GAGASAN REVOLUSI PADA TOKOH-TOKOH NOVEL
BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA Y.B. MANGUNWIJAYA
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Boby Aji Pamungkas
NIM. 109013000089
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
GAGASAN REVOLUSI PADA TOKOH-TOKOH NOYEL
BURUNG-BTIRLING MAIWA)T I(ARYA Y.B. MANGUNWTJAYA
DAN IMPLIKASII{YA TERIIADAP PEMBELAJARAN
SASTRA DI SMA
Sloipsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk
Memenuhi Syarat
pendidikan
Mencapai Gelar sarjana
Bahasa dan Sastra Indonesia (s.pd)
Oleh
BobyAji Pamungkas
NIM L09013000089
pembimbing
\
raxlati. M. flum.
1030 20080L 2 009
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARSIYAH DAN KEGUIiUAN
UNIYERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul Gagasan Revolusi Pada Tokoh-tokoh Novel Burang-btyung
Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Sastra di sMA disusun oleh Boby Aji pamungkas, NIM.
109013000089, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Tarbiyatr dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak
untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh
fakultas.
Jakarta,
Yang mengesahkan,
Ba$da Srowati. M. flum.
NIP
1977103 A 200807 2 009
u1
i-
27 JvnT 2016
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul Gagasan Revolusi Pada Tokoh-tokoh Novel Burung-burung
Munyar Karya Y.B. Mangunwijaya dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA disusun oleh Boby Aji Pamungkas, Nomor Induk
Ilmu Tarbiyah
Mahasiswa 109013000089, diajukan kepada Fakultas
dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian
Munaqasah pada tanggal
2l
Juli 2016 di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu,
penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Sl (S.Pd) dalam bidang Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta,
Juli 2016
Panitia Ujian Munaqasah
Tanggal
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)
lJ6* l'
Makyun Subuki. M.Hum.
. 198003 05 2A0901 1 015
NIIP
Sekretaris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi)
Dona Aii Putra. M.A.
NIP.19840409 2011 01 I 015
(r
/bt
4/
,0?
Penguji I
Ahmad Bahtiar" M.Hum.
l{IP . t9760118 200912 1 001
Penguji
=)/
{r
.,u/ (r
II
/a?
f)rs. Jamal f). Rahman M.Hum.
iv
I
v
ABSTRAK
Boby Aji Pamungkas. NIM: 109013000089. “Gagasan Revolusi Pada Tokohtokoh Novel Burung-burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Di SMA”. Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Rosida Erowati, M.Hum.
Y.B. Mangunwijaya merupakan seniman humanis yang mengandaikan
adanya ideal tentang manusia. Sebagai seorang pemikir sosial dan juga sebagai
tokoh historis yang terlibat langsung dalam pergulatan revolusi, maka tidak heran
novelnya Burung-burung Manyar mencoba melihat revolusi Indonesia dari segi
yang obyektif. Pandangan perihal revolusi mengacu kepada pemikiran tokoh besar
Indonesia, seperti Sutan Sjahrir dan Tan Malaka yang memandang ideal revolusi
meliputi tiga kategori, yaitu revolusi nasional, revolusi sosial, dan revolusi mental.
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan gagasan revolusi Sjahrir dan Tan
Malaka yang terdapat dalam novel Burung-burung Manyar. Selanjutnya hasil
penelitian tersebut diimplikasikan terhadap pembelajaran sastra bagi siswa SMA.
Berjenis penelitian kualitatif yang menggunakan metode deskriptif analisis
dengan perspektif pendekatan mimesis digunakan untuk melihat wacana revolusi
yang terjadi pada bangsa pribumi dalam novel. Di samping itu, penelitian ini
menggunakan teknik kajian pustaka untuk memperkuat informasi yang
dibutuhkan, dengan berlandaskan pada teknik analisis heuristik dan hermeneutik.
Berdasarkan analisis terhadap Burung-burung Manyar, tampak gagasan
revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka jelas terasa dalam novel yang diwakilkan
oleh pemikiran sang tokoh-tokohnya. Tokoh utama menjadi yang paling banyak
“mewakili” gagasan revolusi. Dengan demikian, agar tujuan dari apa yang dicitacitakan revolusi bisa berjalan dengan baik, maka revolusi itu harus dilakukan
secara terus menerus dan bertahap.
Kata kunci: sejarah, revolusi, Y.B. Mangunwijaya
vi
ABSTRACT
Boby Aji Pamungkas. NIM: 109013000089. "The Idea of revolution in The
Figures of Novel Burung-burung Manyar Y.B. Mangunwijaya and Its Implication
Learning Literature in High School ". Education Department of Indonesian
Language and Literature, Faculty of Science and Teaching Tarbiyah. Syarif
Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M.Hum
Y.B. Mangunwijaya a humanist artist who assumes the existence of the
human ideal. As a social thinker as well as a historical figure directly involved in
the struggle for revolution, it is no wonder his novel Burung-burung Manyar
trying to see the Indonesian revolution in terms of the objective. The views
concerning revolution refers to the thought leaders of Indonesia, such as Sutan
Sjahrir and Tan Malaka who looked ideal revolution include three categories,
namely national revolution, a social revolution, and a mental revolution.
This study aims to formulate the idea of revolution Sjahrir and Tan Malaka
contained in the novel Burung-burung Manyar. Furthermore, the results of these
studies implied to study of literature for high school students. Manifold qualitative
research using descriptive analysis method with the perspective of a mimetic
approach is used to view the discourse of the revolution that occurred in the
indigenous peoples in the novel. In addition, this study uses library research
techniques to strengthen the information needed, based on heuristic analysis
techniques and hermeneutics.
Based on the analysis of the Burung-burung Manyar, it appears the idea of
revolution Sutan Sjahrir and Tan Malaka was clearly felt in the novel which is
represented by the thoughts of his characters. The main character to be the most
"represent" the idea of revolution. Thus, for the purpose of what is aspired
revolution could go well, then the revolution should be carried out continuously
and gradually.
Keywords: history, revolution, Y.B. Mangunwijaya
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Selawat beserta
salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, kepada
keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir zaman. Amin.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
dalam jenjang perkuliahan Strata I pada program Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima masukan serta
bimbingan dari berbagai pihak, khususnya pembimbing. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak, khususnya kepada:
1. Ayahanda Edi Hapidin yang telah berada di surga sebagai ayah yang
selalu mengajarkan pengalaman hidup praktis yang berpedoman kepada
kemanusiaan kepada penulis dan Ibunda Supinah yang sangat pengertian
dan penuh kesabaran menunggu penulis dalam menyelesaikan studinya.
Demikian pula dengan mas Adi, mas Bayu, Dahlia dan adik tercinta
Riyan. Berkat iringan doa dan semangat yang selama ini mereka berikan,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Mahmudah Fitriyah, M.Pd., Dra. Hindun, M.Pd., hingga Makyun Subuki
M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
dan juga Penasihat Akademik yang selalu mengerti akan keadaan
mahasiswanya, serta yang selalu memberikan arahan motivasi yang tiada
hentinya.
3. Rosida Erowati, M.Hum. dan Novi Diah Haryanti, M.Hum. sebagai
Dosen Pembimbing yang paling sabar dalam membimbing penulis untuk
menyelesaikan skripsi yang memerlukan waktu yang terbilang lama ini.
Hingga selalu dijadikan sebagai tempat sharing bagi penulis dalam
menanyakan hal-hal yang tidak diketahui selama penulis menempuh
studi di jurusan PBSI.
4. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya para
dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah
viii
memberikan pengetahuan kepada penulis dengan berbagai ilmu yang
bermanfaat selama mengikuti perkuliahan.
5. Teman-teman PBSI khususnya angkatan 2009 kelas C yang telah
menjadi teman diskusi selama menempuh masa studi kuliah dan teruntuk
Reny Rachmawati yang selalu memberi semangat dan bantuan dalam
penulisan skripsi. Demikian pula dengan sahabat dekat Dio, Teo, Torik,
dan uda Is yang selama ini tidak hentinya memberi motivasi dan
bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan, senantiasa mendapat balasan yang
berlipat ganda dari Allah swt. Akhir kata, penulis berharap mudah-mudahan
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak yang memerlukan dalam
rangka menambah wawasan pengetahuan dan pemikiran.
Jakarta,
Penulis
ix
Juli 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING .........................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .....................................................iv
SURAT PERNYATAAN PENULIS ......................................................................v
ABSTRAK ...............................................................................................................vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................x
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................7
C. Pembatasan Masalah ..................................................................8
D. Perumusan Masalah ....................................................................8
E. Tujuan Penulisan ........................................................................9
F. Manfaat Penelitian ......................................................................9
1.
Manfaat Teoretis .................................................................9
2.
Manfaat Praktis ...................................................................9
G. Metodologi Penelitian ................................................................10
BAB II
1.
Subjek dan Objek Penelitian ...............................................10
2.
Fokus Penelitian ..................................................................10
3.
Sumber Data Penelitian .......................................................10
4.
Metode Penelitian ................................................................11
5.
Teknik Pengumpulan Data ..................................................12
6.
Teknik Analisis Data ...........................................................12
LANDASAN TEORETIS ...............................................................14
A. Novel ..........................................................................................14
1.
Hakikat Novel .....................................................................15
2.
Unsur Intrinsik Novel ..........................................................18
x
a. Tema ...............................................................................18
b. Alur .................................................................................19
c. Tokoh dan Penokohan ....................................................22
d. Latar ................................................................................23
e. Sudut Pandang ................................................................24
f. Gaya Bahasa ...................................................................26
g. Amanat ............................................................................27
3.
Unsur Ekstrinsik Novel .......................................................28
B. Pendekatan Mimetik ...................................................................29
1.
Pengertian Mimetik .............................................................31
2.
Karya Sastra sebagai Cerminan Masyarakat .......................32
C. Revolusi ......................................................................................34
1.
Pengertian Revolusi .............................................................35
2.
Revolusi Menurut Pemikiran Sutan Sjahrir ........................40
3.
Revolusi Menurut Pemikiran Tan Malaka ..........................45
4.
Analogi Revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka ................49
D. Pembelajaran Sastra di Sekolah .................................................52
E. Penelitian yang Relevan .............................................................54
BAB III
Y.B. MANGUNWIJAYA: BIOGRAFI, KARYA, DAN
PEMIKIRANNYA ..........................................................................58
A. Biografi Y.B. Mangunwijaya .....................................................58
B. Perbandingan Burung-burung Manyar dengan Novel Lain ........61
C. Pemikiran Y.B. Mangunwijaya ..................................................65
1. Budaya Moral .......................................................................65
2. Ekspresi Kebebasan ..............................................................69
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN .......................................73
A. Unsur Intrinsik Novel Burung-burung Manyar .........................73
1.
Tema ....................................................................................73
2.
Alur ......................................................................................76
xi
3.
Tokoh dan Penokohan .........................................................92
4.
Latar ....................................................................................115
5.
Sudut Pandang .....................................................................127
6.
Gaya Bahasa ........................................................................130
7.
Amanat ................................................................................134
B. Gagasan Revolusi pada Tokoh-tokoh Novel Burungburung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya .............................136
1.
Latar
Revolusi
Novel
Burung-burung
Manyar
sebagai Refleksi Sejarah Indonesia .....................................137
a. Zaman Penjajahan Belanda ...........................................138
b. Zaman Penjajahan Jepang .............................................139
c. Perang Kemerdekaan .....................................................142
d. Zaman Orde Baru ..........................................................143
2.
Setadewa sebagai Artikulator Revolusi ...............................146
a. Pengaruh
Revolusi
Terhadap
Kepribadian
Setadewa ........................................................................146
b. Gagasan
Revolusi
Setadewa
dalam
Novel
Burung-burung Manyar ................................................151
1) Revolusi Nasional ...................................................151
2) Revolusi Sosial ........................................................155
3) Revolusi Mental ......................................................158
3.
Gambaran Tokoh Lain dalam Jalur Revolusi ......................160
a. Perjuangan Sutan Sjahrir dan Tan Malaka dalam
Burung-burung Manyar ................................................160
1) Bentuk Perjuangan Sutan Sjahrir ............................161
2) Bentuk Perjuangan Tan Malaka ..............................163
b. Larasati: Peran Perempuan dalam Masa Revolusi ........166
c. Gambaran Hasil Revolusi dalam Burung-burung
Manyar ..........................................................................169
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA .....................173
xii
BAB V
PENUTUP ........................................................................................177
A. Simpulan .....................................................................................177
B. Saran ...........................................................................................178
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................179
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
RIWAYAT PENULIS
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses kreatif yang dilakukan pengarang melalui karya sastra sangat
mungkin berasal dari kehidupan sosial yang sangat dekat dengan kehidupan si
pengarang. Bahkan ungkapan kesusastraan tidak dapat tumbuh tanpa adanya
keterlibatan dengan kehidupan sosial masyarakat, benar adanya. Kehidupan
sosial biasanya diatur oleh institusi sosial yang ada dalam masyarakat.
Meminjam istilah Wellek dan Warren, sastra adalah “institusi sosial yang
memakai medium bahasa”. Mereka juga menyatakan karya sastra sebagai
sesuatu yang “menyajikan kehidupan” dan kehidupan sebagian besar terdiri
dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru “alam” dan dunia
subjektif manusia.1 Kenyataan sosial yang disajikan dalam karya sastra
biasanya menggambarkan kondisi sosial suatu masyarakat dengan jelas.
Ada ungkapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan, namun
lahir dari realitas sosial dan dilahirkan di tengah-tengah masyarakat, sehingga
sastra jelas melibatkan diri pada masyarakat dan kenyataan yang ada pada
masyarakat. Maka dari itu, banyak sekali karya sastra menampilkan gambaran
kehidupan masyarakat dalam tataran kenyataan sosial. Pada masa pertumbuhan
sastra di Indonesia, boleh jadi roman atau novel Siti Nurbaya karya Marah
Rusli misalnya memperkenalkan istilah “Zaman Siti Nurbaya” yang sering
dipergunakan orang untuk menunjuk kasus-kasus pernikahan seperti pada masa
silam yang tradisional.2 Hal ini menunjukan bahwa karya sastra berhasil
merepresentasikan kenyataan sosial karena mempersoalkan permasalahan yang
nyata dalam kehidupan manusia. Hal inilah menurut Jakob Sumardjo yang
disebut dengan nilai ideal, yakni nilai ideal pengarang berupa Das Sollen3
1
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature oleh
Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia, 1995), cet. 4, h. 109.
2
Yudiono K.S., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2007), h. 107108.
3
Das Sollen berasal dari bahasa Jerman yang berarti segala sesuatu yang mengharuskan
kita untuk berpikir dan bersikap. Biasanya kata ini bersanding (dan saling memerlukan) dengan
1
2
pengarang tentang aspek-aspek nilai kehidupan dan justru nilai ideal inilah,
penyebab utama munculnya kreasi pengarang. Dengan nilai ideal yang
dimiliknya, ia melihat jurang dengan kenyataan lingkungan masyarakat dan
budayanya.4
Namun dapat kita lihat, pada kenyataannya, apa yang diidealkan seorang
pengarang melalui goresannya pada karya sastra kerap kali berbenturan dengan
kekuasaan pada zamannya. Dampak itulah yang memuat sisi lain dari karya
sastra. Karya sastra bukan hanya menjadi anyaman hasil pemikiran tetapi
sekaligus sebagai alat perlawanan, seperti yang sangat terasa terjadi di
Indonesia pada masa kolonial sampai masa pemerintahan rezim Orde Baru
berkuasa. Maka, kerap kali karya sastra dibumbui dengan nada-nada kritik
keras terhadap zamannya, sehingga tidaklah heran apa yang mereka ciptakan
bukan berasal dari kekosongan belaka. Bagaimanapun juga sastrawan dalam
hal ini ikut merasakan kehidupan di tengah-tengah masyarakat pada zamannya,
sehingga kita tidak dapat menolak pernyataan bahwa situasi zaman sangat
kental mempengaruhi pewarnaan pikiran para sastrawan.
Sebagai contoh ketika kita baca kumpulan tulisan Mochtar Lubis di
harian Indonesia Raya memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai
Indonesia di era Orde Baru.5 Situasi pada zaman itulah yang mendorong ideide pemikiran Mochtar Lubis untuk membuat tajuk-tajuknya, bahkan tulisantulisannya yang lain. Tanpa sadar situasi pada zaman itu telah sedikit-banyak
mempengaruhi gaya pemikiran seseorang (dalam hal ini sastrawan). Begitupun
ketika Rendra membuat formula puisi, yang disebut sebagai puisi balada, yang
tidak hanya menampilkan suatu keindahan kata-kata melainkan sekaligus
menjadikannya sebagai alat perjuangan dan perlawanan. Kritik sosial yang
kata Das Sein yang berarti segala sesuatu yang merupakan implementasi dari segala hal yang
kejadiannya diatur oleh Das Sollen.
4
Jakob Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977, (Bandung: Alumni, 1999),
h. 3.
5
Harian Indonesia Raya terbit dalam dua periode, Orde Lama dan Orde Baru, dan telah
berkali-kali dibredel karena gencar memberitakan kasus-kasus korupsi. Mochtar Lubis sendiri
selaku pemimpin redaksi sempat mendekam di penjara selama hampir sembilan tahun. Tajuk itu
sendiri berisikan pemikiran-pemikiran Mochtar Lubis mengenai KKN, komunis, keadilan dan
pembangunan sosial yang menggambarkan bagaimana zaman itu sesungguhnya.
3
ditampilkan pada puisi-puisinya membicarakan sejumlah peristiwa hangat yang
terjadi pada dasawarsa 70an.
Demikian halnya dengan Y.B. Mangunwijaya atau lebih dikenal dengan
nama panggilan akrab Romo Mangun. Seorang seniman yang hampir semua
orang sepakat bahwa dia seorang humanis yang mengandaikan adanya ideal
tentang manusia, juga pemikir sosial dan tokoh historis yang terlibat langsung
dalam pergulatan revolusi. Asam garam kehidupan pergumulan sejarah telah ia
lewati, dan hal itu dapat ditinjau dari berbagai tulisannya di berbagai kolom
media massa. Ia banyak menulis tentang pergolakan sejarah dan pergumulan
sosial. Akan tetapi yang menarik dari diri sang Romo yaitu selalu jujur dalam
melihat sejarah itu sendiri. Dasar pemikiran tersebut terlihat ketika
menggambarkan Sutan Sjahrir. Bagi Romo, Sutan Sjahrir tergolong negarawan
yang dalam bahasa percaturan politik disebut kalah atau gugur, dan sering
karena itu, seperti Tan Malaka, Diponegoro atau Gandhi, interesan untuk para
pencari hikmah yang kritis. Namun, baginya kalah atau menang tidak memiliki
nilai yang berarti dalam pengertian historis. Kalah taktis dan kalah strategis
tidak identik. Bagaimana sebetulnya Romo Mangun melihat sejarah dalam
buku Mengenang Sjahrir dia menulis, “sejarah bukan soal menang atau kalah,
kalah menang itu nisbi, dilihat oleh siapa dan dari segi mana”6. Dari situ saja
dapat dilihat Romo Mangun seorang humanis yang tidak gegabah melihat
kesimpulan pergumulan sejarah.
Melalui bekal pemahaman seperti itulah Romo Mangun menulis karya
sastra, karena ia sadar bahwa melalui karya sastralah cara menuangkan ide-ide
dan gagasan yang “bebas” dengan syarat memiliki metafor yang indah. Dalam
hal ini ia menggunakan novel. Romo sadar betul bahwa novel sebagai karya
imajiner, merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di
dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca, di samping adanya
tujuan estetik.7
Y.B. Mangunwijaya, “Archetype Sutan Sjahrir”, dalam Rosihan Anwar (ed.), Mengenang
Sjahrir, (Jakarta: Gramedia, 1980), h. 215.
7
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), h. 3.
6
4
Berangkat dari pemikiran Romo Mangun mengenai suatu karya yang
berbobot, ia beranggapan suatu cipta bisa berhasil, jika isi dari karya itu
memiliki nuansa yang hidup.8 Oleh karena itu, sebagai orang yang hidup dalam
masa Revolusi. Romo Mangun sering melihat adanya penyimpangan dalam
sejarah yang sebenarnya. Dewasa ini yang kerap diperlihatkan dalam pelajaran
yang berhubungan dengan sejarah, selalu dalam perspektif “Hitam – Putih”.
Belanda sebagai penjajah, sebagai penjahat, dan orang-orang pribumi, sebagai
jagoan. Miris, karena selama ini pemahaman sejarah didasari oleh ideologi
semacam itu. Akan tetapi Romo Mangun berani tampil dengan cara
menyajikan pemahaman yang berbeda mengenai sejarah itu sendiri.
Dari kegelisahan-kegelisahan itulah, maka tulisan Romo yang bernada
kritik ia layangkan. Begitupun dengan novel yang ia beri judul Burung-burung
Manyar9, sebuah novel berlatar sejarah yang menggambarkan masa-masa
pergolakan revolusi di Indonesia. Melalui novel ini Romo Mangun ingin
berbicara jujur mengenai pergumulan sejarah. Bahkan Romo sendiri
mengatakan bahwa ia membuat novel tersebut karena ingin menyadarkan
bangsa Indonesia mengenai sejarah. Dalam sebuah acara ceramah sekitar
Burung-burung Manyar pada tahun 1983, Romo Mangun bertutur:
“Saya membikin Burung-burung Manyar, sebenarnya hanya ingin
meluruskan sejarah! Saya sadar bahwa hak saya kecil untuk berbicara
masalah sejarah, karena saya sendiri bukan sejarahwan. Apa boleh buat
lewat novel.”10
Romo Mangun selalu berusaha menampik semua perkataan yang
mengarah pada pendangkalan sejarah.11 Baginya sejarah merupakan suatu
Suparajie, “Maka Mangunwijaya pun Mengungkapkan: Dulu, Banyak yang Ikut Belanda
....”, Eksponen, Yogyakarta, 3-9 September, 1983, h. 5.
9
Novel Burung-burung Manyar diterbitkan pertama kali oleh penerbit Djambatan pada
tahun 1981 dan pada tahun 1983 mendapat penghargaan tulis Asia Tenggara 1983 South East Asia
Write Award.
10
Suparajie, loc. cit.
11
William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan
Sesudah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 73-74. Satu sikap ekstrem ialah
yang berkata bahwa kita tidak dapat menarik pelajaran apa pun dari studi atau renungan mengenai
sejarah. Ada yang berkata bahwa sejarah itu ialah cerita tanpa makna yang dikisahkan oleh orang
bebal. Ada lagi yang secara sinis berkata bahwa orang telah terlalu banyak menulis sejarah hingga
sulit untuk dapat mempercayainya. Sikap ekstrem yang lain tercermin dalam ucapan-ucapan yang
8
5
cerminan atau pelajaran yang kaya akan pengetahuan dan pembelajaran.
Sejarah juga bukan soal “menang” atau “kalah”, tetapi lebih berbicara
mengenai manusia yang memiliki dua sisi, yakni sisi manusia yang “jahat” dan
“baik”. Itulah sebabnya Romo Mangun selalu mengangkat hal-hal yang bersifat
biner dalam tulisannya. Baginya selalu ada sisi lain dari manusia itu sendiri.
Romo Mangun menganggap sejarah yang serba anomali itu selalu ada yang
baik dan buruk, atau bisa saja yang berposisi sebagai penjajah atau yang dijajah
itu bangsa Indonesia itu sendiri.
Itulah sebabnya Romo Mangun selalu melihat sejarah secara kritis.
Banyak ahli mengungkapkan bahwa ia ingin melakukan dekonstruksi terhadap
sejarah Indonesia. Akan tetapi yang menjadi permasalahan, dekonstruksi itu
dilakukan pada saat Orde Baru masih berkuasa, jadi tidak mungkin ia berani
melawan monoversi yang ditulis oleh Orde Baru pada saat itu. Seperti tahun 65
dan seterusnya dimana kita mengenal PKI itu selalu saja jahat, keji, dan kejam,
dan tentu saja yang baik adalah para jendral-jendral yang menjabat pada masa
itu. Maka pada waktu itu, Romo Mangun tahu konsekuensinya jika menulis
"macam-macam” mengenai sejarah. Jadi dia menggunakan sastra sebagai
alatnya untuk memperlihatkan bahwa sejarah Indonesia banyak mengandung
anomali.
Goenawan Mohamad pernah berkata bahwa: dalam sejarah sering terjadi
keretakan dalam revolusi, sehingga menyimpang dari cita-cita semula. Ketika
kekuatan revolusi berpindah kepada kekuatan kekuasaan, di situ sebenarnya
telah terjadi sektarisme.12 Oleh sebab itu, Romo Mangun mempertanyakan
dalam novel Burung-burung Manyar, tentang tujuan revolusi bangsa Indonesia.
Menurut Romo, idealnya revolusi itu ada tiga tahap, yakni revolusi nasional,
sering terdengar: sejarah mengajarkan ini dan itu. Seolah-olah studi atau renungan mengenai
sejarah dapat menghasilkan hukum yang secara pasti dan secara deterministis menentukan
perkembangan dalam waktu yang akan datang.
12
Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h.
74. Di situ dijelaskan lebih lanjut, sebenarnya telah terjadi penganut paham, aliran atau sistim
pemikiran secara dogmatis serta tegar, dan telah tumbuh sikap yang tak terbuka dalam menghadapi
persoalan dalam mencari kebenaran suatu masalah sehingga telah terjadi kecenderungan kuat
untuk menolak serta memalsukan kebenaran-kebenaran yang tidak tercakup oleh pemikiran
sendiri.
6
revolusi sosial, dan revolusi mental. Pemikiran revolusi semacam itu senada
dengan apa yang selalu disebutkan oleh Sjahrir dan juga Tan Malaka dalam
setiap tulisan mereka perihal revolusi. Walaupun banyak konsepsi tentang
revolusi yang dituangkan dalam pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh besar,
seperti Soekarno, Hatta, hingga Natsir. Namun dalam hal ini, penulis merasa
pikiran Romo Mangun tentang revolusi lebih condong atau dapat dikatakan
seideologi dengan pemikiran revolusi Sjahrir dan Tan Malaka. Keseragaman
pemikiran revolusi Romo Mangun dengan Sjahrir dan Tan Malaka juga dapat
dilihat dari tulisan Romo Mangun itu sendiri. Romo Mangun menyebutkan
kedua tokoh itu memiliki pemikiran dan prinsip yang sama terkait dengan
revolusi. Romo Mangun mengatakan bahwa: kedua-duanya sangat sadar,
bahwa revolusi nasional hanyalah fase awal dan sarana belaka untuk tujuan
kemerdekaan yang lebih esensial, yaitu revolusi sosial dan revolusi mental.13
Sebagai pengarang, dalam setiap menulis karyanya, ia tidak sekedar ingin
menyampaikan sebuah cerita, namun ada sesuatu yang dikemas dalam cerita
itu. Seyogyanya melalui novel Burung-burung Manyar, ia ingin membangun
suatu bentuk “pola kesadaran” bagi masyarakat Indonesia khususnya dalam hal
revolusi.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengangkat gagasan revolusi
Sutan Sjahrir dan Tan Malaka yang dibangun oleh pengarang dalam novel
Burung-burung Manyar. Dalam novel, ungkapan revolusi begitu jelas
pemaknaanya melalui sifat yang selalu ditunjukkan oleh sang tokoh utama.
Kajian terhadap novel ini juga dimaksudkan sebagai sarana pembelajaran
sastra di sekolah khususnya pada tingkat SMA. Sastra, selain dapat
memperhalus budi dan mendewasakan manusia, juga mampu membangkitkan
imajinasi, mampu menggugah rasa dan pemikiran dalam hal ini siswa.
Pengalaman berpikir inilah yang sangat diperlukan semua siswa dalam
pertumbuhannya menjadi manusia yang utuh. Karya sastra juga mempunyai
relevansi dengan masalah-masalah dunia pendidikan nyata. Sebab itu sangat
keliru bila di dalam dunia pendidikan selalu menganggap bidang eksakta lebih
13
Mangunwijaya, op. cit., h. 220.
7
utama, lebih penting dibanding dengan ilmu sosial atau ilmu-ilmu humaniora.14
Seperti diketahui bahwa materi sastra merupakan salah satu elemen terpenting
yang terdapat dalam struktur kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia. Baik
itu kurikulum KTSP maupun Kurikulum 2013 (K13). Apalagi K13 lebih
menekankan pada pembentukan sikap/afektif. Untuk membentuk sikap ini,
hanya aspek-aspek seni yang mampu menjangkaunya. Sikap hanya akan
terjangkau dengan seni matematika, seni kimia, seni fisika, begitupun dengan
seni sejarah. Oleh karena itu, penulis merasa perlu meneliti objek ini untuk
keperluan bidang kajian karya sastra yang terdapat dalam mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia yang dikaitkan dengan pemahaman sejarah
Indonesia. Dengan begitu, siswa diharapkan mampu memperoleh wawasan
akan gambaran sebuah revolusi dan makna nasionalisme, setidak-tidaknya jika
dilihat dari kacamata yang sastra dan sejarah.
Memang dapat dikatakan banyak tulisan dan kajian yang telah mengulas
novel ini sangat banyak, dari segala segi sudut pandang kajian yang berbeda.
Namun, setelah membaca novel ini, terjadi kegelisahan pada diri penulis untuk
sekali lagi membahas novel yang tidak lekang dimakan oleh zaman ini.
Walaupun penulis merasa mengkaji novel Burung-burung Manyar dari sudut
pandang sejarah memang sudah sangat banyak, apalagi dari sudut pandang
revolusi pada khususnya. Maka pada pembahasan penelitian ini penulis
mencoba membahas novel ini dengan sedikit “ramuan” yang berbeda, yakni
melalui pendekatan mimetik, penulis akan bercermin dengan realitas sosial
melalui sudut pandang revolusi yang dikaitkan dalam bidang pendidikan,
sehingga tujuan revolusi yang dicita-citakan pengarang dalam novel ini dapat
diurai dengan baik.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dapat ditemui beberapa
identifikasi masalah sebagai berikut:
14
Kinayati Djojosuroto, Analisis Teks Sastra & Pengajarannya, (Yogyakarta: Pustaka,
2006), h. 83.
8
1. Kurangnya pemahaman pembaca terutama siswa tentang pewarnaan
pikiran seorang penulis yang dipengaruhi oleh situasi zaman.
2. Kurangnya minat siswa untuk mendalami pemahaman dalam membaca
novel yang bergenre sejarah.
3. Banyaknya pembaca terutama siswa yang tidak mau mengambil pelajaran
dari sejarah.
4. Minimnya pemahaman pembaca terutama siswa mengenai sejarah yang
terjadi di Indonesia.
5. Kurangnya pemahaman pembaca atau siswa mengenai pesan yang ingin
disampaikan oleh pengarang melalui tulisan (novel).
6. Siswa diharapkan bisa mencapai tahap pembacaan kritis, agar dapat
memahami intrinsik secara mendalam sehingga menemukan sesuatu yang
benar-benar ingin disampaikan oleh pengarang di dalam novel.
C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan mengenai penelitian ini lebih terarah dan terfokus.
Untuk itu penulis menghindari pembahasan yang kurang diperlukan, maka
pembahasan pada penelitian ini dibatasi pada masalah gagasan revolusi Sutan
Sjahrir dan Tan Malaka pada tokoh-tokoh novel Burung-burung Manyar karya
Y.B.
Mangunwijaya
dengan
menggunakan
pendekatan
mimetik
dan
implikasinya terhadap pembelajaran di SMA.
D. Perumusan Masalah
Adapun berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gagasan revolusi pada tokoh-tokoh novel Burung-burung
Manyar karya Y.B. Mangunwijaya?
2. Bagaimana implikasi gagasan revolusi pada tokoh-tokoh novel Burungburung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya terhadap pembelajaran sastra di
SMA?
9
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok masalah yang diajukan, maka tujuan yang ingin
dicapai dari penelitian ini, yakni untuk:
1. Mendeskripsikan gagasan revolusi yang disajikan pada tokoh-tokoh novel
Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya.
2. Mendeskripsikan implikasi gagasan revolusi pada tokoh-tokoh novel
Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya terhadap pembelajaran
sastra di SMA.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini diuraikan
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui tinjauan
sejarah berupa gagasan revolusi dengan mengacu kepada karya sastra,
yakni novel yang menjadi dokumen sosial sehingga dapat dijadikan objek
penelitian bagi bidang keilmuan lain. Diharapkan juga penelitian ini
dapat memberikan manfaat yang besar kepada para pembaca dan
penikmat karya sastra umunya, agar dapat lebih luas dalam memahami
karya sastra dan khususnya bagi para guru bahasa dan sastra Indonesia
sebagai bahan pembelajaran sastra di sekolah, khususnya SMA.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat secara praktis penelitian ini dapat dijadikan
rujukan atau sebagai bahan penelitian lanjutan bagi para mahasiswa
pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Lalu bagi para pendidik
diharapkan dapat mempermudah pemahaman mengenai makna novel dan
dunia pemikiran yang melatarbelakanginya. Begitupun juga penelitian ini
diharapkan dapat menambah pengetahuan peserta didik tentang karya
sastra yang berhubungan dengan aspek tinjauan historis yang bercermin
pada konteks revolusi di Indonesia.
10
G. Metodologi Penelitian
1. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini yaitu berupa novel dari karya Y.B.
Mangunwijaya yang berjudul Burung-burung Manyar. Sedangkan, objek
dari penelitian ini adalah tinjauan historis berupa gagasan revolusi yang
terkandung dalam novel tersebut.
2. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini dibuat agar pembahasan lebih terarah dan tepat
pada sasarannya, sehingga dapat dengan mudah diteliti dan dipahami
dengan baik oleh para pembaca. Fokus dari penelitian ini adalah gagasan
revolusi yang terkandung pada tokoh-tokoh novel Burung-burung Manyar
karya Y.B. Mangunwijaya dengan menggunakan pisau bedah pendekatan
mimetik yang berimplikasi terhadap pembelajaran sastra di SMA.
3. Sumber Data Penelitian
Dalam penelitian ini jika ditilik dari sumber datanya, maka
pengumpulan data dilakukan menggunakan sumber data primer dan sumber
data sekunder. Data primer yaitu data yang langsung dan segera diperoleh
dari sumber data oleh penyelidik untuk suatu tujuan, sedangkan sumber
primer adalah sumber asli, sumber tangan pertama penyelidik.15 Jadi dapat
dikatakan sumber data primer adalah sumber data utama penelitian yang
diproses langsung dari sumber aslinya. Dalam penelitian ini sumber data
primernya berupa novel karya Y.B. Mangunwijaya yang berjudul Burungburung Manyar hasil terbitan dari penerbit Djambatan, Jakarta dan
merupakan cetakan kelima belas pada Januari 2007.
Sedangkan data sekunder adalah data yang telah lebih dahulu
dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang di luar diri penyelidik sendiri,
walaupun yang dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data yang asli,
15
Winarno Surachmad, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah,
(Bandung: Tarsito, 1975), h. 133.
11
sedangkan sumber sekunder berisi data dari tangan kedua (atau dari tangan
yang kesekian).16 Sumber data sekunder dari penelitian ini berupa acuanacuan baik berupa buku, literatur, karya ilmiah, jurnal, esai atau tulisantulisan di media massa.
4. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi atau memahami
makna yang –oleh sejumlah individu atau sekelompok orang– dianggap
berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.17 Penelitian ini bersifat
kualitatif karena peneliti berfungsi sebagai instrumen utama dalam
penelitian ini. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya
penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur,
mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data
secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang
umum, dan menafsirkan makna data.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah suatu metode dalam
meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu
sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.18
Metode ini dilakukan dengan cara, mendeskripsikan fakta-fakta yang
kemudian disusul dengan analisis.19 Data yang telah terkumpul dari hasil
pencarian berupa dokumentasi dipaparkan, yang dikaitkan dengan kajian
substansi novel kemudian pemamaparan tersebut dianalisis sehingga dapat
diambil kesimpulan akhir. Pada dasarnya, tujuan akhir tulisan kualitatif
16
Ibid.
John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan mixed, Edisi
Ketiga, Terj. dari Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches,
Third Edition oleh Achmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 4.
18
Asep Yusuf Hidayat, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: FSUP, 2007), h. 23.
19
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), cet. 3, h. 53.
17
12
ialah memahami apa yang dipelajari dari perspektif kejadian itu sendiri, dari
sudut pandang itu sendiri.20
Lalu pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
pendekatan mimesis21, sehingga titik berat pendekatan penelitian ini berada
pada ranah mimetik, yakni pendekatan sastra yang menitikberatkan
hubungan karya sastra (novel) dengan kenyataan di luar karya sastra (faktafakta).
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data penelitian ini, penulis menggunakan
teknik dokumentasi atau juga disebut dengan kajian pustaka. Kajian pustaka
merupakan
kegiatan
mendalami,
mencermati,
menelaah,
dan
mengidentifikasi bahan atau sumber yang tujuannya untuk mencari datadata melalui bahan pustaka.22 Cara kerja dari teknik dokumentasi atau kajian
pustaka ini mengumpulkan dokumen-dokumen atau sumber-sumber yang
diperlukan untuk penelitian, berupa tulisan-tulisan dari berbagai buku,
majalah, surat kabar, jurnal, ebooks, esai, dan dokumen lainnya yang
berkaitan dengan objek penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah
pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah
berdasarkan konvensi
sistem
semiotik tingkat
pertama, sementara
pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem
20
Septiawan Santana K., Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2007), h. 29.
21
M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (New York: Holt Rinehart and Winston,
1981), p. 51. Mimetic views the literary work as an imitation, or reflection, or representation of
the world and human life, and the primary criterion applied to a work is the "truth" of its
representation to the subject matter that it represents, or should represent. This mode of criticism,
which first appeared in Plato and (in a qualified way) in Aristotle, remains characteristic of
modern theories of literary realism.
22
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), cet. 9, h, 5658.
13
semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.23 Adapun
langkah awal dalam menganalisis novel Burung-burung Manyar dalam
penelitian ini adalah dengan pembacaan awal. Menganalisis unsur intrinsik
secara menyeluruh dimaksudkan agar peneliti mendapatkan pondasi awal
dalam pengkajian. Kemudian mencatat bagian-bagian yang menggambarkan
gagasan revolusi yang digagas oleh para tokoh di dalam novel.
Sedangkan langkah kedua dengan pembacaan hermeneutik merupakan
cara yang dilakukan oleh pembaca dengan bekerja terus menerus lewat
pembacaan teks sastra secara bolak balik dari awal sampai akhir.
Pengkajiannya dilakukan dengan cara: hasil yang didapat dari pencarian
gagasan revolusi digunakan untuk menganalisis gagasan revolusi Sutan
Sjahrir dan Tan Malaka yang digambarkan oleh para tokoh. Setelah itu,
hasil analisis tersebut digunakan sebagai data untuk diimplikasikan pada
pembelajaran sastra yang dikhususkan pada tingkat SMA.
23
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. 4, h. 135.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Novel
―Novel merupakan sebuah cerita dan termasuk jenis dari karya sastra
yang dapat dikatakan lebih baru kehadirannya dari pada puisi dan drama. Puisi
sendiri dapat kita ketahui sudah ada sejak zaman manusia belum mengenal
tulis-menulis, begitupun drama berasal dari kegiatan-kegiatan ritual keagamaan
primitif, sedangkan novel adalah genre sastra dari Eropa yang muncul di
lingkungan kaum borjuasi di Inggris dalam abad 18.‖1 Banyak anggapan
bahwa
timbulnya
novel
akibat
pengaruh
tumbuhnya
filsafat
yang
dikembangkan John Locke (1632-1704) yang menekankan pentingnya fakta
atau pengalaman dan bahayanya berpikir secara fantastis.2 Pada dasarnya orang
terdahulu ingin melihat kenyataan hidup sehari-hari yang nyata dan juga seperti
yang dialami oleh sesama mereka. Kisah demikianlah yang dianggap menarik
perhatian dan menyentuh jiwa kemanusiaan, sehingga mereka lebih dapat
memahami dan larut dengan apa yang mereka baca.
Menurut Robert Lindell, novel pertama yang lahir di Inggris berjudul
Pamella yang terbit pada tahun 1740. Awalnya novel Pamella merupakan
bentuk catatan harian seorang pembantu rumah tangga, kemudian berkembang
dan menjadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal sebagai novel seperti sekarang
ini.3 Sementara dalam dunia sastra kita, novel Indonesia secara ―resmi‖ muncul
1
Jakob Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977, (Bandung: Alumni, 1999),
h. 12. Ketika itu novel merupakan produk masyarakat kota yang terpelajar, mapan, kaya, cukup
waktu luang untuk menikmatinya.
2
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2010), h. 124. Pentingnya belajar dari pengalaman merupakan ajaran baru yang
berkembang pada masa itu. Akibat timbulnya pembaca karya sastra dari kalangan para pengusaha,
pedagang, serta golongan menengah yang kurang menyukai puisi dan drama yang dianggapnya
tidak realistis. Mereka memerlukan bacaan yang menggambarkan suasana yang lebih realistis dan
masuk akal dari hidup ini. Mereka ingin membaca tentang kehidupan orang-orang lain dengan
segala kelebihan dan kekurangannya, bukan lagi mengenai pahlawan khayal yang gagah perkasa,
atau penjahat ulung yang licik atau kehidupan raja-raja yang penuh pesona seperti dalam puisi dan
drama selama ini.
3
Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi, (Surakarta: Sebelas Maret University Press,
1994), h. 37-38. Ini juga ditulis oleh Priyatni, loc. cit.
14
15
setelah terbitnya Si Jamin dan Si Johan, tahun 1919, oleh Merari Siregar, yang
merupakan novel saduran dari novel Belanda, kemudian pada tahun berikutnya
terbit novel Azab dan Sengsara oleh pengarang yang sama; sejak itu mulailah
berkembang sastra fiksi yang dinamai novel ini dalam khazanah sastra
Indonesia.4 Sampai sekarang dapat kita lihat karya sastra jenis novel sangat
menunjukkan grafik perkembangan yang sangat pesat dan dapat dikatakan
sangat digemari masyarakat sejauh ini.
Bentuk novel dalam kesusastraan merupakan sebuah sistem bentuk.
Dalam sistem ini terdapat unsur-unsur pembentuknya dan fungsi dari masingmasing unsur. Dalam sistem bentuk novel yang berupa cerita, terdapat unsurunsur alur cerita (plot), penokohan, latar cerita (setting), permasalahan, suasana
cerita dan sebagainya. Unsur-unsur ini membentuk sebuah struktur cerita besar
yang diungkapkan lewat materi bahasa. Inilah aspek intrinsik dalam benda seni
sastra bernama novel. Adapun aspek ekstrinsiknya berupa gagasan sastrawan
akibat reaksi dan tanggapan terhadap hidup lingkungan sosial dan budaya.
Dalam aspek ini mengandung nilai-nilai kognitif konteks budayanya, dan nilainilai ideal kehidupan pribadinya.5 Dari kedua unsur pembangun inilah novel
dapat tercipta, di samping keadaan alam yang membentuk pemikiran sastrawan
dan juga adanya peranan pembaca.
1. Hakikat Novel
Novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata novellus dibentuk dari
kata novies yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan
kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul
belakangan dibandingkan cerita pendek, roman, bahkan drama.6 Sebutan
novel dalam bahasa Inggris –dan inilah yang kemudian masuk ke
Indonesia– berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman:
4
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 33. Tetapi itu tidak
berarti bahwa Azab dan Sengsara muncul tanpa pendahuluan. Ancang-ancangnya sudah dimulai
disekitar tahun 1890, oleh para wartawan yang menulis buku cerita yang bersifat hiburan dengan
menggunakan bahasa Melayu-pasar.
5
Sumardjo, op. cit., h. 2-3.
6
Waluyo, op. cit., h. 37.
16
novelle). Secara harfiah novella berarti ‗sebuah barang baru yang kecil‘, dan
kemudian diartikan sebagai ‗cerita pendek dalam bentuk prosa‘7. Dewasa ini
istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah
Indonesia novelet (Inggris: novelette)8, yang berarti sebuah karya prosa fiksi
yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu
pendek. Karya sastra yang disebut novelet atau novela9 adalah karya sastra
yang lebih pendek daripada novel, tetapi lebih panjang daripada cerpen,
katakanlah pertengahan di antara keduanya.10
Di samping novel, di Indonesia juga dikenal istilah roman11. Pada
masa permulaan kesusasteraan Indonesia, istilah roman dipergunakan untuk
penamaan karya sastra yang terbit pada masa-masa itu. Hal ini terlihat pada
karya sastra tahun 20-an dan 30-an atau pada masa Balai Pustaka dan
Pujangga Baru. Jika kita lihat dari sudut pandang itu, maka dapat dikatakan
bahwa istilah roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang
dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman waktu itu wajar
karena sastrawan Indonesia waktu itu pada umumnya berorientasi ke negeri
Belanda, yang lazim menamakan bentuk ini dengan istilah roman. Istilah ini
7
M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (New York: Holt Rinehart and Winston,
1981), p. 190-191. Abram menuliskan: The term for the novel in most European languages is
roman, which is derived from the medieval term, the romance. The English name for the form, on
the other hand, is derived from the Italian novella (literally, "a little new thing"), which was a
short tale in prose. In fourteenth-century Italy there was a vogue for collections of such tales,
some serious and some scandalous; the best known of these collections is Boccaccio's Decameron,
which is still available in English translation at any well stocked bookstore. Currently the term
"novella" (or in the German form, Novelle) is often used as an equivalent for novelette.
8
Ibid. Abrams juga menuliskan: The term "novel" is now applied to a great variety of
writings that have in common only the attribute of being extended works of fiction written in prose.
As an extended narrative, the novel is distinguished from the short story and from the work of
middle length called the novelette; its magnitude permits a greater variety of characters, greater
complication of plot (or plots), ampler development of milieu, and more sustained exploration of
character and motives than do the shorter, more concentrated modes.
9
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
h. 35. Novela berkembang paling pesat di Jerman dibandingkan di negara mana pun dan teori-teori
novela sering disusun dengan rujukan khusus pada tradisi novela negara ini.
10
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), h. 9-10.
11
Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: Angkasa, 2013), h.
8. Istilah roman berasal dari kesusastraan Perancis. Roman adalah bahasa rakyat sehari-hari di
negeri Perancis. Kemudian berkembang artinya menjadi cerita-cerita tentang pengalamanpengalaman kaum ksatria dan cerita-cerita kehidupan yang jenaka, dari pedesaan. Sekarang
pengertian roman telah menyangkut tentang kehidupan manusia pada umumnya.
17
juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian negara-negara Eropa.
Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah
sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa
Inggris.12 Hal tersebut dapat dilihat pada tahun 40-an muncul cerita-cerita
yang mengisahkan sebagian kecil kehidupan pelaku yang menarik dan
mengesankan
yang berbeda
dengan pola
cerita pada masa-masa
sebelumnya. Bentuk seperti itu dinamakan novel, karena lebih singkat dan
lebih padu. Dengan kata lain, karya-karya novel tumbuh pada tahun 40-an
sebagai akibat pengaruh sastra Inggris dan Amerika.13
Di antara para ahli teori sastra di Indonesia memang ada yang
membedakan antara novel dan roman, dengan mengatakan bahwa novel
mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang,
dan pemusatan kehidupan yang tegas: sedangkan roman dikatakan sebagai
menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya
melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal
dunia. Sebagai contoh misalnya roman Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal
van der Wijck, ataupun roman Atheis.14
Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa, novel yang lebih
―memusat‖ dan roman yang lebih ―luas‖ sebenarnya terdapat pada istilah
novel maupun roman. Menurut Jakob Sumardjo, Tom Jones yang ―luas‖
tetap bernama novel, sedangkan Jan Smees yang ―memusat‖ tetap dinamai
roman.15 Hal itulah kini yang membuat istilah novel dan roman tidak lagi
dibedakan. Keduanya dinamakan novel karena pada hakikatnya keduanya
adalah hal yang sama, yaitu menyampaikan tentang kehidupan manusia
yang digali dari kehidupan sehari-hari yang dapat dirasa dan dihayati oleh
masyarakat pembaca.
12
Semi, op. cit., h. 32. Berbeda halnya dengan di Inggris dan Amerika istilah yang dikenal
adalah novel, tidak dikenal atau digunakan istilah roman, betapapun menyangkut karya-karya
besar. Sebagai contoh karya Tolstoi, Perang dan Damai, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
juga disebut novel walaupun di Rusia dinamai roman.
13
Priyatni, op. cit., h. 125.
14
Esten, loc. cit.
15
Semi, op. cit., h. 33.
18
2. Unsur Intrinsik Novel
Novel dibangun dari sejumlah unsur, setiap unsur akan saling
berhubungan satu dengan yang lainnya dan saling menentukan. Unsur
intrinsik ialah segi yang membangun karya sastra itu dari dalam. Misalnya,
hal-hal yang berhubungan dengan struktur, seperti alur, latar, pusat
pengisahan, dan penokohan, kemudian juga hal-hal yang berhubungan
dengan pengungkapan tema dan amanat. Juga termasuk ke dalamnya hal-hal
yang berhubungan dengan imajinasi dan emosi.16
Pada umumnya, para ahli sastra membagi unsur intrinsik (dalam hal
ini novel) atas tema, amanat, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut
pandang, dan gaya bahasa.
a. Tema
Secara umum tema dipandang sebagai ide yang mendasari suatu
cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam
memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Seorang pengarang
memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan
proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami
tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi
media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya,
serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.17
Menurut Tarigan, tema merupakan gagasan utama atau pikiran
pokok. Tema suatu karya sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan
ditemui oleh setiap pembaca cermat karya sastra.18 Lebih detilnya
Stanton menjelaskan, tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan
‗makna‘ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu
pengalaman begitu diingat. Begitu juga tema dapat diibaratkan ‗maksud‘
dalam sebuah gurauan; setiap orang paham ‗maksud‘ sebuah gurauan,
16
Esten, op. cit., h. 17.
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161.
18
Henry Guntur Tarigan, Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:
Angkasa, 1986), h. 167.
17
19
tetapi mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjelaskannya.
‗Maksud‘ adalah hal yang membuat sebuah gurauan menjadi lucu; dalam
konteks ini, ‗maksud‘ merujuk pada fungsi dan bukan definisi. Kita
sudah paham betul bahwa ‗tema‘ sebuah cerita terletak pada ‗makna‘nya. Jadi, tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen
dalam cerita dengan cara yang paling sederhana.19 Sejalan dengan hal
tersebut dalam buku Nurgiyantoro, mengungkapkan tema dapat
dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum dalam sebuah
karya novel. Namun menurutnya makan cerita dalam sebuah karya novel
mungkin saja lebih dari satu interpretasi. Maka dari itu, tema dapat dibagi
menjadi dua, tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah makna
pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu,
sedangkan tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian
tertentu cerita dapat diidentifikasi sebagai makna bagian, makna
tambahan.20
Dengan
demikian
dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa,
tema
merupakan bagian sentral dalam setiap karya sastra, karena ia merupakan
ide atau gagasan pokok dalam suatu cerita. Dengan kata lain, temalah
yang melandasi sebuah cerita dalam suatu karya sastra. Ada anggapan
bahwa dari semua unsur dalam suatu karya sastra, tema merupakan hal
yang paling sukar dirasakan dan ditemukan, karena tema merupakan
suatu yang abstraks (karena jarang tema ditulis secara tersurat oleh
pengarangnya). Dengan begitu, ia haruslah dipahami dan ditafsirkan
melalui cerita yang dibaca secara cermat oleh pembaca karya sastra.
b. Alur
Alur cerita sering kali disebut kerangka cerita atau plot. Alur cerita
adalah struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi. Plot juga berarti
seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan waktu dan dalam rangkaian
19
Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan
Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 36-41.
20
Nurgiyantoro, op. cit., h. 82-83.
20
kejadian itu terdapat hubungan sebab akibat yang bersifat logis, artinya
pembaca merasa bahwa secara rasional kejadian atau urutan kejadian itu
memang mungkin terjadi (tidak dibuat-buat). Plot tidak hanya
menyangkut peristiwa, namun juga cara pengarang mengurutkan
peristiwa itu, dan juga motif, konsekuensi, dan hubungan antara peristiwa
yang satu dengan lainnya.21 Sesuai pemahaman tersebut, dapat dikatakan
bahwa alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita
sehingga merupakan kerangka utama cerita, yang memiliki tahapantahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh
para pelaku dalam suatu cerita.
Secara sederhana alur merupakan urutan (sambung-sinambung)
peristiwa-peristiwa
dalam
sebuah
cerita
rekaan.
Urutan
dalam
penceritaan (peristiwa-peristiwa) tersebut ditampilkan dan berdasarkan
logika cerita, sehingga menjalin kesatupaduan cerita. Secara teoretis alur
dapat diurutkan ke dalam tahap-tahap secara kronologis sesuai cerita
yang
dikemukakan
oleh
pengarang.
Walaupun
pada
hakikat
tradisionalnya atau umumnya yang banyak diketahui, biasanya alur
terdiri dari: tahap awal – tengah – akhir atau lebih lengkapnya terdiri atas
tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan
konflik, tahap klimaks, serta tahap penyelesaian.22 Namun demikian,
tidak selamanya urutan-urutan itu menjadi acuan yang tetap dan baku.
Alur dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda
berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Di atas
dikatakan, urutan penceritaan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan
berdasarkan logika cerita. Dengan mendasarkan diri pada logika cerita,
maka ada yang disebut alur maju, alur mundur, dan alur campuran.23
21
Waluyo, op. cit., h. 145.
Nurgiyantoro, op. cit., h. 149-150. Pendapat ini dikemukakan oleh Tasrif dalam bukunya
Mochtar Lubis, Teknik Mengarang yang mungkin dengan mendasarkan diri pada pendapat
Richard Summers.
23
Ibid., h. 153-157.
22
21
1) Alur Maju atau Alur Progresif. Sebuah novel dikatakan progresif jika
peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, atau secara
runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan,
pemunculan, konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir
(penyelesaian).
2) Alur Mundur atau Alur Sorot-balik (Flash-back). Urutan kejadian
yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat
kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahapan awal (yang benar-benar
merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap
tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita
dikisahkan.
3) Alur Campuran. Secara garis besar alur sebuah novel mungkin
progresif, tetapi di dalamnya (betapapun kadar kejadiannya) sering
terdapat adegan-adegan sorot-balik. Urutan kejadian yang dikisahkan
dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita
tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal
cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau
bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
Alur yang digunakan Burung-burung Manyar dapat dikategorikan
alur mundur atau sorot balik. Pasalnya cerita tidak benar-benar
diceritakan secara runut ke depan. Dari segi alur terdapat keunikan dalam
novel ini, karena struktur alur sengaja dibuat dengan konsep cerita alur
pewayangan oleh pengarangnya. Seperti dalam pewayangan cerita
diawali dengan penggambaran awal kisah yang diceritakan oleh anak
wayang. Hal tersebut juga diadopsi oleh pengarang dalam novel ini.
Dengan demikian, cerita pewayangan dijadikan rujukan pengarang dalam
menyusun
alur
cerita,
sehingga
dapat
dikatakan
mengejawantahkan wayang dalam bentuk modern.
novel
ini
22
c. Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita
rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara
sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.24 Dengan kata lain,
penokohan ialah bagaimana cara pengarang menggambarkan dan
mengembangkan karakter/watak tokoh-tokoh dalam cerita. Tokoh cerita
biasanya mengemban suatu perwatakan, yang diberi bentuk dan isi oleh
pengarang.
Ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh
dalam fiksi, yakni secara analitik dan secara dramatis. Cara analitik
adalah cara pengarang menjelaskan atau mengisahkan tokohnya secara
langsung. Pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras
kepala, penyayang, dan sebagainnya. Sedangkan, cara dramatis, yaitu
cara pengarang yang tidak mengisahkan apa dan siapa tokoh ceritanya
secara langsung, tetapi dengan menggunakan hal-hal lain yaitu; pilihan
nama tokoh, penggambaran fisik, hingga melalui dialog.25
Sementara itu, merujuk pada buku Nurgiyantoro, tokoh-tokoh
cerita dalam sebuah novel dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis
penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Dilihat
dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita,
terdapat tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh
yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama dalam sebuah
novel, mungkin saja lebih dari seorang, walaupun kadar keutamaannya
tidak (selalu) sama. Sedangkan, tokoh tambahan merupakan tokoh yang
fungsinya hanya sebagai tambahan di dalam cerita.
Lalu
jika
berdasarkan
kriteria
berkembang
atau
tidaknya
perwatakan, terdapat tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis
24
25
Siswanto, op. cit., h. 142-143.
Semi, op. cit., h. 40-41.
23
adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan
atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwaperistiwa yang terjadi. Sedangkan, tokoh berkembang adalah tokoh cerita
yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan
dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang
dikisahkan. 26
Tokoh-tokoh yang digambarkan dalam Burung-burung Manyar,
pengarang menggunakan kedua jenis penggambaran tokoh, secara
analitik maupun dramatik. Tokoh utama dikategorikan sebagai tokoh
yang berkembang atau memiliki porsi perkembangan yang banyak
ketimbang tokoh lainnya.
d. Latar
Setting atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai latar,
merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,
semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang
berlangsung.27 Berkaitan dengan pendapat tersebut, latar atau setting
adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung. Dalam pengertian
yang lebih luas, latar mencakup tempat dalam waktu dan kondisi-kondisi
psikologis dari semua yang terlibat dalam kegiatan itu.28 Dengan begitu,
berarti latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hingga
dapat pula menciptakan suatu suasana, yang sesuai dengan perasaan yang
telah kita alami mengenai suatu lokasi.
Latar yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar tempat, secara jelas
menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar waktu,
berhubungan dengan masalah ―kapan‖ terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan. Serta, latar sosial menyaran pada hal-hal yang
26
Nurgiyantoro, op. cit., h. 176-194.
Stanton, op. cit., h. 35.
28
Tarigan, op. cit., h. 164.
27
24
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu
tempat yang semua itu diceritakan dalam karya fiksi.29
Menurut Nurgiyantoro, latar dapat dibagi menjadi dua, yakni latar
netral dan latar tipikal. Latar netral tidak mendeskripsikan sifat khas
tertentu yang menonjol daripada latar yang lain, sedangkan latar tipikal
lebih menonjolkan sifat khas latar tertentu.30 Seperti yang digunakan
dalam novel Burung-burung Manyar, Magelang digunakan sebagai latar
tipikal oleh pengarang, karena latar tersebut mempengaruhi penokohan
secara langsung. Kehadiran latar tipikal dalam sebuah karya fiksi,
dibanding dengan latar netral, lebih meyakinkan, sehingga memberikan
kesan secara lebih mendalam kepada pembaca.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya.
Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat,
waktu, dengan gayanya sendiri.31 Sudut pandang menyaran pada cara
sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang
pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja
dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.32 Lebih
sederhananya, dari kedua pandangan di atas, sudut pandang adalah posisi
pengarang dalam membawakan cerita.
Sudut pandang penting untuk mendapatkan gambaran tentang
kesatuan cerita dan juga menunjukan pertalian antara pencerita (narator)
dengan ceritanya. Perlu diingat bahwa narator ini tidak sama (identik)
dengan
29
pengarangnya.
Ada
Nurgiyantoro, op. cit., h. 216-237.
Ibid. h. 220-221.
31
Siswanto, op. cit., h. 151.
32
Nurgiyantoro, op. cit., h. 248.
30
bermacam-macam
cara
pengisahan
25
cerita/sudut pandang. Sudut pandang ini juga merupakan cara bercerita
dari titik pandang mana atau siapa cerita itu dikisahkan.
Pencerita atau narator dapat mengisahkan cerita orang lain sebagai
orang ketiga atau dengan metode orang ketiga (metode dia, mereka).
Dapat juga narator menceritakan kisahnya sendiri; pusat pengisahan ini
disebut metode orang pertama (metode aku). Metode orang pertama pun
ada dua macam, yaitu pertama, metode orang pertama sertaan, di sini
narator menceritakan pengalaman atau ceritanya sendiri, si pencerita
menyebut tokoh utama sebagai ―aku‖. Kedua, dalam metode aku tak
sertaan, narator sebagai ―aku‖ menceritakan atau menyaksikan tokoh
utama, baik tokoh utama ber-aku atau diceritakan sebagai ―dia‖ atau
―mereka‖. Jadi, di sini aku tak sertaan itu sebagai ―saksi‖ terhadap cerita
orang lain yang menjadi tokoh utama cerita yang dikisahkan.33
Penjelasan
yang
lebih
rinci
dikemukakan
oleh
Burhan
Nurgiyantoro mengenai sudut pandang, yakni: terdapat sudut pandang
persona ketiga: “dia” yang terbagi menjadi “dia” mahatahu dan “dia”
terbatas atau sebagai pengamat. Dalam sudut pandang “dia” mahatahu,
cerita dikisahkan dari sudut ―dia‖, namun pengarang, narator, dapat
menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ―dia‖ tersebut.
Narator bersifat mahatahu. Sedangkan, sudut pandang “dia” terbatas
atau sebagai pengamat, seperti halnya dalam ―dia‖ mahatahu, namun
terbatas hanya pada seorang tokoh saja, atau dalam jumlah yang sangat
terbatas. Sementara, sudut pandang persona pertama: “aku” yang
terbagi menjadi “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan. Dalam
sudut pandang “aku” tokoh utama, mengisahkan berbagai peristiwa dan
tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri
sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya.
Lain halnya dengan, sudut pandang “aku” tokoh tambahan, tokoh ―aku‖
hadir sebagai tokoh tambahan. Tokoh ini hadir untuk membawakan cerita
33
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. 4, h. 74-76.
26
kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian
―dibiarkan‖ untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.34
Dengan demikian, sudut pandang diartikan sebagai cara pengarang
menempatkan diri terhadap cerita atau dari sudut mana pengarang
memandang cerita. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan
siapa yang menceritakan, atau dari sudut mana atau siapa tindakan dan
peristiwa
itu
dilihat,
sehingga
pemilihan
bentuk
penceritaan
mempengaruhi perkembangan cerita.
f. Gaya Bahasa
Pada umumnya gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula
dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal
untuk menjelaskan orang atau objek.35 Dalam cerita, penggunaan bahasa
berfungsi untuk menciptakan suatu nada atau suasana persuasif serta
merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan
interaksi antara sesama tokoh. Dengan menggunakan gaya bahasa,
pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan. Kemampuan
sang penulis mempergunakan bahasa secara cermat dapat menjelmakan
suatu suasana yang berterus terang atau satiris, simpatik atau
menjengkelkan, objektif atau emosional. Bahasa juga dapat menimbulkan
suasana yang tepat bagi tiap adegan dalam karya fiksi.
Menurut Abrams dalam buku Nurgiyantoro, gaya bahasa adalah
cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang
mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.36 Sama dengan
pernyataan tersebut, gaya bahasa menurut Siswanto, yang mengacu
kepada Aminuddin, adalah cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan
34
Nurgiyantoro, op. cit., h. 256-266.
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. 51.
36
Nurgiyantoro, op. cit., h. 276.
35
27
harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.37
Menurut Keraf, gaya bahasa terbagi menjadi dua, yaitu gaya
bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari
konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan
yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam
bidang makna.38 Sebagai contoh, terdapat beberapa jenis gaya bahasa di
antaranya adalah metafora, memperbandingkan sesuatu (manusia)
dengan yang lain (hewan) untuk menunjukkan persamaan sikap
perilakunya, dengan cara memindahkan sifat-sifatnya.
Dapat disederhanakan bahwa, gaya bahasa adalah cara seorang
pengarang dalam menyampaikan gagasannya menggunakan bahasa yang
indah nan penuh makna. Macam-macam gaya bahasa retoris yang
terdapat dalam novel Burung-burung Manyar yaitu hiperbola dan
paradoks. Sedangkan gaya bahasa kiasan terdapat simile, personifikasi,
ironi, dan metafora.
g. Amanat
Sebuah karya sastra ditulis oleh seorang pengarang untuk, antara
lain, menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Melalui cerita,
sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat
mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan dan
diamanatkan oleh pengarang. Di dalam amanat itu juga terlihat
pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Amanat dapat diungkapkan
secara eksplisit (tersurat) dan dapat juga secara implisit (tersirat). Bahkan
ada amanat yang tidak nampak sama sekali.39
37
Siswanto, op. cit., h. 158-159.
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2010), h. 129.
39
Esten, op. cit., h. 20.
38
28
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak
disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu. 40 Ia
adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca. Di dalam karya sastra modern
amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya
amanat itu tersurat.41 Dapat dipahami, pada hakikatnya amanat adalah
sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, dan
merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra, yang
disampaikan lewat cerita. Amanat dalam karya sastra biasanya
mencerminkan
pandangan
hidup
pengarang
yang
bersangkutan,
pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin
disampaikan kepada pembaca.
3. Unsur Ekstrinsik Novel
Faktor-faktor sejarah dan lingkungan memang bisa dianggap ikut
membentuk proses terciptanya karya sastra. Kesemuanya itu merupakan
unsur yang berada di luar karya (novel) itu, atau di luar dari unsur intrinsik
karya sastra dan disebut sebagai unsur ekstrinsik. Jadi dalam hal ini sastra
(juga) harus dipelajari melalui biografi dan psikologi pengarangnya. Unsur
ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi
secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya
sastra. Dengan kata lain, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai
unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra,
namun ia sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.42
Unsur-unsur yang dimaksud antara lain adalah keadaan subjektivitas
individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup
yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek
kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang
40
E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h.
41
Siswanto, op. cit., h. 162.
Nurgiyantoro, op. cit., h. 23.
71.
42
29
dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang
berupa psikologi pengarang yang mencakup proses kreatifnya, keadaan di
lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial yang juga akan
berpengaruh terhadap karya sastra.43 Selain itu, pola pemikiran yang
dipahami dan dianut sang pengarang turut juga mempengaruhi hasil yang
diciptakan dari apa yang ditulis oleh sang pengarang.
Pendekatan ekstrinsik dikatakan sebagai metode terbaik dalam
mengkaitkan karya sastra dengan latar belakang pribadi pengarang.
Pasalnya, dengan mengetahui latar belakang pribadi dan pemikiran para
pengarang, upaya memahami dapat dilakukan lebih tepat dan lebih dalam.
Seperti halnya dalam menganalisis Burung-burung Manyar, pendekatan
ekstrinsik menjadi jalan untuk memahami lebih dalam pemikiran
Mangunwijaya yang bertindak sebagai pengarang novel, sementara
pendekatan intrinsik digunakan untuk memahami novel Burung-burung
Manyar secara mendetail dari sudut karya itu sendiri.
B. Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik merupakan suatu pendekatan yang sudah sangat
terkenal di kalangan ilmuwan sastra. Bahkan menurut Abrams, pendekatan
mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Menurutnya, akar
sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Hal tersebut
sangat benar adanya, faktanya jika kita menelaah buku-buku mengenai teori
mimetik, maka (pada awal mula sejarahnya) kita akan disuguhkan dengan
perdebatan anatara Plato dengan Aristoteles. Bahwa menurut Plato, dasar
pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak
bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai
peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah
kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa
43
Ibid. Pendapat ini mengacu kepada pendapat yang ditulis oleh Rene Wellek dan Austin
Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature oleh Melani Budianta, (Jakarta:
Gramedia, 1995), cet. 4, h. 79-81.
30
karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai katharsis. Di samping
itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri.44
Setelahnya, dapat kita ketahui perdebatan itu terus berkembang dengan
konsep-konsep yang diperbaharui. Sehingga ada seorang ilmuwan sastra yang
bernama M.H. Abrams, dalam bukunya yang berjudul The Mirror and the
Lamp, ia mengatakan:
“Four elements in the total situation of a work of art are discriminated
and made salient, by one or another synonym, in almost all theories
which aim to be comprehensive. First, there is the work, the artistic
product itself. And since this is a human product, an artifact, the second
common element is the artificer, the artist. Third, the work is taken to
have a subject which, directly or deviously, is derived from existing
things-to be about, or signify, or reflect something which either is, or
bears some relation to, an objective state of affairs. This third element,
whether held to consist of people and actions, ideas and feelings,
material things and events, or super-sensible essences, has frequently
been denoted by that word-of-all-work, 'nature'; but let us use the more
neutral and comprehensive term, universe, instead. for the final element
we have the audience: the listeners, spectators, or readers to whom the
work is addressed, or to whose attention, at any rate, it becomes
available.”45
Melalui teori di atas, dapat diketahui bahwa ada empat unsur penting
dalam terciptanya karya sastra, yakni work (karya sastra), artist (sastrawan),
universe (semesta), dan audience (pembaca). Berdasarkan teori tersebut, karya
sastra dapat dikaji melalui empat pendekatan, pendekatan mimetik, pendekatan
pragmatik, pendekatan ekspresif, dan pendekatan obejektif. Dalam hal ini,
pendekatan mimetiklah yang menjadi sasaran bahasan.
Pendekatan
mimetik
adalah
pendekatan
kajian
sastra
yang
menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan
di luar karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai imitasi
dari realitas.46 Pendapat ini bertolak dari pemikiran Abrams, yang menyatakan
bahwa karya sastra merupakan refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud
44
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), cet. 3, h. 69-70.
45
M. H. Abrams, The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition,
(Oxford: Oxford University Press, 1971), p. 6.
46
Siswanto, op. cit., h. 188.
31
berkat tiruan dan gabungan imajinasi pengarang terhadap realitas kehidupan
atau realitas alam. Hal tersebut didasarkan pandangan bahwa apa yang
diungkapkan pengarang dalam karyanya pastilah merupakan refleksi dari
kehidupan dan dari apa yang dilihatnya. Dalam hal ini, sastrawan melalui
karyanya hanyalah mengolah dari apa yang dirasakan dan dilihatnya. Itulah
sebabnya ide yang dituangkan dalam karyanya tidak bisa disebut sebagai ide
yang original. Semuanya hanyalah tiruan (mimetik) dari unsur-unsur
kehidupan nyata yang ada.47
Dalam hubungan ini pendekatan mimetik memiliki persamaan dengan
pendekatan sosiologis. Perbedaannya, pendekatan sosiologis tetap bertumpu
pada masyarakat, sedangkan pendekatan mimesis, khususnya dalam kerangka
Abrams bertumpu pada karya sastra.48
1. Pengertian Mimetik
Kata mimetik berasal dari bahasa Yunani, yakni mimesis yang berarti
perwujudan atau jiplakan. Sementara dalam bahasa Inggris hal ini lebih
dikenal dengan kata imitation atau tiruan, bahkan sering disamakan dengan
istilah ―representation‖49. Pengertian mimetik pertama-tama dipergunakan
dalam teori-teori tentang seni seperti diutarakan oleh Plato dan Aristoteles,
dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan
sastra di Eropa.50 Hal tersebut tidak terlepas semenjak orang mempelajari
sastra secara kritis timbul pertanyaan, sejauh mana sastra mencerminkan
kenyataan. Sering dikatakan, bahwa sastra memang mencerminkan
kenyataan, sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan kenyataan.
Kedua pendapat ini disebut penafsiran mimetik mengenai sastra.
47
Abrams, The Mirror and the Lamp, op. cit., p. 8-14.
Ratna, op. cit., h. 70.
49
Arne Melberg, Theories of Mimesis, (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), p.
10. Plato uses the word with a primarily visual significance; mimesis suggests image, a visual
image related to imitation, re-presentation.
50
Jan van Luxemburg dkk., Pengantar Ilmu Sastra, Terj. dari Inleiding in de
Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 15.
48
32
Sementara bagi Aristoteles dengan mengoper pengertian tentang
mimetik itu dari Plato, yakni seni melukiskan kenyataan.51 Menurut
Aristoteles mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan
merupakan sebuah proses kreatif; penyair, sambil bertitik pangkal pada
kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. dengan bermimesis penyair
menciptakan kembali kenyataan: adapun bahannya ialah barang-barang
seperti adanya. Berdasarkan pendapatnya mengenai kenyataan serta
mimetik, maka dalam bukunya yang berjudul Poetica Aristoteles
mengutarakan beberapa pandangan yang bagi perkembangan teori sastra
selanjutnya teramat penting. Ia tidak lagi memandang sastra sebagai suatu
copy atau jiplakan mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu ungkapan
atau perwujudan mengenai ―universalia‖ (konsep-konsep umum). Ini bukan
seperti dalam pandangan Plato, yakni dunia Ide, melainkan sebagai pikiran,
perasaan, dan perbuatan yang khas bagi seorang manusia.52
Setelah mengetahui mengenai awal mula sejarahnya, maka mimetik
dapat kita pahami sebagai suatu teori yang meniru segala sesuatu, yang
berkaitan dengan ide dan bentuk atau dengan kata lain, hubungan antara
gambar dan apa yang digambarkan.
2. Karya Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat
Setiap kesusasteraan yang baik memberi pencerahan kepada manusia,
pembacanya. Sekalipun hal itu pencerahan yang mungkin subjektif, di mana
terjadi dialog antara sastra dan seorang yang membacanya, yang itu jelas
banyak faktor turut menentukan proses membaca, di antaranya pengalaman
hidup. Bukankah sastra juga muara dari pengalaman hidup seorang
sastrawan? Namun, juga pencerahan dalam pengertian objektif, yang bisa
dirasakan denyutnya oleh semua manusia yang membaca.53 Ada anggapan
bahwa, kesusastraan Indonesia atau kesusastraan bangsa mana pun juga di
51
Tetapi karena pendapat Aristoteles tentang kenyataan menyimpang dari pengertian Plato,
maka teori mimetik ala Aristoteles juga lain daripada teori mimetik ala Plato.
52
Luxemburg dkk., op. cit., h. 17.
53
Abdul Wachid BS, Sastra Pencerahan, (Yogyakarta: Saka, 2005), h. 71.
33
dunia ini pada dasarnya merupakan potret sosial budaya masyarakatnya. Ia
berkaitan dengan perjalanan sejarah bangsa itu. Ia merupakan refleksi
kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran
bangsa yang bersangkutan. Dengan kata lain, selain mempunyai hubungan
dengan masyarakatnya, karya sastra juga menjadi cerminan bagi masyarakat
(pembacanya). Karya sastra tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial
yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan
perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
Menurut pandangan Stendhal dalam Endraswara, karya sastra
sebenarnya mengekspresikan kebaikan dan keburukan hidup manusia.54
Sependapat dengan hal tersebut, Lowenthal (juga dalam Endraswara)
berpendapat bahwa sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk
pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan
juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan
dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang
yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendhal dapat berupa
pantulan langsung segala aktivitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang
secara real memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya, tanpa terlalu
banyak diimajinasikan.55 Konsep cermin juga telah dikembangkan lagi oleh
Abrams dalam bukunya The Mirror and the Lamp, ia menjelaskan panjang
lebar mengenai art is a like a mirror, bahwa karya sastra adalah cermin
kehidupan masyarakat.56
Pada mulanya karya sastra dalam memberi arti kemanusiaan
merupakan representasi seorang manusia (juga) yang bernama sastrawan.
Kemudian bahwa akhirnya ada denyut yang dirasakan sama oleh orang lain
tatkala membacanya, ini bukti bahwa kesusastraan yang baik memiliki
potensi untuk menjadi pencerahan kepada manusia dari keterbelengguan dan
54
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi, (Yogyakarta: CAPS, 2013), h. 88.
55
Ibid., h. 88-89.
56
Abrams, The Mirror and the Lamp, op. cit., p. 31.
34
pembelengguan dimensi kemanusiaannya.57 Karya sastra yang cenderung
memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi
zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin berupaya untuk
mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara
pengarang dengan pembacanya. Pengarang sebagai seorang sastrawan
(pengirim pesan) akan menyampaikan berita zaman lewat cermin dalam teks
kepada masyarakat pembaca (penerima pesan).
Dalam hal ini, Romo Mangun memandang, karya sastra selain sebagai
bahan bacaan yang bisa dinikmati dengan santai. Karya sastra juga
dikatakan sebagai suatu bentuk ideologi yang konsisten dan utuh, karena
hadir dari cerminan masyarakat. Baginya, karya sastra digambarkan sebagai
suatu khotbah religiusitas yang bercermin pada masyarakat. Begitupun
dengan Burung-burung Manyar, ia sadar betul karena novel ini ditulisnya
dengan berkaca kepada sejarah yang terjadi di masyarakat.
C. Revolusi
Setiap manusia dalam kehidupannya pasti mengalami suatu fase
perubahan. Perubahan-perubahan tersebut bagi masyarakat yang bersangkutan
maupun bagi orang luar yang menelaahnya, dapat berupa perubahan-perubahan
yang tidak menarik dalam arti kurang menyolok, ada pula perubahanperubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada perubahanperubahan yang lambat sekali, akan tetapi ada juga yang berjalan dengan cepat.
Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial,
norma-norma sosial, pola pemikiran dan perilaku, susunan lembaga-lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan masyarakat, kekuasaan dan wewenang,
interaksi sosial, dan lain sebagainya.
Memang pada dasarnya revolusi penting bagi setiap diri manusia, yang
menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Di zaman sekarang ini
revolusi penting diadopsi, terutama bagi suatu bangsa yang tengah menghadapi
degradasi moral, merosotnya wibawa bangsa, hingga kepada permasalahan57
Wachid BS, op. cit., h. 72.
35
permasalahan bangsa yang lain. Dengan mendasarkan pada ―revolusi‖ sebagai
suatu landasan diharapkan bangsa Indonesia dapat melangkah ke masa depan
yang lebih baik. Bagi diri manusia itu sendiri, revolusi diyakini sebagai
penggagas perubahan ke arah pribadi yang baik (matang). Revolusi juga
diyakini sebagai pijakan dasar dalam upaya melangkah dan membangun masa
depan yang lebih baik. Pasalnya, revolusi dapat diyakini menjadi jalan untuk
melakukan lompatan sejarah peradaban suatu bangsa. Selain itu, revolusi
dipercaya sebagai jalan keluar dari kungkungan budaya koloni.
Suatu unsur perubahan menjadi sebuah kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dari kata sejarah. Kadangkala perubahan tersebut bersifat
konstruktif, maupun menjadi sebaliknya yaitu bersifat destruktif. Akibatnya,
sejarah menjadi sebuah memori yang berbeda dalam penafsiran setiap individu
walaupun konteks permasalahannya sama. Di samping itu situasi yang
kompleks tersebut dapat ditinjau pula dari segi kejadian-kejadian dan urutanurutan kejadian yang menentukan hubungan sebab-akibat, antara lain faktorfaktor variabel ekonomi, sosial, politik, atau bahkan keagamaan.
Perubahan dalam sejarah yang tampak dalam dinamika masyarakat
muncul karena adanya kekuatan-kekuatan sejarah berupa kekuatan alam
(misalnya sumber-sumber ekonomis), pertumbuhan penduduk, kepentingankepentingan sebuah kelas, grup dan individu, penemuan teknologi baru,
ideologi, kepercayaan, pengaruh-pengaruh dari luar, dan sebagainya.
Perubahan juga diyakini sebagai bentuk peralihan dari otoritas tradisional ke
otoritas legal rasional. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa cara terbaik
melangkah ke masa depan yaitu dengan melakukan suatu perubahan atau yang
dikenal dengan istilah revolusi. Analisisnya harus mencakup pula unsur-unsur
yang esensial dari gerakan sosial seperti tujuan-tujuan ideologi, kohesi
golongan, organisasi, dan individu.
1. Pengertian Revolusi
Revolusi adalah suatu perubahan radikal, mendasar dan menyeluruh,
yang menolah dengan gigih sistem dan tata nilai lama untuk diganti dengan
36
dan menjalankan dengan kuat sistem dan tata nilai baru yang progresif.
Bahkan dari asal katanya saja revolvitar atau revolvere (berputar kembali)
atau rivoltare (membuang). Gerakan revolusi maju ke depan, bergerak
progresif menuju ujung jalan yang lebih mulus dan lebih terang (walau bisa
saja dalam perjalanan jalan sangat terjal berliku dan redup). Revolusi juga
diartikan sebagai perubahan kecil yang berdampak maha besar.58 Dengan
kata lain, revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan dan
membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru,
seperti runtuhnya kolonialisme, masyarakat yang feodal, hingga pola
pemikiran tradisional, serta tentu saja sistem nasional lama yang hanya
melahirkan dekulturasi dan demoralisasi.
Seperti pendapat Karl Marx yang mengatakan bahwa revolusi berawal
dari perkembangan pada tingkat kekuatan produksi material masyarakat
yang mendapat pertentangan dengan keberadaan hubungan produksi di
tempat mereka bekerja. Bentuk perkembangan kekuatan produksi itu lantas
berubah menjadi suatu pengekangan/penindasan. Konflik antara kekuatan
produksi baru dengan hubungan produksi lama itulah yang menjadi gerakan
revolusi. Marx mengasumsikan bahwa kapitalisme akan memunculkan
kesejahteraan dan penderitaan. Kesejahteraan dalam kelas borjuis semakin
mengecil dan penderitaan dalam kelas buruh kian membesar. Ketegangan
antara borjuis dan proletariat akan mendorong kaum proletariat untuk
bersatu (dalam hal ini sadar kelas). Ketegangan tersebut lantas mengarah
pada revolusi yang disebut ―revolusi sosial‖.59 Dengan begitu, revolusi
dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk dari perubahan-perubahan
sosial dan kebudayaan yang terjadi di dalam masyarakat.
Menyambung perkataan Marx, Selo Soemardjan menyatakan bahwa
perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang
Setiawan Djody, ―Revolusi Versus Reformasi‖, dalam Revolusi Kebudayaan,
(Yogyakarta: t.p., 1999), h. 3.
59
Lihat Hal Draper, Karl Marx’s Theory of Revolution: The Politics of Social Classes,
(Delhi: Aakar Books, 2011), p. 17-32.
58
37
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikapsikap, dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, perubahan-perubahan
mana kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat.60
Pada hakikatnya, suatu perubahan dapat memerlukan waktu yang
lama, di mana terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecil yang
saling mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi.61 Di lain pihak,
perubahan-perubahan yang cepat, yang mengenai dasar-dasar atau sendisendi pokok daripada kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga
kemasyarakatan) dinamakan ―revolusi‖. Unsur-unsur yang pokok daripada
suatu revolusi adalah adanya perubahan yang cepat dan bahwa perubahan
tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari kehidupan
masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan-perubahan yang terjadi dapat
direncanakan terlebih dahulu maupun tanpa rencana. Sebenarnya ukuran
kecepatan suatu perubahan yang dinamakan revolusi, sifatnya relatif, oleh
karena suatu revolusi dapat memakan waktu yang lama, seperti misalnya
revolusi industri yang dimulai di Inggris, di mana terjadi perubahanperubahan dari tahap produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi
dengan menggunakan mesin. Perubahan tersebut dianggap cepat, karena
merupakan sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat, seperti misalnya
sistem kekeluargaan, hubungan antara buruh dengan majikan dan
seterusnya.62
Suatu
revolusi
dapat
dijalankan
dengan
didahului
suatu
pemberontakan (revolt, rebellion) yang kemudian menjelma menjadi
revolusi. Sebagaimana pendapat yang diutarakan dalam tulisan Lenin,
―maka jelaslah bahwa pembebasan kelas tertindas bukan hanya tidak
60
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: UI-Press, 1981), cet. 10, h. 237.
Pada evolusi, perubahan-perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu rencana
ataupun suatu kehendak tertentu dan perubahan (pertumbuhan/perkembangan) terjadi secara
berangsur-angsur dan perlahan-lahan.
62
Ibid., h. 241-243.
61
38
mungkin tanpa revolusi dengan kekerasan, tetapi juga tidak mungkin tanpa
penghancuran aparat kekuasaan negara yang diciptakan oleh kelas yang
berkuasa‖.63 Sebagai contoh, pemberontakan para petani di Banten pada
tahun 1888 didahului dengan suatu kekerasan, sebelum menjadi revolusi
yang merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat.64 Karakter kekerasan
pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai akibat dari situasi ketika
perubahan tata nilai dan norma yang mendadak telah menimbulkan
kekosongan nilai dan norma yang dianut masyarakat.
Dengan demikian, revolusi mengandung asumsi bahwa; revolusi
bersifat diskontinyu dan bukan bagian dari suatu pola, revolusi adalah
perubahan-perubahan kecil yang berdampak sangat besar pada kehidupan,
dan revolusi diskontinyu membutuhkan kerangka berpikir yang diskontinyu
pula (pemikiran revolusioner). Secara konseptual, diakui atau tidak, revolusi
sering dipahami sebagai: proses untuk mewujudkan terjadinya transformasi
struktural dan kultural secara cepat, radikal, dan total di tengah-tengah
masyarakat yang tertindas, baik dalam tataran politik maupun sosial.
Dengan ditandai adanya perubahan struktur feodal-kolonial menjadi struktur
demokratis. Seperti yang terjadi di Indonesia merupakan sebuah proses
sejarah yang memiliki makna signifikan bagi upaya penataan kehidupan
masyarakat yang pluralis dalam bingkai negara yang demokratis.
Bagi Indonesia, revolusi memang mempunyai makna sentral bagi
persepsi bangsa Indonesia. Walaupun revolusi di Indonesia bukan termasuk
dalam kategori revolusi besar di dunia. Namun bagi bangsa Indonesia,
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada periode 1945-1949 merupakan
revolusi yang dipandang sebagai manifestasi tertinggi dari tekad nasional,
lambang kemandirian suatu bangsa, dan bagi mereka yang terlibat langsung
di dalamnya maka revolusi adalah pengalaman emosional luar biasa.
63
V.I. Lenin, Negara dan Revolusi, Terj. dari The State and Revolution oleh Sulang Sahun,
(Yogyakarta: Fuspad, 2001), h. 11.
64
Bacalah Sartono Kartodirdjo, ―Beberapa Perspektif dalam Studi Revolusi Perancis dan
Revolusi Indonesia‖, dalam Henri Chambert Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed), Panggung
Sejarah, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 105 dan seterusnya.
39
Bahkan bagi para ahli sejarah Indonesia modern, revolusi tersebut
memainkan peranan yang simbolik sebagai wadah beragam pandangan
mengenai masa lampau, masa kini, dan masa depan bangsa.65
Dengan begitu dapat ditarik suatu simpulan bahwa revolusi adalah
perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan
menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam
revolusi,
perubahan
yang
terjadi
dapat
direncanakan
atau
tanpa
direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau
melalui kekerasan. Namun agar revolusi itu dapat terjadi, maka harus
dipenuhi syarat-syarat:66 (a) harus ada keinginan umum untuk mengadakan
suatu perubahan (di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas dengan
keadaan), (b) harus ada ―momentum‖ untuk revolusi, yaitu suatu saat di
mana segala keadaan dan faktor dikatakan baik untuk memulai gerakan
revolusi, (c) adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang
dianggap mampu memimpin masyarakat (pemimpin tersebut difungsikan
sebagai tempat menampung serta merumuskan untuk dijadikan program dan
arah bagi geraknya masyarakat).
Dari ketiga syarat yang harus dipenuhi agar revolusi dapat berjalan
dengan baik, poin adanya seorang pemimpin dianggap yang paling penting.
Pemimpin dianggap memiliki pengaruh paling dominan dalam hal
mengorganisir massa rakyat, hingga memilih momentum yang paling tepat.
Namun, setiap pemimpin kadangkala memiliki pertimbangan pemikiran
terkait revolusi. Perbedaan paham mengenai revolusi di antara para
pemimpin besar memang lumrah terjadi, sejarah mencatat hampir di belahan
dunia para pemimpin memiliki perbedaan pendapat terkait ide revolusi.
Seperti di Indonesia, perbedaan paham ―revolusi belum selesai‖ milik
Soekarno dan ―revolusi sudah selesai‖ milik Hatta pernah mewarnai
65
J.D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok
Sjahrir, Terj. dari Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the following recruited by
Sutan Sjahrir in occupation Jakarta oleh Hasan Basari, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003),
cet. 2, h. 1-2.
66
Soekanto, op. cit., h. 243.
40
perkembangan sejarah revolusi di Indonesia. Begitupun dengan Sjahrir dan
Tan Malaka, yang sangat dinilai memiliki ideologi yang berseberangan.
Di samping semua itu, yang perlu dilakukan adalah agar tujuan
revolusi dapat terlaksana dengan baik, maka perlu sebuah konsepsi yang
matang perihal revolusi. Di samping itu juga pemahaman revolusi yang baik
sangat diperlukan oleh para revolusioner. Berangkat dari pandangan Sjahrir
dan Tan Malaka mengenai revolusi, seperti yang tertuang dalam tulisantulisan mereka mengenai peristiwa dan pemikiran revolusi itu sendiri,
konteks revolusi idealnya meliputi tiga kategori, yaitu revolusi nasional,
revolusi sosial, dan revolusi mental. Gagasan tersebut menjadi rujukan
fundamental dalam pemikiran revolusi yang digagas oleh Romo Mangun
dalam Burung-burung Manyar. Bagi Mangun, sadar adanya revolusi
nasional barulah tahap awal dalam fase pertumbuhan revolusi di Indonesia.
Seharusnya setelah revolusi nasional segera disusul dengan revolusi sosial
dan revolusi mental, agar tujuan dari apa yang dicita-citakan revolusi bisa
berjalan dengan baik.
2. Revolusi Menurut Pemikiran Sutan Sjahrir
Pandangan Sutan Sjahrir mengenai revolusi di Indonesia tertuang
dalam tulisannya yang berjudul Perdjoeangan Kita. Menurut Kahin dalam
tulisan tersebut Sjahrir menuliskan suatu kecaman dan penilaian atas
keadaan pada masa itu serta petunjuk-petunjuk untuk masa depan yang
sangat berpengaruh pada arah perkembangan politik Indonesia selama
tahun-tahun pertama setelah zaman pendudukan Jepang.67
―Keluar bentuk revolusi berupa nasional, ke dalam menurut hukum
masyarakat demokratis dengan corak sosial. Jika kurang
memahamkan kebenaran sehingga ke dalam pun yang kita anjurkan
hanya revolusi nasional saja dengan tidak ada atau kurang pengertian
tentang kedudukan demokrasi di dalam pengorbanan masyarakat kita,
bahaya sangat besar bahwa kita, oleh karena tak dapat mengukur
musuh kita feodalisme kita berkawan dengan semangat feodalisme
G. McTurnan Kahin, ―Sutan Sjahrir‖, dalam Rosihan Anwar (ed.), Mengenang Sjahrir,
(Jakarta: Gramedia, 1980), h. 300.
67
41
yang masih hidup sesuai dengan semacam nasionalisme, menjadi
nasionalisme yang mempunyai semacam solidarisme, yaitu
solidarisme-feodal (yang hierarkis), menjadi fasisme alias musuh
kemajuan dunia dan rakyat yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu
maka di dalam menyusun kekuatan masyarakat kita di dalam revolusi
kita ini, harus kita sedikitpun tak boleh lupa, bahwa kita mengadakan
revolusi demokrasi. Revolusi nasional itu hanya buntutnya daripada
revolusi demokrasi kita. Bukan nasionalisme harus nomor satu, akan
tetapi demokrasi, meskipun kelihatannya lebih gampang, kalau orang
banyak dihasut membenci bangsa asing saja.‖
Baginya revolusi nasional merupakan suatu alat untuk meraih kemerdekaan
sosial. Negara haruslah menyediakan jalan untuk kemerdekaan berpikir,
berbicara, beragama, menulis, mendapat kehidupan, mendapat pendidikan,
turut membentuk dan menentukan susunan dan urusan negara dengan hak
memilih dan dipilih untuk segala badan yang mengurus negara. Bagi Sjahrir
revolusi nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik, melainkan
menjadi jalan bagi rakyat untuk mengaktualisasi dan meningkatkan mutu
pribadi serta bakat-bakatnya secara bebas tanpa halangan. Nasionalisme
haruslah tunduk kepada kepentingan demokrasi, bukan sebaliknya, karena
tanpa demokrasi maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan
feodalisme lama, bahkan dapat mempersilakan fasisme totaliter.68 Dengan
kata lain, demokrasi tanpa nasionalisme adalah setengah matang, tetapi
nasionalisme tanpa demokrasi adalah pengkhianatan kemanusiaan.
"Perjuangan kita sekarang ini bagaimana juga aneh rupanya kadangkadang, tidak lain dari perjuangan kita untuk mendapat kebebasan
jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai
kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita. Oleh karena
itu kita sebagai bangsa yang percaya kepada kehidupan, percaya
kepada kemanusiaan, berpengharapan kepada tempo yang akan
datang. Kita telah belajar menggunakan alat-alat kekuasaan, akan
tetapi kita tidak berdewa atau bersumpah pada kekuasaan. Kita
percaya pada tempo yang akan datang untuk kemanusiaan, di mana
tiada kekuasaan lagi yang menyempitkan kehidupan manusia, tiada
lagi perang, tiada lagi keperluan untuk bermusuh-musuhan antara
sesama manusia. Sebagai bangsa yang balik muda kita mencari tenaga
kita sebagai bangsa di dalam cita-cita yang tinggi dan murni. Kita
68
Ibid., h. 13-14.
42
tidak percaya pada mungkin dan baiknya hidup yang didorong oleh
kehausan pada kekuasaan semata-mata...‖69
Dalam pemaknaan yang lebih luas, Sjahrir menekankan pentingnya
arti demokrasi buat melawan kecenderungan fasisme yang masih
membekas, terutama di kalangan pemuda, akibat pengaruh pendudukan
Jepang. Dari situ dapat dilihat benih-benih sosialisme kemanusiaan (atau
demokrasi sosial) yang ingin disemaikan Sjahrir di kalangan pemuda. Akan
tetapi, hal itu berkaitan erat pula dengan pandangan Sjahrir tentang
kedudukan Indonesia yang sangat lemah pada waktu itu yang menurutnya
berada di daerah pengaruh kekuatan kapitalis Amerika Serikat dan Inggris,
dan oleh karena itu tidaklah bijaksana bagi negara muda yang masih rapuh
ini untuk memusuhi mereka. Sjahrir bahkan melihat bahwa nasib Indonesia
amat tergantung pada kebijaksanaan politik yang akan diambil oleh
kekuatan-kekuatan imperialis itu. Dari situlah ia mengambil kesimpulan
bahwa satu-satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan Indonesia ialah
melalui ―diplomasi yang lihai dan fleksibel‖, agar Amerika dan Inggris tidak
turut mendukung Belanda.70 Maka dari situlah muncul pemikiran diplomasi
dalam pemikiran politik Sjahrir, yang dianggapnya lebih efektif daripada
memakai kekerasan/kekuatan senjata, dan itu sesuai dengan jalan pikirannya
tentang demokrasi sosial humanis yang digagasnya.
Perihal revolusi kerakyatan, Sjahrir berpangkal tolak dari kenyataan,
masyarakat Indonesia pada masa itu masih dikungkung pola feodalisme.
Pola dan struktur feodal birokrasi, yang memuncak pada otokrasi dan
fasisme jajahan Belanda. Keraslah sikap Sjahrir terhadap apa yang
dinamakannya sebagai ―parasitisme yang dimotivasi oleh keningratan‖.
Y.B. Mangunwijaya, ―Manusia, Guru, Negarawan Sutan Sjahrir dan Relevansinya Kini
dan Di Hari Mendatang‖, Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah Angakatan II, Sekolah Ilmu
Sosial, Bentara Budaya Jakarta, 5 Agustus 1988, h. 10. Kata-kata di atas merupakan ucapan yang
disampaikan Sjahrir di tengah lumpur anarki revolusi dan kemelut zaman yang penuh kekacauan
dan kebingungan masa itu, ialah pidato radio Sjahrir kepada bangsa yang penuh pertanyaan
mencekam pada Hari Ulang Tahun pertama Republik Indonesia, ketika antara lain ia berpesan di
tengah teror tentara Belanda dan teriak amarah rakyat Indonesia yang penuh dengan kecemasan.
70
William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan
Sesudah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), cet. 3, h. 350-351.
69
43
Maka dari itu, Sjahrir melihat keningratan sebagai suatu faktor budaya yang
hadir di mana-mana dan mempengaruhi sikap serta perilaku.71 Lebih dari
itu, feodalisme akan mengundang fasisme, dan fasisme akan membuka jalan
bagi permusuhan etnis, bahkan agama. Mengangkat kembali warisan feodal
sama dengan mendegradasikan kemerdekaan nasional yang sudah susah
payah diperoleh. Untuk itu, rasionalitas dan modernitas yang dibawa
pendidikan Barat –bukan pendidikan Timur yang cenderung logis mistis–
adalah senjata yang tepat untuk menghapus feodalisme, termasuk eksesnya:
mentalitas budak, kompleks rendah diri (inferiority complex). Sjahrir yakin
bahwa mentalitas yang mendarah daging seperti itu ditambah payahnya ilmu
pengetahuan merupakan formula mematikan yang merongrong Indonesia
nantinya, sehingga perlu adanya revolusi sosial, hingga dilanjutkan kepada
suatu revolusi mental besar-besaran.72
Pengamatan Sjahrir mengenai adanya keterkaitan antara budaya suatu
masyarakat dengan kebangkitan nasional kerap muncul di tahun-tahun awal
pembentukan karakter bangsa Indonesia. Dari sinilah pemikiran Sjahrir
berpijak mengenai revolusi mental. Belenggu penderitaan rohani rakyat
Indonesia menjadi semakin sulit ditanggung, ditumpuk beratus tahun
lamanya. Sjahrir menggagas perlunya suatu kebudayaan baru, ‗yang tidak
berbau udara museum dan menyan’sebagai jalan keluar atas belenggu itu,
dengan pendidikan sebagai kendaraannya. Bagi kebudayaan baru itu, Sjahrir
menegaskan pentingnya rasionalitas.73
Penolakan Sjahrir terhadap feodalisme, alam pikir mistis, fatalis, dan
kompleks rendah diri menempatkannya pada pihak pendukung kebudayaan
Barat sebagai orientasi kebudayaan Indonesia. Dalam konteks dan tafsiran
yang lebih luas, ia menghendaki agar perkembangan Timur dilihat dengan
cara rasional yang sama dengan cara yang digunakan dalam meninjau
71
Jakob Oetama, Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan, (Jakarta: Kompas, 2002), cet. 2,
h. 150.
72
Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin. (Jakarta: Djambatan, 1990), h.
176-181. Lihat lebih lanjut dalam surat-surat Sutan Sjahrir tanggal 17 dan 20 Maret 1937 Ketika
itu Sjahrir mengisahkan mengenai keadaan di Banda Neira.
73
Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perdjoeangan, (Djakarta: Poestaka Rakjat, 1947), h. 79.
44
evolusi masyarakat Barat.74 Sjahrir percaya kecenderungan ke arah mistik
suatu saat akan tidak lagi relevan dengan perkembangan kebutuhan zaman.
Inti penolakan Sjahrir terhadap kebudayaan Timur hanya pada titik terendah
kebudayaan itu, yakni kompleks rendah diri. Ia memusuhi mentalitas
pegawai negeri (otokrasi dan birokrasi feodal), obsesi terhadap hierarki,
mentalitas budak, kecenderungan untuk stagnan dalam ‗ketenangan dan
refleksi‘, toleransi yang berlebihan, kecenderungan mistik, hingga keahlian
dalam pengingkaran, sifat ‗bukan saya‘, keengganan bertanggung jawab atas
perbuatannya.75
Dambaan Sjahrir agar Indonesia jangan sampai dikuasai oleh sistem
politik otoriter, juga mendasari cara pendekatannya terhadap sosialisme.
Pola sosialis yang diinginkannya bagi Indonesia harus seluas mungkin,
sekalipun ini mungkin mengakibatkan kekurangannya efisiensi dalam
sektor-sektor ekonomi tertentu. Menurut pendapatnya, suatu sistem yang
terlalu terpusat, akan mempermudah jalan pemerintahan totaliter.76 Dengan
kata lain, kemerdekaan individu hingga pembukaan peluang-peluang atas
berkembangnya intelektualitas warga negara bagi Sjahrir merupakan syarat
mutlak dalam revolusi. Sjahrir juga menegaskan bahwa revolusi nasional
harus segera didukung oleh revolusi sosial yang dapat membebaskan rakyat
dari cengkeraman feodalisme lama dan fasisme serta kapitalisme yang tidak
terkendali. Kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan,
tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk mengeluarkan bakat diri dalam
sebuah kebebasan tanpa halangan dan hambatan, karena itulah, nasionalisme
harus tunduk kepada kepentingan demokrasi (sosial), dan bukan sebaliknya,
karena tanpa demokrasi maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan
feodalisme.
74
Legge, op. cit., h. 55.
Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Terj. dari Sjahrir:
Politics and Exile in Indonesia oleh Pabotingi, Matheos Nalle, dan Maimoen, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1996), h. 298.
76
Kahin, op. cit., h. 301-303.
75
45
3. Revolusi Menurut Pemikiran Tan Malaka
Tan Malaka merupakan salah satu tokoh penting dalam perumusan
gagasan mengenai konsep Indonesia merdeka. Tulisan Naar de Republiek
Indonesia menjadi awal dari suatu konsepsi Tan Malaka untuk mewujudkan
cita-cita kemerdekaan Indonesia yang sejati. Konsep ini telah disusunnya
pada tahun 1925 jauh sebelum Indonesia merdeka. Konsepsi tersebut
bukanlah berdasar pada ide atau alam pikirnya semata tapi berlandaskan
pada kenyataan obyektif yang dialaminya.77 Melalui gagasan tersebut akan
segera ditemukan ke arah mana pandangannya perihal konsepsi revolusi
dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Tan Malaka merupakan seorang yang memiliki pandangan terlengkap
baik dalam konteks revolusi Indonesia bahkan revolusi dunia. Ia kritis
terhadap orang-orang yang memandang revolusi hanya sekadar suatu bentuk
buah pemikiran dan omongan belaka, tanpa adanya tindakan untuk
melalukan revolusi. Menurutnya revolusi ialah yang disebabkan oleh
pergaulan hidup, satu hakikat tertentu dari perbuatan-perbuatan masyarakat.
Disebut dengan perkataan dinamis, dia adalah akibat yang tertentu dan tidak
dapat disingkirkan dari timbulnya pertentangan kelas yang makin hari
makin bertambah tajam. Ketajaman pertentangan yang menimbulkan
pertempuran ditentukan oleh pelbagai faktor ekonomi, sosial, politik dan
psikologis.‖78
―Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme
dan sebagian yang terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim.
Ia juga didorong oleh kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat
yang menindas dan menghina mereka. Marilah kita pergunakan
pikiran yang "rasional" sebab pengetahuan dan cara berpikir yang
begitu adalah tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia dan
tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasional
membawa kita kepada penguasaan atas sumber daya alam yang
mendatangkan manfaat, dan pemakaian yang benar — kepada cara
pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya
77
Bacalah Tan Malaka, Naar de Republiek (Menuju Republik Indonesia), (Jakarta:
Yayasan Massa, 1987). Pandanganya mengenai revolusi mengacu pada perkembangan revolusi
yang terjadi di Uni Soviet di bawah kepeloporan Partai Bolshevik saat itu.
78
Tan Malaka, Aksi Massa, (Jakarta: Teplok Press, 2000), h. 1.
46
cara berpikir dan bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia
dari ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan,
menuju kepada kebenaran. Tetapi kamu orang Indonesia tidak akan
mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala "kotoran
kesaktian" itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan
kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan selama kamu
bersemangat budak belia.‖79
Menghapuskan kungkungan feodalis dan menentang kolonialisimperialis Barat merupakan langkah revolusioner Tan Malaka untuk
memutus keterbelakangan dan mental kuli bagi bangsa pribumi. Pasalnya,
pada zaman penjajahan bangsa pribumi hanya dididik didasarkan
kepentingan imperialis, sehingga sendi-sendi ilmu pengetahuan yang
diadopsi mengandung pola pemikiran feodal dan kolonialis. Tan Malaka
memandang apabila kaum intelek tidak terjun dalam lautan revolusi, maka
mereka tidak akan terlepas dari penderitaan pada masa berikutnya. Dengan
begitu menurutnya kaum intelektual harus tanggap terhadap gerakan
perubahan, dimana barisan rakyat sedang berderap bergemuruh merebut
kemerdekaan, jangan hanya tutup mata dan tidak peduli terhadap keadaan.
―Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan
memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu
dijalankan dengan "kekerasan". Pendeknya dengan jalan revolusi dan
perang kemerdekaan nasionallah (yang dapat dimasukkan dalam
revolusi sosial!), maka sekalian negeri besar dan modern tanpa
kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan. Di
dalam masa revolusilah tercapai puncak kekuatan moral, terlahir
kecerdasan pikiran dan teraih segenap kemampuan untuk mendirikan
masyarakat baru. Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu
mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui
revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi. Revolusi
adalah mencipta!‖80
Bagi Tan Malaka, rakyat Indonesia, yang belum pernah sedikit pun
mempunyai hak politik, karena dari dulunya terhimpit oleh despostisme dan
imperialisme, tentulah tiada bisa dibangun dalam dua tiga tahun saja.
Perkumpulan politik kita mesti dilipat ganda banyak dan kualitas
79
80
Ibid., h. 79-117.
Ibid., h. 13-16.
47
anggotanya pada masa ini juga. Berhubungan dengan itu agitasi mesti lebih
dalam daripada yang sudah-sudah.81 Tan Malaka melihat dan meyakini
bahwa semangat yang muncul pada waktu itu mampu menggerakan massa
buat merealisir revolusi totalnya. Pada tanggal 2 Desember 1945 muncullah
brosur yang berjudul Muslihat, yang berisi ajakan kepada semua
golongan/lapisan untuk bersatu mengadakan perlawanan bersama, revolusi
total, lengkap dengan strategi dasarnya. Strategi itu antara lain menyangkut
keperluan membentuk Laskar Rakyat dan pelucutan senjata Jepang. Taktik
revolusi yang berjangka lama ini kemudian dituangkannya sebagai gerilya
politik dan ekonomi atau lebih populer dengan sebutan Gerpolek.82 Maka
dalam pada itu, bagi Tan Malaka suatu perjuangan politik merupakan upaya
untuk memerdekakan bangsa dan tanah air hanya mungkin berhasil jika
mendapat dukungan kuat dan besar dari massa rakyat. Dengan demikian
diperlukan persatuan kerja sama yang kuat dari semua kekuatan yang ada
dan relevan dalam masyarakatnya.
―Revolusi Indonesia bukanlah Revolusi Nasional semata-mata, seperti
yang diciptakan beberapa gelintir orang Indonesia yang maksudnya
cuma membela atau merebut kursi buat dirinya saja, dan bersiap sedia
menyerahkan semua sumber pencaharian yang terpenting kepada
semua bangsa asing, baik musuh atau sahabat. Revolusi Indonesia
mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial
serentak dengan tindakan merebut atau membela kemerdekaan 100%.
Revolusi kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan
dibungkus dengan Revolusi Nasional saja. Perang kemerdekaan
Indonesia harus diisi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus.‖83
Dengan demikian maka menurut Tan Malaka langkah yang harus
diambil adalah melakukan revolusi sosial. Perbedaan status, budaya bahasa
dan warna kulit tidak menjadikan alasan untuk mendiskriminasi satu
golongan karena secara alamiah manusia ditakdirkan ―sama‖.
Perihal revolusi Mental, Tan Malaka mengembangkan cara berpikir
secara luas dalam bukunya Madilog, kependekan dari Materialisme,
81
Tan Malaka, Semangat Muda, (Bandung: Sega Arsy, 2015), h. 98-102.
Frederick dan Soeroto, op. cit., h. 352.
83
Tan Malaka, Gerpolek: Gerilya-Politik-Ekonomi, (Yogyakarta: Narasi, 2013), h. 30.
82
48
Dialektika, dan Logika, yang ditulisnya dalam tahun 1942-1943. Pada
esensinya, Madilog dimaksudkan sebagai suatu ―cara berpikir‖ baru yang
dapat dipakai untuk memerangi cara berpikir lama yang dipengaruhi oleh
dunia mistik atau takhayul. Dalam Madilog yang paling esensi adalah
keperluan untuk memiliki dan mengembangkan cara serta pola berpikir baru
yang aktif dan rasional. Sehingga yang dimaksud sebagai materialisme tidak
lain adalah cara berpikir realistis dan pragmatis serta fleksibel dalam usaha
pemecahan suatu masalah. Lantas, setelah seseorang mengaktifkan
perangkat berpikirnya seacara realistis dan sistematis, maka ia telah
mencapai dengan apa yang dimaksud sebagai dialektis. Suatu sistem
berpikir yang terangkai dalam alur tesis-antitesis-sintesis.84
Alhasil dari proses berpikir yang demikian –berjalan sebagaimana
mestinya– maka proses berpikirnya menjadi logis, bisa diterima dengan akal
sehat manusia. Bagi Tan Malaka, materialisme adalah ―cara berpikir‖ yang
realistis, pragmatis, dan fleksibel.85 Orang yang berpikir dengan cara
materialisme ini terutama memusatkan perhatiannya pada apa yang dekat
dengannya, apa yang mempengaruhi kehidupannya secara langsung. Erat
berkaitan dengan itu ialah konsep dialektiknya, yang dimaksudkan untuk
memerangi cara berpikir yang pasif atau dogmatis86. Tan Malaka
menyanjung cara berpikir dialektis, yakni cara berpikir dinamis, karena itu
memungkinkan orang mengembangkan pemikiran atau intelektualnya secara
terus-menerus. Jadi kunci dari pemikiran dialektika Tan Malaka adalah
berpikir aktif dan terus-menerus, atau berpikir dinamis. Tetapi berpikir
secara dinamis itu harus berlandaskan akal atau logika.
84
Tan Malaka, Islam dalam Madilog, (Bandung: Sega Arsy, 2014), h. 110-112.
Baca selengkapnya dalam Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika,
(Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 38-294.
86
Cara berpikir pasif atau dogmatis ini bertalian dengan kepercayaan masyarakat yang
masih dalam terhadap kekuatan-kekuatan gaib (mistik), dan itu menyebabkan mereka tidak
percaya kemampuan intelektual dan kekuatan mereka sendiri untuk mengubah dunia materi.
85
49
4. Analogi Revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka
Ketika Indonesia di bawah kungkungan imperialisme, kedua tokoh
baik Sutan Sjahrir dan Tan Malaka memiliki sikap politik yang sama yaitu
tidak mau bekerja sama dengan Belanda dan Jepang. Namun ketika
Indonesia merdeka, dua orang tokoh tersebut berbeda sikap dalam
pandangan politiknya. Apalagi keduanya pascakemerdekaan berada dalam
posisi berbeda, Sjahrir menjabat sebagai perdana menteri RI sedangkan Tan
Malaka berada di luar pemerintahan. Perbedaan kedudukan di antara mereka
berdua menyebabkan cara pandang mereka dalam melihat, memahami, dan
mengkaji setiap persoalan berbeda. Misalnya terlihat dari sikap Sjahrir yang
melihat jalur diplomasi sebagai solusi dalam mempertahankan kemerdekaan
sedangkan Tan Malaka menekankan pada kekuatan revolusi massa dengan
tujuan merebut kemerdekaan 100 persen.
Dalam beberapa hal, pemikiran antara Sjahrir dan Tan Malaka
memang terdapat perbedaan pendapat dalam memandang dan menjalankan
revolusi di Indonesia. Sjahrir lebih mengedepankan perundingan dan proses
diplomasi, sedangkan Tan Malaka mengupayakan agitasi secara langsung
dalam mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan. Tetapi di
samping itu, pada hakikatnya terdapat persamaan pandangan antara Tan
Malaka dan Sjahrir yaitu dalam melihat konteks revolusi yang lebih luas.
Pemikiran Sjahrir perihal revolusi sejalan dengan pemikiran Tan Malaka
yang berpendapat bahwa pada hakikatnya revolusi nasional barulah tahap
awal dalam sebuah revolusi. Menurut pandangan mereka berdua, setelah
revolusi nasional harus ada revolusi sosial, lalu setelahnya harus ada
revolusi mental.
Bahkan menurut catatan Poeze, Sjahrir dan Tan Malaka pernah
melakukan satu kerja sama dalam hal memperjuangkan Republik Indonesia.
Dalam tulisan Poeze, Tan Malaka memberikan usulan dalam bahasa Inggris:
"We must follow a nationalist policy with a very deep cut into socialism"
(Kita harus menjalankan suatu politik nasionalis yang sangat diwarnai oleh
sosialisme), Sjahrir setuju. Dalam kerja sama yang erat, mereka
50
merencanakan langkah-langkah untuk mengambil alih kekuasaan dari
Soekarno dan Hatta. Tapi belakangan Sjahrir berpikir bahwa dalam keadaan
segenting itu perlu mempertahankan Soekarno sebagai simbol negara.
Sjahrir kemudian terpilih menjadi Kepala Badan Pekerja KNIP pada 17
Oktober untuk menangani masalah-masalah parlementer. Ia mengisi
lembaga yang dipimpinnya dengan sejumlah besar pendukungnya yang
ditemuinya seminggu kemudian. Termasuk, Tan Malaka yang saat itu
berada di Serang. Ini merupakan pertemuan penting. Tan Malaka
mengemukakan pandangannya bahwa perlawanan all-out terhadap Belanda
merupakan kebijakan yang harus diikuti. Indonesia tidak memiliki
persenjataan, tapi ia memiliki rakyat dan pemuda yang siap bertempur.
Ancaman
bumi
hangus
akan mencegah
Belanda untuk
kembali.
Perundingan dengan Belanda hanya boleh terjadi bila Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia. Perlawanan total inilah yang kemudian menjadi
program Persatuan Perjuangan dan memicu bubarnya kerja sama Tan
Malaka dan Sjahrir.87
Bila menyoroti kesepakatan yang terjadi antara Sjahrir dan Tan
Malaka untuk menjalankan suatu politik nasionalis yang bersifat sosialis,
tampaknya dari mereka berdua memiliki suatu kesamaan berpikir dalam hal
menjalankan suatu revolusi. Seperti halnya tentang tesis Trotsky mengenai
"revolusi terus-menerus". Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan
Indonesia yang tidak punya kelas borjuasi yang kuat, revolusi sosialis harus
berlangsung tanpa jeda. Trotsky tidak setuju dengan teori bahwa dalam
masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua
tahap: pertama, tahap "borjuis" dan "demokratis"; kedua, baru setelah itu,
"tahap sosialis". Bagi Trotsky, di negeri yang "setengah-feodal dan
setengah-kolonial", kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan
agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi
pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum
Harry Poeze, ―Kerja Sama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir‖, dalam Tempo Edisi Khusus
Sjahrir, Jakarta, Maret 2009, h. 118-119.
87
51
proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya,
kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, "tahap sosialis". Di sini
"pragmatisme" Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tidak jauh
dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini:
revolusi lahir karena "berbagai keadaan", bukan karena adanya pemimpin
dengan "otak yang luar biasa".88
Dari situlah penulis menarik suatu kesamaan yang terdapat dalam
pemikiran Sjahrir dan Tan Malaka, terkait revolusi yang ―harus‖ terjadi di
Indonesia. Bahkan menurut Y.B. Mangunwijaya terdapat kesamaan yang
dominan perihal pemikiran konsep revolusi yang dicetuskan oleh Sjahrir
dan Tan Malaka, ia mengatakan bahwa:
―Tan Malaka dan Sjahrir, keduanya mereka beraliran sosialis dan telah
melampaui studi serta medan daya pengaruh Hegel dan Karl Marx
dalam perkembangan diri serta pandangan politiknya. Dan karena itu
kedua-duanya sangat sadar, bahwa revolusi nasional hanyalah fase
awal saja dan sarana belaka untuk tujuan kemerdekaan yang lebih
esensial, ialah revolusi sosial dan mental. Hampir semua yang
menjadi sendi sikap pada Tan Malaka seperti yang dapat diketahui,
yakni Madilog, materialisme, dialektika, logika, kita temukan juga
dalam diri Sjahrir. Materialisme dalam arti cara berpikir realistis,
pragmatis, fleksibel. Dialektis dalam arti aktif, dinamis, tidak
dogmatis tetapi kreatif. Logis dalam arti bernalar, tidak hanya hanyut
dalam emosi atau idealisme maupun mistik khayalan. Perbedaan
(satu-satunya?) sikap dan politik sosial antara kedua putera Minang
tadi hanyalah: Tan Malaka memilih rumus: Merdeka adalah berubah
dari manusia yang bermental vertikal, tahayul, pendewaan segi
spiritual yang dicandui impian-impian, dogmatis, konservatif, statis,
pasif, dan serba emosional, menjadi manusia yang madilog. Jadi
kemerdekaan esensial ada dalam mental. Sedangkan Sjahrir melihat
kemerdekaan bangsa Indonesia dalam penghayatan peri kemanusiaan,
sila kedua dari Pancasila, yang mengatasi batas-batas nasional sempit.
Dalam penjabaran prinsip-prinsip mereka ke dalam politik praktis
meraih konsolidasi dan pengakuan kedaulatan RI 100%, mereka sama
juga. Dari kedua tokoh tersebut, azas dan pola pikir dasarnya memiliki
kesamaan, ialah sama-sama kerakyatan dan keindonesiaan. Hanya
Goenawan Mohamad, ―Tan Malaka, Sejak Agustus Itu‖, dalam Tempo Edisi Khusus Tan
Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, Jakarta, Agustus 2008, h. 80-81. Hal tersebut
sebenarnya untuk mengkritisi pendapat Soekarno yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus
"belum selesai", mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut "Re-So-Pim": Revolusi-SosialismePimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya "teori", yakni sosialisme,
dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni "Pemimpin Besar Revolusi".
88
52
masih selisih pandangannya kemudian siasatnya (belum pernah
dipadu, dirundingkan bersama-sama). Inilah yang sering menimbulkan
bentrokan.‖89
Dari apa yang disajikan, penulis mendapatkan titik temu dan
kesamaan antara pemikiran revolusi Sjahrir dan Tan Malaka dalam melihat
Revolusi Indonesia dalam konteks yang lebih luas dan mendalam. Dengan
begitu dapat ditarik suatu benang merah bahwa konteks revolusi menurut
Sjahrir dan Tan malaka, idealnya meliputi tiga kategori yaitu:90
1. Revolusi nasional ialah suatu revolusi untuk mengubah tata kehidupan
kolonial atau feodal kepada tata kehidupan nasional (merdeka).
2. Revolusi sosial ialah suatu revolusi untuk mengubah struktur masyarakat
kolonial atau feodal kepada suatu susunan masyarakat yang demokratis.
3. Revolusi mental adalah suatu revolusi untuk mengubah cara berpikir
masyarakat tradisional (bercorak kolonial-feodal) kepada cara berpikir
yang rasional/logis.
Ketiga revolusi tersebut secara substansial merupakan proses perwujudan
transformasi struktural dan kultural secara radikal, mendadak dan berskala
besar menuju kehidupan yang merdeka (perubahan dari struktur feodalisme
menuju struktur demokratis) dengan pikiran-pikiran masyarakat yang
bersifat dialektik.
D. Pembelajaran Sastra di Sekolah
Hakikat pengajaran sastra ialah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai
yang dikandung karya sastra dan mengajak siswa ikut menghayati pengalamanpengalaman yang disajikan itu. Tujuannya mengembangkan potensi individu
siswa sesuai dengan kemampuan siswa menyangkut kecerdasan, kejujuran,
keterampilan, pengenalan kemampuan, dan batas kemampuannya, serta karsa
mengenali dan mempertahankan kehormatan dirinya. Dengan kata lain, tiap
kegiatan menyiratkan upaya pendidikan, yang bertujuan membina watak
Y.B. Mangunwijaya, ―Archetype Sutan Sjahrir‖, dalam Rosihan Anwar (ed.),
Mengenang Sjahrir, (Jakarta: Gramedia, 1980), h. 221-222.
90
Frederick dan Soeroto, op. cit., h. 311-312.
89
53
siswa.91 Dengan adanya proses pembelajaran, akan terjadi suatu perubahan
pada diri orang yang belajar itu. Perubahan itu tampak dalam pola tingkah laku
yang baru dan lebih baik. Sehingga, hasil pembelajaran itu tampak dalam
perubahan pola tingkah laku atau dalam kepribadian seseorang.
Adapun tujuan pembelajaran sastra yang pada pokoknya meliputi tujuan
untuk memperoleh pengalaman apresiasi dan ekspresi sastra, untuk
memperoleh pengetahuan tentang sastra, dan untuk memperoleh sikap yang
menghargai akan nilai-nilai yang baik. Tujuan itu dijabarkan ke dalam
kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Tujuantujuan itu diusahakan dicapai melalui berbagai kegiatan, dengan menggunakan
bahan pengajaran.92 Memilih bahan ajar dalam hal ini, memilih novel yang
bermutu dan biasanya lebih enak untuk dibaca dan memiliki nilai-nilai
kehidupan yang luhur. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pengajaran
sastra adalah cukup mudahnya karya tersebut dinikmati siswa sesuai dengan
tingkat kemampuannya masing-masing secara perorangan.93 Walaupun setiap
individu memiliki tingkat kemampuan berpikir yang tidak sama. Namun
daripada itu, guru dituntut luwes dan menggunakan strategi ajar yang tepat
dalam memberikan pengajaran agar materi yang disampaikan dapat diterima
dengan baik oleh para siswanya.
Pada akhirnya, melalui pembelajaran sastra, peserta didik akan belajar
lebih humanis, dalam rangka mencapai sebuah kompetensi dasar. Orientasi
pembelajaran boleh saja setiap saat berubah, jika zaman menghendaki lain.
Jadi, pembelajaran tidak pernah tenang dan permanen, melainkan bersifat
dinamis. Dinamika pembelajaran selalu mempertimbangkan ekologi sastra.
Dengan cara ini, setiap jenjang pendidikan yang membelajarkan sastra tidak
lagi terjebak pada ruang diskursif.94 Dengan kata lain, pembelajaran sastra
hendaknya mempertimbangkan keseimbangan pengembangan pribadi dan
91
Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia; Teori dan Penulisan, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2008), h. 30-33.
92
Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: Gunung Larang, 1982), h. 16.
93
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet. 8, h. 66.
94
Endraswara, op. cit., h. 192-193.
54
kecerdasan peserta didik. Dengan begitu, para pengajar bisa mengembangkan
peserta didik dalam hal keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika,
estetika, kinestetika; pengembangan kecakapan hidup; belajar sepanjang hayat;
serta pendidikan kemenyeluruhan dan kemitraan.
E. Penelitian yang Relevan
Sejauh ini, dapat dikatakan banyak kritikus serta peneliti sastra yang
mengulas novel ini. Dari padanya, banyak sekali yang memberikan pujian.
Tidak sedikit pengamat asing yang merasa sangat kagum dan terkesan pada
kekayaan makna yang terkandung dalam novel Burung-burung Manyar
tersebut. Novel ini memang sudah dibicarakan banyak orang, baik di majalahmajalah, artikel, maupun surat kabar, termasuk penelitian kesusastraan. Tidak
sedikit pula dari para pembahas novel tersebut terdapat nama-nama pengamat
sastra yang cukup terkemuka.
Pertama, penelitian skripsi yang berjudul ―Psikologis Tokoh Novel
Burung-burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya‖ yang diteliti oleh Guslia
Delvi dengan NIM 0705113115 Universitas Riau - FKIP - Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 ini
menghasilkan pembahasan mengenai aspek psikologi berupa id, ego, dan
superego para tokoh novel Burung-burung Manyar. Dengan merujuk kepada
teori yang terkait pada permasalahan psikologi sastra. Id merupakan dunia
batin/subjektif yang dibawa sejak lahir oleh individu, watak dasar setiap
manusia dan berisi sifat-sifat keturunan, naluri seksual, dan agresivitas
manusia. Untuk mencapai keinginan-keinginan itu dibutuhkan aspek lain
sebagai penghubung antara pribadi tersebut dengan dunia objektif, yaitu ego.
Ego merupakan kepribadian yang praktis dan rasional. Serta superego
merupakan bagian dari konsep diri yang bekerja sesuai dengan moral dan ideal.
Jadi, id, ego, dan superego merupakan aspek yang pasti ada dalam tiap-tiap
individu.
Kedua, penelitian skripsi yang dilakukakan oleh Eka Pratiwi Fitriana
dengan NIM 0605134771, mahasiswa FKIP, Pendidikan Bahasa dan Sastra
55
Indonesia, Universitas Riau ini meneliti dengan judul ―Konsep Ikhlas dalam
Roman Burung-burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya‖. Penilitian yang
dilakukan pada 2010 ini menghasilkan pembahasan terkait dengan para tokoh
yang dibungkus oleh konsep ikhlas. Penelitian ini dapat dikatakan sama dengan
penelitian tesis yang dilakukan oleh Prapto Waluyo dengan judul ―Moralitas
Y.B. Mangunwijaya Kajian Novel Burung-burung Manyar dan Durga Umayi‖
Universitas Indonesia. Akan tetapi Prapto Waluyo lebih meluaskan kepada dua
karya Romo Mangun, yakni Burung-burung Manyar dan Durga Umayi.
Ketiga, penelitian berupa tesis dengan judul ―Gagasan Kebangsaan
dalam Novel Burung-burung Manyar Y.B. Mangunwijaya‖ yang diteliti oleh
Wawan Anwar mahasiswa Universitas Indonesia. Wawan Anwar berpijak pada
tiga masalah pokok, yakni 1) Bagaimanakah kedudukan dan pesan setiap tokoh
dalam novel yang diteliti? 2) Bagaimanakah tokoh (khususnva tokoh utama)
memandang masalah kebangsaan? 3) Bagaimanakah kaitan antara gagasan
kebangsaan dalam novel yang diteliti dengan gagasan kebangsaan Sutan
Sjahrir yang terdapat dalam esei-esei 8 intelektual Indonesia dan 6 esei
Mangunwijaya? Berpijak pada tiga masalah itu, inti dari tesisnya bertujuan
menemukan gagasan kebangsaan Indonesia dalam novel Burung-burung
Manyar yang berkaitan dengan gagasan kebangsaan dalam 6 esei
Mangunwijaya dan 8 esei intelektual Indonesia yang membahas pemikiran
Sutan Sjahrir. Hasil pembahasannya, jika dilihat dari kacamata tokoh utama,
yakni Teto dan Atik. Mereka sama-sama memperjuangkan kemerdekaan
manusia baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Mereka percaya pada
rasionalitas untuk menyelesaikan masalah, terutama dalam memperjuangkan
kemerdekaan manusia dan mengenyahkan mental fasis Jepang dan feodal
Jawa. Mereka menolak segala bentuk penindasan dan menghargai kesetaraan
dengan landasan nilai kemanusiaan.
Keempat, dengan judul ―Nasionalisme dan Refleksi Sejarah Indonesia
Novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya‖ tesis yang ditulis
oleh Mulyono (NIM: 2101506012), Progam Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang. Penelitian
56
yang dilakukan pada tahun 2008 ini, peneliti mengungkapkan bahwa
Mangunwijaya
yang
melihat
nasionalisme
tidak
terletak
dalam
keikutsertaannya dalam suatu pihak yang disebut sebagai kebenaran, tetapi
lebih pada keberanian untuk memilih. Lalu, ternyata terdapat kaitan antara
sastra dan realitas sosial, termasuk di dalamnya sejarah. Di satu sisi peneliti
membuktikan adanya kesejajaran antara nasionalisme dan sejarah perjuangan
bangsa Indonesia dalam kurun waktu tahun 1934 – 1978 yang terbagi dalam
peristiwa-peristiwa selama penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, perang
kemerdekaan, dan masa Orde Baru dalam novel Burung-burung Manyar
dengan nasionalisme dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam kurun
waktu tersebut, di sisi lain Y.B. Mangunwijaya menyajikan beberapa fakta
yang berbeda.
Kelima, tesis yang berjudul ―Kepribadian Setadewa dalam Novel
Burung-burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya: Representasi Akulturasi
Budaya di Tengah Transisi dari Zaman Kolonial ke Zaman Merdeka.‖ Yang
ditulis oleh Endang Rumaningsih dengan NIM A4A002006, Program Pasca
Sarjana Ilmu Susastra, Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini
dilakukan pada tahun 2005 menerangkan tentang tokoh utama Setadewa yang
mengalami transformasi budaya akibat pertemuan budaya Barat dan Timur.
Setadewa merepresentasikan akulturasi budaya yang terwujud dalam
kepribadiannya. Setadewa juga merepresentasikan pencarian jati diri budaya
Indonesia yang pernah menjadi polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana
dengan Sanusi Pane. Dalam upaya pencarian jati diri tersebut, Setadewa berani
mempertanyakan arti kemerdekaan, sistem sosial masyarakat, dan kebangsaan.
Setadewa muncul sebagai pribadi deviant (menyimpang) dari cara pandang dan
cara berperilaku masyarakatnya dalam rangka merumuskan masa depan
Indonesia.
Demikianlah penelitian-penelitian yang penulis jadikan acuan dari
penelitian yang diangkat penulis pada pembahasan kali ini. Novel Burungburung Manyar yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas
menjadikannya sebagai karya sastra yang menarik untuk dijadikan objek
57
penelitian. Sebab, nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kehidupan
sosial masyarakat menjadi bahan dasar penciptaannya. Sehubungan dengan hal
itu, penulis rasa penelitian yang paling tepat dilakukan terhadap karyakaryanya adalah dengan menggunakan pendekatan mimetik sastra. Hal itu
dikatakan tepat karena dengan penelitian mimetik sastra semua aspek
kenyataan di luar karya sastra yang terkandung dalam setiap karya sastra dapat
dibedah dengan sedalam-dalamnya, tanpa meninggalkan teks sastra yang ada.
Dengan begitu, berdasarkan tinjauan tersebut, maka penulis kiranya membuat
penelitian dengan judul ―Gagasan Revolusi Pada Tokoh-tokoh Novel Burungburung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA‖.
BAB III
Y.B. MANGUNWIJAYA: BIOGRAFI, KARYA, DAN PEMIKIRANNYA
A. Biografi Y.B. Mangunwijaya
Nama lengkapnya adalah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang lebih
dikenal dengan sebutan nama Romo Mangun. Dilahirkan di Ambarawa, Jawa
Tengah, pada tanggal 6 Mei 1929, dan merupakan anak sulung dari dua belas
bersaudara. Romo Mangun bertumbuh besar dalam sebuah keluarga Jawa
Katolik. Dikenal sebagai arsitek, rohaniawan, budayawan, dan sastrawan. Dia
lahir dari pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah.1
Romo Mangun termasuk sastrawan generasi Angkatan pasca-66. Novel
pertamanya, Burung-Burung Manyar, ternyata sekaligus menjadi novel
penting dalam peta kesusastraan Indonesia. Berkat novel itu, Romo Mangun
memperoleh Hadiah Sastra ASEAN (1983)2. Wajar jika kemudian novel ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Belanda, Inggris, bahkan Jerman.
Perjalanan pendidikannya dimulai pada tahun 1936, Romo Mangun
masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS) Fransiscus Xaverius, Muntilan,
Magelang. Setelah tamat di tahun 1943, lalu meneruskan ke STM Jetis,
Yogyakarta, di mana dia mulai tertarik pada sejarah dunia dan filsafat.
Sebelum sekolah tersebut dibubarkan setahun kemudian, dia aktif mengikuti
kinrohosi yang diadakan tentara Jepang di lapangan Balapan, Yogyakarta.
Pada tahun 1945, Romo Mangun bergabung sebagai prajurit TKR Batalyon X
divisi III dan bertugas di asrama militer di Vrederburg, lalu di asrama militer
di Kotabaru, Yogyakarta. Dia sempat ikut dalam pertempuran di Ambarawa,
Magelang, dan Mranggen. Setahun kemudian, dia kembali melanjutkan
sekolahnya di STM Jetis dan bergabung menjadi prajurit Tentara Pelajar.
Setelah lulus pada 1947, pada saat itu pula Agresi Militer Belanda I melanda
1
Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan; Esai-esai Sastra dan Budaya,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), h. 190.
2
Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2007), h. 256.
Pada tahun 1983 novel ini memperoleh Hadiah Sastra ASEAN, tahun 1987 diterjemahkan ke
dalam bahasa Jepang, dan tahun 1991 diterbitkan dalam bahasa Inggris, jelas semuanya
mengisyaratkan pentingnya Burung-burung Manyar dalam sejarah sastra Indonesia.
58
59
Indonesia sehingga Romo Mangun kembali bergabung dalam Tentara Pelajar
(TP) Brigade XVII sebagai komandan TP Kompi Kedu. Kemudian pada
tahun 1951, Romo Mangun lulus dari SMU-B Santo Albertus, Malang,
Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta, dan pada tahun 1952 Pindah ke
Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Metroyudan, Magelang.
Kemudian, melanjutkan ke Seminari Tinggi, yakni sekolah di Institut Filsafat
dan Teologi Santo Paulus di Kotabaru, tahun 1953. Pada tahun 1959,
melanjutkan pendidikan di Teknik Arsitektur ITB. Tahun 1960, melanjutkan
pendidikan arsitektur di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule,
Aachen, Jerman. Hingga pada tahun 1966, lulus pendidikan arsitektur dan
kembali ke Indonesia. Lalu, pada tahun 1978 atas dorongan Dr. Soedjatmoko,
Romo Mangun mengikuti kuliah singkat tentang masalah kemanusiaan
sebagai Fellow Aspen Institute for Humanistic Studies, Colorado, AS.3
Begitu banyak tulisan yang sudah keluar dari sastrawan yang satu ini,
baik buku yang berbau kesusastraan, kebudayaan, maupun yang bernada
arsitektur. Berikut merupakan tulisan buah tangan Romo Mangun dalam
bentuk novel, yaitu Burung-burung Manyar (1981), Romo Rahadi (1981),
Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Balada Becak (1985), Durga Umayi
(1985), Burung-burung Rantau (1992), Balada Dara-dara Mendut (1993),
Pohon-pohon Sesawi (1999), Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri
dimuat 1982-1987 di harian Kompas, dibukukan 2008.4
Novel pertamanya, Burung-burung Manyar5 menjadi novel penting
dalam peta kesusastraan Indonesia. Dalam kepengarangannya ia dapat
dibilang melakukan pembaharuan dalam ranah novel. Perubahan bentuk
penceritaan yang berganti-ganti dari pencerita „akuan‟ ke pencerita „diaan‟.
Tidak heran jika pada tahun 1983, novel ini memperoleh penghargaan sebagai
3
Iip D. Yahya, Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 15-1
4
Pamusuk Eneste, Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern, (Jakarta: Djambatan, 1988), h.
6.
178.
Anonim, “Y.B. Mangunwijaya Bicara tentang „Burung-burung Manyar‟nya”, Kompas,
Jakarta, 22 Juli, 1981, h. 1. Burung-burung Manyar seharusnya sebagai novel kedua. Tetapi karena
novel pertamanya malahan terhenti lama sekali di sebuah penerbitan, buku tersebut akhirnya
menjadi novel pertama yang dimasyarakatkan.
5
60
pemenang Hadiah Sastra ASEAN (South East Asia Write Award). Tahun
1987, Burung-burung Manyar diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dengan
judul Arasi no Naka no Manyar (oleh Imura Bunka-Jigyosyo) dan ke dalam
bahasa Belanda berjudul Het Boek van Wevervoged (oleh penerbit
Meullenhoff, Amsterdam). Atas kerja sama Institut Australia-Indonesia, pada
awal Maret 1991, terbit dalam edisi bahasa Inggris dengan judul Weavebirds
hasil terjemahan Thomas Hunter.6
Dalam bidang arsitektur, ia juga kerap dijuluki sebagai bapak arsitektur
modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya adalah
Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur, yang merupakan penghargaan
tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan
pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta. Ia juga menerima The Ruth and
Ralph Erskine Fellowship pada tahun 1995, sebagai bukti dari dedikasinya
terhadap wong cilik. Hasil jerih payahnya untuk mengubah perumahan miskin
di sepanjang tepi Kali Code mengangkatnya sebagai salah satu arsitek terbaik
di Indonesia. Serta penghargaan arsitektur dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)
untuk tempat peziarahan Sendangsono, dan penghargaan sastra se-Asia
Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996. Selain itu, penghargaan yang
telah diterimannya yakni: penghargaan Kincir Emas untuk penulisan cerpen
dari Radio Nederland. Serta satu tulisan yang memenangkan Hadiah Sastra
1982, Dewan Kesenian Jakarta untuk jenis Esei dan Kritik Sastra, yakni
Sastra dan Religiositas. Kemudian pada tahun 1994, ia mendirikan
laboratorium DED (Dinamika Edukasi Dasar). Model pendidikan DED ini
diterapkan di SD Kanisius Mangunan, di Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Hal
ini dikarenakan begitu pedulinya Romo Mangun dalam dunia pendidikan.
Selain itu, ini merupakan bentuk kekecewaan Romo Mangun terhadap sistem
pendidikan di Indonesia. Sebelumnya, Romo Mangun juga membangun
gagasan SD yang eksploratif pada penduduk korban proyek pembangunan
6
Maman S. Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007), h. 307.
61
waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali
Code, Yogyakarta.7
Romo Mangun meninggal pada usia 69 tahun, hari Rabu siang, pada
tanggal 10 Februari 1999, di hotel Le Meridien Jakarta. Dia meninggal sesaat
setelah menjadi pembicara pada simposium yang diselenggarakan oleh
Yayasan Obor Indonesia. Saat itu acara selesai pukul 13.30. Ketika Romo
Mangun masih berbicara dengan temannya, tiba-tiba saja dia lemas dan
napasnya terdengar kencang. Kemudian panitia membawanya ke medical
center hotel Le Meridien. Selang waktu kurang dari dua puluh menit, dokter
menyatakan bahwa Romo Mangun telah meninggal dunia pukul 13.55.8
Walaupun Romo Mangun sudah pergi ke suatu tempat dan tidak
seorang pun yang dapat memanggilnya kembali. Namun segala bentuk ide,
gagasan, serta pemikirannya yang jujur, kritis, dan menjangkau ke depan
dapat diyakini akan terus hidup menembus zaman sebagai bahan renungan,
inspirasi, hingga mendorong perubahan di tingkat praksis kehidupan sosial,
seni, budaya, hukum, serta politik di negeri ini.
B. Perbandingan Burung-burung Manyar dengan Novel Lain
Berbicara mengenai novel-novel Romo Mangun, pembaca akan
menemukan persoalan-persoalan tentang nasionalisme dan pascanasionalisme
yang hampir selalu diwujudkan dalam roman-romannya. Kesemua itu
pengarang
tuliskan
dengan
menggunakan
kerangka
dan
simbolisme
pewayangan Jawa sebagai acuan penulisannya. Selain itu, isu biner yang selalu
menjadi ciri khasnya ikut menambah kompleksnya jalannya penceritaan novel.
Hampir dalam setiap romannya, Mangun mencitrakan Indonesia abad
dua puluhan. Seperti halnya dalam novel Burung-burung Manyar, Durga
Umayi, dan Burung-burung Rantau. Walaupun tiga roman berbeda
pencitraannya, namun lewat tokoh-tokoh utama dalam masing-masing roman,
7
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Biografi Y.B. Mangunwijaya, halaman ini terakhir diubah
pada 31 Januari 2015, pukul 18.04, (http://www.id.wikipedia.org).
8
Kleden, op. cit., h. 189.
62
pembaca dihidangi beberapa alat untuk menginterpretasikan masa lalu
Indonesia dan mempertimbangkan masa depannya.
Novel Durga Umayi (1991) dibaca sebagai pembelaan kepada orangorang yang dipandang menjadi korban proses pembodohan, ketika berpikir
rasional sudah mati. Dalam pewayangan, Durga digambarkan sebagai seorang
perempuan penguasa gelap dan tinggal di Setra Ganda Mayit alias hutan
Krendhawahana. Secara keseluruhan novel Durga Umayi sebenarnya bersikap
mempertanyakan
ideologi
nasionalisme
yang
mempersatukan
wilayah
nusantara sebagai satu kesatuan. Biner juga memainkan peran yang cukup
penting dalam Durga Umayi.
Burung-burung
Rantau
(1992)
dimaksudkan
untuk
melukiskan
masyarakat Indonesia pascanasional, suatu masyarakat yang memiliki
pemikiran global, bukan pemikiran sempit. Seolah-olah orang pasca-Indonesia
yang idealistis digambarkan sebagai orang Indonesia yang memiliki pandangan
hidup kebarat-baratan. Dengan kata lain, novel ini melukiskan gagasan
“pascanasionalisme” atau setara dengan “modern”.
Sedangkan Burung-burung Manyar (1981), pandangan Romo Mangun
dalam Burung-burung Manyar yang dapat digarisbawahi adalah tentang
pentingnya revolusi Indonesia. Dalam novel itu Mangun ikut memikirkan nasib
orang-orang kecil. Dalam Burung-burung Manyar, keprihatinannya mengenai
wujud negara dilambangkan dengan “pembangunan sarang burung manyar”
demi meletakan generasi masa depan telur-telur manyar itu. Pembangunan
“sarang burung” ini amat ditentukan oleh kualitas manusia-manusia matang
yang mampu mencapai dan mampu hidup atas dasar jati dirinya. Dengan
maksud membuat “sarang burung manyar baru” ini diartikan sebagai
keberanian membongkar mentalitas lama demi terjaminya citra diri. Dengan
kata lain, ini merupakan bagian dari pemikiran revolusi yang ingin
diperlihatkan oleh Romo Mangun di dalam novel.
“Saya hanya ingin mengajak pembaca berpikir secara common sense saja
terhadap revolusi itu. Wong saya ya ikut ambil bagian angkat senjata di
63
Palagan, Ambarawa. Saya menolak meromantisir revolusi itu. Rakyat
biasa juga berjuang lho. Ha. Ha. Ha...”9
Seperti apa yang telah dikatakan pada pendahuluan bab ini, bahwa Romo
Mangun membuat novel Burung-burung Manyar, tidak lain menurutnya hanya
ingin meluruskan sejarah. Walaupun tidak dapat ditampik kebenaran sejarah itu
seperti apa bentuknya. Akan tetapi, bermodalkan semangat dan kegigihan
dengan dilandasi kejujuran dalam kacamatanya. Romo Mangun mampu
menghasilkan suatu pemikiran yang “lain dari biasanya”. Romo Mangun
memaparkan pengakuan dalam alasannya membuat novel Burung-burung
Manyar:
”Banyak para elite/orang gede kita itu yang dulunya ikut Belanda. Plinplan! Waktu Belanda jaya, jadi inlander hiep-hiep-hoera; Dai Nippon
“Banzai!” jadi penjilat lihai; RI menang, berpekik “Merdeka!”, NICA
maju, “Goed-goed nouja”, PKI muncul “Hidup Nasakom!”, Orde Baru,
“Awas PKI” dst.”10
Dengan kata lain, novelnya itu ia tuliskan untuk menggambarkan suasana
cerita yang resmi oleh masyarakat di lingkungannya dianggap sebagai
pengkhianat atau lebih tepatnya bermuka dua. Suatu novel berlatar belakang
sejarah, diawali pada masa penjajahan Belanda, berlanjut ke masa pendudukan
Jepang sampai berakhir pada situasi pacsa Indonesia merdeka dan mulai
menjadi negara berkembang.
“Burung-burung Manyar semula saya maksud hanya sebagai sebentuk
novel untuk “mengabadikan” kota keluarga saya, Magelang, dengan latar
belakang perang kemerdekaan, khususnya medan laga MagelangAmbarawa, kota kelahiran saya. Sebagian itu terdorong juga oleh
kejengkelan saya mengenai pemalsuan-pemalsuan dan pemitosan
peristiwa-peristiwa sejarah yang tidak sehat. Sekaligus saya ingin
menghimbau kawan-kawan sebangsa untuk merenungkan kembali
pertanyaan dasar kehidupan; dan khususnya bertanya kembali maksud
esensi Revolusi 1945 itu.”11
9
Anonim, loc. cit.
Ibid.
11
Eneste, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, (Jakarta: Gramedia,
2009), h. 129.
10
64
Seperti pada novel-novelnya yang lain, Burung-burung Manyar juga
dikatakan setia pada prinsip Jawa, karena Romo Mangun memasukkan “tanda
pengenal”, mulai dari latar yang diambilnya, kebiasaan-kebiasaan adat-adat
Jawa, sampai kepada para nama-nama tokohnya (bahwa nama tokoh bukan
sekadar tanda pengenal, tetapi mengandung makna). Dengan begitu, tidaklah
naif jika, dikatakan Burung-burung Manyar merupakan novel yang berwarna
lokal Jawa (dunia dan napas suasana wayang). Diakuinya juga pengaruh
Multatuli cukup besar pada novelnya Burung-burung Manyar. Menurut dia, di
dalam karya yang dibuatnya dipergelarkan tema-tema kehidupan yang lebih
dalam, sampai pada taraf filsafat.12 Hingga tulisan buku tentang ilmu hewan,
Dierenleven in Indonesia (Kehidupan hewan di Indonesia) karangan Dr. H.C.
Delsman. Adapun demikian, novel ini tergolong jenis novel serius. Ini
menunjukkan karya itu memang berbobot, lantaran suatu cipta bisa berhasil,
jika isi dari karya itu nuansa yang hidup sehingga mampu menciptakan nuansa
yang hidup pula.
“Saya yakin, generasi muda sekarang sudah mulai haus terhadap novelnovel serius. Mengapa? Karena sudah terlalu lama dijejali dengan
berbagai ragam novel pop. Walaupun, novel pop mungkin tidak buruk.
Meskipun kebanyakan hanya menimbulkan impian yang tidak tegas.
Tetapi bagai ganja, jenis macam itu bisa mencandui pembacanya,
sehingga melupakan kenyataan hidup yang sesungguhnya terjadi di
masyarakat mereka.”13
Maka, tidak berlebihan jika para kritikus sastra Indonesia menempatkan novel
Burung-burung Manyar sebagai salah satu karya penting yang ikut
menonggaki perjalanan sejarah kesusastraan di Indonesia.
Dengan melihat beberapa perbandingan novel karya Romo Mangun di
atas, hampir dalam setiap novelnya Romo Mangun mengemukakan beberapa
kemungkinan untuk penciptaan identitas Indonesia. Seperti dalam Burungburung Manyar menggambarkan peran "pembelot" dalam proses nationbuilding, sambil mengisyaratkan isu-isu dengan ciri khasnya yang mengangkat
MP-Ata, “Romo Mangun mengungkapkan: „Burung-burung Manyar‟nya banyak
dipengaruhi Multatuli”, Minggu Pagi, Yogyakarta, 21 Oktober, 1984, h. 6.
13
Anonim, loc. cit.
12
65
unsur-unsur dari masa lalu yang feodal dan menghalangi pembentukan negeri
yang modern. Seperti halnya dalam Durga Umayi, dibalik plesetan,
kejenakaan, dan unsur realisme, menimbulkan ide women as nation. Bahkan
dalam Burung-burung Rantau mentransformasikan pandangan Mangun
mengenai 'pascanasionalisme‟ menjadi cerita tentang citra diri sebuah keluarga
pascanasional.
Dari beberapa novelnya, baik Burung-burung Manyar maupun Durga
Umayi merupakan semacam dekonstruksi sejarah Indonesia. Seperti sudah
dijelaskan, Burung-burung Manyar memperlihatkan pandangan Revolusi dari
"pihak lain", dari sudut seorang yang dianggap pengkhianat, sementara Durga
Umayi memakai beberapa teknik postmodern. Sedangkan dalam Burungburung Rantau yang diusahakan adalah dekonstruksi yang sedikit berbeda.
Dekonstruksi dalam roman ini adalah citra nasional dalam bagian terakhir abad
keduapuluh ini. Diakui bahwa "pasca-Indonesia" berarti tetap beridentitas
Indonesia, tetapi meningkat dalam segala hal, seperti cara berpikir dan
bersikap.
C. Pemikiran Y.B. Mangunwijaya
1. Budaya Moral
Dalam khasanah kesusastraan Indonesia Romo Mangun dikenal
sebagai seorang penulis novel dan esai yang terbilang produktif. Sampai
dengan akhir hidupnya ia telah melahirkan puluhan novel dan esai. Dari
tulisan-tulisan tersebut Romo Mangun selalu memberikan tawaran
pemikiran baru dan berbagai gagasan yang menarik tentang kehidupan
dalam setiap karya yang dihasilkannya. Ide-ide pemikiran Romo Mangun
membawa pencerahan pada umat manusia di jaman sekarang ini. Memang
tidak dapat kita pungkiri tulisan yang dihasilkan Romo Mangun baik yang
berupa novel ataupun esai-esainya selalu berpihak pada yang lemah. Hal itu
merupakan bentuk usaha pencerahan yang dimaksudkan untuk mengajak
melakukan dan mendorong perbaikan derajat kemanusiaan melalui wawasan
ide-ide tulisannya.
66
Dengan latar belakang kebudayaan Jawanya yang mantap, Romo
Mangun selalu tampil sebagai pribadi santun yang sekaligus menyimpan
sejumlah besar bakat humor dan ironi yang selalu menghangatkan tiap
pertemuan dan membuat hidup tulisan-tulisannya yang amat banyak. Romo
Mangun juga sanggup menjaga keseimbangan jiwa dan perasaan, atau
mental equanimity yang menjadi ideal pendidikan dalam kebudayaan ini,
tanpa takut menghadapi perbedaan pendapat dan pertentangan kepentingan
dan bahkan santai saja menghadapi konflik dengan kekuasaan.14 Dari situ
dapat kita lihat semangat egaliter Romo Mangun cukup meyakinkan.
Melalui proses berpikirnya itu, Romo Mangun menyuarakan protes dan
berbuat nyata untuk meniadakan ketidaksetaraan kehidupan materiil,
spiritual, dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik
dengan menunjukkan jalan kepada rakyat yang terpinggirkan oleh
ketidakadilan ekonomi dan tekanan kekuasaan.
Hidup sebagai seorang rohaniwan Katolik, Romo Mangun melihat
dirinya pertama-tama sebagai seorang agamawan. Tetapi tema hidup
keagamaannya adalah pengembangan iman dan religiositas, dan bukan
mengerasnya
lembaga
kompartementalisasi.
15
agama
Maka
tidak
yang
dapat
heran,
Romo
mengakibatkan
Mangun
selalu
menyuarakan istilah religiositas. Kata religiositas yang dimaksud adalah
bukan dalam arti ketaatan ritual keagamaan, akan tetapi lebih ke pada
penuntunan manusia ke arah segala makna yang baik. Lebih tepatnya,
religiositas yang dimaksudkan Romo Mangun adalah segala sesuatu yang
tercipta dari hati nurani serius “dalam lubuk hati”. Bergerak dalam tata
paguyuban yang cirinya lebih intim, dalam arti serba prihatin terhadap
sesama. Religiositas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) tetapi
dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis
atau konseptualisasi.16 Selebihnya ia seorang rohaniwan yang memberontak
14
Kleden, loc. cit.
Ibid.
16
Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet. 3, h. 1115
17.
67
kemapanan dunia rohani yang kedengaran elitis. Dari situ pula orang segera
memperoleh kejelasan bahwa dia bukanlah seorang yang betah hidup tenang
dalam agamanya, akan tapi selalu mengembara dalam suatu pencarian
bersama akan kebenaran, pembelaan bersama akan keadilan, perlawanan
bersama akan penindasan, dan realisasi bersama akan kebaikan. Ini salah
satu kunci spiritualitas Romo Mangun, dengan menggunakan istilah lain dia
menyebutkan bahwa, melayani kaum duafa, baginya, adalah melayani
Tuhan.
Bergulat dalam bidang arsitektur, dengan ideologi kerakyatan yang
nyata, Romo Mangun ternyata tidak hanya terlatih untuk merencanakan dan
membangun rumah dan gedung, tetapi juga mahir mendesain pendidikan,
merencanakan kebudayaan, dan turut aktif membangun suatu masyarakat
baru. Dia bukan saja menguasai ilmu tentang ruangan fisik, tetapi
menunjukkan kepekaan yang tinggi dan intuisi yang tajam tentang ruang
sosial dan bahkan ruang politik. Menurut Romo Mangun, pengertian politik
ada dua macam. Pertama, politik dalam rangka kekuasaan, yaitu bagi yang
berkuasa untuk mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan. Pandangan
masyarakat umum mengira bahwa arti “politik” satu-satunya adalah
kekuasaan, sehingga muncul istilah di kalangan masyarakat bahwa “politik
itu kotor”. Masyarakat lantas menerima begitu saja arti politik semacam itu,
politik dalam arti kekuasaan. Padahal, arti politik yang asli-otentik dan
bukan bernuansa kekuasaan adalah pengertian politik yang kedua: politik
moral yaitu ikhtiar atau niat demi kepentingan dan kesejahteraan orang
banyak.17 Pandangan politiknya jelas berpedoman pada hati nurani yang
bersih. Dalam pada itu, politik diartikan upaya menyumbang pada
kepentingan masyarakat luas, yakni keadilan sosial. Mereka harus berpolitik
dalam artian moral, dalam rangka menyejahterakan rakyat manusia secara
adil dan beradab.
17
Th. Bambang Murtianto (ed.), Kata-kata Terakhir Romo Mangun, (Jakarta: Kompas,
2014), h. 5-6.
68
Selain dari pada itu, kecerdasan adalah suatu hal yang selalu
diperjuangkan Romo Mangun dalam cita-cita dan usaha pendidikannya.
Sebab, dengan keyakinan teguh, dia sudah lama berpendapat bahwa banyak
kebodohan tidak selalu dibawa semenjak lahir, tetapi seringkali diciptakan
setelah orang dilahirkan ke dunia, dan dilestarikan setelah orang menjadi
dewasa di tengah-tengah masyarakat. Menurutnya, pendidikan berfungsi,
antara lain, mengurangi dan menyingkirkan halangan-halangan yang ada
dalam masyarakat, sehingga setiap orang dengan inteligensi sederhana saja
dapat mencapai suatu tingkat kecerdasan yang mencukupi untuk mengurus
dirinya sendiri dan bertanggung jawab sendiri atas apa pun yang
dilakukannya.18 Padahal pendidikan (sekolah) bukanlah menjadi alat untuk
melestarikan perbedaan kelas sosial, tetapi sarana untuk memperkecil
perbedaan tersebut, dengan kecerdasan sebagai hasil usaha pembebasan.
Perbedaan kelas tidak mungkin dihilangkan, tetapi dapat dihadapi dengan
wajar tanpa sikap diskriminasi kelas.
Minat dan pengetahuannya yang mendalam tentang ilmu pengetahuan
justru tidak membuatnya menjadi Fachidiot19 yang fanatik dengan
disiplinnya, tetapi memberinya pemahaman yang sensitif tentang batasbatas kompetensi ilmu dan relatifnya manfaat teknologi dalam kehidupan
masyarakat.20 Ilmu pengetahuan (Iptek) adalah sebuah fenomena sumber
action yang sangat penting untuk mendidik generasi baru agar memperoleh
suatu keterampilan dan mental berpikir analitis (demi hasil-hasil sintetis
yang berguna). Akan tetapi yang menjadi permasalahan, Iptek -dalam segi
apapun jua- mestinya harus dilihat secara holistik. Bahwa pada praktiknya,
konkret faktual, Iptek tidaklah netral, akan tetapi lebih mengabdi kepada
para penguasa ekonomi, politik, sosial, dan kultural yang sudah lama
digembar-gemborkan oleh para filsuf utilitarian dan pragmatis, serta para
pemuja liberal sains dan teknologi. Menurutnya Iptek adalah sebuah bidang
18
Kleden, op. cit., h. 192.
Sebuah term yang biasa digunakan oleh orang Jerman untuk melukiskan patologi
ilmuwan modern.
20
Ibid., h. 191.
19
69
yang juga mempunyai batas-batas secara etis, karena jika tidak maka dia
berubah menjadi sebuah kemampuan yang bisa menciptakan apa saja, dan
dapat menghancurkan apa saja. Iptek perlu diberi juga rambu-rambu nilainilai.21 Maka dari pada itu, di sana Romo Mangun melihat (dan membela
dengan gigih) kaitan erat dan tidak terpisahkan antara Iptek dan humaniora.
Sebab bagaimanapun, Iptek harus mengabdi kepada kemanusiaan, bukan
kemanusiaan dikorbankan hanya untuk Iptek.
2. Ekspresi Kebebasan
Romo Mangun juga bergulat di bidang sastra, dengan semangat kaum
realis yang gigih menampilkan sejarah untuk kita resapi pesan-pesan
penting yang dikandungnya. Pesan penting itu bisa sebuah kegetiran, dan
paradoks kehidupan, yang melawan kodrat alam. Dalam arti itulah
barangkali kegiatan dan keterlibatannya yang intesif dalam bersastra dapat
dipahami, karena dalam sastra khususnya dan kesenian pada umumnya,
selalu dituntut bukan hanya kebebasan tetapi juga keberanian untuk
mengeksplorasi kemungkinan imajinasi untuk menerobos batas-batas yang
biasanya sudah diterima begitu saja dalam berbagai budaya maupun
konvensi ilmu pengetahuan. Tradisi sastra menjadi acuan yang sungguhsungguh
digelutinya.
Romo
Mangun
telah
menjatuhkan
pilihan
menggunakan novel sebagai sarana perwujudan untuk menyatakan
perhatiannya terhadap sejarah. Bagi Romo Mangun sejarah bukanlah
rentetan tanggal-tanggal peristiwa yang menjadi tonggak-tonggak sejarah.
Sejarah juga bukan penuturan atas kejadian-kejadian yang dianggap sebagai
peristiwa bersejarah. Keluar dari pilihan-pilihan tersebut, Romo Mangun
menyajikan bagaimana sejarah itu merupakan pergulatan untuk sampai pada
pilihan-pilihan moral dari para pelakunya. Hal ini menjadi jelas bagaimana
Romo Mangun menyajikan hal tersebut dalam novelnya Burung-burung
Manyar. Setadewa dan Larasati merupakan wakil-wakil dari pelaku-pelaku
21
125-166.
Y.B. Mangunwijaya, Pacsa-Indonesia Pasca-Einstein, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h.
70
sejarah yang bergulat dengan pilihan moralnya dalam keterlibatan mereka di
dalam sejarah. Sebagai sebuah proses pergulatan pilihan moral, kisah
tersebut tidak berhenti dalam sebuah pemisahan garis tegas hitam-putih
begitu saja.22 Novel-novelnya merupakan cerminan usaha pergulatan
batinnya. Persoalan-persoalan moral situasional ditampilkan secara rumit.
Dalam yang jahat ada secercah yang baik. Dalam yang baik dari segi
tertentu belum tentu baik dari segi lain. Banyak kita jumpai di dalamnya
monolog-monolog baik menggunakan orang pertama maupun orang ketiga
yang dapat menginkarnasikan pesan dan pergulatan pribadi pengarang.
Perhatian sejarah Romo Mangun terfokus pada dimensi relasi
kekuasaan yang tidak imbang antara para peguasa dan rakyat. Ia peka
mengamati pertarungan pihak yang menindas dan pihak yang tertindas
dalam sejarah. Sikap moralnya menjelaskan pada kita, sejarah merupakan
medan pergulatan untuk merebut panggung politik dan memenangkan
kepentingan-kepentingan yang selalu hadir, dan abadi. Tanpa keragu-raguan
Romo Mangun berani menyuarakan persoalan-persoalan penting mendasar
yang menyangkut nasib rakyat kecil, yang orang lain tidak berani
melakukannya. Ia sanggup mengartikulasikan ide-ide secara komunikatif
dan melihat permasalahan dalam dimensi masa lampau, kini, dan mendatang
serta mempertanyakan dan mengungkap persoalan secara mendasar. Di
sinilah Romo Mangun memainkan peran politiknya sebagai intelektual yang
tetap menjadi bagian dari massa rakyat dan hidup bersama dengan mereka.
Melihat segi hidupnya yang ini, penulis kira orang tidak ragu menyebutnya
seorang intelektuil humanis. Romo Mangun tampil sebagai intelektuil yang
penuh komitmen kemanusiaan. Dalam setiap karyanya
ia selalu
meninggalkan jejak humanisme.
Romo Mangun adalah seorang tokoh dari segelintir tokoh di negeri ini
yang punya andil besar dalam memperjuangkan iklim demokrasi, penegakan
keadilan, dan pembelaan martabat manusia. Keberanian Romo Mangun
G. Budi Subanar, “Jejak-jejak Humanisme dalam Karya Sastra Y.B. Mangunwijaya”,
Kuwera, Vol. 14, 2012, h. 5-7.
22
71
untuk menyuarakan dan berpihak pada nasib rakyat jelata yang lemah
berhadapan dengan penguasa yang cenderung represif pada masa rezim
Orde Baru, telah menunjukkan perannya sebagai seorang intelektual dan
pejuang kemanusiaan yang tegar pantang menyerah.23 Dalam bukunya Di
Bawah Bayang-bayang Adikuasa, lebih tajam lagi Romo Mangun dalam
melantangkan suara rakyat yang ”dipermiskinkan tiada hentinya” oleh
penguasa dan yang secara struktural menjalani hidup dalam sistem yang
korup. Dalam pada itu, ini merupakan keyakinan bahwa golongan yang
dipermiskinkan ini harus didukung maju supaya berdaya.24 Upaya Romo
Mangun tidak hanya berupa khotbah dari atas bukit, atau di dalam gedung
yang bergaung, tetapi langsung di tengah-tengah rakyat yang dikerumuni
kemalangan dan ketertindasan, apakah di sekitar Sungai Code atau
Kedungombo. Apa yang diungkapkan Romo Mangun bukanlah pernyataan
sekadar mengamini rumusan dogmatis, tapi sebuah usaha pencarian
kebenaran yang tanpa lelah. Usaha-usahanya itu semua diangkat dalam
tulisan esai atau novelnya yang membela kaum lemah.
Romo Mangun merupakan seorang intelektuil Indonesia yang mampu
menjelajah kehidupan yang luas, dan beragam, dengan renungan yang
sungguh-sungguh, dengan komitmen yang juga sungguh-sungguh untuk
mengubah segalanya lebih baik. Di sini penulis tegaskan bahwa Romo
Mangun bukanlah seorang yang sempurna. Pemikirannya memang amat
subur, tetapi dia bukanlah pemikir sistematis yang mengajukan teori.
Pemikirannya adalah respons spontan kepada keadaan, tanpa memberikan
suatu kerangka besar yang dapat dipegang secara konseptual. Sebagai
seorang aktivis, komitmennya kepada suatu cita-cita lebih jelas daripada
teori yang melandasinya. Dalam arti itu, kesempurnaan bukanlah ideal
seorang Romo Mangun, tetapi percobaan dan usaha yang terus-menerus,
suatu determinasi tanpa pretensi, untuk memikirkan suatu kemungkinan
23
Y.B. Mangunwijaya, Merintis RI yang Manusiawi Republik yang Adil dan Beradab,
(Jakarta: Erlangga, 1999), h. 134-138.
24
Y.B. Mangunwijaya, Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1987), h. 132.
72
yang lebih baik, dan mencobakannya dalam praktik. Dari itulah dia tidak
pernah takut untuk mengajukan gagasan yang kedengarannya kontroversial,
seperti misalnya, gagasan negara federasi. Gagasan itu sebaiknya diterima
sebagai sebuah praksis, sebuah pemikiran yang diajukan supaya kita bekerja
sama secara konseptual dan politis untuk merumuskan kembali pengertian
tentang kesatuan dan persatuan.
Pada akhirnya penulis teringat apa yang dikatakan oleh Romo
Mangun lewat tulisannya yang berbunyi: “Yang mempersatukan bangsa dan
masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang tertinggi dan terdalam
adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dilengkapi horizontal oleh sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bila
sikap dasar vertikal dan horizontal itu dipahami, dihayati, dan diamalkan
konsekuen konsisten, maka buahnya ialah budaya persahabatan,
persaudaraan, saling menghargai, saling menolong, saling memekarkan”.25
25
Mangunwijaya, Pasca-Indonesia ..., op. cit., h. 333.
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Analisis Unsur Intrinsik Novel Burung-burung Manyar
Pada dasarnya dapat diketahui bahwa novel dibangun dari sejumlah
unsur, setiap unsur akan saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan
saling menentukan. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis unsur intrinsik
dalam sebuah penelitian sastra terhadap sebuah novel sangat diperlukan guna
mengetahui keterkaitan antarunsur yang membangun novel tersebut. Dengan
menganalisis (memahami) lebih dalam unsur intrinsik suatu novel, maka
nantinya akan lebih mengetahui seluk-beluk isi atau segi-segi yang
membangun novel.
Walaupun penelitian ini berfokus pada kajian terhadap pendekatan
mimetik yang menganalisis konsep revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka,
namun penelitian ini tidak dapat melupakan bangunan dalam dari karya itu
sendiri. Sebagaimana pendekatan mimetik yang menitikberatkan kajiannya
terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Maka
dari itu, pemahaman yang lebih mengenai unsur intrinsik dirasa sangat
diperlukan. Dengan melakukan analisis segi-segi unsur intrinsik, niscaya akan
lebih memahami bagaimana unsur-unsur pembangun yang terdapat dalam
novel ini saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Dengan demikian,
maka akan mendapatkan pemahaman lebih mengenai bangunan dari novel ini
secara lebih mendalam.
1. Tema
Secara garis besar novel Burung-burung Manyar berbicara mengenai
sejarah, sehingga sangat tepat apabila dikatakan novel ini bertema besar
tentang kebangsaan hingga nasionalisme, karena memuat suatu perjalanan
refleksi sejarah di Indonesia yang penuh nuansa serta daya gugat ditambah
peneguh-peneguh
pengarangnya
sendiri.
Oleh
karena
itu,
setelah
menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkan
73
74
dengan tujuan penciptaan pengarangnya, penulis menarik gagasan pokok
yang melandasi penceritaan novel ini secara keseluruhan mengangkat
nasionalisme yang lebih menitikberatkan persoalan pada sisi manusianya.
Seperti yang diketahui pada umumnya, pemahaman nasionalisme di
Indonesia murni merupakan bentuk buah perlawanan terhadap segala bentuk
kolonialisme. Adapun pandangan Romo Mangun mengenai nasionalisme
sebenarnya agak berbeda dari yang selama ini dipahami oleh kebanyakan
orang. Perbedaan itu dapat dilihat melalui tokoh Setadewa, yang
memandang nasionalisme bukan dalam bentuk keikutsertaan dalam suatu
pihak tertentu, akan tetapi lebih kepada keberanian untuk memilih. Maka
dari itu pula Setadewa memilih Belanda, meski pada akhirnya pilihannya
itu dianggap sebagai salah sasaran, namun di balik itu Setadewa tetap
menunjukkan sikap sebagai seorang pribadi yang merdeka.
“Segala omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang
menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih
merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah mahkota
Belanda? Merdeka mana, merdeka di bawah singgasana raja-raja Jawa
mereka sendiri daripada di bawah Hindia Belanda?”1
Pada kutipan di atas pengarang ingin menjelaskan bahwa manusia itu
sendiri nilainya lebih tinggi dari sekedar slogan kemerdekaan dan batasbatas sempit mengenai nasionalisme. Bagi Setadewa Republik atau Belanda
hanya merupakan sarana dan tidak memiliki arti jika manusianya tetap
mengalami ketertindasan.
“Maka kupikir, tanah air adalah di mana tidak ada kekejaman antara
orang dengan orang. Kalau adat atau kebiasaan suatu nasion kejam,
kukira lebih baik jangan punya tanah air saja.”2
Maka sikap dari pemahamannya itu membuat Setadewa berada dalam posisi
tidak ingin memihak kepada suatu nasion tertentu.
“Anda berwarga negara apa, Mr. Seta?” ”Multinational,” dan tamunya
tersenyumlah. ”Mau apa lagi. Sebab saya memang bekerja untuk
kongsi yang begitu.”3
1
Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, (Jakarta: Djambatan, 2007), cet. 15, h. 58.
Ibid., h. 160.
3
Ibid., h. 204.
2
75
Sikap Setadewa di atas memberitahu akan arti nasionalisme yang
berlandaskan kepada manusia yang merdeka. Kemerdekaan sejatinya ialah
memiliki sifat dan sikap jatidiri bangsa yang kuat, bukan bangsa yang
bermental lemah.
“Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan
minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah
kemerdekaan datang seperti buah durian yang jatuh karena sudah
matang.”4
Melalui kutipan di atas, pengarang berpandangan bahwa kepribadian
sangatlah penting dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tujuannya agar bangsa
Indonesia dapat menjadi manusia yang bebas merdeka. Merdeka bukan
berarti bebas sesuka sinyo atau noni, tetapi ke arah pencapaian derajat
budaya hidup yang semakin saling memanusiakan. Dengan mematangkan
kepribadian bangsalah hakikat kemerdekaan niscaya akan tercapai.
Walaupun Setadewa memilih sikap berpihak kepada Belanda dengan
dalih kebencian kepada Jepang yang tidak manusiawi karena telah
menjadikan maminya seorang gundik dan kepada Republik yang
membongkok-bongkok kepada Jepang. Namun, di sisi lain Setadewa teguh
untuk selalu memihak kemanusiaan di atas segala-galanya. Sikapnya yang
selalu memihak dengan berlandaskan kemanusiaan itu pada akhirnya
membuahkan “kesadaran” mengenai tanah air. Baginya tanah air adalah di
mana manusia menebarkan gagasan persatuan dan kesatuan bagi seluruh
manusia. “Tanah air adalah di mana ada kasih sayang dan saling tolongmenolong.”5 Kesadaran itu juga dibangun melalui konflik batin yang
dialami Setadewa.
“Aku masuk KNIL dulu tidak untuk mencari gaji soldadu. Juga bukan
demi petualangan tentara sewaan belaka. Aku memerangi kalian
sebagai pembalas dendam ibuku, yang mengandungku dan yang
dirusak kandungannya oleh Jepang. Memang kesalahanku ada pada
identifikasi Jepang dengan Republik Indonesia. Tetapi maaf, terus
terang kukatakan, bukankah banyak dari pimpinan kalian bukan hanya
4
5
Ibid., h. 89.
Ibid., h. 159.
76
murid, tetapi penerus konsekuen mental Jepang itu? Selama aku jadi
menejer perusahaan sesudah perang, aku baru mengenal segi-segi lain
dari Jepang yang lebih positif. Tetapi dalam kala saat itu Jepang
diperkenalkan kepada kita dalam bentuknya yang fasis. Memang aku
keliru dalam memilih sasaran, akan tetapi tidak dalam motivasi. Dan
motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan
yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu, merampok dan
memaksakan rumus-rumus serta model-modelnya pada negeri ini; ya,
negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang pun aku akan
membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer.
Dan inilah saat perhitunganku. Aku tidak gentar seperti dulu itu aku
tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran. Sekarang tidak.”6
Keberpihakannya pada kemanusiaan yang melampaui batas-batas nasion itu
menggambarkan perjuangan Setadewa akan pentingnya penanaman nilai
manusia ke dalam segi nasionalisme.
2. Alur
Berdasarkan urutan waktu kejadian, peristiwa yang ditampilkan novel
ini menggunakan teknik pengembangan alur yang bersifat regresif atau
sorot-balik. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam novel ini memang benar
bersifat kronologis, karena cerita dimulai dari tahap perkenalan hingga
selesai. Namun, jika diperhatikan lebih teliti cerita dalam novel tersebut
tidak benar-benar dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan
awal cerita secara logis), melainkan dari tahap sang tokoh utama bercerita
tentang apa yang sudah selesai dialaminya.
Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar alur novel ini
digambarkan sebagai berikut:
E0
A
B
E1
C
D
E
E2
Keterangan:
E0 - E1 - E2
: Tahapan-tahapan peristiwa dalam waktu sekarang.
A - B - C - D - E : Tahapan-tahapan peristiwa yang disorot-balik.
6
Ibid., h. 300.
77
E0 berupa tahap awal penceritaan (dalam waktu sekarang, saat pencerita
yakni Setadewa ingin memulai cerita tentang pengalamannya) dibuka
dengan bertanya kepada pembaca mengenai anak kolong. Sementara A dan
B berupa pelukisan situasi latar dan perkenalan tokoh Setadewa dan Larasati
(dan keluarganya), sampai kepada konflik mulai dimunculkan. E1 (sengaja
dibuat demikian untuk menegaskan pertalian kronologisnya dengan E0 dan
E2) berupa kelanjutan dari E0 merupakan tahap tengah penceritaan, dimana
pencerita kembali ke waktu sekarang (saat Setadewa bercerita) dan
mengakui mengenai kesalahannya masuk NICA dan memihak Belanda
kepada pembaca. Lalu C, D, dan E berupa tahapan dimana konflik mulai
meningkat hingga menjadi klimaks sampai kepada tahap dimana
permasalahan tokoh utama mulai diberi penyelesaian (konflik-konflik yang
dialami Setadewa dan Larasati diberi jalan keluar). Kemudian E2 merupakan
tahap akhir penceritaan ialah lanjutan dari E1 (pada waktu sekarang, saat
Setadewa bercerita).
Tahapan di atas menunjukkan struktur alur yang terdapat dalam novel.
Untuk lebih memahami skema alur di atas, penulis akan menguraikannya
dalam bentuk rangkaian peristiwa sebagai berikut:
1) E0
Tahap Awal
Pada tahap awal ini atau disebut juga tahap awal sorot-balik
pencerita yang juga sekaligus menjadi tokoh utama dalam novel ini mulai
bercerita. Penceritaan dimulai dengan pertanyaan mengenai anak kolong,
dan ini sekaligus memberikan informasi kepada pembaca bahwa dia juga
yang termasuk anak kolong.
“Pernah dengar “anak kolong”? Nah, dulu aku inilah salah satu
modelnya. Asli totok Garnisun divisi II Magelang (ucapan:
MaKHelang). Bukan divisi TNI dong.”7
Dari kutipan tersebut apabila diamati lebih cermat pada kalimat “Nah,
dulu aku inilah salah satu modelnya” dari situ dapat diketahui bahwa
7
Ibid., h. 3.
78
sang tokoh utama sedang bercerita apa yang dahulu dia alami dan itu
jelas sudah benar-benar terjadi di masa lampau. Selanjutnya pada kalimat
“Bukan divisi TNI dong” menegaskan bahwa sang tokoh utama sedang
bercerita mengenai kehidupannya yang telah lalu atau masa penjajahan
Belanda masih berkuasa (seperti yang tertulis pada novel Bagian I terjadi
dari tahun 1934 sampai 1944). Hal itu terlihat pada penggunaan nama
TNI yang disebutkan oleh tokoh utama dalam penggambaran dirinya
yang masuk divisi KNIL bukan divisi TNI. Menurut sejarahnya, TNI
pada awalnya merupakan organisasi yang bernama Badan Keamanan
Rakyat (BKR). Kemudian pada 5 Oktober 1945 berubah nama menjadi
Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah kembali menjadi Tentara
Republik Indonesia (TRI) pada tanggal 26 Januari 1946. Barulah pada
tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara
Nasional Indonesia (TNI) secara resmi.
Dengan demikian, karena tokoh utama menggunakan nama TNI
bukan BKR atau TKR (bahkan TKR sendiri diresmikan pada tahun 1945)
jelaslah dalam hal ini pencerita benar-benar sedang bercerita dari tahun
setelah nama TNI diresmikan, karena pasalnya TNI sendiri baru disahkan
pada pertengahan tahun 1947 atau setelah Indonesia merdeka. Berarti
tokoh utama dalam ini bercerita setelah pertengahan tahun tersebut. Hal
itu juga diperkuat dari dialog antara tokoh Setadewa dengan Mayoor
Verbruggen
ketika
berbicara
mengenai
ayah
Setadewa,
yakni
Brajabasuki. Dialog ini berlangsung setelah Indonesia baru merdeka
(seperti yang ditulis pada novel Bagian II yang terjadi dari tahun 1945
sampai 1950).
“Dan fakta menunjukkan, bahwa sebagian para tahanan Kenpetai,
dan sangat mungkin sekali ayahmu juga, di bulan Mei tahun ini
dipindahkan ke Sukamiskin di Bandung sana. Dan yang terpenting,
sangat mungkin sekali, ayahmu juga telah bergabung dengan
gerombolan yang menamakan diri Tentara Keamanan Rakyat itu.
Sangat mungkin. Kami belum dapat kepastian.”8
8
Ibid., h. 83.
79
Dari penggunaan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada kutipan di
atas, bahwa dapat diperkirakan dialog tersebut terjadi pada tahun 1946
atau sebelum 1947, karena dalam hal ini pencerita tidak menggunakan
nama TNI melainkan nama TKR, sedangkan ketika pencerita baru mulai
bercerita (seperti pada bahasan di atas) pencerita menggunakan nama
TNI bukan TKR. Ini memperkuat posisi alur penceritaan bahwa pencerita
sedang melakukan flash back atau sedang bercerita dari waktu sekarang
(saat dia bercerita) ke zaman masa lampau (pengalaman yang sudah
dilaluinya).
2) A
Tahap Penyituasian
Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap penyituasian dalam
novel ini terdapat pada bagian awal novel, karena novel ini dibuka
dengan perkenalan tokoh utama, Setadewa. Awal penyituasian dibuka
ketika pencerita atau tokoh utama Setadewa bercerita mengenai latar
belakang dirinya dan keluarganya.
“Pernah dengar “anak kolong”? Nah, dulu aku inilah salah satu
modelnya. Asli totok Garnisun divisi II Magelang (ucapan:
MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang: totok.
Jadi KNIL jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku loitenant
keluaran Akademi Breda Holland. Jawa DAN Keraton! Semula
tergabung dalam Legiun Mangkunegaran. Tetapi Papi minta agar
dimasukkan ke dalam slagorde langsung di bawah Sri Baginda
Neerlandia saja; Ratu Wilhelmina kala itu. Tidak usah dibawahi
raja Jawa. Terus terang Papi tidak suka pada raja-raja Inlander,
walaupun konon salah seorang nenek canggah atau ganlung-siwur
berledudukan selir Keraton Mangkunegaran. Soalnya, Papi suka
hidup bebas model Eropa dan barangkali itulah sebabnya juga, ibu
kandungku seorang nyonya yang menurut babu-babu pengasuhku,
totok Belanda Vaderland sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak
percaya.”9
Melalui kutipan di atas Setadewa ingin memberitahu bahwa dia adalah
anak kolong (sebutan dalam bahasa sehari-hari untuk anak yang besar di
9
Ibid., h. 3.
80
tangsi tentara) dan juga merupakan keturunan keraton Jawa. Hal itu
terlihat dari kalimat “Jawa DAN Keraton!” Seolah-olah penulis ingin
menegaskan bahwa tokoh Setadewa merupakan keturunan asli Jawa yang
memiliki hubungan saudara dengan seorang raja Jawa. Namun, walaupun
keturunan raja Jawa, Setadewa lebih suka hidup dalam “kekolongannya”.
Itu terlihat dalam kutipan “Setiap kami pulang dari kol istana,
bertambalah keyakinanku, bahwa tidak ada dunia yang lebih firdaus
daripada dunia anak kolong tangsi Magelang”10. Hal itu banyak
dipengaruhi oleh sifat ayahnya yang tidak suka kehidupan keraton dan
lebih memilih menjadi seorang KNIL, sehingga inilah nantinya yang
banyak mempengaruhi pada jalan pikiran Setadewa.
Pada kutipan “...ibu kandungku seorang nyonya yang menurut
babu-babu pengasuhku, totok Belanda Vaderland sana. Tetapi sudah
pagi-pagi aku tidak percaya” di atas merupakan ketidakpercayaan
Setadewa atas ibunya yang totok Belanda. Namun, pada akhirnya
Setadewa menegetahui bahwa ibunya memang benar merupakan turunan
asli negeri kincir angin. Itu dia dengar sendiri melalui percakapan puteri
keraton ketika Setadewa tengah berada di Keraton.
“Tetapi tentang Mami yang putih mulus dan kelahiran asli Belanda
itu (memang Mami lahir di Ultrecht, Negeri Belanda) semua
memujinya. Betapa sangat paham beliau tentang primbon-primbon
Jawa dan segala jenis ilmu klenik! Bukti bukan, nyonya yang tidak
sombong? Dan begitu mengharukan beliau menghargai warisan
nenek moyang.”11
Walaupun maminya merupakan turunan Belanda asli, akan tetapi
kepercayaan mami terhadap mistis Jawa kuno sangatlah besar dan itulah
juga menjadi salah satu alasan mengapa Setadewa awalnya tidak percaya
bahwa maminya merupakan totok Belanda asli.
10
11
Ibid., h. 9.
Ibid., h. 8.
81
Tahap penyituasian selanjutnya, digambarkan ketika pencerita
menggambarkan mengenai tokoh Larasati yang merupakan tokoh utama
tambahan dalam novel ini.
“Wijen? Aduh cantiknya Den Rara Larasati! “Wijen?” dan Mbok
Naya menyeka memanja gadis cilik yang baru saja merebahkan diri
duduk di atas amben dan yang tersenyum manis merayunya. Mbok
naya tertawa geli. Wijen untuk apa Den Rara? Saya bukan Den
Rara. “Saya At-tik. Sudah.” Mbok Naya lebih ketawa lagi, dan
temannya, Mbok Ranu di sebelahnya juga ikut tertawa, sama-sama
terlonjak hati melihat noni Jawa dari Betawi itu begitu lucu, lesung
di pipi, berbahasa Jawa kurang sempurna untuk ukuran lingkungan
pangeran keraton, Surakarta lagi. Anak itu tidak dari Betawi. Dari
Bogor. Tetapi untuk kedua pembantu dapur sederhana itu, semua
kota besar ufuk Barat yang didiami priyayi, selalu bernama
Betawi.”12
Penceritaan tokoh Larasati bukan dibawakan oleh pencerita tokoh utama
Setadewa, melainkan melalui pencerita orang ketiga yang bertindak
sebagai narator. Sama halnya dengan Setadewa, Larasati pun merupakan
keturunan priyayi. Walaupun sebenarnya ibunya hanya anak angkat
pangeran Hendraningrat yang merupakan pangeran keraton Surakarta. Itu
diketahui dari percakapan yang dilakukan Mbok Naya dan Mbok Ranu.
“Banyak orang mengatakan Bu Antana sombong, padahal hanya
anak-angkat Pangeran kita. Aku kenal anak-emas itu dari kecil.
Memang ibunya, nenek Den Rara Larasati itu, perempuan
simpanan di suatu desa lereng Lawu, gunung yang angkuh itu”13
Sementara itu, ayahnya pun juga bukan keturunan dari keluarga ningrat,
hal itu diketahui langsung dari ibunya yang mengatakan kepada Larasati
“Ibunya menikah dengan seorang konsulen pertanian yang tidak
berdarah ningrat, tetapi seorang anak-emas pegawai tinggi departemen
entah apa. Ya cocok anak angkat dengan anak angkat. Ia tahu karena,
ibunya selalu berterus terang.”14 Kutipan tersebut tergambarkan ketika
Larasati sedang menggambarkan kebaikan, keramahan, dan juga kekauan
yang dimiliki pamannya, Pangeran Hendraningrat. Di samping itu,
12
Ibid., h. 12.
Ibid., h. 17.
14
Ibid., h. 25.
13
82
kutipan di atas berusaha juga ingin menjelaskan bahwa latar belakang
kedua orang tua Larasati merupakan “anak emas”, yang bermakna anak
pungut. Namun, dari sudut pandang mereka Larasati juga merupakan
“anak emas” dengan arti kata lain, yakni anak yang paling disayangi.
Tahap pertemuan Setadewa dan Larasati dalam novel diawali saat
keluarga Brajabasuki diundang hadir oleh pangeran Hendraningrat. “Atik
pernah diperkenalkan padanya sekian tahun yang lalu ketika mereka
datang diundang Paman Hendra juga. Atik malu-malu tentu saja, seperti
selayaknya puteri yang berpendidikan.” Kutipan tersebut digambarkan
melalui ingatan yang ditampilkan oleh Larasati ketika Setadewa saat itu
datang mengganggu burung-burung yang sedang asyik mencari makan
tepat di depan mata Larasati yang saat itu juga sedang asyik mengamati
burung-burung itu.
“Bibir mungil Atik cemberut dan matanya berkilat benci melihat
anak itu. Bukan anak kampung, tetapi putera Kapten Brajabasuki
(Oom Bas) yang berdinas di Magelang, menurut ibu Atik. “Itu anak
lelaki yang baik hati,” kata ibunya. Cerdas di sekolah, hampir
selalu nomor satu dan jujur.”15
Dalam kutipan di atas terlihat jelas kedekatan antara keluarga Larasati
dengan keluarga Setadewa. Itu terlihat pada saat ibunya menggambarkan
kepada Larasati mengenai perilaku Setadewa. Kemudian pertemuan
selanjutnya Setadewa dan Larasati bertemu di Jakarta, tepatnya di
Kramat setelah Setadewa selesai ujian penghabisan SMT di Semarang.
“Adik Teto dari Semarang? Betul, Mbak. Maaf, aku sedang ujian
dulu. Tidak sempat membalas. Oooh (matanya bersinar jenaka)
memang kami yang keliru. Tetapi profisiat, sudah lulus kan? Baru
saja selesai. Jadi belum tahu keputusannya. Ooooh (senyum cerah
membuatku bingung) pasti lulus deh. Raden Mas Sinyo pasti lulus,
dan ketawalah ia berderai. Aku terkejut setengah mati mendengar
sebutan Mas Sinyo: “Kok tahu...” Ah, Mas Sinyo ini sombong sih.
Berkali-kali berkunjung ke rumah kami, tetapi nggak mau kenal.
“Baru pertama kali aku...” Tidak di sini. Tetapi di Sala. “Ah,
maaf.” Tiba-tiba muncul dalam benak belakangku sebuah citra
roman muka gadis yang pernah kukenal, entah di mana. Jauh ...
15
Ibid., h. 27.
83
jauh ... dan agak kabur. “Aku Atik.... Larasati. Pasti tak kenal,
tanggung (dan tertawanya geli, seperti mengejek). Yang dikenal
cuma noni-noni yang cantik-cantik saja tentu kan! Aku malu sekali
dan merasa bersalah. Memang dulu sesudah tamat SD aku tak
pernah suka berkunjung lagi di kalangan ningrat yang serba kaku.
Dan sekarang .... “Saya kira bukan begitu Mbak.” Allaa... mari
masuk. Sudah lama tadi? “Lama sekali. Untung ada malaikat
datang.” Aduh, sekarang menyanjung.”16
Lewat pertemuan itu Setadewa dan Larasati menjadi benar-benar
saling kenal lebih jauh. Inilah yang menjadi pertemuan yang akan
melatarbelakangi cinta di antara keduanya.
3) B
Tahap Pemunculan Konflik
Peristiwa yang memunculkan konflik terjadi ketika Brajabasuki,
ayah Setadewa, tertangkap oleh Kenpetai Jepang.
“Mulai saat itu aku memasuki babak baru dalam hidupku. Dalam
diriku terasa panggilan untuk mengganti tempat Papi. Setelah
ditinggal suami yang dicintainya, Mami semakin mundur, kurus
dan mudah sakit. Dan semakin diam semakin diam. Mami lalu
mencari hiburannya dalam mistik dan alam gaib.”17
Ketika itu ayah dan ibu Setadewa masuk perangkap yang dibuat oleh
Kenpetai. Peristiwa itu diawali ketika Brajabasuki rindu dengan Marice
sehingga menulis suratlah ia agar bertemu dengannya, tanpa curiga
sedikit pun Marice pergi untuk menemui suaminya tersebut. Ketika
keduanya saling bertemu, ditangkaplah Brajabasuki oleh pasukan Jepang
dan sebagai syarat Brajabasuki meminta Kenpetai agar membebaskan
istrinya tersebut.
“...cinta terakhir Papi kepada Mami hanyalah kata-kata tegas
kepada Kenpetai agar membebaskan Mami yang tidak bersalah
sedikit pun. Dan Mami dibebaskan. Dibebaskan ...?”18
Namun Setadewa mengerti bahwa terdapat keganjilan dengan
kejadian dibebaskannya Mami “Dan Mami dibebaskan. Dibebaskan?”.
16
Ibid., h. 38-39.
Ibid., h. 40.
18
Ibid., h. 39.
17
84
Dengan penuh tanya kepada diri sendiri. Namun, pertanyaan itu segera
terjawab ketika maminya menjadi gundik Jepang. Hal itu karena
maminya mendapat ultimatum dari kepala Kenpetai agar mami memilih
untuk menjadi gundik Jepang atau suaminya mati. Akibat rasa sayang
yang dalam kepada suaminya itu, maka Marice lebih memilih menjadi
gundik.
“Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau
Jepang. Termasuk itu pengkhianat-pengkhianat Soekarno-Hatta.
Dan seluruh bangsa yang disebut Indonesia, yang membongkokbongkok pada Jepang dan berteriak-teriak di alun-alun oleh hasutan
Soekarno: “Inggris kita linggis! Amerika kita seterika! Dai Nippon,
banzai!” Sejak itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi:
menjadi KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan
rakyatnya yang bodoh, pengecut tetapi baik hati itu, segala orang di
kolong jembatan dan mental-mental serba kampungan dari hasutan
dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi
mendukung bandit-bandit yang membuat Mamiku menjadi
gundik.”19
Peristiwa itu pun juga membuat Setadewa membenci dengan semua yang
berhubungan
dengan
Jepang,
termasuk
bangsa
Indonesia
yang
dianggapnya selalu membongkok-bongkok kepada Jepang, mendukung
Jepang yang notabenenya adalah penjajah bangsa Indonesia. Terutama
yang telah “membuat mamiku menjadi gundik”.
Tahap inilah konflik awal mulai muncul dalam cerita, dan konflik
itu sendiri akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap
berikutnya. Dengan kata lain, penyebab awal inilah yang banyak
mempengaruhi jalan hidup, sikap, dan pemikiran Setadewa, terutama
terkait gagasan revolusi.
4) E1
Tahap Tengah
Pada tahap tengah ini merupakan lanjutan dari E0. Bagian tengah
ini merupakan bagian penegasan bahwa pencerita sedang bernostalgia
19
Ibid., h. 42.
85
dengan ceritanya atau sebagai penegas bahwa ini merupakan alur sorotbalik.
“Ya, betul! Aku dulu masuk NICA. Mau apa! Sekarang aku tahu,
itu keliru. Tetapi apa manusia tidak boleh keliru? Lagi, pada saat
itu, aku yakin bahwa apa yang dikehendaki kaum Nasionalis keliru.
Orang-orang Indonesia belum matang untuk merdeka. Aku tahu,
tidak pernah manusia matang untuk menangani hidupnya sendiri
pun. Tetapi suatu saat kita harus memilih pihak. Dan aku memilih
Belanda.”20
Pada bagian tengah ini juga ditunjukkan sebagai penegas kesadaran
dari kesalahan yang pernah dilakukan oleh pencerita. Dengan kata lain,
bagian tengah ini memiliki fungsi psikologis sebagai gambaran resolusi
tokoh utama, berupa kesadaran atas kekeliruan pilihan yang telah diambil
pencerita dahulu.
Sebagai penjelas perhatikan kalimat “Sekarang aku tahu, itu
keliru”. Juga pada kalimat “Lagi, pada saat itu, aku yakin bahwa apa
yang dikehendaki kaum Nasionalis keliru”. Kata “sekarang aku tahu”
dan “pada saat itu” itu membuktikan bahwa cerita sudah terjadi.
Sehingga motif pencerita menggambarkan bagian ini adalah sebagai
pengakuan atas kekeliruan yang telah dialaminya dulu.
5) C
Tahap Peningkatan Konflik
Pada tahap ini, konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya
(kemunculan konflik) semakin berkembang kadar intensitasnya. Dalam
tahap ini
intensitas
konflik
semakin meningkat,
permasalahan-
permasalahan yang dialami Setadewa yang diceritakan oleh sang
pencerita semakin menanjak. Tahap peningkatan konflik ini sangat
penting untuk pemahaman perkembangan tokoh Setadewa.
Peningkatan masalah itu muncul ketika Setadewa mengetahui
bahwa Larasati menjadi sekretaris Republik Indonesia. Saat itu pula
Setadewa menganggap Larasati sebagai musuh, karena berdiri pada phiak
20
Ibid., h. 57.
86
yang berlainan.
“Memang kita dari dunia yang berlainan, Atik. Ya, sudah!
Beginilah ... ya beginilah ... jadi Atik bekerja sebagai sekretaris
pada pemerintah pemberontak itu? Okay! Baiklah! Mulai sekarang
kita akan membuktikan, siapa yang benar. Dengan realita kejam!
Tidak dengan omong belaka. Kau juga, Tik, semoga kau dan ibumu
selalu terlindungi ... oleh Tuhan, kalau itu ada, Tik.”21
Mulai saat itulah Setadewa ingin membuktikan siapakah yang benar.
Pihak yang dibelanya ataukah pihak yang diperjuangkan oleh Larasati.
Konflik tersebut juga semakin terus meningkat ketika Setadewa bertemu
dengan Larasati di Kramat, yakni rumah keluarga Antana yang selama ini
didatangi terus oleh Setadewa sebagai tempat untuk mencari ketenangan
batinnya.
“Tiba-tiba ia tertegun kaget dan refleks mau lari. Kudekap dia.
“Aku Teto. Aku Teto. Atik!” Bagaimanapun aku salah. Sebab
pastilah Atik sangat terkejut melihat seragam NICA-ku. Wajahnya
seperti patung marmer. Pucat mukanya dan matanya meyinarkan
ketakutan. Kata pertama yang keluar ialah: “Teto! Teto!” Lalu
menangislah Atik. Pada saat itu aku bimbang untuk pertama kali.
Pada saat itu aku takut kehilangan seorang lagi. Pada saat itu aku
tidak ingin dilahirkan dan malu. Begitu kuasakah gadis untuk
menggoncangkan suatu keyakinan lelaki yang kuat?”22
Melalui pertemuan itulah konflik batin yang ada dalam diri Setadewa
semakin meningkat tajam. Kegoncangan jiwa teramat dalam dialami
Setadewa, hal itu berdampak pada pembawaan sikapnya yang semakin
emosional dan meledak-ledak. “Tetapi kebengisanku sebagai KNIL
menjadi-jadi. Rasanya semua yang ada hubungannya dengan Republik,
alias perampok yang merampas Atik, harus kubinasakan.”23
Sebagai bentuk reaksi atas pergolakan batinnya dan jiwanya yang
teramat benci dengan Republik itu, Setadewa dengan jiwa yang bergelora
ikut andil dalam penyerangan total yang dilakukan Belanda ke ibukota
Republik Indonesia, yang saat itu pindah ke Yogyakarta.
21
Ibid., h. 70-71.
Ibid., h. 90.
23
Ibid., h. 95.
22
87
“Saat yang kunanti-nanti telah terjadi: Yogya kami kuasai. Tetapi
alangkah kecewanya. Seharusnya aku bersorak Gloria Victoria!
Tetapi inikah yang disebut Victoria! Apakah begini juga hidup
perkawinan, yang kata orang lagi, hebat dinanti-nantikan; tetapi
sesudah terjadi, cekcok dan kelesuan? Lalu apa yng disebut
menang atau kalah? Tidak! Menang atau kalah ditentukan sendiri
oleh manusia, oleh aku sendiri, Setadewa! Ya, Kapitein Setadewa.
Tidak oleh orang lain, siapa pun. Juga tidak oleh Larasati! Hei
Seta! Rayakanlah hari kejayaanmu! Bukan kejayaan Belanda atau
KNIL, tetapi kejayaan Kapitein Setadewa, putera Kapitein
Brajabasuki dan Marice.”24
Siapa sangka setelah Setadewa merasakan semuanya dan memperoleh
kemenangan, namun yang dia rasakan hanya kekosongan belaka.
Kebimbangan yang teramat menusuk jiwa Setadewa, sehingga dia tidak
tahu apa yang sebenarnya dia cari dan perjuangkan selama ini. “Tetapi
jujurlah, keyakinanku ketika itu juga sudah goyah. Hanya aku tidak mau
mengakuinya. Soalnya, jiwaku tidak pernah tentram, karena sampai
sekarang belum pernah ada tanda-tanda jelas, di mana dan sedang
berbuat apa ayahku”.25 Namun, karena karakter yang tegas dan kuat
yang tertanam dalam diri Setadewa, ia sedikitnya mampu melawan
kegoncangan batin yang dirasakannya itu.
6) D
Tahap Klimaks
Titik intensitas puncak dalam novel ini diawali dipukul mundurnya
Belanda oleh bangsa Indonesia. Ketakutan selama ini yang dirasa benar
oleh Verbruggen ternyata benar, bangsa Indonesia merencanakan suatu
taktik “kontra-strategi” kepada Belanda. Dalam lingkup kekalahan itu,
membuat Setadewa merasa berada dalam posisi sulit.
“...tak bisa diingkari bahwa pihak Rood Wit Blauw sudah pudar.
Ternyata betul analisa Verbruggen dulu itu (Soekarno menghimpun
kekuatan di belakang, dan Si Kancil ini disuruh menghadapi dunia
Sekutu dengan senyumannya dan dengan program kemanusiaanya),
bahwa sejak itu Belanda sudah dilasso oleh Si Syahrir ini dengan
tali-tali made in USA yang semakin menjerat dan semakin
24
25
Ibid., h. 120.
Ibid., h. 121.
88
membuat Den Haag
kekurangan nafas.”26
dan
Batavia
tercekik
megap-megap
Dalam posisi yang serba tidak karuan itu, Setadewa sadar bahwa ia dan
pihak Belanda sudah benar-benar kalah. Namun kali ini pikirannya lebih
tenang, sudah bisa memikirkan keadaan dengan lebih jernih.
“Aku tak sudi lari. Tetapi akan kuterima kekalahanku. Aku
meludah. Sesudah tahun-tahun ini, aku sangsi apa di dunia ada
yang disebut sportif. Apa aku ikut Verbruggen saja? Atau
menggabung dengan tentara Republik itu? Jadi kuli dari bekas
kuli? Atau ke Negeri Belanda saja? Sebagai kapten kerajaan pasti
ada beasiswa veteran nanti untuk belajar masuk Leiden atau ke
manalah; Delft bagus juga. Jadi insinyur seperti cita-citaku dulu.”27
Pengakuan kekalahannya membawa kepada kepasrahan dalam dirinya.
Dari situlah, ia seperti mendapat ilham dari keindahan alam dan gununggunung yang seakan berdialog dengannya di dalam hati. “Jelas aku
diingatkan bahwa bagaimana pun aku anak negeri ini yang tak mungkin
ke luar dan tidak akan mereka keluarkan dari tanah ini.”28 Sikap
berpikir yang lebih tenang itu, seakan-akan membawa perkembangan
karakter yang dialami oleh Setadewa menjadi lebih dewasa dan dapat
berpikir matang.
Titik puncak klimaks yang dialami Setadewa terjadi ketika ia sudah
menemukan maminya, namun pertemuan itu malah membuat Setadewa
merasakan kekosongan jiwa yang teramat dalam dan seperti dihinggapi
“kematian”.
“Ya, Marice. Tidak usah banyak basa-basi. Ia kutemukan di Rumah
Penyakit Syaraf Kramat sana tadi. Seperti terkena granat Howitzer
10 inch aku hanya bisa bungkam dan membelalak. Ibuku di rumah
gila? Kramat Magelang adalah rumah gila. Ya Tuhan ... siapa yang
gila, mereka atau aku sekarang? Lemas aku duduk setengah
berbaring di atas ranjang itu. Mamiku malang. Verbruggen
menepuk-nepuk bahuku seperti seorang ayah.”29
26
Ibid., h. 141.
Ibid., h. 149.
28
Ibid., h. 147.
29
Ibid., h. 162.
27
89
Gangguan jiwa yang dialami maminyalah membuat Setadewa berada
dalam situasi yang benar-benar terpukul jatuh dan serba hilang segalagalanya. “Pandangan mata ibu nampak jauh. Seolah-olah ia sudah di
“sana”, tidak di “sini” lagi. Dengan kata lain, tidak ada gunanya kami
mencari Papi di “sini”.”30
Akibat situasi itulah membuat Setadewa kemudian memutuskan
“menghilang” ke luar negeri, yang setelahnya diketahui bahwa dia
melanjutkan pendidikan di Harvard, lalu menjadi ahli komputer.
“Seorang menejer produksi perusahan minyak yang besar seperti
Anda seharusnya tahu itu. Tetapi begitulah Seta, ahli komputer
sering sulit membaca bahasa dan dendang wanita.”31
Kutipan di atas merupakan bagian dari dialog antara Setadewa dengan
sahabatnya, yakni Duta Besar John Brindley. Setelah Setadewa
memutuskan untuk kembali lagi ke Indonesia dan memberitahukan
informasi yang sangat rahasia kepada temannya itu mengenai informasi
kekeliruan penyusunan model perhitungan komputer yang akan
memberikan efek politik dan keamanan di kawasan Asia.
Pada tahap klimaks ini sengaja dijelaskan pergerakan dari tahap
klimaks menuju kepada peleraian-peleraian masalah yang dihadapi oleh
sang tokoh, sehingga nanti menuju kepada tahap penyelesaian masalah.
Pergerakan sangat terasa ketika Setadewa dengan bijak dan lebih tenang
menceritakan saat maminya telah meninggal dunia, dan Larasati yang
sangat ia cintai telah menikah dengan seorang pria bernama Janakatamsi.
Tahap leraian itu ditutup ketika Setadewa menyaksikan Larasati sedang
mempertahankan tesisnya.
“Dan memanglah demikian, kudengar kemudian. Tetapi dalam
gelora ucapan selamat, aku sudah tidak ada di Aula, pergi dan
menangis dalam hati. Kesombongankulah dulu yang akhirnya
menghempaskan sarangku berantakan di tanah. Namun, namun ...
Atik boleh berpidato indah, tetapi manusia bukan manyar.”32
30
Ibid., h. 164.
Ibid., h. 206.
32
Ibid., h. 260.
31
90
Dari tesis yang dijabarkan panjang lebar oleh Larasati membuat
Setadewa semakin tersadar akan proses perjalanan yang dilakukannya
selama ini. Tesisnya seakan memberikan kritik tajam kepada Setadewa,
yang akhirnya lebih membuka matanya mengenai makna kehidupan yang
lebih luas.
7) E
Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik yang telah
mencapai klimaks diberi penyelesaian. Konflik-konflik yang lain, subsubkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan
keluar, sehingga tahap ini disebut sebagai akhir konflik sebuah cerita. Pada
novel ini tahap penyelesaian ditandai dengan pertemuan kembali antara
Setadewa dengan Larasati.
“Seluruh diriku lunglai. Apa yang harus kuperbuat? Aku sungguh
tidak siap. Tadi pagi memang siap, tetapi sekarang tidak. Baiklah,
bila sudah dipastikan begitu. Dan dengan sikap yang kubuat
setenang-tenangnya kubuka pintu.”33
Pertemuan terjadi di kediaman pak KRT Prajakusuma, yang merupakan
sahabat dari ayahnya Jana. Pertemuan itu yang menandai akhir segala
kisah perceritaan dan percintaan antara Setadewa dan Larasati.
Penyelesaian itu pun diperjelas keesokan harinya ketika Setadewa
menginap di rumah keluarga Antana. Ketika itu Bu Antana meminta
Setadewa untuk menjadi abang bagi Larasati, sekaligus bertanya kepada
Setadewa tentang bagaimana perasaan yang sebenarnya kepada Larasati.
Melalui peristiwa itulah membuat Setadewa merasa terbaring di meja
bedah, pasrah menghadapi kenyataan.
Satu-persatu permasalahan yang dibebankan kepada Setadewa
dapat diselesaikannya. Titik puncak tahap penyelesaian dapat dilihat
ketika Setadewa berusaha membongkar kasus korupsi yang dilakukan
oleh Pacific Oil Wells Company dimana tempat Setadewa bekerja.
33
Ibid., h. 266.
91
“Inilah saatnya, ya inilah saatnya, begitulah sejelas-jelasnya
terilham padaku. Tidak di dalam kamar netral, tetapi di sini, di
halaman istana bersejarah inilah aku akan membuat perhitungan
hidupku selama ini yang tanpa arti, bagi rahim yang pernah
mengandungku, demi susu-susu ibu yang pernah memberiku zatzat kehidupanku yang pertama, demi wajah-wajah dan tangantangan yang halus membelai dan memberi getaran-getaran pertama
emosiku, yang kelak disepuh lagi menjadi serat-serat karakter
kepribadianku, demi ayahku perwira pembangkang kelaliman,
keluargaku dan negeriku.”34
Pembongkaran kasus itu dilakukan dengan meminta bantuan kepada
Janakatamsi, karena sebagai ahli geologi utama kalangan eselon atas,
Janakatamsi pasti memiliki koneksi dengan para menteri negara
Indonesia. Alasan kenapa Setadewa sampai sejauh itu ingin membongkar
kasus yang dianggapnya sebagai kolonialisme itu adalah karena
Setadewa menganggap hal tersebut tergolong fasisme dan juga karena
bentuk kecintaan yang mendalan kepada maminya dalam bentuk lain
yakni ibu pertiwi.
“Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi pada
perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu,
merampok dan memaksakan rumus-rumus serta model-modelnya
pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain.
Sekarang pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak
oleh rumus-rumus komputer. Dan inilah saat perhitunganku. Aku
tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku
salah sasaran. Sekarang tidak!.”35
Melalui kutipan di atas dapat diketahui bahwa Setadewa memiliki
karakter kuat dalam memegang pendirian dan juga sebagai titik balik
kehidupan Setadewa. Akibat dari peristiwa itu Setadewa dan Janakatamsi
pun dipecat dari pekerjaannya. Pembongkaran itu bukan dalam
pengertian ingin membela negara atau tanah air, melainkan Setadewa
ingin membela kejujuran dan kemanusiaan. Namun, apa yang terjadi
setelah kasus itu terbongkar justru kedudukan mereka menjadi lebih kuat
lagi dan reputasi internasional mereka bahkan melonjak pesat.
34
35
Ibid., h. 297-298.
Ibid., h. 300.
92
Akhir dari penyelesaian ditandai ketika Setadewa dan Larasati
berbincang mengenai perasaan mereka berdua sampai kepada Setadewa
menyampaikan
pesan
dari
ayahnya
Janakatamsi
agar
anaknya
menunaikan ibadah haji. Ketika suami-istri itu telah berangkat untuk
beribadah, “berangkat” jugalah mereka menuju ke sisi Tuhan atas
kecelakan pesawat yang ditungganginya. Atas kejadian itu, akhirnya
membuat Setadewa memutuskan untuk mengangkat anak-anak Larasati
menjadi anak-anaknya.
“...ketiga anak Atik kuangkat jadi anakku. Hadiah yang terindah
dari Atik dan suaminya ingin kujaga dan kuantar ke hari-depan
mereka yang sesuai dengan jati-diri dan bahasa citra yang sebening
mungkin.”36
8) E2
Tahap Akhir
Tahap akhir ini merupakan lanjutan dari E1 (dimana pencerita
mengakhiri ceritanya) dan juga lanjutan dari tahap penyelesaian. Bagian
akhir ini juga sebagai penutup peristiwa yang telah diceritakan oleh sang
pencerita.
“Tak banyak lagi yang perlu kuceritakan. Ada saatnya cerita
manusia harus disinambungkan ke dalam perjalanan riwayat yang
serba diam ... dalam keheningan yang sebenarnya bahkan serba
kebak kepenuhan.”37
Pada kalimat “Tak banyak lagi yang perlu kuceritakan” menegaskan
bahwa cerita yang diceritakan telah usai atau pencerita telah selesai
dalam bercerita. Tahap akhir ini juga dimaksudkan sebagai jawaban atas
penyelesaian atas peristiwa yang terjadi, sehingga dapat sebuah simpulan
muncul atas jalan cerita kehidupan Setadewa.
3. Tokoh dan Penokohan
Pengelompokan tiga bagian kejadian dalam novel ini mengingatkan
kita akan sebuah cerita pewayangan. Memang benar, terdapat hubungan
36
37
Ibid., h. 319.
Ibid., h. 318-319.
93
yang erat antara alur novel ini dengan struktur alur pewayangan. Menurut
pengakuan pengarang sendiri, bahwa novel ini pada hakikatnya merupakan
cerita pewayangan dalam bentuk novel modern.38 Bahkan orientasi terhadap
pewayangan sejak awal telah ditunjukkan oleh pengarang. Sebelum
memasuki bagian pertama, pembaca dapat menentukan cuplikan kisah
pewayangan yang merefleksikan tema dan perwatakan yang digunakan
dalam novel ini. Prawayang dituliskan pengarang merupakan sebuah
ringkasan dari salah satu episode epos panjang Mahabarata. Melalui
pertalian prawayang dan jalannya cerita novel, penulis menarik suatu
dugaan bahwa terdapat suatu konsep hubungan antara prawayang dengan
cerita dalam novel ini.
Pasti bukan tanpa sebab pengarang mengkisahkan ikhwal prawayang
sebelum cerita novel dimulai. Dari situ, penulis meyakini bahwa pengarang
dengan penuh kesadaran membuka cerita novel diawali dengan prawayang
untuk memberikan suatu tanda, bahwa cerita novel ini memiliki suatu
pertalian dari cerita Mahabarata. Romo Mangun banyak mempergunakan
logika, konversi, atau kode budaya pewayangan terhadap tokoh-tokohnya.
Dengan demikian, kisah Mahabarata menjadi semacam kerangka dasar dan
global bagi kisah yang dipaparkan dalam novel Burung-burung Manyar.
Memang menurut pengakuan Romo Mangun sendiri, ia ingin setia kepada
prinsip Jawa. Maka dari itu, nama-nama yang dipergunakan diambil dari
kisah pewayangan Jawa keluarga Barata. Bahkan nama tokoh dalam novel
ini bukan hanya sekadar tanda pengenal, tetapi mengandung makna dan
berdampak pada sifat yang ditampilkan oleh para tokohnya.
Prawayang juga dimaksudkan sebagai strategi pengarang dalam
penceritaan (narasi) dalam Burung-burung Manyar yang ditujukan sebagai
pemetaan karakter tokoh berdasarkan oposisi biner di dalam prawayang.
Kerangka biner didasarkan pada cerita pewayangan Pandawa-Kurawa dalam
epos Mahabarata.
Anonim, “Y.B. Mangunwijaya Bicara tentang „Burung-burung Manyar‟nya”, Kompas,
Jakarta, 22 Juli, 1981, h. 1.
38
94
1) Tokoh Utama
Cerita novel ini dipusatkan pada dua orang tokoh, Setadewa dan
Larasati. Setadewa merupakan tokoh utama yang utama, sedangkan
Larasati termasuk tokoh utama yang tambahan. Setadewa dikatakan
tokoh utama yang utama karena pusat penceritaan berfokus pada
kehidupannya, dan juga mempunyai pertalian dengan para tokoh lain. Di
samping itu juga, ia sangat menentukan perkembangan plot secara
keseluruhan. Sementara Larasati merupakan imbangan peran yang
dimainkan oleh tokoh Setadewa.
Tokoh
Setadewa
dan
Larasati
menempati
posisi
yang
berseberangan dalam hal ideologi, tetapi sehati dalam urusan percintaan.
Keduanya dibesarkan akrab dengan lingkungan priyayi, namun
kehidupan mereka tidak terpengaruh oleh budaya tersebut. Sebaliknya,
mereka melepaskan diri dari gaya hidup priyayi. Keduanya juga
merepresentasikan sosok manusia Jawa yang mengalami pergeseran
budaya akibat pengaruh pendidikan Barat. Setadewa menerima pengaruh
budaya Barat dengan mempertahankan eksistensi pemikiran rasionalnya
atas nama kemanusiaan dengan memakai sarana Belanda. Sebaliknya,
Larasati merealisasikan nilai-nilai budaya Barat dengan ikut bergerak
sebagai upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari segala
bentuk penjajahan. Perbedaan pilihan keduanya terdapat pada kata
memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan manusia. Larasati memilih
berjuang dengan bangsa Indonesia untuk menghembuskan nafas
kemerdekaan. Sementara Setadewa memilih jalur perjuangan melalui
jalur Belanda demi mencapai “kemerdekaan” yang hakiki.
a) Setadewa
Jika dihubungkan dengan prawayang novel ini, Setadewa
dilambangkan sebagai ketiga anak dari Basudewa yang dititipkan
kepada pondok Antapoga, yakni Kakrasana, Narayana, dan Rara
95
Ireng. Sifat dan karakter tokoh Setadewa mewakili ketiga tokoh
wayang itu. Hal tersebut dapat dilihat sepanjang perjalanan cerita
novel. Kakrasana atau ketika menjadi raja bernama Baladewa ialah
wahana wahyu dewa Basuki, dan merupakan makhluk seta, yang
berarti serba putih darah, daging serta segala-galanya sampai ke tulang
maupun sarafnya.39 Dalam cerita pewayangan Mahabarata, justru
Kakrasana yang bergelar raja Baladewa, memihak Kurawa. Posisi
sama ditunjukkan Setadewa dalam mewakili sifat Kakrasana ketika
memilih NICA sebagai alat memperjuangkan kemerdekaan demi
kemanusiawian.
“Dan aku memilih Belanda. Karena aku yakin ketika itu, bahwa
tidak sebandinglah korban akibat ketidak-dewasaan dengan
keuntungan yang akan dicapai.”40
Setadewa memilih Belanda bukan semata-mata hanya dilandaskan
dendam atas maminya yang dijadikan gundik dan ayahnya yang
ditawan oleh tentara Jepang. Akan tetapi lebih kepada dalih
kemanusiawian terhadap seluruh bangsa Indonesia. Kakrasana sendiri
memilih Kurawa demi kesetiaannya kepada keluarganya dan berharap
agar kerajaan Ngastina tidak pecah. Dari situlah, terdapat kesamaan
tujuan antara Setadewa dan Kakrasana. Selain itu, watak yang
ditunjukkan Setadewa juga memiliki kesamaan dengan tokoh wayang
tersebut. Kakrasana memiliki watak yang sangat keras kepala, mudah
naik darah tapi pemaaf, dan arif bijaksana.41 Penggambaran watak
tersebut terlihat dalam diri Setadewa ketika dirinya menjadi prajurit
Kerajaan Belanda.
“Berhari-hari kau marah terhadap bawahan dan cekcok dengan
rekan sesenjata. Hanya karena gadismu di pihak sana bukan?
Tidak! Saya marah-marah karena mereka pengecut.”42
39
Sunardi D.M., Barata Yudha, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), cet. 8, h. 41.
Mangunwijaya, op. cit., h. 57.
41
Sunardi, loc. cit.
42
Mangunwijaya, op. cit., h. 85.
40
96
Sedangkan, Narayana atau bernama Kresna setelah menjadi raja
merupakan wahana wahyu dewa Wishnu, hitam legam tulang, daging,
darah, saraf, dan segala-galanya. Narayana selaku raja Kresna menjadi
ahli siasat perang utama para Pandawa.43 Seperti Narayana yang
memiliki watak lemah lembut, negarawan, dan diplomatis, sifat ini
juga terlihat dalam Setadewa. Sifat “Narayana” pada Setadewa
muncul ketika dirinya lebih dewasa dalam memandang kehidupan,
dan memutuskan untuk membela tanah air dari rumusan-rumusan
korupsi yang bermental fasis.
“Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi pada
perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu,
merampok dan memaksakan rumus-rumus serta modelmodelnya pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam
bentuk lain. Sekarang pun aku akan membalas dendam, bila
negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer. Dan inilah saat
perhitunganku. Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak
gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran. Sekarang tidak!.”44
Pada hakikatnya, sebagai seorang Indo, Setadewa merasa
ambivalen baik terhadap leluhur Belandanya maupun terhadap
keturunan priyayinya. Keputusannya untuk masuk tentara Belanda
lebih bermotivasikan kebencian terhadap kaum Jepang daripada
kepercayaan pada pihak Belanda.
Sementara karakter Rara Ireng terlihat pada sifat lembut dan
peka Setadewa, khususnya dalam hal afeksi percintaannya.
“Ketika itu aku ingin mempertahankan yang masih dapat
kupertahankan. Dan aku hanya bisa berbuat sesuatu yang aku
tahu, menjijikan perempuan: menangis. Wanita tidak suka
melihat lelaki menangis. Menangis adalah hak kaum wanita.
Lelaki harus memaki-maki, mengumpat-umpat bila ia sedih.
Atau diam ningrat. Atau meledakkan dunia ini dengan bom
atom. Tetapi tidak menangis. Dan justru itulah yang kulakukan.
Sungguh kesalahan besar.”45
43
Sunardi, op. cit., h, 43.
Mangunwijaya, op. cit., h. 300.
45
Ibid, h. 92.
44
97
Setadewa digambarkan sejak awal dengan kejantanannya, karena
hidup bermodalkan keprajuritan militer dan berlaraskan senjata di
tangan. Namun, pada sisi-sisi lain dalam dirinya terdapat sisi feminin,
seperti yang terlihat pada kutipan di atas. Sifat Rara Ireng atau juga
bernama Sumbadra, makin terasa ketika Setadewa mengaku kalah
dengan Janakatamsi dalam hal perebutan cinta dengan Larasati.
“Suamimu ahli geologi, tetapi berjiwa Palang Merah. Palang
Merahlah yang lebih panglima daripada senjata api. Sebab apa?
Karena Palang Merah memberi hidup, sedangkan senjata
merenggut dan memperkosa hidup. Ia lebih jantan dariku, Tik.
Kejantanan manusia bukan kejantanan rimba ini. Tik, kalau kau
cinta padaku, cintailah suamimu.”46
Bila dikaitkan dengan cerita wayang, pada akhirnya Rara Ireng
menikah dengan Arjuna, sehingga dapat dikatakan dominasi Rara
Ireng dapat ditaklukan oleh kejantanan Arjuna. Maka itulah sebab
mengapa Setadewa menyatakan dirinya “kalah” dari Janakatamsi.
Melalui
tokoh
Setadewa,
sebenarnya
pengarang
ingin
menggambarkan manusia tidak selalu baik dan buruk saja. Melainkan
sebagai manusia pastilah memiliki sifat Pandawa atau Kurawa dalam
dirinya. “Ya sudah, aku tahu. Memang setiap orang punya segi
Pendawa maupun Kurawanya.”47 Penyatuan sifat KakrasanaNarayana yang dimiliki Setadewa menjadikannya seorang yang
ambivalen. Sebagai seorang Indo, Setadewa merasa ambivalen
terhadap keturunan Belandanya maupun keturunan priyayi Jawanya.
Namun perlu digarisbawahi adalah keputusan Setadewa dalam
memihak Belanda lebih bermotivasikan kebencian terhadap kaum
Jepang dan Republik daripada kepercayaan pada pihak Belanda.
“Maaf, Anda keliru alamat menamakan aku budak Belanda.
Bagiku NICA hanya sarana seperti Republik bagi mereka sarana
juga.”48
46
Ibid, h. 312.
Ibid, h. 15.
48
Ibid., h. 57-58.
47
98
Keputusannya untuk menjadi tentara Belanda lebih bermotivasikan
kebencian terhadap kaum Jepang daripada kepercayaan pada pihak
Belanda itu sendiri.
Jika dianalisis melalui nama Setadewa sebenarnya, nama
Setadewa berhipogram pada nama Baladewa, yaitu dengan mengambil
kata "Dewa". Baladewa dikenal sebagai makhluk seta, yang artinya
'putih' karena berkulit putih, berwatak jujur, dan luput dari kesalahan.
Nama Setadewa berasal dari gabungan "Seta" dan "Dewa" yang
keduanya milik tokoh Baladewa. Kata "Dewa" adalah sebagian nama
tokoh itu dan "Seta" adalah salah satu ciri karakternya. Perwatakan
Setadewa juga banyak ditransformasikan dari karakter Baladewa, baik
yang menyangkut unsur fisik, tingkah laku, dan mental. Namun,
sebagai tokoh manusia biasa Setadewa mengalami perkembangan
karakter karena setelah setengah tua berkepribadian matang berubah
menjadi berpembawaan tenang, pintar mengendalikan perasaan, dan
menenangkan emosi orang lain. Karena jati dirinya lebih banyak
terungkap, Setadewa lebih berkarakter bulat, sedang Baladewa yang
telah memiliki pola karakter pasti berkarakter sederhana.49
“Mas Seta bagaikan Karna. Walaupun berperang di pihak
Kurawa, tetapi saudara seibu dengan Pendawa. Dan Karna
ksatria yang besar. Sampai Arjuna pun gentar menghadapinya.
Hanya karena perintah tanpa ampun dari Raja Sri Kresnalah,
artinya dari Nasib, Arjuna terpaksa melawan Karna. Terima
kasih, Dik. Tetapi nasib Karna tragis.”50
Sikap Setadewa yang berpendirian walau bekerja pada
perusahaan asing, tetapi tetap mencintai Indonesia, selain berhipogram
kepada Baladewa juga kepada Karna, dan Prabu Salya yang
ditransformasikan secara kontekstual. Kecintaan Baladewa yang
mengasuh Parikesit pasca Perang Baratayuda ditransformasikan ke
Burhan Nurgiyantoro, “Wayang dalam Fiksi Indonesia”, Jurnal Humaniora, Vol. XV,
No. 1/2003, h. 10.
50
Mangunwijaya, op. cit., h 281.
49
99
dalam tekad dan kecintaan Setadewa untuk mengasuh ketiga anak
Larasati yang telah menjadi yatim piatu.
Biner Pandawa-Kurawa itu merupakan analogi untuk perang
pada umumnya. Biner yang terjadi pada Setadewa adalah biner KNILRepublik. Kedua pihak saling bergantungan artinya. Tetapi masingmasing pihak mampu memusnahkan pihak yang lain. Berkenaan
dengan Setadewa, biner ini dijadikan alegori untuk biner SetadewaLarasati, dan kemungkinan kemusnahan direalisasi, sedikit-dikitnya
secara simbolis. “Pasukanku menang. Kapitein Seta jaya. Tetapi
kehilangan Larasati. Barangkali ... barangkali toh aku salah pilih.”51
b) Larasati
Dalam prawayang Larasati digambarkan sebagai Rarasati, yakni
anak dari Antapoga dan Nyai Sugopi. Nama Larasati sendiri
berhipogram kepada nama Rarasati atau Larasati putri buyut
Antagopa. Dalam cerita pewayangan Rarasati memiliki sifat teguh
hati (memiliki pendirian yang kuat), lemah lembut (memiliki
kelembutan pada dirinya), mempesona ketika berbicara. Mampu untuk
meredakan emosi kemarahan, berkepribadian yang menarik hati, setia,
patuh, dan berbakti.52 Hal yang sama juga dimiliki oleh sifat Larasati
dalam
novel.
Seperti
apa
yang
dikatakan
Setadewa
dalam
menggambarkan Larasati.
“Dalam saat-saat seperti itu aku benar-benar kalah. Dengan
segala logika dan kehaibatanku. Gadis satu ini bukan jenis ratu
kecantikan, tetapi dalam saat-saat tertentu sungguh mempesona.
Tetapi terus terang saja, aku takut jatuh cinta padanya. Sebab
naluriku berkata, aku akan kalah. Dan justru itu aku tidak
mau.”53
Penggambaran tokoh Larasati sebagai epitom dari istri Jawa yang
lembut dan ideal. Larasati sendiri sebenarnya bukan merupakan
51
Ibid., h. 127.
Sunardi, op. cit., h. 47.
53
Mangunwijaya, op. cit., h. 68.
52
100
produk kraton yang tradisional konservatif, sebab ibunya juga bukan
merupakan produk feodalisme Jawa, melainkan hanya anak angkat
yang ada dalam lingkungan kraton.
“Larasati, kau yang raden-ayu dari puri Surakarta, dengan nafas
keluarga raja Jawa yang paling modern dan paling setia kepada
Ratu Belanda, mengapa Atik begitu naif berbicara tentang
macam-macam impian bangsa yang hanya impian saja? Dan
jiwaku semakin benci kepada orang tampan perlente si Soekarno
yang, masygul kuakui, mempunyai dayapikat luar biasa untuk
semua wanita. Termasuk Atik.”54
Dalam dunia wayang Jawa (Larasati) digambarkan selaku wanita yang
praktis, cerdas, yang tidak banyak menghabiskan waktu untuk
cemburu dan tetek bengek “tradisional”. Hal tersebut juga mewakili
Larasati yang digambarkan dalam novel dengan segala detilnya oleh
pengarang.
Selain itu juga dalam hal perwatakan sebenarnya Larasati juga
berhipogram kepada Srikandi dan juga Keleting Kuning (dalam cerita
Panji). Seperti yang sudah disebutkan oleh pengarang secara eksplisit.
“Atik bukan gadis desa yang serba nerima dan sumarah belaka.
Atik adalah wanita tipe Keleting Kuning. Ngunggah-unggahi ia
tidak gentar, dan itu hak setiap wanita. Dari pihak lain, si Teto
juga bukan Ande-Ande Lumut.”55
Keleting Kuning merupakan tokoh dalam cerita Ande-ande Lumut
yang memiliki sifat tidak mau nrimo atau sumarah begitu saja kepada
keadaan. Sangat identik dengan sifat Larasati yang digambarkan
dalam novel.
“Atik tidak pernah merasa diri punya watak Srikandi. Tetapi
dapat dibayangkan betapa malunya Resi Bisma ketika harus
berhadapan dengan lawan perempuan Srikandi. Tetapi Atik
tidak pernah punya niat untuk melukai Bisma sedikit pun.
Ataukah ada kekuatan Ambika yang melayang di udara dan yang
mengalahkan Bisma sehingga Teto terpaksa lari? Lari karena
takut? Tidak. Pasti tidak.”56
54
Ibid., h. 67.
Ibid., h. 276.
56
Ibid., h. 176.
55
101
Srikandi dalam cerita Mahabarata diceritakan bahwa ia lahir sebagai
seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai
seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam
versi pewayangan Jawa terdapat kisah yang hampir sama, namun
dalam pewayangan Jawa dikisahkan bahwa ia menikahi Arjuna.57
Bagaimanapun juga, kepribadian Larasati dalam novel lebih
menyerupai istri Arjuna yang lain, yakni Srikandi. Larasati bukan
seorang wanita bersifat anggun seperti yang dilambangkan oleh
Larasati seorang yang dikisahkan dalam pewayangan, tetapi justru
memiliki sifat seperti Srikandi dan bahkan Keleting Kuning.
2) Tokoh Tambahan
Selain kedua tokoh utama di atas, terdapat tokoh-tokoh tambahan
yang mendukung keutuhan cerita dalam novel ini. Tokoh-tokoh
tambahan itu memainkan peranan dalam rangka menghidupkan cerita.
a) Brajabasuki dan Marice
Brajabasuki merupakan papi dari Setadewa. Dalam prawayang
Brajabasuki diibaratkan dengan Raja Basudewa. Perlambangan itu
terlihat dari sifat yang dimiliki Brajabasuki yang mencerminkan sifat
Basudewa. Seperti halnya Basudewa dalam epos Mahabarata yang
menitipkan ketiga anaknya pada keluarga Antapoga, hal itu juga
dilakukan oleh Brajabasuki yang menitipkan keluarganya kepada
keluarga Antana.
“Dan Pagi-pagi benar Mami diantar ke puri Hendraningrat.
Tetapi dengan dalih cari kerja Papi lalu menghilang. Ia ingin
membebaskan keluarga Hendraningrat dari segala resiko.”58
Basudewa memiliki sifat yang sangat sayang kepada keluarganya, hal
itu dapat kita lihat ketika dia menitipkan anaknya atas hal keselamatan
57
58
Nurgiyantoro, op. cit., h. 11.
Mangunwijaya, op. cit., h. 36.
102
dari pembunuhan yang ingin dilakukan Kangsa. Hal yang sama juga
diperlihatkan dari sifat Brajabasuki ketika terancam oleh pihak
Jepang. Brajabasuki mengantarkan istrinya untuk berlindung di puri
Hendraningrat dan ingin membebaskan seluruh keluarganya dari
segala resiko yang telah dilakukannya (ikut berjuang di bawah tanah
melawan Jepang dan hal itu diketahui oleh pihak Jepang). Setelahnya
diketahui Setadewa hidup dalam lingkungan keluarga Antana.
Basudewa dikenal sangat pandai olah keprajuritan. Hal sama
juga dimiliki oleh Brajabasuki, ia menjadi loitenant eerste klas, yakni
letnan slagorde KNIL yang dipimpin langsung oleh Ratu Belanda.
Brajabasuki semula tergabung dalam Legiun Mangkunegaran, karena
ia merupakan seorang priyayi, keturunan keraton Mangkunegaran.
Ketidaksukaannya pada kehidupan priyayi termasuk raja-raja Jawa
memaksanya bergabung dengan pasukan KNIL. Maka tidak heran
Brajabasuki memiliki sifat yang lebih condong kepada kehidupan
kaum Eropa, dan memperistri seorang keturunan Belanda.
“Papiku loitenant keluaran Akademi Breda Holland. Jawa DAN
Keraton! Semula tergabung dalam Legiun Mangkunegaran.
Tetapi Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde langsung
di bawah Sri Baginda Neerlandia saja; Ratu Wilhelmina kala itu.
Tidak usah dibawahi raja Jawa. Terus terang Papi tidak suka
pada raja-raja Inlander, walaupun konon salah seorang nenek
canggah atau ganlung-siwur berledudukan selir Keraton
Mangkunegaran. Soalnya, Papi suka hidup bebas model Eropa
dan barangkali itulah sebabnya juga, ibu kandungku seorang
nyonya yang menurut babu-babu pengasuhku, totok Belanda
Vaderland sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak percaya. Itu
akibat kesalahan kawan-kawan sepermainan di garnisun, ...”59
Sedangkan istri dari Brajabasuki, dan mami dari Setadewa
bernama Marice. Merupakan orang asli keturunan Belanda, yang pada
awalnya tidak dipercayai oleh Setadewa. Seperti yang terlihat pada
kutipan di atas. Kehidupan berkebalikan dari Brajabasuki justru
59
Ibid., h. 3.
103
ditampilkan oleh Marice istrinya sendiri, orang keturunan asli Belanda
yang justru senang dengan budaya ketimuran.
“Aku merasa agak ngeri di dalam “dalem” puri itu. Gelap dan
berbau kemenyan. Seperti kamar mati. Tetapi Mamiku tampak
kerasan di dunia situ. Kulihat sering ia mengatupkan mata, dan
diam merenung seperti melawat sebentar ke dunia “sana”.60
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Marice yang mewakili bangsa
barat menempatkan pilihan ketimuran sebagai kerangka ideologinya,
berkebalikan dengan suaminya. Bukti lain juga dikemukakan
Setadewa terkait maminya yang memposisikan diri sebagai hasil
peniruan budaya timur.
“Dan kulit Mamiku putih langsep mulus; nah itu justru bukti
Mami bukan totok. Sebab orang Belanda berkulit merah
blentong-blentong seperti genjik anak babi. Memang Mami jelas
tak punya sistem pendidikan yang berdisiplin. Nah, itu bukti
kedua, Mami bukan totok. Bukti ketiga: Mami suka pada segala
hal pedukunan dan takhayul atau mistik. Bukti keempat, dan ini
yang paling meyakinkan: Mami sangat cantik. Biasanya nyonya
totok tidak cantik. Barangkali cantik juga, tetapi untuk ukuran
sana, negeri kincir-angin dari kayu. Untuk ukuran negeri pohon
kelapa, di mana lalat-wilis pun biru-hijau keemas-emasan
pantatnya, maaf tidak.”61
Tidak mempunyai sistem pendidikan berdisiplin dan suka pada segala
hal pedukunan dan takhayul atau mistik yang digambarkan Setadewa
mengenai maminya jelas menginformasikan bahwa kehidupan Marice
lebih condong terhadap budaya timur. Terlebih pemahamannya yang
sangat mendalam mengenai mitologi Jawa membawanya dalam posisi
budaya Timur yang nyata.
“Betapa sangat paham beliau tentang primbon-primbon Jawa
dan segala jenis ilmu klenik! Bukti bukan, nyonya yang tidak
sombong? Dan begitu mengharukan beliau menghargai warisan
nenek moyang.”62
60
Ibid., h. 7.
Ibid., h. 4-5.
62
Ibid., h. 8.
61
104
Perbedaan kerangka ideologi antara Brajabasuki dan Marice
sedikit-banyaknya mempengaruhi Setadewa dari segi penokohan.
Sementara pengalaman pendidikan Barat yang diadopsi Brajabasuki
mempengaruhi sikapnya terhadap anti feodalisme. Sikap anti
feodalisme itulah yang kemudian diwarisi oleh Setadewa.
“Aneh sebetulnya, Mami yang Indo putih sangat cocok dan
senang berkunjung ke istana. Sedangkan Papi yang sawo matang
dan raden mas ningrat tampak lebih senang di luar tembok
istana. Tetapi itu barangkali karena Mami merasa setengah ratu
di Mangkunegaran.”63
b) Pak Antana dan Marsiwi
Bapak Antana dan Ibu Antana adalah seorang suami istri yang
merupakan orang tua dari Larasati. Seperti yang dikisahkan dalam
Prawayang dalam novel ini Bapak Antana diibaratkan dengan
Antapoga atau Antagopa, seorang gembala ternak istana, dan memiliki
istri, Nyai Sugopi, yang diibaratkan sebagai Ibu Antana. Dalam kisah
pewayang Jawa Antapoga dikenal karena mendapat tugas dari Prabu
Basudewa untuk mengasuh dan mendidik, sekaligus menyembunyikan
tiga orang anaknya. Ketiga anaknya itu adalah Kakrasana, Narayana,
dan Rara Ireng, yang dalam novel diibaratkan sebagai Setadewa.
Nama Antagopa memiliki arti penjaga perbatasan atau gembala.
Kata „anta‟ artinya batas, sedangkan kata „gopa‟ artinya penjaga.
Sementara itu „gopa‟ juga bisa berarti lain, karena kata „go‟ artinya
sapi dan kata „pa‟ artinya penjaga.64 Maka tidak heran jika Pak Antana
senang terhadap alam bebas dan juga terhadap binatang-binatang.
“Ibunya menikah dengan seorang konsulen pertanian yang tidak
berdarah ningrat, tetapi seorang anak-emas pegawai tinggi
departemen entah apa. Ya, cocok, anak angkat dengan anak
angkat. Ia tahu itu, karena ibunya selalu berterus terang.
63
Ibid., h. 7-8.
Veven Sp Wardhana, “Perihal Bahasa dan Simbol dalam Roman “Burung-burung
Manyar” Karya Y.B. Mangunwijaya”, Basis, Yogyakarta, September, 1984, h. 346.
64
105
Ayahnya, Meneer Antana seorang pegawai Dinas Kebun Raya
Bogor dan juga ikut diserahi cagar-alam Ujung Kulon.”65
Tidaklah heran jika ia bekerja kepada dinas kebun raya di Bogor,
bahkan di Ujung Kulon. Kegemaran Pak Antana terhadap alam bebas
dan para binatang berpengaruh besar terhadap penokohan Larasati.
“Berkali-kali, bahkan dapat dikatakan sekali seminggu paling sedikit,
Atik diajak ayahnya menelusuri sawah ladang dan masuk ke semaksemak hutan gunung. Bahkan pernah ia diajak masuk Ujung Kulon.”66
Pak Antana merupakan sosok laki-laki yang cinta keluarga dan
mampu menciptakan keluarga yang harmonis. Sebagai pegawai yang
bertanggung jawab terhadap taman nasional Ujung Kulon, Antana
berhasil menanamkan rasa cinta alam kepada Larasati. Antana juga
menjadi pendukung kemerdekaan Republik dan ikut juga dalam
pergerakan bawah tanah melawan Jepang. Ia meninggal akibat terkena
bom sewaktu terjadi serangan Belanda ke Yogyakarta.
Ajeng Marsiwi atau Bu Antana merupakan sosok perempuan
yang menganut ide kesetaraan manusia dan menolak feodalisme,
tetapi masih menganut nilai-nilai pendidikan perilaku model Jawa.
“Bu Antana sendiri tidak seberapa dalam hal intelek, itu
diakuinya
ikhlas,
walaupun
tidak
bodoh.
Iklim
perkembangannya dulu sebagai anak angkat perempuan keraton
dengan cara ningrat terlalu menghambatnya.” 43
Menurutnya sistem model Jawa Keraton merupakan salah satu
penghambat pendidikan bagi anak, itu diakuinya ketika berbicara
mengenai Larasati yang juga dibesarkan tetap dengan alam sopan
santun dan citarasa Jawa ningrat67. Bu Antana adalah sosok yang
mencintai keluarga dan mengabdikan hidupnya untuk menjalankan
tugas sebagai istri dan ibu yang baik bagi keluarganya. Baginya,
65
Mangunwijaya, op. cit., h. 25.
Ibid.
67
Ibid., h. 45.
66
106
“seperti setiap wanita Jawa sejati akan selalu sumarah. Dalam
keadaan apa pun. Tanpa patah-hati.”68
Bu Antana dalam prawayang dalam novel ini diibaratkan
dengan Nyai Sagopi atau Sugopi. Nyai Sugopi merupakan dayang
istana yang setelah menjadi istri demang Antapoga, nama Ken Sayuda
diganti menjadi Nyai Sugopi. Dalam cerita wayang dikisahkan Sugopi
hanyalah gadis desa biasa yang bermimpi menjadi istri dari pangeran
kerajaan. Namun apa yang diimpikannya itu pun akhirnya terwujud, ia
diangkat menjadi seorang selir kerajaan. Persamaan dengan cerita
novel, khususnya dengan Bu Antana adalah sama-sama menjadi “anak
angkat” kerajaan.
“Sebetulnya ia dan suaminya lebih suka tinggal di Bogor, kota
tenang itu, tetapi Bu Antana tahu kedudukannya sebagai anak
seorang gundik Keraton berdarah rendah yang sudah untung
mendapat anugerah dianggap sejajar dengan abang tirinya Mas
Hendraningrat”69
Silsilah keluarga Bu Antana seperti yang diceritakan oleh percakapan
antara pembantu kerajaan memberitahukan bahwa ibu dari Bu Antana
merupakan istri simpanan pangeran kerajaan. “Memang ibunya, nenek
Den Rara Larasati itu, perempuan simpanan di suatu desa lereng
Lawu, gunung yang angkuh itu.”70 Dengan begitu dapat ditarik suatu
kesamaan antara Bu Antana dengan Nyai Sugopi, yakni sama-sama
“anak angkat” kerajaan dan sama-sama dititipi anak oleh Basudewa
dan juga Brajabasuki.
Begitupun dengan segi penyifatan yang sama ditemukan antara
Bu Antana dan Nyai Sugopi. Nyai Sugopi yang dalam penceritaan
wayang sudah tidak memikirkan lagi apa artinya harga diri atau
perasaan seorang wanita, ia kini hanya fokus pada masa depan anak –
anaknya dan anak titipan dari raja Basudewa, orang yang membuatnya
68
Ibid., h. 172.
Ibid., h. 50.
70
Ibid., h. 17.
69
107
mengalami perjalanan hidup yang panjang dan melelahkan. Begitupun
dengan Bu Antana yang berpikiran senyawa dengan Nyai Sugopi.
“Sudah tiga tahun Jepang berkuasa dan banyak orang
berbincang tentang kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian
hari. Tetapi bagi setiap ibu yang menjadi pertanyaan pokok
hanyalah: nasib atau lebih tepat calon jodoh sang anak kelak di
kemudian hari.”71
c) Verbruggen dan Janakatamsi
Verbruggen adalah seorang komandan batalion dan merupakan
atasan Setadewa di NICA. Seperti layaknya komandan, Mayoor
Verbruggen sangat pandai membaca situasi dan jenis pemikiran yang
tenang, dan secara tidak langsung juga mempunyai andil yang besar
mempengaruhi jalan pikiran tokoh Setadewa.
“Yang penting: pakai akal sehat! Ini yang penting untuk
perwira. Bukan melayangkan peluru atau berbaris, tetapi
berpikir logis. Musuh kita bukan tentara Jerman, tetapi kaum
bandit jugakan. Saya pun pakai akal sehat.”72
Banyak yang diajarkan oleh Verbruggen kepada Setadewa dalam hal
keprajuritan dan cara berpikir layaknya seorang prajurit. Selain itu
juga ideologi yang dianut Verbruggen secara tidak langsung menurun
kepada Setadewa.
“Tetapi yang jelas bagi kita sekarang ialah: kepentingan
Kerajaan tidak menghendaki prajurit yang emosional. Perang
tidak bisa dimenangkan dengan emosi. Tetapi perhitungan yang
dingin. Republik itu juga pasti akan hancur dengan sendirinya
karena emosi mereka. Emosi bukan nahkoda. Paling-paling
dinamit yang buta.” 85
Seringkali Verbruggen menasehati Setadewa yang berkaitan dengan
dasar pemikiran dan cara berpikir (mental). Maka tidak berlebihan
anggapan bahwa pemikiran ideologi Setadewa banyak dipengaruhi
oleh tokoh Verbruggen. Seperti kasus Verbruggen saat menilai mental
orang-orang republik Indonesia yang dianggapnya buruk. Penilaian
71
72
Ibid., h. 44.
Ibid., h. 65-66.
108
tersebut secara sendirinya hadir dalam sikap Setadewa dan
mempengaruhi sikap Setadewa selama jalan cerita novel.
“... tetapi sedikit banyak saya sudah kenal mental amok kaum
Inlander di sini.” 79
Dalam pewayangan Verbruggen dilambangkan sebagai Petruk.
Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak
keturunan/trah Witaradya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab
Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan
merupakan gubahan asli Jawa.
“Verbrugen memang Petruk, tetapi Petruk Belanda yang kekar,
hanya itu bedanya. Tetapi melihat mulutnya yang terlalu besar
dan lebar serta matanya condong sipit, apalagi perutnya yang
melembung, toh Petruk ia sebenarnya.”73
Melalui tokoh Verbruggen ini penulis menemukan persamaannya
dengan tokoh wayang Petruk, seperti yang dijelaskan secara eksplisit
oleh pengarang bahwa Verbruggen adalah Petruk, badut dalam arti
luas dan banyak. Dalam novel, Verbruggen merupakan jembatan bagi
Teto untuk menemukan ibunya yang hilang, atau untuk menemukan
identitas dirinya, sebagaimana kata brug (bahasa Belanda) yang
berarti jembatan. Dalam dunia wayang, tokoh Petruk, juga Panakwan
lainnya, seperti Semar, Gareng, dan Bagong, di samping juga Togog
dan Mbilung, merupakan tokoh-tokoh yang memberi arah pada ksatria
untuk mencapai atau untuk sampai pada tujuannya secara benar.74
Setadewa sendiri menjadi sadar dan mengenali dirinya bahwa dirinya
tidak lebih hanyalah sebagai KNIL, tentara sewaan, bukan pasukan
KL yang berarti pasukan kerajaan, dan ia sadar bahwa yang dimusuhi
dan dibencinya selama ini hanyalah oknum-oknum Jepang dan
Indonesia belaka, bukan Jepang dan Indonesia dalam pengertian suatu
abstraksi bangsa. Kesadaran macam ini diperolehnya setelah bertemu,
bercakap, berdebat, dan bertengkar dengan Verbruggen, si “Petruk”.
73
74
Ibid., h. 119.
Wardhana, op. cit., h. 350.
109
Bagi Setadewa Verbruggen bukan hanya atasannya di NICA,
tapi lebih seperti bapak yang selalu mengajarkan segala sesuatu
kepada anak-anaknya dan memberi kasih sayang yang lebih.
“Entahlah, Mayoor Verbruggen memang jenis jago berkelahi
yang tidak dapat dibuat main-main. Akan tetapi aku merasa,
bahwa ada semacam kebapaan padanya. Paling tidak
terhadapku”75
Verbruggen memberikan perhatian khusus kepada Setadewa yang
menjadi anak buahnya di NICA. Hal itu berlatar belakang karena
Verbruggen pernah mencintai Marice dan itu diakuinya sendiri
olehnya.
“Sekali lagi, jangan mengira kesedihanmu lebih besar dari
kesedihanku. Penderitaan anak bisa dalam. Tetapi penderitaan
kekasih bisa lebih dalam. Maka itu jangan berlagak. Itu kalau
kau lelaki dan bukan seorang banci sentimentil yang cuma bisa
meong-meong kayak kucing.”76
Bila diamati dari segi kisah percintaan Verbruggen dengan Marice
sama dengan kisah percintaan antara Setadewa dan Larasati, yakni
sama-sama mengandung kata ketidaktercapaian. Verbruggen yang
akhirnya tidak mendapatkan Marice, yang lebih memilih Brajabasuki
dan Setadewa yang tidak mendapatkan Larasati, yang menikah dengan
Janakatamsi. Asumsi inilah juga yang memandang kenapa Setadewa
pada akhir-akhir novel digambarkan memiliki karakter yang kuat,
seperti apa yang digambarkan Larasati. “Teto. Mengapa kau kok dapat
kuat seperti itu? Kau kuat, Teto, kau sangat kuat. Dan aku selalu
kagum pada lelaki yang kuat.”77
Pada akhirnya Verbruggen diketahui meninggal saat peperangan
terjadi. Setelah Belanda dipukul mundur di Indonesia, seperti yang
diketahui
sebelumnya
melalui
percakapan
Setadewa
dengan
Verbruggen bahwa Verbruggen ingin masuk Legiun Asing Prancis.
75
Mangunwijaya, op. cit., h. 80.
Ibid., h. 163.
77
Ibid., h. 312.
76
110
“Sudah terima formulir pendaftaran Legiun Asing Perancis? Tanyaku
sinis kepada Verbruggen. Dia hanya tertawa saja, tawa orang yang
kalah lotre tetapi gigih optimis menebak lagi harapan lotre baru.”78
“Verbruggen, dia pun sudah tiada. Si Bandit gila telah hancur di
Dien Bien Phu. Pastilah sumbangan itu dilewatkan melalui
ibunya. Seandainya bukan Spoor tetapi Verbruggen yang jadi
panglima kala itu, pasti sejarah akan berjalan lain. Tetapi
seorang Verbruggen tidak akan laku untuk hari-hari semacam
itu dulu.”79
Adalah pertempuran terakhir dalam Perang Indochina Pertama antara
Perancis dan Viet-Min. pertempuran ini terjadi antara Maret dan Mei
1954, dan berakhir dengan kekalahan Perancis secara besar-besaran
yang akhirnya menyudahi peperangan itu.
Sementara itu Janakatamsi merupakan anak dari dokter yang
merawat Mami dari Setadewa ketika tinggal di Kramat.
“Lho siapa ayahnya? Sekarang sudah pensiun. Dulu pernah lama
menjabat direktur rumah sakit di Kramat. Oooh ... itulah! Ia
mulai kenal dengan Atik, ketika melihat Atik dengan ibunya
berziarah ke makam Ibu Brajabasuki di Kramat itu. Pertamatama itu dianggapnya peristiwa biasa. Tetapi sesudah ia tahu,
bahwa yang meninggal itu bukan ibunya dan bukan apa-apanya,
namun toh setia setiap pekan nyadran Atik datang
membersihkan nisan, ia mulai tertarik kepada gadis dan ibunya
yang begitu budiwati itu.”80
Mami Setadewa yang setelah meninggal di makamkan di Kramat
membuat Ibu Antana dan Larasati selalu berziarah tiap minggunya,
untuk sekadar membersihkan makam. Dari situ pulalah penyebab
pertemuan Janakatamsi dengan Larasati. Kesukaan Janakatamsi
terhadap Larasati lebih karena keluarga Antana itu begitu budiwati
yang akhirnya membuat Janakatamsi tertarik untuk menikahi Larasati.
Walaupun menurut Setadewa pernikahan mereka hanya seperti
78
Ibid., h. 143.
Ibid., h. 223.
80
Ibid., h. 268.
79
111
pernikahan model kuno, yakni menikah tanpa rasa cinta dan hanya
mementingkan status belaka.
“Jelaslah sejelas-jelasnya, bahwa perkawinan Atik dengan
Janakatamsi adalah perkawinan model kuna. Kawin asal jangan
jadi perawan tua. Atau: kawin karena sepantasnyalah orang itu
kawin. Atau: kawin karena membutuhkan bodyguard. Kali ini
rupa-rupanya: Kawin karena membutuhkan jongos dan pesuruh.
Tidak! Aku jahat, aku tidak adil terhadap Dik Jana. Dialah yang
telah menyelamatkan Atik dari noda perawan tua yang
memalukan.”81
Namun pemikiran tersebut segera dibuang jauh-jauh dari pikiran
Setadewa sendiri. Setelah Setadewa melihat keluarga mereka begitu
hidup dengan harmonis dan tenang. Apalagi pernikahan mereka itu
dikarunia tiga orang anak, yakni Teto, Kris, dan Padmi.
Dalam pewayangan Janakatamsi dilambangkan sebagai Arjuna,
karena memiliki nama yang sama dengan nama lain Arjuna, yakni
Janaka. Nama Janaka sendiri merujukan arti bahwa manusia
berkelamin ganda (hemaprodit) yang tidak memiliki ketegasan.82
Dalam pengertian yang merujuk kepada cerita wayang, Arjuna
dipanggil dengan nama Janaka karena memiliki banyak istri. Dengan
kata lain berkelamin ganda di sini merujuk kepada banyak istri.
Arjuna dikenal sebagai anggota Pandawa yang berparas menawan dan
berhati lemah lembut. Sifat yang sama juga dimiliki oleh Janakatamsi
yang memiliki sifat lemah lembut dan juga sayang terhadap istrinya.
“Suaminya lebih pendek dari Atik. Rupa-rupanya orang yang
tenang dan baik hati, walaupun wajahnya tampak serius. Ia
menggandeng istrinya dengan langkah-langkah yang penuh
perhatian kepada istrinya, dan sekali, entah suatu kotoran apa
yang kebetulan menodai lengan kebaya istrinya diselentik bersih
... Dia suami yang penuh pengertian dan penuh pengabdian
kepada istrinya, itulah dalam sekilat saat kesimpulanku.
Istrinyalah yang ia puja sebagai ratu dan pemberi undangundang”83
81
Ibid., h. 275-276.
Wardhana, op. cit., h. 346-347.
83
Mangunwijaya, op. cit., h. 246-267.
82
112
Janakatamsi merupakan seorang dekan fakultas geologi, merangkap
juga sebagai kepala laboratorium maritim Angkatan Laut yang pada
akhirnya setelah kasus pembongkaran korupsi ia dipecat dari segala
jabatanya. “alias Nyonya Larasati Janakatamsi, isteri Dekan Fakultas
Geologi salah satu universitas swasta di Jakarta dan Kepala
Laboratorium Maritim Angkatan Laut.”84 yang berwatak halus dan
mengalah (sayang) kepada istri. Meskipun demikian, Janakatamsi
memiliki kelebihan dalam hal kesabaran dan ketabahan dalam
menghadapi persoalan hidupnya terutama masalah keluarganya.
“Kuamat-amati juga kadang-kadang suaminya. Orang tanpa
banyak temperamen rupa-rupanya ia, kontras sekali dengan Atik
yang kiprah di tengah Aula ini. Bagaimana rasanya menjadi
suami Larasati? Mengapa justru dia yang dipilih? Jelas, ya
begitulah. Pasti itu kesimpulan setiap orang normal.”85
Janakatamsi juga memiliki sifat yang tidak tempramen, persis juga
dari apa yang dimiliki oleh Arjuna. Namun, karena sifatnya yang
seperti Arjuna tersebut membuat Setadewa berpendapat bahwa justru
sifat yang lemah lembut seperti tidak melambangkan jiwa kelelakian
yang seutuhnya.
“Ingin orang lelaki di sampingku ini kukocok dan kusepak agar
kejantanannya melotot ke luar dari kepompongnya ... Aku sudah
tidak mendengar lagi apa yang dikatakan udang yang tidak
punya kulit panser itu.”86
Maka tidak heran juga ketika Janakatamsi lebih memilih bergerak
dalam jalur pejuang kesehatan demi masyarakat, karena pilihannya
lebih kepada menjadi Palang Merah ketimbang ikut berjuang
mengangkat senjata.
“Aku di Palang Merah. (Ah pantas saja). Palang Merah? Ya,
kepada Mas Teto aku jujur berterus-terang. Aku tak suka
berjuang dengan senjata. Entah, barangkali karena kami
bertradisi dokter. (Ini lagi).” 280
84
Ibid., h. 244.
Ibid., h. 256.
86
Ibid., h. 290.
85
113
Seperti yang diakui oleh Setadewa pada akhirnya yang mengatakan
bahwa: “Palang merahlah yang lebih panglima daripada senjata api.
Sebab apa? Karena Palang Merah memberi hidup. Ia lebih jantan
dariku, Tik. Kejantanan manusia bukan kejantanan rimba ini.”87
Dalam cerita pewayangan juga digambarkan bahwa hubungan
antara Arjuna dan Kresna sangat erat, sehingga Arjuna meminta
kesediaanya sebagai penasihat sekaligus kusir kereta Arjuna saat
perang antara Pandawa dan Kurawa berkecamuk (Baratayuda). Seperti
dalam novel digambarkan Janakatamsi juga meminta nasihat perihal
pernikahannya dengan Larasarti yang dianggapnya hanya Seradewa
sajalah yang mampu untuk menolongnya.
“Nah, justru itulah Mas Seta, aku sering tidak tahu, harus
bagaimana ia kutanggapi. Seringkali, begini salah, begitu keliru.
Padahal ya, walaupun saya ini orang yang tidak tanpa
kekeliruan, segala-galanya sudah kuusahakan agar membuat
hidupnya senang.”88
Selain tokoh-tokoh tambahan di atas, sebenarnya terdapat lagi
tokoh-tokoh tambahan lain. Namun tokoh tambahan lain itu tidak
tergolong memiliki intensitas hubungan yang tinggi atau bahkan tidak
terkait langsung dengan tokoh utama. Sebagian besar tokoh tambahan
lain ini adalah tokoh sederhana, yaitu tokoh yang hanya disebutkan satu
kualitas atau watak tertentu saja, seperti tokoh Karjo, Samsu, Mbok
Ranu, Mbok Naya, Ambassador Brindley, Syahrir dan lain-lain.
Terkait dengan tokoh dan penokohan novel ini terdapat keunikan
tersendiri. Umpamanya tokoh Karjo dan Samsu yang menempati tempat
yang unik posisinya di dalam novel. Pasalnya kedua tokoh tersebut
diceritakan dalam satu sisipan cerita yang tidak terkait dengan alur utama
cerita. Pada bab sebelas dan bab empat belas terdapat kisah meugenai
sosok pemuda pejuang yang ikut berjuang merebut kemerdekaan, tetapi
87
88
Ibid., h. 312
Ibid., h. 290.
114
sering memanfaatkan perjuangan tersebut untuk kepentingan pribadi.
Tokoh tersebut adalah Samsu, yang disebut juga “setan kopor”.
“Malam itu Pak Tamping Kepondong meninggal akibat
penganiayaan Samsu. Seminggu kemudian seorang tani yang
ketakutan dan bermalam di gubug di tengah ladang dilarak Samsu
ke tepi jurang dan dipenggal lehernya. Dakwaan: mata-mata
Belanda. Beberapa hari kemudian ibu-ibu mulai mengungsikan
gadis-gadis mereka ke tempat nenek atau desa lain, sesudah anak
Pak Lurah diperkosa Samsu.”89
Samsu dapat dibilang menjadi tokoh dominan sekaligus antagonistis di
kedua bab tersebut. Posisi yang berlawanan dengan Samsu dalam cerita
itu adalah Karjo.
“Walaupun Karjo merasa hanya pemuda desa, tetapi ia merasa
lebih tua. Toh Samsu hanya sersan saja. Tapi sombongnya!
Langsung ia berbahasa ngoko kepadanya, seperti berbicara kepada
jongos. Karjo pernah dilatih sebagai Keibodan dan sesudah tiga
hari jelaslah bagi Karjo, ia lebih unggul dalam pengetahuan tentang
soal-soal kemiliteran daripada Setankopor. Soal jaga misalnya.”90
Karjo adalah pejuang juga sebagaimana Samsu. Karjo adalah sosok
pejuang yang tulus dan berperikemanusiaan, berkebalikan dengan sifat
dan perilaku Samsu. Melalui kedua tokoh tersebut sebenarnya pengarang
ingin mengkritisi sejarah terhadap para pejuang kemerdekaan. Pengarang
ingin menegaskan bahwa pejuang di pihak Republik belum tentu juga
orang yang baik dengan niat mulia dalam berjuang memperebutkan
kemerdekaan.
“Kau Cuma menakut-nakuti orang. Apa hubungannya dengan
Setankopor? O, banyak sekali hubungannya. Sebab ia jadi bupati
sekarang. Sudah saya tanyakan pada polisi pengawal. Yang seperti
Arab, hidungnya agak bengkok itu bupati? Betul, ia bupati yang
baru. Nah, selamat mampus kita.”91
Lebih dalam lagi pengarang juga ingin mengkritisi hasil dari perubahanperubahan yang terjadi di Indonesia. Saat suasana konflik kemerdekaan
para pejuang yang kontras dengan segala jenis sifatnya digambarkan oleh
89
Ibid., h. 134.
Ibid., h. 131.
91
Ibid., h. 188.
90
115
pengarang, namun pada waktu Indonesia merdeka (perubahan terjadi),
orang-orang yang dinilai tidak pantas memperoleh jabatan justru mengisi
kekuasaan di pemerintahan.
4. Latar
a. Latar Tempat
1) Magelang
Latar Magelang ini merupakan latar dominan dalam cerita,
karena merupakan kampung halaman dari tokoh utama Setadewa,
yang memuat banyak kenangan mengenai masa lalunya. Sehingga
membuat Magelang menjadi kota yang sentimental bagi Setadewa.
“Masuk Magelang seperti masuk sarang lebah, begitu banyak
manusianya. Kendaraan bermotor sudah mulai membisingkan
bunyi-bunyi imperial kerajaan ular adder.”92
Kutipan tersebut terjadi ketika Setadewa bernostalgia dengan kota
tersebut, yang menurutnya sudah sangat lama semenjak dia
memutuskan pergi ke luar negeri. Pada akhirnya pun latar Magelang
inilah yang ditempatkan Setadewa pada masa-masa tuanya, semenjak
dia menjadi ayah dari anak-anak Larasati.
2) Surakarta
Pada awalnya penggunaan latar Surakarta digunakan untuk
memberitahukan bahwa tokoh Setadewa merupakan keturunan Jawa
(Keraton).
“Papiku loitenant keluaran Akademi Breda Holland. Jawa DAN
Keraton! Semula tergabung dalam Legiun Mangkunegara.”93
Pernyataan di atas juga sebagai penegas bahwa tokoh utama
merupakan asli keturunan Jawa (keraton). Istana Mangkunegaran
berlokasi di kota Surakarta. Sebagai keraton yang terbuka dengan ide-
92
93
Ibid., h. 229.
Ibid., h. 3.
116
ide baru perjumpaan kebudayaan Jawa dengan Eropa dicermati
dengan seksama dan diakulturasikan menjadi budaya Jawa. Akulturasi
ini diinkulturasi sampai unsur dan elemen Eropa menjadi semakin
Jawa. Sehingga, dari situlah dapat dimaklumi bahwa Brajabasuki
memiliki kesukaan hidup bebas model orang-orang Eropa.
Latar Surakarta juga digunakan sebagai penguat penggambaran
tokoh Larasati dan keluarganya sebagai keturunan keraton.
“Sungguh, Atik tidak bisa membayangkan diri menjadi puteri
keraton. Tetapi sesekali melihat Surakarta bolehlah.”94
Kota Surakarta atau disebut juga kota Solo atau Sala. Maka tidak
heran dalam cerita sering disebut Surakarta atau Sala. Hal tersebut
dapat terlihat pada dialog antara Mbok Naya dengan Mbok Ranu “Apa
kota Sala kurang elok, kok ingin ke Betawi”95. Pada masa sekarang
nama Surakarta digunakan dalam situasi formal pemerintahan,
sedangkan nama Sala/Solo lebih merujuk kepada penyebutan umum
yang dilatarbelakangi oleh aspek kultural. Tujuan dari penggunaan
latar ini selain penggambaran kental adat Jawa, juga sebagai penjelas
bahwa tokoh utama yang diceritakan, baik Setadewa maupun Larasati
memiliki pertalian darah dengan keluarga keraton atau bisa dibilang
mereka merupakan keturunan priyayi.
3) Semarang
Latar ini merupakan tempat di mana Setadewa melanjutkan
pendidikannya.
“Ketika itu aku memondok di Semarang meneruskan sekolahku
di SMT. Aku senang di Semarang, karena ternyata ada grup
pelajar yang berselera anti Jepang. Tetapi suasana memanglah
menjengkelkan bagiku. Kami diindoktrinasi dan dilatih
bermodel Jepang.”96
94
Ibid., h. 25.
Ibid., h. 18.
96
Ibid., h. 32.
95
117
Pengarang menggunakan latar ini untuk menggambarkan pada zaman
pendudukan Jepang, bangsa Indonesia kala itu didoktrin pendidikan
ala Jepang97. Walaupun Setadewa memposisikan diri sebagai pelajar
yang anti Jepang. “Dan aku terpaksa latihan perang-perangan dengan
bedil kayu gaya Jepang. Sinting sebetulnya.”98
4) Jakarta
Untuk pertama kalinya Setadewa bertemu dengan Larasati
ketika mereka dewasa, yakni di jalan Kramat VI. Jalan Kramat VI
merupakan rumah keluarga Antana.
“Sampai di alamat Kramat, aku masuk halaman dengan nomor
rumah yang sudah dipesankan padaku. Rumah itu rumah kuna
dengan tiang-tiang Romawi bulat yang gagah. Lantai dari
marmer Italia persegi dipasang diagonal. Hanya kerai-kerai
sudah agak lusuh, karena bahan cat dimasa itu sudah lama sulit
dicari.”99
Penggunaan latar ini akibat dari kedatangan Jepang ke Indonesia dan
membuat keluarga Larasati harus mengungsi dari Bogor ke Jakarta.
“Di jalan Kramat ini Bu Antana sebetulnya tidak begitu suka. Tetapi
hal ihwal peristiwa kedatangan Jepanglah yang menyebabkan mereka
harus pindah ke Jakarta.”100 Di tempat ini pulalah Setadewa bertemu
dengan maminya, dan mengetahui bahwasannya papinya ditangkap
oleh Kenpetai.
5) Yogyakarta
Atas nama situasi keamanan ibukota Jakarta (Batavia kala itu)
yang makin memburuk, maka pemerintah memutuskan ibukota
97
Sejak Belanda menyerah pada tahun 1942, Jepang merombak sistem pendidikan Belanda
di Indonesia. Dengan indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu yang berarti Delapan Penjuru Dunia Di
Bawah Satu Atap. Ini adalah slogan persaudaraan universal yang digunakan Jepang untuk
menciptakan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dalam Perang Dunia II. Kemudian
untuk dalam pendidikan militer berbentuk Nippon Seisyin yaitu latihan kemiliteran dan semangat
Jepang.
98
Mangunwijaya, op. cit., h. 33.
99
Ibid., h. 37.
100
Ibid., h. 50.
118
dipindahkan ke Yogyakarta. Sebagai titik sentral pemerintahan
Indonesia saat itu, akibatnya pihak Belanda bernafsu untuk merebut
daerah tersebut, sekaligus menundukkan para pimpinan tertinggi
Indonesia. Dengan harapan Indonesia dapat sekali lagi mereka
taklukkan.
“Dini pagi pasukan payung telah diterjunkan ke pangkalan
Meguwa, Yogya. Sedangkan mereka mengamankan landasan
dan daerah sekitarnya, Dakota pasukanku, pesawat pengangkut
yang pertama mendarat.”101
Setelah beberapa waktu pihak Belanda melakukan penyerangan di
berbagai daerah-daerah Indonesia. Sebagai aksi puncak penyerangan
Belanda
menyerang
ibukota
Indonesia,
yakni
Yogyakarta.
Penyerangan tersebut dimaksudkan untuk menundukan ibukota agar
jatuh ke tangan Belanda dan menduduki pula Istana Presiden
Soekarno.
Dimana
istana
tersebut
merupakan
titik
sentral
pemerintahan bangsa Indonesia.
6) Bogor
Ini merupakan tempat tinggal keluarga Antana, merupakan
rumah dinas yang diberikan kepada Pak Antana sebagai seorang
pegawai dinas Kebun Raya Bogor.
“Ayahnya bekerja di Bogor yang banyak hujannya itu, tetapi
yang subur dan bersuasana bebas.”102
Bogor merupakan tempat favorit bagi Atik dan keluarganya.
“Sebetulnya ia dan suaminya lebih suka tinggal di Bogor, kota tenang
itu”103 Namun semenjak Jepang menguasai Indonesia mereka
terpaksa pindah ke Jakarta. Melalui latar ini pengarang menguatkan
sifat penokohan keluarga Antana, yang suka dengan sesuatu yang
bersifat alam dan nuansa bebas.
101
Ibid., h. 120.
Ibid., h. 25.
103
Ibid., h. 50.
102
119
Di latar ini jugalah yang menjadi tempat percakapan terakhir
Setadewa dengan Larasati dalam novel ini.
“Pada suatu Sabtu, aku diundang keluarga Jana. Bersama-sama
dengan anak-anak kami akan pergi ke Pegunungan Salak. Maka
berpikniklah kami menyegarkan jiwa, pergi ke lereng Gunung
Salak”104
Percakapan terakhir itu juga menjawab semua permasalahan yang
terjadi antara Larasati dengan Setadewa. Melalui percakapan itulah,
Setadewa menyampaikan pesan dari ayah Janakatamsi agar Larasati
dan Janakatamsi beribadah haji.
7) Tokyo
Penggunaan Latar Tokyo dipergunakan hanya sepintas oleh
pengarang, yakni ketika Setadewa dipecat dari pekerjaannya. Namun,
pemilihan latar ini oleh pengarang seakan memberikan suatu unsur
kesengajaan untuk menegaskan kritikannya.
“Ternyata, apa yang sudah diduga semula betul terjadi. Aku
dipanggil ke Tokyo dan di restoran lapangan terbang aku diberi
tahu oleh boss tertinggi Pacific Oil Wells Company, bahwa aku
dipecat dengan tidak hormat.”105
Pengarang seakan ingin menjelaskan bahwa perusahaan Pacific Oil
Wells Company bermental fasisme yang diadopsi oleh Jepang.
Sekaligus mengkritisi bangsa Indonesia, yang notabene sudah
merdeka, tapi tetap saja masih dijajah oleh pihak asing, termasuk
Jepang.
Penggunaan latar ini dimaksudkan juga sebagai penguat karakter
atau sikap yang dimiliki oleh tokoh Setadewa. “Dan motivasiku masih
sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan yang pada
hakekatnya juga bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan
rumus-rumus serta model-modelnya pada negeri ini.”106
104
Ibid., h. 306.
Ibid., h. 302.
106
Ibid., h. 300.
105
120
b. Latar Waktu
Latar waktu yang terdapat dalam novel tersebut melintasi tiga
zaman berbeda yang sudah jelas dituliskan secara eksplisit oleh Romo
Mangun yakni; Bagian I: zaman Belanda menjelang keruntuhannya,
hingga Jepang berkuasa di Indonesia. Bagian II: pasca-Indonesia
merdeka sampai agresi militer Belanda. Bagian III: zaman awal Orde
Baru bertahta di Indonesia. Walaupun secara eksplisit latar waktu sudah
dituliskan oleh pengarang sendiri. Namun di sini penulis akan
mempertegasnya lagi dengan menonjolkan segi-segi implisit pada
peristiwa cerita novel tersebut. Supaya pemahaman mengenai kapan
terjadinya peristiwa menjadi lebih kelihatan.
a) Bagian I: 1934-1944
Pada bagian awal dari pembukaan novel ini, digambarkan
merupakan zaman kolonial. Ketika Setadewa bersekolah di Sekolah
Dasar Kaum Eropa, sebagai anak kolong, anak dari letnan KNIL pada
masa itu merasakan suatu “firdaus” tersendiri yang menurutnya di
zaman yang serba normal. Hal itu terlihat ketika Setadewa
menceritakan tentang perayaan hari ulang tahun Ratu Belanda.
“...pada tanggal 31 Agustus, HUT Ratu Wilhelmina, diadakan
parade besar di lapangan Tidar...”107
Ratu Wilhelmina merupakan Ratu Belanda, dia menjabat sebagai ratu
dari tahun 1890 sampai 1948. Barulah pada tanggal 4 September 1948
Wilhelmina menyerahkan tongkat kekuasaan kepada anaknya, yakni
Juliana. Jelaslah waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan terjadi
pada masa pendudukan Belanda.
Hal di atas diperkuat lagi dengan penjelasan Setadewa ketika
berkunjung ke keraton, tidak sengaja dia mendengarkan percakapan
para putri keraton tentang Gusti Nurul.
107
Ibid., h. 6.
121
“Gusti Nurul misalnya, bukan main bikin gempar di masa itu.
Bayangkan! Putri raja Jawa! Naik kuda sih barangkali masih
dapat diikuti nalar. Tetapi pakai celana! Nyuwun pangapunten!
Loh serius nih! Kenapa tertawa? Cuma perempuan Cina yang
pakai celana. Kalau noni dan nyonya Belanda mah, itu kan
sudah di atas segala hukum, apa saja boleh kalau Belanda.
Sampai duduk di sebelah kanan raja di atas singgasana, boleh
dia. Tetapi puteri ningrat Jawa pakai celana? Krakatau bisa
meletus itu nanti!”108
Gusti Nurul adalah seorang putri tunggal pasangan Mangkunegaran
VII. Selain cantik, dia berani melakukan hal-hal yang dianggap tidak
lazim oleh kaum perempuan kala itu, apalagi yang bernotabene putri
keraton. Dapat diketahui sebagai bangsa timur, dahulu wanita sangat
dibatasi oleh nilai-nilai yang memaksa wanita harus mengalami
domestikasi. Gusti Nurul mendobrak semua pakem tersebut, termasuk
wanita harus selalu di rumah. Bayangkan Gusti Nurul melakukan itu
di era tahun 30an. Dimana dia berarti melawan sebuah sistem sosial
yang telah mengakar selama ratusan tahun.
Barulah pada bab “Buah Gugur” pada novel terjadi keruntuhan
Belanda. Hal tersebut terlihat dari peristiwa Brajabasuki ditangkap
Jepang sebagai tawanan perang.
“Ia telah dilepas dari tahanan militer setelah beberapa bulan
meringkuk sebagai lawan perang Jepang. Dunia-serba-gemilang
kami telah cepat runtuh. Jepang datang. KNIL kalah dan
bubar.”109
Dalam sebuah pertemuan Belanda yang dipimpin oleh Gubernur
Jendral Tjarda Van Starkenborgh dengan Jepang yang dipimpin oleh
Letnan Jendral Hitoshi Imamura, yang dikenal sebagai Pertemuan
Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942. Dengan pertemuan ini mengakhiri
kekuasaan kolonial Belanda dan menempatkan Jepang sebagai
penguasa baru atas Indonesia. Masa pendudukan Jepang di Indonesia
108
109
Ibid., h. 8.
Ibid., h. 31.
122
dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945
seiring proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
b) Bagian II: 1945-1950
Bagian II ini digambarkan Indonesia telah memproklamasikan
kemerdekaannya, akibat dari kekalahan Jepang dalam Perang Dunia
II. Kekalahan Blok Poros atas Sekutu menyebabkan Jepang
mengumumkan bahwa pemerintahan Indonesia akan diserahkan
kepada Sekutu. Dengan datangnya Sekutu yang diboncengi oleh
NICA, membuat Setadewa yang saat itu sedang dendamnya dengan
pihak Jepang dan Republik mengambil kesempatan untuk bergabung
dengan NICA.
“Tetapi awas! Masuk NICA bagiku tidak sama dengan menjadi
budak Belanda. Itu lain!”110
NICA atau Nederlandsch Indie Civil Administratie (Pemerintah Sipil
Hindia Belanda) dibentuk oleh pihak Sekutu dan merekrut bekasbekas pegawai yang berpengalaman dalam mengatur pemerintahan di
Indonesia. NICA bertugas mengontrol daerah Hindia Belanda setelah
Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Bergabungnya
Setadewa
dengan
NICA
diawali
dengan
pertemuan
dengan
Verbruggen atas rekomendasi surat dari maminya.
“Surat itu kuterima dari Bu Antana dua hari sebelum hari yang
mengerikan, demonstrasi di lapangan Ikada sesudah SoekarnoHatta memproklamirkan Republik.”111
Waktu itu Indonesia mengadakan suatu pertemuan besar-besaran atau
lebih dikenal sebagai Rapat Raksasa yang dilaksanakan di Lapangan
Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) pada tanggal 19 September 1945. Hal
tersebut diselengarakan dalam rangka memperingati satu bulan
proklamasi kemerdekaan.
110
111
Ibid., h. 58.
Ibid., h. 61.
123
Pada bulan-bulan terkahir 1945 orang-orang Indonesia tidak
dapat berbuat banyak karena kedatangan tentara Sekutu yang
dilindungi oleh Tentara Jepang, termasuk NICA di dalamnya.
Persoalan menjadi lain ketika orang-orang Inggris hendak memperluas
tumpuan kakinya dengan sasaran utama pembebasan tawanan perang
yang ditangkap oleh Jepang. Hal tersebut dikenal dengan nama
RAPWI (Relief of Allied Prisoners of War and Internees) yang berarti
suatu badan pembebasan tawanan perang Sekutu dan yang tertawan
lainnya.
“Dan fakta menunjukkan, bahwa sebagian para tahanan
Kenpetai, dan sangat mungkin sekali ayahmu juga, di bulan Mei
tahun ini dipindahkan ke Sukamiskin di Bandung sana.”112
Saat itulah juga dapat diketahui informasi mengenai keberadaan
Brajabasuki, papi dari Setadewa atas informasi yang diberikan oleh
NEFIS113 kepada Verbruggen. Hal tersebut diperkuat oleh peristiwa
yang disaksikan oleh Setadewa sendiri di lapangan Kemayoran
Jakarta, ketika tiga buah pesawat terbang Jepang melayang-layang dan
membuat kagum pilot Perang Dunia II Inggris dan juga Setadewa.
“Pilot-pilot Inggris pun diam melihat dua orang yang dalam
koran-koran disebut panglima Angkatan Udara Republik beserta
mayor-jenderal Republik yang akan mengungsikan pasukanpasukan Jepang.”114
Peristiwa tersebut dikenal dengan Operasi Popda (Panitia Oeroesan
Pemulangan Jepang dan APWI) yang terjadi pada tanggal 23 April
1946. Pesawat tersebut diterbangkan oleh Komodor Udara AURI
Suryadarma dan Adisucipto dengan membawa Mayor Jendral Sudibyo
untuk melakukan perundingan RAPWI dengan Sekutu.
112
Ibid., h. 83.
Netherlands East Indies Forces Intelligence Service merupakan badan itelijen Belanda
pada Perang Dunia II dan unit operasi khusus untuk memata-matai Jepang di Indonesia didirikan
di Australia pada tahun 1942.
114
Mangunwijaya, op. cit., h. 100.
113
124
c) Bagian III: 1968-1978
Pada Bagian III merupakan zaman pasca-Indonesia merdeka.
Awal mula cerita dimulai dengan suatu kunjungan yang dilakukan
oleh Duta Besar dari luar negeri ke Indonesia. Itu menandakan
Indonesia tengah berada dalam masa pembangunan negara, hal itu
terlihat dari kunjungan Duta Besar sebagai bentuk hubungan
diplomatik antarnegara. Selain itu, terlihat ketika pengarang
menggambarkan warga desa yang sedang diberikan penyuluhan oleh
aparat desa terkait zaman pembangunan.
“Tetapi di kelurahan Dinas Penerangan hanya berceramah, agar
rumah penduduk jangan dibuat dari bambu. Pertama: itu sudah
terbelakang, tidak sesuai dengan Orde Pembangunan. Akan
tetapi kedua: karena berbahaya juga.”115
Jelas terlihat pada kutipan di atas bahwa saat itu merupakan masa
pembangunan,
dimana
ketika
Orde
Baru
mulai
berkuasa.
Sebagaimana saat masa pembangunan awal, masyarakat dikenalkan
dengan
istilah
Trilogi
Pembangunan
yakni
sebuah
wacana
pembangunan nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan Orde
Baru di Indonesia, “katanya” sebagai penentu kebijakan politik,
ekonomi, dan sosial dalam melaksanakan pembangunan negara. Hal
tersebut diperkuat lagi melalui penggambaran Setadewa ketika
berziarah ke makam maminya.
“Di dalam jip terbuka itu aku menuju ke Kramat Magelang
untuk untuk berziarah ke makam Mamiku di sana. Makan yang
telah kupugar sepuluh tahun yang lalu ketika Soekarno masih
berkuasa. Nah, ke makam Mamiku itulah acara pokok
perjalanan peziarahanku sekarang ini. Sebelum clash terakhir
meledak.”116
Melalui peristiwa yang disebutkan Setadewa secara tersurat,
menandakan peralihan dari masa Orde Lama yang merujuk kepada era
115
116
Ibid., h. 196.
Ibid., h. 228.
125
pemerintahan Soekarno kepada masa Orde Baru yakni sebutan bagi
masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Mulai dari situ kehidupan Setadewa terus berlanjut dengan
banyak diiringi oleh perasaan nostalgia lama kehidupannya, hingga
kepada peristiwa pemecatan dirinya. Sampai pada suatu ketika
Larasati dan Janakatamsi menunaikan ibadah haji ke tanah suci.
Melalui radio Setadewa mendengar warta tentang kecelakaan pesawat
yang ditumpangi oleh mereka berdua.
“Tetapi bagaiman harus kunilai berita radio yang mewartakan,
bahwa pesawat terbang Martinair yang ditumpangi Atikku dan
Jana, pada suatu dini pagi yang khusus terjamah tangan Tuhan,
menabrak bukit di dekat Kolombo, Sri Lanka sana? Tuhan yang
memberi Tuhan yang mengambil. Terpujilah selalu namanya
yang Kudus.”117
Bila berkaca kepada sejarah bahwa kejadian tersebut benar-benar
terjadi, yakni terjadi pada tanggal 15 November 1978, hari Rabu,
pesawat DC-8 Iceland Loftleider dari maskapai penerbangan Eslandia
yang mengangkut jemaah haji Indonesia dari Jeddah jatuh di Sri
Lanka. Pesawat itu jatuh hanya sekitar 3,7 km sebelah timur bandar
udara Kutanayake, 25 km dari Kolombo.
Pada akhirnya novel ini ditutup secara tersurat oleh pengarang
pada tahun 1979 ketika Setadewa yang menjadi sang pencerita
menghakiri ceritanya dan membubuhkan tanda tangannya di bagian
akhir novel.
c. Latar Sosial
Kehidupan Setadewa terbilang keluarga golongan menengah ke atas.
Pasalnya dia dilahirkan dari keluarga keturunan priyayi dan memiliki ayah
seorang letnal KNIL, merupakan orang berpangkat tinggi untuk ukuran
masa itu.
117
Ibid., h. 317.
126
“Kami lalu tinggal di suatu rumah kecil di belakang tangsi
Penggorengan Senen dengan cara hdiup sangat hemat, sederhana
dari sisa peninggalan tabungan Papi yang masih lumayan.”118
Terlihat dalam posisi sulit pun keluarga Setadewa mampu mencukupi
kehidupannya sendiri. Meski tergolong kaum berada, namun ayahnya
selalu memberikan sikap pelajaran hidup praktis terhadap golongan
manapun, termasuk proletar tangsi. Walau Setadewa dilahirkan sebagai
keturunan Jawa dan Keraton, namun ia tidak suka model kehidupan para
keluarga Jawa. Menurutnya terlalu banyak basa-basi Jawa yang halus
tetapi banyak yang tidak jujur. Akibat dari sikapnya itu, dalam novel
sering ditemukan perilaku sinis Setadewa kepada setiap orang Jawa.
“Memang tidak pernah dapat dipercaya serdadu-serdadu Jawa kita.
Saya minta pasukan Ambon saja. Mereka setia dan berdisiplin.
Tetapi yang Jawa-Jawa itu ... Ya emosi lagi. Orang Jawa itu punya
kanker, emosi namanya.”119
Brajabasuki dengan ke-Belandaannya banyak mempengaruhi kepribadian
Setadewa. Secara sadar juga dirasakan oleh Setadewa sendiri. Namun,
walaupun Setadewa sangat membenci sifat yang dimiliki orang Jawa, ia
pun menunjukkan sifat yang dibencinya itu sendiri, yakni emosi, tidak
berterus terang, dan tidak berpikir panjang. Akan tetapi, lambat laun dalam
cerita, Setadewa dapat mengatasi masalahnya tersebut.
Kendatipun Larasati, ia masih memiliki keturunan ningrat dan didik
dengan citrarasa Jawa tulen. Sama halnya dengan Setadewa, Larasati
menganggap kehidupan para keluarga raja justru sangat merepotkan dan
terkesan kaku.
“Sungguh, Atik tidak bisa membayangkan diri menjadi puteri
keraton. Tetapi sesekali melihat Surakarta bolehlah. Walaupun
jangan terlalu lama.”120
Pemikiran Larasati juga terlihat lebih tenang daripada Setadewa dalam
mempermasalahkan suatu hal. Pandangannya jauh ke depan berjalan
118
Ibid., h. 40.
Ibid., h. 85.
120
Ibid., h. 25.
119
127
mulus dengan sikap ketenanganya tersebut. Terlihat perbedaanya ketika
mereka berdua sama-sama kehilangan orang yang paling disayangnya.
Setadewa menumpahkan dengan membenci segala yang melukai orang
tuanya, sedangkan Larasati, ia lebih bersikap tenang dan lebih memikirkan
bagaimana cara memberitahu ibunya agar ibunya nanti tidak terlalu merasa
sedih. “Sekarang ayahnya menjadi korban dan ia mengeluh, bagaimana
caranya memberitahu ibunya nanti”121.
Dapat diketahui bahwa, Setadewa dan Larasati sama-sama
menginternalisasi yang diturunkan oleh orang tua mereka masing-masing.
Setadewa dengan kebebasan dalam memilih, sementara Larasati memilih
alam bebas sebagai tempat kesukaanya. Dari itu semua, walaupun
Setadewa dilanda kegoncangan dan kehidupan yang tidak karuan, akan
tetapi dalam hal pendidikan mereka tidak pernah alfa, pun akhirnya
ditengah kegoncangan hidupnya Setadewa menjadi seorang ahli komputer
lulusan Harvard. Begitupun Larasati yang menjadi seorang doktor
mendapat gelar maxma cum laude. Seakan pengarang ingin sampaikan
betapa pentingnya peran pendidikan dan pendidikanlah sebagai jalan
keluar dari segala permasalahan, termasuk segala jenis permasalahan
bangsa ini.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang dalam novel ini, dapat dikatakan memiliki ciri khas
atau keunikan tersendiri. Pasalnya, di dalam novel ini ada dua orang atau
sang pembawa kisah yang bercerita. Dengan kata lain, penceritaan
menggunakan dua teknik sudut pandang, yakni dengan menggunakan sudut
pandang orang pertama sertaan (“aku” tokoh utama) dan sudut pandang
orang ketiga yang mahatahu. Penyajian cerita dalam novel ini diibaratkan
dalam kehidupan pewayangan, dimana orang ketiga bermakna sebagai
dalang dan orang pertama bermakna sebagai anak wayang yang
menceritakan kehidupannya sendiri.
121
Ibid., h. 112.
128
Sudut pandang orang pertama sertaan:
“Pernah dengar “anak kolong”? Nah, dulu aku inilah salah satu
modelnya. Asli totok Garnisun divisi II Magelang (ucapan:
MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang: totok.
Jadi KNIL jelas kolonial, mana bisa tidak.”122
Sudut pandang orang ketiga mahatahu:
“Tiba-tiba kedua burung itu terperanjat dan serba panik mendadak
terbang. Gusar Atik bertanya diri, siapa yang mengganggunya? Anak
kampung barangkali. Ternyata ada kepala anak laki-laki seumur 12
tahun muncul dari balik tembok. Anak itu memanjat dahan pohon
sawo kecik yang lebih tinggi, dan membidikkan pelantingnya ke arah
srigunting lain. Teto nama anak itu.”123
Bila diperhatikan pada kutipan sudut pandang orang pertama sertaan di atas,
tokoh “aku” seakan-akan sedang bercerita kepada pembaca tentang
kehidupannya sendiri yang dulu menjadi anak kolong dan KNIL. Persis
dengan anak wayang yang sedang bercerita dengan para penontonnya.
Sedangkan, pada sudut pandang orang ketiga mahatahu, pencerita
mengetahui segala tindak-tanduk sang tokoh. Melalui kutipan di atas
pencerita mengetahui dengan pasti bahwasannya ada seorang anak laki-laki
yang berusia 12 tahun dan bernama Setadewa yang mengganggu burungburung sehingga membuat Larasati gusar. Seperti dalang yang tahu segala
apa yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi pada tokoh, karena
dalanglah yang memiliki tugas memainkan wayang (dalam hal ini tokoh),
sehingga ia tahu segala tindak-tanduk sang tokoh, latar, dan segala isi serta
jalan ceritanya.
Disebut mahatahu karena pencerita mengetahui berbagai hal mengenai
para tokoh, termasuk peristiwa, dan tindakan serta motivasi yang
melatarbelakanginya. Hal ini dapat dibuktikan dari kemampuan pencerita
untuk mengisahkan apa saja menyangkut tokoh-tokoh cerita.
“Maka dalam lubuk hati Bu Antana sering hinggap bagaikan burung
merpati, keyakinan: “Seandainya saya dalam keadaan seperti Marice,
pasti saya berbuat yang sama juga. Bagaimanapun pahitnya.” Tetapi
122
123
Ibid., h. 3.
Ibid., h. 27.
129
segera pikiran seperti itu dikipaskan pergi, sebab memang terlalu
ngerilah kalau dipikirkan terus. Keindahan dan kekejaman, mengapa
keduanya itu sering bergandengan dan kawin?”124
Penggunaan sudut pandang orang ketiga mahatahu memberikan kejelasan
cerita kepada pembaca mengenai tindakan dan apa yang dipikirkan,
dirasakan (maupun di dalam hati) setiap tokoh. Dengan demikian memberi
kemudahan dalam memahami detail-detail cerita yang disampaikan. Hal ini
dimaksudkan untuk mengajak pembaca untuk terlibat lebih dalam dan
pembaca seolah ikut merasakan langsung setiap peristiwa yang terjadi.
Keunikan dari penceritaan yang dibawakan melalui sudut pandang
orang pertama sertaan ialah pencerita dapat mengetahui reaksi pembaca atas
kisahnya.
“Disembah para abdi dalem dan tersanjung oleh para wanita istana
yang terkenal progresip Barat. Gusti Nurul misalnya, bukan main
bikin gempar di masa itu. Bayangkan! Putri raja Jawa! Naik kuda sih
barangkali masih dapat diikuti nalar. Tetapi pakai celana! Nyuwun
pangapunten! Loh serius nih! Kenapa tertawa? Cuma perempuan Cina
yang pakai celana. Kalau noni dan nyonya Belanda mah, itu kan sudah
di atas segala hukum, apa saja boleh kalau Belanda. Sampai duduk di
sebelah kanan raja di atas singgasana, boleh dia. Tetapi puteri ningrat
Jawa pakai celana? Krakatau bisa meletus itu nanti!”125
Terlihat dalam kalimat Nyuwun pangapunten! Loh serius nih! Kenapa
tertawa? Seakan-akan pencerita “aku” tahu bahwa pembaca tertawa seolah
tidak percaya atas pernyataan cerita sang tokoh, sehingga ia menegaskan
bahwa yang diceritakannya benar-benar terjadi dan memang benar terjadi.
Cerita pada novel ini berpusat pada Setadewa, sehingga mayoritas
ceritanya berkitar-kitar pada kehidupan pribadi Setadewa dan pergolakan
batinnya. Di beberapa bagian-bagian dalam cerita, Atik memang diceritakan
khusus pada tiap bagian, akan tetapi penceritanya bukan orang pertama,
melainkan orang ketiga. Perbedaan dari kedua sudut pandang tersebut
terlihat dari cara pengungkapan ceritanya. Sudut pandang orang pertama
124
125
Ibid., h. 47-48.
Ibid., h. 8.
130
„akuan‟ selalu subyektif, meledak-ledak, sedangkan sudut pandang orang
ketiga yang mahatahu nadanya lebih obyektif, lebih sabar.
Sudut pandang orang pertama sertaan:
“Segera kularang dia bertindak sendiri. Bukan karena aku tidak setuju
orang penghasut Atikku dihajar, tetapi aku terpaksa harus menjaga
kewibawaanku. Ini soal gengsi, bukan soal lain. Tetapi toh rasa
kekesatriaanku yang kuwarisi dari ayahlu melonjak dan serdadu
kumaki-maki keras. Sungguh memalukan.”126
Sudut pandang orang ketiga mahatahu:
“... yang menodai Bu Kapten bukan bangsa Jepang, tetapi Ono atau
Harashima. Dan karena kelaliman Ono atau Harashimalah seluruh
bangsa Jepang dan kaum republik yang dulu memuja-muja Jepang
dikejar-kejar. Pak Lurah dan Mbok Sawitri yang mengepalai dapur
umum di desa, serta Pak Trunya yang dulu menolong Pak Antana
tidak ikut-ikutan dengan kekejian Ono. Tetapi kesalahan semacam itu
apalah artinya bagi Larasati. Teto tetap Teto, dan bukan pihak
“KNIL”.127
Dengan susunan pola penceritaaan yang ganti-berganti sudut pandang ini,
pandangan subyektif „aku‟ yang meledak-ledak secara sepihak diimbangi
oleh pandangan orang ketiga yang mahatahu dan melihat segala
permasalahan dari dimensi-dimensi yang lebih luas. Dinamika tersebut
menciptakan pola penceritaan yang luwes dan kaya dengan perspektif.
6. Gaya Bahasa
Banyak ditemukan gaya bahasa dalam novel ini, karena Romo
Mangun banyak memainkan diksi secara memukau, seolah pembaca
dimanja oleh keidahan diksi yang digunakan. Gaya bahasa yang digunakan
antara lain menggunakan majas paradoks, hiperbola, simile, personifikasi,
ironi, dan metafora.
Dari sudut penggunaan bahasa yang ditampilkan oleh Romo Mangun
dalam novel ini, pengarang tidak mempergunakan bahasa Indonesia secara
polos, namun bercampur dengan kosakata dari bahasa lain, misalnya bahasa
126
127
Ibid., h. 74.
Ibid., h. 167-168.
131
Jawa, Latin, Inggris, hingga Belanda. Sehingga hal itulah yang membuat
penceritaan -jika dipandang dari segi bahasanya- dapat terlihat lebih hidup
dan berwarna.
“Inggih, inggih, baik itu Den Rara. Baik sekali. Lalu menggelenggeleng: Tidak! Sungguh tidak, saya akan diam. Lalu ia mengambil
selembar daun pisang, dibuatnya takir, tolong biting itu”128
Dari sudut pengarangnya dapat ditinjau latar belakang budaya dan motivasi
yang menyebabkan pengarang menggunakan banyak kosa kata dan
pengertian-pengertian dari bahasa Jawa. Akan tetapi pada istilah yang
kiranya susah dimengerti oleh pembaca, pengarang menyertakan catatan
kaki yang berguna untuk menjelaskan kepada pembaca. Seperti pada contoh
kutipan di bawah ini.
“Nonsens. Anak Kapitein Basuki legiun Mangkunegara kok serdadu
biasa. Ayo, jangan anstil5) kayak perawan rumah-piatu susteran.
Bagaimana? Ia mengulurkan tangannya minta dijabat.”129
5)
Dari kata aanstellerig (Bld): manja dan sentimentil.
Dapat diketahui gaya penulisan Romo Mangun lebih dikenal dengan
ciri khasnya yang ironi, satire, penuh dengan pelesetan-pelesetan. Maka
tidak heran, novel ini diceritakan dengan gaya bahasa yang memancarkan
semangat hidup yang besar dan diwarnai dengan gaya humor yang kadangkadang meledak dalam sikap sinisme dan sarkasme para tokohnya, serta
dijiwai pula dengan renungan-renungan falsafi.
“Tetapi tiba-tiba seperti pemburu-pemburu Angkatan Udara mereka
menukik dan menyambar seekor kupu-kupu kuning yang kasihan
sekali, baru saja merasakan kemerdekaan dari kepompongnya dan
tahu-tahu sudah diculik oleh makhluk-makhluk bersayap serba cepat
dan serba hitam itu. Atik masih sempat melihat kupu-kupu kuning tadi
diserang dan dibawa lari oleh pemburu-pemburu yang ternyata bukan
tukang jahit bergunting, tetapi penyamun. Mengapa Allah Yang Maha
Pemurah dan yang memberi sekian banyak keindahan kepada
ciptaanNya membiarkan makhluk-makhluknya saling membunuh?”130
128
Ibid., h. 13.
Ibid., h. 65.
130
Ibid., h. 22.
129
132
Pengarang melalui kutipan di atas bermaksud menyindir bangsa Indonesia
dengan perlambangan “kupu-kupu kuning yang kasihan sekali, baru saja
merasakan kemerdekaan dari kepompongnya dan tahu-tahu sudah diculik
oleh makhluk-makhluk bersayap serba cepat dan serba hitam itu”. Maksud
dari sindiran itu adalah bangsa Indonesia yang baru saja merasakan merdeka
dari tangan para penjajah, baru dapat bernafas lega dari genggaman
kolonialisme, justru sudah harus kehilangan kemerdekaannya lagi yang
disergap oleh kaum-kaum penyamun yang serba hitam yang tidak lain
bangsa Indonesia itu sendiri. Dengan kata lain, pengarang ingin
menggambarkan seperti pribahasa “musuh dalam selimut”. Begitu dengan
renungan filsafat teramat dalam ditunjukkan oleh pengarang terlihat dari
kalimat “Mengapa Allah Yang Maha Pemurah dan yang memberi sekian
banyak keindahan kepada ciptaanNya membiarkan makhluk-makhluknya
saling membunuh?”. Dengan begitu, metafor alam banyak menjadi pilihan
Romo Mangun dalam penggambaran cerita dalam novel ini.
Dalam novel sering pengarang memberikan sikap skeptis penuh
dengan ejekan, serta selalu mengkritik tokoh-tokoh rakyat Indonesia yang
digambarkan bodoh nan lugu. Namun, dibalik itu sebenarnya terimplisit
keprihatinan yang mendalam yang didorong oleh rasa cintanya pada rakyat
yang bodoh lagi lugu itu.
“Hey Boy, ke sini. Jongosnya Paymin alias Paimin tadi datang dan
menunduk-nunduk hormat. Ia diberi ular kencana tadi. “Kasih liat
sama Tuan.” Tamunya yang disebut Mr. Seta tadi menggelenggelengkan kepala. “Ada apa Mr. Seta?” Maaf, Excellency tapi
sungguh, saya selalu sedih kalau melihat orang menunduk-nunduk
seperti kuli jaman Rafless.”131
Dialog tersebut terjadi setelah Indonesia merdeka dan diakui oleh dunia.
Namun, siapa sangka kemerdekaan yang diartikan “bebas” malah
menjadikan rakyatnya bukan bebas merdeka tapi menjadi bangsa kuli,
seperti yang diungkapkan Setadewa, “katanya sudah merdeka tetapi kenapa
malah seperti hidup di zaman Rafless dulu”. Kemirisan yang dirasakan
131
Ibid., h. 204.
133
Setadewa itulah yang bersifat implisit mengenai keprihatinan terhadap
bangsa Indonesia. Maka tidak heran dia selalu menggambarkan orang-orang
Indonesia selalu seperti babu dan bermental kuli.
“Segala omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang
menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih
merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah mahkota
Belanda? Merdeka mana, merdeka di bawah singgasana raja-raja Jawa
mereka sendiri daripada di bawah Hindia Belanda?”132
Kutipan
di
atas
merupakan
ungkapan
kritikan
Setadewa,
yang
mempertanyakan tentang makna “merdeka” bagi “seluruh” rakyat
Indonesia. Bahkan tidak hanya Setadewa, melalui tokoh warga desa biasa
pun pengarang menggambarkan kegelisahan akan makna kemerdekaan yang
selama ini dipertaruhkan oleh para bangsa Indonesia itu sendiri.
“Jaman merdeka ini sulit sekali. Dulu jelas: siapa lurah siapa
asistenwedana dan pelpolisi atau tentara, jelaslah sudah. Di mana
mereka tinggal, dapat atau tidak dapat minta tolong apa atau apa,
selalulah dibereskan; asal tidak bohong dan ada bukti-buktinya. Dan
juga setiap orang tahu, siapa yang berkuasa dan tidak, di mana dan
dalam hal apa. Omong-omong dengan pembesar Belanda sebetulnya
enak juga, asal tahu dir dan membongkok hormat; dapat omong seapa
adanya; seperti kalau orang-orang tani omong dengan Cina-cina, entah
pemilik toko emas dan kain atau mendring yang sering berkeliling
bersepeda di desa-desa menawarkan pihutang.”133
Kutipan di atas merupakan bentuk sindiran secara langsung atau disebut
dengan sarkasme. Kutipan tersebut merupakan perenungan tokoh Pak
Trunya, seorang warga desa biasa. Melalui sudut pandang warga biasa
kemerdekaan malah disebut sebagai suatu zaman yang rusuh dan serba tidak
karuan, bukannya digambarkan sebagai zaman yang penuh dengan hidup
yang normal, serba bebas, dan harmonis.
Walaupun tokoh utama dalam novel ini memilih jalan berpihak
kepada Belanda. Terlepas dari itu semua, justru pengarang dalam hal ini
sering memberikan sindiran-sindiran yang sifatnya berkebalikan.
132
133
Ibid., h. 58.
Ibid., h. 106-107.
134
“Tetapi memang muka dan kulitku mendekati Mami punya. Hanya
dalam kejiwaan barangkali aku ikut Papi, Si Blo‟on gembala sapi”134
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa papinya Setadewa, yakni Brajabasuki
merupakan orang yang sangat suka bergaya eropa dan lebih memilih masuk
KNIL dari pada mengabdi pada raja-raja Inlander. Sedangkan maminya,
yakni Marice merupakan orang keturunan Belanda asli yang cinta teramat
dalam terhadap kebudayan Jawa. Melalui kutipan di atas terlihat justru
pengarang melalui Setadewa ingin menjelaskan secara fisik ia keturunan
dari maminya yang bergaya Indo, sedangkan secara kejiwaan keturunan dari
papinya yang bergaya eropa. Maka dalam novel ada ungkapan “kenapa
dalam novel ini ia lebih memilih berpihak kepada Belanda”. Barangkali ia
seperti Si Blo’on gembala sapi. Begitupun, sindiran secara langsung juga
kerap ditampilkan pengarang.
“Dan kulit Mamiku putih langsep mulus; nah itu justru bukti Mami
bukan totok. Sebab orang Belanda berkulit merah blentong-blentong
seperti genjik anak babi.” 135
Dalam novel, sering sekali pengarang memakai sindiran-sindiran dan
pemakaian bahasa yang sarkas digunakan oleh pengarang melalui tokoh
utama Setadewa dan sering ditujukkan oleh tokoh orang kampung biasa. Hal
tersebut sangat terasa ketika penceritaan diambil alih oleh narator, ketika
narator menceritakan tokoh utama, Setadewa dan Larasati dan orang-orang
yang memiliki derajat pendidikan tinggi. Sedangkan porsi bahasa yang
digunakan kala menceritakan tokoh-tokoh tambahan lainnya, terutama orang
kampung, porsi bahasa yang digunakan terkesan menggunakan bahasa yang
lebih kasar atau sarkasme.
7. Amanat
Berbicara mengenai amanat atau pesan yang ingin disampaikan
pengarang melalui novel, tentulah sangat banyak. Namun, di sisi ini penulis
134
135
Ibid., h. 7.
Ibid., h. 4.
135
mengangkat amanat yang mengacu pada pemikiran pengarang terhadap apa
yang sering diangkat melalui tulisan-tulisannya. Amanat paling dominan
yang diangkat oleh pengarang di dalam novel ini adalah mengenai sejarah
yang penuh dengan keanomalian. Bila berbicara mengenai sejarah, selama
ini banyak orang hanya dihadapkan pada “hitam – putih” pergumulan
sejarah.136 Berangkat dari pemahaman itu, pada hakikatnya novel ini tidak
hanya berbicara mengenai sejarah yang serba anomali. Tetapi ada pesan lain
yang lebih hakiki untuk digarisbawahi.
Dalam novel, pengarang dalam hal ini tidak menyampaikan sejarah
dengan nada otoriter. Tetapi lebih kepada pengalaman dan kejujuran dari
apa yang pernah ia saksikan dahulu. Pantaslah bila menaruh anggapan
bahwa perlulah melihat sejarah dari sisi manusianya sendiri. Dengan kata
lain, melihat sejarah haruslah dari kacamata hati nurani manusianya.
“...kita harus berhati-hati, begitu hikmah ayah yang dikatakan kepada
Atik, jangan menilai orang lain jelek, hanya karena nampaknya hitam.
Tokoh Kresna di pewayangan, nah itu contoh lagi: raja perwira
penasihat Pendawa terulung, walaupun serba hitam.”137
Kutipan di atas merupakan kutipan dialog Pak Antana dengan Larasati.
Melalui dialog tersebut pengarang ingin menyampaikan bahwa segala
sesuatu yang terlihat buruk, belum berarti buruk sebelum benar-benar
mengetahui kadar hatinya yang terdalam. Dapat diibaratkan, walaupun
Setadewa berada di pihak Belanda yang notabene menjajah bangsa
Indonesia, namun dalam tahap penilaian diri tidak bisa hanya didasarkan
pada hal yang serba belum pasti seperti itu.
Kutipan di atas dapat dipertegas melalui pernyataan Larasati ketika
menjabarkan tentang tesisnya.
“Sebab, walaupun kita adalah manusia dan berbakat kesadaran serta
berpotensi emosional mampu memilih dan mengambil keputusan yang
berdaulat, kita tidak boleh lupa, bahwa kita tertambat dengan berjuta-
Menurut Romo Mangun sejarah tidak hanya didasarkan pada pemahaman “hitam –
putih“ saja, karena “menang – kalah” dalam pergumulan sejarah ialah sesuatu yang nisbi.
137
Mangunwijaya, op. cit., h. 26-27.
136
136
juta benang halus sutera tak tampak dengan alam raya dan dunia flora
dan fauna. Juga dengan tanah air dan rakyat.”138
Bahwa dalam mengambil segala keputusan baik itu menilai, individu tidak
boleh memutuskan perkara dengan sewenang-wenang berdasarkan suka atau
tidak suka saja. Setiap individu harus mampu berpikir jernih sehingga dapat
meminimalisir suatu kesalahan yang dapat berakibat fatal bagi dirinya juga
orang lain. Pada hakikatnya manusia selain memiliki hak, juga memiliki
kewajiban yang harus dijalankan. Melalui cerminan itu manusia diharapkan
memahami batasan-batasan dalam dirinya, sehingga dalil siapa menang,
siapa kalah perlu diperadabkan menjadi prinsip siapa benar, siapa keliru,
siapa baik, siapa jahat, serta siapa menebarkan keindahan dan siapa
menebarkan keburukan.
Maka dalam pada itu, secara garis besar amanat dalam novel ini lebih
kepada persoalan kompleksitas dalam memahami posisi seseorang di masa
revolusi fisik. Dengan titik tolak bercermin tentang konflik psikologis
manusia yang abadi, yaitu kebebasan dan kedaulatan dalam hal memilih
atau merdeka dengan sepenuh-penuhnya.
B. Gagasan Revolusi pada Tokoh-tokoh Novel Burung-burung Manyar Karya
Y.B. Mangunwijaya
Secara substansial revolusi merupakan proses perwujudan transformasi
struktural dan kultural secara cepat, radikal, total dan berskala besar menuju
kehidupan yang baru. Kehidupan yang baru tersebut dipahami sebagai hasil
dari perubahan yang terjadi di tengah masyarakat yang tertindas, dengan
mendasarkan perubahan struktur feodal-kolonial menjadi tatanan kehidupan
yang bebas merdeka. Bahkan terkadang bagi sebagian kelompok, revolusi
dipandang belumlah cukup manakala perubahan itu hanya sebatas persoalanpersoalan struktural, pernyataan tersebut dilandasi dari konsep revolusi itu
sendiri yang mengharapkan terjadinya perombakan secara totalitas dan
berskala besar. Dengan kata lain, revolusi mesti bersifat multidimensional
138
Ibid., h. 251.
137
yang mengakibatkan perubahan institusional yang dinamis, sehingga
menimbulkan destrukturalisasi dan diferensiasi norma-norma, nilai-nilai, dan
simbol-simbol, serta harus mencakup pula unsur-unsur yang esensial.
Berpijak dari konsepsi revolusi Sjahrir dan Tan Malaka, melalui novel
Burung-burung Manyar, Romo Mangun menyoroti masalah revolusi seluruh
komponen bangsa Indonesia, terutama revolusi bangsa Indonesia yang
“seharusnya” tidak hanya berhenti pada revolusi nasional saja. Mangun
mencoba mengungkapkan gejolak revolusi bangsa Indonesia dengan konsep
revolusi yang digagas oleh Sjahrir dan Tan Malaka. Konsepsi tersebut jelas
tergambar dalam novel khususnya melalui latar yang disuguhkan oleh
pengarang, serta dipertajam melalui segala tindak-tanduk serta pemikiran
tokoh-tokoh terutama tokoh utamanya (Setadewa dan Larasati).
1. Latar Revolusi Novel Burung-burung Manyar sebagai Refleksi Sejarah
Indonesia
Dalam novel Burung-burung Manyar –jika berbicara mengenai waktu
kejadian pada novel yang dikaitkan dengan suatu bentuk revolusi– terdapat
tiga bagian yang dipetakan oleh pengarang sebagai penjelas latar waktu
kejadian, sekaligus menjelaskan kepada pembaca bahwa tokoh utama
mengalami sendiri empat zaman berbeda yang terjadi di Indonesia. Pada
Bagian I terjadi dari tahun 1934 sampai 1944 (zaman prakemerdekaan),
pada bagian ini pengarang menceritakan kehidupan masa kecil tokoh utama
(Setadewa dan Larasati) yang mengalami hidup pada “zaman Belanda”
hingga mencapai keruntuhannya (sampai Jepang datang mengambil alih
Indonesia).
Bagian II terjadi dari tahun 1945 sampai 1950 (zaman
kemerdekaan atau perang kemerdekaan) pengarang menceritakan suasana
Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaan setelah Jepang
kalah dalam Perang Dunia II, dan akibatnya terjadi pergolakan besar yang
disebut sebagai Agresi Militer Belanda. Menariknya, di sini tokoh utama
(Setadewa dan Larasati) ditempatkan pada posisi yang berlawanan dalam
perjuangan. Bagian III terjadi dari tahun 1968 sampai 1978 (zaman
138
pascakemerdekaan) pengarang menceritakan perubahan-perubahan yang
terjadi di Indonesia baik dari segi pemerintahan, perekonomian, dan
sebagainya setelah Indonesia benar-benar mengukuhkan diri sebagai bangsa
yang sudah merdeka.
a. Zaman Penjajahan Belanda
Burung-Burung Manyar terbagi menjadi tiga periode sejarah
Indonesia. Berkaca dari sejarah, tiga periode itu sesuai dengan sejarah
revolusi kemerdekaan di Indonesia. Pertama, pada Bagian I terjadi tahun
1934-1944, rangkaian waktu para pejuang Indonesia gigih melawan
penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Pada
bagian ini novel dibuka dengan menceritakan kehidupan tokoh utama
Setadewa, seperti pada kutipan berikut.
“Pernah dengar anak kolong? Nah, dulu aku inilah salah satu
modelnya. Asli Totok. Garnisun divisi II Magelang (ucapkan:
MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang: totok.
Jadi KNIL”.139
Kehidupan anak kolong yang digambarkan novel sesuai dengan kondisi
Indonesia saat itu. Menurut Matanasi serdadu bujangan biasanya tidur di
tempat tidur berjajar, sedang yang berkeluarga akan tidur di barak-barak
bersekat ukuran 3 x 4 meter. Kondisi barak sebenarnya terlalu sempit
untuk keluarga KNIL itu. Sehingga tidak jarang anak-anak serdadu itu
tidur di kolong. Maka dari situlah muncullah istilah anak kolong.140
Selain itu KNIL juga sama dengan fakta sejarah. Pada tahun 1933,
Perdana Menteri Hendrik Colijn -yang juga pernah menjadi perwira Oos
Indische Leger- meresmikan pasukan yang sudah menumpas banyak
pemberontakan itu menjadi Koninklijk Nederlands Indisch Leger atau
biasa disingkat KNIL.141
139
Mangunwijaya, op. cit., h. 3.
Petrik Matanasi, KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) Bom Waktu
Tinggalan Belanda, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007), h. 29-30.
141
Mangunwijaya, op. cit., h. 17.
140
139
”Tentara Kerajaan itu tentara Belanda totok dari Negeri Kincir
Angin. KNIL, nah itu tentara sewaan Hindia Belanda. Tentara
Kerajaan itu tentara sinyo-sinyo pucat dan berbau keju. Kalau
KNIL, nah, ini gerombolan bandit VOC! Hahaa, dan tertawalah ia
untuk pertama kali. Mau ikut main bandit-banditan?”142
Sepanjang sejarahnya KNIL lebih berfungsi sebagai pasukan yang
menghantam pemberontakan lokal. Pekerjaan KNIL adalah menghabisi
sekerumunan orang-orang awam tertindas yang bersenjatakan parang,
tombak, atau hanya belati. Sementara itu KNIL menghantam mereka
dengan senjata api modern, untuk ukuran waktu itu. Wajar bila KNIL
sukses dalam menjalankan banyak tugas yang diembannya.143 Sementara
itu, penyerahan tanpa syarat pada Belanda pada 8 Maret 1942 di Kalijati,
secara tidak langsung telah membubarkan KNIL. Penyerahan tanpa
syarat itu juga ditandai menyerahnya Letnan Jenderal Ter Porten,
Panglima KNIL.144
“Ia telah dilepas dari tahanan militer setelah beberapa bulan
meringkuk sebagai lawan perang Jepang. Dunia-serba-gemilang
kami telah cepat runtuh. Jepang datang. KNIL kalah dan bubar.”145
b. Zaman Penjajahan Jepang
Zaman pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan
periode yang terbilang penting dalam sejarah Indonesia. Pada zaman ini
banyak terjadi perubahan yang mendasar pada sendi-sendi kehidupan
bangsa Indonesia. Zaman pendudukan Jepang tersebut dipandang sebagai
masa yang sangat singkat, namun memberikan dampak yang sangat
dalam pengaruhnya. Selain segi-segi yang merugikan yang menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan rakyat akibat pendudukan Jepang, segisegi yang menguntungkan pun ada dan dirasakan pula oleh bangsa
142
Ibid., h. 64-65.
Ibid, h. 51.
144
Matanasi, op. cit., h. 100.
145
Mangunwijaya, op. cit., h. 31.
143
140
Indonesia menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan, terutama
yang menyangkut perkembangan gerakan nasionalisme di Indonesia.146
Dengan segala kekejaman dan kesadisan Jepang, maka tidaklah
heran jika bangsa Indonesia membuat strategi politik “Gerakan Bawah
Tanah”. Perlawanan yang dilakukan secara tersembunyi tersebut juga
digambarkan oleh Romo Mangun dalam novel Burung-burung Manyar.
“Pada awal pendudukan Jepang, Papi masih sering dikunjungi
beberapa “tokoh bawah tanah”, yang hampir semua tidak kukenal.
Pernah dari bilik kamar tidurku kudengar nama Amir Syarifudin
terucap dalam percakapan serba teredam di dalam kamar tengah
yang terkunci. Baru kelak sesudah Jepang kalah kita tahu bahwa
Amir Syarifudin mendapat f 60,000 dari Pemerintah Hindia
Belanda untuk menyusun aksi di bawah tanah melawan Jepang.”147
Gerakan bawah tanah merupakan salah satu bentuk perjuangan yang
dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam upaya mengalahkan Jepang.
Adapun latar belakang terbentuknya gerakan ini karena terlalu kuatnya
pemerintahan Jepang di dalam menekan rakyat Indonesia. Salah satu
tokohnya yakni Amir Syarifudin, seperti yang terdapat pada kutipan di
atas. Konon juga gerakan ini dikomandoi oleh Belanda sebagai strategi
untuk mengalahkan Jepang.
Zaman pendudukan Jepang sebenarnya dipandang sebagai sebuah
masa transisi dari periode penjajahan kolonial Belanda dengan masa
kemerdekaan.148 Pendudukan Jepang yang terjadi selama tiga setengah
tahun tersebut merupakan suatu periode yang paling menentukan dalam
sejarah Indonesia. Meskipun masa pendudukan Jepang merupakan suatu
pengalaman berat dan pahit bagi kebanyakan orang Indonesia, hal itu
merupakan masa peralihan, yang dalam beberapa hal gerakan nasionalis
mendapatkan kemajuan. Namun yang dirasakan oleh kebanyakan rakyat
berada dalam ketakutan, penderitaan, dan tekanan yang sangat berat dari
146
Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan
hingga Kemerdekaan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), h. 176.
147
Mangunwijaya, op. cit., h. 35.
148
William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya
Revolusi Indonesia (Surabaya 1926 – 1946), (Jakarta: Gramedia, 1989), h. xii.
141
Balatentara Jepang. Pasalnya, tenaga kerja Indonesia dieksploitasi lebih
kejam daripada zaman Belanda.
”Mbok Inem menderita, sambung istrinya lagi. Anaknya
diberangkatkan sebagai romusha. Mengapa sampai terjadi itu?
Romusha kan boleh pulang kelak, Pak? Ya, selalu saja itu
mungkin, (dan nada getir sinis) istilah sekarang: kelak di kemudian
hari.”149
Pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang meningkatkan pengerahan
romusha, terutama para petani yang diambil dari desa-desa mereka di
Jawa dan dipekerjakan sebagai buruh di mana pun pihak Jepang
memerlukan mereka. Tidak diketahui dengan pasti berapa jumalah yang
terlibat. Namun kemungkinan besar paling sedikit 200.000 orang dan
mungkin sampai sebanyak setengah juta orang. Di antara mereka yang
dapat ditemukan dalam keadaan hidup sampai akhir perang sejumlah
70.000 orang.150
Sedangkan kaum wanita mengalami penderitaan yang lebih
menyedihkan lagi. Selain mengambil hasil bumi Indonesia, Jepang
mengambil juga wanita-wanita Indonesia untuk menjadi jogun ianfu.
Menurut arti harfiahnya jogun ianfu berarti wanita penghibur yang
mengikuti tentara. Dalam dokumen-dokumen resmi tentara Jepang, nama
resmi para wanita penghibur ini adalah teishintai, atau ”barisan sukarela
penyumbang tubuh”. Kenyataannya banyak di antara jogun ianfu
bukanlah wanita yang bersedia menghibur tentara Jepang secara suka rela
dengan tubuh mereka.151
“Pokoknya Mami mendapat ultimatum dari Kepala Kenpeitai
yangberwenang atas nasib Papi. Mami boleh pilih: Papi mati atau
Mami suka menjadi gundiknya. Mami memilih yang akhir.”152
Kutipan di atas yang menjadi penyebab konflik semakin meningkat dan
mengawali perkembangan penokohan Setadewa yang benci terhadap
149
Mangunwijaya, op. cit., h. 49.
Ricklefs, op. cit., h. 308.
151
N. Hidayat, Di Bawah Kibaran Bendera Matahari Terbit, (Jakarta: Nilia Pustaka,
2007), h. 37.
152
Mangunwijaya, op. cit., h. 41-42.
150
142
segala berbau Jepang. Di sisi lain, pendudukan Jepang yang relatif
singkat di Indonesia itu telah mempercepat aktivitas pergerakan
kebangsaan Indonesia menuju pembentukan negara nasional yang
merdeka.
c. Perang Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan diumumkan, perjuangan bangsa
Indonesia memasuki tahapan baru, yaitu perjuangan membela dan
mempertahankan kemerdekaan terhadap ancaman kembalinya penjajah.
Sejak itu terjadilah kesibukan bagi bangsa Indonesia untuk mengambil
alih kantor-kantor dan kekuasaan dari tangan penjajah, khususnya yang
menjadi sorotan saat itu para pemuda. Seperti yang digambarkan oleh
Romo Mangun dalam novel.
”Soekarno itu api. Kita butuh api. Tanpa semangat tidak ada daya.
Tetapi itu baru separoh. Harus disalurkan secara rasional, agar
menjadi mesin yang baik jalannya, dan tidak membakar segala hal,
termasuk diri sendiri.”153
Kutipan di atas dilontarkan Larasati kepada ayahnya ketika berbicara
mengenai kemerdekaan Indonesia. Dari pembicaraan tersebut sebagai
penegas bahwa perempuan juga ikut aktif dalam revolusi (seperti yang
telah dibahas di atas).
Kekuatan asing berikutnya yang harus dihadapi oleh Republik
Indonesia adalah pasukan-pasukan Sekutu, yang ditugaskan untuk
menduduki wilayah Indonesia dan melucuti tentara Jepang. Maka
pasukan Sekutu mengirim Komando Asia Tenggara (South East Asia
Command) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten.
Untuk melaksanakan tugas itu Mountbatten membentuk suatu komando
khusus yang diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies
(AFNEI). Seperti yang digambarkan dalam novel.
153
Mangunwijaya, op. cit., h. 45
143
“Pada saat itu datanglah patroli tentara Inggris. Aku benci sekali
pada mereka itu. Orang-orang sok gentlemen itu dijadikan tuan di
Hindia Belanda, hanya karena persetujuan antar Sekutu.154
Menurut sejarahnya, kedatangan Sekutu semula disambut dengan sikap
terbuka oleh pihak Indonesia. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa
pasukan Sekutu datang membawa orangorang NICA yang hendak
menegakkan kembali kekuasaan kolonial Hindia Belanda, sikap
Indonesia berubah menjadi curiga dan kemudian bermusuhan. Situasi
dengan cepat menjadi buruk setelah NICA mempersenjatai kembali
bekas KNIL yang baru dilepaskan dari tahanan Jepang. Orang-orang
NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya, dan Bandung mulai memancing
kerusuhan dengan cara mengadakan provokasi.155 Dari sinilah kemudian
yang mengakibatkan adanya Agresi Militer Belanda I dan II.
d. Zaman Orde Baru
Setelah pemerintahan Orde Baru berkuasa, kebijakan politik
pertama yang dijalankan adalah menciptakan stabilitas nasional, terutama
di bidang ekonomi dan politik. Sebab tanpa adanya stabilitas, maka suatu
bangsa tidak akan dapat melaksanakan pembangunan. Keputusan itu
diambil ketika menyadari bahwa bangsa Indonesia pada saat-saat
tumbangnya Orde Lama mengalami krisis dalam berbagai kebutuhan
hidup terutama pangan dan sandang, maka segala usaha dikerahkan
untuk
memenuhi
keperluan utama rakyat
dalam jumlah
yang
mencukupi.156 Dari itu, demi terwujudnya stabilitas bangsa, maka
pemerintah dalam berbagai tingkatan senantiasa mengadakan koordinasi
untuk
mewujudkan
program
pemerintah
pusat.
Seperti
yang
tergambarkan dalam novel.
154
Ibid., h. 75.
Ginanjar Kartasasmita dkk, 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949, (Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1981), h. 45.
156
Radik Utoyo Sudirjo, Fajar Orde Baru Lahirnya Orde Baru. (Jakarta: Badan Penerbit
Almanak Republik Indonesia, 1979), h. 85.
155
144
“Tetapi di kelurahan Dinas Penerangan hanya berceramah, agar
rumah penduduk jangan dibuat dari bambu. Pertama: itu sudah
terbelakang, tidak sesuai dengan Orde Pembangunan. Akan tetapi
kedua: karena berbahaya juga.”196
Kutipan di atas menerangkan bahwa zaman Orde baru merupakan
suatu orde pembangunan. Segala sesuatu yang dianggap usang, sebisa
mungkin akan diganti yang baru oleh pemerintah pusat. Tidak terkecuali
dengan rumusan peraturan, seperti yang digambarkan dalam novel.
Selain itu, untuk menciptakan dan mempertahankan keadaan aman dan
terkendali pemerintah, melalui aparatnya terutama tentara dan aparat
hukum lainnya menegakkan hukum secara tegas dan keras.
Seperti yang tergambarkan dalam novel setelah bangsa Indonesia
meraih kemerdekaan atau dengan kata lain telah menyelesaikan revolusi
nasionalnya, setiap individu bukannya bersama-sama memikirkan perihal
kemajuan bangsa, namun yang tergambarkan mereka malah sibuk dalam
hal mengisi kekuasaan dan memikirkan kepentingan individu.
“Bapak Gubernur tampak kesal melihat bangsanya begitu
terbelakang, ndeso. Begitu juga Pak Bupati; tetapi bukan karena
anak-anak itu kurang internasional, tetapi karena ia baru bupati
penjabat. Karena itu apa pun yang mungkin dapat menjadi batu
perintang kenaikan pangkatnya menjadi bupati sungguh-sungguh
harus disingkirkan.”157
Bapak Gubernur yang dimaksudkan pada kutipan di atas adakah tokoh
Samsu yang digambarkan sebagai seorang pemuda Indonesia yang pada
masa revolusi nasional digambarkan sebagai seorang yang jahat dan
bengis terhadap sesama rakyat Indonesia. Akan tetapi, apa yang terjadi
setelah perubahan terjadi orang-orang seperti dialah justru yang mengisi
jabatan-jabatan pemerintahan di Indonesia pada masa Orde Baru.
kejadian-kejadian seperti itu sebenarnya sangat bertentangan dengan apa
yang dicita-citakan oleh revolusi.
Pada zaman Orde Baru di dalam novel, seperti apa yang disaksikan
juga oleh Setadewa yang dianggapnya sama sekali tidak mengalami
157
Mangunwijaya, op. cit., h. 182.
145
perubahan (bahkan cenderung lebih parah), dapat terlihat dari cerita
mengenai pajak yang dikenakan kepada setiap masyarakat yang
mempunyai peliharan ternak seperti sapi. Seringkali juga keamanan para
masyarakat terganggu oleh aksi ranmpok-rampok yang menggrogoti
bangsanya sendiri.
“Jelasnya, menurut peraturan baru dari kelurahan. Siapa yang
kehilangan kerbau atau ternak apa pun, dia harus didenda. Aku
terperanjat di lincak luar. Didenda? Mana bisa? Orang yang
kehilangan bahkan dindenda? Gila! Itu kan terbalik! Ya, orangorang itu sudah maklum. Dan mereka akan taat kepada peraturan
pemerintah. Akan tetapi apa tidak mungkin ada kebijaksanaan...
artinya kemurahan atau perkecualian? Tidak mungkin! Ini bukan
lagi jaman liberal seperti dulu. Semua harus berdisiplin partisisapi
pembangunan.”158
Bahkan menurut apa yang pada zaman dahulu ditetapkan oleh Belanda
sebagai politik keamanan dan ketertiban, pada masa Orde Baru
ditemukan kembali.
“Sebab menurut pemerintah, sudah terlalu banyak kerbau dan
kambing hilang. Maka perlu diadakan tindakan untuk
menanggulangi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan itu, yang
memberi kesan, seolah-olah negara kita ini liberal dan hanya penuh
kekacauan saja. Maka perlulah semua itu ditertibkan, dan semua
orang harus ikut bertanggung jawab... Jika toh terjadi ada yang
kehilangan kerbau dan sebagianya, jelaslah ia kurang waspada dan
lalai dalam tugasnya terhadap keamanan dan ketertiban
masyarakat. Maka ia harus didenda. Itu bukan hukuman atau
keputusan hakim, tetapi hanya prepentip, artinya sedia payung
sebelum hujan, agar semua berjalan tertib dan tidak menimbulkan
keresahan yang tidak perlu.”159
Menurut sejarawan Onghokham, sejak tahun 1860 pemerintah HindiaBelanda menerapkan kebijakan yang dikenal dengan nama rust en orde
yang artinya keamanan dan ketertiban. Tujuannya untuk dapat dengan
mudah mengatur sekian banyak masyarakat Indonesia, disamping
mengatur untuk berkuasa penuh serta sekalian mengambil manfaat
158
159
Ibid., h. 239.
Ibid., h. 241-242.
146
berupa pajak dan retribusi dari seluruh aspek kehidupan dan penghidupan
bangsa Indonesia dan juga bangsa asing yang ada di Indonesia.160
Ini membuktikan bahwa warisan feodal-kolonial masih sangat
melekat dalam masyarakat Indonesia. Padahal segala sesuatu yang
berhubungan dengan kolonialisme dipandang sebagai penghambat
jalannya revolusi. Perubahan yang fundamental tersebut disertai
timbulnya pergolakan-pergolakan sosial, yang dalam beberapa kasus di
daerah-daerah di Indonesia merupakan suatu revolusi sosial. Perubahan
yang fundamental ini tampak pada perubahan struktur sosial dan politik,
dan struktur kolonial dan feodal ke struktur masyarakat yang bercorak
republik (demokrasi).
2. Setadewa sebagai Artikulator Revolusi
a. Pengaruh Revolusi Terhadap Kepribadian Setadewa
Pada awal pembukaan novel, tokoh utama memperkenalkan diri
sebagai anak kolong yang asli totok Garnisun divisi II Magelang. Di sini
tokoh utama ingin menjelaskan bahwa dia bukan peranakan Belanda,
melainkan asli Magelang. Magelang adalah pusat pembinaan pegawai
pemerintahan pada masa tersebut. Magelang adalah satu dari tiga tempat
didirikannya hoofdenscholen (sekolah para pemimpin) selain Bandung
dan Prabalingga, yang kemudian diganti nama menjadi OSVIA
(Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) yakni sekolah
pendidikan bagi pegawai-pegawai pribumi pada zaman Belanda.161
“Asli totok Garnisun divisi II Magelang (ucapkan: MaKHelang).
Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang: totok. Jadi KNIL
jelas kolonial, mana bisa tidak.”162
Romo Mangun juga ingin menegaskan bahwa tokoh utama Setadewa
besar di tangsi militer, dan juga daerah ini dikenal dengan pendidikan
160
Onghokham, Rakyat dan Negara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 96.
MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1999), h. 148.
162
Mangunwijaya, op. cit., h. 3.
161
147
militernya. Hal itu tidak terlepas bahwa Magelang dijadikan kota militer
oleh Belanda, maka tidak heran julukan kota Magelang adalah kota
militer. Melalui penggambaran latar inilah yang menguatkan karakter
tokoh utama sebagai prajurit yang memiliki jiwa militer yang kuat,
karena besar dan dididik di kawasan kota militer.
Selain itu juga, Setadewa dibesarkan di luar kebiasaan tradisi
keraton Jawa. Lingkungan kecilnya diwarnai oleh pergaulan yang luas
dan
bebas.
Latar
belakang
demikian
memungkinkan
Setadewa
mengalami pengaruh budaya Barat yang berimbas pada transformasi cara
pandang dan kepribadiannya. Hal tersebut dikarenakan identifikasi
Brajabasuki dengan budaya Belanda berpengaruh terhadap pembentukan
kepribadian Setadewa. Ia kemudian mengembangkan identitasnya
berdasarkan identitas yang dikembangkan ayahnya. Maka tidak heran
Setadewa “hidup bebas” dengan bergaul dengan golongan mana saja.
“Akan tetapi, aku merasa Papi tidak berkeberatan, atau paling
sedikit membiarkan aku mempunyai kawan-kawan bermain dari
kalangan proletar tangsi. Pernah di kamar aku mendengar Mami
protes keras dan menuduh Papi kurang mendidik anaknya. Dan
kalau tidak salah Papi bilang tentang: pengalaman hidup praktis,
kelak si anak, kalau jadi komandan atau pegawai tinggi, dapat
beruntung berkat pergaulan dengan lapisan bawahan dan
sebagainya atau semacam itu.”163
Pergaulan Setadewa sebagian besar berasal dari kalangan pegawai rendah
sehingga memungkinkannya mematahkan jarak antara kalangan atas dan
kalangan bawah dalam struktur sosial.
Setadewa menginternalisasi nilai-nilai yang ditunjukkan oleh ayahibunya dengan tetap memiliki kebebasan memilih. Faktor hereditas
(keturunan) tetap diakui memberikan sumbangan bagi pilihan-pilihan
hidup Setadewa tetapi ia memiliki otonomi untuk melakukan pilihan
tindakan berdasarkan pengalaman-pengalaman lain yang ia terima dari
lingkungannya. Kehidupan tangsi militer memberi Setadewa kesempatan
menikmati kebebasan bermain dengan anak-anak dari kalangan pasukan
163
Ibid., h. 6-7.
148
kelas bawah secara egaliter. Kebersamaan dengan teman-teman
sepermainan
sesama
anak
tentara
Kumpeni
mendorongnya
mengidentifikasi diri sebagai anak kolong.
“Pernah dengar “anak kolong”? Nah, dulu aku inilah salah satu
modelnya. Asli totok Garnisun divisi II Magelang (ucapan:
MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang: totok.
Jadi KNIL jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku loitenant
keluaran Akademi Breda Holland. Jawa DAN Keraton! Semula
tergabung dalam Legiun Mangkunegaran. Tetapi Papi minta agar
dimasukkan ke dalam slagorde langsung di bawah Sri Baginda
Neerlandia saja; Ratu Wilhelmina kala itu. Tidak usah dibawahi
raja Jawa. Terus terang Papi tidak suka pada raja-raja Inlander,
walaupun konon salah seorang nenek canggah atau ganlung-siwur
berledudukan selir Keraton Mangkunegaran. Soalnya, Papi suka
hidup bebas model Eropa dan barangkali itulah sebabnya juga, ibu
kandungku seorang nyonya yang menurut babu-babu pengasuhku,
totok Belanda Vaderland sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak
percaya.”164
Paragraf di atas menggambarkan model pendidikan yang diterima oleh
Setadewa. Ia mengidentifikasi dirinya berdasarkan identifikasi diri
ayahnya, sebagai bagian dari masyarakat kolonial. Identifikasi tersebut
tidak sepenuhnya berhasil, karena pergaulannya dengan anak-anak
pribumi membuat Setadewa masih menyadari asal-usulnya sebagai
bagian dari pribumi. Ia berkembang dengan latar belakang kebanggaan
terhadap kehidupan bebas bersama kalangan pribumi. Pengalamannya
menjalani
kehidupan
kanak-kanak
bersama
anak-anak
pribumi
memberinya kesan bahwa ia berbeda dengan sinyo londo. Dengan
demikian, Setadewa tumbuh dalam suasana budaya hybrid, yaitu budaya
setengah Jawa dan setengah Barat.
Pengalaman kehidupan di masa kecil memberikan kesan mendalam
pada pribadi Setadewa. Sampai usia remaja, ia tetap mempertahankan
identitas diri yang ia peroleh dari pengalaman hidup di masa kecilnya
tersebut. Setadewa membentuk kepribadiannya dalam sebuah ruang
164
Ibid., h. 3.
149
sosial yang egaliter sehingga budaya Jawa yang sarat tata krama ala
kraton tidak banyak berpengaruh dalam pembentukan pribadinya.
Pada masa sekolah di Semarang, Setadewa mengalami berbagai
perkembangan kepribadian. Sekolah SMT yang ia ambil di Semarang
merupakan babak baru dalam kehidupannya, karena ia mulai belajar
hidup terpisah dari orang tuanya. Kebebasan hidup yang ia jalani sebagai
anak kolong di Magelang semakin terbuka lebar pada masa sekolah itu.
Sekolah SMT di Semarang membuat Setadewa mulai mengembangkan
identitas dan pandangan hidupnya sendiri. Ia mulai menyadari siapa dia
sebenarnya di tengah situasi baru yang menuntutnya mengambil posisi
dan loyalitas kelompok. Ia masuk dalam golongan pelajar yang tidak
sepaham dengan mayoritas pelajar lainnya, yaitu kelompok pelajar antiJepang. ia mengembangkan identitas diri sebagai anak Kumpeni yang
berafiliasi kepada pemerintah Belanda, bukan kepada Jepang. “Tetapi
seumumnya semua pelajar anti Belanda ... kecuali aku.”165
Menariknya dari novel ini adalah penggambaran perjalanan tokoh
Setadewa dalam menempuh bidang pendidikan. Menariknya adalah
ketika Setadewa dalam posisi apapun baik itu terkena konflik batin yang
sangat menggoncangkan jiwa ataupun ketika ia tidak suka dengan
keadaan zaman kala itu, namun begitu ia tidak pernah untuk
meninggalkan kewajibannya dalam hal pendidikan.
“Ketika itu aku memondok di Semarang meneruskan sekolahku di
SMT. Aku senang di Semarang, karena ternyata ada grup pelajar
yang berselera anti Jepang. Tetapi suasana memanglah
menjengkelkan bagiku. Kami diindoktrinasi dan dilatih bermodel
Jepang.”166
Walaupun Setadewa sangat membenci keadaan pada saat itu, dimana
Jepang berkuasa menggantikan Belanda yang memberikan efek kepada
keluarga yang harus mengungsi dari rumah dinas KNIL yang telah kalah
dan bubar. Akan tetapi, walaupun demikian Setadewa tetap melanjutkan
165
166
Ibid., h. 32.
Ibid.
150
sekolah SMT-nya di Semarang hingga tamat. Tidak hanya sampai disitu,
bahkan ketika Setadewa lebih terguncang lagi hantinya karena Papinya
telah ditangkap oleh Jepang dan membuat Maminya terus sakit-sakitan,
namun Setadewa tetap melanjutkan pendidikan Sekolah Tingginya
(walaupun ada desakan dari Maminya).
“Bahkan atas desakan Mami aku memasuki Sekolah Tinggi
Kedokteran Daigakku. Tetapi di luar kuliah aku jadi “anak kolong”
lagi, mencatut sini, mencatut sana, mencari nafkah untuk Mami.”167
Lebih-lebih ketika Setadewa mengalami konflik batin yang sudah sangat
memuncak dalam dirinya. Yaitu kala Indonesia berhasil memukul
mundur Belanda dan Setadewa menanggung rasa malu, karena menerima
dua sisi kekalahan, yaitu kekalahan pemegang prinsip dan kekalahan
cinta. Ditambah lagi ia harus menerima kenyataan bahwa Maminya harus
menanggung penderitaan yang amat kejam (Maminya terkena gangguan
jiwa). Kemudian ia pergi meninggalkan Indonesia, yang setelahnya
diketahui bahwa Setadewa telah menjadi ahli komputer sebuah
perusahaan multinasional bahkan ahli yang tiada taranya di seluruh Asia.
“... Tuan Setadewa, menejer produksi Pacific Oil Wells Company.
Tetapi lebih hebat lagi, ia ahli komputer yang tiada taranya di
seluruh Asia ini.”168
Kutipan-kutipan
di
atas
membuktikan
bahwa
Setadewa
sangat
mementingkan pendidikan ketimbang apapun dan dalam kondisi apapun.
Melalui pandangan-pandangan di atas dapat diketahui bahwa, sebenarnya
Setadewa ingin mengajarkan bahwa pendidikan sangatlah penting dalam
membentuk budi dan manusia baru daripada yang dialami sebelumnya.
Seperti apa yang dikehendaki oleh Sjahrir dan Tan Malaka.
Seperti apa yang diungkapkan Sjahrir: agar rakyat Indonesia
memandang penting pendidikan dan berusaha mendidik suatu bangsa dan
rakyatnya agar mandiri dan bebas. Kemandirian adalah lawan dari
ketidakmatangan dan kebebasan adalah lawan dari ketergantungan.
167
168
Ibid., h. 40.
Ibid., h. 209.
151
Karena itulah, dia selalu menekankan pentingnya dimensi dalam dari
kebudayaan, politik dan ilmu pengetahuan. Pendidikan baginya
merupakan bagian dari hakikat hidup manusia yang senantiasa harus
dipupuk dan dipelihara. Baginya ketertinggalan dalam pendidikan adalah
ketertinggalan dalam hal peradaban, kegagalan kemerdekaan sosial, dan
kekalahan bangsa Indonesia.169 Sebagaimana juga pendapat Tan Malaka
yang menyebutkan, apabila kaum intelek tidak terjun dalam lautan
revolusi, mereka tidak akan terlepas dari penderitaan pada masa
berikutnya. Kaum intelektual harus tanggap terhadap gerakan perubahan,
dimana
barisan
rakyat
sedang
berderap
bergemuruh
merebut
kemerdekaan, jangan hanya tutup mata dan tidak peduli terhadap
keadaan.
b. Gagasan Revolusi Setadewa dalam Novel Burung-burung Manyar
1) Revolusi Nasional
Revolusi yang pecah pada tahun 1945 banyak yang mengatakan
mendapat predikat sebagai revolusi nasional. Revolusi nasional
merupakan upaya mendobrak segala belenggu kapitalisme, hukumhukum penjajah, yang kemudian bersama-sama rakyat Indonesia
menggembleng dan membangun negara baru, pemerintahan baru,
hukum-hukum baru, alat-alat produksi baru, dan lain-lain yang serba
baru. Sementara itu juga, dipersiapkan berangsur-angsur, syarat untuk
melakukan revolusi sosial. Pasalnya revolusi nasional tidak bisa
berbarengan sekaligus dengan revolusi sosial. Revolusi nasional harus
selesai terlebih dahulu sebelum diganti oleh fase revolusi sosial.
Uniknya dalam novel, pandangan Setadewa terkait revolusi nasional
sejalan dengan pikiran Sjahrir dan Tan Malaka yang menilai revolusi
nasional Indonesia dalam benak keduanya tidak hanya dipahami
sebagai upaya untuk merebut kemerdekaan saja tetapi lebih jauh dan
lebih luas di luar batas pikir orang Indonesia kebanyakan.
169
Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perdjoeangan, (Djakarta: Poestaka Rakjat, 1947), h. 80.
152
Pendapat Sjahrir dan Tan Malaka terkait perjuangan yang telah
dilakukan oleh bangsa Indonesia tidak lain merupakan perjuangan
untuk mendapatkan kebebasan jiwa bangsa dari segala macam jenis
hinaan dan tindasan, hingga mencapai derajat kemanusiaan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan, kebebasan jiwa bangsa sangat
mungkin dapat diraih dengan cara menghilangkan atau merubah pola
pikir masyarakat yang masih hidup dalam budaya feodal-kolonial dan
yang terpenting juga adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan
setelah Indonesia merdeka. Dalam novel Burung-burung Manyar,
pemikiran tersebut tertanam jelas dalam karakter tokoh Setadewa.
Setadewa memandang kemerdekaan bukan hanya slogan yang selalu
diteriak-teriakan tanpa ada hasil apapun terhadap rakyat.
“Segala omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka
yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung
akan lebih merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di
bawah mahkota Belanda? Merdeka mana, merdeka di bawah
singgasana raja-raja Jawa mereka sendiri daripada di bawah
Hindia Belanda? Papi jelas lebih merdeka di Magelang dari pada
di Mangkunegaran. Inilah kesalahan logika mereka: menyangka
seolah negara sama dengan rakyat. Jika negara merdeka, orang
mengira rakyat otomatis merdeka juga. Nonsens. Lihat seluruh
sejarah dunia dong.”170
Pemikiran Setadewa di atas sejalan dengan pemikiran Sjahrir.
Menurut Sjahrir, bagi rakyat jelata nyata bahwa semboyan “merdeka”
itu tidak saja berarti negara Indonesia yang berdaulat, pun tidak pula
saja bendera merah-putih baginya berarti simbol persatuan dan citacita bangsa dan negara, akan tetapi terutama kemerdekaan dirinya
sendiri dari sewenang-wenang, dari kelaparan dan kesengsaraan, dan
merah putih baginya terutama simbol perjuangannya itu, yaitu
perjuangan kerakyatan.171 Setadewa juga mengkritik, pekik merdeka
hanya simbol kosong dari euforia kebebasan. Maka dari itu, antara
170
Mangunwijaya, op. cit., h. 58.
Sutan Sjahrir, Perdjoeangan Kita, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik Guntur ‟49,
1994), h. 2.
171
153
Setadewa dan Sjahrir memiliki kesamaan, tidak puas dengan hanya
kemerdekaan saja bagi negara Indonesia. Mereka menginginkan agar
kemerdekaan itu meluas jadi kemerdekaan individu, yakni jenis
kemerdekaan yang memperhatikan aspek kemanusiaan. Seperti apa
yang menjadi cita-cita Sjahrir, bahwa aspek yang terpenting dalam
kemerdekaan bangsa Indonesia terletak pada penghayatan peri
kemanusiaan.
Lebih dalam lagi, Setadewa memandang kemerdekaan itu
bukanlah kemauan tunggal orang atau negara, melainkan kemauan
terikat (bukan absolut, melainkan relatif). Perihal kemerdekaan,
Setadewa juga sejalan dengan pikiran Tan Malaka yang memandang
merdeka 100% adalah suatu jaminan buat terus merdekanya bangsa
Indonesia.172
“Bagaimana mungkin bangsa yang masih membongkok kepada
perampok-perampok mau merdeka. Nanti dulu, belum titik.
Logika! Jangan hanya impian dan serba perasaan saja, sekali
lagi logika! Bagaimana ...?”173
Bagi Setadewa kunci dari perubahan masyarakat terletak pada cara
berpikir. Cara berpikir yang mampu memerdekakan masyarakat, yakni
materialisme, dialektis dan logis, seperti apa yang digagas oleh Tan
Malaka174 Melalui cara berpikir seperti itu, manusia akan menjadi
intelektual yang tidak memungkinkannya menjadi dogmatis atau
bermental budak.
Seperti yang Setadewa tunjukkan dalam novel, di situ ia melihat
bangsa Indonesia belumlah pantas untuk merdeka dikarenakan
kebongkokannya kepada perampok-perampok yang dinilai sangatlah
172
William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan
Sesudah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), cet. 3, h. 43. Negara (State), sebagai
alat penindasan oleh suatu klas atau klas yang lain hilang lenyap (withering away), karena tidak
ada lagi pertentangan dalam masyarakat; tidak ada lagi klas yang akan ditindas. Sifat memerintah
sudah bertukar menjadi sifat mengatur dan mengawasi pekerjaan masyarakat, oleh, dari, dan untuk
masyarakat itu sendiri, atas dasar kemerdekaan persamaan dan persaudaraan yang sesungguhnya.
173
Mangunwijaya, op. cit., h. 68.
174
Tan Malaka, Muslihat, Politik, & Rencana Ekonomi Berjuang, (Yogyakarta: Narasi,
2014), h. 111-126.
154
merugikan. Seperti yang diketahui, pada kenyataanya ketika itu para
elite potik kelas atas (secara garis besarnya diwarnai dengan
Soekarno, Hatta, dan sejumlah pemimpin yang lain) memilih bekerja
sama atau berkolaborasi dengan Jepang.
“Yang kubaca itu fakta. Dan fakta menunjukkan, semua priyayi
dan orang-orang Indonesia yang punya pangkat jelas pro dan
membongkok kepada Jepang. Titik! Yang anti Jepang tetapi tak
berdaya adalah orang-orang kecil, orang kampung, orang anak
kolong. Seperti aku ini. Dan beberapa gelintir orang di bawah
tanah seperti ayahmu.”175
Dalam catatan sejarah bahwa ketika itu para elite politik memilih
sikap untuk mencapai kemerdekaan melalui kerja sama dengan kaum
penjajah. Tentu saja hal tersebut ditentang oleh Sjahrir (yang diketahui
pada saat itu ikut bergerak di bawah tanah), dan tentu saja Tan
Malaka, karena hal itu menunjukkan masih adanya sisa-sisa
kebudayaan lama yang dinilainya sangat buruk, terutama itu
merupakan ciri dari feodalisme.
Maka tidaklah heran jika Setadewa memandang Republik tidak
lain hanya sebagai tindak lanjut fasisme Jepang yang dilihatnya bukan
lebih memajukan Indonesia, melainkan merugikan bangsanya sendiri.
“... lagi, pada saat itu, aku yakin bahwa apa yang dikehendaki
kaum Nasionalis keliru. Orang-orang Indonesia belum matang
untuk merdeka. Aku tahu, tidak pernah manusia matang untuk
menangani hidupnya sendiri pun. Tetapi suatu saat kita harus
memilih pihak. Dan aku memilih Belanda. Karena aku yakin
ketika itu, bahwa tidak sebandinglah korban akibat ketidakdewasaan dengan keuntungan yang akan dicapai. Itu dilihat dari
titik penglihatan orang kampung, anak kolong. Kan aku sudah
bilang, aku anak kolong, dan aku bangga jadi anak Kumpeni.
Bangga ikut bergerak di bawah tanah melawan Jepang, justru
pada jaman orang-orang kita serba membongkok ke arah Si
Cebol Kuning itu. Justru pada jaman beribu-ribu orang romusha
diserahkan kepada kaum sadis made in Japan itu.”176
175
176
Ibid., h. 67.
Ibid., h. 57.
155
Dari itulah juga dapat dikatakan sebabnya Setadewa lebih memilih
Belanda (masuk NICA) daripada ikut berjuang bersama bangsanya
sendiri. Baginya kemerdekaan merupakan kebebasan yang harus
dimiliki oleh setiap individu, termasuk bebas untuk memilih (namun
memilih dengan cara pikir yang berlandaskan asas logika) dan
terbebas dari segala macam belenggu yang dapat mempersulit rakyat
dan memperdunggu.
Pemikiran Sjahrir dan Tan Malaka di atas juga senada dengan
yang dicita-citakan oleh Romo Mangun, mengenai kebebasan jiwa
bangsa. Penciptaan Indonesia "pasca-nasional" yang warganya
mengerti bahwa seorang bisa menjadi warga dunia sekaligus orang
Indonesia, seperti seorang pascasarjana tetaplah sebagai sarjana,
walaupun statusnya sudah menjadi lain.177
2) Revolusi Sosial
Kemerdekaanlah yang menjadikan titik balik dalam dinamika
sosial di Indonesia, sehingga terjadi perubahan sosial yang drastis
dalam masyarakat. Perubahan sosial pascaproklamasi inilah yang
sering disebut dengan revolusi sosial. Revolusi sosial yang terjadi
setelah proklamasi berupa penentangan terhadap pranata sosial
Indonesia yang terlanjur terbentuk pada masa penjajahan Belanda, dan
terkadang juga merupakan hasil kebencian terhadap kebijakan pada
masa penjajahan Jepang. Di seluruh daerah, masyarakat bangkit
melawan kekuasaan aristokrat dan kepala daerah setempat, semua itu
dilakukan untuk mendorong penguasaan lahan dan sumber daya alam
atas nama rakyat. Maka dari itu, revolusi sosial dipahami sebagai
perubahan pada struktur masyarakat yang feodal-kolonial menjadi
struktur masyarakat demokratis.
Y.B. Mangunwijaya, “Muda = Merintis Kreatif” dalam Gerundelan Orang Republik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 25-27. Kutipan tersebut merupakan kutipan dari pidato
hari jadi 6 bulan RI yang dibawakan oleh Sutan Sjahrir.
177
156
Maka untuk itu, agar revolusi sosial dapat berjalan dengan baik,
Sjahrir dan Tan Malaka mengatakan bahwa orang Indonesia harus
membedakan aspek bagian luar dari revolusi mereka, yaitu
nasionalisme, dan aspek sosial yang berupa demokrasi merupakan
bagian dalamnya. Bahaya besar jika hanya memusatkan aspek
nasionalisme saja, karena jika begitu revolusi akan macet hingga
aspek sosial bagian dalam itu akan dilupakan/tidak berjalan. Maka
dari itu, sering kali mereka mengkritisi perjuangan yang dilakukan
oleh Soekarno yang dipandangnya hanya mengedepankan rasa
nasionalisme saja.
“Semakin banyak Soekarno, semakin lekas Republik itu hancur,
katanya tenang. Sebab dunia yang menang perang sekarang
sedang benci pada segala yang berbau fasis dan militerisme.”178
Bagi Setadewa justru yang harus ditekankan adalah tujuan utama
revolusi
Indonesia
bukanlah
nasionalisme
saja.
Setadewa
mengkhawatirkan jika para rakyat Indonesia hanya mengandalkan
aspek nasionalistis saja dalam perjuangan, justru akan menggiring ke
arah
fasisme,
yakni
tumbuhnya
feodalisme,
bahkan
ultranasionalisme.179 Maka dari itu, Setadewa menyatakan bahwa
perjuangan kemerdekaan Indonesia harus berada pada anti-fasis. Dari
pandang tersebut, terdapat persamaan ideologi antara Setadewa
dengan Sjahrir dan Tan Malaka dalam menentang feodalisme di
Indonesia sampai kepada akar-akarnya. Tujuannya agar sisa-sisa
feodalisme tidak mengakar jauh kepada anak-cucu bangsa Indonesia.
178
Mangunwijaya, op. cit., h. 78.
Tim Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 407.
Menurut KBBI, fasisme merupakan suatu gerakan radikal ideologi nasionalis ekstrem yang
menganjurkan pemerintahan otoriter. Sementara otoriter adalah bentuk pemerintahan yang
bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat
kebebasan tertentu. Otoriter ini merupakan suatu hal yang kontras dengan demokrasi. Sehingga
dapat ditarik suatu simpulan (dengan berkacamata dari revolusi sosial) bahwa, jika suatu negara
bersifat fasis maka dapat dipastikan revolusi sosial tidak dapat berjalan. Lebih dari itu, feodalisme
akan mengundang fasisme, dan fasisme akan membuka jalan bagi permusuhan etnis, bahkan
agama. Mengangkat kembali warisan feodal sama dengan mendegradasikan kemerdekaan nasional
yang sudah susah payah diperoleh.
179
157
Segala pemikiran Sjahrir dan Tan Malaka terkait penentangan
terhadap fasisme juga digagas oleh Setadewa. Sejak penceritaan awal
novel, Setadewa terlihat sangat tidak suka dengan segala jenis tindaktanduk fasisme (itu juga yang menjadi alasan kenapa ia memilih
masuk NICA daripada ikut berjuang bersama Indonesia). Bahkan
dengan sikapnya itu, Setadewa berani menentang negaranya sendiri
yakni Indonesia yang dianggapnya telah tertular sangat jauh oleh
budaya fasisme.
“Tetapi kesimpulanku pada pagi hari di lapangan terbang itu
semakin kokoh: Kepada Atik, kepada Papi dan Mami,
seandainya mereka di pihak sana, aku akan membuktikan,
bahwa aku di pihak yang benar, di pihak anti Jepang, di pihak
Sekutu yang jaya memenangkan perang melawan fasis.”180
Sikap Setadewa yang membenci segala jenis fasisme pada awalnya
terbentuk karena melihat kenyataan bahwa negerinya Indonesia
dianggapnya “salah arah” dalam hal berjuang untuk merebut
kemerdekaan. Ia juga menilai bangsa Indonesia telah terkena virus
fasisme yang ditularkan oleh kaum penjajah (terutama Jepang). “Sejak
itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi: menjadi KNIL,
membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh,
pengecut tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan
mental-mental serba kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat
yang menyebut diri nasionalis, tetapi mendukung bandit-bandit yang
membuat Mamiku menjadi gundik.”181
Tidak hanya sampai di situ, sikap Setadewa dalam menolak
segala jenis fasisme tetap digagas olehnya hingga akhir bagian novel,
saat ia membongkar kecurangan atau korupsi yang dilakukan oleh
perusahaannya tempat ia bekerja. Perusahaan Pacific Oil Wells
Company
180
181
ternyata
Mangunwijaya, op. cit., h. 100.
Ibid., h. 42.
yang
disadari
oleh
Setadewa
melakukan
158
kecurangan dengan memberi rumusan-rumusan yang sangat dapat
merugikan bangsa Indonesia.
“Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada
perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu,
merampok dan memaksakan rumus-rumus serta modelmodelnya pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam
bentuk lain. Sekarang pun aku akan membalas dendam, bila
negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer. Dan inilah saat
perhitunganku. Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak
gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran. Sekarang tidak.”182
Konsistensi Setadewa terhadap penolakan terhadap fasisme sangat
menonjol dan tidak dapat diragukan lagi. Sikap idealisnya itu
menggambarkan sebagai orang yang sangat menentang fasisme, sama
seperti apa yang digagas oleh Sjahrir dan Tan Malaka.
3) Revolusi Mental
Secara dialektis revolui mental dipahami sebagai suatu
perubahan pola pikir. Revolusi mental ditujukan untuk merubahan
cara berpikir, bersikap, dan cara pandang terhadap sesuatu yang
dianggap tradisional (bercorak feodal-kolonial) ke arah yang lebih
rasional. Seperti apa yang dicita-citakan revolusi, tujuan dari revolusi
mental yakni membangun jiwa bangsa berpikiran bebas (merdeka),
yang dapat memajukan pemikiran agar lebih dapat memandang ke
depan. Sebagian besar rintangan terhadap revolusi ini bersumber pada
corak berpikir dan bertindak yang bertolak belakang dengan semangat
kemajuan zaman.
Dengan melakukan revolusi mental (menurut Sjahrir dan Tan
Malaka) budaya feodal-kolonial yang tradisional dan dianggap
menyesatkan serta menyengsarakan rakyat dapat diubah menjadi suatu
tatanan pemikiran baru yang dapat berguna bagi kemajuan bangsa.
Pasalnya, revolusi mental inilah dimana cara berpikir masyarakat
tradisional dirubah menjadi cara berpikir masyarakat yang rasional
182
Ibid., h. 300.
159
atau logis. Di dalam novel segala jenis tindak-tanduk dan juga cara
berpikir Setadewa melambangkan orang yang berpikiran maju dengan
cara berpikir rasional.
“Darahku masih mendidih memang, akan tetapi rasio Officer
Brajabasuki toh masih kuat dari kebinatanganku. Dalam hal ini
aku boleh berterimakasih kepada pengaruh Verbruggen. Ia
bandit memang, tetapi setiap bandit kepalanya dingin dan
berkalkulasi, sedangkan aku bukan bandit dan karena itu sering
masih terbawa emosi.”183
Seperti yang telah diketahui, cara berpikir yang digagas Setadewa di
dalam novel banyak dipengaruhi oleh Papinya, Brajabasuki dan juga
atasannya, Verbruggen yang telah banyak mengajarkan Setadewa
secara langsung maupun tidak langsung.
“Aku tipe anak kolong yang sejak kecil punya kode etik
berterus-terang. Lebih baik berkelahi berbahasa kepal dan
tendangan kaki daripada bohong dan berpura-pura. Baru kelak
aku sadar, bahwa dalam citrarasa aku satu kompi dengan Papi.
Papi ternyata (tetapi itu baru kelak kuketahui) sengaja
menjauhkan diri dari kaum istana, karena ia tidak suka basa-basi
Jawa yang halus tetapi banyak yang tidak jujur.”184
Setadewa juga tidak suka dengan segala sesuatu yang bersifat basabasi seperti yang ditunjukkan oleh para kaum istana (ningrat). Maka
tidak heran jika Setadewa menjauh dari kaum istana, bahkan terkesan
tidak suka dengan kaum istana, yang dianggapnya terlalu menganut
sistem feodal dan nantinya akan menimbulkan fasisme.
Maka
tidaklah
heran
pemikirannya
mengenai
konsep
kemerdekaan juga berlandaskan asumsi logikanya. Baginya logika
sangat penting bagi setiap pemikiran yang serba impian belaka (tidak
berdasarkan nalar).
“Barangkali kata benar terlalu sok. Tetapi paling tidak,
pendasaran sikapkulah yang paling rasional. Suatu bangsa yang
sudah berabad-abad hanya membongkok dan minder harus
183
184
Ibid., h. 75.
Ibid., h. 33.
160
dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan
datang seperti buah durian yang jatuh karena sudah matang.”185
Setadewa melihat pada saat itu bangsa Indonesia belum matang untuk
mengurus dirinya sendiri selagi masih membongkok kepada para
penjajah. Pandangnya jika ingin merdeka bangsa Indonesia harus
mampu terlebih dahulu mengambil sikap untuk menjadi pribadi yang
matang (dewasa). Maka dari itulah sikap kebongkokan dan rasa
minder harus dihilangkan dari benak masyarakat Indonesia, yang
hanya mengganggu jalannya cita-cita kemerdekaan.
“Bagaimana mungkin bangsa yang masih membongkok kepada
perampok-perampok mau merdeka. Nanti dulu, belum titik.
Logika! Jangan hanya impian dan serba perasaan saja, Logika,
sekali lagi logika! Bagaimana ...? Tetapi Atik biasanya tidak
membiarkan aku menyelesaikan uraian logikaku. Teto, kau
menganalisa terlalu logis. Kau harus sanggup membaca kejadian
yang sebenarnya di antara baris-baris yang tercetak.”186
Sikap bernalar yang ditunjukkan Setadewa dalam novel inilah yang
merupakan gagasan dari pemikiran konsep revolusi mental yang
dicetus oleh Sjahrir dan Tan Malaka. Sikap inilah yang mampu
membawa perubahan bagi bangsa Indonesia terutama dari cara
berpikir kepada arah yang lebih maju, terutama pengenyahan
mentalitas yang dianggap mengganggu jalannya kemajuan bangsa.
3. Gambaran Tokoh Lain dalam Jalur Revolusi
a. Perjuangan Sutan Sjahrir dan Tan Malaka dalam Burung-burung
Manyar
Dalam
novel
Burung-burung
Manyar,
Romo
Mangun
menggambarkan peranan kedua tokoh yakni Sjahrir dan Tan Malaka
dalam upaya merebut kemerdekaan dari pihak penjajah. Peranan
keduanya di dalam novel digambarkan melalui bentuk perjuangan dalam
memperjuangkan Republik Indonesia. Seperti yang diketahui keduanya
185
186
Ibid., h. 89.
Ibid., h. 67.
161
memiliki pemikiran yang berbeda terkait bentuk perjuangan atau
langkah-langkah yang diambil dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Sjahrir lebih mengutamakan jalan diplomasi yang bertujuan
untuk mengangkat nama Indonesia di kancah dunia internasional,
sementara Tan Malaka lebih memilih mobilisasi dalam bentuk
perjuangan dengan dalih membumihanguskan segala bentuk penjajah di
Indonesia.
Sedangkan dalam hal kemerdekaan, Sjahrir dan Tan Malaka
banyak menempatkan nasionalisme sebagai hal terpenting, baginya
nasionalisme adalah perwujudan dari kemerdekaan Indonesia yang
didasarkan
atas
sosialisme
dan
bersatunya
kekuatan-kekuatan
revolusioner. Akan tetapi, nasionalisme janganlah dijadikan suatu barang
utama yang primer, sebab nasionalisme saja tidaklah cukup untuk
merealisasikan kemerdekaan yang hakiki. Pasalnya mereka sadar betul
bahwasannya kemerdekaan barulah tahap awal dalam sebuah revolusi.
1) Bentuk Perjuangan Sutan Sjahrir
Dalam
novel
Burung-burung
Manyar
tokoh
Syahrir
digambarkan sesuai kenyataan, yakni menjadi Perdana Menteri RI.
Peran Sjahrir sebagai Perdana Menteri dalam novel tersebut sesuai
dengan fakta sejarah Indonesia. Menurut sejarah, setelah dilantik
sebagai Perdana Menteri RI pada tanggal 14 November 1945,
dibentuklah
kabinet
baru.
Sjahrir
menjadi
Perdana
Menteri,
merangkap sebagai Menteri Luar Negeri dan juga Dalam Negeri.187
Setelah menjalankan kabinetnya, Sjahrir mengambil inisiatif
berdiplomasi dengan Belanda. Dia ingin menangkis tuduhan bahwa
Indonesia hanyalah gerombolan orang brutal, pembunuh dan
perampok, dimana pihak Belanda selalu menuduh RI sebagai negara
yang tidak aman sehingga perlu campur tangan asing. Sejumlah
perjanjian dan perundingan dijalankan oleh Sjahrir, seperti pada bulan
187
Ricklef, op. cit., h. 327.
162
November 1946 menyetujui Perjanjian Linggarjati, pada tanggal 4
Agustus 1947 terbentuklah Persetujuan Renville, tanggal 7 Mei 1949,
terjadi kesepakatan Roem-Royen, dan pada puncaknya pada tanggal
23 Agustus 1949 dimana perjuangan kemerdekaan melawan Belanda
yang
didahului
dengan
masuknya
pasukan
TNI ke
Yogya
dimantapkan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.188
“Indonesia akan diakui oleh dunia internasional dan akan segera
diadakan Konperensi Meja Bundar. Dan konperensi ini hanya
beracara tunggal: penyerahan kedaulatan kepada RI. Kelak
Larasati tahu, bahwa bukan RI, melainkan RI serikat yang akan
dibentuk itu yang bakal menerima penyerahan.”189
Kutipan di atas digambarkan oleh narator ketika menggambarkan
keadaan Indonesia setelah penyerangan di Yogya. Seperti pada
kenyataannya, konferensi-konferensi yang terjadi ternyata juga
diceritakan dalam novel. Dari kejadian itulah sebenarnya merupakan
bukti Indonesia mampu mengorganisasikan diri dan menghargai
hukum internasional.
Tidak hanya itu, Sjahrir dengan kecerdikannya kala itu membuat
pihak Belanda marah besar dikarenakan strategi diplomasi yang
diterapkan Sjahrir mampu membongkar blokade musuh. Kali ini cara
yang digunakan yaitu dengan mengambil jalan kerja sama dengan
negara India untuk menarik perhatian dunia internasional.
“Apa lagi sesudah datang berita koran tentang persetujuan
pemerintah India dengan kaum Republik mengenai pembelian
beras setengah juta ton oleh kaum Gandhi itu demi
penanggulangan bahaya kelaparan di sana.”190
Sjahrir memberikan bantuan beras kepada India sebanyak 500 ribu ton
pada bulan Agustus 1946.191 Bantuan ini bertujuan meraih simpati
dunia internasional terutama negara-negara Asia. Bantuan beras dan
188
Pierre Heijboer, Agresi Militer Belanda: Memperebutkan Pending Zamrud Sepanjang
Khatulistiwa 1945/1949, (Jakarta, Gramedia & KITLV, 1998), h. 179-180.
189
Mangunwijaya, op. cit., h. 166.
190
Ibid., h. 96.
191
Heijboer, op. cit., h. 148.
163
kunjungan
ke
beberapa
negara
dimaksudkan
sebagai
upaya
memperlihatkan bahwa negara Republik Indonesia tetap kokoh berdiri
sendiri sebagai negara berdaulat penuh.
Pengaruh tokoh Syahrir terhadap tokoh Setadewa tergolong
vital. Pasalnya pengarang membuat Setadewa tidak berdaya dalam
menghadapi tokoh Syahrir. Ketidakberdayaan tokoh Setadewa
terhadap perlambangan tokoh Syahrir terlihat pada kutipan berikut.
“Dalam bahasa Belanda ia tenang berkata padaku: Jenderal
Christison menunggu saya. Harap jangan mengecewakan
beliau...
yang
kumaki
sebetulnya
ketidak-kuasaanku
menghadapi Si Syahrir itu.”192
Seperti yang diketahui Sjahrir dengan jelas digambarkan dalam novel
oleh pengarang, hal ini tidak terlepas pada kenyataan bahwa Romo
Mangun memang sangat mengagumi Sjahrir. Itu dapat terlihat dalam
tiap tulisan-tulisan yang dibuatnya. Maka tidak salah jika dikatakan
bahwa Mangun merupakan pengagum ide-ide Sjahrir. Itulah mengapa
Mangun membuat tokoh Setadewa begitu tidak kuasa dalam
menghadapi Sjahrir.
2) Bentuk Perjuangan Tan Malaka
Berbeda dengan Sjahrir, dalam hal ini jalan perjuangan yang
diambil oleh Tan Malaka berkebalikan dengan Sjahrir. Tan Malaka
sama sekali menolak bekerja sama dengan pihak musuh, dia
menekankan kemerdekaan 100% dengan memilih jalur mobilisasi.
Bila berbicara mengenai bentuk perjuangan dan ideologi, Tan Malaka
sangat sejalan dengan sikap yang dimiliki oleh Jenderal Soedirman.
Seperti yang diketahui bahwa Soedirman merupakan salah satu orang
terpenting yang setuju dengan diadakannya Persatuan Perjuangan.
Persatuan Perjuangan adalah suatu organisasi massa yang dibentuk di
Purwokerto, Jawa Tengah, pada awal tahun 1946, yang bertujuan
192
Mangunwijaya, op. cit., h. 74.
164
menciptakan persatuan di antara organisasi-organisasi yang ada untuk
mencapai kemerdekaan penuh bagi Indonesia. Organisasi ini
dipelopori oleh Tan Malaka dan berhasil menghimpun 141 organisasi
politik yang tidak puas dengan langkah diplomasi yang dilakukan oleh
pemerintahan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.193 Maka dari itu, penulis
menganalisa bahwa pengarang secara implisit menggambarkan tokoh
Jenderal Sudirman dalam novel dapat diidentikan dengan (bahkan
mewakili) sosok Tan Malaka dalam bentuk perjuangan maupun
ideologi.
“... bahwa yang menamakan diri sebagai Jenderal Sudirman
tidak mau dilucuti senjatanya dan bahwa dengan demikian suatu
preseden sudah terjadi, yakni bahwa di muka mata dunia dan
blak-blakan di dalam daerah kekuasaan NICA dan Sekutu,
seorang petualang yang mengangkat dirinya jadi jenderal suatu
Republik liar telah diperkenankan oleh pimpinan Inggris untuk
mempertahankan segala atribut dan kewibawaannya.”194
Dari kutipan di atas penekanan terletak pada “Jenderal Sudirman tidak
mau dilucuti senjatanya” itu menekankan bahwa kemerdekaan 100%
mutlak didapatkan dengan cara berjuang tanpa mau menyerah kepada
musuh. Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan
mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi
dimungkinkan. Tan bertamsil: orang tidak akan berunding dengan
maling di rumahnya. "Selama masih ada satu orang musuh di Tanah
Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan," katanya.
Dalam kongres Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka
kala itu, Jenderal Soedirman tidak kalah garang. Ia berpidato di
kongres: "Lebih baik di atom (dibom atom) daripada merdeka kurang
dari 100 persen." Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk
Persatuan Perjuangan.195 Kutipan di atas timbul dari pikiran Setadewa
Anonim, “Gerilya Dua Sekawan”, dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak
Republik yang Dilupakan, Jakarta, Agustus 2008, h. 83-84.
194
Mangunwijaya, op. cit., h. 102.
195
Anonim, “Si Mata Nyalang di Balai Societeit”, dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka:
Bapak Republik yang Dilupakan, Jakarta, Agustus 2008, h. 23.
193
165
yang melihat tokoh jenderal Sudirman. Seketika itu pula Setadewa
membandingkan tokoh Sudirman dengan para tentara KNIL.
Kelihatan sekali perbedaan yang membuat jiwaku lebih mendidih.
Jelaslah sikap KNIL-KNIL itu kuli Inlander.196
Di sisi lain, perjuangan fisik yang dilakukan dengan jalan
menggunakan senjata atau perang untuk menghadapi kekuasaan asing
juga membuahkan hasil yang bagus untuk bangsa Indonesia. Maka
dari itu, ketika melihat satuan perjuangan yang digambarkan dalam
novel dipimpin oleh Jendral Soedirman, Setadewa melihat suatu
“semangat perjuangan” yang menyala-nyala. Maka bagi Setadewa,
jalan perang maupun diplomasi telah memberikan hasil, yaitu
kemerdekaan sejati yang berarti bahwa bangsa Indonesia terlepas dari
penjajahan dan berhak menentukan nasibnya sendiri. Seperti apa yang
dikatakan oleh Setadewa.
“Tetapi peleton pengawal oknum yang menyebut diri Jendral
Sudirman itu, mereka jelas, jujur saja, bukan Inlander. Mereka
tegap dan sangat muda penuh harga diri. Wajah-wajah mereka
mendongak ke atas dan tampaklah bersinar pancaran mata.
Fanatik, tetapi muda. Ya muda. Ini tentara priyayi sebetulnya,
ningrat; dan harus diakui oleh watakku yang jujur, sulit
disesuaikan dengan gambaran-gambaran populer: kaum teroris.
Memang perwira-perwira delegasi evakuasi RAPWI pihak sana
persis Jepang, kecuali pecinya yang selalu miring, tetapi
pasukan pengawal ini bergaya internasional. Ya, pici yang
sangat miring dan yang tampaknya selalu nyaris jatuh itu; di
situlah aku melihat untuk pertama kali suatu elan, suatu jiwa
yang diam halus tetapi tajam mengejek kami kaum KNIL,
bangsat-bangsat
bayaran
yang
sungguh-sungguh
kampungan.”197
Dari kedua bentuk perjuangan yang terjadi dalam masa-masa
revolusi nasional sebenarnya membuahkan hasil yang sangat
memuaskan bagi pihak bangsa Indonesia dan tentu saja menyudutkan
posisi Belanda.
196
197
Mangunwijaya, op. cit., h. 101.
Ibid., h. 101.
166
“Jelaslah KNIL dan KL dan segala yang bercap maupun
berlencana Belanda atau Hindia Belanda masuk perangkap.
Kedudukan Republik semakin kokoh; sejak perdana menteri
kecil itu diundang Jendral Christison, sejak beras setengah juta
ton dimuat di kapal ke India atas nama Republik dan sejak
pesawat loakan itu mendarat di Kemayoran tanpa boleh
ditembak Mustang ML kita, dan sejak Si Kiai kurus jangkung
yang menamakan diri Jenderal Sudirman itu menolak dilucuti
oleh kami dan kami tak berdaya; tak bisa diingkari bahwa pihak
Rood Wit Blauw sudah pudar.”198
Kutipan tersebut perkataan Setadewa yang mengungkapkan bahwa
pihak Belanda semakin hari semakin terpukul mundur dengan usaha
dan strategi perjuangan para rakyat dalam rangka mengusir segala
penjajah dari tanah Indonesia. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa
bentuk usaha perjuangan dan strategi yang dapat mengalahkan
Belanda yaitu dengan cara diplomasi dan mobilisasi.
b. Larasati: Peran Perempuan dalam Masa Revolusi
Penggambaran tokoh Larasati dalam novel Burung-burung
Manyar,
memiliki
keunikan
tersendiri.
Melalui
tokoh
Larasati
tergambarkan bahwa perempuan yang hidup dalam kultur patriarki pada
era prakemerdekaan dan revolusi, telah mendapatkan kesempatan
memperoleh pendidikan dan memiliki peran yang penting dalam sektor
publik. Pandanganya mengenai semangat perjuangan tersalurkan dalam
diri Larasati tentang gelora Bung Karno.
“Soekarno itu api. Kita butuh api. Tanpa semangat tidak ada daya.
Tetapi itu baru separoh. Harus disalurkan secara rasional, agar
menjadi mesin yang baik jalannya, dan tidak membakar segala hal,
termasuk diri sendiri ... Kalau Indonesia kelak merdeka, negara kita
tidak akan kejam. Mudah-mudahan, Tik. “Tidak boleh mudahmudahan, Pap. Harus.” Atik memang sudah menjadi pemudi yang
bergelora. Api pijar Bung Karno sudah menyala di dalamnya.”199
198
199
Ibid., h. 141.
Ibid., h. 45-46.
167
Novel ini juga menggambarkan tokoh wanita yang ikut berjuang
dalam pergerakan nasional. Seperti apa yang dilakukan Larasati yang
pada masa revolusi berjuang dalam garis kemerdekaan dengan menjadi
sekretaris Perdana Mentri Sjahrir.
“La-ras-ati adalah salah seorang anggota sekretariat itu si perdana
menteri amatir Sutan Syahrir. Dan rumahnya di Kramat VI, persis
di dalam rumah yang sering kau kunjungi.”200
Begitupun ketika terjadi serangan udara oleh sekutu di Yogyakarta,
Larasati dan ayahnya sedang menjalankan tugas untuk mengantarkan
surat-surat rahasia yang ditujukan kepada gubernur Jawa Tengah dari
Departemen Dalam Negeri, yang kala itu berada di Magelang. Di tengah
perjalanan
mereka
mendapatkan
tembakan
dari
udara,
yang
mengakibatkan ayahnya meninggal dunia.
“Tiba-tiba Atik teringat pada tas yang berisi beberapa lembar surat
penting dari Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur Jawa Tengah
yang berkedudukan di Magelang. Dengan sedih ia melihat pada
kendaraan yang sudah hitam berbau sengak cat dan karet
terbakar.”201
Melalui kejadian inilah yang menggambarkan bagaimana penokohan
yang dimiliki Larasati sebenarya dapat terlihat. Berkebalikan dengan
Setadewa, Larasati justru memiliki sifat yang lebih kuat dan tabah dalam
menghadapi cobaan yang terjadi dalam hidupnya, terutama ketika
melihat ayahnya meninggal di depan matanya karena terkena tembakan
pesawat Belanda yang kala itu menyerang Yogya.
“Atik memandang wajah ayahnya. Bagaimana mengangkut jenazah
ayahnya ke kota? Bagaimana memberitahu ibunya? Ini jelas
perang.”202
Ketenangan sifat Larasati sangat terlihat berbeda sekali dengan Setadewa
yang ketika “kehilangan” orang tuanya yang malah termakan emosi dan
membenci segala sesuatu yang telah merenggut kedua orang tuanya.
200
Ibid., h. 82.
Ibid., h. 114.
202
Ibid., h. 113.
201
168
Rupa-rupanya sifat kedewasaan Larasati tidak terlepas dari faktor
pengaruh atasanya yang sering mengajarkan segala sesuatu tentang
perjuangan.
“Atik teringat pada kata-kata serba tenang dari bossnya ketika
masih perdana menteri itu: Setiap kekerasan dari Belanda
merupakan lubang jebakan. Di situ mereka akan terperosok sendiri.
Satu-satunya jalan untuk menang bagi kita ialah sikap goodwill
secara budaya berperikemanusiaan. Sebab justru itulah yang dicari
oleh seluruh pihak di mana pun yang sudah remuk dan muak
kekerasan. Perang Dunia baru saja selesai.”203
Setelah ayahnya meninggal dunia, Larasati dan ibunya untuk
sementara tinggal di desa tempat ayahnya dimakamkan, karena pada saat
itu di kota sangat tidak kondusif suasananya. Di sana mereka berdua
membantu dapur umum di pedalaman Magelang.
“Sejak ayah tersayang gugur, Atik dan Bu Antana bersepakat untuk
berbakti di desa, di antara para geliryawan… Larasati dan ibunya
tahu, bahwa sebentar lagi mereka harus meninggalkan desa
Grojogan. Atik pastilah akan sibuk lagi sebagai seorang sekretaris
di Kementerian Luar Negeri…”204
Dari kutipan tersebut tampak bagaimana perempuan telah menjadi bagian
penting dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Setelah
revolusi usai, Larasati memilih profesi sebagai ilmuwan biologi dengan
puncak karier sebagai Kepala Direktorat Pelestarian Alam di Bogor.
Dalam
novel
tersebut
juga
digambarkan
bagaimana
Larasati
mempertahankan disertasi yang ditulisnya di depan tim penguji disertasi
dan anggota senat Universitas Gadjah Mada, dengan predikat maxima
cumlaude. Dengan menghadirkan tokoh Larasati, pengarang ingin
menggambarkan sosok perempuan Indonesia yang cerdas, mandiri, dan
selalu berperan di masyarakat sesuai dengan konteks zamannya. Ini
menunjukkan bahwa sejak zaman dulu perempuan juga telah ambil
bagian dalam gelanggang perjuangan bangsa.
203
204
Ibid.
Ibid., h. 165-166.
169
“Pagi itu Nyonya Janakatamsi, Kepala Direktorat Pelestarian Alam
akan mempertahankan tesisnya untuk meraih gelar doktor biologi
di hadapan Senat lengkap beserta undangan.”205
Walaupun posisinya sebagai seorang perempuan namun ia
digambarkan dengan segala kepandaiannya semenjak kecil. Selain itu ia
pun turut aktif dalam membantu perjuangan nasional kala itu. Itu bukti
bahwa Mangun memandang pendidikan penting bukan hanya bagi anak
laki-laki, akan tetapi posisi yang sama juga harus dimiliki oleh
perempuan.
c. Gambaran Hasil Revolusi dalam Burung-burung Manyar
Pada bagian ini penulis akan membahas hasil dari revolusi yang
terdapat pada novel Burung-burung Manyar. Seperti yang telah dikonsep
oleh Romo Mangun dalam novel, dengan membagi tiga bagian periode
waktu. Dengan diteguhkan kekosongan waktu yang tidak diceritakan,
membuat
penulis
menganalisa bahwa bagian
III dalam novel
dimaksudkan sebagai bagian hasil dari revolusi. Pada bagian itu
Setadewa memainkan peranan sebagai seorang penilai, karena melalui
kacamata Setadewa pembaca diberikan informasi-informasi terkait
perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia pasca Indonesia merdeka.
Setelah dipaparkan konsep revolusi yang digagas oleh Setadewa di
atas, justru pada bagian III dalam novel Romo Mangun menggambarkan
sesuatu yang berkebalikan dengan cita-cita revolusi. Mangun menilai
bangsa Indonesia masih memiliki sifat mentalitas minderwaardegheid
complex atau perasaan rendah diri yang sering diidap warga jajahan.
Inilah yang sebenarnya ingin diubah oleh Sjahrir dan Tan Malaka di
dalam alam pemikiran orang Indonesia. Mereka ingin menanamkan
pembangunan karakter manusia Indonesia, dari sekadar bangsa jajahan
menjadi tuan bagi bangsanya sendiri.
205
Ibid., h. 243-244.
170
“Dan kau tidak perlu menunduk-nunduk seperti kuli begitu.
Katanya sudah merdeka. Ah ya, maaf Tuan ... Tiba-tiba mukanya
mendongak dan mulutnya menganga.”206
Namun apa yang ditemukan Setadewa tidaklah demikian, justru
Setadewa menilai bangsa Indonesia masih memiliki mental yang belum
merdeka dan bahkan tidak pantas untuk merdeka. Kritikan Setadewa
dalam novel begitu keras terhadap manusia yang memiliki mental
keterbelakang (merasa selalu dijajah). Kritikan tersebut ia layangkan
kepada semua rakyat Indonesia, terutama orang Jawa. Seperti yang
digambarkan dalam novel.
“Aku melompat dari jip dan menuju kamar piket. Ada seorang
Jawa bermental kuli menunduk-nunduk hormat dengan mata serba
licik. Bukankah begitu, kuli Jawa harus sopan seperti tai kucing?
Tai yang sopan disembunyikan di bawah pasir?”207
Pemikiran ini sebenarnya sejalan dengan pemikiran Tan Malaka yang
menilai, orang yang bermental seperti pada kutipan di atas akan menjadi
intelektual-pasif yang tidak mungkin dapat menghargai betul arti
kebebasan berpikir. Berbeda dengan intelektual aktif yang lebih tahu
menghargai kebebasan berpikir. Selama cara berpikir yang begitu tidak
berubah, orang atau masyarakat itu tidak akan mampu memerdekakan
dirinya 100 persen. Perubahan cara berpikir atau tepatnya perubahan
mental adalah kunci atau fundamental bagi Tan Malaka.208 Sejalan
dengan Tan Malaka, Sjahrir menilai kebudayaan Timur masih kental
dengan sifat kompleks rendah diri. Ia memusuhi segala jenis mentalitas
budak,
obsesi
terhadap
hierarki,
toleransi
yang
berlebihan,
kecenderungan mistik, hingga keahlian dalam pengingkaran, sifat „bukan
saya‟, dan keengganan bertanggung jawab atas perbuatannya.209 Bagi
Setadewa orang yang masih memiliki mental “menunduk” jiwa dan
206
Ibid., h. 152
Ibid., h. 151.
208
Frederick dan Soeroto, op. cit., h. 358-359.
209
Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Terj. dari Sjahrir:
Politics and Exile in Indonesia oleh Pabotingi, Matheos Nalle, dan Maimoen, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1996), h. 298.
207
171
raganya belum merdeka. “Maaf, Excellency tapi sungguh, saya selalu
sedih kalau melihat orang menunduk-nunduk seperti kuli jaman
Rafless.”210
Sikap dan mental yang dicanangkan Sjahrir dan Tan Malaka dalam
novel diperlihatkan oleh Setadewa dengan sangat dominan. Bahkan
bukan hanya terlihat dari pribadinya saja dalam bertindak, akan tetapi
sikap Setadewa ini mendapatkan pengakuan dari bangsa asing yang
mengakui Setadewa memiliki mental orang Eropa bukan orang Timur.
“Anda orang Eropa dalam sikap dan mental. Bukan orang Amerika,
jangan lagi orang Timur. Tetapi ... Ya, memang aku lahir di
Indonesia sini. Bahkan Mr. Ambasador boleh menertawakan saya,
tetapi benar saya masih mempunyai darah ningrat sedikit dari
Keraton di jantung Jawa sana.”211
Pengakuan pandangan ini dikemukakan oleh Tuan Ambassador yang
merupakan teman Setadewa. Pengakuan ini tidak hanya berdasarkan
pengakuan kosong belaka. Pasalnya ia mengatakan begitu karena telah
melihat bagaimana bangsa Timur dalam bersikap, ketika ia mengunjungi
Indonesia.
“Tahukah Anda , Mr. Setta, orang Timur memang harus diteror
seperti yang kukerjakan pada adder-adder ini. Coba mereka diberi
hati, aduh bukan Cuma hati yang diambil, tetapi jantungnya juga.
Jantung diberi, mereka ambil paru-paru. Paru-paru diberi, malah
naik lagi mereka minta agar diperbolehkan menyedot otak ... tetapi
ini bangsa kuli. Harus dijadikan kuli. Coba mereka kau injak,
barulah mereka hebat bekerja, dan keluarlah daya akal mereka yang
mengagumkan. Tetapi bila diberi hati dan dimanja, sudahlah,
kembalilah mereka menjadi anak kecil yang macam-macam saja
merengek-rengek permintaan bukan-bukan tidak masuk akal.”212
Bagi Tuan Ambbasador bangsa Timur itu hanya ibarat binatang
peliharaannya saja, yaitu adder-adder. Menurutnya, bangsa Timur
(Indonesia) merupakan bangsa kuli yang tidak bisa hidup mandiri.
210
Mangunwijaya, op. cit., h. 204.
Ibid., h. 205.
212
Ibid., h. 203-204.
211
172
Sikap itulah yang membuat Setadewa memandang para bangsa
Indonesia sebagai bangsa kuli yang memiliki mentalitas budak. Maka
tidak heran Setadewa sering kali melayangkan kritikan terhadap orangorang pribumi yang dianggapnya memiliki mental yang sangat
merugikan diri sendiri, apalagi pihak lain.
“Bukan begitu. Papi senang kau tidak suka sundal. Tetapi orangorang yang membongkok-bongkok di hadapan serdadu tengik
Jepang dan menjual bangsanya kepada mereka demi sebungkus
rokok lebih hina dari sundal”213
Baginya sikap yang demikian itulah yang harus segera direvolusi agar
bangsa Indonesia mampu belajar dan menentukan pilihan hidup yang
terbaik. Kritikan itu lebih khusus lagi Setadewa layangkan terutama
kepada orang Jawa.
“Itulah senjata paling ampuh dari orang Jawa: mengalah. Menang
tanpa membawahkan? Membunuh tanpa mencabut nyawa? Terasa,
betapa asing diriku, jauh dari manusia-manusia di negeri ini. Aku
merasa diikat dengan benang sutera, diganja dengan arum-manis,
dipeluk oleh labah-labah betina yang merayu minta disetubuhi, lalu
jantan dimakan.”214
Menurut Suwardi Endraswara, dalam catatannya terdapat kurang lebih 40
mental orang Jawa yang patut direvolusi. Jika tidak direvolusi, mental
Jawa tersebut sering merugikan pihak lain, bahkan diri sendiri. Salah
satunya adalah mental menang tanpa membawahkan pada kutipan di atas.
Bagi orang Jawa kemenangan selalu dianggap prestise. Orang Jawa
sudah lama mengkonsepkan istilah (1) drajat, (2) pangkat, (3) semat
yang berkaitan dengan kepemimpinan.215 Dengan kata lain, sebenarnya
Setadewa mengkritisi bangsa Indonesia secara keseluruhan (khususnya
orang jawa) dengan mengkhawatirkan apa yang dinamakan “warisan
feodal” tradisional yang terdapat di sekian banyak daerah Indonesia, serta
pengaruh pemerintahan Belanda dan Jepang. Dengan begitu akan
213
Ibid., h. 34.
Ibid., h. 281.
215
Selengkapnya lihat Suwardi Endraswara, Revolusi Mental dalam Budaya Jawa,
(Yogyakarta: Narasi, 2015), h. 1-7.
214
173
mengakibatkan terlalu banyak penduduk Indonesia akan pasrah belaka
terhadap kekuasaan.
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA
Peranan sastra dalam pembelajaran sangatlah vital, karena mempelajari
sastra berarti mempelajari bahasa, pemikiran, gagasan, budaya, dan tradisi.
Lebih dari itu, mempelajari sastra akan memperkenalkan peserta didik sebuah
dunia pengalaman baru, membawa peserta didik berkelana pada pemikiran dan
gagasan dunia baru yang berbeda sehingga membuat peserta didik kaya akan
intelektual. Selain itu, sastra dapat meningkatkan keterampilan berbahasa.
Dengan mempelajari sastra tentunya akan mempelajari aspek kebahasaan
lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pasalnya, bahasa
memiliki peranan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan
emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan peserta didik
dalam mempelajari semua bidang studi. Dengan demikian sastra dapat memacu
kreativitas membaca dan menulis sastra, disamping mengajarkan kesantunan
pada peserta didik.
Mempelajari sastra berarti belajar untuk menafsirkan pesan pengarang
dalam karyanya secara akademis atau dengan kata lain menelusuri ilmu
pengetahuan dalam bentuk pemikiran yang telah direfleksikan oleh pengarang.
Dengan begitu, siswa dapat memperoleh wawasan dari ide-ide tentang dunia
dan realitas yang digambarkan pengarang melalui bahasa. Tidak hanya itu,
kritik-kritik sosial, politik, dan hukum yang terdapat dalam tulisan karya
pengarang dapat membantu peserta didik membuat keputusan dalam transisi
kehidupan sosial, politik, dan hukum.
Namun ada pula pendapat bahwa sastra hanya diperlukan sebagai
penambah wawasan saja, tanpa harus mempelajarinya secara mendalam.
Anggapan itu muncul dikarenakan peserta didik belum bisa menangkap makna
dan mengambil manfaat secara maksimal dari karya sastra. Hal tersebut
merupakan salah satu masalah yang harus segera diatasi. Masalah lain yang
harus dibenahi adalah pengemasan pengajaran sastra yang masih kaku dan
174
rumit. Hal tersebut mempersulit tercapainya tujuan pengajaran sastra yang
salah satunya adalah menumbuhkan nilai kehidupan. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa sastra memiliki posisi yang sangat penting, terutama dalam
membangun moralitas bangsa yang dewasa ini mengalami penurunan secara
signifikan.
Memasukan materi sastra pada pendidikan formal (dalam hal ini
pembelajaran sastra mengenai analisis novel) merupakan suatu usaha yang
bagus untuk membangun kreativitas siswa dalam mengapresiasi karya sastra,
sehingga meningkatkan kemampuan membaca peserta didik. Khususnya dalam
novel sastra, peserta didik dapat memperkaya pengetahuan dan wawasannya
melalui kegiatan membaca, karena bacaan sastra membahas permasalahan
kemanusiaan serta seputar kehidupan manusia. Salah satu kelebihan novel
sebagai bahan pembelajaran sastra adalah cukup mudahnya dipahami oleh
peserta didik sesuai dengan tingkat kemampuannya masing-masing individu.
Namun karena tingkat kemampuan setiap individu berbeda, dalam hal ini guru
sebagai seorang pengajar dituntut lebih luwes dengan menggunakan metode
yang tepat. Dengan begitu tujuan pendidikan yang ingin menghasilkan generasi
yang kreatif akan tercapai.
Tujuan pengajaran sastra sebenarnya memiliki dua sasaran, yaitu siswa
memperoleh pengetahuan dan pengalaman sastra. Pertama, pengetahuan sastra
diperoleh dengan membaca teori, sejarah, dan kritik sastra. Kedua,
pengalaman sastra dengan cara membaca, melihat pertunjukan karya sastra,
dan menulis karya sastra. Maka dari itu, agar segala tujuan pembelajaran
tercapai dan tepat sasran, dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut
untuk aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Guru juga dituntut
mengembangkan kompetensinya sehingga mampu menciptakan pembelajaran
yang berkualitas dari segi isi maupun kemasan.
Terkait hal implikasi pembelajaran sastra di sekolah dengan bahasan
dalam kajian novel ini, penulis memandang Standar Kompetensi yang dapat
diimplikasikan dalam pembelajaran sastra adalah menanggapi pembacaan
novel. Berdasarkan Standar Kompetensi itu, maka Kompetensi Dasar yang
175
dihasilkan adalah mengidentifikasi unsur novel sebagai karya sastra (intrinsik
dan ekstrinsik). Kompetensi tersebut dapat dikembangkan melalui novel ini
sebagai bahan ajar pembelajaran di tingkat menengah atas. Pembelajaran
unsur intrinsik dalam novel ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
mengapresiasi karya sastra untuk mempertajam perasaan, meningkatkan
penalaran, daya imajinasi, serta kepekaan terhadap masyarakat dan lingkungan
sekitar. Sementara mempelajari unsur ekstrinsik akan menambah wawasan
terkait pemikiran pengarang dan apa yang benar-benar ingin disampaikan oleh
pengarang dalam novel.
Novel ini dikategorikan sebagai novel sejarah. Oleh karena itu, siswa
perlu membaca secara intensif agar lebih memahami isi novel, hal tersebut
terjadi karena novel Burung-burung Manyar banyak memaparkan berbagai
peristiwa yang berkaitan dengan sejarah Indonesia. Maka dari itu, sasaran
implikasi penelitian ini sebagai pemahaman tambahan bagi peserta didik,
selain pemahaman tentang pewarnaan pikiran sang sastrawan, juga sebagai
pemahaman perihal revolusi di Indonesia dan para tokoh-tokoh penggagasnya.
Untuk itu, guru diharapkan dapat menjelaskan dengan baik revolusi yang
terjadi di Indonesia kepada para peserta didik, sehingga para peserta didik
mengetahui revolusi yang terjadi di Indonesia. Selain itu juga, guru dapat
memperkenalkan tokoh revolusi, dalam hal ini khususnya Sjahrir dan Tan
Malaka kepada para peserta didik. Kesemuanya itu diharapkan agar peserta
didik mampu menganalisis segi-segi ekstrinsik yang terdapat dalam
pembelajaran sastra. Sehingga, peserta didik mampu lebih tajam dalam
menganalisis segi-segi intrinsik.
Dengan begitu, dalam menganalisis novel ini, guru dituntut agar
mengarahkan siswa untuk menggunakan teknik membaca intensif. Dengan
menggunakan teknik membaca intensif, maka detail cerita akan mudah
dipahami oleh para peserta didik sehingga peserta didik akan lebih tajam
dalam menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di
dalamnya. Dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini,
terutama konsep revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka, maka akan
176
menumbuhkan nilai kebangsaan para peserta didik dan menimbulkan rasa
cinta terhadap tanah air. Dengan mengetahui revolusi sosial diharapkan
peserta didik menjadi manusia yang lebih demokratis. Pada akhirnya, lewat
revolusi mental peserta didik menjadi manusia yang berpikir logis, kritis, dan
sistematis.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap novel
Burung-burung Manyar, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam novel Burung-burung Manyar, sang tokoh utama Setadewa berposisi
sebagai pengagas utama (artikulator) revolusi. Revolusi yang menjadi acuan
Setadewa adalah revolusi yang digagas oleh Sutan Sjahrir dan Tan Malaka,
itu terlihat dari gagasan revolusi nasional, sosial, dan mental. Hal tersebut
terlihat dari segala pemikiran dan tindak-tanduk sang tokoh Setadewa.
Sebagaimana juga revolusi ikut turut mempengaruhi kepribadian tokoh
Setadewa. Sedangkan gambaran tokoh lain perihal revolusi dapat dilihat
melalui tokoh Larasati yang menjadi perwakilan perempuan dalam revolusi.
Hal itu Larasati tunjukkan dengan cara ikut perjuangan di dalam ranah
pemerintahan Republik Indonesia. Di samping itu, peran tokoh-tokoh lain
tergambarkan dengan segala permasalahan revolusi. Namun, melalui
kacamata Setadewa cita-cita revolusi yang terjadi di Indonesia belumlah
terealisasikan dengan baik. Kajian mimetik yang dapat disimpulkan, yakni
apa yang terjadi pada gambaran latar yang ditampilkan Romo Mangun, yang
dapat diamati melalui kaca sejarah yang terjadi dalam dunia nyata
(Indonesia) dan persoalan-persoalan sosial yang melatarbelakanginya.
Semua itu merupakan cerminan dari kisah sejarah Indonesia yang benarbenar terjadi dan dialami oleh rakyat Indonesia pada zamannya. Selain itu,
latar revolusi dalam novel ikut andil dalam penegas suasana revolusi yang
terjadi di Indonesia.
2. Novel Burung-burung Manyar mampu berimplikasi dalam pembelajaran
sastra dengan menggunakan Standar Kompetensi menanggapi pembacaan
novel. Dengan begitu, guru dituntut agar mengarahkan siswa untuk
menggunakan teknik membaca intensif. Pembacaan intensif membuat
177
178
peserta didik lebih memahami isi novel dan lebih tajam dalam menganalisis
unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya. Dengan
memahami nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini, konsep revolusi
Sutan Sjahrir dan Tan Malaka yang dijadikan materi utama dapat ditemukan
dan dipelajari lebih mendalam. Sementara tujuan yang ingin dicapai ialah
revolusi nasional dapat menumbuhkan nilai kebangsaan para peserta didik
dan menimbulkan rasa cinta terhadap tanah air. Dengan mengetahui revolusi
sosial diharapkan peserta didik menjadi manusia yang lebih demokratis.
Pada akhirnya, lewat revolusi mental peserta didik menjadi manusia yang
berpikir logis, kritis, dan sistematis.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian maka penulis menyampaikan
beberapa saran kepada:
1. Masyarakat seharusnya sadar bahwa tahap revolusi nasional barulah tahap
awal idealnya dalam revolusi, seharusnya tahap itu dilanjutkan kepada tahap
revolusi sosial dan revolusi mental. Dengan demikian, skripsi ini diharapkan
dapat mendorong masyarakat ke arah kesadaran tahap revolusi.
2. Guru diharapkan lebih jelas dan rinci dalam menerangkan unsur-unsur
pembangun karya sastra (khususnya novel), serta mampu memilih metode
dan media yang tepat guna mencapai sasaran pembelajaran yang ingin
dicapai.
3. Untuk siswa hendaknya mampu menganalisis karya sastra (khususnya
novel) lebih dalam dan tajam, sehingga pemikiran pengarang yang benarbenar ingin disampaikan dapat ditemukan.
4. Bagi masyarakat pembaca supaya tidak hanya sekadar membaca, akan tetapi
dapat menggali dan menghayati serta mampu mengamalkan pesan yang
disampaikan oleh pengarang kepada para pembaca baik secara tersurat
maupun tersirat.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, MH. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical
Tradition. Oxford: Oxford University Press, 1971.
_____. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston,
1981.
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, cet. 9, 2007.
Aziez, Furqonul dan Hasim, Abdul. Menganalisis Fiksi. Bogor: Ghalia Indonesia,
2010.
BS., Abdul Wachid. Sastra Pencerahan. Yogyakarta: Saka, 2005.
Creswell, John W. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
mixed, Edisi Ketiga, Terj. dari Research Design Qualitative, Quantitative,
and Mixed Methods Approaches, Third Edition oleh Achmad Fawaid.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Djody, Setiawan. “Revolusi Versus Reformasi”, dalam Revolusi Kebudayaan.
Yogyakarta: t.p., 1999.
Djojosuroto, Kinayati. Analisis Teks Sastra & Pengajarannya. Yogyakarta:
Pustaka, 2006.
DM., Sunardi. Barata Yudha. Jakarta: Balai Pustaka, cet. 8, 2008.
Draper, Hal. Karl Marx’s Theory of Revolution: The Politics of Social Classes.
Delhi: Aakar Books, 2011.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori,
dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS, 2013.
_____. Revolusi Mental dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2015.
Eneste, Pamusuk. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan,
1988.
Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa,
2013.
Frederick, William H. Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya
Revolusi Indonesia (Surabaya 1926 – 1946). Jakarta: Gramedia, 1989.
Frederick, William H. dan Soeroto, Soeri. Pemahaman Sejarah Indonesia:
Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.
179
180
Heijboer, Pierre. Agresi Militer Belanda: Memperebutkan Pending Zamrud
Sepanjang Khatulistiwa 1945/1949. Jakarta, Gramedia & KITLV, 1998.
Hidayat, Asep Yusuf. Metode Penelitian Sastra. Bandung: FSUP, 2007.
Hidayat, N. Di Bawah Kibaran Bendera Matahari Terbit. Jakarta: Nilia Pustaka,
2007.
K., Septiawan Santana. Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Kahin, G. McTurnan. “Sutan Sjahrir”, dalam Rosihan Anwar (ed.), Mengenang
Sjahrir. Jakarta: Gramedia, 1980.
Kartasasmita, Ginanjar dkk. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949. Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1981.
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia, 2010.
Kleden, Ignas. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan; Esai-esai Sastra dan
Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004.
Kosasih, E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya, 2012.
KS., Yudiono. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2007.
Legge, JD. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok
Sjahrir, Terj. dari Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the
following recruited by Sutan Sjahrir in occupation Jakarta oleh Hasan
Basari. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, cet. 2, 2003.
Lenin, V.I. Negara dan Revolusi, Terj. dari The State and Revolution oleh Sulang
Sahun. Yogyakarta: Fuspad, 2001.
Luxemburg, Jan van dkk. Pengantar Ilmu Sastra, Terj. dari Inleiding in de
Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1986.
Mahayana, Maman S. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007.
Malaka, Tan. Aksi Massa. Jakarta: Teplok Press, 2000.
_____. Gerpolek: Gerilya-Politik-Ekonomi. Yogyakarta: Narasi, 2013.
_____. Islam dalam Madilog, Bandung: Sega Arsy, 2014a.
_____. Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Yogyakarta: Narasi,
2014b.
181
_____. Muslihat, Politik, & Rencana Ekonomi Berjuang. Yogyakarta: Narasi,
2014c.
_____. Semangat Muda. Bandung: Sega Arsy, 2015.
Mangunwijaya, YB. “Archetype Sutan Sjahrir”, dalam Rosihan Anwar (ed.),
Mengenang Sjahrir. Jakarta: Gramedia, 1980.
_____. Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1987.
_____. “Manusia, Guru, Negarawan Sutan Sjahrir dan Relevansinya Kini dan Di
Hari Mendatang”, Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah Angakatan II,
Sekolah Ilmu Sosial, Bentara Budaya Jakarta, 5 Agustus 1988.
_____. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius, cet. 3, 1994.
_____. “Muda = Merintis Kreatif” dalam Gerundelan Orang Republik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
_____. Merintis RI yang Manusiawi Republik yang Adil dan Beradab. Jakarta:
Erlangga, 1999a.
_____. Pacsa-Indonesia Pasca-Einstein. Yogyakarta: Kanisius, 1999b.
_____. Burung-burung Manyar. Jakarta: Djambatan, cet. 15, 2007.
Matanasi, Petrik. KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) Bom Waktu
Tinggalan Belanda. Yogyakarta: Media Pressindo, 2007.
Melberg, Arne. Theories of Mimesis. Cambridge: Cambridge University Press,
1995.
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005.
Mohamad, Goenawan. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993.
_____. “Tan Malaka, Sejak Agustus Itu”, dalam Tempo Edisi Khusus Tan
Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta, Agustus 2008.
MP-Ata, “Romo Mangun mengungkapkan: „Burung-burung Manyar‟nya banyak
dipengaruhi Multatuli”. Yogyakarta: Minggu Pagi, 21 Oktober, 1984.
Mrazek, Rudolf. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Terj. dari Sjahrir:
Politics and Exile in Indonesia oleh Pabotingi, Matheos Nalle, dan
Maimoen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996.
182
Murtianto, Th. Bambang (ed.). Kata-kata Terakhir Romo Mangun. Jakarta:
Kompas, 2014.
Nurgiyantoro, Burhan. “Wayang dalam Fiksi Indonesia”. Jurnal Humaniora, Vol.
XV, No. 1/2003.
_____. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.
Onghokham. Rakyat dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1983.
Penyusun, Tim. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Poeze, Harry. “Kerja Sama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir”, dalam Tempo Edisi
Khusus Sjahrir. Jakarta, Maret 2009.
Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 4, 2007.
Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta:
Bumi Aksara, 2010.
Purba, Antilan. Esai Sastra Indonesia; Teori dan Penulisan. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2008.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, cet. 8, 2000.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cet. 3, 2007.
Ricklefs, MC. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1999.
Rusyana, Yus. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang, 1982.
Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1988.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.
Sjahrir, Sutan. Pikiran dan Perdjoeangan. Djakarta: Poestaka Rakjat, 1947.
_____. Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin. Jakarta: Djambatan, 1990.
_____. Perdjoeangan Kita. Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik Guntur ‟49, 1994.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: UI-Press, cet. 10, 1981.
Stanton, Robert. Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti
dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
183
Subanar, G. Budi. “Jejak-jejak Humanisme dalam Karya Sastra Y.B.
Mangunwijaya”. Kuwera, Vol. 14, 2012.
Sudirjo, Radik Utoyo. Fajar Orde Baru Lahirnya Orde Baru. Jakarta: Badan
Penerbit Almanak Republik Indonesia, 1979.
Sumardjo, Jakob. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Alumni,
1999.
_____. Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan. Jakarta: Kompas, cet. 2, 2002.
Suparajie. “Maka Mangunwijaya pun Mengungkapkan: Dulu, Banyak yang Ikut
Belanda ....”. Yogyakarta: Eksponen, 3-9 September, 1983.
Surachmad, Winarno. Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah.
Bandung: Tarsito, 1975.
Tarigan, Henry Guntur. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa, 1986.
Triyana, Bonnie. “(Bukan) Seseorang dalam Arus Utama Revolusi”, dalam Tempo
Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta,
Agustus 2008.
Utomo, Cahyo Budi. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari
Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press, 1995.
Waluyo, Herman J. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University
Press, 1994.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of
Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia, cet. 4, 1995.
Wikipedia
Ensiklopedia
Bebas.
“Biografi
http://www.id.wikipedia.org, 31 Januari 2015.
Y.B.
Mangunwijaya”.
Yahya, Iip D. Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Anonim. “Y.B. Mangunwijaya Bicara tentang „Burung-burung Manyar‟nya”.
Jakarta: Kompas, 22 Juli, 1981.
Anonim. “Si Mata Nyalang di Balai Societeit”, dalam Tempo Edisi Khusus Tan
Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta, Agustus 2008.
Anonim. “Gerilya Dua Sekawan”, dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka:
Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta, Agustus 2008.
184
Daftar Rujukan Bacaan:
Atmakusumah dan Atmakusumah, Sri Rumiati (ed.). Tajuk-tajuk Mochtar Lubis
di Harian Indonesia Raya: Seri 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997.
Barry, Peter. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan
Budaya. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
DS., Soegiri. Arus Filsafat. Bandung: Ultimus dan Lembaga Sastra Pembebasan,
2008.
Eneste, Pamusuk. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang.
Jakarta: Gramedia, 2009.
Santosa, Kholid O. dkk. Tan Malaka dan Sjahrir dalam Kemelut Sejarah.
Bandung: Sega Arsy, cet. 3, 2016.
Susetya, Wawan. Ramayana. Yogyakarta: Narasi, 2008.
DAFTAR UJI REFE,RENSI
Nama
NIM
Jurusan/Prodi
Fakultas
Judul Skripsi
: Boby
Aji
Pamungkas
: 109013000089
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
:
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
)
: "GagasanRevolusi Pada Tokoh-tokoh
B
dalamNovel
urung-burung Manyar Karya YB Mangunwijaya dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA"
Paraf
No.
Judul Buku Referensi
Pembimbing
BAB I
of
1.
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory
2.
Literature oleh Melani Budianta, (lakarta: Gramedia, 1995).
Yudiono K.5., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Grasindo,
n
q^
'q{
2007).
a
J.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11
12.
Jakob Sumardjo, Kontel<s Sosial Novel Indonesia 1920-1977, (Bandung:
Alumni, 1999).
Y.B. Mangunwijaya, "Archetlpe Sutan Sjahrir", dalam Rosihan Anwar
(ed.), Mengenang Sjahrir, (Jaka4a: Gramedia, 1980).
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fil6i, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005).
_
Suparajie, "Maka Mangunwijaya pun Mengungkapkan: Dulu, Banyak
yang Ikut Belanda ....", El<sponen,Yogyakarta,3-9 September, 1983.
William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia:
Sebelum dan Sesadah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
200s).
Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, (Jakarta: Pustaka
Firdaus,1993).
Kinayati Djojosuroto, Analisis Teks Sastra & Pengajarannya,
(Yogyakarta: Pustaka, 20Q6).
Winarno Surachmad, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi
Ilmiah, (Ban&ryg: Tarsito, 1975).
John w. creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif,
dan mixed, Edisi Ketiga, Terj. dari Research Design Qualitative,
Quantitative, and Mixed Methods Approaches, Third Edition olehAchmad
rawai4 Sogyakq{ta: Pustaka Pelajar, 201 0).
Asep Yusuf Hidayat, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: FSUP, 2001).
d
4
d
d
I
U"
13.
t4.
15.
16.
17.
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Tehtik Penelitian Sastra,
(Yogyakarta: Pustaka Pelaiar, 2007), cet. 3.
Septiawan Santana K., Menulis llmiah Metode Penelitian Kualitatif,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007).
M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (New York: Holt Rinehart
and Winston, 1981).
Suharsimi Arikunto, Manajernen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta,
20Al), cet. 9.
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya, ffogyakarta: Pustaka Pelaiar, 2007\, cet. 4.
BAB II
18.
Endah
Tri Priyatni, Membaca Sastra
d
d
d^
#
#
n
d
dengan Ancangan Lrterasi Kritis,
(Jakarta: Bumi Aksara, 201 0).
20.
Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fil6i, (Surakarta: Sebelas Maret
University Press, 1994).
M. Atar Semi, Anatomi SastrA, (Padang: Angkasa Raya, 1988).
2l
.
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia
22.
Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejaralr, (Bandung:
23.
Angkasa,2013).
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008).
19.
Indonesia, 201 0).
24.
25.
26.
21
.
28.
29.
30.
31
32.
aa
JJ.
34.
35.
Henry Guntur Tarigan, Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa,
(Bandung: Angkasa, 1 986).
Robert Stanton, Teori Fil$i, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh
Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelaj ar,2A07).
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005).
Gorys Keraf, Diksi don Gaya Baltasa, (Jakarta: Grametlia, 2010).
E.
d
rC
,A
d,\
#
dn
d
d
n#
#
Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Barrdung: Yrama
Widya,20L2).
M. H. Abrams, The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the
Critical Tradition, (Oxford: Oxford University Press, l97l).
Arne Melberg, Theories of Mimesls, (Cambridge: Cambridge University
:d4
o{n
Press,1995).
Jan van Luxemburg dkk., Pengantar llmu Sastra, Terj. dari Inleiding in de
Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1986).
Abdul Wachid BS, Sastra Pencerahan, (Yogy*arta: Saka, 2005).
4n
Suwardi Endraswar a, Metodo logi Penelitian Sastra ; Epis temolo gi, Model,
Teori, dan Aplikasz, (Yogyakarta: CAPS, 2013).
Setiawan Djody, "Revolusi Versus Reformasi",dalam Revolusi
Ke bu d ay a an, (Y o gyakarta: t.p., I 9 9 9).
Lihat Hal Draper, Karl Marx's Tlteory of Revolution: The Politics of
Social Classes, (Delhi: Aakar Books, z}fi).
d
C
^d
i^
n4
4
36.
37.
38.
39.
44.
41
.
42.
43.
44.
45.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: UI-Press, 1981),
cet. 10.
V.I. Lenin, Negara dan Revolusi, Terj. dat'. The State and Revolution oleh
Sulang Sahun, (Yogyakarta: Fuspad, 2001 ).
J.D. Legge, Kaum Intelehual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan
Kelompok Sjahrir, Terj. dari Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A
Study of the following recruited by Sutan Sjahrir in occupation Jakarta
oleh Hasan Basari, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), cet.2.
G. McTurnan Kahin, o'Sutan Sjahrir", dalam Rosihan Anwar (ed.),
Mengenang Sj ahrir, Qlakarta: Gramedia, I 980).
Sutan Sjahrir, Perdjoeangan Kita, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik
Guntur '49,1994).
Y.B. Mangunwijaya, 'oManusia, Guru, Negarawan Sutan Sjahrir dan
Relevansinya Kini dan Di Hari Mendatang", Makalah disampaikan pada
Orasi Ilmiah Angakatan II, Sekolah Ilmu Sosial, Bentara Budaya Jakarta,
5 Agustus 1988.
Jakob Oetama, Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan, (Jakarta: Kompas,
2002), cet.2.
Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin. (Jakarta:
Djambatan, 1990).
Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perdjoeangan, (Djakarta: Poestaka Rakjat,
1947).
Rudolf \trazek, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Terj. dat'r
Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia oleh Pabotingi, Matheos Nalle,
dan Maimoen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996).
47.
Bonnie Tri yana, "(Bukan) Seseorang dalam Arus Utama Revolusi", dalam
Tempo Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan,
Jakarta, Agustus 2008.
Tan Malaka, Al$i Massa, (Jakarta: Teplok Press, 2000).
48.
Tan Malaka, Semangat Muda, (Bandung: Sega Arsy, 2A$).
49.
Tan Malaka, Gerpolek: Gerilya-Politik-Ekonomi, (Yogyakarta: Narasi,
50.
2013).
Tan Malaka, Islam dalam Madilog, (Bandung: Sega Arsy, 2Al4).
51
Tan Malaka, Madilog:
46.
52.
53.
54.
Materialisme, Dialehika, dan Logika,
(Yogyakarta: Nalqsi, 201 4).
Harry Poeze, "Kerja Sama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir", dalam Tempo
Edisi Khusus Sjahrir, Jakarta, Maret 2009.
Goenawan Mohamed, "Tan Malaka, Sejak Agustus Itu", dalam Tempo
Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik ynng Dilupakan, Jakarta,
Agustus 2008.
Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia; Teori dan Penulisan, (Yogyakarta:
Graha llmu,2008).
d
d
I
n
d
d
d
4dn
Cfl
4h
6 ,{
d]
&
d
d
55.
Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: Gunung Larang,
1982).
56.
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 2000),
cet. 8.
BAB III
57.
58.
59.
60.
6r.
62.
Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan; Esai-esai Sastra
dan Budaya, (Jakarta Pustaka Utama Grafiti, 2004).
Iip D. Yahya, Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa, (Yogyakarta:
Kanisius,2005).
Pamusuk Eneste, Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern, (Jakarta:
Djambatan, 1988).
Anonim,
Mangunwijaya Bicara tentang 'Burung-burung
Manyar'nya" , Kompas, Jakarta, 22 lvli, 1 98 I .
Maman S. Mahayana, Elatrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007).
Wikipedia Ensiklopedia Beb as, Biogrofi Y.B. Mangunwij aya, halaman ini
terakhir diubah pada 31 Januari 2015, pukul 18.04,
(http /hwvw. i d. wikipedi a. oru) .
MP-Ata, "Romo Mangun mengungkapkan: oBurung-burung Manyar nya
banyak dipengaruhi Multatuli", Mingga Pagi, Yogyakarta, 21 Oktober,
1984.
Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Kanisius,
1994), cet. 3.
Th. Bambang Murtianto (ed.), Kata-kata Terakhir Romo Mangun,
(Jakarta: Kompas, 2014).
Y.B. Mangunwijaya, Pacsa-Indonesia Pasca-Einstein, (Yogyakarta:
Kanisius, 1999).
G. Budi Subanar, "Jejak-jejak Humanisme dalam Karya Sastra Y.B.
Mangunwii ayt', Kuwera, Y ol. | 4, 2012.
Y.B. Mangunwijaya, Merintis RI yang Manusiawi Republikyang Adil dan
B eradab, (J akarta: Erlangga, 1999\.
Y.B. Mangunwijaya, Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1987).
'Y.B.
ffi
M
A
4
d
d
d
&
:
63.
64.
65.
66.
67.
68.
69.
BAB IV
71
Y.B. Mangunwiaya, Burung-burung Manyar, (J akarta: Dj ambatan, 2A0l),
cet.15.
Sunardi D.M. , Barata Yudha, (jakarta: Balai Pustaka,2008), cet. 8.
72.
Burhan Nurgiyantoro, "Wayang dalam Fiksi lndonesia", Jurnal
70.
73.
74.
Humaniora, Vol. XV, No. 112003,h. 10.
MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1999).
Tan Malaka, Muslihat, Politik, & Rencana Ekonomi Berjuang,
(Yogyakarta: Narasi, 201 4).
6
t
,#*
d
#
n
dA
#
CT
/1
ok\
+
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
Y.B. Mangunwijaya, "Muda: Merintis Kreatif'dalam Gerundelan Orang
Republik, (Yogyakarta: Pustaka Pelaj ar, 1 995).
Tim Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008).
Pierre Heijboer, Agresi Militer Belanda: Memperebutkan Pending Zamrud
Sepanjang Khatulistiwa 1945/1949, (Jakarta, Gramedia & KITLV, 1998).
Anonim, "Gerilya Dua Sekawan", dalam Tempo Edisi Khusus Tan
Malalra: Bapak Republikyang Dilupakan, Jakarta, Agustus 2008.
Anonim, o'Si Mata Nyalang di Balai Societeit", dalam Tempo Edisi
Khusu.s Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, Jakarta, Agustus
2008.
Suwardi Endraswara, Revolusi Mental dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta:
Narasi,2015).
Petrik Matanasi, KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) Bom
Waktu Tinggalan Belanda, (Yogyakarta: Idedia Pressindo, 2007').
Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerokan Kebangsoan Indonesia dari
Kebangkitan hingga Kemerdeknon, (Semarang: IKIP Semarang Press,
1995).
William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan
Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926 - 1946), (lakarta: Gramedia,
1e8e).
N. Hidayat, Di Bawah Kibaran Bendera Matahari Terbit, (Jakarta: Nilia
Pustaka,2007).
Ginanjar Kartasasmita dkk, 30 Tahun Indonesia fuIerdeka 1945-1949,
(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1931).
Radik Utoyo Sudirjo, Fajar Orde Baru Lahirnya Orde Baru (Jakarta:
Badan Penerbit Almanak Republik Indonesia, l9l9).
Ot ghokham , Ralryat dan Negara, (Jakarta: Sinar Harap dn, 1983).
C
x
bA
4
&
&
d
u
d)
d
&
C l4
C t(
LAMPIRAN
Cover Novel Burung-burung Manyar
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya
Sinopsis Novel Burung-Burung Manyar
Roman ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang anak kolong
yang bernama Setadewa atau oleh keluarga priyayinya dipanggil Teto (pada
zaman Belanda), menjadi Leo ketika masuk NICA, dan dipanggil Seta ketika
telah menjadi seorang ahli komputer. Setadewa ialah anak dari seorang
Kepala Divisi Garnisun II Magelang KNIL tentara negeri Holland dan
seorang wanita keturunan totok Belanda yang senang berkehidupan ningrat
keraton Surakarta, bernama Marice. Pada masa penjajahan Belanda di HindiaBelanda hidup keluarga Setadewa makmur, namun semuanya berubah ketika
Jepang tiba di Indonesia. Ayahnya yang notabene tentara KNIL tentunya
menjadi incaran Jepang. Ketika Jepang datang, keadaan keluarganya menjadi
miris, terlebih lagi tragedi yang terus-menerus menimpanya, ayahnya
ditangkap oleh serdadu Jepang dan maminya ditawan oleh tentara Jepang,
ketika itu maminya diberi dua pilihan, menjadi gundik pemuas nafsu tentara
Jepang atau ayahnya meninggal. Maka Marice memilih pilihan yang pertama,
karena ia begitu sayang dengan suaminya. Kejadian itulah yang
mengantarkan Setadewa masuk NICA dan memilih Belanda, dikarenakan
kebenciannya yang teramat dalam dengan semua yang berbau Jepang dan
rakyat Indonesia yang membongkok-bongkok kepada Jepang. Ditengah badai
hitam kehidupan keluarga Brajabasuki, datanglah keluarga Antana sebagai
penolong Setadewa. Dalam keluarga Antana Setadewa menemukan kembali
kehangatan dan kasih sayang yang telah lama tidak ia rasakan. Terutama Si
prenjak, Larasati yang menjadi alasan utama Setadewa dan juga sebagai
wanita yang menjadi tambatan hati Setadewa. Namun ketika beranjak dewasa
keduanya memilih jalan yang berbeda. Setadewa memilih untuk meneruskan
perjuangan ayahnya menjadi tentara KNIL sementara Larasati memilih
mengabdi kepada republik, yakni menjadi sekretaris Perdana Menteri
Republik.
Atas rekomendasi maminya Setadewa dipertemukan oleh Mayoor
Verbruggen, yang merupakan orang yang sangat mencintai Marice. Banyak
pelajaran hidup yang diambil Setadewa melalui atasannya tersebut. Hingga
pada suatu hari, melalui atasannya pula Setadewa mengetahui informasi
mengenai papinya dan juga berhasil menemukan maminya yang ternyata
belum meninggal melainkan menderita kelainan jiwa. Dari situlah hidup
Setadewa hancur, dan juga dikarenakan pengaruh Larasati yang telah
memaksa Setadewa menjadi seorang lelaki yang serba kalah. Ketika pada
puncaknya Belanda berhasil menduduki istana presiden di Yogyakarta dan
para pemimpin tertinggi Republik ditangkap. Namun ditengah keberhasilan
itu justru Setadewa merasakan kehampaan hidup yang membawanya kepada
sebuah kekalutannya yang mendalam terkait pilihan hidupnya. Tidak lama
setelah
Agresi
Militer
Belanda,
justru
kekalahan
demi
kekalahan
menghampiri Belanda, pasalnya banyak pihak yang mengecam atas
serangannya terhadap republik Indonesia itu. Maka dari situlah sekali lagi
Setadewa
merasa
hidupnya
jatuh
kepada
lubang
kekalahan
dan
ketidaktercapaian berulang kali.
Setelah menghilang beberapa tahun penceritaan novel dibuka ketika
Indonesia sudah menjadi negara berkembang dan Setadewa telah menjadi
seorang ahli komputer lulusan Harvard University dan bekerja di luar negeri
sebagai ahli komputer di Oil Pacific Oil Wells Company. Melalui
pekerjaannya itulah yang membawanya kembali ke tanah kelahirannya,
Indonesia. Setadewa kembali ke Indonesia untuk menyelidiki masalah
perusahaan tempatnya bekerja, yang dianggapnya bermental fasis dan berbuat
rumusan curang terhadap Indonesia. Terlebih dulu Setadewa meminta saran
sahabatnya yang merupakan Duta Besar di Indonesia bernama John Brindley.
Akibat dari aksinya membongkar korupsi yang dilakukan perusahaannya,
Setadewa dipecat karena dianggap melakukan pengkhianatan.
Ketika itu pula Setadewa dipertemukan kembali dengan Larasati yang
telah memiliki suami, bernama Janakatamsi dan sudah memiliki tiga orang
anak yang bernama Teto, Kris, dan Padmi. Janakatamsi yang merupakan
orang yang membantu Setadewa membongkar kasus korupsi Wells Company
yang mengakibatkan Janaka juga harus dipecat dari pekerjaannya. Lalu
Setadewa kembali hidup bersama keluarga Antana bersama suami Larasati.
Ketika itu, Setadewa dan juga Larasati menyadari bahwa mereka masih tetap
memiliki rasa sayang antara satu dengan yang lain, tidak sebagai keluarga,
melainkan perasaan lain. Perasaan itu disadari juga oleh Ibu Antana dan
bahkan suaminya janakatamsi. Maka dari itu, Setadewa merasa tidak enak
dan ingin pergi dan hidup sendiri. Tetapi keluarga Antana, khususnya ibu
Antana memintanya tetap tinggal untuk menjadi abang bagi Larasati. Ketika
suatu hari ayah dari suami Larasati meminta Larasati dan suaminya untuk
melaksanakan ibadah Haji. Namun naas, Larasati dan suaminya tewas,
pesawat yang ditumpanginya jatuh di Kolombo. Hingga akhirnya, Setadewa
memutuskan untuk merawat tiga anak Larasati yaitu Kris, Padmi, dan Teto
kecil bersama Ibu Antana. Anak-anak Larasati dianggapnya hadiah terindah
yang pernah diterima oleh Setadewa selama hidupnya.
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
RPP
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Satuan Pendidikan : SMA / MA
Kelas/Semester
: XII/1
Nama Guru
NIP
Sekolah
:
:
:
1
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Satuan Pendidikan : SMA
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas/Semester
: XII/1
Aspek/Skill
: Membaca
Standar Kompetensi : Memahami pembacaan novel
Kompetensi Dasar
: Mengidentifikasi unsur sastra (intrinsik dan ekstrinsik)
Indikator
: (1) Mampu memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik
novel
(2) Mampu menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik
yang terdapat pada novel
(3) Mampu menggali apa yang ingin disampaikan oleh
pengarang dalam novel
Alokasi Waktu
: 4 x 45 menit (2 pertemuan)
1. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari bab ini siswa diharapkan mampu memahami unsur
terpenting dalam novel yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik, mampu
menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel, dan mampu
memahami apa yang ingin disampaikan oleh pengarang di dalam novel.
Karakter siswa yang diharapkan: siswa mampu mengembangkan sikap
gemar
membaca,
tanggung
jawab,
ketelitian, berani, serta percaya diri.
2. Materi Pembelajaran
a. Pemahaman mengenai novel
b. Penjelasan unsur intrinsik novel
c. Penjelasan unsur ekstrinsik novel
2
3. Metode Pembelajaran
a. Ceramah/Penjelasan
b. Tanya jawab
c. Diskusi kelompok
d. Inkuiri
e. Refleksi
f. Pemberian tugas
g. Penilaian sebenarnya
4. Media Pembelajaran
a. LCD (presentasi power point guru)
b. Papan Tulis
c. Hand out dan buku novel yang dipilih
d. Lembar kerja siswa
5. Sumber Belajar
a. Power point
b. Buku teks materi bahasa dan sastra Indonesia yang relevan
c. Buku novel yang dipilih (Novel Burung-burung Manyar karya Y.B.
Mangunwijaya
d. Biografi dan pemikiran pengarang novel
6. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
Pertemuan Pertama:
No
1
Kegiatan
Waktu
Kegiatan Awal
10 menit
Mengkondisikan kelas
Memberi salam, berdoa, menanyakan kabar, dan absensi
Guru mempersiapkan siswa secara fisik dan psikis
Guru menjelaskan kompetensi dasar dan indikator
3
Guru menjelaskan tujuan dan proses pembelajaran
Siswa ditanya mengenai pengetahuannya tentang novel
Motivasi
Guru memotivasi siswa dengan merelevansikan materi yang
akan dipelajari dengan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa
2
Kegiatan Inti
70 menit
Eksplorasi
30 menit
Dalam kegiatan eksplorasi:
Guru menjelaskan hakikat mengenai novel
Guru menjelaskan unsur terpenting (digunakan untuk
menganalisis novel) yang terdapat pada novel (intrinsik dan
ekstrinsik)
Siswa mendengarkan dengan seksama dan mencatat pokokpokok informasi yang disampaikan secara langsung
Guru menjelaskan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan
pembelajaran
Elaborasi
30 menit
Dalam kegiatan elaborasi:
Guru meminta siswa untuk membentuk kelompok diskusi
yang terdiri dari 3-4 orang siswa
Guru memilih novel Burung-burung Manyar karya Y.B.
Mangunwijaya yang akan dibahas lebih lanjut
Guru menampilkan profil serta pemikiran sang pengarang
Siswa berdiskusi untuk membaca dan menganalisis novel
yang telah dipilih dan juga pemikiran pengarang yang ingin
disampaikan pada novel tersebut
Guru ikut aktif mendiskusikan disetiap pembahasan bersama
para kelompok siswa
Konfirmasi
10 menit
Dalam kegiatan konfirmasi:
4
Guru memberikan konfirmasi serta penguatan-penguatan
positif terhadap tugas yang diberikan
Guru membuat refleksi tentang kesan yang dirasakan serta
pengetahuan yang didapat hari ini
3
Kegiatan Akhir
10 menit
Review
Guru memberikan kesimpulan serta penguatan atau follow up
materi yang diajarkan
Penugasan
Kelompok siswa yang telah dibuat tadi ditugaskan untuk
membaca lebih lanjut dan teliti tentang novel yang telah dipilih
dan menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsiknya serta
pemikiran apa yang disampaikan pengarang pada novel tersebut
Pertemuan Kedua:
No
1
Kegiatan
Waktu
Kegiatan Awal
10 menit
Mengkondisikan kelas
Memberi salam, berdoa, menanyakan kabar, dan absensi
Guru mempersiapkan siswa secara fisik dan psikis
Guru meminta siswa untuk duduk perkelompok yang telah
dibentuk pada pertemuan sebelumnya
2
Kegiatan Inti
70 menit
5
Eksplorasi
10 menit
Dalam kegiatan eksplorasi:
Guru mereview mengenai pelajaran yang telah disampaikan
pada pertemuan sebelumnya
Guru menjelaskan kepada tiap kelompok siswa secara aktif
dalam setiap kegiatan pembelajaran
Elaborasi
50 menit
Dalam kegiatan elaborasi:
Tiap kelompok siswa diminta bergiliran mempresentasikan
hasil tugas diskusi kelompoknya
Kelompok siswa yang lain menanggapi presentasi hasil
diskusi kelompok yang sedang presentasi
Guru ikut mengungkapkan dan menanggapi hasil pekerjaan
siswa
10 menit
Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi:
Guru memberikan kesempatan kepada para siswa untuk
menanyakan tentang hal-hal yang belum diketahui atau
terhadap tugas yang telah dibahas
Guru menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui
siswa
3
Kegiatan Akhir
10 menit
Review
Guru memberikan kesimpulan serta penguatan atau follow up
materi yang diajarkan
Penugasan
Siswa ditugaskan untuk mengerjakan lembar kerja siswa yang
telah disediakan guru terkait bab/bagian yang telah dibahas
6
7. Penilaian
1. Mengidentifikasi pemahaman siswa tentang
unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Indikator Pencapaian Kompetensi
2. Mengidentifikasi pemahaman siswa dalam hal
mengemukakan pemikiran pengarang dalam
novel
1. Ketajaman siswa dalam menganalisis novel
yang telah dipilih
2. Keaktifan individu siswa (kelompok) dalam
bertanya dan mengemukakan pendapat
Teknik Penilaian
2. Penguasaan materi tiap individu siswa
(kelompok) yang direfleksikan dalam
mempresentasikan hasil diskusi tiap
kelompoknya
3. Penguasaan materi dan pemahaman pada tiap
diri siswa terkait yang telah diajarkan
1. Penugasan kelompok menganalisis novel yang
telah dipilih
Bentuk Instrumen
2. Penugasan individu (menjawab soal yang
diberikan guru terkait pelajaran yang telah
diajarkan)
1. Menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik
novel Burung-burung Manyar
Instrumen/Soal
2. Menganalisis pemikiran pengarang novel
3. Menjawab lima pertanyaan yang diberikan guru
(soal terlampir di bawah)
a. Soal/Instrumen:
Soal
1) Apa yang dimaksud novel dan apa yang membedakan dari karya-karya
sastra lainnya?
7
2) Apa yang dimaksud dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik pada novel?
3) Sebutkan dan jelaskan apa saja yang terdapat dalam unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel!
4) Pemikiran apa yang ingin disampaikan pengarang dalam novel Burungburung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya!
5) Analisislah menurut kalian sendiri unsur intrinsik dan ekstrinsik yang
terdapat
dalam
novel
Burung-burung
Manyar
karya
Y.B.
Mangunwijaya!
Jawaban
1) Novel adalah sebuah karya sastra berupa prosa fiksi yang ditulis secara
naratif; biasanya dalam bentuk cerita dan memiliki unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Novel biasanya lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan
lebih kompleks ceritanya dari pada cerpen, dan tidak dibatasi
keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak.
2) Unsur intrinsik ialah unsur yang membangun karya sastra itu dari dalam
karya itu sendiri. Sementara, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang
berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya itu.
3) Unsur Intrinsik
-
Tema adalah ide atau gagasan pokok dalam suatu cerita.
-
Amanat adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang
kepada pembaca, dan merupakan makna yang terkandung dalam
sebuah karya sastra, yang disampaikan lewat cerita.
-
Alur adalah urutan (sambung-sinambung) peristiwa-peristiwa dalam
sebuah cerita rekaan.
-
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita
rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara
sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.
-
Latar adalah lingkungan dengan pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan.
8
-
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari
tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat,
waktu, dengan gayanya sendiri.
-
Gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau
bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan.
Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik terdiri dari keadaan subjektivitas individu pengarang
yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang
kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek
kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang
dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang
berupa psikologi pengarang yang mencakup proses kreatifnya. Keadaan
di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial yang juga
akan berpengaruh terhadap karya sastra.
4) (Pendapat siswa sesuai dengan kemampuan individu siswa dalam
menganalisis)
5) (Pendapat siswa sesuai dengan kemampuan individu siswa dalam
menganalisis)
b. Pedoman Penilaian
Untuk setiap nomor, yakni:
- no 1 mendapatkan point 5
- no 2 mendapatkan point 5
- no 3 mendapatkan point 15
- no 4 mendapatkan point 35
- no 5 mendapatkan point 40
Jumlah skor maksimal keseluruhan: 5 + 5 + 15 + 35 + 40 = 100
9
c. Rubrik Penilaian
Rubrik Penilaian Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel
SKOR
UNSUR YANG DINILAI
1 2 3 4
Analisis
1. Ketajaman analisis
Unsur
2. Kelengkapan unsur yang dianalisis
Intrinsik
3. Keruntutan penyajian hasil analisis
4. Manfaat yang bisa diambil dari unsur intrinsik
dalam novel
1. Ketajaman analisis
Analisis
2. Kelengkapan unsur yang dianalisis
Unsur
3. Keruntutan penyajian hasil analisis
Ekstrinsik
4. Manfaat yang bisa diambil dari unsur
ekstrinsik dalam novel
5. Kesimpulan hasil analisis
Perolehan Nilai = Total skor x 2
…………………………
Mengetahui,
Kepala Sekolah,
Guru Mapel,
.....................................
Boby Aji Pamungkas
.....................................
NIM. 109013000089
10
5
24/07/2016
Pengertian Novel
Pertemuan 1
Novel adalah sebuah karya sastra berupa prosa
fiksi yang ditulis secara naratif; biasanya dalam
bentuk cerita dan memiliki unsur intrinsik dan
ekstrinsik.
Memahami Pembacaan Novel
Boby Aji Pamungkas
1
2
Unsur Intrinsik Novel
Perbedaan novel dengan karya sastra
lain adalah:
Unsur Intrinsik adalah unsur-unsur yang secara
langsung membangun karya sastra itu sendiri dan
dapat dikatakan unsur yang ada di dalam karya
tersebut.
• Novel biasanya lebih panjang (setidaknya
40.000 kata) dan;
• Ceritanya lebih kompleks dari pada cerpen,
dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan
metrikal sandiwara atau sajak.
Unsur intrinsik dalam novel terdiri dari tema,
amanat, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut
pandang, dan gaya bahasa.
4
3
Tema
Amanat
Tema adalah ide atau gagasan yang mendasari
suatu cerita.
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya
sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca.
Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang
dalam memaparkan karya rekaan/fiksi yang
diciptakannya.
Di dalam karya sastra modern amanat ini
biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama
pada umumnya amanat tersurat.
5
6
1
24/07/2016
Alur
Tokoh dan Penokohan
Alur adalah urutan (sambung-sinambung)
peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita rekaan.
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa
dalam cerita, sehingga peristiwa itu menjalin
suatu cerita, sedangkan cara sastrawan
menampilkan tokoh disebut penokohan.
Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan
harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu
peristiwa mempunyai hubungan dengan
peristiwa lain.
Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai
sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak
tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu
karya oleh sastrawan disebut perwatakan.
7
8
Latar
Sudut Pandang
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, atau
pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang
yang dapat diamati, dan suasana terjadinya
peristiwa dalam sebuah karya sastra.
Sudut pandang atau point of view adalah posisi
pengarang dalam membawakan cerita dan dapat
dipahami sebagai cara sebuah cerita yang
dikisahkan.
9
Gaya Bahasa
10
Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik terdiri dari:
Keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki
sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya
itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya.
Gaya bahasa disebut juga stile (style), adalah
cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau
bagaimana seorang pengarang mengungkapakan
sesuatu yang akan dikemukakan.
Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang
berupa psikologi pengarang yang mencakup proses
kreatifnya.
Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi,
politik, dan sosial yang juga akan berpengaruh terhadap
karya sastra.
11
12
2
24/07/2016
Novel yang akan dibahas lebih lanjut
Biografi dan Pemikiran Y.B. Mangunwijaya
Nama lengkapnya adalah Yusuf Bilyarta
Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan
sebutan nama Romo Mangun.
Novel Burung-burung Manyar karya Y.B.
Mangunwijaya
Mangunwijaya merupakan seorang sastrawan yang
humanis, selalu menulis dengan sisi kemanusiaan.
Ketika menulis selalu jujur dengan apa yang
dilihatnya, karena sebagai bentuk kritik sosial.
13
14
Pertemuan 2
TUGAS!
Buatlah kelompok terdiri dari 3-4 orang siswa,
kemudian bacalah novel Burung-burung Manyar
lalu analisislah unsur intrinsik dan ekstrinsiknya
serta pemikiran apa yang disampaikan pengarang
pada novel tersebut!
15
Memahami Pembacaan Novel
Lanjutan
16
Konsep Revolusi Sjahrir dan Tan Malaka
dalam Novel Burung-burung Manyar
1. Revolusi Nasional
Revolusi nasional adalah suatu revolusi untuk merubah tata kehidupan
kolonial atau feodal kepada tata kehidupan nasional (merdeka).
2. Revolusi Sosial
Revolusi sosial ialah suatu revolusi untuk merubah struktur masyarakat
feodal menjadi masyarakat yang demokratis.
3. Revolusi Mental
Revolusi mental adalah suatu revolusi untuk merubah cara berpikir
masyarakat yang berpikir tradisional menjadi masyarakat yang berpikir
rasional.
17
3
KEMENTERIAN AGAMA
UIN JAKARTA
FITK
:
No.
Dokumen
No.
Revisi: :
FITK-FR-AKD-081
Tgl.Terbit : l
riJRM (FR)
Jl, lr. H. Juanda No 95 Ciputat l5412lndonesia
Maret 2010
01
1t1
Hal
SURAT BIMBING.AN SKRIPSI
)*lomor : Un.01/F.1/KM.0l.3l ...... ..12013
Lamp.
I{al
Iakarta, 14 Januari 2013
:-
: Bimbingan
Skripsi
fu-",{ ile
Kepacla Yth.
l'{"
Pembimbing Skipsi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UINI Syarif Hidayatullah
Jakafta.
Assalamu' alaikum wr. wb.
Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pemb-imbin g
(materi/teknis) penulisan skripsi mahasiswa:
Nama
NIM
Jurusan
, Semester
IlIl
Boby Aji Pamungkas
I 090 I 3000089
Pendidikan Bahas a dan Sastra Indonesia
VIII
Analisis Nilai-nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Dan
Kematian Makin Alvab Karya Subagio Sastrowardoyo
Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal
.l!:.!.:.*.{3 , abstraksiloutline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan
redaksional pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu,
mohon pembimbing menghubungi Junrsan terlebih dahulu.
Judul Skripsi
Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat
diperpaqjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan.
Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.
Was s al amu' al ailatm
wr. wb.
a.Il. Dekan
Kajur Pend. Bahasa
Dra. Mahmu
NIP, 196402
Ternbusan:
1. Dekan FITK
2. Mahasiswa
ybs.
Sastra Indonesia
/triyatr ZA,M.Pd
t99703 2 001
'll'#)
: FITK-FR-AKD-081
Tgl.Terbit : lMaretZAl0
No. Revisi: : 01
No. Dokumen
KEMENTERIAN AGAMA
UIN JI\KARTA
FITK
FORM (FR)
Jl. lr. H. Juada No 95 Ciputat 15412 lndonesia
Hal
1t1
SURAT BIMBINGAN SKRIPSI
Nomor : Un.01lF.1A(M.01
.31
Lamp. :...............
Hal
.
Jakart a,
........
.l
....43....M4Wk...
?g.tf
: Bimbingan Skripsi
Kepada Yth.
Lc&{da
fu\,
ft4. (urfi
Pembimbing Skripsi
Fakultas Ihnu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayahrllah
Jakarta.
As s alamu' alailatm wr.wb.
Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi penrbimbing VII
(materi/teknis) penulisan skripsi mahasiswa:
Nama
NIM
Jurusan
Sernester
Judul
Skripsi
:
BobyAji Pamungkas
:109013000089
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
:
XIV
: "Gagasan
Revolusi Pada Tokoh-tokoh dalam Novel
Burung-burung Manyar Karya YB Mangunwijaya dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA"
Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal
,
abstraksi/outline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan
redaksional pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon
pembimbing menghubungi Jurusan terlebih dahulu.
Bimbingan skripsi
ini
diharapkan selesai dalam waktu
6 (enam) bulan, dan dapat
diperpaqiang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan.
Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.
Was s alamu' alaikum wr.wb.
a.n. Dekan
M{ky{n Subuki. M.Huri.
NIP. 19800305 200901 1 015
Tembusan:
1.
2.
Dekan FITK
Mahasiswa ybs.
RIWAYAT PENULIS
Boby Aji Pamungkas, lahir di Jakarta, pada tanggal 1 Mei 1991. Pendidikan
dasar dimulai di SDN Cempaka Putih. Kemudian ke SLTP Mabad dan
melanjutkan di SMAN 3 Ciputat. Kemudian, meneruskan pendidikannya di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengambil jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Anak dari pasangan Edi Hapidin dan Supinah ini sangat menyukai sastra
semenjak duduk dibangku SMP. Saat itu, buku pertama yang dibaca adalah Teori
Kesusastraan yang ditulis oleh Rene Wellek dan Austin Warren. Kesukaanya itu
bukan tanpa alasan, akan tetapi karena pengaruh “tidak langsung” yang diberikan
kakak pertamanya perihal pengetahuan tentang sastralah yang membuatnya
menyukai bidang itu.
Anak keempat dari lima bersaudara ini memiliki kegemaran membaca buku
yang dianggapnya menarik, terutama pengetahuan mengenai sastra, filasafat, dan
sejarah. Bidang lain yang digemarinya adalah bidang desain dan teknologi.
Sejak kuliah, dia menambah pengalamannya dengan memasuki beberapa
kegiatan mahasiswa di antaranya pernah aktif menjadi anggota LST (Lingkar
Sastra Tarbiyah) dan juga pernah menjadi anggota FLP Ciputat.