Academia.eduAcademia.edu
tifl g#5re'4 wryp4f(_ gB,m* ffi Sastri Sunarti, Suda joko Saryono,l Nyomd'n ** Sastra Rempah I 02 r 00205 1 @2021PT Kanisius Buku ini diterbitkan atas kerja sama PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI) Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 5528I, INDONESIA Telepon (027 4) 5887 83, Fax (027 4) 563349 E-mail : office@kanisiusmedia.co.id 'Website : www.kanisiusmedia.co. id dengan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat UNJ Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta Kampus A UNJ, Gedung E Lantai II Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220 Pos-el: hiski. unj @gmail. com Cetakan ke- Thhun 54321 25 24 Editor Editor Penerbit Desainer isi Desainer sampul 23 22 2r Novi Anoegrajekti Sastri Sunarti Sudartomo Macaryus Djoko Saryono I Nyoman Darma Putra Flora Maharani Andreas Nova Rabet ISBN 978-979-2r-7095-5 Hak cipta dilindungi undang-und*g. Dilarang memperbanyak karya ulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, tanpa izin tertulis dari Penerbit. Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta w KATA PENGANlTAR N{tr,RAN{T] Rtr,IVIPAF{ NUSANITA]RA: DARN ACEFN SAN,IPAN PAPL]A Kepulauan Nusantara yang terbentang dari Aceh sampai Papua memiliki beragam jenis rempah yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai warisan kearifan leluhur. Kedatangan bangsa Eropa pada sekitar abad XVI menambah referensi mengenai manfaat beragam jenis rempah yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat. itu menjadi mpmori kolektif masyarakat Nusantara yang sebagian terungkap di dalam buku Sastra Rempah yang ditulis oleh kalangan akademisi yang berasal dari berbagai wilayah Nusantara dari Aceh sampai Papua. Dengan memanfaatkan beragam sumber sastra dan tradisi lisan terungkap aneka pemanfaatan rempah seperti untuk bumbu yang menciptakan cita rasa kuliner, beragam jamu untuk kesehatan, dan beragarn ramuan untuk kecantikan dan Semua keindahan. vl Stln'r?ii. Et ;i:i]{iji. Pemanfaatan rempah sebagai salah satu bahan herbal, saat ini semakin populer dan diminati masyarakat. Kecenderungan tersebut menjadi tantangan dan peluang masyarakat termasuk kalangan akademisi yang berkecimpung dalam bidang farmasi untuk melakukan uji klinis dan laboratoris mengenai unsur-unsur yang terkandung di dalamnya dan bermanfaatbagi kesehatan manusia. Di kalangan masyarakat modern pengobatan, kosmetik, dan suplemen herbal cenderung semakin diminati. Hal itu menjadi rantangan dan peluang para pelaku ekonomi kreatif untuk melakukan pengembangan industri kreatif yang diperlukan masyarakat. Secara langsung dan tidak langsung pengembangan produk herbal berbahan lokal berpotensi meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, hadirnya buku Sastra Rempah ini menjadi salah satu rujukan yang inspiratif dalam pengembangan produk inovatif'berbahan herbal mulai yang dikembangkan di lingkungan kraton dan di masyarakat. Semua itu sebagai warisan leluhur yang layak dilestarikan, dimanfaatkan, dan terus dikembangkan secara modern. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riser, dan Teknologi RI kuu** Hilmar Farid, Ph.D. . ,.r rrnlii#ilninil * DAF'ITAR NSN Kata Pengantar Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI MERAMU REMPAH NUSANTAR,A: DARI ACEH SAMPAI PAPUA Hilmar Farid, Ph.D. Puisi SIHIR REMPAH Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. DAFTAR ISI Pengantar Editor SASTRA REMPAH, MENGAPA TIDAK? HISKI MENGOIAH REMPAH: MENGGODOG IMUN SASTRA Prof. Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. Pengantar Ketua Umum Prolog RONA SEJARAH YANC SEDAB PE,DAS, DAN PAHIT Tom Hoogervorst, Ph.D. REMPAH DALAM SASTRA MODERN REMPAH YANG MENGHIDUPKAN, KEHIDUPAN YANG MEREMPAH Aprinus Salam KETIKA CENGKIH BE,RBUNGA: KISAH MENCEGAH INSES I Nyoman Darma Putra 3 DRAMA \ 27 TRAUMA POSKOLONIAL DAIAM .U*OUN "KANIBAL'' DAN "PEREMPUAN PALA' Sudibyo 43 SIHIR PEREMPUAN, SIHIR KEKUASAAN, SIHIR REMPAH: MEMBONGKAR NOVEL II{AN-IKAN HIU, IDO, HOMA KARYA\ts MANGUN\flJAYA Yoseph Yapi Thum 63 RE,MPAH BUMBU DAPUR DALAM CERPEN ..KUTUKAN DAPUR" KARYA EKA KURNIAWAN: KAJIAN NARATIF DAN SOSIOLOGIS M. Yoesoef PERDAGANGAN PAIA DAN PEREMPUAN DI ERA KOLONIAL DALAM NOVEL MIRAH DARI BANDA KARYA HANNA RAMBE \Wiyatmi 105 iiirrii* ff"lii SNF{NR PtrREA{PUAN, SNFilNR Ktr,KTJASAAN, REN{trAF]t: NAtr,N{tsONGKAR NOVtr,L HIIU, [DO, UtOA,tA SNF]INR /M KA]NAY]BN,IANGM Yoseph Yapi Taum Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma yosephyapipusd.ac.id A. PENDAHULUAN Rempah adalah berbagai jenis hasil ranaman yang beraroma, seperti pala, cengkih, lada untuk memberikan bau dan rasa khusus pada makanan (KBBI). Dengan kata lain, rempah-rempah adalah bagian tumbuhan, bisa buah, kulit, daun, atau bunga,yangmemiliki aroma yang sangat kuat yang dimasukkan ke dalam masakan sebagai pengawet atau pemberi rasa dan harum pada makanan. Rempah-rempah merupakan barang dagangan yang paling { '-l E&$iir* It*]lFiril telah mendorong berharga pada masa kolonial' Rempah-remPah dan Kepulauan penlelalaFL Portugis Vasco d'a Gama mencapai.India kemudian menyusul Maluku. Para penjelajah Belanda dan Spanyol pula ke Kepulauan Maluku' jalur komoditas rempah yang melintasi Jalur-rempah adalah pelabuhan di dunia' terutama dari wilayah b"rry"t wilayah dan Eropa' Hingga kini' Nusantara b"r"t -.Ii,'tasi Asia, Afrika' hingga masyarakat jalur rempah meninggalkan warisan untuk kehidupan sangat Penting pada jalur Indonesia dan d,uniallndonesia berperan dunia' Sejak penemuan jalur rempah itu di dalam perekonomian rempahitulah,Indonesiatereksposdandikenalsebagaisebuahi ,.-p", strategis sebagai jalur maritim dunia (Putri' 2020)' riuhdan merasakan getaran' hiruk-pikuk' dan Memahami kejadian-keiadian rendah relasi antarmanusia, kuk r"r"".r, dan melalui karya sastra' sejarah Jalur Rempah hanya dapat dilakukan rnemory' Hal itu disebabkan karena karya sasrra ibarat f.ashbulb kenangan dan yakni sejenis memori yang d'apat menghidupkan terperinci'. akurat' jelas' membangkitkan emosi melalui narasi yang dantidakmudahdilupakan(Brown6{Kulik'1977).Diantara ingatan yang mungkin ingatan-ingatan masa lampau itu, terdapat disebut sebagai "buah dari terasa berlebihan, ketika rempah-rempah surgd,atau..buahyangmemilikikekuatansihir,,(Turner,20t9)' mengubah Kita hanya p.rlr', *.rr."t"t btt"p" nyata rempah-rempah peta strategis sejaralr dunia' ' karya-karya Varisan jalur rempah ditemukan pula di dalam sastra lisan maupun SaSila Sastra Nusantara, baik di dalam bentuk jalur rempah sangat penting Nusantara. Karena itu, studi sastra dan untukmemperkayawawasanNusantarakitatentangkekuatandan akan berpengaruh keunggulant"tgr" kita di masa lampau yang tentu Indonesia' ,.."r"' rigrrifi kan di dalam penyusunan strategi kebudayaan rempah yang terdapat Studi ini membongkar salah satu warisan jalur di dalam tulisan karya sastra berbentuk novel' i=ijri=-. Fr.;::.:r;'lilrri+i. , J"1[:: .iij:].: liqirli':,."liiiiir:., ::iiili'r ti:;:i;:it:ii :i,1*:::1ff l5:l]., Setiap tulisan dapat diklasifikasi ke dalam dua jenis makna. perrama, makna referensial, yaitu maknayang lahir dari hubungan antara teks dan dunia acuan atau kenyataan-kenyataan di luaf reks. Tirlisa L yang menguramakan makna referensial merupakan rulisan-tulisan ilmiah, akademis, serta berusaha mencapai suatu denotasi yang dapat ditetapkan isi dan batas-batasnya. Kedua, makna tekstual, yaitu makn^ yanglahir dari hubungan-hubungan (untuk di dalam teks itu sendiri. Makna tekstual mengesampingkan sementara) makna referensial. Tulisan yang mengutamakan makna tekstual adalah karya sastra (Kleden, 2004)' Sastra adalah dialektika anrara dunia luar teks (yaitu peristiwa, realitas) dan dunia di dalam teks (yaitu makna). Interaksi teks dengan dunia luar teks menghasilkan makna referensial, sedangkan interaksi antara bagian-bagian teks satu sama lain menghasilkan makna tekstual. Makna tekstual inilah yang merupakan pencapaian spesifik dunia sastra. Karya sastra tidak pertama-tama bertujuan memproduksi makna referensial seperti ilmu pengetahuan dengan 55 66 S*:i.rei it*rrrg:*Jr konsep-konsep akademisnya. Thgas utama karya sasrra adalah membangun relasi makna tekstuaL membuka ambivalensi dan mengaktifkan konotasi, serta menghidupkan watak simbolik sastra dengan memanfaatkan berbagai teknik simbolisasi seperri metafora, alegori, dan sebagainya (Thum, 2018). Ada dua pertanyaan yang hendak dijawab di dalam penelitian ini. Pertama, apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia ketika jalur rempah itu mulai dibuka oleh bangsa Barat? Kedua, bagaimana gambaran arena perebutan kekuasaan yang terjadi pada abad 16 dan 17? Untuk menjawab pertanyaan pertama, akan diungkap strategi tekstual novel lkan-Ihan Hiu, Ido, Homa karya Y.B. Mangunwijaya. Sementara itu untuk menjawab pertanyaan kedua, saya akan menggunakan teori arena Pierre Bourdieu, terutama untuk mengungkap doksa, ortodoksa, dan heterodoksa di dalam novel tersebut. Agar uraiannya lebih efisien dan tidak terkesan mengulang-ulang persoalan yang sama, pembahasan untuk kedua pertanyaan tersebut akan disatukan di dalam sub-subkajian tentang setiap 'ikan", yaitu ikan hiu, ikan ido, dan ikan homa. Uraian akan diakhiri dengan kesimpulan yang berisi hasil diskusi tentang tereksposnya Nusantara melalui jalur rempah ke arena global. Sik:r-, fr.tr.a;1;;j::#{1*., B. Sl\;.r i{*i;rr*;*rn. 5i}ri'1. Re.rrlFtili. LANDASAN TEORI DAN METODE Dalam paradigma M. H. Abrams yang diperluas (Thum, 2017), rerdapar enam pendekatan k4i* sasrra, yaitu: pendekatan objektifi pragmatik, mimetik, ekspresif, eklektih dan diskursif (lihat Gambar 2). Gambar 2: Enam Pendekatan Sastra: Sebuah Reposisi Pendekatan diskursif, atau bisa disebut sebagai kritik sasrra diskursif, merupakan sebuah pendekatan yang mengakomodasi teoriteori mutakhir yang dikenal sebagai teori-teori post-strukturalisme. Teori post-strukturalisme yang dikembangkan antara lain oleh Michael Foucault ini dipandang sebagai sebuah grand theory baru yang memiliki kontinuitas sekaligus diskontinuitas dengan teoriteori strukturalisme. Ada banyak teori post-strukturalisme tetapi dapat dikenali sebagai sebuah pendekatan yang disebut pendekatan diskursif Perhatian utama pendekatan diskursif mendemistifikasi dominasi dan eftsploitasi kekuasaan yang cenderung dipertahankan melalui budaya dan ideologi. Karya sasrra tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang netral melainkan cenderung digunakan sebagai instrumen untuk melakukan sesuaru atau sebagai sarana menerapkan strategi kekua,saan (Haryatmoko, 2016). Oleh karena 67 .rler-ri:ii 68 itu, kritik Rl*i*;;!t sastra diskursif bertujuan membongkar ketidakadilan, ketidaksetaraan, pembatasan kebebasan, atau diskriminasi. ini menggunakan paradigma Abrams yang telah direposisi dengan pendekatan diskursif. Analisis menggunakan teori dan metode yang dikembangkan Pierre Bourdieu, filsuf yang berminat pada bidang sastra, bahasa, sosiologi, psikologi, politik, dan ekonomi. Salah satu pemikiran utamanya berkaitan dengan persoalan arena. Bourdieu memandang ruang-ruang sosial sebagai arena pertarungan (battle feld) berbagai agen dengan kepentingan, modal, dan strategi dominasi yang berbeda-beda. Arena, bagi Bourdieu, adalah ruang bagi pertarungan atau pergulatan dengan aturan dan logika yang diterima di dalam arena tersebut. Hal yang dimaksud Bourdieu sebagai pergulatan, perjuangan, atau pertarungan dalam arena bukanlah yang punya arti fisik, melainkan simbolik. Arena hanya bisa dimengerti sepenuhnya apabila kita memperlakukannya sebagai ruang memperebutkan monopoli pemakaian legitim kekerasan simbolis (Bourdieu, 1993). Arena adalah kepemilikan kekuasaan yang mengandalkan modal yang menentukan akses kepada keuntungan-keuntungan tertentu yang dipertaruhkan dalam pertarungan. Jadi arena mirip dengan pasar, artinya ada penghasil dan konsumen. Di dalamnya terdapat pihak yang dominan dan tersubordinasi (Novenia,2019). Dominasi simbolik adalah kekerasan yang tak kasat mata. Kekerasan semacam ini oleh korbannya tidak dilihat atau dirasakan sebagai kekerasan, melainkan sebagai hal yang alamiah dan wajar. Di balik konsep tersebut, telah terjadi suatu proses yang bertanggung jawab atas perubahan dari sejarah menjadi seakan-akan sesuatu yang alamiah, dari suatu budaya menjadi seakan-akan sesuatu yang sudah semestinya (Haryatmoko, 20 I 6). Dalam perspektif Bourdieu, agen-agen tidak bertindak dalam ruang hampa, melainkan dalam situasi-situasi sosial konkret yang diatur oleh seperangkat relasi sosial yang objektif. Agar bisa Studi q:'i:r.tt.:;-it -!ii.iit..;''jr:.::.'::.:;i.ii'trl 5i:ii.ia. ilfir.t.-i:,;::r.tt':, .;iii..il nemahami sebuah situasi atau suatu konteks tanpa jatuh ke dalam Jererminisme analisis objektivistik, Bourdieu mengembangkan .r"onsep ranah. Menurut model teoretis Bourdieu, pembentukan ,osial apa pun distrukturkan melalui serangkaian ranah yang rerorganisasi secara hierarkis (ranah ekonomi, pendidikan, politik, .lan sastra) (Karnanta, 2018). Ranah-ranah didefinisikan sebagai ruang yang terstruktur dengan aturan-aturan atau regulasi-regulasinya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasaannya sendiri, yang t6rlepas dari kaidah politik dan kaidah ekonomi. Kendati tiap ranah relatif otonom' namun >ecafa struktural mereka tetap homolog satu sama lain. Strukturnya, pada momen apa pun, ditentukan oleh relasi-relasi di antara posisiposisi yang ditempati agen-agen di ranah tersebut. Ranah adalah xonsep dinamis tatkala perubahan posisi-posisi agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur ranah (Bourdieu, 1993)' Dalam bangun teoredknya, Bourdieu sering menggunakan rstilah kuasa simbolik, kekerasan simbolik, dan relasi simbolik secara bergantian. Ketiga istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan proses reproduksi sosial yang melibatkan agen-agen dalam suatu ranah. setiap agen memiliki modal dan habitus berlainan, namun saling berkontestasi antara satu sama lain (Krisdinanto, 2014). Kuasa dan kekerasan simbolik erat kaitannya dengan doksa, yakni seperangkat kepercayaan fundamental yang diterima secara luas bahkan dirasa tidak perlu dieksplisitkan, dipertanyakan, atau dipertentangkan lagi (Forchtner, 2016). Dengan kata lain, secara sederhana doksa adalah suatu kepercayaan yang diterima apa adanya, tidak pernah dipertanyakan, yang telah mengarahkan cara pandang seseorang dalam mempersepsi dunia atau bidang tempat doksa tersebut berada. Jika doksa dikenali dan diterirna di dalam praktik kehidupan, dia menjadi ortodoksa. Sebaliknyailka doksa itu dikenali dan dipertanyakan, ditantang, dilawan, bahkan digantikan, muncullah heterodoksa. 69 l".i.r- '. ;i ".liri; 70 C. PEMBAHASAN Novel sejarah karya Y. B. Mangunwijaya berjudul Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (Mangunwrlaya, 2016) merupakan salah satu dari sedikit novel yang menceritakan peristiwa yang terjadi di Pulau Halmahera, Kepulauan Banda, Ternate dan Tidore, pusat rempah dunia. Novel ini tidak hanya membicarakan kekuasaan, senjata, dan kekerasan tetapi juga cinta, kesetiaan, dan makna sekualitas di dalam lembaga perkawinan. Novel lkan-Ikan Hiu, Ido, Homa memang berlatar sejarah Ternate (dan Tidore) dan kehidupan masyarakat suku Tobelo di Halmahera pada tahun 1594 hingga.1621. Itu adalah masa ketika kepulauan rempah-rempah itu menjadi wilayah rebutan bangsabangsa Eropa, terutama Spanyol, Portugis, dan Belanda. Namanama ikan tersebut merupakan metafora untuk menjelaskan ukuran serta sifat ikan yang saling memarigsa tersebut: ikan yang kecil dimakan ikan yang lebih besar dan ikan yang lebih besar dimangsa ikan yang paling besar. Perhatikan ilustrasinya di dalam Gambar 3. Gambar 3: llustrasi lkon-lksn Hiu, ldo, Homq Novel lkan-Ikan Hiu, Ido, Homa terdiri atas 13 episode yang secara kronologis dibagi menjadi 5 kurun waktu. Bagian I kurun r*-aktu 1594-1595, Bagian II 1599-1507, Bagian III 1605-1609, 'Waktu cerita Bagian IV 160S-1610, dan Bagian V 1611-1621'. novel itu berlangsung selama 27 tahun. Dalam rentang waktu rersebut muncul berbagai macam peristiwa dan persoalan, khususnya intrik politik antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore mengenai perdagangan rempah-rempah. Pedagang dari Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris saling be-rlomba memonoPoli hasil i,omoditas itu (Ensiklopedia Sastra, 2020). Salah satu kekuatan rnakna referensial novel ini adalah pemanfaatan laporan penelitian Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Maluku Utara dari Lembaga Studi dan Penelitian Kebudayaan Universitas Soekarno-Hatta. Laporan rersebut berbentuk 4 teks hasil wawancara,4 buah surat' 1 buah kutipan buku. Selanjutnya kajian terhadap dua masalah penelitian ini akan iiifokuskan pada tiga arena pefrarungan kepentingan, yakni arena Jian-ikan homa, ikan-ikan ido, dan ikan-ikan hiu -sesuai dengan perjalanan alur cerita novel tersebut. teks lagu rakyat, dan 3 1. Sihir Perempuan: Arena lkan-lkan Homa Salah satu arena penring dan utama di novel ini berkaitan .lengan kehidupan dan perjuangan masyarakat lokal Nusantara -,-ang masih lugu. Novel ini diawali 'prahara di balik cakrawald' Kiema-Dudu, kepala kampung Dowingo-Jo dari suku Tobelo ;emburu, marah, dan rasa sakit hati akibat sihir perempuan nancanegara bernama Igobula. Igobulalah awal tragedi kehancuran {ampung Dowingo-Jo, sebuah kampung yang tersohor sebagai rembuat perahu o julu-julu. Igobula adalah perempuan hasil -rampasari' ayah Kiema Dudu bernama Hiu Tujuh Lautan. Igobula nasih bayi dalam gendongan sang bunda ketika jung berisi guciErrci dan mangkuk-mangkuk porselin dari Kanton ke Pulau Bima 72 Sri; rl'r.* Ii{.*l}:!{iJr dirampas oleh sang ayah, seorang kepala bajak laut. Kelak, Igobula yang candk jelita tiada tandingannya dijadikan istri Kiema-Dudu. Igobula adalah perempuan yang mulutnya "bagaikan tombak tajam suka memfitnah. Lebih buruk lagi, Igobula suka bermain serong dengan lelaki, pemuda, dan suami orang. Hampir semua lelaki di kampung itu sudah tidur dengan Igobula. Martabat dan harga diri Kiema-Dudu benar-benar hancur di hadapan Igobula. Kiema-Dudu juga tidak mampu berbuat apa=^pa, bahkan ketika dia mengancam membunuh Igobula. "Kaubunuh? Heih, kaubunuh? Dengarkan pahlawan. Menurut hukum adag semuA yang berlakuzina harus dibunuh. Di muka kepala adat. Mari pergi ke sana sekarang. Tetapi ingat, pahlawan laut, paling sedikit dua puluh orang dari kesatria-kesatriamu nanti harus ikut kaubunuh juga!" (Mangunwi jaya,2016:10). Tindakan nekat sang penyihir Igobula bukan tanpa alasan. Dia tumbuh sebagai manusia yang sakit hati dan dendam karena orang ruanya dibunuh. Dia bukanlah putri Tionghoa yang dipinang dengan semestinya menurut aturan adat-istiadat. Sebaliknya Igobula sebagai perempuan yang seharusnya dihargai harkat dan martabatnya merasa telah dihinakan. Dia mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara jujur kepada suaminya Kiema-Dudu dalam kudpan berikut ini. "Tetapi aku? Igobulayang bulan-bulan kembarnya kau gemari, yang semak-semak teluknya kaunikmati, apa dan berapa tebusan mempelai kaubayar? Berapa emas persyaratan perkawinan dan seluruh beban-beban hutang hinaan kaubayar menurut hukum adatmu? Ingin tahu jumlah itu? .... Inilah, satu: kepala ayahku yang dipenggal kejam. Dua: tubuh abangku sulung yang dilemparkan pada ikan-ikan hiu, dan .... Diam? Tak ingin tahu lagi tentang paru-paru penuh darah dari ibuku yang meninggal sambil memelukku si bayi, karena hatinya yang serba remuk menderita kesusahan ? (Mangunwi jay a, 20 | 6 : I 3) . i l I I l Thntangan Igobula yang sangar berani, keras, dan mengancam ridak mampu ditanggapi oleh Kiema-Dudu suaminya. KiemaDudu menyimpan marah, malu, dan dendam namun tidak mampu berbuat-apa. Oleh karena itu, dia menyusun sebuah "straregi bunuh diri massal" dengan cara menantang dan melawan titah penguasa ,okal dari Kerajaan Ternate. Tirjuannya: dirinya, Igobula, dan semua ssatria peselingkuh Igobula tewas terbunuh sehingga rasa malu, dendam, marah, dan kecewanya ikul terkubur. Ketika Bahder -Vusang memimpin sepasukan utusan Sultan Ternate-dalam candangan orang Tobelo, Ternate adalah penjajah dan pemerkosa nak-hak nenek moyang-untuk meminta dukungan melawan orangorang Portugis dengan menyumbang julu-julu dan kora-kora untuk armada Ternate. Kiema-Dudu memanfaatkan kesempatan ini untuk nenjalankan misi pribadinya. Dia menolak perintah Kerajaan Ternate. Akibatnya sudah bisa diduga. Kampung Dowingo-Jo beserta isinya habis dibakar oleh urusan Kerajaan Ternate, Bahder \{usang. Hal yang tertinggal kini hanyalah Loema-Dara (istri Kiema-Dudu) dan Mioti-Lamo. Mioti-Lamo adalah putra ahli pembuat perahu terkenal di seluruh Pantai Kao sampai ke Teluk Buli. Dia tidak tertarik pada seni berkelahi atau membajak di laut. -\4ioti hanya menyaksikan kehancuran kampungnya. Dalam sekejap mata seluruh kampung, yang hanya beratap daun sagu dan bersusunan bamboo ataupun kayu, sudah menjadi lautan api. Mata Mioti kering, mulutnya ternganga dan seluruh wajahnya pucat bagaikan mayat, melihat orangorang sekampungnya yang lelaki dipotong kepalanya, ditikam jantungnya, diinjak-injak; sedangkan yang perempuan dipukuli, dilepaskan dari anak-anak dan bayi-bayi yang habis-habisan dibantai seperti kura-kura, lalu diperkosa. Mioti mencari di antara segala kekacauan itu bayangan ibunya atau barangkali adik perempuannya bungu. Tetapi siasia. (Mangunwijaya, 20t6:56-57). 74 Mioti-Lamo dan Loema Dara merupakan penyintas keruntuhan kampung halamannya.'Kedua tokoh ini kemudian menjadi tokoh utama di dalam narasi cerita selanjutnya. Ketika Sultan Ternate melarang penduduk mencari lokan dan mutiarayang terdapat di pesisir dan perairan Gluk Kau, Dowingo-Jo, MiotiLamo beserta kawan-kawannya meninggalkan Kesultanan Ternate dengan sebuah kapal. Di tengah perjalanan, kapal mereka dirompak sehingga Mioti-Lamo dijadikan budak oleh Dirk van Callenbacker, seorang Indo-Bandayang berpihak kepada pribumi Banda. Tentang ikan-ikan homa, rakyat kecil yang masih polos ini, ada dua buah temuan doksa yang penting. Pertama, perkenalan dan pertemuan dengan orang dan kebuday^ n asing membawa perubahan yang sangat signifikan di dalam kehidupan sosialbudaya masyarakat. Sihir perempuan.'asing' Igobula yang cantik jelita memabukkan dan menghancurkan tidak saja adat-istiadat melainkan jug kehidupan nyata masyarakat. Pesannya jelas: perempuan dari negeri manapun tidak pantas dihinakan, ddak pantas dirampas, dan tidak boleh direndahkan martabatnya. Kedua, ikan-ikan homa selalu menjadi mangsa ikan-ikan ido tanpa belaskasihan. 2. Sihir Kekuasaan: Arena lkan-lkan ldo Melalui jalan yang berliku-liku, Mioti-Lamo dan Loema Dara yang saling jatuh cinta itu pada akhirnya menjadi suami-istri. Kedua tokoh ini digunakan oleh penulisnya sebagai sentrum penceritaan di dalam novel lkan-Ikan Hiu, Ido, Homa. Melalui kedua tokoh ini. pengarang mengungkapkan berbagai persoalan menyangkut intrik penguasa, kekerasan, gengsi, gelora asmara, dan kemanusiaan. Selain itu, pengarang juga menghadirkan beberapa tokoh sejarah, seperti Ternate Sultan Said Udin Barkat, Sultan Tidore, Maulana Majimul. putra mahkota Tidore Pangeran Ganari Lamo, Gubernur Jenderai I Spanyol di Manila (Pedro de Cunca), Admiral Jacob Corneliczoon r.an Neck, dan Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen. Pada awalnya terdapat beberapa kerajaan kecil di Maluku. Kerajaan Ternate mengusai wilayah barat, seperti Ambon dan bagian barat Pulau Seram. Bahkan wilayah yang membentang dari utara Mindanao sampai Flores di selatan serta Sulawesi. Kerajaan Tidore menguasai wilayah timur, seperempat Halmahera dan bagian barat kepulauan Seram. \Wilayah kepuljtuan Raja Ampat dan Papua daratan termasuk ke dalam wilayah Tidore (\Welianto, 2020). Perkembangan kedua kerajaan itu menjadi kuat dan makmur menimbulkan persaingan dagang antarmereka yangditandai dengan perebutan pengaruh dan kekuatan. Karena itulah kerajaan-keraiaan kecil mulai bergabung dan membentuk dua kelompok, yaitu Uli Lima dan Uli Siwa. Perselisihan antara Uli Lima dan Uli Siwa memuncak ketika bangsa Barat datang ke Maluku. Ketika Portugis datang ke Maluku pada tahun 1512, Ternate segera bersekutu dengan bangsa Portugis. Demikian juga ketika Spanyol datang ke Maluku pada tahun l52l,Tidore segera bersekutu dengan Spanyol. Kita mengetahui bahwa Portugis juga bermusuhan dengan Spanyol. Setelah sepuluh tahun berada di Maluku, Portugis mendapatkan izin untuk membangun Benteng Sao Paulo dengan alasan untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore yang dibantu Spanyol. Namun, kemudian Portugis melakukan monopoli perdagangan, ikut campur masalah dalam negeri Ternate dan menyebarkan agama Katolik. Akibatnya, secara terang-terangan Sultan Hairun (15501570) menentang Portugis. Gubernur Portugis di Maluku, Diologo Lopez de Mesquite kemudian menangkap Sultan Hairun, sehingga membangkitkan kemarahan rakyat Ternate. Benteng Portugis diserbu. Sultan Hairun dilepaskan dan diadakan perundingan. Keesokan harinya, 28 Februari t570, ketika Sultan Hairun berkunjung ke Benteng Portugis untuk peresmian perjanjian, Sultan Hairun ditusuk hingga tewas oleh kaki tangan Portugis. Karena "....-.{ 76 rt._r J1r;l itulah, Portugis makin dibenci oleh rakyat Ternate. Penguasanya berjuang untuk memerangi dan mengusir Portugis. Dalam novel Ihan-Ikan Hiu, Ido, dan Homa berulang kali diceritakan tentang upaya Ternate melawan Portugis dengan membangun aliansi baru dengan Belanda. Dalam novel lkan-Ihan Hiu, Ido, dan Homa, permusuhan, pertikaian, dan konflik antara Kerajaan Ternate dan Tidore digambarkan melalui sudut pandang orang-orang kecil, termasuk rakyat kecil dari kampung Dowingo-Jo. Perhatikan kesan dan penilaian Kiema-Dudu terhadap dua kesultanan yang saling bertikai itu. Sengitlah reaksi Bahder Musang. "Kerajaan Ternate tidak pernah keliru perhitungan, hai orang Tobelo! ku semua dulu hanyalah siasat, kebijaksaan tinggi para pembesar Ternate yang awas waspada. Siasat, ya, hanyasiasatlah mengapa Ternate bekerja sama itu. Kami orang-orang Ternatelah, hai, yang memanfaatkan mereka, memperbudak orang-orang Potugis selaku alat belaka untuk memerangi kerajaan laknat dengan orang-orang Portugis Tidore. Thhu itu? "Ternate dan Tidore kembar bentuk maupun keadaannya. Bagaikan dua buah susu dada perempuan. Mengapa dua pulau tetangga dekat itu di sepanjangzamafi hanya saling bertengkar saja? Bukankah itu " (Mangunwyaya, 2016: 1 S-1 9). Banyak kesaksian di dalam novel ini yang mempertanyakan hakikat dan makna permusuhan anrara Ternate dan Tidore, dua kerajaan yang tak pernah bisa akur. Keduanya berhasrat untuk saling memangsa. "Siapa hiu? Si Portugis-Kasdliakah arau orangorang Keturunan Gunung Api Kie-Tobona itu?" (Mangunwijaya, 20t6:24). Belum berhenti pula pohon-pohon kelapa di pantai geleng-geleng daun, memperbincangkan persaingan serba dendam kesumat .rliliit. llr:-tcr$;l;;:,#tr.. 5i'i:ir ilgilirr-riril,"r. 5ihit. trr;:p:r"i: antara Ternate dan Tidore yang berakibat begitu buruk bagai pantai-pantai lain yang suka damai (Mangunwijaya,20lS: 69). Diskusi tentang absurditas permusuhan Ternate dan Tidore, -,-ang kemudian menjadi sasaran empuk politik dluide et impera kaum kolonialis dikemukakan dalam percakapan anrara Sultan Ternate Juanga Murari dan Mioti-Lamo. Kritik keras Mioti-yang -.idak menyukai perang, tombak, dan darah terlihat dalam kutipan berikut ini. Namun, maafkan Paduka, bukankah ido-ido yang merasa menguasai homa-horna kecil, bukankah mereka sendiri tertipu juga dan masuk perangkap penangkap-penangkap ikan yang lebih kuasa dan rakus? Manusia atau ikan-ikan hidu, Ialu apa bedanya? Apakah para paduka di Ternate dan Tidore tidak sadar bahwa segala perang saudara serta persaingan anrarpulau-pulau kecil kita hanya menenggelamkan diri kita sendiri? (Mangunwij aya, 20 1 6: 296-297). Intrik-intrik politik yang terjadi di Kesuhanan Ternate dan Tidore yang mirip saudara kembar ini banyak sekali terjadi. Perseteruan dan permusuhan antara Ternate dan Tidore sudah berlangsung dua abad (sejak abad ke-13) ketika kaum penjelajah membuka jalur rempah di sekitar ke-16 (tepatnya pada tahun i512 masuknya Portugis ke Ternate). Benih permusuhan itu telah memakan banyak korban rakyat kecil, seperti peribahasa lama, "Gajah bertarung dengan gajaJ:', pelanduk mari di tengah-tengah!" Doksa yang kita temukan di dalam perrarungan ikan-ikan ido ini adalah ambisi kekuasaan, pengaruh, kedudukan, dan kekayaan dari kaum penguasa selalu membawa korban jiwa dan raga kaum kecil, ikan-ikan homa. Benih pertikaian, permusuhan, dan konflik inilah sebabnya bangsa kita mudah dijajah. Kolonialis-kolonialis berbaju pedagang dari Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda pun berlombalomba merampok dan merampas (Rahmanto, 2001). Dalam 78 novel ini, rakyat kecil yang diwakili oleh Mioti-Lamo mencoba mempertanyakan dan melawan d'oksa itu dengan membangun wacana heterodoksa, membangun jembatan perdamaian dan jembatan kemanusiaan di antara dua kerajaan kembar itu, tetapi dia pun gagal. Kedatangan ikan-iban hiubahkan menambah kerumitan penyelesaian konflik dan permusuhan tersebut. 3. Sihir Rempah: Arena lkan-lkan Hiu Penjelajahan dan penemuan jalur rempah oleh bangsa-bangsa Eropa tidak terlepas dari pesatnya ilmu kartografi di Eropa. Para ahli kartografi dari Portugis, Spanyol, Italia, Belanda, dan Jerman saling berlomba melakukan pemetaan kawasan Nusantara dengan segala presisinya. Peta-peta itulah yang menjadi alat navigasi yang diandalkan oleh para mualim untuk membawa mereka ke kepulauan rempah-rempah (Rahman, 201 9). Portugis adalah negara Eropa pertama yang masuk dan membangun aliansi dengan Kerajaan Tidore di tahun 1512. Setelah sepuluh tahun beraliansi, sultan meminra raja Portugis Dom Manuel untuk membangun benteng Santo Paulus. Karena kedudukannya makin kuat, Portugis pun mulai mencampuri urusan dalam kerqaan, memonopoli perdagangan rempah, dan menyebarkan agama Katolik. Dalam novel ini, ikan-ikan hiu adalah metafora untuk kaum penjelajah dan kemudian kolonialis Eropa, terutama Portugis dan Spanyol. Selain itir, Inggris dan Belanda pun menjejakkan kaki dan pengaruhnya di Ternate dan Tidore (Lihat Gambar 4). Kehadiran bangsa Eropa yang semula hanya untuk mencari daerah produksi rempah-rempah, dalam perkembangannya tidak hanya melakukan kegiatan perdagangan, tetapi juga melakukan kolonisasi, membangun kekuatan politik, dan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia (Marihandono, 2020). I ii i:i:-i; ii,:i: r.i:r.ri: 79 I ffi @ @ Ido, Homa Gambar 4: Posisi dan lnteraksi Tokoh dalam Novel /kon-lkon Hiu, Gambar 4 memperlihatkan posisi dan pola interaksi tokohtokoh di dalam lkan-Ikan Hiu, Ido, Homa. Mioti-Lamo sebagai Rorasai rokoh sentral dengan dua istrinya: Loema Dara dan Tatate kekuasaan sebagai'ikan-ikan homa dikelilingi intrik-intrik politik ikanlikan ido dan ikan-ikan hiu. Kesultanan Ternate pada awalnya tetapi' bersekutu dengan Portugis untuk memerangi Tidore' Akan kesultanan, karena p.rt,rgi. terlalu mencampuri urusan di dalam memonopoli perdagangan rempah-rempah, dan menyebarkan merangkul agama Katolik, pecahlah kongsi tersebut' Ternate B.l"rrd" (voc) untuk menggempur Portugis sekaligus Tidore. Di bawah pimpinan Cornelis Bastiaanzoon, Belanda berhasil Ternate memporak-porandakan benteng Portugis di Tidore. Aliansi d.rg"r Belanda (VOC) pun dilalankan. Rupanya pilihan ini tidak ,.pi, karena akibatnya jauh lebih fatal. Belanda dengan watak yang sangat ekspansif mulai menjalankan monopoli p.rd"j"rrg"n yang jauh lebih ketat dan ramak, terutama dalam masa dagangnya pemerintahan Jan Pieterszoon Coen. Di Pulau Banda, muncul tokoh Dirk Joncker callenbackerseorang Indo-Belanda yang bersimpati dan berpihak pada kaum l '':'. 80 S r:.r {r-ll lt c-:-:: 3..- ri it pribumi. Masyarakat Banda saat iru telah menjalin relasi dengan Inggris yang juga menghendaki surga iempah-rempah di Maluku. Dirk menyadari bahwa tunduk kepada VOC berarti mati. Melawan juga berarti mati. Maka jelaslah apa yang akan dihadapi pulaupulau yang penuh damai ini: Banda, Lontor, Neira, Ai, dan Runsetelah galai-galai barar itu datang. Puluhan orang Belanda dibunuh di Banda. Jan Pieterszoon Coen memerinrahkan untuk membunuh penguasa-penguasa Kesultanan Ternate. Perhatikan pembacaan hukuman dan pembunuhan "orang-orang kayd' (istilah untuk menyebut tokoh-tokoh masyarakat Banda) dari Lontor, Neira, Ai, dan Run. Hukuman mati atas pelanggaran perjanjian monopoli itu dilaksanakan dengan sempurna tanpa rasa kemanusiaan sedikit pun. Genderang-genderang dibunyikan. Aba-aba nyaring diteriakkan. Delapan orang paling terkemuka yang ditawan tadi disuruh berlutut dalam suatu baris reratur. .... Sunyi sejurus. Seperti bayangan gerhana lewat. Lalu mengayunlah ke atas enam mata pedang sangat pelan. Tetapi tiba-tiba seperti halilintar pedangpedang samurai itu menyambar. Ciaaaat!TeriakJepang tak terduga jatuh dari langit mengiris keheningan, dan dalam satu gebrakan enam buah kepala menggelundung. Muncratlah darah segar dari urat-urat nadi leher masing-masing. Dan tergeletaklah enam batang tubuh pahlawan Banda. Mengayunlah lagi hingga tiga kaii pedang-pedang mahatajam itu dan batang tubuh setiap sosok terpotong menj adi empat (Mangunwij aya, 20 I 5: 389-390). Kekejaman pembantaiin VOC di bawah pimpinan Gubernur prmplnanJenderal Jan Pieterszoon Coen terhadap'ikan-ikan pimpinan penguasa lokal itu pun masih berlanjut. Sesudah membantai delapan orang utama, dengan dingin algojoalgojo menuju ke korban-korban lainnya. Masih tiga puluh enam lelaki tegap yang tak berkeluh harus dibantai. Tanpa ampun mereka dibantai juga dengan teknik sangar sempurna. Tanpa i-iilii{. i}t'i.,ittii:;rrt;:-, -ti:lia iditi:iiil-i:tl:.'i, S!.i;.ir. ttrnF<il'i tangis pula bumi Neira menyesap darah berlimpah dari putraputranya yang setia (Mangunwij aya, 2015: 390). Pada tahun 1621 Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen kemudian memimpin sendiri sebuah armada menyerang dan membantai seluruh penduduk Pulau Banda sebagai aksi balas dendam. Tidak tanggung-tanggung, dia membawa sebanyak L3 kapal pengangkut dan beberapa kapal pengintai yang membawa sedikitnya 1.600 tentara' 300 narapidana dari Jawa, dan 100 orang ronin (samurai bayaran dariJepang),285 budakbelian dan 40 awak kapal (RaditJa,2017). Pasukan Jan Pieterszoon Coen menghabisi hampir semua penduduk di Kepulauan Banda yang pada saat itu berjumlah sekitar 15 ribu penduduk. Diperkirakan kurang dari 1 .000 penduduk sala yang selamat dari pembantaian tersebut. Novel lkan-Ihan Hiu, Ido, Homa diakhiri dengan menggambarkan keruntuhan Kesultanan Tidore di Pulau Banda, tempat penyingkiran ido-ido dari Ternate. Hari-hari berikutnya adalah neraka bagi Lontor, Neira, Pulau Ai dan Run. Beribu"ribu penduduk, tua muda, pria wanita, jompo maupun anak-anak terbunuh atau meloncat dari dindingdinding gunung tinggi ke dalam laut. Desa dan kampung mengepulkan asap-asap hitam, dibakar oleh begundal-begundal VOC. Berpuluh-puluh kora-hora dimuati penduduk untuk dijual seperti hewan ternak di Jakarta sebagai budak belian' Sementara itu, pemimpin rakyatnya disiksa dalam ruangruang penganiayaan kapal bendera "De Draak" dan dalam benteng "Nassau". Delapan orang kaya yang paling terkemuka disendirikan. Mereka dicambuki keluar benteng, menuju suatu kurungan besar kukuh yang terbuat dari tiang-tiang bambu. Terikat dengan tali iluk yang mengiris-iris kulit, mereka itu lemas lunglai setelah berhari-hari dianiaya. Namun jiwa mereka tetap tegak. j: ;;i: 82 Salah satu dari orang kaya (Mangunwi jaya, 20 iri iiil i !lii.i:i'ii itu adalah Dirk Joncker Callenbacker | 5 : 381 -3 82) . Mioti-Lamo dan Thrate Rorasai, tokoh utama yang berasal dari kalangan rakyat kecil, ikan-ikan homa, adalah dua orang yang selamat dari mara bahaya dan angkara murka tersebut. \Tanita cantik dari pedalaman dekat Danau Lina itu kembali dipertemukan dengan Mioti, pria pantai yang sangat ulet dan terampil. LoemaDara sekalipun barangkali selamat, telah menjadi manusia masa lalu. Tugasnya telah selesai (Rahmanto, 2001). Sekarang adalah waktunya dua ikan homa itu menghirup kemerdekaannya. Keduanya pun menjadi suami-istri yang bahagia. Mioti lega memandang Thrate yang sudah pulas tertid.ur. Sebentar lagi wanita ini sudah akan segar lagi. Lega seluruh jiwa Mioti, sebab telah terhirup kernbali udara kemerdekaan bagi manusia-manusia yang sanggup menentukan nasib sendiri. Tetapi Hitu, Ternate, Tidore, Banda, Seram, serta id.o-id.o yang biasanya makan ikan-ikan homa yang kecil-kecil, sampai kapan mereka akan mampu menghindari giliran dimakan ikan-ikan hiu? (Mangunwijaya, 2016: 396). Inilah akhir dari segala sihir itu. Sihir perempuan, sihir kekuasaan, dan sihir rempah-rempah. Sihir yang telah menghilangkan kemerdekaan manusia sebagai manusia. Manusia yang telah dikuasai oleh nafsu, kekuasaan, dan angkara murka. Manusia yang seumur hidupnya terobsesi akan sihir tidak akan pernah mencapai kemerdekaan menentukan nasibnya sendiri. Nasibnya akan selalu ditentukan oleh orang lain. Doksa orangorang Eropa di masa itu adalah para pedagang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih baik daripada penguasa pribumi dan rakyatnya. Mereka memburu rempah-rempah dan memberlakukan sisrem monopoli yang menyengsarakan rakyat. Mereka adalah orang-orang yang dapat menghukum dan membunuh penguasa dan penduduk lokal ranpa rasa kemanusiaan. \fereka memanfaatkan kegilahormatan penguasa lokal untuk memecah-belah persatuan dan mendapatkan keunrungan besar. D. SIMPULAN Sihir yang mampu mengendalikan arah, nilai, dan tujuan oerjuangan manusia, sehingga mereka terbius di dalam kekuatan magisnya. Ketika Nusantara terekspos J<e dunia global, kehadiran perempuan dari negeri seberang dengan ciri yang berbeda dengan perempuan-perempuan lokal serta-merta membawa sihir yang n-renaklukkan hati semua lelaki. Kehadiran Igobula di Kampung Dowingo-Jo menggerarkan hati semua lelaki. Dia bukan orang melainkan barang rampasan. Perselingkuhannya dengan semua lelaki di desa Dowingo Jo membuat suami Igobula bernama KiemaDudu merasa terhina, malu, marah, dan dendam. Akibatnya, Kiema-Dudu melaksanakan strategi bunuh diri ketika Kerajaan Ternate meminta bantuannya. Kampung Dwingo-Jo dan seluruh :sinya musnah dibakar habis oleh utusan Kerajaan Ternare, Bahder \'fusang. Kesalahan orang-orang kecil ini adalah keterpukauan nereka terhadap sihir perempuan yang membutakan kesadaran moral mereka. Sihir perempuan itu meluluhlantakkan mereka. Kasultanan Ternate dan Tidore memanfaatkan kehadiran armada-armada asing untuk saling menjatuhkan. obsesi kedua kerajaan kembar ini adalah kekuasaan, kebesaran, kemasyhuran, dan puja-puji. Kekuasan dan kebesaran menjadi sihir yang membutakan mata dan hati mereka untuk saling menyapa dan bekerja sama. inilah pula doksa penguasa kerajaan lokal pada masa kolonialisme. Sebaliknya kaum kolonialis iru memanfaatkan perpecahan dan permusuhan kedua kesultanan itu untuk mencari keuntungan ekonomis dan strategi monopoli perdagangan bagi diri mereka sendiri. Penguasa Kesultanan Ternate dan Tidore memanfaatkan orang-orang asing itu untuk mendapatkan kekuasaan, kebesaran, i. Srrslri: it.-rtii;r, ii 84 dan kemasyhuran dengan cara memerangi lawannya. Di sisi lain orang-orang asing itu memanfaatkan penguasa-penguasa kedua kesultanan itu untuk mendapatkan hal yang mereka incar dan lebih berharga secara ekonomis: rempah-rempah. Sihir bagi kaum kolonialis berbaju pedagang, yakni Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris adalah rempah-rempah. Mereka menjelajah dan menemukan jalur rempah dan mengeruk banyak keuntungan. Mereka memaksakan monopoli dengan model relasi kekuasaan dan sistem perjanjian yang tidak berimbang. Inilah doksa kaum kolonialis pemburu rempah. Perlawanan lokal terhadap tindakan monopoli rempah membawa maut bagi ido-i.do dan boma-homa. Ketamakan dan kelobaan kaum kolonialis di dalam mengeksploitasi kekayaan alam Nusantara berakibat fatal. Ikanikan ido dan horna di kepulauan Banda habis dibantai dengan kejam tanpa belas-kasihan dan rasa kemanu$iaan sedikit pun. Sedikit yang tertinggal adalah manusia-manusia yang berani menghirup udara kemerdekaan, manusia-manusia yang sanggup menentukan nasibnya sendiri. Mereka adalah Mioti-Lamo dan Thrate Rorasai, dua ekor ltoma kecil yang memulai menjalankan hidupnya di arena perjuangan hidup yang tidak selalu mudah. DAFTAR PUSTAKA Bourdieu, P. 1993. The Field on Cuhural Production: and Literature. Cambridge: Poliry Press. Essays on Art Britannica, E. 202L. HistoVical Noue l. https://www.britannica.com/ artlhisto rical-novel. Brown, R., 6. Kulik, J. 1977. "Flashbulb Memories". Cognition. 5 ( 1 ). doi: 1 0. 1 0 I 6/00 10 -0277 (7 7) 900 I 8-X, 7 3-99. Conwaya, Shane Francis; McDonagha, John; Farel, Maura; dan Kinsella, Anne. 2015. "Cease Agricultural Activity Forever? Underestimating the Importance of Symbolic Capital". Journal of Rural Studies. 44,164-176. i!:lira ilrle;;r1;:telt:, +ii*r:. F.",."ra*:.:r:r::t- 5!,1i; i.le::,:li:lifr Ensiklopedia Sastra, I.2020. Ihan lkan Hiu, Homa, Ido. Sumber http : //ensiklopedia.kemdikbud. go. id/sastra/artikel/IkanIkan_Hiu_Ido-Homa. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Forchtner, B. dan SchneickerL C. 2016. "Collective learning in social fields: Bourdieu, Habermas and Critical Discourse Studies". Discourse and Society. Yol 27 (3) 293-307. https:ll doi. org/ 1 0. I 17 7 o/o2F 09 57 9 265 | 6630 89 2. Haryatmoko. 2016. Critical Discoarse Analysis: Landasan Teori, Metode, dan Penerapan. Jakana: Raja Grafindo Persada. Haryatmoko . 2016. Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Po s t- Stru h tura lis. Yogyakarta: Kanisius. K. Y. 2018. Mengakari Tbhs Menjelajasi Ko(n)teks: Sehumpulan Esai Sasna dan Budaya. Surabaya: Airlangga Karnanta, University Press. Kleden, I.2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Pustaka lJtama Grafiti. Krisdinanto, N. 2014.'"Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai". I{ANAL.Yol.2, No. 2, Maret 2014,107-206. \{angunwi jaya,Y.B.2016. Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa Sebuah Nouel S ej ara h. Jakarta: Kompas. -\{arihandono, Djoko dan Kanumoyoso, Bondan. 2020. Rempah, Jalur Rempah, dan Dinamika Masyarahat Nusantara. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Novenia, Maria; Taum, Yoseph Yapi; dan Adji, Susilawati Endah Peni. 2019. Oktober. "Strategi Dominasi dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari: Perspektif Pierre Bourdieu". Jurnal llmiah Kebudayaan SINTESIS. Volume 13, Nomor 2, Oktober 20l9,hlm. 102-1 71, 73(2), 102-1 1 1. i;iL-c trJ; F-ii:: iil{;.ii Putri, G. S. 2020. September 23."Menilik PentingnyaJalur Rempah Indonesia dan Interaksi Budaya Dunid'. https://wwwkompas. com/sains/ r eadI 2020 I 09 I 23 I 0 80200223 . Raditya, I. N. 2017. November 8. "Pembantaian Orang-Orang Banda". h ttps : // tirto. id/ czN l. Rahman, F. 2019. September 3. "Negeri Rempah-Rempah" Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kelayaan Rempah-Rempah "Spices Land": From the Spring to The Fall of Spices Glory''. Patanjala. 11 (3), 347-362. Rahmanto, B. 2001. Y B. Mangunwijaya: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo. Th"um, Y. Y. 2017. "Kritik Sastra Diskursif: Sebuah Reposisi". Seminar Nasional Kritik Sastra'Kritik Sastra yang Memotivasi dan Menginspirasi. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Jakarta 15-16 Agustus 2017. Y. 2018. "Strategi Literer dalam Menjayakan Sastra Indonesid'. STIKIP Persadha Khatulistiua, Sintang, Kalimantan Barat (pp. 10-21). Sintang: Lembaga Bahasa dan Budaya Taum, Y. Kalimantan. Turner, J. 2019. Sejarah Rempah: Dari Erotisme Sampai Imperialisme - (Edki Baru), Penerjemah: Julia Absari. Depok: Komunitas Bambu. 'Welianto, A. 2020.Juni I 6. "Latar Belakang Terbentuknya Persekutuan Uli Lima dan Uli Siwi'. Kompas.com.