tifl
g#5re'4
wryp4f(_
gB,m*
ffi
Sastri Sunarti, Suda
joko Saryono,l Nyomd'n
**
Sastra Rempah
I 02 r 00205 1
@2021PT Kanisius
Buku ini diterbitkan atas kerja sama
PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta 5528I, INDONESIA
Telepon (027 4) 5887 83, Fax (027 4) 563349
E-mail : office@kanisiusmedia.co.id
'Website
: www.kanisiusmedia.co. id
dengan
Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI)
Komisariat UNJ
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta
Kampus A UNJ, Gedung E Lantai II
Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220
Pos-el: hiski. unj @gmail. com
Cetakan ke-
Thhun
54321
25 24
Editor
Editor Penerbit
Desainer isi
Desainer sampul
23 22
2r
Novi Anoegrajekti
Sastri Sunarti
Sudartomo Macaryus
Djoko Saryono
I Nyoman Darma Putra
Flora Maharani
Andreas Nova Rabet
ISBN 978-979-2r-7095-5
Hak cipta dilindungi undang-und*g.
Dilarang memperbanyak karya ulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apa pun, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta
w
KATA PENGANlTAR
N{tr,RAN{T] Rtr,IVIPAF{
NUSANITA]RA: DARN ACEFN
SAN,IPAN PAPL]A
Kepulauan Nusantara yang terbentang dari Aceh sampai Papua
memiliki beragam jenis rempah yang sudah dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai warisan kearifan leluhur. Kedatangan bangsa
Eropa pada sekitar abad XVI menambah referensi mengenai manfaat
beragam jenis rempah yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat.
itu menjadi mpmori kolektif masyarakat
Nusantara yang
sebagian terungkap di dalam buku Sastra Rempah yang ditulis oleh
kalangan akademisi yang berasal dari berbagai wilayah Nusantara
dari Aceh sampai Papua. Dengan memanfaatkan beragam sumber
sastra dan tradisi lisan terungkap aneka pemanfaatan rempah
seperti untuk bumbu yang menciptakan cita rasa kuliner, beragam
jamu untuk kesehatan, dan beragarn ramuan untuk kecantikan dan
Semua
keindahan.
vl
Stln'r?ii. Et ;i:i]{iji.
Pemanfaatan rempah sebagai salah satu bahan herbal, saat ini
semakin populer dan diminati masyarakat. Kecenderungan tersebut
menjadi tantangan dan peluang masyarakat termasuk kalangan
akademisi yang berkecimpung dalam bidang farmasi untuk
melakukan uji klinis dan laboratoris mengenai unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya dan bermanfaatbagi kesehatan manusia. Di
kalangan masyarakat modern pengobatan, kosmetik, dan suplemen
herbal cenderung semakin diminati. Hal itu menjadi rantangan
dan peluang para pelaku ekonomi kreatif untuk
melakukan
pengembangan industri kreatif yang diperlukan masyarakat.
Secara langsung dan tidak langsung pengembangan produk
herbal berbahan lokal berpotensi meningkatkan produktivitas
dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, hadirnya buku
Sastra Rempah ini menjadi salah satu rujukan yang inspiratif
dalam pengembangan produk inovatif'berbahan herbal mulai yang
dikembangkan di lingkungan kraton dan di masyarakat. Semua itu
sebagai warisan leluhur yang layak dilestarikan, dimanfaatkan, dan
terus dikembangkan secara modern.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riser,
dan Teknologi RI
kuu**
Hilmar Farid, Ph.D.
. ,.r
rrnlii#ilninil *
DAF'ITAR
NSN
Kata Pengantar Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI
MERAMU REMPAH NUSANTAR,A:
DARI ACEH SAMPAI PAPUA
Hilmar Farid, Ph.D.
Puisi
SIHIR REMPAH
Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd.
DAFTAR ISI
Pengantar Editor
SASTRA REMPAH, MENGAPA TIDAK?
HISKI
MENGOIAH REMPAH:
MENGGODOG IMUN SASTRA
Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum.
Pengantar Ketua Umum
Prolog
RONA SEJARAH YANC SEDAB PE,DAS,
DAN PAHIT
Tom Hoogervorst, Ph.D.
REMPAH DALAM SASTRA MODERN
REMPAH YANG MENGHIDUPKAN, KEHIDUPAN
YANG MEREMPAH
Aprinus Salam
KETIKA CENGKIH BE,RBUNGA: KISAH
MENCEGAH INSES
I Nyoman Darma Putra
3
DRAMA
\
27
TRAUMA POSKOLONIAL DAIAM .U*OUN
"KANIBAL'' DAN "PEREMPUAN PALA'
Sudibyo
43
SIHIR PEREMPUAN, SIHIR KEKUASAAN,
SIHIR REMPAH: MEMBONGKAR NOVEL II{AN-IKAN
HIU, IDO, HOMA KARYA\ts MANGUN\flJAYA
Yoseph Yapi Thum
63
RE,MPAH BUMBU DAPUR DALAM CERPEN
..KUTUKAN DAPUR" KARYA EKA
KURNIAWAN:
KAJIAN NARATIF DAN SOSIOLOGIS
M. Yoesoef
PERDAGANGAN PAIA DAN PEREMPUAN DI ERA
KOLONIAL DALAM NOVEL MIRAH DARI BANDA
KARYA HANNA RAMBE
\Wiyatmi
105
iiirrii*
ff"lii
SNF{NR PtrREA{PUAN,
SNFilNR Ktr,KTJASAAN,
REN{trAF]t:
NAtr,N{tsONGKAR NOVtr,L
HIIU, [DO, UtOA,tA
SNF]INR
/M
KA]NAY]BN,IANGM
Yoseph Yapi Taum
Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma
yosephyapipusd.ac.id
A. PENDAHULUAN
Rempah adalah berbagai jenis hasil ranaman yang beraroma,
seperti pala, cengkih, lada untuk memberikan bau dan rasa khusus
pada makanan (KBBI). Dengan kata lain, rempah-rempah adalah
bagian tumbuhan, bisa buah, kulit, daun, atau bunga,yangmemiliki
aroma yang sangat kuat yang dimasukkan ke dalam masakan
sebagai pengawet atau pemberi rasa dan harum pada makanan.
Rempah-rempah merupakan barang dagangan yang paling
{
'-l
E&$iir*
It*]lFiril
telah mendorong
berharga pada masa kolonial' Rempah-remPah
dan Kepulauan
penlelalaFL Portugis Vasco d'a Gama mencapai.India
kemudian menyusul
Maluku. Para penjelajah Belanda dan Spanyol
pula ke Kepulauan Maluku'
jalur komoditas rempah yang melintasi
Jalur-rempah adalah
pelabuhan di dunia' terutama dari wilayah
b"rry"t wilayah dan
Eropa' Hingga kini'
Nusantara b"r"t -.Ii,'tasi Asia, Afrika' hingga
masyarakat
jalur rempah meninggalkan warisan untuk kehidupan
sangat Penting pada jalur
Indonesia dan d,uniallndonesia berperan
dunia' Sejak penemuan jalur
rempah
itu di dalam perekonomian
rempahitulah,Indonesiatereksposdandikenalsebagaisebuahi
,.-p", strategis sebagai jalur maritim dunia (Putri' 2020)'
riuhdan merasakan getaran' hiruk-pikuk' dan
Memahami
kejadian-keiadian
rendah relasi antarmanusia, kuk r"r"".r, dan
melalui karya sastra'
sejarah Jalur Rempah hanya dapat dilakukan
rnemory'
Hal itu disebabkan karena karya sasrra ibarat f.ashbulb
kenangan dan
yakni sejenis memori yang d'apat menghidupkan
terperinci'. akurat' jelas'
membangkitkan emosi melalui narasi yang
dantidakmudahdilupakan(Brown6{Kulik'1977).Diantara
ingatan yang mungkin
ingatan-ingatan masa lampau itu, terdapat
disebut sebagai "buah dari
terasa berlebihan, ketika rempah-rempah
surgd,atau..buahyangmemilikikekuatansihir,,(Turner,20t9)'
mengubah
Kita hanya p.rlr', *.rr."t"t btt"p" nyata rempah-rempah
peta strategis sejaralr dunia'
'
karya-karya
Varisan jalur rempah ditemukan pula di dalam
sastra lisan maupun SaSila
Sastra Nusantara, baik di dalam bentuk
jalur rempah sangat penting
Nusantara. Karena itu, studi sastra dan
untukmemperkayawawasanNusantarakitatentangkekuatandan
akan berpengaruh
keunggulant"tgr" kita di masa lampau yang tentu
Indonesia'
,.."r"' rigrrifi kan di dalam penyusunan strategi kebudayaan
rempah yang terdapat
Studi ini membongkar salah satu warisan jalur
di dalam tulisan karya sastra berbentuk novel'
i=ijri=-. Fr.;::.:r;'lilrri+i.
,
J"1[::
.iij:].: liqirli':,."liiiiir:., ::iiili'r ti:;:i;:it:ii
:i,1*:::1ff l5:l].,
Setiap tulisan dapat diklasifikasi ke dalam dua jenis makna.
perrama, makna referensial, yaitu maknayang lahir dari hubungan
antara teks dan dunia acuan atau kenyataan-kenyataan di luaf
reks. Tirlisa L yang menguramakan makna referensial merupakan
rulisan-tulisan ilmiah, akademis, serta berusaha mencapai suatu
denotasi yang dapat ditetapkan isi dan batas-batasnya. Kedua,
makna tekstual, yaitu makn^ yanglahir dari hubungan-hubungan
(untuk
di dalam teks itu sendiri. Makna tekstual mengesampingkan
sementara) makna referensial. Tulisan yang mengutamakan makna
tekstual adalah karya sastra (Kleden, 2004)'
Sastra adalah dialektika anrara dunia luar teks (yaitu peristiwa,
realitas) dan dunia di dalam teks (yaitu makna). Interaksi teks
dengan dunia luar teks menghasilkan makna referensial, sedangkan
interaksi antara bagian-bagian teks satu sama lain menghasilkan
makna tekstual. Makna tekstual inilah yang merupakan pencapaian
spesifik dunia sastra. Karya sastra tidak pertama-tama bertujuan
memproduksi makna referensial seperti ilmu pengetahuan dengan
55
66
S*:i.rei it*rrrg:*Jr
konsep-konsep akademisnya. Thgas utama karya sasrra adalah
membangun relasi makna tekstuaL membuka ambivalensi dan
mengaktifkan konotasi, serta menghidupkan watak simbolik sastra
dengan memanfaatkan berbagai teknik simbolisasi seperri metafora,
alegori, dan sebagainya (Thum, 2018).
Ada dua pertanyaan yang hendak dijawab di dalam penelitian
ini. Pertama, apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia ketika jalur
rempah itu mulai dibuka oleh bangsa Barat? Kedua, bagaimana
gambaran arena perebutan kekuasaan yang terjadi pada abad 16
dan 17? Untuk menjawab pertanyaan pertama, akan diungkap
strategi tekstual novel lkan-Ihan Hiu, Ido, Homa karya Y.B.
Mangunwijaya. Sementara itu untuk menjawab pertanyaan kedua,
saya akan menggunakan teori arena Pierre Bourdieu, terutama
untuk mengungkap doksa, ortodoksa, dan heterodoksa di dalam
novel tersebut. Agar uraiannya lebih efisien dan tidak terkesan
mengulang-ulang persoalan yang sama, pembahasan untuk kedua
pertanyaan tersebut akan disatukan di dalam sub-subkajian tentang
setiap 'ikan", yaitu ikan hiu, ikan ido, dan ikan homa. Uraian
akan diakhiri dengan kesimpulan yang berisi hasil diskusi tentang
tereksposnya Nusantara melalui jalur rempah ke arena global.
Sik:r-, fr.tr.a;1;;j::#{1*.,
B.
Sl\;.r i{*i;rr*;*rn.
5i}ri'1. Re.rrlFtili.
LANDASAN TEORI DAN METODE
Dalam paradigma M. H. Abrams yang diperluas (Thum, 2017),
rerdapar enam pendekatan k4i* sasrra, yaitu: pendekatan objektifi
pragmatik, mimetik, ekspresif, eklektih dan diskursif (lihat Gambar 2).
Gambar 2: Enam Pendekatan Sastra: Sebuah Reposisi
Pendekatan diskursif, atau bisa disebut sebagai kritik sasrra
diskursif, merupakan sebuah pendekatan yang mengakomodasi teoriteori mutakhir yang dikenal sebagai teori-teori post-strukturalisme.
Teori post-strukturalisme yang dikembangkan antara lain oleh
Michael Foucault ini dipandang sebagai sebuah grand theory baru
yang memiliki kontinuitas sekaligus diskontinuitas dengan teoriteori strukturalisme. Ada banyak teori post-strukturalisme tetapi
dapat dikenali sebagai sebuah pendekatan yang disebut pendekatan
diskursif Perhatian utama pendekatan diskursif mendemistifikasi
dominasi dan eftsploitasi kekuasaan yang cenderung dipertahankan
melalui budaya dan ideologi. Karya sasrra tidak lagi dipandang
sebagai sesuatu yang netral melainkan cenderung digunakan
sebagai instrumen untuk melakukan sesuaru atau sebagai sarana
menerapkan strategi kekua,saan (Haryatmoko, 2016). Oleh karena
67
.rler-ri:ii
68
itu, kritik
Rl*i*;;!t
sastra diskursif bertujuan membongkar ketidakadilan,
ketidaksetaraan, pembatasan kebebasan, atau diskriminasi.
ini
menggunakan paradigma Abrams yang telah
direposisi dengan pendekatan diskursif. Analisis menggunakan
teori dan metode yang dikembangkan Pierre Bourdieu, filsuf yang
berminat pada bidang sastra, bahasa, sosiologi, psikologi, politik,
dan ekonomi. Salah satu pemikiran utamanya berkaitan dengan
persoalan arena. Bourdieu memandang ruang-ruang sosial sebagai
arena pertarungan (battle feld) berbagai agen dengan kepentingan,
modal, dan strategi dominasi yang berbeda-beda. Arena, bagi
Bourdieu, adalah ruang bagi pertarungan atau pergulatan dengan
aturan dan logika yang diterima di dalam arena tersebut. Hal
yang dimaksud Bourdieu sebagai pergulatan, perjuangan, atau
pertarungan dalam arena bukanlah yang punya arti fisik, melainkan
simbolik. Arena hanya bisa dimengerti sepenuhnya apabila kita
memperlakukannya sebagai ruang memperebutkan monopoli
pemakaian legitim kekerasan simbolis (Bourdieu, 1993).
Arena adalah kepemilikan kekuasaan yang mengandalkan
modal yang menentukan akses kepada keuntungan-keuntungan
tertentu yang dipertaruhkan dalam pertarungan. Jadi arena mirip
dengan pasar, artinya ada penghasil dan konsumen. Di dalamnya
terdapat pihak yang dominan dan tersubordinasi (Novenia,2019).
Dominasi simbolik adalah kekerasan yang tak kasat mata. Kekerasan
semacam ini oleh korbannya tidak dilihat atau dirasakan sebagai
kekerasan, melainkan sebagai hal yang alamiah dan wajar. Di balik
konsep tersebut, telah terjadi suatu proses yang bertanggung jawab
atas perubahan dari sejarah menjadi seakan-akan sesuatu yang
alamiah, dari suatu budaya menjadi seakan-akan sesuatu yang sudah
semestinya (Haryatmoko, 20 I 6).
Dalam perspektif Bourdieu, agen-agen tidak bertindak dalam
ruang hampa, melainkan dalam situasi-situasi sosial konkret
yang diatur oleh seperangkat relasi sosial yang objektif. Agar bisa
Studi
q:'i:r.tt.:;-it
-!ii.iit..;''jr:.::.'::.:;i.ii'trl 5i:ii.ia. ilfir.t.-i:,;::r.tt':, .;iii..il
nemahami sebuah situasi atau suatu konteks tanpa jatuh ke dalam
Jererminisme analisis objektivistik, Bourdieu mengembangkan
.r"onsep ranah. Menurut model teoretis Bourdieu, pembentukan
,osial apa pun distrukturkan melalui serangkaian ranah yang
rerorganisasi secara hierarkis (ranah ekonomi, pendidikan, politik,
.lan sastra) (Karnanta, 2018).
Ranah-ranah didefinisikan sebagai ruang yang terstruktur
dengan aturan-aturan atau regulasi-regulasinya sendiri, dengan
relasi-relasi kekuasaannya sendiri, yang t6rlepas dari kaidah politik
dan kaidah ekonomi. Kendati tiap ranah relatif otonom' namun
>ecafa struktural mereka tetap homolog satu sama lain. Strukturnya,
pada momen apa pun, ditentukan oleh relasi-relasi di antara posisiposisi yang ditempati agen-agen di ranah tersebut. Ranah adalah
xonsep dinamis tatkala perubahan posisi-posisi agen mau tak mau
menyebabkan perubahan struktur ranah (Bourdieu, 1993)'
Dalam bangun teoredknya, Bourdieu sering menggunakan
rstilah kuasa simbolik, kekerasan simbolik, dan relasi simbolik secara
bergantian. Ketiga istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan
proses reproduksi sosial yang melibatkan agen-agen dalam suatu
ranah. setiap agen memiliki modal dan habitus berlainan, namun
saling berkontestasi antara satu sama lain (Krisdinanto, 2014).
Kuasa dan kekerasan simbolik erat kaitannya dengan doksa, yakni
seperangkat kepercayaan fundamental yang diterima secara luas
bahkan dirasa tidak perlu dieksplisitkan, dipertanyakan, atau
dipertentangkan lagi (Forchtner, 2016). Dengan kata lain, secara
sederhana doksa adalah suatu kepercayaan yang diterima apa
adanya, tidak pernah dipertanyakan, yang telah mengarahkan cara
pandang seseorang dalam mempersepsi dunia atau bidang tempat
doksa tersebut berada. Jika doksa dikenali dan diterirna di dalam
praktik kehidupan, dia menjadi ortodoksa. Sebaliknyailka doksa itu
dikenali dan dipertanyakan, ditantang, dilawan, bahkan digantikan,
muncullah heterodoksa.
69
l".i.r- '. ;i ".liri;
70
C.
PEMBAHASAN
Novel sejarah karya Y. B. Mangunwijaya berjudul Ikan-Ikan
Hiu, Ido, Homa (Mangunwrlaya, 2016) merupakan salah satu dari
sedikit novel yang menceritakan peristiwa yang terjadi di Pulau
Halmahera, Kepulauan Banda, Ternate dan Tidore, pusat rempah
dunia. Novel ini tidak hanya membicarakan kekuasaan, senjata,
dan kekerasan tetapi juga cinta, kesetiaan, dan makna sekualitas di
dalam lembaga perkawinan.
Novel lkan-Ikan Hiu, Ido, Homa memang berlatar sejarah
Ternate (dan Tidore) dan kehidupan masyarakat suku Tobelo di
Halmahera pada tahun 1594 hingga.1621. Itu adalah masa ketika
kepulauan rempah-rempah itu menjadi wilayah rebutan bangsabangsa Eropa, terutama Spanyol, Portugis, dan Belanda. Namanama ikan tersebut merupakan metafora untuk menjelaskan ukuran
serta sifat ikan yang saling memarigsa tersebut: ikan yang kecil
dimakan ikan yang lebih besar dan ikan yang lebih besar dimangsa
ikan yang paling besar. Perhatikan ilustrasinya di dalam Gambar 3.
Gambar 3: llustrasi lkon-lksn Hiu, ldo, Homq
Novel lkan-Ikan Hiu, Ido, Homa terdiri atas 13 episode yang
secara kronologis dibagi menjadi 5 kurun waktu. Bagian I kurun
r*-aktu 1594-1595, Bagian II 1599-1507, Bagian III 1605-1609,
'Waktu cerita
Bagian IV 160S-1610, dan Bagian V 1611-1621'.
novel itu berlangsung selama 27 tahun. Dalam rentang waktu
rersebut muncul berbagai macam peristiwa dan persoalan, khususnya
intrik politik antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore
mengenai perdagangan rempah-rempah. Pedagang dari Portugis,
Spanyol, Belanda, dan Inggris saling be-rlomba memonoPoli hasil
i,omoditas itu (Ensiklopedia Sastra, 2020). Salah satu kekuatan
rnakna referensial novel ini adalah pemanfaatan laporan penelitian
Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Maluku Utara dari Lembaga Studi
dan Penelitian Kebudayaan Universitas Soekarno-Hatta. Laporan
rersebut berbentuk 4 teks hasil wawancara,4 buah surat' 1 buah
kutipan buku.
Selanjutnya kajian terhadap dua masalah penelitian ini akan
iiifokuskan pada tiga arena pefrarungan kepentingan, yakni arena
Jian-ikan homa, ikan-ikan ido, dan ikan-ikan hiu -sesuai dengan
perjalanan alur cerita novel tersebut.
teks lagu rakyat, dan 3
1.
Sihir Perempuan: Arena lkan-lkan Homa
Salah satu arena penring dan utama di novel ini berkaitan
.lengan kehidupan dan perjuangan masyarakat lokal Nusantara
-,-ang masih lugu. Novel ini diawali 'prahara di balik cakrawald'
Kiema-Dudu, kepala kampung Dowingo-Jo dari suku Tobelo
;emburu, marah, dan rasa sakit hati akibat sihir perempuan
nancanegara bernama Igobula. Igobulalah awal tragedi kehancuran
{ampung Dowingo-Jo, sebuah kampung yang tersohor sebagai
rembuat perahu o julu-julu. Igobula adalah perempuan hasil
-rampasari' ayah Kiema Dudu bernama Hiu Tujuh Lautan. Igobula
nasih bayi dalam gendongan sang bunda ketika jung berisi guciErrci dan mangkuk-mangkuk porselin dari Kanton ke Pulau Bima
72
Sri; rl'r.* Ii{.*l}:!{iJr
dirampas oleh sang ayah, seorang kepala bajak laut. Kelak, Igobula
yang candk jelita tiada tandingannya dijadikan istri Kiema-Dudu.
Igobula adalah perempuan yang mulutnya "bagaikan tombak tajam
suka memfitnah. Lebih buruk lagi, Igobula suka bermain serong
dengan lelaki, pemuda, dan suami orang. Hampir semua lelaki di
kampung itu sudah tidur dengan Igobula. Martabat dan harga diri
Kiema-Dudu benar-benar hancur di hadapan Igobula. Kiema-Dudu
juga tidak mampu berbuat apa=^pa, bahkan ketika dia mengancam
membunuh Igobula.
"Kaubunuh? Heih, kaubunuh? Dengarkan pahlawan. Menurut
hukum adag semuA yang berlakuzina harus dibunuh. Di muka
kepala adat. Mari pergi ke sana sekarang. Tetapi ingat, pahlawan
laut, paling sedikit dua puluh orang dari kesatria-kesatriamu
nanti harus ikut kaubunuh juga!" (Mangunwi jaya,2016:10).
Tindakan nekat sang penyihir Igobula bukan tanpa alasan.
Dia tumbuh sebagai manusia yang sakit hati dan dendam karena
orang ruanya dibunuh. Dia bukanlah putri Tionghoa yang dipinang
dengan semestinya menurut aturan adat-istiadat. Sebaliknya
Igobula sebagai perempuan yang seharusnya dihargai harkat dan
martabatnya merasa telah dihinakan. Dia mengungkapkan pikiran
dan perasaannya secara jujur kepada suaminya Kiema-Dudu dalam
kudpan berikut ini.
"Tetapi aku? Igobulayang bulan-bulan kembarnya kau gemari,
yang semak-semak teluknya kaunikmati, apa dan berapa tebusan
mempelai kaubayar? Berapa emas persyaratan perkawinan dan
seluruh beban-beban hutang hinaan kaubayar menurut hukum
adatmu? Ingin tahu jumlah itu? .... Inilah, satu: kepala ayahku
yang dipenggal kejam. Dua: tubuh abangku sulung yang
dilemparkan pada ikan-ikan hiu, dan .... Diam? Tak ingin tahu
lagi tentang paru-paru penuh darah dari ibuku yang meninggal
sambil memelukku si bayi, karena hatinya yang serba remuk
menderita kesusahan ? (Mangunwi jay a, 20 | 6 : I 3) .
i
l
I
I
l
Thntangan Igobula yang sangar berani, keras, dan mengancam
ridak mampu ditanggapi oleh Kiema-Dudu suaminya. KiemaDudu menyimpan marah, malu, dan dendam namun tidak mampu
berbuat-apa. Oleh karena itu, dia menyusun sebuah "straregi bunuh
diri massal" dengan cara menantang dan melawan titah penguasa
,okal dari Kerajaan Ternate. Tirjuannya: dirinya, Igobula, dan semua
ssatria peselingkuh Igobula tewas terbunuh sehingga rasa malu,
dendam, marah, dan kecewanya ikul terkubur. Ketika Bahder
-Vusang memimpin sepasukan utusan Sultan Ternate-dalam
candangan orang Tobelo, Ternate adalah penjajah dan pemerkosa
nak-hak nenek moyang-untuk meminta dukungan melawan orangorang Portugis dengan menyumbang julu-julu dan kora-kora untuk
armada Ternate. Kiema-Dudu memanfaatkan kesempatan ini untuk
nenjalankan misi pribadinya. Dia menolak perintah Kerajaan
Ternate. Akibatnya sudah bisa diduga. Kampung Dowingo-Jo
beserta isinya habis dibakar oleh urusan Kerajaan Ternate, Bahder
\{usang. Hal yang tertinggal kini hanyalah Loema-Dara (istri
Kiema-Dudu) dan Mioti-Lamo. Mioti-Lamo adalah putra ahli
pembuat perahu terkenal di seluruh Pantai Kao sampai ke Teluk
Buli. Dia tidak tertarik pada seni berkelahi atau membajak di laut.
-\4ioti hanya menyaksikan kehancuran kampungnya.
Dalam sekejap mata seluruh kampung, yang hanya beratap
daun sagu dan bersusunan bamboo ataupun kayu, sudah
menjadi lautan api. Mata Mioti kering, mulutnya ternganga
dan seluruh wajahnya pucat bagaikan mayat, melihat orangorang sekampungnya yang lelaki dipotong kepalanya, ditikam
jantungnya, diinjak-injak; sedangkan yang perempuan dipukuli,
dilepaskan dari anak-anak dan bayi-bayi yang habis-habisan
dibantai seperti kura-kura, lalu diperkosa. Mioti mencari di
antara segala kekacauan itu bayangan ibunya atau barangkali
adik perempuannya bungu. Tetapi siasia. (Mangunwijaya,
20t6:56-57).
74
Mioti-Lamo dan Loema Dara merupakan
penyintas
keruntuhan kampung halamannya.'Kedua tokoh ini kemudian
menjadi tokoh utama di dalam narasi cerita selanjutnya. Ketika
Sultan Ternate melarang penduduk mencari lokan dan mutiarayang
terdapat di pesisir dan perairan Gluk Kau, Dowingo-Jo, MiotiLamo beserta kawan-kawannya meninggalkan Kesultanan Ternate
dengan sebuah kapal. Di tengah perjalanan, kapal mereka dirompak
sehingga Mioti-Lamo dijadikan budak oleh Dirk van Callenbacker,
seorang Indo-Bandayang berpihak kepada pribumi Banda.
Tentang ikan-ikan homa, rakyat kecil yang masih polos ini,
ada dua buah temuan doksa yang penting. Pertama, perkenalan
dan pertemuan dengan orang dan kebuday^ n asing membawa
perubahan yang sangat signifikan di dalam kehidupan sosialbudaya masyarakat. Sihir perempuan.'asing' Igobula yang cantik
jelita memabukkan dan menghancurkan tidak saja adat-istiadat
melainkan jug kehidupan nyata masyarakat. Pesannya jelas:
perempuan dari negeri manapun tidak pantas dihinakan, ddak
pantas dirampas, dan tidak boleh direndahkan martabatnya. Kedua,
ikan-ikan homa selalu menjadi mangsa ikan-ikan ido tanpa belaskasihan.
2.
Sihir Kekuasaan: Arena lkan-lkan ldo
Melalui jalan yang berliku-liku, Mioti-Lamo dan Loema Dara
yang saling jatuh cinta itu pada akhirnya menjadi suami-istri. Kedua
tokoh ini digunakan oleh penulisnya sebagai sentrum penceritaan
di dalam novel lkan-Ikan Hiu, Ido, Homa. Melalui kedua tokoh ini.
pengarang mengungkapkan berbagai persoalan menyangkut intrik
penguasa, kekerasan, gengsi, gelora asmara, dan kemanusiaan. Selain
itu, pengarang juga menghadirkan
beberapa tokoh sejarah, seperti
Ternate
Sultan
Said Udin Barkat, Sultan Tidore, Maulana Majimul.
putra mahkota Tidore Pangeran Ganari Lamo, Gubernur Jenderai
I
Spanyol di Manila (Pedro de Cunca), Admiral Jacob Corneliczoon
r.an Neck, dan Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen.
Pada awalnya terdapat beberapa kerajaan kecil di Maluku.
Kerajaan Ternate mengusai wilayah barat, seperti Ambon dan
bagian barat Pulau Seram. Bahkan wilayah yang membentang dari
utara Mindanao sampai Flores di selatan serta Sulawesi. Kerajaan
Tidore menguasai wilayah timur, seperempat Halmahera dan bagian
barat kepulauan Seram. \Wilayah kepuljtuan Raja Ampat dan Papua
daratan termasuk ke dalam wilayah Tidore (\Welianto, 2020).
Perkembangan kedua kerajaan itu menjadi kuat dan makmur
menimbulkan persaingan dagang antarmereka yangditandai dengan
perebutan pengaruh dan kekuatan. Karena itulah kerajaan-keraiaan
kecil mulai bergabung dan membentuk dua kelompok, yaitu Uli
Lima dan Uli Siwa. Perselisihan antara Uli Lima dan Uli Siwa
memuncak ketika bangsa Barat datang ke Maluku. Ketika Portugis
datang ke Maluku pada tahun 1512, Ternate segera bersekutu
dengan bangsa Portugis. Demikian juga ketika Spanyol datang ke
Maluku pada tahun l52l,Tidore segera bersekutu dengan Spanyol.
Kita mengetahui bahwa Portugis juga bermusuhan dengan Spanyol.
Setelah sepuluh tahun berada di Maluku, Portugis mendapatkan
izin untuk membangun Benteng Sao Paulo dengan alasan untuk
melindungi Ternate dari serangan Tidore yang dibantu Spanyol.
Namun, kemudian Portugis melakukan monopoli perdagangan,
ikut campur masalah dalam negeri Ternate dan menyebarkan agama
Katolik. Akibatnya, secara terang-terangan Sultan Hairun (15501570) menentang Portugis. Gubernur Portugis di Maluku, Diologo
Lopez de Mesquite kemudian menangkap Sultan Hairun, sehingga
membangkitkan kemarahan rakyat Ternate. Benteng Portugis
diserbu. Sultan Hairun dilepaskan dan diadakan perundingan.
Keesokan harinya, 28 Februari t570, ketika Sultan Hairun
berkunjung ke Benteng Portugis untuk peresmian perjanjian, Sultan
Hairun ditusuk hingga tewas oleh kaki tangan Portugis. Karena
"....-.{
76
rt._r J1r;l
itulah, Portugis makin dibenci oleh rakyat Ternate. Penguasanya
berjuang untuk memerangi dan mengusir Portugis. Dalam novel
Ihan-Ikan Hiu, Ido, dan Homa berulang kali diceritakan tentang
upaya Ternate melawan Portugis dengan membangun aliansi baru
dengan Belanda.
Dalam novel lkan-Ihan Hiu, Ido, dan Homa, permusuhan,
pertikaian, dan konflik antara Kerajaan Ternate dan Tidore
digambarkan melalui sudut pandang orang-orang kecil, termasuk
rakyat kecil dari kampung Dowingo-Jo. Perhatikan kesan dan
penilaian Kiema-Dudu terhadap dua kesultanan yang saling bertikai
itu.
Sengitlah reaksi Bahder Musang. "Kerajaan Ternate tidak pernah
keliru perhitungan, hai orang Tobelo! ku semua dulu hanyalah
siasat, kebijaksaan tinggi para pembesar Ternate yang awas
waspada. Siasat, ya, hanyasiasatlah mengapa Ternate bekerja sama
itu. Kami orang-orang Ternatelah,
hai, yang memanfaatkan mereka, memperbudak orang-orang
Potugis selaku alat belaka untuk memerangi kerajaan laknat
dengan orang-orang Portugis
Tidore. Thhu itu?
"Ternate dan Tidore kembar bentuk maupun keadaannya.
Bagaikan dua buah susu dada perempuan. Mengapa dua pulau
tetangga dekat itu di sepanjangzamafi hanya saling bertengkar
saja?
Bukankah itu
" (Mangunwyaya, 2016:
1
S-1 9).
Banyak kesaksian di dalam novel ini yang mempertanyakan
hakikat dan makna permusuhan anrara Ternate dan Tidore, dua
kerajaan yang tak pernah bisa akur. Keduanya berhasrat untuk
saling memangsa. "Siapa hiu? Si Portugis-Kasdliakah arau orangorang Keturunan Gunung Api Kie-Tobona itu?" (Mangunwijaya,
20t6:24).
Belum berhenti pula pohon-pohon kelapa di pantai geleng-geleng
daun, memperbincangkan persaingan serba dendam kesumat
.rliliit. llr:-tcr$;l;;:,#tr.. 5i'i:ir ilgilirr-riril,"r.
5ihit. trr;:p:r"i:
antara Ternate dan Tidore yang berakibat begitu buruk bagai
pantai-pantai lain yang suka damai (Mangunwijaya,20lS: 69).
Diskusi tentang absurditas permusuhan Ternate dan Tidore,
-,-ang kemudian menjadi sasaran empuk politik dluide et impera
kaum kolonialis dikemukakan dalam percakapan anrara Sultan
Ternate Juanga Murari dan Mioti-Lamo. Kritik keras Mioti-yang
-.idak menyukai perang, tombak, dan darah terlihat dalam kutipan
berikut ini.
Namun, maafkan Paduka, bukankah ido-ido yang
merasa
menguasai homa-horna kecil, bukankah mereka sendiri tertipu
juga dan masuk perangkap penangkap-penangkap ikan yang
lebih kuasa dan rakus? Manusia atau ikan-ikan hidu, Ialu apa
bedanya? Apakah para paduka di Ternate dan Tidore tidak
sadar bahwa segala perang saudara serta persaingan anrarpulau-pulau kecil kita hanya menenggelamkan diri kita sendiri?
(Mangunwij aya, 20 1 6: 296-297).
Intrik-intrik politik yang terjadi di Kesuhanan Ternate dan
Tidore yang mirip saudara kembar ini banyak sekali terjadi.
Perseteruan dan permusuhan antara Ternate dan Tidore sudah
berlangsung dua abad (sejak abad ke-13) ketika kaum penjelajah
membuka jalur rempah di sekitar ke-16 (tepatnya pada tahun
i512 masuknya Portugis ke Ternate). Benih permusuhan itu telah
memakan banyak korban rakyat kecil, seperti peribahasa lama,
"Gajah bertarung dengan gajaJ:', pelanduk mari di tengah-tengah!"
Doksa yang kita temukan di dalam perrarungan ikan-ikan ido ini
adalah ambisi kekuasaan, pengaruh, kedudukan, dan kekayaan dari
kaum penguasa selalu membawa korban jiwa dan raga kaum kecil,
ikan-ikan homa. Benih pertikaian, permusuhan, dan konflik inilah
sebabnya bangsa kita mudah dijajah. Kolonialis-kolonialis berbaju
pedagang dari Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda pun berlombalomba merampok dan merampas (Rahmanto, 2001). Dalam
78
novel ini, rakyat kecil yang diwakili oleh Mioti-Lamo mencoba
mempertanyakan dan melawan d'oksa itu dengan membangun
wacana heterodoksa, membangun jembatan perdamaian dan
jembatan kemanusiaan di antara dua kerajaan kembar itu, tetapi dia
pun gagal. Kedatangan ikan-iban hiubahkan menambah kerumitan
penyelesaian konflik dan permusuhan tersebut.
3.
Sihir Rempah: Arena lkan-lkan Hiu
Penjelajahan dan penemuan jalur rempah oleh bangsa-bangsa
Eropa tidak terlepas dari pesatnya ilmu kartografi di Eropa. Para
ahli kartografi dari Portugis, Spanyol, Italia, Belanda, dan Jerman
saling berlomba melakukan pemetaan kawasan Nusantara dengan
segala presisinya. Peta-peta itulah yang menjadi alat navigasi yang
diandalkan oleh para mualim untuk membawa mereka ke kepulauan
rempah-rempah (Rahman, 201 9).
Portugis adalah negara Eropa pertama yang masuk dan
membangun aliansi dengan Kerajaan Tidore di tahun 1512.
Setelah sepuluh tahun beraliansi, sultan meminra raja Portugis
Dom Manuel untuk membangun benteng Santo Paulus. Karena
kedudukannya makin kuat, Portugis pun mulai mencampuri
urusan dalam kerqaan, memonopoli perdagangan rempah, dan
menyebarkan agama Katolik.
Dalam novel ini, ikan-ikan hiu adalah metafora untuk kaum
penjelajah dan kemudian kolonialis Eropa, terutama Portugis
dan Spanyol. Selain itir, Inggris dan Belanda pun menjejakkan
kaki dan pengaruhnya di Ternate dan Tidore (Lihat Gambar 4).
Kehadiran bangsa Eropa yang semula hanya untuk mencari daerah
produksi rempah-rempah, dalam perkembangannya tidak hanya
melakukan kegiatan perdagangan, tetapi juga melakukan kolonisasi,
membangun kekuatan politik, dan mengeksploitasi kekayaan alam
Indonesia (Marihandono, 2020).
I
ii
i:i:-i; ii,:i: r.i:r.ri:
79
I
ffi
@
@
Ido, Homa
Gambar 4: Posisi dan lnteraksi Tokoh dalam Novel /kon-lkon Hiu,
Gambar 4 memperlihatkan posisi dan pola interaksi tokohtokoh di dalam lkan-Ikan Hiu, Ido, Homa. Mioti-Lamo sebagai
Rorasai
rokoh sentral dengan dua istrinya: Loema Dara dan Tatate
kekuasaan
sebagai'ikan-ikan homa dikelilingi intrik-intrik politik
ikanlikan ido dan ikan-ikan hiu. Kesultanan Ternate pada awalnya
tetapi'
bersekutu dengan Portugis untuk memerangi Tidore' Akan
kesultanan,
karena p.rt,rgi. terlalu mencampuri urusan di dalam
memonopoli perdagangan rempah-rempah, dan menyebarkan
merangkul
agama Katolik, pecahlah kongsi tersebut' Ternate
B.l"rrd" (voc) untuk menggempur Portugis sekaligus Tidore.
Di bawah pimpinan Cornelis Bastiaanzoon, Belanda berhasil
Ternate
memporak-porandakan benteng Portugis di Tidore. Aliansi
d.rg"r Belanda (VOC) pun dilalankan. Rupanya pilihan ini tidak
,.pi, karena akibatnya jauh lebih fatal. Belanda dengan watak
yang sangat ekspansif mulai menjalankan monopoli
p.rd"j"rrg"n yang jauh lebih ketat dan ramak, terutama dalam masa
dagangnya
pemerintahan Jan Pieterszoon Coen.
Di Pulau Banda, muncul tokoh Dirk Joncker callenbackerseorang Indo-Belanda yang bersimpati dan berpihak pada kaum
l
'':'.
80
S r:.r
{r-ll
lt
c-:-::
3..-
ri
it
pribumi. Masyarakat Banda saat iru telah menjalin relasi dengan
Inggris yang juga menghendaki surga iempah-rempah di Maluku.
Dirk menyadari bahwa tunduk kepada VOC berarti mati. Melawan
juga berarti mati. Maka jelaslah apa yang akan dihadapi pulaupulau yang penuh damai ini: Banda, Lontor, Neira, Ai, dan Runsetelah galai-galai barar itu datang. Puluhan orang Belanda dibunuh
di Banda. Jan Pieterszoon Coen memerinrahkan untuk membunuh
penguasa-penguasa Kesultanan Ternate. Perhatikan pembacaan
hukuman dan pembunuhan "orang-orang kayd' (istilah untuk
menyebut tokoh-tokoh masyarakat Banda) dari Lontor, Neira, Ai,
dan Run. Hukuman mati atas pelanggaran perjanjian monopoli itu
dilaksanakan dengan sempurna tanpa rasa kemanusiaan sedikit pun.
Genderang-genderang dibunyikan. Aba-aba nyaring diteriakkan.
Delapan orang paling terkemuka yang ditawan tadi disuruh
berlutut dalam suatu baris reratur. .... Sunyi sejurus. Seperti
bayangan gerhana lewat. Lalu mengayunlah ke atas enam mata
pedang sangat pelan. Tetapi tiba-tiba seperti halilintar pedangpedang samurai itu menyambar. Ciaaaat!TeriakJepang tak terduga
jatuh dari langit mengiris keheningan, dan dalam satu gebrakan
enam buah kepala menggelundung. Muncratlah darah segar dari
urat-urat nadi leher masing-masing. Dan tergeletaklah enam
batang tubuh pahlawan Banda. Mengayunlah lagi hingga tiga
kaii pedang-pedang mahatajam itu dan batang tubuh setiap sosok
terpotong menj adi empat (Mangunwij aya, 20 I 5: 389-390).
Kekejaman pembantaiin VOC di bawah pimpinan Gubernur
prmplnanJenderal Jan Pieterszoon Coen terhadap'ikan-ikan
pimpinan penguasa lokal itu pun masih berlanjut.
Sesudah membantai delapan orang utama, dengan dingin algojoalgojo menuju ke korban-korban lainnya. Masih tiga puluh enam
lelaki tegap yang tak berkeluh harus dibantai. Tanpa ampun
mereka dibantai juga dengan teknik sangar sempurna. Tanpa
i-iilii{. i}t'i.,ittii:;rrt;:-, -ti:lia iditi:iiil-i:tl:.'i, S!.i;.ir. ttrnF<il'i
tangis pula bumi Neira menyesap darah berlimpah dari putraputranya yang setia (Mangunwij aya, 2015: 390).
Pada tahun 1621 Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen
kemudian memimpin sendiri sebuah armada menyerang dan
membantai seluruh penduduk Pulau Banda sebagai aksi balas
dendam. Tidak tanggung-tanggung, dia membawa sebanyak L3
kapal pengangkut dan beberapa kapal pengintai yang membawa
sedikitnya 1.600 tentara' 300 narapidana dari Jawa, dan 100 orang
ronin (samurai bayaran dariJepang),285 budakbelian dan 40 awak
kapal (RaditJa,2017). Pasukan Jan Pieterszoon Coen menghabisi
hampir semua penduduk di Kepulauan Banda yang pada saat itu
berjumlah sekitar 15 ribu penduduk. Diperkirakan kurang dari
1 .000 penduduk sala yang selamat dari pembantaian tersebut.
Novel lkan-Ihan Hiu, Ido, Homa diakhiri dengan
menggambarkan keruntuhan Kesultanan Tidore di Pulau Banda,
tempat penyingkiran ido-ido dari Ternate.
Hari-hari berikutnya adalah neraka bagi Lontor, Neira, Pulau
Ai dan Run. Beribu"ribu penduduk, tua muda, pria wanita,
jompo maupun anak-anak terbunuh atau meloncat dari dindingdinding gunung tinggi ke dalam laut. Desa dan kampung
mengepulkan asap-asap hitam, dibakar oleh begundal-begundal
VOC. Berpuluh-puluh kora-hora dimuati penduduk untuk
dijual seperti hewan ternak di Jakarta sebagai budak belian'
Sementara itu, pemimpin rakyatnya disiksa dalam ruangruang penganiayaan kapal bendera "De Draak" dan dalam
benteng "Nassau". Delapan orang kaya yang paling terkemuka
disendirikan. Mereka dicambuki keluar benteng, menuju suatu
kurungan besar kukuh yang terbuat dari tiang-tiang bambu.
Terikat dengan tali iluk yang mengiris-iris kulit, mereka itu lemas
lunglai setelah berhari-hari dianiaya. Namun jiwa mereka tetap
tegak.
j: ;;i:
82
Salah satu dari orang kaya
(Mangunwi jaya, 20
iri
iiil i !lii.i:i'ii
itu adalah Dirk Joncker Callenbacker
| 5 : 381 -3 82) .
Mioti-Lamo dan Thrate Rorasai, tokoh utama yang
berasal
dari kalangan rakyat kecil, ikan-ikan homa, adalah dua orang yang
selamat dari mara bahaya dan angkara murka tersebut. \Tanita
cantik dari pedalaman dekat Danau Lina itu kembali dipertemukan
dengan Mioti, pria pantai yang sangat ulet dan terampil. LoemaDara sekalipun barangkali selamat, telah menjadi manusia masa
lalu. Tugasnya telah selesai (Rahmanto, 2001). Sekarang adalah
waktunya dua ikan homa itu menghirup kemerdekaannya.
Keduanya pun menjadi suami-istri yang bahagia.
Mioti lega memandang Thrate yang sudah pulas tertid.ur.
Sebentar lagi wanita ini sudah akan segar lagi. Lega seluruh
jiwa Mioti, sebab telah terhirup kernbali udara kemerdekaan
bagi manusia-manusia yang sanggup menentukan nasib sendiri.
Tetapi Hitu, Ternate, Tidore, Banda, Seram, serta id.o-id.o yang
biasanya makan ikan-ikan homa yang kecil-kecil, sampai kapan
mereka akan mampu menghindari giliran dimakan ikan-ikan
hiu? (Mangunwijaya, 2016: 396).
Inilah akhir dari
segala sihir itu. Sihir perempuan,
sihir kekuasaan, dan sihir rempah-rempah. Sihir yang telah
menghilangkan kemerdekaan manusia sebagai manusia. Manusia
yang telah dikuasai oleh nafsu, kekuasaan, dan angkara murka.
Manusia yang seumur hidupnya terobsesi akan sihir tidak akan
pernah mencapai kemerdekaan menentukan nasibnya sendiri.
Nasibnya akan selalu ditentukan oleh orang lain. Doksa orangorang Eropa di masa itu adalah para pedagang yang menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih baik daripada penguasa
pribumi dan rakyatnya. Mereka memburu rempah-rempah
dan memberlakukan sisrem monopoli yang menyengsarakan
rakyat. Mereka adalah orang-orang yang dapat menghukum dan
membunuh penguasa dan penduduk lokal ranpa rasa kemanusiaan.
\fereka memanfaatkan kegilahormatan penguasa lokal untuk
memecah-belah persatuan dan mendapatkan keunrungan besar.
D.
SIMPULAN
Sihir yang mampu mengendalikan arah, nilai, dan tujuan
oerjuangan manusia, sehingga mereka terbius di dalam kekuatan
magisnya. Ketika Nusantara terekspos
J<e dunia global, kehadiran
perempuan dari negeri seberang dengan ciri yang berbeda dengan
perempuan-perempuan lokal serta-merta membawa sihir yang
n-renaklukkan hati semua lelaki. Kehadiran Igobula di Kampung
Dowingo-Jo menggerarkan hati semua lelaki. Dia bukan orang
melainkan barang rampasan. Perselingkuhannya dengan semua
lelaki di desa Dowingo Jo membuat suami Igobula bernama KiemaDudu merasa terhina, malu, marah, dan dendam. Akibatnya,
Kiema-Dudu melaksanakan strategi bunuh diri ketika Kerajaan
Ternate meminta bantuannya. Kampung Dwingo-Jo dan seluruh
:sinya musnah dibakar habis oleh utusan Kerajaan Ternare, Bahder
\'fusang. Kesalahan orang-orang kecil ini adalah keterpukauan
nereka terhadap sihir perempuan yang membutakan kesadaran
moral mereka. Sihir perempuan itu meluluhlantakkan mereka.
Kasultanan Ternate dan Tidore memanfaatkan kehadiran
armada-armada asing untuk saling menjatuhkan. obsesi kedua
kerajaan kembar ini adalah kekuasaan, kebesaran, kemasyhuran, dan
puja-puji. Kekuasan dan kebesaran menjadi sihir yang membutakan
mata dan hati mereka untuk saling menyapa dan bekerja sama.
inilah pula doksa penguasa kerajaan lokal pada masa kolonialisme.
Sebaliknya kaum kolonialis iru memanfaatkan perpecahan dan
permusuhan kedua kesultanan itu untuk mencari keuntungan
ekonomis dan strategi monopoli perdagangan bagi diri mereka
sendiri. Penguasa Kesultanan Ternate dan Tidore memanfaatkan
orang-orang asing itu untuk mendapatkan kekuasaan, kebesaran,
i.
Srrslri: it.-rtii;r, ii
84
dan kemasyhuran dengan cara memerangi lawannya. Di sisi lain
orang-orang asing itu memanfaatkan penguasa-penguasa kedua
kesultanan itu untuk mendapatkan hal yang mereka incar dan lebih
berharga secara ekonomis: rempah-rempah.
Sihir bagi kaum kolonialis berbaju pedagang, yakni Portugis,
Spanyol, Belanda, dan Inggris adalah rempah-rempah. Mereka
menjelajah dan menemukan jalur rempah dan mengeruk banyak
keuntungan. Mereka memaksakan monopoli dengan model relasi
kekuasaan dan sistem perjanjian yang tidak berimbang. Inilah
doksa kaum kolonialis pemburu rempah. Perlawanan lokal terhadap
tindakan monopoli rempah membawa maut bagi ido-i.do dan
boma-homa. Ketamakan dan kelobaan kaum kolonialis di dalam
mengeksploitasi kekayaan alam Nusantara berakibat fatal. Ikanikan ido dan horna di kepulauan Banda habis dibantai dengan kejam
tanpa belas-kasihan dan rasa kemanu$iaan sedikit pun. Sedikit
yang tertinggal adalah manusia-manusia yang berani menghirup
udara kemerdekaan, manusia-manusia yang sanggup menentukan
nasibnya sendiri. Mereka adalah Mioti-Lamo dan Thrate Rorasai,
dua ekor ltoma kecil yang memulai menjalankan hidupnya di arena
perjuangan hidup yang tidak selalu mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu, P. 1993. The Field on Cuhural Production:
and Literature. Cambridge: Poliry Press.
Essays on
Art
Britannica, E. 202L. HistoVical Noue l. https://www.britannica.com/
artlhisto rical-novel.
Brown, R., 6. Kulik, J. 1977. "Flashbulb Memories". Cognition.
5 ( 1 ). doi: 1 0. 1 0 I 6/00 10 -0277 (7 7) 900 I 8-X, 7 3-99.
Conwaya, Shane Francis; McDonagha, John; Farel, Maura; dan
Kinsella, Anne. 2015. "Cease Agricultural Activity Forever?
Underestimating the Importance of Symbolic Capital".
Journal of Rural Studies. 44,164-176.
i!:lira ilrle;;r1;:telt:, +ii*r:.
F.",."ra*:.:r:r::t-
5!,1i; i.le::,:li:lifr
Ensiklopedia Sastra, I.2020. Ihan lkan Hiu, Homa, Ido. Sumber
http : //ensiklopedia.kemdikbud. go. id/sastra/artikel/IkanIkan_Hiu_Ido-Homa. Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Forchtner, B. dan SchneickerL C. 2016. "Collective learning in
social fields: Bourdieu, Habermas and Critical Discourse
Studies". Discourse and Society. Yol 27 (3) 293-307. https:ll
doi. org/ 1 0. I 17 7 o/o2F 09 57 9 265 | 6630 89 2.
Haryatmoko. 2016. Critical Discoarse Analysis: Landasan
Teori,
Metode, dan Penerapan. Jakana: Raja Grafindo Persada.
Haryatmoko . 2016. Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis
Po s t- Stru h tura lis. Yogyakarta: Kanisius.
K. Y. 2018.
Mengakari Tbhs Menjelajasi Ko(n)teks:
Sehumpulan Esai Sasna dan Budaya. Surabaya: Airlangga
Karnanta,
University Press.
Kleden, I.2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai
Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka lJtama Grafiti.
Krisdinanto, N. 2014.'"Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai".
I{ANAL.Yol.2, No. 2, Maret 2014,107-206.
\{angunwi jaya,Y.B.2016. Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa Sebuah Nouel
S ej ara
h. Jakarta: Kompas.
-\{arihandono, Djoko dan Kanumoyoso, Bondan. 2020. Rempah,
Jalur Rempah, dan Dinamika Masyarahat Nusantara. Jakarta:
Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal
Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Novenia, Maria; Taum, Yoseph Yapi; dan Adji, Susilawati Endah
Peni. 2019. Oktober. "Strategi Dominasi dalam Novel
Maryam Karya Okky Madasari: Perspektif Pierre Bourdieu".
Jurnal llmiah Kebudayaan SINTESIS. Volume 13, Nomor 2,
Oktober 20l9,hlm. 102-1 71, 73(2), 102-1 1 1.
i;iL-c
trJ;
F-ii::
iil{;.ii
Putri, G. S. 2020. September 23."Menilik PentingnyaJalur Rempah
Indonesia dan Interaksi Budaya Dunid'. https://wwwkompas.
com/sains/ r eadI 2020 I 09 I 23 I 0 80200223 .
Raditya, I. N. 2017. November 8. "Pembantaian Orang-Orang
Banda". h ttps : // tirto. id/ czN l.
Rahman, F. 2019. September 3. "Negeri Rempah-Rempah" Dari
Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kelayaan Rempah-Rempah
"Spices Land": From the Spring to The Fall of Spices Glory''.
Patanjala. 11 (3), 347-362.
Rahmanto, B. 2001. Y B. Mangunwijaya: Karya dan Dunianya.
Jakarta: Grasindo.
Th"um, Y. Y. 2017. "Kritik Sastra Diskursif: Sebuah Reposisi".
Seminar Nasional Kritik Sastra'Kritik Sastra yang Memotivasi
dan Menginspirasi. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Jakarta 15-16 Agustus
2017.
Y. 2018.
"Strategi Literer dalam Menjayakan Sastra
Indonesid'. STIKIP Persadha Khatulistiua, Sintang, Kalimantan
Barat (pp. 10-21). Sintang: Lembaga Bahasa dan Budaya
Taum, Y.
Kalimantan.
Turner, J. 2019. Sejarah Rempah: Dari Erotisme Sampai Imperialisme
- (Edki Baru), Penerjemah: Julia Absari. Depok: Komunitas
Bambu.
'Welianto,
A. 2020.Juni I 6. "Latar Belakang Terbentuknya Persekutuan
Uli Lima dan Uli Siwi'. Kompas.com.