Academia.eduAcademia.edu
GAGASAN REVOLUSI PADA TOKOH-TOKOH NOVEL BURUNG-BURUNG MANYAR KARYA Y.B. MANGUNWIJAYA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Boby Aji Pamungkas NIM. 109013000089 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 GAGASAN REVOLUSI PADA TOKOH-TOKOH NOYEL BURUNG-BTIRLING MAIWA)T I(ARYA Y.B. MANGUNWTJAYA DAN IMPLIKASII{YA TERIIADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Sloipsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat pendidikan Mencapai Gelar sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia (s.pd) Oleh BobyAji Pamungkas NIM L09013000089 pembimbing \ raxlati. M. flum. 1030 20080L 2 009 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARSIYAH DAN KEGUIiUAN UNIYERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016 ii LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI Skripsi berjudul Gagasan Revolusi Pada Tokoh-tokoh Novel Burang-btyung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di sMA disusun oleh Boby Aji pamungkas, NIM. 109013000089, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyatr dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas. Jakarta, Yang mengesahkan, Ba$da Srowati. M. flum. NIP 1977103 A 200807 2 009 u1 i- 27 JvnT 2016 LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul Gagasan Revolusi Pada Tokoh-tokoh Novel Burung-burung Munyar Karya Y.B. Mangunwijaya dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA disusun oleh Boby Aji Pamungkas, Nomor Induk Ilmu Tarbiyah Mahasiswa 109013000089, diajukan kepada Fakultas dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 2l Juli 2016 di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Sl (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta, Juli 2016 Panitia Ujian Munaqasah Tanggal Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) lJ6* l' Makyun Subuki. M.Hum. . 198003 05 2A0901 1 015 NIIP Sekretaris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi) Dona Aii Putra. M.A. NIP.19840409 2011 01 I 015 (r /bt 4/ ,0? Penguji I Ahmad Bahtiar" M.Hum. l{IP . t9760118 200912 1 001 Penguji =)/ {r .,u/ (r II /a? f)rs. Jamal f). Rahman M.Hum. iv I v ABSTRAK Boby Aji Pamungkas. NIM: 109013000089. “Gagasan Revolusi Pada Tokohtokoh Novel Burung-burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Rosida Erowati, M.Hum. Y.B. Mangunwijaya merupakan seniman humanis yang mengandaikan adanya ideal tentang manusia. Sebagai seorang pemikir sosial dan juga sebagai tokoh historis yang terlibat langsung dalam pergulatan revolusi, maka tidak heran novelnya Burung-burung Manyar mencoba melihat revolusi Indonesia dari segi yang obyektif. Pandangan perihal revolusi mengacu kepada pemikiran tokoh besar Indonesia, seperti Sutan Sjahrir dan Tan Malaka yang memandang ideal revolusi meliputi tiga kategori, yaitu revolusi nasional, revolusi sosial, dan revolusi mental. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan gagasan revolusi Sjahrir dan Tan Malaka yang terdapat dalam novel Burung-burung Manyar. Selanjutnya hasil penelitian tersebut diimplikasikan terhadap pembelajaran sastra bagi siswa SMA. Berjenis penelitian kualitatif yang menggunakan metode deskriptif analisis dengan perspektif pendekatan mimesis digunakan untuk melihat wacana revolusi yang terjadi pada bangsa pribumi dalam novel. Di samping itu, penelitian ini menggunakan teknik kajian pustaka untuk memperkuat informasi yang dibutuhkan, dengan berlandaskan pada teknik analisis heuristik dan hermeneutik. Berdasarkan analisis terhadap Burung-burung Manyar, tampak gagasan revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka jelas terasa dalam novel yang diwakilkan oleh pemikiran sang tokoh-tokohnya. Tokoh utama menjadi yang paling banyak “mewakili” gagasan revolusi. Dengan demikian, agar tujuan dari apa yang dicitacitakan revolusi bisa berjalan dengan baik, maka revolusi itu harus dilakukan secara terus menerus dan bertahap. Kata kunci: sejarah, revolusi, Y.B. Mangunwijaya vi ABSTRACT Boby Aji Pamungkas. NIM: 109013000089. "The Idea of revolution in The Figures of Novel Burung-burung Manyar Y.B. Mangunwijaya and Its Implication Learning Literature in High School ". Education Department of Indonesian Language and Literature, Faculty of Science and Teaching Tarbiyah. Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Advisor: Rosida Erowati, M.Hum Y.B. Mangunwijaya a humanist artist who assumes the existence of the human ideal. As a social thinker as well as a historical figure directly involved in the struggle for revolution, it is no wonder his novel Burung-burung Manyar trying to see the Indonesian revolution in terms of the objective. The views concerning revolution refers to the thought leaders of Indonesia, such as Sutan Sjahrir and Tan Malaka who looked ideal revolution include three categories, namely national revolution, a social revolution, and a mental revolution. This study aims to formulate the idea of revolution Sjahrir and Tan Malaka contained in the novel Burung-burung Manyar. Furthermore, the results of these studies implied to study of literature for high school students. Manifold qualitative research using descriptive analysis method with the perspective of a mimetic approach is used to view the discourse of the revolution that occurred in the indigenous peoples in the novel. In addition, this study uses library research techniques to strengthen the information needed, based on heuristic analysis techniques and hermeneutics. Based on the analysis of the Burung-burung Manyar, it appears the idea of revolution Sutan Sjahrir and Tan Malaka was clearly felt in the novel which is represented by the thoughts of his characters. The main character to be the most "represent" the idea of revolution. Thus, for the purpose of what is aspired revolution could go well, then the revolution should be carried out continuously and gradually. Keywords: history, revolution, Y.B. Mangunwijaya vii KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Selawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir zaman. Amin. Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dalam jenjang perkuliahan Strata I pada program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima masukan serta bimbingan dari berbagai pihak, khususnya pembimbing. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak, khususnya kepada: 1. Ayahanda Edi Hapidin yang telah berada di surga sebagai ayah yang selalu mengajarkan pengalaman hidup praktis yang berpedoman kepada kemanusiaan kepada penulis dan Ibunda Supinah yang sangat pengertian dan penuh kesabaran menunggu penulis dalam menyelesaikan studinya. Demikian pula dengan mas Adi, mas Bayu, Dahlia dan adik tercinta Riyan. Berkat iringan doa dan semangat yang selama ini mereka berikan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Mahmudah Fitriyah, M.Pd., Dra. Hindun, M.Pd., hingga Makyun Subuki M.Hum. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan juga Penasihat Akademik yang selalu mengerti akan keadaan mahasiswanya, serta yang selalu memberikan arahan motivasi yang tiada hentinya. 3. Rosida Erowati, M.Hum. dan Novi Diah Haryanti, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing yang paling sabar dalam membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi yang memerlukan waktu yang terbilang lama ini. Hingga selalu dijadikan sebagai tempat sharing bagi penulis dalam menanyakan hal-hal yang tidak diketahui selama penulis menempuh studi di jurusan PBSI. 4. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya para dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah viii memberikan pengetahuan kepada penulis dengan berbagai ilmu yang bermanfaat selama mengikuti perkuliahan. 5. Teman-teman PBSI khususnya angkatan 2009 kelas C yang telah menjadi teman diskusi selama menempuh masa studi kuliah dan teruntuk Reny Rachmawati yang selalu memberi semangat dan bantuan dalam penulisan skripsi. Demikian pula dengan sahabat dekat Dio, Teo, Torik, dan uda Is yang selama ini tidak hentinya memberi motivasi dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga segala bantuan yang telah diberikan, senantiasa mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah swt. Akhir kata, penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak yang memerlukan dalam rangka menambah wawasan pengetahuan dan pemikiran. Jakarta, Penulis ix Juli 2016 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING .........................................ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .....................................................iv SURAT PERNYATAAN PENULIS ......................................................................v ABSTRAK ...............................................................................................................vi KATA PENGANTAR .............................................................................................viii DAFTAR ISI ............................................................................................................x BAB I PENDAHULUAN ............................................................................1 A. Latar Belakang Masalah .............................................................1 B. Identifikasi Masalah ...................................................................7 C. Pembatasan Masalah ..................................................................8 D. Perumusan Masalah ....................................................................8 E. Tujuan Penulisan ........................................................................9 F. Manfaat Penelitian ......................................................................9 1. Manfaat Teoretis .................................................................9 2. Manfaat Praktis ...................................................................9 G. Metodologi Penelitian ................................................................10 BAB II 1. Subjek dan Objek Penelitian ...............................................10 2. Fokus Penelitian ..................................................................10 3. Sumber Data Penelitian .......................................................10 4. Metode Penelitian ................................................................11 5. Teknik Pengumpulan Data ..................................................12 6. Teknik Analisis Data ...........................................................12 LANDASAN TEORETIS ...............................................................14 A. Novel ..........................................................................................14 1. Hakikat Novel .....................................................................15 2. Unsur Intrinsik Novel ..........................................................18 x a. Tema ...............................................................................18 b. Alur .................................................................................19 c. Tokoh dan Penokohan ....................................................22 d. Latar ................................................................................23 e. Sudut Pandang ................................................................24 f. Gaya Bahasa ...................................................................26 g. Amanat ............................................................................27 3. Unsur Ekstrinsik Novel .......................................................28 B. Pendekatan Mimetik ...................................................................29 1. Pengertian Mimetik .............................................................31 2. Karya Sastra sebagai Cerminan Masyarakat .......................32 C. Revolusi ......................................................................................34 1. Pengertian Revolusi .............................................................35 2. Revolusi Menurut Pemikiran Sutan Sjahrir ........................40 3. Revolusi Menurut Pemikiran Tan Malaka ..........................45 4. Analogi Revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka ................49 D. Pembelajaran Sastra di Sekolah .................................................52 E. Penelitian yang Relevan .............................................................54 BAB III Y.B. MANGUNWIJAYA: BIOGRAFI, KARYA, DAN PEMIKIRANNYA ..........................................................................58 A. Biografi Y.B. Mangunwijaya .....................................................58 B. Perbandingan Burung-burung Manyar dengan Novel Lain ........61 C. Pemikiran Y.B. Mangunwijaya ..................................................65 1. Budaya Moral .......................................................................65 2. Ekspresi Kebebasan ..............................................................69 BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN .......................................73 A. Unsur Intrinsik Novel Burung-burung Manyar .........................73 1. Tema ....................................................................................73 2. Alur ......................................................................................76 xi 3. Tokoh dan Penokohan .........................................................92 4. Latar ....................................................................................115 5. Sudut Pandang .....................................................................127 6. Gaya Bahasa ........................................................................130 7. Amanat ................................................................................134 B. Gagasan Revolusi pada Tokoh-tokoh Novel Burungburung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya .............................136 1. Latar Revolusi Novel Burung-burung Manyar sebagai Refleksi Sejarah Indonesia .....................................137 a. Zaman Penjajahan Belanda ...........................................138 b. Zaman Penjajahan Jepang .............................................139 c. Perang Kemerdekaan .....................................................142 d. Zaman Orde Baru ..........................................................143 2. Setadewa sebagai Artikulator Revolusi ...............................146 a. Pengaruh Revolusi Terhadap Kepribadian Setadewa ........................................................................146 b. Gagasan Revolusi Setadewa dalam Novel Burung-burung Manyar ................................................151 1) Revolusi Nasional ...................................................151 2) Revolusi Sosial ........................................................155 3) Revolusi Mental ......................................................158 3. Gambaran Tokoh Lain dalam Jalur Revolusi ......................160 a. Perjuangan Sutan Sjahrir dan Tan Malaka dalam Burung-burung Manyar ................................................160 1) Bentuk Perjuangan Sutan Sjahrir ............................161 2) Bentuk Perjuangan Tan Malaka ..............................163 b. Larasati: Peran Perempuan dalam Masa Revolusi ........166 c. Gambaran Hasil Revolusi dalam Burung-burung Manyar ..........................................................................169 C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA .....................173 xii BAB V PENUTUP ........................................................................................177 A. Simpulan .....................................................................................177 B. Saran ...........................................................................................178 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................179 LAMPIRAN-LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI RIWAYAT PENULIS xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses kreatif yang dilakukan pengarang melalui karya sastra sangat mungkin berasal dari kehidupan sosial yang sangat dekat dengan kehidupan si pengarang. Bahkan ungkapan kesusastraan tidak dapat tumbuh tanpa adanya keterlibatan dengan kehidupan sosial masyarakat, benar adanya. Kehidupan sosial biasanya diatur oleh institusi sosial yang ada dalam masyarakat. Meminjam istilah Wellek dan Warren, sastra adalah “institusi sosial yang memakai medium bahasa”. Mereka juga menyatakan karya sastra sebagai sesuatu yang “menyajikan kehidupan” dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru “alam” dan dunia subjektif manusia.1 Kenyataan sosial yang disajikan dalam karya sastra biasanya menggambarkan kondisi sosial suatu masyarakat dengan jelas. Ada ungkapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan, namun lahir dari realitas sosial dan dilahirkan di tengah-tengah masyarakat, sehingga sastra jelas melibatkan diri pada masyarakat dan kenyataan yang ada pada masyarakat. Maka dari itu, banyak sekali karya sastra menampilkan gambaran kehidupan masyarakat dalam tataran kenyataan sosial. Pada masa pertumbuhan sastra di Indonesia, boleh jadi roman atau novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli misalnya memperkenalkan istilah “Zaman Siti Nurbaya” yang sering dipergunakan orang untuk menunjuk kasus-kasus pernikahan seperti pada masa silam yang tradisional.2 Hal ini menunjukan bahwa karya sastra berhasil merepresentasikan kenyataan sosial karena mempersoalkan permasalahan yang nyata dalam kehidupan manusia. Hal inilah menurut Jakob Sumardjo yang disebut dengan nilai ideal, yakni nilai ideal pengarang berupa Das Sollen3 1 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature oleh Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia, 1995), cet. 4, h. 109. 2 Yudiono K.S., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2007), h. 107108. 3 Das Sollen berasal dari bahasa Jerman yang berarti segala sesuatu yang mengharuskan kita untuk berpikir dan bersikap. Biasanya kata ini bersanding (dan saling memerlukan) dengan 1 2 pengarang tentang aspek-aspek nilai kehidupan dan justru nilai ideal inilah, penyebab utama munculnya kreasi pengarang. Dengan nilai ideal yang dimiliknya, ia melihat jurang dengan kenyataan lingkungan masyarakat dan budayanya.4 Namun dapat kita lihat, pada kenyataannya, apa yang diidealkan seorang pengarang melalui goresannya pada karya sastra kerap kali berbenturan dengan kekuasaan pada zamannya. Dampak itulah yang memuat sisi lain dari karya sastra. Karya sastra bukan hanya menjadi anyaman hasil pemikiran tetapi sekaligus sebagai alat perlawanan, seperti yang sangat terasa terjadi di Indonesia pada masa kolonial sampai masa pemerintahan rezim Orde Baru berkuasa. Maka, kerap kali karya sastra dibumbui dengan nada-nada kritik keras terhadap zamannya, sehingga tidaklah heran apa yang mereka ciptakan bukan berasal dari kekosongan belaka. Bagaimanapun juga sastrawan dalam hal ini ikut merasakan kehidupan di tengah-tengah masyarakat pada zamannya, sehingga kita tidak dapat menolak pernyataan bahwa situasi zaman sangat kental mempengaruhi pewarnaan pikiran para sastrawan. Sebagai contoh ketika kita baca kumpulan tulisan Mochtar Lubis di harian Indonesia Raya memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai Indonesia di era Orde Baru.5 Situasi pada zaman itulah yang mendorong ideide pemikiran Mochtar Lubis untuk membuat tajuk-tajuknya, bahkan tulisantulisannya yang lain. Tanpa sadar situasi pada zaman itu telah sedikit-banyak mempengaruhi gaya pemikiran seseorang (dalam hal ini sastrawan). Begitupun ketika Rendra membuat formula puisi, yang disebut sebagai puisi balada, yang tidak hanya menampilkan suatu keindahan kata-kata melainkan sekaligus menjadikannya sebagai alat perjuangan dan perlawanan. Kritik sosial yang kata Das Sein yang berarti segala sesuatu yang merupakan implementasi dari segala hal yang kejadiannya diatur oleh Das Sollen. 4 Jakob Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977, (Bandung: Alumni, 1999), h. 3. 5 Harian Indonesia Raya terbit dalam dua periode, Orde Lama dan Orde Baru, dan telah berkali-kali dibredel karena gencar memberitakan kasus-kasus korupsi. Mochtar Lubis sendiri selaku pemimpin redaksi sempat mendekam di penjara selama hampir sembilan tahun. Tajuk itu sendiri berisikan pemikiran-pemikiran Mochtar Lubis mengenai KKN, komunis, keadilan dan pembangunan sosial yang menggambarkan bagaimana zaman itu sesungguhnya. 3 ditampilkan pada puisi-puisinya membicarakan sejumlah peristiwa hangat yang terjadi pada dasawarsa 70an. Demikian halnya dengan Y.B. Mangunwijaya atau lebih dikenal dengan nama panggilan akrab Romo Mangun. Seorang seniman yang hampir semua orang sepakat bahwa dia seorang humanis yang mengandaikan adanya ideal tentang manusia, juga pemikir sosial dan tokoh historis yang terlibat langsung dalam pergulatan revolusi. Asam garam kehidupan pergumulan sejarah telah ia lewati, dan hal itu dapat ditinjau dari berbagai tulisannya di berbagai kolom media massa. Ia banyak menulis tentang pergolakan sejarah dan pergumulan sosial. Akan tetapi yang menarik dari diri sang Romo yaitu selalu jujur dalam melihat sejarah itu sendiri. Dasar pemikiran tersebut terlihat ketika menggambarkan Sutan Sjahrir. Bagi Romo, Sutan Sjahrir tergolong negarawan yang dalam bahasa percaturan politik disebut kalah atau gugur, dan sering karena itu, seperti Tan Malaka, Diponegoro atau Gandhi, interesan untuk para pencari hikmah yang kritis. Namun, baginya kalah atau menang tidak memiliki nilai yang berarti dalam pengertian historis. Kalah taktis dan kalah strategis tidak identik. Bagaimana sebetulnya Romo Mangun melihat sejarah dalam buku Mengenang Sjahrir dia menulis, “sejarah bukan soal menang atau kalah, kalah menang itu nisbi, dilihat oleh siapa dan dari segi mana”6. Dari situ saja dapat dilihat Romo Mangun seorang humanis yang tidak gegabah melihat kesimpulan pergumulan sejarah. Melalui bekal pemahaman seperti itulah Romo Mangun menulis karya sastra, karena ia sadar bahwa melalui karya sastralah cara menuangkan ide-ide dan gagasan yang “bebas” dengan syarat memiliki metafor yang indah. Dalam hal ini ia menggunakan novel. Romo sadar betul bahwa novel sebagai karya imajiner, merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca, di samping adanya tujuan estetik.7 Y.B. Mangunwijaya, “Archetype Sutan Sjahrir”, dalam Rosihan Anwar (ed.), Mengenang Sjahrir, (Jakarta: Gramedia, 1980), h. 215. 7 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 3. 6 4 Berangkat dari pemikiran Romo Mangun mengenai suatu karya yang berbobot, ia beranggapan suatu cipta bisa berhasil, jika isi dari karya itu memiliki nuansa yang hidup.8 Oleh karena itu, sebagai orang yang hidup dalam masa Revolusi. Romo Mangun sering melihat adanya penyimpangan dalam sejarah yang sebenarnya. Dewasa ini yang kerap diperlihatkan dalam pelajaran yang berhubungan dengan sejarah, selalu dalam perspektif “Hitam – Putih”. Belanda sebagai penjajah, sebagai penjahat, dan orang-orang pribumi, sebagai jagoan. Miris, karena selama ini pemahaman sejarah didasari oleh ideologi semacam itu. Akan tetapi Romo Mangun berani tampil dengan cara menyajikan pemahaman yang berbeda mengenai sejarah itu sendiri. Dari kegelisahan-kegelisahan itulah, maka tulisan Romo yang bernada kritik ia layangkan. Begitupun dengan novel yang ia beri judul Burung-burung Manyar9, sebuah novel berlatar sejarah yang menggambarkan masa-masa pergolakan revolusi di Indonesia. Melalui novel ini Romo Mangun ingin berbicara jujur mengenai pergumulan sejarah. Bahkan Romo sendiri mengatakan bahwa ia membuat novel tersebut karena ingin menyadarkan bangsa Indonesia mengenai sejarah. Dalam sebuah acara ceramah sekitar Burung-burung Manyar pada tahun 1983, Romo Mangun bertutur: “Saya membikin Burung-burung Manyar, sebenarnya hanya ingin meluruskan sejarah! Saya sadar bahwa hak saya kecil untuk berbicara masalah sejarah, karena saya sendiri bukan sejarahwan. Apa boleh buat lewat novel.”10 Romo Mangun selalu berusaha menampik semua perkataan yang mengarah pada pendangkalan sejarah.11 Baginya sejarah merupakan suatu Suparajie, “Maka Mangunwijaya pun Mengungkapkan: Dulu, Banyak yang Ikut Belanda ....”, Eksponen, Yogyakarta, 3-9 September, 1983, h. 5. 9 Novel Burung-burung Manyar diterbitkan pertama kali oleh penerbit Djambatan pada tahun 1981 dan pada tahun 1983 mendapat penghargaan tulis Asia Tenggara 1983 South East Asia Write Award. 10 Suparajie, loc. cit. 11 William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 73-74. Satu sikap ekstrem ialah yang berkata bahwa kita tidak dapat menarik pelajaran apa pun dari studi atau renungan mengenai sejarah. Ada yang berkata bahwa sejarah itu ialah cerita tanpa makna yang dikisahkan oleh orang bebal. Ada lagi yang secara sinis berkata bahwa orang telah terlalu banyak menulis sejarah hingga sulit untuk dapat mempercayainya. Sikap ekstrem yang lain tercermin dalam ucapan-ucapan yang 8 5 cerminan atau pelajaran yang kaya akan pengetahuan dan pembelajaran. Sejarah juga bukan soal “menang” atau “kalah”, tetapi lebih berbicara mengenai manusia yang memiliki dua sisi, yakni sisi manusia yang “jahat” dan “baik”. Itulah sebabnya Romo Mangun selalu mengangkat hal-hal yang bersifat biner dalam tulisannya. Baginya selalu ada sisi lain dari manusia itu sendiri. Romo Mangun menganggap sejarah yang serba anomali itu selalu ada yang baik dan buruk, atau bisa saja yang berposisi sebagai penjajah atau yang dijajah itu bangsa Indonesia itu sendiri. Itulah sebabnya Romo Mangun selalu melihat sejarah secara kritis. Banyak ahli mengungkapkan bahwa ia ingin melakukan dekonstruksi terhadap sejarah Indonesia. Akan tetapi yang menjadi permasalahan, dekonstruksi itu dilakukan pada saat Orde Baru masih berkuasa, jadi tidak mungkin ia berani melawan monoversi yang ditulis oleh Orde Baru pada saat itu. Seperti tahun 65 dan seterusnya dimana kita mengenal PKI itu selalu saja jahat, keji, dan kejam, dan tentu saja yang baik adalah para jendral-jendral yang menjabat pada masa itu. Maka pada waktu itu, Romo Mangun tahu konsekuensinya jika menulis "macam-macam” mengenai sejarah. Jadi dia menggunakan sastra sebagai alatnya untuk memperlihatkan bahwa sejarah Indonesia banyak mengandung anomali. Goenawan Mohamad pernah berkata bahwa: dalam sejarah sering terjadi keretakan dalam revolusi, sehingga menyimpang dari cita-cita semula. Ketika kekuatan revolusi berpindah kepada kekuatan kekuasaan, di situ sebenarnya telah terjadi sektarisme.12 Oleh sebab itu, Romo Mangun mempertanyakan dalam novel Burung-burung Manyar, tentang tujuan revolusi bangsa Indonesia. Menurut Romo, idealnya revolusi itu ada tiga tahap, yakni revolusi nasional, sering terdengar: sejarah mengajarkan ini dan itu. Seolah-olah studi atau renungan mengenai sejarah dapat menghasilkan hukum yang secara pasti dan secara deterministis menentukan perkembangan dalam waktu yang akan datang. 12 Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 74. Di situ dijelaskan lebih lanjut, sebenarnya telah terjadi penganut paham, aliran atau sistim pemikiran secara dogmatis serta tegar, dan telah tumbuh sikap yang tak terbuka dalam menghadapi persoalan dalam mencari kebenaran suatu masalah sehingga telah terjadi kecenderungan kuat untuk menolak serta memalsukan kebenaran-kebenaran yang tidak tercakup oleh pemikiran sendiri. 6 revolusi sosial, dan revolusi mental. Pemikiran revolusi semacam itu senada dengan apa yang selalu disebutkan oleh Sjahrir dan juga Tan Malaka dalam setiap tulisan mereka perihal revolusi. Walaupun banyak konsepsi tentang revolusi yang dituangkan dalam pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh besar, seperti Soekarno, Hatta, hingga Natsir. Namun dalam hal ini, penulis merasa pikiran Romo Mangun tentang revolusi lebih condong atau dapat dikatakan seideologi dengan pemikiran revolusi Sjahrir dan Tan Malaka. Keseragaman pemikiran revolusi Romo Mangun dengan Sjahrir dan Tan Malaka juga dapat dilihat dari tulisan Romo Mangun itu sendiri. Romo Mangun menyebutkan kedua tokoh itu memiliki pemikiran dan prinsip yang sama terkait dengan revolusi. Romo Mangun mengatakan bahwa: kedua-duanya sangat sadar, bahwa revolusi nasional hanyalah fase awal dan sarana belaka untuk tujuan kemerdekaan yang lebih esensial, yaitu revolusi sosial dan revolusi mental.13 Sebagai pengarang, dalam setiap menulis karyanya, ia tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita, namun ada sesuatu yang dikemas dalam cerita itu. Seyogyanya melalui novel Burung-burung Manyar, ia ingin membangun suatu bentuk “pola kesadaran” bagi masyarakat Indonesia khususnya dalam hal revolusi. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengangkat gagasan revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka yang dibangun oleh pengarang dalam novel Burung-burung Manyar. Dalam novel, ungkapan revolusi begitu jelas pemaknaanya melalui sifat yang selalu ditunjukkan oleh sang tokoh utama. Kajian terhadap novel ini juga dimaksudkan sebagai sarana pembelajaran sastra di sekolah khususnya pada tingkat SMA. Sastra, selain dapat memperhalus budi dan mendewasakan manusia, juga mampu membangkitkan imajinasi, mampu menggugah rasa dan pemikiran dalam hal ini siswa. Pengalaman berpikir inilah yang sangat diperlukan semua siswa dalam pertumbuhannya menjadi manusia yang utuh. Karya sastra juga mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia pendidikan nyata. Sebab itu sangat keliru bila di dalam dunia pendidikan selalu menganggap bidang eksakta lebih 13 Mangunwijaya, op. cit., h. 220. 7 utama, lebih penting dibanding dengan ilmu sosial atau ilmu-ilmu humaniora.14 Seperti diketahui bahwa materi sastra merupakan salah satu elemen terpenting yang terdapat dalam struktur kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia. Baik itu kurikulum KTSP maupun Kurikulum 2013 (K13). Apalagi K13 lebih menekankan pada pembentukan sikap/afektif. Untuk membentuk sikap ini, hanya aspek-aspek seni yang mampu menjangkaunya. Sikap hanya akan terjangkau dengan seni matematika, seni kimia, seni fisika, begitupun dengan seni sejarah. Oleh karena itu, penulis merasa perlu meneliti objek ini untuk keperluan bidang kajian karya sastra yang terdapat dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang dikaitkan dengan pemahaman sejarah Indonesia. Dengan begitu, siswa diharapkan mampu memperoleh wawasan akan gambaran sebuah revolusi dan makna nasionalisme, setidak-tidaknya jika dilihat dari kacamata yang sastra dan sejarah. Memang dapat dikatakan banyak tulisan dan kajian yang telah mengulas novel ini sangat banyak, dari segala segi sudut pandang kajian yang berbeda. Namun, setelah membaca novel ini, terjadi kegelisahan pada diri penulis untuk sekali lagi membahas novel yang tidak lekang dimakan oleh zaman ini. Walaupun penulis merasa mengkaji novel Burung-burung Manyar dari sudut pandang sejarah memang sudah sangat banyak, apalagi dari sudut pandang revolusi pada khususnya. Maka pada pembahasan penelitian ini penulis mencoba membahas novel ini dengan sedikit “ramuan” yang berbeda, yakni melalui pendekatan mimetik, penulis akan bercermin dengan realitas sosial melalui sudut pandang revolusi yang dikaitkan dalam bidang pendidikan, sehingga tujuan revolusi yang dicita-citakan pengarang dalam novel ini dapat diurai dengan baik. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dapat ditemui beberapa identifikasi masalah sebagai berikut: 14 Kinayati Djojosuroto, Analisis Teks Sastra & Pengajarannya, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), h. 83. 8 1. Kurangnya pemahaman pembaca terutama siswa tentang pewarnaan pikiran seorang penulis yang dipengaruhi oleh situasi zaman. 2. Kurangnya minat siswa untuk mendalami pemahaman dalam membaca novel yang bergenre sejarah. 3. Banyaknya pembaca terutama siswa yang tidak mau mengambil pelajaran dari sejarah. 4. Minimnya pemahaman pembaca terutama siswa mengenai sejarah yang terjadi di Indonesia. 5. Kurangnya pemahaman pembaca atau siswa mengenai pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui tulisan (novel). 6. Siswa diharapkan bisa mencapai tahap pembacaan kritis, agar dapat memahami intrinsik secara mendalam sehingga menemukan sesuatu yang benar-benar ingin disampaikan oleh pengarang di dalam novel. C. Pembatasan Masalah Agar pembahasan mengenai penelitian ini lebih terarah dan terfokus. Untuk itu penulis menghindari pembahasan yang kurang diperlukan, maka pembahasan pada penelitian ini dibatasi pada masalah gagasan revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka pada tokoh-tokoh novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya dengan menggunakan pendekatan mimetik dan implikasinya terhadap pembelajaran di SMA. D. Perumusan Masalah Adapun berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gagasan revolusi pada tokoh-tokoh novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya? 2. Bagaimana implikasi gagasan revolusi pada tokoh-tokoh novel Burungburung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya terhadap pembelajaran sastra di SMA? 9 E. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok masalah yang diajukan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, yakni untuk: 1. Mendeskripsikan gagasan revolusi yang disajikan pada tokoh-tokoh novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya. 2. Mendeskripsikan implikasi gagasan revolusi pada tokoh-tokoh novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya terhadap pembelajaran sastra di SMA. F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini diuraikan sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui tinjauan sejarah berupa gagasan revolusi dengan mengacu kepada karya sastra, yakni novel yang menjadi dokumen sosial sehingga dapat dijadikan objek penelitian bagi bidang keilmuan lain. Diharapkan juga penelitian ini dapat memberikan manfaat yang besar kepada para pembaca dan penikmat karya sastra umunya, agar dapat lebih luas dalam memahami karya sastra dan khususnya bagi para guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai bahan pembelajaran sastra di sekolah, khususnya SMA. 2. Manfaat Praktis Adapun manfaat secara praktis penelitian ini dapat dijadikan rujukan atau sebagai bahan penelitian lanjutan bagi para mahasiswa pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Lalu bagi para pendidik diharapkan dapat mempermudah pemahaman mengenai makna novel dan dunia pemikiran yang melatarbelakanginya. Begitupun juga penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan peserta didik tentang karya sastra yang berhubungan dengan aspek tinjauan historis yang bercermin pada konteks revolusi di Indonesia. 10 G. Metodologi Penelitian 1. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dalam penelitian ini yaitu berupa novel dari karya Y.B. Mangunwijaya yang berjudul Burung-burung Manyar. Sedangkan, objek dari penelitian ini adalah tinjauan historis berupa gagasan revolusi yang terkandung dalam novel tersebut. 2. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini dibuat agar pembahasan lebih terarah dan tepat pada sasarannya, sehingga dapat dengan mudah diteliti dan dipahami dengan baik oleh para pembaca. Fokus dari penelitian ini adalah gagasan revolusi yang terkandung pada tokoh-tokoh novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya dengan menggunakan pisau bedah pendekatan mimetik yang berimplikasi terhadap pembelajaran sastra di SMA. 3. Sumber Data Penelitian Dalam penelitian ini jika ditilik dari sumber datanya, maka pengumpulan data dilakukan menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer yaitu data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data oleh penyelidik untuk suatu tujuan, sedangkan sumber primer adalah sumber asli, sumber tangan pertama penyelidik.15 Jadi dapat dikatakan sumber data primer adalah sumber data utama penelitian yang diproses langsung dari sumber aslinya. Dalam penelitian ini sumber data primernya berupa novel karya Y.B. Mangunwijaya yang berjudul Burungburung Manyar hasil terbitan dari penerbit Djambatan, Jakarta dan merupakan cetakan kelima belas pada Januari 2007. Sedangkan data sekunder adalah data yang telah lebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang di luar diri penyelidik sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data yang asli, 15 Winarno Surachmad, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1975), h. 133. 11 sedangkan sumber sekunder berisi data dari tangan kedua (atau dari tangan yang kesekian).16 Sumber data sekunder dari penelitian ini berupa acuanacuan baik berupa buku, literatur, karya ilmiah, jurnal, esai atau tulisantulisan di media massa. 4. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi atau memahami makna yang –oleh sejumlah individu atau sekelompok orang– dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.17 Penelitian ini bersifat kualitatif karena peneliti berfungsi sebagai instrumen utama dalam penelitian ini. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang umum, dan menafsirkan makna data. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.18 Metode ini dilakukan dengan cara, mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.19 Data yang telah terkumpul dari hasil pencarian berupa dokumentasi dipaparkan, yang dikaitkan dengan kajian substansi novel kemudian pemamaparan tersebut dianalisis sehingga dapat diambil kesimpulan akhir. Pada dasarnya, tujuan akhir tulisan kualitatif 16 Ibid. John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan mixed, Edisi Ketiga, Terj. dari Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, Third Edition oleh Achmad Fawaid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 4. 18 Asep Yusuf Hidayat, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: FSUP, 2007), h. 23. 19 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. 3, h. 53. 17 12 ialah memahami apa yang dipelajari dari perspektif kejadian itu sendiri, dari sudut pandang itu sendiri.20 Lalu pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis pendekatan mimesis21, sehingga titik berat pendekatan penelitian ini berada pada ranah mimetik, yakni pendekatan sastra yang menitikberatkan hubungan karya sastra (novel) dengan kenyataan di luar karya sastra (faktafakta). 5. Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data penelitian ini, penulis menggunakan teknik dokumentasi atau juga disebut dengan kajian pustaka. Kajian pustaka merupakan kegiatan mendalami, mencermati, menelaah, dan mengidentifikasi bahan atau sumber yang tujuannya untuk mencari datadata melalui bahan pustaka.22 Cara kerja dari teknik dokumentasi atau kajian pustaka ini mengumpulkan dokumen-dokumen atau sumber-sumber yang diperlukan untuk penelitian, berupa tulisan-tulisan dari berbagai buku, majalah, surat kabar, jurnal, ebooks, esai, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. 6. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama, sementara pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem 20 Septiawan Santana K., Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 29. 21 M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (New York: Holt Rinehart and Winston, 1981), p. 51. Mimetic views the literary work as an imitation, or reflection, or representation of the world and human life, and the primary criterion applied to a work is the "truth" of its representation to the subject matter that it represents, or should represent. This mode of criticism, which first appeared in Plato and (in a qualified way) in Aristotle, remains characteristic of modern theories of literary realism. 22 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), cet. 9, h, 5658. 13 semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.23 Adapun langkah awal dalam menganalisis novel Burung-burung Manyar dalam penelitian ini adalah dengan pembacaan awal. Menganalisis unsur intrinsik secara menyeluruh dimaksudkan agar peneliti mendapatkan pondasi awal dalam pengkajian. Kemudian mencatat bagian-bagian yang menggambarkan gagasan revolusi yang digagas oleh para tokoh di dalam novel. Sedangkan langkah kedua dengan pembacaan hermeneutik merupakan cara yang dilakukan oleh pembaca dengan bekerja terus menerus lewat pembacaan teks sastra secara bolak balik dari awal sampai akhir. Pengkajiannya dilakukan dengan cara: hasil yang didapat dari pencarian gagasan revolusi digunakan untuk menganalisis gagasan revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka yang digambarkan oleh para tokoh. Setelah itu, hasil analisis tersebut digunakan sebagai data untuk diimplikasikan pada pembelajaran sastra yang dikhususkan pada tingkat SMA. 23 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. 4, h. 135. BAB II LANDASAN TEORETIS A. Novel ―Novel merupakan sebuah cerita dan termasuk jenis dari karya sastra yang dapat dikatakan lebih baru kehadirannya dari pada puisi dan drama. Puisi sendiri dapat kita ketahui sudah ada sejak zaman manusia belum mengenal tulis-menulis, begitupun drama berasal dari kegiatan-kegiatan ritual keagamaan primitif, sedangkan novel adalah genre sastra dari Eropa yang muncul di lingkungan kaum borjuasi di Inggris dalam abad 18.‖1 Banyak anggapan bahwa timbulnya novel akibat pengaruh tumbuhnya filsafat yang dikembangkan John Locke (1632-1704) yang menekankan pentingnya fakta atau pengalaman dan bahayanya berpikir secara fantastis.2 Pada dasarnya orang terdahulu ingin melihat kenyataan hidup sehari-hari yang nyata dan juga seperti yang dialami oleh sesama mereka. Kisah demikianlah yang dianggap menarik perhatian dan menyentuh jiwa kemanusiaan, sehingga mereka lebih dapat memahami dan larut dengan apa yang mereka baca. Menurut Robert Lindell, novel pertama yang lahir di Inggris berjudul Pamella yang terbit pada tahun 1740. Awalnya novel Pamella merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah tangga, kemudian berkembang dan menjadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal sebagai novel seperti sekarang ini.3 Sementara dalam dunia sastra kita, novel Indonesia secara ―resmi‖ muncul 1 Jakob Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977, (Bandung: Alumni, 1999), h. 12. Ketika itu novel merupakan produk masyarakat kota yang terpelajar, mapan, kaya, cukup waktu luang untuk menikmatinya. 2 Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 124. Pentingnya belajar dari pengalaman merupakan ajaran baru yang berkembang pada masa itu. Akibat timbulnya pembaca karya sastra dari kalangan para pengusaha, pedagang, serta golongan menengah yang kurang menyukai puisi dan drama yang dianggapnya tidak realistis. Mereka memerlukan bacaan yang menggambarkan suasana yang lebih realistis dan masuk akal dari hidup ini. Mereka ingin membaca tentang kehidupan orang-orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya, bukan lagi mengenai pahlawan khayal yang gagah perkasa, atau penjahat ulung yang licik atau kehidupan raja-raja yang penuh pesona seperti dalam puisi dan drama selama ini. 3 Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994), h. 37-38. Ini juga ditulis oleh Priyatni, loc. cit. 14 15 setelah terbitnya Si Jamin dan Si Johan, tahun 1919, oleh Merari Siregar, yang merupakan novel saduran dari novel Belanda, kemudian pada tahun berikutnya terbit novel Azab dan Sengsara oleh pengarang yang sama; sejak itu mulailah berkembang sastra fiksi yang dinamai novel ini dalam khazanah sastra Indonesia.4 Sampai sekarang dapat kita lihat karya sastra jenis novel sangat menunjukkan grafik perkembangan yang sangat pesat dan dapat dikatakan sangat digemari masyarakat sejauh ini. Bentuk novel dalam kesusastraan merupakan sebuah sistem bentuk. Dalam sistem ini terdapat unsur-unsur pembentuknya dan fungsi dari masingmasing unsur. Dalam sistem bentuk novel yang berupa cerita, terdapat unsurunsur alur cerita (plot), penokohan, latar cerita (setting), permasalahan, suasana cerita dan sebagainya. Unsur-unsur ini membentuk sebuah struktur cerita besar yang diungkapkan lewat materi bahasa. Inilah aspek intrinsik dalam benda seni sastra bernama novel. Adapun aspek ekstrinsiknya berupa gagasan sastrawan akibat reaksi dan tanggapan terhadap hidup lingkungan sosial dan budaya. Dalam aspek ini mengandung nilai-nilai kognitif konteks budayanya, dan nilainilai ideal kehidupan pribadinya.5 Dari kedua unsur pembangun inilah novel dapat tercipta, di samping keadaan alam yang membentuk pemikiran sastrawan dan juga adanya peranan pembaca. 1. Hakikat Novel Novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata novellus dibentuk dari kata novies yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul belakangan dibandingkan cerita pendek, roman, bahkan drama.6 Sebutan novel dalam bahasa Inggris –dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia– berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman: 4 M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), h. 33. Tetapi itu tidak berarti bahwa Azab dan Sengsara muncul tanpa pendahuluan. Ancang-ancangnya sudah dimulai disekitar tahun 1890, oleh para wartawan yang menulis buku cerita yang bersifat hiburan dengan menggunakan bahasa Melayu-pasar. 5 Sumardjo, op. cit., h. 2-3. 6 Waluyo, op. cit., h. 37. 16 novelle). Secara harfiah novella berarti ‗sebuah barang baru yang kecil‘, dan kemudian diartikan sebagai ‗cerita pendek dalam bentuk prosa‘7. Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette)8, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Karya sastra yang disebut novelet atau novela9 adalah karya sastra yang lebih pendek daripada novel, tetapi lebih panjang daripada cerpen, katakanlah pertengahan di antara keduanya.10 Di samping novel, di Indonesia juga dikenal istilah roman11. Pada masa permulaan kesusasteraan Indonesia, istilah roman dipergunakan untuk penamaan karya sastra yang terbit pada masa-masa itu. Hal ini terlihat pada karya sastra tahun 20-an dan 30-an atau pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Jika kita lihat dari sudut pandang itu, maka dapat dikatakan bahwa istilah roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman waktu itu wajar karena sastrawan Indonesia waktu itu pada umumnya berorientasi ke negeri Belanda, yang lazim menamakan bentuk ini dengan istilah roman. Istilah ini 7 M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (New York: Holt Rinehart and Winston, 1981), p. 190-191. Abram menuliskan: The term for the novel in most European languages is roman, which is derived from the medieval term, the romance. The English name for the form, on the other hand, is derived from the Italian novella (literally, "a little new thing"), which was a short tale in prose. In fourteenth-century Italy there was a vogue for collections of such tales, some serious and some scandalous; the best known of these collections is Boccaccio's Decameron, which is still available in English translation at any well stocked bookstore. Currently the term "novella" (or in the German form, Novelle) is often used as an equivalent for novelette. 8 Ibid. Abrams juga menuliskan: The term "novel" is now applied to a great variety of writings that have in common only the attribute of being extended works of fiction written in prose. As an extended narrative, the novel is distinguished from the short story and from the work of middle length called the novelette; its magnitude permits a greater variety of characters, greater complication of plot (or plots), ampler development of milieu, and more sustained exploration of character and motives than do the shorter, more concentrated modes. 9 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 35. Novela berkembang paling pesat di Jerman dibandingkan di negara mana pun dan teori-teori novela sering disusun dengan rujukan khusus pada tradisi novela negara ini. 10 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 9-10. 11 Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: Angkasa, 2013), h. 8. Istilah roman berasal dari kesusastraan Perancis. Roman adalah bahasa rakyat sehari-hari di negeri Perancis. Kemudian berkembang artinya menjadi cerita-cerita tentang pengalamanpengalaman kaum ksatria dan cerita-cerita kehidupan yang jenaka, dari pedesaan. Sekarang pengertian roman telah menyangkut tentang kehidupan manusia pada umumnya. 17 juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian negara-negara Eropa. Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris.12 Hal tersebut dapat dilihat pada tahun 40-an muncul cerita-cerita yang mengisahkan sebagian kecil kehidupan pelaku yang menarik dan mengesankan yang berbeda dengan pola cerita pada masa-masa sebelumnya. Bentuk seperti itu dinamakan novel, karena lebih singkat dan lebih padu. Dengan kata lain, karya-karya novel tumbuh pada tahun 40-an sebagai akibat pengaruh sastra Inggris dan Amerika.13 Di antara para ahli teori sastra di Indonesia memang ada yang membedakan antara novel dan roman, dengan mengatakan bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas: sedangkan roman dikatakan sebagai menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia. Sebagai contoh misalnya roman Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, ataupun roman Atheis.14 Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa, novel yang lebih ―memusat‖ dan roman yang lebih ―luas‖ sebenarnya terdapat pada istilah novel maupun roman. Menurut Jakob Sumardjo, Tom Jones yang ―luas‖ tetap bernama novel, sedangkan Jan Smees yang ―memusat‖ tetap dinamai roman.15 Hal itulah kini yang membuat istilah novel dan roman tidak lagi dibedakan. Keduanya dinamakan novel karena pada hakikatnya keduanya adalah hal yang sama, yaitu menyampaikan tentang kehidupan manusia yang digali dari kehidupan sehari-hari yang dapat dirasa dan dihayati oleh masyarakat pembaca. 12 Semi, op. cit., h. 32. Berbeda halnya dengan di Inggris dan Amerika istilah yang dikenal adalah novel, tidak dikenal atau digunakan istilah roman, betapapun menyangkut karya-karya besar. Sebagai contoh karya Tolstoi, Perang dan Damai, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga disebut novel walaupun di Rusia dinamai roman. 13 Priyatni, op. cit., h. 125. 14 Esten, loc. cit. 15 Semi, op. cit., h. 33. 18 2. Unsur Intrinsik Novel Novel dibangun dari sejumlah unsur, setiap unsur akan saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan saling menentukan. Unsur intrinsik ialah segi yang membangun karya sastra itu dari dalam. Misalnya, hal-hal yang berhubungan dengan struktur, seperti alur, latar, pusat pengisahan, dan penokohan, kemudian juga hal-hal yang berhubungan dengan pengungkapan tema dan amanat. Juga termasuk ke dalamnya hal-hal yang berhubungan dengan imajinasi dan emosi.16 Pada umumnya, para ahli sastra membagi unsur intrinsik (dalam hal ini novel) atas tema, amanat, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. a. Tema Secara umum tema dipandang sebagai ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.17 Menurut Tarigan, tema merupakan gagasan utama atau pikiran pokok. Tema suatu karya sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca cermat karya sastra.18 Lebih detilnya Stanton menjelaskan, tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‗makna‘ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Begitu juga tema dapat diibaratkan ‗maksud‘ dalam sebuah gurauan; setiap orang paham ‗maksud‘ sebuah gurauan, 16 Esten, op. cit., h. 17. Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161. 18 Henry Guntur Tarigan, Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 167. 17 19 tetapi mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjelaskannya. ‗Maksud‘ adalah hal yang membuat sebuah gurauan menjadi lucu; dalam konteks ini, ‗maksud‘ merujuk pada fungsi dan bukan definisi. Kita sudah paham betul bahwa ‗tema‘ sebuah cerita terletak pada ‗makna‘nya. Jadi, tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalam cerita dengan cara yang paling sederhana.19 Sejalan dengan hal tersebut dalam buku Nurgiyantoro, mengungkapkan tema dapat dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum dalam sebuah karya novel. Namun menurutnya makan cerita dalam sebuah karya novel mungkin saja lebih dari satu interpretasi. Maka dari itu, tema dapat dibagi menjadi dua, tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu, sedangkan tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian tertentu cerita dapat diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan.20 Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa, tema merupakan bagian sentral dalam setiap karya sastra, karena ia merupakan ide atau gagasan pokok dalam suatu cerita. Dengan kata lain, temalah yang melandasi sebuah cerita dalam suatu karya sastra. Ada anggapan bahwa dari semua unsur dalam suatu karya sastra, tema merupakan hal yang paling sukar dirasakan dan ditemukan, karena tema merupakan suatu yang abstraks (karena jarang tema ditulis secara tersurat oleh pengarangnya). Dengan begitu, ia haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita yang dibaca secara cermat oleh pembaca karya sastra. b. Alur Alur cerita sering kali disebut kerangka cerita atau plot. Alur cerita adalah struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi. Plot juga berarti seleksi peristiwa yang disusun dalam urutan waktu dan dalam rangkaian 19 Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 36-41. 20 Nurgiyantoro, op. cit., h. 82-83. 20 kejadian itu terdapat hubungan sebab akibat yang bersifat logis, artinya pembaca merasa bahwa secara rasional kejadian atau urutan kejadian itu memang mungkin terjadi (tidak dibuat-buat). Plot tidak hanya menyangkut peristiwa, namun juga cara pengarang mengurutkan peristiwa itu, dan juga motif, konsekuensi, dan hubungan antara peristiwa yang satu dengan lainnya.21 Sesuai pemahaman tersebut, dapat dikatakan bahwa alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita, yang memiliki tahapantahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Secara sederhana alur merupakan urutan (sambung-sinambung) peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita rekaan. Urutan dalam penceritaan (peristiwa-peristiwa) tersebut ditampilkan dan berdasarkan logika cerita, sehingga menjalin kesatupaduan cerita. Secara teoretis alur dapat diurutkan ke dalam tahap-tahap secara kronologis sesuai cerita yang dikemukakan oleh pengarang. Walaupun pada hakikat tradisionalnya atau umumnya yang banyak diketahui, biasanya alur terdiri dari: tahap awal – tengah – akhir atau lebih lengkapnya terdiri atas tahap penyituasian, tahap pemunculan konflik, tahap peningkatan konflik, tahap klimaks, serta tahap penyelesaian.22 Namun demikian, tidak selamanya urutan-urutan itu menjadi acuan yang tetap dan baku. Alur dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Di atas dikatakan, urutan penceritaan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan berdasarkan logika cerita. Dengan mendasarkan diri pada logika cerita, maka ada yang disebut alur maju, alur mundur, dan alur campuran.23 21 Waluyo, op. cit., h. 145. Nurgiyantoro, op. cit., h. 149-150. Pendapat ini dikemukakan oleh Tasrif dalam bukunya Mochtar Lubis, Teknik Mengarang yang mungkin dengan mendasarkan diri pada pendapat Richard Summers. 23 Ibid., h. 153-157. 22 21 1) Alur Maju atau Alur Progresif. Sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan, konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). 2) Alur Mundur atau Alur Sorot-balik (Flash-back). Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahapan awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. 3) Alur Campuran. Secara garis besar alur sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya (betapapun kadar kejadiannya) sering terdapat adegan-adegan sorot-balik. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Alur yang digunakan Burung-burung Manyar dapat dikategorikan alur mundur atau sorot balik. Pasalnya cerita tidak benar-benar diceritakan secara runut ke depan. Dari segi alur terdapat keunikan dalam novel ini, karena struktur alur sengaja dibuat dengan konsep cerita alur pewayangan oleh pengarangnya. Seperti dalam pewayangan cerita diawali dengan penggambaran awal kisah yang diceritakan oleh anak wayang. Hal tersebut juga diadopsi oleh pengarang dalam novel ini. Dengan demikian, cerita pewayangan dijadikan rujukan pengarang dalam menyusun alur cerita, sehingga dapat dikatakan mengejawantahkan wayang dalam bentuk modern. novel ini 22 c. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.24 Dengan kata lain, penokohan ialah bagaimana cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter/watak tokoh-tokoh dalam cerita. Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan, yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh dalam fiksi, yakni secara analitik dan secara dramatis. Cara analitik adalah cara pengarang menjelaskan atau mengisahkan tokohnya secara langsung. Pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainnya. Sedangkan, cara dramatis, yaitu cara pengarang yang tidak mengisahkan apa dan siapa tokoh ceritanya secara langsung, tetapi dengan menggunakan hal-hal lain yaitu; pilihan nama tokoh, penggambaran fisik, hingga melalui dialog.25 Sementara itu, merujuk pada buku Nurgiyantoro, tokoh-tokoh cerita dalam sebuah novel dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, terdapat tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang, walaupun kadar keutamaannya tidak (selalu) sama. Sedangkan, tokoh tambahan merupakan tokoh yang fungsinya hanya sebagai tambahan di dalam cerita. Lalu jika berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan, terdapat tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis 24 25 Siswanto, op. cit., h. 142-143. Semi, op. cit., h. 40-41. 23 adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwaperistiwa yang terjadi. Sedangkan, tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. 26 Tokoh-tokoh yang digambarkan dalam Burung-burung Manyar, pengarang menggunakan kedua jenis penggambaran tokoh, secara analitik maupun dramatik. Tokoh utama dikategorikan sebagai tokoh yang berkembang atau memiliki porsi perkembangan yang banyak ketimbang tokoh lainnya. d. Latar Setting atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai latar, merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.27 Berkaitan dengan pendapat tersebut, latar atau setting adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung. Dalam pengertian yang lebih luas, latar mencakup tempat dalam waktu dan kondisi-kondisi psikologis dari semua yang terlibat dalam kegiatan itu.28 Dengan begitu, berarti latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hingga dapat pula menciptakan suatu suasana, yang sesuai dengan perasaan yang telah kita alami mengenai suatu lokasi. Latar yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar tempat, secara jelas menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar waktu, berhubungan dengan masalah ―kapan‖ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Serta, latar sosial menyaran pada hal-hal yang 26 Nurgiyantoro, op. cit., h. 176-194. Stanton, op. cit., h. 35. 28 Tarigan, op. cit., h. 164. 27 24 berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang semua itu diceritakan dalam karya fiksi.29 Menurut Nurgiyantoro, latar dapat dibagi menjadi dua, yakni latar netral dan latar tipikal. Latar netral tidak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol daripada latar yang lain, sedangkan latar tipikal lebih menonjolkan sifat khas latar tertentu.30 Seperti yang digunakan dalam novel Burung-burung Manyar, Magelang digunakan sebagai latar tipikal oleh pengarang, karena latar tersebut mempengaruhi penokohan secara langsung. Kehadiran latar tipikal dalam sebuah karya fiksi, dibanding dengan latar netral, lebih meyakinkan, sehingga memberikan kesan secara lebih mendalam kepada pembaca. e. Sudut Pandang Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dengan gayanya sendiri.31 Sudut pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.32 Lebih sederhananya, dari kedua pandangan di atas, sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita. Sudut pandang penting untuk mendapatkan gambaran tentang kesatuan cerita dan juga menunjukan pertalian antara pencerita (narator) dengan ceritanya. Perlu diingat bahwa narator ini tidak sama (identik) dengan 29 pengarangnya. Ada Nurgiyantoro, op. cit., h. 216-237. Ibid. h. 220-221. 31 Siswanto, op. cit., h. 151. 32 Nurgiyantoro, op. cit., h. 248. 30 bermacam-macam cara pengisahan 25 cerita/sudut pandang. Sudut pandang ini juga merupakan cara bercerita dari titik pandang mana atau siapa cerita itu dikisahkan. Pencerita atau narator dapat mengisahkan cerita orang lain sebagai orang ketiga atau dengan metode orang ketiga (metode dia, mereka). Dapat juga narator menceritakan kisahnya sendiri; pusat pengisahan ini disebut metode orang pertama (metode aku). Metode orang pertama pun ada dua macam, yaitu pertama, metode orang pertama sertaan, di sini narator menceritakan pengalaman atau ceritanya sendiri, si pencerita menyebut tokoh utama sebagai ―aku‖. Kedua, dalam metode aku tak sertaan, narator sebagai ―aku‖ menceritakan atau menyaksikan tokoh utama, baik tokoh utama ber-aku atau diceritakan sebagai ―dia‖ atau ―mereka‖. Jadi, di sini aku tak sertaan itu sebagai ―saksi‖ terhadap cerita orang lain yang menjadi tokoh utama cerita yang dikisahkan.33 Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro mengenai sudut pandang, yakni: terdapat sudut pandang persona ketiga: “dia” yang terbagi menjadi “dia” mahatahu dan “dia” terbatas atau sebagai pengamat. Dalam sudut pandang “dia” mahatahu, cerita dikisahkan dari sudut ―dia‖, namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ―dia‖ tersebut. Narator bersifat mahatahu. Sedangkan, sudut pandang “dia” terbatas atau sebagai pengamat, seperti halnya dalam ―dia‖ mahatahu, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja, atau dalam jumlah yang sangat terbatas. Sementara, sudut pandang persona pertama: “aku” yang terbagi menjadi “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan. Dalam sudut pandang “aku” tokoh utama, mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Lain halnya dengan, sudut pandang “aku” tokoh tambahan, tokoh ―aku‖ hadir sebagai tokoh tambahan. Tokoh ini hadir untuk membawakan cerita 33 Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. 4, h. 74-76. 26 kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian ―dibiarkan‖ untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.34 Dengan demikian, sudut pandang diartikan sebagai cara pengarang menempatkan diri terhadap cerita atau dari sudut mana pengarang memandang cerita. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau dari sudut mana atau siapa tindakan dan peristiwa itu dilihat, sehingga pemilihan bentuk penceritaan mempengaruhi perkembangan cerita. f. Gaya Bahasa Pada umumnya gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan orang atau objek.35 Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk menciptakan suatu nada atau suasana persuasif serta merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antara sesama tokoh. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan. Kemampuan sang penulis mempergunakan bahasa secara cermat dapat menjelmakan suatu suasana yang berterus terang atau satiris, simpatik atau menjengkelkan, objektif atau emosional. Bahasa juga dapat menimbulkan suasana yang tepat bagi tiap adegan dalam karya fiksi. Menurut Abrams dalam buku Nurgiyantoro, gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.36 Sama dengan pernyataan tersebut, gaya bahasa menurut Siswanto, yang mengacu kepada Aminuddin, adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan 34 Nurgiyantoro, op. cit., h. 256-266. Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 51. 36 Nurgiyantoro, op. cit., h. 276. 35 27 harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.37 Menurut Keraf, gaya bahasa terbagi menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna.38 Sebagai contoh, terdapat beberapa jenis gaya bahasa di antaranya adalah metafora, memperbandingkan sesuatu (manusia) dengan yang lain (hewan) untuk menunjukkan persamaan sikap perilakunya, dengan cara memindahkan sifat-sifatnya. Dapat disederhanakan bahwa, gaya bahasa adalah cara seorang pengarang dalam menyampaikan gagasannya menggunakan bahasa yang indah nan penuh makna. Macam-macam gaya bahasa retoris yang terdapat dalam novel Burung-burung Manyar yaitu hiperbola dan paradoks. Sedangkan gaya bahasa kiasan terdapat simile, personifikasi, ironi, dan metafora. g. Amanat Sebuah karya sastra ditulis oleh seorang pengarang untuk, antara lain, menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan dan diamanatkan oleh pengarang. Di dalam amanat itu juga terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit (tersurat) dan dapat juga secara implisit (tersirat). Bahkan ada amanat yang tidak nampak sama sekali.39 37 Siswanto, op. cit., h. 158-159. Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia, 2010), h. 129. 39 Esten, op. cit., h. 20. 38 28 Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu. 40 Ia adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat itu tersurat.41 Dapat dipahami, pada hakikatnya amanat adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, dan merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra, yang disampaikan lewat cerita. Amanat dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. 3. Unsur Ekstrinsik Novel Faktor-faktor sejarah dan lingkungan memang bisa dianggap ikut membentuk proses terciptanya karya sastra. Kesemuanya itu merupakan unsur yang berada di luar karya (novel) itu, atau di luar dari unsur intrinsik karya sastra dan disebut sebagai unsur ekstrinsik. Jadi dalam hal ini sastra (juga) harus dipelajari melalui biografi dan psikologi pengarangnya. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Dengan kata lain, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra, namun ia sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.42 Unsur-unsur yang dimaksud antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang 40 E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h. 41 Siswanto, op. cit., h. 162. Nurgiyantoro, op. cit., h. 23. 71. 42 29 dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang yang mencakup proses kreatifnya, keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial yang juga akan berpengaruh terhadap karya sastra.43 Selain itu, pola pemikiran yang dipahami dan dianut sang pengarang turut juga mempengaruhi hasil yang diciptakan dari apa yang ditulis oleh sang pengarang. Pendekatan ekstrinsik dikatakan sebagai metode terbaik dalam mengkaitkan karya sastra dengan latar belakang pribadi pengarang. Pasalnya, dengan mengetahui latar belakang pribadi dan pemikiran para pengarang, upaya memahami dapat dilakukan lebih tepat dan lebih dalam. Seperti halnya dalam menganalisis Burung-burung Manyar, pendekatan ekstrinsik menjadi jalan untuk memahami lebih dalam pemikiran Mangunwijaya yang bertindak sebagai pengarang novel, sementara pendekatan intrinsik digunakan untuk memahami novel Burung-burung Manyar secara mendetail dari sudut karya itu sendiri. B. Pendekatan Mimetik Pendekatan mimetik merupakan suatu pendekatan yang sudah sangat terkenal di kalangan ilmuwan sastra. Bahkan menurut Abrams, pendekatan mimetik merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Menurutnya, akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Hal tersebut sangat benar adanya, faktanya jika kita menelaah buku-buku mengenai teori mimetik, maka (pada awal mula sejarahnya) kita akan disuguhkan dengan perdebatan anatara Plato dengan Aristoteles. Bahwa menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya seni berada di bawah kenyataan. Pandangan ini ditolak oleh Aristoteles dengan argumentasi bahwa 43 Ibid. Pendapat ini mengacu kepada pendapat yang ditulis oleh Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature oleh Melani Budianta, (Jakarta: Gramedia, 1995), cet. 4, h. 79-81. 30 karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai katharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri.44 Setelahnya, dapat kita ketahui perdebatan itu terus berkembang dengan konsep-konsep yang diperbaharui. Sehingga ada seorang ilmuwan sastra yang bernama M.H. Abrams, dalam bukunya yang berjudul The Mirror and the Lamp, ia mengatakan: “Four elements in the total situation of a work of art are discriminated and made salient, by one or another synonym, in almost all theories which aim to be comprehensive. First, there is the work, the artistic product itself. And since this is a human product, an artifact, the second common element is the artificer, the artist. Third, the work is taken to have a subject which, directly or deviously, is derived from existing things-to be about, or signify, or reflect something which either is, or bears some relation to, an objective state of affairs. This third element, whether held to consist of people and actions, ideas and feelings, material things and events, or super-sensible essences, has frequently been denoted by that word-of-all-work, 'nature'; but let us use the more neutral and comprehensive term, universe, instead. for the final element we have the audience: the listeners, spectators, or readers to whom the work is addressed, or to whose attention, at any rate, it becomes available.”45 Melalui teori di atas, dapat diketahui bahwa ada empat unsur penting dalam terciptanya karya sastra, yakni work (karya sastra), artist (sastrawan), universe (semesta), dan audience (pembaca). Berdasarkan teori tersebut, karya sastra dapat dikaji melalui empat pendekatan, pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik, pendekatan ekspresif, dan pendekatan obejektif. Dalam hal ini, pendekatan mimetiklah yang menjadi sasaran bahasan. Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas.46 Pendapat ini bertolak dari pemikiran Abrams, yang menyatakan bahwa karya sastra merupakan refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud 44 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. 3, h. 69-70. 45 M. H. Abrams, The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition, (Oxford: Oxford University Press, 1971), p. 6. 46 Siswanto, op. cit., h. 188. 31 berkat tiruan dan gabungan imajinasi pengarang terhadap realitas kehidupan atau realitas alam. Hal tersebut didasarkan pandangan bahwa apa yang diungkapkan pengarang dalam karyanya pastilah merupakan refleksi dari kehidupan dan dari apa yang dilihatnya. Dalam hal ini, sastrawan melalui karyanya hanyalah mengolah dari apa yang dirasakan dan dilihatnya. Itulah sebabnya ide yang dituangkan dalam karyanya tidak bisa disebut sebagai ide yang original. Semuanya hanyalah tiruan (mimetik) dari unsur-unsur kehidupan nyata yang ada.47 Dalam hubungan ini pendekatan mimetik memiliki persamaan dengan pendekatan sosiologis. Perbedaannya, pendekatan sosiologis tetap bertumpu pada masyarakat, sedangkan pendekatan mimesis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya sastra.48 1. Pengertian Mimetik Kata mimetik berasal dari bahasa Yunani, yakni mimesis yang berarti perwujudan atau jiplakan. Sementara dalam bahasa Inggris hal ini lebih dikenal dengan kata imitation atau tiruan, bahkan sering disamakan dengan istilah ―representation‖49. Pengertian mimetik pertama-tama dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti diutarakan oleh Plato dan Aristoteles, dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa.50 Hal tersebut tidak terlepas semenjak orang mempelajari sastra secara kritis timbul pertanyaan, sejauh mana sastra mencerminkan kenyataan. Sering dikatakan, bahwa sastra memang mencerminkan kenyataan, sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan kenyataan. Kedua pendapat ini disebut penafsiran mimetik mengenai sastra. 47 Abrams, The Mirror and the Lamp, op. cit., p. 8-14. Ratna, op. cit., h. 70. 49 Arne Melberg, Theories of Mimesis, (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), p. 10. Plato uses the word with a primarily visual significance; mimesis suggests image, a visual image related to imitation, re-presentation. 50 Jan van Luxemburg dkk., Pengantar Ilmu Sastra, Terj. dari Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 15. 48 32 Sementara bagi Aristoteles dengan mengoper pengertian tentang mimetik itu dari Plato, yakni seni melukiskan kenyataan.51 Menurut Aristoteles mimetik tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif; penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. dengan bermimesis penyair menciptakan kembali kenyataan: adapun bahannya ialah barang-barang seperti adanya. Berdasarkan pendapatnya mengenai kenyataan serta mimetik, maka dalam bukunya yang berjudul Poetica Aristoteles mengutarakan beberapa pandangan yang bagi perkembangan teori sastra selanjutnya teramat penting. Ia tidak lagi memandang sastra sebagai suatu copy atau jiplakan mengenai kenyataan, melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai ―universalia‖ (konsep-konsep umum). Ini bukan seperti dalam pandangan Plato, yakni dunia Ide, melainkan sebagai pikiran, perasaan, dan perbuatan yang khas bagi seorang manusia.52 Setelah mengetahui mengenai awal mula sejarahnya, maka mimetik dapat kita pahami sebagai suatu teori yang meniru segala sesuatu, yang berkaitan dengan ide dan bentuk atau dengan kata lain, hubungan antara gambar dan apa yang digambarkan. 2. Karya Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat Setiap kesusasteraan yang baik memberi pencerahan kepada manusia, pembacanya. Sekalipun hal itu pencerahan yang mungkin subjektif, di mana terjadi dialog antara sastra dan seorang yang membacanya, yang itu jelas banyak faktor turut menentukan proses membaca, di antaranya pengalaman hidup. Bukankah sastra juga muara dari pengalaman hidup seorang sastrawan? Namun, juga pencerahan dalam pengertian objektif, yang bisa dirasakan denyutnya oleh semua manusia yang membaca.53 Ada anggapan bahwa, kesusastraan Indonesia atau kesusastraan bangsa mana pun juga di 51 Tetapi karena pendapat Aristoteles tentang kenyataan menyimpang dari pengertian Plato, maka teori mimetik ala Aristoteles juga lain daripada teori mimetik ala Plato. 52 Luxemburg dkk., op. cit., h. 17. 53 Abdul Wachid BS, Sastra Pencerahan, (Yogyakarta: Saka, 2005), h. 71. 33 dunia ini pada dasarnya merupakan potret sosial budaya masyarakatnya. Ia berkaitan dengan perjalanan sejarah bangsa itu. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa yang bersangkutan. Dengan kata lain, selain mempunyai hubungan dengan masyarakatnya, karya sastra juga menjadi cerminan bagi masyarakat (pembacanya). Karya sastra tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya. Menurut pandangan Stendhal dalam Endraswara, karya sastra sebenarnya mengekspresikan kebaikan dan keburukan hidup manusia.54 Sependapat dengan hal tersebut, Lowenthal (juga dalam Endraswara) berpendapat bahwa sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendhal dapat berupa pantulan langsung segala aktivitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya, tanpa terlalu banyak diimajinasikan.55 Konsep cermin juga telah dikembangkan lagi oleh Abrams dalam bukunya The Mirror and the Lamp, ia menjelaskan panjang lebar mengenai art is a like a mirror, bahwa karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat.56 Pada mulanya karya sastra dalam memberi arti kemanusiaan merupakan representasi seorang manusia (juga) yang bernama sastrawan. Kemudian bahwa akhirnya ada denyut yang dirasakan sama oleh orang lain tatkala membacanya, ini bukti bahwa kesusastraan yang baik memiliki potensi untuk menjadi pencerahan kepada manusia dari keterbelengguan dan 54 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: CAPS, 2013), h. 88. 55 Ibid., h. 88-89. 56 Abrams, The Mirror and the Lamp, op. cit., p. 31. 34 pembelengguan dimensi kemanusiaannya.57 Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. Pengarang sebagai seorang sastrawan (pengirim pesan) akan menyampaikan berita zaman lewat cermin dalam teks kepada masyarakat pembaca (penerima pesan). Dalam hal ini, Romo Mangun memandang, karya sastra selain sebagai bahan bacaan yang bisa dinikmati dengan santai. Karya sastra juga dikatakan sebagai suatu bentuk ideologi yang konsisten dan utuh, karena hadir dari cerminan masyarakat. Baginya, karya sastra digambarkan sebagai suatu khotbah religiusitas yang bercermin pada masyarakat. Begitupun dengan Burung-burung Manyar, ia sadar betul karena novel ini ditulisnya dengan berkaca kepada sejarah yang terjadi di masyarakat. C. Revolusi Setiap manusia dalam kehidupannya pasti mengalami suatu fase perubahan. Perubahan-perubahan tersebut bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya, dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang menyolok, ada pula perubahanperubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada perubahanperubahan yang lambat sekali, akan tetapi ada juga yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola pemikiran dan perilaku, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial, dan lain sebagainya. Memang pada dasarnya revolusi penting bagi setiap diri manusia, yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Di zaman sekarang ini revolusi penting diadopsi, terutama bagi suatu bangsa yang tengah menghadapi degradasi moral, merosotnya wibawa bangsa, hingga kepada permasalahan57 Wachid BS, op. cit., h. 72. 35 permasalahan bangsa yang lain. Dengan mendasarkan pada ―revolusi‖ sebagai suatu landasan diharapkan bangsa Indonesia dapat melangkah ke masa depan yang lebih baik. Bagi diri manusia itu sendiri, revolusi diyakini sebagai penggagas perubahan ke arah pribadi yang baik (matang). Revolusi juga diyakini sebagai pijakan dasar dalam upaya melangkah dan membangun masa depan yang lebih baik. Pasalnya, revolusi dapat diyakini menjadi jalan untuk melakukan lompatan sejarah peradaban suatu bangsa. Selain itu, revolusi dipercaya sebagai jalan keluar dari kungkungan budaya koloni. Suatu unsur perubahan menjadi sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari kata sejarah. Kadangkala perubahan tersebut bersifat konstruktif, maupun menjadi sebaliknya yaitu bersifat destruktif. Akibatnya, sejarah menjadi sebuah memori yang berbeda dalam penafsiran setiap individu walaupun konteks permasalahannya sama. Di samping itu situasi yang kompleks tersebut dapat ditinjau pula dari segi kejadian-kejadian dan urutanurutan kejadian yang menentukan hubungan sebab-akibat, antara lain faktorfaktor variabel ekonomi, sosial, politik, atau bahkan keagamaan. Perubahan dalam sejarah yang tampak dalam dinamika masyarakat muncul karena adanya kekuatan-kekuatan sejarah berupa kekuatan alam (misalnya sumber-sumber ekonomis), pertumbuhan penduduk, kepentingankepentingan sebuah kelas, grup dan individu, penemuan teknologi baru, ideologi, kepercayaan, pengaruh-pengaruh dari luar, dan sebagainya. Perubahan juga diyakini sebagai bentuk peralihan dari otoritas tradisional ke otoritas legal rasional. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa cara terbaik melangkah ke masa depan yaitu dengan melakukan suatu perubahan atau yang dikenal dengan istilah revolusi. Analisisnya harus mencakup pula unsur-unsur yang esensial dari gerakan sosial seperti tujuan-tujuan ideologi, kohesi golongan, organisasi, dan individu. 1. Pengertian Revolusi Revolusi adalah suatu perubahan radikal, mendasar dan menyeluruh, yang menolah dengan gigih sistem dan tata nilai lama untuk diganti dengan 36 dan menjalankan dengan kuat sistem dan tata nilai baru yang progresif. Bahkan dari asal katanya saja revolvitar atau revolvere (berputar kembali) atau rivoltare (membuang). Gerakan revolusi maju ke depan, bergerak progresif menuju ujung jalan yang lebih mulus dan lebih terang (walau bisa saja dalam perjalanan jalan sangat terjal berliku dan redup). Revolusi juga diartikan sebagai perubahan kecil yang berdampak maha besar.58 Dengan kata lain, revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru, seperti runtuhnya kolonialisme, masyarakat yang feodal, hingga pola pemikiran tradisional, serta tentu saja sistem nasional lama yang hanya melahirkan dekulturasi dan demoralisasi. Seperti pendapat Karl Marx yang mengatakan bahwa revolusi berawal dari perkembangan pada tingkat kekuatan produksi material masyarakat yang mendapat pertentangan dengan keberadaan hubungan produksi di tempat mereka bekerja. Bentuk perkembangan kekuatan produksi itu lantas berubah menjadi suatu pengekangan/penindasan. Konflik antara kekuatan produksi baru dengan hubungan produksi lama itulah yang menjadi gerakan revolusi. Marx mengasumsikan bahwa kapitalisme akan memunculkan kesejahteraan dan penderitaan. Kesejahteraan dalam kelas borjuis semakin mengecil dan penderitaan dalam kelas buruh kian membesar. Ketegangan antara borjuis dan proletariat akan mendorong kaum proletariat untuk bersatu (dalam hal ini sadar kelas). Ketegangan tersebut lantas mengarah pada revolusi yang disebut ―revolusi sosial‖.59 Dengan begitu, revolusi dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk dari perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi di dalam masyarakat. Menyambung perkataan Marx, Selo Soemardjan menyatakan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang Setiawan Djody, ―Revolusi Versus Reformasi‖, dalam Revolusi Kebudayaan, (Yogyakarta: t.p., 1999), h. 3. 59 Lihat Hal Draper, Karl Marx’s Theory of Revolution: The Politics of Social Classes, (Delhi: Aakar Books, 2011), p. 17-32. 58 37 mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikapsikap, dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat.60 Pada hakikatnya, suatu perubahan dapat memerlukan waktu yang lama, di mana terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi.61 Di lain pihak, perubahan-perubahan yang cepat, yang mengenai dasar-dasar atau sendisendi pokok daripada kehidupan masyarakat (yaitu lembaga-lembaga kemasyarakatan) dinamakan ―revolusi‖. Unsur-unsur yang pokok daripada suatu revolusi adalah adanya perubahan yang cepat dan bahwa perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan-perubahan yang terjadi dapat direncanakan terlebih dahulu maupun tanpa rencana. Sebenarnya ukuran kecepatan suatu perubahan yang dinamakan revolusi, sifatnya relatif, oleh karena suatu revolusi dapat memakan waktu yang lama, seperti misalnya revolusi industri yang dimulai di Inggris, di mana terjadi perubahanperubahan dari tahap produksi tanpa mesin menuju ke tahap produksi dengan menggunakan mesin. Perubahan tersebut dianggap cepat, karena merupakan sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat, seperti misalnya sistem kekeluargaan, hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya.62 Suatu revolusi dapat dijalankan dengan didahului suatu pemberontakan (revolt, rebellion) yang kemudian menjelma menjadi revolusi. Sebagaimana pendapat yang diutarakan dalam tulisan Lenin, ―maka jelaslah bahwa pembebasan kelas tertindas bukan hanya tidak 60 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: UI-Press, 1981), cet. 10, h. 237. Pada evolusi, perubahan-perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa suatu rencana ataupun suatu kehendak tertentu dan perubahan (pertumbuhan/perkembangan) terjadi secara berangsur-angsur dan perlahan-lahan. 62 Ibid., h. 241-243. 61 38 mungkin tanpa revolusi dengan kekerasan, tetapi juga tidak mungkin tanpa penghancuran aparat kekuasaan negara yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa‖.63 Sebagai contoh, pemberontakan para petani di Banten pada tahun 1888 didahului dengan suatu kekerasan, sebelum menjadi revolusi yang merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat.64 Karakter kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai akibat dari situasi ketika perubahan tata nilai dan norma yang mendadak telah menimbulkan kekosongan nilai dan norma yang dianut masyarakat. Dengan demikian, revolusi mengandung asumsi bahwa; revolusi bersifat diskontinyu dan bukan bagian dari suatu pola, revolusi adalah perubahan-perubahan kecil yang berdampak sangat besar pada kehidupan, dan revolusi diskontinyu membutuhkan kerangka berpikir yang diskontinyu pula (pemikiran revolusioner). Secara konseptual, diakui atau tidak, revolusi sering dipahami sebagai: proses untuk mewujudkan terjadinya transformasi struktural dan kultural secara cepat, radikal, dan total di tengah-tengah masyarakat yang tertindas, baik dalam tataran politik maupun sosial. Dengan ditandai adanya perubahan struktur feodal-kolonial menjadi struktur demokratis. Seperti yang terjadi di Indonesia merupakan sebuah proses sejarah yang memiliki makna signifikan bagi upaya penataan kehidupan masyarakat yang pluralis dalam bingkai negara yang demokratis. Bagi Indonesia, revolusi memang mempunyai makna sentral bagi persepsi bangsa Indonesia. Walaupun revolusi di Indonesia bukan termasuk dalam kategori revolusi besar di dunia. Namun bagi bangsa Indonesia, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada periode 1945-1949 merupakan revolusi yang dipandang sebagai manifestasi tertinggi dari tekad nasional, lambang kemandirian suatu bangsa, dan bagi mereka yang terlibat langsung di dalamnya maka revolusi adalah pengalaman emosional luar biasa. 63 V.I. Lenin, Negara dan Revolusi, Terj. dari The State and Revolution oleh Sulang Sahun, (Yogyakarta: Fuspad, 2001), h. 11. 64 Bacalah Sartono Kartodirdjo, ―Beberapa Perspektif dalam Studi Revolusi Perancis dan Revolusi Indonesia‖, dalam Henri Chambert Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed), Panggung Sejarah, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 105 dan seterusnya. 39 Bahkan bagi para ahli sejarah Indonesia modern, revolusi tersebut memainkan peranan yang simbolik sebagai wadah beragam pandangan mengenai masa lampau, masa kini, dan masa depan bangsa.65 Dengan begitu dapat ditarik suatu simpulan bahwa revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Namun agar revolusi itu dapat terjadi, maka harus dipenuhi syarat-syarat:66 (a) harus ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan (di dalam masyarakat harus ada perasaan tidak puas dengan keadaan), (b) harus ada ―momentum‖ untuk revolusi, yaitu suatu saat di mana segala keadaan dan faktor dikatakan baik untuk memulai gerakan revolusi, (c) adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat (pemimpin tersebut difungsikan sebagai tempat menampung serta merumuskan untuk dijadikan program dan arah bagi geraknya masyarakat). Dari ketiga syarat yang harus dipenuhi agar revolusi dapat berjalan dengan baik, poin adanya seorang pemimpin dianggap yang paling penting. Pemimpin dianggap memiliki pengaruh paling dominan dalam hal mengorganisir massa rakyat, hingga memilih momentum yang paling tepat. Namun, setiap pemimpin kadangkala memiliki pertimbangan pemikiran terkait revolusi. Perbedaan paham mengenai revolusi di antara para pemimpin besar memang lumrah terjadi, sejarah mencatat hampir di belahan dunia para pemimpin memiliki perbedaan pendapat terkait ide revolusi. Seperti di Indonesia, perbedaan paham ―revolusi belum selesai‖ milik Soekarno dan ―revolusi sudah selesai‖ milik Hatta pernah mewarnai 65 J.D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir, Terj. dari Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the following recruited by Sutan Sjahrir in occupation Jakarta oleh Hasan Basari, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), cet. 2, h. 1-2. 66 Soekanto, op. cit., h. 243. 40 perkembangan sejarah revolusi di Indonesia. Begitupun dengan Sjahrir dan Tan Malaka, yang sangat dinilai memiliki ideologi yang berseberangan. Di samping semua itu, yang perlu dilakukan adalah agar tujuan revolusi dapat terlaksana dengan baik, maka perlu sebuah konsepsi yang matang perihal revolusi. Di samping itu juga pemahaman revolusi yang baik sangat diperlukan oleh para revolusioner. Berangkat dari pandangan Sjahrir dan Tan Malaka mengenai revolusi, seperti yang tertuang dalam tulisantulisan mereka mengenai peristiwa dan pemikiran revolusi itu sendiri, konteks revolusi idealnya meliputi tiga kategori, yaitu revolusi nasional, revolusi sosial, dan revolusi mental. Gagasan tersebut menjadi rujukan fundamental dalam pemikiran revolusi yang digagas oleh Romo Mangun dalam Burung-burung Manyar. Bagi Mangun, sadar adanya revolusi nasional barulah tahap awal dalam fase pertumbuhan revolusi di Indonesia. Seharusnya setelah revolusi nasional segera disusul dengan revolusi sosial dan revolusi mental, agar tujuan dari apa yang dicita-citakan revolusi bisa berjalan dengan baik. 2. Revolusi Menurut Pemikiran Sutan Sjahrir Pandangan Sutan Sjahrir mengenai revolusi di Indonesia tertuang dalam tulisannya yang berjudul Perdjoeangan Kita. Menurut Kahin dalam tulisan tersebut Sjahrir menuliskan suatu kecaman dan penilaian atas keadaan pada masa itu serta petunjuk-petunjuk untuk masa depan yang sangat berpengaruh pada arah perkembangan politik Indonesia selama tahun-tahun pertama setelah zaman pendudukan Jepang.67 ―Keluar bentuk revolusi berupa nasional, ke dalam menurut hukum masyarakat demokratis dengan corak sosial. Jika kurang memahamkan kebenaran sehingga ke dalam pun yang kita anjurkan hanya revolusi nasional saja dengan tidak ada atau kurang pengertian tentang kedudukan demokrasi di dalam pengorbanan masyarakat kita, bahaya sangat besar bahwa kita, oleh karena tak dapat mengukur musuh kita feodalisme kita berkawan dengan semangat feodalisme G. McTurnan Kahin, ―Sutan Sjahrir‖, dalam Rosihan Anwar (ed.), Mengenang Sjahrir, (Jakarta: Gramedia, 1980), h. 300. 67 41 yang masih hidup sesuai dengan semacam nasionalisme, menjadi nasionalisme yang mempunyai semacam solidarisme, yaitu solidarisme-feodal (yang hierarkis), menjadi fasisme alias musuh kemajuan dunia dan rakyat yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu maka di dalam menyusun kekuatan masyarakat kita di dalam revolusi kita ini, harus kita sedikitpun tak boleh lupa, bahwa kita mengadakan revolusi demokrasi. Revolusi nasional itu hanya buntutnya daripada revolusi demokrasi kita. Bukan nasionalisme harus nomor satu, akan tetapi demokrasi, meskipun kelihatannya lebih gampang, kalau orang banyak dihasut membenci bangsa asing saja.‖ Baginya revolusi nasional merupakan suatu alat untuk meraih kemerdekaan sosial. Negara haruslah menyediakan jalan untuk kemerdekaan berpikir, berbicara, beragama, menulis, mendapat kehidupan, mendapat pendidikan, turut membentuk dan menentukan susunan dan urusan negara dengan hak memilih dan dipilih untuk segala badan yang mengurus negara. Bagi Sjahrir revolusi nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik, melainkan menjadi jalan bagi rakyat untuk mengaktualisasi dan meningkatkan mutu pribadi serta bakat-bakatnya secara bebas tanpa halangan. Nasionalisme haruslah tunduk kepada kepentingan demokrasi, bukan sebaliknya, karena tanpa demokrasi maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan feodalisme lama, bahkan dapat mempersilakan fasisme totaliter.68 Dengan kata lain, demokrasi tanpa nasionalisme adalah setengah matang, tetapi nasionalisme tanpa demokrasi adalah pengkhianatan kemanusiaan. "Perjuangan kita sekarang ini bagaimana juga aneh rupanya kadangkadang, tidak lain dari perjuangan kita untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita. Oleh karena itu kita sebagai bangsa yang percaya kepada kehidupan, percaya kepada kemanusiaan, berpengharapan kepada tempo yang akan datang. Kita telah belajar menggunakan alat-alat kekuasaan, akan tetapi kita tidak berdewa atau bersumpah pada kekuasaan. Kita percaya pada tempo yang akan datang untuk kemanusiaan, di mana tiada kekuasaan lagi yang menyempitkan kehidupan manusia, tiada lagi perang, tiada lagi keperluan untuk bermusuh-musuhan antara sesama manusia. Sebagai bangsa yang balik muda kita mencari tenaga kita sebagai bangsa di dalam cita-cita yang tinggi dan murni. Kita 68 Ibid., h. 13-14. 42 tidak percaya pada mungkin dan baiknya hidup yang didorong oleh kehausan pada kekuasaan semata-mata...‖69 Dalam pemaknaan yang lebih luas, Sjahrir menekankan pentingnya arti demokrasi buat melawan kecenderungan fasisme yang masih membekas, terutama di kalangan pemuda, akibat pengaruh pendudukan Jepang. Dari situ dapat dilihat benih-benih sosialisme kemanusiaan (atau demokrasi sosial) yang ingin disemaikan Sjahrir di kalangan pemuda. Akan tetapi, hal itu berkaitan erat pula dengan pandangan Sjahrir tentang kedudukan Indonesia yang sangat lemah pada waktu itu yang menurutnya berada di daerah pengaruh kekuatan kapitalis Amerika Serikat dan Inggris, dan oleh karena itu tidaklah bijaksana bagi negara muda yang masih rapuh ini untuk memusuhi mereka. Sjahrir bahkan melihat bahwa nasib Indonesia amat tergantung pada kebijaksanaan politik yang akan diambil oleh kekuatan-kekuatan imperialis itu. Dari situlah ia mengambil kesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan Indonesia ialah melalui ―diplomasi yang lihai dan fleksibel‖, agar Amerika dan Inggris tidak turut mendukung Belanda.70 Maka dari situlah muncul pemikiran diplomasi dalam pemikiran politik Sjahrir, yang dianggapnya lebih efektif daripada memakai kekerasan/kekuatan senjata, dan itu sesuai dengan jalan pikirannya tentang demokrasi sosial humanis yang digagasnya. Perihal revolusi kerakyatan, Sjahrir berpangkal tolak dari kenyataan, masyarakat Indonesia pada masa itu masih dikungkung pola feodalisme. Pola dan struktur feodal birokrasi, yang memuncak pada otokrasi dan fasisme jajahan Belanda. Keraslah sikap Sjahrir terhadap apa yang dinamakannya sebagai ―parasitisme yang dimotivasi oleh keningratan‖. Y.B. Mangunwijaya, ―Manusia, Guru, Negarawan Sutan Sjahrir dan Relevansinya Kini dan Di Hari Mendatang‖, Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah Angakatan II, Sekolah Ilmu Sosial, Bentara Budaya Jakarta, 5 Agustus 1988, h. 10. Kata-kata di atas merupakan ucapan yang disampaikan Sjahrir di tengah lumpur anarki revolusi dan kemelut zaman yang penuh kekacauan dan kebingungan masa itu, ialah pidato radio Sjahrir kepada bangsa yang penuh pertanyaan mencekam pada Hari Ulang Tahun pertama Republik Indonesia, ketika antara lain ia berpesan di tengah teror tentara Belanda dan teriak amarah rakyat Indonesia yang penuh dengan kecemasan. 70 William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), cet. 3, h. 350-351. 69 43 Maka dari itu, Sjahrir melihat keningratan sebagai suatu faktor budaya yang hadir di mana-mana dan mempengaruhi sikap serta perilaku.71 Lebih dari itu, feodalisme akan mengundang fasisme, dan fasisme akan membuka jalan bagi permusuhan etnis, bahkan agama. Mengangkat kembali warisan feodal sama dengan mendegradasikan kemerdekaan nasional yang sudah susah payah diperoleh. Untuk itu, rasionalitas dan modernitas yang dibawa pendidikan Barat –bukan pendidikan Timur yang cenderung logis mistis– adalah senjata yang tepat untuk menghapus feodalisme, termasuk eksesnya: mentalitas budak, kompleks rendah diri (inferiority complex). Sjahrir yakin bahwa mentalitas yang mendarah daging seperti itu ditambah payahnya ilmu pengetahuan merupakan formula mematikan yang merongrong Indonesia nantinya, sehingga perlu adanya revolusi sosial, hingga dilanjutkan kepada suatu revolusi mental besar-besaran.72 Pengamatan Sjahrir mengenai adanya keterkaitan antara budaya suatu masyarakat dengan kebangkitan nasional kerap muncul di tahun-tahun awal pembentukan karakter bangsa Indonesia. Dari sinilah pemikiran Sjahrir berpijak mengenai revolusi mental. Belenggu penderitaan rohani rakyat Indonesia menjadi semakin sulit ditanggung, ditumpuk beratus tahun lamanya. Sjahrir menggagas perlunya suatu kebudayaan baru, ‗yang tidak berbau udara museum dan menyan’sebagai jalan keluar atas belenggu itu, dengan pendidikan sebagai kendaraannya. Bagi kebudayaan baru itu, Sjahrir menegaskan pentingnya rasionalitas.73 Penolakan Sjahrir terhadap feodalisme, alam pikir mistis, fatalis, dan kompleks rendah diri menempatkannya pada pihak pendukung kebudayaan Barat sebagai orientasi kebudayaan Indonesia. Dalam konteks dan tafsiran yang lebih luas, ia menghendaki agar perkembangan Timur dilihat dengan cara rasional yang sama dengan cara yang digunakan dalam meninjau 71 Jakob Oetama, Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan, (Jakarta: Kompas, 2002), cet. 2, h. 150. 72 Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin. (Jakarta: Djambatan, 1990), h. 176-181. Lihat lebih lanjut dalam surat-surat Sutan Sjahrir tanggal 17 dan 20 Maret 1937 Ketika itu Sjahrir mengisahkan mengenai keadaan di Banda Neira. 73 Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perdjoeangan, (Djakarta: Poestaka Rakjat, 1947), h. 79. 44 evolusi masyarakat Barat.74 Sjahrir percaya kecenderungan ke arah mistik suatu saat akan tidak lagi relevan dengan perkembangan kebutuhan zaman. Inti penolakan Sjahrir terhadap kebudayaan Timur hanya pada titik terendah kebudayaan itu, yakni kompleks rendah diri. Ia memusuhi mentalitas pegawai negeri (otokrasi dan birokrasi feodal), obsesi terhadap hierarki, mentalitas budak, kecenderungan untuk stagnan dalam ‗ketenangan dan refleksi‘, toleransi yang berlebihan, kecenderungan mistik, hingga keahlian dalam pengingkaran, sifat ‗bukan saya‘, keengganan bertanggung jawab atas perbuatannya.75 Dambaan Sjahrir agar Indonesia jangan sampai dikuasai oleh sistem politik otoriter, juga mendasari cara pendekatannya terhadap sosialisme. Pola sosialis yang diinginkannya bagi Indonesia harus seluas mungkin, sekalipun ini mungkin mengakibatkan kekurangannya efisiensi dalam sektor-sektor ekonomi tertentu. Menurut pendapatnya, suatu sistem yang terlalu terpusat, akan mempermudah jalan pemerintahan totaliter.76 Dengan kata lain, kemerdekaan individu hingga pembukaan peluang-peluang atas berkembangnya intelektualitas warga negara bagi Sjahrir merupakan syarat mutlak dalam revolusi. Sjahrir juga menegaskan bahwa revolusi nasional harus segera didukung oleh revolusi sosial yang dapat membebaskan rakyat dari cengkeraman feodalisme lama dan fasisme serta kapitalisme yang tidak terkendali. Kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan, tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk mengeluarkan bakat diri dalam sebuah kebebasan tanpa halangan dan hambatan, karena itulah, nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi (sosial), dan bukan sebaliknya, karena tanpa demokrasi maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan feodalisme. 74 Legge, op. cit., h. 55. Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Terj. dari Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia oleh Pabotingi, Matheos Nalle, dan Maimoen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), h. 298. 76 Kahin, op. cit., h. 301-303. 75 45 3. Revolusi Menurut Pemikiran Tan Malaka Tan Malaka merupakan salah satu tokoh penting dalam perumusan gagasan mengenai konsep Indonesia merdeka. Tulisan Naar de Republiek Indonesia menjadi awal dari suatu konsepsi Tan Malaka untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang sejati. Konsep ini telah disusunnya pada tahun 1925 jauh sebelum Indonesia merdeka. Konsepsi tersebut bukanlah berdasar pada ide atau alam pikirnya semata tapi berlandaskan pada kenyataan obyektif yang dialaminya.77 Melalui gagasan tersebut akan segera ditemukan ke arah mana pandangannya perihal konsepsi revolusi dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka merupakan seorang yang memiliki pandangan terlengkap baik dalam konteks revolusi Indonesia bahkan revolusi dunia. Ia kritis terhadap orang-orang yang memandang revolusi hanya sekadar suatu bentuk buah pemikiran dan omongan belaka, tanpa adanya tindakan untuk melalukan revolusi. Menurutnya revolusi ialah yang disebabkan oleh pergaulan hidup, satu hakikat tertentu dari perbuatan-perbuatan masyarakat. Disebut dengan perkataan dinamis, dia adalah akibat yang tertentu dan tidak dapat disingkirkan dari timbulnya pertentangan kelas yang makin hari makin bertambah tajam. Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran ditentukan oleh pelbagai faktor ekonomi, sosial, politik dan psikologis.‖78 ―Revolusi Indonesia sebagian kecil menentang sisa-sisa feodalisme dan sebagian yang terbesar menentang imperialisme Barat yang lalim. Ia juga didorong oleh kebencian bangsa Timur terhadap bangsa Barat yang menindas dan menghina mereka. Marilah kita pergunakan pikiran yang "rasional" sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasional membawa kita kepada penguasaan atas sumber daya alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaian yang benar — kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya 77 Bacalah Tan Malaka, Naar de Republiek (Menuju Republik Indonesia), (Jakarta: Yayasan Massa, 1987). Pandanganya mengenai revolusi mengacu pada perkembangan revolusi yang terjadi di Uni Soviet di bawah kepeloporan Partai Bolshevik saat itu. 78 Tan Malaka, Aksi Massa, (Jakarta: Teplok Press, 2000), h. 1. 46 cara berpikir dan bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia dari ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, menuju kepada kebenaran. Tetapi kamu orang Indonesia tidak akan mungkin merdeka selama kamu belum menghapuskan segala "kotoran kesaktian" itu dari kepalamu, selama kamu masih memuja kebudayaan kuno yang penuh dengan kepasifan, membatu, dan selama kamu bersemangat budak belia.‖79 Menghapuskan kungkungan feodalis dan menentang kolonialisimperialis Barat merupakan langkah revolusioner Tan Malaka untuk memutus keterbelakangan dan mental kuli bagi bangsa pribumi. Pasalnya, pada zaman penjajahan bangsa pribumi hanya dididik didasarkan kepentingan imperialis, sehingga sendi-sendi ilmu pengetahuan yang diadopsi mengandung pola pemikiran feodal dan kolonialis. Tan Malaka memandang apabila kaum intelek tidak terjun dalam lautan revolusi, maka mereka tidak akan terlepas dari penderitaan pada masa berikutnya. Dengan begitu menurutnya kaum intelektual harus tanggap terhadap gerakan perubahan, dimana barisan rakyat sedang berderap bergemuruh merebut kemerdekaan, jangan hanya tutup mata dan tidak peduli terhadap keadaan. ―Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan dengan "kekerasan". Pendeknya dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan nasionallah (yang dapat dimasukkan dalam revolusi sosial!), maka sekalian negeri besar dan modern tanpa kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan. Di dalam masa revolusilah tercapai puncak kekuatan moral, terlahir kecerdasan pikiran dan teraih segenap kemampuan untuk mendirikan masyarakat baru. Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi. Revolusi adalah mencipta!‖80 Bagi Tan Malaka, rakyat Indonesia, yang belum pernah sedikit pun mempunyai hak politik, karena dari dulunya terhimpit oleh despostisme dan imperialisme, tentulah tiada bisa dibangun dalam dua tiga tahun saja. Perkumpulan politik kita mesti dilipat ganda banyak dan kualitas 79 80 Ibid., h. 79-117. Ibid., h. 13-16. 47 anggotanya pada masa ini juga. Berhubungan dengan itu agitasi mesti lebih dalam daripada yang sudah-sudah.81 Tan Malaka melihat dan meyakini bahwa semangat yang muncul pada waktu itu mampu menggerakan massa buat merealisir revolusi totalnya. Pada tanggal 2 Desember 1945 muncullah brosur yang berjudul Muslihat, yang berisi ajakan kepada semua golongan/lapisan untuk bersatu mengadakan perlawanan bersama, revolusi total, lengkap dengan strategi dasarnya. Strategi itu antara lain menyangkut keperluan membentuk Laskar Rakyat dan pelucutan senjata Jepang. Taktik revolusi yang berjangka lama ini kemudian dituangkannya sebagai gerilya politik dan ekonomi atau lebih populer dengan sebutan Gerpolek.82 Maka dalam pada itu, bagi Tan Malaka suatu perjuangan politik merupakan upaya untuk memerdekakan bangsa dan tanah air hanya mungkin berhasil jika mendapat dukungan kuat dan besar dari massa rakyat. Dengan demikian diperlukan persatuan kerja sama yang kuat dari semua kekuatan yang ada dan relevan dalam masyarakatnya. ―Revolusi Indonesia bukanlah Revolusi Nasional semata-mata, seperti yang diciptakan beberapa gelintir orang Indonesia yang maksudnya cuma membela atau merebut kursi buat dirinya saja, dan bersiap sedia menyerahkan semua sumber pencaharian yang terpenting kepada semua bangsa asing, baik musuh atau sahabat. Revolusi Indonesia mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial serentak dengan tindakan merebut atau membela kemerdekaan 100%. Revolusi kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan dibungkus dengan Revolusi Nasional saja. Perang kemerdekaan Indonesia harus diisi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus.‖83 Dengan demikian maka menurut Tan Malaka langkah yang harus diambil adalah melakukan revolusi sosial. Perbedaan status, budaya bahasa dan warna kulit tidak menjadikan alasan untuk mendiskriminasi satu golongan karena secara alamiah manusia ditakdirkan ―sama‖. Perihal revolusi Mental, Tan Malaka mengembangkan cara berpikir secara luas dalam bukunya Madilog, kependekan dari Materialisme, 81 Tan Malaka, Semangat Muda, (Bandung: Sega Arsy, 2015), h. 98-102. Frederick dan Soeroto, op. cit., h. 352. 83 Tan Malaka, Gerpolek: Gerilya-Politik-Ekonomi, (Yogyakarta: Narasi, 2013), h. 30. 82 48 Dialektika, dan Logika, yang ditulisnya dalam tahun 1942-1943. Pada esensinya, Madilog dimaksudkan sebagai suatu ―cara berpikir‖ baru yang dapat dipakai untuk memerangi cara berpikir lama yang dipengaruhi oleh dunia mistik atau takhayul. Dalam Madilog yang paling esensi adalah keperluan untuk memiliki dan mengembangkan cara serta pola berpikir baru yang aktif dan rasional. Sehingga yang dimaksud sebagai materialisme tidak lain adalah cara berpikir realistis dan pragmatis serta fleksibel dalam usaha pemecahan suatu masalah. Lantas, setelah seseorang mengaktifkan perangkat berpikirnya seacara realistis dan sistematis, maka ia telah mencapai dengan apa yang dimaksud sebagai dialektis. Suatu sistem berpikir yang terangkai dalam alur tesis-antitesis-sintesis.84 Alhasil dari proses berpikir yang demikian –berjalan sebagaimana mestinya– maka proses berpikirnya menjadi logis, bisa diterima dengan akal sehat manusia. Bagi Tan Malaka, materialisme adalah ―cara berpikir‖ yang realistis, pragmatis, dan fleksibel.85 Orang yang berpikir dengan cara materialisme ini terutama memusatkan perhatiannya pada apa yang dekat dengannya, apa yang mempengaruhi kehidupannya secara langsung. Erat berkaitan dengan itu ialah konsep dialektiknya, yang dimaksudkan untuk memerangi cara berpikir yang pasif atau dogmatis86. Tan Malaka menyanjung cara berpikir dialektis, yakni cara berpikir dinamis, karena itu memungkinkan orang mengembangkan pemikiran atau intelektualnya secara terus-menerus. Jadi kunci dari pemikiran dialektika Tan Malaka adalah berpikir aktif dan terus-menerus, atau berpikir dinamis. Tetapi berpikir secara dinamis itu harus berlandaskan akal atau logika. 84 Tan Malaka, Islam dalam Madilog, (Bandung: Sega Arsy, 2014), h. 110-112. Baca selengkapnya dalam Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika, (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 38-294. 86 Cara berpikir pasif atau dogmatis ini bertalian dengan kepercayaan masyarakat yang masih dalam terhadap kekuatan-kekuatan gaib (mistik), dan itu menyebabkan mereka tidak percaya kemampuan intelektual dan kekuatan mereka sendiri untuk mengubah dunia materi. 85 49 4. Analogi Revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka Ketika Indonesia di bawah kungkungan imperialisme, kedua tokoh baik Sutan Sjahrir dan Tan Malaka memiliki sikap politik yang sama yaitu tidak mau bekerja sama dengan Belanda dan Jepang. Namun ketika Indonesia merdeka, dua orang tokoh tersebut berbeda sikap dalam pandangan politiknya. Apalagi keduanya pascakemerdekaan berada dalam posisi berbeda, Sjahrir menjabat sebagai perdana menteri RI sedangkan Tan Malaka berada di luar pemerintahan. Perbedaan kedudukan di antara mereka berdua menyebabkan cara pandang mereka dalam melihat, memahami, dan mengkaji setiap persoalan berbeda. Misalnya terlihat dari sikap Sjahrir yang melihat jalur diplomasi sebagai solusi dalam mempertahankan kemerdekaan sedangkan Tan Malaka menekankan pada kekuatan revolusi massa dengan tujuan merebut kemerdekaan 100 persen. Dalam beberapa hal, pemikiran antara Sjahrir dan Tan Malaka memang terdapat perbedaan pendapat dalam memandang dan menjalankan revolusi di Indonesia. Sjahrir lebih mengedepankan perundingan dan proses diplomasi, sedangkan Tan Malaka mengupayakan agitasi secara langsung dalam mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan. Tetapi di samping itu, pada hakikatnya terdapat persamaan pandangan antara Tan Malaka dan Sjahrir yaitu dalam melihat konteks revolusi yang lebih luas. Pemikiran Sjahrir perihal revolusi sejalan dengan pemikiran Tan Malaka yang berpendapat bahwa pada hakikatnya revolusi nasional barulah tahap awal dalam sebuah revolusi. Menurut pandangan mereka berdua, setelah revolusi nasional harus ada revolusi sosial, lalu setelahnya harus ada revolusi mental. Bahkan menurut catatan Poeze, Sjahrir dan Tan Malaka pernah melakukan satu kerja sama dalam hal memperjuangkan Republik Indonesia. Dalam tulisan Poeze, Tan Malaka memberikan usulan dalam bahasa Inggris: "We must follow a nationalist policy with a very deep cut into socialism" (Kita harus menjalankan suatu politik nasionalis yang sangat diwarnai oleh sosialisme), Sjahrir setuju. Dalam kerja sama yang erat, mereka 50 merencanakan langkah-langkah untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno dan Hatta. Tapi belakangan Sjahrir berpikir bahwa dalam keadaan segenting itu perlu mempertahankan Soekarno sebagai simbol negara. Sjahrir kemudian terpilih menjadi Kepala Badan Pekerja KNIP pada 17 Oktober untuk menangani masalah-masalah parlementer. Ia mengisi lembaga yang dipimpinnya dengan sejumlah besar pendukungnya yang ditemuinya seminggu kemudian. Termasuk, Tan Malaka yang saat itu berada di Serang. Ini merupakan pertemuan penting. Tan Malaka mengemukakan pandangannya bahwa perlawanan all-out terhadap Belanda merupakan kebijakan yang harus diikuti. Indonesia tidak memiliki persenjataan, tapi ia memiliki rakyat dan pemuda yang siap bertempur. Ancaman bumi hangus akan mencegah Belanda untuk kembali. Perundingan dengan Belanda hanya boleh terjadi bila Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Perlawanan total inilah yang kemudian menjadi program Persatuan Perjuangan dan memicu bubarnya kerja sama Tan Malaka dan Sjahrir.87 Bila menyoroti kesepakatan yang terjadi antara Sjahrir dan Tan Malaka untuk menjalankan suatu politik nasionalis yang bersifat sosialis, tampaknya dari mereka berdua memiliki suatu kesamaan berpikir dalam hal menjalankan suatu revolusi. Seperti halnya tentang tesis Trotsky mengenai "revolusi terus-menerus". Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia yang tidak punya kelas borjuasi yang kuat, revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tidak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap "borjuis" dan "demokratis"; kedua, baru setelah itu, "tahap sosialis". Bagi Trotsky, di negeri yang "setengah-feodal dan setengah-kolonial", kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum Harry Poeze, ―Kerja Sama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir‖, dalam Tempo Edisi Khusus Sjahrir, Jakarta, Maret 2009, h. 118-119. 87 51 proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, "tahap sosialis". Di sini "pragmatisme" Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tidak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena "berbagai keadaan", bukan karena adanya pemimpin dengan "otak yang luar biasa".88 Dari situlah penulis menarik suatu kesamaan yang terdapat dalam pemikiran Sjahrir dan Tan Malaka, terkait revolusi yang ―harus‖ terjadi di Indonesia. Bahkan menurut Y.B. Mangunwijaya terdapat kesamaan yang dominan perihal pemikiran konsep revolusi yang dicetuskan oleh Sjahrir dan Tan Malaka, ia mengatakan bahwa: ―Tan Malaka dan Sjahrir, keduanya mereka beraliran sosialis dan telah melampaui studi serta medan daya pengaruh Hegel dan Karl Marx dalam perkembangan diri serta pandangan politiknya. Dan karena itu kedua-duanya sangat sadar, bahwa revolusi nasional hanyalah fase awal saja dan sarana belaka untuk tujuan kemerdekaan yang lebih esensial, ialah revolusi sosial dan mental. Hampir semua yang menjadi sendi sikap pada Tan Malaka seperti yang dapat diketahui, yakni Madilog, materialisme, dialektika, logika, kita temukan juga dalam diri Sjahrir. Materialisme dalam arti cara berpikir realistis, pragmatis, fleksibel. Dialektis dalam arti aktif, dinamis, tidak dogmatis tetapi kreatif. Logis dalam arti bernalar, tidak hanya hanyut dalam emosi atau idealisme maupun mistik khayalan. Perbedaan (satu-satunya?) sikap dan politik sosial antara kedua putera Minang tadi hanyalah: Tan Malaka memilih rumus: Merdeka adalah berubah dari manusia yang bermental vertikal, tahayul, pendewaan segi spiritual yang dicandui impian-impian, dogmatis, konservatif, statis, pasif, dan serba emosional, menjadi manusia yang madilog. Jadi kemerdekaan esensial ada dalam mental. Sedangkan Sjahrir melihat kemerdekaan bangsa Indonesia dalam penghayatan peri kemanusiaan, sila kedua dari Pancasila, yang mengatasi batas-batas nasional sempit. Dalam penjabaran prinsip-prinsip mereka ke dalam politik praktis meraih konsolidasi dan pengakuan kedaulatan RI 100%, mereka sama juga. Dari kedua tokoh tersebut, azas dan pola pikir dasarnya memiliki kesamaan, ialah sama-sama kerakyatan dan keindonesiaan. Hanya Goenawan Mohamad, ―Tan Malaka, Sejak Agustus Itu‖, dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, Jakarta, Agustus 2008, h. 80-81. Hal tersebut sebenarnya untuk mengkritisi pendapat Soekarno yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus "belum selesai", mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut "Re-So-Pim": Revolusi-SosialismePimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya "teori", yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni "Pemimpin Besar Revolusi". 88 52 masih selisih pandangannya kemudian siasatnya (belum pernah dipadu, dirundingkan bersama-sama). Inilah yang sering menimbulkan bentrokan.‖89 Dari apa yang disajikan, penulis mendapatkan titik temu dan kesamaan antara pemikiran revolusi Sjahrir dan Tan Malaka dalam melihat Revolusi Indonesia dalam konteks yang lebih luas dan mendalam. Dengan begitu dapat ditarik suatu benang merah bahwa konteks revolusi menurut Sjahrir dan Tan malaka, idealnya meliputi tiga kategori yaitu:90 1. Revolusi nasional ialah suatu revolusi untuk mengubah tata kehidupan kolonial atau feodal kepada tata kehidupan nasional (merdeka). 2. Revolusi sosial ialah suatu revolusi untuk mengubah struktur masyarakat kolonial atau feodal kepada suatu susunan masyarakat yang demokratis. 3. Revolusi mental adalah suatu revolusi untuk mengubah cara berpikir masyarakat tradisional (bercorak kolonial-feodal) kepada cara berpikir yang rasional/logis. Ketiga revolusi tersebut secara substansial merupakan proses perwujudan transformasi struktural dan kultural secara radikal, mendadak dan berskala besar menuju kehidupan yang merdeka (perubahan dari struktur feodalisme menuju struktur demokratis) dengan pikiran-pikiran masyarakat yang bersifat dialektik. D. Pembelajaran Sastra di Sekolah Hakikat pengajaran sastra ialah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang dikandung karya sastra dan mengajak siswa ikut menghayati pengalamanpengalaman yang disajikan itu. Tujuannya mengembangkan potensi individu siswa sesuai dengan kemampuan siswa menyangkut kecerdasan, kejujuran, keterampilan, pengenalan kemampuan, dan batas kemampuannya, serta karsa mengenali dan mempertahankan kehormatan dirinya. Dengan kata lain, tiap kegiatan menyiratkan upaya pendidikan, yang bertujuan membina watak Y.B. Mangunwijaya, ―Archetype Sutan Sjahrir‖, dalam Rosihan Anwar (ed.), Mengenang Sjahrir, (Jakarta: Gramedia, 1980), h. 221-222. 90 Frederick dan Soeroto, op. cit., h. 311-312. 89 53 siswa.91 Dengan adanya proses pembelajaran, akan terjadi suatu perubahan pada diri orang yang belajar itu. Perubahan itu tampak dalam pola tingkah laku yang baru dan lebih baik. Sehingga, hasil pembelajaran itu tampak dalam perubahan pola tingkah laku atau dalam kepribadian seseorang. Adapun tujuan pembelajaran sastra yang pada pokoknya meliputi tujuan untuk memperoleh pengalaman apresiasi dan ekspresi sastra, untuk memperoleh pengetahuan tentang sastra, dan untuk memperoleh sikap yang menghargai akan nilai-nilai yang baik. Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Tujuantujuan itu diusahakan dicapai melalui berbagai kegiatan, dengan menggunakan bahan pengajaran.92 Memilih bahan ajar dalam hal ini, memilih novel yang bermutu dan biasanya lebih enak untuk dibaca dan memiliki nilai-nilai kehidupan yang luhur. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pengajaran sastra adalah cukup mudahnya karya tersebut dinikmati siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya masing-masing secara perorangan.93 Walaupun setiap individu memiliki tingkat kemampuan berpikir yang tidak sama. Namun daripada itu, guru dituntut luwes dan menggunakan strategi ajar yang tepat dalam memberikan pengajaran agar materi yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh para siswanya. Pada akhirnya, melalui pembelajaran sastra, peserta didik akan belajar lebih humanis, dalam rangka mencapai sebuah kompetensi dasar. Orientasi pembelajaran boleh saja setiap saat berubah, jika zaman menghendaki lain. Jadi, pembelajaran tidak pernah tenang dan permanen, melainkan bersifat dinamis. Dinamika pembelajaran selalu mempertimbangkan ekologi sastra. Dengan cara ini, setiap jenjang pendidikan yang membelajarkan sastra tidak lagi terjebak pada ruang diskursif.94 Dengan kata lain, pembelajaran sastra hendaknya mempertimbangkan keseimbangan pengembangan pribadi dan 91 Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia; Teori dan Penulisan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), h. 30-33. 92 Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: Gunung Larang, 1982), h. 16. 93 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet. 8, h. 66. 94 Endraswara, op. cit., h. 192-193. 54 kecerdasan peserta didik. Dengan begitu, para pengajar bisa mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, kinestetika; pengembangan kecakapan hidup; belajar sepanjang hayat; serta pendidikan kemenyeluruhan dan kemitraan. E. Penelitian yang Relevan Sejauh ini, dapat dikatakan banyak kritikus serta peneliti sastra yang mengulas novel ini. Dari padanya, banyak sekali yang memberikan pujian. Tidak sedikit pengamat asing yang merasa sangat kagum dan terkesan pada kekayaan makna yang terkandung dalam novel Burung-burung Manyar tersebut. Novel ini memang sudah dibicarakan banyak orang, baik di majalahmajalah, artikel, maupun surat kabar, termasuk penelitian kesusastraan. Tidak sedikit pula dari para pembahas novel tersebut terdapat nama-nama pengamat sastra yang cukup terkemuka. Pertama, penelitian skripsi yang berjudul ―Psikologis Tokoh Novel Burung-burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya‖ yang diteliti oleh Guslia Delvi dengan NIM 0705113115 Universitas Riau - FKIP - Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 ini menghasilkan pembahasan mengenai aspek psikologi berupa id, ego, dan superego para tokoh novel Burung-burung Manyar. Dengan merujuk kepada teori yang terkait pada permasalahan psikologi sastra. Id merupakan dunia batin/subjektif yang dibawa sejak lahir oleh individu, watak dasar setiap manusia dan berisi sifat-sifat keturunan, naluri seksual, dan agresivitas manusia. Untuk mencapai keinginan-keinginan itu dibutuhkan aspek lain sebagai penghubung antara pribadi tersebut dengan dunia objektif, yaitu ego. Ego merupakan kepribadian yang praktis dan rasional. Serta superego merupakan bagian dari konsep diri yang bekerja sesuai dengan moral dan ideal. Jadi, id, ego, dan superego merupakan aspek yang pasti ada dalam tiap-tiap individu. Kedua, penelitian skripsi yang dilakukakan oleh Eka Pratiwi Fitriana dengan NIM 0605134771, mahasiswa FKIP, Pendidikan Bahasa dan Sastra 55 Indonesia, Universitas Riau ini meneliti dengan judul ―Konsep Ikhlas dalam Roman Burung-burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya‖. Penilitian yang dilakukan pada 2010 ini menghasilkan pembahasan terkait dengan para tokoh yang dibungkus oleh konsep ikhlas. Penelitian ini dapat dikatakan sama dengan penelitian tesis yang dilakukan oleh Prapto Waluyo dengan judul ―Moralitas Y.B. Mangunwijaya Kajian Novel Burung-burung Manyar dan Durga Umayi‖ Universitas Indonesia. Akan tetapi Prapto Waluyo lebih meluaskan kepada dua karya Romo Mangun, yakni Burung-burung Manyar dan Durga Umayi. Ketiga, penelitian berupa tesis dengan judul ―Gagasan Kebangsaan dalam Novel Burung-burung Manyar Y.B. Mangunwijaya‖ yang diteliti oleh Wawan Anwar mahasiswa Universitas Indonesia. Wawan Anwar berpijak pada tiga masalah pokok, yakni 1) Bagaimanakah kedudukan dan pesan setiap tokoh dalam novel yang diteliti? 2) Bagaimanakah tokoh (khususnva tokoh utama) memandang masalah kebangsaan? 3) Bagaimanakah kaitan antara gagasan kebangsaan dalam novel yang diteliti dengan gagasan kebangsaan Sutan Sjahrir yang terdapat dalam esei-esei 8 intelektual Indonesia dan 6 esei Mangunwijaya? Berpijak pada tiga masalah itu, inti dari tesisnya bertujuan menemukan gagasan kebangsaan Indonesia dalam novel Burung-burung Manyar yang berkaitan dengan gagasan kebangsaan dalam 6 esei Mangunwijaya dan 8 esei intelektual Indonesia yang membahas pemikiran Sutan Sjahrir. Hasil pembahasannya, jika dilihat dari kacamata tokoh utama, yakni Teto dan Atik. Mereka sama-sama memperjuangkan kemerdekaan manusia baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Mereka percaya pada rasionalitas untuk menyelesaikan masalah, terutama dalam memperjuangkan kemerdekaan manusia dan mengenyahkan mental fasis Jepang dan feodal Jawa. Mereka menolak segala bentuk penindasan dan menghargai kesetaraan dengan landasan nilai kemanusiaan. Keempat, dengan judul ―Nasionalisme dan Refleksi Sejarah Indonesia Novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya‖ tesis yang ditulis oleh Mulyono (NIM: 2101506012), Progam Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang. Penelitian 56 yang dilakukan pada tahun 2008 ini, peneliti mengungkapkan bahwa Mangunwijaya yang melihat nasionalisme tidak terletak dalam keikutsertaannya dalam suatu pihak yang disebut sebagai kebenaran, tetapi lebih pada keberanian untuk memilih. Lalu, ternyata terdapat kaitan antara sastra dan realitas sosial, termasuk di dalamnya sejarah. Di satu sisi peneliti membuktikan adanya kesejajaran antara nasionalisme dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam kurun waktu tahun 1934 – 1978 yang terbagi dalam peristiwa-peristiwa selama penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, perang kemerdekaan, dan masa Orde Baru dalam novel Burung-burung Manyar dengan nasionalisme dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam kurun waktu tersebut, di sisi lain Y.B. Mangunwijaya menyajikan beberapa fakta yang berbeda. Kelima, tesis yang berjudul ―Kepribadian Setadewa dalam Novel Burung-burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya: Representasi Akulturasi Budaya di Tengah Transisi dari Zaman Kolonial ke Zaman Merdeka.‖ Yang ditulis oleh Endang Rumaningsih dengan NIM A4A002006, Program Pasca Sarjana Ilmu Susastra, Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2005 menerangkan tentang tokoh utama Setadewa yang mengalami transformasi budaya akibat pertemuan budaya Barat dan Timur. Setadewa merepresentasikan akulturasi budaya yang terwujud dalam kepribadiannya. Setadewa juga merepresentasikan pencarian jati diri budaya Indonesia yang pernah menjadi polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane. Dalam upaya pencarian jati diri tersebut, Setadewa berani mempertanyakan arti kemerdekaan, sistem sosial masyarakat, dan kebangsaan. Setadewa muncul sebagai pribadi deviant (menyimpang) dari cara pandang dan cara berperilaku masyarakatnya dalam rangka merumuskan masa depan Indonesia. Demikianlah penelitian-penelitian yang penulis jadikan acuan dari penelitian yang diangkat penulis pada pembahasan kali ini. Novel Burungburung Manyar yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas menjadikannya sebagai karya sastra yang menarik untuk dijadikan objek 57 penelitian. Sebab, nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat menjadi bahan dasar penciptaannya. Sehubungan dengan hal itu, penulis rasa penelitian yang paling tepat dilakukan terhadap karyakaryanya adalah dengan menggunakan pendekatan mimetik sastra. Hal itu dikatakan tepat karena dengan penelitian mimetik sastra semua aspek kenyataan di luar karya sastra yang terkandung dalam setiap karya sastra dapat dibedah dengan sedalam-dalamnya, tanpa meninggalkan teks sastra yang ada. Dengan begitu, berdasarkan tinjauan tersebut, maka penulis kiranya membuat penelitian dengan judul ―Gagasan Revolusi Pada Tokoh-tokoh Novel Burungburung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA‖. BAB III Y.B. MANGUNWIJAYA: BIOGRAFI, KARYA, DAN PEMIKIRANNYA A. Biografi Y.B. Mangunwijaya Nama lengkapnya adalah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan sebutan nama Romo Mangun. Dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengah, pada tanggal 6 Mei 1929, dan merupakan anak sulung dari dua belas bersaudara. Romo Mangun bertumbuh besar dalam sebuah keluarga Jawa Katolik. Dikenal sebagai arsitek, rohaniawan, budayawan, dan sastrawan. Dia lahir dari pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah.1 Romo Mangun termasuk sastrawan generasi Angkatan pasca-66. Novel pertamanya, Burung-Burung Manyar, ternyata sekaligus menjadi novel penting dalam peta kesusastraan Indonesia. Berkat novel itu, Romo Mangun memperoleh Hadiah Sastra ASEAN (1983)2. Wajar jika kemudian novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Belanda, Inggris, bahkan Jerman. Perjalanan pendidikannya dimulai pada tahun 1936, Romo Mangun masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS) Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang. Setelah tamat di tahun 1943, lalu meneruskan ke STM Jetis, Yogyakarta, di mana dia mulai tertarik pada sejarah dunia dan filsafat. Sebelum sekolah tersebut dibubarkan setahun kemudian, dia aktif mengikuti kinrohosi yang diadakan tentara Jepang di lapangan Balapan, Yogyakarta. Pada tahun 1945, Romo Mangun bergabung sebagai prajurit TKR Batalyon X divisi III dan bertugas di asrama militer di Vrederburg, lalu di asrama militer di Kotabaru, Yogyakarta. Dia sempat ikut dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Setahun kemudian, dia kembali melanjutkan sekolahnya di STM Jetis dan bergabung menjadi prajurit Tentara Pelajar. Setelah lulus pada 1947, pada saat itu pula Agresi Militer Belanda I melanda 1 Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan; Esai-esai Sastra dan Budaya, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), h. 190. 2 Yudiono K.S. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2007), h. 256. Pada tahun 1983 novel ini memperoleh Hadiah Sastra ASEAN, tahun 1987 diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, dan tahun 1991 diterbitkan dalam bahasa Inggris, jelas semuanya mengisyaratkan pentingnya Burung-burung Manyar dalam sejarah sastra Indonesia. 58 59 Indonesia sehingga Romo Mangun kembali bergabung dalam Tentara Pelajar (TP) Brigade XVII sebagai komandan TP Kompi Kedu. Kemudian pada tahun 1951, Romo Mangun lulus dari SMU-B Santo Albertus, Malang, Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta, dan pada tahun 1952 Pindah ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Metroyudan, Magelang. Kemudian, melanjutkan ke Seminari Tinggi, yakni sekolah di Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di Kotabaru, tahun 1953. Pada tahun 1959, melanjutkan pendidikan di Teknik Arsitektur ITB. Tahun 1960, melanjutkan pendidikan arsitektur di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman. Hingga pada tahun 1966, lulus pendidikan arsitektur dan kembali ke Indonesia. Lalu, pada tahun 1978 atas dorongan Dr. Soedjatmoko, Romo Mangun mengikuti kuliah singkat tentang masalah kemanusiaan sebagai Fellow Aspen Institute for Humanistic Studies, Colorado, AS.3 Begitu banyak tulisan yang sudah keluar dari sastrawan yang satu ini, baik buku yang berbau kesusastraan, kebudayaan, maupun yang bernada arsitektur. Berikut merupakan tulisan buah tangan Romo Mangun dalam bentuk novel, yaitu Burung-burung Manyar (1981), Romo Rahadi (1981), Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Balada Becak (1985), Durga Umayi (1985), Burung-burung Rantau (1992), Balada Dara-dara Mendut (1993), Pohon-pohon Sesawi (1999), Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri dimuat 1982-1987 di harian Kompas, dibukukan 2008.4 Novel pertamanya, Burung-burung Manyar5 menjadi novel penting dalam peta kesusastraan Indonesia. Dalam kepengarangannya ia dapat dibilang melakukan pembaharuan dalam ranah novel. Perubahan bentuk penceritaan yang berganti-ganti dari pencerita „akuan‟ ke pencerita „diaan‟. Tidak heran jika pada tahun 1983, novel ini memperoleh penghargaan sebagai 3 Iip D. Yahya, Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 15-1 4 Pamusuk Eneste, Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern, (Jakarta: Djambatan, 1988), h. 6. 178. Anonim, “Y.B. Mangunwijaya Bicara tentang „Burung-burung Manyar‟nya”, Kompas, Jakarta, 22 Juli, 1981, h. 1. Burung-burung Manyar seharusnya sebagai novel kedua. Tetapi karena novel pertamanya malahan terhenti lama sekali di sebuah penerbitan, buku tersebut akhirnya menjadi novel pertama yang dimasyarakatkan. 5 60 pemenang Hadiah Sastra ASEAN (South East Asia Write Award). Tahun 1987, Burung-burung Manyar diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dengan judul Arasi no Naka no Manyar (oleh Imura Bunka-Jigyosyo) dan ke dalam bahasa Belanda berjudul Het Boek van Wevervoged (oleh penerbit Meullenhoff, Amsterdam). Atas kerja sama Institut Australia-Indonesia, pada awal Maret 1991, terbit dalam edisi bahasa Inggris dengan judul Weavebirds hasil terjemahan Thomas Hunter.6 Dalam bidang arsitektur, ia juga kerap dijuluki sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya adalah Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur, yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta. Ia juga menerima The Ruth and Ralph Erskine Fellowship pada tahun 1995, sebagai bukti dari dedikasinya terhadap wong cilik. Hasil jerih payahnya untuk mengubah perumahan miskin di sepanjang tepi Kali Code mengangkatnya sebagai salah satu arsitek terbaik di Indonesia. Serta penghargaan arsitektur dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk tempat peziarahan Sendangsono, dan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996. Selain itu, penghargaan yang telah diterimannya yakni: penghargaan Kincir Emas untuk penulisan cerpen dari Radio Nederland. Serta satu tulisan yang memenangkan Hadiah Sastra 1982, Dewan Kesenian Jakarta untuk jenis Esei dan Kritik Sastra, yakni Sastra dan Religiositas. Kemudian pada tahun 1994, ia mendirikan laboratorium DED (Dinamika Edukasi Dasar). Model pendidikan DED ini diterapkan di SD Kanisius Mangunan, di Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Hal ini dikarenakan begitu pedulinya Romo Mangun dalam dunia pendidikan. Selain itu, ini merupakan bentuk kekecewaan Romo Mangun terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Sebelumnya, Romo Mangun juga membangun gagasan SD yang eksploratif pada penduduk korban proyek pembangunan 6 Maman S. Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 307. 61 waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta.7 Romo Mangun meninggal pada usia 69 tahun, hari Rabu siang, pada tanggal 10 Februari 1999, di hotel Le Meridien Jakarta. Dia meninggal sesaat setelah menjadi pembicara pada simposium yang diselenggarakan oleh Yayasan Obor Indonesia. Saat itu acara selesai pukul 13.30. Ketika Romo Mangun masih berbicara dengan temannya, tiba-tiba saja dia lemas dan napasnya terdengar kencang. Kemudian panitia membawanya ke medical center hotel Le Meridien. Selang waktu kurang dari dua puluh menit, dokter menyatakan bahwa Romo Mangun telah meninggal dunia pukul 13.55.8 Walaupun Romo Mangun sudah pergi ke suatu tempat dan tidak seorang pun yang dapat memanggilnya kembali. Namun segala bentuk ide, gagasan, serta pemikirannya yang jujur, kritis, dan menjangkau ke depan dapat diyakini akan terus hidup menembus zaman sebagai bahan renungan, inspirasi, hingga mendorong perubahan di tingkat praksis kehidupan sosial, seni, budaya, hukum, serta politik di negeri ini. B. Perbandingan Burung-burung Manyar dengan Novel Lain Berbicara mengenai novel-novel Romo Mangun, pembaca akan menemukan persoalan-persoalan tentang nasionalisme dan pascanasionalisme yang hampir selalu diwujudkan dalam roman-romannya. Kesemua itu pengarang tuliskan dengan menggunakan kerangka dan simbolisme pewayangan Jawa sebagai acuan penulisannya. Selain itu, isu biner yang selalu menjadi ciri khasnya ikut menambah kompleksnya jalannya penceritaan novel. Hampir dalam setiap romannya, Mangun mencitrakan Indonesia abad dua puluhan. Seperti halnya dalam novel Burung-burung Manyar, Durga Umayi, dan Burung-burung Rantau. Walaupun tiga roman berbeda pencitraannya, namun lewat tokoh-tokoh utama dalam masing-masing roman, 7 Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Biografi Y.B. Mangunwijaya, halaman ini terakhir diubah pada 31 Januari 2015, pukul 18.04, (http://www.id.wikipedia.org). 8 Kleden, op. cit., h. 189. 62 pembaca dihidangi beberapa alat untuk menginterpretasikan masa lalu Indonesia dan mempertimbangkan masa depannya. Novel Durga Umayi (1991) dibaca sebagai pembelaan kepada orangorang yang dipandang menjadi korban proses pembodohan, ketika berpikir rasional sudah mati. Dalam pewayangan, Durga digambarkan sebagai seorang perempuan penguasa gelap dan tinggal di Setra Ganda Mayit alias hutan Krendhawahana. Secara keseluruhan novel Durga Umayi sebenarnya bersikap mempertanyakan ideologi nasionalisme yang mempersatukan wilayah nusantara sebagai satu kesatuan. Biner juga memainkan peran yang cukup penting dalam Durga Umayi. Burung-burung Rantau (1992) dimaksudkan untuk melukiskan masyarakat Indonesia pascanasional, suatu masyarakat yang memiliki pemikiran global, bukan pemikiran sempit. Seolah-olah orang pasca-Indonesia yang idealistis digambarkan sebagai orang Indonesia yang memiliki pandangan hidup kebarat-baratan. Dengan kata lain, novel ini melukiskan gagasan “pascanasionalisme” atau setara dengan “modern”. Sedangkan Burung-burung Manyar (1981), pandangan Romo Mangun dalam Burung-burung Manyar yang dapat digarisbawahi adalah tentang pentingnya revolusi Indonesia. Dalam novel itu Mangun ikut memikirkan nasib orang-orang kecil. Dalam Burung-burung Manyar, keprihatinannya mengenai wujud negara dilambangkan dengan “pembangunan sarang burung manyar” demi meletakan generasi masa depan telur-telur manyar itu. Pembangunan “sarang burung” ini amat ditentukan oleh kualitas manusia-manusia matang yang mampu mencapai dan mampu hidup atas dasar jati dirinya. Dengan maksud membuat “sarang burung manyar baru” ini diartikan sebagai keberanian membongkar mentalitas lama demi terjaminya citra diri. Dengan kata lain, ini merupakan bagian dari pemikiran revolusi yang ingin diperlihatkan oleh Romo Mangun di dalam novel. “Saya hanya ingin mengajak pembaca berpikir secara common sense saja terhadap revolusi itu. Wong saya ya ikut ambil bagian angkat senjata di 63 Palagan, Ambarawa. Saya menolak meromantisir revolusi itu. Rakyat biasa juga berjuang lho. Ha. Ha. Ha...”9 Seperti apa yang telah dikatakan pada pendahuluan bab ini, bahwa Romo Mangun membuat novel Burung-burung Manyar, tidak lain menurutnya hanya ingin meluruskan sejarah. Walaupun tidak dapat ditampik kebenaran sejarah itu seperti apa bentuknya. Akan tetapi, bermodalkan semangat dan kegigihan dengan dilandasi kejujuran dalam kacamatanya. Romo Mangun mampu menghasilkan suatu pemikiran yang “lain dari biasanya”. Romo Mangun memaparkan pengakuan dalam alasannya membuat novel Burung-burung Manyar: ”Banyak para elite/orang gede kita itu yang dulunya ikut Belanda. Plinplan! Waktu Belanda jaya, jadi inlander hiep-hiep-hoera; Dai Nippon “Banzai!” jadi penjilat lihai; RI menang, berpekik “Merdeka!”, NICA maju, “Goed-goed nouja”, PKI muncul “Hidup Nasakom!”, Orde Baru, “Awas PKI” dst.”10 Dengan kata lain, novelnya itu ia tuliskan untuk menggambarkan suasana cerita yang resmi oleh masyarakat di lingkungannya dianggap sebagai pengkhianat atau lebih tepatnya bermuka dua. Suatu novel berlatar belakang sejarah, diawali pada masa penjajahan Belanda, berlanjut ke masa pendudukan Jepang sampai berakhir pada situasi pacsa Indonesia merdeka dan mulai menjadi negara berkembang. “Burung-burung Manyar semula saya maksud hanya sebagai sebentuk novel untuk “mengabadikan” kota keluarga saya, Magelang, dengan latar belakang perang kemerdekaan, khususnya medan laga MagelangAmbarawa, kota kelahiran saya. Sebagian itu terdorong juga oleh kejengkelan saya mengenai pemalsuan-pemalsuan dan pemitosan peristiwa-peristiwa sejarah yang tidak sehat. Sekaligus saya ingin menghimbau kawan-kawan sebangsa untuk merenungkan kembali pertanyaan dasar kehidupan; dan khususnya bertanya kembali maksud esensi Revolusi 1945 itu.”11 9 Anonim, loc. cit. Ibid. 11 Eneste, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 129. 10 64 Seperti pada novel-novelnya yang lain, Burung-burung Manyar juga dikatakan setia pada prinsip Jawa, karena Romo Mangun memasukkan “tanda pengenal”, mulai dari latar yang diambilnya, kebiasaan-kebiasaan adat-adat Jawa, sampai kepada para nama-nama tokohnya (bahwa nama tokoh bukan sekadar tanda pengenal, tetapi mengandung makna). Dengan begitu, tidaklah naif jika, dikatakan Burung-burung Manyar merupakan novel yang berwarna lokal Jawa (dunia dan napas suasana wayang). Diakuinya juga pengaruh Multatuli cukup besar pada novelnya Burung-burung Manyar. Menurut dia, di dalam karya yang dibuatnya dipergelarkan tema-tema kehidupan yang lebih dalam, sampai pada taraf filsafat.12 Hingga tulisan buku tentang ilmu hewan, Dierenleven in Indonesia (Kehidupan hewan di Indonesia) karangan Dr. H.C. Delsman. Adapun demikian, novel ini tergolong jenis novel serius. Ini menunjukkan karya itu memang berbobot, lantaran suatu cipta bisa berhasil, jika isi dari karya itu nuansa yang hidup sehingga mampu menciptakan nuansa yang hidup pula. “Saya yakin, generasi muda sekarang sudah mulai haus terhadap novelnovel serius. Mengapa? Karena sudah terlalu lama dijejali dengan berbagai ragam novel pop. Walaupun, novel pop mungkin tidak buruk. Meskipun kebanyakan hanya menimbulkan impian yang tidak tegas. Tetapi bagai ganja, jenis macam itu bisa mencandui pembacanya, sehingga melupakan kenyataan hidup yang sesungguhnya terjadi di masyarakat mereka.”13 Maka, tidak berlebihan jika para kritikus sastra Indonesia menempatkan novel Burung-burung Manyar sebagai salah satu karya penting yang ikut menonggaki perjalanan sejarah kesusastraan di Indonesia. Dengan melihat beberapa perbandingan novel karya Romo Mangun di atas, hampir dalam setiap novelnya Romo Mangun mengemukakan beberapa kemungkinan untuk penciptaan identitas Indonesia. Seperti dalam Burungburung Manyar menggambarkan peran "pembelot" dalam proses nationbuilding, sambil mengisyaratkan isu-isu dengan ciri khasnya yang mengangkat MP-Ata, “Romo Mangun mengungkapkan: „Burung-burung Manyar‟nya banyak dipengaruhi Multatuli”, Minggu Pagi, Yogyakarta, 21 Oktober, 1984, h. 6. 13 Anonim, loc. cit. 12 65 unsur-unsur dari masa lalu yang feodal dan menghalangi pembentukan negeri yang modern. Seperti halnya dalam Durga Umayi, dibalik plesetan, kejenakaan, dan unsur realisme, menimbulkan ide women as nation. Bahkan dalam Burung-burung Rantau mentransformasikan pandangan Mangun mengenai 'pascanasionalisme‟ menjadi cerita tentang citra diri sebuah keluarga pascanasional. Dari beberapa novelnya, baik Burung-burung Manyar maupun Durga Umayi merupakan semacam dekonstruksi sejarah Indonesia. Seperti sudah dijelaskan, Burung-burung Manyar memperlihatkan pandangan Revolusi dari "pihak lain", dari sudut seorang yang dianggap pengkhianat, sementara Durga Umayi memakai beberapa teknik postmodern. Sedangkan dalam Burungburung Rantau yang diusahakan adalah dekonstruksi yang sedikit berbeda. Dekonstruksi dalam roman ini adalah citra nasional dalam bagian terakhir abad keduapuluh ini. Diakui bahwa "pasca-Indonesia" berarti tetap beridentitas Indonesia, tetapi meningkat dalam segala hal, seperti cara berpikir dan bersikap. C. Pemikiran Y.B. Mangunwijaya 1. Budaya Moral Dalam khasanah kesusastraan Indonesia Romo Mangun dikenal sebagai seorang penulis novel dan esai yang terbilang produktif. Sampai dengan akhir hidupnya ia telah melahirkan puluhan novel dan esai. Dari tulisan-tulisan tersebut Romo Mangun selalu memberikan tawaran pemikiran baru dan berbagai gagasan yang menarik tentang kehidupan dalam setiap karya yang dihasilkannya. Ide-ide pemikiran Romo Mangun membawa pencerahan pada umat manusia di jaman sekarang ini. Memang tidak dapat kita pungkiri tulisan yang dihasilkan Romo Mangun baik yang berupa novel ataupun esai-esainya selalu berpihak pada yang lemah. Hal itu merupakan bentuk usaha pencerahan yang dimaksudkan untuk mengajak melakukan dan mendorong perbaikan derajat kemanusiaan melalui wawasan ide-ide tulisannya. 66 Dengan latar belakang kebudayaan Jawanya yang mantap, Romo Mangun selalu tampil sebagai pribadi santun yang sekaligus menyimpan sejumlah besar bakat humor dan ironi yang selalu menghangatkan tiap pertemuan dan membuat hidup tulisan-tulisannya yang amat banyak. Romo Mangun juga sanggup menjaga keseimbangan jiwa dan perasaan, atau mental equanimity yang menjadi ideal pendidikan dalam kebudayaan ini, tanpa takut menghadapi perbedaan pendapat dan pertentangan kepentingan dan bahkan santai saja menghadapi konflik dengan kekuasaan.14 Dari situ dapat kita lihat semangat egaliter Romo Mangun cukup meyakinkan. Melalui proses berpikirnya itu, Romo Mangun menyuarakan protes dan berbuat nyata untuk meniadakan ketidaksetaraan kehidupan materiil, spiritual, dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik dengan menunjukkan jalan kepada rakyat yang terpinggirkan oleh ketidakadilan ekonomi dan tekanan kekuasaan. Hidup sebagai seorang rohaniwan Katolik, Romo Mangun melihat dirinya pertama-tama sebagai seorang agamawan. Tetapi tema hidup keagamaannya adalah pengembangan iman dan religiositas, dan bukan mengerasnya lembaga kompartementalisasi. 15 agama Maka tidak yang dapat heran, Romo mengakibatkan Mangun selalu menyuarakan istilah religiositas. Kata religiositas yang dimaksud adalah bukan dalam arti ketaatan ritual keagamaan, akan tetapi lebih ke pada penuntunan manusia ke arah segala makna yang baik. Lebih tepatnya, religiositas yang dimaksudkan Romo Mangun adalah segala sesuatu yang tercipta dari hati nurani serius “dalam lubuk hati”. Bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya lebih intim, dalam arti serba prihatin terhadap sesama. Religiositas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis atau konseptualisasi.16 Selebihnya ia seorang rohaniwan yang memberontak 14 Kleden, loc. cit. Ibid. 16 Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet. 3, h. 1115 17. 67 kemapanan dunia rohani yang kedengaran elitis. Dari situ pula orang segera memperoleh kejelasan bahwa dia bukanlah seorang yang betah hidup tenang dalam agamanya, akan tapi selalu mengembara dalam suatu pencarian bersama akan kebenaran, pembelaan bersama akan keadilan, perlawanan bersama akan penindasan, dan realisasi bersama akan kebaikan. Ini salah satu kunci spiritualitas Romo Mangun, dengan menggunakan istilah lain dia menyebutkan bahwa, melayani kaum duafa, baginya, adalah melayani Tuhan. Bergulat dalam bidang arsitektur, dengan ideologi kerakyatan yang nyata, Romo Mangun ternyata tidak hanya terlatih untuk merencanakan dan membangun rumah dan gedung, tetapi juga mahir mendesain pendidikan, merencanakan kebudayaan, dan turut aktif membangun suatu masyarakat baru. Dia bukan saja menguasai ilmu tentang ruangan fisik, tetapi menunjukkan kepekaan yang tinggi dan intuisi yang tajam tentang ruang sosial dan bahkan ruang politik. Menurut Romo Mangun, pengertian politik ada dua macam. Pertama, politik dalam rangka kekuasaan, yaitu bagi yang berkuasa untuk mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan. Pandangan masyarakat umum mengira bahwa arti “politik” satu-satunya adalah kekuasaan, sehingga muncul istilah di kalangan masyarakat bahwa “politik itu kotor”. Masyarakat lantas menerima begitu saja arti politik semacam itu, politik dalam arti kekuasaan. Padahal, arti politik yang asli-otentik dan bukan bernuansa kekuasaan adalah pengertian politik yang kedua: politik moral yaitu ikhtiar atau niat demi kepentingan dan kesejahteraan orang banyak.17 Pandangan politiknya jelas berpedoman pada hati nurani yang bersih. Dalam pada itu, politik diartikan upaya menyumbang pada kepentingan masyarakat luas, yakni keadilan sosial. Mereka harus berpolitik dalam artian moral, dalam rangka menyejahterakan rakyat manusia secara adil dan beradab. 17 Th. Bambang Murtianto (ed.), Kata-kata Terakhir Romo Mangun, (Jakarta: Kompas, 2014), h. 5-6. 68 Selain dari pada itu, kecerdasan adalah suatu hal yang selalu diperjuangkan Romo Mangun dalam cita-cita dan usaha pendidikannya. Sebab, dengan keyakinan teguh, dia sudah lama berpendapat bahwa banyak kebodohan tidak selalu dibawa semenjak lahir, tetapi seringkali diciptakan setelah orang dilahirkan ke dunia, dan dilestarikan setelah orang menjadi dewasa di tengah-tengah masyarakat. Menurutnya, pendidikan berfungsi, antara lain, mengurangi dan menyingkirkan halangan-halangan yang ada dalam masyarakat, sehingga setiap orang dengan inteligensi sederhana saja dapat mencapai suatu tingkat kecerdasan yang mencukupi untuk mengurus dirinya sendiri dan bertanggung jawab sendiri atas apa pun yang dilakukannya.18 Padahal pendidikan (sekolah) bukanlah menjadi alat untuk melestarikan perbedaan kelas sosial, tetapi sarana untuk memperkecil perbedaan tersebut, dengan kecerdasan sebagai hasil usaha pembebasan. Perbedaan kelas tidak mungkin dihilangkan, tetapi dapat dihadapi dengan wajar tanpa sikap diskriminasi kelas. Minat dan pengetahuannya yang mendalam tentang ilmu pengetahuan justru tidak membuatnya menjadi Fachidiot19 yang fanatik dengan disiplinnya, tetapi memberinya pemahaman yang sensitif tentang batasbatas kompetensi ilmu dan relatifnya manfaat teknologi dalam kehidupan masyarakat.20 Ilmu pengetahuan (Iptek) adalah sebuah fenomena sumber action yang sangat penting untuk mendidik generasi baru agar memperoleh suatu keterampilan dan mental berpikir analitis (demi hasil-hasil sintetis yang berguna). Akan tetapi yang menjadi permasalahan, Iptek -dalam segi apapun jua- mestinya harus dilihat secara holistik. Bahwa pada praktiknya, konkret faktual, Iptek tidaklah netral, akan tetapi lebih mengabdi kepada para penguasa ekonomi, politik, sosial, dan kultural yang sudah lama digembar-gemborkan oleh para filsuf utilitarian dan pragmatis, serta para pemuja liberal sains dan teknologi. Menurutnya Iptek adalah sebuah bidang 18 Kleden, op. cit., h. 192. Sebuah term yang biasa digunakan oleh orang Jerman untuk melukiskan patologi ilmuwan modern. 20 Ibid., h. 191. 19 69 yang juga mempunyai batas-batas secara etis, karena jika tidak maka dia berubah menjadi sebuah kemampuan yang bisa menciptakan apa saja, dan dapat menghancurkan apa saja. Iptek perlu diberi juga rambu-rambu nilainilai.21 Maka dari pada itu, di sana Romo Mangun melihat (dan membela dengan gigih) kaitan erat dan tidak terpisahkan antara Iptek dan humaniora. Sebab bagaimanapun, Iptek harus mengabdi kepada kemanusiaan, bukan kemanusiaan dikorbankan hanya untuk Iptek. 2. Ekspresi Kebebasan Romo Mangun juga bergulat di bidang sastra, dengan semangat kaum realis yang gigih menampilkan sejarah untuk kita resapi pesan-pesan penting yang dikandungnya. Pesan penting itu bisa sebuah kegetiran, dan paradoks kehidupan, yang melawan kodrat alam. Dalam arti itulah barangkali kegiatan dan keterlibatannya yang intesif dalam bersastra dapat dipahami, karena dalam sastra khususnya dan kesenian pada umumnya, selalu dituntut bukan hanya kebebasan tetapi juga keberanian untuk mengeksplorasi kemungkinan imajinasi untuk menerobos batas-batas yang biasanya sudah diterima begitu saja dalam berbagai budaya maupun konvensi ilmu pengetahuan. Tradisi sastra menjadi acuan yang sungguhsungguh digelutinya. Romo Mangun telah menjatuhkan pilihan menggunakan novel sebagai sarana perwujudan untuk menyatakan perhatiannya terhadap sejarah. Bagi Romo Mangun sejarah bukanlah rentetan tanggal-tanggal peristiwa yang menjadi tonggak-tonggak sejarah. Sejarah juga bukan penuturan atas kejadian-kejadian yang dianggap sebagai peristiwa bersejarah. Keluar dari pilihan-pilihan tersebut, Romo Mangun menyajikan bagaimana sejarah itu merupakan pergulatan untuk sampai pada pilihan-pilihan moral dari para pelakunya. Hal ini menjadi jelas bagaimana Romo Mangun menyajikan hal tersebut dalam novelnya Burung-burung Manyar. Setadewa dan Larasati merupakan wakil-wakil dari pelaku-pelaku 21 125-166. Y.B. Mangunwijaya, Pacsa-Indonesia Pasca-Einstein, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 70 sejarah yang bergulat dengan pilihan moralnya dalam keterlibatan mereka di dalam sejarah. Sebagai sebuah proses pergulatan pilihan moral, kisah tersebut tidak berhenti dalam sebuah pemisahan garis tegas hitam-putih begitu saja.22 Novel-novelnya merupakan cerminan usaha pergulatan batinnya. Persoalan-persoalan moral situasional ditampilkan secara rumit. Dalam yang jahat ada secercah yang baik. Dalam yang baik dari segi tertentu belum tentu baik dari segi lain. Banyak kita jumpai di dalamnya monolog-monolog baik menggunakan orang pertama maupun orang ketiga yang dapat menginkarnasikan pesan dan pergulatan pribadi pengarang. Perhatian sejarah Romo Mangun terfokus pada dimensi relasi kekuasaan yang tidak imbang antara para peguasa dan rakyat. Ia peka mengamati pertarungan pihak yang menindas dan pihak yang tertindas dalam sejarah. Sikap moralnya menjelaskan pada kita, sejarah merupakan medan pergulatan untuk merebut panggung politik dan memenangkan kepentingan-kepentingan yang selalu hadir, dan abadi. Tanpa keragu-raguan Romo Mangun berani menyuarakan persoalan-persoalan penting mendasar yang menyangkut nasib rakyat kecil, yang orang lain tidak berani melakukannya. Ia sanggup mengartikulasikan ide-ide secara komunikatif dan melihat permasalahan dalam dimensi masa lampau, kini, dan mendatang serta mempertanyakan dan mengungkap persoalan secara mendasar. Di sinilah Romo Mangun memainkan peran politiknya sebagai intelektual yang tetap menjadi bagian dari massa rakyat dan hidup bersama dengan mereka. Melihat segi hidupnya yang ini, penulis kira orang tidak ragu menyebutnya seorang intelektuil humanis. Romo Mangun tampil sebagai intelektuil yang penuh komitmen kemanusiaan. Dalam setiap karyanya ia selalu meninggalkan jejak humanisme. Romo Mangun adalah seorang tokoh dari segelintir tokoh di negeri ini yang punya andil besar dalam memperjuangkan iklim demokrasi, penegakan keadilan, dan pembelaan martabat manusia. Keberanian Romo Mangun G. Budi Subanar, “Jejak-jejak Humanisme dalam Karya Sastra Y.B. Mangunwijaya”, Kuwera, Vol. 14, 2012, h. 5-7. 22 71 untuk menyuarakan dan berpihak pada nasib rakyat jelata yang lemah berhadapan dengan penguasa yang cenderung represif pada masa rezim Orde Baru, telah menunjukkan perannya sebagai seorang intelektual dan pejuang kemanusiaan yang tegar pantang menyerah.23 Dalam bukunya Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa, lebih tajam lagi Romo Mangun dalam melantangkan suara rakyat yang ”dipermiskinkan tiada hentinya” oleh penguasa dan yang secara struktural menjalani hidup dalam sistem yang korup. Dalam pada itu, ini merupakan keyakinan bahwa golongan yang dipermiskinkan ini harus didukung maju supaya berdaya.24 Upaya Romo Mangun tidak hanya berupa khotbah dari atas bukit, atau di dalam gedung yang bergaung, tetapi langsung di tengah-tengah rakyat yang dikerumuni kemalangan dan ketertindasan, apakah di sekitar Sungai Code atau Kedungombo. Apa yang diungkapkan Romo Mangun bukanlah pernyataan sekadar mengamini rumusan dogmatis, tapi sebuah usaha pencarian kebenaran yang tanpa lelah. Usaha-usahanya itu semua diangkat dalam tulisan esai atau novelnya yang membela kaum lemah. Romo Mangun merupakan seorang intelektuil Indonesia yang mampu menjelajah kehidupan yang luas, dan beragam, dengan renungan yang sungguh-sungguh, dengan komitmen yang juga sungguh-sungguh untuk mengubah segalanya lebih baik. Di sini penulis tegaskan bahwa Romo Mangun bukanlah seorang yang sempurna. Pemikirannya memang amat subur, tetapi dia bukanlah pemikir sistematis yang mengajukan teori. Pemikirannya adalah respons spontan kepada keadaan, tanpa memberikan suatu kerangka besar yang dapat dipegang secara konseptual. Sebagai seorang aktivis, komitmennya kepada suatu cita-cita lebih jelas daripada teori yang melandasinya. Dalam arti itu, kesempurnaan bukanlah ideal seorang Romo Mangun, tetapi percobaan dan usaha yang terus-menerus, suatu determinasi tanpa pretensi, untuk memikirkan suatu kemungkinan 23 Y.B. Mangunwijaya, Merintis RI yang Manusiawi Republik yang Adil dan Beradab, (Jakarta: Erlangga, 1999), h. 134-138. 24 Y.B. Mangunwijaya, Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 132. 72 yang lebih baik, dan mencobakannya dalam praktik. Dari itulah dia tidak pernah takut untuk mengajukan gagasan yang kedengarannya kontroversial, seperti misalnya, gagasan negara federasi. Gagasan itu sebaiknya diterima sebagai sebuah praksis, sebuah pemikiran yang diajukan supaya kita bekerja sama secara konseptual dan politis untuk merumuskan kembali pengertian tentang kesatuan dan persatuan. Pada akhirnya penulis teringat apa yang dikatakan oleh Romo Mangun lewat tulisannya yang berbunyi: “Yang mempersatukan bangsa dan masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang tertinggi dan terdalam adalah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dilengkapi horizontal oleh sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bila sikap dasar vertikal dan horizontal itu dipahami, dihayati, dan diamalkan konsekuen konsisten, maka buahnya ialah budaya persahabatan, persaudaraan, saling menghargai, saling menolong, saling memekarkan”.25 25 Mangunwijaya, Pasca-Indonesia ..., op. cit., h. 333. BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. Analisis Unsur Intrinsik Novel Burung-burung Manyar Pada dasarnya dapat diketahui bahwa novel dibangun dari sejumlah unsur, setiap unsur akan saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan saling menentukan. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis unsur intrinsik dalam sebuah penelitian sastra terhadap sebuah novel sangat diperlukan guna mengetahui keterkaitan antarunsur yang membangun novel tersebut. Dengan menganalisis (memahami) lebih dalam unsur intrinsik suatu novel, maka nantinya akan lebih mengetahui seluk-beluk isi atau segi-segi yang membangun novel. Walaupun penelitian ini berfokus pada kajian terhadap pendekatan mimetik yang menganalisis konsep revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka, namun penelitian ini tidak dapat melupakan bangunan dalam dari karya itu sendiri. Sebagaimana pendekatan mimetik yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra. Maka dari itu, pemahaman yang lebih mengenai unsur intrinsik dirasa sangat diperlukan. Dengan melakukan analisis segi-segi unsur intrinsik, niscaya akan lebih memahami bagaimana unsur-unsur pembangun yang terdapat dalam novel ini saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Dengan demikian, maka akan mendapatkan pemahaman lebih mengenai bangunan dari novel ini secara lebih mendalam. 1. Tema Secara garis besar novel Burung-burung Manyar berbicara mengenai sejarah, sehingga sangat tepat apabila dikatakan novel ini bertema besar tentang kebangsaan hingga nasionalisme, karena memuat suatu perjalanan refleksi sejarah di Indonesia yang penuh nuansa serta daya gugat ditambah peneguh-peneguh pengarangnya sendiri. Oleh karena itu, setelah menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkan 73 74 dengan tujuan penciptaan pengarangnya, penulis menarik gagasan pokok yang melandasi penceritaan novel ini secara keseluruhan mengangkat nasionalisme yang lebih menitikberatkan persoalan pada sisi manusianya. Seperti yang diketahui pada umumnya, pemahaman nasionalisme di Indonesia murni merupakan bentuk buah perlawanan terhadap segala bentuk kolonialisme. Adapun pandangan Romo Mangun mengenai nasionalisme sebenarnya agak berbeda dari yang selama ini dipahami oleh kebanyakan orang. Perbedaan itu dapat dilihat melalui tokoh Setadewa, yang memandang nasionalisme bukan dalam bentuk keikutsertaan dalam suatu pihak tertentu, akan tetapi lebih kepada keberanian untuk memilih. Maka dari itu pula Setadewa memilih Belanda, meski pada akhirnya pilihannya itu dianggap sebagai salah sasaran, namun di balik itu Setadewa tetap menunjukkan sikap sebagai seorang pribadi yang merdeka. “Segala omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah mahkota Belanda? Merdeka mana, merdeka di bawah singgasana raja-raja Jawa mereka sendiri daripada di bawah Hindia Belanda?”1 Pada kutipan di atas pengarang ingin menjelaskan bahwa manusia itu sendiri nilainya lebih tinggi dari sekedar slogan kemerdekaan dan batasbatas sempit mengenai nasionalisme. Bagi Setadewa Republik atau Belanda hanya merupakan sarana dan tidak memiliki arti jika manusianya tetap mengalami ketertindasan. “Maka kupikir, tanah air adalah di mana tidak ada kekejaman antara orang dengan orang. Kalau adat atau kebiasaan suatu nasion kejam, kukira lebih baik jangan punya tanah air saja.”2 Maka sikap dari pemahamannya itu membuat Setadewa berada dalam posisi tidak ingin memihak kepada suatu nasion tertentu. “Anda berwarga negara apa, Mr. Seta?” ”Multinational,” dan tamunya tersenyumlah. ”Mau apa lagi. Sebab saya memang bekerja untuk kongsi yang begitu.”3 1 Y.B. Mangunwijaya, Burung-burung Manyar, (Jakarta: Djambatan, 2007), cet. 15, h. 58. Ibid., h. 160. 3 Ibid., h. 204. 2 75 Sikap Setadewa di atas memberitahu akan arti nasionalisme yang berlandaskan kepada manusia yang merdeka. Kemerdekaan sejatinya ialah memiliki sifat dan sikap jatidiri bangsa yang kuat, bukan bangsa yang bermental lemah. “Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang seperti buah durian yang jatuh karena sudah matang.”4 Melalui kutipan di atas, pengarang berpandangan bahwa kepribadian sangatlah penting dimiliki oleh bangsa Indonesia. Tujuannya agar bangsa Indonesia dapat menjadi manusia yang bebas merdeka. Merdeka bukan berarti bebas sesuka sinyo atau noni, tetapi ke arah pencapaian derajat budaya hidup yang semakin saling memanusiakan. Dengan mematangkan kepribadian bangsalah hakikat kemerdekaan niscaya akan tercapai. Walaupun Setadewa memilih sikap berpihak kepada Belanda dengan dalih kebencian kepada Jepang yang tidak manusiawi karena telah menjadikan maminya seorang gundik dan kepada Republik yang membongkok-bongkok kepada Jepang. Namun, di sisi lain Setadewa teguh untuk selalu memihak kemanusiaan di atas segala-galanya. Sikapnya yang selalu memihak dengan berlandaskan kemanusiaan itu pada akhirnya membuahkan “kesadaran” mengenai tanah air. Baginya tanah air adalah di mana manusia menebarkan gagasan persatuan dan kesatuan bagi seluruh manusia. “Tanah air adalah di mana ada kasih sayang dan saling tolongmenolong.”5 Kesadaran itu juga dibangun melalui konflik batin yang dialami Setadewa. “Aku masuk KNIL dulu tidak untuk mencari gaji soldadu. Juga bukan demi petualangan tentara sewaan belaka. Aku memerangi kalian sebagai pembalas dendam ibuku, yang mengandungku dan yang dirusak kandungannya oleh Jepang. Memang kesalahanku ada pada identifikasi Jepang dengan Republik Indonesia. Tetapi maaf, terus terang kukatakan, bukankah banyak dari pimpinan kalian bukan hanya 4 5 Ibid., h. 89. Ibid., h. 159. 76 murid, tetapi penerus konsekuen mental Jepang itu? Selama aku jadi menejer perusahaan sesudah perang, aku baru mengenal segi-segi lain dari Jepang yang lebih positif. Tetapi dalam kala saat itu Jepang diperkenalkan kepada kita dalam bentuknya yang fasis. Memang aku keliru dalam memilih sasaran, akan tetapi tidak dalam motivasi. Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta model-modelnya pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer. Dan inilah saat perhitunganku. Aku tidak gentar seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran. Sekarang tidak.”6 Keberpihakannya pada kemanusiaan yang melampaui batas-batas nasion itu menggambarkan perjuangan Setadewa akan pentingnya penanaman nilai manusia ke dalam segi nasionalisme. 2. Alur Berdasarkan urutan waktu kejadian, peristiwa yang ditampilkan novel ini menggunakan teknik pengembangan alur yang bersifat regresif atau sorot-balik. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam novel ini memang benar bersifat kronologis, karena cerita dimulai dari tahap perkenalan hingga selesai. Namun, jika diperhatikan lebih teliti cerita dalam novel tersebut tidak benar-benar dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logis), melainkan dari tahap sang tokoh utama bercerita tentang apa yang sudah selesai dialaminya. Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar alur novel ini digambarkan sebagai berikut: E0 A B E1 C D E E2 Keterangan: E0 - E1 - E2 : Tahapan-tahapan peristiwa dalam waktu sekarang. A - B - C - D - E : Tahapan-tahapan peristiwa yang disorot-balik. 6 Ibid., h. 300. 77 E0 berupa tahap awal penceritaan (dalam waktu sekarang, saat pencerita yakni Setadewa ingin memulai cerita tentang pengalamannya) dibuka dengan bertanya kepada pembaca mengenai anak kolong. Sementara A dan B berupa pelukisan situasi latar dan perkenalan tokoh Setadewa dan Larasati (dan keluarganya), sampai kepada konflik mulai dimunculkan. E1 (sengaja dibuat demikian untuk menegaskan pertalian kronologisnya dengan E0 dan E2) berupa kelanjutan dari E0 merupakan tahap tengah penceritaan, dimana pencerita kembali ke waktu sekarang (saat Setadewa bercerita) dan mengakui mengenai kesalahannya masuk NICA dan memihak Belanda kepada pembaca. Lalu C, D, dan E berupa tahapan dimana konflik mulai meningkat hingga menjadi klimaks sampai kepada tahap dimana permasalahan tokoh utama mulai diberi penyelesaian (konflik-konflik yang dialami Setadewa dan Larasati diberi jalan keluar). Kemudian E2 merupakan tahap akhir penceritaan ialah lanjutan dari E1 (pada waktu sekarang, saat Setadewa bercerita). Tahapan di atas menunjukkan struktur alur yang terdapat dalam novel. Untuk lebih memahami skema alur di atas, penulis akan menguraikannya dalam bentuk rangkaian peristiwa sebagai berikut: 1) E0 Tahap Awal Pada tahap awal ini atau disebut juga tahap awal sorot-balik pencerita yang juga sekaligus menjadi tokoh utama dalam novel ini mulai bercerita. Penceritaan dimulai dengan pertanyaan mengenai anak kolong, dan ini sekaligus memberikan informasi kepada pembaca bahwa dia juga yang termasuk anak kolong. “Pernah dengar “anak kolong”? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok Garnisun divisi II Magelang (ucapan: MaKHelang). Bukan divisi TNI dong.”7 Dari kutipan tersebut apabila diamati lebih cermat pada kalimat “Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya” dari situ dapat diketahui bahwa 7 Ibid., h. 3. 78 sang tokoh utama sedang bercerita apa yang dahulu dia alami dan itu jelas sudah benar-benar terjadi di masa lampau. Selanjutnya pada kalimat “Bukan divisi TNI dong” menegaskan bahwa sang tokoh utama sedang bercerita mengenai kehidupannya yang telah lalu atau masa penjajahan Belanda masih berkuasa (seperti yang tertulis pada novel Bagian I terjadi dari tahun 1934 sampai 1944). Hal itu terlihat pada penggunaan nama TNI yang disebutkan oleh tokoh utama dalam penggambaran dirinya yang masuk divisi KNIL bukan divisi TNI. Menurut sejarahnya, TNI pada awalnya merupakan organisasi yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kemudian pada 5 Oktober 1945 berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah kembali menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada tanggal 26 Januari 1946. Barulah pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi. Dengan demikian, karena tokoh utama menggunakan nama TNI bukan BKR atau TKR (bahkan TKR sendiri diresmikan pada tahun 1945) jelaslah dalam hal ini pencerita benar-benar sedang bercerita dari tahun setelah nama TNI diresmikan, karena pasalnya TNI sendiri baru disahkan pada pertengahan tahun 1947 atau setelah Indonesia merdeka. Berarti tokoh utama dalam ini bercerita setelah pertengahan tahun tersebut. Hal itu juga diperkuat dari dialog antara tokoh Setadewa dengan Mayoor Verbruggen ketika berbicara mengenai ayah Setadewa, yakni Brajabasuki. Dialog ini berlangsung setelah Indonesia baru merdeka (seperti yang ditulis pada novel Bagian II yang terjadi dari tahun 1945 sampai 1950). “Dan fakta menunjukkan, bahwa sebagian para tahanan Kenpetai, dan sangat mungkin sekali ayahmu juga, di bulan Mei tahun ini dipindahkan ke Sukamiskin di Bandung sana. Dan yang terpenting, sangat mungkin sekali, ayahmu juga telah bergabung dengan gerombolan yang menamakan diri Tentara Keamanan Rakyat itu. Sangat mungkin. Kami belum dapat kepastian.”8 8 Ibid., h. 83. 79 Dari penggunaan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada kutipan di atas, bahwa dapat diperkirakan dialog tersebut terjadi pada tahun 1946 atau sebelum 1947, karena dalam hal ini pencerita tidak menggunakan nama TNI melainkan nama TKR, sedangkan ketika pencerita baru mulai bercerita (seperti pada bahasan di atas) pencerita menggunakan nama TNI bukan TKR. Ini memperkuat posisi alur penceritaan bahwa pencerita sedang melakukan flash back atau sedang bercerita dari waktu sekarang (saat dia bercerita) ke zaman masa lampau (pengalaman yang sudah dilaluinya). 2) A Tahap Penyituasian Tahap penyituasian yaitu tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap penyituasian dalam novel ini terdapat pada bagian awal novel, karena novel ini dibuka dengan perkenalan tokoh utama, Setadewa. Awal penyituasian dibuka ketika pencerita atau tokoh utama Setadewa bercerita mengenai latar belakang dirinya dan keluarganya. “Pernah dengar “anak kolong”? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok Garnisun divisi II Magelang (ucapan: MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang: totok. Jadi KNIL jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku loitenant keluaran Akademi Breda Holland. Jawa DAN Keraton! Semula tergabung dalam Legiun Mangkunegaran. Tetapi Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde langsung di bawah Sri Baginda Neerlandia saja; Ratu Wilhelmina kala itu. Tidak usah dibawahi raja Jawa. Terus terang Papi tidak suka pada raja-raja Inlander, walaupun konon salah seorang nenek canggah atau ganlung-siwur berledudukan selir Keraton Mangkunegaran. Soalnya, Papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali itulah sebabnya juga, ibu kandungku seorang nyonya yang menurut babu-babu pengasuhku, totok Belanda Vaderland sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak percaya.”9 Melalui kutipan di atas Setadewa ingin memberitahu bahwa dia adalah anak kolong (sebutan dalam bahasa sehari-hari untuk anak yang besar di 9 Ibid., h. 3. 80 tangsi tentara) dan juga merupakan keturunan keraton Jawa. Hal itu terlihat dari kalimat “Jawa DAN Keraton!” Seolah-olah penulis ingin menegaskan bahwa tokoh Setadewa merupakan keturunan asli Jawa yang memiliki hubungan saudara dengan seorang raja Jawa. Namun, walaupun keturunan raja Jawa, Setadewa lebih suka hidup dalam “kekolongannya”. Itu terlihat dalam kutipan “Setiap kami pulang dari kol istana, bertambalah keyakinanku, bahwa tidak ada dunia yang lebih firdaus daripada dunia anak kolong tangsi Magelang”10. Hal itu banyak dipengaruhi oleh sifat ayahnya yang tidak suka kehidupan keraton dan lebih memilih menjadi seorang KNIL, sehingga inilah nantinya yang banyak mempengaruhi pada jalan pikiran Setadewa. Pada kutipan “...ibu kandungku seorang nyonya yang menurut babu-babu pengasuhku, totok Belanda Vaderland sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak percaya” di atas merupakan ketidakpercayaan Setadewa atas ibunya yang totok Belanda. Namun, pada akhirnya Setadewa menegetahui bahwa ibunya memang benar merupakan turunan asli negeri kincir angin. Itu dia dengar sendiri melalui percakapan puteri keraton ketika Setadewa tengah berada di Keraton. “Tetapi tentang Mami yang putih mulus dan kelahiran asli Belanda itu (memang Mami lahir di Ultrecht, Negeri Belanda) semua memujinya. Betapa sangat paham beliau tentang primbon-primbon Jawa dan segala jenis ilmu klenik! Bukti bukan, nyonya yang tidak sombong? Dan begitu mengharukan beliau menghargai warisan nenek moyang.”11 Walaupun maminya merupakan turunan Belanda asli, akan tetapi kepercayaan mami terhadap mistis Jawa kuno sangatlah besar dan itulah juga menjadi salah satu alasan mengapa Setadewa awalnya tidak percaya bahwa maminya merupakan totok Belanda asli. 10 11 Ibid., h. 9. Ibid., h. 8. 81 Tahap penyituasian selanjutnya, digambarkan ketika pencerita menggambarkan mengenai tokoh Larasati yang merupakan tokoh utama tambahan dalam novel ini. “Wijen? Aduh cantiknya Den Rara Larasati! “Wijen?” dan Mbok Naya menyeka memanja gadis cilik yang baru saja merebahkan diri duduk di atas amben dan yang tersenyum manis merayunya. Mbok naya tertawa geli. Wijen untuk apa Den Rara? Saya bukan Den Rara. “Saya At-tik. Sudah.” Mbok Naya lebih ketawa lagi, dan temannya, Mbok Ranu di sebelahnya juga ikut tertawa, sama-sama terlonjak hati melihat noni Jawa dari Betawi itu begitu lucu, lesung di pipi, berbahasa Jawa kurang sempurna untuk ukuran lingkungan pangeran keraton, Surakarta lagi. Anak itu tidak dari Betawi. Dari Bogor. Tetapi untuk kedua pembantu dapur sederhana itu, semua kota besar ufuk Barat yang didiami priyayi, selalu bernama Betawi.”12 Penceritaan tokoh Larasati bukan dibawakan oleh pencerita tokoh utama Setadewa, melainkan melalui pencerita orang ketiga yang bertindak sebagai narator. Sama halnya dengan Setadewa, Larasati pun merupakan keturunan priyayi. Walaupun sebenarnya ibunya hanya anak angkat pangeran Hendraningrat yang merupakan pangeran keraton Surakarta. Itu diketahui dari percakapan yang dilakukan Mbok Naya dan Mbok Ranu. “Banyak orang mengatakan Bu Antana sombong, padahal hanya anak-angkat Pangeran kita. Aku kenal anak-emas itu dari kecil. Memang ibunya, nenek Den Rara Larasati itu, perempuan simpanan di suatu desa lereng Lawu, gunung yang angkuh itu”13 Sementara itu, ayahnya pun juga bukan keturunan dari keluarga ningrat, hal itu diketahui langsung dari ibunya yang mengatakan kepada Larasati “Ibunya menikah dengan seorang konsulen pertanian yang tidak berdarah ningrat, tetapi seorang anak-emas pegawai tinggi departemen entah apa. Ya cocok anak angkat dengan anak angkat. Ia tahu karena, ibunya selalu berterus terang.”14 Kutipan tersebut tergambarkan ketika Larasati sedang menggambarkan kebaikan, keramahan, dan juga kekauan yang dimiliki pamannya, Pangeran Hendraningrat. Di samping itu, 12 Ibid., h. 12. Ibid., h. 17. 14 Ibid., h. 25. 13 82 kutipan di atas berusaha juga ingin menjelaskan bahwa latar belakang kedua orang tua Larasati merupakan “anak emas”, yang bermakna anak pungut. Namun, dari sudut pandang mereka Larasati juga merupakan “anak emas” dengan arti kata lain, yakni anak yang paling disayangi. Tahap pertemuan Setadewa dan Larasati dalam novel diawali saat keluarga Brajabasuki diundang hadir oleh pangeran Hendraningrat. “Atik pernah diperkenalkan padanya sekian tahun yang lalu ketika mereka datang diundang Paman Hendra juga. Atik malu-malu tentu saja, seperti selayaknya puteri yang berpendidikan.” Kutipan tersebut digambarkan melalui ingatan yang ditampilkan oleh Larasati ketika Setadewa saat itu datang mengganggu burung-burung yang sedang asyik mencari makan tepat di depan mata Larasati yang saat itu juga sedang asyik mengamati burung-burung itu. “Bibir mungil Atik cemberut dan matanya berkilat benci melihat anak itu. Bukan anak kampung, tetapi putera Kapten Brajabasuki (Oom Bas) yang berdinas di Magelang, menurut ibu Atik. “Itu anak lelaki yang baik hati,” kata ibunya. Cerdas di sekolah, hampir selalu nomor satu dan jujur.”15 Dalam kutipan di atas terlihat jelas kedekatan antara keluarga Larasati dengan keluarga Setadewa. Itu terlihat pada saat ibunya menggambarkan kepada Larasati mengenai perilaku Setadewa. Kemudian pertemuan selanjutnya Setadewa dan Larasati bertemu di Jakarta, tepatnya di Kramat setelah Setadewa selesai ujian penghabisan SMT di Semarang. “Adik Teto dari Semarang? Betul, Mbak. Maaf, aku sedang ujian dulu. Tidak sempat membalas. Oooh (matanya bersinar jenaka) memang kami yang keliru. Tetapi profisiat, sudah lulus kan? Baru saja selesai. Jadi belum tahu keputusannya. Ooooh (senyum cerah membuatku bingung) pasti lulus deh. Raden Mas Sinyo pasti lulus, dan ketawalah ia berderai. Aku terkejut setengah mati mendengar sebutan Mas Sinyo: “Kok tahu...” Ah, Mas Sinyo ini sombong sih. Berkali-kali berkunjung ke rumah kami, tetapi nggak mau kenal. “Baru pertama kali aku...” Tidak di sini. Tetapi di Sala. “Ah, maaf.” Tiba-tiba muncul dalam benak belakangku sebuah citra roman muka gadis yang pernah kukenal, entah di mana. Jauh ... 15 Ibid., h. 27. 83 jauh ... dan agak kabur. “Aku Atik.... Larasati. Pasti tak kenal, tanggung (dan tertawanya geli, seperti mengejek). Yang dikenal cuma noni-noni yang cantik-cantik saja tentu kan! Aku malu sekali dan merasa bersalah. Memang dulu sesudah tamat SD aku tak pernah suka berkunjung lagi di kalangan ningrat yang serba kaku. Dan sekarang .... “Saya kira bukan begitu Mbak.” Allaa... mari masuk. Sudah lama tadi? “Lama sekali. Untung ada malaikat datang.” Aduh, sekarang menyanjung.”16 Lewat pertemuan itu Setadewa dan Larasati menjadi benar-benar saling kenal lebih jauh. Inilah yang menjadi pertemuan yang akan melatarbelakangi cinta di antara keduanya. 3) B Tahap Pemunculan Konflik Peristiwa yang memunculkan konflik terjadi ketika Brajabasuki, ayah Setadewa, tertangkap oleh Kenpetai Jepang. “Mulai saat itu aku memasuki babak baru dalam hidupku. Dalam diriku terasa panggilan untuk mengganti tempat Papi. Setelah ditinggal suami yang dicintainya, Mami semakin mundur, kurus dan mudah sakit. Dan semakin diam semakin diam. Mami lalu mencari hiburannya dalam mistik dan alam gaib.”17 Ketika itu ayah dan ibu Setadewa masuk perangkap yang dibuat oleh Kenpetai. Peristiwa itu diawali ketika Brajabasuki rindu dengan Marice sehingga menulis suratlah ia agar bertemu dengannya, tanpa curiga sedikit pun Marice pergi untuk menemui suaminya tersebut. Ketika keduanya saling bertemu, ditangkaplah Brajabasuki oleh pasukan Jepang dan sebagai syarat Brajabasuki meminta Kenpetai agar membebaskan istrinya tersebut. “...cinta terakhir Papi kepada Mami hanyalah kata-kata tegas kepada Kenpetai agar membebaskan Mami yang tidak bersalah sedikit pun. Dan Mami dibebaskan. Dibebaskan ...?”18 Namun Setadewa mengerti bahwa terdapat keganjilan dengan kejadian dibebaskannya Mami “Dan Mami dibebaskan. Dibebaskan?”. 16 Ibid., h. 38-39. Ibid., h. 40. 18 Ibid., h. 39. 17 84 Dengan penuh tanya kepada diri sendiri. Namun, pertanyaan itu segera terjawab ketika maminya menjadi gundik Jepang. Hal itu karena maminya mendapat ultimatum dari kepala Kenpetai agar mami memilih untuk menjadi gundik Jepang atau suaminya mati. Akibat rasa sayang yang dalam kepada suaminya itu, maka Marice lebih memilih menjadi gundik. “Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang. Termasuk itu pengkhianat-pengkhianat Soekarno-Hatta. Dan seluruh bangsa yang disebut Indonesia, yang membongkokbongkok pada Jepang dan berteriak-teriak di alun-alun oleh hasutan Soekarno: “Inggris kita linggis! Amerika kita seterika! Dai Nippon, banzai!” Sejak itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi: menjadi KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh, pengecut tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan mental-mental serba kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi mendukung bandit-bandit yang membuat Mamiku menjadi gundik.”19 Peristiwa itu pun juga membuat Setadewa membenci dengan semua yang berhubungan dengan Jepang, termasuk bangsa Indonesia yang dianggapnya selalu membongkok-bongkok kepada Jepang, mendukung Jepang yang notabenenya adalah penjajah bangsa Indonesia. Terutama yang telah “membuat mamiku menjadi gundik”. Tahap inilah konflik awal mulai muncul dalam cerita, dan konflik itu sendiri akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Dengan kata lain, penyebab awal inilah yang banyak mempengaruhi jalan hidup, sikap, dan pemikiran Setadewa, terutama terkait gagasan revolusi. 4) E1 Tahap Tengah Pada tahap tengah ini merupakan lanjutan dari E0. Bagian tengah ini merupakan bagian penegasan bahwa pencerita sedang bernostalgia 19 Ibid., h. 42. 85 dengan ceritanya atau sebagai penegas bahwa ini merupakan alur sorotbalik. “Ya, betul! Aku dulu masuk NICA. Mau apa! Sekarang aku tahu, itu keliru. Tetapi apa manusia tidak boleh keliru? Lagi, pada saat itu, aku yakin bahwa apa yang dikehendaki kaum Nasionalis keliru. Orang-orang Indonesia belum matang untuk merdeka. Aku tahu, tidak pernah manusia matang untuk menangani hidupnya sendiri pun. Tetapi suatu saat kita harus memilih pihak. Dan aku memilih Belanda.”20 Pada bagian tengah ini juga ditunjukkan sebagai penegas kesadaran dari kesalahan yang pernah dilakukan oleh pencerita. Dengan kata lain, bagian tengah ini memiliki fungsi psikologis sebagai gambaran resolusi tokoh utama, berupa kesadaran atas kekeliruan pilihan yang telah diambil pencerita dahulu. Sebagai penjelas perhatikan kalimat “Sekarang aku tahu, itu keliru”. Juga pada kalimat “Lagi, pada saat itu, aku yakin bahwa apa yang dikehendaki kaum Nasionalis keliru”. Kata “sekarang aku tahu” dan “pada saat itu” itu membuktikan bahwa cerita sudah terjadi. Sehingga motif pencerita menggambarkan bagian ini adalah sebagai pengakuan atas kekeliruan yang telah dialaminya dulu. 5) C Tahap Peningkatan Konflik Pada tahap ini, konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya (kemunculan konflik) semakin berkembang kadar intensitasnya. Dalam tahap ini intensitas konflik semakin meningkat, permasalahan- permasalahan yang dialami Setadewa yang diceritakan oleh sang pencerita semakin menanjak. Tahap peningkatan konflik ini sangat penting untuk pemahaman perkembangan tokoh Setadewa. Peningkatan masalah itu muncul ketika Setadewa mengetahui bahwa Larasati menjadi sekretaris Republik Indonesia. Saat itu pula Setadewa menganggap Larasati sebagai musuh, karena berdiri pada phiak 20 Ibid., h. 57. 86 yang berlainan. “Memang kita dari dunia yang berlainan, Atik. Ya, sudah! Beginilah ... ya beginilah ... jadi Atik bekerja sebagai sekretaris pada pemerintah pemberontak itu? Okay! Baiklah! Mulai sekarang kita akan membuktikan, siapa yang benar. Dengan realita kejam! Tidak dengan omong belaka. Kau juga, Tik, semoga kau dan ibumu selalu terlindungi ... oleh Tuhan, kalau itu ada, Tik.”21 Mulai saat itulah Setadewa ingin membuktikan siapakah yang benar. Pihak yang dibelanya ataukah pihak yang diperjuangkan oleh Larasati. Konflik tersebut juga semakin terus meningkat ketika Setadewa bertemu dengan Larasati di Kramat, yakni rumah keluarga Antana yang selama ini didatangi terus oleh Setadewa sebagai tempat untuk mencari ketenangan batinnya. “Tiba-tiba ia tertegun kaget dan refleks mau lari. Kudekap dia. “Aku Teto. Aku Teto. Atik!” Bagaimanapun aku salah. Sebab pastilah Atik sangat terkejut melihat seragam NICA-ku. Wajahnya seperti patung marmer. Pucat mukanya dan matanya meyinarkan ketakutan. Kata pertama yang keluar ialah: “Teto! Teto!” Lalu menangislah Atik. Pada saat itu aku bimbang untuk pertama kali. Pada saat itu aku takut kehilangan seorang lagi. Pada saat itu aku tidak ingin dilahirkan dan malu. Begitu kuasakah gadis untuk menggoncangkan suatu keyakinan lelaki yang kuat?”22 Melalui pertemuan itulah konflik batin yang ada dalam diri Setadewa semakin meningkat tajam. Kegoncangan jiwa teramat dalam dialami Setadewa, hal itu berdampak pada pembawaan sikapnya yang semakin emosional dan meledak-ledak. “Tetapi kebengisanku sebagai KNIL menjadi-jadi. Rasanya semua yang ada hubungannya dengan Republik, alias perampok yang merampas Atik, harus kubinasakan.”23 Sebagai bentuk reaksi atas pergolakan batinnya dan jiwanya yang teramat benci dengan Republik itu, Setadewa dengan jiwa yang bergelora ikut andil dalam penyerangan total yang dilakukan Belanda ke ibukota Republik Indonesia, yang saat itu pindah ke Yogyakarta. 21 Ibid., h. 70-71. Ibid., h. 90. 23 Ibid., h. 95. 22 87 “Saat yang kunanti-nanti telah terjadi: Yogya kami kuasai. Tetapi alangkah kecewanya. Seharusnya aku bersorak Gloria Victoria! Tetapi inikah yang disebut Victoria! Apakah begini juga hidup perkawinan, yang kata orang lagi, hebat dinanti-nantikan; tetapi sesudah terjadi, cekcok dan kelesuan? Lalu apa yng disebut menang atau kalah? Tidak! Menang atau kalah ditentukan sendiri oleh manusia, oleh aku sendiri, Setadewa! Ya, Kapitein Setadewa. Tidak oleh orang lain, siapa pun. Juga tidak oleh Larasati! Hei Seta! Rayakanlah hari kejayaanmu! Bukan kejayaan Belanda atau KNIL, tetapi kejayaan Kapitein Setadewa, putera Kapitein Brajabasuki dan Marice.”24 Siapa sangka setelah Setadewa merasakan semuanya dan memperoleh kemenangan, namun yang dia rasakan hanya kekosongan belaka. Kebimbangan yang teramat menusuk jiwa Setadewa, sehingga dia tidak tahu apa yang sebenarnya dia cari dan perjuangkan selama ini. “Tetapi jujurlah, keyakinanku ketika itu juga sudah goyah. Hanya aku tidak mau mengakuinya. Soalnya, jiwaku tidak pernah tentram, karena sampai sekarang belum pernah ada tanda-tanda jelas, di mana dan sedang berbuat apa ayahku”.25 Namun, karena karakter yang tegas dan kuat yang tertanam dalam diri Setadewa, ia sedikitnya mampu melawan kegoncangan batin yang dirasakannya itu. 6) D Tahap Klimaks Titik intensitas puncak dalam novel ini diawali dipukul mundurnya Belanda oleh bangsa Indonesia. Ketakutan selama ini yang dirasa benar oleh Verbruggen ternyata benar, bangsa Indonesia merencanakan suatu taktik “kontra-strategi” kepada Belanda. Dalam lingkup kekalahan itu, membuat Setadewa merasa berada dalam posisi sulit. “...tak bisa diingkari bahwa pihak Rood Wit Blauw sudah pudar. Ternyata betul analisa Verbruggen dulu itu (Soekarno menghimpun kekuatan di belakang, dan Si Kancil ini disuruh menghadapi dunia Sekutu dengan senyumannya dan dengan program kemanusiaanya), bahwa sejak itu Belanda sudah dilasso oleh Si Syahrir ini dengan tali-tali made in USA yang semakin menjerat dan semakin 24 25 Ibid., h. 120. Ibid., h. 121. 88 membuat Den Haag kekurangan nafas.”26 dan Batavia tercekik megap-megap Dalam posisi yang serba tidak karuan itu, Setadewa sadar bahwa ia dan pihak Belanda sudah benar-benar kalah. Namun kali ini pikirannya lebih tenang, sudah bisa memikirkan keadaan dengan lebih jernih. “Aku tak sudi lari. Tetapi akan kuterima kekalahanku. Aku meludah. Sesudah tahun-tahun ini, aku sangsi apa di dunia ada yang disebut sportif. Apa aku ikut Verbruggen saja? Atau menggabung dengan tentara Republik itu? Jadi kuli dari bekas kuli? Atau ke Negeri Belanda saja? Sebagai kapten kerajaan pasti ada beasiswa veteran nanti untuk belajar masuk Leiden atau ke manalah; Delft bagus juga. Jadi insinyur seperti cita-citaku dulu.”27 Pengakuan kekalahannya membawa kepada kepasrahan dalam dirinya. Dari situlah, ia seperti mendapat ilham dari keindahan alam dan gununggunung yang seakan berdialog dengannya di dalam hati. “Jelas aku diingatkan bahwa bagaimana pun aku anak negeri ini yang tak mungkin ke luar dan tidak akan mereka keluarkan dari tanah ini.”28 Sikap berpikir yang lebih tenang itu, seakan-akan membawa perkembangan karakter yang dialami oleh Setadewa menjadi lebih dewasa dan dapat berpikir matang. Titik puncak klimaks yang dialami Setadewa terjadi ketika ia sudah menemukan maminya, namun pertemuan itu malah membuat Setadewa merasakan kekosongan jiwa yang teramat dalam dan seperti dihinggapi “kematian”. “Ya, Marice. Tidak usah banyak basa-basi. Ia kutemukan di Rumah Penyakit Syaraf Kramat sana tadi. Seperti terkena granat Howitzer 10 inch aku hanya bisa bungkam dan membelalak. Ibuku di rumah gila? Kramat Magelang adalah rumah gila. Ya Tuhan ... siapa yang gila, mereka atau aku sekarang? Lemas aku duduk setengah berbaring di atas ranjang itu. Mamiku malang. Verbruggen menepuk-nepuk bahuku seperti seorang ayah.”29 26 Ibid., h. 141. Ibid., h. 149. 28 Ibid., h. 147. 29 Ibid., h. 162. 27 89 Gangguan jiwa yang dialami maminyalah membuat Setadewa berada dalam situasi yang benar-benar terpukul jatuh dan serba hilang segalagalanya. “Pandangan mata ibu nampak jauh. Seolah-olah ia sudah di “sana”, tidak di “sini” lagi. Dengan kata lain, tidak ada gunanya kami mencari Papi di “sini”.”30 Akibat situasi itulah membuat Setadewa kemudian memutuskan “menghilang” ke luar negeri, yang setelahnya diketahui bahwa dia melanjutkan pendidikan di Harvard, lalu menjadi ahli komputer. “Seorang menejer produksi perusahan minyak yang besar seperti Anda seharusnya tahu itu. Tetapi begitulah Seta, ahli komputer sering sulit membaca bahasa dan dendang wanita.”31 Kutipan di atas merupakan bagian dari dialog antara Setadewa dengan sahabatnya, yakni Duta Besar John Brindley. Setelah Setadewa memutuskan untuk kembali lagi ke Indonesia dan memberitahukan informasi yang sangat rahasia kepada temannya itu mengenai informasi kekeliruan penyusunan model perhitungan komputer yang akan memberikan efek politik dan keamanan di kawasan Asia. Pada tahap klimaks ini sengaja dijelaskan pergerakan dari tahap klimaks menuju kepada peleraian-peleraian masalah yang dihadapi oleh sang tokoh, sehingga nanti menuju kepada tahap penyelesaian masalah. Pergerakan sangat terasa ketika Setadewa dengan bijak dan lebih tenang menceritakan saat maminya telah meninggal dunia, dan Larasati yang sangat ia cintai telah menikah dengan seorang pria bernama Janakatamsi. Tahap leraian itu ditutup ketika Setadewa menyaksikan Larasati sedang mempertahankan tesisnya. “Dan memanglah demikian, kudengar kemudian. Tetapi dalam gelora ucapan selamat, aku sudah tidak ada di Aula, pergi dan menangis dalam hati. Kesombongankulah dulu yang akhirnya menghempaskan sarangku berantakan di tanah. Namun, namun ... Atik boleh berpidato indah, tetapi manusia bukan manyar.”32 30 Ibid., h. 164. Ibid., h. 206. 32 Ibid., h. 260. 31 90 Dari tesis yang dijabarkan panjang lebar oleh Larasati membuat Setadewa semakin tersadar akan proses perjalanan yang dilakukannya selama ini. Tesisnya seakan memberikan kritik tajam kepada Setadewa, yang akhirnya lebih membuka matanya mengenai makna kehidupan yang lebih luas. 7) E Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian merupakan tahap di mana konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian. Konflik-konflik yang lain, subsubkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, sehingga tahap ini disebut sebagai akhir konflik sebuah cerita. Pada novel ini tahap penyelesaian ditandai dengan pertemuan kembali antara Setadewa dengan Larasati. “Seluruh diriku lunglai. Apa yang harus kuperbuat? Aku sungguh tidak siap. Tadi pagi memang siap, tetapi sekarang tidak. Baiklah, bila sudah dipastikan begitu. Dan dengan sikap yang kubuat setenang-tenangnya kubuka pintu.”33 Pertemuan terjadi di kediaman pak KRT Prajakusuma, yang merupakan sahabat dari ayahnya Jana. Pertemuan itu yang menandai akhir segala kisah perceritaan dan percintaan antara Setadewa dan Larasati. Penyelesaian itu pun diperjelas keesokan harinya ketika Setadewa menginap di rumah keluarga Antana. Ketika itu Bu Antana meminta Setadewa untuk menjadi abang bagi Larasati, sekaligus bertanya kepada Setadewa tentang bagaimana perasaan yang sebenarnya kepada Larasati. Melalui peristiwa itulah membuat Setadewa merasa terbaring di meja bedah, pasrah menghadapi kenyataan. Satu-persatu permasalahan yang dibebankan kepada Setadewa dapat diselesaikannya. Titik puncak tahap penyelesaian dapat dilihat ketika Setadewa berusaha membongkar kasus korupsi yang dilakukan oleh Pacific Oil Wells Company dimana tempat Setadewa bekerja. 33 Ibid., h. 266. 91 “Inilah saatnya, ya inilah saatnya, begitulah sejelas-jelasnya terilham padaku. Tidak di dalam kamar netral, tetapi di sini, di halaman istana bersejarah inilah aku akan membuat perhitungan hidupku selama ini yang tanpa arti, bagi rahim yang pernah mengandungku, demi susu-susu ibu yang pernah memberiku zatzat kehidupanku yang pertama, demi wajah-wajah dan tangantangan yang halus membelai dan memberi getaran-getaran pertama emosiku, yang kelak disepuh lagi menjadi serat-serat karakter kepribadianku, demi ayahku perwira pembangkang kelaliman, keluargaku dan negeriku.”34 Pembongkaran kasus itu dilakukan dengan meminta bantuan kepada Janakatamsi, karena sebagai ahli geologi utama kalangan eselon atas, Janakatamsi pasti memiliki koneksi dengan para menteri negara Indonesia. Alasan kenapa Setadewa sampai sejauh itu ingin membongkar kasus yang dianggapnya sebagai kolonialisme itu adalah karena Setadewa menganggap hal tersebut tergolong fasisme dan juga karena bentuk kecintaan yang mendalan kepada maminya dalam bentuk lain yakni ibu pertiwi. “Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi pada perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta model-modelnya pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer. Dan inilah saat perhitunganku. Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran. Sekarang tidak!.”35 Melalui kutipan di atas dapat diketahui bahwa Setadewa memiliki karakter kuat dalam memegang pendirian dan juga sebagai titik balik kehidupan Setadewa. Akibat dari peristiwa itu Setadewa dan Janakatamsi pun dipecat dari pekerjaannya. Pembongkaran itu bukan dalam pengertian ingin membela negara atau tanah air, melainkan Setadewa ingin membela kejujuran dan kemanusiaan. Namun, apa yang terjadi setelah kasus itu terbongkar justru kedudukan mereka menjadi lebih kuat lagi dan reputasi internasional mereka bahkan melonjak pesat. 34 35 Ibid., h. 297-298. Ibid., h. 300. 92 Akhir dari penyelesaian ditandai ketika Setadewa dan Larasati berbincang mengenai perasaan mereka berdua sampai kepada Setadewa menyampaikan pesan dari ayahnya Janakatamsi agar anaknya menunaikan ibadah haji. Ketika suami-istri itu telah berangkat untuk beribadah, “berangkat” jugalah mereka menuju ke sisi Tuhan atas kecelakan pesawat yang ditungganginya. Atas kejadian itu, akhirnya membuat Setadewa memutuskan untuk mengangkat anak-anak Larasati menjadi anak-anaknya. “...ketiga anak Atik kuangkat jadi anakku. Hadiah yang terindah dari Atik dan suaminya ingin kujaga dan kuantar ke hari-depan mereka yang sesuai dengan jati-diri dan bahasa citra yang sebening mungkin.”36 8) E2 Tahap Akhir Tahap akhir ini merupakan lanjutan dari E1 (dimana pencerita mengakhiri ceritanya) dan juga lanjutan dari tahap penyelesaian. Bagian akhir ini juga sebagai penutup peristiwa yang telah diceritakan oleh sang pencerita. “Tak banyak lagi yang perlu kuceritakan. Ada saatnya cerita manusia harus disinambungkan ke dalam perjalanan riwayat yang serba diam ... dalam keheningan yang sebenarnya bahkan serba kebak kepenuhan.”37 Pada kalimat “Tak banyak lagi yang perlu kuceritakan” menegaskan bahwa cerita yang diceritakan telah usai atau pencerita telah selesai dalam bercerita. Tahap akhir ini juga dimaksudkan sebagai jawaban atas penyelesaian atas peristiwa yang terjadi, sehingga dapat sebuah simpulan muncul atas jalan cerita kehidupan Setadewa. 3. Tokoh dan Penokohan Pengelompokan tiga bagian kejadian dalam novel ini mengingatkan kita akan sebuah cerita pewayangan. Memang benar, terdapat hubungan 36 37 Ibid., h. 319. Ibid., h. 318-319. 93 yang erat antara alur novel ini dengan struktur alur pewayangan. Menurut pengakuan pengarang sendiri, bahwa novel ini pada hakikatnya merupakan cerita pewayangan dalam bentuk novel modern.38 Bahkan orientasi terhadap pewayangan sejak awal telah ditunjukkan oleh pengarang. Sebelum memasuki bagian pertama, pembaca dapat menentukan cuplikan kisah pewayangan yang merefleksikan tema dan perwatakan yang digunakan dalam novel ini. Prawayang dituliskan pengarang merupakan sebuah ringkasan dari salah satu episode epos panjang Mahabarata. Melalui pertalian prawayang dan jalannya cerita novel, penulis menarik suatu dugaan bahwa terdapat suatu konsep hubungan antara prawayang dengan cerita dalam novel ini. Pasti bukan tanpa sebab pengarang mengkisahkan ikhwal prawayang sebelum cerita novel dimulai. Dari situ, penulis meyakini bahwa pengarang dengan penuh kesadaran membuka cerita novel diawali dengan prawayang untuk memberikan suatu tanda, bahwa cerita novel ini memiliki suatu pertalian dari cerita Mahabarata. Romo Mangun banyak mempergunakan logika, konversi, atau kode budaya pewayangan terhadap tokoh-tokohnya. Dengan demikian, kisah Mahabarata menjadi semacam kerangka dasar dan global bagi kisah yang dipaparkan dalam novel Burung-burung Manyar. Memang menurut pengakuan Romo Mangun sendiri, ia ingin setia kepada prinsip Jawa. Maka dari itu, nama-nama yang dipergunakan diambil dari kisah pewayangan Jawa keluarga Barata. Bahkan nama tokoh dalam novel ini bukan hanya sekadar tanda pengenal, tetapi mengandung makna dan berdampak pada sifat yang ditampilkan oleh para tokohnya. Prawayang juga dimaksudkan sebagai strategi pengarang dalam penceritaan (narasi) dalam Burung-burung Manyar yang ditujukan sebagai pemetaan karakter tokoh berdasarkan oposisi biner di dalam prawayang. Kerangka biner didasarkan pada cerita pewayangan Pandawa-Kurawa dalam epos Mahabarata. Anonim, “Y.B. Mangunwijaya Bicara tentang „Burung-burung Manyar‟nya”, Kompas, Jakarta, 22 Juli, 1981, h. 1. 38 94 1) Tokoh Utama Cerita novel ini dipusatkan pada dua orang tokoh, Setadewa dan Larasati. Setadewa merupakan tokoh utama yang utama, sedangkan Larasati termasuk tokoh utama yang tambahan. Setadewa dikatakan tokoh utama yang utama karena pusat penceritaan berfokus pada kehidupannya, dan juga mempunyai pertalian dengan para tokoh lain. Di samping itu juga, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Sementara Larasati merupakan imbangan peran yang dimainkan oleh tokoh Setadewa. Tokoh Setadewa dan Larasati menempati posisi yang berseberangan dalam hal ideologi, tetapi sehati dalam urusan percintaan. Keduanya dibesarkan akrab dengan lingkungan priyayi, namun kehidupan mereka tidak terpengaruh oleh budaya tersebut. Sebaliknya, mereka melepaskan diri dari gaya hidup priyayi. Keduanya juga merepresentasikan sosok manusia Jawa yang mengalami pergeseran budaya akibat pengaruh pendidikan Barat. Setadewa menerima pengaruh budaya Barat dengan mempertahankan eksistensi pemikiran rasionalnya atas nama kemanusiaan dengan memakai sarana Belanda. Sebaliknya, Larasati merealisasikan nilai-nilai budaya Barat dengan ikut bergerak sebagai upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari segala bentuk penjajahan. Perbedaan pilihan keduanya terdapat pada kata memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan manusia. Larasati memilih berjuang dengan bangsa Indonesia untuk menghembuskan nafas kemerdekaan. Sementara Setadewa memilih jalur perjuangan melalui jalur Belanda demi mencapai “kemerdekaan” yang hakiki. a) Setadewa Jika dihubungkan dengan prawayang novel ini, Setadewa dilambangkan sebagai ketiga anak dari Basudewa yang dititipkan kepada pondok Antapoga, yakni Kakrasana, Narayana, dan Rara 95 Ireng. Sifat dan karakter tokoh Setadewa mewakili ketiga tokoh wayang itu. Hal tersebut dapat dilihat sepanjang perjalanan cerita novel. Kakrasana atau ketika menjadi raja bernama Baladewa ialah wahana wahyu dewa Basuki, dan merupakan makhluk seta, yang berarti serba putih darah, daging serta segala-galanya sampai ke tulang maupun sarafnya.39 Dalam cerita pewayangan Mahabarata, justru Kakrasana yang bergelar raja Baladewa, memihak Kurawa. Posisi sama ditunjukkan Setadewa dalam mewakili sifat Kakrasana ketika memilih NICA sebagai alat memperjuangkan kemerdekaan demi kemanusiawian. “Dan aku memilih Belanda. Karena aku yakin ketika itu, bahwa tidak sebandinglah korban akibat ketidak-dewasaan dengan keuntungan yang akan dicapai.”40 Setadewa memilih Belanda bukan semata-mata hanya dilandaskan dendam atas maminya yang dijadikan gundik dan ayahnya yang ditawan oleh tentara Jepang. Akan tetapi lebih kepada dalih kemanusiawian terhadap seluruh bangsa Indonesia. Kakrasana sendiri memilih Kurawa demi kesetiaannya kepada keluarganya dan berharap agar kerajaan Ngastina tidak pecah. Dari situlah, terdapat kesamaan tujuan antara Setadewa dan Kakrasana. Selain itu, watak yang ditunjukkan Setadewa juga memiliki kesamaan dengan tokoh wayang tersebut. Kakrasana memiliki watak yang sangat keras kepala, mudah naik darah tapi pemaaf, dan arif bijaksana.41 Penggambaran watak tersebut terlihat dalam diri Setadewa ketika dirinya menjadi prajurit Kerajaan Belanda. “Berhari-hari kau marah terhadap bawahan dan cekcok dengan rekan sesenjata. Hanya karena gadismu di pihak sana bukan? Tidak! Saya marah-marah karena mereka pengecut.”42 39 Sunardi D.M., Barata Yudha, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), cet. 8, h. 41. Mangunwijaya, op. cit., h. 57. 41 Sunardi, loc. cit. 42 Mangunwijaya, op. cit., h. 85. 40 96 Sedangkan, Narayana atau bernama Kresna setelah menjadi raja merupakan wahana wahyu dewa Wishnu, hitam legam tulang, daging, darah, saraf, dan segala-galanya. Narayana selaku raja Kresna menjadi ahli siasat perang utama para Pandawa.43 Seperti Narayana yang memiliki watak lemah lembut, negarawan, dan diplomatis, sifat ini juga terlihat dalam Setadewa. Sifat “Narayana” pada Setadewa muncul ketika dirinya lebih dewasa dalam memandang kehidupan, dan memutuskan untuk membela tanah air dari rumusan-rumusan korupsi yang bermental fasis. “Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi pada perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta modelmodelnya pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer. Dan inilah saat perhitunganku. Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran. Sekarang tidak!.”44 Pada hakikatnya, sebagai seorang Indo, Setadewa merasa ambivalen baik terhadap leluhur Belandanya maupun terhadap keturunan priyayinya. Keputusannya untuk masuk tentara Belanda lebih bermotivasikan kebencian terhadap kaum Jepang daripada kepercayaan pada pihak Belanda. Sementara karakter Rara Ireng terlihat pada sifat lembut dan peka Setadewa, khususnya dalam hal afeksi percintaannya. “Ketika itu aku ingin mempertahankan yang masih dapat kupertahankan. Dan aku hanya bisa berbuat sesuatu yang aku tahu, menjijikan perempuan: menangis. Wanita tidak suka melihat lelaki menangis. Menangis adalah hak kaum wanita. Lelaki harus memaki-maki, mengumpat-umpat bila ia sedih. Atau diam ningrat. Atau meledakkan dunia ini dengan bom atom. Tetapi tidak menangis. Dan justru itulah yang kulakukan. Sungguh kesalahan besar.”45 43 Sunardi, op. cit., h, 43. Mangunwijaya, op. cit., h. 300. 45 Ibid, h. 92. 44 97 Setadewa digambarkan sejak awal dengan kejantanannya, karena hidup bermodalkan keprajuritan militer dan berlaraskan senjata di tangan. Namun, pada sisi-sisi lain dalam dirinya terdapat sisi feminin, seperti yang terlihat pada kutipan di atas. Sifat Rara Ireng atau juga bernama Sumbadra, makin terasa ketika Setadewa mengaku kalah dengan Janakatamsi dalam hal perebutan cinta dengan Larasati. “Suamimu ahli geologi, tetapi berjiwa Palang Merah. Palang Merahlah yang lebih panglima daripada senjata api. Sebab apa? Karena Palang Merah memberi hidup, sedangkan senjata merenggut dan memperkosa hidup. Ia lebih jantan dariku, Tik. Kejantanan manusia bukan kejantanan rimba ini. Tik, kalau kau cinta padaku, cintailah suamimu.”46 Bila dikaitkan dengan cerita wayang, pada akhirnya Rara Ireng menikah dengan Arjuna, sehingga dapat dikatakan dominasi Rara Ireng dapat ditaklukan oleh kejantanan Arjuna. Maka itulah sebab mengapa Setadewa menyatakan dirinya “kalah” dari Janakatamsi. Melalui tokoh Setadewa, sebenarnya pengarang ingin menggambarkan manusia tidak selalu baik dan buruk saja. Melainkan sebagai manusia pastilah memiliki sifat Pandawa atau Kurawa dalam dirinya. “Ya sudah, aku tahu. Memang setiap orang punya segi Pendawa maupun Kurawanya.”47 Penyatuan sifat KakrasanaNarayana yang dimiliki Setadewa menjadikannya seorang yang ambivalen. Sebagai seorang Indo, Setadewa merasa ambivalen terhadap keturunan Belandanya maupun keturunan priyayi Jawanya. Namun perlu digarisbawahi adalah keputusan Setadewa dalam memihak Belanda lebih bermotivasikan kebencian terhadap kaum Jepang dan Republik daripada kepercayaan pada pihak Belanda. “Maaf, Anda keliru alamat menamakan aku budak Belanda. Bagiku NICA hanya sarana seperti Republik bagi mereka sarana juga.”48 46 Ibid, h. 312. Ibid, h. 15. 48 Ibid., h. 57-58. 47 98 Keputusannya untuk menjadi tentara Belanda lebih bermotivasikan kebencian terhadap kaum Jepang daripada kepercayaan pada pihak Belanda itu sendiri. Jika dianalisis melalui nama Setadewa sebenarnya, nama Setadewa berhipogram pada nama Baladewa, yaitu dengan mengambil kata "Dewa". Baladewa dikenal sebagai makhluk seta, yang artinya 'putih' karena berkulit putih, berwatak jujur, dan luput dari kesalahan. Nama Setadewa berasal dari gabungan "Seta" dan "Dewa" yang keduanya milik tokoh Baladewa. Kata "Dewa" adalah sebagian nama tokoh itu dan "Seta" adalah salah satu ciri karakternya. Perwatakan Setadewa juga banyak ditransformasikan dari karakter Baladewa, baik yang menyangkut unsur fisik, tingkah laku, dan mental. Namun, sebagai tokoh manusia biasa Setadewa mengalami perkembangan karakter karena setelah setengah tua berkepribadian matang berubah menjadi berpembawaan tenang, pintar mengendalikan perasaan, dan menenangkan emosi orang lain. Karena jati dirinya lebih banyak terungkap, Setadewa lebih berkarakter bulat, sedang Baladewa yang telah memiliki pola karakter pasti berkarakter sederhana.49 “Mas Seta bagaikan Karna. Walaupun berperang di pihak Kurawa, tetapi saudara seibu dengan Pendawa. Dan Karna ksatria yang besar. Sampai Arjuna pun gentar menghadapinya. Hanya karena perintah tanpa ampun dari Raja Sri Kresnalah, artinya dari Nasib, Arjuna terpaksa melawan Karna. Terima kasih, Dik. Tetapi nasib Karna tragis.”50 Sikap Setadewa yang berpendirian walau bekerja pada perusahaan asing, tetapi tetap mencintai Indonesia, selain berhipogram kepada Baladewa juga kepada Karna, dan Prabu Salya yang ditransformasikan secara kontekstual. Kecintaan Baladewa yang mengasuh Parikesit pasca Perang Baratayuda ditransformasikan ke Burhan Nurgiyantoro, “Wayang dalam Fiksi Indonesia”, Jurnal Humaniora, Vol. XV, No. 1/2003, h. 10. 50 Mangunwijaya, op. cit., h 281. 49 99 dalam tekad dan kecintaan Setadewa untuk mengasuh ketiga anak Larasati yang telah menjadi yatim piatu. Biner Pandawa-Kurawa itu merupakan analogi untuk perang pada umumnya. Biner yang terjadi pada Setadewa adalah biner KNILRepublik. Kedua pihak saling bergantungan artinya. Tetapi masingmasing pihak mampu memusnahkan pihak yang lain. Berkenaan dengan Setadewa, biner ini dijadikan alegori untuk biner SetadewaLarasati, dan kemungkinan kemusnahan direalisasi, sedikit-dikitnya secara simbolis. “Pasukanku menang. Kapitein Seta jaya. Tetapi kehilangan Larasati. Barangkali ... barangkali toh aku salah pilih.”51 b) Larasati Dalam prawayang Larasati digambarkan sebagai Rarasati, yakni anak dari Antapoga dan Nyai Sugopi. Nama Larasati sendiri berhipogram kepada nama Rarasati atau Larasati putri buyut Antagopa. Dalam cerita pewayangan Rarasati memiliki sifat teguh hati (memiliki pendirian yang kuat), lemah lembut (memiliki kelembutan pada dirinya), mempesona ketika berbicara. Mampu untuk meredakan emosi kemarahan, berkepribadian yang menarik hati, setia, patuh, dan berbakti.52 Hal yang sama juga dimiliki oleh sifat Larasati dalam novel. Seperti apa yang dikatakan Setadewa dalam menggambarkan Larasati. “Dalam saat-saat seperti itu aku benar-benar kalah. Dengan segala logika dan kehaibatanku. Gadis satu ini bukan jenis ratu kecantikan, tetapi dalam saat-saat tertentu sungguh mempesona. Tetapi terus terang saja, aku takut jatuh cinta padanya. Sebab naluriku berkata, aku akan kalah. Dan justru itu aku tidak mau.”53 Penggambaran tokoh Larasati sebagai epitom dari istri Jawa yang lembut dan ideal. Larasati sendiri sebenarnya bukan merupakan 51 Ibid., h. 127. Sunardi, op. cit., h. 47. 53 Mangunwijaya, op. cit., h. 68. 52 100 produk kraton yang tradisional konservatif, sebab ibunya juga bukan merupakan produk feodalisme Jawa, melainkan hanya anak angkat yang ada dalam lingkungan kraton. “Larasati, kau yang raden-ayu dari puri Surakarta, dengan nafas keluarga raja Jawa yang paling modern dan paling setia kepada Ratu Belanda, mengapa Atik begitu naif berbicara tentang macam-macam impian bangsa yang hanya impian saja? Dan jiwaku semakin benci kepada orang tampan perlente si Soekarno yang, masygul kuakui, mempunyai dayapikat luar biasa untuk semua wanita. Termasuk Atik.”54 Dalam dunia wayang Jawa (Larasati) digambarkan selaku wanita yang praktis, cerdas, yang tidak banyak menghabiskan waktu untuk cemburu dan tetek bengek “tradisional”. Hal tersebut juga mewakili Larasati yang digambarkan dalam novel dengan segala detilnya oleh pengarang. Selain itu juga dalam hal perwatakan sebenarnya Larasati juga berhipogram kepada Srikandi dan juga Keleting Kuning (dalam cerita Panji). Seperti yang sudah disebutkan oleh pengarang secara eksplisit. “Atik bukan gadis desa yang serba nerima dan sumarah belaka. Atik adalah wanita tipe Keleting Kuning. Ngunggah-unggahi ia tidak gentar, dan itu hak setiap wanita. Dari pihak lain, si Teto juga bukan Ande-Ande Lumut.”55 Keleting Kuning merupakan tokoh dalam cerita Ande-ande Lumut yang memiliki sifat tidak mau nrimo atau sumarah begitu saja kepada keadaan. Sangat identik dengan sifat Larasati yang digambarkan dalam novel. “Atik tidak pernah merasa diri punya watak Srikandi. Tetapi dapat dibayangkan betapa malunya Resi Bisma ketika harus berhadapan dengan lawan perempuan Srikandi. Tetapi Atik tidak pernah punya niat untuk melukai Bisma sedikit pun. Ataukah ada kekuatan Ambika yang melayang di udara dan yang mengalahkan Bisma sehingga Teto terpaksa lari? Lari karena takut? Tidak. Pasti tidak.”56 54 Ibid., h. 67. Ibid., h. 276. 56 Ibid., h. 176. 55 101 Srikandi dalam cerita Mahabarata diceritakan bahwa ia lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terdapat kisah yang hampir sama, namun dalam pewayangan Jawa dikisahkan bahwa ia menikahi Arjuna.57 Bagaimanapun juga, kepribadian Larasati dalam novel lebih menyerupai istri Arjuna yang lain, yakni Srikandi. Larasati bukan seorang wanita bersifat anggun seperti yang dilambangkan oleh Larasati seorang yang dikisahkan dalam pewayangan, tetapi justru memiliki sifat seperti Srikandi dan bahkan Keleting Kuning. 2) Tokoh Tambahan Selain kedua tokoh utama di atas, terdapat tokoh-tokoh tambahan yang mendukung keutuhan cerita dalam novel ini. Tokoh-tokoh tambahan itu memainkan peranan dalam rangka menghidupkan cerita. a) Brajabasuki dan Marice Brajabasuki merupakan papi dari Setadewa. Dalam prawayang Brajabasuki diibaratkan dengan Raja Basudewa. Perlambangan itu terlihat dari sifat yang dimiliki Brajabasuki yang mencerminkan sifat Basudewa. Seperti halnya Basudewa dalam epos Mahabarata yang menitipkan ketiga anaknya pada keluarga Antapoga, hal itu juga dilakukan oleh Brajabasuki yang menitipkan keluarganya kepada keluarga Antana. “Dan Pagi-pagi benar Mami diantar ke puri Hendraningrat. Tetapi dengan dalih cari kerja Papi lalu menghilang. Ia ingin membebaskan keluarga Hendraningrat dari segala resiko.”58 Basudewa memiliki sifat yang sangat sayang kepada keluarganya, hal itu dapat kita lihat ketika dia menitipkan anaknya atas hal keselamatan 57 58 Nurgiyantoro, op. cit., h. 11. Mangunwijaya, op. cit., h. 36. 102 dari pembunuhan yang ingin dilakukan Kangsa. Hal yang sama juga diperlihatkan dari sifat Brajabasuki ketika terancam oleh pihak Jepang. Brajabasuki mengantarkan istrinya untuk berlindung di puri Hendraningrat dan ingin membebaskan seluruh keluarganya dari segala resiko yang telah dilakukannya (ikut berjuang di bawah tanah melawan Jepang dan hal itu diketahui oleh pihak Jepang). Setelahnya diketahui Setadewa hidup dalam lingkungan keluarga Antana. Basudewa dikenal sangat pandai olah keprajuritan. Hal sama juga dimiliki oleh Brajabasuki, ia menjadi loitenant eerste klas, yakni letnan slagorde KNIL yang dipimpin langsung oleh Ratu Belanda. Brajabasuki semula tergabung dalam Legiun Mangkunegaran, karena ia merupakan seorang priyayi, keturunan keraton Mangkunegaran. Ketidaksukaannya pada kehidupan priyayi termasuk raja-raja Jawa memaksanya bergabung dengan pasukan KNIL. Maka tidak heran Brajabasuki memiliki sifat yang lebih condong kepada kehidupan kaum Eropa, dan memperistri seorang keturunan Belanda. “Papiku loitenant keluaran Akademi Breda Holland. Jawa DAN Keraton! Semula tergabung dalam Legiun Mangkunegaran. Tetapi Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde langsung di bawah Sri Baginda Neerlandia saja; Ratu Wilhelmina kala itu. Tidak usah dibawahi raja Jawa. Terus terang Papi tidak suka pada raja-raja Inlander, walaupun konon salah seorang nenek canggah atau ganlung-siwur berledudukan selir Keraton Mangkunegaran. Soalnya, Papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali itulah sebabnya juga, ibu kandungku seorang nyonya yang menurut babu-babu pengasuhku, totok Belanda Vaderland sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak percaya. Itu akibat kesalahan kawan-kawan sepermainan di garnisun, ...”59 Sedangkan istri dari Brajabasuki, dan mami dari Setadewa bernama Marice. Merupakan orang asli keturunan Belanda, yang pada awalnya tidak dipercayai oleh Setadewa. Seperti yang terlihat pada kutipan di atas. Kehidupan berkebalikan dari Brajabasuki justru 59 Ibid., h. 3. 103 ditampilkan oleh Marice istrinya sendiri, orang keturunan asli Belanda yang justru senang dengan budaya ketimuran. “Aku merasa agak ngeri di dalam “dalem” puri itu. Gelap dan berbau kemenyan. Seperti kamar mati. Tetapi Mamiku tampak kerasan di dunia situ. Kulihat sering ia mengatupkan mata, dan diam merenung seperti melawat sebentar ke dunia “sana”.60 Kutipan di atas menggambarkan bahwa Marice yang mewakili bangsa barat menempatkan pilihan ketimuran sebagai kerangka ideologinya, berkebalikan dengan suaminya. Bukti lain juga dikemukakan Setadewa terkait maminya yang memposisikan diri sebagai hasil peniruan budaya timur. “Dan kulit Mamiku putih langsep mulus; nah itu justru bukti Mami bukan totok. Sebab orang Belanda berkulit merah blentong-blentong seperti genjik anak babi. Memang Mami jelas tak punya sistem pendidikan yang berdisiplin. Nah, itu bukti kedua, Mami bukan totok. Bukti ketiga: Mami suka pada segala hal pedukunan dan takhayul atau mistik. Bukti keempat, dan ini yang paling meyakinkan: Mami sangat cantik. Biasanya nyonya totok tidak cantik. Barangkali cantik juga, tetapi untuk ukuran sana, negeri kincir-angin dari kayu. Untuk ukuran negeri pohon kelapa, di mana lalat-wilis pun biru-hijau keemas-emasan pantatnya, maaf tidak.”61 Tidak mempunyai sistem pendidikan berdisiplin dan suka pada segala hal pedukunan dan takhayul atau mistik yang digambarkan Setadewa mengenai maminya jelas menginformasikan bahwa kehidupan Marice lebih condong terhadap budaya timur. Terlebih pemahamannya yang sangat mendalam mengenai mitologi Jawa membawanya dalam posisi budaya Timur yang nyata. “Betapa sangat paham beliau tentang primbon-primbon Jawa dan segala jenis ilmu klenik! Bukti bukan, nyonya yang tidak sombong? Dan begitu mengharukan beliau menghargai warisan nenek moyang.”62 60 Ibid., h. 7. Ibid., h. 4-5. 62 Ibid., h. 8. 61 104 Perbedaan kerangka ideologi antara Brajabasuki dan Marice sedikit-banyaknya mempengaruhi Setadewa dari segi penokohan. Sementara pengalaman pendidikan Barat yang diadopsi Brajabasuki mempengaruhi sikapnya terhadap anti feodalisme. Sikap anti feodalisme itulah yang kemudian diwarisi oleh Setadewa. “Aneh sebetulnya, Mami yang Indo putih sangat cocok dan senang berkunjung ke istana. Sedangkan Papi yang sawo matang dan raden mas ningrat tampak lebih senang di luar tembok istana. Tetapi itu barangkali karena Mami merasa setengah ratu di Mangkunegaran.”63 b) Pak Antana dan Marsiwi Bapak Antana dan Ibu Antana adalah seorang suami istri yang merupakan orang tua dari Larasati. Seperti yang dikisahkan dalam Prawayang dalam novel ini Bapak Antana diibaratkan dengan Antapoga atau Antagopa, seorang gembala ternak istana, dan memiliki istri, Nyai Sugopi, yang diibaratkan sebagai Ibu Antana. Dalam kisah pewayang Jawa Antapoga dikenal karena mendapat tugas dari Prabu Basudewa untuk mengasuh dan mendidik, sekaligus menyembunyikan tiga orang anaknya. Ketiga anaknya itu adalah Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng, yang dalam novel diibaratkan sebagai Setadewa. Nama Antagopa memiliki arti penjaga perbatasan atau gembala. Kata „anta‟ artinya batas, sedangkan kata „gopa‟ artinya penjaga. Sementara itu „gopa‟ juga bisa berarti lain, karena kata „go‟ artinya sapi dan kata „pa‟ artinya penjaga.64 Maka tidak heran jika Pak Antana senang terhadap alam bebas dan juga terhadap binatang-binatang. “Ibunya menikah dengan seorang konsulen pertanian yang tidak berdarah ningrat, tetapi seorang anak-emas pegawai tinggi departemen entah apa. Ya, cocok, anak angkat dengan anak angkat. Ia tahu itu, karena ibunya selalu berterus terang. 63 Ibid., h. 7-8. Veven Sp Wardhana, “Perihal Bahasa dan Simbol dalam Roman “Burung-burung Manyar” Karya Y.B. Mangunwijaya”, Basis, Yogyakarta, September, 1984, h. 346. 64 105 Ayahnya, Meneer Antana seorang pegawai Dinas Kebun Raya Bogor dan juga ikut diserahi cagar-alam Ujung Kulon.”65 Tidaklah heran jika ia bekerja kepada dinas kebun raya di Bogor, bahkan di Ujung Kulon. Kegemaran Pak Antana terhadap alam bebas dan para binatang berpengaruh besar terhadap penokohan Larasati. “Berkali-kali, bahkan dapat dikatakan sekali seminggu paling sedikit, Atik diajak ayahnya menelusuri sawah ladang dan masuk ke semaksemak hutan gunung. Bahkan pernah ia diajak masuk Ujung Kulon.”66 Pak Antana merupakan sosok laki-laki yang cinta keluarga dan mampu menciptakan keluarga yang harmonis. Sebagai pegawai yang bertanggung jawab terhadap taman nasional Ujung Kulon, Antana berhasil menanamkan rasa cinta alam kepada Larasati. Antana juga menjadi pendukung kemerdekaan Republik dan ikut juga dalam pergerakan bawah tanah melawan Jepang. Ia meninggal akibat terkena bom sewaktu terjadi serangan Belanda ke Yogyakarta. Ajeng Marsiwi atau Bu Antana merupakan sosok perempuan yang menganut ide kesetaraan manusia dan menolak feodalisme, tetapi masih menganut nilai-nilai pendidikan perilaku model Jawa. “Bu Antana sendiri tidak seberapa dalam hal intelek, itu diakuinya ikhlas, walaupun tidak bodoh. Iklim perkembangannya dulu sebagai anak angkat perempuan keraton dengan cara ningrat terlalu menghambatnya.” 43 Menurutnya sistem model Jawa Keraton merupakan salah satu penghambat pendidikan bagi anak, itu diakuinya ketika berbicara mengenai Larasati yang juga dibesarkan tetap dengan alam sopan santun dan citarasa Jawa ningrat67. Bu Antana adalah sosok yang mencintai keluarga dan mengabdikan hidupnya untuk menjalankan tugas sebagai istri dan ibu yang baik bagi keluarganya. Baginya, 65 Mangunwijaya, op. cit., h. 25. Ibid. 67 Ibid., h. 45. 66 106 “seperti setiap wanita Jawa sejati akan selalu sumarah. Dalam keadaan apa pun. Tanpa patah-hati.”68 Bu Antana dalam prawayang dalam novel ini diibaratkan dengan Nyai Sagopi atau Sugopi. Nyai Sugopi merupakan dayang istana yang setelah menjadi istri demang Antapoga, nama Ken Sayuda diganti menjadi Nyai Sugopi. Dalam cerita wayang dikisahkan Sugopi hanyalah gadis desa biasa yang bermimpi menjadi istri dari pangeran kerajaan. Namun apa yang diimpikannya itu pun akhirnya terwujud, ia diangkat menjadi seorang selir kerajaan. Persamaan dengan cerita novel, khususnya dengan Bu Antana adalah sama-sama menjadi “anak angkat” kerajaan. “Sebetulnya ia dan suaminya lebih suka tinggal di Bogor, kota tenang itu, tetapi Bu Antana tahu kedudukannya sebagai anak seorang gundik Keraton berdarah rendah yang sudah untung mendapat anugerah dianggap sejajar dengan abang tirinya Mas Hendraningrat”69 Silsilah keluarga Bu Antana seperti yang diceritakan oleh percakapan antara pembantu kerajaan memberitahukan bahwa ibu dari Bu Antana merupakan istri simpanan pangeran kerajaan. “Memang ibunya, nenek Den Rara Larasati itu, perempuan simpanan di suatu desa lereng Lawu, gunung yang angkuh itu.”70 Dengan begitu dapat ditarik suatu kesamaan antara Bu Antana dengan Nyai Sugopi, yakni sama-sama “anak angkat” kerajaan dan sama-sama dititipi anak oleh Basudewa dan juga Brajabasuki. Begitupun dengan segi penyifatan yang sama ditemukan antara Bu Antana dan Nyai Sugopi. Nyai Sugopi yang dalam penceritaan wayang sudah tidak memikirkan lagi apa artinya harga diri atau perasaan seorang wanita, ia kini hanya fokus pada masa depan anak – anaknya dan anak titipan dari raja Basudewa, orang yang membuatnya 68 Ibid., h. 172. Ibid., h. 50. 70 Ibid., h. 17. 69 107 mengalami perjalanan hidup yang panjang dan melelahkan. Begitupun dengan Bu Antana yang berpikiran senyawa dengan Nyai Sugopi. “Sudah tiga tahun Jepang berkuasa dan banyak orang berbincang tentang kemerdekaan Indonesia kelak di kemudian hari. Tetapi bagi setiap ibu yang menjadi pertanyaan pokok hanyalah: nasib atau lebih tepat calon jodoh sang anak kelak di kemudian hari.”71 c) Verbruggen dan Janakatamsi Verbruggen adalah seorang komandan batalion dan merupakan atasan Setadewa di NICA. Seperti layaknya komandan, Mayoor Verbruggen sangat pandai membaca situasi dan jenis pemikiran yang tenang, dan secara tidak langsung juga mempunyai andil yang besar mempengaruhi jalan pikiran tokoh Setadewa. “Yang penting: pakai akal sehat! Ini yang penting untuk perwira. Bukan melayangkan peluru atau berbaris, tetapi berpikir logis. Musuh kita bukan tentara Jerman, tetapi kaum bandit jugakan. Saya pun pakai akal sehat.”72 Banyak yang diajarkan oleh Verbruggen kepada Setadewa dalam hal keprajuritan dan cara berpikir layaknya seorang prajurit. Selain itu juga ideologi yang dianut Verbruggen secara tidak langsung menurun kepada Setadewa. “Tetapi yang jelas bagi kita sekarang ialah: kepentingan Kerajaan tidak menghendaki prajurit yang emosional. Perang tidak bisa dimenangkan dengan emosi. Tetapi perhitungan yang dingin. Republik itu juga pasti akan hancur dengan sendirinya karena emosi mereka. Emosi bukan nahkoda. Paling-paling dinamit yang buta.” 85 Seringkali Verbruggen menasehati Setadewa yang berkaitan dengan dasar pemikiran dan cara berpikir (mental). Maka tidak berlebihan anggapan bahwa pemikiran ideologi Setadewa banyak dipengaruhi oleh tokoh Verbruggen. Seperti kasus Verbruggen saat menilai mental orang-orang republik Indonesia yang dianggapnya buruk. Penilaian 71 72 Ibid., h. 44. Ibid., h. 65-66. 108 tersebut secara sendirinya hadir dalam sikap Setadewa dan mempengaruhi sikap Setadewa selama jalan cerita novel. “... tetapi sedikit banyak saya sudah kenal mental amok kaum Inlander di sini.” 79 Dalam pewayangan Verbruggen dilambangkan sebagai Petruk. Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa. “Verbrugen memang Petruk, tetapi Petruk Belanda yang kekar, hanya itu bedanya. Tetapi melihat mulutnya yang terlalu besar dan lebar serta matanya condong sipit, apalagi perutnya yang melembung, toh Petruk ia sebenarnya.”73 Melalui tokoh Verbruggen ini penulis menemukan persamaannya dengan tokoh wayang Petruk, seperti yang dijelaskan secara eksplisit oleh pengarang bahwa Verbruggen adalah Petruk, badut dalam arti luas dan banyak. Dalam novel, Verbruggen merupakan jembatan bagi Teto untuk menemukan ibunya yang hilang, atau untuk menemukan identitas dirinya, sebagaimana kata brug (bahasa Belanda) yang berarti jembatan. Dalam dunia wayang, tokoh Petruk, juga Panakwan lainnya, seperti Semar, Gareng, dan Bagong, di samping juga Togog dan Mbilung, merupakan tokoh-tokoh yang memberi arah pada ksatria untuk mencapai atau untuk sampai pada tujuannya secara benar.74 Setadewa sendiri menjadi sadar dan mengenali dirinya bahwa dirinya tidak lebih hanyalah sebagai KNIL, tentara sewaan, bukan pasukan KL yang berarti pasukan kerajaan, dan ia sadar bahwa yang dimusuhi dan dibencinya selama ini hanyalah oknum-oknum Jepang dan Indonesia belaka, bukan Jepang dan Indonesia dalam pengertian suatu abstraksi bangsa. Kesadaran macam ini diperolehnya setelah bertemu, bercakap, berdebat, dan bertengkar dengan Verbruggen, si “Petruk”. 73 74 Ibid., h. 119. Wardhana, op. cit., h. 350. 109 Bagi Setadewa Verbruggen bukan hanya atasannya di NICA, tapi lebih seperti bapak yang selalu mengajarkan segala sesuatu kepada anak-anaknya dan memberi kasih sayang yang lebih. “Entahlah, Mayoor Verbruggen memang jenis jago berkelahi yang tidak dapat dibuat main-main. Akan tetapi aku merasa, bahwa ada semacam kebapaan padanya. Paling tidak terhadapku”75 Verbruggen memberikan perhatian khusus kepada Setadewa yang menjadi anak buahnya di NICA. Hal itu berlatar belakang karena Verbruggen pernah mencintai Marice dan itu diakuinya sendiri olehnya. “Sekali lagi, jangan mengira kesedihanmu lebih besar dari kesedihanku. Penderitaan anak bisa dalam. Tetapi penderitaan kekasih bisa lebih dalam. Maka itu jangan berlagak. Itu kalau kau lelaki dan bukan seorang banci sentimentil yang cuma bisa meong-meong kayak kucing.”76 Bila diamati dari segi kisah percintaan Verbruggen dengan Marice sama dengan kisah percintaan antara Setadewa dan Larasati, yakni sama-sama mengandung kata ketidaktercapaian. Verbruggen yang akhirnya tidak mendapatkan Marice, yang lebih memilih Brajabasuki dan Setadewa yang tidak mendapatkan Larasati, yang menikah dengan Janakatamsi. Asumsi inilah juga yang memandang kenapa Setadewa pada akhir-akhir novel digambarkan memiliki karakter yang kuat, seperti apa yang digambarkan Larasati. “Teto. Mengapa kau kok dapat kuat seperti itu? Kau kuat, Teto, kau sangat kuat. Dan aku selalu kagum pada lelaki yang kuat.”77 Pada akhirnya Verbruggen diketahui meninggal saat peperangan terjadi. Setelah Belanda dipukul mundur di Indonesia, seperti yang diketahui sebelumnya melalui percakapan Setadewa dengan Verbruggen bahwa Verbruggen ingin masuk Legiun Asing Prancis. 75 Mangunwijaya, op. cit., h. 80. Ibid., h. 163. 77 Ibid., h. 312. 76 110 “Sudah terima formulir pendaftaran Legiun Asing Perancis? Tanyaku sinis kepada Verbruggen. Dia hanya tertawa saja, tawa orang yang kalah lotre tetapi gigih optimis menebak lagi harapan lotre baru.”78 “Verbruggen, dia pun sudah tiada. Si Bandit gila telah hancur di Dien Bien Phu. Pastilah sumbangan itu dilewatkan melalui ibunya. Seandainya bukan Spoor tetapi Verbruggen yang jadi panglima kala itu, pasti sejarah akan berjalan lain. Tetapi seorang Verbruggen tidak akan laku untuk hari-hari semacam itu dulu.”79 Adalah pertempuran terakhir dalam Perang Indochina Pertama antara Perancis dan Viet-Min. pertempuran ini terjadi antara Maret dan Mei 1954, dan berakhir dengan kekalahan Perancis secara besar-besaran yang akhirnya menyudahi peperangan itu. Sementara itu Janakatamsi merupakan anak dari dokter yang merawat Mami dari Setadewa ketika tinggal di Kramat. “Lho siapa ayahnya? Sekarang sudah pensiun. Dulu pernah lama menjabat direktur rumah sakit di Kramat. Oooh ... itulah! Ia mulai kenal dengan Atik, ketika melihat Atik dengan ibunya berziarah ke makam Ibu Brajabasuki di Kramat itu. Pertamatama itu dianggapnya peristiwa biasa. Tetapi sesudah ia tahu, bahwa yang meninggal itu bukan ibunya dan bukan apa-apanya, namun toh setia setiap pekan nyadran Atik datang membersihkan nisan, ia mulai tertarik kepada gadis dan ibunya yang begitu budiwati itu.”80 Mami Setadewa yang setelah meninggal di makamkan di Kramat membuat Ibu Antana dan Larasati selalu berziarah tiap minggunya, untuk sekadar membersihkan makam. Dari situ pulalah penyebab pertemuan Janakatamsi dengan Larasati. Kesukaan Janakatamsi terhadap Larasati lebih karena keluarga Antana itu begitu budiwati yang akhirnya membuat Janakatamsi tertarik untuk menikahi Larasati. Walaupun menurut Setadewa pernikahan mereka hanya seperti 78 Ibid., h. 143. Ibid., h. 223. 80 Ibid., h. 268. 79 111 pernikahan model kuno, yakni menikah tanpa rasa cinta dan hanya mementingkan status belaka. “Jelaslah sejelas-jelasnya, bahwa perkawinan Atik dengan Janakatamsi adalah perkawinan model kuna. Kawin asal jangan jadi perawan tua. Atau: kawin karena sepantasnyalah orang itu kawin. Atau: kawin karena membutuhkan bodyguard. Kali ini rupa-rupanya: Kawin karena membutuhkan jongos dan pesuruh. Tidak! Aku jahat, aku tidak adil terhadap Dik Jana. Dialah yang telah menyelamatkan Atik dari noda perawan tua yang memalukan.”81 Namun pemikiran tersebut segera dibuang jauh-jauh dari pikiran Setadewa sendiri. Setelah Setadewa melihat keluarga mereka begitu hidup dengan harmonis dan tenang. Apalagi pernikahan mereka itu dikarunia tiga orang anak, yakni Teto, Kris, dan Padmi. Dalam pewayangan Janakatamsi dilambangkan sebagai Arjuna, karena memiliki nama yang sama dengan nama lain Arjuna, yakni Janaka. Nama Janaka sendiri merujukan arti bahwa manusia berkelamin ganda (hemaprodit) yang tidak memiliki ketegasan.82 Dalam pengertian yang merujuk kepada cerita wayang, Arjuna dipanggil dengan nama Janaka karena memiliki banyak istri. Dengan kata lain berkelamin ganda di sini merujuk kepada banyak istri. Arjuna dikenal sebagai anggota Pandawa yang berparas menawan dan berhati lemah lembut. Sifat yang sama juga dimiliki oleh Janakatamsi yang memiliki sifat lemah lembut dan juga sayang terhadap istrinya. “Suaminya lebih pendek dari Atik. Rupa-rupanya orang yang tenang dan baik hati, walaupun wajahnya tampak serius. Ia menggandeng istrinya dengan langkah-langkah yang penuh perhatian kepada istrinya, dan sekali, entah suatu kotoran apa yang kebetulan menodai lengan kebaya istrinya diselentik bersih ... Dia suami yang penuh pengertian dan penuh pengabdian kepada istrinya, itulah dalam sekilat saat kesimpulanku. Istrinyalah yang ia puja sebagai ratu dan pemberi undangundang”83 81 Ibid., h. 275-276. Wardhana, op. cit., h. 346-347. 83 Mangunwijaya, op. cit., h. 246-267. 82 112 Janakatamsi merupakan seorang dekan fakultas geologi, merangkap juga sebagai kepala laboratorium maritim Angkatan Laut yang pada akhirnya setelah kasus pembongkaran korupsi ia dipecat dari segala jabatanya. “alias Nyonya Larasati Janakatamsi, isteri Dekan Fakultas Geologi salah satu universitas swasta di Jakarta dan Kepala Laboratorium Maritim Angkatan Laut.”84 yang berwatak halus dan mengalah (sayang) kepada istri. Meskipun demikian, Janakatamsi memiliki kelebihan dalam hal kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi persoalan hidupnya terutama masalah keluarganya. “Kuamat-amati juga kadang-kadang suaminya. Orang tanpa banyak temperamen rupa-rupanya ia, kontras sekali dengan Atik yang kiprah di tengah Aula ini. Bagaimana rasanya menjadi suami Larasati? Mengapa justru dia yang dipilih? Jelas, ya begitulah. Pasti itu kesimpulan setiap orang normal.”85 Janakatamsi juga memiliki sifat yang tidak tempramen, persis juga dari apa yang dimiliki oleh Arjuna. Namun, karena sifatnya yang seperti Arjuna tersebut membuat Setadewa berpendapat bahwa justru sifat yang lemah lembut seperti tidak melambangkan jiwa kelelakian yang seutuhnya. “Ingin orang lelaki di sampingku ini kukocok dan kusepak agar kejantanannya melotot ke luar dari kepompongnya ... Aku sudah tidak mendengar lagi apa yang dikatakan udang yang tidak punya kulit panser itu.”86 Maka tidak heran juga ketika Janakatamsi lebih memilih bergerak dalam jalur pejuang kesehatan demi masyarakat, karena pilihannya lebih kepada menjadi Palang Merah ketimbang ikut berjuang mengangkat senjata. “Aku di Palang Merah. (Ah pantas saja). Palang Merah? Ya, kepada Mas Teto aku jujur berterus-terang. Aku tak suka berjuang dengan senjata. Entah, barangkali karena kami bertradisi dokter. (Ini lagi).” 280 84 Ibid., h. 244. Ibid., h. 256. 86 Ibid., h. 290. 85 113 Seperti yang diakui oleh Setadewa pada akhirnya yang mengatakan bahwa: “Palang merahlah yang lebih panglima daripada senjata api. Sebab apa? Karena Palang Merah memberi hidup. Ia lebih jantan dariku, Tik. Kejantanan manusia bukan kejantanan rimba ini.”87 Dalam cerita pewayangan juga digambarkan bahwa hubungan antara Arjuna dan Kresna sangat erat, sehingga Arjuna meminta kesediaanya sebagai penasihat sekaligus kusir kereta Arjuna saat perang antara Pandawa dan Kurawa berkecamuk (Baratayuda). Seperti dalam novel digambarkan Janakatamsi juga meminta nasihat perihal pernikahannya dengan Larasarti yang dianggapnya hanya Seradewa sajalah yang mampu untuk menolongnya. “Nah, justru itulah Mas Seta, aku sering tidak tahu, harus bagaimana ia kutanggapi. Seringkali, begini salah, begitu keliru. Padahal ya, walaupun saya ini orang yang tidak tanpa kekeliruan, segala-galanya sudah kuusahakan agar membuat hidupnya senang.”88 Selain tokoh-tokoh tambahan di atas, sebenarnya terdapat lagi tokoh-tokoh tambahan lain. Namun tokoh tambahan lain itu tidak tergolong memiliki intensitas hubungan yang tinggi atau bahkan tidak terkait langsung dengan tokoh utama. Sebagian besar tokoh tambahan lain ini adalah tokoh sederhana, yaitu tokoh yang hanya disebutkan satu kualitas atau watak tertentu saja, seperti tokoh Karjo, Samsu, Mbok Ranu, Mbok Naya, Ambassador Brindley, Syahrir dan lain-lain. Terkait dengan tokoh dan penokohan novel ini terdapat keunikan tersendiri. Umpamanya tokoh Karjo dan Samsu yang menempati tempat yang unik posisinya di dalam novel. Pasalnya kedua tokoh tersebut diceritakan dalam satu sisipan cerita yang tidak terkait dengan alur utama cerita. Pada bab sebelas dan bab empat belas terdapat kisah meugenai sosok pemuda pejuang yang ikut berjuang merebut kemerdekaan, tetapi 87 88 Ibid., h. 312 Ibid., h. 290. 114 sering memanfaatkan perjuangan tersebut untuk kepentingan pribadi. Tokoh tersebut adalah Samsu, yang disebut juga “setan kopor”. “Malam itu Pak Tamping Kepondong meninggal akibat penganiayaan Samsu. Seminggu kemudian seorang tani yang ketakutan dan bermalam di gubug di tengah ladang dilarak Samsu ke tepi jurang dan dipenggal lehernya. Dakwaan: mata-mata Belanda. Beberapa hari kemudian ibu-ibu mulai mengungsikan gadis-gadis mereka ke tempat nenek atau desa lain, sesudah anak Pak Lurah diperkosa Samsu.”89 Samsu dapat dibilang menjadi tokoh dominan sekaligus antagonistis di kedua bab tersebut. Posisi yang berlawanan dengan Samsu dalam cerita itu adalah Karjo. “Walaupun Karjo merasa hanya pemuda desa, tetapi ia merasa lebih tua. Toh Samsu hanya sersan saja. Tapi sombongnya! Langsung ia berbahasa ngoko kepadanya, seperti berbicara kepada jongos. Karjo pernah dilatih sebagai Keibodan dan sesudah tiga hari jelaslah bagi Karjo, ia lebih unggul dalam pengetahuan tentang soal-soal kemiliteran daripada Setankopor. Soal jaga misalnya.”90 Karjo adalah pejuang juga sebagaimana Samsu. Karjo adalah sosok pejuang yang tulus dan berperikemanusiaan, berkebalikan dengan sifat dan perilaku Samsu. Melalui kedua tokoh tersebut sebenarnya pengarang ingin mengkritisi sejarah terhadap para pejuang kemerdekaan. Pengarang ingin menegaskan bahwa pejuang di pihak Republik belum tentu juga orang yang baik dengan niat mulia dalam berjuang memperebutkan kemerdekaan. “Kau Cuma menakut-nakuti orang. Apa hubungannya dengan Setankopor? O, banyak sekali hubungannya. Sebab ia jadi bupati sekarang. Sudah saya tanyakan pada polisi pengawal. Yang seperti Arab, hidungnya agak bengkok itu bupati? Betul, ia bupati yang baru. Nah, selamat mampus kita.”91 Lebih dalam lagi pengarang juga ingin mengkritisi hasil dari perubahanperubahan yang terjadi di Indonesia. Saat suasana konflik kemerdekaan para pejuang yang kontras dengan segala jenis sifatnya digambarkan oleh 89 Ibid., h. 134. Ibid., h. 131. 91 Ibid., h. 188. 90 115 pengarang, namun pada waktu Indonesia merdeka (perubahan terjadi), orang-orang yang dinilai tidak pantas memperoleh jabatan justru mengisi kekuasaan di pemerintahan. 4. Latar a. Latar Tempat 1) Magelang Latar Magelang ini merupakan latar dominan dalam cerita, karena merupakan kampung halaman dari tokoh utama Setadewa, yang memuat banyak kenangan mengenai masa lalunya. Sehingga membuat Magelang menjadi kota yang sentimental bagi Setadewa. “Masuk Magelang seperti masuk sarang lebah, begitu banyak manusianya. Kendaraan bermotor sudah mulai membisingkan bunyi-bunyi imperial kerajaan ular adder.”92 Kutipan tersebut terjadi ketika Setadewa bernostalgia dengan kota tersebut, yang menurutnya sudah sangat lama semenjak dia memutuskan pergi ke luar negeri. Pada akhirnya pun latar Magelang inilah yang ditempatkan Setadewa pada masa-masa tuanya, semenjak dia menjadi ayah dari anak-anak Larasati. 2) Surakarta Pada awalnya penggunaan latar Surakarta digunakan untuk memberitahukan bahwa tokoh Setadewa merupakan keturunan Jawa (Keraton). “Papiku loitenant keluaran Akademi Breda Holland. Jawa DAN Keraton! Semula tergabung dalam Legiun Mangkunegara.”93 Pernyataan di atas juga sebagai penegas bahwa tokoh utama merupakan asli keturunan Jawa (keraton). Istana Mangkunegaran berlokasi di kota Surakarta. Sebagai keraton yang terbuka dengan ide- 92 93 Ibid., h. 229. Ibid., h. 3. 116 ide baru perjumpaan kebudayaan Jawa dengan Eropa dicermati dengan seksama dan diakulturasikan menjadi budaya Jawa. Akulturasi ini diinkulturasi sampai unsur dan elemen Eropa menjadi semakin Jawa. Sehingga, dari situlah dapat dimaklumi bahwa Brajabasuki memiliki kesukaan hidup bebas model orang-orang Eropa. Latar Surakarta juga digunakan sebagai penguat penggambaran tokoh Larasati dan keluarganya sebagai keturunan keraton. “Sungguh, Atik tidak bisa membayangkan diri menjadi puteri keraton. Tetapi sesekali melihat Surakarta bolehlah.”94 Kota Surakarta atau disebut juga kota Solo atau Sala. Maka tidak heran dalam cerita sering disebut Surakarta atau Sala. Hal tersebut dapat terlihat pada dialog antara Mbok Naya dengan Mbok Ranu “Apa kota Sala kurang elok, kok ingin ke Betawi”95. Pada masa sekarang nama Surakarta digunakan dalam situasi formal pemerintahan, sedangkan nama Sala/Solo lebih merujuk kepada penyebutan umum yang dilatarbelakangi oleh aspek kultural. Tujuan dari penggunaan latar ini selain penggambaran kental adat Jawa, juga sebagai penjelas bahwa tokoh utama yang diceritakan, baik Setadewa maupun Larasati memiliki pertalian darah dengan keluarga keraton atau bisa dibilang mereka merupakan keturunan priyayi. 3) Semarang Latar ini merupakan tempat di mana Setadewa melanjutkan pendidikannya. “Ketika itu aku memondok di Semarang meneruskan sekolahku di SMT. Aku senang di Semarang, karena ternyata ada grup pelajar yang berselera anti Jepang. Tetapi suasana memanglah menjengkelkan bagiku. Kami diindoktrinasi dan dilatih bermodel Jepang.”96 94 Ibid., h. 25. Ibid., h. 18. 96 Ibid., h. 32. 95 117 Pengarang menggunakan latar ini untuk menggambarkan pada zaman pendudukan Jepang, bangsa Indonesia kala itu didoktrin pendidikan ala Jepang97. Walaupun Setadewa memposisikan diri sebagai pelajar yang anti Jepang. “Dan aku terpaksa latihan perang-perangan dengan bedil kayu gaya Jepang. Sinting sebetulnya.”98 4) Jakarta Untuk pertama kalinya Setadewa bertemu dengan Larasati ketika mereka dewasa, yakni di jalan Kramat VI. Jalan Kramat VI merupakan rumah keluarga Antana. “Sampai di alamat Kramat, aku masuk halaman dengan nomor rumah yang sudah dipesankan padaku. Rumah itu rumah kuna dengan tiang-tiang Romawi bulat yang gagah. Lantai dari marmer Italia persegi dipasang diagonal. Hanya kerai-kerai sudah agak lusuh, karena bahan cat dimasa itu sudah lama sulit dicari.”99 Penggunaan latar ini akibat dari kedatangan Jepang ke Indonesia dan membuat keluarga Larasati harus mengungsi dari Bogor ke Jakarta. “Di jalan Kramat ini Bu Antana sebetulnya tidak begitu suka. Tetapi hal ihwal peristiwa kedatangan Jepanglah yang menyebabkan mereka harus pindah ke Jakarta.”100 Di tempat ini pulalah Setadewa bertemu dengan maminya, dan mengetahui bahwasannya papinya ditangkap oleh Kenpetai. 5) Yogyakarta Atas nama situasi keamanan ibukota Jakarta (Batavia kala itu) yang makin memburuk, maka pemerintah memutuskan ibukota 97 Sejak Belanda menyerah pada tahun 1942, Jepang merombak sistem pendidikan Belanda di Indonesia. Dengan indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu yang berarti Delapan Penjuru Dunia Di Bawah Satu Atap. Ini adalah slogan persaudaraan universal yang digunakan Jepang untuk menciptakan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dalam Perang Dunia II. Kemudian untuk dalam pendidikan militer berbentuk Nippon Seisyin yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang. 98 Mangunwijaya, op. cit., h. 33. 99 Ibid., h. 37. 100 Ibid., h. 50. 118 dipindahkan ke Yogyakarta. Sebagai titik sentral pemerintahan Indonesia saat itu, akibatnya pihak Belanda bernafsu untuk merebut daerah tersebut, sekaligus menundukkan para pimpinan tertinggi Indonesia. Dengan harapan Indonesia dapat sekali lagi mereka taklukkan. “Dini pagi pasukan payung telah diterjunkan ke pangkalan Meguwa, Yogya. Sedangkan mereka mengamankan landasan dan daerah sekitarnya, Dakota pasukanku, pesawat pengangkut yang pertama mendarat.”101 Setelah beberapa waktu pihak Belanda melakukan penyerangan di berbagai daerah-daerah Indonesia. Sebagai aksi puncak penyerangan Belanda menyerang ibukota Indonesia, yakni Yogyakarta. Penyerangan tersebut dimaksudkan untuk menundukan ibukota agar jatuh ke tangan Belanda dan menduduki pula Istana Presiden Soekarno. Dimana istana tersebut merupakan titik sentral pemerintahan bangsa Indonesia. 6) Bogor Ini merupakan tempat tinggal keluarga Antana, merupakan rumah dinas yang diberikan kepada Pak Antana sebagai seorang pegawai dinas Kebun Raya Bogor. “Ayahnya bekerja di Bogor yang banyak hujannya itu, tetapi yang subur dan bersuasana bebas.”102 Bogor merupakan tempat favorit bagi Atik dan keluarganya. “Sebetulnya ia dan suaminya lebih suka tinggal di Bogor, kota tenang itu”103 Namun semenjak Jepang menguasai Indonesia mereka terpaksa pindah ke Jakarta. Melalui latar ini pengarang menguatkan sifat penokohan keluarga Antana, yang suka dengan sesuatu yang bersifat alam dan nuansa bebas. 101 Ibid., h. 120. Ibid., h. 25. 103 Ibid., h. 50. 102 119 Di latar ini jugalah yang menjadi tempat percakapan terakhir Setadewa dengan Larasati dalam novel ini. “Pada suatu Sabtu, aku diundang keluarga Jana. Bersama-sama dengan anak-anak kami akan pergi ke Pegunungan Salak. Maka berpikniklah kami menyegarkan jiwa, pergi ke lereng Gunung Salak”104 Percakapan terakhir itu juga menjawab semua permasalahan yang terjadi antara Larasati dengan Setadewa. Melalui percakapan itulah, Setadewa menyampaikan pesan dari ayah Janakatamsi agar Larasati dan Janakatamsi beribadah haji. 7) Tokyo Penggunaan Latar Tokyo dipergunakan hanya sepintas oleh pengarang, yakni ketika Setadewa dipecat dari pekerjaannya. Namun, pemilihan latar ini oleh pengarang seakan memberikan suatu unsur kesengajaan untuk menegaskan kritikannya. “Ternyata, apa yang sudah diduga semula betul terjadi. Aku dipanggil ke Tokyo dan di restoran lapangan terbang aku diberi tahu oleh boss tertinggi Pacific Oil Wells Company, bahwa aku dipecat dengan tidak hormat.”105 Pengarang seakan ingin menjelaskan bahwa perusahaan Pacific Oil Wells Company bermental fasisme yang diadopsi oleh Jepang. Sekaligus mengkritisi bangsa Indonesia, yang notabene sudah merdeka, tapi tetap saja masih dijajah oleh pihak asing, termasuk Jepang. Penggunaan latar ini dimaksudkan juga sebagai penguat karakter atau sikap yang dimiliki oleh tokoh Setadewa. “Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta model-modelnya pada negeri ini.”106 104 Ibid., h. 306. Ibid., h. 302. 106 Ibid., h. 300. 105 120 b. Latar Waktu Latar waktu yang terdapat dalam novel tersebut melintasi tiga zaman berbeda yang sudah jelas dituliskan secara eksplisit oleh Romo Mangun yakni; Bagian I: zaman Belanda menjelang keruntuhannya, hingga Jepang berkuasa di Indonesia. Bagian II: pasca-Indonesia merdeka sampai agresi militer Belanda. Bagian III: zaman awal Orde Baru bertahta di Indonesia. Walaupun secara eksplisit latar waktu sudah dituliskan oleh pengarang sendiri. Namun di sini penulis akan mempertegasnya lagi dengan menonjolkan segi-segi implisit pada peristiwa cerita novel tersebut. Supaya pemahaman mengenai kapan terjadinya peristiwa menjadi lebih kelihatan. a) Bagian I: 1934-1944 Pada bagian awal dari pembukaan novel ini, digambarkan merupakan zaman kolonial. Ketika Setadewa bersekolah di Sekolah Dasar Kaum Eropa, sebagai anak kolong, anak dari letnan KNIL pada masa itu merasakan suatu “firdaus” tersendiri yang menurutnya di zaman yang serba normal. Hal itu terlihat ketika Setadewa menceritakan tentang perayaan hari ulang tahun Ratu Belanda. “...pada tanggal 31 Agustus, HUT Ratu Wilhelmina, diadakan parade besar di lapangan Tidar...”107 Ratu Wilhelmina merupakan Ratu Belanda, dia menjabat sebagai ratu dari tahun 1890 sampai 1948. Barulah pada tanggal 4 September 1948 Wilhelmina menyerahkan tongkat kekuasaan kepada anaknya, yakni Juliana. Jelaslah waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan terjadi pada masa pendudukan Belanda. Hal di atas diperkuat lagi dengan penjelasan Setadewa ketika berkunjung ke keraton, tidak sengaja dia mendengarkan percakapan para putri keraton tentang Gusti Nurul. 107 Ibid., h. 6. 121 “Gusti Nurul misalnya, bukan main bikin gempar di masa itu. Bayangkan! Putri raja Jawa! Naik kuda sih barangkali masih dapat diikuti nalar. Tetapi pakai celana! Nyuwun pangapunten! Loh serius nih! Kenapa tertawa? Cuma perempuan Cina yang pakai celana. Kalau noni dan nyonya Belanda mah, itu kan sudah di atas segala hukum, apa saja boleh kalau Belanda. Sampai duduk di sebelah kanan raja di atas singgasana, boleh dia. Tetapi puteri ningrat Jawa pakai celana? Krakatau bisa meletus itu nanti!”108 Gusti Nurul adalah seorang putri tunggal pasangan Mangkunegaran VII. Selain cantik, dia berani melakukan hal-hal yang dianggap tidak lazim oleh kaum perempuan kala itu, apalagi yang bernotabene putri keraton. Dapat diketahui sebagai bangsa timur, dahulu wanita sangat dibatasi oleh nilai-nilai yang memaksa wanita harus mengalami domestikasi. Gusti Nurul mendobrak semua pakem tersebut, termasuk wanita harus selalu di rumah. Bayangkan Gusti Nurul melakukan itu di era tahun 30an. Dimana dia berarti melawan sebuah sistem sosial yang telah mengakar selama ratusan tahun. Barulah pada bab “Buah Gugur” pada novel terjadi keruntuhan Belanda. Hal tersebut terlihat dari peristiwa Brajabasuki ditangkap Jepang sebagai tawanan perang. “Ia telah dilepas dari tahanan militer setelah beberapa bulan meringkuk sebagai lawan perang Jepang. Dunia-serba-gemilang kami telah cepat runtuh. Jepang datang. KNIL kalah dan bubar.”109 Dalam sebuah pertemuan Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jendral Tjarda Van Starkenborgh dengan Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jendral Hitoshi Imamura, yang dikenal sebagai Pertemuan Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942. Dengan pertemuan ini mengakhiri kekuasaan kolonial Belanda dan menempatkan Jepang sebagai penguasa baru atas Indonesia. Masa pendudukan Jepang di Indonesia 108 109 Ibid., h. 8. Ibid., h. 31. 122 dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. b) Bagian II: 1945-1950 Bagian II ini digambarkan Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya, akibat dari kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Kekalahan Blok Poros atas Sekutu menyebabkan Jepang mengumumkan bahwa pemerintahan Indonesia akan diserahkan kepada Sekutu. Dengan datangnya Sekutu yang diboncengi oleh NICA, membuat Setadewa yang saat itu sedang dendamnya dengan pihak Jepang dan Republik mengambil kesempatan untuk bergabung dengan NICA. “Tetapi awas! Masuk NICA bagiku tidak sama dengan menjadi budak Belanda. Itu lain!”110 NICA atau Nederlandsch Indie Civil Administratie (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) dibentuk oleh pihak Sekutu dan merekrut bekasbekas pegawai yang berpengalaman dalam mengatur pemerintahan di Indonesia. NICA bertugas mengontrol daerah Hindia Belanda setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Bergabungnya Setadewa dengan NICA diawali dengan pertemuan dengan Verbruggen atas rekomendasi surat dari maminya. “Surat itu kuterima dari Bu Antana dua hari sebelum hari yang mengerikan, demonstrasi di lapangan Ikada sesudah SoekarnoHatta memproklamirkan Republik.”111 Waktu itu Indonesia mengadakan suatu pertemuan besar-besaran atau lebih dikenal sebagai Rapat Raksasa yang dilaksanakan di Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) pada tanggal 19 September 1945. Hal tersebut diselengarakan dalam rangka memperingati satu bulan proklamasi kemerdekaan. 110 111 Ibid., h. 58. Ibid., h. 61. 123 Pada bulan-bulan terkahir 1945 orang-orang Indonesia tidak dapat berbuat banyak karena kedatangan tentara Sekutu yang dilindungi oleh Tentara Jepang, termasuk NICA di dalamnya. Persoalan menjadi lain ketika orang-orang Inggris hendak memperluas tumpuan kakinya dengan sasaran utama pembebasan tawanan perang yang ditangkap oleh Jepang. Hal tersebut dikenal dengan nama RAPWI (Relief of Allied Prisoners of War and Internees) yang berarti suatu badan pembebasan tawanan perang Sekutu dan yang tertawan lainnya. “Dan fakta menunjukkan, bahwa sebagian para tahanan Kenpetai, dan sangat mungkin sekali ayahmu juga, di bulan Mei tahun ini dipindahkan ke Sukamiskin di Bandung sana.”112 Saat itulah juga dapat diketahui informasi mengenai keberadaan Brajabasuki, papi dari Setadewa atas informasi yang diberikan oleh NEFIS113 kepada Verbruggen. Hal tersebut diperkuat oleh peristiwa yang disaksikan oleh Setadewa sendiri di lapangan Kemayoran Jakarta, ketika tiga buah pesawat terbang Jepang melayang-layang dan membuat kagum pilot Perang Dunia II Inggris dan juga Setadewa. “Pilot-pilot Inggris pun diam melihat dua orang yang dalam koran-koran disebut panglima Angkatan Udara Republik beserta mayor-jenderal Republik yang akan mengungsikan pasukanpasukan Jepang.”114 Peristiwa tersebut dikenal dengan Operasi Popda (Panitia Oeroesan Pemulangan Jepang dan APWI) yang terjadi pada tanggal 23 April 1946. Pesawat tersebut diterbangkan oleh Komodor Udara AURI Suryadarma dan Adisucipto dengan membawa Mayor Jendral Sudibyo untuk melakukan perundingan RAPWI dengan Sekutu. 112 Ibid., h. 83. Netherlands East Indies Forces Intelligence Service merupakan badan itelijen Belanda pada Perang Dunia II dan unit operasi khusus untuk memata-matai Jepang di Indonesia didirikan di Australia pada tahun 1942. 114 Mangunwijaya, op. cit., h. 100. 113 124 c) Bagian III: 1968-1978 Pada Bagian III merupakan zaman pasca-Indonesia merdeka. Awal mula cerita dimulai dengan suatu kunjungan yang dilakukan oleh Duta Besar dari luar negeri ke Indonesia. Itu menandakan Indonesia tengah berada dalam masa pembangunan negara, hal itu terlihat dari kunjungan Duta Besar sebagai bentuk hubungan diplomatik antarnegara. Selain itu, terlihat ketika pengarang menggambarkan warga desa yang sedang diberikan penyuluhan oleh aparat desa terkait zaman pembangunan. “Tetapi di kelurahan Dinas Penerangan hanya berceramah, agar rumah penduduk jangan dibuat dari bambu. Pertama: itu sudah terbelakang, tidak sesuai dengan Orde Pembangunan. Akan tetapi kedua: karena berbahaya juga.”115 Jelas terlihat pada kutipan di atas bahwa saat itu merupakan masa pembangunan, dimana ketika Orde Baru mulai berkuasa. Sebagaimana saat masa pembangunan awal, masyarakat dikenalkan dengan istilah Trilogi Pembangunan yakni sebuah wacana pembangunan nasional yang dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru di Indonesia, “katanya” sebagai penentu kebijakan politik, ekonomi, dan sosial dalam melaksanakan pembangunan negara. Hal tersebut diperkuat lagi melalui penggambaran Setadewa ketika berziarah ke makam maminya. “Di dalam jip terbuka itu aku menuju ke Kramat Magelang untuk untuk berziarah ke makam Mamiku di sana. Makan yang telah kupugar sepuluh tahun yang lalu ketika Soekarno masih berkuasa. Nah, ke makam Mamiku itulah acara pokok perjalanan peziarahanku sekarang ini. Sebelum clash terakhir meledak.”116 Melalui peristiwa yang disebutkan Setadewa secara tersurat, menandakan peralihan dari masa Orde Lama yang merujuk kepada era 115 116 Ibid., h. 196. Ibid., h. 228. 125 pemerintahan Soekarno kepada masa Orde Baru yakni sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto. Mulai dari situ kehidupan Setadewa terus berlanjut dengan banyak diiringi oleh perasaan nostalgia lama kehidupannya, hingga kepada peristiwa pemecatan dirinya. Sampai pada suatu ketika Larasati dan Janakatamsi menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Melalui radio Setadewa mendengar warta tentang kecelakaan pesawat yang ditumpangi oleh mereka berdua. “Tetapi bagaiman harus kunilai berita radio yang mewartakan, bahwa pesawat terbang Martinair yang ditumpangi Atikku dan Jana, pada suatu dini pagi yang khusus terjamah tangan Tuhan, menabrak bukit di dekat Kolombo, Sri Lanka sana? Tuhan yang memberi Tuhan yang mengambil. Terpujilah selalu namanya yang Kudus.”117 Bila berkaca kepada sejarah bahwa kejadian tersebut benar-benar terjadi, yakni terjadi pada tanggal 15 November 1978, hari Rabu, pesawat DC-8 Iceland Loftleider dari maskapai penerbangan Eslandia yang mengangkut jemaah haji Indonesia dari Jeddah jatuh di Sri Lanka. Pesawat itu jatuh hanya sekitar 3,7 km sebelah timur bandar udara Kutanayake, 25 km dari Kolombo. Pada akhirnya novel ini ditutup secara tersurat oleh pengarang pada tahun 1979 ketika Setadewa yang menjadi sang pencerita menghakiri ceritanya dan membubuhkan tanda tangannya di bagian akhir novel. c. Latar Sosial Kehidupan Setadewa terbilang keluarga golongan menengah ke atas. Pasalnya dia dilahirkan dari keluarga keturunan priyayi dan memiliki ayah seorang letnal KNIL, merupakan orang berpangkat tinggi untuk ukuran masa itu. 117 Ibid., h. 317. 126 “Kami lalu tinggal di suatu rumah kecil di belakang tangsi Penggorengan Senen dengan cara hdiup sangat hemat, sederhana dari sisa peninggalan tabungan Papi yang masih lumayan.”118 Terlihat dalam posisi sulit pun keluarga Setadewa mampu mencukupi kehidupannya sendiri. Meski tergolong kaum berada, namun ayahnya selalu memberikan sikap pelajaran hidup praktis terhadap golongan manapun, termasuk proletar tangsi. Walau Setadewa dilahirkan sebagai keturunan Jawa dan Keraton, namun ia tidak suka model kehidupan para keluarga Jawa. Menurutnya terlalu banyak basa-basi Jawa yang halus tetapi banyak yang tidak jujur. Akibat dari sikapnya itu, dalam novel sering ditemukan perilaku sinis Setadewa kepada setiap orang Jawa. “Memang tidak pernah dapat dipercaya serdadu-serdadu Jawa kita. Saya minta pasukan Ambon saja. Mereka setia dan berdisiplin. Tetapi yang Jawa-Jawa itu ... Ya emosi lagi. Orang Jawa itu punya kanker, emosi namanya.”119 Brajabasuki dengan ke-Belandaannya banyak mempengaruhi kepribadian Setadewa. Secara sadar juga dirasakan oleh Setadewa sendiri. Namun, walaupun Setadewa sangat membenci sifat yang dimiliki orang Jawa, ia pun menunjukkan sifat yang dibencinya itu sendiri, yakni emosi, tidak berterus terang, dan tidak berpikir panjang. Akan tetapi, lambat laun dalam cerita, Setadewa dapat mengatasi masalahnya tersebut. Kendatipun Larasati, ia masih memiliki keturunan ningrat dan didik dengan citrarasa Jawa tulen. Sama halnya dengan Setadewa, Larasati menganggap kehidupan para keluarga raja justru sangat merepotkan dan terkesan kaku. “Sungguh, Atik tidak bisa membayangkan diri menjadi puteri keraton. Tetapi sesekali melihat Surakarta bolehlah. Walaupun jangan terlalu lama.”120 Pemikiran Larasati juga terlihat lebih tenang daripada Setadewa dalam mempermasalahkan suatu hal. Pandangannya jauh ke depan berjalan 118 Ibid., h. 40. Ibid., h. 85. 120 Ibid., h. 25. 119 127 mulus dengan sikap ketenanganya tersebut. Terlihat perbedaanya ketika mereka berdua sama-sama kehilangan orang yang paling disayangnya. Setadewa menumpahkan dengan membenci segala yang melukai orang tuanya, sedangkan Larasati, ia lebih bersikap tenang dan lebih memikirkan bagaimana cara memberitahu ibunya agar ibunya nanti tidak terlalu merasa sedih. “Sekarang ayahnya menjadi korban dan ia mengeluh, bagaimana caranya memberitahu ibunya nanti”121. Dapat diketahui bahwa, Setadewa dan Larasati sama-sama menginternalisasi yang diturunkan oleh orang tua mereka masing-masing. Setadewa dengan kebebasan dalam memilih, sementara Larasati memilih alam bebas sebagai tempat kesukaanya. Dari itu semua, walaupun Setadewa dilanda kegoncangan dan kehidupan yang tidak karuan, akan tetapi dalam hal pendidikan mereka tidak pernah alfa, pun akhirnya ditengah kegoncangan hidupnya Setadewa menjadi seorang ahli komputer lulusan Harvard. Begitupun Larasati yang menjadi seorang doktor mendapat gelar maxma cum laude. Seakan pengarang ingin sampaikan betapa pentingnya peran pendidikan dan pendidikanlah sebagai jalan keluar dari segala permasalahan, termasuk segala jenis permasalahan bangsa ini. 5. Sudut Pandang Sudut pandang dalam novel ini, dapat dikatakan memiliki ciri khas atau keunikan tersendiri. Pasalnya, di dalam novel ini ada dua orang atau sang pembawa kisah yang bercerita. Dengan kata lain, penceritaan menggunakan dua teknik sudut pandang, yakni dengan menggunakan sudut pandang orang pertama sertaan (“aku” tokoh utama) dan sudut pandang orang ketiga yang mahatahu. Penyajian cerita dalam novel ini diibaratkan dalam kehidupan pewayangan, dimana orang ketiga bermakna sebagai dalang dan orang pertama bermakna sebagai anak wayang yang menceritakan kehidupannya sendiri. 121 Ibid., h. 112. 128 Sudut pandang orang pertama sertaan: “Pernah dengar “anak kolong”? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok Garnisun divisi II Magelang (ucapan: MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang: totok. Jadi KNIL jelas kolonial, mana bisa tidak.”122 Sudut pandang orang ketiga mahatahu: “Tiba-tiba kedua burung itu terperanjat dan serba panik mendadak terbang. Gusar Atik bertanya diri, siapa yang mengganggunya? Anak kampung barangkali. Ternyata ada kepala anak laki-laki seumur 12 tahun muncul dari balik tembok. Anak itu memanjat dahan pohon sawo kecik yang lebih tinggi, dan membidikkan pelantingnya ke arah srigunting lain. Teto nama anak itu.”123 Bila diperhatikan pada kutipan sudut pandang orang pertama sertaan di atas, tokoh “aku” seakan-akan sedang bercerita kepada pembaca tentang kehidupannya sendiri yang dulu menjadi anak kolong dan KNIL. Persis dengan anak wayang yang sedang bercerita dengan para penontonnya. Sedangkan, pada sudut pandang orang ketiga mahatahu, pencerita mengetahui segala tindak-tanduk sang tokoh. Melalui kutipan di atas pencerita mengetahui dengan pasti bahwasannya ada seorang anak laki-laki yang berusia 12 tahun dan bernama Setadewa yang mengganggu burungburung sehingga membuat Larasati gusar. Seperti dalang yang tahu segala apa yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi pada tokoh, karena dalanglah yang memiliki tugas memainkan wayang (dalam hal ini tokoh), sehingga ia tahu segala tindak-tanduk sang tokoh, latar, dan segala isi serta jalan ceritanya. Disebut mahatahu karena pencerita mengetahui berbagai hal mengenai para tokoh, termasuk peristiwa, dan tindakan serta motivasi yang melatarbelakanginya. Hal ini dapat dibuktikan dari kemampuan pencerita untuk mengisahkan apa saja menyangkut tokoh-tokoh cerita. “Maka dalam lubuk hati Bu Antana sering hinggap bagaikan burung merpati, keyakinan: “Seandainya saya dalam keadaan seperti Marice, pasti saya berbuat yang sama juga. Bagaimanapun pahitnya.” Tetapi 122 123 Ibid., h. 3. Ibid., h. 27. 129 segera pikiran seperti itu dikipaskan pergi, sebab memang terlalu ngerilah kalau dipikirkan terus. Keindahan dan kekejaman, mengapa keduanya itu sering bergandengan dan kawin?”124 Penggunaan sudut pandang orang ketiga mahatahu memberikan kejelasan cerita kepada pembaca mengenai tindakan dan apa yang dipikirkan, dirasakan (maupun di dalam hati) setiap tokoh. Dengan demikian memberi kemudahan dalam memahami detail-detail cerita yang disampaikan. Hal ini dimaksudkan untuk mengajak pembaca untuk terlibat lebih dalam dan pembaca seolah ikut merasakan langsung setiap peristiwa yang terjadi. Keunikan dari penceritaan yang dibawakan melalui sudut pandang orang pertama sertaan ialah pencerita dapat mengetahui reaksi pembaca atas kisahnya. “Disembah para abdi dalem dan tersanjung oleh para wanita istana yang terkenal progresip Barat. Gusti Nurul misalnya, bukan main bikin gempar di masa itu. Bayangkan! Putri raja Jawa! Naik kuda sih barangkali masih dapat diikuti nalar. Tetapi pakai celana! Nyuwun pangapunten! Loh serius nih! Kenapa tertawa? Cuma perempuan Cina yang pakai celana. Kalau noni dan nyonya Belanda mah, itu kan sudah di atas segala hukum, apa saja boleh kalau Belanda. Sampai duduk di sebelah kanan raja di atas singgasana, boleh dia. Tetapi puteri ningrat Jawa pakai celana? Krakatau bisa meletus itu nanti!”125 Terlihat dalam kalimat Nyuwun pangapunten! Loh serius nih! Kenapa tertawa? Seakan-akan pencerita “aku” tahu bahwa pembaca tertawa seolah tidak percaya atas pernyataan cerita sang tokoh, sehingga ia menegaskan bahwa yang diceritakannya benar-benar terjadi dan memang benar terjadi. Cerita pada novel ini berpusat pada Setadewa, sehingga mayoritas ceritanya berkitar-kitar pada kehidupan pribadi Setadewa dan pergolakan batinnya. Di beberapa bagian-bagian dalam cerita, Atik memang diceritakan khusus pada tiap bagian, akan tetapi penceritanya bukan orang pertama, melainkan orang ketiga. Perbedaan dari kedua sudut pandang tersebut terlihat dari cara pengungkapan ceritanya. Sudut pandang orang pertama 124 125 Ibid., h. 47-48. Ibid., h. 8. 130 „akuan‟ selalu subyektif, meledak-ledak, sedangkan sudut pandang orang ketiga yang mahatahu nadanya lebih obyektif, lebih sabar. Sudut pandang orang pertama sertaan: “Segera kularang dia bertindak sendiri. Bukan karena aku tidak setuju orang penghasut Atikku dihajar, tetapi aku terpaksa harus menjaga kewibawaanku. Ini soal gengsi, bukan soal lain. Tetapi toh rasa kekesatriaanku yang kuwarisi dari ayahlu melonjak dan serdadu kumaki-maki keras. Sungguh memalukan.”126 Sudut pandang orang ketiga mahatahu: “... yang menodai Bu Kapten bukan bangsa Jepang, tetapi Ono atau Harashima. Dan karena kelaliman Ono atau Harashimalah seluruh bangsa Jepang dan kaum republik yang dulu memuja-muja Jepang dikejar-kejar. Pak Lurah dan Mbok Sawitri yang mengepalai dapur umum di desa, serta Pak Trunya yang dulu menolong Pak Antana tidak ikut-ikutan dengan kekejian Ono. Tetapi kesalahan semacam itu apalah artinya bagi Larasati. Teto tetap Teto, dan bukan pihak “KNIL”.127 Dengan susunan pola penceritaaan yang ganti-berganti sudut pandang ini, pandangan subyektif „aku‟ yang meledak-ledak secara sepihak diimbangi oleh pandangan orang ketiga yang mahatahu dan melihat segala permasalahan dari dimensi-dimensi yang lebih luas. Dinamika tersebut menciptakan pola penceritaan yang luwes dan kaya dengan perspektif. 6. Gaya Bahasa Banyak ditemukan gaya bahasa dalam novel ini, karena Romo Mangun banyak memainkan diksi secara memukau, seolah pembaca dimanja oleh keidahan diksi yang digunakan. Gaya bahasa yang digunakan antara lain menggunakan majas paradoks, hiperbola, simile, personifikasi, ironi, dan metafora. Dari sudut penggunaan bahasa yang ditampilkan oleh Romo Mangun dalam novel ini, pengarang tidak mempergunakan bahasa Indonesia secara polos, namun bercampur dengan kosakata dari bahasa lain, misalnya bahasa 126 127 Ibid., h. 74. Ibid., h. 167-168. 131 Jawa, Latin, Inggris, hingga Belanda. Sehingga hal itulah yang membuat penceritaan -jika dipandang dari segi bahasanya- dapat terlihat lebih hidup dan berwarna. “Inggih, inggih, baik itu Den Rara. Baik sekali. Lalu menggelenggeleng: Tidak! Sungguh tidak, saya akan diam. Lalu ia mengambil selembar daun pisang, dibuatnya takir, tolong biting itu”128 Dari sudut pengarangnya dapat ditinjau latar belakang budaya dan motivasi yang menyebabkan pengarang menggunakan banyak kosa kata dan pengertian-pengertian dari bahasa Jawa. Akan tetapi pada istilah yang kiranya susah dimengerti oleh pembaca, pengarang menyertakan catatan kaki yang berguna untuk menjelaskan kepada pembaca. Seperti pada contoh kutipan di bawah ini. “Nonsens. Anak Kapitein Basuki legiun Mangkunegara kok serdadu biasa. Ayo, jangan anstil5) kayak perawan rumah-piatu susteran. Bagaimana? Ia mengulurkan tangannya minta dijabat.”129 5) Dari kata aanstellerig (Bld): manja dan sentimentil. Dapat diketahui gaya penulisan Romo Mangun lebih dikenal dengan ciri khasnya yang ironi, satire, penuh dengan pelesetan-pelesetan. Maka tidak heran, novel ini diceritakan dengan gaya bahasa yang memancarkan semangat hidup yang besar dan diwarnai dengan gaya humor yang kadangkadang meledak dalam sikap sinisme dan sarkasme para tokohnya, serta dijiwai pula dengan renungan-renungan falsafi. “Tetapi tiba-tiba seperti pemburu-pemburu Angkatan Udara mereka menukik dan menyambar seekor kupu-kupu kuning yang kasihan sekali, baru saja merasakan kemerdekaan dari kepompongnya dan tahu-tahu sudah diculik oleh makhluk-makhluk bersayap serba cepat dan serba hitam itu. Atik masih sempat melihat kupu-kupu kuning tadi diserang dan dibawa lari oleh pemburu-pemburu yang ternyata bukan tukang jahit bergunting, tetapi penyamun. Mengapa Allah Yang Maha Pemurah dan yang memberi sekian banyak keindahan kepada ciptaanNya membiarkan makhluk-makhluknya saling membunuh?”130 128 Ibid., h. 13. Ibid., h. 65. 130 Ibid., h. 22. 129 132 Pengarang melalui kutipan di atas bermaksud menyindir bangsa Indonesia dengan perlambangan “kupu-kupu kuning yang kasihan sekali, baru saja merasakan kemerdekaan dari kepompongnya dan tahu-tahu sudah diculik oleh makhluk-makhluk bersayap serba cepat dan serba hitam itu”. Maksud dari sindiran itu adalah bangsa Indonesia yang baru saja merasakan merdeka dari tangan para penjajah, baru dapat bernafas lega dari genggaman kolonialisme, justru sudah harus kehilangan kemerdekaannya lagi yang disergap oleh kaum-kaum penyamun yang serba hitam yang tidak lain bangsa Indonesia itu sendiri. Dengan kata lain, pengarang ingin menggambarkan seperti pribahasa “musuh dalam selimut”. Begitu dengan renungan filsafat teramat dalam ditunjukkan oleh pengarang terlihat dari kalimat “Mengapa Allah Yang Maha Pemurah dan yang memberi sekian banyak keindahan kepada ciptaanNya membiarkan makhluk-makhluknya saling membunuh?”. Dengan begitu, metafor alam banyak menjadi pilihan Romo Mangun dalam penggambaran cerita dalam novel ini. Dalam novel sering pengarang memberikan sikap skeptis penuh dengan ejekan, serta selalu mengkritik tokoh-tokoh rakyat Indonesia yang digambarkan bodoh nan lugu. Namun, dibalik itu sebenarnya terimplisit keprihatinan yang mendalam yang didorong oleh rasa cintanya pada rakyat yang bodoh lagi lugu itu. “Hey Boy, ke sini. Jongosnya Paymin alias Paimin tadi datang dan menunduk-nunduk hormat. Ia diberi ular kencana tadi. “Kasih liat sama Tuan.” Tamunya yang disebut Mr. Seta tadi menggelenggelengkan kepala. “Ada apa Mr. Seta?” Maaf, Excellency tapi sungguh, saya selalu sedih kalau melihat orang menunduk-nunduk seperti kuli jaman Rafless.”131 Dialog tersebut terjadi setelah Indonesia merdeka dan diakui oleh dunia. Namun, siapa sangka kemerdekaan yang diartikan “bebas” malah menjadikan rakyatnya bukan bebas merdeka tapi menjadi bangsa kuli, seperti yang diungkapkan Setadewa, “katanya sudah merdeka tetapi kenapa malah seperti hidup di zaman Rafless dulu”. Kemirisan yang dirasakan 131 Ibid., h. 204. 133 Setadewa itulah yang bersifat implisit mengenai keprihatinan terhadap bangsa Indonesia. Maka tidak heran dia selalu menggambarkan orang-orang Indonesia selalu seperti babu dan bermental kuli. “Segala omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah mahkota Belanda? Merdeka mana, merdeka di bawah singgasana raja-raja Jawa mereka sendiri daripada di bawah Hindia Belanda?”132 Kutipan di atas merupakan ungkapan kritikan Setadewa, yang mempertanyakan tentang makna “merdeka” bagi “seluruh” rakyat Indonesia. Bahkan tidak hanya Setadewa, melalui tokoh warga desa biasa pun pengarang menggambarkan kegelisahan akan makna kemerdekaan yang selama ini dipertaruhkan oleh para bangsa Indonesia itu sendiri. “Jaman merdeka ini sulit sekali. Dulu jelas: siapa lurah siapa asistenwedana dan pelpolisi atau tentara, jelaslah sudah. Di mana mereka tinggal, dapat atau tidak dapat minta tolong apa atau apa, selalulah dibereskan; asal tidak bohong dan ada bukti-buktinya. Dan juga setiap orang tahu, siapa yang berkuasa dan tidak, di mana dan dalam hal apa. Omong-omong dengan pembesar Belanda sebetulnya enak juga, asal tahu dir dan membongkok hormat; dapat omong seapa adanya; seperti kalau orang-orang tani omong dengan Cina-cina, entah pemilik toko emas dan kain atau mendring yang sering berkeliling bersepeda di desa-desa menawarkan pihutang.”133 Kutipan di atas merupakan bentuk sindiran secara langsung atau disebut dengan sarkasme. Kutipan tersebut merupakan perenungan tokoh Pak Trunya, seorang warga desa biasa. Melalui sudut pandang warga biasa kemerdekaan malah disebut sebagai suatu zaman yang rusuh dan serba tidak karuan, bukannya digambarkan sebagai zaman yang penuh dengan hidup yang normal, serba bebas, dan harmonis. Walaupun tokoh utama dalam novel ini memilih jalan berpihak kepada Belanda. Terlepas dari itu semua, justru pengarang dalam hal ini sering memberikan sindiran-sindiran yang sifatnya berkebalikan. 132 133 Ibid., h. 58. Ibid., h. 106-107. 134 “Tetapi memang muka dan kulitku mendekati Mami punya. Hanya dalam kejiwaan barangkali aku ikut Papi, Si Blo‟on gembala sapi”134 Sebelumnya telah dijelaskan bahwa papinya Setadewa, yakni Brajabasuki merupakan orang yang sangat suka bergaya eropa dan lebih memilih masuk KNIL dari pada mengabdi pada raja-raja Inlander. Sedangkan maminya, yakni Marice merupakan orang keturunan Belanda asli yang cinta teramat dalam terhadap kebudayan Jawa. Melalui kutipan di atas terlihat justru pengarang melalui Setadewa ingin menjelaskan secara fisik ia keturunan dari maminya yang bergaya Indo, sedangkan secara kejiwaan keturunan dari papinya yang bergaya eropa. Maka dalam novel ada ungkapan “kenapa dalam novel ini ia lebih memilih berpihak kepada Belanda”. Barangkali ia seperti Si Blo’on gembala sapi. Begitupun, sindiran secara langsung juga kerap ditampilkan pengarang. “Dan kulit Mamiku putih langsep mulus; nah itu justru bukti Mami bukan totok. Sebab orang Belanda berkulit merah blentong-blentong seperti genjik anak babi.” 135 Dalam novel, sering sekali pengarang memakai sindiran-sindiran dan pemakaian bahasa yang sarkas digunakan oleh pengarang melalui tokoh utama Setadewa dan sering ditujukkan oleh tokoh orang kampung biasa. Hal tersebut sangat terasa ketika penceritaan diambil alih oleh narator, ketika narator menceritakan tokoh utama, Setadewa dan Larasati dan orang-orang yang memiliki derajat pendidikan tinggi. Sedangkan porsi bahasa yang digunakan kala menceritakan tokoh-tokoh tambahan lainnya, terutama orang kampung, porsi bahasa yang digunakan terkesan menggunakan bahasa yang lebih kasar atau sarkasme. 7. Amanat Berbicara mengenai amanat atau pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui novel, tentulah sangat banyak. Namun, di sisi ini penulis 134 135 Ibid., h. 7. Ibid., h. 4. 135 mengangkat amanat yang mengacu pada pemikiran pengarang terhadap apa yang sering diangkat melalui tulisan-tulisannya. Amanat paling dominan yang diangkat oleh pengarang di dalam novel ini adalah mengenai sejarah yang penuh dengan keanomalian. Bila berbicara mengenai sejarah, selama ini banyak orang hanya dihadapkan pada “hitam – putih” pergumulan sejarah.136 Berangkat dari pemahaman itu, pada hakikatnya novel ini tidak hanya berbicara mengenai sejarah yang serba anomali. Tetapi ada pesan lain yang lebih hakiki untuk digarisbawahi. Dalam novel, pengarang dalam hal ini tidak menyampaikan sejarah dengan nada otoriter. Tetapi lebih kepada pengalaman dan kejujuran dari apa yang pernah ia saksikan dahulu. Pantaslah bila menaruh anggapan bahwa perlulah melihat sejarah dari sisi manusianya sendiri. Dengan kata lain, melihat sejarah haruslah dari kacamata hati nurani manusianya. “...kita harus berhati-hati, begitu hikmah ayah yang dikatakan kepada Atik, jangan menilai orang lain jelek, hanya karena nampaknya hitam. Tokoh Kresna di pewayangan, nah itu contoh lagi: raja perwira penasihat Pendawa terulung, walaupun serba hitam.”137 Kutipan di atas merupakan kutipan dialog Pak Antana dengan Larasati. Melalui dialog tersebut pengarang ingin menyampaikan bahwa segala sesuatu yang terlihat buruk, belum berarti buruk sebelum benar-benar mengetahui kadar hatinya yang terdalam. Dapat diibaratkan, walaupun Setadewa berada di pihak Belanda yang notabene menjajah bangsa Indonesia, namun dalam tahap penilaian diri tidak bisa hanya didasarkan pada hal yang serba belum pasti seperti itu. Kutipan di atas dapat dipertegas melalui pernyataan Larasati ketika menjabarkan tentang tesisnya. “Sebab, walaupun kita adalah manusia dan berbakat kesadaran serta berpotensi emosional mampu memilih dan mengambil keputusan yang berdaulat, kita tidak boleh lupa, bahwa kita tertambat dengan berjuta- Menurut Romo Mangun sejarah tidak hanya didasarkan pada pemahaman “hitam – putih“ saja, karena “menang – kalah” dalam pergumulan sejarah ialah sesuatu yang nisbi. 137 Mangunwijaya, op. cit., h. 26-27. 136 136 juta benang halus sutera tak tampak dengan alam raya dan dunia flora dan fauna. Juga dengan tanah air dan rakyat.”138 Bahwa dalam mengambil segala keputusan baik itu menilai, individu tidak boleh memutuskan perkara dengan sewenang-wenang berdasarkan suka atau tidak suka saja. Setiap individu harus mampu berpikir jernih sehingga dapat meminimalisir suatu kesalahan yang dapat berakibat fatal bagi dirinya juga orang lain. Pada hakikatnya manusia selain memiliki hak, juga memiliki kewajiban yang harus dijalankan. Melalui cerminan itu manusia diharapkan memahami batasan-batasan dalam dirinya, sehingga dalil siapa menang, siapa kalah perlu diperadabkan menjadi prinsip siapa benar, siapa keliru, siapa baik, siapa jahat, serta siapa menebarkan keindahan dan siapa menebarkan keburukan. Maka dalam pada itu, secara garis besar amanat dalam novel ini lebih kepada persoalan kompleksitas dalam memahami posisi seseorang di masa revolusi fisik. Dengan titik tolak bercermin tentang konflik psikologis manusia yang abadi, yaitu kebebasan dan kedaulatan dalam hal memilih atau merdeka dengan sepenuh-penuhnya. B. Gagasan Revolusi pada Tokoh-tokoh Novel Burung-burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya Secara substansial revolusi merupakan proses perwujudan transformasi struktural dan kultural secara cepat, radikal, total dan berskala besar menuju kehidupan yang baru. Kehidupan yang baru tersebut dipahami sebagai hasil dari perubahan yang terjadi di tengah masyarakat yang tertindas, dengan mendasarkan perubahan struktur feodal-kolonial menjadi tatanan kehidupan yang bebas merdeka. Bahkan terkadang bagi sebagian kelompok, revolusi dipandang belumlah cukup manakala perubahan itu hanya sebatas persoalanpersoalan struktural, pernyataan tersebut dilandasi dari konsep revolusi itu sendiri yang mengharapkan terjadinya perombakan secara totalitas dan berskala besar. Dengan kata lain, revolusi mesti bersifat multidimensional 138 Ibid., h. 251. 137 yang mengakibatkan perubahan institusional yang dinamis, sehingga menimbulkan destrukturalisasi dan diferensiasi norma-norma, nilai-nilai, dan simbol-simbol, serta harus mencakup pula unsur-unsur yang esensial. Berpijak dari konsepsi revolusi Sjahrir dan Tan Malaka, melalui novel Burung-burung Manyar, Romo Mangun menyoroti masalah revolusi seluruh komponen bangsa Indonesia, terutama revolusi bangsa Indonesia yang “seharusnya” tidak hanya berhenti pada revolusi nasional saja. Mangun mencoba mengungkapkan gejolak revolusi bangsa Indonesia dengan konsep revolusi yang digagas oleh Sjahrir dan Tan Malaka. Konsepsi tersebut jelas tergambar dalam novel khususnya melalui latar yang disuguhkan oleh pengarang, serta dipertajam melalui segala tindak-tanduk serta pemikiran tokoh-tokoh terutama tokoh utamanya (Setadewa dan Larasati). 1. Latar Revolusi Novel Burung-burung Manyar sebagai Refleksi Sejarah Indonesia Dalam novel Burung-burung Manyar –jika berbicara mengenai waktu kejadian pada novel yang dikaitkan dengan suatu bentuk revolusi– terdapat tiga bagian yang dipetakan oleh pengarang sebagai penjelas latar waktu kejadian, sekaligus menjelaskan kepada pembaca bahwa tokoh utama mengalami sendiri empat zaman berbeda yang terjadi di Indonesia. Pada Bagian I terjadi dari tahun 1934 sampai 1944 (zaman prakemerdekaan), pada bagian ini pengarang menceritakan kehidupan masa kecil tokoh utama (Setadewa dan Larasati) yang mengalami hidup pada “zaman Belanda” hingga mencapai keruntuhannya (sampai Jepang datang mengambil alih Indonesia). Bagian II terjadi dari tahun 1945 sampai 1950 (zaman kemerdekaan atau perang kemerdekaan) pengarang menceritakan suasana Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaan setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, dan akibatnya terjadi pergolakan besar yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda. Menariknya, di sini tokoh utama (Setadewa dan Larasati) ditempatkan pada posisi yang berlawanan dalam perjuangan. Bagian III terjadi dari tahun 1968 sampai 1978 (zaman 138 pascakemerdekaan) pengarang menceritakan perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia baik dari segi pemerintahan, perekonomian, dan sebagainya setelah Indonesia benar-benar mengukuhkan diri sebagai bangsa yang sudah merdeka. a. Zaman Penjajahan Belanda Burung-Burung Manyar terbagi menjadi tiga periode sejarah Indonesia. Berkaca dari sejarah, tiga periode itu sesuai dengan sejarah revolusi kemerdekaan di Indonesia. Pertama, pada Bagian I terjadi tahun 1934-1944, rangkaian waktu para pejuang Indonesia gigih melawan penjajah dan terjadi peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Pada bagian ini novel dibuka dengan menceritakan kehidupan tokoh utama Setadewa, seperti pada kutipan berikut. “Pernah dengar anak kolong? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli Totok. Garnisun divisi II Magelang (ucapkan: MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang: totok. Jadi KNIL”.139 Kehidupan anak kolong yang digambarkan novel sesuai dengan kondisi Indonesia saat itu. Menurut Matanasi serdadu bujangan biasanya tidur di tempat tidur berjajar, sedang yang berkeluarga akan tidur di barak-barak bersekat ukuran 3 x 4 meter. Kondisi barak sebenarnya terlalu sempit untuk keluarga KNIL itu. Sehingga tidak jarang anak-anak serdadu itu tidur di kolong. Maka dari situlah muncullah istilah anak kolong.140 Selain itu KNIL juga sama dengan fakta sejarah. Pada tahun 1933, Perdana Menteri Hendrik Colijn -yang juga pernah menjadi perwira Oos Indische Leger- meresmikan pasukan yang sudah menumpas banyak pemberontakan itu menjadi Koninklijk Nederlands Indisch Leger atau biasa disingkat KNIL.141 139 Mangunwijaya, op. cit., h. 3. Petrik Matanasi, KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) Bom Waktu Tinggalan Belanda, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007), h. 29-30. 141 Mangunwijaya, op. cit., h. 17. 140 139 ”Tentara Kerajaan itu tentara Belanda totok dari Negeri Kincir Angin. KNIL, nah itu tentara sewaan Hindia Belanda. Tentara Kerajaan itu tentara sinyo-sinyo pucat dan berbau keju. Kalau KNIL, nah, ini gerombolan bandit VOC! Hahaa, dan tertawalah ia untuk pertama kali. Mau ikut main bandit-banditan?”142 Sepanjang sejarahnya KNIL lebih berfungsi sebagai pasukan yang menghantam pemberontakan lokal. Pekerjaan KNIL adalah menghabisi sekerumunan orang-orang awam tertindas yang bersenjatakan parang, tombak, atau hanya belati. Sementara itu KNIL menghantam mereka dengan senjata api modern, untuk ukuran waktu itu. Wajar bila KNIL sukses dalam menjalankan banyak tugas yang diembannya.143 Sementara itu, penyerahan tanpa syarat pada Belanda pada 8 Maret 1942 di Kalijati, secara tidak langsung telah membubarkan KNIL. Penyerahan tanpa syarat itu juga ditandai menyerahnya Letnan Jenderal Ter Porten, Panglima KNIL.144 “Ia telah dilepas dari tahanan militer setelah beberapa bulan meringkuk sebagai lawan perang Jepang. Dunia-serba-gemilang kami telah cepat runtuh. Jepang datang. KNIL kalah dan bubar.”145 b. Zaman Penjajahan Jepang Zaman pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan periode yang terbilang penting dalam sejarah Indonesia. Pada zaman ini banyak terjadi perubahan yang mendasar pada sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Zaman pendudukan Jepang tersebut dipandang sebagai masa yang sangat singkat, namun memberikan dampak yang sangat dalam pengaruhnya. Selain segi-segi yang merugikan yang menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat akibat pendudukan Jepang, segisegi yang menguntungkan pun ada dan dirasakan pula oleh bangsa 142 Ibid., h. 64-65. Ibid, h. 51. 144 Matanasi, op. cit., h. 100. 145 Mangunwijaya, op. cit., h. 31. 143 140 Indonesia menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan, terutama yang menyangkut perkembangan gerakan nasionalisme di Indonesia.146 Dengan segala kekejaman dan kesadisan Jepang, maka tidaklah heran jika bangsa Indonesia membuat strategi politik “Gerakan Bawah Tanah”. Perlawanan yang dilakukan secara tersembunyi tersebut juga digambarkan oleh Romo Mangun dalam novel Burung-burung Manyar. “Pada awal pendudukan Jepang, Papi masih sering dikunjungi beberapa “tokoh bawah tanah”, yang hampir semua tidak kukenal. Pernah dari bilik kamar tidurku kudengar nama Amir Syarifudin terucap dalam percakapan serba teredam di dalam kamar tengah yang terkunci. Baru kelak sesudah Jepang kalah kita tahu bahwa Amir Syarifudin mendapat f 60,000 dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menyusun aksi di bawah tanah melawan Jepang.”147 Gerakan bawah tanah merupakan salah satu bentuk perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam upaya mengalahkan Jepang. Adapun latar belakang terbentuknya gerakan ini karena terlalu kuatnya pemerintahan Jepang di dalam menekan rakyat Indonesia. Salah satu tokohnya yakni Amir Syarifudin, seperti yang terdapat pada kutipan di atas. Konon juga gerakan ini dikomandoi oleh Belanda sebagai strategi untuk mengalahkan Jepang. Zaman pendudukan Jepang sebenarnya dipandang sebagai sebuah masa transisi dari periode penjajahan kolonial Belanda dengan masa kemerdekaan.148 Pendudukan Jepang yang terjadi selama tiga setengah tahun tersebut merupakan suatu periode yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Meskipun masa pendudukan Jepang merupakan suatu pengalaman berat dan pahit bagi kebanyakan orang Indonesia, hal itu merupakan masa peralihan, yang dalam beberapa hal gerakan nasionalis mendapatkan kemajuan. Namun yang dirasakan oleh kebanyakan rakyat berada dalam ketakutan, penderitaan, dan tekanan yang sangat berat dari 146 Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), h. 176. 147 Mangunwijaya, op. cit., h. 35. 148 William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926 – 1946), (Jakarta: Gramedia, 1989), h. xii. 141 Balatentara Jepang. Pasalnya, tenaga kerja Indonesia dieksploitasi lebih kejam daripada zaman Belanda. ”Mbok Inem menderita, sambung istrinya lagi. Anaknya diberangkatkan sebagai romusha. Mengapa sampai terjadi itu? Romusha kan boleh pulang kelak, Pak? Ya, selalu saja itu mungkin, (dan nada getir sinis) istilah sekarang: kelak di kemudian hari.”149 Pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang meningkatkan pengerahan romusha, terutama para petani yang diambil dari desa-desa mereka di Jawa dan dipekerjakan sebagai buruh di mana pun pihak Jepang memerlukan mereka. Tidak diketahui dengan pasti berapa jumalah yang terlibat. Namun kemungkinan besar paling sedikit 200.000 orang dan mungkin sampai sebanyak setengah juta orang. Di antara mereka yang dapat ditemukan dalam keadaan hidup sampai akhir perang sejumlah 70.000 orang.150 Sedangkan kaum wanita mengalami penderitaan yang lebih menyedihkan lagi. Selain mengambil hasil bumi Indonesia, Jepang mengambil juga wanita-wanita Indonesia untuk menjadi jogun ianfu. Menurut arti harfiahnya jogun ianfu berarti wanita penghibur yang mengikuti tentara. Dalam dokumen-dokumen resmi tentara Jepang, nama resmi para wanita penghibur ini adalah teishintai, atau ”barisan sukarela penyumbang tubuh”. Kenyataannya banyak di antara jogun ianfu bukanlah wanita yang bersedia menghibur tentara Jepang secara suka rela dengan tubuh mereka.151 “Pokoknya Mami mendapat ultimatum dari Kepala Kenpeitai yangberwenang atas nasib Papi. Mami boleh pilih: Papi mati atau Mami suka menjadi gundiknya. Mami memilih yang akhir.”152 Kutipan di atas yang menjadi penyebab konflik semakin meningkat dan mengawali perkembangan penokohan Setadewa yang benci terhadap 149 Mangunwijaya, op. cit., h. 49. Ricklefs, op. cit., h. 308. 151 N. Hidayat, Di Bawah Kibaran Bendera Matahari Terbit, (Jakarta: Nilia Pustaka, 2007), h. 37. 152 Mangunwijaya, op. cit., h. 41-42. 150 142 segala berbau Jepang. Di sisi lain, pendudukan Jepang yang relatif singkat di Indonesia itu telah mempercepat aktivitas pergerakan kebangsaan Indonesia menuju pembentukan negara nasional yang merdeka. c. Perang Kemerdekaan Setelah proklamasi kemerdekaan diumumkan, perjuangan bangsa Indonesia memasuki tahapan baru, yaitu perjuangan membela dan mempertahankan kemerdekaan terhadap ancaman kembalinya penjajah. Sejak itu terjadilah kesibukan bagi bangsa Indonesia untuk mengambil alih kantor-kantor dan kekuasaan dari tangan penjajah, khususnya yang menjadi sorotan saat itu para pemuda. Seperti yang digambarkan oleh Romo Mangun dalam novel. ”Soekarno itu api. Kita butuh api. Tanpa semangat tidak ada daya. Tetapi itu baru separoh. Harus disalurkan secara rasional, agar menjadi mesin yang baik jalannya, dan tidak membakar segala hal, termasuk diri sendiri.”153 Kutipan di atas dilontarkan Larasati kepada ayahnya ketika berbicara mengenai kemerdekaan Indonesia. Dari pembicaraan tersebut sebagai penegas bahwa perempuan juga ikut aktif dalam revolusi (seperti yang telah dibahas di atas). Kekuatan asing berikutnya yang harus dihadapi oleh Republik Indonesia adalah pasukan-pasukan Sekutu, yang ditugaskan untuk menduduki wilayah Indonesia dan melucuti tentara Jepang. Maka pasukan Sekutu mengirim Komando Asia Tenggara (South East Asia Command) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten. Untuk melaksanakan tugas itu Mountbatten membentuk suatu komando khusus yang diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Seperti yang digambarkan dalam novel. 153 Mangunwijaya, op. cit., h. 45 143 “Pada saat itu datanglah patroli tentara Inggris. Aku benci sekali pada mereka itu. Orang-orang sok gentlemen itu dijadikan tuan di Hindia Belanda, hanya karena persetujuan antar Sekutu.154 Menurut sejarahnya, kedatangan Sekutu semula disambut dengan sikap terbuka oleh pihak Indonesia. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa pasukan Sekutu datang membawa orangorang NICA yang hendak menegakkan kembali kekuasaan kolonial Hindia Belanda, sikap Indonesia berubah menjadi curiga dan kemudian bermusuhan. Situasi dengan cepat menjadi buruk setelah NICA mempersenjatai kembali bekas KNIL yang baru dilepaskan dari tahanan Jepang. Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya, dan Bandung mulai memancing kerusuhan dengan cara mengadakan provokasi.155 Dari sinilah kemudian yang mengakibatkan adanya Agresi Militer Belanda I dan II. d. Zaman Orde Baru Setelah pemerintahan Orde Baru berkuasa, kebijakan politik pertama yang dijalankan adalah menciptakan stabilitas nasional, terutama di bidang ekonomi dan politik. Sebab tanpa adanya stabilitas, maka suatu bangsa tidak akan dapat melaksanakan pembangunan. Keputusan itu diambil ketika menyadari bahwa bangsa Indonesia pada saat-saat tumbangnya Orde Lama mengalami krisis dalam berbagai kebutuhan hidup terutama pangan dan sandang, maka segala usaha dikerahkan untuk memenuhi keperluan utama rakyat dalam jumlah yang mencukupi.156 Dari itu, demi terwujudnya stabilitas bangsa, maka pemerintah dalam berbagai tingkatan senantiasa mengadakan koordinasi untuk mewujudkan program pemerintah pusat. Seperti yang tergambarkan dalam novel. 154 Ibid., h. 75. Ginanjar Kartasasmita dkk, 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1981), h. 45. 156 Radik Utoyo Sudirjo, Fajar Orde Baru Lahirnya Orde Baru. (Jakarta: Badan Penerbit Almanak Republik Indonesia, 1979), h. 85. 155 144 “Tetapi di kelurahan Dinas Penerangan hanya berceramah, agar rumah penduduk jangan dibuat dari bambu. Pertama: itu sudah terbelakang, tidak sesuai dengan Orde Pembangunan. Akan tetapi kedua: karena berbahaya juga.”196 Kutipan di atas menerangkan bahwa zaman Orde baru merupakan suatu orde pembangunan. Segala sesuatu yang dianggap usang, sebisa mungkin akan diganti yang baru oleh pemerintah pusat. Tidak terkecuali dengan rumusan peraturan, seperti yang digambarkan dalam novel. Selain itu, untuk menciptakan dan mempertahankan keadaan aman dan terkendali pemerintah, melalui aparatnya terutama tentara dan aparat hukum lainnya menegakkan hukum secara tegas dan keras. Seperti yang tergambarkan dalam novel setelah bangsa Indonesia meraih kemerdekaan atau dengan kata lain telah menyelesaikan revolusi nasionalnya, setiap individu bukannya bersama-sama memikirkan perihal kemajuan bangsa, namun yang tergambarkan mereka malah sibuk dalam hal mengisi kekuasaan dan memikirkan kepentingan individu. “Bapak Gubernur tampak kesal melihat bangsanya begitu terbelakang, ndeso. Begitu juga Pak Bupati; tetapi bukan karena anak-anak itu kurang internasional, tetapi karena ia baru bupati penjabat. Karena itu apa pun yang mungkin dapat menjadi batu perintang kenaikan pangkatnya menjadi bupati sungguh-sungguh harus disingkirkan.”157 Bapak Gubernur yang dimaksudkan pada kutipan di atas adakah tokoh Samsu yang digambarkan sebagai seorang pemuda Indonesia yang pada masa revolusi nasional digambarkan sebagai seorang yang jahat dan bengis terhadap sesama rakyat Indonesia. Akan tetapi, apa yang terjadi setelah perubahan terjadi orang-orang seperti dialah justru yang mengisi jabatan-jabatan pemerintahan di Indonesia pada masa Orde Baru. kejadian-kejadian seperti itu sebenarnya sangat bertentangan dengan apa yang dicita-citakan oleh revolusi. Pada zaman Orde Baru di dalam novel, seperti apa yang disaksikan juga oleh Setadewa yang dianggapnya sama sekali tidak mengalami 157 Mangunwijaya, op. cit., h. 182. 145 perubahan (bahkan cenderung lebih parah), dapat terlihat dari cerita mengenai pajak yang dikenakan kepada setiap masyarakat yang mempunyai peliharan ternak seperti sapi. Seringkali juga keamanan para masyarakat terganggu oleh aksi ranmpok-rampok yang menggrogoti bangsanya sendiri. “Jelasnya, menurut peraturan baru dari kelurahan. Siapa yang kehilangan kerbau atau ternak apa pun, dia harus didenda. Aku terperanjat di lincak luar. Didenda? Mana bisa? Orang yang kehilangan bahkan dindenda? Gila! Itu kan terbalik! Ya, orangorang itu sudah maklum. Dan mereka akan taat kepada peraturan pemerintah. Akan tetapi apa tidak mungkin ada kebijaksanaan... artinya kemurahan atau perkecualian? Tidak mungkin! Ini bukan lagi jaman liberal seperti dulu. Semua harus berdisiplin partisisapi pembangunan.”158 Bahkan menurut apa yang pada zaman dahulu ditetapkan oleh Belanda sebagai politik keamanan dan ketertiban, pada masa Orde Baru ditemukan kembali. “Sebab menurut pemerintah, sudah terlalu banyak kerbau dan kambing hilang. Maka perlu diadakan tindakan untuk menanggulangi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan itu, yang memberi kesan, seolah-olah negara kita ini liberal dan hanya penuh kekacauan saja. Maka perlulah semua itu ditertibkan, dan semua orang harus ikut bertanggung jawab... Jika toh terjadi ada yang kehilangan kerbau dan sebagianya, jelaslah ia kurang waspada dan lalai dalam tugasnya terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Maka ia harus didenda. Itu bukan hukuman atau keputusan hakim, tetapi hanya prepentip, artinya sedia payung sebelum hujan, agar semua berjalan tertib dan tidak menimbulkan keresahan yang tidak perlu.”159 Menurut sejarawan Onghokham, sejak tahun 1860 pemerintah HindiaBelanda menerapkan kebijakan yang dikenal dengan nama rust en orde yang artinya keamanan dan ketertiban. Tujuannya untuk dapat dengan mudah mengatur sekian banyak masyarakat Indonesia, disamping mengatur untuk berkuasa penuh serta sekalian mengambil manfaat 158 159 Ibid., h. 239. Ibid., h. 241-242. 146 berupa pajak dan retribusi dari seluruh aspek kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia dan juga bangsa asing yang ada di Indonesia.160 Ini membuktikan bahwa warisan feodal-kolonial masih sangat melekat dalam masyarakat Indonesia. Padahal segala sesuatu yang berhubungan dengan kolonialisme dipandang sebagai penghambat jalannya revolusi. Perubahan yang fundamental tersebut disertai timbulnya pergolakan-pergolakan sosial, yang dalam beberapa kasus di daerah-daerah di Indonesia merupakan suatu revolusi sosial. Perubahan yang fundamental ini tampak pada perubahan struktur sosial dan politik, dan struktur kolonial dan feodal ke struktur masyarakat yang bercorak republik (demokrasi). 2. Setadewa sebagai Artikulator Revolusi a. Pengaruh Revolusi Terhadap Kepribadian Setadewa Pada awal pembukaan novel, tokoh utama memperkenalkan diri sebagai anak kolong yang asli totok Garnisun divisi II Magelang. Di sini tokoh utama ingin menjelaskan bahwa dia bukan peranakan Belanda, melainkan asli Magelang. Magelang adalah pusat pembinaan pegawai pemerintahan pada masa tersebut. Magelang adalah satu dari tiga tempat didirikannya hoofdenscholen (sekolah para pemimpin) selain Bandung dan Prabalingga, yang kemudian diganti nama menjadi OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) yakni sekolah pendidikan bagi pegawai-pegawai pribumi pada zaman Belanda.161 “Asli totok Garnisun divisi II Magelang (ucapkan: MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang: totok. Jadi KNIL jelas kolonial, mana bisa tidak.”162 Romo Mangun juga ingin menegaskan bahwa tokoh utama Setadewa besar di tangsi militer, dan juga daerah ini dikenal dengan pendidikan 160 Onghokham, Rakyat dan Negara, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), h. 96. MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), h. 148. 162 Mangunwijaya, op. cit., h. 3. 161 147 militernya. Hal itu tidak terlepas bahwa Magelang dijadikan kota militer oleh Belanda, maka tidak heran julukan kota Magelang adalah kota militer. Melalui penggambaran latar inilah yang menguatkan karakter tokoh utama sebagai prajurit yang memiliki jiwa militer yang kuat, karena besar dan dididik di kawasan kota militer. Selain itu juga, Setadewa dibesarkan di luar kebiasaan tradisi keraton Jawa. Lingkungan kecilnya diwarnai oleh pergaulan yang luas dan bebas. Latar belakang demikian memungkinkan Setadewa mengalami pengaruh budaya Barat yang berimbas pada transformasi cara pandang dan kepribadiannya. Hal tersebut dikarenakan identifikasi Brajabasuki dengan budaya Belanda berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian Setadewa. Ia kemudian mengembangkan identitasnya berdasarkan identitas yang dikembangkan ayahnya. Maka tidak heran Setadewa “hidup bebas” dengan bergaul dengan golongan mana saja. “Akan tetapi, aku merasa Papi tidak berkeberatan, atau paling sedikit membiarkan aku mempunyai kawan-kawan bermain dari kalangan proletar tangsi. Pernah di kamar aku mendengar Mami protes keras dan menuduh Papi kurang mendidik anaknya. Dan kalau tidak salah Papi bilang tentang: pengalaman hidup praktis, kelak si anak, kalau jadi komandan atau pegawai tinggi, dapat beruntung berkat pergaulan dengan lapisan bawahan dan sebagainya atau semacam itu.”163 Pergaulan Setadewa sebagian besar berasal dari kalangan pegawai rendah sehingga memungkinkannya mematahkan jarak antara kalangan atas dan kalangan bawah dalam struktur sosial. Setadewa menginternalisasi nilai-nilai yang ditunjukkan oleh ayahibunya dengan tetap memiliki kebebasan memilih. Faktor hereditas (keturunan) tetap diakui memberikan sumbangan bagi pilihan-pilihan hidup Setadewa tetapi ia memiliki otonomi untuk melakukan pilihan tindakan berdasarkan pengalaman-pengalaman lain yang ia terima dari lingkungannya. Kehidupan tangsi militer memberi Setadewa kesempatan menikmati kebebasan bermain dengan anak-anak dari kalangan pasukan 163 Ibid., h. 6-7. 148 kelas bawah secara egaliter. Kebersamaan dengan teman-teman sepermainan sesama anak tentara Kumpeni mendorongnya mengidentifikasi diri sebagai anak kolong. “Pernah dengar “anak kolong”? Nah, dulu aku inilah salah satu modelnya. Asli totok Garnisun divisi II Magelang (ucapan: MaKHelang). Bukan divisi TNI dong. Kan aku sudah bilang: totok. Jadi KNIL jelas kolonial, mana bisa tidak. Papiku loitenant keluaran Akademi Breda Holland. Jawa DAN Keraton! Semula tergabung dalam Legiun Mangkunegaran. Tetapi Papi minta agar dimasukkan ke dalam slagorde langsung di bawah Sri Baginda Neerlandia saja; Ratu Wilhelmina kala itu. Tidak usah dibawahi raja Jawa. Terus terang Papi tidak suka pada raja-raja Inlander, walaupun konon salah seorang nenek canggah atau ganlung-siwur berledudukan selir Keraton Mangkunegaran. Soalnya, Papi suka hidup bebas model Eropa dan barangkali itulah sebabnya juga, ibu kandungku seorang nyonya yang menurut babu-babu pengasuhku, totok Belanda Vaderland sana. Tetapi sudah pagi-pagi aku tidak percaya.”164 Paragraf di atas menggambarkan model pendidikan yang diterima oleh Setadewa. Ia mengidentifikasi dirinya berdasarkan identifikasi diri ayahnya, sebagai bagian dari masyarakat kolonial. Identifikasi tersebut tidak sepenuhnya berhasil, karena pergaulannya dengan anak-anak pribumi membuat Setadewa masih menyadari asal-usulnya sebagai bagian dari pribumi. Ia berkembang dengan latar belakang kebanggaan terhadap kehidupan bebas bersama kalangan pribumi. Pengalamannya menjalani kehidupan kanak-kanak bersama anak-anak pribumi memberinya kesan bahwa ia berbeda dengan sinyo londo. Dengan demikian, Setadewa tumbuh dalam suasana budaya hybrid, yaitu budaya setengah Jawa dan setengah Barat. Pengalaman kehidupan di masa kecil memberikan kesan mendalam pada pribadi Setadewa. Sampai usia remaja, ia tetap mempertahankan identitas diri yang ia peroleh dari pengalaman hidup di masa kecilnya tersebut. Setadewa membentuk kepribadiannya dalam sebuah ruang 164 Ibid., h. 3. 149 sosial yang egaliter sehingga budaya Jawa yang sarat tata krama ala kraton tidak banyak berpengaruh dalam pembentukan pribadinya. Pada masa sekolah di Semarang, Setadewa mengalami berbagai perkembangan kepribadian. Sekolah SMT yang ia ambil di Semarang merupakan babak baru dalam kehidupannya, karena ia mulai belajar hidup terpisah dari orang tuanya. Kebebasan hidup yang ia jalani sebagai anak kolong di Magelang semakin terbuka lebar pada masa sekolah itu. Sekolah SMT di Semarang membuat Setadewa mulai mengembangkan identitas dan pandangan hidupnya sendiri. Ia mulai menyadari siapa dia sebenarnya di tengah situasi baru yang menuntutnya mengambil posisi dan loyalitas kelompok. Ia masuk dalam golongan pelajar yang tidak sepaham dengan mayoritas pelajar lainnya, yaitu kelompok pelajar antiJepang. ia mengembangkan identitas diri sebagai anak Kumpeni yang berafiliasi kepada pemerintah Belanda, bukan kepada Jepang. “Tetapi seumumnya semua pelajar anti Belanda ... kecuali aku.”165 Menariknya dari novel ini adalah penggambaran perjalanan tokoh Setadewa dalam menempuh bidang pendidikan. Menariknya adalah ketika Setadewa dalam posisi apapun baik itu terkena konflik batin yang sangat menggoncangkan jiwa ataupun ketika ia tidak suka dengan keadaan zaman kala itu, namun begitu ia tidak pernah untuk meninggalkan kewajibannya dalam hal pendidikan. “Ketika itu aku memondok di Semarang meneruskan sekolahku di SMT. Aku senang di Semarang, karena ternyata ada grup pelajar yang berselera anti Jepang. Tetapi suasana memanglah menjengkelkan bagiku. Kami diindoktrinasi dan dilatih bermodel Jepang.”166 Walaupun Setadewa sangat membenci keadaan pada saat itu, dimana Jepang berkuasa menggantikan Belanda yang memberikan efek kepada keluarga yang harus mengungsi dari rumah dinas KNIL yang telah kalah dan bubar. Akan tetapi, walaupun demikian Setadewa tetap melanjutkan 165 166 Ibid., h. 32. Ibid. 150 sekolah SMT-nya di Semarang hingga tamat. Tidak hanya sampai disitu, bahkan ketika Setadewa lebih terguncang lagi hantinya karena Papinya telah ditangkap oleh Jepang dan membuat Maminya terus sakit-sakitan, namun Setadewa tetap melanjutkan pendidikan Sekolah Tingginya (walaupun ada desakan dari Maminya). “Bahkan atas desakan Mami aku memasuki Sekolah Tinggi Kedokteran Daigakku. Tetapi di luar kuliah aku jadi “anak kolong” lagi, mencatut sini, mencatut sana, mencari nafkah untuk Mami.”167 Lebih-lebih ketika Setadewa mengalami konflik batin yang sudah sangat memuncak dalam dirinya. Yaitu kala Indonesia berhasil memukul mundur Belanda dan Setadewa menanggung rasa malu, karena menerima dua sisi kekalahan, yaitu kekalahan pemegang prinsip dan kekalahan cinta. Ditambah lagi ia harus menerima kenyataan bahwa Maminya harus menanggung penderitaan yang amat kejam (Maminya terkena gangguan jiwa). Kemudian ia pergi meninggalkan Indonesia, yang setelahnya diketahui bahwa Setadewa telah menjadi ahli komputer sebuah perusahaan multinasional bahkan ahli yang tiada taranya di seluruh Asia. “... Tuan Setadewa, menejer produksi Pacific Oil Wells Company. Tetapi lebih hebat lagi, ia ahli komputer yang tiada taranya di seluruh Asia ini.”168 Kutipan-kutipan di atas membuktikan bahwa Setadewa sangat mementingkan pendidikan ketimbang apapun dan dalam kondisi apapun. Melalui pandangan-pandangan di atas dapat diketahui bahwa, sebenarnya Setadewa ingin mengajarkan bahwa pendidikan sangatlah penting dalam membentuk budi dan manusia baru daripada yang dialami sebelumnya. Seperti apa yang dikehendaki oleh Sjahrir dan Tan Malaka. Seperti apa yang diungkapkan Sjahrir: agar rakyat Indonesia memandang penting pendidikan dan berusaha mendidik suatu bangsa dan rakyatnya agar mandiri dan bebas. Kemandirian adalah lawan dari ketidakmatangan dan kebebasan adalah lawan dari ketergantungan. 167 168 Ibid., h. 40. Ibid., h. 209. 151 Karena itulah, dia selalu menekankan pentingnya dimensi dalam dari kebudayaan, politik dan ilmu pengetahuan. Pendidikan baginya merupakan bagian dari hakikat hidup manusia yang senantiasa harus dipupuk dan dipelihara. Baginya ketertinggalan dalam pendidikan adalah ketertinggalan dalam hal peradaban, kegagalan kemerdekaan sosial, dan kekalahan bangsa Indonesia.169 Sebagaimana juga pendapat Tan Malaka yang menyebutkan, apabila kaum intelek tidak terjun dalam lautan revolusi, mereka tidak akan terlepas dari penderitaan pada masa berikutnya. Kaum intelektual harus tanggap terhadap gerakan perubahan, dimana barisan rakyat sedang berderap bergemuruh merebut kemerdekaan, jangan hanya tutup mata dan tidak peduli terhadap keadaan. b. Gagasan Revolusi Setadewa dalam Novel Burung-burung Manyar 1) Revolusi Nasional Revolusi yang pecah pada tahun 1945 banyak yang mengatakan mendapat predikat sebagai revolusi nasional. Revolusi nasional merupakan upaya mendobrak segala belenggu kapitalisme, hukumhukum penjajah, yang kemudian bersama-sama rakyat Indonesia menggembleng dan membangun negara baru, pemerintahan baru, hukum-hukum baru, alat-alat produksi baru, dan lain-lain yang serba baru. Sementara itu juga, dipersiapkan berangsur-angsur, syarat untuk melakukan revolusi sosial. Pasalnya revolusi nasional tidak bisa berbarengan sekaligus dengan revolusi sosial. Revolusi nasional harus selesai terlebih dahulu sebelum diganti oleh fase revolusi sosial. Uniknya dalam novel, pandangan Setadewa terkait revolusi nasional sejalan dengan pikiran Sjahrir dan Tan Malaka yang menilai revolusi nasional Indonesia dalam benak keduanya tidak hanya dipahami sebagai upaya untuk merebut kemerdekaan saja tetapi lebih jauh dan lebih luas di luar batas pikir orang Indonesia kebanyakan. 169 Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perdjoeangan, (Djakarta: Poestaka Rakjat, 1947), h. 80. 152 Pendapat Sjahrir dan Tan Malaka terkait perjuangan yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia tidak lain merupakan perjuangan untuk mendapatkan kebebasan jiwa bangsa dari segala macam jenis hinaan dan tindasan, hingga mencapai derajat kemanusiaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan, kebebasan jiwa bangsa sangat mungkin dapat diraih dengan cara menghilangkan atau merubah pola pikir masyarakat yang masih hidup dalam budaya feodal-kolonial dan yang terpenting juga adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan setelah Indonesia merdeka. Dalam novel Burung-burung Manyar, pemikiran tersebut tertanam jelas dalam karakter tokoh Setadewa. Setadewa memandang kemerdekaan bukan hanya slogan yang selalu diteriak-teriakan tanpa ada hasil apapun terhadap rakyat. “Segala omong-kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih merdeka di bawah Merah Putih Republik daripada di bawah mahkota Belanda? Merdeka mana, merdeka di bawah singgasana raja-raja Jawa mereka sendiri daripada di bawah Hindia Belanda? Papi jelas lebih merdeka di Magelang dari pada di Mangkunegaran. Inilah kesalahan logika mereka: menyangka seolah negara sama dengan rakyat. Jika negara merdeka, orang mengira rakyat otomatis merdeka juga. Nonsens. Lihat seluruh sejarah dunia dong.”170 Pemikiran Setadewa di atas sejalan dengan pemikiran Sjahrir. Menurut Sjahrir, bagi rakyat jelata nyata bahwa semboyan “merdeka” itu tidak saja berarti negara Indonesia yang berdaulat, pun tidak pula saja bendera merah-putih baginya berarti simbol persatuan dan citacita bangsa dan negara, akan tetapi terutama kemerdekaan dirinya sendiri dari sewenang-wenang, dari kelaparan dan kesengsaraan, dan merah putih baginya terutama simbol perjuangannya itu, yaitu perjuangan kerakyatan.171 Setadewa juga mengkritik, pekik merdeka hanya simbol kosong dari euforia kebebasan. Maka dari itu, antara 170 Mangunwijaya, op. cit., h. 58. Sutan Sjahrir, Perdjoeangan Kita, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik Guntur ‟49, 1994), h. 2. 171 153 Setadewa dan Sjahrir memiliki kesamaan, tidak puas dengan hanya kemerdekaan saja bagi negara Indonesia. Mereka menginginkan agar kemerdekaan itu meluas jadi kemerdekaan individu, yakni jenis kemerdekaan yang memperhatikan aspek kemanusiaan. Seperti apa yang menjadi cita-cita Sjahrir, bahwa aspek yang terpenting dalam kemerdekaan bangsa Indonesia terletak pada penghayatan peri kemanusiaan. Lebih dalam lagi, Setadewa memandang kemerdekaan itu bukanlah kemauan tunggal orang atau negara, melainkan kemauan terikat (bukan absolut, melainkan relatif). Perihal kemerdekaan, Setadewa juga sejalan dengan pikiran Tan Malaka yang memandang merdeka 100% adalah suatu jaminan buat terus merdekanya bangsa Indonesia.172 “Bagaimana mungkin bangsa yang masih membongkok kepada perampok-perampok mau merdeka. Nanti dulu, belum titik. Logika! Jangan hanya impian dan serba perasaan saja, sekali lagi logika! Bagaimana ...?”173 Bagi Setadewa kunci dari perubahan masyarakat terletak pada cara berpikir. Cara berpikir yang mampu memerdekakan masyarakat, yakni materialisme, dialektis dan logis, seperti apa yang digagas oleh Tan Malaka174 Melalui cara berpikir seperti itu, manusia akan menjadi intelektual yang tidak memungkinkannya menjadi dogmatis atau bermental budak. Seperti yang Setadewa tunjukkan dalam novel, di situ ia melihat bangsa Indonesia belumlah pantas untuk merdeka dikarenakan kebongkokannya kepada perampok-perampok yang dinilai sangatlah 172 William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), cet. 3, h. 43. Negara (State), sebagai alat penindasan oleh suatu klas atau klas yang lain hilang lenyap (withering away), karena tidak ada lagi pertentangan dalam masyarakat; tidak ada lagi klas yang akan ditindas. Sifat memerintah sudah bertukar menjadi sifat mengatur dan mengawasi pekerjaan masyarakat, oleh, dari, dan untuk masyarakat itu sendiri, atas dasar kemerdekaan persamaan dan persaudaraan yang sesungguhnya. 173 Mangunwijaya, op. cit., h. 68. 174 Tan Malaka, Muslihat, Politik, & Rencana Ekonomi Berjuang, (Yogyakarta: Narasi, 2014), h. 111-126. 154 merugikan. Seperti yang diketahui, pada kenyataanya ketika itu para elite potik kelas atas (secara garis besarnya diwarnai dengan Soekarno, Hatta, dan sejumlah pemimpin yang lain) memilih bekerja sama atau berkolaborasi dengan Jepang. “Yang kubaca itu fakta. Dan fakta menunjukkan, semua priyayi dan orang-orang Indonesia yang punya pangkat jelas pro dan membongkok kepada Jepang. Titik! Yang anti Jepang tetapi tak berdaya adalah orang-orang kecil, orang kampung, orang anak kolong. Seperti aku ini. Dan beberapa gelintir orang di bawah tanah seperti ayahmu.”175 Dalam catatan sejarah bahwa ketika itu para elite politik memilih sikap untuk mencapai kemerdekaan melalui kerja sama dengan kaum penjajah. Tentu saja hal tersebut ditentang oleh Sjahrir (yang diketahui pada saat itu ikut bergerak di bawah tanah), dan tentu saja Tan Malaka, karena hal itu menunjukkan masih adanya sisa-sisa kebudayaan lama yang dinilainya sangat buruk, terutama itu merupakan ciri dari feodalisme. Maka tidaklah heran jika Setadewa memandang Republik tidak lain hanya sebagai tindak lanjut fasisme Jepang yang dilihatnya bukan lebih memajukan Indonesia, melainkan merugikan bangsanya sendiri. “... lagi, pada saat itu, aku yakin bahwa apa yang dikehendaki kaum Nasionalis keliru. Orang-orang Indonesia belum matang untuk merdeka. Aku tahu, tidak pernah manusia matang untuk menangani hidupnya sendiri pun. Tetapi suatu saat kita harus memilih pihak. Dan aku memilih Belanda. Karena aku yakin ketika itu, bahwa tidak sebandinglah korban akibat ketidakdewasaan dengan keuntungan yang akan dicapai. Itu dilihat dari titik penglihatan orang kampung, anak kolong. Kan aku sudah bilang, aku anak kolong, dan aku bangga jadi anak Kumpeni. Bangga ikut bergerak di bawah tanah melawan Jepang, justru pada jaman orang-orang kita serba membongkok ke arah Si Cebol Kuning itu. Justru pada jaman beribu-ribu orang romusha diserahkan kepada kaum sadis made in Japan itu.”176 175 176 Ibid., h. 67. Ibid., h. 57. 155 Dari itulah juga dapat dikatakan sebabnya Setadewa lebih memilih Belanda (masuk NICA) daripada ikut berjuang bersama bangsanya sendiri. Baginya kemerdekaan merupakan kebebasan yang harus dimiliki oleh setiap individu, termasuk bebas untuk memilih (namun memilih dengan cara pikir yang berlandaskan asas logika) dan terbebas dari segala macam belenggu yang dapat mempersulit rakyat dan memperdunggu. Pemikiran Sjahrir dan Tan Malaka di atas juga senada dengan yang dicita-citakan oleh Romo Mangun, mengenai kebebasan jiwa bangsa. Penciptaan Indonesia "pasca-nasional" yang warganya mengerti bahwa seorang bisa menjadi warga dunia sekaligus orang Indonesia, seperti seorang pascasarjana tetaplah sebagai sarjana, walaupun statusnya sudah menjadi lain.177 2) Revolusi Sosial Kemerdekaanlah yang menjadikan titik balik dalam dinamika sosial di Indonesia, sehingga terjadi perubahan sosial yang drastis dalam masyarakat. Perubahan sosial pascaproklamasi inilah yang sering disebut dengan revolusi sosial. Revolusi sosial yang terjadi setelah proklamasi berupa penentangan terhadap pranata sosial Indonesia yang terlanjur terbentuk pada masa penjajahan Belanda, dan terkadang juga merupakan hasil kebencian terhadap kebijakan pada masa penjajahan Jepang. Di seluruh daerah, masyarakat bangkit melawan kekuasaan aristokrat dan kepala daerah setempat, semua itu dilakukan untuk mendorong penguasaan lahan dan sumber daya alam atas nama rakyat. Maka dari itu, revolusi sosial dipahami sebagai perubahan pada struktur masyarakat yang feodal-kolonial menjadi struktur masyarakat demokratis. Y.B. Mangunwijaya, “Muda = Merintis Kreatif” dalam Gerundelan Orang Republik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 25-27. Kutipan tersebut merupakan kutipan dari pidato hari jadi 6 bulan RI yang dibawakan oleh Sutan Sjahrir. 177 156 Maka untuk itu, agar revolusi sosial dapat berjalan dengan baik, Sjahrir dan Tan Malaka mengatakan bahwa orang Indonesia harus membedakan aspek bagian luar dari revolusi mereka, yaitu nasionalisme, dan aspek sosial yang berupa demokrasi merupakan bagian dalamnya. Bahaya besar jika hanya memusatkan aspek nasionalisme saja, karena jika begitu revolusi akan macet hingga aspek sosial bagian dalam itu akan dilupakan/tidak berjalan. Maka dari itu, sering kali mereka mengkritisi perjuangan yang dilakukan oleh Soekarno yang dipandangnya hanya mengedepankan rasa nasionalisme saja. “Semakin banyak Soekarno, semakin lekas Republik itu hancur, katanya tenang. Sebab dunia yang menang perang sekarang sedang benci pada segala yang berbau fasis dan militerisme.”178 Bagi Setadewa justru yang harus ditekankan adalah tujuan utama revolusi Indonesia bukanlah nasionalisme saja. Setadewa mengkhawatirkan jika para rakyat Indonesia hanya mengandalkan aspek nasionalistis saja dalam perjuangan, justru akan menggiring ke arah fasisme, yakni tumbuhnya feodalisme, bahkan ultranasionalisme.179 Maka dari itu, Setadewa menyatakan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia harus berada pada anti-fasis. Dari pandang tersebut, terdapat persamaan ideologi antara Setadewa dengan Sjahrir dan Tan Malaka dalam menentang feodalisme di Indonesia sampai kepada akar-akarnya. Tujuannya agar sisa-sisa feodalisme tidak mengakar jauh kepada anak-cucu bangsa Indonesia. 178 Mangunwijaya, op. cit., h. 78. Tim Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 407. Menurut KBBI, fasisme merupakan suatu gerakan radikal ideologi nasionalis ekstrem yang menganjurkan pemerintahan otoriter. Sementara otoriter adalah bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan tertentu. Otoriter ini merupakan suatu hal yang kontras dengan demokrasi. Sehingga dapat ditarik suatu simpulan (dengan berkacamata dari revolusi sosial) bahwa, jika suatu negara bersifat fasis maka dapat dipastikan revolusi sosial tidak dapat berjalan. Lebih dari itu, feodalisme akan mengundang fasisme, dan fasisme akan membuka jalan bagi permusuhan etnis, bahkan agama. Mengangkat kembali warisan feodal sama dengan mendegradasikan kemerdekaan nasional yang sudah susah payah diperoleh. 179 157 Segala pemikiran Sjahrir dan Tan Malaka terkait penentangan terhadap fasisme juga digagas oleh Setadewa. Sejak penceritaan awal novel, Setadewa terlihat sangat tidak suka dengan segala jenis tindaktanduk fasisme (itu juga yang menjadi alasan kenapa ia memilih masuk NICA daripada ikut berjuang bersama Indonesia). Bahkan dengan sikapnya itu, Setadewa berani menentang negaranya sendiri yakni Indonesia yang dianggapnya telah tertular sangat jauh oleh budaya fasisme. “Tetapi kesimpulanku pada pagi hari di lapangan terbang itu semakin kokoh: Kepada Atik, kepada Papi dan Mami, seandainya mereka di pihak sana, aku akan membuktikan, bahwa aku di pihak yang benar, di pihak anti Jepang, di pihak Sekutu yang jaya memenangkan perang melawan fasis.”180 Sikap Setadewa yang membenci segala jenis fasisme pada awalnya terbentuk karena melihat kenyataan bahwa negerinya Indonesia dianggapnya “salah arah” dalam hal berjuang untuk merebut kemerdekaan. Ia juga menilai bangsa Indonesia telah terkena virus fasisme yang ditularkan oleh kaum penjajah (terutama Jepang). “Sejak itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi: menjadi KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh, pengecut tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan mental-mental serba kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi mendukung bandit-bandit yang membuat Mamiku menjadi gundik.”181 Tidak hanya sampai di situ, sikap Setadewa dalam menolak segala jenis fasisme tetap digagas olehnya hingga akhir bagian novel, saat ia membongkar kecurangan atau korupsi yang dilakukan oleh perusahaannya tempat ia bekerja. Perusahaan Pacific Oil Wells Company 180 181 ternyata Mangunwijaya, op. cit., h. 100. Ibid., h. 42. yang disadari oleh Setadewa melakukan 158 kecurangan dengan memberi rumusan-rumusan yang sangat dapat merugikan bangsa Indonesia. “Dan motivasiku masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan yang pada hakekatnya juga bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta modelmodelnya pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer. Dan inilah saat perhitunganku. Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran. Sekarang tidak.”182 Konsistensi Setadewa terhadap penolakan terhadap fasisme sangat menonjol dan tidak dapat diragukan lagi. Sikap idealisnya itu menggambarkan sebagai orang yang sangat menentang fasisme, sama seperti apa yang digagas oleh Sjahrir dan Tan Malaka. 3) Revolusi Mental Secara dialektis revolui mental dipahami sebagai suatu perubahan pola pikir. Revolusi mental ditujukan untuk merubahan cara berpikir, bersikap, dan cara pandang terhadap sesuatu yang dianggap tradisional (bercorak feodal-kolonial) ke arah yang lebih rasional. Seperti apa yang dicita-citakan revolusi, tujuan dari revolusi mental yakni membangun jiwa bangsa berpikiran bebas (merdeka), yang dapat memajukan pemikiran agar lebih dapat memandang ke depan. Sebagian besar rintangan terhadap revolusi ini bersumber pada corak berpikir dan bertindak yang bertolak belakang dengan semangat kemajuan zaman. Dengan melakukan revolusi mental (menurut Sjahrir dan Tan Malaka) budaya feodal-kolonial yang tradisional dan dianggap menyesatkan serta menyengsarakan rakyat dapat diubah menjadi suatu tatanan pemikiran baru yang dapat berguna bagi kemajuan bangsa. Pasalnya, revolusi mental inilah dimana cara berpikir masyarakat tradisional dirubah menjadi cara berpikir masyarakat yang rasional 182 Ibid., h. 300. 159 atau logis. Di dalam novel segala jenis tindak-tanduk dan juga cara berpikir Setadewa melambangkan orang yang berpikiran maju dengan cara berpikir rasional. “Darahku masih mendidih memang, akan tetapi rasio Officer Brajabasuki toh masih kuat dari kebinatanganku. Dalam hal ini aku boleh berterimakasih kepada pengaruh Verbruggen. Ia bandit memang, tetapi setiap bandit kepalanya dingin dan berkalkulasi, sedangkan aku bukan bandit dan karena itu sering masih terbawa emosi.”183 Seperti yang telah diketahui, cara berpikir yang digagas Setadewa di dalam novel banyak dipengaruhi oleh Papinya, Brajabasuki dan juga atasannya, Verbruggen yang telah banyak mengajarkan Setadewa secara langsung maupun tidak langsung. “Aku tipe anak kolong yang sejak kecil punya kode etik berterus-terang. Lebih baik berkelahi berbahasa kepal dan tendangan kaki daripada bohong dan berpura-pura. Baru kelak aku sadar, bahwa dalam citrarasa aku satu kompi dengan Papi. Papi ternyata (tetapi itu baru kelak kuketahui) sengaja menjauhkan diri dari kaum istana, karena ia tidak suka basa-basi Jawa yang halus tetapi banyak yang tidak jujur.”184 Setadewa juga tidak suka dengan segala sesuatu yang bersifat basabasi seperti yang ditunjukkan oleh para kaum istana (ningrat). Maka tidak heran jika Setadewa menjauh dari kaum istana, bahkan terkesan tidak suka dengan kaum istana, yang dianggapnya terlalu menganut sistem feodal dan nantinya akan menimbulkan fasisme. Maka tidaklah heran pemikirannya mengenai konsep kemerdekaan juga berlandaskan asumsi logikanya. Baginya logika sangat penting bagi setiap pemikiran yang serba impian belaka (tidak berdasarkan nalar). “Barangkali kata benar terlalu sok. Tetapi paling tidak, pendasaran sikapkulah yang paling rasional. Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan minder harus 183 184 Ibid., h. 75. Ibid., h. 33. 160 dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang seperti buah durian yang jatuh karena sudah matang.”185 Setadewa melihat pada saat itu bangsa Indonesia belum matang untuk mengurus dirinya sendiri selagi masih membongkok kepada para penjajah. Pandangnya jika ingin merdeka bangsa Indonesia harus mampu terlebih dahulu mengambil sikap untuk menjadi pribadi yang matang (dewasa). Maka dari itulah sikap kebongkokan dan rasa minder harus dihilangkan dari benak masyarakat Indonesia, yang hanya mengganggu jalannya cita-cita kemerdekaan. “Bagaimana mungkin bangsa yang masih membongkok kepada perampok-perampok mau merdeka. Nanti dulu, belum titik. Logika! Jangan hanya impian dan serba perasaan saja, Logika, sekali lagi logika! Bagaimana ...? Tetapi Atik biasanya tidak membiarkan aku menyelesaikan uraian logikaku. Teto, kau menganalisa terlalu logis. Kau harus sanggup membaca kejadian yang sebenarnya di antara baris-baris yang tercetak.”186 Sikap bernalar yang ditunjukkan Setadewa dalam novel inilah yang merupakan gagasan dari pemikiran konsep revolusi mental yang dicetus oleh Sjahrir dan Tan Malaka. Sikap inilah yang mampu membawa perubahan bagi bangsa Indonesia terutama dari cara berpikir kepada arah yang lebih maju, terutama pengenyahan mentalitas yang dianggap mengganggu jalannya kemajuan bangsa. 3. Gambaran Tokoh Lain dalam Jalur Revolusi a. Perjuangan Sutan Sjahrir dan Tan Malaka dalam Burung-burung Manyar Dalam novel Burung-burung Manyar, Romo Mangun menggambarkan peranan kedua tokoh yakni Sjahrir dan Tan Malaka dalam upaya merebut kemerdekaan dari pihak penjajah. Peranan keduanya di dalam novel digambarkan melalui bentuk perjuangan dalam memperjuangkan Republik Indonesia. Seperti yang diketahui keduanya 185 186 Ibid., h. 89. Ibid., h. 67. 161 memiliki pemikiran yang berbeda terkait bentuk perjuangan atau langkah-langkah yang diambil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir lebih mengutamakan jalan diplomasi yang bertujuan untuk mengangkat nama Indonesia di kancah dunia internasional, sementara Tan Malaka lebih memilih mobilisasi dalam bentuk perjuangan dengan dalih membumihanguskan segala bentuk penjajah di Indonesia. Sedangkan dalam hal kemerdekaan, Sjahrir dan Tan Malaka banyak menempatkan nasionalisme sebagai hal terpenting, baginya nasionalisme adalah perwujudan dari kemerdekaan Indonesia yang didasarkan atas sosialisme dan bersatunya kekuatan-kekuatan revolusioner. Akan tetapi, nasionalisme janganlah dijadikan suatu barang utama yang primer, sebab nasionalisme saja tidaklah cukup untuk merealisasikan kemerdekaan yang hakiki. Pasalnya mereka sadar betul bahwasannya kemerdekaan barulah tahap awal dalam sebuah revolusi. 1) Bentuk Perjuangan Sutan Sjahrir Dalam novel Burung-burung Manyar tokoh Syahrir digambarkan sesuai kenyataan, yakni menjadi Perdana Menteri RI. Peran Sjahrir sebagai Perdana Menteri dalam novel tersebut sesuai dengan fakta sejarah Indonesia. Menurut sejarah, setelah dilantik sebagai Perdana Menteri RI pada tanggal 14 November 1945, dibentuklah kabinet baru. Sjahrir menjadi Perdana Menteri, merangkap sebagai Menteri Luar Negeri dan juga Dalam Negeri.187 Setelah menjalankan kabinetnya, Sjahrir mengambil inisiatif berdiplomasi dengan Belanda. Dia ingin menangkis tuduhan bahwa Indonesia hanyalah gerombolan orang brutal, pembunuh dan perampok, dimana pihak Belanda selalu menuduh RI sebagai negara yang tidak aman sehingga perlu campur tangan asing. Sejumlah perjanjian dan perundingan dijalankan oleh Sjahrir, seperti pada bulan 187 Ricklef, op. cit., h. 327. 162 November 1946 menyetujui Perjanjian Linggarjati, pada tanggal 4 Agustus 1947 terbentuklah Persetujuan Renville, tanggal 7 Mei 1949, terjadi kesepakatan Roem-Royen, dan pada puncaknya pada tanggal 23 Agustus 1949 dimana perjuangan kemerdekaan melawan Belanda yang didahului dengan masuknya pasukan TNI ke Yogya dimantapkan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag.188 “Indonesia akan diakui oleh dunia internasional dan akan segera diadakan Konperensi Meja Bundar. Dan konperensi ini hanya beracara tunggal: penyerahan kedaulatan kepada RI. Kelak Larasati tahu, bahwa bukan RI, melainkan RI serikat yang akan dibentuk itu yang bakal menerima penyerahan.”189 Kutipan di atas digambarkan oleh narator ketika menggambarkan keadaan Indonesia setelah penyerangan di Yogya. Seperti pada kenyataannya, konferensi-konferensi yang terjadi ternyata juga diceritakan dalam novel. Dari kejadian itulah sebenarnya merupakan bukti Indonesia mampu mengorganisasikan diri dan menghargai hukum internasional. Tidak hanya itu, Sjahrir dengan kecerdikannya kala itu membuat pihak Belanda marah besar dikarenakan strategi diplomasi yang diterapkan Sjahrir mampu membongkar blokade musuh. Kali ini cara yang digunakan yaitu dengan mengambil jalan kerja sama dengan negara India untuk menarik perhatian dunia internasional. “Apa lagi sesudah datang berita koran tentang persetujuan pemerintah India dengan kaum Republik mengenai pembelian beras setengah juta ton oleh kaum Gandhi itu demi penanggulangan bahaya kelaparan di sana.”190 Sjahrir memberikan bantuan beras kepada India sebanyak 500 ribu ton pada bulan Agustus 1946.191 Bantuan ini bertujuan meraih simpati dunia internasional terutama negara-negara Asia. Bantuan beras dan 188 Pierre Heijboer, Agresi Militer Belanda: Memperebutkan Pending Zamrud Sepanjang Khatulistiwa 1945/1949, (Jakarta, Gramedia & KITLV, 1998), h. 179-180. 189 Mangunwijaya, op. cit., h. 166. 190 Ibid., h. 96. 191 Heijboer, op. cit., h. 148. 163 kunjungan ke beberapa negara dimaksudkan sebagai upaya memperlihatkan bahwa negara Republik Indonesia tetap kokoh berdiri sendiri sebagai negara berdaulat penuh. Pengaruh tokoh Syahrir terhadap tokoh Setadewa tergolong vital. Pasalnya pengarang membuat Setadewa tidak berdaya dalam menghadapi tokoh Syahrir. Ketidakberdayaan tokoh Setadewa terhadap perlambangan tokoh Syahrir terlihat pada kutipan berikut. “Dalam bahasa Belanda ia tenang berkata padaku: Jenderal Christison menunggu saya. Harap jangan mengecewakan beliau... yang kumaki sebetulnya ketidak-kuasaanku menghadapi Si Syahrir itu.”192 Seperti yang diketahui Sjahrir dengan jelas digambarkan dalam novel oleh pengarang, hal ini tidak terlepas pada kenyataan bahwa Romo Mangun memang sangat mengagumi Sjahrir. Itu dapat terlihat dalam tiap tulisan-tulisan yang dibuatnya. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa Mangun merupakan pengagum ide-ide Sjahrir. Itulah mengapa Mangun membuat tokoh Setadewa begitu tidak kuasa dalam menghadapi Sjahrir. 2) Bentuk Perjuangan Tan Malaka Berbeda dengan Sjahrir, dalam hal ini jalan perjuangan yang diambil oleh Tan Malaka berkebalikan dengan Sjahrir. Tan Malaka sama sekali menolak bekerja sama dengan pihak musuh, dia menekankan kemerdekaan 100% dengan memilih jalur mobilisasi. Bila berbicara mengenai bentuk perjuangan dan ideologi, Tan Malaka sangat sejalan dengan sikap yang dimiliki oleh Jenderal Soedirman. Seperti yang diketahui bahwa Soedirman merupakan salah satu orang terpenting yang setuju dengan diadakannya Persatuan Perjuangan. Persatuan Perjuangan adalah suatu organisasi massa yang dibentuk di Purwokerto, Jawa Tengah, pada awal tahun 1946, yang bertujuan 192 Mangunwijaya, op. cit., h. 74. 164 menciptakan persatuan di antara organisasi-organisasi yang ada untuk mencapai kemerdekaan penuh bagi Indonesia. Organisasi ini dipelopori oleh Tan Malaka dan berhasil menghimpun 141 organisasi politik yang tidak puas dengan langkah diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.193 Maka dari itu, penulis menganalisa bahwa pengarang secara implisit menggambarkan tokoh Jenderal Sudirman dalam novel dapat diidentikan dengan (bahkan mewakili) sosok Tan Malaka dalam bentuk perjuangan maupun ideologi. “... bahwa yang menamakan diri sebagai Jenderal Sudirman tidak mau dilucuti senjatanya dan bahwa dengan demikian suatu preseden sudah terjadi, yakni bahwa di muka mata dunia dan blak-blakan di dalam daerah kekuasaan NICA dan Sekutu, seorang petualang yang mengangkat dirinya jadi jenderal suatu Republik liar telah diperkenankan oleh pimpinan Inggris untuk mempertahankan segala atribut dan kewibawaannya.”194 Dari kutipan di atas penekanan terletak pada “Jenderal Sudirman tidak mau dilucuti senjatanya” itu menekankan bahwa kemerdekaan 100% mutlak didapatkan dengan cara berjuang tanpa mau menyerah kepada musuh. Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan. Tan bertamsil: orang tidak akan berunding dengan maling di rumahnya. "Selama masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan," katanya. Dalam kongres Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka kala itu, Jenderal Soedirman tidak kalah garang. Ia berpidato di kongres: "Lebih baik di atom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen." Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.195 Kutipan di atas timbul dari pikiran Setadewa Anonim, “Gerilya Dua Sekawan”, dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, Jakarta, Agustus 2008, h. 83-84. 194 Mangunwijaya, op. cit., h. 102. 195 Anonim, “Si Mata Nyalang di Balai Societeit”, dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, Jakarta, Agustus 2008, h. 23. 193 165 yang melihat tokoh jenderal Sudirman. Seketika itu pula Setadewa membandingkan tokoh Sudirman dengan para tentara KNIL. Kelihatan sekali perbedaan yang membuat jiwaku lebih mendidih. Jelaslah sikap KNIL-KNIL itu kuli Inlander.196 Di sisi lain, perjuangan fisik yang dilakukan dengan jalan menggunakan senjata atau perang untuk menghadapi kekuasaan asing juga membuahkan hasil yang bagus untuk bangsa Indonesia. Maka dari itu, ketika melihat satuan perjuangan yang digambarkan dalam novel dipimpin oleh Jendral Soedirman, Setadewa melihat suatu “semangat perjuangan” yang menyala-nyala. Maka bagi Setadewa, jalan perang maupun diplomasi telah memberikan hasil, yaitu kemerdekaan sejati yang berarti bahwa bangsa Indonesia terlepas dari penjajahan dan berhak menentukan nasibnya sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Setadewa. “Tetapi peleton pengawal oknum yang menyebut diri Jendral Sudirman itu, mereka jelas, jujur saja, bukan Inlander. Mereka tegap dan sangat muda penuh harga diri. Wajah-wajah mereka mendongak ke atas dan tampaklah bersinar pancaran mata. Fanatik, tetapi muda. Ya muda. Ini tentara priyayi sebetulnya, ningrat; dan harus diakui oleh watakku yang jujur, sulit disesuaikan dengan gambaran-gambaran populer: kaum teroris. Memang perwira-perwira delegasi evakuasi RAPWI pihak sana persis Jepang, kecuali pecinya yang selalu miring, tetapi pasukan pengawal ini bergaya internasional. Ya, pici yang sangat miring dan yang tampaknya selalu nyaris jatuh itu; di situlah aku melihat untuk pertama kali suatu elan, suatu jiwa yang diam halus tetapi tajam mengejek kami kaum KNIL, bangsat-bangsat bayaran yang sungguh-sungguh kampungan.”197 Dari kedua bentuk perjuangan yang terjadi dalam masa-masa revolusi nasional sebenarnya membuahkan hasil yang sangat memuaskan bagi pihak bangsa Indonesia dan tentu saja menyudutkan posisi Belanda. 196 197 Mangunwijaya, op. cit., h. 101. Ibid., h. 101. 166 “Jelaslah KNIL dan KL dan segala yang bercap maupun berlencana Belanda atau Hindia Belanda masuk perangkap. Kedudukan Republik semakin kokoh; sejak perdana menteri kecil itu diundang Jendral Christison, sejak beras setengah juta ton dimuat di kapal ke India atas nama Republik dan sejak pesawat loakan itu mendarat di Kemayoran tanpa boleh ditembak Mustang ML kita, dan sejak Si Kiai kurus jangkung yang menamakan diri Jenderal Sudirman itu menolak dilucuti oleh kami dan kami tak berdaya; tak bisa diingkari bahwa pihak Rood Wit Blauw sudah pudar.”198 Kutipan tersebut perkataan Setadewa yang mengungkapkan bahwa pihak Belanda semakin hari semakin terpukul mundur dengan usaha dan strategi perjuangan para rakyat dalam rangka mengusir segala penjajah dari tanah Indonesia. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa bentuk usaha perjuangan dan strategi yang dapat mengalahkan Belanda yaitu dengan cara diplomasi dan mobilisasi. b. Larasati: Peran Perempuan dalam Masa Revolusi Penggambaran tokoh Larasati dalam novel Burung-burung Manyar, memiliki keunikan tersendiri. Melalui tokoh Larasati tergambarkan bahwa perempuan yang hidup dalam kultur patriarki pada era prakemerdekaan dan revolusi, telah mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan dan memiliki peran yang penting dalam sektor publik. Pandanganya mengenai semangat perjuangan tersalurkan dalam diri Larasati tentang gelora Bung Karno. “Soekarno itu api. Kita butuh api. Tanpa semangat tidak ada daya. Tetapi itu baru separoh. Harus disalurkan secara rasional, agar menjadi mesin yang baik jalannya, dan tidak membakar segala hal, termasuk diri sendiri ... Kalau Indonesia kelak merdeka, negara kita tidak akan kejam. Mudah-mudahan, Tik. “Tidak boleh mudahmudahan, Pap. Harus.” Atik memang sudah menjadi pemudi yang bergelora. Api pijar Bung Karno sudah menyala di dalamnya.”199 198 199 Ibid., h. 141. Ibid., h. 45-46. 167 Novel ini juga menggambarkan tokoh wanita yang ikut berjuang dalam pergerakan nasional. Seperti apa yang dilakukan Larasati yang pada masa revolusi berjuang dalam garis kemerdekaan dengan menjadi sekretaris Perdana Mentri Sjahrir. “La-ras-ati adalah salah seorang anggota sekretariat itu si perdana menteri amatir Sutan Syahrir. Dan rumahnya di Kramat VI, persis di dalam rumah yang sering kau kunjungi.”200 Begitupun ketika terjadi serangan udara oleh sekutu di Yogyakarta, Larasati dan ayahnya sedang menjalankan tugas untuk mengantarkan surat-surat rahasia yang ditujukan kepada gubernur Jawa Tengah dari Departemen Dalam Negeri, yang kala itu berada di Magelang. Di tengah perjalanan mereka mendapatkan tembakan dari udara, yang mengakibatkan ayahnya meninggal dunia. “Tiba-tiba Atik teringat pada tas yang berisi beberapa lembar surat penting dari Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur Jawa Tengah yang berkedudukan di Magelang. Dengan sedih ia melihat pada kendaraan yang sudah hitam berbau sengak cat dan karet terbakar.”201 Melalui kejadian inilah yang menggambarkan bagaimana penokohan yang dimiliki Larasati sebenarya dapat terlihat. Berkebalikan dengan Setadewa, Larasati justru memiliki sifat yang lebih kuat dan tabah dalam menghadapi cobaan yang terjadi dalam hidupnya, terutama ketika melihat ayahnya meninggal di depan matanya karena terkena tembakan pesawat Belanda yang kala itu menyerang Yogya. “Atik memandang wajah ayahnya. Bagaimana mengangkut jenazah ayahnya ke kota? Bagaimana memberitahu ibunya? Ini jelas perang.”202 Ketenangan sifat Larasati sangat terlihat berbeda sekali dengan Setadewa yang ketika “kehilangan” orang tuanya yang malah termakan emosi dan membenci segala sesuatu yang telah merenggut kedua orang tuanya. 200 Ibid., h. 82. Ibid., h. 114. 202 Ibid., h. 113. 201 168 Rupa-rupanya sifat kedewasaan Larasati tidak terlepas dari faktor pengaruh atasanya yang sering mengajarkan segala sesuatu tentang perjuangan. “Atik teringat pada kata-kata serba tenang dari bossnya ketika masih perdana menteri itu: Setiap kekerasan dari Belanda merupakan lubang jebakan. Di situ mereka akan terperosok sendiri. Satu-satunya jalan untuk menang bagi kita ialah sikap goodwill secara budaya berperikemanusiaan. Sebab justru itulah yang dicari oleh seluruh pihak di mana pun yang sudah remuk dan muak kekerasan. Perang Dunia baru saja selesai.”203 Setelah ayahnya meninggal dunia, Larasati dan ibunya untuk sementara tinggal di desa tempat ayahnya dimakamkan, karena pada saat itu di kota sangat tidak kondusif suasananya. Di sana mereka berdua membantu dapur umum di pedalaman Magelang. “Sejak ayah tersayang gugur, Atik dan Bu Antana bersepakat untuk berbakti di desa, di antara para geliryawan… Larasati dan ibunya tahu, bahwa sebentar lagi mereka harus meninggalkan desa Grojogan. Atik pastilah akan sibuk lagi sebagai seorang sekretaris di Kementerian Luar Negeri…”204 Dari kutipan tersebut tampak bagaimana perempuan telah menjadi bagian penting dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Setelah revolusi usai, Larasati memilih profesi sebagai ilmuwan biologi dengan puncak karier sebagai Kepala Direktorat Pelestarian Alam di Bogor. Dalam novel tersebut juga digambarkan bagaimana Larasati mempertahankan disertasi yang ditulisnya di depan tim penguji disertasi dan anggota senat Universitas Gadjah Mada, dengan predikat maxima cumlaude. Dengan menghadirkan tokoh Larasati, pengarang ingin menggambarkan sosok perempuan Indonesia yang cerdas, mandiri, dan selalu berperan di masyarakat sesuai dengan konteks zamannya. Ini menunjukkan bahwa sejak zaman dulu perempuan juga telah ambil bagian dalam gelanggang perjuangan bangsa. 203 204 Ibid. Ibid., h. 165-166. 169 “Pagi itu Nyonya Janakatamsi, Kepala Direktorat Pelestarian Alam akan mempertahankan tesisnya untuk meraih gelar doktor biologi di hadapan Senat lengkap beserta undangan.”205 Walaupun posisinya sebagai seorang perempuan namun ia digambarkan dengan segala kepandaiannya semenjak kecil. Selain itu ia pun turut aktif dalam membantu perjuangan nasional kala itu. Itu bukti bahwa Mangun memandang pendidikan penting bukan hanya bagi anak laki-laki, akan tetapi posisi yang sama juga harus dimiliki oleh perempuan. c. Gambaran Hasil Revolusi dalam Burung-burung Manyar Pada bagian ini penulis akan membahas hasil dari revolusi yang terdapat pada novel Burung-burung Manyar. Seperti yang telah dikonsep oleh Romo Mangun dalam novel, dengan membagi tiga bagian periode waktu. Dengan diteguhkan kekosongan waktu yang tidak diceritakan, membuat penulis menganalisa bahwa bagian III dalam novel dimaksudkan sebagai bagian hasil dari revolusi. Pada bagian itu Setadewa memainkan peranan sebagai seorang penilai, karena melalui kacamata Setadewa pembaca diberikan informasi-informasi terkait perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia pasca Indonesia merdeka. Setelah dipaparkan konsep revolusi yang digagas oleh Setadewa di atas, justru pada bagian III dalam novel Romo Mangun menggambarkan sesuatu yang berkebalikan dengan cita-cita revolusi. Mangun menilai bangsa Indonesia masih memiliki sifat mentalitas minderwaardegheid complex atau perasaan rendah diri yang sering diidap warga jajahan. Inilah yang sebenarnya ingin diubah oleh Sjahrir dan Tan Malaka di dalam alam pemikiran orang Indonesia. Mereka ingin menanamkan pembangunan karakter manusia Indonesia, dari sekadar bangsa jajahan menjadi tuan bagi bangsanya sendiri. 205 Ibid., h. 243-244. 170 “Dan kau tidak perlu menunduk-nunduk seperti kuli begitu. Katanya sudah merdeka. Ah ya, maaf Tuan ... Tiba-tiba mukanya mendongak dan mulutnya menganga.”206 Namun apa yang ditemukan Setadewa tidaklah demikian, justru Setadewa menilai bangsa Indonesia masih memiliki mental yang belum merdeka dan bahkan tidak pantas untuk merdeka. Kritikan Setadewa dalam novel begitu keras terhadap manusia yang memiliki mental keterbelakang (merasa selalu dijajah). Kritikan tersebut ia layangkan kepada semua rakyat Indonesia, terutama orang Jawa. Seperti yang digambarkan dalam novel. “Aku melompat dari jip dan menuju kamar piket. Ada seorang Jawa bermental kuli menunduk-nunduk hormat dengan mata serba licik. Bukankah begitu, kuli Jawa harus sopan seperti tai kucing? Tai yang sopan disembunyikan di bawah pasir?”207 Pemikiran ini sebenarnya sejalan dengan pemikiran Tan Malaka yang menilai, orang yang bermental seperti pada kutipan di atas akan menjadi intelektual-pasif yang tidak mungkin dapat menghargai betul arti kebebasan berpikir. Berbeda dengan intelektual aktif yang lebih tahu menghargai kebebasan berpikir. Selama cara berpikir yang begitu tidak berubah, orang atau masyarakat itu tidak akan mampu memerdekakan dirinya 100 persen. Perubahan cara berpikir atau tepatnya perubahan mental adalah kunci atau fundamental bagi Tan Malaka.208 Sejalan dengan Tan Malaka, Sjahrir menilai kebudayaan Timur masih kental dengan sifat kompleks rendah diri. Ia memusuhi segala jenis mentalitas budak, obsesi terhadap hierarki, toleransi yang berlebihan, kecenderungan mistik, hingga keahlian dalam pengingkaran, sifat „bukan saya‟, dan keengganan bertanggung jawab atas perbuatannya.209 Bagi Setadewa orang yang masih memiliki mental “menunduk” jiwa dan 206 Ibid., h. 152 Ibid., h. 151. 208 Frederick dan Soeroto, op. cit., h. 358-359. 209 Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Terj. dari Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia oleh Pabotingi, Matheos Nalle, dan Maimoen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), h. 298. 207 171 raganya belum merdeka. “Maaf, Excellency tapi sungguh, saya selalu sedih kalau melihat orang menunduk-nunduk seperti kuli jaman Rafless.”210 Sikap dan mental yang dicanangkan Sjahrir dan Tan Malaka dalam novel diperlihatkan oleh Setadewa dengan sangat dominan. Bahkan bukan hanya terlihat dari pribadinya saja dalam bertindak, akan tetapi sikap Setadewa ini mendapatkan pengakuan dari bangsa asing yang mengakui Setadewa memiliki mental orang Eropa bukan orang Timur. “Anda orang Eropa dalam sikap dan mental. Bukan orang Amerika, jangan lagi orang Timur. Tetapi ... Ya, memang aku lahir di Indonesia sini. Bahkan Mr. Ambasador boleh menertawakan saya, tetapi benar saya masih mempunyai darah ningrat sedikit dari Keraton di jantung Jawa sana.”211 Pengakuan pandangan ini dikemukakan oleh Tuan Ambassador yang merupakan teman Setadewa. Pengakuan ini tidak hanya berdasarkan pengakuan kosong belaka. Pasalnya ia mengatakan begitu karena telah melihat bagaimana bangsa Timur dalam bersikap, ketika ia mengunjungi Indonesia. “Tahukah Anda , Mr. Setta, orang Timur memang harus diteror seperti yang kukerjakan pada adder-adder ini. Coba mereka diberi hati, aduh bukan Cuma hati yang diambil, tetapi jantungnya juga. Jantung diberi, mereka ambil paru-paru. Paru-paru diberi, malah naik lagi mereka minta agar diperbolehkan menyedot otak ... tetapi ini bangsa kuli. Harus dijadikan kuli. Coba mereka kau injak, barulah mereka hebat bekerja, dan keluarlah daya akal mereka yang mengagumkan. Tetapi bila diberi hati dan dimanja, sudahlah, kembalilah mereka menjadi anak kecil yang macam-macam saja merengek-rengek permintaan bukan-bukan tidak masuk akal.”212 Bagi Tuan Ambbasador bangsa Timur itu hanya ibarat binatang peliharaannya saja, yaitu adder-adder. Menurutnya, bangsa Timur (Indonesia) merupakan bangsa kuli yang tidak bisa hidup mandiri. 210 Mangunwijaya, op. cit., h. 204. Ibid., h. 205. 212 Ibid., h. 203-204. 211 172 Sikap itulah yang membuat Setadewa memandang para bangsa Indonesia sebagai bangsa kuli yang memiliki mentalitas budak. Maka tidak heran Setadewa sering kali melayangkan kritikan terhadap orangorang pribumi yang dianggapnya memiliki mental yang sangat merugikan diri sendiri, apalagi pihak lain. “Bukan begitu. Papi senang kau tidak suka sundal. Tetapi orangorang yang membongkok-bongkok di hadapan serdadu tengik Jepang dan menjual bangsanya kepada mereka demi sebungkus rokok lebih hina dari sundal”213 Baginya sikap yang demikian itulah yang harus segera direvolusi agar bangsa Indonesia mampu belajar dan menentukan pilihan hidup yang terbaik. Kritikan itu lebih khusus lagi Setadewa layangkan terutama kepada orang Jawa. “Itulah senjata paling ampuh dari orang Jawa: mengalah. Menang tanpa membawahkan? Membunuh tanpa mencabut nyawa? Terasa, betapa asing diriku, jauh dari manusia-manusia di negeri ini. Aku merasa diikat dengan benang sutera, diganja dengan arum-manis, dipeluk oleh labah-labah betina yang merayu minta disetubuhi, lalu jantan dimakan.”214 Menurut Suwardi Endraswara, dalam catatannya terdapat kurang lebih 40 mental orang Jawa yang patut direvolusi. Jika tidak direvolusi, mental Jawa tersebut sering merugikan pihak lain, bahkan diri sendiri. Salah satunya adalah mental menang tanpa membawahkan pada kutipan di atas. Bagi orang Jawa kemenangan selalu dianggap prestise. Orang Jawa sudah lama mengkonsepkan istilah (1) drajat, (2) pangkat, (3) semat yang berkaitan dengan kepemimpinan.215 Dengan kata lain, sebenarnya Setadewa mengkritisi bangsa Indonesia secara keseluruhan (khususnya orang jawa) dengan mengkhawatirkan apa yang dinamakan “warisan feodal” tradisional yang terdapat di sekian banyak daerah Indonesia, serta pengaruh pemerintahan Belanda dan Jepang. Dengan begitu akan 213 Ibid., h. 34. Ibid., h. 281. 215 Selengkapnya lihat Suwardi Endraswara, Revolusi Mental dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2015), h. 1-7. 214 173 mengakibatkan terlalu banyak penduduk Indonesia akan pasrah belaka terhadap kekuasaan. C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA Peranan sastra dalam pembelajaran sangatlah vital, karena mempelajari sastra berarti mempelajari bahasa, pemikiran, gagasan, budaya, dan tradisi. Lebih dari itu, mempelajari sastra akan memperkenalkan peserta didik sebuah dunia pengalaman baru, membawa peserta didik berkelana pada pemikiran dan gagasan dunia baru yang berbeda sehingga membuat peserta didik kaya akan intelektual. Selain itu, sastra dapat meningkatkan keterampilan berbahasa. Dengan mempelajari sastra tentunya akan mempelajari aspek kebahasaan lainnya, seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pasalnya, bahasa memiliki peranan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan peserta didik dalam mempelajari semua bidang studi. Dengan demikian sastra dapat memacu kreativitas membaca dan menulis sastra, disamping mengajarkan kesantunan pada peserta didik. Mempelajari sastra berarti belajar untuk menafsirkan pesan pengarang dalam karyanya secara akademis atau dengan kata lain menelusuri ilmu pengetahuan dalam bentuk pemikiran yang telah direfleksikan oleh pengarang. Dengan begitu, siswa dapat memperoleh wawasan dari ide-ide tentang dunia dan realitas yang digambarkan pengarang melalui bahasa. Tidak hanya itu, kritik-kritik sosial, politik, dan hukum yang terdapat dalam tulisan karya pengarang dapat membantu peserta didik membuat keputusan dalam transisi kehidupan sosial, politik, dan hukum. Namun ada pula pendapat bahwa sastra hanya diperlukan sebagai penambah wawasan saja, tanpa harus mempelajarinya secara mendalam. Anggapan itu muncul dikarenakan peserta didik belum bisa menangkap makna dan mengambil manfaat secara maksimal dari karya sastra. Hal tersebut merupakan salah satu masalah yang harus segera diatasi. Masalah lain yang harus dibenahi adalah pengemasan pengajaran sastra yang masih kaku dan 174 rumit. Hal tersebut mempersulit tercapainya tujuan pengajaran sastra yang salah satunya adalah menumbuhkan nilai kehidupan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sastra memiliki posisi yang sangat penting, terutama dalam membangun moralitas bangsa yang dewasa ini mengalami penurunan secara signifikan. Memasukan materi sastra pada pendidikan formal (dalam hal ini pembelajaran sastra mengenai analisis novel) merupakan suatu usaha yang bagus untuk membangun kreativitas siswa dalam mengapresiasi karya sastra, sehingga meningkatkan kemampuan membaca peserta didik. Khususnya dalam novel sastra, peserta didik dapat memperkaya pengetahuan dan wawasannya melalui kegiatan membaca, karena bacaan sastra membahas permasalahan kemanusiaan serta seputar kehidupan manusia. Salah satu kelebihan novel sebagai bahan pembelajaran sastra adalah cukup mudahnya dipahami oleh peserta didik sesuai dengan tingkat kemampuannya masing-masing individu. Namun karena tingkat kemampuan setiap individu berbeda, dalam hal ini guru sebagai seorang pengajar dituntut lebih luwes dengan menggunakan metode yang tepat. Dengan begitu tujuan pendidikan yang ingin menghasilkan generasi yang kreatif akan tercapai. Tujuan pengajaran sastra sebenarnya memiliki dua sasaran, yaitu siswa memperoleh pengetahuan dan pengalaman sastra. Pertama, pengetahuan sastra diperoleh dengan membaca teori, sejarah, dan kritik sastra. Kedua, pengalaman sastra dengan cara membaca, melihat pertunjukan karya sastra, dan menulis karya sastra. Maka dari itu, agar segala tujuan pembelajaran tercapai dan tepat sasran, dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Guru juga dituntut mengembangkan kompetensinya sehingga mampu menciptakan pembelajaran yang berkualitas dari segi isi maupun kemasan. Terkait hal implikasi pembelajaran sastra di sekolah dengan bahasan dalam kajian novel ini, penulis memandang Standar Kompetensi yang dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra adalah menanggapi pembacaan novel. Berdasarkan Standar Kompetensi itu, maka Kompetensi Dasar yang 175 dihasilkan adalah mengidentifikasi unsur novel sebagai karya sastra (intrinsik dan ekstrinsik). Kompetensi tersebut dapat dikembangkan melalui novel ini sebagai bahan ajar pembelajaran di tingkat menengah atas. Pembelajaran unsur intrinsik dalam novel ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi karya sastra untuk mempertajam perasaan, meningkatkan penalaran, daya imajinasi, serta kepekaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara mempelajari unsur ekstrinsik akan menambah wawasan terkait pemikiran pengarang dan apa yang benar-benar ingin disampaikan oleh pengarang dalam novel. Novel ini dikategorikan sebagai novel sejarah. Oleh karena itu, siswa perlu membaca secara intensif agar lebih memahami isi novel, hal tersebut terjadi karena novel Burung-burung Manyar banyak memaparkan berbagai peristiwa yang berkaitan dengan sejarah Indonesia. Maka dari itu, sasaran implikasi penelitian ini sebagai pemahaman tambahan bagi peserta didik, selain pemahaman tentang pewarnaan pikiran sang sastrawan, juga sebagai pemahaman perihal revolusi di Indonesia dan para tokoh-tokoh penggagasnya. Untuk itu, guru diharapkan dapat menjelaskan dengan baik revolusi yang terjadi di Indonesia kepada para peserta didik, sehingga para peserta didik mengetahui revolusi yang terjadi di Indonesia. Selain itu juga, guru dapat memperkenalkan tokoh revolusi, dalam hal ini khususnya Sjahrir dan Tan Malaka kepada para peserta didik. Kesemuanya itu diharapkan agar peserta didik mampu menganalisis segi-segi ekstrinsik yang terdapat dalam pembelajaran sastra. Sehingga, peserta didik mampu lebih tajam dalam menganalisis segi-segi intrinsik. Dengan begitu, dalam menganalisis novel ini, guru dituntut agar mengarahkan siswa untuk menggunakan teknik membaca intensif. Dengan menggunakan teknik membaca intensif, maka detail cerita akan mudah dipahami oleh para peserta didik sehingga peserta didik akan lebih tajam dalam menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya. Dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini, terutama konsep revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka, maka akan 176 menumbuhkan nilai kebangsaan para peserta didik dan menimbulkan rasa cinta terhadap tanah air. Dengan mengetahui revolusi sosial diharapkan peserta didik menjadi manusia yang lebih demokratis. Pada akhirnya, lewat revolusi mental peserta didik menjadi manusia yang berpikir logis, kritis, dan sistematis. BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap novel Burung-burung Manyar, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam novel Burung-burung Manyar, sang tokoh utama Setadewa berposisi sebagai pengagas utama (artikulator) revolusi. Revolusi yang menjadi acuan Setadewa adalah revolusi yang digagas oleh Sutan Sjahrir dan Tan Malaka, itu terlihat dari gagasan revolusi nasional, sosial, dan mental. Hal tersebut terlihat dari segala pemikiran dan tindak-tanduk sang tokoh Setadewa. Sebagaimana juga revolusi ikut turut mempengaruhi kepribadian tokoh Setadewa. Sedangkan gambaran tokoh lain perihal revolusi dapat dilihat melalui tokoh Larasati yang menjadi perwakilan perempuan dalam revolusi. Hal itu Larasati tunjukkan dengan cara ikut perjuangan di dalam ranah pemerintahan Republik Indonesia. Di samping itu, peran tokoh-tokoh lain tergambarkan dengan segala permasalahan revolusi. Namun, melalui kacamata Setadewa cita-cita revolusi yang terjadi di Indonesia belumlah terealisasikan dengan baik. Kajian mimetik yang dapat disimpulkan, yakni apa yang terjadi pada gambaran latar yang ditampilkan Romo Mangun, yang dapat diamati melalui kaca sejarah yang terjadi dalam dunia nyata (Indonesia) dan persoalan-persoalan sosial yang melatarbelakanginya. Semua itu merupakan cerminan dari kisah sejarah Indonesia yang benarbenar terjadi dan dialami oleh rakyat Indonesia pada zamannya. Selain itu, latar revolusi dalam novel ikut andil dalam penegas suasana revolusi yang terjadi di Indonesia. 2. Novel Burung-burung Manyar mampu berimplikasi dalam pembelajaran sastra dengan menggunakan Standar Kompetensi menanggapi pembacaan novel. Dengan begitu, guru dituntut agar mengarahkan siswa untuk menggunakan teknik membaca intensif. Pembacaan intensif membuat 177 178 peserta didik lebih memahami isi novel dan lebih tajam dalam menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya. Dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam novel ini, konsep revolusi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka yang dijadikan materi utama dapat ditemukan dan dipelajari lebih mendalam. Sementara tujuan yang ingin dicapai ialah revolusi nasional dapat menumbuhkan nilai kebangsaan para peserta didik dan menimbulkan rasa cinta terhadap tanah air. Dengan mengetahui revolusi sosial diharapkan peserta didik menjadi manusia yang lebih demokratis. Pada akhirnya, lewat revolusi mental peserta didik menjadi manusia yang berpikir logis, kritis, dan sistematis. B. Saran Berdasarkan pembahasan hasil penelitian maka penulis menyampaikan beberapa saran kepada: 1. Masyarakat seharusnya sadar bahwa tahap revolusi nasional barulah tahap awal idealnya dalam revolusi, seharusnya tahap itu dilanjutkan kepada tahap revolusi sosial dan revolusi mental. Dengan demikian, skripsi ini diharapkan dapat mendorong masyarakat ke arah kesadaran tahap revolusi. 2. Guru diharapkan lebih jelas dan rinci dalam menerangkan unsur-unsur pembangun karya sastra (khususnya novel), serta mampu memilih metode dan media yang tepat guna mencapai sasaran pembelajaran yang ingin dicapai. 3. Untuk siswa hendaknya mampu menganalisis karya sastra (khususnya novel) lebih dalam dan tajam, sehingga pemikiran pengarang yang benarbenar ingin disampaikan dapat ditemukan. 4. Bagi masyarakat pembaca supaya tidak hanya sekadar membaca, akan tetapi dapat menggali dan menghayati serta mampu mengamalkan pesan yang disampaikan oleh pengarang kepada para pembaca baik secara tersurat maupun tersirat. DAFTAR PUSTAKA Abrams, MH. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition. Oxford: Oxford University Press, 1971. _____. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston, 1981. Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, cet. 9, 2007. Aziez, Furqonul dan Hasim, Abdul. Menganalisis Fiksi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. BS., Abdul Wachid. Sastra Pencerahan. Yogyakarta: Saka, 2005. Creswell, John W. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan mixed, Edisi Ketiga, Terj. dari Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, Third Edition oleh Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Djody, Setiawan. “Revolusi Versus Reformasi”, dalam Revolusi Kebudayaan. Yogyakarta: t.p., 1999. Djojosuroto, Kinayati. Analisis Teks Sastra & Pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka, 2006. DM., Sunardi. Barata Yudha. Jakarta: Balai Pustaka, cet. 8, 2008. Draper, Hal. Karl Marx’s Theory of Revolution: The Politics of Social Classes. Delhi: Aakar Books, 2011. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS, 2013. _____. Revolusi Mental dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2015. Eneste, Pamusuk. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan, 1988. Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa, 2013. Frederick, William H. Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926 – 1946). Jakarta: Gramedia, 1989. Frederick, William H. dan Soeroto, Soeri. Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005. 179 180 Heijboer, Pierre. Agresi Militer Belanda: Memperebutkan Pending Zamrud Sepanjang Khatulistiwa 1945/1949. Jakarta, Gramedia & KITLV, 1998. Hidayat, Asep Yusuf. Metode Penelitian Sastra. Bandung: FSUP, 2007. Hidayat, N. Di Bawah Kibaran Bendera Matahari Terbit. Jakarta: Nilia Pustaka, 2007. K., Septiawan Santana. Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Kahin, G. McTurnan. “Sutan Sjahrir”, dalam Rosihan Anwar (ed.), Mengenang Sjahrir. Jakarta: Gramedia, 1980. Kartasasmita, Ginanjar dkk. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1981. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia, 2010. Kleden, Ignas. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan; Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004. Kosasih, E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya, 2012. KS., Yudiono. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2007. Legge, JD. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir, Terj. dari Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the following recruited by Sutan Sjahrir in occupation Jakarta oleh Hasan Basari. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, cet. 2, 2003. Lenin, V.I. Negara dan Revolusi, Terj. dari The State and Revolution oleh Sulang Sahun. Yogyakarta: Fuspad, 2001. Luxemburg, Jan van dkk. Pengantar Ilmu Sastra, Terj. dari Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia, 1986. Mahayana, Maman S. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Malaka, Tan. Aksi Massa. Jakarta: Teplok Press, 2000. _____. Gerpolek: Gerilya-Politik-Ekonomi. Yogyakarta: Narasi, 2013. _____. Islam dalam Madilog, Bandung: Sega Arsy, 2014a. _____. Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Yogyakarta: Narasi, 2014b. 181 _____. Muslihat, Politik, & Rencana Ekonomi Berjuang. Yogyakarta: Narasi, 2014c. _____. Semangat Muda. Bandung: Sega Arsy, 2015. Mangunwijaya, YB. “Archetype Sutan Sjahrir”, dalam Rosihan Anwar (ed.), Mengenang Sjahrir. Jakarta: Gramedia, 1980. _____. Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987. _____. “Manusia, Guru, Negarawan Sutan Sjahrir dan Relevansinya Kini dan Di Hari Mendatang”, Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah Angakatan II, Sekolah Ilmu Sosial, Bentara Budaya Jakarta, 5 Agustus 1988. _____. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius, cet. 3, 1994. _____. “Muda = Merintis Kreatif” dalam Gerundelan Orang Republik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. _____. Merintis RI yang Manusiawi Republik yang Adil dan Beradab. Jakarta: Erlangga, 1999a. _____. Pacsa-Indonesia Pasca-Einstein. Yogyakarta: Kanisius, 1999b. _____. Burung-burung Manyar. Jakarta: Djambatan, cet. 15, 2007. Matanasi, Petrik. KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) Bom Waktu Tinggalan Belanda. Yogyakarta: Media Pressindo, 2007. Melberg, Arne. Theories of Mimesis. Cambridge: Cambridge University Press, 1995. Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Mohamad, Goenawan. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. _____. “Tan Malaka, Sejak Agustus Itu”, dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta, Agustus 2008. MP-Ata, “Romo Mangun mengungkapkan: „Burung-burung Manyar‟nya banyak dipengaruhi Multatuli”. Yogyakarta: Minggu Pagi, 21 Oktober, 1984. Mrazek, Rudolf. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Terj. dari Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia oleh Pabotingi, Matheos Nalle, dan Maimoen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996. 182 Murtianto, Th. Bambang (ed.). Kata-kata Terakhir Romo Mangun. Jakarta: Kompas, 2014. Nurgiyantoro, Burhan. “Wayang dalam Fiksi Indonesia”. Jurnal Humaniora, Vol. XV, No. 1/2003. _____. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. Onghokham. Rakyat dan Negara. Jakarta: Sinar Harapan, 1983. Penyusun, Tim. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Poeze, Harry. “Kerja Sama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir”, dalam Tempo Edisi Khusus Sjahrir. Jakarta, Maret 2009. Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 4, 2007. Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara, 2010. Purba, Antilan. Esai Sastra Indonesia; Teori dan Penulisan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008. Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, cet. 8, 2000. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 3, 2007. Ricklefs, MC. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999. Rusyana, Yus. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang, 1982. Semi, M. Atar. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya, 1988. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008. Sjahrir, Sutan. Pikiran dan Perdjoeangan. Djakarta: Poestaka Rakjat, 1947. _____. Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin. Jakarta: Djambatan, 1990. _____. Perdjoeangan Kita. Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik Guntur ‟49, 1994. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: UI-Press, cet. 10, 1981. Stanton, Robert. Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. 183 Subanar, G. Budi. “Jejak-jejak Humanisme dalam Karya Sastra Y.B. Mangunwijaya”. Kuwera, Vol. 14, 2012. Sudirjo, Radik Utoyo. Fajar Orde Baru Lahirnya Orde Baru. Jakarta: Badan Penerbit Almanak Republik Indonesia, 1979. Sumardjo, Jakob. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Alumni, 1999. _____. Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan. Jakarta: Kompas, cet. 2, 2002. Suparajie. “Maka Mangunwijaya pun Mengungkapkan: Dulu, Banyak yang Ikut Belanda ....”. Yogyakarta: Eksponen, 3-9 September, 1983. Surachmad, Winarno. Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1975. Tarigan, Henry Guntur. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa, 1986. Triyana, Bonnie. “(Bukan) Seseorang dalam Arus Utama Revolusi”, dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta, Agustus 2008. Utomo, Cahyo Budi. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press, 1995. Waluyo, Herman J. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994. Wellek, Rene dan Warren, Austin. Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia, cet. 4, 1995. Wikipedia Ensiklopedia Bebas. “Biografi http://www.id.wikipedia.org, 31 Januari 2015. Y.B. Mangunwijaya”. Yahya, Iip D. Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa. Yogyakarta: Kanisius, 2005. Anonim. “Y.B. Mangunwijaya Bicara tentang „Burung-burung Manyar‟nya”. Jakarta: Kompas, 22 Juli, 1981. Anonim. “Si Mata Nyalang di Balai Societeit”, dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta, Agustus 2008. Anonim. “Gerilya Dua Sekawan”, dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta, Agustus 2008. 184 Daftar Rujukan Bacaan: Atmakusumah dan Atmakusumah, Sri Rumiati (ed.). Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya: Seri 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997. Barry, Peter. Beginning Theory: Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra, 2010. DS., Soegiri. Arus Filsafat. Bandung: Ultimus dan Lembaga Sastra Pembebasan, 2008. Eneste, Pamusuk. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Gramedia, 2009. Santosa, Kholid O. dkk. Tan Malaka dan Sjahrir dalam Kemelut Sejarah. Bandung: Sega Arsy, cet. 3, 2016. Susetya, Wawan. Ramayana. Yogyakarta: Narasi, 2008. DAFTAR UJI REFE,RENSI Nama NIM Jurusan/Prodi Fakultas Judul Skripsi : Boby Aji Pamungkas : 109013000089 : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan ) : "GagasanRevolusi Pada Tokoh-tokoh B dalamNovel urung-burung Manyar Karya YB Mangunwijaya dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA" Paraf No. Judul Buku Referensi Pembimbing BAB I of 1. Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory 2. Literature oleh Melani Budianta, (lakarta: Gramedia, 1995). Yudiono K.5., Pengantar Sejarah Sastra Indonesia, (Jakarta: Grasindo, n q^ 'q{ 2007). a J. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11 12. Jakob Sumardjo, Kontel<s Sosial Novel Indonesia 1920-1977, (Bandung: Alumni, 1999). Y.B. Mangunwijaya, "Archetlpe Sutan Sjahrir", dalam Rosihan Anwar (ed.), Mengenang Sjahrir, (Jaka4a: Gramedia, 1980). Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fil6i, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005). _ Suparajie, "Maka Mangunwijaya pun Mengungkapkan: Dulu, Banyak yang Ikut Belanda ....", El<sponen,Yogyakarta,3-9 September, 1983. William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesadah Revolusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 200s). Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1993). Kinayati Djojosuroto, Analisis Teks Sastra & Pengajarannya, (Yogyakarta: Pustaka, 20Q6). Winarno Surachmad, Dasar dan Tehnik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah, (Ban&ryg: Tarsito, 1975). John w. creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif, dan mixed, Edisi Ketiga, Terj. dari Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, Third Edition olehAchmad rawai4 Sogyakq{ta: Pustaka Pelajar, 201 0). Asep Yusuf Hidayat, Metode Penelitian Sastra, (Bandung: FSUP, 2001). d 4 d d I U" 13. t4. 15. 16. 17. Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Tehtik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelaiar, 2007), cet. 3. Septiawan Santana K., Menulis llmiah Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007). M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (New York: Holt Rinehart and Winston, 1981). Suharsimi Arikunto, Manajernen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 20Al), cet. 9. Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, ffogyakarta: Pustaka Pelaiar, 2007\, cet. 4. BAB II 18. Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra d d d^ # # n d dengan Ancangan Lrterasi Kritis, (Jakarta: Bumi Aksara, 201 0). 20. Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fil6i, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994). M. Atar Semi, Anatomi SastrA, (Padang: Angkasa Raya, 1988). 2l . Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, (Bogor: Ghalia 22. Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejaralr, (Bandung: 23. Angkasa,2013). Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008). 19. Indonesia, 201 0). 24. 25. 26. 21 . 28. 29. 30. 31 32. aa JJ. 34. 35. Henry Guntur Tarigan, Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa, 1 986). Robert Stanton, Teori Fil$i, Terj. dari An Introduction to Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelaj ar,2A07). Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005). Gorys Keraf, Diksi don Gaya Baltasa, (Jakarta: Grametlia, 2010). E. d rC ,A d,\ # dn d d n# # Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Barrdung: Yrama Widya,20L2). M. H. Abrams, The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical Tradition, (Oxford: Oxford University Press, l97l). Arne Melberg, Theories of Mimesls, (Cambridge: Cambridge University :d4 o{n Press,1995). Jan van Luxemburg dkk., Pengantar llmu Sastra, Terj. dari Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia, 1986). Abdul Wachid BS, Sastra Pencerahan, (Yogy*arta: Saka, 2005). 4n Suwardi Endraswar a, Metodo logi Penelitian Sastra ; Epis temolo gi, Model, Teori, dan Aplikasz, (Yogyakarta: CAPS, 2013). Setiawan Djody, "Revolusi Versus Reformasi",dalam Revolusi Ke bu d ay a an, (Y o gyakarta: t.p., I 9 9 9). Lihat Hal Draper, Karl Marx's Tlteory of Revolution: The Politics of Social Classes, (Delhi: Aakar Books, z}fi). d C ^d i^ n4 4 36. 37. 38. 39. 44. 41 . 42. 43. 44. 45. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: UI-Press, 1981), cet. 10. V.I. Lenin, Negara dan Revolusi, Terj. dat'. The State and Revolution oleh Sulang Sahun, (Yogyakarta: Fuspad, 2001 ). J.D. Legge, Kaum Intelehual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir, Terj. dari Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the following recruited by Sutan Sjahrir in occupation Jakarta oleh Hasan Basari, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), cet.2. G. McTurnan Kahin, o'Sutan Sjahrir", dalam Rosihan Anwar (ed.), Mengenang Sj ahrir, Qlakarta: Gramedia, I 980). Sutan Sjahrir, Perdjoeangan Kita, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Politik Guntur '49,1994). Y.B. Mangunwijaya, 'oManusia, Guru, Negarawan Sutan Sjahrir dan Relevansinya Kini dan Di Hari Mendatang", Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah Angakatan II, Sekolah Ilmu Sosial, Bentara Budaya Jakarta, 5 Agustus 1988. Jakob Oetama, Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan, (Jakarta: Kompas, 2002), cet.2. Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan terj. H.B. Jassin. (Jakarta: Djambatan, 1990). Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perdjoeangan, (Djakarta: Poestaka Rakjat, 1947). Rudolf \trazek, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Terj. dat'r Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia oleh Pabotingi, Matheos Nalle, dan Maimoen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996). 47. Bonnie Tri yana, "(Bukan) Seseorang dalam Arus Utama Revolusi", dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, Jakarta, Agustus 2008. Tan Malaka, Al$i Massa, (Jakarta: Teplok Press, 2000). 48. Tan Malaka, Semangat Muda, (Bandung: Sega Arsy, 2A$). 49. Tan Malaka, Gerpolek: Gerilya-Politik-Ekonomi, (Yogyakarta: Narasi, 50. 2013). Tan Malaka, Islam dalam Madilog, (Bandung: Sega Arsy, 2Al4). 51 Tan Malaka, Madilog: 46. 52. 53. 54. Materialisme, Dialehika, dan Logika, (Yogyakarta: Nalqsi, 201 4). Harry Poeze, "Kerja Sama Singkat Tan Malaka dan Sjahrir", dalam Tempo Edisi Khusus Sjahrir, Jakarta, Maret 2009. Goenawan Mohamed, "Tan Malaka, Sejak Agustus Itu", dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malaka: Bapak Republik ynng Dilupakan, Jakarta, Agustus 2008. Antilan Purba, Esai Sastra Indonesia; Teori dan Penulisan, (Yogyakarta: Graha llmu,2008). d d I n d d d 4dn Cfl 4h 6 ,{ d] & d d 55. Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: Gunung Larang, 1982). 56. B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet. 8. BAB III 57. 58. 59. 60. 6r. 62. Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan; Esai-esai Sastra dan Budaya, (Jakarta Pustaka Utama Grafiti, 2004). Iip D. Yahya, Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa, (Yogyakarta: Kanisius,2005). Pamusuk Eneste, Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern, (Jakarta: Djambatan, 1988). Anonim, Mangunwijaya Bicara tentang 'Burung-burung Manyar'nya" , Kompas, Jakarta, 22 lvli, 1 98 I . Maman S. Mahayana, Elatrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Wikipedia Ensiklopedia Beb as, Biogrofi Y.B. Mangunwij aya, halaman ini terakhir diubah pada 31 Januari 2015, pukul 18.04, (http /hwvw. i d. wikipedi a. oru) . MP-Ata, "Romo Mangun mengungkapkan: oBurung-burung Manyar nya banyak dipengaruhi Multatuli", Mingga Pagi, Yogyakarta, 21 Oktober, 1984. Y.B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet. 3. Th. Bambang Murtianto (ed.), Kata-kata Terakhir Romo Mangun, (Jakarta: Kompas, 2014). Y.B. Mangunwijaya, Pacsa-Indonesia Pasca-Einstein, (Yogyakarta: Kanisius, 1999). G. Budi Subanar, "Jejak-jejak Humanisme dalam Karya Sastra Y.B. Mangunwii ayt', Kuwera, Y ol. | 4, 2012. Y.B. Mangunwijaya, Merintis RI yang Manusiawi Republikyang Adil dan B eradab, (J akarta: Erlangga, 1999\. Y.B. Mangunwijaya, Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987). 'Y.B. ffi M A 4 d d d & : 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. BAB IV 71 Y.B. Mangunwiaya, Burung-burung Manyar, (J akarta: Dj ambatan, 2A0l), cet.15. Sunardi D.M. , Barata Yudha, (jakarta: Balai Pustaka,2008), cet. 8. 72. Burhan Nurgiyantoro, "Wayang dalam Fiksi lndonesia", Jurnal 70. 73. 74. Humaniora, Vol. XV, No. 112003,h. 10. MC. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999). Tan Malaka, Muslihat, Politik, & Rencana Ekonomi Berjuang, (Yogyakarta: Narasi, 201 4). 6 t ,#* d # n dA # CT /1 ok\ + 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. Y.B. Mangunwijaya, "Muda: Merintis Kreatif'dalam Gerundelan Orang Republik, (Yogyakarta: Pustaka Pelaj ar, 1 995). Tim Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008). Pierre Heijboer, Agresi Militer Belanda: Memperebutkan Pending Zamrud Sepanjang Khatulistiwa 1945/1949, (Jakarta, Gramedia & KITLV, 1998). Anonim, "Gerilya Dua Sekawan", dalam Tempo Edisi Khusus Tan Malalra: Bapak Republikyang Dilupakan, Jakarta, Agustus 2008. Anonim, o'Si Mata Nyalang di Balai Societeit", dalam Tempo Edisi Khusu.s Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan, Jakarta, Agustus 2008. Suwardi Endraswara, Revolusi Mental dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Narasi,2015). Petrik Matanasi, KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger) Bom Waktu Tinggalan Belanda, (Yogyakarta: Idedia Pressindo, 2007'). Cahyo Budi Utomo, Dinamika Pergerokan Kebangsoan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdeknon, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1995). William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926 - 1946), (lakarta: Gramedia, 1e8e). N. Hidayat, Di Bawah Kibaran Bendera Matahari Terbit, (Jakarta: Nilia Pustaka,2007). Ginanjar Kartasasmita dkk, 30 Tahun Indonesia fuIerdeka 1945-1949, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1931). Radik Utoyo Sudirjo, Fajar Orde Baru Lahirnya Orde Baru (Jakarta: Badan Penerbit Almanak Republik Indonesia, l9l9). Ot ghokham , Ralryat dan Negara, (Jakarta: Sinar Harap dn, 1983). C x bA 4 & & d u d) d & C l4 C t( LAMPIRAN Cover Novel Burung-burung Manyar Yusuf Bilyarta Mangunwijaya Sinopsis Novel Burung-Burung Manyar Roman ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang anak kolong yang bernama Setadewa atau oleh keluarga priyayinya dipanggil Teto (pada zaman Belanda), menjadi Leo ketika masuk NICA, dan dipanggil Seta ketika telah menjadi seorang ahli komputer. Setadewa ialah anak dari seorang Kepala Divisi Garnisun II Magelang KNIL tentara negeri Holland dan seorang wanita keturunan totok Belanda yang senang berkehidupan ningrat keraton Surakarta, bernama Marice. Pada masa penjajahan Belanda di HindiaBelanda hidup keluarga Setadewa makmur, namun semuanya berubah ketika Jepang tiba di Indonesia. Ayahnya yang notabene tentara KNIL tentunya menjadi incaran Jepang. Ketika Jepang datang, keadaan keluarganya menjadi miris, terlebih lagi tragedi yang terus-menerus menimpanya, ayahnya ditangkap oleh serdadu Jepang dan maminya ditawan oleh tentara Jepang, ketika itu maminya diberi dua pilihan, menjadi gundik pemuas nafsu tentara Jepang atau ayahnya meninggal. Maka Marice memilih pilihan yang pertama, karena ia begitu sayang dengan suaminya. Kejadian itulah yang mengantarkan Setadewa masuk NICA dan memilih Belanda, dikarenakan kebenciannya yang teramat dalam dengan semua yang berbau Jepang dan rakyat Indonesia yang membongkok-bongkok kepada Jepang. Ditengah badai hitam kehidupan keluarga Brajabasuki, datanglah keluarga Antana sebagai penolong Setadewa. Dalam keluarga Antana Setadewa menemukan kembali kehangatan dan kasih sayang yang telah lama tidak ia rasakan. Terutama Si prenjak, Larasati yang menjadi alasan utama Setadewa dan juga sebagai wanita yang menjadi tambatan hati Setadewa. Namun ketika beranjak dewasa keduanya memilih jalan yang berbeda. Setadewa memilih untuk meneruskan perjuangan ayahnya menjadi tentara KNIL sementara Larasati memilih mengabdi kepada republik, yakni menjadi sekretaris Perdana Menteri Republik. Atas rekomendasi maminya Setadewa dipertemukan oleh Mayoor Verbruggen, yang merupakan orang yang sangat mencintai Marice. Banyak pelajaran hidup yang diambil Setadewa melalui atasannya tersebut. Hingga pada suatu hari, melalui atasannya pula Setadewa mengetahui informasi mengenai papinya dan juga berhasil menemukan maminya yang ternyata belum meninggal melainkan menderita kelainan jiwa. Dari situlah hidup Setadewa hancur, dan juga dikarenakan pengaruh Larasati yang telah memaksa Setadewa menjadi seorang lelaki yang serba kalah. Ketika pada puncaknya Belanda berhasil menduduki istana presiden di Yogyakarta dan para pemimpin tertinggi Republik ditangkap. Namun ditengah keberhasilan itu justru Setadewa merasakan kehampaan hidup yang membawanya kepada sebuah kekalutannya yang mendalam terkait pilihan hidupnya. Tidak lama setelah Agresi Militer Belanda, justru kekalahan demi kekalahan menghampiri Belanda, pasalnya banyak pihak yang mengecam atas serangannya terhadap republik Indonesia itu. Maka dari situlah sekali lagi Setadewa merasa hidupnya jatuh kepada lubang kekalahan dan ketidaktercapaian berulang kali. Setelah menghilang beberapa tahun penceritaan novel dibuka ketika Indonesia sudah menjadi negara berkembang dan Setadewa telah menjadi seorang ahli komputer lulusan Harvard University dan bekerja di luar negeri sebagai ahli komputer di Oil Pacific Oil Wells Company. Melalui pekerjaannya itulah yang membawanya kembali ke tanah kelahirannya, Indonesia. Setadewa kembali ke Indonesia untuk menyelidiki masalah perusahaan tempatnya bekerja, yang dianggapnya bermental fasis dan berbuat rumusan curang terhadap Indonesia. Terlebih dulu Setadewa meminta saran sahabatnya yang merupakan Duta Besar di Indonesia bernama John Brindley. Akibat dari aksinya membongkar korupsi yang dilakukan perusahaannya, Setadewa dipecat karena dianggap melakukan pengkhianatan. Ketika itu pula Setadewa dipertemukan kembali dengan Larasati yang telah memiliki suami, bernama Janakatamsi dan sudah memiliki tiga orang anak yang bernama Teto, Kris, dan Padmi. Janakatamsi yang merupakan orang yang membantu Setadewa membongkar kasus korupsi Wells Company yang mengakibatkan Janaka juga harus dipecat dari pekerjaannya. Lalu Setadewa kembali hidup bersama keluarga Antana bersama suami Larasati. Ketika itu, Setadewa dan juga Larasati menyadari bahwa mereka masih tetap memiliki rasa sayang antara satu dengan yang lain, tidak sebagai keluarga, melainkan perasaan lain. Perasaan itu disadari juga oleh Ibu Antana dan bahkan suaminya janakatamsi. Maka dari itu, Setadewa merasa tidak enak dan ingin pergi dan hidup sendiri. Tetapi keluarga Antana, khususnya ibu Antana memintanya tetap tinggal untuk menjadi abang bagi Larasati. Ketika suatu hari ayah dari suami Larasati meminta Larasati dan suaminya untuk melaksanakan ibadah Haji. Namun naas, Larasati dan suaminya tewas, pesawat yang ditumpanginya jatuh di Kolombo. Hingga akhirnya, Setadewa memutuskan untuk merawat tiga anak Larasati yaitu Kris, Padmi, dan Teto kecil bersama Ibu Antana. Anak-anak Larasati dianggapnya hadiah terindah yang pernah diterima oleh Setadewa selama hidupnya. KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN RPP Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Satuan Pendidikan : SMA / MA Kelas/Semester : XII/1 Nama Guru NIP Sekolah : : : 1 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Satuan Pendidikan : SMA Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : XII/1 Aspek/Skill : Membaca Standar Kompetensi : Memahami pembacaan novel Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi unsur sastra (intrinsik dan ekstrinsik) Indikator : (1) Mampu memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik novel (2) Mampu menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat pada novel (3) Mampu menggali apa yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam novel Alokasi Waktu : 4 x 45 menit (2 pertemuan) 1. Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari bab ini siswa diharapkan mampu memahami unsur terpenting dalam novel yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik, mampu menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam novel, dan mampu memahami apa yang ingin disampaikan oleh pengarang di dalam novel.  Karakter siswa yang diharapkan: siswa mampu mengembangkan sikap gemar membaca, tanggung jawab, ketelitian, berani, serta percaya diri. 2. Materi Pembelajaran a. Pemahaman mengenai novel b. Penjelasan unsur intrinsik novel c. Penjelasan unsur ekstrinsik novel 2 3. Metode Pembelajaran a. Ceramah/Penjelasan b. Tanya jawab c. Diskusi kelompok d. Inkuiri e. Refleksi f. Pemberian tugas g. Penilaian sebenarnya 4. Media Pembelajaran a. LCD (presentasi power point guru) b. Papan Tulis c. Hand out dan buku novel yang dipilih d. Lembar kerja siswa 5. Sumber Belajar a. Power point b. Buku teks materi bahasa dan sastra Indonesia yang relevan c. Buku novel yang dipilih (Novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya d. Biografi dan pemikiran pengarang novel 6. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran Pertemuan Pertama: No 1 Kegiatan Waktu Kegiatan Awal 10 menit Mengkondisikan kelas  Memberi salam, berdoa, menanyakan kabar, dan absensi  Guru mempersiapkan siswa secara fisik dan psikis  Guru menjelaskan kompetensi dasar dan indikator 3  Guru menjelaskan tujuan dan proses pembelajaran  Siswa ditanya mengenai pengetahuannya tentang novel Motivasi Guru memotivasi siswa dengan merelevansikan materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa 2 Kegiatan Inti 70 menit Eksplorasi 30 menit Dalam kegiatan eksplorasi:  Guru menjelaskan hakikat mengenai novel  Guru menjelaskan unsur terpenting (digunakan untuk menganalisis novel) yang terdapat pada novel (intrinsik dan ekstrinsik)  Siswa mendengarkan dengan seksama dan mencatat pokokpokok informasi yang disampaikan secara langsung  Guru menjelaskan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran Elaborasi 30 menit Dalam kegiatan elaborasi:  Guru meminta siswa untuk membentuk kelompok diskusi yang terdiri dari 3-4 orang siswa  Guru memilih novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya yang akan dibahas lebih lanjut  Guru menampilkan profil serta pemikiran sang pengarang  Siswa berdiskusi untuk membaca dan menganalisis novel yang telah dipilih dan juga pemikiran pengarang yang ingin disampaikan pada novel tersebut  Guru ikut aktif mendiskusikan disetiap pembahasan bersama para kelompok siswa Konfirmasi 10 menit Dalam kegiatan konfirmasi: 4  Guru memberikan konfirmasi serta penguatan-penguatan positif terhadap tugas yang diberikan  Guru membuat refleksi tentang kesan yang dirasakan serta pengetahuan yang didapat hari ini 3 Kegiatan Akhir 10 menit Review Guru memberikan kesimpulan serta penguatan atau follow up materi yang diajarkan Penugasan Kelompok siswa yang telah dibuat tadi ditugaskan untuk membaca lebih lanjut dan teliti tentang novel yang telah dipilih dan menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsiknya serta pemikiran apa yang disampaikan pengarang pada novel tersebut Pertemuan Kedua: No 1 Kegiatan Waktu Kegiatan Awal 10 menit Mengkondisikan kelas  Memberi salam, berdoa, menanyakan kabar, dan absensi  Guru mempersiapkan siswa secara fisik dan psikis  Guru meminta siswa untuk duduk perkelompok yang telah dibentuk pada pertemuan sebelumnya 2 Kegiatan Inti 70 menit 5 Eksplorasi 10 menit Dalam kegiatan eksplorasi:  Guru mereview mengenai pelajaran yang telah disampaikan pada pertemuan sebelumnya  Guru menjelaskan kepada tiap kelompok siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran Elaborasi 50 menit Dalam kegiatan elaborasi:  Tiap kelompok siswa diminta bergiliran mempresentasikan hasil tugas diskusi kelompoknya  Kelompok siswa yang lain menanggapi presentasi hasil diskusi kelompok yang sedang presentasi  Guru ikut mengungkapkan dan menanggapi hasil pekerjaan siswa 10 menit Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi:  Guru memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menanyakan tentang hal-hal yang belum diketahui atau terhadap tugas yang telah dibahas  Guru menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui siswa 3 Kegiatan Akhir 10 menit Review Guru memberikan kesimpulan serta penguatan atau follow up materi yang diajarkan Penugasan Siswa ditugaskan untuk mengerjakan lembar kerja siswa yang telah disediakan guru terkait bab/bagian yang telah dibahas 6 7. Penilaian 1. Mengidentifikasi pemahaman siswa tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indikator Pencapaian Kompetensi 2. Mengidentifikasi pemahaman siswa dalam hal mengemukakan pemikiran pengarang dalam novel 1. Ketajaman siswa dalam menganalisis novel yang telah dipilih 2. Keaktifan individu siswa (kelompok) dalam bertanya dan mengemukakan pendapat Teknik Penilaian 2. Penguasaan materi tiap individu siswa (kelompok) yang direfleksikan dalam mempresentasikan hasil diskusi tiap kelompoknya 3. Penguasaan materi dan pemahaman pada tiap diri siswa terkait yang telah diajarkan 1. Penugasan kelompok menganalisis novel yang telah dipilih Bentuk Instrumen 2. Penugasan individu (menjawab soal yang diberikan guru terkait pelajaran yang telah diajarkan) 1. Menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Burung-burung Manyar Instrumen/Soal 2. Menganalisis pemikiran pengarang novel 3. Menjawab lima pertanyaan yang diberikan guru (soal terlampir di bawah) a. Soal/Instrumen: Soal 1) Apa yang dimaksud novel dan apa yang membedakan dari karya-karya sastra lainnya? 7 2) Apa yang dimaksud dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik pada novel? 3) Sebutkan dan jelaskan apa saja yang terdapat dalam unsur intrinsik dan ekstrinsik novel! 4) Pemikiran apa yang ingin disampaikan pengarang dalam novel Burungburung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya! 5) Analisislah menurut kalian sendiri unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya! Jawaban 1) Novel adalah sebuah karya sastra berupa prosa fiksi yang ditulis secara naratif; biasanya dalam bentuk cerita dan memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik. Novel biasanya lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks ceritanya dari pada cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. 2) Unsur intrinsik ialah unsur yang membangun karya sastra itu dari dalam karya itu sendiri. Sementara, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya itu. 3) Unsur Intrinsik - Tema adalah ide atau gagasan pokok dalam suatu cerita. - Amanat adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, dan merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra, yang disampaikan lewat cerita. - Alur adalah urutan (sambung-sinambung) peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita rekaan. - Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. - Latar adalah lingkungan dengan pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. 8 - Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dengan gayanya sendiri. - Gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Unsur Ekstrinsik Unsur ekstrinsik terdiri dari keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang yang mencakup proses kreatifnya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial yang juga akan berpengaruh terhadap karya sastra. 4) (Pendapat siswa sesuai dengan kemampuan individu siswa dalam menganalisis) 5) (Pendapat siswa sesuai dengan kemampuan individu siswa dalam menganalisis) b. Pedoman Penilaian Untuk setiap nomor, yakni: - no 1 mendapatkan point 5 - no 2 mendapatkan point 5 - no 3 mendapatkan point 15 - no 4 mendapatkan point 35 - no 5 mendapatkan point 40 Jumlah skor maksimal keseluruhan: 5 + 5 + 15 + 35 + 40 = 100 9 c. Rubrik Penilaian Rubrik Penilaian Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel SKOR UNSUR YANG DINILAI 1 2 3 4 Analisis 1. Ketajaman analisis Unsur 2. Kelengkapan unsur yang dianalisis Intrinsik 3. Keruntutan penyajian hasil analisis 4. Manfaat yang bisa diambil dari unsur intrinsik dalam novel 1. Ketajaman analisis Analisis 2. Kelengkapan unsur yang dianalisis Unsur 3. Keruntutan penyajian hasil analisis Ekstrinsik 4. Manfaat yang bisa diambil dari unsur ekstrinsik dalam novel 5. Kesimpulan hasil analisis Perolehan Nilai = Total skor x 2 ………………………… Mengetahui, Kepala Sekolah, Guru Mapel, ..................................... Boby Aji Pamungkas ..................................... NIM. 109013000089 10 5 24/07/2016 Pengertian Novel Pertemuan 1 Novel adalah sebuah karya sastra berupa prosa fiksi yang ditulis secara naratif; biasanya dalam bentuk cerita dan memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik. Memahami Pembacaan Novel Boby Aji Pamungkas 1 2 Unsur Intrinsik Novel Perbedaan novel dengan karya sastra lain adalah: Unsur Intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri dan dapat dikatakan unsur yang ada di dalam karya tersebut. • Novel biasanya lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan; • Ceritanya lebih kompleks dari pada cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Unsur intrinsik dalam novel terdiri dari tema, amanat, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan gaya bahasa. 4 3 Tema Amanat Tema adalah ide atau gagasan yang mendasari suatu cerita. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan/fiksi yang diciptakannya. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat. 5 6 1 24/07/2016 Alur Tokoh dan Penokohan Alur adalah urutan (sambung-sinambung) peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita rekaan. Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita, sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain. Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan. 7 8 Latar Sudut Pandang Latar adalah segala keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang yang dapat diamati, dan suasana terjadinya peristiwa dalam sebuah karya sastra. Sudut pandang atau point of view adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita dan dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita yang dikisahkan. 9 Gaya Bahasa 10 Unsur Ekstrinsik Novel Unsur ekstrinsik terdiri dari: Keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Gaya bahasa disebut juga stile (style), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapakan sesuatu yang akan dikemukakan. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang yang mencakup proses kreatifnya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial yang juga akan berpengaruh terhadap karya sastra. 11 12 2 24/07/2016 Novel yang akan dibahas lebih lanjut Biografi dan Pemikiran Y.B. Mangunwijaya Nama lengkapnya adalah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang lebih dikenal dengan sebutan nama Romo Mangun. Novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya Mangunwijaya merupakan seorang sastrawan yang humanis, selalu menulis dengan sisi kemanusiaan. Ketika menulis selalu jujur dengan apa yang dilihatnya, karena sebagai bentuk kritik sosial. 13 14 Pertemuan 2 TUGAS! Buatlah kelompok terdiri dari 3-4 orang siswa, kemudian bacalah novel Burung-burung Manyar lalu analisislah unsur intrinsik dan ekstrinsiknya serta pemikiran apa yang disampaikan pengarang pada novel tersebut! 15 Memahami Pembacaan Novel Lanjutan 16 Konsep Revolusi Sjahrir dan Tan Malaka dalam Novel Burung-burung Manyar 1. Revolusi Nasional Revolusi nasional adalah suatu revolusi untuk merubah tata kehidupan kolonial atau feodal kepada tata kehidupan nasional (merdeka). 2. Revolusi Sosial Revolusi sosial ialah suatu revolusi untuk merubah struktur masyarakat feodal menjadi masyarakat yang demokratis. 3. Revolusi Mental Revolusi mental adalah suatu revolusi untuk merubah cara berpikir masyarakat yang berpikir tradisional menjadi masyarakat yang berpikir rasional. 17 3 KEMENTERIAN AGAMA UIN JAKARTA FITK : No. Dokumen No. Revisi: : FITK-FR-AKD-081 Tgl.Terbit : l riJRM (FR) Jl, lr. H. Juanda No 95 Ciputat l5412lndonesia Maret 2010 01 1t1 Hal SURAT BIMBING.AN SKRIPSI )*lomor : Un.01/F.1/KM.0l.3l ...... ..12013 Lamp. I{al Iakarta, 14 Januari 2013 :- : Bimbingan Skripsi fu-",{ ile Kepacla Yth. l'{" Pembimbing Skipsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UINI Syarif Hidayatullah Jakafta. Assalamu' alaikum wr. wb. Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pemb-imbin g (materi/teknis) penulisan skripsi mahasiswa: Nama NIM Jurusan , Semester IlIl Boby Aji Pamungkas I 090 I 3000089 Pendidikan Bahas a dan Sastra Indonesia VIII Analisis Nilai-nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Dan Kematian Makin Alvab Karya Subagio Sastrowardoyo Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal .l!:.!.:.*.{3 , abstraksiloutline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon pembimbing menghubungi Junrsan terlebih dahulu. Judul Skripsi Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpaqjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan. Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih. Was s al amu' al ailatm wr. wb. a.Il. Dekan Kajur Pend. Bahasa Dra. Mahmu NIP, 196402 Ternbusan: 1. Dekan FITK 2. Mahasiswa ybs. Sastra Indonesia /triyatr ZA,M.Pd t99703 2 001 'll'#) : FITK-FR-AKD-081 Tgl.Terbit : lMaretZAl0 No. Revisi: : 01 No. Dokumen KEMENTERIAN AGAMA UIN JI\KARTA FITK FORM (FR) Jl. lr. H. Juada No 95 Ciputat 15412 lndonesia Hal 1t1 SURAT BIMBINGAN SKRIPSI Nomor : Un.01lF.1A(M.01 .31 Lamp. :............... Hal . Jakart a, ........ .l ....43....M4Wk... ?g.tf : Bimbingan Skripsi Kepada Yth. Lc&{da fu\, ft4. (urfi Pembimbing Skripsi Fakultas Ihnu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayahrllah Jakarta. As s alamu' alailatm wr.wb. Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi penrbimbing VII (materi/teknis) penulisan skripsi mahasiswa: Nama NIM Jurusan Sernester Judul Skripsi : BobyAji Pamungkas :109013000089 : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia : XIV : "Gagasan Revolusi Pada Tokoh-tokoh dalam Novel Burung-burung Manyar Karya YB Mangunwijaya dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA" Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal , abstraksi/outline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redaksional pada judul tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon pembimbing menghubungi Jurusan terlebih dahulu. Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 (enam) bulan, dan dapat diperpaqiang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan. Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih. Was s alamu' alaikum wr.wb. a.n. Dekan M{ky{n Subuki. M.Huri. NIP. 19800305 200901 1 015 Tembusan: 1. 2. Dekan FITK Mahasiswa ybs. RIWAYAT PENULIS Boby Aji Pamungkas, lahir di Jakarta, pada tanggal 1 Mei 1991. Pendidikan dasar dimulai di SDN Cempaka Putih. Kemudian ke SLTP Mabad dan melanjutkan di SMAN 3 Ciputat. Kemudian, meneruskan pendidikannya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Anak dari pasangan Edi Hapidin dan Supinah ini sangat menyukai sastra semenjak duduk dibangku SMP. Saat itu, buku pertama yang dibaca adalah Teori Kesusastraan yang ditulis oleh Rene Wellek dan Austin Warren. Kesukaanya itu bukan tanpa alasan, akan tetapi karena pengaruh “tidak langsung” yang diberikan kakak pertamanya perihal pengetahuan tentang sastralah yang membuatnya menyukai bidang itu. Anak keempat dari lima bersaudara ini memiliki kegemaran membaca buku yang dianggapnya menarik, terutama pengetahuan mengenai sastra, filasafat, dan sejarah. Bidang lain yang digemarinya adalah bidang desain dan teknologi. Sejak kuliah, dia menambah pengalamannya dengan memasuki beberapa kegiatan mahasiswa di antaranya pernah aktif menjadi anggota LST (Lingkar Sastra Tarbiyah) dan juga pernah menjadi anggota FLP Ciputat.