghabiskan
energi hanya berdebat di ruang dari produk hasil ijtihad tersebut,
umat diharapkan meluaskan cakrawala religius intelektualnya dan
menyibukkan diri mempelajarai Al-Qur’an sebagai pedoman ajaranajaran moral dan etika dalam mewujudkan Islam yang rahmatan
lil alamin. Pesan yang disampaikan Buya di saat ini dirasakan
urgensinya, ditengah menguatnya gerakan Islamisme, Islam harus
hadir dalam model kualitas daripada kuantitas.Setiap sudut aspek
sosial, budaya, politik dan ekonomi terisi dengan Nilai-nilai moral
yang bersumber dari Al-Qur’an. Sebagai contoh, sebagai seorang
Muslimyang yang soleh tentu harus selaras dengan keshalehan
sosial yang tegak atas nilai keadilan, kebenaran, serta terbuka. Selain
itu, perlu juga menghadirkan moral solidaritas lintas batas. Seorang
402 Dikutip dari makalah wawancara oleh portal nurcholishmadjid.org, Membela Kebebasan Beragama, tanpa tahun.
305
Muslimbukan hanya bersaudara dengan Muslim yang lain, tetapi
atas nama kemanusiaan dia bersaudara dengan sesama manusia tak
perduli apa warna kulit, keyakinannya dan bangsanya.403
Persoalan lain yang menjadi perhatian Buya di Indonesia
adalah praktik puritanisme Islam yang kebablasan, sehingga mudah
mengkafirkan kelompok Islam lain yang dianggap tidak sepaham.
Setiap praktik sosial Islam dalam bingkai budaya yang multikultural
tentunya tidak mungkin bebas dari pengaruh lokal, nasional, dan
global.Adalah sesuatu yang alamiah bila ada partikularitas dalam
Islam asalkan doktrin pokoknya berupa tauhid, iman, dan amal
saleh tetap dipegang teguh seorang Muslim, begitu kata Buya. Jadi
munculnya gagasan Islam Nusantara yang dikembangkan oleh NU
dan Islam Berkemajuan oleh Muhammadiyah bukanlah kesalahan
terminologis, selama itu dilakukan dalam konteks yang memiliki
benang merah dalam bersikap dan konsisten dalam pandangan
moral, tanpa tergerus oleh zaman. Hidup menurut Buya, adalah
hidup yang sarat dengan pertarungan ide untuk mencari yang terbaik
dan benar.404
Semangat Spiritualitas
Perjalanan spiritualitas Buya adalah hasil kontemplasi panjang
yang bercorak progresif.Dari hasil perjalanan panjang tersebut,
tersirat bahwa Buya ingin menunjukkan ajaran agama harus mampu
menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks.405Mengutip
403 Op. Cit., h 276.
404 Ibid.,hal.22.
405 Di dalam tulisan Prof. M. Amin Abdullah dalam Prolog buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat yang berjudul “Posisi Intelektual Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Perkembangan Pemikiran Islam Kontemporer” halaman
29, menyebut Buya sebagai pemikir Islam kontemporer yang bercorak
progressive ijtihaditss. Adapun ciri-ciri dari pemikir Muslim progresif-ijtihadis ditulis oleh Abdullah Saed dalam bukunya Islamic Thought yaitu:
(1) adopsi pandangan bahwa beberapa bidang hukum Islam tradisional
perlu perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim saat ini; (2)
cenderung mendukung ijtihad alternative dan metodologi baru dalam ijti-
306
pendapat Prof. M. Amin Abdullah, spiritualitas Buya adalah upaya
menjembatani solusi kenabian dengan setiap masalah sosialkemasyarakatan dan sosial-keagamaan.406Sejalan dengan itu,
Buya sendiri pernah menyebutkan bahwa semangat spiritualitas
bersumber dari semangat Islam Qur’ani.Semangat tersebut adalah
upaya menonjolkan Nilai-nilai universal Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi.Tentunya transformasi pemikiran tersebut tidak lepas dari
pengalamannya selama berada dalam padepokan Chicago di bawah
bimbingan Fazlur Rahman.Buya mengisahkan dalam otobiografinya,
Prof. Fazlur Rahman lah yang telah memperluas cakrawala berpikir
tentang pesan universalisme Al-Qur’an.Oleh karena itu, sikap
spiritualitas Buya lahir dari konsep Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dari
bentuk pemahaman Fazlur Rahman.
Bagi Buya, Islam dipahami sebagai agama yang secara tegas
menawarkan prinsip-prinsip keseimbangan, karena tujuan yang
ingin dicapai adalah prinsip kesamaan, keadilan, persaudaraan, dan
toleransi. Pandangan ini bersumber pada beberapa ayat dalam AlQur’an: al-Hujarat, 49:10, 13 dan 15; an-Nisa, 4:58; an-Nahl, 16:90;
al-Maidah, 5:8; al-Zumar, 39:18; Al-Baqarah, 2:256. Nilai-nilai
tersebut menjadi pedoman bagi Buya.Sekaligus menggambarkan
bahwa terjadinya kemunduran dalam peradaban Islam dikarenakan
memudarnya etik yang bersumber dari Qur’ani.407Dengan demikian,
Al-Qur’an bagi Buya telah memberikan jalan kepada manusia untuk
bersikap atas dasar pilihan bebasnya.Tentunya, sebuah pilihan yang
bertanggunjawab.Sebab, hanya manusia bebaslah yang secara moral
had untuk menjawab persoalan kontemporer; (3)diperlukan juga kombinasi
pemikiran Islam tradisional dengan pemikiran kontemporer terutama yang
datang dari Barat; (4) berkeyakinan perubahan sosial termasuk teknologi
dan keilmuan perlu direfleksikan dalam hukum Islam; (5) tidak dogmatis
terhadap pendekatan tertentu; (6) titik tekan pada keadilan sosial, dan menjunjung Nilai-nilai universalitas kemanusiaan.
406 Ahmad Najib Burhani, Darraz, Fanani, (eds), Muazin Bangsa dari Makkah
Darat: Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif,Prolog: Prof. M. Amin Abdullah, (Jakarta: Serambi, 2015) h 40.
407 Damanhuri, D.,Islam, keindonesiaan, Dan Kemanusiaan (Telaah Pemikiran
Ahmad Syafii Maarif). Al-Banjari, 14(1) (2015), pp.76-84.
307
dapat diminta pertanggungjawabannya.Jadi manusia bukanlah
budak atas keputusannya yang pasrah atas segala konsekuensinya.408
Dengan semangat untuk menghidupkan nilai praksis Islam,
Buya sependapat dengan gagasan Iqbal tentang hadirnya ijtihad
kontemporer. Tidak mudah memang merubah pandangan dari
sebagian ulama yang menganggap final hukum fikih warisan empat
ulama besar dalam tradisi sunni.Karena itu menurut Buya konsep
Iqbal tentang perlunya dibuka kembali pintu ijtihad menjadi penting
agar terjadi relevansi dengan kondisi dunia Islam yang sering gagap
menghadapi persoalan modernisme.409Di samping itu, Buya setuju
dengan pemaknaan ijtihadnyaIqbal yaitu sebagai prinsip gerak
dalam struktur Islam. Pemaknaan ulang ijtihad dapat membawa
dunia Islam lebih dinamis dan cerah menatap masa depan. Selain itu,
akan mendorong kembali semangat kreatifitas berpikir cendekiawan
Muslim. Pekerjaan ijtihad berarti juga sebuah kerja-kerja yang
membutuhkan keterbukaan cara pandang yang luas sekaligus luwes.
Bukan hanya kerja konstruksi tetapi mengandung kerja dekonstruksi
(pembongkaran) terhadap kemapanan cara pandang yang lampau.
Setiap pemikiran yang lapuk akibat perkembangan zaman harus
dikoreksi sekaligus dibangun pengetahuan yang lebih kontekstual.410
Untuk memahami lebih lanjut pergulatan spiritualitas
Buya, maka ada baiknya juga kita merujuk tulisan-tulisan Fazlur
Rahman. Ini sejalan apa yang dikatakan Buya, untuk memahami
utuh pandangannya perlu membaca gagasan Fazlur Rahman.
Dikarenakan kemiripan tersebut, Buya sering disebut sebagai
replikasi Fazlur Rahman.Seperti gagasan modernitas dan bacaan AlQur’an kontemporer Buya dapat ditelusuri lewat dua karya Fazlur
Rahman yakni Major Themes of the Qur’an (1980) dan Islam and
Modernity (1982) yang memiliki sisi polemik dan konstruktif. Di sisi
pertama, gagasan neo-modernis yang dikembangkan Rahman untuk
menjawab kegagalan pendekatan tafsir kelompok fundamentalis
408 Op.Cit.,h 268.
409 Ibid.,h 268
410 Ibid, h 271
308
dan pembaharu.Ia mengkritik pendekatan kaum fundamentalis dan
pembaru modernis yang gagal menemukan metode tafsir Al-Qur’an
yang lebih kokoh. Implikasinya, metode tafsir yang dihasilkan
hanya digunakan untuk kepentingan isu tertentu.Sisi kedua,
dengan pendekatan neo-modernisnya, Rahman mencoba untuk
mengeluarkan sakralitas Al-Qur’an yang tidak terjamah menjadi AlQur’an yang makna dan pesannya dapat dijangkau dalam kehidupan
umat.411
Di buku Fazlur Rahman yang lain, Islam, menuliskan “AlQur’an adalah ajaran yang terutama berkepentingan untuk membina
sikap moral yang benar bagi tindakan manusia. Tindakan yang
benar, apakah itu tindakan politik, keagamaan ataupun sosial,
dipandang Al-Qur’an menekankan tegangan moral dan faktor
psikologis yang membentuk kerangka berpikir yang benar dalam
melandasi tindakan.”Pemikiran Fazlur tentang Islam moral begitu
kuat bagi Buya, sehingga tidak ragu menanggalkan pemikiran Islam
formalistiknya dan mengamini gagasan gurunya yang menekankan
pada Islam sebagai nilai kebajikan sosial (social virtues).412 Semenjak
itu, Buya tidak sungkan-sungkan menunjukkan ajaran-ajaran Islam
yang menekankan pada penegakkan keadilan sosial, menjunjung
tinggi nilai inklusifitas dan pluralisme, serta pembelaannya yang
total kepada kelompok minoritas yang mengalami diskriminasi.413
Hal penting lain yang dipegang kuat oleh Buya yaitu konsep
amar ma’ruf nahi munkar. Landasan melakukan amar ma’ruf nahi
munkar tertuang dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 17, sekaligus
mensejajarkannya dengan perintah menegakkan salat dan sikap tabah
dalam menghadapi cobaan yang merupakan perkara yang besar dan
berat (min ‘azmi ‘l-umur). Bisa dipahami bahwa perintah menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas berat yang harus diemban
oleh setiap Muslim.Karena itu, dibutuhkan kesiapan stamina dan
spiritual yang prima untuk melakukan tugas penting dan strategis
411 Ibid., h 44-45
412 Lihat, Rahman, Islam, h 363
413 Lihat, Burhani dkk.,Muazin, hal.238
309
ini.Dalam praktik sehari-harinya perintah untuk menjalankan tugas
amar ma’ruf nahi munkar ini direinterpretasikan oleh Buya dengan
membawa doktrin ini lebih aplikatif dalam kehidupan sosial politik.
Buya membagi dua substansi dari konsep amar ma’ruf nahi munkar
ini, pertama, substansi doktrin yang berasal dari wahyu adalah
bersifat immutable (Buya mengartikannya sebagai tak lapuk karena
hujan dan tak lekang karena panas), sementara yang kedua, secara
metode dan strategi pelaksanaannya adalah wilayah ijtihad yang
mutable atau bisa lapuk dan lekang karena dinamisnya waktu dengan
kata lain implementasinya diserahkan kepada kondisi material
sosial masyarakatnya. Dengan demikian, menurut Buya doktrin
amar ma’ruf nahi munkar akan bertahan sepanjang zaman sebagai
ideologi. Akan tetapi, untuk mekanismenya dapat diserahkan kepada
negara, organisasi gerakan, masyarakat, maupun individu.414
Konsep amar ma’ruf nahi munkar menurut Buya merupakan
lentera moral yang menerangkan jalan lurus agar tidak bengkok
dan rancu dalam menilai antara baik dan buruk.Diterangkan lagi,
secara moral, rancu dalam menilai baik dan buruk membuat kacau
persepsi manusia tentang benar dan salah yang berujung kepada
tindakan destruktif. Pada akhrinya, masyarakat akankebingungan
memahami realitas masalah agama, politik, sosial, ekonomi, dan
hukum. Dengan itu, Islam menurut Buya telah menjelaskan secara
utuh konsep kebaikan dan keburukan.Sehingga baik menurut agama
pada prinsipnya baik juga untuk akal sehat.Sebaliknya, akal yang
sehat adalah akal yang dibimbing oleh agama.Sinergi antara akal
dan agama dijelaskan oleh Buya dalam formulasi akal membutuhkan
agama sebagai fondasi spiritual-transendental, sedangkan agama
memerlukan akal untuk memahami pesan-pesan kemanusiaannya.
Dengan ungkapan itu, Buya memandang penting hubungan akal dan
agama.Baginya, agama adalah kendali akal agar terarah, sedangkan
akal bagi agama memperkuat makna agama sebagai pembawa
414 Takdi Ali Mukti, dkk.,Membangun Moralitas Bangsa: Bab I: Reinterpretasi dan Sosialisasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Konteks Keagamaan,
oleh: Prof. Ahmad Syafii Maarif, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1998) h 3-4.
310
perubahan.415
Dalam konteks kesejarahan perbuatan amar ma’ruf nahi
munkar adalah jalan sunyi yang penuh dengan aral.Tidak semua
orang sanggung memikul tugas berat menegakkan perintah Tuhan ini.
Realitasnya hanya segelintir orang yang mampu dan konsisten dalam
menjalankan amar ma’ruf nahi munkar tersebut.Ada tiga persoalan
yang berat yang harus diemban seseorang dalam menunaikan amal
ma’ruf nahi munkar: (1) doktrin keesaan Allah (tauhid); (2) prinsip
keadilan sosial-ekonomi-politik berhadapan dengan sistem zhalim
dan penindasan sosial-ekonomi-politik; (3) doktrin eskatologis
berupa iman kepada Hari Akhir. Jadi, Buya menyimpulkan bahwa
tauhid, keadilan, iman kepada Hari Akhir adalah bagian dari ma’ruf,
sedangkan syirik, kezaliman, dan ingkar terhadap Hari Akhir adalah
bagian dari munkar.416
Nafas Kemanusiaan Buya
Gerakan seorang intelektual, tidak hanya sebatas pada
wilayah keilmuan yang ditekuni.Dari filsafat, ilmu pengetahuan,
politik, ekonomi, sosial, budaya, atau setiap bidang akitifitas
manusia merangkul sebuah jejak yang tidak terhapuskan dari peran
campur tangan seorang intelektual yang tercerahkan.417Gramsci
mendefenisikan intelektual sebagai individu yang mempunyai fungsi
organisator yang terlibat langsung dalam masyarakat, bukan hanya
ditandai dengan aktifitas sebagai pemikir dan penulis.Oleh karena
itu, Gramsci mengatakan,“Setiap orang adalah intelektual, namun
tidak semua orang memiliki fungsi intelektual.”418 Dengan kata lain,
seorang intelektual berperan sebagai suluh yang mencerahkan hati dan
gerak masyarakat.
415 Ibid.,h 5.
416 Ibid.,h 12.
417 Ian Shapiro, The Moral Foundations of Politics, (Yale University: Aakar
Books, 2004) hal.7.
418 Roger Simon, Gagasan-gagasan politk Gramsci, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h 141.
311
Begitu juga Buya, di saat usia yang telah delapan dekade, begitu
kontras bila melihat kesibukan Buya yang seperti tak ada habisnya.
Seolah menolak tunduk dengan kondisi fisik, Buya terus menjaga
kegelisahannya seraya berjuang mewujudkan agenda utamanya yakni
urung tangan berbuat sesuatu untuk negeri, sebagai pemikir sekaligus
pemikir.Buya gelisah melihat Indonesia sebagai bangsa yang besar
terancam terkoyak-koyak oleh kepentingan politik sesaat.Anak
bangsa tidak boleh tercerai berai hanya dikarenakan satu anak bangsa
memaksakan kehendak terhadap yang lain. Artinya, bangsa ini harus
satu berdasarkan semangat kebersamaan dalam perbedaan.Karena
itu menurut Buya, keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan harus
menyatu dalam nafas, jiwa, pikiran, dan tindakan.Sebuah warna Islam
yang lebih menonjolkan substansi dibandingkan sekedar bungkusnya
saja.
Kecintaan Buya terhadap bangsa ini begitu tulus, setiap
sumbangsih tak pernah diharapkan kembali kepada Buya dalam bentuk
materi.Bagi Buya, bangsa ini telah memberikan banyak hal dan tidak
mungkin terbayarkan. Sudah selayaknyalah anak yang dIlahirkan
dalam rahim ibu pertiwi membalas jasa tersebut. Apalagi ditengah
menguatnya pragmatisme politik kekinian, ancaman kehilangan
masa depan demokrasi Indonesia begitu besar. Berkali-kali Buya
menegaskan bahwa bangsa ini harus terus menjaga dan merawat akal
sehat agar tidak tergilas roda zaman dan tercabik-cabik seperti nasib
banyak negara Muslim lainnya.Buya berkata:
“Di sini “kita” dan “mereka” harus dilihat dalam perspektif
kemanusiaan yang bulat dan utuh, bukan kemanusiaan
palsu. Realitas di depan kita adalah bahwa kesenjangan
antara negara-negara kaya dalam belahan bumi yang miskin
masing menganga. Dunia Islam yang menguasai sekitar
70% cadangan energy minyak belum cukup siuman untuk
memainkan peran sejarah globalnya, karena rendahnya
kualitas kepemimpinan yang bertengger di puncak piramida
kekuasaan. Situasi ini sangat memprihatinkan, dan orang
yang berpikir jujur dan cerdas pasti menyadarinya,
tetapi belum sanggup berbuat banyak, karena beratnya
312
tantangannya yang ada di depan mata.”419
Sebagai intelektual Islam, pemikiran keislaman Buya begitu
renyah dan aplikatif.Pesan- pesan Buya kontekstual dan mudah.
Tentu tidak sedikit pula yang mempertanyakan autentisitas keilmuan
Buya. Namun, bagi sebagian yang lain itu tidak soal, selama pesanpesan Beliau progressif maka jauh lebih baik dibandingkan doktrin
keagamaan yang tak cecah. Menurut Buya, agama harus berhasil
memberikan solusi kemasyarakatan dan kemanusiaan. Karena itu,
Agama sudah seharusnya menjadi energy perubahan untuk keluar
dari kebodohan, kemiskinan, serta egoisme.Umat harus berubah
kata Buya, salah satunya sikap untuk berani melihat borok diri
sendiri. Tanpa perubahan untuk berani jujur, bersungguh-sungguh,
dan cerdas, ranah keislaman yang otentik, toleran, dan berkualitas
tinggi jauh panggang dari api.
Kegelisahan dan imajinasi kemanusiaan Buya sejalan dengan
konsep masyarakat komunikatif Habermas.Dalam perspektif
Habermas, bayangan masyarakat komunikatif mengedepankan
rasionalitas sebagai paradigmanya yang terbebas dari dominasi.Lebih
jauh, adanya rasio menunjukkan dimensi keberpihakan terhadap
kebebasan dan menolak hidup dalam bentuk dogmatis.Konkritnya,
ada aktivitas dialektis antar anggota masyarakat yang bersifat
dialogal (saling komunikasi) yang tujuannya untuk membina suasana
saling memahami dan mencapai consensus. Hal ini berarti, bentukan
masyarakat Indonesia masa depan tidak lagi hanya didasarkan pada
pandangan dunia atau agama tertentu, melainkan hanya berdasarkan
pada kesepakatan bersama (konsensus) yang tidak terdistorsi oleh
tekanan-tekanan kekuasaan dan dogmatis atau pun ideologi.420
Dengan demikian, Habermas menjelaskan bahwa ada suatu
proses pembelajaran masyarakat yang secara perlahan berkaitan
erat dengan kompetensi individu anggotanya. Kompetensi, menurut
Habermas harus dikembangkan tidak dengan mengisolasi diri atau
419 Lihat, Maarif, Islam dalam Bingkai, hal.311-212
420 Listiyono Santoso, Sunarto, dkk.,Epistemologi Kiri, Epistemologi Jurgen
Habermas, (Yogyakarta: Penerbit Ar-Ruzz, 2003) h 240-243.
313
berkutat dengan pemikiran sendiri, melainkan lewat interaksi sosial
dari berbagai macam lapisan kehidupan masyarakat.Habermas
mencoba membuat konsep tiga tahap perkembangan kompetensi
komunikatif.Pertama, tahap interaksi lewat simbol-simbol, di mana
tuturan dalam sikap dan tindakan masih berada dalam kerangka
kerja komunikasi tunggal yang bersifat memerintah.Kedua, tahap
tuturan yang diturunkan dengan pernyataan-pernyataan, yang untuk
pertama sekali ada pemisahan antara tindakan dan tuturan. Pada
proses ini disebut bahwa telah tercipta sebuah ‘peran sosial’, karena
setiap individu sekaligus bersamaan dapat menyatakan sikap sebagai
pelaku atau pernyataan seorang pengamat, di mana tingkah laku
masing-masing individu membentuk sistem motivasi yang timbal
balik. Ketiga, pada tingkat perbincangan (diskursus) argumentative,
komunikasi sudah menyangkut pencairan klaim-klaim kesahihan
tindakan-tuturan (speech-acts).421
Titik sambung gerak kemanusiaan Buya tergambar jelas bila
dikaitkan dengan usaha pembelaannya terhadap kelompok-kelompok
minoritas.Di bawah payung demokrasi, Buya yakin seyakinnya
setiap kebebasan dan kemerdekaan warga harus hadir dan dilindungi.
Imajinasi keindonesiaan yang dirancang oleh para pendiri bangsa
adalah rumah bagi beragam keyakinan keagamaan, latar belakang
suku.Islam menjadi warna yang kental terhadap berdirinya republik
ini.Selayaknya Islam mengayomi dan menjadi rahmat untuk berbagai
golongan masyarakat Indonesia. Atas rahmat Islam yang tanpa batas,
tidak berhak sekelompok orang memaksakan kehendaknya atas
kelompok lain. Menurut Buya, Al-Qurán sendiri menegaskan Islam
ditegakkan atas Nilai-nilai kemanusiaan. Seperti ayat 256 Surah AlBaqarah yang menegaskan tidak ada paksaan dalam memeluk agama.
Buya mengutip tafsir A. Hasan, untuk memahami makna kandungan
ayat tersebut. Pertama, “Tidak boleh sekali-kali dipaksa seseorang
buat masuk satu agama”; kedua, “Tidak dapat sekali-kali dipaksa
seseorang di dalam urusan iman.” Artinya, pemaksaan keyakinan
terhadap orang lain adalah pembangkangan kepada perintah Allah.422
421 Ibid., h 242.
422 Op.Cit.,h 168.
314
Untuk mewujudkan itu, Buya berupaya untuk menunjukkan
cara-cara beradab sebagai cara untuk menyelesaikan masalah yang
bersumber dari Nilai-nilai keislaman. Meskipun harus mengambil
posisi berseberang, terpaksa Buya ambil untuk menunjukkan
keteguhan terhadap Nilai-nilai kemanusiaan itu.Buya seakan
memahami psikologis masyarakat Indonesia yang belum terbiasa
belajar tentang kedewasaan berpikir (kritikal), evaluative, dan
kreatif.Bila ditemui perbedaan pandangan sering sekali berujung
kepada pemaksaan pendapat kepada orang lain dan berakhir kepada
kekerasan verbal maupun fisik. Meskipun disebut dalam Al-Qur’an
bahwa perbedaan itu rahmat, pada saat pengamalan banyak yang
belum siap dengan perbedaan dan cenderung menganggap sebagai
musuh.Tak jarang pula, akibat memandang perbedaan sebagai musuh
dan lemahnya bertoleransi, terjadi partumpahan darah antar kelompok
agama Muslim dan non-Muslim, malahan lebih banyak konflik yang
terjadi antar sesama kelompok Muslim itu sendiri.423
Keberpihakan pikiran dan sikap Buya terhadap kelompok
minoritas yang terzhalimin sungguh merupakan oase penyegar dahaga
di negeri ini.Salah satu peran krusial yang diambil Buya adalah saat
kasus penodaan Al-Qur’an oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Terlihat begitu gamblangnya pembelaan Buya terhadap Ahok dengan
mengatakan Ahok tidak melakukan pelecehan Al-Qur’an, sebuah
sikap yang keluar dari arus utama banyak ulama dan intelektual
Muslimlainnya. Menurut Buya, dalam sebuah wawancara di laman
online Tempo.co, menegaskan bahwa apa yang diucapkan Ahok adalah
kritikan bagi politisasi ayat saat kampanye Pilkada DKI.424Tentunya
cacian dan fitnah pun akhirnya menyerang Buya termasuk dari rumah
yang membesarkan Beliau, Muhammadiyah.Apa yang menimpa
Buya, tak sedikitpun terlihat perubahan sikap atau gentar dari Buya.
Buya terus pasang badan untuk tetap menunjukkan pembelaannya
dan keberpihakannya kepada kelompok-kelompok yang terzhalimin.
423 Lihat, Maarif, Islam dalam Bingkai, hal.190
424 https://nasional.tempo.co/read/824797/Buya-Syafii-maarif-penjarakan-ahok-selama-400-tahun/full&view=ok(diakses pada 11 Desember 2018
Pkl. 10.44)
315
Begitu juga dengan sikap dan pandangan Buya kepada perempuan.
Jelas bagi Buya kedudukan perempuan dihadapan laki-laki adalah
setara yang membedakannya adalah ‘amal shalih.
Pandangan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dijelaskan
dalam Al-Qur’an Surah Al-Nahl (16):97: Barang siapa beramal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan yang beriman, maka Kami
akan memberikan kepadanya penghidupan yang baik, dan akan Kami
anugerahkan kepada mereka ganjaran yang lebih baik dibandingkan
dengan apa yang pernah mereka lakukan. Oleh sebab itu, Buya
menolak dengan tegas kultur patriarki dengan mengatakan bahwa
budaya patriarki bertolak belakang dengan semangat pembelaan
kepada perempuan dan harus dikubur dalam-dalam.425
Penutup
Kesan yang begitu mendalam saat membaca beberapa karya
Buya Syafii baik berupa buku beliau maupun artikel-artikel tentang
beliau.Setelah membaca sedikit dari karya-karya beliau, tersirat
kesedihan saat suatu ketia beliau akan meninggalkan kita semua.
Semoga Allah memanjangkan usia Beliau. Tersadarkan kalau kita
memang sangat sedikit mempunyai tokoh-tokoh hidup yang konsisten
dengan sikap dan perbuatannya.Buya adalah salah satu yang masih
ada berada ditengah-tengah kita.Buya berusaha membumikan wajah
Islam yang damai, ramah, inklusif, toleran dan kritis.Sehingga,
pemikiran-pemikirannya sungguh menjadi oase ditengah kekeringan
kebijaksanaan dan suri tauladan.
Ada pesan yang perlu kita renungkan bersama-sama sekaligus
berusaha untuk mewujudkannya yaitu bangun dari ketakutan dan
kemalasan intelektual yang telah menjadi penyakit akut umat.
Khususnya di Indonesia, umat Islam kata Buya, harus benar-benar
membangun pondasi intelektual spiritual keagamaan yang kokoh bagi
aktualisasi dan pengembangan potensi. Untuk itulah, Buya berikhtiar
membangun Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang selaras.
425 Lihat, Maarif, Islam dalam Bingkai, h 179.
316
Daftar Pustaka
Burhani, A., Darraz, M. and Fanani, A. (2015). Muazin Bangsa dari
Makkah Darat. 1st ed. Jakarta: Serambi.
Maarif, A. (2006). Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik
Risau di Perjalananku. 1st ed. Yogyakarta: Ombak.
Maarif, A. (2009). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan. 2nd ed. Bandung: Mizan.
Mukti, T. (1998). Membangun Moralitas Bangsa. 1st ed.
Yogyakarta: LPPI UMY.
Muzadi, H., Maarif, A. and Hafidhuddin, D. (2004). Refleksi Tiga
Kiai. 1st ed. Jakarta: Republika.
Rahman, F. (2017). Islam. 1st ed. Bandung: Mizan.
Santoso, L. (2003). Epistemologi Kiri. 1st ed. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Shapiro, I. (2004). The Moral Foundations of Politics. 2nd ed. Yale
University: Aakar Books.
Shariati, A. (1994). Tugas Cendekiawan Muslim. 1st ed. Jakarta:
RajaGrafindo.
Simon, R. (2004). Gagasn-gagasan politik Gramsci. 1st ed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sucipto, H. (2005). Senarai Tokoh Muhammadiyah. 1st ed. Jakarta:
Grafindo.
Tempo. (2018). Buya Syafii Maarif: Penjarakan Ahok Selama
400 Tahun. [online] Available at: https://nasional.tempo.co/
read/824797/Buya-Syafii-maarif-penjarakan-ahok-selama400-tahun/full&view=ok [Accessed 12 Dec. 2018].
317
IBU KEMANUSIAAN: PEMIKIRAN AHMAD SYAFII
MAARIF DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP KAJIAN
FEMINISME ISLAM
Masthuriyah Sa’dan
Pendahuluan
Ahmad Syafii Maarif atau yang biasa di panggil dengan
sebutan “Buya” adalah seorang ulama’, cendekiawan Muslim
Muhammadiyah dan akademisi di Universitas Negeri Yogyakarta,
dan spesifikasi keilmuwan Buya adalah sejarah. Umumnya,
mayoritas masyarakat Indonesia lebih mengenal Buya dengan
sebutan “Bapak Bangsa” setelah Cak Nur (Nurcholish Madjid)
dan Gusdur (Abdurrrahman Wahid) meninggal dunia. Hal itu
karena Buya dalam setiap elemen hidupnya memiliki komitmen
kebangsaan, yang terimplementasi baik pemikiran maupun aksinya
selalu mengedepankan sikap pluralis, kritis dan penuh dengan
kebersahajaan.426 Bahkan, pemikiran Buya tentang Indonesia,
kebudayaan dan kemanusiaan yang tertulis karya-karya Buya lebih
banyak membahas tentang konsep pluralisme, toleransi, demokrasi,
refleksi sejarah dan moral publik para elit politik. Secara umum,
jarang sekali masyarakat Indonesia membaca pemikiran Buya dalam
konsep kesetaraan gender.
Melalui tulisan ini, penulis menarasikan salah satu konsep
pemikiran Buya tentang perempuan yang “Jarang” terdengar di
426 Lihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Syafii_Maarif
318
khalayak pembaca buku-buku Buya. Sebenarnya, salah satu karya
Buya yang berjudul “Titik-Titik Kisar Perjalanan Hidupku” tahun
2006, Buya telah menarasikan konsep kesetaraan gender dalam sikap
dan kehidupan keluarga Buya, akan tetapi konsep tersebut seperti
yang saya sampaikan diawal “jarang” pembaca mendengarnya.
Bahkan Amien Abdullah mengatakan bahwa Buya memahami
betul persoalan humanities kontemporer, tetapi Buya kurang vocal
berbicara isu kesetaraan gender.427 Sepengetahuan penulis, satusatunya buku Buya yang membahas tentang perempuan dari seluruh
karya Buya yang ada hanya satu buku karya Buya, dan itupun
ada di salah satu sub judul di dalam buku tersebut, Buya menulis
dengan sangat ringkas tentang konsep perempuan sebagai ibu
kemanusiaan.428
Berdasarkan hasil literatur, satu-satunya penulis yang
membumikan ide-ide kesetaraan gender Buya dan telah
didokumentasikan dalam bentuk tulisan adalah Neng Dara Affiah.
Affiah menulis dengan rinci bagaimana kegetiran Buya terhadap
persoalan relasi kesetaraan gender yang timpang dalam bentuk
pembagian kerja seksual, poligami, kepemimpinan perempuan,
pendidikan perempuan dan perkawinan perempuan. Salah satu
keberhasilan Affiah adalah berhasil melakukan pemetaan konsep
pemikiran Buya dengan terlebih dahulu membuka arkeologi
terbentuknya pemikiran Buya tentang kesetaraan gender.429Tetapi
Affiah belum sampai membahas pada konsep pemikiran Buya
tentang perempuan sebagai ibu kemanusiaan.
427 Lihat M. Amien Abdullah, Posisi Intelektual Ahmad Syafii Maarif dalam
Konteks Perkembangan Pemikiran Islam Kontemporer, Dalam “Muazin
Bangsa dari Makkah Darat”, Ahmad Najib Burhani, dkk (edit.), Jakarta: Serambi, 2015. h 30.
428 Lihat Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung:Mizan &
Maarif Institute, 2015. h. 177-187.
429 Lihat Neng Dara Affiah, Pengobar Lampu Terang Peradaban: Ahmad Syafii
Maarif dan Perjuangan Kesetaraan Gender dan Keadilan Gender, dalam
“Muazin Bangsa dari Makkah Darat”, Ahmad Najib Burhani, dkk (edit.),
Jakarta: Serambi, 2015. hal.243-244.
319
Amin Abdullah telah melakukan pengklarifikasian pemikiran
Islam model Abdullah Saeed, bahwa dalam konteks pemikiran Islam
kontemporer, pemikiran Buya tentang kemanusiaan masuk dalam
corak pemikiran progresif-ijtihadi.430 Oleh karena itu, penulis ingin
mengkorelasikan antara pemikiran Buya tentang ibu kemanusiaan
dengan keresahatan Buya terhadap persoalan perempuan. Oleh
karena itu, tulisan ini ingin “mencoba” berdialektika antara
keresehatan Buya tentang perempuan dengan konsep pemikiran
Buya tentang ibu kemanusiaan.
Melalui tulisan ini, fokus tulisan saya adalah kajian pemikiran
Buya tentang perempuan sebagai ibu kemanusiaan. Tulisan ini
merupakan kajian pemikiran tokoh, pendekatan perempuan (feminist
perspektive),431 dan menggunakan metode dokumentasi literatur dan
wawancara tokoh. Fokus tulisan ini adalah pada substansi pemikiran
Buya tentang ibu kemanusiaan dan kontribusinya terhadap kajian
gender dalam Islam. Adapun tujuan dari kajian ini adalah sebagaimana
tujuan dari penelitian filsafat adalah sebagai dokumentasi ilmu
pengetahuan432 dan wacana pemikiran Ahmad Syafii Maarif, juga
sebagai tambahan literatur referensi kajian feminisme Islam.
Sekilas Biografi Ahmad Syafii Maarif
“Tak kenal maka tak sayang”, begitulah kata pepatah Indonesia
menjelaskan pentingnya menarasikan kehidupan seorang tokoh
untuk mengetahui pola pemikirannya. adalah buku “Titik-Titik Kisar
Perjalanan Hidupku” yang membuat penulis meneteskan air mata.
430 Lihat M. Amien Abdullah, Posisi Intelektual Ahmad Syafii Maarif……h 40.
431 Maksud dari pendekatan perempuan dalam sebuah penelitian adalah sebuah
penelitian yang berpihak kepada perempuan. Karena umumnya penelitian
itu hasilnya bias gender dan over-generalition, sehingga penekanan terhadap
pendekatan perempuan itu menjadi penting. Lihat Trisakti Handayani & Sugiarti, Konsep dan Tekhnik Penelitian Gender, Malang:UMMPress,2002, h
1.
432 Hal itu karena pengetahuan adalah ilmu, dan ilmu adalah filsafat, lihat Anton
Baker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990,h 15.
320
Membaca kalimat perkalimat, masa ke masa narasi kehidupan Buya
menjadikan penulis tenggelam dalam kondisi sedih bercampur
bangga. Sedih karena Buya lahir dan besar dalam keluarga miskin
yang menurut penulis “kurang” beruntung, tetapi penulis merasa
bangga kepada Buya, karena Buya adalah seorang pribadi yang
tegar dan tanpa putus asa. Jika boleh menyimpulkan, hidupnya Buya
berteman dengan Iman dan Tuhan. Itu bisa dilihat dari rentetan
perjalanan kehidupan Buya yang penuh dengan pilu dan cobaan.
Ahmad Syafii Maarif lahir di Sumpur Kudus Sumatera Barat
pada tanggal 31 Mei 1935. Syafii begitu biasa disapa adalah anak
bungsu dari empat bersaudara seibu seayah, dari tiga ibu tirinya
ia memiliki 15 saudara. Ia adalah anak dari pedagang gambir,
dan ibuknya meninggal dunia ketika Syafii berusia 1.5 tahun. Ia
kemudian diitipkan kepada saudara ibuknya.433
Pendidikan Syafii bermula di Sekolah Rakyat (setara SD) pada
tahun 1942 di Sumpur Kudus, dan sore harinya belajar agama di
Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah dan malamnya belajar mengaji
di surau yang tidak jauh dari lokasi rumahnya. Pada tahun 1950,
Syafii melanjutkan sekolah ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah
di Balai Tangau Lintau hingga duduk di kelas tiga. Kemudian pada
tahun 1953, Syafii meninggalkan kampung halamannya dan merantau
ke pulau Jawa. Di tanah rantauan inilah, ketangguhan hidup Syafii
ditempa, dalam lika-liku perjalanannya ia akhirnya tamat di sekolah
Madrasah Muallimin Yogyakarta pada tahun 1956.
Syafii melanjutkan jenjang kuliah S1 di Universitas
Cokroaminoto Surakarta dan mendapat gelar Sarjana Muda pada
tahun 1964. Kemudian melanjutkan program Doktoral di Fakultas
Keguruan Ilmu Sosial IKIP Yogyakarta dan tamat pada tahun
1968. Dalam cerita hidupnya, Syafii sebelum melanjutkan sekolah
di Muallimin Yogyakarta, ia pernah mengajar bahasa Inggris di
433 Lihat di https://www.viva.co.id/siapa/read/297-ahmad-Syafii-maarif . pembahasan lain mengenai biografi Buya, penulis mengutip dari berbagai bukubuku, utamanya buku-buku terbitan Maarif Institute tentang Ahmad Syafii
Maarfi.
321
Madrasah Muallimin. Kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki
Syafii menjadikan ia memilih melanjutkan studinya ke luar negeri.
Syafii memperoleh gelar M.A pendidikan sejarah pada tahun
1973 di Northern Illinois University. Kemudian Syafii melanjutkan
ke ilmu sejarah di Ohio University Athens Amerika Serikat pada
tahun 1980. Syafii mendapat gelar Ph.D dalam bidang pemikiran
Islam dari University of Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1983
dengan judul disertasi “Islam as the Basis of State: A Study of The
Islamic Political Ideas as Reflected in The Constituent Assembly
Debates in Indonesia”. Selama di Chicago inilah, Syafii terlibat aktif
dan intensif melakukan kajian terhadap Al-Qur’an dengan bimbingan
langsung dari tokoh reformis Islam yakni Fazlur Rahman.
Dalam bidang sosial, Syafii terlibat aktif dalam organisasi
sosial Muhammadiyah. Ketika sekolah di Madrasah Muallimin
Yogyakarta, ia aktif dalam organisasi kepanduan Hizbul Wathan
dan pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Sinar di
bawah lembaga Pers Muallimin Yogyakarta. Pernah menjadi guru
karena permintaan Konsul Muhammadiyah di kampung Pohgading
Kabupaten Lombok Timur NTB. Perjalanan panjang Syafii akhirnya
mencapai puncak keemasan, Syafii mendapat amanah menjadi
wakil ketua pimpinan pusat Muhammadiyah pada tahun 1995-1999
dan kemudian naik menjadi Ketua pimpinan pusat Muhammadiyah
periode 2000-2005 menggantikan Amien Rais yang terjun ke dunia
politik. Tidak hanya aktif di lembaga keagamaan nasional tersebut,
Syafii juga membangun sebuah lembaga sosial dengan tujuan untuk
mendorong proses demokratisasi dan pembangunan tata sosial
yang inklusif, toleran dan pluralis, maka pada tahun 2003 Syafii
bersama dengan teman-teman Muhammadiyah mendirikan Maarif
Institute for Culture and Humanity. Dalam lingkup Internasional,
Syafii Maarif menjadi President World Conference on Religion for
Peace (WCRP) yang berpusat di Amerika.
Syafii Maarif dikenal sebagai bapak bangsa karena sikapnya
yang plural, kritis dan bersahaja dan tidak segan-segan mengkritik
sebuah kekeliruan mesipun yang dikritik itu adalah temannya
sendiri. Karena dedikasi Syafii Maarif terhadap kemanusiaan, ia
322
mendapat beberapa penghargaan, tidak hanya di level nasional
tetapi juga di internasional. Penghargaan yang diraih antara lain
Hamengkubuwono IX award kategori multikulturalisme pada
tahun 2000, Ramon Magsaysay award (dari pemerintah Filipina)
kategori perdamaian dan pemahaman internasional pada tahun
2008, Mpu Pradah Award Kategori Pluralisme pada tahun 2009,
Habibie Award pada tahun 2010, IBF Award kategori tokoh
perbukuan Islam pada tahun 2011, Nabil Award pada tahun 2013,
Cendekiawan berdedikasi harian Kompas pada tahun 2013, dan
UMM award pada tahun 2014.
Telah banyak tulisan pemikiran Syafii Maarif. Salah satu
diantaranya adalah Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009).
Mencari Autentisitas Dalam Kegalauan (2004), Meluruskan Makna
Jihad (2005), Menerobos Kemelut (2005), Menggugah Nurani
Bangsa (2005), Tuhan Menyapa Kita (2006), Gilad Atzmon:
Catatan Kritikal Tentang Palestina dan Masa Depan Zionis (2012),
dan Memoar Seorang Anak Kampung (2013) dan masih banyak
yang lain.
Mengkaji pemikiran tokoh tidak terlepas dari guru-guru yang
memengaruhi latar belakang pemikiran tokoh terbentuk. Dalam hal
ini, Buya Syafii terlibat aktif dalam kajian pemikiran Islam bersama
dengan gurunya Fazlur Rahman. Bahkan Buya Syafii seringkali
menyebut nama Fazlur Rahman dalam setiap kata pengantar di
buku-bukunya. Menurut Buya, Fazlur Rahman adalah pembimbing
utama dalam penyelesaian diserta Buya di Chicago University
Amerika Serikat, juga Fazlur Rahman telah memberikan kunci
penting dalam memahami Al-Qur’an dalam konteks istilah dan
makna yang dikehendaki oleh Kitab Suci sebagai petunjuk bagi
umat manusia.434
434 Lebih jelas lihat tulisan Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai
Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante, Bandung:Mizan,2017, hal:vi
323
Dalam kancah pemikiran Islam kontemporer, Fazlur Rahman435
adalah pemikir Islam yang sangat berpengaruh karena telah
memberikan angin segar terhadap cara membaca Al-Qur’an yang
berbeda dengan mufassir sebelumnya. Dalam salah satu karya Buya.436
Buya mengatakan bahwa Fazlur Rahman menghimbau kepada umat
Muslim untuk menempuh cara berpikir radikal guna menangkap ruh
Al-Qur’an. Corak pemikiran Rahman adalah Al-Qur’an oriented,
corak pemikiran inilah yang membedakan Rahman dengan pemikir
Islam lainnya baik yang klasik maupun yang kontemporer. Sehingga
Rahman mampu merumuskan sebuah metodologi untuk memahami
Al-Qur’an, bahkan Rahman menawarkan suatu metodologi yang
sistematis dan padu dalam memahami Al-Qur’an. Pemikiran Fazlur
Rahman tentang pembacaan kritis Al-Qur’an inilah menurut penulis
yang memengaruhi cara pandang Buya terhadap kajian pemikiran
Islam, terutama cara pandang Buya terhadap posisi dan peran
perempuan dalam kajian feminisme Islam.
435 Fazlur Rahman adalah seorang pemikir Islam kontemporer yang lahir di
Hazara Pakistan pada tanggal 21 September 1919, dan meninggal dunia di
Chicago Amerika pada tanggal 26 Juli 1988. Rahman adalah seorang guru
besar untuk pemikiran Islam di Universitas Chicago, dan menerima medali
Giorgio Levi della Vida yang melambangkan puncak prestasi dalam bidang
studi peradaban Islam dari Gustave E.Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies UCLA Amerika Serikat. Analisa pemikiran Fazlur Rahman lebih
condong kepada persoalan hukum dalam Al-Qur’an. Dalam kajian Rahman,
hukum yang ada sekarang sampai batas waktu tertentu kurang menunjukkan sinaran bukti Al-Qur’an yang terkesan bersifat tertutup. Hal itu karena
pendekatan yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat hukum cenderung
bersifat parsial, terpisah dan atomistik, aspek-aspek keterpaduan ayat kurang
diperhatikan, sehingga rumusan yang dihasilkan tidak mencerminkan rumusan hukum yang komprehensif. Lihat Masthuriyah Sa’dan, Khitan Anak Perempuan, Tradisi & Paham Keagamaan Islam: Analisa Teks Hermeneutika
Fazlur Rahman, dalam Jurnal Buana Gender Vol. 1, No 2 Juli-Desember
2016 IAIN Surakarta Jawa Tengah. h 115-128.
436 Ahmad Syafi’ie Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia,
Bandung:Mizan,1993. h 135.
324
Ahmad Syafii Maarif Membela Perempuan
Seperti yang telah saya sampaikan di awal tulisan ini,
bahwa narasi pemikiran Buya tentang perempuan hanya tertulis
di satu chapter dalam satu buku, yaitu buku “Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan” terbit tahun
2015. Menurut Buya, penulisan tentang perempuan dalam Islam
itu terlambat, karena baru ditulis setelah beberapa tahun terbit
pertama di tahun 2009.437 Penulisan tema perempuan dalam Islam
sebagaimana yang Buya narasikan dengan singkat di bukunya adalah
karena mendapat tanggapan dari sahabat Buya yakni KH. Husein
Muhammad, seorang Kyai yang populer dengan sebutan Kyai
feminis dari Cirebon Jawa Barat. Buya mengakui kelalaian tersebut
dan menulis kembali tanggapan Kyai Husein dalam tulisannya;438
Sayang sekali Buya kelupaan bicara soal feminisme. Meski
telah menyebut nama Fatima Mernissi, Muslimah yang jagoan
feminisme, namun Buya tidak menyinggung pikiran-pikirannya
yang cemerlang tentang feminisme. Konon tidaklah sempurna, jika
diskursus feminisme tidak dilibatkan dalam perbincangan demokrasi,
Hak Asasi Manusia (HAM) dan pluralisme. Memang yang sering
lupa soal ini bukan hanya Buya.
Menanggapi tanggapan Kyai Husein Muhammad, Buya
mulai menjawab bagaimana posisi perempuan dalam Islam. Buya
mencontohkan kondisi perempuan di Afghanistan yang dilarang
menempuh pendidikan tinggi, bahkan perempuan di Arab Saudi
baru-baru ini mendapatkan angin modernisasi berupa dibolehkannya
perempuan mengendarai mobil seorang diri. Menurut Buya,
perempuan di Indonesia lebih maju daripada perempuan di Arab,
karena perempuan di Indonesia bisa sekolah tinggi dan menguasai
perekonomian di pasar. Hanya saja menurut Buya, perspektif
masyarakat Indonesia secara umum melihat perempuan yang bias
437 Hasil wawancara dengan Buya Syafii di Yogyakarta, 10/12/2018.
438 Lihat di tulisan Buya Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung:Mizan & Maarif Institute, 2015. h. 177.
325
gender.439 Dalam artian, masyarakat masih menganggap bahwa
perempuan adalah konco wingking (teman belakang) dalam
tradisi jawa. Pandangan Buya tersebut menurut penulis senada
dengan pandangan Simone de Beauvoir bahwa perempuan adalah
makhluk kedua (the second seks) dalam struktur sosial budaya suatu
masyarakat di seluruh belahan bumi.440
Untuk membangun pemikirannya terhadap kesetaraan gender,
Buya mengawali dengan terlebih dahulu mengkritik pandangan
cendekiawan Indonesia Yunahar Ilyas441 dan Hamka442 tentang
asal usul penciptaan perempuan (Hawa) dari tulang rusuk laki-laki
(Adam). Sebagaimana redaksi haditsnya;
Saling berpesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan,
karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, sesungguhnya
tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atasnya.
Kalau engkau luruskan tulang yang bengkok itu, engkau akan
mematahkannya, (tapi) kalau engkau biarkan, dia akan tetap
bengkok. (HR. Bukhari-Muslim)
439 Hasil wawancara dengan Buya Syafii di Yogyakarta, 10/12/2018
440 Simone de Beauvoir, Second Sex: Kehidupan Perempuan, tej. Nuraini Juliastuti, Yogyakarta: Narasi, 2016. h 361.
441 Prof. Dr. Yunahar Ilyas adalah akademisi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan ulama’ Indonesia dari Muhammadiyah. Ia pernah menjabat sebagai ketua Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) pusat sejak tahun 1986.
Beliau adalah alumni dari Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Su’ud
di Riyadh Arab Saudi pada tahun 1983. Beberapa karya beliau tentang gender antara lain, Feminisme Dalam kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka pelajar tahun 1997. Kemudian Kesetaraan
Gender Dalam Al-Qur’an: Studi Pemikiran Para Mufassir, Yogyakarta: Labda Press, tahun 2006. Lihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Yunahar_Ilyas
442 Hamka adalah nama pena dari nama Abdul Malik Karim Amrullah, ia lahir
di Nagari Sungai, Tanjung Raya, Kabupaten Agam Sumatera Barat tanggal 17 Februari 1908 dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 24 Juli
1981. Hamka adalah seorang wartawan, penulis, pengajar, politikus Masyumi, ketua MUI dan aktif di Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Karya
fenomenal Hamka adalah tafsir al-Azhar dan novel-novel. Lihat di https://
id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_Karim_Amrullah
326
Yunahar Ilyas mengatakan dalam tulisannya bahwa,“Riffat
Hassan menolak penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam dengan
asumsi bahwa penciptaan dari tulang rusuk lebih rendah nilainya
dari penciptaan tanah, padahal asumsi yang demikian sama sekali
tidak ada dasarnya”. Kemudian Buya juga menolak pandangan
mufassir Indonesia Hamka, yang memberikan pandangan terhadap
hadits asal kejadian manusia yang ditolak oleh Riffat Hassan. Hamka
mengatakan “Apabila kita perhatikan bunyi hadits ini dengan
seksama, tidaklah ia dapat dijadikan alasan untuk mengatakan
bahwa perempuan, yakni Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam”.443
Dua pendapat tokoh dari Indonesia inilah yang ditolak oleh Buya.
Buya kemudian membangun argumentasi penolakan penciptaan
Hawa dari tulang rusuk Adam. Menurut analisa penulis, argumentasi
Buya dibangun dengan menggunakan pendekatan sejarah penciptaan
manusia.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Buya adalah dengan
memahami substansi pesan suci Al-Qur’an QS. Al-Nahl (16): 97
tentang konsep egalitarianisme manusia.
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik lakilaki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka
Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan. QS. Al-Nahl (16): 97.
Kemudian QS. Al-Hujurat:13
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
443 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 184.
327
taqwa diantara kamu. QS. Al-Hujurat:13.
Menurut Buya, kedua ayat tersebut mengindikasikan sebuah
fakta bahwa perempuan dan laki-laki yang beramal sholeh tidak ada
perbedaan di hadapan Allah. Kalaupun ada perbedaan, perbedaan
itu hanya karena kualitas keimanan, bukan karena fisik, dan jenis
kelamin. Kemudian ayat kedua menurut Buya mengindikasikan
ajaran egalitarianisme dalam Al-Qur’an bahwa posisi manusia di
hadapan Allah setara baik laki-laki maupun perempuan, karena itu
sejatinya Al-Qur’an menyuruh umat manusia untuk berebut posisi
tertinggi di hadapan Allah dengan cara berlomba-lomba dalam
kebaikan (Faspemerintahanqu al-Khairat), kesungguhan dan
ketulusan untuk mencapai derajad iman yang tinggi karena keduaduanya sama-sama akan mendapatkan penghargaan tanpa adanya
diskriminasi. Menurut Buya, tindakan diskriminasi atas nama gender
kepada perempuan yang dilakukan selama sepanjang sejarah hidup
manusia yang termanifestasi dalam kultur patriarki merupakan
tindakan melawan perintah Al-Qur’an. Karenanya, Buya berpesan
agar kultur patriarki tersebut harus dikubur sekali dan untuk selamalamanya.444
Dalam tulisannya Ruhaini Dzuhayatin, dikatakan bahwa
budaya patriarki terjadi karena dominasi kelompok tertentu terhadap
kelompok yang lain. Dominasi melingkupi dominasi kekuasaan,
ideologi budaya untuk melanggengkan kekuasaan, mengkonstruksi
nilai, norma dan moralitas yang mempertinggi kedudukan pemilik
kuasa dalam struktur sosial budaya. Ironisnya, konstruksi budaya
patriarki yang mapan secara universal dan berjalan selama
berabad-abad lamanya tidak lagi kemudian dipandang sebagai
sebuah ketimpangan sosial, bahkan di klaim sebagai sebuah fakta
kebenaran.445Dalam realitas yang demikian, sepanjang budaya
444 Ibid,.h 179.
445 Lihat Ruhaini Dzuhayatin, Pergulatan pemikiran Feminis Dalam Wacana
Islam, Dalam “Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002, h 10-11
328
patriarki kokoh ditegakkan, maka digaris yang sama kehidupan
perempuan juga berada dalam ketertindasan. Maka benarlah jika
kemudian Buya menganjurkan kepada umat Islam untuk mengubur
budaya patriakhi. Karena disitulah biang persoalan ketidak adilan
perempuan.
Peneliti melihat bahwa arkeologi pemikiran Buya adalah
Riffat Hassan-seorang feminis Muslim dari Lahore-Pakistan yang
ahli Al-Qur’an. Riffat Hassan lahir pada tahun 1943, berasal dari
strata sosial keluarga Muslim Sayyid, memulai pendidikannya
di Cathedral High School di Anglican Missionary School dan St.
Mary’s Colloge di Durham University Inggris pada tahun 1968
dengan mengkaji pemikiran Muhammad Iqbal. Riffat mengajar di
University of Punjab pada tahun 1966-1967, pada tahun 1972 Riffat
pindah kewarganegaraan ke Amerika Serikat bersama saudaranya
dan sekarang menjadi professor religion studies di University of
Loisville Kentucky Amerika Serikat.446Dalam wacana pemikirannya,
Riffat mengusulkan agar diskursus perempuan dalam Islam ditulis
oleh perempuan. Hal itu karena tafsir Al-Qur’an, kajian hadits
dan diskursus fikih selama ini ditulis oleh mufassir, muhaddist
dan mufaqih laki-laki hingga sampai ke ranah ontologi, teologi,
sosiologi, dan eskatologi. 447
Salah satu pemikiran Riffat Hassan yang brilian adalah
penolakannya terhadap pandangan bahwa perempuan berasal dari
tulang rusuk laki-laki. Alasan penolakan Riffat karena hadits yang
dijadikan dalil legitimasi penciptaan perempuan dari tulang rusuk
yang bengkok adalah dari hadits yang berasal dari cerita Yahudi dan
Nasrani yang menyusup ke dalam Islam melalui hadits. Oleh karena
itu, Riffat mengkritisi awal penciptaan manusia dan menuding bahwa
pandangan perempuan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok adalah
adalah awal dari degradasi otonomi perempuan.448 Karenanya, Riffat
446 Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Riffat_Hassan
447 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 181.
448 Riffat Hassan, An Islamic Perspective, Women, Religion and Sexuality,
Jeanne Becher (edit), Philadelphia: Trinity Press International, 1990.
329
menekankan pentingnya menyakini kebenaran substansi hadits
dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai alat pertimbangan kebenaran.
Di kesempatan berbeda, Buya menyampaikan bahwa sejatinya
yang menjadi tolak ukur keadilan kepada perempuan adalah AlQur’an dan bukan hadits maupun pandangan ulama’. Tetapi karena
realitas sosial yang tercermin dalam budaya patriarki landasannya
dari hadits israiliyat (cerita dari umat Yahudi yang diadopsi oleh
Islam kemudian di tetapkan sebagai hadits), dan Buya menolak
tegas hadits israiliyat. Karenanya tugas ulama’ adalah sebagai
penyampai kebenaran. Bahwa hadits tersebut tidak selaras dengan
cita-cita Al-Qur’an. Menurut Buya, ulama’ kini harus mengoreksi
ulang pandangan-pandangan ulama’ klasik agar adil gender dan agar
berpihak kepada perempuan, karena selama ini gema ulama’ pro
perempuan masih terdengar dalam senyap. Padahal menurut Buya,
ulama’ inilah yang dijadikan rujukan keagamaan utama oleh umat
Islam.449
Buya mengusulkan agar diadakan validitas otentisitas teks
hadits, seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Turki melalui
proyek penelitian validitas hadits di Universitas Ankara.450Adalah
Ismail Hakki Unal sebagai kepala departemen hadits kampus tersebut
menyampaikan hasil penelitianya bahwa “Hadits tentang perempuan
lemah iman dan akal adalah tidak sejalan dengan cara bagaimana
Nabi hidup dan juga tidak sejalan dengan Al-Qur’an, karenanya hadits
tersebut tidak dapat diterima”.451Oleh karena itu, Buya memberikan
lampu kuning, agar umat Islam tidak bergantung kepada otoritas
seseorang tentang keshahihan atau kelemahan sebuah hadits. Sehingga
tidak ada lagi istilah bahwa para sahabat Nabi dan para ulama’ telah
berjasa mengumpulkan dan meriwayatkan hadits tanpa ada kritisme
terhadap hadits. Hal itu karena periwayat hadits dan ulama’ adalah
manusia yang memiliki sisi kekurangan dan kelebihan. Karenanya,
Buya menekankan untuk mengkritisi sebuah hadits yang mengandung
449 Hasil wawancara dengan Buya Syafii di Yogyakarta, 10/12/2018
450 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 184.
451 Ibid,,hal.185.
330
unsur-unsur diksriminasi terhadap perempuan.
Jauh sebelum Unal mengumumkan hasil temuanya, Fatima
Mernissi memandang bahwa penyebab kebodohan yang dialami
oleh perempuan dalam Islam adalah karena legitimasi hadits, maka
Mernissi mengkategorikan hadits-hadits yang mendiskriminasikan
perempuan sebagai hadits-hadits misoginis, yaitu hadits yang
mencerminkan streotipe dan subordinasi dan didukung oleh hadits
dari Nabi Muhammad, sehingga dengan adanya hadits misoginis
tersebut, isu keadilan dan pemberdayaan perempuan tidak tersentuh
dalam wacana pergumulan pemikiran Islam.452 Maka Amina Wadud
berfokus kepada tafsir Al-Qur’an, ia berpandangan bahwa kajian
tentang tafsir Al-Qur’an yang berperspektif perempuan selama 14
abad hampir tidak ada dalam wacana pemikiran Islam. Karenanya
ia menawarkan tafsir Al-Qur’an dengan metode tauhid, yaitu tafsir
berbasis keadilan kepada perempuan.453
Jika argumentasi hadits tulang bengkok sebagai pembelaan
Buya kepada perempuan cenderung bercorak Riffat Hassan. Buya
memberikan argumentasi yang bercorak kesejarahan atau melalui
perspektif sejarah Islam. Menurut penulis, disinilah arkeologi
pemikiran Buya yang kedua yang merupakan sejarah Islam awal
era Nabi Muhammad. Pertama, Buya menarasikan kisah Nabi
Muhammad menerima wahyu pertama kali yang ditemani oleh
istrinya Sayyidah Khatijah binti Khuwailid, seorang perempuan yang
berdaya dan mandiri secara ekonomi, dewasa dalam usia dan pikiran,
menginfaqkan seluruh hartanya untuk dakwah dan perkembangan
agama Islam dan selalu di garda depan membela Nabi Muhammad
dari serangan kafir quraisy.454Totalitas perjuangan Khatijah terhadap
Islam dibalas dengan sikap Nabi Muhammad yang tidak berpoligami
selama Khatijah masih hidup. Ironisnya, umat Islam lebih melihat
452 Lihat Fatima Mernissi, Women and Islam, London:Basill Backwell,1991,hal.49
453 Lihat Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender
Dalam Tradisi Tafsir, Abdullah Ali (Terj.), Jakarta:Serambi, 2001, h 14.
454 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 186.
331
kisah hidup Nabi Muhammad sebagai pelaku poligami dengan
banyak istri, daripada kisah hidup Rasul bersama Sayyidah Khatijah.
Contoh bukti nyata dapat dilihat bagaimana banyak laki-laki yang
melakukan poligami dengan istri nomor dua dan kesekian lebih
muda dan lebih cantik dari istri sebelumnya. Inilah kemudian yang
terjadi pergeseran makna poligami dari yang dilakukan oleh Rasul
dengan umat setelahnya.
Eksistensi perempuan seperti sayyidah Khatijah yang berani,
mandiri, tangguh, rendah hati dan mewakafkan seluruh hartanya
untuk dakwah Islam memiliki nilai tersendiri bagi perempuanperempuan Islam pasca wafatnya sayyidah Khatijah. Ironisnya atas
nama agama dan perlindungan, perempuan pasca Nabi Muhammad
tidak mencerminkan sosok perempuan seperti Sayyidah Khatijah
maupun Aisyah. Perempuan Islam kembali dipaksan masuk dan
dininabobokkan oleh janji-janji surga tentang perempuan sholelah
adalah perempuan yang taat dan patuh kepada suami, sholat wajib
di dalam rumah, suara perempuan adalah aurat dan perempuan tidak
boleh menjadi pemimpin, kesemuanya disampaikan oleh laki-laki.
Kedua, Buya menyebut hadits Nabi “”ةاهمالا مدقا تحت ةنجلا
bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.455 Jika dikaitkan
dengan sejarah hidup Nabi Muhammad, salah satu keberhasilan
Nabi Muhammad terhadap kaum perempuan adalah Nabi melarang
penguburan bayi perempuan hidup-hidup di tradisi Arab pra Islam
datang. Kemudian Nabi melarang perempuan dijadikan sebagai
layaknya barang warisan dan barang yang layak diperjual-belikan,
warisan dari suami kepada anak laki-laki untuk diperlakukan
sebagaimana layaknya istrinya sendiri dan boleh di perjual-belikan
kepada laki-laki lain sesuka hati. Memberikan batasan pernikahan
memiliki istri empat karena di tradisi Arab, laki-laki Arab memiliki
banyak istri, dengan puluhan gundik dan ratusan budak perempuan
yang diperjual belikan. Perempuan berhak mendapatkan hak harta
warisan dengan ¼ bagian dari ½ bagian harta warisan saudara lakilaki. Begitu mulianya, Nabi memposisikan perempuan di zaman
455 Hasil wawancara dengan Buya Syafii di Yogyakarta, 10/12/2018
332
yang mana perempuan tidak memiliki nilai kemanusiaan sama
sekali.
Perjuangan kemanusiaan yang dilakukan oleh Nabi bukanlah
tanpa halangan, kaum quraisy bahkan menuduh Nabi sebagai
orang gila dan penyihir. Hanya Sayyidah Khadijah perempuan
satu-satunya yang memberikan Nabi semangat untuk terus
menyampaikan misi Islam yang rahmatan lil ‘alamien. Begitu
mulianya perempuan di mata Nabi, sehingga Nabi mengatakan
dalam salah satu hadits, bahwa surga berada di bawah telapak kaki
ibu. Bahkan di redaksi hadits yang lain, Nabi menjawab bahwa
yang patut dihormati adalah ibu, ibu, ibu dan setelah itu bapak.456
Dari Abi Hurairah r.a berkata: seorang laki-laki datang
kepada Rasulullah Saw., ia berkata: Ya Rasulullah, siapakah
diantara para manusia yang saya hormati?, jawab Rasulullah:
ibumu, kemudian siapa?. Ibumu, kemudian siapa?, ibumu,
kemudian siapa? Bapakmu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak hanya satu hadits yang mengatakan bahwa perempuan
tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, tetapi ada juga hadits
yang mengatakan bahwa perempuan kurang akal dan iman. Haditshadits misoginis tersebut menjadi sebuah pengetahuan bersama
dalam sepanjang sejarah umat Islam bahwa Islam memberikan
legitimasi terhadap perempuan untuk menjadi perempuan cerdas
dengan hak-hak kemanusiaan yang dimiliki. Pada ranah berikutnya,
hadits itulah kemudian yang menjadi norma tidak tertulis terhadap
pelarangan perempuan keluar rumah dan menempuh pendidikan
tinggi seperti yang terjadi di Taliban Afganistan. Dimana Malala
Yousafzai memperjuangkan agar beribu-ribu anak perempuan
Muslim di Taliban di perbolehkan oleh negara untuk sekolah.
Ironisnya, perjuangan tersebut tersendat karena argument teologis
dan nalar patriarki yang digunakan oleh pemerintah Taliban.
456 Dikutip dari tulisan Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan Dalam Islam,
Jakarta:Magawati Institute,2014, h 61-62.
333
Pada kondisi yang demikian Buya mengutip pandangan
Muhammad Iqbal seorang penyair dan filosof terkenal abad 20 dari
Pakistan. Iqbal mengatakan dalam bahasa Urdu bahwa “Mendidik
seorang laki-laki sama artinya mendidik seorang individu, tetapi
pendidikan seorang perempuan sama dengan mendidik seluruh
keluarga”.457Bagi mereka yang sadar dan paham dengan arti
dan makna pendidikan, pendidikan itu sangat penting bagi anak
perempuan. Karena seperti yang dikatakan dalam hadits Nabi “Ibu
adalah sekolah pertama bagi anak-anak”.
Karena perempuan adalah menjadi pendidik pertama bagi
anak-anak, maka perempuan cerdas dan sekolah tinggi adalah
menjadi keharusan. Karena perempuan yang akan melahirkan
generasi-generasi di masa depan, yang mana ketangguhan sebuah
bangsa dapat dilihat dari ketangguhan pemudanya. Tetapi realita di
negara Arab masih terkungkung dengan dogma yang menganggap
perempuan sebagai bengkok dan kurang akal. Padahal pendidikan
adalah hak asasi setiap anak manusia, dan menghormati perempuan
adalah sebuah kemulyaan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad;458
Dari Mughirah bin Syu’bah berkata dari Nabi “Sesungguhnya
Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada ibu,
menolak untuk memberikan hak orang lain dan menuntut apa
yang bukan haknya, serta mengubur anak perempuan hiduphidup….” (HR. Bukhari-Muslim)
Meski hadits Nabi tentang menghormati perempuan dengan
memenuhi hak-haknya, dan pernyataan Al-Qur’an mengenai
konsep kesetaraan manusia di hadapan Allah. Tetapi realita yang
ada masih banyak kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan,
seperti perkosaaan, kekerasan seksual, pelecahan seksual dan
pembatasan hak-hak perempuan dalam ranah publik. Kondisi
457 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 178.
458 Dikutip dari Nurhayati, Perbudakan Zaman Modern: Perdagangan Orang
Dalam Perspektif Ulama’, Medan:Perdana Publishing,2016, h 112.
334
demikian inilah yang menjadikan Buya memiliki sebuah pandangan
yang menurut penulis unik dan menjadi sebuah konsep pemikiran
bahwa perempuan adalah “Ibu Kemanusiaan”.
Makna Ibu Kemanusiaan
Konsep ibu kemanusiaan tidak bisa dipisah dengan konsep
Buya dalam melihat manusia dan kemanusiaan. Buya seringkali
mengatakan bahwa “Melihat (perempuan) sejatinya harus melihat
dengan perspektif kemanusiaan yang bulat dan utuh, dan bukan
kemanusiaan yang lonjong dan terbelah”.459 Melihat fenomena
sekarang, apa yang dikatakan oleh Buya itu menjadi benar adanya.
Bagaimana banyak orang melihat kasus permpuan sebagai korban
tidak sebagai korban yang harus dilindungi dan dibela melainkan
korban menjadi yang dipersalahkan dan pelaku kekerasan mendapat
promosi jabatan. Sungguh ironi kemanusiaan bangsa ini. Tetapi
begitulah realitas yang ada.
Padahal jika mengkaitkan konsep kesetaraan dalam AlQur’an QS. Al-Hujurat (49):13, Buya memahami bahwa bumi
disediakan oleh Allah untuk seluruh makhluk, tidak hanya untuk
spesies manusia (berjenis kelamin laki-laki), karena manusia yang
beradab pastilah bersikap toleran terhadap adanya perbedaan,
apapun corak perbedaan tersebut. Tetapi dalam kenyataan empiris,
idealisme itu seringkali dirusak oleh prilaku manusia yang ingin
memonopoli kebenaran atas nama agama, ideologi atau atas nama
apa saja.460Dari pemahaman Buya tersebut dapat diketahui, bahwa
meskipun perbedaan itu sebagai sebuah realitas alam, bahkan Kitab
Suci Al-Qur’an juga memberikan tujuan tentang realitas perbedaan
untuk saling mengenal, tetapi seringkali “Manusia” mengingkari
realitas. Sehingga yang terjadi adalah dominasi dan diskriminasi.
459 Ahmad Syafii Maarif, Fikih kebhinekaan: Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan dan Kepemimpinan Non Muslim, Wawan Gunawan
Abdul Wahid dkk (edit.), Bandung: Mizan, 2015, h 21.
460 Dikutip dari tulisan Buya, ibid,.h 27.
335
Pada konteks diskriminasi gender, perempuan menjadi
kelompok marginal yang acapkali berada di posisi “korban”.
Seperti yang telah disampaikan diatas, bahwa teks “hadits” yang
mengatakan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk yang
bengkok dan perempuan kurang akal, menjadi salah satu “penyebab”
kokohnya budaya patriarki yang melanggengkan kekerasan terhadap
perempuan. Kondisi yang demikian inilah Buya hadir. Dalam
tulisannya, Buya mengatakan bahwa “Saya tidak menerima jika
perempuan adalah bengkok, perempuan adalah jenis ibu kita, dan
bahkan ibu kemanusiaan seluruhnya, jika perempuan diciptakan
bengkok, maka alangkah sialnya ibu kemanusiaan ini”.461
Menurut penulis pandangan Buya yang demikian lahir karena
secara manusiawi, Buya lahir dari rahim seorang perempuan,
meminum air susu ibu (ASI) kepada perempuan, dibesarkan
oleh perempuan, dan memiliki pasangan hidup perempuan yang
menemaninya hingga di usia senja. Karenanya wajar saja jika
keberpihakan Buya terhadap kelompok perempuan kental dalam
wacana kemanusiaan.
Buya sendiri memiliki pemahaman lain tentang makna ibu
kemanusiaan. Menurut Buya:
“Ibu kemanusiaan dalam hal ini perempuan terbagi menjadi
dua jenis. Jenis pertama sebagai perempuan biologis, dalam
arti perempuan bisa mengandung, melahirkan, menyusui dan
merawat anak lebih dekat. Jenis kedua adalah perempuan
spiritual, perempuan selalu dikaitkan dengan sifa-sifat feminine
seperti lembut, penuh kasih sayang, empati dan simpati.”462
Pengkategorian perempuan dengan dua jenis bagian, menurut
penulis inilah yang menjadi ciri khas pandangan Buya terhadap
461 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan……. H 184.
462 Hasil wawancara dengan Buya Ahmad Syafii Maarif di Yogyakarta,
10/12/2018
336
perempuan. Buya melihat perempuan secara holistik dengan dua sisi
pandangan sekaligus yaitu sisi biologis dan sisi spriritual.
Perempuan biologis memiliki arti bahwa perempuan sejak lahir
telah dianugerahi oleh Allah fisik yang berbeda dengan laki-laki.
Dalam konteks kajian seks, yaitu konsep tentang pembedaan jenis
kelamin manusia berdasarkan faktor-faktor biologis.463Dipahami
bahwa perempuan memiliki rahim sehingga bisa mengandung,
perempuan memiliki indung telur sehingga setiap bulan keluar darah
haid atau menstruasi, perempuan memiliki vagina dan klitoris dan
perempuan memiliki payudara yang bisa mengeluarkan air susu
sehingga bisa menyusui. Perbedaan seks perempuan dan laki-laki
bersifat fitrah, dan merupakan pemberian (given) Tuhan yang tidak
bisa dipertukarkan dengan siapapun.
Perempuan secara spiritual diartikan oleh Buya sebagai sifatsifat feminin yang “selalu” melekat pada diri perempuan seperti
lemah lembut, penuh kasih sayang, penyabar, santun dan lain
sebagainya. Pengkategorian Buya terhadap perempuan dari sisi
spiritual menurut penulis “hanya” bisa dipahami melalui pendekatan
tasawuf. Karena spiritualitas adalah ilmu esotrik Islam dan berada di
wilayah pengakajian ilmu tasawuf.
Dalam konteks tasawuf, berdasarkan kajian literature Islam
klasik Persia-Arab-Turki yang dilakukan oleh Annemarie Schimmelseorang orientalis asal Jerman (1922-2003). Menurut Schimmel,
tafsir Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah (2):228) dan hadits Nabi (tulang
rusuk, sujud kepada suami, menjadi istri) dan ahli hukum Islam-fikih
(warisan, perceraian, perkawinan) hakikatnya telah merendahkan
perempuan dan melakukan pemangkasan terhadap hak asasi
perempuan sehingga perempuan dibiarkan berada dalam kebodohan,
padahal ada satu wilayah yang benar-benar perempuan menikmati
hak yang sama sebagai manusia yaitu tasawuf.464
463 Lihat Musdah Mulia, Mengupas Seksualitas:Mengerti Arti, Fungsi dan
problematika Seksual Manusia Era Kita, Jakarta:Serambi,2015. hal. 04.
464 Lihat, Annemarie Schimmel, My Soul is a Women: Aspek Feminin Dalam
Spiritualitas Islam, Bandung:Mizan,2017. H 48.
337
Maulana Jalaludin Rumi seorang penyair sufi dari Konya Turki
(1207-1273 M) dalam karyanya Matsnawi menulis sebuah syair
“(karena) kelembutan ibu berasal dari Tuhan, merupakan kewajiban
suci dan tugas mulia bagi kita untuk berbakti kepadanya”. Kemudian
Ibn ‘Arabi seorang sufi dan filosof dari Andalusia Spanyol (11651240 M) menyebut ibu kandungnya sebagai ibu biologis dan gurugurunya yakni Fatimah binti Al-Mutsannah dari Sevilla, Syams dari
Sevilla, Sayyidah Nizam dari Persia dan Sayyidah Zainab al-Qal’iyah
dari Makkah, sebagai ibu spiritual. Schimmel menulis bahwa “Ibu
biologis Ibn ‘Arabi pun mengunjungi dan memuliakan “Ibu Spiritual”
putranya yakni Fatimah binti Al-Mutsannah adalah suatu kenyataan
yang tercatat dalam biografi tokoh besar Andalusia”.465 Disini,
penulis menemukan titik kesamaan pandangan pemikiran tentang
ibu biologis dan ibu spiritual antara yang disampaikan oleh Buya
dengan yang ditulis oleh Ibn ‘Arabi. Bahwa ibu yang melahirkan dan
guru sufi perempuan adalah ibu biologis dan sekaligus ibu spiritual.
Kontribusi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Terhadap Kajian
Feminisme Islam
Penulis menemukan bahwa pembelaan Buya terhadap
perempuan dalam konteks hadits tulang rusuk yang bengkok
menggunakan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan
sejarah Islam klasik. Kemudian yang kedua merupakan pendekatan
dan analisa pemikiran yang dilakukan oleh Riffat Hassan, dan posisi
Buya menurut penulis “melanjutkan” apa yang telah ditulis oleh
Riffat Hassan. Meski demikian, pembelaan Buya tersebut memiliki
pengaruh besar kepada perkembangan kajian feminisme dalam Islam.
Pengaruhnya adalah dalam hal pengecekan kembali sand-sanad
hadits yang misoginis dan menggunakan Al-Qur’an sebagai tolak
ukur interpretasi hadits. Sehingga, mengutip bahasa KH. Faqihuddin
Abdul Qadir, ada ketersalingan antara teks Al-Qur’an, teks hadits dan
konteks.
465 Ibid,.h 145.
338
Sebagai tokoh pluralisme, menurut penulis pemikiran Buya
terhadap konsep ibu kemanusiaan merupakan sesuatu yang baru
diwacanakan dalam lingkup cendekiawan Muslim laki-laki di
Indonesia. Karena diakui atau tidak, seringkali wacana pemikiran
tasawuf hanya berhenti pada tataran konsep di ruang-ruang kuliah
dan dikusi tasawuf. Namun jarang sekali untuk tidak mengatakan
tidak ada tokoh yang menurunkan konsep tasawuf ke ruang-ruang
sosial atau istilahnya membumikan konsep ibu kemanusiaan.
Apalagi Buya dalam konsep tersebut, menggunakan pendekatan
tasawuf Ibn ‘Arabi dan Rumi. Menurut penulis, membela perempuan
dalam wacana feminisme dengan menggunakan pendekatan tasawuf
merupakan pendekatan yang masih “baru” dalam kajian feminisme
Islam kontemporer.
Adalah Sachiko Murata466 yang menemukan polaritas atau
ketersalingan sifat feminin dan maskulin dengan konsep Taoisme
yaitu Yin dan Yang. Murata menemukan kesamaan konsep dalam
Islam yang terbagi dalam pembagian Nama-nama Tuhan “Asmaul
Husna” yang terdiri dari 99 nama, dengan pembagian nama-nama
keindahan (jamal) dan nama-nama keagungan (jalal). Bahwa kualitas
Yin identik dengan nama-nama keindahan seperti ghofur (pemaaf),
lutf (lembut), rahmah (kasih) dan lain sebagainya. Sedangkan
kualitas Yang identik dengan nama-nama keagungan seperti aziz
(agung), kabir (besar) jabbar dan lain sebagainya. Keberhasilan
Murata dalam kajiannya adalah membuktikan bahwa sifat feminin
dan sifat maskulin pada tataran manusia memiliki sisi-sisi kelebihan,
yaitu positif dan negatif. Kedua-duanya saling melengkapi seperti
Yin dan Yang, Jamal dan Jalal, feminin dan maskulin, perempuan
dan laki-laki. Kelengkapan dualitas polaritas dalam satu kesatuan
466 Sachiko Murata lahir pada tahun 1943. Pendidikanya dimulai di Chiba University di jepang, kemudian di S3 University of Tehran di Iran dengan mengambil jurusan Hukum Islam Fiqih literatur bahasa Persia. Ia adalah professor agama dan Asia studies di Stony Brook University Amerika dan mengajar
tentang Islam, Confucianism, Taoism dan Buddhism. Karya fenomenal Murata adalah The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationships in Islamic Thought. Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Sachiko_Murata
339
tersebut akan tercipta sifat insan kamil (manusia paripurna),467
seperti yang tercermin pada diri manusia dalam konsep tasawuf.
Penulis menemukan titik kesamaan konsep “ibu kemanusiaan”
pemikiran Buya dengan konsep polaritas-dualitas-kualitas namanama Tuhan dari Murata. Bahwa sifat-sifat feminin seperti
penyayang, lembut, perhatian dan lain sebagainya selalu dilekatkan
kepada pribadi perempuan baik sebagai ibu biologis maupun ibu
spiritual. Akan tetapi, jika berpedoman pada konsep pemikiran
Murata, Buya Syafii lebih “melihat” perempuan dari sifat-sifat
feminin yang melekat, dan “melupakan” sifat-sifat maskulin yang
dalam konstruksi sosial diasumsikan identik kepada laki-laki.
Padahal sifat feminin dan maskulin bisa dimiliki oleh laki-laki dan
bisa perempuan. Mengutip pandangan Murata, bahwa kedua sifat
tersebut saling melengkapi dalam kehidupan manusia dan alam
semesta, dan tidak ada kepemilikan sifat mutlak di salah satunya.
Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis akan mengutip
syair Maulana Jalaluddin Rumi dalam Kitab Mastnawi, IV,2923.
Menurut penulis, syair tersebut menjadi bukti, bahwa perempuan
sebagai ibu kemanusiaan, adalah tempat “berlindung” dari segala
macam persoalan kehidupan. Karena tempat berlindung, maka tugas
masyarakat, negara dan tokoh agama “selayaknya” memberikan
pelayanan yang baik kepada perempuan, baik pelayanan pendidikan,
kesehatan, keselamatan dan tafsir agama yang ramah perempuan.
Rumi mengatakan “Jika Tuhan adalah tempat berlindung bagi umat
manusia, maka Ibu adalah tempat berlindung bagi anak-anaknya”.
467 Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender Dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah
(terj.), Bandung:Mizan,1996.
340
Daftar Pustaka
Simone de Beauvoir, Second Sex: Kehidupan Perempuan, tej.
Nuraini Juliastuti, Yogyakarta: Narasi, 2016.
Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan Tentang Relasi
Gender Dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Rahmani Astuti
& M.S. Nasrullah (terj.), Bandung:Mizan,1996.
Riffat Hassan, An Islamic Perspective, Women, Religion and
Sexuality, Jeanne Becher (edit), Philadelphia: Trinity Press
International, 1990.
Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan
Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir, Abdullah Ali (Terj.),
Jakarta:Serambi, 2001.
Annemarie Schimmel, My Soul is a Women: Aspek Feminin Dalam
Spiritualitas Islam, Bandung:Mizan,2017.
Neng Dara Affiah, Pengobar Lampu Terang Peradaban: Ahmad
Syafii Maarif dan Perjuangan Kesetaraan Gender dan
Keadilan Gender, dalam buku “Muazin Bangsa dari Makkah
Darat”, Ahmad Najib Burhani, dkk (edit.), Jakarta: Serambi,
2015.
M. Amien Abdullah, Posisi Intelektual Ahmad Syafii Maarif dalam
Konteks Perkembangan Pemikiran Islam Kontemporer,
Dalam “Muazin Bangsa dari Makkah Darat”, Ahmad Najib
Burhani, dkk (edit.), Jakarta: Serambi, 2015.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah,
Bandung:Mizan & Maarif Institute, 2015.
Ahmad Syafi’ie Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di
Indonesia, Bandung: Mizan,1993.
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar
Negara: Studi Tentang Perdebatan Dalam Konstituante,
341
Bandung:Mizan,2017.
Ahmad Syafii Maarif, Fikih kebhinekaan: Pandangan Islam
Indonesia Tentang Umat, Kewargaan dan Kepemimpinan
Non Muslim, Wawan Gunawan Abdul Wahid dkk (edit.),
Bandung: Mizan, 2015.
Anton Baker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Trisakti Handayani & Sugiarti, Konsep dan Tekhnik Penelitian
Gender, Malang:UMMPress,2002.
Musdah Mulia, Mengupas Seksualitas: Mengerti Arti,
Fungsi dan problematika Seksual Manusia Era Kita,
Jakarta:Serambi,2015.
Nurhayati, Perbudakan Zaman Modern: Perdagangan Orang
Dalam Perspektif Ulama’, Medan:Perdana Publishing,2016.
Masthuriyah Sa’dan, Khitan Anak Perempuan, Tradisi & Paham
Keagamaan Islam: Analisa Teks Hermeneutika Fazlur
Rahman, dalam Jurnal Buana Gender Vol. 1, No 2 JuliDesember 2016 IAIN Surakarta Jawa Tengah.
Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan Dalam Islam,
Jakarta:Magawati Institute,2014.
Fatima Mernissi, Women and Islam, London:Basill Backwell,1991.
Media online
https://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Syafii_Maarif
https://id.wikipedia.org/wiki/Yunahar_Ilyas
https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_Karim_Amrullah
https://en.wikipedia.org/wiki/Riffat_Hassan
342
MEMAHAMI ISLAM DAN INDONESIA DALAM BALUTAN
KEMANUSIAAN: PEMIKIRAN BUYA SYAFII MAARIF
Iqbal Suliansyah
Pendahuluan
Lahir 83 tahun silam, tepatnya 31 Mei 1935, tokoh bangsa
bernama Ahmad Syafii Maarif merupakan intelektual Muslim
yang senantiasa ditempatkan sebagai tokoh toleran, plural bahkan
moderat. Pernah menjabat Ketua Umum salah satu organisasi
Islam besar di Indonesia yaitu Muhammadiyah periode 19982005 dikenal sebagi tokoh yang mewakafkan hidupnya berjuang
menegakkan visi keislaman dalam bingkai ke Indonesiaan. Presiden
World Conference on Religion for Peace (WCRP) ini selalu menjadi
pelopor dalam berbagai hal yang berkaitan dengan hak-hak dan
kebebasan beragama. Terkait kemanusiaan Buya Syafii Maarif serius
menjadi bagian terdepan membela kaum atau kelompok minoritas
yang mendapat perlawanan dari kelompok intoleran.
Usia yang tidak lagi muda, bukan alasan bagi Ahmad Syafii
Maarif berhenti berkarya, melalui “Maarif Institute For Culture and
Humanity “ yang berdiri semenjak tahun 2002 terus menyuarakan
aktualisasi Nilai-nilai demokrasi, HAM, dan kebinekaan , sehingga
saling menghargai dan kerja sama yang konstruktif terwujud dalam
Bingkai Keindonesiaan dan kemanusiaan. Tahun 2016 lalu Ahmad
Syafii Maarif mengkritik keras fatwa penistaan yang ditujukan kepada
Gubernur Jakarta saat itu , yaitu Ahok. Ahok menurutnya tidak
melakukan penistaan agama. Pandangannya ini melawan pendapat
343
mayoritas tokoh Islam lainnya termasuk MUI yang memfatwakan
bahwa Ahok melakukan penistaan agama Islam dan para ulama.
Ahmad Syafii Maarif dinilai terlalu berani oleh pihak-pihak
intoleran sehingga tak jarang keberpihakan terhadap minoritas
mendapat respon beragam. Indonesia sebagai tanah tumpah darah
dan Islam sebagai agama mayoritas sepatutnya menjadi semangat
bersama untuk mewujudkan keadilan. Adapun niat dan tujuan
Buya Syafii Maarif tertuang disalah satu karyanya,yang merupakan
makna konkret dan sejati dari nasionalisme pasca-Proklamasi “agar
Indonesia sebagai bangsa dan negara tetap utuh dan bertahan lama,
jangan sampai dibinasakan oleh tangan anak-anaknya sendiri yang
tak tahu diri, rakus , dan buta peta “ 468.
Hubungan Islam dan Indonesia
Islam selain sebagai agama mayoritas, keberadaannya idelanya
menjadi agama yang ramah, terbuka dan menjadi solusi terkait
berbagai permasalahan yang ada, khususnya masalah-masalah besar
yang terkait dengan bangsa dan negara. Islam adalah ajaran yang
berpihak kepada siapapun rakyatnya, baik kaya ataupun miskin.
Keberadaan Islam menjadi alasan untuk setiap individu dinamis dan
bersahabat dengan keberagaman. Menjadi pelopor untuk hadirnya
kenyamanan dan kedamaian, meski tidak jarang ada persepsi buruk
yang ditujukan sebagai bentuk ketidakpahaman segelintir orang
akan agama Islam. Apapun agamanya, jika agama dihadirkan dengan
penampilan yang menyeramkan yaitu dengan wajah-wajah garang,
layaknya monster dan dipastikan akan menghadirkan kebencian dan
ketakutan dimasyarakat.Sebuah monster yang sering berbicara atas
nama Tuhan, jelas terlepas dari kawalan syariah dalam maknanya
yang benar 469 .
468 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 16.
469 2 Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name. Oxford : Oneworld Publications, 2001.
344
Ada kecurigaan yang coba dihadirkan kepada masyarakat
bahwa Islam dan keindonesiaan tidak akan bisa disatukan sebagai
bagian dari kehidupan sehari-hari. Buya Syafii Maarif meyakini
“bahwa antara Islam, keindonesiaan dan Kemanusiaan harus
ditempatkan dalam satu napas “470.
Kondisi saat ini Islam sering dianggap dijadikan komoditas
politik kekuasaan yang bersifat duniawi. Keberadaan dalil-dalil
agama dinilai menguatkan keberadaanya. Kaitannya dengan
Indonesia Buya Syafii Maarif pernah mengatakan :
“Terlalu banyak penyimpangan dan bahkan kejahatan moral
yang kita lakukan, tidak jarang atas nama Tuhan. Ini tidak
lain dari perbuatan yang membajak Tuhan untuk kepentingan
–kepentingan rendah sesaat tanpa rasa dosa dan menyesal.
Pemandangan yang tidak elok ini tidak boleh diperagakan
terus, sebab pasti akan memuakkan orang suka berpikir jernih
dan dalam, apapun agama dan sukunya...Indonesia adalah
sebuah bangsa yang mengaku beragama tetapi setiap hari
dab setiap malam nilai luhur agama itu diinjak dan diperkosa
dengan dipayungi oleh berbagai pembenaran teologis dan
kutipan sakral “ 471.
Selalu ada perbedaan pendapat berbeda di Indonesia terkait
sitem demokrasi, keragaman, pluralisme, toleransi bahkan pesan
anti kekerasan dianggap tidak ada korelasinya dengan dunia Islam.
Tidak jarang hal-hal tersebut diangap saling berlawanan. Hingga
sekarang, masih terdapat label haram bagi demokrasi dan pluralisme
bahkan tidak jarang para penganut atau pendukungnya dianggap
menyimpang dan sesat.
Sepatutnya agama itu menggambarkan ketulusan, bukan malah
470 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 18.
471 Ahmad Syafii Maarif, Indonesia Baru di tengah Pertarungan Antara, Mosaik
Budaya yang Elok dan Kaya dengan Ancaman Keserkahan, 2004.
345
sebaliknya. Dalam pengertiannya kata tulus, ketulusan yang berarti
kejujuran, keikhlasan, kebersihan. Tak jarang digandeng menjadi
tulus ikhlas = suci hati, jujur 472Dari bahasa Arab perkataan ikhlas
berasal dari akar kata kh l sh, yang mengandung makna murni, suci,
tidak bercampur, bebas. Ikhlash (Arab) bermakna pengabdian yang
tulus, ketulusan dan kejujuran 473.
Merujuk makna ketulusan dalam berbagai bahasa memiliki
substansi yang tidak berbeda. Adanya kandungan kemurnian,
kebersihan dan kejujuran. Menurut Buya Syafii Maarif, saudara
kandung atau saudara kembar ketulusan adalah kejujuran. Tanpa
kecuali, semua agama mengajarkan kejujuran, sekalipun para
penganutnya belum tentu jujur 7.474
Terkait perbedaan agama yang dianut, Dalam sejarah
Indonesia memiliki pengalaman kerjasama. Persahabatan dibidang
politik terjalin harmonis baik itu tokoh Masyumi, dengan pemimipin
Katolik, Protestan , Hindu dan dengan agama yang lain. Tersebut
nama Natsir atau Prawoto Mangkusasmito dekat dengan I.J
Kasimo, Herman Johannes, A.M Tambunan yang terbangun revolusi
kemerdekaan maupun sesudahnya.
Antara Islam, keindonesiaan dan Kemanusiaan tidak saja
bisa berjalan bersama dan seiring, namun idealnya mampu bersatu
untuk mengisi taman indah bernama Indonesia.Di taman ini, watak
universal Islam tampil dalam wujud yang dipeluk oleh mayoritas
penduduk Nusantara, semua gerakan yang bercorak Islam harus
senantiasa mempertimbangkan dengan cermat dan cerdas realitas
sosio-historis Indonesia, demi keamanan, kedamaian , dan kejayaan
agama ini mencapai tujuan ulia yang harus pula ditempuh dengan
cara yang mulia dan beradab 475 .
472 J. S Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta ; Pustaka Sinar Harapan, 1994, halaman 1.547
473 J.M. Cowan, the Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic. Ithaca,
New York : Spoken Langyage Sevice, 1976, halaman 254-255.
474 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 285
475 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanu-
346
Dalam pidato 4 Maret 2008 saat penerimaan anugerah
Gelar Doktor Honoris Causa Universitas Gadjah Mada, Rendra
mengungkapkan sesuatu hal yaitu “Mesin Budaya” kedaulatan
rakyat untuk membentuk Indonesia masa depan yang adil serta
kreatif. Adapun isinya “Mesin Budaya” yang berdaulat rakyat, adil,
berperikemanusiaan, dan menghargai dinamika kehidupan, adlah
“Mesin Budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan cipta
anggota masyarakat dalam negara. tetapi “Mesin budaya” [sic]. yang
berdaulat penguasa, yang menindas dan menjajah, yang elitis, dan
tidak populis , sanagat berbahaya. 476
Sepertiya Rendra menyindir tataran negara yang belum
berubah semenjak masa penjajahan. Daulat rakyat merupakan
ungkapan demokrasi yang sehat. demokrasi menghadirkan kejujuran,
tanggung jawab, lapang dada, serta yang tertama adalah integritas.
Untuk Indonesia perntingnya ditumbuhkan integritas agar nantinya
sistem politik demokrasi yang dengan sungguh-sunguh melahirkan
kepentingan dan kesejahteraan umum.
Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, menjadi alasan utama
terbentuknya generasi penerus yang memilki jiwa kepemimpinan
yang lapang hati, serta memiliki komitmen kemanusiaan yang tulus
dan berilmu.Melahirkan atau menciptakan kesan Islam yang baik
dan ramah di Indonesia adalah tugas yang harus diwujudkan.
Adanya NU dan Muhammadiyah menjadi warna untuk
menciptakan gerakan-geraan Islam yang moderat.. Ada harapn yang
terselip oleh Syafii Maarif yang ditujukan kepada intelektual muda
NU dan Muhammadiyah, agar memikirkan sebuah bangunan Islam
Indonesia dalam paradigma pasca -Muhammadiyah dan pasca -NU,
terutama dalam orientasi pemikiran inovatif dan kreatif 477.
Indonesia jika diumpakan sebagai sebuah peta, dan
siaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 313
476 W.S Rendra, Megatruh Kambuh : Renungan Seorang Penyair dalam
Menanggapi Kalabendu, Yoyakarta : Universitas gadjah Mada, 2008 , H. 2.
477 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 316.
347
diproyeksikan dimasa akan datang, idealnya harus dari hari ini
dibangun sedemikian rupa, agar kenyamanan bisa tercipta, tanpa
mengenyampingkan prinsip-prinsip keadilan, serta jauh dari Nilainilai diskriminasi. Memiliki ciri khas mayoritas Muslim, menjadi
tugas utama menghadirkan wajah cantik berbalut keramahan dan
kebersamaan. Ada pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan
yaitu kualitas umat Islam itu sendiri. Misalnya saja kaitannya
dengan pendidikan, hingga kemiskinan. Meski tidak mudah,
namun itu menjadi keharusan agar bicara, Islam, Keindonesian dan
kemanusian menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut Buya kaitannya dengan cara beragama yang benar
harus terlihat secara konkret dalam perilaku penganutnya yang
jujur, ikhls dan lapamg dada 11478. Terciptanya perbedaan seharusnya
menjadi ruang bagi bangsa ini memperkaya pengalaman kehidupan
beragama yang begitu beragam.
Ada bahan renungan yang sudi kiranya menjadi
pertimbangan bagi pemikir Muslim Indonesia yang pernah
disampaikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana da nada kaitannya
dengan Islam, dan keindonesiaan yaitu :
“Kalau kita lihat dan bandingkan berbagai kebudayaan
ekspresif, yaitu kebudayaan yang dikuasai oleh intuisi,
perasaan, dan fantasi agama dan seni, mungkin kebudayaan
Ilsam yang dianut oleh bagian terbesar rakyat Indonesiadan
yang kuat nilai agama maupun nilai ilmu dan ekonominya,
seolah-olah teruntuk serta mencari jawab soal-soal manusia
abad ke-20.”
Tetapi untuk mungkin melakukan itu, ahli-ahli pikir Islam mesti
kembali merumuskan kesetimbangan antara agama dan ilmu, antara
kekudusan rahasia hidup dan alam semesta dengan kenyataan dunia
empiris, yang dapat dikaji oleh pikiran. Siapa tahu dalam zaman ini,
478 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 323
348
Indonesia mempunyai pemeluk agama Islam yang terbesar di dunia
dapat memimpin umat Islam seluruh dunia dalam menghadapi masa
yang akan datang 479.
Kesimpulan di atas adalah bagian akhir orasi Sutan Takdir
Alisjahbana bertempat di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta,
bertepatan 11 Februari 1975. Sesungguhnya kekayaan dan
keberagaman sosiologis bangsa menjadi alasan bahwa harus tercipta
pendekatan yang tidak hanya serba legal dan formal agar Islam
benar-benar menjadi solusi faktor penentu masa depan Indonesia.
Terdapatnya perbedaan dalam Bingkai Keindonesiaan
menjadikan bangsa ini dewasa dalam mencari titik temu agar
kenyamanan lahir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tidaklah mudah mewujudkan negeri yang selalu berhasil
mewujudkan kehidupan yang berkeadilan dan bermartabat serta
senantiasa hidup rukun. Adanya optimisme menjadi kekuatan utama
agar berbagai halangan yang mencoba memupukkan pesimisme
terus hilang. Keinginan mewujudkan Indonesia yang terus ada
sampai batas waktu yang tidak bisa ditetukan adalah tujuannya.
Bukan seperti menulis di atas air yang sudah dapat dipastikan
tidak akan mungkin terjadi, namun layaknya menulis di batu
menjadi kekuatan yang tidak dapat terhapus dan lekang oleh waktu
bahwa Islam, Keindonesia serta kemanusiaan adalah hal yang harus
terus tercipta dan dijaga sehingga Indonesia bukan hanya menjadi
bukti kekayaan akan keberagaman namun mampu menjadi pelopor
kenyamanan dan ketentrama bagi masyarakat di seluruh dunia.
Buya Syafii Maarif menitip pesan dan harapan kepada anak
anak muda Indonesia dengan alasan masih terdapatnya idealis dan
potensi ilmu yang dimiliki untuk suatu saat bisa membawa mendekati
tujuan kemerdekaan 480. Mungkin penantian panjang akan berbuah
keberhasilan, yang nantinya lahir generasi mua yang tidak hanya
479 Sutan Takdir Alsjahbana, Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi
Nilai-nilai, Jakarta :Dian Rakyat, 1982, H. 50.
480 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 327.
349
memiliki hati nurani namun peka terhadap berbaga permasalahan
bangsa. Tentunya harapan ini tidak sekedar harapan , namun menjadi
kenyataan dan akan segera terjadi tanpa harus menunggu lama lagi.
Selalu lahir alasan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik
bukanlah pekerjaan mudah mengingat luasnya negeri ini. Solusinya
tidak berhenti pada lahirnya orang-oraang cerdas, namun hati yang
senantiasa tulus menjadi keharusan. Tidak bermaksud mengatakan
hatiyang tulus tidak ada di hati masyarakat Indonesia, namun selama
maih adanya kecemburuan, kecurigaan bahkan iri hati terhadap orang
lain secara berjamaah sepertinya akan sulit melahirkan kekuatan
besar agar pembangunan Indonesia tidak hanya sekedar teori
namun juga pratek yang sebenarnya menjadi kekayaan dan warisan
dari setiap generasi ke generasi. Cerdas otak dibarengi dengan
cerdas hati setidaknya menjadi modal primer. Pemimpin negeri ini
idealnya mampu mengawinkan dua hal tersebut tidak hanya menjadi
sebuah kampanye namun menjadi catatan sejarah yang diwujudkan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada yang menarik jika
Indonesia dimasa depan lahir berdasarkan dasar-dasar spiritual yang
kokoh dibarengi dengan dasar kultural agar harkat dan martabat
bangsa menjadi utama sehigga mampu melewati lintas zaman untuk
terus dijaga.
Lahirnya Pertarungan Ideologi
Tepatnya September 1955 digelarnya pemilihan umum untuk
pertama kalinya di Indonesia. Ada dua agenda yang menjadi tujuan
yaitu memilih parlemendan membentuk Majelis Konstituante yang
bertugas menyususn UUD sebagai pengganti UUDS. Kedua agenda
berjalan sempurna, namun dalam perjalanannya yaitu tepatnya tiga
tahun bersidang terbentuk oleh terkait dasar negara : Pancasila atau
Islam.
Akhir sidang pada 22 Juni 1959, Pancasila vs Islam
menjadi dua kekuatan yang saling bertarung, nmun gagal memilki
dukungan dari 2/3 suara dalam majelis. Sebenarnya ada tiga usulan
sebelumnya sebagai dasar negara, yaitu, Pancasila, Islam dan Sosial
350
Ekonomi. Terkait usulan ke tiga hanya mendapat dukungan dari
kalangan minoritas. Ada pendapat bahwa majelis gagal menyusun
UUD, padahal sekitar 10 % yang tidak memiliki kesepakatan antar
partai yang terkait dasar negara. Akibat ini lahirlah Dekrit 5 Juli
1959. Dekrit berisi : 1. Deklarasi berlakunya kebali UUD 1945
menggantikan UUDS, 2. Pembubaran Majelis Konstituante sebgai
hasil Pemilu 1955. Dekrit ini mengukuhkan Pancasila sebagai dasar
negara.
Ahmad Syafii Maarif dalam salah satu karyanya, tidak
ada konsep lain yang tepat secara rasional dapat mengukuhkan
persatuan dan keutuhan bangsa, kecuali lima dasar itu, tetapi yang
harus dibaca dalam satu kesatuan.481 Secara nyata, bangsa ini harus
terus ada, dan tentunya dibela. Berbagai permasalahan yang bisa
merusak, mencabik kepentingan bangsa harus diminimalisir. Apapun
kepentingan buruk berbalut nasionalimse lokal, primordialisme atau
sikap-sikap yang menunjukan bagian dari sempitnya wawasan harus
dibasmi layaknya hama bagi tanaman kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sesunguhnya Pancasila sebagai dasar negara adalah final
dan tidak perlu diperdebatkan lagi.
Beberapa waktu lalu, Indonesia dihebohkan dengan statement
Ketua Umum salah satu Partai politik, bahwa Indonesia akan bubar
2030 482. Dalam kenyataanya selalu lahir semangat atau sebaliknya
akan keberadaan Indonesia dimasa depan. Prasangka Indonesia
suram, atau tidak akan tertolong menjadi kesimpulan yang mengerikan
menghantui pikiran-pikiran anak bangsa. Mengahadapi prasangka
negatif membutuhkan energi positif yang idealnya memanggil jiwajiwa masyarakat Indonesia. Diam adalah emas bukanlah peribahasa
yang tepat menghadapi kondisi ini. Bukan bersifat reaktif namun
menyelamatkan bangsa dari pesimis adalah kewajiban siapa saja,
tanpa terkecuali. Adanya keteladanan sepertinya menjadi pelopor
gerak baru untuk menjadi imam dala menyuarakan kebaikan.
481 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 27
482 Liputan 6.com link https://www.liputan6.com/cek-fakta/read/3406228/
cek-fakta-ramalan-indonesia-bubar-2030
351
Mungkin tidaklah mudah mencari sosok teladan namun tidak
menjadi alasan untuk hadi menjadi teladan miniml bagi keluarga,
saudara, tetangga, ya minimal lingkungan.
Islam telah menaklukan Nusantara telah menjadi agama yang
dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Kenyataan ini menunjukan,
golongan minoritas, seperti Kristen, Protestan, hindu, Budha serta
Konfusianisme hidup damai bersama saudara Muslim. Dalam
kenyataannya masih terdapat kelemahan umat Islam di Nusantara.
Jumlah yang banyak berbanding terbalik dengan kualitasnya.
Pendidikan dan kemiskinan menjadi salah satu permasalahan.
Buya Syafii Maarif berpesan, bangsa ini harus bangkit
kembali secara otentik dengan melahirkan karya besar dan prestasi
yang bermutu tinggi dalam lingkungan suasana keadilan dan
kesejahteraan yang dirasakan semua. Islam jika dipahami secara
dan cerda akan memberikan dorongan dan sumbangan yang dahsyat
untuk mengukuhkan keindonesiaan kita dibawah naungan paying
“Ke Tuhanan Yang Maha Esa” dan “Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab“ sebagai salah satu manifestasi iman kita dalam kehidupan
bersama sebagai bangsa, Islam, Ke Indonesiaan, dan kemanusiaan
haruslah dianyam sedemikian elok dan asri sehingga sub-kultur
yang bertebarab yang membentuk Indonesia sebagai sebuah bangsa
dan negara merasa aman dan tenteram untuk bertahan di Benua
Kepulauan ini sampai masa yang tak terbatas483.
Tantangan tersebar agama termasuk Islam adalah
fungsionalisasinya di tengah kemajuan peradaban. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi disertai makin berlomba-lombanya
manusia mengejar tingkat tertinggi rasionalitas bermasyarakat
sepertinya menempatkan agama hsnya sebagai entitas kebenaran
saja, namun menjadi solusi atas berbagai problem kehidupan. Islam
tampil tidak hanya sekedar menjadi dimensi pemurnian kebenaran
namun menjadi pemberi solusi dari berbagai problem peradaban dan
permasalahan di negeri ini.
483 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 42
352
Kaitannya dengan Islam Moderat
Islam moderat sebagai suatu proses dan gagasan pengungkapan
kembali tradisi berIslam di Nusantara. Dalam sejarah Islam di
Nusantara, masuknya Islam tekstual sebenarnya belum terlalu lama.
Tidak lama setelah pengaruh pemikiran Ibnu Taimiyah merebak ke
berbagai belahan dunia, beberapa Tokoh di Nusantara juga tampil
membawa pemikiran tersebut. Titik Tolak pertentangan antara
keduanya adalah Perang Paderi di Sumatera Barat.
Dialektika antara gagasan pemurnian akidah Islam atau
perlawanan terhadap sinkretisme budaya dalam masyarakat Islam
di satu pihak dengan implementasi substansi ajaran Islam di tengah
perkembangan masyarakat mewujudkan dua kelompok besar Islam
yang sering dikenal dengan Islam modernis dan Islam tradisionalis.
Perlembagaanya terlihat melalui Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah serta sejumlah organisasi kemasyarakatan yang
sefikrah dengannya 484.
Adanya argumen terkait penghargaan Islam terhadap
keberagaman telah dikemukakan Nurcholish Madjid terkait
kosmopolitanisme Islam yang ditandai dengan kemampuannya
menerima berbagai perbedaan. Menurut Nurcholis Madjid, Islam
sebagai ajaran yang memiliki dimensi doctrinal yang tekstual dan
sejarah kontekstual, dalam rangka mengurai kerumitan yang sedang
dihadapi masyarakat sehingga ajaran agama dari masa ke masa perlu
direinterprestasi menggunakan substansi-substansi ajarannya.485
Keberadaan Syiah di Indonesia
Syiah keberadaannya di tengah keberagaman agama di
Indonesia sering dinilai menjadi ancaman, khususnya bagi Islam.
484 Syafinuddin Al Mandari, Syiah, Sektarianisme, dan GeoPolitik, Jakarta :
Maarif Institue, 2003, h. 178.
485 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Mizan,2015,H. 181.
353
Keberadaan Syiah di Indonesia dapat ditelusuri asal-usulnya hingga
sejarah awal perkembangan Islam di tanah Nusantara. Beberapa
literatur sejarah menyebutkan Islam Syiah d Nusantara sudah ada
sejak abad ke- 9 masehi 486.
Menurut Profesor A.Hasjmy dalam bukuyang berjudul Syiah
dan Ahlusunnah : Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak
Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, Islam Syiah awalnya
dbawakan oleh para migran dari Arab, Persia, Gujarat (India).
Berawal dari hubungan dagang berlanjut berasimilasi dengan warga
lokal, Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan Islam pertama di Nusantara,
kemudian berdiri. Beberapa tradisi ritual syiah dianggap berhubungan
dengan beberapa upacara adat di Jawa, Sulawesi bahkan Sumatera.
Hingga sekarang, Syiah dianggap asing oleh masyarakat
Indonesia yang mayoritas Muslim Sunni. Di tahun 1990, kebencian
berbalut wacana anti syiah sudah lahir meski tidak separah saat ini.
Terdapat perdebatan terkait sesat atau tidaknya syiah itu sendiri.
Bagi kaum syiah, konsepsi politik berasal bagian dari ushuluddin
487
, khususnya rukun imamah. Ulama-ulama Syiah memahami
bahwa Allah selaku pemegang otoritas tertinggi dalam agama Islam
memilih utusan –Nya yang terpilih, Nabi Muhammad saw untuk
membawa risalah Islam dan menyebarkan ke seluruh umat manusia
menjelang Kiamat.
Peran Nabi Muhammad di dunia adalah pembawa syariat dan
pembimbing umat manusia. Seiring dengan wafatnya Rasulullah
maka agama Islam menjadi penutup hingga Kiamat. Meski pembawa
ajaran agama Islam tidak ada, tetap risalah Ilahi berupa ajaran agama
Islam tidak berakhir karena penyebaran dan bimbingan dalam agama
dilanjutkan para Imam pilihan Rasulullah saw dari Ahlulbait 488.
486 Hikmawan Saefullah, Syiah, Sektarianisme, dan GeoPolitik, Jakarta : Maarif
Institue, 2003, h. 26.
487 Akidah dalam Mazhab Syiah, didasarkan pada lima rukun. Menurut Ayatullah Nasir Makaarim Ash – Shirazi dalam A Summary of Ruling : Zubdatul
Ahkaam (Qum-Iran,1996).
488 Ahmad Sahidin, Syiah, Sektarianisme, dan GeoPolitik, Jakarta : Maarif Institue, 2003, h. 40.
354
Penutup
Demi majunya berbagai kepentingan umat dan bangsa
Indonesia, sesungguhnya seluruh komponen perlu menjalin ikatan
dan kerja sma yang baik. Islam di Indonesia melalui cerminan
umat yang masih tertinggal secara ekonomi, pendidikan, ilmu
pengetahuan bahkan teknologi, politik dan budaya menjadi alasan
bangkit membangun dan memperbaiki. Islam memancarkan cahaya
pencerahan yang membebaskan umat manusia dari belenggu
kegelapan berganti terang benderang menuju peradaban. Pandangan
Islam berkemajuan serta senantiasa mengutamakan antidiskriminasi
dan anti kekerasan harus terus didorong tidak hanya menjadi teori
namun dalam praktiknya. Islam lahir, tumbuh, bahkan berkembang
memiliki tujuan menjadi solusi terhadap berbagai permasalahan
bangsa. Islam yang bersahabat memberi ruang-ruang keadilan,
perlindungan, keamanan, serta kenyamanan bagi warga negara
Indonesia.
Buya Syafii Maarif menitip pesan cinta yaitu : keragaman
itu sunnatullah, Sunnah Allah jangan diubah-ubah lagi, keragaman
menjadi sumber untuk menciptakan harmonisasi kedamaian sesama
yang berbeda itu.489 Buya selalu saja kritis dan peka terhadap
berbagai problem kebangsaan, keterpurukan umat Islam di berbagai
tempat, tidak hanya di Indonesia namun belahan dunia lain.
Kepeduliaannua juga termasuk problem kemanusiaan global.Buya
dalam kesehariannya mungkin selalu merenung akan permasalahan
tersebut dan paham untuk merujuk kepada sumber utama petunjuk
hidup manusia yaitu Al-Qur’an.
Sebagai cendekiawan neo-modernis, Buya Syafii Maarif
menjadikan Al-Qur’an sebagai solusi dari problem sosial kemanusiaan
kontemporer dengan model pembacaan yang baru dan segar. Harus
diakui bicara konteks lainnya, misalnya konteks kebangsaan,
seruan Buya sering sekali terdengar nyaring bahkan bising untuk
489 Wawancara Liputan 6.com, publikasi 17 Apr 2017 link https://www.youtube.com/watch?v=ZlKElXKssko&feature=youtu.be
355
kalangan-kalangn tertentu dan merasa terganggu. Ahmad Syafii
Maarif dalam perjalanan hidup berani menyuarakan ketakutan tanpa
takut. Kritikan oernah ditujukan kepada Presiden SBY yang tidak
serius bahkan dirasa lemah terkait menghadapi berrnagai persoalan
kebangsaan, khususnya korupsi yang semakin akut490. Semoga Buya
Ahmad Syafii Maarif selalu sehat dan senantiasa menjadi manusia
atentik dengan kemerdekaan sejati. Segala keberanian untuk cerdas
dan berada pada sikap yang tidak segan-segan memberi kritik terkait
situasi yang tidak sesuai dengan akal sehat dan nurani.
Buya sebagai guru besar ilmu sejarah selalu terlatih dalam
hal menganalisis dan mempelajari berbagai kondisi masyarakat
dari waktu ke waktu, dan terbiasa melihat atau memandang gejolak
sosial untuk mendapatkan kesetaraan dan kebebasan di berbagai
belahan dunia dan periode sejarah. Buya Syafii Maarif tidak pernah
bosan dan selalu bersemangat untuk memberi semangat untuk
setiap generasi tidak mengulangi kesalahan-kesalahan historis yang
pernah terjadi, tidak terkecuali dalam lingkup nasional dan global.
Keberadaan Syafii Maarif dipercaya menjadi warna bahkan sebagai
bagian keberhasilan membangun akselerasi kerja sama dua organisasi
Islam terbesar di Inonesia, Muhammadiyah dan NU. Keberhasilan
ini menjadi sejarah bahkan warisan yang selalu kemilau di tengah
wajah umat dan bangsa yang kusam.491
Seruan Buya terkait pentingnya menegakkan etika politik
demokrasi, moralitas publik, perilaku politisi dan birokrat yang baik
menjadi sasaran semangat Buya dalam menyuarakan perubahan.
Buya selalu memasukkan isu-isu pluralisme agama, hak asasi
manusia (HAM) dan demokrasi. Pluralisme agama menurut Buya,
tidak berdiri sendiri sebagai sebuah doktrin teologis atau filosofis
semata namun lebih bermakna kebebasan beragama dan ketulusan
dalam beragama492. Buya selalu berpendapat setiap individu manusia
490 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, Jajarta :Serambi
Ilmu Semesta, 2015, h. 17.
491 Abdul Mu’thi dalam Abd. Rohim Ghazali, (ed), Muhammadiyah dan politik
Islam Inklusif, 2005: h. 115.
492 Ahmad Syafii Maarif, Muazin Bangsa dari Makkah Darat, Jajarta :Serambi
356
harus menghormati hak-hak orang lain khususnya dalam menganus
agama atau kepercayaan.
Semoga Buya terus menjadi inspirasi untuk semua kalangan di
tengah semakin sulitanya menemukan ketokohan di zaman sekarang.
Kemandirian, kecerdasan, keberanian dan ketulusan Buya Ahmad
Syafii Maarif yang selalu dirindukan.
Ilmu Semesta, 2015, h. 291.
357
Daftar Pustaka
Abou El Fadl, Khaled, et al., The Place of Tolerrance in Islam.
Boston : Beacon Press, 2002.
Alisjahbana, Sutan Takdir. Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat
dari Segi Nilai-nilai. Jakarta : Dian Rakyat, 1982.
Badudu, J.S. dan Sutan Mohammad Zain. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta : PustakaSinar Harapan, 1994.
Cowan, J. M . (ed). The Hans Wehr Dictionary of Modern Writeen
Arabic. Ithaca, New York : Spoken Language Sevice, 1976.
Maarif, Ahmad Syafii . Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan . Bandung : Mizan 2015.
Maarif, Ahmad Syafii . Muazin Bangsa dari Makkah Darat . Jakarta
: Serambi Ilmu Semesta 2015.
Rendra, WS. Megatruh Kambuh : Renungan Seorang Penyair
dalam Menanggapi Kalabendu,. Yogyakarta : Universitas
Gadjah Mada, 2008.
358
SIKAP INTELEKTUAL, SPIRITUALITAS DAN
KEMANUSIAAN AHMAD SYAFII MAARIF
Vidiel Tania Pratama
Pendahuluan
Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) adalah anak
Minangkabau yanglahir di Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera
Barat, 31 Mei 1935 adalah seorang ulama, ilmuwan dan
pendidik Indonesia. Buya Syafii pernah menjabat Ketua Umum
Pengurus Pusat Muhammadiyah, Presiden World Conference on
Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute, dan
juga dikenal sebagai seorang tokoh yang mempunyai komitmen
kebangsaan yang tinggi. Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja
telah memposisikannya sebagai “Bapak Bangsa”. Ia tidak segansegan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu
adalah temannya sendiri.
Dinegeri ini, tak banyak orang yang dipanggil sebagai “guru
bangsa”, selain Buya Syafii beberapa nama yang pernah dipanggil
dengan sebutan itu hanya Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Gus
Dur (Abdurrahman Wahid), memang tak ada proses formal untuk
mendapatkan sebutan sebagai guru bangsa, setiap orang bisa
memakai istilah itu untuk disematkan kepada lorang yang dihormati
atau disukainya.
Namun demikian panggilan sebagai guru bangsa yang
diematkan kepada Buya Syafii, cak nur, dan gus dur bukan hanya
diberikan oleh orang-orang terdekatnya, media masa, tokoh
359
nasional, dan masyarakat secara umum bisa memanggi ketiga orang
itu sebaagai guru bangsa, jadi walau pada dasarnya panggilan itu
bisa dipakai secara arbitrary (secara asal, tidak memakai sistem
tertentu), namun panggilan itu baru bisa dipanggil secara umum jika
memang ada social recognition (pengakuan sosial) terhadap orang
yang dipanggil terhadap itu, dan kini Buya Syafii sepertinya menjadi
tokoh yang tersisa yang mendapat panggilan sebagai guru bangsa.493
Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif (Buya) merupakan
seorang keprihatina dikenal sebagai sosok yang pluralis, toleran,
inklusif, dan moderat,Buyaselama ini telah mewakafkan dirinya
memporomosikan dan memperjuangkan visi keislaman yang senafas
dengan keindonesiaan dan kemanusiaan, di tengah menguatnya
gempuran paham radikalisme yang tuna moral dan tuna intelektual.
Buya Syafii selama ini konsisten memperjuangkan Islam
yang berkerahmatan dan berkemajuan dengan berlandaskan
visi etik Al-Qur’an. Buya Syafii merupakan seorang intelektual
Muslim yang berani mengambil sikap dan pandangan yang berbeda
dengan arus utama, walaupun konsekuensinya ia akan dibenci
dan dimusuhitermasuk di dalamorganisasi Muhammadiyah yang
telah membesarkan namanya. Buya Syafii selalu terdepan dalam
memperjuangkan hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan
para kelompok minoritas yang dilucuti oleh negara dan kelompok
intoleran. Buyasering mengkritik keras kelompok intoleran yang
disebutnya “preman berjubah” yang dianggap suka meneror dan
menakut-nakuti siapa saja yang berbeda pendapat dengannyamelalui
aksi kekerasan fisik.Buya Syafiijuga kerap mengkritik negara
yang terkadang dianggap lebih tunduk pada kelompok intoleran
dibandingkan konstitusi.
Yang menarik dari sikap dan pandangan Buya Syafii adalah
selain getol membela minoritas, ia juga aktif menjadi tokoh yang
aktif mengedukasi umat Islam agar senantiasa jernih dan kritis
493 William H. frederich, Muazin Bangsa dari Makkah Darat; Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif, Serambi Ilmu Semesta, Cetakan Pertama, Jakarta,
2015, Halaman 9
360
melihat sejarah agar manusia jaman sekarangtidak terjebak dalam
penyembahan dan penyakralan sejarah. Dalam kasus Sunni-Syiah,
masih banyak umat Islam terjebak dan berpendapat bahwa konflik
ini adalah konflik teologis, padahal menurut Buya, konflik ini adalah
murni konflik politik antara para elit Arab.
Pada tahun 1942, Buya Syafii dimasukkan ke sekolah rakyat (SR,
setingkat SD) di Sumpur Kudus. Sepulang sekolah, Buya Syafii belajar
agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada
sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di
sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki
di Minangkabaupada masa itu. Pendidikannya di SR, yang harusnya
ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun.
Buya Syafii tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak
memperoleh ijazah karena masa itu terjadi perang revolusi
kemerdekaan. Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang
ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama
beberapa tahun. Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah
Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk
di bangku kelas tiga.
Pada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, Buya Syafii
meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa.
Bersama dua adik sepupunya, yakni Azra’i dan Suward, ia diajak
belajar ke Yogyakarta oleh M. Sanusi Latief. Namun, sesampai
di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke
Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud, karena pihak sekolah
menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah
penuh. Tidak lama Kemudian ia justru diangkat menjadi guru bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama.
Pada saat bersamaan, Buya Syafii bersama Azra’i mengikuti
sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah beberapa bulan
belajar. Kemudian ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya
ia diterima tetapi ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga.
Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi
kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi
majalah Sinar (Kini Dibawahi oleh Lembaga Pers Mu’allimin),
361
sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.
Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian
ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan
untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah
biaya. Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat
ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari
Lombok untuk menjadi guru.
Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus
Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung
di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru. Setelah setahun
lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading,
sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi
kampung halamannya, kemudian kembali lagi ke Jawa untuk
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta.
Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas
Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada
tahun 1964. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya untuk
tingkat doktoral pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP
(sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun
1968.
Selama kuliah, Buya Syafii sempat menggeluti beberapa
pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Buya Syafii pernah
menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan
toko kain pada 1958. Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai
pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya,
kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo. Selain
itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan
anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini,
terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program
Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara
gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban
Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi : Islam as
the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected
362
in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.
Selama di Chicago inilah, anak bungsu dari empat bersaudara
ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap AlQur’an, dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu
pemikiran Islam, Fazlur Rahman. Di sana pula, ia kerap terlibat
diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang
sedang mengikuti pendidikan doktornya.
Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel
tentang masa kecil Buya Syafi’i Maarif, yang berjudul ‘Si Anak
Kampung’. Novel ini telah difilmkan dan meraih penghargaan
pada America International Film Festival (AIFF).
Setelah meninggalkan posisnya sebagai Ketua Umum PP
Muhammadiyah, kini Buya Syafii aktif dalam komunitas Maarif
Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin
menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar.
Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan
dipublikasikan di sejumlah media cetak.
Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk
buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain berjudul : Dinamika
Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, kedua-duanya diterbitkan oleh
Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan,
yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada tahun
2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari
Pemerintah Filipina
Sikap Intelektual Buya Syafii Maarif
Buya ASM adalah satu dari sekian banyak intelektual organik
yang dimiliki Indonesia.Beliau intelektual sekaligus aktivis.Dari
aktivis Himpunan Mahasiswa Islam hingga menjadi ketua umum
Muhammadiyah –organisasi Islam dengan amal usaha terbesar di
dunia. Dalam bahasa Emil Salim (2005), Buya ASM adalah tokoh
pemikir, aktivis, dan pejuang Islam yang berkaca pada pemahaman
sejarah yang ditekuninya, dan memimpin organisasi Muihammadiyah
memberi derma baktinya pada bangsa Indonesia dan masyarakat
363
dunia.494
Peran-peran sosial Buya ASM pasca-Muhammadiyah, selain
berkiprah pada ranah supra struktur politik dengan berperan sebagai
“dewan etik” di sejumlah lembaga negara, Buya juga banyak
mencurahkan pikirannya dalam tulisan-tulisan yang tajam dan
bernas, berisi tentang panduan hidup bagi siapa pun dalam posisi
apa pun. Tulisan-tulisan Buya memiliki spektrum yang mencandra
semua kelompok masyarakat.Dari marbot masjid hingga pemimpin
dunia tidak lepas dari perhatian Buya.
Tulisan-tulisan Buya yang sarat dengan pesan-pesan moral
inilah saya kira, yang membuatnya disebut sebagai Guru Bangsa,
atau dalam bahasa Alois A Nugroho, Guru Besar Etika Komunikasi
politik Unika Atmajaya, sebagai “muazin moralitas bangsa”. Dalam
amal sosial Islam, muazin adalah “tukang azan” atau orang yang
bertugas untuk memanggil, menyeru kepada kebaikan. Secara
denotatif, seruan dimaksud untuk menunaikan ibadah shalat, tapi
secara konotatif bisa dimaknai sebagai seruan untuk hal-hal yang
baik dan konstruktif. Pada saat Amien Rais menyerukan untuk
dilakukan suksesi politik nasional pada awal tahun 90an, oleh
Hajriyanto Y. Thohari, Amien juga disebut sebagai muazin.
Dalam prosesi shalat berjamaah, muazin biasanya tidak akan
merangkap imam, kecuali pada kondisi darurat dimana tidak ada
orang yang mau menjadi imam, muazin “terpaksa” merangkap jadi
imam. Tapi ini tidak lazim.Sebagai muazin, Buya merupakan tokoh
yang konsisten dan tidak pernah tertarik menjadi “imam” walaupun
ada yang menginginkannya menjadi calon Presiden.Amien Rais
bahkan pernah memintanya untuk memimpin partai politik.Buya
tidak bersedia. Tetapi perlu dicatat, penolakan Buya bukan dengan
cara jumawa dan membusungkan dada bahwa dirinya tidak
494 Kutipan materi Abdul Rohim Ghozalidengan judul Pemikiran Ahmad Syafii
Maarif, yang disampaikan pada hari Senin, 26 November 2018 dalam acara
Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif Priode ke 2
tahun 2018 (SKK-ASM II 2018) yang diselenggarakan Maarif Institute di
Hotel Grand Mulya Bogor
364
berkeinginan menjadi penguasa. Buya kerap berseloroh bahwa ia
mungkin saja akan tergoda jika permintaan itu diajukan pada saat
dirinya masih muda.
Pada November 2016, ia membela Ahok dengan mengatakan
bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama. Pandangannya ini
melawan pendapat mayoritas tokoh Islam lainnya termasuk Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwakan bahwa Ahok
melakukan penistaan agama Islam dan para ulama.”Sekiranya saya
telah membaca secara utuh pernyataan Ahok di Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu yang menghebohkan itu.
Dalam fatwa itu jelas dituduhkan bahwa Ahok telah
menghina Al-Qur’an dan menghina ulama sehingga harus diproses
secara hukum, semua berdasarkan Fatwa MUI yang tidak teliti itu,
semestinya MUI sebagai lembaga menjaga martabatnya melalui
fatwa-fatwa yang benar-benar dipertimbangkan secara jernih,
cerdas, dan bertanggung jawab, fatwa atau pandangan agama itu
benar, shahih, jelas atau sama seperti apa yang disampaikan ahli
agama, jadi jangan percaya sama orang.
“Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya,
karena dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51 macem-macem itu.
Itu hak bapak ibu ya.”495
Perhatikan, apa terdapat penghinaan Al-Qur’an? Hanya
otak sakit saja yang kesimpulan begitu, yang dikritik Ahok adalah
mereka yang menggunakan ayat itu untuk membohongi masyarakat
agar tidak memilih dirinya, apakah kita mau mengorbankan
kepentingan bangsa dan negara itu akibat fatwa yang tidak cermat
itu?
Atau apakah seorang Ahok begitu ditakuti di negeri ini,
sehingga harus dilawan dengan demo besar-besaran? Jangan jadi
manusia dan bangsa kerdil, untuk kepentingan klarfiikasi atas
legalitas pendapat keagamaan atau fatwa tentang adanya dugaan
495 Pendapat Buya Syafii Maarif tentaang rekaman ahok tentang stentennya soal
sursh Al-Maida 51 di Kepulauan Seribu.
365
kasus penistaan atau penistaan agama yang dilakukan oleh saudara
petahana Basuki Purnama.”
Sikap Spiritualitas Buya Syafii Maarif
Ada kata kunci penting yang biasa dikemukakan Buya Ahmad
Syafii Maarif dalam berbagai kesempatan dan tulisan yang relevan
dengan pemikiran Islam, yaitu bagaimana umat Islam memperlakukan
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang bermuatan pedoman etika sosial
dan pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat Islam, ungkapan
yang biasa digunakan Buya ahmad Syafii maarif adalah “mari kita
berdialog dengan Al-Qur’an” dan “Muhammadiyah sebagai gerakan
ilmu”.496
Dua untaian yang dicoba diramu ulang dari gurunya Fazlur
Rahman sewaktu mengambil program doctor di Chicago tahun
1970-1980an, ungkapan dialog dengan Al-Qur’an mengingatkan
tafsir tematik rahman, “The Major Temes of the Qur’an”, sedang
“gerakan ilmu” terinspirasi dari bukunya yang lain Islam and
Modernity, tulisan itu hanya akan memfokuskan kepada dua kata
tersebut dengan sudut telaah perspektif pemikiran Islam tahun 2000an ke atas, di mana pemikiran Islam telah berkembang sedemikian
rupa pasca proyek modernisasinya Fazlur Rahman.
Penyakit umat Islam di Indonesia adalah kerap menyamaratakan
antara Islam dengan Arabisme, ada Arabisme yang positif. Yang
negatif ya kelompok-kelompok garis keras, ada ISIS, Bokoharam
dan sebagainya.Banyak orang Islam Indonesia berpendapat, karena
Islam itu berasal dari tanah Arab, semua yang ada di Arab Saudi
sudah pasti 100 persen Islam. Tak heran jika Islam hanya terlihat
seperti parade peci dan baju koko dengan diiringi semangat barbar.
“Agama dipakai tidak untuk mengarahkan pemeluknya kepada
hal-hal yang lebih baik. Orang memakai tasbih saja seakan-akan
496 William H. frederich, Muazin Bangsa dari Makkah Darat; Biografi Intelektual Ahmad Syafii Maarif, Serambi Ilmu Semesta, Cetakan Pertama, Jakarta,
2015, Halaman 25
366
sudah Islam.Ini pembodohan”. Buya Syafii menilai, seperti ditulisnya
dalam Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (2018), “Muslim
yang non Arab itu pada umumnya tidak mampu mempelajari ajaran
Islam dari sumber aslinya dalam bahasa Arab.”
Maka kebergantungan rumusan kelompok Islam dalam
bungkus Arabisme itu tidak dapat dielakkan lagi” Buya Syafii
melihat ada bahaya besar dalam hal ini. Menurutnya, jika kondisi
ini terus terjadi, “sama saja dengan melanggengkan malapetaka dan
penderitaan bagi umat ini.” Masih menurut Buya Syafii hendaknya
seorang Muslim di masa kini bisa membedakan antara Arabisme dan
Islam. Dengan tingkat pendidikan pendidikan lebih tinggi dan alat
komunikasi yang canggih, harusnya itu mungkin.
Fazlur Rahman berpendapat, dalam konteks sosssial
ekonomikeagamaan itulah, Al-Qur’an surah al-Maun turun, Surah alMaun (107);1-4 yang turun setalah surah al-Humazah ini mengandung
doktrin agama Islam yang sangat penting, yaitu mengajarkan kaitan
dengan etatantara penghayatan iman dengan pengamalan sosial,
suatu ajaran yang menyimpulkan hubungan antara ide monoteisme
(Tauhid) dengan semangat humanism (kemanusiaan), serta rasa
keadilan ekonomi sosial.497
Di masa Orde Baru, waktu masih ada lembaga prestisius
bernama Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib), pergesekan antarumat beragama sulit ditemukan.
Setelah Orde Baru runtuh, berpuluh tahun setelah Kopkamtib yang
tak disukai Buya Syafiidibubarkan, maka dengan mudah konflik
antaragama meledak. Karena itu, banyak orang dengan mudah
merindukan spemerintahanlitas keamanan ala Orde Baru. Mereka
tak sadar bahwa toleransi tinggalan Orde Baru itu semu karena
bukan dari kesadaran paling dalam. Toleransi ada karena kemauan
Pemerintah.
Toleransi, menurut Buya Syafii, sulit ditegakkan di Indonesia.
Tak hanya toleransi, demokrasi juga tidak tumbuh dengan baik.
497 Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Ahsin Mohammad, Bandung, Pustaka,
2003, halaman 3
367
Menurutnya, seperti dituangkan dalam Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi
Sejarah (2009), “Kepentingan politik sempit yang menutup ruang
untuk mengembangkan budaya toleransi di kalangan elit. Kemudian
di bawah sistem politik otoritarian selama empat dasawarsa (19591988), demokrasi telah dibunuh secara sadar” (h 162). Di usianya
yang makin senja, dan dalam segala kegaduhan saat ini, Buya Syafi’i
masih menjadi pegiat sekaligus contoh toleransi yang diinginkan itu.
Sikap toleransi Buya Syafii sering kali dianggap negative sebagain
orang bahkan banyak kelompok-kelompok yang mengatakan
Buya Syafii sesat atau kafir, padahal dasar-dasar yang orang-orang
mengatakan itu hanya karena beda pandangan dan pemahaman
tentang politik dan sebagainya.
Sebagai tokoh agama, Buya dikenal memiliki konsistensi
untuk “membumikan Islam” atau dalam bahasa Quraish Shihab,
“Membumikan Al-Qur’an”. Setiap Muslim, terutama yang taat
dengan agamanya, pasti akan menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan
utama –di samping sabda Rasulullah (hadits) dan hasil ijtihad serta
ijtimak ulama-- dalam setiap ucapan dan tindakannya. Tapi, tidak
semua tokoh agama mau dan mampu mengamalkan secara maksimal
setiap pesan yang ada dalam ayat-ayat kitab suci itu.498
Yang kita saksikan saat ini, banyak kalangan menjadikan
pesan-pesan Al-Qur’an sebagai komoditas politik, menjadikan Islam
sebagai alat untuk melegitimasi atau untuk membungkus hasrat
Politiknya. Maka kampanye politik untuk kepentingan elektoral pun
sarat dengan bungkus ayat-ayat kitab suci. Buya Syafii adalah salah
satu tokoh yang mengritik keras tindakan semacam ini.Terhadap
mereka yang menjadikan Islam sebagai alat meraih kekuasaan, Buya
mengistilahkannya dengan “Politik bendera” atau “Politik gincu”.
498 Kutipan materi Abdul Rohim Ghozali dengan judul Pemikiran Ahmad Syafii
Maarif, yang disampaikan pada hari Senin, 26 November 2018 dalam acara
Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif Priode ke 2
tahun 2018 (SKK-ASM II 2018) yang diselenggarakan Maarif Institute di
Hotel Grand Mulya Bogor
368
Begitu pun pada mereka yang memperjuangkan Islam dengan
peraturan-peraturan yang berbungkus agama seperti Perda Syariah
atau yang sejenisnya.Kebalikan dari “Politik gincu” adalah “Politik
garam”. Gincu tampak merah merona tapi tidak ada rasanya
kecuali sekadar untuk membangkitkan hasrat atau syahwat libidinal
kekuasaan.
Sedangkan sifat garam larut dan tak tampak dalam air tapi bisa
dirasakan. Menurut Buya, Islam harus seperti garam, pesan-pesannya
terimplemantasi dalam kehidupan, dampak positifnya bisa dirasakan
semua orang walaupun tidak ada bendera yang dikibarkan, atau
kalimat-kalimat tauhid yang diteriakkan. Bagi Buya, spiritualitas
harus membumi dan inklusif. KeRasulan Muhammad yang
menjadi “rahmatan lil-‘alamin” adalah legitimasi tak terbantahkan
bahwa agama yang dibawa Rasulullah ini harus menjadi rahmat,
memberikan kenyamanan, bagi semua kalangan, bukan secara
eksklusif bagi Muslim saja. Bendera dan Perda hanya menunjukkan
eksklusivitas yang menegasikan perbedaan keyakinan.
Pandangan spiritualitas yang membumi dan inklusif yang
dikembangkan Buya ASM tidak lepas dari pengaruh gurunya, Fazrul
Rahman yang dikenal karena konseptualisasinya terhadap Al-Qur’an
sebagai wahyu Ilahi yang harus bisa mendorong umat Islam untuk
memiliki pemikiran, wawasan, dan perilaku yang bersumber dari
pandangan dunia dan etika Qurani.
Sikap Kemanusiaan Buya Syafii Maarif
Mesin budaya yang berdaulat, rakyat, adil, berperikemanusiaan,
dan menghargai dinamika kehidupan adalah “Mesin budaya” yang
mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota mansyarakat
dalam Negara, tetap “Mesin budaya” yang berdaulat penguasa,
yang menindas dan menjajah yang elitis dan tidak popilis sangat
berbahaya.499
499 W. S. Rendra, Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Pentyair dalam
Menanggapi Kalabendu, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2008, Hala-
369
Ahmad Syafii Maarif sang Penganjur Toleransi. Setahun
terakhir, Buya Syafii dikenal sebagai tokoh lintas agama yang
berjuang keras menggalakkan toleransi di Indonesia. Pembelaannya
kepada Ahok terkait kasus Al-Maidah 51, bahkan membuatnya
dicerca orang-orang anti-Ahok di sosial media. Bahkan ada orang
yang mengaku satu suku dengan Syafi’i, selain mengecam juga secara
sepihak mencabut gelar Buya yang disandang Syafi’i.
Buya Syafii, yang membaca secara utuh pernyataan Ahok di
Kepulauan Seribu, menyebut “Ahok tidak mengatakan Al Maidah
(ayat 51) itu bohong”. Buya Syafii hanya ingin berpikir adil sebagai
orang terpelajar, dan juga sebagai orang Islam. Buya Syafii sejak lama
risih dengan sikap intoleran di Indonesia. Itu bahkan terjadi di kelasnya.
Suatu kali, waktu zaman Orde Baru, ada seorang mahasiswa menjelekjelekkan agama lain. Itu mahasiswa intoleran lalu disemprotnya.
Menurut Buya Syafii, toleransi itu penting bagi Indonesia yang
majemuk dalam banyak hal. Dalam bukunya, Islam dan Politik: Teori
Belah Bambu, Masa demokrasi Terpimpin, 1959-1965 (1996), dengan
mengacu pada Piagam Madinah, Buya Syafii menulis, “Sebuah
bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial, agama, dan
budaya tidak mantap.Wajah Islam Indonesia hari ini sebagian sisinya
tercitra begitu negatif, hingga jauh dari nilai sejatinya sebagai agama
damai. Mudah sekali menemukan orang-orang yang mengaku Islam
namun perilakunya kasar dan merasa paling suci. Hal-hal baik gagal
ditegakkan. Islam Indonesia golongan ini hanya terjebak pada simbolsimbol saja dan menjauh dari esensi.
Bagi Buya Syafii, Islam adalah agama yang sarat dengan Nilainilai kemanusiaan. Sumber utama doktrin Islam yang utama, AlQur’an, pada dasarnya merupakan refleksi dari hasil dialog konstruktif
antara pesan langit dengan realitas obyektif yang ada di bumi.Pesanpesan utama demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM), meskipun
secara literal tidak ada dalam Al-Qur’an, tapi jelas terkandung dalam
kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW ini.
man 2
370
Pesan-pesan partikular seperti cara hidup sehari-hari yang
diajarkan Al-Qur’an adalah ditujukan kepada semua umat manusia
secara universal, bukan terbatas pada Muslim saja. Larangan tidak
boleh membuhun, mencuri, berzina, bersumpah palsu, menuduh
(tanpa bukti), berprasangka buruk, memfitnah, dan menyakiti orang
lain, adalah pesan-pesan yang berlaku bagi siapa pun dan dimana pun,
tanpa memandang agama, suku, golongan, dan strata sosial.
Menurut kesaksian banyak kalangan, seperti yang tersaji dalam
buku “Cermin untuk Semua” yang menjadi kado ulang tahun beliau
yang ke-70, Buya Syafii adalah sosok yang konsisten menjalankan
pesan-pesan moral agamanya. Buya Syafii, menurut Sudhamek AWS
adalah sosok “walk the talk” yang mampu menyatukan kata dan
perbuatan. Moral kemanusiaan universal Buya Syafii jelas terlihat,
misalnya, dalam tulisan-tulisannya yang antara lain secara rutin dimuat
di harian Republika. Pembelaan Buya terhadap orang-orang yang
terpinggirkan, dan nasihat-nasihatnya kepada para politisi, termasuk
kolega-koleganya sendiri, merupakan refleksi dari “dialog” yang
selama ini ia lakukan dengan Al-Qur’an. Nilai-nilai yang terkandung
dalam kitab suci ini ia yakini sebagai kebenaran universal dan
berlaku secara universal.
Penutup
Generasi muda dalam memahami dan meneladani Sikap
Intelektual, Spiritual, dan Kemnusiaan Ahmad Syafii Maarif:
1. Mendekatkan jarak yang masih terlalu jauh antara “Pendidikan
Agama”, “Pendidikan Sosial”, “Pendidikan Budaya” dan
“Pendidikan Sains”
2. Generasi milenial memimpikan memperoleh asupan Liberal
Arts Education dan atau General Education
3. Menginfus pemahaman baru tentang Teologi (Kalam), Etik,
Ilmu-ilmu Sosial dan Filsafat dalam pendidikan agama (Islam)
4. Pendekatan kajian keislaman: Multi-, inter- dan transdisiplin
[takamul al-’ulum wa izdiwaj al-ma’arif)
371
Daftar Pustaka
Ahmad Syafii Maarif, Ahmad Syafii Maarif: Memoar Seorang
Anak Kampung
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah,
Bandung: Mizan, 2015
Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Ahsin Mohammad, Bandung,
Pustaka, 2003
William H. frederich, Muazin Bangsa dari Makkah Darat; Biografi
Intelektual Ahmad Syafii Maarif, Serambi Ilmu Semesta,
Cetakan Pertama, Jakarta, 2015
W. S. Rendra, Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Pentyair
dalam Menanggapi Kalabendu, Yogyakarta, Universitas
Gadjah Mada,
372
NEGARA PANCASILA:
ISLAM YES, SYARIAT ISLAM NO
(REFLEKSI PEMIKIRAN AHMAD SYAFII MAARIF
TENTANG INDONESIA, ISLAM, DAN KEBANGSAAN)
M. Mirza Ardi
Pendahuluan
Argumen utama tulisan ini sebagai berikut: dengan adanya
penolakan pada Piagam Jakarta, maka inti dari negara Pancasila
adalah penolakan untuk menjadi negara Islam yang memaksa warga
negaranya untuk melaksanakan syariat Islam. Pada sisi yang lain,
negara Pancasila bukan pula negara yang memberangus ekspresi
keberagamaan dan keberagaman. negara Pancasila adalah negara
yang menjamin kebebasan warga negaranya, tetapi pada saat yang
sama membatasi agar kebebasan itu agar jangan sampai mengganggu
kebebasan warga negara yang lain. Dengan kata lain, negara
Pancasila adalah negara yang sekuler, liberal, tapi juga religius.
Mendebat Pancasila
Sejak awal, sebelum merdeka sampai masa sekarang, Indonesia
memang punya bakat menjadi negara Islam. Argumentasi untuk
pelaksanaan syariat Islam yang diutarakan sejak debat perumusan
Pancasila masih terdengar hingga kini. Diantara dalil-dalil pikiran
yang sering digunakan adalah: Islam adalah buatan Tuhan, sehingga
pasti sempurna. Sedangkan Pancasila adalah buatan manusia,
373
sehingga pasti ada cacat dan salah. Maka, Islam lebih dari baik
daripada Pancasila. Maka, kelompok Islam mengupayakan kewajiban
pelaksanaan hukum syariat Islam sebagai dasar negara. Untungnya,
berkat lobi politik, kelompok sekuler berhasil membujuk kelompok
Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan itu, Indonesia
berhasil menyelamatkan diri dari menjadi negara Islam.
Dalam perspektif sejarah, Pancasila yang kita kenal sekarang
merupakan antitesa dari Piagam Jakarta. Yakni suatu sikap politik
yang menolak pemaksaan negara kepada Muslim untuk menjalankan
syariat Islam. Pancasila menolak pemberlakuan hukum agama. Akan
tetapi, tidak semua rakyat Muslim Indonesia setuju akan hal ini. Ada
kelompok yang menolak Pancasila sebagai dasar negara, dan ingin
menggantikannya dengan Islam (atau Al-Qu’an dan Hadits). Jenis
kelompok ini adalah pemberontak DII/TII Kartosuwiryo di Jawa
Barat dan Daud Beureueh di Aceh.
Pancasila di Tengah Tiga Model Penafsiran
Meskipun dalam sejarahnya, Pancasila berhasil diselamatkan
dari syariatisme. Namun sebagai sebuah teks, Pancasila bisa
ditafsirkan dengan pelbagai paradigma. Paradigma yang berbeda
akan melahirkan penafsiran yang berbeda, bahkan bertolak
belakang satu sama lain. Dalam hubungan antara agama dan negara,
bagi kelompok yang menerima Pancasila, ada tiga model dalam
menafsirkan Pancasila.
Negara Islam
Yang pertama, model negara Islam.Kelompok ini tidak secara
terang-terangan menolak Pancasila, tetapi melakukan penafsiran
ulang terhadap Pancasila. Mereka tidak berupaya menjadikan
Indonesia menjadi negara Islam melalui revolusi sekejab, melainkan
melalui evolusi budaya dan pertarungan di proses pembuatan
kebijakan. Sehingga lahirlah perda-perda syariat yang mendapat
dukungan massa setempat. Bagi pendukung model ini, negara
374
berfungsi untuk melindungi agama Islam dan menegakkan syariat500.
Dalam praktiknya di beberapa negara Islam, tidak ada model negara
Islam yang baku. negara Islam seperti Arab Saudi sangat berbeda
dengan negara Islam seperti Pakistan. Bisa dikatakan, pendukung
negara Islam berbeda-beda dalam menentukan seperti apakah model
ideal negara Islam. Yang jelas, karena tujuan bernegara adalah untuk
melayani agama, maka pendukung negara Islam menolak pemisahan
antara agama dan negara (sekulerisme). Sekulerisme ditolak tidak
hanya karena meniadakan peran negara dalam urusan agama, tetapi
juga karena merongrong fungsi ideal sebuah negara. Demikian
pula penggagas negara Islam menolak netralitas negara dalam
urusan agama, karena dianggap membiarkan pemimpin agama
(ulama) mengurusi urusan agama tanpa bantuan negara. Singkatnya,
sekulerisme atau netralitas negara atas agama dianggap sebagai
bentuk marginalisasi terhadap agama.
Negara Demokrasi Agama
Premis negara demokrasi agama adalah Indonesia, dengan
Pancasila sebagai dasar agama, bukanlah negara sekuler dan
bukan negara teokrasi. Bagi kelompok ini, semua sila di Pancasila
adalah ajaran-ajaran agama. Sehingga tak perlu ditolak. Karena
Pancasila dianggap sebagai inti sari ajaran-ajaran agama, maka
kelompok ini menganggap Pancasila (terutama sila pertama)
menolak sekularisme. Sekularisme juga ditolak karena dianggap
bertentangang dengan karakter masyarakat Indonesia yang religius.
Sehingga tidak cocok dengan iklim budaya Indonesia. 501Sementara
itu, negara Islam ditolak oleh kelompok ini karena gagasan negara
Islam pasti memprioritaskan satu agama di atas agama-agama lain
(apa pun prioritas itu), maka pentinglah menyingkirkan gagasan itu
dari setiap agenda politik Muslim.502
500 Assyaukanie, L. (2011). Ideologi Islam dan Utopia. 1st ed. Jakarta: Freedom
Institute.p88
501 ibid, 145
502 Ibid, 166
375
Negara Demokrasi Liberal
Model ini mengusung ide sekularisme, yakni pemisahan
total antara agama dan negara.Negara dituntut untuk netral, tidak
membela atau menomorsatukan agama manapun diatas agama yang
lain. Urusan agama bukan wewenang negara, tetapi diberikan kepada
individu-individu masyarakat yang kebebasan beragamanya telah
diatur oleh konstitusi. Bagi kelompok Muslim yang mendukung
ide ini, berargumen bahwa Islam memiliki tiga doktrin. Pertama,
doktrin Islam yang bersifat pribadi seperti rukun iman (percaya pada
Tuhan, Malaikat, dsb). Perkara yang bersifat metafisis ini tak bisa
diseragamkan oleh negara beserta aparaturnya. Kedua, doktrin yang
bersifat ibadah dan komunal, negara juga tak bisa memaksa warga
negara untuk shalat lima waktu atau berpuasa. Ketiga, perkara yang
bersifat publik seperti sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan
sejenisnya. Untuk ini, negara punya wewenang. Namun, karena
peraturan dan undang-undang adalah milik publik, maka mereka
harus bebas dari kepentingan doktrin agama tertentu503.
Bagi eksponen demokrasi liberal, pemisahan negara dan agama
penting demi menyelamatkan agama itu sendiri dari kepentingan
politik, dan menyelamatkan negara dari kepentingan satu agama
diatas agama yang lain. Dalam sistem sekulerisme, yang bertanggung
jawab menerapkan syariat bukan negara, tetapi pemimpin agama
dan keluarga.
Ahmad Syafii Maarif sebagai Demokrat Agamis
Jika dilihat dari tiga sikap Muslim Indonesia terhadap
Pancasila, Ahmad Syafii Maarif termasuk pendukung demokrasi
agama. Sebagai intelektual publik yang menentang teokrasi, sikap
Ahmad Syafii Maarif terlihat gamblang ketika ia menolak peraturan
daerah yang bernuansa syariat yang tumbuh subur di Indonesia pasca
reformasi. Baginya, yang penting bagi Indonesia adalah hukum yang
503 Ibid 193-194
376
sudah ada sekarang (KUHP) dilaksanakan sesuai dengan peraturan504.
Dengan kata lain, bukan jenis hukumnya yang perlu dipersoalkan,
melainkan penegakan hukum itu yang perlu ditegakkan. Selain
itu, menurut Maarif, perda syariat sebenarnya problematik karena
“sesungguhnya pendukung Perda itu bukan hanya partai Islam,
partai macam-macam, sekuler, lebih beriorientasi kepada kekuasaan
jangka pendek untuk menjaga mendapatkan konstituen.” Bahkan,
lebih jauh lagi ia menginginkan agar perda-perda syariat yang
berlawanan dengan UUD itu agar diuji kembali keabsahannya di
Mahkamah Konstitusi, karena perda syariat adalah “Duri dalam
daging itu, artinya mengganggu pelaksanaan konstitusi Indonesia ini
dan bisa menimbulkan perpecahan,”505
Lebih jauh lagi, bagi Maarif, bukan sesuatu yang mudah untuk
menempatkan Syariat Islam ke dalam mekanisme kehidupan politik
modern. negara Pakistan adalah sebuah contoh bagaimana sebuah
negara Islam yang hingga sampai saat ini masih bingung untuk
menerapkan Syariat Islam dalam kehidupan kenegaraannya. Karena
itu, moral etik yang berjalan di sebuah negara jauh lebih penting
daripada nama ataupun sistem pemerintahan yang dipakai.
Menurut Buya Syafii Islam tidak mempermasalahkan apapun
nama dan bentuk pemerintahan yang dipakai oleh pemimpin Is- lam,
yang terpenting adalah bagaimana moral- etik dapat berjalan dengan
baik dalam sebuah negara tersebut. 506
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana landasan
berpikir Ahmad Syafii Maarif sehingga sikap dan pernyataan diatas
bisa muncul? Bagaimana Maarif merekonsiliasi identitasnya sebagai
seorang yang beragama Islam dengan identitas dirinya sebagai
orang Indonesia yang berfalsafah Pancasila yang menolak perda
syariat. Untuk menjawab pertanyaan ini, posisi Maarif adalah Islam
504 https://nasional.tempo.co/read/1147608/2-tokoh-yang-pernah-menolak-perda-syariah
505 https://www.jawapos.com/nasional/humaniora/24/11/2018/Buya-Syafii-kurang-setuju-dengan-perda-syariah-ini-alasannya
506 Asroni, A. (2011). Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan
Syariat Islam di Indonesia. Millah Jurnal Studi Agama, X(2).
377
merupakan penafsiran dan pemahaman manusia yang tak sempurna
dan berbeda-beda terhadap teks kitab suci. Ada pemahaman Islam
yang justru menolak negara Islam dan segala bentuk pemaksaan
negara kepada warga negara untuk menjalankan syariat.507 Penafsiran
seperti ini sangat cocok untuk iklim bangsa Indonesia yang kaya
ragam perbedaan.
Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, bukanlah sebuah
kitab ilmu politik yang mendikte bagaimana seharusnya institusi
atau sistem politik yang bagaimana harus dipakai, melainkan
sebagai petunjuk etik bagi umat manusia. Diamnya Al-Qur’an
dalam masalah sistem pemerintahan mana yang harus digunakan
oleh umat Islam, merupakan suatu kesempatan yang sangat luas
bagi manusia untuk menggunakan akal kreatifnya dalam memilih
sistem pemerintahan yang tepat sesuai dengan konteks daerahnya
sendiri. Yang ditawarkan Al-Qur’an adalah Nilai-nilai kebajikan
seperti keadilan, persamaan, dan kebebasan untuk dihidupkan
dalam kehidupan bernegara, apapun sistem Pemerintahnya. Dengan
begitu, umat Islam bisa dengan bebas kreatif memodifikasi sistem
pemerintahannya saat kondisi sosial-ekonomi tidak memungkinkan
lagi sistem lama untuk dipertahankan.
Selain itu, dibalik klaim negara-negara yang mendeklerasikan
diri sistem Islam, sulit sekali menemukan negara yang menerapkan
Nilai-nilai Islam seperti egaliter dan keadilan di praktiknya. Banyak
negara Timur Tengah yang masih menerapkan sistem Monarki dimana
kekuasaan milik satu keluarga. Negara-negara yang mengaku Islami
juga masih gagal menjadi negara superpower dibandingkan negara
Amerika Serikat dan Tiongkok yang tidak pernah memproklamirkan
diri sebagai negara agama tertentu.
Sebagai demokrat agamis, Maarif juga menolak sekulerisme
sebagaimana ia menolak teokrasi. Baginya, dibutuhkan negara
untuk menyokong Nilai-nilai agama Islam. Ia merujuk pada
tafsir Muhammad Assad yang menyatakan bahwa Al-Qur’an
507 Maarif, A. S. (2017) Islam dan Pancasila sebagai dasar negara : studi tentang perdebatan dalam konstituante. Bandung Mizan, 2017
378
menjawab pertanyaan sentral kehidupan manusia, yakni: bagaimana
seharusnya seseorang berperilaku dalam kehidupan ini untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada wilayah manusia yang
sepenuhnya menjadi sekular, semua menjadi wilayah agama, yang
berorientasi pada Nilai-nilai transendental. Al-Qu’an menyediakan
prinsip etika dan moral yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa untuk
bisa maju. Misalnya Al-Qur’an mengajarkan prinsip Syuro yang
sangat erat dengan demokrasi. Karena itu, demokrasi di Indonesia
bisa mengambil konsep Syuro yang ada di Al-Qu’an sebagai
inspirasi untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia.508Dan
konsekuensinya juga, berdemokrasi sama juga dengan beribadah
kepada Allah SWT.
Selain Assad, Maarif juga mengambil Mahmud Shalthout,
mantan rektor Al-Azhar, sebagai inspirasi. Bagi Shalthout, Islam
tidak hanya soal aqidah dan syariat, tapi juga keadilan. Hal ini
dipertegas lagi oleh fungsi Islam sebagai rahmat buat semesta alam,
dimana orang sekuler dan atheis pun akan merasakan nikmat itu.
Dengan demikian, Muslim tak boleh mendiskriminasi orang atheis,
agnostic, atau sekuler. Kecuali jika terjadi pelanggaran hukum positif
dimana setiap warga negara diperlakukan sama di mata hukum
apapun keyakinannya. 509
Karena itu, sebagai demokrat agamis, ada tiga landasan
pemikiran yang menjadi dasar sikap Maarif. Yang pertama, sikap
essensialist. Kedua, prinsip kemaslahatan. Ketiga, etika garam dan
gincu.Sikap essensialis adalah mendahulukan maqasith syarait
ketimbang pelaksanaan hukum syariat secara tekstualist. Jika tujuan
maqasith syariat adalah menjaga harkat dan martabat manusia
(perempuan dan laki-laki), maka Islam diturunkan bukan untuk
membuat wanita disweeping di tengah jalan lalu dipaksa untuk
memakai jilbab, melainkan untuk memberi kebebasan kepada
508 Asroni, A. (2011). Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara dan
Syariat Islam di Indonesia. Millah Jurnal Studi Agama, X(2).
509 Maarif, A. (n.d.). Percakapan dengan Ahmad Syafii Maarif. nurcholismadjid.org.
379
perempuan untuk memilih pakaiannya sendiri. Jika perempuan
memilih untuk memakai jilbab, maka tak seorang pun (bahkan
negara) yang boleh melarangnya. Sebaliknya, jika seorang
perempuan memilih tidak memakai jilbab, maka tak satu manusia
pun berhak memaksa dia memakai jilbab. Dengan kata lain, yang
perlu ditegakkan dalam Islam adalah ‘api’nya, bukan ‘debu’nya.
Maka dalam menyikapi suatu masalah, Maarif selalu menjadikan
substansi Islamsebagai tolak ukur, seperti: keadilan, kebaikan, dan
keindahan.
Menurut Maarif, negara merupakan alat untuk menjunjung
tinggi moralitas yang menjadi esensi dari Islam.. Karena itu,
ada istilah hudan li al-nâs; hudan li al-muttaqîn: hakikat agama
adalah petunjuk bagi manusia, yang di dalamnya mencakup moral
yang komperhensif. Jadi, posisi negara tidak lain untuk menuntun
warganya mencapai moralitas yang salah satunya, dan terutama,
bersumber dari agama
Prinsip kemashlahatan adalah kelanjutan dari sikap
substansialis. Cara pandang kemashlahatan adalah dengan melihat
dampak jangka panjang. Yakni, apakah keputusan yang diambil
lebih banyak manfaat atau mudharatnya dimasa depan. Alasan utama
Piagam Jakarta ditolak oleh pendiri bangsa yang beragama Islam
adalah karena menganak-emaskan satu agama dibandingkan dengan
agama yang lain akan membuat bangsa Indonesia yang majemuk ini
pecah. Kebebasan beragama telah diberikan, tak perlu negara ikut
campur memaksa warga negara untuk taat beribadah. Peribadatan
yang dikerjakan dengan terpaksa hanya akan melahirkan kepalsuan.
Ketiga, filosofi garam dan gincu510. Yang dimaksud dengan
falsafah garam adalah tidak tampak tapi terasa, sementara filosofi
gincu ialah tampak tapi tak terasa. Artinya, simbol-simbol
seperti nama “negara Islam” atau “provinsi syariat” justru akan
mempermalukan wajah Islam sendiri jika negara atau provinsi itu
penuh dengan korupsi, hukum yang tumpul ke atas, dan perusakan
510 Maarif, A. S. (2004) Mencari Autentisifitas dalam Kegalauan. Jakarta. Pusat
Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiah, 2015.
380
lingkungan. Sebaliknya, jika tak memakai nama ‘Islam” tetapi
mampu menampilkan performa akhlak dan peradaban yang
menawan, maka akan membuat orang tertarik pada Islam. Karena
bukan hanya kualitasnya bermutu, tetapi juga ada sifat inklusif. Sifat
inklusif yang berperadaban ini jugalah yang membuat negara Eropa
menarik bagi Muhammad Abduh, sehingga ia pernah berkata “Aku
ke Barat, ku temukan Islam tapi tak kutemukan Muslim. Aku ke
Timur, aku temukan banyak sekali Muslim, tetapi tidak kutemukan
Islam”.
Singkatnya, yang penting bukan bentuk negaranya. Tapi apakah
negara itu mampu mewujudkan moral dan etika publik. Sebagai
negara bangsa, etika publik Indonesia adalah Pancasila. Argumenargumen moral publik harus dibangun dari ayat-ayat konstitusi dan
Pancasila, bukan dari ayat-ayat kitab suci. Meskipun ada inspirasi
etika dari kitab suci, hal itu harus disampaikan dengan argumentasi
rasional untuk diuji secara publik. Bukan dengan mengutip ayat suci
dan mengancam yang tidak menerimanya sebagai sesat atau kafir.
Kekuatan Pancasila
‘Kekuatan’ di sini bukan bermaksud membandingkan siapa
lebih baik antara Pancasila dengan Islam maupun dengan agama atau
ideologi lainnya. Melainkan sebagai refleksi atas potensi apa yang
Pancasila punya, tidak hanya sebagai pemersatu bangsa, melainkan
juga sebagai sumber nilai dan falsafah hidup orang Indonesia.
Cara melihat kesesuaian Pancasila dengan Islam bukan dengan
cara melihat akar sejarah kelahiran mereka, tetapi dengan mengadu
kesesuaian Nilai-nilai yang dikandung mereka. Bagi Maarif,
Pancasila yang mengandung lima nilai luhur merupakan parafrase
dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Dia memang bukan terdiri dari
kutipan ayat-ayat suci, tapi pesannya terdapat di semua kitab suci.
Oleh karena itu, Pancasila adalah ajaran Islam bagi Muslim, ajaran
Hindu bagi penganut Hindu, ajaran Sidharta bagi pemeluk Budha,
ajaran Kristen bagi umat Kristiani, ajaran Confusius bagi warga
Kong Ho Cu. Pancasila adalah titik temu dari Nilai-nilai kebaikan
381
agama dunia.
Di saat yang bersamaan, Pancasila juga merupakan perpaduan
lima ideologi besar dunia, yakni monoteisme, humanisme,
nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme511. Untuk merevitalisasi
pesan Pancasila, Yudi Latif512 memparafrase kelima sila menjadi:
1. Ketuhanan Yang Berkebudayaan
2. Kemanusiaan Universal
3. Persatuan dalam kebhinekaan
4. demokrasi Permusyawaratan
5. Keadilan Sosial
Krisis Keteladanan Pancasila
Jika Pancasila memiliki potensi sehebat itu, pertanyaannya
kemudian kenapa sebagian penduduk Indonesia masih berpaling dari
Pancasila dan masih mengimpikan negara Islam, sistem khilafah,
dan hukum syariat?
Menurut Maarif, hal ini disebabkan oleh perilaku orang yang
mengangung-agungkan Pancasila, tetapi perilaku mereka justru
sangat tidak Pancasilais. Sehingga orang memilih alternatif ideologi
lain. Contoh yang paling sering dikutip Maarif adalah Soekarno,
ia kecewa cara Soekarno memperlakukan lawan-lawan politiknya
dan bagaimana sang proklamator itu berubah menjadi pemimpin
otoriter.513
Tetapi semua bangsa di dunia memiliki paradoks yang serupa.
Yakni sang pencetus ide merupakan orang yang melanggar ide itu
511 Rahardjo, M Dawam. (2010) Merayakan Kemajemukan Kebebasan Dan Kebangsaan. Kencana, 2010
512 Latif, Y. (2011) Negara paripurna : historisitas, rasionalitas, dan aktualitas
Pancasila. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2011
513 Maarif, A. S. (2004) Mencari Autentisifitas dalam Kegalauan. Jakarta. Pusat
Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiah.
382
sendiri. Misalnya saja Thomas Jefferson yang menulis di konstitusi
Amerika bahwa “semua manusia diciptakan sama”, tetapi dia
sendiri memiliki budak. Atau John Stuart Mill yang menjadi pemikir
tentang ide liberalism, tetapi dia sendiri mendukung penjajahan
Inggris terhadap India. Padahal, seperti yang kita tahu, penjajahan
merupakan pemberangusan kebebasan manusia.
Meskipun demikian, tidak berarti Indonesia miskin suri
tauladan. Maarif memang mengkritik pendiri bangsa Soekarno, tapi
dia juga sangat mengagumi pendiri bangsa satunya lagi: Muhammad
Hatta. “Diantara sekian banyak tokoh bangsa yang saya hormati
dan kagumi, Bung Hatta adalah puncaknya.”514 Keteladanan, bagi
Maarifadalah ‘antara kata dan perbuatan haruslah seiring sejalan’515.
Keteladanan tokoh nasional bagi Maarif ada pada Bung Hatta, “jika
bangsa ini masih ingin punya masa depan yang cerah, Hatta wajib
dijadikan rujukan utama dan pertama”.
Bisa dilihat, pemimpin yang diutamakan Maarif adalah
pemimpin moral, bukan pemimpin yang sifatnya eksekutor dengan
kemampuan menyelesaikan masalah kongkret bangsa sehari-hari
seperti harga sembako yang naik, kualitas pendidikan yang anjlok, dan
penegakan hukum yang tumpul. Masalahnya kemudian, bagaimana
kita bisa memastikan Indonesia akan melahirkan reinkarnasi Hatta
di tiap dekade? Adalah sebuah utopia memimpikan bangsa ini akan
terus menerus melahirkan philoshoper king. Kepemimpinan itu
penting, tapi yang lebih penting adalah membangun institusi yang
berasaskan Pancasila. Yang diperlukan adalah membangun institusi
yang mampu memaksa Presiden terpilih yang awalnya Islamis, tapi
oleh sistem mau tidak mau harus menjadi seorang Pancasilais. Untuk
menjaga Pancasila sebagai institusi, diperlukan kerja keras angkatan
muda Islam Indonesia karena mayoritas penduduk Indonesia adalah
Muslim.
514 Ibid., h. 229
515 Ibid., h. 222.
383
Muslim-Pancasila
Sebagai negara mayoritas Islam yang barhaluan Pancasila.
Paradigma Muslim Indonesia sepatutnya adalah Muslim Pancasila.
Artinya Pancasila dan UUD 1945 harus dilihat sebagai Nilainilai makruf yang harus diperjuangkan. Bukan berarti bahwa kita
menggantikan Al-Qur’an dan Hadits dengan Pancasila dan UUD
1945, tetapi kita sadar bahwa tak ada Nilai-nilai Pancasila dan UUD
1945 yang bertentangan dengan nilai Al-Qur’an. Sebaliknya, kita
pun juga perlu melawan segala bentuk usaha yang menggantikan
Pancasila sebagai nahi mungkar. Menjadi Bineka adalah sunnatullah,
melawan keberagaman berarti melawan hukum Tuhan. Oleh karena
itu, membela Pancasila sama dengan membela Islam. Menjadi
Pancasialis berarti menjadi Muslim.
Untuk membangun kader Muslim-Pancasila, Maarif berharap
banyak pada lembaga keagamaan seperti NU dan Muhammadiah.
Bahkan dia menginginkan agar dua organisasi Islam itu melampaui
sekat-sekat sektarian dan kepentingan politik sesaat, sehingga betulbetul bisa fokus untuk membangun peradaban Islam yang inklusif dan
moderat. Karena itu, yang harus dilakukan oleh Muslim Indonesia
adalah memperbaiki kualitasnya menjadi rahmatan lil alamin. Jika
setiap Muslim di Indonesia menjadi rahmat bagi semesta alam,
otomatis bangsa ini akan menjadi besar dengan sendirinya.516
Selain meningkatkan kualitias diri menjadi Muslim yang
rahmatan lil alamin, Muslim-Pancasila juga harus berupaya membuat
Indonesia menjadi negara Pancasila. Bagi seorang Muslim-Pancasila,
negara Pancasila adalah negara berfilosofi garam, yakni secara kasat
mata bukan negara agama, tetapi Nilai-nilai yang hidup dan aktif di
dalam negara itu adalah Nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari
mata air agama. Ditinjau dari pemikiran Maarif sebagai seorang
Muslim-Pancasila, karakteristik negara Pancasila sebagai berikut:
Pertama, negara bangsa, yakni bukan negara yang menomor
516 Maarif, A. S. (2015) Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
dan kemanusiaan : sebuah refleksi sejarah. Ujungberung, Bandung Kerja
sama Mizan [dan] Maarif Institute, 2015.
384
satukan agama tertentu dan menganaktirikan agama lain karena
minoritas atau mayoritas. Tetapi negara netral agama yang
berdasarkan konsensus dari beragam suku, budaya, dan aliran
kepercayaan. Karena itu, negara syariat tertolak dengan sendirinya.
“Piagam Jakarta tidak perlu lagi dilihat dari perspektif legal formal,
tetapi diambil ruhnya berupa tegaknya keadilan yang merata
bagi seluruh penghuni Nusantara, tanpa diskriminasi”517. Dari
konsep negara bangsa ini, maka lahirlah konsep warga negara.
Kewarganegaraan adalah saat seorang individu hanya dilihat sebagai
warga negara yang memilki hak dan kewajiban seperti warga negara
lainnya, tak peduli latar belakang agama, suku, dan identitas lainnya.
Istilah mayoritas dan minoritas dihapus, yang ada hanya satu: warga
negara Indonesia yang setara.
Kedua, negara yang menjunjung tinggi kebebasan manusia,
bahkan jika ia memilih untuk menjadi ateis. Bagi Maarif, manusia
yang memilih untuk tidak beriman pun harus diberikan haknya untuk
tidak percaya kepada Tuhan, sama seperti manusia yang memilih
untuk percaya kepada Tuhan. Yang penting, baik yang beriman
maupun yang ateis, mereka tak melanggar hukum.518 Dari sini, bisa
dikatakan negara Pancasila adalah negara hukum yang melindungi
kebebasan beragama, berpikir, berekspresi, dan berpendapat.
Ketiga, negara yang memiliki transaparansi, akuntabilitas,
dan nilai-nilai integritas dalam tata kelola pemerintahan. Salah
satu yang membuat negara ini ambruk adalah korupsi yang sudah
menjadi budaya. Oleh sebab itu, jihad melawan korupsi, kolusi, dan
nepotisme tidak boleh kendor.
Keempat, negara demokrasi. demokrasi ada dua, yakni
prosedural dan substansial. demokrasi prosedural adalah demokrasi
yang hanya peduli dengan pemilihan langsung kepala negara atau
daerah, tanpa peduli dengan Nilai-nilai budaya masyarakat di
dalamnya. Efek dari demokrasi yang hanya prosedural adalah ia
bisa melahirkan negara yang illiberal demokrasi. Secara proses
517 Ibid., h. 322
518 Ibid., h. 320
385
pergantian pemimpin dengan metode dipilih langsung, tapi dalam
menjalankan kekuasaannya bersifat otoriter dan memberangus
kebebasan warga negara. Sementara itu, demokrasi substansial
adalah sistem yang menghidupkan Nilai-nilai demokrasi agar hidup
dijantung masyarakat. Nilai-nilai demokrasi adalah kebebasan.
Sambil mengutip Hatta, bagi Maarif, menjadi Indonesia adalah
menjadi seorang demokrat dan jika demokrasi jatuh maka jatuhlah
Indonesia.519 Muslim-Pancasila harus melindungi demokrasi di
Indonesia agar jangan sampai dibajak oleh orang-orang yang
menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.
Kelima, negara yang mengemansipasi perempuan. Perempuan
adalah separuh dari populasi Indonesia. Jika separuh populasi ini
tidak sekolah, maka separuh Indonesia akan bodoh. Bila separuh
populasi ini tidak bekerja, maka separuh tenaga dan pikiran produktif
bangsa ini tumpul dan mandul. Oleh karena itu, hak-hak perempuan
sebagai warga negara harus dilindungi negara (Maarif, 2004, 2015).
Keenam, negara yang multikultural. Keberagaman adalah
takdir dari Tuhan. Indonesia ditakdirkan menjadi bangsa yang Bineka.
Tantangannya adalah bagaimana agar anak bangsa yang berbedabeda ini bisa bahu-membahu membangun negeri dan peradaban
(Maarif, 2004, 2015, 2017). Untuk itu, dengan semangat Bineka
Tunggal Ika, negara harus menjamin persamaan hak kelompok
minoritas yang tinggal di negara ini. Bahkan kalau perlumemberikan
kebijakan afirmasi kepada kelompok minoritas yang selama ini
ditindas dan diperlakukan tidak adil secara struktural.
Ketujuh, pendidikan kritis yang bermutu. Peradaban dibangun
oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahun dibangun oleh sistem
pendidikan yang berkualitas. Masalah yang dihadapi Muslim
Indonesia saat ini adalah mereka menang secara kuantitas, tapi kalah
total secara kualitas. Menurut Maarif, salah satu faktor penyebabnya
adalah dualisme ilmu pengetahuan (ilmu agama vs ilmu dunia)
yang hinggap di mental Muslim Indonesia. Akibatnya, orang lebih
519 Maarif, A. S. (2004) Mencari Autentisifitas dalam Kegalauan. Jakarta. Pusat
Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiah
386
terpanggil untuk mempelajari agama dan menganggap rendah
ilmu eksakta, sosial, dan humaniora. Tantangan Muslim-Pancasila
adalah menghapus dualisme ilmu dalam mental berpikir Muslim
Indonesia.520
Tujuh poin negara Pancasila diatas: negara bangsa, kebebasan,
integritas, demokrasi, emansipasi, multikultural, dan pendidikan
kritis adalah Nilai-nilai Islam. Sebuah negara bisa menjadi Islam
tanpa harus menjadi negara Islam yang sifatnya memaksa. Oleh
sebab itu, meminjam istilah Cak Nur, bisa diambil kesimpulan
bahwa negara Pancasila adalah ‘Islam Yes, negara Syariat No’.
Dengan kata lain, negara Islam bukan Pancasila, tapi bukan berarti
Pancasila bukan Islam.
Krisis Kebijakan Pancasila
Meskipun demikian, pasal-pasal diskriminasi terus terjadi di
Indonesia karena pengambil kebijakan tidak memiliki perspektif
dan tidak menjiwai pentingnya Pancasila. Bagi mereka, perda
syariat atau kebijakan yang memberangus hak minoritas dilegitimasi
oleh Pancasila. Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, generasi
Muslim-Pancasila harus mengambil alih kembali kebijakan publik
sebagaimana pendiri bangsa menyelamatkan Indonesia dari Piagam
Jakarta. Pancasila itu tidak sakti, maka karena itu perlu kita jaga dan
bela.
Salah satu penyebab maraknya keinginan Muslim Indonesia
untuk menegakkan syariat sebagai hukum positif disebabkan oleh
kegagalan negara Indonesia dalam menegakkan keadilan sosial.
Jika menegakkan syariat Islam gagal dalam skala nasional, maka
diupayakan dalam skala daerah melalui peraturan daerah (perda).
Menurut Gus Dur, Pancasila berperan dalam merefleksikan
pesan-pesan utama seluruh agama. Dalam perspektif Islam sendiri,
520 Maarif, A. S. (2015) Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
dan kemanusiaan : sebuah refleksi sejarah. Ujungberung, Bandung Kerja
sama Mizan [dan] Maarif Institute, 2015.
387
Pancasila sendiri merupakan perwujudan dari maqashid Syariah
yang terekspresikan dalam bahasa non-agama. Dengan kesadaran
ini, Muslim Pancasila menolak pendirian dan formalisasi agama.
Mereka lebih menekankan substansi agama yang berupa Nilainilai universal ketimbang peraturan teknis cara menghukum orang
berdosa. Mereka memposisikan negara Indonesiasebagai institusi
yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan,
dan melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa
Indonesia. Dengan demikian, melalui Pancasila, Muslim Indonesia
menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi
seluruh makhluk-Nya dalam arti sebenarnya. Dalam konteks ideal
Pancasila ini, setiap orang bisa saling membantu untuk mewujudkan
dan meningkatkan kesejahateraan duniawi, dan setiap orang bebas
beribadah untuk meraih kesejahteraan ukhrawi tanpa mengabaikan
yang pertama.521
Sikap nasionalis ini merupakan tanggung jawab mereka untuk
menjamin agar Indonesia tidak pecah dimasa depan karena konflik
agama. Pancasila diharap mampu merawat budaya dan tradisi
Nusantara yang mampu menampung keragaman. Dengan Pancasila,
Muslim Indonesia diharapkan mampu menjadi pribadi-pribadi yang
terus berusaha untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya kepada
siapa pun tanpa mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada.
Dengan cara demikian, Muslim Indonesia bisa menjadi rahmat bagi
semua manusia.
521 Wahid, A. Musuh Dalam Selimut. In: A. Wahid, ed., Ilusi negara Islam, 1st
ed. Jakarta: The Wahid Institute. 2009. H. 17
388
Daftar Pustaka
Asroni, A. (2011). Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang negara
dan Syariat Islam di Indonesia. Millah Jurnal Studi Agama,
X(2).
Assyaukanie, L Ideologi Islam dan Utopia. 1st ed. Jakarta:
Freedom Institute.2011
Latif, Y. (2011) Negara paripurna : historisitas, rasionalitas, dan
aktualitas Pancasila. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
2011.
Maarif, A. S. (2017) Islam dan Pancasila sebagai dasar negara :
studi tentang perdebatan dalam konstituante. Bandung
Mizan, 2017
Maarif, A. S. (2015) Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan dan kemanusiaan : sebuah refleksi sejarah.
Ujungberung, Bandung Kerja sama Mizan [dan] Maarif
Institute, 2015.
Maarif, A. S. (2004) Mencari Autentisifitas dalam Kegalauan.
Jakarta. Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP)
Muhammadiah,
Rahardjo, M Dawam. (2010) Merayakan Kemajemukan Kebebasan
Dan Kebangsaan. Kencana, 2010
Wahid, A. Musuh Dalam Selimut. In: A. Wahid, ed., Ilusi negara
Islam, 1st ed. Jakarta: The Wahid Institute. 2009
389
TENTANG PENULIS
Aminah dIlahirkan di Pangkalan Berandan Kecamatan Babalan
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada 25 Juli 1989. Penulis
merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara. Kedua orangtuanya
bernama (Alm) Ahmad Basri dan Alinuri. Pendidikan dasar penulis
di SD Negeri 8 Pangkalan Beran dan selesai pada tahun 2001.
Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan di SLTP Dharma Patra
UP-1 T. Lagan Pangkalan Berandan yang diselesaikan pada tahun
2004. Selepas itu penulis melanjutkan pendidikan di SMA Dharma
Patra Pertamina Pangkalan Berandan diselesaikan pada tahun 2007.
Selanjutnya penulis menempuh pendidikan Strata I (S-1) di STAIN
Zawiyah Cot Kala Langsapada prodi Ahwal Asy-Syakhsiyah tiap
tahunnya selalu mendapatkan beasiswa prestasi dari Pemerintah dan
lulus pada tahun 2011 dengan predikat Cumlaude tertinggi saat itu.
Kemudian pada tahun 2013 penulis berhasil mendapatkan beasiswa
studi untuk melanjutkan pendidikan Strata II (S-2) ke Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara pada prodi Ilmu Hukum dan
selesai dengan predikat Terpuji pada tahun 2015. Selama menempuh
pendidikan penulis aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IKM) dan sekarang menjadi Ketua Nasyiatul Aisyah Cabang Kota
Langsa. Saat ini penulis aktif sebagai Dosen PNS di IAIN Langsa
pada Fakultas Syariah dan memiliki jabatan tambahan sebagai Ketua
Pusat Studi Peradilan Semu.
Anis Kurniawan, Penulis dan peneliti kelahiran Bulukumba
Sulawesi Selatan 9 November. Menyelesaikan kuliah di Program
Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar (UNM), dan pernah
belajar Ilmu Politik di Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Menulis buku “Demokras di Sarang Penyamun” (Kumpulan Esai
Politik) 2017, Politik Pemiskinan (diterbitkan Ford Foundation
dan FIK Ornop Sulsel 2012), Pemilu 2014 dan Dilema Mendorong
Demokrasi Subtantif (diterbitkan Tifa Foundation dan Fik Ornop
390
Sulsel), Kumpulan Cerpen “Wajah dan Wajah” (2008), Telinga
Palsu (Antologi Esai, 2018) dan beberapa antologi bersama. Aktif
sebagai peneliti di Perkumpulan KATALIS sejak 2017, sebelumnya
pernah bekerja sebagai Media konsultan di Oxfam. Pada tahun 2008
menjadi Delegasi Indonesia pada Temu Cerpenis muda se-ASEAN.
Mengikuti Sekolah Pemimpin Muda Indonesia, KBFP Fellowship
Program 2018. Menjadi editor puluhan buku tema Sastra, Budaya
dan Politik. Selain menulis buku dan menjadi narasumber di berbagai
forum, ia juga aktif menulis di berbagai media antara lain Tribun
Timur, Harian Fajar, Kendari Pos, Media Indonesia, dan lainnya.
Tulisan-tulisannya juga dapat dijumpai di Detik.com, qureta.com
dan klikhijau.com. Sejak setahun terakhir, mendirikan Klikhijau.
com, sebuah portal yang concern pada isu-isu lingkungan hidup dan
menjadi penulis tetap di dalamnya. Menerima penghargaan KAHATI
AWARD dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(2019) atas dedikasinya pada literasi lingkungan. Dapat dihubungi
melalui email: ayyin2009@gmail.com.
Didi Rahmadi, riwayat pendidikan Strata Satu (S1) ditamatkan
di Jurusan IlmuPolitik, FISIP USU (2007) dan Studi Master Ilmu
Politik (S2) ditamatkan di Department of Political Science Faculty
of Arts, Aligarh Muslim University, India (2013). Saat ini mengajar
pada Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas dan Jurusan
Ilmu Politik FISIP UMSB, Padang, untuk mata kuliah Sistem
Politik Indonesia, Ekonomi Politik dan Gerakan Sosial. Selain aktif
mengajar, Ia juga relawan gerakan petani di DPW SPI Sumatera
Barat, dan Direktur Daulat Institute Sumatera Barat. Beberapa
artikelnya sempat dimuat di Padang Ekspres (Sumbar), Waspada
(Sumut), dan Analisa (Sumut) dan Ia juga terlibat dalam penulisan
Buku bersama yang diterbitkan Mizan (Politik Kaum Muda, 2017)
dan DKPP R.I. (Problematika Pemilukada Serentak 2015, 2016).
Dwi Wahyuni dIlahirkan di Desa Lubar Kecamatan Simpang
Martapura Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan pada 19
Maret 1993. Penulis merupakan anak ke enam dari enam bersaudara.
391
Kedua orang tua bernama Bahrom dan Suparti, namun sejak kecil
telah diasuh oleh kedua orang tua angkat bernama Suparman
(alm) dan Siti Patimah. Pendidikan dasar penulis di SD Negeri 2
Muaradua selesai pada tahun 2005. Kemudian dilanjutkan dengan
pendidikan di SMP Negeri 1 Muaradua yang diselesaikan pada
tahun 2008. Selepas SMP melanjutkan pendidikan di SMA Negeri
1 Muaradua diselesaikan pada tahun 2011. Selanjutnya penulis
menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Raden Fatah
Palembang Jurusan Perbandingan Agama,lulus tahun 2015.
Pada tahun 2016 penulis melanjutkan pendidikan Magister pada
program studi Religious Studies di Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati Bandung, lulus pada Agustus 2018. Selama
menjalani pendidikan di UIN Raden Fatah Palembang penulis aktif
di organisasi ekstra kampus, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Penulis menyelesaikan pendidikan Strata Satu dalam jangka waktu
8 (Delapan) semester dengan Skripsi berjudul “Peranan HMI dalam
Mewujudkan Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia
(Analisis Terhadap Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI)”. Penulis
menyelesaikan pendidikan program Magister di UIN Sunan Gunung
Djati Bandung dalam jangka waktu 4 (empat) semester dengan Tesis
berjudul “Gerakan Dialog Keagamaan Jaringan Kerja Antar Umat
Beragama (JAKATARUB) dan Kontribusinya Terhadap Kerukunan
Hidup Umat Beragama di Kota Bandung”. Saat ini penulis telah
menetap di kota Padang dan sebagai dosen pada prodi Studi AgamaAgama Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang.
Eko Nur Wibowo, lahir di Sukoharjo 1 Januari 1997. Penulis
tinggal di Sumuran Wetan rt 01/06, Kragilan Mojolaban, Sukoharjo.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Orang tuanya
bernama Sutrisno dan Sulistiyani telah merawat, mendidik dan
membimbingnya dengan penuh kasih sayang. Pendidikan dasar
penulis dimulai dari TK Aisyah Suruh Kalang, Kemudian lanjut
masuk SD Negeri 3 Kragilan(2003-2009), SMP Negeri 1 Mojolaban
(2009-2012) dan SMK Negeri 2 Surakarta (2012-2015). Untuk
program S-1 ditempuh di IAIN Surakarta prodi Pendidikan Agama
Islam (2015-2019). Saat ini sedang proses S2 di IAIN Surakarta
392
program studi Pendidikan Agama Islam. Selain belajar, aktivitas
penulis yaitu mengajar di salah satu SD area Solo Raya, freelance
writer dan menjadi editor dan CMO Elsage Publisher. Beberapa
prestasi yang diperolehnya antara lain, penerima beasiswa Bidikmisi
2015, salah satu penulis artikel jurnal berjudul, “Variasi Pemahaman
Keagamaan Mahasiswa IAIN Surakarta” di Jurnal Academica IAIN
Surakarta, tulisannya, “Kisah Petualang Berburu Buku” dimuat
dalam antalogi Memoar Teladan Para Pembaca Buku diterbitkan
Diomedia, tulisan berjudul, “Ketupat dan Hidangan Pertaubatan
diterbitkan di web IAIN Surakarta tanggal 14 Juli 2016, tulisan,
“Model Pengembangan Multikultural Berbasis Pendidikan Islam”
publikasikan di Proceeding International Student Conference on
Islamic Studies (ISCIS) 2018, Tulisan, “Relevansi Pendidikan
Karakter Dalam Film Kungfu Panda terhadap Pendidikan Agama
Islam”, di Jurnal Raushn Fikr 2018, narasumber menulis esai dan
memoar Komunitas Kuncup Imajinatif Club, founder Komunitas
Omah Karya Indonesia dan lain-lain. Untuk info lebih lanjut bisa
hubungi via wa 085728650142 atau email di ekonurw8@gmail.com
/ ekoonoer@gmail.com
Hamka Husein Hasibuan, lahir pada tanggal 01 Mei 1992 di
Desa Siolip, Kec.Barumun, Kab. Padang Lawas, Sumatera Utara.
Ia menyelesaikan Strata Satu (S1) pada Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan melanjutkan S2
pada kampus yang sama dengan Konsentrasi Kajian Maqasid dan
Analisis Strategik, Interdisciplinary Islamic Studies (IIS). Sejumlah
prestasi pernah diperolehnya: Martha C. Beck’s Scholarship (2018)
untuk beasiswa penelitian tesis, pemenang Sayembara Penulisan
Artikel Ilmiah Panangkaran (2017), dan finalis Musabaqah
FahmiKutubit Turas (Mufakat) Tingkat Nasional. Saat ini, ia
aktif menulis di berbagai media on-line: IBTimes.id, jalandamai.
org, Islami.co, dutaIslam, lekfis, dan qureta.com, dan menjadi
kontributor tetap pada sejumlah media resmi nasional dan lokal
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Karya yang
sudah dipublikasikan: Konstruksi Pemikiran Candah dalam
JemaatAhmadiyah: Tinjauan Filsafat Hukum Islam (Panangkaran,
393
2017). Penulis bisa dihubungi lewat email: hasibuan152@gmail.
com dan nomor kotak (+6282369323463).
Indah Fajar Rosalina, lahir di Jakarta, pada 19 Agustus 1992.
Penulis menempuh pendidikan S1 Komunikasi Penyiaran Islam
di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lalu melanjutkan studi S2 nya
di Universitas Mercu Buana Jakarta sebagai Magister Komunikasi
Politik. Selama perjalanan karirnya, penulis banyak menghabiskan
waktu dalam dunia jurnalis. Ia pernah bekerja sebagai wartawan
harian Koran Jawa Pos, baik Surabaya maupun Jakarta. Penulis
juga pernah bekerja dalam perusahaan media terbesar di Indonesia
(MNC Group) sebagai reporter dan produser TV sebuah acara
talkshow di MNC News. Selain itu, penulis juga pernah mengelola
media informasi dan pemberitaan pada Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Dalam Negeri RI, baik media, website,
dan jurnal ilmiah selama 3 tahun. Semasa menjadi mahasiswa di
UIN Jogja, penulis aktif dalam organisasi Lembaga Pers Mahasiswa
ARENA sebagai redaktur Bahasa, dan punggawa kampus (wartawan
kampus) pada Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta.
Di Jogja, penulis juga pernah terlibat dalam proses penelitian dan
penulisan buku yang berjudul “Perlindungan Polisi Terhadap Kaum
Minoritas dan Pelayanan Publik di Wilayah Polda DIY” penerbit
PUSHAM UII (Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam
Indonesia). Untuk informasi lebih lanjut tentang penulis, dapat
menghubungi email indahfajarrosalin@gmail.com
Iqbal Suliansyah lahir pada Sabtu, 21 Maret 1987 di Kota
Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Ia menyelesaikan studi Strata
Satu (S1) di Jurusan Teknik Mesin, Fakultas teknik, Universitas
Malikussaleh, Aceh (2012). Ia mengawali karirnya menjadi Presenter
dan Reporter Radio Republik Indonesia dari tahun 2008 hingga
2017. Ia sempat bertugas mewakili Provinsi Aceh dalam program
Protokoler Perbantuan Istana Presiden ditahun 2012. Saat ini, ia fokus
mengembangkan Klik Aceh (www.klikaceh.net) , serta program
sosial SERBU (Sebar nasi bungkus) gratis setiap hari Jumat dan
394
aktif di berbagai organisasi diantaranya Purna Paskibraka Indonesia
Provinsi Aceh sebagai Wakil Ketua dan Manajer Pemantauan
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Provinsi Aceh
serta Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Langsa
Kota. Untuk berkomuikasi lebih lanjut dapat dihubungi melalui
email : iqbalsuliansyah@gmail.com
Jalaluddin. B lahir pada tanggal 13 Juni 1987 di Ujung Pandang
yang saat ini lebih dikenal dengan Kota Makassar. Ia menyelesaikan
studi Strata Satu (S1) pada Program Studi Sastra Inggris dengan
konsentrasi pada Studi Linguistik, Fakultas Sastra, Universitas
Hasanuddin Makassar (2009) dan menyelesaikan studi Magisternya (S2) pada Program Studi Kajian Budaya dan Media (KBM)
di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
(2013). Saat ini, Ia adalah Dosen Tetap pada Program Studi Ilmu
Komunikasi, Fak. Dakwah dan Komunikasi, UIN Alauddin
Makassar dengan mata kuliah binaan, yakni Komunikasi Lintas
Agama dan Budaya. Mata kuliah peminatan yang sering Ia
ajarkan adalah Filsafat Komunikasi, Komunikasi Politik dan Opini
Publik, Komunikasi Massa, dan Psikologi Komunikasi. Sejumlah
prestasi yang pernah diperolehnya, antara lain: Penerima Partial
Scholarship untuk Program Ph.D. dari Mahidol University, Thailand
(2018); Selected Panels pada acara Seminar Internasional Annual
International Conference On Islamic Studies (AICIS) ke-18 di IAIN
Palu (2018); Pembicara pada International Conference On Social
and Political Sciences (ICOSPS) di Bandung (2019); Pembicara
pada Kuliah Umum Program Studi Ilmu Komunikasi, Fak. Dakwah
dan Komunikasi, UIN Alauddin Makassar dengan tema: “Moderasi
Agama: Perwajahan Pluralisme Dalam Bingkai Bhinneka Tunggal
Ika” (2019); dan Pembicara pada kegiatan Pendidikan dan Pelatihan
(DIKLAT) Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi (IMIKI) Cab. V
Makassar (2019). Untuk informasi lebih lanjut, Ia dapat dihubungi
melalui nomor WA: +62 82137443127 atau gmail: jalal.basyir@uinalauddin.ac.id.
395
Magfirah lahir pada tanggal 5 september 1995 di Pangkajene, Ia
menyelesaikan studi Strata satu (S1) di Jurusan Sejarah Peradaban
Islam, Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah, Institut Agama
Islam Negri Manado, Manado (2019). Semasa kulliah beliau aktif
berorganisasi salah satunya Ikatan Mahasiswa Muhammadiayah,
pada tahun 2017 beliau diangkat sebagai ketua komisariat IMM
IAIN MANADO, bukan itu saja beliau juga dipercayakan sebagai
seketaris perkembangan ilmu pengetahuan oleh Dema FUAD,
dalam amanah tersebut beliau mendirikan sebuah forum yang
dinamai forum suara emas Mahasiswa. aktif pada komunitas
Pemuda Pemudi Lintas Iman yang tergabung dalam keluarga besar
Ingage Manado, selain aktif berorganisasi penulis juga mencetak
beberapa prestasi semasa kulliah juara 1 Lomba entrepreneur
Festival Ekonomi Syariah BI Manado 2017, lolos Peserta
Internasional Student Conference on Islamic (ISCIS) Manado,
tahun 2018, untuk informasi lebih lanjut dapat dihubungi melalui
gmail Magfirah@iain-manado.ac.id.
Masthuriyah Sa’dan lahir di Sumenep Madura JawaTimur,
pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, kuliah
S1 di Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin Institut Dirosat
Islamiyah Al-Amien (IDIA) Sumenep lulus tahun 2010, dan S2
di Jurusan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga lulus tahun 2014.
Saat ini menjadi peneliti di Indonesian Consortium for Religious
Studies (ICRS), Guru di Pondok Pesantren Waria Al-Fattah
Yogyakarta, anggota PW. Fatayat DIY dan anggota Perserikatan
Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta. Penulis bias dihubungi
di masthuriyah.sadan@gmail.com
M Mirza Ardi dIlahirkan di Banda Aceh pada Januari 1986.
Menamatkan pendidikan Sarjana di FKIP Bahasa Inggris Unsyiah.
Selama menjadi mahasiswa S1 dia aktif di kegiatan dakwah kampus
(LDK) dan Badan Eksekutif Mahasiswa. Tahun 2009 dia mendapat
beasiswa untuk studi singkat (short course) di Ohio University,
Amerika Serikat. Setelah tamat dari Unsyiah, Mirza aktif di gerakan
396
sipil yang mengusung ide Hak Asasi Manusia. Tahun 2016 dia
melanjutkan sekolah di The University of Melbourne, Australia,
mengambil program Master of Public Policy and Management.
Selesai program Master, ia sempat menjadi peneliti di Pusat Studi
Ilmu Sosial dan Budaya Unsyiah selama setahun. Pertengahan tahun
2019, Mirza pindahke Jakarta dan bekerja sebagai SustaiNability
and Knowledge Management Officer di salah satu perusahaan
swasta multinasional. Tulisan Mirza yang berupa artikel opini
sering dimuat di Serambi Indonesia, The Jakarta Post, dan Tirto.
Mulyadi lahir pada tanggal 02 Juli 1992 di Sigli Kabupaten Sigli,
Aceh. Salah satu dari anak ketiga dari tiga bersaudara dari bapak
Idris dan Sakinah. Ia adalah Alumni Sekolah Sukma Bangsa Aceh
angkatan pertama (2009) yang melanjutkan studi Strata Satu (S1)
pada Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, selesai tahun 2013. Ia
melanjutkan program Magisternya (S2) di Pascasarjana Universitas
Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh tahun 2015, dengan
Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam. Saat ini sedang mengajar dan
memberikan kontribusi ilmu dan pengetahuannya di Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Langsa, Aceh, fokus memberikan pengajaran
pada mata kuliah Filsafat, Studi Islam, Science, dan studi Humaniora.
Selain mengajar, Ia juga aktif memberikan Forum Kajian Ilmiah
mahasiswa pada setiap minggunya dalam bidang Aqidah, Tauhid,
dan Tasawuf, dan pernah mengisi kajian Mingguan Friday Forum
Dosen IAIN Langsa. Ia juga aktif menuis Jurnal dan buku yang telah
diterbitkan di antaranya; Jurnal Bidayah Studi Ilmu-Ilmu KeIslaman
STAIN Meulaboh, Aceh, Jurnal At-Tafkir IAIN Langsa, Jurnal
Millati: Journal of Islamic Studies and Humanities IAIN Salatiga,
dan merupakan salah satu Alumni Sekolah Kemanusiaan dan
Kebangsaan (SKK II) Ma’arif Institut for Cultur and Humanities.
Ia telah menulis buku tentang Filosofi Islam Nusantara Perspektif
Syed Muhammad Naquib Al-Attas (2018) dan sedang menunggu
buku selanjutnya yaitu Islamisasi dan Islam Nusantara. Selain itu,
ia merupakan salah kontributor tulisan pada buku Antologi Islam
Formalisasi Syariat Islam dan Post-Islamisme Di Aceh (2019) yang
397
merupakan kumpulan tulisan-tulisan hasil buah pikir dari Intelektual
Muda Aceh (IMA). Saat ini ia aktif untuk terus mengajar dan
produktif untuk terus menulis serta menggeluti isu-isu yang sedang
terjadi di dunia Nasional maupun Internasional untuk memperkaya
ketajaman keilmuannya.
Noor Hasanah terlahir di Martapura, Kalimantan Selatan. Ia pernah
mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Husnul Khatimah
Kuningan – Jawa Barat, Universitas Al Azhar Kairo – Mesir
konsentrasi Psikologi Islam, Institut Agama Islam Al Aqidah Jakarta
Timur konsentrasi Pendidikan Agama Islam, Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta konsentrasi
Pendidikan Islam. Merintis pengalaman sebagai dosen honorer di
STAI Sholahuddin Al Ayyubi (Jakarta), personal asisten pimpinan
yayasan perguruan Islam Diniyyah – Al Azhar (Jambi), sekretaris
kantor Noveline Sdn. Bhd (Selangor – Malaysia) dan dosen Islamic
Media di eMedia Academy Institut Teknologi Utama Yayasan Felda
(Malaysia), Dosen Tetap Yayasan di Universitas Achmad Yani
Banjarmasin pada Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan. Saat ini aktif
sebagai Dosen Tetap di UIN Antasari Banjarmasin dan Dosen Luar
Biasa di STIKES Husada Borneo Banjarbaru dan Universitas Sari
Mulia Banjarmasin. Selain memberi kuliah, aktivitas lainnya adalah
sebagai penerjemah kitab-kitab Arab dan menulis berbagai buku.
Beberapa karyanya atas kerjasama dengan Almihrab Publication
(Malaysia): Ketika Kematian Datang Begitu Indah; Sejarah Nabi
Isa AS; Yahudi: Catatan Hitam Sejarah; Tuhan, Tolong Aku;
Kejayaan Islam Pasca Rasulullah ; Menuju Kejayaan Islam (ditulis
bersama Afdilla Nisa, Lc, M. Ag), dan ; Siapa Dibalik Kejayaan
Islam (ditulis bersama Afdilla Nisa, Lc, M. Ag). Di tahun 2019 ini
ia mendapat bantuan hibah penerbitan buku dari PIU UIN Antasari
Banjarmasin dengan judul Psikologi Agama Memahami Kesadaran
dan Pengalaman Beragama Penganut Agama.
Nuraini, lahir pada tanggal 19 november 1993 di Pesisir Selatan,
Padang, Sumatera Barat. Dari seorang ibu bernama Erna Chaniago,
398
dan bapak Zainul. Penulis menyelesaikan Studi Srata Satu (S1) di
Jurusan Filsafat, fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Imam Bonjol, Padang (2015), dan melanjutkan Studi Megisternya
(S2) pada Jurusan yang sama, pada Institut Agama Islam Negeri
Fatmawati Bengkulu (2019), dengan judul tesis “Humanisme Islam
dalam Pemikiran Ahmad Syafii Maarif”. Saat ini, penulis mengajar
pada jurusan Filsafat, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah serta
pada Jurusan Hukum, Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri
Bukittinggi dengan pengampuh mata kuliah Filsafat Nusantara
dan Ilmu kalam. Saat ini penulis juga aktif dalam Pemuda Pelopor
Perdamaian Sumatera Barat dengan tergabung dalam organisasi
Pusaka Foundation kota Padang. Prestasi yang pernah diraih,
diantaranya adalah Penerima Penghargaan lulusan terbaik S2 Filsafat
dari IAIN Bengkulu, 2019; sebagai partisipan Indonesia Youth
leader Volunteer dalam bidang Pendidikan Chapter Malaysia 2019;
sebagai peserta terpilih dalam lomba Jurnal Tasawuf dan Pemikiran
Islam, oleh IAIN Lampung 2018; Narasumber dalam talkshow
dan Temu Maba Fuad yang dilaksanakan oleh Dema Fuad IAIN
Bukittinggi, dengan topik “Menghilangkan Rasisme dengan Rasa
Kebinekaan dan Islam” (2019); sebagai peserta terpilih dalam Short
Course Pengelolaan Keragaman angkatan pertama, yang diadakan
oleh Pusaka Foundation kota Padang; sebagai Ketua Umum PLI
(Organisasi Kepenulisan Online), 2018; untuk info lebih lanjut
tentang penulis bisa melalui WA 081267836092 atau FB, dengan
akun Nuraini Zainal Chaniago.
Ozi Setiadi dIlahirkan 14 Januari 1987 di sebuah desa bernama
Kepala Sungai, desa di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat
Sumatera Utara. Anak ke tiga dari empat bersaudara yang telah
mengenyam pendidikan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Sekolah Dasar (SD) Negeri 056616 adalah tempat pertama kalinya
menimba ilmu di institusi formal sejak 1994 hingga 2000. Sekolah
Menengah Pertama (SMP) sebagai jenjang lanjutan di tempuh di
SMP Negeri 1 Secanggang tahun 2000-2003, dan kemudian berlanjut
ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Menengah Atas (SMA)
Negeri 1 Stabat tahun 2003-2006. Usai menyelesaikan pendidikan
399
pada tingkat atas, kemudian mengenyam pendidikan di perguruan
tinggi, tepatnya di IAIN Sumatera Utara dengan jurusan Filsafat
Politik Islam (FPI). Pendidikan S1 ini diselesaikan selama 3 tahun
8 bulan sejak 2006 hingga 2010. Vakum selama 1 tahu, kemudian
pendidikan dilanjutkan pada jenjang strata dua (S2) di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi
Pemikiran Politik Islam tepat pada tahun 2011. Lulus dengan
predikat cumlaude pada tahun 2013, sama seperti ketika berada di
jenjang Strata 1. Kini, sedang mengikuti program beasiswa 5000
Doktor Kementerian Agama Republik Indonesia sejak tahun 2017 di
perguruan tinggi dengan konsentrasi yang sama.
Pangky Febriantanto, S.IP, M.IP merupakan alumnus S1 Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik –
Universitas Gadjah Mada dan S2 Magister Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, serta lulus dalam Student
Mobility Program on Public Administration Studies di Khon Kaen
University – Thailand. Aktif menulis di beberapa jurnal ilmiah
terindeks, prosiding, paper, maupun artikel surat kabar. Penulis juga
sering mempresentasikan tulisan-tulisannya dalam forum, seminar,
konferensi tingkat nasional maupun internasional seperti dalam
ICONPO VI International Conference tahun 2016 di Thammasat
University, Bangkok – Thailand, 3rd Journal of Government and
Politics International Conference tahun 2018 di Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta – Indonesia, maupun narasumber utama
dalam seminar internasional “Social And Economic Development
Challenges: Comparison Between Indonesia and Thailand” tahun
2018. Tulisan-tulisannya juga beberapa kali mendapat penghargaan,
salah satunya adalah tulisan ilmiah yang berjudul “Revolusi Mental
Dunia Pendidikan dalam Menghadapai Revolusi Industri 4.0”
terpilih sebagai Juara 3 dalam LKTI Nasional 2018. Selain itu,
runner up Pemuda Pelopor Kota Yogyakarta 2017 inijuga menjadi
salah satu wakil Indonesia dalam Next Leader’s Asia Summit 2019
di Singapura. Selain aktif sebagai penulis dan peneliti social Politik
yang menyukai olahraga bridge, juga aktif sebagai dosen serta
akademisi yang sempat bergelut sebagai pegiat kepemiluan. Saatini,
400
dosen di SFGE Kulon Progo Yogyakarta yang juga memiliki bisnis
trading ini merupakan anggota komunitas otomotif Ayla Community
sejak tahun 2016, anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia sejak
tahun 2017,serta Wakil Ketua Umum Bidang Ideologi Politik dan
Hubungan Antar lembaga KNPI Kota Yogyakarta 2019-2022.
Riwayat pekerjaan; pernah menjadi Carroline Officer Telkomsel
(116), Staff Yayasan Annaba Center Indonesia, dosen di STAI Bina
Madani Ciledug, STAI Nurul Iman Parung Bogor, dan kini menjadi
dosen CPNS di IAIN Kudus. Beberapa karya tulis telah diterbitkan
dalam bentuk buku maupun jurnal ilmiah seperti Islam dan Civil
Society, Hidup adalah Perbuatan, Faktor-Faktor Penyimpangan
dalam Tafsir, Kepemimpinan Bani Quraisy, Islam dan Pergerakan
Civil Society Kebudayaan Hizmet di Indonesia, Peta Pemikiran
Politik Islam, dan lainnya.
Suryani Musi, S.Sos, M.I Kom adalah dosen muda di Jurusan Ilmu
Komunikasi UIN Alauddin Makassar dIlahirkan di Desa Alenangka,
Kecamatan Sinjai Selatan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan pada
tanggal 02 Februari 1989. Anak ketiga dari tujuh bersaudaraini
menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di jurusan Jurnalistik
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar dengan
predikat cumlaude. Dua tahun kemudian, lalu menyelesaikan kuliah
di Universitas Diponegoro Semarang di jurusan kebijakan Media,
lalu untuk keduakalinya menyandang gelar cumlaude. Sejak SMA,
Suryani Musi telah menekuni dunia tulis menulis. Sejak SMP telah
sering mengirim cerpen ke RRI, kemudian cerpen tersebut dibacakan
setiap hari Minggu. Ketika kuliah, beberapa kali tulisannya dimuat
di media lokal berupa cerpen. Namun, setelah bergabung di Unit
Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Informatika Mahasiswa
Alauddin Wahilah sejak semester satu, kegiatan menulis fiksi
berhenti lalu fokus untuk menulis berita. Pernah menjadi editor dan
redaktur di Washilah, masing-masing satu tahun. Semester lima, ia
kemudian gabung di UIN Online sampai selesai di tahun di 2015.
Penulis pernah menjadi peserta kegiatan Serikat Jurnalis untuk
401
Keberagaman (Sejuk). Selain itu, Suryani juga menjadi anggota
Forum Lingkar Pena (FLP) Sulsel, dan gabung di UKM Seni Budaya
eSA di bagian Sastra. Penulis juga merupakan anggota Assosiation
of Sulawesi Students (Asset) dan di Semarang ia bergabung
dengan Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Indonesia Sulsel (Ikami).
Semenjak gabung di UIN Alauddin menjadi dosen, pernah menjadi
redaktur di salah satu media online di Makassar hampir setahun.
Kemudian hanya menghabiskan waktu dengan mengajar, meneliti,
dan mengurus penerbitan jurnal Komodifikasi, milik jurusan Ilmu
Komunikasi.
Vidiel Tania Pratama, anak dari pasangan Mesrah Lubis dan Ilmiati
lahir di sebuah kampung kecil Kecamatan Sungai Aur, Kabupaten
Pasaman Barat, Sumatera Barat pada tanggal 7 Februari 1994,
adalah seorang aktivis kemahasiswaan dan Kepemudaan Kota Batam
yang saat ini menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jendral Pengurus
Besar Himpunan Mahasiswa Islam (Wasekjend PBHMI)periode
2018-2020, pernah diamanahi menjadi Ketua Umum Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Batam periode 2017-2018,Ketua
Aliansi Mahasiswa Kepri di tahun 2015, pernah juga menjadi
pengurus DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)
Provinsi Kepulauan Riau periode 2015-2018, serta turut aktif dalam
kegiatan kemahasiswaan dan kepemudaan sampai sekarang ini.
Memulai pendidikan dasar (SD) dan SMP di Sungai Aur, Pasaman
Barat melanjutkan sekolah SMA di Pekanbaru dan menyelesaikan
pendidikan Sarjana jurusan Teknik Sipil konsentrasi GeologiTeknik
(Geotek) Universitas Riau Kepulauan di Kota Batam dan sekarang
melanjutkan kuliah Magister di Universitas Paramadina Jakarta
jurusan Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). HP dan WA;
085355916291 Email; vidil.yakusa@gmail.com
402
403