Tradisi ganjil makan daging 'menakutkan' di Sulawesi Utara dan harga lingkungannya

  • Pijar Anugerah
  • BBC Indonesia

PERINGATAN: Beberapa foto di artikel ini mungkin bisa mengganggu Anda.

Paniki
Keterangan gambar, Kelelawar hitam (paniki) termasuk jenis satwa liar yang paling banyak diperdagangkan di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara.

Pada satu Rabu pagi di Bulan November, Pasar Beriman di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, warga sudah sibuk lalu-lalang membeli kebutuhan sehari-hari.

Ada yang membeli sayur-mayur, lauk-pauk, dan sembako namun Omvenca mencari sesuatu yang lain.

Laki-laki berusia 68 tahun itu tengah mempersiapkan pesta ulang tahun salah seorang cucunya dan Omvenca berniat menyajikan hidangan istimewa: daging kelelawar hitam atau paniki.

"Ya memang kalau ndak biasa ya jijik, tapi kita biasa makan ya enak," kata Omvenca ketika ditanya apa sebenarnya enaknya daging paniki. "Kalau [dibandingkan] ayam... ada rasa kelainan dia punya bau," ia menambahkan.

Daging 'tupai terbang' itu rencananya akan dimasak dengan bumbu rica, jahe, dan daun bawang.

Pelanggan lainnya, Jenri -26 tahun- tengah berbelanja daging tikus ekor putih -jenis tikus yang biasa ditemukan di hutan.

"Ini mau dibumbui rempah-rempah, rica, lemon," ujarnya kepada BBC Indonesia. "[Rasanya] enak, manis ini," tambah pria yang mengaku daging tikus adalah makanan favoritnya, yang disantap santap sampai dua kali dalam sepekan.

Beragam daging satwa liar lumrah ditemukan di Pasar Beriman, yang terletak di sebelah selatan Kota Manado.

Namun setiap hari Sabtu, Pasar Beriman berubah menjadi 'pasar ekstrem' tempat Anda bisa menemukan berbagai jenis daging yang tak biasa ditemukan di tempat lain: sebut saja soa-soa (biawak), babirusa, dan bahkan hewan dilindungi seperti monyet hitam alias yaki.

Paniki
Keterangan gambar, Hampir semua paniki yang diperdagangkan di Pasar Tomohon berasal dari luar Sulawesi Utara, kata para pedagang.

Masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara memang terkenal sebagai 'pemakan segala'.

Reputasi itu berasal dari kebiasaan mereka menyajikan hidangan yang disebut 'daging unik' untuk memeriahkan suasana saat merayakan hari-hari besar atau acara khusus, seperti ulang tahun atau pernikahan.

Istilah 'daging unik' mencakup beragam daging yang diperoleh dari hewan liar atau tidak terdomestikasi.

Kelelawar, tikus ekor putih, dan ular piton merupakan hewan liar yang paling sering diperdagangkan di pasar tradisional. Ketersedian ketiga satwa liar itu yang melimpah membuat harganya paling murah dibanding 'daging unik' lainnya.

Berkilo-kilogram daging kelelawar diperdagangkan di Pasar Beriman setiap hari dan jumlah itu melonjak drastis menjelang hari raya Natal dan Tahun Baru, kata Michael, seorang pedagang daging kelelawar di Pasar Beriman.

Dengan menjual satu ekor paniki seharga Rp35.000 sampai 50.000, tergantung ukurannya, rata-rata pendapatan Michael mencapai Rp200-300.000 per hari namun menjelang Natal atau Tahun Baru bisa melonjak sampai Rp10 juta.

"Kalau saya jual 500 kilo, dikali Rp50.000 itu bisa Rp25 juta. Itu modalnya. Dia bisa laku di kisaran Rp35 juta," kata Michael.

Dari luar daerah

Meski 'daging unik' hanya bisa ditemukan di Sulawesi Utara, ternyata hampir semuanya berasal dari luar daerah. Menurut Michael, umumnya daging-daging itu dibawa dari Makassar, Kendari, Palu, Gorontalo, bahkan Kalimantan.

"Di Tomohon sudah habis," kata Atox, pedagang daging babi di Pasar Beriman ketika diwawancarai BBC Indonesia.

Survei terhadap perdagangan paniki pada 2015, menemukan bahwa terdapat tujuh pasar besar di Sulawesi Utara yang menawarkan daging satwa liar selain Pasar Beriman di Kota Tomohon.

Sebanyak 38% daging kelelawar hitam di pasar-pasar tersebut berasal dari Sulawesi Selatan sedangkan 56% berasal dari provinsi lainnya di Sulawesi dan 6% dari Kalimantan.

Frank Delano Manus
Keterangan gambar, Frank Delano Manus, bersama AFMI, menyelamatkan beberapa hewan dari Pasar Tomohon.

Kasusnya serupa untuk ular piton, menurut Frank Delano Manus, warga Tomohon sekaligus pegiat Animal Friends Manado Indonesia (AFMI).

Frank mengungkap bahwa berdasarkan keterangan dari pedagang di pasar, setiap dua pekan orang-orang yang disebut transporter membawa satu ton ular piton -dalam keadaan hidup atau mati- dari pengepul di luar daerah. Ular-ular tersebut diangkut dengan mobil pikap, dan kemudian disalurkan kepada para pedagang di pasar.

Kendati AFMI berfokus pada penyelamatan dan perawatan satwa domestik, sesekali mereka juga menyelamatkan satwa liar, termasuk ular. Frank mengatakan beberapa pedagang memberikan ular-ular yang kebetulan masih hidup kepada AFMI untuk direhabilitasi dan dilepas kembali ke alam.

Saat kedatangan BBC Indonesia pada pertengahan November, AFMI tengah merehabilitasi 10 ekor ular piton dan tiga diantaranya merupakan spesies endemik di Kalimantan.

"Karena bukan endemik Sulawesi jadi kita tidak bisa release atau lepas liar kembali di sini. Kita lihat caranya bagaimana, mungkin memang mau dikirim kembali ke sana (Kalimantan) tapi sulit sekali... masih bisa dikategorikan tidak mungkin untuk kita kirim kembali ke sana," kata Frank.

Dianggap hama

Salah satu dalih yang kerap dipakai para pedagang untuk mengimpor kelelawar dan ular dalam jumlah besar ialah satwa-satwa tersebut dianggap hama di daerah asalnya.

Alasan yang dibantah oleh pakar biologi konservasi di Universitas Sam Ratulangi, John Tasirin, karena walau satwa-satwa liar itu tidak dilindungi undang-undang, tetap memegang peran penting dalam ekosistem hutan.

"Paniki, misalnya... Ada paniki buah, ada paniki pemakan serangga. Yang pemakan buah sekaligus adalah paniki untuk penyerbukan. Ada jenis-jenis [tumbuhan] yang memang sangat tergantung pada paniki ini untuk terjadi penyerbukan," ujarnya.

Profesor John Tasirin
Keterangan gambar, Profesor John Tasirin memperkirakan populasi paniki kian menyusut selama beberapa tahun belakangan.

Ketiadaan mereka -menurut alumnus University of Tasmania, Austalia ini- menyulitkan proses pemulihan lebih dari 300.000 hektare lahan kritis di Sulawesi Utara ke kondisi semula. Belum lagi, tekanan pada hutan terus bertambah seiring pertumbuhan populasi manusia.

Semua spesies kelelawar telah masuk dalam Appendix I dan II Convention on International Trade of Endangered Species (CITES), yang berarti dianggap terancam punah dan perdagangannya perlu dibatasi.

Namun kelelawar belum termasuk daftar satwa dilindungi di Indonesia sehingga belum ada urgensi untuk memantau populasinya.

Bagaimanapun John Tasirin mengestimasikan populasi kelelawar hitam di Sulawesi menyusut dalam lima tahun terakhir.

Tikus ekor putih
Keterangan gambar, Tikus ekor putih yang ditangkap dari hutan ini sudah dibakar untuk merontokkan bulu-bulunya.
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Dalam pengamatan di Pulau Paniki, Minahasa Utara, pada 2006, John memperkirakan terdapat 50.000 ekor paniki yang hidup di sana namun ketika kembali ke tempat yang sama lima tahun kemudian, ia tak lagi menemukan mereka.

"[Paniki] habis, lenyap. Dan yang bawa, orang kampung bilang adalah orang yang dengan mobil kap terbuka untuk bawa ke Manado... Karena orang situ ndak ada yang makan paniki, cuma disuplai untuk pasar di Langoan sama di Tomohon.

"Di beberapa tempat di Minahasa sini, yang dulunya banyak, ada beberapa pohon tempat kita melakukan pengamatan, memang tidak ada lagi," tutur John.

Kuota ular piton

Undang-undang dengan tegas melarang perdagangan satwa dilindungi.

Adapun satwa yang tidak dilindungi, pemanfaatannya dibatasi dengan kuota yang ditetapkan Dirjen Konservasi dan Sumber Daya Alam berdasarkan rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI.

Dari jenis satwa liar tidak dilindungi yang paling banyak diperdagangkan di Pasar Tomohon, baru ular piton yang ditetapkan kuotanya di Sulawesi Utara.

Sedangkan dari jenis kelelawar, sampai tahun 2016 hanya spesies Pteropus vampyrus yang pemanfaatannya dibatasi dengan kuota di Sumatera Utara dan Jawa Tengah; adapun jenis kelelawar endemik Sulawesi, Pteropus decto dan Acerodon celebensis belum masuk dalam daftar kuota.

Ular piton
Keterangan gambar, Di antara satwa liar yang paling sering diperdagangkan di Sulawesi Utara, baru ular piton yang pemanfaatannya dibatasi oleh kuota.

Menurut Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara, Agustinus Rante Lembang, kuota pemanfaatan Python reticulatus di Sulawesi Utara pada tahun 2017 ialah 100 ekor. Namun ia mengatakan bahwa sampai November 2017, belum ada pemburu atau pedagang ular piton yang mengurus izin untuk pemanfaatan sesuai kuota kendati dagingnya terus dijual di pasar tradisional.

Terkait hal itu, Agustinus mengakui bahwa langkah penegakkan hukum terkait kuota pemanfaatan satwa liar memang belum diterapkan kepada pedagang di pasar tradisional karena alasan budaya.

"Karena sudah berlangsung lama, yang di pasar-pasar tradisional kami baru sosialisasi. Tapi kalau di mal-mal, kami langsung cegah. Kami berikan peringatan dan kalau membandel bisa kami bawa ke proses penegakan hukum," ujarnya.